ra-kajian dampak penambangan bauksit-lingga

112
KAJIAN DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT DI DAERAH KIJANG DAN SEKITAR PULAU MAMOT KORELASINYA DENGAN KEMUNGKINAN PERUBAHAN EKOSISTEM PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU BINTAN DAN PERAIRAN PESISIR PULAU MAMOT (KEPULAUAN LINGGA) LAPORAN PENELITIAN Eko Tri Sumarnadi Agustinus, Eko Soebowo Ade Suriadharma, Ade Tatang dan Dady Sukmayadi JAKARTA, 2010 Coral Reef Rehabilition and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia COREMAP II - LIPI

Upload: mrchie

Post on 31-Dec-2014

276 views

Category:

Documents


18 download

TRANSCRIPT

Page 1: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

KAJIAN DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT DI DAERAH KIJANG DAN SEKITAR PULAU MAMOT KORELASINYA DENGAN KEMUNGKINAN PERUBAHAN EKOSISTEM PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU BINTAN DAN PERAIRAN PESISIR PULAU MAMOT (KEPULAUAN LINGGA)

LAPORAN PENELITIAN

Eko Tri Sumarnadi Agustinus, Eko Soebowo

Ade Suriadharma, Ade Tatang dan Dady Sukmayadi

JAKARTA, 2010

Coral Reef Rehabilition and Management Program Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia COREMAP II - LIPI

Page 2: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

i

KAJIAN DAMPAK PENAMBANGAN BAUKSIT DI DAERAH KIJANG

DAN SEKITAR PULAU MAMOT KORELASINYA DENGAN KEMUNGKINAN PERUBAHAN EKOSISTEM PERAIRAN PESISIR TIMUR PULAU BINTAN

DAN PERAIRAN PESISIR PULAU MAMOT

RINGKASAN

Wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamut (Kepulauan

Lingga), termasuk sebagian diantara Daerah Perlindungan Laut (DPL) yang merupakan

kawasan konservasi pada wilayah Pesisir dan Pulau-pulau Kecil. Pemanfaatan lahan baik

di daratan maupun perairan yang tidak mempertimbangkan kepedulian terhadap kondisi

lingkungan, berpotensi menimbulkan terjadinya degradasi lingkungan sekitarnya. Dua (2)

isue penting yang kini berkembang di masyarakat, yakni : kekhawatiran masyarakat

nelayan wilayah pesisir Bintan Timur tentang dampak aktivitas penambangan bijih bauksit

di daerah Kijang terhadap perubahan kualitas perairan pesisir timur Pulau Bintan dan

kekhawatiran masyarakat Desa Mamot terhadap rencana penambangan bijih bauksit

(besi) di Pulau Mamot dapat menimbulkan kerusakan dan / atau perubahan ekosistem

perairan di wilayah tersebut.

Mengingat ke-dua (2) wilayah tersebut merupakan kawasan konservasi (daerah

perlindungan laut) yang perlu dilestarikan ekosistemnya, maka diperlukan upaya untuk

memprediksi dan memitigasi akibat adanya ancaman baik dari kegiatan penambangan

bauksit maupun kegiatan lainnya diluar sektor pertambangan. Oleh karena itu, kajian

mengenai kondisi eksisting dan potensi terjadinya perubahan kualitas perairan serta

kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut di ke-dua wilayah tersebut menjadi

penting (urgen) untuk dilakukan.

Kajian dilakukan melalui interpretasi dari citra landsat dan ALOS, dilanjutkan

dengan survey di lapangan untuk memperoleh baik data primer maupun data sekunder

serta analisis di laboratorium. Berdasarkan data yang diperoleh, selanjutnya dilakukan

analisis korelasi antara dampak penambangan dengan kemungkinan perubahan

ekosistem perairan dengan indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam

berat serta biota perairan baik secara kualitatif maupun secara kuantitatif.

Page 3: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

ii

Hasil kajian yang merupakan hasil analisis dan diskusi diharapkan dapat

digunakan sebagai bahan acuan bagi pemangkukepentingan (stakeholder) dalam

pengambilan keputusan yang disimpulkan sebagai berikut :

1. Hasil kajian di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan

• Berdasarkan interpretasi baik dari citra landsat maupun ALOS, tingkat kekeruhan

di perairan pesisir timur Pulau Bintan dibagi menjadi 3 (tiga) tingkat, yakni : dari

arah selatan utara dengan kategori tinggi, sedang dan rendah. Artinya bahwa

terdapat korelasi antara dampak penambangan bauksit di daerah Kijang dengan

perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan, dimana tingkat

kekeruhan di lokasi DPL termasuk kategori rendah, dansemakin ke arah selatan

dan / atau semakin mendekati sumber dampak, tingkat kekeruhan menjadi

semakin tinggi.

• Sementara dari hasil pengamatan selama di lapangan menunjukkan bahwa

sumber dampak terjadinya perubahan tingkat kekeruhan disebabkan oleh

pengelolaan pertambangan yang belum baik dan benar, khususnya di daerah

dermaga pengapalan (jeti). Perubahan tingkat kekeruhan tersebut bersifat

sementara (temporer), terutama ketika terjadi turun hujan. Material yang bersifat

lepas dari bjih bauksit mudah terangkut oleh air hujan dan langsung terbawa

menuju ke perairan laut, mengingat dermaga (jeti) pada umumnya tidak dibuat

tanggul dan kolam pengendapan. Meskipun perubahan tingkat kekeruhan

bersifat temporer, namun jika terjadi secara terus menerus karena mengingat

wilayah tersebut mempunyai iklim dengan bulan basah (10 bulan/tahun) relatif

lebih lama dibandingkan dengan bulan kering, dan semakin meningkatnya

aktivitas penambangan merupakan ancaman yang perlu segera dicari alternatif

solusinya.

• Hasil model perhitungan berdasarkan hukum stokes menunjukkan bahwa jarak

angkut material/bijih bauksit (lempung-lanau dan pasir halus) yang berpotensi

terbentuknya TSS mencapai lebih kurang 2 km dari sumber dampak

(dermaga/jeti). Pola sebaran tingkat kekeruhan dipengaruhi oleh jumlah material

yang tertransportasi, arah dan kuat arus, tinggi rendahnya pasang surut serta

tinggi rendahnya gelombang laut. Walaupun model perhitungan sebaran TSS

berbentuk tabung, namun dalam kenyataannya pola sebaran mengikuti pola alur

garis pantai.

Page 4: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

iii

• Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap 11 sample yang terdiri dari 4

(empat) sample yang diambil dari muara sungai pesisir timur Pulau Bintan, 3

(tiga) sample di sekitar lokasi DPL dan 4 (empat) sample yang berada di perairan

sekitar lokasi aktivitas penambangan. Hasil analisis menunjukkan bahwa kondisi

eksisting kualitas perairan pesisir timur Pulau Bintan hingga Pulau Mapor baik

ditinjau dari indikator parameter fisik, kimia dan kandungan unsur logam berat

maupun biota perairan pada umumnya masih menunjukkan kondisi relatif normal

bagi kehidupan biota perairan. Walaupun beberapa parameter tersebut sudah

mendekati nilai ambang batas baku mutu yang dipersyaratkan oleh KLH, namun

jika ditarik garis dari titik sample yang diambil dari sekitar DPL menuju titik

sample yang diambil dari perairan di sekitar sumber dampak, menunjukkan

adanya kecenderungan perubahan kualitas fisik perairan yang cukup signifikan.

Sementara perubahan kualitas kimia dan kandungan unsur logam berat serta

parameter biota perairan juga memperlihatkan adanya kecenderungan semakin

meningkat, walaupun nilai parameter tersebut masih sedikit diatas nilai ambang

batas yang diperkenankan KLH.

• Sedangkan korelasi antara perubahan kualitas perairan dengan perubahan

ekosistem perairan di wilayah kajian, yaitu di sekitar lokasi sampling pada

umumnya belum begitu nampak jelas (tidak signifikan). Hasil pengamatan secara

sepintas terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi DPL

(seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir Pulau Mapor dan

perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi baik dan belum terjadi

perubahan secara signifikan, kecuali terumbu karang dan padang lamun di

sekitar lokasi dermaga (jeti) yang mempunyai tingkat kekeruhan tinggi, pada

umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati. Demikian pula tentang vegetasi

mangrove, pada umumnya masih dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove

yang berada di sekitar aktivitas penambangan bauksit di bagian selatan Pulau

Bintan mengalami ancaman kerusakan yang cukup serius.

• Kekhawatiran masyarakat di wilayah pesisir timur Pulau Bintan tentang terjadinya

perubahan ekosistem perairan dapat dipahami, karena mengingat adanya bukti

yang menunjukkan terdapatnya korelasi antara dampak penambangan bauksit di

daerah Kijang dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan di sekitar pesisir

timur Pulau Bintan. Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat

penambangan, bersama-sama dengan gangguan eksositem pantai akan

mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman

Page 5: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

iv

plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan

produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang.

• Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara

signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin

meningkatnya aktivitas penambangan bauksit tanpa memperhatikan kepedulian

terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius terjadinya

perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang

telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan.

2. Hasil kajian di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)

• Walaupun tidak dilakukan analisis citra landsat dan ALOS, mengingat

terbatasnya data yang diperoleh, namun tetap dilakukan pengamatan dan

sampling contoh air. Berdasarkan hasil analisis laboratorium terhadap 4 sample

yang terdiri dari 1 (satu) sample yang diambil dari mata air di pesisir barat Pulau

Mamot, dan 3 (tiga) sample di sekitar perairan pesisir Pulau Mamod. Hasil

analisis menunjukkan bahwa kondisi eksisting kualitas perairan pesisir Pulau

Mamot (Kepulauan Lingga) baik ditinjau dari indikator parameter fisik, kimia dan

kandungan unsur logam berat maupun biota perairan pada umumnya masih

menunjukkan kondisi relatif normal bagi kehidupan biota perairan.

• Tidak terdapat korelasi antara dampak penambangan bijih bauksit (besi) dengan

perubahan kualitas perairan pesisir Pulau Mamot, mengingingat lokasi

penambangan jauh berada di bagian utara (Pulau Senayang) yang kini sudah

ditutup dan daerah Sakanah, Pulau Lingga. Hasil pengamatan secara sepintas

baik terhadap terumbu karang dan padang lamun maupun vegetasi mangrove di

sekitar perairan pesisir Pulau Mamot relatif masih dalam kondisi baik dan bahkan

mulai muncul tunas baru.

• Kekhawatiran masyarakat di Desa Mamot tentang adanya rencana

penambangan bijih bauksit (besi) yang hingga kini masih dalam tahap ijin

eksplorasi dapat dimengerti, mengingat dampak penambangan yang akan

ditimbulkannya sangat besar. Tidak hanya masalah perubahan ekosistem

perairan saja, melainkan juga punahnya habitat perikanan dan beberapa mata air

yang merupakan sumber kehidupan bagi masyarakat pesisir di Pulau Mamot dan

pulau-pulau sekitarnya.

Page 6: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

v

3. Solusi alternatif yang ditawarkan

Solusi alternatif yang ditawarkan guna menindak lanjutii terhadap ke-dua (2) isue

penting tersebut adalah sebagai berikut :

Pengelolaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya)

diarahkan agar dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam

arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan,

kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber

daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan dampak buruk minimal

(Suyartono, 2003). Disatu sisi usaha pertambangan tetap menguntungkan,

namun didisi lain dituntut agar tetap memperhatikan/kepedulian terhadap kondisi

lingkungannya. Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang

MINERBA, pasal 2.b antara lain menyebutkan bahwa usaha pertambangan

harus mendukung pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan

lingkungan hidup, juga dalam pasal 8.g disebutkan bahwa usaha pertambangan

dituntut untuk melaksanakan pengembangan dan pembangunan masyarakat

setempat dengan tetap memperhatikan kelestarian lingkungan. Walaupun lokasi

penambangan bauksit di daerah Kijang telah sesuai dengan peruntukkan

tataruangnya, namun sebagaimana tertuang dalam strategi penataan ruang

wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya laut perbatasan negara bagi

kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian

pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan

dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan daerah untuk mewujudkan tata

ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan berwawasan lingkungan

(Bappeda Kabupaten Bintan, 2007).

Berdasarkan kajian tersebut, solusi yang diusulkan guna memitigasi

terjadinya tingkat kekeruhan maka:

- Sebagai bentuk kepedulian perusahaan pertambangan bauksit terhadap

lingkungan, perusahaan pertambangan agar diwajibkan untuk membuat

tanggul dan kolam pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti),

sehingga tingkat kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan

dapat diminimalisir.

- Alternatif solusi bahwa setiap usaha pertambangan tidak selalu harus

membuat masing-masing dermaga pengapalan (jeti), namun beberapa

perusahaan pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk membuat satu

dermaga pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan

Page 7: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

vi

standar yang berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi lainnya

bisa juga dilakukan pengapalan produk tambangnya dengan cara

memanfaatkan dermaga ex. PT. Aneka Tambang yang mempunyai standar

internasional untuk digunakan secara bersama-sama melalui sistem sewa

atau ganti rugi.

- Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait

(yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan

dan kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu.

Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini

masih dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan

tahap eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan,

diantaranya bahwa:

- Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir

dan Pulau-pulau Kecil. Salah satu pasal menyebutkan bahwa luas pulau-

pulau kecil (< 2.000 Ha) perlu dilindungi, termasuk diantaranya Pulau Mamot

yang hanya dengan luas sekitar 778 Ha.

- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot merupakan daerah perlindungan laut

(DPL) yang perlu dilestarikan, mengingat perairan tersebut kaya akan

terumbu karang, padang lamun dan vegetasi mangrove.

- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan

sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau

tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang

merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar

Pulau Mamot.

- Berdasarkan strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, Pulau Mamot

termasuk wilalayah peruntukan pertanian dan perikanan serta permukiman,

tidak untuk lahan pertambangan. Mengingat luas pulau Mamot relatif kecil,

maka kemungkinan jumlah cadangan bijihnya juga relatif kecil, sehingga jika

ditambangpun lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan

dampak positifnya.

- Walaupun secara regional telah dilakukan studi AMDAL, namun dalam

kenyataannya berpotensi timbulnya konflik, mengingat sebagian besar

masyarakat menentang.

Page 8: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

vii

KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Tuhan Yang Maha Esa atas karuniaNya, sehingga kami dapat

melaksanakan survey lapangan hingga menyelesaikan laporan tentang kajian dampak

penambangan bijih bauksit di daerah Kijang dan sekitar Pulau Mamot korelasinya dengan

perubahan ekosistem di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau

Mamot. Laporan ini merupakan langkah awal untuk memberikan jawaban atas berbagai

isue permasalahan lingkungan yang akhir-akhir ini berkembang di masyarakat pesisir.

Terdapat dua (2) isue penting, yakni : kekhawatiran masyarakat pesisir tentang

perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan sebagai akibat adanya

aktivitas penambangan di daerah Kijang dan kekhawatiran masyarakat tentang adanya

rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot dan kemungkinan dampaknya

terhadap ekosistem perairan pesisir Pulau Mamot.

Untuk dapat mengungkap peristiwa perubahan lingkungan pada kawasan

konservasi perairan pada wilayah pesisir timur Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau

Mamot, telah dilakukan kajian secara terpilih pada beberapa lokasi zona penambangan

bauksit dan bahan tambang lainnya sebagai sumber dampak maupun zona perairan yang

diduga mengalami perubahan lingkungan perairan laut. Melalui pengamatan secara

langsung dan pengambilan beberapa conto untuk di analisis di laboratorium guna

mengetahui gambaran sifat fisik dan kimia perairan. Laporan ini disusun baik berdasarkan

data primer maupun data sekunder yang diperoleh dari dinas terkait baik yang berada di

Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga. Untuk itu kami menyampaikan terima

kasih kepada semua pihak yang telah membantu dalam memperoleh data / informasi

tersebut. Tidak lupa kami juga mengucapkan terima kasih kepada semua pihak yang

telah memberikan kepercayaan dan bimbingan kepada kami baik dari awal pelaksanaan

kajian maupun hingga selesainya penulisan laporan ini.

Hasil kajian ini diharapkan dapat memberikan pemahaman dan penjelasan kepada

pemangkukepentingan dalam upaya memitigasi dampak perubahan lingkungan maupun

perubahan kondisi perairan laut di wilayah kajian. Semoga laporan ini dapat bermanfaat

baik sebagai sumber informasi maupun sebagai pendorong munculnya pemikiran baru

dalam mengatasi permasalahan dampak perubahan lingkungan perairan maupun dalam

upaya mitigasi pada kawasan tersebut.

Bandung, 10 November 2010

Tim Penelitian

Page 9: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

viii

DAFTAR ISI

RINGKASAN ......................................................................................................... i KATA PENGANTAR ............................................................................................. vii DAFTAR ISI .......................................................................................................... vii DAFTAR GAMBAR ............................................................................................... xi DAFTAR TABEL ................................................................................................... xiv BAB – I PENDAHULUAN .............................................................................. I - 1 1.1 Latar Belakang ...................................................................... I - 1 1.2 Perumusan Masalah ............................................................. I - 3 1.3. Maksud dan Tujuan .............................................................. I - 3 1.4 Manfaat Kajian ...................................................................... I - 3 1.5 Ruang Lingkup ...................................................................... I - 4 BAB – II METODOLOGI ................................................................................. II - 1 2.1 Kerangka Pikir ....................................................................... II - 1 2.2 Hipotesis ................................................................................ II - 2 2.3 Metoda ................................................................................... II - 3 2.4 Tahapan Kegiatan ................................................................. II - 3 2.4.1 Pengumpulan Data Sekunder ................................. II - 3 2.4.2 Pengumpulan Data Primer ...................................... II - 3 2.4.3 Pengolahan dan Evaluasi Data ............................... II - 6 2.4.4 Penyusunan Laporan .............................................. II - 6 BAB – III TINJAUAN UMUM WILAYAH KAJIAN .......................................... III - 1 3.1 Lokasi Wilay Kajian ............................................................... III - 1 3.1.2 Dasar Pemilihan Lokasi .......................................... III - 1 3.1.2 Lokasi Daerah Kajian ............................................. III - 4 3.1.3 Kesampaian Daerah Kajian ................................... III - 4 3.2 Kondisi Geologi .................................................................... III - 7 3.2.1 Geologi Regional ................................................... III - 7 3.2.2 Genesa Bijih Bauksit .............................................. III - 9 3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang .................................................. III - 10 3.3.1 Kebijaksanaan Tata Ruang Provinsi Riau ............. III - 10 3.3.2 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Bintan ...... III - 11 3.3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga ..... III - 15 3.4 Kondisi Iklim .......................................................................... III - 19 3.4.1 Curah Hujan ............................................................ III - 19 3.4.2 Angin ....................................................................... III - 20 3.4.3 Suhu dan Kelembaban ............................................ III - 20 3.5 Hidro-oceanografi .................................................................. III – 22 3.5.1 Kedalaman (batimetri) .............................................. III - 22 3.5.2 Arus .......................................................................... III - 22 3.5.3 Gelombang ............................................................... III - 22

Page 10: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

ix

3.5.4 Pasang Surut ............................................................ III - 27 3.5.5 Suhu Muka Laut ........................................................ III - 27 3.6 Ekosistem Peairan Laut Dangkal ........................................... III - 27 3.6.1 Terumbu Karang ...................................................... III - 27 3.6.2 Padang Lamun ........................................................ III - 29 3.6.3 Vegetasi Mangrove (Bakau) ................................... III - 30 3.7 Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisi .......................... III - 30 3.7.1 Budaya Masyarakat ................................................. III - 30 3.7.2 Sosial Ekonomi ........................................................ III - 31 BAB – IV KAJIAN AKTIVITAS PENAMBANGAN DAN KONDISI PERAIRAN IV - 1 4.1 Kajian Aktivitas Penambangan .............................................. IV - 1 4.1.1 Jenis Komoditi Bahan Tambang .............................. IV - 3 4.1.2 Karakteristik Bahan Tambang .................................. IV - 1 4.1.3 Jumlah Ijin Usaha Pertambangan ............................ IV - 7 4.1.4 Sistem dan Metoda Penambangan .......................... IV - 10 4.1.5 Aspek Perlindungan Lingkingan .............................. IV - 13 4.2 Kajian Kondisi Perairan ......................................................... IV - 14 4.2.1 Parameter Fisik Air .................................................. IV - 14 4.2.2 Paameter Kimia Air dan Kandungan Unsur Logam

Berat ........................................................................ IV - 15

4.2.3 Parameter Biota Perairan ........................................ IV - 16 4.2.4 Kondisi Terumbu Karang ......................................... IV - 19 4.2.5 Kondisi Padang Lamun ............................................ IV - 21 4.2.6 Kondisi Vegetasi Bakau ........................................... IV - 21 BAB – V ANALISIS DAN DISKUSI V - 1 5.1 Aktivitas Penambangan Berpotensi sebagai Sumber Dampak

Terjadinya Perubahan Kualitas Perairan ............................... V - 1

5.1.1 Faktor-faktor internal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya tingkat kekeruhan perairan ..................................................

V - 3

5.1.2 Faktor-faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan .......................................

V - 7

5.2 Analisis Kemungkinan Perubahan Kualitas Perairan sebagai Akbibat Aktivitas Penambangan .............................................

V - 9

5.2.1 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator analisis citra landsat ..............

V - 9

5.2.2 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Sokes ....................................

V - 15

5.2.3 Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan ........................................

V - 19

5.3 Hasil Diskusi .......................................................................... V - 28 5.3.1 Korelasi dampak aktivitas penambangan bauksit

dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan .....................................................................

V - 28

Page 11: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

x

5.3.2 Persepsi masyarakat terhadap kemungkinan

perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot ................

V - 32

5.3.3 Solusi alternatif untuk mengantisipasi terjadinya perubahan ekosistem perairan .................................

V - 35

BAB – VI KESIMPULAN DAN SARAN ............................................................ VI – 1 6.1 Kesimpulan ............................................................................ VI – 1 6.2 Saran ...................................................................................... VI - 3 DAFTAR PUSTAKA ............................................................................................ VII - 1

Page 12: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

xi

DAFTAR GAMBAR

Gambar 2.1 Bagian alir tahapan kegiatan kajian II - 4

Gambar 2.2 Bagan alir tahap persiapan lapangan II - 5

Gambar 3.1 Peta kawasan konservasi terumbu karang di perairan Indonesia Bagian Barat

III - 2

Gambar 3.2 Peta tingkat ancaman kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia

III - 3

Gambar 3.3 Peta lokasi daerah kajian yang meliputi wilayah perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot, Kepulauan Lingga

III - 5

Gambar 3.4 Peta lokasi daerah perlindungan laut (DPL) yang terletak di perairan timur Pulau Bintan dan perairan di sekitar Pulau Mamot

III - 6

Gambar 3.5 Peta geologi daerah Bintan dan Lingga (PSG, 2002) III - 8

Gambar 3.6 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Bintan III - 14

Gambar 3.7 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga III - 16

Gambar 3.8 Peta Strategi Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga III - 17

Gambar 3.9 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan (Kabupaten Bintan)

III - 19

Gambar 3.10 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kabupaten Lingga

III - 20

Gambar 3.11 Peta arah dan kecepatan angin di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

III - 21

Gambar 3.12 Peta batimetri di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

III - 23

Gambar 3.13 Peta arah dan kecepatan arus di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

III - 24

Gambar 3.14 Peta tinggi gelombang di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

III - 26

Gambar 3.15 Peta ilustrasi perubahan suhu muka laut di Indonesia pada periode Februari – Maret 2010

III - 28

Gambar 4.1 Foto sample bijih bauksit (A. Kijang 1, B. Kijang 2, C. Mamot) IV - 2

Gambar 4.2 Fotomikrograf kenampakan mikroskop polarisasi pada sayatan tipis (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot)

IV - 3

Gambar 4.3 Dafraktogram X-RD (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot IV - 4

Gambar 4.4 Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Bintan berdasarkan ASTM

IV - 5

Page 13: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

xii

Gambar 4.5 Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Mamot berdasarkan ASTM

IV - 6

Gambar 4.6 Foto aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang, Pulau Bintan

IV - 11

Gambar 4.7 Foto aktivitas pengangkutan (pengapalan) bauksit di daerah Kijang

IV - 11

Gambar 4.8 Foto aktivitas reduksi ukuran butir (zrushing plant) granit (andesit)

IV - 12

Gambar 4.9 Foto aktivitas penambangan pasir darat (kuarsa) IV - 12

Gambar 4.10 Foto perbedaan kekeruhan air laut di sekitar jeti ketika turun hujan

IV - 13

Gambar 4.11 Foto aktivitas sampling parameter perairan IV - 14

Gambar 4.12 Foto terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot IV - 20

Gambar 4.13 Foto padang lamun di perairan pesisir barat Pulau Pangkil IV - 21

Gambar 4.14 Foto kondisi mangrove di Pulau Bintan IV - 22

Gambar 4.15 Foto kondisi mangrove di Pulau Mamot IV - 22

Gambar 5.1 Peta lokasi ijin usaha penambangan di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

V - 2

Gambar 5.2 Mekanisme pelapukan dan sedimentasi akibat perubahan bukaan lahan di daratan yang berpengaruh hingga perairan laut

V - 4

Gambar 5.3 Perubahan luas bukaan lahan dapat dipantau dari kenampakan citra satelit

V - 4

Gambar 5.4 Grafik produksi bahan tambang (bauksit, granit, pasir) di Kabupaten Bintan dan Bintan Timur

V - 5

Gambar 5.5 Baga alir tahapan penambangan bijih bauksit hingga pengapalan

V - 6

Gambar 5.6 Bagan alir tahapan pencucian bijih bauksit V - 7

Gambar 5.7 Citra Landsat (2002) dan ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan jejak galian bauksit, granit, pasir darat

V - 10

Gambar 5.8 Citra ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang memperlihatkan lahan perkebunan, pemukiman

V - 11

Gambar 5.9 Penafsiran citra landsat (541 dan 457, tahun 2002) di daerah sekitar Pulau Mamut, Kepulauan Lingga

V - 12

Gambar 5.10 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan citra landsat

V - 13

Gambar 5.11 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan ALOS band (1,2,3)

Page 14: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

xiii

Gambar 5.12 Peta pola sebaran tingkat kekeruhan di perairan timur Pulau Bintan berdasarkan model perhitungan dengan menggunakan hukum stokes ............................................................................

V - 18

Gambar 5.13 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter fisik air

V - 21

Gambar 5.14 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter kimia air

V - 23

Gambar 5.15 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator kandungan unsur logam berat ...............................................................................

V - 25

Gambar 5.16 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator biota perairan

V - 27

Gambar 5.17 Terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) di perairan pesisir timur Pulau Bintan ...............................

V - 29

Gambar 5.18 Peta korelasi dampak aktivitas manusia dengan ancaman terhadap kemungkinan perubahan kondisi perairan timur Pulau Bintan .........................................................................................

V - 30

Page 15: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

xiv

DAFTAR TABEL Tabel 3.1 Penggunaan lahan di Kabupaten Bintan ........................................ III - 13

Tabel 3.2 Penggunaan lahan di Kabupaten Lingga ....................................... III - 18

Tabel 3.3 Prediksi geolombang laut, arah dan kecepatan angin serta arus laut di beberapa perairan pada bulan Juli 2010 ............................

III - 25

Tabel 4.1 Hasil analisis kimia sample bijih bauksit (Kijang 1, Kijang 2, Mamot) ...........................................................................................

IV – 5

Tabel 4.2 Hasil analisis densitas contoh bijih bauksit Pulau Bintan dan Pulau Mamot ..................................................................................

IV – 6

Tabel 4.3 Jenis, lokasi, luas dan kondisi bahan tambang di Kabupaten Bintan .............................................................................................

IV – 8

Tabel 4.4 Jenis bahan tambang, nama perusahaan, lokasi dan kondisi (2010) di Kabupaten Lingga ...........................................................

IV - 9

Tabel 4.5 Hasil analisis parameter fisik perairan ............................................ IV - 14

Tabel 4.6 Hasil analisis parameter kimia perairan .......................................... IV - 15

Tabel 4.7. Hasil analisis kandungan unsur logam berat perairan ................... IV - 16

Tabel 4.8 Hasil pencacahan phytoplankton/liter ............................................. IV - 17

Tabel 4.9 Hasil pencacahan zooplankton/liter ................................................ IV - 18

Tabel 5.1 Waktu dan jarak transport zat padat tersuspensi ........................... V - 17

Page 16: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 1

BAB - I PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Indonesia sebagai negara kepulauan memiliki sekitar 17.508 pulau besar dan kecil,

dengan garis pantai sepanjang lebih kurang 81.000 km. Secara keseluruhan, Indonesia

memiliki luas terumbu karang lebih dari 60.000 km2 yang memiliki 70 genera dan 500

jenis karang. Keanekaragamman tersebut diantaranya terdiri dari karang batu yang

berjumlah lebih dari 450 jenis, karang lunak sebanyak 210 jenis serta 350 jenis gorgonian.

Potensi keanekaraman terumbu karang ini menyimpan sebanyak 53 % dari potensi

terumbu karang dunia, yang terdiri dari 3000 jenis species. Oleh karena itu, tidak

mengherankan jika Indonesia menjadi pusat keberadaan keanekaragaman hayati

termasuk diantaranya adalah ekosistem terumbu karang (coral reef), padang lamun (sea

grass) dan vegetasi bakau (mangrove) yang perlu dilindungi dari berbagai tekanan dan

ancaman kerusakan.

Dalam sepuluh tahun terakhir ini, sebagian kawasan pesisir (pantai) khususnya

yang menjadi pusat pertumbuhan ekonomi dengan jumlah tingkat kepadatan penduduk

relatif tinggi telah mengalami tingkat kerusakan (degradasi) yang cukup parah. Beberapa

kawasan terumbu karang dan hutan bakau di Indonesia telah banyak yang mengalami

kerusakan yang dikonversikan menjadi pemukiman, kawasan industri untuk kepentingan

pembangunan tanpa adanya kontrol baik dari pemerintah daerah maupun masyarakat.

Diperkirakan sekitar 10 % terumbu karang dunia dalam keadaan rusak, demikian pula

tidak jauh berbeda dengan kondisi terumbu karang di Indonesia. Hasil studi Pusat

Penelitian Oceanologi (P2O), 1997, (dalam Soetopo T dan Sudiyono, 2009), menyebutkan

bahwa terumbu karang di Indonesia cukup memprihatikan, mengingat kondisi terumbu

karang yang sangat baik hanya tinggal 5.23 %, selebihnya 24.26 % dalam kondisi baik,

37.34 % dalam kondisi cukup dan 33.17 % dalam kondisi kurang baik atau rusak.

Tingkat kerusakan terumbu karang di Indonesia sudah dalam batas yang sangat

mengkhawatirkan, sebagai akibat adanya berbagai tekanan dan ancaman baik oleh

kondisi alam maupun akibat kegiatan manusia. Tingkat ancaman kerusakan terumbu

karang tersebut, khususnya bagi perairan di wilayah kajian termasuk kategori sedang

hingga tinggi. Secara alami kerusakan terumbu karang bisa disebabkan oleh adanya

badai, perubahan suhu yang ekstrim, tsunami maupun oleh adanya pemangsa (predator)

Page 17: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 2

seperti bintang laut pemakan karang (Dahuri, 1996). Sedangkan kerusakan terumbu

karang yang disebabkan oleh kegiatan manusia seperti penangkapan ikan dengan

menggunakan bahan peledak dan racun seperti sianida dan potasium. Ekskploitasi

terumbu karang yang berlebihan untuk berbagai kepentingan seperti cinderamata

(perhiasan) dan bahan baku fondasi bangunan rumah. Disamping itu, kerusakan terumbu

karang juga bisa dikarenakan terjadinya siltasi dan sedimentasi akibat pengerukan dan

penimbunan pantai untuk konstruksi pembangunan infrastruktur (pemerintah) dan

bangunan komersial (hotel), pembukaan lahan perkebunan dan aktivitas penambangan.

Menyikapi kerusakan terumbu karang tersebut, pemerintah Indonesia membuat

program yang berkaitan dengan pengelolaan terumbu karang yang disebut sebagai :

COREMAP (Coral Reef management and Program) yang dalam pendanaannya didukung

oleh ADB (Asean Development Bank). Program tersebut secara nasional bertujuan untuk

menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam meningkatkan pengelolaan dan rehabilitasi

terumbu karang agar sumber daya laut dapat dimanfaatkan secara berkesinambungan

bagi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (lokal). Dalam konteks ini,

dilakukannya kajian di kawasan perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir

Pulau Mamot (Lingga), mengingat di sekitar wilayah perairan tersebut banyak dilakukan

aktivitas penambangan bauksit.

Kegiatan pertambangan yang dilakukan oleh perusahaan pertambangan bauksit di

Pulau Bintan dan Pulau Lingga, pada umumnya belum menerapkan konsep pengelolaan

pertambangan yang baik dan benar (good mining practice) sehingga dapat menimbulkan

dampak lingkungan terhadap wilayah di sekitar pertambangan tersebut. Disatu sisi

kegiatan tersebut berdampak positif, yakni dapat memberikan konstribusi dalam

penyediaan lapangan kerja serta meningkatkan pendapatan asli daerah (PAD) di wilayah

tersebut, namun disisi lain juga berdampak negatif, yaitu dapat mengakibatkan terjadinya

degradasi kualitas air permukaan (sungai) yang mengalir menuju ke perairan laut.

Dampak negatif aktivitas penambangan tersebut, antara lain dapat menyebabkan

terjadinya perubahan kualitas air laut di perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan

pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) yang memiliki ekosistem terumbu karang yang

harus di lindungi. Berdasarkan peta konservasi terumbu karang dunia (Asia Tenggara),

perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)

mempunyai tingkat ancaman kerusakan ekosistem terumbu karang termasuk kategori

sedang hingga tinggi. Ancaman terjadinya kerusakan tersebut dapat terjadi sebagai akibat

baik karena proses alami maupun ancaman yang paling besar sebagai akibat kegiatan

manusia, seperti aktivitas pembukaan lahan kehutanan dan pertambangan. Sementara

Page 18: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 3

ini, hasil pemantauan terhadap pertumbuhan terumbu karang di wilayah tersebut

(Program Coremap II) dari tahun ke tahun menunjukkan adanya penurunan yang cukup

signifikan. Oleh karena itu, kajian ini perlu dilakukan untuk memberikan masukan bagi

pemangkukepentingan (stakeholder) terutama dalam pengambilan keputusan (kebijakan)

di masa mendatang.

1.2 Perumusan Masalah

Aktivitas pertambangan bauksit yang dilakukan di Pulau Bintan dan di sekitar Pulau

Mamot (Lingga) tanpa menerapkan konsep pengelolaan pertambangan yang baik dan

benar (good mining practice) dapat mengakibatkan terjadinya degradasi kualitas air

permukaan yang mengalir menuju ke perairan (laut). Perubahan kualitas air laut seperti

penurunan salinitas, peningkatan kekeruhan dan sedimentasi yang melebihi ambang

batas yang telah ditetapkan KLH sebagai akibat adanya kegiatan pertambangan tersebut

kemungkinan besar dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang.

Permasalahannya : Sejauhmana korelasi antara degradasi kualitas air laut sebagai akibat adanya kegiatan

penambangan bouksit di daerah Kijang (Pulau Bintan) dan di daerah sekitar Pulau Mamot

dengan kemungkinan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di perairan pesisir timur

Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga)?

1.3 Maksud dan Tujuan

Maksud kajian adalah untuk mempelajari sejauhmana aktivitas penambangan bauksit

tersebut berdampak atau mengancam terhadap kelestarian ekosistem terumbu karang di

perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan

Lingga). Sedangkan tujuan kajian adalah memperoleh korelasi antara dampak aktivitas

penambangan dengan kemungkinan perubahan ekosistem perairan dan menurunnya

pertumbuhan terumbu karang di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar

perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga).

1.4 Manfaat Kajian

Hasil kajian tersebut berupa basis data beserta analisisnya yang mempunyai strategis

yang diharapkan dapat bermanfaat bagi pemangku kepentingan (stakeholder), terutama

sebagai bahan pertimbangan (masukan) dalam pemengambilan keputusan (kebijakan).

Page 19: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 I - 4

1.5 Ruang Lingkup

Ruang lingkup kajian meliputi berbagai aspek teknologi penambangan dan pengolahan

serta perlindungan lingkungan di wilayah pertambangan bauksit di Pulau Bintan dan

sekitar Pulau Lingga. Kondisi umum seperti kondisi geologi, tutupan lahan, iklim, arus dan

gelombang laut serta faktor-faktor lingkungan perairan seperti kualitas fisik dan kimia air,

biota perairan yang berperan terhadap perubahan ekosistem terumbu karang di perairan

pesisir timur Pulau Bintan dan sekitar perairan pesisir Pulau Lingga.

Page 20: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 1

BAB - II METODOLOGI

2.1 Kerangka Pikir

Pertumbuhan terumbu karang dipengaruhi oleh beberapa faktor fisik lingkungan yang

membentuk ekosistem terumbu karang, diantaranya adalah suhu, kedalaman, cahaya,

salinitas, sedimentasi, gelombang dan arus serta paparan udara terbuka. Secara ideal,

pertumbuhan terumbu karang dapat berlangsung pada suhu air rata-rata diatas 18o C,

yakni pada kondisi optimal : 23-25o C dan suhu maksimal yang dapat ditolerir : 36-40o C.

Kedalaman perairan kurang dari 50 m, dan kondisi optimal kurang dari 25 m. Salinitas air

konstan berkisar antara : 30-36 o/oo, dan perairan yang cerah, bergelombang besar serta

bebas dari sedimen.

Menurut Veron (1995) dan Wallace (1998), ekosistem terumbu karang sangat unik

karena hanya terdapat di perairan tropis dan sangat sensitif terhadap perubahan

lingkungan dan memerlukan kualitas perairan yang alami (pristine). Perubahan ekosistem

terumbu karang dapat terjadi baik karena peristiwa alami maupun karena akibat ulah

manusia. Seperti perubahan suhu lingkungan akibat pemanasan global yang melanda

perairan tropis pada tahun 1998 telah menyebabkan pemutihan karang (coral bleaching)

yang diikuti dengan kematian karang secara massal. Sementara perubahan ekosistem

terumbu karang akibat aktivitas manusia, seperti pembukaan lahan untuk aktivitas

penambangan yang pada ujungnya dapat berdampak terhadap perubahan (degradasi)

kualitas perairan laut dangkal.

Perubahan kualitas air laut, seperti penurunan salinitas, peningkatan kekeruhan

dan sedimentasi yang melebihi ambang batas sebagai akibat adanya kegiatan

pertambangan dapat mengganggu pertumbuhan terumbu karang. Nilai ambang batas

salinitas (32-35 o/oo) merupakan salinitas dimana terumbu karang dapat bertahan hidup.

Sedangkan arus laut membawa nutrien dan bahan-bahan organik yang diperlukan oleh

karang dan zooxanthellae, namun jika kelebihan nutrien (nutrient overload) berkonstribusi

terhadap degradasi terumbu karang melalui peningkatan pertumbuhan makroalga yang

melimpah (overgrowth) terhadap karang. Namun arus dan gelombang juga dapat

menyebabkan terjadinya sedimentasi di perairan terumbu karang dan menutupi

permukaan karang sehingga berakibat pada kematian terumbu karang.

Page 21: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 2

Faktor cahaya dan kedalaman perairan berperan penting untuk kelangsungan

proses foto sintesis oleh zooxantellae yang terdapat di dalam jaringan karang. Kecerahan

berhubungan dengan penetrasi cahaya, kecerahan tinggi membuat penetrasi cahaya

menjadi tinggi. Tingginya penetrasi cahaya mengakibatkan produktivitas perairan menjadi

tinggi. Sedangkan paparan udara (aerial exposure) merupakan faktor pembatas karena

dapat mematikan jaringan hidup dan alga yang bersimbiosis didalamnya.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, bahwa potensi terjadinya degradasi kualitas

perairan dan ekosistem terumbu karang lebih sering disebabkan oleh adanya aktivitas

manusia, seperti pembukaan lahan pertambangan dan perkebunan. Dengan demikian,

perlu dilakukan kajian dampak aktivitas penambangan bauksit di Pulau Bintan dan di

Pulau Lingga korelasinya dengan kelestarian ekosistem terumbu karang di perairan

pesisir timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga).

Pendekatan permasalahan kajian dilakukan melalui analisis citra landsat untuk

mendeleniasi sebaran kekeruhan di wilayah kajian, yakni : baik wilayah potensi sumber

dampak (aktivitas penambangan) maupun wilayah yang berpotensi terkena dampak

(ekosistem perairan terumbu karang). Selanjutnya dilakukan survey lapangan untuk

mengecek hasil analisis tersebut, serta dilakukan pengukuran parameter fisik, kimia air

dan unsur logam berat serta biota perairan. Disamping itu, juga dilakukan pengambilan

(sampling) terhadap beberapa conto air (5 sample) dan plankton untuk keperluan analisis

fisik, kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan di laboratorium. Disamping itu

juga dilakukan sampling terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui komposisi mineral

dan komposisi kimia serta karakter bijih yang meliputi ukuran butir dan densitasnya.

Guna mendukung analisis tersebut dilakukan juga kompilasi data sekunder baik melalui

koordinasi institusi maupun studi literatur.

2.2 Hipotesis

Terdapat korelasi antara dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang (Pulau

Bintan) dan di sekitar Pulau Mamot (Lingga) jika dilakukan tanpa pengelolaan

pertambangan yang baik dan benar, dengan kemungkinan terjadinya perubahan

ekosistem dan bahkan menurunnya pertumbuhan terumbu karang di perairan pesisir

timur Pulau Bintan dan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot (Kepulauan Lingga).

Page 22: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 3

2.3 Metoda

Metoda untuk mencapai tujuan tersebut dilakukan melalui analisis citra landsat dan

survey lapangan guna mengidentifikasi aktivitas penambangan sebagai sumber dampak,

sampling dan pengukuran parameter fisik air permukaan dan air laut di wilayah perairan

yang diprediksi terkena dampak. Guna mendukung analisis data tersebut diperlukan: citra

landsat, peta rupabumi, geologi, batimetri, tinggi gelombang dan arah arus laut, iklim yang

mencakup data curah hujan, arah angin serta kabijaksanaan tata ruang, sebaran bahan

tambang dan aktivitasnya, peta fungsi lahan dan kawasan konservasi. Disamping itu, juga

dilakukan koordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data sekunder serta data

sekunder lainnya melalui studi literatur tentang laporan-laporan dan tulisan ilmiah

mengenai kondisi sosial-ekonomi-budaya di kedua wilayah kajian tersebut secara

komprehensif.

2.4 Tahapan Kegiatan

Tahapan kegiatan yang akan dilakukan secara rinci disajikan dalam bentuk bagan alir

(Gambar 2.1) yang meliputi : pengumpulan data sekunder melalui studi literatur,

pengumpulan data primer melalui persiapan lapangan, survey lapangan, dan kegiatan

analisis di laboratorium, pengolahan dan evaluasi data serta penyusunan laporan.

2.4.1 Pengumpulan Data Sekunder Pengumpulan data sekunder dilakukan melalui studi literatur dan penelusuran data

melalui internet, serta berkoordinasi dengan dinas terkait untuk memperoleh data

sekunder yang relevan dengan ruang lingkup wilayah kajian, seperti citra landsat, ALOS

atau sejenisnya, peta rupabumi, peta geologi, tutupan lahan, curah hujan, batimetri, arus

dan gelombang laut serta data sosial-ekonomi masyarakat pesisir.

2.4.2 Pengumpulan Data Primer Persiapan Lapangan Persiapan lapangan dilakukan melalui analisis citra landsat di studio guna menentukan

batas wilayah studi, lokasi tambang, deliniasi sebaran tingkat kekeruhan, potensi dampak

perubahannya. Merencanakan titik-titik sampling air permukaan, jumlah sample,

menentukan parameter fisik dan kimia air serta jenis unsur logam berat yang akan

dianalisis di laboratorium. Tahapan kegiatan secara rinci disajikan pada bagan alir

Gambar 2.2.

Page 23: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 4

Gambar 2.1 Bagan alir tahapan kegiatan kajian

Survey lapangan Survey lapangan dilakukan di kedua wilayah kajian tersebut selama 14 hari guna

memperoleh data primer yang meliputi identifikasi aktivitas penambangan dan

perlindungan lingkungan, sampling air permukaan dan air laut, sedimen, pengukuran

parameter fisik air di wilayah studi, serta berkoordinasi dengan dinas terkait sesuai

dengan ruang lingkup ke-dua wilayah kajian tersebut untuk memperoleh data sekunder.

Disamping itu juga dilakukan pengamatan lapangan secara diskriptif dan difokuskan

pada komponen ekologi seperti gambaran terumbu karang, padang lamun, mangrove,

dan hidrologi, dan gejala-gejala fenomena alam yang terjadi seperti sedimentasi,

degradasi lahan, erosi dan kekeruhan. Penentuan posisi geografis lokasi pengamatan

dilakukan dengan menggunakan instrumentasi standard berupa GPS dan peta topografi

Bakosurtanal.

Studi literatur

Penyusunan KAK

Persiapan lapangan

Survey lapangan

Kegiatan laboratorium

Pengolahan data

Evaluasi data

Analisis citralandsat

Identifikasi,pengukuran, sampling

Analisis sample

Analisis korelasi

Penyusunan laporan

Perubahan kualitas perairan, lokasi titik sampling

KAK & RAB

Teridentifikasi sumber dampak & wilayah terkena

dampak, sample

Parameter kimia fisik air & biota air dan teristrikal

Kesimpulan dan saran

Laporan

Page 24: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 5

Gambar 2.2 Bagan alir tahap persiapan lapangan

Analisis di laboratorium Analisis di laboratorium dilakukan terhadap conto bijih bauksit untuk mengetahui

komposisi mineral, komposisi kimia dan analisis ukuran butir serta densitas. Sementara

analisis conto air dilakukan untuk mengetahui parameter fisik dan kimia air serta

kandungan unsur logam berat. Parameter kimia dan fisika yang memiliki sifat cepat

berubah, seperti pH, temperatur, oksigen terlarut (DO), daya hantar listrik (DHL), dan

bikarbonat, pengukuran dan analisis kimia dilakukan di lapangan.

Sementara analisis kimia seperti bikarbonat, klorida, zat organik, oksigen terlarut,

COD, kalsium, dan magnesium dilakukan secara volumetri. Nitrat, nitrit, ammonium,

boron, sulfida, posfat, silikat fluorida, secara spektrofotometri sinar tampak. Sulfat dan

kekeruhan secara turbidimetri, dan logam berat secara spektrofotometri serapan atom

(AAS). Disamping itu juga dilakukan analisis terhadap conto biota perairan, seperti jumlah

toksa plankton.

PETA TEMATIK

Peta lokasi : Wilayah Perairan

Pesisir Timur Pulau Bintan

TAHAP PERSIAPAN LAPANGAN

MENENTUKANWILAYAH KAJIAN

Peta Pola Sebaran Tingkat

Kekeruhan, Titik Sampling Air,

Peta Ancaman Kerusakan Ekologi Terumbu Karang

Peta Pola Sebaran Tingkat

Kekeruhan, Titik Sampling Air,

Peta Ancaman Kerusakan Ekologi Terumbu Karang

Peta lokasi : Wilayah Perairan Pesisir Kepulauan

Lingga Utara

Peta Dasar Kajian Peta Geologi

Peta Rupabumi Peta Lokasi Tambang

Data Curah hujan Laju, Arah Arus, Gelombang Laut,

Peta Batimetri

Peta Dasar Kajian Peta Geologi

Peta Rupabumi Peta Lokasi Tambang

Data Curah hujan Laju, Arah Arus, Gelombang Laut,

Peta Batimetri

MENENTUKAN BATASAN WILAYAH

KAJIAN

ANALISIS CITRALANDSAT

Page 25: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 II - 6

2.4.3 Pengolahan dan Evaluasi Data Pengolahan data primer dilakukan melalui analisis sample di laboratorium, sedangkan

data sekunder dianalisis guna melengkapi data primer. Data-data tersebut digunakan

untuk mendukung dalam analisis korelasi antara aktivitas penambangan dengan

perubahan ekosistem perairan serta korelasinya dengan kemungkinan menurunnya

pertumbuhan terumbu karang di sekitar kedua wilayah kajian tersebut. Hasil analisis data,

disajikan sedemikian rupa dalam bentuk laporan teknis yang mencakup narasi, tabel,

grafik, foto maupun dalam bentuk peta tematik guna menjawab permasalahan tersebut.

2.4.4 Penyusunan Laporan Laporan disusun berdasarkan format dan jumlah yang telah disepakati bersama. Luaran

hasil kajian berupa buku laporan sebagai bentuk pertanggungjawaban kegiatan dan karya

tulis ilmiah.

Page 26: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 1

BAB - III TINJAUAN UMUM WILAYAH KAJIAN

3.1 Lokasi Wilayah Kajian 3.1.1 Dasar Pemilihan Lokasi Berdasarkan Atlas of ADB Project Implementation Area (2006), di wilayah Indonesia

Bagian Barat terdapat 8 simpul lokasi konservasi perairan terumbu karang yang pada

umumnya meliputi wilayah pesisir dan pulau-pulau kecil di sekitar Pulau Sumatera. Ke-

delapan (8) simpul lokasi konservasi tersebut (Gambar 3.1), yakni: Provinsi Sumatera

Utara (Kabupaten Tapanuli Tengah, Nias dan Nias Selatan), Provinsi Sumatera Barat

(Kabupaten Kepulauan Mentawai), Provinsi Kepulauan Riau (Kota Batam, Kabupaten

Bintan, Lingga dan Natuna). Kawasan konservasi tersebut, khususnya bagi wilayah

Indonesia yang terletak di segitiga karang dunia (coral triangle) merupakan ekosistem

terumbu karang yang amat kaya akan keanekaragaman hayati (jenis fauna dan flora laut)

yang perlu dilindungi dan dilestarikan.

Secara keseluruhan, Indonesia memiliki luas terumbu karang lebih dari 60.000

km2 yang memiliki 70 genera dan 500 jenis karang. Keanekaragamman tersebut

diantaranya terdiri dari karang batu yang berjumlah lebih dari 450 jenis, karang lunak 210

jenis serta 350 jenis gorgonian. Potensi keanekaraman terumbu karang ini menyimpan

sebanyak 53 % dari potensi terumbu karang dunia, yang terdiri dari 3000 jenis species.

Namun demikian, kondisi terumbu karang di Indonesia cukup memprihatikan mengingat

kondisi terumbu karang yang sangat baik hanya tinggal 5.23 %, selebihnya 24.26 %

dalam kondisi baik, 37.34 % dalam kondisi cukup dan 33.17 % dalam kondisi kurang baik

atau rusak.

Berbagai ancaman cukup serius terhadap kerusakan terumbu karang tersebut,

baik ancaman yang berasal dari aktivitas manusia melalui penangkapan ikan yang tidak

ramah lingkungan, penggunaan bom dan sianida, pembukaan lahan untuk perkebunan

dan penambangan, maupun ancaman lainnya yang berasal dari aktifitas alam.

Kerentanan ekosistem terumbu karang akibat berbagai aktivitas manusia terus memaksa

terdegradasinya terumbu karang. Tingkat kerentanan terumbu karang di Indonesia

terhadap ancaman kerusakan diperlihatkan pada Gambar 3.2.

Page 27: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 2

Gambar 3.1 Peta kawasan konservasi terumbu karang di perairan Indonesia Bagian

Barat

Page 28: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 3

Gambar 3.2 Peta tingkat ancaman kerusakan terumbu karang di perairan Indonesia

Berdasarkan uraian tersebut, maka kawasan konservasi terumbu karang di

perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot dipilih sebagai

lokasi kajian. Sebagai dasar pertimbangan bahwa perairan tersebut di satu sisi

merupakan kawasan koservasi perairan yang mempunyai ciri khas tertentu yang ideal

untuk tujuan penelitian (ilmu pengetahuan) yang menunjang budidaya perikanan,

kelautan, pariwisata, namun disisi lain juga rentan terhadap ancaman kerusakan akibat

aktivitas pertambangan disekitar perairan tersebut. Wilayah Kecamatan Bintan Timur

merupakan wilayah kawasan pertambangan bauksit, granit, pasir darat (Bappeda

Kabupaten Bintan, 2010). Sedangkan Pulau Mamut dan Pulau Senayang di rencanakan

akan dilakukan eksplorasi dan eksploitasi tambang bijih bauksit (komunikasi dengan

masyarakat Desa Mamut, 2010).

.

3.1.2 Lokasi Daerah Kajian Terdapat 2 (dua) lokasi daerah kajian terpilih, yaitu : wilayah penambangan bauksit di

daerah Kijang (Pulau Bintan) hingga perairan pesisir timur Pulau Bintan - Pulau Mapur,

Page 29: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 4

dan wilayah penambangan bauksit di sekitar Pulau Mamot (Kepulauan Lingga) hingga

perairan pesisir Pulau Mamot (Gambar 3.3). Secara regional kedua wilayah kajian

tersebut termasuk wilayah administrasi Pemerintah Daerah Kabupaten Bintan dan

Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau.

Bagi kepentingan penelitian kelautan, lokasi daerah kajian di sekitar perairan

pesisir timur Pulau Bintan terdapat 7 lokasi Daerah Perlindungan Laut (DPL). Sedangkan

lokasi daerah kajian di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot terdapat 7 lokasi DPL. Lokasi

DPL di ke-dua daerah kajian tersebut, secara jelas dapat dilihat pada peta Gambar 3.4

3.1.3 Kesampaian Daerah Kajian Kedua wilayah kajian dapat ditempuh dengan menggunakan pesawat terbang dari

Bandung-Jakarta-Batam, dilanjutkan dengan menggunakan kapal ferri menuju Pulau

Bintan dan/ atau Pulau Lingga. Sedangkan untuk survei di daratan ditempuh dengan

menggunakan kendaraan roda empat, sedangkan untuk perairan (laut) digunakan perahu

jenis kepompong.

Gambar 3.3 Peta lokasi daerah kajian, yang meliputi wilayah perairan pesisir timur Pulau

Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot , Kepulauan Lingga

Page 30: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 5

Gambar 3.4 Peta lokasi daerah perlindungan laut (DPL) yang terletak di perairan timur

Pulau Bintan dan perairan di sekitar Pulau Mamot 3.2 Kondisi Geologi 3.2.1 Geologi Regional Berdasarkan hasil penafsiran dari citra landsat di daerah Bintan (Kabupaten Bintan) dan

Lingga (Kabupaten Lingga), memperlihatkan bahwa jenis dan sebaran batuan bervariasi

yang mengikuti bentuk, ciri-ciri tektur dan rona, baik tekstur kasar, sedang, maupun halus

setara dengan sebaran jenis batuannya. Berdasarkan data-data yang diperoleh baik dari

data sekunder maupun data primer hasil penafsiran citra landsat, susunan lapisan batuan

di kawasan konservasi perairan di sekitar daerah Bintan Timur dan sekitar Lingga dapat

diuraikan dari yang berumur tua ke muda sebagai berikut :

1. Batuan granit dan diorit yang terdiri dari granit Munjung dan Tanjung Buku, berwarna

ke abuan, tektur kasar, berbutir kasar umumnya membentuk sebagai batolit. rbreksi

vulkanik, lava, tufa yang dihasilkan dari aktifitas gunungapi Tersier. Penyebarannya di

bagian Pulau Singkep dan di Pulau Bintan dan pulau disekitarnya.

Page 31: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 6

2. Kuarsit Bukit Duabelas yang terdiri dari kuarsa, sisipan filit dan batusabak.

3. Formasi Tanjung Datuk berupa batupasir malihan, batulempung, lanau sisipan batu

rijang dan berwarna abu kecoklat-coklatan.

4. Formasi Pancar yang terdiri dari serpih kemerahan,urat kuarsa tipis, sisipan batupasir

kuarsa berlapis baik dan konglomerat.

5. Formasi Semarung terdiri dari batupasir arkose, berbutir kasar, berlapis baik,

terkonsilidasi baik, sisipan batulempung.

6. Formasi Goungon berupa batupasir tufan, batulanau, dan karbonan

7. Endapan Aluvial yang terdiri dari kerikil, lanau, lempung.

Struktur geologi yang berkembang, yaitu : patahan turun, mendatar dan beberap

lokasi patahan naik yang terdapat di Pulau Singkep (Suwarna, N dkk, 1989). Peta geologi

yang menggambarkan kondisi geologi di wilayah kajian tersebut diperlihatkan padam

Gambar 3.5. Berdasarkan kondisi geologi dan pola struktur geologi di daerah Bintan dan

Lingga ditemukan indikasi adanya sebaran cebakan bouksit, bijih besi, timah, granit,

andesit dan pasir darat yang cukup berpotensi untuk di usahakan penambangannya.

Gambar 3.5 Peta geologi daerah Bintan dan Lingga (PSG, 2002).

3.2.2 Genesa Bijih Bauksit Bijih bauksit secara umum merupakan sumber logam alumina (Al) yang dikenal dengan

rumus kimia (Al2O3.2H2O) dengan sistem kristal oktahedral, sedangkan bentuk mineral

lainnya berupa ikatan monohidrat seperti diaspore (Al2O3 H2O), bouhmite dan gibsite Al

Page 32: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 7

(OH) 3. Namun pada kenyataannya di alam, secara umum mempunyai komposisi berbagai

oksida logam, diantaranya terdiri dari oksida alumina (35 - 65 %) Al2O3; oksida besi (2 -

20 %) Fe2O3; silika bebas antara (2 - 10 %) SiO2; oksida titan (1 - 3 %) TiO2 dan air (10 -

30 %) H2O.

Keterdapatan bijih bauksit di alam bisa berbentuk cebakan bijih bauksit primer dan

cebakan bijih bauksit sekunder. Cebakan bijih bauksit primer terbentuk sebagai akibat

proses magmatik dan hidrotermal yang kaya akan mineral yang mengandung alumina.

Batuan sumber sebagai akibat proses magmatik, yakni berupa batuan beku yang

mengandung mineral anorthosite [(Na,K) AlSi3O8] dan nepheline (Na3K,Al4Si4O16) dan

syenite yang mengandung lebih dari 20 % Al2O3. Sementara oksida alumina produk dari

alterasi hidrotermal pada batuan trachyte dan rhyolite pada daerah volkanik menghasilkan

mineral alumnit [K,Al3 (SiO4)2(OH)2] yang mengandung sekitar 75 % Al2O3.

Sedangkan cebakan bijih bauksit sekunder dapat terbentuk sebagai akibat proses

metamorfosa dari mineral-mineral alumina silikat seperti andalusite, silimanite dan kianite

(Al2SiO5). Cebakan bijih bauksit juga dapat terbentuk sebagai akibat proses pelapukan

dari batuan primer yang bersifat feldspatik (nepheline), terangkut dan terjadi

pengendapan. Berdasarkan letak pengendapannya, cebakan bijih bauksit sekunder dapat

dibagi menjadi 3 (tiga), yakni cebakan (endapan) bauksit residual, bauksit koluvial dan

bauksit aluvial. Sementara berdasarkan lingkungan pengendapannya, cebakan bijih

bauksit dapat diklasifikasikan sebagai cebakan bauksit pada batuan klastik kasar (misal:

bouhmite); cebakan bauksit pada batuan karbonat berumur paleosin (terarosa), misalnya

diaspore; cebakan bauksit pada batuan phosphate yang pada umumnya banyak

mengandung mineral lempung (seperti monmorilonite dan atapulgite); cebakan bauksit

pada batuan sedimen klastik yang banyak dijumpai pada lingkungan pengendapan sungai

berstadium tua atau delta.

Cebakan bauksit di daerah kajian termasuk jenis cebakan residual, merupakan

hasil pelapukan (mengalami laterisasi) akibat pengaruh perubahan temperatur secara

terus menerus dari batuan sumber (granite). Pada awal pelapukan, alkali tanah dan silikat

akan larut dengan baik pada pH : 5 - 7 sebagai akibat delitifikasi. Demikian pula kaolin

bebas akan larut dalam air yang bersifat asam. Proses ini menyesuaikan suasana basa

lemah dari alumina, besi dan titan yang kemudian membentuk endapan aluvial.

Sementara unsur yang mudah larut (Na, K, Mg dan Ca) dihanyutkan oleh air, warna

hidroksida besi lambat laun akan berubah dari warna hitam menjadi coklat kemerahan

dan akhirnya berwarna merah. Litifikasi akan membentuk laterit yang selanjutnya

Page 33: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 8

mengalami proses pengkayaan hidroksida aluminium [Al(OH)3] dan dilanjutkan dengan

proses dehidrasi sehingga mengeras menjadi bauksit.

3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang 3.3.1 Kebijaksanaan Tata Ruang Provinsi Riau Provinsi Kepulauan Riau (Kepri) yang berhadapan langsung dengan Singapura

menyebabkan pembangunan berjalan sangat cepat, sehingga dalam waktu mendesak

penataan ruang perlu segera menyelesaikannya. Sementara ini, Provinsi Kepulauan Riau

(Kepri) merupakan salah satu dari provinsi di Sumatera yang belum selesai penunjukan

kawasan hutannya. Hal ini disebabkan karena Kepri merupakan provinsi baru (terbentuk

tahun 2002), dan sedang dalam proses menyusun RTRWP.

Percepatan penyelesaian tentang permasalahan penataan ruang ini akan

mempercepat kepastian hukum terhadap pemanfaatan ruang. Kondisi eksisting Provinsi

Kepulauan Riau, terutama Pulau Batam telah berubah dengan cepat. Banyak kawasan

hutan yang telah berubah fungsi menjadi Ruko, real estate, fasilitas sosial dan fasilitas

umum lainnya. Sementara di Pulau Bintan segera akan menyusul seperti yang terjadi di

Pulau Batam, karena di pulau ini akan dijadikan pusat Pemerintahan Provinsi dan

Kabupaten Lingga yang berdampak terhadap perubahan peruntukan ruang. Berkaitan

dengan hal tersebut Pusdalbanghut Regional I memfasilitasi pertemuan untuk percepatan

proses penataan ruang Provinsi Kepri. Departemen Kehutanan berkepentingan terhadap

legalitas RTRWP Kepri sehingga penunjukan kawasan hutan bisa dilaksanakan. Fasilitasi

tersebut sejak tahun 2005 telah dilakukan beberapa kali dengan mengundang berbagai

pihak antara lain dari Pusat (Direktur Depdagri, Direktur Penataan Ruang Wilayah

Sumatera Departemen PU, Badan Planologi Departemen Kehutanan) dan Daerah

(Kepala Bappeda Provinsi dan Kabupaten/ Kota se provinsi Kepri, Dinas-Dinas Teknis

Provinsi/Kabupaten/Kota se Provinsi Kepri yang berkepentingan terhadap pemanfaatan

ruang).

Permasalahan umum dalam penataan ruang di Provinsi Kepulauan Riau antara

lain: penataan ruang belum mendapat perhatian proposional, adanya konflik

pemanfaatan, kewenangan yang belum jelas dan kurangnya koordinasi antar instansi.

Rekomendasi penting yang perlu diperhatikan bagi Pemprov Kepri adalah perencanaan

tata ruang Provinsi Kepulauan Riau harus memperhatikan kekhasan daerah antara lain :

terdiri dari ribuan pulau termasuk pulau-pulau terluar, posisi strategis, berada di jalur

perdagangan internasional serta kemungkinan ditetapkannya sebagai kawasan Defense

Page 34: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 9

Coorporation Agreement (DCA) antara Indonesia-Singapura. Penyusunan rencana tata

ruang Wilayah Kepri agar selalu memperhatikan dan mengacu pada keberadaan

kawasan hutan baik yang telah ditunjuk maupun yang telah ditetapkan. Apabila terjadi

perubahan status/fungsi kawasan hutan agar dikonsultasikan ke Kementerian Kehutanan

sejak dari awal. Selain hal tersebut perlu diperhatikan pula situs-situs budaya melayu di

Pulau Lingga, kawasan mangrove di pulau-pulau kecil, dan pulau-pulau terluar.

Implementasi di lapangan sering terjadi perbenturan antar sektor karena terjadi

perbedaan interpretasi peta. Untuk itu dalam penyusunan tata ruang wilayah diperlukan

kesamaan sumber peta yang sama yang dapat diacu oleh semua sektor yaitu peta dari

Badan Koordinasi Survey dan Pemetaan Nasional (BAKOSURTANAL). Berkaitan dengan

hal tersebut Departemen Kehutanan telah bekerjasama dengan BAKOSURTANAL untuk

membuat peta dasar tematik berbasis citra. Pengalaman menunjukkan masih sering

terjadinya perbenturan antar sektor dalam pemanfaatan ruang. Untuk itu perlu dibentuk

suatu forum sebagai wadah koordinasi antar sektor. Oleh karena itu direkomendasikan

agar pemerintah Provinsi Kepri agar mendorong pembentukan Badan Koordinasi

Penataan Ruang Daerah (BKTRD) tingkat Kabupaten/Kota untuk mempercepat

sinkronisasi dan harmonisasi penataan ruang Kabupaten/Kota.

3.3.2 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Bintan Kabupaten Bintan yang terletak berdekatan dengan negara tetangga, yaitu Singapura dan

Malaysia menjadikan peluang bagi pengembangan daerah dengan prinsip persamaan

dan saling menguntungkan. Disamping letak yang sangat strategis, Kabupaten Bintan

juga mempunyai potensi kawasan budidaya dari berbagai sektor, yakni sektor perikanan,

pertambangan, pariwisata, pertanian dan industri. Kebijaksanaan tata ruang yang

mencakup tentang pengelolaan dan pemanfaatan ruang kawasan budidaya tersebut,

diperlukan strategi pengembangan wilayah yang selaras dengan tujuan kebijaksanaan

pengembangan wilayah regional baik tingkat propinsi maupun tingkat nasional, yaitu

berupa :

• Mempercepat tingkat pertumbuhan ekonomi dan pertahanan dan keamanan di sekitar

Batam termasuk diantaranya Kabupaten Bintan.

• Mempromosikan pusat-pusat pertumbuhan baru melalui struktur dan pola

pemanfaatan ruang sesuai dengan potensi masing-masing wilayah.

• Mengoptimalkan laju pembangunan sektoral dan daerah sehingga dapat mengurangi

melebarnya kesenjangan perkembangan pembangunan antar daerah di wilayah

kepulauan.

Page 35: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 10

• Menyediakan dan mendistribusikan sarana dan prasarana pelayanan yang

mendukung pengembangan wilayah di Kepulauan Riau.

Keterkaitan dengan tujuan tersebut, maka diperlukan strategi pengembangan

wilayah di Kabupaten Bintan, diantaranya adalah :

1. Menjaga dan menciptakan keserasian pemanfaatan ruang diantara berbagai

kepentingan untuk mendukung perkembangan antar sektor dan antar kawasan yang

seimbang dalam suatu kesatuan wilayah, ke arah terwujudnya tata ruang berkualitas

dan terselenggaranya peraturan pemanfaatan ruang kawasan lindung dan kawasan

budidaya.

2. Menyerasikan laju pembangunan antar kabupaten/kota untuk mengurangi

kesenjangan perkembangan antar daerah dengan mengembangkan dan memperluas

keterkaitan ekonomi dan ruang antar dan intra daerah, serta melakukan pembukaan

isolasi wilayah untuk mengembangkan kawasan-kawasan tertinggal dan terpencil.

3. Mendorong pengembangan pusat-pusat pertumbuhan dan daerah sekitarnya serta

meningkatkan keterkaitan ekonomi dan ruang antar kawasan untuk lebih memacu dan

memeratakan perkembangan wilayah.

4. Mengembangkan pusat-pusat pemukiman di wilayah pesisir secara selektif,

terkoordinasi dan terpadu dengan sistem pusat-pusat permukiman yang sudah

berkembang di wilayah darat sebagai basis dukungan bagi upaya mendayagunakan

dan mengoptimalkan pemanfaatan sumber daya pesisir dan lautan yang ada di

daerah.

5. Menyelenggarakan penataan ruang wilayah pesisir dan lautan termasuk didalamnya

laut perbatasan negara bagi kemakmuran rakyat yang meliputi perencanaan,

pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu dan tak

terpisahkan dari ruang daratan dengan memperhatikan kepentingan sektoral dan

daerah untuk mewujudkan tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas dan

berwawasan lingkungan.

6. Menyelenggarakan penataan ruang udara termasuk didalamnya ruang udara

perbatasan negara yang meliputi perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian

pemanfaatan ruang udara secara terpadu dan tak terpisahkan dari ruang daratan,

pesisir dan lautan untuk mewujudkan tertib pemanfaatan ruang udara bagi berbagai

kepentingan.

7. Menegaskan fungsi-fungsi ruang di wilayah daratan, pesisir, lautan serta wilayah

udara untuk mewujudkan perlindungan terhadap fungsi ruang dan untuk mencegah

Page 36: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 11

serta menanggulangi kemungkinan dampak negatif terhadap lingkungan, termasuk

penetapan spesifikasi ruang dan peruntukkannya.

Berdasarkan data yang diperoleh dari Bappeda Kabupaten Bintan, penggunaan

peruntukan lahan seperti disajikan pada Tabel 3.1 dan Gambar 3.6.

Tabel 3.1 Penggunaan lahan di Kabupaten Bintan

No Landuse Luas ( Ha )

1 Hutan primer dataran rendah 3.949

2 Hutan dataran rendah 13.203

3 Hutan mangrove 8.244

4 Tegalan 17.794

5 Semak belukar 57.256

6 Pemukiman 5.812

7 Lahan terbuka 1.795

8 Pertambangan 7.845

Jumlah 115.898

Page 37: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 12

Gambar 3.6 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Bintan

Sementara berdasarkan Kebijakan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) yang

telah dituangkan dalam peraturan daerah Kabupaten Bintan Nomor 14 Tahun 2007

tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan tanggal 23 Agustus 2007.

Diantaranya menetapkan :

a. Rencana Struktur Tata Ruang Wilayah yang meliputi :

- Rencana Kawasan Lindung dan Budidaya

- Rencana Sistem Kota-kota

- Rencana Sistem Prasarana Wilayah

b. Rencana Pemanfaatan Ruang Daerah yang meliputi :

- Kawasan Lindung

- Kawasan Budaya

c. Rencana Pengembanga Kawasan Strategis dan Kawasan Prioritas :

- Kawasan Strategis

- Kawasan Prioritas

Strategi Pengelolaan Kawasan Lindung :

Page 38: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 13

1. Strategi pemanfaatan kawasan lindung meliputi langkah-langkah pengelolaan

kawasan lindung yang bertujuan untuk mencegah timbulnya dampak negatif pada

lingkungan hidup dan melestarikan fungsi lindung kawasan yang memberikan

perlindungan kawasan dibawahnya, kawasan perlindungan setempat, kawasan

suaka alam, kawasan pelestarian alam, kawasan pelestarian budaya dan kawasan

lindung lainnya.

2. Untuk kawasan lindung strategi pengelolaan yang dilakukan adalah berupa

pemanfaatan dan pengendalian kawasan lindung yang berfungsi untuk wilayah

daerah maupun untuk wilayah yang lebih luas, yaitu Provinsi Kepulauan Riau.

3.3.3 Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga Kebijaksanaan Tata Ruang Kabupaten Lingga tidak jauh berbeda dengan Kebijaksanaan

Tata Ruang di Kabupaten Bintan, karena Kabupaten Lingga merupakan kabupaten yang

baru terbentuk dari hasil pemekaran. Berdasarkan data yang diperoleh Bappeda

Kabupaten Lingga, penggunaan peruntukan lahan seperti disajikan pada Tabel 3.2 dan

Gambar 3.7 dan model strateginya diperlihatkan pada Gambar 3.8.

Gambar 3.7 Peta Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga

Page 39: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 14

Gambar 3.8 Peta Strategi Rencana Tata Ruang Kabupaten Lingga

Tabel 3.2 Penggunaan lahan di Kabupaten Lingga

No Landuse Luas ( Ha )

1 Hutan primer dataran rendah 7.361

2 Hutan dataran rendah 73.250

3 Hutan mangrove 2.334

4 Tegalan 492

5 Semak belukar 1.403

6 Pemukiman 385

7 Lahan terbuka 103

8 Pertambangan 189

Jumlah 85.517

Pada Gambar 3.8 tersebut, terlihat bahwa Pulau Mamot terletak di antara 2 (dua)

model strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, yakni :

Page 40: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 15

1. Pada bagian timur Pulau Mamot pada umumnya diperuntukkan sebagai :

• Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan

• Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan

• Minapolitan

• Perumahan dan permukiman.

2. Pada bagian timur Pulau Mamot pada umumnya diperuntukkan sebagai :

• Pengembangan kegiatan pertanian

• Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan

• Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian

• Simpul pelayanan transportasi lokal

• Perumahan dan permukiman

3. Berdasarkan model strategi tersebut dapat ditarik model strategi pengembangan dan

pemanfaatan Pulau Mamot sebagai :

• Koleksi dan distribusi hasil perikanan dan kelautan

• Kawasan pertanian, perkebunan dan perikanan

• Pusat koleksi dan distribusi hasil pertanian

• Simpul pelayanan transportasi lokal

• Perumahan dan permukiman

3.4 Kondisi Iklim Sistem klasifikasi iklim di Indonesia pada umumnya mengacu klasifikasi Oldemann dan

klasifikasi Schmidt & Fergusson, kedua klasifikasi ini didasarkan pada jumlah bulan basah

dan bulan kering dalam setahun yang terjadi di suatu daerah. Parameter yang diperlukan

antara lain curah hujan dan banyaknya hari hujan, arah dan kecepatan angin, suhu dan

kelembaban. Iklim di wilayah kajian mengacu data iklim tahun 2009 yang diperoleh dari

stasiun metereologi Hang Nadim yang merupakan stasiun terdekat.

3.4.1 Curah Hujan Berdasarkan klasifikasi iklim Schmidt & Fergusson, wilayah kajian termasuk jenis iklim

basah (type B), dengan Q berkisar antara : 20 - 33 %. Data curah hujan yang diperoleh

dari stasiun Pos Pengamatan Tajung Pinang dan Lingga (Bappeda 2008), menunjukkan

bahwa curah hujan rata-rata di daerah ini adalah 1500 - 3300 mm/tahun dan bulanan

antara 135 – 280 mm/bulan (gambar 3.9 dan gambar 3.10). Bulan basah untuk daerah

ini terjadi pada bulan Oktober hingga Maret, sedang bulan kering terjadi pada April hingga

September. Dengan demikian daerah kawasan konservasi perairan pesisir timur Pulau

Page 41: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 16

0

50

100

150

200

250

300

350

Jan Peb Mar Apr Mei Jun Jul Aug Sep Okt Nov Des

mm

Bulan

Grafih Curah Hujan Thn 2008 didaerah Lingga

Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot (Lingga) mempunyai bulan basah yang lebih

banyak dari pada bulan keringnya.

Gambar 3.9 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir timur Pulau Bintan (Kabupaten Bintan)

Gambar 3.10 Grafik curah hujan di sekitar perairan pesisir Pulau Mamut

(Kabupaten Lingga)

Page 42: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 17

3.4.2 Angin Kondisi angin sangat dipengaruhi oleh sistem tekanan udara di Asia dan Australia

sehingga dalam periode Bulan Desember sampai dengan Bulan maret angin rata-rata

bertiup dari arah Baratdaya menuju Timurlaut, dengan kecepatan angin rata-rata sebesar

5.knot. Pada periode ini bertiup angin musim Barat yang dicirikan oleh hembusan angin

yang kuat dan disertai besarnya amplitudo gelombang laut. Periode Mei sampai Oktober

angin dominan bertiup dari arah Selatan dengan kecepatan berkisar antara 5-7 knot.

Periode Mei sampai Agustus bertiup angin musim Timur, sementara periode bulan

September – Oktober adalah musim peralihan. Data arah angin dan kecepatan angin

rata-rata bulanan tahun 2009 disajikan pada Gambar 3.11

3.4.3 Suhu dan Kelembaban Suhu udara rata-rata bulanan tahun 2009 adalah 26,4o C, sedangkan suhu minimum

berkisar antara 21,8 - 24,9o C, dan suhu maksimum berkisar antara 30,4 - 34,5o C.

Kelembaban nisbi bulanan rata-rata antara 80 - 87 %, tekanan udara berkisar antara

1009,0 hingga 1011,4 MBS.

Gambar 3. 11 Peta arah dan kecepatan angin di wilayah Kabupaten Bintan dan

Kabupaten Lingga

Page 43: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 18

3.5 Hidro – oceanografi

Dalam konteks ini, gambaran tentang hidro-oceanografi mencakup kedalaman (batimetri),

pola dan kecepatan arus, gelombang dan pasang surut air laut. Hidro-oceanografi ini

perlu diketahui, mengingat bahwa penyebaran �ediment, suhu, salinitas, zat hara,

organisme air maupun tingkat kekeruhan air laut dipengaruhi oleh gerakan massa air di

perairan.

3.5.1 Kedalaman (batimetri) Berdasarkan peta laut yang dikeluarkan oleh Dinas Hidro Oceanografi TNI AL (Gambar

3.12), dapat diketahui bahwa perairan di wilayah kajian mempunyai dasar perairan

dangkal dengan kedalaman antara 2 sampai 46 m kedalaman di bawah permukaan air

laut (dpal).

3.5.2 Arus Pola arus di wilayah kajian dan sekitarnya pada bulan Nopember.- Mei.berarah Baratlaut

dan Tenggara, sementara pada bulan Juni – September berarah Tenggara dan Baratlaut

(gambar 3.13 ). Sementara dari hasil analisis progresif vector diagram di wilayah studi

diperoleh data bahwa arus bergerak �amper� Baratlaut dan Tenggara atau berosilasi

hanya antara dua arah tersebut. Kekuatan arus tersebut tercermin dua osilasi yang kuat

dan �amper�� lemah dengan dua puncak dalam waktu 24 jam. Nampak bahwa massa

air cenderung mengalir �amper� Baratlaut dan �amper mencapai 10 km dalam waktu

sekitar 24 jam.

3.5.3 Gelombang Gelombang atau ombak adalah pergerakan massa air (naik turun) yang dibangkitkan oleh

angin, semakin kuat angin semakin besar pula gelombang yang dibangkitkan. Gelombang

akan menjalar dan bereaksi pada saat mencapai kedalaman tertentu, dan berpotensi

membentuk arus sepanjang pantai (longshore current). Beberapa faktor yang

mempengaruhi tinggi, panjang dan periode gelombang adalah kecepatan, arah, lama

angin bertiup dan fetch. Gelombang dapat diprediksi berdasarkan significant wave

method atau wave spectrum method. Berdasarkan prediksi gelombang laut pada bulan

Jjuli 2010 seperti disajikan pada tabel 3.14 yang memperlihatkan tinggi gelombang

perairan secara regional.

Page 44: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 19

Gambar 3.12 Peta batimetri di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

Gambar 3. 13 Peta arah dan kecepatan arus di wilayah Kabupaten Bintan dan

Kabupaten Lingga

Page 45: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 20

Tabel 3.3 Prediksi gelombang laut, arah dan kecepatan angin serta arus laut di beberapa perairan pada bulan Juli 2010

Berdasarkan hasil analisis kondisi gelombang di wilayah kajian menunjukkan

bahwa nilai tinggi gelombang significant (H1β) berkisar antara 25 hingga 75 cm dengan

nilai rata-rata 50 cm. Sedangkan nilai periode gelombang significant (T1β) diperoleh

berkisar antara 2 - 5 detik dengan rata-rata 3 detik. Periode gelombang yang masih

dibawah 4 detik dan tingginya bisa mencapai lebih dari 30 cm, dapat digolongkan sebagai

jenis gelombang yang dibangkitkan oleh kekuatan angin lemah. Energi rata-rata yang

diperoleh lebih kecil dari 8(cmsq), maka gelombang tersebut belum mampu

menggerakkan kolom massa air sampai dekat dasar. Dengan demikian peran gelombang

belum memberikan konstribusi terhadap turbulensi yang dapat mengaduk atau

mengangkut sedimen dari dasar laut.

Page 46: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 21

Gambar 3. 14 Peta tinggi gelombang di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten

Lingga 3.5.4 Pasang surut Pasang surut adalah fenomena naik turunnya paras muka air laut yang diakibatkan oleh

gaya tarik menarik matahari dan bulan. Gaya tarik bulan mempunyai pengaruh yang lebih

besar dibandingkan gaya tarik matahari. Pola pasang surut di sekitar lokasi kajian

dipengaruhi oleh kondisi perairan sekitarnya. Tinggi pasang surut tidak dilakukan

pengamatan, sementara tinggi pasang surut di wilayah kajian sekitar 0,7 sampai 3 m.

3.5.5 Suhu muka laut Sebagai gambaran umum tentang suhu muka laut di Indonesia diilustrasikan dalam

bentuk peta seperti terlihat pada gambar 3.15. Pada peta tersebut terlihat dengan jelas,

bahwa suhu muka laut di Indonesia pada umumnya berkisar antara 28 – 30oC, dengan

suhu muka laut tertinggi di kawasan perairan Indonesia bagian timur, sedangkan suhu

muka laut di sekitar Kepulauan Riau berkisar antara 28 – 29oC. Sedangkan di perairan

Batam dan sekitarnya pada umumnya masih dalam batas normal berkisar – 0,5 s/d +

0,5oC.

Page 47: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 22

3.6 Ekosistem Perairan Laut Dangkal

Ekosistem perairan laut dangkal terdiri dari terumbu karang, padang lamun, hutan bakau,

yang pada umumnya memiliki keanekaragaman jenis tumbuh-tumbuhan dan hewan yang

sangat tinggi.

3.6.1 Terumbu Karang Terumbu karang merupakan ekosistem khas daerah tropis yang mempunyai

keanekaragaman dan produktivitas yang tinggi.Nilai produktivitas dan keanekaragaman

yang tinggi tersebut dapat dibuktikan oleh banyaknya biota laut yang ditemui, seperti ikan

, moluska, crustacea, echinodermata maupun rumput laut. Brown (1982), mengemukakan

bahwa tingkatan produktivitas primer terumbu karang adalah sepuluh kali lebih besar

dibandingkan dengan lautan tropis terbuka. Kondisi tersebut terbukti dengan efisiensinya

perputaran kembali unsur organik dan anorganik dalam ekosistem terumbu karang.

Gambar 3.15 Peta ilustrasi perubahan suhu muka laut di Indonesia pada periode

Februari – Maret 2010

Page 48: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 23

Secara mendasar ekosistem terumbu karang dibentuk hasil klasifikasi oleh

kelompok hewan coelenterata yang bermorfologi polip. Bentukan ekosistemnya dilandasi

oleh kemampuan biota tersebut untuk membentuk CaCO3 dengan bantuan simbion

zooxanthellae. Mekanisme pembentukan terumbu karang diawali oleh adanya plankton

yang terapung dan melekat pada dasar laut yang cocok untuk memulai pertumbuhan

karang dengan cara membelah diri dan membentuk koloni. Karang adalah hewan yang

berukuran sangat kecil dan berbentuk seperti tabung yang menghasilkan endapan kapur

yang keras dan merupakan cangkang luar untuk melindungi tubuhnya yang lunak. Dalam

jaringan tubuhnya, hidup sel algae yang memberikan makanan kepada hewan karang

tersebut sebagai hasil dari proses fotosintesa. Endapan kapur dari hewan karang dan

flora-fauna lainnya (algae berkapur tersebut), selanjutnya membentuk terumbu karang

sebagai akibat proses geologi dan biologi yang berlangsung sangat lambat dalam kurun

waktu ribuan bahkan jutaan tahun. Dengan demikian, karang merupakan hewan

pembentuk utama dari sebuah terumbu karang. Berbagai jenis karang, seperti karang

lunak, karang kipas dan karang api termasuk karang batu yang hidup berkoloni dengan

bentuk koloni yang bervariasi, seperti meja, massive, percabangan dan menyerupai

lembaran daun.

Berbagai tipe atau bentuk terumbu karang, diantaranya adalah terumbu karang

tepi, yang terbentuk di tepi atau pinggir pulau (daratan). Gosong terumbu (patch reefs),

yakni terumbu karang yang tidak luas dan pembentukannya belum mencapai permukaan

laut. Atol, yaitu terumbu karang yang menyerupai cincin. Terumbu karang penghalang

(barrier reefs), yakni terumbu karang yang terpisah dari daratan oleh laut (goba) yang

dalam. Dengan demikian, terumbu karang dapat berfungsi sebagai penahan dan

penyangga dari hempasan ombak dan arus yang kuat, sehingga dapat melindungi pantai

dari ancaman abrasi. Sementara keunikan dan keindahan bentuk dan warna dari

tumbuhan dan hewan pembentukkannya mempunyai nilai estitika yang tak terhingga

untuk dinikmati dan diteliti. Disamping itu, terumbu karang juga merupakan daerah

asuhan, rumah tempat berpijah, daerah berlindung bagi ribuan ikan, moluska, kepiting,

dan udang, yang semuanya itu merupakan sumber kehidupan bagi manusia yang tinggal

di daerah pesisir.

3.6.2. Padang Lamun Padang lamun (seagrass beds) dan rumput laut (alga makro) merupakan ekosistem yang

sangat penting bagi wilayah pesisir dan laut. Padang lamun dapat berfungsi sebagai

Page 49: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 24

pengikat sedimen dan penyaring zat-zat pencemar yang berhaya. Disamping itu, juga

berfungsi sebagai tempat pemijahan dan pembesaran ikan serta penghasil nutrien.

Beberapa jenis lamun yang terdapat di perairan pesisir timur Pulau Bintan, antara

lain : Halodule universis, Halodule pinifolia, Syringodium isoetifolium, Thalassia hemprichii

dan Enhelus acoroides. Bahkan diketemukan di Berakit satu jenis lamun yang langka di

Indonesia (LIPI, 2003), yaitu : Halophyla spinulosa yang memiliki nilai ekonomis tinggi dan

berpotensi sebagai bahan baku industri makanan, obat dan kosmetika.

3.6.3. Vegetasi Mangrove (Bakau) Vegetasi mangrove ditandai dengan banyaknya akar nafas, jenisnya sedikit, tetapi setiap

jenis biasanya mempunyai populasi dominan dan melimpah. Ekosistem mangrove

mempunyai fungsi sangat penting, yakni sebagai penahan angin, ombak dan abrasi bagi

daerah pesisir juga merupakan rumah (habitat) dan berkembang biak bagi berbagai jenis

ikan, udang, kepiting dan satwa lainnya seperti ular, kelelawar dan berbagai jenis burung.

Akar mangrove yang unik dapat membantu menahan lumpur dan / atau mengurangi laju

pelumpuran di padang lamun dan terumbu karang. Sementara batang mangrove

mempunyai nilai ekonomi yang cukup tinggi, seperti jenis kayu gabus banyak digunakan

dalam industri farmasi dan kedokteran, bahan pulp pembuatan kertas, pembuatan arang,

kayu bakar serta bahan pembuatan tiang bangunan.

3.7 Sosial Ekonomi Budaya Masyarakat Pesisir 3.7.1 Budaya Masyarakat Pola budaya penduduk di sekitar kawasan konservasi perlindungan laut di Bintan Timur,

Kabupaten Bintan dan di Pulau Mamut, Kabupaten Lingga, Provinsi Kepulauan Riau

terlihat dalam kehidupan sehari-hari terutama untuk golongan nelayan saling tolong

menolong antara tetangga yang tinggal berdekatan terutama untuk pekerjaan-pekerjaan

kecil yang lokasi berdekatan. Demikianpula tolong menolong antara kaum kerabat dalam

suatu keluarga atau upacara adat sekitar titik-titik peralihan pada lingkungan hidup

individu atau keluarga.

Nilai budaya dari semua suku selalu berorientasi ke atas/vertikal (ketua adat) hal ini

menimbulkan kurang percaya pada kemampuan sendiri, sikap tak berdisiplin murni dan

kurang mempunyai rasa tanggung jawab. Tetapi dari aspek negatif nilai budaya

masyarakat tersebut dapat menjadi positif dilakukan untuk membangun dengan

Page 50: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 III - 25

mengajak tokoh-tokoh masyarakat (ketua adat) menjadi penuntun (sebagai conto hidup

hemat, kerja keras dan disiplin) dalam proses membangun tersebut. Aspek lainnya yaitu

sifat tahan penderitaan, hal ini dikarenakan oleh kondisi alamnya sehingga apabila akan

dikembangkan untuk proses pembangunan perlu keuletan untuk bekerja.

3.7.2 Sosial Ekonomi Kabupaten Bintan (khususnya Bintan Timur), Provinsi Kepulauan Riau memiliki luas

kurang lebih 2.046,60 km2 atau 204.660 Ha, perkembangan jumlah penduduk yang terjadi

berakibat pada semakin berkembangnya kegiatan dari tingkat perekonomian wilayah.

Struktur penduduk menurut mata pencaharian umumnya dikaitkan dengan tingkat

pendidikan yang didominasi belum tamat SD serta keahlian yang didapat merupakan

warisan turun menurun/budaya, hal ini menunjukkan bahwa dominasi kegiatan untuk

melakukan produktifitas sehari-hari masih disektor pertanian kurang sebesar 76,31 %,

sektor jasa kemasyarakatan 8,08 %, industri pengolahan 5,56 % dan jasa pariwisata yang

masih relatif kecil.

Dalam konteks pembangunan ekonomi wilayah tiap-tiap daerah mempunyai pola

arahan pengembangan struktur tata ruang wilayah, untuk wilayah Taman Nasional

Kelimutu di katagorikan sebagai Satuan Wilayah Pengembangan (SWP) 3 (tiga) yang

dimasukkan dalam wisata bahari, kelautan dan budidaya perikanan. Pertumbuhan

ekonomi wilayah Kabupaten Bintan Timur secara bertahap masih mengandalkan

beberapa sektor antara lain pertambangan (bauksit, andesit, pasir kuarsa dan lainnya),

perkebunan kelapa sawit (tanaman pangan, tanaman perkebunan, kehutanan,

peternakan dan perikanan).

Page 51: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 1

BAB - IV

KAJIAN AKTIVITAS PENAMBANGAN DAN KONDISI PERAIRAN

4.1 Kajian Aktivitas Penambangan

4.1.1 Jenis Komoditi Bahan Tambang Beberapa jenis bahan tambang yang terdapat di wilayah kajian, diantaranya adalah bijih

bauksit, bijih besi, pasir kuarsa dan batuan andesit. Bijih bauksit kini pada umumnya

dieksport ke Singapura masih dalam kondisi mentah, namun masih menyisakan

pertanyaan apakah bijih tersebut diolah menjadi bahan baku industri lainnya atau hanya

sekedar dijadikan sebagai material tanah urug?. Demikian pula dengan bijih besi dan bijih

bauksit yang juga masih dalam kondisi mentah di ekport untuk memenuhi permintaan

industri peleburan di Cina (RRC). Sementara pasir kuarsa dan batuan granit (andesit)

yang telah direduksi ukurannya menjadi agregat di eksport ke Singapura sebagai bahan

bangunan.

Sementara menurut Undang Undang No.4 tahun 2009, tentang pertambangan,

dalam pasal 8 dinyatakan bahwa semua bahan galian (tambang) sebelum di eksport

harus dilakukan pengolahan terlebih dahulu didalam negeri. Dengan demikian akan dapat

memberikan nilai tambah dan mampu mensuport kebutuhan bahan baku dalam negeri

untuk industri-industri lainnya diluar sektor pertambangan. Diantara jenis bahan tambang

tersebut, bijih bauksit merupakan primadona komoditi eksport bahan tambang dan paling

dominan untuk dieksploitasi baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga.

4.1.2 Karakteristik Bahan Tambang Terdapat 4 (empat) jenis komoditi bahan tambang, yaitu bijih bauksit, bijih besi, batuan

andesit dan pasir kuarsa. Diantara ke-empat komoditi bahan tambang tersebut, bijih

bauksit yang paling banyak disusahakan untuk ditambang baik di Kabupaten Bintan

maupun di Kabupaten Lingga. Dengan demikian dalam konteks ini, hanya dipilih bijih

bauksit saja yang akan dikarakerisasi lebih lanjut, mengingat aktivitas penambangannya

paling berpotensi terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan laut dangkal.

Page 52: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 2

Bijih Bauksit Secara megaskopik bijih bauksit berwarna coklat kemerahan, coklat kekuning-kuningan,

kuning kecoklatan. Pada umumnya, bijih bauksit bersifat keras, berongga, dan fragmental

dengan ukuran fragmen berkisar (1 mm - 1,5 cm). Komposisi fragmen dan matriks telah

mengalami pelapukan secara intensif dan pada umumnya menjadi mineral lempung dan

oksida besi (Gambar 4.1).

Gambar 4.1 Foto sample bijih bauksit (A. Kijang 1, B Kijang 2, C. Mamot)

Komposisi Mineral

Berdasarkan hasil analisis mikroskopis terhadap sayatan tipis pada posisi nikol silang

seperti diperlihatkan oleh fotomikrografi (Gambar 4.2), menunjukkan bahwa batuan induk

berupa granit teralterasi sangat kuat, dan memperlihatkan tekstur klastik yang terdiri dari

fragmen dan matriks. Ukuran fragmen (0,2 - 2) mm, pada umumnya terdiri dari fragmen

yang yang komposinya telah terubah menjadi mineral lempung (Lp) yang berwarna coklat

kemerah-merahan. Mineral-mineral lainnya berupa mika halus (Mk), silika halus (Si), kuarsa (Ku), dan felspar yang terserisitkan, serisit (Se) serta nefelin syenite. Matriksnya

berupa mineral lempung berwarna coklat kemerah-merahan hingga kekuning-kuningan.

Nampak adanya Gibbsite (= Gb, yaitu: salah satu jenis dari mineral bauxite) yang

menunjukkan bentuk-bentuk struktur radier/agregat/melingkar dan kadang-kadang

menyerupai bentuk garis (lining) yang mirip dengan felspar dan seringkali mengisi rongga

(space), dan mineral limonit (berupa Goethite = Gt) yang berwarna coklat kehitam-

hitaman.

Sementara defraktogram hasil analisis X-RD (X-Ray Diffraction) teerhadap ketiga

conto tersebut sebagaimana diperlihatkan pada Gambar 4.3. Pada defraktogram tersebut

menunjukkan bahwa contoh bijih bauksit tersebut mengandung beberapa jenis mineral,

seperti : Gibbsitte [Al (OH)3], Hematite (Fe2O3), Goethite (Fe3O(OH), Nacrite

A B C

Page 53: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 3

[Al2Si2O2(OH)4] (termasuk jenis lempung). Hasil analisis baik secara mikroskopik maupun

dengan metoda X-RD, menunjukkan bahwa sebagian bauksit mengandung mineral

lempung yang berpotensi terjadinya kekeruhan perairan.

Gambar 4.2 Fotomikrograf kenampakan mikroskop polarisasi pada sayatan tipis (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot)

Si Se

Gb Ku

Lp Gt

Gb

Gb

Lp Gt

Lp Gt Si A. Kijang 1

Gb

Mk

Gb

Gt

Gb,

Gb Gt, Lp Gb

Gt/Lm

Ku B. Kijang 2

Gb

Ku

Mk, Si, Gt

Gb

Mk, Si, Gt

Ok

C. Mamot

Page 54: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 4

Gambar 4.3 Defraktogram X-RD (Sample Kijang 1, Kijang 2, Mamot)

Komposisi Kimia Hasil analisis kimia terhadap ke-tiga conto bijih bauksit dengan menggunakan AAS

seperti disajikan pada Tabel 4.1.

Berdasarkan hasil analisis tersebut, menunjukkan bahwa bijih bauksit Pulau

Bintan didominasi oleh mineral gibsite, dengan kandungan Al2O3 berkisar antara 47,31 %

- 49,39 %, dan kandungan Fe2O3 sekitar 1,53 - 7,49 %. Sementara kandungan mineral

lempung berupa nacrite yang cukup tinggi, yakni sekitar 30 % serta mempunyai densitas

rata-rata sebesar 2.54. Sedangkan bijih yang berasal dari Pulau Mamot, sementara

cenderung dapat dikatakan sebagai bijih besi, karena kandungan mineralnya lebih

didominasi oleh mineral hematite dan goetite dengan kadar Fe2O3 sekitar 36,74 % lebih

tinggi dibanding kadar Al2O3 yang hanya sekitar 17,31 %. Sementara kandungan mineral

lempung lebih rendah, yaitu hanya sekitar 10 %, namun mempunyai densitas rata-rata

lebih tinggi dibandingkan dengan bijih bauksit, yaitu sekitar 2,68.

A. Kijang 1

B. Kijang 2

C. Mamot

Nacrite

Gibssite Hematite

Gouthite

Nacrite

Nacrite

Gibbsite Hematite

Gibbsite

Gouthite

Hematite

Page 55: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 5

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

0.001 0.01 0.1 1 10

JUM

LAH

LOLO

S S

ARIN

GAN

(%

)

DIAMETER BUTIR

GRAFIK PEMBAGIAN BUTIR - ASTM

BINTAN

Tabel 4.1 Hasil analisis kimia sample bijih bauksit (Kijang 1, Kijang 2, Mamot)

No Komponen Oksida (% berat)

Kadar oksida conto bijih bouksit, % Keterangan

Kijang 1 Kijang 2 Mamot 1 Silicone dioxide (SiO2) 13,85 8,92 7,56 Gravimetry 2 Titanium diuxide (TiO2) 1,21 3,59 12,37 Spectrophotometry3 Aluminium trioxside

(Al2O3) 49,37 47,31 17,31 Titration

4 Iron trioxside (Fe2O3) 1,53 7,49 36,74 AAS 5 Manganase oxide (MnO) 0,06 0,11 0,11 AAS 6 Magnesium oxide (MgO) 0,00 0,00 0,00 AAS 7 Calcium oxide (CaO) 0,01 0,01 0,00 AAS 8 Potassium oxide (K2O) 0,03 0,06 0,56 AAS 9 Sodium oxide (Na2O) 0,93 1,44 5,19 AAS

10 Phosphoric (P2O5) 3,98 5,71 4,68 Spectrophotometry11 Moisture content (H2O-) 2,93 1,92 3,34 Gravimetry 12 Volatic content (H2O+) 24,65 22,15 10,18 Gravimetry 13 LOI (Ignition Loss) 28,93 25,32 15,38 Gravimetry

Distribusi Ukuran Butir

Gambar 4.4. Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Bintan berdasarkan ASTM

Page 56: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 6

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

70.00

80.00

90.00

100.00

0.001 0.01 0.1 1 10

JUM

LAH

LOLO

S SA

RIN

GAN

(%

)

DIAMETER BUTIR

GRAFIK PEMBAGIAN BUTIR - ASTM

LINGGA

Gambar 4.5 Grafik distribusi ukuran besar butir sample bauksit Pulau Mamot berdasarkan ASTM

Densitas

Tabel 4.2 Hasil analisis densitas contoh bijih bauksit Pulau Bintan dan Pulau Mamot

NO. CONTOH Pulau Bintan Pulau MamotKEDALAMAN Stockpile Permukaan tanah WAKTU PENGERJAAN 12 Oktober 2010 12 Oktober 2010 NO. PIKNOMETER 18 20A 17 5A BERAT PIKNOMETER + TANAH (W1) ggrr 64.34 65.09 66.91 65.05 BERAT PIKNOMETE (W2) gr 50.23 51.42 52.15 51.06 BERAT TANAH WT=W1-W2 gr 14.11 13.67 14.76 13.99 SUHU oC 24 24 24 24 PIKNOMETER + AIR + TANAH (W3) gr 160.02 157.63 165.35 158.88 PIKNOMETER + AIR PADA oC (W4) gr 151.49 149.3 156.53 150.50 KOREKSI SUHU 0.9973 0.9973 0.9973 0.9973 (W1-W2) + W4 (W5) gr 165.600 162.970 170.867 164.084 ISI TANAH (W5 - W3) gr 5.58 5.34 5.52 5.20BERAT JENIS WT/(W5-W3) gr/cm2 2.5287 2.5599 2.6752 2.6885 BERAT JENIS RATA-RATA 2.5443 2.6818

Page 57: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 7

4.1.3 Jumlah Ijin Usaha Pertambangan Sejarah aktivitas pertambangan bijih bauksit di daerah Kijang dimulai pada tahun 1924,

yakni sejak diketemukannya cebakan bauksit oleh sebuah perusahaan Belanda, NV

Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM). Namun NIBEM baru mulai

melaksanakan penambangannya pada tahun 1935 hingga tahun 1942. Pada tahun 1942

hingga 1945, usaha pertambangan tersebut diambil alih oleh pihak Pemerintah Jepang

melalui perusahaan Furukawa Co.Ltd. Sekitar tahun 1959, usaha pertambangan tersebut

kembali ditangani oleh NV Nederland Indische Bauxiet Exploitatie Maatschappij (NIBEM).

Setelah tahun 1959, kegiatan pertambangan bauksit ini diambil alih oleh Pemerintah

Republik Indonesia dengan mendirikan PT Pertambangan Bauoksit Indonesia (PERBAKI)

yang kemudian dilebur menjadi PN Pertambangan Bauksit Indonesia yang berada di

lingkungan BPU PERTAMBUN. Tahun 1968, BPU PERTAMBUN bersama-sama dengan

PN, PT dan proyek-proyek lainnya dalam lingkungan BPU PERTAMBUN dilebur kedalam

PN Aneka Tambang (Persero) yang selanjutnya berganti nama menjadi PT Aneka

Tambang. Tbk.

Semenjak paska penambangan bauksit oleh PT Aneka Tambang, kini telah

dilakukan kembali kegiatan inventarisasi dan evaluasi terhadap area bekas tambang

bauksit di wilayah PT Aneka Tambang dan pengamatan lapangan pada perusahaan-

perusahaan tambang yang kini masih aktif. Perusahaan-perusahaan pertambangan

tersebut diantanya adalah: Perusahaan tambang granit PT. Bukit Panglong di daerah

Panglong (Kijang), CV Kijang Jaya dan PT Mitra Investindo di daerah Galang Batang,

Kecamatan Gunung Kijang, serta Perusahaan tambang pasir PT Anyer Raja Utama dan

PT Pulau Batu Mulia. Namun dengan diterbitkannya Keputusan Kementrian Perdagangan

Nomor 2 tahun 2007, yakni kebijakan pemerintah tentang pelarangan ekspor pasir darat,

sehingga produksi penambangan pasir kini cenderung turun, karena hanya untuk

memenuhi kebutuhan di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya.

Kini jumlah ijin usaha pertambangan di Kabupaten Bintan meningkat kembali,

secara keseluruhan tercatat sebanyak 20 perusahaan, yang mencakup 3 (tiga) jenis

komoditi bahan tambang, yaitu pasir darat (6 perusahaan), granit (5 perusahaan) dan

bouksit (9 perusahaan). Dari seluruh jumlah ijin usaha pertambangan tersebut, 3

perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan selebihnya 17 perusahaan sudah dalam

tahap eksploitasi (produksi) meskipun ada sebagian yang sudah tidak aktif lagi. Data

tentang jenis bahan tambang, lokasi, luas dan kondisi dan jumlah ijin usaha

pertambangan tersebut secara rinci disajikan pada Tabel 4.3.

Page 58: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 8

Tabel 4.3 Jenis, lokasi, luas dan kondisi bahan tambang di Kabupaten Bintan (2010)

No

Jenis No dan Tgl Lokasi Luas Status Nama Perusahaan SIUP Bahan tambang (Ha) Kondisi

Pasir Darat

1 PT.Tri Panorama Setia 244/V/2009, 5 Mei 2009 Kec.Gunung Kijang 45.5 Produksi

2 PT.Buana Bangun Sejati

259/V/2009, 20 Mei 2009

Kec.Seri Kuala Loban 71.12 Produksi

3 PT.Sri Jaya Abadi 227/IV/2009, 27 April 2009

Teluk Bakau, Kec G.Kijang 10 Produksi

4 PT.Bintang Mas Jaya 408/X/2009, 13 10 2009 Kec.Tel Bintan 35.1 Produksi

5 PT.Shanindo Indah 488/XII/2009, 30 12 2009 Kec.G.Kijang 44.23 Produksi

6 PT.Bintan Inti Sukses 298/VI/2010, 23 Jun 2010 Kec.G.Kijang 57.14 Produksi

Granit

1 PT.Bukit Panglong 244/V/2009, 5 Mei 2009 Kec.Gunung Kijang 41.78 Produksi

2 PT.Sindo Mandiri 259/V/2009, 20 Mei 2009

Kec.Seri Kuala Loban 22.98 Produksi

3 PT.Mitra Investindo 227/IV/2009, 27 April 2009

Teluk Bakau, Kec G.Kijang 63.72 Produksi

4 PT.Bintan Nusa multi 408/X/2009, 13 10 2009 Kec.G.Kijang 42.5 Produksi

5 PT.Bina Riau Jaya 488/XII/2009, 30 12 2009 Kec.Tel Sebaong 26.2 Produksi

Bauksit

1 PT.Gunung Sion 173/III/2010, 23 Mei 2010

Kec.Bintan Pesisir Kec.Batang 577.9

Perpanjangan IUP

2 PT.Gunung Kijang Jaya Lestari

174/III/2010, 29 3 2010

Desa G.Kijang, Kec.G.Kjang 19

Perpanjangan IUP

3 PT.Danpac Resources 217/IV/2009, 26 April 2010 P.Matang Baru 186.5

Perpanjangan IUP

4 PT.Wahana karya Suksesindo

352/VIII/2008, 13 8 2008 Kec.Bintan Timur 195.8 Produksi

5 PT.Bina Riau Jaya 488/XII/2009, 30 12 2009 Kec.Tel Sebaong 26.2 Produksi

6 PT.Bintang Cahaya Terang

385/IX/2010, 07 Sep 2010 Kec.Tel Bintan 148.2 Produksi

7 PT. Gunung Bintan Abadi

219/IV/2010, 26 April 2010

Kec.Tel Bintan, Kec.Bintan Pesisir -

IUP Eksplorasi

8 PT.Lobindo Nusa Persada

127/III/2010, 12 3 2010 Kec.Bintan Timur 373.7

IUP Eksplorasi

9 PT.Tunggul Ulung Makmur

49/I/2010, 28 Jan 2010 Kec.Bintan Pesisr 62.4

IUP Eksplorasi

Jumlah total 2050 *) Sumber : Dinas ESDM – Kabupaten Bintan

Page 59: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 9

Sedangkan jumlah ijin usaha pertambangan yang berada di Kabupaten Lingga

relatif lebih banyak dibandingkan yang berada di Kabupaten Bintan, secara keseluruhan

tercatat sebanyak 29 perusahaan yang mencakup 2 (dua) komoditi bahan tambang, yaitu:

bijih timah putih (9 perusahaan) dan bijih bauksit (20 perusahaan). Dari seluruh jumlah

ijin usaha pertambangan tersebut, 15 perusahaan masih dalam tahap eksplorasi dan

selebihnya 14 perusahaan sudah dalam tahap eksploitasi. Data tentang jenis bahan

tambang, lokasi, luas dan kondisi dan jumlah ijin usaha pertambangan tersebut secara

rinci disajikan pada Tabel 4.4.

Tabel 4.4 Jenis bahan tambang, nama perusahaan, lokasi dan kondisi (2010) di Kabupaten Lingga

No Jenis bahan tambang

dan Nama Perusahaan

Lokasi Kondisi

Timah putih 1 PT.Singkep Timah Mas Kec.Singkep Selatan dan Barat Eksploitasi 2 PT.Nusantara Resources Desa Kuala Raya, Kec Singkep Barat Eksplorasi 3 PT.Nusantara Resources Laut Teluk Baruk, Kec.Singkep Eksplorasi 4 PT.Singkep Tin Mining Laut Kruing, Kec.Singkep Eksplorasi 5 PT.Citra Dana Laut Singkep, Kec.Singkep Eksplorasi 6 PT.Singkep Timas Utama Kec.Singkep Selatan dan Barat Eksplorasi 7 PT.Citra Dana Laut Singkep, Kec.Singkep Eksplorasi 8 PT.Singkep Tin Mining Laut Lanjut Singkep, Kec.Singkep Eksplorasi 9 PT.Bumi Mineral Perindo Laut Cibia, Kec.Lingga Eksplorasi

Bouksit 1 PT.Telaga Bintan Jaya Desa Penuba, P.Selayar, Lingga Eksploitasi

2 PT.Pinarik Hitam Desa Selayar, Tanjung Dua, Kec.Lingga Eksploitasi

3 PT.Kampung Lepan Mulya P.Selayar, Desa Penuba, Kec.Lingga Eksploitasi

4 PT.Sanmas Mekar Abadi P.Lingga Desa Sekanah, Kec Lingga Utara Eksploitasi

5 PT.Impian Cipta Bintan Sukses Desa Bakong, Kec.Singkep Barat Eksploitasi

6 PT.Hermina Jaya Desa Marok Tua, Kec Singkep Barat Eksploitasi

7 PT.Sumber Prima Lestari P.Bendahara,Desa Posek,Kec.Singkep Barat Eksploitasi

8 PT.Telaga Bintan Jaya Tanjung Baru Tinjul,KualaRaya,Singkep Barat Eksploitasi

9 PT.Karya Bintan Perkasa P.Kentar, Kec.Senayang Eksploitasi

10 PT.Telaga Bintan Jaya Langkap Desa Bakong, Kec Singkep Barat Eksploitasi

Page 60: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 10

11 PT.Sanmas Mekar Abadi Desa Marok Kecil, Kec Singkep Eksploitasi

12 PT.Telaga Bintan Jaya Bukit Belah Panggah S. Buluh, Kec Singkep Barat Eksploitasi

13 PT.Sanmas Mekar Abadi Desa Sakanah, Kec.Lingga Utara Eksploitasi

14 PT.Citra Lingga Abadi P.Panjang Desa Posek, Kec.Singkep Barat Eksplorasi

15 PT.Citra Lingga Abadi P.Rusuk Buaya Desa Posek, Kec.Singkep barat Eksplorasi

16 PT.Sumber Prima Lestari Pulau Posek, Desa Posek, Kec.Singkep Barat Eksplorasi

17 PT.Citra Lingga Abadi P.Simping Desa Posek, Kec.Singkep Barat Eksplorasi

18 PT.Telaga Bintan Jaya Desa Bakong/Cukas, Kec.Singkep Barat Eksplorasi

19 PT.Gunung Bintan Abadi Desa Mamut, P.Mamut, Kec.Senayang Eksplorasi

20 PT.Lingga Bauksit Bersama P.Sebangka, Kec.Senayang Eksplorasi

*) Sumber : Dinas ESDM – Kabupaten Lingga

4.1.4 Sistem dan Metoda Penambangan Sistem penambangan yang diterapkan pada umumnya adalah sistem tambang terbuka

(surface mining) dengan metoda penambangan (open cash dan/atau atau open pit) yang

dilakukan secara berjenjang (benching). Aktivitas penambangan dengan sistem tambang

terbuka minimal terdiri dari 5 (lima) tahapan kegiatan, yakni: tahap persiapan

(development), dimulai sejak dari pembersihan lahan (land clearing) dan pengupasan

tanah penutup (stripping of overburden) hingga pembangunan infrastruktur. Tahap

penambangan terdiri dari penggalian, pemuatan, pengangkutan dan penampungan

menuju ke (stockpile). Tahap pengolahan produk : seperti reduksi ukuran besar butir,

pencampuran (mixing) dan pencucian. Tahap pemasaran : pemuatan dan pengapalan.

Tahap terakhir adalah paska tambang (reklamasi).

Sebagai gambaran tentang aktivitas penambangan bijih bauksit diperlihatkan pada

(Gambar 4.6), yaitu semenjak tahap persiapan hingga tahap pemasaran produk

dilakukan dengan bantuan peralatan berat. Beberapa jenis alat berat, seperti bouldozer

digunakan sebagai alat gali dan alat dorong dalam pekerjaan stripping dan land clearing.

Sementara back hue disamping digunakan sebagai alat gali juga sekaligus sebagai alat

muat, whell loader digunakan sebagai alat muat, serta dump truck digunakan sebagai alat

angkut. Sedangkan di laut umumnya digunakan tongkang yang ditarik oleh toughboat

(Gambar 4.7).

Page 61: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 11

Gambar 4.6 Foto aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang, Pulau Bintan

Gambar 4.7 Foto aktivitas pengangkutan (pengapalan) bauksit di daerah Kijang

Sedikit berbeda dengan aktivitas penambangan bijih bauksit maupun bijih besi,

penambangan batuan granit (andesit) sebagai agregat bahan bangunan yang dilakukan

melalui pengambilan/ pengumpulan batuan andesit berbentuk boulder yang banyak

tersebar di wilayah usaha pertambangan. Sebagian besar boulder tersebut diangkut ke

beberapa lokasi unit pemecahan batu untuk direduksi ukurannya secara manual

(konvensional) dengan melibatkan masyarakat penambang setempat secara

berkelompok, sementara boulder yang berukuran lebih kecil langsung diangkut ke unit

cruhing plant yang berada di dekat pantai. Produk batu belah yang dihasilkan oleh

masyarakat penambang, selanjutnya diangkut ke lokasi crushing plant untuk mereduksi

menjadi ukuran yang lebih kecil sebagai produk agregat dalam berbagai ukuran yang siap

untuk dipasarkan (Gambar 4.8 ).

Lain halnya dengan penambangan pasir darat (kuarsa) yang menempati kolam-

kolam bekas area penambangan terdahulu, pada umumnya dilakukan oleh kelompok

Page 62: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 12

masyarakat penambang yang dikelola oleh KUD. Penambangan dilakukan secara

konvensional dengan menggunakan pompa hisap yang ditaruh diatas rakit yang

dilengkapi dengan saringan sederhana (Gambar 4.9). Hasil penambangan pasir kuarsa

tersebut, selanjutnya diangkut ke dermaga (pengapalan) untuk di ekspor ke Singapura

sebagai bahan agregat untuk campuran beton bertulang.

Gambar 4.8 Foto aktivitas reduksi ukuran butir (crushing plant) granit (andesit)

Gambar 4.9 Foto aktivitas penambangan pasir darat (kuarsa)

Page 63: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 13

4.1.5 Aspek Perlindungan Lingkungan Hampir semua aktivitas pertambangan berpotensi terjadinya perubahan kualitas

lingkungan perairan, mulai dari ketika pembukaan lahan, pembangunan infrastruktur,

penambangan, pengangkutan, penimbunan di stockpile hingga ke pemasaran

(pengapalan). Perubahan tersebut terutama jika turun hujan, dimana tumpukan material

lepas terangkut oleh air hujan dan mengalir melalui sungai yang pada ujungnya bermuara

ke perairan laut. Oleh karena itu, dalam pengelolaan pertambangan perlu dilakukan

secara baik dan benar, atau paling tidak mempunyai kepedulian terhadap lingkungan di

sekitarnya. Kepedulian lingkungan tidak hanya dilakukan pada tahap paska tambang,

melainkan dilakukan semenjak awal perencanaan tambang sudah dipikirkan.

Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan, menunjukkan bahwa sebagian besar

usaha pertambangan baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga masih

kurang kepedulian terhadap lingkungan. Terutama aktivitas penimbunan (stockpile) dan

pemuatan di dermaga (jeti) tempat pengapalan bahan tambang yang akan di eksport,

yang pada umumnya tidak dibuat benteng maupun kolam pengendapan. Ketika terjadi

turun hujan, sebagian material lepas (bijih bouksit) terbawa air hujan mengalir menuju ke

laut, sehingga dapat mengakibatkan air laut menjadi keruh sebagaimana diperlihatkan

pada gambar 4.10, dengan demikian dapat menimbulkan terjadinya perubahan kualitas

perairan yang berujung pada perubahan ekosistem perairan dan degradasi lingkungan

perairan.

Gambar 4.10 Foto perbedaan kekeruhan air laut di sekitar jeti ketika turun hujan

Page 64: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 14

4.2 Kajian Kondisi Perairan

4.2.1 Parameter Fisik Air Komponen parameter fisik air yang diamati dan akan digunakan sebagai indikator dalam

kajian ini, yakni : derajat keasaman (pH), temperatur, daya hantar listrik (DHL), salinitas,

total disolved solid (TDS), total suspended solid (TSS), kekeruhan dan kecerahan. Hasil

analisis terhadap sample air yang diambil di lokasi wilayah kajian (Gambar 4.11), baik di

perairan timur Pulau Bintan (kode sample BT) maupun di perairan utara Kepulauan

Lingga (kode sample MT) disajikan pada Tabel 4.5.

Gambar 4.11 Foto aktivitas sampling parameter perairan

Tabel 4.5 Hasil analisis parameter fisik perairan

No Kode Sample

Koordinat Komponen parameter fisik air

X Y pH Suhu DHL Salinitas TDS TSS Kekeruhan- oC μS/cm o / oo mg/l mg/l NTU

01 BT- 01 456621 108962 6.13 28.1 256 0.0 132 50 0.88

02 BT- 02 459454 109695 6.68 26.8 90 0.0 122 50 4.02

03 BT- 03 449646 133191 6.88 26.6 6430 3.4 340 56 6.59

04 BT- 04 459479 109708 8.26 26.4 50900 33.6 49396 46 0.28

05 BT- 05 470193 102942 8.47 28.6 50200 32.9 59406 36 0.56

06 BT- 06 477029 110365 8.38 29.5 43600 29.0 58754 36 15.2

07 BT- 07 461769 100625 8.38 27.2 42700 27.5 46990 142 98.8

08 BT- 08 457824 99350 5.70 27.3 34 0.0 134 36 0.74

09 BT- 09 457178 87089 8.41 27.0 46100 30.1 49246 52 61.6

10 BT- 10 462444 101193 8.45 27.5 47900 31.4 48754 52 0.82

11 BT- 11 461961 105474 8.40 27.9 47000 30.5 61006 36 0.29

12 MT- 01 443820 14214 6.89 27.0 43 0.0 104 28 0.67

13 MT- 02 445906 12102 8.36 28.6 45200 29.5 46490 40 0.62

14 MT- 03 448047 10814 8.53 27.3 45900 29.7 48680 38 0.43

15 MT- 04 449706 9122 8.44 27.6 45600 29.5 52382 34 0.82

Page 65: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 15

4.2.2. Parameter Kimia Air dan Kandungan Unsur Logam Berat Komponen parameter kimia air yang diamati hanya terbatas pada parameter kimia air

yang mencakup : DO, COD, nitrit, nitrat, amonium dan zat organik (Tabel 4.6). Disamping

itu juga dilakukan analisis terhadap kandungan unsur logam berat seperti unsur : Cu, Pb,

Zn, Fe, Cd, Cr dan Al. Seperti diketahui bahwa kandungan unsur logam berat juga

termasuk parameter yang diperlukan dalam menilai perubahan kualitas perairan

sebagaimana dipersyaratkan oleh KLH. Hasil analisis unsur logam berat di wilayah kajian

tersebut disajikan pada Tabel 4.7 walaupun tidak semua unsur logam berat dianalisis,

namun paling tidak dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan dalam kajian ini.

Tabel 4.6 Hasil analisis parameter kimia perairan

No. Kode

Sample

Koordinat Parameter kimia air

DO Nitrat Nitrit NH4 PO4 Zat.Org COD

X Y mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter

01 BT- 01 456621 108962 3.95 0.346 ttd 0.45 0.45 13.37 48.16

02 BT- 02 459454 109695 5.05 0.651 ttd 0.78 0.42 31.14 36.72

03 BT- 03 449646 133191 3.99 0.602 ttd 0.23 ttd 41.52 54.01

04 BT- 04 459479 109708 5.95 0.415 ttd 0.39 0.17 53.68 36.48

05 BT- 05 470193 102942 5.78 0.365 ttd 0.08 0.18 28.05 57.24

06 BT- 06 477029 110365 5.77 0.377 ttd 0.14 0.16 15.72 55.08

07 BT- 07 461769 100625 5.78 0.404 ttd 0.26 0.17 15.41 59.41

08 BT- 08 457824 99350 3.04 0.709 ttd 0.22 0.25 32.16 46.04

09 BT- 09 457178 87089 5.88 0.426 ttd 0.24 0.18 32.16 44.28

10 BT- 10 462444 101193 6.11 0.408 ttd 0.01 0.19 29.36 32.41

11 BT- 11 461961 105474 6.38 0.423 ttd 0.18 0.17 38.89 29.16

12 MT- 01 443820 14214 5.52 0.354 ttd 0.21 0.67 3.23 48.60

13 MT- 02 445906 12102 6.14 0.468 ttd 0.19 0.20 64.30 61.56

14 MT- 03 448047 10814 6.54 0.499 ttd 0.29 0.17 35.44 59.40

15 MT- 04 449706 9122 5.78 0.392 ttd 0.17 0.16 36.10 48.60

Page 66: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 16

Tabel 4.7 Hasil analisis kandungan unsur logam berat perairan

No. Kode

Sample

Koordinat Kandungan unsur logam berat

Cu Pb Zn Fe Cd Cr Al

X Y mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter mg/liter

01 BT- 01 456621 108962 0.027 0.031 0.047 1.006 0.278 0.040 0.312

02 BT- 02 459454 109695 0.032 0.035 0.072 1.247 0.281 0.039 0.325

03 BT- 03 449646 133191 0.033 0.037 0.066 0.988 0.403 0.041 1.575

04 BT- 04 459479 109708 0.041 0.042 0.067 1.012 0.517 0.030 1.600

05 BT- 05 470193 102942 0.098 0.071 0.091 1.111 0.666 0.042 2.013

06 BT- 06 477029 110365 0.096 0.098 0.114 0.907 0.704 0.037 1.742

07 BT- 07 461769 100625 0.098 0.098 0/113 1.305 0.862 0.048 1.426

08 BT- 08 457824 99350 0.099 0.081 0.112 1.021 0.875 0.030 1.389

09 BT- 09 457178 87089 0.116 0.091 0.126 0.994 0.776 0.034 2.111

10 BT- 10 462444 101193 0.085 0.086 0.121 1.010 0.993 0.031 1.964

11 BT- 11 461961 105474 0.091 0.091 0.115 1.234 1.002 0.055 1.783

12 MT- 01 443820 14214 0.096 0.010 0.120 0.987 0.741 0.043 1.888

13 MT- 02 445906 12102 0.097 0.107 0.118 1.026 0.863 0.040 1.065

14 MT- 03 448047 10814 0.136 0.140 0.091 0.941 0.542 0.037 1.942

15 MT- 04 449706 9122 0.135 0.140 0.101 1.110 0.708 0.040 1.965

4.2.3 Parameter Biota Perairan Komponen biota perairan yang diamati dalam kajian ini, terbatas pada 3 (tiga) komponen,

yakni: phytoplaknton, zooplankton, dan nekton (ikan) walaupun masih ada komponen

lainnya seperti benthos. Meskipun demikian, komponen-komponen tersebut merupakan

refleksi dari keberadaan dan dinamika lingkungan kimia-fisik perairan. Keberadaan ke-tiga

komponen tersebut akan saling berkaitan dalam rangkaian fungsi kehidupan yang

tercermin di dalam ekosistem perairan.

Phytoplankton : Phytoplankton berupa jazad renik yang melayang bebas dipermukaan atau melayang dan

hanyut terbawa aliran arus serta mampu berphotosynthesis. Phytoplankton merupakan

dasar dari rantai makanan di laut sebagai produsen primer. Dengan demikian,

phytoplankton mampu mengubah zat hara menjadi senyawa organik yang kaya akan

energi melalui photosynthesis. Oleh karena itu, phytoplankton memegang peranan

penting dalam kehidupan organisme aquatik lainnya yang berada pada jenjang trofik di

atasnya.

Page 67: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 17

Struktur komunitas dan kelimpahan phytoplankton akan berpengaruh terhadap

struktur dan kelimpahan produsen sekunder seperti zooplankton dan organisme herbivora

lainnya sesuai dengan kaidah transfer energi melalui jejaring makanan. Hasil pencacahan

kandungan phytoplankton di sekitar perairan timur Pulau Bintan dan perairan Pulau

Mamot disajikan pada Tabel 4.8. Sebaran setiap jenisnya tidak merata, namun dari jenis

yang ditemukan pada setiap lokasi sampling yang paling sering dijumpai adalah

Coscinodiskus oculus iridis Kelimpahan pada setiap titik pengamatan berkisar antara 33 –

44.484 individu/liter.

Tabel 4.8 Hasil pencacahan phytoplankton/liter

No Kode Sample Koordinat

Jenis Organisma Phytoplankton Bacteriastrum Sp

Bidulphia sinensis

Cerataulina Sp

Coscinodiskus oculus

iridis

Cylindro theca Sp

Fragitaria Sp

01 BT- 01 456621 108962 02 BT- 02 459454 109695 33 03 BT- 03 449646 133191 33 264 04 BT- 04 459479 109708 33 99 05 BT- 05 470193 102942 33 66 132 06 BT- 06 477029 110365 66 198 07 BT- 07 461769 100625 198 08 BT- 08 457824 99350 - 33 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 66 33 363 11 BT- 11 461961 105474 99 33 231 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 198 660 14 MT- 03 448047 10814 33 1.419 15 MT- 04 449706 9122 99 792

No Kode Sample Koordinat

Jenis Organisma Phytoplankton Gymnozyga

monolitiformis

Hemidiscus Sp

Hyalotheca dissilien

Lauderia Sp

Phormidium Sp

Rhizosolenia

clevel

01 BT- 01 456621 108962 02 BT- 02 459454 109695 33 03 BT- 03 449646 133191 33 04 BT- 04 459479 109708 66 05 BT- 05 470193 102942 132 330 06 BT- 06 477029 110365 66 99 07 BT- 07 461769 100625 66 66 08 BT- 08 457824 99350 10.263 1.089 429 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 462 11 BT- 11 461961 105474 132 132 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 66 297 165 14 MT- 03 448047 10814 198 165 15 MT- 04 449706 9122 66 66

Page 68: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 18

No Kode Sample Koordinat

Jenis Organisma Phytoplankton Rhizosolenia

imbricata Rhizosolenia

styliformis Spaerozosma aubertianum

Thallasiothrix nitzschiodes

Uithona Sp

01 BT- 01 456621 108962 33 02 BT- 02 459454 109695 132 03 BT- 03 449646 133191 04 BT- 04 459479 109708 132 05 BT- 05 470193 102942 396 561 06 BT- 06 477029 110365 33 33 07 BT- 07 461769 100625 33 231 33 08 BT- 08 457824 99350 30.261 2.409 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 528 66 11 BT- 11 461961 105474 3.366 4.785 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 165 14 MT- 03 448047 10814 33 15 MT- 04 449706 9122

Zooplankton : Zooplankton menempati tingkat tropik kedua setelah phytoplankton dan merupakan pakan

utama bagi beberapa jenis ikan. Keberadaan zooplankton dalam ekosistem perairan

banyak ditentukan oleh ketersediaan phytoplankton. Hasil pencacahan kandungan

zooplankton di sekitar perairan timur Pulau Bintan dan perairan utara Kepulauan Lingga

disajikan pada Tabel 4.9 Kandungan zooplankton berkisar antara 33 – 1.320 individu/

liter.

Tabel 4.9 Hasil pencacahan zooplankton / liter

No Kode Sample Koordinat

Jenis Organisma Zooplankton Calanus

Sp Corycaeus

Sp Cyclops

Sp Euterpina

Sp Naupliu

s Oithona

Sp 01 BT- 01 456621 108962 33 33 02 BT- 02 459454 109695 66 33 03 BT- 03 449646 133191 33 33 04 BT- 04 459479 109708 05 BT- 05 470193 102942 33 06 BT- 06 477029 110365 33 33 07 BT- 07 461769 100625 198 66 33 132 08 BT- 08 457824 99350 66 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 66 33 11 BT- 11 461961 105474 132 99 33 33 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 33 33 14 MT- 03 448047 10814 33 15 MT- 04 449706 9122 594 66 66 264 99 231

Sementara hasil perhitungan ID Phytoplankton di perairan laut nilai terendah 0,39

dan nilai terbesar 0.78, sedangkan ID zooplankton nilai terendah 0,45 dan nilai terbesar

0.72. Nilai ID Simpson Total berkisar antara 0,49 hingga 0,86 (Tabel 4.10) .

Page 69: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 19

Tabel 4.10 Hasil perhitungan ID. Simpson

No Kode Sample Koordinat

Jumlah Phytoplankt

on

ID SimpsonPhytoplankt

on

Jumlah Zooplank

ton

ID Simpson Phytoplankton

Jumlah Total

ID Simpson

Total 01 BT- 01 456621 108962 33 0 66 0.51 99 0.68 02 BT- 02 459454 109695 198 0.51 99 0.45 297 0.78 03 BT- 03 449646 133191 330 0.35 66 0.51 396 0.53 04 BT- 04 459479 109708 330 0.71 0 - 330 0.71 05 BT- 05 470193 102942 1650 0.78 33 0 1683 0.79 06 BT- 06 477029 110365 495 0.76 66 0.51 561 0.81 07 BT- 07 461769 100625 627 0.74 429 0.67 1056 0.86 08 BT- 08 457824 99350 44.484 0.49 66 0 44.550 0.49 09 BT- 09 457178 87089 Tidak dilakukan sampling 10 BT- 10 462444 101193 1.518 0.73 99 0.45 1.617 0.76 11 BT- 11 461961 105474 8.778 0.56 297 0.67 9.075 0.59 12 MT- 01 443820 14214 Tidak dilakukan sampling 13 MT- 02 445906 12102 1.551 0.74 66 0.51 1.617 0.76 14 MT- 03 448047 10814 1.848 0.39 33 0 1.881 0.42 15 MT- 04 449706 9122 1.023 0.39 1.320 0.72 2.343 0.80

Nilai kisaran tersebut memperlihatkan adanya ekosistem perairan yang masih

alami sampai ekosistem perairan yang telah mengalami pertubasi dengan adanya

penurunan nilai indeks hingga lebih kecil dari 0,6.

Nekton : Hasil wawancara dengan para nelayan di sekitar wilayah kajian diperoleh data jenis ikan

yang tertangkap seperti pelagis, demersal dan berbagai jenis ikan karang. Berdasarkan

kategori penggunaannya, terdapat dua kategori ikan karang, yakni : ikan karang konsumsi

dan ikan karang hias. Sumber daya non ikan yang juga merupakan potensi yang cukup

besar baik di Kabupaten Bintan maupun di Kabupaten Lingga adalah udang, kepiting,

penyu dan binatang lunak (moluska). Jumlah tangkapan ikan secara kuantitatif tidak

dapat dikumpulkan dari data primer mengingat terbatasnya waktu, namun menurut

informasi yang diperoleh dari Dinas Perikanan Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

hasil tangkapan ikan cukup potensial, dan bahkan kini telah diupayakan budidaya

beberapa jenis ikan komersial seperti jenis kerapu, sunu dan kakap di perairan laut

dangkal dengan menggunakan keramba jaring.

4.2.4 Kondisi Terumbu Karang Pengamatan terumbu karang dilakukan secara sepintas, yakni hanya ketika dilakukan

pada titik lokasi pengambilan sample parameter perairan. Walaupun demikian, nampak

bahwa terumbu karang di daerah perlindungan lingkungan (DPL) perairan pesisir timur

Pulau Bintan masih dalam kondisi baik. Namun pada bagian selatan dari perairan timur

Page 70: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 20

Pulau Bintan relatif rusak (mati). Kondisi tersebut dapat dipahami, mengingat

keberadaannya relatif dekat dengan aktivitas pengapalan bahan tambang (jeti) dan

merupakan peruntukan kawasan industri. Sedangkan terumbu karang di sekitar perairan

Pulau Tangkil terlihat mulai tumbuh kembali, terutama semenjak diberhentikannya

aktivitas penambangan pasir darat di pulau tersebut. Hasil pengamatan sepintas terhadap

terumbu karang di bagian barat Pulau Mapur yang relatif lebih lebar dibandingkan di

bagian timur Pulau Mapur, kondisinya tidak banyak mengalami perubahan yang cukup

berarti. Walaupun demikian, tingkat ancaman terhadap kerusakan terumbu karang akibat

gangguan manusia relatif tinggi mengingat kawasan tersebut dekat dengan wilayah

permukiman.

Sementara terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot masih dalam

kondisi lebih baik, bahkan menurut salah satu petugas PKL kini terumbu karang tumbuh

dengan baik. Kondisi tersebut terlihat ketika air laut sedang surut, permukaan terumbu

karang terlihat berwarna putih. Sebagai gambaran kondisi terumbu karang di sekitar

perairan pesisir Pulau Mamot diperlihatkan pada foto Gambar 4.12. Walaupun demikian,

kondisi perairan ini tidak jauh berbeda seperti kondisi di perairan barat Pulau Mapor yang

rentan terhadap gangguan manusia karena lokasi tersebut juga tidak jauh dengan wilayah

permukiman.

Gambar 4.12 Foto terumbu karang di sekitar perairan pesisir Pulau Mamot

Page 71: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 21

4.2.5 Kondisi Padang Lamun Hasil pengamatan padang lamun secara sepintas, menunjukkan bahwa hampir semua

kondisi padang lamun identik dengan kondisi terumbu karang untuk setiap lokasi titik

sampling. Sebagai gambaran tentang kondisi padanglamun tersebut diperlihatkan pada

foto Gambar 4.13 yang diambil di dekat lokasi bekas jeti (dermaga pengapalan pasir

darat) di bagian barat Pulau Pangkil.

Gambar 4.13 Foto padang lamun di perairan pesisir barat Pulau Pangkil.

4.2.6 Kondisi Vegetasi Bakau Berbagai jenis vegetasi mangrove yang dijumpai selama penelitian lapangan baik di

perairan sekitar Pulau Bintan hingga Pulau Mapor maupun di sekitar Pulau Mamot

(Kepulauan Lingga), namun pada umumnya didominasi oleh jenis bakau (Rhizopora

stylosa, Rhizopora alba) dan jenis bakau lainnya. Kondisi vegetasi mangrove di Pulau

Bintan kini mengalami berbagai tekanan akibat aktivitas pembangunan, seperti adanya

konversi hutan bakau menjadi lokasi pertambakan, pelabuhan, dermaga (jeti),

permukiman dan industri pertambangan maupun industri lainnya yang merupakan faktor

menurunnya jumlah hutan bakau. Salah satu gambaran tentang ancaman terhadap fungsi

hutan mangrove akibat aktivitas penambangan di Pulau Bintan seperti diperlihatkan pada

Gambar 4.14. Sementara kondisi vegetasi mangrove di perairan sekitar Pulau Mamot relatif lebih

sedikit mengalami tekanan dibandingkan di perairan sekitar Pulau Bintan. Walaupun

Page 72: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 IV - 22

kondisi lingkungan relatif cukup baik (Gambar 4.15), namun kekhawatiran terhadap

ancaman kerusakan masih tetap ada, seperti pemanfaatan sebagai bahan baku

pembuatan arang, bahan kayu dan keperluan rumah serta bangunan lainnya. Peluang

ancaman tersebut akan menjadi semakin besar, mengingat semakin meningkatnya

permintaan negara tetangga akan kayu bakau kecil dan kayu chip, sehingga

dikhawatirkan akan terjadi eksploitasi hutan bakau yang terus meningkat (Bappeda

Kabupaten Bintan, 2007).

Gambar 4.14 Foto kondisi mangrove di Pulau Bintan

Gambar 4.15 Foto kondisi mangrove di Pulau Mamot

Page 73: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 1

BAB - V

ANALISIS DAN DISKUSI

5.1 Aktivitas Penambangan Berpotensi Sebagai Sumber Dampak Terjadinya Perubahan Kualitas Perairan

Seperti telah dijelaskan pada Bab III, bahwa jumlah ijin usaha industri pertambangan di

Kabupaten Bintan kini tercatat sekitar 20 perusahaan pertambangan, yang terdiri dari 9

pertambangan bijih bauksit, 6 pertambangan pasir darat (kuarsa) dan 5 pertambangan

batuan granit (andesit). Berdasarkan SIUP tercatat 3 perusahaan berstatus tahap

ekplorasi dan 17 perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sementara jumlah ijin usaha

pertambangan di Kabupaten Lingga tercatat sebanyak 29 perusahaan pertambangan,

yang terdiri dari 20 pertambangan bijih bauksit dan 9 pertambangan bijih timah putih.

Berdasarkan SIUP tersebut tercatat 15 perusahaan yang berstatus ekplorasi dan 14

perusahaan berstatus tahap eksploitasi. Sebagai gambaran tentang jumlah SIUP dan

korelasinya terhadap distribusi lokasi aktivitas penambangan di Kabupaten Bintan dan

Kabupaten Lingga diperlihatkan pada Gambar 5.1 Maraknya jumlah aktivitas

penambangan tersebut cenderung berpeluang besar kemungkinan akan terjadinya

perubahan tingkat kekeruhan perairan disekitarnya.

Berdasarkan karakteristik cebakan baik bijih bauksit maupun batuannya, sistem

penambangan yang diterapkan pada umumnya sistem tambang terbuka (surface mining)

dengan metoda penambangan (open cash/open pit) yang dilakukan dengan cara

membuat jenjang (benching). Penerapan sistem tambang terbuka tersebut, relatif lebih

berpeluang terjadinya dampak negatif terhadap lingkungan perairan sekitarnya,

dibandingkan dengan sistem tambang bawah tanah (underground mining). Aktivitas

penambangan jika tidak dikelola dengan baik dan benar berpotensi terjadinya perubahan

tingkat kekeruhan perairan. Aktivitas penambangan selalu berhubungan dengan sifat

material lepas, pengoperasiannya mudah tercecer dan terbawa aliran air menuju sungai

dan bermuara di perairan. Tingkat kekeruhan dipengaruhi baik oleh faktor internal

Page 74: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 2

maupun faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu.

Gambar 5.1 Peta lokasi ijin usaha pertambangan di wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga

5.1.1 Faktor-faktor internal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu

terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan

1. Pengaruh Faktor Karakteristik Bijih Bauksit

Secara umum bijih bauksit berwarna coklat kemerahan yang terdiri dari fragmen dan

matriks yang telah mengalami pelapukan secara intensif dan terubah menjadi mineral

lempung dan oksida besi. Komposisi mineral utama berupa gibsite sebagai sumber

alumina dan goethite maupun hematite sebagai sumber oksida besi, sedangkan mineral

lainnya berupa kuarsa, silika halus, serisit dan limonit serta mineral lempung berupa

nacrite. Mineral yang berukuran halus (lempung) tersebut, jika terbawa air hujan

berpotensi meningkatkan tingkat kekeruhan perairan, sehingga dapat menimbulkan

terjadinya degradasi lingkungan perairan.

Page 75: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 3

Hasil analisis ukuran butir menunjukkan bahwa kandungan mineral lempung

(nacrite) pada bijih bouksit di daerah Kijang sekitar 30%, sedangkan kandungan mineral

lempung (nacrite) pada bijih bouksit (besi) di Pulau Mamot hanya sekitar 10%. Besar

kecilnya jumlah kandungan mineral lempung tersebut berpengaruh terhadap perubahan

tingkat kekeruhan perairan, semakin besar kandungan lempung pada bijih yang

ditambang akan semakin besar potensi terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan.

Terutama jika terjadi hujan, dimana material ringan akan mudah terbawa (hanyut) oleh air,

sehingga secara kasat matapun dapat terlihat perubahan tingkat kekeruhan perairan.

Demikian pula distribusi ukuran besar butir, karena mengingat semakin kecil ukuran besar

butir semakin berpotensi terbentuknya baik TDS maupun TSS. 2. Pengaruh Faktor Luas Bukaan Lahan Sejak sepuluh tahun terakhir pada abad ke-20 ini, kondisi kawasan kepulauan Bintan dan

Lingga telah mengalami gejala alam amat penting terutama yang berkaitan dengan

peristiwa anomali ekstrem cuaca dan iklim yang berdampak terhadap perubahan

lingkungan sebagai akibat adanya percepatan proses pelapukan, erosi dan sedimentasi

baik di darat maupun perairan laut. Proses tersebut akan semakin berpeluang besar

dampaknya, ketika permukaan lahan yang terbuka menjadi semakin luas. Dampak negatif

dari perubahan luas bukaan lahan ini akan menjadi lebih nyata ketika aktivitas manusia

mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade tahun 1980 hingga

sekarang. Seperti aktivitas penambangan bauksit maupun bahan tambang lainnya,

pemanfaatan lahan untuk perkebunan, pemukiman, perindustrian, pelabuhan, merupakan

aktivitas manusia yang dapat menimbulkan terjadinya ancaman berupa degradasi lahan,

akibat pelapukan, erosi, sedimentasi yang mekanismenya disajikan pada (Gambar 5.2).

Sementara laju pelapukan dan sedimentasi tersebut merupakan fungsi dari waktu

perubahan luas bukaan lahan. Gambaran tentang perubahan luas bukaan lahan sesungguhnya dapat dipantau melalui kenampakan dari citra satelit secara periodik

(Gambar 5.3 ).

Page 76: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 4

Gambar 5.2 Mekanisme pelapukan dan sedimentasi akibat perubahan bukaan lahan

di daratan yang berpengaruh hingga perairan laut.

Gambar 5.3 Perubahan luas bukaan lahan dapat dipantau dari kenampakan citra satelit

3. Pengaruh faktor jumlah produksi penambangan Berdasarkan catatan sejarah aktifitas pertambangan bouksit telah dilakukan sejak tahun

1923, dimana PT Aneka Tambang dimulai sejak tahun 1965 dan berakhir pada tahun

2008. Jumlah produksi bauksit sejak tahun 2004-2008 seperti disajikan pada Gambar 5.4.

Namum pada akhir-akhir ini, terdapat bahan tambang seperti timah, bijih besi, pasir darat,

granit, dan andesit. Besar dan kecilnya perubahan jumlah produksi bahan tambang akan

berpengaruh terhadap terjadinya perubahan tutupan lahan yang secara tidak langsung

merupakan fungsi dari terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan.

Page 77: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 5

Gambar 5.4 Grafik produksi bahan tambang (bauksit,granit,pasir) di Kabupaten Bintan dan Bintan Timur.

4. Pengaruh Faktor Kepedulian Terhadap Lingkungan Sebagaimana telah dijelaskan dalam konsep pengelolaan pertambangan yang baik dan

benar (Suyartono, 2003), adalah kaidah-kaidah yang harus dijalankan dalam proses

penambangan agar dapat memberikan keuntungan maksimal dengan dampak minimal.

Kegiatan pertambangan dituntut dan diawasi untuk selalu menerapkan kaidah tersebut,

terutama untuk menghindari kerugian lingkungan baik disengaja maupun tidak disengaja

dalam usaha mereka mengejar keuntungan yang sebesar-besarnya. Melalui konsep

Page 78: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 6

tersebut diharapkan dapat dihindari terjadinya pemborosan sumber daya, terlindunginya

fungsi-fungsi lingkungan serta keselamatan dan kesehatan para pekerja.

Faktor kepedulian terhadap lingkungan perlu dicanangkan sejak tahap awal

perencanaan, pelaksanaan penambangan hingga tahap penutupan dan paska tambang

secara jelas yang dilaksanakan secara konsekuen. Sebagai gambaran tentang

kepedulian terhadap lingkungan dalam pelaksanaan penambangan seperti diilustrasikan

pada bagan alir Gambar 5.5 dan Gambar 5.6 yang memperlihatkan tahapan kegiatan

penambangan dan pencucian bauksit secara jelas sehingga mudah untuk dipantau.

Sumber : PT. Aneka Tambang

Gambar 5.5 Bagan alir tahapan penambangan bijih bauksit hingga pengapalan.

Page 79: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 7

Sumber : PT. Aneka Tambang

Gambar 5.6 Bagan alir tahapan pencucian bijih bauksit.

Setiap tahapan aktivitas penambangan selalu dituntut dan diawasi kemungkinan

dampak negatif terhadap fungsi-fungsi lingkungan, seperti kawasan konservasi perairan

terumbu karang dan fungsi-fungsi lingkungan lainnya. Jika penambangannya dilakukan

secara baik dan benar, niscaya dapat dihindari terjadinya perubahan perairan dan / atau

akan terlindunginya fungsi-fungsi lingkungan.

5.1.2 Faktor-faktor eksternal penambangan yang ikut berperan sebagai pemicu terjadinya perubahan tingkat kekeruhan perairan

1. Pengaruh faktor iklim

Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa wilayah kajian termasuk iklim sub-

tropis (humid tropics) dengan curah hujan cukup tinggi dan musim hujan bisa terjadi

selama 10 bulan dalam satu tahunnya dengan hari-hari hujan yang tidak menentu. Curah

hujan yang tinggi akan mengangkut material lepas hasil pembongkaran bijih mengalir

melalui sungai dan bermuara ke laut, sehingga memicu terjadinya perubahan tingkat

kekeruhan perairan.

Page 80: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 8

Disamping itu, perubahan iklim seperti suhu udara, musim dan jumlah curah hujan

juga akan berpengaruh terhadap tingkat pelapukan batuan. Pada suhu udara sekitar

20oC, komponen oksida logam dari bauksit, yakni : Al2O3, Fe2O3, dan SiO2 akan mudah

terlarut. Cebakan bauksit residual, disamping terdiri dari Al2O3, Fe2O3, SiO2 dan TiO2 juga

mengandung unsur K, Na, Ca, Mg dan P dan S meskipun relatif kecil.

Pada musim hujan (basah) di daerah beriklim sub-tropis terjadi akumulasi CO2

bebas, larutan dalam tanah menjadi lebih bersifat asam sehingga terbentuk akumulasi

Al2O3 (Ph : 4-9, kelarutan alumina) dan terlepasnya unsur besi (Fe) Fe2O3 (Ph : < 3, Eh

rendah), sehingga terjadi pengkayaan alumina. Namun sebaliknya pada musim kemarau

(kering), unsur alkali dalam larutan terjadi substitusi dengan silika (Ph : <10, kelarutan

silika). Pada daerah sub-tropis, tambahan asam (humus) dan air hujan serta karbon

dioksida (CO2) merupakan reagen yang baik untuk mengubah batuan menjadi lempung

melalui pelapukan secara kimiawi. Karbon dan asam organik berkompeten melarutkan

silikat dan menghasilkan alkali karbonat yang mengandung silika. Karbon dioksida dalam

air hujan juga mampu melarutkan batugamping. Sementara terdapatnya bakteri dalam

larutan juga membantu proses pelapukan sehingga mengakibatkan terjadinya redeposisi

aluminium. Hal ini mengingat karena aluminium sulfat dalam larutan terhidrolisa dan

menghasilkan sulfat.

2. Pengaruh faktor kondisi hidro-oceanografi Sebagaimana telah dijelaskan pada Bab III, bahwa perubahan sifat fisik maupun kimia

perairan laut seperti penyebaran sedimen, perubahan salinitas, kandungan zat hara

maupun biota perairan sangat dipengaruhi oleh kondisi hidro-oceanografi lokal. Kondisi

hidro-oceanografi tersebut meliputi kedalaman air laut, pasang surut, gelombang dan

angin yang merupakan penyebab utama terjadinya arus atau gerakan massa air di

perairan tersebut. Sejauhmana pengaruh faktor tersebut terhadap pola dan sebaran

kekeruhan maupun perubahan kualitas perairan, faktor kondisi hidro-oceanografi mutlak

diperlukan.

3. Pengaruh faktor aktivitas lainnya Telah dijelaskan pada bab sebelumnya, bahwa perubahan kualitas perairan disamping

karena pengaruh gejala alam juga disebabkan oleh aktivitas manusia. Sementara

perubahan kualitas perairan yang disebabkan oleh gejala alam seperti sejak sepuluh

tahun terakhir ini, kawasan kepulauan Bintan dan kepulauan Lingga, Provinsi Kepualauan

Riau, telah mengalami gejala alam yang berkaitan dengan peristiwa anomali ekstrem dari

cuaca dan iklim yang berdampak pada perubahan lingkungan baik di darat maupun di

Page 81: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 9

perairan laut. Namun dampak negatif perubahan lingkungan ini cenderung lebih kuat

ketika aktifitas manusia mulai merambah hutan, peladangan yang dimulai sejak dekade

tahun 1980, dan bahkan kemungkinannya terjadi hingga sekarang. Disamping aktivitas

penambangan, aktivitas manusia lainnya seperti pembukaan lahan untuk keperluan

perkebunan, pembangunan resort di pantai, pariwisata juga dapat berpengaruh terhadap

perubahan ekosistem perairan sekitarnya. Termasuk dalam hal ini, adalah penangkapan

ikan dengan menggunakan bahan peledak dan racun juga dapat berpengaruh terhadap

perubahan kualitas perairan.

5.2 Analisis Kemungkinan Perubahan Kualitas Perairan Sebagai Akibat Aktivitas Penambangan

5.2.1 Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator analisis citra

landsat

Dampak aktifitas pemanfaatan lahan bagi kawasan pertambangan dan perkebunan,

resort, permukiman dan pelabuhan/jeti tersebut terhadap perubahan tingkat kekeruhan,

secara kualitatif akan nampak jelas jika dilakukan analisis citra landsat dan ALOS.

Analisis dan interpretasi data Citra Landsat atau ALOS (penginderaan jauh) dan data

topografi Band 457 bertujuan untuk mendapatkan informasi mengenai kondisi bentang

alam/topografi, geologi, hidrologi, erosi dan kerusakan lingkungan. Sementara Band 123

untuk mendapatkan informasi zona daerah dampak sedimentasi dan kondisi kekeruhan

perairan. Analisis ini akan dilakukan dengan bantuan aplikasi ErMapper dan Map Info.

1. Analisis kualitatif perubahan tutupan lahan di Kepulauan Bintan berdasarkan penafsiran citra landsat

Mengingat wilayah kajian merupakan daerah yang mempunyai musim basah lebih lama

(10 bulan/tahun) dibanding musim kering (2 bulan/tahun), sehingga wilayah kajian sering

tertutup oleh awan. Kondisi tersebut menjadikan kendala dalam memperoleh data citra

landsat yang cukup bersih secara periodik. Meskipun demikian, dalam kajian ini tetap

dilakukan analisis dari beberapa citra landsat yang dapat dihimpun. Berdasarkan hasil

penafsiran citra Landsat TM di daerah Bintan Timur (Gambar 5.7) memperlihatkan

adanya perubahan tutupan lahan akibat adanya aktifitas penambangan bouksit, granit,

andesit dan pembukaan lahan untuk perkebunan kelapa sawit, sementara jejak-jejak

kolong bekas galian pasir nampak jelas di citra dan Alos seperti diperlihatkan pada Gambar 5.8.

Page 82: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 10

Gambar 5.7 Citra Landsat (2002) dan ALOS (2008) di daerah Pulau bintan dan

sekitarnya yang memperlihatkan jejak galian bauksit, granit, pasir darat

Galian pasir, granit

Kolong-kolong galian pasir

Galian pasir, granit

Galian bauksit

Galian baouksit 2008

Bekas galian pasir

Citra 541 daerah Bintan Citra 431 daerah Bintan

Page 83: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 11

Gambar 5.8. Citra ALOS (2008) di daerah Pulau Bintan dan sekitarnya yang

memperlihatkan lahan perkebunan, permukiman

2. Analisis kualitatif perubahan tutupan lahan di Kepulauan Lingga berdasarkan

penafsiran citra landsat

Berdasarkan penafsiran citra Landsat di daerah Pulau Mamut, Kepulauan Lingga belum

nampak adanya perubahan lahan akibat adanya aktifitas penambangan baouksit, bijih

besi seperti diperlihatkan pada Gambar 5.9. Kondisi tersebut mencerminkan bahwa

kondisi perairan di wilayah pesisir Pulau Mamot belum terjadi perubahan tingkat

kekeruhan atau masih relatif lebih baik dibanding kondisi perairan di daerah Pulau Bintan.

Lahan perkebunan sawit & resort

Permukiman dan perkebunan

Lahan perkebunan it

Kondisi P.Mapur

Page 84: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 12

Gambar 5.9. Penafsiran citra landsat (541 dan 457, tahun 2002) di daerah sekitar

Pulau Mamut, Kepulauan Lingga

3. Penafsiran tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan indikator analisis citra landsat

Berdasarkan hasil penafsiran citra landsat (Gambar 5.10) dan ALOS band 123 (Gambar 5.11) di daerah perairan pesisir timur Pulau Bintan, dapat ditafsirkan bahwa pola tingkat

kekeruhan perairan pada bagian selatan berperingkat tinggi dan semakin ke utara tingkat

kekeruhan menjadi peringkat sedang dan peringkat rendah. Kondisi tersebut dapat

dipahami, mengingat bahwa pada bagian selatan terdapat beberapa aktivitas

pertambangan bauksit, sementara arah angin dan gelombang bergerak dari selatan

menuju ke utara (citra tahun 2002 dan 2008).

Citra Landsat 457, thn 2002, belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Citra 541, belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Citra 541, belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Citra Landsat 457, thn 2002, belum nampak adanya aktifitas pertambangan

Page 85: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 13

Gambar 5.10 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan

berdasarkan citra landsat

Page 86: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 14

Gambar 5.11 Peta analisis tingkat kekeruhan perairan pesisir timur Pulau Bintan berdasarkan ALOS band (1,2,3)

5.2.2. Analisis pola sebaran tingkat kekeruhan berdasarkan indikator hasil perhitungan dengan menggunakan hukum Stokes

Tingkat kekeruhan air laut merupakan salah satu komponen lingkungan perairan yang

harus dipertahankan kualitasnya, karena akan banyak berkaitan dengan berbagai aspek

lingkungan lainnya yang secara tidak langsung akan mempengaruhi kehidupan para

nelayan. Meningkatnya kekeruhan air laut diakibatkan oleh meningkatnya kandungan zat

padat tersuspensi (TSS), kekeruhan air laut tersebut secara kasat mata dapat terlihat

ketika terjadi turun hujan lebat. Hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa

meningkatnya kekeruhan air laut sebagai akibat aktivitas penambangan, terutama akibat

pengelolaan pertambangan yang belum baik dan benar terutama karena kurang

kepeduliannya terhadap lingkungan.

Sebagai gambaran tentang besarnya sebaran padatan yang lebih jelas,

diasumsikan bahwa peningkatan kandungan TSS tetap terjadi dan kecepatan

Page 87: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 15

pengendapan lempung dan lanau dihitung dengan menggunakan hukum stokes (Rubey,

1933, dalam Koesoemadinata, 1982). Dengan diketahuinya data mengenai kecepatan

arus, maka dapat dihitung waktu atau lama butiran mengendap serta jarak butiran

tertrasportasi dengan menggunakan rumus :

2/3 g.d2 ( T-p)

Vg = -------------------- ...................................................................... (1)

μ

S

S – Vg . t atau t = ------ ...................................................... (2)

Vg

Dimana :

Vg = kecepatan pengendapan, m/detik

g = percepatan gravitasi bumi,(9,81 mks/sec)

d = diameter butir, cm

T = densitas butir, kg/m3

p = densitas medium, kg/m3

μ = viskositas medium, (0,00138)

S = jarak pengendapan, m

t = waktu pengendapan, detik

Dengan menggunakan persamaan (1) dan (2), dapat dihitung kecepatan

pengendapan dan jarak terangkut zat padat tersuspensi dan lamanya pengendapan

sedimen (lempung, lanau dan pasir). Dengan memperhitungkan kecepatan arus, arah

arus dan kedalaman efektif pengaruh arus permukaan rata-rata hingga kedalaman dasar

laut dapat diketahui jarak maksimum terangkut baik fraksi lempung, lanau maupun pasir.

Dengan demikian, akan diketahui daerah mana saja yang akan terkena dampak

peningkatan TSS, khususnya untuk fraksi berukuran butir (lempung, lanau dan pasir) dari

sumber dampak (muara sungai, tempat pengapalan/dermaga) baik dari permukaan

hingga dasar laut dan akan semakin menjauh dari sumber dampak tersebut.

Sementara peningkatan kandungan TSS di dalam air laut akan dipengaruhi oleh

berbagai parameter dasar lainnya seperti :

• Volume atau berat material yang tercecer pada saat pemuatan/pengapalan yang

berpotensi menjadi TSS.

• Volume atau berat material yang terkandung dalam muara sungai ketika turun hujan

yang berpotensi menjadi TSS.

Page 88: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 16

• Bobot isi sedimen berukuran (lempung, lanau dan pasir).

Berdasarkan hasil perhitungan jarak terangkutnya sedimen dari permukaan hingga

dasar laut, dan jika radius sebaran diasumsikan sebagai jari-jari lingkaran yang terkena

dampak pada kedalaman tertentu, maka radius sebaran sedimen dapat dihitung dengan

menggunakan rumus tabung, yaitu :

Volume (V) = ּת R2. T ......................................................... (3)

Dimana :

V : vulume , liter

konstanta, (3,14) : ּת

R : garis tengah tabung atau panjang jarak angkut, m

T : tinggi tabung atau kedalaman air laut, m

Dengan demikian akan diketahui pola sebaran dan berapa besar peningkatan

kandungan TSS pada radius sebaran tersebut. Sebagai gambaran tentang contoh hasil

perhitungan untuk daerah kajian perairan pesisir timur Pulau Bintan adalah sebagai

berikut :

• Ukuran butir lempung : 0.02 mm = 0.002 cm

• Kedalaman rata-rata perairan : 15 m

• Kecepatan arus : 35 cm/detik

• Percepatan gravitasi bumi : 9.81 mks/sec = 981 cm/detik

• Densitas butir : 1.544 kg/m3

• Densitas medium : 1.019,76 kg/m3

• Viskositas medium : 0.00138

• Kecepatan pengendapan : = ((2/3) x (981) x (0.001)2 x (0.524)) / 0.00138

= 0.24833 cm/detik

= 0,0024833 m/detik

• Waktu mengendap : 15m/0,0024833m/detik = 6040,35 detik

• Jarak transport dan terendap : 35 cm/detik x 6040,35 detik=

= 211412,23 cm

= 2114,12 m.

Berdasarkan contoh perhitungan tersebut, hasil perhitungan kecepatan

pengendapan dan jarak transport zat padat tersuspensi dan lamanya waktu pengendapan

sedimen (lempung, lanau dan pasir halus) dengan menggunakan persamaan tersebut,

secara keseluruhan disajikan pada Tabel 5.1.

Page 89: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 17

Tabel 5.1 Waktu dan jarak transport zat padat tersuspensi

Ked. Kec.Arus Ked.rata2 Θ butirT-p

Vg T S Arah

(m) cm/detik (m) (cm) (m/detik) (detik) (m) (oNE )

1 35 15 0.002 0.697 0,0132 1136,36 397,73

0.001 0.524 0,0025 6040,35 2.114,12

5 45 15 0.002 0.697 0,0132 1136,36 511,36

0.001 0.524 0,0025 6040,35 2.718,16

dasar 40 15 0.002 0.697 0,0132 1136,36 454,54

0.001 0.524 0,0025 6040,35 2.416,14

Pada tabel tersebut nampak bahwa daerah yang terkena peningkatan TSS

khususnya yang berbutir lempung-lanau di dermaga (jeti) sebagai sumber dampak sekitar

2.114 m di permukaan dan akan semakin menjauh sampai 2.718 m pada kedalaman 5 m

sampai dasar permukaan 2.416 m yang berarah ... sampai .... oNE. Sementara

peningkatan TSS di perairan dipengaruhi oleh jumlah material yang masuk ke perairan,

densitas dan kandungan lempung yang berpotensi menjadi padatan tersuspensi (TSS).

Sebaran kandungan lempung-lanau tersebut mencapai luas 2.631.966,38 m2 untuk setiap

material liter dengan kandungan TSS 13,03 mg/l. Peta sebaran TSS disajikan pada

Gambar 5.12.

Page 90: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 18

Gambar 5.12. Peta pola sebaran tingkat kekeruhan di perairan timur P. Bintan berdasarkan model perhitungan dengan menggunakan hukum stokes

5.2.3 Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik,

kimia air dan unsur logam berat serta biota perairan. Air merupakan komponen ekologis yang mutlak diperlukan bagi proses hidup dan

kehidupan biota perairan. Nilai daya guna air dan sumberdaya perairan ditentukan oleh

kualitasnya yang sangat berkaitan dengan semua aktifitas yang berada di sekitar perairan

tersebut. Kualitas perairan di muara sungai dan pantai ditentukan oleh limbah-limbah

yang terbuang baik secara langsung maupun tidak langsung, baik berupa bahan-bahan

organik maupun bahan-bahan anorganik yang mudah tersuspensi.

Parameter kualitas perairan yang diamati meliputi parameter fisik dan kimia air,

kandungan unsur logam berat serta biota perairan. Pengukuran kualitas perairan tersebut

dilakukan pada tanggal 23 – 30 September 2010 di 15 titik lokasi pengamatan. Lokasi

tersebut meliputi 3 conto pada muara sungai di daerah Bintan Timur, 8 conto di perairan

pesisir timur Pulau Bintan hingga Pulau Mapor, 3 conto di perairan pesisir Pulau Mamot

Page 91: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 19

dan 1 conto mata air di Pulau Mamot. Meskipun jumlah titik pengamatan dan sampling

parameter perairan tersebut relatif minim, namun diharapkan dapat memberikan

gambaran sejauhmana pengaruh aktivitas manusia terutama kegiatan penambangan

terhadap perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir

Pulau Mamot.

1. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter fisik perairan

Parameter fisik seperti warna air, merupakan hasil refleksi kembali dari berbagai panjang

gelombang cahaya dari sejumlah material yang berada di dalam air yang tertangkap oleh

mata. Material yang berada di dalam air dapat berupa jumlah zat padat tersuspensi

(TSS) dan/atau jumlah zat padat terlarut (TDS)

(http://www.umaine.edu/water.research/field.guide/color.htm#blue). Sementara partikel

dan larutan (solutes) yang terdapat di dalam air dapat menyerap cahaya, namun demikian

warna yang terlihat oleh mata juga akan dipengaruhi oleh sudut pandang ketika melihat,

kedalaman dan kuantitas air. Warna air terlihat jernih bila partikel dalam jumlah sedikit

(http:// webexhibits.org /causesofcolor /5B.html).

Hasil pengukuran parameter sifat fisik perairan pesisir Bintan Timur dan perairan

pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan nilai TSS masih dalam batas

normal < 40 NTU kecuali muara sungai dan perairan di kawasan industri di daerah Kijang

yang mencapai hingga 50 - 142 NTU. Sebaliknya dengan nilai TDS untuk perairan pada

umumnya > 40.000 mg/l kecuali sample pada mata air (104 mg/l). Demikian pula untuk

nilai daya hantar listrik (DHL) untuk perairan pada umumnya > 40.000 μS/cm kecuali pada

mata air relatif kecil (48 μS/cm). Nilai oksigen terlarut berkisar antara 3,04 mg/l hingga

6.54 mg/l. Kandungan oksigen terlarut dalam perairan ikut menentukan kualitas perairan,

karena oksigen sangat dibutuhkan untuk pernapasan (respirasi) mahkluk hidup dalam

perairan. Fungsi lain dari oksigen adalah sebagai oksidator senyawa-senyawa kimia di

perairan. Sedangkan faktor yang dapat mempengaruhi kemampun suatu perairan untuk

mengadopsi oksigen adalah salinitas, suhu, kekeruhan air dan pergerakan air dan udara

seperti arus, gelombang dan pasang surut. KLH telah merekomendasikan, baku mutu air

laut untuk kepentingan wisata bahari dan biota laut, kadar oksigen terlarut > 5 mg/l.

Sementara temperatur permukaan yang terekam selama berlangsungnya

penelitian mempunyai kisaran 26,4o C hingga 29,5o C. Kondisi tersebut tidak jauh berbeda

dengan kondisi 4 (empat) tahun yang lalu ketika dilakukan penelitian base line ekologi

yang menunjukkan rerata temperatur 29,50 oC di perairan Pulau Mapor (CRITC -

Page 92: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 20

COREMAP II - LIPI, 2006). Kondisi salinitas di perairan juga menunjukkan nilai salinitas

yang tidak jauh berbeda, yakni : dengan variasi berkisar antara 27,5 o/oo hingga 31,4

o/oo, kecuali pada mata air dan muara sungan memperlihatkan nilai salinitas yang sangat

rendah (0.0 - 3,4 o/oo)

Parameter fisik lainnya seperti pH yang dapat digunakan sebagai salah satu

indikator kualitas perairan, suatu perairan laut yang baik bisanya bersifat basa dengan pH

> 7, sebagaimana direkomendasikan KLH. Hasil pengukuran derajat keasaman (pH) di

perairan pesisir Bintan Timur dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga

menunjukkan variasi antara 8,26 hingga 8,53, kecuali pada mata air (6,89) dan muara

sungai (6,13 – 6,88). Secara umum tidak ada parameter yang ekstrim dan masih dapat

mendukung kehidupan organisme perairan, analisis selengkapnya disajikan pada

Gambar 5.13.

Gambar 5.13 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir

Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter fisik air 2. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter kimia

perairan Beberapa parameter kimia seperti fosfat dan nitrat, merupakan nutrisi yang dibutuhkan

oleh mahkluk hidup yang ada di dalam perairan. Baik fosfat maupun nitrat sumbangan

terbesar berasal dari sedimentasi yang berada pada dasar perairan. Pada umumnya

Page 93: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 21

semakin dalam perairan, cenderung semakin besar kandungan fosfat dan nitratnya,

kecuali jika perairan tersebut banyak memperoleh sumbangan dari pengaruh dari darat

berupa limbah penduduk atau dari lahan perkebunan sehingga kandungan fosfat dan

nitrat pada permukaan perairan menjadi tinggi. Sementara nitrat dapat berfungsi dalam

membantu pembentukan asam amino sebagai komponen dasar protein (NITC COREMAP

II, 2006). Nilai baku mutu yang dikeluarkan KLH, kadar nitrat untuk kepentingan wisata

bahari dan biota laut kadarnya tidak melebihi 0,8 mg/l, sedangkan untuk fosfat tidak lebih

dari 1.5 mg/l.

Hasil pengukuran parameter kimia perairan pesisir Bintan Timur dan perairan

pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan bahwa kandungan nitrat (0.346 –

0.709) mg/l sedangkan fosfat berkisar antara 0.16 mg/l hingga 0.67 mg/l. Parameter kimia

lainnya adalah nitrit, merupakan senyawa kimia yang sangat reaktif karena struktur

molekulnya yang tidak stabil. Nitrit akan cepat bereaksi dengan logam berat dan

membentuk senyawa garam nitrat yang larut dalam air. Kandungan nitrit pada umumnya

lebih kecil dari kandungan nitratnya, dan semakin kecil kadar nitrit akan semakin baik

kualitas perairannya. Hasil pengukuran kadar nitrit yang dilakukan pada semua titik

sampling tidak menunjukkan adanya kandungan nitri (tidak terdeteksi).

Kandungan silikat merupakan salah satu indikator untuk mengetahui kesuburan

perairan, silikat dibutuhkan untuk perkembangan hidup phytoplankton untuk pembentukan

kerangka dinding sel jenis silicoflagellata. Kandungan silika berkisar antara 8,37 mg/l

hingga 16.03 mg/l, dan KLH tidak menentukan nilai ambang batas nilai bakunya.

Sebaliknya dengan amonia, Grashoff (1976) menyatakan bahwa amonia merupakan

senyawa beracun terhadap ikan maupun biota laut lainnya. Kandungan amonia berkisar

antara 0.016 mg/l - 0.45 mg/l, hasil analisis perubahan kualitas perairan diperlihatkan

pada Gambar 5.14.

Page 94: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 22

Gambar 5.14 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator parameter kimia air

3. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter

kandungan unsur logam berat perairan Hasil pengukuran parameter kandungan unsur logam berat perairan pesisir Bintan Timur

dan perairan pesisir Pulau Mamut, Kepulauan Lingga menunjukkan kandungan logam

berat seperti Cr (0.03–0.055) mg/l dan Cd (0.02–1.002) mg/l, hampir semua lokasi

melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH 0,01 mg/l (No.2/MEN.KLH/1988). Grafik

korelasi antara titik (BT.01) yang jauh dari sumber ke arah sumber dampak (BT.7) hingga

(BT.11) memperlihatkan kandungan Cd dan Cr cenderung meningkat (Gambar 5.15).

Sedangkan kandungan logam berat lainnya seperti Cu dan Zn masih dibawah ambang

batas 0.06 mg/l dan 0.1 mg/l, sementara kandungan Pb sebagian melebihi ambang batas

(0.01) mg/l.

Page 95: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 23

Semakin tingginya kandungan logam berat Cd dan Cr ke arah titik (BT-07) hingga

(BT-11) tersebut, diperkirakan berasal (bersumber) dari material aktifitas penambangan

bauksit, mengingat kondisi pada saat ini masih aktif melakukan penambangan dengan

sistem tambang terbuka yang kurang memperhatikan kondisi lingkungan setempat. Hal ini

nampak adanya jejak mengalirnya air bermuatan material yang langsung menuju perairan

laut di wilayah pantai Kijang timur dan ke pulau-pulau kecil seperti Pulau Kelong dan

Pulau Buton.

Sementara kandungan logam berat di perairan sekitar Pulau Mamot pada

umumnya relatif sedikit melebihi ambang batas yang diperkenankan KLH, walaupun

wilayah perairan tersebut relatif jauh dengan aktivitas penambangan. Sebagai indikator

adalah sample air yang diambil dari mata air (MT-1), juga memperlihatkan kandungan

logam berat yang sedikit dibawah kandungan logam berat sample yang diambil di lokasi

perairan. Hal ini menunjukkan bahwa pada umumnya perairan di sekitar Pulau Mamot

mempunyai kandungan unsur logam berat rata-rata lebih tinggi dari pada nilai ambang

batas yang diperkenankan KLH.

Secara umum kondisi peraian sekitar Pulau Bintan dan perairan sekitar Pulau

Mamot rata-rata sudah mempunyai kandungan unsur logam berat relatif sedikit lebih

tinggi dari nilai ambang batas KLH. Walaupun terdapat perubahan kualitas perairan akibat

aktivitas penambangan, namun tidak dijumpai parameter yang ekstrim dan masih dapat

mendukung kehidupan organisme perairan.

Page 96: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 24

Gambar 5.15 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot berdasarkan indikator kandungan unsur logam berat

4. Analisis perubahan kualitas perairan berdasarkan indikator parameter biota

perairan Plankton merupakan sumber makanan bagi berbagai jenis ikan komersial penting yang

hidup dilautan, dengan kata lain kelangsungan hidup ikan sangat tergantung kepada

banyak sedikitnya jumlah plankton yang ada. Namun keberadaan plankton di lautan

sangat peka terhadap perubahan dan gangguan lingkungan, sehingga plankton

merupakan bioindicator yang baik untuk mengetahui kondisi lingkungan perairan.

Hasil pencacahan di laboratorium plankton di 10 titik lokasi pengambilan sekitar

perairan timur Pulau Bintan, P. Mapur dan 3 (tiga) titik di sekitar Pulau Mamut didapatkan

3 golongan Phytoplankton yaitu Class Cyanophyceae ditemukan 5 jenis, Class

Bacillariophycae sebanyak 28 jenis dan Class Dynophyceae sebanyak 3 jenis. Berdasarkan hasil identifikasi jenis, maka kekayaan individu dari phytoplankton yang

Page 97: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 25

dijumpai di lokasi pengamatan relatif besar, hal ini dapat dimengerti bahwa perairan

memberikan naungan serta persediaan hara yang cukup untuk phytoplankton. Kemudian

jika dilihat dari nilai Indeks keanekaragamannya, dengan nilai rata-rata diatas 2.90

memberikan ciri bahwa perairan disini tergolong stabil.

Strata ke dua dari dasar hierarki kehidupan akuatik adalah zooplankton.

Kelompok ini dapat hidup selamanya sebagai plankton dan juga dapat

berkembang selanjutnya baik ukuran maupun perilakunya sebagai organisme non

planktonik. Seperti Pisces, Molusca, Crustacea dan sebagainya. Hasil pengamatan

komposisi jenis, keberadaan kelompok Crustacea, Protozoa dan Chordata

(Ichtyoplankton) keberadaannya lebih dominan dibandingkan dengan kelompok lain.

Nilal indeks Keanekaragaman dan keseragaman menunjukkan nilai yang tinggi,

Indeks keanekaragaman berkisar antara 86 terendah sampai 2.78 tertinggi,

berdasarkan nilai Indeks Pencemaran perairan maka nilai Indeks ini dapat

dinyatakan ekosistem perairan ke dua pulau berada pada kondisi stabil belum

tercemar. Demikian pula angka yang ditunjukkan dengan nilai indeks keseragaman

cukup tinggi berkisar antara 0.89 sampai 0,93. Hasil analisis perubahan kualitas biota

perairan diperlihatkan pada Gambar 5.16.

Gambar 5.16 Peta kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir

Pulau Mamot berdasarkan indikator biota perairan

Page 98: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 26

5.3 Hasil Diskusi 5.3.1 Korelasi dampak aktivitas penambangan bauksit dengan kemungkinan

perubahan ekosistem perairan Ditinjau dari peruntukan lahan menunjukkan bahwa lokasi aktivitas penambangan bauksit

pada umumnya menempati kawasan industri atau sesuai dengan peruntukan lahan pada

RTRW (bappeda Kabupaten Bintan, 2007). Persoalan muncul ketika pengelolaan

pertambangan bauksit pada umumnya belum dilaksanakan secara baik dan benar,

namun sejauhmana dampak aktivitas penambangan bauksit di daerah Kijang korelasinya

dengan kemungkinan terjadinya perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan

akan dijelaskan sebagai berikut :

Berdasarkan baik hasil analisis citra landsat maupun dari hasil perhitungan

sebaran kekeruhan, menunjukkan bahwa telah terjadi perubahan tingkat kekeruhan

perairan pesisir timur Pulau Bintan yang diakibatkan oleh aktivitas penambangan di

daerah Kijang. Perubahan tingkat kekeruhan secara signifikan berlangsung sesaat

(bersifat temporer), terutama ketika terjadi turun hujan dan dapat dilihat secara kasat

mata. Pola sebaran tingkat kekeruhan tersebut dipengaruhi oleh adanya arah dan

kecepatan arus, pasang surut serta tinggi rendahnya gelombang laut. Gambaran tentang

jarak sebaran kekeruhan rerata hasil perhitungan dapat mencapai radius sekitar 2 km dari

sumber dampak (dermaga pengapalan bauksit atau jeti). Walaupun perubahan tingkat

kekeruhan bersifat temporer (sementara), namun karena berlangsung secara terus

menerus terutama jika arah arus laut dari Selatan ke Utara dapat mengakibatkan

terjadinya perubahan ekosistem perairan. Perubahan ekosistem perairan mulai nampak

secara kasat mata di sekitar lokasi terumbu karang yang tidak jauh dan / atau kurang dari

1 km dari lokasi dermaga pengapalan (jeti). Seperti pada Gambar 5.17, memperlihatkan

dimana terumbu karang dan padang lamun menjadi rusak (mati) dan terancamnya

vegetasi mangrove yang cukup serius sebagai akibat peningkatan kekeruhan perairan

sebagai akibat aktivitas penambangan.

Sementara hasil analisis berdasarkan indikator parameter baik fisik, kimia dan

kandungan unsur logam berat maupun biota perairan menunjukkan bahwa perubahan

ekosistem perairan belum cukup signifikan. Kondisi tersebut mengingat bahwa perairan

pesisir timur Pulau Bintan mempunyai base line standard parameter perairan yang relatif

sudah mendekati ambang batas nilai baku yang ditetapkan oleh KLH. Meskipun

Page 99: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 27

perubahan parameter perairan tersebut tidak cukup signifikan, namun jika ditarik garis

korelasi menunjukkan bahwa titik sampling yang keberadaanya semakin mendekati lokasi

penambangan perubahan ekosistem perairan cenderung menjadi semakin tinggi.

Gambar 5.17 Terumbu karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) di perairan pesisir timur Pulau Bintan.

Walaupun hasil analisis baik berdasarkan indikator fisik, kimia dan kandungan

unsur logam berat maupun biota perairan belum menunjukkan perubahan kondisi

perairan yang cukup signifikan, kecuali perubahan tingkat kekeruhan di sekitar lokasi

pengapalan (jeti) terutama pada saat turun hujan. Namun ancaman terhadap ekosistem

perairan tetap berlangsung secara terus menerus, seiring dengan meningkatnya

perubahan luas tutupan lahan sebagai akibat aktivitas manusia dalam meningkatkan

pembangunan fisik wilayah Kabupaten Bintan dan Kabupaten Lingga. Sebagai gambaran

tentang korelasi ancaman tersebut terhadap konservasi daerah perlindungan laut seperti

disajikan pada Gambar 5.18.

Page 100: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 28

Gambar 5.18 Peta korelasi dampak aktivitas manusia korelasinya dengan ancaman

terhadap kemungkinan perubahan kondisi perairan pesisir timur Pulau Bintan

Sementara perkiraan dampak pemanfaatan lahan (ruang) khususnya bagi aktivitas

penambangan di Pulau Bintan dan Pulau Lingga, dikhawatirkan dapat menyebabkan

terganggunya keberadaan pulau-pulau kecil disekitarnya yang letaknya berdekatan.

Sebagaimana diketahui bahwa berdasarkan Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW), baik

pada tingkat nasional maupun propinsi menempatkan Pulau Bintan dan Pulau Lingga dan

sekitarnya sebagai wilayah yang sangat strategis bagi pembangunan nasional dan

regional, sehingga layak mendapatkan prioritas pengembangannya. Meskipun demikian,

proses pembangunan tersebut harus dapat mempertahankan karakteristik lingkungan

sekitarnya sebagai zona terdiri atas pulau-pulau (Riau kepulauan), sehingga keberadaan

dan stabilitas pantai dan pulau-pulau harus tetap dipertahankan. Berdasarkan akumulasi

dampak kegiatan dengan kegiatan sejenis di sisi kiri dan kanannya, maka dampak negatif

terhadap keberadaan pulau-pulau tersebut mempunyai resiko tinggi. Melalui deskripsi

Page 101: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 29

tersebut, maka kegiatan penambangan bauksit harus dilakukan secara ekstra hati-hati

dan bijaksana. Oleh karena itu, lokasi penambangan disekitar pulau-pulau dibuat buffer

dan daerah konservasi pulau untuk mengamankan keberadaan pulau-pulau tersebut.

Mengingat lokasi aktivitas penambangan terletak pada jalur pelayaran domestik

dan nasional dan merupakan urat nadi yang penting di dalam melayani kegiatan

masyarakat baik pelayanan jasa maupun barang antar pulau, maka perairan di sekitar

lokasi penambangan merupakan jalur transportasi laut yang ramai (padat). Pada siang

hari umumnya merupakan alur pelayaran perairan, yaitu dari jenis kapal ferry (speed

boat) dengan frekuensi hampir setiap 15 menit sekali. Sementara pada malam hari

aktivitas lalu lintas tersebut berhenti dan diganti oleh aktivitas nelayan penangkap ikan

yang mempunyai alur penangkapan disekitar lokasi tersebut.

Demikian pula pengoperasian tongkang yaitu ketika dilakukan pengisian dan

pengangkutan bauksit akan melewati jalur pelayaran laut, dan kegiatan ini diperkirakan

akan menambah kepadatan lalu lintas pelayaran. Meskipun pengaruh terhadap

kelancaran lalulintas pelayaran tidak cukup signifikan, namun mengingat jalur pelayaran

yang dilewati tersebut juga merupakan jalur pelayaran rakyat dan sebagai jalur mobilitas

nelayan dari fishing base ke fishing ground atau sebaliknya, diperkirakan kegiatan

tersebut akan mengganggu jalur pelayaran rakyat dan mobilitas nelayan. Terganggunya

lalu lintas pelayaran pelayaran tersebut, terutama ketika mobilitas pada saat kegiatan

penambangan dan pengangkutan bauksit serta pencucian ditengah laut menuju tempat

penimbunan di negara tujuan (Singapura). Kegiatan pencucian bauksit dengan lama

waktu sekitar 1 jam, diperkirakan juga akan memberikan dampak penting bagi aktivitas

pelayaran baik nasional (regional) maupun pelayaran rakyat (lokal) dan mobilitas nelayan.

Sebagai gambaran tentang peningkatan kepadatan lalulintas dengan adanya aktivitas

pengangkutan dapat dijelaskan sebagai berikut : Frekuensi kapal pelayaran luar negri

sebanyak 2 kapal/hari dan pelayaran luar negri sebanyak 8 kapal/hari, dan bila dikaitkan

dengan penambahan frekuensi angkutan sebanyak 1 unit (dua rit per hari) maka frekuensi

kapal sebanyak 2 kali/hari. Frekuensi ini tidak termasuk lalulintas pelayaran yang tidak

melakukan transit di Pelabuhan Tanjung Pinang Bintan. Dari uraian tersebut di atas,

dapat dijelaskan bahwa aktivitas penambangan bauksit dan pengangkutannya

mempunyai peluang relatif kecil terhadap peningkatan kepadatan lalu lintas, tetapi

mempunyai tingkat resiko tinggi terjadinya kecelakaan, terutama pada saat cuaca kurang

baik dan pada saat malam hari.

Page 102: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 30

5.3.2 Persepsi masyarakat terhadap kemungkinan perubahan ekosistem perairan pesisir timur Pulau Bintan dan perairan pesisir Pulau Mamot

Kekhawatiran masyarakat di wilayah pesisir timur Pulau Bintan tentang terjadinya

perubahan ekosistem perairan dapat dipahami, karena mengingat adanya bukti yang

menunjukkan terdapatnya korelasi antara dampak penambangan bauksit di daerah Kijang

dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan di sekitar pesisir timur Pulau Bintan.

Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersama-sama dengan

gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya perubahan terhadap

kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan nekton dan berdampak lebih

lanjut terhadap penurunan produktifitas primer serta pertumbuhan terumbu karang.

Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara

signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin meningkatnya

aktivitas penambangan bauksit tanpa memperhatikan kepedulian terhadap

lingkungannya, kini merupakan ancaman yang cukup serius terjadinya perubahan

ekosistem perairan di sekitar daerah perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan

sebagai kawasan konservasi yang perlu dilestarikan.

Sementara berdasarkan hasil identifikasi dampak, kegiatan penambangan bauksit

yang sudah dan/atau akan dilaksanakan penambangannya diperkirakan akan

menimbulkan dampak gangguan, khususnya terhadap kegiatan nelayan yang

diindikasikan oleh beberapa hal seperti :

1. Terganggunya jalur penangkapan nelayan karena sebagian kawasan tumpang tindih

dengan fishing ground (daerah tangkapan ikan nelayan) menurut SK. Mentan No.

392/Kpts/IK.120/4/99 tentang jalur-jalur penangkapan ikan.

2. Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan ikan dan

atau penangkapan hasil produksi ikan.

3. Menurunnya produksi atau produktivitas hasil tangkapan ikan nelayan karena

adanya penurunan tingkat produktivitas primer diwilayah perairan sekitar lokasi

penambangan. Dalam hal ini terutama produktivitas penangkapan ikan dari jenis-

jenis ikan demersal yaitu ikan-ikan kurau, kakap dan ikan kerapu.

4. Kemungkinan menurunnya pendapatan keluarga nelayan, terutama nelayan

tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya khususnya nelayan yang

terdapat di desa-desa wilayah studi yang meliputi masyarakat nelayan dari

Kecamatan Bintan Timur. Kondisi awal nelayan tradisional yang terdapat di

Kecamatan Bintan Timur tersebut sebagian besar dikelompokkan sebagai nelayan

Page 103: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 31

miskin dengan tingkat pendapatan sekitar Rp.(900.000/bulan ) yang hanya mampu

melaut 20 hari /bulan.

Dampak akan semakin dirasakan nelayan ketika prasarana dan sarana

penangkapan ikan mereka terganggu / rusak karena kegiatan lalu lintas penambangan.

Hal tersebut memungkinkan, karena untuk alat penangkapan ikan jenis jaring rawai yang

biasanya ditebar di pesisir atau selat dan jika tertabrak oleh melajunya kapal tongkang

bauksit akan rusak karena terseret tongkang/penambang tersebut. Sehingga alat mencari

nafkah yang sangat berharga bagi nelayan tersebut tidak dapat digunakan kembali. Jika

hal ini terjadi dan perusahaan pertambangan tidak tanggap untuk segera mengganti rugi,

maka dapat menimbulkan konflik dan keresahan sosial yang pada ujungnya merugikan

semua pihak. Berdasarkan gambaran dalam uraian tersebut diatas, kumulatif dari

dampak-dampak kegiatan penambangan bauksit jika tidak diantisipasi dan dikelola

dengan segera, diperkirakan dapat memicu terjadinya konflik sosial yang dapat

menimbulkan keresahan masyarakat. Dampak tersebut tergolong sebagai dampak negatif

penting.

Sedangkan kekhawatiran masyarakat di Desa Mamot tentang adanya rencana

penambangan bijih bauksit (besi) yang hingga kini masih dalam status ijin eksplorasi

dapat dimengerti, mengingat dampak penambangan yang akan ditimbulkannya sangat

besar. Tidak hanya masalah perubahan ekosistem perairan saja, melainkan juga

punahnya habitat perikanan dan beberapa mata air yang merupakan sumber kehidupan

bagi masyarakat pesisir di Pulau Mamot dan pulau-pulau sekitarnya.

Kegiatan penambangan bauksit di Pulau Mamot meskipun ditujukan kepada

kepentingan peningkatan Pendapatan Asli Daerah (PAD), namun masyarakt setempat

menganggap dan mempunyaia kesan bahwa teknis operasionalnya relatif sama dalam

memberikan dampak negatif bagi kekeruhan air, menjauhnya ikan-ikan dari lokasi dan

pada akhirnya akan menurunkan hasil tangkapan ikan yang sekaligus pula akan

menurunkan pendapatan nelayan. Persepsi negatif tersebut sesungguhnya sudah

tertanam dalam pikiran sebagian masyarakat khususnya nelayan. Hal yang perlu

diwaspadai dan menimbulkan persepsi negatif bagi masyarakat adalah penyelundupan

barang dari dan ke Singapura. Tindakan ini dapat mengakibatkan dampak yang lebih

luas, khususnya penerimaan negara dan pencemaran lingkungan apabila yang dibawa

adalah limbah berbahaya.

Persepsi masyarakat yang dimaksud di sini adalah daya tangkap (sikap) dari

informasi/pengetahuan yang diterima oleh masyarakat tentang kegiatan penambangan

bauksit (besi) yang akan dilaksanakannya, yaitu berupa:

Page 104: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 32

1. Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai tempat

pemijahan ikan dan biota laut lainnya.

2. Terganggunya aktivitas penangkapan ikan atau menurunnya produktifitas perairan

(hasil tangkapan ikan) yang dirasakan oleh nelayan akibat operasional kapal

tongkang dan dampak kekeruhan yang ditimbulkan saat kegiatan operasi

penambangan bauksit dilakukan.

Ke-dua presepsi masyarkat ini timbul berkaitan dengan kegiatan serupa yang

dilakukan oleh kegitan penambangan diwilayah kepulauan Riau yang tidak

memperhatikan dinamika masyarakat dan dinamika ekologi di wilayah lokasi

penambangan dan wilayah sekitarnya.

Berkaitan dengan hal tersebut maka kegiatan penambangan bijih bauksit (besi) bila

tidak diinformasikan secara informatif dan benar kepada masyrakat nelayan yang

melakukan operasi diwilayah tapak proyek ataupun masyarakat yang bertempat tinggal di

wilayah sekitar tapak proyek dan/atau masyarakat yang bertempat tinggal diwilayah

sekitar tapak proyek tentang rencana kegiatan penambangan dapat memicu terjadinya

konflik sosial. Informasi tersebut baik mulai dari tahap perencanaan penambangan, tahap

persiapan, tahap operasional sampai paska penambangan, termasuk kompensasi yang

akan diterima oleh masyarakat dari terganggunya aktivitas penangkapan ikan ataupun

peningkatan pendapatan mereka, maka persepsi ini akan menjadi masalah yang

berlanjut menjadi keresahan masyarakat.

5.3.3 Solusi alternatif untuk mengantisipasi terjadinya perubahan ekosistem

perairan.

Solusi alternatif yang ditawarkan guna menindak lanjuti terhadap ke-dua (2) isue penting

tersebut adalah sebagai berikut :

Pengelolaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya) diarahkan

agar dilakukan secara baik dan benar (good mining practice), dalam arti bahwa

kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah

dan norma-norma yang tepat sehingga pemanfaatan sumber daya mineral

memberikan hasil yang optimal dengan dampak buruk minimal (Suyartono, 2003).

Disatu sisi usaha pertambangan tetap menguntungkan, namun didisi lain dituntut

agar tetap memperhatikan/kepedulian terhadap kondisi lingkungannya.

Sebagaimana tertuang dalam Undang Undang No.4, tentang MINERBA, pasal 2.b

antara lain menyebutkan bahwa usaha pertambangan harus mendukung

Page 105: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 33

pembangunan yang berkelanjutan dan berwawasan lingkungan hidup, juga dalam

pasal 8.g disebutkan bahwa usaha pertambangan dituntut untuk melaksanakan

pengembangan dan pembangunan masyarakat setempat dengan tetap

memperhatikan kelestarian lingkungan. Walaupun lokasi penambangan bauksit di

daerah Kijang telah sesuai dengan peruntukkan tataruangnya, namun sebagaimana

tertuang dalam strategi penataan ruang wilayah pesisir dan lautan termasuk

didalamnya laut perbatasan negara bagi kemakmuran rakyat yang meliputi

perencanaan, pemanfaatan dan pengendalian pemanfaatan ruang secara terpadu

dan tak terpisahkan dari ruang daratan dengan memperhatikan kepentingan sektoral

dan daerah untuk mewujudkan tata ruang wilayah pesisir dan lautan yang berkualitas

dan berwawasan lingkungan (Bappeda Kabupaten Bintan, 2007).

Berdasarkan kajian tersebut, solusi yang diusulkan guna memitigasi

terjadinya tingkat kekeruhan maka:

- Sebagai bentuk kepedulian perusahaan pertambangan bauksit terhadap

lingkungan, perusahaan pertambangan agar diwajibkan untuk membuat tanggul

dan kolam pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti), sehingga

tingkat kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan dapat

diminimalisir.

- Alternatif solusi bahwa setiap usaha pertambangan tidak selalu harus membuat

masing-masing dermaga pengapalan (jeti), namun beberapa perusahaan

pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk membuat satu dermaga

pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan ketentuan standar yang

berlaku untuk digunakan secara bersama-sama. Solusi lainnya bisa juga

dilakukan pengapalan produk tambangnya dengan cara memanfaatkan dermaga

ex. PT. Aneka Tambang yang mempunyai standar internasional untuk digunakan

secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi.

- Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait

(yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan dan

kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu.

Rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang hingga kini masih

dalam tahap eksplorasi, diusulkan untuk tidak ditindak lanjuti dengan tahap

eksploitasi mengingat berbagai aspek yang perlu dpertimbangkan, diantaranya

bahwa:

- Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah Pesisir dan

Pulau-pulau Kecil. Salah satu pasal menyebutkan bahwa luas pulau-pulau kecil

Page 106: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Perairan

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 V - 34

(< 2.000 Ha) perlu dilindungi, termasuk diantaranya Pulau Mamot yang hanya

dengan luas sekitar 778 Ha.

- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot merupakan daerah perlindungan laut (DPL)

yang perlu dilestarikan, mengingat perairan tersebut kaya akan terumbu karang,

padang lamun dan vegetasi mangrove.

- Perairan sekitar pesisir Pulau Mamot kaya kan jenis ikan, yang merupakan

sumber kehidupan bagi sebagian besar masyarakat yang tinggal di pulau

tersebut. Disamping itu juga terdapat beberapa sumber mata air, yang

merupakan penopang kehidupan bagi masyarakat yang tinggal di sekitar Pulau

Mamot.

- Berdasarkan strategi pengembangan dan pemanfaatan lahan, Pulau Mamot

termasuk wilalayah peruntukan pertanian dan perikanan serta permukiman, tidak

untuk lahan pertambangan. Mengingat luas pulau Mamot relatif kecil, maka

kemungkinan jumlah cadangan bijihnya juga relatif kecil, sehingga jika

ditambangpun lebih banyak dampak negatifnya dibandingkan dengan dampak

positifnya.

- Walaupun secara regional telah dilakukan studi AMDAL, namun dalam

kenyataannya berpotensi timbulnya konflik, mengingat sebagian besar

masyarakat menentang.

Page 107: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 1

BAB - VI KESIMPULAN DAN SARAN

6.1 Kesimpulan Berdasarkan hasil kajian, baik dari pengamatan di lapangan maupun dari hasil analisis di

laboratorium dapat disimpulkan bahwa:

1. Kijang, Pulau Bintan dengan perubahan tingkat kekeruhan perairan pesisir timur

Pulau Bintan. Namun sejauhmana perubahan tingkat kekeruhan tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

• Hasil analisis baik citra landsat maupun ALOS mengindikasikan adanya

perubahan tingkat kekeruhan dari arah selatan (sumber dampak) menuju ke-

utara (lokasi DPL), secara kualitatif dapat diklasifikasikan menjadi 3 (tiga)

kategori, yakni: kategori kekeruhan tinggi, sedang dan rendah.

• Berdasarkan hasil pengamatan di lapangan menunjukkan bahwa perubahan

tingkat kekeruhan tersebut secara signifikan hanya bersifat sesaat (temporer),

yakni ketika turun hujan lebat. Sebagai sumber dampak adalah di lokasi

beberapa dermaga pengapalan (jeti).

• Hasil model perhitungan berdasarkan hukum stokes penyebaran kekeruhan

bisa mencapai radius sekitar 2 km dari sumber dampak, yang tergantung dari

sifat fisik (ukuran butir, densitas) dan volume material, dan dipengaruhi oleh

kondisi iklim (curah hujan) dan hidrooceanografi (arah dan kecepatan arus,

gelombang dan pasang surut) serta sifat fisik medium pembawa (densitas,

viskositas air laut).

Sementara ini untuk penambangan bauksit di Kepulauan Lingga belum nampak

adanya korelasi tersebut, mengingat lokasi penambangannya relatif jauh dari

perairan pesisir Pulau Mamot (> 2 km).

2. Korelasi antara perubahan tingkat kekeruhan dengan perubahan ekosistem

perairan sebagai akibat dampak aktivitas penambangan baik di Pulau Bintan

maupun di Mamot (Lingga), secara umum belum menunjukkan adanya perubahan

ekosistem perairan yang signifikan. Namun sejauhmana korelasi tersebut dapat

dijelaskan sebagai berikut:

Page 108: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 2

• Kondisi eksisting perairan di kedua lokasi kajian tersebut berdasarkan

indikator parameter fisik air, kimia dan kandungan logam berat serta biota

perairan masih dalam kondisi batas normal bagi kehidupan biota perairan.

Walaupun terdapat beberapa parameter melebihi dan / atau sedikit dibawah

nilai baku mutu KLH, namun jika ditarik garis dari titik sample yang diambil dari

sekitar DPL menuju titik sample yang diambil dari perairan di sekitar sumber

dampak, menunjukkan adanya kecenderungan perubahan kualitas fisik

perairan yang cukup signifikan. Sedangkan perubahan kualitas kimia dan

kandungan unsur logam berat serta parameter biota perairan walaupun tidak

signifikan, namun juga memperlihatkan adanya kecenderungan yang semakin

meningkat.

• Hasil pengamatan terhadap terumbu karang dan padang lamun di sekitar

lokasi DPL (seperti perairan pesisir Pantai Trikora, perairan pesisir Pulau

Mapor dan perairan pesisir Pulau Pangkil) masih dalam kondisi normal.

Secara umum belum terjadi perubahan secara signifikan, kecuali terumbu

karang dan padang lamun di sekitar lokasi dermaga (jeti) dengan tingkat

kekeruhan tinggi, pada umumnya sudah mulai rusak dan bahkan mati.

Demikian pula tentang kondisi vegetasi mangrove pada umumnya masih

dalam kondisi baik, kecuali vegetasi mangrove yang berada di sekitar aktivitas

penambangan bauksit di bagian selatan pesisir Pulau Bintan mengalami

ancaman kerusakan yang cukup serius.

3. Walaupun secara umum perubahan tingkat kekeruhan belum berdampak secara

signifikan terhadap perubahan ekosistem perairan, namun dengan semakin

meningkatnya aktivitas penambangan bauksit dan aktivitas lainnya tanpa

memperhatikan kepedulian terhadap lingkungannya, kini merupakan ancaman

yang cukup serius akan terjadinya perubahan ekosistem perairan di sekitar daerah

perlindungan laut (DPL) yang telah ditetapkan sebagai kawasan konservasi yang

perlu dilestarikan.

4. Kekhawatiran masyarakat (khususnya nelayan) yang tinggal di wilayah pesisir

timur Pulau Bintan dan pesisir Pulau Mamot, baik terhadap aktivitas penambangan

maupun rencana penambangan bauksit cukup beralasan, karena persepsi

masyarakat tentang dampak negatifnya menyangkut berbagai aspek kehidupan

mereka yang perlu mendapat perhatian pemerintah. Persepsi masyarakat yang

dimaksud adalah daya tangkap (sikap) dan informasi yang diterima oleh

masyarakat tentang dampak negatif aktivitas penambangan tersebut diantaranya:

Page 109: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 3

• Rusaknya wilayah perairan pantai dengan ekosistem dasar perairan sebagai

tempat pemijahan ikan dan biota laut lainnya.

• Sementara tingkat kekeruhan yang terjadi akibat penambangan, bersama-

sama dengan gangguan eksositem pantai akan mengakibatkan terjadinya

perubahan terhadap kelimpahan dan keanekaragaman plankton, benthos, dan

nekton dan berdampak lebih lanjut terhadap penurunan produktifitas primer

serta pertumbuhan terumbu karang.

• Menjauhnya ikan-ikan dari lokasi daerah penangkapan ikan (fishing ground)

akibat terganggunya wilayah tersebut oleh aktivitas penambangan.

• Terganggunya jalur penangkapan nelayan karena sebagian kawasan tumpang

tindih dengan fishing ground (daerah tangkapan ikan nelayan).

• Terganggunya lalu lintas perahu nelayan untuk menuju lokasi penangkapan

ikan dan atau penangkapan hasil produksi ikan.

• Terganggunya prasarana dan sarana penangkapan ikan karena kegiatan lalu

lintas penambangan. Seperti rusaknya alat tangkap ikan, karena untuk alat

penangkapan ikan jenis jaring rawai yang biasanya ditebar di pesisir atau selat

karena bisa tertabrak dan terseret oleh melajunya kapal tongkang pengangkut

bauksit.

• Menurunnya produksi atau produktivitas hasil tangkapan ikan nelayan karena

adanya penurunan tingkat produktivitas primer diwilayah perairan sekitar

lokasi penambangan.

• Kemungkinan besar menurunnya pendapatan keluarga nelayan, terutama

nelayan tradisional sebagai efek dari penurunan hasil tangkapannya,

khususnya bagi sebagian besar nelayan yang dikelompokkan sebagai nelayan

miskin.

6.2 Saran

Berdasarkan kesimpulan tersebut, disarankan bahwa :

1. Bagi perusahaan pertambangan bauksit (termasuk bahan tambang lainnya)

diarahkan agar dalam pengelolaannya dilakukan secara baik dan benar (good

mining practice), dalam arti bahwa kegiatan usaha pertambangan agar memenuhi

ketentuan-ketentuan, kriteria, kaidah dan norma-norma yang tepat sehingga

pemanfaatan sumber daya mineral memberikan hasil yang optimal dengan

Page 110: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VI - 4

dampak buruk minimal. Secara kongkritnya untuk mencegah atau mengantisipasi

terjadinya perubahan ekosistem dapat dilakukan sebagai berikut:

• Perusahaan pertambangan diwajibkan untuk membuat tanggul dan kolam

pengendapan pada setiap dermaga pengapalan (jeti), sehingga tingkat

kekeruhan perairan terutama pada saat terjadi turun hujan dapat diminimalisir.

• Beberapa perusahaan pertambangan bisa saling berkolaborasi untuk

membuat satu dermaga pengapalan (jeti) yang berkualitas sesuai dengan

ketentuan standar yang berlaku untuk digunakan secara bersama-sama.

• Solusi alternatif lainnya bisa dilakukan dengan cara memanfaatkan dermaga

ex. PT. Aneka Tambang yang telah mempunyai standar internasional untuk

digunakan secara bersama-sama melalui sistem sewa atau ganti rugi.

• Aktivitas penambangan bauksit perlu dilakukan secara ekstra hati-hati dan

bijaksana. Kepedulian terhadap lingkungan perlu dicanangkan semenjak

perencanaan tambang hingga paska tambang. Seperti lokasi penambangan

yang berada disekitar pulau-pulau kecil dan daerah konservasi agar dibuat

buffer untuk mengamankan keberadaan pulau-pulau kecil dan daerah

konservasi tersebut.

2. Pelaksanaan pemantauan lingkungan pertambangan oleh dinas-dinas terkait

(yakni: dinas pertambangan, dinas lingkungan hidup dan dinas perikanan dan

kelautan) hendaknya dilakukan secara terpadu dan intensif, sehingga:

• Pelanggaran baik aktivitas penambangan maupun aktivitas lainnya yang dapat

merusak daerah konserfasi dapat dicegah atau dihindari.

• Terlindunginya daerah konservasi seperti daerah perlidungan laut (DPL) dan

pulau-pulau kecil dari ancaman terjadinya degradasi lingkungan.

• Terlindunginya masyarakat kecil, termasuk para nelayan dari kehilangan

penopang kehidupannya.

3. Mengingat baik Undang Undang No.27 tahun 2007, tentang Pengelolaan Wilayah

Pesisir dan Pulau-pulau Kecil maupun Undang Undang No. 4 tahun 2009, tentang

MINERBA, maka rencana penambangan bijih bauksit (besi) di Pulau Mamot yang

hingga kini masih dalam tahap eksplorasi, sebaiknya untuk tidak ditindak lanjuti

dengan ijin eksploitasi.

Page 111: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VII - 1

DAFTAR PUSTAKA

Anonim, Undang-Undang No.27 Tahun 1999 tentang Pengelolaan wilayah pesisir dan

pulau-pulau kecil

Anonim, Undang-Undang No.32 Tahun 2009, tentang Perlindungan dan Pengelolaan

Lingkungan Hidup.

Anonim, Undang-Undang No.4 Tahun 2009, tentang Pertambangan Mineral dan

Batubara

Anonim, Undang-Undang No.5 Tahun 1990 tentang Konservasi Sumberdaya Alam Hayti

dan Ekosistemnya.

Anonim, Undang-Undang No.41 Tahun 1999 tentang Kehutanan.

Anonim, Undang-Undang No.24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana.

Anonim, Undang-Undang No.26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.

Anonimous, A field guide to aquatic phenomena, http://www.umaine.edu/

WaterResearch/ FieldGuide/ color. htm#blue.

Anonimous, Causes of Color, http:// webexhibits.org /causesofcolor /5B.html

Atlas of ADB Project Implementation Area dan Coremap, 2006,

Bappeda Kab.Bintan, 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan,

Pemerintah Kabupaten Bintan

Bappeda Kab.Lingga, 2007, Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Bintan,

Pemerintah Kabupaten Lingga

BMKG, 2009, Evaluasi Cuaca dan Sifat hujan Bulan Juli serta Prakiraan Cuaca dan Sifat

Hujan Bulan Agustus, Buletin Meteorologi, Hang Nadin, Batam

BMKG, 2010, Evaluasi Cuaca dan Sifat hujan Bulan Maret serta Prakiraan Cuaca dan

Sifat Hujan Bulan April, Buletin Meteorologi, Hang Nadim, Batam

Clark, R.B, 1989, Marine pollution, Oxford, Clarendon Press.

Harning, R, Djohan, E, Rahayu, S., 2006, Dasar-dasar aspek social Terumbu Karang

Indonesia, desa Limbung, Kecamatan Lingga Utara, Kabupaten Lingga, Provinsi

Kepulauan Riau, Coremap-LIPI, Pusat Penelitian Kependudukan – LIPI, Jakarta

2006.

Hendrik, A.W.C, Djuwariah., 2008, Monitoring Terumbu Karang Pulau Bintan, Pulau

Mapur, Coral Reef Rehabilitation and Management Program – LIPI, Jakarta.

Page 112: RA-Kajian Dampak Penambangan Bauksit-Lingga

Kajian Dampak Penambangan Korelasinya dengan Perubahan Ekosistem Peraian

Pusat Penelitian Geoteknologi LIPI, 2010 VII - 2

Kepmen Kependudukan dan Lingkungan Hidup, No.Kep-02/MENKLH/I/1988, tentang

Pedoman Penetapan Baku Mutu Lingkungan.

Korzeniewski, K and Neugebaur, E, 1991, Heavy metal contamination in the polish zone

at South Baltic. Mar.Pollt.Bull.23, 687 – 689.

Kusnama, Sutisna, K, Amin,T.C, Koesoemadinata, S, Sukardi, Hermanto, B., 1994, Peta

Geologi Lembar Tanjungpinang, Sumatera, Pusat Peneltian Geologi, Bandung.

Peraturan daerah Kabupaten Bintan Nomor 14 Tahun 2007 tentang Rencana Tata

Ruang Wilayah Kabupaten Bintan tanggal 23 Agustus 2007

Peraturan Pemerintah No.21 tahun 2006 tentang Penyelengaraan Penanggulangan

Bencana

Siegal,B.S., and Gillespie,A.R., Remote Sensing in Geology, John Wiley & Sons, New

York, 1979.

Sutisna, K, Burham, G, Hermanto, B., 1994, Peta Geologi Lembar Dabo, Sumatera,

Pusat Peneltian Geologi, Bandung.

Suyartono, 2003, “Good Mining Practice” Konsep tentang Pengelolaan Pertambangan

yang Baik dan Benar, ISBN: 979-97534-7-3, Penerbit Studi Nusa, Semarang.

Tim Asdir Kebijakan dan Pengembangan MMA/MCA, 2009, Mengenal Potensi Kawasan

Konservasi Perairan (Laut) daerah, Program Rehabilitasi dan Pengelolaan

Terumbu Karang (Coremap II) Direktorat Jenderal Kelautan Pasisir dan Pulau-

pulau Kecil, Departemen Kelautan dan Perikanan, Jakarta, Vol.1. ISBN 978-602-

8717-30-4.