referat filsafat

18
BAB I PENDAHULUAN 1.1. Latar Belakang Bagi manusia hal utama yang sangat penting bagi dirinya adalah keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, buku ,dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan, yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Dengan pembuktian secara indrawi: karena sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya, maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. 1 Ilmu kedokteran modern (kedokteran ilmiah) dapat dikatakan lahir pada tahun 1850, pada waktu Rober Koch untuk pertama kalinya menemukan kuman TBC, (basil Koch) sebagai penyebab penyakit TBC paru. Penemuan ini sangat mempegaruhi perkembangan ilmu kedokteran selanjutnya, khususnya memacu 1

Upload: maulidaangraini

Post on 17-Sep-2015

221 views

Category:

Documents


7 download

DESCRIPTION

referat filsafat

TRANSCRIPT

BAB IPENDAHULUAN1.1. Latar BelakangBagi manusia hal utama yang sangat penting bagi dirinya adalah keingintahuan tentang sesuatu. Sesuatu itu dapat berupa apa saja, sesuatu yang tampak konkret, nyata seperti meja, kursi, teman, alat-alat kedokteran, buku ,dan lain sebagainya. Baginya apa yang nampak dan diketahuinya akan menjadi sebuah pengetahuan, yang sebelumnya belum pernah dikenalnya. Untuk mendapatkan pengetahuan itu, maka pengenalan akan pengalaman indrawi sangat menentukan. Dengan pembuktian secara indrawi: karena sentuhan, penglihatan, pendengaran, penciuman, daya pengecap, dan argumen-argumen yang menguatkannya, maka sebenarnya telah muncul suatu kebenaran tentang pengetahuan itu. 1Ilmu kedokteran modern (kedokteran ilmiah) dapat dikatakan lahir pada tahun 1850, pada waktu Rober Koch untuk pertama kalinya menemukan kuman TBC, (basil Koch) sebagai penyebab penyakit TBC paru. Penemuan ini sangat mempegaruhi perkembangan ilmu kedokteran selanjutnya, khususnya memacu dan member arah baru riset kedokteran mengenai sebab-sebab penyakit. Para dokter menegakkan diagnosis penyakit berdasarkan pada gejala, pemeriksaan fisik, dan melakukan pemeriksaan penunjang, kemudian memberikan pengobatan sesuai dengan sebab atau gejala penyakit. Jadi, para dokter memberikan pengobatan rasional, berdasarkan ilmu pengetahuan dan teknologi (Iptek) kedokteran. 1Akibat perkembangan Iptek kedokteran yang begitu pesat akhir-akhir ini, makin banyak terdapat spesialis dan subspesialis dalampelayanan kedokteran. Berbagai alat-alat mutakhir baik untuk diagnostic maupun untuk terapi telah masuk ke Indonesia. Alat-alat laboratorium otomatik, peralatan canggih, seperti CT-Scan, MRI, USG, endoskopi, elektroensefalografi, dan Color Doppler telah banyak digunakan di klinik-klinik. Berbagai obat baru dan berbagai teknik pembedahan, seperti bedah otak, bedah jantung, dan transplantasi organ telah memberikan dampak yang besar pada pelayanan kedokteran. Walaupun perkembangan Iptek kedokteran begitu majunya, para dokter tetap dituntut dalam penanganan orang sakit, hendaknya tetap melakukan pendekatan holistic, memperhatikan aspek non-medik, seperti keadaan kejiwaan orang sakit, keluarganya, factor social, budaya, ekonomi, dan lingkungan orang sakit karena yang diobati adalah orang sakit bukan hanya penyakitnya. 2Dalam menjalankan tugasnya seorang dokter dituntut pula untuk tetap berpegang teguh pada Kode Etika Kedokteran (KODEKI), yang bertujuan untuk ketentraman dan keteriban masyarakat. Seorang dokter harus senantiasa mengutamakan keselamatan orang sakit, melakukan profesinya menurut ukuran tertinggi dan tidak boleh dipengaruhi oleh pertimbangan keuntungan pribadi. Namun, dalam zaman dengan unsur materialism, hedonism, dan konsumerisme menonjol saat ini, ada saja oknum dokter yang tergoda untuk melanggar etik profesinya yang luhur, bahkan melakukan malpraktik pidana. 2

BAB II

PEMBAHASAN

2.1 Tujuan dan Kegunaan Mempelajari Filsafat Ilmu

Tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah (1) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis. (2) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya. (3) Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis. Contoh dampak tersebut misalnya masalah euthanasia dalam dunia kedokteran masih sangat dilematis dan problematik, penjebolan terhadap sistem sekuriti komputer, pemalsuan terhadap hak atas kekayaaan intelektual (HAKI) , plagiarisme dalam karya ilmiah. 12.1.2 Cara Kerja dan Problema Filsafat Ilmu

Cara kerja filsafat ilmu haruslah dimulai dengan suatu anggapan bahwa setiap ilmu pengetahuan dianggap sebagai ilmu yang bersifat sistematis (sistem dalam susunan penge-tahuan dan cara memperolehnya karena adanya berbagai hubungan gejala yang teratur sehingga merupakan suatu keseluruhan yang utuh), logis (gejala pengetahuan diamati dan dianalis secara rasional), intersubjektif (kepastian ilmu pengetahuan tidak melulu didasarkan pada emosi maupun pemahaman si ilmuwan tetapi didasarkan dan dijamin oleh sistem pengetahuan itu sendiri), rasional serta memiliki cara kerja ilmu pengetahuan yang diupayakan pembenaran secara metodologis. 1Dengan demikan filsafat ilmu dapat melihat bahwa refleksi kritis terhadap ciri dan cara kerja ilmu pengetahuan dapat menunjukkan adanya dua aspek, yaitu aspek internal dan aspek eksternal. Aspek internal lebih diarahkan pada kegiatan ilmiah yang bersifat metodologis. Aspek internal atau context of justification sangat berkaitan dengan pembenaran suatu pengetahuan. Sebagai contoh ilmu kedokteran, dan teknik akan menjadi sangat kokoh apabila secara de jure memiliki landasan filosofis yaitu kebenaran epistemologis (teori kebenaran atau teori pengetahuan). Aspek eksternal atau context of discovery lebih mengarah pada hasil dari ilmu pengetahuan dan teknologi yang dihasilkan oleh para ilmuwan di masa lalu hingga kini. Untuk itulah timbulnya ilmu pengetahuan dan pelaksanaan aplikatifnya serta kegunaan ilmu itu dapat dtelusuri secara historis atau melalui sejarah ilmu pengetahuan. Dalam rangka penelusuran secara historis, secara de facto hasil maupun teknologi ilmu diterima dan digunakan oleh manusia sesuai dengan kebutuhannya. Perkembangan teknologi akan menjadi berkembang dengan pesat seiring dengan kemajuan dan perkembangan setiap ilmu itu sendiri. 12.2Ilmu Kedokteran

2.2.1Karakteristik Ilmu Kedokteran

Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris dan bukan ilmu eksakta, dalam arti bahwa dalam membuat suatu kesimpulan deduktif ataupun induktif, ilmu kedokteran membutuhkan pengalaman-pengalaman yang disusun dengan menggunakan metode pengumpulan dan pengolahan data secara ilmiah (evidence based). Metode ini mengakibatkan pengambilan suatu kesimpulan selalu memiliki peluang terjadinya bias dan peluang adanya fakta yang belum diketahui karena belum adanya pengalaman. Konsekuensi logisnya adalah bahwa tingkat kepastian dalam ilmu kedokteran disusun dalam bentuk probabilitas bukan kepastian sebagaimana di dalam ilmu matematis. Kalangan hukum menganggap adanya reasonable medical certainty yang diartikan sebagai kepastian yang cukup meyakinkan, sebagaimana juga di bidang hukum dikenal sebagai beyond reasonable doubt. 2Layanan kedokteran adalah suatu sistem yang kompleks dengan sifat hubungan antar komponen yang ketat (complex and tightly coupled), khususnya di ruang gawat darurat, ruang bedah dan ruang rawat intensif. Sistem yang kompleks umumnya ditandai dengan spesialisasi dan interdependensi. Dalam suatu sistem yang kompleks, satu komponen dapat berinteraksi dengan banyak komponen lain, kadang dengan cara yang tak terduga atau tak terlihat. Semakin kompleks dan ketat suatu sistem akan semakin mudah terjadi kecelakaan (prone to accident), oleh karena itu praktik kedokteran haruslah dilakukan dengan tingkat kehati-hatian yang tinggi. 21. Hubungan Dokter-Pasien

Mengingat sifat keilmuan tersebut di atas maka muncullah doktrin hubungan dokter-pasien yang bersifat kontrak berdasar upaya (inspanningsverbintennis) dan bukannya kontrak berdasar hasil. Keberhasilan suatu tindakan medik tidak hanya bergantung kepada kompetensi dokter dan stafnya, melainkan juga bergantung kepada ketersediaan peralatan dan waktu, keadaan penyakitnya, faktor-faktor lingkungan, kepatuhan pasien, serta faktor konstitutif pasien itu sendiri. Perlu diingat bahwa tidak semua faktor tersebut dapat dikendalikan oleh dokter dan stafnya. 2Pada awalnya hubungan dokter-pasien adalah hubungan yang bersifat paternalistik, dengan prinsip moral utama adalah beneficence. Sifat hubungan paternalistik ini kemudian dinilai telah mengabaikan nilai otonomi pasien, dan dianggap tidak sesuai dengan perkembangan moral (orang Barat) saat ini, sehingga berkembanglah teori hubungan kontraktual (sekitar tahun 1972-1975). Konsep ini muncul dengan merujuk kepada teori social contract di bidang politik. Veatch mengatakan bahwa dokter dan pasien adalah pihak-pihak yang bebas, yang meskipun memiliki perbedaan kapasitas dalam membuat keputusan, tetapi saling menghargai. Dokter akan mengemban tanggung jawab atas segala keputusan teknis, sedangkan pasien tetap memegang kendali keputusan penting, terutama yang terkait dengan nilai moral dan gaya hidup pasien. Hubungan kontrak mengharuskan terjadinya pertukaran informasi dan negosiasi sebelum terjadinya kesepakatan, namun juga memberikan peluang kepada pasien untuk menyerahkan pengambilan keputusan kepada dokter. 2Walaupun hubungan dokter-pasien ini bersifat kontraktual, namun mengingat sifat praktik kedokteran yang berdasarkan ilmu empiris, maka prestasi kontrak tersebut bukanlah hasil yang akan dicapai (resultaatsverbintennis) melainkan upaya yang sungguh-sungguh (inspanningsverbintennis). Profesi dokter yang menggeluti bidang kosmetik seringkali terjebak untuk memperjanjikan hasil seperti pada resultaat verbintennis. Hal itu berbahaya oleh karena hasil dari tindakan dokter umumnya tidak dapat dipastikan 100%, oleh karena hasil tersebut dipengaruhi berbagai faktor, tidak hanya bergantung kepada tindakan dokter. Hubungan kontrak semacam itu harus dijaga dengan peraturan perundang-undangan dan mengacu kepada suatu standar atau benchmark tertentu. 2Dengan menganggap bahwa teori kontrak telah terlalu menyederhanakan nilai hubungan dokter dengan pasien, maka Smith dan Newton (1984) lebih memilih hubungan yang berdasar atas virtue sebagai hubungan yang paling cocok bagi hubungan dokter-pasien, dengan tanpa mengabaikan bentuk hubungan kontraktual. Hubungan kontrak mereduksi hubungan dokter-pasien menjadi peraturan dan kewajiban saja, sehingga seseorang dokter dianggap baik bila ia telah melakukan kewajiban dan peraturan (followed the rules) sehingga biasa disebut sebagai bottom line ethics. Hubungan kontrak tidak lagi mengindahkan empathy, compassion, perhatian, keramahan, kemanusiaan, sikap saling mempercayai, itikad baik, dll yang merupakan bagian dari virtue-based ethics (etika berdasar nilai kebajikan/ keutamaan). Pada hubungan dokter-pasien yang virtue-based dirumuskan bahwa hubungan itu bertumbuh dan berkembang sedemikian rupa sehingga tidak ada satu ketentuan pun yang ditentukan pada permulaan yang berlaku untuk seterusnya. Baik dokter maupun pasien harus tetap berdialog untuk menjaga berjalannya komunikasi dalam rangka mencapai tujuan bersama, yaitu kesejahteraan pasien. 2

2. Akuntabilitas Profesi

Secara teoritis-konseptual, antara masyarakat profesi dengan masyarakat umum terjadi suatu kontrak (mengacu kepada doktrin social-contract), yang memberi masyarakat profesi hak untuk melakukan self-regulating dengan kewajiban memberikan jaminan bahwa profesional yang berpraktik hanyalah profesional yang kompeten dan yang melaksanakan praktik profesinya sesuai dengan standar. 2Suatu profesi dianggap sebagai profesi yang akuntabel apabila profesionalisme profesi tersebut benar-benar tercermin dalam praktik sehari-harinya. Sikap profesionalisme adalah sikap yang bertanggung jawab, dalam arti sikap dan perilaku yang akuntabel kepada masyarakat, baik masyarakat profesi maupun masyarakat luas termasuk klien. Beberapa ciri profesionalisme tersebut merupakan ciri profesi itu sendiri, seperti kompetensi dan kewenangan yang selalu sesuai dengan tempat dan waktu, sikap yang etis sesuai dengan etika profesinya, bekerja sesuai dengan standar yang ditetapkan oleh profesinya, dan khusus untuk profesi kesehatan ditambah dengan sikap altruis (rela berkorban). Uraian dari ciri-ciri tersebutlah yang kiranya harus dapat dihayati dan diamalkan agar profesionalisme tersebut dapat terwujud.3. Hak Pasien

Berdasarkan hubungan kontrak di atas muncullah hak-hak pasien yang pada dasarnya terdiri dari dua hak, yaitu : (1) the Rights to health care dan (2) the Rights to self determination. 2Secara tegas the World Medical Association telah mengeluarkan Declaration of Lisbon on the Rights of the Patient (1991), yaitu hak memilih dokter secara bebas; hak dirawat oleh dokter yang bebas dalam membuat keputusan klinis dan etis; hak untuk menerima atau menolak pengobatan setelah menerima informasi yang adekuat; hak untuk dihormati kerahasiaan dirinya; hak untuk mati secara bermartabat; dan hak untuk menerima atau menolak dukungan spiritual atau moral. 2UU Kesehatan menyebutkan beberapa hak pasien, seperti hak atas informasi, hak atas second opinion, hak untuk memberikan persetujuan atau menolak suatu tindakan medis, hak atas kerahasiaan, hak untuk memperoleh pelayanan kesehatan, dan hak untuk memperoleh ganti rugi apabila terdapat kesalahan atau kelalaian tenaga kesehatan. Ditjen Yanmed Depkes RI mengeluarkan Surat Edaran No YM.02.04.3.5.2504 tahun 1997 yang berisikan Pedoman Hak dan Kewajiban Pasien, Dokter dan Rumah Sakit.

UU Praktik Kedokteran tahun 2004 menguatkan kembali hak-hak pasien, yaitu hak mendapatkan penjelasan secara lengkap, memperoleh pendapat kedua, mendapat pelayanan sesuai dengan kebutuhan medis, menolak tindakan medis, dan mendapatkan isi rekam medis. 2

BAB III

KESIMPULAN

Tujuan mempelajari filsafat ilmu adalah (1) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami persoalan ilmiah dengan melihat ciri dan cara kerja setiap ilmu atau penelitian ilmiah dengan cermat dan kritis. (2) seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat melakukan pencarian kebenaran ilmiah dengan tepat dan benar dalam persoalan yang berkaitan dengan ilmunya (ilmu budaya, ilmu kedokteran, ilmu teknik, ilmu keperawatan, ilmu hukum, ilmu sosial, ilmu ekonomi dan sebagainya) tetapi juga persoalan yang menyangkut seluruh kehidupan manusia, seperti: lingkungan hidup, peristiwa sejarah, kehidupan sosial politik dan sebagainya. (3) Seseorang (peneliti, mahasiswa) dapat memahami bahwa terdapat dampak kegiatan ilmiah (penelitian) yang berupa teknologi ilmu (misalnya alat yang digunakan oleh bidang medis, teknik, komputer) dengan masyarakat yaitu berupa tanggung jawab dan implikasi etis. 1

Ilmu kedokteran adalah ilmu empiris dan bukan ilmu eksakta, dalam arti bahwa dalam membuat suatu kesimpulan deduktif ataupun induktif, ilmu kedokteran membutuhkan pengalaman-pengalaman yang disusun dengan menggunakan metode pengumpulan dan pengolahan data secara ilmiah (evidence based). Metode ini mengakibatkan pengambilan suatu kesimpulan selalu memiliki peluang terjadinya bias dan peluang adanya fakta yang belum diketahui karena belum adanya pengalaman. Konsekuensi logisnya adalah bahwa tingkat kepastian dalam ilmu kedokteran disusun dalam bentuk probabilitas bukan kepastian sebagaimana di dalam ilmu matematis. Kalangan hukum menganggap adanya reasonable medical certainty yang diartikan sebagai kepastian yang cukup meyakinkan, sebagaimana juga di bidang hukum dikenal sebagai beyond reasonable doubt. 2

DAFTAR PUSTAKA

1. Bakhtiar, Amsal. 2005. Filsafat Ilmu. Jakarta: PT.Raja Grafindo Persada.

2. Anfiah, M. J & Amir, A. Etika Kedokeran dan Hukum Kesehatan. Jakarta, Penerbit Buku Kedokteran EGC, 2007.PAGE 1