referat anastesi
DESCRIPTION
fk urTRANSCRIPT
1
Referat
Post Anesthesia Shivering
Oleh :
Eka Dwi Wulan L.N
Devi
Neni Ristiani
PEMBIMBING :
dr. Sutantri Edi Prabowo, Sp. An
dr. Dino Irawan, Sp. An
dr. Sony, Sp. An
KEPANITRAAN KLINIK SENIOR BAGIAN ANESTESIOLOGI
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS RIAU
RSUD ARIFIN AHMAD
PEKANBARU
2013
1
2
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Salah satu efek samping yang sering dijumpai pasca anestesia baik dengan anestesia
umum maupun regional adalah menggigil pasca anestesia (post anesthesia shivering).
Menggigil menyebabkan pasien merasa tidak nyaman bahkan nyeri akibat regangan bekas
luka operasi, serta dapat meningkatkan kebutuhan oksigen.1,2
Menggigil dapat menyebabkan efek fisiologi yang merugikan, seperti vasokonstriksi
perifer, kompensasi kebutuhan oksigen yang meningkat sampai 5 kali, peningkatan produksi
karbondioksida, menurunnya saturasi oksigen arteri, metabolisme obat yang menurun,
terganggunya faktor-faktor pembekuan, menurunnya respon imun, meningkatnya pemecahan
protein dan iskemik otot jantung. Menggigil juga dapat meningkatkan tekanan intrakranial,
tekanan intraokular serta mengganggu ibu dalam proses persalinan. Selain itu menggigil juga
menimbulkan gambaran artefak pada monitor pasien sehingga dapat mengganggu
pemantauan pasien.1,2
Angka kejadian menggigil pasca anestesi cukup sering terjadi, berkisar antara 5%
hingga 65%. Kejadian ini berhubungan dengan jenis obat yang digunakan selama anestesi
yaitu thiopental (65%), eter (31%), halothan (20%), enfluran dan isofluran (15%) serta
propofol (13%). Selain faktor diatas, hal-hal lain juga berhubungan dengan terjadinya
menggigil pasca anestesi.1
Penatalaksanaan yang dapat dilakukan untuk mencegah atau mengatasi menggigil
pasca anestesi antara lain adalah menjaga suhu tubuh tetap normal selama tindakan
pembedahan atau memberikan obat-obatan. Penggunaan obat-obatan adalah cara yang sering
dilakukan untuk mengatasi kejadian menggigil pasca anestesi.2
2
3
Penghangatan secara aktif terhadap pasien merupakan suatu cara yang dapat
digunakan, meskipun hasilnya tidak selalu efektif karena menggigil pasca anestesi tidak
selalu terjadi pada pusat pengaturan suhu. Obat yang sering dipakai untuk mengatasi
menggigil antara lain petidin, klonidin, dan tramadol. Sampai saat ini sudah banyak
penelitian untuk mengatasi menggigil pasca anestesia spinal, namun kebanyakan di antaranya
adalah menggunakan jalur intravena. Dengan melakukan pencegahan terhadap menggigil
akan mencegah timbulnya kerugian kerugian pada pasien.1,2,3
1.2 Batasan Masalah
Referat ini membahas tentang definisi, patofisiologi, dan penatalaksanaan menggigil
pasca anestesia atau post anesthesia shivering (PAS).
1.3 Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan referat ini adalah :
1. Mengetahui dan memahami tentang menggigil pasca anestesia dan
penatalaksanaannya.
2. Meningkatkan kemampuan penulisan ilmiah di bidang kedokteran khususnya di
Bagian Ilmu Anestesiologi.
3. Memenuhi salah satu syarat kelulusan Kepaniteraan Klinik Senior (KKS) di Bagian
Anestesiologi dan Reanimasi Fakultas Kedokteran Universitas Riau dan Rumah Sakit
Umum Daerah Arifin Achmad.
1.4 Metode Penulisan
Penulisan referat ini menggunakan metode tinjauan pustaka dengan mengacu kepada
beberapa literatur.
BAB II
3
4
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Termoregulasi Normal
Temperatur inti manusia normal dipertahankan antara 36,5‐37,5oC pada suhu
lingkungan dan dipengaruhi respon fisiologis tubuh. Pada keadaan homeotermik, sistem
termoregulasi diatur untuk mempertahankan temperatur tubuh internal dalam batas fisiologis
dan metabolisme normal. Tindakan anestesi dapat menghilangkan mekanisme adaptasi dan
berpotensi mengganggu mekanisme fisiologis fungsi termoregulasi.4,5
Menggigil merupakan salah satu konsekuensi terjadinya hipotermia perioperatif yang
dapat berpotensi untuk terjadi sejumlah sekuele, yaitu peningkatan konsumsi oksigen dan
potensi produksi karbon dioksida, pelepasan katekolamin, peningkatan cardiac output,
takikardia, hipertensi, dan peningkatan tekanan intraokular. Definisi hipotermia adalah
temperatur inti 10oC lebih rendah di bawah standar deviasi rata‐rata temperatur inti manusia
pada keadaaan istirahat dengan suhu lingkungan yang normal (28‐35oC). Kerugian pasca
operasi yang disebabkan oleh gangguan fungsi termoregulasi adalah infeksi pada luka
operasi, perdarahan, dan gangguan fungsi jantung yang juga berhubungan dengan terjadinya
hipotermia perioperatif.4,5
Fungsi termoregulasi diatur oleh sistem kontrol fisiologis yang terdiri dari
termoreseptor sentral dan perifer yang terintegrasi pada pengendali dan sistem respon eferen.
Input temal aferen datang dari reseptor panas dan dingin baik itu di sentral atau di perifer.
Hipotalamus juga mengatur tonus otot pembuluh darah kutaneus, menggigil, dan
termogenesis tanpa menggigil yang terjadi bila ada peningkatan produksi panas. Sistem
termoregulasi manusia dibagi dalam tiga komponen: termosensor dan jalur saraf aferen,
integrasi input termal, dan jalur saraf efektor pada sistem saraf otonom.4,5,6
2.1.1 Termosensor dan Jalur Saraf Aferen
4
5
Input termal aferen dapat berasal dari sentral dan perifer. Reseptor termal terdapat
pada kulit dan membran mukosa yang sensitif terhadap sensasi termal dan memberikan
kontribusi terhadap refleks termoregulasi. Reseptor spesifik dingin mengeluarkan impuls
pada suhu 25‐30oC. Impuls ini berjalan pada serabut saraf tipe A‐δ. Reseptor panas
mengeluarkan impuls pada suhu 45‐50oC dan berjalan pada serabut saraf tipe C.5
Reseptor dingin berespon terhadap perubahan sementara temperatur lingkungan
dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan temperatur
lingkungan dalam waktu lama, gradual, atau cepat. Respon yang cepat terhadap perubahan
temperatur lingkungan biasanya diikuti respon temperatur kulit. Termoregulasi terhadap
dingin dipengaruhi oleh reseptor dingin pada kulit dan dihambat oleh pusat reseptor panas.
Reseptor dingin kulit merupakan sistem pertahanan tubuh terhadap temperatur dingin dan
input aferen yang berasal dari reseptor dingin ditransmisikan langsung ke hipotalamus.
Gambar 1. Alur kontrol termoregulasi
2.1.2 Hipotalamus Pusat Integrasi
5
6
Mekanisme informasi termal aferen akan diolah oleh pusat regulasi temperatur yang
berada di hipotalamus. Hipotalamus anterior menerima informasi termal aferen secara
integral dan hipotalamus posterior mengontrol jalur desendens ke efektor. Area preoptik
hipotalamus berisi saraf sensitif dan insensitif terhadap temperatur temperatur. Beberapa ahli
membaginya dalam saraf yang sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan
produksi panas lokal yang diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang
sensitif terhadap panas meningkatkan respon peningkatan produksi panas lokal yang
diaktivasi oleh mekanisme pelepasan panas tubuh. Saraf yang sensitif terhadap dingin
sebaliknya, meningkatkan respon terhadap dingin tubuh pada area preoptik hipotalamus.
Saraf yang sensitif tehadap stimulasi termal lokal dikontrol oleh hipotalamus posterior,
formatio retikularis, dan medula spinalis.4,5
Hipotalamus posterior menerima rangsang aferen dingin yang berasal dari perifer
dengan stimulasi panas yang bersumber dari area preoptik hipotalamus dan mengaktifkan
respon efektor. Deteksi dingin dibedakan dengan panas berdasarkan impuls aferen yang
berasal dari reseptor dingin. Bila temperatur inti tubuh turun 0,5oC dibawah nilai normal,
neuron preoptik akan menjadi tidak aktif. Kulit mengandung reseptor dingin dan panas,
dimana reseptor dingin 10 kali lebih banyak bila dibandingkan dengan reseptor panas.4,5
Temperatur set‐point didefinisikan sebagai batas ambang temperatur sekitar 36,7‐
37,1oC. Set‐point ini dapat disebut juga thermoneutral zone atau interthreshold range dan
pada manusia sangat unik. Pada manusia set‐point ini bervariasi, selama tidur suhu tubuh
sekitar 36,2oC sampai menjelang pagi, meningkat lebih dari 1oC menjelang malam. Pada
tumor intrakranial seperti space‐occupying lesion dan keadaan dehidrasi dapat menyebabkan
peningkatan temperatur set‐point dengan mekanisme yang belum jelas.4,5,6
2.1.3 Respon Efektor
6
7
Respon termoregulasi ditandai dengan: pertama, perubahan tingkah laku yang secara
kuantitatif mekanisme ini lebih efektif, kedua, respon vasomotor yang ditandai dengan
vasokonstriksi pembuluh darah dan piloereksi sebagai respon terhadap dingin, dan
vasodilatasi dan berkeringat sebagai respon terhadap panas, ketiga, menggigil dan
peningkatan rata‐rata metabolisme.4,5,6
Pada keadaan sadar, perubahan tingkah laku lebih jelas terlihat bila dibandingkan
dengan mekanisme otonom regulasi temperatur tubuh. Bila hipotalamic termostat
mengindikasikan adanya temperatur tubuh terlalu dingin, impuls dapat sampai ke korteks
serebri tanpa melalui hipotalamus untuk menghasilkan sensasi rasa dingin. Keadaan ini
menimbulkan perubahan tingkah laku seperti peningkatan aktivitas motorik, berusaha
mencari penghangat atau memakai penghangat tambahan . Kontrol respon tingkah laku
terhadap dingin didasari oleh besarnya signal panas yang diterima kulit.6
Dapat diambil kesimpulan bahwa pengaturan suhu tubuh bertujuan untuk
mempertahankan suhu tubuh inti pada batas normal dengan mekanisme seperti gambar
dibawah ini.5,6
Gambar 2. Mekanisme kontrol termoregulasi
2.2 Patofisiologi
7
8
Tindakan anestesi menyebabkan gangguan fungsi termoregulator yang ditandai
dengan peningkatan ambang respon terhadap panas dan penurunan ambang respon terhadap
dingin. Hampir semua obat‐obat anestesi mengganggu respon termoregulasi. Temperatur inti
pada anestesi umum akan mengalami penurunan antara 1,0‐1,5oC selama satu jam pertama
anestesi yang diukur pada membran timpani. Sedangkan pada anestesi spinal dan epidural
menurunkan ambang vasokonstriksi dan menggigil pada tingkatan yang berbeda, akan tetapi
ukurannya kurang dari 0,6oC dibandingkan anestesi umum dimana pengukuran dilakukan di
atas ketinggian blok.6
Pemberian obat lokal anestesi untuk sentral neuraxis tidak langsung berinteraksi
dengan pusat kontrol yang ada di hipotalamus dan pemberian lokal anestesi intravena pada
dosis ekuivalen plasma level setelah anestesi regional tidak berpengaruh terhadap
termoregulasi. Mekanisme gangguan pada termoregulasi selama anestesi regional tidak
diketahui dengan jelas, tapi diduga perubahan sistem termoregulasi ini disebabkan pengaruh
blokade regional pada jalur informasi termal aferen.5,6
Gambar 3. Ambang regulator pada manusia normal
8
9
Gambar 4. Ambang termoregulator pada keadaan teranestesi
2.3 Menggigil Pasca Anestesia
Menggigil pasca anestesia (Post Anesthec Shivering/PAS) didefinisikan sebagai suatu
fasikulasi otot rangka di daerah wajah, kepala, rahang, badan atau ekstremitas yang
berlangsung lebih dari 15 detik. Menggigil terjadi jika suhu daerah preoptik hipotalamus
lebih rendah daripada suhu permukaan tubuh. Jaras eferen menggigil berasal dari hipotalamus
posterior yang berlanjut menjadi middle forebrain bundle. Pada menggigil yang terjadi pasca
anestesia spinal (PAS) memang sedikit sulit dibedakan dengan tremor pasca operasi (post
operative tremor/POT) yang merupakan suatu cetusan yang serupa dengan PAS. Pada POT,
gerakan involunter tidak selalu didahului dengan keaadaan hipotermia, sehingga dalam
keadaan pasien normotermia juga dapat mengalaminya. Biasanya hal ini berhubungan dengan
sisa kadar gas anestesia yang masih ada dalam tubuh. Tremor pasca operasi dapat dibedakan
dengan PAS melalui pemeriksaan EMG.3,4,5
Sampai saat ini, mekanisme menggigil masih belum diketahui secara pasti. Menggigil
pasca anestesi diduga paling sedikit disebabkan oleh tiga hal yaitu:6
1. Hipotermi dan penurunan core temperature selama anestesi yang disebabkan oleh
karena kehilangan panas yang bermakna selama tindakan pembedahan. Panas yang
9
10
hilang dapat melalui permukaan kulit dan melalui ventilasi. Kehilangan panas yang
lebih besar dapat terjadi bila kita menggunakan obat anestesi yang menyebabkan
vasodilatasi kutaneus.
2. Faktor-faktor yang berhubungan dengan pelepasan pirogen, tipe atau jenis
pembedahan, kerusakan jaringan yang terjadi dan absorbsi dari produk-produk
tersebut.
3. Efek langsung dari obat anestesi pada pusat pengaturan suhu di hipotalamus.
Menggigil dapat terlihat berbeda derajat dan intensitasnya. Kontraksi halus dapat terlihat
pada otot-otot wajah khususnya otot masseter dan meluas ke leher, badan dan ekstremitas.
Kontraksi ini halus dan cepat, tetapi tidak akan berkembang menjadi kejang.6
Derajat berat ringannya menggigil secara klinis dapat dinilai dalam skala 0 – 4 yaitu:
0 : Tidak ada menggigil.
1 : Tremor intermiten dan ringan pada rahang dan otot-otot leher.
2 : Tremor yang nyata pada otot-otot dada.
3 : Tremor intermiten seluruh tubuh.
4 : Aktifitas otot-otot seluruh tubuh sangat kuat dan terus menerus
Menggigil dapat menimbulkan efek yang berbahaya. Aktivitas otot yang meningkat
akan meningkatkan konsumsi oksigen dan produksi karbondioksida. Kebutuhan oksigen otot
jantung juga akan meningkat, dapat mencapai 200% hingga 400%. Hal ini tentunya akan
sangat berbahaya bagi pasien dengan kondisi fisik yang jelek seperti pada pasien dengan
gangguan kerja jantung atau anemia berat, serta pada pasien dengan penyakit paru obstruktif
menahun yang berat.4
10
11
Hipotermia sering terjadi sebagai efek samping dari anestesi. Yang mana anestesi
spinal menyebabkan vasodilatasi dan hambatan pada pusat pengaturan suhu dan transfer
panas antar kompartemen. Faktor yang mendukung kejadian hipotermia bervariasi, meliputi
berikut ini:5
• Usia ekstrim (Anak‐anak dan orangtua)
• Kehamilan
• Suhu ruangan
• Lama dan jenis prosedur bedah
• Kondisi yang ada sebelumnya (kehamilan, luka bakar, luka terbuka, dll)
• Status hidrasi
• Penggunaan cairan dan irigasi yang dingin
2.4 Penatalaksanaan Menggigil
2.4.1 Penatalaksanaan Nonfarmakologis
Metode untuk mencegah penurunan temperatur inti, seperti menaikkan temperatur
lingkungan, pemberian cairan hangat intravena dan penggunaan forced warm air blankets
dalam periode operasi dan pasca operasi seharusnya digunakan pada pasien yang berisiko.
Penggunaan alat ini tidak efektif dan jarang digunakan dalam praktik klinis karena
membutuhkan waktu satu jam untuk proses penghangatan sebelum digunakan. Tindakan
penghangatan yang terlalu berlebihan justru dapat menyebabkan pasien mengalami keringat
yang banyak dan tidak nyaman.7
Penghangatan pasif, termasuk menggunakan kain katun dapat digunakan preoperatif
untuk mengurangi pelepasan panas ke lingkungan. Melapisi permukaan tubuh dengan
penghangat pasif sangat penting dan lebih efektif. Bagaimanapun, penghangatan pasif atau
dengan penambahan penghangat lain tidak memperbaiki konservasi panas secara signifikan
11
12
dan sistem penghangat pasif tidak efektif dalam jangka waktu lama, terutama pasca operasi
besar.7
Sistem forced air-warming sangat baik untuk mempertahankan suhu tubuh dalam
batas normotermia pada prosedur pembedahan. Pembedahan yang berlangsung lama dan
akan efektif khususnya bila digunakan intraoperatif pada pasien yang mengalami
vasodilatasi. Alat ini meningkatkan temperatur inti introperatif sehingggi mengurangi
kejadian pascaanestesi dan ketidaknyamanan pasien.7,8
Strategi khusus untuk pengendalian temperatur tubuh adalah sebagai berikut:7,8
1. Mempertahankan temperatur ruang operasi yang sesuai dengan usia dewasa yaitu 24-
26oC.
2. Menggunakan gas inspirasi yang hangat dengan menggunakan penghangat
humidifiers, alat ini dapat mengurangi kehilangan panas tetapi tidak untuk
pencegahan.
3. Menggunakan sistem penghangat konveksi dengan forced warm air.
4. Menggunakan selimut penghangat, untuk mengurangi kehilangan panas, cairan
intravena dan cairan irigasi harus dihangatkan terlebih dahulu di atas temperatur
tubuh (cairan intravena 40oC; cairan untuk irigasi 40oC).
5. Menggunakan lampu penghangat secara langsung dapat menyebabkan kulit menjadi
merah terutama daerah dada, wajah, dan leher karena alat ini mempunyai densitas
yang tinggi pada termoreseptor.
2.4.2 Penatalaksanaan Farmakologis
Hampir semua anestetis akan berusaha mengobati kejadian menggigil pada periode
durante dan pasca pembedahan. Mekanisme kerja dan lokasi kerja serta dosis optimal obat-
obat yang memiliki kemampuan menghilangkan menggigil masih belum jelas. Sebagian
besar diduga dengan cara menurunkan ambang menggigil. Pethidine pada dosis minimum
12
13
0,35 mg/kg merupakan opioid paling efektif pada penatalaksanaan shivering pasca anestesi,
dengan tingkat keberhasilan 95%. Fentanyl dan alfentanyl juga mempunyai beberapa efek
walaupun mempunyai durasi yang lebih pendek daripada pethidine. Doxapram, suatu agen
yang biasanya digunakan sebagai stimulasi nafas juga efektif pada dosis 0,2 mg/kg.9,10,11
Tabel 1. Obat anestesi untuk terapi dan profilaksis menggigil pasca anestesi
13
14
BAB III
SIMPULAN DAN SARAN
3.1 Simpulan
Menggigil pasca anestesia (post operative shivering) merupakan keadaan yang hampir
selalu menyertai anestesi umum dan regional, yang dapat menimbulkan berbagai masalah dan
ketidaknyamanan terhadap pasien, sehingga langkah tepat perlu dilakukan untuk mencegah
serta mengobatinya.
3.2 Saran
Pentingnya penatalaksanaan menggigil pasca anestesia baik secara nonfarmakologis,
seperti penghangatan maupun terapi farmakologis seperti pemberian pethidine, sehingga
dapat mengurangi komplikasi pada pasien yang menjalani pembedahan.
14
15
DAFTAR PUSTAKA
1. De Wi' e J., Sessler D.I. Perioperative Shivering: Physiology and Pharmacology.
Anesthesiology 2002; 96(2): 467-484
2. Buggy D.J., Crossley A.W.A. Thermoregulation, Mild Perioperative Hypothermia
and Post Anesthetic Shivering. BrJ Anaesth 2000; 84(5):615-628.
3. Crossley AW. Postoperative shivering. Br J Hosp Med 1993; 49: 204–8
4. Sessler D.I., Mild Perioperative Hypothermia. New England Journal of Medicine.
1997; 336(24): 1730-37.
5. Collins V.J. Temperature Regulation and Heat Problem. In: Physiologic and
Pharmacologic Bases of Anesthesia. Ed.Vincent J. Collins, 1st ed. Baltimore:
Williams & Wilkins. 1996. P.316-344
6. Sessler D.I. Temperature Monitoring. In: Miller’s Anesthesia. Ed. Ronald D.Miller,
6th ed. Philadelphia: Elsevier. 2005. P. 1571-1597.
7. Ba' acharyaka Pradip K., Ba' acharya L., et.al. Post Anesthesia Shivering (PAS): A
Review, Indian J. Anaesth, 2003; 47(2): 88-93
8. Smith T, Pinnock C, Lin T. Fundamentals of Anesthesia. 3rd. Post Operative
Management. Cambridge: Cambridge University Press. 2009; 67
9. Schwarzkopf KR, Hoff H, Hartmann M, Fritz HG. A comparison between
meperidine, clonidine and urapidil in the treatment of postanaesthetic shivering.
Anesthesia and Analgesia 2001; 92 :257-60
10. Bhatnagar S, Saxena A, Kannan TR, Punj J, Panigrahi M, Mishra S. Tramadol for
postoperative shivering: a double-blind comparison with pethidine. Anaesthesia and
Intensive Care 2001; 29 :149-54
11. Powell RM, Buggy DJ. Ondansetron given before induction of anesthesia reduces
shivering after general anesthesia. Anesthesia and Analgesia 2000; 90 :1423-7
15