referat typhoid

38
REFERAT METODE DIAGNOSTIK DEMAM TIFOID DISUSUN OLEH : Mahfira Ramadhania 2010730066 DOKTER PEMBIMBING: dr. Adri Rivai, SpPD KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAM RUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIH PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERAN

Upload: mahfiraramadhania

Post on 01-Oct-2015

69 views

Category:

Documents


8 download

DESCRIPTION

referat

TRANSCRIPT

REFERATMETODE DIAGNOSTIK DEMAM TIFOID

DISUSUN OLEH:Mahfira Ramadhania2010730066

DOKTER PEMBIMBING:dr. Adri Rivai, SpPD

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT DALAMRUMAH SAKIT ISLAM JAKARTA CEMPAKA PUTIHPROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEDOKTERANFAKULTAS KEDOKTERAN DAN KESEHATANUNIVERSITAS MUHAMMADIYAH JAKARTA2014KATA PENGANTAR

Puji syukur penulis panjatkan ke hadirat Allah SWT yang telah memberikan rahmat dan hidayah-Nya sehingga tugas ini dapat terselesaikan dengan baik.Tugas ini disusun untuk memenuhi tugas referat yang berjudul Metode Diagnostik Demam Tifoid pada stase Ilmu Penyakit Dalam Rumah Sakit Islam Jakarta Pondok Cempaka Putih. Terima kasih kepada dr. Adri Rivai, Sp.PD selaku pembimbing yang telah membantu dalam penyelesaian tugas ini.Penulis menyadari bahwa laporan ini masih jauh dari kesempurnaan oleh karena itu, kritik dan saran yang membangun dari semua pihak sangat penulis harapkan. Semoga laporan ini dapat bermanfaat untuk para pembaca.

Jakarta, Januari 2015

Penulis

DAFTAR ISIKATA PENGANTAR2DAFTAR ISI3BAB I PENDAHULUAN41.1 Latar Belakang41.2 Batasan Masalah61.3 Metode Penulisan6BAB II TINJAUAN PUSTAKA72.1 Definisi72.2 Etiologi72.3 Patogenesis72.4 Diagnosis72.4.1. Gejala Klinis82.4.2 Pemeriksaan Laboratorium9BAB III KESIMPULAN19DAFTAR PUSTAKA20

BAB IPENDAHULUAN1.1 Latar Belakang Demam tifoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella typhi yang masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan subtropis. Demam tifoid merupakan masalah global terutama di negara dengan higiene buruk. Etiologi utama di Indonesia adalah Salmonella enterika subspesies enterika serovar Typhi (S.Typhi) dan Salmonella enterika subspesies enterika serovar Paratyphi A (S. Paratyphi A). CDC Indonesia melaporkan prevalensi demam tifoid mencapai 358- 810/100.000 populasi pada tahun 2007 dengan 64% penyakit ditemukan pada usia 3-19 tahun, dan angka mortalitas bervariasiantara 3,1 - 10,4 % pada pasien rawat inap1. Penyakit ini juga merupakan masalah kesehatan masyarakat yang penting karena penyebarannya berkaitan erat dengan urbanisasi, kepadatan penduduk, kesehatan lingkungan, sumber air dan sanitasi yang buruk serta standar higiene industri pengolahan makanan yang masih rendah. 1,2,3Besarnya angka pasti kasus demam tifoid di dunia sangat sulit ditentukan karena penyakit ini dikenal mempunyai gejala dengan spektrum klinis yang sangat luas. Data World Health Organization (WHO) tahun 2003 memperkirakan terdapat sekitar 17 juta kasus demam tifoid di seluruh dunia dengan insidensi 600.000 kasus kematian tiap tahun.4 Di negara berkembang, kasus demam tifoid dilaporkan sebagai penyakit endemis dimana 95% merupakan kasus rawat jalan sehingga insidensi yang sebenarnya adalah 15-25 kali lebih besar dari laporan rawat inap di rumah sakit. Di Indonesia kasus ini tersebar secara merata di seluruh propinsi dengan insidensi di daerah pedesaan 358/100.000 penduduk/tahun dan di daerah perkotaan 760/100.000 penduduk/ tahun atau sekitar 600.000 dan 1.5 juta kasus per tahun. Umur penderita yang terkena di Indonesia dilaporkan antara 3-19 tahun pada 91% kasus. 3,5,6Beberapa faktor penyebab demam tifoid masih terus menjadi masalah kesehatan penting di negara berkembang meliputi pula keterlambatan penegakan diagnosis pasti.7 Penegakan diagnosis demam tifoid saat ini dilakukan secara klinis dan melalui pemeriksaan laboratorium. Diagnosis demam tifoid secara klinis seringkali tidak tepat karena tidak ditemukannya gejala klinis spesifik atau didapatkan gejala yang sama pada beberapa penyakit lain pada anak, terutama pada minggu pertama sakit. Hal ini menunjukkan perlunya pemeriksaan penunjang laboratorium untuk konfirmasi penegakan diagnosis demam tifoid. 2,3,8Berbagai metode diagnostik masih terus dikembangkan untuk mencari cara yang cepat, mudah dilakukan dan murah biayanya dengan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi. Hal ini penting untuk membantu usaha penatalaksanaan penderita secara menyeluruh yang juga meliputi penegakan diagnosis sedini mungkin dimana pemberian terapi yang sesuai secara dini akan dapat menurunkan ketidaknyamanan penderita, insidensi terjadinya komplikasi yang berat dan kematian serta memungkinkan usaha kontrol penyebaran penyakit melalui identifikasi karier. 3 Demam tifoid masih merupakan masalah kesehatan yang penting di negara berkembang. Gambaran klinis demam tifoid seringkali tidak spesifik terutama pada anak sehingga dalam penegakan diagnosis diperlukan konfirmasi pemeriksaan laboratorium. Pemeriksaan penunjang ini meliputi pemeriksaan darah tepi, isolasi/biakan kuman, uji serologis dan identifikasi secara molekuler. Berbagai metode diagnostik baru untuk pengganti uji Widal dan kultur darah sebagai metode konvensional masih kontroversial dan memerlukan penelitian lebih lanjut. Beberapa metode diagnostik yang cepat, mudah dilakukan dan terjangkau harganya untuk negara berkembang dengan sensitivitas dan spesifisitas yang cukup baik, seperti uji TUBEX, Typhidot-M dan dipstik mungkin dapat mulai dirintis penggunaannya di Indonesia.Dua dekade belakangan ini, dunia digemparkan dengan adanya laporan Multi Drug Resistant (MDR) strains S.Typhi. strain ini resisten dengan kloramfenikol, trimetropim-sulfametoksazol, dan ampicillin. Selain itu strain ressisten asam nalidixat juga menunjakan penurunan pengaruh ciprofloksasin yang menjadi endemik di India. United State, United Kingdom dan juga beberapa negara berkembang pada tahun 1997 menunjukan kedaruratan masalah globat akibat MDR1. Perlu penanganan yang tepat dan komprehensif agar dapat memberikan pelayanan yang tepat terhadap pasien. Tidak hanya dengan pemberian antibiotika, namun perlu juga asuhan keperawatan yang baik dan benar serta pengaturan diet yang tepat agar dapat mempercepat proses penyembuhan pasien dengan demam tifoid.2

1.2 Batasan Masalah Referat ini membahas definisi, etiologi, patogenesis, gejala klinis, dan metode diagnosis, demam tifoid.

1.3 Metode Penulisan Penulisan ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu pada beberapa literatur.

5

BAB IITINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Demam tifoid (tifus abdominalis, enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya terdapat pada saluran pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari 7 hari, gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.3,4,5

2.2 Etiologi Demam tifoid disebabkan oleh Salmonella typhi (S. typhi), basil gram negatif, berflagel, dan tidak berspora. S. typhi memiliki 3 macam antigen yaitu antigen O (somatik berupa kompleks polisakarida), antigen H (flagel), dan antigen Vi. Dalam serum penderita demam tifoid akan terbentuk antibodi terhadap ketiga macam antigen tersebut. 4

2.3 Patogenesis Infeksi S.typhi terjadi pada saluran pencernaan. Basil diserap di usus halus kemudian melalui pembuluh limfe masuk ke peredaran darah sampai di organ-organ terutama hati dan limpa. Basil yang tidak dihancurkan berkembang biak dalam hati dan limpa sehingga organ organ tersebut akan membesar disertai nyeri pada perabaan. Kemudian basil masuk kembali ke dalam darah (bakteremia) dan menyebar ke seluruh tubuh terutama ke dalam kelenjar limfoid usus halus, menimbulkan tukak pada mukosa diatas plaque peyeri. Tukak tersebut dapat mengakibatkan perdarahan dan perforasi usus. Gejala demam disebabkan oleh endotoksin yang dieksresikan oleh basil S.typhi sedangkan gejala pada saluran pencernaan disebabkan oleh kelainan pada usus.1,4 2.4 DiagnosisPenegakan diagnosis demam tifoid didasarkan pada manifestasi klinis yang diperkuat oleh pemeriksaan laboratorium penunjang. Sampai saat ini masih dilakukan berbagai penelitian yang menggunakan berbagai metode diagnostik untuk mendapatkan metode terbaik dalam usaha penatalaksanaan penderita demam tifoid secara menyeluruh.2.4.1. Gejala Klinis Spektrum klinis demam tifoid tidak khas dan sangat lebar, dari asimtomatik atau yang ringan berupa panas disertai diare yang mudah disembuhkan sampai dengan bentuk klinis yang berat baik berupa gejala sistemik panas tinggi, gejala septik yang lain, ensefalopati atau timbul komplikasi gastrointestinal berupa perforasi usus atau perdarahan. Hal ini mempersulit penegakan diagnosis berdasarkan gambaran klinisnya saja. 8,9Masa inkubasi demam tifoid 10-14 hari, rata rata 2 minggu. Gejala timbul mendadak atau berangsur angsur. Penderita Demam tifoid merasa cepat lelah, malaise, anoreksia, sakit kepala, rasa tak enak di perut dan nyeri seluruh tubuh. Minggu ! : demam (suhu berkisar 39- 40oC), nyeri kepala, pusing, nteri otot, anoreksia, mual muntah, konstipasi, diare, perasaan tidak enak di perut, batuk dan epiktasis. Minggu 2 : demam, bradikardi, lidah khas berwarna putih, hepatomegali, splenomegali, gangguan kesadaran. 5Demam merupakan keluhan dan gejala klinis terpenting yang timbul pada semua penderita demam tifoid. Demam dapat muncul secara tiba-tiba, dalam 1-2 hari menjadi parah dengan gejala yang menyerupai septisemia oleh karena Streptococcus atau Pneumococcus daripada S. typhi. Demam pada demam tifoid umumnya berangsur angsur naik selama minggu pertama, demam terutama pada sore hari dan malam hari (bersifat febris reminent). Pada minggu kedua dan ketiga demam terus menerus tinggi (febris kontinua). Kemudian turun secara lisis. Demam ini tidak hilang dengan pemberian antipiretik, tidak ada menggigil dan tidak berkeringat. Kadang kadang disertai epiktasis. Gangguan gastrointestinal : bibir kering dan pecah pecah, lidah kotor, berselaput putih dan pinggirnya hiperemis. Perut agak kembung dan mungkin nyeri tekan. Limpa membesar dan lunak dan nyeri pada penekanan. Pada permulaan penyakit umumnya terjadi diare, kemudian menjadi obstipasi. 6 Menggigil tidak biasa didapatkan pada demam tifoid tetapi pada penderita yang hidup di daerah endemis malaria, menggigil lebih mungkin disebabkan oleh malaria. Namun demikian demam tifoid dan malaria dapat timbul bersamaan pada satu penderita. Sakit kepala hebat yang menyertai demam tinggi dapat menyerupai gejala meningitis, di sisi lain S. typhi juga dapat menembus sawar darah otak dan menyebabkan meningitis. Manifestasi gejala mental kadang mendominasi gambaran klinis, yaitu konfusi, stupor, psikotik atau koma. Nyeri perut kadang tak dapat dibedakan dengan apendisitis. Pada tahap lanjut dapat muncul gambaran peritonitis akibat perforasi usus.3Pengamatan selama 6 tahun (1987-1992) di Lab/SMF Ilmu Kesehatan Anak FK Unair/RSU Dr.Soetomo Surabaya terhadap 434 anak berumur 1-12 tahun dengan diagnosis demam tifoid atas dasar ditemukannya S.typhi dalam darah dan 85% telah mendapatkan terapi antibiotika sebelum masuk rumah sakit serta tanpa memperhitungkan dimensi waktu sakit penderita, didapatkan keluhan dan gejala klinis pada penderita sebagai berikut : panas (100%), anoreksia (88%), nyeri perut (49%), muntah (46%), obstipasi (43%) dan diare (31%). Dari pemeriksaan fisik didapatkan kesadaran delirium (16%), somnolen (5%) dan sopor (1%) serta lidah kotor (54%), meteorismus (66%), hepatomegali (67%) dan splenomegali (7%).10 Hal ini sesuai dengan penelitian di RS Karantina Jakarta dengan diare (39,47%), sembelit (15,79%), sakit kepala (76,32%), nyeri perut (60,5%), muntah (26,32%), mual (42,11%), gangguan kesadaran (34,21%), apatis (31,58%) dan delirium (2,63%).9 Sedangkan tanda klinis yang lebih jarang dijumpai adalah disorientasi, bradikardi relatif, ronki, sangat toksik, kaku kuduk, penurunan pendengaran, stupor dan kelainan neurologis fokal.3 Angka kejadian komplikasi adalah kejang (0.3%), ensefalopati (11%), syok (10%), karditis (0.2%), pneumonia (12%), ileus (3%), melena (0.7%), ikterus (0.7%).10

2.4.2 Pemeriksaan Laboratorium Pemeriksaan Laboratorium meliputi pemeriksaan hematologi, urinalisis, kimia klinik, imunoserologi, mikrobiologi, dan biologi molekular. Pemeriksaan ini ditujukan untuk membantu menegakkan diagnosis (adakalanya bahkan menjadi penentu diagnosis), menetapkan prognosis, memantau perjalanan penyakit dan hasil pengobatan serta timbulnya penyulit7,8. 1. Pemeriksaan Darah TepiPada penderita demam tifoid bisa didapatkan anemia. Kadar hemoglobin dapat normal atau menurun bila terjadi penyulit perdarahan usus atau perforasi. jumlah leukosit normal, bisa menurun atau meningkat, mungkin didapatkan trombositopenia dan hitung jenis biasanya normal atau sedikit bergeser ke kiri, mungkin didapatkan aneosinofilia dan limfositosis relatif, terutama pada fase lanjut.11 Penelitian oleh beberapa ilmuwan mendapatkan bahwa hitung jumlah dan jenis leukosit serta laju endap darah tidak mempunyai nilai sensitivitas, spesifisitas dan nilai ramal yang cukup tinggi untuk dipakai dalam membedakan antara penderita demam tifoid atau bukan, akan tetapi adanya leukopenia dan limfositosis relatif menjadi dugaan kuat diagnosis demam tifoid. 3Penelitian oleh Darmowandowo (1998) di RSU Dr.Soetomo Surabaya mendapatkan hasil pemeriksaan darah penderita demam tifoid berupa anemia (31%), leukositosis (12.5%) dan leukosit normal (65.9%).102. Urinalisis a. Protein: bervariasi dari negatif sampai positif (akibat demam) b. Leukosit dan eritrosit normal; bila meningkat kemungkinan terjadi penyulit.

3. Kimia Klinik Enzim hati (SGOT, SGPT) sering meningkat dengan gambaran peradangan sampai hepatitis Akut.

4. Identifikasi Kuman Melalui Isolasi / BiakanDiagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang, cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya di dalam urine dan feses.2,9Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.9Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.4 Sedangkan volume sumsum tulang yang dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.12 Bakteri dalam sumsum tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.9,18 Media pembiakan yang direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media tersebut.4Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.4,9 Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan rasio darah dengan media kultur yang dipakai.6 Bakteri dalam feses ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah minggu pertama. Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada 80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan kultur darah negatif sebelumnya.4,6 Prosedur terakhir ini sangat invasif sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada anak. 2,4,11 Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur sumsum tulang.13Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika, jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.4,12Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita. 2,4,8,9

5. Identifikasi Kuman Melalui Uji SerologisUji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Volume darah yang diperlukan untuk uji serologis ini adalah 1-3 mL yang diinokulasikan ke dalam tabung tanpa antikoagulan.4 Beberapa uji serologis yang dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi : (1) uji Widal; (2) tes TUBEX; (3) metode enzyme immunoassay (EIA); (4) metode enzyme-linked immunosorbent assay (ELISA); dan (5) pemeriksaan dipstik.Metode pemeriksaan serologis imunologis ini dikatakan mempunyai nilai penting dalam proses diagnostik demam tifoid. Akan tetapi masih didapatkan adanya variasi yang luas dalam sensitivitas dan spesifisitas pada deteksi antigen spesifik S. typhi oleh karena tergantung pada jenis antigen, jenis spesimen yang diperiksa, teknik yang dipakai untuk melacak antigen tersebut, jenis antibodi yang digunakan dalam uji (poliklonal atau monoklonal) dan waktu pengambilan spesimen (stadium dini atau lanjut dalam perjalanan penyakit). 2 Uji WidalUji Widal merupakan suatu metode serologi baku dan rutin digunakan sejak tahun 1896. Prinsip uji Widal adalah memeriksa reaksi antara antibodi aglutinin dalam serum penderita yang telah mengalami pengenceran berbeda-beda terhadap antigen somatik (O) dan flagela (H) yang ditambahkan dalam jumlah yang sama sehingga terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum. 2,11Teknik aglutinasi ini dapat dilakukan dengan menggunakan uji hapusan (slide test) atau uji tabung (tube test). Uji hapusan dapat dilakukan secara cepat dan digunakan dalam prosedur penapisan sedangkan uji tabung membutuhkan teknik yang lebih rumit tetapi dapat digunakan untuk konfirmasi hasil dari uji hapusan.13Penelitian pada anak oleh Choo dkk (1990) mendapatkan sensitivitas dan spesifisitas masing-masing sebesar 89% pada titer O atau H >1/40 dengan nilai prediksi positif sebesar 34.2% dan nilai prediksi negatif sebesar 99.2%.14 Beberapa penelitian pada kasus demam tifoid anak dengan hasil biakan positif, ternyata hanya didapatkan sensitivitas uji Widal sebesar 64-74% dan spesifisitas sebesar 76-83%.9Uji serologi widal mendeteksi adanya antibodi aglutinasi terhadap antigen O yang berasal dari somatik dan antigen H yang berasal dari flagella Salmonella typhi. Diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan apabila ditemukan titer O aglutinin sekali periksa mencapai 1/200 atau terdapat kenaikan 4 kali pada titer sepasang. Apabila hasil tes widal menunjukkan hasil negatif, maka hal tersebut tidak menyingkirkan kemungkinan diagnosis demam tifoid.13,15Interpretasi dari uji Widal ini harus memperhatikan beberapa faktor antara lain sensitivitas, spesifisitas, stadium penyakit; faktor penderita seperti status imunitas dan status gizi yang dapat mempengaruhi pembentukan antibodi; gambaran imunologis dari masyarakat setempat (daerah endemis atau non-endemis); faktor antigen; teknik serta reagen yang digunakan.9,13Faktor-faktor yang mempengaruhi uji Widal:1. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pasien:a. Keadaan umumGizi buruk menghambat pembentukan antibodi.b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakitAglutinin baru dijumpai dalam darah setelah pasien sakit satu minggu dan mencapai puncaknya pada minggu kelima atau keenam penyakit.c. Pengobatan dini dengan antibiotikBeberapa peneliti berpendapat bahwa pengobatan dini dengan obat antimikroba menghambat pembentukan antibodi.d. Penyakit-penyakit tertentuPada beberapa penyakit yang menyertai demam tifoid tidak terjadi pembentukan antibodi, misalnya pada agamaglobulinemia, leukimia, dan karsinoma lanjut.e. Obat-obat imunosupresif atau kortikosteroidObat-obat ini menghambat pembentukan antibodi karena supresi sistem retikuloendotelial.f. Vaksinasi dengan kotipa atau tipaPada seorang yang divaksinansi, titer aglutinin O dan H meningkat. Aglutinin O biasanya menghilang setelah 6 bulan samapi 1 tahun, sedangkan titer aglutinin H menurun perlahan-lahan selama 1 atau 2 tahun. Oleh karena itu, titer aglutinin H pada seorang yang pernah divaksinasi kurang mempunyai nilai diagnostik.g. Infeksi klinis atau subklinis oleh Salmonella sebelumnya.Keadaan ini dapat menyebabkan uji Widal positif, walaupun dengan titer rendah.h. Reaksi anamnestikReaksi anamnestik adalah keadaan dimana terjadi peningkatan titer aglutinin terhadap S.typhi karena penyakit infeksi dengan demam yang bukan demam tifoid pada seseorang yang pernah divaksinasi atau ketularan Salmonella di masa lalu.3

2. Faktor-faktor teknisa. Aglutinasi silangKarena beberapa spesies Salmonella dapat mengandung antigen O dan H yang sama, maka reaksi aglutinasi pada satu spesies dapat juga menimbulkan reaksi aglutinasi pada spesies yang lain. Oleh karena itu, spesies Salmonella penyebab infeksi tidak dapat ditentukan dengan uji Widal.b. Konsentrasi suspensi antigenKonsentrasi suspensi antigen yang digunakan pada uji Widal akan mempengaruhi hasilnya.c. Strain Salmonella yang digunakan untuk suspensi antigenAda peneliti yang berpendapat bahwa daya aglutinasi suspensi antigen dari strain Salmonella setempat lebih baik daripada suspensi antigen dari strain lain. (3)Kelemahan uji Widal yaitu rendahnya sensitivitas dan spesifisitas serta sulitnya melakukan interpretasi hasil membatasi penggunaannya dalam penatalaksanaan penderita demam tifoid akan tetapi hasil uji Widal yang positif akan memperkuat dugaan pada tersangka penderita demam tifoid (penanda infeksi).3 Saat ini walaupun telah digunakan secara luas di seluruh dunia, manfaatnya masih diperdebatkan dan sulit dijadikan pegangan karena belum ada kesepakatan akan nilai standar aglutinasi (cut-off point). Untuk mencari standar titer uji Widal seharusnya ditentukan titer dasar (baseline titer) pada anak sehat di populasi dimana pada daerah endemis seperti Indonesia akan didapatkan peningkatan titer antibodi O dan H pada anak-anak sehat.2,8 Penelitian oleh Darmowandowo di RSU Dr.Soetomo Surabaya (1998) mendapatkan hasil uji Widal dengan titer >1/200 pada 89% penderita.10

TES TUBEXTes TUBEX merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.4Hasil positif uji tubex ini menunjukkan terdapat infeksi Samonella serogrup D walau tidak secara spesifik menunjuk pada S.typhii. Infeksi oleh S.parathphii akan memberi hasil negatif. Secara imunologi, antigen bersifat imunodominan. Antigen ini dapat merangsang respons imun secara independen terhadap timus, dan merangsang mitosis sel B tanpa bantuan dari sel T. Karena sifat-sifat tersebut, responterhadap antigen berlangsung cepat sehingga deteksi terhadap anti dapat dilakukan lebih dini, yaitu pada hari ke 4-5 untuk infeksi primer dan hari ke 2-3 untuk infeksi sekunder. Uji tubex hanya dapat mendeteksi IgM dan tidak dapat mendeteksi IgG sehingga tidak dapat dipergunakan sebagai modalitas untuk mendeteksi infeksi lampau.Pemeriksaan ini dilakukan dengan menggunakan 3 macam komponen, meliputi: tabung berbentuk V, yang juga berfungsi untuk meningkatkan sensitivitas. Reagen A yang mengandung partikel magnetik yang diselubungi antigen S.typhii O.Reagen B, yang mengandung partikel lateks berwarna biru yang diselubungi dengan antibodi monoklonal spesifik untuk antigen O. Komponen ini stabil disimpan selama satu tahun dalam suhu 40oC dan selama beberapa minggu dalam suhu kamar. Di dalam tabung satu tetes serum dicampur selama kurang lebih 1 menit dengan satu tetes reagen A. Dua tetes reagen B kemudian dicampurkan dan didiamkan selama 1-2 menit. Tabung kemudian diletakkan pada rak tabung yang mengandung magnet dan didiamkan. Interpretasi hasil dilakukan berdasarkan warna larutan campuran yang dapat bervariasi dari kemerahan hingga kebiruan. Walaupun belum banyak penelitian yang menggunakan tes TUBEX ini, beberapa penelitian pendahuluan menyimpulkan bahwa tes ini mempunyai sensitivitas dan spesifisitas yang lebih baik daripada uji Widal.4 Penelitian oleh Lim dkk (2002) mendapatkan hasil sensitivitas 100% dan spesifisitas 100%.15 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 78% dan spesifisitas sebesar 89%.9 Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana, terutama di negara berkembang.15

Metode Enzyme Immunoassay (EIA) DotUji serologi ini didasarkan pada metode untuk melacak antibodi spesifik IgM dan IgG terhadap antigen OMP 50 kD S. typhi. Deteksi terhadap IgM menunjukkan fase awal infeksi pada demam tifoid akut sedangkan deteksi terhadap IgM dan IgG menunjukkan demam tifoid pada fase pertengahan infeksi. Pada daerah endemis dimana didapatkan tingkat transmisi demam tifoid yang tinggi akan terjadi peningkatan deteksi IgG spesifik akan tetapi tidak dapat membedakan antara kasus akut, konvalesen dan reinfeksi. Pada metode Typhidot-M yang merupakan modifikasi dari metode Typhidot telah dilakukan inaktivasi dari IgG total sehingga menghilangkan pengikatan kompetitif dan memungkinkan pengikatan antigen terhadap Ig M spesifik.4Penelitian oleh Purwaningsih dkk (2001) terhadap 207 kasus demam tifoid bahwa spesifisitas uji ini sebesar 76.74% dengan sensitivitas sebesar 93.16%, nilai prediksi positif sebesar 85.06% dan nilai prediksi negatif sebesar 91.66%.16 Sedangkan penelitian oleh Gopalakhrisnan dkk (2002) pada 144 kasus demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 98%, spesifisitas sebesar 76.6% dan efisiensi uji sebesar 84%.17 Penelitian lain mendapatkan sensitivitas sebesar 79% dan spesifisitas sebesar 89%.9Uji dot EIA tidak mengadakan reaksi silang dengan salmonellosis non-tifoid bila dibandingkan dengan Widal. Dengan demikian bila dibandingkan dengan uji Widal, sensitivitas uji dot EIA lebih tinggi oleh karena kultur positif yang bermakna tidak selalu diikuti dengan uji Widal positif.2,8 Dikatakan bahwa Typhidot-M ini dapat menggantikan uji Widal bila digunakan bersama dengan kultur untuk mendapatkan diagnosis demam tifoid akut yang cepat dan akurat.4Beberapa keuntungan metode ini adalah memberikan sensitivitas dan spesifisitas yang tinggi dengan kecil kemungkinan untuk terjadinya reaksi silang dengan penyakit demam lain, murah (karena menggunakan antigen dan membran nitroselulosa sedikit), tidak menggunakan alat yang khusus sehingga dapat digunakan secara luas di tempat yang hanya mempunyai fasilitas kesehatan sederhana dan belum tersedia sarana biakan kuman. Keuntungan lain adalah bahwa antigen pada membran lempengan nitroselulosa yang belum ditandai dan diblok dapat tetap stabil selama 6 bulan bila disimpan pada suhu 4C dan bila hasil didapatkan dalam waktu 3 jam setelah penerimaan serum pasien. 2

Metode Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA)Pemeriksaan ini merupakan uji imunologik yang lebih baru, yang dianggap lebih sensitif dan spesifik dibandingkan uji Widal untuk mendeteksi Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebagai tes cepat (Rapid Test) hasilnya juga dapat segera di ketahui. Diagnosis Demam Typhoid/ Paratyphoid dinyatakan 1/ bila lgM positif menandakan infeksi akut; 2/ jika lgG positif menandakan pernah kontak/ pernah terinfeksi/ reinfeksi/ daerah endemik. Uji Enzyme-Linked Immunosorbent Assay (ELISA) dipakai untuk melacak antibodi IgG, IgM dan IgA terhadap antigen LPS O9, antibodi IgG terhadap antigen flagella d (Hd) dan antibodi terhadap antigen Vi S. typhi. Uji ELISA yang sering dipakai untuk mendeteksi adanya antigen S. typhi dalam spesimen klinis adalah double antibody sandwich ELISA. Chaicumpa dkk (1992) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 95% pada sampel darah, 73% pada sampel feses dan 40% pada sampel sumsum tulang. Pada penderita yang didapatkan S. typhi pada darahnya, uji ELISA pada sampel urine didapatkan sensitivitas 65% pada satu kali pemeriksaan dan 95% pada pemeriksaan serial serta spesifisitas 100%.18 Penelitian oleh Fadeel dkk (2004) terhadap sampel urine penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 100% pada deteksi antigen Vi serta masing-masing 44% pada deteksi antigen O9 dan antigen Hd. Pemeriksaan terhadap antigen Vi urine ini masih memerlukan penelitian lebih lanjut akan tetapi tampaknya cukup menjanjikan, terutama bila dilakukan pada minggu pertama sesudah panas timbul, namun juga perlu diperhitungkan adanya nilai positif juga pada kasus dengan Brucellosis. 9,26 Pemeriksaan DipstikUji serologis dengan pemeriksaan dipstik dikembangkan di Belanda dimana dapat mendeteksi antibodi IgM spesifik terhadap antigen LPS S. typhi dengan menggunakan membran nitroselulosa yang mengandung antigen S. typhi sebagai pita pendeteksi dan antibodi IgM anti-human immobilized sebagai reagen kontrol. Pemeriksaan ini menggunakan komponen yang sudah distabilkan, tidak memerlukan alat yang spesifik dan dapat digunakan di tempat yang tidak mempunyai fasilitas laboratorium yang lengkap. 4,20Penelitian oleh Gasem dkk (2002) mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 69.8% bila dibandingkan dengan kultur sumsum tulang dan 86.5% bila dibandingkan dengan kultur darah dengan spesifisitas sebesar 88.9% dan nilai prediksi positif sebesar 94.6%.20 Penelitian lain oleh Ismail dkk (2002) terhadap 30 penderita demam tifoid mendapatkan sensitivitas uji ini sebesar 90% dan spesifisitas sebesar 96%.21 Penelitian oleh Hatta dkk (2002) mendapatkan rerata sensitivitas sebesar 65.3% yang makin meningkat pada pemeriksaan serial yang menunjukkan adanya serokonversi pada penderita demam tifoid.22 Uji ini terbukti mudah dilakukan, hasilnya cepat dan dapat diandalkan dan mungkin lebih besar manfaatnya pada penderita yang menunjukkan gambaran klinis tifoid dengan hasil kultur negatif atau di tempat dimana penggunaan antibiotika tinggi dan tidak tersedia perangkat pemeriksaan kultur secara luas.21,22

6. Identifikasi Kuman Secara MolekulerMetode lain untuk identifikasi bakteri S. typhi yang akurat adalah mendeteksi DNA (asam nukleat) gen flagellin bakteri S. typhi dalam darah dengan teknik hibridisasi asam nukleat atau amplifikasi DNA dengan cara polymerase chain reaction (PCR) melalui identifikasi antigen Vi yang spesifik untuk S. typhi.23 Metode ini mulai banyak dipergunakan. Pada cara ini di lakukan perbanyakan DNA kuman yang kemudian diindentifikasi dengan DNA probe yang spesifik. Kelebihan uji ini dapat mendeteksi kuman yang terdapat dalam jumlah sedikit (sensitifitas tinggi) serta kekhasan (spesifitas) yang tinggi pula. Spesimen yang digunakan dapat berupa darah, urin, cairan tubuh lainnya serta jaringan biopsi. Penelitian oleh Haque dkk (1999) mendapatkan spesifisitas PCR sebesar 100% dengan sensitivitas yang 10 kali lebih baik daripada penelitian sebelumnya dimana mampu mendeteksi 1-5 bakteri/mL darah.24 Penelitian lain oleh Massi dkk (2003) mendapatkan sensitivitas sebesar 63% bila dibandingkan dengan kultur darah (13.7%) dan uji Widal (35.6%).25Kendala yang sering dihadapi pada penggunaan metode PCR ini meliputi risiko kontaminasi yang menyebabkan hasil positif palsu yang terjadi bila prosedur teknis tidak dilakukan secara cermat, adanya bahan-bahan dalam spesimen yang bisa menghambat proses PCR (hemoglobin dan heparin dalam spesimen darah serta bilirubin dan garam empedu dalam spesimen feses), biaya yang cukup tinggi dan teknis yang relatif rumit. Usaha untuk melacak DNA dari spesimen klinis masih belum memberikan hasil yang memuaskan sehingga saat ini penggunaannya masih terbatas dalam laboratorium penelitian. 2,23 Kultur (Gall culture/ Biakan empedu) Uji ini merupakan baku emas (gold standard) untuk pemeriksaan demam Typhoid/ paratyphoid. Interpretasi hasil: jika hasil positif maka diagnosis pasti untuk Demam Tifoid/ Paratifoid. Sebalikanya jika hasil negatif, belum tentu bukan Demam Tifoid/ Paratifoid, karena hasil biakan negatif palsu dapat disebabkan oleh beberapa faktor, yaitu antara lain jumlah darah terlalu sedikit kurang dari 2mL), darah tidak segera dimasukan ke dalam medial Gall (darah dibiarkan membeku dalam spuit sehingga kuman terperangkap di dalam bekuan), saat pengambilan darah masih dalam minggu- 1 sakit, sudah mendapatkan terapi antibiotika, dan sudah mendapat vaksinasi. Kekurangan uji ini adalah hasilnya tidak dapat segera diketahui karena perlu waktu untuk pertumbuhan kuman (biasanya positif antara 2-7hari, bila belum ada pertumbuhan koloni ditunggu sampai 7 hari). Pilihan bahan spesimen yang digunakan pada awal sakit adalah darah, kemudian untuk stadium lanjut/ carrier digunakan urin dan tinja.

BAB IIIKESIMPULAN

Diagnosis pasti ditegakkan dengan cara menguji sampel feses atau darah untuk mendeteksi adanya bakteri Salmonella spp dalam darah penderita, dengan membiakkan darah pada 14 hari pertama setelah terinfeksi9. Selain itu tes widal (O dah H agglutinin) mulai positif pada hari kesepuluh dan titer akan semakin meningkat sampai berakhirnya penyakit. Pengulangan tes widal selang 2 hari menunjukkan peningkatan progresif dari titer agglutinin (diatas 1:200) menunjukkkan diagnosis positif dari infeksi aktif demam tifoid8,9. Biakan tinja dilakukan pada minggu kedua dan ketiga serta biakan urin pada minggu ketiga dan keempat dapat mendukung diagnosis dengan ditemukannya Salmonella8. Gambaran darah juga dapat membantu menentukan diagnosis. Jika terdapat leukopeni polimorfonuklear dengan limfositosis yang relatif pada hari kesepuluh dari demam, maka arah demam tifoid menjadi jelas. Sebaliknya jika terjadi lekositosis polimorfonuklear, maka berarti terdapat infeksi sekunder bakteri di dalam lesi usus. Peningkatan yang cepat dari lekositosis polimorfonuklear ini mengharuskan kita waspada akan terjadinya perforasi dari usus penderita. Tidak selalu mudah mendiagnosis karena gejala yang ditimbulkan oleh penyakit itu tidak selalu khas seperti di atas. Bisa ditemukan gejala- gejala yang tidak khas. Ada orang yang setelah terpapar dengan kuman S.typhi, hanya mengalami demam sedikit kemudian sembuh tanpa diberi obat. Hal itu bisa terjadi karena tidak semua penderita yang secara tidak sengaja menelan kuman ini langsung menjadi sakit. Tergantung banyaknya jumlah kuman dan tingkat kekebalan seseorang dan daya tahannya, termasuk apakah sudah imun atau kebal. Bila jumlah kuman hanya sedikit yang masuk ke saluran cerna, bisa saja langsung dimatikan oleh sistem pelindung tubuh manusia.3,8,9,10

DAFTAR PUSTAKA

1. Cleary TG. Salmonella. Dalam : Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB, Eds. Nelson Textbook of Pediatrics, edisi 16. Philadelphia : WB Saunders, 2000:842-8.1. Tumbelaka AR, Retnosari S. Imunodiagnosis Demam Tifoid. Dalam : Kumpulan Naskah Pendidikan Kedokteran Berkelanjutan Ilmu Kesehatan Anak XLIV. Jakarta : BP FKUI, 2001:65-73.1. Pawitro UE, Noorvitry M, Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soegijanto S, Ed. Ilmu Penyakit Anak : Diagnosa dan Penatalaksanaan, edisi 1. Jakarta : Salemba Medika, 2002:1-43.1. Diagnosis of typhoid fever. Dalam : Background document : The diagnosis, treatment and prevention of typhoid fever. World Health Organization, 2003;7-18.1. Darmowandowo W. Demam Tifoid. Dalam : Soedarmo SS, Garna H, Hadinegoro SR, Eds. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak : Infeksi & Penyakit Tropis, edisi 1. Jakarta : BP FKUI, 2002:367-75.1. Parry CM. Typhoid fever. N Engl J Med 2002;347(22):1770-82.1. Pang T. Typhoid Fever : A Continuing Problem. Dalam : Pang T, Koh CL, Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90s. Singapore : World Scientific, 1992:1-2.1. Darmowandowo D. Demam Tifoid. Dalam : Continuing Education Ilmu Kesehatan Anak XXXIII. Surabaya : Surabaya Intellectual Club, 2003:19-34.1. Tumbelaka AR. Tata laksana terkini demam tifoid pada anak. Simposium Infeksi Pediatri Tropik dan Gawat Darurat pada Anak. IDAI Cabang Jawa Timur. Malang : IDAI Jawa Timur, 2005, hal.37-50.1. Darmowandowo W. Demam tifoid. Media IDI 1998;23:4-7.1. Hoffman SL. Typhoid Fever. Dalam : Strickland GT, Ed. Hunters Textbook of Pediatrics, edisi 7. Philadelphia : WB Saunders, 1991:344-58.1. Wain J, Bay PVB, Vinh H, Duong NM, Diep TS, Walsh AL, et al. Quantitation of bacteria in bone marrow from patients with typhoid fever : relationship between counts and clinical features. J Clin Microbiol 2001;39(4):1571-6.1. Kalra SP, Naithani N, Mehta SR, Swamy AJ. Current trends in the management of typhoid fever. MJAFI 2003;59:130-5.1. Choo KE, Lim WY, Razif AR, Ariffin WA, Oppenheimer SJ, Abraham T. Usefulness of the Widal test in childhood typhoid fever. Dalam : Pang T, Koh CL, Puthucheary SD, Eds. Typhoid Fever : Strategies for the 90s. Singapore : World Scientific, 1992:200. [Abstract]1. Lim PL, Tam FCH, Cheong YM, Jegathesan M. One-step 2-minute test to detect typhoid-specific antibodies based on particle separation in tubes. J Clin Microbiol 1998;36(8):2271-8.1. Purwaningsih S, Handojo I, Prihatini, Probohoesodo Y. Diagnostic value of dot-enzyme-immunoassay test to detect outer membrane protein antigen in sera of patients with typhoid fever. Southeast Asian J Trop Med Public Health 2001;32(3):507-12. [Abstract]1. Gopalakhrisnan V, Sekhar WY, Soo EH, Vinsent RA, Devi S. Typhoid fever in Kuala Lumpur and a comparative evaluation of two commercial diagnostic kits for the detection of antibodies to Salmonella typhi. Sing Med J 2002;43(7):354-8.1. Chaicumpa W, Ruangkunaporn Y, Burr D, Chongsa-Nguan M, Echeverria P. Diagnosis of typhoid fever by detection of Salmonella typhi antigen in urine. J Clin Microbiol 1992;30(9):2513-5. [Abstract]1. Fadeel MA, Crump JA, Mahoney FJ, Nakhla IA, Mansour AM, Reyad B, et al. Rapid diagnosis of typhoid fever by enzyme-linked immunosorbent assay detection of Salmonella serotype typhi antigens in urine. Am J Trop Med Hyg 2004;70(3):323-8. [Abstract]1. Gasem MH, Smits HL, Goris MGA, Dolmans WMV. Evaluation of a simple and rapid dipstick assay for the diagnosis of typhoid fever in Indonesia. J Med Microbiol 2002;51:173-7.1. Ismail TF, Smits HL, Wasfy MO, Malone JL, Fadeel MA, Mahoney F. Evaluation of disptick serologic tests for diagnosis of brucellosis and typhoid fever in Egypt. J Clin Microbiol 2002;40(9):3509-11.1. Hatta M, Goris MG. Simple dipstick assay for the detection of Salmonella typhi-specific IgM antibodies and the evolution of the immune response in patients with typhoid fever. Am J Trop Med Hyg 2002;66(4):416-21. [Abstract]1. Pang T. Molecular biology as a diagnostic tool in Salmonellosis. Dalam : Sarasombath S, Senawong S, Eds. Second Asia-Pacific symposium on typhoid fever and other Salmonellosis. Thailand : SEAMEO Regional Tropical Medicine and Public Health Network, 1995:213-6.1. Haque A, Ahmed J, Qureshi JA. Early detection of typhoid by polymerase chain reaction. Ann Saudi Med 1999;19(4):337-40.1. Massi MN, Shirakawa T, Gotoh A, Bishnu A, Hatta M, Kawabata M. Rapid diagnosis of typhoid fever by PCR assay using one pair of primers from flagellin gene of Salmonella typhi. J Infect Chemother 2003;9(3):233-7