proposal aseclofenak
DESCRIPTION
aceklofenak dan eldraugitTRANSCRIPT
I. PENDAHULUAN
I.1 Latar Belakang
Pengembangan inovasi bentuk sedian farmasi yang dapat menunda
pelepasan obat merupakan hal yang mempunyai peluang besar, misalnya
bentuk sedian farmasi dengan teknologi penyalutan. Contoh yang penting
misalnya bentuk sedian mikrokapsul ( Chella, 2010 )
Mikroenkapsulasi merupakan salah satu bidang yang paling
menarik di bidang teknologi farmasi sejak awal bertahun-tahun yang lalu.
Mikroenkapsulasi ini adalah bidang interdisipliner yang membutuhkan
pengetahuan tentang pemakain polimer dan teknologi emulsi ( Simon. B,
2006 ).
Mikrokapsul merupakan teknologi yang berkembang pesat karena
menawarkan keuntungan berbagai bidang diantaranya bidang farmasi,
teknologi pangan, dan industri kertas. Mikroenkapsulasi adalah teknologi
penyalutan yang tipis pada pertikel – partikel kecil zat padat, cair, maupun
dispersi dengan ukuran sampai 5000 µm ( Martin, Swarbrick, dan
Cammarata, 1993 )
Mikrokapsul sebagai hasil dari proses mikroenkapsulasi
mempunyai ukuran antara 1-5.000 μm, memiliki kelarutan dan stabilitas
yang lebih baik. Keunikan dari mikrokapsul adalah kecilnya partikel yang
1
tersalut dan dapat digunakan lebih lanjut terhadap berbagai bentuk sediaan
farmasi (Lachman, 1986 ; Miah et al, 2013 )
Dalam penelitian ini digunakan aceklofenak yang mempunyai
absorbsi yang cepat dan efektif diserap setelah pemberian oral, namun
memiliki waktu paruh yang pendek. Efek samping terapi dari aseklofenak,
seperti NSID lainnya yaitu gangguan pada gastrointestinal seperti
pendarahan (Kumar, et al, 2011; British, 2009).
Aseklofenak merupakan obat golongan analgesik antiinflamasi
non stroid (AINS). Aseklofenak digunakan untuk terapi osteoarthritis,
arthritisrhematoid, dan ankylosing spondylitis, praktis tidak larut dalam
air, tetapi di absorbsi cepat disaluran cerna, maka dari itu penambahan
matriks hidrofilik dilakukan untuk memperlambat pelepasan zat aktifnya
dengan menggunakan Polimer yang digunakan pada pembuatan
mikroenkapsul ini adalah Eudragit L 100. Polimer ini banyak digunakan
sebagai penyalut pada pembuatan tablet salut enterik (Martindale, 2009 ,
Sandile, 2010).
Eudralgit L 100 merupakan kopolimer asam metakrilat, yang
digunakan sebagai bahan penyalut sensitif pH untuk menahan pelepasan
obat dilambung dan diperioritaskan pelepasan diusus ( Reddy,
Gnanaprakash, Badarinth, dan Chetty, 2009 ). Faktor penting yang
mempengaruhi kinerja polimer adalah nilai pH terjadinya disolusi. Tidak
ada pelepasan polimer pada pH rendah dilambung namun pelepasan terjadi
2
pada deudenum sehingga Eudralgit L 100 dipilih sebagai polimer
penyalut ( Purwinda, 2011 ).
Untuk mengatasi hal tersebut antara lain dengan memberikan
sediaan obat dalam bentuk sustained release, sediaan ini akan melepaskan
obat secara tunggal (Lachman, et al., 1986). Untuk itu dalam ranggka
mempertahankan konsetrasi terapi aseklofenak, sifat fisikokimia obat, dan
memperpanjang waktu paruh yang relatif pendek dan masalah yang
berhubungan dengan gastrointestinal, maka aseklofenak dibuat dalam
sedian mikroenkapsul pelepasan terkontrol, untuk menghindari pemakaian
obat berulang dan untuk menghindari efek samping yang tidak diinginkan
(fluktuasi kadar obat dalam plasma) maka aseklofenak didesain dalam
bentuk sediaan pelepasan dimodifikasi. Pengurangan frekuensi pemberian
akan memudahkan pasien dan mengurangi resiko kesalahan dan kelupaan
(Ansel,1989)
Proses untuk mendapatkan sediaan ini, salah satunya adalah
dengan mikroenkapsulasi, dimana bahan-bahan padat, cairan bahkan gas
pun disalut, dilapisi atau dijadikan kapsul dengan ukuran partikel
mikroskopik, dengan membentuk salutan tipis sekitar bahan yang akan
dijadikan kapsul (Ansel, 1989).
Pada penelitian ini aseklofenak dimikroenkapsulasi agar dapat
menahan pelepasan obat dilambung dan dilepas diusus sehingga
mengurangi efek samping yang merugikan seperti iritasi lambung,
3
khususnya pada penderita dengan riwayat penyakit persendian yang
mendapat kan terapai aseklofenak. Sistem pelepasan yang dikontrol oleh
polimer tersebut diharapkan dapat mengatur pelepasan aseklofenak pada
organ yang tepat yaitu diusus.
4
I.2 Rumusan Masalah
Adapun perumusan masalah dari penelitian ini adalah :
1. Apakah Eudragit L 100 dapat digunakan sebagai penyalut pada
mikrokapsul aseklofenak
2. Apakah metode yang digunakan dapat memperoleh mikrokapsul dalam
bentuk sediaan lepas lambat
I.3 Tujuan Penelitian
Berdasarkan latar belakang dan perumusan masalah di atas, maka
tujuan dari penelitian ini adalah :
1. Untuk mengetahui apakah Eudragit L 100 dapat digunakan sebagai
penyalut pada pembuatan sediaan lepas lambat mikrokapsul.
2. Untuk mengkarakterisasi sifat-sifat fisika dan fisikokimia mikrokapsul
aseklofenak dengan menggunakan polimer Eudragit L 100.
3. Untuk mengevaluasi profil disolusi dari natrium diklofenak setelah
dibuat menjadi mikrokapsul dengan metode emulsifikasi penguapan
pelarut dengan sebagai penyalut Eudragit L 100.
I.4 Hipotesa Penelitian
Eudragit L 100 dapat digunakan sebagi matriks dalam sedian
mikrokapsul lepas lambat dengan bahan ini aseklofenak.
5
I.5 Manfaat Penelitian
Pada penelitian ini dapat bermanfaat dalam pengembangan bentuk
sediaan pelepasan dimodifikasi aseklofenak dengan teknik
mikroenkapsulasi menggunakan polimer Eudragit L 100.
6
II. TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Monografi Zat2.1.1 Aseklofenak
Gambar 1 : Rumus Bangun Aseklofenak ( Martindale, 2009 )
Nama kimia : Aceklofenakas; Aseklofenaakki; Aseklofenak. [o- (2,6
Dichloroanilino) fenil] asetat ester asam glikolat; 2-
(2,6-Dichloroanalino) Asam phenylacetoxyacetic
Rumus Molekul : C12H13Cl2NO4 (British, 2002 )
Bobot Molekul : 354.2 ( British, 2002 )
Pemerian : Serbuk kristal, putih atau putih gading.
Kelarutan : Praktis tidak larut dalam air, larut didalam alkohol, dan
sangat mudah larut didalam aseton. (Martindale, 2009)
Penyimpanan : Disimpan dalam wadah kedap udara, terlindung dari
7
cahaya matahari ( British, 2002 )
Identifikasi : A. Larut 50 mg dalam metanol dan encerkan
sampai 100 ml dengan pelarut yang sama.
Diperiksa solusinya menunjukkan maksimum
serapan antara 220 nm sampai 370 nm.
.B. Spektrofotometri serapan
inframerah, perbandingan Ph. Eur,
spektrum referensi Acelofenak
( European, 2002 )
C. Larut sekitar 10 mg dalam 10 ml etanol 96 %.
Untuk 1 ml larutan, ditambahkan 0,2 campuran
kalium ferricynide 6 gram dan larutan besi
klorida, diamkan selama 5 menit dan
terlindung dari cahaya. Kemudian tambahkan
1 ml larutan asam klorida, biarkan 15 menit
sampai terlihat warna biru dan terbentuk
endapan ( British, 2002 )
2.1.2 Farmakodinamik
Aseklofenak merupakan turunanan asam phenylacetic,
Aseklofenak merupakan kelompok NSID yang digunakan untuk terapi
arthritis rematoid, osthereoatritis, dan ankylosing spondylitis.
8
Aseklofenak bekerja menghambat enzim syclooksigenase atau
inhibitor syclooksigenase ( COX – 1 ) ( Martindale, 2009 ).
2.1.3 Farmakokinetik
Aceclofenac baik diserap dari saluran pencernaan,
mempunyai kontentrasi puncak plasma yang mencapai 1- 3 jam
setalah pemberian oral. Aseclofenak lebih dri 99% terikat protein
plasma, mempunyai waktu paruh eliminasi sekitar 4 jam.
Diekresikan melalui urin yang berupa hydroxymetabolite
( Martindale, 2009 ).
2.14 Indikasi, Efek samping, Kontraindikasi, dan Interaksi Obat
Aseklofenak digunakankan untuk terapi pengobatan pada
osteoarthritis, rheumatoid arthritis, dan ankylosing spondylitis.
Aseklofenak mempunyai efek samping seperti NSID pada umumnya pada
saluran pencernaan, seperti gastrointestinal, mual, muntah, diare, dan dapat
terjadi pendarahan berat pada gastrointerstinal pada pasien ulkus peptikum
hal ini terjadi karena penghambatan cyclo – oxygenase 1 ( COX – 1 ) yang
mempunyai peran penting dalam pencernaan, efek samping yang jarang
terjadi seperti : sakit kepala, bronkospasme, maningitis, dll ( Martindale,
2009 ).
Aseklofenak mempunyai kontra indikasi pada pasien gangguan
ginjal, dan pada pasien penderita ulkus peptikum. Interaksi aseklofenak
dengan penggunaan aspirin secara bersamaan akan meningkatkan efek
samping, meningkatkan efek antikoagulan oral, meningkatkan nefrotoksik
9
jika diberikan bersamaan dengan obat – obat ACE Inhibitor seperti :
spalosporin, tacrolimus, atau diuretik lainnya ( Martindale, 2009 )
2.1.5. ELDRAUGIT
Sumber : [ Rowe, Sheskey, dan Owen, 2006 ]
Gambar 2.Struktur Kimiaa Eudralgit L 100 – 55
Eudralgit L 100 adalah polimer turunan metaklirat yang
mengandung kopolimer anionik poli ( asam metakrilat, etil akrilat ) 1:1.
Berbentuk serbuk berwarna putih dengan kandungan polimer 95%.
Eudralgit L 100 larut dalam metanol, etanol, isopropil, alkohol dan
aseton, serta praktis tidak larut dalam etil asetat, metilen klorida,
petroleum eter dan air ( Skalsky, Felisiak, dan petereit, 2009).
Polimer penyalutan yang tergantung pH yang umum digunakan
adalah kopolimer asam metakrilat, salah satunga dikenal Eudralgit,
komposisi yang tepat digunakan pada derivat metakrilat digunakan untuk
menargetkan obat pada lapisan pH tertentu. Eldraugit L 100 pada pH 6,0
di jejunum, dirancang untk pelepasan obat pada usus besar. Nilai - nilai ini
mengasumsikan bahwa pasien memiliki pH yang khas atau daerah dari
saluran gastrointestinal yang mungkin diperlukan modifikasi untuk pasien
tertentu (Peppas, wood, dan Blanchette, 2004).
10
Kopolimer asam metakrilat, juga diketahui digunakan sebagai
bahan penyalut yang sensitif pH untuk menjaga obat dan diperioritaskan
pelepasannya diusus (Rahmadevi, 2011).
2.2 Mikrokapsul
Mikroenkapsulasi adalah suatu proses penyalutan secara langsung
terhadap zat aktif dalam bentuk partikel halus dari zat padat, tetesan
cairan, dan bentuk terdispersi. Dalam bidang farmasi mikroenkapsulasi
bertujuan untuk mengubah bentuk zat aktif, perlindungan, penutupan rasa,
dan pelepasan zat aktif secara terkendali. Mikrokapsul sebagai hasil dari
mikroenkapsulasi mempunyai ukuran antara 1- 5000 µm (Lachman, et al.,
1994).
Tabel 2.1 Proses Mikroenkapsulasi dan ukuran Partikel yang Dihasilkan
Proses mikroenkapsulasi
Bahan inti yang diterapkan
Ukuran partikel (µm)
Suspensi udara Padat 35 – 5000
Pemisahan fase koaservasi
Padat dan cair 2 – 5000
Lubang ganda sentry fungal
Padat dan cair 1−¿5000
Penyalutan dalam panic
Padat 600 –5000
Penguapan pelarut Padat dan cair 5 – 5000
Pengeringan dan pembekuan semprot
Padat dan cair 600
[ Sumber : Lacman, Herbert, dan Kanig, 1994 ]
Mikroenkapsulasi dapat digunakan untuk mengubah cairan,
menjadi zat padat, mengubah sifat koloidal dan sifat – sifat permukaan,
memberikan perlindungan terhadap lingkungan, serta mengontrol
11
pelepasan obat. Keunikan dari mikroenkapsulasi adalah kecilnya partikel
yang tersalut dan adaptasi terhadap bentuk takaran penggunaan produk,
yang tadinya belum dapat dikerjakan. Partikel mikrokapsul yang kecil,
mengakibatkan bagian – bagian obat dapat didistribusikan secara merata
melalui saluran cerna, sehingga menaikan potensi penyerapan obat
( Lachman, Herbert, dan Kanig, 1994 )
2.2.1 Morfologi Mikrokapsul ( Ghosh, 2006 )
Morfologi mikroenkapsul yang dihasilkan tertama tergantung pada
bahan inti dan proses pembentukan dinding mikrokapsul. Berdasarkan
morfologinya mikrokapsul dapat diklasifikasikan menjadi tiga tipe, yaitu
mononuklear, polinuklear, dan matriks.
Tipe mononuklear terdiri dari satu inti yang dikelilingi bahan
penyalut ( dinding mikrokapsul ), sedangkan tipe polinuklear terdiri dari
banyak inti dalam satu mikrokapsul. Pada tipe matriks, bahan inti
terdistribusi secara homogen pada bahan penyalut.
[ Sumber : Ghosh, 2006 ]
12
Gambar 2.1 Morfologi mikrokapsul
2.2.2 Tujuan Mikroenkapsulasi ( Deasy, 1984; Benita, 1991; Lachman,
et al., 1994).
Ada beberapa alasan suatu zat dimikroenkapsulasi, antara lain sebagai
berikut:
1. Mendapatkan sediaan lepas lambat atau obat dengan kerja diperpanjang.
2. Pengamanan terhadap zat yang beracun atau zat yang mempunyai bau dan
rasa tidak enak.
3. Perlindungan selama penyimpanan terhadap kemungkinan terjadinya
oksidasi oleh cahaya, penguaan dan kelembapan. Mencegah terjadinya
terjadinya reaksi antara zat-zat yang saling tidak tercampurkan, misalnya
pada pembuatan tablet atau serbuk campur.
4. Mengurangi efek iritasi lambung dan intestinal (sediaan lepas tunda)
5. Penutupan rasa pada tablet kunyah.
2.2.3 Bahan Dasar dalam Proses Mikroenkapsulasi (Deasy, 1984;
Lachman, et al., 1994)
Dalam proses mikroenkapsulasi pada dasarnya ada 2 bahan yang
terlibat di dalamnya :
1. Bahan inti
Inti merupakan bagian yang disalut, dapat berbentuk padatan atau
cairan. Komposisi bahan inti dapat bervariasi, seperti inti cairan dapat
meliputi bahan terdispersi atau bahan terlarut. Ukuran bahan-bahan ini
berbeda-beda tergantung dari teknik mikroenkapsulasi yang digunakan.
13
2. Bahan penyalut
Pemilihan bahan penyalut yang tepat sangat menentukan sifat
fisika kimia dari mikrokapsul, sehingga pemilihan ini harus mendapat
pertimbangan semestinya.
Bahan penyalut yang digunakan harus mampu memberikan suatu
lapisan tipis yang kohesif dengan bahan inti, dapat bercampur secara kimia
dan tidak bereaksi dengan bahan inti dan dapat memberikan sifat penyalut
yang diinginkan seperti kekuatan, fleksibilitas, impermeabilitas dan
stabilitas.
2.3 Metode Pembuatan Mikroenkapsulasi
Secara umum metoda pembuatan mikrokapsul dapat dibagi
menjadi dua bagian besar, yaitu tipe A (proses kimia) dan tipe B ( proses
mekanik). Tipe A terdiri dari metoda penguapan pelarut, koaservasi, dan
polimerasi, sedangkan tipe B terdiri dari metoda suspensi udara,
pengeringan semprotdan pembekuan semprot,penyalutan dalam panci,
lubang ganda sentrifugal dan “fuidized bed” (Benita, 1991; Lachman, et
al., 1994).
1. Proses Kimia
a. Penguapan pelarut
Teknik ini didasari oleh penguapan fasa dalam dari suatu emulsi
melalui proses pengadukan dan telah digunakan oleh perusahaan-
perusahaan untuk mikrokapsul. Hal ini dilakukan dengan suatu alat
pembuat cairan dimana penyalut dilarutkan dengan suatu pelarut yang
14
mudah menguap, yang tidak bercampur dengan fasa cairan pembawa,
diikuti dengan penambahaan bahan berkhasiat. Dengan pengadukan,
campuran bahan penyalut dan inti terdispersi dalam fase cairan pembawa
untuk mendapatkan ukuran mikrokapsul yang sesuai. Pada tahap akhir
dilakukan penguapan pelarut dari penyalut (Benita, 1991; Lachman, et al.,
1994).
b. Koaservasi
Koaservasi ini merupakan pemisahan fase dalam sistem koloid
yaitu pemisahan lapian fase yang kaya koloid dan yang miskin koloid.
Koaservasi berarti agregasi dan awalan “ko” untuk menjelaskan adanya
kesatuan partikel koloid. Secara umum proses ini dilakukan dalam tiga
pengerjaan dibawah kondisi pengadukan secara berkesinambungan, yaitu
pembentukan fase yang saling tidak bercampur, penempelan materi
penyalut inti dan pengerasan dari penyalut (Deasy, 1984; Lachman, et al.,
1994; Ansel, 1989).
c. Polimerasi
Pada metoda ini terjadi reaksi unit monomer yang diletakan pada
interfase diantara zat aktif. Fase pembantu ini biasanya berbentuk cairan
dan gas. Karena itu reaksi polimerasi terjadi pada fase cair-cair, gas-cair,
padat-cair dan padat-padat.
2. Proses mekanik
a. Suspensi Udara
15
Pada prinsipnya metoda ini adalah disperse fase padat dari inti
dalam udara yang mengalir melalui fase pendukung kemudian
disemprotkan dengan penyalut (Deasy, 1984; Lachman, et al., 1994).
Partikel ini berupa zat padat yang akan disalut diresirkulasikan melalui
penyalut yang berupa polimer yang disemprotkan. Proses ini terjadi
berulang-ulang sampai ketebalan yang diinginkan. Aliran udara selain
untuk sirkulasi juga berfungsi mengeringkan hasil yang didapat (Deasy,
1984; Lachman, et al., 1994).
b. Pengeringan semprot
Pada metoda ini didispersikan dalam larutan penyalut, kemudian
campuran diatomisasikan ke dalam ruangan yang berisi aliran udara panas
secara berkesinambungan untuk menghilangkan larutan penyalut dan
menghasilkan mikrokapsul (Deasy, 1984; Lachman, et al., 1994)
[ Sumber : Rattes dan Oliviera, 2007 ]
Gambar 2.3 Skema alat spray dry
16
c. Pengeringan Beku
Metoda ini hampir sama dengan metoda pengeringan semprot,
bedanya hanya pada pengerasan mikrokapsul yaitu melalui pembekuan
materi penyalut yang meleleh dengan mencampurkan terlebih dahulu
campuran penyalut inti dengan penyalut yang bukan melarutkan
campuran. Kemudian pelarut dihilangkan dengan teknik evaporasi (Deasy,
1984; Lachman, et al., 1994).
d. Penyalut dalam panci
Biasanya dilakukan untuk mikrokapsul dengan ukuran partikel
besar dari 600 µm. Zat padat disemprotkan dengan penyalut pada panci
penyalut. Untuk mengeringkan penyalut digunakan aliran udara panas
pada zat yang telah disalut atau dikeringkan dalam oven (Deasy, 1984).
e. Lubang ganda sentrifugal
Southwest Research Institute (SWRI) telah mengembangkan suatu
prosess mekanik untuk memproduksi mikrokapsul yang menggunakan
gaya sentrifugal untuk melingkari suatu bahan inti melalui envelope
membrane mikrokapsulasi, sehingga menpengaruhi mekanika
mikrokapsulasi. Proses ini membuat mikroenkapsulasi cairan dan padatan
dari berbagai kiaran ukuran, dengan berbagai bahan penyalut (Lachman, et
al., 1994).
Ukuran mikrokapsul bervariasi antara 1-5000 µm. Perbedaan
proses mikrokapsul, jenis bahan penyalut yang digunakan menyebabkan
17
adanya variasi ukuran partikel mikrokapsul yang dihasilkan (Lachman, et
al., 1994)..
2.3 Mekanisme Pelepasan Obat dari Mikrokapsul
Pelepasan obat dari bentuk mikrokapsul dapat melalui berbagai
cara, yaitu melalui proses difusi melewati lapisan polimer, erosi dari
lapisan polimer, atau melalui kombinasi dari erosi dan difusi. Proses
pe;epasan obat yang umum terjadi pada mikrokapsul adalah proses difusi.
Cairan dari saluran pencernaan berdifusi melalui membaran ke sel,
kemudian obat berdifusi melalui membaran dari daerah berkosentrasi
tinggi di dalam mikrokapsul kedaerah berkonsentrasi rendah pada cairan
saluran pencernaan ( Krowezynski, 1987 ).
[ Sumber : Krowenzynski, 1987 ]
Gambar 2.4 Skema pelepasan obat pada mikrokapsulasi
Pelepasan obat dari mikrokapsul dapat dilihat dari kinetika
pelepasan bahan aktifnya mengikuti kinetika orde nol, maka antara persen
18
zat terdisolusi terhadap waktu akan didapatkan suat garis lurus.
Persamaan untuk kinetika orde nol yaitu (Shargel, 1988;Lachman, et al.,
1994) :
Q = Qo – kot
Dimana : Qo = Jumlah awal obat dalam mikrokapsul
Q = Jumlah obat yang dilepaskan pada waktu t
ko = Kontanta laju orde not
t = Waktu
Apabila pelepasan zat aktif mengikuti kinetika orde satu, maka
antara persen log zat tertinggal terhadap waktu akan member garis lurus.
Persamaan untuk model kinetika orde satu adalah :(Shargel,
1988;Lachman, et al., 1994).
Ln Q = Ln Qo – Kt
Atau
Log Q = log ko −Kt2,303
Dimana K = konstanta laju orde satu
2.4 Disolusi
2.4.1 Defenisi dan tujuan umum disolusi
Disolusi adalah suatu proses dimana bahan padat melarut ke dalam
medium pelarutnya. Gambaran umum tentang disolusi pada sediaan padat
telah dikembangkan oleh Noyes dan Whitney. Mereka menyatakan
kecepatan disolusi ditentukan oleh laju disolusi suatu lapisan yang sangat
19
tipis dari larutan jenuh yang terbentuk pada sekeliling zat padat. Dimana
laju disolusi adalah kecepatan perubahan dari bentuk padat menjadi larutan
dalam medianya dalam waktu trtentu. Dalam menentukan kecepatan
disolusi dari bentuk sediaan obat, terdapat beberapa hal yang harus
diperhatikan sesuai dengan persamaan Noyes dan Whitney (Swabrick,
1990 ; Abdou,1985).
Disolusi dapat memperkirakan ketersediaan hayati dari suatu obat.
Uji disolusi adalah penentuan jumlah obat terlarut dalam selang waktu
tertentu. Sedangkan desintegrasi merupakan proses pecahnya suatu sediaan
menjadi partikel – partikel sehingga obat terbebaskan dari bentuk
sediaannya. Langkah - langkah desintegrasi sampai disolusi sangat
menentukan kecepatan obat diabsorbsi masuk ke sirkulasi sistemik. Laju
disolusi senyawa padat ditentukan oleh laju disolusi suatu lapisan yang
sangat tipis dari larutan jenuh yang terbentuk di sekeliling zat padat
(Martin, 1990).
2.4.1 Faktor-faktor yang Mempengaruhi Laju Disolusi (Abdou, 1989)
Adapun faktor – faktor yang dpat mempengaruhi laju disolusi
adalah sebagi berikut:
1. Lingkungan
a. Pengadukan
Kecepatan pengadukan media dipengaruhi ketebalan lapisan
difusi, makin besar intensitas pengadukan makin tipis lapisan difusi dan
20
makin cepat proses disolusi. Pengadukan bertujuan untuk mempercepat
cairan berkontak dengan permukaan zat aktif dan menyeragamkan suhu.
b. Suhu medium
Kelarutan zat aktif dipengaruhi oleh suhu medium, jika suhu tinggi
maka viskositas akan turun, sehingga koefisien difusi akan menaikkan laju
disolusi.
c. pH Medium
Laju disolusi dari senyawa yang bersifat asam lemah akan naik
dengan naiknya pH. Pemilihan kondisi pH akan berbeda di sepanjang
saluran cerna sehingga akan mempengaruhi kelarutan dan laju disolusi.
d. Metoda uji yang digunakan
Metoda penentuan laju disolusi yang berbeda mempengaruhi laju
disolusi yang berbeda pula.
1. Sifat fisikokimia zat aktif
a. Ukuran zat aktif
Semakin kecil ukuran partikel maka luas permukaan semakin besar
sehingga laju disolusi semakin meningkat.
b. Kelarutan zat aktif
Menurut persamaan Noyes - Whitney kelarutan zat aktif berbanding
lurus dengan laju disolusinya.
1. Faktor formulasi
a) Bentuk sediaan
21
Pengaruh bentuk sediaan terhadap laju disolusi tergantung pada
kecepatan pelepasan obat terkandung di dalamnya. Secara umum laju
disolusi akan menurun menurut urutan berikut : larutan, suspensi, kapsul,
tablet.
a. Bahan pembantu
Penggunaan bahan pembantu dalam proses formulasi dapat
meningkatkan atau memperlambat laju disolusi tergantung dari bahan
pembantu yang digunakan.
b. Proses pengolahan
Metoda pengolahan dalam pembuatan tablet sangat mempengaruhi
laju disolusi, contohnya pada metoda granulasi kelembaban granul,
tekanan saat mengempa sangat mempengaruhi karakteristik laju disolusi
dari akhir produk.
Bahan tambahan yang digunakan dalam memformulasi suatu sediaan
akan mempengaruhi laju disolusi zat aktif. Secara umum bila bahan
tambahan yang digunakan bersifat hidrofil maka kecepatan disolusi akan
bertambah, sebaliknya bila bahan tambahan bersifat hidrofob maka
kecepatan disolusi akan berkurang (Abdou, 1989).
Persamaan Noyes dan Whitney :dCdt =KS (Cs-C)
dC = laju disolusi
K = konstanta laju disolusi (cm3/detik)
S = luas permukaan padat yang melarut
22
Cs = konsentrasi jenuh obat dalam lapisan larutan (g/ cm3)
C = konsentrasi obat dalam medium disolusi pada waktu t (g/ cm3)
Dimana K diperoleh dari persamaan :
K = Dδ
D = konstanta disolusi ( m2 / detik) δ = ketebalan lapisan difusi (m)
2.4.2 Faktor-faktor yang mempengaruhi kecepatan disolusi dari suatu
sediaan padat (Abdou, 1989; Banakar, 1992)
Laju disolusi sediaan obat padat tergantung pada beberapa faktor yaitu:
a. Lingkungan selama percobaan, seperti pengadukan, suhu, pH dan pH
medium, serta metoda uji yang digunakan.
b. Sifat fisikokimia zat aktif, seperti ukuran partikel dan kelarutan zat
aktif.
Faktor formulasi, seperti bentuk sediaan dan bahan-bahan pembantu yang
digunakan
2.4.3 Metode penentuan disolusi
Metode penentuan disolusi ada beberapa macam, yaitu
(Departemen Kesehatan RI, 1995):
1. Metoda keranjang (rotating basket apparatus)
23
Gambar 4. Metoda basket/ keranjang (Departemen Kesehatan RI,
1995)
Alat ini terdiri dari sebuah wadah tertutup yang terbuat dari kaca
atau bahan transparan lain yang inert, suatu motor dan keranjang
berbentuk slinder. Wadah tercelup sebagian di dalam suatu tangas air yang
sesuai berukuran sedemikian sehingga dapat mempertahankan suhu dalam
wadah pada 370 + 0,50 selama pengujian berlangsung dan menjaga agar
gerakan air dalam tangas air halus dan tetap. Bagian dari alat, termasuk
lingkungan tempat alat diletakkan tidak dapat memberikan gerakan,
goncangan atau getaran signifikan yang melebihi gerakan akibat
perputaran alat pengaduk. Penggunaan alat yang memungkinkan
pengamatan dan pengadukan selama pengujian berlangsung. Lebih
dianjurkan wadah disolusi berbentuk silinder dengan dasar setengah bola,
tinggi 160 mm hingga 175mm, diameter dalam 98 mm hingga 106 mm
24
dan kapasitas nominal 1000 ml. Pada bagian atas wadah ujungnya
melebar, untuk mencegah penguapan dapat digunakan suatu penutup yang
pas. Batang logam berada pada posisi sedemikian sehingga sumbunya
tidak lebih dari 2 mm pada tiap titik dari sumbu vertikal wadah, berputar
dengan halus dan tanpa goyangan yang berarti. Suatu alat pengatur
kecepatan digunakan sehingga memungkinkan untuk memilih kecepatan
putaran yang dikehendaki dan mempertahankan kecepatan seperti yang
tertera dalam maasing-masing monografi dalam batas lebih kurang 4%.
Komponen batang logam dan keranjang yang merupakan bagian
dari keranjang yang merupakan bagian dari pengaduk terbuat dari baja
tahan karat tipe 316 atau yang sejenis. Kecuali dinyatakan lain dalam
masing-masing monografi, gunakan kasa 40 mesh. Dapat juga digunakan
keranjang berlapis emas setebal 0,0001 inci (2,5 µm). Sediaan dimasukkan
kedalam keranjang yang kering pada tiap awal pengujian. Jarak antara
dasar bagian dalam wadah dan keranjang adalah 25 mm + 2 mm selama
pengujian berlangsung.
2. Metoda dayung (paddle apparatus)
25
Gambar 5. Metoda dayung (Departemen Kesehatan RI, 1995)
Metoda ini sebenarnya sama dengan metoda keranjang tadi,
bedanya pada alat ini digunakan dayung yang terdiri dari daun dan batang
sebagai pengaduk. Batang berada pada posisi sedemikian sehingga
sumbunya tidak lebih dari 2 mm pada setiap titik dari sumbu vertikal
wadah dan berputar dengan halus tanpa goyangan yang berarti. Daun
melewati diameter batang sehingga dasar-dasar daun dan batang rata.
Dayung memenuhi spesifikasi pada jarak 25 mm + 2 mm antara daun dan
bagian dalam dasar wadah dipertahankan selama pengujian berlangsung.
Daun dan batang logam yang merupakan satu kesatuan dapat disalut
26
dengan suatu penyalut inert yang sesuai. Sediaan dibiarkan tenggelam
kedasar wadah sebelum dayung mulai berputar. Sepotong kecil bahan
yang tidak bereaksi seperti gulungan kawat berbentuk spiral dapat
digunakan untuk mencegah mengapungnya sediaan.
2.5 Spektrofotometer Ultraviolet dan Visibel (UV-Vis)
Spektrofotometer UV-Vis adalah pengukuran panjang gelombang
dan intensitas sinar ultraviolet dan cahaya tampak yang diabsorbsi oleh
sampel. Sinar ultraviolet dan cahaya tampak memiliki energi yang cukup
untuk mempromosikan elektron pada kulit terluar ke tingkat energi yang
lebih tinggi. Spektrum ini sangat berguna untuk pengukuran secara
kuantitatif, kosentrasi dari analit di dalam larutan bisa ditentukan dengan
mengukur absorban pada panjang gelombang tertentu dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer (Dachriyanus, 2004).
Kebanyakan molekul obat menyerap radiasi dalam daerah ultraviolet
spektrum tersebut, meskipun sebagian diwarnai sehingga menyerap radiasi
dalam daerah visible, misalnya suatu zat berwarna biru menyerap radiasi
pada daerah merah spectrum tersebut. Serapan radiasi UV Vis terjadi
melalui eksitasi elektron–elektron di dalam struktur molekular menjadi
keadaan energi yang lebih tinggi. Transisi dari suatu energi keadaan dasar
ke salah satu dari sejumlah keadaan tereksitasi memberikan lebar pada
spektrum UV (Watson, 2010).
Sinar ultraviolet berada pada panjang gelombang 200-400 nm
sedangkan sinar tampak berada pada panjang gelombang 400-800 nm.
27
Spektrofotometer UV-Vis pada umumnya digunakan untuk (Dachriyanus,
2004) :
1. Menentukan jenis kromofor, ikatan rangkap yang terkonjungasi dari
suatu senyawa organik.
2. Menjelaskan informasi dari struktur berdasarkan panjang gelombang
maksimum suatu senyawa.
3. Mampu menganalisis senyawa organik secara kuantitatif dengan
menggunakan hukum Lambert-Beer.
28
III.METODE PENELITIAN
III.1 Waktu dan Tempat Penelitian
Penelitian telah dilaksanakan selama 5 bulan (Desember 2013 -
April 2014) di Laboratorium Teknologi Farmasi Sekolah Tinggi Ilmu
Farmasi (STIFARM) Padang.
III.2 Alat dan Bahan
Alat yang digunakan adalah : Timbangan digital analitik, Mikroskop
optik, alat uji disintegrasi, homogenizer, difraktometer sinar-X,
Spektrofotometer FT-IR, Spektrofotometer UV-Vis, alat uji disolusi metoda
dayung, Scanning Electron Microscopy atau SEM, Differential Thermal
Analysis atau DTA, alat- alat gelas lainnya yang menunjang pelaksanaan
penelitian.
Bahan yang digunakan: Aseklofenak, Eldralgit L 100 - 55, span 80,
paraffin cair, etanol, aseton, KH2PO4, NaOH 0,2 N, NaCl, air suling
III.3 Prosedur Penelitian
III.3.1 Pemeriksaan Bahan Baku Ciprofloksasin HCl
Pemeriksaan Aseklofenak dilakukan menurut metode yang
tercantum dalam British Pharmacopea, meliputi: pemerian, kelarutan,
identifikasi dan susut pengeringan.
29
III.3.2 Pemeriksaan Bahan Eldraugit L 100 – 55
Pemeriksaan Eldraugit L 100 dilakukan menurut metode yang
tercantum dalam Handbook of Pharmaceutical Excipient, meliputi:
pemerian, kelarutan dan identifikasi (Rahmadevi, 2011).
III.3.3 Formula Mikrokapsul
Formula
Bahan
Jumlah ( gram )
F1 F2 F3
Aseklofenak 1 1 1
Eldraugit L 100 1 2 3
Tabel II. Formulasi Mikrokapsul Aseklofenak
III.3.4 Pembuatan Mikrokapsul
Mikrokapsul aseklofenak dibuat dengan metoda penguapan pelarut
menggunakan polimer eldraugit L 100. Aseklofenak dilarukan kedalam
parafin yang telah berisi span 80, kemudian pada wadah lain Eldraugit L
100 – 55 dilarutkan dengan aceton. Setelah semuanya larut maka
campuran didispersikan kedalam campuran parafin secara perlahan dengan
bantuan homogenizer. Setelah 1 jam diemulsifikasi, aseton diuapkan
berlahan dan akan terbentuk mikrokapsul. Kemudian mikrokapsul dicuci
dengan n-hexan pada suhu kamar (Hardenia, et al., 2011).
30
III.3.5 Evaluasi Mikrokapsul
III.3.5.1 Analisis Pengukuran Partikel
Ukuran partikel mikrokapsul ditentukan dengan metoda mikroskop
optik, sekitar 1000 mikrokapsul dihitung dengan analsis ukuran partikel
dengan kalibrasi mikroskop optic dengan range dari 60 – 80 mikron
(Navee, et al., 2010).
III.3.5.2 Bentuk dan Morfologi Permukaan
Permukaan dan bagian dalam dari mikrokapsul diamati melalui
Scanning Electron Microscop (SEM). Wadah aluminium yang digunakan
untuk SEM pertama kali dilapisi dengan cat logam, kemudian dibilas
dengan etanol dan dilapisi dengan selapis tipis logam atau emas (Hardenia,
et al., 2011).
III.3.5.3 Uji Differential Thermal Analysis (DTA)
Analisis dilakukan menggunakan alat DTA pada suhu dan waktu
tertentu. Analisis diferensial termal berdasarkan pada perubahan
kandungan panas akibat perubahan temperatur dan titrasi termometrik.
Dalam DTA (Differential Thermal Analysis), panas diserap atau
diemisikan oleh sistem kimia bahan yang dilakukan dengan pembanding
yang inert (Alumina, Silikon, Karbit atau manik kaca) dan suhu keduanya
ditambahkan dengan laju yang konstan (Gennaro, 1985).
III.3.5.4 Difraksi sinar X
Sampel berupa serbuk padatan kristalin diuji menggunakan alat
difraktrometer pada skala sudut difraksi 2θ antara 5 sampai 50o dengan
31
sumber CuKα. Sejumlah sampel dimampatkan pada wadah sampel berupa
bak kecil berukuran kurang lebih 5x8 cm, selanjutnya diletakkan dalam
sample chamber. Alat dioperasikan dengan kecepatan pengukuran 4o per
menit. Sinar X tersebut menembak sampel padatan kristalin, kemudian
mendispersikan ke segala arah. Bentuk keluaran difraktometer dapat
berupa data analog atau digital (Chiou, et al, 1971; Soewandhi, et al,
2007).
III.3.5.5 Spektrofotometer FT-IR
Spektrofotometri merupakan alat untuk mendeteksi gugus
fungsional, mengidentifikasi senyawa dan menganalisa campuran dan
hampir menyerupai alat untuk cahaya tampak dan ultraviolet dengan sinar
ganda. Uji dilakukan terhadap sampel mikrokapsul Aseklofenak. Sampel
digerus sampai menjadi serbuk dengan KBr, lalu dipindahkan kecetakan
die dan sampel tersebut kemudian dikempa ke dalam suatu cakram pada
kondisi hampa udara. Spektrum serapan direkam pada bilangan
gelombang 4000-400 cm-1 (Watson, 2009).
III.3.5.6 Penetapan Kadar Aseklofenak
A. Penentuan panjang gelombang serapan maksimal Aseklofenak
Pengukuran serapan larutan Aseklofenak dalam aquadest 50 mL
dalam 100 mL kemudian encerkan 2 mL larutan dari 50 mL dilakukan
pada panjang gelombang 220 sampai 370 nm, kemudian buat kurva
serapan terhadap panjang gelombang
32
B. Pembuatan kurva kalibrasi Aseklofenak dalam aquadest
Dibuat larutan dengan konsentrasi 2, 3, 4, 5 dan 6 µg/mL kemudian
dibuat kurva serapan terhadap panjang gelombang.
Penetapan kadar Aseklofenak
Sejumlah mikrokapsul yang setara dengan 50 mg ditimbang
seksama, kemudian dilarutkan dalam aguadest sampai 100 mL. Kemudian
dari larutan induk di pipet 1 mL kemudian dicukupkan 25 mL. Serapan di
ukur pada panjang gelombang maksimal yang diperoleh. Kadar
Aseklofenak dihitung menggunakan kurva kalibrasi
III.3.5.7 Uji Pelepasan Obat Secara In Vitro (Disolusi)
a. Penentuan panjang gelombang maksimum
Pengukuran serapan larutan Aseklofenak dalam aquaest
10µg/mL dilakukan pada panjang gelombang 220 sampai 370 nm,
kemudian buat kurva serapan terhadap panjang gelombang.
b. Pembuatan kuva kalibrasi dalam Aquadest
Dibuat larutan dengan konsentrasi 2, 4, 6, 8, 10 dan 12 µ/mL
kemudian dibuat kurva serapan terhadap panjang gelombang.
c. Penentuan profil disolusi dari mikrokapsul
Penentuan profil disolusi menggunakan alat disolusi metoda
dayung (USP, 2007). Wadah diisi dengan larutan buffer phosphate pH 6,8
sebanyak 900mL dan suhunya diatur 37º ± 0,5º C. Kemudian mikrokapsul
yang setara dengan 50 mg Aseklofenak dimasukan kedalam wadah dan
dicelupkan, wadah slinder diputar 100 rpm. Larutan disolusi dipipet 5 mL
33
pada menit ke 5, 10, 15, 30, 60, 90, 120, 180, 240, 300 dan 360. Pada
setiap pemipetan diganti dengan medium disolusi (Volume dan suhu yang
sama dengan pemipetan). Serapan larutan dipipet dari medium disolusi
diukur dengan panjang gelombang serapan maksimum dengan
spectrophotometer UV – Visible. Kadar Aseklofenak yang terdisolusi pada
setiap waktu dapat dihitung menggunakan kurva kalibrasi.
34
DAFTAR PUSTAKA
Abdou, H. M. (1989). Dissolution, Bioavaibility and Bioequivalence.
Pennsylavania: Mark Publishing Company Easton.
Ansel, H. C. (1989). Introduction to pharmaceutical dosage form, diterjemahkan
oleh F. Ibrahim. Pengantar bentuk sediaan farmasi, edisi IV. Jakarta:
Universitas Indonesia.
B.Simon, (2006). Microencapsulation: Methods and industrial aplications, 2nd id.
Drugs Pharmaceutical Sci. Marcel Dakker. Inc. N.Y., 158 : 1-55
Banakar, U. V . (1992). Pharmaceutical Dissolution Testing. New York: Marcell
Dekker Inc.
Benita, S. (1991). Microencapsulation: Methods and Industrial Application. New
York :Marcel Dekker Inc
British Pharmacopeia, (2002). Govt. Of London. Vol.1 35-38.
Chiou, W. L. & Riegelman, S. (1971). Pharmaceutical Applications of Solid
Dispersion System. Jurnal of Pharmaceutical Science, 60 (9), 1281 – 1302
Clella,N., Yada, K.K., dan Vempati, R. (2010). Preparation and Evalution Of Etyl
Celulosa Micropheres Containing Diclofenac Sodium By Novel W/O/O
Emulsion Methods. Journal of Pharmaceutical Science and Reseach.
Dacriyanus. (2004). Analisis Struktur Senyawa Organilk Secara Spektroskopi.
Padang: Andalas University Press
Deasy PB . (1984). Microencapsulation and related drug processes. New York,
NY: Marcel Dekker.
35
Deasy, P. P. (1984). Microencapsulation and related drug process. New York.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1995). Farmakope Indonesia. (Edisi
IV). Jakarta: Departemen Kesehatan Republik Indonesia.
Departemen Kesehatan Republik Indonesia. (1979). Farmakope Indonesia Edisi
ke – III, KORPRI Sub Unit Direktorat Jendral, Jakarta.
Dewi, Rahma. (2011). Penggunaan Eldraugit L 100 dalam Formulasi
Mikrokapsul Natrium Diklofenak Dengan Teknik Emulsifikasi Penguapan
Pelarut (Tesis). Padang. Universitas Andalas.
European Pharmacopeia, (2002). Published In Accordance Witha The Convention
On The Elaboration Of A European pharmacopoeia (European Treaty Series
no. 50). Fourth Edition. Strasbourg. Council of Europe. Vol .1 572-573.
Gennaro, A. R. (1985). Remington Pharmaceutical Sciences. (17th ed). Easton:
Mack Publishing Company.
Ghosh. S. (2006). Microencapsulation : A General Perspective Dalam. S. Ghosh.
Functional Coating by Polymer Microencapsulation. ( hal 1-20 ).
Weinheim: Willey – VCH Verlag GmBH dan Co. KgaA.
J. R. Reddy, K. Gnanaprakash, A. V. Badarinath, C. Madhusudhanachetty ,
(2009) Formulation and Evaluation of Microparticles of MetronidazoleIn J.
Pharm. Sci. & Res. Vol.1,131-136.
Krowezynski, L. (1987). Extended-Release Dosage Forms. Boca Paton: CRS
Press. Inc 31-34, 122-124.
36
Lachman, L., H. A. Lieberman & Kanig, J. L. (1994). Teori dan praktek farmasi
industri I (Edisi II). Penerjemah: S. Suryatmi. Jakarta: Universitas Indonesia
Press.
Lachman,Leon,dkk. (1994). Teori dan Praktek Farmasi Industri. Edisi Ketiga.
Jilid 2. Jakarta : UI-Press.
Maliansih, Herlin, Purwinda. (2011).Pembuatan dan Karakterisasi Mikrokapsul
Natrium Diclofenac Menggunakan HPMCP – 55 dan Eudralgit L 100 -55
Sebagai Sedian lepas Tunda .(Skripsi). Depok. Universitas Indonesia.
Martin, A., Swarbick, J, & Cammarata, A. (1990). Physical Pharmacy (2nd ed).
Philadelyphia: Lea & Febiger.
Martindale The Complete Drug Reference. Thirty- sixth edition. London The
Pharmaceutical Press.
Peppas N.A., Wood K.M, dan Balnchette, J.O. (2004). Hydrogels For Oral
Delivery Of Therapetic Protein. Expert Opin. Biol. Ther. Vol. 4(6). 1-7.
Rowe, R.C., Sheskey, P.J & Owen, S.C. (2006). Handbook of Pharmaceutical
Excipients, fifth edition. Washington: Pharmaceutical Press and American
Pharmacist Association.
Santhosh,Kumar,M. Chowdary, K.A, Sammaiah, G ( 2011 ). Controlled Release
Formulation and Evaluation of Aceclofenac By Microencapsulasion.
International Journal of Advances In Pharmaceutical Sciences, vol.2 (2-3)
Sharger, L., & B.C, Yu, Andrew. (1988), Biofarmasetika dan Farmakookinetika
Terapan, Edisi II, diterjemahkan oleh Faisch, UNAIR Press, Surabaya
37
Sium, Md. Miah Hossain, UI ( 2013 ). Spreading Out of Aceclofenac Sustained
Release Microcspsules Based on HPMC 50 CPS By Emulsion Solvent
Evaporayion Tecnique. International Journal of Pharmaceutical Sciences
Research, vol 4(9), 3432-3239
Swarbrick.J., dan Boylan, J (1994). Encyclopedia Of Pharmaceutical Teknologi.
Vol. 9. New York: Marcel.Dekker.Inc.
The United States Pharmacopeial Convention Inc. (2007). The United States
Pharmacopeia. (Edisi XXX). New York: The United States Pharmacopeial
Convention Inc.
Watson, D. G. (2010). Analisis Farmasi, Edisi 2. Penerjemah: Winny R. Syarief.
Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC.
38
39