pura goa lawah

5
Pura Goa Lawah Stana Dewa Maheswara, Pusat ''Nyegara-Gunung'' Dari ribuan jumlah pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus Pura Khayangan Jagat. Salah satunya Pura Goa Lawah. Pura ini berdiri di wilayah pertemuan antara pantai dan perbukitan dengan sebuah goa yang dihuni beribu-ribu kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan salah satu kayangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung. Bagaimana sejarah pura yang menempati posisi di bagian tenggara itu? Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung (lingga-yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara kelelawar tiada henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar lagi datang, bergantungan, bergelayutan, berdesak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang masa. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar) putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan, Klungkung itu. Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri kokoh beberapa meru dan sthana lainnya. Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer dari kota Denpasar. Umat Hindu silih berganti menghaturkan bhakti dengan berbagai tujuan. Terutama ketika berlangsung piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada Anggara Kasih Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa Pakraman Pesinggahan.

Upload: widiari-ayu

Post on 24-Dec-2015

12 views

Category:

Documents


1 download

DESCRIPTION

pura goa lawah

TRANSCRIPT

Page 1: Pura Goa Lawah

Pura Goa Lawah

Stana Dewa Maheswara,

Pusat ''Nyegara-Gunung''

Dari ribuan jumlah pura di Bali, beberapa di antaranya berstatus Pura Khayangan

Jagat. Salah satunya Pura Goa Lawah. Pura ini berdiri di wilayah pertemuan

antara pantai dan perbukitan dengan sebuah goa yang dihuni beribu-ribu

kelelawar. Lontar Padma Bhuwana menyebutkan Pura Goa Lawah merupakan

salah satu kayangan jagat/sad kahyangan sebagai sthana Dewa Maheswara dan

Sanghyang Basukih, dengan fungsi sebagai pusat nyegara-gunung. Bagaimana

sejarah pura yang menempati posisi di bagian tenggara itu?

Pura Goa Lawah merupakan suatu kawasan yang suci dan indah. Di situ ada perpaduan antara laut dan gunung

(lingga-yoni). Seperti namanya, di pura ini terdapat goa yang dihuni ribuan kelelawar. Gemuruh riuh suara

kelelawar tiada henti, pagi, siang apalagi malam. Sekejap puluhan, ratusan bahkan ribuan ekor terbang. Sebentar

lagi datang, bergantungan, bergelayutan, berdesak-desakkan di dinding-dinding karang goa. Terdengar begitu

riuh bagaikan nyanyian alam yang abadi sepanjang masa. Belum lagi munculnya ular duwe, lelawah (kelelawar)

putih, kuning dan brumbun, menambah suasana makin mistik di Pura yang berada di Desa Pesinggahan, Dawan,

Klungkung itu.

Sementara di mulut goa terdapat beberapa palinggih stana para Dewa. Di pelatarannya, juga berdiri kokoh

beberapa meru dan sthana lainnya.

Lokasinya sekitar 20 kilometer di sebelah timur kota Semarapura, Klungkung atau kurang lebih 59 kilometer

dari kota Denpasar. Umat Hindu silih berganti menghaturkan bhakti dengan berbagai tujuan. Terutama ketika

berlangsung piodalan/pujawali yang dilaksanakan setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni pada Anggara Kasih

Medangsia. Upacara nyejer selam 3 hari dengan penanggung jawab, pengempon pura yakni Krama Desa

Pakraman Pesinggahan.

 Di samping juga dilaksanakan aci penyabran yang dilakukan secara rutin pada hari-hari suci seperti Purnama,

Tilem, Kajeng Kliwon, Pagerwesi, Saraswati, Siwaratri dan lainnya.

Begitu juga dengan umat Hindu dari seluruh pelosok Bali, setiap harinya ada saja yang menggelar upacara

meajar-ajar atau nyegara-gunung.

Siapa yang membangun Pura Goa Lawah dan kapan dibangun?

Sulit mengungkap dan membuka secara gamblang misteri itu. Di samping karena usia bangunan pemujaan

tersebut sudah tua, juga jarang ada narasumber yang benar-benar mengetahui seluk beluk keberadaannya.

Page 2: Pura Goa Lawah

Memang, ada beberapa lontar yang selintas menulis keberadaan Pura Goa Lawah. Tetapi, sangat jarang yang

berani membuka secara jelas dan gamblang, siapa dan kapan salah satu pura Sad Kahyangan itu dibangun.

Jika dirunut dari kata goa lawah, secara harfiah sedikit tidaknya dapat dijelaskan bahwa goa berarti goa (lobang)

dan lawah berarti kelelawar. Jadi goa lawah bisa diartikan goa kelelawar. Dalam beberapa lontar, sekilas ada

yang menyimpulkan secara garis besarnya bahwa pura-pura besar yang berstatus Kahyangan jagat dan Sad

Kahyangan di Bali dibangun oleh pendeta terkenal, Mpu Kuturan.

Hal itu terbukti dengan disebutnya Pura Goa Lawah dalam lontar Mpu Kuturan. Sebagaimana dihimpun Dinas

Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Klungkung yang saat ini tengah mempersiapkan penerbitan buku

tentang ''Pura Goa Lawah.'' Dalam rekapan buku yang rencananya dipasupati bersamaan dengan pujawali di

Pura Goa Lawah, 23 Mei mendatang, diceritakan, Mpu Kuturan datang ke Bali abad X yakni saat pemerintahan

dipimpin Anak Bungsu adik Raja Airlangga. Airlangga sendiri memerintah di Jawa Timur (1019-1042). Ketika

tiba, Mpu Kuturan menemui banyak sekte di Bali. Melihat kenyataan itu, Mpu Kuturan kemudian

mengembangkan konsep Tri Murti dengan tujuan mempersatukan semua sekte tersebut.

Kedatangan Mpu Kuturan membawa perubahan yang sangat besar di wilayah ini, terutama mengajarkan

masyarakat Bali tentang cara membuat pemujaan terhadap Hyang Widhi yang dikenal dengan sebutan

kahyangan atau parahyangan.

Mpu Kuturan pula yang mengajarkan pembuatan Kahyangan Tiga di setiap desa pakraman di Bali serta

mengukuhkan keberadaan Kahyangan Jagat yang salah satunya adalah Goa Lawah. Sebagaimana tertulis dalam

lontar Usana Dewa, Mpu Kuturan juga tercatat sebagai perancang bangunan pelinggih di Pura-Pura seperti

gedong dan meru serta arsitektur Bali. Begitu juga dengan berbagai jenis upacara-upakara dan pedagingan

pelinggih. Hal itu termuat dalam lontar Dewa Tatwa. Mpu Kuturan telah membuat landasan prikehidupan yang

sangat prinsip seperti aturan-aturan ketertiban hidup bermasyarakat yang diwarisi sampai saat ini dalam bentuk

Desa Pakraman.

Di samping nama Mpu Kuturan, patut juga dicatat perjalanan Danghyang Dwijendra atau Danghyang Nirartha

yang dikenal juga dengan gelar Pedanda Sakti Wawu Rawuh. Maha pandita ini berada di Bali saat Bali dipimpin

Raja Dalem Waturenggong (1460-1550 Masehi), seorang raja yang sangat jaya pada masanya dan membawa

kejayaan Nusa Bali. Danghyang Nirartha merupakan seorang pendeta yang melakukan tirthayatra ke seluruh

pelosok Pulau Bali, termasuk juga ke pulau Lombok dan Sumbawa.

Kaitannya dengan Pura Goa Lawah. Lontar Dwijendra Tatwa menyebutkan perjalanan Danghyang Nirartha

diawali dari Gelgel menuju Kusamba. Tetapi, di Kusamba Danghyang Nirartha tidak berhenti. Perjalanannya

berlanjut hingga ke Goa Lawah. Saat itulah, Danghyang Nirartha bisa melihat gunung yang indah. Perjalanan

dihentikan. Sang pendeta masuk ke tengah Goa. Melihat-lihat goa kelelawar yang jumlahnya ribuan. Di puncak

gunung goa itu bunga-bunga bersinar, jatuh berserakan tertiup angin semilir, bagaikan ikut menambah

keindahan perasaan sang pendeta yang baru tiba. Dari sana beliau memandang Pulau Nusa yang terlihat indah.

Lalu membangun padmasana yang notebena tempat bersthana para dewa.

Page 3: Pura Goa Lawah

 Pura Goa Lawah awalnya dipelihara dan dijaga Gusti Batan Waringin atas petunjuk Ida Panataran yang

notebene putra dari Ida Tulus Dewa yang menjadi pemangku di Pura Besakih. Penunjukkan itu mengingat Goa

Lawah memiliki hubungan benang merah dengan Pura Besakih. Pura Goa Lawah merupakan jalan keluar Ida

Bhatara Hyang Basukih dari Gunung Agung tepatnya di Goa Raja, terutama ketika berkehendak masucian di

pantai.

 Dalam babad Siddhimantra Tatwa disebutkan ada kisah pertemuan antara Sanghyang Basukih di kawasan

Besakih dengan Danghyang Siddhimantra, salah seorang keturunan Mpu Bharadah. Sanghyang Basukih yang

merupakan nagaraja, memiliki peraduan di sebuah goa yang berada di bawah Pura Goa Raja Besakih yang

konon tembus ke Goa Lawah. Dalam hubungan ini acapkali terlihat secara samar sosok seekor naga ke luar dari

Pura Goa Lawah, menyeberang jalan lalu menuju pantai. Orang percaya itulah Sanghyang Basukih yang

berdiam di goa sedang menyucikan diri, mandi ke laut.

Goa dari Pura Goa Lawah ini, menurut krama Pesinggahan tembus di tiga tempat masing-masing di Gunung

Agung (Goa Raja Besakih), Talibeng dan Tangkid Bangbang. Ketika Gunung Agung meletus tahun 1963, ada

asap mengepul keluar dari muara goa lawah. Ini suatu bukti Goa Raja Besakih tembus Goa Lawah.

 

Jika menengok ke belakang yakni pada zaman Megalitikum, di mana pada zaman itu selain menghormati

kekuatan gunung sebagai kekuatan alam yang telah menyatu dengan arwah nenek moyang yang mempunyai

kekuatan gaib, juga menghormati kekuatan laut di samping kekuatan-kekuatan alam lainya, seperti batu besar,

goa, campuhan, kelebutan dan lainnya. Dalam kehidupan masyarakat Bali yang kental dengan pengaruh dan

sentuhan agama Hindu, pemujaan terhadap kekuatan segara-gunung memang merupakan dresta tua. Tetapi

sampai saat ini masih bertahan dan terus berlanjut. Karena pada intinya, pemujaan terhadap Dewa Gunung atau

Dewa Laut, sesungguhnya telah mencakup pemujaan kepada kekuatan alam yang notabene penghormatan yang

amat lengkap. Atas dasar itulah, Pura yang awalnya sangat sederhana itu, kini lebih dikenal sebagai kekuatan

alam yang bersatu dengan kekuatan magis arwah nenek moyang. Laut yang berada di depan pura, sekarang telah

menyatu dengan segala kekuatan yang dihormati dan dipuja masyarakat guna mendapat ketentraman dan

kesejahteraan hidup.

Dari kilasan di atas, jelas bahwa Pura Goa Lawah memiliki sejarah yang cukup panjang. Berawal dari pemujaan

alam goa kelelawar, gunung dan laut di zaman Megalitikum, lalu dikembangkan/ditata dan kemudian dibangun

pelinggih-pelinggih sthana para Dewa dan Bhatara oleh Mpu Kuturan abad X kemudian disempurnakan lagi

dengan membangun Padmasana oleh Danghyang Dwijendra pada abad XIV-XV. Lengkaplah keberadaan Pura

Goa Lawah, seperti yang kita lihat dan warisi sampai sekarang. Namun yang perlu dicatat, Nyegara-Gunung

yang digelar di Pura Goa Lawah, mengandung makna terima kasih ke hadapan Hyang Widhi dalam manifestasi

Girinatha (pelindung gunung) dan Baruna sebagai penguasa laut, atas pemberian amerta baik kepada sang Dewa

Pitara-jiwa leluhur yang telah suci maupun kepada sang Yajamana, Sang Tapini dan Sang Adrue Karya. Atas

dasar konsep inilah Umat Hindu memuliakan gunung dan laut sebagai sumber penghidupan. Memuliakan

Page 4: Pura Goa Lawah

gunung dan laut bukan berarti umat Hindu menyembah gunung dan laut, tetapi yang dipuja  adalah Hyang

Widhi dalam fungsinya sebagai pelindung gunung dan penguasa laut. * bali putra