rencana pengolahan_decryped

11

Click here to load reader

Upload: novi-andry

Post on 25-Jun-2015

291 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

RENCANA PENGOLAHAN BATUBARA

1. Tujuan proses pengolahan Dikaitannya dengan rencana pemasaran dan operasi penambangan batubara, maka pengadaan proses pengolahan batubara (Coal Processing Plant/CCP) bertujuan untuk mengolah batubara menjadi produk batubara (product area) yang sesuai dengan permintaan pasar. Dengan mempertimbangkan beberapa hal, misalnya kualitas atau mutu cadangan batubara, metode penambangan yang terpilih, serta kualitas permintaan pasar, maka proses pengolahan batubara yang direncanakan di PT. IPJ, meliputi ruang lingkup proses sebagai berikut:

Melakukan reduksi ukuran (size reduction) melalui penggerusan (crushing)

Melakukan pemisahan (clasification) melalui pengayakan (screening)

Melakukan pencampuran (blending) batubara

Melakukan penimbunan/penumpukan batubara (sitockpilling)

Melakukan penanganan limbah air (water pollution treatment).

2. Desain pengolahan batubara Dalam upaya mengolah batubara menjadi produk akhir yang diminati konsumen perlu rancangan pengolahan yang komprehensif agar pelayanannya memuaskan. Rancang bangun unit pengolahan didasarkan pada faktor-faktor antara lain: target atau permintaan pasar rata-rata, kualitas batubara dari tambang (raw coal), spesifikasi produk akhir yang diminta, ketersediaan lahan untuk area pengolahan termasuk tempat penimbunan (stockpile) dan ketersediaan air di sekitar area pengolahan. Semua faktor tersebut di atas akan menentukan jenis, dimensi dan kapasitas peralatan atau mesin pengolahan yang dibutuhkan serta flowsheet pengolahan yang sesuai dengan memperhatikan unsur keselamatan kerja.

2.1 Kapasitas produksi Kapasitas produksi pengolahan batubara harus mampu mencapai atau memenuhi target produksi optimum yang direncanakan PT. Indocoal Pratama Jaya, yaitu 2.000.000 ton per tahun dengan kapasitas stockpile sebesar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan target tahunan tersebut dapat dihitung kapasitas unit pengolahan yang beroperasi 2 shift/hari (8 jam/shift), 28 hari/bulan dan efisiensi kerja 80% sebagai berikut:

T = 0,80 x 16 jam/hari x 28 hari/bulan x 12 bulan/tahun = 4300 jam/tahun

ton/jam 465jam/tahun4300

ton/tahun2.000.000 K ==

Loses factor = 8% = 0,08 x 465 = 37 ton/jam

Kterpasang = 465 + 37 = 502 ton/jam

Di mana T dan K masing-masing adalah waktu produksi dan kapasitas produksi. Dengan loses factor sebesar 8% akan diperoleh kapasitas terpasang sekitar 500 ton/jam.

2.2 Kualitas produksi Kualitas produksi hasil proses pengolahan batubara harus dapat memenuhi persyaratan yang diinginkan pasar. Berdasarkan survey pasar dapat disimpulkan bahwa kualitas batubara yang harus dihasilkan proses pengolahan seperti terlihat pada Tabel berikut:

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

1

Page 2: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

2.3 Prosedur pengolahan batubara Prosedur pengolahan memperlihatkan tahapan proses pengolahan batubara mulai dari penimbunan raw coal di lokasi pabrik pengolahan sampai produk akhir. Gambar 1 adalah diagram alir (flowsheet) proses pengolahan yang merupakan gambaran dari prosedur pengolahan batubara di PT. Indocoal Pratama Jaya.

a. Persiapan pengumpanan (feeding) Sebagai umpan (feed) awal proses pengolahan adalah batubara dari tambang atau ROM atau raw coal yang ditumpuk di stockpile di lokasi pengolahan. Ukuran maksimum umpan awal ini direncanakan 300 mm, sedangkan terhadap umpan yang lebih besar dari 300 mm akan dilakukan pengecilan secara manual menggunakan hammer breaker. Baik umpan batubara dari tambang maupun hasil pengecilan ulang semuanya dimasukkan ke hopper menggunakan wheel loader untuk dilanjutkan ke proses reduksi dan pengayakan sampai diperoleh produkta akhir yang siap jual.

b. Pengayakan dengan Grizzly Grizzly berfungsi memisahkan fraksi batubara berukuran +300 mm dengan -300 mm dan posisinya terletak tepat di bawah hopper. Lubang bukaan (opening) grizzly berukuran 300 mm x 300 mm. Undersize grizzly -300 mm diangkut belt conveyor untuk umpan crusher primer. Sedangkan fraksi +300 mm dikembalikan ke tumpukan untuk direduksi ulang menggunakan hammer breaker. Hasil reduksi ulang dikembalikan lagi ke grizzly untuk pemisahan atau pengayakan ulang. Proses ini berlangsung terus menerus selama shift kerja berlangsung.

c. Peremukan tahap awal (primary crusher) Proses peremukan awal bertujuan untukmereduksi ukuran fraksi batubara -300 mm menjadi ukuran rata-rata 150 mm. Dengan demikian nisbah reduksi (reduction ratio) pada tahap primer ini adalah 2. Alat yang digunakan adalah roll crusher yang berkapasitas 500 ton/jam. Untuk menaksir power atau energi (hp) crusher digunakan rumus Bond Crusher Work Index Equation seperti terlihat berikut ini.

P x F) P x F ( x C x Wi hp/ton = (1)

Total hp = Kapasitas crusher x hp/ton x faktor (2)

di mana: Wi = Indeks kerja (work index) yang diperoleh dari hasil uji kemampu-gerusan

(grindability) di lab, untuk batubara sekitar 11,37 C = konstanta dari pabrik pembuat unit crusher, biasanya di atas 10 tergantung

jenis bahan metal pembentuk crusher tersebut. Untuk batubara diambil 10 F = diameter umpan yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab), µ P = diameter produkta yang 80% lolos (hasil uji analisis ayak di lab), µ Faktor = konstanta jenis crusher, untuk primer = 0,75 dan sekunder = 1 Hasil perhitungan untuk menaksir kebutuhan energi crusher primer di PT Indocoal Pratama Jaya dengan menggunakan persamaan (1) dan (2) hasilnya sebagai berikut:

F = dijamin konsisten berukuran -300 mm (300.000 µ) sebanyak 80% P = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 µ) sebanyak 80% faktor = 0,75 (crusher primer)

0,086 150.000 x 300.000

) 150.000 x 300.000 ( x10 x 11,37 hp/ton ==

hp/jam 32,25 0,75 x 0,086 x 500hp total tonhp

jamton ==

Toleransi 10% = 32,25 + 3 = 35,25 hp/jam ≈ 28 kWh

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

2

Page 3: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

d. Pengayakan (screening) tahap-1 Proses pengayakan adalah salah satu proses yang bertujuan untuk mengelompok-kan ukuran fraksi batubara, sehingga disebut juga dengan proses classification. Alat yang dipakai untuk pengayakan biasanya ayakan getar (vibrating screen). Pada pengolahan batubara ini proses pengayakan tahap awal menggunakan vibrating screen-1 untuk memisahkan fraksi ukuran +150 mm dan -150 mm. Fraksi -150 mm adalah umpan secondary crusher, sedangkan + 150 mm dire-sirkulasi sebagai umpan crusher primer untuk diremuk ulang. Produkta dari proses pengayakan harus selalu dijaga konsistensi laju kapasitasnya sebanyak 500 ton/jam. Untuk itu perlu dilakukan penaksiran dimensi (panjang dan lebar) dari ayakan (screen) yang harus dipasang. Terdapat beberapa metoda untuk menentukan dimensi screen dan cara yang dipakai dalam rancangan unit screen dalam studi ini adalah cara grafis dengan beberapa rangkuman konstanta (faktor) yang diperlukan seperti terlihat pada Tabel 2. Konstanta tersebut merupakan faktor yang telah disesuaikan dengan kondisi di lapangan yang umumnya digunakan untuk pengayakan batubara. Gambar 2.a adalah kurva untuk menghitung produkta hasil pengayakan (ton/jam/ft²) dan Gambar 2.b hubungan antara lebar ayakan dengan laju produkta per inci bed depth (ketebalan lapisan aggregate batubara di atas ayakan) dengan kecepatan 1 ft/sec. Kapasitas screen dirumuskan sebagai berikut:

K = P x E x D x F x W x T x B (3)

di mana: K = kapasitas, ton/jam/sqft P = produksi, ton/jam/sqft E, D, F, W, T dan B adalah faktor seperti terlihat pada Tabel 2

Tabel 1. Faktor dan konstanta pengukuran luas screen

FAKTOR KONDISI KONSTANTA KETERANGAN

Efisiensi (E) 90% 1,23

Posisi deck (D Atas 1,00

Kehalusan (F) 60% 1,40

Pengayakan basah (W) -- -- Tidak dipakai

Bentuk bukaan (T) Square 1,00

Densitas aggregat (B) Kering 60 lb/cuft

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

3

Page 4: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

Primary crushing

1

Secondary crushing

2

Undersize -50mm = 500 tph

Finish product

Vibrating screen-2

Undersize -150mm = 500 tph

Feed = 625 tph

Oversize +50 mm

Vibrating screen-1

Grizzly Hammer breaking

Oversize +300 mm

Recirculating load-1 125 tph

Feed = 625 tph

500 tph

Undersize -300mm = 500 tph

Feed = 625 tph

Oversize +150 mm

ROM (Raw coal) Stockpile

GRIZZLY Opening : 300 mm

Recirculating load-2 125 tph Peremukan tahap-1

Reduction ratio = 2

Pengayakan tahap-1 Opening : 150 mm

Recirculating load-2 125 tph

Peremukan tahap-2 Reduction ratio = 3

Pengayakan tahap-2 Opening : 50 mm

Gambar 1. Diagram alir proses pengolahan batubara

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

4

Page 5: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

40

0

20

60

80

100

120

140

160

180

Lebar ayakan, feet

tons

/jam

/inci

bed

dep

th@

1 ft

/sec

lbs/cu

ft

140

100

80

50

30

0,01 0,1 1 10

0,1

1

10

Ukuran butir, inci

Kapa

sita

s, to

n/ja

m

batuba

ra

Hubungan Antara Produksi

(ton/jam/cuft) dengan ukuran produkta Hubungan Antara Lebar Ayakan dengan

Bed depth pada Kecepatan Alir 1 ft/sec Gambar 2. Pengestimasi laju produkta dan bed depth

Berikut adalah tahapan perhitungan dimensi vibrating screen-1 untuk mengayak batubara 150 mm. (1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2)

Posisi deck paling atas dengan opening 150 mm ≈ 6 inci; D = 1,00 Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -3 inci; F = 1,40 Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -6 inci; E =

1,25 Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 6¼” x 6¼”; T =1,00 Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara

berbasis 60 lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 6060 = 1,00

Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -6” = 80%, jadi kemungkinan

produkta lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam. (2) Luas screen yang diperlukan

Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 4 ton/jam per sqft Kapasitas (pers. 3) = 4 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 7 ton/jam per sqft Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam

Luas screen yang diperlukan = 7500

= 71,43 sqft

(3) Perhitungan bed depth Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar

6”. Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”) Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate

batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas aaggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif screen 4 ft-6”)

Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per

inci bed depth = 6055 x40 = 37 ton/jam per inci bed depth

Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam

Jadi bed depth = 37175

=5”

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

5

Page 6: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 6”, maka akan terbentuk hanya satu layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut screen.

Dari perhitungan luas screen di atas, yaitu 71,43 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang berukuran 5 x 16 ft, yaitu TY516RS dapat digunakan. Luas screen TY516RS adalah 80 sqft berarti lebih besar dari perhitungan dan power yang diperlukan antara 15–20 HP (11–15 kW). Pemilihan screen tersebut didasari oleh tidak adanya dimensi screen yang sesuai persis dengan hitungan dan screen dengan seri tersbeut yang paling mendekati. Di samping itu screen jenis ini dimanfaatkan untuk pemisahan partikel kasar maupun halus serta material yang bersifat lembab dan lengket, jadi cocok untuk pengayakan batubara. Keuntungan lainnya adalah kapasitas pengayakan dapat ditambah. e. Peremukan sekunder (secondary crushing) Proses peremukan sekunder bertujuan untuk mereduksi ukuran fraksi batubara -150 mm menjadi ukuran rata-rata 50 mm, dengan demikian nisbah reduksi pada tahap sekunder ini adalah 3. Alat yang digunakan sama seperti peremuk primer, yaitu roll crusher berkapasitas 500 ton/jam. Dilihat dari besarnya nisbah reduksi, yang lebih besar dibanding peremuk primer, maka dapat diperkirakan bahwa energi yang diperlukan akan lebih besar pula. Taksiran energi tersebut dihitung sebagai berikut:

F = dijamin konsisten berukuran -150 mm (150.000 µ) sebanyak 80% P = dijamin konsisten berukuran -50 mm (50.000 µ) sebanyak 80% faktor = 1,00 (crusher sekunder)

0,22 50.000 x 150.000

) 50.000 x 150.000 ( x10 x 11,37 hp/ton ==

hp/jam110 1 x 0,22 x 500hp total tonhp

jamton ==

Toleransi 10% = 110 +11 = 121 hp/jam ≈ 89 kWh e. Pengayakan tahap-2 Jenis alat yang dipakai adalah vibrating screen yang digunakan untuk memisahkan fraksi berukuran -50 mm. Umpan yang masuk adalah hasil peremukan dari crusher sekunder berukuran -150 mm. Agar memperoleh kapasitas sesuai dengan target, maka perhitungan dimensi ayakan pada tahap-2 ini sama seperti yang telah diuraikan pada perhitungan dimensi ayakan tahap-1.

(1) Asumsi kondisi proses (sesuai konstanta atau scoring pada Tabel 2) Posisi deck paling atas dengan opening 50 mm ≈ 2 inci; D = 1,00 Diasumsikan umpan bermuatan 60% berukuran -1 inci; F = 1,40 Spesifikasi oversize hasil pengayakan masih mengandung 10% berukuran -2 inci; E =

1,25 Bentuk lubang bukaan bujursangkar (square) berukuran 2¼” x 2¼”; T =1,00 Densitas aggregate batubara 60 lbs/cuft (dibandingkan dengan densitas batubara

berbasis 60 lbs/cuft, sesuai kurva pada Gambar 2.a); B = 6060 = 1,00

Tidak dilakukan penyemprotan di atas screen; W = tidak ada skor Laju pengumpanan 625 ton/jam dengan kandungan -2” = 80%, jadi kemungkinan

produkta lolos = 0,8 x 625 = 500 ton/jam.

(2) Luas screen yang diperlukan Dari kurva pada Gambar 2.a diperoleh 2,9 ton/jam per sqft Kapasitas (pers. 3) = 2,9 x 1,25 x 1 x 1,4 x 1x 1 = 5,10 ton/jam per sqft Laju produksi = 0,8 x 625 = 500 ton/jam

Luas screen yang diperlukan = 1,5

500 = 98,04 sqft

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

6

Page 7: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

(3) Perhitungan bed depth Digunakan kurva pada Gambar 2.b dengan kemiringan screen 18º Dipertimbangkan pengurangan lebar screen total akibat diameter kawat ayakan sekitar

6”. Kemudian dicoba lebar screen 5 ft (lebar bersih 4 ft-6”) Dari Gambar 2.b diestimasi laju produksi terbaca 40 ton/jam per inci ketebalan aggregate

batubara pada kecepatan 1 ft/sec = 60 ft/men (densitas aggregat 60 lbs/cuft dan lebar efektif screen 4 ft-6”)

Bila kecepatan aliran batubara pada kemiringan 18º = 55 ft/men, maka laju aggregate per

inci bed depth = 6055 x40 = 37 ton/jam per inci bed depth

Oversize = (0,20 x 625) + (0,10 x 500) = 175 ton/jam

Jadi bed depth = 37175

=5”

Bila dibandingkan bed depth (5”) dengan ukuran fraksi batubara yang diayak rata-rata 2”, maka akan terbentuk hanya dua layer di atas permukaan screen. Untuk memperoleh efisiensi pengayakan yang tinggi perlu dilakukan simulasi dengan mengubah sudut screen.

Dari perhitungan luas screen di atas, yaitu 98.04 sqft, kemudian disesuaikan dengan spesifikasi unit screen dari pabrik pembuatnya. Sebagai contoh screen buatan NORDBERG seri RS yang berukuran 6 x 20 ft, yaitu TY620RS dapat digunakan. Luas screen TY620RS adalah 120 sqft berarti lebih besar dari perhitungan yang mempunyai keuntungan bahwa kapasitas pengayakan dapat ditambah. Atau dengan pesanan khusus agar dimensi screen sesuai dengan hasil perhitungan. Power yang diperlukan oleh seri screen di atas antara 20-40HP (15-30 kW).

3. Proses penyampuran batubara (blending) Hasil pengolahan terhadap batubara dapat diklasifikasikan menjadi dua kelompok, yaitu batubara high grade dan low grade. Untuk mendapatkan kualitas batubara yang sesuai dengan permintaan pasar dilakukan blending batubara high dan low grade dengan perbandingan tertentu. Faktor penting yang harus diperhatikan dalam proses blending adalah: a. Kuantitas batubara yang ada di stockpile b. Parameter apa yang menjadi tolok ukur blending, biasanya kalori c. Variasi parameter batubara yang akan di blending d. Peralatan blending yang memadai e. Kapasitas stockpile harus mencukupi Apabila permintaan pasar sesuai dengan kualitas batubara yang ada di stockpile, maka tidak perlu dilakukan blending. Persamaan umum yang digunakan untuk blending sebagai berikut:

[ ])N...(N

)Q x (N ... )Q x (N Qn1

nn11b ++

++= (4)

di mana: Qb = Kualitas blending Qn = Kualitas variasi tumpukan batubara-1, 2, 3, …, n Nn = Berat batubara yang diambil dari tumpukan batubara-1, 2, 3,…,n Terdapat dua cara melakukan blending, yaitu menggunakan system stacking conveyor (stacker) dan melalui bin yang dilengkapi conveyor feeder seperti sketsa pada Gambar 3 dan Gambar 4.

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

7

Page 8: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

Gambar 3. Sketsa sistem stacking conveyor untuk melakukan blending

Timbunan batubara yang sudah di blending

Controller

Belt weighter

Feeders variable speed

COALBIN 1 COAL

BIN 2 COALBIN 3

Belt Conveyor pengangkut batubara hasil blending

Ratio Unit

Gambar 4. Sketsa sistem control blending melalui bin dan feeders Dengan menggunakan stacker conveyor harus dilakukan proses penimbunan yang menghasilkan perlapisan teratur agar diperoleh ratio campuran yang relatif memadai. Oleh sebab itu terdapat 3 model blending, yaitu chevron, windrow dan chevron-windrow, yang menghasilkan berbagai perlapisan seperti terlihat pada Gambar 5.

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

8

Page 9: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

a. Chevron layering

b. Windrow layering

c. Chevron-windrow layering

Gambar 5. Timbunan blending batubara menggunakan stacker conveyor

Blending menggunakan sistem control melalui bin dan feeders dengan kecepatan bervariasi biasanya menghasilkan blending yang lebih baik dibanding menggunakan stacker conveyor. Hal ini disebabkan adanya pengontrolan sebagai berikut:

Kecepatan feeder dari setiap bin dapat divariasikan, sehingga tonase yang diproduksi setiap feeder bervariasi juga sesuai dengan yang telah ditetapkan;

Umpan yang masuk bin dan yang keluar dari setiap feeder dapat dikontrol menggunakan alat Ratio Unit;

Pemantauan tonage produksi blending dilakukan oleh alat kontrol belt weighter; Distribusi hasil blending pada tumpukan akhir relatif lebih merata.

4. Kolam pengendap (settling pond) Kolam pengendap perlu direncanakan dibangun di lokasi pengolahan batubara. Air hujan yang melewati tumpukan batubara di areal stockpile berpeluang mencemar-kan lingkungan, baik secara fisik maupun kimia. Secara fisik terjadi ketika aliran air hujan yang melewati tumpukan batubara akan membawa partikel batubara halus keluar dari tumpukan yang membuat aliran air tersebut menjadi berwarna hitam. Apabila aliran air yang keluar dari tumpukan batubara masuk ke sungai, maka dapat menimbulkan pencemaran secara fisik terhadap sungai. Secara kimia terjadi ketika air hujan bereaksi dengan unsur-unsur kimia yang terkandung dalam mineral yang berasosiasi dengan batubara, misalnya pyrite dan marcasite. Reaksi kimia ini berupa reaksi oksidasi yang dapat menjadikan air hujan bersifat asam seperti ditunjukkan oleh persamaan reaksi berikut ini.

2 FeS2 + 7O2 + 2 H2O 2 FeSO4 + 2 H2SO4

Dengan adanya kolam pengendap, maka partikel halus di dalam air limbah atau buangan yang keluar dari lokasi pengolahan batubara akan diendapkan dan sekaligus dinetralkan kembali menggunakan gamping (lime). Air limbah yang sudah diolah (treatment) dapat dialirkan ke sungai. Diharapkan kolam pengendap ini menjadi solusi untuk mengurangi dampak negatif lingkungan akibat aliran air kotor dari tumpukan batubara. Kolam pengendap dibuat pada topografi paling rendah yang biasanya dekat dengan sungai, sehingga jarak pengaliran air bersih ke sungai menjadi pendek.

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

9

Page 10: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

Dimensi kolam disesuaikan dengan debit aliran air kotor yang keluar, namun ukuran panjang x lebar x dalam sekitar 25 m x 25 m x 2,5 m dapat dibuat sebagai standard. Apabila kurang, maka dapat dibuat beberapa kolam dengan ukuran yang sama. 5. Tata letak di unit pengolahan dan sekitarnya Pada prinsipnya unit pengolahan harus selalu dekat dengan sungai karena kaitannya dengan pekerjaan pembersihan unit-unit pengolahan, aktifitas penyaliran dan sarana transportasi pengiriman produk akhir ke konsumen. Untuk mendapatkan luas lahan minimum bagi lokasi pengolahan dan sekitarnya perlu dipertimbangkan beberapa faktor antara lain:

Jumlah dan luas stockpile untuk timbunan raw batubara agar memenuhi target; Jumlah dan luas produk akhir (finished product) batubara yang siap diangkut ke konsumen; Luas pabrik pengolahan atau processing area; Luas perkantoran dan sekitarnya; Sarana penunjang lain, misalnya jalan angkut, panjang konveyor, area maneuver alat muat

(loader) dan water treatment.

a. Geometri dan luas raw coal stockpile Untuk memenuhi target produksi yang direncanakan sebesar 2.000.000 ton/tahun diperlukan cadangan raw coal stockpile yang mampu menampung sekitar 200.000 ton/2 bulan. Berdasarkan cadangan raw coal tersebut perlu diketahui bentuk bangun timbunan batubara, sehingga dapat dipersiapkan luas lahannya dengan perhitungan sebagai berikut:

Bentuk bangun timbunan batubara adalah limas terpancung (lihat Gambar 6) yang volumenya adalah A x B A (B x t 3

1 ++ , di mana B, A dan t masing-masing adalah luas bidang bawah, luas bidang atas dan tinggi;

35º t = 4 m

LB = 200

LA

35º t = 4 m

200 m

5,7 5,7 188,6

188,6

200 m

B A 200 m

Gambar 6. Bentuk bangun dan geometri raw coal stockpile

Diambil panjang dan lebar alas timbunan 200 m, Tinggi 4 m dan sudut kemiring-an lereng timbunan 35º.

LB = panjang atau lebar sisi alas = 200 m, LA dicari sebagai berikut:

⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

°−=

35 tan4 x2 200 LA = 188,6 m;

B = 200 x 200 = 40.000 m² ; A = 188,6 x 188,6 = 35.570 m² V = 35570 x40000 3(40000 x4 x 3

1 ++ 5570 = 151.053 m³ Dengan estimasi densitas raw coal = 1,6 Ton/m³, maka berat (W) timbunan raw coal = 241.685

ton/timbunan

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

10

Page 11: Rencana Pengolahan_decryped

Pengolahan Batubara Ir. Awang Suwandhi, M.Sc

Dibandingkan dengan target 200.000 ton/2 bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan batubara seperti pada Gambar 6 di atas dapat diterima. b. Geometri dan luas product coal stockpile Stockpile ini digunakan untuk menampung sementara batubara hasil pengolahan. Timbunan batubara terbentuk dari curahan belt conveyor, sehingga bentuknya adalah kerucut (lihat Gambar 7). Kapasitas timbunan 100.000 ton/bulan, maka dimensi-nya dihitung sebagai berikut:

Diestimasi diameter lingkaran bawah = 100 m, sudut kemiringan timbunan batubara 35º dan

tinggi tumpukan maksimum 10 m, maka diameter lingkaran atas = ⎥⎦

⎤⎢⎣

⎡⎟⎠⎞

⎜⎝⎛

°−

35 tan10 x2 00 1 =

71,4 m

100

3510

100

71,14, 14,

71,4

Gambar 7. Bentuk bangun dan geometri product coal stockpile

Volume dihitung dengan rumus Rr) r (R h π 223

1 ++ , di mana h, R dan r masing-masing adalah tinggi kerucut, jari-jari lingkaran bawah dan jari-jari lingkaran atas.

V = [ ]35,7) x(50 35,7 5010 π 223

1 ++ = 58.220 m³ Dengan estimasi densitas produk batubara 1,8 Ton/m³, maka berat (W) timbunan produk akhir

batubara = 104.800 ton/timbunan Dibandingkan dengan target 100.000 ton/bulan/timbunan, maka estimasi dimensi timbunan batubara seperti pada Gambar 7 di atas dapat diterima.

c. Dampak timbunan batubara terhadap subsidence Pembebanan dari stockpile batubara dapat menyebabkan lapisan di bawahnya mengalami pemampatan. Pemampatan tersebut disebabkan oleh adanya deformasi partikel tanah, keluarnya air atau udara dari dalam pori-pori tanah dan getaran crusher serta alat-alat pengolahan lainnya. Secara umum penurunan tanah tersebut dibagi dalam dua kelompok, yaitu (1) penurunan konsolidasi dan (2) penurunan segera: (1) Penurunan “konsolidasi” terjadi akibat berubahnya volume tanah jenuh air akibat keluarnya

air dari pori-pori tanah tersebut. Biasanya peristiwa ini memakan waktu lama. (2) Penurunan “segera” terjadi setelah terjadi penambahan tegangan akibat beban timbunan

batubara di atasnya dan tidak berpengaruh terhadap kadar air tanah. Timbunan batubara menimbulkan penyebaran tegangan pada lapisan tanah di bawahnya yang dapat dianalisis dengan cara pendekatan.

Penuruan “segera” tidak diperhitungkan karena penuruannya kecil sekali dibanding penurunan “konsolidasi” dan juga karena terbatasnya parameter yang dibutuhkan. Sementara penurunan konsolidasi diasumsikan terjadi dengan merembesnya air ke dua arah (double drainage), yaitu ke atas dan ke bawah. Karena umur tambang batubara diperkirakan hanya sekitar 5 tahun, maka pengaruh penurunan konsolidasi ini pun kurang begitu signifikan. Estimasi penuruan tanah akibat timbunan batubara untuk jangka waktu 5 tahun ± 0,5 m sedangkan penurunan yang diijinkan ±3 m.

Diklat Perencanaan Tambang Unisba, 30 Agustus - 07 September 2004

11