rekonsiliasi tanah kelahiran dalam dua puisi iman …
TRANSCRIPT
88 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
REKONSILIASI TANAH KELAHIRAN DALAM DUA PUISI
IMAN BUDHI SANTOSA
Reconciliation to Motherland in Two Poems by Iman Budhi Santosa
Yohanes Adhi Satiyoko
Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta
Abstrak: Penelitian ini membahas tentang usaha merekonsiliasi pandangan masyarakat Jawa
modern terhadap tanah kelahiran yang diekspresikan dalam puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah
Tanah Jawa” karya Iman Budhi Santosa. Masalah penelitian tentang fenomena sosial budaya yang
tergambar dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” serta ideologi yang melandasi
kedua karya puisi tersebut. Tujuan penelitian adalah menunjukkan fenomena modernitas yang
dijumpai dalam masyarakat Jawa secara umum dan menunjukkan ideologi yang melandasi pencip-
taan puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa”. Pembahasan masalah penelitian dan tujuan
penelitian menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan teori sosiologi Janett Wolff.
Hasil penelitian membuktikan bahwa kedua ekspresi puitik dalam“Ziarah Tembuni” dan “Ziarah
Tanah Jawa” menjadi ajakan rekonsiliasi untuk mengingat, mencintai, dan menyadari asal-usul
kekerabatan manusia-alam dalam konstruksi sosial masyarakat Jawa. Dari hasil penelitian itu
dapat disimpulkan bahwa kekerabatan dapat menghindarkan manusia dari sifat egois dan individu-alis. Diidealkan manusia mengalami modernitas dalam aktivitas kehidupan tetapi tetap ber-
landaskan pada budaya dan tradisi lokal atau bangsa sendiri.
Kata-kata kunci: rekonsiliasi, puisi, konstruksi sosial, Jawa
Abstract: This research discusses the effort of reconciliation to the Javanese people view to their
land of origin as expressed in the poems “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Jawa” by Iman
Budhi Santosa. The problem formulation is how social and cultural phenomena portrayed in those
poems “Ziarah Tanah Jawa” and “Ziarah Tembuni” and ideology of its creation. The purpose of
the research is to show modernity phenomena as faced by Javanese people in common and show
the the ideology as the foundation of the poems creation. The discussion of the problem formula-
tion and the purpose of the research use qualitative method with sociology theory by Janet Wolff. The result shows that those two poetic expressions of “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Ja-
wa” sound to ask reconciliation to remind, love, and realize the origin of the kinship of man-
nature in the Javanese social construction. The result of the research concludes that kinship can
avoid character of selfish and individualistic. Ideally, people face and experience modernity in life
but they have to base it on local culture and tradition of their own country.
Keywords: reconciliation, poem,social construction, Java
How to Cite: Satiyoko, Yohanes Adhi. (2019). Rekonsiliasi Tanah Kelahiran Dalam Dua Puisi
Iman Budhi Santosa. Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 8 (1), 88—112,
https://doi.org/10.26499/jentera.v8i1.1063
PENDAHULUAN
Rekonsiliasi adalah sebuah perbuatan memulihkan persahabatan ke keadaan
semula (KBBI V daring). Sebuah rekonsiliasi dilakukan pada suatu kondisi terten-
tu, biasanya pada kondisi kritis. Rekonsiliasi kepada tanah kelahiran adalah se-
Naskah diterima: 3 Desember 2018; direvisi: 31 Mei 2019; disetujui: 31 Mei 2019
doi.org/10.26499/jentera.v7i2.1063
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 89
buah ajakan bagi individu atau sekelompok orang untuk kembali bersahabat
dengan keadaan sosial budaya dan kerabat seperti yang pernah dijalani oleh mere-
ka semasa kecil atau semasa nenek moyang mereka. Pola kehidupan modern dan
tradisional adalah dua karakter tata kehidupan sosial budaya yang berbeda dan
perlu kesiapan sikap dan mental untuk menjalaninya.
Pola kehidupan modern tidak dapat dilepaskan dari aktivitas pergerakam
masyarakat urban, perpindahan masyarakat dari daerah pinggiran ke kota besar.
Jakarta adalah salah satu ikon kehidupan modern dengan pola tatakota yang me-
tropolis. Masyarakat urban dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang
mempunyai tradisi atau kebiasaan tertentu. Pengertian urban terletak pada perbe-
daan sifat kehidupan dengan masyarakat pedesaan, seperti kehidupan religi dan
keagamaan yang berkurang, cara berpikir rasional yang mengedepankan perhi-
tungan eksak. Cara berpikir rasional ini disebabkan karena mereka hidup dan be-
raktivitas di dalam ranah kehidupan yang berdasarkan prinsip ekonomi dan
perdagangan. Selain itu, masyarakat urban cenderung mengurus kepentingannya
sendiri-sendiri sebagai individu (individualis). Implikasinya adalah kehidupan
keluarga dan kekerabatan terkadang sukar dipersatukan karena kepentingan-
kepentingan individu yang berbeda. Di samping itu latar pendidikan juga mem-
bedakan tingkah laku dan kebutuhan hidup tiap individu yang mengerucut pada
munculnya kelompok-kelompok kecil sesuai bidang keahlian mereka. Berikutnya
adalah jalan pikiran yang rasional yang menyebabkan setiap individu memperhi-
tungkan waktu demi mengejar kebutuhan individual mereka (Soekamto, 2002:
139-140; dalam Purwantini, 2016:164).
Indonesia sebagai negara agraris masih dominan memegang teguh adat-
istiadat serta budaya kekerabatan yang erat. Namun, terjangan modernisasi dalam
gelombang globalisasi mempunyai iming-iming tersendiri bagi sebagian masyara-
kat untuk mengimitasinya dan menjadi bagian dari modernitas tersebut. Di sisi
lain, sebagian masyarakat urban, yang berpindah dari desa ke kota mengalami
gegar budaya (cultural shock). Hal ini terjadi karena mereka berada dalam ling-
kungan baru yang berbeda dari tempat asal mereka di negerinya sendiri (intrana-
sional). Keadaan ini dipicu oleh rasa cemas yang muncul karena mereka ke-
hilangan tanda serta hubungan sosial yang sudah lama dikenal atau familiar dalam
90 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
lingkungan dan interaksi sosial di tempat mereka sebelumnya. Tanda-tanda terse-
but adalah petunjuk dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, ke-
biasaan-kebiasaan, serta norma-norma yang diperoleh individu sepanjang ke-
hidupan mereka di tanah asal atau kelahiran (Mulyana, 2016: 175; dalam Devinta,
Hidayah, dan Hendrastomo, 2015:4). Secara tersirat, pernyataan Mulyana (2016)
menegaskan bahwa kehidupan di tanah asal atau tanah kelahiran telah membentuk
adat kebiasaan individu yang berkerabat mendalam secara sosial budaya. Adaptasi
terhadap budaya urban akan menggerus sikap berkerabat yang pernah dilakoni
oleh individu di daerah asalnya.
Indonesia diibaratkan sebagai jagat ageng atau dunia besar dan berbagai
suku bangsa dengan daerah tempat tinggal mereka sebagai jagat alit atau dunia
kecil. Jagat Jawa sebagai salah satu jagat alit mempunyai masyarakat yang harus
menjawa (seperti juga mengindonesia). Jangan sampai muncul ungkapan “orang
Indonesia hilang keindonesiaannya” seperti di Jawa “wong Jawa ilang Jawane”
karena mengimitasi modernitas secara tidak tepat. Jawa adalah Indonesia, seperti
juga Bali, Papua, Aceh, Kalimantan adalah Indonesia, maka membangun
masyarakat Jawa adalah juga membangun masyarakat Indonesia. Maka, sikap
handarbeni atau memiliki perlu ditanamkan dalam ranah kedaerahan terlebih da-
hulu (jagat alit). Kesadaran akan jati diri sebagai orang Jawa (juga suku bangsa
lain di Indonesia dalam kerangka nasional) perlu dimunculkan dan dimaksimalkan
untuk membangun tanah kelahiran (Satiyoko, 2012: 248).
Sastra sebagai sebuah produk masyarakat (social production of art)
mempunyai peran penting dalam mengevaluasi tata kehidupan masyarakat terse-
but. Karya sastra hadir sebagai social production of art, yaitu hasil karya yang
berdasarkan latar sosial budaya masyarakat tertentu. Dengan demikian, karya sas-
tra merupakan elemen rekonsiliasi bagi masyarakat, selain arena untuk apresiasi
isi karya sastra tersebut. Karya sastra hadir sebagai evaluator sosial budaya yang
menyuguhkan gambaran masyarakat sejujurnya. Puisi adalah salah satu jenis kar-
ya sastra yang mampu memberi evaluasi estetik terhadap kehidupan masyarakat.
Karya-karya puisi Iman Budhi Santosa adalah satu dari sekian banyak karya
sastrawan yang berkredo tentang kekerabatan dan hubungan manusia dengan
alam, khususnya Jawa. “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” adalah dua
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 91
dari karya Iman Budhi Santosa yang secara tegas menyuarakan rekonsiliasi
dengan tanah kelahiran, yaitu Jawa. “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni”
dimuat dalam buku Narasi Tembuni, Kumpulan Puisi Terbaik KSI Award 2012
Komunitas Sastra Indonesia. Penelitian ini sedikit banyak menyambung nada
keprihatinan dan kerinduan terhadap tanah tumpah darah, khususnya Jawa, seperti
penelitian terdahulu tentang “Wong Jawa” dalam geguritan “Serere Adhuh Lae”
karya Turiyo Ragilputro dan “Siter Gadhing” karya Djaimin Kariyodimejo” yang
dilakukan oleh Satiyoko (2012). Dalam penelitian tersebut tersirat kecaman dan
satire terhadap gaya hidup masyarakat desa yang sok kekota-kotaan (sindiran
kepada pemuda yang hijrah ke kota dan melupakan berbagai tata kehidupan bu-
daya desa dengan berbagai karakternya).
Masalah yang diangkat dalam penelitian dipilah menjadi dua, 1)
bagaimanakah gambaran atau fenomena sosial budaya masyarakat Jawa yang ter-
gambar dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” yang terimbas
kehidupan modernitas dan globalisasi, 2). Apa ideologi penciptaan kedua puisi
Iman Budhi Santosa, “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni”. Kedua masalah
tersebut diuraikan dalam tujuan penelitian, yaitu untuk 1) Mmenunjukkan fenom-
ena sosial budaya masyarakat Jawa dalam arus modernitas melalui pemaparan
latar sosial budaya interaksi sosial pengarang dengan lingkungan sosialnya dan 2)
menunjukkan ideologi penciptaan puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tem-
buni”.
LANDASAN TEORI
Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan teori sastra verstehen Janet Wolff
(1975). Kajian sosiologi verstehen atau fenomenologis digunakan oleh Wolff un-
tuk menunjukkan metode kajian sosiologi yang digunakannya dengan dasar fe-
nomenologi pengetahuan. Terminologi verstehen berasal dari bahasa Jerman yang
berarti understanding atau pemahaman. Di dalam kajian sosiologi, pemahaman
yang dimaksud adalah pemahaman mengenai individu dalam kehidupan sosialnya
(Wolff, 1975: 4-6).
Wolff membagi pembicaraan sesuai dengan proses berpikir fenomenologi
pengetahuan, yaitu (a) fenomenologi pengetahuan dan konstruksi sosial dunia, (b)
92 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
bahasa dan pengetahuan tentang dunia, dan (c) pengetahuan perhatian dan ideolo-
gi. Tahap fenomenologi pengetahuan dan konstruksi sosial dunia bertitik tolak
dari lebenswelt sebagai kerangka kerjanya (point of reference). Lebenswelt atau
dunia kehidupan sosial merujuk pada lingkungan sosial budaya tempat individu
melakukan aktivitas sehari-hari (Wolff, 1975: 12). Dengan demikian, tahap per-
tama ini pembahasan berfokus pada dunia sosial budaya tempat individu
pengarang tinggal dan beraktivitas sebagai anggota masyarakat. Gambaran le-
benswelt (dunia kehidupan sehari-hari) dianggap mampu memberikan penge-
tahuan yang berasal dari masyarakat, terlepas dari kesahihan atau ketaksahihan
pengetahuan tersebut (Berger, 1990: 4).
Tahap Bahasa dan Pengetahuan Dunia mengupas pengalaman individu
secara subyektif dan obyektif. Pengalaman subyektif individu tersebut oleh Wolff
disebut sebagai experiential biography atau dikatakan Wolff sebagai mode of ex-
perience grounded. Pengalaman subyektif individu didasarkan pada aktivitas
sehari-harinya berinteraksi dengan masyarakat tempat dia tinggal dan dalam wak-
tu tertentu. Pengalaman, pikiran, ide dan gagasan pengarang diekspresikan me-
lalui ekspresi bahasa dalam karyanya. Bahasa yang diekspresikan oleh individu
dalam sebuah media ekspresi (karya sastra sebagai produk sosial) mampu menjadi
tempat penyimpanan yang obyektif dari akumulasi makna dan pengalaman yang
besar sekali dan yang kemudian dapat dilestarikan dalam waktu dan diteruskan
kepada generasi berikutnya (Berger, 1990: 53). Kemampuan bahasa seperti di-
paparkan Berger berimplikasi pada manfaat bahasa sebagai alat komunikasi antara
pengarang dan pembaca sehingga dapat diperoleh pemahaman mengenai makna-
makna, yang secara simbolis (tipifikasi atau perlambangan) dalam ekspresi
kesastraannya, dibuat oleh pengarang dalam sebuah karya sastra. (Wolff,
1975:30).
Tanda mempunyai tujuan untuk menunjukkan makna subyektif dari orang
yang membuatnya. Secara objektif, tanda dalam kenyataan bersama dialami oleh
dia, saya, dan orang lain (Berger 1990: 51). Pemahaman mengenai makna di balik
tanda-tanda yang diketahui melalui tindakan sosial harus memenuhi syarat, yaitu
pemahaman terhadap bahasa. Syarat tersebut dikemukakan oleh Weber dan
Schutz (dalam Wolff, 1975: 21). Selanjutnya, metode verstehen dalam kajian so-
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 93
siologi pengetahuan Wolff mensyaratkan pemahaman bahasa dan gaya berbicara
subjek (Wolff, 1975: 30). Bahasa seorang subjek mempertahankan dan mengek-
spresikan kenyataan, lebih dari sekadar sebuah kreasi. Maka, pemahaman
mengenai bahasa merupakan syarat paling dasar untuk memahami kenyataan da-
lam kehidupan sehari-hari individu pengarang (Wolff, 1975: 30).
Tahap ketiga adalah pengetahuan dan ideologi yang menghasilkan sim-
pulan dari tafsir sosial dalam tipifikasi melalui bahasa ekspresi karya sastra yang
terstruktur. Simpulan tersebut merupakan buah ideologi yang menjadi sebuah
pengetahuan dalam kerangka dunia sosial (Wolff, 1981:51). Ideologi (Bullock,
1988: 404) hadir sebagai sebuah penegasan tentang berbagai hal khusus yang
menjadi daya tarik (interest) dalam kehidupan sosial. Lebih lanjut, Wolff merinci
uraian mengenai ideologi, yaitu usaha mengungkap hakikat kenyataan dari realita
sosial ekonomi dan politik dengan sistem representasi yang dinyatakan dengan
gagasan atau ide yang tidak berdiri sendiri dari kondisi material yang ada tetapi
terstruktur dan tersistem. Jadi, ideologi sebagai representasi ide atau gagasan indi-
vidual yang menyuarakan hakikat manusia dalam interaksi sosial mereka didasari
oleh latar sosial kehidupannya. Tujuan kajian sosiologi verstehen adalah menun-
jukkan hakikat kemanusiaan (the nature of mankind), yaitu individu dan dunia so-
sialnya.
Ideologi yang diekspresikan oleh Iman Budhi Santosa yang menggam-
barkan sisi humanitas atau kemanusiaan terlihat dari upayanya menerbitkan ban-
yak karya sastra. Sebagai sebuah ekspresi yang berlandaskan fenomena sosial
yang dijumpainya, Iman tidak mencari laba sebagai sulih hasil cipta
kepengarangannya. Sastra digunakannya sebagai sarana mengekspresikan kegeli-
sahan yang berkontribusi pada kemanusiaan, sekaligus ekspresi spiritualnya (Sa-
fitri, 2015:130). Kajian tersebut menunjukkan perjalanan Iman Budhi Santosa
sampai memperoleh posisi terkonsentrasi dalam arena sastra dalam tulisan Safitri
(2015) berjudul “Pergulatan Iman Budhi Santosa untuk Mencapai Posisi Ter-
konsentrasi dalam Arena Sastra Yogyakarta.”
Sisi kemanusiaan Iman Budhi Santosa juga pernah dibedah dalam disertasi
karya Dian Lufia Rahmawati dan disajikan dalam buku berjudul Jiwa Puisi. Puisi-
Puisi Iman Budhi Santosa dalam Pendekatan Psikofilosofi Berdsarkan Perspektif
94 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
Ki Ageng Suryomentaram. Diterbitkan oleh Interlude tahun 2019. Rahmawati
(2019) menunjukkan sisi kemanusiaan dalam praktik ekspresi sastra dan filosofi
psikologis manusia berdasarkan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dalam
kerangka kehidupan dan pola pikir masyarakat Jawa.
Penelitian tentang dua puisi Iman Budhi Santosa ini merupakan upaya
memperkaya data tentang ideologi kepengarangannya yang berupaya mengangkat
humanitas dan mengesampingkan capaian kapital semata. Ziarah Tembuni dan
Ziarah Tanah Jawa diuraikan dalam penelitian ini sebagai dua buah puisi yang
bernalogi tentang kehidupan orang-orang Jawa di desa. Di sisi lain kedua puisi
tersebut diekspresikan Iman sebagai ibarat sampiran dan isi dalam sebuah ekspresi
pantun.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif sesuai dengan masalah
yang telah dirumuskan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuann-
ya tidak diperoleh melalui prosedur statistik (Strauss dan Corbin, 2013:4-5; dalam
Lestari, dkk., 2018:183). Penelitian kualitatif bermaksud memahami fenomena
yang dialami subjek dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pa-
da konteks khusus dengan memanfaatkan metode ilmiah.
Sumber data adalah dua puisi karya Iman Budhi Santosa berjudul “Ziarah
Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” yang dimuat dalam Narasi Tembuni. Kum-
pulan Puisi Terbaik KSI Award 2012 Komunitas Sastra Indonesia, diterbitkan atas
kerja sama Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Badan Pengembangan dan
Pembinaan Bahasa, tahun 2012. Data penelitian ini adalah kata-kata, frasa, klausa,
kalimat yang terdapat dalam kedua puisi tersebut. Analisis data dilakukan dengan
menggunakan teori sosiologi verstehen Verstehen Janet Wolff (1975).
Pembahasan dalam analisis dibagi menjadi tiga tahap sesuai dengan
kerangka teoretis Wolff. Pertama adalah pembahasan tentang fenomena sosial bu-
daya masyarakat Jawa. Tahap ini menguraikan pandangan fenomena sosial bu-
daya tempat pengarang tinggal sebagai anggota masyarakat. Pembahasan tentang
subjek pengarang (Iman Budhi Santosa) dalam dunia sosialnya (Yogyakarta),
tempat dia hidup, berkarya sebagai sastrawan, dan mengkritisi fenomena moderni-
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 95
tas dalam budaya masyarakat Jawa. Ini adalah sebuah cara verstehen, yaitu mem-
berikan pemahaman yang sahih atas kenyataan terhadap fenomena dan individu
yang mengalaminya (mode of experience grounded). Berikutnya adalah pembaha-
san tentang bahasa dan pengetahuan dunia. Tahap ini membahas tentang
penggunaan bahasa atau ekspresi sebagai perlambangan atau tipifikasi dalam puisi
“Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” yang dicipta oleh Iman Budhi Santo-
sa. Ekspresi kebahasaan dengan diksi yang beridiom Jawa menjadi fokus pemba-
hasan. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan dan ideologi. Tahap ini menjadi
tahap tafsir terhadap tipifikasi atau perlambangan yang menjadi ideologi
kepengarangan Iman Budhi Santosa dalam puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah
Tanah Jawa” yang menjadi pengetahuan baru bagi masyarakat pembaca.
PEMBAHASAN
4.1 Modernitas dalam Budaya Jawa
Konsep fenomena sosial dan konstruksi sosial menurut Wolff (1975)
mengambil sudut pandang lingkungan sosial budaya tempat pengarang hidup.
Wolff mengutip ungkapan Spielberg dalam, glossary of phenomenological terms
mengenai Lebenswelt atau dunia kehidupan, yaitu kehidupan mempunyai be-
ragam dinamika yang dapat ditangkap oleh panca indera dan dialami oleh manu-
sia. Lebih lanjut Wolff menyatakan bahwa untuk mewujudkan sebuah dunia so-
sial (lebenswelt) yang objektif diperlukan model semacam pengalaman individu
(mode of experience grounded) pengarang (Schultz, 1967 dalam Wolff, 1975: 16).
Lebenswelt diperoleh karena pengarang mengalami sendiri apa yang ditulisnya.
Pengalaman ini membuka cakrawala baru mengenai sebuah dunia yang hidup
dengan berbagai fenomena kemanusiaannya. Konsep fenomenologi dalam so-
siologi Verstehen mengambil Lebenswelt sebagai point of reference (Wolff,
1975:14). Pengalaman yang dimaksud bukanlah pengalaman yang kebetulan,
tetapi suatu bentuk pengalaman yang mempunyai arti bagi pengalaman (author)
yang ditafsirkan dalam konteks keberadaan dunia kehidupan yang dihadapi pen-
galam (existing life-world) (Wolff, 1975: 16).
Ketika seorang pengarang menulis mengenai satu dunia, tulisan tersebut
didasari oleh pengalaman yang benar-benar pernah dialaminya, bukan didasarkan
96 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
pada kajian pustaka (library research). Uraian tersebut menunjukkan pentingnya
peran kesadaran (consciousness) seorang individu (author) untuk terlibat dan ber-
interaksi dengan masyarakat tempat dia tinggal. Dengan kesadaran (conscious-
ness), pengalaman yang direkam seorang individu tidak bersifat kebetulan (con-
tingent fact) tetapi benar-benar dikehendaki oleh individu tersebut untuk
diketahui. Inilah yang disebut oleh Schultz dengan mode experience grounded.
Dasar pemahaman inilah yang menjadi landasan utama fenomenologi yang be-
rusaha mengungkap keseluruhan pengalaman hidup pengarang dalam dunia yang
menyimpan arti (meaningful world). Dalam hal ini dijelaskan tentang fenomena
modernitas, implikasinya, dan tanggapan pengarang (Iman Budhi Santosa) ter-
hadap dunia yang dihadapinya.
Fenomena modernitas dapat dilihat dari berbagai sisi kehidupan, seperti
saat ini sudah muncul revolusi industri 4.0. Era industri ini memandang teknologi
informasi menjadi basis dalam kehidupan bermasyarakat. Penggunaan perangkat
komputer dan data yang tidak terbatas akibat perkembangan internet dan teknolo-
gi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan jejaring koneksi
manusia dan mesin mengakibatkan segala informasi dan komunikasi berjalan
tanpa batas, tanpa harus hadir dan bertatap muka langsung. Era seperti ini berim-
bas pada disrupsi aneka aktivitas pengetahuan, seni, budaya, pendidikan, serta
kekerabatan manusia (Suwandi, 2018: 2).
Lebih lanjut, konsep revolusi industri ini memodernkan segala aspek ke-
hidupan yang bermuara pada efektivitas, produktivitas, dan individualitas. Dasar
perkembangan ekonomi, teknologi, dan kapital adalah tujuan yang harus dipenuhi
dalam era modern seperti ini. Pada konteks revolusi industri tersebut, proses yang
terjadi adalah perubahan sosial dan budaya yang berlangsung secara cepat dan
menyangkut kebutuhan mendasar atau pokok manusia. Perubahan tersebut terjadi
karena direncanakan atau tidak direncanakan (Suwardana, 2017:103). Kota indus-
tri adalah arena berkembangnya dan berprosesnya modernitas yang berbasis
teknologi. Jakarta, sebagai kota metropolitan dan ibukota negara merupakan ikon
perkembangan teknologi dan industri di Indonesia. Sebagai ibukota, Jakarta
menawarkan segudang gaya hidup yang modern, yang berkiblat pada budaya barat
sebagai kiblatnya (western culture). Dengan demikian, Jakarta menjadi kota ur-
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 97
ban, kota tujuan para pendatang dari daerah atau Jawa (sebutan untuk daerah di
Jawa selain Ibukota Jakarta). Jadi, ketika terjadi urbanisasi dari Yogya ke Jakarta
dikatakan dari Jawa ke ibukota. Sebaliknya ketika pulang dari Jakarta ke Yogya-
karta, orang-orang mengatakan pulang ke Jawa.
Budaya urbanisasi terkadang terjadi tidak berpola. Setiap kali orang desa
yang telah bekerja di kota kembali ke desa, mereka akan mengajak teman-teman
mereka di desa untuk “meraih mimpi” di kota. Momen hari besar, seperti lebaran
dan tahun baru menjadi titik urbanisasi besar-besaran. Impian akan kehidupan
yang lebih mudah, menyenangkan, dan menghasilkan uang telah mengaburkan
akal sehat kaum urban sehingga banyak orang yang berangkat menuju ibukota
tanpa “bekal” yang memadai untuk hidup dan bekerja. Ketidaksiapan hidup di ko-
ta dengan berbagai kompleksitas permasalahannya membuat orang-orang urban
tidak mampu mengendalikan keteraturan dan keseimbangan pikiran, perasaan, dan
perbuatan mereka. Pengangguran adalah akibat nyata dari ketidaksiapan keahlian
(skill) kaum urban. Tentunya, pengangguran akan mengarah kepada kemiskinan,
bahkan kriminalitas.
Fenomena modernitas tidak saja terjadi melalui urbanisasi, tetapi juga
penggunaan peranti komunikasi yang terus berkembang dan semakin canggih.
Tidak berbeda dengan urbanisasi, kemajuan teknologi mampu mengalienasi indi-
vidu dan lingkungan sosial budayanya. Urbanisasi menjauhkan jarak antarindi-
vidu karena letak geografis, sedangkan penggunaan peranti komunikasi modern,
seperti gadget, tablet, smartphone menjauhkan individu dari komunikasi verbal,
interaksi fisik, dan kekerabatan. Aneka aktivitas berinteraksi dan berkerabat sudah
diwakili oleh peranti tersebut yang dapat dioperasikan di mana saja tanpa perlu
berpindah tempat. Aktivitas seperti itu menimbulkan sikap dan sifat egois; kurang
perhatian terhadap sesama.
Modernitas adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan, tetapi moderni-
tas yang merasuk dalam alam pikir individu atau masyarakat diharapkan tetap
mampu menyejajar dengan tradisi dan budaya setempat. Hal ini dapat
menghindarkan masyarakat dari gegar budaya. Beragam aktivitas budaya dan
tradisi memudar ketika tatap muka dan kehadiran untuk sowan kepada orang tua
atau sesepuh sudah digantikan dengan tulisan dan gambar di whatsapp, facebook,
98 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
instagram, atau media sosial lain yang serupa. Ucapan selamat hari raya kepada
kerabat dan handai taulan sudah tidak lagi diwakili dengan jabat tangan, tetapi
melalui representasi ikon-ikon di media sosial. Terlepas dari efektivitas dan acuan
kapital, banyak aktivitas kekerabatan dan budaya masyarakat Jawa mulai
memudar. Sekarang sangat jarang dijumpai aktivitas rewang (gotong royong
membantu) untuk membantu keluarga yang punya hajat. Lebih praktis keluarga
tersebut memanfaatkan jasa event organizer. Tradisi ruwahan menjelang puasa
pun sekarang mulai tidak terlihat. Tidak ada lagi keluarga yang membuat apem,
ketan, kolak yang diberikan kepada tetangga. Kalau pun ada sesajian tersebut
dibuat instan, dengan memesan kepada penjual makanan. Memudarnya tradisi
kenduri untuk merayakan atau mengenang seseorang yang sudah meninggal.
Menengok leluhur di makam pada bulan ruwah (kalender Jawa) pun jarang dil-
akukan, khususnya generasi muda. Tradisi berkumpul, berkerabat, dan saling
memberi perhatian sudah mulai pudar seiring kebutuhan hidup yang berkiblat pa-
da modernitas yang mengedepankan efektivitas, efisiensi, dan individual. Kiblat
modernitas adalah kiblat industrialis-teknologis yang mengedepankan kebangunan
fisik secara dominan. Tidak heran jika kemudian muncul alienasi terhadap budaya
lokal. Yogyakarta sebagai bagian dari daerah lokal Jawa tidak lepas dari pengaruh
globalisasi yang modern.
Yogyakarta adalah salah satu kota dengan tradisi budaya Jawa yang di-
anggap masih kuat. Sebagai salah satu kota tujuan wisata dan kota pelajar, Yog-
yakarta menjadi penumpu industri kreatif budaya dan tradisi. Namun, globalisasi
telah mengubah konstelasi kebudayaan. Usaha ekonomi yang memproduksi ba-
rang kebudayaan sudah tergantikan oleh dan dikuasai oleh industri asing. Kuliner
asing, seperti hamburger, hot dog dengan industri waralabanya, Mc.Donalds, Ken-
tucky Fried Chicken sudah memarjinalkan kesukaan masyarakat mengunsumsi
geplak, thiwul, gatot, cenil, serta jajan pasar lainnya. Pakaian tradisional, per-
mainan tradisional sudah mulai ditinggalkan, kalah oleh gaya pakaian dari luar
negeri dan game-game yang sangat mudah diunduh dari application store melalui
aplikasi android (Soeroso dan Susilo, 2008:145). Rekaman atas dinamika
perkembangan modernitas dan globalisasi juga dicatat dan dialami sendiri oleh
Iman Budhi Santosa, seorang sastrawan yang bergelut dengan dunia sastra Yog-
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 99
yakarta. Model pengalaman individu (mode of experience grounded) yang dis-
yaratkan oleh Schultz (1967) dalam Wolff (1975: 16) terpenuhi dengan merujuk
kepada dunia social (lebenswelt) yang objektif dari aktivitas bersastra Iman Budhi
Santosa sejak hijrahnya ke Yogyakarta, melakoni aktivitas sastra dengan Persada
Studi Klub (PSK) bersama Umbu Landhu Paranggi, sampai sekarang (2019) tetap
menyuarakan sastra bertema sosial kemanusiaan.
Iman Budhi Santosa adalah seorang yang lahir dari keluarga priyayi di
Magetan, Jawa Timur. Sejak kecil, kakek Iman memberi pengaruh kuat kepadan-
ya tentang pentingnya mencatat dan menulis semua hal yang dia jumpai. Berbagai
pertanyaan sederhana dilontarkan kepada Iman untuk mengasah pikiran kritis da-
lam menjawab berbagai fenomena sosial budaya di sekitarnya. Pertanyaan ten-
tang di mana kuburan burung yang mati tanpa dibunuh ditemukan, dan menapa
kucing mati secara alami tidak berada di sembarang tempat. Pengondisian
pemikiran kritis yang terbina sejak kecil tersebut akhirnya terbawa oleh Iman
Budhi Santosa sampai dewasa dengan mencermati, mengobservasi, mencatat, dan
mengevaluasi secara kritis keadaan yang dijumpainya. Aktivitas menulis Iman,
yang juga dipupuk dan dipengaruhi oleh ibunya mengerucut pada ekspresi
kesastraan yang akhirnya mentahbiskannya menjadi seorang sastrawan yang
kritis. Kekritisan Iman dalam melihat fenomena sosial budaya membawanya pada
kepedulian terhadap alam sekitar dan kekerabatan manusia (Safitri, 2015:126-
127).
Perjalanan hidup bagi Iman Budhi Santosa akhirnya menempatkannya se-
bagai sastrawan yang berpengaruh dan senior di Yogyakarta. Yogyakarta meru-
pakan sebuah arena yang masih mempunyai kekerabatan yang kuat, sebuah kota
dengan masyarakat yang dikatakan pinggiran jika disejajarkan dengan modernitas
masyarakat urban. Ada magnet kekerabatan yang kuat dan mengakar di kota Yog-
yakarta. Maka, aktivitas kesastraan Iman sewaktu masih aktif di Persada Studi
Klub (PSK) bersama Umbu Landhu Paranggi adalah melihat masyarakat ping-
giran atau marginal yang dijumpainya. Malioboro adalah salah satu arena studi
Iman melihat masyarakat marjinal, seperti tukang becak, gelandangan, serta pen-
gemis. Tiada lain, aktivitas Iman adalah sebuah proses mengasah imaji dan hati
untuk tetap mengakar pada kekerabatan (Safitri, 2015:128). Prinsip niteni, eling
100 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
lan waspada serta eling marang sangkan paraning dumadi selalu menginspirasi
Iman Budhi Santosa dalam mencipta karya-karyanya.
Dalam perjalanan hidup, Iman juga menghadapi berbagai pengalaman
spiritual, sosial, kekerabatan, bahkan yang juga dialaminya di dalam keluarga.
Iman banyak melihat sisi humanis manusia dalam perjalanan hidup, pekerjaannya
yang bersinggungan dengan pegawai negeri sipil serta perkebunan dan hutan se-
hingga memunculkan ekspresi spiritual dalam petuah-petuah hidup yang me-
warnai karya kepenyairannya. Tradisi mencatat di masa kecil telah mengantarkan
Iman untuk mengekspresikannya melalui ranah estetis, yaitu kepenyairan. Catatan
adalah jejak tapak yang menyadarkannya. Memperkaya diri melalui berbagai
komunitas sastra, seperti keterlibatannya dalam PSK di Malioboro tahun 1969 dan
komunitas-komunitas sastra sampai sekarang telah mengantarkan Iman menjadi
“buku berjalan” di ranah sastra Yogyakarta (Santosa, 2016: 333-341). Kekayaan
bekal sosial budaya Iman Budhi Santosa inilah yang mentahbiskannya menjadi
seorang sastrawan senior di Yogyakarta.
Perhatian dan keprihatinan terhadap kekerabatan yang semakin tergerus
oleh modernisasi terekspresi melalui berbagai karya sastranya, di antaranya Dunia
Batin Orang Jawa (2007), Budi Pekerti Bangsa (2008), 3 Cerita Anak Keislaman
(2008), Peribahasa Indonesia (2009), Nguri-Uri Paribasan Jawi (2010), Nasihat
Hidup Orang Jawa (2010), Laku Prihatin, Investasi Menuju Sukses ala Manusia
Jawa (2011), Petuah-petuah Bijak Leluhur Nusantara Seputar Perkawinan (2011),
Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagat Wayang (2011), Ziarah Tanah Jawa
(2013), Manusia Jawa Mencari Keheningan Hati (2014), Sesanti Tedhak Siti
(2015), Peribahasa Nusantara, Mata Air Kearifan Bangsa (2016), Suta Naya
Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan (2017). Selain karya sastra, Iman
Budhi Santosa juga dipercaya menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogya-
karta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa, menerbitkan majalah Sabana (2013),
menerima penghargaan sebagai Penggerak Sastra Indonesia dari Balai Bahasa
Yogyakarta (2009), KSI Award (2012), Anugerah Sastra dari Pemprov DIY
(2013), Anugerah dari YASAYO (2015), dan penghargaan lainnya.
Berbagai pencapaian dan penghargaan menjadi motor penggerak kreativi-
tas Iman Budhi Santosa. Dengan mengikuti perkembangan zaman, modernitas,
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 101
dalam kacamata Iman Budhi Santosa merupakan suatu gaya hidup baru yang
dirombak dari nilai-nilai tradisi dan adat kebiasaan warisan nenek moyang, yang
dirasa “ketinggalan zaman” (2018:60). Hijrah menuju ke kehidupan urban
mempunyai sisi negatif dan positif sebagai konsekuensi sebuah kemajuan
“peradaban”. Tarik-menarik antara desa kota sudah tidak berimbang lagi karena
lebih banyak tawaran visual dan fisik yang menyenangkan di kota daripada ta-
waran desa yang monoton dan tradisional. Namun, di balik modernitas tersebut,
ternyata kemajuannya tidak diimbangi dengan kematangan mental sehingga
sebenarnya banyak timbul kegagalan dalam kehidupan para kaum urban dan
calon-calon urban. Kegagalan inilah yang sering mengemuka dan menimbulkan
berbagai akibat yang bertentangan dengan norma-norma sosial kemasyarakatan,
seperti kriminalitas, pelanggaran terhadap norma-norma susila dan etika sosial,
serta berbagai hal lain yang akhirnya berimbas ke kelompok, bukan lagi menjadi
masalah individual. Kota metropolitan adalah tolok ukur sebuah “peradaban” mo-
dernitas yang nyata. Kehadiran modernitas semakin lama semakin menawarkan
produk-produk fisik baru sebagai penunjang kebutuhan (gaya) hidup. Hal ini
meminggirkan, meredupkan, dan bahkan mengalienasi masyarakat dengan gaya
hidup tradisional yang masih memegang tradisi dan budaya yang mungkin secara
diam-diam masih menyimpan nilai, kepercayaan, dan perilaku lama (Santosa,
2018:60). Perilaku lama yang dimaksud Iman adalah kebiasaan masyarakat hidup
berkerabat.
Masyarakat yang masih memegang tradisi gotong-royong, saling memban-
tu jika ada kesulitan dan jika ada hajatan adalah masyarakat yang masih me-
megang kuat kekerabatan. Tradisi dan budaya berkerabat membentuk individu-
individu di dalam kelompok masyarakat tersebut bersikap sopan, ramah, saling
menghargai, saling menyapa, dan saling membantu. Sikap tersebut menumbuhkan
rasa toleransi terhadap sesama penduduk (desa), bahkan meluas pula terhadap
orang-orang yang datang dan memasuki wilayah tempat mereka tinggal. Sikap
ramah, rukun, sabar, sopan-santun, tulus, saling membantu terbentuk karena
“keramahan” dan “keteduhan” masyarakatnya. Budaya dan tradisi semacam itu
masih banyak dijumpai di desa-desa, kota-kota kecil, serta kampung-kampung.
Lingkungan masyarakat yang masih memegang kekerabatan secara kuat biasanya
102 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
mempunyai lingkungan alam yang sejuk. Alam tersebut memberi ruang nyaman
bagi hati dan fisik masyarakatnya sehingga aktivitas sosial budaya orang-orang
desa terbentuk dengan pola dan manajemen alamiah.
Fenomena sosial budaya masyarakat yang hidup dengan perilaku modern
mengusik hati Iman Budhi Santosa. Seperti geguritan “Serere Adhuh Lae” karya
Turiyo Ragilputro yang menyitir pedas perilaku anak-anak muda yang sudah
melupakan budaya dan tradisi pedesaan karena mengalami gegar budaya. Maka
puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” ciptaan Iman Budhi Santosa
secara persuasif mengajak mereka yang sudah teralienasi dengan budaya lokal dan
tanah kelahiran untuk mengingat kembali dan peduli dengan budaya dan pranata
sosial serta tradisi tempat mereka lahir, yaitu tanah Jawa.
4.2 Jawa dan Alam Kejawaan
Ekspresi kepengarangan Iman Budhi Santosa disarikan dari pengalaman
hidup yang mereka hadapi sehari-hari. Saphir-Whorf (Wollf, 1975:23) menga-
takan bahwa pengalaman utuh (total experience) individu termasuk persepsi, cara
berpikir, pandangan dunia dibentuk dengan bahasanya. Bahasa menjadi peranti
untuk menunjukkan ciri khas ekspresi kepengarangan. Lebih lanjut, Hetzler (da-
lam Wolff, 1975:22) mengemukakan bahwa bahasa berfungsi sebagai agen
kontrol sosial, petunjuk sosial budaya (socio cultural index) dan catatan (seperti
nama orang, sapaan, tempat, sistem kepercayaan, budaya, serta entitas yang ada
dalam masyarakat). Iman Budhi Santosa menggunakan peranti indeks sosial bu-
daya dalam “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa”. Kekhasan ekspresi
menggunakan diksi dengan idiom Jawa kental mewarnai kedua puisi tersebut.
Selain itu, nama-nama tanaman tradisional juga menjadi bagian ekspresi kedua
puisi tersebut.
Judul “Ziarah Tanah” Jawa dan “Ziarah Tembuni” menegaskan kredo
Iman Budhi Santosa dalam merekatkan kembali manusia dengan alam dan asal-
usulnya sehingga kata kunci ziarah menjadi pilihan untuk judul kedua puisi terse-
but. Pengalaman batin dan fisik menjadi begitu kental dalam kedua puisi tersebut
seakan Iman kembali bernostalgia, mengumbar memoar masa lalu dan masa kecil
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 103
untuk menemukan kejatian manusia dalam merasakan hidup yang sebenarnya.
Maka, nada (tone) kerinduan sangat dominan di kedua puisi tersebut.
ZIARAH TANAH JAWA
Tinggal satu jalan yang ditunjukkan kota-kota berdebu
pada usia enam satu. “Kembalilah ke Jawa…”
menyusuri jejak ingas kemadu
merawat lempuyang sembukan yang makin jarang memuliakan gunung sungai, membersihkan halaman
dengan sapu sebelum matahari terbit dan terbenam
Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku
menapaklah dengan telanjang
biar pasir kerikil memijat kembali
telapak kakimu yang berkarat membesi
Disaksikan rumput ilalang, senyum dan tembang
Kusinggahi makam nenek-moyang
Tanpa bertanya siapa mereka Apakah keturunan matahari dan rembulan
Apakah babad dan serat pernah mencatat atau menyebutkan
Mungkin, lewat bunyi perkutut atau derkuku
Mengejawantah lagi nasihat para wali
Merasuk kembali pepatah-petitih ke dalam puisi
Merayakan sekuntum melati mekar
Pada setiap hati sanubari
(Santosa, 2013:42)
Ketenangan dan rasa yang mendalam terasa lebih diprioritaskan oleh Iman
untuk menohok pembaca supaya larut memahami ajakannya untuk kembali ke
tempat asal-usul kita. Bait pertama puisi tersebut berisi “petunjuk arah” yang su-
dah tidak dapat lagi ditawar oleh manusia, /tinggal satu jalan yang ditunjukkan ko-
ta-kota berdebu/,/pada usia enam satu. “Kembalilah ke Jawa”/. Baris pertama dan
kedua tersebut terasa mengunci “produktivitas” manusia untuk meneruskan
pengembaraan mereka menjauhi tanah kelahiran. Paparan ini seakan menunjukkan
dua tlatah (daerah) yang beroposisi dalam kredo ideologis tentang ketenteraman
jiwa. Ketika baris /menyusuri jejak ingas kemadu/,/merawat lempuyang sembukan
yang makin jarang/,/memuliakan gunung sungai, membersihkan halaman/,/dengan
sapu sebelum matahari terbit dan terbenam/ dipaparkan pada bait pertama untuk
menyambut dua bari awal bait tersebut, Iman ingin menunjukkan bahwa secara
oposisional bahwa tlatah yang perlu ditinggalkan adalah tlatah yang tidak menjan-
jikan kredo ideologis tentang ketentraman jiwa.
104 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
Berikutnya, bait dua, tiga, dan empat merupakan bait penegas mengapa kita harus
kembali ke Jawa. Bait kedua pun menegaskan ajakan untuk kembali menjadi “kita
sendiri” dalam arti meninggalkan segala iming-iming kebendaan yang dijanjikan
oleh telatah seberang. Ungkapan /lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh bu-
ku/,/menapaklah dengan kaki telanjang/,/biar pasir kerikil memijat kemba-
li/,/telapak kakimu yang berkarat dan membesi/ adalah sebuah afirmasi untuk
meninggalkan dunia kebendaan dan kembali ke asal-usul kita dengan kesejatian
yang dipunyai manusia.
Ajakan kembali ke Jawa ini pun dilakukan oleh Iman dengan sebuah im-
ing-iming seperti seorang ayah menjanjikan sesuatu kepada anak kecil.
Penggunaan orang pertama tunggal disisipkan oleh Iman untuk menggambarkan
bagaimana dia sangat merasa nyaman kembali ke Jawa, seperti dalam /disaksikan
rumput ilalang, senyum dan tembang/,/kusinggahi makam nenek-moyang/,/tanpa
bertanya siapa mereka/,/apakah keturunan matahari atau rembulan/,/apakah babad
dan serat pernah mencatat atau menyebutkan/.
Berikutnya adalah puisi “Ziarah Tembuni” yang lebih bernarasi tentang identitas
sosial budaya Jawa yang lebih terperinci dibandingkan puisi “Ziarah Tanah Jawa”.
Puisi ini seakan menyambut dan menjelaskan isi puisi “Ziarah Tanah Jawa”.
Keduanya mempunyai nada yang sama, yaitu nada kerinduan.
Ziarah Tembuni
Berkaca pada lantai pendapa, malam wangi Wijayakusuma
keriput uban serentak melawan, karena di sudut
dekat pot bunga berlumut, saudaraku
tembuni yang kikut serta dari gua garba bunda
masih tersimpan aman dan patut
Di sana masih tegak pohon mangga bapang
sepasang kelapa gading dan rumpun bambu kuning
ditambah tebu hitam, meniran dan kaca piring
melengkapi salam sapa pagar halaman yang ramah dan hening.
“Ya, aku masih di Jawa.” bersama welat dan jamu
menyanding pohon srigunggu, tuah tapak liman, serta dewandaru
“Tetapi, mengapa engkau merasa jadi tamu…”
Padahal, di sana masih ada makam leluhur. Ada nisan kayu batu
ditatah dengan goresan paku. Mereka tak pernah lupa
siapa anak cucu yang dulu nakal, suka mencuri ketela dan membakarnya malam-malam saat bulan puasa.
Maka, seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki
yang berakar pada dahi mereka, yang menjalar
menutup nama yang pernah mendongengkan kisah Nabi
Ramayana hingga Mahabharata
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 105
Ya, di sini aku punya kisah lama
Ada perlambang pada anak panah dan gendewa
Ada ibu yang melepaskan dirimu diriku
Berguru pada tunas dan buku lebih dari Saturday
Kini, dengan keringat di dahi kucium kembali tanah itu
Bersama derit bambu kusembuhkan penat perjalanan bersepatu
Di sini engkau aku lahir, menjadi akar dan batang kayu
Di sini pula ribuan dongeng berkait menlejma biduk dan perahu.
(Santosa, 2013: 72)
Iman menggunakan “Ziarah Tembuni” untuk mengekspresikan nada (tone)
kerinduan yang mendalam. Tembuni adalah plasenta atau ari-ari yang keluar dari
rahim segera setelah bayi keluar dari rahim ibu. Orang Jawa menyebut tembuni
sebagai kakang kawah adhi ari-ari, artinya tembuni yang berwujud daging tersebut
merupakan saudara kandung si bayi. Penguatan nada kerinduan diperkuat dengan
digunakannya tokoh aku untuk meyakinkan pembaca. Ibarat sebuah nada pantun,
Ziarah Tanah Jawa adalah sampiran dan Ziarah Tembuni adalah isi. Nada ker-
induan yang amat dalam terhadap saudara kandung sudah dimulai oleh Iman se-
menjak penulisan judul. Kata ziarah menunjuk pada sebuah perjalanan jauh yang
sakral (KBBI: kunjungan ke tempat yang dianggap sakral atau mulia (makam)),
sedangkan tembuni adalah tujuan kunjungan tersebut. Dalam nalar oposisional,
tokoh aku berada jauh dari tempat tembuni tersebut dikuburkan. Kuburan tembuni
adalah tanah kelahiran si aku, karena tembuni pasti dikubur, dalam budaya Jawa,
di tempat atau rumah orang tua si jabang bayi.
Bait pertama dan kedua dalam puisi tersebut langsung memaparkan sebuah
memoar masa lalu, refleksi atau flashback alur narasi dihantarkan melalui baris
pertama dengan diksi /kaca/ sebagai sebuah cermin masa lalu, /berkaca pada lantai
pendapa…/. Selanjutnya narasi tersebut secara rinci menggambarkan suasana
pendapa semasa tokoh aku masih kecil mulai baris kedua bait pertama /…, karena
di sudut/,/dekat pot bungan berlumut, saudaraku/,/tembuni yang ikut serta dari gua
garba bunda/,/masih tersimpan aman dan patut/.
Kekuatan memoar tokoh aku diuraikan dengan jelas pada bait kedua
dengan penyebutan nama-nama tumbuhan khas Jawa, seperti pohon mangga
bapang, kelapa gading, bambu kuning, tebu hitam, meniran, srigunggu, tapak li-
man, dewa daru. Kekuatan kerinduan terhadap saudara kandung tersebut diperte-
106 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
gas lagi dengan penyebutan bersama welat dan jamu yang menjadi ubarampe atau
peralatan potong tali pusat yang berasal dari sayatan kulit bambu yang dipercaya
sangat tajam melebihi pisah serta jamu sebagai minuman kesehatan bagi ibu
setelah melahirkan.
Tembuni menjadi entitas yang dihadirkan pengarang untuk membuka
langkah tokoh aku menemukan dan menghargai leluhurnya, bahkan menemukan
ketenteraman jiwanya. Penemuan ketenteraman jiwa si tokoh aku ditunjukkan da-
lam pernyataannya di baris pertama bait ketiga, “Tetapi mengapa sekarang engkau
merasa jadi tamu …”. Secara implisit, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa si
tokoh aku adalah aku yang mewakili rasa universal setiap orang. Kata /engkau/
adalah kunci yang menegaskan sifat keuniversalan rasa tersebut. Rasa universal
tersebut diperkuat dengan gambaran makam leluhur dengan identifikasi nisan
kayu batu yang ditatah dengan goresan paku. Penggambaran nada kerinduan se-
makin diperdalam dengan memoar masa kecil dengan baris-baris berikut /mereka
tak pernah lupa/,/siapa anak cucu yang dulu nakal, suka mencuri ketela/,/dan
membakarnya makam-malam saat bulan puasa/. Ingatan yang diseret ke masa
kecil menunjukkan bahwa si tokoh ingin memanjakan diri secara total sebagai
seorang anak yang masih lugu, karena anak akan selalu dimanja oleh orang
tuanya. Ketika sekarang tokoh aku kembali lagi dengan umurnya yang telah
lanjut, ingatan tersebut berubah menjadi rasa hormat. Digambarkan dalam bait ke-
tiga dengan, /maka seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki/,/yang be-
rakar pada dahi mereka, yang menjalar/. Kepatuhan dan kepasrahan jiwa yang
menanangkan yang telah mendewasakan si tokoh aku. Bait terakhir menyimpul-
kan kepasrahan, kerinduan, dan katarsis dalam jiwa si tokoh aku. /kini dengan
keringat di dahi kucium kembali tanah itu/,/bersama derit bambu kusembuhkan
penat perjalanan bersepatu/,/di sini engkau aku lahir, mejadi akar dan batang
kayu/,/di sini pula ribuan dongeng berkait menjelma biduk dan perahu/.
Pemilihan diksi dalam idiom Jawa melalui nama-nama alamiah, seperti ak-
tivitas tradisional, seperti menapak dengan kaki telanjang, memuliakan gunung,
membersihkan halaman dengan sapu sebelum matahari terbit dan terbenam.
Penyebutan nama-nama tanaman, seperti rumput ilalang, bunga melati; hewan-
hewan, seperti perkutut, derkuku, makam sebagai sebuah tonggak pohon kekera-
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 107
batan mempertegas ingatan akan asal-usul tanah kelahiran manusia. Semua idiom
Jawa tersebut menjadi bagian kehidupan sosial budaya keseharian orang Jawa, in-
gatan kolektif tradisional tentang ajaran para wali, makam, babad, serat, diangkat
Iman untuk mengentalkan rasa dan nada puisi Ziarah Tanah Jawa sebagai sebuah
katarsis yang diuraikan secara lebih rinci melalui Ziarah Tembuni, bahwa tujuan
kehidupan bendawi, kekuasaan, martabat adalah sebuah absurditas semata.
Akhirnya ingatan kolektif tentang lokalitas tradisional yang diangkat Iman
akhirnya bermuara pada pengembalian rasa sejati yang berpangkal pada hati nura-
ni yang selalu mengingat akan asal-usul, leluhur, dan alam yang mendampingi ke-
lahiran.
Pemahaman terhadap ingatan akan asal-usul, leluhur, dan alam yang men-
dampingi kehidupan tersebut merupakan falsafah kebudayaan manusia. Ke-
hidupan manusia selalu berpasangan, seperti halnya unsur-unsur di alam, ada
siang-malam, langit-bumi, dan lain sebagainya. Sebagai bagian dari alam, manu-
sia dituntut juga bertanggung jawab terhadap alam, mampu membaca tanda alam
dan merawatnya (Bahardur, 2018:156). Dengan demikian relasi manusia dan alam
adalah sebuah relasi mutualisma. Iman Budhi Santosa berusaha menyadarkan
manusia dengan ekspresi puitisnya. Lebih kanjut, dalam kerangka pikir masyara-
kat Jawa ada kesadaran dan pemahaman tentang sangkan paraning dumadi atau
ingat akan asal usul. Konsep kebersatuan atau ingat, manusia dengan alam diha-
yati secara mendalam adalah persatuan atau rekonsiliasi makhluk dengan
Tuhannya (Widijanto, 2018: 111).
4.3 Rekonsiliasi Versus Kuasa Globalisasi
Ideologi verstehen, dalam sosiologi sastra Wolff, adalah sebuah usaha un-
tuk memahami (verstehen) karya sastra sedekat mungkin dengan cara berpikir
pengarang (Wolff,1975:6). Cara berpikir dan ekspresi pengarang menunjukkan
bahwa dia mempunyai hubungan dan menjadi bagian dari dunia sosialnya, Iman
Budhi Santosa dan tanah Jawa. Iman Budhi Santosa dalam pandangan verstehen
hadir sebagai aktor pengalam sekaligus pengulas, dan evaluator terhadap fenome-
na sosial budaya yang terjadi, yaitu dalam menyikapi budaya modern dan tradi-
sional yang dialami oleh masyarakat Jawa.
108 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
Perlambangan (tipifikasi) yang diekspresikan oleh Iman Budhi Santosa da-
lam kedua puisinya terasa sederhana. Ekspresi kesederhanan yang diungkapkann-
ya sebenarnya menyuguhkan nada kerinduan yang begitu mendalam terhadap
asal-usul manusia dalam sebuah jarak estetika. Iman berupaya membuat jarak es-
tetika dengan pembaca puisinya seminimal mungkin. Ekspresi tersebut adalah ek-
spresi yang mendalam berbasis memoar pribadi. Maka berbagai karya Iman selalu
berupaya untuk menyodorkan kebaruan. Maksud Iman Budhi Santosa tentang ke-
baruan adalah kembali ke asal-usul (Santoso, 2014: 552). Hal tersebut dinalarkan
oleh Iman melalui idiom-idiom Jawa dengan mengungkap latar alam, budaya et-
nik nusantara. Oposisi situasi begitu jelas muncul dalam paparan diksi menggam-
barkan sebuah kepenatan dan kerinduan akan tanah kelahiran, yang juga identik
dengan ibu pertiwi, ibu kandung (kita).
Ziarah Tanah Jawa
Kepenatan : /kota-kota berdebu/
/Usia enam satu/
/Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku/
/Menapaklah dengan kaki telanjang/
(Santosa, 2013: 42)
Ziarah Tembuni
Kerinduan: /Berkaca pada lantai pendapa…/
/Tembuni yang ikut serta dari gua garba bunda/ /Masih tersimpan aman dan patut
/Di sana masih tegak pohon mangga bapang/
/Tetapi mengapa sekarang engkau merasa jadi tamu…/
/Siapa anak cucu yang dulu nakal, …/
/Maka seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki…/
/Ya, di sini aku punya kisah lama/
/Kini, dengan keringat di dahi kucium kembali tanah itu/
/Di sini engkau aku lahir, menjadi akar dan batang kayu/
/Kembali ke rahim Ibu, tidak ada rasa iri dan dengki/
(Santosa, 2013: 72)
Oposisi budaya modern dan tradisional dengan perlambangan yang di-
paparkan tersebut menunjukkan rekonsiliasi batin bagi tokoh aku dalam kedua
puisi tersebut. Rekonsiliasi tersebut menawarkan ketenteraman batin ketika tokoh
aku harus menghadapi dunia modern yang dijalaninya. Ajakan Iman Budhi Santo-
sa adalah “kembalilah dan ingatlah akan asal-usulmu, tanah kelahiran dan leluhur
yang akan memberimu kekuatan untuk hidup dan berkarya membangun tanah ke-
lahiran yang kaya”. Modernitas memang menjanjikan kehidupan secara visual dan
bendawi, tetapi kesiapan mental untuk menghadapinya memerlukan strategi.
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 109
Tanah kelahiran dengan tradisi yang dipunyai menyuguhkan keluguan dan perlin-
dungan terhadap kehidupan melalui kemapanan jiwa.
Tidak diperlukan strategi untuk membangun tanah kelahiran kita, karena
semuanya adalah saudara yang kita kenal sejak kita lahir, alam, leluhur, dan rasa
jiwa. Suatu bangsa yang utuh membutuhkan landasan sejarah dan tradisi, selain
pembangunan di bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, penyadaran akan
tanah kelahiran, Jawa adalah penyadaran kemanusiaan dalam kerangka tradisi dan
sejarah kelahiran. Maka, rekonsilisasi terhadap tanah kelahiran (jagat alit) adalah
cikal bakal rekonsiliasi terhadap bumi pertiwi Indonesia (jagat ageng). Rekonsili-
asi ini pun beranalogi pada penyadaran akan pemerolehan pengetahuan, seperti
pemerolehan bahasa, yaitu mengajarkan bahasa daerah terlebih dahulu baru
mengajarkan bahasa Indonesia. Analogi ini digunakan untuk mengatasi kepuna-
han bahasa, maka strategi tersebut juga berlaku logis dalam mengatasi ket-
erasingan bangsa Indonesia terhadap negeri Indonesia dengan merawat tradisi
daerah sebagai identitas bangsa (Taib, 2015:253—255). Inilah ideologi
pengarang, Iman Budhi Santosa untuk menyampaikan katarsis kepada pembaca
melalui puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni”.
Ideologi rekonsiliasi dengan tanah kelahiran adalah sebuah ingatan akan
kearifan lokal. Dengan pengenalan dan pemahaman terhadap kearifan lokal, maka
konflik antarindividu dan kelompok dapat diredam (Simarmata, dkk., 2017:16),
khususnya di jagat ageng, Indonesia. Kearifan lokal perlu kembali direvitalisasi
sebagai sebuah tawaran konkret bagi mereka yang sudah “tercerabut” dari ingatan
tradisi dan budaya lokal mereka. Maka, bentuk konkret rekonsiliasi mencipta dan
menghadirkan arena apresiasi sastra (khususnya sastra yang bertema tentang
kekerabatan, sosial, dan budaya), menghidupkan kembali ingatan akan bentuk-
bentuk dan gaya kekerabatan yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa melalui
karya sastra. Dalam hal ini Iman Budhi Santosa mengejawantahkannya dengan
mencipta puisi, puisi yang merevitalisasi ingatan untuk kembali ingat kepada
tanah Jawa, tanah leluhur, tanah yang melahirkan, memelihara, dan memberi
bekal hidup. Ajakan rekonsiliasi oleh Iman Budhi Santosa merupakan sebuah
analogi yang berimplikasi luas, yaitu cinta pada tanah air yang berbudaya bhineka
yang harus dipertahankan oleh generasi-generasi mendatang.
110 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
SIMPULAN
Ekspresi puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” karya Iman Budhi
Santosa menggambarkan fenomena sosial budaya masyarakat Jawa yang terimbas
globalisasi dan modernisasi. Akibat yang ditimbulkan adalah masyarakat semakin
teralienasi dengan budaya lokal, yaitu budaya yang membesarkan mereka sejak
lahir. Jagat Jawa dengan indeks sosial budaya Jawa diangkat oleh Iman Budhi
Santosa sebagai sebuah analogi penggambaran bumi pertiwi, tempat kelahiran pa-
ra individu yang sudah teralienasi dari budaya di tanah kelahirannya kerena mod-
ernisasi. Gambaran kepenatan perjalanan hidup (modernitas) digambarkan Iman
Budhi Santosa melalui tipifikasi idiomatik Jawa dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa”.
Gambaran kerinduan akan tanah kelahiran (kekerabatan-budaya-tradisi lokal)
digambarkan Iman Budhi Santosa melalui tipifikasi idiomatik Jawa dalam puisi
“Ziarah Tembuni”.
Bahasa puitik Iman Budhi Santosa dalam kedua puisinya tersebut menun-
jukkan ideologi kepengarangannya, yaitu ajakan rekonsiliasi dengan tanah ke-
lahiran. Rekonsiliasi adalah memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan
semula. Dalam hal ini adalah keadaan manusia yang ingat akan jati dirinya se-
bagai bagian dari masyarakat yang berkerabat dengan sesama dan alam sekitar.
Kesadaran akan kekerabatan ini menumbuhkan kekuatan mental dan spiritual un-
tuk sadar dan mencintai (kembali) tanah air apa adanya. Walaupun gelombang
globalisasi dan modernisasi datang tak terbendung, penumbuhan rasa cinta ter-
hadap tanah air melalui kearifan lokal, interaksi terhadap kerabat dalam budaya
dan tradisi setempat harus tetap terjaga. Modernitas diidealkan berpondasikan
budaya dan tradisi bangsa sendiri, Indonesia yang berbudaya bineka.
DAFTAR PUSTAKA
Bahardur, Iswadi. (2018). “Kearifan Lokal Budaya Minangkabau dalam Seni Per-
tunjukan Tradisional Randai”. Jentera. Jurnal Kajian Sastra. 7 (2), 145-
160, ©2018.
Berger, Peter L., Thomas Luckmann. (1990). Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Risa-
lah tentang Sosiologi Pengetahuan. Yogyakarta: LP3ES.
Devinta, Marshellena, Nur Hidayah, Grendi Hendrastomo (2015). “Fenomena
Cultural Shock (Gegar Budaya) pada Mahasiswa Perantauan di Yogya-
karta”. Jurnal Pendidikan Sosiologi. 2015 halaman 1-15.
Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 111
Lestari, Winda Dwi, Sarwiji Suwandi, Muhammad Rohmadi. (2018). “Kaum
Subaltern dalam Novel-Novel Karya Soeratman Sastradihardja: Sebuah
Kajian Sastra Poskolonial”. Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desem-
ber 2018. 179-188.
Purwantini (2016). “Urbanisme, Urbanisasi, dan Masyarakat Urban di Jakarta da-
lam Novel Senja di Jakarta”. ATAVISME, Vol.19, No.2, Edisi Desem-
ber, 2016: 162-175.
Rahmawati, Dian Lufia. (2019). JIWA PUISI. Puisi-puisi Iman Budhi Santosa.
Dalam Pendekatan Psikofilosofi Berdasarkan Perspektif Ki Ageng Sury-
omentaram. Yogyakarta: Interlude.
Safitri, Anggun Nirmala. (2015). “Pergulatan Iman Budhi Santosa Untuk Men-
capai Posisi Terkonsekrasi Dalam Arena Sastra Yogyakarta”. Jurnal Po-
etika Vol. 2, Desember 2015. Halaman 124-131.
Santosa, Iman Budhi. (2018). Kalakanji. Kumpulan Esai Kebudayaan Sastra dan
Seni. Yogyakarta: Interlude.
Santosa, Iman Budhi. (2017). Suta Nawa Dhadhap Waru. Manusia Jawa dan
Tumbuhan. Yogyakarta: Interlude.
Santosa, Joko (2014). Teori Puisi Iman Budhi Santosa. Dalam Prosiding Seminar
Internasional PMSI XXXVI tahun 2014. Yogyakarta: Prodi Pendidikan
Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP. Universitas Ahmad Dahlan, Yogya-
karta.
Santosa, Iman Budhi. (2013). Ziarah Tanah Jawa. Kumpulan Puisi 2006-2012.
Yogyakarta: interlude.
Santosa, Iman Budhi. (2012). Narasi Tembuni. Kumpulan Puisi Terbaik KSI
Award 2012 Komunitas Sastra Indonesia. Jakarta: komunitas sastra In-
donesia (KSI) dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ke-
mendikbud.
Santosa, Iman Budhi. (2016). Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku. Proses Kreatif
Sastrawan Yogyakarta. Iman Budhi Santosa, Herry Mardianto, Latief S.
Nugraha (editor). Yogyakarta: Kementerian Pendidikan Dan Ke-
budayaan. Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta.
Simarmata, Henry Thomas.dkk. (2017). Indonesia Zamrud Toleransi. Jakarta:
Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia.
Satiyoko, Yohanes Adhi. (2012). “Wong Jawa” dalam geguritan “Serere Adhuh
Lae” karya Turiyo Ragilputro dan “Siter Gadhing” karya Djaimin Kari-
yodimejo”. Prosiding. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.
Soeroso, Amiluhur, Y. Sri Susilo. (2008). “Strategi Konservasi Kebudayaan Lokal
Yogyakarta”. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan I Tahun 1, No.2
Agustus 2008. Halaman 144-161.
Supardi, Nunus. (2013). “Bianglala Budaya. Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Ke-
budayaan 1918—2013”. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Ke-
menterian Pendidikan dan Kebudayaan.
Suwandi, Sarwiji. (2018). “Tantangan Mewujudkan Pembelajaran Bahasa dan
Sastra Indonesia yang Efektif di Era Revolusi Industri 4.0”. Makalah
yang dipresentasikan dalam Kongres Bahasa Indonesia XI yang
diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,
Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 28-31 Oktober 2018.
112 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019
Suwardana, Hendra. (2017). “Revolusi Industri 4.0 berbasis Revolusi Mental”.
Jati Unik, 2017. Vol.1, No.2, Hal 102-110.
Taib, Rinto. (2015). “Merawat Bahasa Sebagai Identitas Budaya Bangsa. Tafsir
Identitas di tengah Dominasi Kuasa&Universalitas (multibahasa)” dalam
SEMINAR DAN LOKAKARYA LEMBAGA ADAT. Jakarta: Pusat
Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Badan Pengem-
bangan dan Pembinaan Bahasa. Kementerian Pendidikan dan Ke-
budayaan.
Widijanto, Tjahjono. (2018). “Dunia Halus Mistis Jawa dan Fantasi Magis Ter-
nate dalam Godlob dan Cala Ibi.” Jentera. Jurnal Kajian Sastra. 7 (1),
102-129, ©2018.
Wolff, Janet. (1975). Hermeneutic Philosophy and the Sociology of art. An ap-
proach to some of the epistemological problems of sociology of
knowledge and the sociology of art and literature. London and Boston:
Roultedge & Kegan Paul