proposal penelitian eksperime tes 2
TRANSCRIPT
1. Latar belakang masalah
Dalam upaya meningkatkan mutu sumber daya manusia, mengejar ketertinggalan di segala
aspek kehidupan dan menyesuaikan dengan perubahan global serta perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi, bangsa Indonesia melalui DPR dan Presiden pada tanggal 11 Juni
2003 telah mensahkan Undang-undang Sistem Pendidikan Nasional yang baru, sebagai
pengganti Undang-undang Sisdiknas Nomor 2 Tahun 1989. Undang-undang Sisdiknas Nomor 20
Tahun 2003 yang terdiri dari 22 Bab dan 77 pasal tersebut juga merupakan pengejawantahan dari
salah satu tuntutan reformasi yang marak sejak tahun 1998. Perubahan mendasar yang
dicanangkan dalam Undang-undang Sisdiknas yang baru tersebut antara lain adalah
demokratisasi dan desentralisasi pendidikan, peran serta masyarakat, tantangan globalisasi,
kesetaraan dan keseimbangan, jalur pendidikan, dan peserta didik.
Sebagai penyelenggaraan pendidikan nasional yang utama, perlu pelaksanaannya
berdasarkan undang-undang. Hal ini sangat penting karena hakikatnya pendidikan nasional
adalah perwujudan dari kehendak UUD 1945 utamanya pasal 31 tentang Pendidikan dan
Kebudayaan, pasal 31:
1) Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
2) Setiap warga negara wajib mengikuti pendid ikan dasar pemerintah wajib membiyayainya.
3) Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang
meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka mencerdaskan
kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
4) Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen dari
anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendid ikan nasional.
5) Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi nilai-nilai
agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat manusia.
Landasan yuridis bukan semata-mata landasan bagi penyelenggaraan pendidikan namun
sekaligus dijadikan alat untuk mengatur sehingga penyelenggaraan pendidikan yang
menyimpang, maka dengan landasan yuridis tersebut dikenakan sanksi. Itulah sebabnya di
samping dasar regulasi sangat penting juga harus pula dilandasi dengan dasar yuridis untuk
sanksi.
Undang undang dasar 1945 merupakan hukum tertinggi di indonesia. Semua peraturan
harus tunduk kepada undang undang termasuk pendidikan. Pasal-pasal yang bertalian dengan
pendidikan dalam UUD 1945 hanya 2 pasal yaitu pasal 31 dan 32 yang menceritakan tentang
pendidikan dan kebudayaan. Pasal 31 UUD 1945 sebagai berikut :
Ayat 1 : Setiap warga negara berhak mendapatkan pendidikan.
Ayat 2 : Setiap warga negara wajib mengikuti pendid ikan dasar pemerintah wajib
membiyayainya.
Ayat 3 : Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional,
yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta akhlak yang mulia dalam rangka
mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
Ayat 4 : Negara memprioritaskan anggaran pendidikan sekurang-kurangnya dua puluh persen
dari anggaran pendapatan dan belanja negara serta dari anggaran pendapatan dan belanja daerah
untuk memenuhi kebutuhan penyelenggaraan pendid ikan nasional.
Ayat 5 : Pemerintah memajukan ilmu pengetahuan dan teknologi dengan menjunjung tinggi
nilai-nilai agama dan persatuan bangsa untuk kemajuan peradaban serta kesejahteraan umat
manusia.
Peningkatan mutu pendidikan dapat diketahui dari hasil akhir pendidikan, yang dapat
dilihat dari output yang termasuk di dalamnya adalah prestasi belajar. Banyak hal yang turut
berpengaruh pada prestasi belajar siswa, diantaranya adalah motivasi belajar siswa dan metode
pembelajaran yang digunakan. Prestasi merupakan hasil yang dicapai seseorang ketika
mengerjakan tugas atau kegiatan tertentu. Tu’u (dalam Nurkhayati, 2009) menjelaskan, bahwa
prestasi akademik merupakan hasil belajar siswa yang diperoleh dari kegiatan pembelajaran di
sekolah atau perguruan tinggi yang melihat pada aspek kognitif dan prestasi akademik ini
umumnya ditentukan melalui pengukuran dan penilaian. Aspek kognitif inilah yang paling sering
dinilai dan diukur oleh para pengajar di sekolah karena berkaitan dengan kemampuan dan
kapabilitas siswa dalam menguasai isi bahan pengajaran yang telah dipelajari sebelumnya.
Banyak hal yang berpengaruh pada prestasi akademik pembelajar, atau dalam hal ini siswa yang
mengikuti pembelajaran formal di institusi pendidikan. Henson dan Eller (1999) menyatakan
bahwa, untuk dapat menaikkan prestasi akademik siswa maka dibutuhkan hal-hal yang berfokus
pada aspek-aspek dalam pembelajaran kognitif pada siswa, yakni:
1) mengembangkan keterampilan konseptual,
2) memaksimalkan skema dan transfer keterampilan dalam pembelajaran,
3) meningkatkan motivasi siswa,
4) menanamkan kepercayaan diri pada siswa,
5) mampu menantang siswa (challenging),
6) Mengidentifikasi gaya belajar tiap-tiap siswa, dan
7) mengembangkan keterampilan berpikir yang baik.
Proses belajar mengajar melibatkan berbagai macam kegiatan yang harus dilakukan,
terutama jika menginginkan hasil yang optimal. Salah satu cara yang dapat dipakai agar
mendapatkan hasil optimal seperti yang diinginkan adalah memberi tekanan dalam proses
pembelajaran. Guru harus dapat menciptakan kondisi pembelajaran yang aktif, inovatif, efektif
dan menyenangkan bagi para siswa. Dalam hal ini, guru harus dapat merancang suatu
pendekatan pembelajaran –baik dari segi metode maupun menyediakan media pembelajaran
yang dapat menarik minat siswa, sehingga siswa dapat termotivasi untuk belajar di sekolah.
Pendekatan pembelajaran yang dapat menjadi alternatif untuk meningkatkan motivasi dan
prestasi akademik siswa antara lain dengan menggunakan metode pembelajaran kooperatif
(cooperative learning).
Hasil penelitian Vansteenkiste et al (2009) membuktikan, bahwa motivasi yang
berkualitas bagus dapat ditingkatkan dengan menciptakan iklim pengajaran yang memiliki
karakteristik dukungan tinggi terhadap otonomi, struktur, dan keterlibatan siswa yang dapat
menjadi kontribusi dalam proses kepuasan kebutuhan. Penelitian Cheang (2009) pun
memberikan hasil bahwa pendekatan pembelajaran yang berpusat pada siswa (learner-centered
approach) efektif dalam meningkatkan beberapa domain motivasi dan strategi pembelajaran.
Berangkat dari kenyataan dan idealita yang telah dikemukakan sebelumnya, maka
peneliti tertarik untuk melakukan suatu penelitian yang bertujuan untuk mencari tahu apakah
memang ada pengaruh metode pembelajaran kooperatif dan motivasi belajar yang dimiliki siswa
terhadap prestasi belajar pada siswa SD. Pertanyaan selanjutnya adalah, “Apakah ada pengaruh
metode pembelajaran kooperatif tipe igsaw dan motivasi belajar siswa terhadap prestasi belajar
pada siswa SD Tambakaji 01 dalam mata pelajaran IPA. Penelitian ini merupakan penelitian
kuantitatif yang bertujuan untuk mencari hubungan antar variabel. (korelasional). Variabel-
variabel dalam penelitian ini adalah variabel tergantung (prestasi belajar IPA) dan variabel bebas
(metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dan motivasi belajar). Subjek dalam penelitian ini
adalah siswa SD Tambakaji 01. Dalam hal ini, secara khusus subjek dalam penelitian ini adalah
siswa-siswi kelas VI SD Tambakaji 01. Oleh sebab itu peneliti mengambil judul untuk proposal
ini adalah “Keefektifan model pembelajaran jigsaw dalam pembelajaran IPA pada materi ciri-ciri
khusus makhluk hidup di kelas VI semester 1 SD Tambak Aji 01,tahun ajaran 2012/2013”.
2. Identifikasi masalah
a. Optimalisasi bimbingan terhadap siswa yang nakal di SD Tambak Aji 01
b. Penurunan prestasi belajar dalam mata pelajaran IPA, pada materi ciri-ciri khusus makhluk
hidup di kelas VI semester 1.
c. Pemanfaatan perpustakaan sekolah sebagai sumber belajar siswa.
3. Pembatasan masalah
Masalah yang kami ambil berdasarkan identifikasi masalah di atas adalah masalah yang menurut
kami paling menjadi prioritas utama yaitu :
Penurunan prestasi belajar dlam mata pelajaran Ipa pada materi ciri-ciri khusus makhluk hidup di
kelas VI Smester 1 SD Tambak Aji 01,tahun ajaran 2012/2013
4. Perumusan masalah
Berdasarkan identifikasi di atas, maka masalah dalam penelitian eksperimen ini dirumuskan
sebagai berikut :
Apakah model pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw lebih efektif dibandingkan dengan metode
pembelajaran tradisional pada mata pelajaran IPA ,materi ciri-ciri khusus makhluk hidup di kelas
VI smester 1 SD Tambakaji 01 tahun pelajaran 2012/2013
5. Tujuan penelitian
Penelitian ini bertujuan untuk menguji keefektifan belajar tipe jigsaw terhadap proses belajar
siswa kelas VI SD Tambakaji 01 pada mata pelajaran IPA materi ciri-ciri khusus makhluk hidup.
6. Manfaat penelitian
Manfaat dari dilakukannya penelitian eksperimen ini adalah :
1) . Manfaat Teoritis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat sebagai bahan masukan untuk kegiatan-
kegiatan penelitian selanjutnya yang berkaitan dengan pembelajaran IPA.
2). Manfaat praktis
a. Manfaat bagi siswa
1) Siswa lebih aktif dalam mengikuti proses pembelajaran
2) Hasil belajar siswa dapat mencapai KKM yang diharapkan
b. Bagi guru
Memberdayakan diri menjadi guru yang lebih professional
c. Bagi sekolah
1. Sebagai bahan kajian untuk mengembangkan proses pembelajaran
2. Sebgai sumbangan yang bermanfaat dalam rangka perbaikan pembelajaran IPA pada khususnya
dan pembelajaran lain pada umumnya.
D. KAJIAN PUSTAKA
1. Kajian teori
a. Hakikat Belajar dan Pembelajaran
Ada beberapa pendapat mengenai pengertian belajar, diantaranya :
a) Howard L. Kingsley dalam Dantes (1997) mengemukakan bahwa 'belajar adalah suatu proses
bukan produk. Proses dimana sifat dan tingkah laku ditimbulkan dan diubah melalui praktek dan
latihan‟.
b) Hilgard dalam Nasution (1997:35) mengatakan bahwa belajar adalah „proses melahirkan atau
mengubah suatu kegiatan melalui jalan latihan yang dibedakan dari perubahan-perubahan oleh
factor-faktor yang tidak termasuk latihan‟.
c) Jauhari (2000:75) mengatakan bahwa belajar adalah „proses untuk memperoleh perubahan yang
dilakukan secara sadar, aktif, dinamis, sistematis, berkesinambungan, integrativ dan tujuan yang
jelas‟.
d) Fontana dalam Khoir (1991) memusatkan belajar dalam tiga hal, yaitu belajar adalah mengubah
tingkah laku, perubahan adalah hasil dari pengalaman, dan perubahan terjadi dalam perilaku
individu.
Jadi, pada hakekatnya belajar adalah segala proses atau usaha yang dilakukan secara
sadar, sengaja, aktif, sistematis dan integrativ untuk menciptakan perubahan-perubahan dalam
dirinya menuju kearah kesempurnaan hidup. Belajar adalah suatu proses yang berlangsung di
dalam diri seseorang yang mengubah tingkah lakunya, baik tingkah laku dalam berpikir,
bersikap, dan berbuat (W. Gulö, 2002: 23). Pada dasarnya belajar merupakan tahapan perubahan
prilaku siswa yang relatif positif dan mantap sebagai hasil interaksi dengan lingkungan yang
melibatkan proses kognitif (syah, 2003), dengan kata lain belajar merupakan kegiatan berproses
yang terdiri dari beberapa tahap. Tahapan dalam belajar tergantung pada fase-fase belajar, dan
salah satu tahapannya adalah yang dikemukakan oleh witting yaitu :
Tahap acquisition, yaitu tahapan perolehan informasi;
Tahap storage, yaitu tahapan penyimpanan informasi;
Tahap retrieval, yaitu tahapan pendekatan kembali informasi (Syah, 2003).
Definisi yang lain menyebutkan bahwa belajar adalah sebuah proses yang dilakukan oleh
individu untuk memperoleh sebuah perubahan tingkah laku yang menetap, baik yang dapat
diamati maupun yang tidak dapat diamati secara langsung, yang terjadi sebagai suatu hasil
latihan atau pengalaman dalam interaksinya dengan lingkungan (Roziqin, 2007: 62). Dari
berbagai definisi para ahli di atas, dapat disimpulkan adanya beberapa ciri belajar, yaitu:
1) Belajar ditandai dengan perubahan tingkah laku (change behavior).
2) Perubahan perilaku relative permanent. Ini berarti, bahwa perubahan tingkah laku yang terjadi
karena belajar untuk waktu tertentu akan tetap atau tidak berubah-ubah.
3) Perubahan tingkah laku tidak harus segera dapat diamati pada saat proses belajar sedang
berlangsung, perubahan perilaku tersebut bersifat potensial
4) Perubahan tingkah laku merupakan hasillatihan atau pengalaman
5) Pengalaman atau latihan itu dapat memberi penguatan.
Di dalam tugas melaksanakan proses belajar mengajar, seorang guru perlu memperhatikan
beberapa prinsip belajar berikut:
1) Apa pun yang dipelajari siswa, dialah yang harus belajar bukan orang lain.
2) Setiap siswa belajar sesuai dengan tingkat kemampuannya
3) Siswa akan dapat belajar dengan baik bila mendapat penguatan langsung pada setiap langkah
yang dilakukan selama proses belajar.
4) Penguasaan yang sempurna dari setiap langkah yang dilakukan siswa akan membuat proses
belajar lebih berarti.
5) Motivasi belajar siswa akan lebih meningkat apabila ia diberikan tanggung jawab dan
kepercayaan penuh atas belajarnya.
Dari beberapa pengertian belajar tersebut diatas, kata kunci dari belajar adalah perubahan
perilaku. Dalam hal ini, Moh Surya (1997) mengemukakan ciri-ciri dari perubahan perilaku,
yaitu :
1. Perubahan yang disadari dan disengaja (intensional).
Perubahan perilaku yang terjadi merupakan usaha sadar dan disengaja dari individu yang
bersangkutan. Begitu juga dengan hasil-hasilnya, individu yang bersangkutan menyadari bahwa
dalam dirinya telah terjadi perubahan.
2. Perubahan yang berkesinambungan (kontinyu).
Bertambahnya pengetahuan atau keterampilan yang dimiliki pada dasarnya merupakan
kelanjutan dari keterampilan yang telah diperoleh sebelumnya.
3. Perubahan yang fungsional.
Setiap perubahan perilaku yang terjadi dapat dimanfaatkan untuk kepentingan hidup individu
yang bersangkutan, baik untuk kepentingan masa sekarang maupun masa mendatang.
4. Perubahan yang bersifat positif.
Perubahan perilaku yang terjadi bersifat normatif dan menujukkan ke arah kemajuan.
5. Perubahan yang bersifat aktif.
Untuk memperoleh perilaku baru, individu yang bersangkutan aktif berupaya melakukan
perubahan.
6. Perubahan yang bersifat pemanen.
Perubahan perilaku yang diperoleh dari proses belajar cenderung menetap dan menjadi bagian
yang melekat dalam dirinya.
7. Perubahan yang bertujuan dan terarah.
Individu melakukan kegiatan belajar pasti ada tujuan yang ingin dicapai, baik tujuan jangka
pendek, jangka menengah maupun jangka panjang.
8. Perubahan perilaku secara keseluruhan.
Perubahan perilaku belajar bukan hanya sekedar memperoleh pengetahuan semata, tetapi
termasuk memperoleh pula perubahan dalam sikap dan keterampilannya. seorang guru
menguasai “Teori-Teori Belajar”. Begitu juga, dia memperoleh keterampilan dalam menerapkan
“Teori-Teori Belajar”.
Secara umum istilah belajar dimaknai sebagai suatu kegiatan yang mengakibatkan
terjadinya perubahan tingkah laku. Dengan pengertian demikian, maka pembelajaran dapat
dimaknai sebagai suatu kegiatan yang dilakukan oleh guru sedemikian rupa, sehingga tingkah
laku peserta didik berubah ke arah yang lebih baik (Darsono, 2000: 24). Adapun yang dimaksud
dengan proses pembelajaran adalah sarana dan cara bagaimana suatu generasi belajar, atau
dengan kata lain bagaimana sarana belajar itu secara efektif digunakan. Hal ini tentu berbeda
dengan proses belajar yang diartikan sebagai cara bagaimana para pembelajar itu memiliki dan
mengakses isi pelajaran itu sendiri (Tilaar, 2002: 128). Berangkat dari pengertian tersebut, maka
dapat dipahami bahwa pembelajaran membutuhkan hubungan dialogis yang sungguh-sungguh
antara guru dan peserta didik, dimana penekanannya adalah pada proses pembelajaran oleh
peserta didik (student of learning), dan bukan pengajaran oleh guru (teacher of teaching)
(Suryosubroto, 1997: 34). Konsep seperti ini membawa konsekuensi kepada fokus pembelajaran
yang lebih ditekankan pada keaktifan peserta didik sehingga proses yang terjadi dapat
menjelaskan sejauh mana tujuan-tujuan pembelajaran yang telah ditetapkan dapat dicapai oleh
peserta didik. Keaktifan peserta didik ini tidak hanya dituntut secara fisik saja, tetapi juga dari
segi kejiwaan. Apabila hanya fisik peserta didik saja yang aktif, tetapi pikiran dan mentalnya
kurang aktif, maka kemungkinan besar tujuan pembelajaran tidak tercapai. Ini sama halnya
dengan peserta didik tidak belajar, karena peserta didik tidak merasakan perubahan di dalam
dirinya (Fathurrohman & Sutikno, 2007: 9). Pembelajaran pada hakekatnya adalah proses
interaksi antara peserta didik dengan lingkungan, sehingga terjadi perubahan perilaku kearah
yang lebih baik. Dan tugas guru adalah mengkoordinasikan lingkungan agar menunjang
terjadinya perubahan perilaku bagi peserta didik. Fungsi-fungsi pembelajaran yaitu sebagai
berikut:
Pembelajaran sebagai sistem
Pembelajaran sebagai sistem terdiri dari sejumlah komponen yang terorganisir antara lain tujuan
pembelajaran , materi pembelajaran , strategi dan metode pembelajaran, media pembelajaran/alat
peraga , pengorganisasian kelas, evaluasi pembelajaran, dan tindak lanjut pembelajaran
(remedial dan pengayaan).
Pembelajaran sebagai proses
Pembelajaran sebagai proses merupakan rangkaian upaya atau kegiatan guru dalam rangka
membuat siswa belaja, meliputi:
a) Persiapan, merencanakan program pengajaran tahunan, semester, dan penyusunan persiapan
mengajar (lesson plan) dan penyiapan perangkat kelengkapannya antara lain alat peraga, dan
alat evaluasi, buku atau media cetak lainnya.
b) elaksanakan kegiatan pembelajaran dengan mengacu pada persiapan pembelajaran yang telah
dibuatnya. Banyak dipengaruhi oleh pendekatan atau strategi dan metode-metode pembelajaran
yang telah dipilih dan dirancang penerapannya, serta filosofi kerja dan komitmen guru , persepsi,
dan sikapnya terhadap siswa;
c) Menindaklanjuti pembelajaran yang telah dikelolanya. Kegiatan pasca pembelajaran ini dapat
berbentuk enrichment (pengayaan), dapat pula berupa pemberian layanan remedial teaching bagi
siswa yang berkesulitan belajar.
Ciri-ciri pembelajaran sebagai berikut :
o Merupakan upaya sadar dan disengaja
o Pembelajaran harus membuat siswa belajar
o Tujuan harus ditetapkan terlebih dahulu sebelum proses dilaksanakan
o Pelaksanaannya terkendali, baik isinya, waktu, proses maupun hasil
Tujuan Belajar dan Pembelajaran
1) Tujuan Intruksional, Tujuan Pembelajaran, dan Tujuan Belajar
Guru-guru merumuskan tujuan instruksional umum dan tujuan instruksional khusus. Tujuan
instruksional khusus juga disebut sebagai sasaran belajar siswa. Tujuan instruksional khusus
mempertimbangkan pengetahuan awal dan kebutuhan belajar siswa. Dari segi guru tujuan
instruksional dan tujuan pembelajaran merupakan pedoman tindak mengajar dengan acuan
berbeda. Tujuan instruksional (umum dan khusus) dijabarkan dari kurikulum yang berlaku secara
legal di sekolah. Dari segi siswa, sasaran belajar tersebut murupakan panduan belajar. Panduan
belajar tersebut harus diikuti, sebab mengisyaratkan kriteria keberhasilan belajar. Keberhasilan
belajar siswa merupakan prasyarat belajar selanjutnya. Keberhasilan belajar siswa berarti
tercapainya tujuan belajar siswa dengan demikian merupakan tercapainya tujuan instruksional
dan sekaligus tujuan belajar bagi siswa.
2) Siswa dan Tujuan Belajar
Siswa dalah subjek yang terlibat dalam kegiatan belajar mengajar di sekolah. Dalam kegiatan
tersebut siswa mengalami tindak mengajar, dan merespon dengan tindak belajar. Pada umumnya
semula siswa belum menyadari pentingnya belajar. Berkat informasi guru tentang sasaran
belajar, maka siswa mengetahui apa dan arti bahan belajar beginya. Siswa mengalami suatu
perses belajar. Dalam proses belajar tersebut siswa menggnakan kemampuan mentalnya untuk
mempelajari bahan belajar. Kemempuan-kemampuan kognitif, afektif, psikomotor yang
dibelajarkan dengan bahan belajar menjadi semakin rinci dan menguat. Adanya informasi
tentang sasaran belajar, adanya penguatan-penguatan, adanya evaluasi dan keberhasikan belajar,
menyebabkan siswa semakin sadarakan kemampuan dirinya.
b. Hakikat IPA dan Pengajarannya
Sains merupakan suatu kumpulan pengetahuan yang diperoleh tidak hanya produk saja, akan
tetapi juga mencakup pengetahaun seperti keterampilan keingintahuan, keteguhan hati, dan
juga keterampilan dalam hal melakukan penyelidikan ilmiah. Para ilmuwan IPA dalam
mempelajari gejala alam, menggunakan proses dan sikap ilmiah. Proses ilmiah yang
dimaksud misalnya melalui pengamatan, eksperimen, dan analisis yang bersifat rasional.
Sedang sikap ilmiah misalnya objektif dan jujur dalam mengumpulkan data yang diperoleh.
Dengan menggunakan proses dan sikap ilmiah itu saintis memperoleh penemuanpenemuan
atau produk yang berupa fakta, konsep, prinsip, dan teori. Carin (1993) menyatakan bahwa IPA
sebagai produk atau isi mencakup fakta, konsep, prinsip, hukum-hukum, dan teori IPA. Jadi
pada hakikatnya IPA terdiri dari tiga komponen, yaitu sikap ilmiah, proses ilmiah, dan
produk ilmiah. Hal ini berarti bahwa IPA tidak hanya terdiri atas kumpulan pengetahuan atau
berbagai macam fakta yang dihafal, IPA juga merupakan kegiatan atau proses aktif
menggunakan pikiran dalam mempelajari gejala-gejala alam yang belum dapat direnungkan.
IPA menggunakan apa yang telah diketahui sebagai batu loncatan untuk memahami apa
yang belum diketahui. Suatu masalah IPA yang telah dirumuskan dan kemudian berhasil
dipecahkan akan memungkinkan IPA untuk berkembang secara dinamis. Akibatnya
kumpulan pengetahuan sebagai produk juga bertambah.
1) Teori Konstruktivis dalam Pembelajaran IPA
Konstruktivis adalah salah satu filsafat pengetahuan yang menekankan bahwa
pengetahuan kita adalah konstruksi kita sendiri (Von Glaserfelt dalam Suparno, 1997).
Pandangan konstruktivis dalam pembelajaran mengatakan, bahwa anak-anak diberi kesempatan
agar menggunakan strateginya sendiri dalam belajar secara sadar, sedangkan guru yang
membimbing siswa ke tingkat pengetahuan yang lebih tinggi (Slavin, 1994; Abruscato, 1999).
Ide pokoknya adalah siswa secara aktif membangun pengetahuan mereka sendiri, otak
siswa sebagai mediator, yaitu memproses masukan dari dunia luar dan menentukan apa yang
mereka pelajari. Pembelajaran merupakan kerja mental aktif, bukan menerima pengajaran
dari guru secara pasif. Dalam kerja mental siswa, guru memegang peranan penting
dengan cara memberikan dukungan, tantangan berfikir, melayani sebagai pelatih atau
model, namun siswa tetap merupakan kunci pembelajaran (Von Glaserfelt dalam Suparno,
1997; Abruscato, 1999).
Menurut teori ini, satu prinsip paling penting dalam psikologi pendidikan adalah bahwa guru
tidak dapat hanya sekedar memberikan pengetahuan kepada siswa agar secara sadar
menggunakan strategi mereka sendiri untuk belajar. Guru dapat memberikan kepada siswa
atau peserta didik anak tangga yang membawa siswa akan pemahaman yang lebih tinggi,
dengan catatan siswa sendiri harus memanjat anak tangga tersebut (Slavin, 1994). Pada
bagian ini akan dikemukakan dua teori yang melandasi pendekatan konstruktivis dalam
pembelajaran IPA yaitu Teori Perkembangan Kognitif Piaget, dan Teori Perkembangan
Mental Vygotsky.
2) Teori Perkembangan Kognitif Piaget
Piaget adalah salah satu pioner yang menggunakan filsafat konstruktivis dalam
proses belajar. Piaget menyatakan bahwa anak membangun sendiri skemanya serta
membangun konsep-konsep melalui pengalaman-pengalamannya. Piaget membedakan
perkembangan kognitif seorang anak menjadi empat taraf, yaitu (1) taraf sensori motor, (2)
taraf pra-operasional, (3) taraf operasional konkrit, dan (4) taraf operasional formal.
Walaupun ada perbedaan individual dalam hal kemajuan perkembangan, tetapi teori
Piaget mengasumsikan bahwa seluruh siswa tumbuh dan melewati urutan perkembangan
yang sama, namun pertumbuhan itu berlangsung pada kecepatan yang berbeda.
Perkembangan kognitif sebagian besar bergantung seberapa jauh anak memanipulasi dan
aktif berinteraksi dengan lingkungan. Antara teori Piaget dan konstruktivis terdapat
persamaan yaitu terletak pada peran guru sebagai fasilitator, bukan sebagai pemberi
informasi. Guru perlu menciptakan lingkungan belajar yang kondusif bagi siswa-siswanya
(Woolfolk, 1993) dan membantu siswa menghubungkan antara apa yang sudah diketahui
siswa dengan apa yang sedang dan akan dipelajari (Abruscato, 1999). Prinsip-prinsip Piaget
dalam pengajaran diterapkan dalam program-program yang menekankan pembelajaran melalui
penemuan dan pengalaman-pengalaman nyata dan pemanipulasian alat, bahan, atau media
belajar yang lain serta peranan guru sebagai fasilitator yang mempersiapkan lingkungan dan
memungkinkan msiswa dapat memperoleh berbagai pengalaman belajar.
2. Teori Perkembangan Fungsi Mental Vygotsky
Vygotsky berpendapat seperti Piaget, bahwa siswa membentuk pengetahuan, yaitu apa
yang diketahui siswa bukanlah kopi dari apa yang mereka temukan di dalam lingkungan; tetapi
sebagai hasil dari pikiran dan kegiatan siswa sendiri, melalui bahasa. Meskipun kedua ahli
memperhatikan pertumbuhan pengetahuan dan pemahaman anak tentang dunia sekitar, Piaget
lebih memberikan tekanan pada proses mental anak dan Vygotsky lebih menekankan pada
peran pengajaran dan interaksi sosial pada perkembangan IPA dan pengetahuan lain
m(Howe & Jones, 1993). Sumbangan penting yang diberikan Vygotsky dalam pembelajaran
adalah konsep zone of proximal development (ZPD) dan scaffolding. Vygotsky yakin
bahwa pembelajaran terjadi apabila anak bekerja atau menangani tugas-tugas yang belum
dipelajarai namun tugas-tugas itu berada dalam jangkauan kemampuannya atau tugas-tugas itu
berada dalam zone of proximal development. ZPD adalah tingkat perkembangan sedikit di
atas tingkat perkembangan seseorang saat ini. Vygotsky lebih yakin bahwa fungsi mental
yang lebih tinggi pada umumnya muncul dalam kerjasama atau kerjasama antar individu
sebelum fungsi mental yang lebih tinggi terserap ke dalam individu tersebut (Slavin, 1994).
Sedangkan konsep Scaffolding berarti memberikan kepada siswa sejumlah besar bantuan
selama tahap-tahap awal pembelajaran kemudian mengurangi bantuan tersebut dan
memberikan kesempatan kepada anak tersebut mengambil alih tanggung jawab yang semakin
besar segera setelah ia dapat melakukannya (Slavin, 1994). Ada dua implikasi utama teori
Vygotsky dalam pendidikan (Howe & Jones, 1993). Pertama, adalah perlunya tatanan kelas dan
bentuk pembelajaran kooperatif antar siswa, sehingga siswa dapat berinteraksi di sekitar tugas-
tugas yang sulit dan saling memunculkan strategi-strtategi pemecahan masalah yang efektif
di dalam masing-masing ZPD mereka. Kedua, pendekatan Vygotsky dalam pengajaran
menekankan scaffolding, dengan semakin lama siswa semakin bertanggung jawab terhadap
pembelajaran sendiri. Ringkasnya, menurut teori Vygotsky, siswa perlu belajar dan bekerja
secara berkelompok sehingga siswa dapat saling berinteraksi dan diperlukan bantuan guru
terhadap siswa dalam kegiatan pembelajaran.
c. Model pembelajaran tipe jigsaw
Model pembelajaran Jigsaw dikembangkan oleh Elliot Aronson dan para koleganya (1978)
sebagai metode Cooperative Learning. Pembelajaran kooperatif tipe Jigsaw adalah suatu tipe
pembelajaran kooperatif yang terdiri dari beberapa anggota dalam satu kelompok yang
bertanggung jawab atas penguasaan bagian materi belajar dan mampu mengajarkan materi
tersebut kepada anggota lain dalam kelompoknya (Arends, 1997).atau dengan kata lain dalam
pembelajaran tipe jigsaw ada kelompok asal dan kelompok ahli”. Kelompok asal, yaitu
kelompok induk siswa yang beranggotakan siswa dengan kemampuan, asal, dan latar belakang
keluarga yang beragam. Kelompok asal merupakan gabungan dari beberapa ahli. Kelompok ahli,
yaitu kelompok siswa yang terdiri dari anggota kelompok asal yang berbeda yang ditugaskan
untuk mempelajari dan mendalami topik tertentu dan menyelesaikan tugas-tugas yang
berhubungan dengan topiknya untuk kemudian dijelaskan kepada anggota kelompok asal.
Dalam model ini, guru memperhatikan skemata atau latar belakang pengalaman siswa dan
membantu siswa mengaktifkan skemata ini agar bahan pelajaran menjadi lebih bermakna. Selain
itu, siswa bekerja sama dengan sesama siswa dalam suasana gotong royong dan mempunyai
banyak kesempatan untuk mengolah informasi dan meningkatkan keterampilan berkomunikasi.
Model ini dapat digunakan dalam pengajaran membaca, menulis, mendengarkan, ataupun
berbicara. Model ini paling cocok digunakan dalam pelajaran-pelajaran semacam kajian-kajian
sosial, sastra, beberapa bagian ilmu pengetahuan (sains), dan berbagai bidang terkait yang tujuan
pembelajarannya adalah pemerolehan konsep bukan ketrampilan. “Bahan mentah” pengajaran
untuk Jigsaw biasanya berupa materi yang berisi cerita, biografi, atau narasi yang serupa atau
materi deskriptif. Materi sebaiknya secara alami dapat dibagi menjadi beberapa bagian materi
pembelajaran. Perlu diperhatikan bahwa jika menggunakan Jigsaw untuk belajar materi baru
maka perlu dipersiapkan suatu tuntunan dan isi materi yang runtut serta cukup sehingga tujuan
pembelajaran dapat tercapai. Kunci bagi keberhasilan model Jigsaw adalah
kesalingtergantungan: setiap siswa tergantung pada teman-teman dalam tim untuk memberikan
informasi yang diperlukan untuk mendapatkan penilaian yang baik atas pekerjaan mereka.
Rincian perlakuan pada masing-masing kelompok yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Kelompok Kooperatif (Kelompok Eksperimen) atau kelompo ahli
Pada kelompok kooperatif, siswa belajar dalam kelompok kecil beranggotakan 4-5 orang dengan
latar belakang heterogen. Di setiap awal sesi, guru menyajikan informasi akademik baru kepada
siswa setiap minggu menggunakan presentasi verbal dan teks dan guru menyajikan materi
pelajaran. Guru lalu memberi tugas atau permasalahan untuk dikerjakan oleh siswa, dan guru
memotivasi siswa agar siswa saling berdiskusi dalam kelompok kecil tersebut, dimana anggota
kelompok yang mengetahui jawabannya memberikan penjelasan kepada anggota kelompok.
Diskusi kelompok ini harus mencapai hasil yang disepakati bersama (dapat mencapai
konsensus). Setelah selesai dalam pekerjaan kelompok, guru kemudian memberikan pertanyaan
atau kuis dan siswa menjawab pertanyaan atau kuis dengan tidak saling membantu. Kemudian,
guru membahas kuis bersama-sama dengan siswa, dan pada akhirnya memberikan kesimpulan di
akhir sesi (Fatirul, 2001; Handayani, 2007; Setianingsih, 2007; Tarim dan Akdeniz, 2008;
Widyantini, Sasongko, dan Wibawa, 2008; Widyaningsih, Hardini, dan Suprihatin, 2008; Isik
dan Tarim, 2009). Secara khusus, tahapan-tahapan yang harus dilakukan dalam metode
kooperatif dengan teknik jigsaw adalah sebagai berikut (Arends dalam Yusuf, 2003; Lie, 2010;
Silberman, 2009; Sulastri dan Rochintaniawati, 2009; Arends dalam Kholid dkk., 2009) :
1. Guru membentuk kelompok heterogen yang beranggotakan 4-6 orang;
2. Setiap kelompok mengirimkan wakil untuk membahsa suatu topik, kelompok yang terdiri dari
para wakil disebut dengan kelompok ahli;
3. Kelompok ahli berdiskusi untuk membahas topik yang diberikan dan saling membantu untuk
menguasai topic tersebut;
4. Setelah memahami materi, kelompok ahli menyebar dan kembali ke kelompok masing-masing
(kelompok asal), kemudian menjelaskan materi kepada rekan kelompoknya;
5. Guru memberikan tes individual (kuis)
Pada akhir pembelajaran tentang materi yang telah didiskusikan Arends (dalam Yusuf, 2003)
menjelaskan bahwa, pada model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, terdapat dua macam
kelompok kecil yang bekerja didalamnya, yaitu kelompok asal dan kelompok ahli. Hubungan
antara kelompok asal dan kelompok ahli digambarkan
Para anggota dari kelompok asal yang berbeda, bertemu dengan topik yang sama dalam
kelompok ahli untuk berdiskusi dan membahas materi yang ditugaskan pada masingmasing
anggota kelompok serta membantu satu sama lain untuk mempelajari topik mereka tersebut.
Setelah pembahasan selesai, para anggota kelompok kemudian kembali pada kelompok asal dan
mengajarkan pada teman sekelompoknya apa yang telah mereka dapatkan pada saat pertemuan
di kelompok ahli.
2. Kelompok Tradisional (Kelompok Kontrol)
Pada prinsipnya, sesi yang dijalankan baik pada kelompok pembelajaran kooperatif maupun pada
kelompok pembelajaran tradisional (individual) adalah relatif sama. Dalam hal ini, tiap sesi yang
dijalankan meliputi pengantar dari guru, penugasan (baik kooperatif maupun individu), serta
review materi pada keseluruhan kelas (Kramarski dan Mevarech, 2003). Kelompok tradisional
ini didasarkan pada pengajaran keseluruhan kelas yang selama ini umum digunakan di sekolah.
Dalam kondisi pembelajaran ini, guru diminta untuk memberikan metode instruksi pengajaran
yang umum (direct teaching), yang meliputi unit presentasi materi pelajaran, aktivitas-aktivitas
latihan (pelaksanaan tugas) secara individual, dan pemberian kuis. Pada kelompok ini, siswa
bekerja secara individual dan guru menyediakan bantuan bagi siswa yang membutuhkan. Pada
akhir sesi di kelas, guru kemudian me-review konsepkonsep baru yang ada di dalam kelas atau
membahas kuis bersama-sama dan kemudian memberikan kesimpulan (Kramarski dan
Mevarech, 2003; Tarim dan Akdeniz, 2008; Isik dan
Tarim, 2009). Adapun prosedur penelitian ini yang pertama adalah tahap pra pembelajaran yang
meliputi:
1. pemberian skala motivasi belajar sebanyak dua kali, yakni pada saat pre-test (sebelum kegiatan
eksperimental atau pemberian perlakuan), dan pada saat post-test (sesudah selesai pemberian
perlakuan). Pemberian sebanyak dua kali ini dimaksudkan untuk mengetahui perubahan tingkat
motivasi belajar siswa antara sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi perlakuan. Pada tahap
pra pembelajaran ini, yang dilakukan adalah pemberian pre-test dengan menggunakan skala
motivasi belajar.
2. pemberian Tes Prestasi Belajar, juga sebanyak dua kali, yakni pada saat pre-test (sebelum
kegiatan eksperimental atau pemberian perlakuan), dan pada saat post-test (sesudah selesai
pemberian perlakuan). Pemberian sebanyak dua kali ini dimaksudkan untuk mengetahui
perubahan hasil tes prestasi belajar siswa antara sebelum diberi perlakuan dan setelah diberi
perlakuan. Pada tahap pra pembelajaran ini, yang dilakukan adalah pemberian pre-test dengan
menggunakan tes prestasi belajar.
3. guru bersama peneliti membentuk kelompok belajar bagi siswa dengan karakteristik latar
belakang yang beragam (heterogen). Pembentukan kelompok ini tetap mengacu pada kesesuaian
kelas yang sudah disepakati sebelumnya antara peneliti dan guru, yakni terdiri dari dua kelas.
Pada tiap-tiap kelas nantinya akan dilihat mana siswa yang
Teori belajar yang mendasari model pembelajrana kooperatif tipe jigsaw:
1) Teori Konstruksivisme
Menurut Bruner( 1999) pembelajaran secara kontruksivisme berlaku dimana siswa membina
pengetahuan dengan menguji ide dan pendekatan berasaskan pengetahuan dan pengalaman sedia
ada,mengaplikasikannya pada satu situasi baru dan mengintegrasikan pengetahuan baru yang
diperoleh dengan binaan intelektual yang sedia wujud. Manakalah mengikut Mc Brien dan
Brandt( 1997),konstruksivisme adalah suatu pendekatan pembelajaran yang berasaskan pada
penelitan tantang bagaimana manusia belajar. Kebanyakan peneliti berpendapat setiap individu
membina pengetahuan dan bukannya hanya menerima pengetahuan dari pada orang lain. Hal ini
mengartikan bahwa siswa membangun sendiri pemahaman terhadap suatu pelajaran dengan guru
sebagai fasilitator.
Konstruksivisme merupakan teori belajar yang sesuai dalam membangun pemahaman IPA pada
diri siswa yang sebelumnya ,memperoleh IPA secara deduktif.
2) Teori Jean Piaget
Jean Piaget menyebut bahwa struktur kognitif ini sebagai skemata(schemas),yaitu kumpulan
skema-skema. Seorang individu dapat mengikat ,memahami dan memberikan respon terhadap
stimulus disebabkan karena bekerjanya schemata ini. Skemata ini berkembang secara
kronologis ,sebagai hasil interakasi antara individu dengan lingkungannya ( suherman,2001: 38).
Dengan demikian perkembangan skema manusia sebanding dengan pertambahan usia yakni
semakin dewasa.maka skema menjadi lebih lengkap.
Lebih jauh tiga dalil Piaget ( Ruseffendi,2006:133) adalah :
a. Perkembangan intelektual terjadi melalui tahap-tahap beruntun yang selalu terjadi dengan urutan
yang sama. Maksudnya ialah setiap manusia akan mengalami urutan-urutan itu dan dengan
urutan yang sama.
b. Tahap-tahap itu didefenisiskan sebagai kluster dari operasi-operasi mental
( pengurutan,pengekalan,pengelompoka,pembuatan hipotesis,penarikan kesimpulan) yang
menunjukan adanya tingkah laku intelektual.
c. Gerak melalui tahap-tahap itu dilengkapkan oleh keseimbangan
( equilibration) proses pengembangan yang menguraikan tentang interaksi antara pengalaman
( asimilasi) dan struktur kognitif yang timbul
( akomodasi ). Asimilasi adalah menyusun kembali struktur pikiran karena adanya informasi
baru sehingga informasi itu punya tempat.
Hal ini menegaskan bahwa siswa mampu menurunkan informasi baru berdasarkan struktur
pikiran yang telah ada. Perkembangan intelekutal siswa mel;ewati urutan-urutan dan dengan
urutan yang sama melalui aktivitas intelektual
(pengurutan,pengekalan ,pengelompoka,pembuatan hipotesis, penarikan kesimpulan), sehingga
setiap siswa berpotensi untuk berhasil dalam pembelajaran.
3) Model pembelajaran Kooperatif
Model pembelajaran Kooperatif ( Kooperative learning) mencakupi suatu kelompok kecil yang
bekerja sebagai sebuah tim untuk menyelesaikan sebuah masalah, menyelesaikan suatu tugas
atau mengerjakan sesuatu untuk mencapai suatu tujuan bersama ( suherman, 2001:218).
Kelompok tersebut merupakan tim yang memiliki peran masing-masing dan bertanggung jawab
atas suatu tugas untuk mencapai tujuan tertentu. Sehingga tidak di dapati tugas di kerjakan oleh
salah seorang anggota kelompok sedangkan yang lain tidak turut mengambil peran, kelompok
tersebut tidak pula di katakana cooperative learning apabila masing-masing menyelesaikan
masalah secara sendiri-sendiri.oleh karena itu cooperative learning memerlukan interaksi antar
anggota guna menyelesaikan suatu masalah berdasarkan pemikiran yang mereka miliki.ada
beberapa hal yang perlu di penuhi dalam cooperative learning agar lebih menjamin para siswa
bekerja secara cooperatif. Hal-hal tersebut meliputi:
a. Para siswa yang tergabung dalam suatu kelompok harusmerasa bahwa mereka adalah bagian
dari sebuah tim dan mempunyai tugas bersama yang harus di capai
b. Para siswa yang tergabung dalam sebuah kelompok harus menyadari bahwa masalah yang
mereka hadapi adalah masalah kelompok dan bahwa berhasil atau tidak nya kelompok itu akan
menjadi tanggung jawab bersama oleh seluruh anggota kelompok itu.
c. Untuk mencapai hasil yang maksimum para siswa yang tergabung dalam kelompok itu harus
berbicara satu sama lain dalam mendiskusikan masalah yang di hadapinya. Akirnya, para siswa
yang tergabung dalam suatu kelompok harus menyadari bahwa setiap pekerjaan siswa
mempunyai akibat langsung pada keberhasilan kelompok( suherman, 2001:218)
Uraian yang menjelaskan bagaimana menjamin agar siswa bekerja secara kooperatif tersebut
menegaskan bahwa keoptimalan cooperative learning di tentukan oleh partisipasi setiap anggota
dalam menyelesaikan masalah secara bersama. Model cooperative learning melatih siswa untuk
mendengarkan gagasan orang lain dan merangkum pendapat atau temuan-temuan dalam bentuk
tulisan. Tugas-tugas yang di berikan akan memacu siswa untuk bekerja sama, saling membantu
dan mengintegrasikan pengetahuan-pengetahuan baru dengan pengetahuan yang telah di
milikinya. Untuk mencapai hasil yang maksimal , lima unsure model pembelajaran cooperative
learning harus di terapkan:
a. Saling ketergantungan positif
b. Tanggung jawab perseorangan
c. Tatap muka
d. Komunikasi antara anggota
e. Evaluasi proses kelompok
Kelima unsure model pembelajaran cooperative learning tersebut adalah poin point yang perlu di
perhatikan oleh pengajar agar pembelajaran melalui cooperative learning berlangsung efektif.
2. Kajian empiris
Di bawah ini akan disajikan beberapa hasil penelitian yang relevan dengan penelitian ini. Hasil
penelitian pendukung yang dimaksud yaitu hasil penelitian penerapan model pembelajaran
kooperatif tipe jigsaw pada pembelajaran IPA umumnya, maupun pada pengajaran bidang studi
biologi itu sendiri, serta pengajaran matematika antara lain:
1. Hasil penelitian yang dilakukan Budiningarti, H. (1998) yang mengembangkan perangkat
pembelajaran kooperatif tipe jigsaw pada pengajaran fisika di SMU menunjukkan, bahwa hasil
belajar siswa pada kelas guru model dan kelas guru mitra menunjukkan peningkatan
pengetahuan untuk tes hasil belajar produk dan tes hasil belajar psikomotor. Hasil penelitian ini
juga menunjukkan bahwa guru dapat menerapkan model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
dengan baik dan meningkatkan keterampilan kooperatif siswa selama PBM berlangsung.
2. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Setyaningsih, S. (1999), bahwa pembelajaran biologi pada
kelas I SLTP yang berorientasi model pembelajaran kooperatif tipe jigsaw, dapat meningkatkan
keterampilan guru mengelola KBM, meningkatkan kualitas pengelolaan proses belajar mengajar
oleh guru, meningkatkan kualitas interaksi siswa dengan lingkungan belajar, dan meningkatkan
prestasi belajar siswa yang meliputi peningkatan nilai ratarata dan meningkatkan jumlah siswa
yang mencapai ketuntasan belajar.
3. Penelitian yang dilakukan oleh Widada W., (1999) mengungkapkan bahwa, dengan
pengembangan perangkat pembelajaran yang berorientasi model pembelajaran kooperatif tipe
jigsaw ternyata 82,35% dari keseluruhan TPK yang diajarkan telah tuntas dipelajari oleh siswa
pada mata pelajaran matematika di SMU.
4. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Pendi (2002) dengan menerapkan pembelajaran kooperatif
tipe jigsaw dalam pembelajaran mata kuliah Fisika Dasar II pokok bahasan arus listrik dan
rangkaian listrik arus searah menunjukkan, bahwa secara umum kemampuan dosen dalam
mengelola pembelajaran kooperatif tipe jigsaw adalah baik. Dosen mampu melatihkan
keterampilan kooperatif dan mengoperasikan perangkat pembelajaran yang hampir sesuai
dengan alokasi waktu yang tersedia, serta membuat mahasiswa antusias dalam mengikuti
pembelajaran. Mahasiswa pada umumnya menyatakan senang dan baru terutama tentang
keterampilan kooperatif. Mahasiswa berminat untuk mengikuti pembelajaran selanjutnya dengan
model yang sama. Kemudian dengan menggunakan pembelajaran kooperatif tipe jigsaw
mahasiswa mudah menemukan dan memahami konsep-konsep yang sulit.
3. Kerangka berpikir
Y X
4. Hipotesis
Ho : tidak ada keefekitan menggunakan model pembelajaran koopeatif tipe jigsaw dengan prestasi
belajar siswa kelas VI SD Tambakaji dalam pembelajaran IPA pada materi ciri-ciri khusus
makhluk hidup.
Ha : ada ada keefekitan menggunakan model pembelajaran koopeatif tipe jigsaw dengan prestasi
belajar siswa kelas VI SD Tambakaji dalam pembelajaran IPA pada materi ciri-ciri khusus
makhluk hidup.
E. METODE PENELITIAN
1. Rancangan penelitian
Rancangan penelitian ini adalah penelitian eksperimen. Penelitian eksperimen adalah:
Desain ekperimen (experimental design) merupakan desain studi dimana peneliti dapat
menciptakan lingkungan/ kondisi tiruan, mengontrol beberapa variabel dan memanipulasi
variabel bebas untuk membuktikan hubungan sebab akibat. Desain eksperimen yang diambil
adalah control group pre-test-post-test. Dalam desain ini terdapat dua kelompok yang dipilih
secara acak/random, kemudian diberi pretest untuk mengetahui keadaan awal adakah perbedaan
antara kelompok eksperimen dan kelompok kontrol.
Penelitian ini bertujuan untuk melihat sejauh mana kefektifan perlakuan antar kelompok yang
berbeda, dimana dalam penelitian ini akan dibandingkan prestasi akademik (prestasi belajar)
antara kelompok subjek yang menggunakan metode pembelajaran kooperatif tipe jigsaw dengan
kelompok subjek yang tidak menggunakan metode pembelajaran non kooperatif (metode
tradisional), serta membandingkan prestasi belajar antara kelompok subjek yang termasuk dalam
kelompok siswa motivasi tinggi dengan kelompok subjek yang termasuk dalam kelompok siswa
motivasi rendah. Dengan demikian, rancangan kelompok yang ada dalam penelitian ini adalah
ada empat kelompok, yakni: kelompok pembelajaran kooperatif dengan siswa motivasi tinggi,
kelompok pembelajaran tradisional dengan siswa motivasi tinggi, kelompok pembelajaran
kooperatif dengan siswa motivasi rendah, dan terakhir kelompok pembelajaran tradisional
dengan siswa motivasi rendah.
2. Populasi dan sampel penelitian
Populasi adalah keseluruhan subjek sebagai sumber data yang memiliki ciri-ciri atau
karakteristik tertentu dalam suatu penelitian. Populasi dalam penelitian ini adalah siswa/i kelas
VI SD Tambak Aji 01 sebanyak 60orang.
no Kelas VI Jumlah siswa
1 A 30
2 B 30
TOTAL 60
Sampel adalah bagian dari populasi, keberadaan sampel mewakili populasi. Sampel yang diambil
dalam penelitian eksperimen ini adalah siswa/i kelas VI B.
3. Waktu dan tempat penelitian
Waktu : -
Tempat : SD Tambak Aji 01
4. Teknik pengumpulan data
Teknik pengumpulan data yang kami gunakan dalam penelitian eksperimen ini adalah teknik tes.
Test merupakan suatu metode penelitian psikologis untuk memperoleh informasi tentang
berbagai aspek dalam tingkah laku dan kehidupan batin seseorang, dengan menggunakan
pengukuran (measurement) yang menghasilkan suatu deskripsi kuantitatif tentang aspek yang
diteliti.Keunggulan metode ini adalah :Lebih akurat karena test berulang-ulang
direvisi.Instrument penelitian yang objektif.Sedangkan kelemahan metode ini adalah hanya
mengukur satu aspek data.Memerlukan jangka waktu yang panjang karena harus dilakukan
secara berulang-ulang.Hanya mengukur keadaan siswa pada saat test itu dilakukan
Jenis- jenis tes :
1. Tes IntelegensiTes kemampuan
2. Tes BakatTes kemampuan bakat.
3. Tes MinatTes minat
4. Tes KepribadianTes kepribadianTes Perkembangan VokasionalTes vokasional
5. Tes Hasil Belajar (Achievement Test) Uji coba instrumen
5. Uji coba instrumen
a. Tingkat kesukaran soal
Tingkat kesukaran soal = mudah , karena soalnya lebih mengarah pada tingkat domain kognitif
pengetahuan dan pemahaman.
Rumus tingkat kesukaran soal untuk tes bersifat objektif yaitu
b. Daya pembeda soal ( DP)
Daya pembeda soal adalah kemampuan suatu butir soal dapat membedakan antara siswa yang
telah menguasai materi yang ditanyakan dan siswa yang tidak/kurang/belum menguasai materi
yang ditanyakan. Manfaat daya pembeda butir soal adalah seperti berikut ini.
1). Untuk meningkatkan mutu setiap butir soal melalui data empiriknya. Berdasarkan indeks
daya pembeda, setiap butir soal dapat diketahui apakah butir soal itu baik, direvisi, atau ditolak.
2). Untuk mengetahui seberapa jauh setiap butir soal dapat mendeteksi/membedakan
kemampuan siswa, yaitu siswa yang telah memahami atau belum memahami materi yang
diajarkan guru.
berikut :
daya pembeda soal dapat diperoleh dengan rumus yaitu :
Keterangan :
DP= daya pembeda soal
BA = jumlah jawaban benar pada kelompok atas
BB = jumlah jawaban benar pada kelompok bawah
N= jumlah peserta tes
6. Uji Valdiitas
Soal itu uji validitas isi ,mengukur apa yyang seharusnya di ukur ada dalam statistika
Validitas adalah suatu ukuran yang menunjukan tingkat keabsahan dan kevalitas alat ukur suatu
instrumen penelitian.Menurut Akdon ( 2008), jika instrumen itu dapat digunakan untuk
mendapatkan data, dikatakan valid dan bisa digunakan untuk mengukur apa yang seharusnya
diukur.
Validitas seetiap butir soal yang digunakan dalam penelitian diuji dengan menggunakan Korelai
Product Moment Pearson( Arikunto,2008:72).
Rumusnya :
Keterangan:
Rxy = koefisien korelasi antara variabel x dan variabel y n= banyaknya sampel
∑x = jumlah nilai tiap butir soal
∑y = jumlah nilai total
Interpretasi untuk besarnya koefisien korelasi validitas menurut Arikunto (2008:75) adalah :
Koefisien Korelasi Interpretasi
0,80 < ≤ 1,00 Sangat tinggi
0,60 < ≤ 0,80 tinggi
0,40 < ≤ 0,60 cukup
0,20 < ≤ 0,40 rendah
0,00 < ≤ 0,20 Sangat rendah
7. Uji reabilitas
Realibiltas merupakan ketepatan alat evaluasi dalam mengukur atau ketepatan siswa dalam
menjawab alat evaluasi itu. Suatu tes dapat dikatakan memiliki taraf reabilitas yang baik jika
hasil tes tersebut dapat memiliki hasil tetap walaupun dikerjakan oleh siapapun ( dalam level
yang sama). Untuk menentukan realibilitas angket penelitian menggunakan rumus alpha
chombach (Arikunto ,2006:109).
Rumusnya yaitu :
Rumusnya yaitu :
Keterangan :
r11 = realibilitas tes secara keseluruhan
∑ = jumlah varians skor tiap-tiap butir soal
= varians skor total yang diperoleh siswa
n = banyaknya butir soal
8. Analisis data
Untuk menguji hipotesis yang diajukan apakah diterima atau ditolak,maka digunakan teknik
analisis data dengan uji t tes yang menggunakan rumus yaitu :
t =
Keterangan:
x1 = skor rata-rata kelaseksprimen A
x2 = skor rata-rata kelaseksprimen B
n1 = jumlahsampeleksprimen A
n2 = jumlahsampeleksprimen B
S = standardeviasigabungandarikeduakelassampe
F. DAFTAR PUSTAKA