referat kp

60
Referat TUBERKULOSIS PARU OSTEOMYELITIS Oleh : Rico Aditya S. Ked. Pembimbing : dr. Haryadi, Sp. Rad SMF RADIOLOGI RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK 1

Upload: amelia-fitriati-masputra

Post on 11-Aug-2015

69 views

Category:

Documents


4 download

TRANSCRIPT

Page 1: Referat KP

Referat

TUBERKULOSIS PARU

OSTEOMYELITIS

Oleh :

Rico Aditya S. Ked.

Pembimbing :

dr. Haryadi, Sp. Rad

SMF RADIOLOGI

RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK

BANDAR LAMPUNG

APRIL 2011

TUBERKULOSIS PARU

1

Page 2: Referat KP

A. Definisi

Penyakit TB adalah penyakit yang tergolong dalam infeksi menular yang disebabkan oleh

bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kasus TB terbanyak menyerang paru sehingga disebut

dengan tuberkulosis paru meskipun TB bisa juga menyerang bagian atau organ tubuh yang

lain.

Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis

B. Etiologi

Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang

dengan ukuran panjang 1-4/ µm. Species lain yang dapat memberikan infeksi pada manusia

adalah M.bovis, M.kansasi, M.intercellulare. sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak

(lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap trauma kimia

dan fisik.

Mycobacterium tuberculosa, basilus tuberkel, adalah satu diantara lebih dari 30 anggota

genus Mycobacterium yang dikenal dengan baik, maupun banyak yang tidak tergolongkan.

Bersama dengan kuman yang berkerabat dekat, yaitu M. bovis, kuman ini menyebabkan

tuberculosis. M leprae merupakan agen penyebab penyakit lepra. M avium dan sejumlah

spesies mikrobacterium lainnya lebih sedikit menyebabkan penyakit yang biasanya terdapat

pada manusia. Sebagian besar micobakterium tidak patogen pada manusia, dan banyak yang

mudah diisolasi dari sumber lingkungan . Kuman ini dapat hidup pada udara kering maupun

dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena

kuman dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan

menjadikan tuberculosis aktif lagi.

2

Page 3: Referat KP

Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma

makrofag. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih

menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada

bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini

merupakan tempat predileksi penyakit Tuberculosis.

Mikrobakterium dibedakan dari lipid permukaannya, yang membuatnya tahan-asam sehingga

warnanya tidak dapat dihilangkan dengan alkohol asam setelah diwarnai. Karena adanya lipid

ini, panas atau detergen biasanya diperlukan untuk menyempurnakan perwarnaan primer.

C. Epidemiologi

Di seluruh dunia TB menyerang 10 juta orang dan menyebabkan 3 juta kematian setiap

tahun. Di negara maju, TB jarang terjadi yaitu menyerang kira-kira 1 per 10.000 populasi. TB

paru paling sering menyerang masyarakat di Asia yakni di Cina dan India Barat. Transmisi

melalui udara dan kontak dekat menyebarkan penyakit ini. Orang usia lanjut, orang yang

malnutrisi atau orang dengan penekanan sistem imun (infeksi HIV, diabetes melitus, terapi

kortikosteroid, alkoholisme, intercurrent lymphoma) lebih mudah terkena. Perbaikan keadaan

rumah dan malnutrisi mengurangi insidensi (Jane, 2002).

D. Faktor Risiko

Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:

1. Jenis kelamin

Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak ada perbedaan di

antara anak laki dan perempuan sampai pada umur pubertas .

2. Status gizi

Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga akan

menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk TB. Faktor ini sangat

berperan pada negara-negara miskin dan tidak mengira usia (Croft, 2002).

3

Page 4: Referat KP

3. Sosioekonomi

Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari kalangan

sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan permukiman yang terlampau padat

sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB (Croft, 2002).

4. Pendidikan

Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat mempengaruhi seseorang untuk

mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa

seseorang yang mempunyai pendidikan rendah akan berpeluang untuk mengalami

ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar berbanding dengan orang yang mempunyai tingkat

pendidikan yang lebih tinggi (Croft, 2002).

5. Faktor-faktor Toksis

Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting dapat menurunkan

daya tahan tubuh (Nelson, 1995).

E. Penularan

M. tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan pernafasan. Walaupun mungkin

terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang terbukti, tidak satupun yang penting. Basilus

tuberkel disekret pernafasan membentuk nuclei droplet cairan yang dikeluarkan selama

batuk, bersin, dan berbicara.

Droplet keluar dari jarak dekat dari mulut, dan sesudah itu basilus yang ada tetap di udara

untuk wakktu yang lama. Infeksi pada penjamu yang rentan terjadi bila terhirup sedikit

basilus ini. Jumlah basilus yang dikeluarkan oleh kebanyakan orang yang terinfeksi tidak

banyak; khas diperlukan kontak rumah tangga selama beberapa bulan untuk penularannya.

Namun demikian, pasien dengan tuberculosis laring, penyakit endobrokhial, penyebaran

tuberculosis transbronkial yang baru, dan penyakit paru berkavitas yang luas seringkali

sangat menular.

Infeksi berkaitan dengan jumlah kuman pada sputum yang dibatukkan, luasnya penyakit

paru, dan frekuensi batuk. Micobakterium rentan terhadap penyinaran ultraviolet, dan

penularan infeksi di luar rumah jarang terjadi pada siang hari. Ventilasi yang memadai

merupakan tindakan yang terpenting untuk mengurangi tingkat infeksi lingkungan. Serbuk

4

Page 5: Referat KP

tidak penting pada penularan tuberculosis. Sebagian penderita menjadi tidak infeksius dalam

dua minggu setelah pemberian kemoterapi yang tepat karena penurunan jumlah kuman yang

dikeluarkan dan kurangnya batuk.

Penularan infeksi dengan M. bovis telah lama dikaitkan dengan konsumsi susu sapi yang

tercemar. Organisme ini bukan lagi penyebab penyakit pada manusia yang utama di

kebanyakan daerah di dunia.

Gambar 2. Penyebaran

F. Patofisiologi

a. Tuberculosis primer

Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar

menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas

selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan

kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai

berbulan-bulan.

Bila partikel ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas atau paru-

paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari

trakeo-bronkhial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Kuman juga dapat masuk

melalui luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.

5

Page 6: Referat KP

Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak dalam

sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman

yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberculosis pneumonia

kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini dapat terjadi dibagian

mana saja jaringan paru. Dari sarang primer ini akan timbul peradangan saluraan getah

bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah

bening hilus (limfadenitis regional).

Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer.

Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :

(1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.

(2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi di

hilus atau kompleks sarang Ghon.

(3) Komplikasi dan menyebar secara :

- Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.

- Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya. Dapat

juga kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.

- Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya

- Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.

Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer

b. Tuberculosis Post-primer

Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun

kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis post-

primer). Tuberculosis post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di

regio atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah

kedaerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.

Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10

minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel

histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh

sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.

6

Page 7: Referat KP

G. Klasifikasi Tuberculosis

Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi,

mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberculosis.

Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti:

1. - Tuberculosis primer (Childhood tuberculosis)

- Tuberculosis post primer (Adult tuberculosis)

2. - Tuberculosis paru (Koch Pulmonum) aktif,

- Tuberculosis paru (Koch Pulmonum) non aktif dan quiescent.

3. - Tuberculosis minimal, terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu

paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus.

- Moderately Advanced Tuberculosis, kavitas dengan diameter tidak lebih dari

4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila

bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.

- Far Advanced Tuberculosis, terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi

keadaan pada moderately advanced tuberculosis.

Klasifikasi diatas dititik beratkan pada bidang patologi, mikrobiologi dan radiologi. Pada

tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil dari

klasifikasi kesehatan masyarakat.

1. Kategori 0 : tidak pernah terpapar, dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak negatif, test

tuberculin negatif.

2. Kategori I : terpapar tuberculosis, tetapi tidak terbukti terinfeksi. Riwayat kontak positif,

test tuberculin negatif.

3. Kategori II: terinfeksi tuberculosis, tapi tidak sakit. Test tuberculin positif, radiologis dan

sputum negatif.

4. Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.

Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah :

1. Tuberculosis paru

2. Bekas tuberculosis paru

3. Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam :

7

Page 8: Referat KP

a. Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA negatif, tapi tanda-

tanda lain positif.

b. Tuberculosis paru tersangka tersangka yang tidak diobati. Disini sputum BTA negatif

dan tanda-tanda lain juga meragukan.

H. Gejala-gejala Klinis

Keluhan yang dirasakan penderita tuberculosis dapat bermacam-macam atau malah tanpa

keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah :

1. Demam

Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas badan

dapat mencapai 40-41ºC. Serangan demam pertama dapat sembuh kembali. Bagitulah

seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga penderita merasa tidak pernah

terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi daya tahan

tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.

2. Batuk

Batuk dapat terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk

membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk mulai dari kering (non produktif)

kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan

yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah

yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat

juga terjadi pada ulkus dinding bronchus.

3. Sesak nafas

Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan

ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian

paru-paru.

4. Nyeri dada

Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah

sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.

5. Malaise

Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan

berupa: anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit

kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gajala malaise ini makin lama makin

berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.

8

Page 9: Referat KP

c. Penegakan Diagnosis

Untuk menegakan diagnosis pertama sekali adalah dengan melakukan anamnesis mengenai

ada tidak gejala-gejala TB. Gejala Umum berupa batuk terus menerus dan berdahak selama 3

minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk

darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan

menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan,

demam meriang lebih dari satu bulan.

1. Pemeriksaan Klinis

Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata

atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan

menurun.

Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai

infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi nafas

bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan

nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi

vesikular melemah (Amin, 2006).

2. Pemeriksaan Penunjang

Terdapat beberapa uji untuk menegakkan diagnosis TB yaitu:

Tuberkulin skin test

Uji ini dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tween-stabilized

liquid PPD (Purified Protein Derivative) pada bagian punggung atau dorsal dari lengan

bawah.

Dalam waktu 48 – 72 jam, area yang menonjol (indurasi), bukan eritema, diukur. Ukuran

tes Mantoux ini sebesar 5 mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus:

(1) Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency

Virus).

(2) Memiliki kontak yang erat dengan penderita TB yang infeksius

9

Page 10: Referat KP

(3) Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan gambaran proses

penyembuhan TB yang lama, yang sebelumnya tidak mendapatkan terapi OAT yang

adekuat.

(4) Individu yang menggunakan narkoba dan status HIV yang tidak diketahui. Ukuran 10

mm uji tuberkulin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus seperti :

- Individu dengan kondisi kesehatan tertentu kecuali penderita HIV

- Individu yang menggunakan narkoba (jika status HIV negatif)

- Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi dengan pendapatan yang

rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang berisiko tinggi.

- Anak kecil yang berusia kurang dari 4 tahun.

Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai karena uji ini hanya menunjukkan ada

tidaknya antibodi anti TB pada seseorang, sedangkan menurut penelitian, 80% penduduk

Indonesia sudah pernah terpapar antigen TB, walaupun tidak bermanifestasi, sehingga

akan banyak memberikan false positif (Amin, 2006).

Pemeriksaan Radiologis

Pemeriksaan radiologis juga diperlukan untuk membantu penegakan diagnosis.

(1) Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi pada bagian perifer

paru dengan kalsifikasi dari limfe nodus hilus.

(2) Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran :

- Nekrosis

- Kavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik).

- Fibrosis dan retraksi region hilus.

- Bronchopneumonia.

- Infiltrate interstitial.

- Pola milier.

- Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer lanjut.

(3) TB pleura memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi secara massif.

(4) Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1 kali

pemeriksaan rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rontgen dada. Tidak hanya

melihat apakah penyakit tersebut dalam proses progesi atau regresi (Amin, 2006).

10

Page 11: Referat KP

Pemeriksaan Sputum

Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya kuman BTA,

diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA positif adalah bila sekurang-

kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan (Amin, 2006).

Gambaran radiologis :

11

Gambar 3. Kavitas multiple

Terlihat kavitas multiple pada paru kiri dan suatu kavitas besar pada lobus atas kanan. Volume hemithorak kiri lebih kecil dibandingkan dengan kanan, merupakan petunjuk bahwa penyakit ini kronis

Page 12: Referat KP

12

Gambar 4. Kavitas

- Kavitas berdinding tipis yang dikelilingi oleh eksudasi tuberkulosa.

- Peningkatan corakan paru sampai ke hilus, menunjukkan adanya limfadenitis (panah)

Gambar 5. Kavitas yang massif pada tuberkulosa

- Hamper seluruh lobus atas kanan telah rusak dan terbentuk suatu kavitas yang besar.

- Terlihat bercak-bercak granulomatosa pada seluruh paru kiri. Ini terjadi karena penyebaran infeksi dari kavitas di lobus atas kanan

Page 13: Referat KP

13

Gambar 6. Tuberkulosa dengan hydropneumothorak

a. Tuberkolsa menimbulkan bercak-bercak densitas

b. Jantung terdesak ke kanan oleh pneumothorak kiri.

c. Pneumothorakd. Paru kiri yang

kolaps sebagiane. Cairan pada dasar

pleura

a

c

b

d

e

Gambar 7.Tuberkulosa miliaris

Pada tuberkulosa dan penyakit granulomatosa yang lain, nodul miliaris terlihat tersebar di seluruh lapangan paru.

Page 14: Referat KP

14

Gambar 8. Tuberkulosa miliaris

Foto daerah basis paru kanan yang diperbesar. Terlihat bayangna nodul-nodul halus.

Gambar 9. Nodul multiple dengan kalsifikasi.

- Nodul bulat kecil dengan kalsifikasi tampa adanya reaksi paru di sekitarnya.

- Terlihat nodul tersebar merata pada seluruh lapangan paru.

Page 15: Referat KP

15

Gambar 10. Tuberkulosa anak

Pembesaran kelenjar hilus kanan (panah). Infeksi primer pada paru tidak terlihat

Gambar 11. Tuberkulosa dewasa

Pembesaran kelenjar hilus bilateral karena tuberkulosa (pemeriksaan sputum bisa saja negative).

Page 16: Referat KP

16

Gambar 12. Kompleks primer (lengkap, bentuk halter = pembesaran kelenjar dan focus perifer).

Gambar 13. Kompleks primer (hanya hilus kanan membesar)

Page 17: Referat KP

17

Gambar 14.Tuberculosis primer disertai pleuritis atau atelektasis (epituberkulosis).

a

c

b

Gambar 15. Skema klasifikasi American tuberculosis associationa. TBK tingkat minimalb. TBK tingkat lanjut sedangc. TBK tingkat sangat lanjut

Page 18: Referat KP

18

Gambar 16. Awan-awan dan bercak-bercak ; tingkat minimal ATA.

Gambar 17. Awan-awan danlubang-lubang besar (diameter total 4 cm0 : tingkat sangat lanjut ATA.

Gambar 18. Garis-garis fibrotic (proses lama, tenang).

Page 19: Referat KP

19

Gambar 19. Garis-garis fibrotic di kanan atas : proses lama, tenang.

Gambar 20. Tuberkulomata

Page 20: Referat KP

20

Gambar 20.Tomogram dari tuberkulomata

Gambar 21. Tuberkulosis fibrosis densa (fenomena kantong celana : arteri pulmonaris terangkat ke atas) dengan kavitas sisa (residual cavity).

Page 21: Referat KP

d. Pengobatan

21

Gambar 22. Sarang-sarang kapur simon (simon’s poci) di puncak kanan.

Gambar 23. Tuberculosis miliaris

Gambar 24. Dikira Aspergilloma, ternyata Elescheria Boydil (PA).

Page 22: Referat KP

Pengobatan TB Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB)

dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada,

radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan

pemberian INH (Isoniazid) 5–10 mg/kgbb/hari.

1. Pencegahan (profilaksis) primer :

Anak yang kontak erat dengan penderita TB BTA (+) mendapat INH minimal 3 bulan

walaupun uji tuberkulin memberi hasil negatif. Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji

tuberkulin ulang menjadi negatif atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.

2. Pencegahan (profilaksis) sekunder :

Anak dengan infeksi TB yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit. Profilaksis

diberikan selama 6-9 bulan. Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua

kelompok yaitu :

a. Obat primer : INH, Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.

Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,

sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Dosis OAT dapat

dilihat pada table 2.2.

b. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin

dan Kanamisin.

e. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis

22

Page 23: Referat KP

Komplikasi berikut ini sering terjadi pada penderita stadium lanjut :

1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan 

kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.

2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.

3. Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.

4. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.

5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dsb

6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).

Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih

bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada

kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan

simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.

23

Page 24: Referat KP

OSTEOMYELITIS

PENDAHULUAN

Osteomyelitis merupakan inflamasi pada tulang yang disebabkan infeksi piogenik atau non-

piogenik seperti Micobacterium tuberkulosa atau Staphylococcus aureus. Infeksi dapat

terbatas pada sebagian kecil tempat pada tulang atau melibatkan beberapa daerah seperti sum-

sum, perioesteum, dan jaringan lunak disekitar tulang.

Awal tahun 1900 sekitar 20% pasien dengan osteomyelitis meninggal dan mereka yang

selamat mengalami morbiditas yang bermakna. Sekarang ini, mortalitas dan morbiditas akibat

osteomyelitis relatif rendah karena metode penanganan yang modern, termasuk penggunaan

antibiotik dan intervensi invasif. Kunci keberhasilan penatalaksanaan osteomyelitis adalah

diagnosis dini dan operasi yang tepat serta pemilihan jenis antibiotik yang tepat. Secara

umum, dibutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan ahli orthopaedi, spesialis

penyakit infeksi, dan ahli bedah plastik pada kasus berat dengan hilangnya jaringan lunak.

Gambar 1. Perbandingan antara tulang

sehat dan tulang yang terinfeksi

PATOFISIOLOGI

Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di

periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang

menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi. Infeksi pada tulang dapat

terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui inokulasi

langsung dari jaringan sekitar.

24

Page 25: Referat KP

Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya

bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang

berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang

mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan

osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang

bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah

yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan

dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri. Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung

dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat

trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung

akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang

mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi.

Gambar 2. Perubahan patofisiologis pada

osteomyelitis yang disebabkan oleh infeksi daerah sekitar.

KLASIFIKASI

Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi

dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat

diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi

masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis

exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari

jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia. Osteomyelitis juga dapat

25

Page 26: Referat KP

dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian tersebut adalah

osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem klasifikasi

untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi

yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan

berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous)

A. Osteomyelitis Hematogenous Akut

Osteomyelitis hematogenous akut merupakan tipe infeksi tulang yang paling sering terjadi

dan seringkali ditemukan pada anak. Infeksi ini lebih sering ditemukan pada laki-laki

dibanding dengan wanita di segala kelompok usia. Penyebab terjadinya Osteomyelitis

hematogenous akut ini adalah bakteremia, dimana keadaan ini umum ditemukan pada anak.

Pertumbuhan bakteriologis dalam tulang pada umumnya terkait dengan beberapa keadaan

yaitu trauma, penyakit kronik, malnutrisi, dan sistem imun yang inadekuat. Pada beberapa

kasus, penyebab pasti dari penyakit ini tidak dapat ditentukan.

Patofisiologi

Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut bergantung pada umur, daya tahan

tubuh, lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus ke

tempat yang lain dalam tubuh pada fase bakteremia dan dapat menimbulkan septikemia.

Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam luksta epifisis pada daerah metafisis tulang

panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis disertai

pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana jaringan tulang tidak dapat

berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam

tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh daragh

tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Di samping proses yang disebabkan

diatas, pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam perosteum

sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang

seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Apabila

pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus dari involucrum kelual melalui lubang

yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit. Tahap selanjutnya,

penyakit dapat berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa,

infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang

26

Page 27: Referat KP

kronik yang disebut abses Brodi. Infeksi ini pada umumnya melibatkan metaphyse dari

tulang panjang yang sedang berkembang terutama pada pasien pediatrik. Invasi bakteri

mengakibatkan reaksi radang yang dapat menyebabkan nekrosis iskemik lokal pada tulang

dan pembentukan abses. Semakin abses membesar maka tekanan intramedullare semakin

meningkat dan mengakibatkan iskemia kortikal, yang kemudian mengakibatkan materi

purulen keluar dari korteks masuk kedalam ruang subperiosteal. Abses subperiosteal pun

terjadi. Jika dibiarkan tanpa penanganan proses ini akan mengakibatkan pembentukan

sequestra yang luas dan osteomyelitis kronik. Efek ostemyelitis hematogenous akut pada

anak tergantung pada suplai darah dan struktur anatomis tulang.

Anak yang lebih muda dari 2 tahun memiliki beberapa pembuluh darah yang melintasi physis

dan memudahkan tersebarnya infeksi pada epiphyse. Karena alasan ini, balita cenderung

mengalami deformitas atau pemendekan tungkai jika physis dan epiphyse rusak akibat infeksi

tersebut. Physis berperan sebagai barrier yang mencegah penyebaran langsung abses dari

metaphyse ke epiphyse. Metaphyse memiliki sel fagosit yang relatif rendah dibanding physe

dan diaphyse, keadaan ini menyebabkan infeksi lebih sering terjadi pada daerah ini. Abses

yang terbentuk akan merusak korteks metaphyse yang tipis dan membentuk abses

subperiosteal. Diaphyse sangat jarang terkena dan sekuestrasi jarang terjadi kecuali pada

kasus-kasus yang berat.

Anak dengan usia diatas 2 tahun memiliki physe yang secara efektif menjadi barrier terhadap

penyebaran abses metaphyse. Akan tetapi, karena korteks metaphyse pada anak yang lebih

tua semakin tebal, bagian diaphyse memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi.

Jika infeksi mengenai diaphyse, suplai darah pada endosteal dipertaruhkan. Dengan adanya

abses periosteal, suplai darah periosteal akan rusak dan mengakibatkan penyebaran yang

lebih luas dan osteomyelitis kronis jika tidak ditangani dengan tepat.

Dari penelitian yang dilakukan Riise et al total insiden tahunan terjadinya osteomyelitis pada

anak adalah 13 dari 100.000 orang. Osteomyelitis paling sering terjadi pada anak dibawah 3

tahun.

Setelah physis menutup, osteomyelitis hematogenous akut lebih jarang terjadi. Penyebaran

bakteri secara hematogenous di tulang pada orang dewasa hanya ditemukan pada keadaan

imun yang buruk. Walaupun infeksi ini dapat terjadi pada tulang mana saja ditubuh, pada

umumnya corpus vertebra yang terkena. Pada pasien ini, abses menyebar secara perlahan,

27

Page 28: Referat KP

dan sekuestrasi yang luas jarang terjadi. Jika destruksi lokal pada tulang kortikal terjadi,

maka akan menyebabkan fraktur patologis.

Infeksi akan menyebabkan terkumpulnya sel-sel inflamasi dan jika tidak diterapi, sel-sel

inflamasi akan menghasilkan purulen. Pus ini akan menyebar melaui tiga jalan : melalui

physis, kearah diaphysis, atau disekitar korteks. Purulen ini cenderung untuk mencari jalan

yang minimal resistensinya, melalui korteks metaphysis, selanjutnya terbentuk pus

subperiosteal. Walaupun hal ini merupakan rute yang biasanya terjadi, anak yang lebih muda

( kurang dari 1 tahun) dengan pembuluh darah transphyseal yang intak akan menunjukkan

penyebaran epiphyseal dengan membentuk abses epiphyseal.

Penyebaran infeksi pada sendi juga dipengaruhi oleh usia seseorang. Pada anak dengan usia

dibawah 2 tahun, suplai darah metaphyse dan epiphyse melintasi physis, memudahkan

penyebaran abses metaphyse pada epiphyse dan pada akhirnya pada sendi. Sendi panggul

yang paling sering terkena pada pasien usia muda, akan tetapi, physe humerus proximal,

kolum radius, dan fibula distal berada intraartikuler dan infeksi pada daerah ini dapat

mengakibatkan arthritis septik. Pada anak dengan usia yang lebih tua, sirkulasi seperti ini

tidak ditemukan lagi dan arthritis septik jarang terjadi. Setelah physe menutup, infeksi dapat

menyebar secara langsung dari metaphyse ke epiphyse dan kemudian melibatkan persendian.

Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling sering menginfeksi anak yang

lebih tua dan orang dewasa dengan osteomyelitis. Bakteri gram negatif telah diketahui

menjadi penyebab infeksi corpus vertebra pada orang dewasa. Pada bayi dengan ostemyelitis

akut hematogenous, Staphylococcus aureus paling sering ditemukan, akan tetapi, kelompok

streptokokkus dan koliform gram negatif juga sering didapati. Staphylococcus aureus dan

bakteri gram negatif merupakan penyebab paling umum dari infeksi ortopedik pada bayi

prematur yang dirawat pada Neonatal Intensive Care Unit (NICU).

Pada dasarnya penyebaran agen bakteri ini memiliki dua cara yaitu penyebaran umum dan

penyebaran lokal. Penyebaran umum yaitu melalui sirkulasi darah akibat bakteremia dan

septikemia dan melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah-

daerah lain. Penyebaran lokal dengan adanya subperiosteal abses akibat penerobosan abses

melalui periosteum, selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit,

penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septik, dan penyebaran ke medulla

tulang sekitar.

28

Page 29: Referat KP

Diagnosis

Evaluasi ostemyelitis hematogenous akut sebaiknya dimulai dengan anamnesis dan

pemeriksaan fisis. Gejala dan tanda dapat sangat beragam. Pada bayi, lansia, dan pasien

dengan imunitas buruk, gambaran klinis minimal. Demam dan malaise dapat ditemukan pada

stadium awal penyakit, namun kadangkala gejala ini juga tidak dirasakan. Adanya

pembengkakan menandakan keadaan yang signifikan dimana sindrom kompartmen sering

dilaporkan terjadi pada anak akibat osteomyelitis.

Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya nyeri tekan pada palpasi daerah yang

terinfeksi dan gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan

akan bertambah berat jika terjadi spasme lokal. Gangguan pergerakan sendi juga dapat

disebabkan oleh efusi sendi atau septik sendi.

Jumlah sel darah putih biasanya normal, akan tetapi nilai sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-

reactive protein (CRP) biasanya meningkat. CRP merupakan pengukuran respon fase akut

dan berguna dalam mengawasi proses penyembuhan dari osteomyelitis akut karena nilainya

kembali ke normal lebih cepat dibanding dengan ESR. Pada penelitian yang dilakukan oleh

Orimolade et al pada pasien Osteomyelitis akut di Nigeria, ditemukan bahwa pasien

osteomyelitis lebih cenderung mengalami anemia dibanding kelompok kontrol.

Gambaran radiologi polos biasanya tidak menunjukkan kelainan namun dapat ditemukan

pembengkakan jaringan lunak. Perubahan skelet seperti reaksi periosteal atau destruksi tulang

biasanya tidak ditemukan pada foto polos hingga hari ke 10 dan 12 infeksi. Pemindaian

tulang dengan menggunkan Technetium 99m dapat mengkonfirmasi diagnosis dalam 24

hingga 48 jam setelah terjadinya onset pada 90% hingga 95% pasien. MRI dapat

memperlihatkan adanya perubahan akibat proses radang pada sum-sum tulang dan jaringan

lunak.

Organisme penyebab dapat ditentukan pada sekitar 50% penderita melalui kultur darah.

Aspirasi tulang biasanya memberikan diagnosis bakteriologis yang akurat dan sebaiknya

dilakukan dengan abocath nomor 16 atau 18 pada tempat terjadinya pembengkakan dan nyeri

yang maksimal, biasanya pada metaphyse tulang panjang. Ruang subperiosteal sebaiknya

diaspirasi pertama kali dengan memasukkan jarum pada korteks bagian luar. Jika tidak

29

Page 30: Referat KP

didapatkan cairan atau material purulent, jarum diposisikan lebih dalam lagi untuk

mengambil aspirat sum-sum tulang. Sampel yang diambil dikirim untuk dilakukan pewarnaan

gram, kultur, dan tes sensitivitas antibiotic.

Penatalaksanaan

Penatalaksanaan yang tepat segera setelah onset osteomyelitis hematogenous akut dapat

memperkecil morbiditas. Operasi dan penanganan antibiotik merupakan penatalaksanaan

terpenting dan pada beberapa pasien, dengan pemberian antibiotik saja dapat menyembuhkan

penyakit tersebut. Pemilihan antibiotik berdasar pada aktivitas bakteriosidal yang terkuat,

toksisitas yang paling rendah, dan pertimbangan sosioekonomi.

Telah lama diketahui bahwa abses yang meluas membutuhkan drainase operatif. Akan tetapi,

daerah peradangan ringan tanpa pembentukan abses dapat ditangani hanya dengan antibiotik.

Pada tahun 1983 Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan osteomyelitis

hematogenous akut yang masih dapat diterapkan hingga saat ini: (1) Pemberian antibiotik

yang tepat akan efektif sebelum pembentukan pus; (2) antibiotik tidak dapat mensterilkan

jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau abses dan daerah tersebut membutuhkan

penanganan operatif; (3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik sebaiknya diberikan untuk

mencegah pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman; (4) operasi

sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik; (5) antibiotik sebaiknya

tetap diberikan setelah infeksi.

Pasien dengan osteomyelitis hematogenous akut sebaiknya mendapatkan perawatan supportif

standar termasuk pemberian cairan intravena, analgetik yang tepat, dan penempatan tungkai

atau ekstremitas yang terkena yang nyaman. Pemeriksaan berkala yang rutin sebaiknya

dilakukan. Jika abses yang membutuhkan drainase operatif tidak ditemukan dengan aspirasi

sum-sum tulang atau subperiosteal, maka pemberian antibiotik intravena berdasarkan

pewarnaan gram diberikan. Antibiotik dengan spektrum yang sempit khusus untuk bakteri

penyebab sebaiknya diberikan jika pewarnaan gram negatif, dan keadaan pasien tetap

dimonitor. Kadar CRP serum sebaiknya diperiksa 2 – 3 hari setelah pemberian awal

antibiotik. Jika dalam waktu 24 hingga 48 jam, tidak ada respon klinis yang bermakna

terhadap pemberian antibiotik, maka abses yang tak terlihat sebaiknya dicari dan drainase

operatif dipertimbangkan. Terdapat dua indikasi utama untuk operasi pada osteomyelitis

30

Page 31: Referat KP

hematogenous akut yaitu (1) keberadaan abses yang membutuhkan drainase dan (2) keadaan

pasien tidak membaik walaupun telah diberikan antibiotik yang tepat.

Tujuan dari operasi adalah untuk drainase rongga abses dan membuang seluruh jaringan

nekrotik. Ketika abses subperiosteal ditemukan pada bayi, beberapa lubang kecil sebaiknya

dibuka melalui korteks hingga mencapai kanal meduller. Jika pus intrameduller ditemukan,

maka sedikit bagian dari tulang diangkat. Kulit kemudian ditutup dengan longgar dan pada

tungkai diberikan splint. Tungkai tersebut dijaga selama beberapa minggu agar terhindar dari

fraktur patologis. Antibiotik intraavena sebaiknya diberikan setelah operasi. Durasi dari terapi

antibiotik kontroversial, akan tetapi, saat ini cenderung mengarah pada terapi antibiotik yang

semakin pendek, diikuti dengan antibiotik oral dan pengawasan kadar antibiotik serum. Hal

ini sebaiknya ditentukan berdasar pada kebutuhan tiap individu dan dengan konsultasi dari

ahli penyakit infeksi.

Setelah operasi dilakukan, splint tungkai posterior panjang diberikan pada tungkai dalam

posisi anatomis, tumit dengan posisi 90 derajat dan jika pada siku dengan fleksi 20 derajat.

Setelah luka telah sembuh, splint dilepas dan pasien diminta menggunakan tongkat bantu.

Pasien di follow up selama 1 tahun dengan pemeriksaan radiologic.

B. Osteomyelitis Hematogenous Subakut

Dibandingkan dengan oseomyelitis hematogenous akut, osteomyelitis subakut memiliki onset

yang lebih mendadak dan kurang memiliki gejala yang jelas, sehingga membuat diagnosis

menjadi sulit. Osteomyelitis subakut ini cukup sering ditemukan. Jones et al melaporkan

bahwa 35% pasien mereka dengan infeksi tulang memiliki osteomyelitis subakut

Diagnosis

Karena perjalanan penyakit yang samar dari osteomyelitis, diagnosis biasanya ditegakkan

setelah 2 minggu. Tanda dan gejala sistemik minimal. Suhu tubuh hanya sedikit naik atau

tidak sama sekali. Nyeri dengan derajat ringan sedang merupakan tanda yang konsisten

mengarahkan diagnosis. Sel darah putih biasanya normal. ESR meningkat hanya pada 50%

pasien dan kultur darah biasanya negatif. Bahkan dengan biopsi atau aspirat tulang yang

sudah adekuat, organisme patogen hanya ditemukan pada 60% pemeriksaan. Pemindaian

tulang dan foto radiologi polos pada umumnya positif.

31

Page 32: Referat KP

Lambatnya perjalanan penyakit pada osteomyelitis subakut ini kemungkinan diakibatkan oleh

peningkatan resistensi host, penurunan virulensi bakteri, atau pemberian antibiotik sebelum

onset gejala penyakit muncul. Berkembang spekulasi bahwa kombinasi dari dua organisme

dengan virulensi yang rendah disertai dengan daya tahan tubuh yang kuat mengakibatkan

adanya peradangan pada tulang tanpa adanya tanda dan gejala yang bermakna. Akan tetapi,

diagnosis yang akurat sangat bergantung dari kecurigaan klinis dan penemuan radiologis.

Klasifikasi radiologik dari osteomyelitis hematogenous subakut dideskripsikan oleh Gledhill

dan dimodifikasi oleh Robert et al. Membedakan lesi ini dari tumor tulang primer kadang

sulit dilakukan. Diagnosis seringkali harus ditegakkan dengan biopsi terbuka dan kultur.

Material purulen tidak selalu diambil pada biopsi, jaringan granulasi yang paling sering

ditemukan. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis adalah organisme yang

dominan ditemukan pada osteomyelitis subakut.

Ross dan Cole merekomendasikan biopsi dan kuretase diikuti dengan penanganan antibiotik

untuk semua lesi yang terlihat agresif. Untuk lesi yang terlihat seperti abses ringan pada

epiphysis dan metaphysis, biopsi tidak direkomendasikan. Lesi seperti ini, yang merupakan

karakteristik dari osteomuelitis subakut, sebaiknya ditangani dengan antibiotik intravena

dalam 48 jam pertama dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral selama 6 minggu. Ross

dan Cole memiliki angka kesuksesan sebesar 87% dengan regimen penanganan ini. Pada

tahun 1996, Hamdy et al meneliti 44 pasien dengan osteomyelitis subakut dan menemukan

tidak ada perbedaan pada outcome antara penanganan konservatif dan operatif pada lesi yang

tampak jinak. Mereka menyarankan biopsi terbuka dan kuretase hanya pada lesi yang tampak

agressif atau untuk yang tidak berespon terhadap pemberian antibotik.

Abses Brodie

Abses Brodie merupakan bentuk terlokalisir osteomyelitis subakut yang terjadi paling sering

pada ekstremitas bawah dari seorang dewasa muda. Sebelum penutupan epiphyseal,

metaphysis paling sering terkena. Pada orang dewasa, osteomyelitis subakut ini didapatkan

pula pada daerah metaphyse – epiphyse. Pada gambaran radiologi polos, abses Brodie ini

pada umumnya menyerupai lesi litik dengan lapisan tulang sklerotik akan tetapi dapat pula

memiliki beragam jenis bentuk. Pemeriksaan secara saksama pada foto polos sangat penting

dilakukan karena abses Brodie sering menyerupai gambaran tumor pada tulang.

Lesi ini diperkirakan disebabkan akibat organisme dengan virulensi yang rendah.

32

Page 33: Referat KP

Staphylococcus aureus ditemukan pada 50% kultur pasien, dan dalam 20% kultur tidak

ditemukan. Keadaan ini sering membutuhkan biopsi terbuka dengan kuretase untuk

menegakkan diagnosis. Luka sebaiknya ditutup dengan longgar dan menggunakan drain.

Penatalaksanaan

Pengobatan yang dilakukan dapat berupa pemberian antibiotik yang adekuat selama 6

minggu. Apabila diagnosis meragukan maka dapat dilakukan biopsi dan kuretase. Walaupun

gejala pasien dapat berkurang dengan pemberian antibiotik, penyembuhan radiologis

tergolong lama yaitu selama 12 minggu, sehingga pada pasien Osteomyelitis subakut

dibutuhkan follow-up yang cukup lama.

C. Osteomyelitis Kronik

Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat

meringan, akan tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material purulenta,

jaringan granulasi yang telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut intermitten dapat

terjadi dalam beberapa tahun dan seringkali membaik setelah beristirahat dan pemberian

antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis kronik adalah adanya tulang yang mati akibat

infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus infeksi didalam tulang dikelilingi oleh

tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang dibungkus oleh periosteum yang menebal

dan jaringan parut otot dan subkutan. Pembungkus avaskuler jaringan parut ini dapat

menyebabkan pemberian antibiotik menjadi tidak efektif.

Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya tidak

berkorelasi secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat tumbuh dari

kultur yang diambil dari sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan lunak sekitar dan

tulang.

Klasifikasi

Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik, berdasar

dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi.

Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A

memiliki respon pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang

33

Page 34: Referat KP

terbatas dan penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi

lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien digolongkan menjadi

host kelas C.

Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada

endosteal. Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang,

dan infeksi terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi

terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal dan kavitasi

(pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini tidak dapat menyebabkan

instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang menyebabkan instabilitas

mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah penanganan awal.

Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan membentuk 1

dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II pada host kelas A

dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini berguna untuk

menentukan apakah penatalaksanaan menggunakan metode yang sederhana atau kompleks,

kuratif atau paliatif, dan mempertahankan tungkai atau ablasi.

Diagnosis

Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold

standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis

dan mikrobateriologis.

Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak,

menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status

neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak

memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan

pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.

Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi

osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau

menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk

membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.

Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis

osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda

34

Page 35: Referat KP

dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada

osteomyelitis.

Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan

jika didapatkan jejak infeksi pada sinus. Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada

osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m,

yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran

darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi

pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun

negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan

pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit

dengan Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama

digunakan untuk membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.

CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup

baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan

tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI

memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat

menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi

sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.

Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi

dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan

diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan.

Gambar 3. Osteomyelitis pada pria berusia

84 tahun, foto CT Scantampak sagital (a) dan axial (b) memperlihatkan fraktur pada tulang

metatarsal dan sesamoid. Selain itu terdapat reaksi periosteal dan erosi pada caput metatarsal

yang mengindikasikan adanya osteomyelitis.

35

Page 36: Referat KP

Penatalaksanaan

Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk

osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi.

Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang

yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini.

Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada

osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.

Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani

untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan

instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang

perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi

antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan

identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan

MRI.

Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi,

diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus.

Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian

antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik.

Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu

pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.

Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat

menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft

sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk

membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan

didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena

bur.

Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi

antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk

penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering

kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang

36

Page 37: Referat KP

tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle

flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang

dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft

untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang

bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft

tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya

tidak memiliki vaskularisasi .

a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik

Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih

banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah

yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi.

Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi

dan eksisi.

Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang

terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3

hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang

tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta,

dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal

meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk memberikan tempat bagi pembuluh

darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir

perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan,

eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong

atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler

lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika

memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang

berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau

berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan

datang.

Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian

dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode

yang panjang dan dimonitor dengan ketat.

37

Page 38: Referat KP

Gambar 4. Teknik sekuestrektomi dan kuretase. A. Daerah tulang yang terinfeksi dibuka dan

sequestrum dibuang; B. Semua material yang terinfeksi dibuang; C. Luka dapat dibungkus

terbuka atau ditutup dengan longgar dan memakai drain

Defek jaringan lunak dan tulang harus diisi untuk mereduksi kemungkinan infeksi lanjutan

dan kerusakan fungsi. Beberapa teknik telah dideskripsikan untuk penanganan defek tersebut

dan terbukti berhasil jika dilakukan dengan benar. Metode untuk mengeliminasikan ruang

kosong tersebut adalah sebagai berikut :

1. Bone graft dengan penutupan primer dan sekunder;

2. Penggunaan antibiotik polymethylsmethacrylate (PMMA) sebagai saringan temporer

sebelum rekonstruksi,

3. Flap muskuler lokal dan skin graft dengan atau tanpa bone graft,

4. Transfer mikrovaskuler flap muskuler, myokutaneus, osseous, dan osteocutaneous, dan

5. Penggunaan transport tulang (Illizarof technique).

b. Graft Tulang Terbuka

Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis

kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :

1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;

2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya

infeksi;

3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;

4. Drainase yang adekuat;

5. Immobilisasi yang adekuat;

6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.

Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk

penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.2,6

38

Page 39: Referat KP

Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi

dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod,

(2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.

c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)

Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan

antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk

penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan

konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah

menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih

tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan

dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar

toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke

dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport.

Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer;

jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan

perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik

telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap

tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.

Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead.

Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead;

vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin,

polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis

antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16

Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan.

Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada

implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan

hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead.

Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar

bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan

setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan

merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga

terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang

39

Page 40: Referat KP

fagositik.

Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72

jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.

d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)

Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi

debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga

transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi

memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi

mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan

osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur

adalah sebesar 66% hingga 100%.

Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada

tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus

digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan

mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.

Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada penanganaan osteomyelitis

kronik dengan penggunaan transfer jaringan bebas mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler

dapat mengandung otot yang menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan

osteocutaneous. Debridement awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu

meningkatkan angka keberhasilan teknik ini.

e. Teknik Lizarof

Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan

nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang

terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang

terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. 2

Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden

komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga

terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun

dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan

reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas.

40

Page 41: Referat KP

KOMPLIKASI

Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali

dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab.

Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah

tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar

bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai

berikut:

a. Abses tulang

b. Bakteremia

c. Fraktur Patologis

d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)

e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.

f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.

PROGNOSIS

Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti virulensi

bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. Diagnosis yang

dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis yang memuaskan

dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang berat sekalipun.

Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat berkembang menjadi infeksi yang berat dan

meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan

menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka prognosis osteomyelitis menjadi buruk.

PENCEGAHAN

Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada

tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang

tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.

Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik,

pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan

pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.

41

Page 42: Referat KP

DAFTAR PUSTAKA

Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan Pada Pasien Dengan

Kelainan Sistem Pernapasan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.

Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV.

Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.

Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo, Aru W.

Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam FKUI.

Anonim. 2009. Penyakit TBC. Akses tanggal 23 April 2011 17:15 di

http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm

Anonim. 2009. Obat Tuberkulosis (TBC). Akses tanggal 23 April 2011 17:11 di

http://www.medicastore.com/apotik_online/kemoterapi_antimikroba/obat_tb.htm

Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional

Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.

Ekayuda, Iwan. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta : FK UI.

Palmer, P.E.S., dkk. 1995. Petunjuk Membaca Foto untuk Dokter Umum. Alih

bahasa : L. Hartono. Jakarta : EGC.

Price, Sylvia A. Standridge, Mary P. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Price, Sylvia

A. Wilson, Lorraine. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6

Volume 2. Jakarta: EGC.

Rahmatullah, Pasiyan. 2007. Bronkiektasis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,

Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu

Penyakit Dalam FKUI.

42