proposisi tugas pa ibnu

Upload: trisno-hrsp-hrsp

Post on 12-Jul-2015

228 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

TUGAS METODOLOGI PENELITIANDOSEN : Dr. Ibnu Widiyanto, MA

OLEH :1. LILI KARMELA FITRIANI 2. ROBY SETIADI 3. SYAMSIER HUSEN Kelas : Reguler Jumat-Sabtu Angkatan : VI

PROGRAM DOKTOR ILMU EKONOMI PASCA SARJANA UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG 20111. RESEARCH GAP

Research Gap Pengaruh kapabilitas inovasi terhadap keunggulan bersaing

Penelitian/ Peneliti A Research In Relating Entrepreneurship, Marketing Capability, Innovative Capability And Sustained Competitive Advantage Jia-Sheng Lee & Chia-Jung Hsien (2010)

Isu Terdapat pengaruh positif kapabilitas inovasi terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan

Temuan Kapabilitas inovasi yaitu berupa inovasi produk, inovasi proses, inovasi managerial, inovasi pemasaran, berpengaruh positif terhadap keunggulan bersaing berkelanjutan

Pengaruh inovasi terhadap The Impact of keunggulan posisi Innovation and Competitive Intensity on Positional Advantage and Firm Performance Weijun He and Ming Nie (2008) Pengaruh kinerja inovasi The influence of produk terhadap Green Innovation keunggulan bersaing Performance on perusahaan Corporate Advantage in Taiwan Yu-Shan Chen, et al (2006) Hubungan green inovasi produk dan green inovasi proses dengan keunggulan bersaing The influence of corporate environmental ethics on competitive Advantage : The Mediation Role of Green Innovation Ching-Hsun Chang (2011)

Terdapat pengaruh positif inovasi terhadap keunggulan posisi

Inovasi berpengaruh positif terhadap keunggulan posisi diukur sebagai superioritas differensial. Kinerja green inovasi produk dan green inovasi proses memiliki hubungan positif dengan keunggulan bersaing perusahaan Green inovasi produk dapat memediasi hubungan positif etika lingkungan dengan keunggulan bersaing, green inovasi produk dapat menangkap peluang memimpin pasar. Green inovasi proses tidak bisa memediasi hubungan etika

Terdapat hubungan positif kinerja green inovasi produk dan green inovasi proses dengan keunggulan bersaing perusahaan Terdapat hubungan positif green inovasi produk dan green inovasi proses dengan keunggulan bersaing

lingkungan dengan keunggulan bersaing

2. PROPOSISI 2.1 Inovasi Inovasi dalam sebuah perusahaan merupakan kebutuhan mendasar yang pada gilirannya mampu menciptakan keunggulan bersaing. Inovasi merupakan sebuah fungsi penting dari manajemen karena inovasi akan menentukan suatu kinerja bisnis yang superior. Inovasi menjadi semakin bertambah penting sebagai suatu alat untuk kelangsungan hidup, bukan hanya pertumbuhan tetapi juga dalam persaingan yang semakin ketat dan ketidakpastian lingkungan (Gronhaug dan Kaufmann, 1988 dalam Han, et al 1998) Schumpeter (1996) membedakan inovasi yang berarti penemuan baru menjadi lima macam sebagai berikut : (1) inovasi dalam arti memproduksi sesuatu benda atau benda yang kualitasnya berbeda, (2) inovasi dalam arti memproduksi sesuatu benda dengan cara baru yang belum pernah dirintis siapapun, (3) inovasi dalam arti memasuki suatu pasar baru yang belum pernah dimasuki oleh industry tertentu, (4) inovasi dalam arti menggunakan bahan mentah atau bahan setengah jadi dari sumber yang ada yang dahulu belum digunakan oleh suatu industry, (5) inovasi dalam arti mengorganisasi produk dalam bentuk baru. Beberapa perusahaan telah mampu menciptakan keunggulan bersaing dari sumber daya yang unik yaitu berupa intellectual capital (modal intelektual). Human capital penting dalam menghasilkan inovasi (Lise-Lotte dan Jan-Ake Tornroos, 2006). Stewart (1997) dalam Tsai-Ling Liu, 2005, dengan mengadaptasi model Intellectual Capital dari Scandia AFS, membagi tiga tipe intellectual capital : (1) Human Capital, terdiri atas pengetahuan, kapabilitas teknologi, dan pengalaman organisasi, (2) Structural Capital,

terdiri atas teknologi, pengumpulan data, publikasi dan proses dalam organisasi, (3) Customer Capital, terdiri atas hubungan antara pelanggan dan organisasi (seperti kepuasan pelanggan, partisipasi, kapabilitas pelayanan jasa, nilai aliansi pelanggan. Intellectual capital dapat dibagi atas 3 bentuk (Edvinsson dan Malone, 1997, Stewart, 1997; Sveiby, 1997; Guthrie dan Petty, 2000) : (1) Human Capital (kompetensi sumber daya manusia) antara lain keahlian, pendidikan dan pelatihan, pengalaman dan nilai karakteristik, (2) Relational Capital (struktur eksternal), antara lain hubungan antara pelanggan dan penyalur, merk, merk dagang, reputasi, (3) Structural Capital (struktur internal), antara lain pengetahuan yang tertanam dalam struktur dan proses organisasi, penelitian dan pengembangan (R & D), teknologi dan system Perlu dipahami bahwa antara kreativitas dan inovasi tidak terpisahkan. Kreativitas adalah batu loncatan untuk inovasi (creativity is the springboard for innovation). Inovasi akan mati/berhenti tanpa kreativitas (innovation will die without creativity). Perlu pula dipahami lingkup inovasi tidak terbatas dalam produk atau proses saja, tetapi meliputi berbagai aspek manajemen seperti inovasi dalam struktur organisasi, manajemen pemasaran, manajemen sumber daya manusia, dan manajemen keuangan. Kreativitas sering didefinisikan sebagai kemampuan menghasilkan gagasan baru yang bermanfaat. Tingkat kebaruan/ novelty dan kemanfaatan/value dari gagasan menjadi ciri kecanggihan kreativitas. Gagasan yang dihasilkan ditindak lanjuti menjadi Workable concept atau gagasan yang dapat dioperasional. Workable concept ditindaklanjuti menjadi Invention, dari invention ditindak lanjuti menjadi inovasi. Sehingga inovasi dapat didefinisikan : Innovation = Invention + Implementation/Commercialization. Apabila kreativitas menghasil sesuatu yang bermanfaat/berguna, inovasi menghasil sesuatu yang sangat berguna/bermanfaat untuk semua pihak. Sering juga didefinisikan creativity: thinking new thing, innovation:doing new thing.Jenis inovasi mengacu kepada proses dan produk yang

dihasilkan. Kita mengenal : incremental innovations, radical/ discontinuous innovations dan breathrough innovations. Incremental innovation adalah inovasi yang dikerjakan secara bertahap, yang menghasilkan perbaikanperbaikan baik yang kecil atau sampai kepada perbaikan-perbaikan yang besar. Radical/discontinuous innovation adalah inovasi yang membawa dampak terhadap penemuanpenemuan/ inovasi sebelumnya menjadi

usang/obsolete. Disebut juga destructive innovation. Breakthrough innovation, penemuan yang memungkinkan tumbuhnya industriindustri baru. Menurut According to Florida (2002) dalam Baek-Kyoo (2008) kreatifitas telah dipelajari pada ilmu psikologi pada tingkat individu sedangkan inovasi telah dipelajari di bidang ekonomi dan manajemen pada tingkat organisasi. Kreativitas tidak datang tiba-tiba, ia akan datang dari sumber daya manusia yang dianggap sebagai sumber utama dalam nilai, pertumbuhan dan keunggulan bersaing yang berkelanjutan (Barney, 1991; Pfeffer, 1994; Prahalad & Hamer, 1990). Untuk dapat bertahan hidup, beradaptasi dan memperoleh keunggulan bersaing organisasi perlu melihat kreativitas yang potensial dari sumber daya manusia, karena ide kreativitas dapat digunakan sebagai bagian dalam membangun inovasi, perubahan dan persaingan organisasi, (Amabile, 1988; Woodman, Sawyer & Griffin, 1993; Zhou & George, 2003). Dalam ekonomi regional terdapat tiga bentuk kreativitas : kreativitas teknologi, kreativitas ekonomi, dan kreativitas seni dan budaya (According to Florida , 2002 dalam Baek-Kyoo (2008). Kreativitas merupakan esensi yang mencirikan eksistensi dan perkembangan organisasi karena kreativitas dapat terlihat dari produk usaha, mode, dan model baru yang dihasilkan oleh individu dan kelompok dalam organisai. Kreativitas juga merupakan ramuan utama dalam layanan pelanggan, pengembangan produk dan strategi baru. Sumber daya manusia merupakan sumber daya organisasi yang terbesar di tempat kerja, dan kreativitas

sebagai wujudnya. Kreativitas organisasi merupakan kombinasi proses kreatif, produk inovatif, orang kreatif, dan situai kreatif. Menurut Peter Drucker : every organization not just business needs one core competence: Innovation. Ungkapan Peter Drucker tidak dapat diragukan lagi. Tetapi masalahnya bagaimana inovasi dihasilkan dan dimana sumbersumber inovasi. Para pakar mengatakan bahwa inovasi datang dari berbagai sumber. Menurut Gaynor (dalam Yuyun , 2010) untuk terjadinya inovasi harus ada budaya/culture, sumbersumber, infrasutruktur dan proses. Menurut dia kehadiran inovasi dapat didesain/ dipolakan dengan memperhatikan unsurunsur/variabel tadi. Kebutuhan inovasi karena adanya kebutuhan atau frustasi/masalah yang memerlukan pemecahan (frustation is the mother of innovation). Sumber inovasinya sendiri adalah individual, lembaga seperti perusahaan, lembaga penelitian, universitas. Diantara sumbersumber tersebut individu merupakan sumber utama, tetapi hanya dapat menghasilkan inovasi apabila ada dalam organisasi yang memungkinkan terjadinya inovasi. Individuindividu yang mempunyai potensi untuk menghasilkan inovasi adalah individu yang menguasai teknikteknik pengembangan kreativitas seperti teknik

brainstorming, mind mapping, metode check lists Osborn, metode morphology, dan sebagainya. Individuindividu yang mempunyai potensi sebagai inovator juga memiliki sifat tertentu seperti sifatsifat : keingintahuan yang tinggi, keterbukaan terhadap pengalaman, toleran terhadap ketidakpastian, kemandirian dalam berfikir dan bertindak dan lainlain. Sumber inovasi juga karena adanya interaksi antara perusahaan yang saling membutuhkan sehingga terjadi pengelompokan/ cluster. Clustercluster ini sangat potensial sebagai sumber inovasi, baik untuk inovasi yang didorong oleh pasar (demand pull innovation) atau yang didorong oleh pengembangan ilmu (science push innovation). Apabila

sumbersumber inovasi telah dapat diidentifikasi, persoalannya bagaimana menyusun organisasi untuk menghasilkan inovasi. Inovasi merupakan aktivitas stratejik dan sumberdaya organisasi. Pada lingkungan ekonomi yang sangat dinamis inovasi memainkan satu peran penting dalam menentukan keberhasilan perusahaan dalam berkompetisi (Grodal, 2004). Tekanan persaingan yang semakin kuat dari hari ke hari dan perubahan kebutuhan yang sangat cepat mengharuskan perusahaan menemukan sesuatu yang baru baik berupa metode , produk, maupun pasar guna meraih keunggulan bersaing perusahaan. Perusahaan dituntut untuk mengembangkan produk atau jasa secara terus menerus supaya perusahaan dapat mempertahankan kelangsungan hidupnya (Robbins, 1994). Oleh karena itu kegiatan inovasi harus dirancang dan dikembangkan karena inovasi merupakan sumberdaya dan kompetensi yang tidak bisa dilakukan dengan tergesa-gesa. Harley dan Hult (1998) mengajukan dua konsep inovasi yaitu : (1) inovasi, dan (2) kapasitas inovasi. Inovasi adalah pikiran tentang keterbukaan untuk gagasan baru sebagai sebuah aspek kultur perusahaan. Sedangkan kapasitas inovasi adalah kemampuan perusahaan untuk menggunakan atau menerapkan gagasan, proses, atau produk baru secara berhasil. Amstrong et.al (2002) membedakan inovasi menjadi dua bagian yaitu (1) inovasi proses, melibatkan pengembangan manajemen dan praktek baru organisasi, (2) inovasi produk, melibatkan aplikasi pengetahuan dan pengembangan produk baru yang berwujud dan pelayanan baru. Sedangakn Neely et.al (2001) membedakan inovasi dalam perusahaan terdiri atas: (1) inovasi produksi, seperti perubahan desin, komponen dan arsitektur produk, (2) inovasi jasa, seperti perubahan cara melayani konsumen dan pelayanan baru, (3) inovasi proses, seperti adaptasi lini produk baru yang sudah ada dan implementasi teknologi atau proses baru, (4) inovasi pasar, seperti eksploitasi teritori pasar yang baru, penetrasi segmen pasar baru, (5) inovasi logistic, seperti model logistic yang baru untuk mencapai bahan baku

outbound logistic yang baru (terhadap konsumen), (6) inovasi organisasi, seperti system manajerial yang baru dan adaptasi organisasi. Inovasi yang berkelanjutan sangat penting bagi pemasok untuk mempertahankan posisi mereka dan berkembang, sehingga menjadi pemasok pilihan. Sebuah inovasi dapat meningkatkan hubungan pelanggan-pemasok seperti halnya bagi UKM, sehingga dapat beroperasi secara lebih efektif dalam memenuhi permintaan pasar. Pemasok kecil dan menengah semakin berusaha untuk melibatkan pelanggan dalam mengembangkan usahnya. Schiele (2006) mencatat inovasi harus melibatkan rantai pasokan termasuk pemasok perusahaan. Pengembanagn inovasi umumnya terjadi melalui aksi bersama antara pemasok dan pelanggan dalam tim yang menciptakan nilai baru di seluruh bagian organisasi. Oleh karena itu hubungan dengan pelanggan menjadi lebih penting sebagai sumber kekuatan dan inovasi perusahaan kecil. (Moller dan Torronen, 2003) Inovasi yang berkelanjutan akan meningkatkan keunggulan bersaing, yaitu aktifitas yang berbeda yang dilakukan oleh peusahaan dalam mendesain, memproduksi, memasarkan, menyerahkan, dan mendukung produknya, sehingga perusahaan akan memiliki keunggulan yang berbeda disbanding perusahaan lain. (Porter, 1985), keunggulan bersaing bisa diwujudkan dengan menghasilkan produk yang khas/unik, tidak dapat ditiru, tidak dapat digantikan, sehingga akan memiliki keunggulan yang lebih baik disbanding produk pesaing, dengan demikian perusahaan yang berhasil memiliki keunggulan bersaing pada produknya akan meningkatkan kinerja. Inovasi merupakan pengendali yang kuat untuk memperoleh keunggulan bersaing. (e.g. Burns and Stalker, 1961;Christensen and Bower, 1996). Telah banyak perusahaan yang menekankan pentingnya inovasi radikal - yaitu eksplorasi untuk kelangsungan hidup

perusahaan dalam jangka panjang (Levinthal and March, 1993). Inovasi diperlukan untuk mempertahankan profitabilitas dan keunggulan bersaing (Barney, 1991). Inovasi didefinisikan sebagai kebebasan kreativitas untuk menghasilkan ide produk baru dan proses desain (Sethi, Smith, and Park, 2001) dalam Danupol, 2009. Inovasi adalah ide-ide dalam kaitannya dengan produk baru sebuah perusahaan (Pla-Barber dan Alegre, 2007) dalam Danupol, 2009. Inovasi produk dapat dilihat dari tiga timensi yaitu teknologi, pelanggan dan kombinasi dari teknologi dan pelanggan (Danupol, 2009). Inovasi produk dapat meningkatkan kinerja produk baru, yaitu kinerja pemasaran seperti pangsa pasar, penerimaan pelanggan, dan jumlah pelanggan barui dan kinerja keuangan seperti ROI, profitabilitas, pendapatan, dan pertumbuhan penjualan (Hua dan Wemmerlov, (2006) ; Tellis, Prabhu, dan Chandy (2009))2.2 Keunggulan Bersaing

Kompetisi dan inovasi memiliki katerkaitan. Persaingan yang kompetitif merupakan factor penentu penting dari daya tarik industry , dan dianggap mesin untuk inovasi yang berkelanjutan (Zahra, 2003). Di sisi lain inovasi menjadi pilar mendasar di mana terjadi dibangun persaingan (Ulusoy, 2003). Pada banyak industry, sebuah perusahaan mencari keunggulan bersaing terutama melalui inovasi produk. Menurut Schumpeter (1934) inovasi merubah hubungan pada pasar lama, dan memungkinkan melakukan penciptaan produk yang baru. Selain itu pada tingkat pasar global inovasi dianggap sebagai pendorong utama daya saing (Porter dan Stern, 1999) Porter (1985) mengatakan bahwa sumber keunggulan bersaing dapat dibagi atas dua tipe yaitu keunggulan biaya dan diferensiasi. Keunggulan biaya adalah seberapa besar harga produk suatu perusahaan lebih rendah dibanding pesaing mereka di pasar. Sementara diferensiasi adalah produk yang unik yang diberikan sebuah perusahaan atau manfaat yang

superior yang diberikan pada pelanggan dibandingkan produk pesaing. Selain itu manfaat yang unik dan unggul harus memenuhi kebutuhan pelanggan (day dan Nedungadi, 1994) dalam Danupol, 2009. Inovasi produk dapat membantu perusahaan tidak hanya membedakan diri dari pesaing tapi memberikan manfaat yang unik dan unggul untuk pelanggan mereka (Hunt dan Morgan, (1995); Zhou, Yim, dan David (2005)), tetapi juga untuk meningkatkan keunggulan biaya atas produk pesaing dengan memperkenalkan produk serupa dengan harga lebih rendah. Perusahaan dapat terus bertahan di pasar bila terus menerus melihat perubahan peluang dan ancaman (White, Varadarajan, dan Dacin, 2003). Kunci perubahan adalah pelanggan dan pesaing (Homburg, Grzdanovic, dan Klarmann, 2007). Perusahaan harus bisa memahami kebutuhan pelanggan dan mendapatkan informasi produk pesaing, sehingga perusahaan dapat mengembangkan produk baru sesuai dengan kebutuhan pelanggan dan membedakannya dari produk pesaing. Perusahaan yang mampu merespon pelanggan dan pesaingnya adalah factor yang penting untuk meningkatkan kinerja mereka sperti kepuasan elanggan, keuntungan, dan pangsa pasar (Homburg, Grozdanovic dan Klarmann, 2007). Kinerja adalah indicator utama yang digunakan untuk mengukur keunggulan bersaing perusahaan. Dengan demikian perusahaan yang dapat memahami pelanggan dan pesaing mereka di pasar dan meresponnya maka mereka dapat mengembangkan produk baru yang memberikan manfaat yang superior untuk pelanggan atau keunggulan biaya yang lebih rendah dibanding pesaingnya. Keunggulan bersaing didefinisikan juga sebagai suatu kondisi di mana sebuah perusahaan menempati posisi yang tidak dapat ditiru oleh pesaingnya untuk memenangkan persaingan dengan sukses. (Barney, 1991; Coyne,1986; Porter 1980). Terdapat 11 item

pengukuran keunggulan bersaing perusahaan yaitu : (1) perusahaan memiliki keunggulan bersaing dengan memiliki keunggulan biaya yang rendah dibanding pesaing utama, (2) produk atau jasa utama yang ditawarkan lebih baik dibanding produk atau jasa pesaing utama, (3) perusahaan lebih mampu dalam melakukan R&D dan inovasi dibanding pesaing utama, (4) perusahaan memiliki kemampuan manajerial yang lebih baik dibanding pesaing utama, (5) profitabilitas perusahaan lebih baik, (6) pertumbuhan perusahaan lebih baik disbanding pesaing utama, (7) perusahaan adalah penggerak pertama dan menempati beberapa posisi penting, (8) citra perusahaan lebih baik disbanding pesaing utama, (9) pesaing utama tidak dapat meniru produk atau jasa dengan mudah, (10) pesaing utama tidak dapat meniru ide-ide perusahaan dengan mudah, (11) pesaing utama tidak dapat menggantikan posisi perusahaan yang khas dengan mudah (Barney, 1991; Coyne, 1986; Porter, 1980) dalam Yu-Shan Chen, 2007. Keunggulan posisi adalah bagaimana perusahaan membandingkan kinerjanya dengan pesaing melalui beberapa criteria seperti : kualitas produk, aplikasi proses produksi yang baru, biaya produksi, investasi pada inovasi, investasi pada R&D, keahlian tenaka kerja, fleksibilitas terhadap kebutuhan kepuasan pelanggan, kualitas dan cakupan jaringan penjualan. (Sonja dan Vesna, 2002).

2.3 Citra Keutamaan Etnical

Citra menurut Kotler (1997) adalah seperangkat keyakinan, ide, dan kesan yang dimiliki seseorang terhadap suatu obyek. Citra adalah kesan yang diperoleh sesuai dengan pengetahuan dan pengalaman seseorang tentang sesuatu (Buchari Alma, 2002:317). Citra adalah kesan yang timbul karena pemhaman akan sesuatu kenyataan (Rhenald Kasali , 2003 : 28). Citra menunjukkan kesan suatu obyek terhadap obyek lain yang terbentuk dengan

memproses informasi setiap waktu dari berbagai sumber terpercaya. Terdapat tiga hal penting dalam citra yaitu, (1) kesan obyek, meliputi individu maupun perusahaan yang terdiri dari sekelompok orang di dalamnya, (2) proses terbentuknya citra, melalui proses informasi yang tidak menutup kemungkinan terjadinya perubahan citra pada obyek dari adanya penerimaan informasi setiap waktu, (3) sumber informasi terpercaya, yang dapat memberikan dasar penerimaan atau penolakan informasi bisa bersumber dari perusahaan secara langsung dan atau pihak-pihak lain secara tidak langsung. Pada awalnya istilah etnik hanya digunakan untuk suku-suku tertentu yang dianggap bukan asli Indonesia, namun telah lama bermukim dan berbaur dalam masyarakat, serta tetap mempertahankan identitas mereka melalui cara-cara khas mereka yang dikerjakan, dan atau karena secara fisik mereka benar-benar khas. Misalnya etnik Cina, etnik Arab, dan etnik Tamil-India. Perkembangan belakangan, istilah etnik juga dipakai sebagai sinonim dari kata suku pada suku-suku yang dianggap asli Indonesia. Misalnya etnik Bugis, etnik Minang, etnik Dairi-Pakpak, etnik Dani, etnik Sasak, dan ratusan etnik lainnya. Istilah etnik sendiri merujuk pada pengertian kelompok orang-orang, sementara etnis merujuk pada orang-orang dalam kelompok. Dalam Ensiklopedi Indonesia disebutkan istilah etnik berarti kelompok social dalam system social atqu kebudayaan yang mempunyai arti atau kedudukan tertentu karena keturunan, adat, agama, bahasa, dan sebagainya. Anggota-anggota suatu kelompok etnik memiliki kesamaan dalam hal sejarah (keturunan), bahasa (baik yang digunakan ataupun tidak), system nilai, serta adat istiadat dan tradisi. Menurut Frederich Barth (1988) dalam Achmanto Mendato (2007) istilah etnik menunjuk pada suatu kelompok tertentu yang karena kesamaan ras, agama, asal-usul bangsa, ataupun kombinasi dari kategori tersebut terikat pada sistem nilai budayanya. Kelompok

etnik adalah kelompok orang-orang sebagai suatu populasi di mana dalam populasi kelompok mereka mampu melestarikan kelangsungan kelompok dengan berkembang biak.

Mempunyai nila-nilai budaya yang sama, dan sadar akan rasa kebersamaannya dalam suatu bentuk budaya. Membentuk jaringan komunikasi dan interaksi sendiri.

Menentukan ciri kelompoknya sendiri yang diterima oleh kelompok lain dan dapat dibedakan dari kelompok populasi yang lain. Definisi etnik diatas menjelaskan pembatasan-pembatasan kelompok etnik yang didasarkan pada populasi tersendiri, terpisah dari kelompok lain, dan menempati lingkungan geografis tersendiri yang berbeda dengan kelompok lain. Seperti misalnya, etnik Minang menempati wilayah geografis pulau Sumatera bagian barat yang menjadi wilayah provinsi Sumatera Barat saat ini dan beberapa daerah pengaruh di provinsi sekitar. Lalu etnik Sunda menempati wilayah pulau jawa bagian barat. Dan etnik Madura menempati pulau madura sebagai daerah geografis awal. Sebuah kelompok etnik pertama kali diidentifikasi melalui hubungan darah. Apakah seseorang tergabung dalam suatu kelompok etnik tertentu ataukah tidak tergantung apakah orang itu memiliki hubungan darah dengan kelompok etnik itu atau tidak. Meskipun seseorang mengadopsi semua nilai-nilai dan tradisi suatu etnik tertentu tetapi jika ia tidak memiliki hubungan darah dengan anggota kelompok etnik itu, maka ia tidak bisa digolongkan anggota kelompok etnik tersebut. Seorang batak akan tetap menjadi anggota etnik batak meskipun dalam kesehariannya sangat jawa. Orang Jawa memiliki perbendaharaan kata untuk hal ini, yakni durung jawa (belum menjadi orang jawa yang semestinya) untuk orang-orang yang tidak menerapkan nilai-nilai jawa dalam keseharian mereka. Dan menganggap orang dari etnik lain yang menerapkan nilai-nilai jawa sebagai njawani (berlaku seperti orang jawa) (Suseno, 2001). Meskipun demikian orang itu tetap tidak dianggap sebagai orang Jawa.

Agama kadangkala menjadi ciri identitas yang penting bagi suatu etnis, tapi kadangkala tidak berarti apa-apa, hanya sebagai kepercayaan yang dianut anggota etnik. Di Jawa, agama yang dianut tidak menjadi penanda identitas etnik jawa (kejawaan) seseorang. Selain Islam, orang Jawa yang menganut kristen, Hindu, Budha, ataupun Kejawen juga cukup besar. Demikian juga pada etnis Betawi ataupun Sunda. Namun berbeda dengan etnik Minang. Agama dalam masyarakat Minangkabau justru dikukuhkan sebagai identitas kultur mereka sejak animisme ditinggalkan. Islam menjadi tolak ukur keminangan seseorang secara legalitas adat. Karena itu, orang Minangkabau yang tidak lagi Islam dipandang sebagai orang yang tidak mempunyai hak dan kewajiban lagi terhadap adat Minangkabau, sebagaimana ditafsirkan dari adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah, kendatipun secara genealogis ia tetap beretnis Minang, yang tentu saja tidak bisa menjadi etnis lain. (Arimi, 2002) dalam Achmanto Mendato (2007) Pada saat anggota kelompok etnik melakukan migrasi, sering terjadi keadaan dimana mereka tercerabut dari akar budaya etniknya karena mengadopsi nilai-nilai baru. Demikian juga dengan bahasa, banyak anak-anak dari anggota kelompok etnik tertentu yang merantau tidak bisa lagi berbahasa etniknya. Akan tetapi mereka tetap menganggap diri sebagai anggota etnik yang sama dengan orangtuanya dan juga tetap diakui oleh kelompok etnikya. Jadi, keanggotaan seseorang pada suatu etnik terjadi begitu saja apa adanya, dan tidak bisa dirubah. Tidak bisa seorang etnis Sunda meminta dirubah menjadi etnis Bugis, atau sebaliknya. Meskipun orang bisa saja memilih untuk mengadopsi nilai-nilai, entah dari etniknya sendiri, dari etnik lain, ataupun dari gabungan keduanya. Antara satu etnik dengan etnik lainnya kadang-kadang juga terdapat kemiripan bahasa. Kesamaan bahasa itu dimungkinkan karena etnik-etnik tersebut memiliki kesamaan sejarah tradisi kuno yang satu, yang mewariskan tradisi yang mirip dan juga bahasa yang

mirip pula (Goodenough, 1997). Seperti misalnya bahasa jawa memiliki banyak kemiripan dengan bahasa bali, lalu bahasa minang mirip dengan bahasa banjar, dan lainnya. Etnik sebagai kategori untuk membedakan perilaku orang-orang merupakan sesuatu yang telah usang. Model untuk yang digunakan dengan mengelompokkan perilaku dan budaya tertentu diasosiasikan dengan etnik tertentu sudah tidak dapat lagi dipergunakan. Sekarang ini, etnik sebagai identitas tidak berarti harus menunjukkan adanya perbedaan budaya. Mengaku berbeda etnik bukan lantas harus menunjukkan perbedaan dalam perilaku. Namun meski demikian, masyarakat umumnya tetap menganut adanya model-model perilaku dan sifat tertentu yang khas etnik tertentu, dan model tersebut digunakan untuk menjelaskan keberadaan etnik bersangkutan. Persoalannya kemudian beranjak kepada masalah identitas. Etnik tetap ada karena berkait dengan kebutuhan akan identitas-identitas. Meskipun terdapat kesamaan-kesamaan yang besar dengan etnik lain, hal itu tidak menghalangi untuk tetap merasa berbeda. Identitas etnik yang diperkuat, dimana identitas etnik semakin kerap ditonjolkan dalam kehidupan sosial seperti yang terjadi belakangan ini, kontradiktif dengan ramalan para pemuja globalisasi. Justru, perkuatan identitas etnik lahir sebagai perlawanan atas globalisasi. Citra keutamaan etnical merupakan kesan kesan spesifik yang dikembangkan sebagai penentu utama kekhasan berdasarkan nilai-nilai etnical

2.4 Fanatisme Konsumsi

Fanatisme adalah suatu keyakinan atau suatu pandangan tentang sesuatu, yang positif atau yang negatif, pandangan yang tidak memiliki sandaran teori atau pijakan kenyataan,

tetapi dianut secara mendalam sehingga susah diluruskan atau diubah. Menurut definisinya, Fanatisme biasanya tidak rasional atau keyakinan seseorang yang terlalu kuat dan kurang menggunakan akal budi sehingga tidak menerima faham yang lain dan bertujuan untuk mengejar sesuatu. Adanya fanatisme dapat menimbulkan perilaku agresi dan sekaligus memperkuat keadaan individu yang mengalami deindividuasi untuk lebih tidak terkontrol perilakunya. Fanatisme dipandang sebagai penyebab menguatnya perilaku kelompok yang tidak jarang dapat menimbulkan perilaku agresi. Individu yang fanatik akan cenderung kurang memperhatikan kesadaran sehingga seringkali perilakunya kurang terkontrol dan tidak rasional. Pengertian Fanatisme sendiri dapat disebut sebagai orientasi dan sentimen yang mempengaruhi seseorang dalam : (a) berbuat sesuatu, menempuh sesuatu atau memberi sesuatu, (b) dalam berfikir dan memutuskan, (c) dalam mempersepsi dan memahami sesuatu, dan (d) dalam merasa secara psikologis seseorang yang fanatik biasanya tidak mampu memahami apa-apa yang ada di luar dirinya, tidak faham terhadap masalah orang atau kelompok lain, tidak mengerti faham atau filsafat selain yang mereka yakini. Ciri-ciri yang jelas dari sifat fanatik adalah ketidakmampuan memahami karakteristik individual orang lain yang berada diluar kelompoknya, benar atau salah. Secara garis besar fanatisme mengambil bentuk : (a) fanatik warna kulit, (b) fanatik etnik/kesukuan, dan (c) fanatik klas sosial. Fanatik Agama sebenarnya bukan bersumber dari agama itu sendiri, tetapi biasanya merupakan kepanjangan dari fanatik etnik atau klas sosial. Konsumsi menurut Yasraf, dapat dimaknai sebagai sebuah proses objektifikasi, yaitu proses eksternalisasi atau internalisasi diri lewat objek-objek sebagai medianya. Maksudnya,

bagaimana seseorang memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitarnya melalui objek-objek material. Maksudnya, bagaimana seseorang memahami dan mengkonseptualisasikan diri maupun realitas di sekitarnya melalui objek-objek material. Disini terjadi proses menciptakan nilai-nilai melalui objek-objek dan kemudian memberikan pengakuan serta penginternalisasian nilai-nilai tersebut. Definisi tersebut memberi frame bagi seseorang dalam memahami alasan mengapa orang terus menerus berkonsumsi. Objek-objek konsumsi telah menjadi bagian yang internal pada kedirian seseorang. Sehingga sangat berpengaruh dalam pembentukan dan pemahaman konsep diri. Sebagai ilutrasi misalnya, banyak remaja yang merasa dirinya bisa benar-benar menjadi remaja gaul jika mereka mengenakan jeans dan model kaos atau baju yang sedang menjadi trend saat itu. Pakaian yang merupakan objek konsumsi, menjadi penanda identitas mereka dibanding karakter psikis, emosional ataupun penanda fisik pada tubuh mereka. Dari sudut pandang linguistik, diartikan sebagai proses menggunakan atau mendekonstruksi tanda-tanda yang terkandung di dalam objek-objek. Ketika seseorang mengkonsumsi suatu objek, secara internal orang mendekonstruksi tanda yang ada dibalik objek tersebut. Itulah alasan mengapa konsumen memilih baju yang model ini atau itu, sepatu yang model ini atau itu, dan seterusnya. Hal tersebut karena yang ingin dibeli konsumen bukan sekedar baju atau sepatu tersebut, tetapi juga nilai nge-trend, nilai glamor, atau nilai apapun yang menempel pada objek tersebut. Tanda-tanda pada objek konsumsi pada kenyataannya justru cenderung digunakan untuk menandai relasi-relasi sosial. Saat ini objek konsumsi mampu menentukan prestise, status dan simbol-simbol sosial tertentu bagi pemakainya. Objek juga mampu membentuk perbedaan-perbedaan sosial dan menaturalisasikannya melalui perbedaan-perbedaan pada tingkat pertandaan. Itulah mengapa orang cenderung menilai dan mengenali orang dari

penempilan luarnya, apa yang dikenakannya, asseorisnyamulai dari tas, sepatu, kacamata, dsbbermerek apa, dan seterusnya. Barang-barang bermerek menunjukkan nilai sosial yang tinggi. Pada barang barang tersebut tertempel nilai eksklusifitas. Memang kenyataan bahwa konsumsi sebagai satu sistem diferensiasisistem pembentukan perbedaan-perbedaan status, simbol dan prestise sosialtelah menandai pola sosial masyarakat konsumer. Dalam masyarakat konsumerisme, masyarakat hidup di suatu bentuk relasi subjek-objek yang baru, yaitu relasi konsumerisme. Dalam masyarakat konsumer, objek-objek konsumsi dipandang sebagai ekspresi diri atau eksternalisasi para konsumer (bukan melalui kegiatan penciptaan), dan sekaligus sebagai internalisasi nilai-nilai sosial budaya yang terkandung didalamnya. Tidak heran jika saat ini banyak sekali kelompok-kelompok sosial yang terbentuk berdasarkan konsumsi terhadap produk tertentu. Misalnya kelompok arisan Luis Vuitton, Grup Harley Davidson, dan sebagainya. Komunitas tersebut terbentuk sebagai upaya pernyataan diferensiasi dan prestise. Komunitas semacam itu mensejajarkan eksklusifitas mereka dengan merek-merek tersebut. Bentuk-bentuk fanatisme seperti itu pada kenyataannya tidak hanya terjadi pada konsumsi objek-objek yang bernilai ekslusif. Karena tren yang belakangan ini sedang digalakkan oleh para produsen adalah membangun fanatisme konsumen melalui inklusi konsumen dalam komunitas tertentu. Sebagai contoh, setiap grup musik yang populer saat ini pasti memiliki fans club-nya masing-masing. Tidak hanya itu, hampir setiap produk konsumsi yang dipasarkan sekarang juga memiliki komunitas tersendirikomunitas Yamaha, komunitas Esia, dst. Dalam komunitas tersebut, sense of belonging terhadap produk yang mereka konsumsi terus ditingkatkan sehingga fanatisme orang terhadap produk yang mereka konsumsi terus bertahan atau bahakan bertambah. Sebagai konsekuensinya, anggota

komunitas-komunitas itu akan terus mengkonsumsi produk tersebut secara sukarela sebagai wujud loyalitas terhadap komunitasnya. Selain sebagai sistem diferensiasi sosial, sebaliknya, konsumsi justru dipandang sebagai sistem yang menyatukanuniformitysosial. Konsumsi dikatakan sebagai pertanda budaya global. Konsumsi menjadi bahasa global yang menyediakan kemampuan bagi semua orang untukbisa memaknai simbol-simbol komersial. Kegiatan konsumsi bahkan menjadi sarana untuk memasuki pergaulan dunia, juga cara untuk berpartisipasi dalam berbagai hal diluar diri kita. Adalah suatu hal wajar sekarang mendengar orang-orang berterbangan kesanakemari, berpindah tempat dari satu benua ke benua yang lainnya hanya untuk berbelanja shopping. Adalah hal yang wajar pula menyaksikan artis pergi ke luar negeri sekedar untuk membeli baju atau tas. Wajar juga buat seseorang, dan bahkan kita menyambutnya dengan suka ria ketika supermarket duniaseperti Carrefour, Giant atau Hypermartmembuka cabangnya di daerah dekat tinggal mereka. Bahkan, seseorang seringkali merasa penting untuk mengetahui mengikuti dengan seksama melalui media berbagai pertemuan perdagangan tingkat dunia yang silih berganti dilaksanakan, mencari tahu kebijakan-kebijakan perekonomian global, dan seterusnya. Hal tersebut seolah-olah menjadi sangat penting karena berpengaruh atau bahkan menentukan masa depannya. Rasionalitas seseorang menerima semua hal tadi sebagai sesuatu yang wajar dan lazim saja. Seseorang menginternalisasi kegiatan konsumsi dan kemudian mengubah pengalaman ini ke dalam semua aktifitas manusia lainnya dan ke dalam aspek-aspek eksistensi sosial mereka. Itu membuktikan bahwa konsumsi telah terkonstruksi dalam rasionalitas mereka, dan

pasti dalam rasionalitas masyarakat global dunia sehingga konseptualisasi mereka mengenai diri dan dunia dipengaruhi ataupada level akutnyadibentuk oleh konsumsi Status konsumsi berhubungan dengan perilaku konsumen untuk mendapatkan barang atau jasa untuk menyatakan status mereka (Eastman et.al, 1999; Boudieu, 1999) dalam Paurav Sukhla (2009). Status konsumsi telah dipelajari sebelumnya dari konteks factor psikologis (Marcoux et.al, 1997), factor merk (Ocass & Frost, 2002), persepsi kualitas, kemewahan dan prestise (Duesenberg, 1949), konsep diri (Holman,1991 ; Belk, 1988; Salomo, 1983). Fanatisme konsumsi adalah suatu keyakinan atau pandangan seseorang yang kuat untuk mengkonsumsi suatu produk tertentu, melalui inklusi konsumen dalam komunitas tertentu Proposisi : Untuk menghasilkan keunggulan bersaing, perusahaan harus mampu membuat inovasi produk yang mempengaruhi citra keutamaan etnical yang menimbulkan fanatisme konsumsi.

Inovasi Produk

Citra Keutamaan Etnical

Keunggulan Bersaing

Fanatisme Konsumsi

REFERENSI

Achmanto Mendato, 2007, Etnik dan Etnisitas, Psikologi http://smartpsikologi.blogspot.com/2007/08/etnik-dan-etnisitas.html

Online,

Baek-Kyoo (Brian) Joo, 2010, The Impact of Contextual and Personal Characteristics on Employee Creativity in Korean Firms, Thesis Submitted to The Faculty of The Graduate School of University of Minnesota, Proquest Information and Learning Company Berto Usman, 2011, Perspektif Baru Dalam Productivity, Sustainability Concept, SVC, SCA, SDP, Value Added Process Dan Keterkaitannya Pada Manajemen Operasi Dan Inovasi Bharadwaj, Sundar G, P.R.Varadarajan, & Fahly, Jihn. (1993). Sustainable Competitive Advantage in Service Industries: A Conceptual Model and Research Propositions. Journal of Marketing. Vol.57,Oktober,p.83-99. Day-Yang Liu, Kuo-An Tseng, Szu-Wei Yen, 2009, The Incremental Impact of Intellectual Capital on Value Creation, Journal of Intellectual Capital, Vol 10 No.2, 2009, pp 260276, Emerald Group Publishing Limited. He, Weijun dan Ming Nie, 2008, The Impact of Innovation and Competitive Intensity on Positional Advantage and Firm Performance, The Journal of American Academy of Business, Cambridge, Vol. 14, Num 1, September. Helena Santos-Rodrigues, et. All, 2010, The Influence of Human Capital on the Innovativeness of Firm, International Business & Economics Research Journal, Sept 2010;9, 9; ABI/INFORM Complete. Pg 53. Hoonsopon, Danupol, 2009, The Empirical Study of the impact of Product Innovation Factors on the Performace of New Poducts : Radical and Incremental Product Innovation, The Business Review, Cambridge, Vol. 12, Num. 1, Summer Hsun Chang, Ching, 2011, The Influence of Corporate Environmental Ethics on Competitive Advantage : The Mediation Role of Green Innovation, Journal Business Ethics, 104 : 361-370, DOI 10.1007/s10551-011-0914 Hwang Lee, Shyh , 2009, Developing Hierarchical Structure for Assessing the Impact of Innovation Factors on a Firm;s Competitiveness- A Dynamic Capabilities Approach, The Journal of American Academy of Business, Cambridge, Vol. 15, Num. 1, September Ikhlash Kautsar, F, 2010 Knowledge Management sebagai keunggulan kompetitif pada Usaha Kecil Menengah (UKM) Implementasi dan Hambatannya, [email protected]

Iman Mulyana Dwi Suwandi, Citra Perusahaan, www.e-iman.uni.cc Lili Adi Wibowo, Vanessa Gaffar dan Yeni Yuniawati, 2010, Pembentukan Citra Taman Rekreasi DKI Jakarta sebagai Green City melalui Kualitas Penyampaian Jasa dan Value Creation, UPI Bandung Lise-Lotte Lindfelt dan Jan-Ake Tornroos, 2006, Ethics and Value Creation in Business Research : Comparing Two Approach, European Journal of Marketing, Vol III, No. 3/4, Emerald Group Publishing Limited Noer Soetrisno (2002), Strategi Penguatan UKM Melalui Pendekatan Klaster Bisnis Konsep, Pengalaman Empiris dan Harapan, Jakarta : Luthfansah Mediatama. Psikologi Pendidikan, http://duniapsikologi.dagdigdug.com/2010/01/19/fanatisme/ Radas, Sonja dan Vesna Andrijevic Matovac, 2002, Competitive Position and Its Relationship To Innovation, Ekonomski Institut, Zagreb Salavou, H, G. Baltas dan S. Lioukas, 2004, Organisational Innovation in SMEs, The Importance of Strategic Orientation and Competitive Structure, European Journal of Marketing; Vol 38, No 9/10; pp 1091-1112, Emerald Group Publishing Limited. Shan Chen, Yu, 2007, The Positive Effect of Green Intellectual Capital on Competitive Advantage of Firms, Journal of Business Ethic , 77:271-286, DOI 10. 1007/s10551-0069349-1 Shan Chen, Yu, Shyh- Bao Lai, dan Chao-Tung Wen, 2006, The Influence of Green Innovation Performance on Corporate Adavantage in Taiwan, Journal of Business Ethics, 67:331-339, DOI 10.1007/s10551-006-9025-5 Sheng Lee, Jia dan Chia-Jung Hsieh, 2010, A Research In Relating Entrepreunership, Marketing Capability, Innovative Capability And Sustained Competitive Advantage, Journal of Business & Economics Research-September 2010, Volume 8, Number 9 Shukla, Paurav, 2010, Status Consumption in Cross-national context, Sosio-psychological, brand and situasional antecedents, International Marketing Review, Vol. 27, No. 1, pp108-129, Emerald Group Publishing Limited Yaw Chen, Ching, et al, 2008, The Inluences on Innovative Activities, Intellectual Capital towards Corporate Development : Evidence and Insight from Taiwanese Publicly Listed IT Corporations, The Business Review, Cambridge, Vol. 10, Num. 1, Summer Yuyun Wirasasmita , 2010, Pengelolaan Inovasi menuju keunggulan kompetitif , Buletin Majalah Kewirausahaan , Edisi September 2010, Program Magister Manajemen Universitas Padjadjaran