proposal penelitian analisis pola realisasi apbd dan

34
PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN AKTIVITAS EKONOMI BERBASIS PDRB DI KALIMANTAN SELATAN Peneliti: Dr. Riswan Yudhi Fahrianta, SE, M.Si./NIDN 1109096902 Sumber Dana: Mata Anggaran P2M STIE Indonesia Banjarmasin Tahun Anggaran 2020 SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA BANJARMASIN (STIE INDONESIA BANJARMASIN) JUNI 2020

Upload: others

Post on 06-Jun-2022

5 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

PROPOSAL PENELITIAN

ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN AKTIVITAS EKONOMI

BERBASIS PDRB DI KALIMANTAN SELATAN

Peneliti:

Dr. Riswan Yudhi Fahrianta, SE, M.Si./NIDN 1109096902

Sumber Dana:

Mata Anggaran P2M STIE Indonesia Banjarmasin

Tahun Anggaran 2020

SEKOLAH TINGGI ILMU EKONOMI INDONESIA BANJARMASIN

(STIE INDONESIA BANJARMASIN)

JUNI 2020

Page 2: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN
Page 3: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

DAFTAR ISI

Halaman

DAFTAR GAMBAR .................................................................................... ii

BAB I PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang ........................................................................ 1

1.2 Rumusan Masalah .................................................................. 6

1.3 Batasan Masalah ..................................................................... 6

1.4 Tujuan Penelitian .................................................................... 7

1.5 Manfaat Penelitian .................................................................. 7

1.5.1 Manfaat Akademis ......................................................... 7

1.5.2 Manfaat Praktis .............................................................. 8

BAB II TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori ....................................................................... 9

2.1.1 Teori Perekonomian Terbuka ........................................ 9

2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) ..... 12

2.1.3 Analisis Realisasi APBD ............................................... 17

2.1.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) ................... 19

2.1.5 Analisis Aktivitas Ekonomi Berbasis PDRB ................ 22

2.2 Penelitian Terdahulu ............................................................... 24

BAB III METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian .................................................................... 30

3.2 Jenis dan Sumber Data ........................................................... 30

3.3 Teknik Analisis Data .............................................................. 31

DAFTAR PUSTAKA ................................................................................... 34

Page 4: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

DAFTAR GAMBAR

Halaman

2.1 Hubungan Variabel Makro dalam Perekonomian Terbuka ..................... 11

Page 5: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Visi penyelenggaraan pemerintahan daerah berdasarkan Undang-Undang

(UU) Nomor 23 Tahun 2014 tentang Pemerintahan Daerah menyatakan bahwa

penyelenggaraan pemerintahan diarahkan untuk mempercepat terwujudnya

kesejahteraan masyarakat melalui peningkatan pelayanan, pemberdayaan, dan

peran serta masyarakat, serta peningkatan daya saing daerah. Prinsip dalam

penyelenggaraan pemerintahan daerah adalah demokrasi, pemerataan, keadilan,

dan kekhasan suatu daerah dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia

(NKRI). Pemerintahan Daerah adalah penyelenggaraan urusan pemerintahan oleh

Pemerintah Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) menurut asas

otonomi dan tugas pembantuan dengan prinsip otonomi seluas-luasnya dalam

sistem dan prinsip NKRI.

Pelaksanaan otonomi daerah membawa konsekuensi logis terhadap

hubungan keuangan antara pemerintah pusat dengan pemerintah daerah yakni

adanya pemberian sumber-sumber pendapatan daerah dalam rangka pelimpahan

kewenangan dari pusat (desentralisasi fiskal). Sumber-sumber pendapatan

dialokasikan ke dalam belanja daerah sesuai dengan prioritas pembangunan

melalui penetapan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). APBD

merupakan rencana keuangan tahunan pemerintah daerah yang dibahas dan

disetujui oleh Pemerintah Daerah dan DPRD serta ditetapkan dengan peraturan

Page 6: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

2

daerah. Penyusunan APBD tersebut disesuaikan dengan kebutuhan

penyelenggaraan pemerintahan dan kemampuan pendapatan daerah.

Komponen utama APBD terdiri dari pendapatan daerah, belanja daerah, dan

pembiayaan daerah. Realisasi APBD menunjukkan alokasi belanja untuk

melaksanakan program/kegiatan dan sumber-sumber pendapatan, serta

pembiayaan yang digunakan untuk mendanai pemerintahan daerah.

Program/kegiatan dilaksanakan untuk mendorong pertumbuhan ekonomi daerah,

pemerataan pendapatan, serta pembangunan di berbagai sektor. Pencapaian tujuan

tersebut diharapkan dapat dilakukan melalui peningkatan potensi penerimaan

pajak dan retribusi daerah ditambah dengan dana transfer dari pemerintah pusat

yang digunakan untuk mendanai penyelenggaraan layanan publik dalam jumlah

yang mencukupi dan berkualitas. Pengelolaan APBD yang berkualitas dapat

menjadi pemicu yang efektif untuk peningkatan ekonomi dan kesejahteraan

masyarakat. Salah satu bentuk evaluasi pengelolaan keuangan daerah adalah

melalui analisis realisasi APBD.

Pada konteks nasional sepanjang Indonesia menyelenggarakan otonomi

daerah terlihat jelas bahwa masalah utama dalam kebijakan fiskal daerah terletak

pada kapasitas dan mutu tata kelola keuangan daerah yang masih rendah yang

ditunjukkan dari indikator kemandirian daerah, rasio belanja daerah, dan ruang

fiskal daerah (Rheza dkk., 2015; DJPK Kemenkeu, 2017, 2018). Kemandirian

daerah berdasarkan data Kementerian Keuangan 2010-2014 menunjukkan bahwa

secara nasional proporsi dana perimbangan masih dominan setiap tahun anggaran

di banyak kabupaten/kota dimana lebih dari 60% APBD bersumber dari dana

Page 7: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

4

Makasar di sebelah timur. Wilayah Kalimantan Selatan juga berbatasan langsung

dengan Kalimantan Tengah di sebelah barat serta Kalimantan Timur di sebelah

utara. Luas wilayah administrasi Kalimantan Selatan mencapai 37.530,52 km2

atau seluas 6,98% dari luas Pulau Kalimantan atau 1,96% dari luas Indonesia.

Wilayah administrasi Provinsi Kalimantan Selatan dibentuk berdasarkan Undang-

Undang Nomor 5 Tahun 1956 dengan ibukota provinsi di Banjarmasin. Wilayah

Kalimantan Selatan terdiri dari 11 kabupaten dan 2 kota, yang terbagi kepada 152

kecamatan dan 2.008 desa/kelurahan. Kabupaten termuda adalah Kabupaten

Tanah Bumbu sebagai pemekaran wilayah administrasi Kabupaten Kotabaru dan

Kabupaten Balangan yang merupakan pemekaran wilayah administrasi Kabupaten

Hulu Sungai Utara. Sehingga secara administrasi organisasi pemerintahan daerah

di Kalimantan Selatan memiliki satu organisasi pemerintah provinsi, 11

pemerintah kabupaten, dan dua pemerintah kota.

Kalimantan Selatan diharapkan mempunyai peran penting dalam

perekonomian nasional terutama pada aktivitas ekonomi pertanian dalam arti luas

baik pada tanaman pangan, perkebunan, peternakan, perikanan, maupun

kehutanan. Secara spesifik pada Rencana Pembangunan Jangka Menengah

Nasional (RPJMN) 2015-2019, Kalimantan Selatan diharapkan menjadi lumbung

pangan nasional. Namun pada faktanya kontribusi aktivitas ekonomi pertanian

dalam arti luas Kalimantan Selatan cenderung mengalami penurunan dan

pertumbuhan yang fluktuatif dengan kecenderungan melambat. Ditunjukkan pada

kurun waktu 2015-2018, kontribusi aktivitas ekonomi pertanian dalam arti luas

pada tahun 2015 sebesar 15,00% dan pada tahun 2018 menurun menjadi 14,39%,

Page 8: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

5

sedangkan pada sisi pertumbuhan ditunjukkan pada tahun 2015 ke 2016 tumbuh

sebesar 3,67 % kemudian meningkat pada tahun 2017 sebesar 4,18%, namun

kembali menurun pada tahun 2018 menjadi 3,97% (BPS Provinsi Kalimantan

Selatan, 2019). Struktur perekonomian di Kalimantan Selatan sampai dengan

tahun 2019 masih didominasi oleh aktivitas ekonomi pertambangan dan

penggalian sebesar 18,69%, industri pengolahan sebesar 14,28%, dan pertanian

dalam arti luas yang secara nyata kembali menurun kontribusinya sebesar 12,38%

(BPS Provinsi Kalimantan Selatan, 2020). Tingginya kontribusi aktivitas ekonomi

pertambangan dan penggalian harus menjadi perhatian, mengingat aktivitas

ekonomi tersebut merupakan lapangan usaha dengan sumber daya yang tidak

dapat diperbaharui sehingga perlu kebijakan riil terkait pengalihan sektor ini

untuk mempertahankan kinerja perekonomian daerah di masa depan (Sekretariat

Daerah Provinsi Kalimantan Selatan, 2020).

Data publikasi BPS Provinsi Kalimantan Selatan (2019, 2020)

memperlihatkan nilai Produk Domestik Regional Bruto (PDRB) Kalimantan

berdasarkan harga berlaku memang selalu meningkat setiap tahunnya, ditunjukkan

secara nominal berdasarkan harga berlaku pada periode 2015-2018 nilai PDRB

mengalami peningkatan, secara berturut-turut tahun 2015 sebesar 137,06 triliun

rupiah, tahun 2016 sebesar 146,09 triliun rupiah, tahun 2017 sebesar 159,18

triliun rupiah, dan tahun 2018 sebesar 171,94 triliun rupiah. Namun kalau dilihat

PDRB berdasarkan harga konstan 2010 atau dari sisi pertumbuhannya pada

periode 2015-2019 perekonomian Kalimantan Selatan cenderung mengalami

perlambatan, ditunjukkan pada tahun 2015 ke 2016 pertumbuhan PDRB

Page 9: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

6

mengalami peningkatan dari 3,82% ke 4,40%, tahun 2017 mengalami peningkatan

menjadi 5,28%, tahun 2018 mengalami penurunan menjadi 5,13%, dan tahun

2019 kembali mengalami penurunan menjadi 4,08%. Tidak dapat dipungkiri

perlambatan pertumbuhan ekonomi Kalimantan Selatan tersebut karena

melambatnya kinerja tiga aktivitas ekonomi yang menjadi sumber pertumbuhan

ekonomi Kalimantan Selatan, yaitu: pertambangan dan penggalian; industri

pengolahan terkait industri pengolahan kelapa sawit; dan pertanian dalam arti luas

terkait aktivitas ekonomi perkebunan kelapa sawit.

1.2 Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian yang telah dipaparkan pada latar belakang maka

rumusan masalah penelitian adalah sebagai berikut.

1. Bagaimana pola realisasi APBD organisasi pemerintah daerah di Kalimantan

Selatan?

2. Bagaimana pola aktivitas ekonomi berbasis (berdasarkan) PDRB di

Kalimantan Selatan?

1.3 Batasan Masalah

Penelitian berusaha mengeksplorasi dan mendeskripsikan pada analisis pola

realisasi APBD organisasi pemerintah daerah dan pola aktivitas ekonomi berbasis

PDRB di Kalimantan Selatan dalam rentang waktu pengamatan minimal lima

tahun terakhir berdasarkan data sekunder yang tersedia dan dapat diakses dari

publikasi-publikasi resmi pemerintah daerah (dominan dari BPS). Eksplorasi awal

Page 10: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

7

berdasarkan data yang tersedia dan dapat diakses terdapat publikasi yang

menyediakan rentang waktu pengamatan cukup panjang, yakni dari tahun 2010

sampai 2019, namun juga terdapat data yang tersedia hanya dari tahun 2015

sampai 2019. Untuk analisis perbandingan antar pemerintah daerah maka data

pengamatan disamakan tahun pengamatannya untuk menghindari bias.

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian adalah untuk:

1. Mendeskripsikan dan menganalisis pola realisasi APBD organisasi

pemerintah daerah di Kalimantan Selatan.

2. Mendeskripsikan dan menganalisis pola aktivitas ekonomi berbasis PDRB di

Kalimantan Selatan.

1.5 Manfaat Penelitian

1.5.1 Manfaat Akademis

Penelitian sekarang menitikberatkan pada usaha mendeskripsikan pola

pengelolaan keuangan daerah berdasarkan realisasi APBD dan pola aktivitas

ekonomi daerah berdasarkan PDRB untuk memberikan kontribusi kepada

pengayaan referensi ilmiah berbasis bukti empiris yang lebih spesifik pada kondisi

organisasi pemerintahan daerah di Kalimantan Selatan. Sepanjang pengetahuan

penulis, referensi hasil-hasil penelitian dengan topik studi deskriptif yang

mengkombinasikan pada analisis realisasi APBD dan aktivitas ekonomi

Page 11: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

8

berdasarkan PDRB masih sangat terbatas dan pada ruang lingkup hanya pada satu

pemerintah daerah atau secara agregat nasional saja.

1.5.2 Manfaat Praktis

Hasil penelitian diharapkan memberikan kontribusi kepada pemerintah

provinsi dan pemerintah kabupaten/kota di Kalimantan Selatan sebagai bahan

pertimbangan dan masukan dalam merencanakan program pembangunan dan

merumuskan, menentukan, dan memprioritaskan serta memutuskan arah

kebijakan pembangunan ekonomi. Diharapkan juga dengan perbandingan kondisi

antara kabupaten/kota dalam satu provinsi atas pola pengelolaan keuangan daerah

berdasarkan realisasi APBD dan pola aktivitas ekonomi daerah berdasarkan

PDRB akan memberikan kontribusi penjelasan dan pemahaman ilmiah yang lebih

komprehensif dalam merumuskan kebijakan-kebijakan pembangunan ekonomi

pada tingkat wilayah regional Kalimantan Selatan.

Page 12: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

9

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Landasan Teori

2.1.1 Teori Perekonomian Terbuka

Perekonomian terbuka atau perekonomian empat sektor merupakan

perekonomian suatu negara yang mempunyai hubungan ekonomi dengan negara-

negara lain, dimana dalam perekonomian terbuka sebagian produksi dalam negeri

diekspor atau dijual ke luar negeri dan disamping itu terdapat pula barang di

negara itu yang diimpor dari negara-negara lain. Perekonomian terbuka dapat

diformulasikan sebagai berikut.

Y = C + I + G + (X - M)

Keterangan:

Y = output (pendapatan);

C = pengeluaran konsumsi rumah tangga;

I = pengeluaran investasi sektor bisnis;

G = pengeluaran pemerintah;

X = ekspor; dan

M = impor.

Syarat keseimbangan pendapatan nasional dalam perekonomian terbuka

adalah Y = C + I + G + (X – M) dan I + G + X = S + T + M. Persamaan Y = C + I

+ G + (X-M) dapat dimodifikasi menjadi NetX = Y – (C + I + G), dengan (C + I +

G) adalah pengeluaran domestik. Suatu perekonomian akan mengalami surplus

perdagangan apabila output lebih besar dari pengeluaran domestik, atau ekspor

lebih dari impor. Sebaliknya, suatu perekonomian akan mengalami defisit

Page 13: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

11

Gambar 2.1 Hubungan Variabel Makro dalam Perekonomian Terbuka

Sumber: Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul (2018).

Modal dalam teori pertumbuhan neoklasik juga dapat berupa uang. Dalam

hal ini, uang yang beredar di masyarakat tidak hanya berasal dari sektor bisnis,

namun juga berasal dari pemerintah. Ini sejalan dengan teori pengeluaran

pemerintah yang dicetuskan John Maynard Keynes (Rheza dkk., 2015). Inti teori

adalah imperasi campur tangan pemerintah dalam peningkatan belanja

masyarakat, baik melalui upaya meningkatkan suplai uang maupun berupa

pembelian barang dan jasa oleh pemerintah sendiri. Keyness berpendapat level

perekonomian ditentukan pembelanjaan agregat, dimana dalam sistem pasar bebas

penggunaan full employment tidak selalu bisa tercipta. Untuk itu diperlukan

rangkaian kebijakan pemerintah guna mendorong pertumbuhan ekonomi.

Pemerintah dapat memengaruhi pertumbuhan ekonomi tidak hanya melalui

kebijakan moneter tetapi juga kebijakan fiskal melalui APBN/D. Maka,

Page 14: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

12

persamaan keseimbangan pendapatan nasional menurut Keynes adalah Y = C + I

+ G, sehingga untuk menghindari timbulnya stagnasi perekonomian

(meningkatnya pengangguran dan deflasi), pemerintah mesti meningkatkan

jumlah pengeluaran pemerintah pada level lebih tinggi dari pendapatan nasional

agar dapat mengimbangi meningkatnya kecenderungan konsumsi dalam

perekonomian. Dengan kata lain, jika pemerintah meningkatkan pengeluarannya,

uang yang beredar di masyarakat akan bertambah sehingga masyarakat akan

terdorong untuk berbelanja dan meningkatkan permintaannya (sehingga

permintaan agregat bertambah). Selain itu, tabungan juga akan meningkat

sehingga dapat digunakan sebagai modal investasi dan kondisi perekonomian

akan kembali ke tingkat normal.

2.1.2 Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD)

Peraturan Menteri Dalam Negeri (Permendagri) Nomor 13 Tahun 2006

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah menyebutkan keuangan daerah adalah

semua hak dan kewajiban daerah dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan

daerah yang dapat dinilai dengan uang, termasuk di dalamnya adalah segala

bentuk kekayaan yang berhubungan dengan hak dan kewajiban daerah tersebut.

Halim dan Kusufi (2016) menjelaskan lebih lanjut dengan semua hak dan

kewajiban, yaitu semua hak adalah hak untuk memungut sumber-sumber

penerimaan daerah seperti pajak daerah, retribusi daerah, hasil pengelolaan usaha

milik daerah, dan lain-lain, dan/atau hak untuk menerima sumber-sumber

penerimaan lain seperti dana alokasi umum dan dana alokasi khusus sesuai

dengan peraturan yang ditetapkan, dimana semua hak tersebut akan menaikkan

Page 15: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

13

kekayaan daerah. Sedangkan semua kewajiban adalah kewajiban untuk

mengeluarkan uang untuk membayar tagihan-tagihan kepada daerah dalam rangka

penyelenggaraan fungsi pemerintahan, infrastruktur, pelayanan umum, dan

pengembangan ekonomi daerah, dimana semua kewajiban tersebut akan

menurunkan kekayaan daerah. Keuangan daerah yang dikelola langsung oleh

pemerintahan daerah adalah APBD dan barang-barang inventaris milik daerah,

sedangkan pengelolaan yang dipisahkan adalah yang dikelola oleh badan usaha

milik daerah (BUMD).

Anggaran adalah rencana kegiatan yang diwujudkan dalam bentuk finansial,

yang meliputi usulan pengeluaran yang diperkirakan untuk suatu periode tertentu,

beserta usulan cara-cara untuk memenuhi pengeluaran tersebut (Halim dan

Kusufi, 2012). Selanjutnya Halim dan Kusufi (2012) berdasarkan definisi APBD

menurut UU Nomor 5 Tahun 1974 tentang Pokok-pokok Pemerintahan di Daerah

dan Wajong (1962) mendefinisikan APBD adalah anggaran daerah yang memiliki

unsur-unsur: (1) rencana kegiatan suatu daerah; (2) adanya sumber penerimaan

yang merupakan target minimal untuk menutupi biaya-beban yang merupakan

batas maksimal pengeluaran-pengeluaran yang akan dilaksanakan; (3) jenis

kegiatan dan proyek yangdituangkan dalam bentuk angka; dan (4) dengan periode

anggaran, biasanya satu tahun. Sehingga fungsi anggaran daerah adalah sebagai:

(1) pedoman bagi pemerintah daerah dalam mengelola daerah untuk suatu periode

di masa mendatang; (2) alat pengawas bagi masyarakat terhadap kebijaksanaan

yang telah dipilih pemerintah daerah, karena sebelum anggaran dijalankan harus

mendapat persetujuan DPRD terlebih dahulu; dan (3) alat pengawas bagi

Page 16: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

14

masyarakat terhadap kemampuan pemerintah daerah dalam melaksanakan

kebijaksanaan yang telah dipilihnya, karena pada akhirnya anggaran harus

dipertanggungjawabkan pelaksanaannya oleh pemerintah daerah kepada DPRD.

Secara spesifik pada Pasal 15 dan 16 Permendagri Nomor 13 Tahun 2006

ditegaskan fungsi strategis dari APBD, yaitu fungsi otorisasi, perencanaan,

pengawasan, alokasi, distribusi, dan stabilisasi. Terutama pada fungsi alokasi dan

stabilisasi, bahwa APBD pada fungsi alokasi harus diarahkan untuk menciptakan

lapangan kerja/mengurangi pengangguran dan pemborosan sumber daya, serta

meningkatkan efisiensi dan efektivitas perekonomian daerah, serta pada fungsi

stabilitasi, bahwa APBD menjadi alat untuk memelihara dan mengupayakan

keseimbangan fundamental perekonomian daerah.

Pada era pasca reformasi, bentuk APBD pertama kali ditetapkan

berdasarkan Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 29 Tahun 2002 tentang

Pedoman Pengurusan, Pertanggungjawaban, dan Pengawasan Keuangan Daerah

serta Tata Cara Penyusunan APBD, Pelaksanaan Tata Usaha Keuangan Daerah

dan Penyusunan Perhitungan APBD. Perubahan berikutnya adalah pada

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan

Daerah sebagaimana kemudian dirubah kembali pada Permendagri Nomor 59

Tahun 2007 tentang Perubahan Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13

Tahun 2006 Tentang Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah, yang kemudian

berubah kembali pada Permendagri Nomor 21 Tahun 2011 tentang Perubahan

Kedua Atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 13 Tahun 2006 Tentang

Pedoman Pengelolaan Keuangan Daerah. Beberapa perubahan di era reformasi

Page 17: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

16

program dan kegiatan pemerintahan daerah), belanja barang dan jasa, dan belanja

modal.

Pembiayaan daerah merupakan kategori baru yang belum ada pada APBD di

era pra reformasi. Adanya pos pembiayaan merupakan upaya agar APBD makin

informatif, yaitu memisahkan pinjaman dan pendapatan daerah. Hal ini sesuai

dengan definisi pendapatan sebagai hak pemerintah daerah, sedangkan pinjaman

belum tentu menjadi hak pemerintah daerah (Halim dan Kusufi, 2012). Selain itu,

dalam APBD mungkin terdapat surplus dan defisit, sehingga pos pembiayaan

merupakan alokasi surplus atau sumber penutupan defisit anggaran. Pembiayaan

daerah terdiri dari dua sumber, yaitu sumber penerimaan pembiayaan dan sumber

pengeluaran pembiayaan. Sumber penerimaan pembiayaan daerah mencakup sisa

lebih perhitungan anggaran tahun anggaran sebelumnya (SiLPA), pencairan dana

cadangan, hasil penjualan kekayaan daerah yang dipisahkan, penerimaan

pinjaman daerah, penerimaan kembali pemberian pinjaman, dan penerimaan

piutang daerah. Sedangkan sumber pengeluaran daerah mencakup pembentukan

dana cadangan, penyertaan modal (investasi) pemerintah daerah, pembayaran

pokok hutang, dan pemberian pinjaman daerah.

Permendagri Nomor 13 Tahun 2006 menyebutkan bahwa pengelolaan

keuangan daerah adalah keseluruhan kegiatan yang meliputi perencanaan,

pelaksanaan, penatausahaan, pelaporan, pertanggungjawaban, dan pengawasan

keuangan daerah. Dalam konteks pelaporan dan pertanggungjawaban APBD,

pemerintahan daerah adalah sebagai entitas pelaporan dan entitas akuntansi yang

wajib menyelenggarakan sistem akuntansi pemerintahan daerah, dimana sebagai

Page 18: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

17

entitas pelaporan wajib menyusun laporan keuangan berupa: laporan realisasi

anggaran; neraca; laporan arus kas; dan catatan atas laporan keuangan, sedangkan

sebagai entitas akuntansi wajib menyusun laporan keuangan berupa: laporan

realisasi anggaran; neraca; dan dan catatan atas laporan keuangan (Pasal 232).

Berdasarkan paragraf 28 Kerangka Konseptual Akuntansi Pemerintahan Standar

Akuntansi Pemerintahan Berbasis Akrual dalam Peraturan Pemerintah (PP)

Nomor 71 Tahun 2010 tentang Standar Akuntansi Pemerintahan (SAP),

komponen laporan keuangan pemerintah (termasuk pemerintah daerah) berupa:

laporan realisasi anggaran; laporan perubahan saldo anggaran lebih; neraca;

laporan operasional; laporan arus kas; laporan perubahan ekuitas; dan catatan atas

laporan keuangan.

2.1.3 Analisis Realisasi APBD

Laporan realisasi anggaran (APBD) adalah salah satu komponen dari

laporan keuangan pemerintah daerah yang menyajikan informasi tentang realisasi

anggaran dalam suatu periode tertentu. Kerangka Konseptual Akuntansi

Pemerintahan SAP Berbasis Akrual dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 71

Tahun 2010 menjelaskan pada paragraf 61 dan 62, bahwa laporan realisasi

anggaran menyajikan ikhtisar sumber, alokasi, dan pemakaian sumber daya

keuangan yang dikelola oleh pemerintah pusat/daerah, yang menggambarkan

perbandingan antara anggaran dan realisasinya dalam satu periode pelaporan,

dengan unsur yang dicakup secara langsung oleh laporan realisasi anggaran terdiri

dari pendapatan, belanja, transfer, dan pembiayaan. Sebagai salah satu komponen

laporan keuangan, secara umum peran laporan realisasi anggaran disusun untuk

Page 19: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

18

menginformasikan nilai sumber daya ekonomi yang dimanfaatkan untuk

melaksanakan kegiatan operasional pemerintahan, menilai kondisi keuangan,

mengevaluasi efektivitas dan efisiensi suatu entitas pelaporan (terutama

penggunaan anggaran), dan membantu menentukan ketaatannya terhadap

peraturan perundang-undangan, dengan kepentingan yang ingin dicapai salah

satunya adalah untuk evaluasi kinerja keuangan pemerintah daerah.

Laporan realisasi APBD merupakan salah satu alat ukur untuk melihat

implementasi dari kebijakan dan operasionalisasi pelaksanaan pengelolaan

keuangan suatu daerah dalam upaya mewujudkan pelayanan publik yang optimal

serta upaya dalam mendorong pembangunan ekonomi di daerah. Besarnya

realisasi anggaran dan jenis belanjanya mengindikasikan besarnya komitmen dan

keseriusan suatu pemerintahan daerah pada aspek-aspek yang menjadi prioritas

daerah (DJPK Kemenkeu, 2014).

Analisis realisasi APBD adalah bagian dari analisis laporan keuangan.

Analisis laporan keuangan berusaha menggali lebih banyak informasi yang

dikandung dari laporan keuangan, atau dengan kata lain usaha untuk menyediakan

tambahan penjelasan atas data dan informasi keuangan termasuk informasi yang

tidak secara eksplisit disajikan di dalam laporan keuangan (DJPK Kemenkeu,

tanpa tahun). Pendekatan yang dapat dilakukan dalam analisis realisasi APBD

terkait kinerja keuangan pemerintah daerah adalah pendekatan komposisi,

kontribusi, pertumbuhan, dan rasio dari masing-masing kategori inti atau

komponen/kelompok realisasi APBD (DJPK Kemenkeu, tanpa tahun; Seknas

Fitra dan The Ford Foundation, 2016).

Page 20: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

19

2.1.4 Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Salah satu fokus kebijakan pembangunan dalam suatu wilayah/daerah

adalah terkait perekonomian adalah penggunaan indikator untuk mengukur tingkat

kesejahteraan ekonomi dalam cakupan statistik makro ekonomi yang disebut

Produk Domestik Bruto (PDB). Indikator tersebut digunakan untuk mengetahui

kondisi ekonomi baik nasional maupun regional secara agregat. PDB merupakan

jumlah nilai tambah bruto seluruh aktivitas ekonomi (barang dan jasa) suatu

wilayah pada periode waktu tertentu yang timbul akibat berbagai aktivitas

ekonomi dalam suatu periode tertentu tanpa memperhatikan apakah faktor

produksi yang dimiliki residen atau non-residen (BPS Provinsi Kalimantan

Selatan, 2019). PDB di Indonesia dihasilkan sampai tingkat terendahnya adalah

tingkat kabupaten/kota, dimana untuk tingkat provinsi dan kabupaten/kota, PDB

disebut dengan Produk Domestik Regional Bruto (PDRB). Penyusunan PDRB

dapat dilakukan melalui tiga pendekatan, yaitu pendekatan produksi (lapangan

usaha), pendapatan, dan pengeluaran (konsumsi atas produksi) yang disajikan atas

dasar harga berlaku dan harga konstan.

PDRB atas dasar harga berlaku (nominal) menggambarkan nilai ekonomi

yang tidak hanya dipengaruhi oleh perubahan volume produksi tetapi juga

dipengaruhi oleh inflasi. Melalui distribusi nilai PDRB atas dasar harga berlaku

dapat diketahui struktur perekonomian suatu wilayah. Selain itu kinerja

perekonomian daerah yang dinilai dari pertumbuhan ekonominya dapat diketahui

melalui perkembangan nilai PDRB atas dasar harga konstan yang menggunakan

tahun tertentu sebagai dasar (saat sekarang menggunakan tahun dasar 2010).

Page 21: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

20

Manfaat dari data dan informasi PDRB antara lain, untuk mengetahui

keterbandingan antarwilayah, kesenjangan ekonomi antarwilayah dan antarsektor,

dan untuk mengetahui potensi ekonomi yang masih bisa dikembangkan untuk

meningkatkan perekonomian di masing-masing wilayah, serta PDRB juga

digunakan sebagai salah satu komponen dalam pengalokasian DAU (Seknas Fitra,

tanpa tahun; Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul, 2018).

PDRB dapat menjadi salah satu ukuran kinerja pembangunan daerah dalam

bidang ekonomi pada era desentralisasi. Desentralisasi menjadi pilihan suatu

negara untuk mempercepat pembangunan ekonomi karena dengan pelimpahan

sejumlah kewenangan pemerintah pusat kepada daerah maka daerah memiliki

kewenangan memberikan dan mendistribusikan barang dan jasa pelayanan publik

(Suhartono, 2015). Salah satu kebijakan pembangunan yang dipandang tepat dan

strategis dalam rangka pembangunan wilayah di Indonesia sebagai negara

kepulauan adalah kebijakan pengembangan ekonomi lokal. Kebijakan

pengembangan ekonomi lokal pada hakekatnya merupakan kebijakan

pembangunan di daerah yang didasarkan pada pengembangan sektor-sektor yang

menjadi prioritas unggulan yang diusahakan dalam wadah aktivitas ekonomi

masyarakat lokal (Wiranto, 2004).

Pembangunan ekonomi sering diukur berdasarkan tingkat kemajuan struktur

produksi dan penyerapan sumber daya yang diupayakan secara terencana.

Biasanya, peranan sektor pertanian akan berkontribusi pertama kali untuk

memberi kesempatan bagi tampilnya sektor-sektor industri manufaktur dan jasa-

jasa yang selalu diupayakan untuk berkembang (Todaro, 2000). Oleh karena itu

Page 22: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

21

kaitan pembangunan ekonomi dan pembangunan daerah dapat dilihat dari

permasalahan pokok dalam pembangunan daerah yang terletak pada penekanan

terhadap kebijakan-kebijakan pembangunan yang didasarkan pada kekhasan

daerah yang besangkutan (endogenous development) dengan menggunakan

potensi sumber daya manusia, kelembagaan, dan sumber daya fisik secara lokal

(daerah). Orientasi ini mengarahkan kepada pengambilan inisiatif yang berasal

dari daerah tersebut dalam proses pembangunan untuk menciptakan kesempatan

kerja baru dan merangsang peningkatan kegiatan ekonomi (Arsyad, 2004).

Setiap daerah mempunyai corak pertumbuhan ekonomi yang berbeda

dengan daerah lain. Oleh karena itu perencanaan pembangunan ekonomi suatu

daerah pertama-tama perlu mengenali karakter ekonomi, sosial dan fisik daerah

itu sendiri, termasuk interaksinya dengan daerah lain. Sehingga tidak ada strategi

pembangunan ekonomi daerah yang dapat berlaku untuk semua daerah (Rahayu,

2010). Namun di pihak lain, penyusunan strategi pembangunan ekonomi daerah,

baik jangka pendek maupun jangka panjang, pemahaman mengenai teori

pertumbuhan ekonomi wilayah, yang dirangkum dari kajian terhadap pola-pola

pertumbuhan ekonomi dari berbagai wilayah, merupakan satu faktor yang cukup

menentukan kualitas rencana pembangunan ekonomi daerah. Pembangunan

daerah diarahkan untuk memacu pemerataan pembangunan dan hasil-hasilnya

dalam rangka meningkatkan kesejahteraan rakyat, menggalakkan prakarsa dan

peran aktif masyarakat serta meningkatkan pendayagunaan potensi daerah secara

optimal juga diarahkan untuk lebih mengembangkan dan menyesuaikan laju

pertumbuhan antardaerah, antara daerah perkotaan dan daerah pedesaan.

Page 23: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

22

2.1.5 Analisis Aktivitas Ekonomi Berbasis PDRB

Penentuan prioritas pembangunan suatu wilayah/daerah diperlukan karena

adanya keterbatasan dalam hal waktu, pendanaan, tenaga, dan sumber daya yang

tersedia. Salah satu cara untuk mengetahui pertumbuhan dan perkernbangan suatu

wilayah adalah dengan cara melakukan analisis terhadap kegiatan perekonomian

atau sektor ekonomi prioritas yang ada guna mengetahui kemampuan kinerja serta

tumbuh kembang dari masing-masing sektor ekonomi tersebut (Kuncoro, 2001).

Kemampuan tumbuh kembang pada salah satu sektor ekonomi akan menjadi

faktor penunjang dan penentu atau pemacu dari pertumbuhan sektor yang lainnya.

Beberapa analisis yang dapat digunakan untuk memetakan (memotret)

pembangunan ekonomi regional (daerah) adalah analisis Location Quotient (LQ),

Shift Share (SS), dan Tipologi Klassen (Klassen Typology).

Analisis LQ digunakan untuk menunjukkan besar kecilnya peranan kategori

perekonomian suatu wilayah dengan membandingkan kategori yang sama pada

wilayah yang lebih besar (di atasnya). Analisis LQ digunakan untuk

mengidentifikasi kategori ekonomi yang dapat menjadi pemicu pertumbuhan

(derajat spesialisasi ekonomi) untuk dikembangkan pada suatu wilayah/daerah.

Selain itu, analisis ini juga dipergunakan untuk mengidentifikasi keunggulan

komparatif (comparative advantage) suatu wilayah (Hendayana, 2003; Dinas

Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul, 2018).

Analisis SS digunakan untuk membandingkan perbedaan laju pertumbuhan

berbagai sektor di suatu wilayah/daerah dengan wilayah nasional (referensi).

Analisis SS memperinci penyebab perubahan atas beberapa variabel yang tidak

Page 24: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

23

dapat dijelaskan dalam analisis LQ dengan membandingkan laju pertumbuhan

sektor-sektor di suatu wilayah dengan laju pertumbuhan perekonomian nasional

serta sektor-sektornya serta mengamati penyimpangan-penyimpangan dari

perbandingan-perbandingan tersebut. Bila penyimpangan itu positif, hal itu

disebut keunggulan kompetitif dari suatu sektor dalam wilayah tersebut (Soepono,

1993; Marlina 2014; Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul, 2018).

Pada analisis SS, pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah

dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu: (1) pertumbuhan regional; (2)

pertumbuhan proporsional; dan (3) pertumbuhan pangsa wilayah (Marlina, 2014).

Komponen pertumbuhan regional adalah perubahan produksi suatu wilayah yang

disebabkan oleh perubahan produksi regional secara umum, perubahan kebijakan,

ekonomi regional, atau perubahan dalam hal-hal yang mempengaruhi

perekonomian suatu wilayah atau sektor. Bila diasumsikan tidak ada perubahan

karakteristik antar sektor dan antar wilayah, maka adanya perubahan akan

membawa dampak yang sama pada semua sektor dan wilayah. Akan tetapi pada

kenyataannya beberapa sektor dan wilayah tumbuh lebih cepat daripada sektor

dan wilayah lainnya. Untuk komponen pertumbuhan proporsional terjadi karena

perbedaan sektor dalam permintaan produk akhir, perbedaan dalam ketersediaan

bahan mentah, perbedaan dalam kebijakan industri, dan perbedaan dalam struktur

dan keragaman pasar. Selanjutnya komponen pertumbuhan pangsa wilayah timbul

karena peningkatan atau penurunan PDRB atau kesempatan kerja dalam suatu

wilayah dibandingkan dengan wilayah lainnya. Cepat lambatnya pertumbuhan

Page 25: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

24

ditentukan oleh keunggulan komparatif, akses pasar, dukungan kelembagaan,

prasarana sosial dan ekonomi serta kebijakan regional pada wilayah tersebut.

Analisis Tipologi Klassen digunakan untuk mengetahui gambaran tentang

pola dan struktur pertumbuhan ekonomi masing-masing daerah. Tipologi Klassen

pada dasarnya membagi daerah berdasarkan dua indikator utama, yaitu

pertumbuhan ekonomi daerah dan pendapatan per kapita daerah, yaitu dengan

menentukan rata-rata pertumbuhan ekonomi sebagai sumbu vertikal dan rata-rata

pendapatan per kapita sebagai sumbu horisontal, daerah yang diamati dapat dibagi

menjadi empat kategori, yaitu: daerah cepat-maju dan cepat-tumbuh (high growth

and high income), daerah maju tapi tertekan (high income but low growth), daerah

berkembang cepat (high growth but low income), dan daerah relatif tertinggal (low

growth and low income) (Aswandi dan Kuncoro, 2002; Suhartono, 2015;

Nurhasanah dkk., 2018). Tipologi Klassen juga dapat digunakan untuk

mengelompokkan aktivitas (sektor) ekonomi dengan melihat pertumbuhan dan

kontribusi sektor tertentu dalam PDRB terhadap total PDRB suatu

wilayah/daerah, yaitu dengan mengelompokkan suatu sektor ke dalam 4 kategori,

yaitu: sektor prima, sektor potensial, sektor berkembang, dan sektor terbelakang

(Rahayu, 2010).

2.2 Penelitian Terdahulu

Penelitian atau studi/kajian ilmiah terdahulu terkait realisasi APBD dan

aktivitas ekonomi kewilayahan berbasis PDRB (struktur dan pertumbuhan

ekonomi) sudah cukup banyak dilakukan baik oleh akademisi maupun institusi

Page 26: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

26

peningkatan anggaran pendapatan, maka defisit tahun 2018 juga lebih besar

24,40% dari defisit tahun 2017. Defisit yang lebih besar tersebut, diiringi dengan

peningkatan pembiayaan netto sebesar 22,80%. Sampai dengan tahun 2018 dana

perimbangan masih mendominasi sumber pendapatan pemerintah daerah, yaitu

sebesar 60,90% atau 666,7 triliun rupiah dari total pendapatan daerah sebesar

1.095,0 triliun rupiah.

Pada belanja daerah sampai dengan tahun 2018 secara nasional terjadi

pertumbuhan belanja daerah dengan belanja pegawai masih menjadi komponen

belanja terbesar dengan rasio terbesar dalam belanja daerah yang selanjutnya

secara berurutan disusul oleh belanja barang dan jasa, belanja lainnya, dan belanja

modal. Namun dari sisi peningkatan dari tahun 2017 ke 2018 berdasarkan

komponen belanja yang mengalami peningkatan adalah belanja barang dan jasa

sebesar 2,20%, sedangkan komponen belanja yang mengalami penurunan rasio

adalah belanja pegawai, belanja modal, dan belanja lainnya, yang masing-masing

secara berurutan sebesar 1,30%, 0,80%, dan 0,10% (DJPK Kemenkeu, 2018).

Pada tema kesehatan keuangan daerah, studi Tikha dan Sujarwoto (2015)

menunjukkan bahwa setelah satu setengah dasawarsa pelaksanaan desentralisasi

sebagian besar kabupaten/kota di Indonesia masih belum mandiri. Ini ditunjukkan

oleh kecilnya rasio PAD terhadap total pendapatan. Rendahnya rasio PAD

tersebut menunjukkan rendahnya kompetensi kabupaten/kota dalam memobilisasi

dan mengelola sumber-sumber keuangan selama desentralisasi. Hubungan negatif

antara ruang fiskal dan rasio kemandirian daerah memperkuat hasil temuan

tersebut. Hasil studi juga menunjukkan bahwa kabupaten/kota yang memiliki

Page 27: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

27

ruang fiskal cukup besar justru memiliki rasio kemandirian yang rendah.

Kesenjangan dalam rasio kemandirian daerah juga tampak jelas antara

kabupaten/kota di pulau Jawa dan luar Jawa, khususnya pedalaman Sumatra,

Kalimantan, Sulawesi, dan Papua. Pulau Jawa adalah pusat pemerintahan,

pendidikan, ekonomi dan industri sejak jaman orde baru, sehingga pada umumnya

kabupaten/kota di Pulau Jawa memiliki kompetensi yang lebih baik dibandingkan

dengan kabupaten/kota di luar Jawa. Studi ini mengindikasikan bahwa transfer

keuangan yang cukup besar ke kabupaten/kota selama lima belas tahun terakhir

belum mampu meningkatkan kompetensi kabupaten/kota di luar Jawa secara

berarti.

Studi yang dapat ditelusuri tentang Kalimantan Selatan secara agregat

terkait PDRB periode 2010-2014 yang dipublikasikan oleh Bappenas (2015)

dengan menggunakan sektor basis dengan analisis LQ menunjukkan sektor

pertambangan dan penggalian; pengadaan air, pengelolaan sampah dan limbah;

jasa perusahaan; dan jasa lainnya merupakan sektor-sektor yang dapat

diperdagangkan antardaerah (tradable), dengan nilai LQ lebih besar dari satu.

Studi Asyahri dan Syafril (2018) dengan menggunakan LQ dan Tipologi Klassen

untuk menganalisis tiga kawasan andalan yang ditetapkan oleh Perda Nomor 9

Tahun 2000 Pemerintah Provinsi Kalimantan Selatan tentang Rencana Tata Ruang

Wilayah Kalimantan Selatan. Ketiga kawasan andalan tersebut adalah: (1)

Kawasan Banua Anam yang terdiri dari enam kabupaten, yaitu Tapin, Hulu

Sungai Selatan, Hulu Sungai Tengah, Hulu Sungai Utara, Balangan, dan

Tabalong; (2) Kawasan Banjarbakula yang meliputi dua kota, yakni Banjarmasin

Page 28: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

28

dan Banjarbaru, serta dua kabupaten, yaitu Banjar dan Tanah Laut; dan (3)

Kawasan Kapet Batulicin meliputi dua wilayah kabupaten, yaitu Tanah Bumbu

dan Kotabaru.

Hasil penelitian Asyahri dan Syafril (2018) menunjukkan Kawasan Andalan

Banua Anam sektor potensial adalah sektor pertanian, pertambangan dan

penggalian, serta sektor jasa-jasa lainnya. Kawasan Banjarbakula adalah sektor

industri pengolahan; listrik, gas dan air bersih; konstruksi; perdagangan, hotel dan

restoran; pengangkutan dan komunikasi; keuangan, real estate dan jasa

perusahaan serta jasa-jasa lainnya. Sedangkan Kawasan Kapet adalah sektor

pertanian; pertambangan dan penggalian; serta sektor pengangkutan dan

komunikasi. Selanjutnya dari analisis tipologi Klassen daerah-daerah yang tepat

sebagai kawasan andalan dengan kategori sebagai daerah yang cepat maju dan

cepat tumbuh adalah Kabupaten Tanah Bumbu, Tabalong, Balangan, dan

Kotabaru. Daerah yang berkembang cepat adalah Kota Banjarmasin dan

Banjarbaru, serta Kabupaten Tanah Laut, Tapin, Hulu Sungai Tengah. Untuk

Kabupaten Banjar, Hulu Sungai Selatan, Hulu Sungai Utara, dan Balangan

menurut hasil penelitian ini tidak tepat sebagai kawasan andalan karena

dikategorikan sebagai daerah relatif tertinggal.

Studi sebelumnya juga terkait tiga kawasan andalan di Kalimantan Selatan

dilakukan oleh Aswandi dan Kuncoro (2002) berdasarkan PP Nomor 47 Tahun

1997 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Nasional dengan kondisi Kabupaten

Balangan masih bergabung dengan Kabupaten Hulu Sungai Utara dan Kabupaten

Tanah Bumbu masih bergabung dengan Kabupaten Kotabaru. Berdasarkan

Page 29: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

29

analisis LQ, hasil penelitian menunjukkan bahwa seluruh kabupaten/kota baik

yang berada dalam kawasan andalan maupun pada kawasan bukan andalan,

memiliki nilai LQ yang lebih besar dari satu pada beberapa subsektor lapangan

usaha. Artinya, semua kabupaten/kota di Kalimantan Selatan memiliki subsektor

unggulan dan penetapan kawasan andalan berdasarkan persyaratan sektor

unggulan dapat dipandang tepat. Sedangkan dengan analisis tipologi Klassen

menunjukkan Kabupaten Kotabaru merupakan satu-satunya daerah kawasan

andalan yang termasuk dalam kategori daerah cepat maju dan cepat tumbuh,

sedangkan dua daerah lainnya yaitu Kota Banjarmasin dan Kabupaten Hulu

Sungai Selatan masing-masing berada pada kategori daerah maju tapi tertekan dan

daerah relatif tertinggal. Keadaan tersebut menunjukkan kurang tepatnya

penetapan kawasan andalan Kalimantan Selatan, dilihat dari sisi pertumbuhan

ekonomi sebagai salah satu persyaratan penetapannya, terutama penetapan Kota

Banjarmasin sebagai daerah maju tapi dengan tingkat pertumbuhan rendah, dan

Kabupaten Hulu Sungai Selatan yang berada pada klasifikasi daerah relatif

tertinggal.

Page 30: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

30

BAB III

METODE PENELITIAN

3.1 Desain Penelitian

Penelitian sekarang difokuskan pada penelitian deskriptif, yaitu penelitian

yang dilakukan untuk mendapatkan gambaran secermat mungkin (jelas dan

terperinci) mengenai aspek-aspek yang terkait suatu fenomena tertentu (Solimun

dkk, 2017). Secara umum penelitian deskriptif sudah mengandung penelitian

eksploratif. Penelitian sekarang berusaha menjelaskan secara sistematis tentang

fakta yang diperoleh saat penelitian dilakukan, terkait realisasi APBD organisasi

pemerintah daerah dan aktivitas ekonomi berbasis (berdasarkan) PDRB di

Kalimantan Selatan yang terdiri dari satu pemerintah provinsi, 11 pemerintah

kabupaten, dan dua pemerintah kota.

3.2 Jenis dan Sumber Data

Jenis data penelitian berdasarkan cara pengukuran pada penelitian sekarang

adalah data kuantitatif (metrik) dan berdasarkan tingkat (skala) pengukuran adalah

skala rasio (Asra dan Rudiansyah, 2017). Pengumpulan data penelitian dengan

mengakses sumber-sumber sekunder, seperti publikasi-publikasi resmi statistik

yang disajikan oleh institusi BPS baik pada tingkat nasional, Provinsi Kalimantan

Selatan, dan kabupaten/kota di Kalimantan Selatan. Data pendukung penelitian

dari sumber-sumber sekunder lainnya yang dipublikasikan institusi/lembaga

pemerintah juga menjadi rujukan untuk mencapai tujuan penelitian sekarang.

Page 31: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

31

3.3 Teknik Analisis Data

Data penelitian sekarang akan dianalisis dengan statistik deskriptif. Statistik

deskriptif adalah bagian dari statistik yang digunakan untuk memberikan

gambaran tentang suatu fenomena yang sedang diamati dalam bentuk penyajian

seperti tabel, grafik, atau angka ringkasan (Asra dan Rudiansyah, 2017). Alat

analisis adalah perbandingan antarkategori/antarkelompok angka realisasi PDRB

baik secara vertikal (kontribusi) dan maupun horisontal (pertumbuhan atau

perubahan), serta analisis Location Quotient (LQ), Shift Share (SS), dan Tipologi

Klassen (Klassen Typology) berdasarkan data angka PDRB.

Perhitungan untuk analisis LQ, SS, dan Tipologi Klassen dengan

menggunakan formulasi seperti yang digunakan oleh penelitian atau kajian

sebelumnya dengan bantuan MS-Excel, seperti yang digunakan oleh Marlina

(2014) dan Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul (2018). Ketentuan

untuk analisis LQ adalah jika nilai LQ lebih besar dari satu (LQ > 1) maka

aktivitas (sektor) ekonomi tersebut tergolong kategori basis di suatu

wilayah/daerah. Jika nilai LQ lebih kecil dari 1 (LQ < 1) maka aktivitas (sektor)

ekonomi tersebut tergolong kategori non basis di suatu wilayah. Jika nilai LQ

sama dengan satu ( LQ = 1), menunjukkan aktivitas (sektor) ekonomi tersebut

swasembada (seimbang) di suatu wilayah.

Untuk analisis SS pertumbuhan sektor perekonomian di suatu wilayah

dipengaruhi oleh tiga komponen, yaitu: (1) pertumbuhan regional (PR); (2)

pertumbuhan proporsional (PP); dan (3) pertumbuhan pangsa wilayah (PPW).

Analisis SS dilakukan dengan cara memperhatikan nilai PP dan nilai PPW. Jika

Page 32: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

33

dimana sektor yang berada pada kuadran ini memiliki nilai pertumbuhan yang

lebih rendah dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi acuan tetapi

memiliki kontribusi terhadap yang lebih besar dibandingkan kontribusi nilai

sektor tersebut terhadap daerah yang menjadi acuan. Sektor dalam kategori ini

juga dapat dikatakan sebagai sektor yang telah jenuh; (3) sektor potensial atau

masih dapat berkembang dengan pesat (disebut dengan kuadran III), dimana

sektor ini memiliki nilai pertumbuhan yang lebih tinggi dari pertumbuhan daerah

yang menjadi acuan, tetapi kontribusi sektor tersebut lebih kecil dibandingkan

nilai kontribusi sektor tersebut terhadap daerah yang menjadi acuan. Sektor dalam

kuadran III dapat diartikan sebagai sektor yang sedang booming, meskipun pangsa

pasar daerahnya relatif lebih kecil dibandingkan rata-rata daerah acuan; dan (4)

sektor relatif tertinggal (disebut kuadran IV), dimana sektor yang memiliki nilai

pertumbuhan yang lebih rendah dibandingkan pertumbuhan daerah yang menjadi

acuan dan sekaligus memiliki kontribusi sektor tersebut lebih kecil dibandingkan

nilai kontribusi sektor tersebut terhadap daerah yang menjadi acuan.

Page 33: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

34

DAFTAR PUSTAKA

Arsyad, Lincolin. 2004. Ekonomi Pembangunan. Edisi Keempat. Yogyakarta:

STIE YKPN.

Asra, Abuzar dan Rudiansyah. 2017. Statistik Terapan untuk Pembuat Kebijakan

dan Pengambil Keputusan. Edisi Kedua. Jakarta: In Media.

Aswandi, Hairul dan M Kuncoro. 2002. Evaluasi Penetapan Kawasan Andalan:

Studi Empiris di Kalimantan Selatan 1993-1999. Jurnal Ekonomi dan Bisnis

Indonesia. Volume 17 (1). Hal 27-45.

Asyahri, Yusuf dan Syafril. 2018. Pengembangan Kawasan Andalan Provinsi

Kalimantan Selatan. Matra Pembaruan - Jurnal Inovasi Kebijakan. Volume

2(1). Hal 27-38.

Bappenas. 2015. Seri Analisis Pembangunan Wilayah Provinsi Kalimantan

Selatan. Jakarta.

BPS Provinsi Kalimantan Selatan. 2019. Produk Domestik Regional Bruto

Provinsi Kalimantan Selatan Menurut Lapangan Usaha 2014-2018.

Banjarbaru: CV Samudra Wisesa.

BPS Provinsi Kalimantan Selatan. 2020. Berita Resmi Statistik: Pertumbuhan

Ekonomi Kalimantan Selatan Triwulan IV-2019. Banjarbaru.

Dinas Kominfo dan BPS Kabupaten Gunungkidul. 2018. Analisis Makro

Ekonomi Kabupaten Gunungkidul. Wonosari: CV Centra Grafindo.

DJPK Kemenkeu. -. Modul Kerjasama Peningkatan Kapasitas Pengelolaan

Keuangan Daerah: Akuntansi Keuangan Pemerintah Daerah. Jakarta.

DJPK Kemenkeu. 2014. Laporan Analisis Realisasi APBD Tahun Anggaran

2013. Jakarta.

DJPK Kemenkeu. 2017. Ringkasan Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah.

Jakarta.

DJPK Kemenkeu. 2018. Ringkasan APBD 2018. Jakarta.

Halim, Abdul dan MS Kusufi. 2012. Akuntansi Sektor Publik: Akuntansi

Keuangan Daerah. Edisi Keempat. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.

Hendayana, Rachmat. 2003. Aplikasi Metode Location Quotient (LQ) dalam

Penentuan Komoditas Unggulan Nasional. Informatika Pertanian. Volume

12.

Page 34: PROPOSAL PENELITIAN ANALISIS POLA REALISASI APBD DAN

35

Kuncoro, Mudrajad. 2001. Metode Kuantitatif Teori dan Aplikasi untuk Bisnis

dan Ekonomi. Edisi Pertama. Yogyakarta: Penerbit UPP AMP YPKN.

Marlina, Yeni. 2014. Analisis Sektor Unggulan dalam Perekonomian Kota Bogor

(Periode 2006-2012). Skripsi. Departemen Ilmu Ekonomi Fakultas Ekonomi

dan Manajemen IPB.

Nurhasanah, Aan, B Juanda, dan EIK Putri. 2018. Analisis Kelayakan dan Strategi

Pengembangan Wilayah dalam Wacana Pembentukan Daerah Otonom Baru

Bogor Timur. Tata Loka. Volume 20(3). Hal 282-294.

Rahayu, Endang Siti. 2010. Aplikasi Tipologi Klassen pada Strategi

Pengembangan Sub Sektor Pertanian Tanaman Pangan di Kabupaten

Boyolali. Journal of Rural and Development. Volume 1(2). Hal 105-121.

Rheza, Boedi, MI Damanik, TE Agustine, dan MN Sianturi. 2015. Laporan

Penelitian Optimalisasi Fiskal bagi Pertumbuhan Ekonomi Daerah: Peran

Belanja Operasional dan Belanja Modal dalam APBD. Jakarta: KPPOD.

Seknas Fitra dan The Ford Foundation. 2016. Laporan Analisis Anggaran Daerah

2016 Hasil Penelitian di 70 Kabupaten/Kota. Jakarta.

Soepono, Prasetyo. 1993. Analisis Shift-Share: Perkembangan dan Penerapan.

Jurnal Ekonomi dan Bisnis Indonesia. Volume 8.

Solimun, AAR Fernandes, dan Nurjannah. 2017. Metode Statistika Multivariat:

Pemodelan Persamaan Struktural (SEM) Pendekatan WarpPLS. Malang:

UB Press.

Suhartono. 2015. Ketimpangan dan Pembangunan Ekonomi Kabupaten/Kota di

Daerah Hasil Pemekaran: Studi Kasus di Provinsi Banten dan Gorontalo.

Jurnal Ekonomi & Kebijakan Publik. Volume 6(1). Hal 33-43.

Tikha, Dhea dan Sujarwoto. 2015. Desentralisasi dan Kesehatan Keuangan

Daerah di Indonesia. Jurnal Ilmiah Administrasi Publik. Volume 1(1). Hal

39-42.

Todaro, Michael P. 2000. Pembangunan Ekonomi di Dunia Ketiga. Jakarta:

Erlangga.

Wiranto, Tatag. 2004. Pembangunan Wilayah Pesisir Dan Laut dalam Kerangka

Pembangunan Perekonomian Daerah. Makalah disampaikan pada

Sosialisasi Nasional Program MFCDP, 22 September. Jakarta: Bappenas.