prospek penanganan krisis lingkungan hidup dikancah global

21
1 PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL Oleh: M. Fatkhul Damanhury 09401241012 PKnH A PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM FAKULTAS ILMU SOSIAL UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA 2012

Upload: damanhury

Post on 16-Apr-2015

253 views

Category:

Documents


4 download

DESCRIPTION

Makalah PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL merupakan tugas Matkul Perspektif Global, Jurusan PKnH, FIS, UNY

TRANSCRIPT

Page 1: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

1

PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP

DIKANCAH GLOBAL

Oleh:

M. Fatkhul Damanhury

09401241012

PKnH A

PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN

JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM

FAKULTAS ILMU SOSIAL

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2012

Page 2: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

2

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Krisis lingkungan hidup terus menjadi isu penting dalam pembuatan kebijakan

dikancah global. Mengingat dampaknya yang amat besar bagi kelanjutan kehidupan di

muka bumi. Tak peduli negara maju maupun negara berkembang semua terkena dampak

dari kerusakan lingkungan. Apalagi di era industrialisasi yang secara masif merebak di

segala penjuru dunia dalam berbagai bidang, lingkungan menjadi suatu hal yang riskan

terkena dampak negatif dari industrialisasi.

Selain itu, pembangunan dewasa ini yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi

turut menyumbang terjadinya krisis lingkungan hidup. Hal ini terlihat dari logika

pembangunan yang mengarah pada penyusutan sumber daya di bumi ini. Diawali dari

kesalahan terminoli seperti dikatakan oleh Willem Hogendirjk (Revolusi Ekonomi, terj,

1996)1 terjadi kesalahan fatal dalam terminology pertumbuhan ekonomi (economical

growth). Menurutnya, istilah pertumbuhan ekonomi seperti dinomorsatukan oleh

kebanyakan rezim dunia, sebetulnya adalah pertumbuhan produksi. Dengan aktifitas

produksi, perekonomian sesungguhnya tidak sedang berkembang, sebab sumber daya

(resources) yang bersifat langka kian menyusut.

Hogendijk mengibaratkan bumi kita saat ini ibarat sebuah kereta api yang tengah

kencang melaju menuju jurang. Ketersediaan sumber daya langka yang semakin menipis

sepertinya tidak dapat dikompensasikan lagi atau diperbaharui. Pertumbuhan produksi

yang seakan tanpa batas, agaknya berawal dari rasionalitas yang tertanam erat sejak

manusia mengenal ilmu ekonomi. Dalil optimalisasi hasil dengan biaya minimal

1 Seperti dikutip oleh Indra Ismawan. Resiko Ekologis, di Balik Pertumbuhan EKonomi, Yogyakarta: Penerbit Media pRessindo, 19999, hal: 5

Page 3: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

3

dipraktikan oleh milyaran manusia, sehingga membentuk persepsi dan tindakan secara

missal. Sudut pandang rasionalitas ekonomi menimbulkan distorsi-distorsi yang

meniadakan eksistensi sudut pandang lainnya.2

Realita mengenai prisip rasionalitas ekonomi dalam perekonomian tidak benar-

benar bermuara pada rasionalitas. Minimalisasi biaya produksi tidak benar-benar terjadi,

cost besar untuk biaya produksi justru dibebankan pada biaya ekternalitas pada generasi

manusia berkutnya.

Menanggapi hal ini sejumlah pakar dari MIT (MassachusettsInstitute of

Technology) atau Clup of Rome telah berrupaya membongkar hegemoni pertumbuhan

ekonomi, dengan mengajukan rekomendasi pertumbuhan ekonomi yang menyertakan

aspek lingkungan hidup. Ada setidaknya lima butir pemikiran dari Neo-Malthusian,

yaitu: pertama, pertumbuhan eskponensial merupakan sifat melekat pada kependudukan

dan system akumulasi capital, yaitu pola produksi massa dan reproduksi. Kedua, ada

keterbatasan potensi sumber daya di planet ini. Ada keterbtasan fisik terhadap

pertumbuhan penduduk dan capital, yang meliputi terbatasnya cadangan sumber-sumber

daya alam yang tidak dapat menyerap polusi, keterbatasan lahan yang tidak dapat

ditanami, serta keterbatasan produksi per satuan lahan. Ketiga, umpan balik yang selama

ini telah diabaikan dalam waktu lama.

Keempat, ada dua alternatif respon yang dapat diberikan: menghilangkan gejala

keterbatasan yang menghambat pertumbuhan atau memperlemah kekuatan yang

mendorong pertumbuhan. Kelima pilihanhendaknya dijatuhkan pada equilibrium state,

yaitu situasi dimana kondisi kependudukan telah mencapai derajat kestabilan pada

tingkat tertentu yang dikehendaki, dan dimana kebutuhan materiil tercukupi dengan

2 Indra Ismawan, Op. Cit, hal: 8

Page 4: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

4

memanfaatkan input yang tidak dapat diperbaharui dan yang menimbulkan polusi secara

minimal.3

Negara-negara di dunia pun ikut andil dalam penyelesaian krisis lingkungan

hidup. Melalui konferensi PBB mengenai lingkungan hidup negara-negara di dunia yang

berkomitmen terus merancang solusi yang tepat untuk menangani krisis lingkungan

hidup. Diawali dari konferensi Stockholm sampai dengan Rio+20 ditahun 2012. Di tahun

2012 lalu selain Konferensi Rio+20 agaknya Protokol Kyoto perlu mendapat sorotan

terdiri. Dimana Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun lalu tersebut diperpanjang

selama 8 tahun sampai tahun 2020. Menjadi penting lagi dimana negara-negara

penyumbang emisi gas terbesar di dunia seperti Amerika Serikat dan Cina belum juga

meratifikasi Protokol tersebut. Alhasil harapan untuk menciptakan lingkungan hidup

yang lebih baik menuai hambatan yang cukup berarti. Berdasarkan perkembangan ini

penulis melihat perlu ada kajian lebih lanjut mengenai prospek penanganan krisis

lingkungan hidup dikancah global. Kajian ini akan melihat dari sisi historis, perjalanan

penanganan yang telah berjalan sampai saat ini, dan prospek ke depan utamanya

dikaitkan dengan perpanjangan Protokol Kyoto dengan melihat komitmen dari negara-

negara maju.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai masalah sebagai

berikut:

1. Bagaimana kondisi lingkungan hidup dewasa ini?

2. Bagaimana peran negara-negara dunia dalam penanganan krisis lingkungan

hidup?

3. Bagaimana prospek penanganan krisis lingkungan hidup dikancah global?

3 Ibid, hal 26-27

Page 5: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

5

BAB II

PEMBAHASAN

A. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup

1. Pengertian lingkungan hidup

Lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ada di sekita

manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung

maupun tidak langsung.4 Lingkungan hidup sendiri merupakan sesuatu yang

berpengaruh terhadap kelangsungan hidup segenap makhluk hidup di bumi.

Adapaun dalam UU No. 23 tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang

dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia

dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia

serta makhluk hidup lainnya.5 Ruang lingkup peninjauan tentang lingkungan hidup

dapat sempit, misalnya sebuah rumah dengan pekarangannya, atau luas, misalnya

Pulau Irian. Lapisan bumi dan udara yang ada makhluknya, dapat juga dianggap

sebagai suatu lingkungan hidup besar, yaitu biosfer. Bahkan tatasurya kita atau

malahan seluruh alam semesta dapat menjadi objek tinjauan.6

2. Kondisi lingkungan hidup

Dewasa ini kondisi lingkungan hidup di bumi semakin mengkawatirkan. Es

di kutup utara terus mencair, permukaan laut naik, terjadi perubahan iklim yang

tidak teratur (perubahan yang ektrem), bencana alam yang melanda berbagai

wilayah di permukaan bumi, dan pemanasan global yang terus menggelisahkan.

Kondisi ini kemudian biasa disebut dengan krisis lingkungan hidup. 4 ____, http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/lingkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-linkungan-dan-pelestarian-.htm. diakses tanggal 7 November 2012. 5 Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 6 Otto Soemarwoto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan, hlm.52-53.

Page 6: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

6

Krisis lingkungan hidup ini terjadi karena berbagai factor. Setidaknya ada

tiga isu lingkungan global yang mencuat kepermukaan yaitu (1) masalah efek rumah

kaca, (2) hujan asam, dan (3) penipisan lapisan Ozon di stratosfir.7 Pertama, efek

rumah kaca. Efek rumah kaca adalah naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya

konsentrasi gas CO² dan gas-gas lainnya di atmosfir. Kenaikan konsentrasi gas CO²

ini desebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan

bahan bakar organic lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan

laut untuk mengabsorbsinya. Dengan meninggalkannya konsentrasi gas CO² di

atmosfir, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dengan sendirinya akan

berpengaruh pada pola tanam sistem pertanian.

Efek rumah kaca juga mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga

air laut mengambang dan terjadi kenaikan permukaan air laut. Dengan

meningkatnya suhu air laut sebesar 1,5 sampai 4,5 ºC diperkirakan akan terjadi

kenaikan permukaan sebesar sebesar 25-140 cm. walaupun kenaikan permukaan air

laut tersebut nampaknya kecil, namun telah cukup untuk menimbulkan kerugian

yang besar, terutama pada daerah yang mempunyai ketinggian yang relative rendah

terhadap permukaan air laut.

Kedua, Hujan Asam. Pembakaran bahan bakar fosil juga menghasilkan

beberapa jenis oksida beerang dan oksida nitrogen. Di utara oksida-oksida ini

mengalami proses kimia dan berubah menjadi asam. Asam yang terbentuk ini akan

akan turun ke permukaan bumi bersama-sama dengan air hujan sehingga terjadi apa

yang disebut sebagai hujan asam. Hujan asam ini akan dapat mengakibatkan

kematian benyak organism air di surngai, korosi dan kerusakan hutan yang cukup

parah. Selain hujan asam juga akan emningkatkan kelarutan beberapa jenis logam,

7 Philip Kristanto, Op. Cit., hal. 8-9.

Page 7: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

7

misalnya meningkatnya kadar Timbal (Pb) dalam air leideng. Meningkatnya kadar

timbal ini diakibatkan oleh larutnya logam tersebut dalam pipa air leideng.

Ketiga, penipisan Lapisan Ozon. Gas polutan lain yang berdampak negative

terhadap kondisi atmosfir bumi adalah Klorofluorokarbon (CFC) yang merupakan

salah satu gas buatan manusia dan banyak digunakan untuk bahan pendingin

(refrigerant); sebagai gas pendorong dalam aerosol (misalnya untuk parfum,

hairspray); untuk membuat plastik busa pada industri perabot rumah tangga; untuk

membuat styrophore sebagai bahan isolator dan bahan pelindung barang kemasan,

dan sebagainya.

B. Peran Negara Dunia Dalam Penanganan Krisis Lingkungan Hidup

Krisis lingkungan hidup yang semakin mengkawatirkan membuat berbagai pihak

untuk berlomba-lomba mencari solusi untuk menyelamatkan bumi demi generasi yang

akan datang. Negara, NGO/ LSM (nasional maupun transnasional), maupun masyarakat

umum sering menggalakan penghematan energy yang tidak terbarukan, kampanye

ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan, dan lain sebagainya. Ditingkat global

sendiri, PBB sebagai organisasi yang menaungi berbagai bangsa di dunia sejak beberapa

tahun silam terus mengadakan Konferensi Bumi/ Lingkungan Hidup. Berikut dijelaskan

mengenai konferensi Bumi/ Lingkungan Hidup yang pernah diadakan PBB dan beberapa

keputusan atau hal penting yang dihasilkan dari konferensi-konferensi itu.

1. Konferensi Stockholm (Stockholm Conference)

Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup atau

yang dikenal dengan Konferensi Stockholm (Stockholm Conference) dilaksanakan di

Stockholm, Swedia pada tahun 1972. Konferensi yang diadakan oleh PBB ini

merupakan jawaban terhadap semakin menurunnya kualitas lingkungan dan semakin

meningkatnya concern masyarakat dunia pada saat itu, dan juga atas kekhawatiran

Page 8: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

8

banyak kalangan pemerhati lingkungan di Eropa, selain itu pada saat itu juga terbit

buku riset kajian Club of Rome, yang berjudul The Limits to Growth, Club of Rome

merupakan kelompok think thank berpengaruh di Eropa yang dalam buku tersebut

memaparkan bahwa seiring kemajuan pesat indutri dan pertumbuhan penduduk dunia

sumber daya alam di bumi semakin menipis, dimana perkara ini kemudian

diasumsikan menjadi penyebab negatif yang merusak tata lingkungan global secara

masif, yang kelak jika keadaan seperti ini terus dibiarkan akan berefek buruk dan

menciptakan krisis pangan dan krisis sumber daya secara global.8

Konferensi tingkat tinggi lingkungan hidup pertama di dunia ini diikuti oleh

wakil dari 114 negara dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup, rencana aksi

lingkungan hidup, dan rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan pendukung

rencana aksi tersebut. Dalam konferensi Stockholm inilah untuk pertama kali moto

“Hanya ada satu bumu” (Only one Earth) untuk semua manusia, diperkenalkan.

Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi. Selain itu, konferensi Stockholm

menetapkan tanggal 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Indonesia pada

waktu itu diwakili oleh Prof. Dr. Emil Salim (Mentri Koordinator Pengawasan

Pembangunan dan Lingkungan Hifup).9

Isi dari deklarasi itu sendiri memuat sebuah resolusi mengenai pembentukan

United Nations Environmental Program (UNEP). UNEP sendiri merupakan motor

awal pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dalam hubungan kerjasama

antar negara, yang kemudian melahirkan gagasan dari pembangunan berkelanjutan

(Sustainable Development).

8 Clube of Rome. 1972. The Limits to Growth. Seperti dikutip Abdi Sapta. 2012. Lingkungan Hidup. diakses dari http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=8697&type=10#.UJnE0mfGnDc, tanggal 7 November 2012 9 Mulyadi. 2011. Pemanasan Global, sebuah Makalah yang disajikan dalam pelatihan “Pendidikan Konverensi Alam”, Angkatan 25. Diselenggarakan oleh The Indonesian Wildlife Conservation Foundation (IWF) dan Balai Taman Nasional Meru Betiri. Jember, Jawa Timur., hlm. 2.

Page 9: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

9

Selain itu konferensi ini telah menyetujui 106 rekomendasi yang memuat

dimuat dalam Action Plan Internasional, yang terdiri atas tiga bagian kerangka:10

a. Global assessment programme, dikenal sebagai Earthwatch;

b. Enviromental Management Activites;

c. Supporting measures: education and training, public information, and

organizational a financing arrangements

“Dalam hubungan dengan masalah lingkungan sedunia (global environment

problems), sidang umum PBB telah menerima 11 resolusi mengenai lingkungan hidup

yang dijadikan landasan bagi kebijakan lingkungan”.11 Pada saati itu, terdapat

kesepakatan dalam Konferensi Stockholm mengenai diterimanya Declaration

Enviromental yang berisi 26 asas dan 106 rekomendasi, yang kemudian dijadikan

sebagai landasan bagi kebijakan lingkungan hidup bagi banyak negara.

2. KTT Bumi (Earth Summit) 1992

KTT Bumi 1992 ini diadakan di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992,

tepatnya tanggal 16 Juni 1992. KTT ini merupakan tindak lanjut dari konferensi

Stockholm 1972, terutama mengani isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan

manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi

Stockholm). Selain KTT Bumi, KTT di Rio de Jeneiro juga dikenal sebagai

Konferensi tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on

Climate Change, NFCCC).

Konferensi tersebut dihadiri oleh 179 negara, organisasi internasional, dan

organisasi non pemerintahan dan merumuskan lima dokomen, yaitu:12

a. Deklarasi Rio; 10 Husin Ilyas. 2008. Pengelolaan Lingkungan Tingkat Nasional dalam Negara Indonesia. Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 17 nomor 1 April 2008., hal. 1-2 11 Siti Sundari Rangkuti. 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.cetakan pertama. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 2 12 Mulyadi., Op. Cit., hlm. 3.

Page 10: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

10

b. Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim;

c. Konvensi Keanekaragaman Hayati;

d. Prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan;

e. Agenda 21.

a. Agenda 21 berisi program pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan

yang didefinisikan sebagai pembangunan yang berwawasan atau peduli

pelestarian lingkungan. Artinya dalam perencanaan pembangunan perlu upaya

yang dapat meminimalisasi terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan

pembangunan itu sendiri.

b. Konvensi Keanekaragaman Hayati

Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah setiap negara

mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber daya hayati sesuai

dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung

jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam

yuridiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau

kawasan di luar batas yuridiksi nasional.13 Dibentuknya konvensi ini memiliki tiga

tujuan utama, yaitu14:

1. Konservasi keanekaragaman hayati.

2. Pemanfaatan berkelanjutan komponen-komponennya.

3. Pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari penggunaan

sumber daya genetik.

c. Prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan

Prinsip-prinsip pengelolaan hutan terdiri dari 13 butir yang berisi tentang

bagaimana peran negara dalam pengelolaan hutan dengan pengambilan kebijakan

13 Ibid. 14 Ibid., hlm. 5

Page 11: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

11

yang tepat. Lebih lanjut 13 butir prinsip ini dapat dilihat dalam Siti Sundari

Rangkuti (1996), Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.

d. Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB

Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB atau istilah yang lebih dikenal

UNFCCC, merupakan perjanjian internasional yang bersifat mengikat secara

hukum dan diakui umum oleh masyarakat internasional dalam menanggapi

perubahan iklim. Tujuan konvensi ini adalah menstabilkan emisi gas rumah kaca

(GRK) ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem

iklim bumi dan berada di tingkat aman.

3. Protokol Kyoto

Protokol Kyoto sebagai instrumen yang mengatur lebih lanjut implementasi

konvensi perubahan iklim menetapkan kewajiban bagi Negara maju (disebut Negara

Annex I) untuk menurunkan emisi mereka secara rata-rata 5% di bawah tingkat emisi

tahun 1990. Hal ini disepakati karena negara maju sampai saat ini merupakan

penyumbang terbesar terhadap peningkatan konsentrasi GRK di atmasofer. Target

penurunan emisi tersebut harus sudah dapat dicapai pada periode komitmen pertama

yaitu 2008-2012. Dalam melakukan upaya penurunan emisi. Negara Annex I dapat

melakukannya di Negara berkembang melalui mekanisme pembangunan bersih yang

dikenal sebagai CDM (Clean Development Mechanisem).15

Dengan diadopsinya Protokol Ktoto tidak berarti bahwa perundingan tentang

perlindungan iklim Bui ini telah berakhir. Para pihak Konvensi Perubahan Iklim akan

terus melakukan komitmen mereka menurut ketentuan-ketentuan konvensi dan akan

menyiapkan implementasi protokol yang disertai dengan tatacara dan aturan yang

15 Ibid., hlm. 13.

Page 12: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

12

disepakati. Meskipun demikian, perundingan berjalan sangat lamban selama bertahun-

tahun dengan segala liku-likunya.16

Pasca diadopsinya Protokol Kyotodi CoP3 pembicaraan mengenai

implementasi instrument hukum ini mengalami pasang surut. Dimulai dari Buenos

Aires tahun 1998 (CoP4), Bornn tahun 1999 (CoP5), Den Haag tahun 2000 (CoP6,

Bonn awal tahun 2001 (CoP6-Bagian II), Marrakesh, Maroko, akhir tahun 2001

(CoP7), dan New Delhi (CoP8) akhir tahun 2002. Semangat perundingan mencapai

titik terendah pada awal tahun 2001 ketika Amerika Serikat menentang dan menolak

perjanjian ini tiga bulan setelah CoP6 bulan November di Den Hagg. Semuanya

kembali lancar ketika CoP7 Para Pihak yang terpolarisasi antara negara maju dan

negara berkembang kembali menerima dan tidak mempertahnkan posisi masing-

masing di CoP-CoP sebelumnya. Pada akhirnya Para pihak meratifikasi Protokol ini.

Dalam isu lingkungan ini yang paling memiliki tanggungjawab adalah negara-

negara maju. Negara-negara inilah yang emisi totalnya pada tahun 1990 adalah 13,7

Gt (giga-ton= 10ଽ ton). Seperti terlihat dalam table lampiran terakhir pada Protokol

Kyoto, secara persentase kontribusi terbesar adalah AS (36,1), disusul oleh Rusia

(17,4), Jepang (8,5), Jerman (7,4), Inggris (4,2), Kanada 3,3), Italia (3,1), Polandia

((3), Perancis (2,7), Australia (2,1), empat negara antara 1-2 persen, 17 negara di

bawah 1 persen dan sisanya tiga negara 0 persen.

Dalam protokol ini ada tiga mekanisme yang dapat dipilih guna ikut

berpartisipasi melaksanakan isi protocol untuk para Pihak, yaitu: (1) Mekanisme

Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM); (2) Joint

Implementation (JI) dan; (3) Emission Trading (ET).

1) CDM

16 Daniel Muldiarso. 2005. Protokol Kyoto: Implikasi bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Kompas, Cetakan Kedua., hlm. 7.

Page 13: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

13

Secara umum CDM merupakan kerangka multilateral yang

memungkinkan negara maju melkukan investasi di negara berkembang untuk

mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang

berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan tujuan

memberikan aturan dasar bagi kegiatan proyek yang dapat menghasilkan

pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER).17

Dalam perjalanannya, pelaksanaan kegiatan A/R CDM sangat sedikit.

Volume perdagangan karbon dari kegiatan A/R CDM hanya sekitar 0,002%,

sedangkan sisanya dari kegiatan CDM energi. Hal ini disebabkan karena

kompleksnya aturan dan prosedur perhitungan kredit penurunan emisi dan sifat

kredit yang dihasilkan juga tidak permanen seperti halnya kredit penurunan emisi

dari proyek energi. Dilain pihak emisi dari kegiatan LULUCF sangat besar.

Secara global dalam periode 20 tahun terakhir, emisi dari LULUCF mencapai

1,65 Gt carbon per tahun dan lebih dari 80% berasal dari Negara berkembang,

khususnya Negara berhutan tropis akibat dari konversi lahan menjadi pengguna

lain.

Lapaoran IPCC (2007) menunjukan bahwa laju kehilangan hutan sudah

mencapai tingkat yang membahayakan yaitu sekita 13 juta ha/tahun terutama dari

kegiatan alih guna lahan menjadi lahan pertanian dan perkebunan (deforestasi).

Kerusakan hutan juga cukup tinggi yaitu sekitar 7,3 juta ha/tahun selama periode

2000-2005. Oleh karena itu, upaya penurunan emisi dari kegiatan pencegahan

deforestasi akan memberikan dampak yang besar dalam menstabilkan konsentrasi

GRK di atmosfer sehingga dapat menurunkan laju pemanasan global.18

2) JI

17 Daniel Muldiarso., Op. Cit., hlm. 52. 18 Mulyadi., Op. Cit., hlm, 14.

Page 14: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

14

Meskipun Pasal 6 Protokol Kyoto tidak memiliki judul, bahkan tidak

menggunakan istilah JI, pasal ini membahas cara-cara untuk mengalihkan unit

pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU) yang diperoleh dari suatu

kegiatan di negara maju ke negara maju yang lainnya. Konsep yang mendasari

mekanisme Kyoto yang satu ini adalah teori ekonomi klasik yaitu dengan input

yang sekecil mungkin diharapkan akan memperoleh output yang sebesar mungkin,

karena itu JI akan mengutamakan cara-cara yang murah atau yang paling

menguntungkan bagi yang menanamkan modalnya. Kegiatan JI akan didanai oleh

sector swasta untuk menghasilkan ERU.19

Pedoman pelaksanaan JI menekankan hal-hal sebagai berikut:

a) Dibentuknya Komite Pengawas (Supervisory Committee) pelaksanaan

Pasal 6 dibawah CoP/ moP)

b) Para pihak yang terlibat harus memnuhi persyaratan keabsahan (eligibility

requerements) dengan berbagai ketentuannya

c) Para pihak yang terlibat harus mengikuti prosedur verifikasi yang

ditentukan Komite Pengawas.

3) ET

Jika negara maju mengemisikan GRK di bawah jatah yang diizinkan,

maka negara tersebut dapat menjual volume GRK yang tidak diemisikannya

kepada negara maju lain yang tidak dapat memnuhi kewajibannya. Skema ini

selanjutnya disebut perdagangan emisi (emission Trading, ET) dengan komoditas

berupa unit jatah emisi (assigned Amount Unit, AAU). Namun demikian, jumlah

GRK yang dapat diperdagangkan dibatasi sehingga negara pembeli tetap harus

memenuhi kewajiban domestiknya dan sesuai dengan ketentuan Protokol Kyoto.

19 Ibid., hlm. 48.

Page 15: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

15

ET harus diperlakukan sebagai suplemen atas kegiatan domenstik tersebut.

Demikian ketentuan Pasal 17 Protokol Kyoto.20 Konsep semacam ini telah

berhasil menghapuskan (phase-out) penggunaan bahan-bahan perusak lapisan

ozon (Ozone Depleting Substances, ODS).

Ketentuan dalam Protokol Kyoto mengenai pelaksanaan ET tidak

menyebutkan bahwa pihak swasta juga diizinkan mengikuti mekanisme ini, hal ini

berbeda dengan JI dan CDM.

4. KTT Bumi Rio+20

KTT Bumi Rio+20 diadakan untuk menindaklanjuti KTT Bumi di Rio de

Janeiro 20 tahun silam. Konferensi yang diadakan pada bulan Juni 2012 ini dihadiri

oleh 100 Kepala negara dan pemerintahan dan lebih dari 40.000 perwakilan lembaga

swadaya masyarakat, perusahaan, dan masyarakat sipil. Secara garis besar dalam

konferensi tersebut PBB kembali menggaungkan pentingnya implementasi dari isu

global, Green Economy atau ekonomi hijau dengan slogan “pro-growt, pro-job, and

pro-poor”, suatu inisiatif tentang ekonomi modern yang merespon persoalan

lingkungan dan menjawab masalah kemiskinan serta kesenjangan ekonomi dunia.

Inisiatif Green Economy dalam Tatanan Global. Gagasan tentang ekonomi

hijau berangkat dari keyakinan para ekonomi environmentalist dunia tentang

kegagalan pasar “market failure” yang menumbuhkan ketidakpercayaan akan sistem

kapitalis karena telah memunculkan persoalan kemiskinan dan ketidakadilan global.

Sementara aktivitas-aktivitas ekonomi telah mengakibatkan bermunculannya

permasalahan lingkungan seperti krisis ekologi, eksploitasi sumber daya alam yang

mengakibatkan pada kelangkaan, hingga berujung kepada isu yang menuntut

20 Ibid., hlm. 57-58.

Page 16: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

16

perhatian khusus warga dunia, yaitu perubahan iklim “climate change” dan

pemanasan global “global warming.”21

Konferensi ini memiliki tiga tujuan22, yaitu: (1) memperbaharui komitmen

politik atas pembangunan berkelanjutan, (2) mengidentifikasi kesenjangan antara

progres kemajuan dan implementasi dalam mencapai komitmen-komitmen lama yang

telah disetujui, serta; (3) mengatasi berbagai tantangan baru yang terus berkembang.

Dalam konferensi ini muncul slogan “Future We Want” atau Masa Depan

yang Kita Mau. Hasil dari konferensi bumi kedua ini adalah sebuah dokumen final

The Future We Want. Isi dari dokumen The Future We Want adalah terdiri dari 283

poin sebagaian besar adalah penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm (1972),

Deklarasi Rio dan juga Agenda 21 (1992).

Selain empat konferensi di atas pada bulan September Tahun 2000 terdapat

suatu paradigm baru dalam pembangunan global. Paradigm tersebut terdapat pada

Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan

menjadi TUjuan Pembangunan Milenium, dideklarasikan di KTT Milenium oleh 189

negara anggota PBB di New York. Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs

adalah Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 Tanggal 18 September 2000,

(A/Ris?55?2 United Nations Millennium Development Goals).

Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk

mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam

upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang

pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan

21 Fathur Anas. KTT Rio+20 dan Green Economy. Opini Okezone.com tanggal 21 Juni 2012, diakses dari www.okezone.com pada tanggal 7 November 2012. Fathur Anas adalah seorang Peneliti di Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta 22 www.wikipedia.co.id, diakses tanggal 7 November 2012

Page 17: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

17

pembangunan. Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah

paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam beberapa tujuan yaitu:

a) Menanggulagi Kemiskinan dna Kelaparan;

b) Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua

c) Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan;

d) Menurunkan Angka Kematian Anak;

e) Meningkatkan Kesehatan Ibu;

f) Memerangi HIV/AIDs, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya;

g) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan

h) Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.

Dalam setiap tujuan ditetapkan target-target dan indicator pencapaian atau

kemajuan hingga tahun 2015. Untuk tujuan ketujuh yang berkaitan dengan

lingkungan hidup ada empat target pencapaian, yaitu: (1) Target 7A: Memadukan

prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan program negara serta

mengakhiri kerusakan sumber daya; (2) Target 7B: Mengurangi laju hilangnya

keragaman hayati, dan mencapai pengurangan yang signifikan pada 2010; (3) Target

7C: Menurunkan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses yang

berkelanjutan terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar pada 2015; (4)Target

7D: Pada 2020 telah mencapai perbaikan signifikan dalam kehidupan (setidaknya)

100 juta penghuni kawasan kumuh.23

C. Prospek Penanganan Krisis Lingkungan Hidup Dikancah Global

1. Protokol Kyoto: Harapan Semu Tanpa Keterlibatan Negara Maju

Pada tahun 2012 lalu masa berlaku Protokol Kyoto telah habis. Perjanjian

yang dibuat tahun 1997 itu di Kyoto, Jepang mewajibkan negara-negara industry

23 Peter Stalker.Laporan Pencapaian Target MDGs di Indonesia, Cetakan Kedua, 2008, hal: 34

Page 18: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

18

memangkas emisi gas rumah kaca. Dalam mengatasi habisnya masa berlaku

Protokol Kyoto, pada akhir tahun 2012 diadakan KTT Iklim PBB di Doha, Qatar.

Hampir 200 negara yang ikut KTT ini sepakat untuk memperpanjang Protokol

Kyoto sampai 2020 atau diperpanjang 8 tahun terhitung dari 1 Januari 2013.

Namun, harapan komitmen dari negara-negara maju untuk berperan dalam

pengurangan emisi gas tak kunjung tercapai saat momentum perpanjangan

Protokol Kyoto. Dua negara maju, sebagai salah satu penyumbang emisi karbon

terbesar di dunia, Kanada dan Amerika Serikat keluar dari Protokol Kyoto.

Sementara itu, tiga negara maju lainnya, Rusia, Jeapng, dan Selandia Baru

memutuskan tetap menjadi anggota Protokol Kyoto namun tidak berkomitmen

untuk menurunkan emisi. Selebihnya, 37 negara maju dan Uni Eropa menyepakati

pelaksanaan periode kedua selama 8 tahun. Keseluruhan emisi dari negara-negara

ini hanya 20% dari total emisi karbon dunia.24

Dalam perjalanan panjang Protokol Kyoto, Amerika Serikat tidak pernah

meratifikasi Protokol ini. Negara tersebut berdalih jika terlibat dalam Protokol

akan mengganggu kondisi perekonomian dalam negeri mereka. Setidaknya alasan

yang diungkapkan oleh Presiden Bush kepada para senator menggambarkan

mengapa negara adikuasa tersebut menolak Protokol Kyoto, yaitu:

a) Delapan puluh persen penduduk dunia (termasuk yang berpenduduk besar

seperti CIna dan India) dibebaskan dari kewajiban menurunkan emisi;

b) Implementasi Protokol Kyoto akan berpengaruh negative terhadap

pertumbuhan ekonomi AS karena pergantian pembangkitan energy dengan

batu bara menjadi gas akan sangat sulit;

24 Aji Wihardandi. “COP-18 Doha: Negara-negara Maju Lepas Tangan dari Protokol Kyoto”, 2012, diakses dari http://www.mongabay.co.id/category/lingkungan-hidup/

Page 19: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

19

c) Protokol Kyoto adalah cara mengatasi masalah perubahan iklim global

yang tidak adil dan tidak efektif;

d) CO2 menurut undnag-undang AS, ‘Clean Air Act’ tidak dianggap sebagai

pencemar sehingga secara domestic tidka perlu diatur emisinya;

e) Kebenaran ilmiah perubahan iklim dan cara-cara untuk memecahkan

persoalannya didukung oleh pemahaman ilmiah yang terbatas.25

Pada tanggal 16 Februari 2005, Protokol Kyoto mulai berlaku setelah

berhasil mengumpulkan jumlah minimum negara yang meratifikasinya. Sejauh

ini, 187 negara telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto. Protocol

Kyoto mewajibkan bahwa 37 negara industry (disebut negara-negara Annex I)

untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 5,2 persen dibawah

tingkat emisi tahun 1990. Namun, hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto

sampai adanya kesepakatan perpanjangan sampai 2020, tidak ada komitmen serius

yang ditunjukkan lewat konvensi legal oleh negara-negara maju untuk menekan

tingkat emisi. Apalagi fakta terbaru mengungkapkan, bahwa emisi karbon tahun

ini (2012) meningkat 2,6 %, atau sekitar 58% jauh lebih tinggi dibandingkan emisi

karbon dunia tahun 1990.26

2. KTT Perubahan Iklim di Doha, Qatar

KTT perubahan Iklim di Doha, Qatar yang diadakan di bulan Desember

2012 lalu, bisa dikatakan sebagai kemunduran dalam upaya penanganan krisis

lingkungan hidup. Pasalnya dari 187 negara yang bersedia menandatangani

Protokol Kyoto, hanya tersisa 37 negara. Selain itu negara-negara maju yang

banyak menyumbang emisi gas rumah kaca justru melepas tanggungjawab dan

tidak terikat dalam periode kedua protocol Kyoto. Padahal agenda besar dari

25 Daniel Muldiarso, Op. Cit., hal: 26-27 26 AJi Wihardandi. Log. Cit.

Page 20: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

20

perpanjangan masa berlaku Protokol untuk memberi waktu pada negara maju

untuk mengurangi emisi gas mereka seperti target yang telah ditentukan.

Sebut saja Kanada yang mengikuti jejak Amerika Serikat untuk keluar dari

keterikatan terhadap Protokol Kyoto. Di lain pihak Jepang, Rusia, dan Selandia

Baru menyetujui tapi tidak mau berkomitmen menurunkan emisi sesuai

kesepakatan. Realita ini membuat pesimistis terhadap penanganan perubahan

iklim di kancah global.

3. Solusi Yang Ditawarkan

Melihat realitas perjalanan panjang Protokol Kyoto agaknya negara-negara

maju harus kembali memikirkan komitmen mereka. Komitmen untuk terlibat

dalam implementasi Protokol ini, terkait dengan pengurangan emisi gas karbon.

Mengingat tak bisa dipungkiri, merekalah penyumbang paling besar emisi gas

karbon. Tanpa keterlibatan mereka perpanjangan Protokol Kyoto sampai 2020

hanya merupakan harapan semu belaka. Ditambah fakta yang menunjukkan

temperature bumi semakin naik seperti disampaikan oleh Menteri Luar Negeri

Perancis Laurent Fabius (Kompas.com, 7/12).

Kedua, persoalan perubahan iklim merupakan persoalan global yang

berdampak nasional maupun lokal. Banyak wilayah dimuka bumi ini yang telah

terkena dampak perubahan iklim, seperti di Amerika Serikat yang diterjang

Bandai Sandy, Topan Evan di Samoa dan Fiji, dan Badai Washi yang

menghantam Philipina pecan lalu yang menewaskan ribuan orang. Untuk itu

selain komitmen dari negara maju untuk mengurangi emisi gas karbon, penduduk

bumi harus terus menggalakkan kehidupan yang hemat energi dan penghijauan.

Seperti, gerakan penanaman pohon, gerakan bersepeda untuk mengurangi polusi

akibat penggunaan sepeda motor.

Page 21: PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL

21

BAB III

KESIMPULAN

Berdasarkan pembahasan dari kajian mengenai prospek penanganan krisis lingkungan

hidup dikancah global dapat disimpulkan bahwa, pertama, bumi terus mengalami krisis atau

kerusakan seiring dengan industrialisasi disegala bidang dan penggalakan pertumbuhan

produksi di berbagai negara. Alhasil, lingkungan terus tercemari oleh limbah industri, polusi

terus mencemari udara yang kita hirup, dan yang paling mengkawatirkan adanya bencana

alam yang terus melanda wilayah dimuka bumi ini tak peduli di barat (Badai Sandy), maupun

di timur (Badai Washi di Filipina, yang menewaskan ribuan orang).

Kedua, penanganan krisis lingkungan hidup cenderung menggelisahkan dan

menimbulkan sikap pesimistis ketika negara-negara maju tidak berkomitmen dalam

pengurangan emisi gas karbon. Negara-negara maju harus kembali memikirkan keterlibatan

mereka pada Protokol Kyoto. Ketiga, walau kajian ini berfokus pada peran negara-negara di

dunia, isu lingkungan hidup yang berdampak secara nasional maupun lokal perlu keterlibatan

entitas penduduk bumi. Penduduk bumi dibelahan manapun mereka berada perlu bersama-

sama terus bergerak dalam pengurangi dampak krisis lingkungan hidup. Hal ini bisa

dilakukan dengan jalan, melakukan gerakan hemat energi, menggalakkan bersepeda atau

jalan kaki, atau bahkan menggalakkan penggunaan bahan daur ulang seperti paperless

gerakan untuk menggunakan kertas bekas untuk mencetak.