reformasi pengelolaan sdm aparatur
DESCRIPTION
REFORMASI PENGELOLAAN SDM APARATURTRANSCRIPT
REFORMASI PENGELOLAAN SDM APARATUR,
PRASYARAT TATA KELOLA BIROKRASI YANG BAIK
“Pembenahan Sumber Daya Aparatur”
BADAN PENGEMBANGAN SUMBER DAYA MANUSIA HUKUM DAN HAM
KEMENTRIAN HUKUM DAN HAK ASASI MANUSIA REPUBLIK INDONESIA
BAB I
I. PENDAHULUAN
Reformasi yang terjadi di Indonesia pada pertengahan tahun 1998
ditandai oleh runtuhnya rezim orde baru yang telah berkuasa 32 tahun,
diharapkan menciptakan perubahan yang besar menuju ke arah yang
lebih baik. Berbagai tututan yang muncul dengan arah pada perubahan
memberikan semangat dalam melakukan perubahan di berbagai sektor.
Dalam seleksi alam menurut Darwin, bukan yang terkuat yang
akan bertahan, melainkan yang paling adaptif (Kasali, 2007). Jadi pada
masa perubahan hanya yang dapat berdaptasi dengan keadaanlah yang
mampu tetap eksis menjalankan roda kehidupannya. Dalam pemerintahan
dapat dikatakan sebagai pelaku birokrasi.
Setelah digulirkannya reformasi di Indonesia, pemerintahan telah
dipegang oleh empat presiden sebagai kepala pemerintahan yang
mempunyai kebijakan yang berbeda pula. Tetapi pada kenyataanya belum
dapat dirasakan secara singifikan oleh masyarakat secara luas perubahan
yang terjadi. Kelemahan yang mendasar dari proses pembangunan di
Indonesia antara lain disebabkan oleh pemerintahan yang buruk (bad
governance). Hal tersebut tidak dapat dipungkiri akibat telah mendarah
dagingnya pola pemerintahan lama yang cenderung kurang dapat
terbuka, baik dalam menerima arahan atau sebaliknya.
Kekhawatiran dan kecemasan warga negara yang bersumber pada
krisis politik dan kepemimpinan nasional ini sebenarnya dapat dikurangi
jika : jajaran birokrasi dapat tegak dan kokoh tidak terlibat dalam krisis
politik. Mereka tidak masuk dalam pemihakan politis dan tetap
menjalankan aturan yang memang rasional, tidak mengundang penafsiran
ganda untuk diterima oleh masyarakat luas. Selain itu seluruh departemen
dan birokrasi pemerintah provinsi serta kabupaten, kecamatan dan desa
termasuk dalam katagori birokrasi yang dimaksud sebagai lembaga non
politis dapat menciptakan pemerintahan yang baik. birokrasi adalah cara
kerja yang “rasional”. Rasional berarti bahwa orang-orang yang bekerja
dalam organisasi itu menyusun aktivitasnya secara jelas, terencana,
punya tujuan yang terukur berdsarkan aturan tertulis. Untuk mencapai
karakteristik legal formal, akuntabilitas, efisien dan fleksibel, birokrasi
dipersyaratkan untuk bekerja secara transparan di hadapan masyarakat
(eksternal) dan terkait dengan desentralistis di dalam dirinya sendiri
(internal). Transparan berarti bahwa kiprah birokrasi harus dapat dilihat
tidak saja oleh para birokrat dari departemen lain, melainkan juga terlihat
oleh masyarakat (Wibawa, 2001).
Dengan transparasi dimungkinkan dilakukan evaluasi oleh politisi
dan masyarakat. atas dasar evaluasi itulah pemerintah dan parlemen
dapat merumuskan agenda penyempurnaan atau reformasi untuk terus-
menerus berusaha menciptakan birokrasi yang ideal. Menurut Kasali
(2007), penyebab utama lambannya pembaharuan aparatur pemerintahan
bukan karena kualitas sumberdaya manusia atau sistem rekruitmen yang
sarat dengan koneksi, tetapi bersumber dari minimnya unsur pembentuk
sifat perubahan (change DNA) organisasi. Sehingga dimungkinkan hal
tersebut juga berpengaruh terhadap budaya kerja atau organisasi
pemerintahan saat ini.
Menurut majalah National Geographic edisi Maret 2006, para ahli
berpendapat bahwa setiap manusia memiliki unsur yang dikenal sebagai
DNA (Deoxiribio Nuclead Acid). Unsur DNA menjadi sangat penting
karena memberi indikasi tentang hidup.Sebuah studi yang dilakukann oleh
Arvey (2005) dalam Kasali, menemukan bahwa unsur DNA membentuk
sekitar 30 persen perbedaan antar manusia dalam kepemimpinannya
(Kasali, 2006).
Birokrasi di Indonesia masih terkesan memenitingkan prosedur
daripada substansi sebagai abdi masyarakat.Menurut Islamy (1998),
birokrasi di kebanyakan negara berkembangtermasuk Indonesia
cenderung bersifat patrimonialistik : tidak efesien, tidak efektif (over
consuming and under producing), tidak obyektif, menjadi pemarah ketika
berhadapan dengan kontrol dan kritik, tidak mengabdi kepada
kepentingan umum, tidak lagi menjadi alat rakyat tetapi telah menjadi
instrumen penguasa dan sering tampil sebagai penguasa yang sangat
otoritatif dan represif. Oleh sebab itu maka perlu dilakukan pembenahan
pada SDM nya. Sebelum melakukan pembenahan SDM di lingkungan
Pemkab terlebih dahulu harus diukur kadar potensi perubahan yang dapat
dilakukan.
Terkait dengan unsur pembentuk atribut atau sifat aparatur, Kasali
(2006) mengidentifikasikan lima komponen pembentuk kepribadian yang
potensial untuk melakukan perubahan, yaitu keterbukaan pikiran
(openness to experience), keterbukaan hati dan telinga (openness to
conscientiousness), keterbukaan diri terhadap orang lain, kebersamaan
dan hubungan-hubungan (openness to extroversion), keterbukaan
terhadap kesepakatan (openness to agreeableness), dan keterbukaan
terhadap tekanan (openness to neuroticism).
BAB II
PEMBAHASAN
II. SUMBER DAYA APARATUR
Birokrat merupakan pelaku birokrasi atau pemerintahan di suatu
wilayah, menurut Atmosudirdjo dalam Syafi’i (2003) tugas pemerintah
antara lain tata usaha negara, rumah tangga negara, pemerintahan,
pembangunan, dan pelestarian lingkungan hidup. Oleh karena itu
pemerintah harus melaksanakan pemerintahan yang baik (good
governance). Tapi pemerintahan yang terdapat individu-individu di
dalamnya dengan berbagai kepentingan terkadang malah menimbulkan
ketidakpuasan masyarakat serta menciptakan pemerintahan yang buruk
(bad governance) di mata masyarakat. Oleh sebab itu, penting untuk
mewujudkan good public governance yang bukan merupakan pilihan
kebijakan pemerintah dalam jangka menengah. Mengingat terbentuknya
good public governance punya implikasi yang sangat luas, seperti;
menyangkut penataan administrasi negara yang efesien, terbentuknya
ethos kerja yang tinggi, hadirnya semangat profesionalisme dikalangan
aparatur pemerintahan, maupun sebagai prasyarat bagi pemulihan krisis
ekonomi yang berlarut-larut. Maka, kita harus mendesak agar pilihan
terhadap kebijakan itu dapat dilaksanakan secepat mungkin tanpa harus
menunggu pemerintahan mendatang. Desakan itu muncul disebabkan
kenyataan bahwa justru dalam proses restrukturalisasi peran pemerintah
yang tengah berlangsung kini sebagai konsekuensi terhadap reformasi
sepatutnya telah dihasilkan landasan peraturan dan kelembagaan serta
budaya politik baru yang tercipta di kemudian hari (Syahputra, 2000).
Perubahan keorganisasian (organizational change) merupakan tindakan
beralihnya suatu organisasi dari kondisi yang berlaku kini menuju kondisi
masa datang yang diinginkan guna meningkatkan efektivitasnya ( Jones
dalam Winardi, 2005)
Berbagai ketidakpuasan masyarakat menciptakan image yang
beragam dan menjurus arah negatif tehadap pemerintahan yang sedang
berlangsung. Gejolak dan perubahan yang terjadi dalam masyarakat
sekarang ini sadar atau tidak, sangat mempengaruhi kehidupan bagi
suatu organisasi. Hal tersebut dapat digunakan sebagai pendorong untuk
dilakukannya reformasi birokrasi secara total terhadap pemerintahan.
Walaupun tidak semua perubahan yang terjadi akan menimbulkan kondisi
yang lebih baik, hingga dalam hal tersebut perlu diupayakan agar bila
dimunkinkan perubahan diarahkan ke arah hal yang lebih baik
dibandingkan kondisi sebelumnya. Keharusan untuk melaksanakan
perubahan dalam lingkungan yang penuh turbelensi dan dinamika,
merupakan sebuah fakta kehidupan, bagi kebanyakan organisasi-
organisasi dewasa ini tidak boleh menunggu hingga mengalami proses
kemunduran terlebih dahulu (Winardi, 2005).
Berbagai hal yang kurang menggembirakan pada wajah birokrasi
Indonesia banyak diakibatkan adanya patologi birokrasi di dalam tubuh
birokrasi itu sendiri. Hal itu dicirikan oleh kecenderungan patologi karena
persepsi, perilaku dan gaya manajerial, masalah pengetahuan dan
ketrampilan, tindakan melanggar hukum, keperilakuan, dan adanya situasi
internal (Siagian,1994). Hal senada diungkapkan Kartasasmita (1995)
yang menyebutkan, bahwa birokrasi memiliki kecenderungan
mengutamakan kepentingan sendiri (self serving), mempertahankan
statusquo dan resisten terhadap perubahan, dan memusatkan kekuasaan.
Hal inilah yang kemudian memunculkan kesan bahwa birokrasi cenderung
lebih mementingkan prosedur daripada substansi, lamban dan
menghambat kemajuan.
Rendahnya kualitas SDM aparatur, tercermin dari kondisi:
kesejahteraan pegawai, rekruitmen dan pembinaan karir, budaya kerja,
dan profesionalisme sumberdaya aparatur yang belum sepenuhnya
mampu memberikan pengaruh positif dalam proses perkembangan
aparatur negara.
Kesejahteraan pegawai di republik ini diakui banyak pihak relatif
masih belum layak. Sistem gaji pegawai negeri saat ini tidak
mempertimbangkan kebutuhan hidup layak dan prestasi kerja. Sistem
penggajian belum secara tegas mempertimbangkan pegawai dengan
tingkat pendidikan, prestasi, produktivitas dan disiplin yang tinggi. Saat ini
PNS pada tingkat struktural yang sama, pegawai yang memiliki
produktivitas tinggi, ranjin dengan PNS yang malas, tidak produktif,
dipastikan akan memiliki nilai gaji yang sama apabila mereka memiliki
golongan, masa kerja dan ruangan pangkat yang sama. Sistem
penggajian yang demikian, dalam jangka waktu yang panjang dapat
menurunkan semangat, etos, dan disiplin kerja, terhadap pegawai yang
produktif dan yang rajin. Budaya dan pola pikir memanfaatkan setiap
kesempatan melakukan tindakan yang tidak jujur, asal dilakukan dengan
hati-hati, tidak terlalu besar dan mencolok, serta asal dapat
dipertanggungjawabkan secara semu kepada badan pengawas sudah
menjadi hal biasa terjadi dalam urusan birokrasi saat ini (Bappenas, 2004)
Menurut Osborne dan Plastrik (2004) untuk merombak lembaga
pemerintahan adalah pekerjaan yang besar. Agar berhasil, harus di
gunakan strategi yang tepat. Untuk itu maka hal yang paling cepat dapat
dilakukan yaitu dengan memperbaiki perilaku individu pelaku
pemerintahan lebih dahulu. Dalam situasi demikian, solusinya adalah
rekayasa genetika dengan mengubah DNA dari sitem tersebut. Para
pembaharu yang yang berhasil, secara kebetulan menemukan pandangan
dasar yang sama, dibalik rumitnya sistem pemerintahan terdapat
beberapa pendongkrak fundamental yang membuat lembaga pemerintah
berjalan dengan cara mereka. Ada banyak cara untuk mengkatagorikan
pendongkrak utama perubahan. Yang dikelompokan dalam lima strategi
dasar. Masing-masing strategi mencakup beberapa pendekatan dan alat
atau metodenya, dapat digambarkan dan dijelaskan dalam tabel berikut.
Tabel .Lima Strategi Pendongkrak Perubahan
Lima Strategi
Pendongkrak Strategi Pendekatan
Tujuan Strategi inti Kejelasan Tujuan
Kejelasan Peran
Kejelasan Arah
Inisiatif Strategi Konsekuensi Persaingan Terkendali
Manajemen Perusahaan
Manajemen Kinerja
Pertanggungjawaba
n
Strategi Pelanggan Pilihan Pelanggan
Pilihan Kompetitif
Pemastian Mutu
Pelanggan
Kekuasaan Strategi Pengendalian Organisasional
Pemberdayaan
Karyawan
Pemberdayaan
Masyarakat
Budaya Strategi Budaya Menghentikan
Kebiasaan
Menyentuh Perasaan
Mangubah Pikiran
Sumber : Memangkas Birokrasi karangan David Osborne dan
Peter Plastrik tahun 2001
Cara kerja tradisional mewarnai kehidupan manajemen, baik di
pemerintahan maupun masyarakat. Cara tersebut sudah tidak efisien lagi,
karena sangat lamban dan menghambat perubahan. Menurut J.C.
Tukiman Taruna dalam Supriyadi dan Guno (2006) masyarakat Indonesia
masih bersifat feodalistik, ketat pada peraturan, lebih menyenangi
tertutup, lebih suka mempersulit pelayanan kepada orang lain,
menghadapi orang lain dengan penuh curiga dalam keadaan tertentu suka
main hakim sendiri, dan suka membuat peraturan untuk memperkuat diri
sendiri. Prof. Dr. Warren Bennis menyatakan keadaan seperti itu disebut
matinya birokrasi, karena bersifat kaku dan lamban sehingga tidak mampu
bersifat cepat dan mendasar. Disebut mendasar karena menyangkut SDM
dalam upaya perubahan sikap dan periku manajemen baru yang lebih
dinamik dan fleksibel. Namun perubahan sikap dan perilaku SDM tersebut
memerlukan proses waktu yang cukup lama agar benar-benar menjadi
budaya baru (Supriyadi dan Guno, 2006).
Menurut Kasali (2007), penyebab utama lambannya pembaharuan
aparatur pemerintahan bukan karena kualitas sumberdaya manusia atau
sistem rekruitmen yang sarat dengan koneksi, tetapi bersumber dari
minimnya unsur pembentuk sifat perubahan (change DNA) organisasi.
Terkait dengan unsur pembentuk sifat pada individu birokrat, Kasali
mengidentifikasikan lima komponen pembentuk kepribadian yang
potensial untuk melakukan perubahan, yaitu keterbukaan pikiran
(openness to experience), keterbukaan hati dan telinga (openness to
conscientiousness), keterbukaan diri terhadap orang lain, kebersamaan
dan hubungan-hubungan (openness to extroversion), keterbukaan
terhadap kesepakatan (openness to agreeableness), dan keterbukaan
terhadap tekanan (openness to neuroticism).
III. Budaya Birokrasi
Organisasi pemerintah atau lazim disebut birokrasi mempunyai
pengertian dalam arti statis adalah merupakan wadah yang berupa
struktur atau bagan organisasi, tempat berkumpul orang-orang atau
anggota yang melaksanakan tugas dalam mencapai tujuan organisasi.
Sedangkan dalam arti dinamis merupakan proses penetapan dan
pembagian pekerjaan. Dalam operasionalnya organisasi pemerintah dapat
dibedakan dalam Departemen dan Lembaga Pemerintah non Departemen
(LPND). Adapun bentuk organisasi pemerintah merupakan gabungan dari
unsur lini, unsur staf dan fungsional. (Supriyadi dan Guno, 2006).
Dalam pelaksanaan pemerintahan dengan menciptakan tata
pemerintahan yang baik, maka diperlukan budaya kerja yang baik bagi
seluruh elemen pelaku pemerintahan. Menurut Koentjoroningrat, budaya
adalah keseluruhan sistem gagasan tindakan dan hasil karya manusia
dalam rangka kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri manusia
dengan cara belajar. Budaya kerja itu sendiri merupakan cara kerja baru
yang berorientasi untuk memuaskan pelanggan atau masyarakat.
Melaksanakan budaya kerja mempunyai arti yang sangat dalam,
karena dapat merubah sikap dan perilaku SDM untuk mencapai
produktivitas kerja yang lebih tinggi dalam menghadapi masa depan.
Manfaat yang didapat antara lain : menjamin hasil kerja dengan kualitas
lebih baik; membuka seluruh jaringan komunikasi, keterbukaan
kebersamaan, kegotong royongan, kekeluargaan, menemukan masalah
dan cepat memperbaiki, cepat menyesuaikan diri dari perkembangan dari
luar ( Supriyadi dan Gino, 2006). Tujuan utama daripada perubahan
organisasional adalah untuk meningkatkan kemampuan operasional dari
setiap dan semua orang di dalam organisasi yang gilirannya memamng
biasa tercermin dalam peningkatan kemampuan organisasi sebagai
keseluruhan (Siagian,1982).
Menurut Budhi Paramita dalam tulisannya yang berjudul "Masalah
Keserasian Budaya dan Manajemen di Indonesia", budaya kerja dapat
dibagi menjadi sikap terhadap pekerjaan dan perilaku pada waktu bekerja
( Supriyadi dan Gino, 2006).
Dewasa ini birokrasi menghadapi krisis kepercayaan dari
masyarakat, maka kecaman dan pesimisme semakin muncul karena
banyak anggota masyarakat merasakan bahwa berbagai pola tingkah laku
yang telah merupakan kebiasaan dalam birokrasi tidak dapat mengikuti
dan memenuhi tuntutan pembangunan dan perkembangan
masyarakatnya. Sebagai contoh, Islamy (1998) menyebutkan adanya
keadaan birokrasi publik di sektor pemerintahan, pendidikan dan
kesehatan dan sebagainya berada dalam suatu kondisi yang dikenal
dengan istilah organizational slack yang ditandai dengan menurunnya
kualitas pelayanan yang diberikannya. Masyarakat pengguna pelayanan
banyak mengeluhkan akan lambannya penanganan pemerintah atas
masalah yang dihadapi dan bahkan mereka telah memberikan semacam
public alarm agar pemerintah sebagai instansi yang paling berwenang,
responsif terhadap semakin menurunnya kualitas pelayanan kepada
masyarakat segera mengambil inisiatif yang cepat dan tepat untuk
menanggulanginya. Menurut Islamy (1998) terdapat berbagai faktor yang
menyebabkan birokrasi publik mengalami organizational slack yaitu antara
lain pendekatan atau orientasi pelayanan yang kaku, visi pelayanan yang
sempit, penguasaan terhadap administrative engineering yang tidak
memadai, dan semakin bertambah gemuknya unit-unit birokrasi publik
yang tidak difasilitasi dengan 3P (personalia, peralatan dan
penganggaran) yang cukup dan handal (viable bureaucratic
infrastructure). Akibatnya, aparat birokrasi publik menjadi lamban dan
sering terjebak ke dalam kegiatan rutin, tidak responsif terhadap aspirasi
dan kepentingan publik serta lemah beradaptasi terhadap perubahan yang
terjadi di lingkungannya. Sebagai konsekuensinya, perlu dipertanyakan
mengenai posisi aparat pelayanan ketika berhadapan dengan masyarakat
atau kliennya.
Oleh sebab itu itu menciptakan iklim yang baik dan memuaskan
pada birokrasi maka perlu dilakukan re code DNA atau perbaikan kembali
sifat-sifat pelaku birokrasi. Hal tesebut merupakan titik awal dalam
menciptakan budaya organisasi yang baik dalam menciptakan good
governance.
Sebagai salah satu isu strategis dalam reformasi birokrasi,
berkaitan dengan kompetensi SDM aparatur yang di dalamnya mencakup
etika dan budaya kerja, masih banyak pemimpin dan aparatur negara
yang mengabaikan norma-norma, etika dan aturan birokrasi yang baik.
Indikasinya adalah masih tingginya penyalahgunaan kewenangan
sehingga menimbulkan ketidakefisienan dan ketidakefektifan dalam
penyelenggaraan negara dan pembangunan, sehingga harapan akan
suatu kultur birokrasi pemerintah yang profesional dan akuntabel belum
dapat tercapai. Fenomena seperti ini menunjukkan keadaan yang sangat
memperihatinkan mengingat dewasa ini terdapat tantangan lokal, regional
maupun global yang sangat kompleks, yang ditandai dengan semakin
tingginya persaingan ekonomi antar negara. Bila dilihat dari SDM aparatur
pemerintah (pelaksana birokrasi) terdapat kelemahan yang cukup
mencolok yakni adanya budaya aparatur yang belum mendukung
terhadap upaya menerapkan dan mengaktualisasikan good governance.
Salah satu budaya yang juga merupakan bagian dari pewarisan
pemerintah kolonial adalah adanya budaya birokrat yang ingin dilayani.
Dalam konteks ini maka para aparatur birokrasi yang seharusnya
melayani justru memiliki paradigma minta dilayani. Sehingga dalam
kondisi ini terdapat pihak yang superior yakni birokrat, dan masyarakat
yang inferior. Kondisi ini lazim disebut sebagai pola patron-client
(Bappenas, 2004).
Pola patron-client ini telah mengakar dan menggejala hampir di
keseluruhan level pemerintahan baik di tingkat pemerintah pusat, maupun
di tingkat pemerintah daerah. Kondisi ini banyak dilatarbelakangi oleh
pewarisan dan proses pembelajaran yang efektif utamanya ketika masa
sentralisasi di jaman orde baru demikian kuat. Proses pembelajaran dari
para pemimpin birokrasi di level yang lebih tinggi memperoleh peneguhan
ketika kondisi hirarkis organisasi pemerintah demikian kuat, sehingga
yang terjadi adalah internalisasi nilai bahwa para pelaksana sistem
birokrasi adalah orang yang berhak dilayani oleh masyarakat yang
meminta pelayanan kepadanya.
Di samping itu, kondisi politik di Indonesia yang mulai berubah
sejak digaungkannya reformasi politik dan munculnya orde reformasi,
nyatanya belum sepenuhnya memberikan pengaruh signifikan dalam
proses pergeseran/perubahan paradigma pemerintah sebagai pelayan
dan sekaligus fasilitator. Gaung perubahan paradigma “sikap melayani”
pada aparatur pemerintah, belum terinternalisasi secara substansial, dan
menunjukkan gejala belum berubahnya paradigma tersebut terutama bila
dilihat secara aktual dan faktual pelayanan publik. Indikasinya adalah
masih begitu banyaknya keluhan masyarakat yang mempersoalkan
demikian sulitnya berurusan dengan birokrasi, dan terdapat
kecenderungan birokrasi berpihak kepada golongan masyarakat kaya.
Harus disadari bahwa lemahnya penerapan dan aktualisasi prinsip-
prinsip good governance banyak dipengaruhi oleh keadaan, yang mana
pada dasarnya SDM birokrasi belum sepenuhnya memahami apa
sebenarnya good governance. Pemahaman bahwa good governance
adalah merupakan suatu syarat mutlak untuk memperbaiki kinerja
pemerintah memang sudah dipahami. Namun good governance dalam
konteks proses dan bagaimana mengaktualisasikannya masih banyak
yang belum memahami secara utuh. Salah satu indikasinya antara lain
adalah aspek transparansi yang merupakan salah satu dari prinsip good
governance yang telah diterapkan yaitu antara lain dengan membuka dan
memfasilitasi keluhan masyarakat, memberikan informasi yang dibutuhkan
masyarakat, akan tetapi dalam prakteknya bagaimana mengolah informasi
dan digunakan untuk sebesar-besar menjadi pertimbangan yang
berorientasi pelanggan masih belum diimplementasikan. Jadi dalam hal ini
aspek transparansi hanya dipahami dalam konteks keterbukaan saja,
sedangkan aspek transparansi sebagai proses komunikasi dan
memperoleh feedback belum dipahami secara tepat. Sehingga dengan
demikian komunikasi konvergen yang diharapkan terjadi karena adanya
aspek transparansi belum optimal terwujud.
Kondisi di atas mencerminkan masih lemahnya SDM aparatur
dalam mengaktualisasikan good governance. Namun demikian perlu
dipahami pengembangan SDM harus dilakukan secara simultan dan
merupakan sinergi dengan pengembangan organisasi. Pengembangan
organisasi dalam hal ini diarahkan pada organisasi yang memberikan
ruang untuk belajar.
Dalam pengembangan SDM terkait dengan penerapan dan
aktualisasi good governance, maka dapat dilakukan pada pemberdayaan
individu dan pemberdayaan kelompok. Pemberdayaan individu meliputi
proses peningkatan kompetensi (Bappenas, 2004)
BAB III
PENUTUP
IV. KESIMPULAN
Untuk itu, pemerintah harus berupaya secara sungguh-sungguh
untuk merubah sisi-sisi negatif dalam birokrasinya, sehingga ke depan
mampu merespon dan beradaptasi dengan tantangan global yang
semakin rumit dan kompleks. Berbagai fenomena di atas, hanya dapat
diatasi dengan melakukan reformasi birokrasi secara tegas, jelas dan
efektif. Kesadaran ini berasumsi bahwa reformasi politik yang yang
sedang berlangsung belum akan memperoleh hasil yang optimal,
manakala reformasi birokrasi belum dijalankan. Sehubungan dengan hal
tersebut sedikitnya terdapat tiga hal mendasar yang digunakan sebagai
pendekatan dalam rencana tindak reformasi birokrasi yang harus
dilakukan, yakni kelembagaan, manajemen, sumber daya manusia
aparatur pemerintahan (Bappenas, 2004).
Pemerintahan yang baik memerlukan keterbukaan, sehingga dapat
menerima, menyerap dan menjalankan inovasi-inovasi baru menuju ke
arah yang lebih baik. Dalam rangka perbaikan sistem birokrasi di
Indonesia, hal yang penting dan paling mendasar dengan melakukan
pembenahan sumber daya aparatur dengan mempertimbangkan kinerja,
dedikasi, loyalitas, rasa tanggung jawab, tingkat pendidikan dan
pengetahuannya. Dengan memperbaiki aparatur birokrasi saat ini yang
masih dianggap “kurang maksimal” kinerjanya oleh banyak kalangan
haltersebut akan mendorong terwujudnya budaya kerja pemerintahan
menuju good governance dan clean governance kedepannya.
Daftar Pustaka
Kasali, Rhenald. 2006. Change. PT Gramedia Pustaka Utama. Jakarta
Kasali, Rhenald. 2007. Re-code Your Change DNA. PT Gramedia
Pustaka Utama. Jakarta
Koentjoroningrat. 1974. Kebudayaan Mentalitet dan Pembangunan. PT.
Gramedia. Jakarta
Ndraha, Talizidu. 1997. Budaya Organisasi. Penerbit Rineka Cipta.
Jakarta
Pramudya, S Ahmad. 2006. Menumbuhkan Kematangan Berpikir.
Penerbit EDSA Mahkota. Jakarta.
Supriyadi, Gering dan Tri Guno. 2006. Budaya Kerja Organisasi
Pemerintah. Lembaga Administrasi Negara. Jakarta
Suradinata, Ermaya.2003. Manajemen Perubahan dan Strategi
Kepemimpinan Kreatif. Lembaga Ketahanan Nasional. Jakarta
Syahputra, Andi W.2000. Mampukah Kita Membangun Publik
Governance. Jurnal Transparansi. Jakarta
Tamim, Feisal. 2004. Reformasi Birokrasi. Penerbit Blantika. Jakarta