reinterpretasi makna ngaben massal di desa · pdf filesugesti, dan faktor-faktor...

14
WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011 120 REINTERPRETASI MAKNA NGABEN MASSAL DI DESA PAKRAMAN SUDAJI: SUATU KAJIAN BUDAYA Oleh I Nyoman Sukraaliawan 1 Abstrak: Menurut ajaran Agama Hindu, melaksanakan Upacara Ngaben untuk para leluhur adalah merupakan kewajiban yang harus dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali. Dalam praktiknya tidak semua masyarakat bisa menjalankan kewajiban tersebut karena berbagai faktor. Salah satu dari faktor tersebut adalah mahalnya biaya Upacara Ngaben, seperti yang terjadi di Desa Pakraman Sudaji. Mahalnya biaya Upacara Ngaben di sini tidak terlepas dari adanya hegemoni yang dilakukan oleh golongan masyarakat kaya, melalui tradisi Ngaben secara besar-besaran. Perubahan tradisi dalam hal pelaksanaan Upa- cara Ngaben, yang telah diterima oleh masyarakat adalah ketika Desa Pakraman, melakukan Ngaben Massal sebagai alternatif untuk menanggulangi mahalnya biaya Ngaben ter- sebut. Fenomena tradisi baru dalam cara Ngaben ini, secara sosiologis menjadi menarik untuk dilakukan penelitian guna memperoleh jawaban terhadap reinterpretasi makna Ngaben Massal bagi masyarakat di Desa Pakraman Sudaji dalam per- kembangannya saat ini. Beberapa reinterpretasi makna Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, adalah: a) reinterpre- tasi makna secara filosofis, b) makna dekonstruksi wacana hegemonik, d) makna pelayanan Prajuru Desa Pakraman ke- pada masyarakat, e) makna sebagai media pendidikan masya- rakat, f) makna ekonomi. Kata kunci: Agama, upacara, yajña, dan ngaben. Pendahuluan Secara umum dalam pemikiran masyarakat awam, pelaksanaan upacara Ngaben, sebagai salah satu upacara keagamaan, memerlukan biaya yang sangat besar pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji. Berdasarkan pengamatan penulis, terutama besarnya dana Ngaben yang diperlukan berkisar antara seratus lima 1 I Nyoman Sukraaliawan adalah staf edukatif pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Unipas Singaraja.

Upload: phamkiet

Post on 04-Mar-2018

243 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

120

REINTERPRETASI MAKNA NGABEN MASSAL DI DESA

PAKRAMAN SUDAJI: SUATU KAJIAN BUDAYA

Oleh I Nyoman Sukraaliawan1

Abstrak: Menurut ajaran Agama Hindu, melaksanakan Upacara

Ngaben untuk para leluhur adalah merupakan kewajiban yang

harus dilaksanakan oleh umat Hindu di Bali. Dalam praktiknya

tidak semua masyarakat bisa menjalankan kewajiban tersebut

karena berbagai faktor. Salah satu dari faktor tersebut adalah

mahalnya biaya Upacara Ngaben, seperti yang terjadi di Desa

Pakraman Sudaji. Mahalnya biaya Upacara Ngaben di sini

tidak terlepas dari adanya hegemoni yang dilakukan oleh

golongan masyarakat kaya, melalui tradisi Ngaben secara

besar-besaran. Perubahan tradisi dalam hal pelaksanaan Upa-

cara Ngaben, yang telah diterima oleh masyarakat adalah

ketika Desa Pakraman, melakukan Ngaben Massal sebagai

alternatif untuk menanggulangi mahalnya biaya Ngaben ter-

sebut. Fenomena tradisi baru dalam cara Ngaben ini, secara

sosiologis menjadi menarik untuk dilakukan penelitian guna

memperoleh jawaban terhadap reinterpretasi makna Ngaben

Massal bagi masyarakat di Desa Pakraman Sudaji dalam per-

kembangannya saat ini. Beberapa reinterpretasi makna

Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, adalah: a) reinterpre-

tasi makna secara filosofis, b) makna dekonstruksi wacana

hegemonik, d) makna pelayanan Prajuru Desa Pakraman ke-

pada masyarakat, e) makna sebagai media pendidikan masya-

rakat, f) makna ekonomi.

Kata kunci: Agama, upacara, yajña, dan ngaben.

Pendahuluan

Secara umum dalam pemikiran masyarakat awam, pelaksanaan upacara

Ngaben, sebagai salah satu upacara keagamaan, memerlukan biaya yang sangat

besar pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji. Berdasarkan pengamatan penulis,

terutama besarnya dana Ngaben yang diperlukan berkisar antara seratus lima

1 I Nyoman Sukraaliawan adalah staf edukatif pada Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP)

Unipas Singaraja.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

121

puluh juta sampai dua ratusan juta rupiah. Mengingat besarnya biaya upacara

seperti itu, pada sebagian besar masyarakat terdapat anggapan bahwa untuk bisa

Ngaben harus mempunyai dana ngabehin (melebihi). Dengan pemahaman seperti

itu, Ngaben menjadi “label” atau “cap” bagi masyarakat kaya secara harta.

Dengan cap atau label seperti itu, tentunya masyarakat yang secara eko-

nomi kurang mampu, tidak akan pernah bisa melakukan kewajiban Ngaben untuk

para leluhurnya, karena biaya upacara Ngaben yang dilakukan secara pribadi sangat

besar. Kalaupun misalnya, masyarakat bisa melakukannya tetapi harus mengorban-

kan dengan cara menjual harta benda yang dimilikinya seperti tanah warisan.

Cara melakukan yadnya dengan cara seperti itu terutama bagi masyarakat yang

belum berkecukupan secara ekonomi, dengan menjual tanah warisan hanya untuk

kepentingan yadnya (ngaben), apa lagi sampai memiskinkan masyarakat yang me-

lakukannya sebenarnya tidak sesuai menurut ajaran sastra Agama Hindu yang

mengajarkan ambeg parama arta dan Ahara legawa, yaitu menggunakan keuangan

sesuai dengan skala prioritas dan prinsip kesederhanaan.

Akhir-akhir ini sebuah solusi bagi masyarakat untuk meringankan beban

dari biaya upacara Ngaben yang sangat besar tersebut adalah melalui Ngaben

massal, yang difasilitasi oleh Prajuru Desa Pakraman. Ngaben Massal sebagai se-

buah praktik, adalah relatip baru dalam tradisi penyelenggaraan upacara Ngaben

di Desa Pakraman Sudaji. Awalnya upacara Ngaben massal belum bisa diterima se-

cara meluas oleh masyarakat karena beberapa faktor seperti faktor gengsi,

sugesti, dan faktor-faktor sosio-kultural lainnya.

Pada saat sekarang di Desa Pakraman Sudaji, telah terjadi perubahan dalam

pelaksanaan upacara Ngaben dengan diterimanya cara Ngaben massal oleh masya-

rakat luas. Penerimaan masyarakat terhadap Ngaben massal ini, dapat dilihat dari

suksesnya pelaksanaan Ngaben massal yang ke pertama pada tahun 2004 yang me-

libatkan 14 dadia dari 20 dadia yang ada di Desa Pakraman Sudaji, dengan jumlah

sawa sebanyak 337 sawa. Dalam konteks perubahan seperti itu, dapat diduga

adanya cara penginterpretasian kembali (reinterfretasi) oleh masyarakat, baik se-

cara teosofis maupun sosio-kultural sehingga sangat menarik untuk diteliti dengan

judul “Reinterpretasi Makna Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji: Sebuah Kajian

Budaya”.

Dari uraian yang sudah dikemukakan, dapat diajukan rumusan masalah

penelitian, yaitu: “bagaimanakah masyarakat memberikan re-interpretasi makna

pada pelaksanaan upacara Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji, Kecamatan

Sawan, Kabupaten Buleleng?”

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

122

Hasil Penelitian dan Pembahasan

Berdasarkan penelitian yang dilakukan, maka dapat dipahami adanya bebe-

rapa re-interpretasi makna dari pelaksanaan Upacara Ngaben Massal di Desa

Pakraman Sudaji, seperti pada uraian berikut.

1. Reinterpretasi Makna Filosofi Agama

Secara filosofis, makna Upacara Ngaben yang dilakukan oleh masyarakat

pada umumnya, termasuk Upacara Ngaben Massal adalah sebagai proses untuk

mempercepat pengembalian unsur-unsur Panca Maha Bhuta ke asalnya atau ke

sumbernya masing-masing. Upacara Ngaben juga mempunyai makna sebagai mem-

bantu perjalanan Atman menuju Brahman. Dengan kembalinya unsur-unsur

Panca Maha Bhuta yang membentuk Sthula Sarira maka Atman telah meningkat-

kan perjalanannya dari Bhur Loka sampai pada Bhuwah Loka. Dalam Bhuwah

Loka ini Atman masih berbadankan Suksma Sarira. Dengan demikian Upacara

Ngaben itu adalah upacara penyucian Pitara tahap pertama, yaitu dengan mele-

paskan Pitara dari ikatan Panca Maha Bhuta.

Terkadang di tengah masyarakat terdapat pemahaman yang kurang sesuai

dengan sastra agama, mengenai hakikat dan tujuan dari Upacara Ngaben tersebut.

Sering pelaksanaan Ngaben diinterpretasi secara keliru, yaitu untuk mencarikan

tempat roh para leluhurnya di Sorga. Dalam perjalanan roh leluhur menuju

sorga, memerlukan bekal atau beya yang banyak dalam bentuk banten yang

besar. Dengan adanya interpretasi masyarakat seperti ini, maka terutama masya-

rakat yang kaya akan berusaha untuk melakukan Upacara Ngaben dengan sarana

banten yang besar (ngabehin) agar roh para leluhurnya dapat mencapai Sorga.

Jika dikembalikan kepada hakikat Ngaben secara filosofisnya, seperti di-

uraikan di atas, maka sebenarnya Upacara Ngaben tidak bisa dikaitkan dengan

pencapaian sorga ataupun neraka. Masalah sorga dan neraka adalah persoalan

lain dari Upacara Ngaben. Sebab itu ditentukan oleh sisa hasil perbuatan di waktu

hidupnya (karma wasana) seseorang. Hukum Karmaphala salah satu kepercayaan

Agama Hindu menggariskan bahwa karma baik maupun karma buruk tidak bisa

dikurangi, dan harus diterima seutuhnya (Cudamani,1998 dalam Atmadja, 2001:

142).

Dari hasil analisis terhadap data yang dikumpulkan, dapat dijelaskan bahwa

masyarakat Desa Pakraman Sudaji, melalui Ngaben Massal, telah melakukan re-

interpretasi secara filosofis, menyangkut keyakinan sorga dan neraka. Beberapa

responden mengatakan “kalaupun dengan upacara besar, upacara kecil tidak akan

menentukan roh itu mencapai sorga. Konon yang menentukan kedudukannya di

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

123

akhirat nantinya adalah baik buruknya perbuatan yang dilakukan semasih hidup-

nya

Pandangan seperti itu adalah sesuai pendapatnya Hadiwijono dalam

Atmadja (2001: 142) dengan mengemukakan bahwa Agama Hindu tidak me-

ngenal ritual penebusan dosa, sebagaimana yang berlaku pada keyakinan agama

tertentu. Dosa seseorang hanya dapat ditebus dengan berbuat kebajikan, semasa

hidupnya. Kalau orang sudah mati, maka yang bersangkutan akan membawa

karma pada perbuatannya di dunia (Surya Kanta, 1925 dalam Atmadja, 2001: 143).

Adanya re-interpretasi secara filosofis terhadap hakikat Upacara Ngaben, se-

perti itu mengindikasikan adanya pemahaman masyarakat yang lebih jelas ter-

hadap Ngaben berdasarkan ajaran (sastra) agama. Dengan pemahaman ini, berarti

telah timbul pencerahan masyarakat, yang tidak lagi memandang bahwa Ngaben

itu harus dilakukan dengan ngabehin (biaya besar) sehingga masyarakat dapat

menerima cara Ngaben massal dengan biaya yang lebih ringan.

2. Reinterpretasi Makna Sebagai Dekonstruksi Wacana Hegemoni Kultural

Tradisi Upacara Ngaben yang dilakukan dengan menonjolkan aspek sere-

monial yang megah dan meriah, sebenarnya dalam perkembangan situasi saat ini,

sudah tidak cocok untuk dilaksanakan, apalagi dilakukan dengan cara memaksa-

kan diri secara ekspresif hanya untuk sebuah kesan bahwa seseorang bisa atau

mampu mengikuti tradisi yang ada, sehingga dapat memberikan suatu kebanggaan

tersendiri untuk suatu prestise secara sosial bagi mereka yang melakukannya. Jika

misalnya masyarakat berusaha untuk mengikuti tradisi upacara dalam takaran-

nya yang lebih besar, hal itu disebabkan karena adanya suatu kekhawatiran ter-

hadap gunjingan atau penilaian masyarakat melalui “cap-cap sosial” seperti kikir,

pelit (demit) dan ungkapan-ungkapan lainnya yang dinilai dapat menganggu citra

atau nilai sosial terhadap pelaksanaan Upacara Ngaben tersebut.

Terjadinya kekhawatiran masyarakat seperti itu, disebabkan pula oleh

karena pada masyarakat lokal terdapat wacana kultural yang hegemonik, terhadap

cara pelaksanaan upacara yang lebih kecil (sederhana). Wacana kultural hegemo-

nik seperti itu, seolah-olah memberikan legitimasi yang kuat terhadap cara pe-

laksanaan upacara yang dilakukan secara besar-besaran, sehingga dapat mensubor-

dinasikan cara pelaksanaan Ngaben yang sederhana atau yang kecil. Wacana kul-

tural hegemonik secara struktur kebahasaan, yang hidup dan sering diucapkan oleh

masyarakat setempat, adalah misalnya dalam ungkapan kalimat “ yen ngelah gae

sing dadi demit” artinya jika orang mempunyai upacara (yajña) tidak boleh pelit

atau kikir. Ungkapan “sing dadi demit” yang ditujukan kepada orang yang mela-

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

124

kukan yajña adalah menjadi belenggu tradisi, yang menghegemoni masyarakat

yang berkeinginan untuk menggelar upacara dengan lebih sederhana, sehingga di

sini masyarakat akan merasa malu (lek) jika ia melakukannya. Rasa malu (lek) bagi

masyarakat tersebut, menjadi kecenderungan masyarakat untuk selalu melakukan

upacara secara besar-besaran walaupun dengan cara memaksakan diri hanya

untuk selamat dari gunjingan masyarakat tersebut.

Menurut Sutarya (Bali Post, 29 Oktober 2005), adanya kecenderungan

masyarakat untuk menggelar upacara yajña secara berlebihan yang terkadang di-

luar kemampuannya, disebabkan karena adanya keterplesetan tradisi dalam pelak-

sanaan upacara yajña. Hal ini berawal dari tradisi upacara yajña yang bersumber

dari filosofi “pembebasan” atau “pelepasan kepemilikan”, yang pada zaman

dahulu biasanya dilakukan oleh para pertapa. Secara agama, mereka yang tinggal

bertapa dengan kesederhanaannya, memiliki nilai yang lebih tinggi dari yang lain.

Sebab mereka adalah calon orang yang akan duduk pada singgasana yang dise-

diakan Tuhan, yaitu “pembebasan”. Seberapa besar seseorang berani melepaskan

atau membebaskan kepemilikannya, makin bernilai orang itu secara spiritual.

Ajaran ini kemudian berkembang menjadi yajña yang diinterpretasi secara keliru.

Ketika doktrin “pembebasan” atau pelepasan kepemilikan” berkembang

menjadi tradisi upacara, maka kebesaran upacara, kemudian mendapatkan “nilai”

di mata masyarakat. Makin besar upacara maka makin besar rasa kepemilikan

yang dikorbankan. Makin besar rasa kepemilikan yang dikorbankan, makin tinggi

status orang yang melakukan pengorbanan tersebut di mata masyarakat, demi-

kianlah penilaian masyarakat pada awalnya. Di sinilah letak mis-interpretasi

masyarakat tentang konsep “pembebasan” tersebut, sehingga diterjemahkan ke

dalam ungkapan lokal yang masih hidup di tengah masyarakat yaitu “yen ngelah

gae sing dadi demit” seperti disebutkan di atas.

Dalam konteks pemikiran seperti itu menurut Wiana (2002: 171) diperlu-

kan adanya suatu reformasi pemikiran dan tindakan. Di sini, konsep reformasi

Hindu dipergunakan sebagai dasar dalam melakukan upacara yajña pada umum-

nya termasuk Upacara Ngaben. Konsep reformasi Hindu itu adalah Utpati, Stithi

dan Pralina. Utpati artinya harus selalu dapat mengembangkan cara-cara ber-

upacara yajña yang baik dan benar sesuai dengan sastra agama Hindu agar

dapat mengikuti perkembangan zaman. Stithi artinya harus selalu konsisten me-

melihara nilai-nilai yang paling substantif dari upacara yajña tersebut. Hal-hal

yang masih sesuai dengan perkembangan zaman harus dipertahankan dengan

baik. Sedangkan Pralina artinya tradisi-tradisi yang sudah usang, apalagi berten-

tangan dengan sastra agama Hindu haruslah dengan besar hati ditinggalkan.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

125

Praktik Ngaben Massal seperti yang dilakukan oleh masyarakat di Desa

Pakraman Sudaji, dari sudut wacana, dapat memperlihatkan makna dekonstruksi

terhadap tradisi upacara yajña secara besar-besaran, seperti yang dilakukan pada

zaman Brahmana, yang lebih menonjolkan kuantitas dalam pelaksanaannya yang

dilakukannya bak festival. Dengan cara upacara seperti itu akan dapat menggeser

makna upacara itu sendiri ketingkat makna dengan maksud terselubung untuk

menegakkan status simbol dalam kedudukan sosial di dalam masyarakat ketim-

bang makna filosofis dan teosofis upacara itu sendiri.

Pemikiran-pemikiran peodal dalam cara pelaksanaan upacara Ngaben seperti

disebutkan di atas, telah dilakukan reformasi, dengan mereinterpretasikan makna

Ngaben Massal sebagai dekonstruksi terhadap tradisi hegemonik dalam wacana

Ngaben, melalui bangkitnya kesadaran masyarakat dalam memahami makna Ngaben

sesuai sastra agama.

Terjadinya perubahan terhadap pola pikir masyarakat seperti itu, sangat

beralasan, karena saat ini, masyarakat mempunyai akses yang luas ke pusat-pusat

pertumbuhan yang disebabkan oleh makin lancarnya sarana perhubungan dan

komunikasi dengan lingkungan luar yang berakibat pada makin intensifnya kontak-

kontak dengan unsur-unsur modernisasi. Perubahan pemikiran seperti itu, didu-

kung pula makin meningkatnya tingkat pendidikan masyarakat, dan juga makin

meluasnya institusi sosial-keagamaan yang telah melakukan misi pencerahan

agama kepada masyarakat, seperti yang dilakukan oleh Desa Pakraman.

Secara kebahasaan, pemikiran yang dekonstruktif terhadap tradisi Upacara

Ngaben secara besar-besaran, tampak dari pernyataan-pernyataan masyarakat

seperti berikut.

“Cara janine, ede suba iraga lek ngae upacara ane cenik, yan jani iraga

ngae upacara ngaben, mituutin anak sugih ulihan maksaang dewek,

peragatne iraga masih lakar ngerasaang baatne. Paling melah suba jani

bareng-bareng ngemiluin ngaben massal, medasar baan keeningan keneh.

(Zaman seperti sekarang, jangan kita merasa gengsi untuk melakukan

upacara secara sederhana. Jika sekarang, kita mengikuti seperti orang

kaya, dengan cara memaksakan diri, toh juga akibatnya yang berat kita

rasakan sendiri, sekarang lebih baik pakai kemampuan kita sendiri

berdasarkan pada ketulusikhlasan dengan cara ikut Ngaben massal).

Dari pandangan di atas, ada rei-nterpretasi bahwa praktik ritual Ngaben

Massal yang dilakukan oleh masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, dalam tatanan

sebuah diskursus, telah mendekonstruksi tradisi upacara secara besar-besaran yang

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

126

terasa sangat hegemonik. Hal ini juga dapat dimaknai adanya kebangkitan kesadar-

an masyarakat untuk melakukan suatu perubahan dalam memaknai upacara

Ngaben dengan lebih mendekatkannya kepada sastra agama. Sehingga masyarakat

tidak lagi memaknai Ngaben sebagai ngabehin dari segi biaya yang diperlukan.

Ngaben Massal, yang telah diterima oleh sebagian besar kelompok masya-

rakat di Desa Pakraman Sudaji, berdasarkan teori dekonstruksi sebagaimana dike-

mukakan oleh Derrida, dalam Piliang (2003: 126) adalah bentuk penyangkalan akan

oposisi biner antara ucapan/tulisan, ada/tak ada, murni/tercemar, moral/amoral

dan penolakan akan kebenaran dan logos itu sendiri. Dalam relasi oposisi biner

tersebut, istilah-istilah yang pertama dianggap lebih superior dibanding yang ke-

dua. Demikian pula dalam cara berupacara Ngaben di Desa Pakraman Sudaji,

dengan lebih menempatkan tradisi upacara secara besar-besaran sebagai yang

lebih superior, lebih bermoral/bermartabat bagi yang melaksanakannya. Sedang-

kan istilah kedua, yaitu tradisi upacara yang kecil hanya tampak sebagai sesuatu

yang nista dalam pengertian kurang bermoral atau kurang berbakti kepada para

leluhur, padahal rasa hormat dan bhakti itu tidak bisa ditetapkan dengan besar

kecilnya suatu upacara dalam Ngaben. Dalam praktik seperti itu menurut

Derrida, disebut sebagai logosentrisme (logocentrism) yang telah menjadi tradisi

dalam filsafat Barat dan menjadi penolakan Derrida. Berdasarkan teori Dekon-

struksi, istilah logosentrisme digunakan Derrida untuk menerangkan asumsi ada-

nya hak istimewa yang disandang oleh istilah pertama (speech) dan pelecehan

istilah kedua (writing), yang dianggap tak lebih dari bentuk yang sudah tercemar,

yang ada di luar kawasan kebenaran (speech).

Melalui penerimaan masyarakat terhadap Ngaben Massal di Desa

Pakraman Sudaji, merupakan suatu bentuk penolakan terhadap oposisi biner se-

perti dipikirkan Derrida, karena di sini masyarakat tidak lagi melihat secara

logosentrisme daripada cara upacara dengan tradisi secara besar-besaran terse-

but. Di sini ada yang lain (the others), yaitu Upacara Ngaben yang dapat dilaku-

kan secara kolektif dengan biaya yang lebih hemat.

Dekonstruksi yang dilakukan terhadap tradisi yang hegemonik dalam

wacana Ngaben secara besar-besaran di Desa Pakraman Sudaji, dilakukan ter-

hadap struktur bahasa, yang terdapat pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji.

Dekonstruksi yang dilakukan di sini sebagai upaya dalam membongkar struktur

bahasa dalam kerangka memberikan pemahaman dan membangkitkan kesadaran

masyarakat pada makna upacara yang sesuai dengan ajaran agama itu sendiri.

Kesadaran di sini adalah kesadaran yang dapat menumbuhkan kesucian hati

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

127

dalam melakukan upacara yajña yang dilandasi oleh ajaran agama Hindu, yaitu

Trikaya parisudha.

Reinterpretasi makna Ngaben Massal sebagai dekonstruksi wacana hege-

moni kultural, dalam tatanan praktik Ngaben Massal yang dilakukan oleh masya-

rakat di Desa Pakraman Sudaji, merupakan sebuah cara yang adaptif dalam per-

kembangan dan perubahan masyarakat saat ini. Cara Ngaben Massal, yang dalam

pelaksanaannya dilakukan secara lebih efisien dari segi biaya, adalah merupakan

wacana penting yang mampu melakukan suatu pendobrakan terhadap tradisi

Upacara Ngaben sebelumnya, yang dilakukan secara besar-besaran yang sangat

berkonotasi dengan pengertian ngabehin.

Dapat dikemukakan di sini, bahwa hakikatnya pula yang dilakukan oleh

masyarakat adalah suatu penolakan terhadap tatanan oposisi biner yang menem-

patkan tradisi Upacara Ngaben secara besar-besaran adalah lebih bermoral dan

juga lebih memiliki perasaan bhakti kepada leluhur dibandingkan dengan cara

Upacara Ngaben yang lebih kecil. Sebab dengan cara manapun (nista, madhya,

utama) yang dipergunakan dalam cara berupacara Ngaben itu dilakukan asalkan

didasari dengan suatu keikhlasan itulah yang mulia.

Dengan demikian, dekonstruksi yang terjadi adalah pada aras pemikiran

masyarakat dengan menempatkan makna Ngaben bukan sebagai ngabehin yang

artinya melebihi dari segi biaya. Tetapi masyarakat menyadarinya bahwa Ngaben

itu adalah sebagai suatu kewajiban moral yang harus dilakukan kepada leluhur

sebagai pembayaran utang (rnam). Dari kesadaran akan kewajiban itu muncul pe-

mikiran masyarakat, agar Ngaben itu dapat dilaksanakan seringan-ringannya,

dengan tidak lagi berorientasi pada kebiasaan upacara secara besar-besaran dalam

hal penyelenggaraan Upacara Ngaben.

Supaya dapat melaksanakan kewajibannya seringan mungkin, maka muncul

pola pikir masyarakat untuk melaksanakannya secara bersama-sama, yaitu dengan

Ngaben Massal. Dengan praktik Ngaben Massal, yang sebagian besar diikuti oleh

masyarakat menengah ke bawah ini, menunjukkan adanya suatu gerakan kontra

hegemoni terhadap cara penyelenggaraan Upacara Ngaben secara besar-besaran

di Desa Pakraman Sudaji.

3. Reinterpretasi Makna Solidaritas Kelompok

Dimensi terpenting dari suatu yajña adalah memberikan makna sosial reli-

gius kepada umat atau masyarakat yang melangsungkan Upacara Ngaben tersebut.

Aspek religiusitas dari suatu upacara, hendaknya dapat diserap oleh umat se-

hingga dapat berdaya guna untuk menimbulkan perubahan sosial ke arah yang

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

128

makin baik, yaitu terciptanya suatu kebersamaan dan kekompakan yang dalam

istilahnya Durkheim, disebut dengan solidaritas, sehinnga akan dapat menuntun

jalannya yajña yang lebih berkualitas (satwika).

Kekompakan dari masyarakat dalam pelaksanaan Upacara Ngaben Massal

pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji, dapat memberikan makna tersendiri

dalam menciptakan atmosfir kebersamaan dalam meningkatkan keeratan sosial di

tengah kehidupan masyarakat yang makin individualis dalam kehidupan masya-

rakat global. Secara sosial upacara yajña tersebut dapat makin meningkatkan

dinamika umat dalam keakraban sosial yang makin produktif. Keakraban sosial

yang dinamis itu dapat menumbuhkan kondisi sosial yang kondusif untuk me-

ngembangkan pemikiran-pemikiran, wacana dan perilaku sosial yang dapat men-

ciptakan integrasi sosial yang makin meningkat, baik dalam lingkungan masya-

rakat kecil seperti keluarga, maupun lingkungan masyarakat yang lebih luas.

Pandangan seperti ini dikemukakan oleh salah seorang informan dalam pernya-

taannya sebagai berikut.

“Sebenarnya pelaksanaan Upacara Ngaben yang dilakukan secara Massal

tersebut dapat juga memberikan makna yang sangat besar bagi diri saya

untuk meningkatkan keeratan tali persaudaraan, paling tidak di lingkungan

kelompok keluarga besar saya. Ngaben Massal seperti yang pernah saya

ikuti, dapat pula berfungsi sebagai media penyelesaian konflik dalam

keluarga. Seperti misalnya, dulunya, sebelum diadakan Ngaben Massal, ada

keluarga saya yang datang ke rumah saja ia tidak mau, tetapi dengan me-

lakukan Upacara Ngaben Massal ia menjadi sadar dan rujuk. Karena ia me-

rasakan dan menyadari bahwa orang tua yang dibuatkan upacara itu, juga

leluhurnya yang patut juga ia hormati, dan ini diyakini adalah untuk ke-

selamatan atau kerahayuan bersama.”

Berdasarkan pernyataan informan tersebut, makna Ngaben massal dapat diberikan

reinterpretasi sebagai media untuk mewujudkan solidaritas sosial. Hal ini, dapat

dipahami, karena menurut Teori Interaksi Sosial seperti dikemukakan oleh Gillin

dan Gillin, (dalam Soekanto, 1981: 55) tingkat interaksi sosial pada proses-proses

sosial yang merupakan hubungan-hubungan sosial yang dinamis, menyangkut hu-

bungan antara orang-orang perorangan (baca: sebagai anggota keluarga yang ter-

libat dalam Ngaben massal), antara kelompok-kelompok yang melibatkan berba-

gai soroh (clan), maupun antara orang perorangan dengan kelompok-kelompok

masyarakat tersebut. Dengan mengacu pada keadaan seperti itu, Young (dalam

Soekanto, 1981: 68) menyebutnya dengan akomodasi (accommodation) yang diper-

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

129

gunakannya dalam dua arti, yaitu sebagai suatu proses dan sebagai suatu keada-

an. Akomodasi sebagai suatu proses adalah menunjuk pada usaha manusia untuk

meredakan suatu pertentangan, atau usaha untuk mencapai kestabilan, yang

dalam hal ini dilakukan dengan saling menumbuhkan saling pengertian bersama

(compromise). Menurut Gillin dan Gillin (dalam Soekanto, 1981: 65), mengemu-

kakan bahwa kerjasama sebagai salah satu bentuk proses-proses sosial yang

asosiatif akan dapat berkembang apabila orang dapat digerakkan untuk menca-

pai suatu tujuan bersama dan harus ada kesadaran bahwa tujuan tersebut di

kemudian hari mempunyai manfaat bagi semuanya.

Adanya unsur kerekatan sosial di dalam keluarga, secara nyata tampak dari

adanya etika dalam ritual pemerasan sebagai bagian dari Upacara Ngaben. Etika

pamerasan yang secara sosial dapat bermakna untuk menjalin dan meningkatkan

suatu persaudaraan di dalam sebuah keluarga besar. Pemerasan ini disampaikan

oleh pihak keluarga yang melakukan Upacara Ngaben kepada para cucu-cucu

atau cicit pada keluarga ke samping. Penerima pamerasan akan tergelitik hatinya,

bahwa ia mempunyai tugas moril untuk memberikan salam terakhir dengan pel-

bagai cara kepada mendiang, pada saat pembakaran jenazah dari mendiang yang

dibuatkan upacara. Di sinilah tampak makna dari Upacara Ngaben melalui etika

pemerasan sebagai yang dapat mengukuhkan solidaritas keluarga.

Dampak pelaksanaan Ngaben Massal, di samping sebagai media untuk me-

numbuhkan solidaritas keluarga secara internal, tetapi juga dapat memupuk rasa

solidaritas pada lingkungan masyarakat yang lebih luas, yaitu di antara kelom-

pok-kelompok clan (soroh) peserta Ngaben Massal itu sendiri. Dalam Upacara

Ngaben tersebut, masing-masing kelompok warga peserta Ngaben Massal merasa

berada dalam satu kategori sosial yang sama sebagai masyarakat kurang mampu,

yaitu dengan memiliki latar belakang kehidupan sosial ekonmi yang relatif sama

(kesetaraan) sehingga di sini muncul suatu perasaan bersama (sense of belonging)

dengan dasar simpati dan semangat yang besar untuk mensukseskan pelaksana-

an Ngaben Massal tersebut.

4. Reinterpretasi Makna Media Pendidikan Masyarakat

Adanya reinterpretasi makna pendidikan bagi masyarakat, pada Upacara

Ngaben Massal tersebut, karena di sini masyarakat melakukannya secara bersama-

sama secara gotong royong. Pada aktivitas bersama ini, secara struktural melibat-

kan berbagai kecakapan dan kemampuan dari orang-orang yang terlibat dalam

Ngaben Massal tersebut, untuk mempersiapkan perlengkapan Upacara Ngaben,

sampai pada pelaksanaan prosesi upacaranya. Melalui interaksi dalam aktivitas

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

130

bersama ini, masyarakat melakukan saling tukar pengalaman dan pengetahuannya

(social experience).

Dalam aktivitas bersama tersebut, juga dapat terjadi proses transfer

pengalaman dan keterampilan dari masyarakat yang telah memahami dengan baik

tatanan Upacara Ngaben, kepada masyarakat yang masih awam pengetahuannya

tentang Upacara Ngaben. Dalam setiap upacara (Ngaben), ada proses transformasi

berbagai keterampilan kepada generasi penerus. Misalnya pengetahuan dan kete-

rampilan membuat banten atau sesaji, tata bhoga, dan juga perlengkapan upacara

lainnya. Semua keterampilan tersebut dapat ditransformasi dari generasi ke gene-

rasi atau disampaikan kepada masyarakat yang masih awam tentang suatu

sarana dan prasarana upacara (Ngaben).

Hal penting yang dapat ditumbuhkan dalam pelaksanaan Upacara Ngaben

Massal, sebagai media pendidikan, adalah munculnya kesadaran masyarakat akan

nilai-nilai yang bersifat esensial dari suatu upacara yajña seperti Upacara

Ngaben itu sendiri. Sehingga nilai esensi dari suatu upacara yajña (Ngaben) tidak

lagi terkubur oleh rutinitas suatu tradisi, yang tidak lebih dari suatu kewajiban

tradisional semata yang dapat menimbulkan kesan bahwa upacara yajña seperti

halnya Ngaben dengan tradisi hegemonik hanyalah beban tradisi yang lepas dari

hakikat dan makna suatu yajña.

5. Reinterpretasi Makna Ekonomi

Berdasarkan ungkapan beberapa informan, reinterpretasi makna secara

ekonomi dari upacara Ngaben massal, dapat dipahami dari rendahnya biaya

yang dikeluarkan untuk Upacara Ngaben jika dibandingkan dengan pelaksanaan

Ngaben secara pribadi (niri).

Jika dianalisis dengan mempergunakan Teori Praktik menurut Bourdieau,

dapat dikemukakan bahwa pelaksanaan Ngaben Massal di Desa Pakraman Sudaji,

adalah suatu praksis yang tereproduksi dari habitus. Habitus, dalam pikiran

Bourdieau adalah satu kata bahasa Latin yang mengacu kepada kondisi, penam-

pakan atau situasi yang tipikal atau habitual (Jenkins dalam Nurhadi, 2004: 107).

Suatu praksis yang merupakan produk dari habitus di dalamnya mengandung

suatu pengertian adanya suatu penyesuaian dengan kondisi objektif, dan ter-

dapat hubungan resiprokal atau dialektis di antara mereka.

Praksis ritual Ngaben yang dilakukan secara kolektif oleh masyarakat

Desa Pakraman Sudaji, dalam konteks interaksi antara habitus dan disposisinya,

di satu sisi, dan kendala, permintaan dan kesempatan arena sosial atau pasar yang

disesuaikan dengan habitus atau tempat pergerakan aktor di sisi yang lain, se-

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

131

hingga habitus ekonomi akan mereproduksi sebuah praksis upacara Ngaben

Massal dengan suatu tatanan yang lebih sederhana dan praktis, sebagai produk

dari interaksi habitus sosial, ekonomis dan teologis.

Reproduksi tindakan dalam bentuk ngaben massal, adalah sebagai bentuk

penyesuaian atau adaptasi terhadap kondisi sosial-ekonomi masyarakat saat ini

yang makin terdiferensiasi terhadap kebutuhan hidup yang makin kompetitif

dalam pemenuhannya. Sehingga hal ini dapat juga dipahami dari “logika tindakan “

menurut Michel Lallement, yang gagasan umumnya adalah untuk menampilkan

alasan-alasan bertindak individu dengan memperhitungkan keragaman pendorong

dan rasionalitasnya termasuk rasionalitas ekonominya suatu tindakan (Giddens,

dalam terjemahan Ninik Rochani Sjams, 2004: 283), hal seperti ini merupakan

pertimbangan ekonomi dalam pelaksanaan Ngaben massal, dan ini adalah merupa-

kan roh yang dapat menjiwai dan menggerakkan kerjasama masyarakat di Desa

Pakraman Sudaji untuk melangsungkan Upacara Ngaben Massal.

Memang pada zaman sebelumnya, masyarakat melakukan Upacara

Ngaben selalu secara besar-besaran. Hal ini dapat dipahami karena keadaan

atau kondisi ekonomi masyarakat ketika itu masih memungkinkan dilihat dari

sebaran penduduk yang masih sedikit dengan jumlah lahan yang masih sangat

luas sehingga masyarakat tidak kesulitan untuk melakukan upacara secara besar.

Berbeda keadaannya seperti sekarang di mana jumlah penduduk sudah sangat

padat, dan juga makin didesak oleh kebutuhan-kebutuhan sosial ekonomi yang

lainnya. Sehingga di sini masyarakat perlu melakukan perubahan tradisi menyang-

kut dari cara penyelenggaraan upacara ke arah yang lebih ekonomis tanpa ada

maksud untuk mengurangi makna upacara tersebut.

Simpulan dan Saran

Hakikat pelaksanaan upacara Ngaben Massal, merupakan dekonstruksi

wacana hegemonik pada masyarakat di Desa Pakraman Sudaji. Dekonstruksi ter-

hadap tradisi hegemonik dalam wacana Ngaben, dimulai dari bangkitnya kesadaran

masyarakat secara filosofis yang dimulai dari makin jelasnya pemahaman masya-

rakat secara sastra agama. Dari pemahaman ini muncul rei-nterpretasi-re-inter-

pretasi yang lain seperti re-interpretasi makna ekonomi, solidaritas sosial mau-

pun pendidikan.

Re-interpretasi makna upacara Ngaben seperti ini, menjadi dasar apresiasi

yang sangat penting sehingga Ngaben massal dapat diterima secara meluas

pada sebagian besar kelompok masyarakat di Desa Pakraman Sudaji.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

132

Berpijak atas simpulan yang sudah dikemukakan, dapat diajukan saran

sebagai berikut.

1. Upacara Ngaben Massal perlu dilaksanakan secara berkelanjutan jika mungkin

dapat dilaksanakan secara lebih sederhana dalam hal penggunaan sarana dan

prasarana dan juga dari segi penampilan upacara yang terkesan megah.

2. Untuk dapat memberikan rasa kebersamaan yang lebih besar pada peserta

Ngaben Massal, untuk selanjutnya tidak perlu ada Wadah/Bade milik pribadi.

Daftar Pustaka

Atmadja, Nengah Bawa. 2001. Reformasi ke Arah Kemajuan yang Sempurna dan

Holistik: Gagasan Perkumpulan Surya Kanta Tentang Bali di Masa Depan.

Surabaya: Paramita.

Jenkins, Richard. 1992. Pierre Bourdieau Routledge. Terjemahan oleh Nurhadi.

Yogyakarta: Kreasi Wacana.

Koentjaraningrat. 1985. Manusia dan Kebudayaan di Indonesia. Jakarta: Djambatan.

Nasution. 2003. Metode Penelitian Naturalistik Kualitatif. Bandung: Tarsito.

Nawawi, Hadari H. 2001. Metode Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada

University Press.

Pidarta, Made. 2005. Hindu Untuk Masyarakat Umum pada Zaman Pasca Modern.

Surabaya: Paramita.

Pudja, Gede dan Tjokorda Rai Sudharta.2004. Mānava Dharmaśāstra. Surabaya:

Paramita.

Setia, Putu. 1987. Menggugat Bali Menelusuri Perjalanan Budaya. Jakarta: Pustaka

Utama Grafiti.

-------. 2007. Ngaben Sederhana. Bali Post 27 Oktober, hal: 13, kol. 1-3.

Singgin, Wikarman. 2002. Ngaben: Upacara dari Tingkat Sederhana sampai Utama.

Surabaya: Paramita.

Soekanto, Soerjono.1982. Sosiologi Suatu Pengantar. Jakarta: Rajawali.

Suandra, I Ketut. 2001. Ngaben Beya Alit di Desa Adat Jegu, Kecamatan Penebel

Kabupaten Tabanan Ditinjau dari Pendidikan Agama Hindu (Skripsi)

Denpasar : Universitas Hindu Indonesia

Sudarsana, Putu Ida Bagus. 2002. Ajaran Agama Hindu Upacara Pitra Yadnya.

Denpasar: Yayasan Dharma Acarya.

Sugiarta, Wayan. 2005. Dinamika Manggala Upacara Beya Alit: Pergulatan Tradisi

Kecil dan Tradisi Besar di Desa Pakraman Jegu, Tabanan, Bali (1945-2005)

(Tesis) Denpasar: Universitas Hindu Indonesia.

WIDYATECH Jurnal Sains dan Teknologi Vol. 11 No. 1 Agustus 2011

133

Suhardana, K.M. 2006. Memaknai Kesejagatan Agama Hindu. Denpasar : PT Empat

Warna Komunikasi.

Sumatika, W. 2007. Mentradisikan Ngaben Massal, Meneguhkan Semangat

Kebersamaan. Bali Post 27 Oktober, hal: 13, kol. 4-8.

Syani, Abdul. 1995. Sosiologi dan Perubahan Masyarakat. Bandar Lampung: Pustaka

Jaya.

Wiana, I Ketut. 2004. Makna Upacara Yadnya dalam Agama Hindu II. Surabaya:

Paramita.

-------. 2002. Memelihara Tradisi Veda. Denpasar: BP.

Wibawa, A. 2003. Butir Butir Reformasi Hindu ke Depan. Denpasar: Deva.

Wijayananda, Mpu Jaya Ida Pandita. 2004. Makna Filosopis Upacara dan Upakara.

Surabaya: Paramita.

-------. 2004. Pitra Pakerti : Berbakti Kepada Leluhur disaat Beliau Meninggal Dunia.

Surabaya: Paramita.