resume psikologi & sosial keluarga final
DESCRIPTION
resum nuku psikologi keluarga Sri LestariTRANSCRIPT
TUGAS
MATA KULIAH
PSIKOLOGI DAN SOSIAL KELUARGA
DI SUSUN OLEH :
RIZKA HERDIAN LESTARI
120210201023
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH
JURUSAN ILMU PENDIDIKAN
FAKULTAS KEGURUAAN DAN ILMU PENDIDIKAN
UNIVERSITAS JEMBER
2015
DAFTAR ISI
DAFTAR ISI............................................................................................................i
BAB I KELUARGA SEBAGAI SISTEM............................................................1
A. Pendahuluan..................................................................................................1
B. Definisi Keluarga..........................................................................................1
C. Struktur Keluarga..........................................................................................3
D. Relasi dalam Keluarga..................................................................................5
E. Keberfungsian Keluarga.............................................................................11
F. Teori Sistem Keluarga................................................................................14
BAB II PRAKTIK PENGASUHAN ANAK (PARENTING)..........................16
A. Pendahuluan................................................................................................16
B. Kesadaran Pengasuhan................................................................................16
C. Prespektif Ekologis Pengasuhan.................................................................18
D. Stres Pengasuhan (Parenting Stress)...........................................................18
E. Gaya Pengasuhan Dan Interaksi Orang Tua-Anak.....................................20
F. Pengasuhan dalam Konteks Lintas Budaya................................................21
G. Perilaku dan Praktik Pengasuhan................................................................22
H. Pengasuhan Bersama...................................................................................27
BAB III NILAI DAN PENDIDIKAN NILAI....................................................29
A. Pendahuluan................................................................................................29
B. Definisi Nilai...............................................................................................29
C. Nilai Sebagai Prediktor Perilaku.................................................................33
D. Transmisi Nilai............................................................................................34
E. Nilai-Nilai Kearifan Lokal..........................................................................37
F. Pembentukan Karakter................................................................................38
BAB IV KONFLIK DALAM KELUARGA......................................................39
A. Pendahuluan................................................................................................39
B. Definisi Konflik..........................................................................................39
C. Kareteristik Konflik Keluarga.....................................................................41
D. Konflik Orang Tua-Anak............................................................................43
E. Resolusi Konflik.........................................................................................47
BAB V PENANAMAN NILAI DALAM KELUARGA....................................52
A. Pendahuluan................................................................................................52
B. Potret Keluarga...........................................................................................52
C. Pembelajaran dari Potret Keluarga.............................................................67
D. Pembelajaran Tentang Pendidikan Nilai dalam Keluarga..........................73
BAB VI POTRET KONFLIK ORANG TUA-ANAK......................................76
A. Pendahuluan................................................................................................76
B. Gambaran Konflik Orang Tua-Anak..........................................................76
C. Potret Konflik Orang Tua-Anak dalam Masyarakat...................................79
D. Strategi Pengelolaan Konflik Orang Tua-Anak..........................................79
E. Pembelajaran dari Potret Konflik Orang Tua - Anak dalam Masyarakat...81
PENUTUP.............................................................................................................85
BAB I
KELUARGA SEBAGAI SISTEM
A. Pendahuluan
Di berbagai belahan dunia dengan beragam budaya dan sistem sosial,
keluarga merupakan unit sosial penting dalam bangunan masyarakat. Keluarga
merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan
tidak lekang oleh perubahan zaman. Berbagai perubahan oleh faktor
perkembangan zaman tentu saja memengaruhi corak dan karakteristik keluarga,
namun sunstansi keluarga tidak terhapuskan. Pada beberapa negara isu tentang
kemerosotan nilai keluarga memang mengemuka. Meningkatnya angka
perceraian dianggap sebagai salah satu indikasi dari merosotnya nilai-nilai
keluarga ini.
Meningkatnya angka perceraian telah memunculkan isu mengenai
kemerosotan nilai perkawinan. Walaupun demikian, berbagai kajian telah
menunjukkan berbagai manfaat dari perkawinan (Olson & Olson, 2000), antara
lain:
1. Orang yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat.
2. Orang yang menikah hidup lebih lama.
3. Orang yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik.
4. Orang yang menikah lebih sejahtera secara ekonomi.
5. Anak-anak pada umunya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua
lengkap.
B. Definisi Keluarga
Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuwan
sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat
universal. Salah satu ilmuwan yang permulaan mengkaji keluarga adalah George
1
Mudrock. Dalam bukunya Social Structure, Mudrock menguraikan bahwa
keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal
bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Mudrock,
1965). Melalui surveinya terhadap 250 perwakilan masyarakat yang dilakukan
sejak tahun 1937, Mudrock menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti
(nuclear family), kelurga poligami (polygamous family) dan keluarga batih
(extended family). Berdasarkan penelitiannya tersebut Mudrock menyatakan
bahwa keluarga inti merupakan kelompok sosial yang bersifat universal.
Kesimpulan Mudrock mengenai keluarga inti sebagai definisi keluarga
yang bersifat universal mendapatkan sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial.
Definisi Mudrock dianggap terlalu bersifat struktural walaupun ia juga
menjelaskan empat fungsi yang terintegrasi dalam keluarga inti. Ira Reiss (1965),
salah satu pengkritik Mudrock, berpendapat bahwa bukti lintas budaya
menunjukkan adanya suatu masyarakat yang menjadikan kepuasan seksual, fungsi
reproduksi, dan kerjasama ekonomi tidak melekat dalam jenis hubungan yang
disebut keluarga.
Pandangan berbeda diajukan oleh Weigert dan Thomas (1971) yang
menganggap definisi Reiss kuran g bersifat nominal, karena menekankan pada
berlakunya fungsi tertentu. Pandangan Weigert dan Thomas didasarkan pada
pentingnya suatu budaya ditransmisikan pada generasi berikutnya dalam rangka
menumbuhkan anak-anak menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsinya.
Pada periode berikutnya, Weigel (2008) melakukan penelitian untuk
mengetahui bagaimana orang awam mengonsepsi keluarga. Temuannya
menunjukkan adanya kesesuaian antara konsep keluarga oleh orang awam dan
tiga perspektif pengertian keluarga utuh dari Ascan F. Koerner dan Mary Anne
Fitzpatrick. Menurut mereka, definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau
berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan
definisi interaksional.
2
1. Definisi Struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau
ketidakhadiran anggota kelurga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya.
2. Definisi Fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada
terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi psikososial.
3. Definisi Transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang
mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa
identitas sebagai keluarga, berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun
cita-cita masa depan.
Pada umumnya, fungsi yang dijalankan oleh keluarga seperti melahirkan
dan merawat anak, menyelesaikan masalah, dan saling peduli antar anggotanya
tidak berubah substansi dari masa ke masa (Day, 2010). Konteks budaya dalam
memformulasikan konsep tentang keluagra sangat penting untuk diperhatikan.
Hill dalam usahanya menjelaskan konsep keluarga kulit hitam atau keluarga
Amerika keturunan Afrika, menguraikan bahwa keluarga adalah rumah tangga
yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan
terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif
keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Hill, 1998).
C. Struktur Keluarga
Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih (extended
family). Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi
sosial, yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur
keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu
keluarha tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadikan keluarga sebagai
wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan
perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004).
Adapun keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan
posisi lain selain ketiga posisi di atas (Lee, 1982). Bentuk pertama dari keluarga
batih yang banyak ditemui di masyrakat adalah keluarga bercabang (stem family).
3
Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang
sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari
keluarga batih adalah keluarga berumpun (lineal family). Bentuk ini terjadi
manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua
orang tuanya. Bentuk ketiga dari keluarga batih adalah keluaraga beranting (fully
extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu kelurga terdapat generasi
ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.
Menurut Lee (1982) kompleksitas keluarga tidak ditentukan oleh jumlah
individu yang menjadi anggota keluarga, tetati oleh banyaknya posisi sosial yang
terdapay dalam keluarga. Keluarga inti pada umunya dibangun berdasarkan
ikatan perkawinan. Perkawinan menjadi pondasi bagi keluarga, oleh karena itu
ketika sepasang manusia menikah akan lahir keluarga yang baru. Adapun
keluarga batih dibangun berdasarkan hubungan antargenerasi bukan
antarpasangan.
Dari segi pemegang wewenang utama atas keluarga, misalnya dalam hal
menentukan siapa yang bertanggungjawab atas sosialisasi anak, pendistribusian
wewenang, dan pemanfaatan sumber daya keluarga, keluarga dibedakan menjadi
matriarki, patriarki, dan eligater (Berns, 2004). Keluarga kerajaan Inggris dan
masyarakat Minang merupakan contoh keluarga matriarki, karena ibu menjadi
pemegang utama wewenang atas keluarga. Pada umunya keluarga menerapkan
pola patriarki dengan ayah sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga.
Namun pada masa kini, dengan berkembangnya pandangan tentang kesetaraan
gender dan semakin banyaknya keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama
bekerja, telah berkembang pola egaliter.
Berbagai penelitian menemukan pengaruh struktur keluarga terhadap
kualitas keluarga. Skaggs dan Jodl (1999) menemukan bahwa remaja yang
tinggal bukan pada keluarga tiri lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung
jawab, dan kurang mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal
pada keluarga tiri yang kompleks. Kowaleski-Jones dan Dunifon (2006)
4
mengungkapkan bahwa pada kaum muda kulit putih, orang tua tunggal dan
habitasi berkaitan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Hal ini
bersesuaian dengan pendapat Jablonska dan Lindber (2007) yang menyatakan
bahwa remaja dengan orang tua tunggal memiliki risiko yang lebih tinggi
terhadap perilaku berisiko, menjadi korban dan mengalami distres mental,
daripada remaja dengan orang tua yang lengkap.
Dengan beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh dan
dalam perkawinan yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak. Walaupun
demikian, sebagaimana diungkapkan Hetherington (1999), proses yang
berlangsung dalam keluarga lebih besar pengaruhnya terhadap akibatan-akibatan
pada diri anak, seperti rendahnya perilaku bermasalah dan kepuasan hidup.
D. Relasi dalam Keluarga
Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan
perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan
suami istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu
relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncullah lagi bentuk relasi
yang lain, yaitu relasi sibling(saudara kandung). Setiap relasi yang terjadi dalam
keluarga biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut ini dipaparkan
karakteristik relasi tersebut.
1. Relasi Pasangan Suami Istri
Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi
landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga.
Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami
istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan
penyesuaian di antara pasangan.
Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan
Glenn (2003), yakni konflik, komunikasi, dan berbagi tugas rumah. Keberhasilan
5
penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang
terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif
dalam melakukan resolusi konflik. Dalam konsep perkawinan yang tradisional
berlaku pembagian tugas dan peran suami istri. Konsep ini lebih mudah
dilakukan karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi
tanggungjawab istri, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Namun tuntutan
perkembanagan kini telah semakin mengaburkan pembagian tugas tradisional
tersebut. Kenyataan terus meningkatnya kecenderungan pasangan yang sama-
sama bekerja membutuhkan keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran
atau berbagi tugas dan peran baik untuk urusan mencari nafkah maupun pekerjaan
domestik.
Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang
memengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya
dipadankan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan (Glenn,
2003). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang dimiliki
pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan.
Menurut David H. Olson dan Amy K. Olson (2002), terdapat sepuluh
aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia,
yaitu: komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi
konflik, relasi seksual, kegiatan diwaktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan
keuangan, dan keyakinan spiritual. Diantara sepuluh aspek tersebut, lima aspek
yang lebih menonjol adalah komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan
kepribadian, dan resolusi konflik.
Komunikasi merupakan aspek yang paling penting, karena berkaitan
dengan hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari semua diskusi
dan pengambilan keputusan keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier,
agama, bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat, dan kebutuhan akan
tergantung pada gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi. Keterampilan
6
dalam berkomunikasi dapat mewujud dalam kecermatan memilih kata yang
digunakan dalam menyampaikan gagasan pada pasangan.
Kesalahpahaman dalam komunikas dapat menimbulkan konflik, yang
sering terjadi karena menggunakan gaya komunikasi negatif. Misalnya salah satu
pihak merasa dituduh sebagai yang bersalah dan telah melakukan hal yang
menyakiti pasangannya, sementara dia merasa tidak bermaksud demikian. Gaya
komunikasi negatif biasanya menggunakan pernyataan “kamu”. Akan berbeda
halnya bila salah satu pihak lebih menekankan pada penyampaian secara asertif
hal yang dirasakannya sebagai dampak dari perilaku pasangan. Dengan demikian,
pihak yang menerima pesan mendapatkan kesempatan melakukan evaluasi diri
terhadap tindakannya tanpa merasa dituduh bersalah dan bermaksud menyakiti
hati pasangannya.
Fleksibilitas pasangan merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah
dan beradaptasi saat diperlukan. Hal ini berkaitan dengan tugas dan peran yang
muncul dalam relasi suami istri. Misalnya dalam hal kepemimpinan dan
kekuasaan, serta kemampuan bertukar tanggung jawab dan mengubah peran.
Dalam relasi suami istri memang dieperlukan adanya kejelasan dalam pembagian
peran yang menjadi tanggung jawab suami dan menjadi tanggungjawab istri.
Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan emosi yang
dirasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara keterpisahan dan
kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling membantu, pemanfaatan
waktu luang bersama, dan pengungkapan perasaan dekat secara emosi.
Kecocokan kepribadian berarti bahwa sifat atau perilaku pribadi salah satu
pasangan tidak berdampak atau dipersepsi secara negatif oleh lainnya. Kecocokan
kepribadian tidak ditentukan seberapa banyak kesamaan sifat pribadi dan hobi.
Perbedaan sifat dan kesenangan tidak akan menjadi masalah selama ada
penerimaan dan pengertian.
Kecocokan kepribadian berarti bahwa sifat atau perilaku pribadi salah satu
pasangan tidak berdampak atau dipersepsi secara negatif oleh yang lainnya.
7
Kecocokan kepribadian tidak ditentukan seberapa banyak kesamaan sifat pribadi
dan hobi.
Aspek resolusi konflik berkaitan dengan sikap, perasaan, dan keyakinan
individu terhadap keberadaan dan penyelesaian konflik dalam relasi berpasangan.
Hal ini mencakup keterbukaan pasangan untuk mengenal dan menyelesaikan
masalah, strategi dan proses yang dilakukan untuk mengakhiri pertengkaran.
Terdapat suatu pandangan umum yang salah kaprah yang menganggap konflik
pasangan adalah suatu masalah sehingga harus dihindari. Strategi resolusi konflik
pasangan dapat dibedakan menjadi yang destruktif dan konstruktif. Dua hal yang
sering kali membuat resolusi konflik tidak efektif adalah tidakan menyalahkan
orang dan mengungkit persoalan yang telah lalu.
Relasi seksual merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan yang
dapat mencerminkan kepuasan pasangan terhadap aspek-aspek lain dalam
hubungan. Suatu relasi seksual yang baik sering kali merupakan akibat dari relasi
emosi yang baik antara pasangan. Sayangnya urusan seks sering kali menjadi hal
yang sulit untuk dibicarakan.
Persoalan ekonomi sering menjadi salah satu pemicu tama perceraian.
Walaupun demikian, persoalan pokoknya bukanlah pada besaran pendapatan
keluarga, karena masih banyak pasangan yang mampu bertahan dengan
pendapatan yang rendah. Pengelolaan keuangan merupakan pokok dari persoalan
ekonomi yang dapat berupa perbedaan pasangan dalam hal pembelanjaan dan
penghematan uang.
Pemanfaatan waktu luang menjadi sarana untuk melakukan aktivitas jeda
(time out) dari rutinitas, baik rutinitas kerja maupun rutinitas pekerjaan rumah
tangga. Rutinitas, apalagi dengan tingkat stres yang tinggi, biasanya akan
menimbulkan kejenuhan yang dapat menyebabkan berkembangnya emosi negatif.
Keluarga dan teman merupakan konteks yang penting bagi pasangan
dalam membangun relasi yang berkualitas. Keluarga sebagai family of origin
8
banyak mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua dapat
memperkuat atau memperlemah kualitas relasi pasangan.
Spiritulitas dan keimanan merupakan dimensi yang paling kuat bagi
pengalaman manusia. Keyakinan spiritual memberi landasan bagi nilai-nilai yang
dipegang dan perilaku sebagai individu dan pasangan. Spiritulitas merujuk pada
kualitas batin yang dirasakan individu dalam hubungannya dengan Tuhan,
makhluk lain, dan nurani.
Sebaiknya, keyakinan spiritual dapat menjadi pondasi terpenting bagi
kebahagiaan pasangan. Hal ini dapat terjadi bila pasangan menyadari bahwa
keimanan memberikan makna dalam hidup. Selain itu keterlibatan secara rutin
dalam kegiatan keagamaan di masyarakat dapat berperan memasok energi baru,
perasaan kebersamaan dan memberi konteks bagi tindakan.
Kualitas perkawinan dapat mempengaruhi berlangsungnya proses-proses
yang lain dalam keluarga, misalnya pengasuhan dan perfomansi individu.
Pasangan yang memiliki derajat kepuasan perkawinan yang tinggi akan
memberikan perhatian secara lebih positif pada anak (Rickard, Forehand,
Atkeson, & Lopez, 1982). Kepuasan perkawinan juga ditengarai mempunyai
kaitan dengan terjadinya kekerasan terhadap pasangan (Stith, green, Smith, &
Ward, 2008), masalah perilaku dan penyesuaian anak (Frick, Lahey, Hartdagen, &
Hynd, 1989; Fishman, & Meyers, 2000), dan perediksi terhadap kesejahteraan
orang tua (Shek, 2000).
2. Relasi Orang Tua-Anak
Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh
pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat
kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan
dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan. Dukungan dari sanak keluarga
sangat diperlukan agar perempuan tidak berjuang dengan susah payah dalam
9
menjalankan fungsi keibuannya dengan baik. Bila dukungan sanak keluarga
sangat kurang, maka keterllibatan dan dukungan suami menjadi andalan utama.
Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan
merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan
keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi dan berbagai pengaruh lain
semenjak dini.
Bowlby mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai faktor
kunci dalam hubungan orang tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada awal
kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan
orang dewasa yang secara teratur merawatnya.
Dimensi kehangatan merupakan suatu rentang kontinum, yang di satu sisi
ditandai oleh penerimaan yang mencakup berbagai perasaan dan perilaku yang
menunjukkan kehangatan, afeksi, kepedulian, kenyamanan, perhatian, perawatan,
dukungan dan cinta. Menurut Rohner dkk. , persepsi anak terhadap penerimaan
dan penolakan orang tua atau sosok signifikan yang lain akan mempengaruhi
perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam
menghadapi masalah.
Semasa berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian
tentang hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi
pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya dan pembawaan yang mempengaruhi
akibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi
akademik dan problem perilaku.
Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak mereflesikan tingkatan
dalam hali kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afeksi
positif (positive affect), dan ketanggapan (responssiveness) dalam hubungan
mereka.
10
Rasa aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang karena
interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan, dan
ketanggapan. Rasa aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan
eksplorasi yang bermanfaat bagi perkembangan kompotensi.
Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip
pokok, yaitu :
a. Interaksi. Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang
menciptakan suatu hubungan.
b. Konstribusi Mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan
dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya.
c. Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua
pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak
lain.
d. Pengharapan Masa Lalu. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi
membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya.
e. Antisipasi Masa Depan. Interaksi orang tua-anak bersift kekal, masing-
masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan
keduanya.
3. Relasi Antar Saudara
Para psikolog sebagaimana halnya orang tua, memiliki keyakinan bahwa
keberadaan saudara- baik kandung, tiri, maupun adopsi berpengaruh dalm
kehidupan anak-anak. Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang
berlangsung dalam jangka panjang.
Pola hubungan antar saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang
tua dalam memperlakukan mereka. Perlakuan orang tua yang berbeda terhadap
anak dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan harga diri yang
11
pada gilirannya bisa menimbulkan distres pada hubungan romantis di kemudian
hari (Rauer & Volling, 2007).
Menurut Dunn (2002), pola hubungan antara saudara kandung dicirikan
oleh tiga karakteristik. Pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya
pengungkapan emosi tersebut. Kedua, keintiman yang membuat antar saudara
kandung saling mengenal secara pribadi. Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi
yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung.
Pada satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing dalam
memanfaatkan sumber daya dari orang tua. Walaupun berbagai penelitian
menunjukkan berbagai hal negatif dalam hubungan antar saudara yang dikenal
dengan sebutan sibling rivalry, namun keberadaan saudara kandung juga
bermanfaat (Ihinger Thallman & Hsiao, 2003), antara lain:
a. Sebagai tempat uji coba (testing ground).
b. Sebagai guru.
c. Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negoisasi.
d. Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan
konflik.
e. Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.
f. Sebagai pelindung bagi saudaranya.
g. Sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap
adiknya.
h. Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan pada
keluarga.
E. Keberfungsian Keluarga
12
Keluarga merupakan tempat yang paling penting bagi perkembangan anak secara
fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih
sayang, perlindungan dan identitas bagi anggotanya. Menurut Berns (2004),
keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu:
1. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang
ada di dalam masyarakat.
2. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,
keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan dan teknik dari generasi
sebelumnya ke generasi yang lebih muda.
3. Penegasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para
anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial-ekonomi, dan peran gender.
4. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman
interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat
mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman
pada anak.
Keluarga memang bukan satu-satunya lembaga yang melakukan peran
sosialisasi, melainkan keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam
menjalani kehidupannya. Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat
kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (stregth) keluarga dalam menghadapi
berbagai tantangan.
1. Kelentingan Keluarga
Pendekatan kelentingan keluarga bertujuan untuk mengenali dan
membentengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan keluarga
untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang mengganggu (Walsh,
2006). Walsh mendefinisikan kelentingan sebagai kemampuan untuk bangkit dari
penderitaan, dengan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya.
13
Terdapat tiga faktor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga, yaitu
sistem keyakinan, pola pengorganisasian keluarga, dan proses komunikasi dalam
keluarga. Sistem keyakinan merupakan inti dari kelentingan keluarga yang
mencakup tiga aspek yaitu kemampuan untuk memaknai penderitaan,
berpandangan positif yang melahirkan sikap optimis dan keberagaman.
Pola pengorganisasian keluarga mengindikasikan adanya struktur
pendukung bagi integrasi dan adaptasi dari unit atau anggota keluarga. Pola
pengorganisasian keluarga mencakup tiga aspek yaitu fleksibilitas, keterhubungan
(connectedness), serta sumber daya sosial dan ekonomi.
Komunikasi yang baik merupakan faktor yang penting bagi keberfungsian
dan kelentingan keluarga. Keterampilan yang menjadi elemen dari komunikasi
yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar, mengungkapkan diri,
memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai dan menghormati.
Tiga aspek komunikasi yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga
adalah: (a) kemampuan memperjelas pesan yang memungkinkan anggota keluarga
untuk memperjelas situasi krisis; (b) kemampuan mengungkapkan perasaan yang
memungkinkan anggota keluarga untuk berbagi, saling berempati, berinteraksi
secara menyenangkan dan bertanggung jawab terhadap masing-masing perasaan
dan perilakunya; dan (c) kesediaan berkolaborasi dalm menyelesaikan masalah
sehingga berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing.
2. Kekukuhan Keluarga
Kekukuhan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang
memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being)
keluarga. Defrain dan Stinnett (2003) mendefinisikan enam karakteristik bagi
keluarga yang kuku sebagai berikut:
1. Memiliki Komitmen. Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga
diakui dan dihargai. Setiap anggota keluarga memiliki komitmen untuk saling
14
membantu meraih keberhasilan, sehingga semangatnya adalah “satu untuk
semua, semua untuk satu”. Intiny adalah terdapat suatu kesetiaan terhadap
keluarga dan kehidupan keluarga menjadi prioritas.
2. Terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap orang
mengnginkan apa yang dilakukannya diakui dan dihargai, karena penghargaan
merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.
3. Terdapat waktu untuk berkumpul bersama. Sebagaian orang beranggapan
bahwa dalam hubungan orang tua-anak yang penting terdapat waktu yang
berkualitas, walaupun tidak sering.
4. Mengembangkan spiritualitas. Bagi sebagian keluarga, komunitas
keagamaan menjadi keluarga kedua yang menjadi sumber dukungan selain
keluarganya.
5. Menyelesaikan konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan
efektif. Setiap keluarga pasti mengalami konflik, namun keluarga yang kukuh
akan bersama-sama menghadapi masalah yang muncul bukannya bertahan
untuk saling berhadapan sehingga masalah tidak selesai.
6. Memiliki ritme. Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan dan
tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap
mengalirnyakehidupan sehari-hari.
F. Teori Sistem Keluarga
Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam kajian keluarga
adalah pendekatan teori sistem. Teori sistem pertama kali dicetuskan oleh
Minuchin (1974). Yang mengajukan skema konsep yang memandang keluarga
sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga
komponen. Pertama, struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka
dalam transformasi. Kedua, keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah
tahap yang mensyaratkan penstrukturan. Ketiga, keluaraga beradaptasi dengan
perubahan situasi kondisi dalam usahannya untuk mempertahankan kontinuitas
dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya.
15
Struktur keluarga adalah serangkaian tuntunan fungsional tidak terlihat
yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah
keluaraga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi.
Pola transaksi meregulasi perilaku anggota keluarga dipertahankan oleh
dua batasan. Pertama, aturan umum yang mengatur oganisasi keluarga. Kedua,
adanya harapan bersama terhadap anggota keluarga tertentu. Harapan tersebut
berasal dari negosiasi eksplisit maupun implisist di antara anggota keluaraga
dalam kehidupan sehari-hari.
Stres dalam sistem keluarga dapat datang dari empat sumber, yakni : (a)
kontak salah satu anggota dengan kekuatan di luar keluarga; (b) kontak seluruh
anggota keluarga dengan kekuatan di luar keluarga; (c) stres pada titik transaksi
dalam keluaraga, dan (d) stres yang timbul di sekitar problem anggota yang
berkebutuhan khusus atau keabnormalan fisik.
Menurut teori sistem, keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang
memiliki bagian-bagian yang berhubungan dan saling berkaitan. Randal D. Day
(2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem memiliki
karakteristik sebagai berikut :
1. Keseluruhan (the family as a whole). Memahami keluarga tidak dapat
dilakukan tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan.
2. Struktur (underlying structures). Suatu kehidupan keluarga berlangsung
berdasarkan suatu struktur, misalnya pola interaksi antaranggota keluarga
yang menentukan apa yang terjadi di dalam keluarga.
3. Tujuan (families have goals). Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin
mereka raih sebelum tema atau tujuan terungkap.
4. Keseimbangan (equilibrium). Keluraga merupakan sistem terbuka dan
bersifat dinamis, tujuannya akan menghadapi situasi dan kondisi di luar
dirinya yang berubah dan berkembang.
5. Kelembaman (morphostatis). Keluarga mempertahankan aturan dan menjaga
kelangsungan kehidupan sehari-hari agar berjalan dengan baik.
6. Batas-batas (boundaries). Setiap sistem memiliki batas-batas terluarnya
terpisah atau berbeda dengan sistem yang lain.
16
7. Subsistem. Tugas utama subsistem keluarga adalah menjaga batas-batas
keluarga.
8. Equifinalty dan Equipotentiality. Berbagai permulaan dapat membawa pada
hasil yang sama, sementara satu permulaan yang sama dapat pula membawa
pada hasil akhir yang berbeda.
17
BAB II
PRAKTIK PENGASUHAN ANAK (PARENTING)
A. Pendahuluan
Masa menjadi orang tua (parenthood) merupakan masa yang alamiah
terjadi dalam kehidupan seseorang. Seiring harapan untuk memiliki anak dari
hasil pernikahan maka, menjadi orang tua merupakan keniscayaan. Pada masa
lalu, menjalani sebagai orang tua cukup dengan meniru orang tua masa
sebelumnya. Dengan mengamati cra orang tua memperlakukannya sebagai anak,
masa sudah cukup bekal dikemudian hari.
Sebagaimana diungkapkan oleh kagan (lihat berns, 2004), melakukan
tugas parenting berarti menjalankan serangkaian keputusan tentang sosialisasi
kepada anak. Lebih lanjut Le Vine (lihat berns, 2004) menjalankan bahwa tujuan
universal parenting meliputi : (1) menjamin kesehatan dan keselamatan fisik (2)
mengembangkan kapasitas perilaku untuk menjaga diri dengan pertimbangan
ekonomis; dan (3) pemenuhan kapasitas perilaku untuk memaksimalkan nilai-nilai
budaya, misalnya moralitas, kemuliaan, prestasi.
Di dalam mengasuh terkandung makna menjaga/merawat/mendidik,
membimbing/memebantu/melatih, memimpin/mengepalai/menyelenggarakan.
Istilah asuh sering dirangkaikan dengan asah dan asih menjadi asah-asih-asuh.
Dengan rangkaian asah-asih-asuh maka, pengasuhan anak bertujuan untuk
meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak dan dilakukan dengan
dilandasi rasa kasih sayang tanpa pamrih.
B. Kesadaran Pengasuhan
Pengasuhan merupakan tanggungjawab utama orang tua, sehingga
sungguh disayangkan bila pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran
orang tua tanpa kesadaran orang tua tanpa pengasuhan. Menjadi orang tua
18
dijalani secara alamiah, sehingga konsekuensi dari menikah dan kelahiran anak.
Setelah menikah sebagian besar suami istri menginginkan kehadiran anak untuk
menyempurnakan perkawinan mereka.
Sebagian dari kita memiliki impian yang terbangun sepanjang hidup
semenjak masa kanak-kanak. Pada umumnya, masa dewasa tidak semuanya
impian anak-anak dan remaja akan teraih. Begitu menginjak dewasa dan
menikah. Biasannya tuntutan-tuntutan prgmatis akan memaksa kita untuk
menyisihkan impian tersebut. Kehadiran anak sering membangkitkan kita akan
impian masa kanak-kanak dan kemudian menstransfer impian tersebut menjadi
harapan-harapan yang dikontruksiskan dalam diri anak.
Selain memunculkan harapan, kelahiran anak juga memunculkan rasa
tanggungjawab. Rasa tanggungjawab ini muncul karena adanaya tuntutan osial
tentang kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi
anak. Sebagai contoh adalah oarng tua yang terpaku terhadap tanggungjawab
semata dalam pengasuhan dan membesarkan anak. Tanggungjawab tersebut
diwujudkan dalam bentuk kepemilikan otoritas terhadap anak. Tak jarang model
pendisiplinan yag diterapkan bersifat kaku dan keras. Hukuman akan diberikan
pada anak bila tidak patuh. Situasi ini dapat membuka peluang terjadinya tindak
kekerasan terhadap anak.
Dalam pemenuhan harapan dan tanggungjawab, umumnya yang menonjol
adalah kepatuhan anak dan anggapan orang tua lebih tau yang terbaik bagi anak.
Manakala orang tua merasa memiliki potensi yang besar untuk mewujudkan
harapan dan tanggungjawab, maka ia cenderung otoriter. Namun bila orang tua
tak berdaya untuk mewujudkan harapan dan taggung jawab, maka ia akan
cenderung melakukan pembebasan atau pembiaran anak. Keterpakauan pada
harapan dan tanggungjawab semata dapat mengakibatkan pengasuhan anak
menjadi sumber stress terhadap kehidupan keluarga. Akibat orng tua kurang
optimal dalam melaksanakan pengasuhan dan anak pun dapat terkena imbasnya,
yakni kurang berkembang potensi yang dimilikinya.
19
Berbeda halanya bila tugas dan peran orang tua dijalnkan berdasarkan
kesadaran pengasuhan anak, yaitu suatu kesadaran bahwa pengasuhan anak
merupakan sarana untuk mengoptimalkan potensi anak, mengarahkan anak pada
pencpaian kesejahteraan, dan membantu anak dalam menyelesaikan tugas-tugas
perkembangan dalam setiap tahap kehidupannya dengan baik. Dengan memiliki
kesadaran pengasuhan, maka orang tua memiliki kesadaran pengasuhan, maka
orang tua menyadari dirinya merupakan agen yang pertama dan utama dalam
membantu mengembngkan kemampuan anak bersosialisasi. Orang tua melatih
anak agar mampu menghadapi dan beradaptasi dengan lingkungan.
C. Prespektif Ekologis Pengasuhan
Keluarga merupakan sistem yang terbuka sehingga dapat dipengaruhi
konteks sosial yang melingkupinya. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan
tugas pengasuhan anak juga dipengaruhi oleh lingkungannya.
Sekolah dan komunitas sebagai mesosystem berpengaruh terhadap pola
asuh dan jalinan kerja sama yang harmonis, maka sekolah dan komunitas dapat
menjadi pendukung bagi orang tua untuk menjalankan pengasuhan.
Efek microsystem terjadi melalui relasi orang tua anak dalam keluarga
yang berupa pola asuh orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya
pengasuhan memiliki dampak terhadap prilaku anak, seperti perkembangan
kompetensi, prilaku prososial, motivasi berprestasi, pengaturan diri, dan kelekatan
anak dengan orang tua (Brens, 2004).
D. Stres Pengasuhan (Parenting Stress)
Dalam ilmu biomedis stres diartikan sebagai respons organisme terhadap
stimulasi yang merugikan atau tidak menyenangkan. Dalam psiologi stres
dipahami sebagai proses yang dijalani seseorang ketika berinteraksi dengan
lingkungan.
20
Bila ditinjau dari penyebab dan akibat stres pengasuhan, terdapat dua
pendekatan yang utama. Kedua pendekatan tersebut adalah teori P-C-R (parent-
child-relationship) dan teori daily hassles.
Karekteristik orang tua tersebut dapat memicu stres pengasuhan.
Sebaliknya karakteristik anak juga dapat memicu stres pengasuhan. Adapun
dimensi relasi orang-tua anak yang memicu stres pengasuhan adalah derajat
konflik yang muncul dalam interaksi orang tua-anak.
Faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya stres pengasuhan dapat
dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu individu, keluarga, dan lingkungan. Pada
tingkatan idividu, faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari pripadi orang tua
maupun anak.
Maslah keluarga dan struktur keluarga merupakan faktor-faktor yang
mendorong timbulnya stres pengasuhan pada tingkatan keluarga. Aspek keuangan
dapat berupa tingkat penghasilan keluarga yang rendah dan dihadapkan pada
tuntutan kebutuhan yang tinggi atau kualitas tempat tinggal yang buruk.
Selain dirasakan oleh orang tua, stres pengasuhan juga dirasakan oleh
anak. Kondisi stres ini dapat berlangsung dalam jangka panjang selama
berlangsunnya proses pengasuhan.
Kondisi stres dapat berlangsung dalam jangka pendek, situasional atau
eksidental, bila sumber stres lebih dominan pada situasi lingkungan. Namun, bila
tidak segera diatasi atau dikelola dengan baik, kondisi stres ini dapat berlangsung
dalam jangka panjang juga.
Bagi orang tua, ketidakmampuan untuk mengelola sters pengasuhan dapat
menyebabkannya mudah melakukan tindak kekerasan pada anak, yang akhirnya
berdapak buruk pada pembentukan kepribadian anak. Selain itu juga dapat
menyebabkan munculnya perasaan gagal dan ketidakpuasan dalam menjalankan
tugas sebagai orang tua (pareanting dissatisgaction).
21
Stres merupakan situasi yang bisa muncul dalam berbagai aspek
kehidupan, tak terkecuali dalam pengasuhan anak. Para ahli mengatakan bahwa
hidup yang tanpa stres bukan kehidupan yang baik.
Strategi mengatasi stres dengan memfokuskan pada emosi merupakan
strategi coping dengan mengubah pengalaman emosi terhadap stres dan bukan
mengubah sumber stres. Cara ini efektif dilakukan apabila individu merasa bahwa
sumber stres berada diluar kendalinya.
Strategi pemecahan masalah merupakan strategi coping mendekati stres,
yang dilakukan seseorang dengan merencanakan tindakan sebagai upaya untk
menghilangkan atau meminimalkan dampak dari stres. Mislanya pasangan dapat
bekerja sama melakukan pengasuhan untuk mengurangi frekuensi dari prilaku
buruk anak dan menginkatkan prilaku prosialnya.
Secara umum, strategi yang memfokuskan kepada masalah dan strategi
pemecahan masalah lebih efektif untuk mengurangi dampak stres pengasuhan
dibangdingkan dengan strategi yang memfokuskan pada emosi dan strategi
menghindari stres.
Meskipun menjadi orang tua merupkan suatu siklus alamiah dalam
kehidupan, namun kemampuan untuk menjadi orang tua bukan kemampuan yang
dapat diperoleh begitu saja. Menjadi orang tua, dalam arti melahirkan anak dan
mengasuhnya, perlu disadari sebagai pilihan hidup, sebagaimana pilihan-pilihan
hidup lainnya.
E. Gaya Pengasuhan Dan Interaksi Orang Tua-Anak
Pengasuhan anak dipercaya memiliki dampak terhadap perkembangan
individu. Dalam memahami dampak pengasuhan orang tua terhadap
perkembangan anak pada mulanya terdapat dua aliran yang dominan, yaitu
psikoanalitik dan belajar sosial (social learning).
22
Pendekatan tipologi memahami bahwa terdapat dua dimensi dalam
pelaksanaan tugas pengasuhan, yaitu demandingness dan responssiveness.
Gaya pengasuhan yang primisif biasanya dilakukan oleh orang tua yang
terlalu baik, cenderung memberi banyak kebebasan pada anak-anak dengan
menerima dan memaklumi segala prilaku, tuntutan dan tindakan anak, namun
kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan prilaku anak.
Gaya pengasuhan otoriter dilakukan oleh orang tua yang berusaha
membentuk, mengontrol, mengevaluasi prilaku, dan tindakan anak agar sesuai
dengan aturan standar. Aturan tersebut biasanya bersifat mutlak yang dimotifasi
oleh semangat teologis dan diberlakukan dengan otoritas yang tinggi.
Pendekatan tipologi menganggap bahwa gaya pengasuhan yang paling
baik adalah yang bersifat otoritatif. Orang tua mengarahkan prilaku anak secara
rasional, dengan memberikan penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang
diberlakukan.
Gaya pengasuhan merupakan serangkaian sikap yang ditunjukkan oleh
orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi
orang tua-anak. Gaya pengasuhan berbeda dengan prilakuk pengasuhan yang
dicirikan oleh tindakan spesifik dan tujuan tertentu dari sosialisasi.
Terdapat pandangan yang berbeda mengenai interaksi antara orang tua dan
anak. Sebagian memandang bahwa sikap orang tua yang mempengaruhi prilaku
anak. Dalam interaksi ini karakteristik orang tua menentukan bagaimana orang tua
memperlakukan anak, yang selanjutnya membentuk karakter anak.
Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa sikap orang tua
tergantung pada prilaku anak. Dalam interaksi ini, orang tua dipandang lebih
adaptif dan prilakuknya kepada anak merupakan reaksi kepada anak merupakan
reaksi terhadap prilaku anak.
23
Dalam kenyataannya anak-nak yang tumbuh dalam asuhan orang tua yang
sama, tidak memperlihatkan karakter yang seragam pada masa dewasanya. Hal
ini memperlihatkan bahwa proses kerja pengasuhan tidak berlangsung dalam satu
arah.
Pendekatan interaksi orang tua anak memfokkuskan pada hubungan dua
pihak dan memandang hubungan orang tua-anak sebagai bagian dari suatu
keseluruhan. Orang tua dan anak sama-sama dianggap memiliki kontribusi
terhadap proses pengasuhan.
Dimensi kepribadian yang dikenal sebagai big five dapat mempengaruhi
kepekaan, ketanggapan, dan ungkapan emosi orang tua dalam pengasuhan.
Demikian juga beban kerja dapat mempengaruhi stres pengasuhan. Selain itu,
jenis pekerjaan dapat pula mempengaruhi pengasuhan. Dalam cakupan yang lebih
luas konteks sosial dan budaya turut mempengaruhi pelaksanaan pengasuhan.
F. Pengasuhan dalam Konteks Lintas Budaya
Dalam kajian antropologi diungkapkan bahwa pengasuhan anak dalam
keluarga Jawa lebih menekankan pada kontrol emosi diri dan harmoni dalam
hubungan sosial. Sebagai implikasinya masyarakat Jawa tidak mendorong
munculnya perilaku agresif terhadap teman sebaya apalagi terhadap orang tua.
Anak-anak didorong untuk menyelesaikan masalah dengan bermusyawarah
daripada menggunakan agresi fisik maupun verbal. Anak-anak yang
menggunakan pembalasan secara fisik dan verbal akan mendapatkan teguran,
sedangkan anak yang mampu menenangkan dirinya serta pihak yang
menyerangnya akan mendapatkan ganjaran (Williams, 1991).
Hasil penelitian Farver, Welles-Nystrom, Frosch, Wimbarti, dan Hoppe-
Graff (1997) menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia (Jawa) dalam perilaku
sosialnya dikontrol memalui rasa bersalah, rasa malu, takut terhadap gosip, dan
setiap anggota masyarakat dapat mendisiplinkan anak setiap kali berperilaku
buruk daripana anak-anak Amerika yang lebih agresif. Ada pula pendapat Haar
24
dan Krahe bahwa remaja Indonesia lebih memilih untuk menggunakan strategi
resolusi konflik yang mengedapankan respon kepatuhan atau kompromi daripada
respon yang bersifat konfrotatif pada remaja Jerman.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengasuhan anak yang
dilakukan orang tua dipengaruhi oleh konteks budaya tempat keluarga berasal
maupun lingkungan tempat tinggal. Orang tua dapat saja melakukan cara-cara
yang berbeda dalam mengasuh anak, meskipun tujuan yang akan dicapai sama.
Sebaliknya, dimungkinkan pula terdapat cara yang sama yang digunakan orang
tua dalam budaya yang berbeda, namun tujuan yang akan dicapai berbeda.
Kekhasan budaya menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan bila akan
mengkaji pengasuhan anak.
G. Perilaku dan Praktik Pengasuhan
Carlo, Mcginley, Hayes, Batenhorst, dan Wilkinson (2007), menemukan
bahwa praktik pengasuhan memilki signifikansi lebih tinggi daripada gaya
pengasuhan terhadap perilaku prososial remaja. Darling dan Steinberg (1993)
menjelaskan melalui model integratifnya, bahwa gaya pengasuhan menjadi
konteks yang mempengaruhi kesediaan anak untuk melakukan sosialisasi,
sedangkan praktik pengasuhan yang berkaitan dengan akibatan pada perilaku
anak.
Praktik pengasuhan adalah perilaku pengasuhan dengan muatan tertentu
dan memiliki tujuan sosialisasli (Darling dan Steinberg, 1993). Dengan kata lain
praktik pengasuhan dapat dikonseptualkan sebagai sistem interelasi yang dinamis
yang mencakup pemantauan, pengelolaan perilaku, dan kognisi sosial dengan
kualitas relasi orang tua-anak sebagai pondasinya (Dishion & McMahon, 1998).
Berikut ini bentuk-bentuk perilaku pengasuhan yang terdapat dalam telasi orang
tua-anak, yakni :
25
1. Kontrol dan Pemantauan
Baldwin mengartikan kontrol adalah sebagai penekanan terhadap adanya
batasan-batasan terhadap perilaku yang disampaikan secara jelas kepada anak.
Bagi Bumrind kontrol yang tegas adalah ketika orang tua membuat tuntutan-
tuntutan yang seusuai dengan usia anak. Secara lebih spesifik, Barber (1996)
membedakan antara kontrol psikologis dan kontrol perilaku. Kontrol psikologis
adalah upaya-upaya pengendalian yang bersifat memaksa terhadap perkembangan
psikologis dan emosi anak. Sedangkakn kontrol perilaku adalah upaya orang tua
untuk mengatur dan mengelola perilaku anak.
Pemantauan merupakan salah satu cara orang tua untuk mengembangkan
kontrol pada anak. Montemator (2001) mendefinisikan pemantauan sebagai
aktivitas yang memungkinkan orang tua mengetahui keberadaan remaja, aktivitas
yang dilakukan, dan teman-temannya. Waizenhofer dkk. (2004) membedakan
pemantauan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh anak menjadi dua, yaitu (1)
metode aktif, yakni dengan menanyakan langsung pada anak atau berpartisipasi
dalam aktivitas yang dilakukan oleh anak; (2) metode pasif, yakni dengan
mengetahui aktivitas rutin atau mendapatkan informasi dari orang lain yang
mengetahui tanpa menanyakannya pada anak. Dengan melakukan pemantauan,
orang tua memiliki pengetahuan tentang aktivitas yang dilakukan oleh anak.
2. Dukungan dan Kerterlibatan
Dukungan orang tua, yang mencerminkan ketanggapan orang tua atas
kebutuhan anak merupakan hal yang sangat penting bagi anak. Ellis, Thomas dan
Rollins (1976) mendefinisikan dukungan orang tua sebagai interaksi yang
dikembangkan oleh orang tua yang dicirikan oleh perawatan, kehangatan,
persetujuan, dan berbagai perasaan positif orang tua terhadap anak. Dukungan
orang tua membuat anak merasa nyaman terhadap kehadiran orang tua dan
menegaskan dalam benak anak bahwa dirinya diterima dan diakui sebagai invidu
(Larsen & Dehle, 2007; Young, Miller, Norton & Hill, 1995). Dukungan orang
tua kepada anak dapat berupa dukungan emosi dan dukungan instrumental (Van
Beest & Baerveldt, 1999; Young dkk. , 1995). Dukungan emosi mengarah pada
26
aspek emosi dalam relasi orang tua-anak, yang mencakup perilaku-perilaku yang
secara fisik atau verbal menunjukkan afeksi atau dorongan dan komunikasi yang
posirif atau terbuka (Barber & Thomas, 1986; Felson & Zielinski, 1989; Van
Beest & Baerveldt, 1999; Young dkk. , 1995). Dukungan instrumental mencakup
perilaku-perilaku yang tidak menunjukkan afeksi secara terbuka, namun masih
berkontribusi pada perasaan diterima dan disetujui yang dirasakan anak (Van
Beest & Baervledt, 1999).
Dukungan orang tua terbukti berdampak positif pada harga diri, penurunan
perilaku agresif, kepuasan hidup, dan pencapaian prestasi akademik. Dukungan
orang tua yang baik adalah yang berupa dukungan otonom di mana orang tua
bertindak sebagai fasilitator bagi anak untuk menyelesaikan masalah, membuat
pilihan, dan menentukan nasib, bukan dukungan direktif di mana orang tua hanya
berperan sebagai pemberi instruksi, mengendalikan, dan cenderung mengambil
alih.
Keterlibatan orang tua adalah suatu derajat yang ditunjukkan orang tua
dalam hal ketertarikan, berpengetahuan, dan kesediaan untuk berperan aktif dalam
aktivitas anak sehari-hari (Wong, 2008). Keterlibatan orang tua diartikan sebagai
persepsi orang tua terhadap keterlibatannya dalam pengasuhan anak dalam bentuk
partisipasi aktif ketika bermain dan mengisi waktu luang maupun kontribusi
substantif dalam perawatan dan supervisi (Williams & Kelly, 2005).
3. Komunikasi
Hasil-hasil penelitian telah menegaskan bahwa komunikasi orang tua-anak
dapat mempengaruhi fungsi keluarga secara keseluruhannya dan kesejahteraan
psikososial pada diri anak (Shek, 2000). Clark dan Shiled (1997) menemukan
bukti bahwa komunikasi yang baik antara orang tua-anak berkolerasi dengan
rendahnya keterlibatan anak dalam perilaku delinkuen. Orang tua dan remaja
dapat juga dapat menjadikan komunikasi sebagai indikator rasa percaya dan
kejujuran dengan mencermati nada emosi yang terjadi dalam interaksi antar
anggota keluarga.
27
Fitzpatrick dan Badzinski (Baxter dan Clark, 1996) menyebutkan dua
karakteristik yang menjadi fokus penelitian komunikasi keluarga dalam relasi
orang tua-anak. Pertama, komunikasi yang mengontrol yakni tindakan
komunikasi yang mempertegas otoritas orang tua atau egalitarianisme orang tua-
anak. Kedua, komunikasi yang mendukung yang mencakup persetujuan,
membesarkan hati, ekspresi afeksi, pemberian bantuan, dan kerja sama.
Komunikasi orang tua-anak sangat penting bagi orang tua dalam upaya
melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada anak. Tindakan orang tua
mengontrol, memantau, dan memberikan dukungan dapat dipersepsi positif atau
negatif oleh anak, diantaranya dipengaruhi oleh cara orang tua berkomunikasi.
Oleh karena itu, banyak program intervensi yang ditujukan utnuk meningkatkan
efektivitas pengasuhan yang memfokuskan pada peningkatan keterampilan
komunikasi (Blake, Simkin, Ledsky, Perkins, Calabrese, 2001; Carlson, Moore,
Pappas, Werch, Watts, Edgermon,2000; Riesch, henriques, & Chanchong, 2003).
4. Kedekatan
Kehangatan (warmth) merupakan salah satu dimensi dalam pengasuhan
yang menyumbang akibat-akibattan positif bagi perkembangan. Kedekatan
merupakan aspek penting dalam kehangatan yang memprediksikan kepuasan
pengasuhan dan keterlibatan anak dalam aktivitas keluarga (Paulson, Hill, &
Holmbeck, 1991). Jika kehangatan berkenaan dengan perasaan postif secara
umum terhadap keluarga, kedekatan merupakan aspek yang lebih spesifikyang
mencakup keintiman, afeksi positif, dan pengungkapan diri. Kedekatan
mengisyaratkan adanya saling ketergantungan pada perasaan terhubung (Laursen
& Williams, 1997; Regnerus & Luchies, 2006).
Kedekatan orang tua dengan anak memberikan keuntungan secara tidak
langsung, seperti yang diungkap Rodgers (1999) yakni bila tingkat kedekatan
orang tua dengan tidak tinggi, maka remaja cenderung mempersepsikan
pemantauan yang dilakukan oleh orang tua sebagai gangguan. Kedekatan orang
tua dengan anak terbukti berkolerasi negatif dengan keterlibatan anak dalam
28
perilaku delinkuensi (Svensson, 2004). Demikian juga bila ada rasa saling
percaya antara anak dan orang tua, maka pemantauan yang dilakukan orang tua
dimaknai sebagai bentuk perhatian (Shek,2006).
5. Pendisiplinan
Pendisiplinan merupakan salah satu bentuk dari upaya orang tua untuk
melakukan kontrol terhadap anak. Pendisiplinan biasanya dilakukan orang tua
agar anak dapat menguasai suatu kompetensi, melakukan pengaturan diri, dapat
menaati aturan, dan mengurangi perilaku-perilaku menyimpang atau berisiko.
Keberhasilan pendisiplan antara lain ditentukan oleh cara yang digunakan.
Pendisiplinan yang keras dipercayai justru dapat berdampak negatif pada perilaku
anak (McKee, Roland, Coffelt, Olson, Forehand, Massari, Jones, Gaffney, &
Zens, 2007; Kerr, Lopez, Olson, Sameroff, 2004). Berbagai kajian tersebut
menemukan korelasi antara pemberian hukuman yang keras dan sifat agersi anak.
Sebaliknya, orang tua yang bersedia memberikan instruksi yang jelas, bersikap
mendukung, dan memberlakukan batasan-batasan dapat memprediksi rendahnya
simtom ekternalisasi problem perilaku anak.
Cara orang tua melakukan pendisiplinan dapat dibedakan menjadi tiga,
yaitu unjuk kekuasaan (power asertion), teknik induktif (induction), dan
penarikan kasih sayang (love witdrawal) (Patrick & Gibbs, 2007). Unjuk
kekuasaan dilakukan orang tua dengan menggunakan kekuatan baik langsung
maupun tidak langsung, misalnya memberi hukuman fisik. Orang tua
menggunakan wewenang, keuggulan fisik, dan pengelolaan sumber daya untuk
melakukan kontrol pada anak.
Dalam kaitannya dengan perilaku moral, pendisiplinan moral,
pendisiplinan tua berkorelasi dengan dua dimensi hati nurani yakni afeksi moral
(moral affect) dan pengetahuan moral (moral cognition). Pendisiplinan yang
disertai penalaran (pendisiplinan induktif) dan rendahnya unjuk kekuasaan orang
tua (parental power assertion) berkorelasi dengan tingginya afeksi moral,
sedangkan tinnginya disiplinan yang keras berkolaresi dengan pengetahuan moral
29
yang tinggi (Laible, Eye, & Carlo, 2008). Padahal, menurut Ryan dan Lickona
(1992) pengetahuan moral tinggi bila tidak disertai dengan dengan afeksi moral
tidak mendorong terwujudnya perilaku moral pada anak. Berbeda halnya bila
afeksi moral anak juga berkembang, maka nilai-nilai moral terinternalisasi pada
anak sehingga anak dapat teguh berperilaku moral meskipun tidak ada orang tua
yang mengawasinya.
H. Pengasuhan Bersama
Pengasuhan anak akan memberikan hasil yang lebih baik bila ayah dan ibu
menjalankan pengasuhan bersama (coparinting), yaitu bila orang tua bersikap
saling mendukung dan bertindak sebagai satu tim yang bekerja sama, bukan saling
bertentangan. Pada umumnya untuk tujuan yang sama, ayah dan ibu menjalankan
peran yang berbeda. Suatu studi tentang proses sosialisasi kepercayaan (trust)
oleh orang tua kepada anak, yang dilakukan oleh Roterberg (1995) menemukan
bahwa ibu berperan membentuk keyakinan (belief) tentang pentingnya
kepercayaan, sedangkan ayah berperan membentuk perilaku memercayai
()trusting behavior).
Doherty dan Beaton (2004) mengajukan model konseptual dari
pelaksanaan pengasuhan bersama yang menengarai adanya lima faktor yang
mempengaruhi, yaitu status perkawinan, konteks, ibu, ayah, dan anak. Status
perkawinan merupakan variabel pusat, karena hal ini akan menjadi konteks bagi
faktor-faktor yang lain. Secara umum ada atau tidaknya hubungan perkawinan
(baik secara hukum maupun fungsional) sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan
pengasuhan bersama. Pada pasangan yang menikah, kualitas perkawinan menjadi
aspek yang menetukan pengasuhan bersama. Pasangan menikah saling
menyayangi dan mendukung akan memberi pengaruh positif pada pelaksanaan
pengasuhan bersama. Namun, ayah akan cenderung menarik diri dari keterlibatan
dengan anak atau pengasuhan bersama pada pasangan yang berkonflik.
Faktor konteks yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pengasuhan
bersama antara lain krisis ekonomi, kesempatan kerja, keseukuan, harapan-
30
harapan budaya, dan dukungan komunitas. Krisis ekonomi berpengaruh secara
tidak langsung berupa meningkatkan distres emosi orang tua dan konflik
pasangan.
Pengharapan budaya terhadap peran ideal ibu dan ayah banyak
mempengaruhi pelaksanaan pengasuhan bersama. Pada abad ke-20 sekarang ini
sebagian masyarakatat memandang ideal peran setara antara ayah dan ibu dalam
pengasuhan anak.
Faktor ibu dan ayah yang mempengaruhi pelaksanaan pengasuhan
bersama antara lain kondisi psikologis, asal-usul keluarga, pengharapan terhadap
pengasuhan bersama, dan karakteristik pekerjaan. Pada umumnya pengharapan
ibu terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan lebih berpengaruh dari pada
pengharapan ayanh sendiri.
31
BAB III
NILAI DAN PENDIDIKAN NILAI
A. Pendahuluan
Salah satu strategi yang perlu didorong adalah cara preventif berupa
pendidikan moral antikorupsi, terutama pada kaum muda yang yang akan menjadi
pelaku utama bernegara dan berbangsa di masa depan. Salah satuhnya adalah
dengan menanamkan nilai kejujuran pada anak sejak dini, baik melalui jalur
keluarga maupun sekolah.
Di sisi lain, iklim globalisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan
teknologi informasi telah menimbulkan gejala merosotnya moral kesusialaan.
Pada gilirannya hal ini dapat memerosotkan nilai-nilai keluarga yang
sesungguhnya dijunjung tinggi oleh budaya masyarakat kita. Sebagai masyarakat
dengan budaya kolektivistik, keluarga merupakan sendi yang snagat penting bagi
kehidupan bangsa.
B. Definisi Nilai
Kerangka kerja teoritis tentang hierarki nilai pada mulanya diajukan oleh
Spranger pada tahaun 1928, dan dielaroborasi lebih lanjut oleh Allport melalui
Study of values test (AVL) yang mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki
kombinasi enam tipe nilai, yakni teoritis, ekonomi, estetik, sosial, politik, dan
religi, (lihat, Gari, mylonas, & karaggianni, 2005). Kerangka kerja nilai lainnya
dipaparkan oleh Lasswell (lihat, Gari, mylonas, & karaggianni, 2005), yang
mencakup delapan kategori, yakni kekuasaan, kekayaan, hormat, cinta, moralitas,
keamanan, spsesialisasi profesi, dan nilai dari pendidikan. Nilai-nilai tersebut
merujuk pada tujuan atau konsepsi ideal yang didambakan dan tindakan yang
ditujukan untuk memperoleh dan memtransmisikan pengetahuan.
32
Nilai (values) dapat diartikan sebagai kualitas atau belief yang diinginkan
atau dianggap penting (Berns, 2004). Menurut Oyserman (2001), nilai dapat
dikonseptualkan dalam level individu dan level kelompok. Dalam level individu,
nilai merupakan representasi sosial atau keyakinan moral yang diinternalisasi dan
menggunakan orang sebagai dasar rasional terakhir dari tindakan-tindakannya.
Walaupun setiap individu berbeda dan relatif dalam menempatkan nilai tertentu
sebagai hal yang terpenting, nilai tetap bermakna bagi pengaturan diri terhadap
dorongan-dorongan yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan kelompok atau
tempat individu berada. Dengan demikian nilai sangat berkaitan dengan
kehidupan sosial. Dalam level kelompok , nilai adalah script atau ideal budaya
yang dipegang secara umum oleh anggota kelompok, atau dapat dikatakan sebagai
pikiran sosial kelompok (the group’s social mind).
Berikut ini diuraikan dua konsep tentang nilai yang sering dijadikan
rujukan dalam mengungkap niali, yakni konsep nilai dar Rokeach dan konsep
nilai dari schwartz.
1. Konsep Nilai Rokeach
Rokeach memublikasikan konsep tentang nilai dalam bukunya pada tahun
1973. Rokeach mendefinisikan nilai sebagai berikut:
“Enduring belief a spesific mode of conduct or end state of
existance is personally or socially prefetable to an opposite or
converse mode of conduct or end state of existence. ” (Rokeach,
1973, p. 5)
Dari konsep yang dikemukakan Rokeach tampak jelas bahwa nilai bersifat
stabil, karena nilai bukan merupakan evaluasi terhadap tindakan atau objek
spesifik, melainkan lebih merepresentasikan kriteria normatif yang digunakan
utnuk membuat suatu evaluasi (Rokeach, 1973). Oleh karena itu nilai diurutkan
secara hierarki berdasarkan tingkat kepentingan relatif individu, sehingga
dimungkinkan bagi individu untuk mengenali prioritas nilai dalam rangka mencari
33
jalan keluar dari konflik yang muncul antara nilai-nilai yang bersaing dalam
situasi spesifik (Lyons, Duxbury, 7 Higgins, 2005).
Rokeach menganggap nilai sebagai daya yang dapat menggerakkan
perilaku, sehingga nilai menjadi instrumen untuk menjelaskan perilkaua pelaku
(Aavik, Aavik 7 Korgesaar, 2006). Rokeach mengembangkan instrumen Rokeach
Value Survey (RVS) untuk mengukur nilai yang dimiliki individu dengan
meminta responden untuk memeringkatkan serangkaiana nilai sesuai dengan
kepentingan pribadinya. Nilai instrumental merupakan n ilai-nilai yang memandu
perilaku, misalnya kesopanan. Sedangkan nilai terminal merupakan kualitas atau
keadaan akhir dari keberadaan yang diharapkan, misalnya kebahagiaan (Gregory,
2000; Lyons, Duxbury, & Higgins, 2005).
2. Konsep Nilai Schwartz
Pengembangan teori tentang nilai yang berikutnya dipelpori oleh Schwartz
dan koleganya. Schwartz dan Bilsky (1987) mengungkapkan bahwa nilai
merepresntasikan respons individu secara sadar terhadap tiga kebutuhan
dasar,yakni kebutuhan fisiologi,kebutuhan interaksi sosial,dan kebutuhan akan
institusisosial yang menjamin keberlangsungan hidup dan kesejahteraan
kelompok. Dengan demikian,nilai merupakan respon kognitif terhadap tiga
kebutuhan dasar yang diformulasikan sebagai tujuan motivasi.
Dalam pandangan Schwartz (2007), nilai memiliki lima karakteristik
uatama yaitu:
a. Merupakan keyakinan yang terikat secara emosi;
b. Menjadi konstruk yang melandasi motivasi individu;
c. Bersifat transendental terhadap situasi atau tindakan spesifik;
d. Menjadi standar kriteria yang menuntunindividu dalam menyeleksi dan
mengevaluasi tindakan,kebijakan,orang maupun peristiwa;dan
e. Dimiliki individu dalam suatu hierarki prioritas.
34
Nilai (values) didenifisikan sebagai konsepsi yang diinginkan yang
memadu cara individu dalam menyeleksi tindakan,mengevaluasi orang dan
peristiwa, dan menjelaskan tindakan maupun melakukan evaluasi
(Schwartz,1999). Nilai adalah kriteria trans-situasi atau tujuan yang diurutkan
berdasarkan kepentingan sebagai prinsip yang memandu dalam kehidupan.
Sebagai anggota kelompok budaya,individu berbagi pengalamannya yang relevan
dengan nilai dengan budaya dan mereka disosialisasikan untuk menerima nilai-
nilai sosial bersama. Dengan demikian,nilai yang dimiliki individu merupakan
produk dari pengalaman pribadi dan nilai-nilai budaya bersama yang ada di
lingkungan tempat tinggalnya. Meskipun demikian,perbedaan prioritas nilai antar-
individu tetap dapat terjadi karena adanya perbedaan pengalaman dan
kepribadian.
Dalam model awalnya,Schwartz dan Bilsky (1987) mengajukan delapan
tipe nilai. Kemudian pada tahun 1992,Schwartz mengajukan revisi modelnya
dengan membagi nilai menjadi 10 tipe (Lyons,Duxbury, & Higgins, 2005).
Bersama para koleganya Schwartz melakukan kajian lintas budaya dan
mengkonstruksikan 10 nilai dasar yang diakui individu dari berbagai budaya
(Schwartz & Bardi, 2001),yaitu pengarahan diri (self-direction), stimulasi
(stimulation), hedonisme (hedonism), prestasi (achievement), kekuasaan (power),
keamanan (security), konformitas (conformity), tradisi (tradition), kebijakan
(benevolent), dan universalisme (universalism). Kesepuluh nilai tersebut
dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu keterbukaan terhadap perubahan
(openness to change), transendensi diri (self-transcendence), konservasi
(convervation), dan peningkatan diri (self-enhacement).
Kesepuluh nilai tersebut merupakan nilai yang ada hampir di setiap negara
dari 63 negara tempat studi dilakukan. Analisis multidimensi yang dilakukan
terhadap relasi nilai-nilai tunggal dalam 47 budaya menunjukkan adanya replikasi
yang mendukung diskriminasi dari 10 tipe niali yang dipostulatkan. Analisis yang
dilakukan pada tiap budaya juga membuktikan bahwa 45 nilai tunggal yang
35
terdapat dalam tabel 2 memiliki makna yang hampir ekuivalen antarbudaya
(Schwartz & Bardi,2001)
Kesepuluh nilai dasar yang dirangkumtelah mencakup semua nilai dasar
yang dikenali dalam budaya-budaya di dunia. Kesepuluh nilai tersebut juga
mencakup ketegori isi yang berbeda yang ditemukan dalam teori-teori nilai
sebelumnya, dalam kuesioner nilai dari budaya yang berbeda, dan dalam diskusi
agama dan filosofi tentang nilai. Semua item dalam daftar nilai yang spesifik dari
budaya yang berbeda dimungkinkan untuk dapat diklasifikasikan ke dalam salah
satu dari sepuluh nilai dasar motiviasi tersebut (Schwartz, 2007).
Selain mengidentifikasisepuluh nilai dasar,teori nilai juga memberikan
penjelasan tenang dinamika relasi antarnilai tersebut. Suatu tindakan yang
dilakukan individu untuk mengejar suatu nilai dapat menimbulkan konsekuensi
psikologis,praktis,dan sosial yang mungkin berkonflik atau kongruen dengan
pengejaran nilai yang lainnya.
Sunan sirkuler merepresantasikan kontinum motivasi. Semakin dekat letak
dua nilai dalam lingkaran, semakin mirip motivasi yang melandasinya.
Sebaliknya, semakin jauh jarak antara dua nilai, maka semakin antagonis motivasi
yang melandasinya.
Lebih lanjut Schwartz (2007) menjelaskan bahwa konflik dan kongruensi
antar 10 nilai dasar menghasilkan struktur nilai yang terinterasi. Struktur tersebut
dapat dirangkum dalam dua dimensi ortogonal, yakni peningkatan dari vs.
Transendensi diri dan keterbukaan terhadap perubahan vs. Konservasi. Dalam
dimensi peningkatan diri vs. Transendensi diri, nilai kekuasaan dan prestasiyang
sama-sama menekankan pada kepentingan pribadi berlawanan dengan nilai
universalisme dan kebijakan yang lebih menekankan pada kesejahteraan dan
kepentingan orang lain. Dalam dimensi keterbukaan terhadap perubahan vs.
Konsrvai,nilai pengarahan diri dan stimulasi berlawanan dengan nilai keamanan,
konformitas, dan tradisi. Nilai pengarahandiri dan stimulasi pada kemandirian
dalam bertindak, berpikir, dan berperasaan, serta kesiapan menghadapi
36
pengalaman baru, sedangkan nilai keamanan, konformitas, dan tradisi
menekankan pada pembatasan diri, keteraturan dan resistensi terhadap perubahan.
Hedonism, membagi elemen dari keterbukaan terhadap perubahan dan
peningkatan diri.
C. Nilai Sebagai Prediktor Perilaku
Nilai merupakan bagian penting dari pengalaman yang memengaruhi
perilaku individu, sebagai standar bagi tindakan dan keyakinan ( belief ). Nilai
dipelajari dari keluarga, budaya, dan orang-orang di sekitar individu. Nilai dapat
menyatakan pada orng lain apa yang penting bagi individu dan menuntun individu
dalam mengambil keputusan. Sumber-sumber yang dimiliki oleh individu seperti
waktu, uang, dan kekuatan otak dapat dihabiskan untuk hal-hal yang dianggap
bernilai ( Thames dan Thomason, 2000 ).
Nilai menjadi pedoman atau prinsip umum yang memandu tindakan,
namun bukan merupakan tindakan itu sendiri atau serangkaian daftar tertentu
tentang apa yang harus dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu,
masyarakat yang berbeda dapat sama-sama menganggap prestasi sebagai bernilai,
namun dapat berbeda dalam hal apa yang harus diraih, bagaimana meraihnya, dan
kapan mengejar prestasi itu perlu dilakukan. Nilai juga menjadi kriteria bagi
pemberian sanksi atau ganjaran bagi perilaku yang dipilih.
Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan keyakinan
individu mengenai suatu kualitas yang ingin dicapai, yang selanjutnya berperan
sebagai pendorong dan pengaruh dalam berperilaku, serta menjadi acuan dalam
pengambilan keputusan dan menyelesaikan masalah.
D. Transmisi Nilai
Dalam suatu kelompok budaya terjadi proses transmisi budaya dari satu
generasi ke generasi berikutnya, yang di dalamnya tercakup proses enkulturasi
dan sosialisasi. Melalui transmisi budaya, suatu kelompok budaya mengabaikan
37
ciri-ciri perilakunya pada generasi berikutnya melalui mekanisme mengajar
(teaching), belajar (learning). Proses tersebut dapat melibatkan orang tua, orang
dewasa, teman sebaya, dan jaringan yang dapat memengaruhi individu dengan
membatasi, membentuk, dan mengarahkan individu.
Hasil akhir dari enkulturasi (jika sukses) adalah individu yang kompeten
dalam budaya tersebut mencakup penguasaan bahasa, ritual, nilai-nilai, dan
sebagainya. Konsep Sosialisasi dikembangkan dalam disiplin ilmu sosiologi dan
psikologi sosial yang mengacu pada proses pengajaran, yang dilakukan secara
sengaja dengan melakukan pengawasan terhadap induvidu. Hasil dari proses
enkulturasi dan sosialisasi adalah adanya kesamaan perilaku dalam satu budaya
dan perbedaan perilaku dengan budaya lain.
Dalam interaksi sosial, setiap individu akan melakukan proses seleksi dan
sosialisasi terhadap kelompok. Melalui proses seleksi, individu berupaya
menemukan kelompok yang memiliki kesesuaian, sehingga ia dapat membangun
dan memelihara kelompok atas dasar kesamaan keyakinan, sikap, dan perilaku.
Sebaliknya, kelompok akan memengaruhi sikap dan perilaku anggota kelompok,
agar menyesuaikan keyakinan, sikap, dan perilakunya untuk menemukan
kecocokan dengan kelompok.
Sosialisasi merupakan proses yang dijalani individu dalam mempelajari
perilaku dan keyakinan tentang dunia tempat ia tinggal. Tujuan utama dari proses
sosialisasi adalah ; (a) mengontrol impul, termasuk perkembangan hati nurani ; (b)
persiapan dan pelaksanaan peran ; dan (c) pengembangan sumber-sumber makna,
tentang apa makna hidup, apa yang bernilai, dan untuk apa individu hidup
( Arnett, 1995 ). Ada beragam sumber sosialisasi bagi individu yakni keluarga,
teman sebaya, sekolah, komunitas, media, sistem hukum, dan sistem keyakinan
dalam budaya.
1. Metode Sosialisasi Nilai
Menurut Berns (2004), terdapat enam metode yang digunakan untuk
melakukan sosialisasi. Metode efektif merupakan proses yang terjadi dalam
38
interaksi antar-individu yang merujuk pada munculnya perasaan atau emosi
tertentu, seperti cinta, marah, takut, dan bersalah. Efeksi yang muncul dalam
interaksi antar-individu membentuk kelekatan yang merupakan awal dari proses
sosialisasi.
Metode Pengkondisian (operant) merupakan upaya dengan melakukan
tindakan untuk menimbulkan dampak tertentu. Teknik Pengkondisian yang lebih
lunak lagi adalah pemberian umpan balik (feedback) berupa penyampaian
informasi yang bersifat evaluasi.
Metode Mengamati dan Meniru dilakukan individu dengan mengamati
figur model melakukan suatu kegiatan serta mempelajari konsekuensi yang
dialami sang model dari kegiatan tersebut. Proses peneladanan akan semakin kuat
bila individu yang meneladani mengasumsikan adanya kesamaan atribut dengan
figur yang diteladaninya.
Metode Kognitif mendorong individu untuk memproses informasi atau
memaknai peristiwa dari pengalaman yang dijalaninya. Pemaparan standar
dilakukan dengan menunjukkan tolak ukur yang seharusnya dipenuhi oleh
individu. Penalaran dilakukan dengan memberikan penjelasan logis, yang
biasanya menggunakan kaidah sebab akibat.
Metode Sosiokultural mengandalkan proses penyesuaian diri individu
terhadap tuntutan lingkungan. Proses tersebut biasanya didorong oleh adanya
tekanan kelompok, tuntutan pelestarian tradisi, ritual, dan penggunaan simbol-
simbol yang dianggap merepresentasikan hal tertentu.
Metode Magang (apprenticeship) merupakan upaya untuk menularkan
suatu aktivitas yang menuntut keahlian terstruktur dengan cara partisipasi
terbimbing. Proses magang ini biasanya berlangsung dalam tiga tahap, yaitu
penataan struktur (structuring) yang disesuaikan secara grandual dengan kapasitas
individu, kemudian pelibatan (collaborating) individu ke dalam kegiatan yang
39
dipelajarinya, akhirnya manakala individu sudah dianggap mumpuni dilakukan
penyerahan (transfering) tanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan tersebut.
2. Pendidikan Nilai
Pendidikan nilai-nilai (values education) adalah suatu upaya nyata untuk
mengajarkan nilai-nilai dan melatih keterampilan melakukan penilaian (Huitt,
2004).
Lima pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan nilai :
a. Penanaman (inculcation)
b. Perkembangan moral (moral development)
c. Analisis (analys)
d. Kalrifikasi nilai-nilai (values clarification)
e. Belajar tindakan (action learning)
3. Pendidikan Nilai Dalam Keluarga
Terkait dengan keluarga, sosialisasi dapat didefinisikan sebagai proses
yang diinisiasi oleh orang dewasa untuk mengembangkan anak melalui insight,
pelatihan dan imitasi guna mempelajari kebiasaan dan nilai-nilai yang kongruen
dalam beradaptasi dengan budaya (Baumrind, 1980). Melalui sosialisasi, anak
diharapkan memiliki kebiasaan yang adaptif dan nilai-nilai yang relevan dengan
budaya setempat.
Faktor-faktor yang memengaruhi akibatan (outcome)dari proses
pendidikan nilai yang dilakukan orang tua pada anak antara lain :
a. Kualitas relasi orang tua-anak
b. Kepercayaan diri (trust)
c. Persepsi anak terhadap nilai yang disosialisasikan oleh orang tua
40
Phalet dan Schönpflug (2001) dalam kajian lintas budayanya
menyimpulkan, bahwa proses pendidikan nilai oleh orang tua pada anak
dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :
a. Pendidikan nilai bersifat selektif.
b. Pendidikan nilai dipengaruhi oleh tujuan-tujuan orang tua.
c. Pendidikan nilai dipengaruhi oleh gender dan tingkat pendidikan orang tua
maupun anak.
d. Model pendidikan nilai tersebut dapat diterapkan dalam konteks akulturasi.
E. Nilai-Nilai Kearifan Lokal
Budaya adalah sistem nilai dan keprcayaan yang dipegang secara bersama
oleh beberapa orang dan memberikan perasaan menjadi bagian dari kelompok
atau rasa identitas. Nilai sebagai bagian integral dari perilaku sosial dalam suatu
budaya bersifat religius, spiritual dan mengatur (Shet, 1995).
Dalan konteks keluarga, orang tua memiliki tanggung jawab dalam
mendidik dan mendewasakan anak.
Relasi kakak-adik didalam keluarga menjadi sarana pembelajaran bagi
anak dalam menekan keinginannya sendiri dan menghindari konflik dengan
saudara, sebagai upaya mengadopsi perilaku sosial yang dapat diterima di
masyarakat. Karena penanaman nilai dilakukan secara kontinu melalui relasi
kakak-adik, maka anak tunggal atau anak bungsu seringkali dimanja dan kurang
memiliki kontrol diri (Geertz, 1961).
F. Pembentukan Karakter
Ryan dan Lickona (1992) mengungkapkan bahwa dalam karakter manusia
terdapat tiga komponen. Yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan
moral.
41
Orang tua memiliki sumbangan terhadap karakter anak paling tidak
melalui lima cara (Ryan dan Lickona, 1992). Pertama, dengan meyayangi anak,
orang tua membantu untuk merasakan dirinya berharga. Kedua, orang tua
menjadikan dirinya sebagai model bagi anak dalam memperlakukan orang lain.
Ketiga, hubungan yang erat antara orang tua dan anak menjadi kekuatan dalam
menghadapi pengaruh moral. Keempat, kasih sayang berperan dalam
perkembangan penalaran moral. Kelima, kasih sayang mendorong terjadinya
komunikasi orang tua-anak yang menjadi variabel mediator antara kasih sayang
dan perkembangan penalaran moral.
42
BAB IV
KONFLIK DALAM KELUARGA
A. Pendahuluan
Secara bahasa konflik identik dengan percekcokkan, perselisihan, dan
pertengkaran (lihat kamus besar bahasa Indonesia, 2005). Adapun dalam bahasa
Inggris conflik sebagai noun berarti a serious disagreement or argument,
sedangkan sebagai verb berarti be incompatible or clash (lihat Concise Oxfrod
English Dictionary).
B. Definisi Konflik
Materialisme dialektik berpandangan bahwa segala sesuatu di ubah dengan
memiliki sisi yang berlawanan, sehingga ada dinamika yang saling berhubungan
segala sesuatu dan membuat perubahan menjadi bersifat universal. berpikir
dialektik berarti selalu melihat sudut pandangyang berlawanan dan selalu
berupaya menyintesiskan antara tesisdan antitesis. di dunia ini terdapat kategori-
kategori beroposisi yangterpisah satu sama lain (mutually exclusive) sekaligus
bersama-samamembentuk keseluruhan, misalnya yin-yang, hidup-mati, baik-
buruk(baumrind, 2005).
Fenomena lain yang nyata dalam kehidupan manusia adalah keragaman
atau pluralitas. keragaman ini memungkinkan adanya kriteria tentang baik dan
buruk tidak sama persis antara satu kehidupan dan kehidupan yang lain, antara
satu masyarakat dan masyarakat yang lain. sebagai contoh, suatu budaya
menganggap bahwa cara makan yang baik adalah dilakukan dengan tangan kanan.
pada budaya yang demikian secara simbolik menjadikan sisi kanan sebagai
mewakili kebaikan, sedangkan sisi kiri mewakili keburukan. Hal ini berbeda
dengan budaya yang berpaham objektivisme yang memahami bagian tubuh yang
kiri sama baiknya dengan bagian tubuh yang kanan, sehingga memberi ruang
43
yang lebih bebas pada orang yang kidal. apalagi kemudian ada temuan ilmiah
yang mengatakan bahwa aktivitas dengan tangan kiri akan merangsang otak
bagian kanan yang akan mengoptimalkan potensi kreativitas.
Konflik mencerminkan adanya suatu ketidakcocokan (incompatibility),
baik ketidakcocokan karena berlawanan maupun karena perbedaan. Selain
berpangkal pada ketimpangan alokasi sumber daya ekonomi dan kekuasaan,
konflik juga dapat bersumber pada perbedaan nilai dan identitas. Oleh karena itu,
konflik berjalan ke arah yang positif atau negatif bergantung pada ada atau
tidaknya proses yang mengarah dan saling pengertian. Namun adakalanya suatu
konflik terjadi sekadar untuk menyalurkan naluri agresif, untuk berjuang atau
melawan tanpa tahu atas dasar apa. Yang demikian ini biasanya akan
menyulitkan prosesnegoisasi.
Konflik dalam teori perkembangan manusia digunakan baik untuk proses
intrapsikis atau intrapersonal maupun interpersonal. Dalam perspektif Freud,
konflik terjadi karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan
masyarakat dan aturan, sehingga menimbulkan kecemasan dan pertahanan diri
terhadap kecemasan. Erikson kemudian menjelaskan bahwa konflik terjadi dalam
tiga level. Level pertama konflik yang terjadi ketika kepribadian anak atau
individu berhadapan dengan tuntutan orang tua atau masyarakat. Level kedua
adalah konflik yang terjadi di dalam diri individu, misalnya antara percaya dan
tidak percaya. Level ketiga adalah konflik yang terjadi dalam menentukan cara
beradaptasi.
Dalam hubungan interpersonal konflik terjadi karena adanya
ketidakcocokan perilaku atau tujuan. Ketidakcocokan terungkap ketika seseorang
secara terbuka menentang tindakan atau pernyataan orang lain. Thomas (1992)
mendefinisikan konflik sebagai proses yang bermula saat salah satu pihak
menganggap pihak lain menggagalkan atau berupaya menggagalkan
kepentingannya. Adapun McCollum (2009) mendefinisikan konflik sebagai
perilaku seseorang dalam rangka beroposisi dengan pikiran, perasaan, dan
44
tindakan orang lain. Dengan demikian, secara garis besar konflik dapat
didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mencakup penentangan (oposisi) atau
ketidaksetujuan (lihat Shantz, 1987).
Konflik dalam hubungan antarpribadi (misalnya dengan teman, rekan
kerja, tetangga, suami/istri, orang tua/anak) merupakan suatu hal yang tidak dapat
dielakkan, bahkan semakin tinggi saling ketergantungannya semakin meningkat
pula kemungkinan terjadinya konflik. Jadi, semakin dekat hubungannya semakin
berpotensi untuk terjadi konflik (Dwyer, 2000). Konflik berguna untuk menguji
bagaimanakarakteristik suatu hubungan antarpribadi. Dua pihak yang
memilikihubungan yang berkualitas akan mengelola konflik dengan cara
yangpositif. Konflik juga bermanfaat bagi perkembangan individu dalam hal
menumbuhkan pengertian sosial. Dunn dan Slomkowski (lihat Canary, Cupach &
Messman, 1995) menunjukkan empat area pengertian sosial yang dapat
berkembang karena konflik, yaitu dalam memahami perasaan dan maksud orang
lain, dalam memegangi norma dan konvensi yang memandu perilaku, dalam
memilih strategi berkomunikasi, dan dalam mengenali berbagai perbedaan
yangrelevan dalam hubungan antarpribadi.
Dengan pengelolaan yang baik, konflik justru dapat semakin
memperkukuh hubungan dan meningkatkan kepaduan dan rasa solidaritas. James
Schellenberg, sebagaimana dikutip oleh McCollum (2009), mengemukakan
bahwa konflik sepenuhnya merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat
yangharus dianggap penting, yaituuntuk merangsang pemikiran-pemikiran yang
baru, mempromosikan perubahan sosial,menegaskan hubungan dalamkelompok,
membantu kitamembentuk perasaan tentang identitas pribadi, dan memahami
berbagai hal yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.
C. Kareteristik Konflik Keluarga
Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang hubungan antar
anggotanya terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu, konflik
dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflikdi dalam keluarga dapat
45
terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota
keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah konflik sibling,
konflik orang tua-anak, dan konflik pasangan (Sillars dkk. ,2004). Walaupun
demikian, jenis konflik yang lain juga dapat muncul, misalnya menantu-mertua,
dengan saudara ipar dan paman/bibi. Faktor yang membedakan konflik di dalam
keluarga dengan kelompok sosial yang lain adalah karakteritik hubungan di dalam
keluarga yang menyangkut tiga aspek, yaitu intensitas, kompleksitas, dan durasi
(Vuchinich, 2003).
Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis
hubungan yang sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi.
Keterikatan antara pasangan, orang tua-anak, atau sesama saudara berada dalam
tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, maupun komitmen. Ketika masalah
yang serius muncul dalam sifat hubungan yang demikian, perasaan positif yang
selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif
yang mendalam juga.
Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal.
Orang tua akan selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah
mantan orang tua atau mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan
dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya
konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalnya berupa perceraian atau
minggat dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik tetap membekas.
Konflik di dalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan
dengan konflik dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk. ,2004). Misalnya,
penelitian Adam dan Laursen (2001)menemukan bahwa konflik dengan orang tua
lebih sering dialami remaja bila dibanding dengan sebaya. Penelitian lainnya
(Rafaelli, 1997) mengungkapkan bahwa konflik dengan sibling meningkat seiring
meningkatnya jumlah kontak. Selain itu, jumlah waktu yang dihabiskan bersama
lebih signifikan memprediksi konflik sibling dibandingkan faktor usia, jenis
kelamin, jumlah anggota keluarga, dan variabel yang lain. Walaupun demikian,
46
penelitian Stocker, Lanthier dan Furman (1997) mengungkapkan bahwa
meningkatnya interaksi sibling berasosiasi positif dengan persepsi terhadap
kehangatan.
Oleh karena sifat konflik yang normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka
vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung pada respons masing-masing
terhadap konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya
pada hubungan yang berkualitas, frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas
hubungan dapat memengaruhi cara individu dalam membingkai persoalan konflik.
Walaupun demikian, banyak keluarga yang sering mengalami konflik, namun
tetap dapat berfungsi dengan baik (Vuchinich, 2003). Salah satu faktorpenting
yang tetap membuat keluarga berfungsi dengan baik adalah karena konflik
tersebut dapat diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap akanhilang seiring
waktu. Seperti diungkapkan Rueter dan Conger (1995), keluarga yang memiliki
interaksi hangat menggunakan pemecahanmasalah yang konstruktif, adapun
keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan pemecahan masalah yang
destruktif.
D. Konflik Orang Tua-Anak
Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian
paling penting dalam hidupnya. Selain terdapat aspek ketanggapan
dalammerespons kebutuhan anak, juga terdapat aspek tuntutan
yangmencerminkan harapan orang tua terhadap sikap dan perilaku anak. Sumber
utama konflik pada urnumnya adalah ketidak cocokan antara perspektif anak dan
perspektif orang tua.
1. Konflik pada Masa Kanak-kanak
Penelusuran terhadap terjadinya konflik orang tua-anak sudah dimulai
sejak anak masih berupa janin di dalam kandungan (fetal conflict). Penelitian Haig
(1993) memaparkan adanya konflik genetik dalam proses kehamilan. Selama
47
sembilan bulan kehamilan, tubuh ibu akan menyediakan segala kebutuhan nutrisi
bagi janin, namun perkembangan janin berlangsung sesuai kebutuhannya sendiri.
Ketika bayi sudah lahir dan mengalami perkembangan di luar tubuh ibu,
salah satu konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang tua-anak adalah
konflik pada masa penyapihan (weaning conflict), biasanya setelah anak berusia
satu tahun. Proses penyapihan mulai dialami anak oleh karena kehamilan bayi
berikutnya, atau karena anak dianggap sudah berada pada usia yang cukup untuk
mulai mengalami perpisahan sementara dengan ibunya.
Pada perkembangan berikutnya, yang banyak mendapat perhatian dalam
pengkajian konflik orang tua-anak adalah ketika anak menginjak usia dua tahun
(toddler). Pada masa tersebut anak mulai banyak mengalami perkembangan
dalam keterampilan bahasa dan motorik, dan mulai banyak mengalami masalah
perilaku. Perilaku eksternalisasi dan agresi merupakan masalah perilaku yang
banyak mendapat perhatian pada masa perkembangan ini. Berbagai kajian
menyoroti tiga faktor yang dapat menyebabkan munculnya masalah perilaku,
yaitu:
1. faktor internal yang berupa gender, temperamen, dan proses regulasi diri;
2. faktor sosialisasi yang terjadi dalam interaksi dan relasinya dengan
keluarga maupun teman sebaya; dan
3. faktor eksternal yang berupa status sosial ekonomi dan struktur keluarga
(Rubin, Burgess, Dwyer, & Hastings, 2003).
Pada masa ini kualitas konflik antara orang tua dan anak dipengaruhi oleh
tipe kelekatan dan temperamen anak (Laible, Panfile,Makariev, 2008). Selain itu
temperamen anak juga berkaitan denganfrekuensi terjadinya konflik. Dix (1991)-
yang me-review beberapapenelitian menyimpulkan bahwa frekuensi konflik orang
tua-anakadalah 3,5 sampai 15 kali dalam satu jam. Konflik orang tua-anak yang
terjadi sehari-hari dapat berupaketidaksetujuan antara orang tua dan anak tentang
48
fakta-fakta. Selainitu dapat pula disebabkan oleh ketidaksediaan atau
ketidakmampuanorang tua menuruti keinginan anak (Laible dkk, 2008).
Terbangunnya tipe kelekatan aman (secure attachment) dalam hubungan
orang tua-anak tidak berarti meniadakan munculnya konflik. Pendapat yang
mengatakan bahwa kelekatan aman memprediksi sedikitnya konflik dan kelekatan
tak aman (insecure attachment) memprediksi tingginya konflik kurang memiliki
dukungan yang teruji (Laible dkk. , 2008). Namun dapat dipercaya bahwa
kelekatan aman dapat membuat konflik membuahkan hasil yang lebih positif,
misalnya saling memberi afeksi positif (Matas, Arend, & Sroufe, 1978) dan ke-
sediaan anak mengikuti nasihat orang tua (Londerville & Main, 1981). Laible dkk.
selanjutnya menjelaskan bahwa pada hubungan dengan kelekatan aman, konflik
yang terjadi bersifat konstruktif karena masing-masing pihak mampu menjalin
komunikasi yang efektif, melakukan proses diskusi dan negosiasi, serta
membicarakan emosi dengan terbuka.
Yang dimaksud dengan temperamen adalah pembcda individu yang
berupa kereaktifan (reactivity) dan pengaturan diri (seflregulation), dalam hal
afeksi, tindakan, dan perhatian yang bersifat konstitusional. Kereaktifan adalah
ketanggapan terhadap berbagai perubahan dalarn lingkungan internal maupun
eksternal. Pengaturan diri adalah proses kontrol yang sungguh-sungguh dan
memiliki orientasi, dalam rangka mengatur kereaktifan. Temperamen bersifat
konstitusional dalam arti berdasarkan faktor-faktor biologis yang dipengaruhi oleh
keturunan, kematangan, dan pengalaman (Rothbart & Bates, 2008).
Temperamen anak selain dapat memancing tanggapan dari orang lain, juga
memengaruhi keberfungsian kognisi dan emosi dirinya. Anak dengan
temperamen yang sulit (misalnya memiliki reaksi emosi negatif yang tinggi)
cenderung menimbulkan konflik dengan pengasuhnya. Hal itu terjadi selain
karena mereka mudah berperangai buruk dan sulit bersikap tenang, mereka juga
menyita energi dan kesabaran pengasuhnya.
49
2. Konflik pada Masa Remaja
Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit
dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label
masa remaja sebagai masa storm and stress, untuk menggambarkan masa yang
penuh gejolak dan tekanan.
Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang sangat sulit
dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberikan label
masa remaja sebagai masa storm and stress, untuk menggambarkan masa yang
penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog
Amerika, Stanley Hall, yang menganggap bahwa storm and stress merupakan
fenomena universal pada masa remaja dan bersifat normatif. Pandangan Hall
tersebut selaras dengan paham psikoanalitik yang menganggap masa remaja
merupakan masa pertarungan antar identitas, yaitu hasrat untuk mencari
kesenangan seksual dan super-ego, yaitu tuntutan untuk mematuhi norma dan
moral sosial. Pergolakan yang dialami pada masa remaja merupakan refleksi dari
konflik internal dan ketidakseimbangan psikis.
Konflik remaja dengan orang tua merupakan salah satu hal yang banyak
mengundang perhatian para peneliti. Areal yang menjadi perhatian pada
umumnya adalah frekuensi terjadinya konflik, topik yang menjadi konflik dan
cara yang digunakan untuk melakukan resolusi konflik. Beberapa penelitian
menunjukan kurvalinierpada intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat
pada remaja awal, mencapai puncaknya pada remaja tengah, dan menurun pada
remaja akhir (Montemayor, 1983). Sementara beberapa penelitian lain
mengungkapkan kecenderungan menurun secara linier dengan intensitas konflik
lebih tinggi terjadi pada remaja awal dan remaja akir (Allison & Schult, 2004;
Laursen, Coy, & Collins, 1998). Walaupun terjadi kesamaan dalam hal tingginya
intensitas konflik pada masa remaja awal, faktor usia agaknya tidak dapat
50
digunakan sebagai patokan bagi kecenderungan meningkat adak menurunnya
konflik orang tua-anak. Faktor pola interaksi mungkin lebih bisa memprediksikan
intensitas konflik, sebagaimana diungkap oleh Reuter dan Conger (1995) bahwa
konflik orang tua- anak meningkat dalam keluarga dengan kondisi penuh
permusuhan dan menurun dalam keluarga yang hangat dan suportif.
Banyak yang beranggapan bahwa konflik orang tua-remaja disebabkan
oleh sikap remaja menentang orang tuanya. Sebagain ilmuwan memangdang
pertentangan remaja merupakan tanda terkikisnya moral. Berbagai label
disematkan untuk remaja, seperti malas, kurang hormat, dan liar. Kajian tentang
penentangan anak sudah dimulai oleh David M. Levy dan Simon H. Tulchin
(1923, 1925), yang menyimpulkan bahwa perilaku menentang anak dimulai pada
usia antara 8 bulan sampai 2 tahun, memuncak pada usia antara 3 setengah sampai
4 tahun dan mulai menurun sejak usia 5 tahun hingga 6 tahun. Levy
mendefinisikan penentangan sebagai perilaku menolak untuk menyesuaikan diri
dengan tuntunan otoritas dan perilaku yang menjadi kebiasaan umum (lihat
Grieshaber, 2004).
Penentangan remaja terhadap orang tua sesungguhnya tidak relevan jika
dipadang sebagai rendahnya nilai moral remaja. Konflik orang tua-remaja dalam
porsi yang moderat perlu dilihat sebagai hal yang wajar merupakan aspek
normatif dalam hubungan orang tua-remaja. Penentangan remaja terhadap orang
tua pun sebenarnya bersifat terbatas, dan tidak mencakup nilai-nilai dasar dan
moralitas. Penelitian Dauvan Adelson (lihat Smetana, 2005) menemukan bahwa
pada prinsipnya remaja menyetujui nilai-nilai dasar sebagaimana yang dipegang
orang tuanya, dan pada umumnya remaja mengagumi dan mempercayai orang tua
serta menyakini bahwa aturan yang diberlakukan oleh orang tua adalah adil dan
benar.
Cara pandang orang tua dan remaja terhadap konflik dan ketidaksetujuan
di antara mereka sering kali berbeda. Orang tua selalu melihat dari sudut pandang
kewenangan orang tua dan tatanan sosial. Dalam menghadapi ketidaksetujuan
51
dengan remaja, orang tua sering membenarkan sudut pandangnya berdasarkan
kewenangannya sebagai orang tua atau peraturan sosial (Smetana, 2004). Dengan
perspektif demikian, orang tua menganggap konflik terselesaikan ketika remaja
sudah menyetujui dan mengikuti pendapat orang tua. Oleh karena itu, pada
umumnya orang tua sering menilai hubungan dengan anaknyabaik-baik saja dan
konflik di antara mereka tidaklah terlalu keras dan sering (Demo, 1991). Namun
dari sudut pandang remaja, mematuhi pada pendapat orang tua setelah terjadinya
perbedaan, penentangan, atau konflik tidak selalu berarti konflik telah selesai.
E. Resolusi Konflik
Menurut Rubin (1994), pengelolan konflik sosial dapat dilakukan dengan
beberapa cara, yaitu : penguasaan (domination, ketika salh satu pihak berupaya
memaksakan kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologi),
penyerahan (capitulation, ketika salah satu pihak secara sepihak menyerahkan
kemenangan pada pihak lain), pengacuhan (inaction, ketika salah satu pihak tidak
melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik),
penarikan diri (withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri darri keterlibatan
dengan konflik), tewar-menawar (negotiation, ketika pihak-pihak yang berkonflik
saling bertukar gagasan, dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan
kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak), dan campur tangan
pihak ketiga (third-party intervention, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik
menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang
berkonflik). Dari berbagai cara tersebut hanya negosiasi dan pelibatan penengah
yang merupakan cara penanganan konflik yang bersifat konstruktif.
Pada dasarnya pengelolaan konflik dalam interaksi antar pribadi dapat
dibedakan menjadi 2, yaitu secara konstruktif atau secara destruktif. Pengelolaan
konflik secara destruktif dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :
1. Persepsi negatif terhadap konflik. Individu yang menganggap konflik
sebagai hal yang negatif akan cenderung menghindari konflik atau
menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang demikian
52
biasanya sering gagal mengenai pokok masalah yang menjadi sumber konflik,
karena perhatiannya sudah berfokus pada konflik sebagai problem.
2. Perasaan marah. Sebagaimana konflik merupakan aspek normatif dalam
suatu hubungan, marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah dirasakan
individu yang terlibat konflik. Mengumbar atau memendam marah sama
burruknya bagi kesehatan hubungan maupun mental individu. Oleh karena itu,
rasa marah harus dipahami sebagai gejala yang harus diatasi dan dapat di ubah.
Pesaraan masah harus dikendalikan dengan kehat-hatian dan kesabaran.
3. Penyelesaian oleh waktu. Sebagai upaya menghindari munculnya perasaan
negatif dalam menghadapi konflik, misalnya marah, sedih, takut, sering kali
individu memilih mengabaikan masalah yang menjadi sumber konflik.
Harapannya adalah masalah tersebut akan terselesaikan dengan sendirinya oleh
berjalannya waktu.
Dariberbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan
terapis mengenai adanya gaya resolusi konflik yang umumnya digunakan individu
dalam mengelola konflik. Harriet Goldhor Lerner sebagaimana dikutip oleh Olson
dan Olson (2000), membedakan cara individu menyelesaikan konflik menjadi
lima macam, yaitu pemburu (pursuer adalah individu yang berusaha membangun
ikatan yang lebih dekat), penghindar (distancer adalah individu yang cenderung
mengambil jarak secara emosi), pecundang (underfunctioner adalah individu yang
gagal menunjukkan kompetensi atau aspirasinya), penakluk (overfunctioner
adalah individu yang cenderung menngambil alih dan merasa lebih tahu yang
terbaik bagi pihak lain), dan pengutuk (blamer, adalah individu yang selalu
menyalahkan orang lain atau keadaan).
Selain megatasi konflik internal, orang tua juga berperan sebagai mediator
bagi anak dalam menghadapi dunia sosial yang lebih luas. Menurut Parke dan
Bhavnagri (disitasi Padilla-Walker & Thompson, 2005), dalam menghadapi
lingkungan eksternal orang tua menjadi mediator dalam hal kontak personal di
luar keluarga seperti tempat perawatan anak, sekolah, pertetanggan, dan
53
komonitas. Selain itu, orang tua juga membantu anak untuk menghadapi nilai-
nilai yang dipromosikan oleh individu maupun berbagai agen di luar rumah.
Dalam pengasuhan orang tua menggunakan berbagai strategi ketika
menyosialisasikan anak dalam menghadapi situasi konflik nilai. Strategi tersebut
bervariasi tergantung pada konteks situasi yang dihadapi, atau potensi
pelanggaran yang diakibatkan jika anak bertindak tidak konsisten dengan nilai
yang ditanamkan. Menurut hasil penelitian Padilla-Walker dan Thompson
(2005), terdapat 4 strategi yang digunakan oleh orang tua ketika meghadapi pesan
yang menimbulkan konflik, yaitu :
1. Cocooning, yaitu melindungi anak dari pengaruh masyarakat luas dengan
membatasi akses anak terhadap nilai-nilai alternatif, atau kemampuan untuk
berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai orang tua. Cocooning terbagi
menjadi 2 level, yakni reasoned cocooning dan controlled cocooning. Pada
reasoned cocooning, orang tua secara persuasif melindungi anak dari pengaruh
luar, memperkuat nilai-nilai keluarga pada anak, dan memberikan penjelasan
yang logis terhadap nilai-nilai yang ditanamkan. Pada controlled cocooning,
orang tua memaksa anak untukdisiplin dan patuh, tanpa memberikan
penjelasan atau dasar rasional terhadap larangan-larangan yang diberikan.
2. Pre-arming, orang tua mengantisipasi konflik nilai dan menyiapkan anak
untuk menghadapinya guna melawan dunia yang lebih luas.
3. Compromise, memberikan kesempatan pada anak untuk terpapar konflik
nilai, namun tetap mempertahankan elemen nilai keluarga dan kontrol sebagai
orang tua.
4. Deference, orang tua mengalah demi kebutuhan anak dan membiarkan anak
mengambil keputusan sendiri, meskipun hal tersebut bertentangan dengan
nilai-nilai keluarga.
Secara garis besar konflik orang tua-anak sesungguhnya dapat berfungsi
sebagai media penanaman nilai. Dapat dikatakan demikian karena dalam
menangani konflik dengan anak, orang tua berkesempatan mengungkapkan
54
harapan-harapannya atau menyampaikan pesan-pesan moral. Fungsi ini dapat
berlangsung dan berhasil mendorong anak menginternalisasikan nilai yang
disampaikan apabila konflik dikelola secara konstruktif.
Rangkuman
Konflik didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mencakup penentangan
(oposisi) atau ketidaksetujuan. Konflik antar pribadi dapat bermaanfaat atau
merugikan tergantung pada strategi yang digunakan untuk mengelolanya.
Konflik antar pribadi yang dikelola secara konstruktif justru dapat
memperkukuh hubungan, namun sebaliknya konflik yang tidak dikelola dapat
merusak hubungan dan memunculkan emosi negatif.
Konflik dalam keluarga sering terjadi dan bersifat mendalam bila dibandingkan
dengan konflik dalam konteks sosial lain. Prevalensi konflik dalam hubungan
berturut-turut adalah konflik antar saudara, konflik orang tua-anak, dan konflik
pasangan. Frekuensi kemunculan konflik dalam keluarga mencerminkan
kualitas hubungan dalam keluarga.
Pada umumnya, sumber utama konflik orang tua-anak adalah ketidakcocokan
antara perspektif anak dan perspektif orang tua. Para ahli menelusuri konflik
rang tua-anak sejak janin masih dalam kandungan, masa bayi, masa kanak-
kanak, sampa masa remaja. Intensitas konflik orang tua-anak meningkat pada
masa remaja awal, mencapai puncaknya pada remaja tengah, dan menurun
pada remaja akhir.
Orang tua menggunakan strategi tertentu dalam menghadapi konflik dengan
anak, diantaranya melindungi, mengantisipasi, berkompromi, dan mengalah.
Pengelolaan konflik orang tua –anak yang bersifat konstrutif berdampak
positif, sedangkan yang dekstruktif berdampak negatif pada perkembangan
remaja. Pengelolan konflik yang konstruktif yang mendukung proses
internalisasi nilai oleh anak.
55
BAB V
PENANAMAN NILAI DALAM KELUARGA
A. Pendahuluan
Keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama dan utama bagi seorang
anak. Melalui keluarga anak belajar berbagai hal agar kelak dapat melakukan
penyesuaian diri dengan budaya di lingkungan tempat tinggalnya. Orang tua
memegang peran penting dalam proses sosialisasi yang di jalani seorang anak.
Untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai peran yang dijalankan
orang tua dalam melakukan sosialisasi nilai pada anak, dilakukan penelitian
kualitatif terhadap keluarga-keluarga yang tinggal di Surakarta.
Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada
ayah,ibu,dan remaja dan dilakukan secara terpisah agar data yang di peroleh dapat
digunakan untuk cek silang. Dengan wawancara tersebut masing masing pribadi
memiliki keleluasaan untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya yang memuat
gagasan.
B. Potret Keluarga
Berikut ini dipaparkan secara ringkas potret masing-masing keluarga
berdasarkan hasil wawancara pada ayah,ibu,dan remaja.
1. Keluarga Karim
Keluarga karim tinggal di sebuah perumahan di Surakarta. Keluarga ini
menempati rumah berlantai dua, yang memiliki ruang tamu, ruang keluarga, ruang
makan, kamar tidur, dan dapur. Di bagian samping rumah terdapat garasi untuk
mobil dan sepeda motor. Di rumah ini terdapat sebuah televisi yang terletak di
ruang keluarga.
56
Pak karim berpendidikan S-2 dan berprofesi sebagai dosen di sebuah PTS
di Surakarta, sedangkan istrinya, Bu Karina saat ini sedang menempuh pendidikan
S-2 dan berprofesi sebagai guru SMA. Anak yang pertama laki-laki dan baru saja
di terima PTN favorit, bernama Omar (18 tahun). Anak kedua seorang
perempuan dan saat ini masih duduk di kelas 3 SMP, bernama Vauziah (15
tahun).
Perspektif Orang Tua
Dalam keluarga Karim, nilai-nilai dalam budaya Jawa sperti unggah-
ungguh tetap di pertahankan, namun penerapannya sudah disesuaikan dengan
kondisi sekarang. Misalnya dalam hal makan, anak tidak harus menunggu orang
tua makan terlebih dahulu, baru anak boleh makan.
Dalam mendidik putra putrinya, keluarga karim sangat menekankan
pentingnya kejujuran. Bu karina menyampaikan pesan pada putra putrinya bahwa
bila melakukan ketidak jujuran, suatu saat nanti pasti akan terbongkar.
Selain nilai kejujuran, keluarga karim juga mendidik putra putrinya agar
rajin beribadah. Oleh karena itu, sejak kecil anak-anak sudah dibiasakan
beribadah. Dalam menanamkan nilai pada anak, keluarga ini memilih untuk
menyampaikan nilai pada anak secara lisan yakni dengan memberikan nasihat,
namun juga disertai dengan memberikan contoh.
Sebagai orang tua, Bu karina melakukan pemantauan terhadap perilaku
anak di lingkungan luar. Untuk memantau perilaku anak selama di sekolah, Bu
Karina memanfaatkan waktu pengambilan rapor untuk berkomunikasi dengan
wali kelas dan mencari tahu perilaku anak selama di sekolah.
Keluarga karim memiliki kebiasaan yang sudah rutin dilakukan, yakni
berkumpul bersama sekeluarga sesudah makan malam. Dalam forum
kebersamaan ini, anak dan orang tua dapat berdialog dan saling berbagi cerita
tentang hal-hal yang dialaminya sepanjang hari.
57
Sebagai bagian dari upaya pemantauan terhadap anak, Bu karina
memerhatikan pengaruh lingkungan terhadap perilaku anak. Bu karina
mengungkapkan bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap anak.
Oleh karena itu Bu karina berpesan kepada putra putrinya bahwa teman itu
sangat berpengaruh terhadap diri kita. Ia memberikan contoh pada anak, siapa
yang dekat dengan penjual minyak wangi otomatis baunya wangi.
Sebagai orang tua dari dua orang anak, Bu karina menyadari bahwa dia
mengalami kesulitan untuk tidak membandingkan anak pertama dengan anak
kedua. Meskipun maksudnya baik agar anak kedua meneladani kakaknya, namun
Bu karina bahwa membanding-bandingkan anak bukanlah sikap yang tepat,dalam
artian ada sisi tidak baiknya.
Dalam keluarga, anak juga di beri tanggung jawab untuk membantu
urusan rumah tangga, misalnya menyapu,mengepel,mengelap sepedah motor,
mengangkat cucian dan melipatnya. Menurut pak karim, kedua orang tua
memang telah mencontohkan sikap hidup sederhana sejak anak masih kecil.
2. Keluarga Erman
Keluarga erman tinggal kompleks perumahan. Rumah ini ber pagar besi
dengan tinggi kira-kira 175 cm. Bagian depan rumah di fungsikan sebagai teras
sekaligus tempat parker sepedah motor. Di teras tersebut terdapat satu set kursi
dan meja yang terbuat dari besi dan di cat warna hijau. Rumah tersebut memiliki
ruang tamu, ruang keluarga, tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ruang makan, dan
dapur. Sarana transportasi yang dimiliki adalh sebuah mobil dan lima buah
sepeda motor keluaran terbaru.
Pak erman adalah seorang pegawai negeri, dan Bu endah seorang guru
PNS. Pendidikan Pak erman S-2, sedangkan Bu endah sedang menempuh
pendidikan S-2. Mereka memiliki dua orang anak yakni weni dan akbar. Weni
58
sedang menempuh kuliahdi fakultas hukum, dan adiknya akbar kelas 3 SMA di
kota Surakarta. Keluarga erman tidak memiliki pembantu rumah tangga.
Perspektif Orang Tua
Menurut penuturan Pak erman, konsep agam islam menjadi acuan dalam
mendidik anak. Oleh karena itu, sedari kecil anak-anak dibiasakan untuk sholat.
Dengan berpegang pada agama, Pak erman berharap anak-anak akan tahu mana
yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Pesan yang sering di
sampaikan pada anak-anak adalah agar menjaga shalata.
Kebiasaan beribadah yang yang dilakukan bersama-sama di rumah adalah
shalat maghrib. Namun keduannya anaknya tidak selalu bisa mengikuti shalat
berjamaah karena melakukan kegiatan di luar rumah.
Lebih lanjut Pak erman menyatakan bahwa di dalam keluarga perlu ada
dua figure yang berbeda, yaitu yang dekat dengan anak dan yang di takuti anak.
Adanya rasa takut anak terhadap orang tua di anggap penting untuk menjaga
kewibawaan orang tua di hadapan anak. Meskipun demikian, pak erman ingin
hubungannya dengan anak dekat.
Sebagai ayah, Pak erman menuturkan bahwa ia berusaha menjadi panutan
bagi putra putrinya dalam menjalin hubungan sosial dengan masyarakat melalui
pemberian contoh. Menurut Pak erman, tindakan memberikan bantuan pada
orang lain tersebut telah dicontoh anak laki-lakinya dengan memberikan bantuan
pada teman-temannya yang mengalami kesulitan.
Menurut Bu endah, orang mau mengambil hak orang lain bisa dis ebabkan
oleh tuntutan dari anak yang berlebihan terhadap orang tua. Agar anak tidak
menuntut terhadap orang tua yang melebihi kemampuan yang dimiliki orang tua,
maka perlu adanya keterbukaan terhadap anak.
59
Terkait dengan sikap terhadap mater, Pak erman mengungkapkan bahwa
orang bekerja untuk mendapatkan rezeki. Namun, Pak erman menyatakan
mengalami kesulitan untuk menjaga diri agar mendapat rezeki yang halal saja.
Orang tua menyampaikan pesan pada anak ketika ada kesempatan makan
bersama atau menonton televisi bersama pada sore atau malam hari. Kesempatan
ini juga di manfaatkan Bu endah untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan oleh
anak di luar rumah.
Ketika berbicara mengenai generasi muda, pak Erman memandang
generasi muda sekarang sudah mulai berkurang etikanya bila dibandingkan
dengan generasi terdahulu. Menurutnya hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak
adanya pelajaran etika disekolah dan teknologi yang semakin canggih.
Penggunaan bahasa jawa dikalangan generasi muda menurut bu Endah
juga sudah menurun dan digantikan dengan bahasa indonesia. bahkan banyak
remaja yang merasa bangga apabila bisa menggunakan bahasi lain selain bahasa
indonesia seperti bahasa inggris , bahasa prancis, dan lain-lain. Ini merupakan
pengaruh dari kecanggihan teknologi.
Berbicara tentang kedua anaknya bu Endah merasakan adanya perbedaan
antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak perempuan lebih mudah diatur
dari pada anak laki-laki.
Dalam menyikapi anak yang mogok sekolah pak Erman dan bu Endah
menggunakan cara yang berbeda. Pak Erman lebih menuntut anak untuk patuh
pada orang tua dan menggunakan otoritasnya pada anak dan berunjung konflik
dengan anak laki-laki. Akibatnya pak Erman dan Akbar menunjukkan sikap tidak
akur kira-kira 3 bulan. Namun sekarang hubungan pak Erman dan Akbar sudah
membaik.
Sikap bu Endah ketika menghadapi konflik dengan anak berbeda dengan
sikap ayah. Bu Endah mencoba memahami keinginan Akbar dan menuruti
60
kemauannya untuk mengikuti pendidikan di sekolah yang menjadi pilihan Akbar.
Dengan menuruti kemauan Akbar bu Endah memamparkan bahwa dikemudian
hari di kemudian hari dapat menuntut Akbar apabila Akbar tidak menunjukkan
sikap yang konsekuaen dengan pilihanya.
Ibu mengungkapkan bahwa anak laki-lakinya sekarang tinggal di kos yang
dekat dengan sekolah. Hal ini dilatarbelakangi oleh seringnya akbar mendapat
panggilan dari sekolah karena sering tidak masuk sekolah. Setelah ditanya pada
akbar ia mengatakan sering terlambat datang kesekolah dan gerbang sekolah
sudah ditutup sehingga ia tidak jadi masuk sekolah.
Bu Endah berharap kedua anaknya nanti dapat menjadi pegawai negri agar
mendapat pensiunan dihari tua. Meskipun pegawai negri gajinya kecil tetapi
memberi rasa anyem. Oleh karena itu ibu berpesan pada anak-anak agar menjadi
pegawai negri dsaja. Boleh berwirausaha tapi harus menjadi pegawai negri
dahulu.
Orang tua menyampaikan pesan pada anak ketika ada kesempatan makan
bersama atau menonton televisi bersama pada sore atau malam hari.
Perspektif anak
Weni menyatakan merasa dekat dengan orang tuanya sedangkan akbar
merasa dekat dengan ibunya tetapi tidak merasa dekat dengan ayahnya.
Ketidakdekatan Akbar dengan ayahnya antara lain disebabkan oleh intensitas
pertemuan dan komunikasi yang sangat sedikit. Menurut Akbar ayah jarang
dirumah dan sering pergi pada saat malam hari dan tidak pernah tahu
keperluannya apa. Kondisi tersebut menyebabkan akbar merasa ayahnya kurang
perhatian kepada dirinya.
Akbar pernah mengalami konflik dengan ayah karena ia tidak mau manut
untuk bersekolh di SMA favorit yang dipilih ayah. Karena merasa dipaksa dalam
memilih sekolah selama di sekolah favorit tersebut akbar membolos selama 3
61
bulan. Aktifitas yang dilakukan ketika membolos adalah menunggu motor yang
dimodifikasi dibengkel dan bermain ps. Koflik dalam memilih sekolah dan
modifikasi motor tersebut berujung pada tidak bicara ayah selama 3 bulan.
Berbeda dengan akbar, weni mau memenuhi keinginan ayah untuk kuliah
difakultas hukum. Bahkan kini dia menyadari bahwa ayahnya telah memilihkan
yang terbaik untuk masa depannya. Ia berupaya mencapai prestasi yang baik dan
diwujudkan dengan nilai IPK yang tinggi.
kedua anak merasa dekat dan dapat berbagi cerita tentang
permasalahannya dengan ibu . meskipun kurangnya bila diceramahi dengan ibu.
Namun akbar mengakui bahwa ia dapat berubah sikap dari mogok sekolah dan
mau sholat karena diceramahi oleh ibu. Sementara weni menyatakan pernah
dimarahi dan di omeli oleh ibu karna melanggar batasan yang telah ditetapkan.
Terkait dengan pengalaman disekolah. Akbar menuturkan bahwa dahulu
ia sering membolos sekolah akibatnya ia sering disindir oleh guru-gurunya ketika
pelajaran berlangsung.
Mengenai kebiasaan-kebiasaan disekolah, akbar menyatakan bahwa
menyontek adalah hal-hal yang biasa dilakukan dengan membuat catatan-catatan
dikertas kecil. Ia menyontek karena tidak belajar atau malas belajar. Tetapi ingin
mendapat nilai bagus. Selain itu ia juga bisa berbohong pada orang tua untuk
urusan sekolah
Ajaran hormat dan rukun masih diterapkan dalam keluarga pak erman
seperti di nyatakan oleh weni ia dilatih untuk saling menghormati .
3. Keluarga Jamari
Keluarga pak jamari tinggal disebuah perkampungan di Surakarta.
Keluarga ini menepati rumah permanen yang memiliki ruang tamu, ruang
keluarga, yang menyatu dengan ruang makan dan dua kamar tidur serta dapur.
62
Disamping tanah terdapat tanah perkarangan yang cukup luas. Tanah perkarangan
tersebut ditanami oleh 10 buah pohon jati dan cabe merah.
Pak jamari memiliki usaha di wonogiri. Tempat yang digunakan untuk
usaha adalah rumah orang tuanya. Pengelolaan dilakukan dirumahnya dengan
adiknya, sehingga pak jamari ke wonogiri dua hari sekali. Ketika pergi ke
wonogiri pak jamari membawa sekotak telur ayam berisi 15 kg untuk menyuplai
saudaranya yang membuka warung makan. Istrinya, bu tika seorang guru SMA di
Surakatrta. Mata pelajaran yang di ampuh adalah PKN. Mereka memiiki 2 anak
yakni Emir dan Tiara. Emir sekarang sudah kuliah di pariwisataan mengambil
bidang kapal pesisir. Tiara masih duduk dikelas 1 SMAN di Surakarta.
Persepektif Orang Tua
Menurut penuturan pak jamari, ia berharap anak-anaknya dapat menjadi
anak yang saleh. Untuk itu ia mengajarkan sholat pada anak sejak masih SD,
meskipun anaknya baru cukup teratur sholat setelah mencapai akhir balig. Hal
lain yang di tanggap penting adalah menanamkan tanggung jawab pada anak.
Sebagai orang tua pak jamari dan bu tika melakukan pengawasan yang
ketat terhadap anak ketika ia berada dirumah. Selain itu pemantauan terhadap
anak juga dilakukan terhadap anak juga dilakukan dengan memanfaatkan sarana
telekomunikasi yakni telepon seluler. Dengan cara tersebut orang tua ingin
mengetahui keberadaan ank di luar rumah maupun aktifitas yang sedang
dilakukan, tetapi tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh anak di ungkapkan
pada orang tuanya.
Sementara itu terkait dengan pergaulan remaja sekarang ini, pak jamari
dan bu tika menyatakan memiliki kekawatiran terhadap model seks bebas. Untuk
mengatisipasi agar anak tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas, pak jamari
mengingatkan pada anak laki-lakinya agar tidak pacaran dahuluselama masih
kuliah. Anak baru boleh pacaran abpabila sudah lulus kuliah dan bekerja. Pesan-
63
pesan tentang tidak boleh pacaran ini disampaikan dengan cara membesarkan hati
anak.
Dalam keluarga pak jamari anak dilibatkan dalam tugas-tugas rumah sejak
SD. Misalnya : Emir mendapat tugas menyapu rumah dan membersihkan kamar
mandi. Sedangkan tiara mendapat tugas mencuci piring.
Kegiatan berkumpul bersama keluarga biasanya dilakukan pada sore hari
untuk sholat magrib berjamaah dan malam hari menonton televisi bersama setelah
anak-anak selasae belajar.
Didalam keluarga komunikasi dilakukan dengan menggunakan bahasa
jawa dan bahasa indonesia. Istilah bahasa jawa yang mengandung unsur
menghormati tetap dipertahankan dalam komunikasi keluarga. Bahasa indonesia
digunakan bercampur dengan istilah-istilah jawa tersebut. Khusus dengan
berkomunikasi dengan nenek dan kakek dari ibu yang kebetulan tinggal didepan
rumah mereka, anak-anak diwajibkan menggunakan bahasa jawa krama.
Perspektif anak
Menurut Tiara usaha yang dikelola pak jumari di Wonogiri adalah
persewaan PS. Jumlah PS yang dimiliki ada 5 buah. Dari usaha tersebut pak
jamari memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk membiayai sekolah
anaknya.
Menurut penuturan Emir, ayah mulai mengerjakan sholat ketika ia sudah
duduk di bangku SMA. Sebelum pak jamari belum melakukan kewajiban sholat
lima waktu. Demikian pula halnya dengan ibu.
Dalam hal kedekatan, tiara maupun Emir merasa lebih dekat dengan
ibunya daripada ayahnya. Dalam keseharian emir menyatakan jarang bersama-
sama dengan ayah. Dengan ibu emir bisa berbagi cerita namun tidak demikian
dengan ayah.
64
Dimasa kecil, Emir memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan
dengan ayah yakni sering dimarahi bila pulang terlambat. Bahkan Emir memiliki
pengalaman pernah di pukul oleh ayahnya memakai tangan, sapu dan kayu karena
bermain bersama teman-temannya tanpa izin orang tuanya. Padahal dirumah
diterapkan aturan bila bermain harus ijin orang tua dan tahu waktu. Apabila
melanggar aturan tersebut ayah memberikan hukuman.
Pengalaman pernah dipukul oleh ayah, menjadikan Emir memilih untuk
berbohong pada orang tua apabila ia melakukan pelanggaran terhadap aturan yang
telah ditetapkan oleh orang tua. Seperti merokok bersama teman-teman , makan
dan minum pada bulan ramadhan karena tergoda dengan teman.
Didalam keluarga terdapat pembagian tugas yakni emir menyapu rumah
dan halaman, membersihkan kamar mandi dan memotong rumput. Tiara
mendapat tugas mencuci piring, ayah membersihkan sepeda motor dan ibu
memasak.
Terkait dengan kebersamaan, tiara mengungkapkan bahwa ia menikmati
kebersamaan dirumah yang dilakukan ketika menonton televisi bersama pada
malam hari setelah belajar. acara yang ditayangkan di televisi biasanya menjadi
bahan perbincangan bersama. Sering kali orsng tua juga menyampaikan nasihat-
nasihat dengan memanfaatkan tayangan televisi sebagai contoh.
Dalam berkomunikasi dengan orang tua tiara menyatakan dilarang oleh
orang tua untuk menggunakan kata “kowe”. Kata “kowe” harus digantikan
dengan penyebutan papa mama, kalau tidak maka akan ditegur oleh orang tua.
Dalam keluarga orang tua juga mengajarkan sifat hormat. Hormat dimaknai
sebagai menghargai orang lain meskipunorang lain itu lebih kecil dan berperilaku
sopan. Bentuk perilaku hormat adalah manut (patuh) bila diperintah oleh orang
tua.
Ketika dinyatakan pendapatnya tentang menyontek, baik tiara maupun
emir menyatakan tidak apa-apa. Meskipun berulang kali memiliki pengalaman
65
tentang menyontek. Emir pernah merasa menyesal tapi penyesalan itu hanya
bersifat sebentar sehingga kebiasaan menyontek masih dilakukan. Menurut emir
menyontek merupakan bagian dari usaha untuk meraih nilai nilai yang bagus.
kalau nilainya tidak bagus akan dimarahi oleh orang tua. Tiara juga
mengungkapkan hal yang senada.
Profesi yang ingin dijalani oleh tiara dimasa depan adalah menjadi
reporter. Untuk meraih cita-citanya itu dia ingin menguasai bahasa inggris
dengan baik. Pertimbangan memilih profesi reporter karena ingin memiliki
banyak pengalaman sedangkan besarnya gaji itu urusan kedua. Sementara itu
emir ingin menjadi karyawan dikapal pesiar karena karyawan kapal pesiar bergaji
besar.
4. Keluarga Winarto
Keluarga winarto menempati rumah yang terletak diperkampungan,
pinggiran kota surakarta. Bangunan rumahnya terbuat dari tembok dan sudah
bercat. Bagian dalam rumah terdiri dari ruang tamu dan dua kamar tidur serta
dapur.
Pak winarto bekerja sebagai penarik becak dan buyeni sebagai ibu rumah
tangga. Pak winarto dan buyeni memiliki anak 3. Dua laki-laki dan satu
perempuan. Anak pertama awang berusia 18 tahun dan telah lulus SMA. Anak
kedua Banu berusia 13 tahun dan duduk di SMP swasta kelas 1 dan anak bungsu,
Reni masih berusia 1,5 tahun.
Perspektif Orang Tua
Selama anak bersekolah di TK ibu mengecek pelajaran anak di sekolah
dan mencari tahu apa yang dilakukan anak-anaknya disekolah. Dengan cara
seperti itu ibu dapat mengetahui kejadian-kejadian pada anak sekolah. Bu Yeni
rutin mendampingi anak dalam belajar. Menurut pak winarto pendampingan
perlu dilakukan karena orang tua kwatir bila tidak didampingi anak tidak mau
66
bertanya ketika mengalami kesulitan. Dengan pendampingan tersebut orang tua
dapat segera mengetahui kesulitan belajar yang dialami anak.
Pak winarto dan bu yeni meminta awang untuk memberikan contoh pada
adik-adiknya dalam hal sholat dan bermain. Orang tua berpesan pada anak agar
tahu dan menaati batasan waktu dalam bermain. Bila pada waktunya anak pulang
tetapi anak belum pulang maka pak winarto akan berkeliling mencari anaknya.
dan menyuruhnya pulang. Setelah anak memiliki HP maka orang tua dapat
menghubungi melalui SMS.
Ibu memberikan pengertian pada anak tentang kondisi ekonomi orang
tuanya dan anak dapat memahami. Bila anak-anak mengimgimkan sesuatu, orang
tua menyarankan untuk menabung dahulu.
Ketika orang tua mengalami kesulitan ekonomi dan terpaksa menunggak
pembayaran biaya sekolah, biasanya anak memprotes orang tuanya. Menghadapi
situasi seperti ini maka orang tua memahamkan pada anak bahwa orang tua
sedang mengusahakan agar dapat membayar. Namun orang tua juga
mengingatkan bahwa banyak anak lain yang kehidupannya lebih sulit dari yang
mereka alami.
Pada kedua anak laki-lakinya pak winanto dan bu yeni tetap memberikan
batasan-batasan dan tidak terlalu membebaskan dalam bermain. Contoh anak
boleh menginap dirumah teman dengan seijin orang tuanya.
Dalam kehidupan sehari-hari anak bersikap nerima. Mereka tidak pernah
protes terhadap makanan yang disediakan dirumah oleh ibu. Banu yang lebih
suka makan belut biasanya mencari belut sendiri disawah.
Awang dan banu terbiasa bangun pagi ketika subuh kemudian sholat
subuh, setelah sholat subuh anak-anak membantu orang tua dahulu lalu bersiap
siap ke sekolah. Sholat jemaah kadang-kadang dilakukan dirumah
67
Sejak kelas 4 SD awang sudah mau membantu ibu mencuci piring,
menyapu dan mengepel rumah. Sementara banu membantu membantu
memasukkan ayam kekandang, siang hari sepulang sekolah awang dan banu
membantu mengasuh adik rini.
Untuk berkomunikas dengan orang tua anak menggunakan bahasa jawa
ngoko dan krama. Orang tua tetap menggunakan bahasa jawa karena lingkungan
sekitar masih menggunakan bahasa jawa.
Sebagai orang tua, mereka berharap anak-anak dapat memiliki kehidupan
yang lebih baik daripada orangtuanya, dalam artian dapat hidup lebih layak. Oleh
karena itu, orang tua mengusahakan agar biaya yang dibutuhkan anak untuk
bersekolah dan mencari pekerjaan dapat tersedia.
Pesan-pesan yang disampaikan pada anak, yang utama adalah jangan
melupakan Yang Kuasa, yang telah membuat hidup,jangan lupa shalat, ngajeni
pada orang yang tua, dan rukun dengan saudara-saudaranya. Dalam menerapkan
ajaran rukun, bu Yeni mulai mengajarkan dari hal-hal yang kecil, misalnya kalau
ada makanan dibagi tiga, bila kaka ingin menggunakan barang milik adiknya
disuruh minta izin dahulu pada adik dan sebaliknya, bila menonton TV
bergantian. Penghormatan pada orang yang lebih tua diwujudkan dengan
menggunakan bahasa jawa krama, dan mengantar saudara berangkat kerja bila
diminta.
Dalam mendisiplinkan anak yang melanggar aturan, orang
tuamenggunakan cara memarahi mengomeli, dan kadang-kadang dihukum tidak
diberi uang saku. Bila Bu Yeni memberikan hukuman pada anak-anak yang
sampai menyakiti anak, maka pak Winarto akan menegur Bu Yeni. Tetapi hal ini
belum perna terjadi. Hal yang paling sering dilakukan Bu Yeni adalah memarahi
anak dengan mengomel.
68
Perspektif Anak
Awang mengatakan pesan yang sering disampaikan orang tua adalah
“jangan melihat ke atas, tetapi lihatlah ke bawah. ” Artinya jangan berkhayal,
namun lebih melihat kepada realita yang sudah jelas bisa diamati manfaatnya.
Terhadap saudara atau adik, orang tua berpesan agar ia bersikap adil, saling
memberi dan menjauhi perselisihan. Selain itu, esan lain yang disampaikan
adalah hormat kepada tetangga. Sikap hormat itu tercermin dalam perilaku
mengucapkan salam terlebih dahulu jika bertemu tetangga, menggunakan bahasa
yang halus ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.
Orang tua mengajarkan kepada anak tentang pakewuh (tidak enak hati),
rukun dan wedi (takut). Awang merasa pakewuh jika tidak membantu tetangga
yang sedang punya hajatan atau kesibukan. Hal ini juga mencerminkan sikap
rukun. Adapun contoh perilaku rukun dengan saudara-saudara adalah mengikuti
arisan keluarga yang diselenggarakan sebulan sekali. Wedi atau sikap takut
menjadi landasan sikap hormat terhadap orang tua agar tidak mendapat karma.
Dalam hal kedekatanya dengan orang tua, awang merasa lebih dekat
dengan ibu. Hal ini disebabkan keberadaan ayah lebih banyak di luar rumah
daripada bersama anak-anaknya. Ayah biasanya ada di rumah ketika pagi hari
dan malam hari. Oleh karena itu, waktu berkumpul dengan keluarga biasanya
malam hari saat menonton TV. Ketika menonton TV, orang tua memberi
komentar terhadap acara yang ditayangkan dan menyampaian pesan pada anak,
yakni apa yang baik di acara TV dapat ditiru sedangkan yang tidak baik jangan
ditiru.
Selama ini ada satu peristiwa yang sangat berkesan bagi Awang mengenai
kebersamaan dalam keluarga, yaitu ketika membangun rumah. Seluruh anggota
keluarga bahu-membahu membantu mengerjakannya. Dalam kehidupan sehari-
hari, Awang membantu pekerjaan rumah orang tua dalam melakukan pekerjaan
sehari-hari, seperti mencuci piring, mengasuh adik, menyapu lantai, dan menguras
bak mandi.
69
Peristiwa lainnya yang berkesan bagi awang adalah ketika ia masih SD, ia
pergi dan pulang terlalu malam. Ayah pernah memukulnya hingga kepalanya
berdarah. Namun demikian, ayah minta maaf dan awang berjanji tidak akan main
sampai larut. Setelah itu, jika ia meminta sesuatu yang tidak disetujui orang tua
seperti mainan makan ayah tidak pernah memukul lagi dan hanya menjewer,
mencubit dan kemudian menasehati.
Perilaku curang yang pernah dilakukan adalah berbohong tentang harga
buku pada orang tua. Hal ini disebabkan uang jajan yang diberikan orang tua
dirasakannya masih kurang. Namun demikan, orang tua ternyata mengetahuinya,
sehingga pada waktu lain ketika ia jujur meminta uang pada orang tua, justru
orang tua mengurangi jumlah uang yang diminta. Selain itu, kecurangan juga
dilakukan ketika menghadapi ujian akhir nasional SMA. Awang menyatakan
pernah menyontek bersama-sama dengan temannya.
Awang bercita-cita menjadi tentara yang menurutnya memiliki
kewibawaan dan gaji yang mencukupi. Dengan gaji yang diperolehnya nanti, ia
ingin membahagiakan orang tua, membiayai sekolah adiknya, dan bersedekah.
5. Keluarga Nurdin
Keluarga nurdin tinggal di sebuah kos yang terletak di ujung gang. Di
tempat itu terdapat 10 kamar dan sebuah dapur. Keluarga Nurdin menempati tiga
buah kamar kos. Di dpan salah satu kamar terdapat kursi berwarna coklat yang
terbuat dari kayu dan biasa digunakan untuk menerima tamu. Kamar-kamar
tersebut menghadap ke tanah kosong yang digunakan sebagai tempat menjemur
pakaian. Masing-masing kamar kos berukuran 3x3m, bercat putih. Dalam salah
satu kamar terdapat kasur, televisi, lemari, meja kecil berwarna cokelat yang di
atasnya terdapat gula, kopi, teh dan setrika. Suasana di sekitarnya cukup ramai,
sering kali terdengar suara lagu-lagu yang dinyalakan dengan volume yang keras.
Pak Nurdin bekerja sebagai sopir angkutan kota. Apabila mobil
angkotnya rusak dan diperbaiki di bengkel, maka Pak Nurdin tidak bekerja. Tidak
setiap hari Pak Nurdin ulang ke rumah terutama apabila ia tidak memiliki uang.
70
Istrinya, Bu Wati bekerja serabutan sebagai buruh cuci dan kadang-kadang
membantu memasak tetangga yang memerlukan. Pendidikan terakhir Pak Nurdin
adalah SMP dan Bu Wati tidak lulus SD, sehingga ia tidak bisa membaca dan
menulis.
Keluarga Nurdin terdiri dari tujuh orang, yaitu Pak Nurdin dan Bu Wati,
kedua orang tua Pak Nurdin, dan tiga anak laki-laki yakni Ega kelas 3 SMA, Ari
kelas 1 SMA, dan Anton masih TK.
Perspektif orang tua
Melalui pengasuhan dalam keluarga, Pak Nurdin menyampaikan unggah-
ungguh kepada anak-anaknya. Misalnya, bersukap hormat pada tetangga yang
diwujudkan dengan mengatakan permisi bila mau lewat dan ada orang duduk di
dekatnya, menyapa orang yang dikenal, dan bila dengan orang yang tidak dikenal
cukup tersenyum saja.
Kepada kedua anaknya yang sudah besar yakni Ega dan Ari, orang tua
berpesan agar mereka menjauhi narkoba, minuman keras, dan teman yang
berperilaku tidak baik.
Sebagai orang tua, mereka berharap anak-anaknya belajar dengan
sungguh-sungguh agar dapat mandiri dan memiliki kehidupan yang lebih baik dari
orang tuanya. Dalam hal belajar, Bu Wati sering mengingatkan anak untuk
belajar. Namun demikian, menuru Bu Wati, anak jarang mau belajar kecuali
mendekati ujian. Jika diingatkan oleh Bu Wati, anak menjawab sudah belajar atau
tidak ada PR.
Orang tua dalam hal ini Pak Nurdin berharap agar anak memiliki sikap
bakti kepada orang tuanya. Perilaku berbakti yang dimaksud disini adalah ketika
anak disuruh melakukan sesuatu maka anak harus patuh. Untuk menyampaikan
pesan-pesan tersebut, Pak Nurdin menggunakan waktu senggang, sambul tidur-
tiduran dan bercanda. Anak juga dinasehati agar menjalani sekolah dengan benar,
dan memanfatkan waktu dengan baik serta mengerjakan shalat. Pk Nurdin
menganggap anak-anak ketika diberi nasihat mau mendengarkannya. Pak Nurdin
mengatakan pada anak akan menghajar anaknya apabila ketahuan tidak patuh.
71
Dalam keluarga Nurdin, semua tugas rumah dilakukan oleh ibu dan tidak
melibatkan anak. Bu Wati menyatakan bila Ega atau Ari diminta membantu
sering kali menolak dengan alasan lelah. Anak pertama, Ega terkadang masih
mau membantu, namun anak kedua, Ari hanya bersedia membantu bila diberi
upah.
Perspektif anak
Ega dan Ari mengatakan bahwa orang tua sering menasehati mereka agar
rajin belajar, shalat, jujur, taat pada orang tua, hati-hati dalam pergaulan sehingga
tidak terpengaruh teman yang tidak baik, dan jangan minum-minuman keras.
Namun dalam menyampaikan pesan agar belajar, orang tua hanya sekedar
menyuruh saja tetapi tidak melakukan pendampingan. Dengan kondisi tersebut,
Ega masuk kamar apabila dusuruh belajar. Di dalam kamar bermain HP dan
mengatakan sudah belajar bila di tanya oleh ibunya.
Orang tua juga mengajarkan agar anak bersikap hormat kepada orang tua
dengan mengikuti perkataan orang tua, mematuhi peraturan di rumah dan
berpamitan bila akan pergi. Ega menyatakan bila ia menghormati orang tuanya
dengan menuruti perkataan orang tua dan membantu orang tua. Selama ini yang
dilakukan Ega untuk membantu orang tua adalah membersihkan rumah dan
mencuci baju. selain itu, sikap hormat diwujudkan dengan menghargai orang lain
melalui cara berbicara yang sopan dan menggunakan bahasa jawa yang halus.
Sementara Ari mengatakan dalam keseharian, ia tidak membantu tugas-
tugas rumah tangga, dan hanya mau melakukan apabila ada timbal baliknya
seperti mendapatkan uang jajan.
Dalam keluarga, orang tua juga mengajarkan sikap rukun melalui berbagi
makanan, bersatu, dan tidak bertengkar. Namun Ega dan Ari merasa dirinya
diperlakukan tidak adil karena adiknya yang paling kecil diberikan uang yang
lebih banyak. Selain tentang rukun, orang tua juga menyampaikan harapannya
pada anak agar cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan. Dalam hal kedekatan,
72
Ega dan Ari merasa lebih dekat dengan ibu, dapat bercerita tentang permasalahan
yang dihadapinya termasuk menyampaikan keinginan membeli sesuatu. Ega dan
Ari merasa kiurang dekat dengan ayahnya dan memprotes ayahnya yang sering
tidak pulang kerumah.
Orang tua juga melatih anak untuk berperilaku jujur dengan mengambil
sendiri uang saku yang diperlukan pada suatu tempat yang telah disediakan.
Tindakan yang dilakukan oleh orang tua apabila anak berperilaku yang tidak
sesuai dengan harapan dan aturan yang telah ditetapkan orang tua, seperti
mendapatkan nilai jelek atau pulang terlalu malam adalah dimarahi. Agar
terhindar dari kemarahan orang tuanya maka Ega dan Ari memilih untuk bersikap
tidak jujur. Ega dan Ari juga menyatakan pernah berbohong pada ibu agar bebas
bermain dan mendapatkan uang dari ibu.
C. Pembelajaran dari Potret Keluarga
Dari gambaran lima keluarga yang telah dipaparkan dibagian sebelumnya
dapat dipelajari tentang harapan orang tua kepada anak, upaya pencapaian harapan
kepada anak, nilai-nilai yang disosialisasikan kepada anak, metode sosialisasi
yang dilakukan orang tua, dan tanggapan anak terhadap sosialisasi nilai yang
dilakukan orang tua.
1. Harapan Orang Tua pada Anak
Terdapat dua harapan utama yang muncul dari orang tua dari semua
keluarga yang diwawancarai. Harapan tersebut dapat dideskripsikan sebagai
berikut.
Pertama, orang tua mengharapkan anaknya menjadi anak yang saleh.
Adapun ciri-ciri anak yang saleh yang dipaparkan oeh orang tua adalah yang
menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan agama. Harapan tersebut terungkap
dalam semua keluarga namun dengan kriteria yang berbeda-beda.
73
Kedua, orang tua mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses
ketika dewasa nanti. Kriteria sukses tersebut berbeda-beda antara keluarga yang
satu dengan keluarga yang lain.
Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa para orang tua
mengharapkan anak-anaknya menjadi pribadi saleh yang berpegang teguh pada
ajaran agama, dan bila dewasa nanti dapat meraih kesuksesan sehingga memiliki
penghidupan yang lebih layak dan kehidupan yang lebih baik daripada orang
tuanya. Harapan yang lebih layak terutama diungkapkan oleh orang tua yang
memandang penghidupannya masih kurang layak.
2. Peran Orang Tua dan Harapan Anak
Melalui proses pengasuhan yang dijalankan, orang tua berupaya mencapai
harapanyya pada anak dengan berbagai cara. Cara-cara yang digunakan oleh
orang tua terkait erat dengan pandangan orang tua mengenai tugas-tugas yang
mesti dijalankan dalam mengasuh anak. Dari masing-masing keluarga di atas,
dapat dipaparkan pandangan tentang peran orang tua dalam mewujudkan harapan
pada anak adalah sebagai berikut.
Pak Karim dan Bu Karina menyatakan bahwa tugas orang tua adalah
mendampingi anak menuju masa dewasanya. Anak dididik agar dapat
menemukan jatidirinya dan mampu menjadi dirinya sendiri. Dengan pandangan
seperti itu, maka Pak Karim dan Bu Karina memberi kesempatan pada anak untuk
memutuskan sendiri pilihan profesi yang akan ditekuni anak. Dalam hal ini tugas
orang tua memberikan masukan dan pertimbangan atas pilihan yang telah di buat
anak. Orang tua juga memfasilitasi kebutuhan bagi anak untuk mencapai cita-
citanya seperti memenuhi keperluan sekolah anak dan mengikutsertakan
bimbingan belajar ketika hal itu dirasakan perlu bagi anak.
Pak Erman dan Bu Endah memandang tugas orang tua adalah
mengarahkan anak untuk menjadi orang yang sukses. Pak Erman menjalankan
peran sebagai ayah dngan menetukan pilihan bagi anak yang dipandangnya baik.
Misalnya, Pak Erman meminta putrinya Weni untuk kuliah di Fakultas Hukum,
74
padahal sebenarnya Weni ingin kuliah di Fakultas Ekonomi. Pak Erman juga
meminta Akbar untuk bersekolah di SMA favorit tempat dahulu beliau bersekolah
padahal Akbar ingin di SMA lain tempat teman-teman dekatnya bersekolah. Bu
Endah memiliki sikap yang berbeda dengan Pak Erman. Bu Endah cenderung
menuruti kemauan anak dan mengharapkan anak dapat konsekuen dengan
pilihannya. Dengan menuruti kemauan anak tersebut, Bu Endah menyatakan
dapat meunutut anak bila dikemudian hari tidak konsekuan dengan pilihannya.
Pak Jmari dan Bu Tika menjalankan peran orang tua sebagai pendamping
anak untuk mencapai kesuksesan. Pak Jamari dan Bu Tika membantu Emir dalam
menentukan tempat kuliah setelah pendidikan SMA nya selesai. Bidang
pariwisata dengan konsentrasi pada kapal pesiar dipilih Emir karena profesi
tersebut menjanjikan penghasilan yang besar dan kesempatan untuk pergi ke
tempat-tempat yang jauh terbuka luas. Dengan gaji yang besar Emir dapat
mewujudkan keinginan-keinginannya, sebagaimana juga sering disampaikan oleh
ayah. Sementara adinya, Tiara ingin menjadi reporter agar kaya pengalaman,
sedangkan gaji menjadi urusan kedua. Pemilihan profesi ada Emir dan Tiara
ditentukan oleh anak sendiri dan orang tua membantu memberikan gambaran
tentang profesi tersebut.
Pak Winarto dan Bu Yeni memandang tugas mengasuh anak merupakan
tanggung jawab orang tua agar kelak penghidupannya dapat lebih layak. Peran
orang tua adalah mendidik anak agar dapat memahami kondisi orang tuanya dan
mendorong anak agar dapat mencapai kehidupan yang lebih layak. Banu memilih
menjadi tentara sesuai dengan harapan orang tuanya. Karena denga memiliki
pekerjaan yang berpenghasilan tetap maka banu akan dapat membahagiakan orang
tuanya yang selama ini telah hidup rekasa. Meskipun hidupserba kekurangan,
orang tua mengajarkannya untuk selalu melihat kebawah agar tetap dapat
bersyukur pada Allah SWT.
Pak Nurdin dan Bu Wati memandang tugas orang tua adalah mendidik
anak agar berperilaku baik dan menjauhi perilaku yang tidak baik seperti
75
menggunakan narkoba dan minum-minuman keras. Dengan pandangan tersebut,
fokus perhatian Bu Wati adalah menjaga anak agar berperilaku baik dalam arti
tidak bermasalah di sekolah maupun di lingkungan sekitar rumah. Pak Nurdin
dan Bu Wati berharap agar anaknya memiliki kehudupan yang lebih layak
daripada orang tuanya, namun kedua anaknya yang sudah remaja yakni Ega dan
Ari belum memiliki gambaran yang jelas tentang profesi yang ingin dijalaninya di
masa depan.
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua memiliki cara
yang berbeda-beda dalam menjalankan peran sebagai orang tua. Pak Karim dan
Bu Karina menjalankan peran sebagai orang tua dengan cara mendidik anak untuk
menjadi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi
anak dalam mengambil keputusan untuk kehidupanya. Kesempatan untuk
mengambil keputusan sendiri tersebut merupakan proses pembelajaran yang
penting bagi anak agar kelak anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab
dan mandiri. Tugas orang tua adalah membantu memberikan tambahan wawasan
bagi anak sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan. Pembelajaran bagi
anak untuk mengambil keputusan sendiri juga dapat dipetik dari potret keluarga
Pak Jamari dan Bu Tika, serta Pak Winarto dan Bu Yeni.
Dari potret keluarga Pak Erman dan Bu Endah dapat dipetik pelajaran
bahwa keinginan orang tua untuk mengarahkan anak yang terlampau besar, tanpa
disadari telah mengambil hak anak untuk belajar mengambil keputusan bagi
kehidupannya. Anak kurang memiliki kesempatan untuk memutuskan bagi
dirinya sendiri, padahal dialah yang akan menjalani pilihan tersebut. Anak
diharapkan patuh pada orang tua termasuk patuh juga terhadap pilihan-pilihan
ayah yang dipandang baik untuk anak. Cara seperti ini dapat menimbulkan
konflik antara orang tua dan anak apabila anak tidak dapat menerima keputusan
orang tua tersebut.
76
3. Nilai-nilai yang Disosialisasikan pada Anak
Nilai-nilai yang dianggap penting dan ingin ditanamkan orang tua pada
anak biasanya dikonstruksikan sebagai harapan-harapan mereka terhadap perilaku
maupun profil anak secara keseluruhan. Penyampaian nilai tersebut dapat
diketahui antara lain melalui pesan-pesan yang sering disampaikan orang tua
dalam menasehati anak, pola interaksi yang terapkan dengan anak. Berikut ini isi
pesan yang sering disampaikan orang tua kepada anak-anaknya.
Pertama, rajin beribadah. Pesan untuk rajin beribadah disampaikan oleh
orang tua kepada anak dengan harapan agar anak menjadi anak yang saleh.
Bentuk beribadah yang ditekankan oleh orang tua berbeda-beda.
Kedua, bersikap jujur. Semua keluarga menyampaikan pesan moral untuk
bersikap jujur kepada anak-anaknya. Akan tetapi, implementasi pesan tersebut
dan cara-cara yang digunakan oleh orang tua untuk mengontrol sikap jujur yang
dimiliki anak berbeda-beda.
Ketiga, bersikap hormat kepada yang lebih tua. kata hormat memiliki
beragam makna. Hormat dimaknai sebagai kesediaan membantu meringankan
beban tugas orang tua. Dengan pemaknaan tersebut maka anak yang
menghormati orang tua harus bersedua membantu orang tua untuk melakukan
tugas-tugas orang tua di rumah yang telah di delegasikan pada anak.
Makna lain dari hormat adalah andhap asor, artinya dalam berelasi dengan
orang lain menunjukkan sikap rendah hati. Sikap rendah hati tersebut
diimplementasikan misalnya memanggil saudara yang usianya lebih muda tetapi
dari silsilah keluarga terhitung lebih tua dengan panggilan yang mengandung
unsur hormat seerti mas,mbak.
Terkait dengan pengajaran sikap hormat, ditemukan tiga pola dalam
penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi orang tua dengan anak, yakni:
a) Bahasa jawa (krama alus)
77
b) Bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa jawa namun tetap
mempertahankan istilah-istilah tertentu yang mengandung penghormatan
c) Bahasa Indonesia dengan nada yang rendah.
Keempat, rukun dengan saudara dan masyarakat. Menurut anak , sikap
rukun diajarkan orang tua dengan meminta anak untuk mau berbagi barang dan
makanan yang dimiliki dengan saudara, saling membantu saudara ketika
membutuhkan, misalnya menghindari pertengkaran dengan saudara dan bersikap
mengalah pada adik
Kelima, pencapaian prestasi belajar. Pesan untuk rajin bersekolah dan
belajar juga merupakan pesan yang umum disampaikan orang tua pada anak.
4. Metode Sosialisasi Nilai
a) Memberikan nasihat.
Metode ini dilakukan dengan cara menyampaikan nilai-nilai yang ingin
disosialisasikan pada anak dalam suatu komunikasi yang bersifat searah.
Orang tua berperan sebagai komunikator atau pembawa pesan, sedangkan
anak berperan sebagai penerima pesan. Metode pemberian nasihat merupakan
metode yang paling umum diterapkan oleh orang tua didalam keluarga.
b) Memberikan Contoh.
Dalam metode ini , orang tua melakukan terlebih dahulu perilaku yang
mengandung nilai moral yang akan disampaikan pada anak. Dengan
demikian, ketika orang tua menyampaikan pesan nilai moral pada anak, orang
tua dapat merujuk pada perilaku-perilaku yang telah dicontohkannya.
Memberikan contoh terus-menerus yang diikuti dengan pemantauan pada
perilaku anak dapat membentuk kebiasaan pada anak.
c) Berdialog.
Dalam metode ini orang tua menyampaikan nilai-nilai pada anak melalui
proses interaksi yang bersifat diologis. Orand tua menyampaikan harapan-
harapannya pada anak dan bentuk-bentuk perilaku yang dilakukan oleh anak.
Metode ini telah terbukti dapat mendorong tubuhnya kesadaran dalam diri
78
anak akan pentingnya nilai moral yang disampikan orang tua bagi kepentingan
anak sendiri. Atau dengan kata lain, metode ini mendukung berkembangnya
penalaran moral pada diri anak.
d) Memberikan Instruksi. Dimana orang tua yang memberikan perintah pada
anak untuk melakukan suatu tindakan padahal orang tuanya tidak mau
melakukannya.
e) Pemberian Hukuman. Dalam rangka melakukan sosialisasi pada anak,
adakalanya orang tua menggunakan hukuman sebagai cara untuk
mendisiplinkan anak apabila berperilaku kerang sesuai dengan nilai-nilai yang
disosialisasikan
5. Tanggapan Anak Terhadap Nilai-Nilai yang Disosialisasikan oleh Orang
Tua
Relasi orang tua anak merupakan proses timbal balik, artinya antara orng
tua dan Anak saling mempengaruhi. Jadi ketika orang tua melakukan sosialisasi
nilai, maka anak akan memberikan respons terhadap nilai-nilai yang
disosialisasikan tersebut.
Penerimaan anak terhadap pasan orang tua dengan penuh kesadaran
menunjukkan bahwa anak menyadari penetapan standar dalam berperilaku
dilakukan untuk kebaikan diri sendiri bukan semata-mata untuk kepentingan
orang tua
Sikap lain yang ditunjukkan oleh anak adalah belum menerima
sepenuhnya. Dalam jenis penerimaan ini, pesan yang disampaikan oleh orang tua
hanya berhenti pada tataran kognisi anak dan belum terimplementasi dalam
perilakunya sehari-hari. Hal ini dapat menjadikan anak mudah untuk melakukan
pelanggaran-pelanggaran.
Melakukan sosialisasi nilai terhadap anak memang merupakan salah satu
tugas penting yang dilakukan oleh orang tua dalam keluarga. Cara-cara yang
digunakan oleh orang tua dalam melakukan sosialisasi dapat berbeda-beda antara
orang tua yang satu dengan orang tua yang lain. Misalnya pemberian nasihat
79
yang berulang-ulang terhadap anak, ternyata menimbulkan rasa tidak nyaman
pada diri anak.
D. Pembelajaran Tentang Pendidikan Nilai dalam Keluarga
Secara umum terdapat lima nilai yang menjadi prioritas untuk
disampaikan oleh orang tua pada anak melalui pengasuhan, yakni pentingnya
beribadah, jujur, hormat, rukun dan prestasi belajar. Akan tetapi, keberhasilan
orang tua dalam menyampaikan nilai-nilai tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh
isi nilai yang disampaikan, tetapi juga faktor-faktor lain seperti relasi orang tua-
anak dan metode yang digunakan untuk menyampaikan nilai kepada anak. Agar
dapat diperoleh gambaran yang lebih komprehensif, maka akan dibahas masing-
masing nilai yang dijadikan prioritas.
Pertama, pentingnya beribadah. Semua orang tua menyatakan pentingnya
mengajarkan beribadah kepada anak sesuai dengan harapan yang mereka miliki,
yakni menjadi anak yang soleh. Namun dalam penerapan sehari-hari, terdapat
perbedaan antara keluarga satu dengan keluarga yang lain dalam ketaatan
beribadah.
Kedua, nilai jujur. Para orang tua menyampaikan harapannya agar anak
bersikap jujur melalui pemberian nasihat pada anak. Meskipun semua anak
mendapatkan nasihat dari oerng tua agar bersikap jujur, namun dalam
kenyataannya tidak semua anak dapat bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari.
Dalam artian, anak mengatakan berperilaku jujur kepada orang tuanya, namun
mau melakukan tindakan tidak jujur ketika diluar pengawasan orang tua.
Ketiga, nilai hormat. Para orng tua mengharapkan anka mampu
menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua, terutama orang tua. Rasa
hormat tersebut diimplementasikan dengan membiasakan anak menggunakan
bahasa jawa krama alus, mempertahankan istilah-istilah tertentu dalam bahasa
jawa ketika komunikasi dengan orang tua dilakukan dengan bahasa Indonesia.
Rasa hormat juga diajarkan pada anak dengan membiasakan anak untuk
80
menunjukkan sikap-sikap tubuh tertentu seperti mengangguk, membungkukan
badan, atau menyapa bila berpapasan.
Keempat, nilai rukun. Para orang tua berupaya menumbuhkan sikap rukun
pada anak dngan membiasakan anak berbagi, bersedia mengalah, tolong-
menolong, dan menjauhi perselisihan sesama saudara. Aabila dalam keluarga
para anggotanya dapat bersikap rukun, maka perasaan tenteram akan apat
dirasakan oleh keluarga tersebut. Sebaliknya, sikap-sikap yang mengedapankan
kepentingan pribadi semata tanpa menghiraukan kepentingan orang lain dapat
menimbulkan konflik antar anggota keluarga.
Kelima, nilai pencapaian prestasi. Kata prestasi dimaknai oleh orang tua
sebagai mendapatkan peringkat disekolah. Hal ini berimplikasi pada munculnya
tuntutan pada anak untuk mendapatkan nilai yang bagus ketika ujian dilaksanakan
agar mendapatkan peringkat disekolah. abila nilai ujiannya tidak bagus, maka
mereka akan mendapatkan tegran atau dimarahi oleh orang tua. Adanya tuntutan
dari orng tua ini mendorong anak untuk melakukan jalan pintas dengan
menyontek.
81
BAB VI
POTRET KONFLIK ORANG TUA-ANAK
A. Pendahuluan
Konflik dan ketidaksetujuan dalam keluarga merupakan hal lazim yang
terjadi. Keberadaan konflik dapat berfungsi untuk menguji kualitas hubungan di
dalam keluarga, melalui cara yang digunakan untuk menangani dan
menyelesaikan konflik.
B. Gambaran Konflik Orang Tua-Anak
Melalui FGI diperoleh data-data tentang :
- Kedekatan remaja dengan orang tuanya
- Area konflik remaja dengan orang tua yang pernah dialami
- Respon orang tua terhadap konflik.
1. Kedekatan Remaja dengan Orang Tua
Para remaja menyatakan memiliki kedekatan yang berbeda-beda dengan
orang tuanya. Remaja yang tinggal dengan orang tuanya dan merasa nyaman
berinteraksi dengan ayah ibunya mengungkapkan perasaan dekat dengan
keduanya. Mereka bisa berbagi cerita dengan orang tuanya tentang peristiwa
yang dialami di sekolah dan melakukan kegiatan bertsama seperti menonton TV,
melakukan tugas rumah, dan ada pula yang rekreasi. Para remaja tersebut jarang
mengalami masalah di sekolah, sehingga tidak pernah berurusan dengan guru BK
di sekolah karena perilakunya.
Remaja yang bermasalah di sekolah pada umumnya adalah remaja yang
berasal dari keluarga bermasalah. Masalah di dalam keluarga tersebut dapat
berupa relasi ayah ibu yang bermasalah dan sering mengalami konflik, perilaku
82
orang tua yang bermasalah seperti sering mabuk akibat minum minuman keras
dan berjudi, dan relasi orang tua anak yang bermasalah. Masalah dalam relasi
orang tua-anak misalnya adalah orang tua terlalu sering memarahi anak tanpa
melakukan klarifikasi pada anak, dan mudah memberikan hukuman pada anak.
2. Area Konflik Remaja dengan Orang Tua
Masalah yang menjadi pemicu konflik antara remaja dan mencakup tujuh
area, yaitu terlambat pulang baik dari sekolah maupun dari bermain, penampilan
terutama menyangkut cara berpakaian dan modelnya, serta gaya rambut.
Penam[pilan remaja dalam berpkaian maupun dalam memilih model rambut juga
menimbulkan konflik antara remaja dengan orang tuanya . sebagai contoh orang
tua melarang anaknya yang remaja putri memakai model tank top bila pergi keluar
rumah, namun masih menoleransi apabila dipakai di dalam rumah.
Orang tua kurang suka apabila remaja berteman dengan remaja lain yang
berpakaian yang pendek-pendek (seronok), sering mengajak pergi bermain dan
bersikap tidak tahu aturan (kurang punya tata krama). Orang tua juga tidak suka
apabila remaja berteman dengan orang yang suka mabuk-mabukkan, merokok,
pernah mencuri, dan teman yang putus sekolah. Dalam hal ini orang tua kurang
memahami penyebab kedekatan anak dengan temannya, lebih melihat penampilan
fisik atau atribut lainnya.
Mereka dapat menerima kekhawatiran orang tua apabila bergaul akrab
dengan teman-temannya yang berperilaku kurang baik, lama kelamaan mereka
dapat terpengaruh berperilaku kurang baik, lama kelamaan mereka dapat
terpengaruh berperilaku kurang baik pula. Remaja dalam kelompok ini juga
memahami bahwa nasihat yang diberikan orang tua tersebut adalah untuk
kebaikan diri mereka sendiri.
Prestasi menurun dipandang orang tua sebagai akibat terlalu banyak
bermain dan menonton televisi sehingga lupa belajar. Setelah dinasehati orang
tuanya, pada umumnya remaja mau belajar lebih rajin. Prestasi belajar yang
83
menurun dipandang orang tuanya, pada umumnya remaja mau belajar lebih rajin.
Namun, perilaku belajar lebih rajin tersebut ada yang bertahan lama dan ada yang
tidak. Remaja yang kembali “ kendor “ dalam upaya belajarnya akhirnya
mengalami konflik berulang dengan orang tua dalam prestasi belajar. Untuk
mengatasi, apa bila merasa kepepet tidak dapat menjawab soal-soal ujian, maka
mereka memilih untuk meminta jawaban pada teman agar hasil ulangannya tidak
jeblok dan tidak dimarahi orang tua lagi.
Ketika remaja sedang asyik melakukan suatu kegiatan, misalnya
mendengarkan musik, sms-an, tiba-tiba disuruh orang tua untuk melakukan tugas-
tugas rumah. Mereka memaknai perintah orang tua tersebut sebagai gangguan.
Orang tua kemudian dianggap tidak dapat memahami kesenangan anak.
Menjalin komunikasi dengan seseorang yang disukai dianggapnya sebagai
hal yang penting, karena melalui komunikasi tersebut, remaja merasa
mendapatkan perhatian. Apalagi bila remaja-remaja kurang mendapatkan
perhatian. Apalagi bila remaja merasa kurang mendapatkan perhatian yang
memadai dari kedua orang tuanya. Remaja yang mendapatkan perhatian yang
cukup dari orang tua merasa belom perlu memiliki pacar karena dapat
mengganggu sekolahnya. Mereka menyatakan perhatiannya dan kasih sayang
yang diberikan orang tua sudah lebih dari cukup, sehingga tidak perlu mencari
perhatian dari orang lain. Cara berkomunikasi yang dilakukan orang tua maupun
anak belum cukup memadai untuk menyampaikan pesan yang diinginkan,
sehingga pesan tersebut dapat dipahami sesuai dengan maksud yang sebenarnya.
3. Respons Orang Tua Terhadap Konflik dengan Remaja
Dari wawancara dengan kelompok remaja yang sering bermasalah di
sekolah, terungkap bahwa respons pertama yang diekspresikan oleh orang tuanya
dirumah ketika menghadapi konflik dengan anak adalah marah. Setelah orang tua
mengekspresikan kemarahannya pada remaja, langkah selanjutnya yang terjadi
adalah orang tua memberikan nasihat pada remaja dalam situasi tersebut atau pada
84
saat remaja melakukan kesalahan. Pada umumnya orang tua juga memberitahu
dan meminta remaja berjanji untuk tidak mengulangi lagi perilakunya.
Pada kelompok remaja yang tidak mengalami problem dalam relasi
dengan orang tua menyatakan dapat menerima kemarahan orang tuanya apabila
mereka melakukan kesalahan. Justru kalau mereka melakukan kesalahan dan
orang tua tidak memberikan reaksi apapun dianggap sebagai kurang
memerhatikan mereka. Kemarahan mereka orang tua dimaknai wajar karena
mereka memang salah.
Konflik a orang tua - anak merupakan hal yang wajar terjadi dalam
interaksi anak dengan orang tua dalam keluarga. Yang menjadi penting
diperhatikan adalah bagaimana cara dan sikap orang tua dan anak dalam
menghadapi konflik tersebut untuk mencari jalan keluarnya.
C. Potret Konflik Orang Tua-Anak dalam Masyarakat
Penampilan remaja menjadi pencetus konflik dengan orang tua, karena
remaja sering kali meniru penampilan dari teman sebayanya atau penampilan atau
penampilan artis idolanya yang belum sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan
dalam keluarga.
Temuan Galambos dan Almeida (1992) adalah masalah prestasi belajar,
pengelolaan waktu, penggunaan ponsel, dan perilaku berpacaran. Orang tua
menginginkan anak-anaknya dapat mencapai prestasi belajar sesuai dengan
harapannya yakni mendapat skor yang tinggi dalam ulangan dan ujian. Tingginya
konflik anak dengan orang tua dalam hal pemanfaatan waktu luang
menggambarkan bahwa para remaja belom mampu mengelola waktunya dengan
baik.
Tingginya konflik orang tua-anak dalam masalah prestasi belajar dan
pengelolaan waktu luang, menunjukkan bahwa para orang tua dalam keluarga
85
belum berhasil menanamkan nilai tentang pentingnya berprestasi bagi anak untuk
meraih massa depannya.
Konflik remaja dengan orang tua muncul karena perilaku remaja dipandang
kurang sesuai dengan harapan orang tua. Adapun area yang menjadi konflik lebih
banyak pada area pribadi (personal) terkait dengan pemilihan dan kesuksesan
remaja.
D. Strategi Pengelolaan Konflik Orang Tua-Anak
Nilai-nilai yang ditanamkan pada anak adalah hal- hal yang dianggap
penting oleh orang tua, maka apabila orang tua mengetahui sikap dan perilaku
anak tidak atau kurang sesuai dengan harapan orang tua, maka dapat
menimbulkan konflik.
Dalam karakteristik orang tua yang memiliki keterhubungan dengan anak
dan memeberikan regulasi telah tercermin dalam pemantauan. Dalam
menghadapai konflik dengan remaja orang tua belum menggunakan strategi yang
kmonstuktif. Orang tua lebih banyak marah dalam menghadapi konflik dengan
anak.
Selain mengatasi konflik internal keluarga,orang tua juga berperan sebagai
mediator bagi anak dalam menghadapi dunia sosial yang lebih luas. Menurut
parke dan bhavnagri,dalam menghadapi lingkungan eksternal,orang tua menjadi
mediator dalam hal kontak personal di luar keluarga,seperti tempat perawatan
anak,sekolah,pertetanggaan dan komunitas. Selain itu orang tua juga membantu
anak untuk menghadapi nilai-nilai yang dipromosikan oleh individu mampu
berbagai agen di luar rumah.
Menurut hasil penelitian Padilla-Walker dan Thomson (2005),terdapat
empat strategi yang di gunakan oleh orang tua dalam mempersiapkan anak dalam
menghadapi konflik dengan dunia luar,yakni: membentengi
(cocooning),menyiagakan (pre-arning),berkompromi (compromise), dan
86
membolehkan (deference). Dalam penelitian ini,strategi yang paling banyak di
gunakan orang tua adalah membentengi anak. Upaya membentengi anak tersebut
dilakukan oleh dua cara yakni memberikan penjelasan (reasoned cocooning) dan
melakukan kontrol (controlled cocooning). Usaha membentengi anak dengan
memberikan penjelasan ditunjukan oleh orang tua yang secara persuatif
melindungi anak dari pengaruh luar,memperkuat dari nilai-nilai keluarga pada
anak dan memberikan penjelasan yang logis terhadap nilai-nilai yang ditanamkan.
Tindakan yang dilakukan orang tua adalah memberikan nasihat,mengarahkan
anak pada perilaku yang diinginkan, dan berdiskusi dengan anak mengenai
kesalahan yang diperbuatnya. Pada usaha membentengi anak dengan melakukan
kontrol di wujudkan oleh orang tua dengan memaksa anak untuk disiplin dan
patuh,tanpa memberikan penjelasan atau dasar rasional terhadap larangan-
larangan yang di berikan. Contoh tindakan orang tua tersebut adalah
memarahi,memberi peringatan dan memberi hukuman pada anak.
E. Pembelajaran dari Potret Konflik Orang Tua - Anak dalam Masyarakat
Pengasuhan anak merupakan tanggung jawab orang tua yang dilaksanakan
melalui interaksi sehari-hari dalam keluarga. Melalui interaksi tersebut terbentuk
iklim psikologis tertentu,seperti kedekatan anak terhadap orang tua. Anak yang
secara psikologis merasa dekat dengan orang tua akan memiliki kesediaan untuk
bersikap terbuka terhadap pengalamanya. Sebaliknya bila naka merasa kurang
dekat dengan orang tua lebih memilih untuk berbagi perasaan dan pengalamannya
dengan orang tua,dalam hal ini yang banyak di pilih oleh remaja adalah teman
sebaya.
Dari data yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya diperoleh
gambaran bahwa remaja lebih banyak memilih teman sebayanya untuk berbagi
cerita. Remaja baru mau bercerita apabila di tanya oleh orang tuanya. Hal
tersebut menunjukkan bahwa kualitas relasi orang tua-anak belom
optimal,sebagaimana di ungkapkan oleh Shek (2006) kesediaan anak untuk
bercerita menjadi salah satu indikator dari kualitas relasi orang tua-anak. Dua
87
indikator lainnya adalah kepercayaan orang tua-anak dan kepuasan anak terhadap
kontrol orang tua.
Rendahnya frekuensi kesediaan anak untuk bercerita pada orang tua dapat
disebabkan oleh sikap orang tua yang mudah memarahi anak apabila mengetahui
perilaku anaknya kurang sesuai dengan harapannya. Padahal bisa jadi anak
memiliki pertimbangan sendiri terhadap tindakan yang di pilihnya. Alangkah
lebih baiknya orang tua mengajak bicara baik-baik dan meninta penjelasan anak
menganai pemilihan tindakan tersebut.
Upaya orang tua memperoleh penjelasan dari anak sekaligus dapat
menjadi pembuka terjadinya dialog antara orang tua dan anak. Dengan cara
dialog tersebut kemampuan penalaran anak dapat terasah,sehingga mendukung
perkembangan kemampuan anak dalam mengambil keputusan di kemudian hari.
Tidak terbentuknya iklim dialogis dalam relasi orang tua-anak menyulitkan
dilakukannya pengelolaan konflik secara konstruktif. Seperti telah dipaparkan
dalam bagian sebelumnya konflik anak dengan orang tua dalam terjadi dalam area
prestasi belajar,pemanfaatan waktu luang,penggunaan ponsel,keterlibatan dalam
membantu tugas rumah,keterlambatan pulang kerumah,penampilan,perilaku
pacaran dan pemilihan teman. Dalam menghadapi konflik dengan remaja,marah
merupakan reaksi yang sering di tunjukan oleh orang tua. Bagi remaja,kemarahan
orang tua di maknai secara berbeda- beda. Pada remaja yang kualitas
hubungannya dengan orang tua kurang baik,kemarahan orang tua di maknai
sebagai ungkapan bahwa orang tua tidak menyukai keberadaan mereka. Adapun
pada remaja yang kualitas hubungannya dengan orang tua baik,kemarahan orang
tua di maknai sebagai bagian dari kasih sayang orang tua. Walaupun
demikian,secara umum remaja menginginkan agar orang tuanya tidak mudah
marah.
Sesungguhnya pemahaman sosial remaja yang meregulasi perilaku
tidaklah bersifat tunggal. Menurut teori domain sosial,individu mengembangan
pemahaman sosial berdasarkan interaksi sosial yang dialaminya,yang dapat
88
dipetakan menjadi tiga ranah yaitu ranah moral,ranah konvensional,ranah
psikologis (lihat smetana 1999). Ranah moral berkenaan dengan seperangkat
aturan yang meregulasi interaksi sosial dan relasi sosial antara individu di
masyarakat dan hal ini didasarkan pada konsep tentang
kesejahteraan,kepercayaan,keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini moralitas di
artikan sebagai pemahaman individu atas tuntunan tentang bagaimana individu
harus bersikap dan bertindak terhadap orang lain.
Interaksi sosial juga memerlukan pemahaman terhadap diri dan orang lain
sebagai sistem psikologis. Ranah psikologis diartikan sebagai pemahaman
mengenai diri,identitas,kepribadian dan sifat-sifat yang dapat memengaruhi
perilaku sendiri atau orang lain. Ranah psikologis ini dibedakan lagi menjadi dua
yaitu prudensial dan personal. Prudensial berkenan dengan keselamatan dan
kesehatan diri. Moral meregulasi perilaku yang dapat mengancam atau
mengganggu orang lain,sedangkan prudensial meregulasi perilaku yang dapat
menimbulkan dampak negatif pada diri sendiri seperti merokok,minum
miras,mengonsumsi narkoba, dan hubungan seksual bebas. Adapun personal
berkenaan dengan kesukaan,pilihan atau preferensi pribadi,seperti
teman,kegiatan,penampilan, dan privasi .
Jika di telaah berdasarkan pendekatan domain sosial,maka konflik atau
ketidaksetujuan yang sering terjadi antara remaja dan orang tua pada umumnya
berkenan pada renah psikologis,terutama yang bersifat personal dan ranah
konvensional. Tiga area konflik yang paling banyak dialami oleh remaja dan
orang tua,yaitu prestasi belajar,pemanfaatan waktu luang dan penggunaan ponsel
dapat digolongkan ke dalam ranah psikologis. Bagi orang tua,prestasi belajar
yang buruk mungkin di anggap akan mengancam masa depan anak. Dalam hal ini
skor hasil ujian atau rapor merupakan tolak ukur yang paling lazim digunakan. Di
lain pihak bagi anak,orang tua yang mempermasalahkan prestasi belajar,dalam hal
pencapaian skor,mungkin akan memanggap orang tua tidak memahami bidang
yang lebih ia minati dan lebih ia kuasi. Demikian halnya dengan pemanfaatan
waktu luang yang bagi orang tua sebaiknya digunakan untuk belajar,sementara
89
anak lebih suka menggunakan waktu untuk bermain baik sendiri maupun bersama
teman.
Konflik dalam area keterlibatan dalam pelaksanaan tugas rumah dan
keterlambatan pulang dapat di golongkan pada ranah konvensional. Dari sudut
pandang orang tua,sudah menjadi konvensi di masyarakat bahwa salah satu
kewajiban anak adalah membantu orang tua,terutama dalam pekerjaan rumah
tangga. Demikian juga bila anak pulang terlalu larut malam,atau tidak segera
pulang kerumah sesuai sekolah,akan di anggap kurang pantas di mata masyarakat.
Adapun dalam soal penampilan,pacaran, dan pemilihan teman,bagi anak hal ini
merupakan pilihan kesukaan atau untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Sementara
orang tua mungkin saja mengkhawatirkan hal tersebut akan melanggar moral atau
konvensi sosial.
Dari sudut pandang teori domain sosial,unjuk kuasa dari orang tua
terhadap ketidaksetujuan anak atau pelanggaran oleh anak tidak efektif untuk
mencegah perilaku antisosial atau mendorong perkembangan moral. Unjuk kuasa
yang antara lain bisa di wujudkan dalam respon marah,sangat lemah dalam
mendorong internalisasi nilai oleh anak. Respons marah masih dapat di terima
bila hal itu hanya merupakan reaksi afektif sesaat. Selain itu reaksi afektif orang
tua juga harus di ikuti dengan upaya untuk mengembangkan penalaran moral.
Penjelasan rasional yang di berikan orang tua,berkenaan dengan aturan-aturan
atau dampak dari perilaku sosial maupun antisosial dapat mendorong anak untuk
melakukan refleksi terhadap tindakan-tindakan. Melalui refleksi tersebut anak
akan dapat memahami alasan mengapa dirinya diharapkan untuk berperilaku
tertentu.
90
PENUTUP
Keluarga merupakan tempat utama bagi anak dalam menjalani proses
tumbuh dan kembang. Orang tua terbukti memiliki peran yang sangat penting
dalam mendampingi proses perkembangan yang di jalanin anak. Relasi orang tua-
anak yang berkualitas memiliki peran penting dalam mencapai keberhasilan
proses sosialisasi yang dijalankan orang tua. Kualitas relasi orang tua-anak
tersebut dapat diketahui dari beberapa hal yakni:
Pertama, kredibilitas orang tua. Anak yang memandang orang tuanya
sebagai figur kredibel,dalam arti dapat dipercaya karena perkataannya sesuai
dengan tindakannya dan memberi keteladaan dalam berperilaku dalam kehidupan
sehari-hari membuat anak mau mendengarkan nasihat-nasihat yang di sampaikan
orang tua.
Kedua, keterbukaan dalam berkomunikasi. Suasana berkomunikasi yang
terbuka dengan orang tua dan anak juga mendukung keberhasilan proses
sosialisasi. Kerterbukaan tersebut juga diwujudkan dengan membangun pola
komunikasi timbal balik (dua arah) dalam keluarga. Dengan cara tersebut orang
tua memiliki kesempatan untuk menjelaskan harapan-harapannya terhadap
anak,termasuk dalam mengevaluasi perilaku anak yang sesuai atau kurang sesuai
dengan harapan orang tua.
Ketiga, berorientasi pada kebutuhan pribadi anak dari pada kebutuhan
orang tua. Dari gambaran potret keluarga,dapat dipelajari bahwa orang tua yang
berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dirinya cenderung bersikap memaksakan
kehendaknya pada anak dari pada berupaya memahami keinginan anak dan
memberikan kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan. Tanpa disadari
sikap memaksakan kehendak berarti juga mengambil hak anak untuk tumbuh dan
berkembangan sesuai dengan potensinya.
91
Keempat, kepercayaan pada anak. Memberikan kesempatan pada anak
untuk mengambil keputusan merupakan salah satu wujud dari kepercayaan orang
tua pada anak. Contoh wujud lainnya adalah mempercayai isi informasi yang
disampaikan oleh anak pada orang tua. Dengan mempercayai anak secara tidak
langsung berarti juga menghargai anak dan mengakui keberadaannya. Anak-anak
yang merasa berharga di dalam keluarganya cenderung tidak mudah terpengaruh
oleh perilaku buruk dari teman-teman sebayanya. Selain itu anak yang merasa
dipercaya juga terdorong untuk mengimbanginya dengan memercayai orang tua.
Dengan demikian,iklim saling memercayai dapat berkembang dalam relasi orang
tua-anak.
Penanaman nilai merupakan bagian penting dari pembentukan karakter.
Orang tua dalam massyarakat jawa melakukan dalam pembentukan karakter pada
anak dengan menanamkan nilai-nilai yang dipandang penting bagi anak,yakni
ketaatan beribadah,nilai jujur,rukun dan hormat. Bila dicermati lebih lanjut nilai-
nilai tersebut menjadi nilai-nilai penting dalam pendidikan karakter.
Maraknya perilaku tidak jujur di masyarakat menunjukkan bahwa
penanaman nilai jujur di dalam masyarakat baik oleh keluarga maupun di sekolah
belum berhasil mencapai harapan. Kurang hasilnya pendidikan karakter dalam
keluarga dapat di tengarai karena metode yang digunakan kurang tepat dan kurang
terbentuknya kedekatan anak dengan orang tua. Selain itu guru perlu menjadikan
dirinya sebagai teladan bagi anak agar dipandang sebagai figur yang memiliki
kredibilitas di mata siswa. Apabila guru kredibel maka perkataannya akan di
dengarkan dengan baik oleh siswa-siswanya. Dampak selanjutnya adalah proses
pendidikan karakter di sekolah dapat membuahkan hasil yakni membentuk siswa-
siswi berkarakter tangguh.
92