proposal
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Bangsa Indonesia sekarang ini sedang mengalami berbagai
persoalan diberbagai bidang kehidupan, dibidang pembangunan yang
dibarengi dengan proses perubahan sosial, dimana bangsa Indonesia
masih memiliki pertumbuhan penduduk yang cukup tinggi dengan
persebaran yang tidak seimbang antara wilayah pedesaan dan wilayah
perkotaan. Fenomena ini merupakan implikasi dari pembangunan dan
pertumbuhan ekonomi yang tidak seimbang, sehingga menimbulkan
berbagai dampak, antara lain terjadinya mobilitas penduduk dari desa
kekota.
Dari berbagi fenomena tersebut, migrasi merupakan salah satu
fenomena penting dalam hubungan antar bangsa, perubahan-perubahan
cepat ekonomi pembangunan global paling sedikit dipengaruhi oleh
berkembangnya aktivitas yang banyak dikenal dengan migrasi intrnasonal
sampai kepada migrasi sirkuler, oleh karena itu merupakan hal yang
paling penting dan positif untuk disoroti. Hal yang patut diwaspadai adalah
bahwa aktivitas mobilitas yang dilakukan terutama pada Negara-negara
berkembang ke Negara-negara maju adalah sering dilakukakan dan di
ikuti oleh berkembangnya perdagangan manusia dengan berbagai
dimensi.
1
Fenomena ini tidak banyak orang yang memberikan perhatian
pada masalah migrasi dan berbagai rentetan resiko yang ada di dalam
seluruh aktivitas tersebut. Perubahan-perubahan cepat realitas sosial,
ekonomi dan politik dunia telah memberikan peluang besar bagi
terciptanya iklim perdebatan yang jauh lebih luas. Mobilitas penduduk
sebagai sebuah disiplin ilmu yang dianggap marginal pada masa lalu,
mengambil peran penting dalam proses perubahan dimasa kini dan masa
yang akan datang. Terbukanya isolasi antar Negara meleburkan batas-
batas formal politik ke dalam satu sistem global.
Persoalan migrasi secara umum sebenarnya sangat terkait
dengan pola hubungan antar manusia yang terbangun jauh sebelum
peradaban manusia modern terbangun. Dalam berbagai dimensi yang
mengikutinya aktivitas migrasi yang berkembang telah mengalami
berbagai pergeseran makna maupun konsepsi, disini jelas membicarakan
proses migrasi dalam konteks pembangunan regional, nasional maupun
lokal secara makro hampir tidak dapat dihindari, disamping itu
kecenderungan terjadinya konsentrasi kelompok-keompok migran baru di
suatu wilayah terutama di perkotaan menjadi sebuah fenomena yang tidak
bisa terhindarkan.
Melihat fenomena migrasi yang lebih kontemporer, aktivitas
migrasi diartikan sebagai suatu perubahan tempat tinggal, baik parmanen,
maupun semi parmanen yang dapat mencakup pendatang, imigran
pekerja temporer, pekerja tamu, mahasiswa maupun pendatang illegal
2
yang menyeberangi suatu batas wilayah tertentu, pengertian
mengesampingkan, kelompok wisatawan dan komunitas diplomatik yang
tidak berkaitan langsung dengan aktivitas ekonomi produksi, (Samuel
dalam, Abdul Haris, 2005).
Melihat sejarah perkembangan demografi di Indonesia, dikenal
adanya pola migrasi sirkuler yang merupakan salah satu gambaran dan
ketidak mampuan sistem ekonomi desa untuk memenuhi kebutuhan hidup
penduduknya, sehingga gerak perpindahan penduduk yang terjadi adalah
dari wilayah yang kering secarah ekonomi (desa), menuju wilayah yang
mudah memperoleh pendapatan (kota), kota dijadikan sentral kegiatan
non agraris dan wadah untuk memperoleh pekerjaan yang lebih luas
dengan upaya yang lebih menarik. Pada tahun 1970-an menunjukkan
bahwa luasnya migrasi sirkuler terdeteksi kira-kira seperlima dari seluruh
migran antar provinsi sekitar 1,53 juta orang (Rahbini, 1994). Ini
mengindikasikan bahwa fenomena ini merupakan suatu persoalan yang
patut diperhatikan.
Data yang diungkapkan oleh Menteri Pembangunan Desa
Tertinggal kala itu, diketahui bahwa jumlah desa di Indonesia adalah
sekitar 70.611 desa, dan 45 % diantaranya masuk ke dalam kategori desa
tertinggal. Untuk meningkatkan pembangunan ekonomi Indonesia,
tentunya tak dapat lepas dari pembangunan ekonomi di desa-desa yang
ada di negara ini. Oleh karena itu, kiranya menarik untuk mengkaji lebih
jauh dan dalam mengenai hubungan antara migrasi dan pertumbuhan
3
ekonomi di desa, dalam artian sejauh mana peranan pembangunan
ekonomi desa melalui migrasi sirkuler dapat meningkatkan pembangunan
dan pemerataan kesejahteraan ekonomi di Indonesia dalam rangka
pengentasan kemiskinan di daerah-daerah tertinggal tersebut.
Secara sosiologis, migrasi desa-kota tidak sekedar gerak yang
berkenaan dengan lintasan batas-batas geografi. Lebih mendasar lagi,
gerak ini merupakan wahana melintasi batas-batas budaya agraris-
tradisional dengan budaya industrial–modern. Migran berasal dari desa,
dimana wujud kesatuan atas dasar tinggal dekat dan atas dasar keturunan
masih dijunjung tinggi. Kehidupan sosial dan ekonomi bertumpangtindih
dalam tindakan kolektif karena adanya saling ketergantungan ekologi
maupun proses-proses biologi dalam berproduksi (Everett, dalam
terjemahan Hans Daeng; 1984). Interaksi antar tetangga rumah, tetangga
dusun dan tetangga desa berlangsung dengan berhadapan muka dan
bersifat mendalam. Waktu senggang yang digunakan untuk membangun
hubungan silaturahmi dan bercengkerama dengan masyarakatnya cukup
besar dan dipandang sebagai kebutuhan mendasar.
Dengan menyandang konsep diri berupa nilai-nilai agraris
tradisional di atas, para migran bekerja di kota, dimana interaksi antar
warga relatif longgar. Pekerja terpisah dari hasil kerja maupun dari alat-
alat produksinya. Pekerja industri dituntut bersifat efisien, rajin, teratur,
tepat waktu, sederhana, dan rasional dalam memutuskan tindakan.
Sebagian besar indikator produksi dan status dinilai dengan uang.
4
Perubahan tempat bekerja dari desa ke kota atau dari agraris ke industri
yang memiliki kebiasaan, simbol-simbol, nilai dan norma yang berbeda,
mensyaratkan adanya proses adaptasi yang meliputi seluruh tindakan
sosial-ekonomi-budaya seorang migran.
Wilayah Kabupaten Buton Propinsi Sulawesi Tenggara
merupakan salah satu wilayah yang masih memerlukan akselerasi
pembangunan guna mengejar ketertinggalan dari daerah-daerah lain di
Sulawesi tenggara, sementara bila kita buka lembaran sejarah tertoreh
dengan jelas kontributor Pendapatan Asli Daerah (PAD) Sulawesi
tenggara awalnya adalah Buton dengan aspalnya, menyusul kemudian
Muna dengan jatinya dan Kolaka dengan nikelnya. Kendari saat itu baru
berupa wilayah yang membentang dari Mata-Kendari Caddi hingga Tipulu
(kawasan Kendari Beach saat ini). Saat ini bila kita lihat perkembangan
pembangunan yang terjadi di daratan Kendari patutlah kita yang berada
digugusan kepulauan membulatkan tekad untuk melakukan perubahan
yang lebih fundamental menuju kesejahteraan. Upaya kearah itu
sesungguhnya telah dilakukan baik oleh pemerintah Kabupaten Buton
maupun masyarakat di jazirah Buton itu sendiri, meski dengan resiko
wilayah Buton yang demikian luas harus terbagi-bagi dalam bentuk
wilayah pemerintahan otonomi baru.
Kecamatan Lapandewa, khususnya Desa Gaya Baru adalah salah
satu wilayah daerah pesisir yang masyarakatnya memiliki mobilitas yang
5
cukup tinggi hampir sebagian lebih anggota keluarga yang melakukan
migrasi sirkuler setiap tahunnya.
Dari latar belakang dan permasalahan diatas, maka melalui
proposal tesis ini penulis tertarik meneliti tentang pola hubungan sosial
ekonomi keluarga migrasi sirkuler di Desa Gaya Baru Kecamatan
Lapandewa Kabupaten Buton dan dampak migrasi sirkuler oleh kepala
keluarga atau salah satu anggota keluarga terhadap kondisi sosial
ekonomi keluarga di pedesaan.
B. Rumusan Masalah
Dari Latar belakang pemikiran yang ada dan melihat
permasalahan sesuai dengan judul penelitian yakni Pola Hubungan sosial
keluarga migrasi Sirkuler Terhadap Kehidupan Sosial Ekonomi di Desa
Gaya Baru Kecamatan Lapandewa Kabupaten Buton, maka penulis
mengemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
1. Proses faktor pendorong terjadinya migrasi sirkuler di Desa
Gaya Baru.
2. Bagaimana pola hubungan sosial ekonomi keluarga migrasi
sirkuler pada masyarakat Desa Gaya Baru.
3. Dampak migrasi sirkuler terhadap kehidupan sosial ekonomi
pada keluarga di Desa Gaya Baru.
6
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk menganalisa pola hubungan keluarga migrasi sirkuler
pada masyarakat Desa Gaya Baru.
2. Untuk menganalisa dampak migrasi sirkuler terhadap
kehidupan sosial ekonomi pada keluarga di Desa Gaya Baru.
3. Untuk menganalisa faktor pendorong terjadinya migrasi
sirkuler di Desa Gaya Baru.
D. Kegunaan Penelitian
Berdasarkan rumusan masalah dan tujuan yang ingin dicapai,
maka penelitian ini diharapkan berguna:
1. Menjadi sumber informasi dan bahan pertimbangan bagi pihak
yang ingin memperdalam kajian tentang migrasi sirkuler
khususnya di desa Gaya Baru Kecamatan Lapandewa
Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi Tenggara.
2. Menghasilkan kajian ilmiah untuk menjadi salah salah satu
referensi tentang migrasi sirkuler sekaligus sebagai bahan
masukan untuk pemerintah Kabupaten Buton Provinsi Sulawesi
Tenggara.
7
BAB. II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Konsep Migrasi Sirkuler
Dalam konsep sosiologi, menurut Kimball Young dan Raymond W.
Mack (dalam Soekamto, 1999) menyatakan bahwa gerak sosial (social
structure) yaitu: pola-pola tertentu yang mengatur organisasi suatu
kelompok social. Struktur sosial mencakup sifat-sifat hubungan antara
individu dalam kelompok dan hubungan antara individu dengan
kelompoknya. Misalnya seseorang yang berprofesi sebagai guru
kemudian pindah dan beralih pekerjaan menjadi pemilik toko buku, maka
ia melakukan gerak sosial (mobilitas sosial).
Menurut Sorokin (Soekamto, 1999) tipe-tipe gerak sosial yang
prinsipil ada dua macam yaitu: gerak sosial yang horizontal dan gerak
sosial vertikal. Gerak sosial yang horizontal adalah merupakan peralihan
individu atau objek-objek sosial lainnya yang sederajat. Sedangkan gerak
sosial yang vertikal dimaksudkan sebagai perpindahan individu atau objek
sosial dari suatu kedudukan sosial kekedudukan lainnya, yang tidak
sederajat, dan melihat makna gerak sosial penduduk (population mobility)
sebagai gerak spesial, fisik atau geografis dengan berbagai tujuannya.
Namun sebenarnya makna utamanya adalah untuk kepentingan
peningkatan ekonomi dan perbaikan tingkat pendidikan. Gerak penduduk
tersebut berlangsung dari desa ke kota, jarang terjadi sebaliknya.
8
Berdasarkan bentuk-bentuk/pola gerak penduduk menurut
dimensi ruang, waktu dan hasrat sebelum pindah dengan penduduk
digolongkan atas:
1. Migrasi permanen, yaitu meninggalkan desa asal dan tinggal
secara permanen ditempat tujuan paling kurang satu tahun,
seterusnya dengan hasrat sebelum pindag ingin menetap atau
nanti muncul hasrat setelah lebih satu tahun ditempat tujuan.
2. Migrasi semi permanen adalah meninggalkan desa asal atau
lebih banyak menetap di tempat tujuan atau mengubah tempat
tingggal sementara, minimal satu hari sampai satu tahun dan
seterusnya 5 tahun sampai dengan 10 tahun, dan masih punya
rencana untuk kembali ke desa asal.
3. Gerak sirkuler adalah gerak penduduk keluar desa asal secara
teratur dan berulang kali tetapi tempat tinggal di daerah asal
minimal satu hari sampai dengan satu tahun dan sama sekali
tidak beminat akan pindah.
4. Gerak ulang aling adalah gerak penduduk keluar dan kembali
dari desa asal secara teratur dalam waktu beberapa jam
(sekitar 6 jam sampai satu hari atau sampai 24 jam), (Abustam,
dalam Baso; 1991).
Singhanarto (Jumadi, 2000) mengemukakan bahwa migrasi
adalah mengubah tempat tinggal secara pasti dan sekurang-kurangnya
satu minggu sampai perpindahan secara pasti dan sekurang-kurangnya
9
satu minggu sampai perpindahan secara mutlak, gerak sirkulasi adalah
gerak meninggalkan desa selama satu minggu sampai selama satu tahun,
dan komutasi adalah gerak penduduk setiap hari atau setiap minggu untuk
bekerja atau untuk tujuan bersekolah dan pergi untuk musiman.
Perpindahan penduduk atau migrasi merupakan suatu gejala yang
sudah ama dikenal dalam sejarah kehidupan Manusia. Andi Lolo (dalam
Baso, 1990) mengemukakan bahwa migrasi seumuran dengan usia
kemanusiaan dan telah berlangsung dari waktu dengan jumlah serta jarak
perpindahan yang semakin meningkat.
Dalam arti luas, migrasi adalah perubahan tempat secara
permanen tanpa memperhatikan jarak perpindahan maupun sifatnya, yaitu
apakah bersifat sukarela atau terpaksa, serta tidak dibedakan antara
perpindahan dalam dan migrasi keluar negeri. (Everett, terjemahan Hans
Daeng; 1984).
Migrasi biasanya juga disebut mobilitas permanen, sedang
sirkulasi atau migrasi sirkuler disebut mobilitas non permanen. Perbedaan
kedua pengertian itu tergantung pada adanya niat untuk menetap atau
tidak di daerah tujuan. (Everett, terjemahan Hans Daeng; 1984).
Mantra (1984) mengatakan bahwa migrasi sirkuler adalah
perpindahan penduduk dari dusun dalam waktu lebih dari satu hari, tetapi
kembali dalam waktu paling lama satu tahun. Biasanya perpindahan ini
akan di ulangi pada musim-musim tertentu.
10
Zelinsky (Pardoko, 1984) mengatakan bahwa migrasi sirkuler
dibedakan dengan Commuter sebab walaupun keduanya mencakup
perpindahan, namun yang pertama berlangsung dalam jangka waktu
singkat, berulang-ulang tetapi tidak bermaksud menetap di suatu tempat
secara permanen.
Menurut Petersen (Baso, 1990) ada dua tipe migrasi, yaitu migrasi
konservatif (Konservative migration) dan migrasi inovatif (innovative
migration). Migrasi Koservatif adalah perpindahan dari satu tempat
ketempat lain untuk mempertahankan gaya hidup tertentu, sedangkan
migrasi inovatif adalah migrasi yang bertujuan untuk memperoleh gaya
hidup baru.
Selanjutnya Patersen (dalam Baso,1990) mengemukakan adanya
empat macam migrasi, yaitu:
1. Migrasi primitif (Primitive migration) yaitu migrasi yang
disebabkan oleh semakin menurunnya daya dukug alam.
2. Migrasi paksaan (impelled or forced migration), yaitu migrasi
yang disebabkan oleh kekuatan politis atau kekuatan ekonomis
yang memaksa orang untuk pindah.
3. Migrasi bebas (Free migration), yaitu migrasi yang didasarkan
pada keinginan individu untuk pindah.
4. Migrasi massal (mass migration), yaitu migrasi yang terjadi
karena adanya kekuatan-kekuatan sosial atau pola-pola sosial
yang merupakan suatu kebiasaan atau tingkah laku sosial.
11
Selain keempat macam migrasi diatas di Indonesia setidak-
tidaknya dikenal dua tipe migrasi, yaitu :
1. Transmigrasi, yaitu migrasi struktural yang direncanakan dan
dikendalikan oleh pemerintah,
2. Migrasi yang bersifat sosio-kultural.
Ravenstein (dalam Haris, 1990) yang dikenal sebagai peletak
dasar teori gravitasi, mengemukakan suatu hukum migrasi yang kemudian
popular sebagai “hukum Ravenstein”. Hukum itu terdiri atas tujuh bagian,
yaitu:
1. Semakin jauh jarak, semakin kurang volume migrant.
2. Turunnya jumlah penduduk di pedesaan sebagai akibat
migrasi, akan diganti secara bertahap oleh migran dari daerah-
daerah yang terpencil.
3. Setiap arus yang besar akan menimbulkan arus balik sebagai
penggatinya.
4. Adanya perbedaan desa dengan kota akan mengakibatkan
timbulnya migrasi.
5. Wanita cenderung migrasi kedaerah-daerah yang dekat
letaknya.
6. Kemajuan teknologi akan mengakibatkan intensitas migrasi.
7. Motif utama migrasi adalah ekonomi.
Pada dasarnya migrasi penduduk merupkan reaksi atas adanya
kesempatan ekonomi yang berbeda antara satu wilayah dengan wilayah
12
lain. Sehingga merupakan refleksi atas terjadinya perbedaan
pertumbuhan dan ketidakmerataan fasilitas pembangunan antara satu
daerah dengan daerah lainnya. Pola migrasi penduduk di Negara-negara
maju biasanya sangat kompleks yang menggambarkan kesempatan
ekonomi yang lebih seimbang dan saling ketergantungan antara wilayah
didalamnya. Sedangkan pada negara-negara berkembang, biasanya pola
mobilitas menunjukkan pemusatan arus migrasi kewilayah-wilayah
tertentu saja, khususnya kota-kota besar.
Konsep “Merantau” sebagai bentuk migrasi spontan, oleh Naim di
beri batasan sebagai “Meninggalkan batas kebudayaan secara sukarela
untuk jangka waktu singkat atau lama dengan tujuan untuk mencari
penghidupan, pengetahuan atau pengalaman dan biasanya masih berniat
untuk kembali kedaerah asal” (Baso, 1990).
Mirip dengan konsep merantau diatas menurut Hugo (Baso, 1990)
pada migrant sirkuler para migrant tetap mempertahankan tempat
tinggalnya didaerah asal selama berada dikota. Lagi pula, migran
semacam itu dikaitkan dengan adanya pekerjaan tetap pada daerah
tujuan, walaupun biasanya mereka hanya terlibat pada pekerjaan tidak
tetap dalam sektor informal. Oleh karenanya, migran sirkuler tetap
terorientasi pada pekerjaan di desa, sedangkan frekuwensi melakukan
migrasi ditentukan oleh jarak dan biaya yang dikeluarkan, tujuan yang
ingin dicapai didaerah tujuan dan tidak tersedianya pekerjan di daerah
13
asal. Pada umumnya migrant sirkuler bersifat musiman, biasaya antara
musim menanam padi dan musim panen.
Menurut Mantra (1991) model yang sering digunakan untuk
menganalisa migrasi penduduk disuatu wilayah adalah model dorong tarik
(push pull factors) kondisi sosial ekonomi didaerah asal yang tidak
menginginkan untuk memenuhi kebutuhan (needs) menyebabkan orang
tersebut ingin pergi kedaerah lain yang dapat memenuhi kebutuhan
tersebut, jadi antara daerah asal dan daerah tujuan terdapat perbedaan
nilai kefaedahan wilayah (place utility). Daerah tujuan mempunyai nilai
kefaedahan yang tinggi dibandingkan dengan daerah asal sehingga
menimbulkan terjadinya mobilitas penduduk.
Dari berbagai pendapat yang dikemukakan sebelumnya maka
penulis berkesimpulan bahwa yang dimaksud dengan migrasi sirkuler
adalah penduduk yang meninggalkan desa menuju kota dalam waktu
lebih dari satu hari dan kurang dari satu tahun serta tidak punya
niat/hasrat untuk menetap didaerah tujuan (kota). Jadi meskipun para
pelaku migrasi sirkuler bekerja di kota tetap bertempat tinggal di desa
bersama dengan keluarga.
B. Faktor-Faktor Migrasi
Faktor ekonomi masih merupakan alasan yang dominan sehingga
seseorang melakukan migrasi, walaupun juga terdapat faktor-faktor lain.
Dari hasil penelitian Mantra (1991) menunjukkan bahwa kekuatan yang
mendorong orang meninggalkan daerahnya timbul karena adanya ketidak
14
puasan penduduk dalam bidang pertanian, kurang kesempatan kerja, dan
terbatasnya fasilitas pendidikan. Tadaro (Ananta 1993) mengemukakan
bahwa bahwa migrasi terjadi melalui keputusan yang rasional untuk
memaksimumkan penghasilan dimasa depan. Menurut J.H. De Goode,
Kemiskinan di desa adalah faktor pendorong terjadinya migrasi (Schrool,
1981); sebab-sebab kemiskinan itu bermacam-macam seperti cepatnya
pertumbuhan penduduk yang tidak diimbangi kecepatan pertambahan
persediaan tanah pertanian baru, mekanisasi pertanian, terdesaknya
kerajinan rumah tangga di desa-desa oleh produk industri modern.
Dalam konteks perdebatan panjang menyangkut persoalan
migrasi paling kurang ada tiga hal yang patut dipetimbangkan (Haris:
2005); pertama. Leburnya batas-batas negara ke dalam sistem ekonomi
dan politik global yang melahirkan unionisme ekonomi memberikan
peluang aktivitas yang lebih bebas, baik secara individu maupun kolektif
untuk melakukan aktivitas ekonomi produktif diberbagai wilayah.
Kebebasan melakukan aktivitas tersebut tentu saja mengandung banyak
resiko yang tidak dapat diperediksi berdasarkan fakta-fakta spesifik.
Berubahnya geo-ekonomi geo-politis telah mengubah pula status tenaga
kerja yang menjadi bebas nilai, ini berarti bahwa tenaga kerja yang
melakukan aktivitas produksi tidak memilki ikatan-ikatan kepemilikan
abadi oleh suatu Negara tertentu kecualai dalam konteks hukum legal
dalam kerangka perlindungan yang lebih luas.
15
Kedua, realitas kemiskinan yang ada dibanyak Negara
berkembang patut pula dicurigai sebagai faktor penting berkembngnya
volume migrasi antar negara maupun antar daerah, yang seringkali
menimbulkan kerumitan-kerumitan dalam membangun hubungan-
hubungan ekonomi yang lebih berimbang. Ketergantungan ekonomi dan
politik Negara-negara berkembang terhadap Negara-negara maju telah
menciptakan jurang kemiskinan yang semakin besar. Hal ini pada
gilirannya memaksa tercipta peluang mobilitas penduduk atau juga
migrasi tanpa ada perlindungan yang pasti.
Ketiga, instabilitas ekonomi kawasan atau daerah telah
menciptakan “gudang” penganngguran tidak terkendali yang melahirkan
munculnya kegelisahan-kegelisahan sosial. Dalam kerangka yang lebih
spesifik kegelisahan tersebut, menciptakan peluang munculnya bentuk-
bentuk kriminalitas yang menghambat terjadinya perubahan positif dalam
bidang ekonomi politik. Lebih jauh kondisi tersebut juga telah melahirkan
berbagai bentuk penyakit sosial yang makin mempersulit posisi tawar
pemerintah dalam melaksanakan berbagai program pembangunan
nasional dalam berbagai tingkatan.
Sementara Everett (terjemahan oleh Hans Daeng: 1984)
menganalisis pengaruh orang mengambil keputusan untuk bermigrasi dan
proses migrasi yang disingkat menjadi empat pokok pembicaraan, yaitu:
pertama faktor-faktor yang terdapat didaerah asal; kedua, faktor-faktor
yang terdapat di tempat tujuan; ketiga penghalang antara, dan; ke-empat
16
faktor-faktor pribadi. Selanjutnya ia mengemukan dalam kaitan empat
faktor tersebut persepsi seseorang terhadap faktor-faktor itu adalah yang
utama sebagai daya pendorong orang untuk bermigrasi. Kepekaan
pribadi, kecerdasan, kesadaran tentang kondisi dilain tempat
mempengaruhi evaluasinya tentang keadaan di tempat asal; pengetahuan
tentang keadaan di tempat tujuan tergantung kepada hubungan-hubungan
seseorang atau berbagai sumber informasi yang tidak tersedia secara
umum.
C. Keluarga Sebagai Suatu Sistem Sosial
Suparto (1987) menyatakan bahwa keluarga merupakan unit
sosial kecil yang terdiri atas; suami, istri, dan anak-anak mereka
(termasuk anaak tiri dan anak angkat). Selanjutnya dikemukakan bahwa,
keluarga adalah merupakan kelompok primer yang paling penting dalam
masyarakat, juga sebuah grup yang terbentuk dari perhubungan laki-laki
dan wanita, perhubungan mana sedikit banyak berlangsung lama untuk
menciptakan dan membesarkan anak-anak. Jadi keluarga dalam bentuk
yang murni merupakan suatu kesatuan sosial yang terdiri dari suami, istri,
dan anak-anak yang belum dewasa.
Soekamto (1990) menyatakan bahwa keluarga adalah merupakan
kelompok-kelompok kecil (small group) dalam kerangka masyarakat
tertentu. Dari pandang sudut sosiologi, keluarga tidak semata-mata dilihat
sebagai “kinship group” yang terdiri dari ayah ibu, dan anak yang
17
terhimpun atas pertalian darah dan perkawinan, tetapi juga ditempatkan
sebagai unit terkecil dalam masyarakat (Usman, 1998).
“Keluarga” merupakan salah satu objek kajian sosiologi. Seorang
pakar teori Fungsionalisme Struktural Robert K. Merton (Ritzer, 1992)
berpendapat bahwa, objek analisa sosiologi adalah fakta sosial seperti:
peranan sosial, pola-pola institusional, proses sosial, organisasi kelompok,
pengendalian sosial dan sebagainya. Dan secara terpencil fakta sosial itu
terdiri atas kelompok, kesatuan masyarakat tertentu (societies), sistem
sosial, posisi, peranan, nilai-nilai, keluarga, pemerintahan, dan
sebagainya.
Struktur keluarga sebagai suatu sistem keseluruhan yang kokoh
merupakan indikasi terciptanya ketangguhan keluarga itu sendiri. Semakin
kokoh dan utuh (daya tahan) suatu kelurga maka dapat dibuktikan dengan
terciptanya harmonisasi dan keakraban sesama anggota keluarga. Untuk
menjaga “kestabilan” keluarga sebagai suatu sistem social, maka semua
fungsi dan dinamika yang tumbuh dalam kehidupan keluarga harus selalu
dipelihara dan dikontrol/dikendalikan sehingga tercipta suatu keteraturan
(order) yang menuju kepada keseimbangan. Parson (Rirzer; 2004) yang
terkenal dengan analisanya tentang fungsional sistem sosial,
mengemukakan bahwa ada 4 persyaratan fungsional suatu sistem yang
dikenal dengan AGIL yaitu:
1. Adaptation: Setiap sistem harus menyesuaikan diri dengan
lingkungannya.
18
2. Goal Attainment: Setiap sistem harus memiliki suatu alat untuk
memobilitasi sumbernya supaya dapat mencapai tujuan-
tujuannya dengan demikian mencapai grafikasi.
3. Integration: Setiap sistem harus mempertahankan koordinasi
internal dari bagian-bagiannya dan membangun cara-cara yang
tidak berpautan dengan deviansi- dengan kata lain dia harus
mempertahankan kesatuannya.
4. Latent Pattern Maintenance: Setiap sistem harus
mempertahankan dirinya sedapat mungkin dalam keadaan
yang seimbang.
Keluarga sebagai suatu sistem sosial tentunya perlu menjaga
keharmonisan kehidupan keluarga tersebut dalam berbagai aspek demi
tercapainya keutuhan dan keseimbangan. Diharapkan bahwa semua
komponen (sub-sub sistem) yang ada didalamnya dapat menjalankan
fungsinya masing-masing. Sebagai salah satu teori yang mendasari
paradigma fakta sosial, teori fungsionalisme Struktural menganut
pandangan bahwa masyarakat (keluarga) merupakan suatu sistem sosial
yang terdiri dari bagian-bagian atau elemen yang saling berkaitan dan
saling menyatu dalam keseimbangan. Perubahan yang terjadi pada suatu
bagian akan membawa perubahan pula terhadap bagian yang lain. Jadi
asumsi dasarnya adalah bahwa setiap struktur dalam sistem sosial
fungsional berpengaruh terhadap struktur atau elemen yang lain (Ritzer,
1992).
19
Fungsi adalah merupakan akibat-akibat yang dapat di amati yang
menuju pada adaptasi atau penyesuaian diri dalam suatu sistem.
Pernyataan yang lahir kemudian adalah, apakah setiap keluarga dapat
diharapkan berfungsi untuk menjaga keutuhan dan keseimbangannya
sebagai suatu sistem sosial. Menurut pendapat (Usman, 1998), semakin
dirasakan oleh banyak keluarga sekarang bahwa perbedaan dan
kepentingan yang terjadi di antara keluarga (suami, istri, dan anak)
semakin sulit dicari titik temunya. Kini semakin sering terjadi, suami
memiliki jalan pikiran tersendiri yang amat beberapa dengan jalan pikiran
istri dan demikian pula sebaliknya. Anak pun kerapkali mempunyai
kehendak sendiri yang tidak mudah dikompromosikan dengan kehendak
orang tua.
Robert K Merton (Ritzer, 2004) mengembangkan pula suatu
konsep yang disebutnya dengan: disfungsi. Sebagaimana struktur sosial
atau pranata sosial dapat menyumbang terhadap pemeliharaan fakta-
fakta sosial lainnya, sebaliknya ia juga menimbulkan akibat-akibat yang
bersifat negatif, atau dengan istilah fungsional dan disfungsional.
Selanjutnya Parson juga memperkenalkan konsep fungsi nyata dan fungsi
manifest. Fungsi nyata merupakan fungsi yang di harapkan dari suatu
sistem sosial. Sementara fungsi tersembunyi adalah fungsi yang tak
diharapkan dari suatu sistem social. Fungsi ini dapat juga dihubungkan
dengan konsep lain Merton, yaitu akibat yang tak diharapkan dari tindakan
20
sosial, di mana tindakan mempunyai akibat, baik yang diharapkan
maupun yang tak diharapkan.
Beberapa sosiolog telah mengidentifikasikan berbagai fungsi
keluarga. Seperti Horton dan Hunt (Kamanto, 1983) mengemukan
identifikasi fungsi-fungsi keluarga antara lain: Pengaturan seks,
reproduksi, sosialisasi, afeksi, defenisi status, perlindungan, dan ekonomi.
Khusus untuk fungsi afeksi yaitu keluarga memberikan cinta kasih pada
seorang anak. Berbagai studi telah memperlihatkan bahwa seorang anak
yang tidak menerima cinta kasih dapat berkembang menjadi menyimpang,
menderita gangguan kesehatan, dan dapat meninggal. Kemudian untuk
fungsi perlindungan kepada anggotanya (ayah terhadap seluruh anggota
keluarga) meliputi perlindungan fisik, maupun yang bersifat kejiwaan.
Untuk fungsi ekonomi, keluarga akan berfungsi secara tertentu seperti
produksi, distribusi, dan konsumsi.
D. Kehidupan Sosial Ekonomi Keluarga
Menurut Effendi secara ekonomi kemiskinan dapat diartikan
sebagai kekurangan sumber daya yang dapat digunakan untuk
meningkatkan kesejahteraan kelompok orang. Menurut pengertian ini,
kemiskinan dikatakan dengan pendapatan dan kebutuhan minimum.
Dengan kata lain, kemiskinan adalah ketidak cukupan seseorang atau
sekelompok orang untuk memenuhi kebutuhan dasar, yaitu pangan,
sandang, perumahan, dan lain-lain. Suhunaryo; (Supriyatna, 2000)
berpendapat bahwa yang dimaksud dengan golongan yang
21
berpendapatan rendah atau golongan miskin adalah golongan yang
memperoleh pendapatan atau penerimaaan sebagai imbalan terhadap
kerja mereka yang jumlahnya jauh lebih sedikit apabila dibandingkan
dengan kebutuhan pokoknya.
Kemiskinan merupakan masalah utama bagi sebagian besar
penduduk pedesaan. Beberapa teori telah dikembangkan untuk mengatasi
kemiskinan ini terutama dalam upaya pemenuhan kebutuhan dasar.
Sebuah konsep yang disebut dengan sebutan’household strategy’ yang
dikemukakan oleh Bernnet (Ahimsa, 1985) menganut bahwa yang
dimaksud dengan household strategy adalah pola-pola yang dibentuk oleh
berbagai penyesuaian yang direncanakan oleh manusia untuk
mendapatkan serta menggunakan sumber-sumber daya dan untuk
memecahkan masalah yang langsung mereka hadapi.
James II Weaver (Susanto, 1984) membahas beberapa model
pembangunan yang berusaha mengatasi pemerataan yang belum
terwujud, berdasarkan pendekatan yang kurang memperhatikan para
petani di pedesaan. Pendekatan tersebut adalah:
1. sistem ‘employment generation’, yang mengutamakan
pencetakan kesempatan kerja baru dalam rangka kerja sama
dengan pihak swasta;
2. Meningkatkan kemampuan masyarakat melalui peningkatan
kemampuan modal terutama untuk golongan ekonomi lemah,
22
ini merupakan teori dari Bank Dunia dan terutama Chnerey
yang memang mirip dengan teori pertama;
3. Memenuhi kebutuhan dasar sebagaimana dianjurkan oleh
menhub UI Haq dari Bank Dunia bersamaan dengan James
Grant dari ‘Overseas Development Council’ yang
menitikberatkan pendidikan dan pelayanan sosial lainnya; dan
4. Pendekatan John Mellor yang melihat unsur pemerataaan dari
segi pemilikan tanah, terutama untuk daerah pedesaan.
Untuk mengatasi masalah ekonomi di daerah pedesaan telah
ditemukan berbagai mekanisme sosial ekonomi yang dikenal pula istilah
gotong royong (social exchange), yang oleh James C. Scoot dalam
Susanto, (1984) menggunakan istilah etos subsistensi (subsistensi ethics).
Apabila suatu kelompok memiliki suatu etos tertentu terhadap
suatu masalah, hal ini berarti bahwa masalah tersebut bukan merupakan
hal yang baru pertama kali yang di alami oleh masyarakat tersebut, tetapi
telah merupakan suatu yang rutin, sehingga demi ketenangan sosial
kelompok yang bersangkutan di adakan suatu peraturan sosial intern
kelompok. Oleh karena itu, James C. Scoot (Susanto, 1984) mengatakan
bahwa etos subsistensi sebenarnya berakar pada praktek ekonomi dan
kegiatan sosial yang bersifat resiprokal dalam masyarakat. Susanto
(1984) mengemukakan bahwa ternyata kegotong-royongan telah
memungkinkan kampung bukan saja bertahan dalam hal eksistensi sosial
ekonomi, tetapi juga dalam memperbaiki kualitas hidupnya secara fisik.
23
Menurut James. C. Scott (Susanto,1984), ada tiga cara yang
umumnya dilakukan keluarga miskin dalam mengatasi masalah krisis.
Pertama ; mereka dapat meningkat sabuknya lebih kecang lagi dengan
jalan makan hanya sekali sehari dan beralih kemakanan yang
mutuhnya lebih rendah.
Kedua ; menggunakan alternatif subsistensi, yaitu swadaya dengan
mencakup kegiatan-kegiatan seperti berjualan kecil-kecilan,
bekerja sebagai tukang, sebagai buruh lepas atau melakukan
migrasi untuk mencari pekerjaan.
Ketiga ; meminta bantuan kepada sanak saudara, kawan-kawan
sedesa atau memanfatkan hubungan dengan
perlindungannya (patron), dimana ikatan patron dan kliennya
(buruh) merupakan bentuk asuransi si kalangan petani.
E. Pemenuhan Kebutuhan Hidup Rumah Tangga Masyarakat Desa
Selain kebutuhan sosiologis dan psikologis, kelangsungan hidup
manusia juga ditentukan, dan erat kaitannya dengan kondisi dan
kemampuan sosial ekonomi seseorang. Semakin baik kondisi dan
kemampuan sosial ekonomi seseorang, maka semakin mudah memenuhi
tuntutan kebutuhan hidupnya, kualitas serta kuantitasnya juga bisa
mencapai standar kelayakan dan kecukupan. Sebaliknya, bagi orang-
orang dengan tingkat sosial ekonomi yang minim, khusnya orang-
orangyang tergolong miskin akan terasa berat dan susah untuk memenuhi
24
kebutuhan hidupnya, apalagi untuk mencapai standar kelayakan dan
kecakupan. Jadi analoginya, orang-orang yang berpenghasilan rendah
atau orang-orang miskin harus berusaha dengan berbagai macam cara
dan strategi untuk memenuhi kebutuhan hidupnya.
Pada umumnya para pelaku migrasi sirkuler yang bekerja pada
sektor informal tergolong miskin. Menurut Mantra (1991), migran sirkuler
hampir dapat dipastikan berasal dari masyarakat dengan ciri pendapatan
mereka di desa rendah. Manning dkk (1990) menyatakan bahwa buruh
dan tukang sebagian besar tidak mempunyai status ekonomi yang tinggi.
Di lain pihak, Rachbini dan Hamid (1994 mengemukakan bahwa pada
umumnya warga lapisan bawah di desa tesebut berhasil memperoleh
pekerjaan dengan cara migrasi sirkuler, sementara yang berpendapatan
menengah keatas tetap tinggal di desa karena kebutuhan hidupnya dapat
dipenuhi dari kegiatan pertanian dan karena pemilikan tanah yang cukup
luas. Sehubungan dengan hal tersebut, pelaku sirkuler dan keluarganya
tentunya memiliki beberapa strategi yang ditempuh untuk dapat
memenuhi kebutuhan hidupnya. Seperti yang dikemukakan oleh wariso
(1989) bahwa dengan pola migrasi sirkuler, keluarga migran sirkuler
memiliki sumber nafkah ganda, yaitu di desa dan di kota. Sumber nafkah
ganda tersebut di samping bermanfaat untuk menambah penghasilan juga
dapat mempertinggi ketahanan substansi keluarga. Sementara itu
keluarga migran sirkuler tetap tinggal di desa, tetap dekat dengan
tetanggga, dan sanak saudara, mungkin dapat bercocok tanam, dapat
25
hidup berhemat, karena biaya hidup di desa lebih rendah dari pada di
kota.
Menurut Manning dan Effendi (1993), migrasi sirkuler adalah
merupakan strategi untuk memperoleh keuntungan maksimal dari
kesempatan pendapatan di sektor informal di kota dibandingkan jika
melakukan migrasi tetap (permanen). Ada 2 keuntungan migrasi sirkuler,
yaitu:
1. Dengan berpindah sendirian ke kota dan meninggalkan istri dan
keluarga didesa, pendatang secara efektif mengurangi biaya
hidup minimal yang harus dikeluarkan jika semua anggota
keluarga pindah ke kota. Ini tidak hanya karena biaya hidup di
desa lebih murah, melainkan karena seseorang pendatang
dapat bertahan dalam kondisi yang lebih murah dan kurang
menyenangkan dari pada yang dibutuhkan oleh keluarganya,
dan menekan biaya hidup pribadinya di kota sampai pada
tingkat yang paling rendah.
2. Migrasi sirkuler tetap memberikan pilihan seluas-luasnya
kepada pendatang untuk tetap tinggal di desa, sehingga resiko
tidak mampu memperoleh penghasilan subsistem dapat
dikurangi melalui penjagaan agar tetap terbuka kesempatan
memperoleh pendapatan di kota dan di desa.
Walaupun secara umum para pelaku mobilitas sirkuler yang
bekerja pada sektor informal tergolong miskin, tetapi masih sempat
26
memberikan konstribusi terhadap perkembangan perekonomian di daerah
asal (desa) khususnya terhadap keluarganya. Mantra (1991) menyatakan
bahwa migrant non permanen yang banyak terjadi di Indonesia secara
resmi masih tercatat sebagai penduduk daerah asal (desa). Anak, istri,
dan orang tua mereka masih tetap tinggal di daerah asal. Hal ini
menyebabkan hubungan mereka dengan daerah asal lebih intensif kalu
disbandingkan dengan migrasi ulang-alik yang setiap hari pulang ke desa
asal. Ada pula gabungan yang bersifat terbalik antara jarak dengan
identitas hubungan, dimana semakin dekat tempat tinggal migrant maka
semakin tinggi frekuensi kunjungan ke desa asal dan Intensitas dampak
mobilitas di desa atau daerah asal tersebut.
F. Sektor Informal di Kota
Migrasi penduduk dari desa kekota baik yang permanen maupun
yang non permanen dianggap sebagai penyebab utama meningkatnya
sektor informal di kota. Walaupun sebenarnya pilihan di sektor informal
bukan karena cocok atau tidak cocoknya jenis pekerjaan tersebut, akan
tetapi seperti yang dikemukakan oleh Hugo ( Rahchbini, 1994) bahwa
faktor keterpaksaan, karena tekanan berat dari sistem ekonomi yang tidak
memberi tempat bagi mereka yang kurang berpendidikan dan
berketerampilan. Jadi sektor informal itu sendiri dapat dikatan sebagai
pilihan terpaksa bagi para pelaku migrasi non permanen (sirkuler).
Pelaku migrasi sirkuler hampir identik dengan sektor informal
karena pada umumnya dari mereka bekerja pada sektor subsistern yang
27
produktivitasnya rendah tersebut. Hal tersebut sejalan dengan hasil
penelitian Hugo di Jawa Barat (Rachbini, 1994) yang menunjukkan
adanya beberapa alasan para pelaku mobilitas sirkuler sehingga bekerja
di sektor informal. Beberapa alasan tersebut pekerjaan yang tidak terikat
di sektor informal memungkinkan mereka ketika mereka meninggalkan
pekerjaannya yang biasa mereka lakukan tidak ada kewajiban khusus
yang sangat mengikat. Alasan selanjutnya dengan tingkat pendidikan
mereka yang rendah dan tidak disertai dengan keterampilan tertentu
bekerja disektor informal jauh lebih mudah.
Sektor informal di kota pada hakekatnya merupakan usaha yang
sangat efektif melayani rakyat, namun keberadaanya sering tidak
sepenuhnya diterimah baik oleh pemerintah maupun masyarakat sendiri,
karena sektor ini dipandang menimbulkan berbagai permasalahaan di
kota. Menurut Rachbini dan Hamid (1994), kehadiran sektor informal yang
menggejala di kota-kota besar, juga menimbulkan berbagai persoalan
yang berkaitan dengan masalah ketertiban, keamanan serta kebersihan
kota. Persoalan ini menjadi lebih rumit karena kebanyakan para pelaku
sektor informal datang dari desa.
Tjiptoherijanto (1997) berpendapat bahwa sebagai akibat dari
konsetrasi kegiatan-kegiatan ekonomi (industri dan jasa) di daerah
perkotaan adalah terjadinya peningkatan migrasi dari desa ke kota. Sektor
informal perkotaan telah menjadi pilihan pekerjaan yang jelas bagi para
migran yang tidak memiliki keahlian, keterampilan dan kemampuan. Jadi
28
sektor informal ini telah memainkan peranan penting dalam penyediaan
lapangan kerja.
Sebagai bagian perekonomian, sektor informal dapat dipandang
sebagai upaya untuk survive bagi pelaku sektor informal itu sendiri, paling
tidak untuk memenuhi kebutuhan hidup yang paling mendasar. Bahkan
dapat dipandang bahwa sektor informal ternyata cukup efisien dalam
berbagai kegiatannya karena mampu menyediakan kebutuhan yang
murah bagi masyarakat miskin baik dalam penyediaan berbagai macam
kebutuhan sehari-hari, makanan, ataupun yang bersifat jasa.
G. Kerangka Pikir
Pada umumnya (Mantra dkk; 1991) bahwa migrasi sirkuler hampi
dapat dipastikan berasal dari masyarakat dangan ciri pendapatan mereka
rendah. Oleh karena itu maka keluarga pelaku migrasi sirkuler melakukan
beberapa upaya yang ditempuh dalam rangka pemenuhan kebutuhan
hidupnya. Pelaku keluarga migran sirkuler tersebut, yaitu dimana anak,
istri, dan orang tua mereka masih tetap tinggal didaerah asal. Hal ini
menyebabkan hubungan mereka dengan daerah asal lebih intensif.
Seseorang mengambil keputusan untuk mengadakan migrasi
sirkuler pada prinsipnya mengenai pemenuhan kebutuhan hidup tetapi
faktor-faktor proses pendorong seseorang untuk mempertimbangkan dan
memutuskan apakah ia akan mengadakan mobilitas atau bermigrasi
ditentukan oleh faktor pendorong yang terdapat didaerah asal, daerah
tujuan, faktor penghalang antara, dan faktor-faktor pribadi.
29
30
Proses faktor pendorong migrasi- Faktor yang terdapat didaerah asal- Faktor yang terdapat ditempat
tujuan- Penghalang antara, dan - Faktor pribadi
Migrasi sirkuler
Pola hubungan sosial-ekonomi migrasi sirkuler
Masyarakat Desa Gaya Baru
Keluarga migrant
Dampak kehidupan sosial ekonomi terhadap masyarakat dan keluarga migrasi sirkuler
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Rancangan Penelitian.
Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif. Metode
kualitatif ini digunakan untuk mendapatkan data yang mendalam, suatu
data yang mengandung makna. Makna adalah data yang sebenarnya,
data yang pasti yang merupakan suatu nilai dibalik data yang tampak,
oleh karena itu dalam penelitian kualitatif tidak menekankan generalisasi,
tetapi lebih menekankan pada makna, artinya bahwa hasil penelitiannya
dapat digunakan di tempat laian, manakala tempat tersebut mempunyai
karakteristik yang tidak terlalu jauh berbeda. (Sugiyono, 2002).
Selanjutnya metode penelitian ini juga dapat digunakan untuk
meneliti pada kondisi obyek yang alamiah (sebagai lawannya eksperimen)
dimana peneliti adalah sebagai instrument kunci, tekhnik pengumpulan
data dilakukan secara gabungan (trianggulasi), analisa data bersifat
induktif, dan hasil penlitian kualitatif lebih menekankan makna dari pada
generalisasi.
B. Lokasi da Waktu Penelitian
Lokasi penelitian yang dipilih adalah Desa Gaya Baru,
Kecamatan Lapandewa Kabupaten Buton, Lokasi ini dipilih karena
masyarakat atau komunitas yang berada di desa tersebut adalah
masyarakat yang sering keluar daerah untuk mencari nafkah pada
31
daerah-daerah tertentu dan pada waktu-waktu tertentu pula.
Waktu yang dibutuhkan untuk penelitian nanti adalah dua bulan
yakni dari Maret hingga April 2011, penetapan waktu yang singkat ini
ditetapkan karena penulis sendiri adalah putra daerah (Kabupaten Buton),
dimana penulis juga banyak mengetahui tentang bagaimana kondisi
masyarakat didaerah tersebut sehingga waktu yang singkat ini dianggap
cukup untuk menganalisa data dan penulisan laporan hasil penelitian
nantinya.
C. SUMBER DATA
Jenis sumber data yang penulis lakukan adalah :
1. Data Primer yakni data yang diperoleh langsung pada lokasi
penelitian. Dan yang menjadi informan utama dalam penelitian
ini adalah masyarakat yang pernah melakukan migrasi sirkuler
yang berjumlah empat orang yang mempunyai tujuan migran
yang berbeda beda, dan yang dapat mewakili data dari sekian
banyak masyarakat yang melakukan migrasi, kemudian yang
menjadi informan kunci adalah Kepala Desa Gaya Baru, Tokoh
agama, tokoh adat dan tokoh masyarakat yang masing-masing
berjumlah satu orang, Sehingga total jumlah informan adalah
delapan orang.
2. Data sekunder yakni data-data pendukung yang diperoleh
berdasarkan hasil penelusuran berupa Peraturan Perundang-
Undangan, buku-buku literatur, jurnal serta dokumen-dokumen
32
yang berkaitan langsung dengan fokus penelitian.
D. TEKNIK PENGUMPULAN DATA
Tekhnik pengumpulan data dalam penelitian ini adalah dengan
menggunakan metode obsevasi dan wawancara secara mendalam (deep
interview) serta data dari kajian pustaka yang relevan dengan fokus
penelitian
Jenis observasi yang digunakan adalah observasi partisipatif
dimana peneliti terlibat langsung dengan kegiatan sehari-hari masyarakat
di lokasi penelitian, dimana masyarakat tersebut sebagai sumber data
dalam penelitian. Dalam melakukan pengamatan, peneliti ikut berinteraksi
dengan masyarakat, baik masyarakat yang melakukan migrasi maupun
yang menetap didesa. Menurut Sugiyono (2008) dengan observasi
partisipan ini, maka data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam dan
dapat diketahui pada tingkat makna dari setiap prilaku yang nampak.
Wawancara yang mendalam dilakukan dengan tekhnik
wawancara tak berstruktur, dimana wawancara tak berstruktur ini adalah
wawancara yang bebas dimana peneliti tidak menggunakan pedoman
wawancara yang telah tersusun secara sistematis dan lengkap untuk
pengumpulan datanya. Pedoman wawancara yang digunakan hanya
berupa garis-garis besar permasalahan tetapi bisa bebas untuk
menelusuri pada hal-hal yang lebih spesifik. Dan untuk lebih menelusuri
permasalahan yang lebih sempurna penulis juga menggunakan dengan
tekhnik bola salju (snoballing sampels).
33
E. TEKNIK ANALISA DATA
Menurut Sugiyono, (2008), analisa data adalah adalah proses
mencari dan menyusun secara sistematis data yang diperoleh dari hasil
wawancara, catatan lapangan, dan bahan-bahan lain, sehingga dapat
mudah dipahami, dan temuannya dapat diinformasikan kepada orang lain.
Analisa data dilakukan dengan mengorganisasikan data, menjabarkannya
kedalam unit-unit, melakukan sintesa, menyusun kedalam pola, memilih
mana yang penting dan yang akan dipelajari, dan membuat kesimpulan
yang dapat diceritakan kepada orang lain.
Tahapan analisa yang penulis gunakan adalah model Miles dan
Haberman dalam (Sugiyono, 2008):
1. Tahapan Reduksi Data yakni data yang diperoleh lewat
penelitian di lapangan yang masih belum teratur dan
jumlahnya cukup banyak oleh karenanya data tersebut di
pilah-pilah sehingga lebih sederhana dalam memberikan
makna pada aspek-aspek tertentu melalui reduksi data
sehingga akhirnya dapat menjadi susunan yang sistematis
dan mudah diatur dengan jelas tentang hasil yang dicapai.
Mereduksi data berarti merangkum, memilih hal-hal yang
pokok, memfokuskan pada hal-hal yang penting, dicari tema
dan polanya, sehingga data tersebut dapat memberikan
gambaran yang jelas.
2. Tahapan Penyajian Data yakni setelah data-data direduksi,
34
maka langkah selanjutnya mendisplaikan data. Dengan
mendisplaikan data, maka akan memudahkan untuk
memahami apa yang terjadi dan merencanakan kerja
selanjutnya, pada tahap ini data yang dikumpulkan dan sudah
dipilah berdasarkan fokus penelitian akan ditampilkan dalam
bentuk narasi serta penjelasan yang terperinci.
3. Tahapan Kesimpulan/verifikasi pada tahap ini, sebelum
mencapai kesimpulan dilakukan pemeriksaan keabsahan data
yang diperoleh dengan tujuan mengontrol hasil penelitian
sehingga narasi dibuat tidak membias dan tidak menimbulkan
hasil yang tidak diharapkan dalam penelitian. Dengan
demikian kesimpulan yang didapat dapat menjawab rumusan
masalah yang dirumuskan dalam penelitian.
F. Konsep-Konsep yang Digunakan
Adapun beberapa konsep yang digunakan oleh penulis dalam
rancangan penelitian ini adalah
1. Migrasi: perpindahan penduduk atau manusia dari sautu tempat
ke tempat lain baik secara permanen maupun semi permanen
yang tidak dibatasi oleh jarak serta bersifat sukarela maupun
paksaan.
2. Keluarga: unit pergaulan terkecil dalam masyarakat yang terdiri
dari suami/ayah, istri/ibu dan anak-anak yang belum menikah.
Yang dimaksudkan dalam tulisan ini adalah keluarga batih.
35
3. Pola-pola hubungan: bentuk-bentuk relasi yang terjalin antar
anggota keluarga, antara suami dan istri atau antara anak dan
orang tua. Bentuk-bentuk relasi ini didasarkan atas hubungan
salaing menyayangi.
36
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Haris, 2005, Gelombang Migrasi Jaringan Perdagangan Manusia,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Agus, Salim, 2002, Perubahan Sosial Sketsa Teori Dan Refleksi
Metodologi Kasus Indonesia, PT Tiara Wacana, Yogya.
Anantas, Aris 1993, Ciri Demografi Kualitas Penduduk dan Pembagunan
Ekonomi, Lembaga Demografi dan Lembaga Penerbit Universitas
Indonesia, Jakarta
Baso A. Gani, 1990, Dampak Migrasi Sirkuler Pada Kehidupan Sosial
Masyarakat Pantai (Studi Kasus Pada Empat Tipe Desa Pantai di
Sulawesi Selatan), Tesis Pascasarjana, Universitas Hasanuddin,
Ujung Pandang.
Burhan, Bungin, 2007, Metode Penelitian Kualitatif, PT Raja Grafindo
Persada, Jakarta
Brian, Turner, 2003, Teori-Teori Sosiologi Modernitas Posmodernitas,
Pustaka Pelajar, Jogyakarta.
Effendi, S, 1986, Studi Mobilitas Sirkuler Penduduk Ke Enam Kota Besar
di Indonesia, Pusat Penelitian Kependudukan, Universitas gajah
Mada, Yogyakarta.
Effendi, Tajuddin Nur, 1993, Sumber Manusia, Peluang kerja dan
kemiskinan, Tiara Wacana, Yogyakarta.
Everett S. Lee. Terjemahan. Hans Daeng, 1984, Suatu Teori Migrasi,
Pusat Penelitian Kependudukan Universitas Gadjah Mada,
Yogyakarta
37
Gilbert, Alan, Josef Gugler,1996, Urbanisasi dan Kemiskinan di Dunia
Ketiga,PT. Tiara Wacana, Jakarta.
Goode, William. J. Tahun 1993, Sosiologi Keluarga, Bumi Aksara, Jakarta.
Herlianto, 1986, Urbanisasi dan Pembangunan Kota, PT. Alumni,
Bandung.
Husaini Usman dan Purnomo Setiady, 2008, Metodologi Penelitian Sosial,
PT Bumi Aksara, Jakarta.
Jumadi, 2000, Migrasi dan Integrasi Sosial di Daerah Perkotaan (Studi
Pada pengrajin Emas Asal Sidrap di Kecamatan Ujung Tanah
Kota Makassar). Tesisi S2 Universitas Hasanuddin, Makassar.
Leibo, Jefta, 1990, Sosiologi Pedesaan, Andi Offset, Yogyakarta.
Manning, Chris, Tadjuddin Noer Effendi, 1985, Urbanisasi, Pengangguran
dan Sektor Informal di Kota, Gramedia Jakarta.
Mantra, Ida Bagus, 1985, Migrasi Penduduk Indonesia: Suatu Analisa
Hasil Sensus Penduduk 1971 dan 1980. Pusat Penelitian
Kependudukan Universitas Gajah Mada, Yokyakarta.
M. Iman Santoso, 2004, Perspektif Imigrasi Dalam Pembangunan
Ekonomi dan Ketahanan Nasional, Jakarta, Universitas Indonesia
(UI-Press)
Piotr, Sztompka, 2008, Sosiologi Perubahan Sosial, Prenada Media
Group, Jakarta.
Prijono Tjiptoherijanto, 1997, Migrasi Urbanisasi dan Pasar Kerja di
Indonesia, Jakarta, Universitas Indonesia (UI-Press).
Prijono Tjiptoherijanto, 2004, Kependudukan Birokrasi dan Reformasi
Ekonomi, PT. Rineka Cipta, Jakarta.
38
Rachbini, Didik, J, Abdul Hamid, 1994, Ekonomi informal di Perkotaan.
LP3ES, Jakarta
R.H. Pardoko, 1986, Mobilitas Migrasi dan Urbanisasi, Angkasa bandung.
Ritzer, George 1992 Sosiologi Ilmu berpengetahuan Berparadigma
Ganda. Rajawali Pers, Jakarta.
Schrool, J.W, 1981, Modernisasi, Pengantar Sosiologi Pembangunan
Negara-Negara Sedang Berkembang. Gramedia, Jakarta.
Simanjuntak, B, 1992, Perubahan dan Perencanaan Sosial, Tarsito
Bandung.
Soerjono, Soekanto, 1982, Sosiologi Suatu Pengantar, PT Raja Grafindo
Persada Jakarta.
Sugiyono, 2008, Memahami Penelitian Kualitatif, CV Alfabeta, Bandung.
Sunyoto Usman, 2010, Pembangunan dan Pemberdayaaan Masyarakat,
Pustaka Pelajar, Yogyakarta.
Suparto, 1987, Sosiologi dan Antropologi. CV. ARMICO, Jakarta.
39