referat praktik kedokteran 1
DESCRIPTION
referat praktik kedokteranTRANSCRIPT
REFERAT
KOMUNIKASI PASIEN-DOKTER
Disusun untuk memenuhi nilai midtest mata kuliah
Etika Hukum Kedokteran dan HAM
Oleh:
Idama Asido Rohana Simanjuntak
I1A010052
FAKULTAS KEDOKTERAN
UNIVERSITAS LAMBUNG MANGKURAT
BANJARMASIN
2011
BAB I
PENDAHULUAN
Latar Belakang
Dalam profesi kedokteran, komunikasi dokter-pasien merupakan salah satu
kompetensi yang harus dikuasai dokter. Kompetensi komunikasi menentukan
keberhasilan dalam membantu penyelesaian masalah kesehatan pasien. Selama ini
kompetensi komunikasi dapat dikatakan terabaikan, baik dalam pendidikan maupun
dalam praktik kedokteran/kedokteran gigi. Di Indonesia, sebagian dokter merasa
tidak mempunyai waktu yang cukup untuk berbincang-bincang dengan pasiennya,
sehingga hanya bertanya seperlunya. Akibatnya, dokter bisa saja tidak mendapatkan
keterangan yang cukup untuk menegakkan diagnosis dan menentukan perencanaan
dan tindakan lebih lanjut. Dari sisi pasien, umumnya pasien merasa dalam posisi
lebih rendah di hadapan dokter (superior-inferior), sehingga takut bertanya dan
bercerita atau hanya menjawab sesuai pertanyaan dokter saja. Tidak mudah bagi
dokter untuk menggali keterangan dari pasien karena memang tidak bisa diperoleh
begitu saja. Perlu dibangun hubungan saling percaya yang dilandasi keterbukaan,
kejujuran dan pengertian akan kebutuhan, harapan, maupun kepentingan masing-
masing. Dengan terbangunnya hubungan saling percaya, pasien akan memberikan
keterangan yang benar dan lengkap sehingga dapat membantu dokter dalam
mendiagnosis penyakit pasien secara baik dan memberi obat yang tepat bagi pasien.
Komunikasi yang baik dan berlangsung dalam kedudukan setara (tidak superior-
inferior) sangat diperlukan agar pasien mau/dapat menceritakan sakit/keluhan yang
dialaminya secara jujur dan jelas. Komunikasi efektif mampu mempengaruhi emosi
pasien dalam pengambilan keputusan tentang rencana tindakan selanjutnya,
sedangkan komunikasi tidak efektif akan mengundang masalah.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Berbagai penelitian menunjukkan bahwa pasien yang datang menemui dokter
30-50% disebabkan oleh faktor psikogenik. Gejala somatik yang disebabkan oleh
gangguan psikis tidak selalu terbatas pada gangguan fungsinya saja, Seseorang yang
mempunyai predisposisi secara biologik atau mengalami gangguan emosi yang lama,
dapat menimbulkan penyakit somatik. Terutama jika dipacu kejadian- kejadian
tertentu atau stress yang tiba-tiba. Contoh penyakit psikosomatik tersebut antara lain,
yakni ulkus duodenum, tekanan darah tinggi dan kolitis ulserosa. Penelitian terakhir
membuktikan bahwa pengaruh psikososial pada terjadinya penyakit somatik lebih
luas secara bermakna daripada yang diperkirakan.
Situasi kehidupan yang tidak menyenangkan atau perubahan kehidupan
mendadak, terutama kehilangan yang tiba-tiba, dapat memicu timbulnya penyakit
psikosomatik. Contohnya, kehilangan orang yang dicintai, pekerjaan, tempat tinggal,
ideologi, atau kehilangan status sosial ekonomi. Situasi kehidupan seperti itu dapat
menjadi faktor predisposisi terjadinya penyakit somatik. Penyakit tersebut terjadi dari
ketidakmampuan seseorang dalam mengatasi masalah . Reaksi tersebut dapat berupa
reaksi kepasrahan (surrender reaction), tidak adanya suatu harapan (hopelessness)
atau ketidakberdayaan (helplessness).
Cara seseorang bereaksi terhadap suatu penyakit sangat beragam. Semua itu
tidak hanya tergantung pada perjalanan penyakit dan pengobatannya saja, tetapi juga
pada kepribadiannya. Pada anak-anak, yang perkembangan kepribadiannya belum
sempurna, membuat setiap tindakan yang kita berikan menjadi tindakan yang pada
akhirnya membuat si anak trauma. Misal, pemeriksaan tenggorokan dengan spatel,
pemberian suntikan imunisasi, dan lain-lain. Semua ini membuat anak bertindak
irasional, inkontinensia, keran otot, dan sebagainya.
Secara umum, dalam menangani suatu penyakti diperlukan dua cara
oendekatan yaitu dengan pendekatan ilmiah murni dan pendekatan psikososial.
Sebagai contoh, menolong bayi yang lahir dengan asfiksia. Saat penanganannya dapat
digunakan dengan metode ilmiah murni. Untuk kasus lain, seperti saat haru
menangani pasien dengan kecemasan, diperlukan pendekatan psikososial. Akan
tetapi, sebagian besar kasus yang datang ke dokter tidaklah semudah itu. Terkadang
dokter malah diharuskan menggunakan kedua pendekatan tersebut.
Oleh sebab itu seorang dokter perlu memiliki keterampilan khusus dalam
berkomunikasi dengan pasiennya. Aplikasi ilmu perilaku didalam praktik kedokteran
terletak pada hubungan antara dokter dengan pasiennya. Komunikasi pasien dokter i
ni diperlukan untuk mendapat informasi yang sebanyak-banyaknya mengenai kondisi
pasien, agar dokter dapat membuat diagnosis. Selain itu, komunikasi membantu
pasien bekerja sama dengan dokternya dalam proses penyembuhan. Penggunaan
komunikasi pasien dokter untuk berbagai tujuan medik telah ada sejak zaman dahulu.
Saat itu, alat bantu penunjang diagnosa sangat terbatas dana ada agama tertentu yang
tidak memperbolehkan dokter pria menyentuh pasien wanita. Komunikasi pasien
dokter ini merupakan hala yang sangat penting dan disebut sebagai Art of Medicine.
Komunikasi jenis ini sangat alamiah dan merupakan seni dalam berkomunikasi pada
praktik kedokteran.
A. Komunikasi Pasien-Dokter
Komunikasi pasien-dokter merupakan hubungan antar-manusia yang
mempunyai sifat-sifat umum dan khusus. Sifat khusus tersebut antara lain: dokter
merupakan profesi penyembuh dan menjadi kesediaan pasien untuk menyerahkan
sebagian rahasia pribadinya kepada dokter. Profesi dokter yang khusus ini pula yang
membuat pasien mempunyai fantasi dan perasaan tertentu, yang dapat mempengaruhi
sikapnya, bahkan sebelukm ketemu dokternya yang disebut sebagai transference.
Bila seseorang yang sakit mencari pertolongan dokter, maka dia
menginginkan suatu hubungan yang bersifat pribadi. Pada orang dewasa, hubungan
pasien dengan dokter ini memiliki ciri tertentu, yaitu hubungan yang disadari,
realistik, dan wajar dalamu upaya pasien mencari pertolongan dari tenaga
profesional. Namun, terkadang hubungan ini dipengaruhi oloeh kepribadian pasien
dan tipikal dari masyarakat tertentu tehadap dokter, misalnya dalam harapan
prasangka, sikap, perasaan dan lainnya. Serta harapan yang didasarkan oleh
pengalaman sebelumnya dengan dokter lain atau orang penting lainnya.
Hubungan dokter-pasien itu bersifat pribadi. Oleh karena itu, diperlukan sikap
hormat terhadapt pribadi orang lain dan keterampilan membangkitkan dan
memelihara kesiapan pasien supaya mau bekerja sama dan mempunyai motivasi
untuk sembuh. Untuk itu, diperlukan pengetahuan dan keterampilan yang harus
dimiliki seorang dokter yaitu sebagai berikut.
1. Pengetahuan ilmu perilaku yang relevan dengan ilmu kedokteran.
2. Kemampuan untuk menilai situasi emosi pasien, serta kemampuan untuk
memulai menciptakan hubungan pasien-dokter yang baik
(ketrampilan interpersonal)
3. Kemampuan dokter untuk mengenal dirinya sendiri sebaik mungkin
supaya menghilangkan sikap curiga atau masalah-masalah yang dapat
merusak hubungan pasien-dokter (keterampilan intrapersonal)
4. Kemampuan untuk menciptakan iklim yang kondusif dan mencegah
kesalahan yang mendasar dalam hubungan pasien dokter. Untuk itu,
diperlukan kecerdasan emosi (EQ) yang baik yang merupakan perpaduan
antara keterampilan interpersonal dan intrapersonal.
5. Mempunyai pengetahuan untuk membedakan faktor somatik dan
psikososial.
6. Mengetahui dampak psikologik dari pemeriksaan dan tindakan terapi yang
diberikan pada pasien dan mengadaptasikan teknik tersebut setepat
mungkin.
7. Mempunyai pengetahuan yang memadai dalam menciptakan dan membina
hubungan yang baik antara dokter dengan pasien anak-anak, manula,
pasien yang berpenyakit kronik, dan pasien yang menderita penyakit
stadium terminal, serta membantu mengatasi berbagai masalah dari pasien
tersebut.
Komunikasi pasien-dokter merupakan momen yang sangat penting dalam
rangka penyembuhan pasien. Dalam komunikasi pasien-dokter, karena keahliannya,
dokter mempunyai posisi yang “lebih tinggi” daripada pasien. Dapat dikatakan dokter
memiliki legitimate power sehingga dengan mudah dapat memengaruhi pasien. Hal
tersebut merupakan modal untuk dapat mengubah sikap dan perilaku pasien. Selain
itu, dokter juga berada dalam keadaan yang khusus untuk dapat memengaruhi pasien.
Seorang dokter mampu berinteraksi secara individual dengan pasiennya, dengan
demikian rekomendasi kesehatan dapat disesuaikan dengan kebutuhan individual dan
kerentanan pasien. Kondisi tersebut dapat memaksimalkan perubahan sikap dan
perilaku pasien, misal seorang pasien yang diberitahu oleh dokternya bahwa dia akan
rentan terhadap kanker paru karena kebiasaan merokoknya, akan lebih
memungkinkan dia untuk berhenti merokok dibandingkan himbauan melalui media
massa. Jadi hal-hal yang disampaikan dokter lebih efektif dalam memengaruhi
pasien. Namun perlu diingat, dengan kemajuan sistem informasi saat ini banyak
pasien yang datang kepada dokter dalam keadaan well informed.
Walaupun dalam komunikasi pasien-dokter, kedudukan dokter sebagai
seorang ahli “lebih tinggi” dari pasien, seorang dokter harus menjaga komunikasi dan
menghindari adanya pemberian nasihat kepada pasien. Komunikasi akan lebih efektif
dan interaktif bila nasihat diubah menjadi informasi. Disini, dokter diharapkan
mampu memberikan informasi kepada pasien dengan cara-cara yang mudah dipahami
dan sebisa mungkin tidak menggunakan istilah medik yang tidak dimengerti oleh
pasien. Perlu ditekankan pentingnya mengomunikasikan informasi secara jelas.
Mintalah pasien mengulanginya untuk meyakinkan bahwa pasien telah mengerti.
Dalam komunikasi dikenal dua macam komunikasi, yaitu komunikasi verbal
dan nonverbal. Komunikasi verbal adalah komunikasi melalui kata-kata yang
diucapkan, sedangkan komunikasi non verbal adalah segala sesuatu yang
disampaikan oleh seseorang kepada orang lain tanpa kata-kata. Komunikasi ini
ditunjukkan melaui isyarat, ekspresi wajah, bahas tubuh, serta nada suara. Cara-cara
mengomunikasikan keramahan dan kehangatan kepada pasien melalui perilaku non
verbal, seperti senyuman, sikap condong ke depan dan bersalaman dapat
meningkatkan proses komunikasi. Begitu juga dengan isyarat-isyarat non verbal
lainnya, seperti nada suara dan ekspresi wajah dapat mengkomunikasikan emosi yang
berbeda-beda. Nada suara yang berbeda akan mengomunikasikan emosi yang berbeda
pula. Ekspresi yang menyertai ingin disampaikan. Dengan demikian, komunikasi
akan menjadi lebih efektif.
B. Seni Mendengar dan Mendengar Aktif
Dalam berkomunikasi dokter tidak hanya berbicara dengan memberikan
informasi saja, tetapi perlu juga mendengarkan yang diucapkan pasien sehingga
terjadi komunikasi dua arah. Untuk mencapai itu seorang dokter perlu memahami
seni mendengar. Theodore Reik dalam bukunya Listening with the Third Ear
menyatakan bahwa jika kita mendengarkan, kita mendengar secara aktif tidak perlu
melulu pada perkataan yang disampaikan seseorang, tetapi juga memperhatikan
perasaan perasaan yang muncul dibalik kata-kata yang diucapkannya. Selain itu, kita
juga perlu memperhatikan nada suara dan bahasa tubuh. Dalam hal ini kita mencoba
menangkap perasaan secara keseluruhan karena orang tidak selalu dapat
mengomunikasikan perasaannya secara jelas dan terbuka. Terutama menyangkut
perasaan tertentu. Untuk dapat menangkap perasan pasien maka diperlukan adanya
empati. Seorang dokter harus berusaha memeahami sesuatu yang terjadi dari sudut
pandang pasien. Selain berempati dokter perlu memberikan umpan balik kepada
pasien mengenai sesuatu yang dipahaminya sehingga pasien benar-benar mengetahui
bahwa dokter memahami dirinya. Umpan balik juga berguna untuk mengecek
persepsi dokter terhadap pasiennya. Sebagai contoh adalah pertanyaan, “Apakah anda
sangat sedih?” . Dari pertanyaa ini bukan hanya umpan balik tentang perasaan pasien
yang ingin didapatkan, tetapi juga kepastian bahwa dokter telah membaca perasaan si
pasien dengan tepat. Berikut adalah cara menjadi pendengar aktif :
Terimalah pasien apa adanya dan perlakukan secara individual.
Dengarkan hal-hal yang diucapkan pasien dengan cara
menyatakannnya serta perhatikan nada suara, kata-kata yang
dipergunakan, ekspresi wajah dan bahas tubuh.
Tempatkan diri Anda pada sudut pandang pasien (empati).
Sekali-kali berikan jeda waktu bicara untuk memberi kesempatan pada
pasien berfikir, menanyakan sesuatu dan berbicara.
Ulangi hal-hal yang telah Anda dengar sehingga pasien tahu bahwa
Anda memahaminya.
Duduklah dengan nyaman, sedikit condong kedepean, hindari dari
gerakan-gerakan yagn dapt mengganggu jalannya komunikasi dan
pandanglah pasien ketika berbicara.
C. Langkah-langkah dalam Komunikasi Pasien Dokter
Dalam konseling yang juga diterapkan dalam komunikasi pasien dokter dikenal
adanya GATHER, singkatan dari Greet-Ask-Tell-Help-Explain-Return dengan
pengertian sebagai berikut :
Greet, memberi salam kepada pasien diawal pertemuan akan
menciptakan hubungan yang baik.
Ask, bertanya. Dengan bertanya dokter dapat membantu pasien untuk
menyatakan keinginan dan kebutuhannya serta mengekspresikan
perasaannya.
Tell, memberi informasi. Setelah pasien selesai menyatakan keluhan
dan kebutuhannya, berikanlah informasi secara jelas sehingga dapat
dimengerti oleh pasien yang kemudian dapat membantu pasien untuk
mengambil keputusan.
Help. Memberi bantuan. Bantuan diberikan ketika pasien yang
mengalami kesulitan dalam mengambil keputusan atau dalam
menentukan sikap.
Explain, memberi penjelasan. Dokter memeberikan penjelasan kepada
pasien tenatagn kepututsan yang telah dipilihnya.
Return, kontrol kembali. Bila dirasa perlu, berikan kesempatan pad
apasien untuk datang kembali.
D. Komunikasi yang Baik
Untuk mencapai pelayanan kedokteran yang efektif berdasarkan saling percaya
dan saling menghormati, perlu komunikasi yang baik antara pasien dan dokter.
Komunikasi yang baik meliputi :
a) Mendengarkan keluhan, mengali informasi, dan menghormati pandangan
serta kepercayaan pasien yang berkaitan dengan keluhannya.
b) Memebrikan informasi yagn diminta atau yang diperlukan tentang
kondisi, diagnosis, terapi dan prognosis pasien, serta rencana
perawatannya dengan menggunakan cara yang bijak dan bahasa yang
dimengerti pasien. Terasuk informasi tentang tujuan pengobatan, pilihan
obat yang diberikan, cara pemberian serta pengaturan dosis obat, dan
kemungkinan efek samping obat yang mungkin terjadi.
c) Memeberikan informasi tentang pasien serta tindakan kedokteran yang
dilakukan kepada keluarganya, setelah mendapat persetujuan pasien.
Jika seorang pasien mengalami kejadian uang tidak diharapkan selama dalam
perawatan dokter, dokter yang bersangkutan atau penanggungjawab pelayanan
kedokteran harus menjelaskan keadaan yang terjadi akibat jangka pendek atau jangka
panjang dan rencana tindakan kedokteran yang akan dilakaukan secara jujur dan
lengkap serta menunjukkan empati.
Jika pasien adalah seorang dewasa yang tidak mampu menerima penjelasan
dokter, maka penjelasan harus diberikan kepada mereka yang bertanggungjawab
terhadap pasien, keluarga dekat atau teman lainnya yang ikut terlibat dalam
perawatan pasien tersebut. Jika pasien adalah seorang anak, keadaan ini harus
disampaikan kepada orang yang bertanggungjawab secara pribadi atau kepada pasien
jika dinilai sudah cukup matang untuk mengerti kejadian tersebut.
Jika seorang pasien dalam asuhan dokter meninggal, sesuai pengetahuannya,
dokter harus menjelaskan sebab dan keadaan berkaitan dengan kematian tersbut
kepada orang tua, keluarga dekat, mereka yang mempunyai tanggung jawab, atau
teman yang terlibat dalam asuhan pasien tersebut kecuali jika pasien berwasiat lain.
Contoh Hasil Komunikasi Efektif:
Pasien merasa dokter menjelaskan keadaannya sesuai tujuannya berobat.
Berdasarkan pengetahuannya tentang kondisi kesehatannya, pasien pun
mengerti anjuran dokter, misalnya perlu mengatur diet, minum atau
menggunakan obat secara teratur, melakukan pemeriksaan (laboratorium,
foto/rontgen, scan) dan memeriksakan diri sesuai jadwal, memperhatikan
kegiatan (menghindari kerja berat, istirahat cukup, dan sebagainya).
Pasien memahami dampak yang menjadi konsekuensi dari penyakit yang
dideritanya (membatasi diri, biaya pengobatan), sesuai penjelasan dokter.
Pasien merasa dokter mendengarkan keluhannya dan mau memahami
keterbatasan kemampuannya lalu bersama mencari alternatif sesuai kondisi
dan
situasinya, dengan segala konsekuensinya.
Pasien mau bekerja sama dengan dokter dalam menjalankan semua upaya
pengobatan/perawatan kesehatannya.
Contoh Hasil Komunikasi Tidak Efektif:
Pasien tetap tidak mengerti keadaannya karena dokter tidak menjelaskan,
hanya mengambil anamnesis atau sesekali bertanya, singkat dan mencatat
seperlunya, melakukan pemeriksaan, menulis resep, memesankan untuk
kembali, atau memeriksakan ke laboratorium/foto rontgen, dan sebagainya.
Pasien merasa dokter tidak memberinya kesempatan untuk bicara, padahal ia
yang merasakan adanya perubahan di dalam tubuhnya yang tidak ia mengerti
dan karenanya ia pergi ke dokter. Ia merasa usahanya sia-sia karena sepulang
dari dokter ia tetap tidak tahu apa-apa, hanya mendapat resep saja.
Pasien merasa tidak dipahami dan diperlakukan semata sebagai objek, bukan
sebagai subjek yang memiliki tubuh yang sedang sakit.
Pasien ragu, apakah ia harus mematuhi anjuran dokter atau tidak.
Pasien memutuskan untuk pergi ke dokter lain.
Pasien memutuskan untuk pergi ke pengobatan alternatif atau komplementer
atau menyembuhkan sendiri (self therapy).
E. Memperoleh Persetujuan
Dalam setiap tindakan kedokteran yang akan dilakukan, doker harus mendapat
persetujuan pasien karena pada prinsipnya yang berhak memberikan persetujuan atau
penolakan tindakan medis adalah pasien yang bersangkutan. Untuk itu, dokter harus
melakukan pemeriksaan secara teliti, serta menyampaikan rencana pemeriksaan lebih
lanjut termasuk resiko yang mungkin terjadi secara jujur, transparan, dan
komunikatif. Dokter harus yakin bahwa pasien mengerti tentang apa yang
disampaikan sehingga pasien dalam memberikan persetujuan tanpa adanya paksaan
atau tekanan.
F. Menghormati Rahasia Kedokteran
Dokter dalam melaksanakan praktik kedokterab wajib menyimpan catatan
medis pasien maupun segala sesuatu yagn diketahuinya tentang pasien tersebut sebgai
rahasia kedokteran. Rahasia kedokteran dapat dibuka hanya untuk kepentingan
kesehatan pasien, permintaan pasien sendirimaupun dalam penegakan etik, disiplin,
dan hukum berdasarkan ketentuan yang berlaku.
G. Mempertahankan Kepercayaan Pasien
Hubungan yang baik antara dokter dengan pasien berdasarkan saling percaya
dan saling menghormati. Untuk mendapatkan dan mempertahankan kepercayaan ini,
dokter harus :
Bertindak sopan, hati-hati dan jujur
Menghormati privasi dan harga diri pasien
Menghormati hak para pasien untuk menolak berperan serta dalam
proses pendidikan atau penelitian dan memeastikan bahwa penolakan
mereka tidak memberikan pengaruh yang bruruk terhadap hubungan
dokter dengan pasien.
Menghormari hak pasien untuk mendapatkan opiril kedua
Selalu siap dihubungi para pasien dan/atau sejawat berkaitan dengan
penyakit pasiennya sesuai perjanjian.
Dokter tidak diperkenankan menggunakan kedudukan profesionalnya untuk
memperoleh atau mengusahakan adanya hubungan seksual atau emosional yang tidak
senonoh, atau pelecehan seksual dengan seorang pasien atau seorang yang dekat
dengan dokter.
H. Mengakhiri Hubungan Profesional dengan Pasien.
Dokter tidak boleh mengakhiri hubungan dengan pasien apabila pasien
mengeluh tentang pelayanan kedokteran yang diberikan. Termasuk apabila pasien
mengeluh tentang tagihan pembiayaan jasa layanan atau terapi yang diberikan.
Hubungan profesional dokter pasien ddapat berakhir apabila pasien melakukan
kekerasan.
Dokter harus menjelaskan kepada pasien secara lisan atau tertulis, alasan
mengakhiri hubungan profesional dengan pasien tersebut. Walau demikian dokter
tidak boleh menelantarkan pasien tersebut. Dokter bertanggungjawab untuk
mencarikan dokter pengganti. Selanjutnya ringksasan salinan rekam medis pasien
diberikan pada dokter pengganti. Keluhan pasien tentang pelayanan kedokteran harus
segera ditanggapi secara terbuka, jujur, empati, Jelaskan kepasa pasien apa yang
sebenarnya terjadi. Permintaan iinformasi formal dari pihak yang berkepentingan
tentang keluhan pasien harus ditanggapi secara konstruktif.
G. Aspek Etik dan Hukum Komunikasi Pasien-Dokter
Pada kode etik kedokteran dan kedokteran gigi secara tersirat tidak tercantum
etika berkomunikasi. Secara tersurat dikatakan setiap dokter dan dokter gigi dituntut
melaksanakan profesinya sesuai dengan standar profesi yang tertinggi atau
menjalankannya secara optimal. Pada Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004
tentang Praktik Kedokteran Pasal 35 disebutkan kompetensi dalam praktik
kedokteran antara lain dalam hal kemampuan mewawancarai pasien. Peraturan yang
mengatur tentang tanggung jawab etik dari seorang dokter adalah Kode Etik
Kedokteran Indonesia. Kode Etik adalah pedoman perilaku dokter. Kode Etik harus
memiliki sifat-sifat sebagai berikut:
(1) Kode etik harus rasional, tetapi tidak kering dari emosi;
(2) Kode etik harus konsisten, tetapi tidak kaku;
(3) Kode etik harus bersifat universal.
Kode Etik Kedokteran Indonesia dikeluarkan dengan Surat Keputusan Menteri
Kesehatan Nomor 434/Menkes/SK/X/1983. Kode Etik Kedokteran Indonesia disusun
dengan mempertimbangkan International Code of Medical Ethics dengan landasan
idiil Pancasila dan landasan strukturil Undang Undang Dasar 1945. Kode Etik
Kedokteran Indonesia ini mengatur hubungan antar manusia yang mencakup
kewajiban umum seorang dokter, hubungan dokter dengan pasiennya, kewajiban
dokter terhadap sejawatnya dan kewajiban dokter terhadap diri sendiri. Pelanggaran
terhadap butir-butir Kode Etik Kedokteran Indonesia ada yang merupakan
pelanggaran etik semata-mata dan ada pula yang merupakan pelanggaran etik dan
sekaligus pelanggaran hukum. Selama ini wawancara terhadap pasien ditekankan
pada pengumpulan informasi dari sisi penyakit (disease) untuk menegakkan diagnosis
dan tindakan lebih lanjut. Informasi sakit dari pasien (illness) kurang diperhatikan.
Secara empirik, komunikasi yang baik dan efektif antara dokter dan pasien sangat
membantu kepuasan pasien terhadap pelayanan medik dan meningkatkan
penyembuhan serta kepatuhan pasien terhadap terapi. Berdasarkan hal tersebut maka
dalam buku yang diterbitkan oleh Konsil Kedokteran Indonesia pada tahun 2006 yang
berjudul Penyelenggaraan Praktik Kedokteran yang Baik di Indonesia dan buku
berjudul Kemitraan dalam Hubungan Dokter-Pasien, diuraikan pentingnya
kemampuan berkomunikasi dengan pasien. Ketidakmampuan dokter untuk
melakukan komunikasi yang baik dengan pasien, sedikitnya melanggar etika profesi
kedokteran dan kedokteran gigi serta lebih lanjut dapat melanggar disiplin
kedokteran, apabila ketidakmampuan berkomunikasinya berdampak pada
ketidakmampuan dokter dalam membuat persetujuan tindakan kedokteran dan rekam
medis.
Hubungan karena kontrak atau kontrak terapeutik dimulai dengan tanya jawab
(anamnesis) antara dokter dengan pasien, kemudian diikuti dengan pemeriksaan fisik.
Kadang-kadang dokter membutuhkan pemeriksaan diagnostik untuk menunjang dan
membantu menegakkan diagnosisnya yang antara lain berupa pemeriksaan radiologi
atau pemeriksaan laboratorium, sebelum akhirnya dokter menegakkan suatu
diagnosis. Sebagaimana telah dikemukakan, tindakan medik mengharuskan adanya
persetujuan dari pasien (informed consent) yang dapat berupa tertulis atau lisan.
Persetujuan tindakan kedokteran atau informed consent harus didasarkan atas
informasi dari dokter berkaitan dengan penyakit. Hal ini diatur dalam Undang-
Undang Nomor 29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran, Paragraf 2, Pasal 45.
Komunikasi antara dokter dengan pasien merupakan sesuatu yang sangat penting dan
wajib. Kewajiban ini dikaitkan dengan upaya maksimal yang dilakukan dokter dalam
pengobatan pasiennya. Keberhasilan dari upaya tersebut dianggap tergantung dari
keberhasilan seorang dokter untuk mendapatkan informasi yang lengkap tentang
riwayat penyakit pasien dan penyampaian informasi mengenai penatalaksanaan
pengobatan yang diberikan dokter. Melihat pentingnya komunikasi timbal balik yang
berisi informasi ini, maka secara jelas dan tegas diatur dalam Undang-Undang Nomor
29 Tahun 2004 Tentang Praktik Kedokteran Paragraf 2, Pasal 45 ayat (2), (3),
Paragraf 6, Pasal 50 huruf (c), Paragraf 7, Pasal 52 huruf (a), (b), dan Pasal 53 huruf
(a).
H. Mengembangkan Komunikas Efektif Pasien-Dokter
Pasien adalah pemilik tubuh yang sedang mengalami gangguan kesehatan.
Kunjungan ke dokter dilakukan sebagai upaya memperoleh jawaban atas kondisi
kesehatannya dan harapan untuk dapat sembuh. Keputusan pergi berobat ke dokter
memerlukan proses dalam diri pasien. Ia perlu merumuskan dulu alasan yang jelas
bagi dirinya, mengapa ia merasa perlu pergi ke dokter. Selanjutnya, pertemuan
dengan dokter di ruang praktik akan mempengaruhi keputusannya, apakah ia akan
meneruskan niatnya berobat ke dokter atau memilih cara lain. Aspek yang cukup
dominan mempengaruhi keputusan pasien dalam berobat ke dokter adalah
komunikasi. Sikap dokter dalam berkomunikasi dengan pasien dapat menimbulkan
kesimpulan yang akan mempengaruhi keputusan pasien. Dalam melakukan
komunikasi, dokter perlu memahami bahwa yang dimaksud dengan komunikasi
tidaklah hanya sekadar komunikasi verbal, melalui percakapan namun juga mencakup
pengertian komunikasi secara menyeluruh. Dokter perlu memiliki kemampuan untuk
menggali dan bertukar informasi secara verbal dan nonverbal dengan pasien pada
semua usia, anggota keluarga, masyarakat, kolega dan profesi lain. Kalau tidak
berhati-hati dalam melakukan komunikasi, dokter bisa berhadapan dengan sanksi atau
ancaman hukum karena dianggap melakukan pelanggaran. Jadi, keadaan memang
sudah berubah. Komunikasi dokter-pasien tidak seperti dulu lagi yang diwarnai oleh
superioritas dokter dan inferioritas pasien. Dalam paradigma baru yang senapas
dengan ketentuan undang-undang, hubungan dokterpasien adalah kemitraan. Pasien
harus dihargai sebagai pribadi yang berhak atas tubuhnya. Ia adalah subjek dan bukan
semata-mata objek yang boleh diperlakukan tanpa sepengetahuannya dan tanpa
kehendaknya. Dalam komunikasi dokter-pasien diperlukan kemampuan berempati,
yaitu upaya menolong pasien dengan pengertian terhadap apa yang pasien butuhkan.
Menghormati dan menghargai pasien adalah sikap yang diharapkan dari dokter dalam
berkomunikasi dengan pasien, siapa pun dia, berapa pun umurnya, tanpa
memerhatikan status sosialekonominya. Bersikap adil dalam memberikan pelayanan
medis adalah dasar pengembangan komunikasi efektif dan menghindarkan diri dari
perlakuan diskriminatif terhadap pasien.
DAFTAR PUSTAKA
Willa Chandrawila Supriadi, 2001, Hukum Kedokteran, Bandung: Mandar Maju.
Adami Chazawi, 2007, Malpraktik Kedokteran, Malang: Bayumedia Publishing.