restrukturisasi sistem ekonomi indonesia oleh agung haryono
TRANSCRIPT
RESTRUKTURISASI SISTEM EKONOMI INDONESIA1
Oleh: Agung Haryono2
Abstrak
Ketidak merataan penikmatan hasil pembangunan ekonomi bukanlah suatu cita-cita bangsa Indonesia, namun merupakan sebuah realita yang dari hari kehari terus merajalela. Peningkatan rasio gini merupakan bukti bahwa ketimpangan telah terjadi. Tidak ada satu elemenpun dari bangsa ini yang menghedaki terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, namun roda perekonomian telah berjalan dengan arah yang kurang terkendali sehingga memicu ketimpangan. Tujuan pembangunan Indonesia sangat jelas, yaitu untuk menciptakan masyakat yang adil dan makmur, seperti tersirat pada sila kelima Pancasila. Untuk itu perekonomian Indonesia perlu di-restrukturisasi sesuai dengan sistem ekonomi yang dicita-citakan oleh bangsa Indonesia.
Kata kunci: restrukturisasi, sistem ekonomi, ekonomi kerakyatan
Perkembangan perekonomian Indonesia pada satu dasawarsa terakhir
menunjukkan kinerja yang luar biasa. Pada periode sebelumnya telah terjadi krisis
ekonomi yang hebat diikuti dengan perubahan tatanan sosial politik yang
melahirkan era reformasi. Hasil dari kebijakan ekonomi makro yang hati-hati dan
reformasi kebijakan yang efektif, menyebabkan bangsa Indonesia dapat
menikmati kemajuan selama beberapa tahun terakhir. Namun demikian tingkat
pertumbuhan ekonomi yang tinggi pada beberapa tahun terakhir ini sedikit
menurun yang tercermin pada melemahnya permintaan internasional,
melambatnya pertumbuhan investasi akibat harga komoditas yang lebih rendah
dan meningkatnya ketidakpastian peraturan pemerintah, serta adanya hambatan
infrastruktur (OECD, 2015: 7). Berikut paparan beberapa indikator ekonomi yang
menggambarkan perkembangan perekonomian Indonesia.
1 Disampaikan dalam kajian rutin Pusat Pengkajian Pancasila Universitas Negeri Malang, pada Tanggal 28 Oktober 2016.2 Dosen Jurusan Ekonomi Pembangunan FE-UM. Email: [email protected].
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 1
Tabel 1 Perkembangan GDP, Laju Pertumbuhan Ekonomi dan Rasio Gini
N0 Tahun GDP (miliar
US$)
Laju Pertumbuhan
rata-rata PDB riil (%)
Rasio Gini
1 1995 243,6 8,2 0,35
2 1998 94,2 -13,3 0,37
3 2000 182,4 4,86 0,30
4 2005 313,2 4,9 0,36
5 2010 709,2 5,7 0,37
6 2011 894.3 6,2 0,41
7 2012 921,4 6,0 0,41
8 2013 916,8 5,6 0,41
9 2014 888,8 5,0 0,41
10 2015 890,49 5,04 0,41
Sumber: BPS Indonesia
Pada dekade 1990an perekonomian Indonesia mengalami krisis yang luar
biasa, sehingga pada tahun 1998 mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif
sebesar 13,3 persen. Sejak tahun 2000 secara umum ekonomi Indonesia telah
bangkit. Pasca krisis GDP tertinggi yang pernah dicapai pada tahun 2012
(US$921,4 miliar) dan angka pertumbuhan ekonomi tertinggi pada tahun 2011
yaitu sebesar 6,2%. Hasil survey ekonomi nasional menunjukkan bahwa
pembangunan ekonomi telah meningkatkan kesejahteraan ekonomi masyakat
Indonesia, baik pada kalangan ekonomi bawah, menengah ataupun kelompok atas.
Terbukti dengan peningkatan pengeluaran pada kalangan masyarakat (Susenas
ekonomi 2015). Meskipun terdapat perbedaan kelompok pengeluaran untuk
masyarakat pedesaan dan perkotaan. Masyarakat pedesaan 57,24 persen
pengeluaran digunakan untuk makanan sedangkan masyarakat perkotaan 54,21
persen digunakan untuk pengeluaran non makanan. Kondisi ini disebabkan
pendapatan masyarakat pedesaan lebih rendah dibanding dengan pendapatan
masyarakat kota. Masyarakat yang berpengasilan rendah mayoritas
pendapatannya digunakan untuk pengeluaran konsumsi, sedangkan masyarakat
yang berpenghasilan tinggi sebagaian besar pengeluaraanya untuk investasi.
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 2
Perkembangan kondisi perekonomian yang positif ini tidak diikuti oleh
pemerataan kesejahteraan hasil pembangunan. Tidak meratanya dalam menikmati
kemajuan ekonomi telah berdampak pada meningkatkan kesenjangan sosial
ekonomi yang ditunjukkan dengan meningkatnya rasio gini. Salah satu faktor
penyebab terjadinya ketimpangan sosial ekonomi, adalah ketidak merataan
masyarakat dalam menikmati hasil pembangunan. Seperti diungkap pada laporan
survey Organization for Economic Co-operation and Development (OCDC)
bahwa 50 persen GDP Indonesia hanya dinikamati oleh golongan ekonomi atas
yang jumlahnya hanya 20 persen dari jumlah penduduk, sedangkan yang 50
persen GDP dinikmati golongan ekonomi menengah dan rendah yang jumlahnya
mencapai 80 persen. Kondisi ini menggambarkan bahwa kelompok ekonomi
tinggi cenderung dapat menikmati hasil pembangunan lebih banyak bila
dibanding dengan kelompok ekonomi rendah.
Pertumbuhan ekonomi yang tinggi diiringi dengan peningkatan
kesenjangan sosial, sebenarnya telah menunjukkan bahwa perekonomian yang
berjalan di Indonesia kurang tepat. Karena orang kaya akan semakin kaya dan
yang miskin tetap miskin. Sistem yang berjalan seolah-olah telah meng-amini
pendapat bahwa sitem perekonomian Indonesia menganut sistem Neo-liberalisme
yang jelas tidak sesuai dengan jiwa dan karakteristik bangsa Indonesia yang
menjujung tinggi nilai-nilai kesederhanaan, kekeluargaan dan gotong royong.
Nilai-nilai dan Sistem Ekonomi
Sistem ekonomi yang dianut suatu bangsa akan mendasari warganya
dalam melakukan aktivitas ekonomi. Sistem ini juga memberikan kerangka
berfikir masyarakat dalam pengambilan keputusan tindakan ekonomi. Dengan
kata lain sistem ekonomi akan sangat mewarnai moralitas masyarakat dalam
aktivitas ekonomi.
Moralitas dalam ekonomi merupakan permasalahan klasik, sejak awal
perkembangan ilmu ekonomi sampai sekarang masih menjadi bahan dikusi yang
sangat menarik. Sebab sangat disadari bahwa ilmu ekonomi dan perilaku ekonomi
itu tidak dapat dipisahkan dengan moralitas pelaku ekonomi. Swasono (2003)
menyatakan bahwa sebenarnya ilmu ekonomi adalah ilmu moral (economics is a
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 3
moral science). Sebagai moral science ekonomi memiliki beberapa dimensi
moral, yaitu: homoethicus, brotherhood, berkeadilan, persamaan dan
kemanusiaan.
Munculnya sistem perekonomian suatu masyarakat juga terkait dengan
moralitas atau nilai-nilai (agama, norma, adat dan budaya) yang dianut
masyarakat. Sistem perekonomian tradisonal misalnya, menyelesaikan
permasalahan ekonomi (produksi, distribusi dan konsumsi) sesuai dengan adat
kebiasaan secara turun temurun, termasuk pekerjaan orang tua juga diwariskan
kepada anak-anaknya. Hal ini dilakukan untuk menjaga kelangsungan produksi
barang/jasa yang dibutuhkan masyarakat. Di Mesir kuno ada ajaran yang
mewajibkan seorang anak harus meneruskan pekerjaan orang tua, jika anak
menginginkan pekerjaan lain maka akan dikenakan denda yang besar (Heilbroner,
R.L:1990).
Konsepsi moralitas dalam perilaku ekonomi adalah mengkaitkan tindakan
ekonomi dengan nilai-nilai moral yang berkembang pada masyarakat. Masalah
moral sangat terkait dengan penghargaan, perhatian atau kepedualian terhadap
pihak lain. Sementara ini perilaku ekonomi lebih banyak dipengaruhi oleh
masalah rasionalitas ekonomi kapitalis dari pada moralitas.
Sistem Ekonomi Kapitalisme dalam arti klasik laissez faire secara nyata
menurut Grossman (1988:5) tidak pernah ada. Negara mana pun yang
menerapkan sistem kapitalisme telah memodifikasi terus menerus selama
beberapa abad, sehingga tidak adil bila membandingkan sistem ekonomi yang
ideal (teoritis) dengan sistem yang aktual, meskipun sama-sama sistem kapitalis.
Apa lagi jika yang dibandingkan sistem kapitalisme ideal dengan sistem sosialis
empiris.
Sistem kapitalisme klasik sangat bertumpu pada kekuatan pasar atau
mekanisme pasar yang mereka sebut invisible hand. Seperti diungkap oleh Cord,
R(2007:67) “They believed that market force, in particular the price mechanism,
would, in time, adjust in such a way that would restore the economy back to full
employment without the need for goverment intervention”.Sistem kapitalisme
sangat percaya bahwa untuk menciptakan keseimbangan ekonomi dan
kesejahteraan masyarakat pemerintah tidak perlu campur tangan, karena
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 4
mekanisme pasar akan menciptakan keseimbangan tersebut. Keynes
mengelompokkan beberapa tokoh ekonom klasik yang mengembangkan model
invisible hand, yaitu Adam Smith, David Ricardo, John S. Mill, Marshall dan
Pigou.
Keynes dalam mengembangkan teori ekonomi sudah memasukan peran
pemerintah. Krisis ekonomi dunia tahun 1929 sampai 1931 dipicu oleh semangat
berkembangnya faham kapitalisme yang justru menghasilkan kehancuran
ekonomi dunia. Meskipun sistem perekonomian yang dikembangkan Keynes
sudah memasukkan peran pemerintah, namun ia tetap simpatisan faham liberisme
dengan ekonomi kapitalis (Cord, R. 2007:55).
Kesejahteraan masyarakat akan dicapai jika suatu sistem pasar yang sehat
dapat tercipta, yang tentunya harus ada campur tangan pemerintah. Pasar yang
sehat akan menciptakan suatu sistem ekonomi yang mampu memberikan
pendapatan modal yang adil dan cukup, pekerjaan bagi semua orang dengan gaji
yang memadai untuk hidup layak, dan alokasi optimal secara sosial dari sumber-
sumber produktif masyarakat.
Tantangan yang dihadapi untuk mencapai kondisi di atas adalah
menciptakan suatu peraturan kerangka kerja yang dapat menciptakan sistem pasar
yang sehat. Kapitalisme telah merusak perekoniaan dan sendi kehidupan
masyarakat. Kaum kapitalisme telah berhasil menciptakan kapitalisme uang yang
membuat pemilik modal menjadi terpisah dari penggunaannya untuk produksi.
Hal itu terjadi, dengan beralihnya kekuasaan dari kalangan pengusaha, investor
dan kaum industrialis yang benar-benar terlibat dalam aktivitas produktif, kepada
pemilik uang dan rentenir yang hanya hidup dari pendapatan yang diperoleh dari
asset pemilikan keuangan dan asset-asset lainnya. Pemilik modal dan pasar uang
menjadi semakin jauh dari concern sosial dan terpisah dari perdagangan praktis.
Mereka mengharapkan hasil-hasil yang diperoleh dari tabungan yang semakin
menumpuk, namun menyimpang dari realitas ekonomi yang mendasarinya.
Mekanisme yang digunakan kapitalisme uang global untuk membuat uang dengan
uang, tanpa keharusan ikut terlibat dalam aktivitas yang produktif, telah
memberikan kesempatan bagi orang yang memiliki uang untuk meningkatkan
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 5
tuntutan mereka terhadap kumpulan kekayaan masyarakat yang sesungguhnya
tanpa memberi kontribusi kepada produksinya.
Sistem ekonomi komunis dikembangkan oleh Karl Marx. Manifesto
Komunis merupakan buku yang ditulis bersama Engel, dalam buku tersebut ia
menyatakan bahwa “sejarah semua masyarakat yang pernah ada sampai kini
merupakan sejarah perjuangan kelas” (Grossman, 1988: 54). Sehingga semua
masyarakat harus melalui urutan sejarah, yaitu masyarakat komunisme primitif
(suku), perbudakan, feodalime, kapitalisme, sosialisme dan komunisme. Pada
sistem ekonomi komuisme dikenal formula “from each according to his ability, to
each according to his need” (Grossman, 1988: 55).
Karl Marx membayangkan, bahwa masyarakat yang telah mencapai
tataran komunisme akan mencapai keberlimpahan, semua kebutuhan materinya
sudah tercukupi, sehingga tidak diperlukan insentif individu. Hakekat manusia
sebagai pekerja, ia akan bekerja secara suka rela, gembira, efissisen dan sangat
produktif, tanpa mengharapkan suatu insentif langsung seperti upah. Dengan
demikian kondisi kemakmuran masyarakat akan terbentuk, permasalah pokok
ekonomi sudah selesai tidak ada kelangkaan (scarcity), karena semua kebutuhan
manusia sudah terpenuhi (Grossman: 1988).
Sistem ekonomi komunisme yang dikembangkan Marx sebagai reaksi dari
sistem ekonomi kapitalisme yang telah berjalan selama satu abad dan
menciptakan masyarakat menjadi berkelas-kelas, yaitu kaum borjuis dan proletar.
Koreksi Marx terhadap ekonomi kapitalisme ditulis dalam bukunya yang berjudul
Capital yang terdiri dari tiga jilid, ternyata hanya berisi analisis terperinci tentang
perkembangan dan bekerjanya perekonomian kapitalis (Brewer, A.: 2000).
Sitem ekonomi kapitalis ataupun komunis, sebenarnya merupakan suatu
cara bagaimana masyarakat dapat memecahkan masalah pokok ekonomi, yaitu
scarcity. Suatu sistem perekonomian paling tidak memiliki beberapa tugas pokok,
yaitu menentukan :
1. Apa, dimana, bagaimana dan berapa banyak barang-barang yang harus
dihasilkan untuk memenuhi kebutuhan masyakat.
2. Bagaimana barang dan hasil-hasil ekonomi yang lain didistribusikan kepada
masyarakat.
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 6
3. Bagaimana meningkatkan produksi dan pertumbungan ekonomi.
4. Bagaimana mempertahankan hubungan ekonomi dengan dunia luar.
Mengacu pada tugas pokok dan fungsi sistem perekonomian, maka ada
beberapa indikator yang digunakan untuk menjelaskan kinerja ekonomi yang
dicapai.
1. Produksi barang dan jasa yang dihasilkan, sistem perekonomian yang baik
adalah sistem yang mampu memberikan hasil yang melimpah, sehingga
produksi nasional menjadi tinggi.
2. Pertumbuhan ekonomi, peningkatan jumlah produksi barang dan jasa
menggambarkan pertumbuhan ekonomi. Pertumbuhan ekonomi yang tinggi
menjadi target semua sistem ekonomi.
3. Stabilitas, merupakan gambaran kondisi ekonomi yang kondusif untuk
perkembangan kegiatan ekonomi, sebab pelaku ekonomi tidak dapat
menjalankan aktivitas dengan baik jika kondisi perekonomian dalam suasana
inflasi atau deflasi.
4. Keamanan, merupakan dampak dari pertumbuhan ekonomi yang sekaligus
juga merupakan faktor penentu keberhasilan aktivitas ekonomi.
5. Efisiensi, yang meliputi efisiensi teknis dan efisiensi ekonomi. Efieinsi teknis
terkait dengan perbandingan antara penggunaan faktor input dengan output
yang dihasilkan, sedangkan efisiensi ekonomis terkait dengan alokasi sumber
daya yang satu dengan sumber daya lain.
6. Pemerataan, terkait dengan keadilan dalam distribusi hasil kegiatan ekonomi
kepada pelaku ekonomi.
7. Kemerdekaan ekonomi, kebebasan pelaku ekonomi untuk memilih barang dan
jasa yang diperlukan.
8. Kedaulan ekonomi adalah otoritas penentu kebijakan dalam aktivitas ekonomi.
9. Perlindungan terhadap lingkungan.
Dari sekian banyak kriteria ekonomi di atas, yang sering menjadi tolok
ukur utama perekonomian adalah jumlah produksi atau pendapat nasional dan
pertumbuhan ekonomi, namun demikian akhir-akhir ini banyak mengalami
pergeseran dan perubahan bahwa ukuran kemakmuran suatu masyarakat bukanlah
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 7
pendapatan atau pertumbuhan ekonomi yang menghasilkan kemakmuran, namun
lebih pada peningkatan kebahagiaan. (Singer, T and Snower, D.J.: 2016).
Sistem Ekonomi Indonesia
Sistem ekonomi Indonesia tidak dapat dilepaskan dari sejarah bangsa
Indonesia. Sejarah mencatat bahwa bangsa Indonesia telah dijajah bangsa asing
lebih dari 350 tahun, tentu pada masa tersebut yang diberlakukan di Indonesia
adalah sistem ekonomi kolonial yang semua aktivitas ekonomi ditujukan untuk
penjajah. Beberapa catatan sejarah perekonomian memaparkan bagaimana
kemajuan perekonomian saat itu terutama untuk sektor perkebunan yang
menopang ekspor. Neraca perdagangan yang aktif tidak berdampak pada
kemakmuran masyarakat. Perekonomian pada era kolonial banyak dikuasai oleh
swasta asing dan negara penjajah.
Pada pertengahan abad 19 tercatat bahwa kegiatan ekonomi di Indonesia
sudah mulai modern, banyak mesin-mesin produksi dengan menggunakan
teknologi mesin uap mulai masuk Indonesia. Hal ini berdampak pada
berkembangnya pabrik-pabrik besar yang mengolah produk-produk primer seperti
tebu, kopi dan minyak. (Lindblad: 2000 dan Arief: 2002). Industri berkembang
dengan pesat, karena didukung dengan ketersediaan bahan baku saat itu yang luar
biasa, sangat murah karena adanya sistem tanam paksa. Selain sektor industri,
sektor perkebunan juga mengalami peningkatan. Perkebunan dalam skala besar
banyak dikembangkan di Jawa dan Sumatra. Kemajuan ekonomi yang luar biasa
tersebut sama sekali tidak berdampak pada kesejateraan rakyat, sebaliknya rakyat
justru semakin menderita karena beban pajak yang ditanggung petani terlalu
tinggi. Dalam perhitungan Bung Hatta (dalam Arief:2002) beban pajak petani di
Jawa dan Madura mencapai 40 persen dari hasil panen.
Belanda merupakan salah negara Eropa pendukung setia ekonomi
kapitalis, sehingga proses industrialisasi di Jawa terus berkembang hingga awal
abad 20. Bahkan pada awal 1990an kota Surabaya merupakan kota industri maju
di Asia setara dengan Kalkuta, Bombay dan Osaka. Perkembangan perekonomian
Surabaya di atas Singapura, Bangkok dan Hongkong. (Lindblad, 2000: 177).
Namun basis industri yang kuat ini tidak didukung oleh sektor perdangan dan
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 8
kondisi praindustri masyarakat. Pada sektor perdagangan ekspor Indonesia hanya
mengandalkan produk-produk primer sebagai bahan mentah industri di Belanda
dan Eropa, seperti merica, lada, pala dan damar. Sedangkan masrakat praindustri
sudah mengalami kamajuan dan diakui di dunia internasional, namun sektor ini
tidak tersentuh oleh industrialisasi, seperti kerajinan kayu, logam dan batik.
Setelah merdeka perekonomian Indonesia yang dirumuskan oleh founding
fathers negara bukanlah sekedar cita-cita atau slogan suka-cita kemerdekaan
semata, namun ekonomi Indonesia yang telah dirumuskan dalam pasal 33 UUD
1945 merupakan perumusan hasil kontemplasi para pendiri bangsa Indonesia
terhadap berbagai sistem nilai masyarakat. Pengembangan sistem ekonomi
memang selalu terkait dengan dengan sistem nilai masyarakat. Masyarakat
Indonesia yang sangat menjujung tinggi nilai-nilai kebersamaan,
kegotongroyongan dan persaudaraan.
Bung Hatta sebagai tokoh ekonomi dan pejuang kemerdekaan tegas
menyatakan bahwa pemikiran ekonomi Indonesia harus mengedepankan
kepentingan masyarakat, tetapi hak dan martabat individu harus tetap dilindungi
dan dihargai, sehingga kepentingan dan kemakmuran rakyat harus lebih
dikedepankan tanpa mengabaikan hak perorangan. Tujuan akhir dari sebuah
perekonomian adalah tercapainya “efisiensi sosial” bagaimana rakyat bisa
merasakan kemakmuran dan kesejahteraan dalam arti sesungguhnya sebagai
makhluk sosial, makhluk religi sekaligus makhluk individu. Kemakmmuran dan
kemajuan ekonomi masyarakat tidak hanya diukur dari pembangunan fisik serta
pertumbuhan ekonomi semata, namun juga kesejahteraan dalam arti
sesungguhnya sebagai makhluk sosial, makhluk religi dan sebagai individu.
Beliau tak segan menyebut pemikiran ekonominya sebagai sosialisme ala
Indonesia atau sosialisme religius. Mahakarya dan sekaligus jejak pemikiran
sistem ekonomi Hatta adalah pada pasal 33 UUD 1945. (Kompasiana: 2015)
Sistem ekonomian Indonesia sering disebut sebagai sitem Ekonomi
Pancasila atau Ekonomi Kerakyatan. Mubyarto (2003) menyatakan ciri-ciri sistem
ekonomi Pancasila antara lain: (1) Roda perekonomian digerakan oleh rangsangan
ekonomi, sosial dan moral; (2) Kehendak kuat dari seluruh masyarakat ke arah
kemerataan sosial (egalitarianisme) sesuai asas kemanusiaan; (3) Prioritas
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 9
kebijakan ekonomi adalah menciptakan perekonomian nasional yang tangguh,
yang berarti nasionalisme menjiwai tiap-tiap kebijaksanaan ekonomi; (4) Koperasi
merupakan soko guru perekonomian dan merupakan bentuk yang paling konkrit
dari usaha bersama; (5) Adanya perimbangan yang jelas dan tegas antara
perencanaan di tingkat nasional dengan desentralisasi dalam melaksanakan
kegiatan ekonomi untuk menjamin keadilan ekonomi dan sosial.
Pada suatu ekonomi pasar yang produktif, orang ikut serta dalam banyak
peranan dan menjadikan perasaan kemanusiaan mereka terlibat dalam setiap aspek
kehidupan ekonomi. Akan tetapi yang terjadi pada sistem kapitalisme saat ini
adalah kekuasaan untuk melaksanakan hak-hak kepemilikan telah berpindah
tangan kepada badan-badan keuangan global yang bukan manusia. Kekuasaan
uang telah diputus hubungannya dari perasaan kemanusiaan, sehingga manusia itu
sendiri hanya menjadi tawanan dari sebuah sistem yang tidak setia kepada
kebutuhan-kebutuhan mereka sendiri. Menurut Korten (dalam Gamal:2006)
kapitalisme telah berhasil menciptakan sebuah mesin ekonomi global yang amat
berkuasa dan tidak punya perasaan, yang menyerahkan seluruh eksistensinya
untuk tujuan mengubah kehidupan menjadi keuntungan dengan jalan menguras
modal yang masih ada. Lembaga yang sangat berperan menciptakan hal itu adalah
korporasi-korporasi yang merupakan multinasional corporation yang
kekuasaannya telah melintasi batas-batas negara menuju sebuah globalisasi.
Di tengah pesatnya perkembangan ilmu (ideologi) ekonomi global yang
sudah semakin mengarah pada ‘keyakinan’ layaknya agama (Nelson dalam
Santoso, A:2004), rasanya tidak sulit mengamati ekses dari kecenderungan global
tersebut di Indonesia. Relevansi Ekonomi Pancasila dapat ‘dideteksi’ dari tiga
kontek yang berkaitan yaitu cita-cita ideal pendiri bangsa, praktik ekonomi rakyat,
dan praktek ekonomi aktual yang ‘menyimpang’ karena berwatak liberal,
individualis, dan kapitalistik. Semua itu terangkum dalam kajian lima platform
Ekonomi Pancasila yang bersifat holistik.
Mubyarto (2003) mendeskripsikan lima platform Ekonomi Pancasila
sebagai beriktut. Platform pertama Ekonomi Pancasila yaitu moral agama, yang
mengandung prinsip “roda kegiatan ekonomi bangsa digerakkan oleh rangsangan
ekonomi, sosial, dan moral”. Pada awalnya founding fathers Indonesia
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 10
merumuskan politik kemakmuran, keadilan sosial, dan pembangunan karakter
(character building) bangsa yang dilandasi semangat penerapan ajaran moral dan
agama. Itu berarti pembangunan ekonomi harus beriringan dengan pembangunan
moral atau karakter bangsa, dan ditujukan untuk menjamin keadilan antar sesama
makhluk ciptaan Allah, tidak sekedar pembangunan materiil semata. Inilah moral
ekonomi rakyat yang tidak sekedar mencari untung, melainkan memperkuat
silaturahmi, menegakkan norma agama, dan memperhatikan kepentingan sosial.
Platform kedua adalah kemerataan sosial, yaitu ada kehendak kuat warga
masyarakat untuk mewujudkan kemerataan sosial, tidak membiarkan terjadi dan
berkembangnya ketimpangan ekonomi dan kesenjangan sosial. Gagasan ini sudah
lama tertuang dalam bagian penjelasan Pasal 33 UUD 45 yang sudah
diamandemen dalam konsep kemakmuran masyarakatlah yang diutamakan, bukan
kemakmuran orang-seorang. Sampai saat ini masih sulit meyakini realisasi
semangat tersebut karena setiap upaya memakmurkan ekonomi ternyata yang
lebih merasakan dampaknya tetap saja yaitu orang besar baik pengusaha ataupun
pejabat pemerintahan. Masih saja ketimpangan sosial-ekonomi susah untuk
diperkecil. Di puncak piramida yang menguasai mayoritas kue nasional dihuni
segelintir manusia. Sebaliknya, di dasar piramida yang kuenya kecil diperebutkan
puluhan juta orang. Pajak yang sudah diformalkan (UU) dan pajak sebagai
instrumen pemerataan ternyata belum mampu berbuat banyak, padahal potensi
pemerataan dalam pajak sangat besar. Hasil pembangunan khususnya bidang
ekonomi masih dinikamati oleh sebagian kecil anggota masyarakat. Beberapa
orang memiliki kekayaan yang berlimpah, sementara sebagian masyarakat
pendapatannya pas-pasan sekedar untuk bertahan hidup. Pertumbuhan ekonomi
yang terus dipacu 4%, 5%, atau 7%, jika tidak diimbangi dengan memprioritaskan
pemerataan hasil-hasilnya maka kesenjangan ekonomi masyarakat akan semakin
lebar. Contoh sederhana adalah pada ekonomi rakyat Indonesia, terutama di
perdesaan, yang masih memegang prinsip kebersamaan dan solidaritas sosial-
ekonomi dalam kegiatan mereka. Ekonomi Pancasila berfungsi sebagai platform
ekonomi yang memperjuangkan pemerataan dan moral kemanusiaan melalui
upaya-upaya redistribusi pendapatan.
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 11
Platform ketiga adalah nasionalisme ekonomi, dalam era globalisasi makin
jelas adanya urgensi terwujudnya perekonomian nasional yang kuat, tangguh, dan
mandiri. Platform ini sejalan dengan konsep founding fathers Indonesia,
khususnya Bung Karno dan Bung Hatta, tentang politik-ekonomi berdikari yang
bersendikan usaha mandiri (self-help), percaya diri (self reliance), dan pilihan
kebijakan luar negeri bebas-aktif. Kemandirian bukan saja menjadi cita-cita akhir
pembangunan nasional, melainkan juga prinsip yang menjiwai setiap proses
pembangunan itu sendiri. Ini mensyaratkan bahwa pembangunan ekonomi
haruslah didasarkan pada kekuatan lokal dan nasional untuk tidak hanya mencapai
nilai tambah ekonomi melainkan juga nilai tambah sosial-kultural, yaitu
peningkatan martabat dan kemandirian bangsa (Swasono:2003).
Platform keempat adalah demokrasi ekonomi berdasar kerakyatan dan
kekeluargaan. Koperasi dan usaha-usaha kooperatif menjiwai perilaku ekonomi
perorangan dan masyarakat. Prinsip ini dijiwai oleh semangat Pasal 33 UUD 1945
yang berisikan prinsip-prinsip demokrasi ekonomi dan landasan konstitusional
koperasi. Untuk itu upaya penegakan demokrasi ekonomi harus tetap diusahakan.
Platform kelima adalah keseimbangan yang harmonis, efisien, dan adil
antara perencanaan nasional dengan desentralisasi ekonomi dan otonomi yang
luas, bebas, dan bertanggungjawab, menuju pewujudan keadilan sosial bagi
seluruh rakyat Indonesia. Tujuan keadilan sosial juga mencakup keadilan antar
wilayah (daerah), yang memungkinkan seluruh wilayah di Indonesia berkembang
sesuai potensi masing-masing. Inilah substansi Negara Kesatuan yang tidak
membiarkan terjadinya ketimpangan sosial-ekonomi antar daerah melalui
pemusatan aktivias ekonomi oleh pemerintah pusat, dan di pusat pemerintahan.
Kesejahteraan tidak dapat dipungkiri telah menjadi tujuan utama dalam
kehidupan setiap manusia. Namun demikian, ada perbedaan pandangan mengenai
apa yang membentuk kesejahteraan itu dan bagaimana hal itu dapat direalisasikan.
Pandangan sekuler modern mempercayai bahwa kesejahteraan dapat dijamin bila
tujuan-tujuan materi tertentu dapat direalisasikan. Tujuan-tujuan materi itu antara
lain adalah pengentasan kemiskinan, pemenuhan kebutuhan materi bagi semua
individu, ketersediaan peluang bagi setiap orang untuk dapat hidup terhormat,
distribusi pendapatan dan kekayaan yang merata. Menurut Chapra (dalam
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 12
Gamal:2006) tidak ada sebuah negara di dunia ini yang telah berhasil
merealisasikan sasaran material ini. Sebaliknya yang terjadi justru ketidakstabilan
ekonomi dan ketidakseimbangan makro ekonomi dengan terkurasnya sumber-
sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui dan polusi lingkungan dalam
skala yang dapat mengancam kehidupan di bumi, serta meningkatnya ketegangan
dalam hubungan kehidupan sosial manusia. Korten (Gamal:2006) dalam bukunya
The Post-Corporate World: Life After Capitalism, menyampaikan bahwa masalah
ancaman kehancuran lingkungan dan sosial semakin besar disebabkan oleh ekses-
ekses dalam sebuah sistem ekonomi yang buta terhadap kebutuhan manusia
sebagai titik tolaknya. Setelah runtuhnya kekuasaan Uni Soviet pada awal dekade
1990-an, yang turut menunjukkan ”kematian” sistem sosialisme, sistem
kapitalisme seakan berjalan merajalela meninggalkan bentuk aslinya, bahkan
terjadi penghancuran dan pembusukan kapitalisme dari dalam dirinya sendiri.
Kapitalisme berkembang menjadi korporatisme, yang membuat semakin
terpusatnya kekuasaan di tangan segelintir korporasi global dan lembaga-lembaga
keuangan internasional dan telah melucuti pemerintah dari kemampuannya untuk
menempatkan prioritas ekonomi, sosial, dan lingkungan dalam kerangka
kepentingan umum yang lebih luas. Sejumlah kecil orang menikmati kesenangan
material baru, namun kehidupan orang yang lebih banyak jumlahnya telah
merosot, dan kesenjangan makin menganga hampir di segala penjuru dunia.
Didorong oleh keinginan kuat untuk mendapatkan keuntungan yang lebih besar
bagi kepentingan para investornya, korporasi dan lembaga-lembaga keuangan
global teleh mengubah kekuasaan ekonominya menjadi kekuasaan politik. Gamal
(2006), seorang mantan economic hit man dalam bukunya Confessions of an
Economic Hit Man, mengakui mengutamakan kapitalisme yang menyerupai
masyarakat feodal zaman pertengahan dalam membantu menumbuhkan ekonomi,
telah menjadikan segelintir orang yang duduk di puncak piramida menjadi lebih
kaya lagi, sementara pertumbuhan ekonomi itu tidak melakukan apapun bagi
mereka yang berada di dasar piramida selain mendorong mereka menjadi lebih
miskin lagi. Bahkan, beliau mengakui bahwa untuk ”membantu” pembangunan
sebuah negara, korporasi-korporasi melalui pemerintah negara adidaya tidak
jarang memaksakan kehendaknya. Dengan demikian, pembangunan yang
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 13
dilakukan pada negara tersebut menimbulkan permasalahan yang lebih besar dari
pada manfaat yang diperoleh oleh negara beserta masyarakatnya.
Sistem Ekonomi Kerakyatan
Sistem Ekonomi Kerakyatan sebenarnya bukanlah suatu sistem ekonomi
baru yang dianut Indonesia, namun lebih pada perkembangan istilah dari sistem
ekonomi Indosesia. Bung Hatta sebagai konseptor perekonomian lebih suka
menamakan sistem sosialis religius. Sering dengan perkembangan kondisi sosial
politik pada orde baru pemerintah gencar melakukan sosialisasi nilai-nilai
Pancasila maka dimunculkan istilah baru sistem Ekonomi Pancasila. Setelah orde
baru runtuh ekonomi Pancasila juga ikut hilang, karena dalam implementasinya
ekonomi Pancasila merupakan sitem ekonomi yang menjamin para penguasa dan
pengusaha besar (Mubyarto: 2014). Sebagai pengganti dimunculkan ekonomi
kerakyatan.
Berdasarkan uraian tentang sistem ekonomi Indonesia di atas, ciri-ciri
positif Sistem Ekonomi Kerakyatan adalah sebagai berikut.
a. Perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas asas kekeluargaan.
b. Cabang-cabang produksi yang penting bagi negara dan menguasai hajat hidup
orang banyak dikuasai oleh negara.
c. Bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung di dalamnya sebagai pokok-
pokok kemakmuran rakyat dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk
sebesar-besar kemakmuran rakyat .
d. Sumber kekayaan dan keuangan negara digunakan dengan permufakatan
lembaga-lembaga perwakilan rakyat dan pengawasan terhadap kebijak-
sanaannya ada pada perwakilan rakyat pula (Pasal 23 UUD 1945 Hasil
Amandemen).
e. Warga negara memiliki kebebasan dalam memilih pekerjaan yang dikehendaki
serta mempunyai hak akan pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi
kemanusiaan (Pasal 27 UUD 1945 Hasil Amandemen).
f. Perekonomian daerah dikembangkan secara serasi dan seimbang antar daerah
dalam satu kesatuan perekonomian nasional dengan mendayagunakan potensi
dan peran serta daerah secara optimal dalam rangka perwujudan wawasan
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 14
nusantara dan ketahanan nasional.
g. Hak milik perorangan diakui dan pemanfaatannya tidak boleh bertentangan
dengan kepentingan masyarakat.
h. Potensi, inisiatif, dan daya kreasi setiap warga negara dikembangkan
sepenuhnya dalam batas-batas yang tidak merugikan kepentingan umum.
Di samping kedelapan ciri sistem ekonomi kerakyatan tersebut,
Pemerintah sama sekali tidak menghendaki adanya fakir miskin dan anak-anak
terlantar. Oleh karena itu, mereka dipelihara negara agar dapat memperoleh
penghidupan dan pendidikan yang layak bagi kehidupan manusia.
Adapun ciri-ciri negatif yang dihindarkan dalam sistem ekonomi
kerakyatan adalah sebagai berikut.
a. Sistem free fight liberalism yang menumbuhkan eksploitasi terhadap manusia
dan bangsa lain, yang dalam sejarah Indonesia hal itu telah menimbulkan dan
mengakibatkan kelemahan struktural ekonomi nasional dan posisi Indonesia
dalam perekonomian dunia.
b. Sistem etatisme dalam arti bahwa negara beserta aparatur ekonomi negara
bersifat dominan, mendesak, dan mematikan potensi serta daya kreasi unit-unit
ekonomi di luar sektor negara.
c. Persaingan tidak sehat dan pemusatan kekuatan ekonomi pada suatu kelompok
dalam berbagai bentuk monopoli dan monopsoni yang merugikan masyarakat
dan bertentangan dengan cita-cita keadilan sosial.
Berdasarkan uraian di atas pengertian sistem ekonomi kerakyatan dapat
disimpulkan sebagai suatu tatanan perekonomian yang bertumpu pada mekanisme
pasar yang berkeadilan dengan prinsip persaingan sehat yang memungkinkan
seluruh potensi masyarakat dapat diberdayakan melalui kegiatan ekonomi
(Banu,dkk: 2010). Sistem ekonomi jenis ini jelas bukan sistem pasar/kapital
(dianut oleh negara yang berideologi liberal) maupun sistem ekonomi
terpusat/sosial (dianut oleh negara yang berideologi komunis). Tujuan pengaturan
perekonomian ini adalah pertumbuhan ekonomi dengan mengedepankan
perlakuan yang adil bagi seluruh masyarakat. Melalui sistem ekonomi kerakyatan
ini dimungkinkan seluruh potensi masyarakat, baik sebagai produsen/pengusaha,
konsumen, tenaga kerja, tanpa membedakan suku, agama, dan gender memperoleh
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 15
kesempatan yang sama untuk berperan aktif dan meningkatkan taraf hidupnya
dalam berbagai kegiatan ekonomi. Lebih lanjut, aturan tentang tata perekonomian
Indonesia secara tegas dituangkan dalam UUD 1945 Hasil Amandemen, Pasal 33,
yang terdiri dari 5 (lima) ayat, meliputi 3 (tiga) ayat lama dan 2 (dua) ayat
tambahan. Implementasi dan Makna Pasal 33 UUD 1945
Ayat 1, Pasal 33, UUD 1945, bermakna bahwa tanggung jawab terhadap
perekonomian nasional terletak pada seluruh masyarakat Indonesia tanpa kecuali.
Hal ini berarti bahwa seluruh rakyat bersama-sama dengan Pemerintah diharapkan
dapat ikut berpartisipasi dalam membangun dan mengembangkan perekonomian
bangsa untuk mencapai masyarakat yang adil dan makmur.
Dalam sistem ekonomi kerakyatan yang diutamakan adalah kemakmuran
seluruh rakyat, bukan orang per orang atau golongan tertentu (Banu dkk: 2010).
Perekonomian dirancang dan dilaksanakan bersama secara gotong-royong yang
dijiwai oleh asas kekeluargaan. Pernyataan dalam Ayat 1, Pasal 33, UUD 1945 ini
merupakan perwujudan dari pelaksanaan sistem ekonomi kerakyatan yang
didasari oleh demokrasi ekonomi. Penjelasan Ayat 1 Pasal 33 UUD 1945 Hasil
Amandemen memang telah dihilangkan, artinya pernyataan bahwa koperasi
sebagai “bangun perusahaan yang sesuai dengan itu adalah koperasi” telah
dihilangkan dari penjelasan Pasal 33, Ayat 1. Namun menurut Bung Hatta, setiap
sistem perekonomian yang dibangun dengan dasar kebersamaan (mutuality) dan
asas kekeluargaan (brotherhood/ukhuwah watoniah) adalah koperasi. Dengan
demikian jelas bahwa koperasi merupakan salah satu pelaku ekonomi di
Indonesia, sebagaimana tertuang dalam Pasal 33 UUD 1945.
Makna Pasal 33, Ayat 2, UUD 1945, memberikan landasan bagi ruang
gerak badan usaha milik swasta (BUMS). Tidak ada larangan bagi BUMS untuk
mengelola berbagai cabang produksi, sepanjang cabang produksi tersebut tidak
penting bagi negara dan tidak menguasai hajat hidup orang banyak.
Ketentuan ini diarahkan pada upaya untuk menghindari terjadinya mono-
poli yang merugikan rakyat. Jika cabang-cabang produksi yang penting bagi
negara dan menguasai hajat hidup orang banyak dikuasai oleh swasta,
menyebabkan hasil produksinya dimonopoli oleh pihak swasta. Pemegang
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 16
monopoli dapat bertindak “sesuka hatinya” untuk mencapai kepentingan pribadi,
meskipun merugikan orang banyak. Sebagai contoh, untuk mengejar keuntungan
yang besar, mereka dapat menentukan harga setinggi mungkin. Agar harga barang
tetap tinggi, mereka akan mengatur jumlah persediaan barang di pasaran sekecil
mungkin sehingga tidak cukup untuk menuhi kebutuhan masyarakat. Seandainya
hal di atas terjadi, akan sangat merugikan masyarakat karena tidak seluruh masya-
rakat dapat memenuhi kebutuhan barang tersebut. Sebaliknya, jika cabang-cabang
produksi yang dimaksud dikuasai negara, penggunaannya akan diarahkan untuk
mencapai kemakmuran rakyat semaksimal mungkin.
Makna Pasal 33, Ayat 3, UUD 1945, memberikan jaminan keadilan dalam
perekonomian bagi seluruh rakyat. Negara sebagai pengatur dan perancang
perekonomian harus menguasai bumi, air, dan kekayaan alam yang merupakan
sumber alat pemenuhan kebutuhan vital masyarakat untuk mencapai kemakmuran
bersama.
Setiap tindakan Pemerintah selalu dimaksudkan untuk memakmurkan
semua warganya. Pemerintah selalu mementingkan pemenuhan kebutuhan rakyat
bukan untuk mencari keuntungan semata. Jadi, Pemerintah tidak bersifat profit
motives melainkan benefit motives memberikan layanan dan manfaat bagi seluruh
lapisan masyarakat.
Ayat 2 dan 3, Pasal 33, UUD 1945 ini merupakan penegasan lebih lanjut
dari Ayat 1, Pasal 33, UUD 1945. Sebagai pengatur dan perancang perekonomian,
negara/pemerintah harus menguasai unsur-unsur produksi untuk memenuhi ke-
butuhan masyarakat yang vital. Adapun untuk melaksanakan sebagian dari
ketentuan ini negara/pemerintah membentuk BUMN/BUMD. Dengan demikian,
pemerintah leluasa mengatur penggunaannya untuk memenuhi kepentingan
seluruh rakyat.
Pemerintah juga bertanggung jawab dan mempunyai tugas untuk mengem-
bangkan dan memajukan usaha koperasi dan BUMS agar ketiga pilar
perekonomian nasional memiliki kemampuan yang sama kuat dalam menyangga
perekonomian nasional. Pemerintah memberikan peluang dan kesempatan seluas-
luasnya kepada koperasi dan BUMS untuk berperan maksimal dalam pengem-
bangan perekonomian.
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 17
Upaya Pemerintah dalam mengembangkan dan memajukan usaha koperasi
dan BUMS adalah sebagai berikut:
a. memberikan dorongan, pembinaan, dan perlindungan terhadap usaha-usaha
koperasi dan BUMS,
b. membuka tempat-tempat latihan kerja yang berupa Balai Latihan Kerja (BLK)
dalam mempersiapkan tenaga-tenaga terampil untuk menunjang pengem-
bangan usaha swasta,
c. memberikan bantuan kredit sebagai modal kerja melalui bank-bank
Pemerintah dan swasta dengan syarat ringan, dan
d. mencarikan bapak angkat bagi perusahaan-perusahaan yang memerlukannya
sehingga memungkinkan terjadinya transfer teknologi dan manajemen usaha.
Pasal 33, Ayat 4, UUD 1945 memberikan acuan normatif dalam
melaksanakan perekonomian di Indonesia. Artinya, demokrasi ekonomi
merupakan dasar perekonomian nasional. Untuk melaksanakan demokrasi
ekonomi tersebut diterapkan prinsip kebersamaan, efisiensi berkeadilan,
berkelanjutan, berwawasan lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga
keseimbangan kemajuan dan kesatuan ekonomi nasional. Prinsip-prinsip
sebagaimana disebutkan di atas merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan.
Penempatan demokrasi ekonomi pada salah satu ayat (Ayat 4) ini ternyata
menyisakan perdebatan yang berkepanjangan.
Pasal 33, Ayat 5, UUD 1945, memuat ketentuan tentang dapat
dikeluarkannya Undang-undang yang dibuat untuk mengatur pelaksanaan Pasal
33 di atas. Undang-udang tersebut dikeluarkan tentunya dengan
mempertimbangkan peran yang harus dimainkan oleh ketiga pelaku ekonomi
nasional, yaitu BUMN/BUMD, koperasi, dan swasta/BUMS.
Pasal 33 Undang Undang Dasar (UUD) 1945 telah mengalami empat kali
amandemen. Penjelasan Pasal 33 dihilangkan, sejumlah hal yang selama ini
dikemukakan secara tegas dan jelas pada bagian penjelasan Pasal 33, kini hilang
sama sekali. Sekecil apa pun, hal itu tentu sangat besar pengaruhnya terhadap
makna asli yang dikandung oleh Pasal 33 UUD 1945.
Meskipun Ayat 5, Pasal 33, UUD 1945 menyatakan bahwa pelaksanaan
Pasal 33 akan di atur dengan undang-undang (UU), hal itu tidak dapat dijadikan
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 18
sebagai jaminan bahwa hal-hal yang hilang itu akan muncul kembali dalam UU
yang menjadi turunan Pasal 33. Kalimat yang terdapat pada bagian penjelasan
yang dihilangkan adalah adalah sebagai berikut, "Dalam Pasal 33 tercantum dasar
demokrasi ekonomi, produksi dikerjakan oleh semua, untuk semua, di bawah
pimpinan atau penilikan anggota-anggota masyarakat. Kemakmuran
masyarakatlah yang diutamakan bukan kemakmuran orang seorang. Sebab itu,
perekonomian disusun sebagai usaha bersama berdasar atas azas kekeluargaan.
Bangun perusahaan yang sesuai dengan itu ialah koperasi."
Pada Ayat 4, Pasal 33, UUD 1945, kata demokrasi ekonomi memang
muncul kembali. Tetapi kedudukan dan pengertiannya berubah, kata demokrasi
ekonomi sebagai ayat yang keempat dalam batang tubuh. Terlebih dengan embel-
embel "dengan prinsip keadilan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajuan dan
kesatuan ekonomi nasional” Ini semakin sulit dipahami makna dari demokrasi
ekonomi itu sendiri. Akhirnya demokrasi ekonomi berubah posisinya, hanya
menjadi salah satu ayat dalam Pasal 33. Hal ini bertolak belakang dengan fungsi
asli ungkapan demokrasi ekonomi sebagaimana dimaksud pada Pasal 33 UUD
1945 sebelum amandemen. Prinsip demokrasi ekonomi sesungguhnya berfungsi
sebagai payung bagi ketiga ayat yang terdapat dalam Pasal 33 itu. Artinya, yang
prinsip dalam sistem perekonomian Indonesia adalah penyelenggaraan demokrasi
ekonomi.
Sistem Ekonomi Indonesia perlu dibangun kembali, karena sistem
ekonomi Indonesia bukan sistem ekonomi Neo-Liberalisme dan bukan sistem
Ekonomi Terpimpin atau Komando. Peran pemerintah dalam sistem neo-
liberalime sebagai penyangga, pembuat aturan dan kebijakan yang menjamin
mekanisme pasar akan berjalan. Sehingga semua kebijakan mengarah pada
kelancaran mekanisme pasar, yang sudah terbukti akan kegagalannya. Mekanisme
pasar terbukti gagal dalam menjalankan misi keadilan dan pemerataan hasil
aktivitas ekonommi. Pada sistem ekonomi terpimpin, peran negara sebagai sentral
pengendali dan pelaku ekonomi yang menjalankan kegiatan ekonomi untuk
rakyat. Sistem ini jelas kontra produktif terhadap kemerdekaan dan kedaulatan
ekonomi yang telah diamanatkan oleh UUD 1945.
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 19
Peran pemerintah dalam sistem ekonomi Indonesia adalah sebagai pelaku
dan pengatur lalulintas kegiatan perekonomian, yang dapat menjamin bahwa
semua warga masyarakat memiliki kebebasan memilih (kemerdekaan) dan
memberi kesempatan yang sama (kedulatan) dalam menjalankan aktivitas
perekonomian. Semua aturan dan kebijakan pemerintah pusat dan daerah harus
mengacu dan menjabarkan dari aturan perekonomian di UUD 1945. Peningkatan
kepedulian pimpinan dalam menciptakan iklim usaha yang kondusif bagi
masyarakat hingga dapat meningkatkan partisipasi anggota masyakat dalam
kegiatan ekonomi produktif (Haryono: 2015).
Simpulan
Sistem Ekonomi Indonesia bukanlah sistem ekonomi terpimpin dan bukan
pula neo-liberal, namun sebuah sistem yang dibangun dari sistem tatanilai dan
norma-norma yang berlaku dan dijunjung tinggi oleh masyarakat Indonesia.
Landasan pembangunan sistem ekonomi Indonesia sudah jelas yaitu pasal 33
UUD 1945, namun bentuk riil dari sistem tersebut masih perlu dikembangkan.
Bagaimana peran pemerintah dan masyarakat dalam melakukan kegiatan
ekonomi, bagaimana hubungan antar pelaku ekonomi, dan bagaimana hak dan
kewajiban masing-masing pelaku ekonomi.
Daftar Rujukan
Arief, Sritua. 2002. Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Mengenang Bung Hatta Bapak Ekonomi Kerakyatan Indonesia, Surakarta: Muhhamadiayah University Press.
Banu, B.S, Haryono, A dan Winarno, 2010. Pasal 33 UUD 1945 dalam Perspekif Pembudayaan Nilai-nilai dasar Pancasila, Malang: UM Press.
BPS, 2015. Pengeluaran untuk Konsumsi Penduduk Indonesia, Survey Sosial Ekonomi Nasional, Badan Pusat Statistik Indonesia.
Brewer, A. 2000. Kajian Kritis Das Kapital Karl Marx. Jakarta: Teplok Press.
Cord, R. 2007. Keynes. London: Haus Publishing
Gamal, M. 2006. Keserakahan dan Moralitas Ekonomi, Media Indonesia http://www.mediaind.com
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 20
Grossman, G. 1988. Economic Systems, alih bahasa Anas Sidik, Jakarta: Bumi Aksara.
Haryono, A. 2015, Kajian Efektivitas Peningkatan Ekonomi Kerakyatan melalui Pasar Tadisional dengan Pasar Modern, Badan Pengembangan Penelitian dan Diklat, Kabupaten Pasuruan.
Heilbroner, R.L. 1990. Terbentuknya Masyarakat Ekonomi, Terjemahan The Making of Economic Society, Jakarta; Ghalilia Indonesia.
Kompasiana. tanpa tahun. Bung Hatta, Sang Konseptor Perekonomian Bangsa Indonesia, diakses dari http://www.kompasiana.com/ryanagatha/bung-hatta-sang-konseptor-perekonomian-bangsa-indonesia.
Lindblad, J.T editor. 2000. Sejarah Ekonomi Modern Indonesia, Jakarta: LP3ESMubyarto. 2003. Sistem Ekonomi Pancasila, Jurnal Ekonomi Rakyat.
Mubyarto. 2014. Ekonomi Kerakyatan, Jakarta: Lembaga Suluh Nusantara bekerja sama dengan American Institute fo Indonesian Studies (AIFIS).
OCDC, 2015. Laporan Hasil Survey Ekonomi Indonesia, Organization for Economic Co-operation and Development. Diakses dari:http://OECD.org
Santoso, Awan. 2010. Ekonomi Kerakyatan: Urgensi, Konsep dan Aplikasi. Yogjakarta: Mercu Buana
Singer, T and Snower, D.J. 2015. Caring Economics; A New Approach to Prosperity, diakses dari http://caringeconomic.org
Swasono. S E. 2003. Ekpose Ekonomika Globalisme dan Kompetensi Sarjana Ekonomi. Pusat Studi Ekonomi Pancasila. Yogjakarta
Kajian Rutin, Pusat Pengkajian Pancasila UM 21