pud
DESCRIPTION
dfdfTRANSCRIPT
I . PENDAHULUAN
Wanita dalam kehidupannya tidak luput dari adanya siklus haid normal yang
terjadi secara siklik. Dalam perjalanan siklus haid yang normal ini hampir semua
wanita mengalami perdarahan-perdarahan yang mengganggu baik di dalam
maupun di luar siklus haid. Peristiwa ini dapat terjadi setiap saat dalam kurun
waktu antara menarke dan menopause.
Seperti kita ketahui bahwa siklus haid diatur oleh dua faktor yaitu faktor
fungsi endokrin reproduksi yang normal yaitu poros hipotalamus-hipofisis-
ovarium dan faktor fungsi anatomi genitalia yang normal dalam hal ini uterus,
ovarium, tuba dan vagina.
Perdarahan haid terjadi secara ritmis mengikuti suatu siklus haid yang
normalnya satu siklus berkisar antara 25-31 hari sekali. Perdarahan haid adalah
darah yang keluar dari uterus perempuan sehat, lamanya 3-6 hari, berwarna
kecoklatan dan terjadi akibat penurunan kadar progesteron. Darah menstruasi
terdiri atas endometrium yang dirusak sebagian dan mengalami deskuamasi dan
bercampur dengan darah dari pembuluh darah yang mengalami degenerasi.
Siklus haid dipengaruhi berbagai hormon. Hormon pelepas gonadotropin
atau GnRH memicu hipofisis anterior mengeluarkan hormon FSH. FSH memicu
pematangan folikel di ovarium sehingga terjadi sintesis estrogen dalam jumlah
besar. Estrogen menyebabkan terjadinya proliferasi sel-sel endometrium yang
dikenal dengan fase proliferasi atau fase folikuler. Estrogen yang tinggi ini
memberi tanda kepada hipofisis untuk mengeluarkan hormon LH. Pengeluaran
LH ini menyebabkan terjadinya ovulasi dan memicu korpus luteum untuk
mensistesis progesteron. Progesteron menyebabkan terjadinya perubahan
sekretorik pada endometrium, yang dikenal dengan fase sekresi, atau fase luteal.
Diantara jenis gangguan perdarahan haid yang paling membutuhkan
kecermatan dalam penanganannya adalah perdarahan uterus disfungsional (PUD)
karena pada keadaan ini tidak dijumpai kelainan organik pada genitalia interna
melainkan adanya gangguan fungsi endokrin reproduksi sebagai penyebab
perdarahannya.
Beberapa peneliti menyatakan bahwa perdarahan uterus yang abnormal
dapat disebabkan oleh kelainan organik seperti polip atau fibroid. Kurang lebih
80% wanita dengan perdarahan uterus disfungsional berhubungan dengan siklus
ovulasi dan 20% dihubungkan dengan siklus anovulasi.
Seringkali gangguan perdarahan uterus disfungsional ini merupakan keadaan
yang mencemaskan atau bahkan menimbulkan keadaan gawat darurat yang
membutuhkan penanganan yang cepat dan tepat.
Beberapa cara telah diperkenalkan untuk mengatasi perdaran uterus
disfungsional ini. Tetapi belum ada cara yang merupakan standard baku yang
berlaku untuk semua keadaan. Dilatasi dan kuretase telah lama dipakai sebagai
penanganan keadaan tersebut tetapi tidak dapat dilakukan pada penderita yang
belum menikah. Oleh karena itu pengobatan secara hormonal menjadi salah satu
pilihan pengobatan.
Makalah ini disajikan untuk mengetahui lebih lanjut mengenai perdarahan
uterus disfungsional, jenis-jenis PUD, gambaran histologis dan cara
penanganannya.
II. DEFINISI
Perdarahan uterus disfungsional (PUD) adalah perdarahan uterus yang abnormal
baik dalam hal jumlah, frekuensi dan lamanya, yang terjadi baik di dalam maupun
di luar siklus haid dan merupakan gejala klinik yang semata-mata karena suatu
gangguan fungsi mekanisme kerja poros hipotalamus-hipofisis-ovarium-
endometrium tanpa adanya kelainan organik alat-alat reproduksi.
Menurut American College of Obstetrician and Gynecologist Technical
(1982), PUD adalah perdarahan yang berasal dari endometrium yang tidak
berhubungan dengan lesi anatomi dari uterus. Gangguan dapat berasal dari fungsi
ovarium dengan siklus anovulatorik, perdarahan di tengah siklus yang
berhubungan dengan ovulasi dan menstruasi yang tidak teratur berhubungan
dengan defek korpus luteum. PUD paling banyak dijumpai pada usia perimenars,
usia reproduksi dan usia perimenopause.
Usia perimenars adalah usia sejak terjadinya menars (rata-rata 11 tahun)
hingga memasuki usia reproduksi yang berlangsung sampai 3-5 tahun setelah
menars. Siklus haid pada usia tersebut biasanya ditandai dengan siklus yang tidak
teratur baik lama maupun jumlah darahnya. PUD pada usia ini umumnya terjadi
pada siklus anovulatorik yaitu sebanyak 95-98%. Diagnosis anovulasi dan
analisis hormonal tidak perlu dilakukan kecuali bila PUD terjadi pada siklus haid
21-35 hari.
Usia perimenopause adalah usia antara masa menopause dan
pascamenopause yaitu sekitar usia 40-50 tahun. PUD pada usia ini hampir 95%
terjadi pada siklus yang tidak berovulasi (folikel persisten).
III. ANGKA KEJADIAN
Pada penelitian para ahli dinyatakan bahwa angka kejadian cukup tinggi karena
hampir terjadi pada semua wanita.
Tetapi mengingat kasus-kasus PUD ini dapat sembuh dengan sendirinya
tanpa pengobatan, maka hanya kasus PUD berat yang seringkali menjadi keadaan
gawat darurat. Gangguan PUD ini paling menonjol pada usia perimenars dan
perimenopause. Data yang didapat dari Finlandia menyatakan bahwa dua tahun
setelah menarke dimana 55-82% siklus adalah anovulasi, sebagian besar
mengalami perdarahan haid yang teratur.
Insiden PUD terjadi pada 10-15% dari seluruh kasus ginekologi dimana 4%
pada usia kurang dari 20 tahun, 57% pada usia reproduksi serta 39% terjadi pada
usia di atas 40 tahun.
IV. FASE-FASE DALAM SIKLUS ENDOMETRIUM
Untuk mengetahui gambaran histologi dari perdarahan uterus disfungsional,
sebaiknya dijelaskan terlebih dahulu mengenai gambaran histologi fase-fase yang
terjadi pada endometrium.
1. Fase proliferasi
Endometrium mula-mula tipis, kemudian tumbuh menjadi tebal karena
hiperplasi dan bertambahnya jaringan di dalam stroma. Di permukaan
endometrium terdapat stroma longgar, sedangkan di sebelah dalam stroma
menjadi padat. Kelenjar mula-mula lurus, kemudian kelenjar tumbuh lebih
cepat daripada jaringan lain sehingga jaringan berkelok-kelok.
2. Fase sekresi
Ketebalan endometrium sedikit berkurang karena cairan jaringan hilang, tetapi
kelenjar berubah menjadi panjang dan berkelok-kelok dan terjadi pengeluaran
sekret. Stroma banyak dan edema. Di dalam endometrium tertimbun banyak
glikogen yang kelak diperlukan untuk cadangan makanan. Arteri spiralis
sangat berkelok-kelok dan bercabang dengan zona kompakta. Arteriole
tumbuh lebih cepat daripada endometrium sehingga ujungnya mendekati
permukaan endometrium dan berkelok-kelok. Pada fase ini, endometrium
dapat dibedakan menjadi :
a. Zona kompakta
Merupakan lapisan di bawah permukaan endometrium dan ditembus oleh
saluran-saluran kelenjar yang hampir lurus dan lebih kecil yang seringkali
mengandung sekresi.
b. Zona spongiosa
Zona spongiosa merupakan lapisan yang terdapat diantara zona kompakta
dan zona basalis, berlubang-lubang karena terdapat rongga kelenjar dan
sedikit stroma.
c. Zona basalis
Zona basalis merupakan lapisan yang berbatasan dengan miometrium.
Selama siklus menstruasi, zona basalis mengalami sedikit perubahan
histologik dan di dalam kelenjar terdapat mitosis.
Zona kompakta dan zona spongiosa disebut sebagai zona fungsionalis. Fase
sekresi berlangsung pada hari ke-14 sampai hari ke-28.
3. Fase pramenstruasi
Fase pramenstruasi terjadi 2-3 hari sebelum menstruasi. Ketebalan
endometrium berkurang karena cairan jaringan dan secret hilang, kelenjar dan
arteria menjadi kollaps. Di dalam stroma terdapat lekosit polimorfonuklear
dan mononuklear sehingga menimbulkan pseudoinflamasi. Fase
pramenstruasi sesuai dengan fase iskemi.
4. Fase menstruasi
Perdarahan menstruasi merupakan perdarahan arteria atau perdarahan venous
tetapi terutama perdarahan arterial. Terbentuk hematom yang akan
melepaskan zona fungsionalis. Zona spongiosa tidak seluruhnya terlepas
bahkan masih tertinggal. Perdarahan berhenti jika arteri spiralis kembali
berkontraksi.
V. PATOFISIOLOGI PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL
Perdarahan uterus disfungsional dapat terjadi pada siklus ovulatorik, anovulatorik
maupun pada keadaan dengan folikel persisten.
1. PUD pada siklus ovulatorik
Gangguan perdarahan ini biasanya terjadi pada wanita usia reproduksi dengan
jenis perdarahan yang terjadi dapat berupa perdarahan di tengah siklus,
perdarahan bercak prahaid dan pascahaid. Pada siklus ovulatorik maka PUD
yang terjadi dihubungkan dengan gangguan sensitivitas ovarium terhadap
FSH. Berdasarkan patofisiologinya dikenal beberapa jenis PUD ini yaitu :
a. Fase proliferasi yang memendek
Hal ini terjadi karena hipersensitifnya ovarium terhadap FSH sehingga
terjadi kenaikan kadar E2 sampai mampu menimbulkan lonjakan LH lebih
awal dan ovulasi terjadi lebih awal. Perdarahan yang terjadi berupa
polimenore.
b. Fase proliferasi yang memanjang
Hal ini terjadi karena kurang sensitifnya ovarium terhadap FSH atau
timbulnya gangguan dari hipotalamus dan hipofisis sehingga FSH yang
diproduksi berkurang. Hal ini mengakibatkan perkembangan folikel
terlambat dan kenaikan E2 pun terlambat sehingga ovulasi terjadi terlambat.
Apabila terjadi ovulasi maka fase sekresinya normal. Gangguan perdarahan
yang terjadi berupa perdarahan pertengahan siklus yaitu bercak pascahaid.
c. Kegagalan korpus luteum
Keadaan ini berhubungan dengan rendahnya kadar FSH pada saat lonjakan
LH terjadi. Juga dapat disebabkan gangguan pusat tonik di hipotalamus
yang menyebabkan kurangnya kadar LH. Beberapa peneliti juga
menghubungkan keadaan di atas dengan tingginya kadar prolaktin.
Perdarahan yang terjadi dapat berupa polimenore, hipermenore atau bercak
prahaid.
Diagnosis ditegakkan dengan kuretase pada hari ke-26 dan ke-28 siklus
haid atau 12 hari dari kenaikan suhu basal badan. Pengambilan dilakukan
pada derah fundus bagian depan karena bagian ini sangat responsif terhadap
perubahan siklus hormonal ovarium.
Gambaran histologi pada keadaan ini menunjukkan adanya gambaran
sekresi normal tetapi dapat pula bervariasi tergantung pada banyaknya
hormon yang disekresi. Kelenjar mungkin menunjukkan perubahan
sekretori tetapi tidak terdapat kompleks . Stroma mungkin masih
menunjukkan nonreaktif tanpa edem atau perkembangan predesidual.
d. Aktifitas korpus luteum yang memanjang
Pada keadaan tertentu korpus luteum gagal berovulasi pada waktu yang
tepat yang disebabkan oleh karena terganggunya umpan balik negatif
sehingga kadar LH tetap tinggi yang menyebabkan fase sekresi berlangsung
lama.
Sebagai akibatnya adalah kadar progesteron yang tetap tinggi sehingga
ovarium secara relatif menurunkan sintesis progesteron. Keadaan ini
menyebabkan pelepasan endometrium terganggu dan berlangsung tidak
teratur sehingga menimbulkan oligomenore yang kemudian diikuti dengan
hipermenore. Perdarahan yang terjadi kadang-kadang berlangsung lebih
dari dua minggu. Keadaan ini disebut pula sebagai irregular shedding.
Gambaran histologi pada keadaan ini adalah adanya stroma padat di
sekeliling kelenjar proliferasi, juga terdapat area terdiri dari kelenjar tipe
sekresi dan stroma edematosa. Mungkin terdapat fibrin trombi.
2. PUD pada siklus anovulasi
Sebagai akibat tidak terjadinya ovulasi maka korpus luteum tidak terbentuk
sehingga siklus dipengaruhi oleh kelebihan hormon estrogen dan berkurangnya
hormon progesteron. Pada masa perimenars hal ini dihubungkan dengan belum
matangnya fungsi hipotalamus dan hipofisis sedangkan pada usia reproduksi
lebih sering disebabkan karena disfungsional pusat siklik di hipotalamus
sehingga tidak terjadi lonjakan LH.
Pada usia perimenopause, anovulasi sering disebabkan kegagalan ovarium
dalam menerima rangsangan hormon FSH dan LH. Gangguam perdarahan yang
terjadi dapat berupa perdarahan yang sedikit atau banyak, bergumpal-gumpal,
siklus yang teratur maupun tidak teratur
Gambaran mikroskopis menunjukkan hilangnya perubahan sekretori pada
siklus haid dan aktifitas proliferatif yang memanjang. Glikogen mungkin
didapati dalam jumlah kecil apabila terdapat follicular luteinizing atau aktifitas
hipofisis abnormal. Eritrosit mungkin terlihat di dalam stroma dan fibrin trombi
pada kapiler yang melebar.
Penyebab anovulasi lainnya yang berhubungan dengan siklus anovulasi
adalah hiperprolaktinemi, hipo atau hipertiroid, malnutrisi, kegemukan serta
sindroma ovarium polikistik.
3.PUD pada folikel persisten
Keadaan ini menyebabkan rangsangan estrogen yang terus menerus dan
menetap. Pada endometrium hal ini dapat menyebabkan hiperplasi
endometrium. Keadaan ini sering dijumpai pada masa perimenopause dan
jarang pada masa reproduksi. Apabila folikel tidak mampu lagi membentuk
estrogen maka terjadi perdarahan lucut estrogen.
V. DIAGNOSIS
Prinsip penegakan diagnosis pasti PUD adalah harus disingkirkan dahulu adanya
kelainan organik dan gangguan hematologi.
Tahap pemeriksaannya adalah :
1. Anamnesis
Perlu diketahui usia menarke, siklus haid serta latar belakang kehidupan
keluarga dan latar belakang emosional.
2. Pemeriksaan fisik
Untuk menilai sebab lain yang dapat menimbulkan PUD seperti hipotiroid,
hipertiroid, ptekia dan ekhimosis.
3. Pemeriksaan ginekologi
Tujuannya adalah untuk menilai adanya perlukaan genitalia interna, erosi,
peradangan, polip serviks, mioma uteri dan lain-lain.
4. Pemeriksaan penunjang
Kelainan organik pada genitalia interna seringkali sulit dinilai apalagi pada
wanita yang belum menikah karena penilaian melalui pemeriksaan per rectal
lebih sulit dilakukan. Untuk itu diperlukan bantuan alat diagnostik, yaitu
biopsi endometrium, laboratorium hematologi, pemeriksaan USG dan tera
radioimunologi (RIA)
5. Penilaian anovulasi
Penilaian anovulasi berperan dalam penentuan jenis PUD. Keadaan ini dapat
dinilai dari pemeriksaan suhu basal badan, sitologi, uji pakis dan lain-lain.
VI. PENATALAKSANAAN PERDARAHAN UTERUS DISFUNGSIONAL
Prinsip penatalaksanaan pada semua kasus PUD adalah selalu dimulai dengan
menyingkirkan kelainan organik kamudian baru dilakukan penghentian
perdarahan. Penatalaksanaan PUD terdiri dari :
1. Pengobatan hormonal
a. Siklus anovulatorik
Untuk perdarahan pertengahan siklus diberikan estrogen dari hari ke-10
sampai hari ke-15 siklus haid dengan estrogen konyugasi 0,625-1,25
mg/hari atau etinilestradiol 50 µg/hari. Jika perdarahan disebabkan oleh
gangguan pelepasan endometrium maka pengobatan hormonal tidak
begitu memuaskan. Sehingga kadang-kadang diperlukan tindakan dilatasi
dan kuretase. Tetapi hal ini tidak mencegah berulangnya gangguan
tersebut pada siklus berikutnya.
Perdarahan bercak prahaid biasanya diatasi dengan pemberian
progesteron (MPA atau Dindogestron) pada hari ke-17 sampai ke-26
siklus dengan dosis 10 mg/hari. Sedangkan untuk perdarahan pasca haid
diberikan estrogen setelah hari ke-2 haid selama satu minggu.
b. Folikel persisten
Pada keadaan ini tindakan dilatasi dan kuretase merupakan terapi pilihan
terutama pada usia di atas 40 tahun karena kemungkinan keganasan cukup
tinggi. Pada wanita perimenopause dapat digunakan preparat progesteron
seperti DMPA.
c. PUD berat
Pemberian estrogen konyugasi dosis tinggi yaitu 25 mg i.v pada PUD
yang berat dapat merangsang terbentuknya lapisan mukopolisakarida
pada dinding kapiler dan arteriole sehingga luka pada pembuluh darah
akan tertutup. Suntikan estrogen tersebut dapat diulang 3-4 jam dengan
maksimal pemberian sebanyak empat kali suntikan. Bila terdapat kontra
indikasi penggunaan estrogen, dapat digunakan progesteron 100 mg i.v.
2. Pengobatan operatif
Histerektomi hanya dilakukan bila terdapat kegagalan kuretase atau dijumpai
adanya keganasan.
3. Pengobatan lain
a. Senyawa antifibrinolitik
Asam aminokaproat dan asam traneksamat dapat diberikan dengan dosis 4
g/hari dibagi dalam empat kali pemberian selama 4-7 hari dan dapat diulang
pada setiap siklus.
b. Senyawa antiprostaglandin
Asam mefenamat terbukti efisien dengan dosis oral 3 x 500 mg/hari semasa
haid. Pemakaiannya dianjurkan terutama pada penderita yang mempunyai
kontra indikasi terhadap estrogen maupun progesterone misalnya pada
kegagalan hati dan adanya keganasan.
VII. KESIMPULAN
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa :
1. Perdarahan uterus disfungsional (PUD) merupakan perdarahan dari
endometrium yang semata-mata disebabkan oleh kelainan fungsional dari
mekanisme kerja hipotalamus-hipofisis-ovarium-endometrium
2. Pemahaman petofisiologi PUD sangat penting diketahui secara mendasar
sebelum dilakukan pengobatan secara hormonal.
3. Diperlukan penilaian kadar hormon reproduksi sebelum dilakukan
pengobatan untuk mencari penyebab perdarahan ini.
IX. RUJUKAN
1.