Download - RETINOPATI DIABETIK
RETINOPATI DIABETIK
PENDAHULUAN
Retinopati diabetik merupakan penyebab kebutaan yang
paling sering ditemukan pada usia dewasa antara 20-74
tahun.1 Pasien diabetes melitus (diabetes) memiliki risiko
25 kali lebih mudah untuk mengalami retinopati
dibanding nondiabetes. Risiko mengalami retinopati pada
pasien diabetes meningkat sejalan dengan lamanya
menderita diabetes. Penyebab retinopati diabetik belum
diketahui pasti, namun hiperglikemia yang berlangsung
lama diduga merupakan faktor risiko utama.2, 3 Oleh
sebab itu kontrol glukosa darah sejak dini penting dalam
mencegah timbulnya retinopati diabetik. Metode
pengobatan retinopati diabetik dewasa ini juga
mengalami kemajuan pesat sehingga risiko kebutaan
banyak berkurang.4, 5 Terapi fotokoagulasi dengan sinar
laser, vitrektomi, vitreolisis, pengunaan obat-obatan
seperti sorbinil, anti protein kinase C (PKC), anti
vascular endothelial growth factor (VEGF), somatostatin
dan anti inflamasi merupakan modalitas terapi yang
dewasa ini digunakan untuk pengobatan maupun
pencegahan retinpopati diabetik. Namun demikian
retinopati diabetik tetap masih menjadi masalah global
mengingat angka kejadian diabetes di seluruh dunia
cenderung makin meningkat.
DEFINISI
Retinopati diabetik ialah suatu kelainan mata pada pasien
diabetes yang disebabkan karena kerusakan kapiler retina
dalam berbagai tingkatan, sehingga menimbulkan
gangguan penglihatan mulai dari yang ringan sampai
berat bahkan sampai terjadi kebutaan total dan
permanen.1, 2, 5
EPIDEMIOLOGI
Prevalensi retinopati diabetik pada pasien diabetes tipe 1
setelah 10-15 tahun sejak diagnosis ditegaakkan berkisar
antara 25-50%. Sesudah 15 tahun prevalensi meningkat
menjadi 75-95% dan setelah 30 tahun mencapai 100%.4
Pasien diabetes tipe 2 ketika diagnosis diabetes
ditegakkan seiktar 20% diantaranya sudah ditemukan
retinopati diabetik. Setelah 15 tahun kemudian prevalensi
meningkat menjadi lebih dari 60-85%.5 Di Amerika Utara
dilaporkan sekitar 12.000-24.000 pasien diabetes
mengalami kebutaan setiap tahun.5 Di Inggris dan Wales
tercatat sekitar 1000 pasien diabetes setiap tahun
mengalami kebutaan sebagian sampai kebutaan total.2 Di
Indonesia belum ada data mengenai prevalensi retinopati
diabetik secara nasional. Namun apabila dilihat dari
jumlah pasien diabetes yang meningkat dari tahun ke
tahun, maka dapat diperkirakan bahwa prevalensi
retinopati diabetik di Indonesia juga cukup tinggi.
PATOFISIOLOGI
Retina merupakan suatu struktur berlapis ganda dari
fotoreseptor dan sel saraf. Kesehatan dan aktivitas
metabolisme retina sangat tergantung pada jaringan
kapiler retina. Kapiler retina membentuk jejaring yang
menyebar ke seluruh permukaan retina kecuali suatu
daerah yang disebut fivea.6 Kelainan dasar dari berbagai
bentuk retinopati diabetik terletak pada kapiler retina
tersebut. Dinding kapiler retina terdiri dari tiga lapisan
berturut-turut dari luar ke dalam yaitu sel perisit,
membrana basalis dan sel endotel. Sel perisit dan sel
endotel dihubungkan oleh pori ayng terdapt pada
membrana sel yang terletak di antara keduanya. Dalam
keadaan normal, perbandingan jumlah sel perisit dan sel
endotel kapiler retina adalah 1:1 sedangkan pada kapiler
perifer yang lain perbandingan tersebut mencapai 20:1.
Fungsi sel perisit antara lain ialah untuk
mempertahankan struktur kapiler, mengatur
kontraktilitas, membatnu mempertahankan fungsi barrier
dan transportasi kapiler serta mengendalikan proliferasi
sel endotel. Membrana basalis kapiler berfungsi sebagai
barrier untuk mempertahankan permeabilitas agar tidak
terjadi kebocoran. Sel endotel saling berikatan erat satu
sama lain dan bersama-sama dengan matriks ekstra sel
dari membrana basalis membetuk pertahnan yang bersifat
selektif terhadap beberapa jenis protein dan molekul
kecil, termasuk bahan kontras fluoresein yang digunakan
untuk diagnosis penyakit kapiler retina. Perubahan
histopatologis kapiler retina pada retinopati diabetik
dimulai dari penebalan membrana basalis kemudian
disusul dengan hilangnya sel perisit dan meningkatnya
proliferasi sel endotel. Pada keadaan lanjut, sel perisit
tidak mampu lagi mengendalikan proliferasi sel endotel
sehingga perbandingan antara sel endotel dan sel perisit
kapiler retina meningkat sampai mencapai 10:1.7
Patofisiologi retinopati diabetik melibatkan
lima proses yang terjadi di tingkat kapiler yaitu: 1)
pembentukan mikroaneurisma, 2) peningkatan
permeabilitas. 3) penyumbatan, 4) proliferasi pembuluh
darah baru (neovascular) dan pembentukan jaringan
fibrosis, 5) kontraksi jaringan fibrosis kapiler dan
vitreus.8 Penyumbatan dan hambatan perfusi
(nonperfusion) menyebabkan iskemia retina sedangkan
kebocoran dapat terjadi pada semua komponen darah.6, 9
Kebutaan akibat retinopati diabetik dapat terjadi melalui
beberapa mekanisme, yaitu: 1) edema makula atau
nonperfusi kapiler, 2) pembentukan pembuluh darah baru
dan kontraksi jaringan fibrosis sehingga terjadi ablasio
retina (retinal detachment), 3) pembuluh darah baru yang
terbentuk menimbulkan perdarahan preretina dan vitreus,
4) terjadi glaukoma yang juga merupakan akibat dari
pembentukan pembuluh darah baru.5, 6 Perdarahan adalah
bagian dari stadium retinopati diabetik proliferatif dan
merupakan penyebab utama kebutaan permanen.5 Selain
itu, kontraksi dari jaringan fibrovaskular sehingga terjadi
ablasio retina (terlepasnya lapisan retina) juga merupakan
penyebab kebutaan yang terjadi pada retinopati diabetik
proliferatif.8
ETIO-PATOGENESIS
Meskipun penyebab retinopati diabetik sampai saat ini
belum diketahui secara pasti, namun keadaan
hiperglikemia yang berlangsung lama dianggap sebagai
faktor risiko utama.2, 3 Beberapa proses biokimiawi yagn
terjadi pada hiperglikemia dan diduga berkaitan dengan
timbulnya retinopati diabetik yaitu aktivasi jalur poliol,
glikasi nonenzimatik dan peningkatan diasilgliserol yang
menyebabkan aktivasi PKC.1, 3 Selain itu, hormon
pertumbuhan dan beberapa faktor pertumbuhan lain
seperti VEGF diduga juga berperan dalam progresifitas
retinopati diabetik.4, 5
Aktivasi Jalur Poliol
Hiperglikemia yang berlangsung lama menyebabkan
peningkatan aktivitas enzim aldose reduktase sehingga
produksi poliol yaitu suatu senyawa gula dan alkohol
meningkat dalam jaringan termasuk di lensa, pembuluh
darah dan saraf optik. Salah satu sifat senyawa poliol
ialah tidak dapat melewati membrana basalis sehingga
akan tertimbun dalam jumlah yang banyak di dalam
sel.1,10 Penimbunan senyawa poliol dalam sel tersebut
akan menyebabkan tekanan osmotik sehingga
menimbulkan gangguan morfologi dan fungsional sel.
Percobaan pada hewan yang diberi inhibitor enzim
aldose reduktase (aminoguanidin) ternyata dapat
mengurangi atau memeperlambat terjadinya retinopati
diabetik.11 Namun uji klinik pada pasien diabetes tipe 1
yang diberi aminoguanidin kemudian diamati selama 3- 4
tahun ternyata tidak memberi pengaruh terhadap
timbulnya maupun perlambatan progresifitas retinopati
diabetik. Sampai saat ini masih terus dilakukan penelitian
dengan menggunakan inhibitor enzim aldose reduktase
yang lebih kuat.1,2
Glikasi Nonenzimatik
Glikasi nonenzimatik terhadap protein dan asam
deoksiribonukleat (DNA) yang terjadi selama
hiperglikemia akan menghambat aktivitas enzim dan
keutuhan DNA. Protein yang terglikosilasi membentuk
radikal bebas dan akan menimbulkan perubahan fungsi
sel.2,3 Penggunaan aminoguanidin, yaitu suatu bahan
yang juga bekerja menghambat pembentukan advanced
glycation end product (AGE) pada tikus diabetes
dilaporkan dapat mengurangi pegnaruh diabetes terhadap
aliran darah di retina, permeabilitas kapiler dan
parameter mikrovaskuler yang lain. Aminoguanidin
terbukti juga dapat menghambat produksi senyawa
oksida nitrat yang merupakan vasokonstriktor kuat.6
Diasilgliserol dan Aktivasi Protein Kinase C
Protein kinase C diketahui memiliki pengaruh terhadap
permeabilitas vaskular, kontraktilitas, sintesis membrana
basalis dan proliferasi sel vaskular. Dalam kondisi
hiperglikemia, aktivitas PKC di retina dan sel endotel
meningkat akibat penginkatan sintesis de novo
diasilgliserol, yaitu suatu regulator PKC dari glukosa.3
Diasilgliserol terbukti diproduksi dalam jumlah banyak
di retina anjing dengan galaktosemia yang disertai
retinopati. Dewasa ini para ahli sedang melakukan uji
klinik penggunaan ruboxistaurin yaitu suatu penghambat
PKC β-isoform pada pasien retinopati diabetik.13
Beberapa hipotesis mengenai mekanisme patogenesis
retinopati diabetik yang kemungkinan dapat
dikembangkan menjadi target intervensi farmakologis
dapat dilihat pada tabel 1.
Tabel 1. Hipotesis Patogenesis Retinopati Diabetik
Mekanisme Cara Kerja Terapi
Aldose reduktase Meningkatkan produksi sorbitol, menyebabkan
kerusakan sel
Aldose reduktase inhibitor
Inflamasi Meningkatkan perlekatan leukosit pada endotel kapiler,
hipoksia, kebocoran, edema macula
Aspirin
Protein kinase C Diaktifkan oleh DAG, mengaktifkan VEGF Inhibitor PKC β-isoform
ROS Merusak enzim dan komponen sel yang peting Antioksidan
AGE Mengaktifkan enzim-enzim yang merusak Aminoguanidin
Nitrit oxide synthase Meningkatkan produksi radikal bebas dan VEGF Aminoguanidin
Menghambat ekspresi gen Menghambat jalur metabolisme sel Belum ada
Apoptosis sel perisit dan
endotel
Penurunan lairan darah ke retina, menyebabkan
hipoksia
Belum ada
VEGF Meningkat pada hipoksia retina, menimbulkan
kebocoran, edema makula, neovaskular
Fotokoagulasi, anti VEGF
PEDF Menghambat neovaskularisasi, menurun pada
hiperglikemia
Induksi produksi PEDF oleh
gen
GH dan IGF – 1 Merangsang neovaskularisasi Hipofisektomi, Gh-reseptor
blocker, octreotide
PKC = protein kinase C; VEGF = vascular endothelial growth factor;DAG = diacylglycerol; ROS = reactive oxygen
species; AGE = advanced glycation end-product; PEDF = pigment epithelium derived factor; GH = growth hormone; IGF –
1 = insulin-like growth factor 1.
DIAGNOSIS DAN KLASIFIKASI
Diagnosis retinopati diabetik didasarkan atas hasil
pemriksaan funduskopi. Pemeriksaan dengan fundal
fluorescein angiography (FFA) merupakan metode
pemeriksaan yang paling dipercaya. Namun dalam klinik
pemeriksaan dengna oftalmoskopi masih dapat
digunakan untuk pemeriksaan penyaring.1 Klasifikasi
retinopati diabetik umumnya didasarkan atas beratnya
perubahan yang terjadi pada mikrovaskular retina dan
ada atau tidakadanya pembetukan pembuluh darah baru.
Early Treatment Diabetic Retinopathy Research Study
Group (ETDRS)8 membagi retinopati diabetik atas dua
stadium yaitu nonproliferatif dan proliferatif. Retinopati
diabetik nonproliferatif (RDNP) hanya ditemukan
perubahan ringan pada mikrovaskular retina. Kelianan
fundus pada RDNP dapat berupa mikroaneurisma atau
kelainan intraretina yang disebut intra-retinal
microvaskular abnormalities (IRMA).6,9 Penyumbatan
kapiler retina akan menimbulkan hambatan perfusi yang
secara klinik ditandai dengan pendarahan, kelainan vena
dan IRMA. Iskemia retina yang terjadi akibat hambatan
perfusi akan merangsang proliferasi pembuluh darah baru
(neovaskular).2,6 Pembentukan pembuluh darah baru
merupakan tanda khas dari retinopati diabetik proliferatif
(RDP).5,9
Retinopati Diabetik Nonproliferatif
Retinopati diabetik nonproliferatif merupakan bentuk
retinopati yang paling ringan dan sering tidak
memperlihatkan gejala. Stadium ini sulit dideteksi hanya
dengan pemeriksaan oftalmoskopi langsung maupun
tidak langsung. Cara pemeriksaan yang paling baik
adalah dengan menggunakan foto warna fundus atau
dengan FFA. Mikroaneurisma yang terjadi pada kapiler
retina merupakan tanda awal yang dapat ditemukan pada
RDNP. Dengan oftalmoskopi atau foto warna fundus,
mikroaneurisma tampak berupa bintik merah dan sering
kelihatan pada bagian posterior.2 Penyebab timbulnya
mikroaneurisma masih belum jelas. Diduga ada
hubungan dengan faktor vasoproliferatif yang dihasilkan
endotel, kelemahan dinding kapiler akibat berkurangnya
sel perisit, serta meningkatnya tekanan intra lumen
kapiler.2 Kelainan morfologi yang lain ialah penebalan
membrana basalis, pendarahan ringan, eksudat keras
yang tampak sebagai bercak warna kuning dan eksudat
lunak yang tampak sebagai bercak halus (cotton wool
spot). Pendarahan terjadi akibat kebocoran eritrosit,
eksudat terjadi akibat kebocoran dan deposisi lipoprotein
plasma.6 Retinopati diabetik nonproliferatif berat sering
juga disebut sebagai retinopati diabetik iskemik,
retinopati obstruktif atau retinopati preproliferatif.
Gambaran yang dapt ditemukan yaitu bentuk kapiler
yang berkelok tidak teratur akibat dilatasi yang tidak
beraturan dan cotton wool spot, yaitu suatu daerah retina
dengan gambaran bercak warna putih pucat dimana
kapiler megnalami sumbatan.2 Dalam waktu 1 – 3 tahun
RDNP berat (retinopati reproliferatif) sering berkembang
menjadi retinopati diabetik proliferatif, baik disertai
maupun tidak disertai dengan edema makula. Pasien
diabetes dengan keadaan tersebut merupakan calon untuk
mendapat terapi fotokoagulasi.
Retinopati Diabetik Proliferatif
Retinopati diabetik proliferatif ditandai dengan
pembentukan pembuluh darah baru. Dinding pembuluh
darh baru tersebut hanya terdiri dari satu lapis sel endotel
saja tanpa sel perisit dan membrana basalis sehingga
sangat rapuh dan mudah mengalami perdarahan.6
Pembentukan pembuluh darah baru tersebut sangat
berbahaya karena dapat tumbuh secara abnormal keluar
dari retina meluas sampai ke vitreus, menyebabkan
perdarahan di sana dan dapat menimbulkan kebutaan.6
Perdarahan dalam vitreus akan menghalangi transmisi
cahaya ke dalam mata dan pada lapangan penglihatan
memberi penampakan berupa bercak warna merah, abu –
abu atau hitam. Apabila perdarahan terus berulang, dapat
terbentuk jaringan fibrosis atau sikatriks pada retina.
Oleh karena retina hanya berupa lapisan tipis yang terdiri
dari beberapa lapis sel saja, maka sikatriks dan jaringan
fibrosis yang terbentuk dapat menarik retina sampai
terlepas sehingga terjadi ablasio retina (retinal
detachment). Pembuluhd arah baru dapat juga terbentuk
dalam stroma dari iris dan bersama-sama dengan jaringan
fibrosis dapat meluas sampai ke chamber anterior.
Keadaan tersebut dapat menghambat aliran keluar dari
aqueos humor sehingga menimbulkan glaukoma
neovaskular yang ditandai dengan meningkatnya tekanan
intraokular. Kebutaan dapat terjadi apabila ditemukan
pembuluh darah baru yang meliputi satu per empat
daerah diskus, adanya perdarahan preretina, pembuluh
darah baru yang terjadi dimana saja (neovascularization
elsewhere) yang disertai perdarahan, atau terdapat
perdarahan di lebih dari separuh pada daerah diskus atau
vitreus.2,6,8
Makulopati diabetik
Makulopati diabetik merupakan penyebab kebutaan
paling sering pada pasien diabetes. Makulopati diabetik
cenderung berhubungan dengan diabetes tipe 2 usia
lanjut, sedangkan retinopati diabetik proliferatif
cenderung ditemukan pada usia muda.6 Tergantung
perubahan utama yang terjadi pada kapiler retina,
makulopati diabetik dapat dibedakan dalam beberapa
bentuk yaitu makulopati iskemik, makulopati eksudatif
dan edema makula.6 Makulopati iskemik terjadi akibat
penyumbatan yang luas dari kapiler di daerah sentral
retina. Makulopati eksudatif terjadi karena kebocoran
setempat sehingga terbentuk eksudat keras seperti yang
ditemukan pada RDNP. Makulopati eksudatif perlu
segera dilakukan terapi fotokoagulasi untuk mencegah
hilangnya visus secara permanen. Edema makula terjadi
akibat kebocoran yang difus. Apbila keadaan tersebut
menetap, maka akan terbentuk kista berisi cairan yang
dikenal sebagai edema makula kistoid. Bila keadaan ini
terjadi maka gangguan visus akan menetap dan sukar
diperbaiki. Dibanding dengan metode diagnostik lain,
optical coherence tomography (OCT) merupakan metode
yang paling baik untuk mendiagnosis makulopati
diabetik.5
Tabel 2. Klasifikasi Retinopati Diabetik Menurut ETDRS8
Retinopati diabetik nonproliferatif
1. Retinopati nonproliferatif minimal: terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena, mikroaneurisma, perdarahan
intraretina yang kecil atau eksudat keras
2. Retinopati nonproliferatif ringan sampai sedang: terdapat satu atau lebih tanda berupa dilatasi vena derajat ringan,
perdarahan, eksudat keras, eksudat lunak atau IRMA.
3. Retinopati nonproliferatif berat: terdapat satu atau lebih tanda berupa perdarahan dan mikroaneurisma pada 4 kuadran
retina, dilatasi vena pada 2 kuadran, atau IRMA ekstensif minimal pada 1 kuadran
4. Retinopati nonproliferatif sangat berat: ditemukan dua atau lebih tanda pada retinopati non-proliferatif berat.
Retinopati diabetik proliferatif
1. Retinopati proliferatif ringan (tanpa risiko tinggi): bila ditemukan minimal adanya neovaskular pada diskus (NVD) yang
mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus; atau neovaskular di
mana saja di retina (NVE) tanpa disertai perdarahan preretina atau vitreus
2. Retinopati proliferatif risiko tinggi: apabiladitemukan 3 atau 4 dari faktor risiko sebagai berikut, a) ditemukan pembuluh
darah baru di mana saja di retina, b)ditemukan pembuluh darah baru pada atau dekat diskus optikus, c) pembuluh darah
baru yang tergolong sedang atau berat yang mencakup lebih dari satu per empat daerah diskus, d) perdarahan vitreus.
Adanya pembuluh darah baru yang jelas pada diskus optikus atau setiap adanya pembuluh darah baru yang disertai
perdarahan merupakan dua gambaran yang paling sering ditemukan pada retinopati proliferatif dengan risiko tinggi.
ETDRS = Early Treatment Diabetic Retinopathy Study; NVD = new vessels on disc; NVE = new vessels elsewhere
PENCEGAHAN DAN PENGOBATAN
Pencegahan dan pengobatanretinopati diabetik
merupakan upaya yang harus dilakukan secara bersama
untuk mencegah atau menunda timbulnya retinopati dan
memperlambat proses perburukan. Tujuan utama
pengobatan retinopati diabetik ialah untuk mencegah
terjadinya kebutaan permanen. Pendekatan multidisiplin
dengan melibatkan ahli diabetes, perawat edukator, ahli
gizi, spesialis mata, optometris dan dokter umum akan
memberi harapan bagi pasien untuk mendapatkan
pengobatan optimal sehingga kebutaan dapat dicegah.
Kontrol glukosa darah yang baik merupakan dasar dalam
mencegah timbulnya retinopati diabetik atau
memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada.14,15
Pencegahan dan pengobatan retinopati diabetik meliputi:
Kontrol glukosa darah
Kontrol tekanan darah
Kontrol profil lipid
Ablasi kelenjar hipofisis melalui pembedahan
atau radiasi (jarang dilakukan)
Fotokoagulasi dengan sinar laser:
o Fotokoagulasi panretinal untuk RDP atau
glaukoma neovaskular
o Fotokoagulasi fokal utuk edema makula
Vitrektomi/vitreolisis untuk pendarahan vitreus
atau ablasio retina
Intervensi farmakologi (umumnya masih dalam
tahap percobaan) seperti pemberian inhibitor
enzim aldose reduktase, inhibitor hormon
pertumbuhan, anti VEGF, inhibitor PKC dan
anti inflamasi.
Pasien diabetes dengan retina normal atau RDNP
minimal perlu diperiksa setiap tahun karena pasien yang
sebelumnya tanpa retinopati pada waktu diagnosis
diabetes ditegakkan, 5%-10% akan mengalami retinopati
setelah 1 tahun. Pasien RDNP derajat sedang dengan
mikroaneurisma, perdarahan jarang, atau ada eksudat
keras tetapi tidak disertai edema makula, perlu
pemeriksaan ulang setiap 6 – 12 bulan karena sering
progresif. Suatu penelitian terhadap pasien diabetes tipe 1
ditemukan 16% dari RDNP derajat sedang yang hanya
ditandai eksudat keras dan mikroaneurisma, dapat
berkembang ke arah stadium proliferasi hanya dalam
waktu 4 tahun.1,5
Kontrol Glukosa Darah
Beberapa penelitian skala besar membuktikan bahwa
kontrol glukosa darah yang baik dapat mencegah
timbulnya dan memburuknya retinopati diabetik.
Diabetes Control and Complication Trial (DCCT)
melakukan penelitian pada 1441 pasien diabetes tipe 1
yang belum disertai retinopati dan yang sudah menderita
RDNP. Kelompok pasien yang belum disertai retinopati
dan mendapat terapi intensif dengan insulin selama 36
bulan mengalami penurunan risiko terjadi retinopati
sebesar 76%. Demikian juga pada kelompok yang sudah
menderita retinopati, terapi intensif mencegah risiko
perburukan retinopati sebesar 54%.16 Efek perlindungan
melalui mengendalikan glukosa darah juga terlihat dari
hasil penelitian United Kingdom Prospective Diabetes
Study (UKPDS) terhadap pasien diabetes tipe 2. Pasien
yang diterapi secara intensif, setiap penurunan 1%
HbA1c akan diikuti dengan penurunan risiko komplikasi
mikrovaskular sebesar 35%.1 Hasil penelitian DCCT dan
UKPDS tersebut memperlihatkan bahwa meskipun
kontrol glukosa darah secara intensif tidak dapat
mencegah terjadinya retinopati secara sempurna, namun
dapat mengurangi risiko timbulnya retinopati diabetik
dan memburuknya retinopati diabetik yang sudah ada.
Secara klinik, kontrol glukosa darah yang baik dapat
melindungi visus dan mengurangi risiko kemungkinan
menjalani terapi fotokoagulasi dengan sinar laser.1,16
Kontrol Tekanan Darah
Untuk mengetahui pengaruh hipertensi terhadap
retinopati diabetik, UKPDS melakukan penelitian
terhadap 1148 pasien hipertensi dengan diabetes tipe 2
yang dibagi atas dua kelompok yaitu kelompok yang
dilakukan kontrol tekanan darah tidak ketat
(<180/105mmHg) dan kelompok yang dilakukan kontrol
tekanan darah ketat (<150/85mmHg). Pasien mendapat
pengobatan dengan angiotensin concerting enzyme
inhibitor (ACE – inhibitor) atau β-blocker dan dilakukan
pengamatan rata-rata selama 8,4 tahun. Hasil penelitian
menunjukkan kelompok pasien dengan kontrol tekanan
darah ketat mengalami penurunan risiko progresifitas
retinopati sebanyak 34%.17 Apropriate Blood Control in
Diabetes (ABCD) Study melakukan penelitian terhadap
kelompok pasien diabetes yang juga menderita hipertensi
dan diterapi dengan target tekanan diastolik <75mmHg
dibanding denga kelompok yang diterapi dengan target
tekanan darah diastol antara 80-89mmHg. Sebanyak 470
pasien diberi terapi nisoldipin atau enalapril secara acak
kemudian dilakukan pengamatan rata-rata 5,3 tahun.
Tekanan darah rata-rata yang dicapai pada kelompok
pertama adalah 132/78 mmHg, sedangkan kelompok
kedua mencapai tekanan darah rata-rata 138/86 mmHg.
Meskipun kelompok terapi intensif mengalami
penurunan angka kematian yang cukup bermakna, namun
hasil analisis statistik ternyata antara kedua kelompok
tidak ditemukan perbdaan bermakna dalam mencegah
progresifitas retinopati. Saat ini tekanan darah pasien
diabetes dianjurkan kurang dari 130/85 mmHg.18
Ablasi Kelenjar Hipofisis
Dugaan adanya hubungan antara growth hormone dan
retinopati diabetik didasarkan atas laporan dari sarjana
Poulsen pada tahun 1953 mengenai kasus retinopati
diabetik pada seorang pasien diabetes wanita yang
mengalami infark bipofisis sewaktu melahirkan. Setelah
dilakukan hipofisektomi ternyata retinopati diabetik yang
sudah ada mengalami perbaikan. Sejak itu tinakan
hipofisektomi sering dilakukan pada pasien diabetes yang
disertai retinopati diabetik proliferatif. Peran growth
hormone terhadap timbulnya retinopati diabetik
didasarkan atas fakta bahwa retinopati diabetik
berkembang cepat sealma usia pubertas. Pada masa
tersebut kepekaan jaringan terhadap growth hormone
sangat tinggi. Bukti lain yang memperkuat hipotesis
tersebut yaitu pasien kerdil akibat defisiensi growth
hormone yang juga menderita diabetes ternyata tidak
pernah mengalami retinopati diabetik dan juga penyakit
mikrovaskular yang lain. Meskipun demikian,
hipofisektomi pada pasien diabetes dengan retinopati
diabetik saat ini sudah hampir tidak pernah dilakukan.
Fotokoagulasi
Suatu uji klinik berskala besar yang dilakukan National
Institutes of Health di Amerika Serikat jelas
menunjukkan bahwa pengobatan fotokoagulasi dengan
sinar laser apabila dilakukan tepat pada waktunya, sangat
efektif untuk pasien dengan retinopati diabetik
proliferatif dan edema makula. Indikasi terapi
fotokoagulasi dengan sinar laser ialah retinopati diabetik
proliferatif, edema makula dan neovaskular yang terletak
pada sudut chamber anterior.2,19 Ada tiga metode terapi
fotokoagulasi dengan sinar laser, yaitu: 1) scatter
(panretinal) photocoagulation, dilakukan pada ksus
dengan kemunduran visus yang cepat dan untuk
menghilangkan noevaskular pada saraf optikus dan
permukaan retina atau pada sudut chamber anterior; 2)
focal photocoagulation, ditujukan pada mikroaneurisma
di fundus posterior yang mengalami kebocoran untuk
mengurangi atau menghilangkan edema makula; 3) grid
photocoagulation, suatu teknik penggunaan sinar laser
dimana pembakaran dengan bentuk kisi-kisi diarahkan
pada daerah edema.2,8,19 Terapi edema makula sering
dilakukan dengan menggunakan kombinasi focal dan
grid photocoagulation.
Vitrektomi
Viterktomi dini perlu dilakukan pada pasien yang
mengalami kekeruhan (opacity) vitreus, perdarahan dan
yang mengalami neovaskulasrisasi aktif. Vitrektomi
dapat juga membantu bagi pasien dengan
neovaskularisasi yang ekstensif atau yang mengalami
proliferasi fobrovaskular. Selin itu, vitrektomi juga
diindikasikan bagi pasien yang mengalami ablasio retina,
perdarahan vitreus setelah fotokoagulasi, RDP berat, dan
perdarahan vitreus yang tidak mengalami perbaikan.2,8
Selain vitrektomi, dapat juga dilakukan vitreolisis dengan
menggunakan enzim hialuronidase (Vitrase®), plasmin
atau mikroplasmin.20,21
Terapi Farmakologi
Proses biokimiawi dan hormonal yang terjadi pada
keadaan hiperglikemia diduga terkait dengan timbulnya
retinopati diabetik. Dewasa ini sedang dilakukan uji
klinik beberapa obat yang ditujukan pada proses tersebut
seperti misalnya inhibitor enzim aldose reduktase
(aminoguanidin, benfotiamin), inhibitor PKC
(ruboxistaurin), anti – VEGF intravitreal (pegaptanib,
bevacizumab, ranibizumab), anti inflamasi (aspirin,
kortikosteroid) dan analog somatostatin.15
Inhibitor aldose reduktase. Penggunaan aminoguanidin
(Sorbinil®) pada hewan percobaan terbukti dapat
menghambat timbulnya dan memburuknya retinopati
diabetik.10 Namun pada manusia penggunaan
aminoguanidin tersebut ternyata tidak memberikan hasil
yang memuaskan. Dewasa ini sedang dilakukan berbagai
penelitian pada hewan maupun manusia dengan
menggunakan inhibitor aldose reduktase yang lebih kuat
yaitu ARI-809.12
Inhibitor protein kinase C. Penelitian pada hewan
menunjukkan penggunaan ruboxistaurin mesilat yaitu
suatu inhibitor selektif dan kuat terhadap PKC – β
isoform, potensial mencegah timbulnya retinopati
diabetik. Suatu uji klinik fase III pemberian ruboxistaurin
32 mg sehari dengan kontrol plasebo yang dilakukan
pada 685 pasien diabetes di 70 senter selama 36 bulan,
menunjukkan angka kejadian hilangnya visus pada
kelompok yang mendapat terapi ruboxistaurin hanya
5,5%, sedangkan pada kelompok placebo 9,1%. Setelah
dilakukan pengamatan selama 3 tahun ternyata 40% dari
pasien dengan RDNP sedang, dapat dicegah
perkembangannya menjadi RDNP berat.22
Anti VEGF. Beberapa uji klinik membuktikan bahwa
VEGF berperan penting dalam timbulnya retinopati
diabetik. Efek biologis VEGF terjadi melalui ikatannya
terhadap reseptor permukaan sel yang spesifik. Suatu uji
klinik fase II menunjukkan pasien retinopati diabetik
yang mendapat suntikan anti VEGF pegaptanib setiap 6
minggu mengalami perbaikan visus sehingga tidak lagi
memerlukan terapi fotokoagulasi.23 Suntikan anti VEGF
bevacizumab intravitreal juga menyebabkan regresi
neovaskular pada RDP. Anti VEGF lain yang juga cukup
potensial ialah ranibizumab. Suntikan intra vitreal
ranibizumab 4 dosis selama 6 minggu pada 10 pasien
diabetes dengan penurunan visus menunjukkan 85%
diantaranya mengalami perbaikan visus secara
bermakna.24
Analog somatostatin. Hipofisektomi merupakan salh
satu cara yang dilakukan zaman dlu untuk pengobatan
RDP. Metode pengobatan tersebut sekarang
dikembangkan dengan menggunakan analog somatostatin
kerja panjang untuk mencegah RDP. Suatu uji klinik
terapi octreotide (suatu analog somatostatin kerja
panjang) berskala kecil pada 23 pasien diabetes dengan
RDNP berat atau RDP menunjukkan penurunan jumlah
pasien yang memerlukan terapi fotokoagulasi dibanding
dengan yang mendapat terapi konvensional. Namun
dalam skala besar penggunaan terapi octreotide ternyata
pengaruhnya terhadap progresifitas retinopati tidak dapat
disimpulkan meskipun secara klinik terjadi perbaikan
visus.25 Sekarang sedang dicoba dengan menggunakan
analog somatostatin yang lebih selektif.
Anti inflamasi. Dua studi mengenai penggunaan aspirin
pada pasien retinopati diabetik yaitu Joint French-UK
Aspirin and Dipyridamole Trial dan ETDRS. Studi yang
pertama menggunakan aspirin 330mg tiga kali sehari
dengan atau tanpa kombinasi dipiridamol. Setelah 5
tahun dievaluasi ternyata hanya sedikit yang mengalami
pembentukan mikroaneurisma baru.26 Meskipun temuan
tersebut secara statistik bermakna, namun manfaatnya
hanya sedikit. Hasil penelitian dalam skala yang lebih
besar dari ETDRS menunjukkan penggunaan aspirin 650
mg sehari pada 3711 pasien dengan retinopati yang lebih
berat, tidak memberikan efek. Sejauh ini, penelitian-
penelitian yang dilakukan dengan menggunakan aspirin
dosis tinggi hanya bermanfaat untuk mencegah
timbulnya retinopati diabetik. Penggunaan kortikosteroid
seperti triamsinolon satonida intravitreal dilaporkan
cukup efektif untuk pengobatan retinopati diabetik
namun dapat menimbulkan komplikasi peningkatan
tekanan intraokuler dan infeksi.
PERJALANAN KLINIS DAN PROGNOSIS
Pasien RDNP minimal yang hanya ditandai
mikroanerisma yang jarang, memiliki prognosis baik
sehingga cukup dilakukan pemeriksaan ulang setiap 1
tahun.2 Pasien yang tergolong RDNP sedang tanpa
disertai edema makula, perlu dilakukan pemeriksaan
ulang setiap 6 – 12 bulan oleh karena sering bersifat
progresif.5 Pasien RDNP derajat ringan sampai sedang
dengan disertai edema makula yang secara klinik tidak
sginifikan, perlu diperiksa kembali dalam waktu 4 – 6
bulan oelh karena memiliki risiko besaruntuk
berkembang menjadi edema makula yang secara klinik
signifikan (CSME).5 Untuk pasien RDNP dengan CSME
harus dilakukan terapi fotokoagulasi. Pasien RDNP berat
memiliki risiko tinggi menjadi RDP. Separuh dari pasien
RDNP berat akan berkembang menjadi RDP dalam 1
tahun di mana 15% diantaranya tergolong RDP dengan
risiko tinggi. Pasien RDNP sangat berat, risiko menjadi
RDP dalam 1 tahun adalah 75% diamana 45%
diantaranya tergolong RDP risiko tinggi. Oleh sebab itu
pasien RDNP yang sangat berat perlu dilakukan
pemeriksaan ulang setiap 3 – 4 bulan.2 Pasien dengan
RDP risiko tinggi harus segera diterapi dengan
fotokoagulasi. Teknik yang dilakukan ialah dengan
scatter photocoagulation. Pasien RDP risiko tinggi yang
disertai CSME, terapi fotokoagulasi dimulai dengan
menggunakan metode fokal dan panretinal (scatter). Oleh
karena metode fotokoagulasi panretinal dapat
menimbulkan eksaserbasi dari edema makula, maka
untuk terapi dengan metode panretinal (scatter) perlu
dibagi dalm 2 tahap atau lebih.2,14
REFERENSI
1. Fong SD, Aiello L, Gardner, et al. Retinopathy in
diabetes. Diabetes Care 2004, 27: suppl. 64-87
2. Constable IJ. Diabetic retinopathy: pathogenesis,
clinical feature, and treatment. In: Turtle JL, et al,
editor. Diabetes in the New Millennium. Sydney:
University of Sydney, 1999. P.365-76
3. Brownlee M. The pathobilogy of diabetic
complications, a unifying mechanism. Diabetes
2005; 54: 1615-1625
4. Masharani U, German MS. Pancreatic hormones
and diabetes mellitus. In: Gardner DG, Shoback D,
editor. Basic & Clinical Endocrinology, 9th
edition. NewYork; McGrawHill, 2011: p. 573-644
5. Silva SP, Cavallerano JD, Aiello LM, et al. Ocular
complications. In: Lebovitz HE, editor. 5th edition.
Therapy for Diabetes Mellitus and Related
Disorders. Alexandria: American Diabetes
Association, 2009: p.458-473
6. Heaven CJ, Boase DL. Diabetic retinopathy. In:
Shaw KN, editor. Diabetic Complications. Baffin
Lane; John Wiley & Son, 1996: p.1-26
7. King GL, Banskota NK. Mechanism of diabetic
microvascular complications. In: Kahn CR, Weir
GC, editor. Joslin’s Diabetes Mellitus. 13th edition.
Philadelphia; Lea & Febiger, 1994: p.631-647
8. Chew EY. Pathophysiology of diabetic retinopathy.
In: LeRoith D et al, editor. Diabetes Mellitus a
Fundamental and Clinical Text, 2nd edition.
Philadelphia; Lippincott William & Wilkins, 2000:
p.890-898
9. Frank RN. Diabetic retinopathy. N Eng J Med.
2004; 35:48-58
10. Cheung SS, Chung SK. Aldose reductase in
diabetes microvascular complications. Curr Drug
Targets 2005; 6 (4): 475-486
11. Oishi N, Kubo E, Takamura Y, et al. Correlation
between erythrocyte aldose reductase level and
human diabetic retinopathy. Br J Ophthalmol.
2002; 86: 1361-1366
12. Sun W, Oates DJ, Coutcher JB, et al. A selective
aldose reductase inhibitor of a new structural class
prevents or reverses early retinal abnormalities in
experimental diabetic retinopathy. Diabetes 2006;
55(10): 2575-2562
13. Lang GE, Treatment of diabetic retinopathy with
protein kinase C subtype β inhibitor. Dev
Ophthalmol. 2007; 39:157-165
14. Walkins PJ. ABC of diabetic retinopathy. BMJ
2003; 329: 924-926
15. Chalam KV, Lin S, Mostafa S. Management of
diabetes retinopathy in the twenty-first century.
Spring: Northeast Florida Medicine, 2005: p. 8-15
16. The Diabetes Control and Complications Trial
Research Group. The effect of intensive treatment
of diabetes on the development and progression of
long-term complications in insulin dependent
diabetes mellitus. N Eng J Med. 1993; 329: 977-
986
17. UK Prospective Diabetes Study (UKPDS) Group.
Intensive blood glucose control with
sulphonylureas or insulin compared with
conventional treatment and risk of complications in
patients with type 2 diabetes (UKPDS 33). Lancet
1998; 352: 837-853
18. Estacio RO, Jeffers BW, Gifford N, et al. Effect of
blood pressure control on diabetic microvascular
complications in patients with hypertension and
type 2 diabetes. Diabetes Care 2000; 23 (suppl.2):
B54-B64
19. Neubauer AS, Ulbig MW. Laser treatment in
diabetic retinopathy. Ophthalmology 2007; 221 (2):
95-102
20. Kuppermann BD, Thomas EL, deSmet MD, et al.
Vitrase® for Vitreous Haemorrhage Study Groups.
Safety results of two phase III trails of an
intravitreous injection of highly purified ovine
hyaluronidase (Vitrase®) for the management of
vitreous haemorrhage. AM J Ophthalmol. 2005;
140 (4): 595-597
21. Sakuma T, Tanaka M, Mirota A, et al. Safety of in
vivo pharmacologic vitreolysis with recombinant
microplasmin in rabit eyes. Invest Ophthalmol Vis
Sci. 2005; 46 (9): 3295-3299
22. Aiello LP, Davis MD, Girach A, et al. Effect of
ruboxistaurin on visual loss in patients with
diabetic retinopathy. Ophthalmology 2006; 113
(12): 2221-2230
23. Adamis AP, Altaweel M, Bressler NM, et al.
Changes in retinal neovascularization after
pegaptanib (Macugen) therapy in diabetic
individuals. Ophthalmology 2006; 113 (1): 23-28
24. Averyl RL, Pieramici DJ, Rabena MD, et al.
Intravitreal bevacizumab (Avastin) for neovascular
age-retated macular degeneration. Ophthalmology
2006; 113 (3): 363-372
25. Boehm BO. Use of long-acting somatostatin
analogue treatment in diabetic retinopathy. Dev
Ophthalmol. 2007; 39: 111-121
26. Zheng L, Howell SJ, Hatala DA, et al. Salycilate-
based anti inflammatory drugs inhibit the early
lesion of diabetic retinopathy. Diabetes 2007;56 (2)
337-345