referat sindrom nefrotik inna

28
SINDROM NEFROTIK I. PENDAHULUAN Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu menifestasi klinik glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥ 3,5 g/hari, hipoalbuminemia < 3,5 mg/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria. 1,2 Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi pada SN berat yang disertai kadar albumin serum yang rendah ekskresi protein dalam urin juga berkurang. Proteinuria juga berkonstribusi terhadap berbagai komplikasi yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan keseimbangan nitrogen, hiperkoagulobilitas, gangguan metabolisme kalsium dan tulang, serta hormone tiroid sering dijumpai pada SN. 1

Upload: inna

Post on 03-Jan-2016

84 views

Category:

Documents


17 download

TRANSCRIPT

SINDROM NEFROTIK

I. PENDAHULUAN

Sindrom nefrotik (SN) merupakan salah satu menifestasi klinik

glomerulonefritis (GN) ditandai dengan edema anasarka, proteinuria masif ≥ 3,5

g/hari, hipoalbuminemia < 3,5 mg/dl, hiperkolesterolemia, dan lipiduria.1,2

Pada proses awal atau SN ringan untuk menegakkan diagnosis tidak semua

gejala tersebut harus ditemukan. Proteinuria masif merupakan tanda khas SN, tetapi

pada SN berat yang disertai kadar albumin serum yang rendah ekskresi protein dalam

urin juga berkurang. Proteinuria juga berkonstribusi terhadap berbagai komplikasi

yang terjadi pada SN. Hipoalbuminemia, hiperlipidemia dan lipiduria, gangguan

keseimbangan nitrogen, hiperkoagulobilitas, gangguan metabolisme kalsium dan

tulang, serta hormone tiroid sering dijumpai pada SN. Umumnya pada SN fungsi

ginjal normal kecuali sebagian kasus yang berkembang menjadi penyakit ginjal tahap

akhir (PGTA). Pada beberapa episode SN dapat sembuh sendiri dan menunjukkan

respons yang baik terhadap terapi steroid, tetapi sebagian lain dapat berkembang

menjadi kronik.1

II. EPIDEMIOLOGI

Insidens ini dapat mengenai semua umur tetapi sebagian besar (74%) dijumpai pada

usia 2- 7 tahun. Rasio laki- laki : perempuan = 2 : 1 , sedangkan pada masa remaja

dan dewasa rasio ini berkisar 1 : 1.3

1

III. ETIOLOGI

Sindrom nefrotik dapat disebabkan oleh glomerulonefritis primer dan

sekunder akibat infeksi, keganasan, penyakit jaringan penghubung (connective tissue

disease), obat atau toksin, dan akibat penyakit sitemik. 1

Klasifikasi dan penyebab sindrom nefrotik :

1. Sindrom nefrotik primer 1,4,5

- GN lesi minimal (GNLM)

- Glomerulosklerosis fokal (GSF)

- GN membranosa (GNMN)

- GN membranoproliferatif (GNMP)

- GN proliferative lain

Faktor etiologinya tidak diketahui. Dikatakan sindrom nefrotik primer

oleh karena sindrom nefrotik ini secara primer terjadi akibat kelainan pada

glomerulus itu sendiri tanpa ada penyebab lain. Kebanyakan (90%) anak

yang menderita nefrosis mempunyai beberapa bentuk sindrom nefrotik

primer.

2. Sindrom nefrotik sekunder 1,5

a). Infeksi : HIV, hepatitis virus B dan C, sifilis, malaria,

skistosoma, tuberculosis, lepra.

b). Keganasan : karsinoma ginjal, limfoma Hodgkin

2

c). efek obat dan toksin : obat anti inflamasi non-steroid, penisilinamin,

probenesid, kaptopril, heroin, air raksa.

d). lain-lain : diabetes mellitus, amiloidosis, pre-eklamsia.

IV. ANATOMI GINJAL

Ginjal adalah sepasang organ saluran kemih yang terletak di rongga

retroperitoneal bagian atas. Bentuknya menyerupai kacang dengan sisi cekungnya

menghadap ke medial. Pada sisi ini terdapat hilus ginjal yaitu tempat struktur-struktur

pembuluh darah, sistem limfatik, sistem saraf, dan ureter menuju dan meninggalkan

ginjal.6

Besar dan berat ginjal sangat bervariasi, hal ini tergantung pada jenis kelamin,

umur, serta ada tidaknya ginjal pada sisi yang lain. Pada autopsi klinis didapatkan

bahwa ukuran ginjal orang dewasa rata-rata adalah 11,5 cm (panjang) x 6 cm (lebar)

x 3,5 cm (tebal). Beratnya bervariasi antara 120-170 gram, atau kurang lebih 0,4%

dari berat badan.6

Gambar 1 : Anatomi ginjal (Dikutip dari kepustakaan 6)

3

Gambar 2 : foto rontgen-AP ginjal dengan kontras (dikutip dari kepustakaan 6)

1. Struktur Ginjal

Secara anatomis ginjal terbagi menjadi 2 bagian yaitu korteks dan medulla

ginjal. Di dalam korteks terdapat berjuta-juta nefron, sedangkan di dalam

medulla banyak terdapat duktuli ginjal. Nefron adalah unit fungsional terkecil

dari ginjal yang terdiri atas, tubulus kontortus proksimalis, tubulus kontortus

distalis, dan duktus kolengentes.6

4

Gambar 3 : Nefron merupakan unit terkecil ginjal (dikutip dari kepustakaan 6)

Darah yang membawa sisa-sisa hasil metabolisme tubuh difiltrasi di dalam

glomeruli kemudian di tubuli ginjal, beberapa zat yang masih diperlukan tubuh

mengalami reabsorbsi dan zat-zat sisa hasil metabolisme mengalami sekresi

bersama air membentuk urin.6

Setiap hari tidak kurang 180 liter cairan tubuh difiltrasi di glomerulus dan

menghasilkan urin 1-2 liter. Urin yang terbentuk di dalam nefron disalurkan

melalui piramida ke sistem pelvikalises ginjal untuk kemudian disalurkan ke dalam

ureter.4

Sistem pelvikalises ginjal terdiri atas kaliks minor, infundibulum, kaliks

major, dan pielum/pelvis renalis. Mukosa system pelvikalis terdiri atas epitel

transisional dan dindingnya terdiri atas otot polos yang mampu berkontraksi unuk

mengalirkan urin sampai ke ureter.6

2. Vaskularisasi Ginjal

5

Ginjal mendapatkan aliran darah dari arteri renalis yang merupakan cabang

langsung dari aorta abdominalis, sedangkan darah vena dialrkan melalui vena

renalis yang bermuarake dalam vena kava inferior. Sistem arteri ginjal adalah

end arteries yaitu arteri yang tidak mempunyai anastomosis dengan cabang-

cabang dari arteri lain, sehingga jika terdapat kerusakan salah satu cabang

arteri ini, berakibat timbulnya iskemia/nekrosis pada daerah yang dilayaninya.6

Gambar 4 : Vaskularisasi Ginjal (dikutip dari kepustakan 6)

V. PATOFISIOLOGI

Pemahaman patogenesis dan patofisiologi sangat penting dan merupakan

pedoman pengobatan rasional untuk sebagian besar pasien sindrom nefrotik.

Komponen sindrom nefrotik memperlihatkan hubungan logis satu sama lain. Proses

awal adalah kerusakan dinding kapiler glomerulus yang menyebabkan peningkatan

permeabilitas terhadap protein plasma.7

Proteinuria

6

Proteinuria disebabkan peningkatan permeabilitas kapiler terhadap protein

akibat kerusakan glumerulus. Dalam keadaan normal MBG (Membran Basalis

Glomerulus) mempunyai mekanisme penghalang untuk mencegah kebocoran protein.

Mekanisme penghalang pertama berdasarkan ukuran molekul (size barrier) dan yang

kedua berdasarkan muatan listrik (charge barrier). Pada SN kedua mekanisme

penghalang tersebut ikut terganggu. Selain itu konfigurasi molekul protein juga

menentukan lolos tidaknya protein melalui MBG.1

Proteinuria dibedakan menjadi selektif dan non- selektif berdasarkan ukuran

molekul protein yang keluar melalui urin. Proteinuria selektif apabila protein yang

keluar terdiri dari molekul kecil misalnya albumin, sedangkan non- selektif apabila

protein yang keluar terdiri dari molekul besar seperti seperti imunoglobulin.

Selektivitas proteinuria ditentukan oleh keutuhan struktur MBG.1

Secara keseluruhan, walau proteinuria menetap pada lebih dari 60% pasien,

hanya sekitar 40% pasien mengalami penyakit progresif yang berakhir pada gagal

ginjal setelah 2 sampai 20 tahun. Sebanyak 10% sampai 30% memperlihatkan

perjalanan penyakit jinak dengan remisi proteinuria yang parsial atau total.7

Edema

Edema, Peningkatan permeabilitas glomerulus menyebabkan albuminuria dan

akhirnya hipoalbuminemia. Pada gilirannya, hipoalbuminemia menurunkan tekanan

osmotik koloid plasma, menyebabkan filtrasi transkapiler lebih besar dari air ke

seluruh tubuh dan akhirnya dapat menimbulkan edema.8 Edema mula- mula nampak

pada kelopak mata terutama waktu bangun tidur. Edema yang hebat atau anasarka

7

sering disertai edema pada genitalia eksterna. Selain itu edema anasarka ini dapat

menimbulkan diare dan hilangnya nafsu makan karena edema mukosa usus. Akibat

anoreksia dan proteinuria masif, pada anak dapat menderita PEM (Protein Energi

Malnutrisi). Hernia umbilikalis, dilatasi vena, prolaps rectum dan sesak napas dapat

pula terjadi akibat edema anasarka ini.3

Hipoalbuminemia

Konsentrasi albumin plasma ditentukan oleh asupan protein, sintesis albumin

hati dan kehilangan protein melalui urin. Pada SN, hipoalbuminemia disebabkan oleh

proteinuria masif dengan akibat penurunan tekanan onkotik plasma. Untuk

mempertahankan tekanan onkotik plasma maka hati berusaha meningkatkan sintesis

albumin. Peningkatan sintesis albumin hati tidak berhasil menghalangi timbulnya

hipoalbuminemia. Diet tinggi protein dapat meningkatkan sintesis albumin hati, tetapi

dapat mendorong peningkatan ekskresi albumin melalui urin.1

Hiperlipidemia

Hiperlipidemia dan lipiduria, Hiperlipidemia merupakan keadaan yang sering

menyertai SN. Kadar kolesterol umumnya meningkat sedangkan trigliserid bervariasi

dari normal sampai sedikit meninggi. Peningkatan kadar kolesterol disebabkan oleh

meningkatnya LDL. Mekanisme hiperlipidemia pada sindrom nefrotik dihubungkan

dengan peningkatan sintesis lipid dan lipoprotein hati dan menurunnya katabolisme.

Semula diduga hiperlipidemia hasil stimulasi non spesifikterhadap sintesis protein

oleh hati. Oleh karen sintesis protein tidak berkorelasi dengan hiperlipidemia

8

disimpulkan hiperlipdemia tidak langsung diakibatkan oleh hipoalbuminemia.

Hiperlipidemia dapat ditemukan pada sindrom nefrotik dengan kadar albumin

mendekati normal dan sebaliknya pada pasien hipoalbuminemia kadar kolesterol

dapat normal.1

Tingginya kadar LDL pada SN disebabkan peningkatan sintesis hati tanpa

gangguan katabolisme. Penigkatan sintesis hati dan gangguan konversi VLDL dan

IDL menjadi LDL mennyebabkan kadar VLDL tinggi pada SN. Menurunnya

aktivitas enzim LPL (lipoprotein lipase) di duga merupakan penyebab berkurangnya

katabolisme VLDL pada SN. Peningkatan sintesis lipoprotein pada hati terjadi akibat

tekanan onkotik plasma atau viskositas yang menurun. Penurunan kadar HDL pada

SN diduga akibat berkurangnya aktivitas enzim LCAT (lecithin cholesterol

acyltransferase) yang berfungsi katalisasi pembentukan HDL. Enzim ini juga

berperan mengangkut kolesterol menuju hati untuk katabolisme. Penurunan aktivitas

enzim tersebut diduga terkait dengan hipoalbuminemia yang terjadi pada SN.

Lipiduria serinng ditemukan pada SN dan ditandai dengan akumulasi lipid pada

debris sel cast seperti badan lemak berbentuk oval dan fatty cast. Lipiduria lebih

dikaitkan dengan proteinuria dibangdingkan dengan hiperlipidemia.1

VI. DIAGNOSIS

9

Manifestasi klinik utama pada Sindrom Nefrotik adalah edema, yang tampak

pada sekitar 95% anak dengan sindrom nefrotik. Seringkali edema timbul secara

lambat sehingga keluarga mengira sang anak bertambah gemuk. Pada fase awal

edema sering bersifat intermiten;  biasanya awalnya tampak pada daerah-daerah yang

mempunyai resistensi jaringan yang rendah (misal, daerah periorbita, skrotum atau

labia). Akhirnya sembab menjadi menyeluruh dan masif (anasarka).4,8

Edema berpindah dengan perubahan posisi, sering tampak sebagai sembab

muka pada pagi hari waktu bangun tidur, dan kemudian menjadi bengkak pada

ekstremitas bawah pada siang harinya. Bengkak bersifat lunak, meninggalkan bekas

bila ditekan (pitting edema). Pada penderita dengan edema hebat, kulit menjadi lebih

tipis dan mengalami oozing. 4,8

Gangguan gastrointestinal sering timbul dalam perjalanan penyakit sindrom

nefrotik. Diare sering dialami pasien dalam keadaan edema masif dan keadaan ini

tidak berkaitan dengan infeksi namun diduga penyebabnya adalah edema dimukosa

usus.4

Hepatomegali dapat ditemukan pada pemeriksaan fisik, mungkin disebabkan

sintesis albumin yang meningkat atau edema atau keduanya.pada beberapa pasien,

nyeri perut kadang-kadang berat dapat terjadi pada keadaan SN yang kambuh.

Kadang nyeri dirasakan terbatas pada daerah kuadran atas kanan abdomen. Nafsu

makan kurang, berhubungan erat dengan beratnya edema yang diduga sebagai

akibatnya. Anoreksia dan terbuangnya protein mengakibatkan malnutrisi berat

terutama pada pasien resisten steroid. 4

10

Efusi pleura sering terdapat pada pasien dengan sindrom nefrotik.

Berdasarkan penemuan Radiografi terdapat efusi sekitar 21% dari 52 anak-anak

dengan nephrosis. Menurunnya tekanan osmotik plasma dan meningkatnya tekanan

hidrostatik mendukung perkembangan efusi pleura transudat. Torakosintesis harus

dilakukan setiap terjadi efusi pada pasien sindrom nefrotik, untuk mengkonfirmasi

bahwa cairan tersebut adalah sebuah transudat (protein < 3g/dl). Adanya efusi pleura

menyebakan pasien sesak napas.9,10

- Pemeriksaan Radiologi

Tidak perlu dilakukan pencitraan secara rutin pada pasien sindrom nefrotik. Sindrom

nefrotik biasanya tidak menyebabkan adanya kelainan pada ginjal. Gambaran ginjal

pada pemeriksaan USG, CT-Scan atau MRI sebenarnya tidak diperlukan. Karena dari

pemeriksaan tersebut kita tidak dapat menentukan penyebab dari sindrom nefrotik.4

a. Foto thorax

Pemeriksaan foto thorax tidak perlu dilakukan secara rutin pada

penderita sindrom nefrotik. Pada pemeriksaan foto thorax , tidak jarang

ditemukan adanya efusi pleura dan hal tersebut berkolerasi langsung

dengan derajat edema dan secara tidak langsung dengan kadar albumin

serum.4,11

Pada pemeriksaan foto thorax rutin tegak cairan pleura tampak berupa

perselubungan homogen menutupi struktur paru bawah yang biasanya

relatif radiopak dengan permukaan atas cekung, berjalan dari lateral atas

11

ke arah medial bawah. Karena cairan mengisi ruang hemitoraks sehingga

jaringan paru akan terdorong ke arah sentral / hilus, dan kadang-kadang

mendorong mediastinum ke arah kontralateral.12

Gambar 5 : Efusi Pleura kanan (dikutip dari kepustakaan 13)

12

Gambar 6 : Efusi pleura (dikutip dari kepustakaan 13)

b. Ultrasonografi

Ultrasonografi merupakan salah satu imaging diagnostic untuk

pemeriksaan alat-alat tubuh , dimana kita dapat mempelajari bentuk,

ukuran anatomis, gerakan serta hubungan dengan jaringan sekitarnya.

Pemeriksaan in bersifat non-invasif, tidak menimbulkan rasa sakit pada

penderita, dapat dilakukan dengan cepat, aman, dan tidak ada

kontraindikasinya.12

Pada penderita sindrom nefrotik pemeriksaan USG ginjal sering

terlihat normal meskipun kadang-kadang dijumpai pembesaran ringan

kedua ginjal dengan ekogenitas yang normal.4 Hipoalbuminemia pada

sindrom nefrotik menyebabkan penurunan tekanan onkotik plasma

sehingga cairan bergeser dari intravaskuler ke jaringan interstisium dan

terjadi Ascites. 5

13

Gambar 11 : USG abdomen, Gambaran Ascites (dikutip dari kepustakaan 14)

c. CT-Scan

Asites terlihat jelas dengan pemeriksaan CT-Scan. Sedikit cairan asites

terdapat pada ruang periheoatik kanan, ruang subhepatik posterior

(kantung morison), dan kantung douglas.14

Gambar 12 : Ct-scan Adomen, gambaran ascites (dikutip dari kepustakaan 14)

VII. DIAGNOSA BANDING

1. Glomerulonefritis akut

Pada penyakit ini terjadi inflamasi akut glomerulus. Pada stadium akut,

terjadi kerusakan mendadak pada membran glomerulus. Penyakit ini

sering dijumpai pada anak dan dewasa muda setelah mengalami infeksi

kuman Streptococcus grup A pada saluran napas bagian atas. Terjadi

pengendapan kompleks antigen-antibodi pada membrane glomerulus yang

dapat merusak integritas membrane glomerulus. 2

14

Gambar 9 : subakut glomerulonefritis: Peningkatan echogenicity kortikal

dengan piramida sangat hypoechoic. (dikutip dari kepustakaan 15)

2. Gagal jantung kongestif

Gagal jantung kronik didefinisikan sebagai sindrom klinik yang kompleks

yang disertai dengan keluhan gagal jantung berupa sesak, fatik, baik

dalam keadaan istrahat atau latihan, edema dan tanda objektif adanya

disfungsi jantung dalam keadaan istirahat.16

Gambar 10 : Gagal jantung kongestif (dikutip dari kepustakaan 17)

15

VIII. TERAPI

Sindrom nefrotik diobati dengan obat kortikosteroid dan imunosupresif yang

langsung berhubungan dengan asal lesi, makanan tinggi protein dan garam yang

dibatasi, diuretik, beberapa infus IV albumin, dan membatasi aktivitas selama fase

akut. Jika memakai diuretik, harus digunakan dengan hati-hati karena diuresis yang

berlebihan akan menyebabkan penurunan volume ECF dan meningkatkan risiko

trombosis dan hipoperfusi ginjal. Pemberian inhibitor ACE menjadi pilihan lini

pertama untuk mengurangi proteinuria dan penanganan hipertensi secara agresif

untuk memperlambat proses kerusakan ginjal.2

IX. PROGNOSIS

Pada umunya sebagian besar (±80%) sindrom nefrotik primer memberi respon

yang baik terhadap pengobatan awal dengan steroid, tetapi kira-kira 50% di antaranya

akan relaps berulang dan sekitar 10% tidak memberi respon lagi dengan pengobatan

steroid.4

Prognosis umunya baik, kecuali pada keadaan-keadaan sebagai berikut :4

1. Menderita untuk pertama kalinya pada umur di bawah 2 tahun atau di atas

6 tahun

2. Disertai oleh hipertensi

3. Disertai hematuria

4. Termasuk jenis sindrom nefrotik sekunder

5. Gambaran histopatologik bukan kelainan mini

16

DAFTAR PUSTAKA

1. Prodjosudjadi W. Sindrom Nefrotik. In : Sudoyo Aru W. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ; 2006. Hal 547-549

2. Price S, Wilson L. Gagal Ginjal Kronik. In : Huriawati Hartanto. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit. Edisi ke-6. Jakarta : EGC; 2006. Hal 929-933.

3. Rauf S. Catatan Kuliah Nefrologi Anak. Makassar: Bagian Ilmu Kes. Anak FK-UH; 2002. p. 21-8.

4. Noer MS, Soemyarso N. Sindrom Nefrotik. (online). 2010. (cited 2013 March 21). Available From : http://old.pediatrik.com/isi03.php?page=html&hkategori=pdt&direktori=pdt&filepdf=0&pdf=&html=07110-ebtq258.htm

17

5. Richard E.Berhman, Robert M. Kligman, Ann M. Arvin. Keadaan-keadaan yang terutama disertai dengan proteinuria. In : Wahab A. Samik. Ilmu kesehatan anak. Edisi ke-15. Jakarta : EGC; 2000. Hal.1828-1829

6. Purnomo Basuki B. Anatomi Sistem Urogenitalia. Dasar-Dasar Urologi. Edisi ke-2. Malang : CV. Sagung Seto; 2009. Hal 1-3.

7. Kumar Vinay, Ramzi S, Stanley LR. Ginjal dan Sistem Penyalurnya. Buku Ajar Patologi Robbins. 7 ed. Jakarta: EGC; 2007. p. 579-85.

8. Eric P Cohen MD. Pathophysiology : Nephrotic syndrome. (online). 2012. (cited 2013 March 19). Available From : http://emedicine.medscape.com/article/244631-overview#a0104

9. Kinasewitz GT. Transudative Effusions. Journal [serial on the Internet]. 1997 Date [cited 2013 March 19]: Available from: http://www.ersj.org.uk/content/10/3/714.full.pdf.

10. Andrew Planner MU, Rakesh Misra. A–Z of Chest Radiology New York: Cambridge Medicine; 2007. p. 156-7.

11. Tsuei BJ. Atlas of the Oral and Maxillofacial Surgery Clinics. Chest Radiography. Kentucky: University of Kentucky; 2002. p. 191- 3.

12. Rasad Syahriar. Pleura dan Mediastinum. In : Ekayuda I. Radiologi Diagnostik. Edisi ke-2. Jakarta: Balai penerbit FKUI ; 2006. Hal. 116,453.

13. Sutton David. Textbook of Radiology and Imaging. 7th Edition. Churchill livingstone : Elsevier science ; 2003. p. 90

14. Meddean. Ascites. (online). 2011. (cited 2012 September 25). Available From : URL : http://www.meddean.luc.edu/lumen/MedEd/Radio/curriculum/Surgery/Ascites.htm

15. Schmidt G. Thieme Clinical Companions Ultrasound. Stuttgart, Germany: Georg Thieme veralg ; 2007. p. 269

18

16. Ghanie Ali. Gagal jantung kronik. In : Sudoyo Aru W. Buku ajar Ilmu Penyakit Dalam. Edisi ke-4. Jakarta : Departemen ilmu penyakit dalam Fakultas kedokteran Universitas Indonesia ; 2006. Hal 1511

17. Philip Eng, Foong-koon cheah. Interpreting Chest X-Rays illustrated with 100 cases. New York : Cambridge University Press ; 2005. p. 17

19