tugas midle (leluhur orang bali)
DESCRIPTION
leluhur orang baliTRANSCRIPT
BAB I
Pendahuluan
1.1 Latar belakang
Leuhur orang bali yang akan di utarakan adalah terbatas pada orang-orang bali
sebagai pewaris nilai-nilai yang di turunkan. Jadi mereka adalah penduduk bali yang
beragama hindu, yang meyakini dan melaksanakan ajaran agama leluhurnya.
Dewasa ini para pewaris nilai-nilai yang di turunkan oleh leluhur orng bali, telah
berkelompok dalam dalam kesatuan ikatan keturunan keluarga (clan) ng di sebut pungkusan,
soroh atau wangsa.
Nama pungkusan, soroh atau wangsa inilah yang memberikan petunjuk , siapa nama
leluhur mereka dan siapa yang menurunkannya.
Menurut sumber babad, usana, prasasti, bencangah dan lain-lainnya, leluhur orang
bali di kaitkan dengan nama orang-orang besar dan suci dari kerajaan-kerajaan di jawa,
seperti medang kamulan, kadiri, singasari, dan terakhir majapahit, sepanjang masi bisa di
telusuri. Lebih dari pada itu, lalu di kaitkan dengan dewa, bahkan dengan sang pencipta
( dewa brahma atau hyang pasupati).
Kalangan intelektual non bali, sangat meragukan akan kebenaran asal usul seperti di
sebutkan dalam babad. Mereka berpendaapat adanya pengkaitan leluhur orang bali dengan
nama-nama besar dan suci pada kerajaan di jawa, hanya mengacu pada hubungan sejarah
kebudayaaan. Dimanan kebudayaan bali itu berasal dari tanah jawa. Bahkan sampe juga ada
usaha-usaha penelitian tehadap darah orang bali, kemudian di cocokan dengan darah orang
jawa. Hasilnya konon tidak ada kesamaan, tentu saja dan dapat di maklumi, karena orang bali
yang leluhurnya dari jawa tidak pernah manjaga kemurnian darahnya, selama kurun waktu
seribu sampai lima ratus yang silam.
Orang bali dari kalangan bawah, sampai kalangan menengah dan termasuk yang
intelektual sekalipun, masih tetap berkeyakinan, bahwa leluhur mereka memang berasal dari
jawa, kecuali orang-orang bali mula. Orang-orang bali mula ini, menurut sejarah kebudayaan,
mereka berasal dari Tonkin (kochin china).
Untuk membuktikan kebenaran, bahwa sebagian leluhur orang bali memang berasal
dari jawa, adalah tentang penggunaan bahasa jawa kuno yang sangat dominan dalam bahasa
bali, khususnya bahasa bali alus singgih (asi) hamper semua bahasa bali alus singgih tersebut
berasal dari kata-kata jawa kuno. Sebagai keturunan orang utama (elit) yang berasal dari jawa
tempo dulu, disamping sebagai pewaris tata nilai, juga menurunkan bakat dan naluri orang
bali, kendati pun tidak seluruhnya, setidak tidaknya sebagian besar memiliki bakat dan naluri
priyayi. Hal inilah yang menyebabkan orang bali tidak mau bekerja kasar, menjadi kuli kasar,
seperti manggali tanah, menguras WC dan lain-lainya. Sampai-sampai untuk menangani
pekerjaan ini terpaksa di datangkan pekerja dari luar bali.
Orang bali lebih memilih menjadi orang petani mandiri di daerah transmigrasi, di
bandingkan menjadi kuli kasar, apalagi jenis pekerjaan hina di bali. Inilah bakat dan naluri
yang di warisi dari leluhurnya. Hasilnya dimana-mana transmigrasi bali berhasil, asal kondisi
geografis mendukungnya.
Demikian juga ketangguhan orang bali dalam mempertahankan kebudayaan , dari
pengaruh kebudayaan asing. Kebudayaab bali masih tetap tegar, kendati pun badai
westernisasi dan era globalisasi melanda pulau bali.
Kebalian orang bali masih tetap terpelihara, di tengah hiruk pikuknya pergaulan
internasional. Di daerah resort tourisme seperti kuta, senur, nusa dua dan lain-lainya ternyata
aktifitas pemuda bali dalam bidang adat dan agamanya, masih tetap berjalan sebagai mana
mestinya.
Bali memang sudah maju sedah modern dan sudah memiliki pendapatan per kapita
tertinggi di Indonesia, akan tetapi masih tetap dalam kerangka kepribadian bangsa dengan
corak kekhususan bali. Dan orng bali adalah keturunan orang-orang teguh, orang besar dan
suci di jaman dahulu.
Sekarang orang bali telah bangga memperlihatkan jati dirinya, di tengah-tengah
pergaulan nasional dan internasional. Bangga sebagai orang bali, yang merupakan bagian dari
bangsa Indonesia, yang ber-bhineka tunggal ika
1.2 Rumusan masalah
Pokok bahasan yang akan saya sampaikan diantaranya :
1. Filsafat leluhur orang bali tertua ?
2. .
1.3 Tujuan
1. Mengetahui Filsafat leluhur orang bali tertua.
2. .
1.4 Metode Penulisan
Dalam penyusunan laporan ini dan untuk mendapatkan data sebagai materi
pembahasan. Dilakukan dengan memilah data literatur yang berkaitan dengan pokok
pembahasan dan materi yang akan di bahas.
1.5 Manfaat Penulisan
Adapun manfaat yang ingin dicapai dari pembuatan laporan ini :
1. Untuk mengetahui filsafat tentang orang bali tertua (bali mula) dan leluhurnya,
yang dilihat dari sejarah awal sampai saat ini.
2. Mampu memberikan informasi dan pengetahuan lebih kepada pembaca
tentang filsafat leluhur orang bali.
BAB II
pembahasan
2.1 Leluhur orang bali tertua (bali mula)
Manusia tertua yang mendiami pulau bali adalah manusia pendukung kapak genggam.
Hal ini di buktikan dengan penemuan DR.R.P.soejono berupa jenis-jenis kapak genggara,
kapak perimpas, kapak genggam, serut dan sebagainya pada tahun 1961 di desa sembiran,
singaraja dan di tepi sebelah timur dan tenggara danau batur, kintamani.
Di jawa timur yaitu di pacitan, jenis kapak genggam, yaitu alat serupa kapak tetapi
tidak bertangkai di temukan oleh von koeningswald dalam tahun 1935. Penyelidikan yang
dengan teliti sekali menujukan bahwa kapak genggan ini berasal dari lapisan trinil, jadi pada
pleistocen tengah. Dengan demikian di perkirakan pendukung dari kebudayaan kapak
genggam pacitan itu adalah manusia pithecanthropus erectus. Hal ini tidak di sangsikan
kebenaranya, telah di bandingkan penemuan-penemuan dekat peking (tiongkok) pada goa-
goa di choukoutien, sejumlah fosil manusia, yang bole dikatakan serupa dengan
pithecantropus erectus yang kemudian fisil ini di beri nama sinanthropus pekinesis, yang
sekaligus dalam penemuan ini di ketemukan alat-alat pacitan. (Drs. Soekmono
1973,32)dengan adanya persamaan alat-alat yang di kemukakan di bali dengan yang di
pacitan, terdapatlah suatu kemungkinan, bahwa alat-alat bantu dari sembiran dan trunyandi
ciptakan oleh manusia pithecantropus erectus atau jenis keturunanya, pendukung kebudayaan
kapak genggam dari jaman pleistocen adalah satu juta tahun debelum masehi, ketika bali,
jawa dan Sumatra masih bergabung dengan daratan asia, wilayahnya di sebut dataran sunda
Apakah mereka langsung menurunkan orang bali sekarang? Tentu tidak.
Kemungkinan mereka punah atau sisanya membaur dengan penduduk , dari massa berikutnya
Manusia selanjutnya yang mendiami pulau bali, adalah manusia yang hidup di goa-
goa. Berdasarkan pengaliannya DR.R.P.soejono pada tahun 1961 di daerah pebukitankapur di
pecatu badung, yaitu di goa salunding, di ketemukan alat- alat dari tulang dan kulit-kulit
kerang sisa makanan. Alat-alat ini berupa tiga buah alat tusuk , alat-alat dari tulang adalah
merupakan jenis kebudayaan peninggalan massa mesolithicum yang di sebut abris sous
roche. Pendukung kebudayaan alat-alat dari tulang ini adalah bangsa papua melanesoid, yang
pada mulanya mendiami daerah Tonkin, yang mempunyai penyebaran yang sangat luas sekali
di daerah selatan, india belakang, Indonesia sampai pulau-pulau di lautan teduh. (DR.
Soekmono,1973,44).
Jadi jenis manusia papua melanesoid adalah penduduk bali dari massa yang ke dua.
Apakah ini juga merupakan leluhur orang bali sekrang ? murni ? kemungkinan tidak.kalau ia
membaur dengan penduduk masa berikutnya, bisa jadi kemungkinan.
Masa berikutnya, datanglah manusia ras baru lagi, ras baru ini telah mencapai tingkat
kehidupan yang lebih baik, yakni bercocok tanam. Peninggalan-peninggalan berupa alat-alat
batu yang telah di haluskan, di ketemukan bersebar hamper di seluruh bali misalnya di
palasari, Kediri, bantiran, pulukan, kerambitan, payangan, ubud, pejeng, salunglung,
kesiman, selat, nusa penida, dan beberapa di daerah bali utara.(I made sutaba.tt : 19).
Memeperhatikan tersebarnya alat-alat batu yang di ketemukan itu, berarti bahwa
sebagian besar dari pada pulau bali telah di huni pada masa itu. Penyebaran penduduk yang
demikian luas itu, sudah tentu memerlukan adanya bahasa sebagai alat berhubungan. Para
ahli telah memperkirakan, bahwa bahasa di pakai di kepulauan pada masa itu adalah bahasa
melayu-polinesia atau lebih di kenal dengan bahasa Austronesia (I made sutaba, tt :21).
Bangsa yang mempergunakan bahasa itu jg namanya bangsa Austronesia, pendukung
kebudayaan kapak persegi berpusat di daerah Tonkin pula. Dari tnkin bangsa Austronesia
menyebar mengarungi laut yang sangat luas, dan mempergunakan perahu bercadik. Batas
pelayaran mereka adalah di sebelah timur Formosa, dan disebelah barat samapai pulau
madagaskar (afrika timur). Bangsa pelaut yang wira mandiri ini datang ke bali kira-kira 2000
tahun sebelum masehi.
kedatangan Austronesia yang datang terakhir ini, telah berkrbudayaan tinggi. Alat-alat
mereka bukan saja dari batu yang di perhalus, bahkan mereka juga sudah membuat alat-alat
dari logam. Khususnya dari perunggu. Berbagai alat dari perunggu yang mereka buat antara
lain : nekara, tajak, gelang dan lain-lain yang di pakai sebagai bekal kubur, mereka sudah
mengusasai teknik yang tinggi , misalnya tata cara pembuatan nekara dari perunggu. Masa
pembuatan alat-alat dari perunggu ini disebut masa perundagian.
Berdasarkan peningalan-peningalan yang sampai pada kita, terbukti mereka telah
mempunyai kreasi seni yang sangat tinggi mutunya. Hal ini terbukti dari hiasan-hiasan nekara
perunggu yang kini masih tersimpan di penataran sasih pejeng.
Bentuk peninggalan yang ke dua merupakan alat dari batu, adalah peti mayat yang di
sebut sarkofagus, yang banyak di daerah bali. Dari penemuan ini ada yang di ketemukan utuh
dengan kerangka serta bekal kuburnya, seperti halnya di ketemukan di cacang, bangun lemah
bangli. Jadi mereka telah mengenal sistem penguburan dengan peti mayat. Sudah tentu,
mereka yang dikuburkan dengan cara ini adalah orang-orang terhormat dari masing-masing
kelompok masyarakat. Sedangkan untuk orang kebanyakan mungkin hanya di tanam saja.
Orang-orang Austronesia dari jaman perundagian ini, ternyata kehidupan mereka sudah
begitu teratur. Mereka tinggal berkelompok dan membentuk suatu persekutuan hokum, yang
mereka namakan thani atau dusun, bahwa sebutan terhadap wilayah yang lebih luas, yang
terdiri dari beberapa thani.
Orang-orang auetronesia mempunyai kepercayaan, bahwa roh leluhurnya akan selalu
melindungi mereka. Oleh karenanya selalu ia puja. Untuk kepentingan pemujaan ini mereka
membuat alat-alat dari batu seperti :
1. Menhir yaitu tiang-tiang atau tugu batu, yang meruoakan timbunan tenaga sakti dari
pada hyangnya.
2. Bangunan punden berundag, tiruan dari pada gunung, sebagai tempat dimana hyang
mereka berstana.
3. Arca-arca batu yang sederhana, sebagai perwujudan hyangnya.
4. Tahta batu (dolmen) adalah altar tempat sajian, para pemujanya.
persekutuan masyarakat orang-orang keturunan Austronesia ini yang di sebut thani atau
banua, di pimpim secara kolektif oleh 16 jro yang umunya di sebut sahing 16. Sebagai
pimpinan tertingginya, sebagai kepala suku atau kelompok disebut dengan nama jro gede.
Pemerintahan sejenis ini oleh para ahli di sebut republik desa, penunjukan anggota sahing 16,
mereka laukan dengan sistem hulu apad yaitu sistem giliran menurut usia anggota
persekutuan. Etiap anggota persekutuan yang tidak cacat baik mental maupun jasmani, akan
mendapat giliran menjadi anggota jro. Persekutuan kepemimpinan tersebut sampai sekarang
masih tetap di pertahankan di dess-desa bali aga,terutama dalam bidang adat.
Persekutuan hukum orang-orang keturunan Austronesia ini, telah merata di seluruh
wilayah bali, dan persekutuan hukum inilah yang di perkirakan menjadi cikal bakal desa-desa
di bali.
Manusia mendukung kebudayaan tersebut di atas inilah yang kemudian menjadi leluhur
sebagian orang bali, yang sudah tentu dalam fase berikutnya akan membaur lagi dengan
orang-orang yang baru datang dari luar bali. Orang-orang keturunan ini disebut orang bali
mula yang artinya orang bali asli. Adanya sebutan bali mula,adalah untuk membedakan
dengan orang-orang yang laluhurnya datang belakangan ke bali, umumnya mereka dari jawa.
Perbedaan oaring bali mula dengan orang bali yang datang belakangan, tampak sekali
pada upacara kematiannya dengan cara mendhem atau menanam, yang di sebut dengan
tanem. Banyak interpretasi yang berkembang di masyarakat, mengapa orang-orang
menyelenggarakan beya tanem, tidak beya bakar.
Sastra-sastra lontar mengatakan, karena mereka menganut sekte waisnawa dan bayu.
Tradisi sekta waisnawa adalah beya tanam. Tapi di india, justru penganut sekte waisnawalah
yang paling konsisten melaksanakan beya bakar. Sedangkan sekta bayu di india tidak jelas
keberadaanya. Kalau toh ada hanyalah merupakan bagian dari siwa yang juga melaksanakan
beya bakar. Tafsir lain muncul, agar abu sawa yang di bakar tidak mencemari kahyangan –
kahyangan yang ada di gunung-gunung. Tapi yang namanya abu pastilah akan meninggi ke
atas dan melampaui pura-pura yang ada.
Kedua alasan di atas sebenarnya tidak bisa di terima. Lalu alasan yang tepat adalah.
Mereka orang bali mula, keturunan orang-orang Austronesia dari jaman perundagian
(megalithikum), tradisi mereka dalam upacara kematian adalan menguburkan. Kalau ketua
kelompok mempergunakan peti batu. Tradisi ini begitu mendarah daging susah untuk
dirubah. Kemudian datang agama hindu’ mereka terima dengan tetap melanjutkan tradisinya.
Ngaben mereka terima tapi membakar mayat tidak. Mereka hanya menerima upacara dan
upakaranya saja, lalu munculah istilah beya tanem. Sistem beya tanem sampai sekarang
dilaksanakan oleh orang-orang bali muda. Demikian juga ada satu cirri lagi untuk
mengingati keturunan orang-orang Austronesia dari jaman megalithikum ini. Bila mereka
ngaben, mereka tidak berani menghias wadahnya dengan kertas, perasbaan, kapas dan
lainnya . mereka hanya mempergunakan bahan-bahan lokal, seperti ambu, padang-padang,
plawa, dan lainya.
Mereka semua di kelompokan sebagai warga bali mula. Para ketua kelompok, kemudian
di sebut pasek bali. Di antara mereka adalah adalah pasek taro. Khususnya untuk warga pasek
kayu selem, leluhurnya dinama putra oleh mpu semeru.
Sedangkan para warganya, umunya di sebut kramani thani dalam babad kayu selem
dilegendakan, bahwa mereka diciptakan dari berbagai tumbuhan antara lain kelapa, jarak, dan
lain sebagainya. Sesungguhnya sebutan itu hanyalah mengacu bahwa mereka adalah
penduduk asli bali, yang di kenal dengan bali mula.
Jadi leluhur orang bali mula adalah etnis Austronesia, yang berasal dari Tonkin cina selatan.
2.2 Rsi Maharkandya dan orang-orang Aga
Orang-orang keturunan Austronesia telah menyebar di seluruh Bali. Mereka tinggal
berkelompok-kelompok dibawah pimpinan kepala kelompoknya masing-masing, kelompok-
kelompok inilah nantinya yang menjadi cikal bakal desa di Bali. Meraka disebut orang Bali
Mula. Dan ketua kelompoknya disebut Pasek Bali.
Ketika itu orang-orang Bali Mula belum beragama. Mereka Cuma menyembah
leluhur yang mereka sebut Hyang. Dari pandangan Spiritual, meraka masih hampa. Oleh
karenanya pulau Bali ketika itu oleh purana-purana Bali dikatakan masih kosong. Keadaan
yang demikian itu berlangsung sampai abad ke empat sesudah masehi.
Melihat keadaan pulau Bali yang masih terbelakang itu, maka para penyiar Agama
Hindu berdatangan ke pulau ini.. disamping untuk mengajarkan Agama juga ingin
memajukan Bali dan segala sector kehidupan. Maka untuk kepentingan itu, datanglah seorang
Rsi ke Bali, yang bernama Rsi Maharkandya.
Menurut Purana, Rsi Maharkandya berasal dari India, seperti dinyatakan dalam
pustaka sebagai berikut “Sang Yogi Maharkandya Kawit hana sakeng Hindu” yang artinya :
“Sang Yogi Maharkandya mula asalnya adalah dari India”. Nama Maharkandya bukan nama
perorangan, melainkan adalah nama perguruan atau pesraman, seperti halnya juga nama
Agastya. Perguruan atau pesraman ini adalah lembaga yang mempelajari dan
mengembangkan ajaran-ajaran gurunya, yaitu Sang Sri Penubuh ajaran itu. Kebiasaan secara
tradisi, setiap generasi ada yang diangkat menjadi Guru dari Pasraman atau perguruan itu,
dengan gelar yang sama. Garis perguruan ini namanya Param-para. Masing-masing
perguruan menyusun pokok-pokok ajarannya, yang umumnya disebut Purana yakni buku suci
yang memuat ajaran dan cerita kuno. Demikianlah akhirnya pada pustaka suci yang bernama
Maharkandya Purana, Agastya Purana dan lain-lainnya lagi.
Jadi sang Rsi, Maharkandya adalah seorang Rsi dari garis perguruab Maharkandya di
India, beliau datang ke Indonesia adalah untuk menyebarkan agama Hindu dari sekta
Waisnawa.
Di Jawa sang Rsi mula-mula berasrama di gunung wilayah pegunungan Dieng Jawa.
Lalu beliau berdharmayatra ke Timur, sampailah di gunung Raung Jawa Timur. Disini beliau
membuka asrama, dengan murid-murid dari Wong Aga. Dari pesraman Gunung Raung ini,
beberapa tahun kemudian beliau pun pergi ke timur ke pulau Bali, yang ketika itu pula konon
di Bali masih kosong. Kosong dalam artian spiritual. Beliau berangkat dengan diiringi oleh
murid-murid beliau sebanyak800 orang. Kedatangan Sang Rsi dan murid-muridnya adalah
untuk menyebarkan ajaran Agama Hindu di pulau Bali, yang ketika itu orang-orang Bali
belum beragama. Disamping ajaran agama, juga beliau ingin mengajarkan teknik pertanian
dan bidang-bidang lainnya. Untuk itu, beliau mengajak murid-muridnya ke Bali untuk
memberi contoh cara-cara bertani yang teratur, cara membuat peralatan yajna dan
sebagainya.
Perjalanan beliau ke Bali pertama menuju Gunung Agung. Disanalah beliau dan
murid-muridnya membuka hutan untuk pertanian. Tapi saying, murid-muridnya kena
penyakit, banyak diantaranya yang meninggal. Akhirnya beliau kembali ke Pasraman beliau
di Gunung Raung. Disanalah beliau beryoga, ingin tahu apa sebabnya bencana menimpa
murid-muridnya itu. Akhirnya beliau mendapat pawisik bahwa terjadi bencana itu, karena
beliau tidak melaksanakan upacara keagamaan sebelum membuka hutan itu.
Setelah mendapat pawisik, beliau pun pergi kembali ke gunung Tohlangkir Bali. Kali
ini beliau mengajak peserta sebanyak 400 orang. Sebelum mengambil pekerjaan, beliau lebih
dahulu menyelenggarakan upacara ritual, dengan menanam panca dathu di lereng Gunung
Agung itu. Demikianlah akhirnya semua pengikut beliau selamat. Oleh kerena wilayah itu
lalu dinami Besuki, kemudian menjadi Besakih, yang artinya selamat. Tempat beliau
menanam pancadathu, lalu menjadi pura, yang diberi nama pura Besakih.
Entah berapa lamanya beliau berada disana, lalu Rsi Maharkandya pergi menuju arah
barat, dan sampailah beliau di suatu daerah yang datar dan luas, disanalah beliau merambas
hutan. Wilayah yang datar dan luas ini lalu diberi nama Puwakan. Kemungkinan dari kata
Puwakan ini lalul menjadi Swakan dan terakhir menjadi Subak.
Ditempat ini beliau menanam jenis-jenis bahan pangan. Dan semuanya bisa tumbuh
dan manghasilkan dengan baik. Oleh karenanya tempat ini juga disebut Sarwada yang artinya
serba ada. Keadaan ini bisa terjadi karena kehendak Sang Yogi. Kehendak bahasa balinya
Kahyun atau adnyana. Dari kata Kahyun menjadi kayu. Kayu bahasa sanskertanya taru,
kemungkinan menjadi Taro. Taro adalah nama wilayah ini kemudian.
Diwilayah Taro ini Sang Yogi mendirikan sebuah pura, sebagai kenangan terhadap
pasraman beliau di Gunung Raung. Pura ini disebut Gunung Raung. Pura ini dikatakan pura
Gunung Raung sampai sekarang. Disebuah bukit tempat beliau beryoga juga didirikan sebuah
pura yang kemudian dinamai pura Payogan, yang letaknya di Campuan Ubud. Pura ini juga
disebut pura gunung lebah.
Berikutnya Rsi Maharkandya pergi ke barat dari Payogan itu, dan sampai disana juga
membangun sebuah pura yang diberi nama pura Murwa dan wilayahnya diberi nama
Pahyangan, yang sekarang menjadi Payangan.
Orang-orang Aga, murid Sang Yogi, menetap di desa-desa yang dilalui beliau.
Mereka bercampur dan berbaur dengan orang-orang Bali asli. Mereka mengajarkan cara-cara
bercocok tanam yang baik, menyelenggarakanyajna seperti yang dikatakan oleh Sang Rsi
Maharkandya . dengan demikian Agama Hindu pun dapat diterima dengan baik oleh orang-
orang Bali Asli itu.
Sebagai Rohaniawan (pandita), orang Aga dan Bali Mula adalah keturunan Maharsi
Maharkandya sendiri yang disebut Warga Bujangga Waisnawa.
Dalam jaman raja-raja berikutnya, Bujangga Waisnawa ini selalu menjadi Purohita
mendampingi raja, ada yang berkedudukan sebagai Senapati, Kuturan. Beliau-beliau antara
lain Mpu Gawaksa dinobatkan menjadi Senapati Kuturan oleh Sang Ratu Adnyanadewi tahun
1016 masehi, sebagai pengganti Mpu Rajakerta (Mpu Kuturan). Ratu ini pula yang
memberikan kewenangan kepada Sang Guru Bujangga Waisnawa pula yang berleluhur Rsi
Maharkandya.
Pada masa pemerintahan Suradhipa (1115-1119 M), yang dinobatkan sebagai senapati
Kuturan dari keturunan Sang Rsi maharkandya adalah Mpu Ceken, kemudian diganti oleh
Mpu Jagathita.
Kemudian pada pemerintahan Raghajaya tahun 1077 M, yang diangkat sebagai
senapati kuturan adalah Mpu Andonamenang, dari keluarga Bujangga Waisnawa.
Demikianlah seterusnya. Untuk raja-raja selanjutnya selalu ada salah seorang Purohita Raja
atau Dalem yang diambil dari keluarga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi
Maharkandya. Sampai terakhir masa pemerintahan Dalem Batur Enggong di Bali. Ketika itu
yang menjadi Bagawanta Dalem, mewakili seke Waisnawa, adalah dari Bujangga Waisnawa
pula dari Takmung. Namun sayang dan mungkin sudah kehendak Dewata Agung, terjadi
kesalahan Sang Guru Bujangga, dimana beliau sekalu Acarya (guru) telah mengawini
sisyanya sendiri yakni Putri Dalem yaitu Dewa Ayu Laksmi. Atas kesalahan ini sasng Guru
Bujangga Waisnawa akan dihukum bunuh. Tetapi beliau segera menghilang dan kemudian
menetap di wilayah Tabanan.
Semenjak kejadian inilah Dalem tidak lagi memakai Bhagawanta dari Bujangga
Waisnawa keturunan Sang Rsi Maharkandya. Dari sejak itu dan setelah kedatangan
Danghyang Niratha di Bali, posisi Bagawanta diambil alih oleh Brahmana Siwa dan Budha.
Selesailan sudah peranan Bujangga Waisnawa sebagai pendamping raja di Bali. Bahkan
setelah strukturnisasi masyarakat Bali kedalam system Wangsa oleh Danghyang Niratha atas
restu Dalem, keluarga Bujangga Waisnawa tidak dimasukkan lagi sebagai Warga Brahmana.
Namun sisa-sisa kebesaran Bujangga Waisnawa dalam peranannya sebagai
pembimbing masyarakat Bali , terutama dari kalangan Bali Mula dan Bali aga masi dapat kita
lihat sampai sekarang. Pada tiap-tiap pura dari masyarakat Bali Aga/Mula, cukup nuhur tirtha
apa saja, terutama tirtha pengentas adalah melalui pelinggih ini. Dan sampai sekarang para
warga ini tidak berani mempergunakan atau nuhur pedanda Siwa.
Warga Bujangga Waisnawa, keturunan Maharsi Maharkandya sekarang telah tersebar
di seluruh Bali. Pura padarmannya di sebelah timur Penataran Agung Besakih, sebelah
tenggara padharman Dalem. Demikian juga pura-pura kawitannya tersebar di seluruh Bali,
seperti di Takmung kabupaten Klungkung, Batubulan kabupaten Gianyar, Jatiluwih
kabupaten Tabanan dan lain-lain tempat lagi.
Demikianlah Maharsi Maharkandya, leluhur Warga Bujangga Waisnawa penyebar
Agama Hindu pertama di Bali, dan warganya sampai sekarang ada saja yang melaksanakan
Dharma Kawikon dengan gelar Rsi Bujangga Waisnawa. Sedangkan keturunan orang-orang
Aga dari gunung Raung telah membaur dengan Bali Mula penduduk asli pulau Bali, mereka
menjadi orang Bali Mula/Bali aga.
2.3 Sanjayawamsa Ksatria Kalingga
Sanjaya adalah nama raja dari sebuah kerajaan tua I Jawa Tengah, namanya Mataram.
Dalam Purana, Usana, babad sering disebut-sebut dengan Keling. Sanjaya adalah raja
pertama dari kerajaan itu. Ia pembentuk dinasti sanjaya yang umum disebut Sanjayawamsa.
Asal-usul kerajaan Mataram dengan raja Sanjaya, tidaklah begitu saja muncul di Jawa
Tengah. Diperkirakan kerajaan ini kelanjutan dari kerajaan kalingga di Jawa Barat. Kerajaan
Kalingga dalam Usana , Purana, babad dan lain-lain hanya disebut Keling. Kerajaan Kalingga
di jawa barat telah ada pada tahun 414 M menurut penuturan seorang peziarah China yang
bernama Fa Hian. Mereka menyebut nama Kalingga dengan kata Holing.
Yang memerintah kerajaan Kallingga ini dikenal dua orang raja, yaitu Sannaha dan
Ratu Simmo. Adapun asal-usul kerajaan Kalingga harus dicari di India Selatan. Kerajaan
Kalingga induknya ada di India Selatan. Karena desakan raja-raja India beserta keluarganya
lari ke Indonesia, dan terdampar di Jawa Barat. Lalu disana ia dengan pengikutnya
mendirikan kerajaan Kallingga. Raja dan keluarganya dari kalingga ini, sebut saja dengan
gelar Ksatriya Kalingga.
Setelah Ratu Simmo, tidak terdengar lagi raja penggantinya. Lalu pada tahun 732
masehi muncul kerajaan baru di jawa Tengah dengan nama Mataram atau Medang. Para ahli
memperkirakan, kerajan matarm ini adalah kelanjutan dari kerajaan Kalingga. Mengapa ia
pindah ke Jawa Tengah? Besar kemungkinan ia didesak oleh kerajaan lain, yakni
Tarumanegara yang berdiri pada abad ke-6. kerajaan Tarumanegara ini dirajai oleh Raja
Purnawarman, dari keluarga Warma. Tentang keluarga Raja Warma ini akan dituturkan pada
bagian berikutnya.
Rupanya kerajaan Mataram ini melebarkan kekuasaannya sampai di Jawa Timur dan
Bali. Di Jawa Timur dikenal sebuah kerajaan yang bernama kanjuruhan, yang dikekalkann
dalam Prasasti Dinoyo tahun 760 Masehi, di Bali kerajaan Singamandawa yang dikekalkan
dalam prasasti Sikawana a tahun 882 Masehi. Kemungkinan raja-raja dari kerajaan ini adalah
dari keluarga Sanjaya atau Sanjayawamsa. Karena isi Prasasti-prasasti Canggal 732 M.
Prasasti Dinoyo 760 M dan Prasasti Sukawana 882 M, memiliki persamaan isi terutama
menyangkut bidang keagamaan yang dianut.
Kerajaan Bali tertua yang bernama Singamandawa itu, dikekalkan dalam lebih dari 15
buah prasasti yang berangka tahun diantara 804 saka sampai dengan 888 saka. Satu-satunya
raja yang disebut-sebut dalam prasasti yang dikeluarkan di Singamandawa itu adalah Sang
Ratu Ugrasena. Boleh jadi Sang Ratu Ugrasena ini adalah keturunan raja Sanjaya dari
Ksatriya Kalingga.
Bersamaan dengan masa pemerintahan sang Ratu Ugrasena di Singamandawa, di Bali
juga muncul sebuah kerajaan yang dibentuk oleh Sri Kesari Warmadewa, yang dikekalkan
dengan Prasasti Blanjong di Sanur 835 Saka. Menurut Raja Purana, beliau mendirikan
kerajaan Singadwala yang berpusat di Besakih.
Rupanya munculnya kerajaan dari keluarga Warmadewa di Bali, adalah tidak terlepas
dari persaingan antara keluarga Sanjaya atau Kalingga dengan Keluarga raja-raja Warma,
semenjak di jawa Barat pada abad ke-6 dimana keluarga Warma juga mendirikan Kerajaan
Sri Wijaya di Sumatera.
Di bali kerajaan Singamandawa terdesak, hanya bertahan di pegunungan Kintamani
dan Buleleng. Sedanngkan Warmadewa telah menguasai wilayah yang sangat luas. Selain
Sawal dan Gurun, juga menguasai Bali dengan batas utaranya sampai dengan Manukaya-
Tampaksiring dan Malet Kayuambwa. Ini dibuktikan dengan adanya prasasti pada pahatan
batu yang ada di Penataran Gede Malet dan pura Penempaan Manukaya.
Setelah tahun saka 888 lalu tidak terdengar lagi nama raja-raja Singamandawa.
Prasasti-prasasti yang ada semuanya dikeluarkan oleh raja-raja Singamandawa. Ini berarti
kerajaan Singamandawa telah dikalahkan. Mungkin dengan jalan damai, karena salah satu
ratu Warmadewa setelah masa Ugrasena sangat menghormati Sang Ratu Ugrasena. Hal ini
diuraikan dalam prasasti KIntamani A. yang menyebutkan : “......Sang Ratu Sang Sinddha
Dewata Sang Lumah di Air Madatu......”
Sang Ratu yang dihormati oleh Tebenendra Warmadewa ini, menurut Goris adalah
Sang Ratu Ugrasena. Setelah tahun 888 saka, lerajaan Singamandawa tidak ada lagi. Lalu
kamena keluarga raja Ugrasena itu? Menurut tradisi dari kerajaan-kerajaan kuno, bilamana
ada kerajaan yang dikalahkan, maka keluarga raja taklukannya itu diserahi tugas dalam
pemerintahannya. Biasanya menjadi patih, atau pejabat kerajaan lainnya. Apa lagi
penaklukannya secara damai.
Kalau pendapat ini benar adanya, maka keturunan Sang Ratu Ugrasena nantinya
menjadi Arya Bali, yang pada jaman pemenrintahan Sri Tapolung (Astasura Ratnabhumi
Banten) dari keluarga Warmadewa, menduduki jabatan mentri-mentri kerajaan. Kendati pun
tidak semuanya, ya beberapa diantaranya. Para mentri Sri Tapolung yang dikenal kemudian
sebagai Arya Bali adalah :
1. Pangeran Tambyak di Jimbaran.
2. Ki Kalung Singkal di Taro.
3. Ki Tunjang Tutur di Tenganan.
4. Ki Tunjung Biru di Gianyar.
5. Pangeran Kopang di Seraya.
6. Ki Buahan di Batur.
7. Rakriyan Girimana di Ularan.
8. Pangeran Tangkas.
9. Pangeran Mas.
10. Perdana Mentri Ki Pasung Grigis di Tengkulak.
11. Ki Kbo Iwa di Blahbatuh.
Demikianlah sebelas para mentri Dalem Sri Tapolung. Diantara mereka tenetu
sebagian berasal dari keturunan sang Ratu Ugrasena yang leluhur Sanjayawamsa,
Ksatriya Kalingga . diantara mereka yang dapat dicari keturunannya sampai sekarang
hanyalah Rakriyan Girikmana dari ularan Singaraja. Keturunan beliau sangat pemberani,
selalu menjabat panglima perang Kerajaan Gelgel. Ia bergelar Jlantik, sangatlah terenal
sebagai arya Ularan panglima dulang mangap yang menaklukan Blambangan dan Jlantik
Bogol pahlawan perang Pasuruhan.
Pangeran tangkas sudah camput. Keturunan kemudian dilanjutkan oleh putra dari selir
Dalem, yang kemudian dikenal dengan sebutan Tangkas Tegeh Kori Agung.
Ada juga keturunan Arya Bali lainnya, yang sekarang nernama karangbuncing.
Ia adalah Ki Pasung Grigis, patih amengku Negara kerajaan Bali. Tapi ada sumber
lain yang mengatakan bahwa ia adalah keturunan Jayakatong dari Kadiri.
Demikian juga tentang Kriyan Jlantik, panglima perang kerajaan Gelgel. Ada sumber
babad dalem selalu mengaitkan nama Jlantik yang besar dengan nama Ularan, Aryeng
Bali.
Demikian kira-kira beberapa kelanjutan keturunan Sanjayawamsa dari Ksatriya
Kalingga ini.
Namun babad Bali Dwipa memberikan keterangan yang sedikt berbeda. Bahwa
Kriyan Ularan, karang Buncing dan Kbo Iwa adalah saudara kemenakan . ayahnya Kryan
Ularan adalah patih Amengku Bhumi Pasung Grigis, dan Ki Pasung Grigis sendiri adalah
putra danghyang Siddimantra (Danghyang Cakru), putra raja Bali Sri Masula-Masuli.
Danghyang Cakru berasrama di Lempuyang. Jadi dengan demikian Kryan Ularan, Karang
Buncing, Kbo Iwa keturunan Airlangga (Warmadewa). Nama Ularan diambil dari nama
ibu yaitu istri Ki Pasung Grigis adalah putra Pangeran Girikmana dari Ularan Denbukit.
Kryan Ularan Panglima Dunglang mangap mempunyai anak Jlantik Bogol. Digelari
demikian, karena ia tanpa senjata mengamuk dalam perang Bali-Pasuruhan. Ia
melakukann hal yang demikian sebagai penebusan dosa ayahnya yang ingkar atas
pemerintahan Dalem.
Jlantik Bogol ketika gugur meninggalkan istrinya yang sedang mengandung. Ia
dipelihara oleh Dalem Segening. Tak lama kemudian ia melahirkan seorang putra yang
diberi nama Jlantik Bungaya. Ia ditugasi menyerang Dalem Bangkut di Nusa Penida.
Karena intrik Kryan Maruti, Jlantik Bungaya meninggalkan Gelgel lalu menetap di
Blahbatuh.
BAB III
penutup
3.1 kesimpulan
setelah menyimak beberapa penuturan leluhur orang bali yang terurai di atas maka dapat di
simpulkan ternyata orang bali adalah orang-orang pemberani, wiraswasta tangguh, para
pemimpin pemerintahan dan Negara, maupun pemimpin kerohanian, yang dalam ajaran
kemasyarakatan hindu di kenal dengan waisya, ksatrya dan brahmana. Dan ternyata pula
leluhur orang bali tidak ada sudra.
Dengan demikian orang bali sekarang ini menurut wangsa atau keturunan adalah tergolong tri
wangsa, yaitu : waisya, ksatrya dan brahmana.