prospek ubijalar berdaging ungu sebagai makanan...

252
39 PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN SEHAT DALAM MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN Fachrur Rozi dan Ruly Krisdiana Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang ABSTRAK Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan di Jawa Timur dan pelaksanaannya bulan Juli-September 2005. Jumlah responden total adalah 100 orang dengan distribusi secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri). Analisis data disajikan dalam bentuk grafis dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan lebih 85% dari responden menyatakan ubijalar ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) lebih baik untuk atribut rasa manisnya dibanding ubijalar yang sudah ada di pasaran. Sedang atribut warna ungu, mencapai hampir 80% memberikan respon pada ketertarikan warnanya. Dari segi produktivitas hasil, lebih dari separuh jumlah responden produsen menyatakan ubijalar ungu mempunyai produktivitas lebih baik dari ubi yang ada di pasaran. Perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi dari harga ubijalar biasa, Demikian pula, produsen memberikan perbedaan harga berkisar Rp 190-270. Manfaat ekonomi atau keuntungan mengusahakan ubijalar ungu sangat menarik dengan tingkat pengembalian untuk berinvestasi (marginal rate of return/MRR) sebesar 350,28% jauh diatas bunga bank. Disamping itu berdampak sosial yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dengan dikonsumsinya makanan sehat yang mengandung antioksidan. Kata kunci : ubijalar, daging ungu, makanan sehat, ketahanan pangan PENDAHULUAN Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi. Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan citarasa yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati ( Suda I et al, 2003). Di Jepang, ubijalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam darah. Juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung koroner (Yoshinaga M, 1995). Pigmen antosianin pada ubijalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena itu, beberapa industri pewarna dan minuman berkarbonat telah menggunakan ubijalar berwarna ungu sebagai bahan baku produknya. Demikian pula, industri ice cream, minuman beralkohol, pie dan roti. Pengamatan di lapang yang banyak kita temui adalah ubijalar warna daging putih, kuning maupun orange. Oleh karena itu, peluang ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi memiliki prospek yang sangat baik untuk dikembangkan. Menurut Yusuf (2003) saat ini ada dua varietas introduksi dari Jepang yang telah diusahakan secara komersial yaitu Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki yang warna daging umbinya sangat gelap dengan potensi hasil 15-20 t/ha dengan. Disamping itu Balitkabi juga memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas 1-2 tahun mendatang. Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 yang potensi hasilnya tinggi (22,5 27,5 t/ha) dengan bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%).

Upload: others

Post on 18-Jul-2020

4 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

39

PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN SEHAT DALAM

MENDUKUNG KETAHANAN PANGAN

Fachrur Rozi dan Ruly Krisdiana

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian (Balitkabi) Malang

ABSTRAK

Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung resiko suatu saat

kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis umbi-umbian seperti ubijalar misalnya.

Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah

tinggi. Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna daging ungu.

Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan fungsi hati. Penelitian ini dilakukan di Jawa

Timur dan pelaksanaannya bulan Juli-September 2005. Jumlah responden total adalah 100 orang dengan distribusi secara

proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40% produsen (petani), 10% pedagang, dan

10% pengolah (industri). Analisis data disajikan dalam bentuk grafis dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani. Hasil penelitian menunjukkan lebih 85% dari responden menyatakan ubijalar ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU

01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19) lebih baik untuk atribut rasa manisnya dibanding ubijalar yang sudah ada

di pasaran. Sedang atribut warna ungu, mencapai hampir 80% memberikan respon pada ketertarikan warnanya. Dari segi

produktivitas hasil, lebih dari separuh jumlah responden produsen menyatakan ubijalar ungu mempunyai produktivitas lebih baik dari ubi yang ada di pasaran. Perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar Rp 200-350 lebih tinggi

dari harga ubijalar biasa, Demikian pula, produsen memberikan perbedaan harga berkisar Rp 190-270. Manfaat ekonomi

atau keuntungan mengusahakan ubijalar ungu sangat menarik dengan tingkat pengembalian untuk berinvestasi (marginal

rate of return/MRR) sebesar 350,28% jauh diatas bunga bank. Disamping itu berdampak sosial yaitu peningkatan kesehatan masyarakat dengan dikonsumsinya makanan sehat yang mengandung antioksidan.

Kata kunci : ubijalar, daging ungu, makanan sehat, ketahanan pangan

PENDAHULUAN

Ketahanan pangan yang terlalu bergantung pada satu komoditi seperti beras akan mengandung

resiko suatu saat kebutuhan pangan rumah tangga dan nasional akan rapuh. Oleh karenanya, ke depan kita

perlu memberikan perhatian dalam meningkatkan upaya pengembangan pangan alternatif yang berbasis

umbi-umbian seperti ubijalar misalnya. Ubijalar dapat diproses menjadi tepung yang bisa diolah menjadi

aneka produk makanan yang mempunyai nilai tambah tinggi.

Seiring dengan makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka

tuntutan konsumen terhadap bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak

diminati konsumen bukan saja yang mempunyai komposisi gizi yang baik serta penampakan dan citarasa

yang menarik, tetapi juga harus memiliki fungsi fisiologis tertentu bagi tubuh.

Salah satu keunggulan bahan pangan dari ubijalar yang perlu dipromosikan adalah ubijalar berwarna

daging ungu. Jenis ubijalar ini mempunyai kandungan antosianin tinggi. Antosianin bermanfaat bagi

kesehatan tubuh manusia karena dapat berfungsi sebagai antioksidan, antihipertensi, pencegah gangguan

fungsi hati ( Suda I et al, 2003). Di Jepang, ubijalar warna ungu banyak digunakan sebagai zat pewarna

alami untuk makanan, penawar racun, mencegah sembelit, dan membantu menyerap kelebihan lemak dalam

darah. Juga dapat menghalangi munculnya sel kanker serta baik untuk dikonsumsi oleh penderita jantung

koroner (Yoshinaga M, 1995). Pigmen antosianin pada ubijalar lebih tinggi konsentrasinya dan lebih stabil

bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena itu, beberapa industri pewarna dan

minuman berkarbonat telah menggunakan ubijalar berwarna ungu sebagai bahan baku produknya. Demikian

pula, industri ice cream, minuman beralkohol, pie dan roti.

Pengamatan di lapang yang banyak kita temui adalah ubijalar warna daging putih, kuning maupun

orange. Oleh karena itu, peluang ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi memiliki prospek yang sangat

baik untuk dikembangkan. Menurut Yusuf (2003) saat ini ada dua varietas introduksi dari Jepang yang telah

diusahakan secara komersial yaitu Ayamurasaki dan Yamagawamurasaki yang warna daging umbinya sangat

gelap dengan potensi hasil 15-20 t/ha dengan. Disamping itu Balitkabi juga memiliki tiga klon harapan

ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi untuk dilepas 1-2 tahun mendatang. Klon-klon

tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU 01016-19 yang potensi hasilnya tinggi (22,5 –

27,5 t/ha) dengan bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%).

Page 2: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

40

Sejauh ini, pemanfaatan ubijalar berwarna daging ungu di Indonesia masih terbatas pada beberapa

jenis produk pangan saja inipun dalam jumlah kecil, paling banyak dijumpai di pasaran adalah kripik. Untuk

itu, diperlukan sosialisasi dan promosi keunggulan dari produk ubijalar ini. Oleh karena itu, penelitian

ini perlu dilakukan untuk mendukung peningkatan produksi dan pengembangan agroindustri ubijalar

sekaligus membuka peluang pasar untuk produk-produk olahannya.

METODOLOGI

Penelitian ini dilakukan di Kabupaten Pasuruan dan Kabupaten Malang-Jawa Timur. Pemilihan

daerah tersebut didasarkan pada potensi wilayah yang memungkinkan dapat dikembangkan dan dipasarkan

produk yang ditawarkan. Pelaksanaan penelitian bulan Juli-September 2005.

Responden dikelompokkan atas produk yang ditawarkan kepada mereka yaitu ubijalar daging ungu.

Penarikan sample dilakukan dengan stratified random sampling atas dasar pelaku dalam pengguna produk.

Jumlah responden masing-masing wilayah 50 responden, sehingga total adalah 100 orang. Distribusi

responden secara proporsional terdiri dari 40% konsumen (20% pedesaan dan 20% perkotaan), 40%

produsen (petani), 10% pedagang, dan 10% pengolah (industri).

Data yang dikumpulkan meliputi analisa usahatani dan opini, persepsi dan respon dari responden.

Analisis data disajikan dalam bentuk tabulasi silang dan perhitungan finansial dari kelayakan usahatani.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu

Balitkabi memiliki tiga klon harapan ubijalar dengan kandungan antosianin tinggi yang berpotensi

untuk dilepas tahun depan (2007). Klon-klon tersebut adalah MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan MSU

01016-19. Perbedaan dari ketiga jenis tersebut adalah tampilan warna ungu. Kepekatan warna ungu selain

beda kandungan antosianin juga untuk tujuan penggunaan produk olahan (Yusuf, M et al, 2003).

Beberapa potensi dan keunggulannya klon ubijalar ungu, antara lain:

Tabel 1. Karakteristik Klon Ubijalar Ungu

Aspek produksi: Aspek Pangan:

Umur panen : 120 hst (areal dataran rendah)

135 hst (areal dataran sedang)

180 hst (areal dataran tinggi)

Produktivitas : 22,5 – 27,5 t/ha

Bahan kering umbi yang tinggi pula (>30%)

Ukuran umbi : panjang 14 cm

diameter 7 cm

Warna kulit umbi: merah tua

Warna daging umbi: ungu tua

Tahan penyakit kudis (Spaceloma batacas SP)

Produk makanan ringan: kripik

Produk antara: tepung

Produk akhir: mie, es krim, bakpao, dan kue-kue.

Aspek mikro nutrien: Aspek Kesehatan

Rasa enak manis

Sebagai zat pewarna alami untuk makanan

Mengandung Antosianin tinggi 3,5%

Penawar racun, membantu menyerap kelebihan lemak

dalam darah, menghalangi munculnya sel kanker, men-cegah sembelit, dan baik untuk penderita jantung

koroner.

2. Respon Produsen Ubijalar Ungu

a. Aspek Teknis

Kajian persepsi petani produsen dengan melihat lima faktor yang diperkirakan dapat menjadi dasar

penilaian petani. Faktor-faktor tersebut adalah tingkat produktivitas yang dicapai, kebutuhan biaya, resiko

kegagalan dalam pengelolaan, umur yang pendek, dan kemudahan dalam pemeliharaan (budidaya).

Sedangkan dasar penilaian petani terhadap ubijalar berdaging ungu yang ditawarkan adalah dengan

memberikan respon lebih baik, lebih jelek atau sama saja dibanding jenis ubijalar yang biasa petani

usahakan.

Page 3: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

41

Prinsip produsen (petani) mengusahakan tanaman yang menguntungkan dan mudah dalam penjualan.

Persepsi petani dengan melihat tampilan fisik ubijalar ungu hasil dari Balitkabi, maka 58% menyatakan lebih

baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar nantinya. Lain halnya dengan

ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar belum diketahui dengan pasti,

persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel ‗sama saja‘ dengan ubi yang mereka usahakan dan

variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi. Faktor-faktor yang lain selain produktivitas dianggap

sama saja oleh petani dengan ubi yang biasa. Perlu dicermati bahwa respon untuk variabel‘lebih jelek‘

mempunyai nilai rendah (< 27%), hal ini dapat disimpulkan sesungguhnya petani bisa menerima ubijalar

ungu tersebut hanya saja kejelasan pasar perlu petani diyakinkan.

Gambar 1. Respon produsen terhadap ubijalar ungu

b. Aspek Ekonomis

Tingkat harga merupakan tolok ukur petani (produsen) dalam memperoleh pendapatan dari

usahatani ubijalar. Harga per satuan yang tinggi akan mencerminkan juga tingginya pendapatan yang

diperoleh. Kelebihan-kelebihan lain dari ubijalar ungu tidak banyak menarik petani seperti warna, kandungan

gizi dan ukuran karena selama ini ubijalar banyak dijual ke industri saos. Harga ubijalar biasa yang ada di

tingkat petani (putih atau kuning) Rp 600,- per kg. Dengan melihat fisik ubijalar ungu yang akan

di ‘launching‘ di lapang, petani berani memberikan perbedaan kenaikan tingkat harga rata-rata Rp 192,- per

kg atau 32% dari harga ubi biasa. Dengan begitu penerimaan petani terhadap ubijalar ungu dengan

menetapkan tingkat harga berkisar Rp 790-800,- per kg.

3. Respon Konsumen Ubijalar Ungu

a. Aspek Fisik

Beberapa faktor yang umumnya dijadikan pertimbangan dalam memilih atau menentukan barang

kebutuhan khususnya pangan yaitu rasa, warna, ukuran, dan kandungan gizi. Dalam proses pemasaran hasil

faktor-faktor tersebut sangat menentukan karena berkaitan dengan sifat atau kecenderungan pembeli untuk

memilih.

Dalam era globalisasi dan pesatnya informasi, konsumen memilih barang untuk dibeli tidak hanya

mempertimbangkan harga murah, tetapi kemanfaatan untuk mendapatkan kepuasan pribadi. Komoditas

pangan misalnya selain murah, barang tersebut harus mampu memberikan nilai lebih, misalnya kebutuhan

kesehatan tubuh yang tercermin dari kandungan gizi. Klon ubijalar ungu yang akan di ‗launching‘ ke pasaran

memperoleh respon dari konsumen cukup baik. Pada Gambar 2. menunjukkan bahwa 93% responden

menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun

orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut, disamping

rasa manis cukup terasa dan keunikan warna ungunya (<80%).

Produktivitas B. Produksi Resiko Umur Budidaya Sec. umum

0

20

40

60

80

100Persentase (%)

Lebih baik Lebih jelek Sama saja

Page 4: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

42

Gambar 2. Respon konsumen terhadap ubijalar ungu

b. Aspek Ekonomis

Dalam kehidupan modern, filosofi makan telah mengalami pergeseran, dimana makan bukanlah

sekedar untuk kenyang, tetapi juga untuk mencapai tingkat kesehatan dan kebugaran optimal. Seiring dengan

makin meningkatnya kesadaran masyarakat akan pentingnya hidup sehat, maka tuntutan konsumen terhadap

bahan pangan juga kian bergeser. Bahan pangan yang kini mulai banyak diminati konsumen bukan saja yang

bercita rasa dan penampilan menarik, tetapi juga yang mempunyai komposisi (kandungan) gizi yang baik.

Dengan pertimbangan karakteristik produk pangan yang dimaui konsumen demikian, maka faktor

harga bukan menjadi alternatif (patokan) utama dan satu-satunya. Sebagai contoh ekspektasi (harapan)

tingkat harga yang diberikan oleh konsumen pada ubijalar ungu lebih tinggi dari yang diberikan oleh

produsen. Dalam teori, konsumen menginginkan harga yang serendah mungkin dan produsen menginginkan

harga setinggi mungkin. Tetapi dalam kasus ini tidak demikian adanya. Tingkat harga ubijalar ungu yang

diberikan oleh konsumen adalah berkisar Rp 1000,- per kg lebih tinggi dengan kemauan harga oleh produsen.

Besarnya perbedaannya berkisar antara Rp 300-400. Pertimbangan khusus lagi berkaitan dengan karakteristik

produk yang dimaui konsumen yaitu adanya perbedaan antara tingkat harga antara ubijalar biasa (daging

putih atau kuning) dengan ubijalar ungu. Besarnya perbedaan harga yang diberikan oleh konsumen berkisar

Rp 200-350 lebih tinggi ubijalar ungu.

4. Keunggulan Ekonomis Usahatani Ubijalar Ungu

Pada Tabel 2. menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat menarik bila

mengusahakan ubijalar ungu. Teknologi yang dibutuhkan adalah menggunakan varietas ubijalar ungu dari

Balitkabi tersebut, dengan menambah komponen pemupukan urea 100 kg/ha, SP-36 sebesar 100 kg/ha, dan

KCl sebesar 100 kg/ha. Petani biasanya hanya menggunakan pupuk kandang dalam budidaya ubijalar,

sehingga hasil kurang optimal. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan pupuk) tersebut

berjumlah Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar atau

peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh.

Dalam suatu analisa usaha, secara teoritis kelayakan ekonomi dinyatakan bisa ‘diterima‘ atau ‘go‘

bila B/C bernilai 2. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat memenuhi kriteria tersebut. Disamping itu

mempunyai tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%. Dari suatu usaha

dibidang pertanian yang riskan terhadap resiko, maka nilai tersebut cukup besar. Artinya apabila

menginvestasikan dana sebesar 1 juta rupiah, maka akan dapat pengembalian usaha dari nilai manfaatnya

sebasar 3,5 juta rupiah.

Rasanya Warna Ukuran Kand. Gizi Secara Umum

0

20

40

60

80

100Persentase (%)

Lebih baik Lebih jelek Sama saja

Page 5: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

43

Tabel 2. Analisa Usahatani Ubijalar

Struktur analisis per ha Ubijalar Non ungu Ubijalar ungu

Nilai manfaat:

Hasil bersih (t/ha) Harga petani (Rp)

Penerimaan kotor (Rp)

10 600

6.000.000

22,5 790*)

17.775.000

Biaya variable (dalam perbedaan perlakuan):

1. Benih

Jumlah (stek)

Harga (Rp/stek) Biaya benih (Rp)

2. Pupuk Urea

Jumlah (kg)

Harga (Rp/kg) Biaya pupuk urea (Rp)

3. Pupuk SP-36

Jumlah (kg)

Harga (Rp/kg) Biaya pupuk SP-36 (Rp)

4. Pupuk K Cl

Jumlah (Kg)

Harga (Rp/kg) Biaya pupuk K Cl (Rp)

5. Aplikasi tenaga kerja pemupukan

Jumlah (hok)

Upah (Rp/hok) Biaya pemupukan (Rp)

Biaya variable (dalam perlakuan yang sama):

6. Pupuk kandang

Jumlah (Kg)

Harga (Rp/kg)

Biaya pupuk kandang (Rp)

7. Aplikasi tenaga kerja (olah tanah, tanam, pembumbunan,

pengendalian hama dan penyakit, panen) Jumlah (hok)

Upah (Rp/hok)

Biaya tanam (Rp)

Total biaya (Rp)

-

- -

-

- -

-

- -

-

- -

-

- -

480

50

240.000

276

10.000

2.760.000

3.000.000

40.000

50 2.000.000

100

1350 135.000

100

2000 200.000

100

2200 220.000

6

10.000 60.000

480

50

240.000

276

10.000

2.760.000

5.615.000

Nilai manfaat (keuntungan) (Rp)

B/C rasio

Marginal rate of return/MRR (%)

3.000.000

1,00

-

12.160.000

2,16

350,28%

Keterangan: * estimasi harga dari kesanggupan konsumen membayar ubijalar ungu (willingness to pay)

5. Keunggulan Sosial Terhadapkesehatan Masyarakat

Saat ini pangan telah diandalkan sebagai pemelihara kesehatan dan kebugaran tubuh. Bahkan bila

dimungkinkan pangan harus dapat menyembuhkan atau menghilangkan efek negatif dari penyakit tertentu.

Dari sinilah lahir konsep pangan fungsional (functional food) yang akhir-akhir ini sangat populer di kalangan

masyarakat dunia. Ubijalar berdaging warna ungu adalah termasuk dalam pangan fungsional. Dengan

kandungan antosianin yang dipunyai mengandung antioksidan yang sangat diperlukan oleh tubuh kita.

Dari laporan FDA, US Departement of Health and Human Service dalam Puspa Jofi (2002) bahwa

di Amerika, Jepang dan Eropa, saat ini bahan pangan (makanan dan minuman) fungsional (functional food)

sangat digemari masyarakat. Penjualan produk-produk bahan pangan fungsional di pasar mengalami

peningkatan yang signifikan. Pasar bahan pangan fungsional di Amerika pada tahun 2001 telah mencapai

18,9 milliar US$ atau sebesar 4% dari total pasar produk-produk makanan dan minuman konvensional. Di

Jepang besarnya pasar produk-produk bahan pangan fungsional telah mencapai 19,5 milliar US$ dan di

Eropa Barat sebesar 17,5 miliar US$. Bahan pangan fungsional di Jepang dikenal dengan FOSHU (Food for

Specified Healthy Use), sedang di Eropa diusulkan dengan nama FUFOSU (Functional Foods Scientific in

Europe) dan di Kanada dikenal dengan nama Nutraceutical.

Warna ungu dari ubijalar dapat diolah sebagai pewarna alami untuk makanan (food colour),

sehingga menjadikan makanan bebas dari zat-zat kimia. Disamping itu, tampilan makanan seperti pada

pembuatan ice cream dari ubijalar yang sudah mulai diproduksi dengan pewarna ungu akan menambah daya

tarik pembeli (konsumen). Demikian juga dengan aneka kue dan produk makanan lain selain cita rasa,

Page 6: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

44

penampilan yang menarik juga menjadikan peningkatan dalam kesehatan tubuh disebabkan oleh kandungan

gizinya. Sehingga dapat disimpulkan dalam konsep ketahanan pangan bahwa Indonesia juga mempunyai

peluang yang sangat besar untuk mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar

dengan berbasis pada sifat-sifat fungsionalnya.

KESIMPULAN DAN SARAN

Ubijalar berdaging warna ungu yang diajukan oleh Balitkabi (MSU 01022-12, MSU 01008-16 dan

MSU 01016-19) dapat diterima oleh masyarakat. Pada karakteristik konsumen menyatakan 93% responden

menyatakan ubijalar tersebut cukup baik dibanding ubijalar yang sudah ada di pasar (daging putih ataupun

orange/kuning). Konsumen paling tertarik pada kandungan gizi yang ada pada ubijalar tersebut dan rasa

manis cukup terasa, sedangkan dari keunikan warna ungunya mendapatkan respon hampir 80%. Produsen

belum memberikan respon lebih dibanding konsumen karena belum jelasnya pasar dari ubijalar ini, maka

hanya 58% menyatakan lebih baik. Besarnya respon yang demikian, karena petani belum tahu peta pasar

nantinya. Lain halnya dengan ubijalar yang sudah mereka usahakan pasarnya sudah jelas. Karena pasar

belum diketahui dengan pasti, persepsi petani banyak mengarah pada penilaian variabel ‗sama saja‘ dengan

ubi yang mereka usahakan dan variabel tersebut mempunyai proporsi nilai lebih tinggi.

Dilihat dari aspek produksi, menunjukkan ekpektasi keuntungan yang diperoleh petani sangat

menarik bila mengusahakan ubijalar ungu. Dengan menambah biaya dari aplikasi teknologi (varietas dan

pemupukan) sebesar Rp 2.595.000, maka besarnya keuntungan yang didapat adalah Rp 12.160.000 per hektar

atau peningkatan 3 kali dari keuntungan yang biasa petani peroleh. Usahatani dengan ubijalar ungu dapat

mempunyai nilai B/C sebesar 2,16, berarti memenuhi kriteria kelayakan usaha. Disamping itu mempunyai

tingkat pengembalian investasi (marginal rate of return/MRR) besar 350,28%.

Dalam konsep ketahanan pangan, Indonesia mempunyai peluang yang sangat besar untuk

mengembangkan produk pangan dari umbi-umbian khususnya ubijalar dengan berbasis pada sifat-sifat

fungsionalnya dalam memberikan peningkatan kesehatan pada masyarakat.

Perlu ada sosialisasi yang inten oleh peneliti memperkenalkan keunggulan ubijalar ungu pada semua

stakeholders, dan dibangun kerjasama yang sinergis antara Balit sebagai penghasil varietas dari ubijalar ungu

kaya antosianin dengan BPTP selaku pengguna teknologi sesuai dengan tupoksi, sehinga tugas dan

kewajiban masing-masing terprogram.

DAFTAR PUSTAKA

Puspa Jofi.2002. Functional Food: Definitions, Legal aspects, Market and Studies; Internal Paper, university

Justus Liebig-Giesen.

Suda I, Tomoyuki OKI, Mami MASUDA, Mio KOBAYASHI, Yoichi NISHIBA and Shu FURUTA.

Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins and Their

Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July 2003.

JIRCAS. Japan.

Yashinaga, M. 1995. New Cultivar ‗Ayamurasaki‘ for Colorant Production. Sweetpotato Res. Front, 1,2. In :

Suda I et al. Physiological Functionality of Purple-Fleshed Sweet Potatoes Containing Anthocyanins

and Their Utilization in Foods.Japan Agricultural Research Quarterly (JARQ). Vol. 37. No. 3 July

2003. JIRCAS. Japan.

Yusuf, M. St. A. Rahayuningsih, dan Suluh Pambudi 2003. Pembentukan Varietas Unggul Ubijalar Produksi

Tinggi yang Memiliki Nilai Gizi dan Komersial Tinggi. Laporan Teknis. Balitkabi-2003.

Page 7: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

45

REKLAMASI LAHAN SAWAH TADAH HUJAN DENGAN PUPUK FOSFOR DAN BAHAN

ORGANIK DI SUMATERA UTARA

Ali Jamil, Darwin Harahap, Siti Maryam, dan M. Prama Yufdy

Peneliti pada BPTP Sumatera Utara

ABSTRAK

Status kesuburan tanah yang rendah terdapat pada hampir semua lahan sawah tadah hujan karena pertanaman

terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara alami. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi pengaruh penggunaan pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi sebagai upaya

mereklamasi lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Percobaan telah dilakukan sejak bulan Juni hingga Oktober,

2004. Perlakuan terdiri dari kombinasi 0; 30; 60; dan 90 kg P2O5 per ha dan 0; 3; dan 6 ton pupuk kandang sapi per ha.

Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok dalam bentuk faktorial dengan beberapa sifat tanah sebagai parameter yang diukur dalam penelitian ini. Hasil penelitian menunjukkan bahwa, penggunaan pupuk fosfor dan pupuk

kandang sapi nyata meningkatkan ketersediaan hara fosfor tersedia, karbon organik tanah, dan air tersedia dalam tanah.

Sementara itu, kedua perlakuan menurunkan nilai retensi fosfor tanah. Disimpulkan bahwa, kedua perlakuan baik

pemakaian fosfor maupun pupuk kandang sapi berpengaruh positif terhadap upaya reklamasi tingkat kesuburan tanah, khususnya pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara. Secara umum pemberian 90 kg P2O5 per ha dan 6 ton per ha

pupuk kandang sapi memberikan nilai kandungan hara paling besar dibandingkan perlakuan lainnya.

Kata kunci : reklamasi, lahan sawah, tadah hujan, fosfor, bahan organik, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Sistem lahan sawah tadah hujan mencakup sekitar 37 juta ha yang diperkirakan sekitar 1/3 total area

yang ditanami padi di dunia (IRRI, 1997). Karena ketersediaan air yang fluktuatif, maka kondisi secara

hydrologi sangat bervariasi dari tergenang sempurna tanaman padi hingga kekeringan dimana hal ini sering

terjadi dalam musim yang sama. Ketergantungan terhadap curah hujan membuat system usahatani pada lahan

sawah tadah hujan ini tidak terprediksi dengan tingkat kemungkinan gagal pertanaman yang sangat besar.

Tanah bertekstur liat yang kaya dengan sesquioksida seperti Ultisol, Oxisol, dan juga sulfat masam, gambut

dan tanah-tanah sodik di dalam dasar pembentukan mereka mempunyai kadar P-tersedia rendah dan

mempunyai kapasitas mengadsorpsi fosfor yang besar (Singh dan Sovyanhadi, 1998). Oleh karena

pertanaman yang intensif, bahan organik tanah telah terkuras sehingga akhirnya menurunkan tingkat

kesuburan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah adalah solusi yang terbaik untuk mengatasi

penurunan tingkat kesuburan tanah.

Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia penghasil beras. Di Sumatera Utara

terdapat 89.395 ha lahan sawah tadah hujan yang ditanami dua kali setahun dan 91.362 ha ditanami hanya

sekali setahun (BPS Sumatera Utara, 2004). Rataan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan di

Sumatera Utara menurut Erythrina dkk. (2001) adalah sekitar 4,15 t ha-1

. Berdasarkan kondisi tersebut di

atas, diperlukan upaya reklamasi melalui pemakaian pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi untuk

pengembangan produktivitas sistem tanam berbasis padi di lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara

khususnya di Kabupaten Langkat.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilakukan pada musim kering dari bulan Juni-Oktober 2004 pada lahan sawah tadah hujan

di Desa Suka Makmur, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, Sumatera Utara pada ketinggian 28 m di atas

permukaan laut dengan rataan curah hujan tahunan sekitar 2,462 mm. Lokasi percobaan didominasi oleh

jenis tanah Albaquult (Adiwiganda, 1990; Soil Survey Staff, 1998).

Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dalam bentuk factorial dengan dua faktor

dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan pupuk fosfor dalam bentuk SP-36 (36% P2O5)

sebanyak empat tingkat yaitu berturut-turut: P1, P2, P3, dan P4 dengan dosis yaitu 0, 30, 60, dan 90 kg ha-1

P2O5. Perlakuan kedua adalah pemakaian bahan organik dalam hal ini digunakan pupuk kandang sapi sebagai

sumber bahan organik pada tiga tingkatan dosis O1, O2, dan O3 yaitu berturut-turut adalah 0, 3, dan 6 t ha-1

.

Ukuran plot adalah 5 m x 6 m dan ulangan (blok) serta masing-masing blok dipisahkan dengan pematang

pada jarak berturut-turut adalah 1,0 m dan 0,5 m untuk memudahkan operasional di lapangan. Dua belas

kombinasi perlakuan fosfor dan bahan organik (pukan sapi) adalah sebagai berikut: P0O0, P0O1, P0O2, P1O0,

Page 8: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

46

P1O1, P1O2, P2O0, P2O1, P2O2, P3O0, P3O1, dan P3O2. Pemupukan kalium sebagai pupuk dasar telah

diaplikasikan pada saat tanam pindah (0 HST) dengan dosis 50 kg KCl ha-1

. N (kg N ha-1

) diberikan sebagai

berikut: 20 sebagai dasar, 30 pada awal pembentukan anakan (14-20 HST), 25 pada pertengahan

pembentukan anakan (30-35 HST), dan 45 pada fase pembentukan malai (40-45 HST). Pupuk fosfor

diberikan pada saat tanam dan bahan organik (pukan sapi) diberikan dua minggu sebelum tanam. Parameter

yang diukur pada percobaan ini terdiri dari kandungan air tersedia tanah, kandungan P tersedia tanah (Bray-

2), retensi P tanah, dan kandungan karbon organik. Contoh tanah diambil secara komposit dari lima sub

contoh dijadikan menjadi satu contoh komposit per plot untuk dianalisa sifat fisika maupun kimianya.

Pengambilan contoh tanah dan analisa sifat tanah ini dilakukan pada awal sebelum percobaan dimulai,

kemudian setiap 20 hari sekali sejak 15 HST hingga setelah panen padi (15, 35, 55, 75, 95, dan 105 HST).

Data dianalisis dengan menggunakan SAS program. Analisis covariance (ANACOVA) telah digunakan

untuk menguji pengaruh perbedaan perlakuan terhadap parameter tanah dengan menggunakan prosedur

seperti dikemukakan Steel dan Torrie (1980) dan Gomez dan Gomez (1983).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Tanah dan Bahan Organik yang Digunakan pada Lokasi Percobaan

Untuk membahas sifat awal dari tanah lokasi percobaan, digunakan kriteria penilaian kandungan

hara dalam tanah seperti yang dikemukakan oleh Hardjowigeno (2003). Tanah pada areal percobaan

mempunyai kandungan hara P-tersedia sangat rendah (4,2-4,7 ppm), kandungan C-organik juga tergolong

sangat rendah (0,35-0,38%), kapasitas tukar kation tergolong ke dalam kriteria sedang (22,7-22,9 cmol (+)

kg-1

). Kerapatan lindak berkisar 1,13-1,20 g cm-3

, dan kandungan air tersedia yang diukur sebagai selisih

antara kandungan air pada kapasitas lapang dengan kandungan air pada titik layu permanent adalah berkisar

0,2-11,9%. Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum penelitian dilakukan, tanah pada lokasi percobaan

memiliki status hara P tersedia yang sangat rendah, kandungan karbon organik juga sangat rendah. KTK

tergolong sedang. Dibandingkan dengan sifat awal tanah sebelum percobaan dimulai, maka pemakaian

kedua P dan bahan organik (pukan sapi) meningkatkan ketersediaan P dalam tanah, kandungan C-organik

tanah, dan kadar air tersedia sekitar berturut-turut 102%, 197%, dan 83%. Sementara itu, pemakaian kedua P

dan bahan organik menurunkan kerapatan lindak sekitar 9%.

Pupuk kandang sapi telah digunakan sebagai sumber bahan organik pada percobaan ini yang

diperoleh dari desa Lubuk Bayas, Kabupaten Deli Serdang. Sub contoh telah diambil dan dijadikan satu

contoh komposit untuk dianalisa kandungan haranya sebelum diperlakukan ke lapang. Secara rata-rata, pukan

sapi yang digunakan pada percobaan ini mengandung 1,04% N-total dan 20,6% C-organik sehingga

memberikan nilai C/N 19,8. Disamping itu, kandungan P, K, Ca, dan Mg berturut-turut adalah 0,30; 1,24;

1,62; dan 0,52%.

Sifat Tanah sebagai Pengaruh Perbedaan Perlakuan

Fosfor tersedia. Pemakaian kedua fosfor dan bahan organik secara nyata (P <0.001) meningkatkan

fosfor tersedia dalam tanah dan meningkat dengan waktu sampai 75 HST (Tabel 1). Peningkatan pemberian

fosfor sampai 60 kg ha-1

P2O5 dapat meningkatkan kandungan P-tersedia dari 29.4-41.3%; namun, tidak

terdapat peningkatan selanjutnya bila dosis pemberian P ditingkatkan dari 60 ke 90 kg ha-1

P2O5. Pemakaian

bahan organik juga menghasilkan peningkatan yang nyata untuk fosfor tersedia dalam tanah dari 19,5-38,5%.

Kandungan P-tersedia juga meningkat dengan waktu dengan peningkatan yang lebih tinggi pada 75 HST

dimana peningkatan ini sekitar 95% dengan penggunaan 6 t ha-1

bahan organic. Interaksi antara pemberian P

dengan bahan organik juga nyata pada semua waktu pengamatan kecuali pada 15 dan 75 HST, dimana hal ini

terutama disebabkan oleh respon P-tersedia yang lebih besar terhadap pemakaian bahan organic, khususnya

pada level P yang lebih tinggi (P2 dan P3).

Peningkatan konsentrasi P tersedia dalam tanah kemungkinan besar disebabkan beberapa hal seperti

peningkatan kelarutan pupuk kimia dan pelarutan PO4 dari kompleks tidak larut dengan Fe, Al, Ca, dll karena

asam humik yang dapat dihasilkan selama pelapukan pukan sapi (Tisdale dkk., 1985). Miller and Donahue

(1995) selanjutnya menjelaskan bahwa pupuk fosfat adalah salah satu sumber langsung dari fosfat larut

dalam tanah. Pillai (2006) mengemukakan bahwa jika tanah digenangi, beberapa perubahan kimia dan

elektrokimia utama akan terjadi yang akan menyebabkan peningkatan pH tanah masam, reduksi kimia,

peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH tanah-tanah kalkareus atau/dan sodik, yang k Kandungan

air tersedia. Kedua pemakaian P dan bahan organik nyata meningkatkan kadar air tersedia dalam tanah

Page 9: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

47

(Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg P2O5 ha-1

. esemuanya ini

mempunyai peran dalam peningkatan kadar P tersedia dalam tanah.

Retensi fosfor dalam tanah. Secara umum, penggunaan pupuk P dan bahan organik tidak

berpengaruh secara nyata terhadap retensi P dalam tanah, kecuali untuk dua pengamatan terakhir yaitu 95 dan

105 HST adalah nyata berpengaruh terhadap kemampuan tanah untuk meretensi P dalam tanah (Tabel 2).

Pukan sapi yang digunakan dalam percobaan ini mengandung nilai C/N rasio sedang (sekitar 20), dimana hal

ini memiliki kontribusi terhadap peningkatan maupun perbaikan kesuburan tanah. Gobat dkk. (2004)

mengemukakan bahwa, nilai indeks yang baik dari kialitas pukan sapi adalah rasio C terhadap N. Nilai C/N

yang tinggi (25-30) sebagai bukti bahwa bahan organik tersebut belum melapuk secara sempurna. Dengan

adanya penambahan bahan organik ke dalam tanah diperkirakan akan menurunkan daya retensi tanah

terhadap P melalui mekanisme reaksi asam-asam organik sebagai hasil pelapukan bahan organik dimaksud

yang lebih reaktif terhadap logam-logam pemfiksasi P dalam tanah.

Kandungan karbon organik dalam tanah. Pemakaian kedua P dan bahan organik nyata

meningkatkan kandungan karbon organik tanah dan juga meningkat dengan waktu (Tabel 3). Peningkatan

karbon organik tanah karena peningkatan pemakaian P dari 0 ke 90 kg P2O5 ha-1

adalah sekitar 11%-27%.

Pengaruh pukan sapi lebih jelas, dimana rataan peningkatan C-organik dari sekitar 24% dan 50% bila

diberikan 3 ke 6 t ha-1

pukan sapi. Interaksi nyata antara penggunaan P dan bahan organik hanya terdapat

pada pengukuran pertama, dimana hal ini lebih respon terhadap pemakaian bahan organik khususnya pada

dosis tanpa pemberian P (P0).

Rata-rata peningkatan dari C-organik tanah adalah sekitar 27% bila diberikan 90 kg P2O5 ha-1

.

Pemakaian pukan sapi 6 t ha-1

meningkatkan C-organik sekitar 54% (0.86-1,32%) pada 95 HST. Interaksi

yang nyata juga diamati antara P dan pukan sapi adalah disebabkan lebih tingginya respon C-organik dalam

tanah terhadap pemakaian pukan sapi, khususnya dengan ketiadaan P (P0).

Tabel 1. Fosfor Tersedia Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P

dan Bahan Organik

Perlakuan

Hari Setelah Tanam

15 35 55 75 95 105

---------------------------------------------- ppm --------------------------------------------

P0 O0 4,67 4,86 5,83 6,18 5,57 4,83

O1 5,13 5,89 6,92 7,66 6,98 5,93

O2 5,90 6,92 7,97 9,38 7,95 7,01

Rataan 5,23 5,89 6,91 7,74 6,84 5,92

P1 O0 5,07 5,93 6,61 7,98 6,58 5,85

O1 5,47 6,90 8,39 8,64 8,33 6,93

O2 6,24 7,94 9,08 9,82 9,26 8,23

Rataan 5,59 6,92 8,03 8,81 8,06 7,00

P2 O0 6,47 7,14 8,78 8,90 8,74 6,89

O1 6,76 7,91 9,14 9,93 9,46 8,01

O2 7,07 9,88 10,72 11,74 10,79 9,71

Rataan 6,77 8,31 9,55 10,19 9,66 8,20

P3 O0 5,09 6,40 8,34 8,84 8,37 6,65

O1 5,71 7,65 8,98 9,42 9,00 7,47

O2 6,23 8,96 10,03 10,54 10,15 8,35

Rataan 5,68 7,67 9,12 9,60 9,17 7,49

Pukan sapi Rataan

O0 5,32 6,08 7,39 7,97 7,32 6,06

O1 5,77 7,09 8,36 8,91 8,44 7,08

O2 6,36 8,42 9,45 10,37 9,54 8,32

Rataan 5,82 7,20 8,40 9,08 8,43 7,15

Significance P *** *** *** *** *** ***

O *** *** *** *** *** ***

P x O tn *** * tn *** ***

LSD05 P 0,15 0,17 0,24 0,15 0,12 0,14

O 0,13 0,15 0,21 0,14 0,10 0,12

P x O - 0,29 0,42 - 0,20 0,24

CV (%) 2,26 2,39 3,13 1,58 1,41 1,98

tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.

Page 10: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

48

Penggenangan secara terus menerus dalam system padi-padi secara umum berhubungan dengan

peningkatan kandungan C-organik tanah (Nambiar, dkk.,1992 dalam Hedge 1996). Fraksi koloid, yang

mengandung kedua liat dan humus dari pukan sapi, dikenal sebagai tempat berlangsungnya aktifitas kimia

dalam tanah, termasuk kapasitas untuk pertukaran ion dalam tanah (Brady dan Weil, 2002). Untuk tanah-

tanah liat, bahan organik tanah memberikan kontribusi yang nyata terhadap peningkatan KTK tanah (Weil

dan Magdoff, 2004).

Kandungan air tersedia. Kedua pemakaian P dan bahan organik nyata meningkatkan kadar air

tersedia dalam tanah (Tabel 4). Kandungan air tersedia meningkat sekitar 27-34% ketika diberikan 90 kg

P2O5 ha-1

.

Tabel 2. Retensi Fosfor Dalam Tanah Pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P

dan Bahan Organik

PERLAKUAN

Hari Setelah Tanam

15 35 55 75 95 105

----------------------------------------------- % -----------------------------------------------

P0 O0 16.05 15.82 15.80 15.57 15.28 14.60

O1 15.58 15.67 15.72 15.53 14.63 14.34

O2 15.14 15.29 15.12 15.24 14.17 13.87

Rataan 15.59 15.59 15.55 15.45 14.69 14.27

P1 O0 16.10 15.85 15.88 15.86 16.01 15.54

O1 15.77 15.98 15.77 15.78 15.24 15.13

O2 15.37 15.51 15.49 15.55 14.77 15.10

Rataan 15.75 15.78 15.71 15.73 15.34 15.26

P2 O0 16.04 15.95 15.91 15.98 16.06 16.10

O1 15.80 15.94 15.87 15.73 15.82 15.37

O2 15.92 15.71 15.73 15.72 15.36 15.34

Rataan 15.92 15.87 15.84 15.81 15.74 15.60

P3 O0 16.11 15.99 15.96 15.98 16.97 17.27

O1 15.80 15.67 15.60 16.10 16.18 15.49

O2 16.11 16.04 16.22 15.88 15.42 15.30

Rataan 16.00 15.90 15.92 15.99 16.19 16.02

Pukan sapi Rataan

O0 16.07 15.90 15.89 15.85 16.08 15.88

O1 15.74 15.81 15.74 15.79 15.47 15.08

O2 15.63 15.64 15.64 15.60 14.93 14.90

Rataan 15.82 15.78 15.75 15.74 15.49 15.29

Significance P tn tn tn tn *** ***

O * tn tn tn *** ***

P x O tn tn tn tn tn tn

LSD05 P - - - - 0.53 0.50

O 0.28 - - - 0.46 0.43

CV (%) 2.11 2.15 2.39 4.87 3.46 3.35

tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.

Pemakaian bahan organik juga meningkatkan kandungan air tersedia dalam tanah sampai sekitar 30-

33%. Interaksi antara P dan pukan sapi juga nyata kecuali pada pengukuran 15 HST dan 105 HST. Interaksi

ini utamanya disebabkan oleh respon yang lebih tinggi oleh air tersedia terhadap pemakaian bahan organik

ketika dikombinasikan dengan level dosis tertinggi dari pemakaian P (P3). Kecenderungan umum juga

bahwa kandungan air tersedia tanah meningkat dengan waktu (6-12%) sampai 95 HST. Kandungan air

tersedia meningkat dengan penambahan kedua P sampai 90 kg ha-1

P2O5) dan pukan sapi (sampai 6 t ha-1

)

adalah berturut-turut sekitar 34% dan 33%.

Page 11: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

49

Tabel 3. Perubahan Karbon Organik Tanah pada Waktu Pengukuran yang Berbeda Setelah Tanam Akibat Perlakuan P

dan Bahan Organik

PERLAKUAN

Hari Setelah Tanam

15 35 55 75 95 105

------------------------------------------------------ % ------------------------------------------------------

P0 O0 0.51 0.57 0.62 0.76 0.78 0.63

O1 0.76 0.78 0.81 0.86 1.04 0.89

O2 0.82 0.96 0.97 1.01 1.20 1.17

Rataan 0.70 0.77 0.80 0.88 1.01 0.90

P1 O0 0.62 0.63 0.73 0.80 0.83 0.67

O1 0.81 0.81 0.85 0.92 1.10 0.93

O2 0.86 1.00 1.02 1.08 1.31 1.19

Rataan 0.76 0.81 0.87 0.93 1.08 0.93

P2 O0 0.69 0.71 0.80 0.81 0.91 0.73

O1 0.82 0.85 0.90 0.98 1.16 0.95

O2 1.04 1.07 1.08 1.18 1.36 1.20

Rataan 0.85 0.88 0.93 0.99 1.14 0.96

P3 O0 0.73 0.76 0.83 0.84 0.91 0.80

O1 0.85 0.86 0.91 1.03 1.18 0.96

O2 1.06 1.08 1.14 1.16 1.39 1.22

Rataan 0.88 0.90 0.96 1.01 1.16 0.99

Pukan sapi Rataan

O0 0.64 0.67 0.74 0.80 0.86 0.71

O1 0.81 0.82 0.87 0.95 1.12 0.93

O2 0.94 1.03 1.05 1.11 1.32 1.20

Rataan 0.80 0.84 0.89 0.95 1.10 0.95

Significance P *** *** *** *** *** *

O *** *** *** *** *** ***

P x O *** tn tn tn tn tn

LSD05 P 0.02 0.05 0.03 0.04 0.06 0.06

O 0.02 0.04 0.03 0.04 0.05 0.05

P x O 0.04 - - - - -

CV (%) 2.98 5.45 3.58 4.71 5.16 4.75

tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001

Table 4. Kandungan Air Tersedia Tanah pada Waktu Pengukuran Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan

P dan Bahan Organik

PERLAKUAN

HARI SETELAH TANAM

15 35 55 75 95 105

------------------------------------------------------ % ------------------------------------------------------

P0 O0 14.53 14.90 14.94 14.98 15.40 14.85

O1 16.91 16.98 17.02 17.61 18.32 16.25

O2 17.81 18.08 18.35 18.42 19.59 19.34

Rataan 16.42 16.65 16.77 17.00 17.77 16.81

P1 O0 15.78 16.42 16.49 16.84 17.52 15.92

O1 17.90 18.10 18.74 18.93 18.97 18.09

O2 19.90 20.14 20.51 20.60 20.98 20.00

Rataan 17.86 18.22 18.58 18.79 19.16 18.00

P2 O0 16.88 16.91 17.54 17.72 18.18 17.71

O1 18.38 19.11 20.12 20.32 20.75 17.50

O2 20.95 22.11 23.39 23.59 23.75 23.14

Rataan 18.74 19.38 20.35 20.54 20.89 19.45

P3 O0 18.36 18.87 18.98 19.07 19.54 17.78

O1 19.46 20.57 20.72 20.96 21.14 20.57

O2 26.89 27.20 27.48 27.72 27.91 25.93

Rataan 21.57 22.22 22.39 22.58 22.86 21.43

Pukan sapi Rataan

O0 16.39 16.78 16.99 17.15 17.66 16.57

O1 18.16 18.69 19.15 19.46 19.80 18.10

O2 21.39 21.88 22.43 22.58 23.06 22.10

Rataan 18.65 19.12 19.52 19.73 20.17 18.92

Significance P *** *** *** *** *** ***

O *** *** *** *** *** ***

P x O tn ** * *** * tn

LSD05 P 1.55 1.17 1.45 0.66 1.42 1.54

O 1.39 1.01 1.25 0.57 1.23 1.33

P x O - 2.03 2.51 1.15 2.46 -

CV (%) 4.83 6.24 4.67 3.42 4.78 4.81

tn, tidak nyata, *, **, *** nyata pada P < 0.05, 0.01, dan 0.001

Page 12: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

50

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil percobaan ini adalah, bahwa

pemakaian pupuk P dan pukan sapi dapat dijadikan sebagai bahan pereklamasi lahan sawah tadah hujan di

Sumatera Utara karena dapat meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah, kandungan C-organik tanah

dan air tersedia berturut-turut sekitar 59%, 157%, dan 72%. Perbaikan atau peningkatan sifat tanah dimaksud,

tertinggi ataupun terbaik diperoleh bila dikombinasikan antara pemberian 90 kg P2O5 ha-1

dan 6 t ha-1

pukan

sapi.

DAFTAR PUSTAKA

ADIWIGANDA, R. 1990. Reklassifikasi Tanah-tanah di Sumatera Utara ke Dalam System Taxonomy

USDA. Bulletin Pertanian. Universitas Islam Sumatera Utara. Vol. 9 (1):1-10.

BRADY, N. C., and R. R. WEIL. 2002. The Nature and Properties of Soils. 13th ed. Prentice-Hall, Upper

Saddle River, NJ. 881 p.

BPS Sumatera Utara. 2004. Statistik Luas Baku Lahan Sumatera Utara Pada Tahun 2003. Badan Pusat

Statistik Provinsi Sumatera Utara. 94 p.

ERYTHRINA, S. MARYAM, SARIMAN, MURIZAB, DARMAWATY, AKMAL, dan Z. ZAINI. 2001.

Pengelolaan Hara Terpadu Pada Lahan Sawah Tadah Hujan, Sumatera Utara. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian-Sumatera Utara. Medan. (tidak dipublikasikan). 14 p.

GOBAT, J. M., M. ARAGNO, and W. MATTHEY. 2004. The Living Soil. Fundamentals of Soil Science

and Soil Biology. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA. 602 p.

GOMEZ, K. A., and A. A. GOMEZ. 1983. Statistical Procedures for Agricultural Research. International

Rice Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. 680 p.

HARDJOWIGENO, S. 2003. Soil Science. Fifth Edition. Akademika Pressindo. Jakarta. (Indonesian

Version). 286 p.

HEDGE, D. M. 1996. Integrated Nutrient Supply on Crop Productivity and Soil Fertility in Rice (Oryza

sativa)-Rice System. Indian J. Agron. 41(1):1-8.

IRRI. 1997. Rice Almanac, 2nd

Edition. International Rice Research Institute, Manila. 181p.

MILLER, R. W., and R. L. DONAHUE. 1995. Soils in Our Environment. Seventh Edition. Prentice Hall,

Englewood Cliffs, NJ 07632. 649 p.

PILLAI, K. G. 2006. Rice (Oryza sativa L.). http://www.fertilizer.ogr/ifa/publicat/html/pubman/rice.htm

p. 1-11.

SINGH, V. P. and J. SOVYANHADI. 1998. Kinetics of phosphate fixation in acid sulfate, iron toxic and

neutral soils. Oryza. 35(2):95-105.

SOIL SURVEY STAFF. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Department of

Agriculture. Natural Resources Conservation Services. 326 p.

STEEL, R. G. D. and J. H. TORRIE. 1980. Principles and Procedures of Statistics: A biometrical Approach.

McGraw-Hill Book Company. New York. 633 p.

TISDALE, S. L., W. L. NELSON, and J. D. BEATON. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan

Publishing Company, New York, Collier Macmillan, Publishers, London. 754 p.

WEIL, R. R., and F. MAGDOFF. 2004. Significance of Soil Organic Matter to Soil Quality and Health. In F.

Magdoff and R.R. Weil. Soil organic matter in Sustainable Agriculture. CRC Press. Boca Raton

London, New York, Washington, D.C. p. 1-43

Page 13: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

51

PENGKAJIAN PENGGUNAAN UREA DAN KOMPOS PADA PERTANAMAN JAGUNG

VARIETAS LAMURU DI LAHAN KERING BERIKLIM KERING

Mulyadi, Sutardi dan B. Sudaryanto

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Yogyakarta

ABSTRAK

Kekahatan unsur hara Nitrogen (N) dalam tanah merupakan salah satu faktor pembatas utama hasil tanaman

jagung. Di sisi lain, penggunaan pupuk Urea dan pupuk organik yang efisien dan sesuai dengan kemampuan petani perlu diperhatikan. Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh komposisi dosis penggunaan pupuk Urea dan kompos

terhadap hasil jagung komposit varietas Lamuru. Pengkajian dilakukan dalam MH 2005 pada tanah Vertisols di pewakil

kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul. Pengkajian dilaksanakan secara

on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator sebagai ulangan. Perlakuan terdiri dari dua macam, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100

kg SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 – 1.250 m2. Benih jagung yang digunakan adalah benih

bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih ditanam satu

biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos (A dan B) tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji jagung kering. Rata-rata hasil biji jagung dari

kedua perlakuan adalah 6,69 dan 6,58 ton/ha, berarti subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton kompos/ha memberikan

hasil biji yang relatif sama. Demikian juga hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing

perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha.

Kata Kunci : lahan kering, jagung, nitrogen, kompos, produktivitas.

PENDAHULUAN

Jagung merupakan salah satu komoditas utama yang banyak diusahakan petani di daerah Kabupaten

Gunungkidul yang umumnya termasuk dalam kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering.

Tanaman jagung selain diharapkan hasil bijinya juga bahan hijauannya untuk pakan ternak.

Untuk mendapatkan pertumbuhan tanaman jagung yang baik dan memperoleh hasil yang tinggi

diperlukan kondisi tanah yang gembur dan subur karena tanaman ini memerlukan aerasi dan drainase yang

baik serta ketersediaan unsur-unsur hara essensial yang dapat diserap tanaman dalam keadaan cukup. Untuk

itu, pada tanah-tanah yang bertektur berat (liat), seperti halnya dijumpai pada kebanyakan tanah Vertisols,

pengelolaan tanah yang mengarah untuk perbaikan drainase maupun aerasi baik melalui pengolahan tanah

maupun pemberian pupuk organik sangat diperlukan. Di sisi lain, di antara unsur hara makro yang paling

banyak diperlukan adalah K, menyusul N dan P (Sutoro et al. 1992). Meskipun, kebutuhan N sedikit lebih

rendah daripada K namun ketersediaan N dalam tanah umumnya sangat kurang mencukupi untuk

mendukung pertumbuhan tanaman yang optimal mengingat selain sifat unsur hara N yang sangat labil juga

secara alami sumber N dalam tanah sangat tergantung dari kadar bahan organik tanah yang umumnya juga

rendah (Tisdale et al., 1993). Tanah-tanah dengan tektur liat, berkadar bahan organik rendah dan miskin

unsur hara N pada umumnya banyak dijumpai di kawasan lahan kering beriklim kering khususnya di wilayah

Kabupaten Gunungkidul (Puslittanak, 1994).

Di Amerika tanaman jagung untuk menghasilkan biji sebanyak 7,5 ton/ha diperlukan sekitar 135 kg

N/ha, pada tanah dengan kadar P dan K rendah diperlukan pemupukan 100 kg P2O5 dan 170 kg K2O/ha

(Donahue et al., 1977). Hasil penelitian yang dilakukan di beberapa lokasi dengan berbagai jenis tanah di

Indonesia diketahui bahwa pemupukan N sebanyak 135 kg N/ha perlu dilakukan bagi tanaman jagung pada

tanah dengan kadar N kurang dari 0,4 % dan tanaman jagung umumnya memberikan respon terhadap

pemupukan P dan K masing—masing pada tanah dengan kadar kurang dari 20 mg P2O5 dan 20 mg K2O/100

gram tanah (Sutoro et al., 1992). Namun hasil penelitian juga melaporkan bahwa peningkatan penggunaan

pupuk N sampai dengan 142,7 kg N/ha selain meningkatkan hasil biji juga meningkatkan kadar protein

dalam jagung (Winarso, 2005).

Dalam kaitannya dengan pemupukan N, selama ini macam pupuk yang banyak digunakan petani

adalah Urea. Namun demikian, sementara ini masalah keterbatasan ketersediaan pupuk dan harganya yang

cenderung meningkat sering menjadi kendala petani untuk dapat memenuhi kebutuhan akan pupuk Urea

tersebut. Untuk itu, upaya pemanfaatan sumberdaya lokal seperti pupuk organik/kompos perlu digalakkan

kembali sebagai sarana produksi untuk peningkatan produktivitas lahan. Meskipun, kadar N dari pupuk

organik tidak setinggi pupuk Urea namun penggunaan pupuk organik dalam takaran yang relatif banyak

Page 14: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

52

dapat menyumbangkan sejumlah unsur-unsur hara makro dan mikro. Di samping itu, penggunaan pupuk

organik memiliki beberapa keunggulan lain yang tidak dapat digantikan dari penggunaan pupuk

kimia/anorganik. Keunggulan tersebut antara lain adalah dapat memperbaiki struktur tanah, meningkatkan

kemampuan tanah memegang air dan unsur-unsur hara sehingga dapat meningkatkan efisiensi penggunaan

pupuk kimia, mengurangi kehilangan hara akibat pencucian dan menekan erosi.

Tulisan ini menyajikan hasil pengkajian tentang penggunaan kombinasi dosis pupuk Urea dengan

kompos dari limbah kandang pada pertanaman jagung pada tanah vertisols di daerah lahan kering beriklim

kering wilayah Kabupaten Gunungkidul.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilakukan dalam musim hujan (MH 2005) pada tanah Vertisols (Puslittanak, 1994) di

pewakil kawasan lahan kering dataran rendah beriklim kering wilayah Kabupaten Gunungkidul (ketinggian

tempat < 700 m dan curah hujan < 2000 mm/tahun). Hasil analisis tanah diketahui bahwa rata-rata kadar C

organik dan N total masing-masing adalah 0,14 dan 0,09% yang mana secara umum tergolong sangat rendah

dan kadar P2O5 dan K2O masing-masing adalah 35,6 dan 7,0 mg/100 g tanah. Pengkajian dilaksanakan secara

on farm dengan menggunakan 16 lahan petani kooperator (sebagai ulangan) dari Kelompok Tani Sedya

Maju di dusun Ngunut Kidul, Desa Kelor, Kecamatan Karangmojo, Kabupaten Gunungkidul. Pemilihan

lokasi dan kelompok didasarkan pada kesanggupan kelompok untuk memenuhi persyaratan dalam

penangkaran benih diantaranya adalah menghindari adanya penanaman jagung di sekeliling lokasi

penanaman jagung yang akan dikaji/ditangkarkan, minimal 200 m.

Teknologi yang dikaji terdiri dari dua macam perlakuan pemupukan, yaitu; (A) 450 kg Urea/ha +

2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg Urea /ha + 5,0 ton kompos/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 100 kg

SP-36 dan 100 kg KCl. Luas petak perlakuan berkisar 1.000 – 1.250 m2. Pemupukan Urea dilakukan dua

kali yaitu 1/3 bagian pada saat tanam dan 2/3 bagian pada saat tanaman berumur 25 hari setelah tanam.

Jagung yang digunakan adalah jagung komposit (bersari bebas) varietas Lamuru dengan benih

bersertifikat kelas Breeder Seed (BS) dari Balai Penelitian Jagung dan Serealia (Balitjas), Maros. Benih yang

digunakan mempunyai daya tumbuh 96% dan benih ditanam satu biji/lubang, jarak tanam 70 cm x 20-25 cm.

Panen jagung dilakukan pada saat tanaman berumur 96 hari setelah tanam. Data yang dikumpulkan meliputi

tinggi tanaman, berat biji kering dan brangkasan kering. Untuk mengetahui pengaruh perbedaan antar

perlakuan, data dianalisis dengan menggunakan uji T (T test) pada taraf beda nyata 5%.

Pengkajian ini selain dimaksudkan untuk mengetahui tingkat produktivitas tanaman juga untuk

pengawalan perbanyakan benih dan pembinaan kelompok tani dalam kemampuan dan ketrampilan

menangkarkan benih. Untuk itu, dalam pelaksanaan pengkajian dilakukan dengan mengikutsertakan

pendampingan dari BPSB Propinsi DIY dan Dinas Pertanian Tanaman Pangan dan Perikanan Kabupaten

Gunungkidul.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Pertumbuhan Tanaman Jagung

Hasil pengamatan keragaan pertumbuhan (tinggi tanaman) yang diperlakukan dengan perbedaan

kombinasi dosis pemupukan Urea dengan kompos disajikan dalam Tabel 1. Hasil tersebut menunjukkan

bahwa perbedaan komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha

dan (B) 300 kg Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap tinggi tanaman baik yang

diamati pada saat mulai berbunga maupun saat panen.

Tabel 1. Keragaan Tinggi Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos di Karangmojo, MH 2005

Keragaan Tanaman dan Hasil

Taraf Dosis A

(450 kg Urea + 2,5 ton

kompos/ha)

Taraf Dosis B

(300 kg Urea + 5,0 ton

kompos/ha)

Keragaan Pertumbuhan Tanaman :

1. Tinggi tanaman saat mulai berbunga, umur 55 hst (cm) 220,9 208,5

2. Tinggi tanaman saat panen, 96 hst (cm) 225 215

Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.

Page 15: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

53

Komponen Hasil Panen Jagung

Tanaman jagung selain dimaksudkan untuk produksi biji juga hasil hijauan, klobot dan tongkolnya

potensial untuk pakan ternak. Seperti halnya pengaruh terhadap tinggi tanaman, perbedaan perlakuan

komposisi dosis pupuk Urea dengan kompos, yaitu (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha dan (B) 300 kg

Urea + 5,0 ton kompos/ha tidak berpengaruh nyata terhadap hasil brangkasan/tebon dan jagung berkulit

kering termasuk komponen-komponennya (Tabel 2). Rata-rata hasil biji jagung dari kedua perlakuan adalah

6,69 dan 6,58 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang potensial untuk pakan ternak dari masing-masing

perlakuan (A dan B) adalah untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 dan 3,72; klobot 7,87 dan 7,71; dan tongkol

tanpa biji 5,11 dan 5,01 ton/ha.

Tabel 2. Hasil Tanaman Jagung Varietas Lamuru Pada Perbedaan Dosis Pemupukan Urea dan Kompos Di Karangmojo,

MH 2005

Komponen Hasil Panen Jagung

Taraf Dosis A

(450 kg Urea + 2,5

ton kompos/ha)

Taraf Dosis B

(300 kg Urea + 5,0

ton kompos/ha)

1. Berat tebon (brangkasan) ton/ha 11,38 10,88

a. Berat tebon bagian atas tongkol (umumnya untuk pakan

ternak) ton/ha

3,48 3,72

b. Berat tebon bagian bawah tongkol (umumnya tidak

dimanfaatkan untuk pakan) ton/ha

7,90 7,16

2. Jagung berkulit kering (ton/ha) 19,67 19,28

a. a. Klobot kering 7,87 7,71

b. b. Tongkol kering tanpa biji 5,11 5,01

c. Jagung pipilan kering kadar air 14 % (ton/ha) 6,69 6,56

Ket : Semua perlakuan dipupuk 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha; Faktor koreksi untuk hasil dari ubinan adalah 30%.

Hasil pengkajian dalam Tabel 2 menunjukkan bahwa subsitusi 150 kg Urea/ha dengan 2,5 ton

kompos/ha memberikan hasil tanaman yang relatif sama. Bila dinilai secara ekonomi, subsitusi penggunaan

Urea 150 kg/ha (harga Rp 1.050/kg) dengan 2,5 ton kompos/ha (harga Rp 250/kg) maka pemupukan 300 kg

Urea + 5 ton kompos/ha relatif lebih mahal sekitar Rp 467.500/ha, namun ketersedian pupuk kompos yang

dapat diproduksi petani sendiri secara lokal lebih mungkin terjamin dan mudah di dapat, khususnya hal ini

akan mungkin dapat dipenuhi bagi petani yang mempunyai ternak. Di samping itu, penggunaan kompos

secara berkelanjutan berpotensi untuk memperbaiki kesuburan tanah yang pada gilirannya akan berpengaruh

terhadap peningkatan hasil tanaman berikutnya. Untuk itu, pengembangan usahatani integrasi tanaman dan

ternak di kawasan lahan kering beriklim kering sangat penting artinya karena merupakan usaha yang saling

komplementer baik untuk peningkatan pendapatan maupun pemeliharaan keberlanjutan produktivitas lahan.

KESIMPULAN

Pada lahan kering dengan tanah Vertisols berkadar C organik dan N total rendah yang ditanami

jagung varietas Lamuru dengan pemupukan (A) 450 kg Urea + 2,5 ton kompos/ha atau (B) 300 kg Urea + 5,0

ton kompos/ha memberikan pertumbuhan dan hasil tanaman (brangkasan dan biji kering) yang relatif sama.

Penggantian penggunaan Urea 150 kg/ha dengan 2,5 ton kompos/ha tidak mempengaruhi hasil tanaman

jagung. Rata-rata hasil biji jagung yang diperoleh adalah 6,58-6,69 ton/ha sedangkan hasil hijauan yang

potensial untuk pakan ternak, yaitu untuk tebon bagian atas tongkol 3,48 - 3,72; klobot 7,71 - 7,87 dan

tongkol tanpa biji 5,01 -5,11 ton/ha.

Page 16: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

54

DAFTAR PUSTAKA

Donahue, R.L., R.W. Miller, and J.C. Shikluna. 1977. Soils. An Introduction to Soil and Plant Growth.

Prentice-Hall, Inc. New Yersey.

Puslittanak, 1994. Laporan Akhir; Survai Dan Pemetaan Sumberdaya Lahan Untuk Pengembangan Pertanian

Lahan Kering Dan Konservasi Hutan Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta.Laporan Akhir No.

03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah dan

Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan.

Sutoro, Y. Soelaeman dan Iskandar. 1992. Budidaya Tanaman Jagung. Paket Informasi Jagung. Pusat

Perpustakaan Pertanian dan Komunikasi Penelitian. Badan Litbang Pertanian.

Tisdale, S.L., W.L. Nelson, J.D. Beaton, and J.L. Havlin. 1993. Soil Fertility and Fertilizers, 5th

Ed.

Macmillan Publishing Company. New York.

Winarso, S. 2005. Kesuburan Tanah Dasar Kesehatan dan Kualitas Tanah. Penerbit Gava Media.

Yogyakarta.

Page 17: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

55

PENGARUH PERANGKAP LAMPU TERHADAP INTENSITAS SERANGAN HAMA DAN

PRODUKSI PADA BUDIDAYA BAWANG MERAH

I.B.K. Suastika1, Agus Thomas Sutiarso

2, I.Ketut Kariada

2 dan I.B. Aribawa

1

1Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

2Balai Penelitian Tanaman Sayuran (Balitsa) Lembang

ABSTRAK

Penelitian pengaruh perangkap lampu terhadap intensitas serangan hama dan produksi pada budidaya bawang

merah dilaksanakan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten Buleleng dari bulan

Oktober sampai Desember 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu dan introduksi

bawang merah varietas kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil. Bibit bawang merah di tanam dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada bedengan berukuran lebar 70 cm dalam luasan area 0,5 ha. Pemupukan dengan 90 kg P2O5/ha

sebagai pupuk dasar, 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O5/ha. Pupuk susulan pertama dan kedua

diberikan pada 10-15 hari setelah tanam (hst) dan 30 hst, masing-masing ½ dosis. Pemeliharaan tanaman meliputi

kegiatan penyiangan dan pengairan yang dilakukan sesuai dengan kebutuhan. Parameter yang diukur meliputi tibggi tanaman, jumlah daun, populasi hama, populasi telur, larva dan imago S. exigua serta kerusakan tanaman. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning

dan penggunaan perangkap lampu berpengaruh terhadap serangan hama dan pertumbuhan bawang merah. Pada umur 45

hst, tinggi tanaman varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dengan jumlah daun lebih banyak sekitar 10,52% dibandingkan dengan varietas Pinggan. OPT yang paling dominan ditemukan pada petak percobaan adalah S. exigua,

diikuti berturut – turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT tersebut meningkat sejalan dengan

pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 35 dan 42 hst. Penggunaan varietas Kuning

ternyata dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25 %. Fluktuasi populasi S. exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago dan telur S. exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst

Dengan menerapkan inovasi teknologi persentase kerusakan tanaman relatif rendah dan berada di bawah ambang

pengendalian sebesar 10%. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. exigua dibandingkan dengan varietas

lokal Pinggan. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat

mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali. Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang

merah dalam luasan 0,5 ha adalah sebesar Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95.

Kata kunci: Lampu perangkap, hama dan produksi, bawang merah

PENDAHULUAN

Bawang merah (Allium ascalonicum L.) merupakan salah satu komoditas sayuran unggulan yang

sejak lama diusahakan oleh petani secara intensif. Komoditas sayuran ini termasuk ke dalam kelompok

rempah tidak bersubstitusi yang berfungsi sebagai bumbu penyedap makanan serta bahan obat tradisional.

Komoditas ini juga merupakan sumber pendapatan dan kesempatan kerja yang memberikan kontribusi cukup

tinggi terhadap perkembangan ekonomi wilayah (Rp.2,7 triliun/tahun) dengan potensi pengembangan areal

cukup luas mencapai ± 90.000 ha (Dirjen Hortikultura, 2005). Penyebaran yang cukup luas dan besarnya

minat petani terhadap komoditas bawang merah terutama disebabkan oleh daya adaptasinya yang luas, yaitu

dapat di tanam dan tumbuh dengan baik pada ketinggian 0-1000 meter diatas permukaan laut (Suwandi,

1989; Suwandi dan Hilman ,1995; Nurmalinda dan Suwandi, 1995).

Berdasarkan data periode waktu 1989-2000, rata-rata produksi dan luas panen bawang merah di

Indonesia berturut-turut adalah 614.128,5 ton dan 79.819,42 ha/tahun (Direktorat Jenderal Tanaman Pangan

dan Hortikultura, 1999; Basuki et al., 2002). Sementara itu, dalam periode yang sama pola pertumbuhan

produksi bawang merah di Indonesia juga terus meningkat dari tahun ke tahun. Namun demikian,

pertumbuhan rata-rata produksi bawang merah di Indonesia yang mencapai 7,75% tampaknya lebih

disebabkan oleh peningkatan luas panen daripada peningkatan produktivitas. Hal ini dapat ditunjukkan oleh

peningkatan luas panennya (3,83%) yang relatif lebih besar dibandingkan dengan peningkatan produktivitas

(3,33%). Dengan demikian, ketidak-stabilan produksi bawang merah secara umum akan lebih dipengaruhi

oleh keragaman luas panen dibandingkan dengan keragaman produktivitas.

Bawang merah dihasilkan di 24 dari 30 propinsi di Indonesia. Propinsi penghasil utama (luas areal

panen > 1000 hektar per tahun) bawang merah diantaranya adalah Sumatra Utara, Sumatra Barat, Jawa Barat,

Jawa Tengah, D.I. Yogya, Jawa Timur, Bali, NTB dan Sulawesi Selatan. Kesembilan propinsi ini

menyumbang 95,8% (Jawa memberikan kontribusi 75%) dari produksi total bawang merah di Indonesia pada

tahun 2003. Konsumsi rata-rata bawang merah untuk tahun 2004 adalah 4,56 kg/kapita/tahun atau 0,38

kg/kapita/bulan, menjelang hari raya keagamaan terjadi kenaikan konsumsi sebesar 10-20% (Dirjen

Page 18: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

56

Hortikultura, 2005). Meskipun minat petani terhadap bawang merah cukup besar, namun dalam

pengusahaannya masih ditemui berbagai kendala. Beberapa kendala yang dihadapi dalam budidaya bawang

merah, antara lain : (1) ketersediaan benih bermutu belum mencukupi secara tepat (waktu, jumlah dan mutu);

(2) penerapan teknik budidaya yang baik dan benar belum dilakukan secara optimal; (3) sarana dan prasarana

masih terbatas; (4) kelembagaan usaha di tingkat petani belum dapat menjadi pendukung usaha budidaya; (5)

skala usaha relatif masih kecil akibat sempitnya kepemilikan lahan dan lemahnya permodalan; (6)

produktivitas cendrung mengalami penurunan; (7) harga cendrung berfluktuasi dan masih dikuasai oleh

tengkulak; (8) serangan organisme pengganggu tanaman (OPT) semakin bertambah. Hal tersebut

diindikasikan oleh rendahnya tingkat produktivitas yang dapat dicapai, yaitu 7,6 t/ha (Basuki et al. 2002).

Hama penting yang menyerang tanaman bawang merah antara lain ulat bawang (Spodoptera

exigua), lalat pengorok daun (Liriomyza chinensis), thrips (Thrips tabaci), orong-orong (Grillotalpa spp),

ulat grayak (Spodoptera lutura) dan ngengat gudang Ephestia cautella). Potensi kehilangan hasil oleh OPT

utama bawang merah dapat mencapai 138,4 milyar (Anonim, 2004).

Salah satu upaya untuk mengurangi serangan OPT, meningkatkan produktivitas dan daya saing

komoditas bawang merah adalah melalui pengembangan dan penerapan teknologi Pengelolaan Tanaman dan

Sumberdaya Terpadu (PTT) yang dikembangkan oleh Badan Litbang Pertanian. PTT adalah segala tindakan

usahatani secara terpadu yang bertujuan untuk memperoleh pertumbuhan tanaman optimal, kepastian

keberhasilan panen, mutu produk tinggi dan aman untuk dikonsumsi, serta dapat menjaga kelestarian

lingkungan dan keseimbangan ekologis. PTT bersifat spesifik lokasi, dapat berbeda antar petani, integrasi

teknologi maju dengan teknologi asli petani (Fliert, 199). Beberapa komponen PTT antara lain : (1)

penentuan pemilihan komoditas adaptif sesuai agroklimat, musim tanam; (2) penyediaan lingkungan optimal

yang tidak kondusif untuk perkembangan hama/penyakit; (3) penyediaan bibit dan varietas unggul tahan

hama/penyakit; (4) pola tanam, rotasi tanaman; (5) pengelolaan hara, tanah, air dan gulma; (6) penerapan

PHT; (7) pengelolaan tanaman optimal; (8) panen tepat waktu; (9) penanganan pasca panen dan (10)

pemasaran dengan efisien. Dalam peneltian ini komponen PTT yang diterapkan adalah penggunaan

perangkap lampu dan varietas unggul. Tujuan penelitian adalah untuk mengkaji pengaruh perangkap lampu

dan introduksi bawang merah varietas unggul kuning terhadap intensitas serangan hama dan hasil.

BAHAN DAN METODA PENELITIAN

Penelitian dilakukan di lahan sawah setelah padi di desa Bungkulan, kecamatan Sawan, kabupaten

Buleleng, Bali dari bulan Oktober sampai Desember 2005 pada luas areal 0,50 ha.

Teknologi budidaya yang diterapkan dalam penelitian ini disajikan pada Tabel 1. Penelitian

diranacang menggunakan rancangan acak kelompok dengan 2 perlakuan. Perlakuan dimaksud adalah

varietas unggul kuning dan varietas lokal (kontrol). Masing-masing perlakuan (bibit bawang kuning dan

lokal) ditanam berseling antar bedengan dalam satu petak lahan dengan jarak tanam 15 cm x 20 cm pada

bedengan berukuran lebar 70 cm. Lampu perangkap detempatkan berjejer segera setelah tanam pada

pinggiran bedengan (pematang) sebanyak 18 buah dengan jarak antar lampu perangkap ± 15 m. Lampu

perangkap dinyalakan dari pukul 06.00 sore – 12.00 malam.

Tabel 1. Teknologi yang Diterapkan Dalam Pengembangan Teknologi Inovatif Bawang Merah.

Komponen Teknologi Teknologi

Varietas Kuning

Lokal

Budidaya Pengolahan tanah sempurna

Pengapuran bila pH < 5,6

Jarak tanam = 15 x 20 cm

Pemupukan :

- Pupuk dasar : 90 kg P2O5/ha dan pupuk organik - Pupuk susulan : 180 kg N/ha (1/3 N Urea + 2/3 N ZA) dan 100 kg K2O/ha

- Pemupukan susulan I dilakukan pada umur 10-15 hst dan II 30 hst, masing-

masing ½ dosis.

Sistem Tanam Monokultur

Pengendalian OPT Pengendalian secara mekanik (ngama)

Penggunaan perangkap lampu

Penggunaan insektisida selektif bila serangan OPT telah mencapai ambang ekonomi

Page 19: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

57

Perameter yang diukur meliputi pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun dan jumlah

anakan) yang dilakukan pada 15 hst. Pengukuran parameter jumlah OPT dilakukan setiap seminggu sekali

dimulai pada 14 hst dengan menghitung banyaknya OPT yang tertangkap pada lampu perangkap. Sementara

pengukuran parameter banyaknya masing-masing stadia OPT yang ditemukan pada petak percobaan

dilakukan setiap seminggu sekali dimulai pada 14 hst dengan cara pengamatan langsung. Data yang

terkumpul dari masing-masing parameter yang diamati kemudian dianalisis menggunakan program Irristat,

2.0, yang dilanjutkan dengan uji BNT pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

1) Pertumbuhan Tanaman Bawang Merah

Hasil pengamatan terhadap pertumbuhan tanaman bawang merah (tinggi tanaman, jumlah daun dan

jumlah anakan) selama percobaan berlangsung disajikan pada Tabel 1, 2, 3 dan Gambar 1, 2, 3.

Tinggi Tanaman

Terdapat perbedaan pertumbuhan antara varietas Kuning (hasil pelepasan Balitsa) dan varietas

Pinggan (lokal). Varietas Kuning relatif lebih tinggi (11,55%) dibandingkan dengan varietas Pinggan. Pada

umur 45 HST, tinggi tanaman varietas Kuning mencapai 26,84 cm dan varietas Pinggan mencapai 24,06 %

(Tabel 1 dan Gambar 1).

Tabel 1. Tinggi Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

Varietas Tinggi Tanaman (cm)

15 hst 30 hst 45 hst

Kuning 18,97 a 20,79 a 26,84 a

Pinggan 16,98 b 21,73 a 24,06 b

KK (%) 4,2 5,6 7,8

BNT 5 % 0,58 ns 1,08

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

Gambar 1. Tinggi tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

Jumlah Daun

Hasil pengamatan terhadap jumlah daun bawang merah selama percobaan berlangsung di sajikan

pada Tabel 2 dan Gambar 2. Dari tiga kali pengamatan dapat dilihat bahwa varietas Kuning mempunyai daun

lebih banyak dibandingkan dengan varietas Pinggan sekitar 10,52 %.

Tabel 2. Jumlah Daun Bawang Merah, Buleleng 2005.

Varietas Jumlah Daun

15 hst 30 hst 45 hst

Kuning 13,69 a 24,11 a 24,16 a

Pinggan 10,43 b 19,52 b 21,86 b

KK (%) 6,8 7,9 4,2

BNT 5 % 1,12 3,80 0,63

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

0

5

10

15

20

25

30

Tinggi Tanaman (cm)

15 30 45

Umur (hst)

Kuning

Pinggan

0

5

10

15

20

25

30

Tinggi Tanaman (cm)

15 30 45

Umur (hst)

Kuning

Pinggan

Page 20: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

58

Gambar 2. Jumlah daun bawang merah, Buleleng 2005.

Jumlah Anakan

Dari Tabel 3 dan Gambar 3 dapat dilihat bahwa teknologi yang digunakan berpengaruh terhadap

jumlah anakan bawang merah. Penggunaan varietas Kuning ternyata mampu menghasilkan anakan bawang

merah lebih besar dibandingkan dengan varietas Pinggan. Dari hasil tersebut dapat dilihat bahwa, varietas

kuning mempunyai pertumbuhan yang lebih baik dibandingkan dengan varietas lokal Pinggan. Tabel 3. Jumlah Anakan Bawang Merah, Buleleng 2005.

Varietas Jumlah Anakan

15 hst 30 hst 45 hst

Kuning 5,23 a 5,58 a 6,08 a

Pinggan 4,51 b 4,75 b 5,25 b

KK (%) 11,2 9,8 13,2

BNT 5 % 0,51 0,75 0,49

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

Gambar 3. Jumlah anakan bawang merah, Buleleng 2005.

2) Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT)

Hasil pengamatan terhadap keragaan OPT pada tanaman bawang merah selama percobaan

berlangsung disajikan pada Tabel dan Gambar. OPT dominan yang terdapat pada petak percobaan, baik pada

varietas Kuning maupun Pinggan adalah S. exigua. Populasi OPT tersebut berbeda antar varietas yang diuji.

Teknologi perangkap lampu yang digunakan dikombinasikan dengan pengendalian secara mekanis dan

penggunaan insektisida secara nyata dapat menekan populasi OPT sampai di bawah ambang pengendalian.

Beberapa OPT yang tertangkap pada perangkap lampu disajikan pada Tabel 4. OPT yang paling

dominan adalah S. exigua, diikuti berturut – turut oleh Coleoptera, Grillotalpa sp dan jangkrik. Populasi OPT

tersebut meningkat sejalan dengan pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada

umur 35 dan 42 hst.

0

1

2

3

4

5

6

7

Jumlah Anakan

15 30 45Umur (hst)

Kuning

Pinggan

0

1

2

3

4

5

6

7

Jumlah Anakan

15 30 45Umur (hst)

Kuning

Pinggan

0

5

10

15

20

25

Jumlah Daun

15 30 45

Umur (hst)

Kuning

Pinggan

0

5

10

15

20

25

Jumlah Daun

15 30 45

Umur (hst)

Kuning

Pinggan

Page 21: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

59

Tabel 4. Keragaan Organisme Pengganggu Tumbuhan (OPT) – Perangkap lampu, Buleleng 2005.

Jenis OPT Umur Tanaman

14 hst 21 hst 28 hst 35 hst 42 hst

Spodoptera exigua 62,59 a 60,00 a 66,59 a 72,24 a 73,65 a

Grillotalpha sp. 2,35 b 4,59 b 3,00 b 4,06 b 4,29 b

Coleoptera 4,24 b 9,00 b 9,24 b 11,65 b 10,59 b

Jangkrik 2,06 b 1,59 b 2,12 b 2,12 b 2,41 b

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

Gambar 4. Keragaan organisme pengganggu tumbuhan (OPT) – Perangkap lampu, Buleleng 2005.

Populasi Telur Spodoptera exigua

Pengamatan terhadap telur S. Exigua disajikan pada Tabel 5 dan Gambar 5. Populasi telur S. Exigua

selalu meningkat mengikuti pertumbuhan tanaman bawang merah dan mencapai puncaknya pada umur 42

hst sebesar 0,60 untuk varietas Kuning dan 0,80 untuk varietas Pinggan. Penggunaan varietas Kuning

ternyata dapat menekan populasi telur S. Exigua sebesar 25 %.

Tabel 5. Populasi Telur Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

Varietas Populasi Telur Spodoptera exigua

21 hst 28 hst 35 hst 42 hst

Kuning 0,40 a 0,45 a 0,55 a 0,60 a

Pinggan 0,70 a 0,40 a 0,60 a 0,80 a

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

Gambar 7. Populasi telur Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

Populasi Larva Spodoptera exigua

Fluktuasi populasi S. Exigua pada tanaman bawang merah sejalan dengan fluktuasi populasi imago

dan telur S. Exigua. Populasi tertinggi terjadi pada pengamatan umur 42 hst (Tabel 6 dan Gambar 6).

0

10

20

30

40

50

60

70

80

14 21 28 35 42

Umur (hst)

Ima

go

(ek

or)

Spodoptera exigua

Orong-orong

Coleopthera

Jangkrik

0

10

20

30

40

50

60

70

80

14 21 28 35 42

Umur (hst)

Ima

go

(ek

or)

Spodoptera exigua

Orong-orong

Coleopthera

Jangkrik

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

21 28 35 42

Umur (hst)

Po

pu

lasi

Telu

r

Kuning

Pinggan

0

0.1

0.2

0.3

0.4

0.5

0.6

0.7

0.8

0.9

21 28 35 42

Umur (hst)

Po

pu

lasi

Telu

r

Kuning

Pinggan

Page 22: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

60

Tabel 6. Populasi Larva Spodoptera exigua pada Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

Varietas Populasi Larva Spodoptera exigua

21 hst 28 hst 35 hst 42 hst

Kuning 0,95 a 0,75 a 0,70 a 1,15 a

Pinggan 0,70 a 0,85 a 1,05 a 0,90 a

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

Gambar 6. Populasi larva Spodoptera exigua pada tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

Kerusakan Tanaman

Hasil pengamatan terhadap kerusakan tanaman bawang merah selama percobaan berlangsung

disajikan pada Tabel 7 dan Gambar 7. Persentase kerusakan relatif rendah dan ada di bawah ambang

pengendalian sebesar 10 %. Penggunaan teknologi PHT pada tanaman bawang merah, yaitu penggunaan

perangkap lampu, pengendalian secara mekanis, penggunaan insektisida ternyata dapat menekan serangan S.

Exigua. Varietas Kuning relatif lebih tahan terhadap serangan S. Exigua dibandingkan dengan varietas ocal

Pinggan. Tabel 7. Kerusakan Tanaman Bawang Merah, Buleleng 2005.

Varietas Kerusakan Tanaman

21 hst (%) 28 hst (%) 35 hst (%) 42 hst (%)

Kuning 3,10 a 4,10 a 4,30 a 4,90 a

Pinggan 3,30 a 4,70 a 4,90 a 6,10 a

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

Gambar 7. Kerusakan tanaman bawang merah, Buleleng 2005.

Rendahnya kerusakan tanaman diduga disebabkan karena banyaknya populasi ngengat S. Exigua

yang tertangkap lampu perangkap sehingga kesempatan ngengat untuk meletakkan telur dan menghasilkan

larva yang merusak tanaman menjadi lebih sedikit. Jika tidak dikendalikan hama ini dapat menimbulkan

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

21 28 35 42

Umur (hst)

Pop

ula

siL

arva

Kuning

Pinggan

0

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

21 28 35 42

Umur (hst)

Pop

ula

siL

arva

Kuning

Pinggan

0

1

2

3

4

5

6

7

21 28 35 42Umur (hst)

Ker

usa

kan

Tan

aman

(%)

Kuning

Pinggan

0

1

2

3

4

5

6

7

21 28 35 42Umur (hst)

Ker

usa

kan

Tan

aman

(%)

Kuning

Pinggan

Page 23: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

61

kehilangan hasil rata-rata 17,3 ribu ton setiap tahunnya dan mengakibatkan kerugian sebesar 553,7 milyar

rupiah (Anonimus, 2004).

Hasil Panen

Hasil panen bawang merah disajikan pada Tabel 8. Penggunaan teknologi inovasi bawang merah

terutama penggunaan varietas Kuning ternyata dapat mempertahankan hasil bawang merah sebesar 2,47 kali.

Tabel 8. Hasil Panen Bawang Merah, Buleleng 2005.

Varietas Produksi (Kg)

Kuning (2500m2) 3.237 a

Pinggan (2500 m2) 1.308 b

KK (%) 24,5

BNT 5 % 0,37

Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% Uji BNT.

3) Analisis Usahatani

Hasil analisis usahatani (Tabel 9) menunjukkan, bahwa usahatani bawang merah seluas 50 are (1 are

= 100 m2) memerlukan biaya total sebesar Rp 5.103.100. Dengan hasil yang diperoleh Rp. 10.000.000

(ditebas), usahatani memberikan nilai keuntungan sebesar Rp 4.896.900. Jika dihitung dalam R/C rasio maka

diperoleh nilai R/C rasio sebesar 1,95 yang artinya setiap satu rupiah modal yang dikeluarkan untuk

usahatani bawang merah akan mempnyai tingakt pengembalian senilai Rp 1,95 rupiah.

Tabel 9. Analisis Usahatani Bawang Merah (Per 50 are) di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005.

Input Kuantitas Unit Harga per unit Biaya per 50 are

Bibit 350 kg 5000/kg 1 750 000

Bokashi/semanggi 250 kg 350/kg 87 500

TSP 100 kg 80 000/50 kg 70 000

Urea 50 kg 55 000/50 kg 55 000

Dekamon 2bks 22 000/bks 44 000

ZA 75 kg 46 000/50 kg 92 000

KCl 50 kg 50 000/50 kg 130 000

Hostation 4 botol 168 000

Proexist 1 Kg 66 000

Dursban l 84 000

Dithane 1 kg 95 000

Antracol 1 kg 35 000

Bajak 8 Hkw 350 000

Bedengan 8 hkp 500 000

Tanam 6 350 000

Pemupukan dasar 4 50 000

Pemupukan susulan I& II 100 000

Penyiangan 400 000

Penyiraman dan semprot 375 000

Panen -

Pengangkutan -

Pasca panen/pritil -

Sewa lahan 800 000/are/tahun 300 000

Pengairan -

Iuran HIPA 4 000/are/tahun 1 300

Pajak bumi 800/are/tahun 300

Total biaya produksi 5 103 100

Nilai jual (tebas) 10 000 000

Pendapatan bersih (Rp/450 are) 4 896 900

R/C rasio 1,95

Page 24: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

62

KESIMPULAN

1. Penerapan teknologi budidaya bawang merah dengan introduksi varietas unggul Kuning dan penggunaan

perangkap lampu mampu menekan kerusakan tanaman oleh hama utama S. exigua dibawah ambang

pengendalian sebesar 10% serta dapat menekan populasi telur S. exigua sebesar 25%.

2. Penggunaan varietas unggul kuning dalam budidaya bawang merah setelah padi mampu meningkatkan

produksi bawang sebesar 2,47 kali.

3. Keuntungan yang diperoleh petani dalam budidaya bawang merah dalam luasan 50 are adalah sebesar

Rp. 4.896.900,- dengan R/C rasio sebesar 1,95.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2004. Kinerja Pembangunan Sistem dan Usaha Agribisnis Horticultura 2000 – 2003. Departemen

Pertanian. Direktorat Jendral Bina Produksi Horticultura Yakarta. 133 hal.

Baharsyah, S. 1992. Dampak pengurangan subsidi pupuk terhadap pendapatan usahatani. Prosiding Efisiensi

Penggunaan Pupuk. Puslittanak, Bogor.

Basuki, R. S., W. Adiyoga, A. Hidayat dan A. Dimyati. 2002. Profil komoditas dan analisis kebijaksanaan

bawang merah. Laporan Hasil Penelitian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta: 61 h.

Benbrook, C.M. 1991. In: Board on national research council. Sustainable agric. Research and education in

the field. Proc. National Academic Press. Washington DC: 1-10.

Direktorat Jendral Bina Produksi Hortikultura. 2005. Kebijakan Pengembangan Produksi Bawang Merah di

Indonesia. Makalah disampaikan dalam Apresiasi Penerapan Penanggulangan OPT Bawang Merah,

Surabaya, 5 – 7 Juli 2005.

Direktorat Jenderal Pertanian Tanaman Pangan dan Hortikultura. 1999. Vademekum pemasaran 1990-1999.

Direkorat Bina Usaha Tani dan Pengolahan Hasil. Jakarta.

Nurmalinda dan Suwandi. 1995. Potensi wilayah pengembangan bawang merah. Dalam Sunarjono, H.,

Suwandi, A. H. Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang

merah. Pusat Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Jakarta: 19.

Suwandi. 1989. Bawang merah. Dalam Subhan, Sudjoko, Suwandi dan Z. Abidin (Eds.). Bercocok tanam

sayuran dataran rendah. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian

Hortikultura Lembang, Proyek ATA-395, Bandung.

Suwandi dan Y. Hilman. 1995. Budidaya tanaman bawang merah. Dalam Sunarjono, H., Suwandi, A. H.

Permadi, F. A. Bahar, S. Sulihanti dan W. Broto (Eds.). Teknologi produksi bawang merah. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hortikultura, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Jakarta:

51.

Page 25: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

63

Curah Hujan

Curah hujan tertinggi di Desa Bungkulan terjadi pada bulan Januari, Februari dan Maret, sedangkan

curah hujan terendah (tidak terdapat hujan) terjadi pada bulan Juli sampai September.

Gambar 2. Curah hujan di Desa Bungkulan, Kecamatan Sawan, Buleleng 2005.

Curah Hujan

0

2

4

6

8

10

12

14

J F M A M J J A S O N D

Bulan

Curah Hujan

Page 26: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

64

PENGKAJIAN SISTIM USAHATANI JAGUNG QPM DI LAHAN KERING DATARAN MEDIUM

BER IKLIM BASAH - BANGLI

IGK. Dana Arsana

Balai Pengkajian Teknoogi Pertanian – Bali

ABSTRAK

Pengkajian Sistim Usahatani Jagung (Quality Protein Maize) QPM di Lahan Kering Dataran Medium Ber

Iklim Basah dilaksanakan musim tanam tahun 2005, bulan Juni sampai Oktober 2005. Pengkajian ditempatkan di tiga Kelompok Tani yaitu 1) kelompok "Sari Mekar II" di desa Susut dengan pelaksana 17 orang petani luas 2.42 Ha; 2).

Subak Abian Pad-Padan, desa Pengootan Kecamatan Susut pelaksana 8 orang, Luas 1,70 Ha dan; 3).kelompok tani

"Tiing Desa" Desa Pengootan Kecamatan Susut dengan pelaksana 17 petani luas 2,00 Ha jumlah keseluruhan mencapai

6,12 Ha. Hasil pengkajian menunjukkan walaupun tanaman belum menunjukkan pertumbuhan yang optimal namun masih menguntungkan Pertanaman termasuk diluar musim tanam. Pertanaman di kelompok tani "Sari Mekar II". Jagung

QPM–Srikandi Kuning mampu berproduksi 2.9 ton/ha. dengan B/C Ratio 1,65. Setelah di kurangi biaya produksi petani

masih mampu mendapatkan keuntungan Rp. 3.337.500/ha. Di kelompok tani Pad-Padan petani mampu mendapatkan

keuntungan Rp. 2.390.000,- dengan B/C Ratio 1,92. lebih tinggi dibandingkan di kelompok ‖Sari Mekar II‖. Sedangkan di kelompok "Tiing Desa" petani mampu mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.290.000,- dengan B/C Ratio sebesar

1,79.

Kata kunci : usahatani, jagung QPM

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Luas Propinsi Bali yang mencakup areal 5.632,86 km2 (0,29%) dari luas Indonesia, penduduknya

bermata pencaharian dalam sektor pertanian. Propinsi Bali terdiri dari beberapa Pulau yaitu Pulau Bali yang

merupakan Pulau terbesar, Nusa Penida, Nusa Ceningan, Nusa Lembongan, Serangan dan Menjangan.

Jumlah penduduk Bali Tahun 2002 sebesar 3.216.881 jiwa (Bali Membangun 2002). Luas lahan yang

potensial untuk tanaman jagung di Bali mencapai 36.142 hektar terdiri atas lahan sawah dan lahan kering.

Bangli merupakan pengembangan untuk usaha peternakan ayam.

Hasil PRA (Participatory Rural Apraisal) tahun 2003 menunjukkan bahwa minat petani menanam

jagung dan palawija lainnya cukup besar. Kendala yang menghambat adalah kesulitan mendapatkan benih,

pemasaran dan penanganan pasca panen (Arsana IGK D, dkk, 2003). Hasil uji multilokasi jagung QPM

yang dilaksanakan di Bangli TA. 2004 menunjukkan hasil 5 – 6 ton jagung pipilan kering/ha. Data hasil

pengkajian mempunyai kontribusi menyumbang data secara nasional untuk melepas jagung Srikandi Putih

dan Srikandi Kuning (Arsana IGK D, dkk, 2004).

Hasil pengkajian pemberian pakan jagung QPM terhadap ayam pedaging tahun 2004, secara nyata

dapat menghemat biaya pakan tanpa menyebabkan adanya pengaruh buruk terhadap penampilan dan

produksi ayam potong. Dari hasil analisis biaya pakan yang diberikan pada setiap perlakuan diketahui bahwa

penggantian pakan komersial dengan jagung srikandi kuning sampai 20% akan menghemat biaya pakan

sebesar Rp. 222,50 (7,42%) per kg pakan dibandingkan dengan pemberian pakan kmersial 100%, sedangkan

penggantian dengan 10% jagung serikandi putih maupun kuning akan menghemat biaya pakan sebesar

Rp. 102,50 (3,42%) per kg pakan (Wiguna., et al . 2004).

Introduksi varietas unggul baru jagung QPM Srikandi Putih dan Kuning pada lahan kering dataran

medium beriklim basah Bangli untuk skala usahatani

Metodologi Penelitian

Berdasarkan jenisnya termasuk penelitian pengembangan. Sedangkan berdasarkan percepatan

adopsi teknologi kegiatan ini termasuk on farm adaptive research. Lokasi pengkajian ditempatkan di tiga

kelompok tani yaitu: 1) kelompok ‖Sari Mekar II‖ dengan pelaksana di Desa Susut terdiri dari 17 orang

petani = 242 are; 2) subak Abian Pad-Padan 8 orang = 170 are dan; 3) kelompok tani ‖Tiing Desa‖13 petani

= 200 are jumlah keseluruhan adalah 612 are atau 6.12 Ha. Masing-masing berada di Desa Pengootan

kecamatan Susut, Kabupaten Bangli. Untuk mengevaluasi untung rugi masing-masing komponen teknologi

yang dikaji seperangkat analisis dipakai seperti: Analisis kelayakan finansial yang dipergunakan adalah Gros

B/C rasio.

Page 27: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

65

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lokasi pengkajian merupakan lahan kering beriklim basah, selama pertumbuhannya tanaman jagung

tidak mendapat pengairan. Waktu tanam akhir bulan Mei 2005 tanah masih dalam keadaan lembab namun

hal ini menyebabkan pertumbuhan awal tanaman jagung cukup baik. Walaupun telah diuji dibeberapa

tempat tanaman jagung Srikandi nampaknya belum menunjukkan kemampuan beradaptasi yang optimal.

Tanaman jagung Srikandi kurang tahan terhadap kekeringan. Untuk lahan kering Medium dataran sedang

Bangli, waktu tanam dan musim tanam sangat menentukan keberhasilan pertanaman. Karakteristik petani

kooperator dalam pelaksanaan pengkajian terutama dari segi umur memberikan gambaran yang menunjang

dalam pelaksanaan pengkajian, rata-rata berumur 40-50 tahun. Respon awal petani terhadap adanya

pelaksanaan usahatani jagung memberikan informasi bahwa petani takut menanam jagung karena sulit

pemasaran. Kemudian sulit penanganan pasca panen dan sisa tanaman jagung berupa batang jagung

merupakan kendala dalam pelaksanaan penanamn jagung. Namun setelah pelaksanaan petani ternyata mau

melaksanakan pertanaman jagung karena jagung dapat ditanam dan dipanen untuk pakan ternak berupa

hijauan.

Keragaan Tanaman dan Penerapan Teknologi

Keragaan tanaman serta produktivitas jagung selama pengkajian menunjukkan Produktivitas yang

sangat bervariasi hal ini disebabkan oleh faktor lingkungan yaitu musim tanam dan curah hujan, disamping

itu keadaan lahan petani sudah banyak yang ternaungi oleh tanaman besar seperti sengon sehingga

fotosintesis untuk tanaman jagung tidak optimal. Kebiasaan petani di Bangli menanam jagung dan palawija

lainnya yaitu bulan Maret. Merupakan satu-satunya kebiasaan untuk lahan kering di Bali yang mempunyai

kebiasaan tanam seperti itu. Biasanya kebiasaan petani menanam tanaman jagung maupunpalawija lainnya

adalah bulan-bulan awal musim hujan seperti bulan september akhir dan awal bulan Oktober. Petani

pelaksana baru pertama menanam jagung Srikandi Putih dan Srikandi Kuning. Selama pertanaman

sumberdaya alam kurang mendukung karena kekurangan air untuk pengairan pada saat tanaman jagung

memerlukan air pengairan. Dari seluruh jumlah petani pelaksana dilakukan sample pengamatan untuk

pertanaman masing masing yaitu di Kelompok ‖Sari Mekar II‖ sebanyak 4 orang, di Pad-padan sebanyak 3

orang dan di ‖Tiing Desa‖ sebanyak 3 orang.

Kelompok Sari Mekar II

Rata–rata umur berbunga jantan yaitu umur 55,3 hari setelah tanam (Hst) tanaman jagung Srikandi

Kuning pada kelompok tani ‖Sari Mekar II‖ (Tabel 1). Dengan kisaran 55-56 hst, Kelompok Tani ‖Sari

Mekar II‖ merupakan kelompok yang paling rendah letaknya. Rata-rata berbunga jantan yaitu pada umur

53,5 hst dengan kisaran 55–57 hari setelah tanam. Tinggi tanaman mencapai rata-rata 272,9 cm tinggi

tanaman jagung berkaitan dengan keadaan angin yang menyebabkan rebahnya tanaman. Sedangkan hasil

jagung pipilan kering per ha berkisar 2,6 t/ha sampai dengan 3,0 t/ha rata-rata 2,9 t/ha. Dibandingkan dengan

potensi hasil jagung Srikandi 6-7 t/ha.

Tabel 1. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, Biomas Pertanaman dan Hasil Ton/ha. Kelompok ‖Sari

Mekar II‖.

Ulangan/

Srikandi Kuning

Umur Berbunga Tinggi (Cm)

Tinggi

Tongkol (Cm)

Hasil

Ton/Ha

Biomas

(Gr/Phn) Jantan Betina

I

II III

IV

56

54 55

56

55

55 51

57

266,0

274,0 276,4

275,5

105,7

101,7 118,9

115,5

2,9

3,0 2,6

2,9

1056,4

1025,5 1043,1

1062,6

Jumlah 221 218 1091,9 441,8 11,4 4187,6

Rata-rata 55,3 54,5 272,9 110,5 2,9 1046,9

Pad – Padan

Untuk Kelompok tani Pad-padan, keadaan tanahnya berpasir sehingga sangat porius dan mudah

kekeringan. Untuk daerah ini nampaknya penggunaan pupuk kandang lebih cocok untuk pertanaman dari

pada mengunakan pupuk kimia saja. Tanaman yang menggunakan pupuk kandang nampak lebih sehat

pertumbuhannya dan pengisian biji nampak lebih bernas. Dan tanaman nampak lebih tahan kekeringan.

Untuk kedepan integrasi tanaman jagung dengan ternak mutlak dilakukan di daerah seperti ini. Supaya

tersedia pupuk kandang yang mencukupi sehingga faktor kesuburan tanah dapat dijaga. Umur tanaman

berbunga pada pengkajian di Pad- padan rata rata mencapai umur 55,3 hari (Tabel 2), sedangkan untuk

berbunga betina mencapai umur rata-rata 56,7 hari setelah tanam. Sedangkan tingi tonaman mencapai 273,4

Page 28: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

66

cm. Tinggi tongkol mencapai 108,8 cm. Produksi berupa jagung pipilan kering kalau dikompersikan ke

hektar dapat mencapai rata-rata 4,1 ton/ha. Sedangkan Biomas jagung dapat mencapai rata-rata 1014,6

gram/pohon pada saat umur 75 HST. Selama pertumbuhannya jagung di Pad-padan hampir tidak pernah

turun hujan, sehingga tanaman tidak perah mendapat air

Tabel 2. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, Biomas pertanaman dan Hasil ton/ha. Kelompok Pad-Padan.

Ulangan/

Srikandi Kuning

Umur Berbunga Tinggi (Cm)

Tinggi

Tongkol (Cm)

Hasil

Ton/Ha

Biomas

(Gr/Phn) Jantan Betina

I II

III

55 56

55

57 57

56

270 274

274

103,4 102,7

120,3

2,3 2,7

2,7

1000,3 1000,4

1043,1

Jumlah 166 170 821 326,4 7,7 3043,8

Rata-rata 55,3 56,7 273,4 108,8 2,6 1014,6

Tiing Desa

Daerah ‖Tiing Desa‖ hampir sama dengan Pad-Padan keadaan topografi. Tanah agak berpasir,

sehinga tanaman agak kurus pertumbuhannya karena kekurangan air. Umur berbunga rata-rata mencapai

umur 52,3 hari setelah tumbuh (Tabel 3). Umur berbunga betina mencapai 55,0 hari setelah tanam. Tinggi

tanaman mencapai 268,0 cm, tinggi tongkol mencapai rata-rata 106.8 cm. Rata – rata hasil mencapai 3,5 ton

pipilan kering /ha.

Tabel 3. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, Biomas tanaman dan Hasil ton/ha. di ―Tiing Desa‖.

Ulangan/ Srikandi

Kuning

Umur Berbunga Tinggi

(Cm)

Tinggi

Tongkol (Cm)

Hasil

Ton/Ha

Biomas

(Gr/Phn) Jantan Betina

I

II

III

51

52

54

55

56

54

265

274

265

102,5

102,7

115,2

2,4

2,6

2,5

989,8

1000,4

975,8

Jumlah 157 165 804 320,4 7,5 2966

Rata-rata 52,3 55,0 268,0 106,8 2,5 988,7

Analisa Usahatani

Tinjauan pendapatan petani dilakukan dengan menghitung biaya dan pendapatan usahatani

(Adnyana, dkk.1995). Jagung Srikandi-Kuning dan Srikandi-Putih mempunyai nilai harga yang sama

ditingkat lapangan begitu pula dengan harga jagung lainnya karena petani maupun pedagang belum dapat

membedakan jagung Srikandi atau jagung lainnya secara kasat mata. Kedepan perlu disosialisasikan

kelebihan kandungan protein jagung Srikandi, sehingga walaupun hasil jagung rendah peternak mau

menghargai lebih tinggi dibandingkan dengan jagung biasa. Analisis usahatani untuk kelompok ―Sari Mekar

II‖ petani rata-rata mendapat keuntungan ditunjukkan B/C ratio dimana keuntungan dibagi biaya menjadi

1.65, seperti disajikan pada Tabel 4.

Petani pelaksana pengkajian rata rata mendapat keuntungan mencapai 65% dari modal. Petani di

kelompok tani ―Sari Mekar II‖ yang penting mulai tertarik menanam palawija yang lebih menjajnjikan dan

mudah menjualnya. Apabila semua komponen biaya usahatani dimasukkkan kedalam faktor yang

mempengaruhi produksi petani akan mendapat keuntungan yang rendah, namun dipedasaan semangat

berkelompok terus dibina untuk melaksanakan berusahatani bersama-sama sehingga banyak biaya yang dapat

dihemat, seperti tanam bersama ‖Meseka‖. Hasil pengkajian masih tergolong rendah di bandingkan hasil

hasil pengkajian yang dilaksanakan dikebun – kebun percobaan Balitser, hal ini diduga oleh rendahnya

populasi tanaman, kesesuaian lahan perlu beradaptasi. Seperti produktivitas jagung di tingkat petani masih

rendah, yaitu sekitar 3,2 t/ha, di banding dengan potensi varietas untuk jagung bersari bebas 8 t/ha dan jagung

hibrida dapat mencapai 11 t/ha. Salah satu penyebab rendahnya produktivtas jagung ditingkat petani adalah

karena penggunaan benih yang kurang bermutu. Rendahnya daya tumbuh benih di lapang diatasi dengan

penyulaman, akan tetapi hal ini akan berimplikasi terhadap kebutuhan benih yang meningkat, disamping itu

tanaman yang tumbuh dari penyuluman tidak lebih baik dari tanaman yang tumbuh sebelumnya. Sedangkan

jika kecepatan tumbuh benih lambat, maka tanaman akan kalah bersaing dengan gulma yang tumbuh lebih

awal. Pada pengkajian ini telah menggunakan benih yang bermutu namun produksi belum dapat mendekati

potensi hasil. Hal ini disebabkan faktor lingkungan yang tidak optimal pada saat pengkajian dilaksanakan.

Untuk kelompok tani Pad-padan keadaan lahan pertanian cukup baik untuk pengembangan jagung karena

petakannya luas-luas. B/C ratio mencapai 1,92 (Tabel 5).

Page 29: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

67

Tabel 4. Analisa Usahatani Jagung Srikandi Jagung QPM Kelompok ―Sari Mekar II‖

Variabel Kg, HOK Rp. Rp/Ha

Pendapatan

Jagung Pipilan Kering 2.900 Kg 2.500 7.250.000

Kelobot jagung 1.250.000

8.500.000

Biaya

Sarana Produksi

Benih 25 Kg 10.000 250.000

Urea 250 Kg 1.250 312.500

TSP 100 Kg 2.000 200.000

KCl 100 Kg 2.000 200.000

Pupuk Organik 5 Truk 150.000 750.000

1.712.500

Tenaga Kerja

Pengolahan tanah

Pria 25 HOK 30.000 750.000

Angkut pupuk kandang 200.000

Tanam 10 HOK 20.000 200.000

Pembumbunan 400.000

1.550.000

Panen/Pasca panen

Panen 800.000

Pengangkutan 20.000 100.000

Mipil 50 HOK 20.000 1.000.000

1.900.000

Total Biaya 5.162.500

Keuntungan 3.337.500

B/C Ratio 1,65

Keterangan : HOK = Hari Orang Kerja

Tabel 5. Analisa Usahatani Jagung Srikandi di Pad-Padan Pengkajian Sistim Usahatani.

Variabel Kg, HOK Rp. Rp/Ha

Pendapatan

Jagung Pipilan Kering 2.500 Kg 2.000 5.000.000

Biaya Sarana Produksi

Benih 25 Kg 10.000 250.000

Urea 200 Kg 1.250 250.000

TSP 100 Kg 1.700 170.000

KCl 50 Kg 1.800 90.000

760.000

Tenaga Kerja

Pengolahan tanah

Pria 15 HOK 30.000 450.000

Pemeliharaan

Pria 20 HOK 30.000 600.000

Panen/Pasca panen

Pria 10 HOK 30.000 300.000

Wanita 10 HOK 20.000 200.000

Pemipilan 300.000

800.000

Total Biaya 2.610.000

Keuntungan 2.390.000

B/C Ratio 1,92

Keterangan : HOK = Hari Orang Kerja

Kelompok tani ‖Tiing Desa‖ merupakan petani kelompok petani kecil keadaan serba terbatas,

kelompok tani ini juga termsukkelomok petani kecil. Sumber penghidupan petani selain bertani juga

membuat kerajinan keranjang dan bedeg, namun akhir-akhir ini pemasaran menjadi kendala dalam

berproduksi sehingga petani nampak lebih banyak kesektor pertanian. Hasil pengkajian di ‖Tiing Desa‖

nampak belum maksimal karena pada waktu berperoduksi anaman nampak kekurangan air sehingga tidak

Page 30: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

68

optimal pertumbuhannya. Tanaman jagung QPM nampak kurang tahan hidupnya kalau kekurangan air

selama hidupnya. Walaupun keadaan seperti itu usahatani jagung masih mampu berproduksi 2.600 kg /ha

jagung pipilan kering. Nampak B/C mencapai 1,79 artinya modal petani masih dapat kembali. (Tabel 6).

Untuk daerah ‖Tiing Desa‖ dalam berusahatani jagung nampak biaya yang paling tinggi adalah dari

komponen pasca panen yaitu pemipilan sama dengan di Pad-Padan, kedepan petani perlu difasilitasi mesin

pemipil yang sederhana dana mesin pemotong batang jagung.

Tabel 6. Analisa Usahatani Jagung Srikandi Kelompok ‖Tiing Desa‖

Variabel Kg, HOK Rp. Rp/Ha

Pendapatan

Jagung Pipilan Kering 2.600 Kg 2.000 5.200.000

Biaya

Sarana Produksi

Benih 25 Kg 10.000 250.000

Urea 200 Kg 1.250 250.000

TSP 100 Kg 1.700 170.000

KCL 50 Kg 1.800 90.000

Tenaga Kerja 760.000

Pengolahan tanah

Pria 15 HOK 30.000 450.000

Wanita 10 HOK 20.000 200.000

Pemeliharaan 650.000

Pria 20 HOK 30.000 600.000

Wanita 20 HOK 20.000 400.000

Panen/Pasca panen 1.000.000

Pria 10 HOK 30.000 300.000

Wanita 10 HOK 20.000 200.000

500.000

Total Biaya 2.910.000

Keuntungan 2.290.000

B/C Ratio 1,79

Keterangan : HOK = Hari Orang Kerja

KESIMPULAN

Tanaman belum menunjukkan hasil yang optimal karena selama pertumbuhannya tanaman tidak

mendapatkan hujan. Tanaman termasuk dilaksanakan diluar musim tanam, namun masih menguntungkan.

Pertanaman yang dilaksanakan di kelompok tani ‖Sari Mekar II‖. Jagung QPM–Srikandi Kuning mampu

berproduksi 2,9 ton/ha. dengan B/C Ratio 1,65. setelah di kurangi biaya produksi petani masih mampu

mendapatkan keuntungan Rp. 3.337.500/ha. Di kelompok tani Pad-Padan petani mendapatkan keuntungan

Rp. 2.390.000,- dengan B/C Ratio 1,92. lebih tinggi dibandingkan di kelompok ‖Sari Mekar II‖. Sedangkan

di kelompok ―Tiing Desa‖ petani mendapatkan keuntungan sebesar Rp. 2.290.000,- dengan B/C Ratio

sebesar 1,79.

DAFTAR PUSTAKA

Adnyana, M.O. dan K. Kariyasa (1995). Model Keuntungan Kompetitif Sebagai Alat Analisis dalam

Memilih Komoditas Pertanian Unggulan. Informatika Pertanian Vol.5 No.2 Desember 1995. Pusat

Penyiapan Program Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Jakarta

Arsana IGK D, dkk 2003. Laporan Hasil Pengkajian Optimalisasi Lahan Dataram Medium Ber Iklim Basah

Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi pertanian Bali 2003.

Arsana IGK D, dkk 2004. Laporan Hasil Pengkajian Multilokasi jagung QPM dan Kacang tanah di lahan

datarn Medium Ber Iklim Basah Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi pertanian Bali

2004. AAK. 1996. Beternak Ayam Pedaging, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Bali Membangun 2002. Data Bali Membangun 2002. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Page 31: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

69

PENGHEMATAN PUPUK NITROGEN MENGGUNAKAN BWD DAN PUPUK KANDANG PADA

PADI SAWAH TADAH HUJAN

Rina D. Ningsih dan Aidi Noor

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

ABSTRAK

Dalam upaya meningkatkan produksi padi mengakibatkan semakin meningkatnya penggunaan pupuk, oleh

karena itu perlu dilakukan upaya-upaya untuk mengurangi penggunaan pupuk tanpa menurunkan produksi padi. Penggunaan bagan warna daun (BWD) dan pemberian kotoran sapi merupakan salah satu cara untuk menghemat pupuk

nitrogen dan memperbaiki lingkungan tanaman dalam hal ini tanah sebagai tempat tumbuhnya. Tujuan penelitian adalah

untuk mengetahui pengaruh pemberian kotoran sapi dan pemupukan N menggunakan BWD terhadap produksi padi

sawah tadah hujan. Penelitian dilakukan pada musim hujan 2005/2006 (Desember 2005- April 2006) pada lahan sawah tadah hujan di KP. Pleihari, Kabupaten Tanah Laut. Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu pemupukan dan varietas, yang

disusun dengan Rancangan Acak Kelompok, diulang tiga kali. Pemupukan ada 4 macam yaitu : 1. N-petani, pemberian

pupuk nitrogen dengan dosis sesuai kebiasaan petani; 2. Pemberian pupuk N berdasarkan pengamatan menggunakan

BWD; 3. N-petani + kotoran sapi (2 ton/ha); 4. BWD + kotoran sapi (2 ton/ha). Varietas terdiri dari 3 macam yaitu: IR.66, IR.64 dan Cisokan. Pemberian pupuk P dan K ditentukan dengan menggunakan alat Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS).

Lahan penelitian mempunyai kandungan P dan K yang rendah sehingga dosis pupuk P dan K yang diberikan masing-

masing adalah 100 kg SP-36/ha dan 100 kg KCl/ha. Hasil penelitian menunjukkan penggunaan BWD dapat menghemat

pupuk N. Hasil padi antara perlakuan pemberian N dosis petani (5.39 t/ha) dengan pemberian sesuai pembacaan BWD (5.71 t/ha) tidak berbeda nyata, padahal N yang diberikan lebih sedikit. Pemberian kotoran sapi dengan dosis 2 ton/ha

dapat mengurangi penggunaan pupuk N hingga 50% tanpa mengurangi hasil padi.

Kata kunci : bagan warna daun (BWD), kotoran sapi, padi, sawah tadah hujan

PENDAHULUAN

Lahan sawah tadah hujan di Kalimantan Selatan seluas 163.258, merupakan salah satu potensi

sebagai sumber produksi padi, namun demikian hasil padi di lahan sawah tadah hujan ini umumnya masih

rendah yaitu rata-rata baru mencapai hasil sekitar 3,5 t/ha (Diperta Kal-Sel, 2004). Rendahnya hasil padi ini

disebabkan adanya kendala biofsik lahan seperti rendahnya kesuburan tanah, gangguan hama penyakit, dan

belum optimalnya input produksi yang diberikan oleh petani, yang berakibat rendahnya juga produktivitas

dan pendapatan petani. Salah satu upaya yang dapat dilakukan untuk meningkatkan produktivitas dan

pendapatan petani adalah dengan meningkatkan efesiensi faktor produksi antara lain dengan melakukan

rasionalisasi penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan pestisida (Fagi et al. 1990, Makarim et al. 1995).

Kebutuhan dan efisiensi pemupukan ditentukan oleh faktor yang saling berkaitan antara

ketersediaan hara dalam tanah (termasuk air irigasi dan sumber lainnya) dengan kebutuhan hara tanaman.

Pemupukan yang kurang dari keperluan tanaman akan menjadikan tidak optimalnya produksi. Kelebihan

pemupukan juga berarti pemborosan, yang dapat menyebabkan tanaman rentan terhadap serangan hama dan

penyakit, dan dalam jangka lama dapat menyebabkan terjadinya pencemaran lingkungan, seperti polusi nitrat

dalam air minum yang tercemar.

Nitrogen sebagai penyusun asam-asam amino, asam-asam nukleat, nukleotida dan khlorofil, sangat

berpengaruh untuk mempercepat pertumbuhan tanaman (tinggi dan jumlah anakan), menambah luas daun

dan tajuk tanaman, jumlah gabah per malai dan kandungan protein pada gabah. Hara N juga berpengaruh

terhadap semua parameter yang berhubungan dengan hasil (Makarim, et al. 2003).

Sebagai unsur hara yang mobil, nitrogen mudah larut juga mudah hilang dalam tanah bila tidak

segera diserap oleh tanaman. Pemberian N yang tepat adalah saat tanaman memerlukannya, ini dapat dilihat

dari perubahan warna daun karena merupakan bagian tanaman yang paling mudah dilihat bila tanaman

kekurangan N. Bagan Warna Daun (BWD) merupakan alat yang berfungsi untuk mengukur tingkat kehijauan

daun tanaman padi guna mengetahui kapan seharusnya tanaman diberi pupuk nitrogen.

Pada lahan-lahan marginal seperti di Kalimantan Selatan yang miskin bahan organik dan kesuburan

yang rendah, sangat diperlukan tambahan bahan organik agar produksi padi menjadi optimal dan

berkelanjutan.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pemberian kotoran sapi dan dan pemupukan N

menggunakan Bagan Warna Daun (BWD) terhadap produksi beberapa varietas padi sawah tadah hujan.

Page 32: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

70

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada Desember 2005 sampai dengan April 2006 (musim hujan 2005/2006),

di KP. Pleihari Kabupaten Tanah laut. Perlakuan terdiri dari 2 faktor yaitu pemupukan dan varietas, dan

disusun dengan Rancangan Acak Kelompok, diulang tiga kali. Pemupukan ada 4 macam yaitu: (1) N-petani,

pemberian pupuk nitrogen dengan dosis sesuai kebiasaan petani yaitu 200 kg/ha diberikan 2x, saat tanam

(100 kg/ha) dan umur 4 MST (100 kg/ha), (2) Pemberian pupuk N berdasarkan pengamatan menggunakan

BWD, dengan dosis awal saat tanam 100 kg/ha, (3) N-petani + kotoran sapi (2 ton/ha), (4) BWD + kotoran

sapi (2 ton/ha). Varietas terdiri dari 3 macam yaitu: IR.66, IR.64 dan Cisokan. Pemberian pupuk P dan K

sekaligus saat tanam dengan dosis yang ditentukan berdasarkan alat Perangkat Uji Tanah Sawah (PUTS).

Berdasarkan pengukuran menggunakan PUTS, lahan penelitian mempunyai kandungan P dan K

yang rendah sehingga dosis pupuk P dan K yang diberikan masing-masing adalah 100 kg SP-36/ha dan 100

kg KCl/ha. Sedangkan kadar N dalam tanah berstatus sedang dan tekstur tanah mengandung pasir lebih dari

20%, berdasarkan PUTS diperlukan pemberian pupuk urea dengan dosis 200 kg/ha. Untuk pemberian pertama (3

hari setelah tanam) semua perlakuan diberi urea 100 kg/ha. Pemberian selanjutnya ditetapkan berdasarkan

perlakuan. Kotoran sapi diberikan saat pengolahan tanah kedua sekitar 1 minggu sebelum tanam. Padi umur

semai 25 hari ditanam dengan sistem jajar legowo (3 : 1), 2-3 rumpun/lubang.

Penggunaan BWD: setelah pemupukan pertama 100 kg/ha (3 hst), pengukuran BWD dilakukan

pada 17 hari setelah pemupukan pertama dan diulang setiap 7 hari sampai fase primordia. Pengukuran

dilakukan secara acak pada 10 rumpun tanaman sehat di hamparan yang seragam, dipilih daun teratas yang

telah membuka penuh pada satu rumpun. Warna daun dicocokkan dengan BWD. Jika lebih 5 dari 10 daun

yang diamati warnanya dalam batas kritis ( di bawah skala 4,0) diberikan pupuk sebanyak 100 kg/ha. Setelah

15 hari pemberian N susulan, pembacaan BWD dilakukan lagi sampai tanaman mengeluarkan malai.

Perlakuan N-petani, urea diberikan dengan dosis 250 kg/ha dengan 2 kali pemberian. Pemberian

pertama 100 kg/ha pada umur 3 hst dan pemberian kedua 100 kg/ha pada umur 1 bulan setelah tanam.

Perlakuan N-BWD, pemberian urea pertama 100 kg/ha pada umur 3 hst. Bila pembacaan skala BWD harus

ditambah urea, maka diberikan urea 75 kg/ha.

Pemeliharaan berupa penyiangan gulma dilakukan 2 kali yaitu pada umur 4 MST dan 7 MST.

Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai rekomendasi yang berlaku. Untuk mengetahui pengaruh

perlakuan dilakukan pengamatan terhadap: tinggi tanaman, jumlah anakan produktif per rumpun, panjang malai

dan hasil yang diambil dari ubinan 2,5m x 2,5m.

Kondisi Tanah Penelitian dan Kandungan Hara Kotoran Sapi

Hasil analisa kimia tanah pada Tabel 1 menunjukkan tanah lokasi penelitian tergolong sangat

masam dengan kesuburan tanah yang rendah, dimana kandungan bahan organik, unsur hara N, P, K, Ca dan

Mg yang rendah dan tekstur tanah lempung berpasir, serta kandungan Fe yang tergolong sedang.

Tabel 1. Karakteristik Tanah Percobaan di Pelaihari dan Kandungan Hara Kotoran Sapi

Jenis analisa Tanah Kotoran Sapi *)

Kadar Kriteria Kadar

pH (H2O) 5,04 M

C Organik 0,97 % SR 10,08 %

N total 0,12 % R 0,92 %

C/N 8,08 10,98 %

P Bray I 3,13 mg kg-1

P2O5 SR

P total 8,94 mg 100g-1

P2O5 SR 0,23 %

Susunan kation :

Ca 2,84 cmol kg-1

R 0,38 %

Mg 0,20 cmol kg-1

R 0,38 %

K 0,05 cmol kg-1

SR 1,03 %

Na 0,54 cmol kg-1

R

KTK 7,5 cmol kg-1

SR

Al-dd 0,45 cmol kg-1

-

Fe 99,97 ppm S

Tekstur : Lempung Berpasir

Pasir 54,36 %

Debu 36,10 %

Liat 9,54 %

Sumber : *) Noor dan Ningsih (1998).

Page 33: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

71

Tanah dengan tekstur lempung berpasir dan kandungan bahan organik yang rendah menunjukkan

kemampuan tanah menyediakan hara bagi tanaman juga rendah (KTK 7,5 cmol kg-1

). Untuk pertanaman,

tanah yang demikian sangat memerlukan penambahan unsur hara dan bahan organik.

Selain mengandung C-organik yang berfungsi menggemburkan struktur tanah, meningkatkan

kapasitas tukar kation, meningkatkan daya pegang air tanah, kotoran sapi juga mengandung unsur hara N. P,

K, Ca dan Mg yang dapat diserap oleh tanaman (Tabel 1).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pembacaan BWD

Pembacaan skala pada BWD pertama kali pada 17 hari setelah pemberian urea yang pertama

dilanjutkan setiap 7 hari, pada 10 daun dari rumpun yang berbeda dapat dilihat pada Tabel 2. Pada perlakuan

pemberian kotoran sapi, pembacaan skala BWD rata-rata dari pertama sampai akhir pengamatan berkisar dari

3,6 sampai 4,2, masih diatas skala kritis artinya tanaman belum kekurangan N. Sedangkan yang tanpa

kotoran sapi pada pembacaan III (28 hst) menunjukkan rata-rata skala 3,0 artinya tanaman perlu tambahan

pupuk N. Ini menunjukkan bahwa pemberian kotoran sapi membuat terutama hara N tetap tersedia bagi

tanaman.

Tabel 2. Pengamatan BWD pada Perlakukan Pemupukan dan Varietas pada MH. 2005/06.

Perlakuan Pengamatan Skala BWD

Pemupukan varietas I

(14 hst)

II

(21 hst)

III

(28 hst)

IV

(35 hst)

V

(42 hst)

VI

(49 hst)

1. N-petani IR-64 3,6 4,0 3,2 4,0 4,2 4,0

IR-66 3,6 3,8 3,0 4,0 4,2 4,2

Cisokan 4,2 3,6 3,0 4,0 4,4 4,0

2. BWD IR-64 3,6 4,0 3,2 3,8 3,6 3,6

IR-66 4,2 3,8 3,4 3,8 4,0 4,0

Cisokan 4,0 3,6 3,2 4,0 3,6 3,8

3. N-petani + ppk kdg IR-64 4,4 3,8 3,8 4,0 4,0 3,8

IR-66 4,0 4,0 3,6 4,0 4,2 4,2

Cisokan 4,8 4,0 3,8 4,0 4,4 4,2

4. BWD+ ppk kdg IR-64 4,0 4,0 4,0 3,8 4,0 3,8

IR-66 4,0 4,0 4,0 4,0 3,8 3,8

Cisokan 4,0 4,0 3,6 4,0 3,8 3,6

Varietas yang peka terhadap kekurangan dan pemberian unsur hara N adalah varietas Cisokan.

Ditunjukkan dari rata-rata pembacaan skala BWD (perlakuan tanpa kotoran sapi) pada pengamatan kedua

varietas Cisokan cenderung lebih rendah dan setelah diberi tambahan N pembacaan skala BWD pada varietas

Cisokan relatif lebih tinggi daripada IR-64 dan IR-66.

Pada tanah dengan kandungan N dan bahan organik rendah, pemberian urea 100 kg/ha diawal

pertanaman cukup untuk memenuhi kebutuhan tanaman selama 4 minggu, setelah itu diperlukan pemberian

N kembali. Pada Tabel 2 terlihat, dari pembacaan skala BWD pada pengamatan ke III mencapai skala rata-

rata 3. Penggunaan BWD memberikan hasil yang lebih baik bila dikombinasikan dengan pemberian

kotoran sapi, karena ternyata berdasarkan pembacaan BWD keperluan tanaman akan N dapat dipenuhi

hingga akhir pertanaman dengan pemberian kotoran sapi 2 t/ha dan urea 100 kg/ha. Hal ini berarti dapat

menghemat biaya untuk membeli pupuk N juga menghemat tenaga kerja untuk memupuk.

Pertumbuhan dan Hasil Tanaman

Perlakuan varietas berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah anakan per rumpun, dan hasil

tanaman,. Perlakuan pemupukan berpengaruh terhadap jumlah anakan dan hasil tanaman, sedangkan panjang

malai tidak dipengaruhi oleh perlakukan pemupukan maupun varietas. Tinggi tanaman dan panjang malai

sangat dipengaruhi oleh genetika tanaman, walaupun kesuburan tanah juga berpengaruh. Sedangkan interaksi

pemupukan dan varietas tidak berpengaruh terhadap hasil tanaman (Tabel 3, 4, 5 dan 6).

Rata-rata tinggi tanaman varietas Cisokan (97 cm) lebih tinggi dibandingkan varietas IR 66 (84,54

cm) dan IR.64 (83,98 cm), perlakuan pemupukan tidak menunjukan perbedaan (Tabel 3).

Page 34: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

72

Tabel 3. Tinggi Tanaman (cm) Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari Kalimantan Selatan, MH.

2005/06.

Pemupukan Varietas

Rerata IR 66 IR 64 Cisokan

1. N-petani 83,83 83,87 97,00 88,23

2. N-BWD 84,73 84,37 94,77 87,96

3. N-petani+ ppk kdg 85,93 83,60 97,13 88,89

4. N-BWD+ ppk kdg 83,67 84,10 99,10 88,96

Rerata 84,54a 83,98a 97,00b

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada

taraf 0.05.

Table 4. Panjang Malai (cm) Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari Kalimantan Selatan, MH. 2005/06.

Pemupukan Varietas

Rerata IR 66 IR 64 Cisokan

1. N-petani 21,70 21,50 21,93 21,73

2. N-BWD 22,60 22,37 22,50 22,49

3. N-petani+ ppk kdg 21,80 22,87 23,53 22,73

4. N-BWD+ ppk kdg 21,90 22,93 23,33 22,72

Rerata 22,02 22,42 22,83

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada

taraf 0.05.

Tabel 5. Jumlah Anakan Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari, Kalimantan Selatan, MH. 2005/06.

Pemupukan Varietas

Rerata IR 66 IR 64 Cisokan

1. N-petani 15,23 15,23 15,63 15,37b

2. N-BWD 14,80 13,90 15,87 14,86b

3. N-petani+ ppk kdg 15,03 16,67 18,73 16,81ab

4. N-BWD+ ppk kdg 15,33 17,67 20,30 17,77a

Rerata 15,10b 15,87b 17,63a 16,20

Keterangan: Angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada

taraf 0.05.

Jumlah anakan varietas IR 64 (15,10) tidak berbeda dengan IR 66 (15,87) tapi berbeda nyata dengan

varietas Cisokan (17,63) (Tabel 5). Rata-rata varietas Cisokan mempunyai jumlah anakan yang lebih banyak

dibandingkan varietas lainnya, hal ini diperkirakan berhubungan dengan tanggap suatu varietas terhadap

pemupukan N. dan pemberian pupuk kandang. Hal ini menunjukkan pemupukan N dan pupuk kandang yang

diberikan mampu dimanfaatkan secara optimal oleh varietas Cisokan untuk pertumbuhan vegetatifnya

dengan membentuk anakan yang lebih banyak.

Tabel 6. Hasil Padi (t/ha) Pada Perlakuan Pemupukan dan Varietas, KP. Pelaihari, Kalimantan Selatan, MH. 2005/06.

Pemupukan Varietas Rerata

IR 66 IR 64 Cisokan

1. N-petani 4,97 5,43 5,73 5,38c

2. N-BWD 5,27 5,73 6,07 5,69bc

3. N-petani+ ppk kdg 5,43 6,07 6,40 5,97ab

4. N-BWD+ ppk kdg 5,43 6,23 6,70 6,12a

Rerata 5,27c 5,87b 6,22a 5,79

Keterangan: Angka yang diikuti huruf kecil yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata menurut uji DMRT pada taraf 0.05.

Pemberian kotoran sapi nyata mempengaruhi pertumbuhan tanaman terlihat dengan meningkatnya

jumlah anakan per rumpun. Hal ini disebabkan kotoran sapi dapat memperbaiki lingkungan pertumbuhan

tanaman. Struktur tanah menjadi lebih gembur, kapasitas tukar kation dan kemampuan menahan air

meningkat sehingga pupuk yang diberikan tidak mudah larut, dapat bertahan di tanah dan dapat diserap

tanaman pada saat diperlukan. Selain itu juga karena kotoran sapi mengandung unsur hara yang diperlukan

tanaman (Tabel 1).

Page 35: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

73

Pada perlakuan tanpa kotoran sapi, perlakuan N-petani (200 kg/ha) memberikan hasil yang sama

dengan perlakuan BWD (175 kg/ha) (Tabel 6), padahal pupuk yang digunakan pada perlakuan BWD lebih

sedikit. Ini menunjukkan bahwa penggunaan BWD dapat menghemat urea sebanyak 12,5% tanpa

mengurangi hasil padi. Hal ini disebabkan karena urea diberikan dalam waktu yang tepat pada saat tanaman

kekurangan dan memerlukan unsur hara N, sehingga N yang tersedia langsung diserap tanaman.

Perlakuan N-petani dengan dosis urea yang lebih banyak memberikan hasil (5,38 t/ha) yang tidak

berbeda dengan perlakuan BWD yang dosis ureanya lebih sedikit (5,69 t/ha). Hasil padi antara perlakuan N-

petani dengan perlakuan BWD+kotoran sapi berbeda nyata, perlakuan BWD + kotoran sapi memberikan

hasil yang lebih tinggi (6,12 t/ha) daripada N-petani (5,38 t/ha). Urea yang diberikan pada perlakuan

kebiasaaan petani lebih banyak pada perlakuan tanpa kotoran sapi. Dengan pemberian kotoran sapi dapat

menghemat urea hingga 50%, dan mengurangi tenaga kerja untuk memupuk karena tidak ada pemupukan

susulan.

Analisa kontras orthogonal antara perlakuan tanpa kotoran sapi dengan pemberian kotoran sapi

(perlakuan pemupukan 1,2 dengan 3,4) menunjukkan hasil tanaman yang diberi kotoran sapi (6,04 t/ha) lebih

tinggi dari pada yang tanpa kotoran sapi (5,53 t/ha).

Pemberian pupuk kandang dapat memperbaiki kondisi lingkungan pertumbuhan tanaman yang pada

akhirnya mampu meningkatkan hasil padi. Bahan organik selain dapat memperbaiki sifat fisik dan kimia

tanah, juga dapat meningkatkan jumlah dan aktivitas mikroorganisme tanah (Hsieh dan Hsieh, 1990; Boggs

et al., 2000). Perombakan bahan organik akan menyumbangkan unsur hara yang dikandungnya untuk

tanaman. Hasil penelitian Noor dan Ningsih (1998) menunjukkan pupuk kandang kotoran sapi mempunyai

kadar N 0,92%, P 0,23%, K 1,03%, Ca 0,38%, Mg 0,38% (Table 1) yang akan dapat dimanfaatkan oleh

tanaman kalau sudah terurai. Peningkatan hasil padi dengan pemberian pupuk kandang bukan saja karena

pupuk kandang merupakan sumber hara N dan juga unsur hara lainnya untuk pertumbuhan padi, selain itu

pupuk kandang juga berfungsi dalam meningkatkan daya pegang tanah terhadap pupuk yang diberikan dan

meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK) tanah (Karama, 1990). Aso dan Moriyama (dalam Kumazawa,

1984) mendemonstrasikan bahwa substansi humik dari bahan organik dapat merangsang pertumbuhan akar-

akar rambut dan daya memanjang akar yang penting dalam meningkatkan daya serap akar terhadap hara.

Pemberian bahan organik pupuk kandang selain meningkatkan kapasitas tukar kation juga dapat

meningkatkan kemampuan tanah menahan air, sehingga unsur hara yang ada dalam tanah maupun yang

ditambahkan dari luar tidak mudah larut dan hilang, unsur hara tersebut tersedia bagi tanaman. Pada tanah

yang kandungan pasirnya lebih dari 30% dan kandungan bahan organiknya tergolong rendah dan sangat

memerlukan pemberian bahan organik untuk meningkatkan produksi dan mengefesiensikan pemupukan.

Pemberian bahan organik pupuk kandang selain menyumbangkan unsur hara yang dikandungnya,

tetapi juga dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara lain di dalam tanah. Pemberian pupuk kandang selain

dapat menghemat penggunan pupuk N, tetapi juga dapat mengurangi penggunaan pupuk P dan K serta

meningkatkan hasil padi. Menurut Havlin et al. (1999) pemberian bahan organik pada tanah dapat

meningkatkan ketersediaan P untuk tanaman, karena bahan organik di dalam tanah berperan dalam hal (1)

pembentukan kompleks organofosfat yang mudah diassimilasi oleh tanaman, (2) penggantian anion H2PO4-

pada tapak jerapan, 3) penyelimutan oksida Fe/Al oleh humus yang membentuk lapisan pelindung dan

mengurangi penjerapan P, (4) meningkatkan jumlah P organik yang dimineralisasi menjadi P anorganik.

Hasil penelitian Sarwani et al (!995) di lahan sawah tadah hujan di Desa Pampain, Kalimantan

Selatan menunjukkan pemberian bahan organik dengan dosis 5,0 t/ha dari jerami padi, kompos jerami padi,

kotoran sapi, kotoran ayam dan sesabania sp mampu meningkatkan hasil padi berturut-turut 3,93 t/ha, 4,10

t/ha, 3,84 t/ha, 5,68 t/ha, dan 4,11 t/ha dibandingkan tanpa bahan organik 3,02 t/ha. Hasil penelitiannya juga

menunjukkan pemberian bahan organik dapat mengurangi penggunaan pupuk K sampai 50 kg K/ha.

KESIMPULAN

1. Penggunaan bagan warna daun dapat menghemat pupuk nitrogen hingga 12,5% dari dosis yang biasa

digunakan petani tanpa mengurangi hasil padi.

2. Pemakaian bahan organik pupuk kandang 2 t/ha memberikan hasil lebih tinggi 13,8% dari pada tanpa

pupuk kandang, dan dapat menghemat pupuk nitrogen sebanyak 50%.

3. Masa-masa diperlukannya pemakaian bagan warna daun adalah pada umur 28 hst sampai 50 hst (4 kali

pengukuran dengan selang 7 hari)

Page 36: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

74

DAFTAR PUSTAKA

Boggs, L.C., A.C. Kennedy, and I.P. Reganold. 2000. Organic and biodynamic management : Effect on

Soil Biology. Soil Sci. Soc. Am. J. 64 : 1651-1659.

Dinas Pertanian Kalimantan Selatan. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian propinsi Kalimantan Selatan

2004. Banjarbaru.

Fagi, A.M., A.K. Makarim, dan M.O. Adnyana. 1990. Efesiensi pupuk pada tanaman pangan. Prosiding

Lokakarya Nasional Efesiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 12-13 November 1990. p.145-155.

Havlin, J.L., J.D. Beaton, S.L. Tisdale and W.L. Nelson. 1999. Soil Fertility and Fertilizer. Sixth Ed.

Prentice-Hall, Inc. New Jersey. 499 pp.

Hsieh, S.C. and C. F. Hsieh. 1990. The use of organic matter in crop production. Paper Presented at Seminar

on ― The Use of Organic Fertilizer in Crop Production ― at Soweon, South Korea, 18-24 June 1990.

Karama A.S. 1990. Penggunaan pupuk dalam produksi pertanian. Makalah disampaikan pada Seminar

Puslitbang Tanaman Pangan, 4 Agustus 1999 di Bogor.

Kumazawa K, 1984. Beneficial effect of organic matter on growth and yield in Japan. In. IRRI. Organic

Matter and Rice. p: 431-444. Intern. Rice Res. Inst., Los Banos, Philippines.

Makarim, A.K., Ponimin PW, R. Sismiyati, Sutoro, O.Sudarma dan A. Hidayat. 1995. Perbaikan efesiensi

dan efikasi pemberin pupuk N pada tanah sawah berdasarkan analisis system. Prosiding Simposium

Penelitian Tanaman Pangan II. Buku 3: Padi. P.675-681.

Makarim, A.K., I.N. Widiarta, Hendarsih S., S. Abdulrachman. 2003. Panduan Teknis Pengelolaan Hara dan

pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Departemen Pertanian. P.38.

Noor, A. dan R.D. Ningsih. 1998. Upaya meningkatkan kesuburan dan produktivitas tanah di lahan kering.

Dalam. Prosiding Lokakarya Strategi Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan. Instalasi

Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian. Banjarbaru

Sarwani, M., A. Jumberi dan A. Noor 1995. Meningkatkan produksi padi di lahan sawah keracunan besi di

Kalimantan Selatan. Dalam. Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/Bogor,

23-25 Agustus 1993. Kinerja Penelitian Tanaman pangan : Buku 2. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor

Page 37: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

75

TEKNOLOGI PENINGKATAN PRODUKTIVITAS UBI JALAR (Ipomoea batatas L.) DI

TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA

Akmal, Ali Jamil, dan Darwin Harahap

Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Sumatera Utara

ABSTRAK

Potensi lahan pertanaman Ubi Jalar di Sumatera Utara cukup luas dan tersebar di seluruh (27) kabupaten,

namun produktivitas masih rendah yaitu 9,59 t ha-1, di bawah potensi hasil Jawa Barat yang dapat mencapai 20 t ha-1.

Sedangkan di tingkat penelitian, hasil komoditas ini mampu mencapai 40 t ha-1. Untuk meningkatkan produktivitas ubijalar dilakukan pengkajian di Kabupaten Tapanuli selatan dimana lokasi ini merupakan salah satu sentra produksi ubi

jalar di Sumatera Utara, pada tahun 2004. Teknologi budidaya yang dikaji adalah penggunaan varietas unggul,

pengolahan tanah, perlakuan stek, penanaman, pemupukan, pembalikan batang, pngendalian OPT. Hasil pengkajian

menunjukkan, keragaan hasil terbaik di kabupaten Tapanuli Selatan ditunjukkan oleh varietas Racik Kuning dengan hasil 19,1 t ha-1. Boko dengan hasil 17,2 t ha-1, Sari dengan hasil 17,1 t ha-1, dan Cangkuang dengan hasil 16,3 t ha-1.

Kata kunci : teknologi, produktivitas, ubi jalar, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Ubi jalar (Ipomea batatas L) merupakan salah satu komoditas tanaman pangan penghasil

karbohidrat, protein, lemak, serat yang tinggi diantara ubi-ubian (Tabel 1). Selain untuk pangan, ubi jalar

juga digunakan untuk pakan, bahan baku industri pembuatan tepung, gula cair, makanan ternak, alkohol, dan

makanan siap saji. Sedangkan umbi segar juga telah di ekspor ke Singapura, Malaysia dan Jepang (Widodo et

al., 1996).

Tabel 1. Kandungan Utama Tiap 100 Gram Umbi-Umbian dan Padi

Tanaman Bahan kering (t ha-1 ) Berdasarkan berat kering (%)

Energi (kj) Karbohidrat Protein Lemak Serat

Ubi Jalar

Ubi Kayu

Talas

Padi

30

40

30

88

85,5

92,5

83,8

88,6

5,0

1,8

6,6

8,0

1,0

0,5

-

0,9

3,3

2,5

1,7

0,2

479

643

475

1.478

Sumber: (Widodo et al., 1996).

Luas pertanaman ubi jalar di Sumatera Utara pada tahun 2004 adalah 12. 227 ha, tersebar di seluruh

kabupaten. Salah satu sentra ubi jalar terdapat di Kabupaten Tapanuli selatan dengan luas 601 ha dan

produktivitas 9,53 t/ha) (BPS, 2004). Produktivitas ubi jalar di Sumatera Utara lebih rendah dari potensi

hasil yang didapat di Jawa Barat (20 t/ha), sedangkan di tingkat penelitian, mencapai 40 t/ha (Puslitbangtan,

1993). Hal ini mengindikasikan masih besarnya peluang peningkatan produktivitas ubi jalar di Sumatera

Utara. Beberapa penyebab rendahnya hasil adalah belum menyebarnya varietas unggul dan tepatnya

teknologi budidaya seperti pemupukan, pemangkasan, pembalikan batang, pengendalian hama dan penyakit

serta panen dan pasca panen. Pada umumnya petani masih menanam varietas lokal karena kurangnya

informasi tentang varietas unggul. Teknologi budidaya masih bersifat tradisional, padahal Balai Penelitian

Kacang-kacangan dan Umbi-umbian telah banyak melepas varietas unggul ubi jalar diantaranya; Mendut,

Kalasan, Muara Takus, Cangkuang, Sewu, Sari, Boko, Sukuh, Jago dan Kidal (Balitkabi, 2005).

Berdasarkan permasalahan di atas maka perlu dilakukan pengkajian yang bertujuan untuk

mendapatkan paket teknologi sistem usahatani ubi jalar dan peningkatan produksi ubi jalar di Sumatera

Utara.

BAHAN DAN METODA

Pengkajian dilakukan di Desa Bintuju Kabupaten Tapanuli Selatan dengan ketinggian tempat 300

m dpl berlangsung pada Agustus sampai Desember 2004. Rancangan percobaan yang digunakan pada

masing-masing lokasi penelitian adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan tiga ulangan. Teknologi

budidaya yang diterapkan pada lokasi penelitian disajikan pada Tabel 2.

Page 38: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

76

Pengolahan tanah dilakukan dengan menggunakan cangkul sebanyak dua kali, kemudian dibuat

guludan dengan lebar 40 cm, tinggi 40 cm dan jarak antar guludan 75 cm. Ukuran petak percobaan 4 x 5 m.

Penanaman bibit dilakukan dengan satu stek per lubang dengan kemiringan 60°. Panjang stek 20-25 cm,

ditanam dengan jarak tanam 75 cm x 25 cm. Pupuk yang digunakan adalah 100 kg Urea, 50 kg SP36, dan

100 kg KCl/ha. Pupuk Urea diberikan 2/5 bagian pada saat tanam bersamaan dengan seluruh pupuk SP-36

dan KCl. Sedangkan sisa pupuk Urea diberikan pada saat tanaman berumur 4 minggu. Pupuk diberikan

secara tugal sedalam 5 cm dengan jarak 10 cm dari tanaman. Penyulaman dilakukan setelah tanaman

berumur 10 hari. Penyiangan dan pembumbunan dilakukan dua kali yaitu pada umur 21 dan 65 hari.

Pembalikan batang dilakukan pada umur 65 dan 85 hari setelah tanam. Pengendalian hama dan penyakit

tidak dilakukan karena pada saat penelitian berlangsung tidak ditemukan adanya serangan hama dan penyakit

yang berarti.

Pengamatan dilakukan terhadap Panjang umbi, diameter umbi, jumlah umbi, berat umbi, warna kulit

umbi, bentuk umbi, tingkat serangan hama boleng dan penyakit lanas. Pengelompokan warna daging,

bentuk dan rasa umbi dilakukan oleh 20 orang panelis.

Tabel 2. Paket Teknologi Budidaya di Tapanuli Tahun 2004

Uraian Kegiatan Deskripsi

1. Varietas Sari, Boko, Jago, Racik Kuning, Cangkuang, dan Muara Takus

2. Pengolahan tanah - Sempurna 2 kali bajak dan diratakan

- Dibuat guludan lebar 40 cm dan tinggi 40 cn

- Permukaan lahan rata

3. Penanaman

Panjang stek

Jarak tanam

Kemiringan tanam

Jumlah Stek/lobang

Penyulaman

- 20 – 25 cm

- 75 x 25 cm

- 60 0

- 1 stek

- 10 HST

4. Pemupukan (kg/ha)

Dasar (saat tanam)

Susulan I (4 MGST)

Urea SP-36 KCl

40 75 100

60 - -

5. Pemeliharaan

Penyiangan dan pembumbunan ke I

Penyiangan dan pembumbunan ke II

Pembalikan Batang

- Umur 21 HST

- Umur 65 HST

- Umur 65 dan 85 HST

6. Pengendalian hama dan penyakit

Hama Boleng

Hama Lanas

1. Pembumbunan

2. Pembumbunan, pencelupan stek dengan insektisida Benlate,

dan penggunaan stek pucuk

7. Panen dan pasca panen Digali dengan cangkul dikering anginkan dengan disebar di atas

tanah, kemudian dikumpulkan dibuang tanah yang melekat pada

kulit umbi, pisahkan umbi besar (diameter >5 cm) dan umbi kecil (diameter >5 cm) lalu dimasukkan ke dalam goni dan

ditimbang.

Tabel 3. Pengelompokan Warna Daging Umbi, Bentuk Umbi dan Rasa Umbi Berdasarkan Skala

Warna daging umbi Bentuk umbi Rasa umbi

K = Kuning 1 = sangat jelek 1 = tidak enak

K1 = sangat pucat 2 = jelek 2 = agak enak

K2 = pucat 3 = bagus 3 = enak

K3 = sedang 4 = sangat bagus 4 = sangat enak

K4 = pekat

M = Merah

M1 = sangat pucat

M2 = pucat

M3 = sedang

M4 = pekat

P = Putih

P1 = sangat pucat

P2 = pucat

P3 = sedang

P4 = pekat

Page 39: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

77

HASIL DAN PEMBAHASAN

Komponen Hasil

Rata-rata Jumlah umbi di Kabupaten Tapanuli Selatan dari enam varietas yang diuji berkisar antara

1,4-2,2 buah/tanaman. Varietas Racik Kuning mempunyai jumlah umbi terbanyak (2,4 buah) dan yang paling

sedikit pada varietas Muara Takus dan Jago masing-masing 1,4 buah (Tabel 4). Panjang umbi yang

terpanjang diberikan oleh varietas Racik Kuning (15 cm) dan terendah varietas Jago (11,0 cm). Diameter

umbi berkisar antara 14,0 – 20,0 cm, diameter umbi terlebar terdapat pada varietas Bako (20,0 cm) dan

terkecil varietas Jago (14,0 cm)

Tabel 4. Rataan Jumlah Umbi/Pohon, Panjang Umbi/Buah, Lingkaran Umbi/Buah, Bobot Umbi/Pohon dan Produksi

Umbi/Ha Varietas Ubi Jalar, Bintuju Tapanuli Selatan, MK 2004.

Varietas Jml umbi/

pohon (buah)

Panjang

umbi/buah (cm)

Diameter

umbi/buah (cm)

Bobot

umbi/batang (g)

Produksi

umbi/ha (t/ha)

Cangkuang 2,0 b 13,8 c 17,0 abc 408,6 bc 16,3 bc

Racik Kuning 2,4 c 15,0 d 19,0 bc 476,7 c 19,1 c

Sari 2,0 b 13,2 c 18,0 abc 430,4 bc 17,1 bc

Muara Takus 1,4 a 12,0 b 15,0 ab 371,2 ab 14,1 ab

Bako 2,2 bc 12,2 b 20,0 c 435,8 bc 17,2 bc

Jago 1,4 a 11,0 a 14,0 a 310,5 a 12,6 a

Perbedaan panjang dan diameter umbi dipengaruhi oleh sifat genetik tanaman yang dicirikan oleh

bentuk masing-masing varietas. Disamping itu kesuburan dan struktur tanah serta iklim sangat menetukan

pertumbuhan dan perkembangan umbi. Secara umum bentuk umbi dari varietas yang diuji adalah tergolong

bulat dan lonjong.

Varietas Racik Kuning menghasilkan umbi besar terberat (476,7 g) kemudian diikuti oleh varietas

Bako (435,8 g dan terendah varietas Jago. Perbedaan berat umbi (besar dan kecil) dipengaruhi oleh sifat

genetik tanaman.

Produksi umbi per hektar tertinggi terdapat pada varietas Racik kuning (19,1 t/ha), kemudian diikuti

oleh varietas Bako (17,2 t/ha) dan terendah varietas Jago (12,6 t/ha). Perbedaan produksi umbi antar varietas

disebabkan oleh sifat genetik dan daya adaptasinya terhadap lingkungan. Varietas yang mempunyai daya

adaptasi baik akan memberikan produksi yang lebih tinggi, dan sebaliknya. Disamping itu produksi ubi jalar

juga dipengaruhi oleh faktor iklim, tanah, hama dan penyakit.

Warna dan Penampilan Umbi

Warna kulit umbi dari varietas Jago, Racik kuning, dan Muara takus adalah bewarna kuning,

sedangkan varietas Sari, Bako, Kidal dan Cangkuang bewarna merah. Sedang warna daging umbi varietas

bako warnanya putih dan varietas lainnya adalah bewarna kuning (Tabel 5)

Varietas Racik Kuning dan Muara takus mempunyai bentuk umbi yang paling bagus, hal ini

dicirikan oleh bentuk umbi yang tidak terlalu banyak lekukannya.

Tabel 5. Warna Kulit Umbi, Warna Daging Umbi dan Bentuk Umbi Varietas Ubi Jalar, Bintuju Tapanuli Selatan, MK

2004

Varietas Warna kulit umbi Warna daging umbi Bentuk umbi

Cangkuang M3 K2 3

Racik Kuning K3 K3 4

Sari M3 K3 3

Muara Takus K3 K3 4

Bako M4 P2 2

Jago K3 K2 3

Page 40: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

78

KESIMPULAN

1. Teknologi budidaya mulai dari pengolahan tanah, pembuatan guludan, jarak tanam, pemupukan,

penyiangan, pembalikan/pemangkasan batang dan pemilihan varietas yang sesuai spesifik dapat

meningkatkan produksi dan pendapatan petani.

2. Keragaan hasil terbaik ditunjukkan oleh varietas Racik Kuning dengan hasil 19,1 t ha-1

, Bako dengan

hasil 17,2 t ha-1

, Sari dengan hasil 17,1 t ha-1

, dan Cangkuang dengan hasil 16,3 t ha-1

.

DAFTAR PUSTAKA

Adri Yaswar, mulyasdi, dan M.yusuf, 1996. Pengujian Daya Hasil Beberapa Klon dan Varietas Ubi Jalar di

Tanah Andosol Gadut, Bukittinggi. Risalah Seminar Balittan Sukarami Vol. IV

Balai Penelitian Tanaman Kacang-kacangan dan umbi-umbian Malang, 2005. Deskripsi Varietas Unggul

Kacang-kacangan dan umbi-umbian Malang. 154 hal

BPS, 2004. Biro Pusat Statistik Sumatera Utara

Ginting E, 1994. Proporsi penggunaan Ubi Jalar dalam Menu Sehari-hari dalam Rangka Mengurangi

Konsumsi Beras. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro

– Industri, Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang

Yusuf M, 1994. Penampilan Klon-klon Ubi Jalar dan Potensi Pengembangannya. Risalah seminar

Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri, Balai Penelitian Tanaman

Pangan Malang.

Puslitbangtan, 1996. Diskripsi Varietas Unggul Palawija. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan

Supriadi dan St.A. Rahayuningsih, 1994. Evaluasi Ketahanan Klon Ubi Jalar Terhadap Hama Boleng.

Risalah Seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri. Balai

Penelitian Tanaman Pangan Malang

Yudi Widodo dan SS. Antarlina, 1996. Teknologi Produksi dan Agro-industri Ubi Jalar. Kinerja Penelitian

Tanaman Pangan. Buku 4 Jagung, Sorgum, Ubi Kayu dan Ubi Jalar. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan.

Zuraida, N., Minantyorini dan A. Dimyati. 1994. Seleksi Klon Ubi Jalar Berdasarkan Sifat-Sifat Kualitatif

Umbi. Risalah seminar Penerapan Teknologi Produksi dan Pasca Panen Mendukung Agro-Industri,

Balai Penelitian Tanaman Pangan Malang.

Page 41: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

79

PEMANFAATAN PUPUK GUANO ALAM UNTUK TANAMAN KENTANG DI DATARAN

MEDIUM KABUPATEN TAPANULI SELATAN, SUMATERA UTARA

Darwin Harahap, Ali Jamil, dan Khadijah EL Ramija

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara

ABSTRAK

Pemanfaatan pupuk guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Tapanuli Selatan, dilaksanakan di

Desa Pargarutan Kecamatan Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli Selatan pada ketinggian tempat 560 meter dpl, jenis tanah ultisol. Berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2003. Tujuan penelitian adalah untuk

mengetahui pengaruh pemberian guano alam untuk tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan

Penelitian di susun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 6 perlakuan: G0=tanpa bahan organik;

G1=pemberian pupuk kandang sapi 20 ton/ha; G2=pemberian pupuk guano 5 ton/ ha; G3=pemberian pupuk guano 10 ton/ha; G4=pemberian pupuk guano 15 ton ha-1; G5=pemberian pupuk guano 20 ton /ha, masing-masing perlakuan

diulang 4 kali. Bibit kentang yang ditanam adalah varietas granola. Sebagai pupuk dasar diberikan Urea, SP36 dan KCl

dengan takaran masing-masing 200 kg/ha, 400 kg/ha dan 200 kg/ha. Ukuran plot 3 x 4 meter (50 tanaman/plot), jarak

tanam 30 x 80 cm. Hasil penelitian menunjukan bahwa pemberian guano alam 15 ton ha-1 memberikan produksi tertinggi (15,75 ton ha-1) dan lebih besar dari tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan pemberian pupuk kandang sapi

20 ton ha-1 memberikan hasil 13,10 ton.

Kata kunci : guano alam, kentang, Tapanuli Selatan, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Dalam budidaya tanaman hortikultura yang meliputi tanaman sayuran, buah-buahan dan tanaman

hias, penggunaan pupuk organik sebagai pupuk dasar merupakan suatu keharusan.

Pupuk organik berasal dari pelapukan bahan-bahan organik yaitu sisa-sisa yang berasal dari tanaman,

hewan dan manusia merupakan sumber hara bagi tanaman serta sumber energi dari sebagian besar organisme

tanah (Dardak, 1982; Tisdale, 1985; Sotedjo dkk, 1990).

Penurunan bahan organik tanah karena mengalami proses dekomposisi ataupun mengalami

pencucian, pemberian pupuk organik diharapkan dapat meningkatkan produksi karena selain menyediakan

unsur hara bagi tanaman juga dapat memperbaiki sifat fisik dan biologi tanah (Nurtika dan Sumarna, 1992).

Di Kabupaten Tapanuli Selatan banyak terdapat deposit pupuk guano yang berasal dari kotoran/

limbah kelelawar yang ditemukan disekitar gua-gua pegunungan, lokasinya terdapat di Kecamatan Sosopan.

Petani sayuran di daerah tersebut telah memanfaatkan pupuk guano tersebut tetapi dosis yang digunakan

belum tepat.

Kentang merupakan komoditas sayuran penting di Indonesia yang dikonsumsi oleh penduduk yang

berusia tua/muda tanpa memperhatikan tingkat sosial. Komoditas ini mempunyai prospek yang cerah, karena

usahataninya dapat menaikan taraf pendapatan petani, berfungsi sebagai bahan baku industri, dibutuhkan

setiap saat berpeluang ekspor, dan merupakan sumber vitamin C.

Luas panen kentang di Sumatera Utara pada tahun 2004 adalah 10.592 ha, dengan rata-rata produksi

19,16 ton ha-1

, dan total produksi 20.204 ton. Produktivitas ini masih rendah bila dibandingkan dengan

potensi produksi yang mencapai 40 ton ha -1 (Balithor Lembang, 1989). Salah satu masalah yang menjadi

tantangan dalam budaya kentang di Tapanuli Selatan adalah penggunaan bahan organik yang kurang tepat

karena tanaman kentang sangat memerlukan bahan organik dilain pihak ketersedian pupuk organik di dataran

tinggi Tapanuli Selatan relatif memiliki potensi yang tinggi.

Pupuk guano ini sudah banyak digunakan petani dalam usaha tani sayurannya tetapi takaran, kondisi

pupuk yang tepat diberikan ketanaman belum diketahui. (Bangun, 2000 dan Ali Jamil 2000).

Berdasarkan hal tersebut diatas, perlu dilaksanakan pengkajian pemanfaatan pupuk guano alam

untuk tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan.

Tujuan kegiatan ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian guano alam dan untuk tanaman

kentang di dataran medium Tapanuli Selatan.

Page 42: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

80

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilaksanakan di Desa Pargarutan Kecamatan Padang Sidempuan, Kabupaten Tapanuli

Selatan dengan ketinggian 560 meter dpl, berlangsung dari bulan Juni sampai dengan Oktober 2003.

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan perlakuan sebagai berikut :

G0 = tanpa pemberian bahan organik

G1 = pemberian pupuk kandang sapi 20 ton ha-1

G2 = pemberian guano 5 ton ha -1

G3 = pemberian guano 10 ton ha -1

G4 = pemberian guano 15 ton ha -1

G5 = pemberian guano 20 ton ha -1

Luas petak percobaan 3 x 4 m dengan jarak tanam 30 x 80 cm, varietas kentang yang digunakan

adalah varietas granola. Pupuk buatan yang diberikan berupa Urea (200 kg/ha), SP-36(400 kg ha-1

) dan KCl

(200kg ha-1

). Pemeliharaan tanaman dan pengendalian hama/penyakit dilakukan sesuai dengan rekomendasi

Badan Litbang Petanian. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang produktif, jumlah

umbi/sampel, jumlah umbi/petak, berat umbi/sampel, berat umbi/petak dan produksi/ha. Data dianalisis

secara statistik menggunakan Analysis of Variance (ANOVA) dan diikuti dengan uji beda rata-rata yaitu Uji

Jarak Berganda Duncan (DMRT) pada taraf 5% (Steel and Torrie, 1980).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisa Guano Alam

Data hasil analisa guano alam yang akan digunakan untuk percobaan ini disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisa Guano Alam di Kabupaten Tapanuli Selatan

No. Parmeter Nilai

1. pH H2O 3,80

2. pH KCl 3,41

3. C-organik (%) 16,41

4. N (%) 3,27

5. (C/N) 5,02

6. P2O5 (mg/100 g) 49,20

7. Ca²+(me/100 g) 27,98

8. Mg²+ (me/100 g) 1,92

9. Na+ (me/100 g) 0,49

10. K+ (mc/100 g) 2,86

11. KTK (me/100 g) 43,70

12. Kejenuhan basa (%) 76,09

13. Kejenuhan Al (%) 16,93

14. Al3+ (me/100 g) 7,40

15. H+ (me/100 g) 7,12

16. Fe²+ ( ppm) 84,00

17. Mn²+ (ppm) 12,40

18. Cu²+ (ppm0 9,00

19. Zn²+ (ppm) 18,00

Tinggi Tanaman dan Jumlah Cabang Utama

Pengaruh pemberian pupuk guano alam terhadap tinggi tanaman dan jumlah cabang utama tanaman

kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli Selatan di sajikan pada Tabel 2.

Page 43: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

81

Tabel 2. Pengaruh Pemberian Pupuk Guano Alam Terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang Utama Tanamam

Kentang di Dataran Medium Kabupaten Tapanuli Selatan

Perlakuan Tinggi Tanaman/cm Jumlah Cabang Utama

Go = tanpa bahan organik 38,50 a 1,90 a

G1 = pupuk kandang sapi 20 ton ha-1 46,40 b 3,60 b

G2 = Guano alam 5 ton ha-1 45,70 b 3,50 b

G3 = Guano alam 10 ton ha-1 46,80 b 4,70 c

G4 = Guano alam 15 ton ha-1 47,40 b 4,70 c

G5 = Guano alam 20 ton ha-1 47,30 b 4,80 c

Keterangan : Angka yang diikuti huruf sama pada kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan

pada taraf 5%

Pemberian pupuk guano alam memberikan pengaruh yang nyata terhadap tinggi tanaman. Tanaman

tertinggi diperoleh pada perlakuan G4 (guano alam 15 ton ha-1

) yaitu 47,40 cm, berbeda nyata dengan G0

(tanpa pemberian bahan organik) dengan tinggi 38,50 cm dan tidak berbeda nyata dengan G1 (pupuk

kandang sapi 20 ton ha-1

) dengan tinggi 46, 40 cm.

Sedangkan untuk jumlah cabang utama, pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata,

dimana jumlah cabang utama terbanyak diperoleh pada perlahanan G3 (guano alam 10 ton ha-1

) dan G4

(guano alam 15 ton ha-1

) yaitu 4,70 dan yang terendah adalah perlakuan G0 (tanpa pemberian guano alam)

yaitu (1,90). Sedangkan perlakuan G1 (pemberian pupuk sapi 20 ton ha-1

) mempunyai jumlah cabang utama

sebanyak 3,60.

Komponen Produksi

Pengaruh pemberian pupuk guano alam terhadap jumlah umbi/sampel, jumlah umbi/petak, berat

umbi/sampel, berat umbi/petak dan hasil/ha tanaman kentang di dataran medium Kabupaten Tapanuli

Selatan disajikan pada Tabel 3.

Tabel 3. Pengaruh pemberian Pupuk Guano Alam Terhadap Jumlah Umbi/Sampel, Jumlah Umbi/Petak, Berat

Umbi/Sampel, Berat Umbi/Petak dan Hasil/Ha Tanaman Kentang di Dataran Medium Kabupaten Tapanuli

Selatan

Perlakuan

Jumlah

umbi/sample

(buah)

Jumlah

umbi/petak

(buah)

Berat umbi/

sampel (gr)

Berat umbi/

petak (kg)

Hasil/ha

(ton)

G0 = Tanpa bahan organik 4,60 a 126,60 a 452,24 a 10,30 a 8,60 a

G1 = Pukan sapi 20 ton ha -1 7,50 b 165,50 b 684,28 b 15,70 c 13,10 b

G2 = Guano alam 5 ton ha -1 7,20 b 166,30 b 636,30 b 14,40 b 12,00 b

G3 = Guano alam 10 ton ha -1 8,60 b 187,50 c 728,40 c 18,20 d 15,20 c

G4 = Guano alam 15 ton ha -1 8,50 b 189,40 c 742,20 c 17,90 d 15,75 c

G5 = Guano alam 20 ton ha -1 8,70 b 186,50 c 730,50 c 18,70 d 15,42 c

Keterangan: Angka yang diikuti huruf sama pada kolom tidak berbeda nyata berdasarkan uji jarak berganda Duncan pada taraf P = 5%

Pemberian guano alam memberikan pengaruh nyata terhadap jumlah umbi/sample dan jumlah umbi

perpetak. Jumlah umbi/sample terbesar diperoleh pada perlakuan G4 = guano alam 15 ton ha-1

(8,70) berbeda

nyata dengan perlakuan G0 = tanpa bahan organik (4,60) dan tidak terdapat perbedaan yang nyata dengan

perlakuan G1= pukan sapi 20 ton ha-1

(7,50), G2 = guano alam 5 ton ha-1

(7,20), G3 = guano alam 10 ton ha-1

(8,6) dan G5 = guano alam 20 ton ha-1

(8,5). Sedangkan jumlah umbi/petak pemberian guano alam

memberikan pengaruh nyata. Dimana jumlah umbi/petak terbanyak diperoleh pada G4 = guano 15 ton ha -1

(189,40) dan yang paling rendah adalah G0 = tanpa bahan organik (126,60). Sedangkan perlakuan G1 =

Pemberian pukan 20 ton ha-1

(165,50) juga memberikan perbedaan yang nyata.

Berat umbi/sampel terbesar diperoleh pada perlakukan G4 = guano alam 15 ha-1

(742,20 gr) dan

terendah adalah G0 = tanpa bahan organik (452,24 gr), sedangkan G1 = pemberian pukan sapi 20 ton ha -1

memberikan hasil 648,28 gr.

Kemudian berat umbi/petak terberat diperoleh pada G4 = guano 15 ton-1

(18,90) dan yang terendah

adalah G0 = tanpa bahan organik (10,30). Untuk Perlakuan G1= Pemberian Pukan sapi 20 ton ha-1

(15,70

kg) dan berbeda nyata dengan G2 = guano alam 5 ton ha-1

(14,40 kg), G3 = guano dengan 10 ton ha -1

(18,20

kg), G5 = guano 20 ton ha-1

(18,70).

Page 44: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

82

Untuk hasil per hektar, hasil tertinggi diperoleh pada G4 = guano alam 15 ton-1

(15,75 ton) tidak

berbeda nyata dengan G3 = guano alam 10 ton ha-1

( 15,20 ton), dan G5 = guano alam 20 ton ha-1

(15,42

ton). Produksi terendah diperoleh pada G0 = tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan G1 =

pemberian pupuk kandang 20 ton ha -1

dapat menghasilkan produksi 13,10 ton.

KESIMPULAN

1. Hasil kentang per ha tertinggi diperoleh pada perlakuan pemberian guano alam 15 ton ha-1

(15,75) dan

terendah adalah tanpa pemberian bahan organik (8,60 ton), sedangkan pemberian pupuk kandang sapi 20

ton ha-1

dapat menghasilkan produksi 13,10 ton.

2. Pemberian guano alam dapat meningkatkan produksi kentang di Kabupaten Tapanuli Selatan.

DAFTAR PUSTAKA

Balithor Lembang, 1989. Kentang. Balai Penelitian Hortikultura Lembang Jawa Barat.

Bangun. E, Ali Jamil, Darwin Harahap dan M. Nur, 2000. Pengaruh Pupuk Organik Terhadap Hasil Buncis

di Dataran Madiun Tapanuli Selatan. Prosiding Seminar Nasional BPTP Sumatera Utara Medan 13-

14 Maret 2000.

BPS, 2004. Statistik Sayuran Sumatera Utara. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. Medan.

Dardak, A. 1982. Ilmu Tanah. Pendidikan Diploma Petugas Pertanian Lapangan Terpadu. Fakultas Pertanian

USU Medan.

Jamil, A : M. Nur, Darwin Harahap dan E. Bangun 2000. Penggunaan Pupuk Organik untuk Meningkatkan

Hasil Kentang di Dataran Medium Tapanuli Selatan Prosiding Seminar Nasional BPTP Sumatera

Utara, Medan 13-14 Maret 2000.

Nurtika, N dan A. Sumarna. 1992. Persyaratan Pupuk Kandang dan Nitrogen Terhadap Pertumbuhan dan

Hasil Tomat di Tanah Andosol. Hasil Penelitian Balai Penelitian Hortikultura Lembang.

Steel, R.G and Torrie. 1980. Principles and Procedure of tatistica, Second Editon. Mc. Graw-Hill Book

Company.

Sutedjo M M. 1994. Pupuk dan Cara Pemupukan PT. Rineka Cipta Yakarta.

Tisdale, S. L., W.L. Nelson, and J.D. Braton 1985. Soil Fertility and Fertilizers, 4 th. Ed. Mac. Millon

Publising Co. Inc. New York and Collier mac. Millon Publisher London.

Page 45: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

83

PENGENDALIAN PENYAKIT TUNGRO DENGAN SAMBILATA: ANTIFIDAN NABATI

WERENG HIJAU VEKTOR VIRUS TUNGRO

I Nyoman Widiarta, Anton Yustiano dan Dede Kusdiaman

Bagian Hama dan Penyakit, Balai Besar Penelitian Tanaman Padi,

ABSTRAK

Penyakit tungro disebabkan oleh virus, paling efektif ditularkan oleh wereng hijau, Nephotettix virescens.

Penyakit tungro menjadi masalah di daerah produksi padi di Jawa, Bali, Nusa Tenggara, Sulawesi dan Kalimantan. Sambilata, Andrographis paniculata tanaman herbal di daerah tropik pada dosis sub-lethal diketahui mengurangi

kemampuan mengisap wereng hijau. Serangkaian percobaan lapang dilakukan untuk mengetahui efikasi sambilata

menghambat penyebaran tungro dan mekanisme kerjanya menghambat penularan tungro. Percobaan lapang dilakukan di

daerah endemis tungro di Desa Warung Kondang, Cianjur, Jawa Barat pada MH 2003/04 dan MH 2004/05 dan di Desa Lanrang, Sidrap, Sulawesi Selatan pada MK 2005. Percobaan dilaksanakan dengan Rancangan Acak Kelompok. Efikasi

sub-lethal dosis Sambilata dibandingkan dengan jamur entomopatogen Metarhizium dan insektisida an-organik komersial.

Kemanpuan antifidan Sambilatan menghambat penularan tungro tergantung dari keberadaan tungro. Pada keberadaan

tungro tinggi (89,5% pada petakan kontrol), sedang (22,7% pada petakan kontrol) dan rendah (5% pada petakan kontrol) kemampuan antifidan sambilatan menekan penularan tungro oleh wereng hijau berturut-turut 25%, 47% dan 81%.

Kepadatan populasi wereng hijau tidak berbeda nyata antara perlakuan Sambilata dan kontrol. Dengan demikian

perbedaan kemampuan mengisap menyebabkan perbedaan keberadaan tungro antar perlakuan dan kontrol. Aplikasi

sambilata pada dosis sub-lethal menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau dari jaringan floem beralih ke jaringan xilim. Hal tersebut menyebabkan wereng hijau berkurang kemampuannya menularkan virus, sebab virus tungro

lebih banyak berada pada jaringan floem.

Kata kunci: sub-lethal dosis, sambilata, pengendalian, tungro.

PENDAHULUAN

Wereng hijau dan wereng loreng merupakan vektor utama virus penyebab penyakit tungro. Diantara

spesies wereng hijau dan wereng loreng terdapat perbedaan efisiensi menularkan virus. Rentang efisiensi

penularan virus oleh populasi N. virescens antara 35-83 persen (Rivera and Ou,1965), dibandingkan dengan

N. nigropictus yang rentang efisiensinya antara 0-27% (Ling, 1979), spesies wereng hijau lainnya seperti N.

malayanus dan N. parvus memiliki kemampuan menularkan virus berturut-turut 40% (IRRI, 1973) dan 7%

(Rivera et al., 1968) lebih rendah dari N. virescens. Dengan demikian N. virescens merupakan vektor yang

paling efisien menularkan virus tungro dibanding jenis vektor lainnya.

Kepadatan populasi wereng hijau berfluktuasi, kebanyakan hanya meningkat pada saat tanaman

muda sampai pertengahan pertumbuhan tanaman pada pola tanam padi-padi-padi, tetapi pada pola tanam

padi-padi-bera/palawija kepadatan populasi umumnya tidak meningkat sama sekali (Widiarta et al., 1999).

Hasil analisis Widiarta et al. (1999) dengan menggunakan analisis faktor kunci (key-factor) menunjukkan

bahwa kematian pada periode nimfa termasuk pemencaran imago menjadi faktor kematian kunci (key-factor)

untuk populasi wereng hijau pada pola padi-padi-padi maupun padi-padi-bera/palawija. Analisis tanggap

bilangan (numerical analysis) diketahui, pada pola tanam padi-padi-padi tidak ditemukan adanya tanggap

bilangan antara kematian nimfa dengan kepadatan populasi pemangsa, tetapi tanggap bilangan ditemukan

pada pola tanam padi-padi-bera/palawija. Hal tersebut menunjukkan adanya perbedaan faktor yang

mempengaruhi pertumbuhan populasi. Peranan pemencaran imago cukup besar pada pola padi-padi-padi,

sedangkan pada pola padi-padi-bera/palawija, pemangsa erat terkait dengan kematian pada periode nimfa.

Implikasi dari temuan ini untuk pengendalian tungro adalah pada pola tanam padi-padi-palawija/bera

konservasi pemangsa sangat penting untuk menekan populasi wereng hijau vektor penyakit tungro,

sedangkan pada daerah pola tanam padi-padi-padi, dapat dilakukan dengan mengurangi kemampuan

pemerolehan dan penularan virus oleh wereng hijau dengan mengurangi kemampuan mengisap wereng hijau

(antifeedant) sebagai komponen utama pengendalian.

Mengurangi aktifitas mengisap wereng hijau sebagai vektor penyakit virus dilaporkan sangat efektif

membatasi penularan virus. Beberapa bahan kimia sintetis seperti imidacloprid diketahui dapat menekan

aktifitas mengisap beberapa spesies aphid seperti Myzus persicae dan M. nicotiana (Nauen et al., 1998).

Cartap, bensultap dan nitempyram yang diaplikasikan pada sub-lethal dosis juga mengurangi kemampuan

mengisap wereng hijau N. cincticeps maupun N. virescens (Widiarta et al., 1997 b). Ekstrak Sambilata A.

paniculata juga memiliki kemampuan megurangi aktifitas mengisap kedua spesies wereng hijau tersebut

(Widiarta et al., 1997 a, b).

Page 46: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

84

Hasil pengujian di rumah kaca diketahui bahwa aplikasi sambilata dapat menekan pemerolehan

maupun penularan virus tungro oleh wereng hijau (Widiarta et al., 1998). Dengan demikian Sambilata

memiliki prospek sebagai salah satu komponen teknologi untuk dirakit dalam pendekatan pengendalian

terpadu penyakit tungro terpadu namun masih perlu dilakukan uji efikasi di lapang.

Mekanisme kerja antifidan nabati Nimba dalam menekan penyebaran penyakit tungro telah

diketahui menyerupai mekanisme kerja varietas tahan (Khan and Saxena, 1985). Pada varietas tahan wereng

hijau mengisap pada pembuluh tapis (xylem) sedangkan pada varietas peka lebih banyak mengisap pada

pembuluh balik (phloem) (Kawabe, 1985). Aplikasi Nimba menyebabkan wereng hijau lebih banyak

mengisap pada pembuluh tapis yang diketahui bukan sebagai tempat berkembangnya virus tungro. Aplikasi

antifidan imidacloprid lebih banyak menyebabkan serangga beristirahat daripada mengisap, sehingga

penularan virus berkurang (Maruyama and Obinata, 1995). Mekanisme Sambilata menekan pemelorehan dan

penularan virus pada Sambilata belum diketahui apakah seperti Nimba atau Imidacloprid atau bukan kedua-

duanya.

Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui efikasi lapang dan mekanisme kerja Sambilata sebagai

antifidan nabati vektor terhadap penularan tungro di lapang. Diperkirakan bahwa antifidan nabati Sambilata

menghambat penyebaran tungro karena menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau lebih

banyak mengisap pada pembuluh balik (xylem) yang tidak ada virus tungronya. Efikasi sambilata terhadap

penyebaran tungro akan dibandingkan dengan Metharizium anisopliae dan juga insektisida komersial yang

dilaporkan dapat menghambat penularan virus melalui pengendalian vektor (Widiarta et al., 2005)

BAHAN DAN METODA

Penyiapan Ekstrak Sambilata

Ekstrak kasar Sambilata yang digunakan dalam penelitian ini diperoleh dari hasil ekstraksi tanaman

Sambilata. Secara garis besar, proses pembuatan ekstrak kasar Sambilata adalah sebagai berikut: bagian daun

dan batang tanaman Sambilata dikeringkan di bawah sinar matahari, kemudian bagian daun dipisahkan dari

batang. Bagian batang dipotong-potong sepanjang 3 cm. Batang dan daun direndam dalam 4 l methanol

teknis dalam tabung. Dilakukan maserasi selama 7 hari. Hasil maserasi selanjutnya disaring (filtrasi).

Kemudian filtrat tersebut dievaporasi dengan menggunakan vakum evaporator sampai berbentuk pasta

(Hermawan et al., 1993).

Pengaruh Terhadap Penularan Tungro

Efikasi lapang. Bibit padi peka tungro Ciherang umur 21 hari setelah sebar ditanam pada sawah

petani di daerah endemis tungro. Uji lapang dilaksanakan di Desa Warungkondang, Cianjur-Jawa Barat pada

Musim Hujan 2003/2004 dan 2004/2005 dan di Lanrang, Sulawesi Selatan pada musim tanam 2005. Varietas

padi yang digunakan di Lanrang adalah TN-1 yang peka tungro. Tanaman dipelihara sesuai dengan budidaya

padi petani setempat. Pupuk yang diaplikasikan petani di lokasi percobaan adalah Urea 300 kg/ha, TSP 100

kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Pemupukan Urea diberikan dalam 3 kali aplikasi yaitu 100 kg Urea/ha sebagai

pupuk dasar, yang diberikan bersama dengan 100 kg TSP/ha dan 50 kg KCl/ha pada saat tanam, selanjutnya

masing-masing 100 kg Urea/ha pada saat tanaman mencapai fase anakan maksimum dan primordia. Gulma

disiang secara mekanis dengan cara mencabut dengan tangan, kemudian dibenamkan kedalam tanah.

Pestisida tidak diaplikasikan kecuali untuk perlakuan.

Percobaan dilakukan dengan Rancangan Acak Kelompok (RAK) 6 perlakuan dengan 4 ulangan

setiap perlakuan. Ukuran petakan setiap ulangan adalah 5m x 4m. Perlakuan yang dicoba seperti pada tabel 1

dan 2. Aplikasi dilakukan pada saat puncak kedatangan imigran 2 minggu setelah tanam (MST) dan diulang

setiap dua minggu sampai saat sebelum terjadinya puncak penularan tungro yang kedua yaitu saat tanaman

berumur 6 MST.

Table 1. Perlakuan Uji Lapang Sambilatan Menekan Penularan Tungro di Warungkondang, Cianjur-Jawa Barat pada

MH 2003/04 dan MH 2004/05

Nomor Perlakuan

1. Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 1 x 1,7 x 107 konidia/ml

2. Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 10 x 1,7 x 107 konidia/ml

3. Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 100 x 1,7 x 107 konidia/ml

4. Aplikasi antifidan hayati sambilata

5 Aplikasi insektisida komersial

6 Kontrol

Page 47: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

85

Table 2. Perlakuan Uji Lapang Kemampuan Antifidan Hayati Sambilata Menekan Penularan Tungro di Lanrang,

Sulawesi Selatan MK 2005

Nomor Perlakuan

1. Aplikasi antifidan hayati sambilata konsentrasi 40 ppm

2 Aplikasi antifidan hayati sambilata konsentrasi 100 ppm

3. Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 10 x 1,7 x 107 konidia/ml

4. Aplikasi jamur M. anisopliae dengan konsentrasi 100 x 1,7 x 107 konidia/ml

5 Aplikasi insektisida komersial

6 Kontrol

Variabel yang diamati adalah populasi wereng hijau dan keberadaan tungro. Keberadaan tungro

diamati secara visual dari 100 rumpun tanaman setiap petak ulangan. Kepadatan populasi wereng hijau untuk

percobaan di Desa Warung Kondang diamati dengan visual dari 32 rumpun setiap petak, sedang kan pada

percobaan di Lanrang digunakan jaring perangkap 10 kali ayunan setiap petak ulangan. Pengamatan

dilakukan mulai saat tanaman umur 2 MST diulang setiap 2 minggu sampai tanaman umur 8 MST.

Manajemen data. Persentase keberadaan tungro dari masing-masing perlakuan ditransformasi,

dengan rumus (x+1)1/2

, dalam rumus tersebut x adalah keberadaan tungro, kemudian diuji dengan ANOVA

dan dilanjutkan dengan Uji-DMRT pada taraf 5%. Kepadatan populasi, jumlah telur dan hasil panen setelah

ditransformasi log (x+1) diuji dengan ANOVA dan dilanjutkan dengan Uji-DMRT pada taraf 5%.

Mekanisme Kerja Sambilata

Bibit tanaman padi varietas IR-64 berumur 20 hari setelah sebar dibersihkan dari lumpur, kemudian

akarnya direndam dalam gelas plastik yang berisi zat pewarna erithrosin 2%, dibiarkan direndam selama

minimal 6 jam. Erithrosin merupakan zat pewarna yang berwarna merah, dapat diserap oleh akar tanaman

padi. Setelah 6 jam bibit tanaman padi disemprot dengan ekstrak daun Sambilata sesuai dengan konsentrasi

yang diujikan. Dua imago betina wereng hijau betina dewasa dimasukkan ke dalam kantong plastik (ukuran

5x8 cm) yang ditempelkan pada batang padi. Wereng hijau diberi kesempatan untuk mengisap cairan

tanaman selama 24 jam. Setelah 24 jam embun madu yang dikeluarkan oleh wereng hijau diambil

ditampung dalam kantong plastik dan diamati warnanya dengan alat spektrofotometer. Perbedaan warna

embun madu memberi petunjuk perbedaan lokasi wereng hijau mengisap cairan tanaman, apakah dari xylem

atau phloem. Uji ini merupakan modifikasi dari metode yang digunakan Oya and Sato (1981) untuk

mepelajari kebiasaan mengisap wereng hijau

HASIL DAN PEMBAHASAN

Kepadatan Populasi Wereng Hijau

Kepadatan populasi wereng hijau sebelum aplikasi tidak berbeda nyata antar perlakuan (Tabel 3, 4,

dan 5).

Tabel 3. Populasi Wereng Hijau Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur Akhir MH 2003/04

Perlakuan Populasi serangga/32 rumpun

Seb-1 (2MST) Set-1 (4MST) Seb-2 (5MST) Set-2 (7MST)

M. anisopliae konst, 1,7 x 107 kon/ml 17,00 a 16,00 b 8,50 a 12,75 a

M. anisopliae konst, 1,7 x 108 kon/ml 17,00 a 10,75 ab 8,50 a 7,75 a

M. anisopliae konst, 1,7 x 109 kon/ml 14,00 a 7,25 a 7,00 a 9,00 a

Insektisida nabati Sambilata 20,25 a 7,75 a 10,00 a 20,25 b

Insektisida Baycarb 12,75 a 6,75 a 11,25 a 17,33 ab

Kontrol 18,00 a 8,25 a 10,00 a 23,33 b

Keterangan: Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan

Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Sebelum aplikasi; Set-: Setelah apalikasi

Page 48: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

86

Tabel 4. Populasi Wereng Hijau Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur Musim Tanam 2004/05

Perlakuan Populasi serangga/32 rumpun

Seb-1 (2MST) Set-1 (4MST) Seb-2 (5MST) Set-2 (7MST)

M. anisopliae konst. 1,7 x 107 kon/ml 10,25 a 3,75 a 3,75 a 2,25 a

M. anisopliae konst.1,7 x 108 kon/ml 10,75 a 2,75 a 2,75 a 2,00 a

M. anisopliae konst. 1,7 x 109 kon/ml 14,75 a 3,00 a 3,00 a 1,75 a

Insektisida nabati Sambilata 11,75 a 2,75 a 2,75 a 1,50 a

Insektisida (Baycarb) 9,25 a 4,50 a 4,50 a 3,75 b

Kontrol 13,75 a 6,50 a 6,50 a 3,25 b

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%.. Seb-: Sebelum aplikasi; Set-: Setelah apalikasi

Tabel 5. Populasi Serangga Wereng Hijau Sebelum Aplikasi di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005

Perlakuan Populasi serangga/10 ayunan

Seb-1(2MST) Seb-2(4MST) Seb-3(6MST)

M. anisopliae konst 1,7 x 108 konidia/ml 10,00a 25,00a 27,25a

M. anisopliae konst 1,7 x 109 konidia/ml 16,00a 27,00a 33,25a

Sambilata 40 ppm 9,25a 16,50a 19,75a

Sambilata 100 ppm 17,25a 19,50a 23,00a

Insektisida (Confidor) 18,25a 9,50a 13,25a

Kontrol 27,75a 21,75a 16,25a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan

Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Sebelum aplikasi

Tabel 6. Populasi Serangga Wereng Hijau Setelah Aplikasi di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005

Perlakuan Populasi serangga/10 ayunan

Set-1(2MST) Set-2(4MST) Set-3(6MST)

M. anisopliae konst.1,7 x 108 konidia/ml 12,50a 37,50a 33,00ab

M. anisopliae konst 1,7 x 109 konidia/ml 10,75a 32,75a 35,25a

Sambilata 40 ppm 7,75a 43,50a 35,00ab

Sambilata 100 ppm 11,25a 30,75a 26,00ab

Insektisida (Confidor) 12,50a 5,50a 7,50b

Kontrol 14,50a 50,00a 28,00ab

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata berdasarkan Uji DMRT pada taraf 5%. Seb-: Set-: Setelah apalikasi

Dari ketiga tabel tersebut dapat dikatakan bahwa pengujian dilakukan mulai dari kondisi kepadatan

populasi yang sama sehingga keadaan populasi setelah aplikasi adalah dampak dari perlakuan.

Dampak dari perlakuan dapat dilihat pada Tabel 3 dan 4 untuk pengujian di Warung Kondang dan

pada Tabel 6 untuk pengujian di Lanrang. Kepadatan populasi wereng hijau setelah aplikasi Sambilata tidak

berbeda nyata dengan kontrol pada ketiga lokasi. Aplikasi jamur M. anisopliae pada aplikasi ke-1 tidak

memberikan dampak yang nyata terhadap kepadatan populasi wereng hijau. Dampak aplikasi ke-2 nyata

menekan populasi wereng hijau. Kepadatan populasi wereng hijau berbeda nyata lebih rendah dari kepadatan

populasi pada petak kontrol maupun petak yang diaplikasi insektisida nabati Sambilata.

Hasil uji efikasi lapang terlihat mendukung perkiraan bahwa dampak aplikasi jamur entomopatogen

mempunyai tenggang waktu dan baru terlihat pada generasi berikutnya. Aplikasi ke-1 saat tanaman berumur

3 MST bertepatan dengan generasi imigran imago wereng hijau (Widiarta et al., 1999), sedangkan aplikasi

ke-2 saat tanaman umur 5 MST bertepatan dengan puncak kepadatan populasi stadia nimfa kecil (Suzuki et

al., 1992). Dampak dari aplikasi pertama menekan keperidian serangga pendatang (generasi migran), aplikasi

ke-2 bekerja mematikan nimfa turunan dari generasi migran, sehingga populasi yang rendah pada 7 MST

adalah dampak ganda dari entomopatogen yang secara tidak langsung menekan keperidian dan secara

langsung mematikan nimfa. Kemampuan menekan populasi generasi pertama setelah imigran diperkirakan

berimplikasi positif untuk menekan puncak penularan tungro yang kedua. Sedangakan Samabilata pada dosis

yang digunakan tidak mematikan wereng hijau (Widiarta et al., 1997a,b).

Keberadaan Penyakit Tungro

Keberadaan penyakit tungro tidak berbeda nyata pada antar petak perlakuan (Tabel 7) sebelum

aplikasi. Aplikasi jamur entomopatogen menyebabkan keberadan tungro pada petak perlakuan jamur

Page 49: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

87

entomopatogen nyata lebih rendah dari keberadaan tungro pada petak kontrol terutama aplikasi Metarhizium

dengan konsentrasi konidia 1,7 x 109

kon/ml (Tabel 8). Begitu juga dampak aplikasi insektisida nabati

Sambilata dan insektisida komersial (Tabel 8).

Tabel 7. Persentase Keberadaan Tungro Sebelum Aplikasi Sambilata, di Cianjur Akhir MH 2003/04

Perlakuan

Keberadaan Tungro/100 Rumpun

Sebelum-1

(2MST)

Sebelum-2

(5MST)

Sebelum-3

(8MST)

Sebelum-4

(11MST)

M.anisopliae konst. 1,7 x 107 kon/ml 12,25 a 4,75 a 26,00 a 30,75 a

M.anisopliae konst. 1,7 x 108 kon/ml 9,25 a 3,00 a 15,00 a 20,00 a

M.anisopliae konst. 1,7 x 109 kon/ml 8,25 a 2,25 a 14,00 a 17,75 a

Insektisida nabati Sembilata 5,75 a 3,25 a 20,00 a 23,25 a

Insektisida Baycarb 4,75 a 5,00 a 12,00 a 16,00 a

Kontrol 6,00 a 6,00 a 23,25 a 26,25 a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

DMRT 5%

Tabel 8. Persentase Keberadaan Tungro Setelah Aplikasi Sambilata, di Cianjur Akhir MH 2003/04

Perlakuan

Keberadaan Tungro

Setelah-1

(4MST)

Setelah-2

(7MST)

Setelah-3

(10MST)

Setelah-4

(13MST)

M.anisopliae konst. 1,7 x 107 kon/ml 6,75 a 10,00 a 27,25 b 19,75 ab

M.anisopliae konst. 1,7 x 108 kon/ml 6,25 a 6,25 a 17,00 a 17,00 ab

M.anisopliae konst. 1,7 x 109 kon/ml 5,25 a 7,75 a 16,00 a 12,00 a

Insektisida nabati Sambilata 5,00 a 14,00 ab 19,75 a 12,00 a

Insektisida Baycarb 4,25 a 11,00 a 17,25 a 11,25 a

Kontrol 15,50 b 17,75 b 25,25 b 22,75 b

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf DMRT 5%.

Keberadaan tungro pada MH 2004/05 lebih rendah dibandingkan pada pengujian MH 2003/04, akan

tetapi kecenderungannya konsisten seperti pada musim sebelumnya. Keberadaan tungro pada percobaan

sebelum aplikasi tidak berbeda nyata, akan tetapi setelah aplikasi saat tanaman umur 6 minggu setelah tanam

(MST) keberadaan tungro pada petak perlakuan nyata lebih rendah dari kontrol (Tabel 9).

Tabel 9. Presentase Keberadaan Tungro Pada Uji Lapang Sambilata di Cianjur, MH 2004/2005

Perlakuan Keberadaan tungro pada 6 MST/plot

M. anisopliae konsentrasi 1,7x107 kon/ml 1,75 a

M. anisopliae konsentrasi 1,7x108 kon/ml 2,25 a

M.anisopliae konsentrasi 1,7x 109 kon/ml 1,25 a

Insektisida hayati Sembilata 1,00 a

Insektisida Baycarb 2,25 a

Tanpa insektisida 5,50 b

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

DMRT 5%

Keberadaan penyakit tungro pada saat 2 MST berada diatas ambang kendali karena besar dari

0,02%, dan tidak berbeda nyata antar petak perlakuan (Tabel 10).

Sedangkan pada petak yang diaplikasi Sambilata kepadatan populasi wereng hijau tidak berbeda

dengan kontrol, namun keberadaan penyakit tungro nyata lebih rendah dari kontrol. Dengan demikian

keberadaan tungro yang rendah disebabkan oleh berkurangnya aktifitas mengisap wereng hijau. Keberadaan

tungro yang lebih rendah menyebabkan kehilangan hasil lebih rendah.

Wereng hijau jarang dilaporkan mencapai tingkat populasi yang dapat menimbulkan kerusakan

secara langsung (Widiarta et al, 1990). Kehilangan hasil dapat dikatakan disebabkan oleh penyakit tungro

karena populasi wereng hijau rendah. Hal ini sejalan dengan keberadaan penyakit tungro setelah diaplikasi

jamur entomopatogen, insektisida hayati (Sembilata) dan insektisida pembanding (Baycarb 500 EC)

Page 50: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

88

menunjukkan keberadaan penyakit tungro petak kontrol lebih tinggi dibandingkan dengan petak yang

memakai perlakuan tersebut di atas.

Tabel 10. Keberadaan Tungro di Lanrang, Sulawesi Selatan MK 2005.

Perlakuan Keberadaan tunngro (%)

2MST 4MST 6MST 8MST

M. anisopliae konst. 1,7 x 108 konidia/ml 0,40a 2,80a 9,00a 68,70a

M. anisopliae konst. 1,7 x 109 konidia/ml 0,20a 1,65a 16,40a 80,20a

Sambilata 40 ppm 0,50a 2,30a 24,00a 75,90a

Sambilata 100 ppm 0,80a 5,45a 26,25a 67,40a

Insektisida (Confidor) 0,40a 3,80a 4,60a 23,35b

Kontrol 0,40a 4,45a 26,00a 89,55a

Keterangan : Nilai rata-rata yang diikuti huruf yang sama pada satu kolom menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf

DMRT 5%

Keberadaan serangan tungro tinggi mencapai 89% pada petak kontrol. Perlakuan pengendalian

wereng hijau (vektor penyakit tungro) dengan jamur entomopatogenik Metarhizium atau antifidan nabati

Sambilata mampu menekan keberadaan tungro 20% lebih rendah dibandingkan dengan kontrol. Pengendalian

vektor dengan insektisida an-organik mampu menekan keberadaan tungro 60% lebih rendah dari kontrol.

Pengendalian hayati tidak dapat dilakukan dengan berpedoman pada ambang kendali seperti pada

pengendalian dengan insektisida an-organik.

Mekanisme Kerja Sambilata

Berdasarkan pengukuran panjang gelombang terhadap embun madu yang dikeluarkan oleh wereng

hijau diketahui bahwa aplikasi ekstrak daun Sambilata berpengaruh terhadap lokasi mengisap wereng hijau

(Tabel 11).

Tabel. 11. Rata- rata Panjang Spektrum Embun Madu Yang Dihasilkan Wereng Hijau Mengisap Pada Tanaman Padi

Yang Diaplikasi Sambilata

Perlakuan Rata-rata panjang spektrum (nm) S.E. (Standard error)

0 ppm 0,44 0,05

10 ppm 0,39 0,07

100 ppm 0,25 0,08

1000 ppm 0,18 ** 0,05

Keterangan : ** berbeda nyata antara perlakuan dengan perlakuan 0 ppm pada p<0,01 uji t.

Pengambilan cairan tanaman pada tanaman yang tidak diaplikasikan dengan esktrak daun sambilata

sebagian besar dari floem, sebab spectrum panjang gelombang embun madu nyata lebih pendek. Dengan

demikian erythrosin dihisap oleh xilim tidak dihisap oleh wereng hijau dilihat dari spektrum yang lebih

panjang. Sedangkan pada tanaman yang diaplikasikan dengan ekstrak daun sambilata lokasi mengisapnya

beralih dari floem ke xilem. Hal ini dapat dilihat dari hasil analisis, pada perlakuan ekstrak daun Sambilata

10 dan 100 ppm, rata-rata panjang gelombang embun madu berturut-turut 0,39 nm dan 0,25 nm tidak berbeda

nyata dengan kontrol (rata-rata panjang gelombang 0,44 nm). Sedangkan pada aplikasi ekstrak daun

Sambilata 1000 ppm berbeda nyata dengan kontrol (rata-rata panjang gelombang 0,18 nm).

Ekstrak daun Sambilata juga merupakan antifidan yang dapat mengurangi aktifitas makan wereng

hijau (Yustiano, 2001). Pada percobaan 5 diketahui bahwa aplikasi ekstrak daun pada konsentrasi 1000 ppm

mempengaruhi lokasi mengisap wereng hijau dari phloem ke xilim. Sehingga aplikasi ekstrak daun

Sambilata dapat mengurangi kemampuan wereng hijau dalam hal mendapatkan dan menularkan virus tungro

yang berkembang biak di jaringan floem. Hal ini sesuai dengan pendapat Widiarta (1998) yang menyatakan

bahwa aplikasi andrografolid komponen ekstrak Sambilata sebagai antifidan mengurangi rata-rata perolehan

virus tungro oleh N. virescens.

Aplikasi Sambilata mengindikasikan menyebabkan perubahan lokasi mengisap wereng hijau dilihat

dari panjang gelombang embun madu. Aplikasi Sambilata menyebabkan wereng hijau mengisap pada

jaringan xilem. Hal tersebut serupa dengan dampak dari varietas tahan maupun nimba terhadap kebiasaan

makan wereng hijau. Menurut Kawabe (1985) varietas tahan wereng hijau mempengaruhi kebiasaan makan

wereng hijau. Pada varietas resisten pengambilan cairan tanaman oleh wereng hijau beralih dari floem ke

xilem yang menyebabkan berpengaruh dalam mendapatkan dan penularan virus tungro. Sedangkan hasil

percobaan Saxena et al (1987) menunjukkan bahwa perlakuan media tanam yang dicampur dengan ekstrak

Page 51: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

89

nimba 150 kg/ha dapat mengurangi insidensi infeksi RTBV dan RTSV. Mekanisme kebiasaan makan

wereng hijau dengan aplikasi minyak nimba 10% seperti yang diperlihatkan oleh varietas resisten (Saxena

dan Khan, 1985).

Cara kerja Sambilata berbeda dengan Imidakloprid dalam menghambat penularan virus oleh wereng

hijau. Tanaman padi yang diaplikasikan dengan imidakloprid 0,1 ppm cenderung tidak melakukan aktivitas

makan pada sebagian besar waktu pengamatan (Maruyama dan Obinata, 1995; Foug et al., 1996) sehingga

penularan virus tungro tidak terjadi.

KESIMPULAN

1. Kemampuan antifidan Sambilata menekan penularan tungro bervariasi sesuai dengan tekanan

keberadaan penyakit. Pada keberadaan tungro tinggi (89,5% pada petakan kontrol), sedang (22,7% pada

petakan kontrol dan rendah (5% pada petakan kontrol) kemampuan antifidan Sambilatan menekan

penularan tungro oleh wereng hijau berturut-turut 25%; 47% dan 81%.

2. Aplikasi Sambilata tidak mempengaruhi kepadatan populasi wereng hijau, perbedaan keberadaan tungro

dengan kontrol disebabkan oleh perbedaan aktifitas makan wereng hijau.

3. Sambilata menyebabkan perubahan kebiasaan mengisap wereng hijau.

DAFTAR PUSTAKA

Foug, D., R. Senn, dan M. Bolsinger. 1996. Pymetrozine : a novel aphicide wiht a new mode ofaction.

Presentation at International Congress of Entomology, Floence, Italy, 25-31 August 1996. p 17-21.

Hermawan, W., R. Tsukuda, K. Fujisaki, A. Kobayashi,dan F. Nakasuji. 1993. inluece of crude extract from

a tropical plant, Andrographis paniculata(Acanthaceae) on suppression of feeding by

diamondbachmoth, Plutella xylostella (Lepidoptera : Yponomeutidae) and the oviposition by the

azuki weevil, Callosobruchus chinensis (Coleoptera :Bruchidae). Appl Entomol. Zool. 28: 251-

254

IRRI. 1973. Annual Report. IRRI Los Banos, Philippines.

Kawabe, S. 1985. Mechanism of varietal resistance to the green leafhopper (Nephotettix cincticeps Uhier).

JARQ 19: 115-124.

Khan, Z. R. and R. C. Saxena. 1985. Behavior and biology of Nephotettix virescens (Homoptera:

Cicadellidae) on tungro virus-infected rice plants: Epidemiology implication. Environ. Entomol. 14:

297-304.

Ling, K. C. 1979. Rice virus disease. IRRI, Los Banos, Philippines. 142p.

Maruyama, M. and T. Obinata. 1995. Effect of admire to supress feeding activity and virus transmission by

leaf-planthopper. ―Noyaku kenkyu‖ 42: 19-26 (Bahasa Jepang)

Nauen, R., H. Hungenberg, B. Tollo, K. Tietjen and A. Elbert. 1998. Antifeedant effect, biological efficacy

and high affinity binding of imidacloprid to acetylcholine receptors in Myzus persicae and Myzus

nicotinae. Pestic. Sci. 53: 133-140.

Oya, S. and A. Sato. 1981. Differences in feeding habits of the green rice leafhopper, Nephotettix cincticeps

Uhler (Hemiptera:Delthochephalidae), on resistant and susceptible rice varieties. Appl. Ent. Zool. 16:

451-457.

Rivera, C. T. and S.H. Ou. 1965. Leafhopper transmission of "tungro" disease of rice. Plant. Dis. Rep. 49:

127-131.

Rivera, C. T. , S.H. Ou and D.M. Tantera. 1968. Tungro disease of rice in Indonesia. Plant. Dis. Rep. 52:

122-124.

Saxena, R. C., dan Z. R. Khan, 1985. Electronicallyrecorded disturbances in feeding behavior of Nephotettix

virescens (Homoptera : Cicadellidae) onneem oil-treated rice plants. J. Econ. Entomol. 78: 222-

225.

Page 52: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

90

Saxena, R. C., Z. R. Khan, dan N. B. Bajet. 1987. Reductiaon of tungro virus transmission by

Nephotettixvirescens (Homoptera : Cicadellidae) in neemcake-treated rice seddlings. J. Econ.

Entomol. 80(5) : 1079-1087.

Suzuki, Y., I K. R. Widrawan, I G. N. Gede, I N. Raga, Yasis and Soeroto. 1992. Field epidemiology and

forecasting technology ofrice tungro disease vectored by green leafhopper. JARQ 26: 98-104.

Widiarta, I N, Y Suzuki, H Sawada, and F Nakasuji . 1990. Population dynamics of the green eafhopper

Nephotettix virescens (Distant) (Hemiptera:Cicadellidae) in synchronized and staggered

transplanting areas of paddy fields in Indonesia. Res. Popul. Ecol. 32: 319-328.

Widiarta, I N., W. Hermawan, S. Oya, S. Nakajima and F. Nakasuji. 1997a. Antifeedant activity of

constitutent of Andrographis paniculata (Acanthaceae) against the green rice leafhopper,

Nephotettix cincticeps (Hemiptera: Cicadellidae). Appl. Entomol. Zool. 32: 561-566.

Widiarta, I. N., N. Usyati and D. Kusdiaman. 1997b. Antifeedant activity of andrographolide and three

syntetic insecticides against rice green leafhopper, Nephotettix virescens (Distant) (Hemiptera:

Cicadellidae). Bull. Pl. Pest Disease 9: 14-19.

Widiarta, I. N., M. Muhsin, dan D. Kusdiaman. 1998. Effect of andrographolide and two synthetic

insecticides, antifeedant against Nephotettix virescens, to the rice tungro virus transmission.

Indonesian J. Pl. Prot. 4: 1- 8.

Widiarta, I. N., D. Kusdiaman dan A. Hasanuddin. 1999. Dinamika populasi Nephotettix virescens pada dua

pola tanam padi sawah. Jurnal Perlindungan Tanaman Indonesia 5: 42-49.

Widiarta, I. N. dan D. Kusdiaman. 2005. Uji Lapang Kemampuan Jamur Entomopathogenik, Metharhizium

Menekan Pemencaran Wereng Hijau dan Menularkan Tungro. Laporan Akhir Tahun, Balai

Penelitian Tanaman Padi.

Yustiano, A. 2001. Uji Efektivitas Andografolid dan Ekstrak Daun Sambilata (Andrographis paniculata

Nees.) Dengan Aplikasi Foliar Terhadap Aktivitas Makan Wereng Hijau (Nephotettix virescens

Distant). Skripsi. Fakultas Pertanian Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto. 47 p. (Tidak

dipublikasikan).

Page 53: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

91

PENGARUH MEDIA TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT PISANG SUSU ASAL BONGGOL

DI SAMBELIA , LOMBOK TIMUR NTB

Tri Ratna E.1)

, Awaludin H.1)

, Agus Sutanto2)

1)Peneliti pada BPTP NTB

2)Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok

ABSTRAK

Sambelia merupakan salah satu sentra produksi pisang di Lombok Timur. Umumnya tanaman pisang ditanam

petani berasal dari anakan, sehingga untuk pengembangan skala yang lebih luas terkendala dengan terbatasnya jumlah

bibit. Termasuk bibit yang berasal dari kultur jaringan disamping harganya relatif mahal. Untuk itu perlu alternatif

pembibitan yang lebih baik, murah dan dapat dilakukan petani dengan menggunakan bonggol pisang (bit). Untuk mendapatkan pertumbuhan bibit yang optimal diperlukan media tumbuh yang tepat. Tujuan penelitian adalah

mendapatkan media tumbuh terbaik untuk pertumbuhan bibit pisang susu. Penelitian dilaksanakan di Sambelia, Lombok

Timur pada bulan Mei sampai Juli 2006. Menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 3 perlakuan yang diulang 15

kali. Perlakuan terdiri dari M1 (media tanah), M2 (media pasir), dan M3 (media tanah + pasir). Hasil menunjukkan bahwa media tanah + pasir memberikan pertumbuhan tunas dan daun yang lebih baik dibandingkan dengan media tanah

dan media pasir, baik pada umur 21 hari, 28 hari, 35 hari. Keluarnya tunas tercepat terjadi pada media tanah yaitu 14, 44

hari. Tetapi pada perkembangan selanjutnya media Tanah + Pasir memberikan pertumbuhan yang terbaik, diikuti media

tanah dan terakhir media pasir. Panjang tunas pada media tanah + pasir, umur 21 hari rata-rata 4,93 cm, umur 28 hari rata-rata 11,87 cm, umur 35 hari rata-rata 35,07 cm, dan jumlah daun sebanyak 1,53 helai. Jumlah tunas yang tumbuh

pada bonggol pada tiap-tiap perlakuan tidak berbeda nyata, yaitu berkisar 4,1-4,8 tunas per bonggol. Pembibitan pisang

susu melalui bonggol dengan menggunakan media tanah + pasir memberikan prospek pengembangan pembibitan pisang

cukup baik bagi petani di Sambelia Lombok Timur, dalam upaya memenuhi kebutuhan bibit di wilayah tersebut khususnya dan NTB pada umumnya.

Kata kunci : pisang susu, bibit, media, bonggol

PENDAHULUAN

Kabupaten Lombok Timur merupakan pensuplai pisang terbesar di Propinsi Nusa Tenggara Barat.

Sekitar 56% (BPS NTB, 2003) pisang di NTB dihasilkan oleh Kabupaten Lombok Timur. Tercatat produksi

pisang dari daerah ini tahun 2003 sebanyak 21.891 ton (BPS Lotim, 2003). Dimana salah satu kecamatan

yang ada di kabupaten tersebut yaitu Kecamatan Sambelia merupakan pioner penanaman pisang secara

monokultur dengan sistem kebun, yang sudah dikelola petani dengan cukup baik. Sistem ini sudah

berkembang di wilayah Lombok Timur sejak tahun 2004, dan selanjutnya berkembang pada kabupaten lain

bahkan sampai Pulau Sumbawa.

Pisang yang keluar dari Kecamatan Sambelia setiap harinya berkisar 600-1.000 tandan, dan jumlah

ini masih belum mampu untuk memenuhi permintaan pasar, baik pasar lokal maupun permintaan dari Bali.

Melihat kondisi ini, pengembangan pisang dalam areal yang lebih luas masih sangat diperlukan.

Dalam upaya pengembangan pisang perlu didukung oleh ketersediaan bibit yang cukup. Selama ini

penanaman pisang yang dilakukan petani umumnya menggunakan bibit pisang yang berasal dari anakan.

Jika pengembangan mengandalkan bibit berasal dari anakan tidak akan terpenuhi, karena membutuhkan

waktu yang lama untuk mempeoleh bibit dalam jumlah yang banyak. Disamping itu, cukup riskan untuk

mengambil anakan dalam rumpun pisang karena dapat mengganggu pertumbuhan tanaman utama, juga dapat

menimbulkan penyakit dari luka akibat pemotongan anakan.

Selain anakan, ada juga bibit yang berasal dari kultur jaringan, tetapi jumlahnya masih terbatas

dan harganya relatif mahal ditingkat petani. Untuk itu perlu dicari cara lain untuk dapat memperoleh bibit

pisang sehat dalam jumlah banyak dengan waktu yang relatif cepat/singkat dengan biaya yang

murah/terjangakau serta mudah dilaksanakan oleh petani. Cara tersebut yaitu dengan menggunakan bonggol

pisang. Diharapkan dengan metode bonggol ini petani dapat melakukan pembibitan sendiri, yang akan

digunakan untuk memperbaharui/merenovasi kebun pisang yang sudah lama berproduksi, untuk penanaman

baru maupun untuk dikomersialkan.

Untuk memperoleh bibit pisang yang baik dan sehat dibutuhkan media tumbuh yang tepat. Media

tumbuh merupakan tempat penyimpanan atau sumber hara tanaman (Satsijati, 1991). Hal ini tergantung pada

bahan media yang digunakan. Media tumbuh dengan bahan yang berbeda mempunyai tingkat mengikat air

maupun kandungan hara yang berbeda, tergantung pada tingkat pelapukannya.

Page 54: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

92

Dalam melakukan pembibitan pisang, perlu diketahui jenis pisang yang akan dikembangkan. Dalam

hal ini dipilih pisang susu karena populasi tanaman ini ditingkat lapangan masih sedikit, sementara

permintaan dan harga jual dari jenis pisang ini cukup tinggi dan stabil setiap tahunnya.

Tujuan penelitian adalah memperoleh media tumbuh yang terbaik bagi pertumbuhan bibit pisang

susu dari bongol, sehingga diperoleh bibit pisang yang baik dan sehat.

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di areal petani, di Desa Labuan Pandan, Kecamatan Sambelia, Lombok

Timur, pada bulan Mei sampai Juli 2006. Rancangan yang digunakan ialah Rancangan Acak Lengkap

(RAL) dengan 3 perlakuan yang diulang 15 kali. Perlakuan terdiri dari media tanah, media pasir, campuran

media tanah + pasir dengan perbandingan volume = 4:1, dimana tanah berada dilapisan bawah dan pasir

dilapisan atas. Perlakuan diatur pada bedengan, berdasarkan rancangan percobaan yang telah ditentukan.

Tinggi bedengan masing-masing 25 cm untuk media tanah dan media pasir, sedangkan untuk campuran

media tanah dan pasir, tinggi bedengan 20 cm untuk ketebalan tanah dan 5 cm untuk ketebalan pasir.

Dengan posisi tanah dibagian bawah dan pasir dibagian atas. Hal ini dimaksudkan agar aerasi dan drainase

baik dipermukaan.

Bonggol yang digunakan adalah bonggol yang berdiahmeter ≥ 15 cm. Jenis pisang yang digunakan

adalah pisang susu. Bonggol diambil dari rumpun tanaman kemudian dibersihkan dari akar dan tanah.

Batang pisang dipotong sekitar 5 cm dari batas leher bonggol. Titik tumbuh dihilangkan dengan cara

mencongkel/mengorek empulur bagian tengah batang dengan pisau sampai terlihat bonggol bagian dalam.

Bonggol direndam dalam larutan fungisida (2 gram) + insektisida (1 cc) per liter air selama + 15 menit.

Bonggol diangkat dan diangin-anginkan sampai agak kering. Bonggol ditanam dalam bedengan sesuai

dengan perlakuan yang telah ditentukan, dengan cara menyisakan 5 cm bagian bonggol muncul dipermukaan

bedengan. Bagian atas bonggol diusahakan kering artinya tidak tertutup tanah/pasir atau tergenangi air.

Bedengan ditutup dengan mulsa jerami. Naungan yang digunakan pada bedengan adalah dari daun kelapa.

Penyiraman dilakukan sesuai kebutuhan. Tunas-tunas yang tumbuh dari bonggol pada umur 35 hari

dipindahkan ke polybag.

Peubah yang diamati adalah waktu/saat keluar tunas, tinggi batang tunas umur 21, 28 dan 35 hari,

jumlah daun serta jumlah tunas per bonggol pada akhir pengamatan. Data terkumpul dianalisis, beda rata-rata

antar perlakuan uji lanjut menggunakan Anova taraf 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Data hasil penelitian dari kegiatan percobaan ini disajikan pada Tabel 1 dan 2. Dari Tabel 1,

diketahui bahwa ada perbedaan respon pertumbuhan tunas pada pembibitan pisang susu terhadap media yang

berbeda. Saat keluar tunas bonggol yang ditanam pada media tanah membutuhkan waktu yang lebih cepat

dibandingkan dengan perlakuan lainnya, yaitu selama 14,47 hari, sementara campuran media Pasir + tanah

dan media pasir membutuhkan waktu berturut-turut selama 15,80 hari dan 15,93 hari. Terlihat bahwa media

pasir memutuhkan waktu yang paling lama untuk keluarnya tunas. Hal ini disebabkan media tanah memiliki

kemampuan mengikat air lebih baik dibandingkan dengan media pasir. Sehingga kebutuhan air untuk

keluarnya tunas lebih terpenuhi. Sesuai menurut Sessler (1978) bahwa tanaman (yang dicobakan pada

anggerk) akan tumbuh dengan baik bila kebutuhan airnya terpenuhi.

Tinggi tunas pada umur 21 hari dan 28 hari, menunjukkan respon pertumbuhan yang berbeda antar

media tumbuh. Campuran media tanah + pasir memberikan respon pertumbuhan tunas tertinggi, yaitu 4,93

cm dan 11,87 cm, yang berbeda sangat nyata dengan pertumbuhan tunas pada media tanah dan media pasir

yang berturut-turut setinggi 3,27 cm, 9,47 cm dan 2,47 cm, 7,33 cm. Dengan mencampur media tanah + pasir,

menyebabkan aerasi dan drainase menjadi lebih baik, kemampuan mengikat air dan unsur hara juga lebih

baik dibandingkan dengan media tanah atau media pasir. Sesuai dengan pendapat Buckman, et al., (1982),

bahwa pasir mempunyai daya aerasi dan draenase yang baik, tetapi sukar mengikat air dan miskin zat hara.

Sementara tanah mempunyai daya mengikat air dan unsur hara yang baik, tetapi cenderung memiliki aerasi

dan drainase yang kurang baik.

Page 55: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

93

Tabel 1. Pengaruh Media Tumbuh Bonggol Pisang, Terhadap Saat Keluar Tunas, Tinggi Tunas Umur 21 Hari dan 28

Hari, Sambelia, Lombok Timur, 2006.

Perlakuan Umur keluar tunas (hari) Tinggi tunas umur

21 hari (cm)

Tinggi tunas umur

28 hari (cm)

Media Pasir + Tanah 15,80 a 4,93 a 11,87 a

Media Tanah 14,47 b 3,27 b 9,47 b

Media Pasir 15,93 c 2,47 c 7,33 c

Pada Tabel 2, terlihat bahwa campuran media tanah + pasir pada umur tanaman 35 hari tetap

menujukkan pertumbuhan batang tunas bibit yang lebih tinggi dan berbeda sangat nyata dengan

pertumbuhan tunas pada media lainnya. Pada media campuran tanah + pasir kebutuhan air dan unsur hara

lebih terpenuhi, aerase dan drainase lebih baik, sehingga semua kegiatan fisiologis mulai dari proses

biokimia sampai pertumbuhan dan perkembangan jaringan tanaman berjalan dengan baik. Sesuai menurut

Sessler (1978) bahwa semua kegiatan fisiologis mulai dari proses biokimia sampai pertumbuhan dan

perkembangan jaringan tanaman ditentukan oleh persentase air yang terkandung didalamnya.

Pada jumlah daun (helaian daun yang sudah terbuka), media campuran Pasir + tanah, terlihat

memiliki jumlah daun lebih banyak yang berbeda sangat nyata dengan jumlah daun pada media lainnya.

Jumlah daun pada media campuran Pasir + tanah sebanyak 1,53 helai, sementara media tanah dan pasir

jumlah daun berturut-turut yaitu 0,73 helai dan 0,33 helai. Bibit tanaman pisang dari bonggol, pada media

campuran pasir + tanah memiliki pertumbuhan yang lebih baik, karena didukung oleh ketersediaan air dan

unsur hara yang cukup sehingga proses potosintesis berjalan dengan baik. Menurut Ginting, et al., (2001),

dengan unsur-unsur hara yang cukup serta suhu dan kelembaban yang sesuai, maka tanaman akan

berfotosintesis dengan baik, sehingga pertumbuhan tanaman menjadi lebih baik. Kekuranagan air di dalam

jaringan tanaman akan mengganggu proses fotosintesis karena akan mengganggu transformasi zat hara.

Jumlah tunas per bonggol yang dihasil pada tiap-tiap perlakuan media tidak berbeda nyata, yaitu

berkisar antara 4,1-4,8 tunas. Jumlah tunas yang dihasilkan oleh setiap bonggol adalah salah satu kelebihan

dari sistem perbanyakan ini bila dibandingkan dengan sistem perbanyakan konvensional lainnya, karena

dengan menggunakan anakan, hanya satu tanaman dihasilkan oleh satu anakan, tetapi dengan menggunakan

bonggol bisa diperoleh lebih dari satu tanaman. Hal ini sangat berguna sekali untuk pembibitan di daerah

kering seperti Nusa Tenggara Barat dan Nusa Tenggara Timur.

Media perlakuan yang dipakai untuk perbanyakan tanaman pisang menggunakan bonggol tidak

mempengaruhi perbedaan jumlah tunas atau tanaman yang dihasilkan, tetapi mempengaruhi kecepatan dan

pertumbuhan tunas, yang pada akhirnya mempengaruhi kesiapan materi tanaman untuk ditanam di lapang.

Tabel 2. Pengaruh Media Tumbuh Bonggol Pisang Terhadap Tinggi Tunas Umur 35 Hari, Jumlah Daun dan Jumlah

Tunas/Bonggol, Sambelia, Lombok Timur, 2006.

Perlakuan Tinggi tunas umur

35 hari (cm) Jumlah daun (helai)

Jumlah tunas per

bonggol

Media Pasir + Tanah 35,07 a 1,53 a 4,8

Media Tanah 27,27 b 0,73 b 4,4

Media Pasir 23,13 c 0,33 c 4,1

KESIMPULAN

1. Media memberikan pengaruh yang nyata dalam kecepatan keluar tunas, meningkatnya tinggi batang

tunas pada umur 21; 28 dan 35 hari, serta jumlah daun.

2. Media campuran Tanah + Pasir menghasilkan pertumbuhan vegetatif tanaman yang paling baik

(khususnya pada lokasi pengembangan lahan kering).

3. Media campuran Tanah + Pasir cocok dikembangkan untuk pembibitan pada lokasi lahan kering.

Page 56: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

94

PUSTAKA

Buckman, H.O., and N.C.Brady. 1982. Ilmu Tanah. Bhratara Karya Aksara. Jakarta. 788 hal.

BPS. 2003. Lombok Timur Dalam Angka. Badan Pusat Statistik Kabupaten Lombok.

BPS. 2003. Nusa Tenggara Barat dalam Angka. Badan Pusat Statistik Nusa Tenggara Barat .

Ginting, B., W. Prasetio,dan Toto Sutater. 2001. Pengaruh Cara Pemberian Air , Media, dan Pemupukan

terhadap Pertumbuhan Anggrek Dendrobium. Jurnal Hortikultura 11 (1). Badan Litbang Pertanian.

Jakarta:22-28. (2001),

Satsijati. 1991. 1991. Pengaruh Media Tumbuh Terhadap Pertumbuhan Bibit Anggrek Dendrobium

Youpphadeewan. Jurnal Hortikultura. Badan Litbang Peranian. Jakarta : 1(3):15-22.

Sessler, G.J. 1978. Orchid and how to grow them. Prentice Hall. Inc Englewood Cliffs: 370p

Page 57: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

95

PENGARUH PUPUK CAIR RAGITA NUTRI TONIK TERHADAP PERTUMBUHAN

DAN HASIL PADI SAWAH

Arifin, Z dan P.E.R. Prahardini

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

ABSTRAK

Penggunaan pupuk an-organik yang mendukung peningkatan pertumbuhan dan produksi padi dapat digantikan

dengan penggunaan pupuk dalam bentuk cair melalui daun. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pemberian pupuk cair Ragita Nutri Tonik terhadap pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman padi.

Penelitian dilaksanakan di lahan petani Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang yang disusun

menggunakan Rancangan Acak Kelompok secara faktorial dengan 2 faktor. Faktor pertama adalah dosis pemberian

pupuk anorganik dengan 3 taraf perlakuan yaitu: (a) 1/3 dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu : 100 kg Urea/ha + 25 kg SP-36/ha + 25 kg KCl/ha; (b) 2/3 dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu : 200 kg Urea/ha + 50 kg SP-36/ha + 50

kg KCl/ha; (c) dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu: 300 kg Urea/ha + 75 kg SP-36/ha + 75 kg KCl/ha. Faktor

kedua terdiri dari 6 taraf perlakuan, yaitu: (a) tanpa pupuk cair (0 cc/l); (b) konsentrasi pupuk cair 1 cc/l; (c) konsentrasi

pupuk cair 2 cc/l, (d) konsentrasi pupuk cair 3 cc/l, (e) konsentrasi pupuk cair 4 cc/l, (f) konsentrasi pupuk cair 5 cc/l, sehingga diperoleh 18 kombinasi perlakuan yang diulang 3 kali dengan petakan unit perlakuan 4m x 5m. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa penambahan biaya pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ sebanyak 1,7 l/ha diperoleh peningkatan hasil

gabah sebanyak 2,46 t/ha dan peningkatan keuntungan sebesar Rp. 3.147.000,- dibandingkan bila menggunakan pupuk

anorganik yang sama tanpa pupuk cair. Penambahan biaya produksi dengan menambahkan konsentrasi pupuk cair sampai 8,5 l/ha justru menyebabkan menurunnya keuntungan yang diperoleh akibat menurunnya hasil gabah. Pupuk cair ‖Ragita

Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1 cc/l air (1,7 l/ha) yang disemprotkan pada tanaman umur 15; 30; 45 dan 60 HST

disarankan untuk digunakan pada tanaman padi sawah yang telah di pupuk an-organik.

Kata kunci : pupuk cair Ragita Nutri Tonik, pertumbuhan, hasil, padi sawah

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Upaya peningkatan produksi padi diantaranya melalui pemupukan untuk memenuhi kebutuhan hara

bagi pertumbuhan tanaman padi. Kebutuhan hara bagi tanaman padi dapat berupa unsur hara makro maupun

unsur hara mikro. Selama ini kebutuhan hara bagi tanaman hanya dapat dipenuhi dengan memberi pupuk

yang mengandung unsur hara makro. Penggunaan pupuk hara terutama N an-organik secara terus menerus

ternyata tidak diimbangi oleh peningkatan produksi secara proposional. Menurut Sugito dan Nuraini (2000),

penurunan produktivitas sawah saat ini disebabkan oleh penggunaan pupuk organik tanah terus menurun.

Tisdale et al. (1975) dan Bastari (1996) menambahkan bahwa pemberian pupuk yang melebihi kebutuhan

tanaman yang dilakukan untuk meningkatkan produksi apabila dilakukan secara terus menerus dan tanpa

upaya pengembalian unsur-unsur yang diserap tanaman tentunya akan berakibat merugikan kesuburan tanah

dan merusak sifat fisik dan kimia tanah. Menurut Taskim et al. (1989) menambahkan bahwa pemberian

pupuk N an-organik secara terus menerus dapat menurunkan kandungan C-organik, P-tersedia dan KPK

tanah, serta terjadi ketidak keseimbangan hara dalam tanah yang disebabkan tidak adanya penambahan unsur

hara lain ke dalam tanah. Disamping itu dengan semakin mahalnya harga pupuk dan sulitnya mendapat

pupuk maka berakibat merugikan petani.

Upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemberian pupuk antara lain melalui dosis pemberian

pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk antara lain melalui dosis pemberian pupuk, saat pemberian pupuk,

cara pemberian dan bentuk pupuk yang digunakan secara tepat (Landon, 1984). Pemberian pupuk an-organik

melalui tanah apabila kurang tepat waktu dan dosisnya dapat menurunkan efisiensi pemupukan serta

mengganggu keseimbangan hara dalam tanah. Dari sejumlah pupuk N an-organik yang diberikan hanya

sebagian saja yang dimanfaatkan oleh tanaman yaitu sekitar 30%-40% dari pupuk N an-organik yang

diberikan ke dalam tanah dapat dimanfaatkan tanaman padi (De Datta, 1981; De Datta, 1987). Selanjutnya

Mitsui (1954, Cit Grist, 1978) menambahkan bahwa bahwa sekitar 25%-50% pupuk N yang diberikan tidak

dapat dimanfaatkan oleh tanaman padi. Kehilangan N an-organik terutama disebabkan oleh denitrifikasi,

volatilisasi, pelindian dan terbawa oleh aliran permukaan (Tejasarwana et al., 1988).

Untuk mengurangi ketergantungan terhadap pupuk an-organik yang diberikan ke dalam tanah

diantaranya dengan penggunaan pupuk cair yang disemprotkan pada daun. Selain mengandung unsur makro,

menurut Soedomo (1992) pupuk daun dan unsur mikro yang dibutuhkan tanaman. Lingga (1986)

menjelaskan bahwa cara pemberian pupuk melalui daun ternyata lebih efektif karena daun dapat menyerap

Page 58: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

96

secara langsung dan cepat unsur-unsur hara yang diberikan, disamping itu juga menguntungkan karena

menghindari kerusakan akar dan dapat menanggulangi kekurangan unsur mikro. Saptorini et al. (1993)

menambahkan bahwa pemberian pupuk melalui daun mempunyai kelebihan karena unsur hara yang

terkandung lebih cepat terserat dan merangsang munculnya tunas daun atau bunga lebih cepat. Kebutuhan

dalam penggunaan pupuk cair lewat daun dipengaruhi oleh komposisi formulanya. Salah satu produk pupuk

cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ yang mengandung unsur hara makro dan unsur hara mikro diharapkan dapat

mengurangi penggunaan pupuk an-organik yang diberikan melalui tanah.

B. Tujuan

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pengaruh pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ terhadap

pertumbuhan dan peningkatan hasil tanaman padi.

BAHAN DAN METODE

A. Bahan atau Materi Penelitian

Varietas padi yang digunakan adalah IR-64. Pupuk an-organik yang digunakan adalah Urea, SP-36,

dan KCl. Pupuk cair yang diuji ‖Ragita Nutri Tonik‖ dengan kandungan hara berdasarkan hasil uji PT.

Sucofindo (Tabel 1).

Tabel 1. Kandungan Hara Pupuk Cair ‖Regita Nutri Tonik‖ yang Diuji Cobakan pada Tanaman Padi Sawah.

Unsur hara Kandungan Metode Test

K2O 9,32% Titrimetric

Calcium (Ca) 4,06% AAS

Chloride (Cl) 0,89% Titrimetic

Magnesium (Mg) 0,17% AAS

Nitrogen (N) 13,49% Kjeldahl distilatation

Total P2O5 7,49% Spectrophotometric

pH 3,23% pH meter

Sumber: Hasil analisis Sucofindo

B. Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan OHAUS untuk mengukur berat 1000

biji, timbangan 100 kg untuk mengukur berat gabah per petak, tally counter digunakan untuk mengitung

jumlah gabah isi dan gabah hampa, meteran untuk mengukur tinggi tanaman serta hand sprayer untuk

menyemprot larutan pupuk cair ―Ragita Nutri Tonik‖ maupun pestisida.

C. Metode Penelitian

Percobaan ini dilaksanakan di lahan petani Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Kabupaten

Malang pada MK II dengan menggunakan petak percobaan berukuran 4m x 5m disusun berdasarkan

Rancangan Acak Kelompok secara factorial yang diulang 3 kali. Perlakuan merupakan kombinasi dari dosis

pemupukukan an-organik dengan konsentrasi pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ (Tabel 2). Factor pertama

terdiri dari 3 perlakuan, yaitu: (a) 1/3 dosis rekomendasi pupuk aonrganik yaitu: 100 kg Urea/ha + 25 kg SP-

36/ha + 25 kg KCl/ha, (b): 2/3 dosis rekomendasi pupuk anorganik yaitu: 200 kg Urea/ha + 50 kg SP-36/ha +

50 kg KCl/ha, (c): dosis rekomendasi pupuk an-organik yaitu: 300 kg Urea/ha + 75 kg SP-36/ha + 75 kg

KCl/ha. Faktor kedua terdiri dari 6 perlakuan, yaitu: (a) tanpa pupuk cair (0 cc/l), (b) konsentrasi pupuk cair

1 cc/l, (c) konsentrasi pupuk cair 2 cc/l, (d) konsentrasi pupuk cair 3 cc/l, (e) konsentrasi pupuk cair 4 cc/l, (f)

konsentrasi pupuk cair 5 cc/l.

Page 59: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

97

Tabel 2. Perlakuan Kombinasi Pemupukan ‖Ragita Nutri Tonik‖ pada Tanaman Padi, MK II

Perlakuan

Macam dan Dosis Pupuk

Urea (kg/ha) SP-36

(kg/ha) KCl (kg/ha)

Konsentrasi Pupuk Cair

(cc/l)

Dosis Pupuk Cair

(l/ha)

A1 100 25 25 0 0

A2 100 25 25 1 1,7

A3 100 25 25 2 3,4

A4 100 25 25 3 5,1

A5 100 25 25 4 6,8

A6 100 25 25 5 8,5

B1 200 50 50 0 0

B2 200 50 50 1 1,7

B3 200 50 50 2 3,4

B4 200 50 50 3 5,1

B5 200 50 50 4 6,8

B6 200 50 50 5 8,5

C1 300 75 75 0 0

C2 300 75 75 1 1,7

C3 300 75 75 2 3,4

C4 300 75 75 3 5,1

C5 300 75 75 4 6,8

C6 300 75 75 5 8,5

Keterangan :

1. Pupuk cair Ragita Nutri Tonik diberikan 4 kali pada saat berumur 15, 30, 45 dan 60 hari setelah tanam.

2. Larutan semprot untuk setiap umur tanaman berturut-turut 350, 400, 450 dan 500 l/ha

D. Pelaksanaan Penelitian

- Tanah diolah sebaik mungkin dengan menggunakan cangkul dan selanjutnya diratakan.

- Setiap plot percobaan dibatasi pematang, saluran pemasukan dan pengeluaran air.

- Bibit padi dan varietas IR-64 dipindah tanamkan pada umur 25 hari dengan jarak tanam 25 cm x 25

cm dam jumlah bibit 3-4 batang per rumpun.

- Seluruh dosis pupuk P dan K yang berasal dari SP-36 dan pupuk KCl diberikan bersamaan tanam

dengan cara disebar merata. Sepertiga dosis pupuk Urea diberikan pada umur 7 hari, sepertiga dosis

sisanya masing-masing diberikan pada umur 21 hari dan 30 hari setelah tanam.

- Pupuk cair Ragita Nutri Tonik diberikan sesuai dosis perlakuan dengan saat pemberian mulai

umur 15 hari setelah tanam dengan interval pemberian 15 hari dan diberikan sampai tanaman

berumur 60 hari (4 kali pemberian).

- Pengairan dilaksanakan senaik mungkin, dan tanaman dihindarkan dari kekurangan air selama

proses pertumbuhan.

- Penyiangan dilakukan 2 kali, yaitu umur 15 hari dan umur 28 hari.

- Pengendalian hama dan penyakit dilaksanakan seintensif mungkin secara mekanis maupun kimia.

- Panen dilaksanakan apabila 90% gabah telah menguning.

E. Pengamatan

- Status hara tanah sebelum percobaan

- Tinggi tanaman umur 28, 42 dan 55 HST dan saat panen

- Jumlah anakan umur 28, 42 dan 55 HST

- Jumlah malai per rumpun

- Panjang malai per rumpun

- Jumlah gabah isi per malai

- Persentase gabah hampa per malai

- Bobot 1000 butir

- Hasil gabah kering panen (t/ha GKP)

- Analisis usahatani petani

Page 60: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

98

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Status Hara Tanah Percobaan

Percobaan pemupukan pada padi sawah menggunakan perlakuan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖.

Penelitian tersebut dilakukan di lahan petani di Desa Ngenep Kecamatan Karangploso Kabupaten Malang

dengan tekstur tanah tergolong lempung liat berdebu, dengan kandungan hara berdasarkan hasil analisis

tanah sebelum penelitian yang dilaksanakan di Laboratorium Tanah Universitas Brawijaya Malang seperti

tercantum pada Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis Unsur Hara Tanah Sebelum Percobaan Dilakukan di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso,

Kabupaten Malang

Analisis Kandungan Harkat

Tekstur:

- Pasir %

- Debu %

- Liat %

- Kelas

13

48

39

-

-

-

-

Lempung Liat Berdebu

pH : H2O 6,6 Netral

C-organik (%) 1,51 Rendah

N-Total (%) 0,17 Rendah

Nisbah C/N 9 Rendah

P-Olsen (mg kg-1) 13,44 Sedang

K (me/100g) 0,63 Tinggi

Na (me/100g) 1,07 Sangat Tinggi

Ca (me/100g) 9,08 Rendah

Mg (me/100g) 3,35 Tinggi

KTK (me/100g) 19,81 Rendah

* Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Tanah Brawijaya Malang.

Berdasarkan hasil analisi tanah, tampak bahwa lokasi penelitian mempunyai tekstur tanah lempung

liat berdebu, dengan kandungan K, Na, dan Mg tergolong tinggi, sedangkan unsur lain tergolong rendah

sampai sedang. Dengan demikian tanah di lokasi penelitian mempunya tingkat kesuburan tergolong sedang.

B. Pertumbuhan Tanaman

Parameter pertumbuhan tanaman dapat digunakan sebagai indikator untuk mengetahui lebih jauh

karateristik tanaman dalam hubungannya dengan hasil dan bagaimana hal tersebut dapat berubah dengan

umur dan lingkungannya. Perlakuan pemupukan an-organik dengan pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri

Tonik‖ tidak menunjukkan interaksi yang nyata terhadap pertumbuhan tanaman. Laju peningkatan tinggi

tanaman terjadi setelah memasuki umur tanaman 28 hari setelah tanam (HST), kemudian setelah memasuki

umur 55 HST laju perkembangan tinggi tanaman mulai menurun karena pada umur tersebut tanaman

memasuki fase generatif, sehingga konsentrasi perkembangan tanaman dalam mendistribusian asimilat lebih

banyak pada komponen hasil dan hasil (Tabel 4).

Tabel 4. Pengaruh Pemberian Pupuk An-Organik dan Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ Terhadap Tinggi Tanaman Padi

Sawah di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang.

Perlakuan Tinggi tanaman (cm) pada umur

28 HST 42 HST 55 HST Saat panen

Urea + SP36 + KCl (kg/ha)

A. 100+25+25 29,42 a 44,62 a 51,43 a 54,12 a

B. 200+50+50 29,06 a 44,61 a 51,34 a 53,92 a

C. 300+75+75 29,00 a 44,93 a 51,27 a 56,92 a

Pupuk Cair Ragita Nutri Tonik

1. 0 cc/l air (0 l/ha) 29,71 a 45,12 a 51,64 a 54,67 a

2. 1 cc/l air (1,7 l/ha) 28,69 a 44,48 a 53,18 a 54,20 a

3. 2 cc/l air (3,4 l/ha) 28,78 a 45,17 a 51,58 a 54,43 a

4. 3 cc/l air (5,1 l/ha) 29,20 a 43,66 a 50,86 a 54,02 a

5. 4 cc/l air (6,8 l/ha) 29,17 a 45,11 a 52,89 a 57,26 a

6. 5 cc/l air (7,5 l/ha) 29,41 a 44,78 a 52,13 a 54,01 a

C V (%) 6,75 5,66 7,20 7,30

Keterangan : Angka-angka yang dicikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada

taraf 0,05.

Page 61: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

99

Perkembangan tinggi tanaman dengan pemberian pupuk an-organik yang berbeda ternyata tidak

mempengaruhi tinggi tanaman. Demikian pula dengan penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ yang

diberikan dengan cara disemprotkan dalam konsentrasi 1 hingga 5 cc/l tidak memberikan perbedaan tinggi

yang nyata.

Jumlah anakan per rumpun padi sawah pada pengamatan umur 28 HST menunjukkan perbedaan

yang nyata dengan perlakuan pemupukan an-organik maupun pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖.

Namun perkembangan berikutnya pada pengamatan umur 42 HST dan 55 HST tidak menunjukkan

perbedaan jumlah anakan akibat pemberian pupuk tersebut. Perlakuan dosis pemupukan an-organik juga

tidak menunjukkan peningkatan jumlah malai per rumpun dan panjang malai (Tabel 5).

Tabel 5. Pengaruh Pemberian Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ Terhadap Jumlah Anakan dan Jumlah Malai/Rumpun

Padi Sawah di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang.

Perlakuan Jumlah anakan umur Jumlah malai/

rumpun

Panjang

malai (cm) 28 HST 42 HST 55 HST

Urea + SP36 + KCl (kg/ha)

A. 100+25+25 11,90 a 16,41 a 30,14 a 15,86 a 19,73 a

B. 200+50+50 10,65 a 26,07 a 29,82 a 15,71 a 19,45 a

C. 300+75+75 8,75 b 24,76 a 29,86 a 15,17 a 20,10 a

Pupuk Cair Ragita Nutri Tonik

1. 0 cc/l air (0 l/ha) 11,83 a 25,37 a 29,25 a 16,68 d 19,12 a

2. 1 cc/l air (1,7 l/ha) 10,57 ab 25,81 a 30,29 a 17,15 a 19,98 a

3. 2 cc/l air (3,4 l/ha) 10,04 ab 27,39 a 30,59 a 16,89 a 19,54 a

4. 3 cc/l air (5,1 l/ha) 10,20 ab 23,70 a 28,84 a 16,00 ab 19,97 a

5. 4 cc/l air (6,8 l/ha) 9,43 b 26,72 a 31,04 a 15,38 bc 19,96 a

6. 5 cc/l air (7,5 l/ha) 10,51 ab 25,47 a 29,63 a 14,37 cd 20,01 a

C V (%) 17,87 13,90 12,86 7,51 6,87

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada

taraf 0,05.

Pada awal pertumbuhan (fase vegetatif), peranan pupuk an-organik sebagai penyedia unsur Nitrogen,

Phosfor, dan Kalium sangat penting untuk mendukung pembentukan dan pemanjangan organ tanaman yang

dicirikan oleh pembentukan jumlah anakan. Setelah memasuki umur 55 HST, tanaman sudah memasuki fase

generatif. Pada fase ini ketersediaan unsur-unsur dalam tanah kurang kurang berperan dalam mendukung

jumlah malai per rumpun dan panjang malai. Fotosintat yang dihasilkan dimanfaatkan untuk pemasakan bulir

padi sehingga tampak bernas yang dicirikan dengan persentase gabah isi per malai. Kedua parameter jumlah

malai per rumpun dan panjang malai sangat dipengaruhi oleh interaksi faktor genetis dan ketersediaan unsur-

unsur makro dan mikro dalam tanaman.

Dari Tabel 5 tampak bahwa tanaman padi sawah yang disemprot pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖

dengan konsentrasi 1-5 cc/l air menunjukkan peningkatan jumlah malai per rumpun. Jumlah malai per

rumpun tertinggi secara nyata diperoleh dengan pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam

konsentrasi 1 cc/l air, dan menurun secara nyata bila konsentrasi pupuk cair ditingkatkan menjadi 4-5 cc/l air.

Pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ melalui daun pada tanaman padi dengan konsentrasi 1-3 cc/l air

masih dapat dimanfaatkan oleh tanaman, tetapi pemberian yang lebih tinggi akan menghambat metabolisme

tanaman yang dicirikan mengeringnya organ daun bagian pucuk menyebabkan terganggunya proses

fotosintesis sehingga hasil asimilat yang dibutuhkan untuk malai berkurang. Panjang malai tidak

menunjukkan perbedaan yang nyata, akibat pemberian pupuk an-organik maupun pupuk cair ‖Ragita Nutri

Tonik‖ dengan dosis yang diuji pada penelitian ini.

C. Hasil dan Komponen Hasil

Komponen hasil dipengaruhi oleh pengelolaan, genotipe dan lingkungan yang secara langsung

berhubungan dengan hasil panen yang diperolehnya. Perlakuan pemupukan an-organik serta pemberian

pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ tidak menunjukkan interaksi yang nyata terhadap komponen hasil maupun

hasil padi sawah (Tabel 6).

Page 62: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

100

Tabel 6. Pengaruh Pemberian Pupuk An-Organik dan Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ Terhadap Hasil dan Komponen

Hasil Padi Sawah, di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang

Perlakuan Hasil GKP

(t/ha)

Berat 1000

Biji(g)

Jumlah gabah

isi/malai

Jumlah gabah

hampa/malai

Urea+SP36+KCl (kg/ha)

A. 100+25+25 5,09 a 28,81 a 69,17 b 8,25 b

B. 200+50+50 5,51 a 29,14 a 77,89 b 11,59 a

C. 300+75+75 5,54 a 29,06 a 76,37 a 10,96 ab

Pupuk Cair Ragita Nutri Tonik

1. 0 cc/l air (0 l/ha) 4,19 c 28,62 a 62,30 b 9,78 a

2. 1 cc/l air (1,7 l/ha) 6,65 a 29,13 a 80,98 a 9,89 a

3. 2 cc/l air (3,4 l/ha) 6,01 a 29,34 a 76,16 a 9,67 a

4. 3 cc/l air (5,1 l/ha) 5,79 a 28,72 a 79,24 a 10,74 a

5. 4 cc/l air (6,8 l/ha) 5,30 ab 28,94 a 74,52 a 11,29 a

6. 5 cc/l air (7,5 l/ha) 4,94 b 29,24 a 73,67 a 10,24 a

C V (%) 13,85 3,49 10,36 8,97

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji Duncan pada taraf 0,05.

Berat 1000 biji tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan pemberian pupuk an-organik

maupun pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖, sedangkan jumlah gabah isi per malai meningkat

dengan dosis pemupukan. Peningakatan pemberian pupuk an-organik dari 1/3 dosis hingga dosis penuh

menyebabkan jumlah gabah hampa per malai meningkat, sebaliknya pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri

Tonik‖ tidak menunjukkan peningkatan jumlah gabah hampa per malai secara nyata.

Pemberian pupuk an-organik 1/3 dosis (100 kg/ha Urea+25 kg/ha SP-36+25 kg/ha KCl) hingga

dosis penuh (300 kg/ha+75 kg/ha SP-36+75 kg/ha KCl) tidak memberikan peningkatan hasil gabah kering

panen. Hasil yang dicapai berkisar 5 hingga 5,5 t/ha GKP (Tabel 6). Ini menunjukkan bahwa kandungan

hara dalam tanah sudah cukup untuk mensuplai sebagian kebutuhan hara oleh tanaman yang ditunjukkan dari

hasil analisis tanah dengan kesuburan tanah tergolong sedang (Tabel 3), sehingga penambahan pupuk an-

organik ke dalam tanah dalam jumlah sedikit sudah cukup mampu memberikan peningkatan hasil gabah

secara baik. Penambahan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1 cc/l air melalui daun dan

menunjukkan peningkatan hasil gabah dibandingkan tanpa pemberian pupuk tersebut. Peningkatan

konsentrasi pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ lebih lanjut hingga 4 cc/ l air tidak menyebabkan perbedaan

hasil gabah dibanding pemberian pupuk cair dalam konsentrasi 1 cc/ l air (1,7 l/ha), dan bahkan terjadi

penurunan hasil gabah bila konsentrasi pupuk cair ditingkatkan terus sampai 5 cc/l air. Respon tanaman

dalam bentuk peningkatan hasil gabah dengan pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ diduga karena

komposisi pupuk cair tersebut selain mengandung unsur hara makro juga mengandung hara mikro yang

sangat dibutuhkan tanaman padi (N 13,49%; P2O5 7,49%; K2O 9,32%; Ca 4,06%; Cl 0,89%; Mg 0,17%).

D. Analisis Usahatani Padi Sawah

Pendapatan usahatani padi dipengaruhi oleh besarnya biaya produksi yang dikeluarkan serta hasil

tanaman yang diperoleh. Kegiatan dalam usahatani padi mulai dari pengolahan tanah, penanaman,

pemeliharaan sampai panen untuk masing-masing perlakuan membutuhkan biaya produksi yang sama,

kecuali untuk biaya pemupukan berbeda-beda tergantung besarnya penambahan biaya pemupukan pada

tanaman. Perhitungan besarnya biaya pemupukan hanya didasarkan pada tingkat pemberian pupuk cair daun,

sedangkan biaya pemupukan untuk pupuk an-organik dianggap sama karena tidak terjadi perbedaan hasil

gabah yang nyata pada lokasi penelitian yang mempunyai kesuburan tanah terolong sedang (Tabel 6),

sehingga masing-masing perlakuan pupuk cair daun dibebankan biaya pemupukan an-organik yang sama

(dosis pupuk rata-rata) yaitu 200 kg/hara Urea + 50 kg/ha SP-36 + 50 kg/ha KCl. Dengan demikian dapat

dicari perbedaan biaya pemupukan dari penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dibandingkan tanpa

pupuk cair (kontrol) serta hasil yang diperolehnya. Dari hasil analisis usahatani padi menunjukkan bahwa

penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1cc/l air (1,71 l/ha) diperoleh peningkatan

hasil gabah tertinggi dibandingkan perlakuan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ lainnya (Tabel 7).

Page 63: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

101

Tabel 7. Analisis Pendapatan Usahatani Padi Berdasarkan Tingkat Pemberian Pupuk Cair ‖Ragita Nutri Tonik‖

Terhadap Padi Sawah di Desa Ngenep, Kecamatan Karangploso, Malang.

PPC Ragita Nutri Tonik

Hasil

GKP

(t/ha)

Δ Hasil Thd Kontrol Biaya*)

Pupuk

(Rp/ha)

Δ Biaya

Pupuk Thd

Kontrol

(Rp/ha)

Keuntungan =

ΔHasil – ΔBiaya

Pupuk (Rp/ha)

Hasil

(t/ha)

Nilai

(Rp/ha)

0 cc/l air (01/ha) (kontrol) 4,19 - - 420.000 - -

1 cc/l air (1,7 l/ha) 6,65 2,46 3.198.000 471.000 51.000 3.147.000

2 cc/l air (3,4 l/ha) 6,01 1,82 2.366.000 522.000 102.000 2.264.000

3 cc/l air (5,1 l/ha) 5,79 1,60 2.080.000 573.000 153.000 1.927.000

4 cc/l air (6,8 l/ha) 5,30 1,11 1.443.000 624.000 204.000 1.239.000

5 cc/l air (8,5 l/ha) 4,94 0,75 975.000 675.000 255.000 720.000

Keterangan:

*) Termasuk beban rata-rata penggunaan pupuk anorganik 200 kg Urea + 50 kg SP-36 + 50 kg KCl.

Harga Urea = Rp 1.200/kg; KCl = Rp 2.000; SP-36 = Rp 1.600/kg

PPC Ragita Nutri Tonik = Rp 30.000/l Gabah Kering Panen (GKP) = Rp. 1.300/kg

Biaya produksi untuk penggunaan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dengan memasukkan beban

biaya rata-rata pemupukan an-organik sebanyak 200kg/ha Urea + 75 kg/ha SP-36 +75 kg/ha KCl

(Rp. 420.000), sehingga analisis ekonomi lebih ditekankan pada penambahan biaya produksi untuk pupuk

cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam meningkatkan hasil gabahnya. Penambahan biaya pupuk cair ‖Ragita Nutri

Tonik‖ sebanyak 1,7 l/ha diperoleh peningkatan hasil gabah sebanyak 2,46 t/ha dan peningkatan keuntungan

sebesar Rp. 3.147.000 dibandingkan bila menggunakan pupuk an-organik yang sama tanpa pupuk cair .

Penambahan biaya produksi dengan menambahkan konsentrasi pupuk cair sampai 8,5 l/ha justru

menyebabkan menurunnya keuntungan yang diperoleh akibat menurunnya hasil gabah.

KESIMPULAN

1. Pemberian pupuk an-organik dan pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ secara mandiri dan interaksinya tidak

berpengaruh terhadap pertumbuhan vegetatif.

2. Pemberian pupuk an-organik secara mandiri tidak menunjukkan peningkatan yang nyata terhadap

pertumbuhan dan hasil tanaman, kecuali pada gabah isi dan gabah hampa per malai. Pemberian pupuk

cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ konsentrasi 1-3 cc/l air meningkatkan jumlah malai per rumpun dan gabah

kering panen.

3. Pupuk cair ‖Ragita Nutri Tonik‖ dalam konsentrasi 1 cc/l air (1,7 l/ha) yang disemprotkan pada tanaman

umur 15; 30; 45 dan 60 HST disarankan untuk digunakan pada tanaman padi sawah yang telah di pupuk

an-organik.

4. Peningkatan keuntungan tertinggi ( Rp. 3.417.000,-) diperoleh dari pemberian pupuk cair ‖Ragita Nutri

Tonik‖ konsentrasi 1 cc/l air (1,7 l/ha) dibandingkan tanpa pemberian pupuk cair.

DAFTAR PUSTAKA

Bastari,T. 1996. Penerapan Anjuran Teknologi Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan Litbang Pertanian Deptan. Hal 7-36.

De Datta, S.K. 1981. Principles and Practices of Rice Production. John Wiley & Sons.New York-Chicester-

Brisbane-Toronto. 618p.

-----------------. 1987. Advantages in soil fertility research and nitrogen fertilizer Management for lowland

rice. In Efficiency of Nitrogen Fertilizers for Rice.Proc. Of the Meeting of the INSFFER Giffith,

New South Wales, Australia 10-16 April 1985. Int. Rice Res. Inst, Los Banos, Philippines. P : 27-41.

Grist, D.H. 1978. Rice. Longman, London and New York. 601p.

Landon, J.R. 1984. Tropical Soil Manual. Booker Agriculture International Limited.London – England. P

133-137.

Lingga P. 1986. Petunjuk Penggunaan Pupuk. Cetakan I. Penebar Swadaya Jakarta

Page 64: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

102

Saptorini, N., E. Widyawati, dan L. Sari. 1993. Membuat Tanaman Cepat Berbuah. P.T. Penebar Swadaya.

Seri Teknologi XXIII/274/88.

Soedomo, R.P. 1992. Pengaruh Pupuk Daun Gemari Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Buah Cabai di

Daerah Bogor. Bull. Pen. Hort. XXI (4) : 1-5

Sugito, Y. Dan Y. Nuraini. 2000. Sistem Pertanian Organik. Hal 14-24. Dalam. Proseding Seminar Hasil

Penelitian/Pengkajian Teknologi Pertanian Mendukung Ketahanan Pangan Berwawasan Agribisnis.

Puslitbang Sosial Ekonomi. Bogor.

Taslim, H., A.M. Fagi dan Rochmat. 1989. Dampak Pemupukan NPK Jangka Panjang Terhadap Hasil Padi

dan Sawah. Kompilasi Hasil Penelitian 1988/1989. Balittan Sukamandi.

Tejasarwana, R., A.M. Fagi, dan H. Taslim. 1988. Peningkatan Efisiensi Pupuk Nitrogen pada Padi Sawah.

Dalam Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. p : 250-256.

Tisdale, S.L., Nelson, dan J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Machimilan Publising Co. New

York.

Page 65: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

103

PENGARUH EFEKTIVITAS PUPUK ORGANIK MIXED-G PADA TANAMAN TEBU PLANT

CANE DAN RATOON CANE DI YOGYAKARTA

Arifin, Z. dan PER Prahardini

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

ABSTRAK

Rendahnya kandungan bahan organik tanah (<2%) di wilayah PG. Madukismo-Yogyakarta diperlukan

penambahan bahan organik untuk memperbaiki kesuburan tanahnya. Oleh karena itu diperlukan pengujian pupuk Mixed–G pada tanaman tebu dengan tujuan mengetahui efektivitasnya terhadap produksi gula tanaman tebu plant cane dan

ratoon cane. Penelitian ini dirancang secara acak kelompok dengan empat ulangan, meliputi: (1) ZA : SP-36 :KCl (800

kg/ha:100 kg/ha:100 kg/ha) (Pupuk standard PG), (2) Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 200 kg/ha : 200 kg/ha), (3)

Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 150 kg/ha : 200 kg/ha), dan (4) Mixed-G : Urea (1400 kg/ha : 250 kg/ha). Hasil penelitian menunjukkan bahwa peningkatan produksi hablur dan efisiensi biaya pemupukan an-organik pada tanaman

tebu Plant Cane dicapai dengan menggunakan pupuk Mixed G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha,

sedangkan pada pertanaman tebu Ratoon Cane menggunakan pupuk Mixed-G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200

kg/ha diperoleh pengurangan biaya pemupukan, namun terjadi penurunan produksi hablur sehingga pendapatan usahatani tebu lebih rendah dibanding pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 100

kg/ha).

Kata kunci : pupuk organik Mixed-G, tebu plant cane, tebu ratoon cane, produksi gula

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Kebutuhan hara untuk meningkatkan produktivitas tanaman tebu umumnya dipenuhi dengan

memberikan pupuk an-organik (kimia) yang diberikan ke dalam tanah. Penggunaan pupuk an-organik secara

terus menerus ternyata tidak selalu diimbangi oleh peningkatan produksi secara proporsional. Menurut Sugito

dan Nuraini (2000), penurunan produktivitas lahan saat ini disebabkan oleh penggunaan pupuk an-organik

yang terus menerus dalam dosis makin tinggi sehingga kandungan bahan organik tanah semakin menurun.

Tisdale et al. (1975) dan Bastari (1996) menambahkan bahwa pemberian pupuk yang melebihi kebutuhan

tanaman yang dilakukan untuk meningkatkan produksi apabila dilakukan secara terus-menerus dan tanpa

upaya pengembalian unsur-unsur yang diserap tanaman tentunya akan berakibat merugikan kesuburan tanah

dan merusak sifat fisik dan kimia tanah. Pemupukan yang tidak berimbang akan mempercepat terkurasnya

hara dalam tanah. Menurut Taslim et al. (1989), penggunaan pupuk an-organik secara terus menerus akan

menyebabkan penurunan kandungan C-organik, P-tersedia dan KPK tanah. Bahkan sebagian besar tanah

sawah di Jawa menurut Karama (2000), mempunyai kandungan C-organik dibawah 1%, sehingga

menyebabkan terjadinya kemerosotan kualitas lahan.

Upaya-upaya untuk meningkatkan efisiensi pemberian pupuk antara lain melalui dosis pemberian

pupuk, saat pemberian pupuk, cara pemberian dan bentuk pupuk yang digunakan secara tepat (Landon,

1984). Pemberian pupuk an-organik melalui tanah apabila kurang tepat waktu dan dosisnya dapat

menurunkan efisiensi pemupukan serta mengganggu keseimbangan hara dalam tanah. Dari sejumlah pupuk

N an-organik yang diberikan hanya sebagian saja yang dimanfaatkan oleh tanaman dan sisanya hilang

melalui denitrifikasi, volatilisasi, pelindian dan terbawa oleh aliran permukaan (Tejasarwana et al., 1988).

Oleh karena itu diperlukan penambahan pupuk organik untuk memperbaiki produktivitas lahannya serta

meningkatkan efisiensi dalam pemupukan.

Tujuan

Menguji efektivitas pupuk Mixed-G terhadap produksi gula tanaman tebu plant cane dan ratoon

cane.

Page 66: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

104

METODOLOGI PENELITIAN

Lokasi penelitian terletak di wilayah kerja PG. Madukismo, Yogyakarta yaitu di Kebun Punthuk

(untuk pertanaman plant cane) dan Kebun Ngringinan (untuk pertanaman ratoon cane). Penelitian dirancang

secara acak kelompok dengan empat ulangan, meliputi penggunaan Mixed-G yang dikombinasikan dengan

pupuk an-organik serta sebagai pembanding adalah pupuk an-organik standard pada tanaman tebu PC dan

RC varietas PS 851, yaitu :

1. ZA : SP-36 :KCl (800 kg/ha : 100 kg/ha : 100 kg/ha) (Pupuk standard PG)

2. Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 200 kg/ha : 200 kg/ha)

3. Mixed-G : Urea : ZA (1400 kg/ha : 150 kg/ha : 200 kg/ha)

4. Mixed-G : Urea (1400 kg/ha : 250 kg/ha)

Setiap plot perlakuan 10 juring @ 7,5 meter, masing-masing 4 ulangan sehingga luas pengujian :

- Plant Cane = 4 x 10 x 7,5 x 4 = 1200 meter = 0,12 ha

- Ratoon Cane = 4 x 10 x 7,5 x 4 = 1200 meter =0,12 ha

Analisis data secara tabulasi sederhana menggunakan uji F dan DMRT. Analisis ekonomi

berdasarkan perbandingan biaya pemupukan terhadap hasil tebu.

Metode pengumpulan data dilakukan dengan pengamatan secara terencana dan terukur dengan

teknik pengamatan yang telah baku (Tabel 1).

Tabel 1. Parameter Pengamatan

Umur (bulan) Parameter

Sebelum penelitian Analisa tanah status hara pada empat blok perlakuanj/ ulangan (4 sampel)

dengan empat ulangan (N, P2O5, K2O, pH, unsur mikro, C-organik dan KTK)

5 bulan Tinggi, jumlah dan diameter batang

10 bulan Tinggi, jumlah dan diameter batang, brix tebu dengan Hand Brix Refraktometer

Menjelang/saat tebang Bobot tebu, rendemen tebang berdasarkan gilingan contoh

Pengamatan penunjang Hama dan penyakit

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pabrik gula yang mengolah tebu menjadi gula kristal putih mempunyai hasil samping berupa limbah

padat seperti blotong, ampas, dan abu ketel sangat potensial sebagai pupuk organik pembenah tanah karena

banyak mengandung bahan organik. Berdasarkan hasil analisis tanah yang digunakan untuk pertanaman tebu

di wilayah pabrik gula Madukismo mempunyai kandungan C-organik yang rendah, sehingga dibutuhkan

penambahan bahan organik untuk meningkatkan produktivitas lahannya. Dengan mengembalikan bahan

organik limbah padat hasil panen tebu ke lahan, secara langsung dapat memperbaiki kesuburan tanahnya.

Pupuk organik dengan bahan dasar blotong yang telah diperkaya dengan penambahan unsur hara

lainnya, diproduksi pabrik gula di wilayah kerja PT. Madukismo. Pupuk organik ―Mixed-G‖ mengandung

unsur hara makro, hara mikro dan C-organik sehingga diharapkan dapat meningkatkan efisiensi penggunaan

pupuk an-organik yang diperlukan oleh tanaman tebu untuk mencapai produksi maksimal.

Pertanaman Plant Cane di Kebun Punthuk

Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan

N tanah tergolong rendah dengan pH tanah agak masam (Tabel 2).

Page 67: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

105

Tabel 2. Analisis Pupuk Mixed-G dan Analisis Tanah di Lokasi Penelitian Kebun Punthuk di PG. Madukismo-

Yogyakarta, Tahun 2005.

Unsur Analisis pupuk Mixed-G Analisis tanah

Kandungan Harkat*)

Kadar air 11,43 % - -

pH 8,56 6,13 Agak masam

C-Organik 5,81 % 1,18 % Rendah

N-total 0,36 % 0,10 % Rendah

P2O5 total 5,08 % 997 ppm Sangat tinggi

K2O 9,58 % 0,57 me/100 g Sedang

S 2,03 % - -

Ca 6,56 % 2,84 me/100 g Rendah

Mg 0,68 % 1,24 me/100 g Sedang

Mn 0,15 % 76,2 ppm Sangat tinggi

Zn 0,03 % 2,20 ppm Sedang

Fe 0,91 % 91,60 ppm Sangat tinggi

Cu 0,02 % 5,50 ppm Sedang

KTK - 28,40 me/100 g Tinggi

*) Balai Penelitian Tanah (2005)

Rendahnya kandungan C-organik tanah (1,18%) akan mempengaruhi efisiensi pemupukan dan hasil

yang diperoleh sehingga dibutuhkan penambahan pupuk organik ke dalam tanah. Pupuk organik Mixed-G

produksi PG. Madukismo mempunyai kandungan C-organik 5,81% sehingga jumlah yang ditambahkan ke

dalam tanah sebesar 1400 kg/ha.

Perlakuan pemupukan pada tanaman tebu PC varietas PS 851 terhadap jumlah, tinggi dan diameter

batang serta produksi tebu, rendemen dan produksi hablur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel

3, 4 dan 5).

Tabel 3. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Jumlah Batang/m Tanaman Tebu (PC) di Kebun Punthuk PG.

Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005

Perlakuan Pemupukan Jumlah batang/m (umur)

5 bulan 10 bulan

ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 7,23 a 7,86 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 8,69 a 8,70 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 8,24 a 9,20 a

Mixed G : Urea (14 : 2,5) 7,99 a 8,25 a

C V (%) 21,24 22,56

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT

pada taraf 0,05

Jumlah batang/m pada pertanaman tebu varietas PS 851 pada umur 5 bulan tidak terlalu banyak

berubah sampai tanaman berumur 10 bulan. Perlakuan pemupukan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata

meskipun jumlah batang/m tertinggi dijumpai pada pemupukan Mixed-G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2).

Tabel 4. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Tinggi Batang dan Diameter Batang Tanaman Tebu (PC) di Kebun

Punthuk PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005

Perlakuan Pemupukan Tinggi batang (cm) Diameter batang (cm)

5 bulan 10 bulan 5 bulan 10 bulan

ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 53,50 a 219,50 a 1,70 a 1,85 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 58,25 a 223,30 a 1,78 a 1,93 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 53,25 a 233,30 a 1,80 a 1,90 a

Mixed G : Urea (14 : 2,5) 57,75 a 214,80 a 1,95 a 2,03 a

C V (%) 13,29 7,92 13,13 10,78

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT

pada taraf 0,05

Tinggi batang pada umur 5 bulan sekitar 55 cm dan setelah memasuki umur 10 bulan terjadi

penambahan tinggi tanaman hampir empat kali lipat dari pengukuran sebelumnya. Diameter batang tanaman

Page 68: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

106

tebu yang diamati pada umur 5 bulan terjadi sedikit penambahan diameter batang setelah tanaman tebu

berumur 10 bulan.

Tabel 5. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Produksi Tebu, Rendemen dan Produksi Hablur Tanaman Tebu (PC)

di Kebun Punthuk PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005

PerlakuanPemupukan Produksi Tebu

(Ku/Ha) Rendemen (%)

Produksi Hablur

(Ku/Ha)

ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 985,11 a 8,38 a 82,80 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 1091,62 a 8,15 a 88,99 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 1118,36 a 8,03 a 89,11 a

Mixed G : Urea (14 : 2,5) 1037,82 a 7,95 a 82,94 a

C V (%) 23,20 5,07 23,37

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT

pada taraf 0,05

Perlakuan pemupukan Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) diperoleh produksi tebu tertinggi sebesar

1.118,36 Ku/ha dan rendemen 8,03%, sehingga produksi hablur yang diperoleh mencapai 89,11 Ku/ha.

Apabila kombinasi pemupukan tersebut diatas (perlakuan No. 3), dimana dosis Urea sebanyak 150 kg/ha

ditingkatkan menjadi 200 kg/ha (perlakuan No. 2) justru mengalami penurunan produksi tebu maupun

produksi hablur.

Pemberian pupuk organik Mixed-G dapat meningkatkan efisiensi pemupukan an-organik pada

pertanaman tebu serta diperoleh peningkatan produksi tebu maupun produksi hablur (Tabel 6).

Tabel 6. Rekap Hasil Pengujian Pupuk Mixed-G pada Tanaman Tebu (PC) di Kebun Punthuk PG. Madukismo-

Yogyakarta, tahun 2005

Jenis dan Dosis

pupuk (kg/ha)

Biaya

Pupuk

(Rp/ha)

ΔBiaya Pupuk

Thd Pupuk

Standard

(Rp/ha)

Produksi

Hablur

(Ku/ha)

Nilai

Produksi

(Rp/ha)

ΔNilai Prod.

Thd Pupuk

Standard

(Rp/ha)

ΔNilai

Produksi -

ΔBiaya

Pupuk

(Rp/ha)

ZA : 800 kg/ha

SP-36 : 100 kg/ha

KCl : 100 kg/ha

1.859.500 - 82,80 34.776.000 - -

MixedG :1400 kg/ha

Urea : 200 kg/ha

ZA : 200 kg/ha

1.510.400 - 349.100 88,99 37.375.800 2.599.800 2.948.900

Mixed G :1400 kg/ha

Urea : 150 kg/ha ZA : 200 kg/ha

1.423.800 - 435.700 89,11 37.426.200 2.650.200 3.085.900

Mixed G :1400 kg/ha Urea : 250 kg/ha

1.238.000 - 621.500 82,94 34.834.800 58.800 680.300

Pemberian pupuk organik Mixed G 1400 kg/ha dikombinasikan dengan pupuk Urea 150 kg/ha dan

pupuk ZA 200 kg/ha (perlakuan No. 3) dapat mengurangi biaya pemupukan an-organik standard pabrik gula

sebesar Rp. 435.700 serta diperoleh peningkatan nilai produksi hablur sebesar Rp. 2.650.200. Dengan

demikian perlakuan pemupukan Mixed-G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) diperoleh tambahan pendapatan sebesar

Rp. 3.085.900 yang berasal dari pengurangan biaya pemupukan dan meningkatnya produsi hablur

dibandingkan pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 100

kg/ha).

Pertanaman Ratoon Cane di Kebun Ngringinan

Berdasarkan hasil analisis tanah sebelum percobaan menunjukkan bahwa kandungan C-organik dan

N tanah tergolong rendah dengan pH tanah agak masam (Tabel 7).

Rendahnya kandungan C-organik tanah (1,22%) akan mempengaruhi efisiensi pemupukan dan hasil

yang diperoleh sehingga dibutuhkan penambahan pupuk organik ke dalam tanah. Pupuk organik Mixed-G

produksi PG. Madukismo mempunyai kandungan C-organik 5,81% sehingga jumlah yang ditambahkan ke

dalam tanah sebesar 1400 kg/ha.

Page 69: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

107

Tabel 7. Analisis Pupuk Mixed-G dan Analisis Tanah di Lokasi Penelitian Kebun Ngringinan di PG. Madukismo-

Yogyakarta, Tahun 2005

Unsur Analisis pupuk Mixed-G Analisis tanah

Kandungan Harkat*)

Kadar air 11,43 % - -

pH 8,56 5,61 Agak masam

C-Organik 5,81 % 1,22 % Rendah

N-total 0,36 % 0,12 % Rendah

P2O5 total 5,08 % 445 ppm Sangat tinggi

K2O 9,58 % 0,28 me/100g Rendah

S 2,03 % - -

Ca 6,56 % 3,15 me/100g Rendah

Mg 0,68 % 1,33 me/100g Sedang

Mn 0,15 % 78,90 ppm Sangat tinggi

Zn 0,03 % 1,20 ppm Sedang

Fe 0,91 % 76,70 ppm Sangat tinggi

Cu 0,02 % 6,10 ppm Sedang

KTK - 41,00 me/100g Sangat tinggi

*) Balai Penelitian Tanah (2005)

Perlakuan pemupukan pada tanaman tebu RC varietas PS 851 terhadap jumlah, tinggi dan diameter

batang serta produksi tebu dan produksi hablur tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 8, 9 dan 10).

Tabel 8. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Jumlah Batang/m Tanaman Tebu (RC) Kebun Ngringinan PG.

Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005

Perlakuan Pemupukan Jumlah batang/m (umur)

3 bulan 6 bulan 9 bulan

ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 10,13 a 10,12 a 9,07 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 10,02 a 10,00 a 8,07 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 10,80 a 10,82 a 8,02 a

Mixed G : Urea (14 : 2,5) 10,15 a 10,13 a 8,67 a

C V (%) 6,77 6,87 14,09

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT

pada taraf 0,05

Jumlah batang antara umur 3 bulan sampai 6 bulan relatif stabil, sedangkan pada umur 9 bulan

jumlah batang/m mulai terjadi penurunan akibat adanya pengurangan tanaman yang kurang normal atau mati.

Tabel 9. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Tinggi Batang dan Diameter Batang Tanaman Tebu (RC) di Kebun

Ngringinan PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005

Perlakuan Pemupukan Tinggi batang (cm) Diameter batang (cm)

6 bulan 9 bulan 6 bulan 9 bulan

ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 80,25 a 225,75 a 1,95 a 2,02 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 78,75 a 210,75 a 2,00 a 2,05 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 87,75 a 227,25 a 1,92 a 2,05 a

Mixed G : Urea (14 : 2,5) 86,67 a 203,33 a 1,62 a 1,90 a

C V (%) 18,71 11,41 6,05 8,57

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT

pada taraf 0,05

Tinggi batang selama 3 bulan dari umur 6 bulan sampai 9 bulan mengalami peningkatan tinggi

tanaman tebu hampir tiga kali lipat, sedangkan diameter batang antara umur 6 bulan sampai umur 9 bulan

hampir stabil.

Perlakuan pemupukan Mixed-G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) diperoleh produksi tebu yang tinggi

(1187,75 Ku/ha), namun rendemen yang dicapai rendah (7,29%) sehingga produksi hablur hanya sebesar

86,48 Ku/ha (dibawah produksi hablur pemupukan an-organik standard PG karena rendemen mencapai

9,31%).

Page 70: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

108

Tabel 10. Pengaruh Pemupukan Mixed-G Terhadap Produksi Tebu, Rendemen dan Produksi Hablur Tanaman Tebu

(RC) di Kebun Ngringinan PG. Madukismo-Yogyakarta, Tahun 2005

Perlakuan Pemupukan Produksi Tebu

(Ku/Ha) Rendemen (%)

Produksi Hablur

(Ku/Ha)

ZA : SP-36 : KCl (8 : 1 : 1) 1066,50 a 8,31 a 88,77 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 2 : 2) 1018,00 a 7,94 ab 80,58 a

Mixed G : Urea : ZA (14 : 1,5 : 2) 1187,75 a 7,29 c 86,48 a

Mixed G : Urea (14 : 2,5) 1063,33 a 7,50 bc 80,01 a

C V (%) 9,61 3,48 9,43

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata dengan DMRT pada taraf 0,05

Dengan demikian, perlakuan pemupukan Mixed-G pada tanaman tebu RC diperoleh produksi hablur

yang rendah sehingga pendapatan usahatani tebu lebih rendah dibanding penggunaan pupuk an-organik

standard pabrik gula (Tabel 11).

Tabel 11. Rekap Hasil Pengujian Pupuk Mixed-G Pada Tanaman Tebu (RC) di Kebun Ngringinan PG. Madukismo-

Yogyakarta, Tahun 2005

Jenis dan Dosis pupuk

(kg/ha)

Biaya

Pupuk

(Rp/ha)

ΔBiaya

Pupuk Thd

Pupuk

Standard

(Rp/ha)

Produksi

Hablur

(Ku/ha)

Nilai

Produksi

(Rp/ha)

ΔNilai

Prod. Thd

Pupuk

Standard

(Rp/ha)

ΔNilai

Produksi -

ΔBiaya

Pupuk

(Rp/ha)

ZA : 800 kg/ha SP-36 : 100 kg/ha

KCl : 100 kg/ha

1.859.500 - 88,77 37.283.400 - -

Mixed G:1400kg/ha

Urea : 200 kg/ha

ZA : 200 kg/ha

1.510.400 - 349.100 80,58 33.843.600 - 3.439.800 - 3.090.700

Mixed G:1400kg/ha

Urea : 150 kg/ha

ZA : 200 kg/ha

1.423.800 - 435.700 86,48 36.321.600 - 961.800 - 526.100

Mixed G:1400kg/ha

Urea : 250 kg/ha

1.238.000 - 621.500 80,01 33.604.200 - 3.679.200 - 3.057.700

Keterangan : Harga Urea : Rp. 1.732 /kg

ZA : Rp. 1.795/kg SP-36 : Rp. 1.935/kg

KCl : Rp. 2.300/kg

Mixed-G : Rp. 2.500

Gula/Hablur : Rp. 4.200/kg

Penggunaan pupuk Mixed-G 1400kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha (perlakuan No. 3) pada

tanaman tebu RC varietas PS 851 diperoleh sedikit pengurangan biaya pemupukan sebesar Rp. 435.700,-,

namun produksi hablur lebih rendah sehingga mengurangi nilai produksi sebesar Rp. 961.800. Dengan

demikian adanya efisiensi pemupukan dan penurunan produksi hablur menyebabkan terjadinya penurunan

pendapatan usahatani tebu sebesar Rp. 526.100 dibanding pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA

800 kg/ha + SP-36 100 kg/ha + KCl 100 kg/ha).

KESIMPULAN

Peningkatan produksi hablur dan efisiensi biaya pemupukan an-organik pada tanaman tebu Plant

Cane dicapai dengan menggunakan pupuk Mixed G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha. Pada

pertanaman tebu Ratoon Cane menggunakan pupuk Mixed-G 1400 kg/ha + Urea 150 kg/ha + ZA 200 kg/ha

diperoleh pengurangan biaya pemupukan, namun terjadi penurunan produksi hablur sehingga pendapatan

usahatani tebu lebih rendah dibanding pemupukan an-organik standard pabrik gula (ZA 800 kg/ha + SP-36

100 kg/ha + KCl 100 kg/ha).

Page 71: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

109

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanah, 2005. Analisis Kimia Tanah, Tanaman, Air dan Pupuk. Edisi Pertama. Balai

Penelitian Tanah, Badan Litbang Pertanian, Departemen Pertanian.

Bastari,T. 1996. Penerapan Anjuran Teknologi Untuk Meningkatkan Efisiensi Penggunaan Pupuk. Pusat

Penelitian Tanah dan Agroklimat. Badan litbang Pertanian Deptan. Hal 7 – 36.

Karama, S. 2000. Tanah Sakit Perlu Sistem Pertanian Organik. Mimbar 27 (305) : 8.

Landon, J.R. 1984. Tropical Soil Manual. Booker Agriculture International Limited. London – England. P

133 – 137.

Sugito, Y., Y. Nuraini, dan E. Nihayati. 1995. Sistem Pertanian Organik. Fakultas Pertanian Universitas

Brawijaya. 84p.

Taslim, H., A.M. Fagi dan Rochmat, 1989. Dampak pemupukan NPK jangka panjang terhadap hasil padi

sawah. Kompilasi Hasil Penelitian 1988/1989. Balittan Sukamandi.

Tejasarwana, R., A.M. Fagi dan Rochmat, 1989. Dampak pemupukan NPK jangka panjang terhadap hasil

padi sawah. Dalam Padi. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan, Bogor. P : 250-256.

Tisdale, S.L., W.I. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan Publishing Co.

New York.

Page 72: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

110

UJI ADAPTASI VARIETAS DAN KLON KENTANG OLAHAN PADA MUSIM KEMARAU DI

DATARAN TINGGI BERIKLIM KERING

P.E.R. Prahardini dan Al. Gamal Pratomo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

ABSTRAK

Ketersediaan kentang olahan untuk industri pada saat ini semakin terbatas, hal ini disebabkan ketersedian benih

kentang varietas Atlantik yang merupakan satu-satunya kentang olahan yang diketahui petani semakin sulit didapat yang berakibat patani engan untuk menanamnya. Untuk mengatasi keterbatasan benih kentang olahan Balitsa Lembang telah

mendapatkan beberapa klon dan varietas kentang olahan yang diharapkan dapat mengganti varietas Atlantik. Tujuan dari

penelitian ini adalah menguji adaptasi beberapa klon dan varietas kentang olahan pada musim kemarau di dataran tinggi

beriklim kering. Penelitian dilakukan di Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji - Kodya Batu pada bulan April-Agustus 2004. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok diulang 4 kali dengan 5 perlakuan yang berupa

klon dan varietas yang diuji. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa klon 1085 pertumbuhan vegetatif nyata lebih baik dan

dapat berproduksi hingga 41,927 ton/ha sehingga diharapkan dapat menjadi pengganti varietas Atlantik.

Kata Kunci : kentang , benih, pertumbuhan, produksi.

PENDAHULUAN

Dalam beberapa tahun terakhir, kebutuhan kentang cenderung meningkat, mengingat kentang

merupakan salah satu komoditas yang menjadi prioritas pengembangan. Komoditas kentang digunakan

masyarakat di Indonesia sebagai sumber karbohidrat dan mempunyai potensi dalam program diversifikasi

pangan. Pemanfaatan kentang bisa digunakan sebagai kentang sayur, puree maupun kentang olahan sebagai

bahan baku industri sebagai potato chip/kripik.

Produksi kentang di Indonesia saat ini didominasi oleh varietas Granola yang mencapai 90% dari

seluruh areal tanam, sedangkan kentang olahan hanya menempati 10% saja (Chujoi, et al, 1999) Salah satu

varietas kentang sebagai bahan baku industri yang sudah dikenal adalah kentang Atlantik. Namun kentang

Atlantik memiliki beberapa kelemahan antara lain: produksinya rendah, tidak tahan layu, tidak tahan busuk

daun dan tidak tahan nematoda akar (Kusmana, 2003). Keterbatasan inilah yang menyebabkan kurang

berkembangnya industri makanan olahan kentang di Indonesia.

Tanaman dapat tumbuh dan berkembang dengan baik sangat ditentukan oleh interaksi antara faktor

lingkungan dan faktor genetik (Allard, 1989). Faktor lingkungan meliputi: jenis tanah, tekstur dan struktur

tanah kandungan bahan organik dan iklim mikro. Disamping itu salah satu penyebab rendahnya produktivitas

tanaman adalah kondisi ekosistem tanaman tersebut harus seimbang dan berkelanjutan sehingga tidak

memacu berkembangnya hama dan penyakit tanaman (Sastrosiswojo, 2003). Kota Batu merupakan salah

satu dari 15 kabupaten sentra kentang di Jawa Timur, dengan kisaran luas tanam sekitar 700 ha (Dinas

Pertanian Jawa Timur, 2005). Wilayah tersebut terletak di lahan kering dataran tinggi dengan iklim kering

dan termasuk zona agroekologi III by (Saraswati et al, 2000).

Hasil penelitian Balitsa Lembang menyebutkan bahwa varietas kentang yang sesuai untuk olahan

memerlukan beberapa kriteria antara lain dilihat dari : ukuran (5-7) cm, spesific gravity (min 1.067), kadar

air (+75%) dengan appearance max (16%). Varietas/klon yang memenuhi kriteria tersebut antara lain:

Kikondo, klon 1085 dan klon 095 (Kusmana, et al, 2004). Beberapa varietas kentang yang berpotensi

sebagai bahan baku olahan tersebut perlu di uji adaptasi di beberapa sentra produksi kentang.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui adaptasi dan potensi hasil beberapa varietas/

klon kentang pada musim kemarau di dataran tinggi beriklim kering

Page 73: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

111

BAHAN DAN METODE

Bahan atau Materi Penelitian

Bahan penelitian terdiri dari umbi varietas kentang sebagai perlakuan antara lain: A) Klon No 095;

B) Varietas Kikondo; C) Klon 1085; D) Varietas Atlantik dan E) Varietas Granola L. Pupuk yang digunakan

antara lain: pupuk kandang, SP-36, KCl dan ZA. Pestisida meliputi Proficur, Pylaram, Agriston, Dursban,

Furadan, Corzet, Agrep.

Alat

Alat yang digunakan dalam penelitian ini adalah timbangan untuk menimbang pupuk dan

menimbang umbi hasil panen, hand counter digunakan untuk mengitung jumlah daun dan meteran untuk

mengukur tinggi tanaman serta hand sprayer untuk menyemprot larutan pestisida.

Metode Penelitian

Percobaan ini dilaksanakan di lahan petani Desa Bumiaji, Kecamatan Bumiaji, Kota Batu, dengan

ketinggian tempat 1.200 m dpl pada Musim Kemarau II 2004 (bulan April – Agustus) dengan menggunakan

petak percobaan berukuran 4 m x 5 m disusun berdasarkan Rancangan Acak Kelompok yang diulang 4 kali.

Sebagai perlakuan adalah 5 varietas/ klon kentang terdiri dari: A) Klon No 095; B) Varietas Kikondo; C)

Klon 1085; D) Varietas Atlantik dan E) Varietas Granola L. Penanaman kentang dilakukan dengan sistem

guludan dengan jarak tanam 80 cm x 20 cm. Pengamatan vegetatif dilakukan mulai umur satu bulan sampai

umur 2 bulan setelah tanam meliputi: presentase tumbuh, jumlah daun per rumpun, tinggi tanaman, lebar

tajuk dan jumlah cabang utama, sedangkan pengamatan komponen produksi meliputi: jumlah umbi per

rumpun, berat umbi per rumpun dan produksi tanaman per ha. Untuk membedakan perlakuan antar varietas

dilakukan uji pembanding dengan menggunakan Uji Duncan.

Pelaksanaan Penelitian

1) Membersihkan lahan dari tanaman pengganggu atau sisa-sisa tanaman dengan menggunakan garpu atau

cangkul

2) Mencangkul atau membajak tanah sedalam 30 cm sampai gembur, kemudian dibiarkan selama + 15 hari

untuk memperbaiki keadaan tata udara dan aerasi tanah

3) Tanah dicangkul kembali sampai benar-benar gembur, kemudian diratakan

4) Membuat garitan dengan kedalaman 20 cm dan jarak antar garitan 80 cm, menyebarkan pupuk kandang

dan pupuk buatan.

5) Apabila pH tanah rendah (asam), dilakukan pengapuran sesuai dengan kebutuhan.

6) Menebarkan tanah di atas pupuk kandang dan pupuk buatan.

7) Meletakkan bibit kentang di atas pupuk yang telah ditutup dengan tanah.

8) Menutup bibit kentang dengan tanah dari antara garitan sampai membentuk guludan dengan ketinggian ±

10 cm.

9) Setelah pembumbunan pertama dan kedua tinggi guludan akan menjadi 30-40 cm.

10) Pemupukan: Pupuk kandang = 10 t/ha; Urea = 300 kg/ha; SP-36 = 300 kg/ha; KCl = 100 kg/ha

11) Pemberian pupuk: Sebagai pupuk dasar adalah pupuk kandang, SP-36 dan ½ dosis KCl, sedangkan Urea

dan ½ dosis KCl diberikan saat umur 1 bulan setelah tanam

12) Pengendalian H/P: Hama (aphid, kutu putih, P operculella, dan L. huidobrensis), musuh alami (predator

C. humilis dan parasitoid Opius sp). Sedangkan penyakit yang menyerang tanaman kentang ada dua

yaitu Layu fusarium dan P. infestans. Pengendalian menggunakan lebih dari satu macam pestisida

seperti: Proficur, Pylaram, Agriston, Dursban, Furadan, Corzet, Agrep. Diberikan sesuai dengan dosis

anjuran. Disekeliling lahan pertanaman sebelah luar dipasang perangkap kuning.

13) Pembumbunan dan pengguludan: dilakukan dua kali pada umur 2 minggu dan 4 minggu setelah tanam

14) Panen dilakukan pada umur 90 hari setelah tanam dengan kriteria daun sudah menguning dan rebah,

dihitung jumlah umbi per rumpun dan bobot umbi per rumpun.

Page 74: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

112

HASIL DAN PEMBAHASAN

A. Status Hara Tanah Percobaan

Pada awal penelitian diambil contoh tanah untuk mengetahui status hara di lokasi penelitian.

Analisis unsur hara dilakukan di Laboratorium Tanah Universitas Brawijaya Malang seperti tercantum pada

Tabel 1

Tabel 1. Hasil Analisis Unsur Hara Tanah dan Kandungan Bakteri Pseudomonas Sebelum Percobaan Dilakukan di Desa

Bumiaji, Kecamatan Bumiaji Kota Batu Jawa Timur*

Analisis Kandungan Harkat

Tekstur: - Pasir %

- Debu %

- Liat %

- Kelas

23

65

33

-

-

-

-

Lempung Berdebu

pH : H2O 5,4 Asam

C-organik (%) 5,56 Tinggi

N-Total (%) 0,50 Sedang

Nisbah C/N 11,00 Rendah

P-Olsen (mg kg-1) 3,86 Rendah

K (me/100g) 0,31 Sedang

Na (me/100g) 0,50 Rendah

Ca (me/100g) 4,69 Rendah

Mg (me/100g) 0,50 Rendah

KTK (me/100g) 38,85 Tinggi

Bakteri pseudomonas (sel/g) 83 x 10 3

* Berdasarkan hasil analisis Laboratorium Tanah dan Lab Mikrobiologi Universitas Brawijaya Malang.

Berdasarkan hasil analisis tanah, tampak bahwa lokasi

penelitian mempunyai tekstur tanah lempung berdebu, dengan

kandungan K dan N tergolong sedang, sedangkan unsur lain

tergolong rendah, kecuali C-organik dan KTK tinggi. Dengan

demikian tanah di lokasi penelitian mempunya tingkat kesuburan

tergolong cukup baik. Kandungan bakteri pseudomonas di dalam

tanah yang berpotensi untuk memacu penyakit layu bakteri juga

rendah, sehingga lokasi penelitian mampu mengeliminir munculnya

penyakit layu bakteri pada pertanaman.

Pertumbuhan Tanaman

Pengamatan awal pertumbuhan vegetatif pada umur 1 bulan

setelah tanam menunjukkan persentase tumbuh antara 81 - 98%,

namun pada pertumbuhan vegetatif umur 1,5 dan 2 bulan setelah tanam terlihat perbedaan yang nyata antar

varietas terlihat dari parameter pertumbuhan tinggi tanaman, lebar kanopi, jumlah daun/rumpun dan jumlah

cabang utama/rumpun (Tabel 2 dan Tabel 3). Tabel 2. Uji Adaptasi Varietas Kentang Terhadap Persentase Tumbuh pada Umur 1 Bulan Setelah Tanam dan Tinggi

Tanaman, Jumlah Cabang Utama/Rumpun, Jumlah Daun/ Rumpun dan Lebar Kanopi pada Umur 1,5 Bulan

Setelah Tanam pada Musim Kemarau di Batu

Perlakuan/Parameter

pengamatan

Persentase

tumbuh (%)

Tinggi

tanaman (cm)

Lebar kanopi

(cm)

Jml. daun/

rumpun

Jml. cabang

utama/

rumpun

Klon 095 98 20,83 c 46,20 a 21,88 b 1,58 a

Varietas Kikondo 97 28,03 b 38,10 ab 19,78 bc 1,30 a

Klon 1085 97 37,03 a 46,37 a 30,38 a 1,53 a

Varietas Atlantik 98 18,78 c 32,70 b 13,90 c 1,48 a

Varietas Granola 81 29,23 b 47,40 a 19,22 bc 1,58 a

CV 12,78 19,50 18,76 14,18

Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan yang

nyata menurut Uji Duncan.

Keragaan umbi kentang Klon 095

Page 75: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

113

Pada Tabel 2 tampak bahwa kelima varietas/klon kentang yang di tanam mampu beradaptasi di

wilayah Batu pada musim kemarau yang ditunjukkan dengan persentase tumbuh yang tinggi, kecuali varietas

Granola yang tumbuh hanya 81%. Perkembangan benih saat awal pertunasan sangat dipengaruhi oleh

interaksi antara faktor genetik dan faktor lingkungan. Pecah tunas sangat ditentukan oleh ketuaan umbi

dengan ketersediaan air sebagai pengurai bahan makanan yang

terdapat pada umbi (Asandhi, et al; 1989). Pada pertumbuhan

vegetatif awal tanaman menunjukkan perbedaan tinggi tanaman

yang nyata antar varietas. Klon 1085 menunjukkan tanaman

tertinggi secara nyata dibandingkan varietas yang lain,

demikian pula terlihat dari keragaan lebar kanopi menunjukkan

hasil yang lebih lebar dibandingkan varietas Atlantik.

Demikian pula halnya dengan pembentukan daun, tampak

bahwa klon 1085 menghasilkan daun nyata lebih banyak

dibandingkan keempat varietas/klon kentang yang lain dengan

rata-rata 30 daun/rumpun. Dilihat dari jumlah cabang utama

per rumpun ternyata dari ke lima varietas/klon yang

diadaptasikan menunjukkan hasil jumlah cabang/rumpun yang

sama.

Pertumbuhan dan perkembangan vegetatif tanaman

pada umur 2 bulan setelah tanam merupakan awal pembentukan umbi, hasil pengamatan disajikan pada

Tabel 3.

Tabel 3. Uji Adaptasi Varietas Kentang Terhadap Tinggi Tanaman, Jumlah Cabang Utama/Rumpun, Jumlah

Daun/Rumpun dan Lebar Kanopi pada Umur 2 Bulan Setelah Tanam pada Musim Kemarau di Batu

Perlakuan/Parameter

pengamatan

Tinggi tanaman

(cm) Lebar kanopi (cm) Jml. daun/rumpun

Jml. cabang

utama/ rumpun

Klon 095 21,83 d 52,78 ab 25,15 c 1,45 a

Varietas Kikondo 34,93 b 48,60 ab 38,05 b 1,23 a

Klon 1085 42,10 a 55,48 a 52,98 a 1,45 a

Varietas Atlantik 19,62 d 40,05 b 17,40 d 1,43 a

Varietas Granola 30,23 c 54,40 ab 20,00 cd 1,48 a

CV 12,78 17,37 15,57 14,13

Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan yang

nyata menurut Uji Duncan

Dari tabel di atas terlihat bahwa hasil pertumbuhan

tinggi tanaman antar varietas terlihat berbeda nyata, tanaman

tertinggi dihasilkan oleh klon 1085 dibandingkan varietas

Atlantik terjadi peningkatan tinggi tanaman sekitar 53,40%.

Kondisi pertumbuhan tanaman dilihat dari lebar kanopinya

tampak bahwa klon 1085 menghasilkan kanopi paling lebar yang

diikuti pula dengan pembentukan daun yang nyata lebih banyak

dibandingkan keempat varietas/klon yang lain. Pada umur dua

bulan setelah tanam jumlah cabang utama per rumpun sama dari

kelima varietas/klon yang diuji. Daun merupakan organ

metabolisme tanaman yang mampu membentuk karbohidrat

untuk disimpan dalam umbi. Dengan semakin lebar kanopi dan

semakin banyak jumlah daun maka karbohidrat yang terbentuk

juga semakin banyak. Keragaan potensi hasil disajikan pada Tabel 4.

Potensi Hasil

Kemampuan tanaman untuk tumbuh dan berkembang secara optimal saat pertumbuhan vegetatif

tentunya menjadi salah satu indikator keberhasilan dalam menunnjukkan potensi produksinya yang

merupakan hasil interaksi antara faktor genetis dan faktor lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh.

Potensi produksi dari kelima varietas yang diuji disajikan pada Tabel 4.

Keragaan umbi kentang Varietas Kikondo

Keragaan umbi kentang Klon 1085

Page 76: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

114

Tabel 4. Uji Adaptasi Varietas Kentang Terhadap Jumlah Umbi/Rumpun, Berat Umbi/Rumpun dan Produksi/Ha pada

Musim Kemarau di Batu

Perlakuan/Parameter

pengamatan Jumlah umbi/rumpun Berat umbi/rumpun Produksi (t/ ha)

Klon 095 8,42 a 369,94 b 26,61 bc

Varietas Kikondo 6,89 ab 302,02 b 26,72 bc

Klon 1085 6,87 ab 467,89 a 41,93a

Varietas Atlantik 5,72 b 391,40 ab 29,48 b

Varietas Granola 5,64 b 189,57 c 18,88 c

CV 15,55 13,59 17,75

Keterangan : Angka yang didampingi oleh huruf yang sama pada setiap kolom menunjukkan tidak ada perbedaan yang

nyata menurut Uji Duncan

Dari Tabel 4 terlihat bahwa klon 095 menghasilkan jumlah umbi per rumpun tertinggi dan tidak

berbeda nyata dengan varietas Kikondo dan klon 1085, namun berbeda nyata dengan varietas Atlantik dan

varietas Granola. Namun dari hasil pengamatan berat umbi per rumpun tampak bahwa klon 1085 mampu

menghasilkan berat umbi 467,89 g/rumpun. Hasil berat umbi/rumpun ini tertinggi secara nyata dibandingkan

varietas/klon yang diuji kecuali dengan varietas Atlantik. Dari hasil di atas terlihat bahwa produksi klon

1085 mampu menghasilkan 41,93 t/ha. Hasil tersebut berbeda nyata dengan keempat varietas/klon yang

lain. Klon 1085 mampu meningkatkan hasil sekitar 30% dibandingkan varietas Atlantik, Kikondo dan klon

095 dan mampu meningkatkan hasil sekitar 55% dibandingkan varietas Granola. Varietas Atlantik selama

ini telah digunakan sebagai bahan baku industri untuk potato chip dengan peningkatan produksi yang tinggi

klon 1085 tersebut mampu berpotensi untuk menggantikan varietas Atlantik sebagai bahan baku industri,

demikian juga mampu menggantikan varietas Granola sebagai kentang sayur.

Serangan Organisme Pengganggu

Pengamatan secara visual belum tampak adanya serangan hama maupun penyakit pada kelima

varietas/klon yang diuji. Kelimpahan populasi hama kutu kebul dan P. operculella maupun penyakit P.

Infestan yang menyerang pada lima varietas/klon yang diuji relatif rendah.

Berdasarkan kondisi agroekologi yang kering di Desa Bumiaji Kota Batu mampu mendukung

pertumbuhan dan perkembangan tanaman kentang secara optimal. Dengan demikian pemilihan varietas yang

akan ditanam petani masih sangat beragam, tentunya pemilihan tidak hanya dilihat dari sisi potensi hasil

tetapi juga tingkat preferensi konsumen yang ada.

KESIMPULAN

Pada lahan dengan kesuburan cukup baik kelima varietas/klon yang diuji antara lain: Kikondo, Atlantik,

Granola, klon 095 dan klon 1085 mampu tumbuh dengan persentase tumbuh yang tinggi antara 81-98%

Klon 1085 menghasilkan pertumbuhan vegetatif nyata lebih baik dibandingkan keempat varietas/klon

yang lain

Klon 1085 menghasilkan jumlah umbi 6,87/rumpun dengan bobot umbi 467,89 g/rumpun dan potensi

produksi 41,93 t/ha, dengan peningkatan produksi sekitar 35% dibandingkan varietas Atlantik dan 55%

dibandingkan varietas Granola

DAFTAR PUSTAKA

Allard, R.W. 1989. Pemuliaan Tanaman 2. Bina Aksara. Jakarta. Hal. 339 – 409.

Asandhi, A.A; Sastrosiswojo, S; Suhardi; Abidin,Z dan Subhan. 1989. Kentang. Badan Litbang Pertanian –

Balai Penelitian Hortikultura Lembang. Lembang.

Chujoi. E.R.S. Basuki, N. gunadi, Kusmana, O.S. Gunawan and Sudjoko SAT. 1999. Informal survey on

potato production constrint in Pangalengan. West Java Indonesia. Pot. Res in Indonesia.

Coolaborative Research between RIV – CIP.

Dinas Pertanian Jawa Timar. 2005. Laporan Tahunan. 2004. Surabaya.

Keragaan umbi kentang Klon 095

Page 77: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

115

Kusmana. 2003. Laboran Hasil Seleksi Varietas Kentang Processing Menunjang Pengembangan

Agroindustri

Kusmana, R.S. Basuki dan Dimyati. 2004. makalah usulan pelepasan varietas kentang Klon 380584.3, TS-2,

FBA-4, I-1085 dan MF-II sebagai bahan baku kentang Olahan

Saraswati, D.P.; Suyamto,H; D. Setyorini dan Al.G. Pratomo. 2000. Zona Agroekologi Jawa Timur. Buku

I: Zonasi dan Karakterisasi sumberdaya lahan wilayah Jawa Timur. BPTP Karangploso. 22 hal.

Sastrosiswojo S. 2003. Perbaikan komponen teknologi PHT pada tanaman kentang. Jurnal Penelitian

Hortikultura.

Page 78: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

116

PENGKAJIAN PENGEMBANGAN USAHATANI PADI – UDANG WINDU

DI KABUPATEN BABYUWANGI

Al. Gamal Pratomo, F. Kasijadi, PER. Prahardini dan Thohir Zubaidi

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur

ABSTRAK

BPTP Jawa Timur telah melaksanakan pengkajian tumpangsari padi-udang windu di dua daerah yang terletak

di kawasan pantai Utara yaitu Kabupaten Lamongan dan Sidoarjo dengan hasil yang cukup baik. Untuk lebih memantapkan dan mengembangkan paket teknologi tumpangsari padi-udang windu telah pula dilakukan pengkajian pada

daerah yang diperkirakan ada intrusi air laut. Pengkajian ini juga merupakan upaya optimalisasi lahan dalam rangka

diversifikasi usahatani, serta meningkatkan produktivitas lahan untuk meningkatkan pendapatan petani lahan sawah.

Tujuannya adalah mengetahui dan mempelajari pengelolaan usahatani padi-udang windu di lahan sawah Tambak di Banyuwangi. Pengkajian dilaksanakan di Desa Watukebo Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi. Hasil

Pengkajian menunjukkan bahwa karakteristik lokasi pengkajian kurang sesuai karena kandungan pasir pada lokasi

pengkajian cukup tinggi yaitu 42%. Produksi padi cara petani sudah mencapai 7 ton/ha dan 7,9 ton/ha untuk cara tanam

jajar legowo. Untuk pertumbuhan udang awalnya cukup baik tetapi akibat terkena banjir dan dipanen awal dengan masa pemeliharaan 2 bulan dihasilkan udang seberat 15 kg dengan penebaran 10.000 ekor/ha.

Kata kunci : sawah tambak, padi, udang windu, produksi.

PENDAHULUAN

Upaya untuk meningkatkan produksi udang windu di tambak payau telah banyak dilakukan, baik

melalui ekstensifikasi maupun intensifikasi. Namun demikian kenyataan di lapang produksi semakin

menurun dan penularan penyakit udang baik yang disebabkan oleh virus maupun bakteri patogen yang

menyebabkan kegagalan panen semakin berkembang (Mangampa dkk, 1999). Hal ini disebabkan oleh

adanya kemerosotan mutu lingkungan baik di dalam tambak budidaya maupun luar tambak yang

menyebabkan para petambak sulit memperoleh air yang memenuhi persyaratan untuk kegiatan budidaya

udang.

Sejalan dengan terus merosotnya mutu lingkungan yang berdampak pada rendahnya produktifitas

lahan tambak payau, sekarang ini telah banyak diintroduksi usahatani terpadu padi udang windu di air tawar

atau sawah tambak. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Jawa Timur telah melaksanakan pengkajian

tumpangsari padi-udang windu di dua daerah yang terletak di kawasan pantai Utara yaitu Kabupaten

Lamongan dan Sidoarjo dengan hasil yang cukup baik.

Untuk lebih memantapkan dan mengembangkan paket teknologi tumpangsari padi-udang windu

telah pula dilakukan pengkajian pada daerah yang diperkirakan ada intrusi air laut. Pengkajian ini juga

merupakan upaya optimalisasi lahan dalam rangka diversifikasi usahatani, serta meningkatkan produktivitas

lahan untuk meningkatkan pendapatan petani lahan sawah. Selain itu usahatani terpadu padi udang windu

merupakan salah satu usahatani yang cukup prospektif yang diharapkan dapat meningkatkan pendapatan

karena adanya pendapatan ganda selain padi yaitu udang windu. Usahatani terpadu padi udang windu ini

merupakan salah satu sistem budidaya yang menerapkan pendayagunaan lahan yang lebih efisien, tepat guna

dan berwawasan lingkungan. Di samping itu juga memberikan dampak positif bagi perkembangan agribisnis

terutama di pedesaan karena adanya diversifikasi komoditi dan peningkatan produksi terutama padi dan

udang windu.

Hasil pengkajian Muhariyanto, dkk. (2002), udang windu dapat hidup dan tumbuh dengan baik

bersama padi (tumpangsari) pada sawah tambak yang mengandung sedikit kadar garam, sedangkan pada

sawah irigasi yang tidak mengandung garam sama sekali udang windu tidak dapat hidup. Lebih lanjut

dijelaskan oleh Suseno dan Prayitno, 2001 bahwa budidaya udang windu di air tawar umumnya terhindar dari

penyakit yang disebabkan oleh bakteri Vibriosis

Tujuannya adalah mengetahui dan mempelajari pengelolaan usahatani padi-udang windu di

Kabupaten Banyuwangi.

Page 79: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

117

METODOLOGI

Pengkajian akan dilaksanakan di Desa Watukebo Kecamatan Rogojampi Kabupaten Banyuwangi,

pada bulan Juli-Desember 2005. Bahan berupa: padi varietas Ciherang, udang windu, pupuk Urea, ZA, SP-

36, KCl, dan Saponin. Kegiatan ini merupakan pengkajian spesifik lokasi yang dimaksudkan untuk

mengetahui dan mempelajari usahatani padi-udang windu di lahan sawah tambak. Paket teknologi yang akan

diuji adalah sebagai berikut (Tabel 1):

Tabel 1. Komponen Paket Teknologi Yang Diuji pada Pengembangan Usahatani Padi-Udang Windu

Komponen teknologi Cara Petani Teknologi Rekomendasi

Varietas Padi Ciherang Ciherang

Jumlah benih 50 kg 40 kg

Sistem tanam 20 x 20 cm Jajar legowo 40 x 20x10 cm

Jumlah bibit per tanaman 3-4 bibit 1-2 bibit

Pemupukan 400 kg Urea + 50 kg SP-36/ha 300 kg ZA + 100 kg ZA + 50 kg SP-36 +

50 kg KCl/ha

Ukuran benih udang windu PL. 50 - 60 PL. 50 - 60

Padat penebaran 10.000 ekor/ha 10.000 ekor/ha

Waktu pemeliharaan 70 – 80 hari 70 – 80 hari

Prosedur kerja

Pengolahan lahan

Tanah dibajak 2 kali dengan kedalaman sekitar 25 cm kemudian dilakukan pelumpuran dan

penggaruan sampai rata.

Pembuatan Saluran Keliling (Caren)

Pembuatan saluran keliling berukuran lebar + 1 meter dan kedalaman 50-70 cm. saluran keliling

dibuat sesaat sebelum pengolahan tanah berakhir. Fungsi saluran keliling adalah sebagai tempat hidup udang

dan tempat memberi pakan.

Penanaman

Pada saat tanam kondisi air macak-macak. Penanaman padi secara tanam pindah

Pemupukan

Pupuk SP-36 dan KCl disebar secara merata sehari sebelum tanam. Pupuk ZA diberikan 3 kali,

pertama diberikan sebagai pupuk dasar bersamaan pupuk SP-36 dan KCl, kedua disebar 21 hari setelah

tanam dan ketiga disebar pada saat premordia tanaman umur 42 hari, sedangkan pupuk Urea diberikan 2 kali

yaitu pada umur 21 hari dan 42 hari setelah tanam. Untuk cara petani dilakukan kebiasaan petani yaitu SP-36

diberikan sebelum tanam dan Urea diberikan 3 kali yaitu pada umur 7 hari setelah tanam, 21 hari setelah

tanam dan umur 42 hari setelah tanam.

Penyiangan

Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu: penyiangan I pada saat tanaman berumur 17 hari dan

penyiangan II pada saat tanaman berumur 30 hari.

Pengairan

Pengaturan air digunakan pompa air atau pipa untuk pemasukan dan pengeluaran air. Untuk mencegah

keluar masuknya udang dan ikan-ikan pemangsa ke dalam petakan sebaiknya dipasang saringan di pangkal

pipa. Ketinggian air yang baik untuk pertumbuhan udang di dalam caren berkisar antara 40-50 cm dan 10 cm

pada tanaman padi. Secara rinci pengaturan air adalah sebagai berikut:

Umur tanaman padi 0-7 hari pengaturan air macak-macak.

Umur tanaman padi 7-17 hari, air dimasukkan sesuai tinggi tanaman padi dan ditunggu sampai kondisi air

jernih, kemudian benih udang dapat ditebarkan.

Umur tanaman padi 17-80 hari, air dipertahankan pada ketinggian tertentu (stabil) dan disesuaikan untuk

kondisi pertumbuhan udang.

Umur tanaman padi 80-90 hari, air mulai dikeringkan dan udang mulai dipanen

Page 80: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

118

Penebaran Udang

Penebaran udang dilakukan 21 hari setelah tanam padi, dilakukan pagi atau sore apabila kondisi air

sudah jernih. Benih udang sebelum ditebar ke sawah harus disesuaikan terlebih dahulu antara kondisi air

dalam pengangkutan dengan air sawah, terutama temperatur dan kadar garam (salinitas). Pada saat

penyesuaian suhu dan kadar garam tersebut harus diamati terus menerus sampai kondisi keduanya sama atau

hampir sama. Cara penyesuaian temperatur dan kadar garam adalah sbb:

Masukan kantong plastik yang berisi benih udang kedalam petakan sawah

Biarkan kantung tersebut mengapung selama + 30 menit untuk menyamakan temperatur air sawah dengan

air dalam kantong plastik. kemudian dibuka kantong plastiknya dan ukur suhu airnya dengan termometer.

Jika suhu antara air sawah dengan air dalam kantong plastik sama atau hanya berbeda 1°C-2°C udang

sudah bisa dimasukkan ke dalam sawah tetapi sebelum itu dilakukan pula penyesuaian kadar garam.

Penyesuian kadar garam dilakukan dengan cara memasukkan air sawah kedalam kantong plastik sedikit

demi sedikit, setelah sama benih dapat ditebarkan.

Waktu Pemeliharaan Udang

Lama pemeliharaan udang, sampai ukuran konsumsi sekitar 70-80 hari.

Pengendalian Hama Padi dan udang

Untuk mengantisipasi serangan hama atau penyakit tanaman padi yang ditumpangsarikan dengan

udang, dianjurkan untuk menggunakan pestisida nabati. Sedangkan untuk mengendalikan hama udang

digunakan biji teh (Saponin) dengan dosis 15-20 kg/ha.

P a n e n

- Sebelum udang dipanen, keluarkan air dari petakan secara berangsur-angsur melalui caren agar udang

terkumpul untuk memudahkan panen. Udang yang sudah dipanen, untuk sementara diletakkan di dalam

wadah/keranjang sebelum dipasarkan.

- Sedangkan panen padi dilakukan apabila 95% butir padi telah menguning. Diusahakan kehilangan hasil

sekecil mungkin dengan cara pengangkutan dan penyimpanan yang baik.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisa tanah dilokasi pengkajian diketahui karakteristik tanah dari segi kimia tanah sudah

sesuai terutama kandungan bahan organik, pH tanah, dan unsur-unsur hara lainnya. Tetapi dari sifat fisik

tanah terutama tekstur tanah ternyata di lokasi pengkajian tidak sesuai untuk budidaya padi-udang windu

(sawah tambak) karena kandungan pasirnya terlalu banyak yaitu 42% (Tabel 2). Dengan tingginya

kandungan pasir pada lokasi pengkajian menyebabkan kendala bagi proses pembuatan galengan dan caren

karena pembuatannya relatif lebih sulit. Selain itu air yang dicaren perlu diisi lebih banyak agar tidak cepat

habis. Menurut Pratomo, dkk (2005) untuk sawah tambak tektur yang sesuai harus mengandung lebih dari

65% liat, 20% debu dan kurang dari 5% pasir.

Tabel 2. Karakterisasi Lahan yang Digunakan dalam Kegiatan Padi-Udang Windu di Kabupaten Banyuwangi.

No. Parameter Nilai

1. Topografi

Elevasi (m dpl)

Kemiringan lereng (%)

0

0

2. Tekstur :

Liat (%)

Debu (%)

Pasir (%)

23

35

42

3. pH H2O pH KCl

7,4 5,5

4. C-Organik (%) 1,75

5. Bahan organik (%) 3,02

6. Salinitas (ppm) 0

7. Kation Na (me/ 100 mg) 2,27

8. Kation K (me/ 100 mg) 1,76

9. NH4 (mg/kg) 11,58

10. Ketersedian air tawar Cukup tersedia

Page 81: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

119

Untuk budidaya padi pada sawah tambak dilokasi pengkajian tidak terlihat adanya masalah, karena

ketersedian air tawar dilokasi penelitian cukup dan salinitas airnya hanya berkisar 0-2 ppm. Menurut Fagi

A.M dan Irsal Las (1988) pertumbuhan padi mulai terlihat jelek bila kadar garam/salinitas air sudah

mencapai 7,5 ppm. Hasil pertumbuhan tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun, jumlah malai per

rumpun, panjang malai dan berat 1000 butir hampir tidak menunjukkan perbedaan antar dua perlakuan yang

dicoba baik itu dengan cara jajar legowo maupun cara petani. Tetapi terhadap produksi ternyata dengan cara

tanam jajar legowo memberikan produksi yang lebih tinggi dibandingkan dengan cara petani yaitu masing-

masing 7,9 ton/ha untuk cara tanam jajar legowo dan 7 ton/ha untuk cara tanam petani.(Tabel 3).

Cukup tingginya produksi padi pada lokasi pengkajian ini karena pupuk yang diberikan pada sawah

tambak baik itu dengan jarak tanam cara petani maupun cara jajar legowo cukup lengkap yaitu dengan

pemberian pupuk Urea, ZA SP-36 dan KCl. Sedangkan perbedaan produksi antara cara tanam petani dan

cara jajar legowo diperkirakan populasi tanaman pada cara jajar legowo lebih banyak dibanding cara petani

dan jumlah malai per rumpun pada cara jajar legowo relatif lebih banyak dibanding cara petani. Menurut

Nugroho, dkk (2003) bahwa jajar legowo dapat meningkatkan produksi padi sebesar 16,1% dibandingkan

cara biasa.

Tabel 3. Pertumbuhan dan Produksi Padi di Sawah Tambak dengan Menggunakan Dua Cara Tanam pada Musim

Kemarau.

No. Parameter Cara petani Cara jajar legowo

1. Tinggi tanaman (cm) 137,4 138,8

2. Jumlah anakan per rumpun 21,5 22,4

3. Jumlah malai per rumpun 16,5 18,1

4. Panjang malai (cm) 23,38 23,48

6. Berat 1000 butir (gram) 28 29,2

7. Produksi GKP (ton/ha) 7 7,9

8. Produksi udang (kg/ha) 15 15

Mengenai budidaya udang windu di sawah tambak dimulai dari pendederan nener menjadi benur

glondongan. Ini dilakukan ditambak udang dekat lokasi pengkajian sawah tambak dengan tujuan untuk

menghindari kematian akibat tranportasi. Udang windu dipelihara dari benur hingga menjadi udang

glondongan selama 30 hari pada kadar garam/salinitas yang sudah rendah yaitu antara 3-5 ppm. Dengan

benih ukuran glondongan (PL 50-60) diharapkan udang windu dapat langsung hidup di sawah tambak,

karena menurut Fujimura (1989) dalam Partasasmita S. dan Zafran, (1989) bahwa benih udang yang telah

melalui proses pendederan selama 1-2 bulan yaitu PL 50-60 hasilnya (produksi) akan lebih baik dibanding

benih PL 20-30.

Sebelum udang windu dipindahkan di sawah tambak, kondisi air pada sawah tambak harus sudah

dikondisikan salinitasnya yaitu dengan memasukan air laut atau menambah garam pada sawah tambak

hingga mencapai salinitas 1-3 ppm setelah itu udang windu baru dipindahkan ke sawah tambak. Waktu

pemindahannya dilakukan sore hari dengan tujuan untuk mempermudah proses aklimatisasi dimana suhu

antara sawah tambak dan tambak relatif sudah sama. Saat dipindahkan terlihat udang sudah langsung

beradaptasi di lokasi sawah tambak dan dari pengamatan 1 hari maupun 2 hari berikutnya terlihat udang

hidup dan aktif bergerak, hal ini dimungkinkan perbedaan kadar garam di sawah tambak dengan tambak

tempat pendederan udang windu tidak terlalu jauh yaitu sekitar 2 ppm.

Pengamatan pertumbuhan udang dilakukan satu bulan berikutnya dan dari hasil pengamatan terlihat

pertumbuhan udang sudah mencapai panjang antara 5-5,5 cm dari 4,5 cm saat ditebar ke sawah.

Pertumbuhan udang hingga berumur satu bulan sudah cukup baik dilihat dari pertumbuhan panjang udang

windu yang sudah dapat berkembang hingga 1 cm. Akibatnya adanya banjir panenan udang dipercepat yaitu

hanya 2 bulan pemeliharaan atau kurang dari satu bulan pemeliharaan seperti umumnya pemeliharaan udang

windu di sawah tambak. Hasil yang diperoleh dari panenan sebanyak 15 kg dari tebaran benih 10.000 ekor/

ha. Produksi udang pada kegiatan pengkajian ini memang masih jauh lebih rendah bila dibandingkan

pengkajian Muhariyanto, dkk (2004) dimana dengan penebaran 10.000 ekor/ha dapat menghasilkan udang

windu sebanyak 35,5 kg.

Page 82: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

120

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan :

1. Dari segi karakteristik lahannya di Kabupaten Banyuwangi kurang sesuai untuk budidaya padi-udang

windu karena terlalu banyak mengandung pasir sehingga perlu diperhatikan dalam pembuatan galengan

dan pembuatan caren agar tidak mudah runtuh.

2. Produktivitas padi di sawah tambak dengan cara tanam jajar legowo ternyata menghasilkan produksi

yang lebih tinggi dibanding cara petani.

Saran :

Perlu adanya pengkajian lebih lanjut untuk lebih meyakinkan keberhasilan dan mensosialisasi

budidaya padi-udang windu di Kabupaten Banyuwangi.

DAFTAR PUSTAKA

Fagi, A.M. dan Irsal Las., 1988. Lingkungan Tambak Padi, dalam Ismunadji et.al. (Eds) Padi Buku I. Badan

Litbang, Deptan

Muhariyanto A, Nugraha Pangarsa P, Bambang S, Sutanto J.T., Yuli A, Diatri K dan Supriyadi, 2002.

Laporan Akhir Pengkajian Budidaya Padi-Udang Windu di Sawah Tambak. Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Jawa Timur.

Muhariyanto A, 2004. Usahatani Padi-Udang Windu (Pandu) di Sawah Tambak. Kerjasama Balai Pengkajian

Teknologi Pertanian Jawa Timur dengan Dinas Perikanan dan Kelautan Propinsi Jawa Timur.

Mangampa M, Muh Tjaronge, M. Atmomarsono dan E. Ratnawati, 1999. Budidaya Udang Intensif. Balai

Penelitian Perikanan Pantai, Maros.

Partasasmita S. dan Zafran, 1989. Inventarisasi Parasit dan Penyakit Udang Windu di Tempat Pembenihan

dan Penampungan Benur di Sulawesi Selatan. Majalah Parasitologi Indonesia 3, 1990 (Edisi

Khusus) 63-68.

Pratomo,Al.G., F. Kasijadi, A. Muharyanto, D. Krisunari dan D.P. Saraswati, 2005. Kajian Karakteristik dan

Potensi Wilayah Pengembangan Usahatani Terpadu padi Udang Windu di Lahan Sawah Irigasi.

Prosiding Seminar Nasional Inovasi Teknologi Dan Kelembagaan Agribisnis Tahun 2004. Badan

Litbang pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian, Bogor.

Suseno dan Prayitno, 2001. Budidaya Udang Windu di Air Tawar Berwawasan Lingkungan. Akademi

Perikanan Sidoarjo.

Page 83: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

121

UPAYA MENEKAN KEHILANGAN HASIL AKIBAT CEKAMAN KEKERINGAN

PADA KEDELAI DI LAHAN SAWAH

Riwanodja, Suhartina dan T.Adisarwanto

Balitkabi. P.O.Box 66. Malang.

ABSTRAK

Cekaman kekeringan atau kekurangan air merupakan faktor yang berpengaruh terhadap pertumbuhan dan hasil

kedelai. Cekaman pada fase generatif (umur 51-75 hari ) dapat menurun hasil biji 62%, demikian pula bila terjadi penurunan kadar lengas tanah dari 90% menjadi 50% air tersedia akan menurunkan berat biji per tanaman masing-masing

sebesar 27% MK I dan 45% pada MK II 2003. Untuk itu kombinasi perakitan varietas unggul baru toleran kekeringan

dan efisiensi pengelolaan air merupakan upaya/pendekatan yang potensial dapat menekan penurunan hasil biji kedelai.

Galur MLG 2805, merupakan salah satu dari beberapa galur-galur harapan kedelai mempunyai indikasi toleran kekeringan.

Kata kunci : kekeringan, hasil biji, galur toleran kekeringan

PENDAHULUAN

Di lahan sawah, kedelai masih dominan ditanam setelah tanaman padi. Pada awal musim kemarau

(MK) I, waktu tanam yang optimal adalah dimulai akhir bulan Februari sampai pertengahan Maret,

sedangkan MK II ditanam pada awal sampai akhir bulan Juni. Walaupun begitu dalam menentukan waktu

tanam, para petani kedelai masih dibatasi oleh ketersediaan air, apakah berasal dari saluran irigasi, pompa air

maupun air hujan. Selain itu penyiapan lahan untuk tanaman kedelai masih tergantung pula pada saat kapan

panen dilaksanakan untuk tanaman padi. Apabila periode panen padi tidak sesuai dengan waktu tanam yang

optimal untuk tanaman kedelai, maka seringkali tanaman kedelai mengalami cekaman kelebihan atau

kekurangan air pada stadia pertumbuhan tertentu. Pada MK II umumnya kekeringan terjadi pada stadia

generatif yaitu awal pembentukan polong. Kramer (1963) menyatakan bahwa defisit air tanaman akan

mempengaruhi semua proses metabolik dalam tanaman yang berakibat berkurangnya pertumbuhan tanaman..

Selain itu Fagi dan Tangkuman (1985) menegaskan bahwa rendahnya produktivitas kedelai karena

keterbatasan air untuk menunjang pertumbuhan yang optimal.

STADIA PERTUMBUHAN KEDELAI YANG PEKA CEKAMAN KEKERINGAN

Cekaman kekeringan yang terjadi pada awal phase pertumbuhan vegetatif menekan tinggi tanaman

sebesar 21% dibanding tinggi tanaman cekaman pada phase generatif (51-70 hst). Sedangkan cekaman

kekeringan pada phase generatif menghasilkan tinggi tanaman yang sama dengan tanaman yang memperoleh

pengairan penuh/optimal selama pertumbuhan. Pada sisi lain cekaman kekeringan pada phase generatif

menurunkan jumlah polong isi sebesar 50% yaitu lebih tinggi dibanding bila cekaman terjadi pada phase

vegetatif (0-25 hst) yaitu hanya 22% dan menjadi 35% apabila terjadi cekaman pada umur 26-50 hst. Ini

membuktikan bahwa cekaman kekeringan pada saat proses pembentukan bunga akan mengurangi jumlah

bunga yang terbentuk sehingga jumlah polong juga akan berkurang secara nyata (Tabel 1).

Tabel 1. Pengaruh Cekaman pada Beberapa Pase Pertumbuhan Terhadap Tinggi Tanaman dan Jumlah Polong Isi

Rumah Kaca, MH 1998/1999

Periode Cekaman Kekeringan Paramater Pengamatan

Tinggi Tanaman (Cm) Jumlah Polong Isi/Tanaman

Optimal 0-25 hst

26-50 hst

51-75 hst

80,2 a 63,5 b (21%)

62,0 b

81,2 a

49,4 a 38,5 b (22%)

32,3 c (35%)

24,5 d (50%)

Sumber : Suyamto dan Adisarwanto (1999)

Ada interaksi antara genotipe kedelai dan kondisi kekeringan terhadap hasil biji per tanaman. Hal ini

berarti bahwa tanggap galur pada perlakuan saat kekeringan terhadap berat biji tidak sama. Pada galur Mlg

2805 penurunan berat biji per tanaman untuk setiap stadia pertumbuhan khususnya periode generatif yaitu

Page 84: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

122

hanya 21% lebih kecil dibanding rata-rata galur/varietas yang diuji (62%) dan varietas pembanding Wilis

(46%), sehingga dapat dikatagorikan sebagai galur potensial toleran cekaman kekeringan (Tabel 2).

Tabel 2. Berat Biji Galur/Varietas Kedelai Terhadap Cekaman Kekeringan pada Beberapa Stadia Tumbuh Kedelai.

Rumah Kaca Balitkabi, MH 1998/1999

Genotipe kedelai

Periode kekeringan

Berat biji (g/tanaman

Optimal 0-25 hst 26-50 hst 51-75 hst

1. MLG 2999

2. MLG 2984

3. MLG 2805

4. MLG 3474 5. MLG 3072

6. MLG 9065-C-3-1

7. MSC 9069-C-3-2

8. MSC 9112-C-3-1 9. MSC 9019-C-3-1

10. MSC 8606-5-11

11. Bromo

12. Tidar 13. Wilis

Rata-rata

BNT (%) 1,06

KK (%) 13,67

4,36 5,06 6,46 5,80 5,16 7,30 6,06 5,30 7,26 7,40 7,00 6,80 6,73 6,21 1,06

13,70

4,13

4,90

5,93 (8)

4,53 3,70

5,63

4,60

4,70 5,50

5,63

5,00

5,70 4,86 (18)

4,99 (19)

3,93

4,60

4,73 (27)

4,43 2,60

4,40

3,63

3,56 4,76

4,46

4,70

4,93 3,93 (42)

4,21 (32)

3,83

4,36

5,10 (21)

3,83 3,16

4,40

3,50

2,60 4,40

3,96

3,20

4,60 3,63 (46)

3,89 (62)

Keterangan : Angka dalam kurung menunjukkan prosentase penurunan hasil biji dibanding pada kondisi optimal.

Sumber : Suyamto dan T.Adisarwanto ( 1999).

PENDEKATAN UNTUK MENEKAN DAMPAK NEGATIF CEKAMAN KEKERINGAN

A. Perakitan Varietas Toleran Kekeringan :

Varietas kedelai secara genetik mempunyai kemampuan yang berbeda untuk bertahan pada cekaman

kekeringan. Disisi lain cekaman kekeringan yang terjadi berbeda tingkat,lama dan stadia tumbuh pada setiap

musim tanam. Untuk itu perkaitan varietas unggul baru ditujukan untuk mengantisipasi berbagai saat

cekaman kekeringan yang terjadi. Di lapang, cekaman kekeringan selama periode pengisian polong

menurunkan hasil 55% (Soegiyatni dan Suyamto, 2000) sedangkan pada kondisi percobaan pot penurunan

hasil per tanaman agak menurun yaitu hanya mencapai 22-34% (Sitompul, 1996). Dari hasil penelitian

evaluasi lanjut galur Suyamto dan Soegiyanti (2002) menyimpulkan bahwa galur ML 2805 merupakan galur

yang toleran kekeringan. Mekanisme toleransi pada aspek ini masih belum jelas, karena prosentase

penurunan antara galur toleran dan peka tidak begitu berbeda besar, yang menonjol hanya perbedaan pada

potensi daya hasil biji dan nilai ITC yang tinggi (Tabel 3).

Tabel 3. Karakter Galur Harapan MLG 2805 Toleran Dibanding Galur Peka Kekeringan

Parameter pada kondisi

kekeringan

Galur toleran kekeringan Galur peka kekeringan

MLG 2805 %* LK/3072-1 %*

1. Hasil biji (t/ha)

2. Umur panen (hst)

3. Jumlah polong isi per-tanaman 4. Ukuran biji (g/100 biji)

5. Nilai ITC

1,75 78 51 6

1,30

34 5

20 12

0,89 85 53 10

0,33

33 2

18 15

Sumber : Suyamto dan Soegiyatni ( diolah, 2002).

Keterangan : *) Prosentase penurunan apabila dibanding dengan kondisi optimal.

Sedangkan Suhartina dkk (2002), meniliti lebih lanjut hasil persilangan dengan memakai empat (4)

induk MLG 2805, MLG 3072, MLG 3474 dan MLG 2984 pada kondisi kelengasan tanah yang berbeda yaitu

70% dan 40%, ternyata masih belum mampu menyaingi varietas Tidar. Faktor umur pendek pada Tidar

mungkin salah penyebab kenapa memupunyai nilai ITC tinggi, sehingga dapat dikatagorikan eskape dari

pengaruh cekaman kekeringan. Selain itu hasil penelitian yang cukup lama oleh Kasno dan Yusuf (1994)

menyatakan bahwa MLG 2805 menunjukkan penurunan hasil kedelai paling sedikit (2%) sedangkan

genotype lain berkisar antara 40-50%. pada kondisi kekeringan

Page 85: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

123

Tabel 3. Toleransi Kekeringan 15 Genotipe Kedelai pada Kondisi Cekaman Sedang dan Berat Berdasarkan Indek

Toleran Cekaman.

Genotipe Hasil ( g/tanaman)

HP HC 70 HC 40

Indeks toleransi cekaman

ITC 70 ITC 40

1. Davros/MLG 2984-V1-6

2. Davros/MLG 2984-VI-9

3. Davros/MLG 3072-VI-6

4. Kipas Putih/MLG 3474-VI-1

5. Lokon/MLG 3072-VI-2

6. Lokon/MLG 2805-VI-2

7. Kipas Putih/MLG 2805-VI-1

8. Lokon/MLG 3472-VI-2 9. Davros/MLG 2984-VI-2

10. MLG 3072

11. MLG 3474

12. MLG 2805 13. MLG 2984

14. Tidar

15. Wilis

Rerata

15,31 12,06 9,28

12,94 9,63 8,26

12,95 11,33 8,18

13,74 11,66 8,53

13,52 10,65 7,40

13,88 10,98 8,17

15,72 12,82 8,98

14,27 10,74 7,91 13,44 10,22 8,74

15,49 12,30 8,39

14,08 10,71 8,11

14,67 11,93 8,83 11,91 9,93 7,78

17,27 11,96 8,60

15,52 12,,08 8,84

14,31 11,27 8,40

0,899 0,691

0,608 0,521

0,716 0,517

0,788 0,573

0,702 0,488

0,740 0,554

0,986 0,689

0,749 0,550 0,670 0,572

0,928 0,633

0,737 0,558

0,851 0,631 0,577 0,452

1,029 0,730

0,914 0,767

0,793 0,595

HP = hasil pada kondisi potensial(100% LT); HC 70 = hasil pada kondisi cekaman sedang (70%LT)

HC 40 = hasil pada kondisi cekaman berat (40% LT); ITC = Indeks Toleransi Cekaman Sumber : Suhartina,Sri Kuntjiyati H dan Tohari ( 2002)

B. Dengan Cara Budidaya

Pengelolaan Kadar Lengas Tanah

Hasil penelitian 1999/2000 pada Tabel 4 menunjukkan bahwa ketersediaan lengas tanah sekitar

12,5% dan 25% dibawah kapasitas lapang selama pertumbuhan tanaman memberikan hasil biji tertinggi di

tanah Vertisol dan Entisol sedangkan ditanah Inceptisol pada kondisi lengas tanah sekitar 50% air tersedia

memberikan nilai efisiensi penggunaan air tertinggi (Rahmiana dkk, 2000). Penurunan lengas tanah dari

90% menjadi 50% menyebabkan penurunan secara nyata tinggi tanaman saat panen berturut-turut 15% dan

17% selama MK I dan MK II 2003 (Tabel 5). Indikasi ini ditunjang oleh penelitian Djuber dan Sunarlim

(1986) bahwa penurunan hasil lebih besar pada tekanan kekeringan pada kondisi kelengasan tanah <45%.

Disamping itu penurunan lengas tanah tersedia juga akan menurunkan kadar protein biji yang dihasilkan.

(Iman, 2001). Sedangkan Aris Budianto dkk (1984) menyatakan bahwa penurunan kelengasan air tersedia

>50% menurunkan hasil biji tanaman sampai 50-54% tergantung varietasnya .

Tabel 4. Hasil Biji Per Tanaman pada Beberapa Tingkat Air Tanah Tersedia. Rumah Kaca. Balitkabi, 2001.

Perlakuan Hasil biji ( g/tanaman)

Aluvial 1 Aluvial 2 Aluvial 3

1. 100% tersedia (KL)

2. 97,5 % air tersedia

3. 75 % air tersedia 4. 50% air tersedia

5. 25% air tersedia

5,73 a 7,77 a 7,60 a

6,86 a 8,18 a 6,86 a

5,90 a 7,59 a 5,07 b 3,68 b 5,27 b 2,63 c

0,00 c 2,00 c 0,00 d

Sumber : Rahminana ( 2002).

Tabel 5. Pengaruh Perbedaan Lengas Tanah Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai. Rumah Kaca Balitkabi, MK I

dan MK II 2003

Karakter

Lengas tanah tersedia

MK I 2003

90% 50%

Lengas tanah tersedia

MK II 2003

90% 50%

1. Tinggi tanaman saat panen (cm) 2. Kadar klorofil daun (65 hst)

3. Jumlah polong isi/tanaman

4. Ukuran biji (g/100 biji) 5. Berat biji (g/tanaman)

100 a 85 b 40 a 38 a

46 a 28 b

10 a 10 a 8,55 a 6,28 b

70 a 58 b 42 a 37 b

20 a 13 b

9 a 10 a 3,61 a 1,98 b

Sumber : Riwanodja , Suhartina dan T.Adisarwanto ( 2003).

Page 86: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

124

Tabel 6. Pengaruh Perbedaan Kelengasan Tanah Terhadap Karakter Tanaman. Rumah Kaca Balitkabi, MK I dan MK II

2004.

Karakter tanaman

Kelengasan tanah

90% 50%

MK I MK I MK I MK II

1. Tinggi tanaman saat panen

2. Jumlah bintil akar

3. Berat kering bintil akar

4. Jumlah polong isi

5. Ukuran biji (g/100 biji)

6. Berat biji (g/tanaman)

78 69 79 69

100 91 100 90

0,37 0,25 0,37 0,25

46 22 36 23

9,57 9,20 9,29 7,35

8,36 3,91 6,06 3,80

Sumber : Riwanodja,Suhartina dan T.Adisarwanto ( 2004 )

Penggunaan Mulsa Jerami Padi.

Penggunaan jerami padi sebagai mulsa pada budidaya tanaman kedelai setelah padi sawah sudah

biasa dilakukan oleh petani. Hasil penelitian manfaat penggunaan mulsa pada kedelai menunjukkan adanya

kenaikan hasil biji sebesar 30% apabila tanah tidak diolah dan diberi mulsa (Tabel 6). Hal ini menurut

Herlina dan Sulistyono(1990) mulsa jerami mampu menekan evapotranspirasi, menurunkan suhu udara dan

tanah sehingga menekan kehilangan air dari permukaan tanah. sehingga mengurangi adanya cekaman

kekeringan.

Tabel 7. Pengaruh Mulsa Jerami Padi Terhadap Hasil Kedelai di Lahan Sawah MK I 1980.

Perlakuan Hasil biji (t/ha)

1. Tanpa mulsa

2. Tanpa mulsa, tanpa olah tanah 3. Dengan mulsa, tanpa olah tanah

4. Tanpa mulsa, tanah diolah satu kali

5. Dengan mulsa, tanah diolah satu kali

0,95

1,32 1,89

1,64

1,97

Keterangan: mulsa jerami padi 5 t/ha. Sumber : Adisarwanto dan KoesHartoyo ( 1981)

KESIMPULAN

1. Perakitan varietas toleran kekeringan merupakan prioritas utama dalam penanganan cekaman kekeringan

2. Tanaman kedelai masih toleran apabila tumbuh pada kekeringan hanya sampai pada kondisi 50%

lengas air tersedia.

3. Diperlukan pengelolaan terpadu antara varietas toleran dengan pengelolaan agronomi dalam menekan

dampak negatif cekaman kekeringan.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T dan Koes Hartoyo.1981.Pengaruh Mulching Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Kedelai

pada Dua Cara Pengolahan Tanah. Hlm:44-52. Laporan Kemajuan Proyek Penelitian Tanaman

Pangan Malang. 1979/1980. LP3 Perwakilan Jawa Timur. Malang.

Aries Budianto. V.F, Soleh Solahuddin, J.S.Baharsyah dan F.Rumawas. Pengaruh Tekanan Kekeringan

Terhadap Pertumbuhan dan Produksi Beberapa Varietas Kedelai pada Grumosol Lombok Tengah.:

Bull Agr. XIV No. 3 : 17-30. IPB Bogor.

Fagi, A.M dan Freddy Tangkuman. 1985. Pengelolaan Air untuk Tanaman Kedelai. Hlm. 135-158. Dalam:

Kedelai (II). Edt: Sadikin Somaatmadja, M.Ismunadji, Sumarno, M.Syam, SO.Manurung dan

Yuswadi. Puslitbangtan, Bogor.

Herlina, M dan R. Sulistyono.1990. Respon Tanaman Kedelai (Glycine max L.Merr) pada Pemakaian Mulsa

Jerami dan Tingkat Kandungan Air tanah yang Berbeda. Agrivita 13(1): 35-39

Iman Budisantoso. Pertumbuhan, Hasil tanaman dan ANR daun kedelai pada beberapa lengas tanah dan

pemupukan nitrogen. hlm 30-35. BIOSFERA Vol 18 No.1. 2001. Fakultas Biologi Unsoed.

Purwokerta

Page 87: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

125

Kramer, P.J. 1963. Water stress and plant growth. Agron. J. 55: 31-35.

Rahmiana, A.A. 2002. Keragaan tanaman dan hasil kedelai yang ditanam pada berbagai tingkat ketersediaan

air pada beberapa fase pertumbuhan tanaman. 15. hlm. Laporan Tehnis. Hasil Penelitian Komponen

Taknologi Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian. Tahun 2001. Balitkabi.

Riwanodja, Suhartina dan T.Adisarwanto. 2004. Respon galur/varietas terhadap kondisi kelengasan yang

berbeda. 10 hlm. Laporan Akhir Tahun. Hasil Penelitian Komponen Teknologi Tanaman Kacang-

kacangan dan Umbi-umbian Tahun 2004. Balitkabi.

Suhartina, Sri Kuntjiati dan Tohari. Toleransi Beberapa Galur F7 Kedelai Terhadap Cekaman

Kekeringan.Pada Stadia Generatif. Hlm. 335-348. Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-

kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan Pangan. (Edts): M. Yusuf, J. Soejitno,

Sudaryono, Darman M.A. A.A Rahmiana, Heryanto, Marwoto. I. Ketut Tastra, M. Muclish Adie

dan Hermanto. Puslitbangtan.

Suyamto dan T. Adisarwanto. 1999. Respon galur/varietas kedelai terhadap kekeringan pada beberapa stadia

tumbuh. Laporan Tehnis Balitkabi. 1999.

Suyamto dan Soegiyatni.2002. Evaluasi Toleransi Galur-Galur Kedelai Terhadap Kekeringan : hlm 218-224.

Prosiding Teknologi Inovatif Tanaman Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Mendukung Ketahanan

Pangan. (Edts). M. Yusuf, J. Soejitno, Sudaryono, Darman M.A. A.A Rahmiana, Heryanto,

Marwoto. I. Ketut Tastra, M. Muclish Adie dan Hermanto. Puslitbangtan.

Djuber Pasaribu dan N. Sunarlim.1986. Tekanan kekeringan pada kedelai. 25 hlm. Seminar Hasil Penelitian

Tanaman Pangan Balittan Bgor. 17-18 Desember 1986. Volume 2 Palawija. (Edts). Soejitno dkk.

Balittan Bogor.

Page 88: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

126

PROSPEK PENGEMBANGAN LOW-COST ADAPTED SCREENHOUSE UNTUK BUDIDAYA

HORTIKULTURA DI DAERAH TROPIS

Harmanto, Agung Prabowo dan Ana Nurhasanah

Perekayasa Muda, Balai Besar Pengembangan Mekanisasi Pertanian, Serpong

ABSTRAK

Tingginya suhu dan kelembaban udara sepanjang tahun serta potensi serangan hama tanaman (pest) merupakan

masalah utama dalam pengembangan greenhouse di daerah tropis. Selain itu, tingginya biaya investasi konstruksi greenhouse yang selama ini diimpor dari luar negeri antara 250 ribu hingga 1 juta rupiah per m² juga menjadi kendala

utama bagi pengguna untuk memulai kegiatan agribisnis. Konsep adapted greenhouse telah diusulkan, dikembangkan dan

dikaji di daerah tropis dataran rendah untuk dievaluasi secara teknis (iklim mikro dan laju aerasi), agronomis and

entomologisnya (kemampuan menahan serangan hama). Adapted greenhouse adalah suatu rumah tanam jenis screenhouse dimana memiliki bukaan ventilasi yang besar untuk peningkatkan laju ventilasi alami dan menjaga iklim

mikro didalam greenhouse adaptif dengan suhu diluar greenhouse. Penggunaan kombinasi plastik dan net tipe UV untuk

atap dan dinding yang tepat menjadi sangat krusial karena berpengaruh terhadap iklim mikro, laju aerasi, hasil panen dan

kualitas produk yang dibudidayakan. Penciptaan low-cost screenhouse berbahan baku lokal (memenuhi standar) dengan biaya investasi antara 150 hingga 250 ribu per m² adalah salah satu terobosan sekaligus insentif menarik bagi petani

hortikultura untuk mendukung pemenuhan produk hortikultura secara berkesinambungan.

Kata kunci : low-cost adapted screenhouse; nets; iklim mikro; laju ventilasi alami; dataran rendah tropis.

PENDAHULUAN

Pada era millenium III sektor agrobisnis-agroindustri hortikultura Indonesia merupakan komoditas

yang sangat penting peranannya dalam ekspor non migas. Agrobisnis hortikultura merupakan komoditas

yang perlu ditangani secara serius karena komoditas ini mempunyai potensi yang sangat besar dalam

peningkatan produktivitasnya dan mempunyai peluang pasar yang sangat luas. Permintaan terhadap

komoditas hortikultura mempuyai trend yang terus meningkat seiring dengan bertambahnya jumlah

penduduk dunia dan juga sudah menjadi kebutuhan primer. Kenyataan di lapangan menunjukkan betapa

rendahnya daya saing komoditas hortikultura Indonesia.

Produksi produk hortikultura mengalami peningkatan dalam tiga tahun terakhir (2001-2003). Pada

tahun 2001 produksi buah-buahan sebesar 9,96 juta ton dan pada tahun 2002 meningkat menjadi 11,66 juta

ton dan pada tahun 2003 mencapai 13,55 juta ton. Produksi sayuran meningkat dari 6,92 juta ton pada tahun

2001 menjadi 7,14 juta ton tahun 2002 dan tahun 2003 mencapai 8,57 juta ton. Kontributor terbesar terhadap

devisa negara adalah buah-buahan dengan nilai ekspor pada tahun 2003 mencapai US $ 123.157.271

kemudian disusul dengan sayuran dengan nilai ekspor sebesar US $ 56.328.788 (Anonim, 2005).

Dalam mengembangan produk hortikultura di Indonesia terdapat beberapa tantangan yang harus

dihadapi yaitu munculnya pesaing baru yang berasal dari Asia Tenggara (seperti Thailand, Vietnam,

Kamboja), Asia Selatan (India, Sri Langka) dan Afrika, dan perlunya Indonesia meningkatkan kemampuan

penetrasi dan daya saing produk hortikultura yang dihasilkannya di lingkungnan pasar internasional. Adapun

kemampuan penetrasi pasar dan daya saing yang perlu mendapat perhatian yang lebih serius untuk lebih

ditingkatkan lagi adalah penetapan produk hortikultura unggulan dan wilayah andalan untuk produk

hortikultura, SDM berbudaya industri, teknologi, manajemen, harga yang bersaing, permodalan, pemasaran/

promosi, dan infrastruktur.

Oleh karena itu, perluasan rumah tanam (greenhouse) di daerah dataran rendah merupakan alternatif

sekaligus tantangan untuk lebih meningkatkan produksi hortikultura, di samping dataran tinggi yang selama

ini telah berhasil. Tingginya suhu udara (iklim micro) sepanjang tahun dan serangan hama pengganggu

merupakan masalah utama budidaya hortikultura di dataran rendah. Penciptaan teknologi rumah tanam yang

adaptif terhadap kondisi sekitarnya dan tahan terhadap serangan hama (insect pest) merupakan terobosan

teknologi inovatif untuk daerah tropis. Tipe rumah tanam dengan sistem bukaan ventilasi selebar mungkin

dengan ditutup oleh net (screen) akan memiliki keuntungan dalam hal aerasi yang baik dan untuk menekan

serangan hama pengganggu (von Zabeltitz, 1998). Bahkan Bethke (1990) merekomendasikan beberapa

ukuran net digunakan untuk menekan serangan hama tanaman.

Selain itu, mahalnya biaya investasi dan tingginya biaya operasional budidaya dalam rumah tanam

juga merupakan salah satu kendala utama dalam pemenuhan produk hortikultura tersebut. Selama ini

konstruksi greenhouse di Indonesia masih diimpor dari beberapa negara seperti: Israel, Eropa, Australia,

Page 89: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

127

India, Malaysia dan Cina yang harganya relatif mahal atau berkisar antara Rp. 400 ribu hingga 1 juta per m².

Penggunaan bahan (material) lokal yang lebih murah dan mudah didapat (tentu saja harus memenuhi

standard yang ada) akan menurunkan biaya investasi konstruksi greenhoue dan biaya pemeliharaannya,

sehingga diharapkan dapat meningkatkan produktivitas dan efisiensi dalam budidaya tanaman hortikultura.

Tulisan ini akan memaparkan ulasan tentang apa itu low-cost tropical screenhouse, disain teknis dan

kinerjanya, optimasi penggunaan UV-plastik/net dan prospek pengembangannya (dari segi biaya) bagi petani

hortikultura secara berkelanjutan.

SEKILAS TENTANG "LOW-COST" TROPICAL SCREENHOUSE

Definisi

Greenhouse didefinisikan sebagai bangunan tertutup yang transparan untuk menumbuhkan atau

melindungi tanaman atau istilah lain didefinisikan sebagai sebuah bangunan yang dapat menyediakan kondisi

optimal untuk pertumbuhan tanaman secara memuaskan sepanjang tahun. Faktor yang berpengaruh seperti

suhu, sinar matahari, kelembaban, dan udara disediakan, dipertahankan dan didistribusikan secara merata

dalam greenhouse pada level yang optimal (Enoch dan Enoch, 1998). Greenhouse yang baik harus memiliki

transmisi cahaya yang tinggi, konsumsi panas yang rendah, ventilasi yang cukup dan efisien, struktur yang

kuat, konstruksi, dan biaya operasional yang murah (von Zabeltitz, 1998).

Pada daerah tropis, produksi dapat dilakukan sepanjang tahun di dalam greenhouse, dimana

produksi dalam lahan yang terbuka tidak memungkinkan karena adanya hujan yang sering dan angin yang

kencang. Kebutuhan dan tujuan utama dari greenhouse dan bangunan konstruksinya untuk daerah tropis

adalah 1) melindungi tanaman dari hujan yang sangat lebat yang dapat terjadi secara berlebihan, tingginya

radiasi matahari dan angin, 2) efisiensi ventilasi yang tinggi, 3) jangka waktu penggunaan plastik film (sekali

dalam satu tahun) dan 4) pengumpulan air untuk irigasi dalam musim kemarau (von Zabeltitz, 1998).

Untuk itu teknologi "adapted greenhouse" telah diperkenalkan untuk daerah tropis. Adapted

greenhouse adalah konstruksi bangunan tanam yang menekankan bukaan ventilasi selebar mungkin untuk

mendapatkan suhu dan kelembaban udara didalam hampir sama (adapted) dengan cuaca diluar greenhouse.

Hal ini untuk menghindari penggunaan sistem pendingin buatan (fan, pad cooling atau air conditioner

lainnya) yang memerlukan biaya operasional dan investasi yang mahal. Struktur greenhouse di daerah tropis

sering menggunakan sisinya untuk melindungi dan mengontrol suhu dengan menggunakan ventilasi alamiah

maupun terkontrol dengan dilapisi net (screens) yang mampu mengurangi serangan serangga dan hama

(Jensen, 2000). Karena porsi penggunaan net kadang lebih besar dari plastik untuk dindingnya tersebut,

rumah tanam ini sering disebut juga dengan screenhouse. Umumnya, screenhouse memiliki rasio bukaan

ventilasi terhadap luasan lantai (Vr) > 1,0. Mengingat biaya terbesar dari konstruksi screenhouse terletak pada

jumlah net yang akan dipasang, maka penggunaan net seminimal mungkin perlu dilakukan untuk lebih

menekan biaya. Oleh karena itu optimasi pengunaan kombinasi net dan plastik menjadi sangat penting.

Disain dan Konstruksi dari Adapted Greenhouse

Secara umum, greenhouse dibedakan dalam beberapa macam dan tipe. Berdasarkan jenis material

untuk penutup, greenhouse dikategorikan dalam:

1. Glass greenhouse: rumah tanam terbuat dari bahan kaca,

2. Low plastic tunnels: lorong terbuat dari plastik dengan tinggi < 1.8 m,

3. Plastic film greenhouse: terbuat dari plastik film (tipe-UV) dengan tinggi > 3.5 m, cocok untuk daerah

semi-tropis dan tropis.

Adapun kerangka untuk untuk medirikan greenhouse dapat berupa: besi baja kotak, besi siku, pipa

baja galvanis ataupun kayu balok. Sedangkan berdasarkan bentuknya, rumah tanam dibedakan dalam

bermacam-macam antara lain: tipe Venlo, Vinery, Mansard, Arch, Standard peak, Quonset, Even span

Uneven span, Sawtooth, Hillside dan Ridge-furrow gutter connected multispan (Hanan, 1998). Bentuk-

bentuk rumah tanam ini dibuat berdasarkan berbagai pertimbangan kondisi iklim setempat dan lokasi

(altitute) greenhouse dimana akan dibangun serta kondisi topografi setempat. Bahkan akhir-akhir ini jenis

tanaman yang akan dibudidayakan sangat mempengaruhi jenis dan tipe rumah tanam yang akan

dikembangkan apakah tipe single span (satu atap saja) atau multispan (lebih dari satu atap terhubung untuk

memperluas ruangan tanam).

Page 90: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

128

plastiknet

net

plastiknet

net

plastiknet

net

plastiknet

net

(a) Arah angin dari sebelah kiri (b) Arah angin dari sebelah kanan

Untuk lebih menekan biaya produksi hortikultura di daerah tropis yang notabene petani dengan low

income, selain menurunkan biaya investasi (konstruksi) yang sekecil mungkin, sistem ventilasi alamiah

adalah metode termurah yang harus diaplikasikan. Konsekuensinya adalah pemilihan jenis tanaman yang

akan dibudidayakan dan metode pendinginan (dengan ventilasi alamiah) harus benar-benar dikombinasikan

dengan baik agar diperoleh hasil dan kualitas yang maksimal.

Seperti diketahui, sistem ventilasi alamiah banyak dipengaruhi oleh dua faktor penting yaitu

perbedaan suhu (bouyancy effect) dan kecepatan (atau arah) angin. Untuk daerah tropis, arah dan kecepatan

angin merupakan faktor penentu dalam mendisain tropical greenhouse. Gambar 1 dan 2 menggambarkan

diagram aliran udara dari beberapa tipe greenhouse. Dapat dijelaskan bahwa tipe greenhouse yang selama ini

diadopsi di Indonesia umumnya kurang memberikan efek pergantian udara (ventilasi) yang baik (Gambar 1).

Ventilasi dari atap kurang begitu dimaksimalkan karena kesalahan disain, padahal ventilasi atap akan

memberikan kontribusi pertukaran udara (air exchange rate) didalam greenhouse 20 hingga 40%. Selain itu,

pemanfaatan ventilasi atap yang dikombinasikan dengan cukupnya tinggi ruangan greenhouse juga

membantu dalam pendinginan udara di ruangan (Harmanto et al., 2006(b); Munoz et al., 1999). Gambar 2

menunjukkan dua arah aliran udara yang berbeda bahwa aliran udara pada atap kurang begitu efektif masuk

ke dalam ruangan greenhouse (chamber), sedangan angin dari samping hanya memberikan sedikit kontribusi

apabila bukaan ventilasi kecil atau terhalang oleh tingginya tanaman yang dibudidayakan.

Gambar 1. Diagram aliran udara (ventilasi) dari greenhouse yang ada selama ini

Modifikasi dari greenhouse seperti yang ditunjukkan pada Gambar 2 akan memberikan ventilasi

alamiah yang lebih baik apabila ditinjau dari dua macam arah angin yang berbeda.

Gambar 2. Diagram aliran udara (ventilasi) dari screenhouse yang dimodifikasi

Kemiringan dan disain atap yang agak miring memberikan venetrasi aliran udara apabila arah angin

dari sebelah kiri dan menghadap bukaan ventilasi (windward direction) ke dalam greenhouse. Sedangkan

(a) Windward direction (b) Leeward direction

(a) Windward direction (b) Leeward direction

Page 91: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

129

apabila arah angin berasal dari sebelah kanan menuju belakang bukaan ventilasi (leeward direction) akan

memberikan efek hisap dari dalam ruangan greenhouse (karena perbedaan tekanan udara panas didalam

greenhouse dan udara dingin diluar) keluar lewat bukaan pada atap sehingga udara panas di dalam

greenhouse akan terhisap keluar. Hal ini akan memberikan sistem aerasi udara yang lebih baik apabila sistem

ventilasi alamiah diterapkan.

KINERJA DARI ADAPTED SCREENHOUSE DENGAN BERBAGAI TIPE NET

Sejak diperkenalkannya net untuk penutup rumah tanam pada akhir-akhir ini bahkan ada yang

dilengkapi dengan ultraviolet (UV) absorbing, penggunaan net semakin jadi kebutuhan. Hal ini disebabkan

net sebagai penutup greenhouse mempunyai beberapa keuntungan, antara lain: 1). memperbaiki sistem

ventilasi udara secara alami; 2). sebagai pengontrol hama tertentu (trips, whiteflies); 3). menekan populasi

hama; dan 4). menekan penggunaan pestisida.

Bethke (1990) merekomendasikan penggunakan beberapa jenis ukuran net didasarkan atas ukuran

thorax dari hama insekta yang akan diblok agar tidak masuk ke rumah tanam. Tipe dan jenis net yang harus

digunakan untuk menekan serangan beberapa jenis hama dituangkan kedalam Table 1.

Tabel 1. Jenis Net Yang Diperlukan untuk Menekan Jumlah Hama Pengganggu

Jenis hama insekta Ukuran lubang net (screen)

Micron Inchi Mesh

(Serpentine) Leafminers

(Sweet potato) Whiteflies

(Melon) Aphids (Greenhouse) Whitefly

(Silver leaf) Whitefly

(Western flower) Thrips

640

462

340 288

239

192

0,025

0,018

0,013 0,0113

0,0094

< 0,0075

40

52

78 81

123

132

Sumber: Bethke, 1990

Meskipun net membantu menekan jumlah serangan hama pengganggu ke dalam greenhouse,

penggunaannya akan menurunkan laju ventilasi (air exchange rate) dan kenaikan suhu udara dalam

greenhouse. Oleh karena itu perbaikan konstruksi perlu diperhatikan, salah satunya adalah disain tinggi

greenhouse. Dengan tinggi yang cukup akan meningkatkan volume (ruangan) udara sehingga sistem aerasi

akan lebih baik yang pada gilirannya akan menurunkan suhu udara di dalamnya. Untuk daerah tropis,

ketinggian greenhouse lebih dari 4,5-5 meter sangat direkomendasikan (Connelan, 2002).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa ukuran net sangat mempengaruhi kinerja iklim mikro, laju

ventilasi, hasil dan kualitas produk serta tingkat serangan hama tanaman. Dari tiga jenis net (78; 52 dan 40-

mesh) yang diuji, ukuran net <52-mesh sangat dianjurkan untuk digunakan untuk mencegah kenaikan suhu

udara dan menurunnya laju ventilasi secara nyata (Harmanto et al. 2006 (a).

OPTIMASI UV-PLASTIK DAN NET PADA BUKAAN VENTILASI

Optimasi penggunaan UV plastik dan net dilakukan karena ventilasi merupakan komponen terbesar

biaya konstruksi. Selain itu harga UV-net bisa mencapai 5 kali lipat harga plastik. Bukaan ventilasi

divariasikan 20; 40; 60; 80 dan 100% dari luasan lantai untuk dikaji kinerjanya. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa semakin kecil bukaan ventilasi akan meningkatkan suhu udara dan menurunkan laju

ventilasi. Untuk daerah tropis, Harmanto et el., 2005 (b) menyimpulkan bahwa bukaan minimum sebesar

60% dari luasan lantai diperlukan untuk mencegah tingginya suhu udara dan rendahnya laju ventilasi.

Konfigurasi bukaan ventilasi juga menentukan kondisi iklim mikro, laju ventilasi dan tingkat intrusi

serangan hama. Gambar 3 menunjukkan optimum disain dari screenhouse bahwa kombinasi bukaan ventilasi

atap dengan ukuran mesh kecil dan sebagian bukaan dinding dengan ukuran mesh sedang adalah pengaturan

ventilasi terbaik untuk mendapatkan iklim mikro yang cocok bagi pertumbuhan tanaman (Harmanto et al.,

2005 (b); Tietel et al., 2006).

Page 92: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

130

Rasio bukaan ventilasi terhadap luasan lantai

Ken

aik

an

su

hu

ud

ara

, °C

Rasio bukaan ventilasi terhadap luasan lantai

Ken

aik

an

su

hu

ud

ara

, °C

Gambar 3. Kenaikan suhu udara pada berbagai rasio bukaan ventilasi.

PROSPEK PENGEMBANGANNYA DARI SEGI BIAYA

Biaya konstruksi masih merupakan komponen biaya terbesar dari budidaya intensif hortikultura,

oleh karena itu dengan menekan komponen biaya ini akan menjadikan insentif penting bagi petani atau

pengusaha bisnis hortikulktura. Table 2 memberikan gambaran biaya konstruksi dari berbagai tipe

greenhouse (rumah tanam).

Tabel 2. Biaya Konstruksi Greenhouse dari Berbagai Tipe (Aldrich & Bartok, 1985)

Tipe greenhouse Material

(US $ m-2)

Tenaga kerja

(US $ m-2)

Total biaya

(US $ m-2)

1. Glass house (konvensional), pondasi beton, rangka

galvanis

64.80 – 86.40 27.00 – 32.40 91.80 – 118.80

2. Plastic house, gutter connected, rangka galvanis,

pondasi beton

27.00 – 43.20

16.20 – 21.60

43.20 – 64.80

3. FRP plastic house, pondasi pipa besi, rangka 32

mm pipa galvanis

18.90 – 27.00

2.70 – 5.40

21.60 – 32.40

4. Plastic house tipe lorong, pondasi pipa, rangka 32

mm pipa galvanis

12.96 – 18.36

2.16 – 3.24 15.12 – 21.60

5. Span greenhouse, rangka kayu, penutup PE,

pondasi kayu

8.64 – 10.80 3.78 – 6.48 12.42 – 17.28

Catatan: Persiapan tempat: 2.70-3.78 $ m-2, lantai: 7.56-8.64 $ m-2, parit: 16.2-48.6 $ m-2

Berdasarkan studi yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti (White, 1975; Connelan, 2002 dan

Harmanto et al., 2006(b)), penggunaan net atau plastik terutama bila dilengkapi UV-reflecting sebagai

penutup sistem ventilasi merupakan komponen biaya terbesar dalam konstruksi greenhouse. Penggunaan

UV-reflecting net yang optimum (terbatas) akan dapat menekan biaya konstruksi greenhouse. Penggunaan

kombinasi plastik dan net yang tepat sebagai penutup bukaan ventilasi akan memberikan keuntungan ganda

dari segi ekonomis dan teknis.

Berbagai pertimbangan penting dalam pengembangan low-cost screenhouse adalah permainan

mengkombinasikan jenis dan kualitas meterial yang tersedia di pasaran lokal adalah tantangan sekaligus

peluang. Screenhouse akan memberikan berbagai keuntungan penting dari segi finansial antara lain: 1) biaya

investasi yang lebih rendah karena penggunaan material lokal yang memenuhi standar; 2) optimasi

penggunaan UV-plastik dan net memberikan keuntungan ganda selain menurunkan biaya investasi akan

menekan biaya operasional karena tanpa pengoperasian fan/blower; 3) penghematan lebih lanjut akibat

penggunaan net yang tepat dapat menekan bahkan meniadakan biaya untuk pestisida dalam rangka program pengendalian hama terpadu (PHT).

Page 93: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

131

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, dapat disimpulkan hal-hal penting berikut:

1) Screenhouse dengan net 52-mesh untuk bukaan direkomendasikan untuk dataran rendah tropis

2) Minimum rasio bukaan ventilasi 0,6 diperlukan untuk menjaga iklim mikro dan laju ventilasi cocok

untuk pertumbuhan tanaman

3) Bukaan ventilasi atap dan dinding adalah kombinasi terbaik dalam sistem ventilasi alami.

4) Keuntungan prototipe ‖low-cost‖ screenhouse: (1) biaya investasi & operasional rendah; (2) disain

sederhana; (3) kontrol hama terpadu;(4) budidaya tanaman berkesinambungan

DAFTAR PUSTAKA

Aldrich, R.A. dan J.W. Bartok, 1985. Greenhouse Engineering. Agricultural Engineering Department, Univ.

of CT, Storrs, CT.

Anonim, 2005. Menyiasati Ekspor Hortikultura dengan Mempertahankan Mutu dan Kontinuitas. Temu

Teknis Mekanisasi Hortikultura. Ditjen. Bina produksi Horticultura, Jakarta, 20 April 2005.

Bethke, J.A., 1990. Screening greenhouse for insect size. Grower Talks. P. 102

Connnelan, G.J., 2002. Selection of greenhouse design and technology option for high temperature regions.

Proceedings of International Seminar on Tropical Subtrop Greenhouse, Acta Horticulturae. 578.

ISHS.

Enoch, H.Z. dan Enoch,Y., 1998, The History and geography of the greenhouse, In : Greenhouse Ecosystem,

eds : Stanhill, G. And Enoch H.Z., Elsevier, Amsterdam, 1-16.

Hanan, J. J., 1998. Greenhouses Advanced Technology for Protected Horticulture. CRC Press LLC, New

York, ISBN: 0-8493-1698-7.

Harmanto, H. J. Tantau dan V. M. Salokhe, 2006(a). Influence of Insect Screens with Different Mesh Sizes

on Ventilation Rate and Microclimate of Greenhouses in the Humid Tropics. Agricultural

Engineering International: the CIGR Ejournal. Manuscript BC 05 017. Vol. VIII. January, 2006

Harmanto, H.J. Tantau dan V.M. Salokhe, 2006(b). Optimization of Ventilation Opening Area of a Naturally

Ventilated Net Greenhouse in Humid Tropical Environment, Presented at the International

Symposium on Greenhouse Cooling: methods, technologies, and plant response, CSA06-16, 24-27

April 2006, Almeria, Spain.

Jensen, M.H., 2000, Plasticulture in the Global Community - View of the Past and Future in The Proceedings

of the 15th International Congress for Plastics in Agriculture and 29

th National Agricultural Plastics

Congress in 2000 at Hershey, PA. in www.plasticulture.org

Munoz, P., J.I. Montero, A. Anton dan F. Giuffrida, 1999. Effect of insect-proof screens and roof openings

on greenhouse ventilation. Journal of Agricultural Engineering Research: 73, 171 – 178.

Takakura, T. dan Fang, W., 2002. Climate under cover, Kluwer, Dordrecht, pp190.

Tietel, M., Barak M. dan Zhao Y., 2006. The effect of roof and side vents on the modes of greenhouse

natural ventilation. Presented at the International Symposium on Greenhouse Cooling: methods,

technologies, and plant respons. 24-27 April 2006, Almeria, Spain

Von Zabeltitz, C., 1998, Greenhouse Structure, Greenhouse Ecosystem, eds: Stanhill, G dan Enoch HZ,

Elsevier, Amsterdam, 17-70.

White,R.A.J. 1975. Effect of ventilation on maximum air temperatures in twelve identical glasshouses. Acta

Horticulturae 46: 63 – 70.

Page 94: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

132

PELESTARIAN HARA P DAN K MELALUI REKOMENDASI PEMUPUKAN BERDASARKAN

UJI TANAH DI LAHAN SAWAH D.I. YOGYAKARTA

Mulud Suhardjo1)

, Damasus Riyanto1)

., dan Abdul Syukur2)

1)

Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)-Yogyakarta 2)

Peneliti Fakultas Pertanian Universitas Gajah Mada Yogyakarta

ABSTRAK Sejalan dengan pemantapan swasembada beras, penerapan teknologi pemupukan padi sawah semakin penting.

Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi erat kaitannya dengan penggunaan pupuk yang semakin meningkat baik

jumlah maupun jenisnya. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir ini swasembada padi mulai terancam, karena

telah terjadi pelandaian produksi padi, peningkatan produksi hanya 0,11%. Saat ini penggunaan pupuk P dan K belum rasional dan berimbang sehingga pemupukan tidak efisien dan produksi tanaman tidak optimal. Kebutuhan pupuk P

suatu tanaman tergantung status dan dinamika hara yang bersangkutan. Penelitian kalibrasi hara P dan K yang

menghubungkan status dan dinamika hara tersebut di dalam tanah dengan respon tanaman terhadap pemupukan hara P

dapat digunakan untuk menyusun rekomendasi pemupukan yang rasional dan berimbang. Hal ini telah dilaksanakan di Galur Yogyakarta. Rancangan penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok yang diulang 3 kali. Adapun

perlakuannya adalah: metode uji tanah dosis pemupukan TSP dan KCl 25; 50; 75; 100 kg/ha; metode petani dosis

pemupukan TSP 50; 100; 150; 200 kg/ha dan KCl 75; 125; 175; 225 kg/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa uji

korelasi antara produksi gabah kering panen dengan dosis rekomendasi pemupukan terbaik adalah rekomendasi pemupukan melalui metode uji tanah yaitu sebesar 0,388 di atas rekomendasi lainnya. Hasil GKP mencapai 10 ton/ha

dengan pemupukan 75 kg TSP/KCl per ha. Sedangkan metode petani hanya mencapai 8 ton/ha dengan pemupukan 150

kg TSP dan 175 kg KCl per ha. Di samping itu serapan hara P dan K pada pemupukan melalui uji tanah lebih

sedikit/efisien pada perlakuan tersebut, sehingga terjadi pengawetan hara P dan K dan lingkungan tetap terjaga kelestariannya.

Kata kunci: pengawetan hara P dan K, uji tanah, rekomendasi pemupukan

PENDAHULUAN

Sejalan dengan pemantapan swasembada beras, penerapan teknologi pemupukan padi sawah

semakin penting. Hal ini disebabkan karena peningkatan produksi erat kaitannya dengan penggunaan pupuk

yang semakin meningkat baik jumlah maupun jenisnya. Namun demikian dalam beberapa tahun terakhir ini

swasembada padi mulai terancam, karena telah terjadi pelandaian produksi padi, peningkatan produksi hanya

0,11% (Sri Adiningsih, 1998).

Penggunaan pupuk secara rasional dan berimbang adalah salah satu faktor kunci untuk dapat

memperbaiki dan meningkatkan produktivitas pertanian lahan sawah. Penggunaan pupuk yang rasional dan

berimbang berati harus memperhatikan kadar unsur hara di dalam tanah, jenis dan mutu pupuk, dan keadaan

pedoagroklimat, juga memperhatikan atau mempertimbangkan unsur hara yang dibutuhkan tanaman untuk

pertumbuhan dan produksi optimal (Price, 1978).

Penggunaan pupuk untuk padi sawah terbukti nyata meningkatkan produksi padi, dimana telah lama

dikembangkan di Jawa dengan program Intensifikasi. Pulau Jawa telah menyumbang produksi padi 60 persen

dari produksi Nasional termasuk Wilayah Yogyakarta. Di Yogyakarta sentra produksi padi adalah di Sleman,

Bantul dan sebagian di Kulon Progo dan Gunung kidul Namun pada akhir-akhir ini produksi padi

menunjukkan kejenuhan berproduksi (pelandaian). Untuk itu telah banyak dikembangkan rekomendasi

pemupukan untuk padi sawah.

Puslittanak Bogor telah mengembangkan rekomendasi pemupukan berimbang berdasarkan uji tanah.

Bahkan telah mengusulkan tindak lanjut implementasi program pemupukan berimbang dengan metoda uji

tanah, dan juga telah menyimpulkan bahwa uji tanah (soil test) merupakan pendekatan terbaik untuk

menyusun rekomendasi pemupukan tanaman pangan (Anonim, 2000). Hal ini telah direspon oleh BPTP-

Yogayakarta dengan melakukan pemetaan status hara P dan K di beberapa kabupaten di D.I. Yogyakarta

Untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P dan K di lahan sawah, dibeberapa kabupaten di

D.I. Yogyakarta telah dibuatkan peta status hara P dan K, namun penggunaa rekomendasi pemupukan P dan

K masih beragam. Menurut Keputusan Menteri Pertanian (SK Mentan Nomor: 01/Kpts/SR.130/1/2006

tanggal 3 Januari 2005) bahwa rekomendasi pemupukan pada lahan sawah harus mengikuti uji tanah.

Makalah ini mengemukakan hasil pengkajian rekomendasi pemupukan P berdasarkan beberapa

metoda untuk menentukan rekomendasi pemupukan hara P dan K untuk tanaman padi sawah yang efisien

sekaligus dapat melestarikan kesuburan tanahnya.

Page 95: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

133

METODOLOGI

Pengkajian rekomendasi pemupukan dari beberapa metoda melalui uji kalibrasi di lapangan dengan

menggunakan percobaan petak kecil. Adapun rancangannya adalah mengunakan Rancangan Acak Kelompok

di lahan yang sudah dipetakan status haranya. Adapun perlakuannya adalah sebagai berikut:

- Rekomendasi pemupukan P dan K perlakuan berdasarkan uji tanah yang dikaji yaitu untuk pupuk P (TSP)

dengan dosis perlakuan: 25 kg/ha; 50 kg/ha; 75 kg/ha dan 100 kg/ha dan untuk pupuk K (KCl) dengan

perlakuan: 25 kg/ha; 50 kg/ha; 75 kg/ha dan 100 kg/ha.

- Rekomendasi pemupukan berdasarkan perlakuan petani

Rekomendasi pemupukan P dan K berdasarkan perlakuan petani yaitu untuk pupuk P (TSP) dengan dosis

perlakuan: 50 kg/ha; 100 kg/ha; 150 kg/ha dan 200 kg/ha dan untuk pupuk K (Kcl) dengan perlakuan: 75

kg/ha; 125 kg/ha; 175 kg/ha dan 225 kg/ha.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis tanah sebelum pengkajian menunjukkan bahwa status hara P dan K sedang sampai

tinggi baik tersedia maupun total, namun kandungan bahan organiknya rendah. Hal ini menunjukkan bahwa

daya sangga tanah terhadap pemupukan rendah sehingga banyak pupuk hilang, tetapi nilai KTK sedang

sampai tinggi hal ini menunjukkan bahwa lahan tersebut sangat respon terhadap pupuk yang diberikan.

Tabel 1. Hasil Analisa Tanah Sebelum Pengkajian di Lokasi Pengkajian

Sifat kimia Tanah Lapisan tanah

Komposit I II III IV

pH H2O 7,0 6,8 7,2 7,2 6,4

pH KCl 5,7 5,5 5,8 5,7 5,2

C-Organik (%) 0,78 1,32 0,36 0,42 0,376

N Total (%) 0,08 0,16 0,05 0,06 0,15

C/N Rasio 10 8 7 7 9

P2O5 Tersedia (ppm) 54 61 38 43 71

K2O Tersedia (ppm) 286 305 269 341 121

P2O5 Total (mg/100g) 143,85 149,89 83,50 97,58 122,73

K2O Total (mg/100g) 50,35 52,36 42,29 41,29 43,30

Ca (cmol/kg) 16,59 18,10 17,34 17,55 17,59

Mg (cmol/kg) 1,80 5,80 7,35 7,08 8,56

K (cmol/kg) 0,57 0,60 0,53 0,66 0,12

Na (cmol/kg) 0,50 0,67 0,40 0,47 0,70

Jumlah (Ca,Mg,K,Na) 19,26 25,17 25,82 25,76 24,97

KTK 18,57 20,61 20,71 20,31 21,67

KB (%) > 100 > 100 > 100 > 100 > 100

Al ++ (cmol/kg) 0,00 0,00 0,00 0,00 0,00

H + (cmol/kg) 0,7 0,2 0,2 0,4 0,4

Cu (ppm) 62 45 40 48 42

Zn (ppm) 115 69 56 63 60

Tabel 2. Hasil Analisa Tanah pada Saat Panen

Metode Uji Tanah Perlakuan petani

Perlakuan

Hara P (Phosphate)

Perlakuan

Hara P (Phospate)

Jaringan

Total (%)

Tanah Jaringan

Total (%)

Tanah

Total (ppm) Tersedia

(ppm) Total (%) Tersedia me %

25 TSP 0,44 0,25 0,23 50 TSP 0,34 0,15 0,16

50 TSP 0,28 0,18 0,15 100 TSP 0,24 0,16 0,13

75 TSP 0,28 0,17 0,15 150 TSP 0,26 0,17 0,14

100 TSP 0,32 0,21 0,18 200 TSP 0,29 0,22 0,17

Perlakuan

Hara K (Kalium)

Perlakuan

Hara K (Kalium)

Jaringan

Total (%)

Tanah Jaringan

Total (%)

Tanah

Total (ppm) Tersedia

(ppm) Total (%) Tersedia me %

25 KCl 1,18 0,81 0,66 75 KCl 1,16 0,75 0,64

50 KCl 1,2 1,79 1 125 KCl 1,18 0,85 0,68

75 KCl 1,11 0,72 0,61 175 KCl 1,11 0,72 0,61

100 KCl 1,23 0,84 0,69 225 KCl 1,11 0,68 0,6

Page 96: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

134

Analisis Korelasi dan Regresi

Hasil uji korelasi antara produksi gabah kering panen dengan dosis rekomendasi pemupukan

menunjukkan bahwa tertinggi/kedekatannya dengan produksi padi berturut-turut adalah rekomendasi

pemupukan melalui metode uji tanah untuk pupuk K yaitu sebesar 0,388 untuk uji tanah K dan 0,241 untuk

uji tanah P. sedang untuk perlakuan petabi paling kecil nilai koefisien (r) yaitu sebesar 0,032 (Tabel 3).

Tabel 3 Nilai koefisien Kerelasi Beberapa Metoda Rekomendasi Pemupukan Terhadap Poduksi Gabah Kering Panen

D.I. Yogyakarta

Metode rekomendasi pemupukan Nilai Korelasi

Uji tanah P 0,241

Uji tanah K 0,388

Perlakuan petani P 0,190

Perlakuan petani K 0,032

Uji kalibrasi metode uji tanah dan perlakuan petani

Proporsi pupuk yang digunakan untuk tanaman pangan terutama padi telah mencapai 85% dari total

pupuk untuk sektor pertanian. Untuk itu penggunaannya harus efektif dan efisien. Beberapa metode untuk

menentukan dosis rekomendasi pemupukan P dan K telah dikembangkan dalam rangka meningkatkan

produksi padi di lahan sawah. Agar lebih tepat dan akurat perlu dikaji metode yang terbaik untuk D.I.

Yogyakarta ini.

Hasil analisis regresinya berdasarkan hasil kalibrasi di lahan sawah menunjukkan bahwa untuk

metode uji tanah untuk pupuk P (Y=0,6912 + 8,8608 X +- 17203 X²), metode uji tanah K (Y=2,0504 +

4,0408 X – 0,7704 X²), metode ommision plot P (Y= 5,2058 + 1,728 X – 0,2899 X² ) dan metode ommision

plot K (Y= 3,6649 + 3,035 X – 0,5596 X² (Tabel 4 dan Gambar 1 dan 2).

Penggunaan pupuk P (SP-36) sebagai sumber P untuk padi sawah telah dilakukan sejak lama

bersama-sama pupuk Urea. Efisiensi pupuk P lebih rendah dari pupuk N dan K. Hasil pengkajian kalibrasi

pemupukan P berdasarkan metode uji tanah, dengan dosis 75 kg/ha menunjukkan terbaik diantara perlakuan

lainnya dan berbeda nyata yaitu hasil gabah kering panen mencapai ±10 t/ha dan ± 7 t/ha pada uji tanah

pupuk K, perlu diketahui bahawa pada uji tanah pupuk P pupuk selain P dioptimalkan begitu juga untuk uji

tanah pupuk K, selain pupuk K dioptimalkan terlebih dahulu. Pada perlakuan petani hasil gabah kering panen

dapat mencapai ± 8 ton/ha, namun dosis pupuk yang diberikan masih terlalu tinggi yaitu 150 kg/ha TSP/SP-

36 dan 75 kg/ha KCl, hal ini kurang efisien. Di Daerah Nomporejo walaupun status hara P dan K tinggi

namun mampu merespon pemupukan yang berlebihan walaupun hasil yang dicapai menurun dengan

meningkatnya pemberian pupuk.

Metode uji tanah untuk menentukan rekomendasi pemupukan, hasil gabah kering panen

menunjukkan lebih tinggi dibandingkan dari hasil pengkajian pemupukan P berdasarkan perlakuan petani.

Namun untuk pengkajian pupuk K, perlakuan petani lebih tinggi dari metode uji tanah, kemungkinan dosis

pemupukan K yang lebih besar/banyak dari metode uji tanah. Hal ini menunjukkan bahwa metode uji tanah

dalam menentukan rekomendasi pemupukan di Yogyakarta ini dipandang lebih baik dan dapat

dikembangkan dari metode lainya baik dari segi efisiensi maupun cara melakukannya.

y = -0.6912 + 8.8608x - 1.7203x2

R2 = 0.5974

y = 2.0504 + 4.0408x - 0.7704x2

R2 = 0.1977

y = 5.2058 + 1.7281x - 0.2899x2

R2 = 0.47

y = 3.6649 + 3.1035x - 0.5596x2

R2 = 0.524

0

2

4

6

8

10

12

0 1 2 3 4 5

Takaran pupuk ( kg/ha )

Ha

sil g

ab

ah

ke

rin

g p

an

en

( t

on

/ha

)

1

2

3

4

1

2

3

4

( metode uji tanah P )

( metode uji tanah K )

( metode omision plot P )

( metode omision plot K )

Gamb.1 Tanggap padi sawah terhadap pemupukan berdasarkan metode uji tanah di Nomporejo, Galur, Kulon Progo

Page 97: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

135

Tabel 4 Rata-rata Hasil Gabah pada Berbagai Metode Pemupukan

Metode uji tanah Perlakuan petani

Perlakuan

kg/ha

Gabah kering panen

ton/ha

Perlakuan

kg/ha

Gabah kering panen

ton/ha

25 TSP 6,633 b 50 TSP 6,763 b

50 TSP 9,600 ab 100 TSP 7,146 b

75 TSP 10,958 a 150 TSP 8,171 a

100 TSP 7,045 ab 200 TSP 7,361 b

25 KCl 5,449 b 75 KCl 6,242 b

50 KCl 6,666 ab 125 KCl 7,535 a

75 KCl 7,624 a 175 KCl 8,038 a

100 KCl 5,759 b 225 KCl 7,126 ab

Keterrangan: Angka-angka pada kolom yang sama, yang diikuti huruf sama, tidak berbeda nyata dalam taraf 5%.

KESIMPULAN

1. Metode untuk menentukan rekomendasi dosis pemupukan terbaik adalah metode uji tanah, baik untuk

pupuk P maupun pupuk K.

2. Dosis pemupukan pupuk P maupun pupuk K terbaik adalah 75 kg/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2000. Uji Tanah Sebagai Dasar Pemupukan Spesifik Lokasi. Tim Uji Tanah Proyek Pembinaan

Kelembagaan Pertanian/ARMP-II bekerjasama dengan Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat,

Bogor, 2000.

Murwati, Noor Amali, dan Hj. Hayatun Fardah. 2000. Hara Tanaman Padi, Jagung, dan Kedele. Badan

Litbang Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru.

.Price, G.A. 1978. Plant and Soil Analysis a system for detecting nutrient seed of crops., In Palnt nutrient,

Proc. Of the 8 th Inter, Colloqium on Plant Analysis and Feretilizer Problem. 28 Aug-1 Sep, 1978.

Aucland, New Zealand. Soepardi, G. 1979. Sifat dan Ciri Tanah. Departemen Ilmu Tanah. Faperta

IPB Bogor.

Sri Adiningsih J. 1998. Peranan Efisiensi Penggunaan Pupuk untuk Melestarikan Swasembada Pangan.

Inovasi Teknologi Pertanian. Seperempat Abad Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Badan

Litbang Pertanian, Pasar Minggu, Jakarta. Hal: 151-163

Page 98: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

136

PENGKAJIAN DAYA HASIL LANJUTAN BEBERAPA VARIETAS KEDELAI PADA TIGA JENIS

TANAH BERBEDA DI PROVINSI D.I. YOGYAKARTA

Damasus Riyanto, Mulud Suhardjo dan A.M. Sudihardjo

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK

Pengujian daya adaptasi dan hasil lanjutan beberapa varietas kedelai pada berbagai lokasi dengan jenis tanah

dan iklim yang berbeda akan memberikan masukan bagi pengembangan benih-benih unggul kedelai serta mendapatkan calon varietas unggul yang cocok dengan kondisi spesifik lokasi. Pengkajian dilakukan di lahan petani (On Farm

Research) dengan menggunakan 3 varietas kedelai yaitu: Cikuray (kedelai hitam), Burangrang, dan Wilis di 3 lokasi

dengan jenis tanah yang berbeda, yaitu: Typic Tropaquepts (liat halus), Imogiri-Bantul, Typic Haplustalfs liat halus),

Pathuk-Gunungkidul dan Typic Fragiaquepts (berpasir), Mlati-Sleman. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa prosentase daya tumbuh (7 HST) tidak berbeda nyata jika ditanam di lokasi dengan jenis tanah dan tekstur berbeda,

sedangkan hasil biji kering panen menunjukkan bahwa hasil tertinggi diraih oleh varietas Burangrang (2,10 ton/ha)

pada tanah bertekstur liat dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis (2,04 ton/ha). Sedangkan di tanah

berpasir, kedelai varietas Wilis memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Burangrang dan berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha). Hama penyakit utama yang menyerang tanaman kedelai di 3 lokasi

berbeda adalah ulat grayak, yaitu rata-rata sekitar 25%. Varietas Burangrang dan Wilis lebih tahan pada hama

penggerek daun dibandingkan Varietas Cikuray, namun varietas Burangrang kurang tahan terhadap penyakit sklerotis

dibandingkan varietas Wilis dan Cikuray. Secara umum penanaman kedelai di tanah Typic Haplustalfs- Gunungkidul memiliki jumlah polong lebih tinggi pada varietas yang sama jika dibandingkan di tanah Typic Tropaquepts (Bantul)

dan Typic Fragiaquepts (Sleman), karena memiliki kandungan P2O5 yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan

serapan hara P yang sangat berperan dalam pembentukan polong biji kedelai. Penambahan bahan zeolit ternyata

juga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara N, P dan K yaitu 21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit (kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas penahan air (kelembaban tanah), terutama pada tanah berpasir

(lokasi pengkajian kabupaten Sleman).

Kata kunci : daya adaptasi, jenis tanah, serapan hara, aplikasi bahan ameliorant.

PENDAHULUAN

Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta mempunyai luas 318.580 ha, dimana wilayahnya terdiri dari

beberapa agroekosistem yang menyebabkan terbentuknya jenis tanah dan agroklimat yang berbeda.

Sedangkan klas tekstur tanah yang dominan pada sebaran tanah-tanah utama di Daerah Istimewa Yogyakarta

adalah liat, lempung berdebu dan pasir halus. Sehingga secara umum memiliki karakteristik sifat-sifat

kimia, biologi, fisika tanah serta tingkat produktivitas yang berbeda.

Produksi tanaman kedelai di tingkat Nasional akhir-akhir ini semakin menurun, yaitu pada tahun

2002 produksinya telah mencapai 1,38 juta ton, namun pada tahun 2004 turun menjadi 1,07 juta ton.

Penurunan produksi tersebut mengharuskan Pemerintah mengimpor bahan pangan kedelai untuk memenuhi

kebutuhan penduduk yang terus bertambah. Ketergantungan kepada sistem impor ini akan riskan bagi

ketahanan pangan nasional. Untuk Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta kebutuhan kedelai per tahun

adalah 95.653 ton, sedang produktivitasnya hanya sekitar 64.906 ton per tahun, sehingga kekurangannya

sebesar 30.747 ton perlu didatangkan dari luar provinsi. Oleh karena itu produksitivitas tanaman kedelai

perlu terus dipacu dengan mengembangkan inovasi teknologi pertanian di berbagai komponen, baik dalam

hal pengembangan suatu rakitan teknologi yang merupakan gabungan dari penyiapan lahan optimal,

pemupukan yang berimbang sesuai dengan spesifik lokasi, pemeliharaan yang intensif, pengendalian hama-

penyakit, pemilihan varietas unggul yang sesuai dan dapat beradaptasi dengan kondisi agroekologi setempat

serta diikuti pula dengan penanganan pasca panen yang tepat.

METODOLOGI

Pengkajian dilakukan pada tahun anggaran 2004 di areal dengan 3 jenis tanah yang berbeda, yaitu:

Typic Haplustalf di Desa Gelantung, Kecamatan Patuk Kabupaten Gunungkidul (tekstur liat), Typic

Fragiaquepts di Desa Tirtoadi, Kecamatan Mlati Kabupaten Sleman (tekstur pasir berlempung) dan Typic

Tropaquepts di Desa Wukirsari, Kecamatan Imogiri Kabupaten Bantul. Varietas kedelai yang digunakan

adalah Cikuray (kedelai hitam), Wilis dan Burangrang. Ukuran petak mengikuti luasan lahan petani (On

Farm Research) dengan jarak tanam 40 x 15 cm. Dosis pemupukan yang diaplikasikan adalah 50 kg/ha

Page 99: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

137

Urea, diberikan 2 x yaitu saat tanam benih kedelai dan saat primordia (30 HST). SP-36 sebanyak 100 kg/ha

dari KCl sebanyak 75 kg/ha. Ulangan dilakukan sebanyak 3 kali. Pengambilan data meliputi: prosentase

daya tumbuh, pertumbuhan agronomis tanaman, jumlah polong, berat biji kering panen (ton/ha), berat 100

butir biji kedelai, analisis serapan hara N, P, K di daun dan biji saat panen, sifat-sifat karakteristik kimia

dan fisika tanah, pengamatan hama penyakit yang menyerang serta pengamatan data iklim (curah hujan

selama 10 thaun terakhir).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil analisa laboratorium dapat diketahui bahwa ketiga lokasi pengkajian memiliki

karakteristik yang berbeda yang disajikan pada Tabel 1 berikut

Tabel 1. Sifat Karakteristik Tanah di 3 Lokasi Pengkajian Berbeda di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta

Lokasi Struktur Tektur

pH C-org N K2O5 P2O5 KTK

me/100g Pasir Debu Liat ---%--- ---ppm---

Patuk, Gunungkidul Gumpal 10,8 15,5 73,7 5,2 1,00 0,09 24 96 14,61

Mlati, Sleman Lepas 46 35 19 5,8 1,77 0,16 34 38 16,15

Imogiri, Bantul Gumpal 4 35 61 6,5 1,22 0,11 84 21 48,20

Berdasarkan analisa laboratorium terlihat bahwa di lokasi Patuk, Gunungkidul memiliki klas tekstur

liat, dengan kadar C-organik rendah, dan KTK rendah. Sedang di lokasi Mlati, Sleman memiliki klas tekstur

berpasir, C-organik rendah, dan kadar KTK tanah rendah dengan tingkat produktivitas tanah rendah,

selanjutnya di lokasi Imogiri, Bantul klas tekstur liat, C-organik rendah, dan kadar KTK tanah sedang

dengan tingkat produktivitas tanah adalah sedang.

Pengamatan daya tumbuh (7 HST) pada ke-3 lokasi pengkajian ternyata memberikan hasil rata-

rata di atas 90%, hal ini menunjukkan bahwa kualitas benih yang diaplikasikan tergolong baik dan sesuai

persyaratan standart pensertifikasian benih kedelai yang berlaku. Walaupun ditanam pada lahan yang relatif

kurang produktif, masih terlihat memberikan tingkat daya tumbuh yang baik (Tabel 2).

Tabel 2. Prosentase Daya Tumbuh Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta.

Lokasi Varietas

Rerata Cikuray Burangrang Wilis

Patuk, Gunungkidul 92 a 94 a 94 a 93,33

Mlati, Sleman 91 a 92 a 93 a 92,00

Imogiri, Bantul 90 a 93 a 93 a 92,33

Rerata 91 93 93,66 92,55

*) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%.

Produktivitas beberapa varietas kedelai yang dikaji ternyata memberikan hasil yang berbeda pada

lokasi pengkajian yang sama (Tabel 3).

Tabel 3. Produksi Berat Kering Panen Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah

Istimewa Yogyakarta (ton/ha).

Lokasi Varietas

Rerata Cikuray Burangrang Wilis

Patuk, Gunungkidul 1,70 b 1,98 a 2,03 a 1,90

Mlati, Sleman 1,62 b 1,84 ab 1,92 a 1,79

Imogiri, Bantul 1,89 b 2,10 a 2,04 a 2,01

Rerata 1,73 1,97 1,99 1,90

*) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Secara umum varietas Burangrang dan Wilis memberikan hasil yang lebih tinggi pada lokasi yang

sama dibandingkan dengan pengujian daya hasil varietas Cikuray (kedelai hitam). Hal ini sesuai dengan

penelitian Riyanto D. (2004), yang menunjukkan bahwa hasil rata-rata pengkajian UML dan UDHL kedelai

di Bantul untuk varietas pembanding Burangrang dan Wilis ternyata memberikan hasil lebih tinggi, yaitu

Page 100: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

138

masing-masing 2,10 ton/ha dan 2,08 ton/ha dan berbeda nyata dengan daya hasil varietas Cikuray (1,89

ton/ha)

Tabel 4. Jumlah Polong Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi Daerah Istimewa

Yogyakarta (ton/ha)

Lokasi Varietas

Rerata Cikuray Burangrang Wilis

Patuk, Gunungkidul 21,3 b 20,7 a 21,7 b 21,2

Mlati, Sleman 26,6 b 22,5 a 24,3 a 24,5

Imogiri, Bantul 23,4 b 22,1 a 23,5 b 23,0

Rerata 23,7 21,7 23,2 22,9

*) Rerata yang didampingi notasi yang sama tidak berbeda nyata pada DMRT 5%

Pada pengkajian tanah bertekstur pasir (di lokasi Mlati, Sleman), ternyata varietas Wilis

memberikan hasil biji kering lebih tinggi daripada varietas Burangrang, yaitu masing-masing 1,92 ton/ha dan

1,84 ton/ha serta berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha).

Pada umumnya semua varietas yang dikaji masih diserang oleh hama daun ulat grayak (Spodoptera

sp), namun populasinya masih dapat ditolelir dan di bawah ambang batas yang diperkenankan (Tabel 5). Hal

ini sesuai dengan penelitian dari Muchlish, M.A. (2001), yang menyebutkan bahwa ulat grayak merupakan

hama daun utama pada pertanaman kedelai di hampir sebagian besar wilayah Indonesia dan hingga saat ini

belum ada varietas kedelai yang bereaksi toleran terhadap hama tersebut.

Tabel 5. Hama Penyakit Utama Yang Menyerang Pada Pangkajian Daya Hasil Beberapa Varietas Kedelai di Provinsi

Daerah Istimewa Yogyakarta.

Varietas

Hama Penyakit Utama yang menyerang

Patuk, Gunungkidul Mlati, Sleman Imogiri, Bantul

Ulat

grayak

Karat

daun

Ulat

grayak

Penykt

Skerotium

Ulat

grayak

Karat

daun

Pnykt

Hamprosema

Penykt

Skerotium

Cikuray 3 1 3 2 3 1 2 1

Burangrang 2 2 2 1 2 1 2 1

Wilis 2 2 2 1 2 1 1 1

Keterangan : Pengamatan HPT kedelai menggunakan system skoring (prosentase yang terinfeksi) sebagai berikut : 1 = tahan; 2 = sedikit terinfeksi; 3 = kurang tahan

Kandungan hara makro N, P dan K pada daun dan biji tersaji pada Tabel 6 dan Tabel 7, dengan hasil

analisis laboratorium ternyata konsentrasi hara N, P, K di biji kedelai ternyata lebih tinggi daripada di daun

kedelai yang sehat. Hal ini sesuai dengan penelitian Fauconnier (1986), yang mengemukakan bahwa kadar N

optimum pada akhir stadia pembungaan di bagian daun tanaman adalah 4,5-5,5%; P 0,35-0,60% dan K 2,5-

3,7%.

Tabel 6. Serapan Hara N, P, K dengan Perlakuan Penambahan Zeolit Pada Tanaman Kedelai di Lokasi Mlati, Sleman

(Klas Tekstur Berpasir)

Varietas

Serapan hara pada daun tanaman kedelai saat panen

di lokasi Mlati, Sleman di lokasi petani (kontrol)

N (%) P (%) K (%) N (%) P (%) K (%)

Cikuray 2,1 0,22 0,58 1,7 0,18 0,51

Burangrang 2,5 0,26 0,83 2,08 0,20 0,71

Wilis 2,4 0,28 0,87 1,8 0,22 0,76

Tabel 7. Serapan Hara N, P, K dengan Perlakuan Penambahan Zeolit Pada Biji Kedelai di Lokasi Mlati, Sleman (Klas

Tekstur Berpasir)

Varietas

Serapan hara pada tanaman kedelai saat panen (90 HST)

di lokasi Mlati, Sleman di lokasi petani (kontrol)

N (%) P (%) K (%) N (%) P(%) K(%)

Cikuray 5,4 0,60 1,75 4,37 0,49 1,42

Burangrang 6,8 0,75 1,80 5,50 0,51 1,68

Wilis 6,6 0,70 1,92 5,41 0,56 1,57

Page 101: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

139

Sedangkan menurut hasil pengkajian Novianti, et. al. (1997), selain penambahan unsur hara makro

N, P, K melalui aplikasi di tanah, dapat juga dilakukan penambahan unsur hara melalui penyemprotan Pupuk

Pelengkap Cair (PPC) melalui daun dan hasil biji kering kedelai di beberapa lokasi antara di Ngawi dan Way

Abung menunjukkan peningkatan yang nyata.

KESIMPULAN

1. Hasil biji kering panen menunjukkan bahwa hasil tertinggi diraih oleh varietas Burangrang (2,10 ton/ha)

pada tanah bertekstur liat dan tidak berbeda nyata dengan varietas Wilis (2,04 ton/ha). Sedangkan di

tanah berpasir, kedelai varietas Wilis memberikan hasil lebih tinggi dibandingkan varietas Burangrang

dan berbeda nyata dengan varietas Cikuray (1,62 ton/ha).

2. Hama penyakit utama yang menyerang tanaman kedelai di 3 lokasi berbeda adalah ulat grayak, yaitu

rata-rata sekitar 25%. Varietas Burangrang dan Wilis lebih tahan pada hama penggerek daun

dibandingkan varietas Cikuray, namun varietas Burangrang kurang tahan terhadap penyakit sklerotis

dibandingkan varietas Wilis dan Cikuray.

3. Penanaman kedelai di tanah Typic Haplustalfs-Gunungkidul memiliki jumlah polong lebih tinggi pada

varietas yang sama jika dibandingkan di tanah Typic Tropaquepts (Bantul) dan Typic Fragiaquepts

(Sleman), karena memiliki kandungan P2O5 yang lebih tinggi, sehingga meningkatkan serapan hara P

yang sangat berperan dalam pembentukan polong biji kedelai.

4. Penambahan bahan zeolit ternyata juga meningkatkan kapasitas penyerapan unsur hara N, P dan K yaitu

21% lebih tinggi dibandingkan tanpa aplikasi zeolit (kontrol petani) serta meningkatkan kapasitas

penahan air (kelembaban tanah), terutama pada tanah berpasir (lokasi kabupaten Sleman).

DAFTAR PUSTAKA

Adi Sarwanto, T.H., Kuntyastuti dan Suhartina. 1996. Paket Usahatani Kedelai Setelah Padi di Lahan

Sawah dalam Prosiding Pemantapan Usahatani Palawija untuk Mendukung Sistem Usahatani

Berbasis Padi dengan Wawasan Agribisnis (SUTPA) Balai Penelitian Kacang-kacangan dan Umbi-

umbian, Malang.

Adisarwanto, T., Budi Santoso, Marwoto, Suryanto dan Sumarno. 1993. Keragaan Paket Teknologi

Produksi Kedelai di Lahan Sawah dalam Prosiding Simposium Penelitian Tanah bagian III.

Puslittanak-Bogor.

Fauconnier, Ing. Agr. Agr. 1986. Fertilizing for High Yield Soya. IPI Bulletin 9. International Potash

Institute. Bern-Switzerland.

Marwan, I., Sumarno, A. S. Karama dan A.M. Fagi. 1990. Teknologi Pengelolaan Kedelai. Laporan

Khusus Puslitbangtan-Bogor. Badan Litbang Pertanian.

Novianti S., Fathan M. dan Sri Hutami. 1997. Peranan Pupuk Pelengkap Cair terhadap Peningkatan

Hasil Kedelai. dalam Kinerja Penelitian Tanaman Pangan Buku 5. Puslitbangtan-Bogor. Badan

Litbang Pertanian

Riyanto, D., Reki Hendrata dan A.M. Sudihardjo. 2004. Laporan Pengkajian Pertanaman Kedelai di Lahan

Sawah Setelah Padi. Kerjasama BPTP Yogyakarta dan P.T. PUSRI Cabang Yogyakarta.

Riwanodjo dan T. Adisarwanto. 1991. Kajian Pemberian PPC/ZPT terhadap Pertumbuhan dan Hasil

Kedelai di Lahan Sawah. Risalah Hasil Penelitian Tanaman Pangan. Puslitbangta-Bogor.

Sumarno, D.M., Arsyad dan I. Manwan. 1990. Teknologi Usahatani Kedelai. Risalah Lokakarya

Pengembangan Kedelai. Puslitbangtan-Bogor.

Tim Survai Puslittanak. 1994. Laporan Survei dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan

Rehabilitasi Lahan dan Konservasi Tanah. Bagian Proyek Pengembangan Sumberdaya Tanah-

Puslittanak-Bogor

Tisdale, S.L., W.L. Nelson and J.D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizer. Mac Millan Publishes

Company – New York.

Page 102: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

140

PEMUPUKAN P DAN K TERHADAP HASIL KEDELAI SETELAH PERTANAMAN

PADI DI LAHAN SAWAH

Mulyadi dan Sarjiman

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta

ABSTRAK

Budidaya kedelai di lahan sawah merupakan salah satu alternatif yang perlu dikembangkan dalam upaya

meningkatkan produksi kedelai dalam negeri. Penanaman kedelai dalam sistem rotasi dengan padi di lahan sawah dapat memberikan keuntungan teknis, yaitu: menekan populasi beberapa macam hama dan penyakit, pemanfaatan air lebih

efisien, memelihara kesuburan tanah, meningkatkan intensitas tanam/produktivitas lahan. Penelitian ini bertujuan untuk

mengetahui pengaruh pemberian pupuk P dan K terhadap hasil kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah.

Penelitian dilaksanakan dalam musim kemarau pada tanah Typic Fragiaquepts di Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta. Penelitian menggunakan kedelai varietas Wilis yang ditanam dengan

jarak tanam 40 cm x 15 cm. Pelaksanaan penelitian dilakukan dengan menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10

perlakuan yang masing-masing diulang 3 kali. Perlakuan terdiri dari kombinasi tidak lengkap dari dosis pupuk sumber P

yaitu: 0, 25, 50 dan 100 kg SP-36/ha dan dosis pupuk sumber K yaitu: 0, 37,5, 75 dan 150 kg KCl/ha. Sebagai pupuk dasar digunakan 50 kg Urea/ha. Hasil penelitian menunjukkan bahwa pemupukan P dan K tidak berpengaruh

meningkatkan hasil biji kedelai. Rata-rata hasil biji kedelai kering tanpa pemupukan P dan K cukup tinggi yaitu sekitar

1,66 ton/ha. Pengembangan budidaya kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah selain merupakan alternatif untuk

peningkatan produksi kedelai dengan biaya input yang relatif rendah juga berpotensi dalam meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah.

Kata kunci: kedelai, pupuk, fosfat, kalium, sawah.

PENDAHULUAN

Kedelai (Glycine max L. Merril) merupakan salah satu tanaman leguminosae (kacang-kacangan)

yang dikenal akarnya mampu menambat nitrogen dari udara melalui simbiose dengan bakteri Rhizobium sp.

dan hasil bijinya mengandung protein tinggi, yaitu berkisar 35-43 % (Suprapto, 1995). Biji kedelai, selain

sebagai bahan makanan juga merupakan bahan dasar untuk industri sedangkan batang dan daunnya juga

dapat bermanfaat sebagai pakan ternak, pupuk hijau dan akar-akar yang tertingal dalam tanah maupun daun

yang rontok dapat memperbaiki kesuburan tanah (Anonim, 1995). Penanaman kedelai pada suatu lahan

berpotensi memberikan kontribusi dalam perbaikan kesuburan tanah khususnya dalam penyediaan nitrogen

(N) dan kegemburan tanah untuk pertanaman berikutnya. Keadaan lingkungan tumbuh yang baik untuk

tanaman kedelai adalah tanah gembur dan cukup lembab dengan kadar unsur-unsur hara yang tinggi dan

seimbang, penyinaran matahari yang cukup sejak tumbuh sampai pematangan polong, air diperlukan dari

sejak tumbuh sampai pengisian polong dan pada masa pematangan polong lahan harus kering. Kekurangan

air terutama pada fase pengisian polong akan sangat menurunkan hasil biji baik karena berkurangnya jumlah

polong maupun jumlah biji bernas (Suprapto, 1995).

Upaya peningkatan produksi kedelai baik melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi masih perlu

terus dilakukan untuk menekan impor dan mengimbangi kebutuhan kedelai yang cenderung meningkat

sejalan dengan pertambahan penduduk. Sebagai komoditas pertanian, kedelai mempunyai nilai ekonomi dan

peluang pasar cukup tinggi.

Penanaman kedelai dalam sistem rotasi dengan padi sawah berpotensi menekan populasi beberapa

macam hama dan penyakit yang umumnya menyerang padi, meningkatkan efisiensi pemanfaatan air,

menjaga keseimbangan unsur hara, meningkatkan intensitas tanam dan produktivitas lahan. Bahkan biaya

usahatani untuk tenaga kerja mengolah tanah maupun pemupukan N berpotensi untuk dapat ditekan. Schlegel

dan Schemith (1976) mengemukakan bahwa pengikatan N2 udara secara simbiotik memungkinkan perolehan

nitrogen sebanyak 100-300 kg/ha/tahun. Di lain pihak, hasil penelitian tanpa olah tanah dan tanpa

pemupukan N tidak berpengaruh nyata terhadap hasil biji kedelai (Sarjiman, et. al., 2000).

Selain unsur hara N, untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji yang tinggi tanaman kedelai juga

memerlukan unsur hara P dan K dalam jumlah yang yang banyak. Untuk menghasilkan setiap 1,0 ton biji,

tanaman kedelai menyerap hara P dan K masing-masing sebanyak 4,17-5,64 kg P dan 17,33-25,28 kg K

(Tisdale, et al., 1985; Suprapto, 1995;). Meskipun demikian, sementara ini berkaitan dengan pemupukan P

dan K untuk pertanaman kedelai yang ditanam setelah pertanaman padi di lahan sawah dianggap tidak

mutlak harus dilakukan, khususnya pada lahan-lahan sawah intensif yang umumnya penggunaan pupuk P

Page 103: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

141

maupun K/jerami dikembalikan telah umum dilakukan pada saat penanaman padi. Hal ini didasari pada

anggapan bahwa pada tanah bekas ditanami padi masih terkandung cukup banyak unsur-unsur hara P dan K

yang bisa dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan tanaman kedelai.

Tulisan ini menyajikan hasil penelitian tentang pemupukan P dan K dalam budidaya kedelai setelah

padi di lahan sawah. Diharapkan informasi ini dapat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk

pengembangan teknologi dan usahatani kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah.

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilaksanakan pada lahan sawah di Desa Sumberagung, Kecamatan Jetis, Kabupaten

Bantul. Jenis tanah di lokasi penelitian adalah Typic Fragiaquept, sangat halus, mineral campuran,

isohyperthermik (Puslittanak, 1994) dengan sifat fisik dan kimia tanah lapisan atas (0-20 cm) seperti

disajikan dalam Tabel 1. Secara umum, tanah di lokasi penelitian mempunyai tekstur lempung, reaksi tanah

agak masam, kadar bahan organik dan N rendah, kadar P, K, Ca, Mg tinggi dan kapasitas tukar kation

sedang. Tanah demikian dapat diinterpretasikan sebagai tanah yang mempunyai kemampuan memegang air

sedang dan menyediakan unsur hara makro cukup tinggi kecuali N.

Penanaman kedelai dilakukan setelah pertanaman padi menjelang musim kemarau dalam sistem

rotasi tanaman padi-padi-kedelai. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 10 perlakuan

dan masing-masing diulang 3 kali. Ukuran petak perlakuan adalah 4,80 m x 5,4 m. Macam perlakuan terdiri

dari kombinasi perlakuan dosis pupuk sumber P (SP-36) dan sumber K (KCl) seperti disajikan dalam Tabel

2. Sebagai pupuk dasar digunakan Urea 50 kg/ha yang diberikan pada semua petak perlakuan.

Benih kedelai varietas Wilis ditanam secara tugal (2 biji/lubang) dengan jarak tanam 40 cm x 15 cm.

Pupuk Urea dan SP-36 seluruhnya diberikan pada umur 10-15 hari setelah tanam (HST), sedangkan pupuk

KCl diberikan 2 kali yaitu setengah dosis diberikan pada umur 10-15 HST bersamaan dengan pemberian

pupuk Urea dan SP-36 dan sisanya diberikan pada umur 28 HST. Pemberian pupuk dilakukan dengan cara

dibenamkan dalam tanah di sekitar rumpun tanaman.

Data yang dikumpulkan meliputi tinggi tanaman saat panen, jumlah cabang per tanaman, berat biji

kering dan brangkasan kering (daun, batang, kulit polong). Data tinggi tanaman dan jumlah cabang

dikumpulkan dari pengamatan terhadap 10 tanaman contoh per petak perlakuan sedangkan berat biji dan

brangkasan dikumpulkan dari hasil seluruh tanaman per petak. Data yang terkumpul dianalisis secara statistik

menggunakan analisis sidik ragam (Analysis Of Variance/ANOVA) dan untuk mengetahui perbedaan antar

perlakuan digunakan uji beda nyata terkecil/BNT (Least Significant Different/LSD) pada taraf 5%. Untuk

analisis data secara statistik dilakukan dengan menggunakan bantuan perangkat lunak SAS Versi 5 (SAS

Institute Inc. 1985).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis data pertumbuhan, biji kering dan brangkasan kering (batang, daun, kulit polong

kering) serta indek panen (perbandingan biji kering terhadap total biomas kering) disajikan dalam Tabel 3.

Pemupukan P dan K masing-masing sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha ternyata tidak

berpengaruh terhadap tinggi tanaman, jumlah cabang, hasil biji kering dan brangkasan kering maupun indek

panen. Hal ini nampaknya disebabkan ketersediaan unsur hara P dan K di dalam tanah pada lahan sawah

yang digunakan untuk penelitian cukup tinggi (Tabel 1). Keadaan lahan sawah dengan kadar P dan K yang

cukup tinggi tersebut banyak dijumpai di sebagian besar wilayah Kabupaten Bantul (Mulyadi et al., 2004)

dan mungkin juga daerah-daerah persawahan di wilayah lainnya dimana petani umumnya melakukan

pemupukan P dan K/jerami sisa panen dikembalikan ke lahan. Untuk itu, penyisipan tanaman kedelai dalam

sistem rotasi tanaman padi-padi-kedelai cukup berpotensi untuk meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk P

dan K di lahan sawah karena residu penggunaan pupuk dalam pertanaman padi sawah sebelumnya dapat

digunakan untuk mendukung pertumbuhan dan hasil biji kedelai dengan tingkat hasil yang cukup tinggi.

Sebagaimana ditunjukkan dalam Tabel 3 bahwa kisaran rata-rata hasil biji kering kedelai untuk semua

perlakuan pemupukan P dan K adalah cukup tinggi, yaitu 1,64 – 1,92 ton/ha bahkan rata-rata hasil biji kering

tanpa pemupukan P dan K mencapai 1,66 ton/ha. Hasil ini masih relatif lebih tinggi daripada rata-rata hasil

kedelai di Daerah Istimewa Yogyakarta yang umumnya hanya berkisar 1,06 – 1,26 ton/ha (BPS Provinsi DIY,

2005).

Page 104: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

142

Tabel 1. Sifat Tanah Fisik dan Kimia Tanah Lapisan Atas (0-20 Cm) di Lokasi Penelitian

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Harkat

Tekstur Lempung (Loam)

- Pasir (%) 45

- Debu (%) 40

- Liat (%) 15

pH H2O 5,8

pH KCl 5,3

C organik (%) 1,65

N total (%) 0,14

C/N 12

P2O5 Potensial (mg/100 g tanah) 155

K2O Potensial (mg/100 g tanah) 78

Kation-kation dapat ditukar

- Ca (me/100 g tanah) 13,35

- Mg (me/100 g tanah) 4,94

- K (me/100 g tanah) 1,05

- Na (me/100 g tanah) 0,52

Kapasitas Tukar Kation/KTK (me/100 g tanah) 18,64

Tabel 2. Macam Perlakuan Kombinasi Pemupukan P Dan K untuk Kedelai di Lokasi Penelitian

No. Perlakuan Dosis Pupuk (kg/ha)

SP-36 KCl

1 0 75

2 25 75

3 50 75

4 100 75

5 50 0

6 50 37,5

7 50 150

8 0 0

9 25 37,5

10 100 150

Tabel 3. Pengaruh Dosis Pemupukan P dan K Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Kedelai Varietas Wilis di Lahan Sawah,

Desa Sumber Agung, Kecamatan Jetis, Kabupaten Bantul.

Perlakuan dosis

pupuk Tinggi

tanaman saat

panen

Jumlah cabang Berat biji

kering

Berat

brangkasan

kering

Indek panen

SP-36 KCl

kg/ha cm batang/tan ton/ha ton/ha (%)

0 75 37,22 a 2,50 ab 1,84 a 1,52 a 54,67 a

25 75 35,16 a 2,66 ab 1,92 a 1,62 a 54,22 a

50 75 31,80 a 2,66 ab 1,79 a 1,58 a 53,22 ab

100 75 36,34 a 2,39 b 1,81 a 1,59 a 53,30 ab

50 0 33,71 a 2,51 ab 1,59 a 1,41 a 52,66 ab

50 37,5 35,82 a 2,83 ab 1,76 a 1,51 a 53,91 ab

50 150 36,24 a 3,15 a 1,84 a 1,75 a 51,31 b

0 0 36,53 a 2,29 b 1,66 a 1,38 a 54,76 a

25 37,5 33,80 a 2,64 ab 1,76 a 1,48 a 54,23 a

100 150 33,42 a 2,13 b 1,64 a 1,40 a 53,94 a

KK (%) 9,43 16,16 18,27 18,58 2,85

BNT 5% 5,66 0,72 0,55 0,49 2,62

Keterangan: Angka dalam kolom yang sama dan diikuti dengan huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata

berdasarkan uji BNT pada taraf 5%.

Page 105: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

143

KESIMPULAN

1. Pemupukan P dan K sampai dengan dosis 100 kg SP-36 dan 150 kg KCl/ha pada pertanaman kedelai

setelah padi di lahan sawah yang biasa dipupuk P dan pengembalian jerami tidak meningkatkan hasil

biji kedelai. Rata-rata hasil biji kedelai kering tanpa pemupukan P dan K cukup tinggi yaitu sekitar 1,66

ton/ha.

2. Pengembangan budidaya kedelai setelah pertanaman padi di lahan sawah selain merupakan alternatif

untuk peningkatan produksi kedelai dengan biaya input yang relatif rendah juga berpotensi dalam

meningkatkan efisiensi penggunaan pupuk di lahan sawah.

DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 1995. Kedelai. Penerbit Kanisius. Yogyakarta

BPS Provinsi DIY. 2005. Statistik Pertanian Tanaman Pangan Provinsi D.I. Yogyakarta 2004. Badan Pusat

Statistik (BPS) Provinsi DIY, Yogyakarta.

Mulyadi, I. Purwanto, A. M. Gusmida, Sunaryana, Salamhadi, dan Budiono. 2004. Prosiding Seminar

Nasional. Penerapan dan Inovasi Teknologi dalam Agribisnis Sebagai Upaya Pemberdayaan Rumah

Tangga Tani. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta, Puslitbang Sosial Ekonomi

Pertanian, Bogor.

Puslittanak, 1994. Laporan Akhir; Survai dan Pemetaan Sumberdaya Lahan untuk Pengembangan Pertanian

Lahan Kering dan Konservasi Hutan Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta. Laporan Akhir No.

03/PSDT/02.0202.01/94. Bagian Proyek Pengelolaan Sumberdaya Tanah. Pusat Penelitian Tanah

dan Agroklimat (Puslittamnak), Badan Litbang Petanian, Deptan.

Sarjiman, Aliudin, dan Suharno. 2000. Laporan Teknis Pengkajian Palawija Spesifik Lokasi di Daerah

Istimewa Yogyakarta. IPPTP Yogyakarta.

SAS Institute Inc. 1985. SAS User’s Guides: statistic, version 5 edition. Cary, NC: SAS Institute Inc.

Schlegel, H. G. and K. Schmith. 1976. Algemeine Mikrobiologie. Edisi Indonesia. Mikrobiologi Umum.

Penerjemah Tedjo Baskoro. 1994. Gajah Mada University Press. Yogyakarta.

Tisdale, S.L., W.L. Nelson, and J.D. Beaton. 1985. Soil Fetility and Fertilizers. 4th Ed. Macmillian Publishing

Company. New York.

Page 106: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

144

KERAGAAN BEBERAPA GENOTIPE PADI MENUJU PERBAIKAN MUTU BERAS

Prajitno al KS1)

, R. Mudjisihono1)

dan B. Abdullah2)

1)

Peneliti Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Yogyakarta 2)

Peneliti Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi

ABSTRAK

Laju peningkatan produktivitas padi di DIY tidak beda jauh dengan peningkatan produktivitas padi ditingkat

nasional yaitu telah melandai (levelling off), meskipun berbagai upaya telah dilakukan secara maksimal. Hal ini diduga ada kaitannya dengan tidak adanya varietas unggul baru yang berpotensi jauh lebih tinggi dari varietas yang selama ini

ditanam oleh petani. Dalam rangka meningkatkan hasil padi, IRRI pada tahun 1988 telah merumuskan prototipe tanaman

padi tipe baru (PTB) atau new plant type of rice (NPT). Sifat-sifat penting yang dimiliki NPT tersebut diantaranya:

anakan sedikit tapi produktif semua, malai lebat, batang kokoh, tinggi tanaman sedang, daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua, perakaran dalam dan tahan terhadap hama dan penyakit utama, serta mutu beras baik. Pengkajian dilaksanakan

di Bantul pada musim kemarau tahun 2004. Sebanyak 12 genotipe padi dikaji dengan Rancangan Acak Kelompok,

diulang empat kali. Petak pengkajian berukuran 4 x 5 m, jarak tanam 20 x 20 cm, ditanam 2-3 bibit/rumpun,

pemupukan 220 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl dan 2,5 ton/ha pupuk organik. Dua belas genotipe padi yang dikaji adalah (A) BP23F-PN-11, (B) BP360E-MR-79-PN-2, (C) BP360E-MR-79-PN-3, (D) BP143E-MR-7-2-PN-0, (E)

B1059F-KN-5-4-PN-2, (F) BP355E-MR-45 (G) IR71190-45-2-1-BT-1, (H) BP252E-MR-7-2, (I) BP226E-MR-73-PN-2,

(J) BP2502D-KN-78-1-8, (K) IR64, dan (L) Cisedane. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, umur 50%

masak, umur 80% masak, jumlah malai/rumpun, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, berat 1000 butir gabah kering dan hasil gabah kering/plot. Data dianalisis ANOVA untuk mengetahui produktivitas genotipe padi yang

dikaji. Pengkajian ini dilakukan untuk mendapatkan genotipe padi yang memiliki produktivitas dan mutu beras tinggi.

Hasil pengkajian menunjukkan, bahwa makin banyak jumlah malai/rumpun akan diperoleh gabah hampa makin banyak

pula. Umur 80% masak sangat ditentukan oleh umur 50% masak dengan ditunjukkan nilai korelasi 0,928. Diperoleh tiga genotipe yang memberikan hasil tinggi yaitu genotipe IR71190-45-2-1-BT-1, BP226E-MR-73-PN-2, dan IR64 masing-

masing 19,42; 19,80 dan 19,65 kg/plot. Mutu beras paling baik ditunjukkan oleh genotipe BP23F-PN-11 dengan kadar

kotoran terkecil 14,43% dan genotipe BP360E-MR-79-PN-2 dengan jumlah gabah isi/malai tertinggi 158 butir. Gabah

bernas dicapai oleh genotipe B1059F-KN-5-4-PN-2 yaitu 552,43 g/l dan BP2502D-KN-78-1-8 sebesar 535,3 g/l. Adapun berat 1000 butir tertinggi dicapai oleh genotipe BP2502D-KN-78-1-8 yaitu 30,78 g.

Kata kunci : genotipe, padi sawah, produktivitas, mutu beras.

PENDAHULUAN

Laju peningkatan produktivitas padi di DIY tidak beda jauh dengan peningkatan produktivitas padi

ditingkat nasional yaitu telah melandai (levelling off), meskipun berbagai upaya telah dilakukan secara

maksimal. Hal ini diduga ada kaitannya dengan tidak adanya varietas unggul baru yang berpotensi jauh lebih

tinggi dari varietas yang selama ini ditanam oleh petani. Pada tahun 2005 produksi padi sawah di DIY

mencapai luas 13.086 ha dengan produksi 668.000 ton GKG dengan rata-rata produktivitas 5,019 ton/ha

(BPS, 2005). Produksi padi di DIY pada tahun 1998 mengalami penurunan sebesar 81.327 ton GKG atau

sekitar 12,5% dari total produksi 750.000 ton GKG akibat dari kemarau panjang pada tahun 1997

(Mudjisihono, et al., 1999). Baehaki (2000) melaporkan bahwa hama dan penyakit tanaman padi merupakan

salah satu penghambat peningkatan produksi padi. Hama wereng coklat, penyakit kerdil rumput yang

ditularkan oleh wereng coklat (WBC), penyakit virus tungro yang ditularkan oleh wereng hijau, penyakit

bakteri, yang dikenal dengan hawar daun bakteri (HDB) merupakan penyakit utama padi (Puslitbangtan,

1995). Kerugian yang ditimbulkan oleh serangan penyakit ini berkisar antara 21-36% pada musim hujan dan

18-25% pada musim kemarau (Suparyono dan Sudir, 1992). Lebih-lebih dengan adanya kemampuan hama

dan penyakit untuk berubah biotipe dan ras sehingga dapat mematahkan ketahanan varietas padi yang

sebelumnya tahan dan sumber ketahanan tidak ada di varietas padi budidaya. Hal ini mempersulit

pengendalian hama dan penyakit tersebut. Padi liar merupakan sumber gen ketahanan terhadap hama dan

penyakit. Karena itu perlu memanfaatkan gen-gen ketahanan tersebut. Beberapa gen ketahanan dari padi liar

telah berhasil diintrogresikan ke dalam padi budidaya, seperti ketahanan terhadap wereng coklat dari O.

officinalis dan O. australiensis; kerdil rumput dari O. nivara; hawar daun bakteri dari O. longistaminata. dan

O. minuta; dan blas dari O. minuta dan O. rufipogon (Brar and Khush, 1997). Abdullah (2002 a) melaporkan

bahwa beberapa padi liar merupakan sumber ketahanan terhadap penyakit hawar daun bakteri Indonesia

strain IV dan VIII.

Potensi hasil suatu varietas padi ditentukan oleh empat komponen, yaitu jumlah malai persatuan luas,

jumlah gabah per malai, persentase gabah isi dan berat 1000 butir gabah. Varietas padi lokal mempunyai

Page 107: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

145

sifat-sifat sebagai berikut, umur panjang (150-180 hari), tanaman tinggi (>150 cm), anakan sedikit (<8

batang), malai sedang-lebat, daun panjang terkulai, berwarna hijau muda, tidak responsif terhadap

pemupukan nitrogen, indek panen sekitar 0,3. Karena itu hasil varietas-varietas tersebut rendah (2-4 t/ha)

dalam waktu 5-6 bulan. Peningkatan potensi hasil suatu tanaman dapat dilakukan dengan memodifikasi tipe

tanaman, yaitu merakit tanaman dengan tipe tanaman yang ideal sesuai dengan tujuannya (Donald, 1968).

Usaha peningkatan potensi hasil padi oleh para pemulia padi disebabkan oleh keberhasilan pemasukan gen

yang mengontrol sifat pendek tanaman, sehingga tanaman tahan rebah dan reponsif terhadap pupuk nitrogen

pada tahun 1960-an. Dari usaha tersebut pada tahun 1966 dan 1967 berturut-turut IRRI melepas IR8 dan IR5.

Karena potensi hasilnya yang 2-3 kali lipat dibanding varietas-varietas padi sebelumnya, maka varietas

tersebut dikenal dengan miracle rice atau padi ajaib. Varietas ini yang dikenal dengan semidraft high

yielding varieties (HYVs) atau varietas unggul baru (VUB). IR5 adalah hasil persilangan varietas Peta

(Indonesia) dan Dee geo woo gen (Taiwan, sedang IR5 hasil persilangan Peta dengan Tangkai Rotan

(Malaysia), karena itu di Indonesia dilepas dan dinamakan PB (Peta Baru) 8 dan PB 5. Setelah itu banyak

dilepas varietas-varietas lain baik oleh IRRI maupun negara-negara penghasil padi, misalnya Indonesia

melepas varietas unggul baru Pelita I-1 dan Pelita I-2 hasil perkawinan IR5 dengan Syntha. Sifat-sifat dari

VUB adalah: tinggi pendek-sedang (100-130 cm); umur sedang genjah-sedang (110-135 hari); anakan

banyak (>18 batang); malai sedang (100-150 gabah/malai); daun pendek, mendatar-tegak, hijau sampai

hijau-tua; responsif terhadap pemupukan nitrogen, indek panen sekitar 0,5.

Dengan memodifikasi tipe tanaman padi akan dapat meningkatkan produksi bahan kering tanaman

dan indek panen, sehingga masing-masing atau bersama-sama dapat meningkatkan potensi hasil padi. Indek

panen varietas unggul baru (VUB) sekarang ini sekitar 0,5 merupakan hasil modifikasi tanaman melalui

rekayasa genetik dengan cara penyilangan dan seleksi dari varietas-varietas padi lokal yang mempunyai

indek panen 30-35%. Karena itu, untuk menghasilkan 10 t/ha GKG VUB harus ditanam pada lahan yang

dapat menghasilkan 20 t/ha bahan kering. Dengan memodifikasi tipe tanaman, indek panen dapat

ditingkatkan menjadi 0,6 dan hasil bahan kering menjadi 22 t/ha, maka potensi hasil varietas padi dapat

ditingkatkan menjadi 13 t/ha GKG (Khush, 1995b).

Dalam rangka meningkatkan potensi hasil padi, IRRI pada tahun 1988 telah merumuskan prototipe

tanaman padi tipe baru (PTB) atau new plant type of rice (NPT). Sifat-sifat penting yang dimiliki NPT

tersebut diantaranya: anakan sedikit tapi produktif semua (3-4 batang untuk sebar langsung atau 8-10 batang

untuk tanam pindah); malai lebat (200-250 gabah/malai dan bernas); batang kokoh; tinggi tanaman sedang

(90-100 cm); daun tegak, tebal dan berwarna hijau tua; umur sedang (100-130 hari); perakaran dalam dan

tahan terhadap hama dan penyakit utama, serta mutu beras baik dan indek panen diperkirakan 0,6 (Khush,

1995a). Dengan sifat-sifat yang demikian, potensi hasil PTB diharapkan 30-50% lebih tinggi dari varietas

yang ditanam saat ini pada lingkungan yang baik (Peng and Cassman, 1994).

Pengkajian beberapa genotipe padi ini dimaksudkan untuk mendapatkan genotipe padi yang

memiliki nilai keunggulan dibandingkan varietas padi yang telah ada.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Bantul pada musim kemarau tahun 2004. Sebanyak 12 genotipe padi

dikaji dengan Rancangan Acak Kelompok, diulang empat kali. Petak pengkajian berukuran 4 x 5 m, jarak

tanam 20 x 20 cm, ditanam 2-3 bibit/rumpun, pemupukan 220 kg Urea + 100 kg SP36 + 100 kg KCl dan 2,5

ton/ha pupuk organik. Dua belas genotipe padi yang dikaji adalah (A) BP23F-PN-11, (B) BP360E-MR-79-

PN-2, (C) BP360E-MR-79-PN-3, (D) BP143E-MR-7-2-PN-0, (E) B1059F-KN-5-4-PN-2, (F) BP355E-MR-

45 (G) IR71190-45-2-1-BT-1, (H) BP252E-MR-7-2, (I) BP226E-MR-73-PN-2, (J) BP2502D-KN-78-1-8,

(K) IR64, dan (L) Cisedane. Pengamatan dilakukan terhadap tinggi tanaman, umur masak 50%, umur masak

80%, jumlah malai produktif, jumlah gabah isi/malai, jumlah gabah hampa/malai, berat 1000 butir gabah dan

berat gabah kering giling (GKG). Data yang terkumpul dilakukan analisis varian hingga didapatkan notasi

untuk mengetahui genotipe yang memiliki produktivitas dan mutu beras tinggi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Terdapat tiga genotipe yang keragaan tinggi tanamannya tergolong pendek yaitu 87,3-88,7 cm. Padi

yang tinggi tanamannya seperti IR-64 adalah BP360E-MR-79-PN-2 dan BP252E-MR-7-2 (Tabel 1).

Penampilan padi makin tinggi tidak diikuti makin tingginya hasil yang dicapai, bahkan sebaliknya. Hal ini

ditunjukkan dengan nilai korelasi -0,147 yang artinya ada gejala makin rendah hasil suatu genotipe padi

apabila tinggi tanamannya makin tinggi (Tabel 3). Tanaman padi yang pendek biasanya tahan rebah sehingga

Page 108: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

146

akan mengurangi kegagalan panen. Karena itu, batang yang kokoh dan pendek merupakan sifat yang

dibutuhkan untuk meningkatkan potensi hasil. Meningkatkan potensi hasil juga dapat dilakukan dengan

meningkatkan hasil biomas dan/atau indek panen. Meningkatkan biomas tidak sukar, karena dengan

menanam tanaman pada lingkungan yang cukup sinar matahari dan lahan subur tanaman akan tumbuh

dengan baik sehingga produksi biomasnya tinggi (Akita, 1989).

Jumlah malai per rumpun dan jumlah gabah per malai merupakan 2 komponen hasil yang penting.

Jumlah malai per rumpun terbanyak berikan oleh IR-64 yaitu 17,8 sedangkan genotipe B1059F-KN-5-4-PN-

2 memberikan 17,2 malai. Namun jumlah malai per rumpun tidak nyata korelasinya dengan produksi yang

dicapai yaitu ditunjukkan dengan nilai korelasi 0,407 (Tabel 3). Varietas unggul baru (VUB) biasanya

mempunyai 20-25 anakan, namun hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen, dengan jumlah gabah

per malai 100-130 butir (Abdullah B., 2005). Hal ini disebabkan anakan yang tumbuh belakangan terlambat

masak sehingga tidak dapat dipanen. Anakan utama juga cenderung menghasilkan gabah yang lebih tinggi

dari anakan kedua, ketiga dan seterusnya (P. Rao, 1987).

Anakan yang tidak produktif merupakan pesaing dari anakan produktif untuk energi sinar matahari

dan hara. Tidak adanya anakan non produktif berarti hasil fotosintesa lebih banyak ke gabah atau

meningkatkan indek panen. Anakan non produktif yang banyak akan menyebabkan lingkungan mikro yang

lembab sehingga sangat baik untuk perkembangnya hama dan penyakit (misalnya wereng coklat dan hawar

daun bakteri). Anakan yang sedikit akan mempunyai saat pembungaan dan panen yang serempak, dan malai

lebih seragam. Anakan yang sedikit juga mempunyai korelasi dengan jumlah gabah per malai lebih banyak.

Maka dengan jumlah anakan 10 dengan 200 gabah/malai akan mempunyai hasil yang lebih banyak dibanding

dengan anakan 15 dengan 100 butir gabah/malai (Fagi, A.M., et al. 2001).

Padi di daerah tropis, umur varietas yang optimum untuk dapat berpotensi hasil tinggi adalah 120

hari. Duabelas genotipe padi yang diuji menunjukkan umur pamen berkisar 109,0-122,5 hari (Tabel 1).

Umur panen padi makin dalam tidak diikuti hasil makin tinggi, ditunjukkan dengan nilai korelasi 0,169

(Tabel 3). Umur yang lebih pendek, biasanya potensi hasilnya rendah karena tidak mempunyai cukup waktu

untuk tanaman menggunakan sinar matahari dan hara di dalam tanah, sehingga tidak cukup waktu

pertumbuhan vegetatifnya untuk hasil yang maksimum.

Tabel 1. Beberapa Variabel Agronomis pada 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004.

Genotipe Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah

malai/rumpun

Umur 50%

masak (hari)

Umur 80%

masak (hari)

A) BP23F-PN-11 90,7 e 15,0 bcd 77,5 f 114,5 ef

(B) BP360E-MR-79-PN-2, 87,3 f 14,0 d 83,7 c 117,2 c

(C) BP360E-MR-79-PN-3 107,2 a 15,5 abcd 85,5 b 122,0 a

(D) BP143E-MR-7-2-PN-0 96,5 d 16,5 abc 75,5 g 109,0 g

(E) B1059F-KN-5-4-PN-2 96,7 d 17,2 ab 82,0 d 116,0 d

(F) BP355E-MR-45 97,3 d 14,5 cd 86,0 b 120,5 b

(G) IR71190-45-2-1-BT-1, 100,3 c 14,6 cd 85,5 b 110,2 b

(H) BP252E-MR-7-2 87,7 f 14,1 cd 80,0 e 115,2 b

(I) BP226E-MR-73-PN-2 101,6 bc 14,8 bcd 84,0 c 122,5 a

(J) BP2502D-KN-78-1-8 103,2 b 14,3 cd 87,0 a 122,0 a

(K) IR64 88,7 ef 17,8 a 81,2 d 116,2 cd

(L) Cisedane 97,0 d 8,9 e 76,7 f 113,5 f

KK (%) 3,72 10,39 6,30 5,60

Butir gabah yang besar mempunyai berat gabah yang lebih tinggi dibanding butir gabah kecil,

namun gabah besar bertendensi mempunyai butir kapur. Karena itu, butir gabah yang sedang (23-26 g/1000

butir) lebih disukai. Bobot 1000 butir gabah pada 12 genotipe padi yang dikaji berkisar 24,5-30,8 g (Tabel 2).

IR-64 sebagai pembanding menunjukkan bobot 1000 butir gabahnya 28,2 g, tetapi nampak makin tinggi berat

1000 butir gabah tidak selalu diikuti dengan hasil yang makin tinggi. Hal ini ditunjukkan dengan nilai

korelasi antara bobot 1000 butir gabah dengan hasil sebesar -0,120 (Tabel 3). Persentasi gabah isi sangat

bervariasi. Persentasi gabah isi per malai sangat menentukan potensi hasil maksimum suatu varietas padi.

Hasil fotosintat (karbohidrat) dalam batang dan daun, dan translokasinya serta akumulasinya dalam gabah

sangat menentukan tingkat pengisian gabah. Karena itu, daun yang tegak, tebal, sempit dan hijau tua, serta

tidak lekas luruh (tua) sangat dibutuhkan untuk pengisian gabah secara maksimum. Daun yang tegak dan

sempit merupakan daun yang dapat menerima sinar matahari dari padi sampai sore atau efisien dalam

penangkapan sinar untuk proses fotosintesa. Sedang daun yang tebal dan hijau tua menandakan mempunyai

banyak klorofil sehingga banyak menghasilkan fotosintat; dan daun yang tidak cepat luruh fotosintat akan

dihasilkan sampai menjelang panen. Daun bendera dan satu dibawah daun bendera merupakan daun yang

Page 109: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

147

aktif dalam fotosintesa selama proses pengisian gabah. Enam puluh persen fotosintat (karbohidrat dalam

gabah dihasilkan dari kedua daun tersebut. Karena itu, bila daun tersebut tidak cepat luruh akan

meningkatkan proses pengisian gabah, sehingga hasil bisa maksimal. Cabang primer malai biasanya

menghasilkan butir gabah besar (Ahn, 1986).

Tabel 2. Beberapa Komponen Hasil Saat Panen pada 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004.

Genotipe Jumlah gabah isi

malai

Jumlah gabah

hampa/malai

Berat 1000 butir

gabah kering

Hasil gabah/plot

(kg)

A) BP23F-PN-11 121,8 de 14,4 fg 26,6 cde 18,65 ab

(B) BP360E-MR-79-PN-2, 158,1 ab 29,6 def 24,5 de 17,95 abc

(C) BP360E-MR-79-PN-3 121,6 de 38,9 cd 29,8 ab 16,00 c

(D) BP143E-MR-7-2-PN-0 144,7 bcd 17,4 efg 25,3 de 18,25 abc

(E) B1059F-KN-5-4-PN-2 119,4 de 18,1 efg 24,4 e 18,92 ab

(F) BP355E-MR-45 128,8 cde 70,0 b 29,7 ab 18,20 abc

(G) IR71190-45-2-1-BT-1, 150,7 bc 49,0 c 28,6 abc 19,42 a

(H) BP252E-MR-7-2 138,1 bcde 34,4 cde 26,7 cde 17,90 abc

(I) BP226E-MR-73-PN-2 111,2 e 45,7 cd 30,8 a 19,80 a

(J) BP2502D-KN-78-1-8 134,7 bcde 49,9 c 26,9 cd 19,35 ab

(K) IR64 122,4 cde 10,8 g 28,2 bc 19,65 a

(L) Cisedane 180,4 a 91,0 a 30,1 ab 17,05 bc

KK (%) 13,42 20,14 5,60 8,05

Tabel 3. Korelasi Antar Variabel 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004.

Variabel 1 2 3 4 5 6 7 8

Tinggi tanaman -

Jml malai/rpn -0,065 -

Umur 50% masak 0,471 0,160 -

Umur 80% masak 0,559 * 0,021 0,928 ** -

Jml gabah isi/malai -0,184 -0,742 * -0,314 -0,389 -

Jml gabah hampa/malai 0,399 -0,832 * 0,209 0,306 0,522 * -

Berat gabah 1000 butir 0,496 * -0,381 0,247 0,500 * -0,063 0,638 * -

Hasil/plot -0,146 0,407 0,169 0,156 -0,354 -0,300 -0,120 -

Dari 12 genotipe padi yang dikaji memiliki potensi hasil antara (8,00-9,90) ton/ha GKP termasuk

dua varietas sebagai kontrol. Dengan demikian 10 genotipe yang telah dikaji menunjukkan hasil yang cukup

tinggi sehingga merupakan calon varietas dimasa mendatang (Tabel 4). Dilihat dari mutu hasilnya hampir

semua genotipe memiliki mutu gabah yang cukup baik, hal ini terbukti dari rata-rata komponen pasca

panennya sesuai dengan standart mutu gabah di lapangan. Dapat dicatat bahwa rata-rata kadar gabah hampa

adalah (8,73%-37,59%); gabah bernas (62,41%-91,27%); kotoran (3,23%-13,15%); dan densitas (504,44-

552,43) g/l. Karakteristik gabah yang seperti ini akan dihasilkan mutu beras yang cukup baik apabila

penanganan pasca panennya dilaksanakan dengan tepat dan benar.

Tabel 4. Beberapa Komponen Pasca Panen dan Hasil 12 Genotipe Padi di Bantul MK 2004.

Genotipe Hasil gabah

(ton/ha)

Kadar air basah

(%) Kotoran (%) Densitas/liter

A) BP23F-PN-11 9,25 24,93 4,82 525,32

B) BP360E-MR-79-PN-2, 8,98 26,68 7,79 516,28

C) BP360E-MR-79-PN-3 8,00 25,09 12,03 509,04

D) BP143E-MR-7-2-PN-0 9,13 27,37 9,05 513,31

E) B1059F-KN-5-4-PN-2 9,47 25,58 3,23 552,43

F) BP355E-MR-45 9,10 27,05 13,15 531,27

G) IR71190-45-2-1-BT-1, 9,72 26,34 12,14 517,13

H) BP252E-MR-7-2 8,95 25,57 9,54 521,27

I) BP226E-MR-73-PN-2 9,90 25,61 7,40 535,31

J) BP2502D-KN-78-1-8 9,68 25,84 12,18 504,44

K) IR64 9,82 25,19 4,03 529,63

L) Cisedane 8,53 25,24 9,78 515,07

9,21 + 0,56 25,87 + 0,80 8,76 + 3,39 552,54 + 13,18

Page 110: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

148

Disamping itu kadar air gabah saat panen berkisar (24,94%-27,37%) merupakan kadar optimum

bagi gabah hasil panen ubinan yang terbaik menurut rekomendasi pasca panen. Kadar air di atas 27% akan

menghasilkan butir hijau yang meningkat dan akhirnya akan membawa akibat rendemen beras gilingnya

rendah karena akan terjadi prosentase bekatul dan prosentase beras patahnya tinggi. Sedangkan pemanenan

pada kadar air di bawah 24% akan membawa konsekuensi tingkat kehilangan hasil di lapangan besar, karena

akan terjadi gabah mudah rontok.

KESIMPULAN

Diperoleh tiga genotipe yang memberikan hasil tinggi yaitu genotipe IR71190-45-2-1-BT-1,

BP226E-MR-73-PN-2, dan IR-64 masing-masing 19,42; 19,80 dan 19,65 kg/plot atau setara dengan 9,72;

9,90 dan 9,82 ton/ha GKP. Mutu beras paling baik ditunjukkan oleh genotipe BP23F-PN-11 dengan kadar

kotoran terkecil 14,43% dan genotipe BP360E-MR-79-PN-2 dengan jumlah gabah isi/malai tertinggi 158

butir. Gabah bernas dicapai oleh genotipe B1059F-KN-5-4-PN-2 yaitu 552,43 g/l dan BP2502D-KN-78-1-8

sebesar 535,3 g/l. Adapun berat 1000 butir tertinggi dicapai genotipe BP2502D-KN-78-1-8 yaitu 30,78 g.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. 2002 a. Wild Species Oryza spp.: A prospective source of bacterial blight resistance for rice

breeding. Penelitian Pertanian 21(3):1-5.

Abdullah, B., S. Tjokrowidjojo, dan B. Kustianto. 2002 b. Status perkembangan pemuliaan padi tipe baru di

Indonesia. Lokakarya Penelitian Litkaji dan Pemuliaan Partisipatif, Sukamandi, 22-25 Juli 2002.

Ahn, J.K., 1986. Physiological factors affecting grain filling in rice. Ph.D. thesis, University of the

Philippines at Los Banos.

Akita, S. 1989. Improving yield potential in tropical rice. Pp. 41-73. In: Progress in irrigated rice research.

International Rice Research Institute, PO Box 933, Manila, Philippines.

Badan Pusat Statistik 2005. Statistik DIY 2005. DIY.

Baehaki, S.E. 2000. Teknologi pengendalian wereng coklat (Nilaparvata lugens Stal.) dengan merekayasa

dinamika populasi pada tanaman padi di Indonesia.

Brar, D.S. and Khush, G.S. 1997. Alien introgression in rice. Plant Mol. Biol. 35:35-47.

Donald, C.M. 1968. The breeding of crops ideotypes. Euphytica 17:385-403.

Fagi, A.M., Abdullah, B. dan Kartaatmadja, S. 2001. Peranan padi Indonesia dalam pengembangan padi

unggul. Prosiding pada Budaya padi, Surakarta Nopember 2001.

IRRI, 1993. Program report for 1992. International Rice Research Institute, Los Baños, Laguna, Philippines,

P.O. Box 933, Manila.

Khush, G.S. 1995a. Breaking the yield frontierof rice. Geo Journal 35:329-332

Khush, G.S. 1995b. Modern varieties-their real contribution to food supply. Geo Journal 35(3):275-284.

Mudjisihono, R., T. Santosa, M. Thamrin dan R. Hendrata. 1999. Laporan Pengkajian SUP Padi Kabupaten

Bantul DIY, TA. 1998/1999, 56 hal.

Padmaja Rao. 1987. High density grain among primary and secondary tillers of short-and long duration rices.

International Rice Research Newsletter 12(4).

Puslitbangtan. 1995. Laporan khusus ledakan tungro di Jawa Tengah tahun 1994/1995. 10 hal.

Peng, S.G.S. Cassman. 1994. Evaluation of the new plant ideotype for increased yield potential. In K.G.

Cassman (ed) Breaking the yield barier. pp. 5-20. Int. Rice. Inst. PO. Box 933. Manila 1099,

Philippines

Suparyono dan Sudir. 1992. Perkembangan penyakit hawar daun pad stadia tumbuh yang berbeda dan

pengaruhnya terhadap hasil padi. Media Penelitian Sukamandi No.12:6-12.

Page 111: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

149

PENGARUH RESIDU JENIS DAN DOSIS PUPUK ORGANIK TERHADAP PERTUMBUHAN DAN

HASIL PADI DI SUBAK REJASAKABUPATEN TABANAN BALI

IK. Kariada dan IB. Aribawa

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

ABSTRAK

Penelitian pengaruh residu jenis dan dosis pupuk organik telah dilaksanakan di subak Rejasa, kabupaten

Tabanan, propinsi Bali pada MH. 2004/2005. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh residu dari beberapa jenis dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan dan hasil padi sawah. Penelitian menggunakan rancangan

petak terpisah (Split plot design) dengan tiga kali ulangan. Sebagai petak utama adalah residu tiga jenis pupuk organik

yang dihasilkan oleh tiga dekomposer, yaitu : residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer cacing tanah (KC)

yang disebut dengan kascing; residu pupuk organik yang dihasilkan oleh decomposer Rumino bacillus (RB) dan residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Trichoderma (TD). Anak petak adalah dosis masing-masing jenis pupuk

organik yaitu : tanpa pupuk organik (d0); residu 2,0 t ha-1 pupuk organik (d2); residu 4,0 t ha-1 pupuk organik (d4); residu

6,0 t ha-1 pupuk organik (d6) dan residu 8,0 t ha-1 pupuk organik (d8). Parameter tanaman yang diamati adalah komponen

pertumbuhan, kompoenen hasil dan hasil padi, seperti tinggi tanaman, jumlah anakan jumlah malai, jumlah gabah isi, bobot 1000 biji dan hasil padi dalam bentuk gabah kering panen per hektar. Hasil penelitian menunjukkan, perlakuan

jenis dan dosis pupuk organik tidak berpengaruh nyata (p>0,05) terhadap semua parameter tanaman padi yang diamati.

Hasil padi tertinggi pada jenis pupuk organik terlihat pada pupuk organik yang dihasilkan oleh cacing tanah (kascing),

yaitu 7,04 t GKP ha-1, sedang pada dosis pupuk organik, hasil padi tertinggi terlihat pada perlakuan d8 yaitu 7,23 t GKP ha-1.

Kata kunci : residu pupuk organik, lahan sawah dan hasil padi.

PENDAHULUAN

Berbagai upaya telah dilakukan pemerintah untuk memantapkan swasembada pangan. Upaya

tersebut diantaranya adalah peningkatan mutu intensifikasi dan diversifikasi tanaman pangan. Dalam

kaitannya dengan peningkatan mutu intensifikasi, maka teknologi pemupukan memegang peranan yang

sangat penting. Penggunaan pupuk urea, TSP/SP-36 dan KCl sangat berperanan dalam meningkatkan

produktivitas tanaman pangan. Penggunaan pupuk kimia ini dari tahun ke tahun cendrung semakin

meningkat demikian juga dengan harganya bila dibandingkan dengan pupuk organik atau pupuk alternatif

yang lainnya.

Dengan semakin mahalnya harga pupuk kimia, maka dosis pemupukan yang rasional dan seimbang

ke dalam tanah perlu mendapat perhatian, disamping penggunaan pupuk alternatif lain seperti pupuk organik

yang dapat menggantikam sebagian peran dari pupuk kimia, sehingga usahatani dapat lebih efisien.

Penggunaan pupuk yang tepat dan efisien akan dapat meningkatkan hasil usaha tani dan meningkatkan

pendapatan petani dengan menekan biaya produksi per satuan luas. Pendapatan petani dapat ditingkatkan

melalui peningkatan efisiensi faktor produksi yang meliputi efisiensi budidaya dan pemanfaatan residu pupuk

dalam sistem rotasi pertanaman, disamping rasionalisasi penggunaan sarana produksi seperti pupuk dan

pestisida (Makarim et al., 2003).

Pemberian pupuk organik, melalui pengembalian sisa panen (brangkasan) ke dalam tanah perlu

mendapat perhatian, mengingat dalam sistem usahatani tanaman pangan yang berkelanjutan akan terjadi

pengangkutan hara hara dari dalam tanah, baik melalui hasil panen maupun brangkasan yang berkelanjutan

pula. Pada sistem usahatani padi dengan tingkat hasil 8,0 t ha-1

, akan mengangkut hara dari dalam tanah

secara total berturut-turut, 269 kg N ha-1

; 44 kg P2O5 ha-1

, 207 kg K2O ha-1

; 28 kg Mg ha-1 dan 24 kg S ha-1

(Widjanarko et al., 2005), sehingga dengan demikian untuk menjamin stabilitas hasil dan keberlanjutan

sistem produksi, pengembalian hara dalam bentuk bahan/pupuk organik mutlak diperlukan.

Pemberian pupuk organik ke dalam tanah dapat memperbaiki sifat fisik, kimia dan biologi tanah,

menyuburkan tanah dan menambah unsur hara, menambah humus, mempengaruhi kehidupan jazad renik

yang hidup dalam tanah, disamping dapat meningkatkan kapasitas mengikat air tanah. Pada tanah dengan

kandungan C-organik tinggi unsur hara menjadi lebih tersedia bagi tanaman, sehingga pemupukan lebih

efisien. Hasil-hasil penelitian menunjukkan bahwa penggunaan pupuk organik seperti pupuk kandang, pupuk

hijau dan limbah panen dapat dapat memperbaiki sifat-sifat tanah, disamping mengurangi penggunaan pupuk

N, P dan K dan meningkatkan efisiensinya (Karama, 1990). Hal yang sama dikemukakan pula oleh

(Adiningsih, 200; Diwiyanto, 2000) yang mengemukakan bahwa pemberian pupuk organik (kompos) 1,5-2,0

t/ha pada lahan sawah dapat memberikan dampak positif terhadap hasil panen.

Page 112: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

150

Pupuk organik merupakan bahan pembenah tanah yang paling baik dan alami dari pembenah

buatan/sintetis. Pada umumnya pupuk organik mengandung hara makro N, P dan K rendah, tapi mengandung

hara mikro dalam jumlah cukup yang sangat diperlukan pertumbuhan tanaman. Sebagai bahan pembenah

tanah pupuk organik mencegah terjadinya erosi, pengerakan permukaan tanah (crusting) dan retakan tanah,

mempertahankan kelengasan tanah serta memperbaiki pengatusan dakhil (internal drainage). (Sutanto,

2006).

Hasil penelitian mengenai pemberian pupuk organik di lahan sawah, menunjukkan bahwa

pemberian pupuk organik yang menggunakan dekomposer yang berbeda seperti cacing tanah, Trichoderma

dan Rumino bacillus dengan dosis 2,0–8,0 t ha-1

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap

pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi varietas Fatmawati di subak Rejasa (Aribawa, 2005). Salah satu

kelemahan sekaligus keunggulan yang dimiliki oleh pupuk organik adalah penyediaan hara terjadi secara

lambat, sehingga mempunyai dampak residu bagi pertanaman berikutnya.

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas maka dilakukan penelitian lanjutan di lokasi yang sama untuk

mengetahui pengaruh residu dari beberapa jenis dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan, komponen

hasil dan hasil padi.

BAHAN DAN METODE

Rancangan Percobaan

Dalam percobaan ini digunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan dengan tiga kali

ulangan. Sebagai petak utama adalah residu tiga jenis pupuk organik yang dihasilkan oleh tiga dekomposer,

yaitu : residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer cacing tanah (KC) yang disebut dengan

kascing; residu pupuk organik yang dihasilkan oleh decomposer Rumino bacillus (RB) dan residu pupuk

organik yang dihasilkan oleh dekomposer Trichoderma (TD). Anak petak adalah residu dosis masing-masing

jenis pupuk organik yaitu : tanpa pupuk organik (d0); residu 2,0 t ha-1

pupuk organik (d2); residu 4,0 t ha-1

pupuk organik (d4); residu 6,0 t ha-1

pupuk organik (d6) dan residu 8,0 t ha-1

pupuk organik (d8).

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di lahan sawah, subak Rejasa, desa Rejasa, kecamatan Penebel, kabupaten

Tabanan, pada MH 2004/05. Wilayah kegiatan merupakan lanjutan dari penelitian sebelumnya yang

ditentukan berdasarkan kerjasama dengan instansi terkait seperti Diperta dan BPP. Sedangkan pemilihan

petani kooperator pada musim tanam sebelumnya berdasarka masukan dari instansi terkait dan arahan dari

ketua Kelompok Tani setempat, sehingga diperoleh petani yang respon terhadap teknologi baru.

Pelaksanaan Penelitian

Setelah pengolahan tanah dilakukan, maka petak berukuran 6 m x 8 m yang telah dibuat pada

musim tanam sebelumnya diperbaiki. Bibit padi yang telah berumur 21 hari ditanam dengan jarak tanam 20

cm x 20 cm dengan 2-3 bibit per lubang. Sebagai pupuk dasar diberikan pupuk urea 250 kg ha-1

, 100 kg ha-

1SP-36 dan 50 kg ha

-1 KCl. Pupuk urea diberikan tiga kali, sedangkan pupuk SP-36 diberikan satu kali dan

pupuk KCl diberikan dua kali. Pupuk area dengan dosis 100 kg ha-1

, seluruh pupuk SP-36 dan setengah

bagian KCl diberikan tujuh hari setelah tanam, sedang sisa KCl dan 100 kg ha-1

urea diberikan 30 hari setelah

tanam dan sisa urea berikutnya diberikan 42 hari setelah tanam. Sedangkan pupuk organik sebagai perlakuan

diberikan pada musim tanam sebelumnya, sehingga tanaman padi pada musim tanam ini, memanfaatkan

residu dari pemberian pupuk organik tersebut.

Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma

menggunakan cara mekanis, menyesuaikan dengan keadaan tanaman. Pengamatan dan pengumpulan data

dilakukan terhadap variabel : tinggi tanaman pada saat panen, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per

malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen per hektar.

Analisis Data

Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini

jenis pupuk dan dosis dari masing-masing pupuk organik dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5 % (Gomez

dan Gomez, 1984).

Page 113: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

151

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik beberapa sifat kimia pupuk organik yang dihasilkan dari beberapa dekomposer yang

diaplokasikan pada musim tanam sebelumnya, disajikan pada Tabel 1 (Aribawa, 2005).

Tabel 1. Karakteristik Kimia Pupuk Organik dari Dekomposer yang Berbeda

Karakteristik kimia Jenis dekomposer

Cacing Rumino bacillus Trichoderma

PH C-org (%)

N-tot (%)

P-tsd (ppm)

K-tsd (ppm)

8,05 15,36

0,65

553,17

1109,89

8,85 12,52

0,92

874,42

904,76

9,02 14,21

1,02

926.08

989,97

Tabel 1 di atas memperlihatkan, nilai pH dari pupuk organik yang dihasilkan dari ke tiga

dekomposer, menurut Hardjowigeno (1987) berreaksi dari agak alkalis (kascing) sampai alkalis (Rumino

bacillus dan Trichoderma). Kadar C-organik ke tiga pupuk organik sangat tinggi, dengan N-total dari tinggi

(kascing) sampai sangat tinggi (Rumino bacillus dan Trichoderma). Sedangkan P-tsd dan K-tsd ke tiga pupuk

organik mempunyai kadar yang sangat tinggi.

Analisis statistik terhadap tinggi tanaman menjelang panen disajikan pada Tabel 2. Perlakuan residu

jenis dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh tidak berbeda nyata (P>0,05)

terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi pada perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk

organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah, yaitu, 101,42 cm, sedangkan tanaman terrendah

dihasilkan oleh perlakuan pupuk organik denga dekomposer Trichoderma yaitu 100,28 cm. Tinggi tanaman

tertinggi pada perlakuan residu dosis pupuk organik terlihat pada perlakuan d8 yaitu 100,45 cm dan terrendah

pada perlakuan d0 yaitu 99,16 cm.

Hasil analasis statistik terhadap jumlah anakan maksimum disajikan pada Tabel 2. Perlakuan residu

jenis dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05)

terhadap jumlah anakan maksimum. Jumlah anakan terbanyak pada perlakuan jresidu enis pupuk terlihat

pada pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 26,19 batang per tanaman, dan

jumlah anakan terrendah terlihat pada perlakuan pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Rumino

bacillus yaitu 25,47 batang per tanaman. Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, jumlah anakan

terbanyak dihasilkan oleh perlakuan d8 yaitu 20,19 batang per tanaman dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu

26,02 batang per tanaman.

Tabel 2. Pengaruh Residu Jenis dan Dosis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan Hasil Padi di Lahan Sawah Subak

Rejasa, MH 2004/05.

Perlakuan Tinggi tan

(cm)

Jml. anakan

(batang

rumpun-1)

Jml. malai

(batang

rumpun-1)

Jml. gabah

isi malai-1

Hasil t GKP

ha-1

Bobot 1000

biji (g)

Petak utama - KC

- TD

- BC

Anak Petak - d0

- d2

- d4

- d6 - d8

101,42a

100,28a

101,34a

99,16a

101,42a

100,24a

100,12a 100,45a

26,19a

26,02a

25,47a

26,12a

26,14a

26,05a

26,18a 26,19a

22,08a

22,04a

21,17a

22,14a

22,19a

22,24a

22,29a 22,32a

107,07a

104,53a

103,45a

104,12a

104,40a

105,24a

107,42a 107,70a

7,04a

7,02a

7,00a

6,97a

6,99a

7,02a

7,12a 7,23a

29,08a

29,06a

29,05a

29,00a

29,05a

29,08a

29,09a 29,09a

KK (%) 12,8 15,2 14,5 15,4 12,5 10,4

Keterangan : Angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf BNT 5%.

Analasis statistik terhadap jumlah malai disajikan pada Tabel 2. Perlakuan residu jenis pupuk dan

dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap

jumlah malai. Jumlah malai terbanyak pada perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk organik yang

dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 22,08 batang per tanaman, dan jumlah anakan terrendah

terlihat pada perlakuan residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Rumino bacillus yaitu 21,17

batang per tanaman. Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, jumlah anakan terbanyak terlihat pada

perlakuan d8 yaitu 22,32 batang per tanaman dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu 22,14 batang per tanaman.

Page 114: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

152

Perlakuan jenis pupuk dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang

berbeda tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah gabah isi per malai. Jumlah gabah isi malai terbanyak pada

perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu

107,07 butir per malai, dan jumlah gabah isi per malai terrendah terlihat pada perlakuan pupuk organik yang

dihasilkan oleh dekomposer Rumino bacillus yaitu 103,45 butir permalai. Pada residu perlakuan dosis pupuk

organik, jumlah gabah isi per malai terbanyak terlihat pada perlakuan d8 yaitu 107,70 butir per malai dan

terrendah pada perlakuan d0 yaitu 104,12 butir per malai (Tabel 2).

Analasis statistik terhadap hasil gabah kering panen per hektar disajikan pada Tabel 2. Perlakuan

residu jenis pupuk dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang tidak nyata

(P>0,05) terhadap hasil gabah kering panen per hektar. Hasil gabah kering panen per hektar tertinggi pada

perlakuan residu jenis pupuk organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 7,04 ton GKP per

hektar, dan hasil gabah terrendah pada perlakuan pupuk organik dengan dekomposer Rumino bacillus yaitu

7,00 ton GKP per hektar. Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, hasil gabah tertinggi terlihat pada

perlakuan d8 yaitu 7,23 ton GKP per hektar dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu 6,97 ton GKP per hektar.

Perlakuan residu jenis pupuk dan dosis pupuk organik serta interaksinya memberikan pengaruh yang

tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap bobot 1000 biji. Bobot 1000 biji tertinggi pada perlakuan jenis pupuk

organik yang dihasilkan dari dekomposer cacing tanah yaitu 29,08 gram, dan hasil gabah terrendah terlihat

pada perlakuan residu pupuk organik yang dihasilkan oleh dekomposer Rumnini bacillus yaitu 29,05 gram.

Pada perlakuan residu dosis pupuk organik, bobot 1000 biji tertinggi terlihat pada perlakuan d8 yaitu 29,09

gram dan terrendah pada perlakuan d0 yaitu 29,00 gram (Tabel 2).

Pertumbuhan tanaman dalam arti sempit berarti pembelahan sel (peningkatan jumlah) dan

pembesaran sel (peningkatan ukuran) dan merupakan proses yang tak dapat balik (Gardner et al., 1986).

Hardjowigeno (1987) menyebutkan bahwa pertumbuhan merupakan suatu perkembangan yang progresif dari

suatu organisme dan cara yang digunakan untuk mengukur pertumbuhan adalah dengan menyatakan dalam

penambahan berat kering, panjang, tinggi ataupun diameter batang. Dalam percobaan ini untuk melihat

pengaruh dari perlakuan residu jenis dan dosis pupuk organik terhadap pertumbuhan tanaman digunakan

tinggi tanaman dan jumlah anakan per rumpun dengan mengamatinya pada saat panen.

Tinggi tanaman dan jumlah cabang per rumpun tidak dipengaruhi oleh residu jenis dan dosis pupuk

organik serta interaksinya. Pupuk organik yang ditambahkan ke dalam tanah akan meningkatkan kadar bahan

organik tanah. Bahan organik tanah merupakan timbunan dari sisa tanaman dan binatang yang sebagian besar

telah mengalami pelapukan dan merupakan bahan utama jasad mikro tanah. Bahan organik akan mengalami

perubahan terus menerus oleh aktivitas jasad mikro dan tidak mantap. Oleh karena itu bahan organik tanah

harus selalu diperbaharui dengan menambah sisa tanaman atau binatang. Kadar bahan organik tanah-tanah

mineral umumnya rendah, tidak melebihi 5%, tapi pengaruh bahan organik terhadap sifat-sifat tanah dan

produktivitas lahan sangat besar (Hardjowigeno, 1987).

Tanah-tanah, terutama lahan sawah dengan kandungan C-organik rendah (< 2%) sangat memerlukan

penambahan bahan organik. Penambahan bahan organik diperlukan untuk : (1) menambah hara bagi tanaman

secara kontinu, (2) meningkatkan kapasitas tukar kation (KTK), (3) memperbaiki porositas tanah, (4)

meningkatkan aktifitas jasad renik dalam tanah (Anon, 2004; Sutanto, 2002a dan Sutanto, 2002b).

Dalam penelitian ini, seperti telah dikemukakan di atas, residu jenis pupuk organik tidak

berpengaruh nyata terhadap komponen pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi. Hal ini diduga

disebabkan karena pupuk anorganik yang diberikan (Urea, SP36 dan KCl) sudah mencukupi untuk

pertumbuhan dan produksi tanaman padi, disamping karena karakteristik umum yang dimiliki oleh pupuk

organik yaitu: (1) kandungan unsur hara rendah dan sangat bervariasi, (2) penyediaan hara terjadi secara

lambat dan (3) menyediakan hara dalam jumlah terbatas (Sutanto, 2002a dan Sutanto, 2002b). Hara yang

berasal dari bahan organik diperlukan untuk kegiatan mikroba tanah untuk dialih rupakan dari bentuk ikatan

komplek organik yang tidak dapat dimanfaatkan oleh tanaman menjadi bentuk senyawa organik dan

anorganik sederhana yang dapat diserap tanaman. Kebanyakan unsur di dalam tanah biasanya tercuci dalam

bentuk unsure tersedia dai hasil perombakan bahan organik.

Perlakuan residu beberapa jenis pupuk organik menunjukan pengaruh yang tidak berbeda nyata

terhadap semua parameter tanaman yang diamati. Namun demikian, residu pupuk organik yang dihasilkan

dari dekomposer cacing tanah memberikan hasil padi tertinggi yaitu 7,04 ton GKPper ha. Hal ini disebabkan

karena kascing menyediakan hara (N,P,K, Ca dan Mg) dalam jumlah seimbang dan dalam bentuk yang

tersedia bagi tanaman, disamping menyediakan hormon pertumbuhan tanaman ( Sutanto, 2002a dan Sutanto

2002b).

Page 115: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

153

Residu pupuk organik yang semakin tinggi memberikan hasil padi yang semakin meningkat. Hasil

padi tertinggi terlihat pada perlakuan dosis pupuk organik 8,0 ton per ha (d8) yaitu 7,23 ton GKP per ha.

Semakin banyak pupuk organik yang diberikan atau semakin tinggi dosis pupuk organik berarti semakin

banyak kadar hara yang akan dihasilkan dari hasil mineralisasi pupuk organik yang dapat diserap oleh

tanaman padi untuk meningkatkan pertumbuhan dan hasil padi.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan

diantaranya :

1. Perlakuan residu jenis dan dosis pupuk organik memberikan pengaruh yang tidak berbeda nyata

(P>0,05) terhadap semua parameter tanaman yang diamati.

2. Hasil padi tertinggi pada perlakuan residu jenis pupuk terlihat pada pupuk organik dari dekomposer

cacing tanah yaitu 7,04 t GKP ha-1

.

3. Hasil padi tertinggi pada perlakuan dosis pupuk organik terlihat pada dosis pupuk organik 8,0 ton ha-1

yaitu 7,23 ton GKP ha-1

.

DAFTAR PUSTAKA

Adiningsih, S. 2000. Peranan Bahan Organik Tanah dalam Sistem Usaha Tani Konservasi. Makalah

disampaikan sebagai bahan pelatihan ― Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha

Tani‖ di Bogor dan Solo, 21 Februari – 6 Maret 2000.

Anonimous. 2004. Padi Tipe Baru : Budidaya dengan pendekatan pengelolaan terpadu. Balitpa.

Puslitbangtan. Badan Litbangtan. 50 hlm.

Aribawa, IB. 2005. Pengaruh jenis dan dosis pupuk organic terhadap pertumbuhan dan hasil padi di lagan

sawah desa Rejasa, kabupaten Tabanan. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi

Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial

Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 364-368

Gardner, Franklin P., R. Brent Pearce dan Roger L. Mitchel. 1991. Fisiologi Tanaman Budidaya. Terjemahan

Herawati Susilo dan Subiyanto. Universitas Indonesia (UI-Press). 428 hlm.

Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International

Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p.

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. Ilmu Tanah. PT. Medyatama Perkasa. 216. hlm.

Hasanuddin, A. 2004. Pengelolaan tanaman padi terpadu; suatu strategi pendekatan teknologi spesifik lokasi.

Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB)

Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret – 3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi.

Diwiyanto, K. 2000. Restrukturisasi Peta Kesesuaian dan Pemberdayaan Sumberdaya Unggulan

(Pembangunan Pertanian-Peternakan di Indonesia). Makalah disampaikan sebagai bahan pelatihan

― Revitalisasi Keterpaduan Usaha Ternak dalam Sistem Usaha Tani‖ di Bogor dan Solo, 21 Februari

– 6 Maret 2000.

Karama, A.S. 1990. Penggunaan pupuk organik dalam produksi pertanian. Makalah Disampaikan pada

Seminar Puslitbangtan, Bogor. 4 Agustus 1990.

Makarim, A.K, IN. Widiarta, Hendarsih dan A. Abdulrachman. 2003. Pengelolaan Hara dan Pengendalian

Hama dan Penyakit Tanaman Padi Secara Terpadu. Deptan. Puslitbangtan. Bogor.

Sutanto, R. 2002a. Penerapan Pertanian Organik : pemasyarakatan dan pengembangannya. Kanisius. Jakarta.

Sutanto, R. 2002b. Pertanian Organik : menuju pertanian alternatif dan berkelanjutan. Kanisius. Jakarta.

Wijanarko, A., Sudaryanto dan Sutarno. 2005. Teknik pemulihan kesuburan Alfisol dalam usaha peningkatan

produktivitas kacang tanah. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran

Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan

Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. : 99-104.

Page 116: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

154

PENGARUH BERBAGAI MEDIA TUMBUH TERHADAP PERTUMBUHAN BIBIT JERUK BALI

(Citrus maxima. Merr) DI KABUPATEN KARANGASEM BALI

Mastra Sunantara, IB. Aribawa dan IK. Kariada

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

ABSTRAK

Jeruk Bali besar (Citrus maxima. Merr) yang sering disebut dengan nama Jeruk Bali, merupakan salah satu

komoditas buah-buahan unggulan Provinsi Bali. Populasi jeruk Bali dari tahun ke tahun mengalami penurunan, bahkan dari tahun 1995 sampai dengan tahun 2003 tidak ditemukan data perkembangan yang khusus mengenai Jeruk Bali, dan

dikhawatirkan Jeruk Bali ini sudah hampir punah. Keberhasilan pembibitan Jeruk Bali merupakan langkah awal dari

keberhasilan untuk meningkatkan populasi jeruk Bali. Penelitian mengenai pembibitan jeruk bali dengan berbagai media

tumbuh telah dilaksanakan di Kabupaten Karangasem mulai TA 2005. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menemukan alternatif media tumbuh jeruk Bali. Perlakuan media tumbuh terdiri dari: (a) campuran pupuk kandang

(pukan) + tanah; (b) skam + tanah; dan (c) serbuk gergaji + tanah, dengan masing-masing perbandingan (a) 1:3; (b) 1:2;

(c) 1:1; (d) 2:1; dan (e) 3:1, sehingga terdiri dari 15 kmobinasi perlakuan. Jumlah bibit yang diamati dari masing-masing

perlakuan berjumlah 10 bibit. Parameter bibit yang diamati adalah: tinggi tanaman, jumlah daun, diamater batang, berat kering bagian atas tanaman, jumlah akar lateral, panjang akar dan berat kering akar. Hasil penelitian menunjukkan media

tumbuh yang menggunakan pupuk kandang memberikan pertumbuhan semai dan perakaran yang lebih baik bila

dibandingkan dengan pertumbuhan semai pada media tumbuh yang lain. Hal ini dapat dilihat, salah satunya dari berat

kering akar, berat kering akar tertinggi pada umur 42 MST terlihat pada media pukan + tanah dengan perbandingan 3:1 yaitu 17,79 gram.

Kata kunci : adaptasi. jeruk Bali dan media tumbuh.

PENDAHULUAN

Jeruk besar Bali (Citrus maxima. Merr) yang lazim disebut dengan nama Jeruk Bali merupakan

salah satu komoditas buah yang sudah dikenal oleh seluruh lapisan masyarakat Bali dan sebagian besar

masyarakat di luar Bali, dan umumnya diusahakan di lahan tegalan atau pekarangan.

Luas lahan kering (tegalan dan pekarangan) di Bali pada tahun 1988 adalah 170.335 ha (127.190 ha

tegalan dan 43.145 ha pekarangan). Dari potensi luas tegalan tersebut 39,7 ha sudah dimanfaatkan untuk

pengambangan tanaman jeruk (Anon, 1998). Populasi tanaman Jeruk Bali pada tahun 1990, 1991, 1992, 1993,

1994 berturut-turut 127.223 pohon, 120.917 pohon, 104.081 pohon, 96.922 pohon dan 93.408 pohon. Tahun

1995 sampai dengan tahun 2003 tidak ditemukan data perkembangan Jeruk Bali (Anon, 1998).

Penurunan tersebut disamping disebabkan oleh semakin berkurangnya pengembangan tanaman

Jeruk Bali, juga karena serangan penyakit Diplodia sp yang menyebabkan tanaman Jeruk Bali mati sehingga

populasi dan produksinya menurun. Populasi Jeruk Bali yang dari tahun ke tahun terus menurun,

menunjukkan bahwa pengembangan populasi jeruk semakin berkurang yang berarti belum banyak dilakukan

usaha pembibitan dan penanaman

Produksi jeruk besar per pohon per tahun rata-rata 1,37 kw sedangkan potensi hasil bisa mencapai

2,08 kw per pohon (Sutopo, 1998), sehingga perlu ditingkatkan. Berdasarkan hasil PRA ditemukan bahwa,

populasi tanaman Jeruk Bali semakin berkurang dari tahun ke tahun karena keterbatasan bibit yang bermutu

dan budidaya tanaman belum dilaksanakan secara intensif.

Benih merupakan bagian yang sangat potensial dalam sistem budidaya pertanian. Benih yang baik

dan sehat (benih bermutu dari varietas unggul) diharapkan akan dapat menghasilkan tanaman yang baik serta

mampu memberikan hasil sesuai dengan harapan. Sedangkan media tumbuh, bentuk dan ukuran pot,

berperan dalam pembentukan sistem perakaran yang baik bagi pertumbuhan tanaman. Pemilihan bahan

campuran media tumbuh dapat berbeda untuk setiap penangkar bibit, tetapi mempunyai sasaran yang sama,

yaitu mendapatkan media tumbuh yang ringan, homogen, berdrainase baik, mudah didapat dan murah serta

mampu memberikan pertumbuhan optimal semai dan bibit jeruk selama periode pembibitan berlangsung.

Campuran peat‘/‘perlite‘/‘vermiculite― dan pasir dengan perbandingan tertentu banyak digunakan

oleh penangkar bibit jeruk di Florida dan California (Castile, 1986), sedangkan campuran pupuk kandang,

pasir dan atau tanah dengan perbandingan tertentu lebih disukai oleh penangkar bibit buah-buahan di

Indonesia. Sejak lima tahun yang lalu beberapa penangkar di Indonesia telah mengganti media pasir dengan

sekam atau serbuk gergaji (Supriyanto, 1999).

Page 117: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

155

Permasalahan yang dihadapi sampai saat ini dalam berbudidaya jeruk adalah bahwa jeruk keprok

terserang CVPD, sedangkan diketahui Jeruk Bali kurang disukai oleh vektor CVPD. Hal ini memberi peluang

untuk mengembangkan Jeruk Bali sebagai pengganti jeruk keprok yang terserang CVPD (Supriyanto, 1996).

Mengantisipasi permasalahan tersebut di atas, maka perlu diupayakan pengembangan Jeruk Bali agar

populasinya dapat meningkat. Salah satu langkah awal yang dapat dilakukan adalah penyediaan benih/bibit

yang berkualitas, sehingga pertumbuhan tanaman lebih baik.

Dalam pengkajian ini, sebelum bibit dasar disambung akan dilakukan pengujian beberapa campuran

media tumbuh untuk mendukung perkembangan tanaman selama dalam polibag. Adapun tujuan penelitian ini

adalah menemukan alternatif media tumbuh jeruk Bali.

BAHAN DAN METODE

Lokasi Penelitian

Penelitian ini dilakukan pada lahan tegalan di Desa Padangkerta, Kecamatan Karangasem,

Kabupaten Karangasem. Berdasarkan AEZ Provinsi Bali, lokasi tersebut termasuk agroekosistem lahan

kering beriklim sedang, jenis tanah Regosol, kandungan pasir dan debu di atas 60%, struktur tanah gembur,

solum tanah lebih dari 1 meter dan kandungan bahan organik sedang. Ketinggian tempat 40 meter di atas

permukaan laut dengan curah hujan rata-rata 1500 mm, dengan pH 6,5. Bulan basah dari Oktober sampai

April dan bulan kering dari Mei sampai September. Pada keadaan AEZ seperti tersebut, Jeruk Bali dapat

tumbuh dan berkembang dengan baik.

Metode Analisis

Sebelum pengamatan dilakukan terhadap bibit jeruk besar hasil sambungan, dilakukan penelitian

pendahuluan terhadap pemilihan bahan campuran media tumbuh. Perlakuan terdiri dari: (a) campuran pupuk

kandang (pukan) + tanah; (b) sekam + tanah; dan (c) serbuk gergaji + tanah, masing-masing dengan

perbandingan (a) 1:3; (b) 1:2; (c) 1:1; (d) 2:1, dan (e) 3:1 sehingga terdiri dari 15 kombinasi perlakuan.

Campuran media tumbuh diperkaya dengan pupuk NPK 1 sendok makan per polibag. Pemberian pupuk

tambahan dilakukan setiap 1 bulan sekali.

Semai batang bawah jeruk JC berumur 3 bulan dipindahkan kedalam polibag berukuran 5 kg yang

telah diisi campuran media tumbuh. Pemeliharaan semai hingga akhir perlakuan dilakukan secara optimal

hingga mencapai kapasitas lapang. Seluruh kegiatan penelitian penggunaan bahan campuran media tumbuh

dilaksanakan berdasarkan Rancangan Acak Kelompok (RAK) terdiri dari 3 ulangan dengan unit percobaan

sebanyak 5 tanaman. Parameter yang diamati meliputi komponen pertumbuhan semai, akar yang tumbuh

(jumlah akar lateral dan berat kering akar), serta kandungan kimia campuran media tumbuh yang digunakan.

Data yang dikumpulkan kemudian dianalisis secara satistik dengan menggunakan analisis sidik ragam.

Apabila interaksi perlakuan menunjukkan pengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji jarak berganda pada

taraf 5%, jika hanya perlakuan tunggal yang berpengaruh nyata, maka dilanjutkan dengan uji BNT 5%

(Gomez dan Gomez, 1995).

Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah tanaman jeruk varietas Rengked, Yeh Buah, dan varietas Famelo

yang dipergunakan sebagai batang atas sedangkan jenis RL dan JC digunakan sebagai batang bawah. Pupuk

yang digunakan Urea, TSP/SP-36, KCL, dan pupuk kandang sapi. Bahan lain yang juga digunakan adalah

tanah, sekam, serbuk gergaji dan untuk mencegah penyakit Diplodia digunakan Bubur Bordeaux. Polibag

yang dipakai adalah berukuran 5 kg. Alat yang digunakan adalah gunting pangkas, pisau tempel, cangkul,

skop, tali plastik, ember, dan lain-lain.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penanaman benih setelah pemindahan dari pesemaian dalam tanah ke polibag, terjadi stagnasi

pertumbuhan ± 24% dari 3000 benih yang dipersiapkan. benih selanjutnya keluar getah dari batang (terserang

Diplodia) umur 8 minggu (MST), selanjutnya benih tersebut mati. Benih yang mati kebanyakan terjadi pada

penggunaan campuran media sekam 3:1 dan serbuk gergaji 3:1. Benih bisa diselamatkan ±76% dengan

pengobatan menggunakan bubur Bordeaux dan pemupukan dengan pupuk daun. Benih yang mati kebanyak

yang berasal dari jenis RL, dimana jenis tersebut lebih peka terhadap serangan Diplodia, terutama pada saat

Page 118: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

156

dilakukan transplanting. Penggunaan Japansche Citroen (JC) sebagai batang bawah (selling) sementara bibit

masih kecil mempunyai daya tahan lebih baik terhadap serangan penyakit Diplodia. Bila dilihat dari

penggunaan bahan tanam bibit dasar (selling), pencampuran media tanam sangat menentukan percepatan

perkembangan selling setelah dipindahkan ke polibag. Perbandingan bahan dasar media tumbuh yang terbaik

dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pertumbuhan Semai pada Umur 16 dan 42 Minggu Setelah Pindah Tanam (MST).

Perlakuan

Tinggi Jumlah daun Diameter Berat kering

16 MST 42 MST 16 MST 42 MST 16 MST 42 MST 16 MST 42 MST

cm cm Cm

Pukan +

Tanah

1 : 3 47,00 c 103,17cd 24,33 g 50,00e 0,36cd 0,80de 2,86 e 20,31d

1 : 2 48,89 c 109,00 d 24,44 g 50,11ef 0,37cd 0,88 e 3,18 f 25,18e

1 : 1 49,61 c 115,55 d 25,55 g 53,00ef 0,40 d 0,88 e 3,16 f 25,52e

2 : 1 46,56 c 116,58 d 25,44 g 53,06ef 0,35cd 0,86 e 3,33 f 28,50ef

3 : 1 49,39 c 118,11 d 25,55 g 55,22 f 0,37cd 0,88 e 3,42 f 31,39f

Sekam +

Tanah

1 : 3 38,33bc 107,52cd 19,89f 52,78ef 0,32bc 0,81e 2,37de 21,20 d

1 : 2 26,38b 81,39c 16,11e 41,17d 0,27bc 0,71d 1,49 c 13,73 c

1 : 1 19,61ab 59,61bc 12,00d 30,50e 0,23b 0,56c 0,90 b 5,67 b

2 : 1 14,73ab 17,00a 8,67bc 11,78b 0,14a 0,16a 0,39ab 1,04 a

3 : 1 10,00ab 12,81a 7,11b 11,39b 0,14a 0,18a 0,34ab 1,03 a

Serbuk gergaji +

Tanah

1 : 3 10,59ab 52,11ab 8,76bc 31,00c 0,14a 0,52c 0,37ab 6,63 b

1 : 2 6,91a 20,22a 4,67ab 15,17b 0,12a 0,25b 0,20a 1,18 a

1 : 1 7,33a 9,23a 4,22ab 7,33ab 0,11a 0,13a 0,19a 0,77 a

2 : 1 6,89a 6,89a 4,22ab 4,33a 0,12a 0,12a 0,14a 0,29 a

3 : 1 6,61a 6,61a 3,67a 3,78a 0,10a 0,10a 0,12a 0,22 a

BNT5 % 16,44 28,50 3,27 5,20 0,05 0,09 0,59 3,41

Macam media tumbuh dapat mempengaruhi pertumbuhan dan sistem perakaran semai. Tabel 2

merangkum rata-rata pertumbuhan semai pada saat umur 16 minggu setelah pindah tanam (MST) dan pada

saat benih umur 42 MST.

Tabel 2. Sistem Perakaran Semai pada Umur 16 dan 42 Minggu Setelah Pindah Tanam (MST).

Perlakuan

Jumlah akar lateral Panjang akar BK akar

16 MST 42 MST 16 MST 42 MST 16 MST 42 MST

cm Gram

Pukan + Tanah

1 : 3 126,2 e 134,0 c 46,67 e 72,67e 14,0 b 13,09 d

1 : 2 125,7 e 137,0 c 48,50 e 69,25bc 1,41 b 14,50 de

1 : 1 108,5 de 181,2 d 49,75 e 80,50e 1,74 b 15,20 de

2 : 1 111,8 de 137,0 c 49,42 e 80,67e 1,86 cd 15,75 e

3 : 1 115,0 e 127,2 c 50,25 e 75,15e 2,00 cd 17,79 e

Sekam + Tanah

1 : 3 103,7 d 110,8 bc 35,83 d 58,08 b 2,10 d 13,33 d

1 : 2 92,7 c 134,7 c 28,50 e 63,92 bc 1,53 bc 9,83 e

1 : 1 72,5 bd 83,8 b 21,92 ab 36,50 a 1,03 b 5,61 b

2 : 1 64,3 ac 65,5 d 17,75 a 52,67 ab 0,44 a 1,72 a

3 : 1 70,0 bb 73,3 a 16,42 a 46,17 a 0,44 a 1,27 a

Serbuk gergaji +

Tanah

1 : 3 82,7 bc 120,2 bc 38,92d 77,33 e 0,44 a 5,90 be

1 : 2 78,7 bc 98,8 b 33,33cd 63,58 bc 0,27 a 1,16 d

1 : 1 56,5 a 43,7 a 27,48bc 42,33 a 0,18 a 1,08 a

2 : 1 47,3 a 75,7 a 25,58b 78,83 c 0,27 a 0,53 a

3 : 1 59,5 a 65,8 a 26,67b 57,33 b 0,14 a 0,38 a

BNT 5 % 20,8 26,8 6,41 19,85 0,51 2,04

Secara umum dapat dinyatakan bahwa tinggi tanaman, jumlah daun, diameter dan bobot kering (BK)

bagian atas tanaman (pucuk) semai yang ditumbuhkan pada media tanah yang mengandung bahan organik

pupuk kandang (pukan) lebih baik dibandingkan dengan yang ditumbuhkan pada media sekam maupun

serbuk gergaji. Komposisi bahan organik pukan tidak memberikan perbedaan pertumbuhan yang berarti.

Sedangkan makin banyak sekam maupun serbuk gergaji sebagai campuran organik dalam media tumbuh,

makin lambat pertumbuhan semai terutama pada 42 MST. Pertumbuhan semai pada media tumbuh sekam +

Page 119: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

157

tanah (1:3) relatif sama dengan pertumbuhan semai pada media tumbuh yang menggunakan media campuran

pukan terutama pada akhir pengamatan.

Pertumbuhan semai yang memuaskan ditunjang oleh sistem perakaran yang baik, seperti

ditunjukkan pada Tabel 2. Pertumbuhan jumlah akar lateral, panjang akar dan berat kering (BK) akar

mengikuti pola pertumbuhan yang sama dengan pertumbuhan bagian atasnya (Tabel 2). Pada akhir

pengamatan, semai yang tumbuh pada media pukan + tanah (1:1) memiliki jumlah akar lateral yang lebih

banyak dibandingkan dengan semai yang tumbuh pada media pukan + tanah dengan perbandingan lainnya.

Panjang dan berat kering akar relatif sama.

Makin banyak kandungan sekam atau serbuk gergaji dalam campuran media, makin baik sistem

perakaran yang dibentuk. Campuran media tumbuh sekam + tanah (1:3) mampu memberikan pertumbuhan

yang relatif sama dengan sistem perakaran yang dibentuk semai yang ditumbuhkan di media yang

menggunakan pukan. Semai yang memiliki pertumbuhan baik memiliki nilai bandingan pucuk dan akar

sekitar 1,76-2,41 pada 16 MST dan 1,53-1,79 pada 42 MST.

Penambahan pukan, sekam maupun serbuk gergaji dapat menurunkan bobot jenis isi (BI) dan bobot

jenis partikel (BJP), tetapi meningkatkan porositas, air tersedia, pori drainase cepat dan lambat (Tabel 3).

Penambaha bahan organik menyebabkan jarak antar partikel tanah semakin besar dan terisi oleh hasil

dekomposisi bahan organik, sehingga bobot media per satuan volume berkurang.

Tabel 3. Sifat-sifat Fisik Campuran Media Tumbuh.

Perlakuan

BI (Bulk

Density

BJP (Particle

Density) Porositas

Air

tersedia

%

Draenase pori

Cepat Lambat

gram % Vol air

Pukan + Tanah

1 : 3

1 : 2 1 : 1

2 : 1

3 : 1

1,30

1,14 1,04

0,91

0,93

2,33

2,28 2,27

2,26

2,26

44,21

50,20 54,19

59,73

58,85

8,3

8,9 9,1

12,7

20,7

23,3

23,7 25,2

30,1

30,9

1,3

2,4 2,4

2,8

2,6

Sekam + Tanah

1 : 3

1 : 2

1 : 1 2 : 1

3 : 1

1,22

1,22

1,03 0,86

0,70

2,27

1,84

1,74 1,71

1,67

46,26

44,02

50,57 59,07

67,66

5,4

6,3

12,7 15,5

18,2

28,5

31,7

35,1 42,0

48,8

1,6

1,5

1,8 3,3

4,7

Serbuk gergaji +

Tanah

1 : 3

1 : 2

1 : 1

2 : 1 3 : 1

0,54

1,23

1,13

1,08 0,87

2,30

2,16

2,10

2,04 2,08

46,52

47,68

56,52

57,35 73,25

5,5

6,7

5,8

6,0 6,8

27,3

30,7

36,0

42,3 62,1

1,7

2,5

2,9

3,7 3,8

Dibandingkan sekam dan serbuk gergaji, pukan dapat menciptakan granulasi media tumbuh lebih

baik, sehingga tercipta struktur media yang baik pula. seperti yang ditunjukkan dengan persen pori drainase

cepat yang labih kacil atau jumlah pori makro yang lebih sedikit. Hal ini berkaitan erat dengan kandungan

lignin dan hypoprotein yang relatif resisten terhadap pelapukan berturut-turut tertinggi pada serbuk gergaji,

sekam dan pukan. Supardi (1983) menyatakan bahwa 0,2% bagian kotoran sapi merupakan jaringan jasad

yang berperan penting dalam aktivitas biologi. Black (1946) menambahkan bahwa kemampuan media

tumbuh dalam menunjang pertumbuhan akar yang baik, juga tergantung pada distribusi ukuran pori dan

aktivitas jasad mikro.

pH media tumbuh yang menggunakan pukan relatif lebih rendah dibandingkan yang menggunakan

sekam maupun serbuk gergaji karena asam-asam humik yang dilepaskan oleh jasad mikro. Kenyataan ini

menunjukkan bahwa proses dekomposisi bahan organik dari pukan berlangsung lebih awal daripada sekam

dan serbuk gergaji.

Selanjutnya proses dekomposisi akan meningkat seperti ditunjukkan dengan menurunnya nilai

bandingan C/N (Supriyanto dan Ernawanto, 1986). Dalam proses mineralisasi ini, kation-kation akan segera

dilepas, sehingga pH pada akhir pengamatan menjadi lebih besar. Proses mineralisasi bahan organik akan

terjadi bila bandingan C/N < 25 (Anonymous, 1984).

Media tumbuh yang mengandung pukan memiliki sifat fisik dan kimia yang lebih mantap, sehingga

mampu menunjang pertumbuhan perakaran dan semai lebih baik. Semai yang ditumbuhkan pada media yang

mengandung pukan cenderung mempunyai laju absorbsi N dan P lebih tinggi. Sedangkan yang ditumbuhkan

Page 120: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

158

di media tumbuh yang mengandung sekam, laju absorbsi Ca dan Mg lebih tinggi dibandingkan dengan yang

lainnya. Walaupun mempunyai pertumbuhan yang paling lambat, semai yang ditumbuhkan pada media yang

mengandung serbuk gergaji cenderung mempunyai kandungan K yang paling tinggi. Hal ini diduga ada

kaitannya dengan kemampuan media tumbuh dalam menyediakan unsur-unsur hara tersebut selama

pertumbuhan semai berlangsung (Tabel 4).

Tabel 4. Kandungan Hara dalam Tanah, Pukan, Sekam dan Serbuk Gergaji (%).

Bahan C N P K Ca Mg

Tanah 1,75 1,01 1,002 0,020 0,148 0,011

Pukan 25,54 0,49 0,260 0,298 0,361 0,206

Sekam 3,56 0,48 0,001 0,166 0,181 0,039

Sebuk Gergaji 33,86 0,03 0,021 0,375 0,225 0,075

Berdasarkan tabel hasil analisa sifat fisik dan kimia, media tumbuh yang mengandung pukan

mempunyai sifat-sifat fisik dan kimia sebagai berikut. BI 0,90-1,22 g/cm3. BJP 2,25-2,31 g/cm

3, porositas

46,94-59,85%, air tersedia 6,75-17,13% pori drainase cepat 23,03-30,24 dan pori drainase lambat 1,72-2,88;

pH (H2O) berkisar 7,2-7,5 dan pH (KCl) 6,3-6,6 serta bandingan C/N 9,4-18,6.

KESIMPULAN

1. Media tumbuh yang menggunakan pukan memberikan pertumbuhan semai dan perakaran yang lebih

baik dibandingkan dengan pertumbuhan semai pada media tumbuh yang mengandung sekam dan serbuk

gergaji.

2. Media tumbuh campuran sekam + tanah (1:3) mampu memberikan pertumbuhan semai yang relatif

sama dengan yang dihasilkan media tumbuh yang mengandung pukan, terutama pada akhir pengamatan.

3. Pukan mampu menciptakan sifat fisik da sifat kimia media tumbuh yang lebih mantap, sehingga mampu

menciptakan sistem penakaran yang baik dan menunjang pertumbuhan semai selanjutnya.

4. Kemampuan semai mengabsorbsi hara N, P, K, Ca dan Mg cenderung berbeda tergantung macam media

tumbuhnya.

DAFTAR PUSTAKA

Anon. (1984). Survai Tanah. Faperta IPB.

Anon., (1998). Kebijakan Pengembangan Hortikultura di Bali. Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi

Daerah TK. I Bali. Makalah dalam Pertemuan Aplikasi Paket Teknologi Usahatani Hortikultura.

Denpasar 28 Desember 1998, 10 hal.

Castle, W.S. (1986). An Evaluation of Containereze Systen in Relation to Field Nursery Methode for

Propagating Citrus Trees

Gomez, A.K. dan A.A. Gomez. 1995. Prosedur Statistik Untuk Penelitian Pertanian. UI Press. Jakarta. 698

hlm.

Supriyanto. A., (1996). Restrukturisasi dan Reorientasi Pelaksanaan Rehabilitasi Jeruk Keprok Tejakula di

Bali Utara. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Tlekung. Batu Malang, 12 hal.

Supriyanto, A. (1998). Grape Fruit Cocok ditanam di Indonesia. Trubus 340 TH. XXIX-1 Maret 1998, hal.

39-41.

Sutopo. A., Supriyanto dan M. Sugiyarto, (1998). Jeruk Besar Potensi Besar Kurang diperhatikan. Trubus

338 -TH XXIX-Januari 1998, hal 34-40.

Sutopo, (1998). Mengebunkan Jeruk Besar secara Intensif. Trubus 340 TH XXIX-Maret 1998, hal 52-54.

Supriyanto, A dan Ernawanto. Media Tumbuh untuk Pembibitan Jeruk. Buletin Tanaman Hortikultura XIV

Edisi Khusus 23.

Page 121: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

159

PENGARUH SISTEM TANAM TERHADAP PERTUMBUHAN DAN HASIL BEBERAPA

VARIETAS PADI SAWAH DI SUBAK BABAKAN KABUPATEN TABANAN BALI

IB. Aribawa dan IK. Kariada

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

ABSTRAK

Penelitian ini telah dilaksanakan di lahan sawah di Subak Babakan, Kabupaten Tabanan, Propinsi Bali pada

MK. 2005. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui pengaruh sistem tanam terhadap pertumbuhan dan hasil beberapa

varietas tanaman padi. Penelitian menggunakan rancangan petak terpisah (split plot design) dengan tiga kali ulangan. Petak utama adalah enam varietas padi yaitu: IR-64; Cibogo (Cb); Cigeulis (Cg); Ciherang (Ch); Cimelati (Cm) dan

Widas (Wd) dan sebagai anak petak adalah sistem tanam yang terdiri dari: sistem legowo 2:1 (l1); sistem legowo 4:1 (l2)

dan sistem tegel 25 x 25 cm (l3). Parameter tanaman yang diamati adalah: pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman),

komponen hasil dan hasil padi. Hasil penelitian menunjukkan interaksi perlakuan varietas dan sistem tanam berpengaruh nyata terhadap hasil padi. Hasil padi tertinggi terlihat pada kombinasi perlakuan varietas Cimelati dengan sistem tanam

legowo 2:1 yaitu 8,15 ton GKP ha-1

Kara kunci : sistem tanam, varietas dan hasil padi.

PENDAHULUAN

Padi merupakan komoditas yang menyangkut hajat hidup dan kebutuhan mendasar bagi hampir

sebagian besar penduduk Indonesia. Oleh karena itu, tekad meraih kembali swasembada beras nasional

menjadi keharusan.

Kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah, seiring dengan laju pertambahan penduduk. Pada

tahun 2002 penduduk Indonesia berjumlah 210 juta jiwa dan produksi padi mencapai 51,4 juta ton gabah

kering giling (BPS, 2003). Dengan laju pertambahan pendududk rata-rata 1,7% per tahun dan kebutuhan per

kapita sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 Indonesia harus mampu menghasilkan padi sebanyak 78 juta

ton GKG untuk mencukupi kebutuhan beras nasional (Abdullah, 2004).

Sementara itu, laju peningkatan produktivitas padi di Indonesia telah melandai (leveling off)

meskipun upaya kultur teknis telah dilakukan secara maksimal. Hal ini erat kaitannya dengan tidak adanya

varietas unggul baru yang berpotensi lebih tinggi dari varietas yang selama ini ditanam petani secara luas,

tertutama padi sawah.

Pengembangan Padi Tipe Baru (PTB) seperti Fatmawati, semi PTB seperti Gilirang, Ciapus,

Cimelati dan padi Hibrida merupakan suatu terobosan besar dalam upaya peningkatan produktivitas dan

produksi padi nasional serta peningkatan pendapatan petani. Pengembangan padi tipe baru ini diharapkan

merupakan salah satu penambah alternatif pilihan mengenai inovasi teknologi partisipatif dan spesifik lokasi

yang dikenal dengan sebutan sistem Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) yang berkembang dari sejak

penulusuran masalah/keinginan petani setempat.

Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) merupakan suatu pendekatan yang mempertimbangkan

keserasian dan sinergisme antara komponen teknologi produksi (budidaya) dengan sumberdaya lingkungan

setempat. Dengan demikian, paket teknologi yang disiapkan bersifat spesifik lokasi, yang dapat

menghasilkan sinergisme dan efisiensi tinggi, sebagai wahana pengelolaan tanaman dan sumberdaya spesifik

lokasi (Hasanudin, 2004).

Sistem tanam tabela, legowo 4:1 atau 2:1, tapin merupakan alternatif komponen teknologi dalam

padi sawah irigasi. Pemilihan komponen teknologi PTT didasarkan pada identifikasi wilayah dan

permasalahan usahatani padi dan diharapkan merupakan peluang mengatasi masalah pelandaian produktivitas

padi.

Sistem tanam legowo adalah sistem tanam berselang-seling antara dua atau lebih baris tanaman padi

dan satu baris kosong. Baris tanaman (dua atau lebih) dan baris kosongnya (setengah lebar di kanan dan di

kirinya) disebut satu unit legowo. Bila terdapat dua baris tanaman per unit legowo, maka disebut legowo 2:1,

kalau tiga baris tanaman per unit legowo disebut 3:1 dan seterusnya (Abdurrachman, 2004).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa cara tanam legowo 2:1 memberikan hasil gabah tertinggi

sebesar 6,25 ton per hektar dan hasil gabah terrendah dengan cara tanam tegel 20 x 20 cm sebesar 5,52 ton

per hektar, meningkat sebesar 18,1% bila dibandingkan sistem tanam tegel 20 x 20 cm. Variasi peningkatan

Page 122: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

160

produktivitas padi ini dengan sistem tanam yang berbeda tergantung juga dengan varietas padi yang

digunakan.

Dengan menyadari bahwa tidak ada satu varietas padi pun yang paling unggul dan paling disenangi

oleh masyarakat dan mampu bertahan lama di semua lokasi lahan irigasi, maka perlu dilakukan pengujian

beberapa varietas unggul baru padi lain seperti semi PTB dan VUB lain yang tingkat hasilnya diharapkan

melebihi varietas IR-64 yang merupakam varietas unggul yang telah lama mendominasi lahan-lahan sawah di

Indonesia dengan menggunakan alternatif paket teknologi PTT.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui daya hasil beberapa varietas padi dengan

menggunakan sistem tanam yang berbeda di lahan sawah.

BAHAN DAN METODE

Rancangan Percobaan

Dalam percobaan ini digunakan rancangan petak terpisah (split plot design) diulang tiga kali.

Sebagai petak utama adalah adalah enam varietas padi yaitu: IR-64; Cibogo; Cigeulis; Ciherang; Cimelati

dan Widas dan sebagai anak petak adalah sistem tanam yang terdiri dari: sistem legowo 2:1 (l1); sistem

legowo 4:1 (l2) dan sistem tegel 25 x 25 cm (l3).

Tempat dan Waktu

Percobaan dilaksanakan di lahan sawah Subak Babakan, Desa Subamia, Kecamatan Tabanan,

Kabupaten Tabanan, pada MK 2005. Pemilihan wilayah kegiatan berdasarkan peta AEZ dan merupakan

daerah sentra tanaman padi. Penelitian ini dilakukan bekerjasama dengan instansi terkait seperti Diperta dan

BPP setempat. Sedangkan pemilihan petani kooperator juga berdasarka masukan dari instansi terkait dan

arahan dari ketua kelompok tani setempat, sehingga diperoleh petani yang respon terhadap teknologi baru.

Bahan dan Alat

Bahan yang dipergunakan dalam percobaan ini adalah benih padi yang didapat dari Balitpa

Sukamandi, pupuk urea, SP-36 dan KCl, pupuk organik. Sedangkan alat yang digunakan adalah alat untuk

bercocok tanam, meteran, timbangan dan alat-alat yang lainnya.

Pelaksanaan Penelitian

Kegiatan penelitian ini melibatkan tujuh orang petani dengan luasan lahan sawah 15-35 are per

petani. Masing-masing varietas ditanam dengan sistem tanam yang berbeda mengikuti luasan petakan alami

petani. Setiap petani mendapatkan 1-2 varietas padi yang berbeda. Penentuan petani dalam pemilihan varietas

ditentukan oleh petugas bekerjasama dengan ketua kelompok tani bersangkutan. Komponen teknologi PTT

yang diterapkan di bawah bimbingan petugas teknis yang telah berpengalaman.

Setelah pengolahan tanah dilakukan sampai siap tanam, maka bibit padi yang telah berumur 15 hari

ditanam dengan sistem tanam sesuai dengan perlakuan, ditanam 2-3 bibit per lubang. Sebagai pupuk dasar

diberikan pupuk Urea 300 kg ha-1

, 100 kg ha-1

SP-36 dan 100 kg ha-1

KCl. Pupuk Urea diberikan tiga kali,

sedangkan pupuk SP-36 diberikan satu kali dan pupuk KCl diberikan dua kali. Pupuk area dengan dosis 100

kg ha-1

, seluruh pupuk SP-36 dan setengah bagian KCl diberikan tujuh hari setelah tanam, sedang sisa KCl

dan 100 kg ha-1

urea diberikan 30 hari setelah tanam dan sisa Urea berikutnya diberikan 42 hari setelah

tanam.

Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma

menggunakan cara mekanis, menyesuaikan dengan keadaan tanaman. Pengamatan dan pengumpulan data

dilakukan terhadap variabel: tinggi tanaman pada saat panen, jumlah malai per rumpun, jumlah gabah isi per

malai, bobot 1000 biji dan hasil gabah kering panen per hektar.

Pengumpulan Data dan Analisis Data

Parameter tanaman yang diamati dalam penelitian ini adalah :

Umur panen, yaitu jumlah hari sejak sebar sampai saat 50% dari tanaman dalam petak percobaan siap

panen.

Tinggi tanaman, yaitu rerata tinggi tanaman dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak pada

setiap petak.

Page 123: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

161

Jumlah anakan per rumpun, yaitu rerata jumlah anakan dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara

acak

Jumlah gabah isi, yaitu rerata jumlah gabah isi dari tiga rumpun contoh yang diambil secara acak untuk

jumlah malai per rumpun

Bobot 1000 butir gabah isi, yaitu bobot 1000 biji gabah kering bersih kadar air tertentu (14%).

Hasil gabah per hektar, yaitu didapat dari konversi bobot gabah yang dipanen dari ubinan berukuran 2 x

2,5 m.

Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini

varietas padi dan sistem tanam serta interaksinya dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5% (Gomez dan

Gomez, 1984).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik terhadap komponen pertumbuhan (tinggi tanaman dan jumlah anakan) dan

komponen hasil (jumlah gabah isi dan bobot 1000 biji) disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis statistik

menunjukkan perlakuan varietas dan sistem tanam serta interaksinya menunjukkan pengaruh yang tidak

nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada varietas Cimelati yaitu 107,69

cm dan tinggi tanaman terendah terlihat pada varietas IR-64 yaitu 104,86 cm. Pada perlakuan sistem tanam,

tinggi tanaman tertinggi terlihat pada sistem tanam legowo 2:1 dan tinggi tanaman terendah terlihat pada

sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 105,88 cm.

Hasil analisis statistik terhadap jumlah anakan menunjukkan, perlakuan varietas padi berpengaruh

nyata (P<0,05) terhadap jumlah anakan per rumpun dan perlakuan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang

tidak nyata (P>0,05 terhadap jumlah anakan. Sedangkan interaksi varietas dengan sistem tanam tidak

berpengaruh nyata (P>0,05) terhadap jumlah anakan per rumpun. Jumlah anakan per rumpun terbanyak

terlihat pada perlakuan varietas Ciherang yaitu 24,05 batang per rumpun dan hanya berbeda nyata dengan

perlakuan varietas IR-64 dan Cimelati. Sedangkan jumlah anakan per rumpun terkecil terlihat pada varietas

Cimelati yaitu 21,83 batang per rumpun. Pada perlakuan sistem tanam, jumlah anakan terbanyak terlihat pada

sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 23,47 batang per rumpun dan jumlah anakan terkecil terlihat pada

perlakuan sistem tanam legowo 2:1 yaitu 22,23 batang per rumpun.

Hasil analisis statistik terhadap jumlah gabah isi per malai disajikan pada Tabel 1. Hasil analisis

menunjukkan perlakuan varietas berpengaruh nyata (P<0,05) terhadap jumlah gabah isi per malai dan

perlakuan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap jumlah gabah isi per

malai, demikian juga interaksi antara varietas dengan sistem tanam tidak berpengaruh nyata (P>0,05)

terhadap jumlah gabah isi per malai.

Tabel 1. Pengaruh Sistem Tanam Terhadap Pertumbuhan dan Komponen Hasil Beberapa Varietas Padi di Lahan Sawah

Subak Babakan, Tabanan MK. 2005.

Perlakuan Tinggi tanaman

(cm)

Jumlah anakan

(batang/rumpun)

Jumlah gabah isi

per malai

Bobot 1000 biji

(gram)

Petak Utama IR64

Cibogo

Cigeulis

Ciherang Cimelati

Widas

Anak Petak

Legowo 2 : 1 Legowo 4 : 1

Tegel 25 x 25 cm

104,86 a

106,34 a

107,52 a

106,74 a 107,69 a

107,52 a

107,87 a 106,61 ab

105,88 bc

21,91 b

22,99 ab

23,08 ab

24,05 a 21,83 b

23,04 a

22,23 a 23,04 a

23,47 a

74,24 f

77,56 e

94,37 b

82,54 d 117,31 a

88,30 c

90,41 a 89,72 a

89,03 a

28,37 a

28,38 a

28,24 a

28,51 a 28,55 a

28,30 a

28,27 a 28,48 a

28,49 a

KK (a)

KK (b)

BNT (a) 5 %

BNT (b) 5 %

9,2

10,3

-

1,38

6,2

7,3

2,64

-

5,1

8,7

1,61

-

11,0

10,0

-

-

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

DMRT 5 %.

Jumlah gabah isi per malai tertinggi terlihat pada perlakuan varietas Cimelati yaitu 117,31 butir per

malai dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan perlakuan lainnya, sedang jumlah gabah isi terendah

Page 124: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

162

terlihat pada varietas IR64 yaitu 74,24 butir per malai. Pada perlakuan sistem tanam, jumlah gabah isi

tertinggi terlihat pada perlakuan sistem tanam legowo 2:1, yaitu 90,41 butir per malai dan terrendah pada

sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 89,02 butir per malai.

Hasil analisis statistik terhadap bobot 1000 biji disajikan pada Tabel 1. Pada Tabel 1, terlihat

perlakuan varietas dan sistem tanam serta interaksinya menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05)

terhadap bobot 1000 biji. Bobot 1000 biji tertinggi terlihat pada varietas Cimelati yaitu 28,55 gram dan

terendah terlihat pada varietas Cigeulis, yaitu 28,24 gram. Pada perlakuan sistem tanam, bobot 1000 biji

tertinggi terlihat pada perlakuan sistem tanam tegel 25 x 25 cm yaitu 28,49 gram dan terendah pada sistem

tanam legowo 2:1 yaitu 28,27 gram.

Tabel 2. Tabel Dua Arah Pengaruh Interaksi System Tanam dan Varietas Terhadap Hasil (ton GKP ha-1) Beberapa

Varietas Padi di Subak Babakan, Tabanan MK. 2005.

Perlakuan Sistem tanam

Legowo 2 : 1 Legowo 4 : 1 Tegel 25 x 25 cm

IR64

Cibogo Cigeulis

Ciherang

Cimelati

Widas

7,16 b

7,26 b 7,37 b

7,16 b

8,15 a

7,40 b

6,85 b

7,02 ab 7,20 a

7,06 ab

7,33 a

7,23 a

6,63 bc

6,93 ab 6,73 bc

6,45 c

7,09 a

7,07 a

BNT 5% 0,27

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada uji

DMRT taraf 5%.

Hasil analisis statistik terhadap hasil gabah kering panen beberapa varietas padi dengan sistem

tanam yang berbeda disajikan pada Tabel 2. Hasil analisis menunjukkan interaksi perlakuan varietas dengan

sistem tanam berpangaruh nyata (P<0,05) terhadap hasil padi. Hasil padi tertinggi terlihat pada kombinasi

perlakuan Cml1 yaitu 8,15 ton GKP ha-1

dan hasil padi terendah terlihat pada kombinasi perlakuan IR-64 l3

yaitu 6,63 ton GKP ha-1

.

Pada pengamatan komponen pertumbuhan tanaman, secara visual pertanaman kelihatan seragam

dan hal ini bisa dilihat pada tinggi tanaman yang tidak berbeda nyata pada masing-masing varietas. Sesuai

dengan deskripsi varietas, menunjukkan bahwa masing-masing varietas baik itu varietas unggul baru (VUB)

dan semi padi tipe baru (Cimelati) mempunyai tinggi tanaman antara 100-110 cm (Abdullah, 2004).

Sehingga dengan demikian faktor genetis masing-masing varietas yang sama tidak mempengaruhi tinggi

tanaman. Sedangkan pada sistem tanam pada perlakuan legowo 2:1 memperlihatkan tinggi tanaman yang

paling tinggi dan berbeda nyata dengan perlakuan lainnya. Pada sistem tanam legowo 2:1, populasi tanaman

menjadi lebih banyak, bila dibandingkan dengan sistem tegal 25 x 25 cm. Dengan populasi tanaman yang

lebih banyak, maka akan memicu terjadinya kompetisi antar tanaman dalam hal pemanfaatan sinar matahari,

sehingga memacu tanaman lebih tinggi bila dibandingkan dengan populasi tanaman yang lebih rendah.

Jumlah anakan yang paling rendah terlihat pada varietas Cimelati, sebaliknya jumlah gabah isi per

malai tertinggi pada varietas Cimelati. Hal ini disebabkan karena varietas Cimelati yang dilepas tahun 2001

termasuk ke dalam varietas padi semi padi tipe baru. Varietas Cimelati belum memiliki semua sifat-sifat padi

tipe baru, sehingga digolongkan ke dalam varietas unggul semi PTB. Padi tipe baru memiliki sifat-sifat

antara lain: (1) batang kokoh dan pendek; (2) jumlah anakan sedikit hingga sedang (8-12) dan semuanya

produktif; (3) malai panjang dan lebat dan (4) akar banyak dengan jangkauan yang dalam (Anon, 2003). Dari

pengamatan di lapang terlihat, varietas Cimelati memiliki beberapa sifat di atas seperti jumlah anakan sedikit

dengan panjang malai yang lebih panjang dan ini terlihat dari data, yaitu jumlah gabah isi yang lebih banyak

bila dibandingkan dengan varietas yang lainnya.

Perlakuan sistem tanam tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anakan dan jumlah

gabah isi per malai. Hal ini terlihat dari masing-masing perlakuan menunjukkan perbedaan yang tidak nyata.

Keadaan ini diduga disebabkan karena masing-masing varietas tidak mampu menunjukkan keunggulannya

dalam memanfaatkan lingkungan yang berbeda akibat adanya perbedaan sistem tanam. Demikian juga

terhadap bobot 1000 biji, masing-masing perlakuan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. Hal ini diduga

karena faktor genetis dari masing-masing varietas.

Interaksi antara perlakuan varietas dengan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang nyata

terhadap hasil gabah kering panen. Hasil gabah kering panen tertinggi terlihat pada varietas Cimelati yang

ditanam dengan sistem tanam legowo 2:1, yaitu 8,15 ton GKP ha-1

. Varietas Cimelati merupakan varietas

unggul semi PTB dengan keunggulan jumlah anakan sedikit, tapi semua produktif dengan jumlah gabah isi

Page 125: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

163

per malai yang lebih banyak bila dibandingkan dengan varietas lainnya. Jumlah malai persatuan luas dan

jumlah gabah per malai merupakan 2 dari 4 komponen hasil yang menentukan hasil padi. Varietas unggul

baru mempunyai anakan 20-25 anakan, namun hanya 14-15 anakan yang malainya dapat dipanen, dengan

jumlah gabah 100-130 butir per malai. Sebaliknya PTB yang mempunyai anakan yang sedikit akan

mempunyai saat pembungaan dan panen yang serempak, dan malai lebih seragam. Anakan yang sedikit juga

mempunyai korelasi dengan jumlah gabah per malai lebih banyak. Maka dengan jumlah anakan 10 dengan

200 gabah per malai akan mempunyai hasil yang lebih banyak dibanding dengan anakan 15 dengan 100

gabah per malai (Abdullah, 2004). Sedangkan sistem tanam legowo 2:1 akan menjadikan semua barisan

rumpun tanaman berada pada bagian pinggir, dengan kata lain seolah-olah semua rumpun tanaman berada di

pinggir galengan, sehingga semua tanaman mendapat efek samping (border effect), dimana tanaman yang

mendapat efek samping produksinya lebih tinggi dari yang tidak mendapat efek samping (Tryni et al., 2004).

Tanaman yang mendapat efek samping, menjadikan tanaman mampu memanfaatkan faktor-faktor tumbuh

yang tersedia seperti cahaya matahari, air dan CO2 dengan lebih baik untuk pertumbuhan dan pembentukan

hasil, karena kompetisi yang terjadi relatif kecil (Harjadi, 1979). Hasil penelitian yang sama juga

dikemukakan oleh Khairuddin (2005) yang mendapatkan hasil tertinggi pada varietas Ciherang didapat

dengan sistem tanam legowo 2:1 yaitu 5,5 t GKG ha-1

, kemudian diikuti oleh sistem tanam legowo 4:1,

tandur jajar dengan jarak tanam 20 x 20 cm dan cara petani dengan hasil padi berturut-turut 5,4 t GKG ha-1

;

5,3 t GKG ha-1

dan 5,2 t GKG ha-1

.

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan

diantaranya :

1. Perlakuan varietas menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman

dan bobot 1000 biji, sebaliknya menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap jumlah anakan per

rumpun dan jumlah gabah isi per malai.

2. Perlakuan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05) terhadap jumlah

anakan per rumpun, jumlah gabah isi per malai dan bobot 1000 biji, tapi berpengaruh nyata (P<0,05)

terhadap tinggi tanaman.

3. Interaksi perlakuan varietas dengan sistem tanam menunjukkan pengaruh yang nyata terhadap hasil

gabah kering panen. Hasil gabah kering panen tertinggi terlihat pada kombinasi perlakuan varietas

dengan sistem legowo 2:1 dengan tingkat hasil yang diperoleh 8,15 t GKP ha-1

.

DAFTAR PUSTAKA

Abdullah, B. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya. Makalah disampaikan pada Pelatihan

Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret-3 April

2004, di Balitpa, Sukamandi.

Abdurrachman, S. 2004. Teknologi budidaya padi tipe baru. Makalah disampaikan pada Pelatihan

Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret-3 April

2004, di Balitpa, Sukamandi.

Anonimous. 2003. Padi Varietas Unggul Tipe Baru: anjuran budidaya dan daerah pengembangan. Balitpa.

Badan Litbangtan.

Badan Pusat Statistik 2000. Statistik Indonesia 1999. Jakarta-Indonesia.

Gomez and Gomez. 1984. Statistical Procedures for Agricultural Research. Second Edition. An International

Rice Research Instute Book. A Wiley Interscience Publ. John Wiley and Sons. New York. 680 p.

Harjadi, S.S. 1979. Pengantar Agronomi. Gramedia. Jakarta. 198 hlm.

Hasanuddin, A. 2004. Pengelolaan tanaman padi terpadu; suatu strategi pendekatan teknologi spesifik lokasi.

Makalah disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB)

Fatmawati dan VUB Lainnya 31 Maret-3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi.

Khairuddin. 2005. Perbaikan teknologi budidaya padi melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu

(PTT) di lahan sawah irigasi kabupaten Tabalong. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi

Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian.

Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 2000-2005.

Triny S. Kadir, E. Suhartatik dan E. Sutisna. 2004. Petunjuk teknis budidaya PTB cara PTT. Makalah

disampaikan pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan

VUB Lainnya 31 Maret-3 April 2004, di Balitpa, Sukamandi.

Page 126: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

164

UJI ADAPTASI GALUR-GALUR HARAPAN PADI DI BALI

IB. Aribawa, AANB. Kamandalu dan IB. Swastika

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

ABSTRAK

Adaptasi galur-galur harapan padi telah dilaksanakan di lahan sawah Subak Kukuh, Kabupaten Tabanan, Bali

pada MT 2005. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui kemampuan adaptasi dari beberapa galur harapan

padi sawah yang terpilih. Kemampuan adaptasi yang diukur disini adalah kemampuan galur harapan untuk tumbuh dan

berproduksi. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 16 perlakuan dan tiga kali ulangan. Galur harapan yang diuji meliputi: (1) RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3; (2) RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1; (3) BPT 164c-68-

7-3-2; (4) S3423-PN-4; (5) BP 925-2E-3-2; (6) S 3382-3F-3-1-3; (7) S-4850-9F-6; (8) BP 940-1D-KN-10-SI-31-3; (9) S

4653-1D-4-1-2-2; (10) S 4616E-PN-7-3; (11) RUTTST69B-3-3-1-3-5; (12) IR73885-1-4-3-2-1-6; (13) RUTTSG-69-1B-

1-1-3-2-1; dengan tiga varietas pembanding: (14) Tukad Unda; (15) Ciherang dan (16) IR-64. Parameter tanaman yang diukur adalah: pertumbuhan tanaman, komponen hasil dan hasil padi. Hasil penelitian menunjukkan perlakuan galur

harapan menunjukkan pengaruh yang tidak nyata (P>0,05) terhadap pertumbuhan tanaman (tinggi tanaman), tapi

berpengaruh nyata sampai sangat nyata terhadap komponen hasil dan hasil padi yang diamati. Hasil padi tertinggi terlihat

pada galur harapan BP 925-2E-3-2 yaitu 8,26 ton GKG/ha.

Kata kunci : adaptasi, galur harapan, lahan sawah.

PENDAHULUAN

Pertanaman padi di Indonesia tersebar di beberapa agroekosistem, seperti lahan sawah irigasi, tadah

hujan, lahan kering dan lahan pasang surut. Secara nasional produksi padi sebagian besar atau 98%

kontribusinya dari lahan sawah, sedangkan lahan kering dan lahan pasang surut sumbangannya kurang dari

10% (Hasanudin, 2004). Sumbangan produksi padi di lahan sawah sekitar 60-70% berasal dari lahan sawah

irigasi. Di lain pihak produktivitas padi di lahan sawah irigasi relatif cukup tinggi (6-7 t/ha-1

), sehingga

peningkatan selanjutnya semakin sulit yang mengakibatkan terjadinya pelandaian produktivitas padi terutama

di daerah-daerah penghasil padi.

Pelandaian produktivitas padi di lahan sawah irigasi dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara

lain, penurunan kandungan bahan organik, penurunan penambatan N2 udara pada lahan sawah, penurunan

kapasitas penyediaan hara, N, P dan K dalam tanah, penimbunan senyawa toksik bagi tanaman (H2S), asam-

asam organik, ketidak seimbangan penyediaan hara, kahat hara mikro (Cu, Zn, Fe dan S), penyimpangan

iklim, tekanan biotik dan kemampuan genetik varietas terbatas (Puslitbangtan, 2001). Selanjutnya Budianto

(2002) menyebutkan bahwa pelandaian produktivitas padi juga disebabkan oleh karena sulitnya

meningkatkan potensi hasil padi dari varietas unggul yang telah ada dan ditanam secara luas oleh petani,

seperti IR-64 dan varietas unggul baru lainnya.

Sebagai komponen penting teknologi usahatani, varietas unggul telah terbukti kehandalannya dalam

meningkatkan produksi padi. Di Indonesia hingga kini telah dilepas lebih dari 170 varietas unggul padi.

Varietas unggul padi nasional yang telah berkembang dikalangan petani saat ini didominasi oleh IR-64 dan

Ciherang. Kelemahan varietas unggul yang ada saat ini di petani, terutama IR-64 antara lain, kurang tahan

terhadap hama wereng coklat Biotipe 3, tungro, kesenjangan hasil pada musim hujan dan kemarau relatif

tinggi, tidak toleran terhadap keracunan besi dan suhu rendah (Simanulang et al., 1995).

Walaupun telah banyak varietas unggul, yang dilepas sebagian besar merupakan VUB nasional.

Oleh karena itu sejak tahun 2001 dilakukan kegiatan suttle breeding atau pemuliaan partisipatif antara BPTP

Bali dengan Balitpa, yang bertujuan untuk mendapatkan VUB padi spesifik lokasi (Drajat, 2001).

Pembentukan ataupun perakitan varietas unggul spesifik lokasi akan terwujud apabila tersedia galur-galur

harapan hasil persilangan ataupun galur harapan hasil introduksi.

Pembentukan varietas baru spesifik lokasi merupakan tujuan utama suttle breeding. Melalui

kegiatan ini, diharapkan sejumlah galur generasi awal dan menengah cepat diketahui keunggulan sifat-sifat

spesifiknya seperti daya hasil, daya adaptasi dan kesesuaian agroekologinya. Hasil pengujian terhadap galur-

galur harapan di delapan kabupaten/lokasi di Bali pada MK 2004, menunjukkan bahwa terdapat empat galur

harapan memiliki produktivitas (GKG) cukup tinggi, yaitu: MLS-04-5; MLS-04-1; MLS-04-11 dan MLS-04-

4 (Suharyanto dan Rubiyo, 2005).

Page 127: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

165

Bertitik tolak dari hal tersebut di atas, maka perlu dilakukan pengujian lanjutan untuk melihat

stabilitas hasil dari galur-galur harapan tersebut pada MK 2005. Tujuan dari kegiatan ini adalah mendapatkan

galur harapan yang memiliki daya adaptasi baik, tahan hama dan penyakit, potensi hasil tinggi untuk dilepas

sebagai calon varietas unggul baru spesifik lokasi.

BAHAN DAN METODE

Rancangan Percobaan

Dalam percobaan ini digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 16 perlakuan diulang

tiga kali. Sebagai perlakuan adalah 13 galur harapan yang di uji adaptasinya diantaranya: (1) RUTTSG 168-

3b-1-1-3-1-1-3; (2) RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1; (3) BPT 164c-68-7-3-2; (4) S3423-PN-4; (5) BP 925-2E-3-

2; (6) S 3382-3F-3-1-3; (7) S-4850-9F-6; (8) BP 940-1D-KN-10-SI-31-3; (9) S 4653-1D-4-1-2-2; (10) S

4616E-PN-7-3; (11) RUTTST69B-3-3-1-3-5; (12) IR73885-1-4-3-2-1-6; (13) RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1;

dengan tiga varietas pembanding: (14) Tukad Unda; (15) Ciherang dan (16) IR64.

Percobaan dilaksanakan di lahan sawah, subak Kukuh, Desa Kukuh, kecamatan Tabanan, kabupaten

Tabanan, pada MK 2005.

Pemilihan wilayah kegiatan berdasarkan pengalaman dari penelitian sebelumnya, bekerjasama

dengan instansi terkait seperti Diperta dan BPP. Sedangkan pemilihan petani kooperator juga berdasarkan

masukan dari instansi terkait dan arahan dari ketua kelompok tani setempat, sehingga diperoleh petani yang

respon terhadap teknologi baru.

Pelaksanaan Penelitian

Setelah pengolahan tanah dilakukan, maka petak berukuran 3 m x 4 m dibuat pada petak alami milik

petani, masing-masing ulangan ditempatkan pada petak alami petani yang berbeda. Bibit padi yang telah

berumur 15 hari ditanam dengan jarak tanam 25 cm x 25 cm dengan 2-3 bibit per lubang. Sebagai pupuk

dasar diberikan pupuk Urea 300 kg ha-1

, 100 kg ha-1

SP-36 dan 100 kg ha-1

KCl. Pupuk Urea diberikan tiga

kali, sedangkan pupuk SP-36 diberikan satu kali dan pupuk KCl diberikan dua kali. Pupuk Urea dengan dosis

100 kg ha-1

, seluruh pupuk SP-36 dan setengah bagian KCl diberikan tujuh hari setelah tanam, sedang sisa

KCl dan 100 kg ha-1

Urea diberikan 30 hari setelah tanam dan sisa Urea berikutnya diberikan 42 hari setelah

tanam.

Pengendalian hama dan penyakit menggunakan konsep PHT, sedangkan pengendalian gulma

menggunakan cara mekanis, menyesuaikan dengan keadaan tanaman.

Pengumpulan Data dan Analisis Data

Parameter tanaman yang diamati dalam penelitian ini adalah :

Umur panen, yaitu jumlah hari sejak sebar sampai saat 50 % dari tanaman dalam petak percobaan siap

panen.

Tinggi tanaman, yaitu rerata tinggi tanaman dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak pada

setiap petak

Jumlah malai per rumpun, yaitu rerata jumlah malai dari 10 rumpun contoh yang ditentukan secara acak

Jumlah gabah isi dan gabah hampa, yaitu rerata jumlah gabah isi dan gabah hampa dari tiga rumpun

contoh yang diambil secara acak untuk jumlah malai per rumpun

Bobot 1000 butir gabah isi, yaitu bobot 1000 biji gabah kering bersih kadar air tertentu (14%).

Hasil gabah per plot, yaitu bobot gabah yang dipanen dari petak percobaan netto (petak percobaan

setelah dikurangi satu baris tanaman pinggir sekeliling petak percobaan).

Data yang dikumpulkan dianalisis secara sidik ragam. Uji rata-rata pengaruh perlakuan dalam hal ini

galur harapan dilakukan dengan uji BNT pada taraf 5 % (Gomez dan Gomez, 1984).

Page 128: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

166

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis statistik terhadap pertumbuhan tanaman dan komponen hasil, seperti tinggi tanaman dan

jumlah malai disajikan pada Tabel 1, galur harapan yang dicoba menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda

nyata (P > 0,05) terhadap tinggi tanaman. Tinggi tanaman masing-masing galur harapan dan varietas

pendampingnya bervariasi. Rata-rata tinggi tanaman galur harapan terpilih yang diperoleh bervariasi antara

102,11-117,44 cm. Tinggi tanaman tertinggi terlihat pada galur harapan no. 3 yaitu BPT164c-68-7-3-2 dan

terendah terlihat pada galur harapan no. 9 yaitu S4653-1D-4-1-2-2 (Tabel 1). Sedangkan tinggi tanaman

varietas pendamping berkisar antara 102,78-107,89 cm.

Hasil analisis statistik terhadap jumlah anakan produktif per rumpun menunjukkan galur harapan

yang dicoba menunjukkan pengaruh yang tidak berbeda nyata (P>0,05). Jumlah anakan produktif masing-

masing galur harapan bervariasi. Jumlah anakan produktif terendah dihasilkan oleh galur harapan no. 10

(S4616E-PN-7-3) yaitu 19,22 batang per rumpun dan yang terbanyak dihasilkan oleh galur harapan no. 7

( S4850-9F-6). yaitu, 27,22 batang per rumpun (Tabel 1).

Tabel 1. Rata-rata Tinggi Tanaman dan Jumlah Malai Beberapa Galur Harapan Padi Sawah di Subak Kukuh, Tabanan

MK. 2005.

No No. Galur Kode Galur Tinggi tan (cm) Jumlah malai rumpun-1

1 2

3

4

5 6

7

8

9 10

11

12

13 14

15

16

RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3 RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1

BPT 164c-68-7-3-2

S3423-PN-4

BP 925-2E-3-2 S 3382-3F-3-1-3

S-4850-9F-6

BP 940-1D-KN-10-SI-31-3

S 4653-1D-4-1-2-2 S 4616E-PN-7-3

RUTTST69B-3-3-1-3-5

IR73885-1-4-3-2-1-6

RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1 Tukad Unda

Ciherang

IR64

MLS-05-1 MLS-05-2

MLS-05-3

MLS-05-4

MLS-05-5 MLS-05-6

MLS-05-7

MLS-05-8

MLS-05-9 MLS-05-10

MLS-05-11

MLS-05-12

MLS-05-13 MLS-05-14

MLS-05-15

MLS-05-16

112,22a 107,89a

117,22a

108,78a

106,45a 105,89a

105,78a

102,56a

102,11a 112,33a

110,33a

103,78a

110,44a 105,76a

102,78a

107,89a

27,11a 23,89a

23,45a

22,33a

20,22a 23,11a

27,22a

24,89a

19,78a 19,22a

19,33a

20,11a

23,22a 25,78a

21,00a

19,78a

KK (%) - 5,30 16,30

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

DMRT 5%.

Hasil analisis statistik terhadap jumlah gabah isi dan hampa per rumpun disajikan pada Tabel 2.

Perlakuan galur harapan yang dicoba menunjukka pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap jumlah gabah isi

dan hampa per malai. Hasil pengamatan menunjukkan, jumlah gabah isi dan gabah hampa per malai masing-

masing galur harapan terpilih bervariasi. Untuk jumlah gabah isi per malai tertinggi dihasilkan oleh galur

harapan no. 5 (BP925-2E-3-2) yaitu 120,84 butir per malai dan berbeda nyata bila dibandingkan dengan

galur-galur harapan yang lainnya, juga dengan varietas padi pembandingnya. Sedangkan jumlah gabah isi

terrendah dihasilkan oleh galur harapan no. 12 (IR73885-14-3-2-1-6) yaitu 66,73 butir per malai. Sedangkan

untuk jumlah gabah hampa per malai tertinggi dihasilkan oleh galur harapan no. 12 (IR73885-14-3-2-1-6)

yaitu, 41,13 butir per malai dan jumlah gabah hampa per malai terrendah dihasilkan oleh varietas Ciherang,

yaitu 20,00 butir per malai.

Umur panen masing-masing galur harapan terpilih disajikan pada Tabel 3. Umur panen masing-

masing galur berbeda dan berkisar antara 102-107 hari.

Hasil analisis yang dilakukan terhadap hasil gabah kering giling (GKG) dan bobot 1000 biji masing-

masing galur harapan dan varietas pembandingnya disajikan pada Tabel 3. Perlakuan galur harapan yang

dicoba menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap hasil gabah kering giling KA. 14%. Hasil gabah

kering dalam bentuk gabah kering giling (GKG) k.a. 14% yang diperoleh bervariasi. Hasil padi tertinggi

dihasilkan oleh galur harapan (GH) no. 5 (BP952-2E-3-2) yaitu, 8,26 ton per hektar dan hanya berbeda nyata

dengan galur harapan no. 3 (BPT164c-68-7-3-2); no. 10 (S4616E-PN-7-3); dan no. 12 ( IR73885-1-4-3-2-1-

6) dan hasil padi terrendah dihasilkan oleh galur harapan no. 12 ( IR73885-1-4-3-2-1-6) yaitu, 3,89 ton per

kektar (Tabel 3).

Page 129: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

167

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Gabah Isi dan Jumlah Gabah Hampa pada Beberapa Galur Harapan Padi Sawah di Subak

Kukuh, Tabanan MT. 2005.

No No. Galur Kode Galur Jml gabah isi malai-1 Jml gabah hampa malai-1

1 2

3

4

5

6

7

8

9 10

11

12

13 14

15

16

RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3 RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1

BPT 164c-68-7-3-2

S3423-PN-4

BP 925-2E-3-2

S 3382-3F-3-1-3

S-4850-9F-6

BP 940-1D-KN-10-SI-31-3

S 4653-1D-4-1-2-2 S 4616E-PN-7-3

RUTTST69B-3-3-1-3-5

IR73885-1-4-3-2-1-6

RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1 Tukad Unda

Ciherang

IR64

MLS-05-1 MLS-05-2

MLS-05-3

MLS-05-4

MLS-05-5

MLS-05-6

MLS-05-7

MLS-05-8

MLS-05-9 MLS-05-10

MLS-05-11

MLS-05-12

MLS-05-13 MLS-05-14

MLS-05-15

MLS-05-16

79,39a-e 80,41a-e

77,39a-d

81,76b-e

120,84g

90,52def

72,76ab

103,77f

71,91ab 74,72abc

87,95cde

66,73a

93,63ef 78,34a-d

79,48a-e

85,16b-e

31,37ef 34,43fg

29,13de

25,31bcd

29,11de

27,51cde

24,87bcd

24,06abc

23,32abc 38,88h

21,53ab

41,13h

37,60gh 21,29ab

20,00a

33,99fg

KK (%) - 9,20 12,90

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

DMRT 5%.

Hasil analisis statistik terhadap bobot 1000 biji disajikan pada Tabel 3. Perlakuan galur harapan

menunjukkan pengaruh yang nyata (P<0,05) terhadap bobot 1000 biji. Pada Tabel 3 terlihat, bobot 1000 biji

masing-masing galur harapan bervariasi. Variasi bobot 1000 biji yang dihasilkan berkisar antara 23,50-28,93

gram. Wawancara dengan petani di sekitar lokasi pengkajian menunjukkan, para petani lebih tertarik dengan

penampilan galur harapan no. 3 (BPT164c-68-7-3-2).

Tabel 3. Rata-rata umur panen, hasil padi dan bobot 1000 biji pada beberapa galur harapan padi sawah di subak Kukuh,

Tabanan MT. 2005.

No No. Galur Kode Galur Umur panen (hari) Hasil padi (t

GKG ha-1)

Bobot 1000

biji (g)

1

2

3

4 5

6

7

8 9

10

11

12 13

14

15

16

RUTTSG 168-3b-1-1-3-1-1-3

RUTTST 96b-15-1-2-2-2-1

BPT 164c-68-7-3-2

S3423-PN-4 BP 925-2E-3-2

S 3382-3F-3-1-3

S-4850-9F-6

BP 940-1D-KN-10-SI-31-3 S 4653-1D-4-1-2-2

S 4616E-PN-7-3

RUTTST69B-3-3-1-3-5

IR73885-1-4-3-2-1-6 RUTTSG-69-1B-1-1-3-2-1

Tukad Unda

Ciherang

IR64

MLS-05-1

MLS-05-2

MLS-05-3

MLS-05-4 MLS-05-5

MLS-05-6

MLS-05-7

MLS-05-8 MLS-05-9

MLS-05-10

MLS-05-11

MLS-05-12 MLS-05-13

MLS-05-14

MLS-05-15

MLS-05-16

102

103

102

105 105

105

105

105 105

102

107

105 105

105

105

105

7,16ab

7,42ab

5,51bc

7,23ab 8,26a

7,87a

6,25abc

8,03a 6,23abc

5,46bc

7,85a

5,07c 7,97a

7,12ab

7,20ab

7,45a

24,47bc

24,53bc

23,50c

25,73bc 26,63ab

28,93a

25,63bc

26,33abc 25,47bc

26,37ab

25,13bc

24,90bc 25,80bc

27,50ab

26,40abc

26,50abc

KK (%) - - 15,00 6,00

Keterangan : Angka-angka pada kolom yang sama yang diikuti oleh huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf uji

DMRT 5%.

Adanya variasi dari hasil pengamatan terhadap pertumbuhan, komponen hasil dan hasil padi

beberapa plasma nutfah (galur harapan) tanaman padi yang ditanam di subak Kukuh dimungkinkan karena

sifat genetis dari masing-masing plasma nutfah (galur harapan) tanaman padi yang ditanam berbeda. Masing-

masing plasma nuftah (galur harapan) tanaman padi menunjukkan kemampuannya sendiri dalam

memanfaatkan lingkungan dimana tanaman tersebut tumbuh dan berkembang.

Page 130: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

168

KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian dan uraian pembahasan yang dilakukan, maka dapat ditarik kesimpulan

diantaranya :

1. Perlakuan galur-galur harapan dan varietas padi yang dicoba daya adaptasinya tidak menunjukkan

perbedaan yang nyata (P>0,05) terhadap tinggi tanaman, tapi menunjukkan perbedaan yang nyata

(P<0,05) terhadap komponen hasil dan hasil padi.

2. Hasil gabah kering giling tertinggi, dihasilkan oleh galur harapan no. 5 (BP925-2E-3-2) dengan tingkat

hasil 8,26 t GKG ha-1

.

3. Hasil wawancara dengan petani, menunjukkan, petani lebih tertarik dengan tampilan tanaman galur

harapan no. 3 (BPT164c-68-7-3-2).

4. Untuk melihat stabilitas hasil maka galur-galur harapan yang telah terpilih ini, perlu di uji lagi pada

musim tanam berikutnya.

DAFTAR PUSTAKA

Budianto. 2003. Penelitian Padi : menuju revolusi hijau lestari. Balitpa. Puslitbangtan. Balitbangtan.

Drajat, A.A. 2001. Program pemuliaan partisipatif (suttle breeding dan uji multilokasi). Bahan Lokakarya

Pernyelarasan Perakitan Varietas Unggul Komoditas HortikulturaMelalui Penerapan Suttle

Breeding. Puslitbanghort, Jakarta, 19-20 April 2001.

Hasanudin, A. 2004. Pengelolaan tanaman Terpadu; suatu strategi pendekatan spesifik lokasi. Disampaikan

pada Pelatihan Pengembangan Varietas Unggul Tipe Baru (VUTB) Fatmawati dan VUB Lainnya.

31 Maret – 3 April 2004 di Balitpa Sukamandi.

Puslitbangtan. 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu : pendekatan inovatif system produksi padi. Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Vol 23 (2). Badan Litbangtan. Puslitbangtan. Bogor.

Simanulang, ZA., Tjubaryat dan E. Suamadi. 1995. pemanduan beberapa sifat baik IR64. Pros. Seminar

Apresiasi Hasil Penelitian Padi. Balitpa, Sukamandi.

Suharyanto dan Rubiyo. 2005. Keragaan galur-galur padi sawah pada pengujian multi lokasi MK 2004 di

Bali. Proseding Seminar Nasional Optimalisasi Teknologi Kreatif dan Peran Stakeholder Dalam

Percepatan Adopsi Inovasi Teknologi Pertanian. Pusat Sosial Ekonomi dan Kebijakan Pertanian

Bekerjasama dengan BPTP Bali. Hlm. 287-292.

Page 131: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

169

KAJIAN BUDIDAYA SAWI HIJAU DI LAHAN SAWAH IRIGASI SETELAH PANEN PADI

I.B.K. Suastika, A.A.N.B. Kamandalu, I Ketut Kariada dan I.G.K. Dana Arsana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Bali

ABSTRAK

Budidaya sawi hijau dengan memanfaatkan lahan setelah panen padi pada lahan sawah irigasi pada umumnya

dilakukan oleh sebagian besar petani di Kabupaten Tabanan dan Kecamatan Tabanan khususnya. Penelitian dilakukan di

Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan dari bulan Mei sampai Juni 2006. Penelitian bertujuan untuk mengkaji produktivitas

dan besarnya pendapatan yang diterima petani dari budidaya sawi hijau setelah panen padi pada lahan sawah irigasi. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dengan 5 perlakuan Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6

kali. Perlakuan dimaksud adalah mencampur benih sawi dengan urea sebelum disebar dengan perbandingan (1) 100g

benih: 2 kg Urea (P1); (2) 100:3 (P2); (3) 100:4 (P3) dan 100:5 (P4). Benih yang telah dicampur dengan urea kemudian

di tanam dengan cara disebar merata pada bedengan berukuran 1,5 m. Pemupukan menggunakan urea sebanyak 6 kg/are yang diberikan pada 14 hari setelah tanam (hst). Penyiangan dan pengairan dilakukan sesuai dengan kebutuhan.

Parameter yang diamati meliputi keragaan tanaman (tinggi tanaman, jumlah daun/tanaman, lebar daun dan panjang

daun), jumlah tanaman/m2 dan hasil. Hasil penelitian menunjukkan bahwa lebar daun dan panjang daun sawi hijau yang

diberi perlakuan P1, P2 dan P3 lebih besar dan berbeda nyata dibanding P4 yaitu 11,44 cm, 12,13 cm, 11,62 cm dan 17,03 cm, 18,41 cm, 16,8 cm dibanding dengan 9,52 cm dan 13,99 cm. Perlakuan P1, P3 dan P4 meningkatkan jumlah

tanaman/m2 dan hasil/m2 dan bebeda nyata dibanding dengan P2 yaitu 116,33, 139,33, 123,67 dan 1970 g, 2416,33 g,

1883,33 g dibanding dengan 87 dan 1790,11 g. Keuntungan yang diperoleh petani dalam satu kali musim tanam dari

budidaya sawi hijau setelah panen padi pada lahan sawah irigasi dalam luasan 2 are (0,02 ha) berkisar antara Rp. 2.518.150,- sampai 1.423.750,-.

Kata kunci : sawi hijau, budidaya, pendapatan petani, lahan sawah irigasi

PENDAHULUAN

Menurut hasil kajian, pendapatan rumah tangga tani pada daerah dengan usahatani berbasis non padi

umumnya lebih tinggi dibandingkan dengan daerah berbasis padi. Perkembangan ekonomi berbasis padi di

lahan sawah juga menunjukkan kejenuhan bahkan dari segi produktivitas telah terjadi levelling off.

(Anonimus, 2005) Beberapa permasalahan pokok yang menyebabkan kejenuhan usahatani di lahan sawah

diantaranya adalah: (1) rata-rata penguasaan lahan kecil dan bahkan makin mengecil; (2) semakin terbatasnya

kapasitas ekonomi usahatani padi dalam meningkatkan produktivitas dan pendapatan petani; (3)

terhambatnya upaya diversifikasi akibat kendala teknis, sosial dan ekonomi.

Untuk mengantisipasi tantangan tersebut di atas, petani sawah di Bali khususnya telah lama

melakukan kegiatan usahatani non padi dengan mengusahakan tanaman sayuran berumur pendek setelah

panen padi. Tanaman sayuran yang cukup potensial diusahakan dan memberikan keuntungan yang cukup

tinggi adalah sawi hijau (caisim), mentimun, kacang panjang, bayam potong, dan ―gonda‖ (sayuran khas

Bali). Diantara tanaman sayuran tersebut, caisim yang paling banyak diusahakan karena ditinjau dari aspek

teknis budidaya caisim relatif lebih mudah dibandingkan dengan jenis tanaman hortikultura lainnya.

Dari segi pengusahaan, caisim cukup menjanjikan keuntungan yang lebih baik. Sebagai contoh,

pengusahaan caisim seluas 2 are (0,02 ha) dengan teknik sebar benih langsung (tanpa pesemaian) dapat

dihasilkan 4-5 kwintal atau rata-rata 4,5 kwintal sayur segar pada musim kemarau per periode penanaman.

Dengan harga rata-rata Rp. 1500/kg maka akan diperoleh keuntungan tidak kurang dari Rp. 675. 000.

Haryanto dkk (2005) melaporkan bahwa dari pengusahaan caisim seluas 1 ha dengan rata-rata produksi 25

ton sayur segar dengan rata-rata harga Rp. 100/kg keuntungan yang diperoleh tidak kurang dari Rp.

13.000.000 pada musim kemarau per periode penanaman.

Pengembangan berbagai tanaman hortikultura, khususnya penanaman caisim, mentimun, kacang

panjang, bayam potong, dan ‖gonda‖ setelah padi dapat ditingkatkan, namun masih belum seimbang dengan

permintaan pasar. Keadaan ini dimungkinkan antara lain sebagai akibat peningkatan jumlah penduduk,

perbaikan pendapatan dan peningkatan kesadaran gizi masyarakat. Selain itu di kota-kota besar tumbuh

permintaan pasar yang menghendaki kualitas yang baik dengan berbagai jenis yang lebih beragam.

Konsekuensi dari kebutuhan yang demikian menyebabkan permintaan beberapa jenis sayuran meningkat

(Pabinru, 1991). Permintaan terhadap komoditas sayuran yang meningkat tersebut menghendaki penanganan

yang optimal, baik dari segi produksi, panen dan pasca panen, pemasaran dan pendekatan aspek kelembagaan.

Page 132: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

170

Kondisi tersebut di atas dibenarkan oleh Baharsyah (1990), yang menyatakan bahwa pola

permintaan pangan dan hortikultura secara umum akan tetap meningkat dengan percepatan disekitar

pertumbuhan penduduk dan elastisitas pendapatan yang sudah mengecil. Demikian pula komposisi menu

makanan rumah tangga akan berubah secara dinamis kearah peningkatan proporsi konsumsi hasil-hasil

peternakan, perikanan dan hortikultura, sehingga terjadi keseimbangan konsumsi karbohidrat, protein dan

vitamin serta mineral yang lebih baik. Sementara itu Pasandaran dan Hadi (1994) melaporkan bahwa

konsumen sayuran sebagian besar adalah masyarakat perkotaan, dimana rata-rata konsumsi sayuran

masyarakat kota perkapita adalah 6,9% lebih tinggi daripada masyarakat desa, yaitu mencapai 29-32

kg/kapita/tahun dari anjuran 60 kg/kapita/tahun. Dengan demikian pengeluaran untuk pangan di pedesaan

lebih kecil dari pada perkotaan. Hal yang menarik terjadi adalah semakin tinggi pengeluaran rumah tangga

maka semakin tinggi pula pengeluaran untuk sayuran dan buah (Gatoet & Arifin, 1992). Kondisi ini

memberikan prospek bagi pengembangan usahatani sayuran di daerah pedesaan yang memiliki nilai

ekonomis serta memiliki orientasi pasar.

Sementara itu produktivitas dan keuntungan yang diperoleh dari usahatani caisim setelah padi

dengan teknik sebar langsung yang biasa dilakukan oleh petani rendah. Karena itu diperlukan adanya inovasi

teknologi terutama dalam teknik penanaman untuk memperoleh perlakuan (perbandingan benih caisim dan

urea) sebelum disebar yang memberikan produktivitas yang paling optimal. Tujuan penelitian adalah untuk

mengkaji produktivitas dan keuntungan yang diperoleh petani dari budidaya caisim setelah panen padi pada

lahan sawah irigasi melalui perbaikan teknik penanaman.

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilakukan di lahan sawah irigasi setelah panen padi di Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan,

Kabupaten Tabanan dari bulan Mei sampai Juni 2006. Rancangan percobaan yang digunakan adalah

rancangan acak kelompok dengan 4 perlakuan. Masing-masing perlakuan diulang sebanyak 6 kali.

Perlakuan dimaksud adalah mencampur benih sawi dengan urea sebelum disebar dengan perbandingan (1)

100 g benih: 2 kg Urea (P1); (2) 100:3 (P2); (3) 100:4 (P3) dan 100:5 (P4). Benih yang telah dicampur

dengan urea kemudian di tanam dengan cara disebar merata pada bedengan berukuran 1,5 m dalam luasan

kurang lebih 2 are (0,02 ha). Pemupukan dengan urea diberikan pada 14 hari setelah tanam (hst) dengan

dosis 6 kg/0,01m2 (600 kg/ha). Penyiangan dilakukan secara mekanis pada 14 hst. Kegiatan panen dilakukan

pada 30 hst.

Parameter yang diukur meliputi tinggi tanaman, jumlah daun/tanaman, lebar dan panjang daun dari

5 sampel tanaman serta jumlah tanaman/m2

dan hasil diukur dari 3 sampel dari masing-masing perlakuan.

Data yang terkumpul dari masing-masing parameter yang diamati kemudian dianalisis dengan menggunakan

program SPSS 11.00, yang dilanjutkan dengan uji Duncan pada taraf kepercayaan 95%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa keragaan pertumbuhan tanaman caisim sangat dipengaruhi

oleh perlakuan terutama terhadap ukuran lebar dan panjang daun, tetapi tidak berpengaruh terhadap tinggi

tanaman dan jumlah daun/tanaman (Tabel 1).

Tabel 1. Keragaan Tanaman Sawi Hijau yang Diusahakan Setelah Panen Padi pada Lahan Sawah Irigasi di Subak

Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali. 2006.

Perlakuan Tinggi

Tanaman(cm)

Jml daun/

Tanaman

Lebar

Daun(cm)

Panjang

Daun(cm)

P1 = 100 g benih sawi + 2 kg urea 39,81 a 6,13 a 11,44 ab 17,03 b

P2 = 100 g benih sawi + 3 kg urea 37,66 a 6,59 a 12,13 b 18,41 b

P3 = 100 g benih sawi + 4 kg urea 39,31 a 6,20 a 11,62 b 16,8 ab

P4 = 100 g benih sawi + 5 kg urea 38,90 a 5,73 a 9,52 a 13,99 a

Keterangan : Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada uji

Duncan.

Pada perlakuan P1, P2 dan P3 menunjukkan ukuran lebar dan panjang daun caisim lebih besar dan

berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P4 yaitu 11,44 cm; 12,13 cm; 11,62 cm dibandingkan dengan

9,52 cm dan 17,03 cm; 18,41; 16,8 cm dibandingkan dengan 13,99 cm. Lebih tingginya ukuran lebar dan

panjang daun caisim pada perlakuan P1, P2, dan P3 dibandingkan dengan P4 menunjukkan kecenderungan

Page 133: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

171

lebih disebabkan karena pengaruh jumlah populasi tanaman per satuan luas (kerapatan tanaman/m2). Pada

perlakuan P1, P2 dan P3 jumlah populasi tanaman/m2 cenderung lebih sedikit dibanding dengan perlakuan

P4 (Tabel 2) sehingga mengurangi adanya persaingan dalam hal unsur hara, air dan sinar matahari. Hal ini

terkait dengan teknik penanaman tanpa melalui proses pesemaian sehingga berdampak kurang baik terhadap

pertumbuhan tanaman. Hal senada juga dilaporkan oleh Haryanto dkk (2005) bahwa penanaman sawi yang

dilakukan tanpa melalui tahap pesemaian biasanya tumbuh rapat dan kurang teratur sehingga menyebabkan

adanya persaingan dalam menyerap unsur-unsur hara dalam tanah dan berdampak kurang baik terhadap

pertumbuhan tanaman.

Perlakuan juga mempengaruhi terhadap jumlah tanaman/m2 dan hasil caisim terutama perlakuan P3

dan berbeda nyata disbandingkan dengan perlakuan P2 yaitu 129,33 tanaman/m2 dibandingkan dengan 87,0

tanaman/m2 dan 2416,33 g/m

2 dibandingkan dengan 1790,11 g/m

2 (Tabel 2). Tetapi jumlah tanaman/m

2 dan

hasil/m2 pada perlakuan P3 tidak berbeda nyata dibandingkan dengan perlakuan P1 dan P4. Tingginya hasil

caisim yang diperoleh pada perlakuan P1, P3 dan P4 dibandingkan dengan perlakuan P2 diduga bahwa ketiga

perlakuan tersebut merupakan perlakuan yang mengakibatkan pertumbuhan tanaman caisim yang paling

optimal, sehingga kemungkinan terjadinya persaingan antara tanaman terhadap unsur hara, air dan sinar

matahari semakin kecil. Optimalnya pertumbuhan tanaman caisim secara tidak langsung akan mengakibatkan

peningkatkan hasil.

Tabel 2. Jumlah Tanaman dan Hasil Sawi Hijau yang Diusahakan Setelah Panen Padi pada Lahan Sawah Irigasi di

Subak Priyuk, Kecamatan Tabanan, Kabupaten Tabanan, Bali. 2006.

Perlakuan Jumlah tanaman/m2 Hasil (g)/m2

P1 = 100 g benih sawi + 2 kg urea 116,33 ab 1970,00 ab

P2 = 100 g benih sawi + 3 kg urea 87,00 a 1790,11 a

P3 = 100 g benih sawi + 4 kg urea 139,33 b 2416,33 b

P4 = 100 g benih sawi + 5 kg urea 123,67 b 1883,33 ab

Keterangan : Angka dalam kolom yang diikuti oleh huruf kecil yang sama tidak berbeda nyata pada taraf 5% pada uji Duncan.

Dari hasil analisis usahatani menunjukkan bahwa keuntungan yang diperoleh dari budidaya caisim

setelah padi tanpa melalui pesemaian dimana perlakuan P3 memberikan nilai keuntungan yang tertinggi

dibandingkan dengan perlakuan lainnya dan terendah perlakuan P2 (Tabel 3). Dengan harga jual rata-rata Rp.

1500,-/kg caisim segar maka perlakuan P3 memberikan keuntungan sebesar Rp.2.518.150,- dan terendah

perlakuan P2 yaitu sebesar Rp. 1.423.750,- pada musim kemarau (Mei sampai Juni) per musim tanam.

KESIMPULAN

Perlakuan P3 dalam budidaya caisim setelah panen padi (Mei sampai Juni) memberikan

produktivitas yang tertinggi (2416,33 kg/m2) per musim tanam.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 2005. Adakah Prospek Diversifikasi Usahatani di Lahan Sawan Irigasi. Warta Penelitian dan

Pengembangan Pertanian Vol. 27 (1):13-15.

Baharsyah, S. 1990. Pokok-pokok Pemikiran Repelita VI Pertanian. Pengarahan Rapat Kerja Nasional.

Departemen Pertanian Jakarta. 15-17 Januari 1990.

Gatoet, S.H. & M. Arifin. 1992. Keragaan Konsumsi Sayuran dan Buah Indonesia. Info Hortikultura. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Hortikultura. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Haryanto, E., Tina Suhartini, Estu Rahayu & Hendro Sunarjono. 2005. Sawi & Selada. Penebar Swadaya.

Jakarta. 112 hal.

Pabinru, M.A. 1991. Kebijakan Sayuran di Indonesia. Prosiding Lokakarya Nasional Sayuran. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Pasandaran, E. & P.U. Hadi. 1999. Budidaya Hidroponik Pada Tanaman Sayuran. Prosiding Pengkajian

Teknologi Usahatani Sayuran Pinggiran Perkotaan. BPTP Karangploso. Malang.

Page 134: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

172

RESPON KACANG PANJANG TERHADAP PEMUPUKAN ORGANIK DAN ANORGANIK DI

LOKASI PRIMA TANI LAHAN KERING KECAMATAN GEROKGAK KABUPATEN

BULELENG, BALI

I Nyoman Adijaya, Made Rai Yasa dan Made Sukadana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK

Kacang panjang (Vigna sinensis) merupakan salah satu komoditas yang diintroduksikan di lokasi Prima Tani di

Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Komoditas ini diharapkan dapat menjadi sumber

pendapatan harian petani setempat pada musim kemarau. Penelitian dirancang dengan percobaan faktorial dengan dua

perlakuan yaitu dosis pupuk organik (pupuk kandang sapi yang difermentasi fermentor Ruminno Bacillus) yaitu 2 ton/ha, 4 ton/ha dan 6 ton/ha, sedangkan dosis pupuk an-organik yang digunakan yaitu A: (25 kg Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50

kg KCl/ha), A2: (2 kali A1) dan A3: (2 kali A2). Hasil analisis menunjukkan terjadi interaksi antara perlakuan pupuk

organik dan anorganik yang digunakan pada variabel jumlah panen dan siklus panen sedangkan terhadap variabel rata-

rata berat buah/panen dan produksi per 100 m2 tidak terjadi interaksi. Perlakuan kombinasi pupuk organik dosis 6 ton/ha dengan dosis pupuk kimia P3: (100 kg Urea/ha, 100 kg SP-36/ha dan 200 kg KCl/ha) memberikan jumlah panen dan

siklus panen tertinggi masing-masing 19,07 kali dan 37,56 hari. Rata-rata berat buah/panen tidak berbeda nyata antar

perlakuan baik akibat pengaruh perlakuan pupuk organik dan pupuk an-organik dengan kisaran 563,31 gram - 578,78

gram/3m2. Produksi per 100 m2 meningkat akibat pemberian pupuk organik dimana penggunaan 6 ton pupuk organik/ha memberikan produksi 339,42 kg meningkat 6,30% dan 12,43% dibandingkan penggunaan 4 ton/ha dan 2 ton/ha,

sedangkan peningkatan pemberian pupuk an-organik sebanyak 100% dan 200% memberikan peningkatan produksi

masing-masing 7,06% dan 14,09% dibandingkan perlakuan P1: (25 kg Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha) yang

menghasilkan 299,61 kg/100 m2.

Kata kunci: respon kacang panjang, pupuk organik dan anorganik, lahan kering

PENDAHULUAN

Kacang panjang merupakan tanaman sayuran yang banyak dibutuhkan untuk kebutuhan sayuran

setiap hari. Pada umumnya kacang panjang banyak diusahakan di lahan sawah dan sangat jarang

dibudidayakan di lahan kering. Di Bali Utara kacang panjang banyak diusahakan di pematang sawah

bersamaan dengan tanaman padi. Pada pengusahaannya kebanyakan petani hanya menggunakan pupuk

kimia saja, sehingga apabila hal ini dilakukan secara terus-menerus akan menyebabkan terjadi

ketergantungan akan pupuk kimia dan penurunan kualitas lahan.

Kacang panjang merupakan tanaman hortikultura semusim yang diintroduksikan di lokasi Prima

Tani di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali. Hasil kajian Suratmini dkk.,

(2003) mendapatkan bahwa usahatani kacang panjang dengan pemanfaatan air embung di musim kemarau

memberikan keuntungan yang jauh lebih tinggi dibandingkan dengan usahatani tanaman pangan seperti

jagung atau kacang tanah pada luasan yang sama. Lebih lanjut Adijaya, dkk (2004) menyatakan kacang

panjang mampu memberikan tambahan pendapatan petani setempat pada musim kemarau di Desa Patas,

Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng walaupun skala usahanya sempit. Pada luasan 100 m2 mampu

menghasilkan keuntungan setara dengan sepuluh kali luas usahatani jagung, sehingga usahatani kacang

panjang menjadi pilihan petani setempat.

Introduksi kacang panjang di lokasi Prima Tani di Desa Sanggalangit diharapkan mampu

memberikan alternatif pendapatan harian petani di musim kemarau, karena adanya potensi air embung di

daerah tersebut. Pada pengusahaannya diintroduksikan teknis budidaya dengan mengoptimalkan sumberdaya

lokal yang ada seperti pemakaian pupuk kandang sehingga pemakaian input luar dapat ditekan. Hasil

pengkajian di lokasi penelitian menunjukkan pemanfaatan pupuk kandang/organik memberikan dampak

positif pada usahatani tanaman seperti peningkatan produksi bawang merah (Oktafianus, 2003) sehingga

perlu dikaji penggunaan pupuk organik dan an-organik pada usahatani kacang panjang. Selain itu dewasa ini

kecenderungan yang semakin meningkat adalah tuntutan pelaksanaan sistem pertanian yang berkelanjutan

(sustainable) dan ramah lingkungan (ecofriendly), dan dua kata kunci ini merupakan tuntutan global (Rubiyo,

et al., 2004)

Page 135: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

173

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilakukan lokasi Prima Tani Lahan Kering BPTP Bali di Desa Sanggalangit, Kecamatan

Gerokgak, Kabupaten Buleleng, Bali pada musim kemarau yaitu dari bulan Agustus sampai dengan

Nopember 2005. Penelitian dirancang menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial dengan

perlakuan dosis pupuk organik (pupuk kandang sapi difermentasi dengan fermentor Rumino Bacillus) dengan

tiga tingkat dosis yaitu 2 ton/ha, 4 ton/ha dan 6 ton/ha, serta perlakuan paket dosis pupuk an-organik yaitu

P1(25 kg Urea/ha + 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha), P2 (2 kali P1) dan P3 (2 kali P2), sehingga diperoleh 9

perlakuan kombinasi yang masing-masing diulang sebanyak 3 kali.

Petak percobaan berukuran 3,0 m x 1,0 m dengan jarak tanam 45 cm x 25 cm dua tanaman per

lubang tanam. Pupuk organik dan an-organik (SP-36 dan KCl) diberikan 3 hari sebelum penanaman dengan

cara ditebarkan pada petak percobaan, sedangkan pemupukan Urea diberikan umur 7 hari dan 28 hari setelah

tanam masing-masing setengah dosis. Ajir dipasang pada umur tanaman 14 hari setelah tanam.

Pemeliharaan tanaman meliputi penyiraman setiap 3-4 hari, penyiangan dilakukan umur 14 hari dan

28 hst, sedangkan pengendalian hama dan penyakit tanaman dilakukan dengan penyemprotan insektisida

setiap 1 minggu sekali atau disesuaikan dengan kondisi tanaman di lapangan.

Variabel yang diamati yaitu jumlah panen, berat buah per panen, siklus produksi dan produksi. Data

dianalisis sidik ragam dilanjutkan dengan uji BNT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil analisis statistik menunjukkan terjadi interaksi antara perlakuan dosis pupuk organik (pupuk

kandang sapi yang difermentasi dengan dekomposer Ruminno Bacillus) dengan perlakuan paket dosis pupuk

an-organik yang digunakan terhadap variabel jumlah panen dan siklus produksi kacang panjang sedangkan

terhadap variabel berat buah per panen dan produksi tidak terjadi interaksi.

Interaksi antara perlakuan dosis pupuk organik Ruminno Bacillus dengan paket pupuk an-organik

menunjukkan perlakuan kombinasi pupuk organik dosis 6 ton/ha dengan paket pupuk kimia 100 kg Urea/ha,

100 kg SP-36/ha dan 200 kg KCl/ha (P3) memberikan jumlah panen tertinggi yaitu 19,07 kali (Tabel 1).

Peningkatan dosis pupuk organik maupun an-organik pada perlakuan kombinasi menghasilkan jumlah panen

yang semakin tinggi dan menghasilkan jumlah panen yang berbeda nyata (P<0,05), kecuali pada perlakuan

kombinasi dosis pupuk organik 2 ton/ha peningakatan dosis pupuk kimia sampai menjadi 100% (P3) tidak

menunjukkan pengaruh nyata (P>0,05).

Tabel 1. Interaksi Pupuk Organik Ruminno Bacillus dengan Pupuk An-organik Terhadap Frekuensi Panen (Kali)

Kacang Panjang di Lahan Kering Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Buleleng, Bali Tahun 2005

Pupuk Anorganik Pupuk Rumino Bacillus

2 ton/ha 4 ton/ha 6 ton/ha

P1 (Dosis 25%) 15,00 d 15,34 d 17,07 c

P2 (Dosis 50%) 15,11 d 16,96 c 18,07 b

P3 (Dosis 100%) 15,12 d 18,45 ab 19,07 a

Keterangan: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama berbeda tidak nyata pada uji BNT taraf 5%

Hal yang sama juga terlihat pada variabel siklus produksi kacang panjang, dimana kombinasi

perlakuan dosis pupuk organik 6 ton/ha dan dosis pupuk kimia 100% memberikan siklus panen terlama yaitu

37,56 hari tidak berbeda dengan dosis pupuk organik 4 ton/ha dengan siklus produksi 36,67 hari. Peningkatan

dosis pupuk kimia maupun dosis pupuk organik memberikan siklus panen yang semakin lama kecuali pada

perlakuan pupuk organik 2 ton/ha peningkatan dosis pupuk kimia tidak memberikan siklus produksi yang

berbeda (Tabel 2).

Terhadap variabel rata-rata berat panen dan produksi per satuan luas menunjukkan tidak terjadi

interaksi antara perlakuan dosis pupuk organik dan an-organik yang digunakan. Peningkatan dosis pupuk

organik dan paket dosis pupuk kimia yang digunakan tidak berpengaruh nyata terhadap rata-rata berat buah

per panen yang dihasilkan, sedangkan terhadap produksi per satuan luas beda nyata (Tabel 3). Kisaran berat

buah per panen yang dihasilkan yaitu 563,27 g - 578,31 g dengan perlakuan pupuk kimia sedangkan

perlakuan dosis pupuk organik dengan kisaran 567,17 g - 576,59 g per 3 m2.

Page 136: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

174

Tabel 2. Interaksi Pupuk Organik Ruminno Bacillus dengan Pupuk An-organik Terhadap Siklus Produksi (Hari) Kacang

Panjang di Lahan Kering Desa Sanggalangit, Kec. Gerokgak, Buleleng, Bali Tahun 2005

Pupuk Anorganik Pupuk Rumino Bacillus

2 ton/ha 4 ton/ha 6 ton/ha

P1 (Dosis 25%) 30,23 d 30,89 d 30,89 c

P2 (Dosis 50%) 30,22 d 33,78 c 35,78 b

P3 (Dosis 100%) 30,56 d 36,67 ab 37,56 a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5%

Produksi kacang panjang per 100 m2 meningkat dengan peningkatan dosis pupuk kimia dari dosis

25% menjadi 50% dan 100% yaitu masing-masing 7,06% dan 14,09%, sedangkan peningkatan dosis pupuk

organik dari 2 ton/ha menjadi 4 ton/ha dan 6 ton/ha meningkatkan produksi sebesar 6,30% dan 12,43%.

Paket pupuk kimia yang digunakan yaitu Urea, SP-36 dan KCl merupakan pupuk kimia yang merupakan

sumber hara N, P, dan K. Unsur hara ini dibutuhkan relatif lebih banyak dibandingkan unsur hara lainnya

sehingga keberadaan hara tersebut menjadi salah satu pembatas produksi tanaman. Sutejo (2002)

menyatakan N berperan dalam pertumbuhan vegetataif tanaman, semakin tinggi pemberian N akan

mempercepat sintesis karbohidrat. Unsur P berperan pada pembentukan bunga dan buah tanaman sedangkan

K meningkatkan kualitas buah yang dihasilkan. Dari hasil tersebut diatas peningkatan paket dosis dari 25 kg

Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha (dosis 25%) menjadi dosis 100% berkorelasi positif terhadap

peningkatan produksi kacang panjang.

Tabel 3. Pengaruh Pupuk Organik Ruminno Bacillus dan Pupuk An-organik Terhadap Rata-Rata Berat Panen dan

Produksi Kacang Panjang di Lahan Kering Desa Sanggalangit, Kec. Gerokgak, Buleleng, Bali Tahun 2005

Perlakuan Variabel

Rata-rata berat buah/panen (g) Produksi/3 m2 (kg) Produksi/100 m2 (kg)

Pupuk Anorganik

P1 (Dosis 25%) 578,31 a 8,99 b 299,61 b

P2 (Dosis 50%) 571,42 a 9,62 ab 320,75 b

P3 (Dosis 100%) 563,27 a 9,92 a 341,85 a

BNT 5% - 0,78 28,52

Pupuk Rumino Bacillus

2 ton/ha 569,25 a 8,72 b 301,89 b

4 ton/ha 576,59 a 9,63 ab 320,91 ab

6 ton/ha 567,17 a 10,18 a 339,42 a

BNT 5% - 0,78 28,52

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama menunjukkan tidak berbeda nyata pada taraf uji BNT 5%

Peningkatan pemberian dosis pupuk kandang sapi/pupuk organik dari 2 ton/ha sampai 6 ton/ha juga

memberikan tren produksi serupa. Peningkatan dosis akan memberikan peningkatan kandungan hara, selain

peran pupuk organik lainnya seperti memperbaiki sifat fisik tanah yang tidak kalah pentingnya. Ma‘shum et.

al. (1992) mengemukakan bahwa pupuk organik memasok berbagai macam hara terutama senyawa organik

berkonsentrasi rendah dan tidak mudah larut dalam air. Karena memasok berbagai hara dengan konsentrasi

rendah dan tidak mudah larut, pupuk organik tidak akan menimbulkan ketimpangan hara dalam tanah,

bahkan dapat memperbaiki neraca hara, sehingga pada tanah miskin sangat diperlukan penambahan bahan

organik. Lebih lanjut Hairusyah dan Arifin (1992) menyatakan bahwa miskinnya kandungan bahan organik

dan unsur hara tanah merupakan faktor pembatas produksi utama disamping keasaman tanah.

Rendahnya kandungan bahan organik tanah mengurangi daya sangga tanah dan memudahkan

pencucian unsur hara dari lingkungan perakaran sehingga menurunkan efisiensi pupuk. (Karama, et al., 1990).

Oleh karena itu penanganan rendahnya kadar bahan organik tanah harus menjadi prioritas utama untuk

mempertahankan sistem usahatani berkelanjutan, karena kadar bahan organik tanah yang rendah dapat

mempercepat laju degradasi kesuburan tanah.

Page 137: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

175

KESIMPULAN

- Terjadi interaksi antara perlakuan pupuk organik dan paket pupuk kimia terhadap jumlah panen dan

siklus produksi kacang panjang. Perlakuan kombinasi dosis pupuk organik 6 ton/ha dengan paket dosis

pupuk kimia Urea dan SP-36 masing-masing 100 kg/ha serta KCl 200 kg/ha (P3) memberikan jumlah

panen dan siklus produksi tertinggi yaitu masing-masing 19,07 hari dan 37,56 hari.

- Peningkatan dosis pupuk organik menjadi 4 ton/ha dan 6 ton/ha meningkatkan produksi kacang panjang

sebesar 6,30% dan 12,43% dari 301,89 kg yang dihasilkan pada dosis 2 ton/ha.

- Peningkatan paket dosis pupuk an-organik/kimia menjadi dosis 50% dan 100% meningkatkan produksi

kacang panjang sebesar 7,06% dan 14,09% dari 299,61 kg yang dihasilkan pada paket dosis 25%

(masing-masing 25 kg Urea/ha, 25 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha).

DAFTAR PUSTAKA

Adijaya, I.N., M, Suprapto dan M. Rai Yasa. 2004. Succes Strory Pengembangan Sistem Usahatani Terpadu

pada Lahan Kering di Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng Bali. Balai Pengkajian Teknologi

Pertanian Bali. Pusat Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian

dan Pengembangan Pertanian. Departemen Pertanian.

Hairunsyah dan M.Z. Arifin. 1992. Kajian Pemberian Pupuk Kandang dan Fosfat Terhadap Pertumbuhan

dan Hasil Pipilan Kering pada Tanah Pasiran dan Lempengan. Hasil-Hasil Penelitian Jagung

1991/1992. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru.

Karama, A.S., A. Rasyid Marzuki dan I. Manwan. 1990. Penggunaan Pupuk Organik Pada Tanaman Pangan.

Prosiding Lokakarya Nasional Efisiensi Penggunaan Pupuk V, Cisarua, 11-13 Nopember 1990.

Puslittanak. Bogor.

Ma‘shum, M., Lolita, E.S. Mahrup dan Sukartono. 1992. Perubahan Kalium Pada Tanah Tegalan Akibat

Pemberian Pupuk Kandang. Laporan Penelitian Fakultas Pertanian. Unram.

Oktafianus, M.M. 2003. Pengaruh Kerapatan Tanam dan Jenis Pupuk Organik Terhadap Pertumbuhan dan

Produksi Bawang Merah di Lahan Kering. Tesis Pasca Sarjana Fakultas Pertanian Universitas

Udayana. Denpasar.

Rubiyo, S. Guntoro dan W. Trisnawati. 2004. Pengaruh Dosis Pupuk Kandang Kambing Terhadap

Pertumbuhan Awal Kopi Arabika S-795 Hasil Konversi dari Kopi Robusta Bali. Prosiding Seminar

Nasional Revitalisasi Teknologi Kreatif dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan

Pertanian. Departemen Pertanian.

Suratmini, I.N. Adijaya, IGAK. Sudaratmaja dan M. Sumartini. 2003. Pengkajian Sistem Usahatani pada

Lahan Marginal. Laporan Akhir. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Departemen Pertanian.

Sutejo, M.M. 2002. Pupuk dan Cara Pemupukan. Penerbit Rineka Cipta. Yakarta.

Page 138: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

176

PREFERENSI PANELIS TERHADAP PRODUK OLAHAN MANISAN MANGA

W. Trisnawati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK

Mangga merupakan buah-buahan tropis yang mudah sekali mengalami kerusakan, salah satu upaya untuk

menyelamatkan harga jual buah mangga terutama pada musim panen raya adalah dengan dikembangkannya pengolahan

mangga menjadi suatu bentuk olahan, misalnya manisan. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi

atau kesukaan panelis pada manisan mangga basah, manisan yang dipotong kecil-kecil dan manisan kering. Proses pembuatan manisan ini dilakukan pada KWT ‖Sawitra Tani‖ Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerogak, Kabupaten

Buleleng tahun 2005. Preferensi/kesukaan panelis dilakukan dengan menggunakan uji organoleptik skala hedonik skor 1

sampai 5 terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan terhadap penerimaan secara keseluruhan. Alat analisis

dengan menggunakan uji keragaman dilakukan untuk melihat perbedaan preferensi pada produk manisan mangga, bila terjadi beda nyata maka dilanjutkan dengan Uji BNT. Hasil analisis terhadap preferensi panelis produk manisan mangga

cara basah memberikan nilai tertinggi pada warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan

dibandingkan dengan manisan dipotong kecil dan manisan yang dijemur kering

Kata kunci : mangga, manisan, organoleptik dan panelis

PENDAHULUAN

Mangga (Mangifera indica L) merupakan salah satu buah-buahan tropis yang banyak dihasilkan di

Indonesia. Dengan produksi mangga sekitar 400.000 ton per tahun, buah ini termasuk lima besar buah

berpotensi di Indonesia (Hambali. dkk, 2004).

Mangga merupakan buah-buahan tropis yang mudah sekali mengalami kerusakan dan secara nyata

kerusakannya terjadi pada saat penanganan, transportasi, penyimpanan dan proses pematangan. Salah satu

upaya untuk menyelamatkan harga jual buah mangga terutama pada musim panen raya adalah dengan

dikembangkannya pengolahan mangga menjadi suatu bentuk olahan, misalnya manisan (Anugrahwati. dkk,

2005).

Manisan mangga dibuat dari buah mangga yang belum matang benar. Pemilihan bahan baku

sangatlah penting, karena merupakan salah satu faktor dalam penentu kualitas produk akhir. Seperti misalnya

pada produk manisan yang mengutamakan penampilan sebagai salah satu parameter mutu. Dalam hal ini

buah yang dipakai harus memiliki ciri-ciri daging buah tebal, sedikit serat atau tidak berserat dan segar

(Hambali. dkk, 2004).

Manisan kering merupakan bahan makanan awetan dengan kadar gula yang relatif tinggi (+ 20%)

dan kadar air 20% - 25%, serta memiliki cita rasa khas (spesifik) dibandingkan dengan buah aslinya. Di

samping itu manisan kering ini memiliki tekstur plastis atau dapat dibentuk (Suprapti, 2003).

Hal yang harus mendapat perhatian dalam proses pembuatan manisan adalah penampilan produk

(warna, keseragaman bentuk dan kemasan); cita rasa dan aroma; daya tahan produk dan kandungan unsur

gizi dan kalori; dan hygienis (Suprapti, 2003).

Pada proses pembuatan manisan ada beberapa perlakuan pengolahan yang dilaksanakan, yaitu

perendaman dalam kapur/tawas bertujuan untuk memperkeras tekstur daging buah sehingga rasa manisan

menjadi lebih enak dan penambahan zat warna bertujuan untuk mendapatkan warna manisan yang lebih

menarik. Penambahan gula dalam pembuatan manisan bertujuan sebagai pemanis dan benzoat yang

ditambahkan berfungsi sebagai pengawet (Satuhu, 1996).

Tujuan ditambah zat pengasam ke dalam proses pembuatan manisan adalah sebagai penegas rasa

dan warna, atau menyelubungi rasa yang tidak disukai. Zat ini dapat pula bertindak sebagai pengawet karena

sifat asam dapat mencegah pertumbuhan mikroba. Bahan inipun dapat mencegah ketengikan dan

pencoklatan. Dalam hal ini zat pengasam yang ditambahkan adalah asam sitrat (Purnomo. dkk, 1987).

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui preferensi atau kesukaan panelis pada manisan

mangga basah, manisan yang dipotong kecil-kecil dan manisan kering

Page 139: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

177

METODOLOGI

Proses pembuatan manisan ini dilakukan pada KWT ‖Sawitra Tani‖ Desa Sanggalangit, Kecamatan

Gerogak, Kabupaten Buleleng tahun 2005. Pengolahan produk dilakukan bersama-sama petani di lokasi

pengkajian.

Perlakukan dalam penelitian ini adalah produk manisan basah, manisan yang dipotong kecil-kecil

dan manisan kering. Uji organoleptik dilakukan pada 15 orang panelis yang dipakai sebagai ulangan. Skala

yang dipakai pada uji organoleptik adalah skala hedonik dengan skor 1 sampai 5. Penilaian dilakukan

terhadap warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan terhadap penerimaan secara keseluruhan.

Untuk mengetahui preferensi panelis terhadap jenis mangga yang diujikan, dilakukan dengan analisa

statistik menggunakan uji keragaman, bila terjadi beda nyata maka dilanjutkan dengan Uji Beda Nilai

Terkecil (BNT).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Mnisan merupakan produk pangan dengan kandungan gula tinggi sehingga dapat disimpan lebih

lama, konsentrasi gula yang tinggi dengan kadar asam tinggi (pH rendah) mampu berfungsi sebagai

pengawet. Konsentrasi gula yang tinggi pada produk manisan mangga menyebabkan sebagian air yang ada

pada produk menjadi tidak tersedia, sehingga pertumbuhan mikroorganisme dan aktivitas air menjadi

berkurang (Buckle, et al, 1987).

Preferensi panelis pada ketiga jenis mangga yang dicobakan berdasarkan analisa statistik

menunjukkan perbedaan nyata terhadap warna, flavor dan rasa manis (Tabel 1). Nilai tertinggi terhadap

warna dengan skor 3,47 (manisan basah) dan terendah pada manisan dipotong kecil (skor 1,93). Pembuatan

manisan cara basah memberikan nilai tertinggi pada flavor (3,40) dan rasa manis (3,47). Hal ini

menunjukkan bahwa proses pembuatan manisan mangga cara basah lebih disukai konsumen (dari segi warna,

flavor dan rasa manis), karena memiliki warna lebih cerah, cita rasa lebih segar dan rasa manis yang kuat.

Sedangkan pada pembuatan manisan dipotong kecil atau yang dijemur warna manisan akan memudar dan

cita rasa manisan kurang kuat karena terjadinya proses penguapan kadar air sehingga bahan menjadi kering

(Suprapti, 2003).

Tabel 1. Rata-rata Uji Organoleptik (Warna, Flavor dan Rasa Manis) Keripik Manisan Mangga di Desa Sanggalangit,

Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, 2005

Perlakuan Warna Flavor Rasa Manis

Manisan Basah 3,47 b 3,40 b 3,47 b

Manisan dipotong kecil 1,93 a 2,80 ab 3,33 b

Manisan dijemur kering 3,20 b 2,20 a 2,20 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5%

Skor 1=sangat tidak suka; 2=tidak suka; 3=biasa; 4=suka; 5=sangat suka

Tabel 2 menampilkan preferensi panelis manisan mangga terhadap rasa dimulut dan penerimaan

secara keseluruhan, dimana manisan basah memberikan penilaian tertinggi dengan skor 3,73 (rasa dimulut)

dan 3,53 (penerimaan secara keseluruhan). Ini menunjukkan bahwa pembuatan manisan mangga cara basah

lebih diminati konsumen dibandingkan pada manisan dipotong kecil dan manisan dijemur kering.

Tabel 2. Rata-rata Uji Organoleptik (Rasa Dimulut dan Penerimaan Secara Keseluruhan) Manisan Mangga di Desa

Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, 2005

Perlakuan Rasa Dimulut Penerimaan Secara Keseluruhan

Manisan Basah 3,73 b 3,53 b

Manisan dipotong kecil 2,87 a 2,47 a

Manisan dijemur kering 2,13 a 2,47 a

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf sama pada kolom yang sama tidak berbeda nyata pada uji BNT taraf 5% Skor 1=sangat tidak suka; 2=tidak suka; 3=biasa; 4=suka; 5=sangat suka

Produk manisan mangga yang diolah dengan proses pengeringan menyebabkan terjadinya

perubahan terhadap warna, tekstur, flavor dan rasa dimulut. Akan tetapi produk ini relatif lebih awet

Page 140: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

178

dibandingkan dengan manisan mangga basah maupun yang dipotong kecil-kecil, karena memiliki kadar air

yang rendah sehingga aktivitas mikroba dapat dihambat (Winarno, 1993).

Secara keseluruhan produk manisan mangga cara basah lebih disukai panelis, karena masih

memiliki rasa khas segar buah mangga dan memiliki warna yang lebih cerah. Preferensi panelis terhadap

manisan basah terhadap rasa manis produk paling disukai karena gula yang dipakai sebagai perendam tidak

menyatu atau kering dengan produk, sehingga larutan gula disini berfungsi sebagai sirup yang kental.

KESIMPULAN

Preferensi panelis terhadap produk manisan mangga cara basah memberikan nilai tertinggi terhadap

warna, flavor, rasa manis, rasa dimulut dan penerimaan secara keseluruhan dibandingkan dengan manisan

dipotong kecil dan manisan yang dijemur kering

DAFTAR PUSTAKA

Anugrahwati. Y, Aman Wirakartakusumah dan Setyadjit. 2005. Perubahan Karakteristik Mutu dan Analisis

Kinetika Puree Mangga Selama Penyimpanan. Balai Besar Pasca Panen Bogor

Hambali E, Ani Suryani dan Nani Widianingsih. 2004. Membuat Aneka Olahan Mangga. Seri Industri Kecil.

Penebar Swadaya

Purnomo, H dan Adiono. Ilmu Pangan. 1987. Universitas Indonesia

Suprapti, ML. 2003. Manisan Kering Jambu Mete. Teknologi Pengolahan Pangan. Kanisius

Satuhu, S. 1993. Penanganan dan Pengolahan Buah. Penebar Swadaya.

Winarnao, F.G. 1993. Pangan Gizi, Teknologi dan Konsumen. PT. Gramedia Pusaka Utama.

Buckle, K.A, et al. Diterjemahkan oleh Purnomo H dan Adiono. 1987. Ilmu Pangan. Universitas Indonesia

Page 141: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

179

PENGKAJIAN JAGUNG SRIKANDI KUNING MESUBSTITUSI PAKAN KOMERSIAL

UNTUK AYAM RAS PEDAGING DI LAHAN KERING DATARAN MEDIUM BERIKLIM BASAH

BANGLI TAHUN 2005

IGK. Dana Arsana dan IW. Alit Artha Wiguna

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian - Bali

ABSTRAK

Pengkajian dilaksanakan selama 35 hari pemeliharaan mulai tanggal 22 Nopember 2005 sampai dengan 27

Desember 2005 di Desa Buungan Kecamatan Susut Kabupaten Bangli dan sehari di Laboratorium Ternak Unggas,

Fakultas Peternakan, Universitas Udayana untuk data, karkas, recahan karkas dan warna lemak. Penelitian menggunakan

Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan (P0, P1, P2 dan P3), dan 5 ulangan pada setiap perlakuan dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam. Akhir penelitian diambil sampel 40 ekor, ayam yang digunakan jenis CP 707. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa substitusi pakan komersial ayam potong jenis BR 511, dengan jagung Srikandi Kuning

sampai taraf 20% diikuti penambahan probiotik Starbio, tidak memberikan respon negatif terhadap pertumbuhan ayam,

dilihat dari aspek pertambahan bobot ayam dan kualitas karkas. Sedangkan penggantian pakan komersial taraf 20% tanpa penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% pada pakan, memberikan dampak tidak menguntungkan pada ternak ayam,

karena bobot ayam hidup maupun karkas yang dihasilkan menjadi rendah. Penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25%

pada pakan komersial memberikan tambahan bobot badan ayam rata-rata 65,22 gr lebih berat dibandingkan dengan ayam

yang diberikan pakan komersial tanpa Starbio. Walaupun secara statistik berbeda tidak nyata. Untuk itu penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% diikuti dengan penambahan probiotik Starbio pada pakan

ayam potong dapat dianjurkan, karena memberikan respons pertumbuhan yang tidak berbeda nyata dengan ayam yang

diberikan pakan komersial 100%.

Kata kunci : jagung QPM, ayam ras pedaging

PENDAHULUAN

Latar Belakang

Hasil pengkajian pemberian pakan jagung QPM terhadap ayam pedaging tahun 2004. Secara nyata

dapat menghemat biaya pakan tanpa menyebabkan adanya pengaruh buruk terhadap penampilan dan

produksi ayam potong. Dari hasil analisis biaya pakan yang diberikan pada setiap perlakuan diketahui

bahwa penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sampai 20% akan menghemat biaya

pakan sebesar Rp. 222,50 (7,42%) per kg pakan dibandingkan dengan pemberian pakan kmersial 100%,

sedangkan penggantian dengan 10% jagung Srikandi Putih maupun Kuning akan menghemat biaya pakan

sebesar Rp. 102,50 (3,42%) per kg pakan (Wiguna., et al . 2004). Di Bali luas lahan yang potensial untuk

tanaman jagung mencapai 36.142 hektar terdiri atas lahan sawah dan lahan kering. Usahatani jagung pada

lahan kering umumnya digunakan sebagai bahan makanan seperti di Buleleng, Karang Asem dan Klungkung

(Nusa Penida), sedangkan Bangli merupakan daerah pengembangan jagung untuk usaha peternakan ayam.

Pertama di Indonesia, dua varietas unggul jagung dengan mutu protein tinggi telah dilepas. Jagung adalah

tanaman biji-bijian yang dikonsumsi oleh ternak dan manusia sebagai sumber energi dan protein.

Hasil PRA (Participatory Rural Apraisal) tahun 2003 menunjukkan bahwa minat petani untuk

menanam jagung dan palawija lainnya cukup besar. Kendala yang menghambat adalah kesulitan

mendapatkan benih, pemasaran dan penanganan pasca panen (Arsana IGK D, dkk 2003). Hasil uji

multilokasi jagung QPM yang dilaksanakan di Bangli TA. 2004 menunjukkan hasil 5-6 ton jagung pipilan

kering/ha. Data hasil pengkajian mempunyai kontribusi menyumbang data secara nasional untuk melepas

jagung Srikandi Putih dan Srikandi Kuning (Arsana IGK D, dkk 2004).

Tujuan

Melihat pengaruh substitusi pakan komersial dengan jagung pada batas tertentu akan berpengaruh

buruk terhadap pertumbuhan ternak ayam potong.

METODOLOGI PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan selama 35 hari, tempat di Desa Buungan Kecamatan Susut Kabupaten

Bangli tahun 2005 sedangkan data, karkas, recahan karkas dan warna lemak dilaksanakan di Laboratorium

Ternak Unggas, Fakultas Peternakan, Universitas Udayana. Ayam yang digunakan broiler umur satu hari

Page 142: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

180

(day old chick) strain CP 707 sebanyak 100 ekor dengan berat badan awal berkisar 40,564 gram sampai

42,444gram, tanpa membedakan jenis kelamin ”Unsexed”. Kandang yang digunakan dalam penelitian ini

adalah kandang litter dengan dinding dari bilah-bilah bambu, lantai kandang menggunakan sekam. Setiap

unit dilengkapi dengan tempat ransum yang terbuat dari plastik dengan kapasitas 5 kg dan tempat air minum

terbuat dari plastik dengan volume ± 4 liter. Ransum dan air minum diberikan secara ad libitum. Bahan

penyusun ransum terdiri dari ransum komersial CP 511 berbentuk butiran untuk masa strater dan CP 512

untuk masa finisher dan jagung Srikandi Kuning giling. Jagung bersumber dari petani yang ada di sekitar

lokasi pengkajian.

Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Lengkap dengan 4 perlakuan (P0, P1, P2 dan P3), dengan

5 ulangan pada setiap perlakuan dan setiap ulangan terdiri dari 5 ekor ayam. Pada akhir penelitian diambil

sampel 40 ekor ayam untuk dipotong. Sampel yang diambil secara acak adalah dua ekor setiap perlakuan

pada semua ulangan. Ayam yang digunakan adalah ayam potong jenis CP 707 Perlakukan sebagai berikut:

1. P0 adalah ayam yang diberikan pakan komersial 100%

2. P1 adalah ayam yang diberikan pakan komersial ditambah 0,25% Starbio.

3. P2 adalah ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan jagung Srikandi Kuning (QPM

Kuning) 20% tanpa ditambahkan Probiotik Starbio.

4. P3 adalah ayam yang diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan jagung Serikandi Kuning

(QPM Kuning) 20% dan ditambah 0,25% Probiotik Starbio.

Penyembelihan dan Pemisahan Bagian-bagian Tubuh Ayam

Penyembelihan dilakukan berdasarkan cara USDA (United States Departement of Agriculture,

1997) dengan menggunakan pisau kecil dan tajam, tepat dibagian Vena jugularis dan Arteri carotis. Ayam

yang sudah disembelih dicelupkan ke dalam air panas dengan suhu berkisar antara 50-55º C selama 90-120

detik untuk memudahkan pencabutan bulu (Mountney, 1996). Pemisahan bagian-bagian tubuh ayam, yaitu

pengeluaran saluran pencernaan, organ dalam, pemotongan cakar serta kepala sehingga didapatkan karkas.

Pengeluaran organ dalam kecuali tembolok dilakukan dengan membelah lapisan kulit ventral dari bagian

leher yang menutupi bagian tembolok tersebut. Pemisahan kepala dan cakar dari tubuh dilakukan dengan

memisahkan bagian Occipitalis (persendian antara kepala dan leher) yaitu pertautan antara tulang atlas

dengan tulang tengkorak, sedangkan pemisahan cakar dilakukan dengan memotong sendi Tibia

tarsometatarsus.

Pengertian karkas dalam penelitian ini adalah bagian tubuh setelah darah, bulu, leher, kepala, cakar

dan organ-organ dalam dihilangkan. Untuk memisahkan bagian dada dari punggung dilakukan dengan

memotong sepanjang pertemuan antara tulang-tulang rusuk yang melekat pada punggung (Costea vertebrae)

dengan tulang rusuk yang melekat pada tulang dada (Costeo sternalis) sampai pada sendi bahu, selain tulang

rusuk dan tulang dada.

Variabel yang Diamati

Variabel yang diamati dalam penelitian ini meliputi berat hidup, berat karkas, persentase karkas,

recahan karkas serta warna lemak.

1. Berat awal ayam umur sehari (day old chick) dalam gram

2. Berat ayam akhir penelitian yaitu pada umur 5 minggu

3. Pertumbuhan: pertambahan bobot ayam (g) selama penelitian

4. Berat hidup: berat ayam saat akan disembelih setelah dipuasakan selama 12 jam.

5. Berat karkas: berat ayam tanpa darah, bulu, organ dalam, leher, kepala dan cakar.

Analisis Statistik

Data dianalisis menggunakan Analisis Varian atau Univariate Analysis of Variance, analisisnya

dengan Programme for Social Science versi 10.01. Sedangkan untuk pertambahan berat badan ayam selama

penelitian di analisis secara regresi linier

Page 143: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

181

HASIL DAN PEMBAHASAN

Bobot Ayam Awal Penelitian

Pada awal penelitian diupayakan bobot ayam adalah sama atau homogen, dengan harapan faktor

berat awal akan memberikan pengaruh yang sama terhadap semua perlakukan. Bobot ayam awal penelitian

adalah berbeda tidak nyata (Tabel1).

Tabel 1. Uji Duncan Terhadap Perbedaan Bobot Ayam (G) Umur 0 Hari

Perlakuan Rataan bobot ayam (g) awal penelitian

1) P0 Pakan komersial 100% 41,524a

2) P1 Pakan komersial ditambah 0,25% Starbio 42,444a

3) P2 Pakan komersial disubstitusi dengan Jagung 41,708a

4) P3 Pakan komersial substitusi dengan Srikandi

Kuning 20% ditambah 0,25% Starbio

40,564a

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)

Bobot Ayam Penelitian

Rataan bobot ayam pada umur 35 hari akhir penelitian, menunjukkan bahwa perlakuan terhadap

ayam penelitian menyebabkan adanya perbedaan yang nyata. Tabel 2 menunjukkan bahwa bobot ayam

perlakuan P2 sebesaar 1.994,000g nyata paling rendah dibandingkan dengan bobot ayam perlakuan P0

(2.145,652g) dan P1 (2.210,870g), namun tidak nyata lebih rendah dibandingkan perlakuan P3 (2.097,917g).

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa Probiotik Starbio yang ditambahkan pada pakan komersial, telah

memberikan pengaruh yang tidak nyata lebih baik dibandingkan dengan pakan komersial yang tidak

ditambahkan Starbio. Walaupun demikian, secara absolut probiotik starbio telah mampu memberikan

tambahan bobot badan ayam, yang diberi pakan komersial sebesar 65,22g.

Tabel 2. Hasil Uji Duncan Terhadap Bobot Badan Ayam Umur 35 Hari Akhir Pengkajian

Perlakuan Bobot Ayam (gram)

(P0) Pakan komersial 100% 2.145,652 b

(P1) Pakan komersial ditambah 0,25% Starbio 2.210,870 b

(P2) Pakan komersial substitusi dengan Jagung 1.994,000 a

(P3) Pakan komersial substitusi Jagung Serikandi Kuning 20% dan 0,25% Starbio 2.097,917ab

Keterangan: Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05).

Selanjutnya hasil penelitian Tabel 3 menunjukkan bahwa substitusi pakan komersial dengan jagung

Srikandi Kuning sebanyak 20%, tanpa penambahan Starbio memberikan pertumbuhan ayam yang nyata

paling rendah. Namun subtitusi pakan komersial sebesar 20% dengan jagung Srikandi Kuning yang diikuti

dengan penambahan probiotik Starbio sebanyak 0,25% mampu mendorong pertumbuhan yang lebih baik,

sehingga bobot ayam akhir penelitian tidak nyata lebih rendah dibandingkan dengan berat ayam yang diberi

pakan komersial 100%, baik yang ditambahkan Strabio maupun yang tidak ditambahkan probiotik Starbio.

Di lain pihak pengantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% tanpa diikuti dengan

penambahan Starbio sebesar 0,25% menyebabkan pertumbuhan ayam yang kurang baik, sehingga bobot

ayam pada umur 35 hari akhir penelitian, nyata lebih rendah dibandingkan bobot ayam yang diberikan pakan

komesial 100%, yang ditambahkan Starbio maupun tidak. Hasil penelitian tersebut menggambarkan bahwa

penggantian atau substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% telah menurunkan

kualitas pakan ayam, sehingga mengurangi nutrisi yang diperlukan ayam. Hal tersebut telah menghambat

pertumbuhan ayam, sehingga bobot badan ayam menjadi lebih rendah dibandingkan dengan yang diberikan

pakan komersial 100%.

Namun substitusi pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning 20% yang diikuti dengan

penambahan probiotik Starbio 0,25% mampu meningkatkan nilai nutrisi pakan, sehingga kebutuhan ayam

akan nutrisi menjadi lebih terpenuhi. Kondisi tersebut menyebabkan pertumbuhan ayam menjadi lebih baik,

sehingga bobot akhir ayam menjadi berbeda tidak nyata dengan ayam yang diberikan pakan komersial 100%.

Oleh karena itu, penambahan probiotik Starbio pada pakan yang berkualitas kasar seperti substitusi pakan

komersial dengan jagung Srikandi Kuning 20% untuk ayam potong, akan mampu memberikan pertumbuhan

yang sama dengan ayam yang diberikan pakan berkualitas standar seperti pakan komersial. Hasil penelitian

tersebut sejalan dengan Fuller (1989) yang menyatakan bahwa starbio adalah probiotik yang berupa pakan

Page 144: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

182

tambahan dalam bentuk mikroba hidup yang dapat memberikan pengaruh yang menguntungkan bagi ternak

yang bersangkutan. Selain itu Suharto dalam Rai, dkk (1999) juga menyatakan bahwa penambahan probiotik

starbio dapat meningkatkan nilai cerna dari ransum sehingga zat-zat nutrisi seperti lemak, protein, dan

karbohidrat lebih banyak diserap dan dimanfaatkan tubuh.

Oleh karena itu dengan mengganti pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sampai 20%

dan penambahan starbio 0,25% belum mengurangi kebutuhan ayam akan nutrisi. Dengan demikian jika biaya

penambahan jagung Srikandi Kuning 20% dan 0,25% starbio harganya labih rendah dibandingkan dengan

20% pakan ayam komersial, akan menyebabkan harga pakan menjadi lebih murah dan usaha akan

memberikan keuntungan lebih besar, dengan asumsi tingkat kematian ayam sama dengan perlakuan lainnya.

Kenaikan Bobot Ayam (Gr) Selama Penelitian

Hasil analisis regresi terhadap kenaikan bobot ayam semua perlakuan menunjukkan pertumbuhan

yang sangat nyata selama penelitian, dengan koefisien regeresi lebih dari 0,98 pada semua perlakuan. Ayam

pada perlakuan P0 yaitu ayam yang diberikan pakan komersial 100% tanpa adanya penambahan probiotik,

pertumbuhannya mengikuti model regersi YP0=525,9X - 508,99 dengan R2=99,63%. Selanjutnya ayam pada

perlakuan P1, pola pertumbuhannya mengikuti model regresi YP1=530,64X-529,07 dengan R2=98,93%. Pola

pertumbuhan ayam dengan perlakuan P2, mengikuti model regresi linier YP2=481,53X - 481,98 dengan R2=

98,88%. Demikian pula halnya pola pertumbuhan ayam pada perlakuan P3 adalah mengikuti model regersi

linier YP3=513,85X - 534,06 dengan R2=99,17% (Gambar 4.3). Dengan demikian ayam pada semua

perlakuan tumbuh dengan sangat meyakinkan, dengan R2

di atas 98%. Fenomena tersebut menggambarkan

bahwa pengantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning pada taraf 20%, masih memberikan

pertumbuhan yang baik pada ayam broiler jenis CP 707.

Ditinjau dari aspek pertambahan bobot badan ayam selama penelitian, maka ayam dengan perlakuan

P1 memiliki kenaikan berat badan 2.167,656 g paling tinggi dibandingkan kanaikan berat badan ayam

perlakuan lainnya kenaikan berat badan ayam pada perlakuan P0 sebesar 2.109,81 g dan perlakuan P3

(2,061,48 g). Sedangkan ayam dengan perlakuan P2, memiliki kenaikan berat badan paling rendah

dibandingkan perlakuan lainnya yaitu hanya sebesar 1.952,29 g. Kondisi tersebut menggambarkan bahwa

ayam dengan pakan komersial yang ditambahkan probiotik starbio sebanyak 0,25% memberikan

pertambahan berat badan paling baik dibandingan dengan perlakuan lainnya, baik pada pakan komersial yang

tidak disubstitusi maupun yang disubstitusi dengan jagung Srikandi Kuning 20%. Sedangkan ayam yang

diberikan pakan komersial yang disubstitusi dengan jagung Srikandi Kuning sebanyak 20% tanpa

penambahan probiotik Starbio, memberikan respon pertumbuhan yang paling rendah. Kondisi tersebut

menggambarkan bahwa penambahan probiotik Starbio sebanyak 0,25% pada pakan ayam broiler akan dapat

meningkatkan nilai nutrisi pakan, sehingga pakan menjadi lebih bermanfaat untuk pertumbuhan. Hal tersebut

sejalan dengan Suharto yang dikutip oleh Rai dkk (1999) yang menyatakan bahwa penggunaan probiotik

starbio dalam ransum ternak akan mampu meningkatkan efesiensi penggunaan ransum melalui mekanisme

kerja starbio yang mampu mencerna lemak, serta kasar, dan protein ransum menjadi bahan yang mudah

diserap. Selain itu penambahan probiotik starbio dapat meningkatkan nilai cerna dari ransum sehingga zat-zat

nutrisi seperti lemak, protein, dan karbohidrat lebih banyak diserap dan dimanfaatkan tubuh. Penambahan

probiotik dalam ransum secara nyata dapat meningkatkan pertambahan berat badan ayam. Sebelumnya

Ritongga (1992) juga menyatakan hal yang senada bahwa pertambahan berat badan unggas yang semakin

meningkat karena keberadaan probiotik dalam ransum yang dapat meningkatkan aktivitas enzim-enzim

pencernaan dan meningkatkan absorpsi zat-zat.

Di lain pihak Zainudin dkk, (1995) menyatakan starbio adalah sumber probiotik hasil bioteknologi

yang dibuat dari koloni alami kecil mikroba rumen sapi yang dicampur dengan tanah, akar rumput dan daun

serta dahan pohon, koloni mikroorganisme yang terdapat dalam starbio memiliki mikroba yang spesifik

dengan fungsi yang berbeda-beda, seperti cellulomonas, clastridium thrmocellosa yang berfungsi sebagai

mikroorganisme pencerna lemak; mikroorganisme lignolitik (agasicus dan coprinus), dan mikroorganisme

proteolitik (klebsiella brasillensis).

Karkas Ayam (Gr)

Hasil menunjukkan penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning pada taraf 20%

tanpa penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% kurang menguntungkan terhadap bobot karkas ayam.

Penggantian pakan komersial dengan jagung Srikandi Kuning sebesar 20% yang dibarengi dengan

penambahan probiotik Starbio sebesar 0,25% tidak memberikan pengaruh buruk terhadap berat karkas ayam

(Tabel 3). Karkas ayam dengan perlakuan P2 sebesar 1.268,50g nyata lebih rendah dengan perlakuan P3

(1.346,00g), perlakukan P0 (1.359,40g) dan P1 (1.421,30g). Kondisi tersebut memberikan petunjuk

penggantian pakan komersial sampai pada taraf 20% dan starbio sebesar 0,25% dapat dianjurkan kepada

Page 145: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

183

peternak, tanpa berpengaruh buruk terhadap karkas ayam yang dihasilkan. Namun penggantian pakan

komersial dengan jagung Srikandi Kuning tanpa dibarengi dengan penambahan probiotik Starbio sebesar

0,25% berpengaruh kurang baik terhadap berat karkas (g).

Tabel 3. Uji Duncan Terhadap Karkas Ayam

Perlakuan Bobot ayam (g)

1) (P0) Pakan komersial 100% 1.268,50 a

2) (P1) Pakan komersial ditambah 0,25% Starbio 1.346,00 ab

3) (P2) Pakan komersial substitusi dengan Jagung 1.359,40 b

4) (P3) Pakan komersial substitusi Jagung Srikandi Kuning 20% dan ditambah 0,25% Starbio 1.421,30 b

Keterangan : Angka yang diikuti oleh huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata (P>0,05)

Kondisi tersebut menunjukkan bahwa nutrisi pakan pada perlakuan P2 adalah paling rendah

menyebabkan bobot badan rendah. Sedangkan penggantian pakan komersial sebesar 20% dengan jagung

Srikandi Kuning yang diikuti dengan penambahan probiotik Starbio sebanyak 0,25% dari berat pakan,

meningkatkan kualitas pakan, sehingga bobot karkas yang dihasilkan menunjukkan perbedaan yang tidak

nyata dengan karkas ayam yang diberikan pakan komersial 100%, baik yang ditambahkan Starbio maupun

yang tidak. Hal tersebut menunjukkan bahwa pemberian pakan komersial 100% akan menyediakan nutrisi

yang lebih seimbang dibandingkan dengan adanya penggatian dengan jagung Srikandi. Penggantian pakan

komersial dengan jagung kemungkinan besar akan meningkatkan nilai nutrisi tertentu pada pakan utamanya

karbohidrat yang akan disimpan delam bentuk lemak oleh ternak ayam. Meningkatnya kandungan

karbohidrat pada pakan akan menyebabkan terjadinya ketidak seimbangan antara lemak dan protein pakan,

juga energi dalam pakan.

KESIMPULAN

Penggantian atau substitusi pakan komersial ayam potong jenis BR 511, yang diberikan ayam

potong CP 707 dengan jagung Srikandi Kuning sampai pada taraf 20% diikuti penambahan probiotik Starbio,

tidak memberikan respon yang negatif terhadap pertumbuhan ayam, dilihat dari aspek pertambahan bobot

ayam dan kualitas karkas. Penggantian pakan komersial taraf 20% tanpa diikuti dengan penambahan

probiotik Starbio 0,25% pada pakan, memberikan dampak yang kurang menguntungkan pada ternak ayam,

karena bobot ayam hidup maupun karkas yang dihasilkan menjadi lebih rendah. Selain itu penambahan

probiotik Starbio sebesar 0,25% pada pakan komersial akan memberikan tambahan bobot badan ayam rata-

rata 65,22g lebih berat dibandingkan dengan ayam yang diberikan pakan komersial tanpa penambahan

Starbio.

DAFTAR PUSTAKA

Arsana IGK D, dkk 2003. Laporan Hasil Pengkajian Optimalisasi Lahan Dataram Medium Beriklim Basah

Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali 2003.

Arsana IGK D, dkk 2004. Laporan Hasil Pengkajian Multilokasi Jagung QPM dan Kacang tanah di lahan

dataran Medium Beriklim Basah Bangli Proyek PAATP. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

2004. AAK. 1996. Beternak Ayam Pedaging, Penerbit Kanisius, Yogyakarta.

Bali Membangun 2002. Data Bali Membangun 2002. Pemerintah Daerah Tingkat I Bali.

Wiguna AA. Dkk 2004. Laporan Pengkajian Substitusi Jagung QPM Untuk Ransum Ayam Potong. Balai

Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

Fuller, R. 1989. History and Development of Probioticts, In: Probioticts The Scientific Basis. Ed. Fuller, R.

First Ed. Chapman & Hall, London. Hal: 1-10

Mulyadi, H. 1983. Pengaruh penggunaan daun tepung alang-alang dalam ransum terhadap persentase karkas

dan bagian giblet ayam jantan tipe medium babcock. Tesis Fakultas Peternakan IPB, Bogor.

Murtinjo, BA. 2002. Pedoman Beternak Ayam Broiler. Penerbit Kanisus, Yogyakarta. Cetakan ke-15.

Page 146: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

184

Rai, Y IM., S. Guntor, AA Wiguna & Suprapto. 1999. Pemanfaatan probiotik pada penggemukan babi.

Prosiding Hasil-hasil pengkajian paket teknologi usahatani ternak potong di Bali. IP2TP, Denpasar,

Bali.

Ritongga, H. 1992. Beberapa cara menghilangkan mikroorganisme patogen. Majalah Ayam dan Telur No. 73

hal: 24-26.

Zainudin, DK., Dwijanto dan Suharto. 1995. Utilization of probiotict Starbio in broiler diet with different

levels of crude protein. Bulletin of Animal Science. Special Edition. A Publication of The Faculty of

Animal Husbandry. Gajah Mada University, Yogyakarta.

Page 147: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

185

KERAGAAN GALUR HARAPAN KACANG TANAH DI LAHAN KERING

GEROKGAK BULELENG

Putu Suratmini dan IGK.Dana Arsana

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali

ABSTRAK

Pengkajian keragaan beberapa galur harapan kacang tanah telah dilaksanakan di lahan kering Desa Yeh Biu,

Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng, pada tahun 2004. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Lima belas calon varietas (galur harapan) kacang tanah yang ditanam meliputi:

GH1, GH 2, GH 3, GH 4, GH 5, GH 6, GH 7, GH 8, GH 9, GH 10, GH 11, GH 12, GH 13, GH 14 dan GH 15, sehingga

terdapat 45 petak percobaan. Luas petak 4 m x 5 m dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan dua tanaman per lubang.

Parameter yang diamati adalah jumlah tanaman yang dapat dipanen, tinggi tanaman, jumlah polong isi/ph, jumlah polong hampa/ph, bobot polong basah /petak/ph, bobot polong kering/petak/ph, bobot biji/ph, dan bobot 100 biji kering panen.

Hasil pengkajian menunjukkan dari semua galur atau calon varietas yang ditanam, jumlah tanaman panen berkisar antara

274,3 (GH 3) – 289,7 (GH 12), sedangkan tinggi tanaman berkisar antara 35,4 cm (GH 1) – 45,5 cm (GH 15). Jumlah

polong isi/pohon tidak menunjukkan perbedaan yang nyata antara semua galur yang ditanam, sedangkan jumlah polong hampa berkisar antara 3,3 (GH 13) – 7,7 (GH 2). Bobot polong basah dan polong kering/pohon terlihat paling rendah

pada perlakuan GH 11 (83,0 g dan 58,7 g), sedangkan yang tertinggi terlihat pada perlakuan GH 14 (153,7 g dan 101,0 g).

Bobot biji/pohon yang paling rendah terlihat pada perlakuan GH 11 (37,0 g) dan yang paling tinggi terlihat pada

perlakuan GH 14 (57,7 g). Sedangkan bobot 100 biji berkisar antara 37,0 g (GH 10) – 45,0 g (GH 6).

Kata Kunci : galur, kacang tanah, lahan kering

PENDAHULUAN

Peningkatan produksi kacang tanah dalam negeri masih terbuka lebar baik melalui peningkatan

produktivitas maupun perluasan areal tanam utamanya pada lahan kering. Lahan kering sangat potensial

untuk perluasan areal tanaman pangan, akan tetapi untuk menghasilkan produksi yang optimal dibutuhkan

masukan teknologi pengelolaan yang relatif tinggi seperti konservasi lahan, pengelolaan air, pemupukan dan

penggunaan varietas unggul (Anonim, 1992). Lahan kering di Propinsi Bali sebagian besar terletak di bagian

Timur dan Utara Pulau Bali dengan luas kurang lebih 218.119 hektar yang merupakan 38,37% dari luas

Propinsi Bali (Statistik Pertanian, 1991). Rata-rata curah hujan berkisar antara 1200-1600 mm/tahun dengan

musim penghujan yang pendek 3-4 bulan yang biasanya terjadi pada bulan November sampai dengan bulan

Februari (Suprapto, et al., 2003).

Kacang tanah mempunyai nilai ekonomi tinggi, karena selain sebagai bahan pangan yang gizinya

tinggi, kacang tanah juga dipakai sebagai pakan ternak, dan industri minyak goreng (Anonim, 2003). Kacang

tanah merupakan komoditi industri pasar lokal dan eksport seperti industri kacang asin, bumbu-bumbuan, ice

crem, selai, permen dan produk lainnya sehingga peluang pasarnya cukup tinggi (Sovan, 2004) Produksi

kacang tanah nasional baru mencapai 0,65 juta ton, sedangkan permintaan akan kacang tanah pada tahun

2000 sudah meningkat menjadi 1,9 juta ton (Anonim, 2000). Produktivitas kacang tanah di tingkat petani di

Indonesia masih tergolong rendah sekitar 1,6 ton/ha (Anonim, 2000), khusus untuk Kabupaten Buleleng

produktivitas kacang tanah baru mencapai 1,03 ton/ha (Anonim, 2001). Hasil tersebut masih relatif rendah

bila dibandingkan dengan potensi hasil kacang tanah yang mencapai lebih dari 4 ton polong kering/ha

(Adisarwanto et al., 1993). Rendahnya produktivitas disebabkan oleh beberapa faktor antara lain teknik

budidaya, kesuburan tanah, cekaman kekeringan, gangguan hama penyakit, gulma dan belum menggunakan

varietas unggul (Sumarno dan Manwan, 1990).

Peningkatan produksi kacang tanah persatuan luas dapat dilakukan dengan menanam varietas

unggul yang dibarengi dengan perbaikan teknik bududaya. Varietas unggul yang ideal adalah berdaya hasil

tinggi, tahan hama penyakit utama dan stabil di berbagai target lingkungan (Kasim, 2002).

Pemuliaan kacang tanah ditujukan untuk memperoleh varietas yang mempunyai daya hasil tinggi,

tahan atau toleran terhadap penyakit layu (Peseudomonas Solanacearum) karat daun (Puccinia arachydis)

dan bercak daun (Cercespora sp), benih genjah (80-100 hari), serta mempunyai biji yang baik. Salah satu

tahapan dalam program pemuliaan untuk pelepasan varietas baru adalah pengujian daya hasil pada berbagai

lokasi dengan agroklimat yang berbeda. Pada kenyataannya suatu galur sering mempunyai penampilan hasil

yang berubah-ubah dari satu lokasi ke lokasi lainnya (Syafruddin dan Saenong, 1996). Hal ini disebabkan

oleh interaksi antara genotipe dengan lingkungan agroklimat. Hasil pengujian multilokasi beberapa galur

Page 148: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

186

kacang tanah di Sulawesi selatan menunjukkan perbedaan penampilan hasil antar lokasi (Syafruddin, et al.,

1991). Dengan melihat permasalahan tersebut, pengkajian ini dilakukan dengan tujuan untuk mengetahui

keragaan galur harapan kacang tanah yang ditanam di lahan kering Gerokgak Bali.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Yeh Biu, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada tahun

2004. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Lima belas

calon varietas (galur harapan) kacang tanah yang ditanam meliputi (GH 1, GH 2, GH 3, GH 4, GH 5, GH 6,

GH 7, GH 8, GH 9, GH 10, GH 11, GH12, GH13, GH 14 dan GH 15) sehingga terdapat 45 petak percobaan.

Benih didapat dari Balai Penelitian Kacang-kacangan (Balitkabi) Malang. Ukuran petak adalah 4m x 5m

dengan jarak tanam 40 cm x 20 cm dengan 2 tanaman/lubang. Pupuk dasar yang diberikan adalah Urea, TSP

dan KCl masing-masing sebanyak 50 kg/ha. Parameter yang diamati adalah jumlah tanaman yang dapat

dipanen, tinggi tanaman, jumlah polong isi/ph, jumlah polong hampa/ph, bobot polong basah /petak/ph,

bobot polong kering/petak/ph, bobot biji/ph, dan bobot 100 biji kering panen. Data hasil pengamatan

dianalisis dengan menggunakan Anova dan BNT (5%).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa pertumbuhan dan produksi tanaman disamping dipengaruhi

oleh faktor lingkungan seperti tanah dan iklim juga dipengaruhi oleh faktor genetik tanaman, hal ini terlihat

dari galur-galur yang ditanam dengan kondisi yang hampir sama ternyata memberikan tinggi tanaman,

jumlah polong maupun berat biji yang berbeda antar galur. Hasil analisis statistika menunjukkan bahwa dari

ke 15 galur kacang tanah yang ditanam pertumbuhan dan produksi tanaman ada yang menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) dan ada juga yang menunjukkan perbedaan yang tidak nyata (P>0,05)

Jumlah tanaman yang dipanen berkisar antara 274,3 (GH 3) sampai 289,7 (GH 12), sedangkan

galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 1). Tinggi tanaman yang terrendah

terlihat pada galur GH 1 (35,4 cm) dan berbeda nyata dengan galur GH 15 (45,5 cm), sedangkan dengan

galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Tabel 1. Jumlah Tanaman yang Dapat Dipanen dan Tinggi Tanaman dari 15 Galur Kacang Tanah yang Ditanam di

Lahan Kering Gerokgak, Buleleng, 2004.

No. Galur Harapan (GH) Jumlah tanaman Panen Tinggi tanaman (cm)

1.

2.

3.

4.

5. 6.

7.

8.

9. 10.

11.

12.

13. 14.

15.

GH 1

GH 2

GH 3

GH 4

GH 5 GH 6

GH 7

GH 8

GH 9 GH 10

GH 11

GH 12

GH 13 GH 14

GH 15

278,0 ab

289,0 b

274,3 a

278,7 ab

281,0 ab 276,3 ab

279,7 ab

283,0 ab

283,3 ab 281,3 ab

282,7 ab

289,7 b

286,3 ab 280,7 ab

283,3 ab

35,4 a

36,4 abc

38,7 a-d

36,3 ab

41,0 a-d 44,0 cd

43,9 bcd

39,6 a-d

37,1 abc 37,1 abc

39,8 a-d

40,5 a-d

36,7 abc 36,4 abc

45,5 d

CV% 10,0 10,0

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 0,05.

Tingkat hasil suatu tanaman ditentukan oleh interaksi antara faktor genetis dan lingkungan seperti

kesuburan tanah, ketersediaan air dan pengelolaan tanaman. Dalam pengujian daya hasil suatu varietas

biasanya digunakan paket rekomendasi yang sudah baku, baik yang berkaitan dengan pemupukan,

pengendalian hama dan penyakit, serta pengelolaan tanaman lainnya. Tingkat hasil yang diperoleh biasanya

bervariasi, tergantung kepada faktor lingkungan tumbuh seperti tersebut di atas. Pada saat pelaksanaan

pengkajian dapat dikatakan diluar musim dan diluar kebiasaan petani. Pelaksanaan tanam kacang tanah yaitu

tanam akhir bulan Juni dan panen pada bulan Oktober sehingga tanaman mengalami kekeringan.

Page 149: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

187

Jumlah polong isi per pohon tidak berbeda nyata dari semua galur harapan yang ditanam (Tabel 2).

Sedangkan jumlah polong hampa/tanaman paling rendah terlihat pada galur GH 13 (3.3) dan hasil ini tidak

berbeda nyata dengan galur-galur yang lain kecuali dengan galur GH 2 (7.7). Bobot polong basah/pohon

paling tinggi ditunjukkan oleh GH 14 (153,7 g), kemudian diikuti oleh GH 7 (133,3 g), GH 6 (132,0 g) dan

yang paling rendah adalah GH 11 (83.0 g).

Tabel 2. Komponen Hasil Kacang Tanah dari 15 Galur Yang Ditanam di Lahan Kering Gerokgak, Buleleng 2004.

No.

Galur

Harapan

(GH)

Jumlah Bobot

Polong isi/Pohon Polong hampa/

Pohon

Polong basah/

Pohon (g)

Polong kering/

pohon (g)

1.

2. 3.

4.

5.

6. 7.

8.

9.

10. 11.

12.

13.

14. 15.

GH 1

GH 2 GH 3

GH 4

GH 5

GH 6 GH 7

GH 8

GH 9

GH 10 GH 11

GH 12

GH 13

GH 14 GH 15

10.1 a

12.3 a 11.2 a

13.3 a

13.7 a

11.4 a 11.4 a

14.9 a

12.3 a

12.9 a 10.7 a

11.9 a

15.1 a

14.5 a 12.9 a

6.1 ab

7.7 b 4.9 ab

4.6 ab

3.9 a

4.6 ab 5.9 ab

4.1 a

4.5 a

5.1 ab 4.3 a

4.2 a

3.3 a

3.4 a 4.5 a

101.7 abc

113.3 abc 87.0 a

97.3 abc

94.0 ab

132.0 bcd 133.3 cd

109.3 abc

92.0 a

94.3 ab 83.0 a

98.3 abc

103.7 abc

153.7 d 108.3 abc

67.7 ab

76.0 abc 61.0 ab

69.7 ab

62.0 ab

88.3 bc 88.0 bc

73.0 ab

63.0 ab

65.3 ab 58.7 a

69.7 ab

71.3 ab

101.0 c 71.3 ab

lCV% 20.7% 36.2% 18.3% 20.1%

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf

0,05

Bobot polong kering/pohon terlihat paling tinggi pada GH 14 (101,0 g), kemudian diikuti oleh GH

6 (88,3 g), GH 7 (88,0 g) dan paling rendah terlihat pada galur GH 11 (58,7 g), sedangkan galur-galur yang

lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata (Tabel 2).

Tabel 3. Bobot Biji/Pohon, Bobot Polong Basah/Petak, Bobot Polong Kering/Petak dan Bobot 100 Biji dari 15 galur

Kacang Tanah yang Ditanam di Lahan Kering Gerokgak, Buleleng, 2004.

Galur Harapan

(GH)

Bobot Biji /pohon

(g)

Bobot polong basah/

petak (g)

Bobot polong

kering/petak (g) 100 Biji (g)

GH 1

GH 2 GH 3

GH 4

GH 5

GH 6 GH 7

GH 8

GH 9

GH 10 GH 11

GH 12

GH 13

GH 14 GH 15

43.7 ab

46.3 ab 41.3 ab

42.3 ab

47.3 ab

55.7 b 56.7 b

49.3 ab

44.0 ab

40.7 ab 37.0 a

47.3 ab

51.3 ab

57.7 b 48.0 ab

2340.3 a

2663.3 a 2956.0 a

2475.7 a

2460.7 a

2800.7 a 3078.3 a

2959.3 a

2510.3 a

2414.3 a 2308.0 a

2898.3 a

2673.7 a

2228.7 a 2498.3 a

1464.3 a

1699.0 a 1896.0 a

1654.7 a

1747.7 a

1798.3 a 1843.0 a

1471.0 a

1603.0 a

1704.0 a 1431.0 a

1874.3 a

1904.7 a

1529.3 a 1651.3 a

38.0 ab

38.3 abc 43.3 abc

40.3 abc

44.7 bc

45.0 c 43.3 abc

40.3 abc

41.3 abc

37.0 a 44.3 bc

43.0 abc

39.0 abc

40.0 abc 43.0 abc

CV% 19.8% 23.0% 26.7% 8.6%

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom dan kelompok perlakuan yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf

0,05

Pada Tabel 3 terlihat bobot biji/tan terlihat paling rendah pada galur GH 11 (37,0 g) dan galur ini

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan galur-galur yang lain kecuali dengan galur GH 6(55,7 g),

GH 7 (56,7 g) dan GH 14 (57,7 g). Bobot biji/pohon yang paling rendah pada GH 11 disebabkan oleh karena

bobot polong basah dan bobot polong kering per pohon juga rendah yaitu 83,0 g dan 58,7 g (Tabel 2). Bobot

polong basah dan bobot polong kering/petak dengan koefesien keragaman 23,0% dan 26,7%. menunjukkan

perbedaan yang tidak nyata (P>0,05) untuk semua galur yang ditanam. Sedangkan bobot 100 biji paling

Page 150: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

188

rendah terlihat pada galur GH 10 (37,0 g) dan paling tinggi pada galur GH 6 (45,0 g) sedangkan galur-galur

yang lain tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Hasil pengkajian menunjukkan bahwa berat 100 biji (g) dari semua galur kacang tanah yang

ditanam berkisar antara 37.0 g sampai 45.0 g, hal ini menunjukkan bahwa semua galur yang ditanam

mempunyai berat lebih dari 35 g yang mana berarti bahwa semua galur harapan kacang tanah yang ditanam

dapat tumbuh dan berproduksi dengan baik pada lahan kering Gerokgak. Hal ini sesuai dengan pendapat

Sudaryono (2002), yang mengatakan bahwa tanaman kacang tanah dikatakan dapat tumbuh normal dan

beradaptasi dengan baik apabila tanaman kacang tanah dapat menghasilkan lebih dar 15 polong/tan (polong

isi dan polong hampa) atau lebih dari 30 polong/rumpun (dua tanaman) dan berat 100 biji dapat mencapai

lebih dari 35 gram. Daerah pengkajian yang mempunyai sistem pengairan dengan embung merupakan

daerah yang baik untuk pengembangan pembenihan kacang tanah karena dapat diusahakan dengan tanam

diluar musim tanam. Dampak akibat dari pertanaman diluar musim petani disekitar pengkajian tidak akan

kesulitan mencari benih kacang tanah pada saat membutuhkan pada saat musim tanam.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan:

1. Dari semua galur harapan kacang tanah yang ditanam ternyata memiliki tanggapan yang berbeda

terhadap kondisi lahan kering tempat tumbuhnya, dimana galur GH 14 memberikan bobot polong basah/

pohon, bobot polong kering/pohon dan bobot biji/pohon paling tinggi yaitu sebesar 153.7 g, 101.0 g dan

57.7 g.

2. Galur GH 11 memberikan bobot polong basah, bobot polong kering dan bobot biji/pohon paling rendah

yaitu sebesar 83.0 g, 58.7 g dan 37 g., sedangkan galur-galur yang lain tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata.

3. Semua galur harapan kacang tanah yang ditanam di lahan kering Grokgak dapat tumbuh dan beradaptasi

dengan baik yang mana ditunjukkan oleh berat 100 biji semua GH melebihi 35 g

Saran

Untuk pengembangan kacang tanah di lahan kering Gerokgak perlu dilanjutkan dengan membuat

sistem perbenihan dengan cara menanam kacang tanah disekitar daerah embung sehinga tersedia benih pada

saat petani memerlukan.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. Abdul Rachim sebagai dataser pada pengkajian ini.

DAFTAR PUSTAKA

Adisarwanto, T., A.A. Rahmianna dan Suhartina. 1993. Budidaya Kacang Tanah. Dalaam Kacang tanah.

Monograf Balittan Malang. No. 12.

Anonimus. 1992. Usahatani di Lahan Kering. Departemen Pertanian. Jakarta.

Anonimus. 2000. Program Pengembangan Komoditi Kacang-kacangaan. Program Regional Peningkatan

Produksi Tanaman Pangan Wilayah Tengan Yogyakarta. Departemen Pertanian.

Anonimus. 2001. Laporan Statistik Pertanian Tanaman Pangan. Dinas Pertanian dan Peternakan Kabupaten

Buleleng.

Anonimus. 2003. Kumpulan Buku Tanaman Pangan, Tanaman Sayur, Tanaman Buah, Tanaman Kebun dan

Tanaman Obat-obataan. Badan Pengembangan Sumberdaya Manusia Pertanian. Departemen

Pertanian. Jakartaa.

Astanto Kasno (2002). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Multilokasi Tanaman Kacang-Kacangan. Makalah

disampaikan pada Pembinaan Teknis dan Manajemen Uji Multilokasi, di Balai Penelitian Kacang-

Kacangan dan Umbi-umbian, tanggal 21 -22 Desember 2002.

Page 151: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

189

Kasim, F. 2002. Konsep Pemuliaan Partsipatif dan Uji Multilokasi Jagung. Pembinaan Teknis dan

Manajemen Shuttle Breeding Palawija. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Robert G. D. Stel dan James H. Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik.

Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Sovan, M. 2004. Kebijakan Pengembangan Komoditas Kacang-kacangan dan Umbi-umbian Guna

Meningkatkan Daya Saing Petani. Kinerja Penelitian Mendukung Agribisnis Kacang-kacangan dan

Umbi-umbian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Pertanian Tanaman Pangan Bogor.

Statistik Pertanian Propinsi Bali. 1991. Kantor Wilayah Departemen Pertanian Propinsi Bali.

Sudaryono. 2002. Pemberdayaan Alfisol untuk Pengembangan Sentra Tanaman Kacang Tanah di Indonesia.

Makalah Laporan Hasil Penelitian Balitkabi 2002, Balitkabi Malang.

Sumarno and I. Manwan. 1990. National Coordinated Research Program; Grain Legumes. Central

Research Inst. For Food Crops, Bogor. 90 pp.

Suprapto, Adijaya dan Rai Yasa. 2003. Pengkajian Sistem Uasahatani Agribisnis Tanaman dan Ternak di

Lahan Marginal. Laporan Akhir Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali. Badan Litbang

Pertanian. Departemen Pertanian.

Syafruddin, S. Saenong dan M. Basir. 1991. Penampilan dan Stabilitas Hasil Galur-galur Harapan Kacang

Tanah di Sulawesi Selatan. Titian Agronomi 3:43-48.

Syafruddin dan S. Saenong. 1996. Stabilitas Hasil Genotipe Kacang Tanah (Arachis hypogaea L. Merr).

Penelitian Pertanian Tanaman Pangan. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian.

Badan Pengendalian Bimas. 1977. Pedoman Bercocok Tanam Padi, Palawija, Sayur-sayuran. Jakarta. 240 hal.

Page 152: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

190

UJI ADAPTASI BEBERAPA VARIETAS JAGUNG DI LAHAN KERING

GEROKGAK BULELENG

Putu Suratmini dan I Nyoman Adijaya

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian – Bali

ABSTRAK

Pengkajian uji adaptasi beberapa varietas jagung telah dilaksanakan di Desa Sanggalangit, Kecamatan

Gerokgak, Kabupaten Buleleng, pada tahun 2005. Pengkajian dilaksanakan dengan menggunakan Rancangan Acak

Kelompok (RAK) dengan 4 ulangan. Perlakuan jagung terdiri dari 4 varietas jagung yaitu Varietas Maros Sintetik-2,

Sukmaraga, Bisma dan Srikandi Kuning ditanam secara tugal dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm dengan 2 tanaman per lubang. Pemupukan yang diberikan adalah Urea 250 kg/ha, TSP 50 kg/ha dan KCl 50 kg/ha. Data hasil pengamatan

dianalisis dengan menggunakan Anova dan BNJ. Hasil pengkajian menunjukkan bahwa tinggi tanaman menunjukkan

perbedaan yang nyata diantara varietas yang ditanam, dimana tinggi tanaman yang tertinggi terlihat pada varietas

Srikandi Kuning (210,80 cm) dan yang terendah terlihat pada varietas Bisma (135,90 cm). Berat segar brangkasan yang tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Kuning (441,25 g/tan) dan tidak menunjukkan perbedaan yang nyata dengan

varietas Sukmaraga dan varietas Bisma, sedangkan berat segar terendah terlihat pada varietas Maros Sintetik-2 (348,68

g/tan). Berat kering berangkasan antara varietas Srikandi Kuning, Bisma dan Sukmaraga tidak menunjukkan perbedaan

yang nyata yaitu berkisar antara 109,00 g – 107,75 g/tan akan tetapi berbeda nyata dengan varietas Maros Sintetik-2 (93,75 g/tan). Berat tongkol dengan klobot (saat panen) antara keempat varietas menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

berkisar dari 21,.30-220,63 g/tan. Berat biji pipilan kering panen juga tidak menunjukkan perbedaan yang nyata, dimana

berat biji berkisar antara 114,73 g – 118,75 g/tan. Produksi biji pipilan kering per ha terlihat dari keempat varietas yang

ditanam menunjukkan perbedaan yang nyata dimana varietas Bisma memberikan hasil yang paling tinggi (5,55 t/ha) kemudian diikuti oleh varietas Maros sintetik-2 (,.41 t/ha), vareietas Sukmaraga (5,24 t/ha) dan hasil yang paling rendah

ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning (5,12 t/ha).

Kata kunci : uji adaptasi, varieas jagung, lahan kering

PENDAHULUAN

Kebutuhan jagung di dalam negeri dari tahun ke tahun terus meningkat, dalam periode 1990-2000

laju permintaan akan jagung cukup tinggi mencapai 6,4% per tahun. Sementara itu laju peningkatan

produksi hanya mencapai 5,6% per tahun. Pada tahun 2000 produksi jagung dalam negeri mencapai 9,676

juta ton, sedangkan kebutuhan jagung pada tahun yang sama mencapai 10,913 juta ton, sehingga import

diperlukan sebesar 1,237 juta ton . Import jagung diperkirakan akan terus meningkat hingga tahun 2010 yang

mencapai 2,2 juta ton (Kasryno, 2002).

Untuk mengimbangi import yang semakin tinggi maka peningkatan produksi jagung dalam negeri

perlu mendapat perhatian yang serius. Produksi jagung nasional masih dapat ditingkatkan melalui perluasan

areal tanam (ektensifikasi) utamanya pada lahan kering ataupun dengan peningkatan hasil per satuan luas

(intensifikasi).

Produktivitas jagung yang dicapai oleh petani masih relatif rendah sehingga pengembangan

usahatani jagung merupakan tantangan yang sangat mendesak (Sudaryanto dkk., 1988). Peningkatan

produksi jagung nasional melalui upaya peningkatan produktivitas dan perluasan areal tanam berlangsung

pada berbagai lingkungan ekosistem beragam mulai dari lingkungan berproduktivitas tinggi (lahan subur)

sampai yang berproduktivitas rendah (lahan marginal). Pertumbuhan dan produksi jagung sangat

dipengaruhi oleh faktor iklim (cahaya matahari dan curah hujan), kondisi lahan dan jenis jagung (varietas)

yang ditanam (Sutoro et al.,1988). Rendahnya produksi jagung di lahan petani sering disebabkan oleh

penggunaan varietas lokal dengan pengelolaan tanaman yang kurang optimal (Anonimus, 1993).

Diantara teknologi yang dihasilkan melalui penelitian, varietas unggul sangat menonjol peranannya,

baik dalam peningkatan hasil per satuan luas maupun sebagai salah satu komponen pengendalian hama dan

Penyakit (Subandi et al., 1998). Hasil Farm Record Keeping (FRK) yang dilakukan di lahan kering Desa

Patas menunjukkan bahwa petani pada umumnya membudidayakan jagung varietas lokal dengan produksi

lebih kurang 3,0 ton/ha ( Suprapto et al., 2000).

Varietas unggul yang ideal adalah berdaya hasil tinggi, tahan hama penyakit utama, dan stabil di

berbagai target lingkungan. Perbaikan varietas jagung sampai saat ini lebih banyak ditekankan pada

peningkatan potensi hasil. Dengan beragamnya agroekologi target pengembangan jagung, maka perbaikan

genetik juga dilakukan untuk mengatasi cekaman lingkungan. Sehingga untuk lahan kering pengembangan

Page 153: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

191

varietas unggul diarahkan pada varietas unggul jagung yang berdaya hasil tinggi, toleran atau tahan cekaman

biotis dan abiotis.(Kasim, 2002).

Sejak awal Pelita 1, Departemen Pertanian telah melepas sebanyak 43 varietas unggul jagung, baik

yang bersari bebas ataupun jagung hibrida. Varietas unggul bersari bebas yang popular pada PJP1 adalah

Arjuna dan Kalingga. Selain berdaya hasil tinggi, kedua varietas ini tahan terhadap penyakit bulai dan

memiliki daya adaptasi yang luas. Di Malang, varietas Arjuna mampu memberi hasil rata-rata 4,3 t/ha

(Subandi dan Manwan, 1990). Varietas Bisma yang dilepas tahun 1995 mulai popular dewasa ini karena

keunggulannya dalam beberapa pengujian di lahan kering (tegalan). Dalam kondisi kekeringan pada musim

kering 1994 di Jakenan, Pati, jagung Bisma masih mampu menghasilkan 2,0 t/ha, sedangkan Arjuna dan

Kalingga hasilnya hanya 1,0-1,1 t/ha (Budiarti et al., 1997). Hasil penelitian yang dilakukan di lahan kering

Nusa Tenggara Barat, mendapatkan bahwa produksi dari varietas jagung Maros Sintetik-2 sebesar 5.07 t/ha

(Awaludin et al., 2003)

Kasim (2002) menyatakan keragaman sistem produksi jagung di Indonesia berkaitan dengan faktor-

faktor iklim dan geografis, cekaman biotis dan abiotis, umur masak, dan tipe biji yang ditanam petani. Selain

itu terdapat pula perbedaan dalam pengelolaan pertanaman: yakni antara usahatani jagung intensif dengan

agro input tinggi sampai cara subsisten yang biasanya terkait dengan marginalitas agroekologi (Kasno, 2002).

Dengan melihat permasalahan di atas pengkajian uji adaptasi beberapa varietas jagung di lahan kering perlu

dilakukan.

BAHAN DAN METODE

Pengkajian dilaksanakan di Desa Sanggalangit, Kecamatan Gerokgak, Kabupaten Buleleng pada

tahun 2005. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) dengan 5 ulangan

( lahan petani). Pengkajian dilakukan di lahan petani akan tetapi teknik budidaya seperti penanaman,

pemupukan, penyiangan, pemberantasan hama penyakit mengunakan juknis yang sama. Pengamatan dan

pengumpulan data dilakukan oleh peneliti yang dibantu oleh detaser. Perlakuan terdiri dari 4 varietas

jagung yaitu varietas Maros Sintetik-2, Sukmaraga, Bisma dan Srikandi Kuning. Benih jagung ditanam

secara tugal dengan jarak tanam 75 cm x 40 cm dengan 2 tanaman/lubang. Luas petak adalah 3 m x 2,5m

dengan jarak antar petak adalah 0,5 m dan petani sebagai ulangan (4 petani). Pupuk dasar yang diberikan

adalah 250 kg Urea/ha, 50 kg TSP/ha dan 50 kg KCl/ha. Pemupukan Urea dilakukan sebanyak 2 kali (1/3

umur 7 hst dan 2/3 umur 35 hst). Sedangkan pupuk TSP dan KCl diberikan umur 7 hst. Penyiangan gulma

dilakukan 2 kali yaitu umur 14 hst dan 35 hst sebelum pemupukan. Parameter yang diamati adalah: tinggi

tanaman, berat segar dan berat kering brangkasan (g/tan dan t/ha), berat tongkol (g/tan dan t/ha), berat biji

pipilan kering panen (g/tan dan t/ha). Penamatan dan pengumpulan Data hasil pengamatan dianalisis dengan

menggunakan Anova dan BNT.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tinggi tanaman dari semua varietas yang ditanam menunjukkan perbedaan yang nyata (P<0,05)

dimana tinggi tanamn yang tertinggi terlihat pada varietas Srikandi Kuning (210,80 cm), yang menunjukkan

perbedaan yang nyata (P<0,05) dengan varietas Bisma (135,90 cm) sedangkan dengan varietas Sukmaraga

(186,18 ) dan Maros Sintetis-2 (203,19) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata. (Tabel 1).

Tabel 1. Tinggi Tanaman, Berat Segar Brangkasan (Saat Panen) dan Berat Kering Brangkasan (Oven).

Varietas Tinggi tanaman

(cm)

Berat segar

brangkasan

(g/tan)

Berat segar

brangkasan

(t/ha)

Berat kering

brangkasan

(g/tan)

Brat kering

brangkasan

(t/ha)

Maros S-2

Sukmaraga Bisma

Srikandi K

203,19 b

186,18 ab 135,90 a

210,80 b

348,68 a

432,38 b 419,30 b

441,25 b

17,78 a

20,38 b 20,28 b

21,49 b

93,75 a

107,75 b 109,00 b

108,25 b

4,69 a

5,18 b 5,27 b

5,25 b

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 0,05

Pada Tabel 1.terlihat bahwa berat segar dan berat kering brangkasan jagung (g/tan) dipengaruhi oleh

jenis (varietas) jagung yang ditanam, berat segar brangkasan yang paling rendah ditunjukkan oleh varietas

Maros Sintetik-2 (348,68 g/tan dan 17,78 t/ha), dimana hasil ini berbeda nyata (P<0,05) dengan hasil varietas

Sukmaraga, Bisma dan Srikandi kuning, sedangkan antara ketiga varietas tersebut tidak berbeda nyata. Berat

Page 154: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

192

segar brangkasan yang paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning (441,25 g/tan dan 21,49 t/ha).

Berat segar brangkasan baik per tanaman maupun per hektar pada varietas Srikandi kuning lebih tinggi

disbanding varietas yang lain kemungkinan disebabkan oleh karena tinggi tanaman pada varietas ini juga

paling tinggi (Tabel 1). Pada varietas Maros sintetis dan varietas Bisma terjadi hal sebaliknya dimana tinggi

tanaman lebih tinggi pada varietas Maros sintetis dibanding varietas Bisma sedangkan berat basah dan berat

kering brangkasan terlihat lebih rendah. Berat kering brangkasan yang paling tinggi ditunjukkan oleh

Varietas Bisma (109,00 g/tan dan 5,27 t/ha) akan tetapi varietas ini menunjukkan perbedaan yang tidak nyata

dengan varietas Sukmaraga dan Srikandi Kuning. Hal ini menunnjukkan bahwa pengukuran parameter tinngi

tanaman tanpa dibarengi dengan pengukuran parameter jumlah daun, indek luas daun dan diametr batang

belum menjamin berkoralasi positif dengan berat brangkasan tanaman.

Berat tongkol dengan kelobot dan berat biji pipilan kering (g/tan dan t/ha) ternyata menunjukkan

perbedaan yang nyata diantara ke empat varietas yang ditanam (Tabel 2).

Pada Tabel 2. terlihat bahwa berat tongkol dengan kelobot (g/tan) tidak menunjukkan perbedan

yang nyata (P>0,05) pada ke empat varietas yang ditanam, akan tetapi berat tongkol dengan klobot (t/ha)

terlihat paling tinggi ditunjukkan oleh variatas Bisma (10,28 t/ha), sedangkan ketiga varietas yang lainnya

tidak menunjukkan perbedaan yang nyata.

Tabel 2. Berat Tongkol Dengan Kelobot (Saat Panen), Berat Biji Pipilan Kering (g/tan) dan Berat Biji Pipilan Kering

(t/ha)

Varietas Berat tongkol dg

kelobot (g/tan)

Berat tongkol dg

kelobot (t/ha)

Berat biji pipilan

kering (g/tan)

Berat biji pipilan

kering (t/ha)

Maros S-2

Sukmaraga Bisma

Srikandi K

215,30 a

217,55 a 219,90 a

220,63 a

9,93 a

9,88 a 10,28 b

9,84 a

117,34 a

115,30 a 118,75 a

114,73 a

5,41 b

5,24 ab 5,55 b

5,12 a

Keterangan : Huruf yang sama pada kolom yang sama berarti berbeda tidak nyata pada taraf 0.05

Berat biji pipilan kering (g/tan) tidak menunjukkan perbedaan yang nyata di antara ke empat

varietas yang ditanam dimana berat biji pipilan kering (g/tan) berkisar antara 114.73-118.75 g/tan. Berat biji

pipilan kering (t/ha) tertinggi dihasilkan oleh varietas Bisma (5.55 t/ha), dimana hasil ini tidak berbeda nyata

dengan hasil varietas Maros S-2 (5.41 t/ha) dan Sukmaraga (5.24 t/ha). Varietas Srikandi kuning memberikan

hasil biji pipilan kering (t.ha) paling rendah.

KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan

Tinggi tanaman yang paling tinggi ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning (210,80 cm) dan yang

terendah terlihat pada varietas Bisma (135,90 cm). Berat segar brangkasan paling tinggi (21,49 t/ha)

ditunjukkan oleh varietas Srikandi Kuning akan tetapi berat kering brangkasan yang paling tinggi

ditunjukkan oleh varietas Bisma (5,47 t/ha).

Dari keempat varietas yang ditanam ternyata memberikan berat tongkol dengan klobot (g/tan) dan berat

biji pipilan kering (g/tan) yang tidak berbeda nyata. Sedangkan berat tongkol dengan klobot dan berat

biji pipilan kering (t/ha) terlihat paling tinggi pada varietas Bisma (10,28 t/ha dan 5,55 t/ha) dan yang

paling rendah adalah varietas Srikandi Kuning (9,84 t/ha dan 5,12 t/ha).

Saran

Untuk pengembangan jagung di lahan kering Gerokgak semua varietas yang diuji memberikan hasil

yang hampir sama sehingga petani bisa memilih varietas mana yang lebih disenangi.

Ucapan Terimakasih

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Sdr. Abdul Rachim sebagai dataser pada pengkajian ini.

Page 155: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

193

DAFTAR PUSTAKA

Anonimus. 1993. Deskripsi Varietas Unggul Palawija (Jagung, Sayuran, Kacang-kacangan dan Umbi-

umbian) (1918-1992). Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Deptan.

Awaludin H., K. Kuncoro, B.T.R. Erawati, M. Yasin HG, dan F. Kasim. 2003. Kajian Adaptasi Jagung

Bermutu Protein Tinggi di Lahan Kering Nusa Tenggara Barat. Prosiding Seminar Nasional

Revitalisasi Teknologi Kreatif dalam Mendukung Agribisnis dan Otonomi Daerah. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Sosial Ekonomi Pertanian. Badan penelitian dan Pengembangan. Deptan.

Budiarti, S.G., Sutoro dan Subandi. 1997. Uji Kekeringan beberapa varietas jagung di di rumah kaca dan di

lapang. Makalah disampaikan pada symposium Nasional dan Kongres III PERIPI. Bandung, 24-25

September 1997

Kasno, A. (2002). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Multilokasi Tanaman Kacang-kacangan. Makalah

disampaikan pada Pembinaan Teknis dan Manajemen Uji Multilokasi, di Balai Penelitian Kacang-

kacangan dan Umbi-umbian, tanggal 21 -22 Desember 2002.

Kasim, F. (2002). Petunjuk Teknis Pelaksanaan Uji Multilokasi Tanaman Jagung. Makalah disampaikan

pada Pembinaan Teknis dan Manajemen Uji Multilokasi, di Balai Penelitian Kacang-kacangan dan

Umbi-umbian, tanggal 21 -22 Desember 2002.

Kasyrno, F. 2002. Perkembangan Produksi dan Konsumsi Jagung Dunia Selama Empat Decade yang lalu

dan Implikasinya bagi Indonesia. Makalah disampaikan pada Diskusi Nasional Agribisnis Jagung.

Bogor Badan Litbang Pertanian.

Robert G. D. Stel dan James H. Torrie, 1995. Prinsip dan Prosedur Statistika, Suatu Pendekatan Biometrik.

Penerbit PT. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta.

Subandi, I. G. Ismail dan Hermanto. 1998. Jagung Teknologi Produksi dan Pascapanen. Pusat Penelitian

dan Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Bogor 37 hal.

Subandi, dan I. Manwan. 1990. Penelitian dan Teknologi Peningkatan Produksi Jagung di Indonesia.

Laporan Khusus Puslitbang Tanaman Pangan, Bogor hal. 67.

Sudaryanto, T, K. Noekman dan F. Kasryno. 1988. Kedudukan Komoditi Jagung dalam Perekonomian

Indonesia. Buku Jagung Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor 423 hal.

Suprapto, N. Adijaya, M. R. Yasa, dan K. Mahaputra. 2000. Sistem Usahatani Diversifikasi pada Lahan

Marginal. Laporan Akhir IPPTP Denpasar.

Sutoro, Y. Sulaeman, dan Iskandar. 1988. Budidaya Tanaman Jagung. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor

.

Page 156: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

194

PENGARUH PENGGUNAAN JENIS AIR PERASAN SANTAN DALAM PROSES PEMBUATAN

VIRGIN COCONUT OIL (VCO) CARA FERMENTASI TERHADAP RENDEMEN DAN MUTU

PRODUK

Dian Adi A. Elisabeth, Ni Pt. Sutami, dan Ni Wyn. Trisnawati

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Bali

ABSTRAK

Kelapa merupakan komoditas perkebunan yang memegang peranan strategis bagi masyarakat Bali. Pengolahan

minyak kelapa secara tradisional di Bali menghasilkan produk yang disebut minyak kelentik atau ‘minyak tandusan‘.

Minyak kelentik dianggap kurang sehat dan memiliki daya simpan rendah (cepat tengik) sehingga dikembangkan cara

pembuatan minyak yang meminimalisasi penggunaan panas dan bahan kimia sehingga dihasilkan minyak sehat yang bermutu baik, disebut minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO). Penelitian untuk melihat pengaruh

penggunaan jenis air perasan santan dalam proses pembuatan virgin coconut oil (VCO) cara fermentasi terhadap

rendemen dan mutu produk telah dilakukan di sentra produksi kelapa di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten

Buleleng pada bulan Mei sampai Juli 2006. Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok dengan 5 kali ulangan. Perlakuan yang digunakan adalah jenis air untuk memeras santan, yaitu air hangat (suam-suam kuku, dengan suhu antara

35 sampai 40°C) dan air kelapa, yang terdiri dari 4 faktor, yaitu : (1) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan

perbandingan 1 : 1, (2) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 2 : 1, (3) air kelapa dicampur dengan

air hangat dengan perbandingan 1 : 2, dan (4) air hangat 100%. Parameter yang diamati adalah rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh. Minyak kelapa murni dengan rendemen tertinggi kemudian dianalisis mutunya, meliputi kadar air,

kadar asam lemak bebas, bilangan peroksida, serta kandungan asam lemak. Hasil analisis menunjukkan bahwa minyak

kelapa murni yang dibuat dengan menggunakan air perasan santan dari campuran air kelapa dan air hangat dengan

perbandingan 1 : 1 menghasilkan rendemen tertinggi, yaitu 16,82 persen. Hasil analisis mutu adalah kadar air 0,22 persen, kadar asam lemak bebas 0,13 persen, dan bilangan peroksida 0,46 meq/kg minyak; dengan kandungan asam laurat 51,7

persen. Hasil analisis mutu dan kandungan asam lemak ini telah sesuai dengan standar CODEX 19-1991 rev. 2-1999.

Kata kunci : minyak kelapa murni, virgin coconut oil (VCO), cara fermentasi

PENDAHULUAN

Luas areal pertanaman kelapa di Propinsi Bali tahun 2003 adalah 71.042 hektar, dengan total

produksi sebesar 73.532,042 ton. Luas areal ini mencakup 44,6 persen dari total areal perkebunan rakyat di

Bali yang mencapai luasan sebesar 159.165 hektar (Bali Membangun, 2004). Komoditas perkebunan kelapa

memegang peranan sangat penting dan strategis bagi masyarakat Bali, baik secara ekonomis, sosial, dan

budaya.

Jenis kelapa yang mendominasi di areal pertanaman kelapa di Bali adalah kelapa dalam lokal atau

‗kelapa dalam Bali‘. Kelapa dalam merupakan jenis kelapa yang memiliki daging buah tebal dan berwarna

putih bersih. Kelapa ini memiliki kandungan minyak yang cukup tinggi dan pada umumnya dimanfaatkan

dalam pembuatan minyak. Hasil penelitian Balai Penelitian Tanaman Kelapa (Balitka) dan Institut Pertanian

Bogor (IPB) menunjukkan bahwa kadar minyak dari kelapa dalam lokal pada umur panen 11-12 bulan

mencapai 59,63 sampai 60,37 persen (Rindengan dan Novarianto, 2004). Pengolahan minyak kelapa secara

tradisional di Bali menghasilkan produk yang disebut minyak kelentik atau ‘minyak tandusan‘.

Dalam pembuatannya, minyak kelentik diproses dengan menggunakan panas yang tinggi, sehingga

minyak ini dianggap kurang memenuhi standar kesehatan karena beberapa vitamin dan asam lemak, seperti

kaprat dan kaprilat telah hilang akibat pemanasan (Fife, 2005). Selain itu, karena proses pembuatan masih

dilakukan secara tradisional, maka mutu minyak yang dihasilkan masih belum optimal. Beberapa konsumen

menyebutkan minyak kelentik yang dihasilkan masih kurang tahan simpan dan cepat menjadi tengik.

Untuk menyiasati masalah ini, dilakukan pengembangan teknologi pembuatan minyak kelapa guna

memperbaiki mutu minyak yang dihasilkan sehingga memiliki nilai kesehatan yang lebih baik. Teknik

pembuatan minyak ini menerapkan penggunaan panas yang minimal dan sama sekali tidak menggunakan

bahan kimia. Hasil produksi minyak yang diperoleh dikenal dengan nama Minyak Kelapa Murni atau Virgin

Coconut Oil (VCO). Penggunaan panas minimal dimaksudkan untuk mempertahankan kandungan kimia dan

nutrisi, terutama asam lemak di dalam minyak sehingga minyak yang dihasilkan menjadi lebih sehat dan

memiliki kandungan asam lemak yang mirip dengan buah kelapa segarnya sebelum diproses (virgin). Ciri-

ciri minyak kelapa murni adalah bening (tidak berwarna), memiliki aroma dan rasa khas buah kelapa (Alam

Syah, 2005).

Page 157: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

195

Beberapa cara pembuatan minyak kelapa murni yang telah dikenal antara lain : cara mekanis, cara

pancingan, dan cara fermentasi (Alam Syah, 2005). Pembuatan minyak kelapa murni dengan cara fermentasi

termasuk cara yang sederhana. Cara fermentasi tidak memerlukan teknologi yang terlalu rumit, peralatan

yang sederhana, dan langsung dapat menghasilkan minyak kelapa murni; oleh sebab itu, pada saat ini, cara

fermentasi lebih banyak diterapkan oleh petani-petani di lapangan untuk produksi berskala rumah tangga.

Bahan baku dalam pembuatan minyak kelapa murni cara fermentasi adalah santan dari buah kelapa segar.

Penelitian ini dilakukan untuk melihat pengaruh penggunaan jenis air perasan santan dalam proses

pembuatan virgin coconut oil (VCO) cara fermentasi terhadap rendemen dan mutu produk.

METODOLOGI

1. Bahan dan Alat

Bahan yang digunakan adalah buah kelapa yang cukup tua (umur 10-12 bulan) yang ditandai oleh

kulit luar yang telah berwarna kecoklatan, air kelapa, dan air hangat. Alat yang digunakan terdiri dari :

timbangan, alat pemarut, saringan, panci, kompor, wadah/boks plastik bening, gelas ukur, sendok sayur,

corong plastik, kertas saring, dan botol kemasan.

2. Rancangan Penelitian

Penelitian menggunakan Rancangan Acak Kelompok. Perlakuan yang digunakan adalah jenis air

untuk memeras santan, yaitu air hangat (suam-suam kuku, dengan suhu antara 35 sampai 40OC) dan air

kelapa, yang terdiri dari 4 faktor, yaitu : (1) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 1,

(2) air kelapa dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 2 : 1, (3) air kelapa dicampur dengan air

hangat dengan perbandingan 1 : 2, dan (4) air hangat 100%; dengan 5 kali ulangan. Parameter yang diamati

adalah rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh. Hasil pengamatan kemudian dianalisis dengan

menggunakan analisis sidik ragam, yang dilanjutkan dengan Uji Duncan jika hasil yang diperoleh berbeda

nyata.

Minyak kelapa murni dengan rendemen tertinggi kemudian dianalisis lebih lanjut untuk melihat

mutunya. Analisis mutu meliputi kadar air, kadar asam lemak bebas, dan bilangan peroksida yang

dilaksanakan di Laboratorium Fakultas Teknologi Pertanian, Universitas Udayana; serta analisis kandungan

asam lemak di Laboratorium Kimia Organik, Universitas Gajah Mada.

3. Waktu dan Lokasi

Penelitian dilakukan di sentra produksi kelapa di Desa Tejakula, Kecamatan Tejakula, Kabupaten

Buleleng pada bulan Mei sampai Juli 2006 dengan melibatkan anggota kelompok wanita tani secara

langsung.

4. Metode Pembuatan Virgin Coconut Oil (VCO)

(Sumber : Balitbangtan, 1987 dan Indonext, 2004 yang telah dimodifikasi)

Gambar 1. Prosedur pembuatan minyak kelapa murni cara ferementasi

Kelapa Tua

(10 – 12 bulan)

Kupas, cungkil

Cuci, tiriskan, parut, tambah air, Peras

Diamkan 4-6 jam

Pisahkan

Campur dengan air kelapa yang

telah terfermentasi

Diamkan 15-24 jam

Panaskan

Daging buah kelapa

Santan

Endapan, Air + Santan Prima/Kental

Minyak Kelapa Murni + Blondo Putih

Minyak Kelapa + Blondo Coklat

Kelapa Tua

(10 – 12 bulan)

Kupas, cungkil

Cuci, tiriskan, parut, tambah air, Peras

Diamkan 4-6 jam

Pisahkan

Campur dengan air kelapa yang

telah terfermentasi

Diamkan 15-24 jam

Panaskan

Daging buah kelapa

Santan

Endapan, Air + Santan Prima/Kental

Minyak Kelapa Murni + Blondo Putih

Minyak Kelapa + Blondo Coklat

Page 158: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

196

HASIL DAN PEMBAHASAN

Menurut Winarno (1997), lemak atau minyak dapat diekstraksi dari jaringan hewan dan tanaman

dengan tiga cara, yaitu rendering atau pemanasan, pengepresan (pressing), dan dengan menggunakan pelarut.

Dalam pembuatan minyak kelapa murni, proses sebaiknya dilakukan dengan meminimalkan penggunaan

panas dan bahan kimia; oleh karena itu, untuk mengekstraksi komponen minyak dari santan digunakan panas

minimum. Pada suhu 35°C asam kaprat akan mulai terurai, dan pada suhu di atas 60°C asam-asam lemak

yang lain, seperti kaproat dan kaprilat menguap (Duryatmo, 2005). Dasar inilah yang digunakan untuk

memilih air hangat (suam-suam kuku, dengan suhu antara 35 sampai 40°C) sebagai air perasan santan.

Sementara, penggunaan air kelapa sebagai perlakuan air perasan santan (termasuk juga untuk starter

pada proses fermentasi santan kental) didasarkan pada aspek pemanfaatan, karena selama ini air kelapa hanya

menjadi limbah dari buah kelapa, padahal ketersediaannya dapat mencapai sekitar 25 persen dari berat total

buah kelapa (Jefri dan Kaunang, 1990). Air kelapa mengandung bahan kimia dan nutrisi yang cukup tinggi

dan beragam, yang juga berfungsi sebagai zat perangsang tumbuh yang berguna bagi perkembangan mikroba

(Rumokoi, 1991), termasuk juga mikroba yang berperan membantu proses pemisahan komponen minyak dari

santan.

Tabel 1. Rendemen Minyak Kelapa Murni

Perlakuan

Jumlah

Kelapa

(butir)

Berat

Kelapa

Parut

(gram)

Jumlah

Santan

(ml)

Jumlah

Santan

Kental

(ml)

Jumlah

Minyak

Kelapa

Murni (ml)

*) Rendemen

Minyak

Kelapa Murni

(%)

**) Rendemen

Minyak

Kelapa Murni

(%)

Air kelapa : air hangat = 1 : 1

9,40 5.160 11.680 3.600 600 5,12 c 16,82 b

Air kelapa : air hangat = 2 : 1

9,00 4.570 11.650 2.650 98 0,84 a 3,17 a

Air kelapa : air

hangat = 1 : 2 9,00 4.540 11.410 2.866 367 3,22 bc 12,99 b

Air hangat 100%

10,00 4.880 12.700 3.830 355 2,79 ab 9,27 ab

Keterangan :

*) Rendemen minyak kelapa murni (kolom 7) dihitung sebagai persentase perbandingan jumlah minyak kelapa murni

yang diperoleh (kolom 6) dengan jumlah santan (kolom 4). **) Rendemen minyak kelapa murni (kolom 8) dihitung sebagai persentase perbandingan jumlah minyak kelapa murni

yang diperoleh (kolom 6) dengan jumlah santan kental (kolom 5).

Hasil analisis sidik ragam menunjukkan bahwa perlakuan air perasan santan berpengaruh pada

rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh (Tabel 1). Rendemen minyak kelapa murni yang diperoleh

dari perlakuan air kelapa yang dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 1 menghasilkan

rendemen minyak kelapa murni tertinggi, yaitu 16,82 persen. Hasil ini tidak berbeda nyata dengan

perlakuan air kelapa yang dicampur dengan air hangat dengan perbandingan 1 : 2. Sementara, rendemen

minyak kelapa murni terendah diperoleh dari perlakuan air kelapa yang dicampur dengan air hangat dengan

perbandingan 2 : 1, yaitu 3,17 persen. Rendahnya rendemen minyak kelapa murni yang didapatkan

kemungkinan disebabkan oleh lebih sedikitnya volume air hangat yang digunakan sebagai air perasan santan

pada perlakuan ini; sementara telah disebutkan sebelumnya bahwa panas merupakan salah satu cara untuk

mengekstrak lemak/minyak dari jaringan tanaman.

Analisis mutu produk minyak kelapa murni dilakukan terhadap beberapa sifat kimia, meliputi

analisis bilangan peroksida, asam lemak bebas, dan kadar air dari produk dengan rendemen minyak kelapa

murni tertinggi, yaitu minyak kelapa murni yang dibuat dari campuran air kelapa dan air hangat dengan

perbandingan 1 : 1 untuk air perasan santannya (Tabel 1). Hasil analisis menunjukkan bahwa mutu minyak

kelapa murni yang dibuat telah sesuai dengan standar yang dipersyaratkan, yaitu standar CODEX 19-1991

rev.2-1999. Hasil analisis mutu kimia selengkapnya dapat dilihat pada Tabel 2.

Tabel 2. Hasil Analisis Mutu Kimia Minyak Kelapa Murni

No. Karakteristik Standard CODEX 19-1991 rev. 2-1999

(Alam Syah, 2005) Kandungan

1. Kadar air Maks. 0,1 – 0,5 0,22

2. Kadar asam lemak bebas ≤ 0,5% 0,13%

3. Bilangan peroksida ≤ 3 meq/kg minyak 0,46 meq/kg minyak

Page 159: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

197

Hasil analisis kadar air minyak kelapa murni sebesar 0,22 persen menunjukkan bahwa kandungan

air dalam minyak kelapa murni sangat rendah dan rendahnya kadar air inilah yang memungkinkan minyak

kelapa murni tahan lama untuk disimpan dan tidak cepat menjadi tengik. Air, baik yang terdapat di dalam

minyak maupun yang berasal dari udara adalah penyebab utama terjadinya ketengikan hidrolisis. Hidrolisis

lemak menghasilkan gliserol dan asam-asam lemak bebas (Alam Syah, 2005).

Asam lemak bebas dengan berat molekul rendah, bersama dengan campuran aldehid, keton, asam-

asam oksi dan hidroksi adalah komponen yang terbentuk pada proses kerusakan minyak. Asam lemak bebas

terdapat di dalam minyak atau lemak sejak bahan mulai dipanen dan jumlahnya akan terus bertambah selama

proses pengolahan dan penyimpanan (Alam Syah, 2005). Keberadaan asam lemak bebas biasanya dijadikan

indikator awal terjadinya kerusakan minyak (Budijanto, dkk, -). Hasil analisis kadar asam lemak bebas

minyak kelapa murni sebesar 0,13 persen menunjukkan bahwa minyak tersebut memiliki kualitas yang bagus.

Menurut Salunkhe, et. al. (1992), minyak kelapa mentah yang berkualitas bagus memiliki kandungan asam

lemak bebas sampai dengan 3 persen.

Analisis bilangan peroksida digunakan untuk menentukan tingkat kerusakan oksidasi minyak atau

lemak. Kerusakan oksidasi berlangsung apabila terjadi kontak antara sejumlah oksigen dengan minyak atau

lemak. Senyawa peroksida merupakan produk yang terbentuk pada awal proses oksidasi, yang sifatnya tidak

stabil dan mudah terdekomposisi (Budijanto, dkk, -). Hasil analisis bilangan peroksida sebesar 0, 46 meq/kg

minyak menunjukkan bahwa tingkat kerusakan oksidasi minyak kelapa murni masih sangat rendah.

Secara umum, nilai asam lemak bebas dan bilangan peroksida yang sangat rendah menunjukkan

bahwa minyak kelapa murni lebih tahan terhadap ketengikan dibandingkan minyak kelapa biasa (minyak

kelentik).

Selain itu, untuk produk minyak kelapa murni yang dibuat juga dilakukan analisis kandungan asam

lemak. Hasil analisis menunjukkan bahwa kandungan asam lemak dari produk minyak kelapa murni yang

dibuat telah sesuai dengan standar CODEX 19-1991 rev.2-1999. Hasil selengkapnya dapat dilihat pada

Tabel 3.

Tabel 3. Hasil Analisis Kandungan Asam Lemak Minyak Kelapa Murni

No. Jenis Asam Lemak Standard CODEX 19-1991 rev. 2-1999

(Alam Syah, 2005) Kandungan

1. C6:0 asam kaproat 0,4 – 0,6 % 0,5%

2 C8:0 asam kaprilat 5,0 – 10,0 % 8,4%

3. C10:0 asam kaprat 4,5 – 8,0 % 7,1%

4. C12:0 asam laurat 43,0 – 53,0 % 51,7%

5. C14:0 asam miristat 16,0 – 21,0 % 17,4%

6. C16:0 asam palmitat 7,5 – 10,0 % 7,1%

7. C18:0 asam stearat 2,0 – 4,0 % 2,2%

8. C18:1 asam oleat 5,0 – 10,0 % 4,9%

9. C18:2 asam linoleat 1,0 – 2,5 % 0,8%

10. C18:3 – C24:1 <0,5 % Tidak tercantum

Kandungan asam laurat yang tinggi merupakan ciri khas dari produk minyak kelapa murni, sehingga

berdasarkan kandungan asam lemaknya minyak kelapa digolongkan ke dalam minyak laurat. Kandungan

asam laurat yang didapatkan dari hasil pengukuran adalah 51,7 persen, dengan total kandungan asam lemak

rantai sedang sebesar 67,7 persen (Tabel 3).

Asam lemak yang terdapat pada minyak kelapa terdiri dari 90 persen asam lemak jenuh dan 10

persen sisanya adalah asam lemak tak jenuh berupa oleat dan linoleat. Kandungan asam lemak jenuh dalam

minyak kelapa murni yang dibuat didominasi oleh laurat (51,7 persen) dan miristat (17,4 persen). Tingginya

asam lemak jenuh ini menyebabkan minyak kelapa murni tahan terhadap proses ketengikan akibat oksidasi

(Alam Syah, 2005).

KESIMPULAN

Minyak kelapa murni atau virgin coconut oil (VCO) yang dibuat dengan menggunakan air perasan

santan dari campuran air kelapa dan air hangat dengan perbandingan 1 : 1 menghasilkan rendemen tertinggi,

yaitu 16,82 persen. Hasil analisis mutu dari produk minyak kelapa murni yang dibuat adalah kadar air 0,22

persen, kadar asam lemak bebas 0,13 persen, dan bilangan peroksida 0,46 meq/kg minyak. Nilai kadar air,

kadar asam lemak bebas, dan bilangan peroksida yang rendah menunjukkan bahwa produk minyak kelapa

Page 160: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

198

murni memiliki ketahanan simpan yang tinggi dan tidak cepat tengik. Kandungan asam laurat produk minyak

kelapa murni yang dibuat adalah 51,7 persen. Hasil analisis mutu dan kandungan asam lemak ini telah

memenuhi persyaratan standar, yaitu CODEX 19-1991 rev. 2-1999.

DAFTAR PUSTAKA

Alam Syah, A.N. 2005. Virgin Coconut Oil. Minyak Penakluk Aneka Penyakit. Agromedia Pustaka. Jakarta.

Balitbangtan. 1997. Pengolahan Buah Kelapa dan Hasil Ikutannya. BPTP Biromaru, Manado.

Budijanto, S, N. Andarwulan, D. Herawati. -. Kimia dan Teknologi Lipida (Modul Praktikum). Jurusan

Teknologi Pangan dan Gizi, FATETA, IPB, Bogor.

Duryatmo, S. 2005. Singkap Khasiat VCO. Artikel dalam Majalah Trubus edisi 427 (XXXVI), Juni 2005.

Fife, B. 2005. Kembalilah ke Minyak Kelapa. Artikel dalam Majalah Trubus edisi 428 (XXXVI), Juli 2005.

Indonext. 2004. Minyak Kelapa Tahan Simpan. Diakses dari ― www.indonext.com.‖ Minggu, 30 Oktober

2004.

Jefri dan R. Kaunang. 1990. Air Kelapa sebagai Substitusi Pakan Ternak. Buletin Balitka No. 11, Manado.

Mei 1990 hal 41-45.

Rindengan, B dan Hengki N. 2004. Pembuatan dan Pemanfaatan Minyak Kelapa Murni. Penebar Swadaya,

Jakarta.

Rumokoi, M.M.M. 1991. Aspek Mikrobiologis dalam Budidaya Tanaman, Pengolahan, Diversifikasi dan

Kerusakan Produk Kelapa. Buletin Balitka No. 13, Manado. Januari 1991. Hal 18-24.

Salunkhe, J. K., R. N. Chavan, S. S. Adsule, dan Khadam. 1992. World Oilseeds : Chemistry, Technology,

and Utilization. New York : AVI Book Publ. by van Nostrans Reinhold.

Winarno, F.G. 1997. Kimia Pangan dan Gizi. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Page 161: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

199

KERAGAAN GALUR-GALUR PADI TOLERAN KERACUNAN BESI DI LAHAN SULFAT

MASAM KALIMANTAN SELATAN

Aidi Noor, M. Sabran dan Rina D. Ningsih

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

ABSTRAK

Keracunan besi merupakan kendala utama pada lahan pasang surut jenis tanah sulfat masam yang

menyebabkan terhambatnya pertumbuhan tanaman yang berakibat rendahnya hasil panen dan bahkan pada keracunan besi yang berat dapat menyebabkan kegagalan panen. Penggunaan varietas toleran merupakan salah satu cara mengatasi

keracunan besi di lahan sulfat masam yang lebih murah dibandingkan teknologi produksi lainnya seperti penggunaan

bahan amelioran dan pemupukan. Untuk mengetahui adaptasi dan toleransi galur-galur padi terhadap keracunan besi

telah dilakukan pengujian sebanyak 7 galur yang telah diketahui toleran Fe dalam kegiatan observasi tahun sebelumnya (MH.2003/04) dengan 3 varietas pembanding (Margasari, Banyu Asin, dan Lambur). Pengujian dilaksanakan di lahan

sulfat masam Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan pada MK. 2004 dan MK. 2005. Padi ditanam

dengan jarak tanam 25x25 cm pada petak percobaan berukuran 4x5 cm, menggunakan rancangan acak kelompok dengan

ulangan 3 kali. Hasil pengujian menunjukkan 7 galur yang diuji selama 2 musim tanam termasuk toleran terhadap keracunan besi dengan rata-rata nilai skoring Fe pada dua musim tanam berkisar antara 2.8-3.7. Hasil gabah dari 7 galur

yang diuji berkisar antara 3.0-4.4 t/ha atau meningkat 5.2-52.4 % dibandingkan varietas pembanding dengan hasil gabah

tertinggi Banyu Asin (2.9 t/ha).

Kata kunci : galur-galur padi, toleran keracunan besi, sulfat masam.

PENDAHULUAN

Meningkatnya kebutuhan terhadap pangan dari tahun ketahun seiring dengan meningkatnya jumlah

penduduk mengisyaratkan perlunya meningkatkan produktivitas padi di Indonesia. Salah satu alternatif

pengembangan areal pertanian adalah ke lahan-lahan marginal di luar Jawa seperti lahan pasang surut. Lahan

pasang surut di Kalimantan Selatan yang mempunyai potensi untuk pengembangan tanaman pangan

khususnya padi adalah seluas 201.77 ha (Diperta, 2004), dan 80% dari total luas lahan pasang surut

umumnya didominasi oleh tanah sulfat masam (Noorsyamsi dan Sarwani, 1989).

Produktivitas padi di Kalimantan Selatan di lahan pasang surut masih rendah, yaitu rata-rata 3,2

t/ha (Diperta, 2004). Rendahnya produksi padi di lahan ini disebabkan oleh organisme pengganggu tanaman,

kahat hara, kemasaman yang tinggi, keracunan Al, Fe dan H2S (Sarwani et al, 1994). Varietas-varietas padi

berpotensi tinggi yang telah dilepas sering tidak mampu menampilkan potensinya secara maksimal dan

hasilnya sangat rendah di lahan pasang surut karena peka keracunan besi (Ismunadji dan Ardjasa, 1989;

Ismunadji et al., 1989; Anwarhan dan Sulaiman, 1985). Keracunan besi merupakan kendala utama pada

sawah bukaan baru dan lahan rawa berdrainase jelek, dan lahan sawah di daerah cekungan (Harahap et al.,

1989; Sarwani et al., 1994). Hasil-hasil penelitian menunjukkan keracunan besi pada padi di lahan pasang

surut merupakan gejala yang umum, dan dapat menurunkan hasil sebesar 50-90%. Penelitian Ismunadji et al

(1973) di Cihea memperlihatkan bahwa tanaman yang keracunan besi menghasilkan padi 52% lebih rendah

dibandingkan tanaman yang sehat. Pada tanaman padi yang terserang berat pertumbuhan sangat jelek,

anakan tidak tumbuh sehingga hasil yang didapatkan sangat rendah.

Untuk meningkatkan produktivitas pada lahan ini sebagai sumber produksi padi diperlukan

teknologi yang tepat. Penggunaan varietas toleran merupakan salah satu cara mengatasi keracunan besi di

lahan sulfat masam yang lebih murah dibandingkan teknologi produksi lainnya seperti penggunaan bahan

amelioran dan pemupukan. Menurut Daradjat (2001), varietas unggul merupakan salah satu komponen

teknologi yang memiliki peran nyata dalam meningkatkan produksi dan kualitas hasil komoditas pertanian.

Selama ini sumbangan varietas unggul terhadap peningkatan produksi padi nasional cukup besar (Soewito et

al., 1995). Penelitian ini bertujuan untuk melihat potensi hasil galur-galur padi dan toleransinya terhadap

keracunan besi di lahan sulfat masam.

Page 162: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

200

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilaksanakan selama dua musim tanam pada MK.2004 dan MK. 2005 di lahan pasang

surut sulfat masam di Blandean, Kabupaten Barito Kuala, Kalimantan Selatan.

Galur yang diuji sebanyak 7 galur yang telah diketahui toleran Fe dalam kegiatan observasi tahun

sebelumnya (MH. 2003/04) dengan 3 varietas pembanding (Margasari, Banyu Asin, dan Lambur). Padi pada

umur semai 21 hari ditanam dengan jarak tanam 25 x 25 cm ditanam pada petak percobaan berukuran 4x5 m

yang disusun dalam rancangan acak kelompok, dengan ulangan 3 kali. Pemupukan seperti N, P, K dilakukan

berdasarkan rekomendasi pemupukan setempat yaitu Urea = 200 kg/ha, SP-36 = 100 kg/ha, dan KCl = 100

kg/ha. Pupuk N (Urea) diberikan 2 kali pada saat tanam dan 30 hari setelah tanam, sedangkan pupuk P (SP-

36) dan K (KCl) diberikan sekaligus pada saat tanam. Pemeliharaan berupa penyiangan gulma dilakukan 2 x,

umur 4 minggu dan 7 minggu setelah tanam. Pengendalian hama penyakit dilakukan sesuai rekomendasi

yang berlaku.

Data yang dikumpulkan meliputi: gejala keracunan besi pada saat akhir vegetatif, tinggi tanaman,

umur panen, hasil dan komponen hasil (jumlah malai/rumpun, jumlah gabah isi/malai.

Skoring Keracunan Besi (IRRI, 1996) :

Skoring Fe Gejala pada tanaman Toleransi

1 Pertumbuhan dan pembentukan anakan normal Toleran

2 Pertumbuhan dan pembentukan anakan hampir normal, pada ujung daun tua terdapat bercak (spot) berwarna coklat kemerahan atau orange

Toleran

3 Pertumbuhan dan pembentukan anakan hampir normal, daun tua berwarna

coklat kemerahan, ungu atau kuning orange

Toleran

5 Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat, beberapa daun berwarna coklat kemerahan atau kuning orange

Agak toleran

7 Pertumbuhan dan pembentukan anakan terhambat/terhenti, banyak daun (hampir

semua daun) berwarna coklat kemerahan atau kuning orange

Peka

9 Hampir semua tanaman mati. Sangat Peka

HASIL DAN PEMBAHASAN

Karakteristik Tanah Percobaan

Dari hasil analisis tanah dapat dilihat beberapa kendala yang dihadapi untuk pertanaman padi di

lahan ini adalah kemasaman tanah yang tinggi (pH 3,84) dan kandungan Fe (719 ppm) dan Al-dd yang tinggi

(8,66 me/100 g), serta ketersediaan P dan Ca yang rendah (Tabel 1).

Tabel 1. Karakteristik Tanah Percobaan di Lahan Pasang Surut, Blandean, Barito Kuala

Ciri-ciri tanah Nilai Kriteria

pH (H2O) 3,84 SM

C Organik (%) 9,20 T

N total 0,27 R

P Bray I (mg kg-1 P2O5) 2,81 SR

P total (mg 100g-1 P2O5 ) 16,67 R

Susunan kation

Ca (cmol kg-1) 0,06 SR

Mg (cmol kg-1) 0,73 R

K (cmol kg-1) 0,57 S

Na (cmol kg-1) 0,83 S

KTK (cmol kg-1) 43,85 T

Al-dd (cmol kg-1) 8,66 -

Fe (ppm) 719,18 T

Tekstur (%) :

Pasir 0,63

Debu 45,28 Liat

Liat 54,09

Keterangan : SM = Sangat Masam, SR = Sangat Rendah, R = Rendah, S = Sedang, T = Tinggi.

Salah satu yang menjadi masalah dalam pertanaman padi di lahan pasang surut sulfat masam adalah

masalah keracunan besi, sehingga salah satu tujuan dalam melakukan evaluasi galur-galur padi adalah untuk

Page 163: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

201

mendapatkan varietas yang toleran terhadap keracunan besi. Keracunan besi merupakan kendala yang utama

terutama di lahan pasang surut, sawah bukaan baru, sawah berdrainase jelek dan daerah depresi yang

tersebar di Jawa, Sumatera, Kalimantan dan Sulawesi (Harahap et al., 1989). Luas pertanaman padi sawah

yang keracunan besi di Indonesia sekitar satu juta ha, angka ini bertambah lagi bila ditanami varietas IR-64

dan PB 26, terlebih bila diikuti dengan pemupukan N yang tidak diimbangi dengan pemupukan P dan K

(Ottow et al., 1982; Prade et al., 1988; Ismunadji dan Ardjasa, 1988).

Penilaian keracunan besi

Hasil pengamatan jegala keracunan besi pada tanaman padi fase akhir vegetatif menunjukkan galur-

galur padi yang ditanam pada musim tanam MK. 2004 berkisar antara 2,3-3,7 dengan varietas pembanding

1,3-3,7 sedangkan pada musim tanam MK. 2005 skoring keracunan besi agak lebih tinggi yaitu antara 3,3 -

3,7 dengan varietas pembanding antara 3,0-4,3. Rata-rata pengamatan keracunan besi pada galur-galur padi

selama dua musim tanam menunjukkan tanaman padi termasuk toleran terhadap keracunan besi yaitu

berkisar antara 2,8-3,7 (Tabel 2).

Cekaman lingkungan yang berat di lahan pasang surut sulfat masam Blandean yang dapat dilihat

dari hasil analisis tanah (Tabel 1) dengan pH yang sangat masam, dan kandungan unsur meracun Al dan Fe

yang tinggi. Dalam keadaan tergenang konsentrasi Fe dalam larutan tanah akan meningkat dan daya oksidasi

akar tanaman juga menjadi lemah mengakibatkan kadar besi yang larut semakin mudah diserap oleh

tanaman. Mekanisme keracunan besi dimulai dari meningkatnya permeabilitas sel-sel akar terhadap ion Fe2+

seiring dengan meningkatnya aktivitas mikroba pereduksi Fe di daerah perakaran tanaman, sehingga

penyerapan ion ferro meningkat pesat. Reduksi Fe3+

yang terjadi di daerah perakaran secara terus menerus

menyebabkan rusaknya oksidasi Fe sehingga influks Fe2+

tidak terkendali masuk dalam perakaran padi.

Keracunan Fe pada tanaman padi juga berhubungan dengan berbagai faktor seperti stres berbagai hara (K, P,

Ca, dan/atau Mg) yang cenderung mengurangi kemampuan oksidasi akar, kondisi lingkungan seperti drainase

buruk dan tanah selalu tergenang, maupun varietas yang peka keracunan Fe seperti IR-64 (Makarim dan

Supriadi, 1989; Makarim et al., 1989; Ottow et al., 1982).

Tabel 2. Hasil Pengamatan Gejala Keracunan Besi pada Tanaman Padi Pertumbuhan Vegetatif Akhir, Blandean, MK.

2004 dan MK. 2005

No. Nama galur/var Skoring keracunan Fe akhir vegetatif

Rata-rata MK.04 MK.05

1 B8239G-KN-13 3,3 3,7 3,5

2 IR58511 3,0 3,3 3,2

3 B10214F-KN-2-3-1-2 3,7 3,7 3,7

4 B9851-D-Mr-15-1 3,0 3,3 3,2

5 IR50584-1-1-Mr-1 3,0 3,3 3,2

6 IR61242 3,0 3,3 3,2

7 IR35664 2,3 3,3 2,8

8 Margasari 1,3 3,0 2,2

9 Banyu Asin 3,7 4,3 4,0

10 Lambur 3,7 3,7 3,7

Rata-rata 3,0 3,5

Nilai skoring besi menunjukkan seberapa berat tanaman keracunan, semakin tinggi nilai skoring

semakin berat tanaman keracunan besi dan semakin rendah nilai skoring semakin ringan keracunan. Pada

nilai skoring 5 menunjukkan tanaman peka terhadap keracunan besi sedangkan pada nilai 3 menunjukkan

tanaman toleran terhadap keracunan besi. Nilai skoring Fe berkorelasi dengan banyaknya Fe yang diserap

oleh tanaman yang ditunjukkan oleh gejala yang dimulai pada ujung daun tua terdapat bercak (spot)

berwarna coklat kemerahan atau oranye, pada keracunan besi yang berat akan menyebabkan terhambatnya

pertumbuhan dan pembentukan anakan.

Tanaman padi yang keracunan besi disebabkan tingginya serapan besi (>300 ppm) pada tanaman

padi, penyebabnya beragam bisa disebabkan oleh faktor-faktor tanah seperti kandungan Fe tinggi, pH rendah

(van Bremen dan Moorman, 1978), kahat hara dan keseimbangan hara (Tanaka dan Tadano, 1972; Benckiser

et al., 1982). Konsentrasi besi di dalam tanah yang dapat menyebabkan keracunan besi di dalam tanah

menurut beberapa hasil penelitian tergantung dengan pH tanah. Dalam tanah pada konsentrasi Fe 100 ppm

dengan pH 3.7 dan konsentrasi Fe 300 ppm dengan pH 5.0 dapat meracun bagi tanaman (Tadano dan

Yoshida, 1978). Hasil penelitian Sulaiman et al., 1997) menunjukkan batas kritis konsentrasi Fe (ekstraksi

1N NH4OAC pH 4,8) di dalam tanah yang dapat menyebabkan keracunan besi pada tanaman di lahan pasang

Page 164: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

202

surut adalah 260 ppm Fe, sedangkan batas kritis keracunan Fe jaringan tanaman padi IR-64 adalah sebesar

200 ppm Fe.

Toleransi tanaman padi terhadap keracunan besi diperkirakan disebabkan oleh perbedaan

kemampuan tanaman dalam mengurangi serapan Fe dalam tanaman padi. Sampai sekarang belum diketahui

secara pasti bagaimana mekanisme tanaman dalam mencegah atau mengurangi serapan Fe dalam tanaman,

walaupun telah lama diketahui adanya perbedaan varietas padi dalam toleransinya terhadap keracunan besi

(Ponnamperuma, 1982).

Pertumbuhan tanaman

Rata-rata tinggi tanaman galur-galur padi yang ditanam selama dua musim tanam berkisar antara

73,2-84,2 cm dengan varietas pembanding antara 73,7-75,9 cm. Pengamatan terhadap umur panen galur-

galur yang ditanam selama dua musim tanam termasuk berumur sedang yaitu berkisar antara 120,8-123,2

hari, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 118,7-120,5 hari (Tabel 3).

Tabel 3. Tinggi dan Umur Panen Tanaman Padi, Blandean, MK. 2004 dan MK. 2005

No Nama galur/var Tinggi tanaman (cm) Rata-

rata

Umur panen (hari) Rata-

rata MK.04 MK.05 MK.04 Mk.05

1 B8239G-KN-13 78 80,57 79,3 121,0 124,0 122,5

2 IR58511 75 81,63 78,2 121,0 124,7 122,9

3 B10214F-KN-2-3-1-2 72 74,67 73,2 119,0 123,0 121,0

4 B9851-D-Mr-15-1 81 79,33 80,2 120,3 123,7 122,0

5 IR50584-1-1-Mr-1 79 73,8 76,5 118,3 123,3 120,8

6 IR61242 80 83 81,4 121,0 125,3 123,2

7 IR35664 88 80,23 84,2 121,0 124,0 122,5

8 Margasari 102 101,13 101,4 116,0 125,0 120,5

9 Banyu Asin 77 70,3 73,7 116,3 121,0 118,7

10 Lambur 80 72,1 75,9 119,0 121,3 120,2

Rata-rata 81,1 79,7 119,3 123,5

Hasil dan komponen hasil

Hasil dan komponen hasil galur-galur yang diuji selama dua musim tanam disajikan pada Tabel 4

dan 5 berikut.

Pengamatan jumlah malai per rumpun selama dua musim tanam menunjukkan rata-rata galur-galur

padi yang ditanam berkisar antara 14,5-17,7, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 12,5-16,8.

Rata-rata jumlah gabah isi per malai galur-galur yang ditanam selama dua musim tanam berkisar antara 81,8-

123,5, sedangkan varietas pembanding berkisar antara 88,3-96,3 (Tabel 4).

Tabel 4. Komponen Hasil Tanaman Padi, Blandean, MK. 2004 dan MK. 2005.

No. Nama galur/var

Jumlah

malai/rumpun Rata-

rata

Jumlah gabah isi/

malai Rata-

rata MK.04 MK.05 MK.04 MK.05

1 B8239G-KN-13 13,6 16,7 15,1 109,6 127,4 118,5

2 IR58511 15,2 14,2 14,7 93,0 106,7 99,9

3 B10214F-KN-2-3-1-2 15,0 14,0 14,5 80,7 82,8 81,8

4 B9851-D-Mr-15-1 14,4 16,8 15,6 117,3 129,7 123,5

5 IR50584-1-1-Mr-1 17,7 17,8 17,7 69,6 80,7 75,1

6 IR61242 15,9 15,1 15,5 118,1 111,6 114,8

7 IR35664 15,8 14,1 15,0 120,9 108,5 114,7

8 Margasari 17,8 15,8 16,8 82,9 96,7 89,8

9 Banyu Asin 15,8 12,6 14,2 81,6 95,0 88,3

10 Lambur 12,7 12,3 12,5 101,5 91,1 96,3

Rata-rata 15,4 14,9 97,5 103,0

Hasil gabah galur-galur dan varietas yang diuji selama dua musim tanam menunjukkan rata-rata

hasil pada MK. 2004 lebih tinggi dibandingkan pada musim tanam MK. 2005. Pada musim tanam MK. 2004

hasil gabah galur-galur yang diuji berkisar antara 3,61- 5,09 t/ha dengan hasil gabah tertinggi diperoleh oleh

galur IR 35664 (5,09 t/ha), sedangkan pada MK. 2005 hasil gabah berkisar antara 2,98-3,84 t/ha dengan hasil

tertinggi galur IR 61242 (3,84 t/ha). Rata-rata hasil gabah selama dua musim tanam galur-galur yang diuji

Page 165: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

203

berkisar antara 3,0-4,4 t/ha dengan hasil tertinggi diperoleh pada galur IR 35664 (4,4 t/ha). Hasil gabah galur-

galur yang diuji meningkat sebesar 5,2-52,4% dibandingkan denagan varietas pembanding Banyu Asin (2,9

t/ha). Dari hasil Tabel 5 menunjukkan galur-galur yang diuji selama dua musim tanam memberikan hasil

yang lebih tinggi sampai >20%, kecuali satu galur yang hasilnya hanya lebih tinggi 5,2% (B10214F-KN-2-3-

1-2) dibandingkan varietas pembanding.

Tabel 5. Hasil Gabah Tanaman Padi, Blandean, MK. 2004 dan MK. 2005.

No. Nama galur/var Hasil gabah (t/ha)

Rata-rata Peningkatan terhadap

Banyu Asin (%) MK.04 MK.05

1 B8239G-KN-13 4,28 3,21 3,7 29,9

2 IR58511 4,51 2,98 3,7 30,0

3 B10214F-KN-2-3-1-2 3,61 2,46 3,0 5,2

4 B9851-D-Mr-15-1 4,38 3,09 3,7 29,5

5 IR50584-1-1-Mr-1 4,11 3,03 3,6 23,9

6 IR61242 4,45 3,84 4,1 43,9

7 IR35664 5,09 3,70 4,4 52,4

8 Margasari 3,34 2,31 2,8 -

9 Banyu Asin 3,46 2,31 2,9 -

10 Lambur 3,24 2,01 2,6 -

Rata-rata 4,0 2,9

Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa untuk meningkatkan produktivitas padi di lahan pasang

surut sulfat masam diperlukan varietas adaptif yang toleran terhadap keracunan besi dengan potensi hasil

tinggi. Dari galur-galur yang diuji menunjukkan tidak semua galur yang mempunyai toleransi lebih tinggi

terhadap keracunan besi mempunyai potensi hasil lebih tinggi dibandingkan galur lain yang toleransinya

terhadap keracunan besi lebih rendah. Sehingga pemilihan galur selain melihat toleransinya terhadap

keracunan besi, juga mempertimbangkan potensi hasilnya serta penilaian penerimaan fenotipik yang dinilai

berdasarkan penampilan bentuk tanaman dan bentuk malai serta gabah.

Penggunaan varietas adaptif di lahan pasang surut merupakan salah satu teknologi yang murah dan

mudah diadopsi oleh petani. Penggunaan varietas yang tidak adaptif di lahan pasang surut untuk

mendapatkan produksi yang tinggi memerlukan input produksi yang lebih tinggi, seperti pemberian

amelioran dan pupuk yang lebih tinggi. Hasil penelitian Noor dan Jumberi (1998) menunjukkan varietas

yang peka terhadap keracunan besi seperti IR-64 memerlukan pemberian kapur 0.5 t/ha lebih banyak

dibandingkan varietas yang cukup toleran terhadap keracunan besi seperti Kapuas untuk mendapatkan hasil

gabah yang sama di lahan pasang surut sulfat masam.

Pendekatan penggunaan varietas unggul yang spesifik lokasi ataupun adaptif merupakan salah satu

faktor kunci keberhasilan upaya perakitan dan pengembangan varietas unggul di lahan pasang surut.

Beberapa sifat agronomik penting yang diinginkan di lahan pasang surut adalah (1) tinggi tanaman 100-135

cm, cepat tumbuh dan kuat serta toleran genangan, (2) toleran terhadap kemasaman tanah dan keracunan

besi, kekeringan dan salinitas, (3) tahan hama penyakit seperti wereng coklat, wereng hijau, blas, bercak

coklat, bakteri busuk daun, cercospora, dan virus tungro, dan (4) berumur pendek sampai sedang (Harahap

dan Silitonga, 1993).

KESIMPULAN

Tujuh galur yang diuji selama 2 musim tanam termasuk toleran terhadap keracunan besi dengan

rata-rata nilai skoring Fe pada dua musim tanam berkisar antara 2.8-3.7. Hasil gabah dari 7 galur yang diuji

berkisar antara 3.0-4.4 t/ha atau meningkat 5.2-52.4% dibandingkan varietas pembanding dengan hasil gabah

tertinggi Banyu Asin (2.9 t/ha). Galur-galur yang diuji mempunyai tinggi tanaman berkisar antara 73.2-101.4

cm, umur panen 120.8-123.2 hari, jumlah malai per rumpun 14.5-17.7, dan jumlah gabah isi per malai 75.1-

123.5.

Page 166: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

204

DAFTAR PUSTAKA

Anwarhan, H., dan S. Sulaiman. 1985. Pengembangan pola usahatani di lahan pasang surut dalam rangka

peningkatan produksi tanaman pangan. Jurnal Penelitian dan Pengembangan Pertanian 4:91-95.

Benckiser, G., J.C.D. Ottow, I. Watanabe and S. Santiago. 1984. The mechanism of excessive iro-uptake

(iron toxicity) of wetland rice. J. Plant Nutr. 7 :177-185.

Diperta. 2004. Laporan Tahunan Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Kalimantan Selatan 2004.

Banjarbaru.

Daradjat, A.A. 2001. Program Pemuliaan Partisifatif (Shuttle Breeding dan Uji Multilokasi) pada Tanaman

Padi: Konsep dan Realisasi. Makalah disampaikan pada Lokakarya dan Penyelarasan Perakitan

Varietas Unggul Komoditas Hortikultura melalui Penerapan program Shuttle Breeding, Jakarta, 19-

20 April 2001. 14 p.

Harahap, Z., M. Ismunadji, J. Sujitno, A.M. Fagi dan D.S. Damardjati. 1989. Perkembangan dan

Sumbangan Penelitian untuk Pelestarian Swasembada Beras. Dalam : M. Syam (Eds). Buku I.

Risalah Simposium II Penelitian Tanaman Pangan. Ciloto, 21-23 Maret 1988. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan. Bogor. p : 135-185

Harahap, Z. dan T.S. Silitonga. 1993. Perbaikan Varietas Padi. Dalam. Ismunadji, M., M. Syam, S.

Partohardjono, dan A. Widjono. Padi Buku 2. Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanaman

Pangan. Bogor. p : 335-362

IRRI. 1996. Standar Evaluation System for Rice. Ed. 4 th. International Rice Research Institute. Manila,

Phillippines. 52 p.

Ismunadji, M., L.N. Hakim, I. Zulkarnaini, and F. Yazawa. 1973. Phisiological disease of rice in Cihea.

Contr. Res. Inst. Agric. 4:10 p.

Ismunadji, M., dan W.S. Ardjasa. 1988. Pengaruh fosfat dan hara lain terhadap keracunan besi pada padi

sawah. Balai Penelitian Tanaman Pangan Bogor.

-------------------------------------------. 1989. Potash feretilization for lowland rice can prevent iron toxicity

losses. Better Crops Int. Dec : 12-14.

-------------------------------------------, and H.R. von Uexkull. 1989. increasing productivity of lowland rice

grown on iron toxic soil. Paper presented at International Symposium on Rice production on Acid

Soils of tropics, june 26-30, 1989. Kandy, Sri Lanka.

Makarim , A.K., M. Ismunadji, and von Uexkull. 1989. An overview of major nutritional constrain to rice

production on acid soils of Indonesia. In. P. Deturck and F.N. Ponnamperuma (eds). Rice production

on acid soils of the tropics. Kandy, Sri Lanka. p. 199-203.

Makarim, A.K. dan H. Supriadi. 1989. Status hara tanaman padi berkeracunan besi di Batumarta, Sumatera

Selatan. Penelitian Pertanian 9(4) : 166-170.

Noor, A. dan A. Jumberi. 1998. Peranan bahan amelioran, pupuk kalium dan varietas dalam mengatasi

keracunan besi pada tanaman padi di lahan pasang surut. Dalam : Prosiding Lokakarya Strategi

Pembangunan Pertanian Wilayah Kalimantan, 2-3 Desember 1997 di Banjarbaru. Badan Litbang

Pertanian. Instalasi Penelitian dan Pengkajian Teknologi Pertanian Banjarbaru. p: 275-279.

Noorsyamsi, H. and M. Sarwani. 1989. Management of tidal swampland for food crops. Southern

Kalimantan experiences. IARD Journal (11) : 18-24.

Ottow, J.C.D., G. Benckiser, and I. Watanabe. 1982. Iron toxicity of rice as a multiple nutritional soil stress.

Trop. Agric. Res. Ser. No. 15.

Ponnamperuma, F.N. 1982. Breeding crop plants to tolerate soil stresses. In. Vasil, I.K., W.R. Scowroft,

K.J. Frey (eds). Plant Improvement and Somatic Cellgenetics, Academic Press, Inc, Fift Avenue,

New York.

Prade, K., J.C.D. Ottow, and V. Jacq. 1988. Excessive iron uptake (iron toxicity) by wetland rice (Oryzae

sativa L.) on an acid sulphate soils in Casamance/Senegal. In: Dost, H. 1988. Selected paper of the

Dakar Symposium on acid sulphate soils. Publ. No. 44. ILRI, Wageningen, The Netherlands.

Page 167: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

205

Sarwani, M., M. Noor, dan Masganti. 1994. Potensi, Kendala dan Peluang Pasang Surut dalam Perspektif

Pengembangan Tanaman Pangan. Dalam. Pengelolaan Air dan Produktivitas Lahan Rawa Pasang

Surut. Balai Penelitian Tanaman Pangan. Banjarbaru.

Soewito, T., Z. Harahap, dan Suwarno. 1995. Perbaikan Varietas Padi Sawah Mendukung Pelestarian

Swasembada Beras. Dalam: Prosiding Simposium Penelitian Tanaman Pangan III, Jakarta/Bogor,

23-25 Agustus 1993. Kinerja Tanaman Pangan Buku 2. Puslitbangtan. Badan Litbang Pertanian. p:

398-411.

Sulaiman, A., Arifin, dan G. Nohoi. 1997. Studi korelasi pertumbuhan tanaman padi dengan besi tanah. J.

Kalimantan Agrikultura. 2 (4): 1-14.

Tadano, T., S. Yoshida. 1978. Chemical change in submerged soils and their effect on rice growth. In. Soil

and Rice. International Rice Research Institude. Manila. Phillipines.

Tanaka, A. and T. Tadano. 1972. Potassium in relation to iron toxicity of the rice plant. Potash Rev. 21:1-

12.

Van Bremen, N., and F.R. Moorman. 1978. Iron toxic soils. In. Soil and Rice. International Rice Research

Institude. Manila. Phillipines.

Page 168: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

206

PENINGKATAN PRODUKTIVITAS PADI SAWAH IRIGASI MELALUI PENDEKATAN

PENGELOLAAN TANAMAN DAN SUMBERDAYA TERPADU (PTT)

Khairuddin, Sumanto dan Rina DN

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

Jl. Panglima Batur Barat No. 4 Banjarbaru

ABSTRAK

Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi Melalui Pendekatan Pengelolaan Tanaman dan

Sumberdaya Terpadu (PTT). Pengkajian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2002 sampai dengan bulan

Maret 2003 (MH. 2002/2003) di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman, kecamatan Martapura

Barat Kabupaten Banjar, Kalimantan Selatan. PTT adalah suatu pendekatan untuk mengoptimalkan potensi

secara terpadu, sinergi dan partisipatif dalam upaya meningkatkan produksi padi. Metode yang digunakan

adalah metode observasi dengan 3 ulangan. Dari luasan areal hamparan pertanaman padi varietas unggul

IR66 dengan model PTT di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman, Kabupaten Banjar sekitar 40

ha, diantaranya 1 ha ditanami padi varietas IR66 dengan jarak tanam 20x20 cm dengan model PTT lengkap,

38 ha dengan perlakuan PTT petani dan 1 ha sebagai kontrol (teknologi petani). Hasil pengkajian di lahan

sawah irigasi Riam Kana desa Penggalaman, kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar menunjukan

bahwa produksi padi varietas unggul IR 66 dengan model PTT lengkap memberikan hasil yang paling tinggi,

yaitu 5,264 t GKG/ha, kemudian diikuti model PTT petani 4,448 t GKG/ha dan non-PTT (teknologi petani)

hanya 3,466 t GKG/ha. Atau dengan menggunakan model PTT terjadi peningkatan produktivitas padi sekitar

18 % - 51 % dibandingkan dengan teknologi petani. Keuntungan usahatani padi yang diperoleh dengan

menggunakan model PTT cukup tinggi, yaitu Rp. 3.771.500,- dengan R/C rasio sekitar 2,34

Kata Kunci : Budidaya Padi, Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) dan Sawah Irigasi

PENDAHULUAN

Dimasa mendatang kecenderungan tingkat konsumsi beras per kapita mengalami penurunan,

walaupun dengan laju penurunan yang relatif kecil. Namun karena jumlah penduduk Indonesia masih terus

meningkat sekitar 1,2 – 4,8 % per tahun, maka secara agregat total permintaan beras juga akan meningkat

mencapai 34,3 juta ton tahun 2004 dan tahun 2005 diperkirakan mencapai 35,8 juta ton. Dilain pihak laju

peningkatan produksi padi pada prioede ke priode tertentu menurun sangat tajam. Pelandaian produksi

tersebut sampai tahun terakhir masih berlanjut disebabkan sulitnya menaikan produktivitas padi di lahan

sawah terutama di wilayah intensifikasi (Hasanudin, A., 2004; A.M. Fagi et. al., 2002).

Pelandaian produktivitas lahan sawah dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain penurunan

kandungan bahan organik, penurunan penambatan N2 udara pada tanah sawah, penurunan kecepatan

penyediaan hara N, P, dan K dalam tanah, penimbunan senyawa-senyawa toksik bagi tanaman (gas H2S),

asam-asam organik, ketidakseimbang-an penyediaan hara, kahat hara mikro (Cu, Zn) kahat Fe dan S, tanah

terlalu reduktif, penyimpangan iklin, tekanan biotik dan varietas (Puslitbangtan, 2001).

Dalam situasi yang makin kompetitif, maka usahatani padi harus dilaksanakan dalam sistem yang

lebih efisien dengan produktivitas yang tinggi dan mampu menghasilkan produk dalam jumlah yang

mencukupi, berkelanjutan, berkualitas dan memiliki daya saing tinggi sehingga mampu berkompetisi di pasar

global, bila tidak maka usahatani padi akan tertinggal oleh usahatani lainnya (Hasanuddin, A., 2004).

Upaya terobosan untuk mengatasi peningkatan produktivitas padi terutama pada daerah pelandaian

produktivitas adalah melalui pendekatan pengelolaan tanaman terpadu (PTT), suatu pendekatan untuk

mengoptimalkan potensi secara terpadu, sinergi, dan partisipatif dalam upaya meningkatkan produksi padi di

setiap daerah. Atau suatu pendekatan yang mempertimbangkan keserasian dan sinergisme antara komponen

teknologi produksi (budidaya) dengan sumber lingkungan setempat.

Hasil uji coba model PTT pada MK. 2001 di 8 propinsi (Sumatera Utara, Sumatera Barat, Jawa

Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan) masing-masing pada

lahan seluas 5 ha menunjukan adanya peningkatan produktivitas padi antara 7,1% - 38,4% dibanding

teknologi petani (Fagi., A.M., et. al., 2002). Hasil uji coba tersebut menunjukan bahwa PTT mempunyai

prospek yang baik untuk dikembangkan lebih lanjut.

Page 169: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

207

Oleh karena itu pada tahun 2002 sampai 2003 pengembangan PTT dilaksanakan di sentra produksi

padi (16 propinsi) di Indonesia meliputi ; Aceh, Sumatera Utara, Sumatera Barat, Sumatera Selatan, Jambi,

Lampung, Jawa Barat, Jawa Tengah, DI Yogyakarta, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat, Kalimantan

Barat, Kalimantan Selatan, Sulawesi Tenggara dan Sulawesi Selatan.

Model PTT ini dikembangkan dengan tujuan (1) meningkatkan produktivitas padi sawah irigasi dan

(2) meningkatkan nilai ekonomi/keuntungan usahatani melalui efisiensi input.

KOMPONEN TEKNOLOGI PENCIRI PTT

Sebagai tahap awal introduksi teknologi Badan Litbang Pertanian yang diterapkan dalam sistem

PTT terdiri dari komponen-komponen teknologi sebagai berikut :

1. Benih bermutu (kemurnian dan daya kecambah tinggi).

2. Varietas unggul baru yang sesuai lokasi, termasauk padi tipe baru (Fatmawati dsb) dan padi hibrida

(Maro, Rokan dsb).

3. Bibit muda (<21 HSS).

4. 1-3 bibit per lubang

5. Jarak tanam jajar legowo 4 : 1,

6. Pemberian bahan organik atau kompos sebanyak 2 ton/ha,

7. Pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD);

8. Pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah serta pemecahan masalah kesuburan tanah apabila

terjadi;

9. Irigasi intermitten;

10. Pengendalian gulma terpadu

11. Pengendalian hama dan penyakit sistem PHT;

12. Panen dan pasca panen menggunakan alat perontok secara beregu (Las, et. al., 2003).

Berdasarkan sifatnya, teknologi diatas terbagi atas:(1) teknologi untuk pemecahan masalah

setempat/spesifik; dan (2) teknologi untuk perbaikan cara budidaya yang lebih efisien dan efektif. Dalam

pelaksanaannya tidak semua komponen teknologi di atas harus diterapkan sekaligus, terutama pada lokasi

yang mempunyai permasalahan spesifik. Namun, ada 6 komponen PTT yang umum diperlukan hampir di

setiap lokasi dan sebagai penciri PTT, yaitu (1) benih bermutu (kemurnian dan daya kecambah tinggi); (2)

varietas unggul baru yang sesuai lokasi; (3) bibit muda (<21 HSS) apabila kondisi lingkungan

memungkinkan; (4) 1-3 bibit per lubang; (5) pemupukan N berdasarkan bagan warna daun (BWD); (6)

pemupukan P dan K berdasarkan status hara tanah serta pemecahan masalah kesuburan tanah apabila terjadi.

Adanya teknologi compulsory tersebut selain sebagai penciri PTT, juga pada umumnya komponen teknologi

tersebut dapat diterapkan dan besar pengaruhnya terhadap kenaikan hasil, dan pendapatan petani.

BAHAN DAN METODA

Pengkajian dilaksanakan mulai bulan Nopember 2002 sampai dengan bulan Maret 2003 (MH.

2002/2003) di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman Kecamatan Martapura Kabupaten Banjar

Kalimantan Selatan.

Dari luasan pertanaman padi dengan model PTT di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa

Penggalaman, sekitar 40 ha, diantaranya 1 ha ditanami varietas unggul IR-66 dengan perlakuan model PTT

lengkap, 38 ha dengan perlakuan model PTT petani dan 1 ha perlakuan kontrol (cara tradisional petani),

dengan metode yang digunakan adalah observasi dengan 3 ulangan.

Perlakuan dengan pola PTT lengkap terdiri dari beberapa komponen utama seperti penggunaan

bibit muda umur 15 hari setelah semai (HSS) dengan 1-3 bibit/rumpun, pemberian pupuk kandang dengan

takaran 2 t/ha, pemberian pupuk N dilakukan berdasarkan hasil kesesuaian warna daun pada skala BWD <4,

sedang pemberian pupuk P dan K ditentukan berdasarkan hasil analisis tanah. Kemudian komponen

teknologi PTT lainnya adalah penggunaan varietas unggul (IR66), penggunaan benih bermutu (seleksi benih

dengan air garam), perlakuan benih dengan insektisida Fipronil 0,5 l/ha, penanaman padi dengan cara tegel

menggunakan jarak tanam 20x20 cm, pengendalian gulma terpadu (herbisida + manual), pengendalian hama

penyakit berdasarkan monitoring populasi hama dan perbaikan panen dan penaganan pasca panen.

Page 170: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

208

Sedangkan perlakuan PTT petani adalah model PTT yang tidak lengkap, akan tetapi ada sebagian komponen

model penciri PTT yang mereka gunakan. Sebagai kontrol diamati pertanaman padi pola tradisional petani.

Pemberian pupuk kandang dengan takaran sekitar 2 t/ha dilakukan sesaat sebelum pengolahan tanah

terakhir. Bibit muda varietas unggul baru IR66 berumur sekitar 15 hari setelah semai (HSS) sampai 20 HSS,

ditanam 1-3 bibit per lubang dengan cara tanam tegel (jarak tanam) 20x20 cm. Sebagai pupuk dasar

diberikan pupuk N dengan takaran 75 kg Urea/ha, 75 kg SP-36/ha, dan 50 kg KCl/ha pada 7 hari setelah

tanam dengan cara disebar merata pada areal pertanaman padi. Pupuk P dan K diberikan seluruh takaran

sebagai pupuk dasar, sedang pemupukan N susulan (ke 2) diberikan lagi 75 kg urea/ha bila warna daun padi

dengan bagan warna daun (BWD) pada skala <4. Pengamatan warna daun padi dengan menggunakan alat

BWD dilakukan setiap 7-10 hari setelah pemberian pupuk urea sebagai pupuk dasar dan pemberian pupuk

urea susulan. Monitoring dengan alat BWD dihentikan bila tanaman padi sudah keluar malai 10%.

Pemeliharaan tanaman dilaksanakan dengan pengendalian gulma terpadu dan pengendalian hama

dan penyakit tanaman. Pengendalian gulma dilakukan dua kali, yang pertama dilakukan pada umur sekitar 3

minggu setelah tanam dengan herbisida dan yang kedua dilakukan pada umur sekitar 6 minggu setelah tanam

secara manual dengan tangan. Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan monitoring

populasi hama secara priodek. Apabila terjadi serangan hama, maka dilaksanakan penyemprotan dengan

menggunakan insektisida sesuai anjuran dan mengikuti kaidah pengendalian hama terpadu.

Parameter yang diamati dalam pengkajian ini adalah analisa tanah sebelum penanaman dan hasil

padi (t/ha, k.a. 14%). Hasil padi ditentukan dari rata-rata ubinan 2 m x 5 m dengan ulangan 3 kali.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kimia Tanah

Sifat fisik dan kimia tanah pada lokasi pengkajian di lahan sawah irigasi Riam Kanan desa

Penggalaman kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar disajikan pada Tabel 1.

Tabel 1. Sifat fisik dan kimia tanah pada lokasi lahan sawah irigasi Riam Kanan desa Penggalaman Kecamatan

Martapura Barat, Kabupaten Banjar, MK. 2002

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Kandungan Kriteria

pH-H2O 4,42 sangat masam

C-organik 1,26 rendah

N-total (%) 0,62 tinggi

P-Bray I (ppm) 0,58 rendah

P-total (ppm) 119,24 tinggi sekali

K-dd (me/100g) 0,05 redah sekali

Tektur (%)

Pasir 32,85

Debu 41,38

Liat 25,78

Sumber : Lab. Tanah Faperta Unlam Banjarbaru, 2002

Dari Tabel 1 di atas diketahui bahwa kondisi kesuburan tanah pada lokasi pengkajian dilihat dari

sifat fisik dan kimia tanahnya adalah termasuk kurang subur, hal ini dicirikan oleh pH yang sangat masam,

bahan organik (C-organik) yang rendah, kandungan P dan K tersedia rendah. Dari hasil analisis tanah ini

dapat diketahui takaran untuk pemupukan P dan K untuk tanaman padi di lokasi pengkajian masing-masing

adalah 75 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha (Makarim, A.K., et.al., 2003).

Teknologi Budidaya Padi Tradisional Petani

Teknologi budidaya padi secara tradisional petani yang selama ini diterapkan petani di lahan sawah

irigasi Riam Kanan desa Penggalaman adalah sangat sederhana sekali, yaitu benih yang digunakan sebagian

petani untuk bibit adalah benih yang berasal dari tanaman padi tahun sebelumnya. Bibit yang digunakan

untuk ditanam berumur antara 20 sampai dengan 30 hari setelah semai dengan jumlah bibit sekitar 3-5

bibit/lubang dan jarak tanam sekitar 20 x 20 cm tetapi tidak teratur.

Pemupukan yang dilaksanakan tidak berimbang, yaitu hanya diberi pupuk N dan P saja, masing-

masing dengan takaran 200-250 kg urea/ha dan 100-150 kg SP-36/ha, sedangkan pupuk K umumnya tidak

diberikan, karena harga pupuk K cukup mahal dan petani belum memahami bahwa dengan pemupukan

berimbang akan dapat meningkatkan hasil padi. Pemberian pupuk organik juga tidak dilakukan.

Page 171: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

209

Pemeliharaan tanaman dalam hal ini pengendalian gulma dilakukan umumnya 2 kali secara manual

dengan tangan. Sedangkan pengendalian hama dan penyakit dilakukan kalau ada serangan. Pengendalian

hama dilakukan dengan menggunakan insektisida sesuai anjuran dan untuk hama tikus umumnya hanya

dilakukan dengan pengumpanan beracun (pestisida).

Karena terbatasnya tenaga kerja untuk panen, biasanya hanya tenaga kerja keluarga yang dipakai,

maka masih banyak petani yang menumpuk sementara hasil panen diatas rumpun padi yang sudah dipanen,

setelah selesai panen seluruhnya baru hasil panen dikumpulkan disuatu tempat khusus untuk proses

perontokan padi. Perontokan padi sebagian masih ada dengan cara di pukulkan/dibanting dan di injak-injak

dengan kaki.

Peningkatan produktivitas padi sawah irigasi dengan model PTT

Pengamatan hasil padi dilakukan melalui ubinan 2 m x 5 m dengan 3 ulangan. Hasil pengamatan

menunjukan bahwa perlakuan model PTT lengkap memberikan hasil padi yang paling tinggi, yaitu 5,264 t

GKG/ha, kemudian diikuti model PTT petani 4,448 t GKG/ha dan non PTT (teknologi petani) 3,466 t

GKG/ha (Tabel 2).

Tabel 2. Hasil padi unggul IR66 di lokasi pengembangan PTT di sawah irigasi desa Penggalaman, kecamatan

Martapura, Kabupaten Banjar, MH. 2002/2003.

Perlakuan Produksi padi (t GKG/ha)

PTT lengkap 5,264

PTT petani 4,448

Non-PTT (Teknologi Petani) 3,466

Dari Tabel 2 diatas dapat diketahui bahwa produksi padi dengan perlakuan model PTT lengkap dan

model PTT petani dibandingkan dengan produksi non PTT (teknologi petani) menunjukan adanya

peningkatan produktivitas padi yang sangat nyata masing-masing sebesar 51% dan 18%.

Pengkajian model PTT di Sukamandi memberikan hasil padi lebih dari 8 t GKG/ha dengan R/C

rasio lebih besar dari 2,0 (Puslitbangtan, 2001). Demikian pula hasil pengkajian PTT di 8 propinsi (Sumatera

Utara, Sumatera Barat, Jawa Barat, Jawa Tengah, Jawa Timur, Bali, Nusa Tenggara Barat dan Sulawesi

Selatan) masing-masing pada lahan seluas 5 ha menunjukan adanya peningkatan produktivitas padi antara

7,1% - 38,4% dibanding teknologi petani. Hal ini sejalan dengan pernyataan oleh (Gani, A., 2002) bahwa

dalam PTT komponen-komponen utamanya bersinergi sesamanya sehingga secara kombinasi akan

memberikan potensi yang besar untuk kenaikan hasil padi.

Seperti dilaporkan oleh (Makarim, A.K., dan Irsal Las, 2004) penerapan komponen PTT pada padi

sawah di berbagai kabupaten di Indonesia ternyata menghasilkan gabah yang bervariasi dari 3 hingga 10 t/ha.

Besarnya keragaan ini disebabkan oleh beragamnya kondisi lingkungan biofisik tanaman, seperti intensitas

hama dan penyakit tanaman, kondisi kesuburan tanah, ketersediaan air dan tingkat pengelolaan lahan. Dari

sebanyak 20 kabupaten contoh, 13 kabupaten mempunyai kisaran hasil padi antara 5-7 t GKG/ha. Dua

kabupaten yaitu Deli Serdang (Sumatera Utara) dan Blitar (Jawa Timur) menghasilkan 7-8 t GKG/ha. Hanya

satu kabupaten yaitu Madina (Sumatera Utara) yang melaporkan mendapat hasil 10 t GKG/ha. Sebaliknya,

hasil yang sangat rendah (3 t/ha) terjadi di Kabupaten Sambas yaitu petani yang menerapkan PTT dan non-

PTT masing-masing memperoleh 3 t/ha dan 2,3 t/ha. Di lokasi ini lingkungan tanaman tidak menguntungkan,

karena selain lahannya sering terkena banjir dengan kualitas air rendah (salinitas dan kadar besi tinggi), juga

tingginya serangan hama dan penyakit. Hasil PTT antara 4-5 t/ha terjadi di 3 kabupaten, yaitu Rokan Hulu,

Banjar dan Pinrang dimana ketiganya memiliki kendala kesuburan lahan, termasuk ketersediaan air yang

kurang dan serangan hama dan penyakit.

Model PTT disamping meningkatkan produktivitas padi juga efisiensi usaha tani, dari pemakaian

pupuk urea dapat dihemat sekitar 33%, demikian pula pemakaian benih dapat di hemat minimal 33% dari

yang semula (30-50) kg/ha menjadi hanya sekitar 20 kg/ha. Dilain pihak pengembangan padi dengan pola

PTT ini juga dapat meningkatkan pendapatan (Tabel 3).

Page 172: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

210

Tabel 3. Analisis Kelayakan Usahatani Padi Model PTT lengkap di lokasi pengembangan PTT di sawah irigasi Riam

Kanan, desa Penggalaman, Kabupaten Banjar, MH. 2002/2003.

Keterangan Jumlah Fisik Harga (Rp/satuan) Nilai (Rp)

A. Penerimaan (kg)

B. Biaya Produksi

1. Benih (kg)

2. Pupuk (kg)

a. Urea

b. Sp36

c. KCl

d. Pupuk kandang Total Biaya Pupuk

3. Pestisida dan Herbisida

a. Insektisida

b. Rodentisida & pengumpanan c. Herbisida

Total Biaya Insektisida dan herbisida

4. Tenaga Kerja (HOK)

a. Penyiapan lahan b. Menanam

c. Memupuk

d. Menyiang

e. Menyemprot f. Panen dan Pasca Panen

Total biaya tenaga kerja

C. Total Biaya

D. Keuntungan

E. R/C rasio

5.264

20

150

75

50

2.000

28 14

4

15

4 58

1.250

3.500

1.200

1.900

1.900

100

15.000 15.000

15.000

15.000

15.000 15.000

6.580.000

70.000

180.000

142.500

95.000

200.000 687.500

136.000

100.000 40.000

276.000

420.000 210.000

60.000

225.000

60.000 870.000

1.845.000

2.808.500

3.771.500

2,34

Dari Tabel 3 diketahui bahwa keuntungan yang diperoleh dengan menggunakan model PTT

lengkap cukup tinggi, yaitu Rp 3.771.500,- dengan R/C rasio sekitar 2,34.

KESIMPULAN

Pengembangan padi dengan menggunakan model PTT lengkap, PTT petani di lahan irigasi Riam

Kanan desa Penggalaman, kecamatan Martapura Barat, Kabupaten Banjar memberikan produktivitas padi

yang cukup tinggi, yaitu 5,264 t GKG/ha dan 4,448 t GKG/ha, kemudian diikuti oleh produktivitas padi non

PTT (teknologi petani) hanya sekitar 3,466 t GKG/ha. Atau model PTT dapat meningkatkan produktivitas

padi berkisar antara 23% sampai dengan 51%.

Dilain pihak pengembangan padi dengan model PTT juga dapat meningkatkan efisiensi usahatani

padi, seperti pemakaian pupuk urea dapat dihemat sekitar 33 %, begitu juga dengan pemakaian benih padi,

sedangkan keuntungan bersih yang diperoleh dari usahatani padi cukup tinggi, yaitu Rp. 3.771.500,- dengan

R/C rasio sekitar 2,34.

DAFTAR PUSTAKA

A.M. Fagi. et. al. 2003. Penelitian Padi Menuju Repolusi Hijau Lestari. A.M. Fagi, Irsal Las, M. Syam, A.K.

Makarim, dan A. Hasanuddin (Penyusun). Badan Litbang Pertanian - Jakarta.

Anischan Gani, 2002. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu danSinergisme Komponen Teknologi.

Makalah pada pelatihan tenaga Pendamping. Kegiatan P3T, Bogor-Sukamnadi, 7 – 12 Maret 2002.

Hasanuddin, A. 2003. Pengelolaan Tanaman Padi Terpadu : Suatu StrategiTeknologi Spesifik Lokasi.

Makalah Panduan Pelatihan Pemasyarakatan dan Pengembangan Padi Varietas Unggul Tipe Baru,

Balitpa-Sukamandi, 31 Maret – 3 April 2003.

Makarim, A.K. et.al. 2003. Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama Penyakit Tanaman Padi Secara

Terpadu. A.K. Makarim, I.N. Widiarta, HendarsihS, Dan S. Abdulrachman (Penyususun).

Departemen Pertanian-Puslitbangtan Bogor.

Page 173: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

211

Makarim, A.K. dan Irsal Las, 2004. Terobosan Peningkatan Produktivitas Padi Sawah Irigasi Melalui

Pengembangan Model Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu (PTT). Seminar Kebijakan

Padi pada Pekan Padi Nasional II, 15 Juli 2004, Sukamandi.

Puslitbangtan, 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu : Pendekatan Inovatif Sistem Produksi Padi. Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 23 No. 2. Badan Litbang Pertanian-Puslitbangtan

Bogor.

Page 174: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

212

KERAGAAN BEBERAPA VARIETAS UNGGUL BARU DI LAHAN SAWAH IRIGASI JARO

DESA KAMPUNG BARU KABUPATEN TABALONG KALIMANTAN SELATAN

Khairuddin dan Rina DN

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kalimantan Selatan

ABSTRAK

Keragaan Beberapa Varietas Unggul Baru di Lahan Sawah Irigasi Jaro Desa Kampung Baru Kabupaten

Tablong Kalimantan Selatan. Kajian keragaan beberapa varietas unggul baru dilaksanakan di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan, dimulai bulan Juni sampai dengan

bulan Oktober 2004. Ada 6 varietas padi unggul baru yang digunakan dalam kegiatan ini, yaitu 2 varietas padi hibrida

(Maro dan Rokan), 2 varietas unggul tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), dan 2 varietas unggul baru (Cigeulis dan

Ciherang). Teknik budidaya yang digunakan dalam kajian keragaan beberapa varietas padi unggul baru ini menerapkan pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Metoda yang digunakan adalah metoda observasi

dengan tiga ulangan. Hasil padi yang paling tinggi ditunjukkan oleh padi hibrida Maro dan Rokan, yaitu 7,2 t gkg/ha dan

6,8 t gkg/ha, diikuti oleh varietas unggul baru Cigeulis dan Ciherang, yaitu 6,5 t gkg/ha dan 6,2 t gkg/ha dan varietas

unggul tipe baru Fatmawati dan Gilirang masing-masing 6,1 t gkg/ha dan 5,7 t gkg/ha. Hasil padi beberapa varietass unggul baru ini jauh lebih tinggi dari hasil padi varietas unggul baru Ciherang yang ditanam petani (teknologi petani),

yaitu hanya 3,5 t gkg/ha. Hal ini menunjukan bahwa beberapa varietas unggul baru seperti padi hibrida Maro dan Rokan,

dan juga padi tipe baru Fatmawati dan Gilirang dapat beradaptasi cukup baik di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung

Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan dalam hubungannya dengan hasil padi yang diperoleh. Dengan demikian daerah Kalimantan Selatan sangat berpotensi atau sesuai untuk wilayah pengembangan padi hibrida

Maro dan Rokan dan padi tipe baru Fatmawati dan Gilirang.

Kata Kunci : padi hibrida, padi tipe baru, padi unggul baru, PTT dan lahan sawah irigasi.

PENDAHULUAN

Kebutuhan beras setiap tahun makin bertambah seiring dengan laju pertumbuhan penduduk. Pada

tahun 2002, penduduk Indonesia berjumlah 210 juta jiwa dan produksi padi mencapai 51,4 juta ton gabah

kering giling (GKG). Dengan laju pertambahan penduduk rata-rata 1,7% per tahun dan kebutuhan per kapita

sebanyak 134 kg, maka pada tahun 2025 Indonesia harus mampu menghasilkan padi sebanyak 78 juta ton

GKG untuk mencukupi kebutuhan beras nasional. Dengan cara budidaya dan menggunakan varietas unggul

yang ada pada dewasa ini, pada tahun 2025 pemerintah harus mengimpor beras sebanyak 18 juta ton atau

setara dengan 24 juta ton GKG (B. Abdullah, 2004). Dilain pihak laju peningkatan produktivitas padi di

Indonesia telah melandai (levelling off).

Pelandaian produktivitas lahan sawah dapat disebabkan oleh banyak faktor, antara lain penurunan

kandungan bahan organik tanah, penurunan penambatan N2 udara pada tanah sawah, penurunan kecepatan

penyediaan hara N, P dan K dalam tanah, penimbunan senyawa-senyawa toksik bagi tanaman (gas H2S),

asam-asam organik, ketidak seimbangan penyediaan hara, kahat hara mikro (Cu, Zn), kahat Fe dan S, tanah

terlalu reduktif, penyimpangan iklim, tekanan biotik dan varietas (Puslitbangtan, 2001).

Namun demikian, peluang peningkatan produksi masih terbuka melalui pendekatan pengelolaan

tanaman dan sumber daya terpadu (PTT) dan memanfaatkan gejala heterosis pada varietas unggul padi

hibrida dan perakitan varietas unggul padi tipe baru dengan memanfaatkan padi jenis javanika atau japonika

tropis sebagai tetua persilangan (Suwarno et. al., 2003).

Di Cina, India, Vietnam, dan Filipina, penerapan teknologi padi hibrida secara komersial mampu

meningkatkan hasil padi sebesar 15-20% dibanding varietas unggul inbrida. Belajar dari keberhasilan negara-

negara tersebut dalam pengembangan padi hibrida, Badan Litbang Pertanian berupaya pula merakit padi

hibrida yang sesuai untuk dikembangkan di Indonesia. Dalam beberapa pengujian, terutama di lahan yang

subur dan tidak endemis hama dan penyakit, hasil padi hibrida yang telah dihasilkan 10-20% lebih tinggi

dibanding varietas unggul IR-64, Memberamo, dan Ciherang (Suwarno, et. al., 2003).

Badan Litbang Pertanian juga telah merakit padi tipe baru (PTB) dengan memanfaatkan plasma

nutfah yang ada. Padi tipe baru dirancang agar fotosintat terdistribusikan secara lebih efektif ke malai/gabah.

Potensi hasil PTB diharapkan 20-30% lebih tinggi dari varietas unggul baru (VUB) IR-64 dan Ciherang.

Peningkatan selanjutnya diharapkan dapat dicapai dengan memanfaatkan gejala heterosis melalui

pengembangan padi hibrida dengan menggunakan padi tipe baru sebagai tetua (Suwarno, et. al, 2003).

Page 175: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

213

Namun untuk dapat menerapkan teknologi padi hibrida dan padi tipe baru diperlukan penyediaan

varietas unggul padi hibrida dan padi tipe baru yang berdaya hasil tinggi, teknologi produksi benih yang

ekonomis, sistem perbenihan yang mampu menjamin ketersediaan benih, dan teknologi budidayanya.

Adapun tujuan dari kajian keragaan beberapa varietas unggul baru ini adalah untuk mengetahui

adaptasi dari beberapa varietas unggul baru yang digunakan dalam hubungannya dengan hasil padi yang

diperoleh di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan.

BAHAN DAN METODE

Kajian keragaan beberapa varietas unggul baru ini dilaksanakan mulai bulan Juni sampai dengan

bulan Oktober 2004 di lahan sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong

dengan luas areal tanam sekitar 1,7 ha atau sekitar 0,3 ha per varietas unggul baru yang ditanam. Teknologi

budidaya kajian keragaan beberapa varietas unggul baru ini dilaksanakan dengan menggunakan pendekatan

pengelolaan tanaman dan sumber daya terpadu (PTT). Metode yang digunakan adalah metoda observasi

dengan 3 ulangan. Ada 6 varietas unggul baru yang digunakan adalah 2 varietas padi unggul tipe baru

(Fatmawati dan Gilirang), 2 varietas unggul padi hibrida (Maro dan Rokan), dan 2 varietas unggul baru

(Cigeulis dan Ciherang). Sebagai kontrol diamati juga tanaman padi petani (teknologi petani).

Paket teknologi PTT yang digunakan terdiri dari beberapa komponen teknologi utama seperti

penggunaan bibit muda umur antara (15-20) HSS, ditanam menggunakan jarak tanam 20cm x 20cm dengan

jumlah bibit (1-3) bibit per rumpun, kecuali padi hibirida Maro dan Rokan umur 21 hss dengan 1 bibit per

rumpun, pemberian bahan organik (pupuk kandang) dengan takaran 2 ton/ha, pemberian pupuk N dilakukan

berdasarkan hasil kesesuaian warna daun dengan skala BWD <4 untuk varietas unggul baru (Ciherang dan

Cigeulis) dan skala BWD <5 untuk varietas unggul tipe baru (Fatmawati dan Gilirang) dan padi hibrida

(Maro dan Rokan), pemberian pupuk P dan K berdasarkan hasil uji tanah. Kemudian komponen teknologi

lainnya yaitu pengendalian gulma terpadu dengan herbisida 1 kali dan secara manual 1 kali, pengendalian

hama dan penyakit berdasarkan monitoring populasi hama.

Pemupukan urea (N) dengan menggunakan bagan warna daun (BWD) pada umumnya diberikan 2

kali pemberian. Pemupukan urea pertama sebagai pupuk dasar diberikan pada umur 7 hari setelah tanam

(HST), dengan takaran 75 kg Urea/ha untuk varietas unggul baru (Cigeulis dan Ciherang) dan 100 kg

Urea/ha untuk padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang dan padi hibrida (Maro dan Rokan). Sedangkan

seluruh takaran pupuk P dan K masing-masing 75 kg SP-36/ha dan 50 kg KCl/ha diberikan sebagai pupuk

dasar pada umur 7 hst. Pemberian pupuk Urea (N) susulan ke 2 dengan takaran 75 kg Urea/ha dilakukan

apabila warna daun padi sudah mendekati warna skala <4 pada BWD untuk varietas unggul baru, sedangkan

bila warna daun padi pada skala BWD < 5 diberikan pupuk urea susulan ke 2 dengan takaran masing-masing

100 kg Urea/ha untuk varietas padi tipe baru dan padi hibrida. Monitoring dengan alat BWD dihentikan bila

tanaman padi varietas unggul baru sudah keluar malai sekitar 10%, namun untuk padi tipe baru dan padi

hibrida masih diberikan pupuk urea susulan ke 3 dengan takaran masing-masing 50 kg Urea/ha.

Pemeliharaan tanaman dilaksanakan dengan pengendalian gula terpadu dan pengendalian hama dan

penyakit tanaman. Pengendalian gulma umumnya dilakukan 2 kali, yang pertama dilakukan pada umur

sekitar 21 hari setelah tanam dan yang kedua dilakukan pada umur sekitar 42 hari setelah tanam. Penyiangan

pertama dilakukan dengan menggunakan herbisida dan penyiangan kedua secara manual dengan tangan.

Sedang pengendalian hama dan penyakit dilakukan dengan monitoring populasi hama secara priodek.

Apabila terjadi serangan hama, maka dilaksanakan penyemprotan dengan menggunakan insektisida sesuai

dosis anjuran. Untuk mengatasi serangan tikus, maka di areal pertanaman dilakukan pemasangan/pemagaran

plastik.

Pengamatan yang dilakukan pada kegiatan ini adalah: (1) Analisa tanah sebelum tanam, (2) Hasil

gabah (t/ha), k.a. 14%), ditentukan dari rata-rata ubinan ukuran 2m x 5m dengan tiga ulangan, (3) Komponen

hasil, ditentukan dari rumpun contoh, meliputi jumlah malai/rumpun, jumlah gabah per malai, persentase

gabah isi, dan bobot 1000 butir gabah isi.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Fisik dan Kimia Tanah Lokasi Kegiatan

Hasil uji tanah pada lokasi kajian keragaan beberapa varietas unggul baru di lahan sawah irigasi Jaro

Desa Kampung Baru , Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong disajikan pada tabel 1.

Page 176: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

214

Tabel 1. Sifat Fisik dan Kimia Tanah pada Lokasi Kegiatan Keragaan Penampilan Beberapa Varietas Unggul Baru di

Lahan Sawah Irigasi Jaro Desa Kampung Baru Kabupaten Tabalong Kalimantan Selatan MK. 2004.

Sifat fisik dan kimia tanah Kandungan hara tanah Kriteria

pH – H2O C-organik (%)

N-total (%)

P- Bray I (ppm)

P-HCl 25 % (mg/100 g)

K-dd (me/100 gr)

K- HCl 25 % (mg/100 g)

Tekstur (%)

Pasir Debu

Liat

5,75 0,97

0,18

1,14

38,33

0,06

9,60

14,00 27,50

60,50

sedang rendah

tinggi

rendah

sedang

rendah

rendah

Sumber: Laboratorium Tanah BPTP Kalsel, 2004.

Dari tabel 1 dapat diketahui bahwa kondisi kesuburan tanah pada lokasi kajian keragaan beberapa

varietas unggul baru dilihat dari sifat fisik dan kimia tanahnya adalah termasuk kurang subur, hal ini ditandai

dengan kandungan C-organik yang rendah, kandungan P tanah (HCl 25%) tergolong sedang dan kandungan

K tanah (HCl 25%) termasuk rendah. Dari hasil uji tanah inilah dapat diketahui rekomendasi (anjuran)

takaran pupuk P (SP-36) dan K (KCl) di lokasi kegiatan, masing-masing adalah 75 kg SP-36/ha dan 50 kg

KCl/ha (Makarim, et. al., 2003).

Kajian Keragaan Hasil Beberapa Varietas Padi Unggul Baru

Hasil padi dari kajian keragaan beberapa varietas unggul baru di lahan sawah irigasi Jaro Desa

Kampung Baru Kabupaten Tabalong seperti varietas unggul tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), variertas

unggul padi hibrida (Maro dan Rokan), dan varietas unggul baru ( Cigeulis dan Ciherang) disajikan pada

tabel 2.

Tabel 2. Hasil dan Komponen Hasil Padi pada Keragaan Penampilan Beberapa Varietas Unggul Baru, 2 Varietas Tipe

Baru (Fatmawati dan Gilirang), 2 Varietas Unggul Padi Hibrida (Maro dan Rokan), 2 Varietas Unggul Baru

(Cigeulis dan Ciherang) di Desa Jaro, Kab. Tabalong, MK. 2004.

Varietas Hasil

(t/ha) GKG

Gab. Isi/malai

(biji)

Gab. Isi/malai

(%)

Jumlah

Anakan (bh)

Tinggi Tan

(cm)

Fatmawati 6,1 270 70,27 11,4 100,6

Maro 7,2 179 85,20 17,2 105,1

Rokan 6,8 170 84,00 18,3 100,5

Gilirang 5,7 145 91,20 11,1 95,3

Cigeulis 6,5 145 94,16 17,4 100,2

Ciherang 6,2 164 90,11 18,0 95,7

Ciherang (kontrol) 3,5 111 75,83 12,7 90,1

Dari Tabel 2 di atas dapat diketahui bahwa hasil padi hibrida (Maro dan Rokan) adalah paling tinggi,

yaitu 7,2 t/ha gkg dan 6,8 t/ha gkg, kemudian diikuti oleh masing-masing hasil padi varietas unggul baru

(Cigeulis dan Ciherang) dan hasil padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), yakni berturut-turut 6,5 t/ha gkg,

6,2 t/ha gkg, 6,1 t/ha gkg dan 5,7 t/ha gkg. Hasil padi ini sejalan dengan hasil padi yang dilaporkan oleh

(Balitpa, 2003) bahwa pada wilayah yang sesuai, varietas padi hibrida Maro dan Rokan ini mampu

memberikan hasil 1,0 -1,5 t/ha atau 15-20% lebih tinggi dari pada varietas inbrida IR-64.

Keberhasilan pengembangan padi hibrida sebagian terletak pada penyediaan benihnya. Benih padi

hibrida hanya dapat digunakan untuk satu musim tanam, sehingga setiap kali tanam harus menggunakan

benih baru. Bila hasil panen ditanam ulang maka hasil pertumbuhan tanaman tidak seragam, sebagian steril,

dan hasil yang diperoleh rendah (Laporan Tahunan, 2004). Hal ini memberi peluang bagi industri benih

untuk mengembangkan padi hibrida di Indonesia.

Berbeda dengan pengembangan benih varietas unggul (inbrida) yang lebih mudah diadopsi petani,

sepanjang benihnya tersedia di daerah setempat. Sayangnya, pengalaman sejumlah petani di beberapa daerah

menunjukan bahwa benih varietas unggul baru tidak mudah diperoleh. Hal ini merupakan tantangan dalam

pengembangan varietas unggul.

Page 177: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

215

Hasil padi tipe baru Fatmawati yang diperoleh pada kegiatan keragaan penampilan beberapa varietas

unggul baru yang dilaksanakan di sawah irigasi Jaro Desa Kampung Baru adalah 6, 1 t gkg/ha. Hasil padi

tipe baru Fatmawati ini sejalan dengan hasil pengkajian oleh Balitpa di lahan-lahan petani yang dilaksanakan

oleh BPTP di beberapa lokasi, yaitu berkisar 5,9 t gkg/ha - 10,5 t gkg/ha (Makarim, et. al., 2004). Penelitian

dan pengkajian ini menunjukkan bahwa produktivitas VUTB Fatmawati beragam antar lokasi. Keragaman

produktivitas itu mengindikasikan perlunya perhatian terhadap kesesuaian VUTB dengan lingkungan dan

penerapan teknik budidaya yang tepat pada lingkungan tersebut.

Hasil padi yang tinggi diperoleh oleh padi hibrida dan padi tipe baru pada kajian keragaan beberapa

varietas unggul baru yang dilaksanakan di lahan irigasi Jaro Desa Kampung Baru, mengindikasikan bahwa di

wilayah (lokasi) tersebut sesuai untuk pengembangan padi hibrida dan padi tipe baru. Sehingga varietas-

varietas unggul baru tersebut dapat beradaptasi cukup baik di lokasi tersebut. Hal ini berarti bahwa varietas-

varietas unggul baru seperti padi hibrida (Maro dan Rokan) dan juga padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang)

dapat dikembangkan di lahan irigasi yang sesuai di Kalimantan Selatan.

KESIMPULAN

Lahan sawah irigasi Jaro di Desa Kampung Baru, Kecamatan Jaro, Kabupaten Tabalong

Kalimantan Selatan sangat sesuai atau berpotensi untuk pengembangan padi hibrida Maro dan Rokan, dan

juga padi tipe baru Fatmawati dan Gilirang terutama dalam hubungannya dengan hasil padi yang diperoleh.

Untuk padi hibrida (Maro dan Rokan) hasil padi yang diperoleh lebih tinggi, yaitu 7,2 t gkg/ha dan 6,8 t

gkg/ha, kemudian diikuti oleh hasil padi unggul baru (Cigeulis dan Ciherang), yaitu 6,5 t gkg/ha dan 6,2 t

gkg/ha dan padi tipe baru (Fatmawati dan Gilirang), yakni 6,1 t gkg/ha dan 5,7 t gkg/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Balai Penelitian Tanaman Padi, 2003. Deskripsi varietas unggul 1999-2002. Balitpa. Badan Libang

Pertanian.

B. Abdullah, 2004. Pengenalan VUTB Fatmawati dan VUTB lainnya. Panduan Pelatihan Pemasyarakatan

dan pengembangan padi varietas unggul tipe baru. Balitpa, Sukamandi, 31 Maret-3 April 2004.

Makarim, Irsal Las, A.M. Fagi, I. N. Widiarta, D. Pasaribu, 2004. Pedoman Bagi Penyuluh Pertanian. Padi

Tipe Baru : Budi daya dengan Pendekatan Pengelolaan Terpadu. Hermato (Penyunting). Badan

Litbang Pertanian. Puslitbangtan. Balitpa Sukamandi.

Makarim, I.N. Widiarta, Hendarsih S., dan S. Abdurahman. 2003. Pengelolaan Hara dan Pengendalian Hama

Penyakit. Puslitbangtan. Deptan, Bogor.

Laporan Tahunan, 2004. Penelitian dan Pengembangan Tanaman Pangan. Sunihardi dan Hermanto

(Penyusun). Badan Litbang Pertanian. Puslibantan, Bogor.

Suwarno, B. Suprihatno, Satoto, B, Abdullah, U.S. Nugraha dan I.N. Widiarta., 2002. Panduan Teknis :

Produksi Benih dan Pengembangan Padi Hibrida dan Padi Tipe Baru. Badan Litbang Pertanian-

Deptan. 24p

Puslitbangtan, 2001. Pengelolaan Tanaman Terpadu.: Pendekatan Inovatif Sistem Produksi Padi. Warta

Penelitian dan Pengembangan Pertanian Vol. 23 No. 2. Badan Litbang Pertanian-Puslitbangtan,

Bogor.

Page 178: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

216

KAJIAN TEKNOLOGI PEMBERIAN BAHAN ORGANIK DALAM PERBAIKAN LAHAN

PERTANIAN PASCA TSUNAMI DI DESA BOTOHILITANO KABUPATEN NIAS SELATAN

Deddy Romulo Siagian, Delima Napitupulu dan I Putu Cakra Putra A.

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara

ABSTRAK

Bencana alam gempa dan tsunami yang terjadi di Nias Selatan membuat semakin terpuruknya keadaan sosial

ekonomi masyarakat, terlebih pada petani yang lahannya terkena luapan air laut. Air laut yang masuk ke daratan akan menurunkan tingkat kesuburan melalui garam-garam yang terakumulasi di lahan pertanian. Salah satu cara dalam

mengurangi pengaruh salinitas ini di lahan pertanian adalah dengan memberikan bahan organik (pupuk kandang) yang

dalam kegiatan ini dipadukan dengan menggunakan varietas yang toleran dengan tanah yang salinitasnya tinggi,

misalnya Banyuasin dan Kapuas. Tujuan dari kegiatan adalah ingin melihat bagaimana pengaruh pemberian bahan organik pada pertumbuhan dan produksi tanaman padi di lahan bekas tsunami.

Pengkajian ini dilaksanakan di Desa Botohilitano Kecamatan Teluk Dalam Kabupaten Nias Selatan pada bulan

September 2005 sampai Februari 2006. Varietas yang digunakan Ciherang, Banyuasin dan Kapuas dengan system tanam

tegel (20 cm x 20 cm). Juga memasukkan teknologi-teknologi PTT antara lain: 1) Penggunaan varietas unggul baru, 2) Bibit umur muda 15 hari, 3) Jumlah bibit 1-2 bibit/rumpun, 4) Waktu pemupukan Urea menggunakan Bagan Warna

Daun (BWD), 5) Dosis pupuk SP-36 dan KCl berdasar analisa tanah. Dikarenakan tidak tersedianya saluran irigasi di

daerah ini, maka teknologi pengairan secara berselang ”intermitten” tidak dapat dilaksanakan. Hasil menunjukkan bahwa

dengan menggunakan bahan organik produksi Ciherang, Banyuasin dan Kapuas masing-masing adalah 3,02; 3,44 dan 3,57 ton GKG/ha. Sedangkan tanpa pemberian pupuk kandang hasil produksi dari Ciherang, Banyuasin dan Kapuas

adalah 2,75; 3,09 dan 3,22 ton GKG/ha. Dari hasil penelitian ini sangat diharapkan agar aplikasi bahan organik (pupuk

kandang) dapat diterapkan dilapang untuk musim tanam berikutnya.

Kata kunci: bahan organik, lahan pertanian pasca tsunami, nias selatan

PENDAHULUAN

Nias Selatan yang merupakan kabupaten baru dari Sumatera Utara, hasil pemekaran dari Kabupaten

Nias mempunyai jumlah penduduk 275.499 jiwa. Masyarakatnya sebagian besar bekerja sebagai nelayan dan

petani. Kabupaten ini berjarak 92 mil dari Sibolga dan berjarak 120 km dari G. Sitoli. Karena terletak di

daerah khatulistiwa sehingga ia mempunyai rata-rata curah hujan yang tinggi yaitu 3077,1 mm/tahun dan

banyaknya hari hujan 270 hari/tahun.

Gempa bumi dan tsunami yang terjadi di daerah ini menyebabkan menurunnya tingkat sosial

ekonomi masyarakat sekitar karena bencana ini telah merusak sarana dan prasarana mereka dalam bekerja.

Khususnya dalam ruang lingkup pertanian, pengaruh tsunami dapat kita perhatikan dalam hal (1) Sampah-

sampah yang menutupi areal pertanian, misalnya batang-batang pohon, mobil, kapal dan lain-lain (2)

Sedimentasi baik yang berupa pasir dan liat yang juga menutupi areal pertanian (3) Pencemaran air tanah (4)

Salinitas, yang terjadi akibat dari pengaruh genangan air laut. Dengan melihat pengaruh tsunami diatas

dikhawatirkan produktivitas padi Kabupaten Nias Selatan (2 ton/ha) yang masih dibawah rata-rata

produktivitas nasional (4 ton/ha) menjadi lebih rendah lagi.

Ditinjau dari sumber daya manusianya, masyarakat Nias Selatan ini sangat rendah pendidikannya

sehingga untuk kedepannya sangat diharapkan masukan-masukan teknologi dari instansi pemerintah melalui

kerjasama antara pihak Pemda Tk I dan Tk II dalam mengatasi masalah-masalah yang ada khususnya di

lahan pertanian melalui pelatihan, diskusi dan pembuatan demplot di daerah yang terkena dampak tsunami

guna aplikasi langsung yang dapat dijadikan contoh bagi petani setempat.

Sebagai salah satu contoh, bahan organik yang ada dilapangan tidak dimanfaatkan petani setempat

karena mereka tidak mengetahui guna dari bahan organik itu (misalnya, jerami dan pupuk kandang. Padahal

bahan organik yang diberikan kedalam tanah mempunyai banyak fungsi, yaitu:

a. Memperbaiki struktur tanah (fisika tanah). Tanah yang mempunyai salinitas tinggi, mempunyai kadar Na

yang tinggi pula (sebagai pendispersi tanah). Sejalan dengan Na yang tinggi maka struktur tanah dapat

hancur sehingga koloid-kolid tanah tidak dapat memegang kation-kation (KTK dapat menurun pula).

Dengan memberikan bahan organik maka dapat memperbaiki struktur tanah. Dapat lebih meningkatkan

keterikatan antara koloid tanah yang satu dengan yang lainnya. Dan juga dapat menurunkan tingkat

pencucian pada unsur hara yang dibutuhkan oleh tanaman.

Page 179: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

217

b. Menyumbang unsur hara (kimia tanah). Penambahan bahan organik kedalam tanah akan meningkatkan

kation-kation yang dapat dipertukarkan dan tentu saja mengurangi kadar Na di dalam tanah (yang

merupakan unsur dalam menaikkan salinitas) melalui pertukaran kation tersebut.

c. Memperbaiki kualitas biologi tanah. Dengan semakin membaiknya sifat fisika dan kimia tanah maka

akan meningkatkan peluang hidup dan berkembangnya biota yang ada didalam tanah. (Janes, 2005)

METODOLOGI

Prosedur Pengkajian

Terlebih dahulu lahan demplot dibersihkan dari gulma dan sampah-sampah bekas tsunami (seperti

batang kelapa, perahu, botol-botol bekas dan lain-lain). Benteng dan pematang diperbaiki sehingga air dapat

masuk untuk mengairi sawah. Tanah diolah 2 kali secara manual dengan menggunakan cangkul kemudian

diratakan. Varietas yang ditanam Ciherang, Kapuas dan Banyuasin. Umur benih 15 hari untuk siap ditanam

sebanyak 1 bibit per rumpun dengan sistem tanam Tegel (20 cm x 20 cm). Pemupukan dilaksanakan sesuai

dengan rekomendasi bertitik tolak dengan hasil analisis tanah. Dosis pemupukan yang diberikan 200 kg Urea,

100 kg SP36 dan 100 kg KCl per hektar. Seluruh pupuk SP36 dan KCl diberikan pada saat tanam sedangkan

Urea diberikan sesuai dengan anjuran Bagan Warna Daun (BWD). Penggunaan bahan organik dengan pupuk

kandang dibuat 2 paket, paket pertama lahan dengan menggunakan bahan organik 2 ton/ha dan paket kedua

lahan tanpa penggunaan bahan organik. Semua aplikasi dari teknologi PTT diterapkan dilapang kecuali

pengairan secara berkala ”intermitten” karena tidak tersedianya saluran irigasi di daerah ini, mereka hanya

bertumpu pada ketersediaan air hujan saja.

Lokasi Pengkajian

Kegiatan dilaksanakan pada padi sawah di lahan pasca tsunami berlokasi di Desa Botohilitano

Kecamatan Teluk Dalam Kab. Nias Selatan pada bulan September 2005 sampai Februari 2006. Rata-rata

curah hujan 3077,1 mm/tahun dengan rata-rata hari hujan 22 hari/bulan. Suhu udara rata-rata 21-36 0C dan

kelembaban 80-90 %. Tekstur tanah Lempung Berdebu dengan pH (H2O) 7,24 dan nilai EC (Elektro

Conductivity) yaitu 1,31 mmhos/cm. Dari nilai ini dapat diinterpretasikan bahwa rendahnya kadar garam

yang ada di tanah tidak membuat tanah pada lahan demplot ini menjadi ‗miskin‘ akan unsur hara makro.

Metode Analisis

Pengkajian ini menyampaikan data secara kualitatif dengan menggunakan 3 ulangan dan dilakukan

uji lanjutan dengan uji t pada 2 beda rataan antara 2 perlakuan dari hasil yang diperoleh dari lapang.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Lahan pertanian di Nias Selatan masih sangat berpotensi untuk ditumbuh kembangkan baik dari sisi

intensifikasi maupun ekstensifikasi. Dari hasil survey menunjukkan bahwa masih banyaknya lahan-lahan

kosong yang memang layak untuk dipakai karena kesuburan tanahnya masih tergolong baik, hal ini dapat

diperhatikan dari parameter-parameter yang ada dari hasil analisa laboratorium dibawah ini.

Tabel 1. Hasil Analisa Tanah Awal Desa Botohilitano (Kab. Nias Selatan)

Parameter Alat Nilai Kriteria

pH (H2O) pH meter 7,24 Agak Tinggi

pH (KCl) pH meter 6,86 Tinggi

EC (mmhos/cm) Conductivity 1,31 Rendah

P-Bray I (ppm) Spectrophotometry 9,91 Agak Rendah

Ca (mg/100 g) AAS 73,47 Tinggi

Mg (mg/100 g) AAS 3,62 Tinggi

Na (mg/100 g) AAS 3,32 Tinggi

K (mg/100 g) AAS 0,53 Sedang

Tekstur:

- Pasir (%)

- Debu (%)

- Liat (%)

Hydrometer

Hydrometer Hydrometer

7,8

64,4 27,8

Lempung Berdebu

Page 180: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

218

Dari hasil analisa tanah diatas menunjukkan bahwa tsunami tidak membawa dampak yang begitu

besar dilapangan. Nilai EC 1,31 mmhos/cm termasuk kriteria rendah dan pengaruhnya tidak begitu besar

terhadap ketersediaan unsur hara makro. Menurut Lindsay Evans (Manajemen Tanah Akibat Tsunami)

bahwa jika nilai EC<3,0 maka tidak akan terjadi penurunan hasil produksi khususnya untuk tanaman padi.

Sama halnya dengan ketersediaan bahan organik (pupuk kandang dan jerami) yang cukup besar dan sangat

berpotensi tetapi tidak diaplikasikan dilapang sehingga sangat disayangkan. Maka disamping teknologi-

teknologi PTT yang diterapkan dilapang juga diberikan pelatihan kepada petani berupa praktek langsung

tentang pembuatan bahan organik dan juga begaimana cara meningkatkan produktivitas lahan sawah mereka

yang terkena dampak tsunami di lahan demplot sehingga mereka akan lebih mudah mengerti.

Tabel 2. Data Pengamatan Pertumbuhan dan Potensi Hasil Produksi Pada 2 Aplikasi Bahan Organik Yang Berbeda

Parameter

Varietas

Ciherang Kapuas Banyuasin

Tanpa BO Dengan BO Tanpa BO Dengan BO Tanpa BO Dengan BO

Tinggi tanaman (cm) 90,1 a 89,76 a 102,6 a 104,43 a 103,26 a 102,96 b

Anakan Maks (buah/rumpun)

17,90 a 22,63 a 18,63 a 23,73 a 18,10 a 19,40 b

Anakan Produktif (buah/rumpun)

9,30 a 10,46 b 10,93 a 11,03 b 9,53 a 12,43 a

Produksi (ton/ha) 2,75 a 3,02 b 3,22 a 3,57 b 3,09 a 3,44 b

Dari hasil kegiatan pengkajian diatas dapat kita lihat bahwa varietas Ciherang dan Kapuas memiliki

respon yang sama pada masa pertumbuhan terhadap pemberian bahan organik, bahwa pada parameter tinggi

tanaman dan anakan maksimum kedua varietas ini tidak berbeda nyata hasilnya setelah diuji dengan uji t.

Sedangkan untuk varietas Banyuasin memberikan pengaruh yang nyata setelah diberi bahan organik pada

kedua parameter ini.

Memasuki masa generatif terjadi perubahan sebaliknya, dimana Varietas Ciherang dan Kapuas

memberikan pengaruh yang nyata setelah diberi bahan organik pada pengamatan jumlah anakan produktif.

Sedangkan untuk varietas Banyuasin antara perlakuan yang diberi bahan organik dan tanpa bahan organik

tidak memberikan pengaruh yang nyata lagi pada parameter jumlah anakan produktif (setelah diberikan uji

lanjutan dengan uji t pada taraf 5%).

Dari hasil kegiatan diatas terlihat adanya perbedaan hasil yang tidak begitu besar antara aplikasi

bahan organik dengan tanpa diberi bahan organik. Varietas Banyuasin dan Kapuas yang diberi bahan organik

mempunyai perbedaan 0,35 ton GKG/ha dengan yang tanpa diberi bahan organik, sedangkan untuk varietas

Ciherang mempunyai perbedaaan jauh lebih rendah dibanding kedua varietas yang toleran terhadap salinitas

itu, yaitu 0,27 ton GKG/ha. Dari hasil uji lanjutan dengan uji t (taraf 5 %), diperoleh data bahwa ketiga

varietas (Ciherang, Banyuasin dan Kapuas) berbeda nyata hasilnya antara perlakuan yang tanpa bahan

organik dan yang diberikan bahan organik.

Dari gambaran diatas sudah dapat dilihat adanya pengaruh pemberian bahan organik di lahan

demplot, walaupun sedikit peningkatan hasil produksinya tetapi sudah memberikan bukti kepada petani

bahwa bahan organik dapat memberikan peningkatan produksi.

Peningkatan hasil yang tidak begitu besar mungkin disebabkan karena unsur hara yang

disumbangkan oleh bahan organik ini memang kecil. Sifat dari bahan organik itu sendiri adalah

menyumbangkan unsur hara yang kecil tetapi jumlah unsur yang disumbang adalah besar. Pada intinya

aplikasi bahan organik di lahan demplot adalah memperbaiki sifat fisika tanah. Karena dalam menurunkan

tingkat salinitas di lahan demplot ini, kita harus memperbaiki sifat fisika tanahnya sehingga proses pencucian

garam yang ada di dalam tanah itu dapat semakin cepat.

Perbedaan antara petakan dari lahan demplot ini adalah hanya pengaplikasian bahan organik saja,

sedangkan introduksi teknologi PTT (dari mulai pengelolaan lahan sampai panen) semuanya sama

penerapannya. Sehingga hal inilah yang membuat hampir samanya produktivitas ketiga varietas tersebut.

Page 181: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

219

KESIMPULAN

1. Produktivitas padi yang tertinggi terdapat pada Varietas Kapuas dengan pemakaian bahan organik 2

ton/ha yaitu 3,57 ton GKG/ha, diikuti oleh Varietas Banyuasin dan Ciherang masing-masing

produktivitasnya 3,44 dan 3,02 ton GKG/ha.

2. Varietas Banyuasin dan Kapuas yang diberi bahan organik berbeda 0,35 ton GKG/ha dengan yang tanpa

diberi bahan organik, sedangkan Varietas Ciherang sendiri 0,27 ton GKG/ha.

3. Produksi antara perlakuan tanpa bahan organik dan bahan organik berbeda nyata hasilnya pada masing-

masing varietas (Ciherang, Kapuas dan Banyuasin).

4. Produktivitas yang tinggi dapat dicapai jika Pengelolaan Tanaman Terpadu (PTT) benar-benar diaplikasi

dilapangan disertai dengan pemberian bahan organik.

DAFTAR PUSTAKA

Anonimous. 2003. Nias Selatan Dalam Angka Tahun 2003

Dinas Pertanian dan Kehutanan Nias Selatan, 2005. Laporan Tahunan Kabupaten Nias Selatan. Dinas

Pertanian dan Kehutanan Nias Selatan

Janes, J. 2005., Rehabilitasi Kualitas Tanah Pada Areal-Areal Yang Rusak Pasca Tsunami di Aceh NAD.

Curtin University of Technology. Disampaikan dalam Pelatihan Manajemen Tanah Akibat

Tsunami-Untuk Penanaman Padi dan Tanaman Lainnya di Medan pada tanggal 9 – 14 Mey 2005.

Lindsay Evans. 2005. Manajemen Tanah Akibat Tsunami dalam Pelatihan Manajemen Tanah Akibat

Tsunami-Untuk Penanaman Padi dan Tanaman Lainnya di Medan pada tanggal 9 – 14 Mey 2005.

Page 182: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

220

PENAMPILAN BEBERAPA GALUR HARAPAN/VARIETAS PADI AROMATIK DAN PADI

KONVENSIONAL ASAL IRRI DI SUMUT

Nieldalina, Akmal dan Helmi

Balai Pengkajian Terknologi Pertanian Sumatera Utara

ABSTRAK

Di Propinsi Sumatera Utara sekitar 70% areal persawahan masih didominasi oleh varietas IR-64. Mengingat

tenggang waktu pertanaman varietas ini sudah cukup lama, maka kemurniannya diperkirakan telah menurun, dan mulai rentan terhadap hama dan penyakit. Untuk mengantisipasi hal tersebut perlu dilakukan penelitian uji multilokasi padi

sawah untuk mendapatkan varietas unggul yang berpotensi hasil tinggi dan beradaptasi baik. Penelitian multilokasi

beberapa galur harapan padi aromatik dan padi konvensional asal IRRI dilakukan MH tahun 2001/2002. Pengujian

dilakukan di sentra produksi padi Pasar Miring, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. Dari 16 galur harapan padi aromatik dan konvensional yang di uji, ditambah 3 varietas pembanding diperoleh 11 galur harapan/varietas yang lebih

tinggi produksinya dibanding IR-64 yang hanya menghasilkan 4,46 t/ha, antara lain 5 galur harapan dengan produksi

4,46 - 5 t/ha, 5 galur harapan/varietas dengan produksi >5 t/ha, dan 1 galur harapan yang nyata lebih tinggi. Lima Galur harapan dengan produksi lebih tinggi dari produksi IR-64 tetapi masih di bawah 5 t/ha yaitu IR 59682-132-1-1-2,

IR 71146-122-1-1-2-1, IR 71146-97-1-2-1-3, IR 71143-223-3-2-2-3 dan IR 71137-184-3-2-3-3, masing-masing sebesar

4,90 t/ha, 4,81 t/ha, 4,80 t/ha, 4,54 t/ha dan 4,53 t/ha. Lima galur harapan/varietas dengan produksi 5 t/ha atau lebih yaitu masing masing IR 51672-62-1-1-2-3 (konvensional), IR 60819-34-2-1 (konvensional), Sintanur, IR 65617-52-2-3-

3-2-3 dan IR 71137-49-1-2 (masing-masing aromatik) yaitu masing-masing sebesar 5,27 t/ha, 5,26 t/ha, 5,22 t/ha, 5,01

t/ha dan 5 t/ha. Sementara galur IR 59552-21 (konvensional), nyata paling tinggi hasilnya yaitu sebesar 5,53 t/ha.

Diharapkan bahwa galur-galur harapan dan varietas ini nantinya dapat menggantikan padi IR-64.

Kata kunci : galur/varietas harapan, padi aromatik, padi konvensional.

PENDAHULUAN

Penciptaan varietas unggul baru dengan potensi hasil tinggi, merupakan salah satu langkah yang

dilakukan dalam upaya peningkatan produksi padi di Sumatera Utara. Upaya ini ditempuh karena

Produktivitas padi Sumut (4,32 t/ha), masih di bawah rata-rata produktivitas nasional 4,5 t/ha (BPS Sumut,

1997; Diperta Sumut, 1999). Luas panen tahunan Sumatera Utara tahun 2004 telah berkembang menjadi

744.947 ha, tersebar di 25 kabupaten dengan berbagai keragaman jenis tanah, dan ketinggian tempat (BPS

Sumut, 2004). Gambaran ini mengindikasikan peluang peningkatan produksi melalui peningkatan

produktivitas dengan menggunakan teknologi spesifik lokasi masih cukup besar.

Varietas padi unggul baru yang berumur genjah dan berpotensi hasil tinggi merupakan harapan

petani, karena dapat meningkatkan pendapatan melalui peningkatan indeks pertanaman (IP). Kondisi ini

sejalan dengan program Pemerintah, untuk pencapaian target IP 300% ( Las, et al, 1999). Penciptaan varietas

unggul baru juga menciptakan keragaman genetik yang dapat mengatasi cekaman lingkungan terutama

ketahanan terhadap hama, penyakit utama dan kesesuaian terhadap lahan marginal (Castano, 1991).

Dihasilkannya varietas unggul baru yang berumur genjah dengan potensi hasil tinggi, diharapkan dapat

mengurangi penyebaran varietas Cisadane dan IR-64 yang menguasai 80% areal pertanaman padi Indonesia.

Di Propinsi Sumatera Utara terdapat sekitar 70% areal persawahan masih didominasi varietas IR-64.

Mengingat tenggang waktu pertanaman varietas ini sudah cukup lama, maka kemurniannya diperkirakan

telah menurun, dan mulai rentan terhadap serangan hama dan penyakit. Untuk mengantisipasi hal tersebut

perlu dilakukan penelitian uji multilokasi, untuk mendapatkan dan melihat penampilan galur harapan padi

sawah romatik ataupun konvensional yang memiliki potensi hasil tinggi dan tahan terhadap serangan hama

dan penyakit sebagai calon varietas unggul spesifik Sumatera Utara

Page 183: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

221

BAHAN DAN METODA

Lokasi dan Waktu Pengkajian

Pengujian ini dilakukan di sentra produksi padi Pasar Miring Kabupaten Deli Serdang, Sumatera

Utara pada musim hujan TA. 2001/2002. Lokasi ini sekitar 8,2 km dari ibukota kabupaten dan 36 km dari

ibukota Propinsi Sumut.

Tabel 1. Galur-Galur Harapan Padi Sawah Konvensional dan Aromatik yang Diadaptasikan di Kebun Percobaan Pasar

Miring, pada TA. 2002

No Nama Galur/varietas Keterangan

1

2

3 4

5

6

7 8

9

10

11 12

13

14

15 16

17

18

19

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3

IR 71137-184-3-2-3-3 IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2

IR 71137-49-1-2 IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1

IR 71146-122-1-1-2-1 IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2

IR 60819-34-2-1

IR59552-21 IR51672-62-1-1-2-3

IR 64

WAY APOBURU

SINTANUR

Aromatik

Aromatik

Aromatik Aromatik

Aromatik

Aromatik

Aromatik Aromatik

Aromatik

Aromatik

Aromatik Aromatik

Konvensional

Konvensional

Konvensional Konvensional

Konvensional

Konvensional

Aromatik

Prosedur Pengkajian

Pengujian 19 Galur padi aromatik dan konvensional (Tabel 1) dilaksanakan dalam Rancangan Acak

Kelompok (RAK) dengan 3 ulangan. Ukuran petak perlakuan 4 x 5 m, jarak antar ulangan 1 m dan jarak

antara petakan 0,5 m. Pengolahan tanah dilakukan dengan sempurna. Untuk mengatasi serangan hama bibit

ditaburkan curater dengan dosis 18 kg/ha menjelang tanam. Umur bibit 21 hari, ditanam 3 btg/rumpun

dengan jarak 20x20 cm. Dosis pemupukan berdasarkan hasil analisis tanah. Pupuk Urea diberikan 3 kali,

masing-masing sepertiga bagian saat tanam, umur 4 mst, dan umur 7 mst. Pupuk SP36 dan KCL diberikan

pada saat tanam bersamaan dengan pemberian Urea pertama. Penyiangan dilakukan pada umur 4 mst dan 8

mst, disesuaikan dengan banyaknya gulma dilapangan, sedangkan pengendalian hama dan penyakit

dilakukan apabila terlihat gejala serangan. Data yang dikumpul meliputi kondisi lahan penelitian sebelum

tanam, komponen pertumbuhan, serangan hama/ penyakit, komponen hasil dan hasil. Jumlah tanaman sampel

yang diambil setiap plot adalah 10 rumpun ditentukan secara acak dalam petak perlakuan dengan tidak

memasukkan 2 baris tanaman pinggir. Selain itu dalam penghitungan produksi juga tidak dimasukkan 2 baris

tanaman pinggir.

Data yang diperoleh di analisis secara statistik dengan menggunakan analysis of variance

(ANOVA) dan untuk melihat perbedaan antar perlakuan dilakukan uji lanjut menggunakan LSD pada taraf

5% (Steel and Torrie, 1993), dengan padi IR-64 sebagai kontrol.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Analisis Tanah

Hasil analisis tanah (Tabel 2) memberikan gambaran bahwa tekstur tanah lempung berpasir dengan

kandungan pasir, debu dan liat lapisan olah kedalaman 0-10 cm masing-masing sebesar 37,5%, 33% dan

29,5%, sementara pada kedalaman 11-20 cm masing-masing sebesar 37%, 33% dan 30%. Tanah dengan

KTK rendah ini mempunyai kandungan N tanah (PPT, 1983 dalam Hardjowigeno, 1987) berstatus rendah,

kandungan P-total tanah termasuk sedang, sementara kandungan K-dd termasuk rendah, dan pH tanah adalah

masam, selain itu Ca, Mg dan Na yang dapat dipertukarkan berstatus sangat rendah.

Page 184: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

222

Tabel 2. Hasil Analisis Tanah pada Petak Sawah Pasar Miring, Tahun 2002

Macam analisis Satuan Kedalaman

0 - 10 cm 11 - 20 cm

Pasir % 37,5 37

Debu % 33 33

Liat % 29,5 30

PH H2O - 5,15 5,1

PH KCl - 4,04 4,1

N-total % 0,14 0,15

Ca-dd me/100g 0,10 0,10

Mg-dd me/100g 0,24 0,22

K-dd me/100g 0,20 0,21

Na-dd me/100g 0,03 0,03

P-total % 0,03 0,05

KTK me/100g 7,58 7,75

Tinggi Tanaman Maksimum dan Jumlah Anakan Produktif

Tinggi tanaman maksimum sangat bervariasi, antara 93,2 - 121,5 cm. Paling tinggi Sintanur, paling

rendah Way Apoburu masing masing 121,5 cm dan 93,2 cm. Dibanding IR-64 (96,4 cm) ternyata ada 4 galur

padi aromatik dan varietas yang tidak berbeda nyata, 2 galur nyata dan 12 galur dan varietas sangat berbeda

(Tabel 3 dan Grafik 1). Tanaman padi yang lebih rendah biasanya lebih tahan terhadap resiko kerebahan

akibat hujan atau angin. Perbedaan tinggi tanaman sangat ditentukan oleh sifat genetik tanaman (Bari,dkk,

1974).

Rata-rata galur dan varietas padi aromatik dan konvensional yang ditanam tidak berbeda jumlah

anakan produktifnya dibanding padi IR-64, kecuali 2 galur padi aromatik yaitu IR 71130-51-2 dan IR 71143-

223-3-2-2-3 serta padi Sintanur nyata lebih sedikit jumlah anakan produktifnya (Tabel 3 dan Grafik 2).

Persentase Serangan Sundep

Serangan hama sundep yang terjadi sekitar 1,03 - 3,40%, namun setelah diolah nilai CV cukup besar,

sehingga diperlukan transformasi semua data asli dengan menggunakan Transformasi Akar Kuadrat

(X+0,5)1/2

. Rata-rata nilai tengah ditampilkan pada Tabel 3, Grafik 3). Ternyata ketahanan semua galur

harapan dan varietas padi yang diuji tidak berbeda dibanding IR-64, kecuali galur IR 66696-49-1-2 nyata

lebih tinggi persentase terserang hama Sundep.

Umur Panen

Umur panen juga bervariasi antara 108 hari sampai 125 hari. Umur paling panjang ditunjukkan oleh

Galur padi konvensional IR 51672-62-1-1-2-3 dan IR 60819-34-2-1, 125 hari dan 124 hari, kemudian diikuti

varietas Sintanur, 119 hari. Varietas Way Apoburu sama umur panennya dengan IR-64 yaitu 110 hari. Umur

paling pendek (108 hari) ditunjukan oleh 3 galur padi aromatik yaitu IR 71137-49-1-; IR 65617-52-2-3-3-2-3,

dan IR 67406-49-2-3-1-3-3. Tujuh galur lainnya dipanen pada umur 109 hari (Tabel 3, Grafik 4).

Rata-rata Jumlah Malai/3 Rumpun dan Panjang Malai

Rata-rata jumlah malai per 3 rumpun berkisar 28,00-38,00. Tidak ada perbedaan nyata dibandingkan

IR-64 (32,33). Meskipun demikian terdapat 12 galur yang cenderung lebih tinggi jumlah malainya. Paling

tinggi adalah varietas Way Apoburu sebanyak 38 malai (Tabel 3, Grafik 5). Tanaman dengan jumlah malai

lebih banyak dapat mengurangi resiko kegagalan total dari serangan hama tikus.

Page 185: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

223

Grafik 1. Tinggi Tanaman Maksimum Padi Aromatik dan Padi

Konvensional di Pasar Miring MT 2001/2002

0.0

20.0

40.0

60.0

80.0

100.0

120.0

140.0

Rata-rata

Galur/varietas

Tin

gg

i T

An

am

an

(cm

)

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3

IR 71137-184-3-2-3-3

IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2

IR 71137-49-1-2

IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1

IR 71146-122-1-1-2-1

IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2

IR 60819-34-2-1

IR59552-21

IR51672-62-1-1-2-3

IR 64

WAY APOBURU

SINTANUR

Grafik 2. Jumlah Anakan Produktif Padi Aromatik dan

Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002

9.5

10.0

10.5

11.0

11.5

12.0

12.5

13.0

13.5

1

Galur/Varietas

Jum

lah

An

akan

Pro

du

kti

f (b

tg)

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3

IR 71137-184-3-2-3-3

IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2

IR 71137-49-1-2

IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1

IR 71146-122-1-1-2-1

IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2

IR 60819-34-2-1

IR59552-21

IR51672-62-1-1-2-3

IR 64

WAY APOBURU

SINTANUR

Grafik 3. Transformasi (X+0,5)1/2

Persentase Serangan Sundep Padi

Aromatik dan PAdi Konvensional di Pasar Miring MT. 2001/2002

0.00

0.50

1.00

1.50

2.00

2.50

1Galur Harapan/ Varietas

Pers

enta

se S

era

ngan S

undep (

%)

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3

IR 71137-184-3-2-3-3

IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2

IR 71137-49-1-2

IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1

IR 71146-122-1-1-2-1

IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2

IR 60819-34-2-1

IR59552-21

IR51672-62-1-1-2-3

IR 64

WAY APOBURU

SINTANUR

Grafik 4. Umur Panen Padi Aromatik dan Padi Konvensional di

Pasar Miring, MT 2001/2002

95.0

100.0

105.0

110.0

115.0

120.0

125.0

130.0

1

Varietas

Um

ur

Pan

en

(hari

)

IR 71143-223-3-2-2-3IR 71146-97-1-2-1-3IR 71137-184-3-2-3-3IR 65610-24-3-6-3-2-3IR 67406-6-3-2-3IR 66696-49-1-2IR 71137-49-1-2IR 65617-52-2-3-3-2-3IR 67406-49-2-3-1-3-3IR 71146-407-2-1-2-1IR 71146-122-1-1-2-1IR 71130-51-2IR 59682-132-1-1-2IR 60819-34-2-1IR59552-21IR51672-62-1-1-2-3IR 64WAY APOBURUSINTANUR

Rata-rata panjang malai 21,50-27,63 cm, tidak ada perbedaan nyata dibandingkan IR-64 (24,08 cm),

kecuali 1 varietas sangat nyata lebih pendek malainya yaitu IR 65610-24-3-6-3-2-3 sepanjang 21,50 cm dan 3

galur yang sangat nyata lebih panjang yaitu IR 66696-49-1-2 ; IR 67406-49-2-3-1-3-3 dan IR 67406-6-3-2-3,

masing-masing 26,33, 26,91 dan 27,63 cm (Tabel 3, Grafik 6).

Grafik 5. Jumlah Malai 3 Rumpun Padi Aromatik dan Padi

Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

40.00

1

Galur/Varietas

Jum

lah

Mala

i 3

ru

mp

un

(ta

ng

kai)

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3

IR 71137-184-3-2-3-3

IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2

IR 71137-49-1-2

IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1

IR 71146-122-1-1-2-1

IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2

IR 60819-34-2-1

IR59552-21

IR51672-62-1-1-2-3

IR 64

WAY APOBURU

SINTANUR

Grafik 6. Panjang Malai Padi Aromatik dan Padi

Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

1

Galur/ Narietas

Pan

jan

g M

ala

i (c

m)

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3

IR 71137-184-3-2-3-3

IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2

IR 71137-49-1-2

IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1

IR 71146-122-1-1-2-1

IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2

IR 60819-34-2-1

IR59552-21

IR51672-62-1-1-2-3

IR 64

WAY APOBURU

SINTANUR

Jumlah Gabah Isi dan Jumlah Gabah Hampa

Jumlah gabah isi/malai berkisar antara 85,17-113,40 butir, varietas kontrol (IR-64) 88,30 butir.

Yang nyata paling tinggi dari IR-64 adalah IR 67406-6-3-2-3, IR 66696-49-1-2 dan IR 71137-184-3-2-3-3,

masing-masing 112,07, 112,80 dan 113,40 butir (Tabel 3, Grafik 7). Hal ini menunjukkan bahwa galur-galur

ini responsif dan efektif dalam pemanfaatan unsur hara dari tanah maupun pupuk yang diberikan.

Page 186: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

224

Grafik 7. Jumlah Gabah Isi/malai Padi Aromatik dan Padi

Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002

0.00

20.00

40.00

60.00

80.00

100.00

120.00

1

Galur/Varietas

Jum

lah

Gab

ah

Isi

/mala

i (b

uti

r) IR 71143-223-3-2-2-3IR 71146-97-1-2-1-3IR 71137-184-3-2-3-3IR 65610-24-3-6-3-2-3IR 67406-6-3-2-3IR 66696-49-1-2IR 71137-49-1-2IR 65617-52-2-3-3-2-3IR 67406-49-2-3-1-3-3IR 71146-407-2-1-2-1IR 71146-122-1-1-2-1IR 71130-51-2IR 59682-132-1-1-2IR 60819-34-2-1IR59552-21IR51672-62-1-1-2-3IR 64WAY APOBURUSINTANUR

Grafik 8. Jumlah Gabah Hampa Padi Aromatik dan Padi

Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002

0.00

10.00

20.00

30.00

40.00

50.00

60.00

1

Galur/Varietas

Jum

lah

Gab

ah

Ham

pa (

bu

tir)

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3IR 71137-184-3-2-3-3

IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2IR 71137-49-1-2

IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1IR 71146-122-1-1-2-1

IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2IR 60819-34-2-1

IR59552-21

IR51672-62-1-1-2-3

IR 64WAY APOBURU

SINTANUR

Tabel 3. Rata-rata Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Produktif, Persentase Serangan Sundep {Transformasi Data dengan Akar-

Kuadrat (X+0,5)1/2}, Umur Panen, Jumlah Malai/3 Rumpun, Panjang Malai, Jumlah Gabah Isi, Jumlah Gabah Hampa Berat

1000 butir dan Produksi Galur-galur harapan Padi Sawah Aromatik dan Konvensional pada Pengkajian Uji Multilokasi di Pasar

Miring, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara. MH 20021/2002

Galur/Varietas

Tinggi

Tanaman

Maksimu

m (cm)

Jumlah

Anakan

Produktif

(batang)

Persentase

Serangan

Sundep (%)

(Trans.

Akar-

Kuadrat

(X+0,5)1/2

Umur

Panen

(hari)

Jumlah

Malai per

3 rumpun

(malai)

Panjang

Malai

(cm)

Jumlah

Gabah Isi

(butir)

Jumlah

Gabah

Hampa

(butir)

Berat

1000

butir (g)

Produksi

KA.14%

(t/ha)

IR 71143-223-3-

2-2-3

104,1 ** 11.17 * 1.29 ns

113.00 ** 33.00 ns 24.72 ns 104.67 ns 45.20 ** 28.42 ns 4.54 ns

IR 71146-97-1-2-

1-3

105,7 ** 12.20 ns 1.77 ns

113.00 ** 35.00 ns 24.53 ns 102.77 ns 29.67 ns 27.28 ns 4.80 ns

IR 71137-184-3-

2-3-3

106,6 ** 12.03 ns 1.64 ns

109.33 ns 34.00 ns 24.87 ns 113.40 * 33.63 ns 28.31 ns 4.53 ns

IR 65610-24-3-6-

3-2-3

102,2 * 11.77 ns 1.66 ns

109.00 * 29.00 ns 21.50 ** 96.87 ns 22.83 ns 28.91 ns 3.45 *

IR 67406-6-3-2-3 106,4 ** 11.97 ns 1.68 ns 109.00 * 31.00 ns 27.63 ** 112.07 * 33.23 ns 27.51 ns 3.62 *

IR 66696-49-1-2 111,1 ** 12.23 ns 1.94 * 109.00 * 28.00 ns 26.33 ** 112.80 * 31.27 ns 27.44 ns 4.04 ns

IR 71137-49-1-2 99,8 ns 12.27 ns 1.32 ns 108.00 ** 34.00 ns 24.63 ns 83.70 ns 22.40 ns 29.67 ns 5.00 ns

IR 65617-52-2-3-

3-2-3

104,7 ** 13.03 ns 1.79 ns

108.00 ** 35.00 ns 24.56 ns 104.23 ns 55.67 ** 27.86 ns 5.01 ns

IR 67406-49-2-3-

1-3-3

116,6 ** 12.50 ns 1.72 ns

108.00 ** 33.00 ns 26.91 ** 102.80 ns 45.57 ** 27.46 ns 4.38 ns

IR 71146-407-2-

1-2-1

106,0 ** 13.03 ns 1.43 ns

109.00 * 37.33 ns 25.31 ns 88.80 ns 49.00 ** 27.05 ns 4.30 ns

IR 71146-122-1-

1-2-1

96,8 ns 12.23 ns 1.59 ns

109.00 * 31.67 ns 24.58 ns 94.90 ns 35.50 ns 30.28 * 4.81 ns

IR 71130-51-2 108,6 ** 11.37 * 1.76 ns 109.00 * 29.33 ns 24.82 ns 94.77 ns 27.23 ns 28.93 ns 4.41 ns

IR 59682-132-1-

1-2

97,8 ns 12.80 ns 1.47 ns

113.00 ** 35.00 ns 25.00 ns 104.20 ns 31.83 ns 24.52 ** 4.90 ns

IR 60819-34-2-1 108,1 ** 12.03 ns 1.26 ns 124.00 ** 33.33 ns 23.57 ns 93.93 ns 32.40 ns 27.75 ns 5.26 ns

IR 59552-21 101,5 * 13.17 ns 1.32 ns 113.00 ** 33.67 ns 24.09 ns 97.20 ns 51.00 ** 27.15 ns 5.53 *

IR 51672-62-1-1-

2-3

109,3 ** 12.87 ns 1.23 ns

125.00 ** 37.67 ns 23.62 ns 85.17 ns 28.30 ns 27.80 ns 5.27 ns

IR 64 96,4 12.97 1.41 110.00 32.33 24.08 88.30 27.03 27.73 4.46

WAY

APOBURU

93,2 ns 13.27 ns 1.58 ns

110.00 ns 38.00 ns 24.08 ns 85.83 ns 16.23 ns 27.91 ns 4.06 ns

SINTANUR 121,5 ** 11.07 * 1.39 ns 119.00 ** 31.33 ns 24.76 ns 108.27 ns 21.43 ns 30.19 * 5.22 ns

CV 2,8 % 7,2 % 18,6 % 0,4 % 16,4 % 3,7 % 13,5 % 21,3 % 5,1 % 10,6 %

S.E.D. 2,483 0,726 0,234 0,404 4,463 0,739 10,880 5,863 1,160 0,400

LSD 5 % 5,026 1,469 0,474 0,819 9,035 1,495 22,025 11,870 2,349 0,809

LSD 1 % 6,732 1,967 0,636 1,099 12,102 2,003 29,503 15,899 3,146 1,804

Page 187: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

225

Jumlah gabah hampa/malai berkisar antara 16,23-55,67 butir, sementara varietas kontrol (IR-64)

27,03 butir. Penampilan yang sangat nyata paling banyak dibanding IR-64 adalah IR 71143-223-3-2-2-3, IR

67406-49-2-3-1-3-3, IR 71146-407-2-1-2-1, IR 59552-21 dan IR 65617-52-2-3-3-2-3, masing-masing

mencapai jumlah gabah hampa 45,20, 45,57, 49,00, dan 51,00 dan 55,67 butir. Jumlah gabah hampa

ditentukan oleh sifat genetiknya (Tabel 3, Grafik 8).

Berat 1000 butir

Berat 1000 butir berkisar antara 24,52-30,28 g. Berat 1000 butir IR-64 adalah 27,73 g. Diperoleh 2

galur yang nyata lebih tinggi yaitu Sintanur dan IR 71146-122-1-1-2-1 masing-masing 30,19 dan 30.28 g.

Juga diperoleh satu galur yang sangat nyata lebih ringan yaitu galur IR 59682-132-1-1-2 sebesar 24.52 g.

Selebihnya galur padi yang diuji tidak berbeda nyata dibandingkan dengan IR-64. (Tabel 3, Grafik 9)

Grafik 9. Berat 1000 butir Padi Aromatik dan Padi

Konvensional di Pasar Miring, MT 2001/2002

0.00

5.00

10.00

15.00

20.00

25.00

30.00

35.00

1

Galur/Varietas

Bera

t 1

00

0 b

uti

r (g

r)

IR 71143-223-3-2-2-3IR 71146-97-1-2-1-3IR 71137-184-3-2-3-3IR 65610-24-3-6-3-2-3IR 67406-6-3-2-3IR 66696-49-1-2IR 71137-49-1-2IR 65617-52-2-3-3-2-3IR 67406-49-2-3-1-3-3IR 71146-407-2-1-2-1IR 71146-122-1-1-2-1IR 71130-51-2IR 59682-132-1-1-2IR 60819-34-2-1IR59552-21IR51672-62-1-1-2-3IR 64WAY APOBURUSINTANUR

Grafik 10. Produksi Padi Aromatik dan Padi Konvensional

KA 14% di Pasar Miring, MT 2001/2001

0.00

1.00

2.00

3.00

4.00

5.00

6.00

1

Galur/Varietas

Pro

du

ksi

KA

14

% (

t/h

a)

IR 71143-223-3-2-2-3

IR 71146-97-1-2-1-3

IR 71137-184-3-2-3-3

IR 65610-24-3-6-3-2-3

IR 67406-6-3-2-3

IR 66696-49-1-2

IR 71137-49-1-2

IR 65617-52-2-3-3-2-3

IR 67406-49-2-3-1-3-3

IR 71146-407-2-1-2-1

IR 71146-122-1-1-2-1

IR 71130-51-2

IR 59682-132-1-1-2

IR 60819-34-2-1

IR59552-21

IR51672-62-1-1-2-3

IR 64

WAY APOBURU

SINTANUR

Produksi pada KA 14%

Rata-rata produksi pada KA.14% berkisar antara 3,45-5,53 t/ha (Grafik 9 dan 10), produksi IR-64,

4,46 t/ha. Hal ini dapat disebabkan karena respon tanaman terhadap pemupukan N pada kondisi kadar hara N

tanah yang rendah, sementara kandungan hara P tanah yang sedang, sudah dapat mencukupi kebutuhan

tanaman ditambah dengan pemupukan P sampai 97,5 kg SP-36/ha. Begitu juga dengan kandungan hara K

tanah yang sangat tinggi yang menyebabkan tidak adanya respon tanaman terhadap penambahan pupuk K.

Kondisi di atas diperlihatkan oleh produksi rata-rata tertinggi cendrung diperoleh pada perlakuan pemupukan

N Supra Insus dengan 97,5 kg kg SP 36/ha dan 0 kg KCl/ha, yaitu 5,71 t/ha pada KA 14% atau setara dengan

6,22 t/ha GKP.

KESIMPULAN

Diperoleh 5 galur harapan dengan produksi lebih tinggi dari IR-64 (4,46 t/ha) yaitu IR 59682-132-1-

1-2 (4,90 t/ha); IR 71146-122-1-1-2-1 (4,81 t/ha); IR 71146-97-1-2-1-3 (4,80 t/ha); IR 71143-223-3-2-2-3

(4,54 t/ha) dan IR 71137-184-3-2-3-3 (4,53 t/ha). Lima galur harapan dengan produksi 5 t/ha atau lebih

yaitu masing masing IR 51672-62-1-1-2-3 (konvensional), IR 60819-34-2-1 (konvensional), Sintanur, IR

65617-52-2-3-3-2-3 dan IR 71137-49-1-2 (masing-masing aromatik) yaitu masing-masing sebesar 5,27 t/ha,

5,26 t/ha, 5,22 t/ha, 5,01 t/ha dan 5 t/ha. Sementara galur IR 59552-21 (konvensional), nyata paling tinggi

hasilnya yaitu sebesar 5,53 t/ha. Diharapkan bahwa galur-galur harapan dan varietas ini nantinya dapat

menggantikan padi IR-64.

Page 188: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

226

DAFTAR PUSTAKA

Aradeau, M.A. and Z. Harahap. 1986. Relevant upland rice breeding objective. Pp 189-198 in Progres in

Upland Rice Research. IRRI, Philippines.

Bari,A., S.Musa dan E Syamsudin. 1974. Pengantar Pemuliaan Tanaman. Departemen Agronomi, Fakultas

Pertanian. IPB Bogor

BPS Sumut, 2004. Sumatera Utara dalam angka 2004. Badan Pusat Statistik Provinsi Sumatera Utara.

Castano, J.Z. 1991. Status of research on blast (pyricularia oryzae Cav) in upland rice at Sumatera and

management of the disease. Sukarami research Institute for Food Crops. Padang, West Sumatera.

73 p.

Daradjat, A.A. 1998. Metode non parametrik untuk analisis interaksi genotipe Dengan Lingkungan.

Makalah Pelatihan Pemuliaan Tanaman Fakultas Pertanian Universitas Pajajaran – Balai Penelitian

Padi (BALITPA) Sukamandi. 25 p

Diperta Sumut, 1999. Kesimpulan rapat kerja Dinas Pertanian Tanaman Pangan Sesumatera Utara, Hotel

Sahid, Medan. Pemerintah Propinsi Daerah Tingkat I Sumatera Utara. Dinas Pertanian Tanaman

Pangan. 19 p.

Fagi, A. M. dan Z.Zaini, 1996. Sistem usahatani berbasis dengan wawasan agribisnis. Prosiding seminar

nasional Prospek tanam benih langsung padi sawah di Indonesia. Makalah pada seminar himpunan

ilmu gulma Indonesia. Hal 8-20

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu Tanah. PT Mediyatama Sarana Perkasa. Jakarta

Kantor Statistik Sumut, 1997. Ringkasan eksekutif statistik Sumatera Utara. Meningkatkan intensitas

tanaman pangan Sumatera Utara. Perwakilan BPS, Kantor Statistik Sumatera Utara. 16 p.

Las, I, A.Karim Makarim, Sumarno, Sirman Purba, Maesti Mardiharini dan S.Kartaatmadja, 1999. Pola IP

padi 300 Konsepsi dan Prospek Implementasi Siatem Usaha Pertanian Berbasis Sumberdaya.

Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 66 p

Steel, R.G. dan J. H. Torrie. 1993. Prinsip dan prosedur statistika. PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

748 p.

Page 189: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

227

DINAMIKA FOSFOR DAN KARBON ORGANIK PADA LAHAN SAWAH TADAH HUJAN

DI SUMATERA UTARA

Ali Jamil, Darwin Harahap, Khadijah EL Ramija, dan Novia Chairuman

Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sumatera Utara

ABSTRAK

Secara umum, semua lahan sawah tadah hujan (LSTH) memiliki status kesuburan tanah yang rendah karena

pertanaman terus menerus dengan sedikit atau tidak ada penggantian hara dan/atau kesuburan tanah yang rendah secara

alami. Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi dinamika fosfor dan C-organik dalam tanah selama masa pertanaman

padi secara tanam pindah sebagai pengaruh pemakaian pupuk fosfor dan pupuk kandang sapi pada LSTH di Sumatera Utara. Percobaan telah dilakukan sejak bulan Juni hingga Oktober, 2004. Perlakuan terdiri dari kombinasi 0; 30; 60; dan

90 kg P2O5 per ha dan 0; 3; dan 6 ton pupuk kandang sapi per ha. Perlakuan disusun berdasarkan Rancangan Acak

Kelompok dalam bentuk faktorial dengan beberapa sifat tanah sebagai parameter yang diukur dalam penelitian ini. Hasil

penelitian menunjukkan bahwa terjadi peningkatan P tersedia hingga 75 hari setelah tanam (HST) dan menurun hingga 105 HST. Demikian juga kandungan karbon organik tanah meningkat hingga umur 95 HST dan menurun pada saat 105

HST. Secara umum, terjadi peningkatan yang nyata pada kandungan P tersedia dan kandungan karbon organik dalam

tanah sebagai pengaruh pemberian pupuk P dan bahan organik selama masa pertumbuhan tanaman padi secara tanam

pindah. Disimpulkan bahwa terdapat peningkatan P tersedia dan C-organik pada LSTH di Sumatera Utara hingga 75 maupun 95 HST. Pemberian 90 kg P2O5 per ha dan 6 ton per ha pupuk kandang sapi memberikan nilai kandungan hara

paling besar dibandingkan perlakuan lainnya.

Kata kunci: dinamika, fosfor, karbon-organik, lahan sawah, tadah hujan, Sumatera Utara

PENDAHULUAN

Sistem lahan sawah tadah hujan mencakup sekitar 37 juta ha yang diperkirakan sekitar 1/3 total area

yang ditanami padi di dunia (IRRI, 1997). Karena ketersediaan air yang fluktuatif, maka kondisi secara

hydrologi sangat bervariasi dari tergenang sempurna tanaman padi hingga kekeringan dimana hal ini sering

terjadi dalam musim yang sama. Tanah bertekstur liat yang kaya dengan sesquioksida seperti Ultisol, Oxisol,

dan juga sulfat masam, gambut dan tanah-tanah sodik di dalam dasar pembentukan mereka mempunyai kadar

P-tersedia rendah dan mempunyai kapasitas mengadsorpsi pupuk fosfor yang besar (Singh dan Sovyanhadi,

1998). Oleh karena pertanaman yang intensif, bahan organik tanah telah terkuras sehingga akhirnya

menurunkan tingkat kesuburan tanah. Penambahan bahan organik ke dalam tanah adalah merupakan solusi

yang terbaik untuk mengatasi penurunan tingkat kesuburan tanah.

Provinsi Sumatera Utara adalah salah satu provinsi di Indonesia penghasil beras. Di Sumatera Utara

terdapat 89.395 ha lahan sawah tadah hujan yang ditanami dua kali setahun dan 91.362 ha ditanami hanya

sekali setahun (BPS Sumatera Utara, 2004). Rataan produktivitas padi pada lahan sawah tadah hujan di

Sumatera Utara menurut Erythrina dkk. (2001) adalah sekitar 4,15 t ha-1

. Berdasarkan kondisi tersebut di atas,

diperlukan teknologi pengelolaan hara secara spesifik lokasi untuk pengembangan produktivitas sistem

tanam berbasis padi di lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara khususnya di Kabupaten Langkat.

Penekanan khusus adalah untuk pengelolaan fosfor dan bahan organik pada lahan sawah tadah hujan.

Penelitian bertujuan untuk mengevaluasi dinamika fosfor dan karbon organik dalam tanah pada lahan sawah

tadah hujan selama masa pertumbuhan tanaman padi tanam pindah, khususnya di Kabupaten Langkat,

Provinsi Sumatera Utara.

BAHAN DAN METODE

Percobaan dilakukan pada musim kering dari bulan Juni sampai Oktober 2004 di Desa Suka

Makmur, Kecamatan Binjai, Kabupaten Langkat, pada lahan sawah tadah hujan di Sumatera Utara pada

ketinggian sekitar 28 m di atas permukaan laut dengan rataan curah hujan tahunan sekitar 2.462 mm. Lokasi

percobaan didominasi oleh jenis tanah Albaquult (Adiwiganda, 1990; Soil Survey Staff, 1998).

Percobaan disusun berdasarkan rancangan acak kelompok dalam bentuk factorial dengan dua faktor

dan tiga ulangan. Faktor pertama adalah penggunaan pupuk fosfor dalam bentuk SP-36 (36% P2O5) sebanyak

empat tingkat yaitu berturut-turut: P0, P1, P2, dan P3 dengan dosis yaitu 0, 30, 60, dan 90 kg ha-1

P2O5.

Perlakuan kedua adalah pemakaian bahan organik dalam hal ini digunakan pupuk kandang sapi sebagai

sumber bahan organik pada tiga tingkatan dosis berturut-turut adalah 0, 3, dan 6 t ha-1

. Ukuran plot adalah 5

Page 190: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

228

m x 6 m dan ulangan (blok) serta masing-masing blok dipisahkan dengan pematang pada jarak berturut-turut

adalah 1.0 m dan 0.5 m untuk memudahkan operasional di lapangan dan pengelolaan lainnya termasuk

pengumpulan data yang dibutuhkan. Dua belas kombinasi perlakuan fosfor dan bahan organik (pukan sapi)

adalah sebagai berikut P0O0, P0O1, P0O2, P1O0, P1O1, P1O2, P2O0, P2O1, P2O2, P3O0, P3O1, dan P3O2.

Pemupukan kalium sebagai pupuk dasar telah diaplikasikan pada saat tanam pindah (0 HST) dengan dosis 50

kg KCl ha-1

. N (kg N ha-1

) diberikan sebagai berikut: 20 sebagai dasar, 30 pada awal pembentukan anakan

(14-20 HST), 25 pada pertengahan pembentukan anakan (30-35 HST), dan 45 pada fase pembentukan malai

(40-45 HST). Pupuk fosfor diberikan pada saat tanam dan pukan sapi diberikan dua minggu sebelum tanam.

Parameter yang diukur pada percobaan ini adalah kandungan P tersedia dan karbon organik tanah

selama pertumbuhan tanaman padi tanam pindah. Contoh tanah diambil secara komposit dari lima sub contoh

dijadikan menjadi satu contoh komposit per plot untuk dianalisa sifat-sifatnya. Pengambilan contoh tanah dan

analisa sifat tanah ini dilakukan pada awal sebelum percobaan dimulai, kemudian setiap 20 hari sekali sejak

15 HST hingga setelah panen padi (15, 35, 55, 75, 95, dan 105 HST). Data dianalisis dengan menggunakan

SAS program. Analisis Covariance (ANACOVA) telah digunakan menguji pengaruh perbedaan perlakuan

terhadap parameter tanah dengan menggunakan prosedur seperti dikemukakan Steel dan Torrie (1980) dan

Gomez dan Gomez (1983).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Sifat Tanah dan Bahan Organik yang Digunakan pada Lokasi Percobaan

Untuk membahas sifat awal dari tanah lokasi percobaan, telah digunakan kriteria penilaian

kandungan hara dalam tanah seperti dikemukakan Hardjowigeno (2003). Secara umum, variasi sifat tanah

dalam areal percobaan adalah kecil seperti disajikan pada Tabel 1. Tanah pada areal percobaan mempunyai

kandungan hara P tersedia sangat rendah (4,2-4,7 ppm), kandungan C-organik juga sangat rendah (0,35-

0,38%), kapasitas tukar kation sedang (22,7-22,9 cmol(+)kg-1

). Kerapatan lindak berkisar antara 1,13-1,20 g

cm-3

, dan kandungan air tersedia berkisar antara 10,2-11,9%.

Dibandingkan dengan sifat awal tanah sebelum percobaan dimulai, maka pemakaian kedua P dan

bahan organik (pukan sapi) meningkatkan ketersediaan P dalam tanah, dan kandungan karbon organik tanah

sekitar 102% dan 197%. Walaupun terjadi peningkatan untuk kandungan P tersedia dan karbon organik

dalam tanah, nilai yang diperoleh pada akhir percobaan ini masih tergolong kepada kriteria sangat rendah ke

rendah untuk kedua parameter di atas karena kandungan yang sangat rendah dalam tanah sebelum percobaan

dimulai.

Tabel 1. Nilai Rataan Sifat Tanah Awal pada Areal Percobaan Sebelum Pertanaman

No. Plot

Parameter

P-tersedia

(ppm)

C-organik

(%) KTK (cmol(+)kg-1)

Kerapatan lindak

(g cm-3) Air tersedia (%)

1. P0O0 4,4 0,36 22,7 1,20 10,5

2. P0O1 4,3 0,38 22,8 1,15 10,9

3. P0O2 4,2 0,38 22,8 1,15 11,0

4. P1O0 4,4 0,37 22,8 1,20 11,2

5. P1O1 4,4 0,37 22,8 1,16 10,6

6. P1O1 4,3 0,38 22,8 1,14 11,0

7. P2O0 4,5 0,37 22,9 1,13 11,4

8. P2O1 4,7 0,37 22,8 1,17 11,3

9. P2O2 4,6 0,38 22,8 1,19 10,6

10. P3O0 4,6 0,38 22,8 1,13 10,2

11. P3O1 4,5 0,35 22,8 1,18 11,7

12. P3O2 4,7 0,37 22,8 1,18 11,9

Rataan 4,5 0,37 22,8 1,16 11,0

SE 0,33 0,03 0,09 0,02 0,75

Pupuk kandang sapi telah digunakan sebagai sumber bahan organik pada percobaan ini yang

diperoleh dari Desa Lubuk Bayas, Kabupaten Deli Serdang. Sub contoh telah diambil dan dijadikan satu

contoh komposit untuk dianalisa kandungan haranya sebelum diperlakukan ke lapang. Secara rata-rata, pukan

sapi yang digunakan pada percobaan ini mengandung 1,04% N-total dan 20,6% C-organik dengan nilai C/N

19,8. Disamping itu, kandungan P, K, Ca, dan Mg berturut-turut adalah 0,30; 1,24; 1,62; dan 0,52%.

Page 191: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

229

Dinamika Fosfor dan Karbon Organik Dalam Tanah

Fosfor tersedia. Pemakaian kedua fosfor dan bahan organik secara nyata (P<0.001) meningkatkan

fosfor tersedia dalam tanah dan meningkat dengan waktu sampai 75 HST (Tabel 2). Peningkatan pemberian

fosfor sampai 60 kg ha-1

P2O5 dapat meningkatkan kandungan P tersedia dari 29.4-41.3%; namun, tidak

terdapat peningkatan selanjutnya bila dosis pemberian P ditingkatkan dari 60 ke 90 kg ha-1

P2O5. Pemakaian

bahan organik juga menghasilkan peningkatan yang nyata untuk fosfor tersedia dalam tanah dari 19,5-38,5%.

Kandungan P tersedia juga meningkat dengan waktu dengan peningkatan yang lebih tinggi pada 75 HST

dimana peningkatan ini sekitar 95% dengan penggunaan 6 t ha-1

bahan organik. Interaksi antara pemberian P

dengan bahan organik juga nyata pada semua waktu pengamatan kecuali pada 15 dan 75 HST, dimana hal ini

terutama disebabkan oleh respon P tersedia yang lebih besar terhadap pemakaian bahan organik, khususnya

pada level P yang lebih tinggi (P2 dan P3).

Peningkatan konsentrasi P tersedia dalam tanah kemungkinan besar disebabkan beberapa hal seperti

peningkatan kelarutan pupuk kimia dan pelarutan PO4 dari kompleks tidak larut dengan Fe, Al, Ca, dll karena

asam humik yang dapat dihasilkan selama pelapukan pukan sapi (Tisdale dkk., 1985). Miller and Donahue

(1995) selanjutnya menjelaskan bahwa pupuk fosfat adalah salah satu sumber langsung dari fosfat larut

dalam tanah. Sebagai tambahan bahwa kadar P tersedia meningkat dengan waktu, tetapi lebih respon

terhadap P dan pukan sapi bila diberikan bersama. Pillai (2006) mengemukakan bahwa jika tanah digenangi,

beberapa perubahan kimia dan elektrokimia utama akan terjadi yang akan menyebabkan peningkatan pH

tanah masam, reduksi kimia, peningkatan pH tanah masam dan penurunan pH tanah-tanah kalkareus atau/dan

sodik, yang kesemuanya ini mempunyai peran dalam peningkatan kadar P tersedia dalam tanah. Oleh karena

rendahnya kandungan karbon organik pada awal percobaan, diharapkan bahwa penggunaan pukan sapi ke

dalam tanah akan memperbaiki sifat kimia dan fisika tanah, seperti diamati pada percobaan ini dimana

kandungan P tersedia meningkat dengan meningkatnya pemberian P maupun pukan sapi. Olk dkk. (2000)

mengemukakan bahwa, tanah bertekstur liat sering ditandai dengan struktur maupun aerasi yang jelek,

keduanya akan dapat diperbaiki melalui penambahan bahan organik (Sparling dkk., 1992; Angers dkk., 1993;

dan Miller dan Donahue, 1995).

Tabel 2. Fosfor Tersedia Dalam Tanah pada Waktu Pengamatan Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh Perlakuan P

dan Bahan Organik

PERLAKUAN

HARI SETELAH TANAM

15 35 55 75 95 105

-------------------------------------- ppm -------------------------------------

P0 O0 4,67 4,86 5,83 6,18 5,57 4,83

O1 5,13 5,89 6,92 7,66 6,98 5,93

O2 5,90 6,92 7,97 9,38 7,95 7,01

Rataan 5,23 5,89 6,91 7,74 6,84 5,92

P1 O0 5,07 5,93 6,61 7,98 6,58 5,85

O1 5,47 6,90 8,39 8,64 8,33 6,93

O2 6,24 7,94 9,08 9,82 9,26 8,23

Rataan 5,59 6,92 8,03 8,81 8,06 7,00

P2 O0 6,47 7,14 8,78 8,90 8,74 6,89

O1 6,76 7,91 9,14 9,93 9,46 8,01

O2 7,07 9,88 10,72 11,74 10,79 9,71

Rataan 6,77 8,31 9,55 10,19 9,66 8,20

P3 O0 5,09 6,40 8,34 8,84 8,37 6,65

O1 5,71 7,65 8,98 9,42 9,00 7,47

O2 6,23 8,96 10,03 10,54 10,15 8,35

Rataan 5,68 7,67 9,12 9,60 9,17 7,49

Pukan sapi Rataan

O0 5,32 6,08 7,39 7,97 7,32 6,06

O1 5,77 7,09 8,36 8,91 8,44 7,08

O2 6,36 8,42 9,45 10,37 9,54 8,32

Rataan 5,82 7,20 8,40 9,08 8,43 7,15

Significance P *** *** *** *** *** ***

O *** *** *** *** *** ***

P x O tn *** * tn *** ***

LSD05 P 0,15 0,17 0,24 0,15 0,12 0,14

O 0,13 0,15 0,21 0,14 0,10 0,12

P x O - 0,29 0,42 - 0,20 0,24

KK (%) 2,26 2,39 3,13 1,58 1,41 1,98

Keterangan : tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001.

Page 192: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

230

Pukan sapi yang digunakan dalam percobaan ini mengandung nilai C/N rasio sedang (sekitar 20),

dimana hal ini memiliki kontribusi terhadap peningkatan maupun perbaikan kesuburan tanah. Gobat dkk.

(2004) mengemukakan bahwa, nilai indeks yang baik dari kualitas pukan sapi adalah rasio C terhadap N.

Nilai C/N yang tinggi (25-30) sebagai bukti bahwa bahan organik tersebut belum melapuk secara sempurna.

Kandungan karbon organik dalam tanah. Pemakaian kedua P dan bahan organik nyata

meningkatkan kandungan karbon organik tanah dan juga meningkat dengan waktu (Tabel 3). Peningkatan

karbon organik tanah karena peningkatan pemakaian P dari 0 ke 90 kg P2O5 ha-1

adalah sekitar 11%-27%.

Pengaruh pukan sapi lebih jelas, dimana rata-rata peningkatan karbon organik dari sekitar 24% dan 50% bila

diberikan 3 ke 6 t ha-1

pukan sapi. Interaksi nyata antara penggunaan P dan bahan organik hanya terdapat

pada pengukuran pertama, dimana hal ini lebih respon terhadap pemakaian bahan organik khususnya pada

dosis tanpa pemberian P (P0).

Tabel. 3. Perubahan Karbon Organik Tanah pada Waktu Pengukuran yang Berbeda Setelah Tanam Sebagai Pengaruh

Perlakuan P dan Bahan Organik

PERLAKUAN

HARI SETELAH TANAM

15 35 55 75 95 105

-------------------------------------- % -------------------------------------

P0 O0 0,51 0,57 0,62 0,76 0,78 0,63

O1 0,76 0,78 0,81 0,86 1,04 0,89

O2 0,82 0,96 0,97 1,01 1,20 1,17

Rataan 0,70 0,77 0,80 0,88 1,01 0,90

P1 O0 0,62 0,63 0,73 0,80 0,83 0,67

O1 0,81 0,81 0,85 0,92 1,10 0,93

O2 0,86 1,00 1,02 1,08 1,31 1,19

Rataan 0,76 0,81 0,87 0,93 1,08 0,93

P2 O0 0,69 0,71 0,80 0,81 0,91 0,73

O1 0,82 0,85 0,90 0,98 1,16 0,95

O2 1,04 1,07 1,08 1,18 1,36 1,20

Rataan 0,85 0,88 0,93 0,99 1,14 0,96

P3 O0 0,73 0,76 0,83 0,84 0,91 0,80

O1 0,85 0,86 0,91 1,03 1,18 0,96

O2 1,06 1,08 1,14 1,16 1,39 1,22

Rataan 0,88 0,90 0,96 1,01 1,16 0,99

Pukan sapi Rataan

O0 0,64 0,67 0,74 0,80 0,86 0,71

O1 0,81 0,82 0,87 0,95 1,12 0,93

O2 0,94 1,03 1,05 1,11 1,32 1,20

Rataan 0,80 0,84 0,89 0,95 1,10 0,95

Significance P *** *** *** *** *** *

O *** *** *** *** *** ***

P x O *** tn tn tn tn tn

LSD05 P 0,02 0,05 0,03 0,04 0,06 0,06

O 0,02 0,04 0,03 0,04 0,05 0,05

P x O 0,04 - - - - -

CV (%) 2,98 5,45 3,58 4,71 5,16 4,75

Keterangan : tn, tidak nyata, *, *** nyata pada P < 0.05, dan 0.001

Kandungan C-organik adalah nyata meningkat dengan peningkatan pemberian P dan pukan sapi

(Tabel 3). Rata-rata peningkatan dari kedua C-organik adalah sekitar 27% bila diberikan 90 kg P2O5 ha-1

.

Pemakaian pukan sapi 6 t ha-1

meningkatkan kandungan C-organik sekitar 54% (0.86-1,32%) pada 95 HST.

Interaksi yang nyata juga diamati antara P dan pukan sapi adalah disebabkan lebih tingginya respon

kandungan C-organik dalam tanah terhadap pemakaian pukan sapi, khususnya dengan ketiadaan P(P0). CO2

larut air yang dihasilkan selama pelapukan pukan sapi merangsang pembentukan asam karbonat yang akan

mampu melarutkan mineral-mineral primer tanah (Tisdale dkk., 1985). Sehingga dengan demikian,

kandungan C-organik maupun KTK tanah akan juga meningkat bilamana terjadi pelapukan pukan sapi dan

dihasilkan humus yang mana memiliki muatan negatif lebih tinggi sehingga mineral-mineral tanah

meningkatkan KTK tanah.

Penggenangan secara terus menerus dalam sistem padi-padi secara umum berhubungan dengan

peningkatan kandungan C-organik tanah Nambiar dkk. (1992 dalam Hedge 1996). Fraksi koloid, yang

mengandung kedua liat dan humus dari pukan sapi, dikenal sebagai tempat berlangsungnya aktifitas kimia

dalam tanah, termasuk kapasitas untuk pertukaran ion dalam tanah (Brady dan Weil, 2002). Kontribusi relatif

Page 193: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

231

dari liat dan pukan sapi dalam tanah terhadap KTK tanah secara umum ditentukan oleh jumlah bahan organik

tanah, mineralogy liat, dan pH tanah. Untuk tanah-tanah liat, bahan organik tanah memberikan kontribusi

yang nyata terhadap peningkatan KTK tanah (Weil dan Magdoff, 2004).

KESIMPULAN

Beberapa kesimpulan yang dapat dikemukakan berdasarkan hasil percobaan ini adalah, bahwa

pemakaian P dan pukan sapi meningkatkan kandungan P tersedia dalam tanah, kandungan C-organik tanah,

berturut-turut sekitar 59%, dan 157% bila dibandingkan dengan nilai awal tanah sebelum dilakukan

percobaan. Kandungan P tersedia tanah meningkat hingga umur 75 HST dan kemudian menurun sampai

umur 105 HST yang hal ini sangat erat kaitannya dengan masa penggenangan tanah sawah dimaksud.

Sementara itu, kandungan C-organik meningkat hingga umur 95 HST dan kemudian menurun hingga umur

105 HST. Perbaikan atau peningkatan sifat tanah tertinggi diperoleh bila dikombinasikan antara 90 kg P2O5

ha-1

dan 6 t ha-1

pukan sapi.

DAFTAR PUSTAKA

Adiwigandra, R. 1990. Reklassifikasi tanah-tanah di Sumatera Utara ke dalam system Taxonomy USDA.

Bulletin Pertanian. Univ. Islam Sumatera Utara. Vol. 9 (1):1-10.

Angers, D. A., Samson, N., and A. Legere. 1993. Early changes in water-stable aggregation induced by

rotation and tillage in soil under barley production. Can. J. Soil Sci. 73:51-59.

Brady, N. C., and R. R. Weil. 2002. The nature and properties of soils. 13th ed. Prentice-Hall, Upper Saddle

River, NJ. 881 p.

BPS Sumatera Utara. 2004. Statistik luas baku lahan Sumatera Utara pada tahun 2003. Badan Pusat Statistik

Provinsi Sumatera Utara. 94 p.

Erythrina, S. Maryam, Sariman, Murizab, Darmawaty, Akmal, dan Z. Zaini. 2001. Pengelolaan hara terpadu

pad lahan sawah tadah hujan, Sumatera Utara. Balai Pengkajian Teknologi Pertanian-Sumatera

Utara. Medan. (tidak dipublikasikan). 14 p.

Gobat, J. M., M. Aragno, and W. Matthey. 2004. The Living Soil. Fundamentals of Soil Sci. and Soil

Biology. Science Publishers, Inc. Enfield (NH), USA. 602 p.

Gomez, K. A., and A. A. Gomez. 1983. Statistical procedures for agricultural research. International Rice

Research Institute, Los Banos, Laguna, Philippines. 680 p.

Hardjowigeno, S. 2003. Soil science. Fifth Edition. Akademika Pressindo. Jakarta. (Indonesian Version).

286 p.

Hedge, D. M. 1996. Integrated nutrient supply on crop productivity and soil fertility in rice (Oryza sativa)-

rice system. Indian J. Agron. 41(1):1-8.

IRRI. 1997. Rice almanac, 2nd

Edition. International Rice Research Institute, Manila. 181p.

Miller, R. W., and R. L. Donahue. 1995. Soils in our environment. Seventh Edition. Prentice Hall,

Englewood Cliffs, NJ 07632. 649 p.

OLK, D. C., C. V. Kessel, and K. F. Bronson. 2000. Managing soil organic matter in rice and non rice soils:

agronomic questions. In Kirk, G. J. D., and D. C. Olk. 2002. Carbon and Nitrogen Dynamics in

Flooded Soils. IRRI. p. 27-47.

Pillai, K. G.2006. Rice (Oryza sativa L.). http://www.fertilizer.ogr/ifa/publicat/

html/pubman/rice.htm. p. 1-11.

Singht, V. P. and J. Sovyanhadi. 1998. Kinetics of phosphate fixation in acid sulfate, iron toxic and neutral

soils. Oryza. 35(2):95-105.

Soil Survey Staff. 1998. Keys to soil taxonomy. Eighth Edition. United States Department of Agriculture.

Natural Resources Conservation Services. 326 p.

Page 194: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

232

Sparling, G. P., Shepherd, T. G., and Kettles, H. A. 1992. Changes in soil organic C, microbial C and

aggregate stability under continuous maize and cereal cropping, and after restoration to pasture in

soils from the Manawatu region, New Zealand. Soil Till. Res. 24:225-241.

Steel, R. G. D. and J. H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistics: A biometrical approach.

McGraw-Hill Book Company. New York. 633 p.

Tisdale, S. L., W. L. Nelson, and J. D. Beaton. 1985. Soil Fertility and Fertilizers. Macmillan Publishing

Company, New York, Collier Macmillan, Publishers, London. 754 p.

Weil, R. R., and F. Magdiff. 2004. Significance of Soil Organic Matter to Soil Quality and Health. In F.

Magdoff and R.R. Weil. Soil organic matter in sustainable agriculture. CRC Press. Boca Raton

London, New York, Washington, D.C. p. 1-43

Page 195: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

233

RESPON TANAMAN PADI TERHADAP PEMUPUKAN FOSFAT PADA LAHAN SAWAH DI

DESA RAWANG PASAR-V, KECAMATAN MERANTI, KABUPATEN ASAHAN

Darwin Harahap dan Ali Jamil

Balai Pengakjian Teknologi Pertanian Sumatera Utara

ABSTRAK

Respon tanaman padi terhadap pemupukan fosfat pada lahan sawah di Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan

Meranti, Kabupaten Asahan. Penelitian ini dilaksanakan mulai bulan Mei sampai dengan Agustus 2002. Penelitian menggunakan rancangan acak kelompok dan ulangan 4 kali. Sebagai perlakuan adalah tingkat dosis pupuk fosfat yang

terdiri dari: P0 = 0 kg SP-36/ha, P1 = 25 kg SP-36/ha, P2 = 50 kg SP-36/ha, P3 = 75 kg SP-36/ha, P4 = 100 kg SP-36/ha.

Hasil penelitian menunjukkan pemberian pupuk SP-36 sebanyak 75 kg/ha memberikan produksi tertinggi (6,72 ton/ha).

Rekomendasi pemupukan fosfat (SP-36) untuk Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan adalah 75 kg SP-36/ha.

Kata kunci: fosfat, padi, lahan sawah irigasi.

PENDAHULUAN

Rekomendasi pemupukan adalah suatu rancangan yang meliputi jenis pupuk, dosis pupuk, cara

pemupukan dan waktu pemupukan untuk suatu tanaman yang diharapkan dari suatu rekomendasi pemupukan

adalah tepat jenis, tepat dosis, tepat cara dan tepat waktu. Metode pendekatan bisa berupa metode uji tanah,

analisis tanaman maupun dengan metode pemupukan (Tim Uji Tanah, 1999).

Rekomendasi pupuk yang berlaku di tingkat nasional sampai saat ini masih bersifat umum, statis

dan tidak efisien sehingga 20-30 tahun di daerah intensifikasi lahan sawah dilaporkan adanya ketidak

seimbangan hara dalam tanah yang khususnya diakibatkan oleh fosfat (Hanson, 1994). Berdasarkan hasil

penelitian Puslittanak menunjukkan bahwa sebagian besar lahan sawah intensifikasi di Jawa, Sumatera Barat,

Kalimantan Selatan, Sulawesi Selatan dan Lombok sudah tidak respon terhadap pemupukan P dan K

(Setyorini, dkk., 1995).

Sampai saat ini rekomendasi pemupukan P dan K untuk padi sawah khususnya di Sumatera Utara

masih bersifat umum yaitu berkisar 100-150 kg/ha SP-36/ha/musim dan 100 kg KCl/ha/musim. Penentuan

rekomendasi tersebut dilakukan tanpa mempertimbangkan kandungan hara P dan K dalam tanah dan

kebutuhan hara bagi tanaman sehingga kurang efisien. Oleh karena itu perlu diketahui berapa kandungan

hara lahan sawah agar penentuan dosis pupuk lebih akurat.

Areal persawahan di Kabupaten Asahan seluas 52.402 Ha berdasarkan uji status P tanah diketahui

bahwa yang berstatus P rendah seluas 19.150 ha (37%), bersatus P sedang 22.123 ha (42%), dan berstatus P

tinggi 11.129 ha (21%) (Harahap, D., dkk., 2002).

Lokasi percobaan di Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, berdasarkan peta P dan K

mempunyai status P sedang dengan kadar P-ekstrak HCl 25% (24,6-34,2 mg/100 g).

Tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui rekomendasi pemupukan P spesifik lokasi di Desa

Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilakukan di Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten Asahan.

Dilaksanakan dari bulan Mei sampai dengan Agustus 2002, menggunakan rancangan acak kelompok dengan

4 ulangan. Sebagai perlakuan adalah lima dosis pupuk fosfat yang terdiri dari: P0 = 0 kg SP-36/ha, P1 = 25

kg SP-36/ha, P2 = 50 kg SP-36/ha, P3 = 75 kg SP-36/ha, P4 = 100 kg SP-36/ha.

Sebagai pupuk dasar diberikan Urea 200 kg/ha, KCl 100 kg/ha, dan pupuk kandang sapi 3 ton/ha.

Luas petak-petak percobaan adalah 4 x 6 m, menggunakan sistem tanam tegel, dengan jarak tanam 20 x 20

cm. Varietas padi yang digunakan adalah Ciherang. Untuk setiap petak-petak percobaan dibuat tersendiri

saluran air masuk dan air keluar, sehingga pengaruh perembesan pupuk yang terlarut dalam air irigasi dapat

dihindari. Bibit dipindahkan pada umur 15 hari dari persemaian. Pengendalian hama dan penyakit serta

gulma dilakukan secara optimal dan bersifat preventif.

Page 196: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

234

Data hasil pengamatan dianalisis secara statistik dengan menggunakan sidik ragam (ANOVA) dan

diikuti dengan uji lanjutan menggunakan DMRT pada taraf 5%, untuk melihat perbedaan antar perlakuan

(Steel and Torrie, 1993).

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil Analisis Tanah

Data analisis tanah sebelum dilakukan percobaan menunjukkan bahwa derajat kemasaman tanah

(pH 5,42), tekstur tanah lempung berliat, dengan kandungan P-total dan K-total tergolong sedang [P (HCl

25%) = 31,6 mg/100 g dan K (HCl 25%) = 12,9 mg/100 g). Sedangkan Ca, Mg dan S tergolong sedang

(Lampiran 1). Lokasi Desa Rawang Pasar-V merupakan wilayah Supra-Insus sejak tahun 1986 atau telah

mengalami tanam padi sawah lebih dari 20 musim tanam dengan menggunakan takaran pupuk rekomendasi

nasional yaitu 250 kg Urea, 50 kg ZA, 100 kg TSP, dan 100 kg KCl.

Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Maksimum dan Jumlah Anakan Produktif

Hasil analisa statistik terhadap tinggi tanaman, tidak terdapat pengaruh dari pemberian pupuk fosfat.

Pemberian pupuk fosfat berpengaruh nyata terhadap jumlah anakan maksimum. Jumlah anakan maksimum

terbanyak dihasilkan pada pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 90 kg/ha (13,68) dan terendah pemberian

pupuk SP-36 dengan dosis 100 kg/ha (12,0)

Tabel 1. Tinggi Tanaman, Jumlah Anakan Maksimum/Rumpun, Jumlah Anakan Produktif/Rumpun Padi di Desa

Rawang Pasar-V, Kabupaten Asahan.

Perlakuan (kg SP-36/ha) Tinggi tanaman (cm) Jumlah anakan/

rumpun (batang)

Jumlah anakan

produktif/rumpun (batang)

Po = 0 103,95 a 12,18 a 9,14 a

P1 = 25 106,33 a 13,14 b 10,48 b

P2 = 50 106,03 a 13,08 b 10,56 b

P3 = 75 105,30 a 13,15 a 10,32 b

P4 = 100 104,82 a 12,0 a 9,24 a

Ket: Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf dengan uji DMRT 5%

Dari hasil di atas terlihat bahwa peningkatan dosis pemberian pupuk fosfat pada tanaman padi

sampai dengan takaran 50 kg SP-36/ha, adanya kecendrungan peningkatan jumlah anakan sampai batas

optimum, sedangkan pemberian pupuk fosfat lebih dari 50 kg SP-36/ha, cenderung terjadi penurunan jumlah

anakan.

Pemupukan fosfat memberikan pengaruh yang nyata terhadap jumlah anakan produktif (Tabel 1).

Jumlah anakan produktif tertinggi diperoleh pada pemberian pupuk SP-36 dengan dosis 50 kg/ha (10,56) dan

jumlan anakan produktif terendah pada tanpa pemberian pupuk SP-36 (9,14).

Panjang Malai, Jumlah Biji Bernas Per Malai, Bobot 1000 Butir, Biomas dan Produksi/ha

Pemupukan fosfat tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap panjang malai (Tabel 2).

Jumlah bulir per malai, terlihat bahwa pemberian dosis pupuk fosfat memberikan perbedaan yang nyata

terhadap jumlah bulir bernas per malai. Jumlah bulir bernas per malai terbanyak diperoleh pada pemberian

pupuk SP-36 dengan dosis 50 kg/ha (52,36) dan terendah adalah tanpa pemberian pupuk fosfor (49,65).

Tabel 2. Panjang Malai, Jumlah Bulir Bernas Per Malai, Bobot 1000 Butir, Biomas dan Produksi Per Ha, Desa

Rawang Pasar-V, Kabupaten Asahan.

Perlakuan (kg

SP-36/ha)

Panjang malai

(cm)

Jumlah bulir

bernas per malai

Bobot 1000

butir (g) Biomas (g)

Produksi/ha

(kg)

Po = 0 23,20 a 49,60 a 27,15 a 139,64 a 5,70 a

P1 = 25 24,50 a 51,10 a 27,30 a 142,20 a 6,40 b

P2 = 50 24,60 a 52,30 b 27,30 a 142,70 a 6,40 b

P3 = 75 24,40 a 50,80 a 27,90 a 141,30 a 6,70 b

P4 = 100 24,30 a 51,40 a 27,80 a 141,40 a 6,35 b

Keterangan : Angka-angka yang diikuti huruf yang sama tidak berbeda nyata pada taraf dengan uji DMRT 5%

Page 197: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

235

Pemberian pupuk fosfat tidak memperlihatkan pengaruh yang nyata terhadap bobot 1000 butir.

Biomas, terlihat bahwa tingkat dosis pupuk SP-36 tidak memberikan pengaruh yang nyata terhadap bobot

biomas. Bobot biomas berkisar antara 139,64 g - 141,72 g.

Pemberian pupuk fosfat menunjukkan perbedaan yang nyata terhadap hasil/ha. Produksi tertinggi

diperoleh pada pemupukan SP-36 dengan dosis 75 kg/ha (6,72 t/ha) dan yang terendah adalah tanpa

pemberian pupuk SP-36 (5,76 t/ha). Anjuran pemberian pupuk SP-36 untuk lahan sawah berstatus P rendah,

sedang dan tinggi masing-masing sebanyak 100 kg, 75 kg dan 50 kg SP-36/ha (Sofyan, 2000).

KESIMPULAN

1. Pemberian pupuk SP-36 75 kg/ha memberikan hasil tertinggi yaitu 6,72 t/ha.

2. Rekomendasi pemupukan fosfat (SP-36) untuk Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten

Asahan adalah 75 kg SP-36/ha.

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2001. Luas lahan sawah di Kabupaten Asahan. Badan Pusat Statistik Propinsi Sumatera Utara. Medan

2001.

Hanson, R.G. 1994. Soil testing for efficient fertilizer in regional research and development. A Part of

Project Pre-Appraisal.

Setyorini, D., A. Kasno, I.G.M. Subiksa, D. Nursyamsi, Sulaeman dan J. Sri Adiningsih. 1995. Evaluasi

status P dan K lahan sawah intensifikasi sebagai dasar penyusunan rekomendasi pemupukan P dan

K di Sumatera Barat, Sumatera Selatan dan Kalimantan Selatan. Pembahasan Paket Teknologi

Hasil Penelitian ARMP-I, Cisarua.

Sofyan, A. dan J. Suryono. 2002. Petunjuk teknis pembuatan peta status P dan K lahan sawah skala 1:50.000.

Puslitbangtanak Bogor, Litbang Pertanian.

Stell, R.G. and J.H. Torrie. 1980. Principles and procedures of statistica, Secon Edition.Mc Graw-Hill Book

Company.

Tim Uji Tanah. 1999. Laporan Kegiatan Pemantapan Program Uji Tanah dan Analisis Tanaman di BPTP.

Kerjasama Pusat Penelitian Tanah dan Agroklimat dengan ARMP-II. Badan Litbang Pertanian,

Bogor.

Page 198: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

236

Lampiran 1. Hasil Analisis Tanah Pendahuluan Desa Rawang Pasar-V, Kecamatan Meranti, Kabupaten

Asahan

Analisis Satuan Hasil Status

Tekstur Lempung berliat

Pasir % 20

Debu % 34

Liat % 46

pH H2O 5,42 Masam

pH KCl 3,5 Sangat masam

N-total % 0,18

P (HCl 25%) Mg/100 g 31,6 Sedang

K (HCl 25%) Mg/100 g 12,9 Sedang

Ca-dd Mg/100 g 0,17 Sedang

Mg-dd Mg/100 g 0,24 Sedang

S % 0,03 Sedang

Cu ppm 26 Tinggi

Zn ppm 34 Tinggi

KTK ppm 24,5 Tinggi

Page 199: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

237

PENGARUH ZEOLIT DAN BAHAN HUMIK PADA ULTISOL TERHADAP KETERSEDIAAN

HARA DAN PRODUKSI JAGUNG (Zea mays L)

Nurhayati1)

, Amrizal Saidi2)

, dan Junaidi2)

1)

BPTP Kep. Bangka Belitung 2)

Staf Dosen Jurusan Tanah Faperta Unand

ABSTRAK

Penelitian pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik pada Ultisol terhadap ketersediaan hara dan hasil

jagung, bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik pada Ultisol dan interaksinya terhadap

ketersediaan hara dan produksi jagung. Penelitian berbentuk Faktorial 2x3, ditempatkan menurut Rancangan Acak

Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan. Perlakuan terdiri dari dua faktor; Faktor zeolit (Z) yang terdiri dari dua taraf yaitu Zo=0 ton/ha dan Z1=6 ton/ha. Faktor bahan humik (H) yang terdiri dari 3 taraf yaitu Ho=0 mg/kg, H1=75 mg/kg dan H2=

150 mg/kg. Diuji menggunakan uji F (Fisher's Test) dan uji lanjutan Duncan's New Multiple Range Test (DNMRT).

Hasil penelitian menunjukkan bahwa interaksi zeolit dan bahan humik belum memperlihatkan peningkatan N total, P

tersedia dan K tersedia tanah, tetapi telah dapat menurunkan Al-dd tanah dan meningkatkan KTK tanah. Pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha dapat menurunkan kejenuhan Al sebesar 0,08 me/100 g, pemberian bahan humik sebanyak 75 mg/kg

menurunkan kejenuhan Al sebesar 0,38 me/100 g dan pemberian bahan humik 75 mg/kg dan zeolit 6 ton/ha secara

bersamaan dapat meningkatkan KTK tanah sebesar 2,41 me/100 g.

Kata kunci: Zeolit, bahan humik, Ultisol, ketersediaan hara, produksi

PENDAHULUAN

Lahan kering yang masih berpotensi untuk perluasan areal pertanian, umumnya ditempati oleh tanah

marginal atau tanah bereaksi masam. Salah satu tanah yang bereaksi masam di Indonesia adalah Ultisol,

yakni seluas 38,401 juta hektar dan tersebar di pulau-pulau Sumatera, Kalimantan, Sulawesi dan Irian Jaya

(Hardjowigeno, 1986). Selain bereaksi masam, menurut Ahmad (1990) Ultisol merupakan tanah yang telah

mengalami pelapukan lanjut dan didominasi oleh mineral liat kaolinit.

Walaupun Ultisol mempunyai potensi yang besar, namun produktifitas tanahnya rendah. Hal ini

disebabkan oleh sifat-sifat tanah seperti: pH dan KTK tanah yang rendah, miskin terhadap kation basa, Al-dd

tinggi yang dapat meracun tanaman, fiksasi unsur N, P, K dan Ca serta mudah tererosi (Nyakpa, et al. 1988).

Usaha-usaha untuk meningkatkan produktifitas Ultisol ini telah banyak dilakukan seperti dengan

pengapuran, pemupukan, penambahan bahan organik dan bahan-bahan lain yang dapat memperbaiki sifat

fisik, kimia dan biologi tanah.

Salah satu usaha yang belum banyak dilakukan untuk memperbaiki sifat tanah ini yaitu dengan

pemberian zeolit. Pemberian zeolit pada tanah masam dapat meningkatkan ketersediaan unsur hara bagi

tanaman. Menurut Mumpton (1983), zeolit merupakan bahan pemantap tanah yang dapat meningkatkan

reaksi pada tanah masam dan memperbaiki sifat kimia tanah, meningkatkan kemampuan memegang air serta

dapat memegang hara dan melepasnya secara perlahan-lahan.

Alternatif lain yang dapat digunakan untuk memperbaiki sifat tanah, baik sifat fisik, kimia, dan

biologi tanah adalah dengan penambahan bahan humik. Tan (1982) mengatakan bahwa bahan humik adalah

bahan koloidal terpolidispersi yang bersifat amorf, berwarna kuning hingga coklat-hitam dan mempunyai

berat molekul relatif tinggi. Bahan humik berperanan dalam reaksi kompleks dalam tanah dan dapat

mempengaruhi pertumbuhan tanaman secara langsung maupun tidak langsung. Secara tidak langsung, dapat

memperbaiki kesuburan tanah dengan mengubah kondisi fisik, kimia dan biologi tanah. Secara langsung

bahan humik dapat merangsang pertumbuhan tanaman melalui pengaruhnya terhadap metabolisme dan

terhadap proses fisiologi lainnya (Tan, 1982).

Dari uraian di atas dikatakan bahwa dengan pemberian zeolit maupun bahan humik dapat

memperbaiki kesuburan tanah. Diharapkan dengan pemberian zeolit dan bahan humik secara bersamaan pada

tanah akan lebih meningkatkan kesuburan tanah dan produktifitas tanah. Untuk itu penulis tertarik melakukan

penelitian dengan judul "Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik pada Ultisol terhadap Ketersediaan

Hara dan Produksi Jagung (Zea mays L.). Penelitian ini bertujuan untuk melihat pengaruh pemberian zeolit,

bahan humik pada Ultisol dan interaksinya terhadap ketersediaan dan hasil tanaman jagung.

Page 200: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

238

BAHAN DAN METODA

Penelitian dilaksanakan di Rumah Kaca Fakultas Pertanian Universitas Andalas Padang, Tanah yang

digunakan adalah Ultisol. Sebagai perlakuan digunakan beberapa takaran zeolit yang berasal dari Pusat

Pengembangan Teknologi Mineral (PPTM) Bandung dan bahan humik yang digunakan diperoleh dengan

mengekstrak tanah gambut pada tingkat pelapukan saprik dengan NaOH 0,1 M (Lampiran 1).

Rancangan yang digunakan dalam percobaan ini berbentuk Faktorial 2x3 yang ditempatkan menurut

Rancangan Acak Lengkap (RAL) dengan tiga ulangan.

Faktor I (Z = takaran zeolit) :

Zo = 0 ton/ha (tanpa zeolit)

Z1 = 6 ton/ha (21 g zeolit/pot)

Faktor II (H = takaran bahan humik) :

Ho = 0 mg bahan humik/kg tanah (tanpa bahan humik)

H1 = 75 mg bahan humik/kg tanah (525 mg bahan humik/pot)

H2 = 150 mg bahan humik//kg tanah (1050 mg bahan humik/pot)

Pengambilan tanah dilakukan pada kedalaman 0-20 cm secara bulk komposit. Zeolit dan bahan

humik diberikan berdasarkan berat tanah yang digunakan tiap pot sesuai dengan perlakuan. Zeolit diberikan

dengan cara dicampur secara merata dengan tanah, sedangkan bahan humik dilarutkan dengan air sampai

penyiraman tanah pada kapasitas lapang, lalu ditutup dengan plastik, selanjutnya diinkubasi selama 3 minggu.

Pemupukan dasar dilakukan sehari sebelum tanam, masing-masing Urea 200 kg/ha (4 g urea/pot),

SP-36 sebanyak 175 kg/ha (3,5 g SP-36/pot) dan KCl 150 kg/ha (3 g KCl/pot). Penanaman jagung dilakukan

sehari setelah pupuk dasar dengan menugalkan 3 benih jagung tiap pot. Biji sebelum tanam dicampur dengan

Rhidomil agar tanaman tidak terserang penyakit bulai. Setelah tanaman berumur satu minggu dilakukan

penjarangan dengan mempertahankan satu tanaman masing-masing pot. Pemeliharaan meliputi penyiangan,

penyiraman serta pemberantasan hama dan penyakit. Penyiangan dilakukan setiap ada gulma yang tumbuh,

sedangkan penyiramana dilakukan setiap hari (1 kali sehari) dan dipertahankan dalam keadaan kapasitas

lapang. Panen dilakukan apabila jagung cukup tua, yaitu bila kulit (kelobot) sudah kuning setelah berumur 13

minggu.

Pengamatan

Analisis contoh tanah awal meliputi: C-organik, pH tanah, N-total, P tersedia, Al-dd, K-dd; Na-dd;

Ca-dd dan Mg-dd, serta KTK tanah. Sedangkan analisis tanah setelah inkubasi meliputi: C-organik, pH

tanah, P tersedia, N total, K tersedia, Al-dd dan KTK. Untuk penetapan produksi parameter yang diamati

adalah berat biji kering pipilan, yang dikonversikan keberat pada kadar air 14%.

HASIL PEMBAHASAN DAN KESIMPULAN

Sifat Kimia Tanah Awal

Hasil analisis sifat kimia tanah awal yang dinilai berdasarkan kriteria ditampilkan pada Tabel 1.

Tabel 1. Hasil Analisis Sifat Kimia Tanah Awal.

No Sifat Tanah Nilai Kriteria

1. C-Organik (%) 2,05 sedang

2. N-Total (%) 0,14 rendah

3. Ratio C/N 14,64 sedang

4. P-tersedia (ppm) 5,70 rendah

5. Ca-dd (me/100 g) 0,83 sangat rendah

6. Mg-dd (me/100 g) 0,20 sangat rendah

7. Na-dd (me/ 100 g) 0,11 rendah

8. K-dd (me/100 g) 0,15 rendah

9. KTK (me/100 g) 11,12 rendah

10. AI-dd (me/100 g) 2,05 -

11. Kej. Al (%) 57,50 sangat tinggi

12. pH H2O 4,75 masam

12. pH KC1 3,90 -

Page 201: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

239

Dari Tabel 1 dapat disimpulkan bahwa tanah yang digunakan dalam penelitian ini bereaksi masam

dengan pH H2O 4,75, tingkat kesuburan tanah rendah, meliputi P-tersedia dan N-total rendah, C-organik dan

ratio C/N sedang, kandungan basa-basa berkisar rendah sampai sangat rendah, kejenuhan Al yang sangat

tinggi 57,5%, serta mempunyai KTK tanah yang rendah yaitu 11,12 me/100g.

Secara keseluruhan tanah yang digunakan dalam penelitian ini mempunyai tingkat kesuburan rendah

(Tabel 1) meliputi N total, P tersedia, K tersedia yang rendah, pH tanah rendah dan kejenuhan Al sangat

tinggi. Kondisi tersebut menurut Soepardi (1983) umumnya ditemukan pada Ultisol yang telah berumur

lanjut dengan bahan induk batuan masam dan terletak pada zone iklim tropis basah dengan curah hujan yang

tinggi, sehingga terjadi pencucian intensif terhadap kation-kation basa dan menyebabkan kandungan hara

menjadi rendah serta rendahnya pH tanah akibat tingginya kandungan Al dan fiksasi P.

Sifat Kimia Tanah Sesudah Inkubasi

Hasil analisis sifat kimia tanah setelah masa inkubasi yang dinilai dengan kriteria LPT, 1983 adalah

C organik dan pH tanah, sedangkan yang diuji dengan uji F dan dilanjutkan dengan uji lanjutan DNMRT

adalah N total, P tersedia, K tersedia, AI-dd dan KTK tanah. Hasil analisis C-organik dan pH tanah setelah

masa inkubasi disajikan pada Tabel 2, sedangkan sifat kimia tanah N total, P tersedia, K tersedia, AI-dd dan

KTK tanah setelah masa inkubasi disajikan pada Tabel 3 di bawah ini.

Tabel 2. Hasil Analisis C-Organik dan pH Tanah Setelah Inkubasi.

Zeolit ( t o n / h a ) Bahan Humik ( mg / kg )

0 75 150

C-organik (%)

0 1,97 r 2,26 s 2,54 s

6 2,25 s 2,19 s 2,40 s

pH H2O

0 4,51 m 4,43 sm 4,42 sm

6 4,40 sm 4,40 sm 4,35 sm

pH KCl

0 3,90 3,92 3,91

6 3,90 3,92 3,92

Keterangan: r = rendah m = masam s = sedang sm = sangat masam

Dari Tabel 2 dilihat bahwa setelah perlakuan terlihat kecenderungan peningkatan kandungan C-

organik, dibandingkan dengan tanah awal. Pemberian zeolit tanpa bahan humik dapat meningkatkan

kandungan C-organik dan pemberian bahan humik tanpa zeolit juga meningkatkan kandungan C-organik.

Pemberian perlakuan zeolit 6 ton/ha dan bahan humik 75 dan 150 mg/kg (Tabel 2), terlihat

kecenderungan peningkatan kandungan C-organik tanah dibandingkan dengan tanah awal. Kandungan C-

organik tanah meningkat karena zeolit dapat memperbaiki kondisi tanah dengan cara memperbaiki aerasi

tanah yang mengakibatkan mikroorganisme tanah aktif melakukan dekomposisi sehingga dapat

meningkatkan kandungan C-organik tanah.

pH H2O tanah setelah inkubasi secara keseluruhan menunjukkan penurunan dari 4,75 menjadi 4,51

sampai 4,35 (Tabel 2). Hal ini terjadi karena zeolit mempunyai kandungan Al2O3 yang cukup tinggi,

sehingga dapat menurunkan pH tanah.

Tabel 3. Nilai F dari Pengaruh Zeolit dan Bahan Humik Terhadap Sifat Kimia Tanah

Parameter F. hitung F. tabel 5%

Zeolit Humik Interaksi Zeolit Humik Interaksi

N total tanah 17,20* 5,06* 2,98 ns 4,75 3,88 3,88

P tersedia 30,85* 0,32 ns 4,20* 4,75 3,88 3,88

K tersedia 3,25ns 0,95 ns 0 , 5 6 n s 4,75 3,88 3,88

Al-dd 2,00 ns 7,88* 5,38* 4,75 3,88 3,88

KTK 141,12* 41,23* 16,86* 4,75 3,88 3,88

Keterangan: *)

berbeda nyata ns)

berbeda tidak nyata

Penurunan pH H2O setelah pemberian zeolit 6 ton/ha (Tabel 2), karena zeolit mempunyai

kandungan Al2O3 sebesar 10,81% (Lampiran 2) sehingga Al akan berikatan dengan OH- dan konsentrasi H

+

meningkat, sedangkan penurunan pH H2O akibat pemberian bahan humik 75 dan 150 mg/kg, karena bahan

humik mengandung asam-asam yang dapat menyumbangkan H+ kedalam tanah.

Page 202: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

240

Kandungan N Total Tanah

Berdasarkan hasil uji F dan uji DNMRT terhadap kandungan N total tanah setelah inkubasi dapat

disajikan Tabel 4. Dari Tabel 4 dapat dilihat bahwa pada taraf ini belum ada interaksi pemberian zeolit dan

bahan humik terhadap kandungan N-total tanah. Dengan pemberian zeolit 6 ton/ha dapat menurunkan

kandungan N-total tanah secara nyata. Pemberian bahan humik 150 mg/kg dapat meningkatkan kandungan

N-total tanah. Peningkatan N-total tanah ini disebabkan oleh sumbangan N dari bahan humik yang

ditambahkan, karena bahan humik kaya akan unsur nitrogen.

Tabel 4. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap N-Total Tanah Setelah Inkubasi (%)

Zeolit (ton/hal) Rata-rata

0 0,17 a

6 0,13 b

Bahan humik (mg/kg) Rata-rata

0 0,13 a

75 0,15 ab

150 0,17 b

Keteragan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut kolom tidak berbeda nyata menurut DNMRT

taraf 5%

Penurunan kandungan N total tanah setelah pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha (Tabel 4) diduga

karena zeolit mempunyai muatan negatif yang dapat menarik kation ke pemukaan dalam antara satuan kisi

mineral. Ion NH4+ berukuran hampir sama dengan rongga kisi kristal, sehingga ion-ion tersebut diikat erat

dan hanya dapat dilepaskan secara perlahan untuk tanaman (Sarief, Komar, Hulaimi, 1990). Namun

walaupun demikian diharapkan ion NH4+ yang diikat merupakan sebagai cadangan unsur hara untuk tanaman

berikutnya. Peningkatan N total setelah pemberian bahan humik 150 mg/kg disebabkan oleh sumbangan N

dari bahan humik yang kaya akan unsur nitrogen.

Kandungan P tersedia tanah

Pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap kandungan P tersedia tanah setelah masa

inkubasi disajikan pada Tabel 5.

Tabel 5. Pengaruh Zeolit dan Bahan Humik Terhadap P Tersedia Tanah (ppm)

Zeolit (ton/ha) Bahan Humik (mg/kg)

0 75 150

0 5,76a (A) 6,57a (A) 5,65a (A)

6 4,44a (B) 4,07a (B) 5,02a (A)

Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut baris dan huruf besar yang sama menurut kolom tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%.

Dari Tabel 5 terlihat bahwa ada interaksi antara pemberian zeolit dan bahan humik terhadap P

tersedia tanah. Tetapi pemberian bahan humik dan penambahan takarannya belum memperlihatkan

peningkatan P tersedia tanah.

Pemberian bahan humik sebanyak 150 mg/kg (Tabel 5), dapat meningkatkan P tersedia tanah. Hal

ini diduga karena takaran bahan humik yang diberikan belum mampu membentuk kompleks metal organik

maupun khelat dengan ion logam terutama Al dan Fe sehingga mengurangi kelarutannya. Menurut Tan

(1982), P tersedia akan meningkat bila pada tanah diberikan asam organik, asam-asam organik akan

berikatan dengan ion Al dan Fe yang berada dalam larutan tanah.

Kandungan K tersedia tanah

Hasil analisis memperlihatkan tidak ada interaksi zeolit dan bahan humik terhadap K tersedia tanah,

hal ini dapat dilihat padaTabel 6.

Dari Tabel 6 dapat dilihat bahwa tidak ada pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap K-

tersedia tanah dan juga tidak ada pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap ketersediaan K tanah.

Page 203: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

241

Tabel 6. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap K Tersedia Tanah

Perlakuan Rata-rata (me/100 g)

Zeolit (ton/ha)

0 0,16a

6 0,25 a

Bahan Humik (mg/kg)

0 0,24 a

75 0,22 a

150 0,18 a

Keterangan : Angka - angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut kolom tidak berbeda nyata menurut DNMRT taraf 5%.

Kandungan Al-dd Tanah

Pengaruh pemberian zeolit dan bahan humik terhadap kandungan Al tanah setelah masa inkubasi

disajikan pada Tabel 7.

Tabel 7. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap Al-dd (me/100 g)

Zeolit (ton/ha) Bahan Humik (mg/kg)

0 75 150

0 2,28 a (A) 1,672 b (A) 2,128 a (A)

6 1,976 a (B) 1,9 a (A) 1,9 a (A)

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut baris dan huruf besar yang sama menurut

kolom berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5%

Dari Tabel 7 dapat dilihat bahwa ada interaksi antara pemberian zeolit dan bahan humik terhadap

kandungan Al-dd tanah. Pada perlakuan Zo (0 ton zeolit/ha) pemberian bahan humik 75 mg/kg dapat

menurunkan Al-dd, tetapi dengan penambahan takaran sampai 150 mg/kg kandungan Al-dd meningkat

kembali. Pada perlakuan Z1 (6 ton zeolit/ha) pemberian bahan humik belum memperlihatkan perbedaan nyata

terhadap penurunan kandungan Al-dd.

Pada perlakuan Ho (0 mg /kg) pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha menurunan kandungan Al-dd

tanah secara nyata. Tetapi pada perlakuan H1 (75 mg bahan humik/kg) dan H2 (150 mg bahan humik/kg)

pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha' belum dapat menurunkan kandungan kandungan Al-dd secara nyata.

Pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha justru memperlihatkan penurunan P karena mempunyai

kandungan Al203 yang cukup tinggi, disamping itu terjadi hidrolisis Al sehingga dapat meningkatkan

konsentrasi H+ kedalam tanah sehingga dapat memasamkan tanah.

KTK Tanah

Berdasarkan hasil uji F dan uji DNMRT terhadap data hasil analisis KTK tanah setelah masa inkubasi

disajikan pada Tabel 8. Dari Tabel 8 dapat dilihat bahwa ada interaksi pemberian zeolit dan bahan humik

terhadap KTK tanah. Pada perlakuan Z0 (0 ton/ha), pemberian bahan humik berpengaruh nyata terhadap

peningkatan KTK tanah. Sedangkan pada perlakuan Z1 (6 ton/ha), pemberian bahan humik belum

berpengaruh nyata terhadap peningkatan KTK tanah. Pada perlakuan H0 (0 mg/kg) dan H1 (75 mg/kg),

pemberian zeolit sebanyak 6 ton/ha sudah meningkatkan KTK tanah secara nyata, kecuali pada perlakuan H2

(150 mg/kg) pemberian zeolit 6 ton/ha belum meningkatkan KTK secara nyata.

Tabel 8. Pengaruh Pemberian Zeolit dan Bahan Humik Terhadap KTK (me/ 100 g).

Zeolit (ton/ha) Bahan Humik (mg/kg)

0 75 150

0 12,24 c (A) 12,59 b (A) 13,32 a (A)

6 13,32 a (B) 13,53 a (B) 13,55 a (A)

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf kecil yang sama menurut bans dan huruf besar yang sama menurut kolom berbeda tidak nyata menurut DNMRT 5%

Peningkatan KTK tanah setelah pemberian zeolit 6 ton/ha (Tabel 8), karena KTK zeolit jauh lebih

tinggi dibandingkan dengan KTK tanah, sehingga pemberian zeolit dapat meningkatkan KTK tanah. Menurut

Ushioda (1989 cit. Suwardi dan Suryaningtyas, 1995) zeolit merupakan mineral silikat berongga yang

Page 204: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

242

mempunyai KTK sangat tinggi sekitar 150 me/100 g. Pemberian bahan humik 150 mg/kg juga dapat

meningkatkan KTK tanah, yang sebabkan oleh tingginya KTK bahan humik. Menurut Nyakpa et al. (1988)

koloid humus yang terdiri dari asam humin, humik dan vulfik mempunyai KTK yang sangat besar berkisar

150-300 me/100 g.

Produksi

Nilai F hitung hasiI analisis sidik ragam produksi jagung disajikan pada Tabel 9 di bawah ini. Pada

Tabel 9 dapat dilihat interaksi zeolit dan bahan humik belum memperlihatkan peningkatan produksi jagung.

Tabel 9. Hasil Analisis Uji F Produksi Jagung

Parameter F. hitung F. tabel

Z H Interaksi Z H Interaksi

Berat biji 0 , 0 3 3 n s 0,057 ns 0 , 0 13 4 n s 4,75 3,88 3,88

Keterangan:

*) berbeda nyata ns) tidak berbeda nyata

Pemberian zeolit dan bahan humik belum memberikan pengaruh nyata terhadap berat biji kering

tanaman. Hal ini diduga pemberian perlakuan masih belum optimal mempengaruhi sifat kimia tanah, seperti

masih rendahnya ketersediaan hara, tingginya kandungan Al tanah, dan masih rendahnya pH tanah. Menurut

Soeprapto (1995) pH optimal bagi pertumbuhan tanaman jagung adalah 5,5 sampai 7,0.

KESIMPULAN

Dari uraian di atas, maka dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Interaksi pemberian zeolit 6 ton/ha dengan bahan humik 75 dan 150 mg/kg belum berpengaruh nyata

terhadap N total, K tersedia, dan hasil jagung, tetapi berpengaruh nyata terhadap P tersedia, kejenuhan Al

dan KTK tanah.

2. Pemberian bahan humik 150 mg/kg secara mandiri sudah dapat meningkatkan kandungan N total tanah.

Pemberian zeolit secara mandiri dapat meningkatkan KTK tanah secara nyata.

DAFTAR PUSTAKA

Ahmad, F. 1990. Penggunaan asam organik terhadap mobilitas Al dan peningkatan kapasitas tukar kation

(KTK) tanah Ultisol. Pusat Penelitian Universitas Andalas. Padang. 29 hal.

Hardjowigeno, S. 1986. Genesa dan klasifikasi tanah. Jurusan Tanah Fakultas Pertanian IPB. Bogor. 284 hal.

Mumpton, F.A.1983. Natural zeolites.Zeo-Agriculture Zeolite. New York. hal 33-43.

Nyakpa, M.Y., A.M. Lubis, M.A. Pulung, A.G. Amrah, A. Munawar, G.B. Hong dan Hakim. 1988.

Kesuburan tanah. Universitas Lampung. Lampung. 258 hal.

Sarief, S, Komardi P.A. dan A. Hulaimi. 1990. Peranan zeolit untuk meningkatkan produktivitas tanah dan

hasil tanaman rumput raja. Seminar/Kolokium Pusat Pengembangan Teknologi Mineral PPTM.

Bandung. 17 hal.

Soepardi, G. 1983. Sifat dan ciri tanah. Institut Pertanian Bogor. Bogor. 591 hal.

Soeprapto, H.S. 1995. Bertanam jagung. Seri Pertanian XXVII / 82 / 87. Penebar Swadaya. Jakarta. 59 hal.

Suwardi dan D.T. Suryaningtyas. 1995. Pengaruh pemberian zeolit terhadap Kapasitas Tukar Kation (KTK)

tanah dan produksi tanaman tomat. Jurnal Pertanian Indonesia vol. 5 (2). 1995. hal 82-89.

Tan, K.H. 1982. Principles of soil chemistry. Marcel Dekker Inc. New York. 267 p.

Page 205: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

243

Lampiran 1. Prosedur ekstraksi asam humat (Tan, 1982)

1. Sampel lolos ayakan 2 mm dimasukkan kedalam tabung sentrifus dan ditambah 0,01 N NaOH dengan

perbandingan 1:5 (w/v) dikocok selama 24 jam.

2. Sentifus dengan 10.000 rpm selama 15 menit untuk mengumpulkan solusi pada suhu 4°C.

3. Residu dicuci dengan cara menambah aguades 25 ml (sebanding dengan jumlah NaOH) kedalam

tabung sentrifus. Setelah itu disentrifus lagi dengan 15.000 rpm selama 10 merit dan disaring dengan

kertas Whatman 40.

4. Filtrat ditambah dengan 0,1 N HCl 25 ml hingga pH 2 sehingga fraksi asam humat mengendap,

dibiarkan 24 jam.

5. Lakukan pemisahan dengan sentrifus 15.000 rpm selama 10 menit sehingga asam humat akan

terkumpul dan dilakukan penyaringan. Filtrat yang mengandung asam fulvat ditandai dengan warna

kekuning-kuningan dan residu berwarna kehitaman adalah asam humat.

6. Residu dicuci dengan alkohol 65% untuk melarutkan asam himatomelanat dan filtratnya dipisahkan.

Residu dioven dengan suhu 40°C sehingga diperoleh berat konstan. Berat ini merupakan berat asam

humat yang terkandung dalam sampel.

Catatan : Untuk mendapatkan bahan humik untuk percobaan ini hanya sampai cara kerja no. 3.

Page 206: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

244

VARIABILITAS BEBERAPA GENOTIP CABAI MERAH (Capsicum annuum L.) PADA DUA

KETINGGIAN TEMPAT

Sri Romaito Dalimunthe 1)

, Ade Elvita 2)

, Emmy Harso K. 3)

1)

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Kep. Babel, 2)

Alumni Fakultas Pertanian USU

3)Dosen Fakultas Pertanian USU

ABSTRAK

Penelitian Variabilitas Beberapa Genotip Cabai Merah (Capsicum annuum L.) Pada Dua Ketinggian Tempat

dilaksanakan di Jl. Ekawarni Gedung Johor, Medan dengan ketinggian tempat 25 meter dpl dan di Berastagi Kabupaten Tanah Karo dengan ketinggian tempat 1200 meter dpl dan berlangsung dari bulan April hingga Oktober 2003. Tujuan

penelitian ini adalah untuk mengetahui variabilitas beberapa genotif cabai merah pada dua ketinggian tempat. Metode

yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan dua faktor perlakuan yakni, Faktor I adalah

varietas cabai merah (V) dengan tiga taraf yaitu Jago (V1), Taro (V2) dan Sudra (V3). Faktor II adalah ketinggian tempat tanam dengan dua taraf perlakuan yaitu 25 meter dpl (L1) dan 1200 meter dpl (L2). Peubah yang diamati meliputi

pertambahan tinggi tanaman (cm), pertambahan jumlah cabang (cabang) , umur berbunga (hari), umur berbuah (hari),

hasil (g), jumlah buah (buah), panjang buah (cm), keragaman dan heritabilitas. Dari hasil perhitungan diperoleh KVG

tertinggi pada pertambahan tinggi tanaman 10 MST sehingga dapat diketahui bahwa KVG yang bernilai rendah adalah pertambahan tinggi tanaman 9 dan 11 MST, umur berbunga, umur berbuah dan panjang buah, yang bernilai sedang

adalah pertambahan tinggi tanaman 8 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, yang bernilai tinggi adalah

pertambahan jumlah cabang 10 MST, hasil, dan jumlah buah, sedangkan pertambahan tinggi tanaman 10 dan 12 MST

bernilai sangat tinggi. Dari hasil perhitungan juga diketahui bahwa parameter yang memiliki nilai heritabilitas rendah adalah pertambahan tinggi tanaman 9 dan 11 MST serta panjang buah, yang bernilai sedang adalah pertambahan tinggi

12 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, umur berbunga, umur berbuah, produksi dan jumlah buah

sedangkan yang bernilai tinggi adalah pertambahan tinggi 8 dan 10 MST dan pertambahan jumlah cabang 10 MST.

Kata kunci : variabilitas, heritabilitas, KVG, genotip

PENDAHULUAN

Permintaan terhadap cabai terus meningkat sehingga perlu didukung perbaikan teknologi budidaya

dan pasca panen, hal ini secara langsung membantu meningkatkan pendapatan dan taraf hidup petani,

memperluas kesempatan kerja, menunjang pengembangan agribisnis dan meningkatkan eksport.

Tingginya harga cabai merah besar (Capsicum annum var. longum) beberapa tahun terakhir ini

(bahkan sampai Rp. 20.000/kg) menyebabkan cabai termasuk agenda pembicaraan nasional. Betapa tidak,

cabai mampu menyebabkan tingginya laju inflasi nasional. Hal ini menunjukkan bahwa cabai merupakan

komoditas sayuran yang sangat dibutuhkan dalam kehidupan sehari-hari (Prajnanta,2001).

Salah satu usaha untuk meningkatkan produksi suatu tanaman adalah dengan menggunakan varietas

unggul. Varietas yang unggul pada suatu daerah belum tentu unggul pada daerah lain, karena keunggulan

varietas tersebut mungkin dipengaruhi oleh faktor lingkungan seperti keadaan unsur hara di dalam tanah

(Harjadi, 1996).

Stabilitas fenotip disebabkan oleh kemampuan organisme untuk dapat beradaptasi terhadap

lingkungan beragam sehingga tanaman tidak banyak mengalami perubahan sifat fenotipnya. Pemulia

mengharapkan agar varietas yang diciptakan tetap berpotensi, walaupun ditanam pada macam-macam

lingkungan (Poespodarsono, 1988).

Variabilitas genetik telah ditunjukkan pada seluruh produk dan perkembangannya dimungkinkan

melalui seleksi dalam program pemuliaan tanaman. Di lain pihak sebenarnya seluruh produk tersebut

mempunyai karakter yang berinteraksi dengan lingkungannya dari tingkatan medium sampai tinggi, ini

berarti seluruh produk tersebut masih harus dievaluasi dari beberapa lingkungan tertentu untuk mendapatkan

hasil rata-rata yang sebenarnya (Welsh, 1991).

Interaksi antara genotip dengan lingkungan (G x L) adalah perbedaan ekspresi genotip akibat

lingkungan. Hal tersebut akan berpengaruh bagi fenotip dari nilai genotip yang ada sehingga akan

menyebabkan seleksi dari suatu lingkungan tetapi menjadikannya kurang baik di lingkungan lain, hal ini

menguatkan para pemulia untuk menguji adaptasi genotip. Pengukuran G x L menjadi penting untuk

menentukan strategi pemuliaan yang berhubungan dengan tipe genotip dengan adaptasi yang cukup baik bagi

sasaran lingkungan (Hayward, et.al, 1993).

Page 207: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

245

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui variabilitas genotip cabai merah berdasarkan ketinggian

tempat tanam.

BAHAN DAN METODE

Penelitian dilaksanakan pada dua tempat yakni L1 di Kelurahan Gedung Johor, Medan dengan

ketinggian tempat ± 25 m dpl dan L2 di Berastagi, Kabupaten Tanah Karo dengan ketinggian tempat 1200 m

dpl, dengan menggunakan 3 varietas cabai yaitu Jago F1 (V1), Taro F2 (Taro) dan Sudra F1 (Sudra) yang

berlangsung dari akhir bulan April sampai dengan Oktober 2003.

Pelaksanaan penelitian ini diawali dengan mengecambahkan benih cabai. Setelah benih

berkecambah, benih dipindahkan ke polibag kecil yang telah berisi media tanah, kompos, pasir (1:1:1) dan

sedikit TSP dan NPK yang telah dihaluskan kemudian diletakkan di bedengan persemaian yang telah

dinaungi. Setelah bibit berumur 30-35 hari (sehat dan cukup kuat) dan telah memiliki daun sekitar 5-8 helai

maka bibit dipindah tanam ke lapangan yang telah diolah dan diberi mulsa plastik hitam perak dan diberi

pupuk dasar. Ukuran plot 120x180 cm, dengan tinggi bedengan 30 cm, jarak antar blok 100 cm, jarak antar

plot 70 cm dan diberi parit keliling. Jarak tanam yang digunakan adalah 60x70 cm. Setelah kurang lebih

sebulan, dilakukan pemasangan ajir pada tiap tanaman dengan panjang ajir 120 cm dan lebar 4 cm dan

ketebalan 2 cm yang ditancapkan pada lubang tanam dengan jarak ± 10 cm dari tanaman. Pemeliharaan

tanaman terhadap hama penyakit dilakukan sesuai kondisi dan anjuran setempat. Panen pertama dilakukan

ketika buah cabai berwarna merah menyeluruh dan panen berikutnya interval 5 hari.

Pada setiap lokasi pengujian digunakan Rancangan Acak Kelompok (RAK) Faktorial dengan

jumlah ulangan 6 per perlakuan. Jumlah tanaman 6 per plot, Jumlah sampel 3 per plot, jumlah plot 36.

Keragaman

Keragaman dapat dihitung setelah terlebih dahulu menghitung varians fenotipik (σ2F) dan varians

genotipik (σ2G).

Untuk menghitung varians fenotipik (σ2F) dan varians genotipik (σ

2G) disajikan model sidik ragam

disertai nilai kuadrat tengah, mengikuti cara Johnson et al (1995). Genotip, ulangan, dan galat dianggap

bersifat acak.

Tabel 1. Model Sidik Ragam, dan Nilai Kuadrat Tengah

Sumber Keragaman DB KT HKT F hitung

Lingkungan L-1 M1 σ2e +σ2

GL+Gσ2r+rGσ2l M1/M2

Ulangan dalam lingkungan L(r-1) M2 σ2e+ Gσ2

r

Genotip G-1 M3 σ2e+rσ2

GL+rL σ2G M3/M5

G x L (L-1)(G-1) M4 σ2e+ rσ2

GL

Galat L(G-1)(r-1) M5 σ2e

Dimana : r = ulangan, σ2e = komponen ragam acak, G = Genotip, L = Lingkungan, σ2

GL = komponen ragam genotip x lingkungan

Berdasarkan sidik ragam di atas, varians fenotipik (σ2

F) dan varians genotipik (σ2

G) dapat diduga

dengan rumus sebagai berikut :

(σ2

F) = M3/rL

(σ2G) = (M3-M4)/rL

Koefisien variasi genetik (KVG) dan koefisien variasi fenotipik (KVF) dihitung berdasarkan

rumus :

100% XX

GKVG

100% XX

FKVF

Dimana , X = rataan populasi

Page 208: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

246

Menurut Rebin, dkk (1995), koefisien variasi genetik yang telah diperoleh dan diklsifikasikan 4

kriteria yaitu :

Rendah = 0-25% dari KVG tertinggi

Sedang = 25%-50% dari KVG tertinggi

Tinggi = 50%-75% dari KVG tertinggi

Sangat tinggi = >75% dari KVG tertinggi

Untuk menentukan luas sempitnya variasi genetik suatu karakter yaitu karakter yang mempunyai

koefisien variasi genetik relatif yang rendah dan sedang digolongkan sebagai karakter yang bervariabilitas

sempit, koefisien varian genetik yang tinggi dan sangat tinggi digolongkan sebagai karakter yang

bervariabilitas luas.

Heritabilitas

Heritabilitas dapat didefenisikan sebagai proporsi keragaman yang disebabkan oleh faktor genetis

terhadap keragaman fenotip dari suatu populasi. Keragaman dari suatu populasi disebabkan oleh faktor

genetis (σ2G) dan factor lingkungan (σ

2G). nilai heritabilitas dapat dihitung dengan rumus :

F2

σ

G2

σ2h

dimana h2 = heritabilitas, σ

2G = varians genotip, σ

2F = varians fenotip

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa varietas berpengaruh tidak nyata terhadap pertambahan tinggi

tanaman, pertambahan jumlah cabang, umur berbunga, umur berbuah, produksi, dan jumlah buah, tetapi

nyata pada pengamatan panjang buah. Perlakuan ketinggian tempat menunjukkan pengaruh yang nyata pada

semua peubah kecuali pertambahan jumlah cabang 10 dan 11 MST. Interaksi antara varietas yang digunakan

dengan ketinggian tempat tumbuh memberikan pengaruh yang tidak nyata terhadap semua peubah amatan

kecuali panjang buah yang memberikan pengaruh nyata (Tabel 2).

Tabel 2. Rangkuman Rataan Hasil Penelitian di Medan dan Berastagi

Perlakuan 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13

L1 13,22 a 12,75 a 10,64 a 9,93 a 9,49 a 11,94 a 28,07 a 40,91 a 52,72 b 62,14 b 234,89 a 11,35 b 297,43 a

L2 3,50 b 4,38 b 8,87 a 9,85 a 18,49 a 4,62 b 13,63 b 25,46 b 66,72 a 66,72 a 39,89 b 13,37 a 196,94 b

V1 8,02 a 8,12 a 9,30 a 11,61 a 12,58 a 8,69 a 19,11 a 31,14 a 60,08 a 72,33 a 118,50 a 12,06 b 223,72 a

V2 8,37 a 8,59 a 9,82 a 9,34 a 16,20 a 8,66 a 22,00 a 35,86 a 59,38 a 72,58 a 164,25 a 13,24 a 270,83 a

V3 8,68 a 8,99 a 10,14 a 9,18 a 13,20 a 7,49 a 21,44 a 32,55 a 59,69 a 72,02 a 129,42 a 11,78 b 247,00 a

L1V1 12,31 11,75 12,29 11 8,48 13,22 23,45 38,56 53,56 61,83 203,67 11,96 274,95

L1V2 13,35 13,02 9,57 10,48 11,42 12,17 30,61 44,45 52,33 62,72 280,67 11,42 315

L1V3 14 13,5 10,06 8,33 8,6 10,45 30,17 39,73 52,28 61,89 220,33 10,7 302,33

L2V1 3,74 4,5 6,32 11,32 16,7 4,17 14,78 23,72 66,61 82,83 33,33 12,17 172,5

L2V2 3,4 4,17 10,08 8,21 20,99 5,17 13,39 27,28 66,44 82,44 47,83 15,08 226,67

L2V3 3,38 4,5 10,22 10,03 17,81 4,55 12,73 25,39 67,11 82,17 38,5 12,87 191,67

Keterangan : Angka-angka yang diikuti oleh huruf yang sama berbeda tidak nyata pada taraf 5% uji jarak berganda

Duncan

(1) Pertambahan Tinggi 8 mst (cm) (2) Pertambahan Tinggi 9 mst (cm)

(3) Pertambahan Tinggi 10 mst (cm)

(4) Pertambahan Tinggi 11 mst (cm)

(5) Pertambahan Tinggi 12 mst (cm) (6) Jumlah Cabang 8 mst (cabang)

(7) Jumlah Cabang 10 mst (cabang)

(8) Jumlah Cabang 12 mst (cabang)

(9) Umur Berbunga (HST) (10) Umur Berbuah (HST)

(11) Jumlah Buah (Buah)

(12) Panjang Buah (cm)

(13) Produksi (g)

Page 209: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

247

Keragaman

Nilai σ2G, σ

2F, σ

2e, KVG dan KVF untuk masing-masing sifat yang diamati dapat dilihat pada tabel

berikut :

Tabel 3. Nilai Komponen Variasi, Koefisien Variasi Genetik (KVG) dan Koefisien Variasi Fenotipik (KVF) untuk

Masing-Masing Sifat yang Diamati

No Parameter σ2G σ2F σ2e KVG KVF

1. Pertambahan Tinggi 8 MST 0,10 0,16 2,25 0,61 0,79

2. Pertambahan Tinggi 9 MST 0,19 0,04 4,02 0,81 0,38

3. Pertambahan Tinggi 10 MST 0,17 3,13 16,56 0,7 3,02

4. Pertambahan Tinggi 11 MST 1,20 0,19 10,46 1,83 0,72

5. Pertambahan Tinggi 12 MST 3,74 3,52 16,97 2,29 2,23

6. Pertambahan Jumlah Cabang 8 MST 0,47 0,18 9,24 1,36 0,84

7. Pertambahan Jumlah Cabang 10 MST 2,35 3,90 47,04 1,22 1,57

8. Pertambahan Jumlah Cabang 12 MST 5,87 5,29 85,62 1,22 1,15

9. Umur Berbunga 0,12 0,078 1,77 0,09 0,07

10 Umur Berbuah 0,07 0,03 2,09 0,05 0,03

11 Produksi 554,86 522,97 5790,83 1,58 1,54

12 Jumlah Buah 570,93 294,28 2865,48 2,89 2,08

13 Panjang Buah 0,62 0,12 0,68 1,05 0,45

Pada Tabel 3 di atas dapat diketahui bahwa KVG tertinggi adalah 3,02 pada parameter pertambahan

tinggi tanaman 10 MST, sehingga dpat diketahui bahwa KVG yang bernilai rendah adalah pertambahan

tinggi 9 dan 11 MST, umur berbunga, umur berbuah dan panjang buah, yang bernilai sedang adalah

pertambahan tinggi tanaman 8 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, yang bernilai tinggi adalah

pertambahan jumlah cabang 10 MST, jumlah buah, sedangkan pertambahan tinggi tanaman 10 dan 12 MST

bernilai sangat tinggi

Heritabilitas

Nilai heritabilitas dari setiap parameter yang diamati dapat dilihat pada Tabel 4.

Tabel 4. Nilai Heritabilitas Pada Parameter yang Diamati

No Parameter Heritabilitas

1. Pertambahan Tinggi 8 MST 0,61

2. Pertambahan Tinggi 9 MST 0,17

3. Pertambahan Tinggi 10 MST 0,94

4. Pertambahan Tinggi 11 MST 0,13

5. Pertambahan Tinggi 12 MST 0,48

6. Pertambahan Jumlah Cabang 8 MST 0,27

7. Pertambahan Jumlah Cabang 10 MST 0,62

8. Pertambahan Jumlah Cabang 12 MST 0,47

9. Umur Berbunga 0,39

10. Umur Berbuah 0,3

11. Produksi 0,48

12. Jumlah Buah 0,34

13. Panjang Buah 0,16

Tabel 4 menunjukkan bahwa parameter yang memiliki nilai heritabilitas rendah adalah pertambahan

tinggi tanaman 9 dan 11 MST serta panjang buah, yang bernilai tinggi diperoleh pada pengamatan

pertambahan tinggi 8 dan 10 MST serta pertambahan jumlah cabang 10 MST, yang bernilai sedang adalah

pertambahan tinggi 12 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, umur berbunga, umur berbuah,

produksi dan jumlah buah.

Hasil

Analisis statistik memperlihatkan bahwa Koefisien Variabilitas Genetik (KVG) untuk semua

parameter bervariasi mulai dari rendah hingga sangat tinggi. KVG dengan nilai tertinggi adalah pada

pengamatan pertambahan tinggi tanaman 10 MST, disusul sebagai nilai yang juga sangat tinggi adalah

pertambahan tinggi tanaman 12 MST, untuk nilai KVG yang tinggi terdapat pada pertambahan jumlah

cabang 10 MST, hasil (g) dan jumlah buah (buah), nilai sedang terdapat pada parameter pertambahan tinggi

Page 210: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

248

8 MST, pertambahan jumlah cabang 8 dan 12 MST, dan yang bernilai rendah adalah pertambahan tinggi

tanaman 9 dan 11 MST, umur berbunga, umur berbuah dan panjang buah. Hal ini menunjukkan keragaman

yang bervariasi pada beberapa sifat yang diamati.

Heritabilitas dengan nilai tinggi diperoleh pada pengamatan pertambahan tinggi 8 dan 10 MST serta

pertambahan jumlah cabang 10 MST, yang bernilai sedang adalah pertambahan tinggi 12 MST, pertambahan

jumlah cabang 8 dan 12 MST, umur berbunga, umur berbuah, produksi, dan jumlah buah. Dan yang bernilai

rendah adalah pertambahan tinggi 9 dan 11 MST serta panjang buah. Pengklasifikasian ini sesuai dengan

kriteria menurut Stansfield (1991) dimana heritabilitas dikatakan rendah jika bernilai di bawah 0,2; sedang

bila bernilai antara 0,2-0,5 dan dikatakan tinggi jika di atas 0,5; semakin mendekati 0 berarti keragaman

hanya disebabkan oleh faktor genotip. Dalam penelitian ini sebahagian besar parameter menunjukkan nilai

heritabilitas yang sedang (antara 0,2-0,5) hal ini menunjukkan untuk sifat-sifat tersebut keragaman yang

terjadi diakibatkan oleh lingkungan dan genotip secara seimbang.

Ketahanan tanaman terhadap hama dan penyakit juga dapat dikatakan baik, dikatakan demikian

karena serangan hanya dalam taraf ringan tidak sampai mengganggu pertumbuhan dan hasil tanaman.

Hasil antar varietas per pohonnya dalam satu lokasi jika dikonversikan dalam ha juga terlihat

berbeda. Jika populasi 1 ha adalah 17.000 pohon dengan jarak tanam 60 x 70 cm, pada L1 (Medan, 25 m

dpl) produksi V1 (Jago) dalam lima kali panen adalah 4.674,15 kg/ha, V2 (Taro) sebanyak 5.355 kg/ha dan

V3 (Sudra) sebanyak 5.139,61 kg/ha, sedangkan pada L2 (Brastagi, 1.200 m dpl produksi V1 (Jago) dalam

lima kali panen adalah sebesar 2.932,5 kg/ha, V2 (Taro) sebesar 3.853,39 kg/ha dan V3 (Sudra) sebesar

3.258 kg/ha. Dari perhitungan matematis sederhana ini dapat diperoleh keterangan bahwa pada L1 produksi

terbanyak adalah V2 diikuti V3 dan V1. sedangkan pada L2 produksi terbanyak adalah dengan urutan yang

sama yaitu V2 diikuti V3 dan V1, dari sini juga dapat dilihat bahwa produksi pada L1 lebih tinggi daripada

L2.

KESIMPULAN

1. Nilai variabilitas dan heritabilitas yang diperoleh sangat beragam mulai dari yang bernilai rendah

sampai tinggi bahkan sangat tinggi

2. Berdasarkan data produksi lima kali panen jika dikonversikan dalam kg/ha diperoleh varietas terbaik

adalah V2 (Taro) yang ditanam pada L1 ( Medan, 25 m dpl) sebesar 5.355 kg/ha diikuti V3 (Sudra)

sebesar 5.139,61 kg/ha dan V1 (Jago) sebesar 4.674,15 kg/ha.

DAFTAR PUSTAKA

Harjadi, S.S. 1996. Pengantar Agronomi. Gramedia Pustaka Utama. Jakarta. p.70

Hayward M.D., N.O. Bosemark, and I. Romagosa. 1993. Plant Breeding Principles and Prospects. Chapman

& Hall, 2-6 Boundary Roe, London. Chapter 22.

Johnson, H.D, N.O. Bosemark, and I. Romagosa. 1993. Plant Breeding Principles and Prospects. Chapman

& hall, 2-6 Boundary Roe, London. Chapter 22.

Poespodarsono, S. 1998. Dasar-dasar Ilmu Pemuliaan Tanaman. Pusat Antar Universitas IPB. Bogor.

Prajnanta, F. 2001. Agribisnis Cabai Hibrida. Penebar Swadaya. Jakarta.

Rebin, S., Purnomo, A. Somaryono, Soegito dan L. Moenir. 1995. pendugaan Parameter Genetik hasil dan

Komponen Hasil Anggur. Balai Penelitian Hortikultura I : 1-7

Stansfield, W.D. 1991. Genetika. Diterjemahkan oleh Machidin Apandi dan Lanny, T. Hady. Erlangga.

Jakarta.

Welsh, J.R. 1991. Dasar-dasar Genetika dan Pemuliaan Tanaman. Erlangga. Jakarta.

Page 211: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

249

PRODUKTIVITAS PADI GOGO SEBAGAI TANAMAN TUMPANGSARI HUTAN JATI MUDA

Husin M Toha

Staf Peneliti Ekofisiologi Balai Besar Penelitian Tanaman Padi Sukamandi

ABSTRAK

Secara umum pertanaman padi gogo di Indonesia terdapat pada tiga sub ekosistem, yaitu: a) pada lahan

datar termasuk bantaran sungai; b) pada lahan perbukitan daerah aliran sungai (DAS); dan c) sebagai tanaman

tumpangsari pada pertanaman perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda. Batas naungan maksimum

pada budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan tanaman keras adalah sampai naungan tanaman pokok mencapai 50%, untuk selebihnya perlu diseleksi varietas yang tahan naungan. Naungan tanaman karet dan

kelapa sawit mencapai 50% pada umur 3-4 tahun tergantung jarak tanamnya, demikian juga untuk hutan tanaman

industri (jati, Acasia mangium, sengon dan mahoni). Bila siklus tanaman karet, kelapa sawit dan juga hutan jati

klon unggul, sengon dan A. Mangium adalah 25 tahun sekali, maka luasan areal yang dapat ditumpangsarikan dapat mencapai 16% areal. Sedangkan untuk perkebunan kelapa dalam, pertanaman tumpangsari dapat dilalakukan pada

peremajaan sampai tahun ke empat dan setelah umur 25 tahun, mahkota tanaman kelapa akan mengecil lagi dan

sangat leluasa untuk pertanaman tumpangsari. Secara potensi luas areal yang dapat ditanami tanaman pangan

khususnya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dapat mencapai lebih dari 2 juta ha. Rata -rata hasil 12 varietas padi gogo yang ditanam bersamaan dengan tanaman jati klon unggul mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75

t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Pada percobaan lain dari 12 galur harapan dan 2 varietas, rata -rata

mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 (BP606D-18-13-1) sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1). Hasil

pertanaman pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami) dengan vegetasi semak belukar dan alang-alang, dari 12 varietas yang diuji rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan kisaran 3,21 (Cirata) sampai 4,98 (Jatiluhur).

Sedangkan dari 12 galur harapan yang diuji pada areal yang sama, rata-rata mencapai 4,11 t/ha dengan kisaran 3,27

t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Penelitian berkelanjutan tumpangsari padi gogo

dengan hutan jati muda di Desa Sanca (Gantar-Indramayu), pada tahun kedua (jati 1 tahun), rata-rata hasil 8 varietas mencapai 5,53 tha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 (Situ Patenggang). Pada tahun

ketiga (Jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 (Danau Gaung) sampai 4,37 (Towuti).

Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata 8 varietas mencapai 3,22 t/ha dengan kisaran 2,14 t/ha (C

22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi). Dampak positif dari pertanaman tumpangsari padi gogo (pola tanam tumpangsari), selain ada tambahan hasil tanaman pangan, pertumbuhan pohon jati juga menjadi lebih baik yang

tercermin dari pertumbuhan diameter batang pada pola tanam intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan dengan pola

tanam kurang intensif hanya mencapai 4,81 cm.

Kata kunci : padi gogo, tumpangsari, jati muda,

PENDAHULUAN

Tantangan pengadaan pangan nasional ke depan akan semakin berat mengingat banyaknya lahan

irigasi subur yang terkonversi untuk kepentingan non pertanian dan penduduk terus bertambah. Menururt

Irawan et al., (2001) dalam kurun waktu 1981-1999 telah terjadi alih fungsi lahan seluas 1,6 juta ha, sekitar 1

juta ha diantaranya terjadi di P Jawa. Bila diasumsikan produktivitas lahan sawah sebesar 6 t/ha GKP, maka

kehilangan produkasi dapat mencapai 9,6 juta ton GKP (Agus et al., 2004). Pada pihak lain, laju

pertambahan produktivitas lahan sawah juga semakin menurun akibat diterapkan teknologi yang semakin

intensif, tetapi pupuk yang diberikan tidak seimbang dengan hara yang terangkut panen serta jerami padi

banyak yang diangkut ke luar petakan atau dibakar. Dengan semakin menciutnya luas lahan sawah irigasi

akibat pengalihan fungsi dan menurunnya tingkat produktivitas lahan, maka lahan kering untuk

pengembangan pertanian harus segera dikembangkan dan dimanfaatkan. Peluang pengembangan pertanian di

lahan kering cukup besar baik dari segi potensi sumber daya lahan, maupun peningkatan produktivitasnya

melalui penerapan paket-paket teknologi yang telah dihasilkan Badan Litbang Pertanian (Suwarno et al.,

2005).

Luas panen padi gogo saat ini sekitar 1,12 juta ha atau sekitar 10% luas panen padi nasional dengan

produksi 2,88 juta ton atau sekitar sekitar 5% dari produksi padi nasional. Tingkat produktivitas padi gogo

rata-rata baru mencapai 2,58 t/ha atau 45% dari tingkat prduktivitas padi sawah yang telah mencapai 5,68

t/ha (BPS, 2005). Secara potensi padi gogo pernah mencapai 7,2 t/ha di Peru (de Datta, 1975) dan penelitian

di Boyolali varietas Poso pernah mencapai 6,8 t/ha (Toha dan Hawkins, 1990). Penelitian lain di Garut

selatan, varietas Cirata pennah mencapai hasil 6,7 t/ha (Permadi dan Toha, 1996) dan varietas Jatiluhur yang

ditanam secara tumpangsari dengan hutan jati muda di KPH Purwakarta mencapai 5,5 t/ha (Guswara dan

Toha, 1995)

Page 212: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

250

Luas lahan kering yang dapat dimanfaatkan untuk pengembangan tanaman pangan, khususnya padi

gogo ada sekitar 5,1 juta ha (Tim Badan Litbang, 1998). Budidaya padi gogo umumnya dilakukan pada; a)

areal datar yang terletak dibantaran sungai atau sekitar halaman rumah, b) disekitar perbukitan daerah alirang

sungai (DAS), dan c) sebagai tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda

(Toha, 2005). Budidaya padi gogo sebagai tanaman tumpangsari terbatas sampai naungan mencapai 50%

(Sopandie et al., 2003; 2005). Untuk tanaman perkebunan karet dan kelapa sawit masing-masing sampai

umur 3 dan 4 tahun, kelapa dalam sampai 4 tahun dan setelah umur 25 tahun mahkotanya mengecil dan

seterusnya dapat diusahakan tanaman tupangsari lagi (Toha dan Hasanuddin, 1997). Sedangkan untuk hutan

jati muda mulai tahun pertama sampai 3 tahun tergantung populasi tanaman pokoknya (Toha, 2005).

Akibat krisis ekonomi yang berkepanjangan, akhir-akhir ini makin sering terdengar adanya

penjarahan hutan. Tanaman kehutanan (jati, mahoni, dll) sebelum umur panen, sudah dijarah masyarakat

sekitar hutan yang umumnya masyarakat miskin. Untuk mengembalikan fungsi hidrologi hutan, hutan yang

rusak perlu segera direhabilitasi atau direboisasi. Pada pihak lain, program peremajaan hutan yang rutin ada

sekitar 50.000-200.000 ha/tahun (BPS 2005). Untuk mengurangi terjadinya penjarahan hutan, maka program

perhutanan sosial perlu lebih dikembangkan agar petani merasa lebih memiliki dan memelihara hutan

(Bratamiharja (1996). Petani dapat menarik manfaat dengan diikut sertakan menanam tanaman tumpangsari

diantara tanaman pokok hutan. Akhir-akhir ini juga telah dilontarkan program pengelolaan sumberdaya hutan

bersama masyarakat (PHBM), dimana masyarakat sekitar hutan diikut sertakan dalam pengelolaan hutan

dengan ketentuan masyarakat boleh menanam tanaman semusim diantara tanaman hutan sepanjang masih

memungkinkan dan pada pihak lain masyarakat juga berkewajiban memelihara tanaman pokok hutan.

Sedangkan pihak Perhutani mempunyai kewajiban membina petani tersebut dan mengawasi tanaman

pokoknya (Perhutani, 2004).

Berdasarkan besarnya naungan yang ada, pada pola peremajaan tanaman hutan atau perkebunan,

pengusahaan tanaman tumpangsari terbatas sampai tahun ke tiga atau ke empat. Batasannya sampai naungan

mencapai 50% (Sopandie et al., 2003; 2005), tanaman karet sampai tahun ke tiga, kelapa sawit dan kelapa

dalam sampai tahun ke empat. Khusus untuk tanaman kelapa dalam setelah umur di atas 25 tahun,

mahkota/tajuknya mengecil lagi dan penetrasi cahaya dapat mencapai diatas 80% (Toha, 2005), sistem tanam

tumpangsari dapat diusahakan lagi. Bila peremajaan tanaman karet dan kelapa sawit, tiap 25 tahun sekali dan

tanaman tumpangsari dapat diusahakan sampai tahun ke empat, maka secara potensi pengusahaan tanaman

tumpangsari dapat mencapai 16% dari luasan lahan perkebunan yang ada (Toha dan Hasanuddin, 1997).

Selain peremajaan tanaman perkebunan, peremajaan hutan setiap tahunnya mencapai antara 50.000-200.000

ha. Potensi tanaman tumpangsari perkebunan dan hutan tanaman industri (HTI) muda dapat mencapai lebih

dari 2,0 juta ha/tahun (Toha, 2005).

Sedangkan untuk peremajaan hutan yang dikaitkan dengan program pengelolaan hutan bersama

masyarakat (PHBM) tanaman tumpangsari dapat diusahakan 2 sampai 5 tahun tergantung jarak tanamnya.

Khusus untuk RPH Sanca (KPH Indramayu), dimana solum tanahnya dalam, dapat diusahakan pertanaman

hutan jati jenis (klon) unggul yang umur panennya lebih genjah. Jenis jati lokal umur panennya dapat di atas

40 tahun, sedangkan jati unggul hanya sekitar 25 tahun dan dapat ditanam lebih jarang. Jarak tanam jati lokal

biasanya (3,0 x 3,0) meter, sedangkan jati unggul jarak tanam antar baris 6 meter dan didalam barisan antara

1-2 meter. Berdasarkan jarak tanam seperti ini, tanaman tumpangsari bisa diusahakan lebih lama dapat

mencapai 6-7 tahun. Bila di hitung dengan masa persiapan panen (1-2 tahun) dan persiapan tanam 1 tahun,

maka usaha tanaman tumpangsari secara total dapat mencapai 7-9 tahun atau sekitar 25% dari potensi hutan

jati yang diusahakan.

Tanaman pangan sebagai tanaman tumpangsari yang umum diusahakan petani adalah; padi gogo,

kacang-kacangan dan juga sayuran. Tanaman pangan yang diusahakan sebagai tanaman tumpangsari,

sebaiknya mengacu pada pola tanam berbasis padi gogo, yaitu padi gogo-kedelai-kacang tunggak/kacang

hijau. Padi gogo ditanam pada awal musim hujan, dikuti oleh kedelai dan terakhir kacang hijau atau kacang

tunggak yang lebih tahan kering. Budidaya padi gogo membutuhkan bulan basah (>200 mm/bulan) secara

berurutan minimal 4 bulan, sedangkan untuk tanaman palawija lainnya minimal 100 mm/bulan (Oldeman,

1975). Untuk efisiensi tenaga kerja dan mengurangi resiko terjadinya erosi yang berlebihan sebaiknya

menggunakan sistem olah tanah minimal. Pengolahan tanah yang agak intensif hanya untuk padi gogo dan

dilakukan pada akhir musim kemarau, jadi tanah dalam keadaan kering. Sedangkan untuk pertanaman kedua

dan ketiga (kedelai dan kacang hijau/kacang tunggak) dilakukan dengan tanpa olah tanah. Untuk menekan

pertumbuhan gulma dan menjaga kelembaban tanah, sisa tanaman sebelumnya dijadikan mulsa. Dengan

demikian permukaan tanah akan terusik secara minimal dan erosi dapat diminimalkan. Berdasarkan

pengalaman (hasil penelitian sebelumnya), tingkat hasil gabah dapat mencapai antara 2,5-5,5 t/ha GKG,

kedelai sekitar 1,0-1,5 t/ha dan kacang hijau sekitar 1,0 t/ha. Bila dihitung dengan nilai setara gabah,

Page 213: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

251

penerapan pola tanam intensif dengan olah tanah minimum, hasil yang mencapai sekitar 10 t/ha/tahun, tidak

kalah dengan produktivitas lahan sawah (Toha et al., 2006).

Beberapa keuntungan dengan adanya usaha tanaman tumpangsari diantara tanaman pokok hutan

yang masih muda adalah: 1) produksi tanaman pangan meningkat, pendapatan petani meningkat; 2) berfungsi

dalam persiapan lahan dan pemeliharaan tanaman pokok, mengurangi biaya penyiangan; 3) kesuburan tanah

meningkat (residu pupuk tanaman pangan, penambahan bahan organik tanah/jerami); 4) mengurangi

pengembalaan ternak, pemeliharaan ternak lebih intensif; dan 5) dampak sosial/ekonomi yang baik bagi

masyarakat sekitar hutan, mengurangi penjarahan hutan (Toha, 2002; 2005).

Pengelolaan sumberdaya hutan bersama masyarakat (PHBM) dimaksudkan untuk memberikan

arah pengelolaan sumberdaya hutan dengan memadukan aspek ekonomi, ekologi dan sosial. Dalam

pelaksanaannya masyarakat desa sekitar hutan sebagai mitra kerja Perum Perhutani dapat berperan aktif

dalam memelihara kelestarian sumberdaya hutan. Dalam aspek perencanaan dan pembinaan, Perum

Perhutani mempunyai tanggung jawab penuh dan bersama pemerintah daerah langsung mengarahkan

dan mensosialisasikan kegiatan yang akan dilakukan bersama masyarakat sekitar hutan. Secara simultan

akan diupayakan sumberdaya hutan tetap lestari, pendapatan Perum Perhutani meningkat dan

kesejahteraan masyarakat sekitar hutan meningkat (Perhutani, 2004).

BAHAN DAN METODA.

Penelitian lapang terdiri dari 5 (lima) unit kegiatan yang semuanya dilakukan di Kecamatan Gantar

pada kawasan KPH Indramayu dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Penelitian unit 1 dan 2 dilakukan

di Desa Bantarwaru, sebagai tanaman kedua setelah penebangan hutan, tetapi bersamaan dengan penanaman

hutan jati klon unggul pada MH 2004/2005. Penelitian unit 3 dan 4 dilakukan di Desa Sanca, sebagai

tanaman kedua yang sebelumnya merupakan lahan tidur (semak belukar dan penuh vegetasi alang-alang),

pada lokasi ini belum ada perencanaan tanam ulang. Sedangkan unit 5 dilakukan selama 3 tahun berurutan

dari MH 2004/2005 sampai MH 2005/2006 di Desa Sanca sebagai penanaman ketiga, keempat dan kelima.

Penelitian di Desa Bantarwaru (2 unit) mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3

(tiga) ulangan secara tersarang. Perlakuan pada unit pertama adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo

termasuk kontrol varietas lokal Seratus Malam (Tabel 1). Perlakuan pada unit kedua adalah menguji 12 galur

harapan padi gogo ditambah 2 varietas kontrol (Tabel 2). Varietas kontrol adalah varietas Towuti (asal padi

gogo) dan varietas Ciherang (asal padi sawah) tetapi umum ditanam petani setempat.

Penelitian di Desa Sanca (3 unit) juga mengacu kepada pola rancangan acak kelompok dengan 3

(tiga) ulangan. Perlakuan pada unit ketiga adalah menguji 12 varietas unggul padi gogo termasuk kontrol

varietas lokal Seratus Malam (Tabel 3). Perlakuan pada unit keempat adalah menguji 12 galur harapan padi

gogo (Tabel 4). Sedangkan perlakuan pada unit kelima menguji 8 varietas (tahun pertama), 10 varietas (tahun

kedua) dan 7 varietas (tahun ketiga) yang dilakukan secara berurutan (Tabel 5).

Pengaturan pertanaman di lapangan dengan melibatkan petani pesanggem, tetapi di bawah

pengaturan peneliti. Tiap varietas atau galur harapan ditanam dalam satu lorong, lebar 6 meter dan panjang

50 meter. Sedangkan ulangan dibuat secara tersarang, didalam petak besar (6 m x 50 m) ditentukan secara

acak 3 petak khusus dengan ukuran (6 m x 5 m) yang selanjutnya dijadikan ulangan. Padi gogo untuk semua

unit kegiatan ditanam secara tugal 4-5 butir/lubang dengan jarak tanam sistem jajar legowo (30 x 20 x 10) cm.

Pelaksanaan tanam dilakukan pada awal musim hujan, setelah curah hujan agak kerep atau telah mencapai 60

mm/10 harian (dekade).

Pemupukan dilakukan 3 kali pada: 15 hari setelah tumbuh (HSTbh), 35 HSTbh dan saat primordia

bunga. Cara pemupukan pertama dan kedua dengan dilarik pada barisan ganda (20 cm), setelah pupuk dialur

dalam larikan segera ditutup kembali dengan tanah. Pemupukan secara larikan akan lebih efisien dan bila

dibandingkan dengan cara sebar lansung dapat meningkatkan hasil gabah dari 4,1 menjadi 4,7 t/ha GKG

(Pirngadi et al., 2001). Sedangkan untuk pemupukan ketiga dilakukan dengan disebar merata, karena

tanaman sudah menutup. Pupuk pertama terdiri dari campuran 50 kg Urea dan seluruh pupuk SP-36 dan KCl.

Pupuk kedua dan ketiga hanya pupuk urea, masing-masing 75 kg/ha. Jadi secara keseluruhan pertanaman

dipupuk 200 kg Urea, 100 kg SP-36 dan 100 kg KCl/ha. Pengendalian gulma dilakukan pada umur 10-14

HSTbh dan 30-34 HSTbh (sebelum pemupukan pertama dan kedua) dengan cara dikored. Pengendalian hama

dilakukan pada umur 30 HSTbh (hama belalang dan penggerek) dan saat bunting serta pada matang susu

untuk pengendalian penggerek batang dan walang sangit.

Pelaksanaan panen dilakukan bila penampakan gabah pada malai sudah masak lebih dari 90% dan

panen tidak serempak antar varietas yang dicoba tergantung keserempakan masak masing-masing varietas.

Page 214: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

252

Petak ubinan untuk menduga hasil dilakukan pada masing-masing ulangan dengan ukuran (2 x 5) meter. Pada

petak ubinan tersebut terdiri dari 8 barisan (4 barisan ganda) dengan panjang 5 meter (50 rumpun), total

ubinan secara potensi terdiri dari 400 rumpun. Cara panen dengan arit, kemudian dirontokan (digebot), lalu

dibersihkan dan ditimbang. Untuk menyeragamkan data hasil ubinan, selesai ditimbang lalu diukur kadar

airnya dengan 3 ulangan. Hasil gabah kering panen (GKP) dapat diketahui langsung, sedangkan untuk hasil

gabah kering giling (GKG) dapat diketahui berdasarkan perhitungan (dikonversi) dengan kadar air 14%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo sebagai tanaman tumpangsari dengan hutan jati

klon unggul rata-rata mencapai 5,82 t/ha GKP atau 5,41 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 4,03

(Sentani) sampai 6,58 t/ha (Cirata). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 4,76 t/ha GKP tidak

berbeda nyata dengan varietas Sentani dan Situ Patenggang serta Way Rarem, sedangkan dengan

varietas lainnya berbeda nyata (Tabel 1).

Tabel 1. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon Unggul

di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.*)

No. Varietas Hasil t/ha GKP Hasil t/ha GKG

1. Batu Tegi 6,04 a 5,594 a

2. Cirata 6,58 a 6,12 a

3. C 22 6,50 a 6,06 a

4. Danau Gaung 5,96 a 5,54 a

5. Limboto 6,10 a 5,67 a

6. Seratus Malam 4,76 bc 4,43 bc

7. Sentani 4,03 c 3,75 c

8. Situ Bagendit 6,44 a 5,99 a

9. Situ Patenggang 5,77 ab 5,36 ab

10. Towuti 6,25 a 5,81 a

11. Way Rarem 5,77 ab 5,37 ab

12. Jatiluhur 6,50 a 6,06 a

Rata-rata 5,82 5,41

k k (%) 12,2 12,2 *) Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.

Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata

hasil GKG mencapai 5,41 t/ha dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata). Hasil varietas

lokal (Seratus Malam) mencapai 4,43 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas Sentani, Situ Patenggang

maupun Way Rarem. Dari 12 varietas yang diuji, varietas Jatiluhur, C 22 dan Cirata mencapai hasil GKG

lebih dari 6 t/ha. Masing-masing mencapai: 6,06; 6,06 dan 6,12 t/ha GKG (Tabel 1).

Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas unggul padi gogo/sawah sebagai kontrol pada

pertanaman tumpangsari dengan hutan jati klon unggul rata-rata mencapai 6,43 t/ha GKP atau 5,93 t/ha GKG.

Kisaran hasil GKP antara 5,61 t/ha (BP606D-18-13-1) sampai 7,49 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil varietas

Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 6,24 t/ha GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi sawah)

mencapai 6,10 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata dengan hasil galur harapan lainnya (Tabel 2).

Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan dan varietas (kontrol)

yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai 5,93 t/ha dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1)

sampai 6,97 t/ha (BP606C-18-9-6). Hasil varietas Towuti (kontrol varietas padi gogo) mencapai 5,52 t/ha

GKP dan Ciherang (kontrol varietas padi sawah) mencapai 5,39 t/ha GKP keduanya tidak berbeda nyata

dengan hasil galur harapan lainnya kecuali dengan galur terbaik BP606C-18-9-6 (Tabel 2). Galur harapan

yang hasilnya mencapai lebih dari 6 t/ha GKG adalah: B9071F-TB-7, BP720C-5-Si-1-1, TB47H-MR-10,

BP760F-2-2-Pn-1 dan BP606C-18-9-6 masing-masing mencapai: 6,38; 6,47; 6,48; 6,91 dan 6,97 t/ha GKG

(Tabel 2).

Page 215: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

253

Tabel 2. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon

Unggul di Desa Bantarwaru, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.*)

No. Galur Harapan Hasil t/ha GKP Hasil t/ha GKG

1. TB203C-Cky-1-13 6,37 abc 5,93 ab

2. BP606D-18-13-1 5,61 c 5,22 b

3. B9071F-TB-7 6,85 abc 6,38 ab

4. B8503E-TB-19-13 6,00 bc 5,58 b

5. TB47H-MR-10 6,97 abc 6,48 ab

6. IR30176-1-B-Mr 6,17 abc 5,51 b

7. Bio 511-61-2-3-1 5,85 c 5,44 b

8. BP606C-18-9-6 7,49 a 6,97 a

9. BP720C-5-Si-1-1 6,95 abc 6,47 ab

10. BP785C-12-4-1 6,07 abc 5,65 b

11. BP760F-2-2-Pn-1 7,42 ab 6,91 a

12. S4849-1-1G-1-1-3-3 5,96 c 5,54 b

13. Ciherang 6,10 abc 5,39 b

14. Towuti 6,24 abc 5,52 b

Rata-rata 6,43 5,93

k k (%) 13,3 13,1 *) Padi gogo tanam akhir Oktober, jati klon unggul tanam akhir Desember 2004.

Pemanfaatan lahan tidur dalam kawasan hutan untuk tanaman pangan juga dapat berpengaruh positif

bagi masyarakat sekitar hutan dan juga bagi pengelola hutan (Perhutani). Proses terjadinya lahan terlantar

akibat penjarahan yang tidak terkendali dan belum bisa ditanami ulang (perencanaan tanam ulang masih

terbatas). Kalau tidak ditanami, lahan tersebut dijadikan padang pengembalaan ternak yang bila dibiarkan

terus akan menjadi lahan kritis. Sambil menunggu giliran tanam ulang, lahan tersebut dapat diusahakan oleh

petani sekitar hutan untuk budidaya tanaman semusim. Keuntungan dari kebijaksanaan tersebut, dapat

memudahkan untuk perencanaan tanam dan petani penggarap dapat dijadikan petani kooperator program

PHBM seterusnya.

Hasil uji adaptasi 12 varietas unggul padi gogo termasuk varietas lokal (Seratus Malam) sebagai

kontrol rata-rata mencapai 4,32 t/ha GKP atau 3,98 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 3,49 (Cirata)

sampai 5,35 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas lokal (Seratus Malam) mencapai 3,66 t/ha GKP tidak berbeda

nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan varietas terbaik Jatiluhur (Tabel 3).

Tabel 3. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas Hutan Jati (Sementara Belum

Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.

N0 Varietas Rata-rata hasil (t/ha)

GKP GKG

1 Batu Tegi 4,69 ab 4,36 ab

2 Cirata 3,49 b 3,21 b

3 C 22 4,81 ab 3,81 ab

4 Danau Gaung 4,17 ab 4,19 ab

5 Limboto 4,67 ab 4,34 ab

6 Seratus Malam 3,66 b 3,36 b

7 Sentani 4,03 ab 3,75 b

8 Situ Bagendit 4,32 ab 4,02 ab

9 Situ Patenggang 4,25 ab 3,89 ab

10 Towuti 4,13 ab 3,85 ab

11 Way Rarem 4,29 ab 4,06 ab

12 Jatiluhur 5,35 a 4,98 a

Rata-rata 4,32 3,98

k k (%) 16,0 14,7

Sejalan dengan hasil GKP, pola perbedaan hasil GKG antar varietas yang diuji juga sama. Rata-rata

hasil GKG mencapai 3,98 t/ha dengan kisaran 3,21 t/ha (Cirata) sampai 4,98 t/ha (Jatiluhur). Hasil varietas

lokal (Seratus Malam) mencapai 3,36 t/ha tidak berbeda nyata dengan varietas lainnya kecuali dengan

varietas terbaik Jatiluhur. Dari 12 varietas yang diuji, varietas yang hasil dapat mencapai diatas 4,0 t/ha pada

lahan tidur adalah: Situ Bagendit, Danau Gaung, Limboto, Batu Tegi dan Jatiluhur, masing-masing

mencapai: 4,02; 4,19; 4,34; 4,36 4,98 t/ha GKG (Tabel 3).

Page 216: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

254

Hasil uji adaptasi 12 galur harapan rata-rata mencapai 4,42 t/ha GKP atau 4,11 t/ha GKG. Kisaran

hasil GKP antara 3,51 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 5,28 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Sejalan dengan hasil

GKP, pola perbedaan hasil GKG antar galur harapan yang diuji juga sama. Rata-rata hasil GKG mencapai

4,11 t/ha dengan kisaran 3,27 t/ha (TB203C-Cky-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1). Galur harapan

yang hasilnya mencapai di atas 4,0 t/ha adalah: BP785C-12-4-1; TB47H-MR-10; IR30176-1-B-Mr; B9071F-

TB-7; Bio511-61-2-3-1 dan BP720C-5-Si-1-1 masing-masing mencapai: 4,20; 4,26; 4,59; 4,60; 4,82 dan 4,91

t/ha GKG (Tabel 4).

Tabel 4. Hasil Pertanaman Adaptasi Galur Harapan Padi Gogo Pada Lahan Terbuka Bekas Hutan Jati (Sementara Belum

Ditanam Ulang) di Desa Sanca blok Tegal Sapi, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu MH 2004/2005.

No. Galur Harapan Rata-rata hasil (t/ha)

GKP GKG

1. TB203C-Cky-1-13 3,51 d 3,27 d

2. BP606D-18-13-1 4,25 abcd 3,95 abcd

3. B9071F-TB-7 4,94 abc 4,60 abc

4. B8503E-TB-19-13 3,77 cd 3,50 cd

5. TB47H-MR-10 4,58 abcd 4,26 abcd

6. IR30176-1-B-Mr 4,94 abc 4,59 abc

7. Bio 511-61-2-3-1 5,18 ab 4,82 ab

8. BP606C-18-9-6 4,10 abcd 3,78 abcd

9. BP720C-5-Si-1-1 5,28 a 4,91 a

10. BP785C-12-4-1 4,51 abcd 4,20 abcd

11. BP760F-2-2-Pn-1 3,89 bcd 3,62 bcd

12. S4849-1-1G-1-1-3-3 4,13 abcd 3,84 abcd

Rata-rata 4,42 4,11

k k (%) 15,4 15,5

Untuk melihat bagaimana renspon hasil beberapa varietas unggul padi gogo sebagai tanaman

tumpangsari jati klon unggul, telah dilakukan penelitian adaptasi padi gogo secara berurutan selama 3 tahun

dari MH 2003/2004 sampai MH 2005/2006. Adapun pada pertanaman MH 2003/2004 tanaman jati sudah

memasuki tahun kedua dan pertanaman padi gogo merupakan pertanaman ketiga (sebelumnya pertanaman

padi gogo oleh petani sudah 2 kali tanam). Hasil pertanaman uji adaptasi 8 varietas unggul padi gogo

sebagai pertanaman tumpangsari dengan hutan jati 1 tahun di Desa Sanca pada MH 2003/2004 rata-rata

mencapai 5,90 t/ha GKP atau 5,53 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 5,36 t/ha (Batu Tegi) sampai 7,08

t/ha (Limboto). Berbeda dengan hasil GKP, hasil GKG tertinggi dicapai oleh varietas Situ Patenggang (6,01

t/ha) dan hasil terrendah oleh varietas Cirata (4,69 t/ha) sedangkan secara rata-rata mencapai 5,53 t/ha GKG.

Varietas padi gogo yang hasilnya mencapai lebih dari 5,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari dengan

jati klon unggul umur 1 tahun adalah: C 22; Limboto; Towuti; Situ Bagendit dan Situ Patenggang, masing-

masing mencapai: 5,51; 5,52; 5,64;5,90 dan 6,01 t/ha (Tabel 5).

Hasil pertanaman MH 2004/2005 atau pertanaman penelitian tahun kedua dan tanaman jati sudah

umur 2 tahun, hasil rata-rata 10 varietas yang diuji mencapai 3,26 t/ha GKP atau 3,26 t/ha GKG. Kisaran

hasil GKP antara 2,61 t/ha (C22) sampai 4,68 t/ha (Towuti). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,36

(Limboto) sampai 4,37 t/ha (Towuti). Varietas yang hasilnya mencapai lebih dari 3,5 t/ha pada pertanaman

tumpangsari padi gogo dengan hutan jati umur 2 tahun adalah: Jatiluhur, Situ Patenggang, Situ Bagendit,

Way Rarem, dan Towuti, masing-masing mencapai: 3,54; 3,64; 3,67; 3,72 dan 4,37 t/ha GKG (Tabel 5).

Rata-rata hasil 7 varietas padi gogo pada pertanaman penelitian tumpangsari tahun ketiga (MH

2005/2005) mencapai 3,49 t/ha GKP atau 3,22 t/ha GKG. Kisaran hasil GKP antara 2,31 (C 22) sampai

4,60 t/ha (Batu Tegi). Sedangkan kisaran hasil GKG antara 2,14 t/ha (C 22) sampai 4,41 t/ha (Batu

Tegi). Varietas yang hasilnya dapat mencapai 3,5 t/ha GKG pada pertanaman tumpangsari jati klon

unggul umur 3 tahun adalah: Jatiluhur, Limboto dan Batu Tegi, masing-masing mencapai 3,84; 3,97 dan

4,41 t/ha GKG (Tabel 5).

Page 217: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

255

Tabel 5. Hasil Pertanaman Adaptasi Varietas Padi Gogo Sebagai Tanaman Tumpangsari Hutan Jati Muda Klon

Unggul (Umur 1, 2 Dan 3 Tahun) di Desa Sanca, Kecamatan Gantar, KPH Indramayu *)

No. Varietas

Jati 1 tahun

(MH 2003/2004)

Jati 2 tahun

(MH 2004/2005)

Jati 3 tahun

(MH 2005/2006)

GKP GKG GKP GKG GKP GKG

1. Batu Tegi 5,36 4,97 3,59 3,35 4,60 4,41

2. C 22 5,54 5,51 2,62 2,39 2,23 2,14

3. Cirata 5,38 4,69 3,54 3,16 - -

4. Towuti 6,00 5,64 4,68 4,37 2,43 2,20

5. Way Rarem 5,22 5,28 4,55 3,72 3,48 3,19

6. Limboto 7,08 5,52 2,61 2,36 4,25 3,97

7. Situ Patenggang 6,67 6,01 4,14 3,64 - -

8. Situ Bagendit 5,96 5,90 3,99 3,67 - -

9. Danau Gaung - - 2,65 2,44 3,10 2,81

10. Jatiluhur - - 3,55 3,54 4,35 3,84

Rata-rata 5,90 5,53 3,59 3,26 3,49 3,22 *) Padi gogo penelitian mulai tanam akhir Oktober 2003, jati klon unggul tanam akhir Nopember 2002. Pertanaman padi

gogo petani tahun pertama MH 2001/2002 dan tahun kedua MH 2002/2003 umumnya menggunakan varietas lokal

(Midun dan Umbul-umbul) serta sebagian varietas Ciherang. Jarak tanam Jati unggul (6 x 2) m dan padi gogo

(30x20x10) cm. Pertanaman penelitian padi gogo mulai MH 2004/2005 (jati 1 tahun) seluruhnya dilakukan oleh petani tetapi diberikan benih dan pupuk sebanyak 200 kg Urea, 50 kg SP-36 dan 50 kg KCl. Khusus untuk

pertanaman kedua petani hanya memupuk Urea dan SP-36 masing-masing 150 dan 50 kg/ha.

Untuk lebih menyakinkan bahwa pertanaman tumpangsari tanaman pangan khususnya padi

gogo mempunyai dampak positif terhadap pertumbuhan tanaman pokok jati klon unggul telah dilakukan

pengukuran diameter batang pokok jati pada tahun ke empat. Hasil pengukuran menunjukkan bahwa

bila tanaman pangan diusahakan lebih intensif, pertumbuhan jati juga lebih baik. Diameter batang pada

pertanaman pangan yang intensif mencapai 6,42 cm, sedangkan pada pola yang kurang intensif hanya

mencapai 4,81 cm (Tabel 6). Hal ini dapat dimengerti bahwa dengan penerapan pola tanam yang

intensif residu pupuk dan limbah (jerami) tanaman pangan juga lebih banyak yang dapat dimanfaatkan

oleh tanaman jati. Selain itu pertumbuhan gulma pada pola tanam yang lebih intensif juga lebih sedikit,

baik gulma rumput maupun yang merambat ke pokok jati.

Tabel 6. Pengaruh pertanaman tumpangsari (padi gogo dan kedelai) terhadap perumbuhan(diameter batang) jati umur 4

tahun di Desa Sanca (Dusun Salp) Kecamatan Gantar, KPH Indramayu.

Pola Tanam Intensip (peneliti) Pola tanam biasa (petani)

No. Petani Diameter (cm) No. Petani Diameter (cm)

I Padi gogo- kedelai 6,09 V Padi gogo- kedelai 4,82

II Padi gogo- kedelai 6,51 VI Padi gogo- kedelai 5,15

II Padi gogo- kedelai 6,59 VII Padi gogo- bera 4,92

IV Padi gogo- bera 6,48 VIII Bera 4,33

Rata-rata 6,42 Rata-rata 4,81

Keterangan : 2001/2002 dan 2002/2003 pertanaman padi gogo pertama dan kedua oleh petani umumnya menggunakan

varietas lokal, 2003/2004 penelitian tahun pertama, 2004/2005 penelitian tahun kedua, dan 2005/2006

penelitian tahun ketiga.

Kelompok I s/d IV penerapan pola tanam oleh peneliti Kelompok V s/d VIII penerapan pola tanam oleh petani (kontrol)

Tanam Jati Nopember 2002, pengukuran diameter batang Maret 2006.

KESIMPULAN

1. Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam secara tumpangsari dengan klon jati unggul, rata-

rata mencapai 5,41 t/ha GKG dengan kisaran 3,75 t/ha (Sentani) sampai 6,12 t/ha (Cirata).

2. Hasil pengujian 12 galur harapan dan 2 varietas padi gogo/sawah yang ditanam secara tumpangsari

dengan klon jati unnggul, rata-rata mencapai 5,93 t/ha GKG dengan kisaran 5,22 t/ha (BP606D-18-13-1)

sampai 6,91 t/ha (BP760F-2-2-Pn-1).

3. Hasil pengujian 12 varietas padi gogo yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan

vegetasi sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang), rata-rata mencapai 3,98 t/ha GKG dengan

kisaran 3,21 t/ha (Cirata) samapai 4,98 t/ha (Jatiluhur).

Page 218: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

256

4. Hasil pengujian 12 galur harapan yang ditanam pada lahan tidur (2 tahun tidak ditanami, dengan vegetasi

sebelumnya berupa semak belukar dan alang-alang) rata-rata mencapai 4,11 t/ha GKG dengan kisaran

3,27 t/ha (TB203C-CKY-1-1-13) sampai 4,91 t/ha (BP720C-5-Si-1-1).

5. Penelitian berkelanjutan selama 3 tahun, pada tahun kedua (jati 1 tahun) dari 8 varietas, rata-rata

mencapai 5,53 t/ha GKG dengan kisaran 4,69 t/ha (Cirata) sampai 6,01 t/ha (Situ Patenggang), pada

tahun ketiga (jati 2 tahun) rata-rata mencapai 3,26 t/ha GKG dengan kisaran 2,44 t/ha (Danau Gaung)

sampai 4,37 t/ha (Towuti). Sedangkan pada tahun keempat (jati 3 tahun) rata-rata mancapai 3,22 t/ha

GKG dengan kisaran 2,14 t/ha (C22) sampai 4,41 t/ha (Batu Tegi).

6. Pertanaman tumpangsari padi gogo dan penerapan pola tanam yang intensif berpengaruh positif terhadap

pertumbuhan diameter batang pohon jati. Pada pola tanam yang lebih intensif diameter batang pada

tahun keempat mencapai 6,42 cm, sedang pola tanam yang kurang intensif hanya mancapai 4,81 cm.

DAFTAR PUSTAKA

Agus, F. dan Irawan, 2004. Alih guna dan aspek lingkungan lahan sawah. Tanah Sawah dan Teknologi

Pengelolaannya. (Agus et.al Eds). Pusat Penelitian dan Pengembangan Tanah dan Agroklimat,

Badan Penelitian dan Pengembnagan Pertanian, Departemen Pertanian. Hal 305- 328.

BPS, 2005. Statistik Indonesia 2004. Badan Pusat Statistik, Jakarta. 604 p.

Bratamiharja, M., 1996. Perhutanan Sosial di Pulau Jawa. Buletin Bina Swadaya, Badan Pengembangan

Swadaya Masyarakat. No. 9 (IV) : 14-19.

De Datta, S.K., 1975. Upland Rice Around the World: Major Research in Uplad Rice. The International Rice

Research Institute, Los Banos, Philippines. p: 1-11.

Guswara, A. dan H. M. Toha, 1995. Perbaikan budidaya padi gogo tingkat petani peserta perhutanan sosial.

Laporan Penelitian Kelti Ekofisiologi, Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi.

Irawan B., S Priyanto, A Supriyanto, I S Anugrah, N A Kirom, B Rahmanto dan B Wiryono. 2001.

Perumusan model kelembagaan konversi lahan pertanian. Pusat Penelitian Sosial Ekonomi

Pertanian, Badan Litbang Pertanian.

Oldeman. L.R., 1975. Agroclimatic map of Java. Contr. Centr. Res. Inst. for Agriculture, Bogor Indonesia.

17:1-22.

Perhutani. 2004. Pengelolaan Sumberdaya Hutan Bersama Masyarakat (PHBM). Perum Perhutani, KPH

Indramayu. 17 hal.

Permadi, P dan H. M. Toha, 1996. Peningkatan produktivitas padi gogo dengan penanaman kultivar unggul dan

pemupukan nitrogen. Jurnal Penelitian Pengambangan Wilayah Lahan Kering. No. 18: 27-39. Lembaga

Penelitian UNILA.

Pirngadi, K., H.M. Toha, K. Permadi dan A. Guswara, 2001. Cara tanam dan pemupukan terhadap hasil padi

gogo sebagai tanaman sela hutan jati muda. Makalah disampaikan pada Seminar Apresiasi dan Hasil

Penelitian Balai Penelitian Tanaman Padi, Sukamandi 14-15 Nopember 2001. 14 hal.

Sopandie, D., M.A. Chosim, S. Sastrosumarjo, T. Juhaeti dan Sahardi, 2003. Toleransi terhadap naungan

pada padi gogo. Hayati 10 : 71-75.

Sopandie, D., N. Khumaida dan S. Yahya, 2005. Pemberdayaan Aspek Fisiologi Fotosintesis Tanaman Padi

dalam Upaya Peningkatan Produksi: Adaptasi terhadap Intensitas Cahaya Rendah. Inovasi

Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 211- 227.

Suwarno, H.M. Toha dan Ismail B P., 2005. Ketersediaan Teknologi dan Peluang Pengembangan Pado Gogo.

Inovasi Teknologi Padi Menuju Swasembada Beras Berkelanjutan (Buku satu). Pusat Penelitian dan

Pengembangan Tanaman Pangan, Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Hal. 129-143.

Tim Peneliti Badan Litbang Pertanian. 1998. Laporan Hasil Peenelitian Optimasi Pemanfaatan Sumber Daya

Alam dan Teknologi untuk Pengembangan Sektor Pertanian dalam Pelita VII. Pusat Penelitian

Tanah dan Agroklimat, Bogor. 386p.

Page 219: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

257

Toha, H.M. dan Hawkins, 1990. Potensi peningkatan produktivitas tanaman pangan melalui perbaikan

variertas dan pemupukan di DAS Jratunseluna bagian hulu. Proyek Penelitian Penyelamatan Hutan,

Tanah dan Air. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. 103p.

Toha, H.M. dan A. Hasanuddin, 1997. Kemungkinan penerapan sistem usaha pertanian padi gogo pada

tanaman perkebunan muda dan Hutan Tanaman Industri. Makalah disampaikan pada Temu Aplikasi

Teknologi Budidaya Padi Gogo di Propinsi Sulawesi Utara, IP2TP Kalasey-Manado, 17-19

Nopember 1997. 17 p.

Toha, H..M., 2002. Padi Gogo Sebagai Tanaman Sela Perkebunan dan HTI Muda. Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Tanaman Padi.

Toha, H M. 2005. Padi Gogo dan Pola Pengembangannya. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian, Departemen Pertanian. 48 hal.

Toha, H M., K Pirngadi dan Iwan Yuliardi. 2006. Peningkatan produktivitas padi gogo sebagai tanaman sela

hutan jati muda melalui pendekatan pengelolaan tanaman dan sumberdaya terpadu (PTT). Laporan

Tahunan 2005. Balai Penelitian Tanaman Padi Sukamandi. 37 hal.

Page 220: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

258

PENGARUH ASAL BIBIT TERHADAP PERTUMBUHAN BEBERPA JENIS PISANG

DI LAHAN KERING

Tri Ratna E.1, Awaludin H.

1), Agus Sutanto

2)

1) Peneliti pada Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB

2) Peneliti pada Balai Penelitian Tanaman Buah Tropika, Solok

ABSTRAK

Pisang merupakan tanaman yang berpotensi di kembangkan di lahan kering, karena memiliki daya adapasi yang

cukup tinggi terhadap kekeringan. Dalam pengembangannya perlu didukung oleh asal bibit dan jenis pisang yang sesuai,

sehingga prosentase tumbuh dan pertumbuhan tanaman optimal. Tujuan penelitian ini adalah mendapatkan macam bibit

dan varietas pisang yang cocok diusahakan dilahan kering. Penelitian dilaksanakan di Sambelia, Lombok Timur pada bulan Januari sampai Juli 2006 dengan menggunakan Rancangan Acak Kelompok Faktorial yang diulang 3 kali. Faktor I

adalah macam bibit, yaitu B1 (anakan), dan B2 (kultur jaringan). Faktor II adalah Varietas, yaitu (V1) Kepok. (V2)

Ketip, dan (V3) Susu. Hasil penelitian menunjukkan bahwa macam bibit dan varietas menentukan kecepatan

pertumbuhan dan jumlah anakan. Tanaman yang berasal dari bibit asal kultur jaringan menghasilkan vegetatif paling baik, saat beranak paling cepat dan jumlah anakan lebih banyak pada semua varietas yang diuji. Pisang varietas kepok

asal kultur jaringan memiliki penamabahan tinggi tanaman tertinggi dan memiliki lingkar batang terbesar (193,20 cm;

58,50 cm) dibandingkan varietas ketip (169,20 cm; 51,20 cm) dan susu (167,70 cm; 49,90 cm), tetapi varietas ketip

memiliki jumlah daun dan jumlah anakan lebih banyak yaitu 13,90 helai dan 4,40 batang dibandingkan kepok (11,80 helai; 3,70 batang) dan susu (13,90 helai; 3,50 batang). Untuk mengantisipasi kekurangan air pada saat musim kemarau

sebaiknya bibit yang digunakan berasal dari kultur jaringan dengan mengusahakan pisang varietas kepok dan ketip.

Kata kunci : pisang, macam bibit, varietas, lahan kering

PENDAHULUAN

Nusa Tenggara Barat memiliki lahan kering yang cukup luas, yaitu sekitar 1.814.340 ha. Untuk

dapat mengoptimalakan lahan kering tersebut perlu dilakukan pengelolaan yang baik dengan pemilihan

komoditas yang tepat dan sesuai dengan kondisi wilayah tersebut. Salah satu komoditas yang memiliki

adaptasi yang baik pada kondisi kering adalah pisang. Selain karena daya adaptasinya, pisang juga memiliki

keunggulan lain yaitu usahataninya menguntungkan sehingga meningatkan pendapatan petani, dapat

membuka peluang kesempatan kerja serta mempunyai fungsi konservasi tanah dan air (Fagi dkk., 1988;

Kepas, 1988; Nurhardiyati, 1988). Tanaman pisang sering juga dipergunakan sebagai tanaman pelindung

cengkeh, kopi dan kakao, karena mempunyai sistem perakaran dangkal dan batangnya banyak mengandung

air (Nurhardiyati, 1988). Dapat juga digunakan sebagai sumber karbohidrat (serat) dan mineral untuk bahan

pakan tambahan, khususnya pada musim kering saat rumput dan hijauan pakan ternak sulit didapatkan

(Munadjim, 1983)

Disamping itu pisang merupakan komoditis unggulan daerah dan unggulan nasional, yang memiliki

peluang pasar cukup tinggi, baik pasar lokal, pasar nasional maupun pasar dunia. Sementara ini, permintaan

buah pisang di dalam wilayah NTB sendiri, lebih banyak dibanding produksi pisang NTB. Untuk itu

produksi pisang perlu ditingkatkan melalui intensifikasi maupun ekstensifikasi. Terutama ekstensifikasi

melalui perluasan areal penanaman pisang.

Pada umumnya penanaman pisang yang dilakukan petani pada sentra produksi menggunakan bibit

pisang yang berasal dari anakan. Selain bibit dari anakan, ada juga bibit dari kultur jaringan yang memiliki

beberapa keunggulan, tetapi bibit ini belum umum digunakan petani. Untuk itu perlu dilakukan pengkajian

pada macam bibit tersebut terhadap tingkat adaptasinya di kondisi lahan kering.

Pada tanaman pisang terdapat berbagai macam jenis yang memiliki keunggulan yang berbeda setiap

jenisnya. Untuk itu perlu dikaji jenis-jenis pisang yang memiliki daya adaptasi tinggi terhadap kekeringan,

dan memiliki peluang pasar tinggi, atau banyak diminati konsumen diantaranya; pisang ketip, susu dan kepok.

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mendapatkan asal bibit dan jenis pisang yang paling sesuai

dikembangkan di lahan kering.

Page 221: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

259

METODE PENELITIAN

Penelitian dilaksanakan di lahan petani di Desa Sugian, Kabupaten Lombok Timur, NTB, mulai

Bulan Januari sampai Juli 2006. Rancangan yang digunakan adalah Rancangan Acak Kelompok (RAK)

faktorial dengan 3 ulangan. Faktor I adalah Asal bibit yang terdiri dari (A1) Anakan dan (A2) Kultur jaringan.

Faktor II adalah varietas pisang yang terdiri dari (V1) Kepok, (V2) Ketip dan (V3) Susu, sehingga terdapat

enam kombinasi perlakuan.

Bibit asal anakan diperoleh dari petani sentra produksi Sambelia, dengan tinggi bibit berkisar 118

cm pada ketiga jenis pisang yaitu kepok, ketip dan susu. Sementara bibit asal kultur jaringan diperoleh dari

Balai Benih Induk Hortikutura, Sedau, Narmada dengan tinggi bibit rata-rata 30 cm atau empat helai daun.

Pembersihan lahan menggunakan herbisida. Penanaman dilakukan sesuai dengan perlakuan pada

musim hujan yaitu bulan Januari 2006. Bibit ditanam pada lubang tanam ukuran 50 cm x 50 cm x 50 cm,

yang sebelumnya sudah diberi pupuk kompos sebanyak 15 kg/lubang, dengan jarak tanam 4x3 m.

Pemupukan I dilakukan 1 bulan setelah tanam dengan dosis 200 g Urea + 200 g SP-36 + 100 g KCl/rumpun/

aplikasi. Pemupukan II diberikan 6 bulan setelah aplikasi pemupukan I, dengan dosis yang sama.

Penyiangan dilakukan sesuai dengan kondisi gulma.

Peubah yang diamati meliputi; tinggi tanaman awal, pertambahan tinggi tanaman, lingkar batang,

jumlah daun dan jumlah anakan. Data yang terkumpul kemudian dianalisis, perbedaan pada rata-rata

perlakuan diuji lanjut dengan Anova 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Pertumbuhan vegetatif tanaman di lapangan menunjukkan perbedaan, baik pada asal bibit maupun 3

varietas pisang yang diuji. Bibit asal kultur jaringan mengalami pertumbuhan lebih cepat, lebih vigor dan

lebih tinggi dibanding bibit asal anakan. Lebih jelasnya dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Pengaruh Asal Bibit Terhadap Penambahan Tinggi Tanaman, Lingkar Batang, Jumlah Daun dan Jumlah

Anakan, Pada Umur 6 Bulan Setelah Tanam di Lahan Kering, Sambelia Lombok Timur 2006.

Perlakuan

Tinggi

Tanaman Awal

(cm)

Pertambahan

tinggi tanaman

(cm)

Lingkar

batang (cm)

Jumlah Daun

(helai)

Jumlah

anakan

(pohon)

Anakan 118 66,40 a 48,73 a 11,63 a 1,87 a

Kultur jaringan 30 176,70 b 53,20 b 12,90 b 3,87 b

Keterangan : angka-angka pada kolom ang sama yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda

berdasarkan anova pada taraf 5%.

Tabel 1, menunjukkan bahwa terjadi perbedaan respon pertumbuhan tanaman yang sangat nyata

antara bibit asal anakan dengan kutur jaringan pada semua peubah yang diamati yaitu penambahan tinggi

tanaman, lingkar batang, jumlah daun, dan jumlah anakan. Dimana kultur jaringan memperlihatkan

pertumbuhan tanaman yang lebih baik dibanding bibit asal anakan. Dikarenakan bibit asal kultur jaringan

memiliki sisitem perakaran yang lebih baik, banyak dan kuat (meskipun tinggi bibit awalnya lebih pendek),

sehingga lebih mampu menyerap air dan unsur hara bagi tanaman, yang tentunya mendukung proses

fotosintesis berjalan dengan baik. Sesuai menurut Sudaryono, 1996; bahwa pada proses pertumbuhan dan

perkembangan tanaman diperlukan energi. Kandungan air dan karbohidrat yang cukup pada tanaman akan

membantu ketersediaan energi untuk menopang pertumbuhan tanaman.

Sementara bibit asal anakan meskipun tinggi awalnya lebih tinggi dibanding kultur jaringan tetapi

akar tanaman relatif lemah, sehingga energi tanaman pada tahap awal akan lebih banyak digunakan untuk

pembentukan akar. Ini yang menyebabakan lambatnya pertumbuhan tanaman asal anakan pada tahap awal.

Sesuai menurut Sudaryono, 1996, bahwa pertumbuhan bibit asal anakan agak lambat karena seringkali

mengalamai stagnasi pada awal pertumbuhannya. Dengan demikian bibit asal kultur jaringan lebih mampu

beradaptasi dengan kondisi lahan kering khususnya di Sambelia, dibandingkan dengan bibit asal anakan.

Page 222: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

260

Tabel 2. Pengaruh Varietas Pisang Terhadap Penambahan Tinggi Tanaman, Lingkar Batang, Jumlah Daun dan Jumlah

Anakan, Pada Umur 6 Bulan Setelah Tanam di Lahan Kering, Sambelia Lombok Timur 2006

Perlakuan

Pertambahan

tinggi tanaman

(cm)

Lingkar batang

(cm)

Jumlah Daun

(helai)

Jumlah anakan

(pohon)

Kepok 136,30 a 56,50 a 11,00 c 3,10 a

Ketip 106,30 c 45,95 c 13,05 a 2,76 b

Susu 122,10 b 50,45 b 12,75 b 2,75 b

Keterangan : angka-angka pada kolom ang sama yang didampingi huruf yang sama menunjukkan tidak berbeda

berdasarkan anova pada taraf 5%.

Dari Tabel 2, diketahui bahwa ada perbedaan pertumbuhan tanaman pada ketiga jenis pisang dari

semua peubah yang diamati. Dimana varietas kepok, ketip dan susu yang berasal dari kultur jaringan

menunjukkan pertumbuhan tanaman yang lebih vigor dan seragam dibandingkan tanaman yang berasal dari

anakan. Sampai dengan umur tanaman 6 bulan setelah tanam, tanaman pisang kepok, ketip dan susu yang

berasal dari anakan pertumbuhannnya tidak seragam. Ini menunjukkan bahwa penanaman pisang Kepok,

Ketip dan Susu cocok ditanam dilahan kering apabila menggunaan bibit asal kultur jaringan.

Tabel 3. Pengaruh Asal Bibit Terhadap Peubah yang Diamati pada Tiga Jenis Pisang di Lahan Kering Sambelia Lombok

Timur 2006

Perlakuan Peubah

Faktor I Faktor II Penamabahan tinggi

tanaman (cm)

Lingkar

Batang (cm)

Jumlah Daun

(helai)

Jumlah anakan

(pohon)

Anakan

Kepok 79,40 54,50 10,20 2,50

Ketip 43,40 40,70 12,20 1,12

Susu 76,50 51,00 12,50 2,00

Kutur Jaringan

Kepok 193,20 58,50 11,80 3,70

Ketip 169,20 51,20 13,90 4,40

Susu 167,70 49,90 13,00 3,50

Pada Tabel 3, terlihat bahwa ada pengaruh nyata asal bibit terhadap penambahan tinggi tanaman

pada ketiga jenis pisang. Bibit asal kutur jaringan menunjukkan penambahan tinggi tanaman terbaik pada

ketiga jenis pisang yaitu Kepok, Ketip dan Susu. Jenis pisang yang memberikan penamabahan tinggi

tanaman terbaik adalah pisang kepok yang berasal dari kultur jaringan yaitu 193,20 cm. Ini terjadi karena

didukung oleh lingkar batang yang lebih besar, yang tentunya perakarannya akan lebih baik, sehingga

penyerapan air dan unsur hara relatif lebih banyak, sehingga proses fotosintesis berjalan lebih lacar.

Begitu juga halnya dengan peubah besarnya lingkar batang terjadi perbedaan pada ketiga jenis

pisang yang bibitnya berasal dari kultur jaringan dan anakan. Lingkar batang terbesar terjadi pada jenis

pisang kepok yang bibitnya berasal dari kultur jaringan yaitu sebesar 58,50 yang berbeda nyata dengan jenis

pisang lainnya. Ini menunjukkan bahwa asal bibit berpengaruh terhadap besarnya lingkar batang.

Pada jumlah daun terjadi perbedaan juga. Dimana jumlah daun terbanyak terjadi pada pisang ketip

yang berasal dari kultur jaringan, yang berbeda dengan jumlah daun yang berasal dari anakan. Ini berarti

bahwa asal bibit berpengaruh terhadap pertumbuhan pisang dengan jenis yang sama.

Begitu juga halnya dengan jumlah anakan pada ketiga jenis pisang terdapat perbedaan jumlah

anakan. Bibit yang berasal dari kultur jaringan memberikan pertumbuhan jumlah anakan yang lebih banyak

pada ketiga jenis pisang dibandingkan dengan bibit yang berasal dari anakan pada tiga jenis pisang yang

sama. Terutama yang paling terlihat perbedaan pertumbuhan jumlah anakan adalah pada pisang ketip.

Dimana jumlah anakan pisang ketip yang berasal dari kultur jaringan menunjukkan pertumbuhan anakan

terbanyak yaitu 4,40 (pohon) dibanding kepok dan susu, berturut-turut sebesar 2,50 pohon dan 2,00 pohon.

Sementara bibit asal anakan pada varietas pisang ketip menunjukkan pertumbuhan jumlah anakan terkecil

yaitu 1,12 pohon dibanding dengan kepok (1,50 pohon) dan Susu (2,00 pohon). Pisang ketip asal kultur

jaringan memberikan pertumbuhan jumlah anakan terbaik. Dengan demikian asal bibit berpengaruh nyata

terhadap jumlah anakan pada ketiga jenis pisang.

Secara umum, sampai umur tanaman enam bulan setelah tanam, ketiga varietas pisang yang duji

menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Ini mengindikasikan bahwa ketiga varietas tersebut mempunyai

kemampuan menyesuaikan diri pada kondisi kering. Lewis dan Christiansen (1981), mengemukakan bahwa

Page 223: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

261

pertumbuhan dan perkembangan tanaman merupakan hasil interaksi antara kemampuan genetis tanaman

dengan lingkungan dimana tanaman tumbuh.

KESIMPULAN

1. Asal bibit berpengaruh nyata terhadap pertumbuhan tiga varietas tanaman pisang yaitu kepok, ketip dan

susu.

2. Bibit asal kutur jaringan menunjukkan pertumbuhan tanaman terbaik.

3. Varietas kepok dan ketip yang berasl dari kutur jaringan memberikan pertumbuhan terbaik dibandingkan

susu.

4. Pada lahan kering sebaiknya mengembangkan pisang dengan bibit yang berasal dari kutur jaringan,

dengan varietas yang dikembangkan adalah ketip, karena kepok meskipun menunjukan pertumbuhan

yang baik tetapi masih riskan terhadap penyakit bakteri dan fusarium. Sementara pisang susu dari segi

komersial sangat potensial untuk dikembangkan, tetapi keberhasilannnya perlu didukung oleh

tersedianya sumber air.

DAFTAR PUSTAKA

Fagi, A.M., I.G.Ismail, U. Kusnadi, Suwarjono dan A.S. Bagyo. 1988. Penelitian Sistem Usahatani di daerah

Aliran Sungai. Risalah Lokakarya Hasil Penelitian Pertanian Lahan Kering dan Konservasi di DAS,

Salatiga, 14 Maret 1988.

Kelompok Penelitian Agro-Ekosistem (Kepas). 1988. Pedoman Usahatani Konsevasi Tanah Lahan Kering:

Zona Agro-Ekosistem Batuan Kapur. Badan Litbang Pertanian, Jakarta.

Lewis, C.W., and M.N. Christiansen. 1981. Breeding plants for stress invironment. Pp.151-177.In: Frey,K.J

(Ed.) Plant breding II. The Iowa State University Press/Ames.

Munadjim, 1983. Teknik engolahan Pisang. Gramedia, Jakarta.

Nurhardiyati, M., 1988. Kahian Potensi Tanaman Pisang pada Pola Tanam Konservasi Lahan Kering DAS

Jratunseluna Bagian Hulu. Risalah lokakarya Hasil Penelitian Lahan Kering danKonservasi di Das,

Salatiga, 14 Maret 1998.

Sudaryono, T., D.D. Widjajanto dan S.R. Soemarsono. 1996. Evaluasi Penerapan paket Teknologi

Pembibitan : Uji macam Bibit Pisang di Lahan Kering DAS Brantas. Risalah Hasil Penelitian

1994/1995. Pembentukan Arsitektur Tanaman Buah-buahan dan studi Keunggulan Komparatif dan

Kompetitif Komoditas Hortikultura. BPTP Karangploso. Malang. 103-108 hal.

Page 224: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

262

POTENSI HASIL GALUR HARAPAN JAGUNG HIBRIDA

PADA AGROEKOSISTEM LAHAN KERING DI LOMBOK TIMUR

Awaludin Hipi 1)

B. Tri Ratna Erawati dan Andi Takdir M 2)

1)

Peneliti pada BPTP NTB 2)

Pemulia pada Balitsereal Maros Sul-Sel

ABSTRAK

Jagung merupakan salah satu komoditas tanaman pangan unggulan di NTB yang cocok dan banyak diusahakan

petani baik di lahan kering pada musim hujan maupun di lahan sawah setelah padi. Seiring dengan meningkatnya

kebutuhan jagung nasional, peluang agribisnis jagung masih terbuka melalui peningkatan produksi dan produktivitas.

Dalam rangka mendukung Gerakan 1 Juta Ton Jagung yang telah dicanangkan oleh Pemda NTB, penggunaan varietas yang berpotensi hasil tinggi merupakan salah satu komponen teknologi yang dapat menunjang peningkatan produktivitas.

Pemanfaatan varietas dari tipe hibrida merupakan salah satu cara dalam peningkatan hasil jagung karena memiliki gen-

gen dominan penentu hasil tinggi. Namun dalam perkembangannya tipe hibrida pada umumnya sangat peka terhadap

pengaruh lingkungan tumbuh. Oleh karena itu evaluasi daya hasil perlu dilakukan sebelum dilepas kepada petani. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui potensi hasil Galur Harapan hibrida pada agroekosistem lahan kering.

Penelitian dilakukan di Desa Perigi kecamatan Suela Lombok Timur pada MH. 2005/2006. Lokasi penelitian merupakan

sentra produksi jagung pada lahan kering di Kecamatan Suela. Terdapat 14 galur hibrida yang diuji dengan menggunakan

Rancangan Acak Kelompok yang masing-masing diulang sebanyak 4 kali. Sebagai varietas pembanding digunakan varietas Bima-1 dan BISI-2. Setiap plot pengujian terdiri atas 2 baris dengan jarak tanam 0.75 x 0.20 m dengan

panjang plot 5 m. Dari 14 galur yang diuji terdapat 4 galur yang berpotensi hasil lebih tinggi dibanding varietas

pembanding (Bima-1 dan Bisi-2) yaitu galur Nei92002/Mr4 (9,22 t/ha), Mr4/B11-209 (8,95 t/ha), G193/Mr4 (8,53 t/ha),

B11-136/Mr14 (8,30 t/ha). Diperlukan pengujian lanjutan baik dilahan kering maupun di lahan sawah, untuk mengetahui stabilitas hasil.

Kata kunci : potensi hasil, galur hibrida, lahan kering

LATAR BELAKANG

Jagung merupakan salah satu komoditas unggulan Provinsi Nusa Tenggara Barat, karena disadari

bahwa peranan jagung ke depan semakin strategis baik untuk pemenuhan kebutuhan pangan maupun sebagai

komoditas agribisnis.

Luas panen jagung di NTB pada tahun 2003 adalah 33.140 ha dengan produktivitas rata-rata sebesar

2,15 t/ha masih lebih rendah dibanding produktivitas rata-rata nasional pada tahun yang sama sebesar 3,1 t/ha

(Dirjen Tanaman Pangan , 2005).

Kehadiran varietas jagung unggul introduksi, baik bersari bebas ataupun hibrida telah berkontribusi

secara nyata terhadap peningkatan produktivitas ataupun produksi jagung nasional. Namun demikian,

distribusi dari varietas-varietas introduksi tersebut berjalan lambat, dimana pada tahun 1997 porsi varietas

introduksi baru mencapai 44% (CIMMYT, 1994).

Tipe hibrida mempunyai potensi hasil yang lebih tinggi daripada tipe bersari bebas, karena hibrida

memiliki gen-gen dominan yang mampu untuk memberi hasil tinggi. Hibrida dikembangkan berdasarkan

adanya gejala hybrid vigor atau heterosis dengan menggunakan galur tanaman generasi F1 sebagai tanaman

produksi. Oleh karena itu benih hibrida selalu dibuat ataupun diperbaharui untuk mendapatkan generasi F1.

Penggunaan tipe hibrida selain meningkatkan hasil, jagung hibrida juga memberikan beberapa

keuntungan lain yaitu lebih toleran terhadap hama penyakit, lebih tanggap terhadap pemupukan, pertanaman

dan tongkol lebih seragam, di samping itu jumlah biji lebih banyak dan lebih berat (Jugenheimer, 1985).

Namun demikian, kondisi lingkungan untuk pertanaman jagung sangat bervariasi dari waktu ke

waktu dan beragam pada berbagai lokasi, sedang tipe hibrida sangat peka terhadap lingkungan tumbuhnya.

Soemartono (1995) mengatakan bahwa untuk memperbaiki atau mengembangkan genotipe tanaman agar

tahan terhadap lingkungan yang kurang menguntungkan dapat dilakukan dengan introduksi tanaman

budidaya baru atau mengembangkan varietas tahan.

Tipe hibrida yang dikembangkan, sebagian di dalam negeri, sebagian diintroduksi dan ini salah satu

cara memperbanyak plasmanutfah. Sebelum dikembangkan, introduksi harus mengalami evaluasi potensi

hasil dan daya adaptasinya dibandingkan dengan tipe hibrida yang ada.

Page 225: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

263

Tujuan pengkajian adalah untuk mengetahui karakter pertumbuhan dan potensi hasil dari beberapa

galur jagung hibrida di NTB. Diharapkan dari kajian ini dapat di temukan beberapa galur hibrida yang dapat

beradaptasi dengan baik dan berpotensi hasil tinggi yang dapat dilepas sebagai varietas unggul baru.

BAHAN DAN METODA

Kajian dilaksanakan di Desa Perigi Kecamatan Suela Kabupaten Lombok Timur pada MH.

2005/2006. Lokasi kajian adalah lahan kering beriklim kering yang merupakan daerah sentra produksi

jagung di Kecamatan Suela.

Pengkajian menggunakan rancangan acak kelompok, dimana jenis jagung yang diuji sebagai

perlakuan dan diulang masing-masing 4 kali. Terdapat 14 galur hibrida yang diuji dan 2 varietas (Bisi-2 dan

Bima-1) sebagai pembanding. Setiap galur ditanam dua baris pada petakan dengan panjang 5 meter.

Penanaman dengan jarak tanam 75 x 20 cm, 2 biji per lubang tanam. Pada umur 2 minggu setelah

tumbuh (MST) dilakukan penjarangan menjadi 1 tanaman/rumpun, jika ada lubang yang kosong/tidak

tumbuh maka rumpun sebelahnya tidak perlu dijarangkan.

Tanaman diberi pupuk 138 kg N, 36 kg P2O5 dan 30 kg K2O. Pemupukan dasar dilakukan pada saat

jagung berumur 7 HST dengan menggunakan pupuk 1/3 bagian N serta seluruh pupuk P2O5 dan K2O, ditugal

pada jarak 5 cm di samping tanaman. Pemupukan susulan dilakukan pada saat tanaman berumur 1 bulan

setelah tanam (BST) dengan menggunakan 2/3 bagian N dengan cara ditugal disamping tanaman pada jarak

10-15 cm. Sumber pupuk berasal dari Urea, SP-36 dan KCl. Penyiangan dilakukan sebanyak 2 kali yaitu

pada saat tanaman berumur 2 MST dan 4 MST sekaligus untuk pembumbunan. Pengendalian hama dan

penyakit dilakukan dengan memberikan carbofuran pada saat tanam. Pengairan berasal dari irigasi terbatas

dengan pola giliran air 2-3 minggu sekali. Panen dilakukan pada saat masak fisiologis dimana kelobot jagung

berwarna kuning kecoklatan.

Peubah agronomis yang diamati adalah tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, umur berbunga jantan

dan betina, jumlah tanaman panen, jumlah tongkol panen, aspek tanaman, aspek kelobot dan aspek tongkol

dan produktivitas.

Aspek tongkol diberi skor 1-5, dimana skor 1=sangat baik, 3=sedang dan skor 5=sangat jelek.

Sedangkan aspek kelobot menggunakan skor 1-5 dimana: Skor 1=Kelobot menutup rapat dengan baik,

sehingga beberapa tongkol dapat diikat menjadi satu pada ujung tongkol; Skor 2=Kelobot menutup ketat

hanya sampai ujung tongkol saja; Skor 3=Kelobot menutup agak longgar diujung tongkol; Skor 4=Kelobot

menutup tongkol kurang baik, ujung tongkol terlihat; Skor 5=Kelobot menutup tongkol sangat jelek,

sebagian biji nampak tidak dilindungi kelobot. Data yang terkumpul dianalisis dengan One Way Anova (in

Randomized Blocks), dan dilanjutkan dengan uji LSD 5%.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Tabel 1 menyajikan rata-rata umur berbunga, tinggi tanaman, tinggi letak tongkol, dan produktivitas

jagung hibrida. Hasil analisis terhadap tinggi tanaman menunjukkan bahwa terdapat perbedaan tinggi

tanaman antar galur jagung yang diuji, dimana tanaman tertinggi dicapai pada galur Mr4/B11-209 yaitu

237,65 cm, sedang letak tongkol tertinggi dicapai pada galur B11-209/Mr14 yaitu 128,50 cm. Kisaran umur

berbunga jantan dan betina dari galur hibrida yang diuji masing-masing 54-58 hari dan 55-59 hari. Umur

berbunga tergolong normal dengan jarak antara umur berbunga jantan dan betina terpaut 1-2 hari, sehingga

sangat memungkinkan sinkronisasi pembungaan.

Analisis terhadap produktivitas menunjukkan bahwa galur Nei92002/Mr4 memberikan hasil yang

lebih tinggi (9,22 t/ha) dibanding galur lainnya. Dari rata-rata hasil yang diperoleh di lokasi pengujian

menunjukkan bahwa terdapat empat galur hibrida yang berpotensi hasil tinggi dan dapat dikembangkan di

NTB yaitu Nei92002/Mr4 (9,22 t/ha), Mr4/B11-209 (8,95 t/ha), G193/Mr4 (8,53 t/ha), dan B11-136/Mr14

(8,30 t/ha). Menurut Subandi et.al. (1985), adanya interaksi genotip-lingkungan akan mempengaruhi

kemajuan seleksi, ada genotip yang baik di suatu lingkungan tetapi kurang baik di lingkungan yang lain.

Page 226: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

264

Tabel 1. Rata-rata Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Tinggi Tongkol, dan Produktivitas pada Jagung Hibrida di Perigi.

Lombok Timur. MH. 2005/2006

Galur/Varietas Umur berbunga (hari) Tinggi

tanaman (cm)

Tinggi tongkol

(cm)

Produktivitas

(t/ha) Jantan Betina

Nei92002/Mr4 55 56 216,90 113,25 9.22

E54-2/Mr14 56 57 224,20 116,25 7.28

CML 165/Mr4 54 56 218,50 108,50 7.81

E45/Mr14 57 58 204,60 103,05 7.64

B11-209/Mr14 57 58 238,60 128,50 7.83

B11-126/Mr14 58 59 221,20 117,70 7.59

G180/Mr14 55 56 232,65 117,40 8.13

Mr4/B11-132 54 55 231,45 122,75 7.55

CML 431/Mr14 55 56 234,20 121,35 8.23

B11-157/MR14 57 58 233,00 119,70 7.70

B11-136/Mr14 55 56 223,55 125,10 8.30

Mr4/B11-209 57 58 237,65 124,75 8.95

G193/Mr4 57 58 225,80 122,25 8.53

B11-132/MR14 55 56 223,55 111,70 7.56

Kontrol

Bisi-2 56 57 242,20 137,05 8.07

Bima-1 55 57 233,50 119,10 8.21

KK (%) 1,5 1,6 3,40 4,90 6,6

LSD 5 % 1,216 1,306 11,00 8,40 0,75

Sumber : Data primer

Rata-rata jumlah tanaman panen per plot berkisar 46-48 tanaman (Tabel 2) atau kurang lebih 96%

dari jumlah tanaman. Dari jumlah tanaman panen tersebut dihasilkan tongkol panen yang berkisar 45-48, hal

ini berarti bahwa terdapat beberapa tanaman yang dapat menghasilkan 2 tongkol dan terdapat pula tanaman

yang tidak menghasilkan tongkol.

Tabel 2. Rata-rata Jumlah Tanaman Panen, Jumlah Tongkol Panen, Aspek Kelobot, dan Aspek Tongkol pada Beberapa

Galur Jagung Hibrida di Perigi Lombok Timur. MH.2005/2006

Galur/Varietas Jlh Tan

panen

Jlh Tkl

panen

Bobot 1000 biji

(gr) Aspek kelobot Aspek tongkol

Nei92002/Mr4 48 48 39,57 1,00 1,00

E54-2/Mr14 47 47 38,50 1,50 1,50

CML 165/Mr4 46 46 34,72 2,00 1,25

E45/Mr14 48 48 35,30 1,25 2,00

B11-209/Mr14 46 46 35,45 1,25 1,00

B11-126/Mr14 46 45 38,02 1,00 1,50

G180/Mr14 48 47 37,17 1,25 1,25

Mr4/B11-132 49 47 38,12 1,50 2,00

CML 431/Mr14 48 47 37,55 1,00 1,00

B11-157/MR14 47 48 34,92 1,00 1,50

B11-136/Mr14 47 47 35,17 1,25 1,25

Mr4/B11-209 48 49 39,47 1,50 1,00

G193/Mr4 48 47 35,82 1,50 1,25

B11-132/MR14 47 48 37,85 1,25 1,75

Kontrol

Bisi-2 48 47 37,90 1,25 1,25

Bima-1 47 47 39,02 1,00 1,25

KK (%) 2,4 4,3 3,801 - -

LSD 5 % 1,647 2,857 7,20 - -

Sumber : Data primer

Penilaian terhadap aspek tongkol menunjukkan bahwa rata-rata dari galur jagung yang diuji

tergolong baik yang ditandai dengan panjang dan lingkar tongkol yang relatif seragam dan kerusakan hama

dan penyakit hampir tidak ditemukan. Sedangkan penilaian terhadap aspek kelobot menunjukkan bahwa

semua galur yang diuji tergolong mempunyai kelobot yang dapat menutup rapat dengan baik.

Page 227: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

265

Hasil pengamatan visual terhadap serangan penyakit di dua lokasi pengujian, didapatkan 2 jenis

penyakit yang dominan yaitu karat daun (Pucinia sp) dan hawar daun (Helminthosporium maydis), namun

intensitas serangan tergolong rendah.

KESIMPULAN

Dari 14 galur hibrida yang diuji, menunjukkan bahwa terdapat 6 (enam) galur yang berpotensi hasil

setara atau lebih tinggi dari varietas pembanding, dimana hasil tertinggi dicapai pada galur

Nei92002/Mr4 sebesar 9,22 t/ha.

Dari rata-rata hasil yang diperoleh di lokasi pengujian menunjukkan bahwa terdapat empat galur hibrida

yang berpotensi hasil tinggi yaitu Nei92002/Mr4 (9,22 t/ha), Mr4/B11-209 (8,95 t/ha); G193/Mr4 (8,53

t/ha); dan B11-136/Mr14 (8,30 t/ha).

DAFTAR PUSTAKA

BPS. 2004. Nusa Tenggara Barat Dalam Angka. Kerjasama Kantor Perwakilan Biro Pusat Statistik Propinsi

NTB dengan Kantor Bappeda TK.I. NTB.

CIMMYT. 1994. World Maize Facts and Trends. Maize Seed Industries. Emerging Roles of the Publics and

Private Sectors.

Direktorat Jendral Tanaman Pangan, 2005. Program Kebijakan dan Pengembangan Agribisnis Jagung.

Makalah disampaikan pada Seminar dan Lokakarya jagung nasional. Makasar 29-30 September

2005.

Jugenheimer, R.W.1985. Corn Improvement, Seed production, and Uses. John Wiley, New York.

Subandi, 1985. Perkembangan jagung hibrida di Indonesia. Buletin Penelitian Balittan Bogor, hal.1-12.

Page 228: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

266

KERAGAAN HASIL UJICOBA VARIETAS UNGGUL BARU PADI SAWAH

Kunto Kumoro dan Sabar Untung

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian

ABSTRAK

Salah satu langkah dalam upaya meningkatkan produktivitas padi sawah di Provinsi Nusa Tenggara Barat,

dilakukan ujicoba varietas unggul baru yang bertujuan untuk mengetahui kinerja varietas unggul padi sawah di lahan

usahatani petani di pulau Lombok dan kecenderungan (preferensi) petani terhadap beberapa varietas unggul padi sawah

yang pernah dilepas. Ujicoba dilakukan dengan memperkenalkan beberapa varietas unggul seperti Ciapus, Sunggal, Batang gadis, Gilirang, Cigeulis yang dilaksanakan di Kabupaten Lombok Barat di Desa Kuranji dan Merembu,

Kabupaten Lombok Tengah di Desa Bonjeruk, Sintung, dan Sepakek, Kabupaten Lombok Timur di Desa Suralaga. Hasil

kajian menunjukkan bahwa varietas Cigeulis mencapai produktivitas tertinggi sebesar 8,1 ton/ha, disusul Gilirang 7,7

ton/ha, Ciapus dan Sunggal 7,1 ton/ha dan Batang gadis 6,6 ton/ha. Dari ujicoba tersebut petani banyak menyukai varietas Cigeulis karena berdaya hasil tinggi dan mempunyai rasa nasi yang enak. Karena umumnya petani kurang

menyukai aroma harum yang dimiliki varietas Gilirang dan Batang gadis, maka kedua varietas padi ini tidak lagi

dikembangkan oleh petani.

Kata kunci : varietas unggul baru, padi sawah, P Lombok, NTB

PENDAHULUAN

Untuk memenuhi kebutuhan pangan yang terus meningkat, lahan sawah irigasi tetap menjadi tulang

punggung dalam sistem produksi padi nasional. Melalui program intensifikasi peningkatan produksi padi

selalu diupayakan dengan mengeksploitasi sebagian besar lahan sawah irigasi. Laju peningkatan

produktivitas padi sawah dalam dekade terakhir ini ternyata melandai, bahkan ada yang menurun di beberapa

lokasi. Pendekatan sistem intensifikasi yang selama ini diterapkan tidak lagi mampu meningkatkan produksi

dan produktivitas padi secara nyata (Hasanuddin, 2003).

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu provinsi yang memasok stok beras nasional.

Mata pencaharian sebagian besar masyarakat NTB yang bergantung pada sektor pertanian selalu

mengusahakan lahan sawahnya untuk usahatani padi sawah. Tahun 2000 produksi padi sawah NTB sebesar

1.394.627 ton yang dihasilkan lahan seluas 300.003 ha, dengan tingkat produktivitas 46,49 kuintal/ha.

Sedang tahun 2004 produksi padi sawah NTB menurun dan hanya dihasilkan 1.345.271 ton dari lahan seluas

277.451 ha, dengan tingkat produktivitas sedikit meningkat mencapai 48,49 kuintal/ha (BPS NTB, 2004).

Peningkatan produksi dan produktivitas komoditas pertanian merupakan salah satu upaya dalam menciptakan

dan melestarikan ketahanan pangan serta mengembangkan agribisnis yang menjadi tujuan pembangunan

pertanian di Nusa Tenggara Barat (NTB).

Mashur (dalam BPTP NTB, 2002) menyatakan bahwa salah satu inovasi teknologi dalam upaya

peningkatan produksi padi di NTB adalah pengembangan VUB (varietas unggul baru) padi sawah. Balai

Penelitian Padi di Sukamandi telah berhasil merakit varietas unggul padi yang memiliki sifat-sifat potensi

hasilnya tinggi, rasa nasi enak, mutu beras naik, tahan terhadap hama dan penyakit serta kualitas tinggi.

Upaya peningkatan produktivitas padi sawah selalu diprogramkan setiap tahun guna meningkatkan

pendapatan dan kesejahteraan masyarakat. Untuk itu tahun 2004/2005 telah dilakukan ujicoba daya hasil

beberapa varietas unggul baru padi sawah di beberapa desa di pulau Lombok. Tujuan dilakukannya ujicoba

ini untuk memperkenalkan beberapa varietas unggul baru padi sawah yang berpotensi hasil tinggi sekaligus

untuk mendapatkan gambaran kecenderungan (preferensi) petani terhadap varietas unggul yang diujicoba.

METODOLOGI

Ujicoba varietas unggul baru padi sawah dilaksanakan dengan pendekatan on farm research, dimana

ujicoba ini dilakukan di lahan sawah milik petani pada musim hujan tahun 2004/2005 (Desember 2004

sampai dengan April 2005) dengan melibatkan petani secara aktif dengan bimbingan peneliti dan penyuluh,

pada beberapa desa di pulau Lombok yang menjadi lokasi binaan BPTP NTB dalam kegiatan pengembangan

klinik teknologi pertanian; dua desa di Lombok Barat yaitu Desa Kuranji dan Merembu, tiga desa di Lombok

Tengah yaitu Desa Sintung, Sepakek dan Bonjeruk, satu desa di Lombok Timur yaitu Desa Suralaga.

Page 229: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

267

Sebelum ujicoba dilaksanakan, petani dibekali dengan informasi teknologi pengelolaan tanaman

terpadu (PTT) padi sawah yang merupakan suatu pendekatan yang holistik dan bersifat patisipatif yang

disesuaikan dengan kondisi spesifik lokasi sehingga bukan merupakan paket teknologi yang harus diterapkan

di semua lokasi. Diharapkan petani dapat menerapkannya dan menggunakan sarana produksi secara lebih

efisien. Varietas unggul baru padi sawah yang diujicoba antara lain: Ciapus, Cigeulis, Gilirang, Batang gadis

dan Sunggal.

Data yang dikumpulkan berupa data agronomis. Data dianalisis dengan Analisis Statistik Sederhana

dan dijabarkan secara diskriptif.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Secara umum penampilan agronomis pertanaman beberapa varietas unggul padi sawah di beberapa

lokasi ujicoba menunjukkan pertumbuhan yang cukup baik. Hal ini di dukung oleh kondisi iklim yang cukup

baik dan terbukti tidak adanya keluhan petani yang muncul karena tidak baiknya cuaca saat ujicoba.

Pengamatan yang dilakukan pada setiap varietas meliputi: tinggi tanaman, jumlah anakan maksimal, jumlah

anakan produktif, jumlah gabah isi/5 rumpun, jumlah gabah hampa/5 rumpun (Tabel 1).

Tabel 1 . Penampilan Agronomis Varietas Unggul Padi Sawah di Beberapa Desa di NTB, 2005.

Varietas +lokasi Tinggi tan

(cm)

Jumlah

anakan

maks

Jumlah

anakan

produktf

Jml gabah

isi/5 rmp

Jml gbh

hmpa/5

rmp

Umur

panen

Prodtvs

(t/ha) GKP

Ciapus

Lobar : Kuranji 120 14 13 5270 1361 114 6,2

Merembu 115 12 10 4903 1508 110 5,4

Loteng : Bonjeruk 123 19 17 6276 1224 109 8,5

Sepakek 110 14 13 5454 1323 110 6,5

Sintung 123 20 18 6650 1035 122 9,0

Lotim : Suralaga ~ ~ ~ ~ ~ ~

Rerata 118 16 14 5711 1290 113 7,1

Gilirang

112

�119�7,1��

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

17�16�5851�1351�119

�7,1��

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

16�5851�1351�119�7,1

��

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

5851�1351�119�7,1��

1351�119�7,1��

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

119�7,1��

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

7,1��

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji Lobar : Kuranji

Page 230: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

268

Bonjeruk�106�

Merembu�108

�15�12�5406�1421�10

8�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

108�15�12�5406�1421

�108�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

15�12�5406�1421�108

�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

12�5406�1421�108�5,0

��Loteng :

Bonjeruk�106�

5406�1421�108�5,0��L

oteng :

Bonjeruk�106�

1421�108�5,0��Loteng

:

Bonjeruk�106�

108�5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

5,0��Loteng :

Bonjeruk�106�

�Loteng :

Bonjeruk�106�

Loteng :

Bonjeruk�106�

106�17�16�5787�1361

�106�7,0��

Sepakek�110�

17�16�5787�1361�106

�7,0��

Sepakek�110�

16�5787�1361�106�7,0

��

Sepakek�110�

5787�1361�106�7,0��

1361�106�7,0��

Sepakek�110�

106�7,0��

Sepakek�110�

7,0��

Sepakek�110�

Sepakek�110�

Sepakek�110�

110�20�17�6342�1137�

20�17�6342�1137�118�

17�6342�1137�118�8,8

��

Sintung�137�1

9�18�6372�1158�121�

6342�1137�118�8,8��

1137�118�8,8��

Sintung�137�1

9�18�6372�1158�121�

118�8,8��

Sintung�137�1

9�18�6372�1158�121�

8,8��

Sintung�137�1

9�18�6372�1158�121�

Sintung�137�1

9�18�6372�1158�121�

Sintung�137�1

9�18�6372�1158�121�

137�19�18�6372�1158

�121�8,8��Lotim :

Suralaga�106�

19�18�6372�1158�121

�8,8��Lotim :

Page 231: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

269

Suralaga�106�

18�6372�1158�121�8,8

��Lotim :

Suralaga�106�

6372�1158�121�8,8��L

otim :

Suralaga�106�

1158�121�8,8��Lotim

:

Suralaga�106�

121�8,8��Lotim :

Suralaga�106�

8,8��Lotim :

Suralaga�106�

�Lotim :

Suralaga�106�

Lotim :

Suralaga�106�

106�20�18�6557�1105

�110�9,0��Rerata�114

�18�16�6052�1255�11

4�7,7��Cigeulis����

20�18�6557�1105�110

�9,0��Rerata�114�18�

18�6557�1105�110�9,0

��Rerata�114�18�16�

6557�1105�110�9,0��R

erata�114�18�16�605

2�1255�114�7,7��Cige

ulis���������Lobar

1105�110�9,0��Rerata

�114�18�16�6052�12

55�114�7,7��Cigeulis�

110�9,0��Rerata�114�

9,0��Rerata�114�18�1

6�6052�1255�114�7,7�

�Rerata�114�18�16�60

52�1255�114�7,7��Cig

eulis���������Lobar

Rerata�114�18�16�60

52�1255�114�7,7��Cig

eulis���������Lobar

114�18�16�6052�1255

�114�7,7��Cigeulis��

18�16�6052�1255�114

�7,7��Cigeulis�����

16�6052�1255�114�7,7

��Cigeulis��������

6052�1255�114�7,7��C

igeulis���������Lob

1255�114�7,7��Cigeulis

���������Lobar

114�7,7��Cigeulis���

7,7��Cigeulis������

�Cigeulis���������

Cigeulis���������L

Lobar : Kuranji 108 17 16 6945 1045 112 8,7

Merembu 117 14 13 5837 1605 113 6,2

Loteng : Bonjeruk 120 16 15 6324 1205 105 8,0

Sepakek 108 12 10 4764 1820 115 5,6

Sintung 127 20 19 8249 942 120 10,9

Lotim : Suralaga 105 19 18 7357 926 110 9,0

Rerata 114 16 15 6579 1257 112 8,1

Sunggal

Lobar : Kuranji ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

Merembu 103 13 11 4587 1425 102 4,5

Loteng : Bonjeruk 105 17 16 5835 1392 104 6,9

Sepakek 108 18 16 5905 1263 114 7,5

Sintung 114 20 18 6866 1081 112 9,2

Lotim : Suralaga 103 16 14 5821 1327 113 7,2

Rerata 107 17 15 5763 1299 109 7,1

Batang Gadis

Lobar : Kuranji 105 14 13 5009 1206 108 6,6

Merembu 104 12 10 4813 1213 103 5,5

Page 232: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

270

Loteng : Bonjeruk 103 17 16 5112 1210 105 6,8

Sepakek 108 18 16 5853 1159 118 7,5

Sintung ~ ~ ~ ~ ~ ~ ~

Lotim : Suralaga 111 14 13 5006 1200 112 6,6

Rerata 106 15 14 5159 1198 109 6,6

Sumber : Data primer diolah

Dari Tabel 1. di atas tampak bahwa varietas Cigeulis mencapai produktivitas tertinggi sebanyak 8,1

t/ha GKP, disusul Gilirang 7,7 t/ha GKP, Ciapus dan Sunggal masing-masing 7,1 t/ha GKP dan produktivitas

terendah dicapai Batang gadis sebanyak 6,6 t/ha GKP. Rata-rata tinggi tanaman berkisar 106-118 cm.

Tanaman tertinggi dipunyai oleh varietas Ciapus (118 cm) dan terendah (106 cm) dicapai oleh varietas

Batang gadis. Rata-rata jumlah anakan produktif berkisar 14-16 anakan. Secara rinci hasil ujicoba tiap

varietas akan diuraikan berikut ini.

Ciapus

Varietas ini diujicoba di Desa Kuranji, Merembu (Lombok Barat) dan Bonjeruk, Sepakek dan

Sintung (Lombok Tengah).

Dari Tabel 1. tampak bahwa tinggi tanaman varietas Ciapus berkisar 110-123 cm dengan rata-rata

tinggi tanaman 118 cm dan jumlah anakan produktif berkisar 10-18 dengan rata-rata 14. Anakan produktif

tertinggi (18) dihasilkan varietas Ciapus di Desa Sintung. Produktivitas varietas Ciapus tertinggi dicapai

petani Desa Sintung (9,0 t/ha GKP) dan terendah dicapai petani Desa Merembu (5,40 t/ha GKP). Rata-rata

produktivitas varietas Ciapus di Pulau Lombok sebesar 7,1 t/ha GKP. Beberapa petani menyatakan bahwa

gabah varietas Ciapus terkesan agak sulit untuk dirontokkan, sehingga varietas ini kurang dapat berkembang.

Gilirang

Varietas Gilirang yang dilepas tahun 2002 merupakan salah satu jenis padi aromatik karena

mempunyai ciri khas wangi sejak di pertanaman dan rasa nasi yang harum serta tekstur nasi yang pulen.

Potensi hasilnya sebesar 6-7,3 t/ha GKG (Balitpa, 2004). Varietas ini diujicoba petani di Desa Kuranji dan

Merembu (Lombok Barat), Bonjeruk, Sepakek, Sintung ( Lombok Tengah) dan Suralaga (Lombok Timur)..

Dari Tabel 1. tampak bahwa varietas Gilirang mempunyai tinggi tanaman berkisar 106-137 cm

dengan rata-rata tinggi tanaman 114 cm, jumlah anakan produktifnya berkisar 12 s/d 18 anakan. Rata-rata

jumlah anakan produktif sebanyak 16 anakan. Produktivitas tertinggi varietas Gilirang dicapai petani Desa

Suralaga (9,0 t/ha GKP), sedangkan produktivitas terendah ada di Desa Merembu (5,0 t/ha GKP) dengan

rata-rata produktivitas sebesar 7,7 t/ha GKP. Petani di Pulau Lombok menyatakan bahwa mereka kurang

menyenangi beras yang harum, sehingga varietas ini kurang berkembang di Pulau Lombok. Bagi pengusaha

rumah makan, beras dari varietas Gilirang ini dapat menjadi campuran untuk menghidangkan nasi putih yang

agak beraroma harum.

Cigeulis

Varietas Cigeulis yang dilepas tahun 2002, tekstur nasi pulen, dan potensi hasilnya sebesar 5-8 t/ha

GKG. Varietas ini diujicoba oleh petani di Desa Kuranji, Merembu, Bonjeruk, Sepakek, Sintung dan

Suralaga.

Tabel 1 menunjukkan bahwa tinggi tanaman varietas Cigeulis terendah terjadi di Desa Suralaga

(105 cm) dan tertinggi di Desa Sintung (127 cm). Jumlah anakan produktif berkisar 10-19 anakan dengan

rata-rata 15 anakan produktif. Produktivitas tertinggi varietas Cigeulis dicapai petani Desa Sintung (10,9 t/ha

GKP) dan terendah di Desa Sepakek (5,6 t/ha GKP). Menurut petani Cigeulis kurang tahan terhadap

penggerek leher batang.

Sunggal

Varietas Sunggal dilepas pada tahun 2002, tekstur nasi pulen dan potensi hasilnya 5-8 t/ha (BPTP

NTB, 2002). Varietas ini diujicoba di Desa Merembu (Lobar), Bonjeruk, Sepakek, Sintung (Loteng) dan

Suralaga (Lotim).

Dari Tabel 1. tampak bahwa tinggi tanaman padi varietas ini berkisar 103-114 cm dengan rata-rata

tinggi 107 cm. Jumlah anakan produktifnya yang dapat dicapai berkisar 11-18 anakan dengan rata-rata

sebanyak 15 anakan. Produktivitas varietas Sunggal yang dapat dicapai berkisar 4,5-9,2 t/ha GKP, dan rata-

rata produktivitasnya mencapai 7,1 ton/ha GKP. Produktivitas tertinggi (9,25 ton/ha GKP) dicapai petani

Page 233: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

271

Desa Sintung, Lombok Tengah. Sedangkan produktivitas terendah dicapai oleh petani Desa Merembu

(Lombok Barat) sebesar 4,5 ton/ha GKP

Batang Gadis

Varietas Batang gadis dilepas tahun 2001, tekstur nasinya pulen dan potensi hasilnya 6,4 t/ha (BPTP,

2002) merupakan salah satu varietas padi aromatik yang rasa nasinya beraroma harum. Varietas ini diujicoba

di Desa Kuranji dan Merembu (Lobar), Bonjeruk, Sepakek (Loteng) dan Suralaga (Lotim).

Di Tabel 1. tampak bahwa tinggi tanaman varietas Batang gadis berkisar 103-111 cm dengan tinggi

tanaman rata-rata 108 cm. Jumlah anakan produktif yang tumbuh pada varietas Batang gadis berkisar 12-18

anakan. Rata-rata produktivitas varietas Batang Gadis mencapai 6,6 ton/ha GKP. Produktivitas tertinggi (7,5

ton/ha GKP) dicapai oleh petani Desa Sepakek. Produktivitas terendah (5,5 ton/ha GKP) dicapai petani Desa

Merembu.

KESIMPULAN

Dari hasil ujicoba varietas unggul baru (VUB) padi sawah yang dilakukan di beberapa desa di Pulau

Lombok dapat disimpulkan:

1. Varietas Cigeulis yang mencapai produktivitas tertinggi ( 8,1 t/ha GKP) merupakan varietas yang pantas

untuk dikembangkan mengingat varietas ini berpotensi hasil tinggi dengan jumlah gabah berisi cukup

besar dan jumlah gabah hampa kecil.

2. Selain Cigeulis untuk petani yang menyukai nasi beraroma harum dapat mengembangkan varietas

Gilirang yang mempunyai produktivitas tinggi di bawah Cigeulis (7,7 t/ha GKP).

3. Varietas unggul lain dapat dimanfaatkan sebagai salah satu bahan untuk pergiliran tanaman.

DAFTAR PUSTAKA

BPS NTB, 2004. NTB dalam angka tahun 2004.

Balitpa, 2004. Diskripsi Varietas Unggul Baru Padi Sawah. Badan Litbang Pertanian. Sukamandi. hal 34-45.

BPTP NTB, 2002. Diskripsi Varietas Unggul Padi. Badan Litbang Pertanian, Mataram, 40 hal.

Hasanuddin, A. 2003. Pengelolaan Tanaman dan Sumberdaya Terpadu Padi Sawah Irigasi. Panduan Teknis.

Departemen Pertanian. Bogor, 32 hal.

Page 234: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

272

KAJIAN TEKNOLOGI SPESIFIK LOKASI MELALUI UJI MULTI LOKASI

GALUR HARAPAN PADI SAWAH TAHAN TUNGRO UNTUK PENGENDALIAN PENYAKIT

TUNGRO DI NUSA TENGGARA BARAT

Muhammad Zairin

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP) Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Uji multilokasi daya hasil dan adaptasi galur-galur harapan padi sawah tahan tungro bertujuan untuk

mendapatkan beberapa galur harapan padi sawah yang beradaptasi baik, berpotensi hasil tinggi, tahan terhadap tungro

spesifik koloni NTB untuk mempertahankan produksi dalam mendukung ketahanan pangan. Pengkajian ini dilaksanakan

di Lombok Timur, menggunakan rancangan acak kelompok (RAK) yang diulang 3 kali, ukuran petak 4 x 5 m, jarak tanam 25 x 25 cm ( 1 tanaman/rumpun), umur bibit 21 hari. Jumlah perlakuan sebanyak 12 (10 galur dan pembanding

tahan tungro Bondojudo dan pembanding rentan IR-64). Pengkajian dipupuk dengan Urea sebanyak 250 kg, 100 kg SP-

36 dan 100 kg/ha KCl. Hasil kajian menunjukkan bahwa persentase serangan tungro sangat rendah sekali yakni 0,015%

(GT8) dan GT10 (0,010%), pembanding rentan (IR-64)hanya 5,20% sedangkan galur lain dan pembanding tahan tidak ada serangan. Produksi yang dicapai rata-rata 5,59 t/ha GKG, tetinggi galur GT1 (6,47 t/ha), dan terendah galur GT6

(4,49 t/ha), sedangkan pembanding Bondojudo 5,72 t/ha dan IR-64 sebesar 5,40 t/ha GKG. Galur harapan tahan tungro

ini diharapkan dapat diuji lanjut di daerah-daerah endemis untuk memperoleh galur-galur harapan yang mantap

ketahanannya untuk pelepasan varietas tahan tungro spesifik koloni NTB.

Kata kunci: galur tahan tungro, spesifik koloni NTB, produktivitas.

PENDAHULUAN

Nusa Tenggara Barat (NTB) merupakan salah satu daerah penghasil beras nasional dengan tingkat

produksi 1,2 juta ton per tahun. Penanaman padi di daerah ini sebagian besar di areal sawah irigasi yang

mencapai luas 220.000 ha lebih. Dalam 5 tahun terakhir terjadi kecenderungan penurunan produktivitas

dengan rata-rata 16,25 kg/ha (BPS NTB, 1999).

Penurunan produktivitas padi yang terus-menerus ini diperkirakan karena menurunnya daya dukung

lahan akibat penggunaan bahan kimia berupa pupuk dan pestisida secara kurang bijaksana. Faktor lain yang

tidak kalah pentingnya adalah akibat cekaman biotik seperti serangan hama penyakit dan cekaman abiotik

berupa kekeringan khususnya pada ekosistem sawah tadah hujan (Meindertsma, 1997). Pada MH 1996/1997

sekitar 4000 ha pertanaman padi terserang penyakit blast (Pyricularia oryzae), disusul terjadinya kekeringan

akibat pengaruh Elnino yang menyebabkan sekitar 5400 ha pertanaman padi mengalami kekeringan. Pada

MH. 1998/1999 seluas 15.000 ha pertanaman padi terserang penyakit virus tungro dan 8.000 ha diantaranya

fuso yang sangat merugikan petani (BPTPH - NTB, 1999).

Dari areal sawah seluas 220.000 ha lebih di NTB, 52,40% diantaranya ditanami IR-64 disusul IR-66

12%, Cilosari 5,90% dan Ciliwung 5,20%. Varietas lain seperti IR-74, Membramo dan Tukad Patanu yang

relatif toleran virus tungro hanya mencapai luasan kurang dari 5%. (BPSBTPH Wilayah X, 2000). Beberapa

varietas unggul baru pengganti IR-64 seperti Way Apo Buru, Widas, Ciherang dan lain-lain, yang memiliki

keunggulan setara IR-64 dengan tingkat toleransi yang lebih tinggi terhadap hama penyakit, belum mampu

menggeser dominasi IR-64 secara nyata karena tingkat produktivitasnya yang bervariasi dari satu tempat ke

tempat lain. Karena itu, upaya untuk menemukan varietas unggul baru (VUB) tahan tungro spesifik koloni

NTB. Varietas unggul seperti ini diperlukan untuk meningkatkan keragaman varietas yang tahan terhadap

tungro.

Penanaman varietas unggul toleran penyakit tungro, sangat penting mengingat di NTB daerah

endemis semakin meluas meliputi Kabupaten Lombok Barat, Lombok Timur, Sumbawa, Dompu dan Bima.

Apabila permasalahan tungro ini tidak segera diatasi, diperkirakan sebagian besar wilayah NTB akan menjadi

daerah endemis. Varietas toleran tungro tersebut diperlukan untuk menambah keragaman varietas untuk

keperluan pergiliran varietas antar musim guna menghambat penularan virus oleh wereng hijau.

Rendahnya produksi yang dicapai karena teknologi budidaya yang belum baik, menggunakan

varietas lokal dan serangan hama dan penyakit. Untuk meningkatkan produksi guna memenuhi kebutuhan

pangan yang cukup banyak permintaannya diperlukan suatu teknologi baru, diantaranya varietas unggul baru

(VUB) yang spesifik lokasi yang beradaptasi baik dan berpotensi hasil tinggi guna meningkatkan produksi

dan pendapatan petani.

Page 235: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

273

Upaya penciptaan VUB melalui serangkaian kegiatan pemuliaan tanaman yaitu perakitan

keragaman genetik sifat-sifat yang diinginkan dan evaluasi serta identifikasi genotipe-genotipe unggul untuk

dijadikan VUB telah dilaksanakan sejak tahun 1999-2003 (L. Wirajaswadi dkk, 1999, Sudradjat dan Zairin,

2000, Zairin, dkk, 2001, Zarin dkk 2003) di daerah endemis tungro di Lombok Timur (satu lokasi/musim/

tahun) dan menunjukkan reaksi tahan dan perlu diuji lanjut untuk memenuhi syarat pelepasan VUB yakni 20

lokasi (2 musim/lokasi pada 10 lokasi yang berbeda). Penelitian keunggulan suatu genotipe terhadap varietas

lain yang dijadikan pembanding biasanya didasarkan atas konsisten tidaknya, penampilan hasil tinggi yang

diragakan oleh genotipe tertentu diserangkaian lingkungan tumbuh. Kenyataan menunjukkan bahwa, sering

terjadi genotipe unggul disuatu lokasi dalam satu musim atau lebih, berpenampilan jelek di lokasi lain. Oleh

karena itu cara evaluasi yang terbaik dan mungkin yang termudah adalah mengevaluasi genotipe-genotipe

harapan di lingkungan tumbuh dimana genotipe-genotipe tersebut akan diusahakan. Cara ini varietas dirakit

secara langsung pada kondisi spesifik lingkungan tumbuh tertentu, sehingga diharapkan mampu

memperlihatkan potensi genetiknya secara maksimum (Balitpa, 1999).

Untuk menopang pelepasan VUB padi sawah tahan tungro maka harus dilakukan uji multi lokasi

genotipe-genotipe unggul baru. Uji multi lokasi merupakan tahap penting terakhir dalam siklus kegiatan

pemuliaan tanaman untuk memutuskan suatu genotipe harapan layak dilepas sebagai VUB. Oleh karena itu

uji multilokasi mutlak dilaksanakan pada berbagai lingkungan tumbuh untuk menguji potensi hasil,

kesetabilan hasil, ketahanan terhadap hama penyakit dan sifat agronomis lainnya. Penelitian ini bertujuan: (1)

Mendapatkan galur-galur harapan padi sawah tahan tungro, yang beradaptasi baik, berpotensi hasil tinggi,

tahan terhadap cekaman biotik dan abiotik untuk diuji kembali kemantapannya untuk pelepasan VUB

spesifik koloni NTB yang disenangi oleh pengguna/petani, (2) Mengidentifikasi galur-galur harapan padi

yang mempunyai adaptasi khusus di daerah sentra produksi, termasuk preferensi petaninya. (3)

Mengidentifikasi kendala dan permasalahan yang dihadapi oleh petani dalam menerapkan teknologi baru

pada sentra produksi. Pengujian ini bertujuan untuk menghasilkan galur-galur harapan padi tahan tungro

dengan keunggulan agronomis dan ketahanan yang mantap sesuai kondisi agroekologi spesifik lokasi. Galur

tersebut akan dijadikan materi pengujian selanjutnya sehingga dihasilkannya varietas unggul tahan tungro.

Varietas-varietas unggul tersebut diharapkan mampu mengatasi permasalahan cekaman biotik maupun

abiotik dan menunjukkan keunggulannya berupa daya hasil tinggi dengan konsistensi yang tinggi, rendemen

tinggi, mutu beras baik dan dapat dijadikan bagian dari pengendalian hama penyakit melalui konsep PHT.

TINJAUAN PUSTAKA

Keberhasilan upaya meningkatkan produksi padi sangat tergantung pada penampilan varietas unggul

dalam program intensifikasi maupun perluasan areal tanam. Penanaman secara luas varietas-varietas unggul

tersebut telah mempersempit areal tanam varietas lokal. Keseragaman genetik akibat penanaman hanya

beberapa varietas padi memperbesar peluang ancaman hama-penyakit yang sebelumnya tergolong kurang

penting (Widjono dan Syam, 1982). Dalam upaya meningkatkan produksi padi, penggunaan varietas unggul

tampaknya lebih berhasil dibandingkan usaha lainnya, karena varietas unggul lebih mudah diadopsi oleh

petani. Karena itu pemulia tanaman dituntut untuk selalu dapat menghasilkan varietas unggul baru agar dapat

menambah pilihan bagi petani sekaligus menambah keragaman genetik di lapangan.

Keragaman lingkungan tumbuh padi yang cukup luas, memerlukan keragaman varietas yang mampu

beradaptasi optimal pada kondisi spesifik lokasi, karena itu uji multilokasi mutlak diperlukan. Hal ini

dimaksudkan untuk mengetahui daya adaptasi dan stabilitas hasil suatu galur harapan padi yang

mencerminkan kemampuan produktivitas (Tirtowirjono, 1988; Cooper et al, 1999). Berkaitan dengan

pentingnya uji multilokasi, Suwarno dkk (1984) menyebutkan bahwa hasil uji multilokasi galur-galur harapan

sering menunjukkan adanya perbedaan daya hasil di masing-masing lokasi. Suatu galur harapan yang

memberikan hasil tinggi di suatu lokasi sering tidak konsisten di lokasi yang lain. Stratifikasi lingkungan

berdasarkan persamaan faktor-faktror lingkungan makro seperti faktor iklim, ekosistem dan elevasi dapat

secara efektif mengurangi besarnya inkonsistensi tersebut.

Penemuan varietas unggul baru umumnya diarahkan untuk memperoleh varietas berdaya hasil

tinggi, umur genjah, mutu beras baik, rasa nasi enak dan toleran terhadap hama-penyakit utama

(Yitnoprastowo, 1993). Mutu beras dan rasa nasi menjadi semakin penting artinya dan seringkali menjadi

pertimbangan dalam memilih varietas terutama dalam kondisi kecukupan beras dewasa ini (Harahap dan

Silitonga, 1989). Selain daya hasil, mutu beras dan rasa nasi, faktor umur seringkali menjadi pertimbangan

utama petani dalam menentukan varietas yang akan ditanam. Bagi wilayah dengan curah hujan terbatas yang

tidak didukung pengairan, penanaman padi umur genjah lebih menjamin keberhasilan panen ketimbang umur

dalam (Cooper et al, 1999). Penanaman varietas umur sedang, lebih-lebih umur dalam di wilayah yang

sering mengalami periode penghujan yang singkat menyebabkan kegagalan panen karena hujan sering

Page 236: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

274

terhenti pada saat padi dalam fase pembungaan atau pengisian malai. Suyamto dkk, (1989) melaporkan

bahwa keberhasilan padi gogorancah di Nusa Tenggara Barat karena didukung tersedianya varietas padi

umur genjah seperti Dodokan, Jangkok dan IR-36. Namun varietas tersebut telah menunjukkan kemunduran

daya hasil dan ketahanan terhadap hama-penyakit khususnya wereng coklat dan tungro.

Varietas padi umur sedang dibutuhkan untuk wilayah dengan irigasi cukup dimana produktivitas

tinggi dan mutu padi menjadi tujuan utama. Hasanuddin dkk (1998) melaporkan bahwa dalam lima tahun

terakhir ini pemerintah telah melepas 13 varietas yang hampir seluruhnya berumur sedang dengan daya hasil

tinggi dan mutu beras baik. Namun karena dinamika lingkungan yang berubah-ubah, dan kecenderungan

petani untuk menanam satu varietas terus-menerus dan saat tanam yang tidak serempak menyebabkan

sejumlah varietas tidak mampu bertahan terhadap cekaman biotik khususnya serangan hama-penyakit. Hal

tersebut sesuai laporan Sama (1983) dalam Muis dkk (1989) menyebutkan bahwa penanaman satu varietas

toleran secara terus-menerus dapat mematahkan ketahanan varietas tersebut terhadap hama penyakit. Suatu

varietas meningkat tajam kepekaannya karena hama-penyakit mampu beradaptasi dengan varietas toleran

sehubungan dengan berkembangnya strain baru. Suherman dkk (1992) juga melaporkan bahwa, pada keadaan

keterbatasan varietas unggul yang memiliki ketahanan terhadap hama-penyakit tertentu dikhawatirkan

terjadinya ledakan serangan di daerah endemik. Untuk mengatasi keadaan tersebut maka semua varietas

unggul yang disukai petani idealnya memiliki latar belakang genetik yang luas.

Salah satu penyakit padi yang dianggap penting adalah virus tungro, penting karena sering

menimbulkan kerusakan berat dalam skala luas dan sangat sulit dikendalikan. Menurut Koesnang dkk (1993),

dalam kurun waktu 20 tahun terakhir, penyakit tungro telah tersebar di 23 propinsi pada 142 kabupaten.

Daerah endemik tungro meliputi Jawa Tengah, Jogjakarta, Jawa Timur, Bali, NTB, Sulawesi Selatan,

Sulawesi Utara dan Sulawesi Tengah. Cara yang paling mudah dan murah untuk mengendalikan tungro

adalah dengan penanaman varietas unggul toleran tungro. Sama et al (1991) melaporkan, penyakit tungro di

Sulawesi Selatan berhasil dikendalikan dengan cara memadukan waktu tanam yang tepat dengan pergiliran

varietas tahan wereng hijau sebagai vektor tungro. Dengan menanam varietas toleran secara berganti-ganti

dari musim ke musim menyebabkan wereng hijau mengalami kesulitan beradaptasi. Hal ini mengisyaratkan

bahwa penemuan varietas toleran dalam jumlah yang memadai secara terus-menerus sangat diperlukan guna

mencegah ledakan serangan penyakit tungro.

METODOLOGI

Materi

Materi pengujian ini berupa galur harapan padi sawah tahan tungro seluruhnya berasal dari Balai

Penelitian Padi (BALITPA) galur tahan tungro sebanyak 10 galur, dua varietas pembanding yakni IR-64

sebagai pembanding (peka) dan Bondojudo pembanding tahan selengkapnya tercantum pada Tabel 1.

Tabel 1. Materi Uji Multilokasi Galur Harapan Padi Sawah Tahan Tungro, di NTB

No Varietas/Galur Tahan

1 GT 1

2 GT 2

3 GT 3

4 GT 4

5 GT 5

6 GT 6

7 GT 7

8 GT 8

9 GT 9

10 GT10

11 Bondoyudo

12 IR-64

Metode

Pengujian pendahuluan dilaksanakan di Desa Kerumut Kecamatan Pringgabaya Kabupaten Lombok

Timur. Penentuan lokasi dilakukan bersama-sama dinas instansi terkait termasuk PPL setempat. Terpilihnya

lokasi tersebut didasarkan pada pertimbangan: Memiliki potensi besar untuk pengembangan padi sawah,

terbatasnya varietas unggul tersedia sesuai kebutuhan spesifik lokasi dan Desa Krumut tergolong salah satu

Page 237: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

275

wilayah endemis serangan tungro di NTB, yang diperkirakan dapat dikurangi dengan penyediaan varietas

tahan dalam pergiliran dan penganeka-ragaman varietas.

Pengujian dilakukan pada lahan sawah milik petani sekaligus sebagai kooperator. Menggunakan

Rancangan Acak Kelompok (RAK), setiap perlakuan diulang 3 kali. Ukuran petak 4 x 5 m, umur bibit

dipindahkan 21 hari setelah sebar (HSS), umur bibit 21 HSS (1batang/rumpun), jarak tanam 25 cm x 25 cm.

Menggunakan Urea 250 kg/ha, SP-36 100 kg/ha dan KCl 100 kg/ha. Seluruh SP-36 dan KCl diberikan saat

tanam, Pemberian urea dibagi tiga masing-masing 1/3 bagian pada saat tanam, 4 minggu dan 7 minggu

setelah tanam. Pengendalian hama penyakit dengan pemantauan sesuai konsep pengendalian hama terpadu.

Pengendalian gulma secara manual pada umur 3 dan 5 minggu setelah tanam.

Pengamatan dilakukan terhadap pertumbuhan tanaman, komponen hasil, hasil gabah dan

perkembangan hama-penyakit selengkapnya sebagai berikut: tinggi tanaman, saat mulai berbunga, Jumlah

malai/rumpun, gabah isi/malai, gabah hampa/malai, bobot 1.000 biji, hasil (t/ha) pada kadar air 14%. Untuk

penyakit tungro adalah persentase seranganya. Keseluruhan data tersebut dikumpulkan langsung di lapangan

menggunakan lembar pengamatan .

Data terkumpul dianalisis dengan Analisis Sidik Ragam, kemudian diuji lanjut dengan Uji Jarak

Berganda Duncan (DMRT). Khusus untuk menghitung persentase serangan tungro, tanaman terinfeksi

dengan formula:

P = a/(a + b) x 100% (Hasanuddin, 1999)

P = Persentase tanaman terinfeksi/terserang

a = jumlah rumpun terinfeksi

b = jumlah rumpun sehat

HASIL DAN PEMBAHASAN

Jumlah galur yang diuji adalah 10 galur, 2 varietas pembanding (IR64 dan Bondojudo). Penampilan

galur harapan tahan tungro disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2. Umur Berbunga, Tinggi Tanaman, Umur Panen , Anakan Produktif Galur Harapan Tahan Tungro di Krumut

Pringgabaya Lombok Timur

Varietas/galur Umur berbunga

(hari)

Umur panen

(hari)

Tinggi tanaman

(cm)

Anakan produktif/

rumpun (batang)

GT 1 87 115 126,00 d 13,33 a

GT 2 87 120 135,33 e 15,66 abc

GT 3 87 110 100,00 a 18,66 c

GT 4 92 110 107,33 bc 17,66 abc

GT 5 92 115 107,66 c 17,66 abc

GT 6 92 106 98,33 a 17,00 abc

GT 7 83 110 127,00 d 14,66 abc

GT 8 87 111 110,33 c 13,66 ab

GT 9 83 106 121,33 d 13,66 ab

GT10 91 115 104,00 abc 17,00 abc

B.Judo 85 111 100,66 ab 14,66 abc

IR64 85 106 100,33 a 17,33 abc

Rerata 86,92 111,2 111,05 16,07

CV (%) 3,3 14,3

Angka sekolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 0.05.

Pada Tabel 2 diperlihatkan bahwa umur berbunga 50% berkisar 83-92 hari dengan rata-rata 86,92

hari, sedangkan umur panen berkisar 106-120 hari dengan rata-rata 111,03 hari . Untuk tinggi tanaman rata-

rata 111,03 cm dengan kisaran 98,33-135,33 cm. GT2 paling tinggi yakni 135,33 cm diibandingkan dengan

semua galur maupun varietas pembanding IR-64 (100,333 cm) dan Bondoyudo 100,66 cm. Jumlah anakan

produktif/rumpun rata-rata 16,07 dengan kisaran 13,66-18,00. Jumlah anakan terbanyak dicapai oleh GT3

yakni 18,66, GT417,66 dan GT5 sebanyak 17,66 anakan, namun tidak berbeda dengan galur lain dan

pembanding, kecuali berbeda dengan GT1 hanya 13,33 dan GT1 tidak berbeda dengan galur lain maupun

pembanding.

Page 238: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

276

Hasil gabah isi yang dicapai oleh semua perlakuan berkisar 60,33-94,67 dengan rata-rata 77,25

butir/malai. GT1 mencapai 94,67 butir/malai namun tidak berbeda dengan galur lain dan pembanding,

kecuali GT1, GT2,GT8 (Tabel 3). Sedangkan gabah hampa rata-rata 42,46 dengan kisaran 29,00-64,67

butir/malai, tertinggi GT9 yakni 64,67 butir/malai dan tidak berbeda dengan GT1, GT7 dan pembanding

tahan Bondojudo yakni 52,333 buti/malai, terendah GT3 yakni 29 butir/malai tidak berbeda dengan

pembanding IR-64 (28,67 butir/malai), GT4, GT6, GT6, dan GT8. Bobot 1000 biji rata-rata 27,10 gr dengan

kisaran 24,33 -27,10 gr, tertinggi dicapai oleh IR-64 dan terendah GT6.

Tabel 3. Gabah Isi, Gabah Hampa, Berat 1000 Biji dan Hasil di Lombok Timur.

Varietas/galur Gabsi/malai (butir) Gaham/malai

(butir) B1000 biji (gr) Hasil GKG (t/ha)

GT 1 94,67 d 54,67 cd 27,00 6,47 d

GT 2 68,00 abc 46,00 bc 25,00 6,06 bcd

GT 3 60,33 a 29,00 a 25,00 5,35 b

GT 4 71,33 ad 43,00 abc 25,33 5,54 b

GT 5 78,66 ad 35,67 ab 25,33 53,20 b

GT 6 69,33 ad 32,00 ab 24,33 4,49 a

GT 7 81,33 ad 54,67 cd 24,00 6,33 cd

GT 8 62,00 ab 28,33 a 26,66 5,34 b

GT 9 92,66 cd 64,67 d 25,66 5,17 bc

GT10 88,00 bcd 46,67 bc 24,66 5,33 b

B.Judo 92,00 cd 52,33 cd 25,33 5,70 bcd

IR64 86,66 ad 28,67 a 26,00 5,40 b

Rerata 77,25 d 42,46 27,10 5,59

CV (%) 17,4 19,1 7,1

Angka sekolom yang diikuti huruf yang sama, tidak berbeda nyata berdasarkan DMRT 0.05.

Produksi yang dicapai rata-rata 5,59 t/ha GKG dengan kisaran 4,49-6,47 t/ha, tertinggi dicapai oleh

GT1 6,47 t/ha dan tidak berbeda dengan GT2, GT7 dan pembanding tahan Bondojudo 5,70 t/ha. Sedangkan

terendah dicapai oleh GT6 yakni 4,49 t/ha GKG dan berbeda dengan semua galur dan pembanding rentan IR-

64 (5,40 t/ha)GKG. Produksi yang dicapai rata-rata cukup tinggi yakni 5,59 t/ha hal ini karena didukung oleh

komponen hasil seperti anakan produktif, gabah isi, gabah hampa dan berat 1.000 biji yang relatif baik, dan

tidak adanya/rendahnya serangan tungro pada galur yang diuji (Tabel 4).

Tabel 4. Presentase Serangan Tungro di Krumut Pringgabaya Lombok Timur

Galur harapan Jumlah rumpun yang terserang Tanaman terserang (%)

GT 1 0 0,0

GT 2 0 0,0

GT 3 0 0,0

GT 4 0 0,0

GT 5 0 0,0

GT 6 0 0,0

GT 7 0 0,0

GT 8 3 0,015

GT 9 0 0,0

GT10 2 0,010

GT 11 0 0,0

B.Judo 0 0,0

IR64 10 5,20

Rerata 1,15 0,40

Persentase serangan tungro sangat rendah sekali yakni 3 rumpun (0,015%) pada GT8 dan GT 10

sebanyak 2 rumpun (0,010%). Untuk pembanding rentan IR-64 hanya 10 rumpun (5,20%), sedang

pembanding tahan Bondojudo dan galur tahan yang tidak mendapat serangan tungro. Rendahnya serangan

tungro diduga karena berkaitan dengan kehadiran wereng hijau N. virecens pembawa virus pada areal

tanaman sangat rendah sekali sehingga galur yang diuji kebanyakan tidak terserang (Hasanuddin, 1999).

Page 239: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

277

KESIMPULAN DAN SARAN

Persentase serangan tungro sangat rendah sekali yakni 0,015% (GT8) dan GT10 (0,010%),

pembanding rentan hanya 5,20% sedangkan galur lain dan pembanding tahan tidak ada serangan. Produksi

yang dicapai rata-rata 5,59 t/ha GKG, tetinggi galur GT1 ( 6,47 t/ha), dan terendah galur GT6 (4,49 t/ha),

sedangkan pembanding Bondojudo 5,72 t/ha dan IR64 sebesar 5,40 t/ha GKG.

Hasil kajian ini disarankan untuk diuji lanjut untuk mengetahui daya adaptasi, kestabilan hasil dan

kemantapan ketahanan terhadap OPT terutama tungro untuk pelepasan varietas tahan tungro spesifik NTB.

DAFTAR PUSTAKA

Balitpa (1999). Petunjuk Teknis Uji Multilokasi Galur-galur harapan Padi Sawah Berumur Genjah, Sedang

dan Tahan Tungro. Badan Litbang Pertanian.

BPS (1999). Nusa Tenggara Barat Dalam Angka 1999. Biro Pusat Statistik (BPS NTB).

BPSBTPH(2000). Laporan Tahunan penggunaan varietas unggul di NTB

Diperta Propinsi Dati I. NTB (1999). Selayang Pandang Pembangunan Pertanian Tanaman Pangan di NTB

Dinas Pertanian Tanaman Pangan Propinsi Dati I. NTB. Strategi Pengendalian Penyakit Tungro di Propinsi

Nusa Tenggara Barat, Maret 1999

Gomez and Gomez (1995). Prosedir Statistik untuk Penelitian Pertanian, Edisi Kedua. Penerbit Universitas

Indonesia

IRRI (1996). Standar Evaluation System for Rice. Inger Genetik Resources Center. 4th

edition July 1996.

McLaren, C.G., 1995. Basic Statistical Analysis System B. Stat. Versin 5.02. June 1995

Sudradjat dan Zairin (2000). Laporan Uji Daya Hasil dan Adaptasi Galur-galur Padi sawah Tahan Tungro di

daerah Endemik Tungro di Lombok Timur NTB. Kerjasama Balitpa Sukamandi dengan IPPTP

Mataram. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian

Widiarta, I.N., (1999). Laporan Monitoring Keadaan Tungro di NTB pada MP 1998/1999. Balai Penelitian

Tanaman Padi. Sukamandi. Subang Jawa Barat

Wirajaswadi, M.Zairin, dan J.A.Gani (1999). Respon Beberapa Varietas dan Galur Harapan Padi Sawah

Tahan Terhadap Penyakit Tungro. Makalah disampaikan pada Pertemuan Komisi Pengkajian

Teknologi Pertanian tgl 21 Desember 1999 di Mataram. IPPTP Mataram

Zairin, Wirajaswadi L., Awaludin (2001). Laporan Uji Multilokasi Galur Harapan padi Umur Genjah,

Sedang dan Tahan Tungro di NTB. BPTP NTB. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian

Zairin, Wirajaswadi L., dan Awaludin (2002). Laporan Uji Multilokasi Galur Padi sawah Umur Genjah,

Sedang dan Tahan Tungro di NTB. BPTP NTB. Badan Litbang Pertanian. Departemen Pertanian

Page 240: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

278

PENGARUH PEMANFAATAN JAMUR MIKORIZHA ARBUSKULAR (JMA) TERHADAP

PERTUMBUHAN BIBIT MANGGIS

Muji Rahayu

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Jamur Mikoriza Arbuskular (JMA) dan 3 level pemupukan P digunakan untuk mempelajari pengaruhnya

terhadap pertumbuhan bibit manggis yang sangat lambat akibat dari sistem perakaran bibit manggis tidak berkembang dengan baik. Penelitian lapangan dilakukan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian NTB, dari bulan

Januari 2005 sampai Mei 2006. Percobaan disusun secara Acak Kelompok berpola Faktorial dengan 2 Faktor yaitu

pertama inokulasi JMA (inokulasi JMA dan tidak diinokulasi) dan kedua adalah dosis pemupukan P (0%, 50% dan

100%). Dosis pemupukan P yang dipergunakan adalah 600 mg tanaman-1 bulan-1. Hasil percobaan menunjukkan bahwa bibit manggis yang tidak diinokulasi JMA menunjukkan tinggi tanaman dan jumlah daun lebih sedikit dibanding yang

diinokulasi. Pertumbuhan tanaman pada kombinasi perlakuan inokulasi JMA dan pemupukan dosis P 50% atau 300 mg

tanaman-1 bulan-1 menunjukan hasil terbaik yang diindikasikan tinggi tanaman dan jumlah daun tertinggi dibanding

kombinasi perlakuan yang lain.

Kata kunci: JMA, dosis pupuk P, bibit manggis, pertumbuhan.

PENDAHULUAN

Salah satu masalah serius dalam budidaya manggis hingga kini adalah sangat lambatnya laju

tumbuh dan panjangnya masa remaja tanaman sehingga untuk mulai berbuah memerlukan waktu sekitar 10-

15 tahun. Hal demikian disebabkan pada awal pertumbuhan sistem perakaran bibit manggis tidak

berkembang dengan baik. Akarnya sedikit, tumbuh lambat, mudah rusak akibat lingkungan yang tidak

menguntungkan, dan rambut akar terbatas (Lukitariati et al., 1996). Hal tersebut menyebabkan hara dan air

yang terserap tidak cukup untuk mendukung proses metabolisme dalam tubuhnya sehingga bibit manggis

tumbuh lambat dan kurang adaptif terhadap berbagai perubahan kondisi lingkungan.

Mekanisme penyerapan hara yang tidak berjalan sempurna akibat keterbatasan dan lambatnya

pertumbuhan akar manggis telah dipelajari dalam penelitian-penelitian sebelumnya. Informasi penting dari

penelitian sebelumnya diantaranya adalah inokulasi Jamur Mikoriza Arbuskular (JMA) tidak memberikan

hasil yang efektif sampai umur tanaman mencapai minimal 5 (lima) bulan setelah semai (Syarif, A., 2002).

Pentingnya keberadaan JMA dalam mendukung pertumbuhan tanaman dan produktivitas pada

berbagai tanaman dengan beragam tipe pertumbuhan mendorong untuk diterapkannya pada pembibitan

manggis. Manfaat JMA pada tanaman dapat memperluas daerah jelajah akar dan meningkatkan pertumbuhan

akar dan membebaskan hara terikat menjadi tersedia bagi tanaman (Rao, N.S.S., 1994).

Kebergantungan tanaman terhadap JMA cukup tinggi pada tanah-tanah yang mengandung P tersedia

rendah, namun pupuk P tetap diperlukan dalam jumlah yang cukup untuk pertumbuhan tanaman. Karena P

bersifat tidak mobil maka akar tanaman harus datang ke sumber P. Dengan demikian pemberian P harus

dekat dengan akar atau pada tanaman-tanaman yang akarnya kurang berkembang perlu bantuan

mikroorganisme yang mampu membantu penyerapan P oleh akar tanaman, misalnya mikoriza.

Rekomendasi dosis pemupukan P untuk bibit manggis adalah 400-600 mg tanaman-1

bulan-1

, tetapi

dengan inokulasi mikoriza maka dosis P tersebut perlu dipelajari kembali khususnya dalam penerapannya di

lapangan hingga dapat ditemukan dosis optimal untuk menghasilkan bibit manggis yang pertumbuhanya

lebih baik.

METODOLOGI

Percobaan telah dilaksanakan di Kebun Percobaan Balai Pengkajian Teknologi Pertanian (BPTP)

Nusa Tenggara Barat yang terletak pada ketinggian 41 meter diatas permukaan air laut. Jenis tanah yang

dipergunakan adalah Entisol dengan kandungan P tersedia tergolong cukup. Percobaan dimulai Bulan Mei

2005 sampai Juni 2006. Pada percobaan ini inokulum JMA yang dipergunakan adalah inokulum komersial

produk dari Balai Penelitian Buah di Solok yang telah distandarisasi sporanya yaitu 300 spora g-1

. Percobaan

disusun secara Acak Kelompok berpola Faktorial dengan 2 Faktor dengan demikian terdapat 6 kombinasi

perlakuan. Faktor pertama adalah inokulasi JMA (inokulasi JMA dan tidak diinokulasi) dan Faktor ke dua

Page 241: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

279

adalah dosis pemupukan P (0%, 50% dan 100%). Dosis pemupukan P yang dipergunakan adalah 600 mg

tanaman-1

bulan-1

Percobaan diulang 3 kali, sehingga didapatkan 18 unit percobaan. Setiap unit percobaan

menggunakan 5 tanaman.

JMA diaplikasikan pada pemindahan persemaian pertama yaitu pada bibit yang berumur 5 bulan

dengan takaran 5 g tanaman-1

bulan-1

. Untuk pemeliharaan tanaman juga diberikan pupuk Urea sebesar 200

mg tanaman-1

bulan-1

dan KCl sebesar 150 mg tanaman-1

bulan-1

. Teknologi pembibitan dilakukan seperti

halnya teknologi petani, yaitu ditanam dalam bedengan dengan jarak tanam 40 cm x 60 cm.

Parameter komponen pertumbuhan tanaman meliputi tinggi tanaman, jumlah daun, diameter batang.

Selain pertumbuhan tanaman, pada perakaran bibit manggis umur 18 bulan atau 12 bulan setelah diinokulasi

JMA juga diamati keberadaan spora, hifa dan vesikula melalui mikroskop dengan pembesaran 60 kali milik

Fakultas Pertanian Universitas Mataram yang sebelumnya melalui proses pembeningan KOH 10% dan

pengecatan trypan blue 0,05% dalam laktoglyserol (Brundrett et al, 1996). Analis kandungan P awal di lokasi

percobaan dilakukan di Laboratorium BPTP NTB.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Infeksi JMA pada Perakaran Bibit Manggis

Kondisi perakaran bibit manggis umur 17 bulan atau 12 bulan setelah bibit manggis umur 5 bulan

diinokulasi dengan JMA 5 g tanaman-1

, perakaran menunjukkan adanya infeksi. Hasil itu sesuai dengan

pendapat penelitian Muas, 2003 yang menyatakan bahwa efektifitas pemberian JMA terlihat pada aplikasi

setelah bibit manggis berumur lebih dari 5 bulan akibat dari suplai hara tercukupi dari cadangan makanan

yang masih tersisa dari biji manggis yang ukurannya cukup besar. Hal itu terlihat pada gambar jaringan

perakaran yang diinokulasi JMA dan tidak diinokulasi JMA. Pada jaringan perakaran manggis yang

diinokulasi JMA terlihat adanya infeksi JMA yang diindikasikan adanya spora JMA, hifa dan vesikula

(Gambar 1).

Gambar 1. Foto jaringan akar bibit manggis umur 17 bulan yang terinfeksi JMA

Pertumbuhan Bibit Manggis

Hasil penelitian menunjukkan bahwa pertumbuhan tanaman yang diekspresikan oleh tinggi bibit,

diameter batang, jumlah cabang serta jumlah daun bibit manggis menunjukkan bahwa inokulasi JMA

berpengaruh terhadap pertumbuhannya (Tabel 1, 2, 3 dan 4).

Pengaruh yang sangat nyata dari pertumbuhan bibit manggis akibat interaksi JMA dan pemupukan

disebabkan hifa eksternal dari akar bibit manggis bermikoriza yang berkembang pada zona perakaran akan

meningkatkan volume tanah yang dapat dieksploitasi untuk penyerapan fosfor (Bayraj, 1992). Peningkatan

kemampuan penyerapan P oleh bibit manggis yang terinfeksi oleh JMA diduga akibat adanya peningkatan

aktivitas enzim fosfatase asam (AP) pada rizosfir dan akar bibit manggis tersebut. Beberapa penelitian

menyatakan bahwa aktivitas AP pada beberapa tanaman budidaya yang terinfeksi JMA lebih tinggi

dibanding tanaman yang tidak terinfeksi (Rao; Dodd et al., 1987 dan Subiksa, I.G.M., 2001). Meskipun

serapan P pada pupus manggis tidak diamati tetapi hasil penelitian Khalil et al., 1999 menyatakan bahwa

aktivitas enzim AP secara positif berkorelasi dengan penyerapan P dan pertumbuhan tanaman.

Page 242: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

280

Kombinasi inokulasi JMA dan pemberian P pada takaran 50% dari dosis rekomendasi atau 300 mg

tanaman-1

bulan-1

menunjukkan pertumbuhan lebih baik dari perlakuan lainnya. Hal ini diduga meskipun

eksplorasi akar yang terinfeksi JMA jelajahnya lebih jauh sehingga dapat menyerap P lebih banyak dibanding

kontrol, tetapi P tetap dibutuhkan untuk pertumbuhan tanaman dan kelangsungan hidup dari JMA itu sendiri.

Kandungan hara P tersedia di lokasi percobaan cukup tinggi mengakibatkan pemberian P pada takaran 100%

dari dosis rekomendasi atau 600 mg tanaman-1

bulan-1

tidak menunjukkan hasil yang berbeda nyata dengan

takaran 50% dari dosis rekomendasi atau 300 mg tanaman-1

bulan-1

. Dengan demikian dosis optimal untuk

pertumbuhan bibit manggis cukup diberikan 300 mg tanaman-1

bulan-1

.

Tabel 1 Tinggi Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA dan Pemberian Pupuk

Fosfat (P).

JMA (M)

Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1

0 300 600

-------------------------------------cm-----------------------------------

Inokulasi JMA 40,22 44,22 44,20

Tidak di inokulasi 58,10 68,24 68,20

Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) dan (MxP) teruji beda nyata taraf 0,05

Tabel 2. Jumlah Cabang Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA dan Pemberian Pupuk Fosfat (P).

JMA (M)

Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1

0 300 600

-------------------------------------cm-----------------------------------

Inokulasi JMA 3,20 3,80 3,84

Tidak di inokulasi 1 1 1

Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) dan (MxP) teruji beda nyata taraf 0,05

Tabel 3. Jumlah Daun Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA dan Pemberian

Pupuk Fosfat (P).

JMA (M)

Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1

0 300 600

-------------------------------------lembar-----------------------------------

Inokulasi JMA 28 34 34

Tidak di inokulasi 14 16 16

Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) dan (MxP) teruji beda nyata taraf 0,05

Tabel 4. Diameter Batang Tanaman Bibit Manggis Umur 17 Bulan Atau 12 Bulan Setelah Inokulasi JMA (M) dan

Pemberian Pupuk Fosfat (P).

JMA (M)

Pupuk fosfat (P) mg tanaman-1 bulan-1

0 300 600

-------------------------------------cm-----------------------------------

Inokulasi JMA 1,71 1,76 1,78

Tidak di inokulasi 1,12 1,20 1,21

Keterangan : Berdasarkan sidik ragam (M) teruji beda nyata taraf 0,05

KESIMPULAN

1. Kebergantungan bibit manggis sampai umur 17 bulan terhadap JMA sangat tinggi yang diindikasikan

dengan terjadinya infeksi pada perakaran tanaman.

2. Kombinasi pemupukan P dan inokulasi JMA berpengaruh nyata sampai batas pemupukan 300 mg

tanaman-1

bulan-1

.

3. Dosis pupuk P sbesar 300 mg tanaman-1

bulan-1

dapat dipergunakan rekomendasi untuk pemupukan

pembibitan manggis yang menggunakan bantuan mikoriza.

Page 243: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

281

DAFTAR PUSTAKA

Bagyaraj, D.J. 1992. Vesicular-arbuscular mycorrhiza: Aplication in agriculture. Mhetods in Microbiol. 24 :

359-373

Brundrett, M., N. Bogher, B. Dell, T. Grove and N. Malajezuk, 1995. Working with mycorrhyzal in forestry

and agriculture. CSIRO Centre for Mediterranean Agricultural Research. Wembley, WA.

Dodd, J.C., C.C. Burton, R.G. Burns, and P. Jeffries, 1987. Phosphatase activity assosiated with the roots

and the rhizosphere of plants infected with vesiculer-arbuscular mycorrhizal fungi. New Phytol.

107: 163 - 172

Lukitariati, S., N.L.P. Indriyani, Susiloadi dan Anwaruddinsyah, 1996. Pengaruh naungan dan konsentrasi

indol butirat terhadap bibit batang bawah manggis. Jurnal Hortikultura 6(3): 220-226

Khalil, S., T.E. Loynachan, and M.A. Tabatai, 1999. Plant determinants of mycorrhizal dependency in

soybean. Agron. J. 91: 135-141.

Muas,I., 2003. Peranan Mikoriza Arbuskula terhadap Peningkatan Serapan Hara oleh Bibit Pepaya.

J.Hortikultura 13(2): 105-113.

Rao, N.S.S., 1994. Mikroorganisme Tanah dan Pertumbuhan Tanaman. Penerjemah: Susilo, H. Edisi Kedua.

Penerbitr Universitas Indonesia. Jakarta

Subiksa, I.G.M., 2001. Pemanfaatan Mikoriza untuk Penanggulangan Lahan Kritis. Paper LIPI P.026.00008

Syarif, Auzar., 2002. Mycorrhizal dependency of Mangosteen Seedling. Stigma Vol. X. No.3, Juli-

September 2002.

Page 244: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

282

DAMPAK PENGAIRAN TERHADAP PERTUMBUHAN DAN PRODUKSI KAPAS + KACANG

TANAH PADA LAHAN SAWAH SESUDAH PADI

Sudarto dan Arif Surahman

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Nusa Tenggara Barat

ABSTRAK

Pengkajian telah dilaksanakan di Desa Selengen Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Barat bulan April

sampai dengan bulan Oktober tahun 2005 pada musim kemarau pertama (MK I), luas areal 33,5 ha dengan melibatkan 45 KK. Menggunakan pendekatan on farm research, (OFR) bekerja sama dengan petani dan sekaligus petani dijadikan

kooperator yang dalam kegiatannya didampingi oleh petugas lapang yang dibantu oleh peneliti dan penyuluh. Data yang

dikumpulkan adalah data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi meliputi tinggi tanaman, jumlah cabang per

pohon, jumlah bol per tanaman, jumlah bol yang dipanen per tanaman, berat bol dan produksi per hektar; sedang data ekonomi meliputi input dan output usahatani tumpangsari kapas+kacang tanah dan sebagai pembanding adalah usahatani

kacang tanah secara monkultur (eksisting teknologi). Untuk mengetahui kelayakan ekonomi usaha tani yang

diintroduksikan menggunakan analisis B/C ratio. Hasil pengkajian adalah pada tanaman kapas yang mendapat pengairan

1 kali terdapat perbedaan tinggi tanaman dengan yang mendapat pengairan 2 kali dan 3 kali, yaitu masing-masing 70,3 cm, 90,01 cm dan 96,6 cm. Begitu pula pada jumlah cabang yang terbentuk yaitu 7,4 cabang/tanaman; 9,8

cabang/tanaman dan 10,9 cabang/tanaman serta jumlah bol sebanyak 16,2 bol/tanaman; 22,7 bol/tanaman dan 27,4

bol/tanaman. Bahkan ada kecenderungan ukuran bol terlihat kecil-kecil sehingga sebagai konsekuensinya berpengaruh

terhadap rata-rata berat bolnya yaitu masing-masing 2,57 gram/bol, 3,10 gram/bol dan 3,50 gram/bol. Tanaman kapas yang mendapat pengairan satu kali produksi yang dihasilkan sebanyak 378 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 311

kg/ha sehingga mengalami kerugian sebesar Rp. 595.050; pengairan dua kali sebanyak 633 kg/ha kapas berbiji kacang

tanah 394 kg/ha dan mendapat keuntungan sebesar Rp. 121.800 sedangkan yang mendapat pengairan sebanyak tiga kali

produksi kapas dapat mencapai 988 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 865 kg/ha dengan keuntungan sebesar Rp. 2.044.500. Usaha tani kacang tanah secara monokultur produksi yang dihasilkan 515 kg/ha sehingga mengalami kerugian

sebesar Rp. 198.250.

Kata kunci : tumpangsari, kapas + kacang tanah, on farm research,

PENDAHULUAN

Ditinjau dari segi kualitas dan kuantitas, peningkatan produksi pertanian dapat dilakukan dengan

beberapa cara seperti pendidikan petani, penyediaan sarana produksi yang tepat waktu, pengolahan tanah,

cara tanam, pengaturan jarak tanam, pemupukan dan pengaturan irigasi. Penanaman kapas yang selama ini

dikembangkan pada lahan kering kurang berkembang, karena banyak ditemui masalah. Masalah utama

pengembangan kapas pada lahan kering diantaranya faktor iklim (kesuburan tanah, curah hujan dan lain-lain),

selain itu juga faktor internal seperti modal terbatas, pendidikan petani dan faktor lainnya. Ketersediaan air

sering menjadi faktor pembatas dalam usahatani kapas pada lahan kering. Untuk lebih berkembangnya

tanaman kapas, maka dicoba pengembangannya pada lahan sawah sesudah padi.

Pengembangan kapas pada lahan sawah sesudah padi lebih sesuai bila diusahakan pada wilayah

yang memiliki pola tanam padi-palawija-bera. Dengan pola tersebut kapas dapat ditanam sesudah panen padi

dan dapat ditumpangsarikan dengan palawija yang merupakan eksisting teknologi petani, karena kedua jenis

tanaman ini memiliki kanopi dan sistem perakaran yang berbeda. Rusim (2001) menyatakan bahwa sebagian

besar pertanaman kapas di Indonesia ditanam bersamaan dengan palawija. Umumnya kapas ditumpang

sarikan dengan jagung dan kacang-kacangan. Selanjutnya Haynes, 1980; Francis, 1989: dalam Rusim (2001)

menyatakan pula tanaman yang berakar dalam akan lebih sesuai untuk dikombinasikan dengan tanaman

berakar dangkal dan kombinasi keduanya lebih efisien dalam penggunaan air dan hara. Sistem tumpangsari

akan memberi hasil ganda dan apabila tanaman yang ditumpangsarikan memiliki umur yang berbeda akan

dapat memberi nilai tambah pada pola tersebut.

Pada kondisi lahan yang memiliki pola tanam padi-palawija-bera, air merupakan komponen utama

yang harus diperhatikan. Kondisi yang demikian dalam pengelolaan usahatani akan sangat bergantung pada

ketersediaan debit air setiap tahunnya (Gambar 1). Dampak dari ketersediaan air akan berpengaruh terhadap

peningkatan produktivitas tanaman. Air merupakan komponen penting dan menentukan keberhasilan dalam

budidaya kapas dimusim kemarau (Machfud, 2002). Kebutuhan air untuk tanaman kapas dapat disesuaikan

dengan kebutuhan air tanaman palawija. Pada lokasi pengkajian, selama pertumbuhannya biasanya tanaman

palawija mendapat pengairan paling sedikit tiga kali. Sumber air untuk pengairan berasal dari dam Irigasi

Sambijengkel yang pengelolaannya oleh P3A. Kenyataan dilapang dengan menurunnya debit air pada dam

Page 245: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

283

tersebut pengairan tidak dapat dilakukan secara optimal sehingga berpengaruh terhadap pertumbuhan dan

produksi tanaman kapas.

Gambar 1. Rata-rata debit air dam Sambijengkel Desa Selengen Kecamatan Kayangan, Lombok Barat tahun 1992-2005.

METODOLOGI

Pengkajian dilaksanakan di Desa Selengen Kecamatan Kayangan Kabupaten Lombok Barat bulan

April sampai dengan bulan Oktober tahun 2005 pada musim kemarau pertama (MK I), luas areal 33,5 ha.

Menggunakan pendekatan on farm research, bekerjasama dengan petani dan sekaligus petani dijadikan

kooperator yang dalam kegiatannya didampingi oleh petugas lapang yang dibantu oleh peneliti dan penyuluh.

Paket teknologi yang diterapkan adalah teknologi tumpangsari kapas + kacang tanah, dengan komponen

teknologi sebagai berikut: (a). Pengolahan tanah sempurna dengan menggunakan ternak sapi, (b). Varietas

unggul Kanesia 7, (c). Teknik pengelolaan air, (d). Pemupukan (tanaman kapas: umur 0-7 HST pupuk yang

diberikan 50 kg ZA+75 kg SP-36+25 kg KCl per hektar dan umur 42 HST 100 kg Urea; kacang tanah 50 kg

Urea+50 kg SP-36+25 kg KCl/ha pada saat tanam), dan (e). Pengendalian hama dengan konsep PHT. Data

yang dikumpulkan adalah data agronomi dan sosial ekonomi. Data agronomi meliputi tinggi tanaman, jumlah

cabang per pohon, jumlah bol per tanaman, jumlah bol yang dipanen per tanaman, berat bol dan produksi per

hektar; sedang data ekonomi meliputi input dan output usahatani tumpangsari kapas + kacang tanah dan

sebagai pembanding adalah usahatani kacang tanah secara monokultur (eksisting teknologi). Pengumpulan

data dilakukan sejak pengkajian berlangsung hingga akhir kegiatan. Data dikumpulkan dengan metode

survey yaitu dengan wawancara langsung dengan menggunakan daftar pertanyaan yang terstruktur (Muhajir,

2000; Mulyana, 2001; Bailey, 1978). Untuk mengetahui kelayakan ekonomis teknologi usahatani kapas +

kacang tanah dianalisa menggunakan B/C ratio (Malian et.al, 1987)

HASIL DAN PEMBAHASAN

Keragaan Agronomi Tanaman Kapas pada Fase Vegetatif dan Generatif

Prosentase tumbuh pada semua petani rata-rata cukup baik, karena pada saat penanaman kondisi

lahan masih cukup lembab. Frekuensi pengairan sangat mempengaruhi pertumbuhan kapas pada fase

vegetatif maupun fase generatif .

0

100

200

300

400

500

600

700

800

JAN

FEB

MAR

APRM

EI

JUN

JUL

AGT

SEPOKT

NOP

DES

Bulan

Deb

it a

ir (

lt/d

t)

0

100

200

300

400

500

600

700

800

JAN

FEB

MAR

APRM

EI

JUN

JUL

AGT

SEPOKT

NOP

DES

Bulan

Deb

it a

ir (

lt/d

t)

Page 246: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

284

Tabel 1. Data Agronomi Tanaman Kapas pada Fase Vegetatif dan Generatif Berdasarkan Frekuensi Pengairan di Desa

Selengen Kecamatan Kayangan, tahun 2005.

Uraian Tinggi tanaman (cm) Jumlah cabang/pohon Jumlah bol/tanaman

bol

dipanen/

tan

Rerata

berat

bol

(gr) 1 bln 2 bln 3 bln 4 bln 1 bln 2 bln 3 bln 4 bln 1 bln 2 bln 3 bln 4 bln 5 bln

Pengairan

1 kali 21.9 38.2 50.8 70.3 - 3.1 5.8 7.4 - - 13.4 16,2 7.7 2,57

Pengairan

2 kali 27.2 43.5 67.6 90.01 - 3.1 6.2 9.8 - - 17.6 22,7 10.7 3.10

Pengairan

3 kali 35.9 58.4 75.4 95.6 - 3.4 7.4 10.9 - - 22.6 27.4 14.5 3.50

Sumber : data pengamatan diolah.

Tabel di atas terlihat bahwa dampak dari lahan yang mendapat pengairan yang tidak sama sangat

mempengaruhi pertumbuhan vegetatif dan generatif tanaman kapas. Pada awal pertumbuhannya kapas

terlihat normal, karena persediaan air masih cukup tersedia untuk mengairi areal kapas milik semua petani.

Akan tetapi menginjak bulan ke dua pertumbuhan dan seterusnya tanaman mulai terganggu pertumbuhannya

akibat menurunnya debit air pada dam irigasi Sambi Jengkel. Hal ini terlihat pada tinggi tanaman, walaupun

setiap bulannya ada pertambahan tinggi tanaman dan jumlah cabang tetapi jumlah bol yang terbentuk relatif

kurang. Pada umur 4 bulan dengan kondisi lahan yang mendapat pengairan 1 kali berbeda dengan yang

mendapat pengairan 2 kali dan 3 kali, tinggi tanaman yang dihasilkan masing-masing 70,3 cm, 90,01 cm dan

96,6 cm. Begitu pula pada jumlah cabang yang terbentuk yaitu 7,4 cabang/tanaman; 9,8 cabang/tanaman dan

10,9 cabang/tanaman serta jumlah bol sebanyak 16,2 bol/tanaman; 22,7 bol/tanaman dan 27,4 bol/tanaman.

Bahkan ada kecenderungan ukuran bol terlihat kecil-kecil sehingga sebagai konsekuensinya berpengaruh

terhadap rata-rata berat bolnya yaitu masing-masing 2,57 gram/bol, 3,10 gram/bol dan 3,50 gram/bol.

Kekurangan air dapat menimbulkan gangguan pada pertumbuhan tanaman kapas seperti; tanaman tumbuh

kerdil, cabang generatif yang terbentuk sedikit, kuncup bunga mudah gugur, dan hasil tanaman menjadi

sangat rendah (Machfud, 2002). Menurut Riajaya dan Kadarwati (1997) pengairan yang ideal pada

tumpangsari kapas dan palwija di lahan sawah sesudah padi dilakukan sebanyak lima kali. Empat kali

pengairan pada saat masih ada tanaman palawijanya.

Umur tanaman kapas dan palawija berselisih 2,5 bulan, dengan ketersediaan air yang terbatas kapas

masih mampu memberikan hasil pada musim kemarau kedua (bera).

Keragaan Ekonomi Usaha Tani Kapas + Kacang Tanah

Interval pengairan yang diterima oleh petani sangat bervariasi. Pengairan yang diterima oleh petani

dari satu kali hingga tiga kali pengairan, sehingga produksi yang diperoleh juga bervariasi. Untuk mengetahui

hasil analisis ekonomi berdasarkan pengairan yang diterima leh petani dapat dilihat pada Tabel 2 berikut ini.

Tabel 2. Analisis Ekonomi Kapas + Kc. Tanah Berdasarkan Frekuensi Pengairan di Desa Selengen Kecamatan Kayangan, Tahun 2005.

Uraian Pengairan 1 kali Pengairan 2 kali Pengairan 3 kali Kacang

monokultur

Saprodi (Rp/ha) Tenaga kerja (Rp/ha)

Total

Produksi

- Kapas (kg/ha)

- Kacang tanah (kg/ha)

Penerimaan

- Kapas (kg/ha)

- Kacang tanah (kg/ha)

Pendapatan kotor (Rp/ha)

Keuntungan (Rp/ha)

B/C ratio R/C ratio

902.500 1.305.000

2.207.500

378

311

850.500

761.950

1.612.450

(595.050)

(0,26)

0,73

902.500 1.355.000

2.257.500

633

394

1.424.500

965.300

2.389.800

121.800

0,05

1,06

902.500 1.395.000

2.297.500

988

865

2.223.000

2.119.250

4.342.250

2.044.500

0,89

1,89

420.000 1.040.000

1.460.000

515

1.261.750

1.261.750

(198.250) (0,13)

0,86

Sumber : Data primer diolah Harga kapas : Rp.2.250/kg kapas berbiji : kacang tanah Rp. 3.500/kg.

Tabel di atas tampak bahwa ada kesenjangan hasil yang diperoleh petani antara yang mendapat

pengairan satu kali, dua kali dan tiga kali. Yang mendapat pengairan satu kali, produksi yang dihasilkan

sebanyak 378 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 311 kg/ha; pengairan dua kali sebanyak 633 kg/ha kapas

Page 247: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

285

berbiji kacang tanah 394 kg/ha, sedangkan yang mendapat pengaian sebanyak tiga kali produksi kapas dapat

mencapai 988 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 865 kg/ha.

Petani yang mendapatkan pengairan satu kali tidak diperoleh keuntungan bahkan mengalami

kerugian sebesar Rp. 595.050 dengan B/C ratio (-0,26), hal ini karena air yang diperoleh setelah tanaman

berumur 60 hari setelah tanam sehingga aplikasi pemupukan kedua (susulan) juga terlambat. Akibatnya

pertumbuhan tanaman kurang sempurna yang menyebabkan bol yang terbentuk kurang, ukuran kecil.

Keuntungan yang diperoleh pada petani yang mendapatkan pengairan dua kali sebesar Rp. 121.800 dengan

B/C ratio 0,05, walaupun mendapat pengairan sampai dua kali namun interval pengairannya juga tidak tepat.

Tanaman kapas baru mendapat pengairan setelah penanaman berumur 60 hari dan 115 hari setelah tanam.

Keuntungan yang diperoleh petani yang mendapat pengairan tiga kali sebesar Rp. 2.044.500 dengan B/C

ratio 0,89. Sedangkan petani yang menanam kacang tanah monokultur (petani pembanding) mengalami

kerugian sebesar Rp. 198.250 dengan B/C ratio (-0,13).

KESIMPULAN

Dampak pengairan berpengaruh terhadap pertumbuhan dan produksi, yang mendapat pengairan satu

kali produksi yang dihasilkan sebanyak 378 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 311 kg/ha sehingga

mengalami kerugian sebesar Rp. 595.050; pengairan dua kali sebanyak 633 kg/ha kapas berbiji kacang tanah

394 kg/ha dan mendapat keuntungan sebesar Rp. 121.800,- sedangkan yang mendapat pengairan sebanyak

tiga kali produksi kapas dapat mencapai 988 kg/ha kapas berbiji dan kacang tanah 865 kg/ha dengan

keuntungan sebesar Rp. 2.044.500. Usahatani kacang tanah secara monokultur produksi yang dihasilkan 515

kg/ha sehingga mengalami kerugian sebesar Rp. 198.250.

Untuk mengurangi resiko kegagalan panen, meningkatkan produktivitas lahan, meningkatkan nilai

tambah petani pada wilayah yang memiliki pola tanam padi-palawija-bera, kacang tanah dapat ditanam

secara tumpangsari dengan kapas.

DAFTAR PUSTAKA

Bailey, KD. 1978. Methods of Social research. The Free Press. A. Division of Macmilan Publishing Co. Inc.

New York.

Francis,C.A. 1989. Biological Efficiencies in Multiple-Cropping System. Advences in Agronomy Vol. 42, p-

1-41.

Haynes, R.J. 1980. Competitive Aspects Of The Grass Legume Association. Adv. Agron. 33:227-261.

Machfud, M. 2002. Budidaya Kapas di Lahan Sawah. Kapas. Buku 2. Departemen Pertanian. Badan

Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan Pengembangan Perkebunan. Balai

Penelitian Tanaman Tembakau dan Serat. Malang.

Malian, H., A. Djauhari dan Venn. V.D. 1987. Analisis dalam Penelitian Sistem Usahatani. NTASP Proyek

P3NT. Badan Litbang. Departemen Pertanian.

Muhajir Noeng. 2000. metodologi Penelitian Kualitatif. Penerbit Rake Sarasin. Yogyakarta.

Mulyana Deddy. 2001. Metodologi Penelitian Kualitatif. Paradigma Baru Ilmu Komunikasi dan ilmu sosial

lainnya. PT. Remaja Rosdakarya. Bandung.

Riajaya,P.D. dan F.T. Kadarwati. 1997. Frekuensi Pemberian Air Pada Tumpangsari Kapas dan Kedelai.

Jurnal Penelitian Tanaman Industri II (5): 223-234.

Rusim Mardjono. 2001. Pemuliaan Kapas di Indonesia. Kapas. Buku 1. Monograf Balittas No. 7.

Departemen Pertanian. Badan Penelitian dan Pengembangan Pertanian. Pusat Penelitian dan

Pengembangan Perkebunan. Balai Penelitian Tembakau dan Serat. Malang.

Page 248: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

286

INOVASI TEKNOLOGI PENGELOLAAN HARA SPESIFIK LOKASI PADA TANAMAN

JAGUNG DI LAHAN MARGINAL

Forita Dyah Arianti1)

, Her. Supadmo 1)

dan Arif Surahman 2)

1) Peneliti BPTP Jawa Tengah 2)

Peneliti pada BPTP NTB

ABSTRAK

Jagung merupakan komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan karena selain dapat digunakan

sebagai pangan sumber karbohidrat dan protein juga penting artinya sebagai bahan baku pakan ternak dan bahan baku

industri. Jagung adalah tanaman yang banyak membutuhkan hara N, P dan K. Sebagai gambaran umum, untuk setiap ton

hasil biji, tanaman membutuhkan 27,4 kg N; 4,8 kg P; dan 18,4 K (Cooke,1985). Angkutan hara yang besar tersebut, sebagian harus dicapai dari pemberian pupuk yang jumlahnya dapat bervariasi, sangat tergantung pada kondisi tanah,

iklim, air, varietas (genetik) dan manajemen yang menentukan tingkat pertumbuhan tanaman. Pengelolaan hara N, P dan

K yang optimal spesifik lokasi dengan metode omission plot (petak omisi) perlu dilakukan di samping akan menjamin

pertumbuhan dan produktivitas jagung yang memuaskan, juga akan meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan petani, meskipun tinggi rendahnya tingkat produktivitas jagung putih di lahan kering juga disebabkan oleh terbatasnya

tingkat pengelolaan usaha tani seperti penggunaan benih berkualitas pengendalian hama/penyakit, gulma, dan kecukupan

air. Takaran pupuk pada perlakuan menggunakan takaran Urea 400kg/ha, SP 36 200 kg/ha dan KCl 200 kg/ha. Hasil

keragaan tanaman nampak kerdil pada petak dengan pupuk NK (tanpa pupuk P). Tanaman pertumbuhannya sangat terhambat bahkan ada beberapa tanaman yang mati karena kekurangan pupuk tersebut. Pada perlakuan dengan pupuk PK

(tanpa pupuk N), di semua lokasi tanaman menguning nampak defisiensi N, meskipun tanaman lebih tinggi dibanding

pertumbuhan tanaman pada perlakuan tanpa pupuk P tetapi pembentukan tongkolnya juga terhambat. Tanaman yang

dipupuk NP (tanpa pupuk K), pertumbuhannya masih cukup baik dan tidak nampak gejala defisiensi K meskipun kadar K tersedia di dalam tanah rendah. Untuk menghasilkan jagung putih dengan rata-rata hasil 5 ton/ha serapan hara N;

14.140; P: 1.405 dan K: 18.530 kg/ton biji. Pada jagung putih dengan rata-rata hasil 5 ton/ha efisiensi serapan pupuk N:

24%; P: 16% dan K: 30%. Peneliti BPTP Jawa Tengah.

Kata kunci : inovasi teknologi, spesifik lokasi, jagung, lahan marginal.

PENDAHULUAN

Jagung merupakan komoditas yang cukup potensial untuk dikembangkan karena selain dapat

digunakan sebagai pangan sumber karbohidrat dan protein, juga penting artinya sebagai bahan baku pakan

ternak, ikan, dan bahan baku industri. Komiditas ini dapat di tanam di lahan tegalan dan sawah.

Di Jawa Tengah jagung diproduksi pada agroekosistem yang beragam mulai dari yang

berproduktivitas tinggi sampai rendah dengan lahan subur hingga marjinal yang meliputi wilayah dengan

curah hujan/ketersediaan air cukup hingga terbatas. Lahan kering umumnya miskin unsur hara esensial

seperti N, P, K, Ca, dan nilai tukar kation (KTK) rendah sehingga unsur hara mudah lepas dan tercuci. Hara

N banyak yang hilang karena proses pencucian secara horisontal dan perkolasi (Prasad et al, 1996). Menurut

Kondo (1996), pengelolaan hara N dan P sangat penting artinya karena sangat vital dalam proses

pertumbuhan tanaman padi, sementara ketersediaannya sangat sedikit di tanah.

Penggunaan pupuk pada pertanaman jagung sangat beragam tergantung kondisi lahan, dan orientasi

produksi. Estimasi terkini menyampaikan bahwa 80% areal pertanaman jagung dipupuk secara pukul rata

dengantakaran sekitar 85 kg N, 25 kg P2 O 5 dan 8 KG K2O/ ha pertanaman (IFA, 2002). Takaran N lebih

dari 150 kg/ha (300 Urea kg/ha) adalah umum diberikan pada lahan sawah irigasi; bahkan pada beberapa

tempat pertanaman jagung di lahan irigasi ada yang memupuk urea lebih dari 500 kg/ha.

Pola tanam dilahan kering dataran tinggi pada umumnya berbasis palawija dan didominasi (79%)

oleh tanaman jagung. Tanaman jagung (Zea mays L.) termasuk tanaman yang memiliki arti penting dalam

perekonomian nasional (Sudaryanto, dkk, 1988). Oleh karena itu perhatian terhadap pengembangan

komoditas jagung di lahan kering perlu terus ditingkatkan. Jagung yang ditanam petani di lahan kering

kebanyakan jenis jagung putih varietas lokal untuk memenuhi kebutuhan pangan, dan sebagai bahan industri

pangan (marning, emping jagung dan lain-lain). Hingga saat ini masih sulit ditemui varietas unggul jagung

putih bersari bebas. Hal ini merupakan salah satu penyebab tingkat produktivitas yang rendah bagi jagung

lokal bahan pangan diberbagai wilayah seperti di Jawa Tengah rata-rata produktivitasnya 1,6 ton/ha.

Rendahnya produktivitas jagung di tingkat petani disebabkan oleh berbagai masalah, antara lain

adalah: (1) teknis produksi; (2) sosial ekonomi dan (3) managemen usahatani. Masalah teknis produksi

Page 249: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

287

berhubungan dengan penggunaan varietas yang ditanam dan penerapan teknik budidaya. Sementara itu

masalah sosial ekonomi antara lain berhubungan dengan ketersediaan input (sarana produksi, tenaga kerja

dan modal) harga serta pemasaran hasil.

Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui pengelolaan hara N, P dan K yang optimal spesifik

lokasi perlu dilakukan di samping akan menjamin pertumbuhan dan produktivitas jagung yang memuaskan,

juga akan meningkatkan efisiensi produksi dan pendapatan petani, meskipun tinggi rendahnya tingkat

produktivitas jagung putih di lahan kering juga disebabkan oleh terbatasnya tingkat pengelolaan usahatani

seperti penggunaan benih berkualitas pengendalian hama/penyakit, gulma dan kecukupan air.

METODOLOGI PENGKAJIAN

Pengkajian dilakukan di lahan kering milik petani pada sentra produksi jagung di Kecamatan

Kaloran, Kabupaten Temanggung. Pengkajian pengelolaan hara spesifik lokasi menggunakan petak omisi

(omission plot) adalah sebagai berikut.

- Tata letak petak omisi sejumlah lima petak, masing masing petak berukuran ± 6 x 4,2 m (15 tanaman x

7 baris, 2 tanaman per lubang, jarak tanam 40 x 70 cm).

NPK + BO NPK NP NK PK

Takaran pupuk :

- Pada perlakuan yang dipupuk N, takaran Urea 400 kg/ha.

- Pada perlakuan yang dipupuk P, takaran SP 36 200 kg/ha.

- Pada perlakuan yang dipupuk K, takaran KCl 200 kg/ha.

Model Pendekatan Pengelolaan Hara Spesifik Lokasi

Pendekatan baru untuk rekomendasi pemupukan diusulkan dalam QUEFTS model yang pada

awalnya dikembangkan untuk tanaman jagung di Afrika Timur (Jansen et al. 1990; Smaling and Janssen,

1993), dan selanjutnya diperbaiki dan digunakan dalam strategi pengelolaan hara spesifik lokasi pada padi

Asia (Witt et al. 1999; Wang et al. 2001; Dobermann et al. 2002). Pada pendekatan fokus perhatian ditujukan

untuk mengkuantitaskan kebutuhan hara N, P, dan K .

REX

UX0xUXFX(kg/ha)

Dimana :

X : adalah unsur hara N, P, dan K.

FX : adalah kebutuhan hara pupuk untuk mencapai target hasil tertentu.

UX : adalah penyerapan hara tanaman optimal yang terprediksi untuk target hasil tertentu (kg/ha).

UXox : Penyediaan hara asli tanah diukur berdasarkan penyerapan hara pada plot omisi (kg/ha).

REX : Efisiensi penyerapan hara dari pupuk yang digunakan (%).

Model penyerapan hara adalah serangkaian persamaan yang disusun ke dalam empat langkah

sebagai berikut :

1. Menduga potensi hara masing-masing N, P, dan K. Ini merupakan penjumlahan pasokan hara asli dari

tanah dan dari pupuk yang tersedia bagi tanaman selama satu penanaman. Pasokan hara asli tanah

diduga berdasarkan pengukuran tanaman (plot omisi hara) atau pun nilai uji tanah dengan menggunakan

model yang terkalibrasi.

2. Menduga serapan hara aktual sebagai fungsi pasokan potensial.

6 m

4,2 m

Page 250: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

288

3. Menduga kisaran hasil yang mungkin dicapai sebagai fungsi penyerapan hara (N, P, dan K) aktual

didasarkan pada ‖amplop‖ yang menggambarkan kisaran hasil yang mungkin dicapai per unit

penyerapan hara.

4. Menduga hasil akhir pengintegrasikan kisaran hasil yang diperoleh untuk N, P, dan K.

HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil analisis tanah di lokasi pengkajian didapatkan bahwa lokasi kajian didominasi tanah

andosol/inseptisol dimana pH asam berkisar 4,6 - 4.9; tekstur liat dengan kadar liat 59 - 80%; N total sangat

rendah yaitu 0.08 - 0.09; C organik anatara 0.75 - 0.87%; P205 potensial sedang-tinggi; 14-40 mg/100g., K

dapat ditukar rendah sampai sedang; 0,27-0.43 me/100 g; KTK: 19.08-28.19 me/100 g. Di samping itu

umumnya di lokasi kajian kandungan P potensial semua tinggi dan P tersedia semuanya rendah. Kandungan

K potensial berstatus sedang, tetapi K tersedia termasuk rendah.

Dari hasil pengamatan terhadap tanaman jagung terlihat bahwa respon tanaman di semua lokasi

tampak jelas terhadap pupuk N dan P, hal ini sesuai dengan kandungan N dan P tanah yang rendah. Pada

perlakuan tanpa pupuk N atau tanpa pupuk P, terlihat tinggi tanaman berbeda nyata dengan tanaman yang

diberi pupuk NPK, tetapi pada perlakuan tanpa K, tinggi tanaman tidak berbeda nyata dengan perlakuan

pupuk lengkap. Untuk tanaman yang tanpa diberi pupuk P terlihat kerdil, warna daun ungu, banyak yang

tidak mampu menghasilkan tongkol. Tinggi tanaman jagung perlakuan tanpa pupuk P rata-rata hanya

mencapai 145,5 cm, dan hasil ini tampak jauh dari tinggi tanaman yang diberi pupuk NPK + BO yang

mencapai 229 cm. Pada perlakuan tanpa N , tinggi tanaman rata-rata mencapai 174,7 cm dan tanpa K adalah

203,5 cm.

Pertumbuhan tanaman juga tercermin dalam berat brangkasan. Berat brangkasan kering terendah

didapat pada perlakuan tanpa pupuk P yaitu 1,9 ton/ha, perlakuan tanpa pupuk N adalah 2.24 ton/ha dan hal

ini jauh di bawah perlakuan pupuk NPK yang mencapai 4,34 ton/ha. Pada perlakuan pupuk tanpa K berat

brangkasan mencapai 3,89 ton/ha yang tidak berbeda nyata dengan perlakuan pupuk NPK lengkap. Dari

hasil penambahan pupuk organik sebanyak 5 ton/ha berupa pupuk kandang sapi masih mampu meningkatkan

berat brangkasan menjadi 5,53 ton/ha (Tabel 1). Penambahan pupuk organik di samping menambah unsur

hara juga dapat memperbaiki kegemburan tanah di wilayah perakaran, memperbaiki lengas tanah,

mengurangi kelarutan Al (Supadmo, dkk, 2004). Menurut Ar-RiZa (2002), penggunaan bahan organik dapat

memperbaiki sifat fisik dan kimia tanah terutama dalam meningkatkan kandungan C-organik, Ca, K, P,

kapasitas tanah memegang air, menurunkan kejenuhan Al dan bulk density tanah. Selanjutnya dikemukakan

bahwa pemberian pupuk organik dapat mengefisienkan penggunaan pupuk N buatan. Untuk meningkakatkan

efisiensi dan efektifitas pupuk organik, khususnya pupuk kandang, pemberiannya dianjurkan pada lubang

tugal tanaman. Oleh sebab itu untuk tetap mempertahankan tingkat kesuburan tanah pemberian pupuk

organik perlu dilakukan.

Tabel 1. Komponen Hasil Pengamatan Terhadap Tanaman Jagung Selama Pengkajian

Perlakuan Tinggi Tan.

(cm)

Berat brks

kering (t/ha)

Berat biji ka.

15,5% (t/ha)

Nisbah berat

biji/tongkol

Nisbah berat

biji/brks

PK 174,7 ab 2,24 ab 1,93 a 0,693 ab 0,862

NK 145,5 a 1,93 a 1,53 a 0,669 a 0,793

NP 203,5 bc 3,89 bc 4,35 b 0,726 ab 1,12

NPK 215,6 c 4,54 c 4,96 b 0,751 ab 1,14

NPK + Org 229,0 c 5,53 c 5,67 b 0,773 b 1,025

NPK - Luar 226,4 c 5,06 c 5,66 b 0,754 ab 1,119

Keterangan : angka pada kolom yang sama yang dikikuti dengan huruf yang sama tidak beda nyata pada taraf 0.05 .

Dari Tabel 2 terlihat bahwa pada perlakuan tanpa pupuk P di semua lokasi pertumbuhannya kurang

baik tetapi di lahan D masih agak baik dan masih memberi hasil 3.08 t/ha tetapi di lahan A dan B hanya

mencapai sekitar 0,6 t/ha hal ini karena di lahan D kandungan P2 O5 larut HCl mencapai 58 mg/100g sedang

di lahan A dan B nilainya 33 dan 39 mg/100g. Di samping itu unsur Al terlarut juga berperan dalam kelarutan

P karena Al di dalam tanah akan mengikat P menjadi suatu ikatan Al fosfat sehingga P tidak dapat diserap

tanaman. Di lahan D dengan kadar P HCl 59 mg/100g dan Al 0,23 mg/100g hasil jagung tanpa pupuk P

mencapai 3,081 t/ha tetapi di lahan E dengan P HCl 54 mg/100g dan Al 0,09 me/100g hasil jagung hanya

mencapai 1,884 t/ha dan di lahan B HCl 39 me/100g Al 2,212 me/100g hasil jagung hanya mencapai 0,627

t/ha. Pada perlakuan tanpa pupuk K (perlakuan NP) hasil jagung tak berbeda nyata dengan pada perlakuan

pupuk NPK maupun pupuk NPK + organik meskipun secara statistik tidak berbeda nyata penambahan pupuk

Page 251: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

289

K sebanyak 200 kg/ha masih mampu meningkatkan hasil sekitar 600 kg/ha. Nampaknya tanah di lokasi

kajian dengan status K sedang-tinggi respon tanaman jagung terhadap pupuk K rendah. Penambahan pupuk

organik pada perlakuan pupuk NPK meskipun tak berbeda nyata tetapi masih meningkatkan hasil rata-rata 5

lokasi 700 kg/ha. Penambahan pupuk organik disamping menambah unsur hara juga memperbaiki

kegemburan tanah. Hal ini sesuai pendapat Harjowigeno (1987) yang menyatakan bahwa pemberian pupuk

kandang selain dapat memberi tambahan unsur hara juga dapat memperbaiki struktur tanah dan

meningkatkan nilai tukar kation dan kegiatan biologi tanah.

Tabel 2. Hasil Analisa Tanah, Hasil Jagung, Rekomendasi Pupuk dan Effisiensi Serapan Pupuk N, P, K di Kaloran,

Kabupaten Temanggung.

Unsur

Kooperator

Rata-rata A B C D E

Hasil analisis tanah

N total (%) 0,07 0,05 0,06 0,05 0,07 0,062

C-organik (%) 0,84 0,75 0,84 0,87 0,83 0,826

P2 O5 HCl (mg/100g) 33 39 32,2 58 56 43,64

P2 O5 Bray (ppm) 2,4 2,5 2,7 4,3 5,3 3,44

K2 O HCl (mg/100g) 42 25 15 20 16 23,6

Kdd (me/100g) 0,76 0,44 0,25 0,3 0,27 0,404

Aldd (me/100g) 0,53 2,12 0,88 0,23 0,99 0,95

Hasil Jagung (t/ha, ka 15.5%)

PK 2,000 2,762 0,443 1,958 2,505 1,934

NK 0,610 0,627 1,461 3081 1,884 1,533

NP 2,848 5,335 4,018 4,835 4,703 4,348

NPK 3,940 6,452 4,581 4,696 5,151 4,964

NPK + Organik 4,092 6,867 4,763 5,489 7,118 5,666

NPK Luar 5,348 6,638 5,933 5,078 5,323 5,664

Rekomendasi Pupuk (kg/ha)

N 164 164 198 165 181 174

Urea 357 357 430 359 393 378

P2 O5 69 71 78 55 60 67

SP 36 192 197 216 153 167 185

K2 O 110 87 39 43 37 63

KCl 183 145 65 72 62 105

Effisiensi serapan hara dari pupuk

N 0,173 0,309 0,292 0,221 0,218 0,243

P 0,143 0,230 0,094 0,114 0,226 0,161

K 0,187 0,244 0,350 0,534 0,274 0,296

Dari nilai serapan hara dan efisiensi serapan pupuk, arahan rekomendasi pupuk N, P dan K di lahan

kering Desa Getas Kecamatan Kaloran, Kabupaten Temanggung sebagai berikut: Takaran pupuk N berkisar

antara: 164-198 kg, setara pupuk Urea: 357-430 kg/ha, rata-rata Urea 378 kg/ha, takaran pupuk P berkisar

antara 24-34 kg/ha setara P2 O5 55-78 kg/ha atau 153-216 kg/ha SP-36. Rata-rata di 5 lokasi tersebut 185

kg/ha SP-36. Takaran pupuk K berkisar antara 31-91 kg/ha setara K2 O 37-110 kg/ha atau 62-183 kg/ha KCl.

Rata-rata 5 petani 105 kg/ha KCl. Dari tiga unsur tersebut takaran pupuk K variasinya masih cukup besar

karena dari 5 lokasi lahan yang tanpa pupuk K sangat bervariasi hasil jagungnya yaitu berkisar dari 2,848-

5,335 t/ha. Untuk takaran N dan P variasinya tidak terlalu besar, karena pada perlakuan tanpa N hasil jagung

mencapai sekitar 2 ton/ha, kecuali di lokasi lahan C hasilnya 0,443 t/ha. Hal ini dimungkinkan karena kadar

liatnya sangat tinggi mencapai 80% (lihat Tabel 1), sehingga tanaman yang kekurangan N perakarannya sulit

berkembang dan menderita defisiensi N, pertumbuhan terhambat, pembentukan tongkol terhambat. Demikian

juga pada perlakuan tanpa P, hasil jagung yang sangat berbeda hanya di lahan lokasi D dengan hasil 3,081

t/ha sedang yang lain berkisar antara 0,610-1,884 t/ha.

Page 252: PROSPEK UBIJALAR BERDAGING UNGU SEBAGAI MAKANAN …ntb.litbang.pertanian.go.id/phocadownload/Prosiding... · bila dibandingkan antosianin dari kubis dan jagung merah. Oleh karena

290

KESIMPULAN

1. Tanah di Desa Getas, Kecamatan Kaloran didominasi tanah andosol/inseptisol yang mempunyai pH

asam, tekstur liat, kandungan NP dan bahan organik sangat rendah, K berstatus rendah, K berstatus

rendah sampai sedang.

2. Penambahan pupuk organik (pupuk kandang sampi 5 t/ha) pada perlakuan pupuk NPK lengkap masih

meningkatkan hasil jagung dari kisaran: 3.940-6,452 ton/ha menjadi 4,092-7,118 ton/ha (rata-rata

meningkat dari 4,964 ton/ha menjadi 5,667 ton/ha.

3. Untuk menghasilkan jagung putih dengan rata-rata hasil 5 ton/ha serapan hara N: 14,140, P: 1,405 dan

K: 18.530 ke/ton biji.

4. Pada jagung putih dengan rata-rata hasil 5 t/ha efisiensi serapan pupuk N: 24%; P: 16% dan K: 30%.

DAFTAR PUSTAKA

Ar-RiZa, I. 2002. Teknologi Aplikatif Produksi Padi Gogo di Lahan Kering Beriklim Basah. Prosiding

Seminar Nasional Oertanian Lahan Kering dan Lahan Rawa, Banjarbaru, 18-19 Desember 2002.

Dobermann, A.C. Witt, D.Dawe, G.C. Gines, R. Nagarjan, S. Satawathananont, T.T. Son, P.S. Tan, G.H.

Wang, N.V. Chien. V.T.K. Thoa, C.V. Phung. P. Stalin, P.Muthukrishnan, V.Ravi, M. Babu, S.

Chatuporn, M.Kongchum, C. Sun, R. Fu G.C. Simbahan and M.A.A. Adviento, 2002. Site- specific

Nutrient Management For Intensive Rice Cropping Systems in Asia. Field Crops Res. 74: 37-66.

Hardjowigeno, S. 1987. Ilmu tanah. Mediyatama Sarana Perkasa .Jakarta.

IFA, 2002. Fertilizer use by crop. 5 ed. IFA, IFDC, IPI, PPI, FAO, Rome.

Janssen, B.H.; F.C.T. Guiking; D.Van Der Eijk; E.M.A. Smaling, J.Wolf and H.Van Reuler, 1990. A System

for Quantitative Evaluation of the Fertili of Tropical Soils (QUEFTS). Goederma 46: 299-318.

Kondo, M. 1996. Interaction of Nutrien and water in upland rice with emphasis on root ecophysiology.

Upland rice research in partnership. In : C. Pigin, B. Curtois, and V. Schmit (Eds). Pros. Of the

Upland Rice Consortium Workshop. International Rice Research Institute. Manila. Phillippines

Prasat, K. C.V. Singh. R.K. Singh, and K.C. Mathur. 1996. Upland rice in India Prospectts and prorities.

Upland rice research in partnership. In : C. Pigin, B. Curtois, and V.Schmit (Eds). Pros. Of the

Upland Rice Consortuis Workswhop. International Rice Research Institue Manila. . Phillippines

Soepadmo, H., Forita , D.A, Dede Juanda J.S dan Sutrisno. 2004. Kajian Inovasi Teknolologi Pengelolaan

Hara Spesifik Lokasi pada Tanaman Jagung. Laporan Hasil Pengkajian BPTP Jawa Tengah.

Witt, C., A. Dobermann, S. Abdurachman; H.C. Gines, G.H. Wang; R. Nagarajan, S. Satawathananont; T.T.

Son; P. S. Tan; L.V. Tiuem, G.C. Simabahan and D.C. Olk. 1999. Internal Nutrient Efficiencies of

Irrigated Lowland rice in Tropical and Sub Tropical Asia. Field Crops Res. 63: 113-138.

Witt, C. V. Balasulabramaniam, A. Dobermann and R.J. Buresh, 2002. Nutrient Management P. 1-45. In.

T.H. Fairhust and C. Witt (Ed) Rice : A Practical Guide to Nutrient Management PPI / PPC, IRRI,

Singapure, Manila.