microsoft word - referat kolelitiasis 2.doc

30
Referat Subbagian Bedah Digestif Fakultas Kedokteran Unpad/ RSHS, Bandung Tanggal Juli 2003 Pembawa: dr. Lili K. Djoewaeny Pembimbing: dr. Nurhayat Usman, SpB-KBD BATU EMPEDU Pendahuluan Batu empedu merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai . Di negara-negara barat, kelainan ini merupakan penyebab angka kesakitan yang penting. Operasi sistem bilier merupakan operasi yang paling sering dilakukan dibandingkan operasi abdomen lainnya. Empedu yang normal dibentuk oleh hepatosit, terdiri dari air, elektolit, dan solut organik. Solut organik mengandung sedikit protein dan terdiri dari tiga unsur utama, yaitu garam empedu, kolesterol, dan fosfolipid. Ketiganya terkandung dalam 80% bagian kering dari empedu. Garam empedu diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Asam empedu primer, asam kolat dan asam kenodeoksikolat, disintesis di hepar dari kolesterol dan kemudian berkonjugasi dengan glisin atau taurin. Siklus enterohepatik memungkinkan reabsorbsi dan resirkulasi asam empedu primer. Sebagian kecil (kurang dari 5%) memasuki kolon dan mengalami perubahan menjadi asam empedu sekunder, yaitu asam deoksikolat dan asam litokolat. Kolesterol empedu sebagian besar disintesis di hepar dengan sedikit berasal dari makanan. Kolesterol bersifat hidrofobik dan memerlukan zat lain untuk menjadi larut. Pemahaman terhadap mekanisme yang menyebabkan larutnya kolesterol dalam keadaan fisiologis akan sangat membantu dalam menerangkan tejadinya batu kolesterol. Di lain pihak, pengetahuan tentang konsentrasi kalsium dan bilirubin di dalam empedu diperlukan untuk memahami bagaimana terjadinya batu pigmen. 1 Klasifikasi batu empedu Batu empedu dibagi menjadi batu kolesterol, batu pigmen, dan batu campuran. Tabel 1. Perbedaan batu kolesterol dan batu empedu 2 Gambaran Batu Kolesterol Batu Pigmen Komposisi campuran, kadang-kadang Kalsium bilirubinat

Upload: danil-anugrah-jaya

Post on 18-Feb-2015

434 views

Category:

Documents


49 download

TRANSCRIPT

Page 1: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

Referat Subbagian Bedah Digestif

Fakultas Kedokteran Unpad/ RSHS, Bandung

Tanggal Juli 2003

Pembawa: dr. Lili K. Djoewaeny

Pembimbing: dr. Nurhayat Usman, SpB-KBD

BATU EMPEDU

Pendahuluan

Batu empedu merupakan salah satu penyakit yang sering dijumpai .

Di negara-negara barat, kelainan ini merupakan penyebab angka kesakitan

yang penting. Operasi sistem bilier merupakan operasi yang paling sering

dilakukan dibandingkan operasi abdomen lainnya.

Empedu yang normal dibentuk oleh hepatosit, terdiri dari air,

elektolit, dan solut organik. Solut organik mengandung sedikit protein dan

terdiri dari tiga unsur utama, yaitu garam empedu, kolesterol, dan

fosfolipid. Ketiganya terkandung dalam 80% bagian kering dari empedu.

Garam empedu diklasifikasikan menjadi primer dan sekunder. Asam

empedu primer, asam kolat dan asam kenodeoksikolat, disintesis di hepar

dari kolesterol dan kemudian berkonjugasi dengan glisin atau taurin. Siklus

enterohepatik memungkinkan reabsorbsi dan resirkulasi asam empedu

primer. Sebagian kecil (kurang dari 5%) memasuki kolon dan mengalami

perubahan menjadi asam empedu sekunder, yaitu asam deoksikolat dan

asam litokolat.

Kolesterol empedu sebagian besar disintesis di hepar dengan sedikit

berasal dari makanan. Kolesterol bersifat hidrofobik dan memerlukan zat

lain untuk menjadi larut.

Pemahaman terhadap mekanisme yang menyebabkan larutnya

kolesterol dalam keadaan fisiologis akan sangat membantu dalam

menerangkan tejadinya batu kolesterol. Di lain pihak, pengetahuan tentang

konsentrasi kalsium dan bilirubin di dalam empedu diperlukan untuk

memahami bagaimana terjadinya batu pigmen.1

Klasifikasi batu empedu

Batu empedu dibagi menjadi batu kolesterol, batu pigmen, dan batu

campuran.

Tabel 1. Perbedaan batu kolesterol dan batu empedu 2 Gambaran Batu Kolesterol Batu Pigmen

Komposisi campuran, kadang-kadang Kalsium bilirubinat

Page 2: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

2

calcium shell Jumlah Satu atau lebih Biasanya multipel

Ukuran Bervariasi Kecil

Warna Kuning atau hijau Gelap, coklat kemerahan

atau hitam

Densitas Lunak atau keras Lunak

Epidemiologi

Distribusi dan lokasi batu empedu bervariasi di berbagai tempat. Di

Amerika Serikat dan negara-negara barat umumnya, 75% batu empedu

merupakan batu campuran, 15% batu pigmen, dan 10% batu kolesterol.

Umumnya batu terdapat di kandung empedu, namun dapat pula ditemukan

pada common bile duct (CBD) dan intra hepatik ataupun telah bermigrasi ke traktus intestinal. Gambaran yang berbeda dijumpai di tempat lain

seperti di Asia Tenggara dan Timur Jauh, di mana umumnya batu empedu

merupakan batu pigmen dan banyak ditemukan intrahepatik. Variasi juga

dijumpai dalam hal insidensi. Di Amerika Serikat, 12% populasi mempunyai

batu empedu, dengan 950.000 kasus baru terdiagnosis setiap tahunnya,

sedangkan di Afrika Timur dan negara berkembang lainnya insidensinya

berkisar antara 2-3%. Risiko terjadinya batu empedu di Amerika dan

Eropa Barat berkaitan dengan usia dan jenis kelamin. Kejadian batu

empedu jarang ditemukan pada anak-anak dan remaja, sedangkan 10% pria

dan 25% wanita pada usia dekade tujuh mempunyai batu empedu.3

Patogenesis terjadinya batu empedu

Teori awal menyebutkan patogenesis pembentukan batu empedu

tidak lepas dari kandung empedu sebagai faktor utama terjadinya kelainan.

Hal ini berlangsung sampai tahun 1924, saat Findlay memperkenalkan

konsep bahwa kegagalan kolesterol untuk tetap larut merupakan faktor

kritis dalam permulaan pembentukan batu. Konsep ini diperjelas oleh

Admirand dan Small (1968) yang menyebutkan, adanya korelasi antara

konsentrasi ketiga unsur solut dalam empedu, yaitu fosfolipid (lesitin),

garam empedu, dan kolesterol. Penelitian ini mendorong berbagai

penelitian yang menghubungkan gangguan sekresi hepatik dari lipid bilier

sebagai penyebab utama pembentukan batu kolesterol. Penelitian akhir-

akhir ini menunjukkan bahwa faktor kandung empedu tetap menjadi faktor

yang tidak boleh diabaikan. Tampaknya interaksi dinamis antara kedua

organ ini sangat diperlukan untuk terjadinya batu empedu.

Adanya batu di CBD dapat disebabkan oleh pembentukan batu di

kandung empedu yang kemudian bermigrasi ke CBD (batu sekunder), atau

pembentukan batu terjadi pada duktus biliaris intrahepatik dan

Page 3: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

3

ekstrahepatik (batu primer). Patogenesis pembentukan batu keduanya

berbeda.

a. Batu Kolesterol

Secara ringkas, batu kolesterol terbentuk melalui 4 tahapan proses:

- Saturasi

- Pembentukan nidus (nukleasi)

- Kristalisasi

- Pertumbuhan batu

Sebagaimana yang diungkapkan oleh Admirand dan Small, kelarutan

kolesterol dipengaruhi tidak hanya oleh kadar kolesterol, namun juga oleh

kandungan lesitin dan garam empedu. Ketiganya membentuk mixed micelles ataupun vesikel, yang memungkinkan kolesterol dapat larut dalam empedu.

Kedua kendaraan empedu ini tersusun dalam senyawa ampifatik, di mana

bagian yang hidrofobik berada di dalam dan bagian hidrofilik berada di

luar. Vesikel berukuran lebih besar (600-700 A), mengandung kolesterol

lebih banyak, namun lebih metastabil dibandingkan micelles. Besarnya proporsi vesikel dibandingkan micelles banyak dikaitkan dengan

pembentukan nukleasi.

Terdapat keseimbangan fisiologis antara pro nukleasi dan anti nukleasi dan

factor lainnya, kegagalan proses tersebut dianggap berperan dalam

pembentukan batu empedu.

Page 4: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

4

gambar 1 gambar 2 gambar 3 keterangan :

gambar 1: skematik yang memperlihatkan molekul asam empedu yang amphipatic dimana baigian yang hidrofobik terdapat didalam dan hidrofilik diluar

gambar 2: ujung kutub asam lemak dan lesitin terdapat diluar, dan bagian yang

hidrofobik, non kutub di dalam. Kolesterol terlarut dibagian yang hidrofofik

gambar 3: molekul amfifatik asam lemak dan lesitin, membentuk 2 lapisan pada vesikel.

Kolesterol terlarut di bagian non polar pada kedua lapisan

Nukleasi merupakan proses pembentukan dan penggabungan kristal

kolesterol monohidrat. Berbagai studi menunjukkan, bahwa terbentuknya

nukleasi tidak hanya berkaitan dengan supersaturasi kolesterol, namun ada

faktor lain yang turut mempengaruhi. Hal ini dibuktikan dengan lebih

mudahnya terjadi nukleasi pada penderita batu dibandingkan individual

normal, meski keduanya mengalami saturasi kolesterol. Berbagai faktor

pronukleasi dan antinukleasi diteliti sebagai faktor yang turut berperan

dalam terjadinya nukleasi, seperti mukus kandung empedu dan

glikoprotein. Kalsium juga diduga berperan dalam pembentukan batu

kolesterol. Studi menunjukkan kandungan garam kalsium dalam matriks

pusat batu kolesterol. Tampaknya kalsium meningkatkan penggabungan

vesikel dan mempercepat pertumbuhan kristal kolesterol.

Page 5: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

5

Gambar 1. Diagram trikoordinat untuk menentukan indeks saturasi

kolesterol. (Holzbach RT: Patogenesisis and medical treatment of gallstones, 1989)

Faktor kandung empedu, yaitu stasis, sekresi dan absorbsi, serta

prostaglandin diduga turut berperan dalam dalam terjadinya batu

kolesterol, meski hal tersebut masih memerlukan penelitian lebih lanjut. 1,4,5

Beberapa faktor risiko dikaitkan dengan kejadian batu kolesterol

serta patogenesis yang berkaitan terangkum dalam tabel 2.

Tabel 2. Faktor risiko klinis yang berkaitan dengan batu empedu kolesterol 3

Faktor Risiko Patogenesis

Usia Proses pembentukan batu berkaitan dengan waktu dan

berkurangnya konversi kolesterol menjadi garam empedu.

Usia 40 merupakan usia yang tipikal untuk diagnosis klinis.

Jenis Kelamin Rasio wanita: pria = 3:1, estrogen meningkatkan ambilan

kolesterol plasma oleh hepar sehingga meningkatkan

saturasi kolesterol

Ras dan etnis Risiko tinggi: Indian Pima, native American, Hispanik, Kulit

Putih Risiko rendah: Black American, AfroAmerican

Genetik Risiko relatif meningkat pada orang yang mempunyai

riwayat batu empedu pada orang tua, kembar, atau

saudara keturunan pertama

Page 6: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

6

Kegemukan Meningkatkan aktivitas hidroksimetilglutaril KoA (HMG-

CoA) reduktase menyebabkan peningkatan sintesis

kolesterol dan saturasi kolesterol empedu

Penyakit Crohn Menurunkan resorpsi garam empedu

Total Parenteral Nutrition Stasis dan distensi kandung empedu, risiko meningkat pada

pasien dengan penyakit Crohn

Penurunan berat badan Bedah pintas usus dan diet rendah kalori dan tinggi

protein

yang cepat berkaitan dengan tingginya insidens batu empedu karena

menurunkan sekresi garam empedu dan stasis kandung

empedu

Prevalensi batu kolesterol pada penderita diabetes lebih tinggi, namun

demikian belum jelas diketahui apakah hal tersebut disebabkan oleh

diabetesnya sendiri atau akibat obesitas, dislipidemia, dan hipomotilitas

kandung empedu yang umum ditemukan pada penderita diabetes. 6

gambar 4

diagram faktor faktor yang berperan dalam pembentukan batu empedu

b. Batu Pigmen

Batu pigmen merupakan batu empedu yang cukup banyak dijumpai di

Asia Tenggara dan Timur Jauh. Prasyarat pembentukan batu pigmen

adalah konsentrasi bilirubin yang tinggi (lebih dari 40%) dan kandungan

Page 7: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

7

kolesterol yang rendah. Batu ini umumnya merupakan campuran, dengan

kalsium bilirubinat sebagai kandungan utama. Berdasarkan penampakan,

batu pigmen terbagi menjadi batu coklat dan batu hitam. Pemahaman

tentang patogenesis batu pigmen tidak sebanyak batu kolesterol. Maki dkk

menduga infeksi bilier dan stasis berperan penting dalam terbentuknya

batu jenis ini. Bilirubin glukoronida dihidrolisis oleh enzim β-glukoronidase

menjadi bilirubin bebas dan asam glukoronat. Bilirubin yang tidak

berkonjugasi ini kemudian bersama kalsium membentuk matriks kalsium

bilirubinat, komponen utama batu pigmen.

Teori ini sulit menjelaskan pembentukan batu pigmen pada gangguan

hemolisis, dan sirosis. Pembentukan batu pada gangguan hemolisis

kemungkinan disebabkan oleh ekskresi bilirubin yang berlebihan,

sedangkan pada sirosis, batu empedu dikaitkan dengan adanya

hipersplenisme dan gangguan metabolisme asam empedu.

Page 8: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

8

gambar 5

SKEMATIK TENTANG VESIKEL SEBAGAI KENDARAAN KOLESTEROL

DALAM EMPEDU DAN HUBUNGANNYA DENGAN PEMBENTUKAN

NUKLEUS

Tabel 3. Batu pigmen 3

Karakteristik Batu hitam Batu Coklat

Warna Hitam Jingga-kecoklatan

Ukuran 2-6 mm 5-30 mm

Konsistensi Solid, sekeras batu Lunak, berpasir, lumpur

Lokasi anatomis Kandung empedu Duktus biliaris intra dan

ekstra hepatik

Lokasi geografis Barat dan Asia Terutama di Asia

Kondisi yang berkaitan Anemia hemolitik, sirosis Parasit hepar, striktur

duktus,

Alkoholisme, TPN yang lama infeksi traktus biliaris

Setelah reseksi ileum

Gambaran radiologis Radioopak (70%) Radiolusen

Etiologi Peningkatan ekskresi Dekonjugasi bilirubin oleh

Bilirubin tak terkonjugasi/ bakteri

Bilirubin yang terhidrolisis

c. Sludge kantung empedu dan mikrokalkuli Istilah sludge (Indonesia = lumpur) kandung empedu digunakan

untuk empedu dalam bentuk gel yang mengandung sejumlah

mikrokalkuli. Kandungan sludge bilier terdiri dari gabungan granul kalsium bilirubinat, kristal kolesterol, dan glikoprotein ( mucin ).

Terjadinya sludge dikaitkan dengan adanya stasis kandung empedu. Mukus tidak dapat didegradasi dalam empedu dan jika terjadi stasis

dalam kandung empedu, akumulasi glikoprotein di dalam kandung

empedu menginduksi pembentukan gel yang akan menangkap komponen

pigmen empedu. Diduga, material gel ini berinteraksi dengan kalsium,

garam empedu, dan kolesterol dengan akibat berkurangnya kelarutan

bilirubin dan kolesterol serta membentuk kristal kalsium bilirubinat

dan kolesterol monohodrat yang terperangkap di dalam gel. Gel

berfungsi sebagai matriks nukleasi bagi kristal kolesterol atau batu

Page 9: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

9

pigmen. Arti klinis dari sludge kandung empedu tidak jelas sampai saat ini. Sludge biasanya teridentifikasi pada USG abdomen, dengan gambaran material ekogenik di dalam kandung empedu yang tidak

memberikan gambaran acoustic shadow, seperti halnya batu empedu. Biasanya dijumpai pada orang mengalami puasa yang lama,

menggambarkan empedu yang mengalami konsentrasi yang tinggi di

dalam kandung empedu yang relatif stasis. Pada studi terhadap pasien

yang menjalani TPN yang lama, insidensi sludge kandung empedu meningkat dengan berjalannya waktu. Walaupun demikian, tidak jarang

sludge berkaitan dengan keberadaan mikrokalkuli dan ikut berperan dalam nyeri bilier, pembentukan batu empedu dan pencetus

pankreatiti.

d. Batu CBD

Sebagaimana telah disebutkan di atas, batu CBD dibagi menjadi

batu primer dan batu sekunder. Batu sekunder yang berasal dari

kandung empedu lebih banyak dijumpai. Umumnya batu kolesterol yang

ditemukan di kandung empedu dan CBD bersama-sama dianggap berasal

dari kandung empedu. Sedangkan batu pigmen coklat berkaitan dengan

pembentukan batu primer. Patogenesis terjadinya batu primer diduga

karena faktor stasis di dalam CBD (misalnya karena striktur ataupun

dilatasi yang hebat), infeksi bakteri, dan kelainan pada aktivitas

sfinkter Oddi.

Adanya bakteri pada cholangiohepatitis orang Asia, diduga bakteri

tersebut membuat dekonjugasi bilirubin oleh beta glukoronidase, yang

membentuk garam empedu insoluble. Hal ini dibuktikan dengan

adanyakoloni bakteri dari matrik batu primer di CBD.

e. Batu intrahepatik

Insidensi hepatolitiasis relatif cukup banyak di daerah Asia

Tenggara dan Timur Jauh. Terbentuknya batu jenis ini dikaitkan

dengan faktor lingkungan, mengingat di Taiwan dan di Jepang, kejadian

batu intrahepatik menurun dengan perbaikan sosioekonomi, insidensinya

lebih banyak dijumpai di daerah pedesaan dibandingkan perkotaan.

Komposisi batu intrahepatik terbanyak adalah kalsium bilirubinat (batu

coklat). Stasis, infeksi parasit, dan bakteri banyak dihubungkan dengan

terbentuknya batu.

Patofisiologi dan Gambaran Klinis

Manifestasi klinis batu empedu berkaitan dengan lokasi batu. 7

a. Kolelithiasis

Page 10: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

10

Batu yang terdapat di kandung empedu dapat tidak memberikan

gejala (asimptomatik), memberikan gejala nyeri akut akibat kolesistitis

akut, nyeri bilier, nyeri abdomen kronik berulang ataupun dispepsia

flatulen.

Impaksi batu di infundibulum (Hartmann pouch) kandung empedu menyebabkan spasme kandung empedu sehingga menimbulkan nyeri

bilier. Jika batu jatuh kembali, kandung empedu menjadi kosong dan

nyeri hilang, sedangkan impaksi yang berlangsung terus menyebabkan

nyeri berlanjut. Empedu yang terperangkap mengalami konsentrasi dan

menimbulkan iritasi kimia dan inflamasi lokal yang menimbulkan nyeri

yang menetap dan berlangsung berhari-hari. Isi kandung empedu dapat

mengalami infeksi sekunder. Infeksi pada kandung empedu dijumpai

pada sekitar 30% pasien batu empedu. Keadaan ini akan menimbulkan

toksemia dan mengarah pada terjadinya empiema, gangren ataupun

perforasi. Empiema akan menyebabkan nyeri pada kuadran kanan atas

abdomen dan pireksia yang hilang timbul. Peningkatan edema dan

menurunnya vaskularisasi menyebabkan infark dinding kandung empedu

dan kemudian mengalami perforasi.

Gambar 6

batu empedu di Hartmann pouch

Kontraksi kandung empedu terhadap batu merupakan penjelasan yang

banyak dipakai untuk menerangkan timbulnya nyeri postprandial, meski

demikian tidak ditemukan adanya korelasi yang jelas antara keluhan ini

dengan adanya batu empedu pada populasi umum. Mukokel dapat timbul

ketika batu mengalami impaksi pada Hartmann pouch. Kandung empedu mensekresi mukus pada batu yang menyumbat sehingga menimbulkan

pembesaran kandung empedu sehingga dapat teraba pada palpasi.

Korelasi antara temuan patologi dalam kandung empedu dan

gambaran klinis yang timbul, tidak jelas. Gambaran tipikal dari

Page 11: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

11

kolesistitis akut adalah nyeri perut kuadran kanan atas yang tajam dan

konstan, baik berupa serangan akut ataupun didahului sebelumnya oleh

rasa tidak nyaman di daerah epigastrium postprandial. Nyeri ini

bertambah pada inspirasi atau dengan pergerakan dan dapat menjalar

ke punggung atau ujung skapula. Keluhan ini dapat disertai oleh mual,

muntah, dan penurunan nafsu makan, yang dapat berlangsung selama

berhari-hari. Pada pemeriksaan dapat dijumpai dengan toksemia, nyeri

tekan pada kuadran kanan atas abdomen dan tanda klasik Murphy’s sign. Pada kasus yang lebih lanjut, dapat diraba massa yang mengalami peradangan akibat kandung empedu yang edema dikelilingi oleh

omentum yang melekat. Tanda klinis dari toksisitas dan pireksia yang

hilang timbul perlu dicurigai adanya empiema dan nyeri peritonismus

pada perut bagian atas sebagai tanda perforasi kandung empedu.

Adanya ikterus mengarah pada koledokolitiasis meskipun kompresi

duktus biliaris komunis akibat kandung empedu yang edema dan

mengalami peradangan (sindrom Mirizzi) merupakan faktor yang juga

perlu dipertimbangkan.

Nyeri bilier memberikan gejala yang menyerupai kolesistitis akut,

namun biasanya tidak dipengaruhi oleh gerakan dan berakhir setelah

beberapa jam. Nyeri yang timbul seringkali dipresipitasi oleh makanan

yang berlemak dan menghilang spontan. Nyeri kronis akibat batu

empedu dikaitkan dengan dispepsia flatulen, yang ditandai oleh rasa

penuh setelah makan, sering bersendawa, mual, dan regurgitasi

makanan.

b. Koledokolitiasis

Anggapan tradisional yang berkembang mengenai gejala klinis

penderita batu pada CBD adalah mereka biasanya tidak mengalami

nyeri kolik karena CBD tidak mempunyai otot polos. Meski demikian,

nyeri pada daerah perut kanan atas setelah kolesistektomi merupakan

gejala akibat batu yang terdapat pada CBD. Batu yang menyangkut

pada ujung distal CBD juga berkaitan dengan mual dan muntah.

Ikterus obstruksi timbul jika batu mengalami impaksi di dalam CBD,

terutama di ampula. Batu dapat lewat secara spontan atau kembali ke

CBD dengan berkurangnya ikterus atau tetap mengalami impaksi. Batu

pada ujung distal CBD juga dapat menimbulkan pankreatitis akibat

obstruksi temporer duktus pankreatikus dan dapat berkaitan dengan

ikterus yang hilang timbul. Kolangitis asending timbul bila timbul infeksi

akibat obstruksi dan drainase sistem bilier yang buruk. Pada pasien

dengan batu CBD, kuman koliform dijumpai pada 80% kasus.

Page 12: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

12

Trias Charcot yang dihasilkan akibat sumbatan batu berupa nyeri,

ikterus, dan demam (dengan atau tanpa menggigil). Kolangitis akut

dapat menimbulkan syok septikemia, yang dikenal dengan kolangitis

supuratif obstruktif akut.

Adanya keluhan nyeri perut kanan atas setelah kolesistektomi dapat

menjadi indikasi adanya kolelitiasis. Meski demikian, batu CBD dapat

tidak disertai gejala dan ditemukan secara insidental pada saat

kolesistektomi atau karena adanya komplikasi seperti ikterus

obstruktif, pankreatitis, atau kolangitis asendending. Nyeri lebih

berkaitan dengan ikterus obstuktif karena batu daripada karena

keganasan. Selain penemuan bilirubin di dalam urin dan faeses yang

pucat, ikterus obstruksi juga berkaitan dengan pruritus dan steatorea.

Pemeriksaan fisik jarang menjumpai adanya perabaan kandung empedu

dan gejala pankreatitis harus dicari. Kolangitis asending perlu dicurigai

bila ada panas yang disertai menggigil dan pireksia yang fluktuatif pada

penderita ikterus obstruktif. Penderita dapat memberikan gambaran

bakteremia atau septikemia dengan flushing, takikardia dan hipotensi.

Diagnosis

Diagnosis batu empedu didasarkan pada temuan klinis yang

ditunjang oleh data laboratorium dan pemeriksaan penunjang radiologis.

Pemeriksaan tes fungsi hepar merupakan pemeriksaan rutin pada

penderita batu empedu. Meski tidak banyak dipengaruhi oleh kolelitiasis,

tes fungsi hati dapat terganggu pada koledokolitiasis. Peningkatan

bilirubin indirek terjadi pada ikterus prehepatik, seperti pada hemolisis

yang berlebihan. Gambaran biokimiawi dari ikterus hepatik, misalnya pada

hepatitis, adalah peningkatan bilirubin direk dan indirek, SGOT, SGPT,

dengan nilai alkali fosfatase yang relatif normal. Ikterus posthepatik

(obstruktif) memberikan gambaran kenaikan bilirubin direk dan alkali

fosfatase dengan nilai SGOT dan SGPT yang relatif normal. Pada kasus

lanjut ikterus obstruktif atau kolangitis akut, nilai transaminase

meningkat akibat kerusakan yang timbul pada sel-sel hepar. Pada keadaan

akut, kadar amilase perlu diperiksa untuk mencari kemungkinan terjadinya

pankreatitis dan pemeriksaan leukosit untuk membantu penilaian adanya

kolesistitis akut.

Untuk membedakan nyeri yang diakibatkan oleh kandung empedu

dan penyakit intraabdomen lainnya kadang dibutuhkan pemeriksaan foto

polos abdomen, namun batu empedu yang memberikan gambaran radioopak

kurang dari 10%, sehingga pemeriksaan ini jarang dilakukan. Kadang kala,

pada kasus obstruksi intestinal, gambaran udara tampak pada duktus

Page 13: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

13

biliaris, mengarahkan kecurigaan adanya fistula kolesistoenterik dan

gallstoneileus.

Ultrasonografi merupakan pemeriksaan yang paling banyak

digunakan untuk mengkonfirmasi diagnosis kolelitiasis. Pemeriksaan ini

relatif mudah dilakukan, tidak terlalu menimbulkan rasa tidak nyaman pada

pasien, mencegah radiasi dan efek toksisitas zat kontras, serta dapat

menilai struktur organ intraabdomen bagian atas lainnya. Dinding kandung

empedu dan isinya serta ukuran CBD serta batu di dalamnya dapat

dideteksi. Reabilitas pemeriksaan ini untuk menilai kolelitiasis sangat

tinggi, meski penilaian adanya koledokolitiasis lebih rendah serta

kemampuan operator sangat menentukan hasil temuan.

gambar 7

gambaran ultrasonografi batu empedu pada vesika felea yang

memberikan gambaran hipoechoic dengan acoustic shadow ( tanda panah )

Penggunaan kolesistografi oral untuk mendeteksi batu empedu

sangat berkurang dengan adanya USG. Pemeriksaan tergantung pada

fungsi kandung empedu untuk mengkonsentrasikan kontras media. Hasil

false negatif pada batu yang kecil berkisar 6-8%. Pemeriksaan ini

mempunyai peran dalam mengidentifikasi diskinesia bilier.

CT scan lebih akurat dalam mencari batu CBD dibandingkan USG,

dengan sensitivitas mencapai 75%.

Page 14: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

14

gambar 8

gambaran kolesisttografi oral

menunjukan gambaran batu yang radiolusen yang mengambang di

dalam kandung empedu

Hidroxyiminodiacetic acid (HIDA) / scintigrafi hepatobiliary yang diberi label dengan Technisium diekskresi ke dalam sistem bilier setelah

injeksi intravena. Pemeriksaan ini membantu dalam mendiagnosis

kolesistitis akut, memberi informasi patensi duktus sistikus namun kurang

baik dalam menggambarkan adanya batu di kandung empedu, ataupun di

CBD.

Percutaneus transhepatic cholangiography (PTC) paling baik

dikerjakan pada pasien yang mempunyai pelebaran cabang bilier, namun

bukan merupakan pemeriksaan rutin pada pasien yang dicurigai kolelitiasis.

Endoscopic retrograde cholangiopancreaticography (ERCP)

merupakan pemeriksaan penting dalam pencitraan preoperatif untuk

melihat gambaran CBD. Dengan visualisasi langsung menggunakan

duodenoskopi, papila dapat secara selektif dikanulasi untuk mendapatkan

gambaran duktus pankreas dan CBD. Zat kontras yang larut dalam air

diinjeksikan untuk memperlihatkan gambaran sistem bilier. Pemeriksaan ini

Page 15: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

15

bisa pula digunakan untuk terapi yaitu dapat dilakukan sfinkterotomi,

pemasangan stent, dan ekstraksi batu.

Sindrom Klinis 1,3,4,5,6,7,8,9,10,12,13

a. Asimptomatik

Dua pertiga orang dengan batu empedu tidak memberikan keluhan

dan jarang mengalami komplikasi. Dari studi didapatkan bahwa 10-20%

orang yang asimptomatik mengalami keluhan dalam perjalanan hidupnya,

umumnya berupa nyeri bilier. Gejala yang berat seperti kolesistitis akut

terjadi rata-rata 1-3% setiap tahunnya serta kematian akibat komplikasi

terjadi pada 0,5-1%, menunjukkan bahwa perjalanan penderita batu

empedu yang asimptomatik umumnya benign.

b. Nyeri bilier dan kolesistitis kronis

Keluhan tersering akibat batu empedu adalah nyeri bilier. Nyeri

dirasakan tiba-tiba pada epigastrium atau kuadran kanan atas abdomen

dan dapat menjalar ke punggung atau sekitar ujung skapula. Pengunaan

istilah kolik bilier kurang tepat untuk menggambarkan nyeri ini karena

nyeri biasanya persisten, mulai dari 15 menit hingga 24 jam, dan

menghilang secara spontan atau dengan pemberian analgetik. Keluhan

sering disertai oleh mual dan muntah, berasal dari rangsangan visera

akibat distensi kandung empedu karena obstruksi atau lewatnya batu

melalui duktus sistikus.

gambar 9

diagram sifat nyeri kolik bilier

Tabel 4. Diagnosis banding nyeri epigastrium akut yang hebat

Page 16: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

16

1. Kolik bilier

2. Ulkus peptikum

3. Spasme esofagus

4. Infark miokard

5. Pankreatitis akut

c. Kolesistitis akut

Komplikasi tersering yang dialami penderita batu empedu yang

membutuhkan intervensi bedah adalah kolesistitis akut. Hal ini terjadi

akibat impaksi batu pada duktus sistikus atau pada infundibulum kandung

empedu, sehingga menimbulkan obstruksi. Kandung empedu menjadi

distensi dan terjadi proses inflamasi akut. Berbeda dengan nyeri bilier

yang berlangsung beberapa jam, nyeri yang disebabkan oleh kolesistitis

akut berlangsung hingga berhari-hari. Mulanya, nyeri viseral dan tumpul

timbul, namun setelah proses inflamasi mencapai transmural, peritoteum

viseral dan parietal yang berdekatan mulai teriritasi. Nyeri dirasakan

terlokalisasi pada kuadran kanan atas, disertai defans muskuler dan nyeri

lepas. Tanda klinis yang klasik adalah Murphy’s sign (berhentinya inspirasi bila dilakukan palpasi pada kuadran kanan atas perut). Keluhan penyerta

berupa mual dan muntah, anoreksia, dan demam yang tidak tinggi. Pada

beberapa kasus, kita dapat meraba adanya massa pada perut kanan atas,

sebagai upaya tubuh untuk mengatasi proses inflamasi yang terjadi dengan

melakukan walling off dan kompartemenisasi kandung empedu oleh oragn sekitar, seperti omentum mayor, duodenum, dan kolon kanan.

Pemeriksaan laboratorium memberikan gambaran yang tidak

spesifik, dapat berupa leukositosis ringan dan peningkatan sedikit tes

fungsi hati. Konfirmasi diagnosis didapatkan dari USG yang memberikan

gambaran penebalan dinding kandung empedu dan cairan perikolesistik

yang patognomonik. Pemeriksa USG juga dapat menemukan adanya tanda

Murphy dengan menekan transduser pada daerah kanan atas (sonographic Murphy’s sign). Gambaran yang berat dari kolesistitis berupa empiema kandung empedu (terdapatnya pus dan debris pada kandung empedu) dan

kolesistitis emfisematosa (nekrosis dan udara di dalam dinding kandung

empedu). Tampilan ini terutama banyak ditemukan pada penderita diabetes

melitus.

d. Koledokolitiasis

Batu pada CBD memberikan berbagai gejala, meliputi ikterus,

kolangitis, pankreatitis akut, dan sepsis. Koledokolitiasis dapat berasal

Page 17: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

17

dari batu kandung empedu yang bermigrasi ke CBD melalui duktus sistikus,

batu yang tertinggal setelah operasi traktus biliaris (retain stones), atau batu yang terbentuk secara primer pada duktus biler, baik intrahepatik

maupun ekstrahepatik. Insidensi kolelitiasis tidak diketahui secara pasti,

namun didapatkan angka hingga 15% dari pasien yang menjalani operasi

batu kandung empedu disertai dengan batu pada CBD. Batu pada saluran

empedu juga banyak ditemukan pada striktur biler benigna, sclerosing

cholangitis, dan kolangitis piogenik yang rekuren.

Gambaran klinis dan beberapa pemeriksaan laboratorium biokimia

dapat mengarahkan kecurigaan adanya kolelitiasis, namun konfirmasi

diagnostik didapatkan dari pemeriksaan radiologi, termasuk kolangiografi.

Kolangiografi sering pula dilakukan intraoperatif pada saat operasi

kolelitiasis dilakukan, dengan indikasi terabanya batu pada saluran

empedu, CDB yang dilatasi, peningkatan tes fungsi hepar, dan adanya

riwayat ikterus, kolangitis, serta pankreatitis.

e. Kolangitis

Secara klinis, tanda klasik dari kolangitis adalah trias Charcot, yaitu

nyeri perut, demam, dan ikterus. Penyebab utama kolangitis adalah batu

yang mengobstruksi bagian distal CBD. Nyeri perut disebabkan oleh

peningkatan tekanan intraduktal dan distensi kandung empedu, sedangkan

ikterus disebabkan oleh obtruksi kedua lobus hepar. Jika hanya sebagian

dari hepar yang mengalami obstruksi, lobus hepar yang lain masih bisa

mengkonjugasikan dan mensekresikan empedu. Demam disebabkan oleh

respons sistemik terhadap infeksi, karena 50-70% penderita batu empedu

simptomatik mengandung bakteri.

Kombinasi adanya obstruksi dan bakteri dalam CBD, pada tekanan

intrabilier diatas 15 cmH2O akan menyebabkan bakteri masuk kedalam

vena hepatika dan sistem limfatik perihepatik dengan konsekwensi terjadi

bakteriemi sistemik. Normal tekanan bilier adalah berkisar 7 sampai 14

cmH2O.

Kolangitis dapat mengancam jiwa dan berlangsung cepat. Keadaan ini

terjadi akibat refluks bakteri dari lumen traktus bilier yang melewati

membran kanalikuli dan kemudian beredar ke dalam sistem sirkulasi

sistemik.

Reynolds dan Dragan menerangkan lebih jauh tentang trias klasik

kolangitis yang disertai syok septic dan penurunan kesadaran, yang

kemudian dikenan dengan “Reynolds’ pentad”.

f. Pankreatitis akut

Page 18: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

18

Pankreatitis akut terjadi pada 5% pasien batu empedu dan lebih

sering dijumpai pada batu kecil multipel, duktus sistikus yang lebar, dan

adanya hubungan antara CBD dan duktus pankreatikus. Batu empedu

berukuran kecil yang melewati CBD dan papilla kadang-kadang

mengobstruksi duktus pankreatikus atau memungkinkan terjadinya refluks

cairan duodenum atau empedu ke dalam duktus pankreatikus sehingga

menyebabkan terjadinya pankreatitis akut.

g. Gallstone ileus

Batu empedu dapat menimbulkan berbagai gejala, termasuk

perubahan fungsi dan motilitas usus. Gallstone ileus memberikan gejala

obstruksi usus halus. Perjalanan terjadinya gallstone ileus dimulai dari

terbentuknya fistula akibat upaya tubuh untuk melokalisasi kolesistitis

dengan melibatkan organ-organ yang berdekatan. Fistula kolesistoduodenal

merupakan fistula yang paling sering terjadi, meski fistula yang

melibatkan kolon, lambung, atau usus halus segmen distal dapat pula

terjadi. Batu empedu yang dapat menyebabkan usus biasanya berukuran

besar, lebih dari 2 cm. Ketika batu tersebut memasuki traktus intestinal

melalui fistula, batu tersebut dapat menyangkut pada bagian tersempit

dari usus, yaitu ileum terminal.

Ileus akibat batu empedu harus dicurigai pada penderita yang

menunjukkan gejala obstruksi tanpa adanya hernia inkarserata atau

riwayat operasi sebelumnya.

h. Kolesistitis akalkulus

Keadaan ini jarang dijumpai, namun dapat mengancam jiwa. Berbeda

dengan kolsesistitis akut, kolesistitis akalkulus lebih disebabkan oleh

iskemia kandung empedu dari pada akibat obstruksi duktus sistikus.

Keadaan ini biasanya dijumpai pada pasien dengan keadaan sakit yang

berat, sepsis, puasa yang lama, dan dirawat di ruang perawatan intensif.

Pada kondisi-kondisi tersebur, stasis bilier, aktivasi faktor XII,

endotoksin, dan distensi kandung empedu turut berperan mengurangi

perfusi dan merupakan faktor predisposisi terjadinya keadaan yang

ireversibel. Kejadian gangren, empiema, dan perforasi lebih sering

dijumpai pada kolesistitis akalkulus, dengan insidensi mencapai 75% dan

angka kematian hingga 40%.

Diagnosis kelainan ini cukup sulit mengingat umumnya penderita

dalam sedasi dan tidak komunikatif.

i. Kolangitis piogenik rekuren

Page 19: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

19

Asia Tenggara merupakan tempat endemis bagi kelainan ini,

sementara di Amerika Serikat insidensinya semakin meningkat. Kelainan ini

mempunyai karakteristik adanya batu pigmen intrahepatik dan

ekstrahepatik tanpa ditemukan adanya kelainan pada kandung empedu.

Patogenesis mengenai kelainan ini tidak jelas, namun beberapa faktor

etiologi diajukan, seperti infeksi parasit (Clonorsis sinensis, Ascaris

lumbricoides), infeksi bakteri yang indolen, dan malnutrisi protein.

Terdapat pelebaran dan striktur pada duktus biler dan pembentukan batu

intrahepatik.

Pasien mengeluh nyeri perut dan demam. Ikterus lebih jarang

dijumpai karena obstruksi biasanya parsial.

j. Sindrom Mirizzi

Kehr (1905) pertamakali mengemukakan tentang proses patologi

obstruksi CBD oleh tekanan diluar CBD. Mirizzi, seorang ahli bedah

Argentina, tahun 1948, pertama kali melaporkan adanya pasien dengan

sekumpulan gejala ikterus yang disebabkan oleh reaksi inflamasi akibat

impaksi batu di duktus sistikus atau infundikulum kandung empedu. Saat

itu ia berpendapat, proses inflamasi disebabkan oleh spasme fisiologis dan

anatomis dari otot polos sirkuler di dalam duktus hepatikus komunis.

Penemuan kemudian membuktikan bahwa sfinkter seperti itu tidak ada.

Saat ini, diketahui ada 4 komponen yang ditemukan pada sindrom Mirizzi:

� Anatomi duktus sistikus atau infindibulum kandung empedu yang

berjalan paralel terhadap duktus hepatikus komunis

� Impaksi batu pada duktus sistikus atau infundibulum kandung empedu

� Obstruksi mekanik duktus hepatikus oleh batu atau akibat inflamasi

sekunder

� Ikterus, kemungkinan kolangitis rekuren, dan terjadinya sirosis bilier

McSherry dkk (1982) membagi kelainan ini menjadi dua tipe. Tipe I,

duktus hepatikus tertekan oleh batu berukuran besar yang terimpaksi di

duktus sistikus atau Hartmann’s pouch. Proses inflamasi yang terjadi

dapat menyebabkan striktur. Tipe II, batu mengerosi duktus hepatikus,

sehingga menyebabkan fistula kolesistokoledokal. Csandes dkk (1989)

membagi tipe kedua berdasarkan erosi yang terjadi pada duktus hepatikus

komunis dalam tiga bagian, sehingga membuat klasifikasi: tipe I, kompresi

eksterna CBD akibat impaksi batu pada infundibulum kandung empedu atau

duktus sistikus; tipe II, fistula kolesistobilier (kolesistohepatik atau

kolesistokoledokal) dengan erosi kurang dari sepertiga lingkaran CBD; tipe

III, fistula melibatkan erosi pada 2/3 lingkaran CBD; tipe IV, terjadi

destruksi lengkap CBD.

Page 20: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

20

Keadaan ini dapat terjadi pada semua usia, namun lebih sering

dijumpai pada orang tua. Gambaran klinis berupa ikterus tanpa disertai

nyeri atau kolangitis, tergantung apakah terjadi kontaminasi atau tidak.

Diagnosis preoperatif penting untuk menghindari komplikasi operasi,

khususnya pada kolesistektomi laparoskopi, karena CDB dengan ukuran

normal dapat keliru dianggap sebagai duktus sistikus yang berdilatasi,

sehingga terligasi. Hasil USG yang menemukan adanya dilatasi duktus

biliaris intrahepatik, CBD yang berukuran normal, dan adanya batu di

infundibulum kandung empedu atau duktus sistikus, perlu dicurigai adanya

sindrom Mirizzi. Kemungkinan suatu sindrom Mirizzi perlu dipikirkan jika

pada CT scan didapatkan gambaran penyempitan tiba-tiba pada CBD

supraprankreas tanpa adanya massa neoplasma. Selain itu, USG dan CT

scan penting untuk menyingkirkan adanya massa pada porta hepatis akibat

keganasan.

Kolangiografi penting dilakukan untuk konfirmasi diagnosis dan

menentukan adanya fistula, dengan kolangiografi melalui ERCP memberikan

gambaran yang lebih baik daripada PTC.

k. Nyeri bilier dan Kehamilan

Kelainan kandung empedu merupakan hal yang dapat menyulitkan

selama kehamilan. Gambaran klinis yang sering dijumpai berupa kolik bilier

yang memburuk dan kolesistitis akut. Ikterus dan pankreatitis sebagai

akibat koledokolitiasis jarang ditemukan. Pemeriksaan radiologis yang

relatif aman hanyalah USG.

Penatalaksanaan

1. Batu empedu asimtomatik 11

Pada umumnya, kolesistektomi profilaksis saat ini tidak dianjurkan

untuk penanganan batu empedu yang asimptomatik. Hal ini disebabkan

rendahnya kejadian timbulnya gejala ataupun komplikasi pada penderita

batu empedu yang asimptomatik. Hal ini juga berlaku pada penderita

diabetes. Meski demikian, karena tingginya morbiditas dan mortalitas

pada operasi emergensi pada pasien diabetes, penanganan segera

dilakukan begitu gejala awal timbul. Kolesistektomi insidental pada

pasien batu empedu asimtomatik yang menjalani operasi abdomen

nonbilier. Yang pasti, kolesistektomi insidental tidak dianjurkan pada

pasien dengan risiko komplikasi tinggi, misalnya pada sirosis dan

hipertensi portal. Tidak didapatkan data yang cukup mengenai tindakan

kolesistektomi profilaksis pada pasien dengan anemia sel sabit,

kolelitiasis asimptomatik pada anak, pasien dengan terapi imunosupresi,

Page 21: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

21

yang akan menjalani transplantasi, dan mereka yang tidak dapat

menjangkau pelayanan kesehatan yang memadai untuk jangka panjang.

Risiko kanker kandung empedu pada pasien kolelitiasis juga sangat

rendah (1/1000 pasien pertahun), kecuali pada pasien dengan kandung

empedu yang mengalami kalsifikasi (porcelain gallbladder), yang

mempunyai risiko kanker hingga 25%, bahkan pada kandung empedu

yang tidak mengandung batu. Risiko kanker juga lebih tinggi pada

pasien dengan polip kandung empedu yang soliter dengan diameter lebih

dari 1 cm, anomali pancreatic-biliary ductal junction, batu empedu lebih

dari 3 cm, dan pada suku Indian di Amerika. Belum diperoleh data yang

konklusif mengenai tindakan kolesistektomi profilaksis pada keadaan-

keadaan tersebut.

Tabel 5. resiko tinggi yang dianjurkan kolesistektomi pada batu empedu

asimptomatik6

Life expectancy > 20 years

Calculi > 3mm in the presence of a patient cystic

duct

Radioopaque calculi

Gallbladder polyps

Non-functioning gallbladder

Diabetes mellitus

Females of < 60 years of age

Area with high prevalance of gallbladder cancer

Patients on the waiting list for non-hepatic organ

transplant e.g. heart and kidney

Sumber : Springer-Verlag GmbH & Co, Patino JF, Quintero GA. Asymptomatic

cholelithiasis revisited, World J Surg 1998; 22: 1119-24

2. Batu Empedu Simptomatik

Jika penderita batu empedu mulai mengalami keluhan (simptomatik),

angka rekurensi tinggi. Karenanya, setiap pasien perlu diterapi.

Kesulitan yang dialami adalah menentukan gejala mana yang disebabkan

oleh batu empedu. Nyeri bilier yang khas adalah nyeri yang hebat,

episodik, berlokasi pada epigastrium atau kanan atas, berakhir 1-5 jam,

dan dapat membangunkan pasien saat tidur di malam hari. Hampir 90%

pasien dengan keluhan khas ini dapat hilang keluhannya setelah

diterapi. Pasien dengan risiko tinggi untuk anestesi umum diterapi

secara nonoperatif. Hasil dari penanganan pasien dengan batu empedu

kurang memberikan hasil yang memuaskan pada pasien dengan keluhan

Page 22: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

22

nyeri yang tidak khas ataupun dengan keluhan dispepsia (intoleransi

makanan berlemak, kembung, dan sering bersendawa). Pada penderita

tersebut, sebaiknya dilakukan pemeriksaan diagnostik lebih lanjut

untuk mencari penyebab lain, seperti irritable bowel syndrome (IBS), ulkus peptikum, atau refluks esofageal.

3. Batu Empedu dengan komplikasi

Komplikasi batu empedu mempunyai potensi membahayakan jiwa dan

perlu penanganan yang sesuai dan segera, sesuai dengan jenis

komplikasi yang timbul. Pada kolesistitis akut penanganan

kolesistektomi dini (24-48 setelah gejala awal timbul) kini lebih banyak

dianut ketimbang kolesistektomi yang ditunda. Pada kolangitis, terapi

meliputi terapi suportif, antibiotika, dan dekompresi. Terapi sindrom

Mirizzi tipe I adalah kolesistektomi, sedangkan tipe II meliputi parsial

kolesistektomi dan anastomosis bilioenterik.

Metode Penanganan

1. Penatalaksanaan Nonbedah 11,12,13

a. Disolusi

Terapi disolusi dengan asam kenodeoksikolat (chenodeoxycholic acid, CDCA) pertama kali diperkenalkan pada awal tahun 1970-an. Mekanisme kerjanya dengan mereduksi sifat lithogenik dan derajat

saturasi kolesterol dengan asam empedu melalui inhibisi selektif

terhadap enzim hydroxymethylglutaryl (HMG)-CoA reduktase yang berperan dalam biosintesis kolesterol. Namun, karena

efektivitasnya yang rendah dan dengan mempertimbangkan efek

samping yang ditimbulkan, penggunaannya tergantikan oleh asam

ursodeoksikolat. Penggunaan asam empedu untuk melarutkan batu

empedu cukup efektif pada pasien simptomatik dengan batu

kolesterol kecil (kurang dari 5 mm) yang mengambang pada kandung

empedu yang fungsional. Keadaan ini ditemukan pada 15% pasien

batu empedu simptomatik. Terapi ini membutuhkan pemberian obat

selama 6-12 bulan dan diperlukan monitoring hingga dicapai disolusi.

Keefektivan terapi ini mencapai 60% pada batu berukuran kurang

dari 10 mm dan 90% pada batu empedu berukuran kurang dari 5 mm.

Tetapi, hampir separuhnya mengalami rekurensi dalam 5 tahun.

Angka rekurensi lebih rendah pada batu tunggal, individu yang tidak

gemuk, dan penderita muda. Saat ini, indikasi terapi disolusi dengan

asam empedu terbatas pada pasien dengan kondisi komorbid yang

tidak memungkinkan operasi secara aman dan pada pasien yang

menolak operasi.

Page 23: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

23

b. Disolusi kontak

Di akhir tahun 1980-an, kelompok peneliti dari klinik Mayo

memperkenalkan konsep kolesistolitolisis transhepatik secara

perkutan. Metode ini didasarkan pada prinsip PTC dan instilasi langsung

pelarut kolesterol ke kandung empedu. Dengan anatesi lokal, pigtail

catheter dimasukkan perkutan melalui parenkim hati ke dalam kandung

empedu. Hal ini dapat dilakukan dengan tuntunan fluoroskopi atau USG.

Pelarut poten kolesterol, seperti methyltert-butylether dan

monooctanoin, kemudian diinfuskan secara langsung ke dalam kandung empedu. Pada pemberian methyltert-butylether, pembatasan waktu kontak antara instilasi dan aspirasi sangat diperlukan untuk mencegah

tumpahnya pelarut ini ke dalam duktus biliaris. Bila hal ini terjadi,

keluhan nyeri perut yang transien dan duodenitis dapat timbul. Angka

rekuresi tindakan ini mencapai 10% pertahun.

c. Litotripsi (Extracorporal Shock Wave Lithotripsy, ESWL)

ESWL diperkenalkan pada pertengahan tahun 1980-an. Para peneliti

di Jerman mendapatkan hasil hilangnya batu pada 95% pasien

simptomatik dengan batu empedu yang tidak mengalami kalsifikasi

dengan diameter berukuran kurang dari 20 mm pada kandung empedu

yang fungsional. Keberhasilan mencapai 60% pada batu serupa yang

berukuran 20-30 mm. Kelompok yang diindikasikan mendapat terapi ini

mencakup 16% pasien batu empedu yang simptomatik secara

keseluruhan. Efektivitas ESWL memerlukan terapi adjuvan asam

ursodeoksikolat. Rekurensi jarang timbul pada pasien dengan batu

tunggal, namun lebih sering pada batu multipel. Komplikasi ESWL

umumnya ringan, seperti peningkatan sementara kadar enzim liver, nyei

bilier sementara (20-40%), pankreatitis ringan (1-2%), hemobilia dan

hematuria (8-14%). Meski demikian, sampai saat ini FDA belum

memberikan izin bagi pemakaian ESWL untuk terapi batu empedu di

Amerika Serikat.

2. Penatalaksanaan Bedah

a. Kolesistektomi terbuka 14

Kolesistektomi terbuka pertama kali diperkenalkan oleh Langenbuch

(1882) dan lebih dari 100 tahun menjadi terapi pilihan untuk mengobati

penderita batu empedu yang simptomatik. Pada laparotomi, visualisasi

langsung dan palpasi kandung empedu, duktus biliaris, duktus sistikus,

dan pembuluh darah memungkinkan diseksi dan pengangkatan batu

empedu secara aman dan akurat. Kadang kala kolangiografi

Page 24: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

24

intraoperatif dilakukan sebagai tambahan. Eksplorasi CBD saat operasi

bervariasi antara 3-21%. Komplikasi yang berat jarang terjadi, meliputi

trauma CBD, perdarahan, biloma, dan infeksi. Kolesistektomi terbuka

masih merupakan tindakan pembanding terhadap metode terapi yang

lain dan merupakan alternatif terapi bedah yang aman. Data baru-baru

ini menunjukkan angka mortalitas pada pasien yang menjalani

kolesistektomi terbuka yang elektif hampir mencapai nol persen. Dari

42.000 pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka pada tahun 1989.

Angka kematian secara keseluruhan 0,17%, pada pasien kurang dari 65

tahun, angka kematian 0,03% sedangkan pada penderita di atas 65

tahun, angka kematian mencapai 0,5%.

Komplikasi pascaoperasi yang sering dijumpai dibagi menjadi

komplikasi bilier dan nonbilier. Komplikasi tersering adalah sisa batu

pada CBD, leakage atau fistula bilier, atau trauma traktus bilier.

Postcholecystectomy syndrome15 adalah keluhan nyeri epigastrium atau perut kanan atas yang episodik dan tidak berkaitan dengan

makanan setelah seseorang menjalani kolesistektomi. Nyeri tersebut

biasanya berupa kolik dan intemiten, namun dapat pula konstan dan

berlangsung 24-48 jam. Biasanya mengenai seorang perempuan

setengah baya yang pernah kolesistektomi beberapa bulan atau tahun

sebelumnya. Jika nyeri mereda, pemeriksaan abdomen dan laboratorium

biasanya normal. Etiologi pasti timbulnya nyeri tidak jelas. Dugaan yang

umum adalah adanya peningkatan tekanan di dalam ampula Vateri

karena obstruksi intermiten dari sfinkter Oddi. Hal ini dapat timbul

akibat kelainan organik (batu, neoplasma duktus, fibrosis papiler) atau

kelainan fungsional mekanisme sfinkter akibat diskinesia bilier. Asumsi

lain yang berkembang adalah adanya cystic stump syndrome, yaitu terbentuknya batu pada sisa duktus sistikus yang panjang, dan cystic duct neuroma, berupa jaringan saraf yang mengalami transeksi dan terperangkap di dalam jaringan fibrosis serta menghasilkan nyeri.

Adanya nyeri pasca operasi juga perlu dipikirkan penyebab lain.

Tabel 6. Sumber kelainan bilier yang menyebabkan sindroma post

kolesistektomi 15

Batu di CBD

Sisa kandung empedu

Striktur karena trauma

Sisa duktus sistikus

Pipilitis stenosis

Diskinesia bilier

Page 25: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

25

Tabel 7. Sumber kelainan non blier yang menyebabkan nyeri post

kolesistektomi 15

Irritable bowel syndrome

Peptic ulcer

Reflux esophagitis

Nonbiliary pancreatitits liver disease coronary artery disease

Intraabdominal adhesions

Intercostals neuritis

Wound neuroma

b. Kolesistektomi minilaparotomi

Modifikasi dari tindakan kolesistektomi terbuka dengan insisi yang

lebih kecil dengan efek nyeri pascaoperasi yang lebih rendah.

c. Kolesistektomi laparoskopi

Dikembangkan sejak tahun 1987, kolesistektomi laparoskopi

sekarang menjadi terapi pilihan untuk penderita batu empedu yang

simptomatik. Di seluruh dunia, 75% tindakan kolesistektomi dilakukan

dengan laparoskopi. Kelebihan tindakan ini meliputi nyeri pascaoperasi

yang lebih minimal, pemulihan yang lebih cepat, hasil kosmetik yang

lebih baik, menyingkatkan masa perawatan di rumah sakit, dan biaya

yang lebih murah. Indikasi tersering adalah nyeri bilier yang berulang.

Kontraindikasi absolut serupa dengan tindakan terbuka, yaitu tidak

dapat mentoleransi tindakan anastesi umum dan koagulopati yang tidak

dapat dikoreksi. Tindakan ini mempunyai angka morbiditas dan

mortalitas yang minimal. Komplikasi yang terjadi berupa perdarahan,

pankreatitis, leakage dari stump duktus sistikus, dan trauma duktus biliaris. Risiko trauma duktus biliaris sering dibicarakan, namun

umumnya berkisar antara 0,5-1%.

Kolesistitis akut awalnya menjadi kontraindikasi relatif untuk

menjalani kolesistektomi laparoskopi. Namun ternyata, bila dilakukan

sesuai dengan prosedur, tindakan laparoskopi dapat dilakukan dengan

aman. Pada kondisi klinis kolesistitis akut ini, operator harus memahami

kesulitan teknik yang mungkin timbul, lama operasi yang lebih panjang,

serta besarnya kemungkinan konversi tindakan menjadi kolesistektomi

terbuka (25%).

Tabel 8. Kesimpulan tentang batu empedu dan kolesistektomi laparoskopi:

dari National Institutes of Health Concensus Conference, 14 – 16

September 1992.4

Kolesistektomi terbuka tiggal standar

Page 26: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

26

Terapi asam empedu oral, dengan atau tanpa electrohydraulic shock-wave

lithotripsy, kurang efektif

Disolusi kontak mempunyai keterbatasan klinik

Kolesistektomi lapararoskopi aman dan efektif

Diusahakan kolesistektomi laparoskopi untuk kemanan maksimal dan biaya

yang efektif __________________________________________________________________

__

d. Kolesistostomi

Drainase kandung empedu, dikombinasikan dengan pengambilan batu,

dapat dilakukan secara perkutan atau melalui operasi dengan anatesi

lokal. Indikasinya terbatas pada pasien dengan risiko operasi yang

buruk dan pasien batu empedu obstruksi dengan keadaan umum yang

jelek. Kadang-kadang, kolesistostomi merupakan pilihan jika

kolesistektomi terbuka tidak aman untuk dilakukan. Angka kematian

mencapai 10-12%, biasanya berkaitan dengan penyakit penyerta.

e. Kolangiografi intraoperatif

Kemajuan bedah laparoskopi menjadikan tindakan kolangiografi

intraoperatif menjadi perdebatan. Tindakan kolangiografi intraoperatif

pada pasien yang menjalani kolesistektomi terbuka dilakukan secara

selektif, yaitu pada pasien dengan koledokolitiasis yang teraba,

distensi CBD dan adanya batu empedu yang multipel. Namun demikian,

belum ada kesepakatan pemakaiannya pada tindakan secara laparoskopi.

Peran kolangiografi, bagaimanapun, cukup membantu dalam mendeteksi

batu di CBD dan mengkonfirmasi adanya kelainan anatomis pada duktus.

f. Kholedoskopi intraoperatif pada eksplorasi terbuka CBD

Pada kebanyakan laporan operasi dikatakan batu empedu yang

tertinggal saat eksplorasi CBD berkisar 10 %, akan tetapi dengan

kolangiografi intraoperatif dapat menurunkan insidensi. Banyak yang

menganjurkan penggunaan koledoskopi untuk menurunkan insidensi

batu empedu yang tertingal.

3. Operasi untuk batu CBD

Sekitar 12% pasien kolelitiasis simptomatik yang menjalani operasi

juga disertai adanya koledokolitiasis. Indikasi adanya kolelitiasis 90%

ditunjukkan dengan adanya riwayat ikterus, kolangitis, pankreatitis,

dan tes fungsi hepar yang abnormal.

Terapi yang optimal meliputi pengangkatan batu pada CBD dan

kandung empedu. Hal ini dapat dikerjakan dengan dua tahap, yaitu ERCP

Page 27: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

27

yang dikuti dengan kolesistektomi laparoskopi atau melalui satu tahap

yaitu kolesistektomi dan eksplorasi CBD secara laparoskopi ataupun

dengan operasi terbuka. Angka morbiditas dan mortalitas bedah

terbuka lebih tinggi dari tindakan laparoskopi. Berdasarkan penelitian

terakhir efektifitas tindakan eksplorasi CBD secara laparoskopi tidak

berbeda bermakna dengan ERCP dalam mengangkat batu CBD. Pilihan di

antara keduanya tergantung pada kemampuan sarana dan keahlian.

Pada pasien yang tua dan lemah, ERCP dan sfinkterotomi serta

ekstraksi batu tanpa kolesistektomi dapat dipertimbangkan, mengingat

timbulnya gejala lebih lanjut hanya terjadi pada 10% kasus.

Jika dicurigai adanya batu CBD pada pasien yang sudah menjalani

kolesistektomi, ERCP dapat digunakan untuk mendiagnosis dan

mengekstraksi batu. Pengangkatan batu menggunakan dormia basket

atau balon. Untuk batu yang multipel, pigtail stent diinsersi untuk

drainase empedu; hal ini akan memungkinkan keluarnya batu. Batu yang

besar atau keras dihancurkan dengan litotriptor mekanik. Jika ERCP

tidak memungkinkan, batu diangkat secara bedah.

Algoritma penanganan pasien dengan kolelitiasis dapat dilihat di bawah

ini:8

Page 28: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

28

Daftar pustaka 1. Saunders KD, Cates JA, Roslyn JJ. Pathogenesis of gallstones. In: The

Surgical Clinics of North America, Biliary Tract Surgery. Pitt HA (e d). WB

Saunders Co, Philadelphia, Vol .70, No. 6, 1990: 1197-1216

2. Meyers WC, Jones RS. Gallstones. In: Textbook of Liver and Biliary Surgery.

JB Lippincott Co, Philadelphia, 1990: 228

3. Harris HW. Biliary system. In: Surgery, Basic Science and Clinical Evidence.

Norton JA et al. (e d). Spinger, New York, 2000: 553-84

Page 29: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

29

4. Roslyn, Joel J; Kahng Kim U; Calculous Gallbladder Diseases; in Digestive

Tract Surgery: A Text and Atlas, edited by Bell, Ricard H; Rikkers, Layton F;

and Mulholland, Michel W; Lippincott Raven Publishers; Philadelphia; 1996;

383 - 402

5. Schwartz, Seymour I; Gallbladder and Extrahepatic Biliary System; in

Principles of Surgery; seventh ed; McGraw Hill Intl; Singapore; 1999; 1437 -

1465

6. Meshikhes, A>W; Asymptomatic gallstones in the laparoscopic era, Dep Of

surgery, Damman Central Hospital, Damman, Saudi Arabia,; in J.R.

Coll.Surg.Edinburg, December 2002, 742 – 748

7. Turney, Sean; Pitt, Henry A; Choledocolithiasis and Cholangitis; in Digestive

Trqct Surgery: A Text and Atlas, edited by Bell, Ricard H; Rikkers, Layton F;

and Muholland, Michel W; Lippincott Raven Publishers; Philadelphia; 1996;

8. Nathanson Leslie K; Gallstones. In: Hepatobiliary and Pancreatic Surgery.

Garden OJ (2nd e d). WB Saunders Co, London, 2001; 213 - 237

9. Beckingham IJ. Gallstone disease, clinical review. In: BMJ, Vol. 322, 2001:91-

4

10. Binmoeller, Kenneth F; Thonke, Frank; Soehendra, Nib; Endoscopic treatment

of Mirizzi’s syndrome. In: Gastrointestinal Endoscopy, Vol. 39, No. 4, 1993:

532 - 536

11. Gallstones and laparoscopic cholecystectomy, National Institute of Health

Concensus Development Conference Statement, 19 (3), 1992: 1-20

12. Sali A. Gallstones-aetiology and dissolusion. In: Maingot’s Abdominal

Operations, 9th e d. Schwartz SI, Ellis H (e d). Appleton & Lange, Norwalk,

1990: 1381-1404

13. Giurgiu DIN, Roslyn JJ. Calculous Biliary Diseases, In: Nyhus Greenfield

Mastery of Surgery; 3rd e d; CR-Room. WB Saunders Co,chapter 41

14. Munson JW, Sanders LE. Cholecystctomy revisited. In: The Surgical Clinics

of North America, Vol. 74, No. 4, 1994: 741-54

15. Moody,Frank G; Kwong, Karen; PostChloecystectomy syndrome; in the

Practise of General surgery; Bland Kirby I;1st ed; W B Sauders; Philadelphia;

2002; 653 - 658

Page 30: Microsoft Word - Referat Kolelitiasis 2.Doc

30