referat anastesi
DESCRIPTION
belum jadiTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari
atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang
dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun
fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai
dari hidung sampai ke parenkim paru.
Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai
konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas).
Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh
karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan
tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara,
justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga
hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering
disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.
Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai
konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus,
subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang
bertindak sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis,
dukt us alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.
Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai
percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus subsegmental
sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam belas sebagai bagian
yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan yang ketujuh belas
sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus respiratorius dan
percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua yang merupakan percabangan
duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah percabangan terakhir yang seluruhnya
merupakan bagian respirasi.
1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi Saluran Nafas
2.1.1 Saluran Nafas Atas
Ada dua gerbang untuk masuk ke jalan nafas pada manusia yaitu hidung
yang menuju nasofaring (pars nasalis), dan mulut yang menuju orofaring (pars
oralis). Kedua bagian ini di pisahkan oleh palatum pada bagian anteriornya, tapi
kemudian bergabung di bagian posterior dalam faring (gambar 2.1.1-1).
Gambar 2.1-1 Anatomi jalann nafas6
Faring berbentuk U dengan struktur fibromuskuler yang memanjang dari
dasar tengkorak menuju kartilago krikoid pada jalan masuk ke esofagus. Bagian
depannya terbuka ke dalam rongga hidung, mulut, laring, nasofaring, orofaring dan
laringofaring (pars laryngeal). Nasofaring dipisahkan dari orofaring oleh garis
imaginasi mengarah ke posterior. Pada dasar lidah, secara fungsional epiglotis
memisahkan orofaring dari laringofaring (atau hipofaring). Epiglotis mencegah
terjadinya aspirasi dengan menutup glotis- gerbang laring- pada saat menelan.
Laring adalah suatu rangka kartilago yang diikat oleh ligamen dan otot.
Laring disusun oleh 9 kartilago (gambar 2.1-2) : tiroid, krikoid, epiglotis, dan
(sepasang) aritenoid, kornikulata dan kuneiforme.
2
Gambar 2.1-2 Susunan cartilago yang menyusun laring6
Saraf sensoris dari saluran nafas atas berasal dari saraf kranial (gambar 2.1-
3). Membran mukosa dari hidung bagian anterior dipersarafi oleh divisi
ophthalmic (V1 ) saraf trigeminal (saraf ethmoidalis anterior) dan di bagian
posterior oleh divisi maxila (V2 ) (saraf sphenopalatina). Saraf palatinus mendapat
serabut saraf sensori dari saraf trigeminus (V) untuk mempersarafi permukaan
superior dan inferior dari palatum molle dan palatum durum. Saraf lingual
(cabang dari saraf divisi mandibula [V3 ] saraf trigeminal) dan saraf glosofaringeal
(saraf kranial yang ke 9) untuk sensasi umum pada dua pertiga bagian anterior dan
sepertiga bagian posterior lidah.
Cabang dari saraf fasialis (VII) dan saraf glosofaringeal untuk sensasi rasa
di daerah tersebut. Saraf glosofaringeal juga mempersarafi atap dari faring, tonsil
dan bagian dalam palatum molle. Saraf vagus (saraf kranial ke 10) untuk sensasi
jalan nafas dibawah epiglotis. Saraf laringeal superior yang merupakan cabang
dari saraf vagus dibagi menjadi saraf laringeus eksternal yang bersifat motoris dan
saraf laringeus internal yang bersifat sensoris untuk laring antara epiglotis
dan pita suara. Cabang vagus yang lainnya yaitu saraf laringeal rekuren,
mempersarafi laring dibawah pita suara dan trakhea6
3
Gambar 2.1-3 Saraf simpatis pada jalan nafas6
2.1.2 Saluran Nafas Bawah
1. Bronkus
Terbagi menjadi bronkus kanan dan kiri. Disebut bronkus lobaris kanan (3 lobus) dan
bronkus lobaris kiri (2 bronkus). Bronkus lobaris kanan terbagi menjadi 10 bronkus
segmental dan bronkus lobaris kiri terbagi menjadi 9 bronkus segmental. Bronkus
segmentalis ini kemudian terbagi lagi menjadi bronkus subsegmental yang dikelilingi
oleh jaringan ikat yang memiliki : arteri, limfatik dan saraf
2. Bronkiolus
Bronkus segmental bercabang-cabang menjadi bronkiolus. Bronkiolus mengadung
kelenjar submukosa yang memproduksi lendir yang membentuk selimut tidak terputus
untuk melapisi bagian dalam jalan napas.
3. Bronkiolus Terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus terminalis (yang tidak
mempunyai kelenjar lendir dan silia).
4. Bronkiolus respiratori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori. Bronkiolus respiratori
dianggap sebagai saluran transisional antara jalan napas konduksi dan jalan udara
pertukaran gas.
5. Duktus alveolar dan Sakus alveolar
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus alveolar dan
sakus alveolar dan kemudian menjadi alveoli.
6. Alveoli
Merupakan tempat pertukaran O2 dan CO2. Terdapat sekitar 300 juta yang jika
4
bersatu membentuk satu lembar akan seluas 70 m2. Terdiri atas 3 tipe :
1) Sel-sel alveolar tipe I adalah sel epitel yang membentuk dinding alveoli.
2) Sel-sel alveolar tipe II adalah sel yang aktif secara metabolik dan mensekresi
surfaktan (suatu fosfolipid yang melapisi permukaan dalam dan mencegah
alveolar agar tidak kolaps).
3) Sel-sel alveolar tipe III adalah makrofag yang merupakan sel-sel fagotosis dan
bekerja sebagai mekanisme pertahanan
2.1.3 Mallampati Score
Mallampati score digunakan untuk memprediksi tingkat kemudahan melakukan
intubasi pada pasien. Pemeriksaan mallampati score dilakukan sebelum operasi, dimana
pasien diminta untuk membuka mulutnya serta menjulurkan lidahnya.
Mallampati score dibagi menjadi 4 class :
Class I: Uvula/tonsillar pillars visible
Class II: Tip of uvula/pillars hidden by tongue
Class III: Only soft palate visible
Class IV: Only hard palate visible
5
2.2 Fisiologi Saluran Nafas
Ketika udara atmosfer mencapai alveoli, oksigen akan bergerak dari alveoli
melintasi membran alveolar-kapiler dan menuju sel darah merah. Sistem sirkulasi
kemudian akan membawa oksigen yang berikatan dengan sel darah merah ini menuju
jaringan tubuh, dimana oksigen akan digunakan sebagai bahan bakar dalam proses
metabolisme.
Pertukaran oksigen dan karbon dioksida pada membran alveolar – kapiler
dikenal dengan istilah difusi pulmonal. Setelah proses pertukaran gas selesai, maka sel
darah merah yang telah teroksigenasi (kadar karbondioksida rendah) ini akan menuju sisi
kiri jantung dan akan dipompakan ke seluruh sela dalam tubuh.
Saat mencapai jaringan, sela darah merah yang teroksigenasi ini akan
melepaskan ikatannya dengan oksigen dan oksigen tersebut digunakan untuk bahan bakar
6
metabolisme. Juga karbon dioksida akan masuk sel darah merah yang rendah oksigen dan
tinggi karbon dioksida ini akan menuju sisi kanan jantung, untuk kemudian dipompakan
ke paru-paru.
Hal yang sangat penting dalam proses ini adalah, bahwa alveoli harus terus
menerus mengalami pengisian dengan udara segar yang mengandung oksigen dalam
jumlah yang cukup.
Proses pernafasan sendiri ada dua :
- Inspirasi ( Menghirup)
- Ekspirasi ( Mengeluarkan Nafas)
Inspirasi dilakukan oleh dua jenis otot :
1. Otot Intercostae, antara iga- iga (costae)
Pernafasan ini dikenal dengan pernafasan torakal. Tentu saja otot harus
dipersyarafi dan dilakukan melalui Nervus Intercostalis (Toracal I –
XII).
2. Otot Diagfragma, bila kontraksi maka diagfragma akan turun
Ini dikenal sebagai pernafasan abdominal, dan persyarafannya melalui
Nervus Frenikus yang berasal dari Cervical III – IV – V.
Pusat pernafasan ada di batang otak, yang mendapatkan rangsangan melalui
baro resptor yang terdapat di aorta dan arteri carotis. Melalui Nervus Frenikus dan Nervus
Intercostalis akan terjadi pernafasan abdomino-toracal (pada bayi toraco-abdominal).
Dalam keadaan normal, maka ada volume tertentu yang kita hirup saat
bernafas yang dikenal sebagai volume tidal. Bila membutuhkan oksigen lebih banyak
7
maka akan dilakukan penambahan volume pernafasan melalui pemakaian otot – otot
pernafasan tambahan.
Bila pernafasan lebih dari 40 x/menit, maka penderita harus dianggap
mengalami hipoventilasi (nafas dangkal). Baik frekuensi nafas maupun kedalaman nafas
harus dipertimbangkan saat mengevaluasi pernafasan. Kesalahan yang sering terjadi
adalah anggapan bahwa penderita dengan frekuensi nafas yang cepat berarti mengalami
hiperventilasi.
2.3 Gangguan Jalan Napas
Sumbatan jalan nafas dapat total dan partial. Sumbatan jalan nafas total bila
tidak dikoreksi dalam waktu 5 sampai 10 menit dapat mengakibatkan asfiksia (kombinasi
antara hipoksemia dan hiperkarbi), henti nafas dan henti jantung. Sumbatan partial harus
pula dikoreksi karena dapat menyebabkan kerusakan otak, sembab otak, sembab paru,
kepayahan, henti nafas dan henti jantung sekunder.
Pada sumbatan jalan nafas partial terdengar aliran udara yang berisik dan
kadang-kadang disertai retraksi. Bunyi lengking menandakan adanya laringospasme, dan
bunyi seperti orang kumur menandakan adanya sumbatan oleh benda asing.
Pada sumbatan jalan nafas total tidak terdengar suara nafas atau tidak terasa
adanya aliran udara lewat hidung atau mulut. Terdapat pula tanda tambahan yaitu adanya
retraksi pada daerah supraklavikula dan sela iga bila penderita masih bisa bernafas
spontan dan dada tidak mengembang pada waktu inspirasi. Pada sumbatan jalan nafas
total bila dilakukan inflasi paru biasanya mengalami kesulitan walaupun dengan tehnik
yang benar.
Klasifikasi gejala obstruksi saluran nafas atas (laring) menurut Jackson:
Stadium I : adanya retraksi pada fosa substernal yang ringan dan penderita dalam
keadaan tenang.
Stadium II: retraksi pada fosa suprasternal lebih dalam disertai retraksi epigastrium
dan penderita mulai tampak gelisah.
Stadium III: retraksi pada suprasternal, supra dan infra klavikula, inter kostal dan
penderita tampak gelisah.
Stadium IV: seperti stadium III disertai pucat – dan tampak cemas. Frekuensi
pernafasan makin cepat yang kemudian makin melambat dan akhirnya berhenti.
2.4 Sebab-Sebab Sumbatan Jalan Nafas
8
Penyebab sumbatan jalan nafas yang sering kita jumpai adalah dasar lidah,
palatum mole, darah atau benda asing yang lain. Dasar lidah sering menyumbat jalan
nafas pada penderita koma, karena pada penderita koma otot lidah dan leher lemas
sehingga tidak mampu mengangkat dasar lidah dari dinding belakang farings. Hal ini
sering terjadi bila kepala penderita dalam posisi fleksi.
Benda asing, seperti tumpahan atau darah di jalan nafas atas yang tidak dapat
ditelan atau dibatukkan oleh penderita yang tidak sadar dapat menyumbat jalan nafas.
Penderita yang mendapat anestesi atau tidak, dapat terjadi laringospasme dan ini biasanya
terjadi oleh karena rangsangan jalan nafas atas pada penderita stupor atau koma yang
dangkal.
Sumbatan jalan nafas dapat juga terjadi pada jalan nafas bagian bawah, dan ini
terjadi sebagai akibat bronkospasme, sembab mukosa, sekresi bronkus, masuknya isi
lambung atau benda asing ke dalam paru.
2.5 Manajemen Gangguan Jalan Napas
Penanganan jalan nafas terutama ditujukan pada penderita tidak sadar, yang
memerlukan tindakan cepat sampai sumbatan teratasi. Sambil meminta pertolongan orang
lain dengan cara berteriak kita harus tetap disamping penderita. Pertama-tama yang kita
lakukan pada penderita tidak sadar dan mengalami sumbatan jalan nafas adalah ekstensi
kepala karena gerakan ini akan meregangkan struktur leher anterior sehingga dasar lidah
akan terangkat dari dinding belakang farings.
Disamping ekstensi kepala kadang-kadang masih diperlukan pendorongan
mandibula ke depan untuk membuka mulut karena kemungkinan adanya sumbatan pada
hidung. Kombinasi ekstensi kepala, pendorongan mandibula kedepan dan pembukaan
mulut disebut gerak jalan nafas tripel (Safar). Orang yang tidak sadar rongga hidung
dapat tersumbat selama ekspirasi, karena palatum mole bertindak sebagai katup.
Penilaian bebasnya airway dan baik-tidaknya pernafasan harus dikerjakan
dengan cepat dan tepat. Pulse oxymeter penting digunakan. Bila ditemukan masalah atau
dicurigai adanya masalah, tindakan-tindakan sebaiknya dimulai secepatnya untuk
memperbaiki oksigenasi dan mengurangi resiko bahaya pernafasan lebih lanjut. Ini
berupa teknik-teknik mempertahankan airway, tindakan-tindakan airway definitif
(termasuk surgical airway), dengan cara-cara untuk memberikan tambahan ventilasi.
Karena semua tindakan-tindakan ini mungkin mengakibatkan pergerakan pada
leher, maka perlindungan terhadap servikal (servical spine) harus dilakukan pada semua
9
penderita ,bila terutama diketahui adanya cedera servikal yang tidak stabil atau penderita
belum sempat dilakukan evaluasi lengkap serta beresiko. Servikal harus dilindungi
sampai kemungkinan cedera spinal telah disingkirkan dengan penilaian klinis dan
pemeriksaan foto ronsen yang sesuai.
Manajemen gangguan jalan nafas dibagi menjadi :
1. Tanpa alat
2. Dengan alat
3. Dengan tindakan bedah
1. Pengelolaan gangguan jalan napas tanpa menggunakan alat
a) Membuka jalan napas, dapat dilakukan dengan :
Head-tilt (dorong kepala ke belakang)
Chin-lift manuver (perasat angkat dagu)
Jari-jemari salah satu tangan diletakkan di bawah rahang, yang kemudian
secara hati- hati diangkat keatas untuk membawa dagu ke arah depan. Ibu jari
tangan yang sama, dengan ringan menekan bibir bawah utuk membuka mulut.
Ibu jari juga dapat diletakkan di belakang gigi seri bawah dan secara
bersamaan, dagu dengan hati- hati diangkat. Maneuver chin lift tidak boleh
menyebabkan hiperektensi leher. Manuver ini berguna pada korban trauma
karena tidak membahayakan penderita dengan kemungkinan patah ruas tulang
leher atau mengubah patah tulang tanpa cedera spinal menjadi patah tulang
dengan cedera spinal.
10
Jaw-thrust manuver
Manuver mendorong rahang di lakukan dengan cara memegang sudut rahang
bawah kiri dan kanan, dan mendorong rahang bawah kedepan. Bila cara ini
dilakukan sambil memegang masker dari alat bag-valve, dapat dicapai
kerapatan yang baik dan ventilasi yang adekuat.
Back blow
Back blow dilakukan dengan cara melakukan pukulan pada punggung 3
sampai 5 kali pukulan dengan pangkal telapak tangan diatas tulang belakang
korban diantara kedua tulang belikatnya. Jika mungkin rendahkan kepala
dibawah dadanya untuk memanfaatkan gravitasi.
11
Abdominal Thrust
Abdominal thrust dilakukan dengan cara berdiri di belakang penderita,
lingkarkan kedua lengan penolong mengitari pinggang penderita, pergelangan
atau kepalan tangan penolong berpegangan satu sama lain, letakkan kedua
tangan penolong pada abdomen antara pusat dan prosesus sifoideus penderita
dan kepalan tangan penolong menekan ke arah abdomen dengan hentakan
cepat. Ulangi 3 sampai 5 kali. Hindari prosesus sofoideus. Hentakan dada
diatas sternum bawah kurang menimbulkan bahaya, lebih-lebih pada wanita
hamil atau gemuk.
12
b) Membersihkan jalan napas
Bila dicurigai ada benda asing di jalur nafas atas, maka mulut harus dibuka
dengan paksa dan mengeluarkan benda asing tersebut.
Ada 3 cara untuk membuka mulut dengan paksa :
1. Gerak jari menyilang, untuk mandibula yang agak lemas.
2. Gerak jari dibelakang gigi geligi untuk mandibula yang kaku.
3. Gerak angkat mandibula lidah, untuk mandibula yang sangat lemas.
A. Gerak jari menyilang.
Penolong pada verteks atau samping kepala penderita. Jari telunjuk penolong
di masukkan ke dalam sudut mulut penderita dan tekankan jari tersebut pada
gigi geligi atasnya, kemudian tekanlah gigi geligi bawah dengan ibu jari yang
menyilang jari telunjuk tadi sehingga mulut secara paksa membuka.
B. Gerak jari di belakang gigi geligi.
Masukkan satu jari telunjuk di antara pipi dan gigi geligi penderita dan
ganjalkan ujung jari telunjuk tadi di belakang molar terakhir.
C. Gerak angkat mandibula lidah.
Ibu jari penolong dimasukkan ke dalam mulut dan farings penderita dan
dengan ujung ibu jari penolong dasar lidah diangkat. Jari-jari yang lain
memegang mandibula tadi pada dagu dan mengangkatnya ke depan.
Gerakan – gerakan A, B dan C tadi selain untuk membuka mulut secara
paksa juga digunakan menghisap benda asing, memasukkan alat jalan nafas dan
laringoskop
13
2. Dengan menggunakan alat :
Cara ini dilakukan bila pengelolaan tanpa alat tidak berhasil sempurna.
Pemasangan pipa (tube)
Dipasang jalan napas buatan (pipa orofaring, pipa nasofaring).
Bila dengan pemasangan jalan napas tersebut pernapasan belum juga baik,
dilakukan pemasangan pipa endotrakhea.
Pemasangan pipa endotrakhea akan menjamin jalan napas tetap terbuka,
menghindari aspirasi dan memudahkan tindakan bantuan pernapasan.
14
Cara memasang orofaring dengan cara memasukkan bagian cekung ke arah
atas, setelah mencapai pertengahan, diputar 180o, kemudian seluruhnya dimasukkan.
Jangan membuka mulut secara paksa karena dapat memancing refleks muntah, yang
kemudian diikuti dengan batuk, muntah, laringospasme, atau bronkospasme
Untuk pemasangan nasofaring kita harus menyesuaikan panjang nasofaring dari
lubang hidung sampai lubang telinga. Ketika akan memasukkan nasofaring olesi jelly,
masukkan secara tegak lurus (bukan mengikuti arah hidung). Jangan terlalu
15
merangsang jalan nafas. Kontra indikasi pada pasien dengan fraktur nasal, fraktur
basis cranii, koagulopati, infeksi/tumor hidung
16
LMA digunakan untuk menutup daerah supraglotik. Tindakan ini hanya
dilakuakan pada pasien yang tidak sadar sehingga tidak cocok untuk kasus-kasus
emergensi. Pada pasien yang tidak sadar sulit untuk dilakukan ventilasi/intubasi
sehingga pilihan utama untuk membantu jalan nafas menggunakan intubasi via
LMA. Kontra indikasi pada pasien dengan risiko aspirasi.
17
18
Endotracheal tube (ETT) digunakan untuk mengalirkan gas anestesi langsung
ke dalam trakhea dan mengizinkan untuk kontrol ventilasi dan oksigenasi.
Pabrik menentukan standar ETT (American National Standards for Anesthetic
Equipment; ANSI Z-79). ETT kebanyakan terbuat dari polyvinylchloride. Pada
masa lalu, ETT diberi tanda “IT” atau “Z-79” untuk indikasi ini telah dicoba untuk
memastikan tidak beracun. Bentuk dan kekakuan dari ETT dapat dirubah dengan
pemasangan mandren. Ujung pipa diruncingkan untuk membantu penglihatan dan
pemasangan melalui pita suara. Pipa Murphy memiliki sebuah lubang (mata
Murphy) untuk mengurangi resiko sumbatan pada bagian distal tube bila
menempel dengan carina atau trakhea. Tahanan aliran udara terutama tergantung
dari diameter pipa, tapi ini juga dipengaruhi oleh panjang pipa dan lengkungannya.
Ukuran ETT biasanya dipola dalam milimeter untuk diameter internal atau yang
tidak umum dalam scala Prancis (diameter external dalam milimeter dikalikan
dengan 3). Pemilihan pipa selalu hasil kompromi antara memaksimalkan
flow dengan pipa ukuran besar dan meminimalkan trauma jalan nafas
dengan ukuran pipa yang kecil.6
Kebanyakan ETT dewasa memiliki sistem pengembungan balon yang terdiri
dari katup, balon petunjuk (pilot balloon), pipa pengembangkan balon, dan balon
(cuff). Katup mencegah udara keluar setelah balon dikembungkan. Balon petunjuk
19
memberikan petunjuk kasar dari balon yang digembungkan. Inflating tube
dihubungkan dengan klep. Dengan membuat trakhea yang rapat, balon ETT
mengijinkan dilakukannya ventilasi tekanan positif dan mengurangi kemungkinan
aspirasi. Pipa yang tidak berbalon biasanya digunakan untuk anak-anak untuk
meminimalkan resiko dari cedera karena tekanan dan post intubation croup.6
Tabel 2.1-1 Patokan ukuran ETT
Usia Diameter internal (mm) Panjang (cm)
Bayi cukup bulan 3,5 12Anak anak 4 + usia/4 14 + usia/2DewasaWanita 7.0-7,5 24Laki-laki 7,5-9,0 24
2.5.1 Laringoskop rigid
Laringoskop adalah instrumen untuk pemeriksaan laring dan untuk fasilitas
intubasi trachea. Handle biasanya berisi batre untuk cahaya bola lampu pada
ujung blade, atau untuk energi fiberoptic bundle yang berakhir pada ujung blade.
Cahaya dari bundle fiberoptik tertuju langsung dan tidak tersebar. Laringoskop
dengan lampu fiberoptic bundle dapat cocok digunakan diruang MRI. Blade
Macintosh dan Miller ada yang melengkung dan bentuk lurus. Pemilihan dari
blade tergantung dari kebiasaan seseorang dan anatomi pasien. Disebabkan karena
tidak ada blade yang cocok untuk semua situasi, klinisi harus familier dan ahli
dengan bentuk blade yang beragam.6
2.5.2 Teknik laringoskopi dan intubasi
2.5.2.1. Indikasi Intubasi
Pamasangan TT merupakan bagian rutin dari pemberian anestasi umum.
Intubasi bukan prosedur bebas resiko, bagaimanapun, tidak semua pasien dengan
anestesi umum memerlukan intubasi, tetapi TT dipasang untuk proteksi, dan
untuk akses jalan nafas. Secara umum, intubasi adalah indikasi untuk pasien yang
memiliki resiko untuk aspirasi dan untuk prosedur operasi meliputi rongga perut
atau kepala dan leher. Ventilasi dengan face mask atau LMA biasanya digunakan
untuk prosedur operasi pendek seperti cytoskopi, pemeriksaan dibawah anestesi,
perbaikan hernia inguinal dan lain lain.6
20
2.5.2.2. Persiapan untuk laringoskopi rigid
Persiapan untuk intubasi termasuk memeriksa perlengkapan dan posisi pasien.
ETT harus diperiksa. Sistem inflasi cuff pipa dapat diuji dengan menggembungkan
balon dengan menggunakan spuit 10 ml. Pemeliharaan tekanan balon menjamin
balon tidak mengalami kebocoran dan katup berfungsi.6
Beberapa dokter anestesi memotong ETT untuk mengurangi panjangnya
dengan tujuan untuk mengurangi resiko dari intubasi bronkhial atau sumbatan
akibat dari pipa kinking. Konektor harus ditekan sedalam mungkin untuk
menurunkan kemungkinan terlepas. Jika mandren digunakan ini harus dimasukan
ke dalam ETT dan ini ditekuk menyerupai stik hoki. Bentuk ini untuk intubasi
dengan posisi laring ke anterior. Blade harus terkunci di atas handle laringoskop
dan bola lampu dicoba berfungsi atau tidak. Intensitas cahanya harus tetap
walaupun bola lampu bergoyang. Sinyal cahaya yang berkedap kedip karena
lemahnya hubungan listrik, perlu diingat untuk mengganti batre. Extra blade,
handle, ETT (1 ukuran lebih kecil atau lebih besar) dan mandren harus
disediakan. Suction diperlukan untuk membersihkan jalan nafas pada kasus
dimana sekresi jalan nafas tidak diinginkan, darah, atau muntah.6
Keberhasilan intubasi tergantung dari posisi pasien yang benar. Kepala pasien
harus sejajar atau lebih tinggi dengan pinggang dokter anestesi untuk mencegah
ketegangan bagian belakang yang tidak perlu selama laringoskopi. Rigid
laringoskop memindahkan jaringan lunak faring untuk membentuk garis langsung
untuk melihat dari mulut ke glotis yang terbuka. Elevasi kepala sedang (sekitar 5-10
cm diatas meja operasi) dan ekstensi dari atlantoocipito joint menempatkan pasien
pada posisi sniffing yang diinginkan. Bagian bawah dari
tulang leher adalah fleksi dengan menepatkan kepala diatas bantal.6
21
Gambar 2.1-4 ETT dengan mandren yang dibentuk mirip stik hoki6
Persiapan untuk induksi dan intubasi juga meliputi preoksigenasi rutin.
Preoksigenasi dengan beberapa (4 dari total kapasitas paru paru) kali nafas dalam
dengan 100% oksigen memberikan ekstra margin of safety pada pasien yang tidak
mudah diventilasi setelah induksi. Preoksigenasi dapat dihilangkan pada pasien
yang mau di face mask, yang bebas dari penyakit paru, dan yang tidak memiliki
jalan nafas yang sulit.
Gambar 2.1-5 Posisi aman dan intubasi dengan blade macinthos6
2.5.2.3. Intubasi Orotrakheal
Laringoskop dipegang oleh tangan kiri. Dengan mulut pasien terbuka lebar,
22
blade dimasukan pada sisi kanan dari orofaring dengan hati-hati untuk
menghindari gigi. Geserkan lidah ke kiri dan masuk menuju dasar dari faring
dengan pinggir blade. Puncak dari lengkung blade biasanya di masukan ke dalam
vallecula, dan ujung blade lurus menutupi epiglotis. Dengan blade lain, handle
diangkat dan jauh dari pasien secara tegak lurus dari mandibula pasien untuk
melihat pita suara. Terperangkapnya lidah antara gigi dan blade dan pengungkitan
dari gigi harus dihindari. ETT diambil dengan tangan kanan, dan ujungnya
dilewatkan melalui pita suara yang terbuka (abduksi). Balon ETT harus berada
dalam trakhea bagian atas tapi diluar laring. Langingoskop ditarik dengan hati-
hati untuk menghindari kerusakan gigi. Balon dikembungkan dengan sedikit udara
yang dibutuhkan untuk tidak adanya kebocoran selama ventilasi tekanan positif,
untuk meminimalkan tekanan yang ditransmisikan pada mukosa trakhea. Merasakan
pilot balon bukan metode yang dapat dipercaya untuk menentukan tekanan balon
yang adekuat.6
Setelah intubasi, dada dan epigastrium dengan segera diauskultasi dan
capnogragraf dimonitor untuk memastikan ETT ada di intratrakheal. Jika ada
keragu-raguan tentang apakah pipa dalam esophagus atau trakhea, cabut lagi ETT
dan ventilasi pasien dengan face mask. Sebaliknya, pipa diplester atau diikat untuk
mengamankan posisi.6
Gambar 2.1-6 Gambaran glotiss selama laringoscopi dengan bladeyang melengkung.
23
Lokasi pipa yang tepat dapat dikonfirmasi dengan palpasi balon pada sternal
notch sambil menekan pilot balon dengan tangan lainnya. Balon jangan ada diatas
level kartilago cricoid, karena lokasi intralaringeal yang lama dapat menyebabkan
suara serak pada paska operasi dan meningkatkan resiko ekstubasi yang tidak
disengaja. Posisi pipa dapat dilihat dengan radiografi dada, tapi ini jarang
diperlukan kecuali dalam ICU.6
2.5.2.4. Komplikasi laringoskopi dan intubasi
Komplikasi laringoskopi dan intubasi termasuk hipoksia, hiperkarbia,
trauma gigi dan jalan nafas, posisi ETT yang salah, respons fisiologi, atau
malfungsi ETT. Komplikasi-komplikasi ini dapat terjadi slama laringoskopi atau
intubasi, saat ETT dimasukkan, dan setelah ekstubasi.6
Tabel 2.1-2 Komplikasi dari intubasi
Selama laringoskopi dan intubasiMalposisiIntubasi esophagus Intubasi bronchial Trauma jalan nafas Gigi rusakLacerelasi lidah, bibir dan mucosaDislokasi mandibula Hipoksia, hiperkarbi Hipertensi, takikardi Hipertensi intracranial Hipertensi intraokuler Laringospasme
2.5.3 Mekanisme respon hemodinamik terhadap laringoskopi dan intubasi
endotrakheal
King et al27, merupakan salah satu dari beberapa kelompok studi awal
yang melakukan pengamatan pada respon hemodinamik terhadap tindakan
laringoskopi dan intubasi endotrakheal (LETI). Mereka mengusulkan bahwa
disritmia jantung, hipertensi, dan takikardia berhubungan dengan LETI sebagai
akibat dari penurunan tonus vagal ataupun peningkatan aktivitas simpatoadrenal.
Mereka berdalil bahwa penigkatan tekanan darah arteri lebih disebabkan karena
pengikatan curah jantung (CO) daripada peningkatan tahanan pembuluh darah
24
sistemik (SVR). Mereka mencatat bahwa respon tekanan darah tampaknya lebih
mudah diblok secara komplet dengan lebih mendalamkan level anesthesia dari
pada meningkatkan laju jantung (HR). Mereka juga mencatat bahwa laringoskopi
sendiri dapat menyebabkan peningkatan tekanan darah, sedangkan intubasi akan
memperbesar efek ini dan dapat menimbulkan suatu aritmia jantung.
Bedford42 telah menggambarkan suatu saling ketrekaitan antara sistem
saraf pusat (CNS) dan respon kardiovaskuler. Selama LETI, peingkatan respon
hemodinamik terjadi karena jalan nafas atas (laring, trakhea, dan karina) memiliki
refleks sistem saraf simpatetis yang dapat bereaksi tidak hanya dengan substansi
atau subjek yang berkontak langsung padanya, tetapi juga terhadap faktor lain,
seperti level anestesi yang ringan (light level of anesthesia). Refleks penutupan
glottis (laringospasme) adalah respon motorik jalan nafas atas terhadap light
anesthesia. Nervus glossopharyngeal berada di superior permukaan anterior
epiglottis. Nervus glossopharyngeal dan vagus, keduanya merupakan jalur afferen
untuk terjadinya refleks laringospasme dan respon hemodinamik pada tindakan
LETI. Nervus vagus memiliki jalur sensorik yang berasal dari daerah setentang
bagian distal epiglottis posterior sampai ke jalan nafas bagian bawah. Karena
terjadinya laringospasme dimediasi oleh jalur vagal efferen ke glottis, maka
refleks ini dapat timbul selama light anesthesia, yaitu ketika ujung-ujung saraf
sensorik yang diinervasi oleh vagal di jalan nafas atas terstimulasi.
Respons kardiovaskuler pada saat tindakan LETI dimediasi oleh sistem saraf
simpatis dan parasimpatis. Respon saraf parasimpatis adalah adalah terjadinya
sinus bradikardi, yang sering sekali terinduksi pada infan dan anak- anak kecil,
akan tetapi terkadang dapat juga terjadi pada orang dewasa. Karena refleks ini
dimediasi oleh peningkatan tonus vagal pada nodus sinoatrial, hal ini menunjukkan
adanya suatu respon monosinaptik terhadap stimulus noksius yang
terjadi.42
Respon simpatis pada tindakan LETI berupa sinus takikardia. Derbyshire
et al43,44 melaporkan bahwa pada saat intubasi endotrakheal tidak hanya disertai
peningkatan aktivitas simpatetik, akan tetapi juga disertai meningkatnya aktivitas
katekolamin adrenomedullari. Respon hipertensi dan takikardi yang biasa terjadi
pada tindakan intubasi endotrakheal dihasilkan oleh aktifitas jalur-jalur efferen
simpatetik ini. Jalur – jalur polisinaptik yang berasal dari serabut afferen vagal
dan glossopharyngeus ke sistem saraf simpatetik, melalui batang otak dan medulla
25
spinalis, meyakinkan adanya suatu respons otonomik yang diffus, termasuk
peningkatan letupan dari serabut-serabut cardioaccelerator, pelepasan
norpeineprin dari terminal saraf adrenergik pada vascular beds, dan pelepasan
epinefrin dari medulla adrenal. Karena pelepasan rennin dari apparatus
juxtaglomerular ginjal diaktivasi oleh beta-adrenergik, maka aktivasi sistem rennin-
angiotensin juga turut ambil bagian dalam mencetuskan respon hipertensi
pada LETI.42,45
Dalam suatu penelitian tentang respon kardiovaskuler terhadap LETI, dilakukan
evaluasi terhadap respon laringoskopi dan intubasi trakheal secara terpisah. Dengan
menggunakan intubasi nasotrakheal serat optik secara sadar sehingga stimulus akibat
laringoskopi rigid dan suksinilkolin dapat dihindari, Ovassapian et al46, telah
melaporkan bahwa peningkatan maksimum pada tekanan darah terjadi selama
insersi pipa endotrakheal melalui hidung. Sedangkan peningkatan laju jantung
maksimum terjadi selama penempatan pipa endotrakheal di dalam trakhea. Hal ini
hampir sama dengan penelitian Shribman et al28, yang meneliti tentang respon
kardiovaskluer dan katekolamin terhadap laringoskopi dengan dan tanpa intubasi
endotrakheal. Mereka mendapati bahwa terjadi peningkatan tekanan darah dan
konsentrasi katekolamin yang bersirkulasi secara signifikan pada saat tindakan
laringoskopi dengan atau tanpa intubasi. Akan tetapi, intubasi berkaitan dengan
peningkatan laju jantung yang bermakna, sementara hal ini tidak terjadi jika hanya
dilakukan laringoskopi saja. Finfer et al47, membandingkan laringoskopi langsung
dengan intubasi menggunakan serat optik. Mereka mendapatkan bahwa, baik intubasi
dengan laringoskopi dan bronkhoskopi menghasilkan kenaikan tekanan darah dan laju
jantung yang signifikan. Sehingga tampak bahwa peningkatan maksimum pada
tekanan darah terjadi pada saat laringoskopi, sedangkan laju jantung akan maksimum
meningkat pada saat intubasi endotrakheal.
3. Dengan tindakan bedah
Trakeostomi
Trakeostomi adalah insisi melalui cincin trakea. Indikasi trakeostomi
adalah membypass obstruksi jalan nafas atas, mencegah aspirasi, penanganan
jalan nafas jangka panjang, mempermudah proses weaning ventilator.
Cara ini untuk nafas spontan baik dengan udara ataupun dengan oksigen,
untuk ventilasi buatan dan penghisapan. Tindakan ini memerlukan kanula terbesar
26
yang tersedia dan tidak menyebabkan cedera laring. Pada orang dewasa diameter
luar sebesar 6 mm, dan pada anak besar sebesar 3 mm. Pada anak kecil dan bayi,
menggunakan jarum no. 12G.
Teknik trakeostomi atau krikotirotomi yaitu dengan cara meletakkan
penderita terlentang dengan kepala ekstensi. Pegang laring dengan ibu jari dan jari
tengah serta tentukan membrana krikoid dengan jari telunjuk. Buat sayatan kulit
horizontal yang cukup. Lakukan insisi tusuk melalui membrana krikotiroid.
Dorong kanula ujung tumpul melalui membrana ke dalam lumen trakea.
27
28
BAB III
KESIMPULAN
Fungsi pernafasan yang utama adalah untuk mengambil oksigen (O2) dari
atmosfer ke dalam sel-sel tubuh dan untuk mentranspor karbon dioksida (CO2) yang
dihasilkan sel-sel tubuh kembali ke atmosfer. Oleh karena itu, baik anatomi maupun
fisiologi paru disesuaikan dengan fungsi ini. Secara anatomi, fungsi pernafasan ini dimulai
dari hidung sampai ke parenkim paru.
Secara fungsional saluran pernafasan dibagi atas bagian yang berfungsi sebagai
konduksi (penghantar gas) dan bagian yang berfungsi sebagai respirasi (pertukaran gas).
Pada bagian konduksi, udara seakan-akan bolak-balik diantara atmosfir jalan nafas. Oleh
karena itu, bagian ini seakan-akan tidak berfungsi, dan disebut dengan “dead space”. Akan
tetapi, fungsi tambahan dari konduksi, seperti proteksi dan pengaturan kelembaban udara,
justru dilaksanakan pada bagian ini. Adapun yang termasuk dalam konduksi ialah rongga
hidung, rongga mulut, faring, laring, trakea, sinus bronkus dan bronkiolus nonrespiratorius.
Pada bagian respirasi akan terjadi pertukaran udara (difusi) yang sering
disebut dengan unit paru (lung unit), yang terdiri dari bronkiolus respiratorius, duktus
alveolaris, atrium dan sokus alveolaris.
Bila ditinjau dari traktus respiratorius, maka yang berfungsi sebagai
konduksi adalah trakea, bronkus utama, bronkus lobaris, bronkus segmental, bronkus,
subsegmental, bronkus terminalis, bronkiolus, dan bronkiolus nonrespiratorius. Organ yang
bertindak sebagai respirasi adalah bronkiolus respiratorius, bronkiolus terminalis,
dukt us alveolaris, sakus alveolaris dan alveoli.
Percabangan trakea sampai kepada sakus alveolaris dapat diklasifikasikan
sebagai berikut : bronkus utama sebagai percabangan utama, bronkus lobaris sebagai
percabangan kedua, bronkus segmental sebagai percabangan ketiga, bronkus subsegmental
sebagai percabangan keempat, hingga sampai bagian yang keenam belas sebagai bagian
yang berperan sebagai konduksi, sedangkan bagian percabangan yang ketujuh belas
sampai ke sembilan belas yang merupakan percabangan bronkiolus respiratorius dan
percabangan yang kedua puluh sampai kedua puluh dua yang merupakan percabangan
duktus alveolaris dan sakus alveolaris adalah percabangan terakhir yang seluruhnya
merupakan bagian respirasi.
29