prospek penanganan krisis lingkungan hidup dikancah global
DESCRIPTION
Makalah PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP DIKANCAH GLOBAL merupakan tugas Matkul Perspektif Global, Jurusan PKnH, FIS, UNYTRANSCRIPT
1
PROSPEK PENANGANAN KRISIS LINGKUNGAN HIDUP
DIKANCAH GLOBAL
Oleh:
M. Fatkhul Damanhury
09401241012
PKnH A
PROGRAM STUDI PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN
JURUSAN PENDIDIKAN KEWARGANEGARAAN DAN HUKUM
FAKULTAS ILMU SOSIAL
UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA
2012
2
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Krisis lingkungan hidup terus menjadi isu penting dalam pembuatan kebijakan
dikancah global. Mengingat dampaknya yang amat besar bagi kelanjutan kehidupan di
muka bumi. Tak peduli negara maju maupun negara berkembang semua terkena dampak
dari kerusakan lingkungan. Apalagi di era industrialisasi yang secara masif merebak di
segala penjuru dunia dalam berbagai bidang, lingkungan menjadi suatu hal yang riskan
terkena dampak negatif dari industrialisasi.
Selain itu, pembangunan dewasa ini yang mengarah pada pertumbuhan ekonomi
turut menyumbang terjadinya krisis lingkungan hidup. Hal ini terlihat dari logika
pembangunan yang mengarah pada penyusutan sumber daya di bumi ini. Diawali dari
kesalahan terminoli seperti dikatakan oleh Willem Hogendirjk (Revolusi Ekonomi, terj,
1996)1 terjadi kesalahan fatal dalam terminology pertumbuhan ekonomi (economical
growth). Menurutnya, istilah pertumbuhan ekonomi seperti dinomorsatukan oleh
kebanyakan rezim dunia, sebetulnya adalah pertumbuhan produksi. Dengan aktifitas
produksi, perekonomian sesungguhnya tidak sedang berkembang, sebab sumber daya
(resources) yang bersifat langka kian menyusut.
Hogendijk mengibaratkan bumi kita saat ini ibarat sebuah kereta api yang tengah
kencang melaju menuju jurang. Ketersediaan sumber daya langka yang semakin menipis
sepertinya tidak dapat dikompensasikan lagi atau diperbaharui. Pertumbuhan produksi
yang seakan tanpa batas, agaknya berawal dari rasionalitas yang tertanam erat sejak
manusia mengenal ilmu ekonomi. Dalil optimalisasi hasil dengan biaya minimal
1 Seperti dikutip oleh Indra Ismawan. Resiko Ekologis, di Balik Pertumbuhan EKonomi, Yogyakarta: Penerbit Media pRessindo, 19999, hal: 5
3
dipraktikan oleh milyaran manusia, sehingga membentuk persepsi dan tindakan secara
missal. Sudut pandang rasionalitas ekonomi menimbulkan distorsi-distorsi yang
meniadakan eksistensi sudut pandang lainnya.2
Realita mengenai prisip rasionalitas ekonomi dalam perekonomian tidak benar-
benar bermuara pada rasionalitas. Minimalisasi biaya produksi tidak benar-benar terjadi,
cost besar untuk biaya produksi justru dibebankan pada biaya ekternalitas pada generasi
manusia berkutnya.
Menanggapi hal ini sejumlah pakar dari MIT (MassachusettsInstitute of
Technology) atau Clup of Rome telah berrupaya membongkar hegemoni pertumbuhan
ekonomi, dengan mengajukan rekomendasi pertumbuhan ekonomi yang menyertakan
aspek lingkungan hidup. Ada setidaknya lima butir pemikiran dari Neo-Malthusian,
yaitu: pertama, pertumbuhan eskponensial merupakan sifat melekat pada kependudukan
dan system akumulasi capital, yaitu pola produksi massa dan reproduksi. Kedua, ada
keterbatasan potensi sumber daya di planet ini. Ada keterbtasan fisik terhadap
pertumbuhan penduduk dan capital, yang meliputi terbatasnya cadangan sumber-sumber
daya alam yang tidak dapat menyerap polusi, keterbatasan lahan yang tidak dapat
ditanami, serta keterbatasan produksi per satuan lahan. Ketiga, umpan balik yang selama
ini telah diabaikan dalam waktu lama.
Keempat, ada dua alternatif respon yang dapat diberikan: menghilangkan gejala
keterbatasan yang menghambat pertumbuhan atau memperlemah kekuatan yang
mendorong pertumbuhan. Kelima pilihanhendaknya dijatuhkan pada equilibrium state,
yaitu situasi dimana kondisi kependudukan telah mencapai derajat kestabilan pada
tingkat tertentu yang dikehendaki, dan dimana kebutuhan materiil tercukupi dengan
2 Indra Ismawan, Op. Cit, hal: 8
4
memanfaatkan input yang tidak dapat diperbaharui dan yang menimbulkan polusi secara
minimal.3
Negara-negara di dunia pun ikut andil dalam penyelesaian krisis lingkungan
hidup. Melalui konferensi PBB mengenai lingkungan hidup negara-negara di dunia yang
berkomitmen terus merancang solusi yang tepat untuk menangani krisis lingkungan
hidup. Diawali dari konferensi Stockholm sampai dengan Rio+20 ditahun 2012. Di tahun
2012 lalu selain Konferensi Rio+20 agaknya Protokol Kyoto perlu mendapat sorotan
terdiri. Dimana Protokol Kyoto yang berakhir pada tahun lalu tersebut diperpanjang
selama 8 tahun sampai tahun 2020. Menjadi penting lagi dimana negara-negara
penyumbang emisi gas terbesar di dunia seperti Amerika Serikat dan Cina belum juga
meratifikasi Protokol tersebut. Alhasil harapan untuk menciptakan lingkungan hidup
yang lebih baik menuai hambatan yang cukup berarti. Berdasarkan perkembangan ini
penulis melihat perlu ada kajian lebih lanjut mengenai prospek penanganan krisis
lingkungan hidup dikancah global. Kajian ini akan melihat dari sisi historis, perjalanan
penanganan yang telah berjalan sampai saat ini, dan prospek ke depan utamanya
dikaitkan dengan perpanjangan Protokol Kyoto dengan melihat komitmen dari negara-
negara maju.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang di atas, dapat dirumuskan berbagai masalah sebagai
berikut:
1. Bagaimana kondisi lingkungan hidup dewasa ini?
2. Bagaimana peran negara-negara dunia dalam penanganan krisis lingkungan
hidup?
3. Bagaimana prospek penanganan krisis lingkungan hidup dikancah global?
3 Ibid, hal 26-27
5
BAB II
PEMBAHASAN
A. Tinjauan Tentang Lingkungan Hidup
1. Pengertian lingkungan hidup
Lingkungan dapat diartikan sebagai segala sesuatu yang ada di sekita
manusia yang mempengaruhi perkembangan kehidupan manusia baik langsung
maupun tidak langsung.4 Lingkungan hidup sendiri merupakan sesuatu yang
berpengaruh terhadap kelangsungan hidup segenap makhluk hidup di bumi.
Adapaun dalam UU No. 23 tahun 1997, lingkungan hidup adalah kesatuan ruang
dengan semua benda dan kesatuan makhluk hidup termasuk di dalamnya manusia
dan perilakunya yang melangsungkan perikehidupan dan kesejahteraan manusia
serta makhluk hidup lainnya.5 Ruang lingkup peninjauan tentang lingkungan hidup
dapat sempit, misalnya sebuah rumah dengan pekarangannya, atau luas, misalnya
Pulau Irian. Lapisan bumi dan udara yang ada makhluknya, dapat juga dianggap
sebagai suatu lingkungan hidup besar, yaitu biosfer. Bahkan tatasurya kita atau
malahan seluruh alam semesta dapat menjadi objek tinjauan.6
2. Kondisi lingkungan hidup
Dewasa ini kondisi lingkungan hidup di bumi semakin mengkawatirkan. Es
di kutup utara terus mencair, permukaan laut naik, terjadi perubahan iklim yang
tidak teratur (perubahan yang ektrem), bencana alam yang melanda berbagai
wilayah di permukaan bumi, dan pemanasan global yang terus menggelisahkan.
Kondisi ini kemudian biasa disebut dengan krisis lingkungan hidup. 4 ____, http://afand.abatasa.com/post/detail/2405/lingkungan-hidup-kerusakan-lingkungan-pengertian-kerusakan-linkungan-dan-pelestarian-.htm. diakses tanggal 7 November 2012. 5 Dalam UU No. 23 Tahun 1997 tentang Pengelolaan Lingkungan Hidup. 6 Otto Soemarwoto. 2004. Ekologi, Lingkungan Hidup dan Pembangunan. Jakarta: Penerbit Djambatan, hlm.52-53.
6
Krisis lingkungan hidup ini terjadi karena berbagai factor. Setidaknya ada
tiga isu lingkungan global yang mencuat kepermukaan yaitu (1) masalah efek rumah
kaca, (2) hujan asam, dan (3) penipisan lapisan Ozon di stratosfir.7 Pertama, efek
rumah kaca. Efek rumah kaca adalah naiknya suhu permukaan bumi karena naiknya
konsentrasi gas CO² dan gas-gas lainnya di atmosfir. Kenaikan konsentrasi gas CO²
ini desebabkan oleh kenaikan pembakaran bahan bakar minyak, batu bara, dan
bahan bakar organic lainnya yang melampaui kemampuan tumbuh-tumbuhan dan
laut untuk mengabsorbsinya. Dengan meninggalkannya konsentrasi gas CO² di
atmosfir, maka akan semakin banyak gelombang panas yang dengan sendirinya akan
berpengaruh pada pola tanam sistem pertanian.
Efek rumah kaca juga mengakibatkan meningkatnya suhu air laut sehingga
air laut mengambang dan terjadi kenaikan permukaan air laut. Dengan
meningkatnya suhu air laut sebesar 1,5 sampai 4,5 ºC diperkirakan akan terjadi
kenaikan permukaan sebesar sebesar 25-140 cm. walaupun kenaikan permukaan air
laut tersebut nampaknya kecil, namun telah cukup untuk menimbulkan kerugian
yang besar, terutama pada daerah yang mempunyai ketinggian yang relative rendah
terhadap permukaan air laut.
Kedua, Hujan Asam. Pembakaran bahan bakar fosil juga menghasilkan
beberapa jenis oksida beerang dan oksida nitrogen. Di utara oksida-oksida ini
mengalami proses kimia dan berubah menjadi asam. Asam yang terbentuk ini akan
akan turun ke permukaan bumi bersama-sama dengan air hujan sehingga terjadi apa
yang disebut sebagai hujan asam. Hujan asam ini akan dapat mengakibatkan
kematian benyak organism air di surngai, korosi dan kerusakan hutan yang cukup
parah. Selain hujan asam juga akan emningkatkan kelarutan beberapa jenis logam,
7 Philip Kristanto, Op. Cit., hal. 8-9.
7
misalnya meningkatnya kadar Timbal (Pb) dalam air leideng. Meningkatnya kadar
timbal ini diakibatkan oleh larutnya logam tersebut dalam pipa air leideng.
Ketiga, penipisan Lapisan Ozon. Gas polutan lain yang berdampak negative
terhadap kondisi atmosfir bumi adalah Klorofluorokarbon (CFC) yang merupakan
salah satu gas buatan manusia dan banyak digunakan untuk bahan pendingin
(refrigerant); sebagai gas pendorong dalam aerosol (misalnya untuk parfum,
hairspray); untuk membuat plastik busa pada industri perabot rumah tangga; untuk
membuat styrophore sebagai bahan isolator dan bahan pelindung barang kemasan,
dan sebagainya.
B. Peran Negara Dunia Dalam Penanganan Krisis Lingkungan Hidup
Krisis lingkungan hidup yang semakin mengkawatirkan membuat berbagai pihak
untuk berlomba-lomba mencari solusi untuk menyelamatkan bumi demi generasi yang
akan datang. Negara, NGO/ LSM (nasional maupun transnasional), maupun masyarakat
umum sering menggalakan penghematan energy yang tidak terbarukan, kampanye
ekonomi hijau, pembangunan berkelanjutan, dan lain sebagainya. Ditingkat global
sendiri, PBB sebagai organisasi yang menaungi berbagai bangsa di dunia sejak beberapa
tahun silam terus mengadakan Konferensi Bumi/ Lingkungan Hidup. Berikut dijelaskan
mengenai konferensi Bumi/ Lingkungan Hidup yang pernah diadakan PBB dan beberapa
keputusan atau hal penting yang dihasilkan dari konferensi-konferensi itu.
1. Konferensi Stockholm (Stockholm Conference)
Konferensi Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) tentang lingkungan hidup atau
yang dikenal dengan Konferensi Stockholm (Stockholm Conference) dilaksanakan di
Stockholm, Swedia pada tahun 1972. Konferensi yang diadakan oleh PBB ini
merupakan jawaban terhadap semakin menurunnya kualitas lingkungan dan semakin
meningkatnya concern masyarakat dunia pada saat itu, dan juga atas kekhawatiran
8
banyak kalangan pemerhati lingkungan di Eropa, selain itu pada saat itu juga terbit
buku riset kajian Club of Rome, yang berjudul The Limits to Growth, Club of Rome
merupakan kelompok think thank berpengaruh di Eropa yang dalam buku tersebut
memaparkan bahwa seiring kemajuan pesat indutri dan pertumbuhan penduduk dunia
sumber daya alam di bumi semakin menipis, dimana perkara ini kemudian
diasumsikan menjadi penyebab negatif yang merusak tata lingkungan global secara
masif, yang kelak jika keadaan seperti ini terus dibiarkan akan berefek buruk dan
menciptakan krisis pangan dan krisis sumber daya secara global.8
Konferensi tingkat tinggi lingkungan hidup pertama di dunia ini diikuti oleh
wakil dari 114 negara dan menghasilkan deklarasi lingkungan hidup, rencana aksi
lingkungan hidup, dan rekomendasi tentang kelembagaan dan keuangan pendukung
rencana aksi tersebut. Dalam konferensi Stockholm inilah untuk pertama kali moto
“Hanya ada satu bumu” (Only one Earth) untuk semua manusia, diperkenalkan.
Motto itu sekaligus menjadi motto konferensi. Selain itu, konferensi Stockholm
menetapkan tanggal 5 Juni sebagai hari lingkungan hidup sedunia. Indonesia pada
waktu itu diwakili oleh Prof. Dr. Emil Salim (Mentri Koordinator Pengawasan
Pembangunan dan Lingkungan Hifup).9
Isi dari deklarasi itu sendiri memuat sebuah resolusi mengenai pembentukan
United Nations Environmental Program (UNEP). UNEP sendiri merupakan motor
awal pelaksana komitmen mengenai lingkungan hidup dalam hubungan kerjasama
antar negara, yang kemudian melahirkan gagasan dari pembangunan berkelanjutan
(Sustainable Development).
8 Clube of Rome. 1972. The Limits to Growth. Seperti dikutip Abdi Sapta. 2012. Lingkungan Hidup. diakses dari http://www.theglobal-review.com/content_detail.php?lang=id&id=8697&type=10#.UJnE0mfGnDc, tanggal 7 November 2012 9 Mulyadi. 2011. Pemanasan Global, sebuah Makalah yang disajikan dalam pelatihan “Pendidikan Konverensi Alam”, Angkatan 25. Diselenggarakan oleh The Indonesian Wildlife Conservation Foundation (IWF) dan Balai Taman Nasional Meru Betiri. Jember, Jawa Timur., hlm. 2.
9
Selain itu konferensi ini telah menyetujui 106 rekomendasi yang memuat
dimuat dalam Action Plan Internasional, yang terdiri atas tiga bagian kerangka:10
a. Global assessment programme, dikenal sebagai Earthwatch;
b. Enviromental Management Activites;
c. Supporting measures: education and training, public information, and
organizational a financing arrangements
“Dalam hubungan dengan masalah lingkungan sedunia (global environment
problems), sidang umum PBB telah menerima 11 resolusi mengenai lingkungan hidup
yang dijadikan landasan bagi kebijakan lingkungan”.11 Pada saati itu, terdapat
kesepakatan dalam Konferensi Stockholm mengenai diterimanya Declaration
Enviromental yang berisi 26 asas dan 106 rekomendasi, yang kemudian dijadikan
sebagai landasan bagi kebijakan lingkungan hidup bagi banyak negara.
2. KTT Bumi (Earth Summit) 1992
KTT Bumi 1992 ini diadakan di Rio de Janeiro, Brazil pada tahun 1992,
tepatnya tanggal 16 Juni 1992. KTT ini merupakan tindak lanjut dari konferensi
Stockholm 1972, terutama mengani isu utama yang berpengaruh pada kesejahteraan
manusia dan pembangunan ekonomi di seluruh dunia (butir ke-2 Deklarasi
Stockholm). Selain KTT Bumi, KTT di Rio de Jeneiro juga dikenal sebagai
Konferensi tentang Perubahan Iklim (United Nations Framework Convention on
Climate Change, NFCCC).
Konferensi tersebut dihadiri oleh 179 negara, organisasi internasional, dan
organisasi non pemerintahan dan merumuskan lima dokomen, yaitu:12
a. Deklarasi Rio; 10 Husin Ilyas. 2008. Pengelolaan Lingkungan Tingkat Nasional dalam Negara Indonesia. Majalah Hukum Forum Akademika, Volume 17 nomor 1 April 2008., hal. 1-2 11 Siti Sundari Rangkuti. 1996. Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.cetakan pertama. Surabaya: Airlangga University Press, hlm. 2 12 Mulyadi., Op. Cit., hlm. 3.
10
b. Konvensi Acuan tentang Perubahan Iklim;
c. Konvensi Keanekaragaman Hayati;
d. Prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan;
e. Agenda 21.
a. Agenda 21 berisi program pembangunan berkelanjutan yang ramah lingkungan
yang didefinisikan sebagai pembangunan yang berwawasan atau peduli
pelestarian lingkungan. Artinya dalam perencanaan pembangunan perlu upaya
yang dapat meminimalisasi terjadinya kerusakan lingkungan akibat dari kegiatan
pembangunan itu sendiri.
b. Konvensi Keanekaragaman Hayati
Prinsip dalam konvensi keanekaragaman hayati adalah setiap negara
mempunyai hak berdaulat untuk memanfaatkan sumber-sumber daya hayati sesuai
dengan kebijakan pembangunan lingkungannya sendiri dan mempunyai tanggung
jawab untuk menjamin bahwa kegiatan-kegiatan yang dilakukan di dalam
yuridiksinya tidak menimbulkan kerusakan terhadap lingkungan negara lain atau
kawasan di luar batas yuridiksi nasional.13 Dibentuknya konvensi ini memiliki tiga
tujuan utama, yaitu14:
1. Konservasi keanekaragaman hayati.
2. Pemanfaatan berkelanjutan komponen-komponennya.
3. Pembagian keuntungan yang adil dan merata yang timbul dari penggunaan
sumber daya genetik.
c. Prinsip-prinsip Pengelolaan Hutan
Prinsip-prinsip pengelolaan hutan terdiri dari 13 butir yang berisi tentang
bagaimana peran negara dalam pengelolaan hutan dengan pengambilan kebijakan
13 Ibid. 14 Ibid., hlm. 5
11
yang tepat. Lebih lanjut 13 butir prinsip ini dapat dilihat dalam Siti Sundari
Rangkuti (1996), Hukum Lingkungan dan Kebijaksanaan Lingkungan Nasional.
d. Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB
Konvensi Kerangka Perubahan Iklim PBB atau istilah yang lebih dikenal
UNFCCC, merupakan perjanjian internasional yang bersifat mengikat secara
hukum dan diakui umum oleh masyarakat internasional dalam menanggapi
perubahan iklim. Tujuan konvensi ini adalah menstabilkan emisi gas rumah kaca
(GRK) ke atmosfer pada tingkat tertentu sehingga tidak membahayakan sistem
iklim bumi dan berada di tingkat aman.
3. Protokol Kyoto
Protokol Kyoto sebagai instrumen yang mengatur lebih lanjut implementasi
konvensi perubahan iklim menetapkan kewajiban bagi Negara maju (disebut Negara
Annex I) untuk menurunkan emisi mereka secara rata-rata 5% di bawah tingkat emisi
tahun 1990. Hal ini disepakati karena negara maju sampai saat ini merupakan
penyumbang terbesar terhadap peningkatan konsentrasi GRK di atmasofer. Target
penurunan emisi tersebut harus sudah dapat dicapai pada periode komitmen pertama
yaitu 2008-2012. Dalam melakukan upaya penurunan emisi. Negara Annex I dapat
melakukannya di Negara berkembang melalui mekanisme pembangunan bersih yang
dikenal sebagai CDM (Clean Development Mechanisem).15
Dengan diadopsinya Protokol Ktoto tidak berarti bahwa perundingan tentang
perlindungan iklim Bui ini telah berakhir. Para pihak Konvensi Perubahan Iklim akan
terus melakukan komitmen mereka menurut ketentuan-ketentuan konvensi dan akan
menyiapkan implementasi protokol yang disertai dengan tatacara dan aturan yang
15 Ibid., hlm. 13.
12
disepakati. Meskipun demikian, perundingan berjalan sangat lamban selama bertahun-
tahun dengan segala liku-likunya.16
Pasca diadopsinya Protokol Kyotodi CoP3 pembicaraan mengenai
implementasi instrument hukum ini mengalami pasang surut. Dimulai dari Buenos
Aires tahun 1998 (CoP4), Bornn tahun 1999 (CoP5), Den Haag tahun 2000 (CoP6,
Bonn awal tahun 2001 (CoP6-Bagian II), Marrakesh, Maroko, akhir tahun 2001
(CoP7), dan New Delhi (CoP8) akhir tahun 2002. Semangat perundingan mencapai
titik terendah pada awal tahun 2001 ketika Amerika Serikat menentang dan menolak
perjanjian ini tiga bulan setelah CoP6 bulan November di Den Hagg. Semuanya
kembali lancar ketika CoP7 Para Pihak yang terpolarisasi antara negara maju dan
negara berkembang kembali menerima dan tidak mempertahnkan posisi masing-
masing di CoP-CoP sebelumnya. Pada akhirnya Para pihak meratifikasi Protokol ini.
Dalam isu lingkungan ini yang paling memiliki tanggungjawab adalah negara-
negara maju. Negara-negara inilah yang emisi totalnya pada tahun 1990 adalah 13,7
Gt (giga-ton= 10ଽ ton). Seperti terlihat dalam table lampiran terakhir pada Protokol
Kyoto, secara persentase kontribusi terbesar adalah AS (36,1), disusul oleh Rusia
(17,4), Jepang (8,5), Jerman (7,4), Inggris (4,2), Kanada 3,3), Italia (3,1), Polandia
((3), Perancis (2,7), Australia (2,1), empat negara antara 1-2 persen, 17 negara di
bawah 1 persen dan sisanya tiga negara 0 persen.
Dalam protokol ini ada tiga mekanisme yang dapat dipilih guna ikut
berpartisipasi melaksanakan isi protocol untuk para Pihak, yaitu: (1) Mekanisme
Pembangunan Bersih atau Clean Development Mechanism (CDM); (2) Joint
Implementation (JI) dan; (3) Emission Trading (ET).
1) CDM
16 Daniel Muldiarso. 2005. Protokol Kyoto: Implikasi bagi Negara Berkembang. Jakarta: Penerbit Kompas, Cetakan Kedua., hlm. 7.
13
Secara umum CDM merupakan kerangka multilateral yang
memungkinkan negara maju melkukan investasi di negara berkembang untuk
mencapai target penurunan emisinya. Sementara itu, negara berkembang
berkepentingan dalam mencapai tujuan pembangunan berkelanjutan dan tujuan
memberikan aturan dasar bagi kegiatan proyek yang dapat menghasilkan
pengurangan emisi yang disertifikasi (Certified Emission Reduction, CER).17
Dalam perjalanannya, pelaksanaan kegiatan A/R CDM sangat sedikit.
Volume perdagangan karbon dari kegiatan A/R CDM hanya sekitar 0,002%,
sedangkan sisanya dari kegiatan CDM energi. Hal ini disebabkan karena
kompleksnya aturan dan prosedur perhitungan kredit penurunan emisi dan sifat
kredit yang dihasilkan juga tidak permanen seperti halnya kredit penurunan emisi
dari proyek energi. Dilain pihak emisi dari kegiatan LULUCF sangat besar.
Secara global dalam periode 20 tahun terakhir, emisi dari LULUCF mencapai
1,65 Gt carbon per tahun dan lebih dari 80% berasal dari Negara berkembang,
khususnya Negara berhutan tropis akibat dari konversi lahan menjadi pengguna
lain.
Lapaoran IPCC (2007) menunjukan bahwa laju kehilangan hutan sudah
mencapai tingkat yang membahayakan yaitu sekita 13 juta ha/tahun terutama dari
kegiatan alih guna lahan menjadi lahan pertanian dan perkebunan (deforestasi).
Kerusakan hutan juga cukup tinggi yaitu sekitar 7,3 juta ha/tahun selama periode
2000-2005. Oleh karena itu, upaya penurunan emisi dari kegiatan pencegahan
deforestasi akan memberikan dampak yang besar dalam menstabilkan konsentrasi
GRK di atmosfer sehingga dapat menurunkan laju pemanasan global.18
2) JI
17 Daniel Muldiarso., Op. Cit., hlm. 52. 18 Mulyadi., Op. Cit., hlm, 14.
14
Meskipun Pasal 6 Protokol Kyoto tidak memiliki judul, bahkan tidak
menggunakan istilah JI, pasal ini membahas cara-cara untuk mengalihkan unit
pengurangan emisi (Emission Reduction Unit, ERU) yang diperoleh dari suatu
kegiatan di negara maju ke negara maju yang lainnya. Konsep yang mendasari
mekanisme Kyoto yang satu ini adalah teori ekonomi klasik yaitu dengan input
yang sekecil mungkin diharapkan akan memperoleh output yang sebesar mungkin,
karena itu JI akan mengutamakan cara-cara yang murah atau yang paling
menguntungkan bagi yang menanamkan modalnya. Kegiatan JI akan didanai oleh
sector swasta untuk menghasilkan ERU.19
Pedoman pelaksanaan JI menekankan hal-hal sebagai berikut:
a) Dibentuknya Komite Pengawas (Supervisory Committee) pelaksanaan
Pasal 6 dibawah CoP/ moP)
b) Para pihak yang terlibat harus memnuhi persyaratan keabsahan (eligibility
requerements) dengan berbagai ketentuannya
c) Para pihak yang terlibat harus mengikuti prosedur verifikasi yang
ditentukan Komite Pengawas.
3) ET
Jika negara maju mengemisikan GRK di bawah jatah yang diizinkan,
maka negara tersebut dapat menjual volume GRK yang tidak diemisikannya
kepada negara maju lain yang tidak dapat memnuhi kewajibannya. Skema ini
selanjutnya disebut perdagangan emisi (emission Trading, ET) dengan komoditas
berupa unit jatah emisi (assigned Amount Unit, AAU). Namun demikian, jumlah
GRK yang dapat diperdagangkan dibatasi sehingga negara pembeli tetap harus
memenuhi kewajiban domestiknya dan sesuai dengan ketentuan Protokol Kyoto.
19 Ibid., hlm. 48.
15
ET harus diperlakukan sebagai suplemen atas kegiatan domenstik tersebut.
Demikian ketentuan Pasal 17 Protokol Kyoto.20 Konsep semacam ini telah
berhasil menghapuskan (phase-out) penggunaan bahan-bahan perusak lapisan
ozon (Ozone Depleting Substances, ODS).
Ketentuan dalam Protokol Kyoto mengenai pelaksanaan ET tidak
menyebutkan bahwa pihak swasta juga diizinkan mengikuti mekanisme ini, hal ini
berbeda dengan JI dan CDM.
4. KTT Bumi Rio+20
KTT Bumi Rio+20 diadakan untuk menindaklanjuti KTT Bumi di Rio de
Janeiro 20 tahun silam. Konferensi yang diadakan pada bulan Juni 2012 ini dihadiri
oleh 100 Kepala negara dan pemerintahan dan lebih dari 40.000 perwakilan lembaga
swadaya masyarakat, perusahaan, dan masyarakat sipil. Secara garis besar dalam
konferensi tersebut PBB kembali menggaungkan pentingnya implementasi dari isu
global, Green Economy atau ekonomi hijau dengan slogan “pro-growt, pro-job, and
pro-poor”, suatu inisiatif tentang ekonomi modern yang merespon persoalan
lingkungan dan menjawab masalah kemiskinan serta kesenjangan ekonomi dunia.
Inisiatif Green Economy dalam Tatanan Global. Gagasan tentang ekonomi
hijau berangkat dari keyakinan para ekonomi environmentalist dunia tentang
kegagalan pasar “market failure” yang menumbuhkan ketidakpercayaan akan sistem
kapitalis karena telah memunculkan persoalan kemiskinan dan ketidakadilan global.
Sementara aktivitas-aktivitas ekonomi telah mengakibatkan bermunculannya
permasalahan lingkungan seperti krisis ekologi, eksploitasi sumber daya alam yang
mengakibatkan pada kelangkaan, hingga berujung kepada isu yang menuntut
20 Ibid., hlm. 57-58.
16
perhatian khusus warga dunia, yaitu perubahan iklim “climate change” dan
pemanasan global “global warming.”21
Konferensi ini memiliki tiga tujuan22, yaitu: (1) memperbaharui komitmen
politik atas pembangunan berkelanjutan, (2) mengidentifikasi kesenjangan antara
progres kemajuan dan implementasi dalam mencapai komitmen-komitmen lama yang
telah disetujui, serta; (3) mengatasi berbagai tantangan baru yang terus berkembang.
Dalam konferensi ini muncul slogan “Future We Want” atau Masa Depan
yang Kita Mau. Hasil dari konferensi bumi kedua ini adalah sebuah dokumen final
The Future We Want. Isi dari dokumen The Future We Want adalah terdiri dari 283
poin sebagaian besar adalah penegasan kembali dari Deklarasi Stockholm (1972),
Deklarasi Rio dan juga Agenda 21 (1992).
Selain empat konferensi di atas pada bulan September Tahun 2000 terdapat
suatu paradigm baru dalam pembangunan global. Paradigm tersebut terdapat pada
Millennium Development Goals (MDGs) atau dalam bahasa Indonesia diterjemahkan
menjadi TUjuan Pembangunan Milenium, dideklarasikan di KTT Milenium oleh 189
negara anggota PBB di New York. Dasar hukum dikeluarkannya deklarasi MDGs
adalah Resolusi Majelis Umum PBB Nomor 55/2 Tanggal 18 September 2000,
(A/Ris?55?2 United Nations Millennium Development Goals).
Semua negara yang hadir dalam pertemuan tersebut berkomitmen untuk
mengintegrasikan MDGs sebagai bagian dari program pembangunan nasional dalam
upaya menangani penyelesaian terkait dengan isu-isu yang sangat mendasar tentang
pemenuhan hak asasi dan kebebasan manusia, perdamaian, keamanan, dan
21 Fathur Anas. KTT Rio+20 dan Green Economy. Opini Okezone.com tanggal 21 Juni 2012, diakses dari www.okezone.com pada tanggal 7 November 2012. Fathur Anas adalah seorang Peneliti di Developing Countries Studies Center (DCSC), Jakarta 22 www.wikipedia.co.id, diakses tanggal 7 November 2012
17
pembangunan. Deklarasi ini merupakan kesepakatan anggota PBB mengenai sebuah
paket arah pembangunan global yang dirumuskan dalam beberapa tujuan yaitu:
a) Menanggulagi Kemiskinan dna Kelaparan;
b) Mencapai Pendidikan Dasar untuk Semua
c) Mendorong Kesetaraan Gender, dan Pemberdayaan Perempuan;
d) Menurunkan Angka Kematian Anak;
e) Meningkatkan Kesehatan Ibu;
f) Memerangi HIV/AIDs, Malaria, dan Penyakit Menular Lainnya;
g) Memastikan Kelestarian Lingkungan Hidup, dan
h) Membangun Kemitraan Global untuk Pembangunan.
Dalam setiap tujuan ditetapkan target-target dan indicator pencapaian atau
kemajuan hingga tahun 2015. Untuk tujuan ketujuh yang berkaitan dengan
lingkungan hidup ada empat target pencapaian, yaitu: (1) Target 7A: Memadukan
prinsip-prinsip pembangunan berkelanjutan ke dalam kebijakan program negara serta
mengakhiri kerusakan sumber daya; (2) Target 7B: Mengurangi laju hilangnya
keragaman hayati, dan mencapai pengurangan yang signifikan pada 2010; (3) Target
7C: Menurunkan separuh proporsi penduduk yang tidak memiliki akses yang
berkelanjutan terhadap air minum yang aman dan sanitasi dasar pada 2015; (4)Target
7D: Pada 2020 telah mencapai perbaikan signifikan dalam kehidupan (setidaknya)
100 juta penghuni kawasan kumuh.23
C. Prospek Penanganan Krisis Lingkungan Hidup Dikancah Global
1. Protokol Kyoto: Harapan Semu Tanpa Keterlibatan Negara Maju
Pada tahun 2012 lalu masa berlaku Protokol Kyoto telah habis. Perjanjian
yang dibuat tahun 1997 itu di Kyoto, Jepang mewajibkan negara-negara industry
23 Peter Stalker.Laporan Pencapaian Target MDGs di Indonesia, Cetakan Kedua, 2008, hal: 34
18
memangkas emisi gas rumah kaca. Dalam mengatasi habisnya masa berlaku
Protokol Kyoto, pada akhir tahun 2012 diadakan KTT Iklim PBB di Doha, Qatar.
Hampir 200 negara yang ikut KTT ini sepakat untuk memperpanjang Protokol
Kyoto sampai 2020 atau diperpanjang 8 tahun terhitung dari 1 Januari 2013.
Namun, harapan komitmen dari negara-negara maju untuk berperan dalam
pengurangan emisi gas tak kunjung tercapai saat momentum perpanjangan
Protokol Kyoto. Dua negara maju, sebagai salah satu penyumbang emisi karbon
terbesar di dunia, Kanada dan Amerika Serikat keluar dari Protokol Kyoto.
Sementara itu, tiga negara maju lainnya, Rusia, Jeapng, dan Selandia Baru
memutuskan tetap menjadi anggota Protokol Kyoto namun tidak berkomitmen
untuk menurunkan emisi. Selebihnya, 37 negara maju dan Uni Eropa menyepakati
pelaksanaan periode kedua selama 8 tahun. Keseluruhan emisi dari negara-negara
ini hanya 20% dari total emisi karbon dunia.24
Dalam perjalanan panjang Protokol Kyoto, Amerika Serikat tidak pernah
meratifikasi Protokol ini. Negara tersebut berdalih jika terlibat dalam Protokol
akan mengganggu kondisi perekonomian dalam negeri mereka. Setidaknya alasan
yang diungkapkan oleh Presiden Bush kepada para senator menggambarkan
mengapa negara adikuasa tersebut menolak Protokol Kyoto, yaitu:
a) Delapan puluh persen penduduk dunia (termasuk yang berpenduduk besar
seperti CIna dan India) dibebaskan dari kewajiban menurunkan emisi;
b) Implementasi Protokol Kyoto akan berpengaruh negative terhadap
pertumbuhan ekonomi AS karena pergantian pembangkitan energy dengan
batu bara menjadi gas akan sangat sulit;
24 Aji Wihardandi. “COP-18 Doha: Negara-negara Maju Lepas Tangan dari Protokol Kyoto”, 2012, diakses dari http://www.mongabay.co.id/category/lingkungan-hidup/
19
c) Protokol Kyoto adalah cara mengatasi masalah perubahan iklim global
yang tidak adil dan tidak efektif;
d) CO2 menurut undnag-undang AS, ‘Clean Air Act’ tidak dianggap sebagai
pencemar sehingga secara domestic tidka perlu diatur emisinya;
e) Kebenaran ilmiah perubahan iklim dan cara-cara untuk memecahkan
persoalannya didukung oleh pemahaman ilmiah yang terbatas.25
Pada tanggal 16 Februari 2005, Protokol Kyoto mulai berlaku setelah
berhasil mengumpulkan jumlah minimum negara yang meratifikasinya. Sejauh
ini, 187 negara telah menandatangani dan meratifikasi Protokol Kyoto. Protocol
Kyoto mewajibkan bahwa 37 negara industry (disebut negara-negara Annex I)
untuk mengurangi emisi gas rumah kaca sampai dengan 5,2 persen dibawah
tingkat emisi tahun 1990. Namun, hingga masa berakhirnya Protokol Kyoto
sampai adanya kesepakatan perpanjangan sampai 2020, tidak ada komitmen serius
yang ditunjukkan lewat konvensi legal oleh negara-negara maju untuk menekan
tingkat emisi. Apalagi fakta terbaru mengungkapkan, bahwa emisi karbon tahun
ini (2012) meningkat 2,6 %, atau sekitar 58% jauh lebih tinggi dibandingkan emisi
karbon dunia tahun 1990.26
2. KTT Perubahan Iklim di Doha, Qatar
KTT perubahan Iklim di Doha, Qatar yang diadakan di bulan Desember
2012 lalu, bisa dikatakan sebagai kemunduran dalam upaya penanganan krisis
lingkungan hidup. Pasalnya dari 187 negara yang bersedia menandatangani
Protokol Kyoto, hanya tersisa 37 negara. Selain itu negara-negara maju yang
banyak menyumbang emisi gas rumah kaca justru melepas tanggungjawab dan
tidak terikat dalam periode kedua protocol Kyoto. Padahal agenda besar dari
25 Daniel Muldiarso, Op. Cit., hal: 26-27 26 AJi Wihardandi. Log. Cit.
20
perpanjangan masa berlaku Protokol untuk memberi waktu pada negara maju
untuk mengurangi emisi gas mereka seperti target yang telah ditentukan.
Sebut saja Kanada yang mengikuti jejak Amerika Serikat untuk keluar dari
keterikatan terhadap Protokol Kyoto. Di lain pihak Jepang, Rusia, dan Selandia
Baru menyetujui tapi tidak mau berkomitmen menurunkan emisi sesuai
kesepakatan. Realita ini membuat pesimistis terhadap penanganan perubahan
iklim di kancah global.
3. Solusi Yang Ditawarkan
Melihat realitas perjalanan panjang Protokol Kyoto agaknya negara-negara
maju harus kembali memikirkan komitmen mereka. Komitmen untuk terlibat
dalam implementasi Protokol ini, terkait dengan pengurangan emisi gas karbon.
Mengingat tak bisa dipungkiri, merekalah penyumbang paling besar emisi gas
karbon. Tanpa keterlibatan mereka perpanjangan Protokol Kyoto sampai 2020
hanya merupakan harapan semu belaka. Ditambah fakta yang menunjukkan
temperature bumi semakin naik seperti disampaikan oleh Menteri Luar Negeri
Perancis Laurent Fabius (Kompas.com, 7/12).
Kedua, persoalan perubahan iklim merupakan persoalan global yang
berdampak nasional maupun lokal. Banyak wilayah dimuka bumi ini yang telah
terkena dampak perubahan iklim, seperti di Amerika Serikat yang diterjang
Bandai Sandy, Topan Evan di Samoa dan Fiji, dan Badai Washi yang
menghantam Philipina pecan lalu yang menewaskan ribuan orang. Untuk itu
selain komitmen dari negara maju untuk mengurangi emisi gas karbon, penduduk
bumi harus terus menggalakkan kehidupan yang hemat energi dan penghijauan.
Seperti, gerakan penanaman pohon, gerakan bersepeda untuk mengurangi polusi
akibat penggunaan sepeda motor.
21
BAB III
KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan dari kajian mengenai prospek penanganan krisis lingkungan
hidup dikancah global dapat disimpulkan bahwa, pertama, bumi terus mengalami krisis atau
kerusakan seiring dengan industrialisasi disegala bidang dan penggalakan pertumbuhan
produksi di berbagai negara. Alhasil, lingkungan terus tercemari oleh limbah industri, polusi
terus mencemari udara yang kita hirup, dan yang paling mengkawatirkan adanya bencana
alam yang terus melanda wilayah dimuka bumi ini tak peduli di barat (Badai Sandy), maupun
di timur (Badai Washi di Filipina, yang menewaskan ribuan orang).
Kedua, penanganan krisis lingkungan hidup cenderung menggelisahkan dan
menimbulkan sikap pesimistis ketika negara-negara maju tidak berkomitmen dalam
pengurangan emisi gas karbon. Negara-negara maju harus kembali memikirkan keterlibatan
mereka pada Protokol Kyoto. Ketiga, walau kajian ini berfokus pada peran negara-negara di
dunia, isu lingkungan hidup yang berdampak secara nasional maupun lokal perlu keterlibatan
entitas penduduk bumi. Penduduk bumi dibelahan manapun mereka berada perlu bersama-
sama terus bergerak dalam pengurangi dampak krisis lingkungan hidup. Hal ini bisa
dilakukan dengan jalan, melakukan gerakan hemat energi, menggalakkan bersepeda atau
jalan kaki, atau bahkan menggalakkan penggunaan bahan daur ulang seperti paperless
gerakan untuk menggunakan kertas bekas untuk mencetak.