relevansi pendidikan religiositas sebagai alternatif...
TRANSCRIPT
1. Pendahuluan
Masyarakat Indonesia yang majemuk memang memiliki potensi untuk
munculnya konflik horizontal misalnya antar suku atau agama. Akan tetapi tidak
dapat dipungkiri bahwa sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri, ia
pasti membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, interaksi antar individu, terlebih
hubungan antar lapisan masyarakat yang saling bertoleransi sangat dibutuhkan untuk
menciptakan Indonesia yang damai dan jauh dari konflik yang bisa membuat
Indonesia terpecah belah.Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencerdaskan
masyarakat dan sekaligus mengembangkan karakter dari masyarakat
Indonesia.Menurut Martinus Handokomantan Rektor Unika Soegijapranata,
''Perbedaan yang melekat pada setiap individu tidak bisa dihilangkan dan
dihindari.Jika bangsa ini menginginkan tumbuhnya masyarakat yang demokratis satu-
satunya caranya adalah pengembangan pendidikan yang majemuk di sekolah.''1
Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatannya pada simbol-
simbol agama dan pada keyakinannya akan fungsi sosial agama dalam menjawab
pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan memberi rasa aman oleh kepastian dalam
membuat pemaknaan atas peristiwa-peristiwa kehidupan bagi pemeluknya secara
eksklusif. Keunikan ini sangat kentara ketika selalu ada kelompok dalam masyarakat
yang senantiasa memberikan posisi bagi agama dalam ruang publik yang seharusnya
dikonstruksi menjamin keleluasaan yang terbuka bagi semua ekspresi dan
pemaknaannya. Pendidikan agama yang masuk dalam ruang sekolah adalah salah satu
contoh kuatnya agama dalam mengambil posisi dalam ruang publik masyarakat
Indonesia.
Secara umum pendidikan berarti suatu proses transformasi yang dilakukan
seseorang atau masyarakat ke generasi berikutnya, serta dilaksanakan secara sengaja,
teratur, terstruktur dan dapat diukur atau diketahui hasilnya. Generasi berikut
mendapat pendidikan secara formal dan informal, sehingga mereka bertumbuh secara
intelektual, pengalaman keagamaan, serta memiliki sikap hidup yang baik.
Di Indonesia pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang diwajibkan di
pendidikan dasar dan menengah, dan matakuliah wajib di Perguruan Tinggi. Hal ini
telah diatur oleh dalam UU Sisdiknas 2003 (bahkan dalam peraturan pemerintah dan
UU Sisdiknas sebelumnya), dimana kedudukan agama di sekolah semakin penting
1Suara Merdeka edisi minggu;,Mendesak, Kurikulum Kemajemukan (Semarang; minggu 12 Juni2005)
melalui : http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/12/kot10.htm diunggah pada tanggal 12 Januari
2013
saja dan pemerintah begitu terlibat di dalamnya.2Di sekolah-sekolah peserta
didik, dididik menurut agamanya tersebut dan diajari oleh guru yang seagama
dengannya.3Tujuannya adalah agar peserta didik dapat menghayati dan
mengembangkan imannya, serta menerapkan penghayatan imannya untuk
membangun diri dan masyarakatnya, dan inilah yang menjadi dasar pendidikan agama
di sekolah-sekolah. Hubungan antara iman, pendidikan, perubahan sosial: Iman
merupakan dasar dan sumber idealisme dalam kehidupan, pendidikan merupakan
sumber instrumen untuk melaksanakan idealisme tersebut. Sedangkan perubahan
sosial merupakan tujuan atau hasil dari proses penggabungan idealisme dan
instrumen. Dengan demikian pendidikan ditujukan demi menciptakan manusia-
manusia yang mau melakukan perubahan masyarakat kearah yang lebih baik.4
Menurut UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan
terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta
didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual
keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta
keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.5 Jadi dalam
pendidikan di Indonesia, beranjak dari UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas, pendidikan
yang mencakup dimensi ketuhanan akan menjadikan agama sebagai landasan. Dengan
demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia mewajibkan setiap
naradidik mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya
dan diajar oleh guru yang seagamna dengannya. Berdasarkan ketentuan UU tersebut,
seharusnya sekolah-sekolah yang diselenggarakan berdasarkan agama seperti
sekolah-sekolah Kristen pun wajib melaksanakan pendidikan agama seperti ketentuan
di atas, artinya pemeluk agama lain perlu diberi pendidikan agama yang sesuai
dengan agama siswa/wi serta diajar oleh guru yang seagama dengannya, selain PAK.
Namun hal ini tak terjadi, karena di sekolah-sekolah Kristen pada umumnya PAKlah
yang disajikan kepada seluruh peserta didik, padahalnya ada juga nara didik yang
tidak beragama Kristen. Penulis dalam tugas akhir ini ingin membangun argumentasi
bahwa bilamana hal ideal di atas tak terlaksana, setidak-setidaknya pendekatan
pendidikan Religiositasadalah alternatif yang lebih baik. Karena itu berturut-turut
2Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007) Hal
79. 3Ibid., 103
4Tim Redaksi Kanisius, Paradigma Pedagogi Reflekstif. (Yogyakarta: Kanisius, 2008),hal 7
5Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia ,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20
Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasinal (Jakarta; 2003) hal 12.
dalam tulisan ini akan dibahas: bagaimana penyelenggaraan Pendidik Agama
di sekolah-sekolah Kristen dan apa landasan atau alasannya, apa saja masalah dan
kelemahannya, apakah yang dimaksudkan dengan pendidikan religiositas,serta hal-
hal positif apa saja yang dihasilkannya.
2. Gambaran Umum Mengenai Penyelenggaraan Pendidikan Agama di sekolah-
Sekolah Kristen.
Terdapat tiga karakter sekolah yang terkait dengan pendidikan agama di
sekolah.Pertama sekolah negeri, kedua sekolah swasta umum non yayasan agama dan
sekolah swasta yayasan agama serta sekolah calon ahli atau pimpinan agama seperti
madrasah dan seminari. Varian karakter ini awalnya terbentuk karena perbedaan
sumber pembiayaan, pengawasan dan otonomi sekolah, serta misi dan intervensi pada
kurikulum. Dalam perkembangannya dinamika sekolah juga turut mempengaruhi
karakter sekolah.Tiga karakter ini pada akhirnya juga terkait dengan persoalan
multikulturalisme dalam masyarakat.Pada sekolah negeri dan sekolah swasta umum
non yayasan keagamaan, pada jam pelajaran agama siswa dipisah menurut agama yang
berbeda-beda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama di sekolah seperti ini
belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa pemisahan siswa pada jam
pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan penanaman kesadaran bahwa agama
adalah sesuatu yang memisahkan (kebersamaan) manusia.6
Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia
pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak
sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religious (homo
religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa
akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman
merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.
Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan,
Sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam
kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’,
harus ada dan diterima oleh para siswa. Di Indonesia sekolah-sekolah swasta-umum
dengan ciri keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan ciri
khas keagamaannya. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa penerapan
6Institut DIAN/interfidei: Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur,
melalui:http://interfidei.or.id/index.php?page=article&id=1 (diunggah pada tanggal 12 Januari 2013)
pelajaran agama di sekolah baik negeri dan swasta memuncukan dialektika atau
bahkan menimbulkan problematika.7
Dalam penulisannya Lastiko Runtuwene menjelaskan bahwaPelajaran agama
di sekolah dalam implementasinya menimbulkan problematika konsepsional dan
(sekaligus) operasional. Persoalan pertama secara konsepsional yakni, iman
merupakan dimensi personal, hak asasi manusia. Hidup beragama dan beriman
merupakan suatu yang personal, menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya.
Dimensi personal iman merupakan misteri, menuntut keyakinan iman dan
kebebasan penghayatannya yang tidak boleh ‘dipaksakan’ dari luar. Beragama
dan menerima pelajaran agama merupakan hak asasi manusia. Persoalan kedua adalah
Internalisasi dan implementasi iman. Pendidikan agama membutuhkan sikap dasar
iman untuk internalisasi (pembatinan) nilai- nilai/ajaran agama yang disampaikan.
Proses pembatinan ajaran iman mengandaikan adanya sikap iman. Kenyataan di
sekolah (terutama sekolah dengan ciri khas keagamaan, juga di beberapa sekolah
negeri) banyak pelajaran agama tertentu diberikan kepada siswa dengan perbedaan
agama. Proses pembatinan nilai/ajaran sulit terjadi, para siswa hanya menangkap
sebagai suatu pengetahuan tetapi tidak sampai pada penghayatan dan perwujudan
nilai/ajaran iman karena tidak sesuai dengan iman/agamanya. Proses pendidikan
akan mencapai keutuhan apabila pelajaran agama sampai pada penghayatan dan
pembentukan sikap. Misalnya guru akan mengalami kesulitan mengajar tentang
berdoa Katolik dan akan dipratekkan oleh siswa Islam, Budha atau Hindhu.
Bagaiman mungkin siswa Islam dalam suasana kekhusukan berdoa secara Kristen,
atau sebaliknya guru Islam mengajar tentang solat lima waktu dan mengajak
siswa Kristen untuk mempraktekkannya.8
Selama ini, sekolah-sekolah di bawah bendera agama tertentu menyerahkan
sepenuhnya hak pendidikan anak didik, kepada orang tua dan bukan kepada pihak
lain apalagi pemerintah. Hak kebebasan beragama dalam kaitan dengan masalah
pelajaran agama berarti orangtualah yang berhak menentukan, apakah, di manakah,
dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Sebelum masuk ke
7Lastiko Runtuwene, Penulisan Karya Ilmiah ; 2013. Menerobos Implementasi Pelajaran Agama Di
Sekolah. Dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB
sQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsulut.kemenag.go.id%2Ffile%2Ffile%2FKatolik%2Ffnpc1365033142
.pdf&ei=3A2iU7a7HcGWuATBqoLQCg&usg=AFQjCNGr09XCa922Y0-
bHfqxhLexYM2qXA&sig2=8fpR2jvReqKM5KpIBDY4rw (Diunggah 21 july 2013) hal.1 8Ibid.,hal. 2
sekolah-sekolah tersebut, orang tua dan anak didik akan ditanya dan kemudian
menuangkan ke dalam sebuah surat pernyataan untuk bersedia dididik sesuai dengan
bendera sekolah bersangkutan. Dan anak didik maupun orang tua sama sekali tidak
berkeberatan karena yang mereka cari memang bukan pendidikan agama tetapi
kualitas pendidikan pada umumnya.9 Hal seperti ini dapat di temui di Sekolah
Menengah Atas (SMA)Laboratorium Kristen Satya Wacana atau lebih dikenal dengan
SMA LAB Salatiga yang mempertahankan Pendidikan Agama Kristen sebagai satu-
satunya pendidikan agama di sekolah, walaupun tidak semua siswa beragama Kristen.
Hak orang tua memuat agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang
tidak dikehendaki. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS,
pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan: “Setiap pesertadidik pada setiap
satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikanagama sesuai dengan agama
yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikyang seagama.”10
. Dalam konteks
otonomi sekolah, setiap sekolah umum keagamaan berhak hanya menawarkan
pelajaran agama sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya sekolah Katolik berhak
hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Kristen hanya menawarkan
pelajaran agama Kristen, sekolah Islam hanya menawarkan pelajaran agama
Islam. Akan tetapi sekolah tidak berhak mewajibkan siswa-siswanya dari agama
lain mengikuti pelajaran agama sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah yang
bersangkutan. Misalnya apabila sekolah Kristen atau Katolik menerima siswa
bukan Kristen-Katolik, sekolah tersebut tidak berhak mewajibkan atau menekan
orangtua untuk mengizinkan anak mereka yang bukan Kristiani mengikuti pelajaran
agama Kristen-Katolik. Dalam konteks pluralisme, apabila sekolah swasta dengan
ciri khas keagamaan memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas
agama, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati.
3. Masalah dan Kelemahannya.
Dilihat dari penerapan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah swasta dengan
ciri keagamaan, sampai saat ini masih memberikan pelajaran agama untuk semua
siswa dengan satu mata pelajaran sesuai dengan ciri khas keagamaanya barangkali
tidak/belum menjadi persoalan. Jika ditinjau kembali hal ini berlawanan dengan
9Dicky S. Mansula (guru pendidikan Agama, SMA Kristen Satya Wacana, Salatiga) wawancara, senin
23 September 2013 10
Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia ,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor
20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasinal (Jakarta; 2003) hal 12.
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang mewajibkan
setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama
yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Seakan siswa yang
beragama lain terasa dipaksakan untuk mempelajari agama yang tidak dianutnya.
Menurut Ringkasan Laporan DIAN/InterfideiPendidikan agama yang
diajarkan di sekolah-sekolah menjadi penting untuk dikaji karena beberapa hal:
pertamapendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah-sekolah sebagaimana
digariskan dalam sistem pendidikan nasional memperlihatkan garis yang samar
menyangkut siapa yang sebaiknya dinilai lebih kompeten dan bertanggung jawab atas
penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.
Kedua, Kebijakan negara yang mengatur pendidikan agama yang wajib
dilakukan dari tingkat sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi mengandung implikasi
luas dalam kehidupan beragama. Implikasi yang dimaksud adalah konsekuensi
munculnya tiga asumsi, yaitu: a) asumsi bahwa anak akan mengikuti agama orang tua,
b) negara akan menjamin ketersediaan guru agama, dan c) asumsi bahwa yang paling
penting dalam kehidupan beragama adalah aspek formalitas, karena akan ada proses
dimana siswa atau peserta didik menganut agama karena tuntutan administratif.
Asumsi-asumsi ini mempunyai resiko: menghadirkan keharusan-keharusan yang tidak
mudah untuk banyak pihak dan secara sistematis akan mempengaruhi kebebasan
dalam menganut keyakinan yang berbeda dari yang ditentukan negara.
Ketiga, Masyarakat Indonesia mempunyai kemajemukan dalam agama, tetapi
pendididikan agama yang dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia umumnya
hanya memberi informasi tentang suatu agama yang dianut oleh peserta dalam proses
pembelajaran agama, dan kurang (bahkan tidak) mengajarkan keterbukaan akan
adanya kepercayaan dan agama yang berbeda, atau aliran-aliran dalam suatu agama,
sehingga tidak mendukung para peserta didik mempersiapkan diri memasuki
kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Keempat, Sekolah adalah institusi yang
dimasuki oleh setiap generasi muda dari segala lapisan masyarakat. Pemikiran dan
karakter generasi muda yang dikembangkan dalam institusi ini tentu akan mewarnai
kehidupan kemasyarakatan pada masa-masa yang akan datang. Kita tidak bisa
menutupi kenyatan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mau melepas
pendidikan agama di Sekolah umum.Mereka ini percaya bahwa pendidikan agama,
termasuk yang diselenggarakan di sekolah sangat bermanfaat dalam pembentukan
karakter generasi muda dan kehidupan bermasyarakat dalam masa-masa mendatang,
meski tetap ada pandangan yang beragam tentang praktek pendidikan agama.11
Di sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta nasional atau sebagian
masyarakat menyebut sekolah ‘netral’, pendidikan agama dilakukan sebagaimana
yang telah diatur oleh pemerintah, dengan kurikulum maupun pengelolaan kelas yang
masing-masing siswa dipisah sesuai dengan agama yang di anut. Sejauh ini
masyarakat tidak mempersoalkan apa yang berlangsung, beda halnya dengan yang
terjadi di sekolah-sekolah swasta dengan lebel agama tertentu.
Pada sekolah-sekolah yang didirikan yayasan-yayasan ini pendidikan agama
menjadi salah satu ciri khas yang membedakan dari sekolah lain. Pendidikan agama di
sekolah yayasan keagamaan untuk sekian lama dianggap sebagai ‘urusan rumah
tangga’ suatu yayasan dengan ciri keagamaan tertentu. Pendidikan agama dalam
kasus ini menjadi menarik perhatian pada akhir tahun 1980-an ketika muncul
sekelompok masyarakat yang menaruh curiga bahwa sekolah-sekolah secara tidak
langsung membuat para siswa yang berbeda agama lebih mengenal agama orang lain
dari pada agama mereka sendiri dan bisa jadi akan membawa siswa yang
bersangkutan pada agama yayasan. Tidak ada survei yang bisa menjadi dasar
kecurigaan ini, tetapi pikiran demikian bergulir dalam kalangan yang lebih luas.
Kasus siswa belajar di sekolah di bawah yayasan keagamaan yang tidak sama
dengan yang mereka anut terjadi merata, tampaknya terkait dengan kompisisi
demografi penduduk berdasarkan agama. Di Salatiga SMA Kristen Satya Wacana
sebagai sekolah di bawah yayasan Kristen yang menerima siswa beragama Islam dan
Budha, mempertahankan Pendidkan Agama Kristen sebagai Pendidkan Agama mau
dan tidak mau para siswa yang berlatar belakang agama yang berbeda harus
menerimanya, sama halnya dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah yayasan
Islam hanya menerima siswa beragama Islam, dengan alasan utama mereka tidak
mungkin mencarikan guru agama lain dan mereka tidak mau memberi pelajaran
agama Islam kepada siswa yang beragama non Islam.
Kurikulum pendidikan agama, selalu menyebut bahwa tujuan pendidikan
agama adalah menciptakan siswa yang memahami ajaran agama dan
11
Ringkasan Laporan,Penelitian Problematika Pendidikan Agama
Penelitian Di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta, 2004-2006. Dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB
sQFjAA&url=http%3A%2F%2Fe-
dokumen.kemenag.go.id%2Ffiles%2FtF8gZUp21284260139.pdf&ei=ARyiU_abC5GJuAS66YHwCg
&usg=AFQjCNGFUCVRhf6CnF8z3cdlUfcOU0hL4Q&sig2=u3OIeUj6d6QiuAR9A9FeyA (diunggah
13 january 2013)
melaksanakannya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang toleran terhadap
penganut agama lain.Dalam hal ini sering ada pengandaian bahwa bila seseorang telah
memahami dan melaksanakan ajaran agamanya maka dengan sendirinya mereka akan
bisa menghormati, menghargai dan toleran dengan agama orang lain. Yang menjadi
perhatian di sini adalah bahwa menghormati agama orang lain adalah bagian dari
moralitas yang diajarkan oleh setiap agama. Responden dari para guru agama dan
siswa bila dikonfirmasi dengan pertanyaan, ”bukankah orang-orang yang berkonflik
atau melakukan diskriminasi terhadap orang yang berbeda agama adalah orang-orang
yang mengerti agama dengan baik? Mereka akan menjawab, ”Itu karena mereka tidak
memahami agama lain”. Tetapi sangat sedikit guru agama yang mempunyai
pandangan yang jelas dan lugas tentang hubungan antar kelompok keyakinan yang
berbeda-beda.
Adapun kendala yang ditemui dalam pembelajaran adalah mengenai minat
siswa dalam mengikuti pelajaran.Banyak siswa yang beranggapan bahwa PAK bukan
pelajaran yang terlalu penting, padahal PAK juga bertanggung jawab terhadaap
kehidupan spiritual mereka.Prakteknya banyak siswa yang meremehkan pelajaran ini
dan cenderung bersikap apatis.12
Karena pelajaran agama yang tidak lagi dianggap
penting oleh sistem karena tidak diujikan dalam ujian nasional. Menurut Dicky
Mansula salah satu guru agama pada SMP dan SMA Kristen Satya Wacana adapun
kendala yang ia dapatkan dalam pembelajaran karena “mayoritas siswa beragama
Kristen sehingga tidak dapat keluar jalur dalam penyampaian materi”13
. Hal ini
menyebabkan penyampaian materi sebagian besar berdasarkan pemahaman agama
Kristen itu sendiri. Pendidikan agama yang hanya dengan penekanan pada satu agama
yang dianut hingga pendidikan selesai, ditambah lagi bahwa agama itu sifatnya adalah
'diturunkan' membuat orang tidak tahu mengenai agama lain dan akan selalu
memandang bahwa agama yang dianutnyalah lah yang paling baik.
Jenis sekolah Kristen yang tidak memberikan Pendidikan Agama lain selain
agama Kristen bagi siswa yang beragama lain dikategorikan sebagai sekolah non
Konfessional, sekolah yang tidak menerima masuknya ideologi baru dari luar
kepentingannya. Pengelolaan sekolah didasarkan pada tatanan ideologi yang telah
diyakini kebenarannya dan dijadikan rujukan dalam setiap tindakan. Sekolah tipe ini
12
Paul D. Prasetya(guru pendidikan Agama, SMA Kristen Satya Wacana, Salatiga) wawancara, senin
23 September 2013 13
Dicky S. Mansula (guru pendidikan Agama, SMA Kristen Satya Wacana, Salatiga) wawancara, senin
23 September 2013
secara praktis tidak memberikan Pendidikan Agama lain secara terbuka dalam bentuk
mata pelajaran serta tidak memberi ruang dan waktu yang proporsional bagi siswa
Bergama lain untuk menjalankan ajaran agama di lingkungan sekolah yang menganut
ideologi khusus.
Tarik menarik misi ideologi dengan misi sosiologi terjadi di SMA Kristen
Satya Wacana Salatiga.Eksistensi ideologi Kristen menjadi bahan pertimbangan
utama dalam pengambilan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, sekolah ini tetap
memberikan pengetahuan kristen bagi seluruh siswanya, termasuk siswa yang
minoritas beragama Islam dan budha dalam bentuk mata pelajaran. Misi ideologi di
sekolah ini masih cukup kental.Sekolah masih diposisikan sebagai salah satu media
dakwah untuk mempertahankan ideologi tertentu.Dalam konsepsi ideologi, sekolah
ini masuk kategori sekolah non Konfessional.
Setiap kasus dalam setiap kancah penelitian memiliki karakteristik tersendiri,
terutama dalam memposisikan ideologi yang diyakini sebagai kebenaran
transedental.Di SMA Kristen Satya Wacana masih memposisikan ideologi berbasis
agama dalam pengelolaan lembaga pendidikan.
4. Alternatif: Pendidikan Religiositas
Sekolah swasta tampaknya memiliki peluang lebih luas untuk mengadakan
eksperimentasi guna mendapatkan model pendidikan alternatif karena pengawasan
yang lebih minim dibanding dengan sekolah-sekolah negeri.Sebagaimana diketahui,
dalam lembaga-lembaga pendidikan negeri, termasuk sekolah-sekolah, mendapat
pengawasan yang lebih ketat dari Departemen yang bersangkutan untuk
melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.
Eksperimentasi di bidang pendidikan menjadi salah satu bentuk tawaran
masyarakat dalam menanggapi tantangan kehidupan masyarakat yang plural,
terlebihnya Pendidikan Agama dalam lingkup sekolah-sekolah swasta yang
berlebelkan agama serta memiliki murid dari beranekaragam agama. Pendidikan
agama yang dibutuhkan dalam masyarakat multikultur adalah pendidikan agama yang
senantiasa menghadirkan kehidupan yang penuh keragaman, baik latar belakang
manusia maupun keragaman sudut pandang. Untuk itu pelajaran agama sebaiknya
berbasis pengalaman akan memecah kebekuan ajaran agama yang tertutup dan tidak
melihat realitas secara hitam putih. Di sekolah yang melakukan pemisahan siswa
bedaagama pada jam pelajaran agama perlu ada antisipasi agar pemisahan tidak
berpengaruh buruk pada rasa aman dan nyaman dengan penganut agama yang
berbeda. Hilangnya rasa aman dan nyaman akan merusak saling percaya antar
anggota masyarakat yang mana saling percaya ini merupakan modal sosial yang
dibutuhkan dalam kehidupan bersama yang adil dan beradab.
Pendidikan agama berbasis pengalaman meniscayakan perubahan paradigma
dalam melihat relasi guru-peserta didik maupun dalam melihat sumber belajar serta
proses pembelajaran. Pengalaman hanya mungkin menjadi sumber belajar ketika guru
dan murid merasa setara, masing-masing merasa mempunyai kelebihan dan
kekurangan untuk mengkaji bersama dengan berbagai sudut pandang.14
Dalam menilai
keberhasilan atau kegagalan belajar, pendidikan agama membutuhkan model evaluasi
yang tidak menggunakan angka, tetapi harus didasarkan pada praktek hidup yang
partisipatif dan bertanggungjawab pada diri sendiri dan lingkungan.Penilaian bukan
dengan angka tetapi narasi yang menunjuk pada kualitas.
Namun demikian tidak bisa mengecilkan arti peran penting yang dilakukan
oleh Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang menjadi inspirator
eksperimentasi dan eksplorasi yang (bahkan) mempengaruhi praktik pembelajaran di
bidang lain. Karya inspiratif Komisi Pendidikan KAS juga sudah mulai dilaksanakan
di sekolah-sekolah di bawah yayasan-yayasan Katolik di wilayah KAS, karena itu
pada bagian awal akan saya urai Pendidikan Religiositas di sekolah-sekolah Katolik
di lingkungan KAS.
Pendidikan Religiositas merupakan salah satu bentuk komunikasi iman, baik
antar peserta didik yang seagama dan sekepercayaan maupun siswa yang berbeda
agama dan kepercayaan.Hal ini akan membantu peserta didik menjadi manusia yang
religius, bermoral, terbuka, dan mampu menjadi pelaku perubahan social demi
terwujudnya masyarakat yang sejahtera lahir dari batin, berdasarkan nilai-nilai
universal seperti kasih, kerukunan, kedamaian, kejujuran, perngorbanan, kepedulian
dan persaudaraan.15
Ide awal munculnya Pendidikan Religiositas, dikemukakan oleh Romo
Mangunwijaya sekitar tahun 1982.Ia memunculkan ide yang menggelitik dunia
pendidikan dalam, rangka mencerdaskan anak bangsa. Menurutnya pendidikan jangan
hanya menciptakan anak yang pandai secara intelektual karena proses penularan
14
Institut DIAN/interfidei: Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur,
melalui:http://interfidei.or.id/index.php?page=article&id=1 (diunggah pada tanggal 12 Januari 2013) 15
Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung
Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 9
(transfer) ilmu semata, tetapi lebih mengarah pada upaya untuk
menumbuhkembangkan sikap dan semangat religius yang terbuka(inklusif) bagi anak
didik. Hal ini diuraikan dalam bukunya yang berjudul ‘menumbuhkan sikap religious
anak-anak’.16
Kedua sisi upaya pencerdasan anak-anak bangsa, yaitu pengembangan
intelektual serta sikap dan semangat religious tidak dapat dipisahkan.Keduanya
berkembang dan bertumbuh bersama-sama agar terjadi keseimbangan hidup dalam
diri anak, meski tanpa menutup kemungkinan bahwa pendidikan iman atau
penumbuhan sikap dan semngat religius dalam diri dan hidup anak didik menjadi
lebih utama.
Pengertian Pendidikan Religiositasmenurut Komisi Pendidikan Agung
Semarang adalah komunikasi iman antarsiswa yang seagama maupun berlainan
agama mengenai pengalaman hidup mereka yang digali/diungkapkan maknanya,
sehingga mereka terbantu untuk menjadi manusia utuh (religius, bermoral, terbuka)
dan diharapkan mampu menjadi pelaku perubahan sosial, demi terwujudnya
kesejahteraan bersama lahir dan batin.
Adapun fungsi Pendidikan Religiositas adalah, pertama, mewujudkan tujuan
Pendidikan Nasional dengan mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa yang di
semangati oleh persaudaraan sejati. Kedua, mendukung agama-agama dan
kepercayaan dalam mengemban tugas untuk mewartakan Firman Tuhan dan
mewujudkan dalam hidup bernegara dan memasyarakatan.Ketiga,mendukung
keluarga-keluargadalam mengembangkan sikap religiositas peserta didik yang sudah
mereka miliki dari keluarga masing-masing, agar semakin menjadi manusia yang
religious, bermoral, dan terbuka.Keempat, mendukung peserta didik dalam
membangun komunitas manusiawi dinamis melalui kegiatan komunikasi pengalaman
iman.17
Sedangkan tujuan Pendidikan Religiositas di sekolah adalah: pertama,
menumbuh kembangan sikap batin peserta didik agar mampu melihat kebaikan Tuhan
dalam diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya sehingga memiliki kepedulian
dalam hidup bermasyarakat. Kedua,membantu peserta didik menemukan dan
mewujudkan nilai-nilai universal yang diperjuangkan semua agama dan kepercayaan.
Ketiga, menumbuhkembangkan kerja sama lintas agama dan kepercayaan dengan
16
Heribertus Joko Warmanto dkk, Pendidikan Religiositas, (jokjakarta: Kanisius, 2009),hal 13-14 17
Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung
Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 9
semangat persaudaraan sejati.18
Pendidikan Religiositas sendiri mempergunakan Pendekatan Pedagogi
Refleksi (PPR) yaitu Pola pembelajaran yang mengintegrasikan pemahaman masalah
dunia, kehidupan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses yang
terpadu, sehingga nilai – nilai itu muncul dari kesadaran dan kehendak peserta didik
melalui refleksinya”.19
Refleksi siswa menjadi muara yang penting untuk kompetensi
dan evaluasi belajar.Melalui PPR siswa berupaya memberikan refleksinya dalam
penerapan model pendekatan apapun, baik tertulis, dalam bentuk berbagi pengalaman,
pengolahan pengalaman langsung dengan keterlibatan, pendekatan ekspresi
pengungkapan refleksi melalui seni, dan masih banyak hal yang dapat
dimungkinkan.20
Refleksi meliputi tiga unsur utama, sebagai satu kesatuan di dalam proses
pembelajarannya, yaitu: pengalaman, refleksi dan aksi, yang dimaksud dengan
pengalaman ialah setiap kegiatan yang bercirikan adanya pemahaman kognitif dari
bahan yang disimak dan juga perlibatan dimensi afektif pembelajaran. Di sini,
pengalaman bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pengalaman langsung dan tidak
langsung. Termasuk pengalaman langsung dalam situasi pembelajaran, biasanya
berupa: diskusi, penelitian, kegiatan lapang, aksi sosial, home stay, karya wisata, dlsb.
Termasuk pengalaman tidak langsung dalam situasi pembelajaran adalah upaya
memperoleh informasi mengenai sebuah peristiwa melalui kegiatan membaca,
mendengarkan atau menyimak gambar. Yang dimaksud Refleksi di sini dipahami
dalam pengertian khas, yaitu suatu upaya menyimak dengan penuh perhatian terhadap
bahan studi tertentu, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan untuk
mengerti pentingnya pemahaman mendalam sampai pada makna dan
konsekuensinya.Istilah aksi di sini merujuk pada pertumbuhan sikap batin dan
tindakan yang ditampilkan pebelajar berdasarkan pengalaman yang telah
direfleksikan.
Adapun point-point atau rambu-rambu yang perlu diperhatikan berdasarkan
Pendekaatn PPR yakni:21
a. Siswa
18
Ibid., hal 10 19
Bimas Katolik Jawa Timur, PPR : Paradigma Pedagogi Reflektif. Melalui
http://www.bimaskatoloikjatim.com/new2.php?op=150diunggah pada tanggal 12 Januari 2013 20
Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung
Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 6 21
Ibid., hal 12
Siswa sebagai subjek dalam proses pembelajaran, perlu:
1. Memperlajari dan mendalami ajaran agama dan kepercayan sendiri.
2. Memiliki sikap terbuka (menerima, menghargai, menghormati perbedaan
agama dan kepercayaan lain).
3. Aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran:
· Berani mengungkapkan pengalaman hidup dan ajaran agama dan
kepercayaannya.
· Berani mengeksperiskan bakat yang dimiliki dalam proses
pembelajaran.
4. Merefleksikan dan memaknai pengalaman hidup dan imannya.
5. Mewujudkan hasil refleksi dalam perbuatan nyata.
b. Guru
Dalam meperjuangkan siswa agar mampu:
1. Mengukapkan kebaikan Tuhan dan nilai-nilai universal dalam diri
sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya.
2. Menganggapi kebaikan Tuhan dan nilai-nilai universal dalam hidup
sehari-hari.
3. Bekerja sama lintas agama dan kepercayaan dengan semangat
persaudaraan sejati sebagai habitusbaru.
4. Membiasakan diri berefleksi atas pengalaman hidupnya, maka
diperlukan:
1) Guru yang berperan sebagai fasilitator dan pendamping.
2) Guru yang mempunyai sikap demokratis dan partisipatif.
3) Guru yang mempunyai semangat kreatif, terbuka dan mau belajar
pada hal-hal yang baru.
4) Guru yang mampu merefleksikan dan memaknai pengalaman
hidup dan imannya.
5) Guru yang mampu mengamati perkembangan pribadi siswa,
bersama dengan pihak lain yang terkait, sebagai hasil pembelajaran
melalui perilakunya yang bebas dan spontan (lihat 4 kemampuan di
atas)
c. Metode
Dalam proses pembelajaran perlu diperhatikan metode yang bersifat:
1. Variatif, dinamis (kreatif), partisipatif
2. Menyenangkan
3. Eksploratif: mencari, mengembangkan, memperkaya informasi terus-
menerus.
d. Sarana
1. Mengoptimalkan sarana sesuai situasi dan menjunjung proses
pembelajaran, misalnya buku, Koran, majalah atau barang cetakan lain,
kaset audio visual, program televisi, slide, lingkungan
2. Menciptakan sarana sesuai kebutuhan dan menunjang proses
pembelajaran, misalnya membuat lagu, syair, puisi, gambar, poster,
karikatur, slogan.
e. Waktu
1. Disesuaikan kebutuhan, jangan terpaku pada alokasi waktu yang
disediakan karena yang dipentingkan bukan selesainya materi tetapi
proses.
2. Terbuka kemungkinan untuk pengabungan materi dalam satu
kesempatan tertentu.
3. Materi dapat disesuaikan dengan waktu yang relevan dangan peristiwa
keagamaan dan kepercayaan.
f. Sumber bahan
1. Buku pegangan
2. Sumber bahan yang mendukung (buku-buku referensi, berita, artikel
Koran/majalah, gambar, informasi internet)
3. Sumber bahan yang berkaitan dengan ajaran agama/kepercayaan tertentu
hendaknya berasal dari narasumber yang bisa dipertangungjawabkan.
g. Sumber belajar
1. Siswa
2. Guru
3. Masyarakat
4. Lingkungan
5. Perpustakaan.
Proses pembelajaran yang ditawarkan berdasarkan PPR:22
a. Pembukaan :
Pengantar
Berisikan apersepsi dan proses untuk mengantar tema bahasan yang akan
diolah di dalam pembelajaran yang dilakukan.
Doa pembukaan
Dapat dibuka oleh siswa atau guru/pendamping yang bersifat universal
atau doa masing-masing tradisi religi para siswa.
b. Pengkapan pengalaman :
Narasi-Kisah
Berupa cerita cerita rakyat atau cerita kehidupan, yang sesuai dengan
bahan bahasan, yang berfungsi sebagai titik tolak untuk memasuki
pengalaman siswa, kemudian narasi dapat berupa pengalaman atau
gagasan-gagasan atau peristiwa-peristiwa yang dialami siswa
sendiri.Narasi kisah merupakan media awal refleksi, maka dapat bersifat
mempergunakan berbagai media, film, artikel, komik, gambar sebagai
sarana untuk memperdalam refleksi pengalaman.
Pendalaman narasi
Narasi yang disajikan dapat dicoba di aspresiasi bersama atau didalami
melelui interpetasi dan pemahaman lanjut untuk menemukan suatu nilai.
c. Refleksi atas pengalaman :
Berdasarkan media dan pengungkapan pengalaman, siswa diajak untuk
menemukan nilai-nilai atas pengalaman tersebut.Nilai-nilai ini
menyangkut refleksi kritis atas pengalaman yang ada dan sampai kepada
nilai-nilai kemanusiaan yang universal.
d. Pengembangan Refleksi Religiositas :
Setelah siswa menemukan berbagai nilai dalam refleksinya, maka siswa
diajak untuk mendialogkan nilai refleksi dengan nilai transendennitas
dan orientasi visi tradisi religi (ajaran agama) yang melatar belakangi
masing-masing siswa. Siswa saling mengkomunikasikan dan saling
berdialog inter-subyektif tentang kekayaan pandangan tradisi religi
(ajaran agama), mengenai masalah-masalah yang diangkat dalam pokok
22
Penulis mengevaluasi cara pembelajaran Pedidikan Religositas melalui buku Komisi Kateketik
Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang, Silabus
Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005)
bahasan.
e. Peneguhan dan Rangkuman :
Refleksi yang telah ditemukan di dalam nilai-nilai kemanusiaan dan
orientasi religious oleh siswa dapat dirangkum dan diplenokan untuk
sampai kepada upaya peneguhan.
f. Pra aksi dan Aksi :
Merupakan sebuah aktivitas kongkret yang dapat menjadi muara
peneguhan dan upaya internalisasi nialai atas refleksi bersama.
Pra aksi
Merupakan aktivitas di dalam pertemuan yang dapat menjadi bagian dari
siswa dalam upaya mengekpresikan refleksi yang
ditemukan.Pengukapam refleksi dalam hal ini adalah upaya representasi
antara hasil refleksi dengan symbol atau lambing yang menjadi bagian
dari nilai-nilai yang ditemukan. Ekspresi lambang atau simbol atas nilai
dapat dieksperikan di dalam ekpresi berkesenian sebagai berikut:
a) Dinamika kelompok, yaitu pengembangan kelompok dengan permainan-
permainan dan interaksi.
b) Ekspresi gerak, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran melalui
gerak dengan dasar gerak tubuh, seperti gerak tari rakyat, gerak indah,
gerak improvisasi dan semacamnya.
c) Ekspresi lagu dan irama, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran
melalui improvisasi komposisi irama, dapat berdifat bunyi-bunyian
perkusi, maupun alat music lainnya.
d) Ekspresi visual, yaitu ekspersi ide-ide, perasaan, dan pemikiran melalui
bahan-bahan visual, seperti membuat gambar atau lukisan, membuat set
dekorasi, college atau membuat estalase pamer, dan lain sebagainya.
e) Ekspresi tulis, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran kedalam
bentuk penulisan puisi, cerpen, diary, surat, artikel dan lain sebagainya.
Aksi
Merupakan aktivitas kelompok atau pribadi yang mempunyai dampak
social secara kongkret. Aksi dirumuskan sebagai bagian dari upaya
untuk tindakan lanjut refleksi secara nyata, di luar proses pembelajaran
di ruang kelas.
g. Evaluasi
Evaluasi merupakan muara pertangung jawaban sejauh mana proses
pembelajaran ini berhasil dan mengena pada siswa. Evaluasi tidak harus
dipandang dengan evaluasi yang sifatnya kuantitatif atau perumusan
angka, melainkan juga dilihat sebagai evaluasi yang bersifat kualitatif.
Dalam hal ini evaluasi menjadi bagian untuk memtakan sejauh mana
refleksi tersebut semakin berkembang, sebagai proses yang harus
disadari dan diinternalisasi oleh siswa. Maka evaluasi tidak sekedar
bersifat mengukur aspek kognitif semata, melainkan juga mendaptasi
upaya pengungkapan refleksi sebagai bagian dari evaluasi.
h. Penutup
Akhir dari proses pembelajaran, bersifat memperteguh proses, atau
meperkembangkan pertemuan untuk pertemuan yang belum dapat
diproses selama jam pertemuan.
Doa penutup
Dapat bersifat doa umum atau doa dari kebergaman tradisi religi.
Penilaian pendidikan Religiositas dimaksudkan untu k mengukur pencapaian
indicator hasil belajar. Selain penilaian tertulis, dapat juga emnggunakan model
penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan
(project), produk (product), atau portofolio (portofolio). Penilaian tersebut harus
memperhatikan tiga aspek penting, yaitu aspek kognitif, afeksi, psiko motorik.
5. Manfaat dan hal positif dari Pendidikan Religiositas sebagai alternativ PAK
Terminologi pendidikan agama yang digunakan dalam penulisan ini
mengandung pengertian segenap proses yang menuntun segala kekuatan kodrati yang
ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat
dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, dengan berdasar
pada nilai-nilai dan norma yang diajarkan dalam agama-agama tentang kehidupan
manusia kini dan akan datang.
Pluralisme menjadi suatu perspektif penting dalam penulisan ini. Dalam
melihat kemajemukan agama dalam masyarakat, cara pandang yang digunakan dalam
penulisan ini adalah dengan menempatkan agama-agama sebagai sejajar satu dengan
yang lain, tidak ada yang superior atas yang lain.
Mengkaji masalah pendidikan agama dalam masyarakat multikultur, hal yang
penting dilakukan adalah melihat masalah dari beragam sudut pandang.Satu sisi tidak
bisa diabaikan adanya kelompok masyarakat yang senantiasa membutuhkan pegangan
dalam ketidakpastian hidup yang mereka andaikan bisa terjawab oleh agama.
Pengajaran agama oleh kelompok masyakat ini diyakini sebagai cara yang penting
untuk membekali generasi muda dengan model hidup yang aman berdasarkan ajaran
agama yang dianggap benar secara absolut.
Di sisi lain wacana keagamaan yang direproduksi dalam ruang-ruang kelas
bagi generasi muda-peserta didik seringkali dirasa membosankan, karena hanya berisi
hal-hal yang sudah tertentu dan pasti yang kadang harus dihafal, tetapi tidak
menyentuh kegelisahan mereka sehari-hari. Wacana keagamaan yang mengandung
pengandaian bahwa masyarakat adalah monokultur juga menghasilkan sikap yang
gamang, ambigu bahkan tidak toleran dalam menghadapi perbedaan.
Persoalan ideologi dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di sekolah-
sekolah berlebelkan agama yang memiliki siswa yang berlatarbelakang agama yang
berbeda menjadi temuan menarik dalam penulisan ini. Ada sekolah Kristen yang tetap
mempertahankan eksistensi ideologi dalam pengelolaan pendidikan, namun ada juga
sekolah Kristen yang memposisikan ideologi di tengah kebijakan pemerintah dalam
Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang menyatakan
bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan
agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Tentu saja hal
ini problematic selain tak sesuai dengan jiwa dan semangat UU Sisdiknas 2013.
Dalam kacamata multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk
mengikuti salah satu dari lima macam pendidikan agama, bagi para penganut agama
dan kepecayaan di luar agama resmi adalah memutus generasi penerus penganut
agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari pendidikan agama yang dibatasi
berdasarkan agama yang dianggap resmi oleh pemerintah ini terasa setelah beberapa
generasi.
Seperti halnya sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius yang
berpusat di Semarang, sejak empat tahun terakhir mengenalkan Pendidikan
Religiositas sebagai pengganti Pendidikan Agama.Sejak saat itu pula di Yayasan
Kanisius tidak ada lagi pendidikan agama (Katolik) pada umumnya.Para siswa
kemudian dibekali pendidikan iman alternatif yang akrab disebut Pendidikan
Religiositas. Lantas apa perbedaan dan kesamaan kedua pembelajaran itu?
Namun, ada satu perbedaan prinsip yang membedakan kedua pembelajaran
itu, yakni pendidikan agama yang dikenal sehari-hari hanya berkutat pada dogma dan
nilai-nilai kebenaran agama itu sendiri, sementara Pendidikan Religiositas bicara lebih
luas, ingin merangkum kesamaan nilai-nilai universal setiap agama. Prinsip yang
dipakai: cintailah Tuhanmu sesuai agamamu.
Pada prinsipnya, baik Pendidikan Agama pada umumnya maupun Pendidikan
Religiositas sama saja. Kedua pembelajaran itu bertujuan meningkatkan iman dan
takwa bagi siswa yang mempelajarinya. Sementara disisi lain Pendidikan Religiositas
merupakan suatu pendidikan yang mengajak subyek didik sampai kepada sikap batin
yang mendalam mengenai Tuhan dan keterkaitannya tentang kehidupan. Pendidikan
Religiositas merupakan pendidikan yang bermaksud mengkontruksi aspek belajar
subyek didik untuk sampai kepada nilai-nilai universal kehidupan.Pendidikan
Religiositas menjadi media bagi pengembangan pendidikan nilai yang lebih progresif.
Dalam Pendidikan Religiositas ini, subyek didik diajak sampai kepada proses
eksplorasi yang signifikan dengan pola-pola yang bersifat tidak terbatas pada ruang
lingkup ruang kelas, melainkan dimungkinkan sampai pengalaman subyek didik
untuk mengenal hidupnya yang dengan sosio religius dan sosio kultural yang konkret
dan nyata
Dengan adanya Pendidikan Religiositas yang merupakan salah satu bentuk
komunikasi iman, baik antarsiswa yang seagama maupun siswa yang berbeda
agama dan kepercayaan agar membantu siswa menjadi manusia yang religius,
bermoral, terbuka, dan mampu menjadi pelaku perubahan sosial demi terwujudnya
masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, berdasarkan nilai-nilai universal misalnya
kasih, kerukunan, kedamaian, keadilan, kejujuran, pengorbanan, kepedulian, dan
persaudaraan.23
Mangunwijaya mengemukakan pendapatnya bahwa agama dan Religiositas
merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya tidak dipisahkan karena saling
melengkapi dan saling mendukung.Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan,
kebaktian kepada Tuhan atau dunia atas dalam aspeknya resmi, yuridis, peraturan-
peraturan dan sebagainya yang meliputi segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan
religiositas lebih melihat aspek-aspek yang ada dalam lubuk hati, sikap personal yang
sedikit lebih banyak misteri bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa yakni
23
Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung
Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 8
cita rasa yang mencakup totalitas kedalam pribadi manusia.24
Pendidikan religiositas menjadi salah satu opsi dalam praktek pendidikan
agama di sekolah berafiliasi agama.Guru agama tidak bisa bersikap eksklusif dan
menutup mata atas perbedaan agama para siswa. Bagi saya diskusi terbuka mengenai
nilai-nilai keagamaan dengan menarik satu benang merah dan tidak justru saling
menjatuhkan juga menjadi satu jenis pekabaran Injil, serta membuktikan bahwa
Kekristenan tidak sekedar dogma tetapi melalui teladan Yesus, Kekristenan sangat
terbuka terhadap hidup dalam perbedaan.
Bagaimanapun, manusia hidup di dunia ini karena berkat dan rahmat Tuhan
yang sama. Tidak boleh satu agama pun mengklaim diri sebagai pihak yang paling
benar.Pendidikan Religiositas mengajarkan kesamaan pandangan antar-agama.Inilah
mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada
pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama.Hal ini dikarena
Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok
kehidupan, dari segala macam agama.
Melalui materi-materi dalam pendidikan religiositas, siswa-siswi diajak untuk
melihat dan belajar bagaimana setiap agama atau kepercayaan memaknai
kehidupan.Agama atau kepercayaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi sungguh
masuk dalam hidup mereka.Dengan mengenal teman-teman lain yang berbeda agama
atau kepercayaan, mereka diajak untuk semakin dapat menerima kenyataan hidup
agama atau kepercayaan yang plural-majemuk.Dengan demikian, mereka dapat saling
memberi dan menerima kekayaan hidup beragama atau bekepercayaan masing-
masing secara utuh.Akhirnya, mereka dapat melihat dan menemukan kebaikan Tuhan
di dalam dirinya sendiri, dalam diri sesama dan dalam lingkungan hidupnya.
Belajar agama atau kepercayaan dalam pendidikan religiositas bukan sekedar
mencari nilai raport, tetapi lebih pada mengangkat dan merefleksikan pengalaman
hidup beragama atau berkepercayaan siswa-siswi yang sedang bertumbuh kembang.
Nilai-nilai dan semangat yang sejati dalam hidup beragama atau bekepercayaan
akandikaji, direfleksi dan diolah bersama. Keagamaan atau kepercayaan seseorang
tidak cukup diungkap dengan mengikuti upacara ritual keagamaan atau
kepercayaannya saja. Dimensi hati atau batin, yang menyadari relasinya dengan
Tuhan, inilah yang akan menjadi bahan pengolahan dan refleksi oleh semua orang
24
Y.B. Mangunwijaya. Menumbuhkan Sikap Religiusitas anak-anak.(Jakarta: PT Gramedia Pustaka
Utama, 1991),hal 4
beriman, khususnya siswa-siswi sekolah menengah.
Melalui pendidikan religiositas para siswa dapat mendalami suatu topik dari
perspektif agamanya sendiri-sendiri dan dengan demikian para siswa yang berbeda
agama dapat juga belajar perspektif agama lain, dan mengambil apa yang dapat
memperkaya imannya sendiri, dan belajar menghargai perbedaan sehingga tercipta
hubungan yang harmonis antar siswa dengan latar belakang agama yang berbeda
sementara mereka tetap memperdalam iman dan identitasnya sendiri. Tentu saja hal
ini tak cukup, akan tetapi Pendidikan Agama Kristen tetap diberikan kepada mereka
yang memeluk agama Kristen pada jam tambahan secara terpisah.
Bagaimanapun, manusia hidup di dunia ini karena berkat dan rahmat Tuhan
yang sama. Tidak boleh satu agama pun mengklaim diri sebagai pihak yang paling
benar.Pendidikan Religiositas mengajarkan kesamaan pandangan antar-agama.Inilah
mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada
pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama.Hal ini karena
Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok
kehidupan, dari segala macam agama.Ada memang beberapa sekolah menengah
pertama dan sekolah menengah atas yang sudah menerapkan Pendidikan Religiositas
dalam kurikulumnya.
6. Kesimpulan dan Saran
Pembagian peran antara negara dan institusi yang ada dalam masyarakat,
khususnya dalam masalah pendidikan agama adalah sesuatu yang sangat penting bagi
dinamika kehidupan yang demokratis, untuk kepentingan keadilan masyarakat yang
majemuk.Institusi-institusi keagamaan yang ada di Indonesia sangat berpotensi dan
layak bertindak sebagai pemegang otoritas dan pelaksana pendidikan agama untuk
tiap jenjang pendidikan.
Adanya relevansi yang erat antara kemampuan sekolah untuk
mengimplementasikan pendidikan agama dengan penerapan UU SISDIKNAS Tahun
2003. Potensi yang besar yang dimiliki oleh sekolah-sekolah yang di bawah naungan
Yayasan Kanisius dapat menyikapi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam
Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 12(a) yang membingkai pelajaran agama
secara umum berupa pelajaran Religiositas, pelajaran yang membahas tentang
pentingnya menjalankan ajaran agama secara umum.
Dinamika aktivitas keberagamaan siswa di sekolah-sekolah berlebel agama
dipengaruhi oleh besar kecilnya pengaruh ideologi dan seberapa kuat pengaruh
yayasan dalam menjadikan sekolah sebagai media penyampaian misi.Hal tersebut
merupakan modal yang sangat besar dalam mengimplementasian Pendidikan Agama
dalam UU SISDIKNAS Tahun 2003.Sedangkan problem dan hambatan dibagi menjadi
dua bagian yaitu problem internal, yaitu problem guru dalam pengajaran yaitu tingkat
pemahaman siswa yang berbeda.Kemudian bagian kedua adalah problem eksternal yaitu
problem orang tua, lingkungan masyarakat dan dampak negatif modernisasi dan
globalisasi. Adanya teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan
orang lain dalam beraktivitasnya. Sedangkan problem orang tua yaitu sibuknya orang tua
dengan pekerjaannya sehingga kurang dapat mengontrol anak-anaknya.
Alasan mendasar perlunya pendidikan agama sepenuhnya dilakukan oleh
institusi keagamaan adalah bahwa institusi keagamaan bisa lebih memahami
kebutuhan para siswa dalam bermasyarakat, karena institusi keagamaan lebih fokus
memperhatikan kehidupan beragama dan bermasyarakat sehari-hari, dan lebih
terbebas dari kepentingan birokrasi dan politis.
Keterbukaan institusi keagamaan terhadap upaya perbaikan hubungan dengan
institusi agama lain juga diperlukan untuk mengevaluasi langkah-langkah yang
dilakukannya dalam upaya memformulasi hubungan agama dan negara. Keterbukan
pada berbagai evaluasi ini juga penting agar lebih institusi agama tidak mudah terseret
dalam aktifitas perebutan politik kekuasaan dan berkonsentrasi pada pembangunan
moral untuk kepentingan masyarakat luas.
Praktek pendidikan agama akan menyisakan ganjalan dalam hidup bersama
bermasyarakat ketika pergulatan ideologi yang dimulai dari wacana keagamaan
berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara belum tuntas. Tarik-menarik
yang terlalu kuat antara ideologisasi agama dan nasionalisme, akan membuat
pendidikan agama di sekolah menjadi ruang perdebatan dan perebutan wacana. Untuk
mencapai kematangan dalam dinamika perkembangan wacana keagamaan, penting
sekali para elit agama mengambil jarak secara proporsional dari kepentingan
kekuasaan untuk lebih berkonsentrasi mengembangkan pemikiran keagamaan yang
menjawab tantangan kehidupan bermasyarakat.
Pada level praktek pendidikan agama, faktor penting yang perlu untuk
dicermati adalah adanya kebutuhan siswa yang sering kali tidak terjawab oleh materi-
materi yang disiapkan oleh kurikulum yang disusun oleh pusat kekuasaan (negara
melalui departemen pendidikan). Metode yang menggurui dan menggagap rendah
kemampuan siswa juga sangat kontraproduktif dengan keberhasilan belajar.
Kebosanan dan rasa tidak senang baik karena materinya, metode atau kepercayaan
yang rendah termasuk dengan cara memisahkan para siswa yang berbeda agama,
seolah pelajaran suatu agama menjadi rahasia bagi siswa beragama lain perlu ditinjau
kembali.
Pembaharuan di bidang pendidikan agama, juga penting mempertimbangkan
pengurangan beban-beban struktural pendidikan yang terpusat di Jakarta. Dalam hal
pendidikan, yang membutuhkan pembaharuan strategi terus-menerus mengingat
peserta didik adalah manusia yang sangat dinamis dan unik, dan mustahil untuk
didekati dengan cara mengeneralisir konteks dan kebutuhanpara siswanya. Karena itu
sesungguhnya Kurikulum berbasis Kompetensi diandaikan lebih mengakomodir
kebutuhan siswa, minus Ujian Nasional.Menjembatani hal ini penting untuk
dikuatkan gagasan tentang otonomi sekolah dalam rangka lebih mengakomodir
kebutuhan siswa.
Dari penulisan ini penulis dapat memberikan saran kepada Kementerian
Pendidikan dan Kebudayaanuntuk menerapkan UU SISDIKNAS Tahun 2003 di setiap
lembaga pendidikan perlu ada petunjuk pelaksanaan yang jelas dan juga menyelesaikan
setiap problem yang dihadapi setiap sekolah untuk mengimplementasikan pendidikan
agama dalam UU SISDIKNAS Tahun 2003. Pendidikan Agama dapat disandingkan
dengan agama lain yang ada di sekolah yang menjadi ciri ideologi sekolah, siswa
diberi pemahaman tentang perbedaan agama dan sistem nilai. Siswa diajak untuk
membuka diri dengan memahami ajaran agama lain agar bisa menghargai kebenaran
agama siswa yang lain. Pemberian hak siswa untuk mendapatkan pendidikan agama
sesuai agama yang dianut dan diajarkan oleh guru yang seagama diharapkan dapat
meningkatkan sikap keberagamaan siswa.
7. Daftar Pustaka
Assegaf, Abd Rachman. 2004. Politik Pendidikan Nasional ,Yogyakarta: Kurnia
Kalam
Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan
Multikultural,Jakarta: Penerbit Erlangga
Boehlke, Robert. R. 2009. Sejarah perkembangan pemikiran dan praktek
Pendidikan AgamaKritsten: dari Yohanes Amos Comenius sampai
perkembangan PAK diIndonesia. Jakarta: Gunung Mulia
Cully, Iris V. 1985. Dinamika Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia
Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang
Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan
nasinal. Jakarta: Sekretariat Negara
Dister, Nico Syukur Ofm. 1988. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Jakarta:
Kanisius
Fadjar,Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta:PT Raja Grafindo
Heribertus, Joko Warmanto. Dkk. 2009.Pendidikan Religiositas. Yogyakarta:
Kanisius
Lucy, Bunda. 2009. Mendidik sesuai dengan minta dan bakat anak. Jakarta:
Tangga Pustaka
Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas.Yogyakarta: Kanisus
Mangunwijaya, Y.B. 1991.Menumbuhkan Sikap Religiusitas anak-anak.Jakarta:
PT Gramedia Pustaka Utama
Nuhamara, Daniel. 2007. Pembimbing Pendidikan Agama Kristen.Bandung:
Jurnal Info Media
Redaksi Kanisius. 2008. Paradigma Pedagogi Reflekstif. Yogyakarta: Kanisius
Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah.2009. Paradigma Pembangunan
Pendidikan Nasional.Bandung: Widya Aksara Press
Yamin, Moh. 2012. Sekolah yang Membebaskan. Malang: Madani
Yunus, Firdaus M. 2004. Prndidikan Berbasis Realitas Sosial.Yogyakarta:
Logung Pustaka
Mansula, Dicky S. 2013. “Pendidikan Religiositas Alternatif Pandidikan Agama
Kristen” (Wawancara) Salatiga, 23 September 2013
Prasetya, Paul D. 2013. “Pendidikan Religiositas Alternatif Pandidikan Agama
Kristen” (Wawancara) Salatiga, 23 September 2013
Bimas Katolik Jawa Timur, PPR : Paradigma Pedagogi
Reflektif.http://www.bimaskatoloikjatim.com/new2.php?op=150diungga
h pada tanggal 12 Januari 2013
Institut DIAN/interfidei: Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur
http://interfidei.or.id/index.php?page=article&id=1(diunggah pada
tanggal 12 Januari 2013)
Lastiko Runtuwene, Penulisan Karya Ilmiah ; 2013. Menerobos Implementasi
Pelajaran Agama Di Sekolah.
Dalamhttp://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=we
b&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsu
lut.kemenag.go.id%2Ffile%2Ffile%2FKatolik%2Ffnpc1365033142.pdf
&ei=3A2iU7a7HcGWuATBqoLQCg&usg=AFQjCNGr09XCa922Y0-
bHfqxhLexYM2qXA&sig2=8fpR2jvReqKM5KpIBDY4rw (Diunggah
21 july 2013)
Ringkasan Laporan, Penelitian Problematika Pendidikan Agama Penelitian Di
sekolah-sekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta, 2004-2006. Dalam
http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=
1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fe-
dokumen.kemenag.go.id%2Ffiles%2FtF8gZUp21284260139.pdf&ei=A
RyiU_abC5GJuAS66YHwCg&usg=AFQjCNGFUCVRhf6CnF8z3cdlUf
cOU0hL4Q&sig2=u3OIeUj6d6QiuAR9A9FeyA (diunggah 21 July
2013)
Suara Merdeka edisi minggu;Mendesak, Kurikulum Kemajemukan (Semarang;
minggu 12 Juni2005)
http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/12/kot10.htm (diunggah pada
tanggal 12 Januari 2013)