relevansi pendidikan religiositas sebagai alternatif...

26
1. Pendahuluan Masyarakat Indonesia yang majemuk memang memiliki potensi untuk munculnya konflik horizontal misalnya antar suku atau agama. Akan tetapi tidak dapat dipungkiri bahwa sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri, ia pasti membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, interaksi antar individu, terlebih hubungan antar lapisan masyarakat yang saling bertoleransi sangat dibutuhkan untuk menciptakan Indonesia yang damai dan jauh dari konflik yang bisa membuat Indonesia terpecah belah.Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencerdaskan masyarakat dan sekaligus mengembangkan karakter dari masyarakat Indonesia.Menurut Martinus Handokomantan Rektor Unika Soegijapranata, ''Perbedaan yang melekat pada setiap individu tidak bisa dihilangkan dan dihindari.Jika bangsa ini menginginkan tumbuhnya masyarakat yang demokratis satu- satunya caranya adalah pengembangan pendidikan yang majemuk di sekolah.'' 1 Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatannya pada simbol- simbol agama dan pada keyakinannya akan fungsi sosial agama dalam menjawab pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan memberi rasa aman oleh kepastian dalam membuat pemaknaan atas peristiwa-peristiwa kehidupan bagi pemeluknya secara eksklusif. Keunikan ini sangat kentara ketika selalu ada kelompok dalam masyarakat yang senantiasa memberikan posisi bagi agama dalam ruang publik yang seharusnya dikonstruksi menjamin keleluasaan yang terbuka bagi semua ekspresi dan pemaknaannya. Pendidikan agama yang masuk dalam ruang sekolah adalah salah satu contoh kuatnya agama dalam mengambil posisi dalam ruang publik masyarakat Indonesia. Secara umum pendidikan berarti suatu proses transformasi yang dilakukan seseorang atau masyarakat ke generasi berikutnya, serta dilaksanakan secara sengaja, teratur, terstruktur dan dapat diukur atau diketahui hasilnya. Generasi berikut mendapat pendidikan secara formal dan informal, sehingga mereka bertumbuh secara intelektual, pengalaman keagamaan, serta memiliki sikap hidup yang baik. Di Indonesia pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang diwajibkan di pendidikan dasar dan menengah, dan matakuliah wajib di Perguruan Tinggi. Hal ini telah diatur oleh dalam UU Sisdiknas 2003 (bahkan dalam peraturan pemerintah dan UU Sisdiknas sebelumnya), dimana kedudukan agama di sekolah semakin penting 1 Suara Merdeka edisi minggu;,Mendesak, Kurikulum Kemajemukan (Semarang; minggu 12 Juni2005) melalui : http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/12/kot10.htm diunggah pada tanggal 12 Januari 2013

Upload: trancong

Post on 03-Mar-2019

221 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

1. Pendahuluan

Masyarakat Indonesia yang majemuk memang memiliki potensi untuk

munculnya konflik horizontal misalnya antar suku atau agama. Akan tetapi tidak

dapat dipungkiri bahwa sebagai makhluk sosial manusia tidak bisa hidup sendiri, ia

pasti membutuhkan orang lain. Oleh karena itu, interaksi antar individu, terlebih

hubungan antar lapisan masyarakat yang saling bertoleransi sangat dibutuhkan untuk

menciptakan Indonesia yang damai dan jauh dari konflik yang bisa membuat

Indonesia terpecah belah.Pendidikan merupakan salah satu jalan untuk mencerdaskan

masyarakat dan sekaligus mengembangkan karakter dari masyarakat

Indonesia.Menurut Martinus Handokomantan Rektor Unika Soegijapranata,

''Perbedaan yang melekat pada setiap individu tidak bisa dihilangkan dan

dihindari.Jika bangsa ini menginginkan tumbuhnya masyarakat yang demokratis satu-

satunya caranya adalah pengembangan pendidikan yang majemuk di sekolah.''1

Salah satu keunikan masyarakat Indonesia adalah keterikatannya pada simbol-

simbol agama dan pada keyakinannya akan fungsi sosial agama dalam menjawab

pertanyaan-pertanyaan eksistensial dan memberi rasa aman oleh kepastian dalam

membuat pemaknaan atas peristiwa-peristiwa kehidupan bagi pemeluknya secara

eksklusif. Keunikan ini sangat kentara ketika selalu ada kelompok dalam masyarakat

yang senantiasa memberikan posisi bagi agama dalam ruang publik yang seharusnya

dikonstruksi menjamin keleluasaan yang terbuka bagi semua ekspresi dan

pemaknaannya. Pendidikan agama yang masuk dalam ruang sekolah adalah salah satu

contoh kuatnya agama dalam mengambil posisi dalam ruang publik masyarakat

Indonesia.

Secara umum pendidikan berarti suatu proses transformasi yang dilakukan

seseorang atau masyarakat ke generasi berikutnya, serta dilaksanakan secara sengaja,

teratur, terstruktur dan dapat diukur atau diketahui hasilnya. Generasi berikut

mendapat pendidikan secara formal dan informal, sehingga mereka bertumbuh secara

intelektual, pengalaman keagamaan, serta memiliki sikap hidup yang baik.

Di Indonesia pendidikan agama merupakan mata pelajaran yang diwajibkan di

pendidikan dasar dan menengah, dan matakuliah wajib di Perguruan Tinggi. Hal ini

telah diatur oleh dalam UU Sisdiknas 2003 (bahkan dalam peraturan pemerintah dan

UU Sisdiknas sebelumnya), dimana kedudukan agama di sekolah semakin penting

1Suara Merdeka edisi minggu;,Mendesak, Kurikulum Kemajemukan (Semarang; minggu 12 Juni2005)

melalui : http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/12/kot10.htm diunggah pada tanggal 12 Januari

2013

Page 2: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

saja dan pemerintah begitu terlibat di dalamnya.2Di sekolah-sekolah peserta

didik, dididik menurut agamanya tersebut dan diajari oleh guru yang seagama

dengannya.3Tujuannya adalah agar peserta didik dapat menghayati dan

mengembangkan imannya, serta menerapkan penghayatan imannya untuk

membangun diri dan masyarakatnya, dan inilah yang menjadi dasar pendidikan agama

di sekolah-sekolah. Hubungan antara iman, pendidikan, perubahan sosial: Iman

merupakan dasar dan sumber idealisme dalam kehidupan, pendidikan merupakan

sumber instrumen untuk melaksanakan idealisme tersebut. Sedangkan perubahan

sosial merupakan tujuan atau hasil dari proses penggabungan idealisme dan

instrumen. Dengan demikian pendidikan ditujukan demi menciptakan manusia-

manusia yang mau melakukan perubahan masyarakat kearah yang lebih baik.4

Menurut UU Sisdiknas No.20 Tahun 2003, pendidikan adalah usaha sadar dan

terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta

didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual

keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta

keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.5 Jadi dalam

pendidikan di Indonesia, beranjak dari UU No. 20 Tahun 2003 Sisdiknas, pendidikan

yang mencakup dimensi ketuhanan akan menjadikan agama sebagai landasan. Dengan

demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan di Indonesia mewajibkan setiap

naradidik mendapatkan pendidikan agama yang sesuai dengan agama yang dianutnya

dan diajar oleh guru yang seagamna dengannya. Berdasarkan ketentuan UU tersebut,

seharusnya sekolah-sekolah yang diselenggarakan berdasarkan agama seperti

sekolah-sekolah Kristen pun wajib melaksanakan pendidikan agama seperti ketentuan

di atas, artinya pemeluk agama lain perlu diberi pendidikan agama yang sesuai

dengan agama siswa/wi serta diajar oleh guru yang seagama dengannya, selain PAK.

Namun hal ini tak terjadi, karena di sekolah-sekolah Kristen pada umumnya PAKlah

yang disajikan kepada seluruh peserta didik, padahalnya ada juga nara didik yang

tidak beragama Kristen. Penulis dalam tugas akhir ini ingin membangun argumentasi

bahwa bilamana hal ideal di atas tak terlaksana, setidak-setidaknya pendekatan

pendidikan Religiositasadalah alternatif yang lebih baik. Karena itu berturut-turut

2Daniel Nuhamara, Pembimbing Pendidikan Agama Kristen, (Bandung: Jurnal Info Media, 2007) Hal

79. 3Ibid., 103

4Tim Redaksi Kanisius, Paradigma Pedagogi Reflekstif. (Yogyakarta: Kanisius, 2008),hal 7

5Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia ,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 20

Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasinal (Jakarta; 2003) hal 12.

Page 3: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

dalam tulisan ini akan dibahas: bagaimana penyelenggaraan Pendidik Agama

di sekolah-sekolah Kristen dan apa landasan atau alasannya, apa saja masalah dan

kelemahannya, apakah yang dimaksudkan dengan pendidikan religiositas,serta hal-

hal positif apa saja yang dihasilkannya.

2. Gambaran Umum Mengenai Penyelenggaraan Pendidikan Agama di sekolah-

Sekolah Kristen.

Terdapat tiga karakter sekolah yang terkait dengan pendidikan agama di

sekolah.Pertama sekolah negeri, kedua sekolah swasta umum non yayasan agama dan

sekolah swasta yayasan agama serta sekolah calon ahli atau pimpinan agama seperti

madrasah dan seminari. Varian karakter ini awalnya terbentuk karena perbedaan

sumber pembiayaan, pengawasan dan otonomi sekolah, serta misi dan intervensi pada

kurikulum. Dalam perkembangannya dinamika sekolah juga turut mempengaruhi

karakter sekolah.Tiga karakter ini pada akhirnya juga terkait dengan persoalan

multikulturalisme dalam masyarakat.Pada sekolah negeri dan sekolah swasta umum

non yayasan keagamaan, pada jam pelajaran agama siswa dipisah menurut agama yang

berbeda-beda. Selama puluhan tahun praktek pendidikan agama di sekolah seperti ini

belum ada yang memberikan perhatian secara serius bahwa pemisahan siswa pada jam

pelajaran agama adalah sebuah pembiasaan dan penanaman kesadaran bahwa agama

adalah sesuatu yang memisahkan (kebersamaan) manusia.6

Pendidikan agama di sekolah sebagai salah satu upaya pendewasaan manusia

pada dimensi spiritual-religius. Adanya pelajaran agama di sekolah di satu pihak

sebagai upaya pemenuhan hakekat manusia sebagai makhluk religious (homo

religiousus). Sekaligus di lain pihak pemenuhan apa yang objektif dari para siswa

akan kebutuhan pelayanan hidup keagamaan. Agama dan hidup beriman

merupakan suatu yang objektif menjadi kebutuhan setiap manusia.

Pelaksanaan pelajaran agama di sekolah selama ini sudah berjalan,

Sekolah-sekolah di Indonesia memberlakukan/memasukkan pelajaran agama dalam

kurikulum. Pelajaran Pendidikan Agama merupakan salah satu pelajaran ‘wajib’,

harus ada dan diterima oleh para siswa. Di Indonesia sekolah-sekolah swasta-umum

dengan ciri keagamaan tertentu menerapkan pelajaran agama sesuai dengan ciri

khas keagamaannya. Kenyataan di lapangan menunjukan bahwa penerapan

6Institut DIAN/interfidei: Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur,

melalui:http://interfidei.or.id/index.php?page=article&id=1 (diunggah pada tanggal 12 Januari 2013)

Page 4: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

pelajaran agama di sekolah baik negeri dan swasta memuncukan dialektika atau

bahkan menimbulkan problematika.7

Dalam penulisannya Lastiko Runtuwene menjelaskan bahwaPelajaran agama

di sekolah dalam implementasinya menimbulkan problematika konsepsional dan

(sekaligus) operasional. Persoalan pertama secara konsepsional yakni, iman

merupakan dimensi personal, hak asasi manusia. Hidup beragama dan beriman

merupakan suatu yang personal, menyangkut hubungan manusia dengan Tuhannya.

Dimensi personal iman merupakan misteri, menuntut keyakinan iman dan

kebebasan penghayatannya yang tidak boleh ‘dipaksakan’ dari luar. Beragama

dan menerima pelajaran agama merupakan hak asasi manusia. Persoalan kedua adalah

Internalisasi dan implementasi iman. Pendidikan agama membutuhkan sikap dasar

iman untuk internalisasi (pembatinan) nilai- nilai/ajaran agama yang disampaikan.

Proses pembatinan ajaran iman mengandaikan adanya sikap iman. Kenyataan di

sekolah (terutama sekolah dengan ciri khas keagamaan, juga di beberapa sekolah

negeri) banyak pelajaran agama tertentu diberikan kepada siswa dengan perbedaan

agama. Proses pembatinan nilai/ajaran sulit terjadi, para siswa hanya menangkap

sebagai suatu pengetahuan tetapi tidak sampai pada penghayatan dan perwujudan

nilai/ajaran iman karena tidak sesuai dengan iman/agamanya. Proses pendidikan

akan mencapai keutuhan apabila pelajaran agama sampai pada penghayatan dan

pembentukan sikap. Misalnya guru akan mengalami kesulitan mengajar tentang

berdoa Katolik dan akan dipratekkan oleh siswa Islam, Budha atau Hindhu.

Bagaiman mungkin siswa Islam dalam suasana kekhusukan berdoa secara Kristen,

atau sebaliknya guru Islam mengajar tentang solat lima waktu dan mengajak

siswa Kristen untuk mempraktekkannya.8

Selama ini, sekolah-sekolah di bawah bendera agama tertentu menyerahkan

sepenuhnya hak pendidikan anak didik, kepada orang tua dan bukan kepada pihak

lain apalagi pemerintah. Hak kebebasan beragama dalam kaitan dengan masalah

pelajaran agama berarti orangtualah yang berhak menentukan, apakah, di manakah,

dalam agama apakah anak mereka boleh diberi pelajaran agama. Sebelum masuk ke

7Lastiko Runtuwene, Penulisan Karya Ilmiah ; 2013. Menerobos Implementasi Pelajaran Agama Di

Sekolah. Dalam

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB

sQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsulut.kemenag.go.id%2Ffile%2Ffile%2FKatolik%2Ffnpc1365033142

.pdf&ei=3A2iU7a7HcGWuATBqoLQCg&usg=AFQjCNGr09XCa922Y0-

bHfqxhLexYM2qXA&sig2=8fpR2jvReqKM5KpIBDY4rw (Diunggah 21 july 2013) hal.1 8Ibid.,hal. 2

Page 5: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

sekolah-sekolah tersebut, orang tua dan anak didik akan ditanya dan kemudian

menuangkan ke dalam sebuah surat pernyataan untuk bersedia dididik sesuai dengan

bendera sekolah bersangkutan. Dan anak didik maupun orang tua sama sekali tidak

berkeberatan karena yang mereka cari memang bukan pendidikan agama tetapi

kualitas pendidikan pada umumnya.9 Hal seperti ini dapat di temui di Sekolah

Menengah Atas (SMA)Laboratorium Kristen Satya Wacana atau lebih dikenal dengan

SMA LAB Salatiga yang mempertahankan Pendidikan Agama Kristen sebagai satu-

satunya pendidikan agama di sekolah, walaupun tidak semua siswa beragama Kristen.

Hak orang tua memuat agar anak mereka tidak diberi pelajaran agama yang

tidak dikehendaki. Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS,

pasal 12, ayat (1) huruf a, mengamanatkan: “Setiap pesertadidik pada setiap

satuan pendidikan berhak mendapatkan pendidikanagama sesuai dengan agama

yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidikyang seagama.”10

. Dalam konteks

otonomi sekolah, setiap sekolah umum keagamaan berhak hanya menawarkan

pelajaran agama sesuai dengan ciri khasnya. Misalnya sekolah Katolik berhak

hanya menawarkan pelajaran agama Katolik. Sekolah Kristen hanya menawarkan

pelajaran agama Kristen, sekolah Islam hanya menawarkan pelajaran agama

Islam. Akan tetapi sekolah tidak berhak mewajibkan siswa-siswanya dari agama

lain mengikuti pelajaran agama sesuai dengan ciri khas keagamaan sekolah yang

bersangkutan. Misalnya apabila sekolah Kristen atau Katolik menerima siswa

bukan Kristen-Katolik, sekolah tersebut tidak berhak mewajibkan atau menekan

orangtua untuk mengizinkan anak mereka yang bukan Kristiani mengikuti pelajaran

agama Kristen-Katolik. Dalam konteks pluralisme, apabila sekolah swasta dengan

ciri khas keagamaan memutuskan untuk membuka pintu bagi anak dari pluralitas

agama, pendirian orangtua mereka masing-masing wajib dihormati.

3. Masalah dan Kelemahannya.

Dilihat dari penerapan Pendidikan Agama di sekolah-sekolah swasta dengan

ciri keagamaan, sampai saat ini masih memberikan pelajaran agama untuk semua

siswa dengan satu mata pelajaran sesuai dengan ciri khas keagamaanya barangkali

tidak/belum menjadi persoalan. Jika ditinjau kembali hal ini berlawanan dengan

9Dicky S. Mansula (guru pendidikan Agama, SMA Kristen Satya Wacana, Salatiga) wawancara, senin

23 September 2013 10

Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia ,Undang-Undang Republik Indonesia Nomor

20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan nasinal (Jakarta; 2003) hal 12.

Page 6: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang mewajibkan

setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan agama

yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Seakan siswa yang

beragama lain terasa dipaksakan untuk mempelajari agama yang tidak dianutnya.

Menurut Ringkasan Laporan DIAN/InterfideiPendidikan agama yang

diajarkan di sekolah-sekolah menjadi penting untuk dikaji karena beberapa hal:

pertamapendidikan agama yang diselenggarakan di sekolah-sekolah sebagaimana

digariskan dalam sistem pendidikan nasional memperlihatkan garis yang samar

menyangkut siapa yang sebaiknya dinilai lebih kompeten dan bertanggung jawab atas

penyelenggaraan pendidikan agama di sekolah-sekolah umum.

Kedua, Kebijakan negara yang mengatur pendidikan agama yang wajib

dilakukan dari tingkat sekolah dasar hingga Perguruan Tinggi mengandung implikasi

luas dalam kehidupan beragama. Implikasi yang dimaksud adalah konsekuensi

munculnya tiga asumsi, yaitu: a) asumsi bahwa anak akan mengikuti agama orang tua,

b) negara akan menjamin ketersediaan guru agama, dan c) asumsi bahwa yang paling

penting dalam kehidupan beragama adalah aspek formalitas, karena akan ada proses

dimana siswa atau peserta didik menganut agama karena tuntutan administratif.

Asumsi-asumsi ini mempunyai resiko: menghadirkan keharusan-keharusan yang tidak

mudah untuk banyak pihak dan secara sistematis akan mempengaruhi kebebasan

dalam menganut keyakinan yang berbeda dari yang ditentukan negara.

Ketiga, Masyarakat Indonesia mempunyai kemajemukan dalam agama, tetapi

pendididikan agama yang dilaksanakan di sekolah-sekolah di Indonesia umumnya

hanya memberi informasi tentang suatu agama yang dianut oleh peserta dalam proses

pembelajaran agama, dan kurang (bahkan tidak) mengajarkan keterbukaan akan

adanya kepercayaan dan agama yang berbeda, atau aliran-aliran dalam suatu agama,

sehingga tidak mendukung para peserta didik mempersiapkan diri memasuki

kehidupan bermasyarakat yang majemuk. Keempat, Sekolah adalah institusi yang

dimasuki oleh setiap generasi muda dari segala lapisan masyarakat. Pemikiran dan

karakter generasi muda yang dikembangkan dalam institusi ini tentu akan mewarnai

kehidupan kemasyarakatan pada masa-masa yang akan datang. Kita tidak bisa

menutupi kenyatan bahwa masyarakat Indonesia pada umumnya tidak mau melepas

pendidikan agama di Sekolah umum.Mereka ini percaya bahwa pendidikan agama,

termasuk yang diselenggarakan di sekolah sangat bermanfaat dalam pembentukan

karakter generasi muda dan kehidupan bermasyarakat dalam masa-masa mendatang,

Page 7: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

meski tetap ada pandangan yang beragam tentang praktek pendidikan agama.11

Di sekolah-sekolah negeri dan sekolah swasta nasional atau sebagian

masyarakat menyebut sekolah ‘netral’, pendidikan agama dilakukan sebagaimana

yang telah diatur oleh pemerintah, dengan kurikulum maupun pengelolaan kelas yang

masing-masing siswa dipisah sesuai dengan agama yang di anut. Sejauh ini

masyarakat tidak mempersoalkan apa yang berlangsung, beda halnya dengan yang

terjadi di sekolah-sekolah swasta dengan lebel agama tertentu.

Pada sekolah-sekolah yang didirikan yayasan-yayasan ini pendidikan agama

menjadi salah satu ciri khas yang membedakan dari sekolah lain. Pendidikan agama di

sekolah yayasan keagamaan untuk sekian lama dianggap sebagai ‘urusan rumah

tangga’ suatu yayasan dengan ciri keagamaan tertentu. Pendidikan agama dalam

kasus ini menjadi menarik perhatian pada akhir tahun 1980-an ketika muncul

sekelompok masyarakat yang menaruh curiga bahwa sekolah-sekolah secara tidak

langsung membuat para siswa yang berbeda agama lebih mengenal agama orang lain

dari pada agama mereka sendiri dan bisa jadi akan membawa siswa yang

bersangkutan pada agama yayasan. Tidak ada survei yang bisa menjadi dasar

kecurigaan ini, tetapi pikiran demikian bergulir dalam kalangan yang lebih luas.

Kasus siswa belajar di sekolah di bawah yayasan keagamaan yang tidak sama

dengan yang mereka anut terjadi merata, tampaknya terkait dengan kompisisi

demografi penduduk berdasarkan agama. Di Salatiga SMA Kristen Satya Wacana

sebagai sekolah di bawah yayasan Kristen yang menerima siswa beragama Islam dan

Budha, mempertahankan Pendidkan Agama Kristen sebagai Pendidkan Agama mau

dan tidak mau para siswa yang berlatar belakang agama yang berbeda harus

menerimanya, sama halnya dengan sekolah-sekolah yang berada di bawah yayasan

Islam hanya menerima siswa beragama Islam, dengan alasan utama mereka tidak

mungkin mencarikan guru agama lain dan mereka tidak mau memberi pelajaran

agama Islam kepada siswa yang beragama non Islam.

Kurikulum pendidikan agama, selalu menyebut bahwa tujuan pendidikan

agama adalah menciptakan siswa yang memahami ajaran agama dan

11

Ringkasan Laporan,Penelitian Problematika Pendidikan Agama

Penelitian Di sekolah-sekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta, 2004-2006. Dalam

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CB

sQFjAA&url=http%3A%2F%2Fe-

dokumen.kemenag.go.id%2Ffiles%2FtF8gZUp21284260139.pdf&ei=ARyiU_abC5GJuAS66YHwCg

&usg=AFQjCNGFUCVRhf6CnF8z3cdlUfcOU0hL4Q&sig2=u3OIeUj6d6QiuAR9A9FeyA (diunggah

13 january 2013)

Page 8: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

melaksanakannya dalam rangka mewujudkan masyarakat yang toleran terhadap

penganut agama lain.Dalam hal ini sering ada pengandaian bahwa bila seseorang telah

memahami dan melaksanakan ajaran agamanya maka dengan sendirinya mereka akan

bisa menghormati, menghargai dan toleran dengan agama orang lain. Yang menjadi

perhatian di sini adalah bahwa menghormati agama orang lain adalah bagian dari

moralitas yang diajarkan oleh setiap agama. Responden dari para guru agama dan

siswa bila dikonfirmasi dengan pertanyaan, ”bukankah orang-orang yang berkonflik

atau melakukan diskriminasi terhadap orang yang berbeda agama adalah orang-orang

yang mengerti agama dengan baik? Mereka akan menjawab, ”Itu karena mereka tidak

memahami agama lain”. Tetapi sangat sedikit guru agama yang mempunyai

pandangan yang jelas dan lugas tentang hubungan antar kelompok keyakinan yang

berbeda-beda.

Adapun kendala yang ditemui dalam pembelajaran adalah mengenai minat

siswa dalam mengikuti pelajaran.Banyak siswa yang beranggapan bahwa PAK bukan

pelajaran yang terlalu penting, padahal PAK juga bertanggung jawab terhadaap

kehidupan spiritual mereka.Prakteknya banyak siswa yang meremehkan pelajaran ini

dan cenderung bersikap apatis.12

Karena pelajaran agama yang tidak lagi dianggap

penting oleh sistem karena tidak diujikan dalam ujian nasional. Menurut Dicky

Mansula salah satu guru agama pada SMP dan SMA Kristen Satya Wacana adapun

kendala yang ia dapatkan dalam pembelajaran karena “mayoritas siswa beragama

Kristen sehingga tidak dapat keluar jalur dalam penyampaian materi”13

. Hal ini

menyebabkan penyampaian materi sebagian besar berdasarkan pemahaman agama

Kristen itu sendiri. Pendidikan agama yang hanya dengan penekanan pada satu agama

yang dianut hingga pendidikan selesai, ditambah lagi bahwa agama itu sifatnya adalah

'diturunkan' membuat orang tidak tahu mengenai agama lain dan akan selalu

memandang bahwa agama yang dianutnyalah lah yang paling baik.

Jenis sekolah Kristen yang tidak memberikan Pendidikan Agama lain selain

agama Kristen bagi siswa yang beragama lain dikategorikan sebagai sekolah non

Konfessional, sekolah yang tidak menerima masuknya ideologi baru dari luar

kepentingannya. Pengelolaan sekolah didasarkan pada tatanan ideologi yang telah

diyakini kebenarannya dan dijadikan rujukan dalam setiap tindakan. Sekolah tipe ini

12

Paul D. Prasetya(guru pendidikan Agama, SMA Kristen Satya Wacana, Salatiga) wawancara, senin

23 September 2013 13

Dicky S. Mansula (guru pendidikan Agama, SMA Kristen Satya Wacana, Salatiga) wawancara, senin

23 September 2013

Page 9: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

secara praktis tidak memberikan Pendidikan Agama lain secara terbuka dalam bentuk

mata pelajaran serta tidak memberi ruang dan waktu yang proporsional bagi siswa

Bergama lain untuk menjalankan ajaran agama di lingkungan sekolah yang menganut

ideologi khusus.

Tarik menarik misi ideologi dengan misi sosiologi terjadi di SMA Kristen

Satya Wacana Salatiga.Eksistensi ideologi Kristen menjadi bahan pertimbangan

utama dalam pengambilan kebijakan tersebut. Oleh karena itu, sekolah ini tetap

memberikan pengetahuan kristen bagi seluruh siswanya, termasuk siswa yang

minoritas beragama Islam dan budha dalam bentuk mata pelajaran. Misi ideologi di

sekolah ini masih cukup kental.Sekolah masih diposisikan sebagai salah satu media

dakwah untuk mempertahankan ideologi tertentu.Dalam konsepsi ideologi, sekolah

ini masuk kategori sekolah non Konfessional.

Setiap kasus dalam setiap kancah penelitian memiliki karakteristik tersendiri,

terutama dalam memposisikan ideologi yang diyakini sebagai kebenaran

transedental.Di SMA Kristen Satya Wacana masih memposisikan ideologi berbasis

agama dalam pengelolaan lembaga pendidikan.

4. Alternatif: Pendidikan Religiositas

Sekolah swasta tampaknya memiliki peluang lebih luas untuk mengadakan

eksperimentasi guna mendapatkan model pendidikan alternatif karena pengawasan

yang lebih minim dibanding dengan sekolah-sekolah negeri.Sebagaimana diketahui,

dalam lembaga-lembaga pendidikan negeri, termasuk sekolah-sekolah, mendapat

pengawasan yang lebih ketat dari Departemen yang bersangkutan untuk

melaksanakan kebijakan pemerintah di bidang pendidikan.

Eksperimentasi di bidang pendidikan menjadi salah satu bentuk tawaran

masyarakat dalam menanggapi tantangan kehidupan masyarakat yang plural,

terlebihnya Pendidikan Agama dalam lingkup sekolah-sekolah swasta yang

berlebelkan agama serta memiliki murid dari beranekaragam agama. Pendidikan

agama yang dibutuhkan dalam masyarakat multikultur adalah pendidikan agama yang

senantiasa menghadirkan kehidupan yang penuh keragaman, baik latar belakang

manusia maupun keragaman sudut pandang. Untuk itu pelajaran agama sebaiknya

berbasis pengalaman akan memecah kebekuan ajaran agama yang tertutup dan tidak

melihat realitas secara hitam putih. Di sekolah yang melakukan pemisahan siswa

bedaagama pada jam pelajaran agama perlu ada antisipasi agar pemisahan tidak

Page 10: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

berpengaruh buruk pada rasa aman dan nyaman dengan penganut agama yang

berbeda. Hilangnya rasa aman dan nyaman akan merusak saling percaya antar

anggota masyarakat yang mana saling percaya ini merupakan modal sosial yang

dibutuhkan dalam kehidupan bersama yang adil dan beradab.

Pendidikan agama berbasis pengalaman meniscayakan perubahan paradigma

dalam melihat relasi guru-peserta didik maupun dalam melihat sumber belajar serta

proses pembelajaran. Pengalaman hanya mungkin menjadi sumber belajar ketika guru

dan murid merasa setara, masing-masing merasa mempunyai kelebihan dan

kekurangan untuk mengkaji bersama dengan berbagai sudut pandang.14

Dalam menilai

keberhasilan atau kegagalan belajar, pendidikan agama membutuhkan model evaluasi

yang tidak menggunakan angka, tetapi harus didasarkan pada praktek hidup yang

partisipatif dan bertanggungjawab pada diri sendiri dan lingkungan.Penilaian bukan

dengan angka tetapi narasi yang menunjuk pada kualitas.

Namun demikian tidak bisa mengecilkan arti peran penting yang dilakukan

oleh Komisi Pendidikan Keuskupan Agung Semarang (KAS) yang menjadi inspirator

eksperimentasi dan eksplorasi yang (bahkan) mempengaruhi praktik pembelajaran di

bidang lain. Karya inspiratif Komisi Pendidikan KAS juga sudah mulai dilaksanakan

di sekolah-sekolah di bawah yayasan-yayasan Katolik di wilayah KAS, karena itu

pada bagian awal akan saya urai Pendidikan Religiositas di sekolah-sekolah Katolik

di lingkungan KAS.

Pendidikan Religiositas merupakan salah satu bentuk komunikasi iman, baik

antar peserta didik yang seagama dan sekepercayaan maupun siswa yang berbeda

agama dan kepercayaan.Hal ini akan membantu peserta didik menjadi manusia yang

religius, bermoral, terbuka, dan mampu menjadi pelaku perubahan social demi

terwujudnya masyarakat yang sejahtera lahir dari batin, berdasarkan nilai-nilai

universal seperti kasih, kerukunan, kedamaian, kejujuran, perngorbanan, kepedulian

dan persaudaraan.15

Ide awal munculnya Pendidikan Religiositas, dikemukakan oleh Romo

Mangunwijaya sekitar tahun 1982.Ia memunculkan ide yang menggelitik dunia

pendidikan dalam, rangka mencerdaskan anak bangsa. Menurutnya pendidikan jangan

hanya menciptakan anak yang pandai secara intelektual karena proses penularan

14

Institut DIAN/interfidei: Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur,

melalui:http://interfidei.or.id/index.php?page=article&id=1 (diunggah pada tanggal 12 Januari 2013) 15

Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung

Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 9

Page 11: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

(transfer) ilmu semata, tetapi lebih mengarah pada upaya untuk

menumbuhkembangkan sikap dan semangat religius yang terbuka(inklusif) bagi anak

didik. Hal ini diuraikan dalam bukunya yang berjudul ‘menumbuhkan sikap religious

anak-anak’.16

Kedua sisi upaya pencerdasan anak-anak bangsa, yaitu pengembangan

intelektual serta sikap dan semangat religious tidak dapat dipisahkan.Keduanya

berkembang dan bertumbuh bersama-sama agar terjadi keseimbangan hidup dalam

diri anak, meski tanpa menutup kemungkinan bahwa pendidikan iman atau

penumbuhan sikap dan semngat religius dalam diri dan hidup anak didik menjadi

lebih utama.

Pengertian Pendidikan Religiositasmenurut Komisi Pendidikan Agung

Semarang adalah komunikasi iman antarsiswa yang seagama maupun berlainan

agama mengenai pengalaman hidup mereka yang digali/diungkapkan maknanya,

sehingga mereka terbantu untuk menjadi manusia utuh (religius, bermoral, terbuka)

dan diharapkan mampu menjadi pelaku perubahan sosial, demi terwujudnya

kesejahteraan bersama lahir dan batin.

Adapun fungsi Pendidikan Religiositas adalah, pertama, mewujudkan tujuan

Pendidikan Nasional dengan mengedepankan kesatuan dan persatuan bangsa yang di

semangati oleh persaudaraan sejati. Kedua, mendukung agama-agama dan

kepercayaan dalam mengemban tugas untuk mewartakan Firman Tuhan dan

mewujudkan dalam hidup bernegara dan memasyarakatan.Ketiga,mendukung

keluarga-keluargadalam mengembangkan sikap religiositas peserta didik yang sudah

mereka miliki dari keluarga masing-masing, agar semakin menjadi manusia yang

religious, bermoral, dan terbuka.Keempat, mendukung peserta didik dalam

membangun komunitas manusiawi dinamis melalui kegiatan komunikasi pengalaman

iman.17

Sedangkan tujuan Pendidikan Religiositas di sekolah adalah: pertama,

menumbuh kembangan sikap batin peserta didik agar mampu melihat kebaikan Tuhan

dalam diri sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya sehingga memiliki kepedulian

dalam hidup bermasyarakat. Kedua,membantu peserta didik menemukan dan

mewujudkan nilai-nilai universal yang diperjuangkan semua agama dan kepercayaan.

Ketiga, menumbuhkembangkan kerja sama lintas agama dan kepercayaan dengan

16

Heribertus Joko Warmanto dkk, Pendidikan Religiositas, (jokjakarta: Kanisius, 2009),hal 13-14 17

Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung

Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 9

Page 12: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

semangat persaudaraan sejati.18

Pendidikan Religiositas sendiri mempergunakan Pendekatan Pedagogi

Refleksi (PPR) yaitu Pola pembelajaran yang mengintegrasikan pemahaman masalah

dunia, kehidupan dan pengembangan nilai-nilai kemanusiaan dalam proses yang

terpadu, sehingga nilai – nilai itu muncul dari kesadaran dan kehendak peserta didik

melalui refleksinya”.19

Refleksi siswa menjadi muara yang penting untuk kompetensi

dan evaluasi belajar.Melalui PPR siswa berupaya memberikan refleksinya dalam

penerapan model pendekatan apapun, baik tertulis, dalam bentuk berbagi pengalaman,

pengolahan pengalaman langsung dengan keterlibatan, pendekatan ekspresi

pengungkapan refleksi melalui seni, dan masih banyak hal yang dapat

dimungkinkan.20

Refleksi meliputi tiga unsur utama, sebagai satu kesatuan di dalam proses

pembelajarannya, yaitu: pengalaman, refleksi dan aksi, yang dimaksud dengan

pengalaman ialah setiap kegiatan yang bercirikan adanya pemahaman kognitif dari

bahan yang disimak dan juga perlibatan dimensi afektif pembelajaran. Di sini,

pengalaman bisa dibedakan menjadi dua, yaitu pengalaman langsung dan tidak

langsung. Termasuk pengalaman langsung dalam situasi pembelajaran, biasanya

berupa: diskusi, penelitian, kegiatan lapang, aksi sosial, home stay, karya wisata, dlsb.

Termasuk pengalaman tidak langsung dalam situasi pembelajaran adalah upaya

memperoleh informasi mengenai sebuah peristiwa melalui kegiatan membaca,

mendengarkan atau menyimak gambar. Yang dimaksud Refleksi di sini dipahami

dalam pengertian khas, yaitu suatu upaya menyimak dengan penuh perhatian terhadap

bahan studi tertentu, pengalaman, ide-ide, usul-usul, atau reaksi spontan untuk

mengerti pentingnya pemahaman mendalam sampai pada makna dan

konsekuensinya.Istilah aksi di sini merujuk pada pertumbuhan sikap batin dan

tindakan yang ditampilkan pebelajar berdasarkan pengalaman yang telah

direfleksikan.

Adapun point-point atau rambu-rambu yang perlu diperhatikan berdasarkan

Pendekaatn PPR yakni:21

a. Siswa

18

Ibid., hal 10 19

Bimas Katolik Jawa Timur, PPR : Paradigma Pedagogi Reflektif. Melalui

http://www.bimaskatoloikjatim.com/new2.php?op=150diunggah pada tanggal 12 Januari 2013 20

Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung

Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 6 21

Ibid., hal 12

Page 13: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

Siswa sebagai subjek dalam proses pembelajaran, perlu:

1. Memperlajari dan mendalami ajaran agama dan kepercayan sendiri.

2. Memiliki sikap terbuka (menerima, menghargai, menghormati perbedaan

agama dan kepercayaan lain).

3. Aktif dan kreatif dalam proses pembelajaran:

· Berani mengungkapkan pengalaman hidup dan ajaran agama dan

kepercayaannya.

· Berani mengeksperiskan bakat yang dimiliki dalam proses

pembelajaran.

4. Merefleksikan dan memaknai pengalaman hidup dan imannya.

5. Mewujudkan hasil refleksi dalam perbuatan nyata.

b. Guru

Dalam meperjuangkan siswa agar mampu:

1. Mengukapkan kebaikan Tuhan dan nilai-nilai universal dalam diri

sendiri, sesama, dan lingkungan hidupnya.

2. Menganggapi kebaikan Tuhan dan nilai-nilai universal dalam hidup

sehari-hari.

3. Bekerja sama lintas agama dan kepercayaan dengan semangat

persaudaraan sejati sebagai habitusbaru.

4. Membiasakan diri berefleksi atas pengalaman hidupnya, maka

diperlukan:

1) Guru yang berperan sebagai fasilitator dan pendamping.

2) Guru yang mempunyai sikap demokratis dan partisipatif.

3) Guru yang mempunyai semangat kreatif, terbuka dan mau belajar

pada hal-hal yang baru.

4) Guru yang mampu merefleksikan dan memaknai pengalaman

hidup dan imannya.

5) Guru yang mampu mengamati perkembangan pribadi siswa,

bersama dengan pihak lain yang terkait, sebagai hasil pembelajaran

melalui perilakunya yang bebas dan spontan (lihat 4 kemampuan di

atas)

c. Metode

Dalam proses pembelajaran perlu diperhatikan metode yang bersifat:

1. Variatif, dinamis (kreatif), partisipatif

Page 14: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

2. Menyenangkan

3. Eksploratif: mencari, mengembangkan, memperkaya informasi terus-

menerus.

d. Sarana

1. Mengoptimalkan sarana sesuai situasi dan menjunjung proses

pembelajaran, misalnya buku, Koran, majalah atau barang cetakan lain,

kaset audio visual, program televisi, slide, lingkungan

2. Menciptakan sarana sesuai kebutuhan dan menunjang proses

pembelajaran, misalnya membuat lagu, syair, puisi, gambar, poster,

karikatur, slogan.

e. Waktu

1. Disesuaikan kebutuhan, jangan terpaku pada alokasi waktu yang

disediakan karena yang dipentingkan bukan selesainya materi tetapi

proses.

2. Terbuka kemungkinan untuk pengabungan materi dalam satu

kesempatan tertentu.

3. Materi dapat disesuaikan dengan waktu yang relevan dangan peristiwa

keagamaan dan kepercayaan.

f. Sumber bahan

1. Buku pegangan

2. Sumber bahan yang mendukung (buku-buku referensi, berita, artikel

Koran/majalah, gambar, informasi internet)

3. Sumber bahan yang berkaitan dengan ajaran agama/kepercayaan tertentu

hendaknya berasal dari narasumber yang bisa dipertangungjawabkan.

g. Sumber belajar

1. Siswa

2. Guru

3. Masyarakat

4. Lingkungan

5. Perpustakaan.

Page 15: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

Proses pembelajaran yang ditawarkan berdasarkan PPR:22

a. Pembukaan :

Pengantar

Berisikan apersepsi dan proses untuk mengantar tema bahasan yang akan

diolah di dalam pembelajaran yang dilakukan.

Doa pembukaan

Dapat dibuka oleh siswa atau guru/pendamping yang bersifat universal

atau doa masing-masing tradisi religi para siswa.

b. Pengkapan pengalaman :

Narasi-Kisah

Berupa cerita cerita rakyat atau cerita kehidupan, yang sesuai dengan

bahan bahasan, yang berfungsi sebagai titik tolak untuk memasuki

pengalaman siswa, kemudian narasi dapat berupa pengalaman atau

gagasan-gagasan atau peristiwa-peristiwa yang dialami siswa

sendiri.Narasi kisah merupakan media awal refleksi, maka dapat bersifat

mempergunakan berbagai media, film, artikel, komik, gambar sebagai

sarana untuk memperdalam refleksi pengalaman.

Pendalaman narasi

Narasi yang disajikan dapat dicoba di aspresiasi bersama atau didalami

melelui interpetasi dan pemahaman lanjut untuk menemukan suatu nilai.

c. Refleksi atas pengalaman :

Berdasarkan media dan pengungkapan pengalaman, siswa diajak untuk

menemukan nilai-nilai atas pengalaman tersebut.Nilai-nilai ini

menyangkut refleksi kritis atas pengalaman yang ada dan sampai kepada

nilai-nilai kemanusiaan yang universal.

d. Pengembangan Refleksi Religiositas :

Setelah siswa menemukan berbagai nilai dalam refleksinya, maka siswa

diajak untuk mendialogkan nilai refleksi dengan nilai transendennitas

dan orientasi visi tradisi religi (ajaran agama) yang melatar belakangi

masing-masing siswa. Siswa saling mengkomunikasikan dan saling

berdialog inter-subyektif tentang kekayaan pandangan tradisi religi

(ajaran agama), mengenai masalah-masalah yang diangkat dalam pokok

22

Penulis mengevaluasi cara pembelajaran Pedidikan Religositas melalui buku Komisi Kateketik

Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung Semarang, Silabus

Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005)

Page 16: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

bahasan.

e. Peneguhan dan Rangkuman :

Refleksi yang telah ditemukan di dalam nilai-nilai kemanusiaan dan

orientasi religious oleh siswa dapat dirangkum dan diplenokan untuk

sampai kepada upaya peneguhan.

f. Pra aksi dan Aksi :

Merupakan sebuah aktivitas kongkret yang dapat menjadi muara

peneguhan dan upaya internalisasi nialai atas refleksi bersama.

Pra aksi

Merupakan aktivitas di dalam pertemuan yang dapat menjadi bagian dari

siswa dalam upaya mengekpresikan refleksi yang

ditemukan.Pengukapam refleksi dalam hal ini adalah upaya representasi

antara hasil refleksi dengan symbol atau lambing yang menjadi bagian

dari nilai-nilai yang ditemukan. Ekspresi lambang atau simbol atas nilai

dapat dieksperikan di dalam ekpresi berkesenian sebagai berikut:

a) Dinamika kelompok, yaitu pengembangan kelompok dengan permainan-

permainan dan interaksi.

b) Ekspresi gerak, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran melalui

gerak dengan dasar gerak tubuh, seperti gerak tari rakyat, gerak indah,

gerak improvisasi dan semacamnya.

c) Ekspresi lagu dan irama, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran

melalui improvisasi komposisi irama, dapat berdifat bunyi-bunyian

perkusi, maupun alat music lainnya.

d) Ekspresi visual, yaitu ekspersi ide-ide, perasaan, dan pemikiran melalui

bahan-bahan visual, seperti membuat gambar atau lukisan, membuat set

dekorasi, college atau membuat estalase pamer, dan lain sebagainya.

e) Ekspresi tulis, yaitu ekspresi ide-ide, perasaan, dan pemikiran kedalam

bentuk penulisan puisi, cerpen, diary, surat, artikel dan lain sebagainya.

Aksi

Merupakan aktivitas kelompok atau pribadi yang mempunyai dampak

social secara kongkret. Aksi dirumuskan sebagai bagian dari upaya

untuk tindakan lanjut refleksi secara nyata, di luar proses pembelajaran

di ruang kelas.

Page 17: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

g. Evaluasi

Evaluasi merupakan muara pertangung jawaban sejauh mana proses

pembelajaran ini berhasil dan mengena pada siswa. Evaluasi tidak harus

dipandang dengan evaluasi yang sifatnya kuantitatif atau perumusan

angka, melainkan juga dilihat sebagai evaluasi yang bersifat kualitatif.

Dalam hal ini evaluasi menjadi bagian untuk memtakan sejauh mana

refleksi tersebut semakin berkembang, sebagai proses yang harus

disadari dan diinternalisasi oleh siswa. Maka evaluasi tidak sekedar

bersifat mengukur aspek kognitif semata, melainkan juga mendaptasi

upaya pengungkapan refleksi sebagai bagian dari evaluasi.

h. Penutup

Akhir dari proses pembelajaran, bersifat memperteguh proses, atau

meperkembangkan pertemuan untuk pertemuan yang belum dapat

diproses selama jam pertemuan.

Doa penutup

Dapat bersifat doa umum atau doa dari kebergaman tradisi religi.

Penilaian pendidikan Religiositas dimaksudkan untu k mengukur pencapaian

indicator hasil belajar. Selain penilaian tertulis, dapat juga emnggunakan model

penilaian berdasarkan perbuatan (performance based assessment), penugasan

(project), produk (product), atau portofolio (portofolio). Penilaian tersebut harus

memperhatikan tiga aspek penting, yaitu aspek kognitif, afeksi, psiko motorik.

5. Manfaat dan hal positif dari Pendidikan Religiositas sebagai alternativ PAK

Terminologi pendidikan agama yang digunakan dalam penulisan ini

mengandung pengertian segenap proses yang menuntun segala kekuatan kodrati yang

ada pada anak-anak, agar mereka sebagai manusia dan sebagai anggota masyarakat

dapat mencapai keselamatan dan kebahagiaan setinggi-tingginya, dengan berdasar

pada nilai-nilai dan norma yang diajarkan dalam agama-agama tentang kehidupan

manusia kini dan akan datang.

Pluralisme menjadi suatu perspektif penting dalam penulisan ini. Dalam

melihat kemajemukan agama dalam masyarakat, cara pandang yang digunakan dalam

penulisan ini adalah dengan menempatkan agama-agama sebagai sejajar satu dengan

yang lain, tidak ada yang superior atas yang lain.

Page 18: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

Mengkaji masalah pendidikan agama dalam masyarakat multikultur, hal yang

penting dilakukan adalah melihat masalah dari beragam sudut pandang.Satu sisi tidak

bisa diabaikan adanya kelompok masyarakat yang senantiasa membutuhkan pegangan

dalam ketidakpastian hidup yang mereka andaikan bisa terjawab oleh agama.

Pengajaran agama oleh kelompok masyakat ini diyakini sebagai cara yang penting

untuk membekali generasi muda dengan model hidup yang aman berdasarkan ajaran

agama yang dianggap benar secara absolut.

Di sisi lain wacana keagamaan yang direproduksi dalam ruang-ruang kelas

bagi generasi muda-peserta didik seringkali dirasa membosankan, karena hanya berisi

hal-hal yang sudah tertentu dan pasti yang kadang harus dihafal, tetapi tidak

menyentuh kegelisahan mereka sehari-hari. Wacana keagamaan yang mengandung

pengandaian bahwa masyarakat adalah monokultur juga menghasilkan sikap yang

gamang, ambigu bahkan tidak toleran dalam menghadapi perbedaan.

Persoalan ideologi dalam pelaksanaan Pendidikan Agama Kristen di sekolah-

sekolah berlebelkan agama yang memiliki siswa yang berlatarbelakang agama yang

berbeda menjadi temuan menarik dalam penulisan ini. Ada sekolah Kristen yang tetap

mempertahankan eksistensi ideologi dalam pengelolaan pendidikan, namun ada juga

sekolah Kristen yang memposisikan ideologi di tengah kebijakan pemerintah dalam

Undang-undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang SISDIKNAS yang menyatakan

bahwa setiap peserta didik berhak mendapatkan pendidikan agama sesuai dengan

agama yang dianutnya dan diajarkan oleh pendidik yang seagama. Tentu saja hal

ini problematic selain tak sesuai dengan jiwa dan semangat UU Sisdiknas 2013.

Dalam kacamata multkulturalisme, kewajiban bagi setiap siswa untuk

mengikuti salah satu dari lima macam pendidikan agama, bagi para penganut agama

dan kepecayaan di luar agama resmi adalah memutus generasi penerus penganut

agama dan kepercayaan tersebut. Dampak dari pendidikan agama yang dibatasi

berdasarkan agama yang dianggap resmi oleh pemerintah ini terasa setelah beberapa

generasi.

Seperti halnya sekolah-sekolah di bawah naungan Yayasan Kanisius yang

berpusat di Semarang, sejak empat tahun terakhir mengenalkan Pendidikan

Religiositas sebagai pengganti Pendidikan Agama.Sejak saat itu pula di Yayasan

Kanisius tidak ada lagi pendidikan agama (Katolik) pada umumnya.Para siswa

kemudian dibekali pendidikan iman alternatif yang akrab disebut Pendidikan

Religiositas. Lantas apa perbedaan dan kesamaan kedua pembelajaran itu?

Page 19: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

Namun, ada satu perbedaan prinsip yang membedakan kedua pembelajaran

itu, yakni pendidikan agama yang dikenal sehari-hari hanya berkutat pada dogma dan

nilai-nilai kebenaran agama itu sendiri, sementara Pendidikan Religiositas bicara lebih

luas, ingin merangkum kesamaan nilai-nilai universal setiap agama. Prinsip yang

dipakai: cintailah Tuhanmu sesuai agamamu.

Pada prinsipnya, baik Pendidikan Agama pada umumnya maupun Pendidikan

Religiositas sama saja. Kedua pembelajaran itu bertujuan meningkatkan iman dan

takwa bagi siswa yang mempelajarinya. Sementara disisi lain Pendidikan Religiositas

merupakan suatu pendidikan yang mengajak subyek didik sampai kepada sikap batin

yang mendalam mengenai Tuhan dan keterkaitannya tentang kehidupan. Pendidikan

Religiositas merupakan pendidikan yang bermaksud mengkontruksi aspek belajar

subyek didik untuk sampai kepada nilai-nilai universal kehidupan.Pendidikan

Religiositas menjadi media bagi pengembangan pendidikan nilai yang lebih progresif.

Dalam Pendidikan Religiositas ini, subyek didik diajak sampai kepada proses

eksplorasi yang signifikan dengan pola-pola yang bersifat tidak terbatas pada ruang

lingkup ruang kelas, melainkan dimungkinkan sampai pengalaman subyek didik

untuk mengenal hidupnya yang dengan sosio religius dan sosio kultural yang konkret

dan nyata

Dengan adanya Pendidikan Religiositas yang merupakan salah satu bentuk

komunikasi iman, baik antarsiswa yang seagama maupun siswa yang berbeda

agama dan kepercayaan agar membantu siswa menjadi manusia yang religius,

bermoral, terbuka, dan mampu menjadi pelaku perubahan sosial demi terwujudnya

masyarakat yang sejahtera lahir dan batin, berdasarkan nilai-nilai universal misalnya

kasih, kerukunan, kedamaian, keadilan, kejujuran, pengorbanan, kepedulian, dan

persaudaraan.23

Mangunwijaya mengemukakan pendapatnya bahwa agama dan Religiositas

merupakan dua hal yang berbeda, tetapi keduanya tidak dipisahkan karena saling

melengkapi dan saling mendukung.Agama lebih menunjuk kepada kelembagaan,

kebaktian kepada Tuhan atau dunia atas dalam aspeknya resmi, yuridis, peraturan-

peraturan dan sebagainya yang meliputi segi-segi kemasyarakatan. Sedangkan

religiositas lebih melihat aspek-aspek yang ada dalam lubuk hati, sikap personal yang

sedikit lebih banyak misteri bagi orang lain karena menafaskan intimitas jiwa yakni

23

Komisi Kateketik Keuskupan Agung Semarang majelis Pendidikan Katolik Keuskupan Agung

Semarang, Silabus Pendidikan Religiositas SMA/SMK, (Jokjakarta: Kanisus, 2005),hal 8

Page 20: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

cita rasa yang mencakup totalitas kedalam pribadi manusia.24

Pendidikan religiositas menjadi salah satu opsi dalam praktek pendidikan

agama di sekolah berafiliasi agama.Guru agama tidak bisa bersikap eksklusif dan

menutup mata atas perbedaan agama para siswa. Bagi saya diskusi terbuka mengenai

nilai-nilai keagamaan dengan menarik satu benang merah dan tidak justru saling

menjatuhkan juga menjadi satu jenis pekabaran Injil, serta membuktikan bahwa

Kekristenan tidak sekedar dogma tetapi melalui teladan Yesus, Kekristenan sangat

terbuka terhadap hidup dalam perbedaan.

Bagaimanapun, manusia hidup di dunia ini karena berkat dan rahmat Tuhan

yang sama. Tidak boleh satu agama pun mengklaim diri sebagai pihak yang paling

benar.Pendidikan Religiositas mengajarkan kesamaan pandangan antar-agama.Inilah

mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada

pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama.Hal ini dikarena

Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok

kehidupan, dari segala macam agama.

Melalui materi-materi dalam pendidikan religiositas, siswa-siswi diajak untuk

melihat dan belajar bagaimana setiap agama atau kepercayaan memaknai

kehidupan.Agama atau kepercayaan bukan sekedar pengetahuan, tetapi sungguh

masuk dalam hidup mereka.Dengan mengenal teman-teman lain yang berbeda agama

atau kepercayaan, mereka diajak untuk semakin dapat menerima kenyataan hidup

agama atau kepercayaan yang plural-majemuk.Dengan demikian, mereka dapat saling

memberi dan menerima kekayaan hidup beragama atau bekepercayaan masing-

masing secara utuh.Akhirnya, mereka dapat melihat dan menemukan kebaikan Tuhan

di dalam dirinya sendiri, dalam diri sesama dan dalam lingkungan hidupnya.

Belajar agama atau kepercayaan dalam pendidikan religiositas bukan sekedar

mencari nilai raport, tetapi lebih pada mengangkat dan merefleksikan pengalaman

hidup beragama atau berkepercayaan siswa-siswi yang sedang bertumbuh kembang.

Nilai-nilai dan semangat yang sejati dalam hidup beragama atau bekepercayaan

akandikaji, direfleksi dan diolah bersama. Keagamaan atau kepercayaan seseorang

tidak cukup diungkap dengan mengikuti upacara ritual keagamaan atau

kepercayaannya saja. Dimensi hati atau batin, yang menyadari relasinya dengan

Tuhan, inilah yang akan menjadi bahan pengolahan dan refleksi oleh semua orang

24

Y.B. Mangunwijaya. Menumbuhkan Sikap Religiusitas anak-anak.(Jakarta: PT Gramedia Pustaka

Utama, 1991),hal 4

Page 21: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

beriman, khususnya siswa-siswi sekolah menengah.

Melalui pendidikan religiositas para siswa dapat mendalami suatu topik dari

perspektif agamanya sendiri-sendiri dan dengan demikian para siswa yang berbeda

agama dapat juga belajar perspektif agama lain, dan mengambil apa yang dapat

memperkaya imannya sendiri, dan belajar menghargai perbedaan sehingga tercipta

hubungan yang harmonis antar siswa dengan latar belakang agama yang berbeda

sementara mereka tetap memperdalam iman dan identitasnya sendiri. Tentu saja hal

ini tak cukup, akan tetapi Pendidikan Agama Kristen tetap diberikan kepada mereka

yang memeluk agama Kristen pada jam tambahan secara terpisah.

Bagaimanapun, manusia hidup di dunia ini karena berkat dan rahmat Tuhan

yang sama. Tidak boleh satu agama pun mengklaim diri sebagai pihak yang paling

benar.Pendidikan Religiositas mengajarkan kesamaan pandangan antar-agama.Inilah

mengapa saya menyebutkan betapa pentingnya Pendidikan Religiositas pada

pendidikan menengah bila dibandingkan Pendidikan Agama.Hal ini karena

Pendidikan Religiositas memandang suatu permasalahan, suatu topik pokok

kehidupan, dari segala macam agama.Ada memang beberapa sekolah menengah

pertama dan sekolah menengah atas yang sudah menerapkan Pendidikan Religiositas

dalam kurikulumnya.

6. Kesimpulan dan Saran

Pembagian peran antara negara dan institusi yang ada dalam masyarakat,

khususnya dalam masalah pendidikan agama adalah sesuatu yang sangat penting bagi

dinamika kehidupan yang demokratis, untuk kepentingan keadilan masyarakat yang

majemuk.Institusi-institusi keagamaan yang ada di Indonesia sangat berpotensi dan

layak bertindak sebagai pemegang otoritas dan pelaksana pendidikan agama untuk

tiap jenjang pendidikan.

Adanya relevansi yang erat antara kemampuan sekolah untuk

mengimplementasikan pendidikan agama dengan penerapan UU SISDIKNAS Tahun

2003. Potensi yang besar yang dimiliki oleh sekolah-sekolah yang di bawah naungan

Yayasan Kanisius dapat menyikapi kebijakan pemerintah yang tertuang dalam

Undang-Undang No.20 Tahun 2003 Pasal 12(a) yang membingkai pelajaran agama

secara umum berupa pelajaran Religiositas, pelajaran yang membahas tentang

pentingnya menjalankan ajaran agama secara umum.

Page 22: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

Dinamika aktivitas keberagamaan siswa di sekolah-sekolah berlebel agama

dipengaruhi oleh besar kecilnya pengaruh ideologi dan seberapa kuat pengaruh

yayasan dalam menjadikan sekolah sebagai media penyampaian misi.Hal tersebut

merupakan modal yang sangat besar dalam mengimplementasian Pendidikan Agama

dalam UU SISDIKNAS Tahun 2003.Sedangkan problem dan hambatan dibagi menjadi

dua bagian yaitu problem internal, yaitu problem guru dalam pengajaran yaitu tingkat

pemahaman siswa yang berbeda.Kemudian bagian kedua adalah problem eksternal yaitu

problem orang tua, lingkungan masyarakat dan dampak negatif modernisasi dan

globalisasi. Adanya teknologi maju membuat mereka merasa tidak lagi membutuhkan

orang lain dalam beraktivitasnya. Sedangkan problem orang tua yaitu sibuknya orang tua

dengan pekerjaannya sehingga kurang dapat mengontrol anak-anaknya.

Alasan mendasar perlunya pendidikan agama sepenuhnya dilakukan oleh

institusi keagamaan adalah bahwa institusi keagamaan bisa lebih memahami

kebutuhan para siswa dalam bermasyarakat, karena institusi keagamaan lebih fokus

memperhatikan kehidupan beragama dan bermasyarakat sehari-hari, dan lebih

terbebas dari kepentingan birokrasi dan politis.

Keterbukaan institusi keagamaan terhadap upaya perbaikan hubungan dengan

institusi agama lain juga diperlukan untuk mengevaluasi langkah-langkah yang

dilakukannya dalam upaya memformulasi hubungan agama dan negara. Keterbukan

pada berbagai evaluasi ini juga penting agar lebih institusi agama tidak mudah terseret

dalam aktifitas perebutan politik kekuasaan dan berkonsentrasi pada pembangunan

moral untuk kepentingan masyarakat luas.

Praktek pendidikan agama akan menyisakan ganjalan dalam hidup bersama

bermasyarakat ketika pergulatan ideologi yang dimulai dari wacana keagamaan

berkaitan dengan kehidupan berbangsa dan bernegara belum tuntas. Tarik-menarik

yang terlalu kuat antara ideologisasi agama dan nasionalisme, akan membuat

pendidikan agama di sekolah menjadi ruang perdebatan dan perebutan wacana. Untuk

mencapai kematangan dalam dinamika perkembangan wacana keagamaan, penting

sekali para elit agama mengambil jarak secara proporsional dari kepentingan

kekuasaan untuk lebih berkonsentrasi mengembangkan pemikiran keagamaan yang

menjawab tantangan kehidupan bermasyarakat.

Pada level praktek pendidikan agama, faktor penting yang perlu untuk

dicermati adalah adanya kebutuhan siswa yang sering kali tidak terjawab oleh materi-

materi yang disiapkan oleh kurikulum yang disusun oleh pusat kekuasaan (negara

Page 23: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

melalui departemen pendidikan). Metode yang menggurui dan menggagap rendah

kemampuan siswa juga sangat kontraproduktif dengan keberhasilan belajar.

Kebosanan dan rasa tidak senang baik karena materinya, metode atau kepercayaan

yang rendah termasuk dengan cara memisahkan para siswa yang berbeda agama,

seolah pelajaran suatu agama menjadi rahasia bagi siswa beragama lain perlu ditinjau

kembali.

Pembaharuan di bidang pendidikan agama, juga penting mempertimbangkan

pengurangan beban-beban struktural pendidikan yang terpusat di Jakarta. Dalam hal

pendidikan, yang membutuhkan pembaharuan strategi terus-menerus mengingat

peserta didik adalah manusia yang sangat dinamis dan unik, dan mustahil untuk

didekati dengan cara mengeneralisir konteks dan kebutuhanpara siswanya. Karena itu

sesungguhnya Kurikulum berbasis Kompetensi diandaikan lebih mengakomodir

kebutuhan siswa, minus Ujian Nasional.Menjembatani hal ini penting untuk

dikuatkan gagasan tentang otonomi sekolah dalam rangka lebih mengakomodir

kebutuhan siswa.

Dari penulisan ini penulis dapat memberikan saran kepada Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaanuntuk menerapkan UU SISDIKNAS Tahun 2003 di setiap

lembaga pendidikan perlu ada petunjuk pelaksanaan yang jelas dan juga menyelesaikan

setiap problem yang dihadapi setiap sekolah untuk mengimplementasikan pendidikan

agama dalam UU SISDIKNAS Tahun 2003. Pendidikan Agama dapat disandingkan

dengan agama lain yang ada di sekolah yang menjadi ciri ideologi sekolah, siswa

diberi pemahaman tentang perbedaan agama dan sistem nilai. Siswa diajak untuk

membuka diri dengan memahami ajaran agama lain agar bisa menghargai kebenaran

agama siswa yang lain. Pemberian hak siswa untuk mendapatkan pendidikan agama

sesuai agama yang dianut dan diajarkan oleh guru yang seagama diharapkan dapat

meningkatkan sikap keberagamaan siswa.

Page 24: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

7. Daftar Pustaka

Assegaf, Abd Rachman. 2004. Politik Pendidikan Nasional ,Yogyakarta: Kurnia

Kalam

Baidhawy, Zakiyuddin. 2005. Pendidikan Agama Berwawasan

Multikultural,Jakarta: Penerbit Erlangga

Boehlke, Robert. R. 2009. Sejarah perkembangan pemikiran dan praktek

Pendidikan AgamaKritsten: dari Yohanes Amos Comenius sampai

perkembangan PAK diIndonesia. Jakarta: Gunung Mulia

Cully, Iris V. 1985. Dinamika Pendidikan Kristen. Jakarta: BPK Gunung Mulia

Depertemen Pendidikan Nasional Republik Indonesia. 2003. Undang-Undang

Republik Indonesia Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan

nasinal. Jakarta: Sekretariat Negara

Dister, Nico Syukur Ofm. 1988. Pengalaman dan Motivasi Beragama. Jakarta:

Kanisius

Fadjar,Malik. 2005. Holistika Pemikiran Pendidikan. Jakarta:PT Raja Grafindo

Heribertus, Joko Warmanto. Dkk. 2009.Pendidikan Religiositas. Yogyakarta:

Kanisius

Lucy, Bunda. 2009. Mendidik sesuai dengan minta dan bakat anak. Jakarta:

Tangga Pustaka

Mangunwijaya, Y.B. 1988. Sastra dan Religiositas.Yogyakarta: Kanisus

Mangunwijaya, Y.B. 1991.Menumbuhkan Sikap Religiusitas anak-anak.Jakarta:

PT Gramedia Pustaka Utama

Nuhamara, Daniel. 2007. Pembimbing Pendidikan Agama Kristen.Bandung:

Jurnal Info Media

Redaksi Kanisius. 2008. Paradigma Pedagogi Reflekstif. Yogyakarta: Kanisius

Suryadi, Ace dan Dasim Budimansyah.2009. Paradigma Pembangunan

Pendidikan Nasional.Bandung: Widya Aksara Press

Yamin, Moh. 2012. Sekolah yang Membebaskan. Malang: Madani

Yunus, Firdaus M. 2004. Prndidikan Berbasis Realitas Sosial.Yogyakarta:

Logung Pustaka

Mansula, Dicky S. 2013. “Pendidikan Religiositas Alternatif Pandidikan Agama

Kristen” (Wawancara) Salatiga, 23 September 2013

Page 25: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,

Prasetya, Paul D. 2013. “Pendidikan Religiositas Alternatif Pandidikan Agama

Kristen” (Wawancara) Salatiga, 23 September 2013

Bimas Katolik Jawa Timur, PPR : Paradigma Pedagogi

Reflektif.http://www.bimaskatoloikjatim.com/new2.php?op=150diungga

h pada tanggal 12 Januari 2013

Institut DIAN/interfidei: Pendidikan Agama dalam Masyarakat Multikultur

http://interfidei.or.id/index.php?page=article&id=1(diunggah pada

tanggal 12 Januari 2013)

Lastiko Runtuwene, Penulisan Karya Ilmiah ; 2013. Menerobos Implementasi

Pelajaran Agama Di Sekolah.

Dalamhttp://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=we

b&cd=1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fsu

lut.kemenag.go.id%2Ffile%2Ffile%2FKatolik%2Ffnpc1365033142.pdf

&ei=3A2iU7a7HcGWuATBqoLQCg&usg=AFQjCNGr09XCa922Y0-

bHfqxhLexYM2qXA&sig2=8fpR2jvReqKM5KpIBDY4rw (Diunggah

21 july 2013)

Ringkasan Laporan, Penelitian Problematika Pendidikan Agama Penelitian Di

sekolah-sekolah SD, SMP, SMA di Kota Jogjakarta, 2004-2006. Dalam

http://www.google.co.id/url?sa=t&rct=j&q=&esrc=s&source=web&cd=

1&cad=rja&uact=8&ved=0CBsQFjAA&url=http%3A%2F%2Fe-

dokumen.kemenag.go.id%2Ffiles%2FtF8gZUp21284260139.pdf&ei=A

RyiU_abC5GJuAS66YHwCg&usg=AFQjCNGFUCVRhf6CnF8z3cdlUf

cOU0hL4Q&sig2=u3OIeUj6d6QiuAR9A9FeyA (diunggah 21 July

2013)

Suara Merdeka edisi minggu;Mendesak, Kurikulum Kemajemukan (Semarang;

minggu 12 Juni2005)

http://www.suaramerdeka.com/harian/0506/12/kot10.htm (diunggah pada

tanggal 12 Januari 2013)

Page 26: Relevansi Pendidikan Religiositas Sebagai Alternatif ...repository.uksw.edu/bitstream/123456789/8880/3/T1_712008024_Full... · keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan,