proposal

96
PENGARUH MENGUNYAH PERMEN KARET GULA ALKOHOL ( XYLITOL )TERHADAP PEMULIHAN MOTILITAS USUS PADA PASIEN POSTOPERATIVE DENGAN GENERAL ANESTESIA Oleh I GEDE BAYU WIRANTIKA NIM. 0902105063 KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAAN PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

Upload: seventh-strings

Post on 18-Jan-2016

327 views

Category:

Documents


5 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal

PENGARUH MENGUNYAH PERMEN KARET GULA ALKOHOL ( XYLITOL )TERHADAP PEMULIHAN MOTILITAS USUS

PADA PASIEN POSTOPERATIVE DENGAN GENERAL ANESTESIA

Oleh

I GEDE BAYU WIRANTIKANIM. 0902105063

KEMENTERIAN PENDIDIKAN DAN KEBUDAYAANPROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS UDAYANA

DENPASAR 2013

Page 2: Proposal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Konsep pembedahan merupakan suatu tindakan pengobatan yang

menggunakan cara invasif dengan membuka dan menampilkan bagian tubuh

yang akan ditangani. Pembukaan bagian tubuh ini umumnya dilakukan dengan

membuat sayatan setelah bagian yang akan ditangani ditampilkan, dilakukan

tindakan perbaikan yang diakhiri dengan penutupan dan penjahitan luka

(Sjamsuhidayat & Jong, 2005). Salah pembedahan yang memiliki efek yang

signifikan terhadap fisiologis tubuh dan semua sistem organ adalah bedah

mayor.

Bedah mayor merupakan tindakan pembedahan yang melibatkan organ

tubuh secara luas dan mempunyai tingkat resiko yang tinggi terhadap

kelangsungan hidup klien (Potter & Perry, 2005). Dalam pembedahan mayor

dilakukan pemberian anastesi yang terdiri dari dua jenis anastesi yaitu anastesi

regional dan anastesi umum.

Berdasarkan studi pendahuluan, diperoleh bahwa pasien yang menjalani

pembedahan mayor pada bulan Agustus - Oktober 2012 di Instalasi Bedah

Sentral (IBS) Rumah Sakit Umum Pusat (RSUP) Sanglah Denpasar yaitu 1.128

orang dimana 73,1% (825 orang) dengan general anastesi dan 26,9% (303

Page 3: Proposal

orang) dengan anastesi regional. Setelah operasi pasien akan di rawat di ruang

perawatan seperti ruang Ratna, ruang Medical Surgical (MS), ruang Gadung.

Jumlah pasien yang menjalani perawatan post operasi dari bulan agustus –

oktober 2012 di ruang Angsoka RSUP Sanglah Denpasar yaitu 345 orang

dimana 68,6 % (237orang) dengan general anestesi dan 31,4 % (108 orang)

dengan regional anestesia.

Terjadinya efek ketidakstabilan tindakan operasi pada organ tertentu,

bersamaan dengan gangguan fungsi tubuh yang penting, karena anestesi bila

tidak diketahui, akan merubah gangguan ringan menjadi komplikasi berat

seperti syok, perdarahan, trombosis vena prufunda, retensi urine, infeksi luka

operasi, sepsis, embolisme pulmonal, post operatif ileus (POI) hingga kematian

(Majid,2011). Kematian akibat anestesi persentasenya sebanyak 2% dari

seluruh angka kematian operasi dan dapat dibagi dalam empat kategori utama

diantara lain hipovolemia karena pengurangan cairan dan darah,

ketidakmampuan untuk mempertahankan jalan pernapasan, termasuk

komplikasi intubasi, pengawasan dan perawatan yang tidak optimal setelah

operasi dan gangguan pernapasan atau relaksan otot (Sabiston, 1992).

Masalah yang sering dijumpai dalam penggunaan general anestesi pada

pembedahan mayor yaitu postoperative ileus (POI). Postoperatif ileus yaitu

hilangnya aktivitas daya dorong saluran cerna untuk sementara yang diikuti

Page 4: Proposal

dengan gejala nyeri abdomen, abdomen tegang, konstipasi, mual muntah dan

dehidrasi (Papaconstation, 2005). Hal ini terjadi akibat, pembedahan abdomen,

trauma atau kerusakan neorologis dan stress operasi. Respon tubuh terhadap

stres operasi sangat berperan penting terhadap sistem endokrin, inflamatory

mediator merangsang pengeluaran immunohistochemistry yang kerjanya

berlawanan terhadap neurotransmiter motilitas saluran cerna (Otah, 2005).

Ileus merupakan salah satu gangguan gastrointestinal. Ileus yang terjadi

secara fisiologis pulih dalam 2 hari post operasi atau 24 – 48 jam yang ditandai

dengan abdomen lemas, toleransi terhadap diet. Ileus ini berkurang seiring

dengan penurunan efektivitas obat, mobilisasi dan diet bertahap. Ileus yang

terjadi dibagi menjadi dua yaitu ileus sedang yang ditandai dengan anoreksia,

perut terasa kembung/kram/nyeri, timpani, mual muntah tidak terus menrus.

Ileus berat ditandai dengan perut tegang, mual muntah lebih dari tiga kali dalam

24 jam, tidak flatus, tidak ada motilitas usus, intoleransi terhadap cairan dan

perlu dipasang nasogastrik tube (Nainggolan, 2006).

Berdasarkan studi pendahuluan yang dilakukan peneliti terhadap pasien

postoperative di ruang Angsoka 1 dan 3 dari 7 orang pasien dengan

pembedahan mayor dengan general anestesi diperoleh rata – rata 10,33 jam

pasien bisa kembali makan per oral postoperative dengan kisaran waktu dari 7-

12 jam. Selama perawatan pasien diberikan intruksi untuk ambulasi dini dan

Page 5: Proposal

Range Of Motion (ROM). Pasien sudah diperbolehkan untuk makan apabila

perut pasien sudah berbunyi dan pasien sudah flatus. Karena itu pasien sering

mengeluh karena harus menunggu waktu yang lama untuk dapat makan dan

minum, sehingga pasien menanggung rasa lapar dan haus yang cukup lama.

Dampak negatif yang lain dari semakin lamanya pasien tidak

terpenuhinya asupan makanan dan nutrisi adalah pemulihan kesegaran dan

kebugaran pasien semakin lama, dan ini akan berakibat lama perawatan

semakin lama. Waktu perawatan/ Length of stay (LOS) merupakan salah satu

indikator penilaian dalam akreditasi sebuah rumah sakit. Semakin lama length

of stay maka penilaian terhadap rumah sakit tersebut semakin buruk. Dampak

negatif lain yang diakibatkan lamanya pemulihan pasien pasca operasi,

menyebabkan pasien harus berlama - lama dalam posisi tirah baring

(Windiarto, 2011).

Intervensi yang bisa diberikan kepada pasien pasca pembedahan untuk

mempercepat pemulihan motilitas antara lain Nasogastrik (NG) intubasi, NG

telah digunakan selama lebih dari 50 tahun sebagai tindakan yang mendukung

pemulihan motilitas usus setelah operasi abdomen. Namun, studi terbaru

menunjukkan selang (NG) tidak harus secara rutin dipasang setelah operasi

abdomen. Karena pemasangan selang NG akan meningkatkan insiden

komplikasi paru termasuk pneumonia, atelektasis dan demam (Kehlet, 2008).

Page 6: Proposal

Selain itu, ambulasi dini pascaoperasi merupakan intervensi yang bias

diberikan pada pasien postoperative. Ambulasi dini memiliki peran kecil hingga

tidak berarti dalam pemulihan Postoperative ileus, meskipun memiliki

kegunaan dalam pencegahan atelektasis, pneumonia, dan trombisis vena dalam.

Saat dilakukan evaluasi secara spesifik untuk mengetahui perbedaan aktivitas

fisik setelah operasi besar abdomen, menunjukkan bahwa tidak terdapat

perbedaan dalam pengembalian fungsi usus pada pasien, dapat dibuktikan dari

tingkat aktivitas fisik pada pasien yang mendapatkan cara perawatan yang

berbeda (Bailey, 2010). Salah satu intervensi sederhana adalah sham feeding

yaitu suatu metode yang digunakan untuk merangsang fase sekresi lambung

dengan cara makan atau mengunyah makanan tetapi makanan yang dikunyah

tersebut tidak sampai ditelan (Golonka, 2008)

Beberapa peneliti baru-baru ini mengevaluasi permen karet sebagai

sham feeding, terutama, mengunyah permen karet setelah kolektomi

laparoskopi yang dikaitkan dengan flatus lebih cepat, buang air besar lebih

awal, dan meninggalkan rumah sakit lebih cepat (Harma, 2009). Permen karet

dipilih sebagai alternatif untuk menstimulasi saluran pencernaan bagian bawah

dengan cara mengunyah permen karet tersebut (Nainggolan, 2006; Barclay &

vega, 2006).

Page 7: Proposal

Hasil penelitian menunjukan bahwa mengunyah permen karet aman dan

dapat meningkatkan motilitas saluran cerna dengan cara mengendalikan

aktivitas cephalic reflek vagal yang diikuti peningkatan produksi hormon –

hormon pencernaan pada saluran cerna sehingga mengaktifkan saluran cerna.

Hal ini dibuktikan dengan penelitian yang dilakukan oleh Miranda K.Y (2007)

pada kasus operasi kolerektal dengan menggunakan 158 pasien dengan kontrol

atau tanpa pemberian permen karet dan 78 pasien diberikan permen karet dan

80 orang diberikan standar perawatan post operasi untuk operasi colerektal.

Kesimpulan dari penelitian ini yaitu penggunaan mengunyah permen karet pada

pasien post operasi adalah metode yang aman dan mampu merangsang motilitas

usus serta mengurangi kejadian ileus setelah operasi kolerektal.

Selain itu pada Harma (2009) dengan judul penelitian Gum-chewing

speeds return of first bowel sounds but not first defecation after cesarean

section. Hasil dari penelitian ini yaitu pasien yang mengunyah permen karet

dengan permen gula tersubstitusi yaitu 4,3 – 8,3 jam, permen karet bebas gula

10,7 – 6,9 jam dan kelompok yang tidak diberikan mengunyah permen karet

10,2 – 12,2 jam

Salah satu jenis permen karet yaitu Xylitol. Xylitol merupakan gula

alkohol atau gula polialkohol tipe pentitol karena didalam molekulnya, xylitol

mengandung lima rantai atom karbon atau lima golongan hidroksil. Xylitol

Page 8: Proposal

dimetabolisme di hati dan dikonversikan menjadi D-xylulose dan glukosa oleh

polyol dehydrogenase (Khairunissa, 2010). Permen karet dengan Xylitol

merupakan pemanis yang aman bagi penderita diabetes dan hiperglikemia,

sehingga banyak digunakan. Xylitol diabsobsi lebih lambat daripada gula biasa

karena memiliki indeks glikemik yang sangat rendah yaitu 7, sedangkan gula

memiliki indeks glikemik sampai 90 dan dilepaskan ke dalam darah 13 kali

lebih cepat dibanding xylitol. Hal ini menyebabkan xylitol tidak memberi

kontribusi terhadap meningkatnya gula darah dan juga tidak memberi efek

hiperglikemik yang disebabkan respon insulin yang tidak cukup (Rachima,

2008).

Berdasarkan fenomena ini, peneliti tertarik untuk melakukan penelitian

tentang pengaruh mengunyah permen karet gula alkohol terhadap pemulihan

motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesia, karena sepanjang

pengetahuan peneliti diindonesia khususnya di RSUP Sanglah Denpasar belum

ada penelitian mengenai pengaruh mengunyah permen karet gula alkohol

(xylitol) terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general

anestesi.

Page 9: Proposal

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan uraian masalah di atas didapatkan rumusan masalah;

Adakah pengaruh mengunyah permen karet gula alkohol (xylitol) terhadap

pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesi ?

C. Tujuan Penelitian

1. Tujuan Umum

Untuk mengetahui pengaruh mengunyah permen karet terhadap

pemulihan motilitas usus pasien post operasi

2. Tujuan Khusus

a. Mengidentifikasi nilai motilitas usus pre pada pasien post operasi pada

kelompok kontrol yang tidak diberikan permen karet xylitol

b. Mengidentifikasi nilai motilitas usus pre pada pasien post operasi pada

kelompok experimen yang diberikan permen karet xylitol

c. Mengidentifikasi nilai motilitas usus post pada pasien post operasi pada

kelompok kontrol yang tidak diberikan permen karet xylitol

d. Mengidentifikasi nilai motilitas post pada pasien post operasi pada

kelompok experimen yang diberikan permen karet xylitol

e. Menganalisis pengaruh mengunyah permen karet terhadap pemulihan

peristaltik usus pasien post operasi

Page 10: Proposal

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat Praktis

Diharapkan penelitian ini dapat digunakan oleh perawat untuk

melakukan modifikasi tindakan pada pasien post operasi, sehingga kejadian

post operative ileus tidak terjadi.

2. Manfaat Teoritis

a. Diharapkan hasil penelitian ini dapat menambah perbendaharaan pustaka

terutama dalam bidang keperawatan perioperatif, sebagai bahan acuan bagi

peneliti selanjutnya.

b. Diharapkan hasil penelitian ini menjadi intervensi yang bisa diaplikasikan

untuk perawatan pasien post operasi terutama pada pasien dengan general

anestesia.

E. Keaslian Penelitian

Berdasarkan telaah literatur, penelitian yang berkaitan dengan judul dari

penelitian ini adalah ;

1. Nainggolan, (2006). Efektivitas Mengunyah Permen Karet terhadap

Motilitas Saluran Cerna Pada Ibu Post Seksio Sesarea Dengan Anestesi

Spinal .Hasil penelitian ini menunjukan bahwa terdapat perbedaan rata rata

frekuensi motilitas usus diantara kedua kelompok setelah mengunyah

permen karet(p=0,00,<0,05). Baik pada kelompok perlakuan maupun

Page 11: Proposal

kelompok kontrol tidak ditemukan kejadian mual/muntah dan kembung

setelah intervensi, namun demikian pada kelompok perlakuan kejadian

mual muntah lebih cepat hilang satu jam. Mengunyah permen karet juga

memberi efek flatus lebih cepat (13,5%) dibandingkan dengan yang tidak

mengunyah permen karet. Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa

mengunyah permen karet dapat meningkatkan motilitas saluran cerna.

Berdasarkan hasil penelitian ini disarankan untuk memotivasi klien post

operasi unutk mengunyah permen karet karena mengunyah permen karet

efektif dalam meningkatkan motilitas saluran cerna dan mengunyah

permen karet praktis, mudah ditoleransi, dan aman.

2. Miranda K.Y (2007) Use of Chewing Gum in Reducing Postoperative Ileus

After Elective Colorectal Resection. Tujuan dari penelitian ini

membandingkan penambahan mengunyah permen karet untuk perawatan

pasca operasi standar untuk mempersingkat ileus pasca operasi. penelitian

ini dirancang untuk melakukan peninjauan secara sistematis terhadap

semua yang relevan percobaan pada permen karet untuk mengurangi ileus

pasca operasi setelah kolorektal reseksi. Metode penelitian ini semua

percobaan yang membandingkan penggunaan tambahan permen karet

dengan standar manajemen pasca operasi. Hasil : Lima acak, terkontrol

dengan 158 (94 laki-laki) pasien dengan usia rata-rata 61,9 tahun

Page 12: Proposal

dilibatkan. Tujuh puluh delapan pasien menerima penambahan permen

karet dan 80 memiliki standar pasca operasi perawatan untuk reseksi

kolorektal. Kesimpulan dari penelitian ini mengunyah permen karet pada

periode pasca operasi adalah metode yang aman untuk merangsang

motilitas usus dan mengurangi ileus setelah kolorektal operasi

3. Harma (2009) Gum-chewing speeds return of first bowel sounds but not

first defecation after cesarean section. Tujuan dari penelitian ini adalah

untuk mengetahui fungsi dari mengunyah permen karet untuk pemulihan

motilitas usus pada pasien operasi cesarean dengan general anestesi. Pada

penelitian kelompok eksperiment diberikan mengunyah permen karet

selama 15 tiap 2 jam. Hasil dari penelitian ini yaitu pasien yang

mengunyah permen karet dengan permen gula tersubstitusi yaitu 4,3 – 8,3

jam, permen karet bebas gula 10,7 – 6,9 jam dan kelompok yang tidak

diberikan mengunyah permen karet 10,2 – 12,2 jam

4. Barclay & Vega (2006). Pada operasi terbuka reseksi kolon atau open

sigmoidresegtions didapatkam kelompok perlakuan dengan mengunyah

permen karet flatus lebih cepat dari pada kelompok kontrol (63.4 dibanding

80.2 jam; p = 0,05), gerakan pertama motilitas saluran cerna (63.2

dibanding 89,4 jam;p = 0,04), lama hari rawat (4.3 dibanding 6.8 hari; p =

0,01), rasa lapar (63.5 dibanding 72.8; p = 0,27). Permen karet dikunyah 3

Page 13: Proposal

kali sehari selama satu jam, dikunyah pertama kali pada hari pertama post

operasi sampai di ijinkan pulang dari rumah sakit.

Page 14: Proposal

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Perioperatif

Istilah perioperatif adalah suatu istilah gabungan yang mencakup tiga

fase pengalaman pembedahan yaitu preoperatif, intraoperatif dan postoperatif

(Majid, 2011).

1. Preoperatif

a. Pengertian

Preoperatif merupakan fase awalan yang menjadi landasan kesuksesan

tahapan – tahapan berikutnya. Kesalahan yang dilakukan pada tahap ini akan

berakibat fatal pada tahap berikutnya. Oleh karena itu perlu dilakukan

pengkajian secara integral dan komprehensif dari aspek fisiologis pasien yang

meliputi fungsi fisik biologis dan psikologis sangat diperlukan untuk

keberhasilan dan kesuksesan suatu operasi Pada tahap ini tugas seorang tenaga

keperawatan dapat memberikan sugesti positif unutk menurunkan kecemasan

pasien menjelang operasi (Majid, 2011).

b. Faktor Risiko Pembedahan

Menurut Potter dan Perry (2005), faktor resiko terhadap pembedahan

antara lain: nutrisi, penyakit, kronis, merokok, alkohol dan obat-obatan dan

usia. Faktor yang termasuk kedalam penelitian ini yaitu usia.

Page 15: Proposal

Faktor usia merupakan factor yang terkait dalam penelitian ini. Pasien

dengan usia yang terlalu muda (bayi/anak-anak) kategori masa kanak-kanak

dari umur 5 - 11 tahun dan usia lanjut masa lansia awal dimalai dari usia 46-

55 tahun, mempunyai resiko lebih besar. Hal ini diakibatkan cadangan

fisiologis pada usia tua sudah sangat menurun, sedangkan pada bayi dan anak-

anak disebabkan oleh karena belum maturnya semua fungsi organ.

c. Tipe Pembedahan menurut Potter & Perry (2005)

1) Menurut fungsinya (tujuannya)

a) Diagnostik

Pembedahan explorasi untuk memperkuat diagnosis tenaga kesehatan

seperti pengangkatan jaringan untuk pemeriksaan diagnostic lebih lanjut.

Pembedahan diagnostic ini meliputi: laparatomi eksplorasi dan biosi.

b) Kuratif (ablatif)

Pemebedahan dengan tujuan untuk eksis atau pengankatan bagian tubuh

yang menderita penyakit. Pemebedahan secra ablative meliputi: amputasi,

pengangkatan appendiks dan kolesistektomi

c) Paliatif

Suatu klasifikasi pembedahan yang menghilangkan atau mengurangi

intensitas gejala penyakit dimana tindakan pembedahan yang dilakukan tidak

Page 16: Proposal

akan menyembukan penyakit seperti: kolostomi, debridement jaringan nekrotik

dan reseksi serabut saraf.

d) Rekonstruktif

Tindakan untuk mengembalikan fungsi atau penampilan jaringan yang

engalami trauma atau malfungsi, contohnya: fiksasi internal pada fraktur dan

perbaikan jaringan perut.

e) Konstrukstif

Merupakan tindakan pembedahan dengan tujuan untuk mengembalikan

fungsi organ yang hilang atau berkurang akibat anomalia kongengital seperti:

memperbaiki bibir sumbing dan penutupan defek katup atrium jantung.

f) Transplantasi

Tindakan pembedahan yang dilakukan untuk mengganti organ atau

struktur yang mengalami malfungsi contohnya: transplantasi ginjal, kornea, hati

dan penggantian pinggul total.

2) Menurut tingkat urgensinya :

a) Darurat

Tindakan pembedahan yang harus dilakukan segera untuk

menyelamatkan jiwa atau mempertahankan fungsi bagian tubuh, seperti

memperbaiki perforasi appendiks, memperbaiki amputasi traumatik dan

mengontrol perdarahan internal.

Page 17: Proposal

b) Gawat

Tindakan yang perlu unutk kesehatan pasien, dapat mencegah

timbulmnya masalah tambahan seperti destruksi jaringan atau fungsi organ

yang terganggu eksisis tumor ganas, pengankatan batu kandung empedu bypass

arteri koroner. Tindakan ini tidak harus selalu besifat darurat

c) Elektif

Tindakan pembedahan yang dilakukan berdasarkan pada pilihan tidak

penting dan mungkin tidak dibutuhkan unutk kesehatan pasien, seperti:

bunionektomi, operasi plastic wajah, perbaikan hernia dan rekontruksi

payudara.

3) Menurut Luas atau Tingkat Resiko :

a) Mayor

Operasi yang melibatkan organ tubuh secara luas dan mempunyai

tingkat resiko yang tinggi terhadap kelangsungan hidup klien. Contohnya:

bypass arteri koroner, reseksi kolon, pengankatan laring dan reseksi lobus paru.

b) Minor

Tindakan pembedahan yang melibatkan perubahan yang kecil pada

bagian tubuh, sering dilakukan untuk memperbaiki deformitas seperti, ekstraksi

katarak, operasi plastic wajah, graf kulit dam ekstraksi gigi.

Page 18: Proposal

d. Pemeriksaan Status Anestesi

Pemeriksaan status fisik pembiusan dilakukan untuk memastikan

keselamatan pasien selama pembedahan, pasien akan megalami pemeriksaan

status fisik yang diperlukan untuk menilai sejauh mana resiko pembiusan

terhadap diri pasien. Pemeriksaan yang dilakukan adalah dengan menggunakan

metode ASA (american society of anasthesiologist). Karena pemriksaan ini

dilakukan karena obat dan teknik anestesi akan mengganggu fungsi pernafasan,

peredaran darah, dan sistem saraf (Majid, 2011).

Pemeriksaan status fisik pasien sebelum dilakukan pembedahan

berdasarkan metode ASA (SK Kemenkes No. 779/Menkes/SK/VIII/2008),

yaitu:

1) ASA 1

Pasien – pasien yang tidak mempunyai penyakit sistemik. Contoh :

seorang laki – laki sehat menjalani herniotomi. Angka kematiannya 0,05%

2) ASA 2

Pasien – pasien yang menderita penyakit sistemik ringan atau sedang,

karena alasan medik atau kelainan yang perlu pembedahan. Contoh : pasien

diabetes dengan pengobatan oral, tetapi tidak ada penyulit organ lain. Angka

kematiannya : 0,4%

3) ASA 3

Page 19: Proposal

Pasien – pasien yang mederita penyakit sistemik yang membatasi

aktivitasnya. Contoh : pasien dengan infark jantung, dengan angina pektoris

yang harus dikelola dengan perawatan medis. Angka kematiannya: 4,5%

4) ASA 4

Pasien – pasien dengan penyakit yang mengancam jiwa. Contoh : pasien

dengan gagal jantung berat yang hanya dapat berjalan beberapa meter. Angka

kematiannya : 25%

5) ASA 5

Pasien – pasien moribund yang 50% akan meninggal dalam 24 jam,

dengan atau tanpa pembedahan. Contoh: pasien ileus strangulasi dengan

anuria,koma, tekanan darah 70/40 mmhg dengan pemberian infus dopamin.

Untuk pasien dengan pembedahan darurat ditambahkan kode D. Angka

kematian pada asa 5 yaitu 50%.

2. Intra Operatif

a. Pengertian

Keperawatan intra operasi merupakan bagian dari tahap keperawatan

perioperatif. Aktivitas ini dilakukan oleh perawat di ruang operasi yang

berfokus pada pasien yang menjalani prosedur pembedahan untuk perbaikan,

koreksi atau menghilangkan masalah-masalah fisik yang mengganggu pasien

(Majid, 2011).

Page 20: Proposal

b. Teknik Anestesi

1) Anestetika lokal

Anestesi local atau zat-zat penghalang rasa setempat adalah obat yang pada

penggunaan lokal merintangi secara reversibel penerusan impuls-impuls saraf

ke SSP (Tjay, 2002). Obat bius lokal mencegah pembentukan dan konduksi

impuls saraf. Tempat kerjanya terutama di selaput lendir. Di samping itu,

anestesi lokal menggangu fungsi semua organ dimana terjadi konduksi dari

beberapa impuls (Siahaan, 2000).

Cara pemberian anestesi lokal adalah dengan menginjeksikan obat-obatan

anestesi tertentu pada area yang akan dilakukan sayatan atau jahitan. Obat-

obatan yang diinjeksikan ini lalu bekerja memblokade saraf-saraf tepi yang ada

di area sekitar injeksi sehingga tidak mengirimkan impuls nyeri ke otak (Yuni,

2012).

2) Anestesi Regional

Metode pemberian Anestesi regional dibagi menjadi dua, yaitu secara blok

sentral dan blok perifer. Blok Sentral (Blok Neuroaksial). Blok sentral dibagi

menjadi tiga bagian yaitu anestesi Spinal, Epidural dan Kaudal (Yuni, 2012).

a) Anestesi Spinal

Anestesi spinal merupakan tindakan pemberian anestesi regional ke

dalam ruang subaraknoid. Hal-hal yang mempengaruhi anestesi spinal antara

Page 21: Proposal

lain jenis obat, dosis obat yang digunakan, efek vasokonstriksi, berat jenis

obat, posisi tubuh, tekanan intra abdomen, lengkung tulang belakang, usia

pasien, obesitas, kehamilan, dan penyebaran obat (Yuni, 2012).

b) Anestesi Epidural

Anestesi epidural ialah blokade saraf dengan menempatkan obat pada

ruang epidural (peridural, ekstradural) di dalam kanalis vertebralis pada

ketinggian tertentu, sehingga daerah setinggi pernapasan yang bersangkutan

dan di bawahnya teranestesi sesuai dengan teori dermatom kulit (Siahaan,

2000). Ruang epidural berada di antara durameter dan ligamentun flavum.

Bagian atas berbatasan dengan foramen magnum dan dibawah dengan selaput

sakrogliseal. Anestesi epidural sering dikerjakan untuk pembedahan dan

penanggulangan nyeri pasca bedah, tatalaksana nyeri saat persalinan, penurunan

tekanan darah saat pembedahan supaya tidak banyak perdarahan, dan tambahan

pada anestesia umum ringan karena penyakit tertentu pasien (Latief, 2001).

c) Anestesi Kaudal

Anestesi kaudal sebenarnya sama dengan anestesi epidural, karena

ruang kaudal adalah kepanjangan dari ruang epidural dan obat ditempatkan di

ruang kaudal melalui hiatus sakralis. Hiatus sakralis ditutupi oleh ligamentum

sakrogsigeal tanpa tulang yang analog dengan ligamentum supraspinosum dan

Page 22: Proposal

ligamentum interspinosum. Ruang kaudal berisi saraf sacral, pleksus venosus,

felum terminale dan kantong dura (Latief, 2001).

d) Blok Perifer (Blok Saraf)

Anestesi regional dapat juga dilakukan dengan cara blok perifer. Salah

satu teknik yang dapat digunakan adalah anestesi regional intravena. Anestesi

regional intravena dapat dikerjakan untuk bedah singkat sekitar 45 menit.

Melalui cara ini saraf yang dituju langsung saraf bagian proksimal. Sehingga

daerah yang dipersarafi akan teranestesi misalnya pada tindakan operasi di

lengan bawah memblok saraf brakialis. Untuk melakukan anetesi blok perifer

harus dipahami anatomi dan daerah persarafan yang bersangkutan (Yuni,

2012).

3) Anestesi Umum

Anestesia umum adalah tindakan menghilangkan nyeri secara general yang

diikuti dengan kehilangan kesedaran yang bersifat reversible. Komponen

anestesia yang ideal terdiri dari, hipnotik, analgesia dan relaksan otot (Latief,

2001)

a) Metode anestesi dilihan dari pemberian obat anestesi menurut Latief (2001)

1) Parenteral

Anestesi umum yang diberikan secara parenteral baik intravena maupun intra

muscular biasanya digunakan untuk tindakan yang singkat atau untuk induksi

Page 23: Proposal

anesthesia. Obat yang umum digunakan adalah tipental. Kecualai untuk kasus –

kasus tertentu dapat digunakan ketamin, diazepam dan lain lain. Untuk tindakan

yang lama biasanya dikombinakasikan dengan anestesika lainnya.

2) Perinhalasi

Anestesi inhalasi adalah anesthesia dengan menggunakan gas atau cairan

anestetika yang mudah menguap (volatile agent) sebagai zat anestetika melalui

udara pernafasan. Zat anestetika yang dipergubakan berupa suatu campuran gas

(dengan campuran oksigen) dan konsentrasi zat anestetika tersebut

tergantungdari tekanan parsialnya. Tekanan parsial dalam jaringan otak

menentukan kekuatan daya anesthesia, zat anestetika disebut kuat bila dengan

tekanan parsial rendah sudah mampu memberikan anesthesia yang adekuat.

b) Tanda dan Stadium Anestesi menurut Mangku dan Tjokorda (2009)

Banyak tanda-tanda anestesi ini menunjuk pada efek obat anestetik

pernafasan, aktivitas reflex, dan tonus otot. Secara tradisional, efek anestesi

dapat dibagi ke dalam empat stadium peningkatan dalamnya depresi susunan

sraf pusat.

1) Stadium analgesi

Pada stadium awal ini pasien mengalami analgesi tanpa disertai

kehilangan kesadaran. Pada tahap akhir stadium I baru didapatkan amnesia dan

analgesi.

Page 24: Proposal

2) Stadium eksitasi

Pada stadium ini penderita tampak delirium dan gelisah, tetapi

kehilangan kesadaran. Volume dan kecepatan pernafasan tidak teratur, dapat

terjadi mual dan muntah. Inkontinensia urin dan defekasi sering terjadi. Karena

itu harus membatasi lama dan berat stadium ini, yang ditandai dengan

kembalinya pernafasan secara teratur.

3) Stadium operasi

Stadium ini ditandai dengan pernafasan yang teratur dan berlanjut

sampai berhentinya pernafasan secara total. Ada empat tujuan pada stadium ini

yang digambarkan dengan perubahan pergerakan mata, reflex mata, dan ukuran

pupil, yang dalam keadaan tertentu dapat merupakan tanda peningkatan

dalamnya anestesi.

4) Stadium depresi medulla oblongata

Bila pernafasan spontan berhenti, maka akan masuk ke dalam stadium

IV. Pada stadium ini akan terjadi depresi berat pusat pernafasan di medulla

oblongata dan pusat vasomotor. Tanpa bantuan respirator dan sirkulasi,

penderita akan cepat meninggal.

Teknik anastesi umum menurut Mangku (2000):

Page 25: Proposal

c) Anestesi umum intravena

Merupakan salah satu teknik anestesia umum yang dilakukan dengan

jalan menyuntikkan obat anestesia parentral langsung ke dalam pembuluh darah

melalui jalur intravena obat yang diberikan berkhasiat sebagai hipnotik atau

analgetik maupun pelumpuh otot. Setelah masuk kedalam pembuluh darah

vena, obat – obat ini akan diedarkan ke seluruh jaringan tubuh melalui sirkulasi

umum, selanjutnya akan menuju ke target organ masing – masing dan akhirnya

di ekskresikan, sesuai dengan farmakokinetiknya masing – masing (Mangku

dan Tjokorda, 2009).

Menurut Miller (2009), Anestesi intravena bekerja pada reseptor γ asam

aminobutyric di hipokampus yang menghambat pelepasan acetylcholine di

hipokampus dan korteks prefrontal. Sistem α2 adrenoreceptor juga bereperan

secera tidak lansung dalam efek sedative dari anestesi intravena. Anestesi

intravena menghambat reseptor glutamate subtype N methyl D asparta tersebar

luas, melalui modulasi sodium chanel (gating), sebuah proses yang mungkin

juga terkontribusi ke efek system saraf pusat.

Obat-obat anestetika intravena dan khasiat anestesinya :

Beberapa variasi anestesi intravena

Page 26: Proposal

1) Anestesi intravena klasik

Pemakaian kombinasi obat ketamin hidroklorida dengan sedatif

misalnya : diazepam, midazolam atau dehidro benzperidol. Komponen trias

anestesi yang dipenuhi dengan teknik ini adalah hipnotik dan anestesi.

Penyulit : Berhubungan dengan efek farmakologi obat ketamin hidroklorida.

2) Anestesi intravena total

Pemakaian kombinasi obat anestetika intravena yang berkhasiat

hipnotik, analgetik dan relaksasi otot secara berimbang. Komponen trias

anestesi yang dipenuhinya adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot.

Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat dan pemasangan pipa

enditrakea (PET).

3) Anestesi/analgesia neurolept

Pemakaian kombinasi obat neuroleptik dengan analgetik opiat secara

intravena.Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah sedasi atau

hipnotik ringan dan analgesia ringan. Komponen yang lazim adalah

dehidrobenzperidol dengan fentanil. Apabila tidak ada fentanil dapat digunakan

petidin atau morfin. Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat.

b. Anestesi umum inhalasi

Merupakan salah satu teknik anastesi umum yang dilakukan dengan

jalan memberikan kombinasi obat anestesi inhalasi yang berupa gas dan atau

Page 27: Proposal

cairan yang mudah menguap melalui alat/mesin anestesi langsung ke udara

inspirasi. Campuran gas atau uap obat anesthesia dan oksigen masuk mengikuti

aliran udara inspirasi, mengisi seluruh rongga paru, selanjutnya mengalami

difusi dari alveoli ke kapiler varu sesuai dengan sifat disik masing masing gas.

Konsentrasi minimal fraksi gas atau uap obat anesthesia di dalam alveoli

yang sudah menimbulkan efek analgesia pada pasien, dipakai sebagai potensi

dari obat anesthesia inhalasi yang disebut dengan minimal alveolar

consentration (MAC) (Mangku dan Tjokorda, 2009).

Teknik anestesi umum inhalasi

1) Inhalasi sungkup muka.

Pemakaian salah satu kombinasi obat diantara N2O+Halotan atau

N20+Isofluran atau N2O+Enfluran atau N2O+Sevofluran secara inhalasi melalui

sungkup muka dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi yang

dipenuhi adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot ringan. Penyulit:

berhubungan dengan efek samping obat dan risiko sumbatan jalan nafas atas.

2) Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas spontan.

Pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan seperti (N2O+Halotan atau

N2O+Isofluran atau N2O+Enfluran atau N2O+Sevofluran) secarainhalasi

melalui PET dan dengan pola nafas spontan. Komponen trias anestesi yang

Page 28: Proposal

dipenuhinya adalah hipnotik, analgesia dan relaksasi otot (ringan).Penyulit :

Berhubungan dengan efek samping obat dan pemasangan PET.

3) Inhalasi pipa endotrakea (PET) nafas kendali.

Pemakaian salah satu kombinasi obat-obatan seperti (N2O+Halotan atau

N2O+Isofluran atau N2O+Enfluran atau N2O+Sevofluran) secara inhalasi

melalui PET dan pemakaian obat pelumpuh otot non depolarisasi, selanjutnya

dilakukan nafas kendali. Komponen trias anestesi yang dipenuhinya adalah

hipnotik, analgesi dan relaksasi otot. Penyulit : Berhubungan dengan efek

samping obat, pemasangan PET dan ventilasi mekanik.

c. Anestesi imbang

Merupakan teknik anestesi dengan mempergunakan kombinasi obat-

obatan baik obat anestesi intravena maupun obat anestesi inhalasi atau

kombinasi teknik anestesi umum dengan analgesia regional untuk mencapai

trias anestesi secara optimal dan berimbang, yaitu :

1) Efek hypnosis, diperoleh dengan mempergunakan obat hipnotikum atau

obat anestesi umum yang lain.

2) Efek analgesia, diperoleh dengan mempergunakan obat analgetik opiate

atau obat anestesi umum atau dengan cara analgesia regional.

3) Efek relaksasi, diperoleh dengan mempergunakan obat pelumpuh otot atau

obat anestesi umum atau dengan cara analgesia regional.

Page 29: Proposal

Penyulit : Berhubungan dengan efek samping obat, pemasangan PET dan

ventilasi mekanik.

2. Post Operatif

Keperawatan post operatif adalah periode akhir dari keperawatan

perioperatif. Selama periode ini proses keperawatan diarahkan pada upaya

untuk menstabilkan kondisi pasien pada keadaan keseimbangan fisiologis

pasien, menghilangkan nyeri dan pencegahan komplikasi. Upaya yang dapat

dilakukan pada fase pasca operasi disarankan untuk mengantisipasi dan

mencegah masalah yang kemungkinan muncul pada tahap ini. Pengkajian dan

intervensi yang cepat dan akurat sangat dibutuhkan untuk mencegah komplikasi

yang dapat memperpanjang lama perawatan di rumah sakit atau membahayakan

diri pasien (Majid, 2011)

a. Perawatan pasien post operatif

Perawatan pasien pasca operasi meliputi beberapa tahapan, diantaranya

pemindahan pasien dari kamar operasi ke unit perawatan pasca operasi.

Pemindahan pasien dari kamar operasi ke ruang pemulihan atau unit

perawatan pasca operasi memerlukan pertimbangan – pertimbangan khusus.

Pertimbangan itu diantaranya adalah letak insisi bedah, perubahan vaskuler dan

pemajanan. Letak insisi bedah harus selalu dipertimbangkan setiap kali pasien

Page 30: Proposal

pasca bedah dipindahkan. Hipotensi arteri yang seius dapat terjadi ketika

pasien digerakan dari satu posisi ke posisi lainnya (Majid, 2011).

b. Komplikasi

Menurut Majid (2011), komplikasi post operatif yaitu : syok,

perdarahan, trombosis vena prufunda, retensi urine, infeksi luka operasi, sepsis,

embolisme pulmonal dan komplikasi yang terkait dengan penelitian ini adalah

komplikasi gastrointestinal.

Anestesi memeperlambat motiltas gastrointestinal dan menyebabkan

mual. Normalnya, selama tahap pemulihan segera setelah pembedahan ,

motilitas usus terdengar lemah atau hilang pada keempat empat kuadran. (Potter

& Perry, 2005). Frekuensi motilitas usus normal antara 5 – 35x/menit tidak

teratur (Nainggolan, 2006). Frekuensi motilitas usus dikategorikan tiga bagian

menjadi: normal 5 – 12x/menit, kurang dari 5x/menit hypoperistaltik, lebih dari

12x/menit hyperperistaltik, aperistaltik tidak adanya bising usus selama 3 – 5

menit (Smeltzer & Bare, 2004). Adanya motilitas usus kembali normal saat

terdengarnya suara seperti berkumur yang nyaring sebanyak 5 sampai 30 kali

per menit pada setiap kuadran abdomen menunjukan bahawa motilitas telah

kembali normal. Bunyi gemirincing bernada tinggi yang disertai dengan

distensi abdomenmenunjukan usus belum berfungsi dengan baik. Pada pasien

yang menjalani pembedahan pada abdomen, distensi terjadi jika pasien

Page 31: Proposal

mengalami perdaran internal. Distensi juga terjadi pasa pasien yang mengalami

ileus paralitik akibat pembedahan pada bagian usus (Potter & Perry, 2005).

Manipulasi pembedahan terhadap usus mengakibatkan penurunan

motilitas usus dari beberapa mekanisme berbeda. Diantaranya respon

neurogenik, inflamasi dan respon hormonal terhadap stres. Pertama reflek

neural dari sistem simpatik menyebabkan hambatan pada motilitas intestinal.

Studi pada hewan ditemukan hambatan konduksi saraf pada saraf spanchic

(saraf thorakal 5- 12 yang mempersarafi abdomen) meningkatkan motilitas

intestinal. Riset juga mengindikasikan penurunan ileus dalam penggunaan

epidural kateter dalam anestesi. (Leier, 2007)

Kedua, respon inflamasi lokal telah terdokumentasi pada manipulasi

bedah langsung pada intestinal yang mungkin menghalangi motilitas gastrik.

Pada studi tersebut ditemukan akumulasi sel inflamasi, terutama

polymorphonuclear neutrophils, ada pada otot jejenum, dimana secara teori

menyebabkan dispungsi otot. Cytokinin pada kolon menyebabkan reaksi yang

sama. Terakhir, respon hormonal termasuk cortikotropin relasing faktor

bersama dengan calcitonin genereted peptide, prostaniods subtansi P, vasoaktif

intestinal peptid dan asam nitrat secara teori sebagai unsur utama yang

menyebabkan ileus pasca operasi. Interaksi dari mekanisme saraf dan hormonal

Page 32: Proposal

ini tidak dimengerti secara jelas tetapi dapat memperpanjang ileus pasca operasi

(Leier, 2007).

B. Permen Karet Gula Alkohol ( Xylitol )

1. Pengertian

Permen karet berasal dari Amerika, terbuat dari getah pohon damar atau

gliserin yang ditambah larutan gula, peppermint dan bahan lainnya, kemudian

diaduk dan dipress. (Yantao, 2010). Permen karet (chewing gum) merupakan

produk makanan ringan yang pada dasarnya terbuat dari lateks alami atau karet

sintetis yang dikenal dengan nama poliisobutilen. Permen karet tersedia dalam

berbagai jenis rasa, misalnya mint, wintergreen, cinnamon, dan buah-buahan.

(Ayuningtyas, 2010)

Permen karet Xylitol adalah gula alkohol atau gula polialkohol tipe

pentitol karena didalam molekulnya, xylitol mengandung lima rantai atom

karbon atau lima golongan hidroksil. Xylitol dimetabolisme di hati dan

dikonversikan menjadi D-xylulose dan glukosa oleh polyol dehydrogenase

(Khairunissa, 2008). Xylitol mempunyai atom karbon yang lebih pendek

daripada pemanis lainnya, antara lain sorbitol, fruktosa, dan glukosa. Atom

karbon pada xylitol membuat bakteri pathogen seperti Streptococcus mutans

tidak dapat mengkonsumsinya, yang menyebabkan bakteri-bakteri ini gagal

berproliferasi (Fatiharani, 2008). Xylitol yang memiliki kalori yang rendah (2.4

Page 33: Proposal

kalori/gram dibanding dengan sukrosa yang mencapai 4 kalori/gram) sangat

bermanfaat sebagai pemanis makanan/minuman bagi penderita diabetes. Gula

langka ini juga bermanfaat mencegah karang gigi dan karies. Hal ini

dikarenakan keberadaan xylitol akan menekan pertumbuhan bakteri di dalam

mulut yang kebanyakan mengonsumsi glukosa sebagai bahan makanan mereka,

sehingga bakteri tersebut tidak dapat berkembang biak dengan baik pada

kondisi tinggi xylitol. (Ghifari, 2012).

2. Manfaat Permen

Menururt Martha (2012), Manfaat Chewing Gum diantaranya penurunan

berat badan, namun manfaat yang paling penting dalam penelitian ini adalah

meningkatkan sistem pencernaan. Intervensi yang efektif pada pasien post

operasi yang diduga mengaktifkan cephalic-vagal refleks.

Fase rilis cephalic hormonal terjadi melalui aktivasi vagal serabut eferen

dalam menanggapi sesuatu yang berhubungan dengan makanan rangsangan

sensorik. Dengan demikian, mencicipi makanan dan mengunyah memunculkan

rilis hormonal sebelum merangsang sekresi hormon gastro intestinal, yang

pada akhirnya akan meningkatkan gerak peristaltik usus dan waktu untuk

mengembalikan fungsi gastrointestinal (Crainic, 2009).

Lambung memiliki motilitas khusus untuk gerakan pencampuran

makanan yang dicerna dan cairan lambung, untuk membentuk cairan padat

Page 34: Proposal

yang dinamakan kimus kemudian dikosongkan ke duodenum. Sel-sel lambung

setiap hari mensekresikan sekitar 2500 ml cairan lambung yang mengandung

berbagai zat, diantaranya adalah HCl dan pepsinogen. HCl membunuh sebagian

besar bakteri yang masuk, membantu pencernaan protein, menghasilkan pH

yang diperlukan pepsin untuk mencerna protein, serta merangsang empedu dan

cairan pankreas. Asam lambung cukup pekat untuk menyebabkan kerusakan

jaringan, tetapi pada orang normal mukosa lambung tidak mengalami iritasi

atau tercerna karena sebagian cairan lambung mengandung mukus, yang

merupakan faktor perlindungan lambung (Ganong, 2001).

Menurut Corwin (2008), persarafan otonom dari saluran gastrointestinal

berada di bawah kontrol tanpa pengetahuan kita. Sistem saraf otonom dibagi

menjadi 2 bagian, pertama yaitu saraf parasimpatis, yaitu saraf vagus yang

bertindak terutama menstsimulasi motilitas gastrointestinal, aseteylcholine

merupakan neurotrasnmiter yang paling penting dalam menstimuli aktivitas

otot polos dan sitem hormonal. Yang kedua yaitu sitem saraf simpatis, yang

merupakan bertindak untuk menurunkan aktivitas gastrointestinal adalah

neurotransmiter norepineprin yang paing berperan dalam sitem ini. Aktivitas

moterik utama saluran gastrointestinal dikendalikan oleh sistem saraf enterik

nervous system (ENS). ENS menerima pesan aferen langsung dari usus dan

Page 35: Proposal

dapat secara tepat melakukan respon terhadap atau tanpa mengikutkan sistem

sraf otonom. ENS sering disebut “otak kecil dari usus”.

Sekresi asam lambung dipengaruhi oleh kerja saraf dan hormon. Sistem

saraf yang bekerja yatu saraf pusat dan saraf otonom, yaitu saraf simpatis dan

parasimpatis. Adapun hormon yang bekerja antara lain adalah hormon gastrin,

asetilkolin, dan histamin. Menurut Setyohadi (2009) Terdapat tiga fase yang

menyebabkan sekresi asam lambung yaitu :

1) Fase sefalik

Fase ini sudah dimulai bahkan sebelum makanan masuk lambung,yaitu

akibat, mencium, memikirkan, atau mengecap makanan. Fase ini diperantarai

oleh saraf vagus. Saraf vagus mempunyai dua ganglion yaitu ganglion superior

atau jugulare dan ganglion inferior atau nodosum, keduanya terletak pada

daerah foramen ugularis, saraf vagus mempersarafi semua visera toraks dan

abdomen dan menghantarkan impuls dari dinding usus, jantung dan paru-paru

(Judha, 2008). Sinyal neurogenik yang menyebabkan fase sefalik berasal dari

korteks serebri tau pusat nafsu makan. Impuls eferen kemudian dihantarkan

melalui saraf vagus kelambung. Hal ini menyebabkan kelenjar gastrik

terangsang untuk mengsekresikan HCL, pepsinogen, dan menambah mukus.

Fase sefalik menghasilkan sekitar 10% dari sekresi lambung normal yang

berhubungan dengan makanan.

Page 36: Proposal

Menurut Zanden (2009) saraf vagus berfungsi untuk mengatur fungsi

jantung, sebagai sekresi hormonal, motilitas gastrointestinal dan mengatur

fungsi pencernaan. Selain itu saraf vagus juga berperan dalam mengontrol

respon imun. System saraf ini terdiri dari 90% serabut aferen dan 10% serabut

eferen. Sistem saraf vagus mengatur respon inflamasi melalui aktivasi

hipotalamus hipopisis adrenal axia. Saraf vaggus menstransmisikan sinyal

dengan melepaskan asetilkolin (Ach), yaitu neurotransmitter utama yang berada

di ujung saraf perifer.

2) Fase gastrik

Fase gastrik dimulai saat makanan mencapai atrum pilorus. Distensi

atrium juga dapat menyebabkan terjadinya rangsangan mekanis dari reseptor –

reseptor pada dinding lambung. Impuls tersebut berjalan menuju medula

melalui aferen vagus dan kembali kelambung melalui eferen vagus. Impuls ini

merangsang pelepasan hormon gastrin dan secara langsung juga merangsang

kelenjar – kelenjar lambung. Gastrin dilepas dari dari atrium dan kemudian

dibawa oleh aliran darah menuju kelenjar lambung untuk merangsang sekresi.

Pelepasan gastrin juga dirangsang oleh pH alkali, garam empedu di atrum. Dan

terutama oleh protein makanan dan alkohol. Memnran sel pariental dan di

fundus kan korpus lambung mengandung reseptor untuk gastrin, histamin, dan

Page 37: Proposal

asetilkolin, yang merangsang sekresi asam. Fase gastrik dapat terpengaruh oleh

reseksi bedah pada atrum pilorus, sebab disinilah letak pembentukan gastrin.

3) Fase Intestinal

Fase intestinal dimulai dari gerakan kimus dari lambung ke duodenum.

Fase sekresi lambung diduga sebagian besar bersifat hormonal. Adanya protein

yang tercena sebagian dalam duodenum tampaknya merangsang pelepasan

gastrin usus, suatu hormon yang menyebabkan lambung terus–menerus

menyesekresikan sejumlah kecil cai ran lambung.

4. Komplikasi

Permen karet tidak untuk ditelan tapi terkadang bisa tidak sengaja

tertelan, terutama pada anak-anak. Permen karet terbuat dari pemanis, perasa

dan bahan sintetis (gum resin). Tubuh manusia dapat menyerap pemanis seperti

gula dan bisa menambah kalori jika permen karet tersebut mengandung gula

yang tinggi. Tapi pencernaan manusia tidak bisa mencerna gum resin. Biasanya

dengan bantuan gerakan peristaltik dari usus (usus mendorong bahan tersebut),

maka permen karet tersebut akan keluar saat orang buang air besar. Seluruh

proses gum resin dari kerongkongan ke perut, usus dan keluar melalui ekskresi

tubuh biasanya memakan waktu 2-3 hari. Ini membuktikan bahwa sebenarnya

tidak berbahaya bila tidak sengaja menelan permen karet. Namun bukan berarti

permen karet boleh sengaja ditelan (Wahyuningsih, 2011).

Page 38: Proposal

C. Pengaruh Mengunyah Permen Karet Xylitol Terhadap Pemulihan

Motilitas Usus

Pengaruh Mengunyah permen karet untuk mengatasi durasi dari POI

setelah operasi kolorektal telah dibuktikan dalam lima kelompok acak,

percobaan terkontrol, dan secara sistematis dengan hasil yang dapat

disimpulkan bahwa terdapat signifikansi secara statistic dalam penurunan durasi

POI sekitar 20-30 jam. Mekanisme mengunyah permen karet akan

menstimulasi oral dan dan reflek utama gastrointestinal. Penggunaan permen

karet tidak meningkatkan komplikasi dan mengunyah permen karet merupakan

metode yang aman, sederhana dan biaya yang dikeluarkan murah, oleh karena

itu penggunaan terapi mengunyah permen karet bias digunakan secara ruti pada

pasien post operasi ambdominal (Kehlet, 2008).

Efek permen karet terhadap motilitas usus sudah dijelaskan sebelumnya.

Menurut Nainggolan (2006), mengunyah permen karet dapat meningkatkan

motilitas saluran cerna (p=0,000). Miranda (2007) mengunyah permen karet

pada periode pasca operasi adalah metode yang aman untuk merangsang

motilitas usus dan mengurangi ileus setelah operasi kolorektal. Harma (2009)

Page 39: Proposal

mengunyah permen karet mempercepat pemulihan motilitas saluran cerna pada

pasien yang menjalani operasi caesar dengan general anesthesia. Menggunkan 2

kelompok yaitu kelompok pertama 93 sample mendapatkan perlakukan berupa

mengunyah permen karet setelah operasi selama 15 menit setiap 2 jam dengan

kelompok kedua 107 sample kelompok control dengan terapi konvensional.

Hasilnya terdapat perbedaan yang signifikan (p <0,001)

Papaconstantinou (2005) dalam penelitiannya menyebutkan bahwa

kelompok yang mengunyah permen karet pada colektomi dengan laparoskopi,

mengalami motilitas saluran cerna lebih cepat (3,8 dibanding 5,2 hari) dengan

ketentuan permen karet dikunyah selama 15 menit, 4 x sehari setelah operasi.

Demekian pula dengan Barclay & Vega ( 2006 ). Pada penelitian operasi

terbuka reseksi kolon atau open sigmoidresegtions didapatkan kelompok

perlakuan dengan mengunyah permen karet gerakan pertama motilitas saluran

cerna lebih cepat dari kelompok kontrol dengan perbandingan 63.2 berbanding

89,4 jam;p = 0,04, Permen karet dikunyah 3 kali sehari selama satu jam,

dikunyah pertama kali pada hari pertama post operasi sampai di ijinkan pulang

dari rumah sakit.

Selain itu pada penelitian Maeboud (2009) Gum-chewing speeds return

of first bowel sounds but not first defecation after cesarean section. Pada

penelitian ini kelompok eksperiment diberikan mengunyah permen karet selama

Page 40: Proposal

15 tiap 2 jam. Hasil dari penelitian ini yaitu pasien yang mengunyah permen

karet dengan permen gula tersubstitusi yaitu 4,3 – 8,3 jam, permen karet bebas

gula 10,7 – 6,9 jam dan kelompok yang tidak diberikan mengunyah permen

karet 10,2 – 12,2 jam

Mengunyah permen ditemukan aman dan ditoleransi oleh semua

pasien dalam penelitian ini. Sebagian besar wanita yang mengunyah permen

karet pada umumnya senang, merasa lebih nyaman dan melaporkan tidak

mengalami kekeringan bibir.

Page 41: Proposal

BAB III

KERANGKA KONSEP

A. Kerangka Konsep

Keterangan :

= Variable yang diteliti

= Variable yang tidak diteliti

Anastesi UmumPre OperasiIntra Operasi

Faktor Internal :UsiaPenyakit kronisRespon neuroendokrin

Faktor eksternal :NutrisiMerokokAlcoholPersiapan penunjang

Post Operasi Pembedahan

Teori Hormonal, Neurologikal, Inflamasi

Efek sistem Digestif

Faktor yang mempengaruhi motilitas usus :Nasogastrik (NG)Ambulasi Dini

Motilitas usus pasca operasi

Penurunan Motilitas Usus

Ileus Pasca Operatif

Pelepasan Asetilkolin

Menguyah permen karet

Aktiviasi Nervus VagusRespons Fase sefalik lambung

Gambar 1: Kerangka konsep

= Alur

Page 42: Proposal

B. Variabel dan Definisi Operasional Variabel Penelitian

Variabel penelitian adalah suatu ukuran atau ciri yang dimiliki oleh

kelompok tersebut (Rafii dalam Nursalam, 2008). Menurut Sugiyono (2012),

variabel penelitian adalah segala sesuatu yang berbentuk apa saja yang

ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari sehingga diperoleh informasi tentang

hal tersebut, kemudian ditarik kesimpulannya.

Adapun variable dalam penelitian :

1. Variabel bebas (independen)

Variabel bebas adalah faktor yang diduga sebagai faktor yang

mempengaruhi variabel dependen atau variabel terikat (Notoatmodjo, 2003).

Variabel independen pada penelitian ini adalah mengunyah permen karet gula

alcohol (xylitol).

2. Variabel terikat (dependen)

Variabel terikat adalah faktor yang dipengaruhi oleh variabel bebas

(Notoatmodjo, 2003).Variabel dependen pada penelitian ini adalah pemulihan

motilitas usus.

Variabel yang telah ditetapkan perlu didefinisikan secara operasional,

sebab setiap istilah variabel dapat diartikan secara berbeda-beda oleh orang

yang berlainan (Nursalam, 2008). Untuk menghindari perbedaan persepsi, maka

perlu disusun definisi operasional yang merupakan penjelasan lebih lanjut

Page 43: Proposal

mengenai variabel dan dibuat menurut pemikiran peneliti. Definisi operasional

variabel dalam penelitian ini, disajikan pada tabel 1 sebagai berikut :

No Variable penelitian Definisi Operasional Indicator Skala pengukuran

1 Mengunyah permen

karet gula alkohol

(xylitol)

Proses mengunyah

permen karet gula

alkohol (xylitol) dengan

mulut tertutup seperti

mengunyah makanan

selama 15 menit

sebanyak 2 butir yang

dilakukan pada pasien di

ruang perawatan (segera

setelah datang dari

ruang recovery room).

Mengunyah

dilakukan dengan

mulut tertutup

dengan

menggerakan

rahang atas dan

bawah dan lidah

seperti gerakan

makan (petunjuk

mengunyah permen

karet sesuai dengan

prosedur tetap).

-

2 Pemulihan Motilitas

Usus

Nilai motilitas usus

pasien setelah 1 jam

diberikan pemberian

permen karet xylitol

pada 4 kuadran

abdomen. Setiap bunyi

krek…. Dihitung satu.

Nilai 1 menit

motilitas pasien.

Pre test saat pasien

tiba di ruang

angsoka dengan 2

jam postoperative.

Post test 1 jam

setelah pemberian

permen karet.

Interval

Tabel 1. Definisi Operasional variabel pengaruh mengunyah permen karet xylitol terhadap pemulihan motilitas usus pasien postoperative dengan general anestesi.

Page 44: Proposal

C. Hipotesis Penelitian

Menururt Riwidikdo (2009), hipotetis adalah asumsi atau dugaan

mengenai suatu hal yang dibuat untuk menjelaskan hal tersebut yang sering

dituntut untuk melakukan pengecekannya. Hal ini tidak jauh berbeda dengan

pendapat Arikunto (2002), yang menyatakan hipotesis adalah jawaban

sementara dari suatu penelitian yang kebenarannya akan dibuktikan dalam

penelitian tersebut.

Hipotetis dalam penelitian ini adalah ada pengaruh mengunyah permen

karet xylitol terhadap pemulihan motilitas usus pasien postoperative dengan

general anesthesia.

Page 45: Proposal

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Desain Penelitian

Penelitian ini akan menggunakan jenis penelitian quasi eksperimen.

Rancangan penelitian ini menggunakan desain pretest and posttest with control

group. Kelompok control (metode konvensional ambulasi dini) dalam

penelitian ini adalah kelompok tanpa pemberian permen karet, kelompok

perlakuan akan diberikan terapi mengunyah permen karet. Responden pada

kelompok kontrol akan dilakukan pengukuran motilitas usus sebelum dan

sesudah diberikan terapi konvensional. Pada kelompok perlakuan responden

juga akan dilakukan pengukuran motilitas usus sebelum maupun sesudah

diberikan mengunyah permen karet.

Tabel 2. Skema rancangan penelitian pre dan pos tes dengan kelompok control

Subjek Pre test Perlakuan Post test

Keterangan :Km : Responden perlakuan terapi mengunyah permen karetKk : Responden kontrol yang diberikan terapi konvensionalO1 : Nilai pre tes ( sebelum diberikan terapi mengunyah permen karet

pada kelompok perlakuan)O2 : Nilai pos tes (Setelah diberikan terapi mengunyah permen karet pada

kelompok perlakuan)

Km O1 XM O2

Kk O3 XK O4

Page 46: Proposal

O3 : Nilai pre test (Sebelum diberikan terapi konvensional pada kelompok kontrol)

O4 : Nilai pos tes (Setelah diberikan terapi konvensional pada kelompok kontrol)

Xm : Intervensi terapi mengunyah permen karetXk : Intervensi terapi konvensional

Page 47: Proposal

B. Kerangka Kerja

Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sesudah pemberian mengunyah permen karet

Penyajian Data

Gambar 2. Kerangka kerja

Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sebelum pemberian mengunyah permen karet

Populasi

Pasien post operasi di ruang Angsoka

Kriteria Inklusi Kriteria Eksklusi

Sampel

Berjumlah 26 orang dengan 13 orang dengan mengunyah permen karet dan 13 orang

dengan metode konvensional.

Kelompok Kontrol

(Metode Konvensional)

Kelompok Eksperimen

(Permen Karet)

2 jam post operative 2 jam post operative

Evaluasi 1 jam

Uji Normalitas Data Penelitian Shapiro Wilk

Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sesudah terapi konvensional

Melakukan pengukuran nilai motilitas usus sebelum terapi konvensional

Analisa Data

Uji statistik untuk melihat perbedaan perubahan intensitas nyeri antara kelompok perlakuan dan kelompok kontrol ditentukan dari distribusi data. Jika data berdistribusi normal maka uji

yang digunakan adalah dengan t-test independen menggunakan program komputer (Tk kepercayaan 95 %, p ≤0,05).Jika data tidak berdistribusi normal maka gunakan uji statistik non

parametris man whitney test (Tk kepercayaan 95%, p≤0,05).

Mengunyah permen

Page 48: Proposal

C. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Tempat yang digunakan dalam penelitian ini adalah ruang Angsoka

RSUP Sanglah Denpasar.

2. Waktu Penelitian

Penelitian ini akan dilaksanakan selama satu bulan yaitu pada bulan

Maret s/d April 2013.

D. Populasi, Sampel, dan Teknik Sampling

1. Populasi Penelitian

Menurut Sugiyono (2012), Populasi adalah wilayah keseluruhan yang

terdiri atas objek atau subjek yang mempunyai kuantitas dan karakteristik

tertentu yang ditetapkan oleh peneliti untuk dipelajari dan kemudian ditarik

kesimpulannya. Populasi dalam penelitian ini adalah semua pasien post operasi

yang berada di ruang angsoka RSUP Sanglah Denpasar. Perawatan pasien post

operatif metode konvensional yang digunakan pada penelitian ini adalah yang

diberikan ambulasi dini.

2. Sampel Penelitian

Sampel adalah bagian dari populasi yang dipilih dengan cara tertentu

yang dianggap mewakili populasinya (Sugiyono, 2012). Pada penelitian ini

Page 49: Proposal

yang menjadi sampel adalah pasien post operasi yang sesuai dengan kriteria

inklusi

a. Kriteria Inklusi

1) Status fisik ASA 1 atau status fisik ASA 2

2) Nilai Post Anesthesia Scoring ( Aldrete’s Score ) ≥ 7

3) Lama operasi kurang dari 4 jam.

4) Post operasi hari ke 0.

5) Dengan general anestesi

6) Umur 17 sampai 45 tahun

7) Mau mengunyah permen karet

8) Pasien dengan 2 jam setelah post operasi (dilihat pada Rekam Medic

pasien)

b. Kriteria Eksklusi

1) Tidak kooperatif

2) Pasien terpasang NGT

3) Mempunyai masalah dengan sistem pencernaan (ileus)

4) Operasi pada area mulut dan wajah

5) Reseksi usus

6) Menjalani operasi Gawat Darurat

3. Besar Sampel

Page 50: Proposal

Menurut Madiyono (2006), untuk memperkirakan besar sampel dari dua

kelompok independen dengan uji hipotesis dimana dalam penelitian ini

kelompok yang dimaksud adalah kelompok perlakuan dan kelompok kontrol,

maka adapun rumus yang digunakan dalam penelitian ini sebagai berikut :

n1=n2=2[( za+zb ) s( X1−X2 )

]2

Keterangan :

s = simpangan baku kedua kelompok (standar baku) penelitian

terkait adalah sebesar = 3.2

X1-X2 = perbedaan klinis yang diinginkan (clinical judgement), dalam

penelitian ini perbedaan klinis yang berarti adalah sebesar 4 jam.

Zα = nilai simpangan baku standar sesuai dengan nilai alpha sebesar

0,05 (1,96)

Zβ = power yang diinginkan yaitu 90% (1.282)

Berdasarkan perhitungan di atas maka diperoleh nilai n1 dan n2 sebesar

13 orang.

4. Teknik Sampling

Teknik sampling yang digunakan adalah non probability (non random

sampling) jenis purposive sampling. Menurut Nursalam (2011), purposive

sampling yaitu suatu teknik penetapan sampel dengan cara memilih sampel

diantara populasi sesuai dengan yang dikehendaki peneliti (tujuan/masalah

Page 51: Proposal

penelitian). Menurut Setiadi (2012), purposive sampling yaitu teknik penentuan

sampel dengan pertimbangan tertentu sesuai yang dikehendaki peneliti. Pada

penelitian ini untuk kelompok experiment dilakukan pengambilan data pada

hari senin, selasa dan rabu sampai sample yang dinginkan peneliti terpenuhi,

sedangkan untuk kelompok kontrol dilakukan pengambilan data pada hari

kamis,jumat dan sabtu sampai sample yang diinginnkan terpenuhi. Apabila

sample pada kelompok experiment sudah terpenuhi maka pengambilan data

untuk kelompok kontrol akan dilakukan setiap hari dan apabila sample pada

kelompok control sudah terpenuhi maka pengambilan data untuk kelompok

eksperiment akan dilakukan setiap hari.

E. Jenis dan Cara Pengumpulan Data

1. Jenis Data yang Dikumpulkan

Berdasarkan cara memperolehnya, data yang dikumpulkan dalam

penelitian ini adalah data primer. Data primer dalam penelitian ini adalah data

yang diperoleh sendiri oleh peneliti dari hasil pengukuran, pengamatan, survey

dan lain-lain (Setiadi, 2012), yaitu hasil dari pengukuran lama pemulihan bising

usus pasien data yang dikumpulkan yaitu data rasio.

2. Cara pengumpulan data

Page 52: Proposal

Pengumpulan data merupakan kegiatan penelitian untuk mengumpulkan

data (Hidayat, 2009). Pada penelitian menggunakan Riset Asisten. Peneliti

dalam penelitian ini melakukan langkah pengumpulan data sebagai berikut :

a. Peneliti melakukan pengurusan ijin di Litbang RSUP Sanglah Denpasar

untuk memperoleh surat Ethical Clearance.

b. Setelah surat ijin dikeluarkan oleh Direktur RSUP Sanglah Denpasar dan

Kepala Litbang RSUP, maka dilakukan pendekatan formal terhadap Kepala

Ruang Angsoka RSUP Sanglah Denpasar untuk meminta ijin dan bantuan

dalam pengumpulan data di Ruang Angsoka RSUP Sanglah Denpasar.

c. Penelitian ini menggunakan enumerator penelitian/ peneliti akan dibantu

oleh beberapa orang yang telah dilakukan diskusi dan penyamaan persepsi

cara pengambilan data.

d. Melihat dan mengklarifikasi jadwal operasi pasien di IBS

e. Melakukan pendekatan terhadap pasien yang akan dilakukan operasi, pasien

pre operasi general anastesi diberikan informed consent untuk dilakukan

penelitian apabila setelah operasi memenuhi syarat. Pendekatan ini

dilakukan untuk menghindari adanya kemungkinan miskomunikasi antara

responden dan peneliti saat akan dilakukan penelitian

f. Setelah informed consent dilakukan, selanjutnya peneliti melakukan studi

dokumentasi catatan medic pasien untuk menentukan lama operasi.

Page 53: Proposal

g. Setelah itu, pasien yang telah memenuhi kriteria sampel dilakukan

pemberian perlakuan dan control.

h. Sebelum diberikan pemberian permen karet peneliti melakukan pengukuran

motilitas usus pada kelompok perlakukan dan kelompok kontrol.

i. Memberikan permen karet xylitol kepada kelompok perlakuan.

j. Mengukur motilitas usus pasien kelompok perlaqkuan post operasi 1 jam

sesudah diberikan permen karet dan pada mengukur motilitas usus pada

kelompok control setelah 1 jam 15 menit.

k. Peneliti mengumpulkan data yang telah didapat

l. Melakukan tabulasi dan analisis data

3. Instrumen Pengumpulan Data

Data dikumpulkan menggunakan Instrumen pada penelitian ini adalah

lembar observasi dengan menuliskan nama reponden, umur responden, jenis

anestesi, jenis operasi dan nilai motilitas usus pasien pre dan post pada

kelompok control dan perlakuan dengan menggunakan stetoskop.

F. Pengolahan dan Analisa Data

1. Teknik Pengolahan Data

Pengolahan data merupakan salah satu upaya untuk meprediksi data dan

menyiapkan data sedemikian rupa agar dapat dianalisis lebih lanjut dan

Page 54: Proposal

mendapatkan data siap untuk disajikan. Menurut Setiadi (2012), langkah-

langkah pengolahan data yang akan dilakukan yaitu

a. Editing

1) Dengan memeriksa kelengkapan jawaban responden pada kuesioner,

memperjelas, apabila ditemukan kejanggalan hasil kuesioner atau terdapat

kuesioner yang tidak diberi jawaban akan dilakukan klarifikasi dan

responden diminta untuk menjawab ulang.

2) Pengecekan logis

b. Scoring dan coding

Angket yang sudah terkumpul diperiksa kelengkapannya, kemudian

jawaban responden diberi skor sesuai dengan ketentuan dan diberikan kode

sesuai dengan ketentuan peneliti contoh : untuk umur : kode 1 untuk umur 20-

30 tahun, 2 untuk 31-40 tahun, dan seterusnya.

c. Entry

Kegiatan memasukkan data ke dalam program komputer untuk

mencegah risiko kehilangan data.

d. Tabulasi data

Melakukan tabulasi data ke dalam master tabel yang telah dibuat.

2. Analisis Data

a. Analisa Univariat

Page 55: Proposal

Data yang diperoleh terdiri dari intensitas nyeri sebelum dan sesudah

pada kelompok perlakuan dan kelompok kontrol. Gambaran tentang nilai

motilitas usus sebelum dan sesudah diberikan terapi mengunyah permen karet

dan terapi konvensional yang kemudian akan dianalisis menggunakan uji

statisti deskriptif, lalu hasilnya akan disajikan dalam bentuk narasi dan tabel

distribusi frekuensi.

b. Analisa Bivariat : Pengaruh mengunyah permen karet xylito terhadap

pemulihan motilitas usus pada pasien post operasi dengan general

anesthesia.

Data yang telah terkumpul diolah dengan menggunakan program komputer.

Data yang sudah terkumpul dilakukan analisis uji dengan bantuan program

computer. Uji yang akan digunakan yaitu :

1) Analisis pengaruh mengunyah permen karet terhadap pemulihan

motilitas usus pasien post operasi dengan general anestesia

Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh mengunyah permen karet

terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi dengan general

anesthesia, dilakukan uji normalitas data terhadap data sebelum dan sesudah

diberikan terapi mengunyah permen karet dengan menggunakan uji Shapiro

Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50 orang , jika data berdistribusi normal

Page 56: Proposal

(p value>0,05), maka dilakukan uji statistik parametrik dengan uji t paired

sample tes, namun jika data tidak berdistribusi normal (p value<0,05) maka

dilakukan uji non parametrik dengan uji wilcoxon. Dalam penggunaan uji

statistik t paired sample test, jika nilai p atau nilai sig 2-tailed < α (0,05), dan

nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel, maka Ho ditolak yang berarti ada

perbedaan antara nilai motiltas sesudah diberikan perlakuan dengan sebelum

perlakuan. Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada pengaruh pemberian

mengunyah permen karet terhadap pemulihan motilitas usus pasien post operasi

dengan general anesthesia. Sedangkan uji statistik menggunakan wilcoxon, jika

nilai p value < 0,05 berarti Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada pengaruh

pemberian mengunyah permen karet terhadap pemulihan motilitas usus pasien

post operasi dengan general anesthesia.

2) Analisis pengaruh pemberian terapi kompres panas terhadap

perubahan skala nyeri

Sebelum dilakukan pengujian statistik pengaruh pemberian terapi

konvensional (ambulasi dini) terhadappemulihan motilitas usus pasien post

operasi dengan general anesthesia, dilakukan uji normalitas data terhadap data

sebelum dan sesudah diberikan terapi konvensional dengan menggunakan uji

Shapiro Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50 orang, jika data berdistribusi

normal (p value>0,05), maka dilakukan uji statistik parametrik dengan uji t

Page 57: Proposal

paired sample tes, namun jika data tidak berdistribusi normal (p value<0,05)

maka dilakukan uji non parametrik dengan uji wilcoxon. Dalam penggunaan uji

statistik t paired sample test, jika nilai p atau nilai sig 2-tailed < α (0,05), dan

nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel, maka Ho ditolak yang berarti ada

perbedaan antara intensitas nyeri sesudah diberikan perlakuan dengan sebelum

perlakuan. Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada pengaruh pemberian terapi

konvensional ambulasi didni terhadap pemulihan motilitas usus pasien post

operasi dengan general anestesia. Sedangkan uji statistik menggunakan

wilcoxon, jika nilai p value < 0,05 berarti Ho ditolak dan Ha diterima berarti

ada pengaruh pemberian terapi konvensional terhadap pemulihan motilitas usus

pasien post operasi dengan general anesthesia.

3) Analisis perbedaan motilitas usus dengan pemberian mengunyah

permen karet xylitol dengan terapi konvensional (ambulasi dini).

Analisis perbedaan antara nilai motilitas usus pasien post operasi dengan

general anesthesia yang diberikan mengunyah permen karet xylitol dengan

terapi konvensional (ambulasi dini) dilakukan dengan membedakan selisih dari

nilai motilitas usus sebelum dan sesudah diberikan perlakuan. Selisih atau beda

nilai motilitas usus tersebut dilakukan uji normalitas data dengan menggunakan

uji statistik Shapiro Wilk karena jumlah sampel kurang dari 50 orang, jika data

Page 58: Proposal

berdistribusi normal (p value>0,05), maka dilakukan uji parametrik dengan

menggunakan uji t- test independent , namun jika data tidak berdistribusi

normal (pvalue<0,05) dilakukan dengan uji non parametrik dengan uji Man

Whitney. Dalam penggunaan uji t-test independent Jika nilai p atau nilai sig 2-

tailed < α (0,05), dan nilai t hitung lebih besar daripada nilai t tabel, maka Ho

ditolak yang berarti ada perbedaan antara nilai motilitas usus yang diberikan

mengunyah permen karet xylitol dengan nilai motilitas usus yang diberikan

terapi konvensional. Sedangkan dalam penggunaan uji statistik Man Whitney,

jika nilai p value < α ( 0,05), maka Ho ditolak dan Ha diterima berarti ada

perbedaan antara nilai motilitas usus yang diberikan mengunyah permen karet

xylitol dengan nilai motilitas usus yang diberikan terapi konvensional.

Page 59: Proposal

DAFTAR PUSTAKA

Abi Sofyan Ghifari . 2012. Mengenal Xylitol Gula Langka yang Menyehatkan. http://www.chem-is-try.org. ( akses online 25 desember 2012)

Alimul Hidayat, Aziz. 2009. Metode Penelitian Keperawatan dan Tekhnik Analisis Data. Jakarta: Salemba Medika.

Ari Susanti, Yuni. 2012. Pengaruh Pemberian Anestesi Epidural Terhadap Kadar Gula Darah Pada Operasi Sectio Caesaria. Laporan Hasil Penelitian Karya Tulis Ilmiah, Program Pendidikan Sarjana Kedokteran Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro 2012

Ayuningtyas. 2010. Permen Karet, Sejarah dan Perkembangannya. http://hesti.blog.uns.ac.id. (akses online,27 november 2012)

Bambang Setyohadi. 2009. Inflammatory Bowel Disease Alur Diagnosis dan Pengobatannya di Indonesia. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid I. Edisi IV. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu Penyakit Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia

Barclay, L & Vega, C. 2006. Gum Chewing May Speed Recovery From Postoperative Ileus. Medscape medical news; archives of surgery 2006: 141:174

Christina Crainic. 2009. Comparison of Methods To Facilitate Postoperative Bowel Function. Medsurg Nursing—July/August 2009—Vol. 18/No. 4 235

Corwin, Elizabet J. 2009. Buku saku patofisiologi. Edisi ketiga. Jakarta: EGC

Dewi Fatiharani .2008. Pengaruh Konsumsi Permen Karet Yang Mengandung Xylitol Terhadap Pembentukan Plak Gigi. Artikel Karya Tulis Ilmiah, Bagian Ilmu Penyakit Gigi Dan Mulut Fakultas Kedokteran Universitas Diponegoro Semarang 2008

E. P. Van Der Zanden. 2009. The Vagus Nerve As A Modulator Of Intestinal Inflammation. Neurogastroenterol Motil (2009) 21, 6–17

Page 60: Proposal

Ganong, W. F. 2001. Fisiologi kedokteran. penerbit Buku Kedokteran EGC . Jakarta

Golonka, NR, & Hayashi, AH. 2008. ‘Early “Sham” Feeding Of Neonates Promotes Oral Feeding After Delayed Primary Repair Of Major Congenital Esophageal Anomalies.” The American Journal of Surgery. Vol. 195, pp. 659-662.

H. Randolph Bailey, MD. 2010. Colorectal Surgery. http://www.expertconsultbook.com.(akses online, 23 Desember 2012)

Henrik Kehlet. 2008. Postoperative ileus an update on preventive techniques. Section of Surgical Pathophysiology, 4074 Rigshospitalet, Copenhagen University, Blegdamsvej 9, 2100 Copenhagen, Denmark

Khairunissa, Resti. 2010. Presentasi Kimia Pangan II. http://www.scribd.com. (akses online,20 Oktober 2012)

KHI Abd, El-Maeboud. 2009. Gum Chewing Stimulates Early Return Of Bowel Motility After Caesarean Section. BJOG 2009;116:1334–1339

Latief SA, surjadi K, Dachlan R. 2001 Petunjuk Praktis Anestesiologi. Bagian anestesiologi Fakultas Kedoteran Universitas Indonesia.

Leier, Heather. 2007. Does Gum Chewing Help Prevent Impaired Gastric Motility In The Postoperative Period. Journal Of The American Academy Of Nurse Practitioners; Mar 2007; 19, 3; ProQuest Medical Library pg. 133

Majid. 2011. Keperawatan Perioperatif. Penerbit : Gosyen Publishing : Yogyakarta.

Mangku. 2000. Standar Pelayanan dan Tatalaksana Anestesia-Analgesia dan Terapi Intensif. RSUP Sanglah Fakultas Kedokteran Universitas Udayana Denpasar.

Martha. 2012. 4 Manfaat Mengunyah Permen Karet. http://health.okezone.com ( akses online,27 november 2012)

Mattei, P. 2006. Review of the Pathophysiology and Management of Postoperative Ileus. Word journal of Surgery

Page 61: Proposal

Mehmet Ibrahim, Harma. 2009. Gum-Chewing Speeds Return Of First Bowel Sounds But Not First Defecation After Cesarean Section. Anatolian Journal Obstetric and Gynecology 2009; 1: 1

Miranda K.Y. 2007. Use of Chewing Gum in Reducing Postoperative Ileus After Elective Colorectal Resection: A Systematic Review. Dis Colon Rectum

Mohamad, Judha. 2008. Anatomi Dan Fisiologi (Buku Saku). Penerbit : Salemba Medika

Norteliffe, dkk. 2003. Prention Of Postoperative Nausea and Vomiting After Spinal Morphine for Caesarean Section: Comparison of Cyclizine, Dexametasone and Placebo. British journal of anesthesia 2003;90:665-70

Notoadmodjo, S. 2003. Metodologi Penelitian Kesehatan. Jakarta : PT. Rineka Cipta

Nursalam. 2008. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan, Jakarta : Salemba Medika.

Nursalam. 2011. Konsep dan Penerapan Metodologi Penelitian Ilmu Keperawatan. Edisi II. Salemba Medika. Jakarta

Otah, E. 2005. Ileus Medscape Referemce Drugs, Diseases & Prosedures. http://www.emedicine.com. ( akses online 20 Oktober 2012)

Papacoenstantinou, dkk. 2005. Chewing gum accelerates dhischarge of patients from the hospital after colon resection.

Patolia D.s, Hilliard, R. L.M, toy, E.C, & Baker, B. 2001. Early Feeding After Cesarean: Randomized Trial. The American College of Obstertriction And Gynocologis. Elsevier science. Vol 98, no 1

Potter & Perry. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan : Konsep, Proses & Praktek. Edisi 4. Vol 1. Jakarta : EGC

Rachima, Soraya. 2008. Pengaruh Permen Karet dengan Pemanis Xylitol terhadap pH Plak .Universitas Diponegoro.

Page 62: Proposal

Ronald D, Miller. 2009. Miller's Anesthesia 7th edition. Churchill Livingstone ISBN 978-0-443-06959-8

Sabiston, David C. 1992. Buku Ajar Bedah. Jakarta. EGC

Setiadi. 2012. Konsep & Penulisan Riset Keperawatan. Yogyakarta: Graha Ilmu.

Siahaan. 2000. Anestesi Lokal Dan Regional. Medan: Universitas Sumatra Utara Press

Sugiyono. 2012. Metode penelitian pendidikan. Bandung . Alfabeta

Suzanne C. Smeltzer, Brenda G. Bare . 2001. Brunner and Suddart. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah. Edisi 8.Jakarta: EGC.

Syamsuhidayat, Wim de Jong. 2005. Buku Ajar Ilmu Bedah, Ed.2. Jakarta : EGC

Tjay, T.H., Rahardja, K. 2002. Obat-obat Penting : Khasiat, Penggunaan, dan Efek-Efek Sampingnya. Edisi VI. Jakarta: Penerbit PT. Elex Media Komputindo

Wahyuningsih, 2011. hal Yang Harus Dilakukan Jika Menelan Permen Karet. http://www.ahliwasir.com. (akses online,20 november 2012)

Windiarto. 2010. Differences of Recovery time of Intestinal Peristaltic on Surgical Patients with General Anesthesia Taken with Early Ambulation of Active and Passive ROM in Wira Bhakti Tamtama Hospital Semarang

Yantau. 2010. Seputar permen karet. http://m.epochtimes.co.id (akses online,26 november 2012)