resume psikologi & sosial keluarga final

147
TUGAS MATA KULIAH PSIKOLOGI DAN SOSIAL KELUARGA DI SUSUN OLEH : RIZKA HERDIAN LESTARI 120210201023 PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

Upload: rizka-herdian-lestari

Post on 19-Dec-2015

31 views

Category:

Documents


13 download

DESCRIPTION

resum nuku psikologi keluarga Sri Lestari

TRANSCRIPT

Page 1: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

TUGAS

MATA KULIAH

PSIKOLOGI DAN SOSIAL KELUARGA

DI SUSUN OLEH :

RIZKA HERDIAN LESTARI

120210201023

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN LUAR SEKOLAH

JURUSAN ILMU PENDIDIKAN

FAKULTAS KEGURUAAN DAN ILMU PENDIDIKAN

UNIVERSITAS JEMBER

2015

Page 2: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

DAFTAR ISI

DAFTAR ISI............................................................................................................i

BAB I KELUARGA SEBAGAI SISTEM............................................................1

A. Pendahuluan..................................................................................................1

B. Definisi Keluarga..........................................................................................1

C. Struktur Keluarga..........................................................................................3

D. Relasi dalam Keluarga..................................................................................5

E. Keberfungsian Keluarga.............................................................................11

F. Teori Sistem Keluarga................................................................................14

BAB II PRAKTIK PENGASUHAN ANAK (PARENTING)..........................16

A. Pendahuluan................................................................................................16

B. Kesadaran Pengasuhan................................................................................16

C. Prespektif Ekologis Pengasuhan.................................................................18

D. Stres Pengasuhan (Parenting Stress)...........................................................18

E. Gaya Pengasuhan Dan Interaksi Orang Tua-Anak.....................................20

F. Pengasuhan dalam Konteks Lintas Budaya................................................21

G. Perilaku dan Praktik Pengasuhan................................................................22

H. Pengasuhan Bersama...................................................................................27

BAB III NILAI DAN PENDIDIKAN NILAI....................................................29

A. Pendahuluan................................................................................................29

B. Definisi Nilai...............................................................................................29

C. Nilai Sebagai Prediktor Perilaku.................................................................33

D. Transmisi Nilai............................................................................................34

E. Nilai-Nilai Kearifan Lokal..........................................................................37

F. Pembentukan Karakter................................................................................38

BAB IV KONFLIK DALAM KELUARGA......................................................39

A. Pendahuluan................................................................................................39

B. Definisi Konflik..........................................................................................39

C. Kareteristik Konflik Keluarga.....................................................................41

D. Konflik Orang Tua-Anak............................................................................43

Page 3: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

E. Resolusi Konflik.........................................................................................47

BAB V PENANAMAN NILAI DALAM KELUARGA....................................52

A. Pendahuluan................................................................................................52

B. Potret Keluarga...........................................................................................52

C. Pembelajaran dari Potret Keluarga.............................................................67

D. Pembelajaran Tentang Pendidikan Nilai dalam Keluarga..........................73

BAB VI POTRET KONFLIK ORANG TUA-ANAK......................................76

A. Pendahuluan................................................................................................76

B. Gambaran Konflik Orang Tua-Anak..........................................................76

C. Potret Konflik Orang Tua-Anak dalam Masyarakat...................................79

D. Strategi Pengelolaan Konflik Orang Tua-Anak..........................................79

E. Pembelajaran dari Potret Konflik Orang Tua - Anak dalam Masyarakat...81

PENUTUP.............................................................................................................85

Page 4: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

BAB I

KELUARGA SEBAGAI SISTEM

A. Pendahuluan

Di berbagai belahan dunia dengan beragam budaya dan sistem sosial,

keluarga merupakan unit sosial penting dalam bangunan masyarakat. Keluarga

merupakan warisan umat manusia yang terus dipertahankan keberadaannya dan

tidak lekang oleh perubahan zaman. Berbagai perubahan oleh faktor

perkembangan zaman tentu saja memengaruhi corak dan karakteristik keluarga,

namun sunstansi keluarga tidak terhapuskan. Pada beberapa negara isu tentang

kemerosotan nilai keluarga memang mengemuka. Meningkatnya angka

perceraian dianggap sebagai salah satu indikasi dari merosotnya nilai-nilai

keluarga ini.

Meningkatnya angka perceraian telah memunculkan isu mengenai

kemerosotan nilai perkawinan. Walaupun demikian, berbagai kajian telah

menunjukkan berbagai manfaat dari perkawinan (Olson & Olson, 2000), antara

lain:

1. Orang yang menikah memiliki gaya hidup yang lebih sehat.

2. Orang yang menikah hidup lebih lama.

3. Orang yang menikah memiliki kepuasan relasi seksual yang lebih baik.

4. Orang yang menikah lebih sejahtera secara ekonomi.

5. Anak-anak pada umunya tumbuh lebih baik bila diasuh oleh orang tua

lengkap.

B. Definisi Keluarga

Keluarga merupakan konsep yang bersifat multidimensi. Para ilmuwan

sosial bersilang pendapat mengenai rumusan definisi keluarga yang bersifat

universal. Salah satu ilmuwan yang permulaan mengkaji keluarga adalah George

1

Page 5: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Mudrock. Dalam bukunya Social Structure, Mudrock menguraikan bahwa

keluarga merupakan kelompok sosial yang memiliki karakteristik tinggal

bersama, terdapat kerja sama ekonomi, dan terjadi proses reproduksi (Mudrock,

1965). Melalui surveinya terhadap 250 perwakilan masyarakat yang dilakukan

sejak tahun 1937, Mudrock menemukan tiga tipe keluarga, yaitu keluarga inti

(nuclear family), kelurga poligami (polygamous family) dan keluarga batih

(extended family). Berdasarkan penelitiannya tersebut Mudrock menyatakan

bahwa keluarga inti merupakan kelompok sosial yang bersifat universal.

Kesimpulan Mudrock mengenai keluarga inti sebagai definisi keluarga

yang bersifat universal mendapatkan sanggahan dari berbagai ilmuwan sosial.

Definisi Mudrock dianggap terlalu bersifat struktural walaupun ia juga

menjelaskan empat fungsi yang terintegrasi dalam keluarga inti. Ira Reiss (1965),

salah satu pengkritik Mudrock, berpendapat bahwa bukti lintas budaya

menunjukkan adanya suatu masyarakat yang menjadikan kepuasan seksual, fungsi

reproduksi, dan kerjasama ekonomi tidak melekat dalam jenis hubungan yang

disebut keluarga.

Pandangan berbeda diajukan oleh Weigert dan Thomas (1971) yang

menganggap definisi Reiss kuran g bersifat nominal, karena menekankan pada

berlakunya fungsi tertentu. Pandangan Weigert dan Thomas didasarkan pada

pentingnya suatu budaya ditransmisikan pada generasi berikutnya dalam rangka

menumbuhkan anak-anak menjadi manusia yang dapat menjalankan fungsinya.

Pada periode berikutnya, Weigel (2008) melakukan penelitian untuk

mengetahui bagaimana orang awam mengonsepsi keluarga. Temuannya

menunjukkan adanya kesesuaian antara konsep keluarga oleh orang awam dan

tiga perspektif pengertian keluarga utuh dari Ascan F. Koerner dan Mary Anne

Fitzpatrick. Menurut mereka, definisi tentang keluarga setidaknya dapat ditinjau

berdasarkan tiga sudut pandang, yaitu definisi struktural, definisi fungsional, dan

definisi interaksional.

2

Page 6: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

1. Definisi Struktural. Keluarga didefinisikan berdasarkan kehadiran atau

ketidakhadiran anggota kelurga, seperti orang tua, anak, dan kerabat lainnya.

2. Definisi Fungsional. Keluarga didefinisikan dengan penekanan pada

terpenuhinya tugas-tugas dan fungsi psikososial.

3. Definisi Transaksional. Keluarga didefinisikan sebagai kelompok yang

mengembangkan keintiman melalui perilaku-perilaku yang memunculkan rasa

identitas sebagai keluarga, berupa ikatan emosi, pengalaman historis, maupun

cita-cita masa depan.

Pada umumnya, fungsi yang dijalankan oleh keluarga seperti melahirkan

dan merawat anak, menyelesaikan masalah, dan saling peduli antar anggotanya

tidak berubah substansi dari masa ke masa (Day, 2010). Konteks budaya dalam

memformulasikan konsep tentang keluagra sangat penting untuk diperhatikan.

Hill dalam usahanya menjelaskan konsep keluarga kulit hitam atau keluarga

Amerika keturunan Afrika, menguraikan bahwa keluarga adalah rumah tangga

yang memiliki hubungan darah atau perkawinan atau menyediakan

terselenggaranya fungsi-fungsi instrumental mendasar dan fungsi-fungsi ekspresif

keluarga bagi para anggotanya yang berada dalam suatu jaringan (Hill, 1998).

C. Struktur Keluarga

Dari segi keberadaan anggota keluarga, maka keluarga dapat dibedakan

menjadi dua, yaitu keluarga inti (nuclear family) dan keluarga batih (extended

family). Keluarga inti adalah keluarga yang didalamnya hanya terdapat tiga posisi

sosial, yaitu suami-ayah, istri-ibu, dan anak-sibling (Lee, 1982). Struktur

keluarga yang demikian menjadikan keluarga sebagai orientasi bagi anak, yaitu

keluarha tempat ia dilahirkan. Adapun orang tua menjadikan keluarga sebagai

wahana prokreasi, karena keluarga inti terbentuk setelah sepasang laki-laki dan

perempuan menikah dan memiliki anak (Berns, 2004).

Adapun keluarga batih adalah keluarga yang di dalamnya menyertakan

posisi lain selain ketiga posisi di atas (Lee, 1982). Bentuk pertama dari keluarga

batih yang banyak ditemui di masyrakat adalah keluarga bercabang (stem family).

3

Page 7: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Keluarga bercabang terjadi manakala seorang anak, dan hanya seorang, yang

sudah menikah masih tinggal dalam rumah orang tuanya. Bentuk kedua dari

keluarga batih adalah keluarga berumpun (lineal family). Bentuk ini terjadi

manakala lebih dari satu anak yang sudah menikah tetap tinggal bersama kedua

orang tuanya. Bentuk ketiga dari keluarga batih adalah keluaraga beranting (fully

extended). Bentuk ini terjadi manakala di dalam suatu kelurga terdapat generasi

ketiga (cucu) yang sudah menikah dan tetap tinggal bersama.

Menurut Lee (1982) kompleksitas keluarga tidak ditentukan oleh jumlah

individu yang menjadi anggota keluarga, tetati oleh banyaknya posisi sosial yang

terdapay dalam keluarga. Keluarga inti pada umunya dibangun berdasarkan

ikatan perkawinan. Perkawinan menjadi pondasi bagi keluarga, oleh karena itu

ketika sepasang manusia menikah akan lahir keluarga yang baru. Adapun

keluarga batih dibangun berdasarkan hubungan antargenerasi bukan

antarpasangan.

Dari segi pemegang wewenang utama atas keluarga, misalnya dalam hal

menentukan siapa yang bertanggungjawab atas sosialisasi anak, pendistribusian

wewenang, dan pemanfaatan sumber daya keluarga, keluarga dibedakan menjadi

matriarki, patriarki, dan eligater (Berns, 2004). Keluarga kerajaan Inggris dan

masyarakat Minang merupakan contoh keluarga matriarki, karena ibu menjadi

pemegang utama wewenang atas keluarga. Pada umunya keluarga menerapkan

pola patriarki dengan ayah sebagai pemegang utama wewenang atas keluarga.

Namun pada masa kini, dengan berkembangnya pandangan tentang kesetaraan

gender dan semakin banyaknya keluarga yang kedua orang tuanya sama-sama

bekerja, telah berkembang pola egaliter.

Berbagai penelitian menemukan pengaruh struktur keluarga terhadap

kualitas keluarga. Skaggs dan Jodl (1999) menemukan bahwa remaja yang

tinggal bukan pada keluarga tiri lebih kompeten, secara sosial lebih bertanggung

jawab, dan kurang mengalami masalah perilaku daripada remaja yang tinggal

pada keluarga tiri yang kompleks. Kowaleski-Jones dan Dunifon (2006)

4

Page 8: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

mengungkapkan bahwa pada kaum muda kulit putih, orang tua tunggal dan

habitasi berkaitan dengan tingkat kesejahteraan yang lebih rendah. Hal ini

bersesuaian dengan pendapat Jablonska dan Lindber (2007) yang menyatakan

bahwa remaja dengan orang tua tunggal memiliki risiko yang lebih tinggi

terhadap perilaku berisiko, menjadi korban dan mengalami distres mental,

daripada remaja dengan orang tua yang lengkap.

Dengan beberapa pengecualian, pada dasarnya keluarga yang utuh dan

dalam perkawinan yang sah lebih menjamin kesejahteraan anak. Walaupun

demikian, sebagaimana diungkapkan Hetherington (1999), proses yang

berlangsung dalam keluarga lebih besar pengaruhnya terhadap akibatan-akibatan

pada diri anak, seperti rendahnya perilaku bermasalah dan kepuasan hidup.

D. Relasi dalam Keluarga

Pada umumnya keluarga dimulai dengan perkawinan laki-laki dan

perempuan dewasa. Pada tahap ini relasi yang terjadi berupa relasi pasangan

suami istri. Ketika anak pertama lahir muncullah bentuk relasi yang baru, yaitu

relasi orang tua-anak. Ketika anak berikutnya lahir muncullah lagi bentuk relasi

yang lain, yaitu relasi sibling(saudara kandung). Setiap relasi yang terjadi dalam

keluarga biasanya memiliki karakteristik yang berbeda. Berikut ini dipaparkan

karakteristik relasi tersebut.

1. Relasi Pasangan Suami Istri

Sebagai permulaan bagi relasi yang lain, relasi suami istri memberi

landasan dan menentukan warna bagi keseluruhan relasi di dalam keluarga.

Banyak keluarga yang berantakan ketika terjadi kegagalan dalam relasi suami

istri. Kunci bagi kelanggengan perkawinan adalah keberhasilan melakukan

penyesuaian di antara pasangan.

Terdapat tiga indikator bagi proses penyesuaian sebagaimana diungkapkan

Glenn (2003), yakni konflik, komunikasi, dan berbagi tugas rumah. Keberhasilan

5

Page 9: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

penyesuaian dalam perkawinan tidak ditandai dengan tiadanya konflik yang

terjadi. Penyesuaian yang berhasil ditandai oleh sikap dan cara yang konstruktif

dalam melakukan resolusi konflik. Dalam konsep perkawinan yang tradisional

berlaku pembagian tugas dan peran suami istri. Konsep ini lebih mudah

dilakukan karena segala urusan rumah tangga dan pengasuhan anak menjadi

tanggungjawab istri, sedangkan suami bertugas mencari nafkah. Namun tuntutan

perkembanagan kini telah semakin mengaburkan pembagian tugas tradisional

tersebut. Kenyataan terus meningkatnya kecenderungan pasangan yang sama-

sama bekerja membutuhkan keluwesan pasangan untuk melakukan pertukaran

atau berbagi tugas dan peran baik untuk urusan mencari nafkah maupun pekerjaan

domestik.

Banyak kajian yang telah dilakukan untuk mengetahui faktor-faktor yang

memengaruhi kualitas perkawinan. Istilah kualitas perkawinan biasanya

dipadankan dengan kebahagiaan perkawinan atau kepuasan perkawinan (Glenn,

2003). Keduanya sama-sama menunjuk pada suatu perasaan positif yang dimiliki

pasangan dalam perkawinan yang maknanya lebih luas daripada kenikmatan.

Menurut David H. Olson dan Amy K. Olson (2002), terdapat sepuluh

aspek yang membedakan antara pasangan yang bahagia dan yang tidak bahagia,

yaitu: komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan kepribadian, resolusi

konflik, relasi seksual, kegiatan diwaktu luang, keluarga dan teman, pengelolaan

keuangan, dan keyakinan spiritual. Diantara sepuluh aspek tersebut, lima aspek

yang lebih menonjol adalah komunikasi, fleksibilitas, kedekatan, kecocokan

kepribadian, dan resolusi konflik.

Komunikasi merupakan aspek yang paling penting, karena berkaitan

dengan hampir semua aspek dalam hubungan pasangan. Hasil dari semua diskusi

dan pengambilan keputusan keluarga, yang mencakup keuangan, anak, karier,

agama, bahkan dalam setiap pengungkapan perasaan, hasrat, dan kebutuhan akan

tergantung pada gaya, pola, dan keterampilan berkomunikasi. Keterampilan

6

Page 10: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

dalam berkomunikasi dapat mewujud dalam kecermatan memilih kata yang

digunakan dalam menyampaikan gagasan pada pasangan.

Kesalahpahaman dalam komunikas dapat menimbulkan konflik, yang

sering terjadi karena menggunakan gaya komunikasi negatif. Misalnya salah satu

pihak merasa dituduh sebagai yang bersalah dan telah melakukan hal yang

menyakiti pasangannya, sementara dia merasa tidak bermaksud demikian. Gaya

komunikasi negatif biasanya menggunakan pernyataan “kamu”. Akan berbeda

halnya bila salah satu pihak lebih menekankan pada penyampaian secara asertif

hal yang dirasakannya sebagai dampak dari perilaku pasangan. Dengan demikian,

pihak yang menerima pesan mendapatkan kesempatan melakukan evaluasi diri

terhadap tindakannya tanpa merasa dituduh bersalah dan bermaksud menyakiti

hati pasangannya.

Fleksibilitas pasangan merefleksikan kemampuan pasangan untuk berubah

dan beradaptasi saat diperlukan. Hal ini berkaitan dengan tugas dan peran yang

muncul dalam relasi suami istri. Misalnya dalam hal kepemimpinan dan

kekuasaan, serta kemampuan bertukar tanggung jawab dan mengubah peran.

Dalam relasi suami istri memang dieperlukan adanya kejelasan dalam pembagian

peran yang menjadi tanggung jawab suami dan menjadi tanggungjawab istri.

Kedekatan pasangan menggambarkan tingkat kedekatan emosi yang

dirasakan pasangan dan kemampuan menyeimbangkan antara keterpisahan dan

kebersamaan. Hal ini mencakup kesediaan untuk saling membantu, pemanfaatan

waktu luang bersama, dan pengungkapan perasaan dekat secara emosi.

Kecocokan kepribadian berarti bahwa sifat atau perilaku pribadi salah satu

pasangan tidak berdampak atau dipersepsi secara negatif oleh lainnya. Kecocokan

kepribadian tidak ditentukan seberapa banyak kesamaan sifat pribadi dan hobi.

Perbedaan sifat dan kesenangan tidak akan menjadi masalah selama ada

penerimaan dan pengertian.

Kecocokan kepribadian berarti bahwa sifat atau perilaku pribadi salah satu

pasangan tidak berdampak atau dipersepsi secara negatif oleh yang lainnya.

7

Page 11: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Kecocokan kepribadian tidak ditentukan seberapa banyak kesamaan sifat pribadi

dan hobi.

Aspek resolusi konflik berkaitan dengan sikap, perasaan, dan keyakinan

individu terhadap keberadaan dan penyelesaian konflik dalam relasi berpasangan.

Hal ini mencakup keterbukaan pasangan untuk mengenal dan menyelesaikan

masalah, strategi dan proses yang dilakukan untuk mengakhiri pertengkaran.

Terdapat suatu pandangan umum yang salah kaprah yang menganggap konflik

pasangan adalah suatu masalah sehingga harus dihindari. Strategi resolusi konflik

pasangan dapat dibedakan menjadi yang destruktif dan konstruktif. Dua hal yang

sering kali membuat resolusi konflik tidak efektif adalah tidakan menyalahkan

orang dan mengungkit persoalan yang telah lalu.

Relasi seksual merupakan barometer emosi dalam suatu hubungan yang

dapat mencerminkan kepuasan pasangan terhadap aspek-aspek lain dalam

hubungan. Suatu relasi seksual yang baik sering kali merupakan akibat dari relasi

emosi yang baik antara pasangan. Sayangnya urusan seks sering kali menjadi hal

yang sulit untuk dibicarakan.

Persoalan ekonomi sering menjadi salah satu pemicu tama perceraian.

Walaupun demikian, persoalan pokoknya bukanlah pada besaran pendapatan

keluarga, karena masih banyak pasangan yang mampu bertahan dengan

pendapatan yang rendah. Pengelolaan keuangan merupakan pokok dari persoalan

ekonomi yang dapat berupa perbedaan pasangan dalam hal pembelanjaan dan

penghematan uang.

Pemanfaatan waktu luang menjadi sarana untuk melakukan aktivitas jeda

(time out) dari rutinitas, baik rutinitas kerja maupun rutinitas pekerjaan rumah

tangga. Rutinitas, apalagi dengan tingkat stres yang tinggi, biasanya akan

menimbulkan kejenuhan yang dapat menyebabkan berkembangnya emosi negatif.

Keluarga dan teman merupakan konteks yang penting bagi pasangan

dalam membangun relasi yang berkualitas. Keluarga sebagai family of origin

8

Page 12: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

banyak mempengaruhi kepribadian, selain itu keterlibatan orang tua dapat

memperkuat atau memperlemah kualitas relasi pasangan.

Spiritulitas dan keimanan merupakan dimensi yang paling kuat bagi

pengalaman manusia. Keyakinan spiritual memberi landasan bagi nilai-nilai yang

dipegang dan perilaku sebagai individu dan pasangan. Spiritulitas merujuk pada

kualitas batin yang dirasakan individu dalam hubungannya dengan Tuhan,

makhluk lain, dan nurani.

Sebaiknya, keyakinan spiritual dapat menjadi pondasi terpenting bagi

kebahagiaan pasangan. Hal ini dapat terjadi bila pasangan menyadari bahwa

keimanan memberikan makna dalam hidup. Selain itu keterlibatan secara rutin

dalam kegiatan keagamaan di masyarakat dapat berperan memasok energi baru,

perasaan kebersamaan dan memberi konteks bagi tindakan.

Kualitas perkawinan dapat mempengaruhi berlangsungnya proses-proses

yang lain dalam keluarga, misalnya pengasuhan dan perfomansi individu.

Pasangan yang memiliki derajat kepuasan perkawinan yang tinggi akan

memberikan perhatian secara lebih positif pada anak (Rickard, Forehand,

Atkeson, & Lopez, 1982). Kepuasan perkawinan juga ditengarai mempunyai

kaitan dengan terjadinya kekerasan terhadap pasangan (Stith, green, Smith, &

Ward, 2008), masalah perilaku dan penyesuaian anak (Frick, Lahey, Hartdagen, &

Hynd, 1989; Fishman, & Meyers, 2000), dan perediksi terhadap kesejahteraan

orang tua (Shek, 2000).

2. Relasi Orang Tua-Anak

Menjadi orang tua merupakan salah satu tahapan yang dijalani oleh

pasangan yang memiliki anak. Masa transisi menjadi orang tua pada saat

kelahiran anak pertama terkadang menimbulkan masalah bagi relasi pasangan dan

dipersepsi menurunkan kualitas perkawinan. Dukungan dari sanak keluarga

sangat diperlukan agar perempuan tidak berjuang dengan susah payah dalam

9

Page 13: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

menjalankan fungsi keibuannya dengan baik. Bila dukungan sanak keluarga

sangat kurang, maka keterllibatan dan dukungan suami menjadi andalan utama.

Menurut Thompson, hubungan menjadi katalis bagi perkembangan dan

merupakan jalur bagi peningkatan pengetahuan dan informasi, penguasaan

keterampilan dan kompetensi, dukungan emosi dan berbagai pengaruh lain

semenjak dini.

Bowlby mengidentifikasikan pengaruh perilaku pengasuhan sebagai faktor

kunci dalam hubungan orang tua-anak yang dibangun sejak usia dini. Pada awal

kehidupannya anak mengembangkan hubungan emosi yang mendalam dengan

orang dewasa yang secara teratur merawatnya.

Dimensi kehangatan merupakan suatu rentang kontinum, yang di satu sisi

ditandai oleh penerimaan yang mencakup berbagai perasaan dan perilaku yang

menunjukkan kehangatan, afeksi, kepedulian, kenyamanan, perhatian, perawatan,

dukungan dan cinta. Menurut Rohner dkk. , persepsi anak terhadap penerimaan

dan penolakan orang tua atau sosok signifikan yang lain akan mempengaruhi

perkembangan kepribadian individu dan mekanisme yang dikembangkan dalam

menghadapi masalah.

Semasa berkembangnya paham satu arah (unidirectionality), penelitian

tentang hubungan orang tua-anak memfokuskan pada mengenali strategi

pengasuhan, praktik-praktik, perilaku, gaya dan pembawaan yang mempengaruhi

akibat pada anak, misalnya kompetensi, perkembangan yang sehat, prestasi

akademik dan problem perilaku.

Menurut Chen, kualitas hubungan orang tua-anak mereflesikan tingkatan

dalam hali kehangatan (warmth), rasa aman (security), kepercayaan (trust), afeksi

positif (positive affect), dan ketanggapan (responssiveness) dalam hubungan

mereka.

10

Page 14: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Rasa aman merupakan dimensi dalam hubungan yang berkembang karena

interaksi yang berulang yang memperlihatkan adanya kesiagaan, kepekaan, dan

ketanggapan. Rasa aman juga akan mendorong anak untuk berani melakukan

eksplorasi yang bermanfaat bagi perkembangan kompotensi.

Menurut Hinde relasi orang tua-anak mengandung beberapa prinsip

pokok, yaitu :

a. Interaksi. Orang tua dan anak berinteraksi pada suatu waktu yang

menciptakan suatu hubungan.

b. Konstribusi Mutual. Orang tua dan anak sama-sama memiliki sumbangan

dan peran dalam interaksi, demikian juga terhadap relasi keduanya.

c. Keunikan. Setiap relasi orang tua-anak bersifat unik yang melibatkan dua

pihak, dan karenanya tidak dapat ditirukan dengan orang tua atau dengan anak

lain.

d. Pengharapan Masa Lalu. Interaksi orang tua-anak yang telah terjadi

membentuk suatu cetakan pada pengharapan keduanya.

e. Antisipasi Masa Depan. Interaksi orang tua-anak bersift kekal, masing-

masing membangun pengharapan yang dikembangkan dalam hubungan

keduanya.

3. Relasi Antar Saudara

Para psikolog sebagaimana halnya orang tua, memiliki keyakinan bahwa

keberadaan saudara- baik kandung, tiri, maupun adopsi berpengaruh dalm

kehidupan anak-anak. Hubungan dengan saudara merupakan jenis hubungan yang

berlangsung dalam jangka panjang.

Pola hubungan antar saudara kandung juga dipengaruhi oleh cara orang

tua dalam memperlakukan mereka. Perlakuan orang tua yang berbeda terhadap

anak dapat berpengaruh pada kecemburuan, gaya kelekatan, dan harga diri yang

11

Page 15: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

pada gilirannya bisa menimbulkan distres pada hubungan romantis di kemudian

hari (Rauer & Volling, 2007).

Menurut Dunn (2002), pola hubungan antara saudara kandung dicirikan

oleh tiga karakteristik. Pertama, kekuatan emosi dan tidak terhambatnya

pengungkapan emosi tersebut. Kedua, keintiman yang membuat antar saudara

kandung saling mengenal secara pribadi. Ketiga, adanya perbedaan sifat pribadi

yang mewarnai hubungan di antara saudara kandung.

Pada satu sisi saudara kandung dapat dianggap sebagai pesaing dalam

memanfaatkan sumber daya dari orang tua. Walaupun berbagai penelitian

menunjukkan berbagai hal negatif dalam hubungan antar saudara yang dikenal

dengan sebutan sibling rivalry, namun keberadaan saudara kandung juga

bermanfaat (Ihinger Thallman & Hsiao, 2003), antara lain:

a. Sebagai tempat uji coba (testing ground).

b. Sebagai guru.

c. Sebagai mitra untuk melatih keterampilan negoisasi.

d. Sebagai sarana untuk belajar mengenai konsekuensi dari kerja sama dan

konflik.

e. Sebagai sarana untuk mengetahui manfaat dari komitmen dan kesetiaan.

f. Sebagai pelindung bagi saudaranya.

g. Sebagai penerjemah dari maksud orang tua dan teman sebaya terhadap

adiknya.

h. Sebagai pembuka jalan saat ide baru tentang suatu perilaku dikenalkan pada

keluarga.

E. Keberfungsian Keluarga

12

Page 16: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Keluarga merupakan tempat yang paling penting bagi perkembangan anak secara

fisik, emosi, spiritual, dan sosial. Karena keluarga merupakan sumber bagi kasih

sayang, perlindungan dan identitas bagi anggotanya. Menurut Berns (2004),

keluarga memiliki lima fungsi dasar, yaitu:

1. Reproduksi. Keluarga memiliki tugas untuk mempertahankan populasi yang

ada di dalam masyarakat.

2. Sosialisasi/edukasi. Keluarga menjadi sarana untuk transmisi nilai,

keyakinan, sikap, pengetahuan, keterampilan dan teknik dari generasi

sebelumnya ke generasi yang lebih muda.

3. Penegasan peran sosial. Keluarga memberikan identitas pada para

anggotanya seperti ras, etnik, religi, sosial-ekonomi, dan peran gender.

4. Dukungan emosi/pemeliharaan. Keluarga memberikan pengalaman

interaksi sosial yang pertama bagi anak. Interaksi yang terjadi bersifat

mendalam, mengasuh, dan berdaya tahan sehingga memberikan rasa aman

pada anak.

Keluarga memang bukan satu-satunya lembaga yang melakukan peran

sosialisasi, melainkan keluarga merupakan tempat pertama bagi anak dalam

menjalani kehidupannya. Keberfungsian keluarga dapat dinilai dari tingkat

kelentingan (resiliency) atau kekukuhan (stregth) keluarga dalam menghadapi

berbagai tantangan.

1. Kelentingan Keluarga

Pendekatan kelentingan keluarga bertujuan untuk mengenali dan

membentengi proses interaksi yang menjadi kunci bagi kemampuan keluarga

untuk bertahan dan bangkit dari tantangan kehidupan yang mengganggu (Walsh,

2006). Walsh mendefinisikan kelentingan sebagai kemampuan untuk bangkit dari

penderitaan, dengan menjadi lebih kuat dan lebih memiliki sumber daya.

13

Page 17: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Terdapat tiga faktor yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga, yaitu

sistem keyakinan, pola pengorganisasian keluarga, dan proses komunikasi dalam

keluarga. Sistem keyakinan merupakan inti dari kelentingan keluarga yang

mencakup tiga aspek yaitu kemampuan untuk memaknai penderitaan,

berpandangan positif yang melahirkan sikap optimis dan keberagaman.

Pola pengorganisasian keluarga mengindikasikan adanya struktur

pendukung bagi integrasi dan adaptasi dari unit atau anggota keluarga. Pola

pengorganisasian keluarga mencakup tiga aspek yaitu fleksibilitas, keterhubungan

(connectedness), serta sumber daya sosial dan ekonomi.

Komunikasi yang baik merupakan faktor yang penting bagi keberfungsian

dan kelentingan keluarga. Keterampilan yang menjadi elemen dari komunikasi

yang baik adalah keterampilan berbicara, mendengar, mengungkapkan diri,

memperjelas pesan, menyinambungkan jejak, menghargai dan menghormati.

Tiga aspek komunikasi yang menjadi kunci bagi kelentingan keluarga

adalah: (a) kemampuan memperjelas pesan yang memungkinkan anggota keluarga

untuk memperjelas situasi krisis; (b) kemampuan mengungkapkan perasaan yang

memungkinkan anggota keluarga untuk berbagi, saling berempati, berinteraksi

secara menyenangkan dan bertanggung jawab terhadap masing-masing perasaan

dan perilakunya; dan (c) kesediaan berkolaborasi dalm menyelesaikan masalah

sehingga berat sama dipikul dan yang ringan sama dijinjing.

2. Kekukuhan Keluarga

Kekukuhan keluarga merupakan kualitas relasi di dalam keluarga yang

memberikan sumbangan bagi kesehatan emosi dan kesejahteraan (well-being)

keluarga. Defrain dan Stinnett (2003) mendefinisikan enam karakteristik bagi

keluarga yang kuku sebagai berikut:

1. Memiliki Komitmen. Dalam hal ini keberadaan setiap anggota keluarga

diakui dan dihargai. Setiap anggota keluarga memiliki komitmen untuk saling

14

Page 18: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

membantu meraih keberhasilan, sehingga semangatnya adalah “satu untuk

semua, semua untuk satu”. Intiny adalah terdapat suatu kesetiaan terhadap

keluarga dan kehidupan keluarga menjadi prioritas.

2. Terdapat kesediaan untuk mengungkapkan apresiasi. Setiap orang

mengnginkan apa yang dilakukannya diakui dan dihargai, karena penghargaan

merupakan salah satu kebutuhan dasar manusia.

3. Terdapat waktu untuk berkumpul bersama. Sebagaian orang beranggapan

bahwa dalam hubungan orang tua-anak yang penting terdapat waktu yang

berkualitas, walaupun tidak sering.

4. Mengembangkan spiritualitas. Bagi sebagian keluarga, komunitas

keagamaan menjadi keluarga kedua yang menjadi sumber dukungan selain

keluarganya.

5. Menyelesaikan konflik serta menghadapi tekanan dan krisis dengan

efektif. Setiap keluarga pasti mengalami konflik, namun keluarga yang kukuh

akan bersama-sama menghadapi masalah yang muncul bukannya bertahan

untuk saling berhadapan sehingga masalah tidak selesai.

6. Memiliki ritme. Keluarga yang kukuh memiliki rutinitas, kebiasaan dan

tradisi yang memberikan arahan, makna, dan struktur terhadap

mengalirnyakehidupan sehari-hari.

F. Teori Sistem Keluarga

Salah satu pendekatan yang kini sering digunakan dalam kajian keluarga

adalah pendekatan teori sistem. Teori sistem pertama kali dicetuskan oleh

Minuchin (1974). Yang mengajukan skema konsep yang memandang keluarga

sebagai sebuah sistem yang bekerja dalam konteks sosial dan memiliki tiga

komponen. Pertama, struktur keluarga berupa sistem sosiokultural yang terbuka

dalam transformasi. Kedua, keluarga senantiasa berkembang melalui sejumlah

tahap yang mensyaratkan penstrukturan. Ketiga, keluaraga beradaptasi dengan

perubahan situasi kondisi dalam usahannya untuk mempertahankan kontinuitas

dan meningkatkan pertumbuhan psikososial tiap anggotanya.

15

Page 19: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Struktur keluarga adalah serangkaian tuntunan fungsional tidak terlihat

yang mengorganisasi cara-cara anggota keluarga dalam berinteraksi. Sebuah

keluaraga merupakan sistem yang beroperasi melalui pola transaksi.

Pola transaksi meregulasi perilaku anggota keluarga dipertahankan oleh

dua batasan. Pertama, aturan umum yang mengatur oganisasi keluarga. Kedua,

adanya harapan bersama terhadap anggota keluarga tertentu. Harapan tersebut

berasal dari negosiasi eksplisit maupun implisist di antara anggota keluaraga

dalam kehidupan sehari-hari.

Stres dalam sistem keluarga dapat datang dari empat sumber, yakni : (a)

kontak salah satu anggota dengan kekuatan di luar keluarga; (b) kontak seluruh

anggota keluarga dengan kekuatan di luar keluarga; (c) stres pada titik transaksi

dalam keluaraga, dan (d) stres yang timbul di sekitar problem anggota yang

berkebutuhan khusus atau keabnormalan fisik.

Menurut teori sistem, keluarga dianggap sebagai sebuah sistem yang

memiliki bagian-bagian yang berhubungan dan saling berkaitan. Randal D. Day

(2010) mengungkapkan bahwa keluarga sebagai sebuah sistem memiliki

karakteristik sebagai berikut :

1. Keseluruhan (the family as a whole). Memahami keluarga tidak dapat

dilakukan tanpa memahaminya sebagai sebuah keseluruhan.

2. Struktur (underlying structures). Suatu kehidupan keluarga berlangsung

berdasarkan suatu struktur, misalnya pola interaksi antaranggota keluarga

yang menentukan apa yang terjadi di dalam keluarga.

3. Tujuan (families have goals). Setiap keluarga memiliki tujuan yang ingin

mereka raih sebelum tema atau tujuan terungkap.

4. Keseimbangan (equilibrium). Keluraga merupakan sistem terbuka dan

bersifat dinamis, tujuannya akan menghadapi situasi dan kondisi di luar

dirinya yang berubah dan berkembang.

5. Kelembaman (morphostatis). Keluarga mempertahankan aturan dan menjaga

kelangsungan kehidupan sehari-hari agar berjalan dengan baik.

6. Batas-batas (boundaries). Setiap sistem memiliki batas-batas terluarnya

terpisah atau berbeda dengan sistem yang lain.

16

Page 20: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

7. Subsistem. Tugas utama subsistem keluarga adalah menjaga batas-batas

keluarga.

8. Equifinalty dan Equipotentiality. Berbagai permulaan dapat membawa pada

hasil yang sama, sementara satu permulaan yang sama dapat pula membawa

pada hasil akhir yang berbeda.

17

Page 21: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

BAB II

PRAKTIK PENGASUHAN ANAK (PARENTING)

A. Pendahuluan

Masa menjadi orang tua (parenthood) merupakan masa yang alamiah

terjadi dalam kehidupan seseorang. Seiring harapan untuk memiliki anak dari

hasil pernikahan maka, menjadi orang tua merupakan keniscayaan. Pada masa

lalu, menjalani sebagai orang tua cukup dengan meniru orang tua masa

sebelumnya. Dengan mengamati cra orang tua memperlakukannya sebagai anak,

masa sudah cukup bekal dikemudian hari.

Sebagaimana diungkapkan oleh kagan (lihat berns, 2004), melakukan

tugas parenting berarti menjalankan serangkaian keputusan tentang sosialisasi

kepada anak. Lebih lanjut Le Vine (lihat berns, 2004) menjalankan bahwa tujuan

universal parenting meliputi : (1) menjamin kesehatan dan keselamatan fisik (2)

mengembangkan kapasitas perilaku untuk menjaga diri dengan pertimbangan

ekonomis; dan (3) pemenuhan kapasitas perilaku untuk memaksimalkan nilai-nilai

budaya, misalnya moralitas, kemuliaan, prestasi.

Di dalam mengasuh terkandung makna menjaga/merawat/mendidik,

membimbing/memebantu/melatih, memimpin/mengepalai/menyelenggarakan.

Istilah asuh sering dirangkaikan dengan asah dan asih menjadi asah-asih-asuh.

Dengan rangkaian asah-asih-asuh maka, pengasuhan anak bertujuan untuk

meningkatkan atau mengembangkan kemampuan anak dan dilakukan dengan

dilandasi rasa kasih sayang tanpa pamrih.

B. Kesadaran Pengasuhan

Pengasuhan merupakan tanggungjawab utama orang tua, sehingga

sungguh disayangkan bila pada masa kini masih ada orang yang menjalani peran

orang tua tanpa kesadaran orang tua tanpa pengasuhan. Menjadi orang tua

18

Page 22: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

dijalani secara alamiah, sehingga konsekuensi dari menikah dan kelahiran anak.

Setelah menikah sebagian besar suami istri menginginkan kehadiran anak untuk

menyempurnakan perkawinan mereka.

Sebagian dari kita memiliki impian yang terbangun sepanjang hidup

semenjak masa kanak-kanak. Pada umumnya, masa dewasa tidak semuanya

impian anak-anak dan remaja akan teraih. Begitu menginjak dewasa dan

menikah. Biasannya tuntutan-tuntutan prgmatis akan memaksa kita untuk

menyisihkan impian tersebut. Kehadiran anak sering membangkitkan kita akan

impian masa kanak-kanak dan kemudian menstransfer impian tersebut menjadi

harapan-harapan yang dikontruksiskan dalam diri anak.

Selain memunculkan harapan, kelahiran anak juga memunculkan rasa

tanggungjawab. Rasa tanggungjawab ini muncul karena adanaya tuntutan osial

tentang kewajiban orang tua untuk memenuhi kebutuhan fisik maupun emosi

anak. Sebagai contoh adalah oarng tua yang terpaku terhadap tanggungjawab

semata dalam pengasuhan dan membesarkan anak. Tanggungjawab tersebut

diwujudkan dalam bentuk kepemilikan otoritas terhadap anak. Tak jarang model

pendisiplinan yag diterapkan bersifat kaku dan keras. Hukuman akan diberikan

pada anak bila tidak patuh. Situasi ini dapat membuka peluang terjadinya tindak

kekerasan terhadap anak.

Dalam pemenuhan harapan dan tanggungjawab, umumnya yang menonjol

adalah kepatuhan anak dan anggapan orang tua lebih tau yang terbaik bagi anak.

Manakala orang tua merasa memiliki potensi yang besar untuk mewujudkan

harapan dan tanggungjawab, maka ia cenderung otoriter. Namun bila orang tua

tak berdaya untuk mewujudkan harapan dan taggung jawab, maka ia akan

cenderung melakukan pembebasan atau pembiaran anak. Keterpakauan pada

harapan dan tanggungjawab semata dapat mengakibatkan pengasuhan anak

menjadi sumber stress terhadap kehidupan keluarga. Akibat orng tua kurang

optimal dalam melaksanakan pengasuhan dan anak pun dapat terkena imbasnya,

yakni kurang berkembang potensi yang dimilikinya.

19

Page 23: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Berbeda halanya bila tugas dan peran orang tua dijalnkan berdasarkan

kesadaran pengasuhan anak, yaitu suatu kesadaran bahwa pengasuhan anak

merupakan sarana untuk mengoptimalkan potensi anak, mengarahkan anak pada

pencpaian kesejahteraan, dan membantu anak dalam menyelesaikan tugas-tugas

perkembangan dalam setiap tahap kehidupannya dengan baik. Dengan memiliki

kesadaran pengasuhan, maka orang tua memiliki kesadaran pengasuhan, maka

orang tua menyadari dirinya merupakan agen yang pertama dan utama dalam

membantu mengembngkan kemampuan anak bersosialisasi. Orang tua melatih

anak agar mampu menghadapi dan beradaptasi dengan lingkungan.

C. Prespektif Ekologis Pengasuhan

Keluarga merupakan sistem yang terbuka sehingga dapat dipengaruhi

konteks sosial yang melingkupinya. Dengan demikian, keberhasilan pelaksanaan

tugas pengasuhan anak juga dipengaruhi oleh lingkungannya.

Sekolah dan komunitas sebagai mesosystem berpengaruh terhadap pola

asuh dan jalinan kerja sama yang harmonis, maka sekolah dan komunitas dapat

menjadi pendukung bagi orang tua untuk menjalankan pengasuhan.

Efek microsystem terjadi melalui relasi orang tua anak dalam keluarga

yang berupa pola asuh orang tua. Hasil penelitian menunjukkan bahwa gaya

pengasuhan memiliki dampak terhadap prilaku anak, seperti perkembangan

kompetensi, prilaku prososial, motivasi berprestasi, pengaturan diri, dan kelekatan

anak dengan orang tua (Brens, 2004).

D. Stres Pengasuhan (Parenting Stress)

Dalam ilmu biomedis stres diartikan sebagai respons organisme terhadap

stimulasi yang merugikan atau tidak menyenangkan. Dalam psiologi stres

dipahami sebagai proses yang dijalani seseorang ketika berinteraksi dengan

lingkungan.

20

Page 24: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Bila ditinjau dari penyebab dan akibat stres pengasuhan, terdapat dua

pendekatan yang utama. Kedua pendekatan tersebut adalah teori P-C-R (parent-

child-relationship) dan teori daily hassles.

Karekteristik orang tua tersebut dapat memicu stres pengasuhan.

Sebaliknya karakteristik anak juga dapat memicu stres pengasuhan. Adapun

dimensi relasi orang-tua anak yang memicu stres pengasuhan adalah derajat

konflik yang muncul dalam interaksi orang tua-anak.

Faktor-faktor yang dapat mendorong timbulnya stres pengasuhan dapat

dibedakan menjadi tiga tingkatan, yaitu individu, keluarga, dan lingkungan. Pada

tingkatan idividu, faktor-faktor tersebut dapat bersumber dari pripadi orang tua

maupun anak.

Maslah keluarga dan struktur keluarga merupakan faktor-faktor yang

mendorong timbulnya stres pengasuhan pada tingkatan keluarga. Aspek keuangan

dapat berupa tingkat penghasilan keluarga yang rendah dan dihadapkan pada

tuntutan kebutuhan yang tinggi atau kualitas tempat tinggal yang buruk.

Selain dirasakan oleh orang tua, stres pengasuhan juga dirasakan oleh

anak. Kondisi stres ini dapat berlangsung dalam jangka panjang selama

berlangsunnya proses pengasuhan.

Kondisi stres dapat berlangsung dalam jangka pendek, situasional atau

eksidental, bila sumber stres lebih dominan pada situasi lingkungan. Namun, bila

tidak segera diatasi atau dikelola dengan baik, kondisi stres ini dapat berlangsung

dalam jangka panjang juga.

Bagi orang tua, ketidakmampuan untuk mengelola sters pengasuhan dapat

menyebabkannya mudah melakukan tindak kekerasan pada anak, yang akhirnya

berdapak buruk pada pembentukan kepribadian anak. Selain itu juga dapat

menyebabkan munculnya perasaan gagal dan ketidakpuasan dalam menjalankan

tugas sebagai orang tua (pareanting dissatisgaction).

21

Page 25: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Stres merupakan situasi yang bisa muncul dalam berbagai aspek

kehidupan, tak terkecuali dalam pengasuhan anak. Para ahli mengatakan bahwa

hidup yang tanpa stres bukan kehidupan yang baik.

Strategi mengatasi stres dengan memfokuskan pada emosi merupakan

strategi coping dengan mengubah pengalaman emosi terhadap stres dan bukan

mengubah sumber stres. Cara ini efektif dilakukan apabila individu merasa bahwa

sumber stres berada diluar kendalinya.

Strategi pemecahan masalah merupakan strategi coping mendekati stres,

yang dilakukan seseorang dengan merencanakan tindakan sebagai upaya untk

menghilangkan atau meminimalkan dampak dari stres. Mislanya pasangan dapat

bekerja sama melakukan pengasuhan untuk mengurangi frekuensi dari prilaku

buruk anak dan menginkatkan prilaku prosialnya.

Secara umum, strategi yang memfokuskan kepada masalah dan strategi

pemecahan masalah lebih efektif untuk mengurangi dampak stres pengasuhan

dibangdingkan dengan strategi yang memfokuskan pada emosi dan strategi

menghindari stres.

Meskipun menjadi orang tua merupkan suatu siklus alamiah dalam

kehidupan, namun kemampuan untuk menjadi orang tua bukan kemampuan yang

dapat diperoleh begitu saja. Menjadi orang tua, dalam arti melahirkan anak dan

mengasuhnya, perlu disadari sebagai pilihan hidup, sebagaimana pilihan-pilihan

hidup lainnya.

E. Gaya Pengasuhan Dan Interaksi Orang Tua-Anak

Pengasuhan anak dipercaya memiliki dampak terhadap perkembangan

individu. Dalam memahami dampak pengasuhan orang tua terhadap

perkembangan anak pada mulanya terdapat dua aliran yang dominan, yaitu

psikoanalitik dan belajar sosial (social learning).

22

Page 26: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Pendekatan tipologi memahami bahwa terdapat dua dimensi dalam

pelaksanaan tugas pengasuhan, yaitu demandingness dan responssiveness.

Gaya pengasuhan yang primisif biasanya dilakukan oleh orang tua yang

terlalu baik, cenderung memberi banyak kebebasan pada anak-anak dengan

menerima dan memaklumi segala prilaku, tuntutan dan tindakan anak, namun

kurang menuntut sikap tanggung jawab dan keteraturan prilaku anak.

Gaya pengasuhan otoriter dilakukan oleh orang tua yang berusaha

membentuk, mengontrol, mengevaluasi prilaku, dan tindakan anak agar sesuai

dengan aturan standar. Aturan tersebut biasanya bersifat mutlak yang dimotifasi

oleh semangat teologis dan diberlakukan dengan otoritas yang tinggi.

Pendekatan tipologi menganggap bahwa gaya pengasuhan yang paling

baik adalah yang bersifat otoritatif. Orang tua mengarahkan prilaku anak secara

rasional, dengan memberikan penjelasan terhadap maksud dari aturan-aturan yang

diberlakukan.

Gaya pengasuhan merupakan serangkaian sikap yang ditunjukkan oleh

orang tua kepada anak untuk menciptakan iklim emosi yang melingkupi interaksi

orang tua-anak. Gaya pengasuhan berbeda dengan prilakuk pengasuhan yang

dicirikan oleh tindakan spesifik dan tujuan tertentu dari sosialisasi.

Terdapat pandangan yang berbeda mengenai interaksi antara orang tua dan

anak. Sebagian memandang bahwa sikap orang tua yang mempengaruhi prilaku

anak. Dalam interaksi ini karakteristik orang tua menentukan bagaimana orang tua

memperlakukan anak, yang selanjutnya membentuk karakter anak.

Sementara pendapat yang lain mengatakan bahwa sikap orang tua

tergantung pada prilaku anak. Dalam interaksi ini, orang tua dipandang lebih

adaptif dan prilakuknya kepada anak merupakan reaksi kepada anak merupakan

reaksi terhadap prilaku anak.

23

Page 27: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Dalam kenyataannya anak-nak yang tumbuh dalam asuhan orang tua yang

sama, tidak memperlihatkan karakter yang seragam pada masa dewasanya. Hal

ini memperlihatkan bahwa proses kerja pengasuhan tidak berlangsung dalam satu

arah.

Pendekatan interaksi orang tua anak memfokkuskan pada hubungan dua

pihak dan memandang hubungan orang tua-anak sebagai bagian dari suatu

keseluruhan. Orang tua dan anak sama-sama dianggap memiliki kontribusi

terhadap proses pengasuhan.

Dimensi kepribadian yang dikenal sebagai big five dapat mempengaruhi

kepekaan, ketanggapan, dan ungkapan emosi orang tua dalam pengasuhan.

Demikian juga beban kerja dapat mempengaruhi stres pengasuhan. Selain itu,

jenis pekerjaan dapat pula mempengaruhi pengasuhan. Dalam cakupan yang lebih

luas konteks sosial dan budaya turut mempengaruhi pelaksanaan pengasuhan.

F. Pengasuhan dalam Konteks Lintas Budaya

Dalam kajian antropologi diungkapkan bahwa pengasuhan anak dalam

keluarga Jawa lebih menekankan pada kontrol emosi diri dan harmoni dalam

hubungan sosial. Sebagai implikasinya masyarakat Jawa tidak mendorong

munculnya perilaku agresif terhadap teman sebaya apalagi terhadap orang tua.

Anak-anak didorong untuk menyelesaikan masalah dengan bermusyawarah

daripada menggunakan agresi fisik maupun verbal. Anak-anak yang

menggunakan pembalasan secara fisik dan verbal akan mendapatkan teguran,

sedangkan anak yang mampu menenangkan dirinya serta pihak yang

menyerangnya akan mendapatkan ganjaran (Williams, 1991).

Hasil penelitian Farver, Welles-Nystrom, Frosch, Wimbarti, dan Hoppe-

Graff (1997) menunjukkan bahwa anak-anak Indonesia (Jawa) dalam perilaku

sosialnya dikontrol memalui rasa bersalah, rasa malu, takut terhadap gosip, dan

setiap anggota masyarakat dapat mendisiplinkan anak setiap kali berperilaku

buruk daripana anak-anak Amerika yang lebih agresif. Ada pula pendapat Haar

24

Page 28: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

dan Krahe bahwa remaja Indonesia lebih memilih untuk menggunakan strategi

resolusi konflik yang mengedapankan respon kepatuhan atau kompromi daripada

respon yang bersifat konfrotatif pada remaja Jerman.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pengasuhan anak yang

dilakukan orang tua dipengaruhi oleh konteks budaya tempat keluarga berasal

maupun lingkungan tempat tinggal. Orang tua dapat saja melakukan cara-cara

yang berbeda dalam mengasuh anak, meskipun tujuan yang akan dicapai sama.

Sebaliknya, dimungkinkan pula terdapat cara yang sama yang digunakan orang

tua dalam budaya yang berbeda, namun tujuan yang akan dicapai berbeda.

Kekhasan budaya menjadi aspek penting yang perlu diperhatikan bila akan

mengkaji pengasuhan anak.

G. Perilaku dan Praktik Pengasuhan

Carlo, Mcginley, Hayes, Batenhorst, dan Wilkinson (2007), menemukan

bahwa praktik pengasuhan memilki signifikansi lebih tinggi daripada gaya

pengasuhan terhadap perilaku prososial remaja. Darling dan Steinberg (1993)

menjelaskan melalui model integratifnya, bahwa gaya pengasuhan menjadi

konteks yang mempengaruhi kesediaan anak untuk melakukan sosialisasi,

sedangkan praktik pengasuhan yang berkaitan dengan akibatan pada perilaku

anak.

Praktik pengasuhan adalah perilaku pengasuhan dengan muatan tertentu

dan memiliki tujuan sosialisasli (Darling dan Steinberg, 1993). Dengan kata lain

praktik pengasuhan dapat dikonseptualkan sebagai sistem interelasi yang dinamis

yang mencakup pemantauan, pengelolaan perilaku, dan kognisi sosial dengan

kualitas relasi orang tua-anak sebagai pondasinya (Dishion & McMahon, 1998).

Berikut ini bentuk-bentuk perilaku pengasuhan yang terdapat dalam telasi orang

tua-anak, yakni :

25

Page 29: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

1. Kontrol dan Pemantauan

Baldwin mengartikan kontrol adalah sebagai penekanan terhadap adanya

batasan-batasan terhadap perilaku yang disampaikan secara jelas kepada anak.

Bagi Bumrind kontrol yang tegas adalah ketika orang tua membuat tuntutan-

tuntutan yang seusuai dengan usia anak. Secara lebih spesifik, Barber (1996)

membedakan antara kontrol psikologis dan kontrol perilaku. Kontrol psikologis

adalah upaya-upaya pengendalian yang bersifat memaksa terhadap perkembangan

psikologis dan emosi anak. Sedangkakn kontrol perilaku adalah upaya orang tua

untuk mengatur dan mengelola perilaku anak.

Pemantauan merupakan salah satu cara orang tua untuk mengembangkan

kontrol pada anak. Montemator (2001) mendefinisikan pemantauan sebagai

aktivitas yang memungkinkan orang tua mengetahui keberadaan remaja, aktivitas

yang dilakukan, dan teman-temannya. Waizenhofer dkk. (2004) membedakan

pemantauan terhadap aktivitas yang dilakukan oleh anak menjadi dua, yaitu (1)

metode aktif, yakni dengan menanyakan langsung pada anak atau berpartisipasi

dalam aktivitas yang dilakukan oleh anak; (2) metode pasif, yakni dengan

mengetahui aktivitas rutin atau mendapatkan informasi dari orang lain yang

mengetahui tanpa menanyakannya pada anak. Dengan melakukan pemantauan,

orang tua memiliki pengetahuan tentang aktivitas yang dilakukan oleh anak.

2. Dukungan dan Kerterlibatan

Dukungan orang tua, yang mencerminkan ketanggapan orang tua atas

kebutuhan anak merupakan hal yang sangat penting bagi anak. Ellis, Thomas dan

Rollins (1976) mendefinisikan dukungan orang tua sebagai interaksi yang

dikembangkan oleh orang tua yang dicirikan oleh perawatan, kehangatan,

persetujuan, dan berbagai perasaan positif orang tua terhadap anak. Dukungan

orang tua membuat anak merasa nyaman terhadap kehadiran orang tua dan

menegaskan dalam benak anak bahwa dirinya diterima dan diakui sebagai invidu

(Larsen & Dehle, 2007; Young, Miller, Norton & Hill, 1995). Dukungan orang

tua kepada anak dapat berupa dukungan emosi dan dukungan instrumental (Van

Beest & Baerveldt, 1999; Young dkk. , 1995). Dukungan emosi mengarah pada

26

Page 30: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

aspek emosi dalam relasi orang tua-anak, yang mencakup perilaku-perilaku yang

secara fisik atau verbal menunjukkan afeksi atau dorongan dan komunikasi yang

posirif atau terbuka (Barber & Thomas, 1986; Felson & Zielinski, 1989; Van

Beest & Baerveldt, 1999; Young dkk. , 1995). Dukungan instrumental mencakup

perilaku-perilaku yang tidak menunjukkan afeksi secara terbuka, namun masih

berkontribusi pada perasaan diterima dan disetujui yang dirasakan anak (Van

Beest & Baervledt, 1999).

Dukungan orang tua terbukti berdampak positif pada harga diri, penurunan

perilaku agresif, kepuasan hidup, dan pencapaian prestasi akademik. Dukungan

orang tua yang baik adalah yang berupa dukungan otonom di mana orang tua

bertindak sebagai fasilitator bagi anak untuk menyelesaikan masalah, membuat

pilihan, dan menentukan nasib, bukan dukungan direktif di mana orang tua hanya

berperan sebagai pemberi instruksi, mengendalikan, dan cenderung mengambil

alih.

Keterlibatan orang tua adalah suatu derajat yang ditunjukkan orang tua

dalam hal ketertarikan, berpengetahuan, dan kesediaan untuk berperan aktif dalam

aktivitas anak sehari-hari (Wong, 2008). Keterlibatan orang tua diartikan sebagai

persepsi orang tua terhadap keterlibatannya dalam pengasuhan anak dalam bentuk

partisipasi aktif ketika bermain dan mengisi waktu luang maupun kontribusi

substantif dalam perawatan dan supervisi (Williams & Kelly, 2005).

3. Komunikasi

Hasil-hasil penelitian telah menegaskan bahwa komunikasi orang tua-anak

dapat mempengaruhi fungsi keluarga secara keseluruhannya dan kesejahteraan

psikososial pada diri anak (Shek, 2000). Clark dan Shiled (1997) menemukan

bukti bahwa komunikasi yang baik antara orang tua-anak berkolerasi dengan

rendahnya keterlibatan anak dalam perilaku delinkuen. Orang tua dan remaja

dapat juga dapat menjadikan komunikasi sebagai indikator rasa percaya dan

kejujuran dengan mencermati nada emosi yang terjadi dalam interaksi antar

anggota keluarga.

27

Page 31: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Fitzpatrick dan Badzinski (Baxter dan Clark, 1996) menyebutkan dua

karakteristik yang menjadi fokus penelitian komunikasi keluarga dalam relasi

orang tua-anak. Pertama, komunikasi yang mengontrol yakni tindakan

komunikasi yang mempertegas otoritas orang tua atau egalitarianisme orang tua-

anak. Kedua, komunikasi yang mendukung yang mencakup persetujuan,

membesarkan hati, ekspresi afeksi, pemberian bantuan, dan kerja sama.

Komunikasi orang tua-anak sangat penting bagi orang tua dalam upaya

melakukan kontrol, pemantauan, dan dukungan pada anak. Tindakan orang tua

mengontrol, memantau, dan memberikan dukungan dapat dipersepsi positif atau

negatif oleh anak, diantaranya dipengaruhi oleh cara orang tua berkomunikasi.

Oleh karena itu, banyak program intervensi yang ditujukan utnuk meningkatkan

efektivitas pengasuhan yang memfokuskan pada peningkatan keterampilan

komunikasi (Blake, Simkin, Ledsky, Perkins, Calabrese, 2001; Carlson, Moore,

Pappas, Werch, Watts, Edgermon,2000; Riesch, henriques, & Chanchong, 2003).

4. Kedekatan

Kehangatan (warmth) merupakan salah satu dimensi dalam pengasuhan

yang menyumbang akibat-akibattan positif bagi perkembangan. Kedekatan

merupakan aspek penting dalam kehangatan yang memprediksikan kepuasan

pengasuhan dan keterlibatan anak dalam aktivitas keluarga (Paulson, Hill, &

Holmbeck, 1991). Jika kehangatan berkenaan dengan perasaan postif secara

umum terhadap keluarga, kedekatan merupakan aspek yang lebih spesifikyang

mencakup keintiman, afeksi positif, dan pengungkapan diri. Kedekatan

mengisyaratkan adanya saling ketergantungan pada perasaan terhubung (Laursen

& Williams, 1997; Regnerus & Luchies, 2006).

Kedekatan orang tua dengan anak memberikan keuntungan secara tidak

langsung, seperti yang diungkap Rodgers (1999) yakni bila tingkat kedekatan

orang tua dengan tidak tinggi, maka remaja cenderung mempersepsikan

pemantauan yang dilakukan oleh orang tua sebagai gangguan. Kedekatan orang

tua dengan anak terbukti berkolerasi negatif dengan keterlibatan anak dalam

28

Page 32: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

perilaku delinkuensi (Svensson, 2004). Demikian juga bila ada rasa saling

percaya antara anak dan orang tua, maka pemantauan yang dilakukan orang tua

dimaknai sebagai bentuk perhatian (Shek,2006).

5. Pendisiplinan

Pendisiplinan merupakan salah satu bentuk dari upaya orang tua untuk

melakukan kontrol terhadap anak. Pendisiplinan biasanya dilakukan orang tua

agar anak dapat menguasai suatu kompetensi, melakukan pengaturan diri, dapat

menaati aturan, dan mengurangi perilaku-perilaku menyimpang atau berisiko.

Keberhasilan pendisiplan antara lain ditentukan oleh cara yang digunakan.

Pendisiplinan yang keras dipercayai justru dapat berdampak negatif pada perilaku

anak (McKee, Roland, Coffelt, Olson, Forehand, Massari, Jones, Gaffney, &

Zens, 2007; Kerr, Lopez, Olson, Sameroff, 2004). Berbagai kajian tersebut

menemukan korelasi antara pemberian hukuman yang keras dan sifat agersi anak.

Sebaliknya, orang tua yang bersedia memberikan instruksi yang jelas, bersikap

mendukung, dan memberlakukan batasan-batasan dapat memprediksi rendahnya

simtom ekternalisasi problem perilaku anak.

Cara orang tua melakukan pendisiplinan dapat dibedakan menjadi tiga,

yaitu unjuk kekuasaan (power asertion), teknik induktif (induction), dan

penarikan kasih sayang (love witdrawal) (Patrick & Gibbs, 2007). Unjuk

kekuasaan dilakukan orang tua dengan menggunakan kekuatan baik langsung

maupun tidak langsung, misalnya memberi hukuman fisik. Orang tua

menggunakan wewenang, keuggulan fisik, dan pengelolaan sumber daya untuk

melakukan kontrol pada anak.

Dalam kaitannya dengan perilaku moral, pendisiplinan moral,

pendisiplinan tua berkorelasi dengan dua dimensi hati nurani yakni afeksi moral

(moral affect) dan pengetahuan moral (moral cognition). Pendisiplinan yang

disertai penalaran (pendisiplinan induktif) dan rendahnya unjuk kekuasaan orang

tua (parental power assertion) berkorelasi dengan tingginya afeksi moral,

sedangkan tinnginya disiplinan yang keras berkolaresi dengan pengetahuan moral

29

Page 33: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

yang tinggi (Laible, Eye, & Carlo, 2008). Padahal, menurut Ryan dan Lickona

(1992) pengetahuan moral tinggi bila tidak disertai dengan dengan afeksi moral

tidak mendorong terwujudnya perilaku moral pada anak. Berbeda halnya bila

afeksi moral anak juga berkembang, maka nilai-nilai moral terinternalisasi pada

anak sehingga anak dapat teguh berperilaku moral meskipun tidak ada orang tua

yang mengawasinya.

H. Pengasuhan Bersama

Pengasuhan anak akan memberikan hasil yang lebih baik bila ayah dan ibu

menjalankan pengasuhan bersama (coparinting), yaitu bila orang tua bersikap

saling mendukung dan bertindak sebagai satu tim yang bekerja sama, bukan saling

bertentangan. Pada umumnya untuk tujuan yang sama, ayah dan ibu menjalankan

peran yang berbeda. Suatu studi tentang proses sosialisasi kepercayaan (trust)

oleh orang tua kepada anak, yang dilakukan oleh Roterberg (1995) menemukan

bahwa ibu berperan membentuk keyakinan (belief) tentang pentingnya

kepercayaan, sedangkan ayah berperan membentuk perilaku memercayai

()trusting behavior).

Doherty dan Beaton (2004) mengajukan model konseptual dari

pelaksanaan pengasuhan bersama yang menengarai adanya lima faktor yang

mempengaruhi, yaitu status perkawinan, konteks, ibu, ayah, dan anak. Status

perkawinan merupakan variabel pusat, karena hal ini akan menjadi konteks bagi

faktor-faktor yang lain. Secara umum ada atau tidaknya hubungan perkawinan

(baik secara hukum maupun fungsional) sangat berpengaruh terhadap pelaksanaan

pengasuhan bersama. Pada pasangan yang menikah, kualitas perkawinan menjadi

aspek yang menetukan pengasuhan bersama. Pasangan menikah saling

menyayangi dan mendukung akan memberi pengaruh positif pada pelaksanaan

pengasuhan bersama. Namun, ayah akan cenderung menarik diri dari keterlibatan

dengan anak atau pengasuhan bersama pada pasangan yang berkonflik.

Faktor konteks yang berpengaruh terhadap pelaksanaan pengasuhan

bersama antara lain krisis ekonomi, kesempatan kerja, keseukuan, harapan-

30

Page 34: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

harapan budaya, dan dukungan komunitas. Krisis ekonomi berpengaruh secara

tidak langsung berupa meningkatkan distres emosi orang tua dan konflik

pasangan.

Pengharapan budaya terhadap peran ideal ibu dan ayah banyak

mempengaruhi pelaksanaan pengasuhan bersama. Pada abad ke-20 sekarang ini

sebagian masyarakatat memandang ideal peran setara antara ayah dan ibu dalam

pengasuhan anak.

Faktor ibu dan ayah yang mempengaruhi pelaksanaan pengasuhan

bersama antara lain kondisi psikologis, asal-usul keluarga, pengharapan terhadap

pengasuhan bersama, dan karakteristik pekerjaan. Pada umumnya pengharapan

ibu terhadap keterlibatan ayah dalam pengasuhan lebih berpengaruh dari pada

pengharapan ayanh sendiri.

31

Page 35: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

BAB III

NILAI DAN PENDIDIKAN NILAI

A. Pendahuluan

Salah satu strategi yang perlu didorong adalah cara preventif berupa

pendidikan moral antikorupsi, terutama pada kaum muda yang yang akan menjadi

pelaku utama bernegara dan berbangsa di masa depan. Salah satuhnya adalah

dengan menanamkan nilai kejujuran pada anak sejak dini, baik melalui jalur

keluarga maupun sekolah.

Di sisi lain, iklim globalisasi yang ditandai oleh pesatnya perkembangan

teknologi informasi telah menimbulkan gejala merosotnya moral kesusialaan.

Pada gilirannya hal ini dapat memerosotkan nilai-nilai keluarga yang

sesungguhnya dijunjung tinggi oleh budaya masyarakat kita. Sebagai masyarakat

dengan budaya kolektivistik, keluarga merupakan sendi yang snagat penting bagi

kehidupan bangsa.

B. Definisi Nilai

Kerangka kerja teoritis tentang hierarki nilai pada mulanya diajukan oleh

Spranger pada tahaun 1928, dan dielaroborasi lebih lanjut oleh Allport melalui

Study of values test (AVL) yang mengungkapkan bahwa setiap orang memiliki

kombinasi enam tipe nilai, yakni teoritis, ekonomi, estetik, sosial, politik, dan

religi, (lihat, Gari, mylonas, & karaggianni, 2005). Kerangka kerja nilai lainnya

dipaparkan oleh Lasswell (lihat, Gari, mylonas, & karaggianni, 2005), yang

mencakup delapan kategori, yakni kekuasaan, kekayaan, hormat, cinta, moralitas,

keamanan, spsesialisasi profesi, dan nilai dari pendidikan. Nilai-nilai tersebut

merujuk pada tujuan atau konsepsi ideal yang didambakan dan tindakan yang

ditujukan untuk memperoleh dan memtransmisikan pengetahuan.

32

Page 36: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Nilai (values) dapat diartikan sebagai kualitas atau belief yang diinginkan

atau dianggap penting (Berns, 2004). Menurut Oyserman (2001), nilai dapat

dikonseptualkan dalam level individu dan level kelompok. Dalam level individu,

nilai merupakan representasi sosial atau keyakinan moral yang diinternalisasi dan

menggunakan orang sebagai dasar rasional terakhir dari tindakan-tindakannya.

Walaupun setiap individu berbeda dan relatif dalam menempatkan nilai tertentu

sebagai hal yang terpenting, nilai tetap bermakna bagi pengaturan diri terhadap

dorongan-dorongan yang mungkin bertentangan dengan kebutuhan kelompok atau

tempat individu berada. Dengan demikian nilai sangat berkaitan dengan

kehidupan sosial. Dalam level kelompok , nilai adalah script atau ideal budaya

yang dipegang secara umum oleh anggota kelompok, atau dapat dikatakan sebagai

pikiran sosial kelompok (the group’s social mind).

Berikut ini diuraikan dua konsep tentang nilai yang sering dijadikan

rujukan dalam mengungkap niali, yakni konsep nilai dar Rokeach dan konsep

nilai dari schwartz.

1. Konsep Nilai Rokeach

Rokeach memublikasikan konsep tentang nilai dalam bukunya pada tahun

1973. Rokeach mendefinisikan nilai sebagai berikut:

“Enduring belief a spesific mode of conduct or end state of

existance is personally or socially prefetable to an opposite or

converse mode of conduct or end state of existence. ” (Rokeach,

1973, p. 5)

Dari konsep yang dikemukakan Rokeach tampak jelas bahwa nilai bersifat

stabil, karena nilai bukan merupakan evaluasi terhadap tindakan atau objek

spesifik, melainkan lebih merepresentasikan kriteria normatif yang digunakan

utnuk membuat suatu evaluasi (Rokeach, 1973). Oleh karena itu nilai diurutkan

secara hierarki berdasarkan tingkat kepentingan relatif individu, sehingga

dimungkinkan bagi individu untuk mengenali prioritas nilai dalam rangka mencari

33

Page 37: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

jalan keluar dari konflik yang muncul antara nilai-nilai yang bersaing dalam

situasi spesifik (Lyons, Duxbury, 7 Higgins, 2005).

Rokeach menganggap nilai sebagai daya yang dapat menggerakkan

perilaku, sehingga nilai menjadi instrumen untuk menjelaskan perilkaua pelaku

(Aavik, Aavik 7 Korgesaar, 2006). Rokeach mengembangkan instrumen Rokeach

Value Survey (RVS) untuk mengukur nilai yang dimiliki individu dengan

meminta responden untuk memeringkatkan serangkaiana nilai sesuai dengan

kepentingan pribadinya. Nilai instrumental merupakan n ilai-nilai yang memandu

perilaku, misalnya kesopanan. Sedangkan nilai terminal merupakan kualitas atau

keadaan akhir dari keberadaan yang diharapkan, misalnya kebahagiaan (Gregory,

2000; Lyons, Duxbury, & Higgins, 2005).

2. Konsep Nilai Schwartz

Pengembangan teori tentang nilai yang berikutnya dipelpori oleh Schwartz

dan koleganya. Schwartz dan Bilsky (1987) mengungkapkan bahwa nilai

merepresntasikan respons individu secara sadar terhadap tiga kebutuhan

dasar,yakni kebutuhan fisiologi,kebutuhan interaksi sosial,dan kebutuhan akan

institusisosial yang menjamin keberlangsungan hidup dan kesejahteraan

kelompok. Dengan demikian,nilai merupakan respon kognitif terhadap tiga

kebutuhan dasar yang diformulasikan sebagai tujuan motivasi.

Dalam pandangan Schwartz (2007), nilai memiliki lima karakteristik

uatama yaitu:

a. Merupakan keyakinan yang terikat secara emosi;

b. Menjadi konstruk yang melandasi motivasi individu;

c. Bersifat transendental terhadap situasi atau tindakan spesifik;

d. Menjadi standar kriteria yang menuntunindividu dalam menyeleksi dan

mengevaluasi tindakan,kebijakan,orang maupun peristiwa;dan

e. Dimiliki individu dalam suatu hierarki prioritas.

34

Page 38: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Nilai (values) didenifisikan sebagai konsepsi yang diinginkan yang

memadu cara individu dalam menyeleksi tindakan,mengevaluasi orang dan

peristiwa, dan menjelaskan tindakan maupun melakukan evaluasi

(Schwartz,1999). Nilai adalah kriteria trans-situasi atau tujuan yang diurutkan

berdasarkan kepentingan sebagai prinsip yang memandu dalam kehidupan.

Sebagai anggota kelompok budaya,individu berbagi pengalamannya yang relevan

dengan nilai dengan budaya dan mereka disosialisasikan untuk menerima nilai-

nilai sosial bersama. Dengan demikian,nilai yang dimiliki individu merupakan

produk dari pengalaman pribadi dan nilai-nilai budaya bersama yang ada di

lingkungan tempat tinggalnya. Meskipun demikian,perbedaan prioritas nilai antar-

individu tetap dapat terjadi karena adanya perbedaan pengalaman dan

kepribadian.

Dalam model awalnya,Schwartz dan Bilsky (1987) mengajukan delapan

tipe nilai. Kemudian pada tahun 1992,Schwartz mengajukan revisi modelnya

dengan membagi nilai menjadi 10 tipe (Lyons,Duxbury, & Higgins, 2005).

Bersama para koleganya Schwartz melakukan kajian lintas budaya dan

mengkonstruksikan 10 nilai dasar yang diakui individu dari berbagai budaya

(Schwartz & Bardi, 2001),yaitu pengarahan diri (self-direction), stimulasi

(stimulation), hedonisme (hedonism), prestasi (achievement), kekuasaan (power),

keamanan (security), konformitas (conformity), tradisi (tradition), kebijakan

(benevolent), dan universalisme (universalism). Kesepuluh nilai tersebut

dikelompokkan dalam empat golongan, yaitu keterbukaan terhadap perubahan

(openness to change), transendensi diri (self-transcendence), konservasi

(convervation), dan peningkatan diri (self-enhacement).

Kesepuluh nilai tersebut merupakan nilai yang ada hampir di setiap negara

dari 63 negara tempat studi dilakukan. Analisis multidimensi yang dilakukan

terhadap relasi nilai-nilai tunggal dalam 47 budaya menunjukkan adanya replikasi

yang mendukung diskriminasi dari 10 tipe niali yang dipostulatkan. Analisis yang

dilakukan pada tiap budaya juga membuktikan bahwa 45 nilai tunggal yang

35

Page 39: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

terdapat dalam tabel 2 memiliki makna yang hampir ekuivalen antarbudaya

(Schwartz & Bardi,2001)

Kesepuluh nilai dasar yang dirangkumtelah mencakup semua nilai dasar

yang dikenali dalam budaya-budaya di dunia. Kesepuluh nilai tersebut juga

mencakup ketegori isi yang berbeda yang ditemukan dalam teori-teori nilai

sebelumnya, dalam kuesioner nilai dari budaya yang berbeda, dan dalam diskusi

agama dan filosofi tentang nilai. Semua item dalam daftar nilai yang spesifik dari

budaya yang berbeda dimungkinkan untuk dapat diklasifikasikan ke dalam salah

satu dari sepuluh nilai dasar motiviasi tersebut (Schwartz, 2007).

Selain mengidentifikasisepuluh nilai dasar,teori nilai juga memberikan

penjelasan tenang dinamika relasi antarnilai tersebut. Suatu tindakan yang

dilakukan individu untuk mengejar suatu nilai dapat menimbulkan konsekuensi

psikologis,praktis,dan sosial yang mungkin berkonflik atau kongruen dengan

pengejaran nilai yang lainnya.

Sunan sirkuler merepresantasikan kontinum motivasi. Semakin dekat letak

dua nilai dalam lingkaran, semakin mirip motivasi yang melandasinya.

Sebaliknya, semakin jauh jarak antara dua nilai, maka semakin antagonis motivasi

yang melandasinya.

Lebih lanjut Schwartz (2007) menjelaskan bahwa konflik dan kongruensi

antar 10 nilai dasar menghasilkan struktur nilai yang terinterasi. Struktur tersebut

dapat dirangkum dalam dua dimensi ortogonal, yakni peningkatan dari vs.

Transendensi diri dan keterbukaan terhadap perubahan vs. Konservasi. Dalam

dimensi peningkatan diri vs. Transendensi diri, nilai kekuasaan dan prestasiyang

sama-sama menekankan pada kepentingan pribadi berlawanan dengan nilai

universalisme dan kebijakan yang lebih menekankan pada kesejahteraan dan

kepentingan orang lain. Dalam dimensi keterbukaan terhadap perubahan vs.

Konsrvai,nilai pengarahan diri dan stimulasi berlawanan dengan nilai keamanan,

konformitas, dan tradisi. Nilai pengarahandiri dan stimulasi pada kemandirian

dalam bertindak, berpikir, dan berperasaan, serta kesiapan menghadapi

36

Page 40: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

pengalaman baru, sedangkan nilai keamanan, konformitas, dan tradisi

menekankan pada pembatasan diri, keteraturan dan resistensi terhadap perubahan.

Hedonism, membagi elemen dari keterbukaan terhadap perubahan dan

peningkatan diri.

C. Nilai Sebagai Prediktor Perilaku

Nilai merupakan bagian penting dari pengalaman yang memengaruhi

perilaku individu, sebagai standar bagi tindakan dan keyakinan ( belief ). Nilai

dipelajari dari keluarga, budaya, dan orang-orang di sekitar individu. Nilai dapat

menyatakan pada orng lain apa yang penting bagi individu dan menuntun individu

dalam mengambil keputusan. Sumber-sumber yang dimiliki oleh individu seperti

waktu, uang, dan kekuatan otak dapat dihabiskan untuk hal-hal yang dianggap

bernilai ( Thames dan Thomason, 2000 ).

Nilai menjadi pedoman atau prinsip umum yang memandu tindakan,

namun bukan merupakan tindakan itu sendiri atau serangkaian daftar tertentu

tentang apa yang harus dilakukan dan kapan melakukannya. Oleh karena itu,

masyarakat yang berbeda dapat sama-sama menganggap prestasi sebagai bernilai,

namun dapat berbeda dalam hal apa yang harus diraih, bagaimana meraihnya, dan

kapan mengejar prestasi itu perlu dilakukan. Nilai juga menjadi kriteria bagi

pemberian sanksi atau ganjaran bagi perilaku yang dipilih.

Dari uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa nilai merupakan keyakinan

individu mengenai suatu kualitas yang ingin dicapai, yang selanjutnya berperan

sebagai pendorong dan pengaruh dalam berperilaku, serta menjadi acuan dalam

pengambilan keputusan dan menyelesaikan masalah.

D. Transmisi Nilai

Dalam suatu kelompok budaya terjadi proses transmisi budaya dari satu

generasi ke generasi berikutnya, yang di dalamnya tercakup proses enkulturasi

dan sosialisasi. Melalui transmisi budaya, suatu kelompok budaya mengabaikan

37

Page 41: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

ciri-ciri perilakunya pada generasi berikutnya melalui mekanisme mengajar

(teaching), belajar (learning). Proses tersebut dapat melibatkan orang tua, orang

dewasa, teman sebaya, dan jaringan yang dapat memengaruhi individu dengan

membatasi, membentuk, dan mengarahkan individu.

Hasil akhir dari enkulturasi (jika sukses) adalah individu yang kompeten

dalam budaya tersebut mencakup penguasaan bahasa, ritual, nilai-nilai, dan

sebagainya. Konsep Sosialisasi dikembangkan dalam disiplin ilmu sosiologi dan

psikologi sosial yang mengacu pada proses pengajaran, yang dilakukan secara

sengaja dengan melakukan pengawasan terhadap induvidu. Hasil dari proses

enkulturasi dan sosialisasi adalah adanya kesamaan perilaku dalam satu budaya

dan perbedaan perilaku dengan budaya lain.

Dalam interaksi sosial, setiap individu akan melakukan proses seleksi dan

sosialisasi terhadap kelompok. Melalui proses seleksi, individu berupaya

menemukan kelompok yang memiliki kesesuaian, sehingga ia dapat membangun

dan memelihara kelompok atas dasar kesamaan keyakinan, sikap, dan perilaku.

Sebaliknya, kelompok akan memengaruhi sikap dan perilaku anggota kelompok,

agar menyesuaikan keyakinan, sikap, dan perilakunya untuk menemukan

kecocokan dengan kelompok.

Sosialisasi merupakan proses yang dijalani individu dalam mempelajari

perilaku dan keyakinan tentang dunia tempat ia tinggal. Tujuan utama dari proses

sosialisasi adalah ; (a) mengontrol impul, termasuk perkembangan hati nurani ; (b)

persiapan dan pelaksanaan peran ; dan (c) pengembangan sumber-sumber makna,

tentang apa makna hidup, apa yang bernilai, dan untuk apa individu hidup

( Arnett, 1995 ). Ada beragam sumber sosialisasi bagi individu yakni keluarga,

teman sebaya, sekolah, komunitas, media, sistem hukum, dan sistem keyakinan

dalam budaya.

1. Metode Sosialisasi Nilai

Menurut Berns (2004), terdapat enam metode yang digunakan untuk

melakukan sosialisasi. Metode efektif merupakan proses yang terjadi dalam

38

Page 42: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

interaksi antar-individu yang merujuk pada munculnya perasaan atau emosi

tertentu, seperti cinta, marah, takut, dan bersalah. Efeksi yang muncul dalam

interaksi antar-individu membentuk kelekatan yang merupakan awal dari proses

sosialisasi.

Metode Pengkondisian (operant) merupakan upaya dengan melakukan

tindakan untuk menimbulkan dampak tertentu. Teknik Pengkondisian yang lebih

lunak lagi adalah pemberian umpan balik (feedback) berupa penyampaian

informasi yang bersifat evaluasi.

Metode Mengamati dan Meniru dilakukan individu dengan mengamati

figur model melakukan suatu kegiatan serta mempelajari konsekuensi yang

dialami sang model dari kegiatan tersebut. Proses peneladanan akan semakin kuat

bila individu yang meneladani mengasumsikan adanya kesamaan atribut dengan

figur yang diteladaninya.

Metode Kognitif mendorong individu untuk memproses informasi atau

memaknai peristiwa dari pengalaman yang dijalaninya. Pemaparan standar

dilakukan dengan menunjukkan tolak ukur yang seharusnya dipenuhi oleh

individu. Penalaran dilakukan dengan memberikan penjelasan logis, yang

biasanya menggunakan kaidah sebab akibat.

Metode Sosiokultural mengandalkan proses penyesuaian diri individu

terhadap tuntutan lingkungan. Proses tersebut biasanya didorong oleh adanya

tekanan kelompok, tuntutan pelestarian tradisi, ritual, dan penggunaan simbol-

simbol yang dianggap merepresentasikan hal tertentu.

Metode Magang (apprenticeship) merupakan upaya untuk menularkan

suatu aktivitas yang menuntut keahlian terstruktur dengan cara partisipasi

terbimbing. Proses magang ini biasanya berlangsung dalam tiga tahap, yaitu

penataan struktur (structuring) yang disesuaikan secara grandual dengan kapasitas

individu, kemudian pelibatan (collaborating) individu ke dalam kegiatan yang

39

Page 43: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

dipelajarinya, akhirnya manakala individu sudah dianggap mumpuni dilakukan

penyerahan (transfering) tanggung jawab atas pelaksanaan kegiatan tersebut.

2. Pendidikan Nilai

Pendidikan nilai-nilai (values education) adalah suatu upaya nyata untuk

mengajarkan nilai-nilai dan melatih keterampilan melakukan penilaian (Huitt,

2004).

Lima pendekatan dalam pelaksanaan pendidikan nilai :

a. Penanaman (inculcation)

b. Perkembangan moral (moral development)

c. Analisis (analys)

d. Kalrifikasi nilai-nilai (values clarification)

e. Belajar tindakan (action learning)

3. Pendidikan Nilai Dalam Keluarga

Terkait dengan keluarga, sosialisasi dapat didefinisikan sebagai proses

yang diinisiasi oleh orang dewasa untuk mengembangkan anak melalui insight,

pelatihan dan imitasi guna mempelajari kebiasaan dan nilai-nilai yang kongruen

dalam beradaptasi dengan budaya (Baumrind, 1980). Melalui sosialisasi, anak

diharapkan memiliki kebiasaan yang adaptif dan nilai-nilai yang relevan dengan

budaya setempat.

Faktor-faktor yang memengaruhi akibatan (outcome)dari proses

pendidikan nilai yang dilakukan orang tua pada anak antara lain :

a. Kualitas relasi orang tua-anak

b. Kepercayaan diri (trust)

c. Persepsi anak terhadap nilai yang disosialisasikan oleh orang tua

40

Page 44: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Phalet dan Schönpflug (2001) dalam kajian lintas budayanya

menyimpulkan, bahwa proses pendidikan nilai oleh orang tua pada anak

dipengaruhi oleh empat faktor, yaitu :

a. Pendidikan nilai bersifat selektif.

b. Pendidikan nilai dipengaruhi oleh tujuan-tujuan orang tua.

c. Pendidikan nilai dipengaruhi oleh gender dan tingkat pendidikan orang tua

maupun anak.

d. Model pendidikan nilai tersebut dapat diterapkan dalam konteks akulturasi.

E. Nilai-Nilai Kearifan Lokal

Budaya adalah sistem nilai dan keprcayaan yang dipegang secara bersama

oleh beberapa orang dan memberikan perasaan menjadi bagian dari kelompok

atau rasa identitas. Nilai sebagai bagian integral dari perilaku sosial dalam suatu

budaya bersifat religius, spiritual dan mengatur (Shet, 1995).

Dalan konteks keluarga, orang tua memiliki tanggung jawab dalam

mendidik dan mendewasakan anak.

Relasi kakak-adik didalam keluarga menjadi sarana pembelajaran bagi

anak dalam menekan keinginannya sendiri dan menghindari konflik dengan

saudara, sebagai upaya mengadopsi perilaku sosial yang dapat diterima di

masyarakat. Karena penanaman nilai dilakukan secara kontinu melalui relasi

kakak-adik, maka anak tunggal atau anak bungsu seringkali dimanja dan kurang

memiliki kontrol diri (Geertz, 1961).

F. Pembentukan Karakter

Ryan dan Lickona (1992) mengungkapkan bahwa dalam karakter manusia

terdapat tiga komponen. Yaitu pengetahuan moral, perasaan moral dan tindakan

moral.

41

Page 45: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Orang tua memiliki sumbangan terhadap karakter anak paling tidak

melalui lima cara (Ryan dan Lickona, 1992). Pertama, dengan meyayangi anak,

orang tua membantu untuk merasakan dirinya berharga. Kedua, orang tua

menjadikan dirinya sebagai model bagi anak dalam memperlakukan orang lain.

Ketiga, hubungan yang erat antara orang tua dan anak menjadi kekuatan dalam

menghadapi pengaruh moral. Keempat, kasih sayang berperan dalam

perkembangan penalaran moral. Kelima, kasih sayang mendorong terjadinya

komunikasi orang tua-anak yang menjadi variabel mediator antara kasih sayang

dan perkembangan penalaran moral.

42

Page 46: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

BAB IV

KONFLIK DALAM KELUARGA

A. Pendahuluan

Secara bahasa konflik identik dengan percekcokkan, perselisihan, dan

pertengkaran (lihat kamus besar bahasa Indonesia, 2005). Adapun dalam bahasa

Inggris conflik sebagai noun berarti a serious disagreement or argument,

sedangkan sebagai verb berarti be incompatible or clash (lihat Concise Oxfrod

English Dictionary).

B. Definisi Konflik

Materialisme dialektik berpandangan bahwa segala sesuatu di ubah dengan

memiliki sisi yang berlawanan, sehingga ada dinamika yang saling berhubungan

segala sesuatu dan membuat perubahan menjadi bersifat universal. berpikir

dialektik berarti selalu melihat sudut pandangyang berlawanan dan selalu

berupaya menyintesiskan antara tesisdan antitesis. di dunia ini terdapat kategori-

kategori beroposisi yangterpisah satu sama lain (mutually exclusive) sekaligus

bersama-samamembentuk keseluruhan, misalnya yin-yang, hidup-mati, baik-

buruk(baumrind, 2005).

Fenomena lain yang nyata dalam kehidupan manusia adalah keragaman

atau pluralitas. keragaman ini memungkinkan adanya kriteria tentang baik dan

buruk tidak sama persis antara satu kehidupan dan kehidupan yang lain, antara

satu masyarakat dan masyarakat yang lain. sebagai contoh, suatu budaya

menganggap bahwa cara makan yang baik adalah dilakukan dengan tangan kanan.

pada budaya yang demikian secara simbolik menjadikan sisi kanan sebagai

mewakili kebaikan, sedangkan sisi kiri mewakili keburukan. Hal ini berbeda

dengan budaya yang berpaham objektivisme yang memahami bagian tubuh yang

kiri sama baiknya dengan bagian tubuh yang kanan, sehingga memberi ruang

43

Page 47: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

yang lebih bebas pada orang yang kidal. apalagi kemudian ada temuan ilmiah

yang mengatakan bahwa aktivitas dengan tangan kiri akan merangsang otak

bagian kanan yang akan mengoptimalkan potensi kreativitas.

Konflik mencerminkan adanya suatu ketidakcocokan (incompatibility),

baik ketidakcocokan karena berlawanan maupun karena perbedaan. Selain

berpangkal pada ketimpangan alokasi sumber daya ekonomi dan kekuasaan,

konflik juga dapat bersumber pada perbedaan nilai dan identitas. Oleh karena itu,

konflik berjalan ke arah yang positif atau negatif bergantung pada ada atau

tidaknya proses yang mengarah dan saling pengertian. Namun adakalanya suatu

konflik terjadi sekadar untuk menyalurkan naluri agresif, untuk berjuang atau

melawan tanpa tahu atas dasar apa. Yang demikian ini biasanya akan

menyulitkan prosesnegoisasi.

Konflik dalam teori perkembangan manusia digunakan baik untuk proses

intrapsikis atau intrapersonal maupun interpersonal. Dalam perspektif Freud,

konflik terjadi karena adanya ketidakcocokan antara hasrat individu dan tuntutan

masyarakat dan aturan, sehingga menimbulkan kecemasan dan pertahanan diri

terhadap kecemasan. Erikson kemudian menjelaskan bahwa konflik terjadi dalam

tiga level. Level pertama konflik yang terjadi ketika kepribadian anak atau

individu berhadapan dengan tuntutan orang tua atau masyarakat. Level kedua

adalah konflik yang terjadi di dalam diri individu, misalnya antara percaya dan

tidak percaya. Level ketiga adalah konflik yang terjadi dalam menentukan cara

beradaptasi.

Dalam hubungan interpersonal konflik terjadi karena adanya

ketidakcocokan perilaku atau tujuan. Ketidakcocokan terungkap ketika seseorang

secara terbuka menentang tindakan atau pernyataan orang lain. Thomas (1992)

mendefinisikan konflik sebagai proses yang bermula saat salah satu pihak

menganggap pihak lain menggagalkan atau berupaya menggagalkan

kepentingannya. Adapun McCollum (2009) mendefinisikan konflik sebagai

perilaku seseorang dalam rangka beroposisi dengan pikiran, perasaan, dan

44

Page 48: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

tindakan orang lain. Dengan demikian, secara garis besar konflik dapat

didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mencakup penentangan (oposisi) atau

ketidaksetujuan (lihat Shantz, 1987).

Konflik dalam hubungan antarpribadi (misalnya dengan teman, rekan

kerja, tetangga, suami/istri, orang tua/anak) merupakan suatu hal yang tidak dapat

dielakkan, bahkan semakin tinggi saling ketergantungannya semakin meningkat

pula kemungkinan terjadinya konflik. Jadi, semakin dekat hubungannya semakin

berpotensi untuk terjadi konflik (Dwyer, 2000). Konflik berguna untuk menguji

bagaimanakarakteristik suatu hubungan antarpribadi. Dua pihak yang

memilikihubungan yang berkualitas akan mengelola konflik dengan cara

yangpositif. Konflik juga bermanfaat bagi perkembangan individu dalam hal

menumbuhkan pengertian sosial. Dunn dan Slomkowski (lihat Canary, Cupach &

Messman, 1995) menunjukkan empat area pengertian sosial yang dapat

berkembang karena konflik, yaitu dalam memahami perasaan dan maksud orang

lain, dalam memegangi norma dan konvensi yang memandu perilaku, dalam

memilih strategi berkomunikasi, dan dalam mengenali berbagai perbedaan

yangrelevan dalam hubungan antarpribadi.

Dengan pengelolaan yang baik, konflik justru dapat semakin

memperkukuh hubungan dan meningkatkan kepaduan dan rasa solidaritas. James

Schellenberg, sebagaimana dikutip oleh McCollum (2009), mengemukakan

bahwa konflik sepenuhnya merupakan bagian dari kehidupan bermasyarakat

yangharus dianggap penting, yaituuntuk merangsang pemikiran-pemikiran yang

baru, mempromosikan perubahan sosial,menegaskan hubungan dalamkelompok,

membantu kitamembentuk perasaan tentang identitas pribadi, dan memahami

berbagai hal yang kita hadapi dalam kehidupan sehari-hari.

C. Kareteristik Konflik Keluarga

Keluarga merupakan salah satu unit sosial yang hubungan antar

anggotanya terdapat saling ketergantungan yang tinggi. Oleh karena itu, konflik

dalam keluarga merupakan suatu keniscayaan. Konflikdi dalam keluarga dapat

45

Page 49: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

terjadi karena adanya perilaku oposisi atau ketidaksetujuan antara anggota

keluarga. Prevalensi konflik dalam keluarga berturut-turut adalah konflik sibling,

konflik orang tua-anak, dan konflik pasangan (Sillars dkk. ,2004). Walaupun

demikian, jenis konflik yang lain juga dapat muncul, misalnya menantu-mertua,

dengan saudara ipar dan paman/bibi. Faktor yang membedakan konflik di dalam

keluarga dengan kelompok sosial yang lain adalah karakteritik hubungan di dalam

keluarga yang menyangkut tiga aspek, yaitu intensitas, kompleksitas, dan durasi

(Vuchinich, 2003).

Pada umumnya hubungan antara anggota keluarga merupakan jenis

hubungan yang sangat dekat atau memiliki intensitas yang sangat tinggi.

Keterikatan antara pasangan, orang tua-anak, atau sesama saudara berada dalam

tingkat tertinggi dalam hal kelekatan, afeksi, maupun komitmen. Ketika masalah

yang serius muncul dalam sifat hubungan yang demikian, perasaan positif yang

selama ini dibangun secara mendalam dapat berubah menjadi perasaan negatif

yang mendalam juga.

Hubungan dalam keluarga merupakan hubungan yang bersifat kekal.

Orang tua akan selalu menjadi orang tua, demikian juga saudara. Tidak ada istilah

mantan orang tua atau mantan saudara. Oleh karena itu, dampak yang dirasakan

dari konflik keluarga sering kali bersifat jangka panjang. Bahkan seandainya

konflik dihentikan dengan mengakhiri hubungan, misalnya berupa perceraian atau

minggat dari rumah, sisa-sisa dampak psikologis dari konflik tetap membekas.

Konflik di dalam keluarga lebih sering dan mendalam bila dibandingkan

dengan konflik dalam konteks sosial yang lain (Sillars dkk. ,2004). Misalnya,

penelitian Adam dan Laursen (2001)menemukan bahwa konflik dengan orang tua

lebih sering dialami remaja bila dibanding dengan sebaya. Penelitian lainnya

(Rafaelli, 1997) mengungkapkan bahwa konflik dengan sibling meningkat seiring

meningkatnya jumlah kontak. Selain itu, jumlah waktu yang dihabiskan bersama

lebih signifikan memprediksi konflik sibling dibandingkan faktor usia, jenis

kelamin, jumlah anggota keluarga, dan variabel yang lain. Walaupun demikian,

46

Page 50: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

penelitian Stocker, Lanthier dan Furman (1997) mengungkapkan bahwa

meningkatnya interaksi sibling berasosiasi positif dengan persepsi terhadap

kehangatan.

Oleh karena sifat konflik yang normatif, artinya tidak bisa dielakkan, maka

vitalitas hubungan dalam keluarga sangat tergantung pada respons masing-masing

terhadap konflik. Frekuensi konflik mencerminkan kualitas hubungan, artinya

pada hubungan yang berkualitas, frekuensi konflik lebih sedikit. Kualitas

hubungan dapat memengaruhi cara individu dalam membingkai persoalan konflik.

Walaupun demikian, banyak keluarga yang sering mengalami konflik, namun

tetap dapat berfungsi dengan baik (Vuchinich, 2003). Salah satu faktorpenting

yang tetap membuat keluarga berfungsi dengan baik adalah karena konflik

tersebut dapat diselesaikan, tidak dibiarkan atau dianggap akanhilang seiring

waktu. Seperti diungkapkan Rueter dan Conger (1995), keluarga yang memiliki

interaksi hangat menggunakan pemecahanmasalah yang konstruktif, adapun

keluarga dengan interaksi bermusuhan menggunakan pemecahan masalah yang

destruktif.

D. Konflik Orang Tua-Anak

Secara naluriah orang tua akan menganggap anaknya sebagai bagian

paling penting dalam hidupnya. Selain terdapat aspek ketanggapan

dalammerespons kebutuhan anak, juga terdapat aspek tuntutan

yangmencerminkan harapan orang tua terhadap sikap dan perilaku anak. Sumber

utama konflik pada urnumnya adalah ketidak cocokan antara perspektif anak dan

perspektif orang tua.

1. Konflik pada Masa Kanak-kanak

Penelusuran terhadap terjadinya konflik orang tua-anak sudah dimulai

sejak anak masih berupa janin di dalam kandungan (fetal conflict). Penelitian Haig

(1993) memaparkan adanya konflik genetik dalam proses kehamilan. Selama

47

Page 51: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

sembilan bulan kehamilan, tubuh ibu akan menyediakan segala kebutuhan nutrisi

bagi janin, namun perkembangan janin berlangsung sesuai kebutuhannya sendiri.

Ketika bayi sudah lahir dan mengalami perkembangan di luar tubuh ibu,

salah satu konflik yang permulaan muncul dalam hubungan orang tua-anak adalah

konflik pada masa penyapihan (weaning conflict), biasanya setelah anak berusia

satu tahun. Proses penyapihan mulai dialami anak oleh karena kehamilan bayi

berikutnya, atau karena anak dianggap sudah berada pada usia yang cukup untuk

mulai mengalami perpisahan sementara dengan ibunya.

Pada perkembangan berikutnya, yang banyak mendapat perhatian dalam

pengkajian konflik orang tua-anak adalah ketika anak menginjak usia dua tahun

(toddler). Pada masa tersebut anak mulai banyak mengalami perkembangan

dalam keterampilan bahasa dan motorik, dan mulai banyak mengalami masalah

perilaku. Perilaku eksternalisasi dan agresi merupakan masalah perilaku yang

banyak mendapat perhatian pada masa perkembangan ini. Berbagai kajian

menyoroti tiga faktor yang dapat menyebabkan munculnya masalah perilaku,

yaitu:

1. faktor internal yang berupa gender, temperamen, dan proses regulasi diri;

2. faktor sosialisasi yang terjadi dalam interaksi dan relasinya dengan

keluarga maupun teman sebaya; dan

3. faktor eksternal yang berupa status sosial ekonomi dan struktur keluarga

(Rubin, Burgess, Dwyer, & Hastings, 2003).

Pada masa ini kualitas konflik antara orang tua dan anak dipengaruhi oleh

tipe kelekatan dan temperamen anak (Laible, Panfile,Makariev, 2008). Selain itu

temperamen anak juga berkaitan denganfrekuensi terjadinya konflik. Dix (1991)-

yang me-review beberapapenelitian menyimpulkan bahwa frekuensi konflik orang

tua-anakadalah 3,5 sampai 15 kali dalam satu jam. Konflik orang tua-anak yang

terjadi sehari-hari dapat berupaketidaksetujuan antara orang tua dan anak tentang

48

Page 52: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

fakta-fakta. Selainitu dapat pula disebabkan oleh ketidaksediaan atau

ketidakmampuanorang tua menuruti keinginan anak (Laible dkk, 2008).

Terbangunnya tipe kelekatan aman (secure attachment) dalam hubungan

orang tua-anak tidak berarti meniadakan munculnya konflik. Pendapat yang

mengatakan bahwa kelekatan aman memprediksi sedikitnya konflik dan kelekatan

tak aman (insecure attachment) memprediksi tingginya konflik kurang memiliki

dukungan yang teruji (Laible dkk. , 2008). Namun dapat dipercaya bahwa

kelekatan aman dapat membuat konflik membuahkan hasil yang lebih positif,

misalnya saling memberi afeksi positif (Matas, Arend, & Sroufe, 1978) dan ke-

sediaan anak mengikuti nasihat orang tua (Londerville & Main, 1981). Laible dkk.

selanjutnya menjelaskan bahwa pada hubungan dengan kelekatan aman, konflik

yang terjadi bersifat konstruktif karena masing-masing pihak mampu menjalin

komunikasi yang efektif, melakukan proses diskusi dan negosiasi, serta

membicarakan emosi dengan terbuka.

Yang dimaksud dengan temperamen adalah pembcda individu yang

berupa kereaktifan (reactivity) dan pengaturan diri (seflregulation), dalam hal

afeksi, tindakan, dan perhatian yang bersifat konstitusional. Kereaktifan adalah

ketanggapan terhadap berbagai perubahan dalarn lingkungan internal maupun

eksternal. Pengaturan diri adalah proses kontrol yang sungguh-sungguh dan

memiliki orientasi, dalam rangka mengatur kereaktifan. Temperamen bersifat

konstitusional dalam arti berdasarkan faktor-faktor biologis yang dipengaruhi oleh

keturunan, kematangan, dan pengalaman (Rothbart & Bates, 2008).

Temperamen anak selain dapat memancing tanggapan dari orang lain, juga

memengaruhi keberfungsian kognisi dan emosi dirinya. Anak dengan

temperamen yang sulit (misalnya memiliki reaksi emosi negatif yang tinggi)

cenderung menimbulkan konflik dengan pengasuhnya. Hal itu terjadi selain

karena mereka mudah berperangai buruk dan sulit bersikap tenang, mereka juga

menyita energi dan kesabaran pengasuhnya.

49

Page 53: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

2. Konflik pada Masa Remaja

Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang paling sulit

dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberi label

masa remaja sebagai masa storm and stress, untuk menggambarkan masa yang

penuh gejolak dan tekanan.

Pada umumnya masa remaja dianggap sebagai masa yang sangat sulit

dalam tahap perkembangan individu. Para psikolog selama ini memberikan label

masa remaja sebagai masa storm and stress, untuk menggambarkan masa yang

penuh gejolak dan tekanan. Istilah storm and stress bermula dari psikolog

Amerika, Stanley Hall, yang menganggap bahwa storm and stress merupakan

fenomena universal pada masa remaja dan bersifat normatif. Pandangan Hall

tersebut selaras dengan paham psikoanalitik yang menganggap masa remaja

merupakan masa pertarungan antar identitas, yaitu hasrat untuk mencari

kesenangan seksual dan super-ego, yaitu tuntutan untuk mematuhi norma dan

moral sosial. Pergolakan yang dialami pada masa remaja merupakan refleksi dari

konflik internal dan ketidakseimbangan psikis.

Konflik remaja dengan orang tua merupakan salah satu hal yang banyak

mengundang perhatian para peneliti. Areal yang menjadi perhatian pada

umumnya adalah frekuensi terjadinya konflik, topik yang menjadi konflik dan

cara yang digunakan untuk melakukan resolusi konflik. Beberapa penelitian

menunjukan kurvalinierpada intensitas konflik orang tua-anak, yaitu meningkat

pada remaja awal, mencapai puncaknya pada remaja tengah, dan menurun pada

remaja akhir (Montemayor, 1983). Sementara beberapa penelitian lain

mengungkapkan kecenderungan menurun secara linier dengan intensitas konflik

lebih tinggi terjadi pada remaja awal dan remaja akir (Allison & Schult, 2004;

Laursen, Coy, & Collins, 1998). Walaupun terjadi kesamaan dalam hal tingginya

intensitas konflik pada masa remaja awal, faktor usia agaknya tidak dapat

50

Page 54: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

digunakan sebagai patokan bagi kecenderungan meningkat adak menurunnya

konflik orang tua-anak. Faktor pola interaksi mungkin lebih bisa memprediksikan

intensitas konflik, sebagaimana diungkap oleh Reuter dan Conger (1995) bahwa

konflik orang tua- anak meningkat dalam keluarga dengan kondisi penuh

permusuhan dan menurun dalam keluarga yang hangat dan suportif.

Banyak yang beranggapan bahwa konflik orang tua-remaja disebabkan

oleh sikap remaja menentang orang tuanya. Sebagain ilmuwan memangdang

pertentangan remaja merupakan tanda terkikisnya moral. Berbagai label

disematkan untuk remaja, seperti malas, kurang hormat, dan liar. Kajian tentang

penentangan anak sudah dimulai oleh David M. Levy dan Simon H. Tulchin

(1923, 1925), yang menyimpulkan bahwa perilaku menentang anak dimulai pada

usia antara 8 bulan sampai 2 tahun, memuncak pada usia antara 3 setengah sampai

4 tahun dan mulai menurun sejak usia 5 tahun hingga 6 tahun. Levy

mendefinisikan penentangan sebagai perilaku menolak untuk menyesuaikan diri

dengan tuntunan otoritas dan perilaku yang menjadi kebiasaan umum (lihat

Grieshaber, 2004).

Penentangan remaja terhadap orang tua sesungguhnya tidak relevan jika

dipadang sebagai rendahnya nilai moral remaja. Konflik orang tua-remaja dalam

porsi yang moderat perlu dilihat sebagai hal yang wajar merupakan aspek

normatif dalam hubungan orang tua-remaja. Penentangan remaja terhadap orang

tua pun sebenarnya bersifat terbatas, dan tidak mencakup nilai-nilai dasar dan

moralitas. Penelitian Dauvan Adelson (lihat Smetana, 2005) menemukan bahwa

pada prinsipnya remaja menyetujui nilai-nilai dasar sebagaimana yang dipegang

orang tuanya, dan pada umumnya remaja mengagumi dan mempercayai orang tua

serta menyakini bahwa aturan yang diberlakukan oleh orang tua adalah adil dan

benar.

Cara pandang orang tua dan remaja terhadap konflik dan ketidaksetujuan

di antara mereka sering kali berbeda. Orang tua selalu melihat dari sudut pandang

kewenangan orang tua dan tatanan sosial. Dalam menghadapi ketidaksetujuan

51

Page 55: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

dengan remaja, orang tua sering membenarkan sudut pandangnya berdasarkan

kewenangannya sebagai orang tua atau peraturan sosial (Smetana, 2004). Dengan

perspektif demikian, orang tua menganggap konflik terselesaikan ketika remaja

sudah menyetujui dan mengikuti pendapat orang tua. Oleh karena itu, pada

umumnya orang tua sering menilai hubungan dengan anaknyabaik-baik saja dan

konflik di antara mereka tidaklah terlalu keras dan sering (Demo, 1991). Namun

dari sudut pandang remaja, mematuhi pada pendapat orang tua setelah terjadinya

perbedaan, penentangan, atau konflik tidak selalu berarti konflik telah selesai.

E. Resolusi Konflik

Menurut Rubin (1994), pengelolan konflik sosial dapat dilakukan dengan

beberapa cara, yaitu : penguasaan (domination, ketika salh satu pihak berupaya

memaksakan kehendaknya baik dilakukan secara fisik maupun psikologi),

penyerahan (capitulation, ketika salah satu pihak secara sepihak menyerahkan

kemenangan pada pihak lain), pengacuhan (inaction, ketika salah satu pihak tidak

melakukan apa-apa sehingga cenderung membiarkan terjadinya konflik),

penarikan diri (withdrawal, ketika salah satu pihak menarik diri darri keterlibatan

dengan konflik), tewar-menawar (negotiation, ketika pihak-pihak yang berkonflik

saling bertukar gagasan, dan melakukan tawar-menawar untuk menghasilkan

kesepakatan yang menguntungkan masing-masing pihak), dan campur tangan

pihak ketiga (third-party intervention, ketika ada pihak yang tidak terlibat konflik

menjadi penengah untuk menghasilkan persetujuan pada pihak-pihak yang

berkonflik). Dari berbagai cara tersebut hanya negosiasi dan pelibatan penengah

yang merupakan cara penanganan konflik yang bersifat konstruktif.

Pada dasarnya pengelolaan konflik dalam interaksi antar pribadi dapat

dibedakan menjadi 2, yaitu secara konstruktif atau secara destruktif. Pengelolaan

konflik secara destruktif dapat terjadi karena hal-hal sebagai berikut :

1. Persepsi negatif terhadap konflik. Individu yang menganggap konflik

sebagai hal yang negatif akan cenderung menghindari konflik atau

menggunakan penyelesaian semu terhadap konflik. Individu yang demikian

52

Page 56: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

biasanya sering gagal mengenai pokok masalah yang menjadi sumber konflik,

karena perhatiannya sudah berfokus pada konflik sebagai problem.

2. Perasaan marah. Sebagaimana konflik merupakan aspek normatif dalam

suatu hubungan, marah sebenarnya juga merupakan hal yang alamiah dirasakan

individu yang terlibat konflik. Mengumbar atau memendam marah sama

burruknya bagi kesehatan hubungan maupun mental individu. Oleh karena itu,

rasa marah harus dipahami sebagai gejala yang harus diatasi dan dapat di ubah.

Pesaraan masah harus dikendalikan dengan kehat-hatian dan kesabaran.

3. Penyelesaian oleh waktu. Sebagai upaya menghindari munculnya perasaan

negatif dalam menghadapi konflik, misalnya marah, sedih, takut, sering kali

individu memilih mengabaikan masalah yang menjadi sumber konflik.

Harapannya adalah masalah tersebut akan terselesaikan dengan sendirinya oleh

berjalannya waktu.

Dariberbagai penelitian dan sesi konseling keluarga, para peneliti dan

terapis mengenai adanya gaya resolusi konflik yang umumnya digunakan individu

dalam mengelola konflik. Harriet Goldhor Lerner sebagaimana dikutip oleh Olson

dan Olson (2000), membedakan cara individu menyelesaikan konflik menjadi

lima macam, yaitu pemburu (pursuer adalah individu yang berusaha membangun

ikatan yang lebih dekat), penghindar (distancer adalah individu yang cenderung

mengambil jarak secara emosi), pecundang (underfunctioner adalah individu yang

gagal menunjukkan kompetensi atau aspirasinya), penakluk (overfunctioner

adalah individu yang cenderung menngambil alih dan merasa lebih tahu yang

terbaik bagi pihak lain), dan pengutuk (blamer, adalah individu yang selalu

menyalahkan orang lain atau keadaan).

Selain megatasi konflik internal, orang tua juga berperan sebagai mediator

bagi anak dalam menghadapi dunia sosial yang lebih luas. Menurut Parke dan

Bhavnagri (disitasi Padilla-Walker & Thompson, 2005), dalam menghadapi

lingkungan eksternal orang tua menjadi mediator dalam hal kontak personal di

luar keluarga seperti tempat perawatan anak, sekolah, pertetanggan, dan

53

Page 57: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

komonitas. Selain itu, orang tua juga membantu anak untuk menghadapi nilai-

nilai yang dipromosikan oleh individu maupun berbagai agen di luar rumah.

Dalam pengasuhan orang tua menggunakan berbagai strategi ketika

menyosialisasikan anak dalam menghadapi situasi konflik nilai. Strategi tersebut

bervariasi tergantung pada konteks situasi yang dihadapi, atau potensi

pelanggaran yang diakibatkan jika anak bertindak tidak konsisten dengan nilai

yang ditanamkan. Menurut hasil penelitian Padilla-Walker dan Thompson

(2005), terdapat 4 strategi yang digunakan oleh orang tua ketika meghadapi pesan

yang menimbulkan konflik, yaitu :

1. Cocooning, yaitu melindungi anak dari pengaruh masyarakat luas dengan

membatasi akses anak terhadap nilai-nilai alternatif, atau kemampuan untuk

berperilaku yang bertentangan dengan nilai-nilai orang tua. Cocooning terbagi

menjadi 2 level, yakni reasoned cocooning dan controlled cocooning. Pada

reasoned cocooning, orang tua secara persuasif melindungi anak dari pengaruh

luar, memperkuat nilai-nilai keluarga pada anak, dan memberikan penjelasan

yang logis terhadap nilai-nilai yang ditanamkan. Pada controlled cocooning,

orang tua memaksa anak untukdisiplin dan patuh, tanpa memberikan

penjelasan atau dasar rasional terhadap larangan-larangan yang diberikan.

2. Pre-arming, orang tua mengantisipasi konflik nilai dan menyiapkan anak

untuk menghadapinya guna melawan dunia yang lebih luas.

3. Compromise, memberikan kesempatan pada anak untuk terpapar konflik

nilai, namun tetap mempertahankan elemen nilai keluarga dan kontrol sebagai

orang tua.

4. Deference, orang tua mengalah demi kebutuhan anak dan membiarkan anak

mengambil keputusan sendiri, meskipun hal tersebut bertentangan dengan

nilai-nilai keluarga.

Secara garis besar konflik orang tua-anak sesungguhnya dapat berfungsi

sebagai media penanaman nilai. Dapat dikatakan demikian karena dalam

menangani konflik dengan anak, orang tua berkesempatan mengungkapkan

54

Page 58: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

harapan-harapannya atau menyampaikan pesan-pesan moral. Fungsi ini dapat

berlangsung dan berhasil mendorong anak menginternalisasikan nilai yang

disampaikan apabila konflik dikelola secara konstruktif.

Rangkuman

Konflik didefinisikan sebagai peristiwa sosial yang mencakup penentangan

(oposisi) atau ketidaksetujuan. Konflik antar pribadi dapat bermaanfaat atau

merugikan tergantung pada strategi yang digunakan untuk mengelolanya.

Konflik antar pribadi yang dikelola secara konstruktif justru dapat

memperkukuh hubungan, namun sebaliknya konflik yang tidak dikelola dapat

merusak hubungan dan memunculkan emosi negatif.

Konflik dalam keluarga sering terjadi dan bersifat mendalam bila dibandingkan

dengan konflik dalam konteks sosial lain. Prevalensi konflik dalam hubungan

berturut-turut adalah konflik antar saudara, konflik orang tua-anak, dan konflik

pasangan. Frekuensi kemunculan konflik dalam keluarga mencerminkan

kualitas hubungan dalam keluarga.

Pada umumnya, sumber utama konflik orang tua-anak adalah ketidakcocokan

antara perspektif anak dan perspektif orang tua. Para ahli menelusuri konflik

rang tua-anak sejak janin masih dalam kandungan, masa bayi, masa kanak-

kanak, sampa masa remaja. Intensitas konflik orang tua-anak meningkat pada

masa remaja awal, mencapai puncaknya pada remaja tengah, dan menurun

pada remaja akhir.

Orang tua menggunakan strategi tertentu dalam menghadapi konflik dengan

anak, diantaranya melindungi, mengantisipasi, berkompromi, dan mengalah.

Pengelolaan konflik orang tua –anak yang bersifat konstrutif berdampak

positif, sedangkan yang dekstruktif berdampak negatif pada perkembangan

remaja. Pengelolan konflik yang konstruktif yang mendukung proses

internalisasi nilai oleh anak.

55

Page 59: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

BAB V

PENANAMAN NILAI DALAM KELUARGA

A. Pendahuluan

Keluarga merupakan lembaga sosial yang pertama dan utama bagi seorang

anak. Melalui keluarga anak belajar berbagai hal agar kelak dapat melakukan

penyesuaian diri dengan budaya di lingkungan tempat tinggalnya. Orang tua

memegang peran penting dalam proses sosialisasi yang di jalani seorang anak.

Untuk mendapatkan gambaran nyata mengenai peran yang dijalankan

orang tua dalam melakukan sosialisasi nilai pada anak, dilakukan penelitian

kualitatif terhadap keluarga-keluarga yang tinggal di Surakarta.

Proses pengumpulan data dilakukan dengan wawancara mendalam kepada

ayah,ibu,dan remaja dan dilakukan secara terpisah agar data yang di peroleh dapat

digunakan untuk cek silang. Dengan wawancara tersebut masing masing pribadi

memiliki keleluasaan untuk mengungkapkan pengalaman hidupnya yang memuat

gagasan.

B. Potret Keluarga

Berikut ini dipaparkan secara ringkas potret masing-masing keluarga

berdasarkan hasil wawancara pada ayah,ibu,dan remaja.

1. Keluarga Karim

Keluarga karim tinggal di sebuah perumahan di Surakarta. Keluarga ini

menempati rumah berlantai dua, yang memiliki ruang tamu, ruang keluarga, ruang

makan, kamar tidur, dan dapur. Di bagian samping rumah terdapat garasi untuk

mobil dan sepeda motor. Di rumah ini terdapat sebuah televisi yang terletak di

ruang keluarga.

56

Page 60: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Pak karim berpendidikan S-2 dan berprofesi sebagai dosen di sebuah PTS

di Surakarta, sedangkan istrinya, Bu Karina saat ini sedang menempuh pendidikan

S-2 dan berprofesi sebagai guru SMA. Anak yang pertama laki-laki dan baru saja

di terima PTN favorit, bernama Omar (18 tahun). Anak kedua seorang

perempuan dan saat ini masih duduk di kelas 3 SMP, bernama Vauziah (15

tahun).

Perspektif Orang Tua

Dalam keluarga Karim, nilai-nilai dalam budaya Jawa sperti unggah-

ungguh tetap di pertahankan, namun penerapannya sudah disesuaikan dengan

kondisi sekarang. Misalnya dalam hal makan, anak tidak harus menunggu orang

tua makan terlebih dahulu, baru anak boleh makan.

Dalam mendidik putra putrinya, keluarga karim sangat menekankan

pentingnya kejujuran. Bu karina menyampaikan pesan pada putra putrinya bahwa

bila melakukan ketidak jujuran, suatu saat nanti pasti akan terbongkar.

Selain nilai kejujuran, keluarga karim juga mendidik putra putrinya agar

rajin beribadah. Oleh karena itu, sejak kecil anak-anak sudah dibiasakan

beribadah. Dalam menanamkan nilai pada anak, keluarga ini memilih untuk

menyampaikan nilai pada anak secara lisan yakni dengan memberikan nasihat,

namun juga disertai dengan memberikan contoh.

Sebagai orang tua, Bu karina melakukan pemantauan terhadap perilaku

anak di lingkungan luar. Untuk memantau perilaku anak selama di sekolah, Bu

Karina memanfaatkan waktu pengambilan rapor untuk berkomunikasi dengan

wali kelas dan mencari tahu perilaku anak selama di sekolah.

Keluarga karim memiliki kebiasaan yang sudah rutin dilakukan, yakni

berkumpul bersama sekeluarga sesudah makan malam. Dalam forum

kebersamaan ini, anak dan orang tua dapat berdialog dan saling berbagi cerita

tentang hal-hal yang dialaminya sepanjang hari.

57

Page 61: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Sebagai bagian dari upaya pemantauan terhadap anak, Bu karina

memerhatikan pengaruh lingkungan terhadap perilaku anak. Bu karina

mengungkapkan bahwa lingkungan memiliki pengaruh yang besar terhadap anak.

Oleh karena itu Bu karina berpesan kepada putra putrinya bahwa teman itu

sangat berpengaruh terhadap diri kita. Ia memberikan contoh pada anak, siapa

yang dekat dengan penjual minyak wangi otomatis baunya wangi.

Sebagai orang tua dari dua orang anak, Bu karina menyadari bahwa dia

mengalami kesulitan untuk tidak membandingkan anak pertama dengan anak

kedua. Meskipun maksudnya baik agar anak kedua meneladani kakaknya, namun

Bu karina bahwa membanding-bandingkan anak bukanlah sikap yang tepat,dalam

artian ada sisi tidak baiknya.

Dalam keluarga, anak juga di beri tanggung jawab untuk membantu

urusan rumah tangga, misalnya menyapu,mengepel,mengelap sepedah motor,

mengangkat cucian dan melipatnya. Menurut pak karim, kedua orang tua

memang telah mencontohkan sikap hidup sederhana sejak anak masih kecil.

2. Keluarga Erman

Keluarga erman tinggal kompleks perumahan. Rumah ini ber pagar besi

dengan tinggi kira-kira 175 cm. Bagian depan rumah di fungsikan sebagai teras

sekaligus tempat parker sepedah motor. Di teras tersebut terdapat satu set kursi

dan meja yang terbuat dari besi dan di cat warna hijau. Rumah tersebut memiliki

ruang tamu, ruang keluarga, tiga kamar tidur, dua kamar mandi, ruang makan, dan

dapur. Sarana transportasi yang dimiliki adalh sebuah mobil dan lima buah

sepeda motor keluaran terbaru.

Pak erman adalah seorang pegawai negeri, dan Bu endah seorang guru

PNS. Pendidikan Pak erman S-2, sedangkan Bu endah sedang menempuh

pendidikan S-2. Mereka memiliki dua orang anak yakni weni dan akbar. Weni

58

Page 62: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

sedang menempuh kuliahdi fakultas hukum, dan adiknya akbar kelas 3 SMA di

kota Surakarta. Keluarga erman tidak memiliki pembantu rumah tangga.

Perspektif Orang Tua

Menurut penuturan Pak erman, konsep agam islam menjadi acuan dalam

mendidik anak. Oleh karena itu, sedari kecil anak-anak dibiasakan untuk sholat.

Dengan berpegang pada agama, Pak erman berharap anak-anak akan tahu mana

yang boleh dilakukan dan mana yang tidak boleh. Pesan yang sering di

sampaikan pada anak-anak adalah agar menjaga shalata.

Kebiasaan beribadah yang yang dilakukan bersama-sama di rumah adalah

shalat maghrib. Namun keduannya anaknya tidak selalu bisa mengikuti shalat

berjamaah karena melakukan kegiatan di luar rumah.

Lebih lanjut Pak erman menyatakan bahwa di dalam keluarga perlu ada

dua figure yang berbeda, yaitu yang dekat dengan anak dan yang di takuti anak.

Adanya rasa takut anak terhadap orang tua di anggap penting untuk menjaga

kewibawaan orang tua di hadapan anak. Meskipun demikian, pak erman ingin

hubungannya dengan anak dekat.

Sebagai ayah, Pak erman menuturkan bahwa ia berusaha menjadi panutan

bagi putra putrinya dalam menjalin hubungan sosial dengan masyarakat melalui

pemberian contoh. Menurut Pak erman, tindakan memberikan bantuan pada

orang lain tersebut telah dicontoh anak laki-lakinya dengan memberikan bantuan

pada teman-temannya yang mengalami kesulitan.

Menurut Bu endah, orang mau mengambil hak orang lain bisa dis ebabkan

oleh tuntutan dari anak yang berlebihan terhadap orang tua. Agar anak tidak

menuntut terhadap orang tua yang melebihi kemampuan yang dimiliki orang tua,

maka perlu adanya keterbukaan terhadap anak.

59

Page 63: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Terkait dengan sikap terhadap mater, Pak erman mengungkapkan bahwa

orang bekerja untuk mendapatkan rezeki. Namun, Pak erman menyatakan

mengalami kesulitan untuk menjaga diri agar mendapat rezeki yang halal saja.

Orang tua menyampaikan pesan pada anak ketika ada kesempatan makan

bersama atau menonton televisi bersama pada sore atau malam hari. Kesempatan

ini juga di manfaatkan Bu endah untuk mengetahui aktivitas yang dilakukan oleh

anak di luar rumah.

Ketika berbicara mengenai generasi muda, pak Erman memandang

generasi muda sekarang sudah mulai berkurang etikanya bila dibandingkan

dengan generasi terdahulu. Menurutnya hal tersebut dapat disebabkan oleh tidak

adanya pelajaran etika disekolah dan teknologi yang semakin canggih.

Penggunaan bahasa jawa dikalangan generasi muda menurut bu Endah

juga sudah menurun dan digantikan dengan bahasa indonesia. bahkan banyak

remaja yang merasa bangga apabila bisa menggunakan bahasi lain selain bahasa

indonesia seperti bahasa inggris , bahasa prancis, dan lain-lain. Ini merupakan

pengaruh dari kecanggihan teknologi.

Berbicara tentang kedua anaknya bu Endah merasakan adanya perbedaan

antara anak laki-laki dan anak perempuan. Anak perempuan lebih mudah diatur

dari pada anak laki-laki.

Dalam menyikapi anak yang mogok sekolah pak Erman dan bu Endah

menggunakan cara yang berbeda. Pak Erman lebih menuntut anak untuk patuh

pada orang tua dan menggunakan otoritasnya pada anak dan berunjung konflik

dengan anak laki-laki. Akibatnya pak Erman dan Akbar menunjukkan sikap tidak

akur kira-kira 3 bulan. Namun sekarang hubungan pak Erman dan Akbar sudah

membaik.

Sikap bu Endah ketika menghadapi konflik dengan anak berbeda dengan

sikap ayah. Bu Endah mencoba memahami keinginan Akbar dan menuruti

60

Page 64: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

kemauannya untuk mengikuti pendidikan di sekolah yang menjadi pilihan Akbar.

Dengan menuruti kemauan Akbar bu Endah memamparkan bahwa dikemudian

hari di kemudian hari dapat menuntut Akbar apabila Akbar tidak menunjukkan

sikap yang konsekuaen dengan pilihanya.

Ibu mengungkapkan bahwa anak laki-lakinya sekarang tinggal di kos yang

dekat dengan sekolah. Hal ini dilatarbelakangi oleh seringnya akbar mendapat

panggilan dari sekolah karena sering tidak masuk sekolah. Setelah ditanya pada

akbar ia mengatakan sering terlambat datang kesekolah dan gerbang sekolah

sudah ditutup sehingga ia tidak jadi masuk sekolah.

Bu Endah berharap kedua anaknya nanti dapat menjadi pegawai negri agar

mendapat pensiunan dihari tua. Meskipun pegawai negri gajinya kecil tetapi

memberi rasa anyem. Oleh karena itu ibu berpesan pada anak-anak agar menjadi

pegawai negri dsaja. Boleh berwirausaha tapi harus menjadi pegawai negri

dahulu.

Orang tua menyampaikan pesan pada anak ketika ada kesempatan makan

bersama atau menonton televisi bersama pada sore atau malam hari.

Perspektif anak

Weni menyatakan merasa dekat dengan orang tuanya sedangkan akbar

merasa dekat dengan ibunya tetapi tidak merasa dekat dengan ayahnya.

Ketidakdekatan Akbar dengan ayahnya antara lain disebabkan oleh intensitas

pertemuan dan komunikasi yang sangat sedikit. Menurut Akbar ayah jarang

dirumah dan sering pergi pada saat malam hari dan tidak pernah tahu

keperluannya apa. Kondisi tersebut menyebabkan akbar merasa ayahnya kurang

perhatian kepada dirinya.

Akbar pernah mengalami konflik dengan ayah karena ia tidak mau manut

untuk bersekolh di SMA favorit yang dipilih ayah. Karena merasa dipaksa dalam

memilih sekolah selama di sekolah favorit tersebut akbar membolos selama 3

61

Page 65: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

bulan. Aktifitas yang dilakukan ketika membolos adalah menunggu motor yang

dimodifikasi dibengkel dan bermain ps. Koflik dalam memilih sekolah dan

modifikasi motor tersebut berujung pada tidak bicara ayah selama 3 bulan.

Berbeda dengan akbar, weni mau memenuhi keinginan ayah untuk kuliah

difakultas hukum. Bahkan kini dia menyadari bahwa ayahnya telah memilihkan

yang terbaik untuk masa depannya. Ia berupaya mencapai prestasi yang baik dan

diwujudkan dengan nilai IPK yang tinggi.

kedua anak merasa dekat dan dapat berbagi cerita tentang

permasalahannya dengan ibu . meskipun kurangnya bila diceramahi dengan ibu.

Namun akbar mengakui bahwa ia dapat berubah sikap dari mogok sekolah dan

mau sholat karena diceramahi oleh ibu. Sementara weni menyatakan pernah

dimarahi dan di omeli oleh ibu karna melanggar batasan yang telah ditetapkan.

Terkait dengan pengalaman disekolah. Akbar menuturkan bahwa dahulu

ia sering membolos sekolah akibatnya ia sering disindir oleh guru-gurunya ketika

pelajaran berlangsung.

Mengenai kebiasaan-kebiasaan disekolah, akbar menyatakan bahwa

menyontek adalah hal-hal yang biasa dilakukan dengan membuat catatan-catatan

dikertas kecil. Ia menyontek karena tidak belajar atau malas belajar. Tetapi ingin

mendapat nilai bagus. Selain itu ia juga bisa berbohong pada orang tua untuk

urusan sekolah

Ajaran hormat dan rukun masih diterapkan dalam keluarga pak erman

seperti di nyatakan oleh weni ia dilatih untuk saling menghormati .

3. Keluarga Jamari

Keluarga pak jamari tinggal disebuah perkampungan di Surakarta.

Keluarga ini menepati rumah permanen yang memiliki ruang tamu, ruang

keluarga, yang menyatu dengan ruang makan dan dua kamar tidur serta dapur.

62

Page 66: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Disamping tanah terdapat tanah perkarangan yang cukup luas. Tanah perkarangan

tersebut ditanami oleh 10 buah pohon jati dan cabe merah.

Pak jamari memiliki usaha di wonogiri. Tempat yang digunakan untuk

usaha adalah rumah orang tuanya. Pengelolaan dilakukan dirumahnya dengan

adiknya, sehingga pak jamari ke wonogiri dua hari sekali. Ketika pergi ke

wonogiri pak jamari membawa sekotak telur ayam berisi 15 kg untuk menyuplai

saudaranya yang membuka warung makan. Istrinya, bu tika seorang guru SMA di

Surakatrta. Mata pelajaran yang di ampuh adalah PKN. Mereka memiiki 2 anak

yakni Emir dan Tiara. Emir sekarang sudah kuliah di pariwisataan mengambil

bidang kapal pesisir. Tiara masih duduk dikelas 1 SMAN di Surakarta.

Persepektif Orang Tua

Menurut penuturan pak jamari, ia berharap anak-anaknya dapat menjadi

anak yang saleh. Untuk itu ia mengajarkan sholat pada anak sejak masih SD,

meskipun anaknya baru cukup teratur sholat setelah mencapai akhir balig. Hal

lain yang di tanggap penting adalah menanamkan tanggung jawab pada anak.

Sebagai orang tua pak jamari dan bu tika melakukan pengawasan yang

ketat terhadap anak ketika ia berada dirumah. Selain itu pemantauan terhadap

anak juga dilakukan terhadap anak juga dilakukan dengan memanfaatkan sarana

telekomunikasi yakni telepon seluler. Dengan cara tersebut orang tua ingin

mengetahui keberadaan ank di luar rumah maupun aktifitas yang sedang

dilakukan, tetapi tidak semua kegiatan yang dilakukan oleh anak di ungkapkan

pada orang tuanya.

Sementara itu terkait dengan pergaulan remaja sekarang ini, pak jamari

dan bu tika menyatakan memiliki kekawatiran terhadap model seks bebas. Untuk

mengatisipasi agar anak tidak terjerumus ke dalam pergaulan bebas, pak jamari

mengingatkan pada anak laki-lakinya agar tidak pacaran dahuluselama masih

kuliah. Anak baru boleh pacaran abpabila sudah lulus kuliah dan bekerja. Pesan-

63

Page 67: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

pesan tentang tidak boleh pacaran ini disampaikan dengan cara membesarkan hati

anak.

Dalam keluarga pak jamari anak dilibatkan dalam tugas-tugas rumah sejak

SD. Misalnya : Emir mendapat tugas menyapu rumah dan membersihkan kamar

mandi. Sedangkan tiara mendapat tugas mencuci piring.

Kegiatan berkumpul bersama keluarga biasanya dilakukan pada sore hari

untuk sholat magrib berjamaah dan malam hari menonton televisi bersama setelah

anak-anak selasae belajar.

Didalam keluarga komunikasi dilakukan dengan menggunakan bahasa

jawa dan bahasa indonesia. Istilah bahasa jawa yang mengandung unsur

menghormati tetap dipertahankan dalam komunikasi keluarga. Bahasa indonesia

digunakan bercampur dengan istilah-istilah jawa tersebut. Khusus dengan

berkomunikasi dengan nenek dan kakek dari ibu yang kebetulan tinggal didepan

rumah mereka, anak-anak diwajibkan menggunakan bahasa jawa krama.

Perspektif anak

Menurut Tiara usaha yang dikelola pak jumari di Wonogiri adalah

persewaan PS. Jumlah PS yang dimiliki ada 5 buah. Dari usaha tersebut pak

jamari memperoleh penghasilan yang dapat digunakan untuk membiayai sekolah

anaknya.

Menurut penuturan Emir, ayah mulai mengerjakan sholat ketika ia sudah

duduk di bangku SMA. Sebelum pak jamari belum melakukan kewajiban sholat

lima waktu. Demikian pula halnya dengan ibu.

Dalam hal kedekatan, tiara maupun Emir merasa lebih dekat dengan

ibunya daripada ayahnya. Dalam keseharian emir menyatakan jarang bersama-

sama dengan ayah. Dengan ibu emir bisa berbagi cerita namun tidak demikian

dengan ayah.

64

Page 68: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Dimasa kecil, Emir memiliki pengalaman yang kurang menyenangkan

dengan ayah yakni sering dimarahi bila pulang terlambat. Bahkan Emir memiliki

pengalaman pernah di pukul oleh ayahnya memakai tangan, sapu dan kayu karena

bermain bersama teman-temannya tanpa izin orang tuanya. Padahal dirumah

diterapkan aturan bila bermain harus ijin orang tua dan tahu waktu. Apabila

melanggar aturan tersebut ayah memberikan hukuman.

Pengalaman pernah dipukul oleh ayah, menjadikan Emir memilih untuk

berbohong pada orang tua apabila ia melakukan pelanggaran terhadap aturan yang

telah ditetapkan oleh orang tua. Seperti merokok bersama teman-teman , makan

dan minum pada bulan ramadhan karena tergoda dengan teman.

Didalam keluarga terdapat pembagian tugas yakni emir menyapu rumah

dan halaman, membersihkan kamar mandi dan memotong rumput. Tiara

mendapat tugas mencuci piring, ayah membersihkan sepeda motor dan ibu

memasak.

Terkait dengan kebersamaan, tiara mengungkapkan bahwa ia menikmati

kebersamaan dirumah yang dilakukan ketika menonton televisi bersama pada

malam hari setelah belajar. acara yang ditayangkan di televisi biasanya menjadi

bahan perbincangan bersama. Sering kali orsng tua juga menyampaikan nasihat-

nasihat dengan memanfaatkan tayangan televisi sebagai contoh.

Dalam berkomunikasi dengan orang tua tiara menyatakan dilarang oleh

orang tua untuk menggunakan kata “kowe”. Kata “kowe” harus digantikan

dengan penyebutan papa mama, kalau tidak maka akan ditegur oleh orang tua.

Dalam keluarga orang tua juga mengajarkan sifat hormat. Hormat dimaknai

sebagai menghargai orang lain meskipunorang lain itu lebih kecil dan berperilaku

sopan. Bentuk perilaku hormat adalah manut (patuh) bila diperintah oleh orang

tua.

Ketika dinyatakan pendapatnya tentang menyontek, baik tiara maupun

emir menyatakan tidak apa-apa. Meskipun berulang kali memiliki pengalaman

65

Page 69: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

tentang menyontek. Emir pernah merasa menyesal tapi penyesalan itu hanya

bersifat sebentar sehingga kebiasaan menyontek masih dilakukan. Menurut emir

menyontek merupakan bagian dari usaha untuk meraih nilai nilai yang bagus.

kalau nilainya tidak bagus akan dimarahi oleh orang tua. Tiara juga

mengungkapkan hal yang senada.

Profesi yang ingin dijalani oleh tiara dimasa depan adalah menjadi

reporter. Untuk meraih cita-citanya itu dia ingin menguasai bahasa inggris

dengan baik. Pertimbangan memilih profesi reporter karena ingin memiliki

banyak pengalaman sedangkan besarnya gaji itu urusan kedua. Sementara itu

emir ingin menjadi karyawan dikapal pesiar karena karyawan kapal pesiar bergaji

besar.

4. Keluarga Winarto

Keluarga winarto menempati rumah yang terletak diperkampungan,

pinggiran kota surakarta. Bangunan rumahnya terbuat dari tembok dan sudah

bercat. Bagian dalam rumah terdiri dari ruang tamu dan dua kamar tidur serta

dapur.

Pak winarto bekerja sebagai penarik becak dan buyeni sebagai ibu rumah

tangga. Pak winarto dan buyeni memiliki anak 3. Dua laki-laki dan satu

perempuan. Anak pertama awang berusia 18 tahun dan telah lulus SMA. Anak

kedua Banu berusia 13 tahun dan duduk di SMP swasta kelas 1 dan anak bungsu,

Reni masih berusia 1,5 tahun.

Perspektif Orang Tua

Selama anak bersekolah di TK ibu mengecek pelajaran anak di sekolah

dan mencari tahu apa yang dilakukan anak-anaknya disekolah. Dengan cara

seperti itu ibu dapat mengetahui kejadian-kejadian pada anak sekolah. Bu Yeni

rutin mendampingi anak dalam belajar. Menurut pak winarto pendampingan

perlu dilakukan karena orang tua kwatir bila tidak didampingi anak tidak mau

66

Page 70: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

bertanya ketika mengalami kesulitan. Dengan pendampingan tersebut orang tua

dapat segera mengetahui kesulitan belajar yang dialami anak.

Pak winarto dan bu yeni meminta awang untuk memberikan contoh pada

adik-adiknya dalam hal sholat dan bermain. Orang tua berpesan pada anak agar

tahu dan menaati batasan waktu dalam bermain. Bila pada waktunya anak pulang

tetapi anak belum pulang maka pak winarto akan berkeliling mencari anaknya.

dan menyuruhnya pulang. Setelah anak memiliki HP maka orang tua dapat

menghubungi melalui SMS.

Ibu memberikan pengertian pada anak tentang kondisi ekonomi orang

tuanya dan anak dapat memahami. Bila anak-anak mengimgimkan sesuatu, orang

tua menyarankan untuk menabung dahulu.

Ketika orang tua mengalami kesulitan ekonomi dan terpaksa menunggak

pembayaran biaya sekolah, biasanya anak memprotes orang tuanya. Menghadapi

situasi seperti ini maka orang tua memahamkan pada anak bahwa orang tua

sedang mengusahakan agar dapat membayar. Namun orang tua juga

mengingatkan bahwa banyak anak lain yang kehidupannya lebih sulit dari yang

mereka alami.

Pada kedua anak laki-lakinya pak winanto dan bu yeni tetap memberikan

batasan-batasan dan tidak terlalu membebaskan dalam bermain. Contoh anak

boleh menginap dirumah teman dengan seijin orang tuanya.

Dalam kehidupan sehari-hari anak bersikap nerima. Mereka tidak pernah

protes terhadap makanan yang disediakan dirumah oleh ibu. Banu yang lebih

suka makan belut biasanya mencari belut sendiri disawah.

Awang dan banu terbiasa bangun pagi ketika subuh kemudian sholat

subuh, setelah sholat subuh anak-anak membantu orang tua dahulu lalu bersiap

siap ke sekolah. Sholat jemaah kadang-kadang dilakukan dirumah

67

Page 71: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Sejak kelas 4 SD awang sudah mau membantu ibu mencuci piring,

menyapu dan mengepel rumah. Sementara banu membantu membantu

memasukkan ayam kekandang, siang hari sepulang sekolah awang dan banu

membantu mengasuh adik rini.

Untuk berkomunikas dengan orang tua anak menggunakan bahasa jawa

ngoko dan krama. Orang tua tetap menggunakan bahasa jawa karena lingkungan

sekitar masih menggunakan bahasa jawa.

Sebagai orang tua, mereka berharap anak-anak dapat memiliki kehidupan

yang lebih baik daripada orangtuanya, dalam artian dapat hidup lebih layak. Oleh

karena itu, orang tua mengusahakan agar biaya yang dibutuhkan anak untuk

bersekolah dan mencari pekerjaan dapat tersedia.

Pesan-pesan yang disampaikan pada anak, yang utama adalah jangan

melupakan Yang Kuasa, yang telah membuat hidup,jangan lupa shalat, ngajeni

pada orang yang tua, dan rukun dengan saudara-saudaranya. Dalam menerapkan

ajaran rukun, bu Yeni mulai mengajarkan dari hal-hal yang kecil, misalnya kalau

ada makanan dibagi tiga, bila kaka ingin menggunakan barang milik adiknya

disuruh minta izin dahulu pada adik dan sebaliknya, bila menonton TV

bergantian. Penghormatan pada orang yang lebih tua diwujudkan dengan

menggunakan bahasa jawa krama, dan mengantar saudara berangkat kerja bila

diminta.

Dalam mendisiplinkan anak yang melanggar aturan, orang

tuamenggunakan cara memarahi mengomeli, dan kadang-kadang dihukum tidak

diberi uang saku. Bila Bu Yeni memberikan hukuman pada anak-anak yang

sampai menyakiti anak, maka pak Winarto akan menegur Bu Yeni. Tetapi hal ini

belum perna terjadi. Hal yang paling sering dilakukan Bu Yeni adalah memarahi

anak dengan mengomel.

68

Page 72: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Perspektif Anak

Awang mengatakan pesan yang sering disampaikan orang tua adalah

“jangan melihat ke atas, tetapi lihatlah ke bawah. ” Artinya jangan berkhayal,

namun lebih melihat kepada realita yang sudah jelas bisa diamati manfaatnya.

Terhadap saudara atau adik, orang tua berpesan agar ia bersikap adil, saling

memberi dan menjauhi perselisihan. Selain itu, esan lain yang disampaikan

adalah hormat kepada tetangga. Sikap hormat itu tercermin dalam perilaku

mengucapkan salam terlebih dahulu jika bertemu tetangga, menggunakan bahasa

yang halus ketika berbicara dengan orang yang lebih tua.

Orang tua mengajarkan kepada anak tentang pakewuh (tidak enak hati),

rukun dan wedi (takut). Awang merasa pakewuh jika tidak membantu tetangga

yang sedang punya hajatan atau kesibukan. Hal ini juga mencerminkan sikap

rukun. Adapun contoh perilaku rukun dengan saudara-saudara adalah mengikuti

arisan keluarga yang diselenggarakan sebulan sekali. Wedi atau sikap takut

menjadi landasan sikap hormat terhadap orang tua agar tidak mendapat karma.

Dalam hal kedekatanya dengan orang tua, awang merasa lebih dekat

dengan ibu. Hal ini disebabkan keberadaan ayah lebih banyak di luar rumah

daripada bersama anak-anaknya. Ayah biasanya ada di rumah ketika pagi hari

dan malam hari. Oleh karena itu, waktu berkumpul dengan keluarga biasanya

malam hari saat menonton TV. Ketika menonton TV, orang tua memberi

komentar terhadap acara yang ditayangkan dan menyampaian pesan pada anak,

yakni apa yang baik di acara TV dapat ditiru sedangkan yang tidak baik jangan

ditiru.

Selama ini ada satu peristiwa yang sangat berkesan bagi Awang mengenai

kebersamaan dalam keluarga, yaitu ketika membangun rumah. Seluruh anggota

keluarga bahu-membahu membantu mengerjakannya. Dalam kehidupan sehari-

hari, Awang membantu pekerjaan rumah orang tua dalam melakukan pekerjaan

sehari-hari, seperti mencuci piring, mengasuh adik, menyapu lantai, dan menguras

bak mandi.

69

Page 73: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Peristiwa lainnya yang berkesan bagi awang adalah ketika ia masih SD, ia

pergi dan pulang terlalu malam. Ayah pernah memukulnya hingga kepalanya

berdarah. Namun demikian, ayah minta maaf dan awang berjanji tidak akan main

sampai larut. Setelah itu, jika ia meminta sesuatu yang tidak disetujui orang tua

seperti mainan makan ayah tidak pernah memukul lagi dan hanya menjewer,

mencubit dan kemudian menasehati.

Perilaku curang yang pernah dilakukan adalah berbohong tentang harga

buku pada orang tua. Hal ini disebabkan uang jajan yang diberikan orang tua

dirasakannya masih kurang. Namun demikan, orang tua ternyata mengetahuinya,

sehingga pada waktu lain ketika ia jujur meminta uang pada orang tua, justru

orang tua mengurangi jumlah uang yang diminta. Selain itu, kecurangan juga

dilakukan ketika menghadapi ujian akhir nasional SMA. Awang menyatakan

pernah menyontek bersama-sama dengan temannya.

Awang bercita-cita menjadi tentara yang menurutnya memiliki

kewibawaan dan gaji yang mencukupi. Dengan gaji yang diperolehnya nanti, ia

ingin membahagiakan orang tua, membiayai sekolah adiknya, dan bersedekah.

5. Keluarga Nurdin

Keluarga nurdin tinggal di sebuah kos yang terletak di ujung gang. Di

tempat itu terdapat 10 kamar dan sebuah dapur. Keluarga Nurdin menempati tiga

buah kamar kos. Di dpan salah satu kamar terdapat kursi berwarna coklat yang

terbuat dari kayu dan biasa digunakan untuk menerima tamu. Kamar-kamar

tersebut menghadap ke tanah kosong yang digunakan sebagai tempat menjemur

pakaian. Masing-masing kamar kos berukuran 3x3m, bercat putih. Dalam salah

satu kamar terdapat kasur, televisi, lemari, meja kecil berwarna cokelat yang di

atasnya terdapat gula, kopi, teh dan setrika. Suasana di sekitarnya cukup ramai,

sering kali terdengar suara lagu-lagu yang dinyalakan dengan volume yang keras.

Pak Nurdin bekerja sebagai sopir angkutan kota. Apabila mobil

angkotnya rusak dan diperbaiki di bengkel, maka Pak Nurdin tidak bekerja. Tidak

setiap hari Pak Nurdin ulang ke rumah terutama apabila ia tidak memiliki uang.

70

Page 74: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Istrinya, Bu Wati bekerja serabutan sebagai buruh cuci dan kadang-kadang

membantu memasak tetangga yang memerlukan. Pendidikan terakhir Pak Nurdin

adalah SMP dan Bu Wati tidak lulus SD, sehingga ia tidak bisa membaca dan

menulis.

Keluarga Nurdin terdiri dari tujuh orang, yaitu Pak Nurdin dan Bu Wati,

kedua orang tua Pak Nurdin, dan tiga anak laki-laki yakni Ega kelas 3 SMA, Ari

kelas 1 SMA, dan Anton masih TK.

Perspektif orang tua

Melalui pengasuhan dalam keluarga, Pak Nurdin menyampaikan unggah-

ungguh kepada anak-anaknya. Misalnya, bersukap hormat pada tetangga yang

diwujudkan dengan mengatakan permisi bila mau lewat dan ada orang duduk di

dekatnya, menyapa orang yang dikenal, dan bila dengan orang yang tidak dikenal

cukup tersenyum saja.

Kepada kedua anaknya yang sudah besar yakni Ega dan Ari, orang tua

berpesan agar mereka menjauhi narkoba, minuman keras, dan teman yang

berperilaku tidak baik.

Sebagai orang tua, mereka berharap anak-anaknya belajar dengan

sungguh-sungguh agar dapat mandiri dan memiliki kehidupan yang lebih baik dari

orang tuanya. Dalam hal belajar, Bu Wati sering mengingatkan anak untuk

belajar. Namun demikian, menuru Bu Wati, anak jarang mau belajar kecuali

mendekati ujian. Jika diingatkan oleh Bu Wati, anak menjawab sudah belajar atau

tidak ada PR.

Orang tua dalam hal ini Pak Nurdin berharap agar anak memiliki sikap

bakti kepada orang tuanya. Perilaku berbakti yang dimaksud disini adalah ketika

anak disuruh melakukan sesuatu maka anak harus patuh. Untuk menyampaikan

pesan-pesan tersebut, Pak Nurdin menggunakan waktu senggang, sambul tidur-

tiduran dan bercanda. Anak juga dinasehati agar menjalani sekolah dengan benar,

dan memanfatkan waktu dengan baik serta mengerjakan shalat. Pk Nurdin

menganggap anak-anak ketika diberi nasihat mau mendengarkannya. Pak Nurdin

mengatakan pada anak akan menghajar anaknya apabila ketahuan tidak patuh.

71

Page 75: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Dalam keluarga Nurdin, semua tugas rumah dilakukan oleh ibu dan tidak

melibatkan anak. Bu Wati menyatakan bila Ega atau Ari diminta membantu

sering kali menolak dengan alasan lelah. Anak pertama, Ega terkadang masih

mau membantu, namun anak kedua, Ari hanya bersedia membantu bila diberi

upah.

Perspektif anak

Ega dan Ari mengatakan bahwa orang tua sering menasehati mereka agar

rajin belajar, shalat, jujur, taat pada orang tua, hati-hati dalam pergaulan sehingga

tidak terpengaruh teman yang tidak baik, dan jangan minum-minuman keras.

Namun dalam menyampaikan pesan agar belajar, orang tua hanya sekedar

menyuruh saja tetapi tidak melakukan pendampingan. Dengan kondisi tersebut,

Ega masuk kamar apabila dusuruh belajar. Di dalam kamar bermain HP dan

mengatakan sudah belajar bila di tanya oleh ibunya.

Orang tua juga mengajarkan agar anak bersikap hormat kepada orang tua

dengan mengikuti perkataan orang tua, mematuhi peraturan di rumah dan

berpamitan bila akan pergi. Ega menyatakan bila ia menghormati orang tuanya

dengan menuruti perkataan orang tua dan membantu orang tua. Selama ini yang

dilakukan Ega untuk membantu orang tua adalah membersihkan rumah dan

mencuci baju. selain itu, sikap hormat diwujudkan dengan menghargai orang lain

melalui cara berbicara yang sopan dan menggunakan bahasa jawa yang halus.

Sementara Ari mengatakan dalam keseharian, ia tidak membantu tugas-

tugas rumah tangga, dan hanya mau melakukan apabila ada timbal baliknya

seperti mendapatkan uang jajan.

Dalam keluarga, orang tua juga mengajarkan sikap rukun melalui berbagi

makanan, bersatu, dan tidak bertengkar. Namun Ega dan Ari merasa dirinya

diperlakukan tidak adil karena adiknya yang paling kecil diberikan uang yang

lebih banyak. Selain tentang rukun, orang tua juga menyampaikan harapannya

pada anak agar cepat lulus dan mendapatkan pekerjaan. Dalam hal kedekatan,

72

Page 76: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Ega dan Ari merasa lebih dekat dengan ibu, dapat bercerita tentang permasalahan

yang dihadapinya termasuk menyampaikan keinginan membeli sesuatu. Ega dan

Ari merasa kiurang dekat dengan ayahnya dan memprotes ayahnya yang sering

tidak pulang kerumah.

Orang tua juga melatih anak untuk berperilaku jujur dengan mengambil

sendiri uang saku yang diperlukan pada suatu tempat yang telah disediakan.

Tindakan yang dilakukan oleh orang tua apabila anak berperilaku yang tidak

sesuai dengan harapan dan aturan yang telah ditetapkan orang tua, seperti

mendapatkan nilai jelek atau pulang terlalu malam adalah dimarahi. Agar

terhindar dari kemarahan orang tuanya maka Ega dan Ari memilih untuk bersikap

tidak jujur. Ega dan Ari juga menyatakan pernah berbohong pada ibu agar bebas

bermain dan mendapatkan uang dari ibu.

C. Pembelajaran dari Potret Keluarga

Dari gambaran lima keluarga yang telah dipaparkan dibagian sebelumnya

dapat dipelajari tentang harapan orang tua kepada anak, upaya pencapaian harapan

kepada anak, nilai-nilai yang disosialisasikan kepada anak, metode sosialisasi

yang dilakukan orang tua, dan tanggapan anak terhadap sosialisasi nilai yang

dilakukan orang tua.

1. Harapan Orang Tua pada Anak

Terdapat dua harapan utama yang muncul dari orang tua dari semua

keluarga yang diwawancarai. Harapan tersebut dapat dideskripsikan sebagai

berikut.

Pertama, orang tua mengharapkan anaknya menjadi anak yang saleh.

Adapun ciri-ciri anak yang saleh yang dipaparkan oeh orang tua adalah yang

menjalani kehidupan sesuai dengan tuntunan agama. Harapan tersebut terungkap

dalam semua keluarga namun dengan kriteria yang berbeda-beda.

73

Page 77: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Kedua, orang tua mengharapkan anaknya menjadi orang yang sukses

ketika dewasa nanti. Kriteria sukses tersebut berbeda-beda antara keluarga yang

satu dengan keluarga yang lain.

Dari paparan diatas dapat disimpulkan bahwa para orang tua

mengharapkan anak-anaknya menjadi pribadi saleh yang berpegang teguh pada

ajaran agama, dan bila dewasa nanti dapat meraih kesuksesan sehingga memiliki

penghidupan yang lebih layak dan kehidupan yang lebih baik daripada orang

tuanya. Harapan yang lebih layak terutama diungkapkan oleh orang tua yang

memandang penghidupannya masih kurang layak.

2. Peran Orang Tua dan Harapan Anak

Melalui proses pengasuhan yang dijalankan, orang tua berupaya mencapai

harapanyya pada anak dengan berbagai cara. Cara-cara yang digunakan oleh

orang tua terkait erat dengan pandangan orang tua mengenai tugas-tugas yang

mesti dijalankan dalam mengasuh anak. Dari masing-masing keluarga di atas,

dapat dipaparkan pandangan tentang peran orang tua dalam mewujudkan harapan

pada anak adalah sebagai berikut.

Pak Karim dan Bu Karina menyatakan bahwa tugas orang tua adalah

mendampingi anak menuju masa dewasanya. Anak dididik agar dapat

menemukan jatidirinya dan mampu menjadi dirinya sendiri. Dengan pandangan

seperti itu, maka Pak Karim dan Bu Karina memberi kesempatan pada anak untuk

memutuskan sendiri pilihan profesi yang akan ditekuni anak. Dalam hal ini tugas

orang tua memberikan masukan dan pertimbangan atas pilihan yang telah di buat

anak. Orang tua juga memfasilitasi kebutuhan bagi anak untuk mencapai cita-

citanya seperti memenuhi keperluan sekolah anak dan mengikutsertakan

bimbingan belajar ketika hal itu dirasakan perlu bagi anak.

Pak Erman dan Bu Endah memandang tugas orang tua adalah

mengarahkan anak untuk menjadi orang yang sukses. Pak Erman menjalankan

peran sebagai ayah dngan menetukan pilihan bagi anak yang dipandangnya baik.

Misalnya, Pak Erman meminta putrinya Weni untuk kuliah di Fakultas Hukum,

74

Page 78: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

padahal sebenarnya Weni ingin kuliah di Fakultas Ekonomi. Pak Erman juga

meminta Akbar untuk bersekolah di SMA favorit tempat dahulu beliau bersekolah

padahal Akbar ingin di SMA lain tempat teman-teman dekatnya bersekolah. Bu

Endah memiliki sikap yang berbeda dengan Pak Erman. Bu Endah cenderung

menuruti kemauan anak dan mengharapkan anak dapat konsekuen dengan

pilihannya. Dengan menuruti kemauan anak tersebut, Bu Endah menyatakan

dapat meunutut anak bila dikemudian hari tidak konsekuan dengan pilihannya.

Pak Jmari dan Bu Tika menjalankan peran orang tua sebagai pendamping

anak untuk mencapai kesuksesan. Pak Jamari dan Bu Tika membantu Emir dalam

menentukan tempat kuliah setelah pendidikan SMA nya selesai. Bidang

pariwisata dengan konsentrasi pada kapal pesiar dipilih Emir karena profesi

tersebut menjanjikan penghasilan yang besar dan kesempatan untuk pergi ke

tempat-tempat yang jauh terbuka luas. Dengan gaji yang besar Emir dapat

mewujudkan keinginan-keinginannya, sebagaimana juga sering disampaikan oleh

ayah. Sementara adinya, Tiara ingin menjadi reporter agar kaya pengalaman,

sedangkan gaji menjadi urusan kedua. Pemilihan profesi ada Emir dan Tiara

ditentukan oleh anak sendiri dan orang tua membantu memberikan gambaran

tentang profesi tersebut.

Pak Winarto dan Bu Yeni memandang tugas mengasuh anak merupakan

tanggung jawab orang tua agar kelak penghidupannya dapat lebih layak. Peran

orang tua adalah mendidik anak agar dapat memahami kondisi orang tuanya dan

mendorong anak agar dapat mencapai kehidupan yang lebih layak. Banu memilih

menjadi tentara sesuai dengan harapan orang tuanya. Karena denga memiliki

pekerjaan yang berpenghasilan tetap maka banu akan dapat membahagiakan orang

tuanya yang selama ini telah hidup rekasa. Meskipun hidupserba kekurangan,

orang tua mengajarkannya untuk selalu melihat kebawah agar tetap dapat

bersyukur pada Allah SWT.

Pak Nurdin dan Bu Wati memandang tugas orang tua adalah mendidik

anak agar berperilaku baik dan menjauhi perilaku yang tidak baik seperti

75

Page 79: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

menggunakan narkoba dan minum-minuman keras. Dengan pandangan tersebut,

fokus perhatian Bu Wati adalah menjaga anak agar berperilaku baik dalam arti

tidak bermasalah di sekolah maupun di lingkungan sekitar rumah. Pak Nurdin

dan Bu Wati berharap agar anaknya memiliki kehudupan yang lebih layak

daripada orang tuanya, namun kedua anaknya yang sudah remaja yakni Ega dan

Ari belum memiliki gambaran yang jelas tentang profesi yang ingin dijalaninya di

masa depan.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa orang tua memiliki cara

yang berbeda-beda dalam menjalankan peran sebagai orang tua. Pak Karim dan

Bu Karina menjalankan peran sebagai orang tua dengan cara mendidik anak untuk

menjadi dirinya sendiri. Hal itu dilakukan dengan memberikan kesempatan bagi

anak dalam mengambil keputusan untuk kehidupanya. Kesempatan untuk

mengambil keputusan sendiri tersebut merupakan proses pembelajaran yang

penting bagi anak agar kelak anak dapat menjadi pribadi yang bertanggung jawab

dan mandiri. Tugas orang tua adalah membantu memberikan tambahan wawasan

bagi anak sebagai pertimbangan dalam mengambil keputusan. Pembelajaran bagi

anak untuk mengambil keputusan sendiri juga dapat dipetik dari potret keluarga

Pak Jamari dan Bu Tika, serta Pak Winarto dan Bu Yeni.

Dari potret keluarga Pak Erman dan Bu Endah dapat dipetik pelajaran

bahwa keinginan orang tua untuk mengarahkan anak yang terlampau besar, tanpa

disadari telah mengambil hak anak untuk belajar mengambil keputusan bagi

kehidupannya. Anak kurang memiliki kesempatan untuk memutuskan bagi

dirinya sendiri, padahal dialah yang akan menjalani pilihan tersebut. Anak

diharapkan patuh pada orang tua termasuk patuh juga terhadap pilihan-pilihan

ayah yang dipandang baik untuk anak. Cara seperti ini dapat menimbulkan

konflik antara orang tua dan anak apabila anak tidak dapat menerima keputusan

orang tua tersebut.

76

Page 80: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

3. Nilai-nilai yang Disosialisasikan pada Anak

Nilai-nilai yang dianggap penting dan ingin ditanamkan orang tua pada

anak biasanya dikonstruksikan sebagai harapan-harapan mereka terhadap perilaku

maupun profil anak secara keseluruhan. Penyampaian nilai tersebut dapat

diketahui antara lain melalui pesan-pesan yang sering disampaikan orang tua

dalam menasehati anak, pola interaksi yang terapkan dengan anak. Berikut ini isi

pesan yang sering disampaikan orang tua kepada anak-anaknya.

Pertama, rajin beribadah. Pesan untuk rajin beribadah disampaikan oleh

orang tua kepada anak dengan harapan agar anak menjadi anak yang saleh.

Bentuk beribadah yang ditekankan oleh orang tua berbeda-beda.

Kedua, bersikap jujur. Semua keluarga menyampaikan pesan moral untuk

bersikap jujur kepada anak-anaknya. Akan tetapi, implementasi pesan tersebut

dan cara-cara yang digunakan oleh orang tua untuk mengontrol sikap jujur yang

dimiliki anak berbeda-beda.

Ketiga, bersikap hormat kepada yang lebih tua. kata hormat memiliki

beragam makna. Hormat dimaknai sebagai kesediaan membantu meringankan

beban tugas orang tua. Dengan pemaknaan tersebut maka anak yang

menghormati orang tua harus bersedua membantu orang tua untuk melakukan

tugas-tugas orang tua di rumah yang telah di delegasikan pada anak.

Makna lain dari hormat adalah andhap asor, artinya dalam berelasi dengan

orang lain menunjukkan sikap rendah hati. Sikap rendah hati tersebut

diimplementasikan misalnya memanggil saudara yang usianya lebih muda tetapi

dari silsilah keluarga terhitung lebih tua dengan panggilan yang mengandung

unsur hormat seerti mas,mbak.

Terkait dengan pengajaran sikap hormat, ditemukan tiga pola dalam

penggunaan bahasa sebagai alat komunikasi orang tua dengan anak, yakni:

a) Bahasa jawa (krama alus)

77

Page 81: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

b) Bahasa Indonesia yang dicampur dengan bahasa jawa namun tetap

mempertahankan istilah-istilah tertentu yang mengandung penghormatan

c) Bahasa Indonesia dengan nada yang rendah.

Keempat, rukun dengan saudara dan masyarakat. Menurut anak , sikap

rukun diajarkan orang tua dengan meminta anak untuk mau berbagi barang dan

makanan yang dimiliki dengan saudara, saling membantu saudara ketika

membutuhkan, misalnya menghindari pertengkaran dengan saudara dan bersikap

mengalah pada adik

Kelima, pencapaian prestasi belajar. Pesan untuk rajin bersekolah dan

belajar juga merupakan pesan yang umum disampaikan orang tua pada anak.

4. Metode Sosialisasi Nilai

a) Memberikan nasihat.

Metode ini dilakukan dengan cara menyampaikan nilai-nilai yang ingin

disosialisasikan pada anak dalam suatu komunikasi yang bersifat searah.

Orang tua berperan sebagai komunikator atau pembawa pesan, sedangkan

anak berperan sebagai penerima pesan. Metode pemberian nasihat merupakan

metode yang paling umum diterapkan oleh orang tua didalam keluarga.

b) Memberikan Contoh.

Dalam metode ini , orang tua melakukan terlebih dahulu perilaku yang

mengandung nilai moral yang akan disampaikan pada anak. Dengan

demikian, ketika orang tua menyampaikan pesan nilai moral pada anak, orang

tua dapat merujuk pada perilaku-perilaku yang telah dicontohkannya.

Memberikan contoh terus-menerus yang diikuti dengan pemantauan pada

perilaku anak dapat membentuk kebiasaan pada anak.

c) Berdialog.

Dalam metode ini orang tua menyampaikan nilai-nilai pada anak melalui

proses interaksi yang bersifat diologis. Orand tua menyampaikan harapan-

harapannya pada anak dan bentuk-bentuk perilaku yang dilakukan oleh anak.

Metode ini telah terbukti dapat mendorong tubuhnya kesadaran dalam diri

78

Page 82: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

anak akan pentingnya nilai moral yang disampikan orang tua bagi kepentingan

anak sendiri. Atau dengan kata lain, metode ini mendukung berkembangnya

penalaran moral pada diri anak.

d) Memberikan Instruksi. Dimana orang tua yang memberikan perintah pada

anak untuk melakukan suatu tindakan padahal orang tuanya tidak mau

melakukannya.

e) Pemberian Hukuman. Dalam rangka melakukan sosialisasi pada anak,

adakalanya orang tua menggunakan hukuman sebagai cara untuk

mendisiplinkan anak apabila berperilaku kerang sesuai dengan nilai-nilai yang

disosialisasikan

5. Tanggapan Anak Terhadap Nilai-Nilai yang Disosialisasikan oleh Orang

Tua

Relasi orang tua anak merupakan proses timbal balik, artinya antara orng

tua dan Anak saling mempengaruhi. Jadi ketika orang tua melakukan sosialisasi

nilai, maka anak akan memberikan respons terhadap nilai-nilai yang

disosialisasikan tersebut.

Penerimaan anak terhadap pasan orang tua dengan penuh kesadaran

menunjukkan bahwa anak menyadari penetapan standar dalam berperilaku

dilakukan untuk kebaikan diri sendiri bukan semata-mata untuk kepentingan

orang tua

Sikap lain yang ditunjukkan oleh anak adalah belum menerima

sepenuhnya. Dalam jenis penerimaan ini, pesan yang disampaikan oleh orang tua

hanya berhenti pada tataran kognisi anak dan belum terimplementasi dalam

perilakunya sehari-hari. Hal ini dapat menjadikan anak mudah untuk melakukan

pelanggaran-pelanggaran.

Melakukan sosialisasi nilai terhadap anak memang merupakan salah satu

tugas penting yang dilakukan oleh orang tua dalam keluarga. Cara-cara yang

digunakan oleh orang tua dalam melakukan sosialisasi dapat berbeda-beda antara

orang tua yang satu dengan orang tua yang lain. Misalnya pemberian nasihat

79

Page 83: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

yang berulang-ulang terhadap anak, ternyata menimbulkan rasa tidak nyaman

pada diri anak.

D. Pembelajaran Tentang Pendidikan Nilai dalam Keluarga

Secara umum terdapat lima nilai yang menjadi prioritas untuk

disampaikan oleh orang tua pada anak melalui pengasuhan, yakni pentingnya

beribadah, jujur, hormat, rukun dan prestasi belajar. Akan tetapi, keberhasilan

orang tua dalam menyampaikan nilai-nilai tersebut tidak hanya dipengaruhi oleh

isi nilai yang disampaikan, tetapi juga faktor-faktor lain seperti relasi orang tua-

anak dan metode yang digunakan untuk menyampaikan nilai kepada anak. Agar

dapat diperoleh gambaran yang lebih komprehensif, maka akan dibahas masing-

masing nilai yang dijadikan prioritas.

Pertama, pentingnya beribadah. Semua orang tua menyatakan pentingnya

mengajarkan beribadah kepada anak sesuai dengan harapan yang mereka miliki,

yakni menjadi anak yang soleh. Namun dalam penerapan sehari-hari, terdapat

perbedaan antara keluarga satu dengan keluarga yang lain dalam ketaatan

beribadah.

Kedua, nilai jujur. Para orang tua menyampaikan harapannya agar anak

bersikap jujur melalui pemberian nasihat pada anak. Meskipun semua anak

mendapatkan nasihat dari oerng tua agar bersikap jujur, namun dalam

kenyataannya tidak semua anak dapat bersikap jujur dalam kehidupan sehari-hari.

Dalam artian, anak mengatakan berperilaku jujur kepada orang tuanya, namun

mau melakukan tindakan tidak jujur ketika diluar pengawasan orang tua.

Ketiga, nilai hormat. Para orng tua mengharapkan anka mampu

menunjukkan rasa hormat kepada orang yang lebih tua, terutama orang tua. Rasa

hormat tersebut diimplementasikan dengan membiasakan anak menggunakan

bahasa jawa krama alus, mempertahankan istilah-istilah tertentu dalam bahasa

jawa ketika komunikasi dengan orang tua dilakukan dengan bahasa Indonesia.

Rasa hormat juga diajarkan pada anak dengan membiasakan anak untuk

80

Page 84: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

menunjukkan sikap-sikap tubuh tertentu seperti mengangguk, membungkukan

badan, atau menyapa bila berpapasan.

Keempat, nilai rukun. Para orang tua berupaya menumbuhkan sikap rukun

pada anak dngan membiasakan anak berbagi, bersedia mengalah, tolong-

menolong, dan menjauhi perselisihan sesama saudara. Aabila dalam keluarga

para anggotanya dapat bersikap rukun, maka perasaan tenteram akan apat

dirasakan oleh keluarga tersebut. Sebaliknya, sikap-sikap yang mengedapankan

kepentingan pribadi semata tanpa menghiraukan kepentingan orang lain dapat

menimbulkan konflik antar anggota keluarga.

Kelima, nilai pencapaian prestasi. Kata prestasi dimaknai oleh orang tua

sebagai mendapatkan peringkat disekolah. Hal ini berimplikasi pada munculnya

tuntutan pada anak untuk mendapatkan nilai yang bagus ketika ujian dilaksanakan

agar mendapatkan peringkat disekolah. abila nilai ujiannya tidak bagus, maka

mereka akan mendapatkan tegran atau dimarahi oleh orang tua. Adanya tuntutan

dari orng tua ini mendorong anak untuk melakukan jalan pintas dengan

menyontek.

81

Page 85: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

BAB VI

POTRET KONFLIK ORANG TUA-ANAK

A. Pendahuluan

Konflik dan ketidaksetujuan dalam keluarga merupakan hal lazim yang

terjadi. Keberadaan konflik dapat berfungsi untuk menguji kualitas hubungan di

dalam keluarga, melalui cara yang digunakan untuk menangani dan

menyelesaikan konflik.

B. Gambaran Konflik Orang Tua-Anak

Melalui FGI diperoleh data-data tentang :

- Kedekatan remaja dengan orang tuanya

- Area konflik remaja dengan orang tua yang pernah dialami

- Respon orang tua terhadap konflik.

1. Kedekatan Remaja dengan Orang Tua

Para remaja menyatakan memiliki kedekatan yang berbeda-beda dengan

orang tuanya. Remaja yang tinggal dengan orang tuanya dan merasa nyaman

berinteraksi dengan ayah ibunya mengungkapkan perasaan dekat dengan

keduanya. Mereka bisa berbagi cerita dengan orang tuanya tentang peristiwa

yang dialami di sekolah dan melakukan kegiatan bertsama seperti menonton TV,

melakukan tugas rumah, dan ada pula yang rekreasi. Para remaja tersebut jarang

mengalami masalah di sekolah, sehingga tidak pernah berurusan dengan guru BK

di sekolah karena perilakunya.

Remaja yang bermasalah di sekolah pada umumnya adalah remaja yang

berasal dari keluarga bermasalah. Masalah di dalam keluarga tersebut dapat

berupa relasi ayah ibu yang bermasalah dan sering mengalami konflik, perilaku

82

Page 86: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

orang tua yang bermasalah seperti sering mabuk akibat minum minuman keras

dan berjudi, dan relasi orang tua anak yang bermasalah. Masalah dalam relasi

orang tua-anak misalnya adalah orang tua terlalu sering memarahi anak tanpa

melakukan klarifikasi pada anak, dan mudah memberikan hukuman pada anak.

2. Area Konflik Remaja dengan Orang Tua

Masalah yang menjadi pemicu konflik antara remaja dan mencakup tujuh

area, yaitu terlambat pulang baik dari sekolah maupun dari bermain, penampilan

terutama menyangkut cara berpakaian dan modelnya, serta gaya rambut.

Penam[pilan remaja dalam berpkaian maupun dalam memilih model rambut juga

menimbulkan konflik antara remaja dengan orang tuanya . sebagai contoh orang

tua melarang anaknya yang remaja putri memakai model tank top bila pergi keluar

rumah, namun masih menoleransi apabila dipakai di dalam rumah.

Orang tua kurang suka apabila remaja berteman dengan remaja lain yang

berpakaian yang pendek-pendek (seronok), sering mengajak pergi bermain dan

bersikap tidak tahu aturan (kurang punya tata krama). Orang tua juga tidak suka

apabila remaja berteman dengan orang yang suka mabuk-mabukkan, merokok,

pernah mencuri, dan teman yang putus sekolah. Dalam hal ini orang tua kurang

memahami penyebab kedekatan anak dengan temannya, lebih melihat penampilan

fisik atau atribut lainnya.

Mereka dapat menerima kekhawatiran orang tua apabila bergaul akrab

dengan teman-temannya yang berperilaku kurang baik, lama kelamaan mereka

dapat terpengaruh berperilaku kurang baik, lama kelamaan mereka dapat

terpengaruh berperilaku kurang baik pula. Remaja dalam kelompok ini juga

memahami bahwa nasihat yang diberikan orang tua tersebut adalah untuk

kebaikan diri mereka sendiri.

Prestasi menurun dipandang orang tua sebagai akibat terlalu banyak

bermain dan menonton televisi sehingga lupa belajar. Setelah dinasehati orang

tuanya, pada umumnya remaja mau belajar lebih rajin. Prestasi belajar yang

83

Page 87: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

menurun dipandang orang tuanya, pada umumnya remaja mau belajar lebih rajin.

Namun, perilaku belajar lebih rajin tersebut ada yang bertahan lama dan ada yang

tidak. Remaja yang kembali “ kendor “ dalam upaya belajarnya akhirnya

mengalami konflik berulang dengan orang tua dalam prestasi belajar. Untuk

mengatasi, apa bila merasa kepepet tidak dapat menjawab soal-soal ujian, maka

mereka memilih untuk meminta jawaban pada teman agar hasil ulangannya tidak

jeblok dan tidak dimarahi orang tua lagi.

Ketika remaja sedang asyik melakukan suatu kegiatan, misalnya

mendengarkan musik, sms-an, tiba-tiba disuruh orang tua untuk melakukan tugas-

tugas rumah. Mereka memaknai perintah orang tua tersebut sebagai gangguan.

Orang tua kemudian dianggap tidak dapat memahami kesenangan anak.

Menjalin komunikasi dengan seseorang yang disukai dianggapnya sebagai

hal yang penting, karena melalui komunikasi tersebut, remaja merasa

mendapatkan perhatian. Apalagi bila remaja-remaja kurang mendapatkan

perhatian. Apalagi bila remaja merasa kurang mendapatkan perhatian yang

memadai dari kedua orang tuanya. Remaja yang mendapatkan perhatian yang

cukup dari orang tua merasa belom perlu memiliki pacar karena dapat

mengganggu sekolahnya. Mereka menyatakan perhatiannya dan kasih sayang

yang diberikan orang tua sudah lebih dari cukup, sehingga tidak perlu mencari

perhatian dari orang lain. Cara berkomunikasi yang dilakukan orang tua maupun

anak belum cukup memadai untuk menyampaikan pesan yang diinginkan,

sehingga pesan tersebut dapat dipahami sesuai dengan maksud yang sebenarnya.

3. Respons Orang Tua Terhadap Konflik dengan Remaja

Dari wawancara dengan kelompok remaja yang sering bermasalah di

sekolah, terungkap bahwa respons pertama yang diekspresikan oleh orang tuanya

dirumah ketika menghadapi konflik dengan anak adalah marah. Setelah orang tua

mengekspresikan kemarahannya pada remaja, langkah selanjutnya yang terjadi

adalah orang tua memberikan nasihat pada remaja dalam situasi tersebut atau pada

84

Page 88: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

saat remaja melakukan kesalahan. Pada umumnya orang tua juga memberitahu

dan meminta remaja berjanji untuk tidak mengulangi lagi perilakunya.

Pada kelompok remaja yang tidak mengalami problem dalam relasi

dengan orang tua menyatakan dapat menerima kemarahan orang tuanya apabila

mereka melakukan kesalahan. Justru kalau mereka melakukan kesalahan dan

orang tua tidak memberikan reaksi apapun dianggap sebagai kurang

memerhatikan mereka. Kemarahan mereka orang tua dimaknai wajar karena

mereka memang salah.

Konflik a orang tua - anak merupakan hal yang wajar terjadi dalam

interaksi anak dengan orang tua dalam keluarga. Yang menjadi penting

diperhatikan adalah bagaimana cara dan sikap orang tua dan anak dalam

menghadapi konflik tersebut untuk mencari jalan keluarnya.

C. Potret Konflik Orang Tua-Anak dalam Masyarakat

Penampilan remaja menjadi pencetus konflik dengan orang tua, karena

remaja sering kali meniru penampilan dari teman sebayanya atau penampilan atau

penampilan artis idolanya yang belum sesuai dengan nilai-nilai yang ditanamkan

dalam keluarga.

Temuan Galambos dan Almeida (1992) adalah masalah prestasi belajar,

pengelolaan waktu, penggunaan ponsel, dan perilaku berpacaran. Orang tua

menginginkan anak-anaknya dapat mencapai prestasi belajar sesuai dengan

harapannya yakni mendapat skor yang tinggi dalam ulangan dan ujian. Tingginya

konflik anak dengan orang tua dalam hal pemanfaatan waktu luang

menggambarkan bahwa para remaja belom mampu mengelola waktunya dengan

baik.

Tingginya konflik orang tua-anak dalam masalah prestasi belajar dan

pengelolaan waktu luang, menunjukkan bahwa para orang tua dalam keluarga

85

Page 89: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

belum berhasil menanamkan nilai tentang pentingnya berprestasi bagi anak untuk

meraih massa depannya.

Konflik remaja dengan orang tua muncul karena perilaku remaja dipandang

kurang sesuai dengan harapan orang tua. Adapun area yang menjadi konflik lebih

banyak pada area pribadi (personal) terkait dengan pemilihan dan kesuksesan

remaja.

D. Strategi Pengelolaan Konflik Orang Tua-Anak

Nilai-nilai yang ditanamkan pada anak adalah hal- hal yang dianggap

penting oleh orang tua, maka apabila orang tua mengetahui sikap dan perilaku

anak tidak atau kurang sesuai dengan harapan orang tua, maka dapat

menimbulkan konflik.

Dalam karakteristik orang tua yang memiliki keterhubungan dengan anak

dan memeberikan regulasi telah tercermin dalam pemantauan. Dalam

menghadapai konflik dengan remaja orang tua belum menggunakan strategi yang

kmonstuktif. Orang tua lebih banyak marah dalam menghadapi konflik dengan

anak.

Selain mengatasi konflik internal keluarga,orang tua juga berperan sebagai

mediator bagi anak dalam menghadapi dunia sosial yang lebih luas. Menurut

parke dan bhavnagri,dalam menghadapi lingkungan eksternal,orang tua menjadi

mediator dalam hal kontak personal di luar keluarga,seperti tempat perawatan

anak,sekolah,pertetanggaan dan komunitas. Selain itu orang tua juga membantu

anak untuk menghadapi nilai-nilai yang dipromosikan oleh individu mampu

berbagai agen di luar rumah.

Menurut hasil penelitian Padilla-Walker dan Thomson (2005),terdapat

empat strategi yang di gunakan oleh orang tua dalam mempersiapkan anak dalam

menghadapi konflik dengan dunia luar,yakni: membentengi

(cocooning),menyiagakan (pre-arning),berkompromi (compromise), dan

86

Page 90: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

membolehkan (deference). Dalam penelitian ini,strategi yang paling banyak di

gunakan orang tua adalah membentengi anak. Upaya membentengi anak tersebut

dilakukan oleh dua cara yakni memberikan penjelasan (reasoned cocooning) dan

melakukan kontrol (controlled cocooning). Usaha membentengi anak dengan

memberikan penjelasan ditunjukan oleh orang tua yang secara persuatif

melindungi anak dari pengaruh luar,memperkuat dari nilai-nilai keluarga pada

anak dan memberikan penjelasan yang logis terhadap nilai-nilai yang ditanamkan.

Tindakan yang dilakukan orang tua adalah memberikan nasihat,mengarahkan

anak pada perilaku yang diinginkan, dan berdiskusi dengan anak mengenai

kesalahan yang diperbuatnya. Pada usaha membentengi anak dengan melakukan

kontrol di wujudkan oleh orang tua dengan memaksa anak untuk disiplin dan

patuh,tanpa memberikan penjelasan atau dasar rasional terhadap larangan-

larangan yang di berikan. Contoh tindakan orang tua tersebut adalah

memarahi,memberi peringatan dan memberi hukuman pada anak.

E. Pembelajaran dari Potret Konflik Orang Tua - Anak dalam Masyarakat

Pengasuhan anak merupakan tanggung jawab orang tua yang dilaksanakan

melalui interaksi sehari-hari dalam keluarga. Melalui interaksi tersebut terbentuk

iklim psikologis tertentu,seperti kedekatan anak terhadap orang tua. Anak yang

secara psikologis merasa dekat dengan orang tua akan memiliki kesediaan untuk

bersikap terbuka terhadap pengalamanya. Sebaliknya bila naka merasa kurang

dekat dengan orang tua lebih memilih untuk berbagi perasaan dan pengalamannya

dengan orang tua,dalam hal ini yang banyak di pilih oleh remaja adalah teman

sebaya.

Dari data yang telah dipaparkan dalam bagian sebelumnya diperoleh

gambaran bahwa remaja lebih banyak memilih teman sebayanya untuk berbagi

cerita. Remaja baru mau bercerita apabila di tanya oleh orang tuanya. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kualitas relasi orang tua-anak belom

optimal,sebagaimana di ungkapkan oleh Shek (2006) kesediaan anak untuk

bercerita menjadi salah satu indikator dari kualitas relasi orang tua-anak. Dua

87

Page 91: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

indikator lainnya adalah kepercayaan orang tua-anak dan kepuasan anak terhadap

kontrol orang tua.

Rendahnya frekuensi kesediaan anak untuk bercerita pada orang tua dapat

disebabkan oleh sikap orang tua yang mudah memarahi anak apabila mengetahui

perilaku anaknya kurang sesuai dengan harapannya. Padahal bisa jadi anak

memiliki pertimbangan sendiri terhadap tindakan yang di pilihnya. Alangkah

lebih baiknya orang tua mengajak bicara baik-baik dan meninta penjelasan anak

menganai pemilihan tindakan tersebut.

Upaya orang tua memperoleh penjelasan dari anak sekaligus dapat

menjadi pembuka terjadinya dialog antara orang tua dan anak. Dengan cara

dialog tersebut kemampuan penalaran anak dapat terasah,sehingga mendukung

perkembangan kemampuan anak dalam mengambil keputusan di kemudian hari.

Tidak terbentuknya iklim dialogis dalam relasi orang tua-anak menyulitkan

dilakukannya pengelolaan konflik secara konstruktif. Seperti telah dipaparkan

dalam bagian sebelumnya konflik anak dengan orang tua dalam terjadi dalam area

prestasi belajar,pemanfaatan waktu luang,penggunaan ponsel,keterlibatan dalam

membantu tugas rumah,keterlambatan pulang kerumah,penampilan,perilaku

pacaran dan pemilihan teman. Dalam menghadapi konflik dengan remaja,marah

merupakan reaksi yang sering di tunjukan oleh orang tua. Bagi remaja,kemarahan

orang tua di maknai secara berbeda- beda. Pada remaja yang kualitas

hubungannya dengan orang tua kurang baik,kemarahan orang tua di maknai

sebagai ungkapan bahwa orang tua tidak menyukai keberadaan mereka. Adapun

pada remaja yang kualitas hubungannya dengan orang tua baik,kemarahan orang

tua di maknai sebagai bagian dari kasih sayang orang tua. Walaupun

demikian,secara umum remaja menginginkan agar orang tuanya tidak mudah

marah.

Sesungguhnya pemahaman sosial remaja yang meregulasi perilaku

tidaklah bersifat tunggal. Menurut teori domain sosial,individu mengembangan

pemahaman sosial berdasarkan interaksi sosial yang dialaminya,yang dapat

88

Page 92: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

dipetakan menjadi tiga ranah yaitu ranah moral,ranah konvensional,ranah

psikologis (lihat smetana 1999). Ranah moral berkenaan dengan seperangkat

aturan yang meregulasi interaksi sosial dan relasi sosial antara individu di

masyarakat dan hal ini didasarkan pada konsep tentang

kesejahteraan,kepercayaan,keadilan dan kebenaran. Dalam hal ini moralitas di

artikan sebagai pemahaman individu atas tuntunan tentang bagaimana individu

harus bersikap dan bertindak terhadap orang lain.

Interaksi sosial juga memerlukan pemahaman terhadap diri dan orang lain

sebagai sistem psikologis. Ranah psikologis diartikan sebagai pemahaman

mengenai diri,identitas,kepribadian dan sifat-sifat yang dapat memengaruhi

perilaku sendiri atau orang lain. Ranah psikologis ini dibedakan lagi menjadi dua

yaitu prudensial dan personal. Prudensial berkenan dengan keselamatan dan

kesehatan diri. Moral meregulasi perilaku yang dapat mengancam atau

mengganggu orang lain,sedangkan prudensial meregulasi perilaku yang dapat

menimbulkan dampak negatif pada diri sendiri seperti merokok,minum

miras,mengonsumsi narkoba, dan hubungan seksual bebas. Adapun personal

berkenaan dengan kesukaan,pilihan atau preferensi pribadi,seperti

teman,kegiatan,penampilan, dan privasi .

Jika di telaah berdasarkan pendekatan domain sosial,maka konflik atau

ketidaksetujuan yang sering terjadi antara remaja dan orang tua pada umumnya

berkenan pada renah psikologis,terutama yang bersifat personal dan ranah

konvensional. Tiga area konflik yang paling banyak dialami oleh remaja dan

orang tua,yaitu prestasi belajar,pemanfaatan waktu luang dan penggunaan ponsel

dapat digolongkan ke dalam ranah psikologis. Bagi orang tua,prestasi belajar

yang buruk mungkin di anggap akan mengancam masa depan anak. Dalam hal ini

skor hasil ujian atau rapor merupakan tolak ukur yang paling lazim digunakan. Di

lain pihak bagi anak,orang tua yang mempermasalahkan prestasi belajar,dalam hal

pencapaian skor,mungkin akan memanggap orang tua tidak memahami bidang

yang lebih ia minati dan lebih ia kuasi. Demikian halnya dengan pemanfaatan

waktu luang yang bagi orang tua sebaiknya digunakan untuk belajar,sementara

89

Page 93: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

anak lebih suka menggunakan waktu untuk bermain baik sendiri maupun bersama

teman.

Konflik dalam area keterlibatan dalam pelaksanaan tugas rumah dan

keterlambatan pulang dapat di golongkan pada ranah konvensional. Dari sudut

pandang orang tua,sudah menjadi konvensi di masyarakat bahwa salah satu

kewajiban anak adalah membantu orang tua,terutama dalam pekerjaan rumah

tangga. Demikian juga bila anak pulang terlalu larut malam,atau tidak segera

pulang kerumah sesuai sekolah,akan di anggap kurang pantas di mata masyarakat.

Adapun dalam soal penampilan,pacaran, dan pemilihan teman,bagi anak hal ini

merupakan pilihan kesukaan atau untuk memenuhi kebutuhan pribadi. Sementara

orang tua mungkin saja mengkhawatirkan hal tersebut akan melanggar moral atau

konvensi sosial.

Dari sudut pandang teori domain sosial,unjuk kuasa dari orang tua

terhadap ketidaksetujuan anak atau pelanggaran oleh anak tidak efektif untuk

mencegah perilaku antisosial atau mendorong perkembangan moral. Unjuk kuasa

yang antara lain bisa di wujudkan dalam respon marah,sangat lemah dalam

mendorong internalisasi nilai oleh anak. Respons marah masih dapat di terima

bila hal itu hanya merupakan reaksi afektif sesaat. Selain itu reaksi afektif orang

tua juga harus di ikuti dengan upaya untuk mengembangkan penalaran moral.

Penjelasan rasional yang di berikan orang tua,berkenaan dengan aturan-aturan

atau dampak dari perilaku sosial maupun antisosial dapat mendorong anak untuk

melakukan refleksi terhadap tindakan-tindakan. Melalui refleksi tersebut anak

akan dapat memahami alasan mengapa dirinya diharapkan untuk berperilaku

tertentu.

90

Page 94: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

PENUTUP

Keluarga merupakan tempat utama bagi anak dalam menjalani proses

tumbuh dan kembang. Orang tua terbukti memiliki peran yang sangat penting

dalam mendampingi proses perkembangan yang di jalanin anak. Relasi orang tua-

anak yang berkualitas memiliki peran penting dalam mencapai keberhasilan

proses sosialisasi yang dijalankan orang tua. Kualitas relasi orang tua-anak

tersebut dapat diketahui dari beberapa hal yakni:

Pertama, kredibilitas orang tua. Anak yang memandang orang tuanya

sebagai figur kredibel,dalam arti dapat dipercaya karena perkataannya sesuai

dengan tindakannya dan memberi keteladaan dalam berperilaku dalam kehidupan

sehari-hari membuat anak mau mendengarkan nasihat-nasihat yang di sampaikan

orang tua.

Kedua, keterbukaan dalam berkomunikasi. Suasana berkomunikasi yang

terbuka dengan orang tua dan anak juga mendukung keberhasilan proses

sosialisasi. Kerterbukaan tersebut juga diwujudkan dengan membangun pola

komunikasi timbal balik (dua arah) dalam keluarga. Dengan cara tersebut orang

tua memiliki kesempatan untuk menjelaskan harapan-harapannya terhadap

anak,termasuk dalam mengevaluasi perilaku anak yang sesuai atau kurang sesuai

dengan harapan orang tua.

Ketiga, berorientasi pada kebutuhan pribadi anak dari pada kebutuhan

orang tua. Dari gambaran potret keluarga,dapat dipelajari bahwa orang tua yang

berorientasi pada pemenuhan kebutuhan dirinya cenderung bersikap memaksakan

kehendaknya pada anak dari pada berupaya memahami keinginan anak dan

memberikan kesempatan pada anak untuk mengambil keputusan. Tanpa disadari

sikap memaksakan kehendak berarti juga mengambil hak anak untuk tumbuh dan

berkembangan sesuai dengan potensinya.

91

Page 95: Resume Psikologi & Sosial Keluarga Final

Keempat, kepercayaan pada anak. Memberikan kesempatan pada anak

untuk mengambil keputusan merupakan salah satu wujud dari kepercayaan orang

tua pada anak. Contoh wujud lainnya adalah mempercayai isi informasi yang

disampaikan oleh anak pada orang tua. Dengan mempercayai anak secara tidak

langsung berarti juga menghargai anak dan mengakui keberadaannya. Anak-anak

yang merasa berharga di dalam keluarganya cenderung tidak mudah terpengaruh

oleh perilaku buruk dari teman-teman sebayanya. Selain itu anak yang merasa

dipercaya juga terdorong untuk mengimbanginya dengan memercayai orang tua.

Dengan demikian,iklim saling memercayai dapat berkembang dalam relasi orang

tua-anak.

Penanaman nilai merupakan bagian penting dari pembentukan karakter.

Orang tua dalam massyarakat jawa melakukan dalam pembentukan karakter pada

anak dengan menanamkan nilai-nilai yang dipandang penting bagi anak,yakni

ketaatan beribadah,nilai jujur,rukun dan hormat. Bila dicermati lebih lanjut nilai-

nilai tersebut menjadi nilai-nilai penting dalam pendidikan karakter.

Maraknya perilaku tidak jujur di masyarakat menunjukkan bahwa

penanaman nilai jujur di dalam masyarakat baik oleh keluarga maupun di sekolah

belum berhasil mencapai harapan. Kurang hasilnya pendidikan karakter dalam

keluarga dapat di tengarai karena metode yang digunakan kurang tepat dan kurang

terbentuknya kedekatan anak dengan orang tua. Selain itu guru perlu menjadikan

dirinya sebagai teladan bagi anak agar dipandang sebagai figur yang memiliki

kredibilitas di mata siswa. Apabila guru kredibel maka perkataannya akan di

dengarkan dengan baik oleh siswa-siswanya. Dampak selanjutnya adalah proses

pendidikan karakter di sekolah dapat membuahkan hasil yakni membentuk siswa-

siswi berkarakter tangguh.

92