referat pengaruh anestesi intravena thdp kardiovaskuler_muamar amirullah

15

Click here to load reader

Upload: musytazab

Post on 21-Nov-2015

38 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

Anesstesi

TRANSCRIPT

  • PENGARUH ANESTESI INTRAVENA TERHADAP

    SISTEM KARDIOVASKULER

    Oleh :

    Muamar Amirullah (H1A007040)

    Pembimbing:

    dr. Hijrinelli, SpAn

    DALAM RANGKA MENGIKUTI KEPANITERAAN KLINIK MADYA

    BAGIAN / SMF ANESTESI DAN REANIMASI

    RUMAH SAKIT UMUM PROVINSI NTB

    FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS MATARAM

    2014

  • 1

    BAB I PENDAHULUAN

    Anestesia berarti pembiusan, kata ini berasal dari bahasa Yunani an- "tidak, tanpa"

    dan aesthtos, "persepsi, kemampuan untuk merasa". Istilah anestesi digunakan pertama kali

    oleh Oliver Wendel Holmes Sr pada tahun 1846. Anestesi umum adalah tindakan

    meniadakan nyeri secara sentral disertai dengan hilangnya kesadaran dan bersifat pulih

    kembali (reversible).

    Komponen anestesi yang ideal (trias anestesi) terdiri dari : hipnotik, analgesia dan

    relaksasi otot. Praktek anestesi umum juga termasuk mengendalikan pernapasan dengan

    pemantauan fungsi-fungsi vital tubuh selama prosedur anestesi. Tahapannya mencakup

    premedikasi, induksi, maintenance, dan pemulihan. Metode anestesi umum dapat dilakukan

    dengan 3 cara: antara lain secaara parenteral melalui intravena dan intramuskular, perrektal

    (biasanya untuk anak-anak) dan inhalasi. Yang akan saya bahas adalah mengenai anestesi

    umum intravena.

    Anestesi umum intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,

    baik untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Anestesi yang ideal akan

    bekerja secara cepat dan baik serta mengembalikan kesadaran dengan cepat segera sesudah

    pemberian dihentikan. Selain itu batas keamanan pemakaian harus cukup lebar dengan efek

    samping yang sangat minimal. Tidak satupun obat anestesi dapat memberikan efek yang

    diharapkan tanpa efek samping, bila diberikan secara tunggal. Kombinasi beberapa obat

    mungkin akan saling berpotensi atau efek salah satu obat dapat menutupi pengaruh obat yang

    lain.

    Anestesi umum intravena ini penting untuk diketahui karena selain dapat digunakan

    dalam pembedahan dikamar operasi, juga dapat menenangkan pasien dalam keadaan gawat

    darurat.

  • 2

    BAB II

    PEMBAHASAN

    ANESTESI UMUM INTRAVENA

    Anestesi umum intravena adalah anestesi yang diberikan melalui jalur intravena, baik

    untuk tujuan hipnotik, analgetik ataupun pelumpuh otot. Tahapan tindakan yang dilakukan

    untuk anestesi umum intravena antara lain 1) penilaian dan persiapan pra anestesi meliputi

    anamnesis, pemeriksaan fisik, pemeriksaan laboratorium, klasifikasi status fisik, masukan

    oral, dan premedikasi. 2) induksi obat anestesi intravena beserta pemeliharaan dan 3)

    pemulihan. Obat anestesi intravena setelah berada di dalam vena, obat-obat ini akan

    diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi sistemik. Obat anestesi yang ideal

    memiliki sifat: 1) hipnotik dengan onset cepat serta mengembalikan kesadaran dengan cepat

    segera sesudah pemberian dihentikan; 2) analgetik; 3) amnesia; 4) memiliki antagonis; 5)

    cepat dieliminasi; 6) depresi kardiovaskular dan pernafasan tidak ada atau minimal; 7)

    farmakokinetik tidak dipengaruhi atau minimal terhadap disfungsi organ.

    Cara pemberian dapat berupa : 1) suntikan intravena tunggal untuk induksi anestesi

    atau pada operasi-operasi singkat hanya obat ini saja yang dipakai; 2) suntikan berulang

    untuk prosedur yang tidak memerlukan anestesi inhalasi dengan dosis ulangan lebih kecil dari

    dosis permulaan, 3) Melalui infus, untuk menambah daya anestesi inhalasi.

    Tingkat pemberian obat tiap ndividu sangat bervariasi dalam respon mereka terhadap

    dosis obat yang diberikan atau konsentrasi, dan oleh karena itu penting untuk titrasi untuk

    tingkat obat yang memadai untuk setiap pasien. Obat konsentrasi yang diperlukan untuk

    memberikan anestesi yang memadai juga bervariasi sesuai dengan jenis operasi (misalnya,

    permukaan bedah dibandingkan pembedahan perut bagian atas). Akhir pembedahan

    membutuhkan kadar obat yang lebih rendah, dan karenanya titrasi sering melibatkan

    penurunan bijaksana laju infus menjelang akhir operasi untuk memfasilitasi pemulihan yang

    cepat.

  • 3

    OBAT ANESTESI INTRAVENA DAN PENGARUHNYA TERHADAP SISTEM

    KARDIOVASKULER

    Obat anestesi intravena adalah obat anestesi yang diberikan melalui jalur intravena,

    baik obat yang berkhasiat hipnotik atau analgetik ataupun pelumpuh otot.

    Obat anestesi intravena dapat digolongkan dalam 2 golongan :

    1.) Obat yang terutama digunakan untuk induksi anestesi, contohnya golongan barbiturat,

    eugenol, dan steroid

    2.) obat yang digunakan baik sendiri maupun kombinasi untuk mendapat keadaan seperti

    pada neuroleptanalgesia (contohnya: droperidol), anestesi dissosiasi (contohnya: ketamin),

    sedative (contohnya: diazepam).

    Obat-obat anestesi intravena yang sampai saat ini ada dan sudah dapat di pasaran

    Indonesia serta secara umum digunakan dalam praktik anestesia adalah :

    1. Barbiturat (Thiopentone)

    2. Benzodiazepin (Diazepam, Midazolam)

    3. Fentanil (narkotik)

    4. Ketamin Hidroklorida

    5. Di-iso propil fenol atau propofol

    Dalam praktik anestesia, obat-obat tersebut di atas digunakan untuk :

    1. Premedikasi, misalnya diazepam dan analgetik narkotik

    2. Induksi anestesia, misalnya thiopentone

    3. Pemeliharaan, terutama dalam teknik anestesi imbang

    4. Obat tambahan pada tindakan analgesia regional

    5. Anestesia tunggal

  • 4

    1. Barbiturat (Tiopenton)

    Mekanisme kerja

    Barbiturat menyebabkan depresi RAS yang terletak pada batang otak dan mengontrol

    beberapa fungsi vital, termasuk kesadaran. Pada konsentrasi klinis, barbiturat lebih

    mempengaruhi fungsi sinaps saraf dibandingkan akson. Barbiturat menekan transmisi

    neurotransmitter eksitatori (mis. asetilkolin) dan meningkatkan transmisi neurotransmitter

    inhibitori (mis. GABA).

    Seperti anestetik inhalasi, barbiturat menghilangkan kesadaran dengan cara

    memfasilitasi pengikatan GABA pada reseptor GABAA di membran neuron SSP. Bersifat

    GABA-mimetik dengan langsung merangsang kanal klorida. Barbiturat juga menekan kerja

    neurotransmiter sistem stimulasi (perangsang). Kerjanya pada berbagai sistem ini membuat

    barbiturat lebih kuat sebagai anestetik, tetapi lebih tidak aman karena sangat kuat menekan

    SSP.

    Barbiturat yang digunakan untuk anestesia ialah yang termasuk barbiturat kerja sangat

    singkat, yaitu tiopental, metoheksital, dan tiamilal yang diberikan secara bolus intravena atau

    secara infus. Penyuntikan IV harus dilakukan secara hati-hati agar tidak terjadi ekstravasasi

    atau penyuntikan ke dalam arteri. Pada penyuntikan tiopental, mula-mula timbul hiperalgesia

    diikuti analgesia bila dosis terus ditingkatkan, tetapi barbiturat bukan analgesik yang kuat.

    Dengan dosis yang memadai untuk induksi, pasien segera akan merasakan rasa bawang

    putih di lidahnya, diikuti dengan igauan halus yang menandakan kantuk, kemudian langsung

    tertidur pulas. Pemulihan terjadi secara mulus dan pasien segera sadar. Agar pemulihan tidak

    terlalu lama, dosis jangan sampai lebih dari 1 gram. Untuk tindakan bedah yang singkat, dan

    tidak terlalu menyakitkan, tiopental dapat digunakan secara berjeda (intermiten) bersama

    dengan N2O.

    Farmakokinetik

    Absorpsi

    Barbiturat paling sering diberikan secara intravena sebagai induksi anestesi umum pada

    orang dewasa dan anak-anak yang tersedia jalur intravena.

    Distribusi

    Durasi kerja barbiturat yang sangat larut dalam lemak (thiopental, thiamylal, dan

    methohexital) bergantung pada redistribusi, bukan metabolisme atau eliminasi. Sebagai

    contoh, neskipun thiopental terikat kuat dengan protein (80%), solubilitas lipidnya yang

    tinggi dan fraksi tidak terionisasinya yang tinggi (60%) membuat barbiturat mudah di-uptake

  • 5

    oleh otak secara maksimal dalam 30 detik. Redistribusi ke bagian perifer seperti otot terjadi

    saat konsentrasi plasma dan otak turun hingga 10% dalam 20-30 menit. Sifat farmakokinetik

    ini berkorelasi dengan kondisi klinis yakni pasien umumnya kehilangan kesadaran dalam 30

    detik dan bangun dalam 20 menit.

    Dosis induksi thiopental bergantung berat badan dan umur. Pada lanjut usia, diberikan

    dosis induksi yang lebih rendah karena redistribusinya lebih lambat akibat tingginya kadar

    obat dalam darah. Berkebalikan dengan dengan waktu paruh distribusi inisial yang

    berlangsung hanya dalam beberapa menit, waktu paruh eliminasi thiopental bekisar antara 3-

    12 jam.

    Biotransformasi

    Biotransformasi barbiturat melibatkan oksidasi hepatik menjadi metabolit yang larut

    dalam air.

    Ekskresi

    Tingginya ikatan protein menurunkan filtrasi glomerulus terhadap barbiturat,

    sedangkan solubilitas yang tinggi cenderung meningkatkan reabsorpsi tubulus renal. Ekskresi

    renal terbatas pada produk akhir biotransformasi hepar yang bersifat larut dalam air.

    Sifat fisik dan kimia

    Berupa bubuk yang berwarna putih kekuningan, bersifat higroskopis, rasanya pahit, berbau

    seperti bawang putih dan sediaannya selalu dicampur dengan sodium karbonat anhidrous,

    sehingga mudah larut dalam air. Dikemas dalam bentuk bubuk dalam ampul, yang

    mengandung 0,5 dan 1,0 gram. Sebelum digunakan, dilarutkan dalam aquades menjadi

    larutan 2,5% atau 5% dan larutan ini tidak boleh disimpan. Larutan ini bersifat alkalis dengan

    pH 10,8.

    Sifat anestesi tiopenton :

    1. Merupakan hipnotik yang sangat kuat

    2. Induksinya cepat, lancar dan tidak diikuti oleh eksitasi

    3. Pola respirasi tenang dan bisa hipoventilasi

    4. Tidak mempunyai khasiat analgetik

    5. Tidak menimbulkan relaksasi otot

    6. Pemulihan cepat, tetapi masih ada rasa ngantuk

    7. Efek samping mual muntah jarang dijumpai

  • 6

    Efek farmakologis terhadap sistem kardiovaskuler

    Efek yang segera timbul setelah pemberian pentotal adalah penurunan tekanan darah

    yang sangat tergantung dari konsentrasi obat dalam plasma. Hal ini disebabkan karena efek

    depresinya pada otot jantung, sehingga curah jantung turun, dan dilatasi pembuluh darah.

    Iritabilitas otot jantung tidak terpengaruhm tetapi bisa menimbulkan disritmia bila terjadi

    retensi CO2 atau hipoksia.

    Penurunan tekanan darah yang bersifat ringan akan pulih normal dalam beberapa menit

    tetapi bila obat disuntik secara cepat atau dosisnya tinggi, dapat terjadi hipotensi yang berat.

    Hal ini terutama akibat dilatasi pembuluh darah karena depresi pusat vasomotor. Di lain

    pihak, turunnya tekanan darah juga dapat terjadi oleh karena efek depresi langsung obat pada

    miokard.

    Dosis induksi yang diberikan intravena menyebabkan penurunan tekanan darah dan

    peningkatan denyut jantung. Depresi pada pusat vasomotor meduler menyebabkan

    vasodilatasi pembuluh darah perifer, yang juga meningkatkan pengumpulan darah perifer dan

    menurunkan vebous return ke atrium kanan. Takikardi terjadi karena efek vagolitik sentral.

    Cardiac output dipertahankan dengan peningkatkan denyut jantung dan kontraktilitas jantung

    dari refleks baroreseptor kompensatoar. Namun, pada kondisi dimana respon baroreseptor

    tidak adekuat atau bahkan tidak ada (mis. pada kondisi hipovolemi, gagal jantung kongestif,

    blokade -adrenergik), cardiac output dan tekanan darah arteri dapat turun secara dramatis

    akibat peripheral pooling yang tidak terkompensasi dan depresi miokardium. Injeksi lambat

    dan hidrasi preoperatif yang adekuat mengurangi perubahan ini pada kebanyakan pasien.

    2. Golongan Benzodiazepin (Diazepam, Midazolam)

    Golongan benzodiazepin yang sering digunakan adalah adalah Diazepam (valium),

    Lorazepam (Ativan) dan Midazolam (Miloz). Diazepam dan lorazepam tidak larut dalam air.

    Diazepam tersedia dalam sediaan emulsi lemak (Diazemuls), sedangkan midazolam

    merupakan benzodiazepin yang larut air yang tersedia dalam larutan dengan PH 3,5.

    Midazolam

  • 7

    Golongan benzodiazepine bekerja sebagai hipnotik, sedative, amnestik,

    antikonvulsan, pelumpuh otot yang bekerja sentral. Benzodiazepine bekerja pada reseptor

    GABAA. Afinitas pada reseptor GABAA berurutan seperti berikut lorazepam > midazolam >

    diazepam. Reseptor spesifik benzodiazepine akan berikatan pada komponen gamma yang

    terdapat pada reseptor GABA.

    Farmakokinetik

    Ketiga macam obat golongan benzodiazepines yang banyak digunakan dalam anestesi

    diklasifikasikan sebagai berikut: 1.) Midazolam (short-lasting); 2.) lorazepam (intermediate-

    lasting); 3.) diazepam (long-acting), berdasarkan metabolism dan bersihan dari plasma. Rasio

    bersihan midazolam berkisar antara 6-11 ml/kg/menit, sedangkan lorazepam 0.8-1.8

    ml/kg/menit dan diazepam 0.2-0.5 ml/kg/menit. Walaupun terminasi kerja dari obat ini

    terutama dipengaruhi oleh redistribusi obat dari SSP ke jaringan lain setelah penggunaan

    untuk anestesi, pemberian berulang, atau infuse berkelanjutan, kadar midazolam dalam darah

    turun lebih cepat dibandingkan yang lain karena bersihan hati yang lebih besar. Hasil

    metabolisme dari benzodiazepines menjadi penting. Diazepam membentuk 2 macam

    metabolit aktif yaitu, oxazepam dan desmethyldiazepam yang memperkuat dan

    memperpanjang efek obat. Midazolam mengalami biotransformasi menjadi

    hydroxymidazolam yang memiliki potensi 20-30% dari midazolam. Metabolit-metabolit ini

    diekskresikan melalui urin dan dapat menyebabkan sedasi yang dalam pada pasien dengan

    gangguan ginjal. Pada pasien yang sehat, hydroxymidazolam lebih cepat diekskresikan

    dibanding midazolam.

    Faktor yang mempengaruhi farmakokinetik dari benzodiazepine antara lain usia, jenis

    kelamin, ras, induksi enzim, gangguan hepar & ginjal. Diazepam sensitive terhadap hal-hal

    tersebut di atas terutama usia, usia yang bertambah mengurangi kecepatan bersihan diazepam

    dari tubuh secara signifikan, hal ini juga didapatkan pada midazolam namun dalam derajat

    yang lebih rendah. Kebiasaan merokok sebaliknya mempercepat klirens diazepam. Klirens

    midazolam tidak dipengaruhi kebiasaan merokok tetapi konsumsi alcohol, pada pasien

    dengan kebiasaan mengkonsumsi alkohol klirens midazolam akan mengalami percepatan

    Farmakokinetik lorazepam tidak dipengaruhi usia, jenis kelamin ataupun gangguan ginjal.

    Ketiga obat ini dipengaruhi oleh obesitas. Volume distribusi meningkat akibat perpindahan

    dari plasma ke jaringan adipose. Walaupun tidak mempengaruhi klirens, namun waktu paruh

    menjadi lebih panjang, sehingga pemulihan akan didapatkan lebih lambat pada pasien dengan

    obesitas.

  • 8

    Midazolam dan diazepam memiliki onset yang lebih cepat yaitu 30-60 detik

    dibanding lorazepam (60-120 detik). Waktu paruh midazolam berkisar antara 2-3 menit, 2

    kali lebih panjang dibanding diazepam, namun kekuatan lorazepam 6 kali lipat dari

    diazepam. Sama seperti onset, durasi kerja juga bergantung kelarutan dalam lemak dan kadar

    dalam darah. Redistribusi midazolam dan diazepam lebih cepat dibanding lorazepam yang

    kemungkinan diakibatkan dari kelarutan dalam lemak lorazepam yang lebih rendah. Sehingga

    durasi kerja lorazepam lebih panjang dibanding diazepam dan midazolam.

    Farmakodinamik

    Benzodiazepine menimbulkan efek amnesia, anti kejang, hipnotik, relaksasi otot dan sedasi

    tanpa efek analgetik. Bergantung dari dosisnya, juga menurunkan kebutuhan oksigen otak

    dan aliran darah ke otak serta laju metabolism otak. Midazolam dan diazepam bergantung

    dari dosisnya juga memiliki efek proteksi dari hipoksia serebral. Efek perlindungan

    midazolam didapatkan lebih nyata dari diazepam. Sistem kardiovaskuler. Perubahan yang

    mungkin paling jelas adalah penurunan tekanan darah yang ringan akibat penurunan

    resistensi vaskular sistemik. Efek ini didapatkan sedikit lebih nyata pada pemberian

    midazolam namun perubahan tekanan darah ini kurang lebih sama seperti pemberian

    thiopental. Bahkan dosis 0.2mg/kgBB dilaporkan aman untuk induksi pada pasien dengan

    stenosis aorta. Benzodiazepine tidak mempengaruhi mekanisme refleks homeostatik, karena

    itu hemodinamik relatif stabil.

    Efek samping

    Midazolam dapat menyebabkan depresi pernafasan jika digunakan sebagai sedasi. Lorazepam

    dan diazepam dapat menyebabkan iritasi pada vena dan trombophlebitis. Benzodiazepine

    turut memperpanjang waktu sedasi dan amnesia pada pasien.

    3. Opioid (Fentanil)

    Fentanil, sulfentanil, alfentanil, dan remifentanil adalah opioid yang lebih banyak

    digunakan dibanding morfin karena menimbulkan analgesia anestesia yang lebih kuat dengan

    depresi napas yang lebih ringan. Walaupun dosisnya besar, kesadaran tidak sapenuhnya

    hilang dan amnesia pascabedahnya tidak lengkap. Biasanya digunakan pada pembedahan

    jantung atau pada pasien yang cadangan sirkulasinya terbatas. Opioid juga digunakan sebagai

    tambahan pada anestesia dengan anestetik inhalasi atau anestetik intravena lainnya sehingga

    dosis anestetik lain ini dapat lebih kecil. Bila opioid diberikan dengan dosis besar atau

  • 9

    berulang selama pembedahan, sedasi dan depresi napas dapat berlangsung lebih lama, ini

    dapat diatasi dengan nalokson.

    Fentanil yang lama kerjanya sekitar 30 menit segera didistribusi, tetapi pada pemberian

    berulang atau dosis besar akan terjadi akumulasi. Dengan dosis besar (50-100 mg/kgBB),

    fentanil menimbulkan analgesia dan hilang kesadaran yang lebih kuat daripada morfin, tetapi

    amnesianya tidak lengkap, instabilitas tekanan darah, dan depresi napas lebih singkat. Oleh

    karena itu fentanil lebih disukai daripada morfin, khususnya untuk dikombinasi dengan

    anestetik inhalasi. Alfentanil dan sulfentanil potensinya lebih besar daripada potensi fentanil

    dengan lama kerja yang lebih singkat. Keduanya lebih populer karena stabilitas

    kardiovaskularnya sangat menonjol.

    Mekanisme kerja

    Opioid berikatan dengan reseptor spesifik yang terletak di seluruh SSP dan jaringan

    lain. Empat tipe reseptor opioid telah diidentifikasi, yakni: (-1 dan -2), (kappa),

    (delta), dan (sigma). Meskipun opioid memiliki efek sedasi, efek analgesinya yang paling

    efektif. Efek farmakodinamik dari opioid tertentu bergantung pada reseptor mana ia

    berikatan, afinitas ikatannya, dan apakah reseptor tersebut teraktivasi.

    Aktivasi opiat-reseptor menghambat pelepasan presinaps dan respon postsinaps

    terhadap neurotransmitter eksitatori (mis. asetilkolin, substansi P) dari neuron nosiseptif.

    Mekanisme seluler yang terjadi melibatkan perubahan konduktansi ion kalium dan kalsium.

    Transmisi impuls nyeri dapat dihalangi pada tingkat kornu dorsalis medula spinalis dengan

    pemberian opioid intratekal atau epidural.

    Farmakokinetik

    Absorpsi

    Absorpsi yang cepat dan sempurna berlangsung setelah injeksi morfin intramuskular

    dengan kadar puncak dalam plasma dalam 20-60 menit. Berat molekul yang rendah dan

    solubilitas lipid yang tinggi membuat fentanil dapat diberikan melalui absorpsi transdermal.

    Distribusi

    Solubilitas morfin dalam lemak yang rendah memperlambat distribusi melalui sawar

    darah otak, sehingga onsetnya kerja lambat tetapi durasi kerjanya lama. Hal ini berkebalikan

    dengan fentanil dan sufentanil yang memiliki onset cepat dan durasi kerja singkat. Alfentanil

    memiliki onset yang lebih cepat dan durasi kerja yang lebih singkat padahal solubilitasnya

    lebih rendah.

  • 10

    Biotransformasi

    Biotransformasi opioid terutama berlangsung di hepar. Karena kecepatan ekstraksi

    hepar yang tinggi, klirensnya bergantung pada aliran darah hepar. Morfin mengalami

    konjugasi dengan asam glukoronat membentuk morfin 3-glukoronida dan morfin 6-

    glukoronida.

    Ekskresi

    Produk akhir morfin diekskresikan melalui ginjal. Oleh karena 5-10% morfin

    diekskresikan dalam bentuk yang tidak berubah melalui urin, gagal ginjal akan

    memperpanjang durasi kerjanya. Metabolit sufentanil dikeluarkan melalui urin dan empedu.

    Efek pada Sistem Kardiovaskuler

    Secara umum, opioid tidak mengganggu fungsi kardiovaskuler. Sistem kardiovaskuler

    tidak mengalami perubahan baik kontraktilitas otot jantung maupun tonus otot pembuluh

    darah. Dosis tinggi morfin, fentanil, sufentanil, remifentanil, dan alfentanil berkaitan dengan

    bradikardi yang dimediasi vagus. Kecuali meperidin, opioid lain tidak mendepresi

    kontraktilitas jantung. Tekanan darah arteri menurun sebagai akibat bradikardi, venodilatasi

    dan penurunan refleks simpatik terkadang membutuhkan vasopresor (mis. efedrin).

    4. Ketamin Hidroklorida

    Ketamin hidroklorida adalah golongan fenil sikloheksilamin, merupakan rapid acting non

    barbiturate general anesthetic yang populer disebut sebagai Ketalar sebagai nama dagang.

    Sifat fisik

    Merupakan larutan tidak berwarna, bersifat agak asam dan sensitif terhadap cahaya dan

    udara. Karena sangat sensitif terhadap cahaya, obat ini disimpan dalam botol (vial) berwarna

    cokelat.

    Mekanisme kerja

    Ketamin ialah larutan yang tidak berwarna, stabil pada suhu kamar dan relatif aman

    (batas keamanan lebar). Ketamin mempunyai sifat analgesik, anestetik, dan kataleptik dengan

    kerja singkat. Efek anestesianya ditimbulkan oleh penghambatan efek membran dan

    neurotransmittor eksitasi asam glutamat pada reseptor N-metil-Daspartat. Sifat analgesiknya

    sangat kuat untuk sistem somatik, tetapi lemah untuk sistem viseral. Ketamin tidak

    menyebabkan relaksasi otot lurik, bahkan kadang-kadang tonusnya sedikit meninggi.

  • 11

    Anestesia dengan ketamin diawali dengan terjadinya disosiasi mental pada 15 detik

    pertama, kadang sampai halusinasi. Keadaan ini dikenal sebagai anestesia disosiatif.

    Disosiasi ini sering disertai keadaan kataleptik berupa dilatasi pupil, salivasi, lakrimasi,

    gerakan-gerakan tungkai spontan, peningkatan tonus otot. Kesadaran segera pulih setelah 10-

    15 menit, analgesia bertahan sampai 40 menit, sedangkan amnesia berlangsung sampai 1-2

    jam. Pada masa pemulihan, dapat terjadi emergence phenomenon yang merupakan kelainan

    psikis berupa disorientasi, ilusi sensoris, ilusi perseptif, dan mimpi buruk. Kejadian fenomena

    ini dapat dikurangi dengan pemberian diazepam 0,2-0,3 mg/kgBB 5 menit sebelum pem-

    berian ketamin.

    Dosis induksi ketamin adalah 1-2 mg/kgBB IV atau 3-5 mg/kgBB IM. Stadium depresi

    dicapai dalam 5-10 menit. Untuk mempertahankan anestesia dapat diberikan dosis 25-100

    mgIkgBB/menit. Stadium operasi terjadi dalam 12-25 menit.

    Farmakokinetik

    Absorpsi

    Ketamin diberikan secara intravena atau intramuskular. Kadar puncak dalam plasma

    biasanya dicapai dalam 10-15 menit setelah injeksi intramuskular.

    Distribusi

    Ketamin lebih larut dalam lipid dan tidak terikat kuat dengan protein bila dibandingkan

    dengan thiopental. Karakteristik ini membuat ketamin mudah di-uptake oleh jaringan otak

    dan redistribusi. Pemulihan kesadaran terjadi akibat redistribusi ke kompartmen perifer.

    Biotransformasi

    Ketamin mengalami biotransformasi di hati menjadi beberapa metabolit, diantaranya

    (mis. norketamin) masih memiliki aktivitas anestetik. Sebagian besar ketamin mengalami

    dealkilasi dan hidrolisis dalam hati, kemudian diekskresi terutama dalam bentuk metabolit

    dan sedikit dalam bentuk utuh. Ketamin sangat cepat di-uptake oleh hepar sehingga waktu

    paruh eliminasinya menjadi sangat singkat.

    Ekskresi

    Produk akhir biotransformasi diekskresikan melalui renal.

  • 12

    Efek pada Sistem Kardiovaskuler

    Ketamin adalah satu-satunya anestetik intravena yang merangsang kardiovaskular karena

    efek perangsangnya pada pusat saraf simpatis, dan mungkin juga karena hambatan ambilan

    norepinefin. Ketamin adalah obat anestesia yang bersifat simpatomimetik, sehingga bisa

    meningkatkan tekanan darah dan denyut jantung. Peningkatan tekanan darah disebabkan oleh

    karena efek inotropik positif, dan vasokoknstriksi pembuluh darah perifer. Tekanan darah,

    frekuensi nadi, dan curah jantung naik sampai 25%, sehingga ketamin bermanfaat untuk

    pasien dengan risiko hipotensi dan asma.

    Refleks faring dan laring tetap normal atau sedikit meninggi pada anestesia dengan ketamin.

    Pada dosis anestesia, ketamin bersifat merang sang; sedangkan dengan dosis berlebihan akan

    menekan pernapasan.

    Interaksi Obat

    Diazepam meningkatkan efek kardiostimulasi ketamin dan memperpanjang waktu

    paruh eliminasinya. Ketamin menimbulkan depresi miokardium bila diberikan pada pasien

    yang dianestesi dengan halotan.

    5. Propofol

    Merupakan derivat fenol dengan nama kimia di-iso profil fenol yang banyak dipakai sebagai

    obat anestesia intravena.

    Sifat fisik dan kimia

    Berupa cairan berwarna putih seperti susu, tidak larut dalam air dan bersifat asam. Dikemas

    dalam bentuk ampul, berisi 20 mL/ampul yang mengandung 10 mg/mL.

    Farmakokinetik

    Propofol dengan cepat dimetabolisme di hati melalui konjugasi ke glukuronat dan

    sulfat untuk menghasilkan senyawa larut dalam air, yang diekskresikan oleh ginjal. Kurang

  • 13

    dari 1% propofol diekskresikan tidak berubah dalam urin, dan hanya 2% diekskresikan dalam

    tinja.

    Waktu paruh 24-72 jam. Dosis induksi cepat menimbulkan sedasi (30-45 detik)

    dengan durasi berkisar antara 20-75 menit tergantung dosis dan redistribusi dari sistem saraf

    pusat. Sebagian besar propofol terikat dengan albumin (96-97%). Setelah pemberian bolus

    intravena, konsentrasi dalam plasma berkurang dengan cepat dalam 10 menit pertama (waktu

    paruh 1-3 menit) kemudian diikuti bersihan lebih lambat dalam 3-4 jam (waktu paruh 20-30

    menit). Kedua fase ini menunjukkan distribusi dari plasma dan ambilan oleh jaringan yang

    cepat.

    Metabolisme terjadi di hepar melalui konjugasi oleh konjugasi oleh glukoronida dan

    sulfat untuk membentuk metabolit inaktif yang larut air yang kemudian diekskresi melalui

    urin. Eliminasi propofol sensitif terhadap perubahan aliran darah hepar namun tidak

    dipengaruhi oleh ikatan protein ataupun aktivitas enzim. Propofol diketahui menghambat

    metabolisme obat oleh sitokrom p450 oleh karena itu dapat menyebabkan perlambatan

    klirens dan durasi yang memanjang pada pemberian bersama dengan fentanyl, alfentanil dan

    propanolol.

    Efek farmakologi terhadap sistem kardiovaskuler

    Depresi pada sistem kardiovaskuler yang ditimbulkannya sesuai dengan dosis yang diberikan.

    Tekanan darah turun yang segera diikuti dengan kompensasi peningkatan denyut nadi.

    Induksi bolus 2-2,5 mg/kg dapat menyebabkan depresi pada jantung dan pembuluh darah

    dimana tekanan dapat turun. Hal ini disebabkan oleh efek dari propofol yang menurunkan

    resistensi vaskular sistemik sebanyak 30%. Namun penurunan tekanan darah biasanya tidak

    disertai peningkatan denyut nadi. Pernafasan spontan (dibanding nafas kendali) serta

    pemberian drip melalui infus (dibandingkan dengan pemberian melalui bolus) mengurangi

    depresi jantung. Sedangkan usia berbanding lurus dengan efek depresi jantung.

  • 14

    DAFTAR PUSTAKA

    1. Sadikin ZD, Elysabeth. Anastesi Umum. Dalam Farmakologi dan Terapi FKUI Edisi 5.

    Jakarta: Gaya Baru. 2007. hal. 122-38

    2. Morgan GE, Mikhail MS, and Murray MJ. Clinical Anesthesiology Fourth Edition. USA:

    McGraw-Hill Companies,Inc. 2006. p.184-202.

    3. Miller, Ronald D. Anesthesia. Fifth ed. Churchill Livingstone; 2000. hal : 228-376.

    4. Aitkenhead, A, et al. Textbooks of Anesthesia Fourth Edition. Churchill-Livingstone.

    2002. p.65-100.

    5. Dewoto HR, et al. Farmakologi dan Terapi Edisi 5, cetak ulang dengan tambahan, tahun

    2012. Analgesik opioid dan antagonisnya. Balai Penerbit FKUI Jakarta 2012; 210-218.

    6. Mangku, G, dkk. Buku Ajar Imu Anestesi dan Reanimasi. Denpasar; 2002