referat anastesi

40
BAB I PENDAHULUAN Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O 2 ) dari atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO 2 ) yang dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai dari hidung sampai ke parenkim paru. Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas). Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara, justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius. Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus alveolaris, atrium dan sokus alveolaris. Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai konduksi adalah trakea, bronkus 1

Upload: bagus-r-saputra

Post on 30-Nov-2015

61 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

belum jadi

TRANSCRIPT

Page 1: REFERAT ANASTESI

BAB I

PENDAHULUAN

Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari

atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang

dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun

fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai

dari hidung sampai ke parenkim paru.

Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai

konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas).

Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh

karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan

tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara,

justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga

hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.

Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering

disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus

alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.

Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai

konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus,

subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang

bertindak sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis,

dukt us alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.

Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan

sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai

percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus subsegmental

sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam belas sebagai bagian

yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan yang ketujuh belas

sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus respiratorius dan

percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua yang merupakan percabangan

duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah percabangan terakhir yang seluruhnya

merupakan bagian respirasi.

1

Page 2: REFERAT ANASTESI

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi Saluran Nafas

2.1.1 Saluran Nafas Atas

Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung

yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars

oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi

kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 2.1.1-1).

Gambar 2.1-1 Anatomi jalann nafas6

Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari

dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian

depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan

laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis

imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis

memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah

terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan.

Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot.

Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2.1-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan

(sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.

2

Page 3: REFERAT ANASTESI

Gambar 2.1-2 Susunan cartilago yang menyusun laring6

Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 2.1-

3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi

ophthalmic (V1 ) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian

posterior oleh divisi maxila (V2 ) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat

serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan

superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual

(cabang dari saraf divisi mandibula [V3 ] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal

(saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan

sepertiga bagian posterior lidah.

Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa

di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil

dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi

jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang

dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan

saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis

dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren,

mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea6

3

Page 4: REFERAT ANASTESI

Gambar 2.1-3 Saraf simpatis pada jalan nafas6

2.1.2 Saluran Nafas Bawah

1. Bronkus

Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri. Disebut bronkus lobaris kanan (3 lobus) dan

bronkus lobaris kiri (2 bronkus). Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus

segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus

segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi

oleh jaringan ikat yang memiliki : arteri, limfatik dan saraf

2. Bronkiolus

Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus mengadung

kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus

untuk melapisi bagian dalam jalan napas. 

3. Bronkiolus Terminalis

Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak

mempunyai kelenjar lendir dan silia).

4. Bronkiolus respiratori

Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori. Bronkiolus respiratori

dianggap sebagai saluran transisional antara jalan napas konduksi dan jalan udara

pertukaran gas.

5. Duktus alveolar dan Sakus alveolar

Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan

sakus alveolar dan kemudian menjadi alveoli.

6. Alveoli

Merupakan tempat pertukaran O2 dan CO2. Terdapat sekitar 300 juta yang jika

4

Page 5: REFERAT ANASTESI

bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70 m2. Terdiri atas 3 tipe :

1) Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveoli.

2) Sel-sel alveolar tipe II adalah sel yang aktif secara metabolik dan mensekresi

surfaktan (suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah

alveolar agar tidak kolaps).

3) Sel-sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan

bekerja sebagai mekanisme pertahanan

2.1.3 Mallampati Score

Mallampati score digunakan untuk memprediksi tingkat kemudahan melakukan

intubasi pada pasien. Pemeriksaan mallampati score dilakukan sebelum operasi, dimana

pasien diminta untuk membuka mulutnya serta menjulurkan lidahnya.

Mallampati score dibagi menjadi 4 class :

Class I: Uvula/tonsillar pillars visible

Class II: Tip of uvula/pillars hidden by tongue

Class III: Only soft palate visible

Class IV: Only hard palate visible

5

Page 6: REFERAT ANASTESI

2.2 Fisiologi Saluran Nafas

Ketika udara atmosfer mencapai alveoli, oksigen akan bergerak dari alveoli

melintasi membran alveolar-kapiler dan menuju sel darah merah. Sistem sirkulasi

kemudian akan membawa oksigen yang berikatan dengan sel darah merah ini menuju

jaringan tubuh, dimana oksigen akan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses

metabolisme.

Pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada membran alveolar – kapiler

dikenal dengan istilah difusi pulmonal. Setelah proses pertukaran gas selesai, maka sel

darah merah yang telah teroksigenasi (kadar karbondioksida rendah) ini akan menuju sisi

kiri jantung dan akan dipompakan ke seluruh sela dalam tubuh.

Saat mencapai jaringan, sela darah merah yang teroksigenasi ini akan

melepaskan ikatannya dengan oksigen dan oksigen tersebut digunakan untuk bahan bakar

6

Page 7: REFERAT ANASTESI

metabolisme. Juga karbon dioksida akan masuk sel darah merah yang rendah oksigen dan

tinggi karbon dioksida ini akan menuju sisi kanan jantung, untuk kemudian dipompakan

ke paru-paru.

Hal yang sangat penting dalam proses ini adalah, bahwa alveoli harus terus

menerus mengalami pengisian dengan udara segar yang mengandung oksigen dalam

jumlah yang cukup.

Proses pernafasan sendiri ada dua :

- Inspirasi ( Menghirup)

- Ekspirasi ( Mengeluarkan Nafas)

Inspirasi dilakukan oleh dua jenis otot :

1. Otot Intercostae, antara iga- iga (costae)

Pernafasan ini dikenal dengan pernafasan torakal. Tentu saja otot harus

dipersyarafi dan dilakukan melalui Nervus Intercostalis (Toracal I –

XII).

2. Otot Diagfragma, bila kontraksi maka diagfragma akan turun

Ini dikenal sebagai pernafasan abdominal, dan persyarafannya melalui

Nervus Frenikus yang berasal dari Cervical III – IV – V.

Pusat pernafasan ada di batang otak, yang mendapatkan rangsangan melalui

baro resptor yang terdapat di aorta dan arteri carotis. Melalui Nervus Frenikus dan Nervus

Intercostalis akan terjadi pernafasan abdomino-toracal (pada bayi toraco-abdominal).

Dalam keadaan normal, maka ada volume tertentu yang kita hirup saat

bernafas yang dikenal sebagai volume tidal. Bila membutuhkan oksigen lebih banyak

7

Page 8: REFERAT ANASTESI

maka akan dilakukan penambahan volume pernafasan melalui pemakaian otot – otot

pernafasan tambahan.

Bila pernafasan lebih dari 40 x/menit, maka penderita harus dianggap

mengalami hipoventilasi (nafas dangkal). Baik frekuensi nafas maupun kedalaman nafas

harus dipertimbangkan saat mengevaluasi pernafasan. Kesalahan yang sering terjadi

adalah anggapan bahwa penderita dengan frekuensi nafas yang cepat berarti mengalami

hiperventilasi.

2.3 Gangguan Jalan Napas

Sumbatan jalan nafas dapat total dan partial. Sumbatan jalan nafas total bila

tidak dikoreksi dalam waktu 5 sampai 10 menit dapat mengakibatkan asfiksia (kombinasi

antara hipoksemia dan hiperkarbi), henti nafas dan henti jantung. Sumbatan partial harus

pula dikoreksi karena dapat menyebabkan kerusakan otak, sembab otak, sembab paru,

kepayahan, henti nafas dan henti jantung sekunder.

Pada sumbatan jalan nafas partial terdengar aliran udara yang berisik dan

kadang-kadang disertai retraksi. Bunyi lengking menandakan adanya laringospasme, dan

bunyi seperti orang kumur menandakan adanya sumbatan oleh benda asing.

Pada sumbatan jalan nafas total tidak terdengar suara nafas atau tidak terasa

adanya aliran udara lewat hidung atau mulut. Terdapat pula tanda tambahan yaitu adanya

retraksi pada daerah supraklavikula dan sela iga bila penderita masih bisa bernafas

spontan dan dada tidak mengembang pada waktu inspirasi. Pada sumbatan jalan nafas

total bila dilakukan inflasi paru biasanya mengalami kesulitan walaupun dengan tehnik

yang benar.

Klasifikasi gejala obstruksi saluran nafas atas (laring) menurut Jackson:

Stadium I : adanya retraksi pada fosa substernal yang ringan dan penderita dalam

keadaan tenang.

Stadium II: retraksi pada fosa suprasternal lebih dalam disertai retraksi epigastrium

dan penderita mulai tampak gelisah.

Stadium III: retraksi pada suprasternal, supra dan infra klavikula, inter kostal dan

penderita tampak gelisah.

Stadium IV: seperti stadium III disertai pucat – dan tampak cemas. Frekuensi

pernafasan makin cepat yang kemudian makin melambat dan akhirnya berhenti.

2.4 Sebab-Sebab Sumbatan Jalan Nafas

8

Page 9: REFERAT ANASTESI

Penyebab sumbatan jalan nafas yang sering kita jumpai adalah dasar lidah,

palatum mole, darah atau benda asing yang lain. Dasar lidah sering menyumbat jalan

nafas pada penderita koma, karena pada penderita koma otot lidah dan leher lemas

sehingga tidak mampu mengangkat dasar lidah dari dinding belakang farings. Hal ini

sering terjadi bila kepala penderita dalam posisi fleksi.

Benda asing, seperti tumpahan atau darah di jalan nafas atas yang tidak dapat

ditelan atau dibatukkan oleh penderita yang tidak sadar dapat menyumbat jalan nafas.

Penderita yang mendapat anestesi atau tidak, dapat terjadi laringospasme dan ini biasanya

terjadi oleh karena rangsangan jalan nafas atas pada penderita stupor atau koma yang

dangkal.

Sumbatan jalan nafas dapat juga terjadi pada jalan nafas bagian bawah, dan ini

terjadi sebagai akibat bronkospasme, sembab mukosa, sekresi bronkus, masuknya isi

lambung atau benda asing ke dalam paru.

2.5 Manajemen Gangguan Jalan Napas

Penanganan jalan nafas terutama ditujukan pada penderita tidak sadar, yang

memerlukan tindakan cepat sampai sumbatan teratasi. Sambil meminta pertolongan orang

lain dengan cara berteriak kita harus tetap disamping penderita. Pertama-tama yang kita

lakukan pada penderita tidak sadar dan mengalami sumbatan jalan nafas adalah ekstensi

kepala karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah

akan terangkat dari dinding belakang farings.

Disamping ekstensi kepala kadang-kadang masih diperlukan pendorongan

mandibula ke depan untuk membuka mulut karena kemungkinan adanya sumbatan pada

hidung. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan

mulut disebut gerak jalan nafas tripel (Safar). Orang yang tidak sadar rongga hidung

dapat tersumbat selama ekspirasi, karena palatum mole bertindak sebagai katup.

Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan

dengan cepat dan tepat. Pulse oxymeter penting digunakan. Bila ditemukan masalah atau

dicurigai adanya masalah, tindakan-tindakan sebaiknya dimulai secepatnya untuk

memperbaiki oksigenasi dan mengurangi resiko bahaya pernafasan lebih lanjut. Ini

berupa teknik-teknik mempertahankan airway, tindakan-tindakan airway definitif

(termasuk surgical airway), dengan cara-cara untuk memberikan tambahan ventilasi.

Karena semua tindakan-tindakan ini mungkin mengakibatkan pergerakan pada

leher, maka perlindungan terhadap servikal (servical spine) harus dilakukan pada semua

9

Page 10: REFERAT ANASTESI

penderita ,bila terutama diketahui adanya cedera servikal yang tidak stabil atau penderita

belum sempat dilakukan evaluasi lengkap serta beresiko. Servikal harus dilindungi

sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan penilaian klinis dan

pemeriksaan foto ronsen yang sesuai.

Manajemen gangguan jalan nafas dibagi menjadi :

1. Tanpa alat

2. Dengan alat

3. Dengan tindakan bedah

1. Pengelolaan gangguan jalan napas tanpa menggunakan alat

a) Membuka jalan napas, dapat dilakukan dengan :

Head-tilt (dorong kepala ke belakang)

Chin-lift manuver (perasat angkat dagu)

Jari-jemari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang, yang kemudian

secara hati- hati diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari

tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah utuk membuka mulut.

Ibu jari juga dapat diletakkan di belakang gigi seri bawah dan secara

bersamaan, dagu dengan hati- hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh

menyebabkan hiperektensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma

karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas tulang

leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang

dengan cedera spinal.

10

Page 11: REFERAT ANASTESI

Jaw-thrust manuver

Manuver mendorong rahang di lakukan dengan cara memegang sudut rahang

bawah kiri dan kanan, dan mendorong rahang bawah kedepan. Bila cara ini

dilakukan sambil memegang masker dari alat bag-valve, dapat dicapai

kerapatan yang baik dan ventilasi yang adekuat.

Back blow

Back blow dilakukan dengan cara melakukan pukulan pada punggung 3

sampai 5 kali pukulan dengan pangkal telapak tangan diatas tulang belakang

korban diantara kedua tulang belikatnya. Jika mungkin rendahkan kepala

dibawah dadanya untuk memanfaatkan gravitasi.

11

Page 12: REFERAT ANASTESI

Abdominal Thrust

Abdominal thrust dilakukan dengan cara berdiri di belakang penderita,

lingkarkan kedua lengan penolong mengitari pinggang penderita, pergelangan

atau kepalan tangan penolong berpegangan satu sama lain, letakkan kedua

tangan penolong pada abdomen antara pusat dan prosesus sifoideus penderita

dan kepalan tangan penolong menekan ke arah abdomen dengan hentakan

cepat. Ulangi 3 sampai 5 kali. Hindari prosesus sofoideus. Hentakan dada

diatas sternum bawah kurang menimbulkan bahaya, lebih-lebih pada wanita

hamil atau gemuk.

12

Page 13: REFERAT ANASTESI

b) Membersihkan jalan napas

Bila dicurigai ada benda asing di jalur nafas atas, maka mulut harus dibuka

dengan paksa dan mengeluarkan benda asing tersebut.

Ada 3 cara untuk membuka mulut dengan paksa :

1. Gerak jari menyilang, untuk mandibula yang agak lemas.

2. Gerak jari dibelakang gigi geligi untuk mandibula yang kaku.

3. Gerak angkat mandibula lidah, untuk mandibula yang sangat lemas.

A. Gerak jari menyilang.

Penolong pada verteks atau samping kepala penderita. Jari telunjuk penolong

di masukkan ke dalam sudut mulut penderita dan tekankan jari tersebut pada

gigi geligi atasnya, kemudian tekanlah gigi geligi bawah dengan ibu jari yang

menyilang jari telunjuk tadi sehingga mulut secara paksa membuka.

B. Gerak jari di belakang gigi geligi.

Masukkan satu jari telunjuk di antara pipi dan gigi geligi penderita dan

ganjalkan ujung jari telunjuk tadi di belakang molar terakhir.

C. Gerak angkat mandibula lidah.

Ibu jari penolong dimasukkan ke dalam mulut dan farings penderita dan

dengan ujung ibu jari penolong dasar lidah diangkat. Jari-jari yang lain

memegang mandibula tadi pada dagu dan mengangkatnya ke depan.

Gerakan – gerakan A, B dan C tadi selain untuk membuka mulut secara

paksa juga digunakan menghisap benda asing, memasukkan alat jalan nafas dan

laringoskop

13

Page 14: REFERAT ANASTESI

2. Dengan menggunakan alat :

Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat tidak berhasil sempurna.

Pemasangan pipa (tube)

Dipasang jalan napas buatan (pipa orofaring, pipa nasofaring).

Bila dengan pemasangan jalan napas tersebut pernapasan belum juga baik,

dilakukan pemasangan pipa endotrakhea.

Pemasangan pipa endotrakhea akan menjamin jalan napas tetap terbuka,

menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernapasan.

14

Page 15: REFERAT ANASTESI

Cara memasang orofaring dengan cara memasukkan bagian cekung ke arah

atas, setelah mencapai pertengahan, diputar 180o, kemudian seluruhnya dimasukkan.

Jangan membuka mulut secara paksa karena dapat memancing refleks muntah, yang

kemudian diikuti dengan batuk, muntah, laringospasme, atau bronkospasme

Untuk pemasangan nasofaring kita harus menyesuaikan panjang nasofaring dari

lubang hidung sampai lubang telinga. Ketika akan memasukkan nasofaring olesi jelly,

masukkan secara tegak lurus (bukan mengikuti arah hidung). Jangan terlalu

15

Page 16: REFERAT ANASTESI

merangsang jalan nafas. Kontra indikasi pada pasien dengan fraktur nasal, fraktur

basis cranii, koagulopati, infeksi/tumor hidung

16

Page 17: REFERAT ANASTESI

LMA digunakan untuk menutup daerah supraglotik. Tindakan ini hanya

dilakuakan pada pasien yang tidak sadar sehingga tidak cocok untuk kasus-kasus

emergensi. Pada pasien yang tidak sadar sulit untuk dilakukan ventilasi/intubasi

sehingga pilihan utama untuk membantu jalan nafas menggunakan intubasi via

LMA. Kontra indikasi pada pasien dengan risiko aspirasi.

17

Page 18: REFERAT ANASTESI

18

Page 19: REFERAT ANASTESI

Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung

ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi.

Pabrik menentukan standar ETT (American National Standards for Anesthetic

Equipment; ANSI Z-79). ETT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada

masa lalu, ETT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk

memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari ETT dapat dirubah dengan

pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan

pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata

Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila

menempel dengan carina atau trakhea. Tahanan aliran udara terutama tergantung

dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya.

Ukuran ETT biasanya dipola dalam milimeter untuk diameter internal atau yang

tidak umum dalam scala Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan

dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi antara memaksimalkan

flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas

dengan ukuran pipa yang kecil.6

Kebanyakan ETT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri

dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon

(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk

19

Page 20: REFERAT ANASTESI

memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube

dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon ETT

mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan

aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk

meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubation croup.6

Tabel 2.1-1 Patokan ukuran ETT

Usia Diameter internal (mm) Panjang (cm)

Bayi cukup bulan 3,5 12Anak anak 4 + usia/4 14 + usia/2DewasaWanita 7.0-7,5 24Laki-laki 7,5-9,0 24

2.5.1 Laringoskop rigid

Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas

intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada

ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade.

Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Laringoskop

dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade

Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari

blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena

tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli

dengan bentuk blade yang beragam.6

2.5.2 Teknik laringoskopi dan intubasi

2.5.2.1. Indikasi Intubasi

Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.

Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan

anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan

untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang

memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut

atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan

untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,

perbaikan hernia inguinal dan lain lain.6

20

Page 21: REFERAT ANASTESI

2.5.2.2. Persiapan untuk laringoskopi rigid

Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien.

ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji dengan menggembungkan

balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin

balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi.6

Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi panjangnya

dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkhial atau sumbatan

akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk

menurunkan kemungkinan terlepas. Jika mandren digunakan ini harus dimasukan

ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi

dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop

dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap

walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena

lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti batre. Extra blade,

handle, ETT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus

disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus

dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.6

Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien

harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah

ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid

laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung

untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10

cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien

pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari

tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.6

21

Page 22: REFERAT ANASTESI

Gambar 2.1-4 ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki6

Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.

Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam

dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak

mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien

yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki

jalan nafas yang sulit.

Gambar 2.1-5 Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos6

2.5.2.3. Intubasi Orotrakheal

Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,

22

Page 23: REFERAT ANASTESI

blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk

menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring

dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam

vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle

diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk

melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan

dari gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya

dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada

dalam trakhea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati-

hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara

yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif,

untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan

pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon

yang adekuat.6

Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan

capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakheal. Jika ada

keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT

dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk

mengamankan posisi.6

Gambar 2.1-6 Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan bladeyang melengkung.

23

Page 24: REFERAT ANASTESI

Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal

notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas

level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan

suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak

disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang

diperlukan kecuali dalam ICU.6

2.5.2.4. Komplikasi laringoskopi dan intubasi

Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia,

trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau

malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau

intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.6

Tabel 2.1-2 Komplikasi dari intubasi

Selama laringoskopi dan intubasiMalposisiIntubasi esophagus Intubasi bronchial Trauma jalan nafas Gigi rusakLacerelasi lidah, bibir dan mucosaDislokasi mandibula Hipoksia, hiperkarbi Hipertensi, takikardi Hipertensi intracranial Hipertensi intraokuler Laringospasme

2.5.3 Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi

endotrakheal

King et al27, merupakan salah satu dari beberapa kelompok studi awal

yang melakukan pengamatan pada respon hemodinamik terhadap tindakan

laringoskopi dan intubasi endotrakheal (LETI). Mereka mengusulkan bahwa

disritmia jantung, hipertensi, dan takikardia berhubungan dengan LETI sebagai

akibat dari penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadrenal.

Mereka berdalil bahwa penigkatan tekanan darah arteri lebih disebabkan karena

pengikatan curah jantung (CO) daripada peningkatan tahanan pembuluh darah

24

Page 25: REFERAT ANASTESI

sistemik (SVR). Mereka mencatat bahwa respon tekanan darah tampaknya lebih

mudah diblok secara komplet dengan lebih mendalamkan level anesthesia dari

pada meningkatkan laju jantung (HR). Mereka juga mencatat bahwa laringoskopi

sendiri dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedangkan intubasi akan

memperbesar efek ini dan dapat menimbulkan suatu aritmia jantung.

Bedford42 telah menggambarkan suatu saling ketrekaitan antara sistem

saraf pusat (CNS) dan respon kardiovaskuler. Selama LETI, peingkatan respon

hemodinamik terjadi karena jalan nafas atas (laring, trakhea, dan karina) memiliki

refleks sistem saraf simpatetis yang dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi

atau subjek yang berkontak langsung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain,

seperti level anestesi yang ringan (light level of anesthesia). Refleks penutupan

glottis (laringospasme) adalah respon motorik jalan nafas atas terhadap light

anesthesia. Nervus glossopharyngeal berada di superior permukaan anterior

epiglottis. Nervus glossopharyngeal dan vagus, keduanya merupakan jalur afferen

untuk terjadinya refleks laringospasme dan respon hemodinamik pada tindakan

LETI. Nervus vagus memiliki jalur sensorik yang berasal dari daerah setentang

bagian distal epiglottis posterior sampai ke jalan nafas bagian bawah. Karena

terjadinya laringospasme dimediasi oleh jalur vagal efferen ke glottis, maka

refleks ini dapat timbul selama light anesthesia, yaitu ketika ujung-ujung saraf

sensorik yang diinervasi oleh vagal di jalan nafas atas terstimulasi.

Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf

simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya

sinus bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anak- anak kecil,

akan tetapi terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini

dimediasi oleh peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan

adanya suatu respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang

terjadi.42

Respon simpatis pada tindakan LETI berupa sinus takikardia. Derbyshire

et al43,44 melaporkan bahwa pada saat intubasi endotrakheal tidak hanya disertai

peningkatan aktivitas simpatetik, akan tetapi juga disertai meningkatnya aktivitas

katekolamin adrenomedullari. Respon hipertensi dan takikardi yang biasa terjadi

pada tindakan intubasi endotrakheal dihasilkan oleh aktifitas jalur-jalur efferen

simpatetik ini. Jalur – jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferen vagal

dan glossopharyngeus ke sistem saraf simpatetik, melalui batang otak dan medulla

25

Page 26: REFERAT ANASTESI

spinalis, meyakinkan adanya suatu respons otonomik yang diffus, termasuk

peningkatan letupan dari serabut-serabut cardioaccelerator, pelepasan

norpeineprin dari terminal saraf adrenergik pada vascular beds, dan pelepasan

epinefrin dari medulla adrenal. Karena pelepasan rennin dari apparatus

juxtaglomerular ginjal diaktivasi oleh beta-adrenergik, maka aktivasi sistem rennin-

angiotensin juga turut ambil bagian dalam mencetuskan respon hipertensi

pada LETI.42,45

Dalam suatu penelitian tentang respon kardiovaskuler terhadap LETI, dilakukan

evaluasi terhadap respon laringoskopi dan intubasi trakheal secara terpisah. Dengan

menggunakan intubasi nasotrakheal serat optik secara sadar sehingga stimulus akibat

laringoskopi rigid dan suksinilkolin dapat dihindari, Ovassapian et al46, telah

melaporkan bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi selama

insersi pipa endotrakheal melalui hidung. Sedangkan peningkatan laju jantung

maksimum terjadi selama penempatan pipa endotrakheal di dalam trakhea. Hal ini

hampir sama dengan penelitian Shribman et al28, yang meneliti tentang respon

kardiovaskluer dan katekolamin terhadap laringoskopi dengan dan tanpa intubasi

endotrakheal. Mereka mendapati bahwa terjadi peningkatan tekanan darah dan

konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi secara signifikan pada saat tindakan

laringoskopi dengan atau tanpa intubasi. Akan tetapi, intubasi berkaitan dengan

peningkatan laju jantung yang bermakna, sementara hal ini tidak terjadi jika hanya

dilakukan laringoskopi saja. Finfer et al47, membandingkan laringoskopi langsung

dengan intubasi menggunakan serat optik. Mereka mendapatkan bahwa, baik intubasi

dengan laringoskopi dan bronkhoskopi menghasilkan kenaikan tekanan darah dan laju

jantung yang signifikan. Sehingga tampak bahwa peningkatan maksimum pada

tekanan darah terjadi pada saat laringoskopi, sedangkan laju jantung akan maksimum

meningkat pada saat intubasi endotrakheal.

3. Dengan tindakan bedah

Trakeostomi

Trakeostomi adalah insisi melalui cincin trakea. Indikasi trakeostomi

adalah membypass obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan

jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator.

Cara ini untuk nafas spontan baik dengan udara ataupun dengan oksigen,

untuk ventilasi buatan dan penghisapan. Tindakan ini memerlukan kanula terbesar

26

Page 27: REFERAT ANASTESI

yang tersedia dan tidak menyebabkan cedera laring. Pada orang dewasa diameter

luar sebesar 6 mm, dan pada anak besar sebesar 3 mm. Pada anak kecil dan bayi,

menggunakan jarum no. 12G.

Teknik trakeostomi atau krikotirotomi yaitu dengan cara meletakkan

penderita terlentang dengan kepala ekstensi. Pegang laring dengan ibu jari dan jari

tengah serta tentukan membrana krikoid dengan jari telunjuk. Buat sayatan kulit

horizontal yang cukup. Lakukan insisi tusuk melalui membrana krikotiroid.

Dorong kanula ujung tumpul melalui membrana ke dalam lumen trakea.

27

Page 28: REFERAT ANASTESI

28

Page 29: REFERAT ANASTESI

BAB III

KESIMPULAN

Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari

atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang

dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun

fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai

dari hidung sampai ke parenkim paru.

Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai

konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas).

Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh

karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan

tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara,

justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga

hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.

Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering

disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus

alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.

Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai

konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus,

subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang

bertindak sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis,

dukt us alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.

Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan

sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai

percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus subsegmental

sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam belas sebagai bagian

yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan yang ketujuh belas

sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus respiratorius dan

percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua yang merupakan percabangan

duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah percabangan terakhir yang seluruhnya

merupakan bagian respirasi.

29