prosiding -...
TRANSCRIPT
i
PROSIDING
SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN
24 Maret 2018
Aula Rektorat Lantai 1
Universitas Lambung Mangkurat, Banjarmasin
2018
ii
PROSIDING SEMINAR NASIONAL PENDIDIKAN Penguatan Pendidikan Berbasis Karakter Untuk Mewujudkan Generasi yang berdaya saing di era
globalisasi
Penyelenggara :
Progam Studi Pendidikan Fisika Jurusan PMIPA FKIP
Universitas Lambung Mangkurat
Jl. Bridgjen Hasan Basri Kayutangi Banjarmasin
Editor:
Misbah, M. Pd
Dewi Dewantara, M. Pd
Reviewer:
Dr. Mustika Wati, S. Pd., M. Sc
Sri Hartini, S. Pd., M. Sc
Drs. Zainuddin, M. Pd
Saiyidah Mahtari, M. Pd
Lay out:
Muhammad Ikhwan Rasyidi
Nita Purnama Hidayah
Diterbitkan oleh:
Lambung Mangkurat University Press, 2018 d/a Pusat Pengelolaan Jurnal dan Penerbitan ULM
Lantai 2 Gedung Perpustakaan Pusat ULM
Jl. Hasan Basri, Kayutangi, Banjarmasin, 70123
Telp/Fax. 0511-3305195
Hak cipta dilindungi oleh Undang-undang.
Dilarang memperbanyak sebagian atau seluruh isi buku ini
tanpa izin tertulis dari Penerbit,
kecuali untuk kutipan singkat demi penelitian ilmiah atau resensi.
X + 304 hlm
Cetakan Pertama, April 2018
ISBN: 978-602-6483-63-8
iii
Susunan Kepanitian Seminar Nasional Pendidikan
Program Studi Pendidikan Fisika FKIP Universitas Lambung Mangkurat
Pelindung : Prof. Dr. H. Sutarto Hadi, M. Si., M. Sc
Penasehat : Prof. Dr. H. Wahyu, MS
Penanggung Jawab : Dr. Mustika Wati, M. Sc
Ketua Pelaksana : Misbah, M. Pd
Sekretaris : Saiyidah Mahtari, M. Pd
Bendahara : Sri Hartini, M. Sc
Seksi Acara : Drs. Zainuddin, M. Pd
Anggota:
1. Misna 2. Ema Hainun Hadhiedae 3. Fahrul Reza 4. Eka Rosanti 5. Muhammad Rizki 6. Norhanifah 7. M. Reza Pahlawan
Seksi Konsumsi : Dr. Eko Susilowati, M. Si
Anggota:
1. Selviy Noraini 2. Shofia Rihtazkia Saputri 3. Rifna Zia 4. Suci Rahma Daniati 5. Siti Juhroh
Seksi Perlengkapan : Mastuang, M. Pd
Anggota:
1. Muhammad Hafiz Ridho 2. Supriyadi 3. Munawarah 4. Noriah 5. Mahmudah 6. Nuraidayanti
Seksi Kesekretariatan : Dewi Dewantara, M. Pd
Anggota :
1. Nita Purnama Hidayah 2. Ida Rusmawati 3. Ramadhanti 4. Melisa 5. Diana Eka Wati 6. Munawarah 7. Laila Rahmawati
iv
Seksi Dokumentasi : Herru Soepriyanto, S. SE
Anggota:
1. Arlin Dwi Yani 2. Arif Rizki 3. Hana Pertiwi 4. Maulana Ahmad Muzakkir 5. Nisa Fahira
v
KATA PENGANTAR
Puji Syukur kami panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa, karena atas
limpahan rahmat dan karunia-Nya, Prosiding Seminar Nasional Pendidikan 2018
yang mengangkat tema Penguatan Pendidikan Berbasis Karakter Untuk
Mewujudkan Generasi Yang Berdaya Saing Di Era Globalisasi dapat diterbitkan.
Prosiding ini memuat beberapa hasil penelitian yang dipresentasikan di Seminar
Nasional Pendidikan 2018. Adapun judul-judul penelitian yang dipresentasikan
merupakan hasil-hasil penelitian dan kajian pustaka para peneliti dari Universitas
dan Instansi terkait.
Melalui kegiatan Seminar Nasional Pendidikan 2018, hasil-hasil penelitian dan
kajian putaka dipublikasikan secara luas, sehingga dapat menjadi alternatif solusi
dari permasalahan yang sedang dihadapi Bangsa Indonesia saat ini. Hal ini
berkaitan dengan tugas utama masyarakat pendidikan untuk memberikan solusi
alternatif yang dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah terhadap masalah-
masalah nyata baik bersifat lokal, regional maupun nasional yang terjadi saat ini.
Tiada gading yang tak retak. Tiada yang sempurna kecuali Yang Maha
Sempurna. Kritik dan saran senantiasa kami harapkan demi perbaikan di masa
mendatang. Semoga kumpulan abstrak ini dapat bermanfaat bagi pembaca dalam
menambah ilmu pengetahuan. Akhir kata kepada semua pihak yang telah
membantu, kami ucapkan terima kasih.
Banjarmasin, Maret 2018
Tim Penyusun
vi
DAFTAR ISI
Halaman
Halaman Judul i
Susunan Kepanitiaan iii
Kata Pengantar v
Daftar Isi vi
Makalah
1 Strategi Inovatif Membangun Budaya Riset dalam Bidang
Pendidikan Fisika di Era Desruptif (Heru Kuswanto)
1
2 Analisis Pengelolaan Pendidikan Karakter di Berbagai Jenjang
Sekolah (Rambat Nur Sasongko)
6
3 Implementasi Nilai-Nilai Karakter Kece (Komunikatif,
Empatik, Cinta Damai, Energik) di Sekolah Dasar Dalam
Pemanfaatan Bonus Demografi (Ragil Dian Purnama Putri,
Nindiya Eka Safitri)
13
4 Penanggulangan Erosi Karakter Ke-Indonesian Dengan Ikhsan
(Panji Hidayat)
24
5 Pendidikan Karakter Melalui Outdoor Education (Ida
Komalasari, Erni Susilawati)
30
6 Profil Pola Pikir Mahasiswa Fisika Unmul Dalam
Melaksanakan Praktikum Fisika Eksperimen II (Syahrir)
37
7 Analisis Keterampilan Proses Sains Siswa Melalui Penerapan
Model Less Structured Guided Discovery Learning
(Mastuang, Elfa Erliana, Misbah, Sarah Miriam)
57
8 Meningkatkan Hasil Belajar Siswa VIII E SMPN 11
Banjarmasin Dengan Menggunakan Model Kooperatif Tipe
Numbered Head Together (Eriana, M. Arifuddin, Mastuang)
62
9 Meningkatkan Hasil Belajar Siswa SMP Negeri 13 Banjarbaru
Kelas VIII C Pada Materi Getaran dan Gelombang Melalui
Model Pengajaran Langsung Berbantuan LKS Permainan
Edukatif (Firda Aulia, M. Arifuddin, Sri Hartini)
68
vii
Halaman
10 Upaya Meningkatkan Hasil Belajar IPA-Fisika Siswa dengan
Menggunakan Model Pembelajaran Kooperatif (Risda
Amalia, M. Arifuddin, Andi Ichsan Mahardika)
80
11 Meningkatkan Minat Dan Hasil Belajar Fisika Siswa Kelas X
SMA Korpri Banjarmasin Melalui Model Pembelajaran Inkuiri
Terbimbing (Nisa Karnila, M. Arifuddin, Mastuang)
88
12 Meningkatkan Keterampilan Proses Sains Siswa Kelas X-5
SMAN 12 Banjarmasin Melalui Model Pembelajaran
Penemuan Terbimbing (Mukhlis, M. Arifuddin, Sri Hartini)
102
13 Meningkatkan Keterampilan Prosedural Siswa Pada
Pembelajaran Fisika Melalui Model Pengajaran Langsung Di
Kelas XI IPA 4 SMA Negeri 5 Banjarmasin (Tohirah, M.
Arifuddin, Abdul Salam M)
110
14 Meningkatkan Hasil Belajar dan Keterampilan Prosedural
Siswa Kelas VII-D SMP Negeri 31 Banjarmasin Melalui Model
Pengajaran Langsung (Saipudin, M. Arifuddin, Sarah
Miriam)
117
15 Meningkatkan Hasil Belajar Siswa Melalui Model
Pembelajaran Kooperatif Tipe Learning Together (Shaumi
Khairunnisa, Zainuddin, Sarah Miriam)
125
16 Konsistensi Efektivitas Dari Strategi Argumentasi Dalam
Pembelajaran Langsung Untuk Meningkatkan Pemahaman
Konsep Mahasiswa Terhadap Teori Kinetik Gas (Muhammad
Arifuddin, Mastuang, Abdul Salam M., Andi Ichsan
Mahardika)
132
17 Investment In Physics Education Towards The Scientific
Community And Socialistic (Wiwik Agustinaningsih)
137
18 Self &Peer Assessment Dalam Setting Pembelajaran Diskusi
Kelas Untuk Melatihkan Kemampuan Menyusun Perangkat
Pembelajaran (Abdul Salam M, Sarah Miriam)
144
19 Pengaruh Model Pembelajaran Scramble Dengan Media
Question Card Terhadap Hasil Belajar IPA Siswa Kelas IV
SDN Kertosari II Kabupaten Madiun (Naniek Kusumawati)
149
viii
Halaman
20 Identifikasi Kearifan Lokal Kalimantan Selatan Sebagai
Sumber Belajar Fisika (Zainal fuad, Misbah, Sri Hartini,
Zainuddin)
158
21 Menggali Potensi Kreativitas Ilmiah Mahasiswa Melalui Model
Creative Responsibility Based Learning (Muhammad
Arifuddin, Suyidno, Mohamad Nur, Leny Yuanita)
170
22 Penerapan Literasi Sains Dalam Pembelajaran IPA di Sekolah
Dasar Untuk Meningkatkan Kemampuan Berfikir Kritis Siswa
Dalam Memecahkan Masalah (Fitria Hidayati, Julianto)
180
23 Studi Literatur Hubungan Kemampuan Pemecahan Masalah
dan Kerja Ilmiah Mahasiswa Pendidikan IPA (Ellyna
Hafizah, Rizky Febriyani Putri, Syubhan Annur)
185
24 Pengembangan Keterampilan Berfikir Kreatif Melalui
Kegiatan Origami Pada Sekolah Dasar (Suprayitno,
Supriyono)
190
25 Profil Sikap Terhadap Sains, Keterampilan Proses Sains, Dan
Kreativitas Mahasiswa Jurusan PGSD FIP UNESA di Mata
Kuliah Konsep Dasar IPA (Julianto, Wasis, Rudiana
Agustini)
197
26 Karakterisasi dan Uji Emisi Briket Campuran Cangkang Biji
Karet dan Abu Dasar Batubara (Ninis Hadi Haryanti, Rijali
Noor, Dwi Aprilia)
203
27 Studi Deskriptif Performa Sistem Pencahayaan Pada Ruang
Kerja Dosen di Cuaca Mendung Ditinjau dari Standar Acuan
Dan Konservasi Energi (Samuel Gideon)
210
28 Aktivasi dan Karakterisasi Lempung Alam Asal Kalimantan
Tengah Sebagai Salah Satu Alternatif Bahan Adsorben
(I Made Sadiana, Abdul Hadjranul Fatah, Karelius)
216
29 Pemanfaatan Limbah dan Serat Alam Sebagai Bahan Dasar
Alternatif Peredam Suara di Bidang Interior (Purwanto)
227
30 Identifikasi Pengaruh El Nino dan La Nina Terhadap Variasi
Curah Hujan Tahunan di Kabupaten Biak Numfor Provinsi
Papua (Iriwi L.S. Sinon)
232
31 PUKUL E.coli (Arsil Maulana, AlMubarak) 245
ix
Halaman
32 Sustainable Development Goals (SDGs) dan Peningkatan
Kualitas Pendidikan (Syubhan Annur, Saiyidah Mahtari,
Mustika Wati, Miranti Diah Prastika)
251
33 Melatihkan 21 Century Skills Melalui Pembelajaran Student
Centered (Agus Rohman, Mohammad Zahri)
256
34 Pengaruh Metode Scaffolding Terhadap Hasil Belajar
Matematika Pada Siswa Kelas V SD Negeri Tidung Kecamatan
Rappocini Kota Makassar (Erna Ervianti)
263
35 Desain Buku Tutorial Pembuatan Mainan Tradisional di
Kampoeng Dolanan Pandes sebagai Media Pembelajaran Anak
(Kristian Oentoro, Wiyatiningsih, Marcellino A.
Mahendra)
272
36 Pendekatan Klarifikasi Nilai untuk Mengembangkan Karakter
Anak Melalui Layanan Bimbingan dan Konseling Di Sekolah
Dasar/Madrasah Ibtidaiyah (Mufida Istati)
280
37 Keterlaksanaan Literacy Learning Model (LLM) dalam
Melatihkan Literasi Sains dan Sikap Positif terhadap Sains
Mahasiswa Calon Guru Fisika (Titin Sunarti, Madlazim,
Wasis, Suyidno)
287
38 Keterlaksanaan Model Pembelajaran Berbasis Jejaring
Pertanyaan Dan Kendala yang Dihadapi Guru Dalam
Pembelajaran Fisika (Evendi, Endang Susantini, Wasis)
296
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
1
Strategi Inovatif Membangun Budaya Riset dalam
Bidang Pendidikan Fisika di Era Desruptif
Heru Kuswanto
Pendidikan Fisika, Universitas Negeri Yogyakarta
Abstrak
Tulisan ini akan membahas pemanfaatan budaya lokal sebagai sumber bahan pembelajaran
fisika. Sajian fisika memanfaatkan smartphone. Pembahasan diawali bagaimana
membangun budaya inovatif. Teknik pengembangan bahan kajian yang menggabungkan
antara budaya lokal, kandungan fisika, kemampuan yang akan dikembangkan dan taknologi
yang digunakan.
Kata Kunci: pendidikan, fisika, lokal, inovatif.
PENDAHULUAN
Pada makalah ini akan dikaji tentang
isu-isu yang berkembang dalam
penelitian pendidikan Fisika. Isu-isu ini
diharapkan disandingkan dengan potensi
lokal yang memungkinkan untuk layak
publish di jurnal internasional. Kajian
akan dimulai dengan pemetaan tentang
isu penelitian pendidikan fisika. Kajian
berikutnya contoh-contoh konsep fisika
yang diturunkan dari produk budaya
lokal. Strategi inovatif dilakukan dengan
memanfaatkan tabel. Pilihan teknologi
yang digunakan untuk menampilkan
presentasi disesuiakan dengan
kemampuan yang diharapkan dari siswa.
MASALAH MASALAH DALAM
PENELITIAN PENDIDIKAN
FISIKA
Kajian penelitian Pendidikan Fisika
dapat digolongkan ke dalam pembahasan
tentang: Pemahaman konseptual,
pemecahan masalah, kurikulum dan
pengajaran, penilaian, psikologi kognitif,
dan sikap dan keyakinan tentang
pengajaran dan pembelajaran. (Docktor
dan Mestre 2014).
Pemahaman konseptual berkaitan
dengan identifikasi kesalahpahaman
yang terjadi pada siswa. Gambaran
arsitektur struktur konseptual dikaji
untuk mengurangi masalah ini. Penelitian
yang dapat dilakukan adalah dengan
mengembangkan strategi instruksional
untuk mengurangi kesalahpahaman.
Disamping itu, pengembangan cara-cara
evaluasi untuk mendeteksi dan
mengurangi masalah ini dapat dilakukan.
Kemampuan memecahkan masalah
merupakan kemampuan yang penting
untuk dikembangkan dalam memahami
fisika. Pemahaman tentang bagaimana
para ahli dalam mecahkan masalah dapat
digunakan untuk diimplementasikan
kepada siswa bahkan mahasiswa yang
sedang mempelajari Fisika. Kemampuan
representasi terhadap gejala fisis. Topik-
topik yang dapat dikembangkan untuk
meningkatkan kemampuan ini di
antaranya kajian tentang bagaimana
siswa memecahkan masalah. Hasil ini
dibandingkan dengan para ahli
memecahkan masalah, dengan demikian
dapat ditemukan kesenjangan yang
terjadi.
Kemampuan merepresentasikan
data yang diperoleh menunjukkan pula
kemampuan memecahkan masalah:
Representasi yang berkaitan dengan
tabulasi data, grafik, verbal, vektor,
maupun matematis dapat dijadikan
variabel penelitian.
mailto:[email protected]
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
2
Evaluasi terhadap stretegi
instruksional untuk pembelajaran yang
diharapkan dapat meningkatkan
pemecahan masaalah dapat menjadi tema
yang berkelanjutan. Tentu saja penelitian
tidak berhenti pada pengetahuan
kefektivan semata, perlu dilanjutkan
untuk menghasilkan produk yang dapat
dimanfaakan.
Topiktopik yang berkaitan dengan
kurikulum dan pengajaran dapat berupa
perbandingan metode. Pembelajaran di
laboratorium juga perlu mendapat
perhatian. Hal yang tidak dapat dilupakan
adalah tentang struktur dan lingkungan
kelas, begitu jsika tidak hanya juga
strategi dan bahan pembelajaran. Topik
bahan pembelajaran ini menarik untuk
dikaji agar sesuai dengan kontekstual
Indonesia. Diharapkan peserta didik
merasakan bahwa Fisika tidak hanya ada
di Eropa atau Amerika saja, tetapi berada
di lingkungan peserta didik berada.
Bentuk-bentuk penilaian yang
diharapkan dapat mengukur kemampuan
peserta didik merupakan tema yang perlu
dikembangkan. Topik ini meliputi:
a. Pengembangan dan validasi inventarisasi konsep.
b. Membandingkan skor dari beberapa alat ukur.
c. Membandingkan skor di beberapa populasi (budaya dan gender).
d. Ujian perkuliahan dan pekerjaan rumah.
e. Rubrik untuk penilaian proses. f. Model kompleks belajar siswa.
BUDAYA LOKAL
Lingkungan memiliki peran yang
penting dalam mengembangkan
kemampuan representasi. Kearifan lokal
merupakan fenomena yang terjadi di
lingkungan. Dengan demikian kearifan
lokal merupakan salah satu cara untuk
mengembangkan kemampuan
representasi. Multirepresentasi berguna
untuk mendekskripsikan konsep dengan
bentuk yang berbeda baik secara verbal,
gambar, diagram, grafik dan persamaan
matematis. Multirepresentasi digunakan
untuk mempermudah peserta didik untuk
memecahkan masalah. Beberapa bentuk
multirepresentasi antara lain verbal,
gambar, diagram, grafik, simulasi
komputer, dan persamaan matematika.
Representasi verbal dapat berupa tulisan
maupun lisan, dapat menarik informasi
dari masa lalu secara langsung, dapat
mengatasi kesalahpahaman peserta didik.
Hasil budaya lokal dapat digunakan
untuk mengambangkan mempresentasi-
kan konsep-konsep fisika yang dilihat
dari komponennya. Alat musik
tradisional rebab merupakan salah satu
produknya. Rebab memiliki komponen
kosok rebab (alat penggesek) dan dawai.
Komponen tersebut dapat digunakan
untuk menjelaskan gaya-gaya yang
bekerja menggunakan representasi
diagram. Komponen lain diantaranya
gelombang bunyi, dimana rebab
menghasilkan gelombang bunyi yang
abstrak dapat direpresentasikan dalam
bentuk diagram. Selain itu terdapat
konsep fisika lain seperti tegangan,
regangan dan modulus elastisitas pada
dawai sebelum penyeteman dan sesudah
penyeteman. Sementara kemampuan
verbal digunakan untuk memberikan
deskripsi dan keterkaitan hubungan
antara simbol-simbol fisika.
Gambar 1 adalah contoh produk
lokal yang dapat diperoleh dengan
mudah di sekitar peserta didik. Konsep
fisika yang digunakan untuk menjelaskan
produk pada Gambar 1 disajikan pada
Gambar 2.
Gambar 1. Kapal-kapalan
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
3
Gambar 2. Konsep fisis yang dapat
dikembangkan dari kapal-
kapalan
STRATEGI PENGEMBANGAN
Tabel dapat digunakan untuk membantu
memetakan antara komponen
kemampuan yang akan dikembangkan
dengan materi yang akan disajikan.
Tabel 1. Perancangan untuk kemampuan verbal pada Rebab
Indikator Materi
Gesekan statis Gesekan kinetis
Menjelaskan
konsep secara
verbal
Disajikan gambar pemain
rebab sedang meletakkan
kosok rebab pada dawai
rebab, peserta didik diminta
membangun fakta yang
terjadi
Disajikan video pemain rebab
sedang memainkan rebab dengan
menggesek dawai secara horizontal.
Peserta didik menjelaskan konsep
gaya yang bekerja saat rebab
dimainkan
Melakukan
pemberian label
dan simbol fisika
pada free body
diagram secara
verbal
Disajikan sebuah gambar
rebab, kemudian peserta
didik diminta menganalisa
gaya-gaya yang bekerja
Disajikan sebuah gambar rebab
yang sedang dimainkan, kemudian
peserta didik diminta menganalisa
gaya-gaya yang bekerja
Menentukan
konsep yang benar
berdasarkan data
atau gejala fisis
yang diberikan
Diberikan sebuah gambar rebab peserta didik diminta menghitung
besar gaya dan menafsirkan hubungan beberapa simbol dalam
persamaan fisika.
Diberikan sebuah gambar rebab yang sedang dimainkan kemudian
peserta didik diminta menganalisis fakta yang terjadi
Diberikan gambar rebab dimana kosok rebab menempel pada
dawai rebab dan gambar lain berupa rebab yang sedang digesek
secara horizontal, kemudian peserta didik diminta menyebutkan
gaya yang bekerja dengan bantuan sebuah diagram jatuh bebas
Memecahkan
masalah dengan
kalimat atau kata-
kata secara verbal
Menggunakan
bantuan free body
diagram untuk
memecahkan
masalah
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
4
Tabel 2. Perancangan untuk kemampuan verbal pada Andong
Indikator Materi
Gerak Melingkar Usaha dan Energi Dinamika Rotasi
Menggambar
diagram secara
sederhana
beserta
komponen yang
terlibat di
dalamnya
Disajikan sebuah
gambar diagram
kecepatan dan
percepatan linear
pada roda andong
Disajikan diagram
gaya yang bekerja
pada andong, baik di
atas bidang datar
maupun bidang
miring
Disajikan diagram
hubungan roda-
roda sepusat, roda-
roda yang
dihubungkan, dan
garis kerja gaya
Menuliskan
besaran-
besaran yang
digunakan pada
diagram
Disajikan besaran-
besaran yang
berkaitan dengan
kecepatan dan
percepatan linear
pada diagram
kecepatan dan
percepatan
Disajikan besaran-
besaran yang ada
pada diagram gaya
yang bekerja pada
andong
Disajikan besaran-
besaran yang
terlibat dalam
diagram hubungan
roda-roda sepusat,
roda-roda yang
dihubungkan, dan
garis kerja gaya
Mengetahui
hubungan antar
komponen
dalam diagram
Disajikan rumusan
hubungan antara
kecepatan dan
percepatan, berupa
persamaan-
persamaan terkait
kecepatan dan
percepatan
Disajikan rumusan
hubungan antar gaya-
gaya yang bekerja
pada andong
Disajikan rumusan
hubungan antar
komponen yang
terlibat dalam
diagram
Melakukan
perhitungan
matematis
sesuai dengan
penjelasan
dalam diagram
Disajikan persoalan
yang berhubungan
dengan usaha, energi
dan daya
Menentukan
besar dan arah
vektor (positif
dan negatif)
pada gerakan
roda andong.
Disajikan gambar
besar dan arah
vektor kecepatan
maupun perceptan
pada roda andong
Disajikan sebuah
animasi andong
yang bergerak
kemudian
digambarkan arah
dan besar gaya
yang dilakukan
oleh kuda terhadap
andong
Disajikan diagram
gaya dan
komponennya pada
balok
Disajikan garis
kerja gaya pada
roda andong
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
5
Lanjutan Tabel 2
Indikator
Materi
Gerak
Melingkar
Usaha dan Energi Dinamika Rotasi
Menggambar
vektor dalam
format anak
panah dan ijk
Disajikan gambar
besar dan arah
vektor kecepatan
maupun
percepatan pada
roda andong
Disajikan gambar vektor gaya gambar
perpindahan
berdasarkan animasi
Disajikan animasi gerak andong beserta
komponen vektornya,
berupa kecepatan,
gaya, dan gaya gesek.
Disajikan gambar hubungan jari-
jari dan
kecepatan sudut
pada roda andong
Melakukan
penjumlahan,
pengurangan
vektor dan
perkalian
vektor, baik dot
maupun cross
product
Disajikan
persamaan
kecepatan linear,
kecepatan rata-
rata, kecepatan
sudut, percepatan
linear dan
percepatan sudut
Disajikan persamaan usaha dengan
melakukan perkalian
dot antara gaya dan
perpindahan
Disajikan perkalian dot dari komponen
gaya dan perpindahan
pada sumbu x dan y
Disajikan
persamaan momen
gaya dan momen
inersia yang
bekerja pada
andong
Mengetahui
resultan vektor
baik
menggunakan
format anak
panah maupun
ijk.
Disajikan diagram vektor satuan gaya dan
perpindahan
Disajikan uraian komponen gaya pada
andong yang berjalan
pada bidang datar
maupun bidang miring
berdasarkan gambar
diagram arah dan besar
komponen tersebut
PENUTUP
Produk budaya lokal dapat
digunakan sebagai sumber dalam
pengembangan bahan ajar Fisika.
Strategi memadukan kemampuan yang
akan ditingkatkan dengan materi bahan
dilakukan dengan Tabel. Telepon pintar
dapat dipakai sebagai media untuk
menampilkan pembelajaran yang luwes.
ACUAN
Docktor L. J., Mestre J. P. (2014).
Synthesis of discipline-based
education research in physics.
Physical Review Special Topics -
Physics Education Research 10,
020119 (2014)
https://journals.aps.org/prper/pd
f/10.1103/PhysRevSTPER.10.0
20119.
https://journals.aps.org/prper/pdf/10.1103/PhysRevSTPER.10.020119https://journals.aps.org/prper/pdf/10.1103/PhysRevSTPER.10.020119https://journals.aps.org/prper/pdf/10.1103/PhysRevSTPER.10.020119
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
6
Analisis Pengelolaan Pendidikan Karakter di Berbagai Jenjang Sekolah
Rambat Nur Sasongko
Program Studi Magister Administrasi Pendidikan
Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Bengkulu
Abstrak
Pendidikan karakter sepertinya berjalan di tempat. Hal itu karena kurang ada perubahan
yang signifikan baik tujuan, materi, metode, proses pembelajaran, evaluasi, hingga hasil
yang diperolehnya. Kecenderungan perilaku anak di era globalisasi malah kian negatif.
Kondisi tersebut diduga pengelolaan pendidikan karakter kurang berjalan dengan efektif.
Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis pengelolaan pendidikan karakter di berbagai
jenjang sekolah. Metode yang digunakan dengan pendekatan analisis deskriptif evaluatif.
Penelitian dilakukan di berbagai jenjang sekolah, baik SD, SMP, SMA, dan SMK di
provinsi Bengkulu. Teknik pengumpulan data dengan ceklis, observasi, studi dokumentasi,
dan wawancara. Analisis data dengan induktif. Hasil penelitian menunjukkan bahwa
pendidikan karakter pada berbagai jenjang sekolah kurang dikelola sesuai dengan standar
nasional pendidikan. Pendidikan karakter hanya sebatas kebijakan. Implementasi di
berbagai jenjang sekolah amat keropos, tidak memiliki fundamen pembelajaran yang
terstruktur sebagaimana mata pelajaran yang lainnya. Saran berdasarkan hasil penelitian
ini yaitu agar pendidikan karakter dikelola sesuai standar nasional, utamanya standar
kelulusan, isi, proses, pendidik, pengelolaan, dan penilaian pembelajaran.
Kata kunci: Pengelolaan pendidikan karakter, sekolah.
PENDAHULUAN
Pendidikan karakter sesungguhnya
bukan merupakan isu yang baru. Sejak
nabi Adam diturunkan ke dunia
sesungguhnya juga berupaya melakukan
pendidikan karakter untuk anak cucunya.
Para nabi, rasul, pengembang dan
penyebar agama dan keyakinan pun juga
berupaya memperbaiki karakter dan
perilaku manusia. Dalam referensi ilmiah
pun seperti Plato tahun 428 SM juga telah
menggagas pengembangan pendidikan
yang diarahkan agar manusia beradap.
Quintilanus tahun 42 M sebagai seorang
pendidik secara tegas mengembangkan
pendidikan untuk perbaikan karakter
siswanya. Nabi Muhammad saw tahun
571 M diturunkan ke dunia juga untuk
memperbaiki akhlak atau karakter
manusia. Demikian pula Ibnu Kaldun
tahun 980 M juga telah menggagas
pendidikan untuk melahirkan manusia
yang insan kamil dan berbudi pekerti
baik (Sasongko, 2015).
Di Indonesia pendidikan karakter
sesungguhnya juga telah dilakukan sejak
lama seperti di padepokan, pesantren,
seminari, dan lembaga pendidikan
sejenisnya. Di era kemerdekaan presiden
Sukarno sekitar tahun 1950-an telah
melakukan gerakan character building
untuk membangun bangsa ini. Hingga
kini di era reformasi, presiden Jokowi
juga telah melakukan gerakan
Penguatan Pendidikan Karakter
melalui Peraturan Presiden No. 87 Tahun
2017 tentang Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK).
Munculnya peraturan presiden
tersebut didasarkan atas kekurang
berhasilan pendidikan karakter yang
belum mampu menunjukkan hasil yang
optimal. Padahal pendidikan karakter
tersebut telah dilaksanakan di berbagai
jenjang sekolah, mulai dari PAUD, SD,
SMP, SMA, SMK hingga perguruan
tinggi. Kurang lebih anak telah
memperoleh pendidikan karakter 16
mailto:[email protected]
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
7
hingga 20 tahun. Namun kenyataannya
masih tetap menghasilkan lulusan yang
jahat (Aswandi, 2010). Seperti kejadian
siswa SMA menganiaya gurunya hingga
meninggal, lebih dari setengah pimpinan
daerah yang ada di Indonesia tersandung
korupsi, merosotnya nilai sopan santun
di kalangan legislatif, merosotnya nilai
kerja keras di kalangan pegawai negeri,
sikap intoleransi di kalangan masyarakat
semakin tinggi, semangat kebangsaan
dan menjaga persatuan menurun, disiplin
masyarakat menurun, kecenderungan
siswa dan mahasiswa yang kurang gemar
membaca, kecenderungan masyarakat
mengkonsumsi narkoba dan Indonesia
sedang dalam darurat narkotika, prestasi
dan daya saing kurang, dan sebagainya.
Kondisi ini sungguh memprihatinkan.
Terlebih dalam kerangka menghadapi era
milenial.
Gejala dan kejadian merosotnya
karakter di berbagai kalangan
masyarakat tersebut, diduga merupakan
kesalahan dari pengelolaan pendidikan
karakter yang berjalan kurang efektif.
Pendidikan karakter yang dikelola di
bebagai jenjang sekolah kurang sesuai
dengan PP No. 19 Tahun 2005 tentang
Standar Nasional Pendidikan (SNP) dan
aturan implementasinya tentang standar
kelulusan, isi, proses, pengelolaan,
pendidik, sarana dan prasarana,
pembiayaan, dan penilaian. Padahal hasil
belajar atau pendidikan dapat berhasil
dengan efektif, jika dikelola sesuai
dengan standar nasional yang telah
ditetapkan (Burton, 2009; Sasongko,
2011; dan Sasongko, 2015).
Penelitian ini rumusan masalahnya
yaitu: Apakah pengelolaan pendidikan
karakter di berbagai jenjang sekolah
sudah berjalan efektif? Permasalahan
pokok tersebut dideskripsikan menjadi
beberapa sub masalah yakni: (1) apakah
kebijakan pendidikan karakter telah
sesuai dengan SNP? (2) apakah
perencanaan pendidikan karakter telah
sesuai dengan SNP?, (3) apakah
pelaksanaan pendidikan karakter telah
sesuai dengan SNP?, dan (4) apakah
evaluasi pendidikan karakter telah sesuai
dengan SNP?
Penelitian ini bertujuan untuk
menganalisis efektivitas pengelolaan
pendidikan karakter di berbagai jenjang
sekolah. Diharapkan melalui penelitian
ini dapat dijadikan masukan bagi
perbaikan dan peningkatakan kebijakan
pengelolaan pendidikan karakter di
berbagai jenjang sekolah, perbaikan
kinerja layanan pembelajaran, perbaikan
peran guru dan kepala sekolah, dan
perbaikan karakter siswa di berbagai
jenjang sekolah.
METODE PENELITIAN
Penelitian ini menggunakan metode
evaluatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif. Penelitian bermaksud
menganalisis efektivitas pengelolaan
pendidikan karakter di berbagai jenjang
sekolah yang dipaparkan secara naratif
dan kontekstual (Burn, 2009 dan Miles
and Huberman, 2007). Analisis evaluatif
digunakan untuk memaparkan tentang
efektivitas kebijakan pendidikan
karakter, efektivitas perencanaan,
pelaksanaan, dan evaluasi pendidikan
karakter di berbagai jenjang sekolah
dilihat dari ukuran standar nasional
pendidikan.
Subyek penelitian terdiri atas kepala
sekolah, guru, siswa, dan alumni SD,
SMP, SMA, dan SMK Negeri di
beberapa wilayah provinsi Bengkulu.
Subyek dan responden penelitian dipilih
secara bertujuan (purposive and snow
ball sampling) dengan
mempertimbangkan keterwakilan
institusi dan jenis data yang dikumpulkan
(Burn, 1995).
Teknik pengumpulan data dilakukan
dengan ceklis, observasi, studi
dokumentasi, dan wawancara. Ceklis
digunakan untuk melihat efektivitas
pendidikan karakter dari ukuran SNP.
Observasi dan studi dokumentasi
digunakan untuk melihat bukti yang ada
di sekolah. Adapun wawancara
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
8
digunakan untuk memperoleh informasi
yang mendalam tentang pengelolaan
pendidikan karakter.
Analisis data dilakukan secara
evaluatif dengan pendekatan deskriptif
kualitatif (Burn, 1995 dan Miles and
Huberman, 2007). Analisis evaluatif
dilakukan dengan melihat keterlaksanaan
pendidikan karakter dilihat dari 8 standar
nasional. Pengelolaan pendidikan
karakter dikatakan efektif, jika sesuai
dengan 8 standar nasional. Selain hal
tersebut data dan informasi yang
dihimpun dari berbagai teknik, diolah,
dipaparkan, dicermati, dan diramu
menjadi satu kesatuan pola yang
bermakna. Pola tersebut bisa jadi
merupakan fenomena baru, gejala baru,
teori lapangan baru (grounded theory),
atau tesis yang benar-benar orisinil
(Miles and Huberman, 2007).
Teknik untuk meningkatkan
keabsahan data dilakukan melalui cek-
recek (mengecek kembali ke responden
berkali-kali), trianggulasi (menanyakan
dari berbagai sumber minimal tiga
sumber), peer debriefing (mengkaji data
dan informasi dari rekan sebaya
responden), analisis kasus negative
(mengecek mengapa diperoleh data yang
nyeleneh), dan audit trail (melakukan
mengecekan catatan lapangan) (Miles
and Huberman, 2007). Demikian pula
dilakukan teknik untuk meningkatkan
kredibilitas penelitian melalui uji
obyektivitas (kejujuran pengumpulan
data dan informasi), transfermabilitas
(keterpakaian dan kesesuaian hasil
penelitian), dependabilitas (ketidak-
berpihakan peneliti), dan auditabilitas
(pengecekan hasil kembali) (Miles and
Huberman, 2007).
HASIL DAN PEMBAHASAN
Hasil Penelitian
Pendidikan karakter pada berbagai
jenjang sekolah di provinsi Bengkulu
telah diselenggarakan mengikuti
kebijakan pemerintah. Sekolah, baik
pada jenjang SD, SMP, SMA, dan SMK
telah mengimplementasikan pendidikan
karakter dalam kegiatan intrakurikuler,
kokurikuler, dan ekstrakurikuler.
Pendidikan karakter dalam kegiatan
intrakurikuler diintegrasikan dalam
pembelajaran sehari-hari. Kegiatan
intrakurikuler tersebut diperkuat dengan
kegiatan kokurikuler yang digunakan
untuk pendalaman materi. Sementara
pelaksanaan dalam kegiatan
ekstrakurikuler dilakukan melalui
berbagai kegiatan, seperti pramuka,
palang merah remaja, kegiatan
keagamaan, olah raga, kesenian, dan
peminatan kegiatan yang disukai siswa.
Pada tataran kebijakan pendidikan
karakter di berbagai jenjang sekolah
sudah berusaha mengikuti kebijakan
pemerintah. Seluruh sekolah telah
melaksanakan pendidikan karakter sesuai
dengan kemampuannya masing-masing.
Kepala sekolah dan guru umumnya
berupaya menerjemahkan kebijakan
pemerintah dalam wujud program.
Pelaksanaan cenderung bersifat
formalitas yang penting melaksanakan
dan ada program kegiatannya, tanpa
melihat unsur kualitas yang sesuai
dengan delapan SNP. Pelaksanaan
pendidikan karakter kurang sesuai
dengan standar kompetensi lulusan,
standar isi, standar proses, standar tenaga
pendidik dan kependidikan, standar
sarana dan prasarana, standar
pembiayaan, standar pengelolaan, dan
standar penilaian. Kondisi ini
memberikan indikasi bahwa pendidikan
karakter di sekolah kurang efektif.
Menurut kepala sekolah dan guru
penyebabkan karena ketiadaan mata
pelajaran yang berdiri sendiri,
sebagaimana mata pelajaran lain di
sekolah. Kondisi ini melemahkan
penilaian penguasaan dan kepemilikan
karakter siswa. Penanaman karakter
siswa di sekolah juga kurang dibarengi
dengan pembinaan di lingkungan
keluarga. Edukasi yang terputus ini juga
merupakan penyebab kekurangefektivan
pendidikan karakter.
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
9
Perencanaan pendidikan karakter di
berbagai jenjang sekolah tercermin
dalam program kegiatan pembelajaran
dan ekstra kurikuler. Pendidikan karakter
termuat dalam kurikulum sekolah yang
mencakup muatan mata pelajaran,
muatan lokal, pengembangana diri,
kecakapan hidup, dan sebagainya.
Seluruh kurikulum sekolah, baik yang
menggunakan KTSP (Kurikulum
Tingkat Satuan Pendidikan) maupun K-
13 (Kurikulum 2013) memuat
pendidikan karakter yang kegiatannya
mencakup tatap muka, kegiatan
terstruktur, dan kegiatan mandiri. Dalam
kegiatan pembelajaran guru menyusun
RPP (Rencana Pelaksanaan
Pembelajaran) yang memuat Standar
Kompetensi (SK) dan Kompetensi Dasar
(KD) yang menurut kepala sekolah dan
guru seluruhnya menggambarkan
kompetensi karakter siswa. Telaah
terhadap perencanaan pembelajaran baik
dalam SK dan KD memuat kecerdasan,
pengetahuan, kepribadian, akhlak mulia,
dan kecakapan hidup. Muatan karakter
lainnya kurang terinci dan tidak
dijelaskan secara detil dalam
perencanaan pembelajaran. Demikian
pula dengan program kegiatan ko dan
ekstra kurikuler. Meskipun kepala
sekolah telah mengatakan bahwa
pendidikan karakter telah diprogram,
dalam dalam kegiatan ko dan ekstra
kurikuler tidak nampak dalam dokumen
kegiatan. Kegiatan yang nampak hanya
jenis kegiatan ekskul seperti pramuka,
berbagai jenis cabang olah raga,
kesenian, dan kegiatan keagamaan.
Dengan demikian ditinjau dari standar
nasional, perencanaan pendidikan
karakter belum sepenuhnya mengikuti
standar isi maupun lulusan.
Pelaksanaan pendidikan karakter
dilakukan dalam kegiatan intra kurikuler,
ko dan dan ekstra kurikuler. Dalam
kegiatan intra kurikuler tergambar dalam
kegiatan pembelajaran yang cenderung
hanya mentransfer materi mata pelajaran.
Siswa yang melanggar melakukan
kegiatan biasanya diberikan nasehat dan
sanksi. Disinilah karakter ditanamkan.
Karakter tidak secara khusus
dikembangkan kepada siswa, namun
diintegrasikan ke dalam mata pelajaran.
Demikian pula dalam pelaksanaan
kegiatan ko dan ekstra kurikuler. Seluruh
guru menyebutkan bahwa semua
pelaksanaan pembelajaran, ko dan ekstra
kurikuler dilakukan dalam kerangka
pendidikan karakter. Bila ditinjau dari
segi standar proses, maka pelaksanaan
pembelajaran mata pelajaran sudah
sesuai. Namun khusus untuk
pembelajaran yang menanamkan
karakter kurang tersentuh secara
mendalam. Guru mata pelajaran maupun
ekstra kurikuler lebih cenderung
mengutamakan capaian materi pelajaran
daripada melakukan pembinaan karakter.
Demikian pula halnya dengan penilaian
pembelajaran, guru lebih menekankan
menilai materi pembelajaran melalui tes
tertulis dari pada melalui perbuatan.
Evaluasi pendidikan karakter
kurang dilakukan secara khusus untuk
menilai karakter anak satu persatu.
Karakter anak seperti disiplin tidak
tergambarkan secara khusus, demikian
pula karakter lainnya. Guru lebih
menekankan melakukan evaluasi
penguasaan materi pelajaran dari pada
menilai karakter anak. Namun menurut
pengakuan guru, nilai anak pada suatu
mata pelajaran menggambarkan
keseluruhan potensi anak, termasuk
karakternya. Telaah dari segi standar
penilaian, evaluasi pendidikan karakter
belum sepenuhnya mengikuti standar
nasional yang ditetapkan. Seperti belum
mengikuti prosedur, jenis, dan alat
penilaian yang benar-benar mampu
mengggambarkan kepemilikan karakter
anak. Penilaian hanya dilakukan untuk
mengukur kemampuan anak memenuhi
ketuntasan belajar. Misalnya anak
memperoleh nilai 80, artinya telah
memenuhi ketuntasan belajar dari mata
pelajaran tertentu dan mencakup
kepemilikan karakter anak. Namun
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
10
ketika ditanyakan kepada guru, apakah
nilai 80 tersebut menjamin bahwa anak
memiliki karakter yang baik? Mereka
umumnya menjawab iya. Namun
kesetujuan ini tidak disertai raut muka
yang sungguh-sungguh.
Pembahasan
Efektivitas pendidikan karakter di
sekolah dapat diukur dengan
membandingkan antara delapan standar
nasional pendidikan dengan
implementasi yang sesungguhnya terjadi
di sekolah. Dengan membandingkan
kedua hal tersebut tersebut dapat terlihat
efektivitasnya (Burton, 2009 dan
Sasongko, 2011). Kebijakan nasional
tentang penerapan pendidikan karakter
telah dikelola di berbagai jenjang
sekolah, baik SD, SMP, SMA, dan SMK
di provinsi Bengkulu. Pengelolaannya
cenderung bersifat formalitas yang
penting terselenggara. Sekolah umumnya
tidak mempedulikan segi kualitas
kepemilikan karakter siswa. Dilihat dari
SNP pelaksanannya belum sepenuhnya
memenuhi unsur standar kompetensi
lulusan, standar isi, standar proses,
standar tenaga pendidik dan
kependidikan, standar sarana dan
prasarana, standar pembiayaan, standar
pengelolaan, dan standar penilaian.
Dengan perkataan lain bahwa pendidikan
karakter belum efektif dikelola di
sekolah. Kondisi di atas sesungguhnya
hampir sama dengan temuan Marzuki,
Murdiono, dan Samsuri (2011) yang
menunjukkan bahwa pendidikan karakter
di SD dan SMP di Daerah Yogjakarta
belum dikembangkan secara khusus yang
berbasis keagamaan. Demikian pula jika
merujuk kepada Aswandi (2010) yang
lebih menekankan kepada internalisasi
karakter melalui empat tahapan, seperti
melalui pemahaman, pembiasaan,
keteladanan, dan pembelajaran secara
integral; maka pendidikan karakter di
sekolah provinsi Bengkulu belum
sepenuhnya dilaksanakan. Kondisi
demikian menurut Berkowitz, Bier, dan
McCauley (2017) pendidikan karakter
belum memberikan nilai yang berarti
bagi siswa.
Pendidikan karakter yang
diselenggarakan dalam kegiatan
pembelajaran di kelas yang didukung
dengan kegiatan ko dan ekstra kurikuler,
belum sepenuhnya menghasilkan
karakter yang sesuai dengan standar
nasional. Kegiatan pembelajaran
cenderung kepada pencapaian materi ajar
dan ketuntasan belajar minimal. Kondisi
ini memang amat mudah dilakukan guru
daripada membina dan menilai secara
detil dan komprehensif karakter siswa.
Pendidikan karakter sesungguhnya
merupakan dilemma bagi kepala sekolah
dan guru (Graham dan Diaz, 2015;
Sasongko, 2015; dan Larry, 2017). Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan (SNP) yang kemudian
direvisi melalui Peraturan Pemerintah
No. 32 Tahun 2013 Tentang Perubahan
Atas Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun
2005 tentang Standar Nasional
Pendidikan memiliki merencanakan,
pelaksanaan, dan pengawasan
pendidikan dalam rangka mewujudkan
pendidikan nasional yang bermutu.
Namun dalam implementasinya belum
optimal. Sebagai tindak lanjutnya
ditetapkan Peraturan Presiden No. 87
Tahun 2017 tentang Penguatan
Pendidikan Karakter (PPK). Perpres
tersebut ditujukan untuk mewujudkan
bangsa yang berbudaya yang kuat nilai-
nilai religius, jujur, toleran, disiplin,
bekerja keras, kreatif, mandiri,
demokratis, rasa ingin tahu, semangat
kebangsaan, cinta tanah air, menghargai
prestasi, komunikatif, cinta damai, gemar
membaca, peduli lingkungan, peduli
sosial, dan bertanggung jawab. PPK
tersebut merupakan gerakan pendidikan
di bawah tanggung jawab satuan
pendidikan untuk memperkuat karakter
peserta didik melalui harmonisasi olah
hati, olah rasa, olah pikir, dan olah raga
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
11
dengan pelibatan dan kerjasama antara
satuan pendidikan, keluarga, dan
masyarakat. Penyelenggaraan PPK pada
jalur pendidikan formal dilakukan secara
terintegrasi dalam kegiatan
intrakurikuler, kokurikuler, dan
ekstrakurikuler yang dilakukan di dalam
dan atau di luar lembaga.
Penyelenggaraan PPK dalam
kegiatan intrakurikuler untuk penguatan
nilai-nilai karakter dilakukan melalui
penguatan materi pembelajaran, metode
pembelajaran sesuai dengan muatan
kurikulum. Kegiatan PPK dalam
kokurikuler dilakukan melalui
pendalaman dan atau pengayaan kegiatan
intrakurikuler sesuai muatan kurikulum.
Kegiatan PPK dalam kegiatan
ekstrakurikuler dilakukan melalui
kegiatan krida, karya ilmiah, latihan olah
bakat/olah minat, dan kegiatan
keagamaan dan penghayat kepercayaan.
Penyelenggaraan pendidikan
karakter di berbagai jenjang sekolah
belum sesuai dengan Perpres
sebagaimana di atas; seharusnya
dilakukan secara terpadu, baik di
sekolah, masyarakat, maupun di
keluarga. Keluarga merupakan
pendidikan pertama dan utama dalam
pendidikan karakter (Sasongko, 2015).
Oleh karena itu pendidikan karakter
sudah semestinya dilakukan secara
bersama-sama antara sekolah, keluarga
dan masyarakat (Graham dan Diaz, 2015
dan Larry, 2017).
Pendidikan karakter yang belum
memiliki struktur program yang jelas
amat melemahkan bagi penilaian hasil
belajar. Ketiadaan mata pelajaran
pendidikan karakter yang mandiri,
menyebabkan tidak adanya nilai
tersendiri bagi karakter siswa. Kondisi
ini menjadi penyebab bagi siswa untuk
tidak menampilkan karakter mulia.
PENUTUP
Simpulan
Simpulan penelitian menunjukkan
bahwa pendidikan karakter pada
berbagai jenjang sekolah belum efektif,
sebab kurang dikelola sesuai dengan
standar nasional pendidikan. Pendidikan
karakter pada berbagai jenjang sekolah
diselenggarakan tidak memiliki
fundamen pembelajaran yang kuat dan
terstruktur sebagaimana mata pelajaran
yang lainnya. Kebijakan pendidikan
karakter cenderung bersifat formalistis
dan belum sesuai dengan delapan standar
nasional. Perencanaan, pelaksanaan, dan
evaluasi pendidikan karakter belum
sepenuhnya memenuhi standar nasional
pendidikan.
Saran
Saran kepada kepala dinas
pendidikan setempat dan kepala sekolah
agar dapat mengeluarkan kebijakan
pengelolaan pendidikan karakter yang
terstruktur menjadi mata pelajaran yang
sesuai standar nasional, utamanya
standar kelulusan, isi, proses, pendidik,
pengelolaan, dan penilaian pembelajaran.
Pendidikan karakter hendaknya
direncanakan, dilaksanakan, dan
dievaluasi secara sinergis, terpadu dan
sinambung pada lingkup sekolah,
masyarakat dan keluarga.
TERIMA KASIH
Apresiasi dan terima kasih kepada
Direktorat Riset dan Pengabdian
Masyarakat, Dirjen Penguatan Riset dan
Pengembangan, Kementerian Riset,
Teknologi dan Pendidikan Tinggi yang
telah membiayai kegiatan penelitian
kompetitif nasional Penelitian Tim
Pascasarjana (PTP) Tahun 2017-2018
dengan judul: Percepatan Pemenuhan
Standar Nasional Pendidikan Melalui
Pengembangan Model Pembinaan
Sekolah Berbasis Audit Kinerja. Terima
kasih juga kepada Lembaga Penelitian
dan Pengabdian Masyarakat Universitas
Bengkulu yang telah membantu kegiatan
penelitian ini melalui Kontrak Penelitian
No. 982/UN30.15/LT/2017, tanggal 6
April 2017
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
12
DAFTAR PUSTAKA
Aswandi (2010). Membangun Bangsa
Melalui Pendidikan Karakter.
Pendidikan Karakter: Jurnal
Publikasi Ilmiah Pendidikan
Umum dan Nilai, 2 (2), 16-23.
Berkowitz, MW; Bier, MC, and
McCauley, B. (2017). Toward a
Science of Character Education:
Frameworks for Identifying and
Implementing Effective Practice.
Journal of Character Education,
13 (1).
http://.infoagepub.com/jrce-
isssue.html (diunduh 5 Februari
2018).
Burn, Robert B.(1995). Introduction to
Research Methods. Sidney:
Longman.
Burton, Paul (2009). National Education
Standards: Getting Beneath the
Surface. New Jersey: Policy
Information Center.
https://www.ets.org/Media/Resear
ch/pdf/PICNATEDSTAND.pdf
(Diunduh 2 Maret 2016).
Graham, SE and Diaz, ME (2015). The
Complexity of Character: An
Ability Based-Model for Higher
Education. Journal of Character
Education. 11 (1).
http://www.m,character.org/url=ht
tp.fjournal-ce (diunduh 8 Februari
2018).
Larry, Nucci (2017). Character: A
Multifaceted Development
System. Journal of Character
Education, 13 (1).
http://.infoagepub.com/jrce-
isssue.html (diunduh 5 Februari
2018).
Marzuki, Murdiono, M, dan Samsuri
(2011). Pembinaan Karakter Siswa
Berbasis Pendidikan Agama di SD
dan SMP DIY. Jurnal
Kependidikan: Jurnal Ilmiah
Penelitian Pendidikan, 41 (1), 71-
86.
Miles, MS and Huberman, AM (2007).
Qualitative Data Analysis: A
Sourcebook of New Method.
http://www.ed.gov/databased/qual
idata.Ed54673534 (Diunduh 3 Mei
2012).
Peraturan Pemerintah No. 19 Tahun 2005
Tentang Standar Nasional
Pendidikan
Peraturan Pemerintah No. 32 Tahun 2013
Tentang Perubahan Atas Peraturan
Pemerintah No. 19 Tahun 2005
tentang Standar Nasional
Pendidikan. Peraturan Presiden No. 87 Tahun 2017
tentang Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK). Sasongko, Rambat Nur (2011). Model
Manajemen Pendidikan Berbasis
Solusi Untuk Mengatasi Sekolah
Miskin. Jurnal Kependidikan:
Jurnal Ilmiah Penelitian
Pendidikan. 41 (2), 127-134.
Sasongko, Rambat Nur (2015). Strategi
Mengatasi Madrasah Miskin
Melalui Pengembangan Model
Manajemen Berbasis Kolaborasi
(Penelitian Tindakan
Kependidikan di Berbagai Jenjang
Madrasah Provinsi Bengkulu).
Madania: Jurnal Kajian
Keislaman. 19 (2), 185-194.
http://.infoagepub.com/jrce-isssue.htmlhttp://.infoagepub.com/jrce-isssue.htmlhttps://www.ets.org/Media/Research/pdf/PICNATEDSTAND.pdfhttps://www.ets.org/Media/Research/pdf/PICNATEDSTAND.pdfhttp://www.m,character.org/url=http.fjournal-cehttp://www.m,character.org/url=http.fjournal-cehttp://.infoagepub.com/jrce-isssue.htmlhttp://.infoagepub.com/jrce-isssue.htmlhttp://www.ed.gov/databased/qualidata.Ed54673534http://www.ed.gov/databased/qualidata.Ed54673534
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
13
Implementasi Nilai-Nilai Karakter KECE (Komunikatif, Empatik, Cinta
Damai, Energik) di Sekolah Dasar Dalam Pemanfaatan Bonus Demografi
Ragil Dian Purnama Putri1, Nindiya Eka Safitri2
1Pendidikan Guru Sekolah Dasar, Universitas Ahmad Dahlan 2Bimbingan dan Konseling, SMK Muhammadiyah Wonosari
Abstrak
Artikel ini bertujuan untuk membahas tentang implementasi nilai-nilai karakter KECE
(Komunikatif, Empatik, Cinta Damai, Energik) di sekolah dasar. Pendidikan memberikan
pengaruh besar dalam menanamkan dan mengembangkan karakter bagi peserta didik.
Seiring dengan pesatnya era globalisasi, Indonesia saat ini hampir kehilangan kearifan lokal
yang menjadi karakter budaya bangsa. Penurunan nilai-nilai karakter juga tengah dirasakan
semakin drastis terjadi di lingkungan masyarakat dan lingkungan sekolah. Terjadinya
degradasi moral di tubuh bangsa ini menjadi isu krusial akhir-akhir ini. Fakta ini
ditunjukkan dengan adanya berbagai fenomena penyimpangan perilaku pada generasi
muda, khususnya anak usia sekolah seperti tawuran, penyalahgunaan narkoba, pesta miras,
pelecehan seksual, free sex, sikap agresif, bullying dan lain-lain. Salah satu cara untuk
menghadapi fenomena tersebut adalah melalui pendidikan karakter. Pendidikan karakter
dapat dilakukan dengan berbagai strategi, salah satunya adalah dengan pengembangan
budaya sekolah yang sesuai dengan penguatan pendidikan karakter. Sekolah dasar
merupakan pijakan awal dalam penanaman karakter kepada peserta didik. Budaya KECE
diimpelementasikan melalui berbagai kegiatan maupun program sekolah yang terencana
secara matang dengan memanfaatkan bonus demografi. Artikel ini mengupas tentang
bagaimana budaya KECE diimplementasikan melalui kegiatan-kegiatan terencana dan
langkah-langkah implementatif dengan kolaborasi berbagai elemen pendidikan di sekolah
dasar. Dengan penanaman budaya KECE sejak dini, peserta didik akan tumbuh menjadi
pribadi yang berkualitas dan berkarakter layaknya kualitas dan karakter generasi emas
2045.
Kata Kunci : degradasi moral, pendidikan karakter, bonus demografi, budaya
KECE.
PENDAHULUAN
Maraknya kasus tawuran antar
pelajar, antar mahasiswa dan antar
kampung pada akhir-akhir ini telah
menjadi sorotan publik. Peran orang tua
dan guru saat ini telah diabaikan oleh
anak karena perkembangan zaman dan
teknologi membuat globlasisasi pada
budaya asing dengan cepat masuk ke
dalam negeri. Menurut Kemendiknas
(2010: 1) dalam buku Agus (2012: 17),
pendidikan dianggap sebagai alternatif
yang bersifat preventif. Itu karena
pendidikan membangun generasi baru
bangsa menjadi lebih baik. Akan tetapi
telah diketahui bahwa bangsa saat ini
sedang kehilangan kearifan lokal yang
menjadi karakter budaya bangsa sejak
bertahun-tahun yang lalu.
Agus (2012: 18) mengatakan
bahwa sebagai alternatif yang bersifat
preventif, pendidikan diharapkan dapat
mengembangkan kualitas generasi muda
bangsa ini dalam berbagai aspek, serta
dapat memperkecil dan mengurangi
penyebab berbagai masalah budaya dan
karakter bangsa. Memang harus diakui
bahwa hasil hasil dari pendidikan itu
tidak akan terlihat dalam waktu sekejap
atau periode tertentu. Melalui pendidikan
karakter yang diinternalisasikan
diberbagai tingkat dan jenjang
mailto:[email protected]
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
14
pendidikan, diharapkan krisis karakter
bangsa ini bisa segera diatasi. Lebih dari
itu pendidikan karakter sendiri
merupakan salah satu tujuan pendidikan
nasional. Selain itu, pendidikan karakter
juga memiliki korelasi positif pada
keberhasilan akademik anak didik.
Karena sangat penting pendidikan
karakter, sampai beberapa negara-negara
maju seperti Amerika Serikat, Jepang,
dan Cina sudah menerapkan model
pendidikan karakter sejak sekolah dasar
hingga perguruan tinggi. Negara-negara
maju tersebut telah
mengimplementasikan pendidikan
karakter yang tersusun secara sistematis,
berdampak positif pada pencapian
akademis. Mansur, (2011: 1)
mengatakan bahwa dampak globalisasi
yang terjadi pada saat ini membawa
masyarakat Indonesia melupakan
pendidikan karakter bangsa. Padahal
pada kondisi seperti ini pendidikan
karakter memiliki peranan penting untuk
menjadi pondasi bangsa yang perlu
ditanamkan pada siswa. Hal tersebut
telah terbukti dengan kondisi yang terjadi
di sekolah dasar dimana anak yang
menjadi cikal bakal penerus bangsa ini
sangat terdegradasi moral dan
karakternya sehingga berdampak sampai
ketika dewasa.
Supratiningrum dan Agustin
(2015: 219) mengemukakan bahwa
kebutuhan pendidikan yang dapat
melahirkan manusia Indonesia yang
memiliki karakter dan bermoral sangat
dirasakan penting karena degradasi
moral yang terus menerus terjadi pada
generasi bangsa ini dan nyaris membawa
bangsa Indonesia pada kehancuran.
Budaya tawuran, geng-geng antar
pelajar, penyalahgunaan narkoba yang
semakin menggurita dan mungkin kasus
kejahatan lainnya yang dirasa
meresahkan masyarakat khususnya orang
tua.
Maraknya tindak kriminalitas pada
siswa menyebabkan terjadi bullying
antar siswa yang berakhir pada kasus
kekerasan antar pelajar dan berakhir
kematian. Fakta ini diberitakan oleh
harian Merdeka.com Rabu, 9 Agustus
2017 tentang tewasnya SR (8th) seorang
siswa kelas II SDN Longkewang, Desa
Hegarmanah, Kecamatan Cicantayan,
Kabupaten Sukabumi, Jawa Barat yang
tewas diduga setelah berkelahi dengan
rekannya DR di lingkungan sekolah (8/8)
sekitar Pukul 07.00 WIB. Parahnya lagi,
kenakalan siswa sekolah juga terjadi
pada siswa Sekolah Dasar yang tawuran
dengan sesama Sekolah Dasar. Seperti
yang diberitakan oleh Liputan6.com 25
November 2016 SD di Semarang 3 SD
melakukan tawuran, meski telah sukses
digagalkan, warga tetap kaget karena
siswa SD ini ada yang membawa senjata
tajam.
Berdasarkan kasus diatas dapat
kita lihat bahwa kondisi peserta didik saat
ini sangat memprihatinkan dan krisis
moral. Mansur, (2011: 2-3)
mengemukakan bahwa faktor yang
menyebabkan runtuhnya potensi bangsa
Indonesia pada saat ini salah satunya
adalah faktor pendidikan. Tentunya kita
ta bahwa pendidikan mekanisme
institusionl yang akan mengakselerasi
pembinaan karakter bangsa dan
berfungsi sebagai sarana mengintegrasi
reaktivasi karakter luhur budaya bangsa
Indonesia dimasa lampau dan karakter
inovatif serta kompetitif kedalam
segenap sendi-sendi kehidupan bangsa
dan program pemerintah. Zubaedi (2011:
56) mengemukakan bahwa pengaruh
buruk secara nyata begitu melekat dalam
budaya kita, sehingga hampir tidak
mungkin menghindarkan anak-anak dari
pengaruh tersebut. Kondisi inilah yang
menjadi sebab mengapa membangun
kecerdasan moral sangat penting
dilakukan agar suara hati anak-anak bisa
membedakan mana yang benar dan mana
yang salah, sehingga mereka dapat
menangkis pengaruh buruk dari luar.
Berdasarkan beberapa uraian di
atas dapat disimpulkan bahwa
pendidikan karakter pada saat ini
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
15
mengalami penurunan. Untuk itu perlu
adanya upaya untuk mengatasi
permasalahan tersebut. Guru sebagai
fasilitator diharapkan tidak hanya
memberikan ilmu pengetahuan kepada
siswa tetapi guru juga harus mampu
menanamkan nilai-nilai karakter melalui
kegiatan-kegitan positif.
METODE PENULISAN
Metode penelitian dan/atau
penulisan yang digunakan adalah kajian
kepustakaan. Data-data yang
dipergunakan dalam penyusunan karya
tulis ini berasaldari berbagai literatur
kepustakaan yang berkaitan dengan
permasalahan yang dikaji. Beberapa jenis
referensi utama yang digunakan adalah
buku, peraturan perundangan-undangan,
makalah seminar, prosiding, jurnal imiah
edisi cetak maupun edisi online, hasil
penelitian dan artikel ilmiah yang
bersumber dari internet. Jenis data yang
diperoleh variatif, bersifat kualitatif
maupun kuantitatif.
Sumber data dan informasi
didapatkan dari berbagai literatur dan
disusun berdasarkan hasil studi dari
informasi yang diperoleh. Penulisan
diupayakan saling terkait antar satu sama
lain dan sesuai dengan topik yang dikaji.
Data yang terkumpul diseleksi dan
diurutkan sesuai dengan topik kajian.
Kemudian dilakukan penyusunan karya
tulis berdasarkan data yang telah
dipersiapkan secara logis dan sistematis.
Teknik analisis data bersifat
deskriptif argumentatif. Simpulan
didapatkan setelah merujuk kembali pada
rumusan masalah, tujuan penulisan, serta
pembahasan. Adapun kesimpulan ditarik
dari uraian pokok bahasan karya tulis,
serta didukung dengan saran praktis
sebagai rekomendasi selanjutnya.
HASIL DAN PEMBAHASAN
Degradasi Moral
Dewasa kini telah marak
terjadinya degradasi moral di dunia
pendidikan lebih halnya lagi yaitu terjadi
pada kalangan anak Sekolah Dasar,
dikutip dari www.iNews.id seperti kasus
pencabulan guru Sekolah Dasar di
Surabaya terhadap 65 siswa, Jumat
(23/2/2018). Selain itu kasus yang sama
terjadi pencabulan anak di bawah umur
yang diungkap Kepolisian Daerah
(Polda) Jawa Timur (Jatim), Rabu 21
Februari 2018.
Abidin, (2012: 27) dalam Windi &
Nana (2016) mengatakan bahwa
Kemendiknas mengakui bahwa
dikalangan pelajar dan mahasiswa
degradasi moral tidak kalah
memprihatinkan. Perilaku menabrak
etika, moral, dan hukum dari yang ringan
sampai yang berat masih kerap
diperlihatkan oleh pelajar dan
mahasiswa. Kebiasaan mencontek pada
saat ulangan atau ujian masih dilakukan.
Dikutip oleh Windi & Nana (2016:
399) menurut Soejono Soekanto norma-
norma yang ada dalam masyarakat
mempunyai kekuatan mengikat yang
berbeda-beda. Ada norma yang lemah,
yang sedang sampai yang terkuat
ikatannya. Pada yang terakhir, umumnya
anggota-anggota masyarakat pada tidak
berani melanggarnya. Untuk dapat
membedakan kekuatan mengikat norma-
norma tersebut, secara sosiologis
mengikat norma-norma tersebut, secara
sosiologis dikenal adanya empat
pengetian,yaitu: cara (usage), kebiasaan
(folkways), tata kelakuan (mores), dan
adat istiadat (custom).
Windi & Nana (2016: 399)
seseorang dapat dikatakan bermoral,
apabila tingkah laku orang tersebut
sesuai dengan nilai-nilai moral yang
dijunjung tinggi oleh masyarakat.
Sehingga tugas penting yang harus
dikuasai adalah mempelajari apa yang
diharapkan oleh masyarakat dan
kemudian mau membentuk perilakunya
agar sesuai dengan harapan sosial tanpa
terus dibimbing, diawasi, didorong, dan
diancam hukuman seperti yang dialami
waktu anak-anak.
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
16
Pendidikan Karakter
Imam (2012: 3) mengatakan
bahwa karakter dapat diartikan sebagai
bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi
pekerti, perilaku, personalitas, sifat,
tabiat, temperamen, dan watak. Karakter
dalam pengertian ini menandai dan
memfokuskan pengaplikasian nilai
kebaikan dalam bentuk tindakan atau
tingkah-laku. Orang yang tidak
mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan,
misalnya tidak jujur, kejam, rakus, dan
perilaku buruk lainnya dikatakan orang
yang berkarakter buruk, tetapi orang
yang perilakunya sesuai dengan kaidah
moral disebut dengan berkarakter mulia.
Menurut Suyanto (2009: 1) dalam
Zulnuraini (2012: 1) menyatakan bahwa
pendidikan karakter adalah pendidikan
budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan
aspek pengetahuan (cognitive), perasaan
(feeling), dan tindakan (action). Menurut
Thomas Lickona tanpa ketiga aspek ini
pendidikan karakter tidak akan efektif.
Pendidikan karakter menurut Jamal
Mamur Asmani (2011: 31) adalah segala
sesuatu yang dilakukan oleh guru untuk
mempengaruhi karakter peserta didik.
Guru membantu dalam membentuk
watak peserta didik dengan cara
memberikan keteladanan, cara berbicara
atau menyampaikan materi yang baik,
toleransi, dan berbagai hal yang
terkaitnya. Pendidikan karakter adalah
suatu sistem penanaman nilai-nilai
karakter kepada warga sekolah yang
meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut,
baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa
(YME), diri sendiri, sesama, lingkungan,
maupun kebangsaan sehingga menjadi
manusia insan kamil (Prasetyo dan
Rivasintha, 2011: 2).
Pada hakikatnya, pendidikan
karakter merupakan suatu sistem
pendidikan yang berupaya menanamkan
nilai-nilai luhur kepada warga sekolah
yang meliputi komponen pengetahuan,
kesadaran atau kemauan, dan tindakan
untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut.
Dalam pelaksanaan pendidikan karakter
di sekolah, semua komponen sekolah
harus dilibatkan, termasuk komponen-
komponen pendidikan itu sendiri, yaitu
isi kurikulum, proses pembelajaran dan
penilaian, penanganan atau pengelolaan
mata pelajaran, pengelolaan sekolah,
pelaksanaan aktivitas atau kegiatan
kokurikuler, pemberdayaan sarana
prasarana, pembiayaan, dan etos kerja
seluruh warga sekolah/lingkungan
(Imam, 2012: 4-5).
Kemendikbud (2016) mengatakan
bahwa gerakan Penguatan Pendidikan
Karakter (PPK) selain merupakan
kelanjutan dan kesinambungan dari
Gerakan Nasional Pendidikan Karakter
Bangsa Tahun 2010 juga merupakan
bagian integral Nawacita. Dalam hal ini
butir 8 Nawacita: Revolusi Karakter
Bangsa dan Gerakan Revolusi Mental
dalam pendidikan yang hendak
mendorong seluruh pemangku
kepentingan untuk mengadakan
perubahan paradigma, yaitu perubahan
pola pikir dan cara bertindak, dalam
mengelola sekolah. Untuk itu, Gerakan
PPK menempatkan nilai karakter sebagai
dimensi terdalam pendidikan yang
membudayakan dan memberadabkan
para pelaku pendidikan. Ada lima nilai
utama karakter yang saling berkaitan
membentuk jejaring nilai yang perlu
dikembangkan sebagai prioritas Gerakan
PPK. Kelima nilai utama karakter bangsa
yang dimaksud adalah sebagai berikut:
1. Religius
Nilai karakter religius
mencerminkan keberimanan terhadap
Tuhan yang Maha Esa yang diwujudkan
dalam perilaku melaksanakan ajaran
agama dan kepercayaan yang dianut,
menghargai perbedaan agama,
menjunjung tinggi sikap toleran terhadap
pelaksanaan ibadah agama dan
kepercayaan lain, hidup rukun dan damai
dengan pemeluk agama lain. Nilai
karakter religius ini meliputi tiga dimensi
relasi sekaligus, yaitu hubungan individu
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
17
dengan Tuhan, individu dengan sesama,
dan individu dengan alam semesta
(lingkungan). Nilai karakter religius ini
ditunjukkan dalam perilaku mencintai
dan menjaga keutuhan ciptaan. Subnilai
religius antara lain cinta damai, toleransi,
menghargai perbedaan agama dan
kepercayaan, teguh pendirian, percaya
diri, kerja sama antar pemeluk agama dan
kepercayaan, antibuli dan kekerasan,
persahabatan, ketulusan, tidak
memaksakan kehendak, mencintai
lingkungan, melindungi yang kecil dan
tersisih.
2. Nasionalis
Nilai karakter nasionalis merupakan
cara berpikir, bersikap, dan berbuat yang
menunjukkan kesetiaan, kepedulian, dan
penghargaan yang tinggi terhadap
bahasa, lingkungan fisik, sosial, budaya,
ekonomi, dan politik bangsa,
menempatkan kepentingan bangsa dan
negara di atas kepentingan diri dan
kelompoknya. Subnilai nasionalis antara
lain apresiasi budaya bangsa sendiri,
menjaga kekayaan budaya bangsa,rela
berkorban, unggul, dan berprestasi, cinta
tanah air, menjaga lingkungan, taat
hukum, disiplin, menghormati
keragaman budaya, suku, dan agama.
3. Mandiri
Nilai karakter mandiri merupakan
sikap dan perilaku tidak bergantung pada
orang lain dan mempergunakan segala
tenaga, pikiran, waktu untuk
merealisasikan harapan, mimpi dan cita-
cita. Subnilai mandiri antara lain etos
kerja (kerja keras), tangguh tahan
banting, daya juang, profesional, kreatif,
keberanian, dan menjadi pembelajar
sepanjang hayat.
4. Gotong Royong
Nilai karakter gotong royong
mencerminkan tindakan menghargai
semangat kerja sama dan bahu membahu
menyelesaikan persoalan bersama,
menjalin komunikasi dan persahabatan,
memberi bantuan/pertolongan pada
orang-orang yang membutuhkan.
Subnilai gotong royong antara lain
menghargai, kerja sama, inklusif,
komitmen atas keputusan bersama,
musyawarah mufakat, tolongmenolong,
solidaritas, empati, anti diskriminasi, anti
kekerasan, dan sikap kerelawanan.
5. Integritas
Nilai karakter integritas merupakan
nilai yang mendasari perilaku yang
didasarkan pada upaya menjadikan
dirinya sebagai orang yang selalu dapat
dipercaya dalam perkataan, tindakan, dan
pekerjaan, memiliki komitmen dan
kesetiaan pada nilai-nilai kemanusiaan
dan moral (integritas moral). Karakter
integritas meliputi sikap tanggung jawab
sebagai warga negara, aktif terlibat
dalam kehidupan sosial, melalui
konsistensi tindakan dan perkataan yang
berdasarkan kebenaran. Subnilai
integritas antara lain kejujuran, cinta
pada kebenaran, setia, komitmen moral,
anti korupsi, keadilan, tanggungjawab,
keteladanan, dan menghargai martabat
individu (terutama penyandang
disabilitas).
Kelima nilai utama karakter
bukanlah nilai yang berdiri dan
berkembang sendiri-sendiri melainkan
nilai yang berinteraksi satu sama lain,
yang berkembang secara dinamis dan
membentuk keutuhan pribadi. Dari nilai
utama manapun pendidikan karakter
dimulai, individu dan sekolah perlu
mengembangkan nilai-nilai utama
lainnya baik secara kontekstual maupun
universal. Nilai religius sebagai cerminan
dari iman dan takwa kepada Tuhan Yang
Maha Esa diwujudkan secara utuh dalam
bentuk ibadah sesuai dengan agama dan
keyakinan masing-masing dan dalam
bentuk kehidupan antarmanusia sebagai
kelompok, masyarakat, maupun bangsa.
Dalam kehidupan sebagai masyarakat
dan bangsa nilai-nilai religius dimaksud
melandasi dan melebur di dalam nilai-
nilai utama nasionalisme, kemandirian,
gotong royong, dan integritas. Demikian
pula jika nilai utama nasionalis dipakai
sebagai titik awal penanaman nilai-nilai
karakter, nilai ini harus dikembangkan
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
18
berdasarkan nilai-nilai keimanan dan
ketakwaan yang tumbuh bersama nilai-
nilai lainnya.
Bonus Demografi
Bonus demografi adalah peluang
(window of opportunity) yang dinikmati
suatu negara sebagai akibat dari besarnya
proporsi penduduk produktif (rentang
usia 15-64 tahun) dalam evolusi
kependudukan yang dialaminya. Di
Indonesia fenomena ini terjadi karena
proses transisi demografi yang
berkembang sejak beberapa tahun lalu
dipercepat oleh keberhasilan kebijakan
kependudukan menurunkan tingkat
fertilitas, meningkatkan kualitas
kesehatan dan suksesnya program-
program pembangunan sejak era Orde
Baru hingga sekarang. Keberhasilan
program (KB) selama berpuluh tahun
sebelumnya telah mampu menggeser
penduduk berusia di bawah 15 tahun
(anak-anak dan remaja) yang awalnya
besar di bagian bawah piramida
penduduk Indonesia ke penduduk berusia
lebih tua (produktif 15-64 tahun).
Struktur piramida yang menggembung di
tengah semacam ini menguntungkan,
karena dengan demikian beban
ketergantungan atau dukungan ekonomi
yang harus diberikan oleh penduduk usia
produktif kepada penduduk usia anak-
anak (di bawah 15 tahun) dan tua (di atas
64 tahun) menjadi lebih ringan.
Kemudian muncul parameter yang
disebut rasio ketergantungan
(dependency ratio), yaitu rasio yang
menunjukkan perbandingan antara
kelompok usia produktif dan non
produktif. Rasio ini sekaligus
menggambarkan berapa banyak orang
usia non produktif yang hidupnya harus
ditanggung oleh kelompok usia
produktif. Semakin rendah angka rasio
ketergantungan suatu negara, maka
negara tersebut makin berpeluang
mendapatkan bonus demografi. Menurut
guru besar demografi Universitas
Indonesia (Prof. Dr Sri Moertiningsih
Adioetomo), Indonesia sudah mendapat
bonus demografi mulai 2010 dan akan
mencapai puncaknya sekitar tahun 2020
hingga tahun 2030. Berdasarkan data
BPS hasil sensus penduduk tahun 2010
angka rasio ketergantungan kita adalah
51,3% (lihat grafik). Bonus demografi
tertinggi biasanya didapatkan angka
ketergantungan berada di rentang antara
40-50%, yang berarti bahwa 100 orang
usia produktif menanggung 40-50 orang
usia tidak produktif. (Munawar, 2015:
124-125)
Gambar 1. Grafik bonus demografi
(Sumber : Yuswoady)
Budaya KECE
Kata Kece mungkin sudah
banyak kita dengar karena itu merupakan
bahasa gaul anak muda. Di kalangan
remaja, kece dipahami sebagai bentuk
tampilan anak muda yang
ganteng/cantik, keren dan stylist. Remaja
yang merasa dirinya paling
ganteng/cantik dan paling keren akan
menyebut dirinya sebagai orang kece.
Akan tetapi, dibalik beberapa persepsi
negatif terhadap kata kece, sebenarnya
kata kece memiliki makna filosofis
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
19
yang tinggi jika dikaitkan dengan nilai-
nilai karakter di sekolah. Budaya KECE
merupakan singkatan dari budaya
Komunikatif, Empatik, Cinta Damai, dan
Enerjik. Keempatnya merupakan bagian
dari ke lima penguatan pendidikan
karakter (PPK) yang harus ditanamkan
pada peserta didik/siswa di sekolah.
Adapun konsep dasar dari budaya KECE
yang akan implementasikan di sekolah
dasar adalah sebagai berikut:
Komunikatif/bersahabat adalah
tindakan yang memperlihatkan rasa
senang berbicara, bergaul dan bekerja
sama dengan orang lain. Empatik adalah
peduli terhadap orang/benda lain.
Empatik meliputi dua nilai karakter,
yaitu peduli lingkungan dan peduli
sosial. Peduli lingkungan adalah sikap
dan tindakan yang selalu berupaya
mencegah kerusakan pada lingkungan
alam di sekitarnya dan mengembangkan
upaya-uapaya untuk memperbaiki
kerusakan alam yang sudah terjadi.
Sedangkan peduli sosial adalah sikap dan
tindakan yang selalu ingin memberi
bantuan pada orang lain dan masyarakat
yang membutuhkan. Cinta damai adalah
sikap, perkataan dan tindakan yang
menyebabkan orang lain merasa senang
dan nyaman atas kehadiran dirinya.
Energik merupakan paduan dari tiga
nilai karakter, yaitu kerja keras, mandiri,
kreatif. Kerja keras adalah perilaku yang
menunjukkan upaya sungguh-sungguh
salam mengatasi berbagai hambatan
belajar dan tugas serta menyelesaikan
tugas dengan sebaik-baiknya. Mandiri
adalah sikap dan perilaku yang tidak
mudah tergantung pada orang lain dalam
menyelesaikan tugas-tugasnya. Adapun
kreatif adalah berpikir dan melakukan
sesuatu untuk menghasilkan cara atau
hasil baru dari sesuatu yang telah
dimiliki.
Implementasi Budaya KECE di
Sekolah Dasar
Menurut Gunawan (2012), salah
satu strategi dalam pembentukan
karakter adalah melalui pembudayaan.
pada dasarnya, pembudayaan di
lingkungan satuan pendidikan (dalam hal
ini sekolah) dapat dilakukan melalui : (1)
penugasan, (2) pembiasaan, (3)
pelatihan, (4) pengajaran, (5)
pengarahan, serta (6) keteladanan.
Semuanya mempunyai pengaruh yang
kuat dalam pembentukan karakter anak
didik. Oleh sebab itu, implementasi
budaya KECE di sekolah dasar didesain
khusus selaras dengan bentuk-bentuk
pembudayaan di lingkungan satuan
pendidikan yang ada saat ini. Adapun
bentuk implementasi budaya KECE di
sekolah dasar dapat dilakukan melalui
cara sebagai berikut:
Komunikatif/bersahabat, (a)
Membiasakan siswa memberi senyum,
sapa dan salam kepada sesama teman
ketika bertemu/berpapasan, (b)
Membiasakan siswa untuk berjabat
tangan dengan teman, minimal teman
satu kelas setiap pagi sebelum pelajaran
dimulai, (c) Mendesain pasangan duduk
siswa secara acak atau bergantian dan
merata setiap seminggu sekali, sehingga
satu orang siswa pernah duduk
berdampingan dengan seluruh teman
kelasnya, (d) Mendesain metode belajar
secara kelompok dengan model diskusi,
dengan pemilihan anggota kelompok
secara acak dan bergantian, (e) Sesekali
mengadakan pertukaran guru mata
pelajaran yang sama dari kelas yang
berbeda untuk menjalin komunikasi dan
keakraban siswa dengan semua guru.
Empatik, meliputi 2 (dua) nilai
karakter yaitu, a) Peduli Lingkungan
(1) Membuat poster dan papan
bimbingan berisi slogan-slogan tentang
kebersihan dan kelestarian lingkungan,
(2) Menyediakan tempat sampah organik
dan anorganik serta tempat cuci tangan di
setiap sudut ruangan sekolah, (3)
Menertibkan pelaksanaan piket harian
siswa, guru dan karyawan, (4)
Memprogramkan kegiatan Jumat
Bersih dengan alokasi waktu yang
cukup, (5) Menyediakan peralatan
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
20
kebersihan yang layak di ruang kelas, (6)
Menyediakan kamar mandi dan air
bersih, (7) Memrogramkan kegiatan
ekstrakurikuler Pecinta Alam atau
Jelajah Alam, (8) Membuat dan
mengelola taman sekolah, berisi tanaman
hias dan tanaman herbal
b) Peduli Sosial
(1) Membiasakan siswa untuk mau
menolong temannya yang kesulitan atau
kesakitan kapanpun dan dimanapun,
melalui proses modelling dari guru, (2)
Menyediakan kotak amal untuk
memfasilitasi siswa memberikan
sumbangan, (3) Menyelenggarakan
kegiatan bakti sosial yang melibatkan
seluruh siswa di setiap hari-hari besar
seperti Idul Adha atau peristiwa bencana
alam di lingkungan sekolah, (4)
Memrogramkan kegitan Dokter Kecil
bagi siswa agar mampu memberikan
bantuan kepada temannya yang sakit
ringan
Cinta Damai, (a) Menciptakan
suasana belajar dan bekerja yang
nyaman, tenteram dan harmonis dengan
cara menyediakan ruangan yang bersih
dan nyaman, (b) Membuat poster atau
papan bimbingan berisi slogan-slogan
anti kekerasan, (c) Menjaga persahabtan
dan keakraban siswa melalui kegiatan
Kumpul Bareng Yuk secara berkala,
misalnya setiap sebulan sekali, (d)
Membiasakan perilaku anti bullying
terhadap siswa, guru dan karyawan, (e)
Menerapkan sanksi yang tegas terhadap
perilaku kekerasan dan pelecehan di
sekolah
Energik, (a) Guru memberlakukan
deadline tugas setiap mata pelajaran
secara tegas kepada siswa, (b)
Menugaskan siswa untuk membuat karya
seni dengan cara daur ulang barang bekas
untuk keperluan display di ruang galeri
seni sekolah, (c) Guru memberikan tugas
mandiri secara berkala di setiap
pelajaran, seperti siswa mencari bahan,
menganalisis dan memaparkan hasil
analisis di depan kelas, (d)
Mengintensifkan program ektrakurikuler
pramuka, (e) Menyelenggarakan
berbagai kegiatan ekstrakurikuler untuk
mengakomodasi seluruh bakat dan minat
siswa, baik berbasis seni, olahraga
maupun yang lainnya
Implementasi keempat nilai karakter
melalui berbagai kegiatan/langkah di atas
memerlukan kerjasama sejumlah pihak,
baik pihak yang ada di dalam sekolah
maupun di luar sekolah. Kerjasama yang
bersifat kolaboratif dan komprehensif
terjalin antara kepala sekolah, wakil
kepala sekolah, guru mata pelajaran, guru
BK, wali kelas, staf administrasi, pekerja
sekolah, komite dan orang tua/wali
murid. Semuanya harus bergerak secara
sinergis untuk mengembangkan kultur
budaya KECE di sekolah, untuk
kemudian dikembangkan di luar sekolah.
Dalam prakteknya, implementasi
budaya KECE di sekolah dasar perlu
memperhatikan beberapa hal seperti
ketersediaan sarana dan pra sarana
sekolah, kesiapan personel sekolah
dalam memberikan keteladanan,
komitmen seluruh personel sekolah
dalam mencapai tujuan, dan ketersediaan
anggaran dana sekolah. Hal ini berarti
bahwa segala sarana dan pra sarana yang
dibutuhkan dalam implementasi budaya
KECE di sekolah harus dipersiapkan dan
dirawat dengan sebaik-baiknya. Di
samping itu, perlu adanya kesiapan
komitmen yang tinggi dari seluruh
personel sekolah khususnya guru dalam
hal ini, yang dapat diwujudkan melalui
berbagai bentuk sosialisasi dan orientasi
serta pelatihan-pelatihan yang
mendukung implementasi budaya KECE
di sekolah berkaitan dengan peningkatan
pemahaman dan pemberian modeling
tentang nilai-nilai pendidikan karakter.
Yang tidak kalah penting adalah masalah
finansial karena setiap langkah
implementasi budaya KECE memerlukan
sejumlah anggaran dana beserta
transparasi operasionalnya.
ISBN 978-602-6483-63-8
Seminar Nasional Pendidikan
Banjarmasin, 24 Maret 2018
21
Prospek Budaya KECE Dalam
Pemanfaatan Bonus Demografi
Pembudayaan karakter di
lingkungan sekolah bersifat sangat
kontributif bagi kesuksesan
pembangunan karakter (character
building) di suatu bangsa. Konsep
implementasi budaya KECE di sekolah
didesain sedemikian rupa sehingga
mampu membentuk karakter
komunikatif, empatik, cinta damai dan
enerjik pada siswa sekolah, khususnya
siswa sekolah dasar. Dengan demikian,
implementasi budaya KECE dalam
konteks kultur sekolah berkarakter
memiliki kontribusi yang besar,
khususnya dalam mempersiapkan peserta
didik/siswa menjadi lulusan yang
komunikatif, empatik, cinta damai dan
enerjik. Dengan karakter komunikatif,
siswa akan mampu berkomunikasi verbal
yang baik serta menjalin persahabatan
yang intim dengan teman dan guru untuk
mempersiapkan diri menghadapi
kompetisi kerja di dunia. Kunci sukses
kompetisi dalam hal apapun terletak pada
kemampuan berbicara. Seseorang yang
pandai menulis tetapi tidak mahir dalam
bicara, maka karyanya tidak banyak akan
dipahami oleh orang lain jika tidak
dikomunikasikan. Karakter komunikatif
yang terinternalisasi secara mendalam
akan membentuk siswa/generasi muda
yang selalu mengeluarkan
pendapat/gagasan/ide terhadap segala
bentuk permasalahan bangsa, baik secara
lisan maupun tulisan.
Dengan karakter empatik, siswa
akan memiliki rasa kemanusiaan yang
kental untuk mempersiapkan diri
menghadapi persaingan bebas di tengah
isu-isu sosial saat ini. Karakter empatik,
akan membangun sikap altruisme,
toleransi, suka menolong dan kepekaan
pada diri siswa. Empati berkaitan erat
dengan kemauan siswa/generasi muda
untuk mengisi kemerdekaan,
menciptakan inovasi dan kreasi untuk
kemajuan dan kesuksesan bangsa dalam
percaturan bangsa-bangsa di dunia.
Dengan karakter cinta damai, siswa
akan memiliki kecintaan pada kedamaian
untuk menjaga kesatuan dan persatuan
bangsa di tengah karut marut konflik
dunia. Bangsa yang damai akan terhindar
dari konflik yang serius. Keutuhan
Indonesia sebagai negara kesatuan
dengan budaya yang beragam hendaknya
menjadi kekuatan dengan didukung oleh
sikap saling peduli akan indahnya
kedamaian dan kebersamaan. Kehidupan
bangsa yang damai akan meminimalisir
keinginan bangsa lain yang mungkin
bermaksud memecah-belah bahkan
menjajah bangsa kita.
Selanjutnya dengan karakter
enerjik, siswa akan mempunyai
kreativitas, kemandirian dan etos kerja
yang tinggi sebagai kunci sukses di era
globalisasi. Kreativitas yang tinggi akan
menentukan kemampuan siswa dalam
menciptakan kreasi baru di berbagai
aspek kehidupan yang mampu membawa
kemajuan bangsa. Kemandirian siswa
akan berpengaruh terhadap proses belajar
siswa. Siswa/generasi muda tidak hanya
tergantung pada guru atau pemerintah
saja. Adakalanya mereka bisa bergerak
sendiri membangun paradigma baru di
segala aspek kehidupan bangsa. Lalu,
kemandirian juga berkaitan dengan