referat kp
TRANSCRIPT
Referat
TUBERKULOSIS PARU
OSTEOMYELITIS
Oleh :
Rico Aditya S. Ked.
Pembimbing :
dr. Haryadi, Sp. Rad
SMF RADIOLOGI
RSUD DR. H. ABDUL MOELOEK
BANDAR LAMPUNG
APRIL 2011
TUBERKULOSIS PARU
1
A. Definisi
Penyakit TB adalah penyakit yang tergolong dalam infeksi menular yang disebabkan oleh
bakteri Mycobacterium tuberculosis. Kasus TB terbanyak menyerang paru sehingga disebut
dengan tuberkulosis paru meskipun TB bisa juga menyerang bagian atau organ tubuh yang
lain.
Gambar 1. Bakteri Mycobacterium tuberculosis
B. Etiologi
Penyebab Tuberkulosis adalah Mycobacterium tuberculosis, sejenis kuman berbentuk batang
dengan ukuran panjang 1-4/ µm. Species lain yang dapat memberikan infeksi pada manusia
adalah M.bovis, M.kansasi, M.intercellulare. sebagian besar kuman terdiri dari asam lemak
(lipid). Lipid inilah yang membuat kuman lebih tahan asam dan tahan terhadap trauma kimia
dan fisik.
Mycobacterium tuberculosa, basilus tuberkel, adalah satu diantara lebih dari 30 anggota
genus Mycobacterium yang dikenal dengan baik, maupun banyak yang tidak tergolongkan.
Bersama dengan kuman yang berkerabat dekat, yaitu M. bovis, kuman ini menyebabkan
tuberculosis. M leprae merupakan agen penyebab penyakit lepra. M avium dan sejumlah
spesies mikrobacterium lainnya lebih sedikit menyebabkan penyakit yang biasanya terdapat
pada manusia. Sebagian besar micobakterium tidak patogen pada manusia, dan banyak yang
mudah diisolasi dari sumber lingkungan . Kuman ini dapat hidup pada udara kering maupun
dalam keadaan dingin (dapat tahan bertahun-tahun dalam lemari es). Hal ini terjadi karena
kuman dalam sifat dormant. Dari sifat dormant ini kuman dapat bangkit kembali dan
menjadikan tuberculosis aktif lagi.
2
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yakni dalam sitoplasma
makrofag. Sifat lain kuman ini adalah aerob. Sifat ini menunjukkan bahwa kuman lebih
menyenangi jaringan yang tinggi kandungan oksigennya. Dalam hal ini tekanan oksigen pada
bagian apikal paru-paru lebih tinggi daripada bagian lain, sehingga bagian apikal ini
merupakan tempat predileksi penyakit Tuberculosis.
Mikrobakterium dibedakan dari lipid permukaannya, yang membuatnya tahan-asam sehingga
warnanya tidak dapat dihilangkan dengan alkohol asam setelah diwarnai. Karena adanya lipid
ini, panas atau detergen biasanya diperlukan untuk menyempurnakan perwarnaan primer.
C. Epidemiologi
Di seluruh dunia TB menyerang 10 juta orang dan menyebabkan 3 juta kematian setiap
tahun. Di negara maju, TB jarang terjadi yaitu menyerang kira-kira 1 per 10.000 populasi. TB
paru paling sering menyerang masyarakat di Asia yakni di Cina dan India Barat. Transmisi
melalui udara dan kontak dekat menyebarkan penyakit ini. Orang usia lanjut, orang yang
malnutrisi atau orang dengan penekanan sistem imun (infeksi HIV, diabetes melitus, terapi
kortikosteroid, alkoholisme, intercurrent lymphoma) lebih mudah terkena. Perbaikan keadaan
rumah dan malnutrisi mengurangi insidensi (Jane, 2002).
D. Faktor Risiko
Beberapa faktor risiko untuk menderita TB adalah:
1. Jenis kelamin
Penyakit TB dapat menyerang laki-laki dan perempuan. Hampir tidak ada perbedaan di
antara anak laki dan perempuan sampai pada umur pubertas .
2. Status gizi
Telah terbukti bahwa malnutrisi akan mengurangi daya tahan tubuh sehingga akan
menurunkan resistensi terhadap berbagai penyakit termasuk TB. Faktor ini sangat
berperan pada negara-negara miskin dan tidak mengira usia (Croft, 2002).
3
3. Sosioekonomi
Penyakit TB lebih banyak menyerang masyarakat yang berasal dari kalangan
sosioekonomi rendah. Lingkungan yang buruk dan permukiman yang terlampau padat
sangat potensial dalam penyebaran penyakit TB (Croft, 2002).
4. Pendidikan
Rendahnya pendidikan seseorang penderita TB dapat mempengaruhi seseorang untuk
mencari pelayanan kesehatan. Terdapat beberapa penelitian yang menyimpulkan bahwa
seseorang yang mempunyai pendidikan rendah akan berpeluang untuk mengalami
ketidaksembuhan 5,5 kali lebih besar berbanding dengan orang yang mempunyai tingkat
pendidikan yang lebih tinggi (Croft, 2002).
5. Faktor-faktor Toksis
Merokok, minuman keras, dan tembakau merupakan faktor penting dapat menurunkan
daya tahan tubuh (Nelson, 1995).
E. Penularan
M. tuberculosis ditularkan dari orang ke orang melalui jalan pernafasan. Walaupun mungkin
terjadi jalur penularan lain dan kadang-kadang terbukti, tidak satupun yang penting. Basilus
tuberkel disekret pernafasan membentuk nuclei droplet cairan yang dikeluarkan selama
batuk, bersin, dan berbicara.
Droplet keluar dari jarak dekat dari mulut, dan sesudah itu basilus yang ada tetap di udara
untuk wakktu yang lama. Infeksi pada penjamu yang rentan terjadi bila terhirup sedikit
basilus ini. Jumlah basilus yang dikeluarkan oleh kebanyakan orang yang terinfeksi tidak
banyak; khas diperlukan kontak rumah tangga selama beberapa bulan untuk penularannya.
Namun demikian, pasien dengan tuberculosis laring, penyakit endobrokhial, penyebaran
tuberculosis transbronkial yang baru, dan penyakit paru berkavitas yang luas seringkali
sangat menular.
Infeksi berkaitan dengan jumlah kuman pada sputum yang dibatukkan, luasnya penyakit
paru, dan frekuensi batuk. Micobakterium rentan terhadap penyinaran ultraviolet, dan
penularan infeksi di luar rumah jarang terjadi pada siang hari. Ventilasi yang memadai
merupakan tindakan yang terpenting untuk mengurangi tingkat infeksi lingkungan. Serbuk
4
tidak penting pada penularan tuberculosis. Sebagian penderita menjadi tidak infeksius dalam
dua minggu setelah pemberian kemoterapi yang tepat karena penurunan jumlah kuman yang
dikeluarkan dan kurangnya batuk.
Penularan infeksi dengan M. bovis telah lama dikaitkan dengan konsumsi susu sapi yang
tercemar. Organisme ini bukan lagi penyebab penyakit pada manusia yang utama di
kebanyakan daerah di dunia.
Gambar 2. Penyebaran
F. Patofisiologi
a. Tuberculosis primer
Penularan tuberculosis paru terjadi karena kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar
menjadi droplet nuclei dalam udara. Partikel infeksi ini dapat menetap dalam udara bebas
selama 1-2 jam, tergantung pada ada tidaknya sinar ultraviolet, ventilasi yang baik dan
kelembaban. Dalam suasana lembab dan gelap kuman dapat tahan berhari-hari sampai
berbulan-bulan.
Bila partikel ini terisap oleh orang sehat, ia akan menempel pada jalan nafas atau paru-
paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau dibersihkan oleh makrofag keluar dari
trakeo-bronkhial beserta gerakan silia dengan sekretnya. Kuman juga dapat masuk
melalui luka pada kulit atau mukosa tapi hal ini sangat jarang terjadi.
5
Bila kuman menetap di jaringan paru, ia bertumbuh dan berkembang biak dalam
sitoplasma makrofag. Di sini ia dapat terbawa masuk ke organ tubuh lainnya. Kuman
yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang tuberculosis pneumonia
kecil dan disebut sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini dapat terjadi dibagian
mana saja jaringan paru. Dari sarang primer ini akan timbul peradangan saluraan getah
bening menuju hilus (limfangitis lokal), dan juga diikuti pembesaran kelenjar getah
bening hilus (limfadenitis regional).
Sarang primer + limfangitis local + limfadenitis regional = kompleks primer.
Kompleks primer ini selanjutnya dapat menjadi :
(1) Sembuh sama sekali tanpa meninggalkan cacat.
(2) Sembuh dengan meninggalkan sedikit bekas berupa garis-garis fibrotik, klasifikasi di
hilus atau kompleks sarang Ghon.
(3) Komplikasi dan menyebar secara :
- Per kontinuitatum, yakni menyebar ke sekitarnya.
- Secara bronkogen pada paru yang bersangkutan maupun paru disebelahnya. Dapat
juga kuman tertelan bersama sputum dan ludah sehingga menyebar ke usus.
- Secara limfogen, ke organ tubuh lainnya
- Secara hematogen, ke organ tubuh lainnya.
Semua kejadian diatas tergolong dalam perjalanan tuberculosis primer
b. Tuberculosis Post-primer
Kuman yang dormant pada tuberculosis primer akan muncul bertahun-tahun
kemudian sebagai infeksi endogen menjadi tuberculosis dewasa (tuberculosis post-
primer). Tuberculosis post-primer ini dimulai dengan sarang dini yang berlokasi di
regio atas paru (bagian apical posterior lobus superior atau inferior). Invasinya adalah
kedaerah parenkim paru-paru dan tidak ke nodus hiler paru.
Sarang dini ini mula-mula juga berbentuk sarang pneumonia kecil. Dalam 3-10
minggu sarang ini menjadi tuberkel yakni suatu granuloma yang terdiri dari sel-sel
histiosit dan sel Datia-Langhans (sel besar dengan banyak inti) yang dikelilingi oleh
sel-sel limfosit dan bermacam-macam jaringan ikat.
6
G. Klasifikasi Tuberculosis
Sampai sekarang belum ada kesepakatan di antara para klinikus, ahli radiologi, ahli patologi,
mikrobiologi dan ahli kesehatan masyarakat tentang keseragaman klasifikasi tuberculosis.
Dari sistem lama diketahui beberapa klasifikasi seperti:
1. - Tuberculosis primer (Childhood tuberculosis)
- Tuberculosis post primer (Adult tuberculosis)
2. - Tuberculosis paru (Koch Pulmonum) aktif,
- Tuberculosis paru (Koch Pulmonum) non aktif dan quiescent.
3. - Tuberculosis minimal, terdapat sebagian kecil infiltrat non kavitas pada satu
paru maupun kedua paru, tetapi jumlahnya tidak melebihi satu lobus.
- Moderately Advanced Tuberculosis, kavitas dengan diameter tidak lebih dari
4 cm. Jumlah infiltrat bayangan halus tidak lebih dari satu bagian paru. Bila
bayangannya kasar tidak lebih dari sepertiga bagian satu paru.
- Far Advanced Tuberculosis, terdapat infiltrat dan kavitas yang melebihi
keadaan pada moderately advanced tuberculosis.
Klasifikasi diatas dititik beratkan pada bidang patologi, mikrobiologi dan radiologi. Pada
tahun 1974 American Thoracic Society memberikan klasifikasi baru yang diambil dari
klasifikasi kesehatan masyarakat.
1. Kategori 0 : tidak pernah terpapar, dan tidak terinfeksi. Riwayat kontak negatif, test
tuberculin negatif.
2. Kategori I : terpapar tuberculosis, tetapi tidak terbukti terinfeksi. Riwayat kontak positif,
test tuberculin negatif.
3. Kategori II: terinfeksi tuberculosis, tapi tidak sakit. Test tuberculin positif, radiologis dan
sputum negatif.
4. Kategori III : terinfeksi tuberculosis dan sakit.
Di Indonesia klasifikasi yang banyak dipakai adalah :
1. Tuberculosis paru
2. Bekas tuberculosis paru
3. Tuberculosis paru tersangka, yang terbagi dalam :
7
a. Tuberculosis paru tersangka yang diobati. Disini sputum BTA negatif, tapi tanda-
tanda lain positif.
b. Tuberculosis paru tersangka tersangka yang tidak diobati. Disini sputum BTA negatif
dan tanda-tanda lain juga meragukan.
H. Gejala-gejala Klinis
Keluhan yang dirasakan penderita tuberculosis dapat bermacam-macam atau malah tanpa
keluhan sama sekali. Keluhan yang terbanyak adalah :
1. Demam
Biasanya subfebril menyerupai demam influenza, tetapi kadang-kadang panas badan
dapat mencapai 40-41ºC. Serangan demam pertama dapat sembuh kembali. Bagitulah
seterusnya hilang timbulnya demam influenza ini, sehingga penderita merasa tidak pernah
terbebas dari serangan demam influenza. Keadaan ini sangat dipengaruhi daya tahan
tubuh penderita dan berat ringannya infeksi kuman tuberculosis yang masuk.
2. Batuk
Batuk dapat terjadi karena adanya iritasi pada bronkus. Batuk ini diperlukan untuk
membuang produk-produk radang keluar. Sifat batuk mulai dari kering (non produktif)
kemudian setelah timbul peradangan menjadi produktif (menghasilkan sputum). Keadaan
yang lebih lanjut adalah berupa batuk darah (hemoptoe) karena terdapat pembuluh darah
yang pecah. Kebanyakan batuk darah pada tuberculosis terjadi pada kavitas, tetapi dapat
juga terjadi pada ulkus dinding bronchus.
3. Sesak nafas
Pada penyakit yang ringan (baru tumbuh) belum dirasakan sesak nafas. Sesak nafas akan
ditemukan pada penyakit yang sudah lanjut, dimana infiltrasinya sudah setengah bagian
paru-paru.
4. Nyeri dada
Gejala ini agak jarang ditemukan. Nyeri dada timbul apabila infiltrasi radang sudah
sampai ke pleura sehingga menimbulkan pleuritis.
5. Malaise
Penyakit tuberculosis bersifat radang yang menahun. Gejala malaise sering ditemukan
berupa: anoreksia, tidak ada nafsu makan, badan makin kurus (berat badan turun), sakit
kepala, meriang, nyeri otot, keringat malam, dll. Gajala malaise ini makin lama makin
berat dan terjadi hilang timbul secara tidak teratur.
8
c. Penegakan Diagnosis
Untuk menegakan diagnosis pertama sekali adalah dengan melakukan anamnesis mengenai
ada tidak gejala-gejala TB. Gejala Umum berupa batuk terus menerus dan berdahak selama 3
minggu atau lebih. Gejala lain yang sering dijumpai adalah dahak bercampur darah, batuk
darah, sesak nafas dan rasa nyeri dada, badan lemah, nafsu makan menurun, berat badan
menurun, rasa kurang enak badan (malaise), berkeringat malam walaupun tanpa kegiatan,
demam meriang lebih dari satu bulan.
1. Pemeriksaan Klinis
Pemeriksaan pertama terhadap keadaan umum pasien mungkin ditemukan konjungtiva mata
atau kulit yang pucat karena anemia, suhu demam (subfebris), badan kurus atau berat badan
menurun.
Tempat kelainan lesi TB yang perlu dicurigai adalah bagian apeks paru. Bila dicurigai
infiltrat yang agak luas, maka akan didapatkan perkusi yang redup dan auskultasi nafas
bronkial. Akan didapatkan juga suara nafas tambahan berupa ronkhi basah, kasar, dan
nyaring. Tetapi bila infiltrat ini diliputi oleh penebalan pleura, suara nafasnya menjadi
vesikular melemah (Amin, 2006).
2. Pemeriksaan Penunjang
Terdapat beberapa uji untuk menegakkan diagnosis TB yaitu:
Tuberkulin skin test
Uji ini dilakukan dengan menginjeksikan secara intracutaneous 0.1ml Tween-stabilized
liquid PPD (Purified Protein Derivative) pada bagian punggung atau dorsal dari lengan
bawah.
Dalam waktu 48 – 72 jam, area yang menonjol (indurasi), bukan eritema, diukur. Ukuran
tes Mantoux ini sebesar 5 mm diinterpretasikan positif pada kasus-kasus:
(1) Individu yang memiliki atau dicurigai terinfeksi HIV (Human Immunodeficiency
Virus).
(2) Memiliki kontak yang erat dengan penderita TB yang infeksius
9
(3) Individu dengan rontgen dada yang abnormal yang mengindikasikan gambaran proses
penyembuhan TB yang lama, yang sebelumnya tidak mendapatkan terapi OAT yang
adekuat.
(4) Individu yang menggunakan narkoba dan status HIV yang tidak diketahui. Ukuran 10
mm uji tuberkulin, dianggap positif biasanya pada kasus-kasus seperti :
- Individu dengan kondisi kesehatan tertentu kecuali penderita HIV
- Individu yang menggunakan narkoba (jika status HIV negatif)
- Tidak mendapatkan pelayanan kesehatan, populasi dengan pendapatan yang
rendah, termasuk kelompok ras dan etnik yang berisiko tinggi.
- Anak kecil yang berusia kurang dari 4 tahun.
Uji ini sekarang sudah tidak dianjurkan dipakai karena uji ini hanya menunjukkan ada
tidaknya antibodi anti TB pada seseorang, sedangkan menurut penelitian, 80% penduduk
Indonesia sudah pernah terpapar antigen TB, walaupun tidak bermanifestasi, sehingga
akan banyak memberikan false positif (Amin, 2006).
Pemeriksaan Radiologis
Pemeriksaan radiologis juga diperlukan untuk membantu penegakan diagnosis.
(1) Adanya infeksi primer digambarkan dengan nodul terkalsifikasi pada bagian perifer
paru dengan kalsifikasi dari limfe nodus hilus.
(2) Sedangkan proses reaktifasi TB akan memberikan gambaran :
- Nekrosis
- Kavitasi (terutama tampak pada foto posisi apical lordotik).
- Fibrosis dan retraksi region hilus.
- Bronchopneumonia.
- Infiltrate interstitial.
- Pola milier.
- Gambaran diatas juga merupakan gambaran dari TB primer lanjut.
(3) TB pleura memberikan gambaran efusi pleura yang biasanya terjadi secara massif.
(4) Aktivitas dari kuman TB tidak bisa hanya ditegakkan hanya dengan 1 kali
pemeriksaan rontgen dada, tapi harus dilakukan serial rontgen dada. Tidak hanya
melihat apakah penyakit tersebut dalam proses progesi atau regresi (Amin, 2006).
10
Pemeriksaan Sputum
Pemeriksaan sputum adalah penting, karena dengan ditemukannnya kuman BTA,
diagnosis TB sudah dapat dipastikan. Kriteria BTA positif adalah bila sekurang-
kurangnya ditemukan 3 batang kuman BTA pada satu sediaan (Amin, 2006).
Gambaran radiologis :
11
Gambar 3. Kavitas multiple
Terlihat kavitas multiple pada paru kiri dan suatu kavitas besar pada lobus atas kanan. Volume hemithorak kiri lebih kecil dibandingkan dengan kanan, merupakan petunjuk bahwa penyakit ini kronis
12
Gambar 4. Kavitas
- Kavitas berdinding tipis yang dikelilingi oleh eksudasi tuberkulosa.
- Peningkatan corakan paru sampai ke hilus, menunjukkan adanya limfadenitis (panah)
Gambar 5. Kavitas yang massif pada tuberkulosa
- Hamper seluruh lobus atas kanan telah rusak dan terbentuk suatu kavitas yang besar.
- Terlihat bercak-bercak granulomatosa pada seluruh paru kiri. Ini terjadi karena penyebaran infeksi dari kavitas di lobus atas kanan
13
Gambar 6. Tuberkulosa dengan hydropneumothorak
a. Tuberkolsa menimbulkan bercak-bercak densitas
b. Jantung terdesak ke kanan oleh pneumothorak kiri.
c. Pneumothorakd. Paru kiri yang
kolaps sebagiane. Cairan pada dasar
pleura
a
c
b
d
e
Gambar 7.Tuberkulosa miliaris
Pada tuberkulosa dan penyakit granulomatosa yang lain, nodul miliaris terlihat tersebar di seluruh lapangan paru.
14
Gambar 8. Tuberkulosa miliaris
Foto daerah basis paru kanan yang diperbesar. Terlihat bayangna nodul-nodul halus.
Gambar 9. Nodul multiple dengan kalsifikasi.
- Nodul bulat kecil dengan kalsifikasi tampa adanya reaksi paru di sekitarnya.
- Terlihat nodul tersebar merata pada seluruh lapangan paru.
15
Gambar 10. Tuberkulosa anak
Pembesaran kelenjar hilus kanan (panah). Infeksi primer pada paru tidak terlihat
Gambar 11. Tuberkulosa dewasa
Pembesaran kelenjar hilus bilateral karena tuberkulosa (pemeriksaan sputum bisa saja negative).
16
Gambar 12. Kompleks primer (lengkap, bentuk halter = pembesaran kelenjar dan focus perifer).
Gambar 13. Kompleks primer (hanya hilus kanan membesar)
17
Gambar 14.Tuberculosis primer disertai pleuritis atau atelektasis (epituberkulosis).
a
c
b
Gambar 15. Skema klasifikasi American tuberculosis associationa. TBK tingkat minimalb. TBK tingkat lanjut sedangc. TBK tingkat sangat lanjut
18
Gambar 16. Awan-awan dan bercak-bercak ; tingkat minimal ATA.
Gambar 17. Awan-awan danlubang-lubang besar (diameter total 4 cm0 : tingkat sangat lanjut ATA.
Gambar 18. Garis-garis fibrotic (proses lama, tenang).
19
Gambar 19. Garis-garis fibrotic di kanan atas : proses lama, tenang.
Gambar 20. Tuberkulomata
20
Gambar 20.Tomogram dari tuberkulomata
Gambar 21. Tuberkulosis fibrosis densa (fenomena kantong celana : arteri pulmonaris terangkat ke atas) dengan kavitas sisa (residual cavity).
d. Pengobatan
21
Gambar 22. Sarang-sarang kapur simon (simon’s poci) di puncak kanan.
Gambar 23. Tuberculosis miliaris
Gambar 24. Dikira Aspergilloma, ternyata Elescheria Boydil (PA).
Pengobatan TB Kriteria I (Tidak pernah terinfeksi, ada riwayat kontak, tidak menderita TB)
dan II (Terinfeksi TB/test tuberkulin (+), tetapi tidak menderita TB (gejala TB tidak ada,
radiologi tidak mendukung dan bakteriologi negatif) memerlukan pencegahan dengan
pemberian INH (Isoniazid) 5–10 mg/kgbb/hari.
1. Pencegahan (profilaksis) primer :
Anak yang kontak erat dengan penderita TB BTA (+) mendapat INH minimal 3 bulan
walaupun uji tuberkulin memberi hasil negatif. Terapi profilaksis dihentikan bila hasil uji
tuberkulin ulang menjadi negatif atau sumber penularan TB aktif sudah tidak ada.
2. Pencegahan (profilaksis) sekunder :
Anak dengan infeksi TB yaitu uji tuberkulin (+) tetapi tidak ada gejala sakit. Profilaksis
diberikan selama 6-9 bulan. Obat yang digunakan untuk TB digolongkan atas dua
kelompok yaitu :
a. Obat primer : INH, Rifampisin, Etambutol, Streptomisin, Pirazinamid.
Memperlihatkan efektifitas yang tinggi dengan toksisitas yang masih dapat ditolerir,
sebagian besar penderita dapat disembuhkan dengan obat-obat ini. Dosis OAT dapat
dilihat pada table 2.2.
b. Obat sekunder : Exionamid, Paraaminosalisilat, Sikloserin, Amikasin, Kapreomisin
dan Kanamisin.
e. Komplikasi Pada Penderita Tuberkulosis
22
Komplikasi berikut ini sering terjadi pada penderita stadium lanjut :
1. Hemoptisis berat (perdarahan dari saluran napas bawah) yang dapat mengakibatkan
kematian karena syok hipovolemik atau tersumbatnya jalan napas.
2. Kolaps dari lobus akibat retraksi bronkial.
3. Bronkiectasis dan Fibrosis pada paru.
4. Pneumotoraks spontan: kolaps spontan karena kerusakan jaringan paru.
5. Penyebaran infeksi ke organ lain seperti otak, tulang, persendian, ginjal dsb
6. Insufisiensi Kardio Pulmoner (Cardio Pulmonary Insufficiency).
Penderita TB paru dengan kerusakan jaringan luas yang telah sembuh (BTA negatif) masih
bisa mengalami batuk darah. Keadaan ini seringkali dikelirukan dengan kasus kambuh. Pada
kasus seperti ini, pengobatan dengan OAT tidak diperlukan, tapi cukup diberikan pengobatan
simptomatis. Bila perdarahan berat, penderita harus dirujuk ke unit spesialistik.
23
OSTEOMYELITIS
PENDAHULUAN
Osteomyelitis merupakan inflamasi pada tulang yang disebabkan infeksi piogenik atau non-
piogenik seperti Micobacterium tuberkulosa atau Staphylococcus aureus. Infeksi dapat
terbatas pada sebagian kecil tempat pada tulang atau melibatkan beberapa daerah seperti sum-
sum, perioesteum, dan jaringan lunak disekitar tulang.
Awal tahun 1900 sekitar 20% pasien dengan osteomyelitis meninggal dan mereka yang
selamat mengalami morbiditas yang bermakna. Sekarang ini, mortalitas dan morbiditas akibat
osteomyelitis relatif rendah karena metode penanganan yang modern, termasuk penggunaan
antibiotik dan intervensi invasif. Kunci keberhasilan penatalaksanaan osteomyelitis adalah
diagnosis dini dan operasi yang tepat serta pemilihan jenis antibiotik yang tepat. Secara
umum, dibutuhkan pendekatan multidisipliner yang melibatkan ahli orthopaedi, spesialis
penyakit infeksi, dan ahli bedah plastik pada kasus berat dengan hilangnya jaringan lunak.
Gambar 1. Perbandingan antara tulang
sehat dan tulang yang terinfeksi
PATOFISIOLOGI
Infeksi yang berhubungan dengan osteomyelitis dapat terlokalisir dan menyebar di
periosteum, korteks, sum-sum tulang, dan jaringan kansellosa. Bakteri patogen yang
menginfeksi bergantung pada usia pasien dan mekanisme infeksi. Infeksi pada tulang dapat
terjadi dengan dua mekanisme yaitu melalui aliran darah tulang dan melalui inokulasi
langsung dari jaringan sekitar.
24
Osteomyelitis yang terjadi akibat infeksi melalui penyebaran darah terjadi disebabkan adanya
bibit bakteri pada aliran darah, keadaan ini ditandai dengan infeksi akut pada tulang yang
berasal dari bakteri yang berasal dari fokus infeks primer yang letaknya jauh dari tulang yang
mengalami peradangan. Keadaan ini paling sering terjadi pada anak dan disebut dengan
osteomyelitis hematogenous akut. Lokasi yang paling sering terkena adalah metaphyse yang
bervaskularisasi tinggi dan dalam masa perkembangan yang cepat. Perlambatan aliran darah
yang terjadi pada pada metaphyse distal menyebabkan mudahnya terjadi thrombosis dan
dapat menjadi tempat bertumbuhnya bakteri. Infeksi yang terjadi akibat inokulasi langsung
dari jaringan sekitar terjadi akibat kontak langsung dari jaringan tulang dan bakteri akibat
trauma atau post operasi. Mekanisme ini dapat terjadi oleh karena inokulasi bakteri langsung
akibat cedera tulang terbuka, bakteri yang berasal dari jaringan sekitar tulang yang
mengalami infeksi, atau sepsis setelah prosedur operasi.
Gambar 2. Perubahan patofisiologis pada
osteomyelitis yang disebabkan oleh infeksi daerah sekitar.
KLASIFIKASI
Klasifikasi osteomyelitis berdasar dari beberapa kriteria seperti durasi dan mekanisme infeksi
dan jenis respon host terhadap infeksi. Osteomyelitis berdasarkan durasi penyakit dapat
diklasifikasi menjadi akut, subakut, dan kronik. Akan tetapi batas waktu untuk tiap klasifikasi
masih belum tegas. Mekanisme infeksi dapat exogenous dan hematogenous. Osteomyelitis
exogenous disebabkan oleh fraktur terbuka, operasi (iatrogenik), atau penyebaran infeksi dari
jaringan lunak lokal. Jenis hematogenous terjadi akibat bakteremia. Osteomyelitis juga dapat
25
dibagi berdasarkan respon host terhadap penyakit ini, pembagian tersebut adalah
osteomyelitis pyogenik dan nonpyogenik. Cierny dan Mader mengajukan sistem klasifikasi
untuk osteomyelitis kronis berdasarkan kriteria faktor host dan anatomis. Sistem klasifikasi
yang lebih banyak digunakan adalah berdasarkan durasi (akut, subakut, dan kronis) dan
berdasarkan mekanisme infeksi (exogenous dan hematogenous)
A. Osteomyelitis Hematogenous Akut
Osteomyelitis hematogenous akut merupakan tipe infeksi tulang yang paling sering terjadi
dan seringkali ditemukan pada anak. Infeksi ini lebih sering ditemukan pada laki-laki
dibanding dengan wanita di segala kelompok usia. Penyebab terjadinya Osteomyelitis
hematogenous akut ini adalah bakteremia, dimana keadaan ini umum ditemukan pada anak.
Pertumbuhan bakteriologis dalam tulang pada umumnya terkait dengan beberapa keadaan
yaitu trauma, penyakit kronik, malnutrisi, dan sistem imun yang inadekuat. Pada beberapa
kasus, penyebab pasti dari penyakit ini tidak dapat ditentukan.
Patofisiologi
Patologi yang terjadi pada osteomyelitis hematogen akut bergantung pada umur, daya tahan
tubuh, lokasi infeksi serta virulensi kuman. Infeksi terjadi melalui aliran darah dari fokus ke
tempat yang lain dalam tubuh pada fase bakteremia dan dapat menimbulkan septikemia.
Embolus infeksi kemudian masuk ke dalam luksta epifisis pada daerah metafisis tulang
panjang. Proses selanjutnya terjadi hiperemi dan edema di daerah metafisis disertai
pembentukan pus. Terbentuknya pus dalam tulang dimana jaringan tulang tidak dapat
berekspansi akan menyebabkan tekanan dalam tulang bertambah. Peninggian tekanan dalam
tulang mengakibatkan terganggunya sirkulasi dan timbul trombosis pada pembuluh daragh
tulang yang akhirnya menyebabkan nekrosis tulang. Di samping proses yang disebabkan
diatas, pembentukan tulang baru yang ekstensif terjadi pada bagian dalam perosteum
sepanjang diafisis (terutama pada anak-anak) sehingga terbentuk suatu lingkungan tulang
seperti peti mayat yang disebut involucrum dengan jaringan sekuestrum di dalamnya. Apabila
pus menembus tulang, maka terjadi pengaliran pus dari involucrum kelual melalui lubang
yang disebut kloaka atau melalui sinus pada jaringan lunak dan kulit. Tahap selanjutnya,
penyakit dapat berkembang menjadi osteomyelitis kronis. Pada daerah tulang kanselosa,
infeksi dapat terlokalisir serta diliputi oleh jaringan fibrosa yang membentuk abses tulang
26
kronik yang disebut abses Brodi. Infeksi ini pada umumnya melibatkan metaphyse dari
tulang panjang yang sedang berkembang terutama pada pasien pediatrik. Invasi bakteri
mengakibatkan reaksi radang yang dapat menyebabkan nekrosis iskemik lokal pada tulang
dan pembentukan abses. Semakin abses membesar maka tekanan intramedullare semakin
meningkat dan mengakibatkan iskemia kortikal, yang kemudian mengakibatkan materi
purulen keluar dari korteks masuk kedalam ruang subperiosteal. Abses subperiosteal pun
terjadi. Jika dibiarkan tanpa penanganan proses ini akan mengakibatkan pembentukan
sequestra yang luas dan osteomyelitis kronik. Efek ostemyelitis hematogenous akut pada
anak tergantung pada suplai darah dan struktur anatomis tulang.
Anak yang lebih muda dari 2 tahun memiliki beberapa pembuluh darah yang melintasi physis
dan memudahkan tersebarnya infeksi pada epiphyse. Karena alasan ini, balita cenderung
mengalami deformitas atau pemendekan tungkai jika physis dan epiphyse rusak akibat infeksi
tersebut. Physis berperan sebagai barrier yang mencegah penyebaran langsung abses dari
metaphyse ke epiphyse. Metaphyse memiliki sel fagosit yang relatif rendah dibanding physe
dan diaphyse, keadaan ini menyebabkan infeksi lebih sering terjadi pada daerah ini. Abses
yang terbentuk akan merusak korteks metaphyse yang tipis dan membentuk abses
subperiosteal. Diaphyse sangat jarang terkena dan sekuestrasi jarang terjadi kecuali pada
kasus-kasus yang berat.
Anak dengan usia diatas 2 tahun memiliki physe yang secara efektif menjadi barrier terhadap
penyebaran abses metaphyse. Akan tetapi, karena korteks metaphyse pada anak yang lebih
tua semakin tebal, bagian diaphyse memiliki resiko yang lebih besar untuk terkena infeksi.
Jika infeksi mengenai diaphyse, suplai darah pada endosteal dipertaruhkan. Dengan adanya
abses periosteal, suplai darah periosteal akan rusak dan mengakibatkan penyebaran yang
lebih luas dan osteomyelitis kronis jika tidak ditangani dengan tepat.
Dari penelitian yang dilakukan Riise et al total insiden tahunan terjadinya osteomyelitis pada
anak adalah 13 dari 100.000 orang. Osteomyelitis paling sering terjadi pada anak dibawah 3
tahun.
Setelah physis menutup, osteomyelitis hematogenous akut lebih jarang terjadi. Penyebaran
bakteri secara hematogenous di tulang pada orang dewasa hanya ditemukan pada keadaan
imun yang buruk. Walaupun infeksi ini dapat terjadi pada tulang mana saja ditubuh, pada
umumnya corpus vertebra yang terkena. Pada pasien ini, abses menyebar secara perlahan,
27
dan sekuestrasi yang luas jarang terjadi. Jika destruksi lokal pada tulang kortikal terjadi,
maka akan menyebabkan fraktur patologis.
Infeksi akan menyebabkan terkumpulnya sel-sel inflamasi dan jika tidak diterapi, sel-sel
inflamasi akan menghasilkan purulen. Pus ini akan menyebar melaui tiga jalan : melalui
physis, kearah diaphysis, atau disekitar korteks. Purulen ini cenderung untuk mencari jalan
yang minimal resistensinya, melalui korteks metaphysis, selanjutnya terbentuk pus
subperiosteal. Walaupun hal ini merupakan rute yang biasanya terjadi, anak yang lebih muda
( kurang dari 1 tahun) dengan pembuluh darah transphyseal yang intak akan menunjukkan
penyebaran epiphyseal dengan membentuk abses epiphyseal.
Penyebaran infeksi pada sendi juga dipengaruhi oleh usia seseorang. Pada anak dengan usia
dibawah 2 tahun, suplai darah metaphyse dan epiphyse melintasi physis, memudahkan
penyebaran abses metaphyse pada epiphyse dan pada akhirnya pada sendi. Sendi panggul
yang paling sering terkena pada pasien usia muda, akan tetapi, physe humerus proximal,
kolum radius, dan fibula distal berada intraartikuler dan infeksi pada daerah ini dapat
mengakibatkan arthritis septik. Pada anak dengan usia yang lebih tua, sirkulasi seperti ini
tidak ditemukan lagi dan arthritis septik jarang terjadi. Setelah physe menutup, infeksi dapat
menyebar secara langsung dari metaphyse ke epiphyse dan kemudian melibatkan persendian.
Staphylococcus aureus merupakan organisme yang paling sering menginfeksi anak yang
lebih tua dan orang dewasa dengan osteomyelitis. Bakteri gram negatif telah diketahui
menjadi penyebab infeksi corpus vertebra pada orang dewasa. Pada bayi dengan ostemyelitis
akut hematogenous, Staphylococcus aureus paling sering ditemukan, akan tetapi, kelompok
streptokokkus dan koliform gram negatif juga sering didapati. Staphylococcus aureus dan
bakteri gram negatif merupakan penyebab paling umum dari infeksi ortopedik pada bayi
prematur yang dirawat pada Neonatal Intensive Care Unit (NICU).
Pada dasarnya penyebaran agen bakteri ini memiliki dua cara yaitu penyebaran umum dan
penyebaran lokal. Penyebaran umum yaitu melalui sirkulasi darah akibat bakteremia dan
septikemia dan melalui embolus infeksi yang menyebabkan infeksi multifokal pada daerah-
daerah lain. Penyebaran lokal dengan adanya subperiosteal abses akibat penerobosan abses
melalui periosteum, selulitis akibat abses subperiosteal menembus sampai di bawah kulit,
penyebaran ke dalam sendi sehingga terjadi arthritis septik, dan penyebaran ke medulla
tulang sekitar.
28
Diagnosis
Evaluasi ostemyelitis hematogenous akut sebaiknya dimulai dengan anamnesis dan
pemeriksaan fisis. Gejala dan tanda dapat sangat beragam. Pada bayi, lansia, dan pasien
dengan imunitas buruk, gambaran klinis minimal. Demam dan malaise dapat ditemukan pada
stadium awal penyakit, namun kadangkala gejala ini juga tidak dirasakan. Adanya
pembengkakan menandakan keadaan yang signifikan dimana sindrom kompartmen sering
dilaporkan terjadi pada anak akibat osteomyelitis.
Pada pemeriksaan fisik biasa ditemukan adanya nyeri tekan pada palpasi daerah yang
terinfeksi dan gangguan pergerakan sendi oleh karena pembengkakan sendi dan gangguan
akan bertambah berat jika terjadi spasme lokal. Gangguan pergerakan sendi juga dapat
disebabkan oleh efusi sendi atau septik sendi.
Jumlah sel darah putih biasanya normal, akan tetapi nilai sedimentasi eritrosit (ESR) dan C-
reactive protein (CRP) biasanya meningkat. CRP merupakan pengukuran respon fase akut
dan berguna dalam mengawasi proses penyembuhan dari osteomyelitis akut karena nilainya
kembali ke normal lebih cepat dibanding dengan ESR. Pada penelitian yang dilakukan oleh
Orimolade et al pada pasien Osteomyelitis akut di Nigeria, ditemukan bahwa pasien
osteomyelitis lebih cenderung mengalami anemia dibanding kelompok kontrol.
Gambaran radiologi polos biasanya tidak menunjukkan kelainan namun dapat ditemukan
pembengkakan jaringan lunak. Perubahan skelet seperti reaksi periosteal atau destruksi tulang
biasanya tidak ditemukan pada foto polos hingga hari ke 10 dan 12 infeksi. Pemindaian
tulang dengan menggunkan Technetium 99m dapat mengkonfirmasi diagnosis dalam 24
hingga 48 jam setelah terjadinya onset pada 90% hingga 95% pasien. MRI dapat
memperlihatkan adanya perubahan akibat proses radang pada sum-sum tulang dan jaringan
lunak.
Organisme penyebab dapat ditentukan pada sekitar 50% penderita melalui kultur darah.
Aspirasi tulang biasanya memberikan diagnosis bakteriologis yang akurat dan sebaiknya
dilakukan dengan abocath nomor 16 atau 18 pada tempat terjadinya pembengkakan dan nyeri
yang maksimal, biasanya pada metaphyse tulang panjang. Ruang subperiosteal sebaiknya
diaspirasi pertama kali dengan memasukkan jarum pada korteks bagian luar. Jika tidak
29
didapatkan cairan atau material purulent, jarum diposisikan lebih dalam lagi untuk
mengambil aspirat sum-sum tulang. Sampel yang diambil dikirim untuk dilakukan pewarnaan
gram, kultur, dan tes sensitivitas antibiotic.
Penatalaksanaan
Penatalaksanaan yang tepat segera setelah onset osteomyelitis hematogenous akut dapat
memperkecil morbiditas. Operasi dan penanganan antibiotik merupakan penatalaksanaan
terpenting dan pada beberapa pasien, dengan pemberian antibiotik saja dapat menyembuhkan
penyakit tersebut. Pemilihan antibiotik berdasar pada aktivitas bakteriosidal yang terkuat,
toksisitas yang paling rendah, dan pertimbangan sosioekonomi.
Telah lama diketahui bahwa abses yang meluas membutuhkan drainase operatif. Akan tetapi,
daerah peradangan ringan tanpa pembentukan abses dapat ditangani hanya dengan antibiotik.
Pada tahun 1983 Nade menjelaskan mengenai lima prinsip dasar penanganan osteomyelitis
hematogenous akut yang masih dapat diterapkan hingga saat ini: (1) Pemberian antibiotik
yang tepat akan efektif sebelum pembentukan pus; (2) antibiotik tidak dapat mensterilkan
jaringan yang tidak memiliki vaskularisasi atau abses dan daerah tersebut membutuhkan
penanganan operatif; (3) Jika operasi berhasil, maka antibiotik sebaiknya diberikan untuk
mencegah pembentukan ulang dan jahitan luka primer harus terjamin aman; (4) operasi
sebaiknya tidak merusak tulang atau jaringan lunak yang iskemik; (5) antibiotik sebaiknya
tetap diberikan setelah infeksi.
Pasien dengan osteomyelitis hematogenous akut sebaiknya mendapatkan perawatan supportif
standar termasuk pemberian cairan intravena, analgetik yang tepat, dan penempatan tungkai
atau ekstremitas yang terkena yang nyaman. Pemeriksaan berkala yang rutin sebaiknya
dilakukan. Jika abses yang membutuhkan drainase operatif tidak ditemukan dengan aspirasi
sum-sum tulang atau subperiosteal, maka pemberian antibiotik intravena berdasarkan
pewarnaan gram diberikan. Antibiotik dengan spektrum yang sempit khusus untuk bakteri
penyebab sebaiknya diberikan jika pewarnaan gram negatif, dan keadaan pasien tetap
dimonitor. Kadar CRP serum sebaiknya diperiksa 2 – 3 hari setelah pemberian awal
antibiotik. Jika dalam waktu 24 hingga 48 jam, tidak ada respon klinis yang bermakna
terhadap pemberian antibiotik, maka abses yang tak terlihat sebaiknya dicari dan drainase
operatif dipertimbangkan. Terdapat dua indikasi utama untuk operasi pada osteomyelitis
30
hematogenous akut yaitu (1) keberadaan abses yang membutuhkan drainase dan (2) keadaan
pasien tidak membaik walaupun telah diberikan antibiotik yang tepat.
Tujuan dari operasi adalah untuk drainase rongga abses dan membuang seluruh jaringan
nekrotik. Ketika abses subperiosteal ditemukan pada bayi, beberapa lubang kecil sebaiknya
dibuka melalui korteks hingga mencapai kanal meduller. Jika pus intrameduller ditemukan,
maka sedikit bagian dari tulang diangkat. Kulit kemudian ditutup dengan longgar dan pada
tungkai diberikan splint. Tungkai tersebut dijaga selama beberapa minggu agar terhindar dari
fraktur patologis. Antibiotik intraavena sebaiknya diberikan setelah operasi. Durasi dari terapi
antibiotik kontroversial, akan tetapi, saat ini cenderung mengarah pada terapi antibiotik yang
semakin pendek, diikuti dengan antibiotik oral dan pengawasan kadar antibiotik serum. Hal
ini sebaiknya ditentukan berdasar pada kebutuhan tiap individu dan dengan konsultasi dari
ahli penyakit infeksi.
Setelah operasi dilakukan, splint tungkai posterior panjang diberikan pada tungkai dalam
posisi anatomis, tumit dengan posisi 90 derajat dan jika pada siku dengan fleksi 20 derajat.
Setelah luka telah sembuh, splint dilepas dan pasien diminta menggunakan tongkat bantu.
Pasien di follow up selama 1 tahun dengan pemeriksaan radiologic.
B. Osteomyelitis Hematogenous Subakut
Dibandingkan dengan oseomyelitis hematogenous akut, osteomyelitis subakut memiliki onset
yang lebih mendadak dan kurang memiliki gejala yang jelas, sehingga membuat diagnosis
menjadi sulit. Osteomyelitis subakut ini cukup sering ditemukan. Jones et al melaporkan
bahwa 35% pasien mereka dengan infeksi tulang memiliki osteomyelitis subakut
Diagnosis
Karena perjalanan penyakit yang samar dari osteomyelitis, diagnosis biasanya ditegakkan
setelah 2 minggu. Tanda dan gejala sistemik minimal. Suhu tubuh hanya sedikit naik atau
tidak sama sekali. Nyeri dengan derajat ringan sedang merupakan tanda yang konsisten
mengarahkan diagnosis. Sel darah putih biasanya normal. ESR meningkat hanya pada 50%
pasien dan kultur darah biasanya negatif. Bahkan dengan biopsi atau aspirat tulang yang
sudah adekuat, organisme patogen hanya ditemukan pada 60% pemeriksaan. Pemindaian
tulang dan foto radiologi polos pada umumnya positif.
31
Lambatnya perjalanan penyakit pada osteomyelitis subakut ini kemungkinan diakibatkan oleh
peningkatan resistensi host, penurunan virulensi bakteri, atau pemberian antibiotik sebelum
onset gejala penyakit muncul. Berkembang spekulasi bahwa kombinasi dari dua organisme
dengan virulensi yang rendah disertai dengan daya tahan tubuh yang kuat mengakibatkan
adanya peradangan pada tulang tanpa adanya tanda dan gejala yang bermakna. Akan tetapi,
diagnosis yang akurat sangat bergantung dari kecurigaan klinis dan penemuan radiologis.
Klasifikasi radiologik dari osteomyelitis hematogenous subakut dideskripsikan oleh Gledhill
dan dimodifikasi oleh Robert et al. Membedakan lesi ini dari tumor tulang primer kadang
sulit dilakukan. Diagnosis seringkali harus ditegakkan dengan biopsi terbuka dan kultur.
Material purulen tidak selalu diambil pada biopsi, jaringan granulasi yang paling sering
ditemukan. Staphylococcus aureus dan Staphylococcus epidermidis adalah organisme yang
dominan ditemukan pada osteomyelitis subakut.
Ross dan Cole merekomendasikan biopsi dan kuretase diikuti dengan penanganan antibiotik
untuk semua lesi yang terlihat agresif. Untuk lesi yang terlihat seperti abses ringan pada
epiphysis dan metaphysis, biopsi tidak direkomendasikan. Lesi seperti ini, yang merupakan
karakteristik dari osteomuelitis subakut, sebaiknya ditangani dengan antibiotik intravena
dalam 48 jam pertama dilanjutkan dengan pemberian antibiotik oral selama 6 minggu. Ross
dan Cole memiliki angka kesuksesan sebesar 87% dengan regimen penanganan ini. Pada
tahun 1996, Hamdy et al meneliti 44 pasien dengan osteomyelitis subakut dan menemukan
tidak ada perbedaan pada outcome antara penanganan konservatif dan operatif pada lesi yang
tampak jinak. Mereka menyarankan biopsi terbuka dan kuretase hanya pada lesi yang tampak
agressif atau untuk yang tidak berespon terhadap pemberian antibotik.
Abses Brodie
Abses Brodie merupakan bentuk terlokalisir osteomyelitis subakut yang terjadi paling sering
pada ekstremitas bawah dari seorang dewasa muda. Sebelum penutupan epiphyseal,
metaphysis paling sering terkena. Pada orang dewasa, osteomyelitis subakut ini didapatkan
pula pada daerah metaphyse – epiphyse. Pada gambaran radiologi polos, abses Brodie ini
pada umumnya menyerupai lesi litik dengan lapisan tulang sklerotik akan tetapi dapat pula
memiliki beragam jenis bentuk. Pemeriksaan secara saksama pada foto polos sangat penting
dilakukan karena abses Brodie sering menyerupai gambaran tumor pada tulang.
Lesi ini diperkirakan disebabkan akibat organisme dengan virulensi yang rendah.
32
Staphylococcus aureus ditemukan pada 50% kultur pasien, dan dalam 20% kultur tidak
ditemukan. Keadaan ini sering membutuhkan biopsi terbuka dengan kuretase untuk
menegakkan diagnosis. Luka sebaiknya ditutup dengan longgar dan menggunakan drain.
Penatalaksanaan
Pengobatan yang dilakukan dapat berupa pemberian antibiotik yang adekuat selama 6
minggu. Apabila diagnosis meragukan maka dapat dilakukan biopsi dan kuretase. Walaupun
gejala pasien dapat berkurang dengan pemberian antibiotik, penyembuhan radiologis
tergolong lama yaitu selama 12 minggu, sehingga pada pasien Osteomyelitis subakut
dibutuhkan follow-up yang cukup lama.
C. Osteomyelitis Kronik
Osteomyelitis kronik sulit ditangani dengan sempurna. Gejala sistemik mungkin dapat
meringan, akan tetapi satu atau lebih fokus infeksi pada tulang memiliki material purulenta,
jaringan granulasi yang telah terinfeksi, atau sequestrum. Eksaserbasi akut intermitten dapat
terjadi dalam beberapa tahun dan seringkali membaik setelah beristirahat dan pemberian
antibiotik. Tanda penting adanya osteomyelitis kronik adalah adanya tulang yang mati akibat
infeksi di dalam pembungkus jaringan lunak. Fokus infeksi didalam tulang dikelilingi oleh
tulang yang relatif avaskuler dan sklerotik, yang dibungkus oleh periosteum yang menebal
dan jaringan parut otot dan subkutan. Pembungkus avaskuler jaringan parut ini dapat
menyebabkan pemberian antibiotik menjadi tidak efektif.
Pada osteomyelitis kronik, infeksi sekunder sering terjadi dan kultur sinus biasanya tidak
berkorelasi secara langsung dengan biopsi tulang. Beragam jenis bakteri dapat tumbuh dari
kultur yang diambil dari sinus-sinus dan dari biopsi terbuka pada jaringan lunak sekitar dan
tulang.
Klasifikasi
Cierny dan Mader mengembangkan sistem klasifikasi untuk osteomyelitis kronik, berdasar
dari kriteria anatomis dan fisiologis, untuk menentukan derajat infeksi.
Kriteria fisiologis dibagi menjadi tiga kelas berdasar tiga tipe jenis host. Host kelas A
memiliki respon pada infeksi dan operasi. Host kelas B memiliki kemampuan imunitas yang
33
terbatas dan penyembuhan luka yang kurang baik. Ketika hasil penatalaksanaan berpotensi
lebih buruk dibandingkan keadaan sebelum penanganan, maka pasien digolongkan menjadi
host kelas C.
Kriteria anatomis mencakup empat tipe. Tipe I, lesi meduller, dengan ciri gangguan pada
endosteal. Pada tipe II, osteomyelitis superfisial terbatas pada permukaan luar dari tulang,
dan infeksi terjadi akibat defek pembungkus tulang. Tipe III merupakan suatu infeksi
terlokalisir dengan lesi stabil, berbatas tegas dengan sequestrasi kortikal tebal dan kavitasi
(pada tipe ini, debridement yang menyeluruh pada daerah ini tidak dapat menyebabkan
instabilitas). Tipe IV merupakan lesi osteomyelitik difus yang menyebabkan instabilitas
mekanik, baik pada saat pasien datang pertama kali atau setelah penanganan awal.
Pembagian berdasar kriteria fisiologis dan anatomis dapat berkombinasi dan membentuk 1
dari 12 kelas stadium klinis dari osteomyelitis. Sebagai contoh, lesi tipe II pada host kelas A
dapat membentuk osteomyelitis stadium IIA. Sistem klasifikasi ini berguna untuk
menentukan apakah penatalaksanaan menggunakan metode yang sederhana atau kompleks,
kuratif atau paliatif, dan mempertahankan tungkai atau ablasi.
Diagnosis
Diagnosis osteomyelitis berdasar pada penemuan klinis, laboratorium, dan radiologi. Gold
standar adalah dengan melakukan biopsi pada tulang yang terinfeksi untuk analisa histologis
dan mikrobateriologis.
Pemeriksaan fisik sebaiknya berfokus pada integritas dari kulit dan jaringan lunak,
menentukan daerah yang mengalami nyeri, stabilitas abses tulang, dan evaluasi status
neurovaskuler tungkai. Pemeriksaan laboratorium biasanya kurang spesifik dan tidak
memberikan petunjuk mengenai derajat infeksi. ESR dan CRP meningkat pada kebanyakan
pasien, akan tetapi WBC hanya meningkat pada 35% pasien.
Terdapat banyak pemeriksaan radiologik yang dapat dilakukan untuk mengevaluasi
osteomyelitis kronik; akan tetapi, tidak ada teknik satupun yang dapat mengkonfirmasi atau
menyingkirkan diagnosis osteomyelitis. Pemeriksaan radiologik sebaiknya dilakukan untuk
membantu konfirmasi diagnosis dan untuk sebagai persiapan penanganan operatif.
Radiologi polos dapat memberikan informasi berharga dalam menegakkan diagnosis
osteomyelitis kronik dan sebaiknya merupakan pemeriksaan yang pertama dilakukan. Tanda
34
dari destruksi kortikal dan reaksi periosteal sangat mengarahkan diagnosis pada
osteomyelitis.
Tomography polos dapat berguna untuk mendeteksi sequestra. Sinography dapat dilakukan
jika didapatkan jejak infeksi pada sinus. Pemindaian tulang dengan isotop lebih berguna pada
osteomyelitis akut dibanding dengan bentuk kronik. Pemindaian tulang techentium 99m,
yang memperlihatkan pengambilan yang meningkat pada daerah dengan peningkatan aliran
darah atau aktivitas osteoblastik, cenderung memiliki spesifitas yang kurang. Akan tetapi
pemeriksaan ini, memiliki nilai prediktif yang tinggi untuk hasil yang negatif, walaupun
negatif palsu telah dilaporkan. Pemindaian dengan Gallium memperlihatkan peningkatan
pengambilan pada area dimana leukosit atau bakteria berakumulasi. Pemindaian leukosit
dengan Indium 111 lebih sensitif dibanding dengan technetium atau gallium dan terutama
digunakan untuk membedakan osteomyelitis kronik dari arthropathy pada kaki diabetik.
CT scan memberikan gambaran yang sempurna dari tulang kortikal dan penilaian yang cukup
baik untuk jaringan lunak sekitar dan terutama berguna dalam identifikasi sequestra. Akan
tetapi, MRI lebih berguna dibanding CT scan dalam hal penilaian jaringan lunak. MRI
memperlihatkan daerah edema tulang dengan baik. Pada osteomyelitis kronik, MRI dapat
menunjukkan suatu lingkaran hiperintens yang mengelilingi fokus infeksi (rim sign). Infeksi
sinus dan sellulitis tampak sebagai area hiperintens pada gambaran T2-weighted.
Seperti yang sebelumnya dijelaskan, gold standard dari diagnosis osteomyelitis adalah biopsi
dengan kultur atau sensitivitas. Suatu biopsi tidak hanya bermanfaat dalam menegakkan
diagnosis, akan tetapi juga berguna menentukan regimen antibiotik yang akan digunakan.
Gambar 3. Osteomyelitis pada pria berusia
84 tahun, foto CT Scantampak sagital (a) dan axial (b) memperlihatkan fraktur pada tulang
metatarsal dan sesamoid. Selain itu terdapat reaksi periosteal dan erosi pada caput metatarsal
yang mengindikasikan adanya osteomyelitis.
35
Penatalaksanaan
Osteomyelitis kronik pada umumnya tidak dapat dieradikasi tanpa operasi. Operasi untuk
osteomyeritis termasuk sequestrektomi dan reseksi tulang dan jaringan lunak yang terinfeksi.
Tujuan dari operasi adalah menyingkirkan infeksi dengan membentuk lingkungan tulang
yang viable dan bervaskuler. Debridement radikal dapat dilakukan untuk mencapai tujuan ini.
Debridement yang kurang cukup dapat menjadi alasan tingginya angka rekurensi pada
osteomyelitis kronik dan kejadian abses otak pada osteomyelitis tulang tengkorak.
Debridement adekuat seringkali meninggalkan ruang kosong besar yang harus ditangani
untuk mencegah rekurensi dan kerusakan tulang bermakna yang dapat mengakibatkan
instabilitas tulang. Rekonstruksi yang tepat baik untuk defek jaringan lunak maupun tulang
perlu dilakukan,begitu pula identifikasi menyeluruh dari bakteri penginfeksi dan terapi
antibiotik yang tepat. Rekonstruksi sebaiknya dilakukan setelah perencanaan yang baik dan
identifikasi sequestra dan abses intraosseus dengan radiography polos, sinography, CT dan
MRI.
Prosedur ini sebaiknya dilakukan dengan konsultasi ahli infeksi dan untuk fase rekonstruksi,
diperlukan konsultasi ahli bedah plastik mengenai skin graft, flap muskuler dan myocutaneus.
Durasi pemberian antibiotik post-operasi masih kontroversi. Pada umumnya, pemberian
antibiotik intravena selama 6 minggu dilakukan setelah debridement osteomyelitis kronik.
Swiontkowski et al melaporkan angka kesuksesan sebesar 91% dengan hanya 1 minggu
pemberian antibiotik intravena dilanjutkan dengan terapi antibiotik oral selama 6 minggu.
Semua jaringan nekrotik harus dibuang untuk mencegah residu bakteri yang dapat
menginfeksi ulang. Pengangkatan semua jaringan parut yang melekat dan skin graft
sebaiknya dilakukan. Sebagai tambahan dapat digunakan bur kecepatan tinggi untuk
membersihkan untuk mendebridemen tepi kortikal tulang sampai titik titik perdarahan
didapatkan. Irrigasi berkelanjutan perlu dilakukan untuk mencegah nekrosis tulang karena
bur.
Kultur dari materi yang didebridement sebaiknya dilakukan sebelum memulai terapi
antibiotik. Pasien membutuhkan beberapa kali debridement, hingga luka cukup bersih untuk
penutupan jaringan lunak. Soft tissue dibentuk kembali dengan simpel skin graft, tetapi sering
kali membutuhkan transposisi lokal jaringan muskuler atau transfer jaringan bebas yang
36
tervaskularisasi untuk menutup segment tulang yang didebridemen secara efektif Muscle
flaps ini memberikan vascularisasi jaringan yang baru untuk membantu penyembuhan tulang
dan distribusi antibiotik. Pada akhirnya stabilitas tulang harus di capai dengan bone graft
untuk menutup gaps osseus. Autograft kortikal dan cancellous dengan transfer tulang yang
bervaskularisasi biasanya perlu dilakukan. Walaupun secara tehnis dibutuhkan bone graft
tervaskularisasi memberikan sumber aliran darah baru pada daerah tulang yang sebelumnya
tidak memiliki vaskularisasi .
a. Sequestrektomi dan Kuretase untuk Osteomyeltis Kronik
Sekuestrektomi dan kuretase membutuhkan lebih banyak waktu dan menyebabkan lebih
banyak kehilangan darah pada pasien yang biasanya tidak dapat diantisipasi oleh ahli bedah
yang kurang berpengalaman, persiapan yang tepat sebaiknya dilakukan sebelum operasi.
Infeksi sinus diberikan metilen blue 24 jam sebelum operasi untuk memudahkan lokalisasi
dan eksisi.
Untuk melakukan teknik ini maka diperlukan torniket pneumatik. Buka daerah tulang yang
terinfeksi dan eksisi seluruh sinus sekitar. Insisi periosteum yang indurasi dan naikkan 1,3
hingga 2,5 cm pada tiap sisi. Gunakan bor untuk memberi jendela kortikal pada lokasi yang
tepat dan angkat dengan menggunakan osteotome. Buang seluruh sequestra, materi purulenta,
dan jaringan parut dan nekrotik. Jika tulang yang sklerotik membentuk kavitas didalam kanal
meduller, buka kanal tersebut pada kedua arah untuk memberikan tempat bagi pembuluh
darah untuk tumbuh didalam kavitas. Bor berkecepatan tinggi akan membantu melokalisir
perbatasan antara tulang iskemik dan sehat. Setelah membuang jaringan yang mencurigakan,
eksisi tepi tulang yang menggantung secara hati-hati dan hindari membuat rongga kosong
atau kavitas. Jika kavitas tidak dapat diisi dengan jaringan lunak sekitar, maka flap muskuler
lokal atau transfer jaringan bebas dapat dilakukan untuk mengisi ruang kosong tersebut. Jika
memungkinkan, tutupi kulit dengan renggang dan pastikan tidak ada tekanan kulit yang
berlebihan. Jika penutupan kulit tidak memungkinkan, tutup luka dengan renggang atau
berikan antibiotik dan rencanakan untuk penutupan kulit atau skin graft di masa yang akan
datang.
Setelah penanganan, tungkai dipasangkan splint sampai luka sembuh dan kemudian
dilindungi untuk mencegah fraktur patologis. Pemberian antibiotik dilanjutkan dalam periode
yang panjang dan dimonitor dengan ketat.
37
Gambar 4. Teknik sekuestrektomi dan kuretase. A. Daerah tulang yang terinfeksi dibuka dan
sequestrum dibuang; B. Semua material yang terinfeksi dibuang; C. Luka dapat dibungkus
terbuka atau ditutup dengan longgar dan memakai drain
Defek jaringan lunak dan tulang harus diisi untuk mereduksi kemungkinan infeksi lanjutan
dan kerusakan fungsi. Beberapa teknik telah dideskripsikan untuk penanganan defek tersebut
dan terbukti berhasil jika dilakukan dengan benar. Metode untuk mengeliminasikan ruang
kosong tersebut adalah sebagai berikut :
1. Bone graft dengan penutupan primer dan sekunder;
2. Penggunaan antibiotik polymethylsmethacrylate (PMMA) sebagai saringan temporer
sebelum rekonstruksi,
3. Flap muskuler lokal dan skin graft dengan atau tanpa bone graft,
4. Transfer mikrovaskuler flap muskuler, myokutaneus, osseous, dan osteocutaneous, dan
5. Penggunaan transport tulang (Illizarof technique).
b. Graft Tulang Terbuka
Papineau et al menggunakan teknik graft tulang terbuka untuk penatalaksanaan osteomyelitis
kronik. Penggunaan prosedur ini berdasarkan prinsip sebagai berikut :
1. Jaringan granulasi dapat mencegah infeksi;
2. Graft tulang cancellous autogenous sangat cepat tervaskularisasi dan mencegah terjadinya
infeksi;
3. Daerah terinfeksi dieksisi dengan sempurna;
4. Drainase yang adekuat;
5. Immobilisasi yang adekuat;
6. Antibiotik diberikan dalam jangka panjang.
Panda et al melaporkan angka kesuksesan dengan menggunakan teknik Papineau untuk
penatalaksanaan 41 pasien dengan osteomyelitis kronik.2,6
38
Operasi tersebut dibagi menjadi tiga tahap yaitu sebagai berikut; (1) eksisi jaringan terinfeksi
dengan atau tanpa stabilisasi dengan menggunakan fixator eksternal atau intramedullari rod,
(2) cancellous autografting; dan (3) penutupan kulit.
c. Antibiotik Rantai Plymethylmethacrylate (PMMA)
Klemm dan investigator lainnya melaporkan hasil yang cukup baik dengan penggunaan
antibiotik PMMA untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik. Rasionalisasi untuk
penatalaksanaan ini adalah untuk memberikan antibiotik kadar tinggi secara lokal dengan
konsentrasi yang melampaui konsentrasi inhibitorik minimal. Penelitian farmakokinetik telah
menunjukkan bahwa konsentrasi antibiotik lokal yang diperoleh mencapai 200 kali lebih
tinggi dibandingkan pemberian antibiotik sistemik. Penatalaksanaan ini memiliki keunggulan
dalam hal memperoleh antibiotik dengan konsentrasi sangat tinggi sementara menjaga kadar
toksisitas dalam serum dan sistemik tetap rendah. Antibiotik berasal dari PMMA bead ke
dalam luka hematoma post operasi dan sekresi, yang berfungsi sebagai media tranport.
Konsentrasi antibiotik yang sangat tinggi hanya dapat dicapai dengan penutupan luka primer;
jika penutupan seperti demikian tidak dapat dilakukan maka luka dapat ditutup dengan
perban kedap air. Sebelum PMMA bead diimplantasi, semua jaringan terinfeksi dan nekrotik
telah di debridement dengan adekuat sebelumnya dan semua benda asing dibuang. Drain isap
tidak direkomendasikan karena konsentrasi antibiotik dapat berkurang.
Golongan aminoglikosida merupakan jenis antibiotik yang digunakan bersama PMMA bead.
Penisilin, cephalosporin, dan clindamisin terlarut dengan baik paad PMMA bead;
vancomysin kurang terlarut dengan baik. Antibiotik seperti fluoroquinolon, tetrasiklin,
polymixin B dirusak selama proses exothermik pada pengerasan PMMA bead sehingga jenis
antibiotik tersebut tidak dapat digunakan.2,16
Implantasi antibiotik PMMA jangka pendek, jangka panjang, atau permanen dapat dilakukan.
Pada implantasi jangka pendek, PMMA bead dibuang dalam 10 hari pertama, dan pada
implantasi jangka panjang PMMA bead ini diberikan hingga 80 hari. Henry et al melaporkan
hasil yang bagus pada 17 pasien dengan implantasi permanen antibiotik PMMA bead.
Rasionalisasi pembuangan PMMA ini dipertimbangkan atas beragam faktor. Kadar
bakteriosidal dari antibiotik ini hanya bertahan selama 2-4 minggu setelah impantasi dan
setelah seluruh isi antibiotik keluar, maka butir PPMA akan dianggap benda asing dan
merupakan tempat yang sesuai untuk kolonisasi bakteri pembentuk glykocalyx. PMMA juga
terbukti menghambat respon imun lokal dengan mengganggu beberapa jenis sel imun yang
39
fagositik.
Setelah pemberian antibiotik PMMA ini maka kantong bead perlu diganti dalam interval 72
jam dengan debridement berulang dan irigasi hingga luka siap ditutup.
d. Transfer Jaringan Lunak (Soft Tissue Transfer)
Transfer jaringan lunak untuk mengisi ruang kosong yang tertinggal setelah operasi
debridement luas dapat mencakupi flap muskuler terlokalisir pada pedikel vaskuler hingga
transfer jaringan lunak dengan mikrovaskuler. Transfer jaringan otot bervaskularisasi
memperbaiki lingkungan biologis lokal dengan membawa suplai darah yang penting bagi
mekanisme daya tahan tubuh, begitupula untuk pengangkutan antibiotik dan penyembuhan
osseus dan jaringan lunak. Angka keberhasilan untuk teknik ini dilaporkan oleh literatur
adalah sebesar 66% hingga 100%.
Kebanyakan flap muskuler lokal digunakan untuk penanganan osteomyelitis kronik pada
tibia. Otot gastrocnemius digunakan untuk defek sekitar 1/3 proximal tibia, dan otot soleus
digunakan untuk defek sekitar 1/3 medial tibia. Transfer jaringan lunak bebas dengan
mikrovaskuler dibutuhkan untuk defek sekitar 1/3 distal tibia.
Beberapa penliti melaporkan angka keberhasilan yang tinggi pada penanganaan osteomyelitis
kronik dengan penggunaan transfer jaringan bebas mikrovaskuler. Jaringan mikrovaskuler
dapat mengandung otot yang menutupi skin graft atau flap myokutaneous, osseous, dan
osteocutaneous. Debridement awal yang adekuat pada daerah yang terkena membantu
meningkatkan angka keberhasilan teknik ini.
e. Teknik Lizarof
Teknik lizarof telah terbukti bermanfaat untuk penatalaksanaan osteomyelitis kronik dan
nonunion yang terinfeksi. Teknik ini dilakukan dengan reseksi radikal pada tulang yang
terinfeksi. Kortikotomi dimulai dari proximal jaringan tulang normal dan distal daerah yang
terinfeksi. Tulang kemudian dipindahkan hingga union dicapai. 2
Kekurangan teknik ini yaitu waktu yang digunakan hingga terjadi union solid dan insiden
komplikasi yang terkait Dendrinos et al melaporkan diperlukan rata-rata 6 bulan hingga
terbentuknya union dengan beberapa komplikasi pada tiap pasien. Akan tetapi walaupun
dengan kekurangan tersebut Prosedur Lizarof menguntungkan pasien yang membutuhkan
reseksi luas dari tulang dan rekonstruksi untuk tercapainya stabilitas.
40
KOMPLIKASI
Komplikasi osteomyelitis dapat terjadi akibat perkembangan infeksi yang tidak terkendali
dan pemberian antibiotik yang tidak dapat mengeradikasi bakteri penyebab.
Komplikasi osteomyelitis dapat mencakup infeksi yang semakin memberat pada daerah
tulang yang terkena infeksi atau meluasnya infeksi dari fokus infeksi ke jaringan sekitar
bahkan ke aliran darah sistemik. Secara umum komplikasi osteomyelitis adalah sebagai
berikut:
a. Abses tulang
b. Bakteremia
c. Fraktur Patologis
d. Meregangnya implan prosthetik (jika terdapat implan prosthetic)
e. Sellulitis pada jaringan lunak sekitar.
f. Abses otak pada osteomyelitis di daerah kranium.
PROGNOSIS
Prognosis dari osteomyelitis beragam tergantung dari berbagai macam faktor seperti virulensi
bakteri, imunitas host, dan penatalaksanaan yang diberikan kepada pasien. Diagnosis yang
dini dan penatalaksanaan yang agressif akan dapat memberikan prognosis yang memuaskan
dan sesuai dengan apa yang diharapkan meskipun pada infeksi yang berat sekalipun.
Sebaliknya, osteomyelitis yang ringan pun dapat berkembang menjadi infeksi yang berat dan
meluas jika telat dideteksi dan antibiotik yang diberikan tidak dapat membunuh bakteri dan
menjaga imunitas host. Pada keadaan tersebut maka prognosis osteomyelitis menjadi buruk.
PENCEGAHAN
Osteomyelitis hematogenous akut dapat dihindari dengan mencegah pembibitan bakteri pada
tulang dari jaringan yang jauh. Hal ini dapat dilakukan dengan penentuan diagnosis yang
tepat dan dini serta penatalaksanaan dari fokus infeksi bakteri primer.
Osteomyelitis inokulasi langsung dapat dicegah dengan perawatan luka yang baik,
pembersihan daerah yang mengekspos tulang dengan lingkungan luar yang sempurna, dan
pemberian antibiotik profilaksis yang agresif dan tepat pada saat terjadinya cedera.
41
DAFTAR PUSTAKA
Amin, Zulkifli. 2007. Manifestasi Klinik dan Pendekatan Pada Pasien Dengan
Kelainan Sistem Pernapasan dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus.
Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV.
Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam FKUI.
Amin, Zulkifli. Bahar, Asril. 2007. Tuberkulosis Paru dalam Sudoyo, Aru W.
Setiyohadi, Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit
Dalam FKUI.
Anonim. 2009. Penyakit TBC. Akses tanggal 23 April 2011 17:15 di
http://www.medicastore.com/tbc/penyakit_tbc.htm
Anonim. 2009. Obat Tuberkulosis (TBC). Akses tanggal 23 April 2011 17:11 di
http://www.medicastore.com/apotik_online/kemoterapi_antimikroba/obat_tb.htm
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. 2007. Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis Edisi 2 Cetakan Pertama. Jakarta: Depkes RI.
Ekayuda, Iwan. 2009. Radiologi Diagnostik. Jakarta : FK UI.
Palmer, P.E.S., dkk. 1995. Petunjuk Membaca Foto untuk Dokter Umum. Alih
bahasa : L. Hartono. Jakarta : EGC.
Price, Sylvia A. Standridge, Mary P. 2006. Tuberkulosis Paru dalam Price, Sylvia
A. Wilson, Lorraine. Patofisiologi: Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit Edisi 6
Volume 2. Jakarta: EGC.
Rahmatullah, Pasiyan. 2007. Bronkiektasis dalam Sudoyo, Aru W. Setiyohadi,
Bambang. Alwi, Idrus. Simadibrata K, Marcellus. Setiati, Siti. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jilid II Edisi IV. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI.
42