referat word
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Hepatitis B adalah penyakit infeksi diserbabkan oleh virus hepatitis B
yang dapat menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel –sel hati. Sekitar satu
per tiga dari populasi dunia pernah terpapar pada suatu waktu pada virus hepatitis
B (HBV). Selain itu, hampir 350 juta individu-individu diseluruh dunia terinfeksi
secara kronis (durasi yang lama) dengan virus ini. Sebagai akibatnya, komplikasi-
komplikasi dari infeksi virus hepatitis B menjurus pada dua juta kematian-
kematian setiap tahunnya.
Menurut angka-angka dari Centers for Disease Control (CDC), 140,000
sampai 320,000 kasusu-kasus akut (durasi yang pendek) hepatitis B (infeksi hati
dengan virus hepatitis) terjadi setiap tahun di Amerika. Hanya kira-kira 50% dari
orang-orang dengan hepatitis B akut yang mempunyai gejala-gejala (adalah
simptomatik). Diantara pasien-pasien yang simptomatik, 8,400 sampai 19,000
orang-orang diopname dan 140 sampai 320 meninggal setiap tahun di Amerika.
Pada dekade yang lalu terjadi penurunan yang lebih dari 70% pada
kejadian hepatitis B akut di Amerika. Penurunan ini mungkin berkaitan dengan
kesadaran publik yang meninggi pada HIV dan AIDS dan praktek-praktek seksual
yang lebih aman. (Hepatitis Virus B dan HIV disebarkan dalam suatu cara yang
hampir sama). Pada saat ini, kejadian-kejadian hepatitis B akut yang paling tinggi
adalah diantara dewasa-dewasa muda, antara umur 20 dan 30 tahun.
Indonesia menempati peringkat ketiga dunia setelah China dan India untuk
jumlah penderita hepatitis.Ahli kesehatan dari Divisi Hepatologi, Depatemen
Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia Ali Sulaiman
memperkirakan sejumlah 13 juta penduduk Indonesia mengidap hepatitis B.
Menurut Badan Kesehatan Dunia (WHO), Hepatitis B endemik di China
dan bagian lain di Asia termasuk di Indonesia. Sebagian besar orang di kawasan
ini bisa terinfeksi Hepatitis B sejak usia kanak-kanak. Di sejumlah negara di Asia,
8-10 persen populasi orang dewasa mengalami infeksi Hepatitis B kronik. Infeksi
Hepatitis B kronik atau jangka panjang dapat mengakibatkan kerusakan hati yang
parah seperti pengerasan hati atau sirosis dan kanker hati atau karsinoma
hepatoseluler yang dapat mengakibatkan kematian.
Kejadian yang sering pada penderita yang mendapat virus hepatitis B sejak
bayi-bayi dan anak-anak dimana akan menjadi infeksi kronis. Jadi, di Amerika,
suatu perkiraan dari 1 sampai 1.25 juta orang-orang terinfeksi kronis dengan virus
hepatitis B. Lebih jauh, 5,000 sampai 6,000 orang-orang meninggal setiap tahun
dari penyakit hati virus hepatitis B kronis dan komplikasi-komplikasinya,
termasuk kanker hati (hepatocellular carcinoma) primer (berasal dari hati).
Infeksi virus-virus hepatitis masih menjadi masalah masyarakat di
Indonesia. Hepatitis kronik selain juga dapat menurunkan kinerja dan kualitas
hidup pasien, lebih lanjut dapat menyebabkan kerusakan hati yang signifikan
dalam bentuk sirosis hati dan kanker hati. Pengelolaan yang baik pasien hepatitis
akibat virus sejak awal infeksi sangat penting untuk mencegah berlanjutnya
penyakit dan komplikasi-komplikasi yang mungkin timbul. Akhir-akhir ini
beberapa konsep pengelolaan hepatitis akut dan kronik banyak yang berubah
dengan cepat sehingga perlu dicermati agar dapat memberikan pengobatan yang
tepat.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1.1. Anatomi Hepar
Hepar merupakan kelenjar yang terbesar dalam tubuh manusia. Hepar
pada manusia terletak pada bagian atas cavum abdominis, di bawah diafragma, di
kedua sisi kuadran atas, yang sebagian besar terdapat pada sebelah kanan.
Beratnya 1200 – 1600 gram. Permukaan atas terletak bersentuhan di bawah
diafragma, permukaan bawah terletak bersentuhan di atas organ-organ abdomen.
Hepar difiksasi secara erat oleh tekanan intraabdominal dan dibungkus oleh
peritoneum kecuali di daerah posterior-superior yang berdekatan dengan v.cava
inferior dan mengadakan kontak langsung dengan diafragma. Bagian yang tidak
diliputi oleh peritoneum disebut bare area. Terdapat refleksi peritoneum dari
dinding abdomen anterior, diafragma dan organ-organ abdomen ke hepar berupa
ligamen.
Macam-macam ligamennya:
1. Ligamentum falciformis : Menghubungkan hepar ke dinding anterior abdomen
dan terletak di antara umbilicus dan diafragma.
2. Ligamentum teres hepatis = round ligament : Merupakan bagian bawah lig.
falciformis ; merupakan sisa-sisa peninggalan v.umbilicalis yg telah menetap.
3. Ligamentum gastrohepatica dan ligamentum hepatoduodenalis :Merupakan
bagian dari omentum minus yg terbentang dari curvatura minor lambung dan
duodenum sebelah proximal ke hepar. Di dalam ligamentum ini terdapat
Aa.hepatica, v.porta dan duct.choledocus communis. Ligamen
hepatoduodenale turut membentuk tepi anterior dari Foramen Wislow.
4. Ligamentum Coronaria Anterior kiri–kanan dan Lig coronaria posterior kiri-
kanan : Merupakan refleksi peritoneum terbentang dari diafragma ke hepar.
5. Ligamentum triangularis kiri-kanan : Merupakan fusi dari ligamentum
coronaria anterior dan posterior dan tepi lateral kiri kanan dari hepar.
Secara anatomis, organ hepar terletak di hipochondrium kanan dan
epigastrium, dan melebar ke hipokondrium kiri. Hepar dikelilingi oleh cavum
toraks dan bahkan pada orang normal tidak dapat dipalpasi (bila teraba berarti ada
pembesaran hepar). Permukaan lobus kanan dpt mencapai sela iga 4/5 tepat di
bawah aerola mammae. Lig falciformis membagi hepar secara topografis bukan
secara anatomis yaitu lobus kanan yang besar dan lobus kiri.
2.1.2. Hepar Secara Mikroskopis
Hepar dibungkus oleh simpai yg tebal, terdiri dari serabut kolagen dan
jaringan elastis yg disebut Kapsul Glisson. Simpai ini akan masuk ke dalam
parenchym hepar mengikuti pembuluh darah getah bening dan duktus biliaris.
Massa dari hepar seperti spons yg terdiri dari sel-sel yg disusun di dalam
lempengan-lempengan/ plate dimana akan masuk ke dalamnya sistem pembuluh
kapiler yang disebut sinusoid. Sinusoid-sinusoid tersebut berbeda dengan kapiler-
kapiler di bagian tubuh yang lain, oleh karena lapisan endotel yang meliputinya
terediri dari sel-sel fagosit yg disebut sel kupfer. Sel kupfer lebih permeabel yang
artinya mudah dilalui oleh sel-sel makro dibandingkan kapiler-kapiler yang lain .
Lempengan sel-sel hepar tersebut tebalnya 1 sel dan punya hubungan erat dengan
sinusoid. Pada pemantauan selanjutnya nampak parenkim tersusun dalam lobuli-
lobuli. Di tengah-tengah lobuli terdapat 1 vena sentralis yg merupakan cabang
dari vena-vena hepatika (vena yang menyalurkan darah keluar dari hepar). Di
bagian tepi di antara lobuli-lobuli terhadap tumpukan jaringan ikat yang disebut
traktus portalis/TRIAD yaitu traktus portalis yang mengandung cabang-cabang
v.porta, A.hepatika, ductus biliaris. Cabang dari vena porta dan A.hepatika akan
mengeluarkan isinya langsung ke dalam sinusoid setelah banyak percabangan
Sistem bilier dimulai dari canaliculi biliaris yang halus yg terletak di antara sel-sel
hepar dan bahkan turut membentuk dinding sel. Canaliculi akan mengeluarkan
isinya ke dalam intralobularis, dibawa ke dalam empedu yg lebih besar, air keluar
dari saluran empedu menuju kandung empedu.
2.1.3. Fisiologi Hepar
Hati merupakan pusat dari metabolisme seluruh tubuh, merupakan sumber
energi tubuh sebanyak 20% serta menggunakan 20 – 25% oksigen darah. Ada
beberapa fungsi hati yaitu:
i. Fungsi hati sebagai metabolisme karbohidrat
Pembentukan, perubahan dan pemecahan karbohidrat, lemak dan protein
saling berkaitan 1 sama lain. Hati mengubah pentosa dan heksosa yang diserap
dari usus halus menjadi glikogen, mekanisme ini disebut glikogenesis.
Glikogen lalu ditimbun di dalam hati kemudian hati akan memecahkan
glikogen menjadi glukosa. Proses pemecahan glikogen menjadi glukosa
disebut glikogenelisis. Karena proses-proses ini, hati merupakan sumber
utama glukosa dalam tubuh, selanjutnya hati mengubah glukosa melalui
heksosa monophosphat shunt dan terbentuklah pentosa. Pembentukan pentosa
mempunyai beberapa tujuan: Menghasilkan energi, biosintesis dari nukleotida,
nucleic acid dan ATP, dan membentuk/ biosintesis senyawa 3 karbon (3C)
yaitu piruvic acid (asam piruvat diperlukan dalam siklus krebs).
ii. Fungsi hati sebagai metabolisme lemak
Hati tidak hanya membentuk/ mensintesis lemak tapi sekaligus mengadakan
katabolisis asam lemak. Asam lemak dipecah menjadi beberapa komponen :
1. Senyawa 4 karbon – KETONE BODIES
2. Senyawa 2 karbon – ACTIVE ACETATE (dipecah menjadi asam lemak
dan gliserol)
3. Pembentukan cholesterol
4. Pembentukan dan pemecahan fosfolipid
Hati merupakan pembentukan utama, sintesis, esterifikasi dan ekskresi
kholesterol. Dimana serum Cholesterol menjadi standar pemeriksaan
metabolisme lipid.
iii. Fungsi hati sebagai metabolisme protein
Hati mensintesis banyak macam protein dari asam amino. Dengan proses
deaminasi, hati juga mensintesis gula dari asam lemak dan asam amino.
Dengan proses transaminasi, hati memproduksi asam amino dari bahan-bahan
non nitrogen. Hati merupakan satu-satunya organ yg membentuk plasma
albumin dan ∂ - globulin dan organ utama bagi produksi urea. Urea
merupakan end product metabolisme protein. ∂ - globulin selain dibentuk di
dalam hati, juga dibentuk di limpa dan sumsum tulang. β – globulin hanya
dibentuk di dalam hati. Albumin mengandung ± 584 asam amino dengan BM
66.000.
iv. Fungsi hati sehubungan dengan pembekuan darah
Hati merupakan organ penting bagi sintesis protein-protein yang berkaitan
dengan koagulasi darah, misalnya: membentuk fibrinogen, protrombin, faktor
V, VII, IX, X. Benda asing menusuk kena pembuluh darah – yang beraksi
adalah faktor ekstrinsik, bila ada hubungan dengan katup jantung – yang
beraksi adalah faktor intrinsik. Fibrin harus isomer biar kuat pembekuannya
dan ditambah dengan faktor XIII, sedangakan Vit K dibutuhkan untuk
pembentukan protrombin dan beberapa faktor koagulasi.
v. Fungsi hati sebagai metabolisme vitamin
Semua vitamin disimpan di dalam hati khususnya vitamin A, D, E, K
vi. Fungsi hati sebagai detoksikasi
Hati adalah pusat detoksikasi tubuh. Proses detoksikasi terjadi pada proses
oksidasi, reduksi, metilasi, esterifikasi dan konjugasi terhadap berbagai
macam bahan seperti zat racun, obat over dosis.
vii. Fungsi hati sebagai fagositosis dan imunitas
Sel kupfer merupakan saringan penting bakteri, pigmen dan berbagai bahan
melalui proses fagositosis. Selain itu sel kupfer juga ikut memproduksi ∂ -
globulin sebagai imun livers mechanism.
viii. Fungsi hemodinamik
Hati menerima ± 25% dari cardiac output, aliran darah hati yang normal ±
1500 cc/ menit atau 1000 – 1800 cc/ menit. Darah yang mengalir di dalam
a.hepatica ± 25% dan di dalam v.porta 75% dari seluruh aliran darah ke hati.
Aliran darah ke hepar dipengaruhi oleh faktor mekanis, pengaruh persarafan
dan hormonal, aliran ini berubah cepat pada waktu exercise, terik matahari,
shock.Hepar merupakan organ penting untuk mempertahankan aliran darah.
2.2. Definisi
Hepatitis B adalah penyakit infeksi diserbabkan oleh virus hepatitis B yang dapat
menimbulkan peradangan bahkan kerusakan sel –sel hati.
2.3. Epidemiologi
Infeksi hepatitis virus hepatitis B merupakan suatu masalah kesehatan
masyarakat yang cukup besar di Indonesia. Dan berbaagai penelitian yang ada,
Frekuensi pengidap HBsAg berkisar antara 3-20%. Penelitian dari berbagai
daerah di Indonesia menunjukkan angka yang sangat bervariasi bergantung pada
tingkat endemisitas hepatitis B di tiap-tiap daerah, contoh: tingkat endemisitas
daerah Indonesia bagian Timur lebih tinggi dibandingkan daerah Indonesia bagian
Barat.
Infeksi hepatitis B kronik sedikitnya diderita oleh 300 juta orang di
seluruh dunia. Di Eropa dan Amerika 15-25% penderita Hepatitis B kronik
meninggal karena proses hati atau kanker hati primer. Penelitian yang dilakukan
di Taiwan pada 3.654 pria Cina yang HBsAg positif bahkan mendapatkan angka
yang lebih besar yaitu antara 40-50%.
Menurut tingginya, prevalensi infeksi virus hepatitis B, WHO membagi
dunia menjadi 3 macam daerah yaitu daerah dengan endemitas tinggi, sedang dan
rendah.
- daerah endemisitas tinggi
penularan utama terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak. Batas terendah
frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar 10-15%.
- daerah endemisitas sedang
penularan terjadi pada masa perinatal dan kanak-kanak jarang terjadi. Frekuensi
HBsAg dalam populasi berkisar 2-10%.
- daerah endemisitas rendah
penularan utama terjadi pada masa dewasa, penularan pada masa perinatal dan
kanak-kanak sanngat jarang tejadi. Frekuensi HBsAg dalam populasi berkisar
kurang 2 %.
2.4. Etiologi
Penyebab hepatitis B adalah virus DNA yang tergolong dalam kelas
hepaDNA dan mempunyai masa inkubasi 1-6 bulan. Komponen lapisan luar pada
hepatitis B disebut hepatitis B surface antigen (HbsAg) dalam inti terdapat
genome dari HVB yaitu sebagian dari molekul tunggal dari DNA spesifik yang
sirkuler dimana mengandung enzim yaitu DNA polymerase. Disamping itu juga
ditemukan hepatitis Be Antigen (HBeAg). Antigen ini hanya ditemukan pada
penderita dengan HBsAg positif. HBeAg positif pada penderita merupakan
pertanda serologis yang sensitif dan artinya derajat infektivitasnya tinggi, maka
bila ditemukan HBsAg positif penting diperiksa HBeAg untuk menentukan
prognosis penderita.
Cara penularan infeksi virus hepatitis B ada dua, yaitu : penularan horizontal dan
vertikal.
- Penularan horizontal terjadi dari seorang pengidap infeksi virus hepatitis
B kepada individu yang masih rentan di sekelilingnya. Penularan horizontal dapat
terjadi melalui kulit atau melalui selaput lendir,
- Penularan vertikal terjadi dari seorang pengidap yang hamil kepada bayi
yang dilahirkan
Penularan melalui kulit, ada 2 macam yaitu disebabkan tusukan yang jelas
(penularan parenteral), misal melalui suntikan, transfusi darah dan tato. Yang
kedua adalah penularan melalui kulit tanpa tusukan yang jelas, misal masuk nya
bahan infektif melalui goresan atau abrasi kulit dan radang kulit.
Penularan melalui selaput lendir : tempat masuk infeksi virus hepatitis B
adalah selaput lendir mulut, mata, hidung, saluran makanan bagian bawah dan
selaput lendir genetalia.
Penularan vertikal : dapat terjadi pada masa sebelum kelahiran atau
prenatal (inutero), selama persalinan atau perinatal dan setelah persalinan atau
post natal.
Cara utama penularan virus hepatitis B adalah melalui parenteral dan
menembus membrane mukosa terutama melalui hubungan seksual. Masa inkubasi
rata-rata sekitar 60-90 hari. HbsAg telah ditemukan pada hampir semua cairan
tubuh orang yang terinfeksi yaitu darah, semen, saliva, air mata, asites, air susu
ibu, urin, dan bahkan feses. Setidaknya sebagian cairan tuibuh ini(terutama darah,
semen, dan saliva) telah terbukti bersifat infeksius.
Orang yang beresiko tinggi menderita hepatitis B:
1. Imigran dari daerah endemis HBV
2. Pengguna obat intravena yang sering bertukar jarum dan alat suntik
3. Pelaku hubungan seksual dengan banyak orang atau dengan orang
terinfeki
4. Pria homoseksual yang secara seksual aktif
5. Pasien rumah sakit jiwa
6. Narapidana pria
7. Pasien hemodialisis dan penderita hemofili yang menerima produk tertentu
dari plasma
8. Kontak serumah dengan karier HBV
9. Pekerja sosial dibidang kesehatan terutama yang banyak kontak dengan
darah
10. Bayi yang baru lahir dari ibu terinfeksi, dapat pada saat atau seggera
setelah
lahir.
2.5.1 Patofisiologi
Virus hepatitis B masuk ke dalam tubuh secara parenteral, dari peredaran
darah partikel Dane masuk ke dalam hati dan terjadi proses replikasi virus.
Selanjutnya sel-sel hati akan memproduksi dan mensekresi partikel Dane utuh,
partikel HbsAg bentuk bulat dan tubuler dan HBeAg yang tidak ikut membentuk
partikel virus. Virus hepatitis B smerangsang respon imun tubuh, yang pertama
kali adalah respon imun non spesifik karena dapat terangsang dalam waktu
beberapa menit sampai beberapa jam dengan memanfaatkan sel-sel NK dan NKT.
Kemudian diperlukan respon imun spesifik yaitu dengan mengakstivasi sel
limfosit T dan sel limfosit B. aktivasi sel T, CD8 + terjadi setelah kontak reseptor
sel T dengan komplek peptide VHB-MHC kelas I yang ada pada permukaan
dinding sel hati. Sel T CD8 + akan mengeliminasi virus yang ada di dalam sel hati
terinfeksi. Proses eliminasi bisa terjadi dalam bentuk nekrosis sel hati yang akan
menyebabkan meningkatnya ALT.
Aktivasi sel limfosit B dengan bantuan sel CD+ akan mengakibatkan
produksi antibody antara lain anti-HBs, anti-HBc, anti-HBe. Fungsi anti-HBs
adalah netralisasi partikel virus hepatitis B bebas dan mencegah masuknya virus
ke dalam sel, dengan demikian anti-HBs akan mencegah penyebaran virus dari sel
ke sel.
Bila proses eliminasi virus berlangsung efisien maka infeksi virus hepatitis
B dapat diakhiri tetapi kalau proses tersebut kurang efisien maka terjadi infeksi
virus hepatitis B yang menetap. Proses eliminsai virus hepatitis B oleh respon
imun yang tidak efisien dapat disebabkan oleh faktor virus atau pun faktor
pejamu.
Faktor virus antara lain : terjadinya imunotoleransi terhadap produk virus
hepatitis B, hambatan terhadap CTL yang berfungsi melakukan lisis sel – sel
terinfeksi, terjadinya mutan virus hepatitis B yang tidak memproduksi HBeAg,
integarasi genom virus hepatitis B dalam genom sel hati
Faktor pejamu antara lain : faktor genetik, kurangnya produksi IFN,
adanya antibodi terhadap antigen nukleokapsid, kelainan fungsi limfosit, respons
antiidiotipe, faktor kelamin dan hormonal.
Salah satu contoh peran imunotoleransi terhadap produk virus hepatitis B
dalam persistensi virus hepatitis B adalah mekanisme persistensi infeksi virus
hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu HBsAg dan HBeAg posistif,
diduga persistensi infeksi virus hepatitis B pada neonatus yang dilahirkan oleh ibu
HBeAg yang masuk ke dalam tubuh janin mendahului invasi virus hepatitis B,
sedangkan persistensi pada usia dewasa diduga disebabkan oleh kelelahan sel T
karena tingginya konsentrasi partikel virus.
2.5.2 Perjalanan Alamiah Hepatitis B
a. Immune tolerant
- HBeAg-positive
- HBV tinggi, ditandai dengan HBV DNA yang tinggi
- kadar yang normal/ rendah SGPT
- tidak ada liver necroinflamasi/ tidak ada perkembangan menjadi
fibrosis/ fibrosis lambat
b. Immune reactive HBeAg-positive Phase
- HBeAg-positif
- replikasi lebih rendah jika dibandingkan pada fase immune
tolerant (HBV DNA lebih rendah jika dibandingpada fase immune
tolerant)
- SGPT meningkat/ berfluktuasi
- resiko inflamasi sedang/ ringan
- fase ini berakhir jika terjadi serokonversi pada anti HBe
c. Inactive carrier Stage
- seroconversi dari HBeAgmenjadi anti HBe
- HBV DNA rendah/ tidak terdeteksi
- SGPT normal
Follow up/ dikatakan inactive carrier stage jika :
- ALT setiap 3-4 bulan selama 1 tahun (ALT harus normal (40iu/ml)
- HBV DNA (<2000iu/ml)
JIKA :
HBV DNA >2000iu dan SGPT normal Atau HBV DNA <2000iu dan
SGPT meningkat harus dilakukan biopsy hati untuk mengetahui liver
injury.
d. HBeAg-negative CHB
- serokonversi dari HBeAg ke anti HBe selama fase immune
reaktiv/ perkembangan selama beberapa tahun dari inactive carrier
stage.
- HBeAg-negatif
- Anti HBe-positif
- HBV DNA rendah atau tak terdeteksi
e. HBsAg-negative Phase
- HBsA-negatif
- HBV DNA terdeteksi di liver tapi tak terdeteksidi serum
- Jika HBsAg hilang sebelum onset sirosis maka resiko sirosis dan
HCC menurun.
- Jika HBsAg hilang setelah onset sirosis resiko HCC meningkat.
2.6 Manifestasi Klinik
Hepatitis B akut memiliki keluhan dan gejala yang sama dengan virus
hepatitis akut lainnya. Sebagian besar (90%- 95 %) akan sembuh.
Pada penularan secara vertikal biasanya gejala yang timbul
minimal/subklinis dan justru banyak yangberprogresi menjadi hepatitis B kronis
beserta komplikasi-komplikasinya di kemudian hari. Pada mereka yang kebetulan
didapatkan HBsAg yang positif ( seperti pada medical check up) dan belum
didapatkan adanya keluhan, biasanya memiliki prognosa yang lebih baik.
Sebagian pengidap golongan ini termasuk kedalam pengidap sehat. Pada mereka
yang ditemukan adanya HBsAg yang positif dan sudah didapatkan adanya
keluhan, seperti cepat capai, mual, anoreksia, dll, biasanya sudah mengidap
hepatitis B kronis. Dimana hepatitis B kronis persisten prognosanya lebih baik
dibandingkan dengan hepatitis B kronis aktif.
Mengapa pada sebagian penderita tetap pada stadium kronik persisten dan
selama hidupnya tidak apa–apa sedangkan pada penderita lainnya menjadi kronik
aktif dan kemudian menjadi sirosis hati bahkan kanker hati? Temyata hal ini
tergantung dari interaksi antara replikasi virus hepatitis B yang kontinue dan
status imunologi penderita.
Bila penderita datang sudah didapatkan asites atau tanda–tanda hipertensi
portal lainnya, dapat diduga bahwa os sudah menderita sirosis hati. Di Indonesia
30 % penderita sirosis hati berlanjut menjadi kanker hati. Hanya pada sebagian
kecil penderita kanker hati tidak dapat kita temukanadanya sirosis hati.
Untuk mengetahui secara tepat stadium yang diderita maka dibutuhkan
biopsi hati. Namun tindakan ini jarang dilakukan karena kebanyakan pasien
menolak untuk di biopsi, kecuali atas indikasi yang jelas. Karena itu kita
menggunakan pemeriksaan-pemeriksa-an penunjang lainnya yaitu :
-petanda-petanda serologi HBV
-pemeriksaan fungsi hati untuk mengetahui pasien sedang di dalam
stadium yang bagaimana.
Dengan demikian kita dapat melakukan pengelolaan yang mendekati kebenaran.
2.7 Management Hepatitis B Kronik
2.7.1 Tujuan Terapi
Tujuan dari manajement hepatitis B kronik adalah untuk meningkatkan
kualitas hidup dengan mencegah progresifitas penyakit menjadi sirosis, sirosis
decompensate, stadium akhir dari penyakit hati, HCC, dan kematian.
a. Pada pasien dengan HBeAg-positive dan HBeAg-negativ end
point dari terapinya adalah hilangnya HBsAg dengan atau tanpa
seroconversi ke anti HBs. Hal ini dihubungkan dengan perbaikan
yang definitive atau komplit dari aktifitas menuju hepatitis B
kronis dan out come nya akan menjadi lebih baik.
b. Pada pasien dengan HBeAg-negatif (kasus lain HBeAg positive
dengan serokonversi ke anti HBe yang berkala) adalah end point
yang memuaskan dan dihubungkan dengan prognosis yang lebih
baik.
c. HBV DNA yang tidak terdeteksi melalui PCR adalah end point
yang paling memuaskan.
2.7.2 Definisi Respon Terapi
Respon terapi dapat dibagi menjadi respon biokimia, serologi, virology,
dan histology. Dua tipe obat yang dapat digunakan untuk terapi dari Hepatitis B
kronik adalah conventional atau pegylated interferon alpha (IFN atau PEG-IFN)
dan nucleoside/ nucleotide analog (NAs).
Respon biokimia didefinisikan sebagai normalisasi dari level ALT. hal ini
dapat dievaluasi beberapa kali pada saat akhir terapi dan beberapa saat setelah
terapi. Evaluasi ini paling tidak harus dilakukan setiap tiga bulan selama satu
tahun.
Respon serologi untuk HBeAg hanya diaplikasikan untuk pasien dengan
HBeAg-positiv hepatitis B kronik yang hasil akhirnya adalah hilangnya HBeAg
dan terjadi serokonversi menjadi anti HBe. Respon serologi untuk pasien dengan
HBsAg positifdiaplikasikan untuk semua pasien hepatitis B kronik yang HBsAg
hilang dan berkembang menjadi anti HBs.
Virological respon pada terapi dengan IFN/PEG-IFN :
- Non respon primer tidak begitu diketahui
- Virological respon didefinisikan jika konsentrasi HBV DNA lebih
rendah dari 2000iu/ml. hal ini biasanya dievaluasi pada bulan ke 6 dan
pada akhir terapi, 6 bulan setelah terapi, dan 12 bulan setelah terapi.
- Respon terapi yang berkelanjutan didefinisikan jika kadar HBV DNA
dibawah 2000iu/ml setelah 12 bulan dari akhir terapi.
Virological respon pada terapi dengan NA :
- Non respon primer jika pengurangan dari level HBV DNA kurang dari
1 log10iu/ml selama tiga bulan terapi.
- Virological respon didefinisikan sebagai tidak terdeteksinya HBV
DNA dengan PCR. Biasanya dievaluasi pada bulan ke 3 dan ke 6
selama terapi.
- Partial virological respon adalah menurunnya kadar HBV DNA lebih
dari 1 log10 iu/ml tetapi terdeteksi dalam PCR.
- Virological breakthrough didefinisikan jika HBV DNA meningkat
lebih dari 1 log10 iu/ml. Kadar ALT juga meningkat.
- HBV resisten terhadap NA biasanya hasil kelanjutan dari non respon
primer atau virological breakthrough.
Respon histology didefinisikan sebagai berkurangnya aktifitas
nekroinflamasi tanpa perburukan fibrosis jika dibandingkan dengan
sebelum terapi.
2.7.3 Indikasi Terapi
Indikasi terapi secara umum adalah sama untuk HBeAg-positiv dan
HBeAg-negativ. Hal ini berdasarkan kombinasi dari tiga criteria berikut ini:
- Level serum HBV DNA
- Level serum ALT
- Keparahan dari penyakit hati
Pasien harus mendapatkan terapi ketika kadar HBV DNA diatas 2000 iu/ml,
serum ALT diatas nilai normal serta keparahan dari penyakit hati yang dinilai
dengan cara invasive maupun non infasif menunjukkan kerusakan sedang sampai
nekroinflamasi yang parah. Indikasi terapi juga dilihat dari factor umur, status
kesehatan, riwayat keluarga dengan HCC ataupun sirosis hepatis.
- Pasien immunotolerant: HBeAg-positive pada pasien dibawah 30
tahun, kadar ALT normal, kadar HBV DNA tinggi, tidah ada riwayat
keluarga dengan HCC dan sirosis tidak dianjurkan untuk biopsy hati
dan terapi. Follow up dilakukan setiap 3-6 bulan. Biopsy hati dan
terapi dilakukan pada pasien dengan usia diatas 30 tahun dan ada
riwayat keluarga dengan HCC atau sirosis hepatis.
- HBeAg-negatif: pasien dengan kadar ALT normal yang diperiksa
setiap 3 bulan selama 1 tahun, kadar HBV DNA diatas 2000 tapi masih
dibawah 20000iu/ml, tanpa adanya dasar penyakit hati tidak dilakukan
biopsy hati maupun terapi.
- Pasien dengan aktif hepatitis B kronik : HBeAg-positif dan HBeAg-
negatif dengan ALT dua kali diatas normal dan kadar HBV DNA
diatas 20000iu/ml dapat dilakukan pemberian terapi tanpa dilakukan
biopsy hati.
- Pasien dengan sirosis compensate dan HBV DNA yang terdeteksi
harus diterapi walaupun kadar ALT nya normal.
- Pasien dengan decompensated sirosis dan HBV DNA yang terdeteksi
harus mendapatkan terapi antivirus segera dengan NA(s). Walaupun
kadang antivirus tidak cukup untuk menyelamatkan pasien dengan
penyakit hati yang berat.
2.7.4 Hasil Terapi Saat Ini
Obat yang tersedia untuk pengobatan hepatitis B kronik terdiri dari IFN,
PEG-IFN, dan 6 NAs. NAs untuk terapi hepatitis B kronik diklasifikasikan
menjadi nucleoside (lamivudine, telbivudine, emtricitabine, entecavir) dan
nucleotide (adefovir dan tenofovir). Namun PEG-IFN-2b dan emtricitabine tidak
diizinkan sebagai terapi Hepatitis B di Eropa. Lamivudine, adefovir, entecavir,
telbivudine, dan tenofovir disetujui sebagai terapi untuk pengonatan hepatitis B di
Eropa. Kombinasi dari tenofovir dan emticirabine pada satu tablet telah digunakan
sebagai terapi HIV. Evikasi dari obat ini dinilai dari RCT selama satu tahun.
Tabel 1. Results of main studies for the treatment of HBeAg-positive chronic hepatitis B at 6 months following 12 months (48 or 52 weeks) of pegylated interferon alpha (PEG-IFN) and at 12 months (48 or 52 weeks) of nucleos(t)ide analogue therapy
PEG-IFN Nucleoside analoguesNucleotide Analogues
PEG-IFN-2a PEG-IFN-2b Lamivudine Telbivudine Entecavir Adefovir TenofovirDose* 180 µg 100 µg 100 mg 600 mg 0,5 mg 10 mg 245 mgAnti-Hbe seroconversion (%) 32 29 16-18 22 21 12 -- 18 21HBV DNA <60-80iu/ml (%) 14 7 36-44 60 67 13-21 76ALT normalisation** (%) 41 32 41-72 77 68 48-54 68HBsAg loss(%) 3 7 0-1 0,5 2 0 3
*PEG-IFN were given as percutaneous injections once weekly and nucleos(t)ide analogues as oral tablets once daily.**The definition of ALT normalisation varied among different trials (i.e. decrease of ALT to 61.25-times the upper limit of normal (ULN) in the entecavir or 61.3-times the ULN in the telbivudine trial).
Tabel 2. Results of main studies for the treatment of HBeAg-negative chronic hepatitis B at 6 months following 12 months (48 weeks) of pegylated interferon alpha (PEG-IFN) and at 12 months (48 or 52 weeks) of nucleos(t)ide analogue therapy.
PEG-IFN Nucleoside analogues Nucleotide Analogues PEG-IFN-2a Lamivudine Telbivudine Entecavir Adefovir Tenofovir
Dose* 180 µg 100 mg 600 mg 0,5 mg 10 mg 245 mgHBV DNA <60-80iu/ml (%) 19 72-73 88 90 51-63 93
ALT normalisation**
(%) 59 71-79 74 78 72-77 76HBsAg loss(%) 4 0 0 0 0 0
⁄PEG-IFN-2a was given as percutaneous injections once weekly and nucleos(t)ide analogues as oral tablets once daily.**The definition of ALT normalisation varied among different trials (i.e. decrease of ALT to 61.25-times the upper limit of normal (ULN) in the entecavir or 61.3-times the ULN in the telbivudine trial).
(1) Pasien dengan HBeAg-positive
Respon rata rata pada saat bulan ke 6 dan diikuti respon pada bulan ke 12
dari penggunaan PEG-IFN dan respon pada bulan ke 12 pada penggunaan
NA terapi tersaji dalam table 1. Rata rata serokonversi Anti HBe sekitar
30% dengan penggunaan PEG-IFN dan sekitar 20% dengan penggunaan
NAs. Rata-rata hilangnya HBsAg selama 12 bulan terapi sekitar 3-7%
dengan menggunakan PEG-IFN, 1% dengan lamivudine, 0%dengan
adefovir, 2% dengan entecavir, 0,5% dengantelbivudine, dan 3% dengan
tenofovir.
(2) Pasien dengan HBeAg-negative
Respon rata-rata pada bulan 6 diikuti pada bulan 12 dari penggunaan PEG-
IFN dan pada bulan ke 12 dengan NA terapi terdapat dalam table 2. Rata
rata HBsAg hilang pada bulan ke 12 sekitar 3% pada pasien yang
mendapatkan terapiPEG-IFN-2a(pada bulan ke 6 setelah terapi berakhir).
Dan 0% dengan lamivudine, adefovir, entecavir, telbivudine, atau
tenofovir.
Tabel 3. Keuntungan dan kerugian dari penggunaan PEG-IFN dan NAs analog dalam terapi Hepatitis B kronik
(PEG-)IFN NAsKeuntungan - Durasi terbatas
- Tidak ada resistensi
- Rata tara serokonversi ke anti HBe dan anti HBs lebih tinggi dengan 12 bulan terapi
- Efek antiviralnya poten
- Toleransinya baik- Pemberian secara
oral
Kerugian - Efek antiviral sedang
- Efek toleransi lebih rendah
- Resiko terhadap hal yang tidak diinginkan
- Pemberian secara injeksi perkutaneus
- Durasi tak terbatas
- Resiko resisiten- Efek jangka
panjang belun diketahui
Fig. 1. Cumulative incidence of HBV resistance to lamivudine (LAM), adefovir (ADV), entecavir (ETV), telbivudine (LdT) and tenofovir (TDF) in pivotal trials in nucleos(t)ide-naïve patients with chronic hepatitis B. For method of calculation, see Ref. [41]. These trials included different populations, use different inclusion and exclusion criteria and different follow-up end points.
2.7.5 Strategi Terapi: bagaimana memberikan terapi
(1) Treatment dengan durasi tertentu dengan menggunakan PEG-IFN atau
dengan NA. Strategi ini adalah untuk mencapai terjadinya virological
respon yang berkelanjutan.
- Durasi tertentu dengan PEG-IFN, jika tersedia dapat digantidengan IFN
standar untuk terapiHepatitis B kronik, hal ini akan lebih memudahkan
dalam aplikasi untuk terapi(sekali pemberian dalam seminggu). Terapi
PEG-IFN selama 48 minggu dianjurkan untuk pasien dengan HBeAg-
positive yang punya kemungkinan besar untuk terjadi serokonversi
menjadi anti HBe.
- Kombinasi dari PEG-IFN dengan lamivudine menunjukkan virological
respon yang lebih tinggi, tapi untuk efek berkelanjutan dari virological
respon dan serological responnya tidak menunjukkan angka yang lebih
tinggi.
- Kombinasi dari PEG-IFN dengan Telbivudine menunjukkan efek
antivirus yang potensial, namun dilarang karena memiliki efek
polyneuropaty. Oleh karena itu kombinasi dari PEG-IFN dengan
lamivudine atau telbivudine tidak direkomendasikan.
- Informasi mengenai kombinasi dari PEG-IFN dengan NAs yang lainnya
sangat terbatas, dan saat ini kombinasinya tidak direkomendasikan.
- Terapi dalam jangka waktu tertentu dengan NA dianjurkan untuk pasien
dengan HBeAg-positive yang diharapkan terjadi serokonversi menjadi
anti-HBe. Namun durasinya tidak dapat diprediksikan. Hal ini tergantung
dari waktu terjadinya serokonversi menjadi anti-HBe.
(2) Terapijangka panjang dengan NAs. Terapi ini digunakan untuk pasien yang
hasilnya tidak memuaskan atau gagal terhadap respon virological yang
berkelanjutan, misalnya pada pasien dengan HBeAg positive namun tidak terjadi
serokonversi menjadi anti HBe dan HBeAg negative.
2.7.6 Terapi Gagal
Sangat penting untuk membedakan antara primary non respon, partial virological
respon, dan virological breakthrough respon.
(1) Primary non respon. Primary non respon jarang terjadi pada entecavir atau
tenofovir, telbivudine atau lamivudine. Pada pasien dengan primary non
respon penting untuk diperiksa genotip dari VHB strain untuk
mengidentifikasi adanya resisten atau adanya mutasi. Sehingga dapat
dipilihkan obat yang lebih poten untuk melawan VHB. Primary non
respon lebih sering terjadi pada adefovir (10-20%) daripada dengan agen
NAs yang lain. Sehingga pada pasien dengan primary non respon yang
menggunakan adefovir penggantian secara cepat dengan tenofovir atau
entecavir sangat direkomendasikan.
(2) Partial virological respon. Pasien yang mendapatkanlamivudine atau
telbivudine dengan respon parsial pada minggu ke 24 atau pada pasien
yang mendapatkan adefovir dengan partial respon pada minggu ke 48
ganti dengan obat yang lebih potensial(entecavir atau tenofovir).
(3) Virological breakthrough. Virological breakthrough diasosiasikan dengan
terjadimnya HBV drug resisten. Jika :
- Lamivudine resisten : ganti dengan tenofovir
- Adefovir resisten : ganti dengan entecavir atau tenofovir
- Telbivudene resisten : ganti atau tambah dengan tenofovir
- Entecavir resisten : ganti atau tambahkan tenofovir
- Tenofovir resisten : resisten terhadap tenofovir belum terdeteksi, tapi
rasional jika ditambahkan entecavir, telbivudine, lamivudine, atau
emtricitabine.
2.7.7 Bagaimana cara memonitor terapi
Terapi dalam jangka waktu tertentu dengan PEG-IFN
Pada pasien dengan terap PEG-IFN pemeriksaan darah lengkap dan serum
ALT harus dimonitor setiap bulan. Kadar TSH harus dimonitor setiap 3 bulan.
Dan pemantauan ini harus dilakukan sampai 12 bulan setelah terapi.
- Pada pasien dengan HBeAg-positiv, HBeAg dan anti HBe serta serum
HBV DNA harus diperiksa pada saat bulan ke 6 dan 12 terapi dan 6 bulan
serta 12 bulan post terapi. Terjadinya serokonversi anti HBe dan
normalisasi kadar ALT dan serum HBV DNA dibawah 2000iu/ml adalah
outcome yang memuaskan. HBV DNA yang tidak terdeteksi dengan PCR
selama follow up merupakan hasil yang signifikan dan dihubungkan
dengan hilangnya HBsAg. HBsAg harus diperiksa 12 bulan setelah
terjadinya serokonversi anti HBe jika HBV DNA tidak terdeteksi. Pasien
yang menjadi HBsAg negative harus diperiksa anti HBs. Sebaliknya
pasien HBeAg-positive yang diterapi dengan PEG-IFN yang gagal untuk
mendapatkan level serum HBsAg dibawah 20000iu/ml atau tidak
adaperubahan pada serum HBsAg level pada bulan ke 3 terapi
kemungkinan untuk terjadi serokonversi anti HBe sangat rendah. Untuk itu
penghentian terapi PEG-IFN diperbolehkan.
- Pada pasien dengan HBeAg-negativ, serum HBV DNA harus diperiksa
pada bulan ke 6 dan 12 pada saat terapi dan pada bulan ke 6 dan 12 pos
terapi Virological respon dengan HBV DNA <2000iu/ml dikaitkan dengan
remisi dari penyakit hati. Pasien dengan HBeAg-negativ yang memiliki
genotip D, yang diterapi dengan PEG-IFN yang gagal untuk mencapai
pengurangan level HBV DNA dan a >2 log10 iu/ml pada bulan ke 3,
mempunyai peluang respon yang rendah. Untuk itu penghentian terapi
PEG-IFN sebaiknya dihentikan.
Terapi dalam jangka waktu tertentu dengan NAs pada pasien HBeAg positive.
Tujuan dari diberikannya terapi denga Na adalah terjadinya serokonversi ke
anti HBe dengan HBV DNA < 2000iu/ml dan normal ALT. HBeAg dan Anti
HBe harus diperiksa setiap 6 bulan. HBV DNA harus diukur dengan PCR
setiap 3-6 bulan selama terapi. Supresi dari HBV DNA serta tak terdeteksinya
dalam PCR serta terjadinya serokonversi menjadi anti HBe dihubungkan
dengan respon biokimia dan histological respon. NA terapi dapat dihentikan
12 bulan setelah terjadinya serokonversi.
Terapi jangka panjang dengan NA
Pengurangan dari HBV DNA sampai tak terdeteksinya dalam PCR harus
dicapai untuk mengurangi terjadinya resistensi. HBV DNA level harus
dimonitor pada bulan ke 3 untuk memastikan adanya virological respond an
selanjutnya setiap 3-6 bulan.
NAs berefek pada ginjal, untuk itu pasien yang akan dimulai terapi dengan
NA harus diperiksa terlebih dahulu kadar serum kreatinin level dan creatinin
clearance sebelum terapi.
2.7.8 Terapi dengan Kondisi Tertentu
- Terapi pasien dengan sirosis
Terapi dengan menggunakan PEG-IFN kemungkinan menyebabkan resiko
dari infeksi bakteri dan hepatitis decompensate pada pasien dengan cirosis
lanjut. Diantara NAs, monoterapi dengan menggunakan tenofovir atau
entecavir diperbolehkan karena efeknya yang potensial dan efek minimal
terhadap terjadinya resisten.
- Terapi pada pasien dengan sirosis decompensate
Pasien dengan decompensate sirosis harus diterapi oleh unit spesialis,
penggunaan antiviralnya sangat complex, dan kemungkinan pasien ini
harus mendapatkan terapi transplantasi hati. Penggunaan PEG-IFN adalah
kontraindikasi pada pasien ini. Entecavir atau tenofovir harus digunakan.
Dosis entecavir pada pasien dengan sirosis decompensate dalah 1mg sekali
sehari.pasien dengan sirosis decompensate kemungkinan menunjukkan
clinical improvement pada bulan ke 3-6 pada saat terapi.
- Pencegahan terhadap hepatitis B berulang setelah transplantasi
Lamivudine dan atau dengan adefovir yang dikombinasikan dengan
hepatitis B immunoglobulin (HBIg) dapat mengurangi infeksi resiko graft
infection sampai dengan 10%.
- Pasien dengan co-infeksi HIV
Lamivudine, entecavir, dan tenofovir adalah agenhyang mampu melawan
HIV dan VHB, namun dikontraindikasikan jika digunakan sebagai single
dose karena akan meningkatkan resistensi terhadap HIV.
- Hepatitis Akut
Lebih dari 95% pasien dengan akut hepatitis B akan terjadi penyembuhan
secara spontan dan terjadi serokonversi menjadi anti HBs tanpa
menggunakan antiviral. Pasien dengan hepatitis fulminant atau hepatitis
berat dapat diberikan terapi dengan NA.
- Anak-anak
Hanya IFN, lamivudine, dan adefovir yang telah dievaluasi mengenai
efikasi dan keamanannya.
- Kehamilan \
PEG-IFN dikontraindikasikan untuk wanita hamil. Lamivudine, adefovir,
dan entecavir menurut FDA untuk terapi pada pasien hamil dikategorikan
sebagai obat kategori C, sedangkan telbivudine dan tenofovir
dikategorikan sebagai obat kategori B. kategori ini adalah berdasarkan
efek teratogenik obat. Telbivudine, lamivudine, atau tenofovir digunakan
sebagai pencegahan dari perinatal dan intrauterine HBV transmission pada
trisemester akhir pada wanita dengan HBsAg positif. Keamanan dari NA
pada saat laktasi belum diketahui secara pasti. HBsAg dapat terdeteksi
pada air susu, namun menyusui bukan menjadi kontraindikasi pada pasien
dengan HBsAg positive. Konsentrasi tenofovir dalam air susu sempat
dilaporkan,namun hanya dalam konsentrasi yang sangat kecil.
BAB III
KESIMPULAN
Hepatitis B kronik merupakan masalah kesehatan yang besar, terutama
dengan banyaknya penderita hepatitis B kronik tidak bergejala. Makin dini
terinfeksi HBV risiko menetapnya infeksi hepatitis B makin besar. Diagnosis,
evaluasi dan keputusan pemberian terapi anti virus didasarkan pada pemeriksaan
serologi, virologi, kadar ALT dan pemeriksaan biopsi hati. Pengobatan hepatitis
akut dan kronik pada dewasa, mengalami perubahan dan kemajuan yang pesat
sehingga harus senantiasa dicermati perubahannya agar dapat memberi pelayanan
yang terbaik pada pasien dengan hepatitis kronik.
BAB IV
DAFTAR PUSTAKA
European Association for the Study of the Liver. EASL clinical practice
guidelines: management of chronic hepatitis B virus infection. J Hepatol
2012;02.010.
Cahyono SB. Hepatitis B. Yogyakarta: Kanisius, 2010; 20-33
Lenny.Indonesia Peringkat ke-3 Jumlah Penderita Hepatitis. Diakses
www.technology-indonesia.com
Soemoharjo S. Hepatitis Virus B. Edisi 2. Jakarta: EGC, 2008 ; 20-23
Hadi S. Gastroenterologi. Bandung : Alumni, 2002 ; 487-571
Lindseth, Glenda N. Gangguan Hati, Kandung Empedu dan Pankreas. Dalam :
Sylvia A. Price dan Lorraine M. Wilson, editor. Patofisiologi. Volume I.
Jakarta : EGC, 2006 ; 472-515
Soemohardjo S, Gunawan S. Hepatitis B Kronik. Dalam : Aru W.Sudoyo dkk,
editor. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi 5. Jakarta : Internal
Publishing, 2009 ; 653 – 661
Siregar FA. Hepatitis B di tinjau Dari Kesehatan Masyarakat Dan Upaya
Pencegahan. Di akses www.library.usu.ac.id