ragam bahasa
TRANSCRIPT
RAGAM BAHASA
Bahasa dibentuk oleh kaidah aturan serta pola yang tidak boleh dilanggar agar tidak
menyebabkan gangguan pada komunikasi yang terjadi. Kaidah, aturan dan pola-pola
yang dibentuk mencakup tata bunyi, tata bentuk dan tata kalimat. Agar komunikasi
yang dilakukan berjalan lancar dengan baik, penerima dan pengirim bahasa harus
harus menguasai bahasanya.
Bahasa adalah suatu sistem dari lambang bunyi arbitrer yang dihasilkan oleh alat
ucap manusia dan dipakai oleh masyarakat komunikasi, kerja sama dan identifikasi
diri. Bahasa lisan merupakan bahasa primer, sedangkan bahasa tulisan adalah bahasa
sekunder. Arbitrer yaitu tidak adanya hubungan antara lambang bunyi dengan
bendanya.
Fungsi Bahasa Dalam Masyarakat :
1. Alat untuk berkomunikasi dengan sesama manusia.
2. Alat untuk bekerja sama dengan sesama manusia.
3. Alat untuk mengidentifikasi diri.
Macam-Macam dan Jenis-Jenis Ragam / Keragaman Bahasa :
1. Ragam bahasa pada bidang tertentu seperti bahasa istilah hukum, bahasa sains,
bahasa jurnalistik, dsb.
2. Ragam bahasa pada perorangan atau idiolek seperti gaya bahasa mantan presiden
Soeharto, gaya bahasa benyamin s, dan lain sebagainya.
3. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu wilayah atau dialek
seperti dialek bahasa madura, dialek bahasa medan, dialek bahasa sunda, dialek
bahasa bali, dialek bahasa jawa, dan lain sebagainya.
4. Ragam bahasa pada kelompok anggota masyarakat suatu golongan sosial seperti
ragam bahasa orang akademisi beda dengan ragam bahasa orang-orang jalanan.
5. Ragam bahasa pada bentuk bahasa seperti bahasa lisan dan bahasa tulisan.
6. Ragam bahasa pada suatu situasi seperti ragam bahasa formal (baku) dan informal
(tidak baku).
Bahasa lisan lebih ekspresif di mana mimik, intonasi, dan gerakan tubuh dapat
bercampur menjadi satu untuk mendukung komunikasi yang dilakukan. Lidah
setajam pisau / silet oleh karena itu sebaiknya dalam berkata-kata sebaiknya tidak
sembarangan dan menghargai serta menghormati lawan bicara / target komunikasi.
A. RAGAM BAHASA BERDASARKAN MEDIA/SARANA
1. Ragam bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech)
dengan fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan
tata bahasa, kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara
dapat memanfaatkan tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan
atau isyarat untuk mengungkapkan ide.
2. Ragam bahasa tulis
Ragam bahasa tulis adalah bahasa yang dihasilkan dengan memanfaatkan
tulisan dengan huruf sebagai unsur dasarnya. Dalam ragam tulis, kita
berurusan dengan tata cara penulisan (ejaan) di samping aspek tata bahasa dan
kosa kata. Dengan kata lain dalam ragam bahasa tulis, kita dituntut adanya
kelengkapan unsur tata bahasa seperti bentuk kata ataupun susunan kalimat,
ketepatan pilihan kata, kebenaran penggunaan ejaan, dan penggunaan tanda
baca dalam mengungkapkan ide.
Contoh
Ragam bahasa lisan Ragam bahasa tulis
1. Putri bilang kita harus pulang 1. Putri mengatakan bahwa kita harus pulang
2. Ayah lagi baca koran 2. Ayah sedang membaca koran
3. Saya tinggal di Bogor 3. Saya bertempat tinggal di Bogor
B. RAGAM BAHASA BERDASARKAN PENUTUR
1. Ragam bahasa berdasarkan daerah disebut ragam daerah (logat/dialek).
Luasnya pemakaian bahasa dapat menimbulkan perbedaan pemakaian bahasa.
Bahasa Indonesia yang digunakan oleh orang yang tinggal di Jakarta berbeda
dengan bahasa Indonesia yang digunakan di Jawa Tengah, Bali, Jayapura, dan
Tapanuli. Masing-masing memilikiciri khas yang berbeda-beda. Misalnya
logat bahasa Indonesia orang Jawa Tengah tampak padapelafalan/b/pada
posisiawal saat melafalkan nama-nama kota seperti Bogor, Bandung,
Banyuwangi, dll. Logat bahasa Indonesia orang Bali tampak pada pelafalan /t/
seperti pada kata ithu, kitha, canthik, dll.
2. Ragam bahasa berdasarkan pendidikan penutur. Bahasa Indonesia yang
digunakan oleh kelompok penutur yang berpendidikan berbeda dengan yang
tidak berpendidikan, terutama dalam pelafalan kata yang berasal dari bahasa
asing, misalnya fitnah, kompleks,vitamin, video, film, fakultas. Penutur yang
tidak berpendidikan mungkin akan mengucapkan pitnah, komplek, pitamin,
pideo, pilm, pakultas. Perbedaan ini juga terjadi dalam bidang tata bahasa,
misalnya mbawa seharusnya membawa, nyari seharusnya mencari. Selain itu
bentuk kata dalam kalimat pun sering menanggalkan awalan yang seharusnya
dipakai.
contoh:
1) Ira mau nulis surat à Ira mau menulis surat
2) Saya akan ceritakan tentang Kancil à Saya akan menceritakan tentang
Kancil.
3. Ragam bahasa berdasarkan sikap penutur. Ragam bahasa dipengaruhi
juga oleh setiap penutur terhadap kawan bicara (jika lisan) atau sikap penulis
terhadap pembawa (jika dituliskan) sikap itu antara lain resmi, akrab, dan
santai. Kedudukan kawan bicara atau pembaca terhadap penutur atau penulis
juga mempengaruhi sikap tersebut. Misalnya, kita dapat mengamati bahasa
seorang bawahan atau petugas ketika melapor kepada atasannya. Jika terdapat
jarak antara penutur dan kawan bicara atau penulis dan pembaca, akan
digunakan ragam bahasa resmi atau bahasa baku. Makin formal jarak penutur
dan kawan bicara akan makin resmi dan makin tinggi tingkat kebakuan bahasa
yang digunakan. Sebaliknya, makin rendah tingkat keformalannya, makin
rendah pula tingkat kebakuan bahasa yang digunakan.
Bahasa baku merupakan ragam bahasa yang dipakai dalam situasi resmi/formal,
baik lisan maupun tulisan.
Bahasa baku dipakai dalam :
a. pembicaraan di muka umum, misalnya pidato kenegaraan, seminar, rapat dinas
memberikan kuliah/pelajaran;
b. pembicaraan dengan orang yang dihormati, misalnya dengan atasan, dengan
guru/dosen, dengan pejabat;
c. komunikasi resmi, misalnya surat dinas, surat lamaran pekerjaan, undang-
undang;
d. wacana teknis, misalnya laporan penelitian, makalah, tesis, disertasi.
Segi kebahasaan yang telah diupayakan pembakuannya meliputi
a. tata bahasa yang mencakup bentuk dan susunan kata atau kalimat, pedomannya
adalah buku Tata Bahasa Baku Indonesia;
b. kosa kata berpedoman pada Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI);
c. istilah kata berpedoman pada Pedoman Pembentukan Istilah;
d. ejaan berpedoman pada Ejaan Bahasa Indonesia yang disempurnakan (EYD);
e. lafal baku kriterianya adalah tidak menampakan kedaerahan.
C. RAGAM BAHASA MENURUT POKOK PERSOALAN ATAU BIDANG
PEMAKAIAN
Dalam kehidupan sehari-hari banyak pokok persoalan yang dibicarakan.
Dalam membicarakan pokok persoalan yang berbeda-beda ini kita pun
menggunakan ragam bahasa yang berbeda. Ragam bahasa yang digunakan dalam
lingkungan agama berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan
kedokteran, hukum, atau pers. Bahasa yang digunakan dalam lingkungan politik,
berbeda dengan bahasa yang digunakan dalam lingkungan ekonomi/perdagangan,
olah raga, seni, atau teknologi. Ragam bahasa yang digunakan menurut pokok
persoalan atau bidang pemakaian ini dikenal pula dengan istilah laras bahasa.
Perbedaan itu tampak dalam pilihan atau penggunaan sejumlah
kata/peristilahan/ungkapan yang khusus digunakan dalam bidang tersebut,
misalnya masjid, gereja, vihara adalah kata-kata yang digunakan dalam bidang
agama; koroner, hipertensi, anemia, digunakan dalam bidang kedokteran;
improvisasi, maestro, kontemporer banyak digunakan dalam lingkungan seni;
pengacara, duplik, terdakwa, digunakan dalam lingkungan hukum; pemanasan,
peregangan, wasit digunakan dalam lingkungan olah raga. Kalimat yang
digunakan pun berbeda sesuai dengan pokok persoalan yang dikemukakan.
Kalimat dalam undang-undang berbeda dengan kalimat-kalimat dalam sastra,
kalimat-kalimat dalam karya ilmiah, kalimat-kalimat dalam koran/majalah, dll.
Contoh kalimat yang digunakan dalam undang-undang.
Sanksi Pelanggaran Pasal 44:
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1987 tentang Perubahan atas
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta
1. Barang siapa dengan sengaja dan tanpa hak mengumumkan atau
memperbanyak suatu ciptaan atau memberi izin untuk itu, dipidana dengan
pidana penjara paling lama 7 (tujuh) tahun dan/atau denda paling banyak Rp
100.000.000,00 (seratus jutarupiah).
2. Barang siapa dengan sengaja menyiarkan, memamerkan, mengedarkan, atau
menjual pada umum suatu ciptaan atau barang hasil pelanggaran hasil hak
cipta sebagaimana dimaksud dalam ayat (1), dipidana dengan pidana penjara
paling lama 5 (lima) tahun dan atau denda paling banyak Rp 50.000.000,00
(lima puluh juta rupiah).
Ragam bahasa baku
Ragam bahasa baku adalah kosa kata baku bahasa indonesia,yang memiliki ciri
kaidah bahasa indonesia ragam baku,yang di jadikan tolok ukur yang di tetapkan
berdsarkan kesepakatan penutur bahasa indonesia,bukan otoritas lembaga atau intansi
di dalam menggunakan bahasa indonesia ragam baku
Ragam bahasa baku itu merupakan ragam bahasa yang standar, bersifat formal.
Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa seperti ini biasa ditemukan dalam
pertemuan-pertemuan yang bersifat formal,misalnya dalam tulisan-tulisan ilmiah
seperti makalah, skripsi, tesis,dan disertasi, percakapan dengan pihak yang berstatus
akademis yang lebih tinggi, dan sebagainya.
Ragam bahasa baku itu tidak selalu dikaitkan dengan kebakuan kosakata,
sebagaimana bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia dan yang ditetapkan
dalam Ejaan yang Disempurnakan.
Kalau kita berpegangan pada KBBI dan pedoman EYD, kita tidak akan memandang
judul-judul berita pada surat kabar sebagai judul yang sesuai dengan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Atau ketika kita melihat bahasa pada dunia periklanan. Dijamin
kita akan langsung mengecap bahasa yang digunakan tidak baku. Tapi itu kalau kita
memakai sudut pandang preskriptif.
Sebaliknya, ketika kita melihat secara deskriptif, kita akan menyadari bahwa
sejumlah ragam bahasa yang kita lihat berbeda dari apa yang standar, sebenarnya
tidak selalu menjadi ragam bahasa tidak resmi.
Kamus Linguistik (2001: 184) mendefinisikan ragam resmi (baku) itu sebagai
ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh
pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi misalnya seperti surat-
menyurat dinas, perundang-undangan, karangan teknis, atau bila pembicaraan
dilakukan di depan umum.
Berawal dari definisi tersebut, coba kita cermati apa yang terjadi pada surat kabar dan
dunia periklanan.
1. Apakah surat kabar dan iklan hanya akan ditujukan dan dilihat oleh orang-
orang yang biasa-biasa saja, dalam arti tidak ditujukan kepada orang yang
jelas lebih dihormati.
2. Apakah surat kabar dan iklan tidak disodorkan kepada umum?
Jawaban dari kedua kasus di atas sudah jelas tidak. Ya, surat kabar tentu saja
dinikmati oleh siapa pun yang memang berniat membacanya. Apalagi yang kedua.
Siapa saja pasti tergoda untuk membaca iklan yang dipampangkan di pinggir-pinggir
jalan, apalagi bila disajikan dengan sangat menarik.
Faktanya, ragam bahasa yang digunakan hampir kebanyakan tidak menggunakan
ragam baku. Sehingga definisi ragam baku yang disebutkan terakhir, yaitu “bila
pembicaraan dilakukan di depan umum” kini boleh dibilang sudah bergeser.
Ragam bahasa baku itu tampaknya berlaku bagi kalangan tertentu yang menjadi
bahasa sasaran kelompok terkait. Dengan demikian, bagi kalangan X, berlakulah
ragam bahasa X.
Bagi dunia periklanan, misalnya, ragam bahasa yang dianggap baku ialah bahasa
yang lebih bersifat menjual; selama bersifat menjual, bakulah bahasa mereka
meskipun kalau ditilik secara preskriptif pastilah tidak tepat. Atau bagi kalangan
penerbitan, gaya selingkung mereka merupakan standar kebakuan yang tidak boleh
tidak diikuti oleh para editornya karena dengan demikian mereka menjaga
konsistensinya, terlepas dari perkembangan kebakuan yang dirumuskan oleh pihak
Pusat Bahasa. Demikian pula, bagi kalangan anak muda atau remaja- remaja saat ini,
bahasa gaul menjadi ragam bahasa baku mereka sendiri.
Ragam bahasa Lisan
Ragam bahasa lisan adalah bahan yang dihasilkan alat ucap (organ of speech) dengan
fonem sebagai unsur dasar. Dalam ragam lisan, kita berurusan dengan tata bahasa,
kosakata, dan lafal. Dalam ragam bahasa lisan ini, pembicara dapat memanfaatkan
tinggi rendah suara atau tekanan, air muka, gerak tangan atau isyarat untuk
mengungkapkan ide.
Ragam bahasa lisan di dukung oleh situasi pemakaian sehingga kemungkinan besar
terjadi peleepasan kalimat. Namun hal itu tidak mengurangi ciri kebakuannya.
Dengan demikian,ketetapan dalam pilihan kata dan bentuk kata serta kelengkapan
unsur-unsur di dalam struktur kalimat tidak menjadi ciri kebakuan dalam ragam
bahasa lisan karena situasi dan kondisi pembicaraanmenjadi pendukung di dalam
memahami makna gagasan yang di sampaikan secara lisan.
Ini pertentangan yang sering terjadi. Ketika beralih ke dalam bahasa tulisan,
kebanyakan kita ternyata hanya sekadar memindahkan tuturan-tuturan kita ke dalam
bentuk tulisan. Dengan kata lain, kita sekadar mentranskrip tuturan kita.
Sekadar contoh, kebanyakan kita akan mengucapkan kuatir daripada khawatir. Ketika
kita menulis, kita cenderung menuliskan kuatir daripada khawatir. Contoh lain, kita
juga suka kata merubah daripada mengubah, suatu salah kaprah yang berawal dari
kekeliruan proses morfologi. Kita juga sering menulis kotbah daripada khotbah. Atau
ijin untuk izin. Dan masih banyak daftar yang bisa ditambahkan
Sebagai penulis, entah itu penulis surat, penulis kartu pos, penulis surat elektronik
alias e-mail, maupun penulis blog, hal ini penting kita ketahui. Tentunya bukan
sekadar menikmati alam kebebasan berekspresi saja. Bukan tidak mungkin bila suatu
saat pemahaman akan hal ini akan membantu kita.
Hal pertama, tentu saja, sebagai bentuk pelatihan bahasa secara mandiri. Rajin
melihat kamus, membandingkan bentuk baku dan bentuk nonbaku jelas akan
meningkatkan kecermatan kita. Bentuk-bentuk bersaing dalam kamus biasanya diberi
keterangan khusus dalam kamus. Bentuk nonbakunya biasa akan dirujuk ke bentuk
baku.
Hal kedua, kita juga perlu sadar bahwa salah satu ciri bahasa tulis memang sifatnya
yang terkesan lebih baku. Kalaupun tidak baku, setidaknya disampaikan dengan
bahasa populer yang masih tidak amburadul.
Contoh bahasa lisan berdasarkan tata bahasa dan kosa kata :
- Ari sedang baca buku.
- Saya tinggal di Bekasi.
- Saya mau nulis surat.
Contoh bahasa lisan berdasarkan kosa kata :
- Mustafa bilang kalau kita harus belajar.
- Saya harus bikin penulisan ilmiah.
Ragam bahasa baku itu merupakan ragam bahasa yang standar, bersifat formal.
Tuntutan untuk menggunakan ragam bahasa seperti ini biasa ditemukan dalam
pertemuan-pertemuan yang bersifat formal, dalam tulisan-tulisan ilmiah (makalah,
skripsi, tesis, disertasi), percakapan dengan pihak yang berstatus akademis yang lebih
tinggi, dan sebagainya.
Semula, saya berpikir bahwa ragam bahasa baku itu hanya ada satu. Namun,
berdasarkan pengamatan (harus saya akui, ini masih berupa sekilas, belum
mendalam) sejauh ini, ragam bahasa baku itu tidak melulu dikaitkan dengan
kebakuan kosakata, sebagaimana bisa dilihat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia
dan yang ditetapkan dalam Ejaan yang Disempurnakan.
Kalau kita berpegangan pada KBBI dan pedoman EYD, kita tidak akan memandang
judul-judul berita pada surat kabar sebagai judul yang sesuai dengan bahasa Indonesia
yang baik dan benar. Atau ketika kita melihat bahasa pada dunia periklanan. Dijamin
kita akan langsung mengecap bahasa yang digunakan tidak baku. Tapi itu kalau kita
memakai sudut pandang preskriptif.
Sebaliknya, ketika kita melihat secara deskriptif, kita akan menyadari bahwa
sejumlah ragam bahasa yang kita lihat berbeda dari apa yang standar, sebenarnya
tidak melulu menjadi ragam bahasa tak resmi.
Kamus Linguistik (2001: 184) mendefinisikan ragam resmi (baku) itu sebagai
ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati oleh
pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat dinas,
perundang-undangan, karangan teknis), atau bila pembicaraan dilakukan di depan
umum.
Berangkat dari definisi tersebut, coba kita cermati apa yang terjadi pada surat kabar
dan dunia periklanan.
1. Apakah surat kabar dan iklan hanya akan ditujukan dan dilihat oleh orang-
orang yang biasa-biasa saja, dalam arti tidak ditujukan kepada orang yang
jelas lebih dihormati.
2. Apakah surat kabar dan iklan tidak disodorkan kepada umum?
Jawaban dari kedua kasus di atas sudah jelas tidak. Ya, surat kabar tentu saja
dinikmati oleh siapa pun yang memang berniat membacanya. Apalagi yang kedua.
Siapa saja pasti tergoda untuk membaca iklan yang dipampangkan di pinggir-pinggir
jalan, apalagi bila disajikan dengan sangat menarik.
Faktanya, ragam bahasa yang digunakan hampir kebanyakan tidak menggunakan
ragam baku. Sehingga definisi ragam baku yang disebutkan terakhir, yaitu “bila
pembicaraan dilakukan di depan umum” kini boleh dibilang sudah bergeser.
Meski demikian, timbul pula pemikiran baru dalam benak saya. Bahwa ragam bahasa
baku itu tampaknya berlaku bagi kalangan tertentu yang menjadi bahasa sasaran
kelompok terkait. Dengan demikian, bagi kalangan A, berlakulah ragam bahasa A.
Bagi dunia periklanan, misalnya, ragam bahasa yang dianggap baku ialah bahasa
yang lebih bersifat menjual; selama bersifat menjual, bakulah bahasa mereka
meskipun kalau ditilik secara preskriptif pastilah tidak tepat. Atau bagi kalangan
penerbitan, gaya selingkung mereka merupakan standar kebakuan yang tidak boleh
tidak diikuti oleh para editornya karena dengan demikian mereka menjaga
konsistensinya, terlepas dari perkembangan kebakuan yang dirumuskan oleh pihak
Pusat Bahasa. Demikian pula, bagi kalangan anak muda, bahasa gaul menjadi ragam
bahasa baku mereka sendiri.
Akhirnya, definisi ragam bahasa baku itu, menurut hemat saya, hanya relevan sampai
kepada “ragam bahasa yang dipakai bila kawan bicara adalah orang yang dihormati
oleh pembicara, atau bila topik pembicaraan bersifat resmi (mis. surat-menyurat
dinas, perundang-undangan, karangan teknis)”.
Bersamaan dengan diproklamasikannya kemerdekaan Indonesia pada tanggal 17
Agustus 1945, diangkat pulalah bahasa Indonesia sebagai bahasa negara. Hal itu
dinyatakan dalam Uud 1945, Bab XV, Pasal 36. Pemilihan bahasa sebagai bahasa
Negara bukanlah pekerjaan yang mudah dilakukan. Terlalu banyak hal yang harus
dipertimbangkan. Salah timbang akan mengakibatkan tidak stabilnya suatu
negara.Sebagai contoh konkret, negara tetangga kita Malaysia, Singapura, Filipina,
dan India, masih tetap menggunakan bahasa Inggris sebagai bahasa resmi di
negaranya, walaupun sudah berusaha dengan sekuat tenaga untuk menjadikan
bahasanya sendiri sebagai bahasa resmi.
Hal-hal yang merupakan penentu keberhasilan pemilihan suatu bahasa sebagai
bahasa negara apabila (1) bahasa tersebut dikenal dan dikuasai oleh sebagian besar
penduduk
negara itu, (2) secara geografis, bahasa tersebut lebih menyeluruh penyebarannya,
dan (3) bahasa tersebut diterima oleh seluruh penduduk negara itu. Bahasa-bahasa
yang terdapat di Malaysia, Singapura, Filipina, dan India tidak mempunyai ketiga
faktor di atas, terutama faktor yang nomor (3). Masyarakat multilingual yang terdapat
di negara itu saling ingin mencalonkan bahasa daerahnya sebagai bahasa negara.
Mereka saling menolak untuk menerima bahasa daerah lain sebagai bahasa resmi
kenegaraan. Tidak demikian halnya dengan negara Indonesia. Ketig faktor di atas
sudah dimiliki bahasa Indonesia sejak tahun 1928. Bahkan, tidak hanya itu.
Sebelumnya bahasa Indonesia sudah menjalankan tugasnya sebagai bahasa nasional,
bahasa pemersatu bangsa Indonesia. Dengan demikian, hal yang dianggap berat bagi
negara-negara lain, bagi kita tidak merupakan persoalan. Oleh sebab itu, kita patut
bersyukur kepada Tuhan atas anugerah besar ini.
Dalam “Hasil Perumusan Seminar Politik Bahasa Nasional” yang diselenggarakan di
Jakarta pada tanggal 25 s.d. 28 Februari 1975 dikemukakan bahwa di dalam
kedudukannya
sebagai bahasa negara, bahasa Indonesia befungsi sebagai
(1) bahasa resmi kenegaraan,
(2) bahasa pengantar resmi di lembaga-lembaga pendidikan,
(3) bahasa resmi di dalam perhubungan pada tingkat nasional untuk kepentingan
perencanaan dan pelaksanaan pembangunan serta pemerintah, dan
(4) bahasa resmi di dalam pengembangan kebudayaan dan pemanfaatan ilmu
pengetahuan serta teknologi modern.
Ragam Bahasa Baku Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia sebagai ragam bahasa baku dijadikan sebagai bahasa
pemersatu di wilayah Indonesia yang memiliki beragam bahasa di setiap daerah.
Dalam bahasa Indonesia ditemukan sejumlah ragam bahasa. Ragam bahasa
merupakan salah satu dari sejumlah variasi yang terdapat dalam pemakaian bahasa.
Variasi itu muncul karena pemakaian bahasa memerlukan alat komunikasi yang
sesuai dengan situasi dan kondisinya. Ragam tertentu dipakai untuk kepentingan yang
sifatnya formal, dan ragam yang lain dipakai untuk kepentingan yang tidak formal.
Dalam ragam formal misalnya digunakan untuk pidato kenegaraan, khotbah, kuliah,
penyiaran berita lewat radio atau televise, penulisan yang bersifat resmi. Berdasarkan
media dan sasarannya, ditemukan ragam lisan dan ragam tulis. Surat merupakan salah
satu bentuk komunikasi tulis yang masih sangat penting sampai saat ini. Gagasan/
informasi secara lengkap dapat disampaikan penulis melalui surat.
Menulis surat ternyata tidak sesederhana yang kita bayangkan. Terbukti
setelah seseorang memulai menulis surat, baru menyadari bahwa membuat surat
cukup menyulitkan
Hal itu terjadi karena penulis sebenarnya belum siap atau tak memiliki dasar
pengetahuan tentang bagaimana cara menulis surat yang benar. Menulis surat yang
baik tentunya mengandung bagian-bagian yang memenuhi persyaratan sebuah surat
yang baik. Bisa saja semua orang dapat menulis surat, tetapi apakah surat yang ditulis
itu sudah memenuhi persyaratan yang benar? Tentu saja para
penulis surat dituntut harus belajar lebih banyak tentang bagaimana cara menulis
surat yang benar, tidak hanya sekedar penyampaian maksud dan isi hati semata-mata.
Yang menerima surat akan menilai bahwa surat yang dibacanya kurang sopan, kurang
jelas, kurang komunikatif,
kurang memenuhi syarat sebagai surat yang baik dan benar. Sebaiknya kita hindari
tanggapan orang semacam itu.
Penulisan yang dimaksud tentunya surat-surat yang utamanya adalah surat
resmi yang dipergunakan oleh dinas pemerintahan, perusahaan-perusahaan dan
instansi-instansi. Surat dinas merupakan surat resmi sehingga dalam pemakaian
bahasa surat harus mempergunakan kaidah Bahasa Indonesia yang baik dan benar.
Penulisan surat resmi dengan menggunakan bahasa Indonesia harus sesuai dengan
tata bahasa Indonesia serta sesuai dengan Pedoman Umum Ejaan Bahasa Indonesia
yang disempurnakan atau sesuai dengan aturan penggunaan bahasa baku. Kesalahan-
kesalahan yang sering terjadi dalam penulisan surat resmi ialah penggunaan bahasa
yang tidak baku. Oleh karena itu dalam penggunaan ragam bahasa baku tulis
diperlukan
kecermatan dan ketepatan didalam pemilihan kata, penerapan kaidah ejaan, struktur
bentuk kata dan struktur kalimat, serta unsur-unsur bahasa di dalam struktur kalimat.
Pembinaan dan Pengembangan Bahasa
Kondisi bahasa Indonesia masa kini merupakan kondisi kumulatif dari
kondisi- kondisi sebelumnya yang kurang mendukung upaya pembinaan dan
pengembangan bahasa. Hal itu terjadi karena sejak kemerdekaan Republik Indonesia
tidak ada contoh dan teladan dari para pemimpin bangsa.
Isi pernyataan itu mengemuka sesuai dengan catatan Profesor Zainal Arifin,
59 tahun, Peneliti Madia Bidang Bahasa dari Pusat Bahasa, seperti yang disampaikan
kepada johnherf, Minggu 30/9 pagi di Jakarta.
Perihal suri teladan pimpinan ia kemukakan sebagai bentuk perhatian yang
kurang serius. Ketidakseriusan berbahasa Indonesia merupakan kondisi kumulatif.
Lebih jauh lagi, pendamping bahasa di Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia
dalam pembahasan serbaneka rancangan undang-undang ini mengungkap kondisi
sebelumnya juga kurang mendukung upaya pembinaan dan pengembangan bahasa.
“Tidak ada contoh dan teladan dari pemimpin bangsa,” tegas Profesor kelahiran
Tasikmalaya, 28/3.
Adapun jargon bahasa Sukarno, misalnya, kata pengarang buku “Morfologi:
Bentuk, Makna, dan Fungsi” ialah “Kami punya bangsa, kami punya negara, kami
punya rakyat.” Gaya bahasa Suharto, misalnya memperhatiken, menginginken,
semangkin. Bahasa Habibie, misalnya technologi, ikonomi. Gaya bahasa Gus Dur,
“Gitu aja kok repot,” dan “Gak usah didengerin.” Lantas, gaya bahasa Megawati,
tidak jelas (Bali, Jawa, Bengkulu), dan pemimpin masyarakat bangsa dan negara
Republik Indonesia, SBY bergaya bahasa, menurut Guru Besar Bahasa
Indonesia/Linguistik pada Sekolah Tinggi Ilmu Ekonomi Perbanas, Universitas
Trisakti, Universitas Mercu Buana, Universitas Tarumanagara, Institut Ilmu
Pemerintahan Abdi Negara, Universitas Indonusa Esa Unggul, dan Universitas
Nasional Jakarta ini, yakni “I don’t care with popularity.”
Lebih-lebih pada era reformasi ini, ujar Profesor Zainal Arifin, bahasa
Indonesia makin goyah karena goyahnya budaya nasional dan budaya suku dengan
alasan kini sudah era bebas bicara dan bebas berekspresi, sudah era globalisasi.
“Akibatnya, bahasa Indonesia berantakan dan memprihatinkan,” tegasnya.
Bahasa Indonesia masa kini, katanya, diganggu dari berbagai penjuru, seperti bahasa
gaul, bahasa Betawi, bahasa pelesetan, dan bahasa asing. Berikut ini contoh-contoh
serbaneka gangguan.
Contoh Bahasa Gaul
Nondra yuk bow! (Nonton yuk bow!)
Bolelebo, jambore berapipa? (Boleh jam berapa?)
Jambore enam anjas ye? (Jam enam aja ya?)
Ketumbar di sandro ye. (Oke, ketemu di sana ya.?)
Contoh Bahasa Betawi
Gapapa klo lho blon tau sape aQu;
Gitu aja kok repot, nggak usah didengerin, gak perlu diurusin; uda, gimana, makasih,
gini, truZ, dikit;
Hari gini pengennya pasti dapet.
Nyok kite bareng bikin Jakarte lebih baek dari kemaren.
BAHASA INDONESIA DULU
Penggunaan Bahasa Indonesia di Zaman Dulu.
Bahasa Indonesia pada waktu dulu sangat tidak divariasikan dalam pengucapan
berbicaranya, dalam penyampaiannya pun kata-katanya hampir baku, tapi tidak
semua warga Indonesia pada waktu itu berbicara dengan bahasa Indonesia yang baik
dan benar. Hanya orang-orang yang berpendidikanlah yang penggunaan bahasa
Indonesianya baku, karena kita ketahui pada zaman dulu jarang orang-orang yang
dapat bersekolah. Hanya orang yang mempunyai uanglah yang dapat bersekolah.
Walaupun begitu, penggunaan bahasa Indonesia di zaman dulu lebih baik dari
penggunaan bahasa Indonesia di zaman sekarang.
BAHASA INDONESIA SEKARANG
Penggunaan Bahasa Indonesia di Zaman Sekarang
Bahasa Indonesia di zaman sekarang ini sudah banyak divariasikan dalam
pengucapan berbicaranya. Dalam penyampaianpun kata-katanya sudah tidak baku
lagi, hal ini disebabkan karena era globaliasi yang berkembang pesat di Indonesia,
karena pengaruh-pengaruh budaya luar masuk ke Indonesia termasuk cara gaya
berbicaranya, oleh karena itu, sekarang ini bahasa Indonesia yang baku sudah jarang
dipakai lagi karena dampak globalisasi itu. Orang-orang berbicara dengan kata-kata
yang baku hanya dipakai di kalangan lingkungan sekolah, atau jika sedang
berlangsungnya rapat. Kejadian ini sungguh sangat ironi sekali karena seharusnya
kita sebagai bangsa Indonesia membanggakan bahasa kita sendiri, tapi malah kita
yang tidak berbicara dengan berbahasa Indonesia.
BAHASA INDONESIA KEDEPAN
Penggunaan Bahasa Indonesia Kedepannya
Mungkin gaya bicara warga Indonesia ke depan diprediksi sudah tidak sama sekali
menggunakan bahasa Indonesia dalam percakapanya sehari-hari, nanti mungkin akan
berbicara dengan bahasa negara lain, hal ini dapat kita lihat dari sekolah-sekolah
menengah ke atas yang hampir rata-rata mengedepankan pelajaran-pelajaran bahasa
Inggris dan bahasa Jepang, bahkan sekarang ini sudah banyak sekolah menengah ke
atas yang mempelajari bahasa Jerman dan Arab. Itu semua dimasukan ke dalam
pembelajaran yang pokok, sedangkan bahasa Indonesia sendiri sudah jarang
dipelajari karena beranggapan bahasa kita sendiri, jadinya dianggap sepele padahal
justru bahasa kita sendirilah yang harus kita lestarikan. Kita juga dapat melihat dari
perguruan-perguruan tinggi yang tes masuknnya itu harus dengan menguasai bahasa
inggris, ini sangat ironi sekali justru seharusnya tes itu memakai bahasa Indonesia
karena itu sama saja kita dari dini sudah tidak tertanam berbahasa Indonesia yang
baku lagi, tapi sudah tertanam oleh bahasa luar. Hal-hal itulah yang menjadi
penyebab bahasa Indonesia kedepannya nanti akan tidak dipakai lagi bahkan
mungkin juga akan hilang.