rekonsiliasi tanah kelahiran dalam dua puisi iman …

25
88 | Jentera, 8 (1), 88112, ©2019 REKONSILIASI TANAH KELAHIRAN DALAM DUA PUISI IMAN BUDHI SANTOSA Reconciliation to Motherland in Two Poems by Iman Budhi Santosa Yohanes Adhi Satiyoko Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta [email protected] Abstrak: Penelitian ini membahas tentang usaha merekonsiliasi pandangan masyarakat Jawa modern terhadap tanah kelahiran yang diekspresikan dalam puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” karya Iman Budhi Santosa. Masalah penelitian tentang fenomena sosial budaya yang tergambar dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” serta ideologi yang melandasi kedua karya puisi tersebut. Tujuan penelitian adalah menunjukkan fenomena modernitas yang dijumpai dalam masyarakat Jawa secara umum dan menunjukkan ideologi yang melandasi pencip- taan puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa”. Pembahasan masalah penelitian dan tujuan penelitian menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan teori sosiologi Janett Wolff. Hasil penelitian membuktikan bahwa kedua ekspr esi puitik dalam“Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” menjadi ajakan rekonsiliasi untuk mengingat, mencintai, dan menyadari asal -usul kekerabatan manusia-alam dalam konstruksi sosial masyarakat Jawa. Dari hasil penelitian itu dapat disimpulkan bahwa kekerabatan dapat menghindarkan manusia dari sifat egois dan individu- alis. Diidealkan manusia mengalami modernitas dalam aktivitas kehidupan tetapi tetap ber- landaskan pada budaya dan tradisi lokal atau bangsa sendiri. Kata-kata kunci: rekonsiliasi, puisi, konstruksi sosial, Jawa Abstract: This research discusses the effort of reconciliation to the Javanese people view to their land of origin as expressed in the poems “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Jawa” by Iman Budhi Santosa. The problem formulation is how social and cultural phenomena portrayed in those poems “Ziarah Tanah Jawa” and “Ziarah Tembuni” and ideology of its creation. The purpose of the research is to show modernity phenomena as faced by Javanese people in common and show the the ideology as the foundation of the poems creation. The discussion of the problem formula- tion and the purpose of the research use qualitative method with sociology theory by Janet Wolff. The result shows that those two poetic expressions of “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Ja- wa” sound to ask reconciliation to remind, love, and realize the origin of the kinship of man - nature in the Javanese social construction. The result of the research concludes that kinship can avoid character of selfish and individualistic. Ideally, people face and experience modernity in life but they have to base it on local culture and tradition of their own country. Keywords: reconciliation, poem,social construction, Java How to Cite: Satiyoko, Yohanes Adhi. (2019). Rekonsiliasi Tanah Kelahiran Dalam Dua Puisi Iman Budhi Santosa. Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 8 (1), 88112, https://doi.org/10.26499/jentera.v8i1.1063 PENDAHULUAN Rekonsiliasi adalah sebuah perbuatan memulihkan persahabatan ke keadaan semula (KBBI V daring). Sebuah rekonsiliasi dilakukan pada suatu kondisi terten- tu, biasanya pada kondisi kritis. Rekonsiliasi kepada tanah kelahiran adalah se- Naskah diterima: 3 Desember 2018; direvisi: 31 Mei 2019; disetujui: 31 Mei 2019 doi.org/10.26499/jentera.v7i2.1063

Upload: others

Post on 02-Dec-2021

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

88 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

REKONSILIASI TANAH KELAHIRAN DALAM DUA PUISI

IMAN BUDHI SANTOSA

Reconciliation to Motherland in Two Poems by Iman Budhi Santosa

Yohanes Adhi Satiyoko

Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta

[email protected]

Abstrak: Penelitian ini membahas tentang usaha merekonsiliasi pandangan masyarakat Jawa

modern terhadap tanah kelahiran yang diekspresikan dalam puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah

Tanah Jawa” karya Iman Budhi Santosa. Masalah penelitian tentang fenomena sosial budaya yang

tergambar dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” serta ideologi yang melandasi

kedua karya puisi tersebut. Tujuan penelitian adalah menunjukkan fenomena modernitas yang

dijumpai dalam masyarakat Jawa secara umum dan menunjukkan ideologi yang melandasi pencip-

taan puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa”. Pembahasan masalah penelitian dan tujuan

penelitian menggunakan metode kualitatif dengan memanfaatkan teori sosiologi Janett Wolff.

Hasil penelitian membuktikan bahwa kedua ekspresi puitik dalam“Ziarah Tembuni” dan “Ziarah

Tanah Jawa” menjadi ajakan rekonsiliasi untuk mengingat, mencintai, dan menyadari asal-usul

kekerabatan manusia-alam dalam konstruksi sosial masyarakat Jawa. Dari hasil penelitian itu

dapat disimpulkan bahwa kekerabatan dapat menghindarkan manusia dari sifat egois dan individu-alis. Diidealkan manusia mengalami modernitas dalam aktivitas kehidupan tetapi tetap ber-

landaskan pada budaya dan tradisi lokal atau bangsa sendiri.

Kata-kata kunci: rekonsiliasi, puisi, konstruksi sosial, Jawa

Abstract: This research discusses the effort of reconciliation to the Javanese people view to their

land of origin as expressed in the poems “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Jawa” by Iman

Budhi Santosa. The problem formulation is how social and cultural phenomena portrayed in those

poems “Ziarah Tanah Jawa” and “Ziarah Tembuni” and ideology of its creation. The purpose of

the research is to show modernity phenomena as faced by Javanese people in common and show

the the ideology as the foundation of the poems creation. The discussion of the problem formula-

tion and the purpose of the research use qualitative method with sociology theory by Janet Wolff. The result shows that those two poetic expressions of “Ziarah Tembuni” and “Ziarah Tanah Ja-

wa” sound to ask reconciliation to remind, love, and realize the origin of the kinship of man-

nature in the Javanese social construction. The result of the research concludes that kinship can

avoid character of selfish and individualistic. Ideally, people face and experience modernity in life

but they have to base it on local culture and tradition of their own country.

Keywords: reconciliation, poem,social construction, Java

How to Cite: Satiyoko, Yohanes Adhi. (2019). Rekonsiliasi Tanah Kelahiran Dalam Dua Puisi

Iman Budhi Santosa. Jentera: Jurnal Kajian Sastra, 8 (1), 88—112,

https://doi.org/10.26499/jentera.v8i1.1063

PENDAHULUAN

Rekonsiliasi adalah sebuah perbuatan memulihkan persahabatan ke keadaan

semula (KBBI V daring). Sebuah rekonsiliasi dilakukan pada suatu kondisi terten-

tu, biasanya pada kondisi kritis. Rekonsiliasi kepada tanah kelahiran adalah se-

Naskah diterima: 3 Desember 2018; direvisi: 31 Mei 2019; disetujui: 31 Mei 2019

doi.org/10.26499/jentera.v7i2.1063

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 89

buah ajakan bagi individu atau sekelompok orang untuk kembali bersahabat

dengan keadaan sosial budaya dan kerabat seperti yang pernah dijalani oleh mere-

ka semasa kecil atau semasa nenek moyang mereka. Pola kehidupan modern dan

tradisional adalah dua karakter tata kehidupan sosial budaya yang berbeda dan

perlu kesiapan sikap dan mental untuk menjalaninya.

Pola kehidupan modern tidak dapat dilepaskan dari aktivitas pergerakam

masyarakat urban, perpindahan masyarakat dari daerah pinggiran ke kota besar.

Jakarta adalah salah satu ikon kehidupan modern dengan pola tatakota yang me-

tropolis. Masyarakat urban dikatakan sebagai kelompok masyarakat yang

mempunyai tradisi atau kebiasaan tertentu. Pengertian urban terletak pada perbe-

daan sifat kehidupan dengan masyarakat pedesaan, seperti kehidupan religi dan

keagamaan yang berkurang, cara berpikir rasional yang mengedepankan perhi-

tungan eksak. Cara berpikir rasional ini disebabkan karena mereka hidup dan be-

raktivitas di dalam ranah kehidupan yang berdasarkan prinsip ekonomi dan

perdagangan. Selain itu, masyarakat urban cenderung mengurus kepentingannya

sendiri-sendiri sebagai individu (individualis). Implikasinya adalah kehidupan

keluarga dan kekerabatan terkadang sukar dipersatukan karena kepentingan-

kepentingan individu yang berbeda. Di samping itu latar pendidikan juga mem-

bedakan tingkah laku dan kebutuhan hidup tiap individu yang mengerucut pada

munculnya kelompok-kelompok kecil sesuai bidang keahlian mereka. Berikutnya

adalah jalan pikiran yang rasional yang menyebabkan setiap individu memperhi-

tungkan waktu demi mengejar kebutuhan individual mereka (Soekamto, 2002:

139-140; dalam Purwantini, 2016:164).

Indonesia sebagai negara agraris masih dominan memegang teguh adat-

istiadat serta budaya kekerabatan yang erat. Namun, terjangan modernisasi dalam

gelombang globalisasi mempunyai iming-iming tersendiri bagi sebagian masyara-

kat untuk mengimitasinya dan menjadi bagian dari modernitas tersebut. Di sisi

lain, sebagian masyarakat urban, yang berpindah dari desa ke kota mengalami

gegar budaya (cultural shock). Hal ini terjadi karena mereka berada dalam ling-

kungan baru yang berbeda dari tempat asal mereka di negerinya sendiri (intrana-

sional). Keadaan ini dipicu oleh rasa cemas yang muncul karena mereka ke-

hilangan tanda serta hubungan sosial yang sudah lama dikenal atau familiar dalam

90 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

lingkungan dan interaksi sosial di tempat mereka sebelumnya. Tanda-tanda terse-

but adalah petunjuk dalam bentuk kata-kata, isyarat-isyarat, ekspresi wajah, ke-

biasaan-kebiasaan, serta norma-norma yang diperoleh individu sepanjang ke-

hidupan mereka di tanah asal atau kelahiran (Mulyana, 2016: 175; dalam Devinta,

Hidayah, dan Hendrastomo, 2015:4). Secara tersirat, pernyataan Mulyana (2016)

menegaskan bahwa kehidupan di tanah asal atau tanah kelahiran telah membentuk

adat kebiasaan individu yang berkerabat mendalam secara sosial budaya. Adaptasi

terhadap budaya urban akan menggerus sikap berkerabat yang pernah dilakoni

oleh individu di daerah asalnya.

Indonesia diibaratkan sebagai jagat ageng atau dunia besar dan berbagai

suku bangsa dengan daerah tempat tinggal mereka sebagai jagat alit atau dunia

kecil. Jagat Jawa sebagai salah satu jagat alit mempunyai masyarakat yang harus

menjawa (seperti juga mengindonesia). Jangan sampai muncul ungkapan “orang

Indonesia hilang keindonesiaannya” seperti di Jawa “wong Jawa ilang Jawane”

karena mengimitasi modernitas secara tidak tepat. Jawa adalah Indonesia, seperti

juga Bali, Papua, Aceh, Kalimantan adalah Indonesia, maka membangun

masyarakat Jawa adalah juga membangun masyarakat Indonesia. Maka, sikap

handarbeni atau memiliki perlu ditanamkan dalam ranah kedaerahan terlebih da-

hulu (jagat alit). Kesadaran akan jati diri sebagai orang Jawa (juga suku bangsa

lain di Indonesia dalam kerangka nasional) perlu dimunculkan dan dimaksimalkan

untuk membangun tanah kelahiran (Satiyoko, 2012: 248).

Sastra sebagai sebuah produk masyarakat (social production of art)

mempunyai peran penting dalam mengevaluasi tata kehidupan masyarakat terse-

but. Karya sastra hadir sebagai social production of art, yaitu hasil karya yang

berdasarkan latar sosial budaya masyarakat tertentu. Dengan demikian, karya sas-

tra merupakan elemen rekonsiliasi bagi masyarakat, selain arena untuk apresiasi

isi karya sastra tersebut. Karya sastra hadir sebagai evaluator sosial budaya yang

menyuguhkan gambaran masyarakat sejujurnya. Puisi adalah salah satu jenis kar-

ya sastra yang mampu memberi evaluasi estetik terhadap kehidupan masyarakat.

Karya-karya puisi Iman Budhi Santosa adalah satu dari sekian banyak karya

sastrawan yang berkredo tentang kekerabatan dan hubungan manusia dengan

alam, khususnya Jawa. “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” adalah dua

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 91

dari karya Iman Budhi Santosa yang secara tegas menyuarakan rekonsiliasi

dengan tanah kelahiran, yaitu Jawa. “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni”

dimuat dalam buku Narasi Tembuni, Kumpulan Puisi Terbaik KSI Award 2012

Komunitas Sastra Indonesia. Penelitian ini sedikit banyak menyambung nada

keprihatinan dan kerinduan terhadap tanah tumpah darah, khususnya Jawa, seperti

penelitian terdahulu tentang “Wong Jawa” dalam geguritan “Serere Adhuh Lae”

karya Turiyo Ragilputro dan “Siter Gadhing” karya Djaimin Kariyodimejo” yang

dilakukan oleh Satiyoko (2012). Dalam penelitian tersebut tersirat kecaman dan

satire terhadap gaya hidup masyarakat desa yang sok kekota-kotaan (sindiran

kepada pemuda yang hijrah ke kota dan melupakan berbagai tata kehidupan bu-

daya desa dengan berbagai karakternya).

Masalah yang diangkat dalam penelitian dipilah menjadi dua, 1)

bagaimanakah gambaran atau fenomena sosial budaya masyarakat Jawa yang ter-

gambar dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” yang terimbas

kehidupan modernitas dan globalisasi, 2). Apa ideologi penciptaan kedua puisi

Iman Budhi Santosa, “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni”. Kedua masalah

tersebut diuraikan dalam tujuan penelitian, yaitu untuk 1) Mmenunjukkan fenom-

ena sosial budaya masyarakat Jawa dalam arus modernitas melalui pemaparan

latar sosial budaya interaksi sosial pengarang dengan lingkungan sosialnya dan 2)

menunjukkan ideologi penciptaan puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tem-

buni”.

LANDASAN TEORI

Pembahasan dalam penelitian ini menggunakan teori sastra verstehen Janet Wolff

(1975). Kajian sosiologi verstehen atau fenomenologis digunakan oleh Wolff un-

tuk menunjukkan metode kajian sosiologi yang digunakannya dengan dasar fe-

nomenologi pengetahuan. Terminologi verstehen berasal dari bahasa Jerman yang

berarti understanding atau pemahaman. Di dalam kajian sosiologi, pemahaman

yang dimaksud adalah pemahaman mengenai individu dalam kehidupan sosialnya

(Wolff, 1975: 4-6).

Wolff membagi pembicaraan sesuai dengan proses berpikir fenomenologi

pengetahuan, yaitu (a) fenomenologi pengetahuan dan konstruksi sosial dunia, (b)

92 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

bahasa dan pengetahuan tentang dunia, dan (c) pengetahuan perhatian dan ideolo-

gi. Tahap fenomenologi pengetahuan dan konstruksi sosial dunia bertitik tolak

dari lebenswelt sebagai kerangka kerjanya (point of reference). Lebenswelt atau

dunia kehidupan sosial merujuk pada lingkungan sosial budaya tempat individu

melakukan aktivitas sehari-hari (Wolff, 1975: 12). Dengan demikian, tahap per-

tama ini pembahasan berfokus pada dunia sosial budaya tempat individu

pengarang tinggal dan beraktivitas sebagai anggota masyarakat. Gambaran le-

benswelt (dunia kehidupan sehari-hari) dianggap mampu memberikan penge-

tahuan yang berasal dari masyarakat, terlepas dari kesahihan atau ketaksahihan

pengetahuan tersebut (Berger, 1990: 4).

Tahap Bahasa dan Pengetahuan Dunia mengupas pengalaman individu

secara subyektif dan obyektif. Pengalaman subyektif individu tersebut oleh Wolff

disebut sebagai experiential biography atau dikatakan Wolff sebagai mode of ex-

perience grounded. Pengalaman subyektif individu didasarkan pada aktivitas

sehari-harinya berinteraksi dengan masyarakat tempat dia tinggal dan dalam wak-

tu tertentu. Pengalaman, pikiran, ide dan gagasan pengarang diekspresikan me-

lalui ekspresi bahasa dalam karyanya. Bahasa yang diekspresikan oleh individu

dalam sebuah media ekspresi (karya sastra sebagai produk sosial) mampu menjadi

tempat penyimpanan yang obyektif dari akumulasi makna dan pengalaman yang

besar sekali dan yang kemudian dapat dilestarikan dalam waktu dan diteruskan

kepada generasi berikutnya (Berger, 1990: 53). Kemampuan bahasa seperti di-

paparkan Berger berimplikasi pada manfaat bahasa sebagai alat komunikasi antara

pengarang dan pembaca sehingga dapat diperoleh pemahaman mengenai makna-

makna, yang secara simbolis (tipifikasi atau perlambangan) dalam ekspresi

kesastraannya, dibuat oleh pengarang dalam sebuah karya sastra. (Wolff,

1975:30).

Tanda mempunyai tujuan untuk menunjukkan makna subyektif dari orang

yang membuatnya. Secara objektif, tanda dalam kenyataan bersama dialami oleh

dia, saya, dan orang lain (Berger 1990: 51). Pemahaman mengenai makna di balik

tanda-tanda yang diketahui melalui tindakan sosial harus memenuhi syarat, yaitu

pemahaman terhadap bahasa. Syarat tersebut dikemukakan oleh Weber dan

Schutz (dalam Wolff, 1975: 21). Selanjutnya, metode verstehen dalam kajian so-

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 93

siologi pengetahuan Wolff mensyaratkan pemahaman bahasa dan gaya berbicara

subjek (Wolff, 1975: 30). Bahasa seorang subjek mempertahankan dan mengek-

spresikan kenyataan, lebih dari sekadar sebuah kreasi. Maka, pemahaman

mengenai bahasa merupakan syarat paling dasar untuk memahami kenyataan da-

lam kehidupan sehari-hari individu pengarang (Wolff, 1975: 30).

Tahap ketiga adalah pengetahuan dan ideologi yang menghasilkan sim-

pulan dari tafsir sosial dalam tipifikasi melalui bahasa ekspresi karya sastra yang

terstruktur. Simpulan tersebut merupakan buah ideologi yang menjadi sebuah

pengetahuan dalam kerangka dunia sosial (Wolff, 1981:51). Ideologi (Bullock,

1988: 404) hadir sebagai sebuah penegasan tentang berbagai hal khusus yang

menjadi daya tarik (interest) dalam kehidupan sosial. Lebih lanjut, Wolff merinci

uraian mengenai ideologi, yaitu usaha mengungkap hakikat kenyataan dari realita

sosial ekonomi dan politik dengan sistem representasi yang dinyatakan dengan

gagasan atau ide yang tidak berdiri sendiri dari kondisi material yang ada tetapi

terstruktur dan tersistem. Jadi, ideologi sebagai representasi ide atau gagasan indi-

vidual yang menyuarakan hakikat manusia dalam interaksi sosial mereka didasari

oleh latar sosial kehidupannya. Tujuan kajian sosiologi verstehen adalah menun-

jukkan hakikat kemanusiaan (the nature of mankind), yaitu individu dan dunia so-

sialnya.

Ideologi yang diekspresikan oleh Iman Budhi Santosa yang menggam-

barkan sisi humanitas atau kemanusiaan terlihat dari upayanya menerbitkan ban-

yak karya sastra. Sebagai sebuah ekspresi yang berlandaskan fenomena sosial

yang dijumpainya, Iman tidak mencari laba sebagai sulih hasil cipta

kepengarangannya. Sastra digunakannya sebagai sarana mengekspresikan kegeli-

sahan yang berkontribusi pada kemanusiaan, sekaligus ekspresi spiritualnya (Sa-

fitri, 2015:130). Kajian tersebut menunjukkan perjalanan Iman Budhi Santosa

sampai memperoleh posisi terkonsentrasi dalam arena sastra dalam tulisan Safitri

(2015) berjudul “Pergulatan Iman Budhi Santosa untuk Mencapai Posisi Ter-

konsentrasi dalam Arena Sastra Yogyakarta.”

Sisi kemanusiaan Iman Budhi Santosa juga pernah dibedah dalam disertasi

karya Dian Lufia Rahmawati dan disajikan dalam buku berjudul Jiwa Puisi. Puisi-

Puisi Iman Budhi Santosa dalam Pendekatan Psikofilosofi Berdsarkan Perspektif

94 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

Ki Ageng Suryomentaram. Diterbitkan oleh Interlude tahun 2019. Rahmawati

(2019) menunjukkan sisi kemanusiaan dalam praktik ekspresi sastra dan filosofi

psikologis manusia berdasarkan pemikiran Ki Ageng Suryomentaram dalam

kerangka kehidupan dan pola pikir masyarakat Jawa.

Penelitian tentang dua puisi Iman Budhi Santosa ini merupakan upaya

memperkaya data tentang ideologi kepengarangannya yang berupaya mengangkat

humanitas dan mengesampingkan capaian kapital semata. Ziarah Tembuni dan

Ziarah Tanah Jawa diuraikan dalam penelitian ini sebagai dua buah puisi yang

bernalogi tentang kehidupan orang-orang Jawa di desa. Di sisi lain kedua puisi

tersebut diekspresikan Iman sebagai ibarat sampiran dan isi dalam sebuah ekspresi

pantun.

METODE PENELITIAN

Penelitian ini menggunakan metode deskriptif kualitatif sesuai dengan masalah

yang telah dirumuskan. Penelitian kualitatif merupakan penelitian yang temuann-

ya tidak diperoleh melalui prosedur statistik (Strauss dan Corbin, 2013:4-5; dalam

Lestari, dkk., 2018:183). Penelitian kualitatif bermaksud memahami fenomena

yang dialami subjek dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa pa-

da konteks khusus dengan memanfaatkan metode ilmiah.

Sumber data adalah dua puisi karya Iman Budhi Santosa berjudul “Ziarah

Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” yang dimuat dalam Narasi Tembuni. Kum-

pulan Puisi Terbaik KSI Award 2012 Komunitas Sastra Indonesia, diterbitkan atas

kerja sama Komunitas Sastra Indonesia (KSI) dan Badan Pengembangan dan

Pembinaan Bahasa, tahun 2012. Data penelitian ini adalah kata-kata, frasa, klausa,

kalimat yang terdapat dalam kedua puisi tersebut. Analisis data dilakukan dengan

menggunakan teori sosiologi verstehen Verstehen Janet Wolff (1975).

Pembahasan dalam analisis dibagi menjadi tiga tahap sesuai dengan

kerangka teoretis Wolff. Pertama adalah pembahasan tentang fenomena sosial bu-

daya masyarakat Jawa. Tahap ini menguraikan pandangan fenomena sosial bu-

daya tempat pengarang tinggal sebagai anggota masyarakat. Pembahasan tentang

subjek pengarang (Iman Budhi Santosa) dalam dunia sosialnya (Yogyakarta),

tempat dia hidup, berkarya sebagai sastrawan, dan mengkritisi fenomena moderni-

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 95

tas dalam budaya masyarakat Jawa. Ini adalah sebuah cara verstehen, yaitu mem-

berikan pemahaman yang sahih atas kenyataan terhadap fenomena dan individu

yang mengalaminya (mode of experience grounded). Berikutnya adalah pembaha-

san tentang bahasa dan pengetahuan dunia. Tahap ini membahas tentang

penggunaan bahasa atau ekspresi sebagai perlambangan atau tipifikasi dalam puisi

“Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” yang dicipta oleh Iman Budhi Santo-

sa. Ekspresi kebahasaan dengan diksi yang beridiom Jawa menjadi fokus pemba-

hasan. Tahap terakhir adalah tahap pengetahuan dan ideologi. Tahap ini menjadi

tahap tafsir terhadap tipifikasi atau perlambangan yang menjadi ideologi

kepengarangan Iman Budhi Santosa dalam puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah

Tanah Jawa” yang menjadi pengetahuan baru bagi masyarakat pembaca.

PEMBAHASAN

4.1 Modernitas dalam Budaya Jawa

Konsep fenomena sosial dan konstruksi sosial menurut Wolff (1975)

mengambil sudut pandang lingkungan sosial budaya tempat pengarang hidup.

Wolff mengutip ungkapan Spielberg dalam, glossary of phenomenological terms

mengenai Lebenswelt atau dunia kehidupan, yaitu kehidupan mempunyai be-

ragam dinamika yang dapat ditangkap oleh panca indera dan dialami oleh manu-

sia. Lebih lanjut Wolff menyatakan bahwa untuk mewujudkan sebuah dunia so-

sial (lebenswelt) yang objektif diperlukan model semacam pengalaman individu

(mode of experience grounded) pengarang (Schultz, 1967 dalam Wolff, 1975: 16).

Lebenswelt diperoleh karena pengarang mengalami sendiri apa yang ditulisnya.

Pengalaman ini membuka cakrawala baru mengenai sebuah dunia yang hidup

dengan berbagai fenomena kemanusiaannya. Konsep fenomenologi dalam so-

siologi Verstehen mengambil Lebenswelt sebagai point of reference (Wolff,

1975:14). Pengalaman yang dimaksud bukanlah pengalaman yang kebetulan,

tetapi suatu bentuk pengalaman yang mempunyai arti bagi pengalaman (author)

yang ditafsirkan dalam konteks keberadaan dunia kehidupan yang dihadapi pen-

galam (existing life-world) (Wolff, 1975: 16).

Ketika seorang pengarang menulis mengenai satu dunia, tulisan tersebut

didasari oleh pengalaman yang benar-benar pernah dialaminya, bukan didasarkan

96 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

pada kajian pustaka (library research). Uraian tersebut menunjukkan pentingnya

peran kesadaran (consciousness) seorang individu (author) untuk terlibat dan ber-

interaksi dengan masyarakat tempat dia tinggal. Dengan kesadaran (conscious-

ness), pengalaman yang direkam seorang individu tidak bersifat kebetulan (con-

tingent fact) tetapi benar-benar dikehendaki oleh individu tersebut untuk

diketahui. Inilah yang disebut oleh Schultz dengan mode experience grounded.

Dasar pemahaman inilah yang menjadi landasan utama fenomenologi yang be-

rusaha mengungkap keseluruhan pengalaman hidup pengarang dalam dunia yang

menyimpan arti (meaningful world). Dalam hal ini dijelaskan tentang fenomena

modernitas, implikasinya, dan tanggapan pengarang (Iman Budhi Santosa) ter-

hadap dunia yang dihadapinya.

Fenomena modernitas dapat dilihat dari berbagai sisi kehidupan, seperti

saat ini sudah muncul revolusi industri 4.0. Era industri ini memandang teknologi

informasi menjadi basis dalam kehidupan bermasyarakat. Penggunaan perangkat

komputer dan data yang tidak terbatas akibat perkembangan internet dan teknolo-

gi digital yang masif sebagai tulang punggung pergerakan dan jejaring koneksi

manusia dan mesin mengakibatkan segala informasi dan komunikasi berjalan

tanpa batas, tanpa harus hadir dan bertatap muka langsung. Era seperti ini berim-

bas pada disrupsi aneka aktivitas pengetahuan, seni, budaya, pendidikan, serta

kekerabatan manusia (Suwandi, 2018: 2).

Lebih lanjut, konsep revolusi industri ini memodernkan segala aspek ke-

hidupan yang bermuara pada efektivitas, produktivitas, dan individualitas. Dasar

perkembangan ekonomi, teknologi, dan kapital adalah tujuan yang harus dipenuhi

dalam era modern seperti ini. Pada konteks revolusi industri tersebut, proses yang

terjadi adalah perubahan sosial dan budaya yang berlangsung secara cepat dan

menyangkut kebutuhan mendasar atau pokok manusia. Perubahan tersebut terjadi

karena direncanakan atau tidak direncanakan (Suwardana, 2017:103). Kota indus-

tri adalah arena berkembangnya dan berprosesnya modernitas yang berbasis

teknologi. Jakarta, sebagai kota metropolitan dan ibukota negara merupakan ikon

perkembangan teknologi dan industri di Indonesia. Sebagai ibukota, Jakarta

menawarkan segudang gaya hidup yang modern, yang berkiblat pada budaya barat

sebagai kiblatnya (western culture). Dengan demikian, Jakarta menjadi kota ur-

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 97

ban, kota tujuan para pendatang dari daerah atau Jawa (sebutan untuk daerah di

Jawa selain Ibukota Jakarta). Jadi, ketika terjadi urbanisasi dari Yogya ke Jakarta

dikatakan dari Jawa ke ibukota. Sebaliknya ketika pulang dari Jakarta ke Yogya-

karta, orang-orang mengatakan pulang ke Jawa.

Budaya urbanisasi terkadang terjadi tidak berpola. Setiap kali orang desa

yang telah bekerja di kota kembali ke desa, mereka akan mengajak teman-teman

mereka di desa untuk “meraih mimpi” di kota. Momen hari besar, seperti lebaran

dan tahun baru menjadi titik urbanisasi besar-besaran. Impian akan kehidupan

yang lebih mudah, menyenangkan, dan menghasilkan uang telah mengaburkan

akal sehat kaum urban sehingga banyak orang yang berangkat menuju ibukota

tanpa “bekal” yang memadai untuk hidup dan bekerja. Ketidaksiapan hidup di ko-

ta dengan berbagai kompleksitas permasalahannya membuat orang-orang urban

tidak mampu mengendalikan keteraturan dan keseimbangan pikiran, perasaan, dan

perbuatan mereka. Pengangguran adalah akibat nyata dari ketidaksiapan keahlian

(skill) kaum urban. Tentunya, pengangguran akan mengarah kepada kemiskinan,

bahkan kriminalitas.

Fenomena modernitas tidak saja terjadi melalui urbanisasi, tetapi juga

penggunaan peranti komunikasi yang terus berkembang dan semakin canggih.

Tidak berbeda dengan urbanisasi, kemajuan teknologi mampu mengalienasi indi-

vidu dan lingkungan sosial budayanya. Urbanisasi menjauhkan jarak antarindi-

vidu karena letak geografis, sedangkan penggunaan peranti komunikasi modern,

seperti gadget, tablet, smartphone menjauhkan individu dari komunikasi verbal,

interaksi fisik, dan kekerabatan. Aneka aktivitas berinteraksi dan berkerabat sudah

diwakili oleh peranti tersebut yang dapat dioperasikan di mana saja tanpa perlu

berpindah tempat. Aktivitas seperti itu menimbulkan sikap dan sifat egois; kurang

perhatian terhadap sesama.

Modernitas adalah sebuah keniscayaan dalam kehidupan, tetapi moderni-

tas yang merasuk dalam alam pikir individu atau masyarakat diharapkan tetap

mampu menyejajar dengan tradisi dan budaya setempat. Hal ini dapat

menghindarkan masyarakat dari gegar budaya. Beragam aktivitas budaya dan

tradisi memudar ketika tatap muka dan kehadiran untuk sowan kepada orang tua

atau sesepuh sudah digantikan dengan tulisan dan gambar di whatsapp, facebook,

98 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

instagram, atau media sosial lain yang serupa. Ucapan selamat hari raya kepada

kerabat dan handai taulan sudah tidak lagi diwakili dengan jabat tangan, tetapi

melalui representasi ikon-ikon di media sosial. Terlepas dari efektivitas dan acuan

kapital, banyak aktivitas kekerabatan dan budaya masyarakat Jawa mulai

memudar. Sekarang sangat jarang dijumpai aktivitas rewang (gotong royong

membantu) untuk membantu keluarga yang punya hajat. Lebih praktis keluarga

tersebut memanfaatkan jasa event organizer. Tradisi ruwahan menjelang puasa

pun sekarang mulai tidak terlihat. Tidak ada lagi keluarga yang membuat apem,

ketan, kolak yang diberikan kepada tetangga. Kalau pun ada sesajian tersebut

dibuat instan, dengan memesan kepada penjual makanan. Memudarnya tradisi

kenduri untuk merayakan atau mengenang seseorang yang sudah meninggal.

Menengok leluhur di makam pada bulan ruwah (kalender Jawa) pun jarang dil-

akukan, khususnya generasi muda. Tradisi berkumpul, berkerabat, dan saling

memberi perhatian sudah mulai pudar seiring kebutuhan hidup yang berkiblat pa-

da modernitas yang mengedepankan efektivitas, efisiensi, dan individual. Kiblat

modernitas adalah kiblat industrialis-teknologis yang mengedepankan kebangunan

fisik secara dominan. Tidak heran jika kemudian muncul alienasi terhadap budaya

lokal. Yogyakarta sebagai bagian dari daerah lokal Jawa tidak lepas dari pengaruh

globalisasi yang modern.

Yogyakarta adalah salah satu kota dengan tradisi budaya Jawa yang di-

anggap masih kuat. Sebagai salah satu kota tujuan wisata dan kota pelajar, Yog-

yakarta menjadi penumpu industri kreatif budaya dan tradisi. Namun, globalisasi

telah mengubah konstelasi kebudayaan. Usaha ekonomi yang memproduksi ba-

rang kebudayaan sudah tergantikan oleh dan dikuasai oleh industri asing. Kuliner

asing, seperti hamburger, hot dog dengan industri waralabanya, Mc.Donalds, Ken-

tucky Fried Chicken sudah memarjinalkan kesukaan masyarakat mengunsumsi

geplak, thiwul, gatot, cenil, serta jajan pasar lainnya. Pakaian tradisional, per-

mainan tradisional sudah mulai ditinggalkan, kalah oleh gaya pakaian dari luar

negeri dan game-game yang sangat mudah diunduh dari application store melalui

aplikasi android (Soeroso dan Susilo, 2008:145). Rekaman atas dinamika

perkembangan modernitas dan globalisasi juga dicatat dan dialami sendiri oleh

Iman Budhi Santosa, seorang sastrawan yang bergelut dengan dunia sastra Yog-

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 99

yakarta. Model pengalaman individu (mode of experience grounded) yang dis-

yaratkan oleh Schultz (1967) dalam Wolff (1975: 16) terpenuhi dengan merujuk

kepada dunia social (lebenswelt) yang objektif dari aktivitas bersastra Iman Budhi

Santosa sejak hijrahnya ke Yogyakarta, melakoni aktivitas sastra dengan Persada

Studi Klub (PSK) bersama Umbu Landhu Paranggi, sampai sekarang (2019) tetap

menyuarakan sastra bertema sosial kemanusiaan.

Iman Budhi Santosa adalah seorang yang lahir dari keluarga priyayi di

Magetan, Jawa Timur. Sejak kecil, kakek Iman memberi pengaruh kuat kepadan-

ya tentang pentingnya mencatat dan menulis semua hal yang dia jumpai. Berbagai

pertanyaan sederhana dilontarkan kepada Iman untuk mengasah pikiran kritis da-

lam menjawab berbagai fenomena sosial budaya di sekitarnya. Pertanyaan ten-

tang di mana kuburan burung yang mati tanpa dibunuh ditemukan, dan menapa

kucing mati secara alami tidak berada di sembarang tempat. Pengondisian

pemikiran kritis yang terbina sejak kecil tersebut akhirnya terbawa oleh Iman

Budhi Santosa sampai dewasa dengan mencermati, mengobservasi, mencatat, dan

mengevaluasi secara kritis keadaan yang dijumpainya. Aktivitas menulis Iman,

yang juga dipupuk dan dipengaruhi oleh ibunya mengerucut pada ekspresi

kesastraan yang akhirnya mentahbiskannya menjadi seorang sastrawan yang

kritis. Kekritisan Iman dalam melihat fenomena sosial budaya membawanya pada

kepedulian terhadap alam sekitar dan kekerabatan manusia (Safitri, 2015:126-

127).

Perjalanan hidup bagi Iman Budhi Santosa akhirnya menempatkannya se-

bagai sastrawan yang berpengaruh dan senior di Yogyakarta. Yogyakarta meru-

pakan sebuah arena yang masih mempunyai kekerabatan yang kuat, sebuah kota

dengan masyarakat yang dikatakan pinggiran jika disejajarkan dengan modernitas

masyarakat urban. Ada magnet kekerabatan yang kuat dan mengakar di kota Yog-

yakarta. Maka, aktivitas kesastraan Iman sewaktu masih aktif di Persada Studi

Klub (PSK) bersama Umbu Landhu Paranggi adalah melihat masyarakat ping-

giran atau marginal yang dijumpainya. Malioboro adalah salah satu arena studi

Iman melihat masyarakat marjinal, seperti tukang becak, gelandangan, serta pen-

gemis. Tiada lain, aktivitas Iman adalah sebuah proses mengasah imaji dan hati

untuk tetap mengakar pada kekerabatan (Safitri, 2015:128). Prinsip niteni, eling

100 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

lan waspada serta eling marang sangkan paraning dumadi selalu menginspirasi

Iman Budhi Santosa dalam mencipta karya-karyanya.

Dalam perjalanan hidup, Iman juga menghadapi berbagai pengalaman

spiritual, sosial, kekerabatan, bahkan yang juga dialaminya di dalam keluarga.

Iman banyak melihat sisi humanis manusia dalam perjalanan hidup, pekerjaannya

yang bersinggungan dengan pegawai negeri sipil serta perkebunan dan hutan se-

hingga memunculkan ekspresi spiritual dalam petuah-petuah hidup yang me-

warnai karya kepenyairannya. Tradisi mencatat di masa kecil telah mengantarkan

Iman untuk mengekspresikannya melalui ranah estetis, yaitu kepenyairan. Catatan

adalah jejak tapak yang menyadarkannya. Memperkaya diri melalui berbagai

komunitas sastra, seperti keterlibatannya dalam PSK di Malioboro tahun 1969 dan

komunitas-komunitas sastra sampai sekarang telah mengantarkan Iman menjadi

“buku berjalan” di ranah sastra Yogyakarta (Santosa, 2016: 333-341). Kekayaan

bekal sosial budaya Iman Budhi Santosa inilah yang mentahbiskannya menjadi

seorang sastrawan senior di Yogyakarta.

Perhatian dan keprihatinan terhadap kekerabatan yang semakin tergerus

oleh modernisasi terekspresi melalui berbagai karya sastranya, di antaranya Dunia

Batin Orang Jawa (2007), Budi Pekerti Bangsa (2008), 3 Cerita Anak Keislaman

(2008), Peribahasa Indonesia (2009), Nguri-Uri Paribasan Jawi (2010), Nasihat

Hidup Orang Jawa (2010), Laku Prihatin, Investasi Menuju Sukses ala Manusia

Jawa (2011), Petuah-petuah Bijak Leluhur Nusantara Seputar Perkawinan (2011),

Saripati Ajaran Hidup Dahsyat dari Jagat Wayang (2011), Ziarah Tanah Jawa

(2013), Manusia Jawa Mencari Keheningan Hati (2014), Sesanti Tedhak Siti

(2015), Peribahasa Nusantara, Mata Air Kearifan Bangsa (2016), Suta Naya

Dhadhap Waru: Manusia Jawa dan Tumbuhan (2017). Selain karya sastra, Iman

Budhi Santosa juga dipercaya menjadi anggota Dewan Kebudayaan Kota Yogya-

karta (DKKY) seksi bahasa dan sastra Jawa, menerbitkan majalah Sabana (2013),

menerima penghargaan sebagai Penggerak Sastra Indonesia dari Balai Bahasa

Yogyakarta (2009), KSI Award (2012), Anugerah Sastra dari Pemprov DIY

(2013), Anugerah dari YASAYO (2015), dan penghargaan lainnya.

Berbagai pencapaian dan penghargaan menjadi motor penggerak kreativi-

tas Iman Budhi Santosa. Dengan mengikuti perkembangan zaman, modernitas,

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 101

dalam kacamata Iman Budhi Santosa merupakan suatu gaya hidup baru yang

dirombak dari nilai-nilai tradisi dan adat kebiasaan warisan nenek moyang, yang

dirasa “ketinggalan zaman” (2018:60). Hijrah menuju ke kehidupan urban

mempunyai sisi negatif dan positif sebagai konsekuensi sebuah kemajuan

“peradaban”. Tarik-menarik antara desa kota sudah tidak berimbang lagi karena

lebih banyak tawaran visual dan fisik yang menyenangkan di kota daripada ta-

waran desa yang monoton dan tradisional. Namun, di balik modernitas tersebut,

ternyata kemajuannya tidak diimbangi dengan kematangan mental sehingga

sebenarnya banyak timbul kegagalan dalam kehidupan para kaum urban dan

calon-calon urban. Kegagalan inilah yang sering mengemuka dan menimbulkan

berbagai akibat yang bertentangan dengan norma-norma sosial kemasyarakatan,

seperti kriminalitas, pelanggaran terhadap norma-norma susila dan etika sosial,

serta berbagai hal lain yang akhirnya berimbas ke kelompok, bukan lagi menjadi

masalah individual. Kota metropolitan adalah tolok ukur sebuah “peradaban” mo-

dernitas yang nyata. Kehadiran modernitas semakin lama semakin menawarkan

produk-produk fisik baru sebagai penunjang kebutuhan (gaya) hidup. Hal ini

meminggirkan, meredupkan, dan bahkan mengalienasi masyarakat dengan gaya

hidup tradisional yang masih memegang tradisi dan budaya yang mungkin secara

diam-diam masih menyimpan nilai, kepercayaan, dan perilaku lama (Santosa,

2018:60). Perilaku lama yang dimaksud Iman adalah kebiasaan masyarakat hidup

berkerabat.

Masyarakat yang masih memegang tradisi gotong-royong, saling memban-

tu jika ada kesulitan dan jika ada hajatan adalah masyarakat yang masih me-

megang kuat kekerabatan. Tradisi dan budaya berkerabat membentuk individu-

individu di dalam kelompok masyarakat tersebut bersikap sopan, ramah, saling

menghargai, saling menyapa, dan saling membantu. Sikap tersebut menumbuhkan

rasa toleransi terhadap sesama penduduk (desa), bahkan meluas pula terhadap

orang-orang yang datang dan memasuki wilayah tempat mereka tinggal. Sikap

ramah, rukun, sabar, sopan-santun, tulus, saling membantu terbentuk karena

“keramahan” dan “keteduhan” masyarakatnya. Budaya dan tradisi semacam itu

masih banyak dijumpai di desa-desa, kota-kota kecil, serta kampung-kampung.

Lingkungan masyarakat yang masih memegang kekerabatan secara kuat biasanya

102 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

mempunyai lingkungan alam yang sejuk. Alam tersebut memberi ruang nyaman

bagi hati dan fisik masyarakatnya sehingga aktivitas sosial budaya orang-orang

desa terbentuk dengan pola dan manajemen alamiah.

Fenomena sosial budaya masyarakat yang hidup dengan perilaku modern

mengusik hati Iman Budhi Santosa. Seperti geguritan “Serere Adhuh Lae” karya

Turiyo Ragilputro yang menyitir pedas perilaku anak-anak muda yang sudah

melupakan budaya dan tradisi pedesaan karena mengalami gegar budaya. Maka

puisi “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa” ciptaan Iman Budhi Santosa

secara persuasif mengajak mereka yang sudah teralienasi dengan budaya lokal dan

tanah kelahiran untuk mengingat kembali dan peduli dengan budaya dan pranata

sosial serta tradisi tempat mereka lahir, yaitu tanah Jawa.

4.2 Jawa dan Alam Kejawaan

Ekspresi kepengarangan Iman Budhi Santosa disarikan dari pengalaman

hidup yang mereka hadapi sehari-hari. Saphir-Whorf (Wollf, 1975:23) menga-

takan bahwa pengalaman utuh (total experience) individu termasuk persepsi, cara

berpikir, pandangan dunia dibentuk dengan bahasanya. Bahasa menjadi peranti

untuk menunjukkan ciri khas ekspresi kepengarangan. Lebih lanjut, Hetzler (da-

lam Wolff, 1975:22) mengemukakan bahwa bahasa berfungsi sebagai agen

kontrol sosial, petunjuk sosial budaya (socio cultural index) dan catatan (seperti

nama orang, sapaan, tempat, sistem kepercayaan, budaya, serta entitas yang ada

dalam masyarakat). Iman Budhi Santosa menggunakan peranti indeks sosial bu-

daya dalam “Ziarah Tembuni” dan “Ziarah Tanah Jawa”. Kekhasan ekspresi

menggunakan diksi dengan idiom Jawa kental mewarnai kedua puisi tersebut.

Selain itu, nama-nama tanaman tradisional juga menjadi bagian ekspresi kedua

puisi tersebut.

Judul “Ziarah Tanah” Jawa dan “Ziarah Tembuni” menegaskan kredo

Iman Budhi Santosa dalam merekatkan kembali manusia dengan alam dan asal-

usulnya sehingga kata kunci ziarah menjadi pilihan untuk judul kedua puisi terse-

but. Pengalaman batin dan fisik menjadi begitu kental dalam kedua puisi tersebut

seakan Iman kembali bernostalgia, mengumbar memoar masa lalu dan masa kecil

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 103

untuk menemukan kejatian manusia dalam merasakan hidup yang sebenarnya.

Maka, nada (tone) kerinduan sangat dominan di kedua puisi tersebut.

ZIARAH TANAH JAWA

Tinggal satu jalan yang ditunjukkan kota-kota berdebu

pada usia enam satu. “Kembalilah ke Jawa…”

menyusuri jejak ingas kemadu

merawat lempuyang sembukan yang makin jarang memuliakan gunung sungai, membersihkan halaman

dengan sapu sebelum matahari terbit dan terbenam

Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku

menapaklah dengan telanjang

biar pasir kerikil memijat kembali

telapak kakimu yang berkarat membesi

Disaksikan rumput ilalang, senyum dan tembang

Kusinggahi makam nenek-moyang

Tanpa bertanya siapa mereka Apakah keturunan matahari dan rembulan

Apakah babad dan serat pernah mencatat atau menyebutkan

Mungkin, lewat bunyi perkutut atau derkuku

Mengejawantah lagi nasihat para wali

Merasuk kembali pepatah-petitih ke dalam puisi

Merayakan sekuntum melati mekar

Pada setiap hati sanubari

(Santosa, 2013:42)

Ketenangan dan rasa yang mendalam terasa lebih diprioritaskan oleh Iman

untuk menohok pembaca supaya larut memahami ajakannya untuk kembali ke

tempat asal-usul kita. Bait pertama puisi tersebut berisi “petunjuk arah” yang su-

dah tidak dapat lagi ditawar oleh manusia, /tinggal satu jalan yang ditunjukkan ko-

ta-kota berdebu/,/pada usia enam satu. “Kembalilah ke Jawa”/. Baris pertama dan

kedua tersebut terasa mengunci “produktivitas” manusia untuk meneruskan

pengembaraan mereka menjauhi tanah kelahiran. Paparan ini seakan menunjukkan

dua tlatah (daerah) yang beroposisi dalam kredo ideologis tentang ketenteraman

jiwa. Ketika baris /menyusuri jejak ingas kemadu/,/merawat lempuyang sembukan

yang makin jarang/,/memuliakan gunung sungai, membersihkan halaman/,/dengan

sapu sebelum matahari terbit dan terbenam/ dipaparkan pada bait pertama untuk

menyambut dua bari awal bait tersebut, Iman ingin menunjukkan bahwa secara

oposisional bahwa tlatah yang perlu ditinggalkan adalah tlatah yang tidak menjan-

jikan kredo ideologis tentang ketentraman jiwa.

104 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

Berikutnya, bait dua, tiga, dan empat merupakan bait penegas mengapa kita harus

kembali ke Jawa. Bait kedua pun menegaskan ajakan untuk kembali menjadi “kita

sendiri” dalam arti meninggalkan segala iming-iming kebendaan yang dijanjikan

oleh telatah seberang. Ungkapan /lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh bu-

ku/,/menapaklah dengan kaki telanjang/,/biar pasir kerikil memijat kemba-

li/,/telapak kakimu yang berkarat dan membesi/ adalah sebuah afirmasi untuk

meninggalkan dunia kebendaan dan kembali ke asal-usul kita dengan kesejatian

yang dipunyai manusia.

Ajakan kembali ke Jawa ini pun dilakukan oleh Iman dengan sebuah im-

ing-iming seperti seorang ayah menjanjikan sesuatu kepada anak kecil.

Penggunaan orang pertama tunggal disisipkan oleh Iman untuk menggambarkan

bagaimana dia sangat merasa nyaman kembali ke Jawa, seperti dalam /disaksikan

rumput ilalang, senyum dan tembang/,/kusinggahi makam nenek-moyang/,/tanpa

bertanya siapa mereka/,/apakah keturunan matahari atau rembulan/,/apakah babad

dan serat pernah mencatat atau menyebutkan/.

Berikutnya adalah puisi “Ziarah Tembuni” yang lebih bernarasi tentang identitas

sosial budaya Jawa yang lebih terperinci dibandingkan puisi “Ziarah Tanah Jawa”.

Puisi ini seakan menyambut dan menjelaskan isi puisi “Ziarah Tanah Jawa”.

Keduanya mempunyai nada yang sama, yaitu nada kerinduan.

Ziarah Tembuni

Berkaca pada lantai pendapa, malam wangi Wijayakusuma

keriput uban serentak melawan, karena di sudut

dekat pot bunga berlumut, saudaraku

tembuni yang kikut serta dari gua garba bunda

masih tersimpan aman dan patut

Di sana masih tegak pohon mangga bapang

sepasang kelapa gading dan rumpun bambu kuning

ditambah tebu hitam, meniran dan kaca piring

melengkapi salam sapa pagar halaman yang ramah dan hening.

“Ya, aku masih di Jawa.” bersama welat dan jamu

menyanding pohon srigunggu, tuah tapak liman, serta dewandaru

“Tetapi, mengapa engkau merasa jadi tamu…”

Padahal, di sana masih ada makam leluhur. Ada nisan kayu batu

ditatah dengan goresan paku. Mereka tak pernah lupa

siapa anak cucu yang dulu nakal, suka mencuri ketela dan membakarnya malam-malam saat bulan puasa.

Maka, seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki

yang berakar pada dahi mereka, yang menjalar

menutup nama yang pernah mendongengkan kisah Nabi

Ramayana hingga Mahabharata

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 105

Ya, di sini aku punya kisah lama

Ada perlambang pada anak panah dan gendewa

Ada ibu yang melepaskan dirimu diriku

Berguru pada tunas dan buku lebih dari Saturday

Kini, dengan keringat di dahi kucium kembali tanah itu

Bersama derit bambu kusembuhkan penat perjalanan bersepatu

Di sini engkau aku lahir, menjadi akar dan batang kayu

Di sini pula ribuan dongeng berkait menlejma biduk dan perahu.

(Santosa, 2013: 72)

Iman menggunakan “Ziarah Tembuni” untuk mengekspresikan nada (tone)

kerinduan yang mendalam. Tembuni adalah plasenta atau ari-ari yang keluar dari

rahim segera setelah bayi keluar dari rahim ibu. Orang Jawa menyebut tembuni

sebagai kakang kawah adhi ari-ari, artinya tembuni yang berwujud daging tersebut

merupakan saudara kandung si bayi. Penguatan nada kerinduan diperkuat dengan

digunakannya tokoh aku untuk meyakinkan pembaca. Ibarat sebuah nada pantun,

Ziarah Tanah Jawa adalah sampiran dan Ziarah Tembuni adalah isi. Nada ker-

induan yang amat dalam terhadap saudara kandung sudah dimulai oleh Iman se-

menjak penulisan judul. Kata ziarah menunjuk pada sebuah perjalanan jauh yang

sakral (KBBI: kunjungan ke tempat yang dianggap sakral atau mulia (makam)),

sedangkan tembuni adalah tujuan kunjungan tersebut. Dalam nalar oposisional,

tokoh aku berada jauh dari tempat tembuni tersebut dikuburkan. Kuburan tembuni

adalah tanah kelahiran si aku, karena tembuni pasti dikubur, dalam budaya Jawa,

di tempat atau rumah orang tua si jabang bayi.

Bait pertama dan kedua dalam puisi tersebut langsung memaparkan sebuah

memoar masa lalu, refleksi atau flashback alur narasi dihantarkan melalui baris

pertama dengan diksi /kaca/ sebagai sebuah cermin masa lalu, /berkaca pada lantai

pendapa…/. Selanjutnya narasi tersebut secara rinci menggambarkan suasana

pendapa semasa tokoh aku masih kecil mulai baris kedua bait pertama /…, karena

di sudut/,/dekat pot bungan berlumut, saudaraku/,/tembuni yang ikut serta dari gua

garba bunda/,/masih tersimpan aman dan patut/.

Kekuatan memoar tokoh aku diuraikan dengan jelas pada bait kedua

dengan penyebutan nama-nama tumbuhan khas Jawa, seperti pohon mangga

bapang, kelapa gading, bambu kuning, tebu hitam, meniran, srigunggu, tapak li-

man, dewa daru. Kekuatan kerinduan terhadap saudara kandung tersebut diperte-

106 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

gas lagi dengan penyebutan bersama welat dan jamu yang menjadi ubarampe atau

peralatan potong tali pusat yang berasal dari sayatan kulit bambu yang dipercaya

sangat tajam melebihi pisah serta jamu sebagai minuman kesehatan bagi ibu

setelah melahirkan.

Tembuni menjadi entitas yang dihadirkan pengarang untuk membuka

langkah tokoh aku menemukan dan menghargai leluhurnya, bahkan menemukan

ketenteraman jiwanya. Penemuan ketenteraman jiwa si tokoh aku ditunjukkan da-

lam pernyataannya di baris pertama bait ketiga, “Tetapi mengapa sekarang engkau

merasa jadi tamu …”. Secara implisit, pernyataan tersebut menunjukkan bahwa si

tokoh aku adalah aku yang mewakili rasa universal setiap orang. Kata /engkau/

adalah kunci yang menegaskan sifat keuniversalan rasa tersebut. Rasa universal

tersebut diperkuat dengan gambaran makam leluhur dengan identifikasi nisan

kayu batu yang ditatah dengan goresan paku. Penggambaran nada kerinduan se-

makin diperdalam dengan memoar masa kecil dengan baris-baris berikut /mereka

tak pernah lupa/,/siapa anak cucu yang dulu nakal, suka mencuri ketela/,/dan

membakarnya makam-malam saat bulan puasa/. Ingatan yang diseret ke masa

kecil menunjukkan bahwa si tokoh ingin memanjakan diri secara total sebagai

seorang anak yang masih lugu, karena anak akan selalu dimanja oleh orang

tuanya. Ketika sekarang tokoh aku kembali lagi dengan umurnya yang telah

lanjut, ingatan tersebut berubah menjadi rasa hormat. Digambarkan dalam bait ke-

tiga dengan, /maka seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki/,/yang be-

rakar pada dahi mereka, yang menjalar/. Kepatuhan dan kepasrahan jiwa yang

menanangkan yang telah mendewasakan si tokoh aku. Bait terakhir menyimpul-

kan kepasrahan, kerinduan, dan katarsis dalam jiwa si tokoh aku. /kini dengan

keringat di dahi kucium kembali tanah itu/,/bersama derit bambu kusembuhkan

penat perjalanan bersepatu/,/di sini engkau aku lahir, mejadi akar dan batang

kayu/,/di sini pula ribuan dongeng berkait menjelma biduk dan perahu/.

Pemilihan diksi dalam idiom Jawa melalui nama-nama alamiah, seperti ak-

tivitas tradisional, seperti menapak dengan kaki telanjang, memuliakan gunung,

membersihkan halaman dengan sapu sebelum matahari terbit dan terbenam.

Penyebutan nama-nama tanaman, seperti rumput ilalang, bunga melati; hewan-

hewan, seperti perkutut, derkuku, makam sebagai sebuah tonggak pohon kekera-

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 107

batan mempertegas ingatan akan asal-usul tanah kelahiran manusia. Semua idiom

Jawa tersebut menjadi bagian kehidupan sosial budaya keseharian orang Jawa, in-

gatan kolektif tradisional tentang ajaran para wali, makam, babad, serat, diangkat

Iman untuk mengentalkan rasa dan nada puisi Ziarah Tanah Jawa sebagai sebuah

katarsis yang diuraikan secara lebih rinci melalui Ziarah Tembuni, bahwa tujuan

kehidupan bendawi, kekuasaan, martabat adalah sebuah absurditas semata.

Akhirnya ingatan kolektif tentang lokalitas tradisional yang diangkat Iman

akhirnya bermuara pada pengembalian rasa sejati yang berpangkal pada hati nura-

ni yang selalu mengingat akan asal-usul, leluhur, dan alam yang mendampingi ke-

lahiran.

Pemahaman terhadap ingatan akan asal-usul, leluhur, dan alam yang men-

dampingi kehidupan tersebut merupakan falsafah kebudayaan manusia. Ke-

hidupan manusia selalu berpasangan, seperti halnya unsur-unsur di alam, ada

siang-malam, langit-bumi, dan lain sebagainya. Sebagai bagian dari alam, manu-

sia dituntut juga bertanggung jawab terhadap alam, mampu membaca tanda alam

dan merawatnya (Bahardur, 2018:156). Dengan demikian relasi manusia dan alam

adalah sebuah relasi mutualisma. Iman Budhi Santosa berusaha menyadarkan

manusia dengan ekspresi puitisnya. Lebih kanjut, dalam kerangka pikir masyara-

kat Jawa ada kesadaran dan pemahaman tentang sangkan paraning dumadi atau

ingat akan asal usul. Konsep kebersatuan atau ingat, manusia dengan alam diha-

yati secara mendalam adalah persatuan atau rekonsiliasi makhluk dengan

Tuhannya (Widijanto, 2018: 111).

4.3 Rekonsiliasi Versus Kuasa Globalisasi

Ideologi verstehen, dalam sosiologi sastra Wolff, adalah sebuah usaha un-

tuk memahami (verstehen) karya sastra sedekat mungkin dengan cara berpikir

pengarang (Wolff,1975:6). Cara berpikir dan ekspresi pengarang menunjukkan

bahwa dia mempunyai hubungan dan menjadi bagian dari dunia sosialnya, Iman

Budhi Santosa dan tanah Jawa. Iman Budhi Santosa dalam pandangan verstehen

hadir sebagai aktor pengalam sekaligus pengulas, dan evaluator terhadap fenome-

na sosial budaya yang terjadi, yaitu dalam menyikapi budaya modern dan tradi-

sional yang dialami oleh masyarakat Jawa.

108 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

Perlambangan (tipifikasi) yang diekspresikan oleh Iman Budhi Santosa da-

lam kedua puisinya terasa sederhana. Ekspresi kesederhanan yang diungkapkann-

ya sebenarnya menyuguhkan nada kerinduan yang begitu mendalam terhadap

asal-usul manusia dalam sebuah jarak estetika. Iman berupaya membuat jarak es-

tetika dengan pembaca puisinya seminimal mungkin. Ekspresi tersebut adalah ek-

spresi yang mendalam berbasis memoar pribadi. Maka berbagai karya Iman selalu

berupaya untuk menyodorkan kebaruan. Maksud Iman Budhi Santosa tentang ke-

baruan adalah kembali ke asal-usul (Santoso, 2014: 552). Hal tersebut dinalarkan

oleh Iman melalui idiom-idiom Jawa dengan mengungkap latar alam, budaya et-

nik nusantara. Oposisi situasi begitu jelas muncul dalam paparan diksi menggam-

barkan sebuah kepenatan dan kerinduan akan tanah kelahiran, yang juga identik

dengan ibu pertiwi, ibu kandung (kita).

Ziarah Tanah Jawa

Kepenatan : /kota-kota berdebu/

/Usia enam satu/

/Lepaskan pula terompah sepatu dan seluruh buku/

/Menapaklah dengan kaki telanjang/

(Santosa, 2013: 42)

Ziarah Tembuni

Kerinduan: /Berkaca pada lantai pendapa…/

/Tembuni yang ikut serta dari gua garba bunda/ /Masih tersimpan aman dan patut

/Di sana masih tegak pohon mangga bapang/

/Tetapi mengapa sekarang engkau merasa jadi tamu…/

/Siapa anak cucu yang dulu nakal, …/

/Maka seperti terbangun dari mimpi, kucabuti rumput teki…/

/Ya, di sini aku punya kisah lama/

/Kini, dengan keringat di dahi kucium kembali tanah itu/

/Di sini engkau aku lahir, menjadi akar dan batang kayu/

/Kembali ke rahim Ibu, tidak ada rasa iri dan dengki/

(Santosa, 2013: 72)

Oposisi budaya modern dan tradisional dengan perlambangan yang di-

paparkan tersebut menunjukkan rekonsiliasi batin bagi tokoh aku dalam kedua

puisi tersebut. Rekonsiliasi tersebut menawarkan ketenteraman batin ketika tokoh

aku harus menghadapi dunia modern yang dijalaninya. Ajakan Iman Budhi Santo-

sa adalah “kembalilah dan ingatlah akan asal-usulmu, tanah kelahiran dan leluhur

yang akan memberimu kekuatan untuk hidup dan berkarya membangun tanah ke-

lahiran yang kaya”. Modernitas memang menjanjikan kehidupan secara visual dan

bendawi, tetapi kesiapan mental untuk menghadapinya memerlukan strategi.

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 109

Tanah kelahiran dengan tradisi yang dipunyai menyuguhkan keluguan dan perlin-

dungan terhadap kehidupan melalui kemapanan jiwa.

Tidak diperlukan strategi untuk membangun tanah kelahiran kita, karena

semuanya adalah saudara yang kita kenal sejak kita lahir, alam, leluhur, dan rasa

jiwa. Suatu bangsa yang utuh membutuhkan landasan sejarah dan tradisi, selain

pembangunan di bidang politik dan ekonomi. Dengan demikian, penyadaran akan

tanah kelahiran, Jawa adalah penyadaran kemanusiaan dalam kerangka tradisi dan

sejarah kelahiran. Maka, rekonsilisasi terhadap tanah kelahiran (jagat alit) adalah

cikal bakal rekonsiliasi terhadap bumi pertiwi Indonesia (jagat ageng). Rekonsili-

asi ini pun beranalogi pada penyadaran akan pemerolehan pengetahuan, seperti

pemerolehan bahasa, yaitu mengajarkan bahasa daerah terlebih dahulu baru

mengajarkan bahasa Indonesia. Analogi ini digunakan untuk mengatasi kepuna-

han bahasa, maka strategi tersebut juga berlaku logis dalam mengatasi ket-

erasingan bangsa Indonesia terhadap negeri Indonesia dengan merawat tradisi

daerah sebagai identitas bangsa (Taib, 2015:253—255). Inilah ideologi

pengarang, Iman Budhi Santosa untuk menyampaikan katarsis kepada pembaca

melalui puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni”.

Ideologi rekonsiliasi dengan tanah kelahiran adalah sebuah ingatan akan

kearifan lokal. Dengan pengenalan dan pemahaman terhadap kearifan lokal, maka

konflik antarindividu dan kelompok dapat diredam (Simarmata, dkk., 2017:16),

khususnya di jagat ageng, Indonesia. Kearifan lokal perlu kembali direvitalisasi

sebagai sebuah tawaran konkret bagi mereka yang sudah “tercerabut” dari ingatan

tradisi dan budaya lokal mereka. Maka, bentuk konkret rekonsiliasi mencipta dan

menghadirkan arena apresiasi sastra (khususnya sastra yang bertema tentang

kekerabatan, sosial, dan budaya), menghidupkan kembali ingatan akan bentuk-

bentuk dan gaya kekerabatan yang menjadi ciri khas masyarakat Jawa melalui

karya sastra. Dalam hal ini Iman Budhi Santosa mengejawantahkannya dengan

mencipta puisi, puisi yang merevitalisasi ingatan untuk kembali ingat kepada

tanah Jawa, tanah leluhur, tanah yang melahirkan, memelihara, dan memberi

bekal hidup. Ajakan rekonsiliasi oleh Iman Budhi Santosa merupakan sebuah

analogi yang berimplikasi luas, yaitu cinta pada tanah air yang berbudaya bhineka

yang harus dipertahankan oleh generasi-generasi mendatang.

110 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

SIMPULAN

Ekspresi puisi “Ziarah Tanah Jawa” dan “Ziarah Tembuni” karya Iman Budhi

Santosa menggambarkan fenomena sosial budaya masyarakat Jawa yang terimbas

globalisasi dan modernisasi. Akibat yang ditimbulkan adalah masyarakat semakin

teralienasi dengan budaya lokal, yaitu budaya yang membesarkan mereka sejak

lahir. Jagat Jawa dengan indeks sosial budaya Jawa diangkat oleh Iman Budhi

Santosa sebagai sebuah analogi penggambaran bumi pertiwi, tempat kelahiran pa-

ra individu yang sudah teralienasi dari budaya di tanah kelahirannya kerena mod-

ernisasi. Gambaran kepenatan perjalanan hidup (modernitas) digambarkan Iman

Budhi Santosa melalui tipifikasi idiomatik Jawa dalam puisi “Ziarah Tanah Jawa”.

Gambaran kerinduan akan tanah kelahiran (kekerabatan-budaya-tradisi lokal)

digambarkan Iman Budhi Santosa melalui tipifikasi idiomatik Jawa dalam puisi

“Ziarah Tembuni”.

Bahasa puitik Iman Budhi Santosa dalam kedua puisinya tersebut menun-

jukkan ideologi kepengarangannya, yaitu ajakan rekonsiliasi dengan tanah ke-

lahiran. Rekonsiliasi adalah memulihkan hubungan persahabatan ke keadaan

semula. Dalam hal ini adalah keadaan manusia yang ingat akan jati dirinya se-

bagai bagian dari masyarakat yang berkerabat dengan sesama dan alam sekitar.

Kesadaran akan kekerabatan ini menumbuhkan kekuatan mental dan spiritual un-

tuk sadar dan mencintai (kembali) tanah air apa adanya. Walaupun gelombang

globalisasi dan modernisasi datang tak terbendung, penumbuhan rasa cinta ter-

hadap tanah air melalui kearifan lokal, interaksi terhadap kerabat dalam budaya

dan tradisi setempat harus tetap terjaga. Modernitas diidealkan berpondasikan

budaya dan tradisi bangsa sendiri, Indonesia yang berbudaya bineka.

DAFTAR PUSTAKA

Bahardur, Iswadi. (2018). “Kearifan Lokal Budaya Minangkabau dalam Seni Per-

tunjukan Tradisional Randai”. Jentera. Jurnal Kajian Sastra. 7 (2), 145-

160, ©2018.

Berger, Peter L., Thomas Luckmann. (1990). Tafsir Sosial Atas Kenyataan. Risa-

lah tentang Sosiologi Pengetahuan. Yogyakarta: LP3ES.

Devinta, Marshellena, Nur Hidayah, Grendi Hendrastomo (2015). “Fenomena

Cultural Shock (Gegar Budaya) pada Mahasiswa Perantauan di Yogya-

karta”. Jurnal Pendidikan Sosiologi. 2015 halaman 1-15.

Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019 | 111

Lestari, Winda Dwi, Sarwiji Suwandi, Muhammad Rohmadi. (2018). “Kaum

Subaltern dalam Novel-Novel Karya Soeratman Sastradihardja: Sebuah

Kajian Sastra Poskolonial”. Widyaparwa, Volume 46, Nomor 2, Desem-

ber 2018. 179-188.

Purwantini (2016). “Urbanisme, Urbanisasi, dan Masyarakat Urban di Jakarta da-

lam Novel Senja di Jakarta”. ATAVISME, Vol.19, No.2, Edisi Desem-

ber, 2016: 162-175.

Rahmawati, Dian Lufia. (2019). JIWA PUISI. Puisi-puisi Iman Budhi Santosa.

Dalam Pendekatan Psikofilosofi Berdasarkan Perspektif Ki Ageng Sury-

omentaram. Yogyakarta: Interlude.

Safitri, Anggun Nirmala. (2015). “Pergulatan Iman Budhi Santosa Untuk Men-

capai Posisi Terkonsekrasi Dalam Arena Sastra Yogyakarta”. Jurnal Po-

etika Vol. 2, Desember 2015. Halaman 124-131.

Santosa, Iman Budhi. (2018). Kalakanji. Kumpulan Esai Kebudayaan Sastra dan

Seni. Yogyakarta: Interlude.

Santosa, Iman Budhi. (2017). Suta Nawa Dhadhap Waru. Manusia Jawa dan

Tumbuhan. Yogyakarta: Interlude.

Santosa, Joko (2014). Teori Puisi Iman Budhi Santosa. Dalam Prosiding Seminar

Internasional PMSI XXXVI tahun 2014. Yogyakarta: Prodi Pendidikan

Bahasa dan Sastra Indonesia FKIP. Universitas Ahmad Dahlan, Yogya-

karta.

Santosa, Iman Budhi. (2013). Ziarah Tanah Jawa. Kumpulan Puisi 2006-2012.

Yogyakarta: interlude.

Santosa, Iman Budhi. (2012). Narasi Tembuni. Kumpulan Puisi Terbaik KSI

Award 2012 Komunitas Sastra Indonesia. Jakarta: komunitas sastra In-

donesia (KSI) dan Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Ke-

mendikbud.

Santosa, Iman Budhi. (2016). Ngelmu Iku Kelakone Kanthi Laku. Proses Kreatif

Sastrawan Yogyakarta. Iman Budhi Santosa, Herry Mardianto, Latief S.

Nugraha (editor). Yogyakarta: Kementerian Pendidikan Dan Ke-

budayaan. Balai Bahasa Daerah Istimewa Yogyakarta.

Simarmata, Henry Thomas.dkk. (2017). Indonesia Zamrud Toleransi. Jakarta:

Pusat Studi Islam dan Kenegaraan Indonesia.

Satiyoko, Yohanes Adhi. (2012). “Wong Jawa” dalam geguritan “Serere Adhuh

Lae” karya Turiyo Ragilputro dan “Siter Gadhing” karya Djaimin Kari-

yodimejo”. Prosiding. Yogyakarta: Balai Bahasa Yogyakarta.

Soeroso, Amiluhur, Y. Sri Susilo. (2008). “Strategi Konservasi Kebudayaan Lokal

Yogyakarta”. Jurnal Manajemen Teori dan Terapan I Tahun 1, No.2

Agustus 2008. Halaman 144-161.

Supardi, Nunus. (2013). “Bianglala Budaya. Rekam Jejak 95 Tahun Kongres Ke-

budayaan 1918—2013”. Jakarta: Direktorat Jenderal Kebudayaan Ke-

menterian Pendidikan dan Kebudayaan.

Suwandi, Sarwiji. (2018). “Tantangan Mewujudkan Pembelajaran Bahasa dan

Sastra Indonesia yang Efektif di Era Revolusi Industri 4.0”. Makalah

yang dipresentasikan dalam Kongres Bahasa Indonesia XI yang

diselenggarakan oleh Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa,

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, Jakarta 28-31 Oktober 2018.

112 | Jentera, 8 (1), 88—112, ©2019

Suwardana, Hendra. (2017). “Revolusi Industri 4.0 berbasis Revolusi Mental”.

Jati Unik, 2017. Vol.1, No.2, Hal 102-110.

Taib, Rinto. (2015). “Merawat Bahasa Sebagai Identitas Budaya Bangsa. Tafsir

Identitas di tengah Dominasi Kuasa&Universalitas (multibahasa)” dalam

SEMINAR DAN LOKAKARYA LEMBAGA ADAT. Jakarta: Pusat

Pengembangan Strategi dan Diplomasi Kebahasaan. Badan Pengem-

bangan dan Pembinaan Bahasa. Kementerian Pendidikan dan Ke-

budayaan.

Widijanto, Tjahjono. (2018). “Dunia Halus Mistis Jawa dan Fantasi Magis Ter-

nate dalam Godlob dan Cala Ibi.” Jentera. Jurnal Kajian Sastra. 7 (1),

102-129, ©2018.

Wolff, Janet. (1975). Hermeneutic Philosophy and the Sociology of art. An ap-

proach to some of the epistemological problems of sociology of

knowledge and the sociology of art and literature. London and Boston:

Roultedge & Kegan Paul