restorasi meiji sebagai sebuah titik awalbagi jepang menuju modernisasitanpa meninggalkan budaya...
TRANSCRIPT
RESTORASI MEIJI SEBAGAI SEBUAH TITIK AWAL
BAGI JEPANG MENUJU MODERNISASI
TANPA MENINGGALKAN BUDAYA WARISAN LELUHUR
Oleh : I Wayan Darya Kartika, 9 Halaman
Negara Jepang merupakan salah satu Negara maju di kawasan Asia
sekaligus negara yang sangat terkemuka di kancah internasional. Predikat tersebut
tidak terlepas dari kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi (IPTEK) yang
dimiliki oleh Jepang. Selain IPTEK-nya yang maju, Jepang juga terkenal akan
sumber daya manusianya yang handal dan berdedikasi tinggi. SDM-nya yang
tekun dan disiplin ditambah dengan kemajuan IPTEK-nya mampu mengantar
Jepang menuju kedudukan yang setara dengan negara-negara raksasa dunia,
seperti Amerika Serikat.
Salah satu rahasia Jepang dalam mengembangkan IPTEK-nya adalah
selalu mengadakan inovasi baru. Masyarakat Jepang selalu ingin belajar dari
bangsa lain. Mereka ingin mengetahui hal-hal baru yang belum pernah mereka
lihat. Dari situlah mereka kemudian mengembangkan hal-hal baru itu, kemudian
mereka aplikasikan di negaranya.
Hal serupa juga pernah terjadi pada masa pemulihan di Jepang. Sebuah
masa, dimana Jepang mulai mengenal hal-hal baru dari bangsa asing sekaligus
masa dimana Jepang mulai kembali mencari jati dirinya. Masa itu dikenal dengan
masa Restorasi (Restorasi Meiji). Restorasi Meiji menjadi sebuah titik awal
dimulainya modernisasi di Jepang. Namun di sisi lain, Restorasi Meiji juga
menjadi momentum bagi Jepang untuk melestarikan adat dan budaya yang
dimilikinya.
Sebelum kita mengulas lebih jauh tentang Restorasi Meiji, alangkah
baiknya kita terlebih dahulu melihat lebih dekat tentang sejarah singkat Jepang di
masa lalu. Jepang di masa lalu adalah sebuah daerah kepulauan yang tidak telalu
besar, yang terletak di Lautan Teduh bagian Utara, tepatnya di ujung pantai Benua
Asia serta berada di bawah perintah seorang Kaisar yang sering disebut dengan
Mikado atau Tenno Heika. Jepang terdiri dari empat pulau utama, yaitu pulau
Honshu, pulau Hokkaido, pulau Kyushu, dan pulau Shikoku, dan sebagai
tambahannya terdapat banyak pulau-pulau kecil lainnya. Sebelum pecah Perang
Pasifik pada akhir tahun 1941, kerajaan Jepang meliputi wilayah yang sangat luas.
Selain wilayahnya yang sekarang, termasuk juga separuh dari pulau Sakhalin,
Formosa (Taiwan), semenanjung Korea (Chosen), seluruh Manchuria, dan
berbagai pulau di daerah Pasifik Barat, termasuk Indonesia (Drs. Soeroto, 1965 :
125).
Bangsa Jepang adalah bangsa campuran yang sebagian besar terdiri dari
bangsa Mongol dan Tungus. Di Hokkaido sekarang masih terdapat bangsa Ainu
yang masih merupakan suku bangsa Kausika yang terdapat di Rusia Selatan dan
Asia Tengah. Pada umumnya masyarakat Jepang adalah masyarakat yang
aristokratis dan terbagi ke dalam lapisan-lapisan tertentu. Segala kekuasaan ada di
tangan kaum ningrat. Pertentangan, perselisihan, dan persengketaan selalu terjadi
di antara kaum ningrat, sehingga di Jepang tidak pernah terjadi pemberontakan
rakyat. Gerakan-gerakan yang lazim disebut dengan “revolusi” sebenarnya hanya
perebutan kekuasaan di antara keluarga-keluarga di lapisan atas (Drs. Soeroto,
1965 : 127).
Dalam masyarakat terdapat kepercayaan bahwa seorang Tenno merupakan
keturunan Amaterasu-Omikami (Dewi Matahari). Tenno yang pertama adalah
Jimmu Tenno, naik tahta tahun 660 SM. Semua Tenno yang memerintah di Jepang
adalah keturunan Jimmu Tenno. Bangsa Jepang sangat membanggakan wangsa
Tenno-nya yang tidak pernah terganti-ganti dan terputus-putus memerintah negeri
Jepang selama lebih dari 26 abad lamanya (Drs. Soeroto, 1965 : 126).
Hingga pada akhirnya pada awal abad ke-8, kekuasaan wangsa Tenno
mulai melemah. Hal itu dibuktikan dengan adanya gerakan menentang sistem
sentralisasi yang dipimpin oleh Kamatari dengan jalan mempengaruhi Tenno
yang menganjurkan dan membela sistem tersebut. Setelah kekuasaan ada di
tangannya, Kamatari mendirikan wansa Fujiwara. Keluarga Fujiwara kemudian
menjadi makin kuat, dan berkuasa di Jepang selama empat abad lebih. Wangsa
Fujiwara tidak mengusir Tenno dari tahta dan merebut kedudukannya, tetapi
mengadakan bermacam-macam peraturan untuk memperkudakan Tenno (Soeroto,
1965 : 130). Pada era Fujiwara, ibukota Jepang terletak di Nara dan pada zaman
itu pula kota Nara terkenal akan Patung Budha-nya yang terbuat dari emas.
Setelah beberapa lama berkuasa, akhirnya wangsa Fujiwara mulai
mengalami perpecahan. Perpecahan itu terjadi karena adanya persaingan diantara
kalangan anggota keluarga. Sementara itu di pihak lain, wangsa ningrat
pedalaman yang dibebaskan dari pajak menjadi kaya dan berkuasa. Kemudian
terjadilah pertentangan antara kaum Fujiwara dan kaum ningrat pedalaman, yang
berbuntut kekalahan kaum Fujiwara. Muncullah kaum ningrat yang baru yang
bercorak militer. Pada saat itu telah mulai dibentuk tentara-tentara pribadi yang
terdiri dari daimyo (=nama besar) dan tentara pribadi mereka yang disebut
samurai (=mereka yang mengabdi) (Soeroto, 1965 : 133)
Di antara kaum ningrat pedalaman tersebut terjadilah perang saudara, yaitu
dari keluarga Taira dan Minamoto (Wikipedia Indonesia, 2006). Perang tersebut
akhirnya dimenangkan oleh keluarga Minamoto, di bawah pimpinan Minamoto
Yorimoto yang selanjutnya mendapat gelar sebagai Shogun. Sebagai seorang
Shogun, ia memegang pimpinan pemerintah dan menguasai seluruh angkatan
perang. Markas besarnya ditempatkan jauh dari Kyoto yaitu di Kamakura. Sejak
saat itu dimulailah Zaman Kamakura.
Setelah berselang 6 dekade, di Jepang kembali terjadi perebutan kekuasaan.
Kali ini terjadi antara keluarga Hojo dan Daigo II, yang pada akhirnya
dimenangkan oleh Daigo II. Beliau kemudian naik tahta dan berkuasa di Jepang.
Tak lama setelah Daigo naik tahta, Ashikaga Takauji memberontak melawan
pemerintahan Daigo II. Akhirnya Daigo II dapat ditumbangkan dan kekuasaan
kembali berpindah ke tangan Ashikaga Takauji dan sejak saat itu dimulailah
Zaman Muromachi (Wikipedia Indonesia,2006).
Sekitar tahun 1600, kekuasaan kembali berpindah. Kini kekuasaan
dipegang oleh Tokugawa Ieyashu. Ia naik tahta pada tahun 1603 dan sejak itulah
Jepang memasuki era baru yaitu Zaman Tokugawa. Pada masa pemerintahannya,
segala gerak-gerik Tenno diawasi dengan ketat. Tenno mendapat uang tunjangan
untuk dapat menyelenggarakan kebesarannya, tetapi ia tidak boleh memiliki tanah.
Tenno dianggap sebagai kudus yang wajib dipuja dan oleh karena itu tidak layak
untuk campur tangan dalam pemerintahan. Zaman Tokugawa berakhir pada tahun
1867,setelah terjadinya perombakan besar-besaran terhadap pemerintahan yang
dikenal deangan Restorasi Meiji.
Restorasi Meiji, sebuah revolusi politik di Jepang yang telah
menggulingkan Shogun Tokugawa pada tahun 1868 dan digantikan dengan
pemerintah kerajaan yang baru di bawah pimpinan Kaisar Meiji. Dikatakan
sebagai sebuah “restorasi” karena mampu mengembalikan keadaan Jepang seperti
sediakala, yaitu mengembalikan kekuasaan kepada Tenno. Pergantian kekuasaan
tersebut terjadi karena adanya gerakan anti-Tokugawa di bawah pimpinan daimyo
Satsuma dan Choshu yang setia kepada Tenno. Selain itu, peristiwa sejarah ini
juga dianggap sebagai suatu titik awal dimulainya suatu moderenisasi jaman dan
dimulainya kontak dengan dunia luar.
Selama dilaksanakannya revolusi politik tersebut, Jepang mengalami
perubahan-perubahan yang cukup signifikan. Jepang berangsur-angsur berubah
dari sebuah daerah kepulauan yang terisolir menjadi negara yang modern. Namun
perubahan tersebut bukan semata-mata hanya karena kesigapan aparat-aparat
pemerintah, tapi juga karena dukungan dan respon positif dari masyarakat Jepang
itu sendiri. Hal itu menyebabkan Restorasi Meiji sebagai suatu kebijakan
pemerintah dapat berjalan dengan lancar tanpa adanya gangguan-gangguan yang
cukup berarti.
Faktor lain yang menyebabkan keberhasilan yang gemilang itu tiada lain
karena kecakapan seorang Tenno Meiji. Tenno Meiji yang bernama asli Mutsuhito
(1852 – 1912) naik tahta pada tahun 1867. Kehadirannya sebagai seorang
pemimpin mampu memberikan semangat kepada rakyatnya dan sekaligus mampu
menjadi motor penggerak yang memberikan jiwa pada pembangunan Jepang.
Selama masa pemerintahannya, Kaisar Meiji memindahakan ibukota
Jepang ke Tokyo (dulu Yedo). Pembaharuan dalam berbagai bidang dilakukan.
Mulai dari pembaharuan tentara beserta persenjataannya. Kemudian disusul
dengan penumpasan pemberontakan kaum samurai pada tahun 1877.
Di bidang kebudayaan, Kaisar Meiji menghidupkan kembali ajaran Shinto
dan menjadikannya sebagai agama nasional. Sedangkan dalam bidang pendidikan,
para pemuda Jepang pergi ke Eropa untuk menuntut ilmu, sistem sekolah
diperbaharui, serta segala buku tentang pengetahuan modern disalin ke dalam
bahasa Jepang. Pembaharuan dalam bidang ekonomi dan industri, misalnya mulai
didirikannya pabrik-pabrik, penggunaan kereta api, pemasangan pesawat telepon,
serta pemersatuan mata uang. Semuanya itu merupakan suatu keberhasilan yang
bisa dibilang sangat menakjubkan.
Namun jika kita kembali melihat ke belakang, semua keberhasilan di masa
Restorasi Meiji tidak terlepas dari peranan para tokoh yang setia kepada Tenno,
seperti Satsuma dan Choshu. Latar belakang terjadinya restorasi tersebut adalah
gerakan menetang kediktatoran pemerintahan Tokugawa yang dipimpin oleh
kedua tokoh di atas (Wikipedia). Tanpa jasanya, mungkin selamanya tidak akan
terjadi sebuah perubahan.
Sebuah perubahan merupakan salah satu unsur sejarah. Sebuah peristiwa
sejarah pasti mempunyai makna tersendiri bagi siapa saja yang menyaksikan atau
mengalaminya. Begitu pula halnya dengan Restorasi Meiji, yang sampai saat ini
masih menjadi kenangan yang melekat di setiap hati masyarakat Jepang. Restorasi
Meiji dianggap sebagai momentum bersejarah sekaligus merupakan suatu
kesempatan bagi Jepang untuk mulai berbenah diri setelah mengalami keadaan-
keadaan yang buruk. Hal buruk tersebut, terutama dalam bidang pemerintahan.
Seperti yang telah kita ketahui, pemerintahan yang seharusnya dipegang
oleh kaum (wangsa) Tenno malah direbut secara sewenang-wenang oleh kaum
lain. Seperti halnya yang terjadi pada awal abad, dimana Tenno berhasil
dipengaruhi oleh kaum Fujiwara. Kaum ini sangat menentang sistem sentralisasi
yang menempatkan seorang Tenno sebagai pemegang kekuasaan tertinggi. Oleh
kaum Fujiwara, wangsa Tenno kemudian diambil alih kekuasaannya dan
diperkudakan dengan bermacam-macam peraturan yang kian hari kian
melemahkan pengaruh wangsa Tenno. Kejadian yang sama terulang kembali pada
abad ke-12, yaitu pada zaman Kamakura. Pada periode ini, pengaruh wangsa
Tenno sudah sama sekali hilang. Mereka dipertahankan sebagai lambang
kekuasaan yang resmi. Lebih-lebih ketika zaman Tokugawa, Tenno seakan tak
memiliki wibawa lagi. Wangsa yang terhormat itu kini hidup di bawah belas
kasihan wangsa Tokugawa.
Selain merupakan kesempatan untuk berbenah diri, suatu restorasi bagi
Jepang juga bermakna sebagai saat untuk belajar. Belajar di sini dalam artian
belajar dari kesalahan-kesalahan masa lalu, belajar hal-hal baru, serta belajar
untuk menjadi yang terbaik.
Belajar dari masa lampau, yang artinya Jepang berusaha memperbaiki dan
mengembalikan keadaan seperti sedia kala. Merombak habis-habisan segala
perlakuan sewenang-wenang dari pemerintahan terdahulu (zaman Tokugawa) dan
mengembalikan kekuasaan ke tangan wangsa Tenno. Hal itu bukan sekedar
omong kosong belaka. Hal itu telah dibuktikan dengan naik tahtanya Mutsuhito( ),
atau yang lebih dikenal dengan Tenno Meiji sebagai penguasa. Dan yang tak
kalah pentingnya, masyarakat Jepang mulai belajar hal-hal baru dari bangsa asing
yang masuk ke Jepang selama masa restorasi berlangsung. Masuknya bangsa
asing ke Jepang tidak lepas dari peranan Kaisar Meiji, sebagai penguasa pada saat
itu. Beliau menyadari bahwa masyarakat Jepang tidak bisa selamanya hidup
menutup diri dari dunia luar. Sehingga beliau pun menerima bangsa asing dengan
tangan terbuka, dengan harapan nantinya masyarakat Jepang berinteraksi dan
mendapat berbagai pengetahuan yang berguna dari mereka. Atas dasar
pengetahuan itu, masyarakat Jepang berusaha menjadikan Jepang bangsa yang
maju di masa yang akan datang.
Meskipun telah seabad lebih berlalu, Restorasi Meiji masih mempengaruhi
kehidupan masyarakat di masa kini. Hal mendasar yang tampak nyata dalam
kehidupan sehari-hari adalah sikap disiplin. Seperti yang telah kita ketahui,
Jepang terkenal akan sumber daya manusianya yang handal. Hal tersebut tidak
terlepas dari sikap disiplin yang telah dipupuk sejak kecil secara turun temurun.
Memang sejak zaman Tokugawa, budaya disiplin sudah diterapkan di masyarakat.
Kedisiplinan itu memang sangat diperlukan, khususnya bagi para prajurit, daimyo,
dan para samurai. Namun kedisiplinan di era Tokugawa lebih ditekankan pada
kedisiplinan dalam menaati perintah, sehingga terkesan sebagai kedisiplinan
terhadap kediktatoran. Lain halnya dengan sesudah restorasi, kedisiplinan
ditanamkan kepada masyarakat dengan menitikberatkan kepada individu masing-
masing. Jadi kedisiplinan itu datang dari diri sendiri. Hal itulah yang membudaya
hingga sekarang dalam masyarakat Jepang. Setiap individu menyadari bahwa
barang siapa yang tidak berdisiplin, maka selamanya akan tidak maju.
Budaya lain yang masih menjadi peninggalan zaman Restorasi Meiji
adalah budaya belajar. Budaya belajar tersebut sebenarnya telah ada jauh sebelum
zaman restorasi dimulai. Misalnya pada saat awal terbentuknya Kerajaan Jepang.
Saat itu Jepang banyak belajar dari Kerajaan Tionghoa (Cina). Hampir semua
budaya, seni, serta corak pemerintahan Jepang menyamai Tionghoa. Kebiasaan
belajar tersebut akhirnya lebih berkembang pada saat Restorasi Meiji. Dapat
dikatakan berkembang, karena masyarakat Jepang tidak hanya belajar dari
kerajaan di sekitarnya, tapi juga dari bangsa lain. Hal itu dibuktikan dengan
masuknya bangsa asing dari Eropa. Dengan masuknya bangsa asing, maka masuk
juga budaya baru. Budaya itulah yang dipelajari sehingga terbentuklah Negara
Jepang seperti sekarang. Namun tidak semua budaya asing tersebut mereka serap.
Mereka dapat memilih mana yang cocok dan mana yang tidak. Sehingga budaya
asli mereka dapat dipertahankan dari dominasi budaya luar.
Semua penjelasan diatas menggambarkan Jepang sebagai model negara
yang sukses menjalankan modernisasi sembari merawat unsur-unsur tradisinya
yang penting. Hal-hal yang terjadi pada masa Restorasi Meiji membuktikan
bahwa Jepang dapat melaksanakan modernisasi tanpa meninggalkan adat dan
budaya tradisionalnya. Apakah pengalaman sejarah itu memberikan masukan-
masukan yang berharga tentang pentingnya sebuah perubahan, hanya pembaca
yang bisa menjawabnya.