proposal

Upload: takuyaeek

Post on 02-Nov-2015

14 views

Category:

Documents


0 download

DESCRIPTION

proposal

TRANSCRIPT

PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH MASYARAKAT SIPIL(Studi Kasus Pada Wilayah Hukum Polda Metro Jaya)

A. Latar BelakangPerkembangan zaman pada saat ini mengalami kemajuan pertumbuhan yang sangat pesat, tidak hanya didunia teknik industri dan perdagangan tetapi juga dalam dunia hukum.perkebangan zaman diikuti juga oleh perkembangan tingkat kejahatan dimana perkembangan tingkat kejahatan dipengaruhi oleh peredaran senjata api ilegal.senjata api pada dasarnya dapat dimiliki oleh masyrakat sipil tetapi melalu proses yang cukup panjang. Secara normatif, Indonesia sebenarnya termasuk negara yang cukup ketat menerapkan aturan kepemilikan senjata api untuk kalangan sipil. Ada sejumlah dasar hukum yang mengatur mengenai hal ini, mulai dari level undang-undang yakni UU Darurat No. 12 Tahun 1951,UU No 8 Tahun 1948 dan Perpu No. 20 Tahun 1960. Selebihnya adalah peraturan yang diterbitkan oleh Kepolisian, seperti SK Kapolri No. Skep/244/II/1999 dan SK Kepala Polri Nomor 82 Tahun 2004 tentang Pelaksanaan Pengawasan dan Pengendalian Senjata Non-Organik. Undang-Undang No. 2 Tahun 2002 tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia membolehkan warga sipil memiliki senpi. Surat Keputusan Kapolri Nomor SKEP 82/II/2004 tentang Pengawasan dan Pengendalian Senjata Api dan Amunisi Nonorganik TNI, memperbolehkan perorangan atau pejabat memiliki senpi untuk bela diri. Mereka yang diperbolehkan memiliki senpi adalah pejabat pemerintah (Menteri; anggota MPR/DPR; Sekjen, Irjen, Dirjen, atau Sekretaris Kabinet; Gubernur, Wakil Gubernur, Sekda, Irwilprov, DPRD provinsi; Walikota atau Bupati dan pegawai instansi pemerintah golongan IVB); pejabat swasta (komisaris; presiden komisaris; presiden direktur; direktur; direktur utama; direktur keuangan), pejabat TNI/Polri dan purnawirawan TNI/Polri (perwira tinggi; perwira menengah), dan profesional (pengacara senior; dokter praktik). Izin itu diberikan setelah pihak kepolisian melakukan serangkaian tes dan setiap tahun dievaluasi.[footnoteRef:1] [1: Puteri Hikmawati, 2012, Kontroversi Kepemilikan Senjata Api oleh Warga Sipil, Jurnal Info Singkat Hukum. Hlm 2]

Berdasarkan SK tahun 2004, persyaratan untuk mendapatkan senjata api ternyata relatif mudah. Cukup dengan menyerahkan syarat kelengkapan dokumen seperti KTP, Kartu Keluarga, dan lain-lain, seseorang berusia 24-65 tahun yang memiliki sertifikat menembak dan juga lulus tes menembak, maka dapat memiliki senjata api. SK tersebut juga mengatur bahwa individu pemilik senjata api untuk keperluan pribadi dibatasi minimal setingkat Kepala Dinas atau Bupati untuk kalangan pejabat pemerintah, minimal Letnan Satu untuk kalangan angkatan bersenjata, dan pengacara atas rekomendasi Departemen Kehakiman.Seiring dengan meningkatnya kejahatan dengan senjata api, pada tahun 2007 POLRI mengeluarkan kebijakan penarikan senjata api yang dianggap ilegal. Senjata api ilegal adalah senjata yang tidak sah beredar di kalangan sipil, senjata yang tidak diberi izin kepemilikan, atau senjata yang telah habis masa berlaku izinnya. Berdasarkan ketentuan yang berlaku, izin kepemilikan senjata api di Indonesia dibatasi hingga satu tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu yang sama. Gerakan Polri ini bertujuan untuk mengurangi kepemilikan senjata api oleh sipil karena banyak penyalahgunaan senjata api oleh masyarakat. Meskipun sudah ada upaya preventif dengan mewajibkan calon pemilik mengikuti psikotes terlebih dahulu sebelum mendapat izin kepemilikan senjata.Kejahatan menggunakan senjata api yang terjadi pada kenyataannya selalu dikaitkan dengan tugas dan fungsi Kepolisian yang selanjutnya menyebabkan pula tumbuhnya berbagai tuntutan dan harapan masyarakat terhadap kinerja Kepolisian yang makin meningkat dan lebih berorientasi kepada masyarakat yang dilayaninya. Hal ini merupakan implementasi dari Pasal 2 Undang-undang Nomor 2 Tahun 2002 Tentang Kepolisian Negara Republik Indonesia yang mengatur bahwa fungsi kepolisian adalah salah satu fungsi pemerintahan negara di bidang pemeliharaan keamanan dan ketertiban masyarakat, penegakan hukum, perlindungan, pengayoman, dan pelayanan kepada masyarakat, dan Pasal 15 ayat (2) huruf e mengatur bahwa Kepolisian yang berwenang untuk memberikan izin kepemilikan dan penggunaan serta pengawasan terhadap senjata api bagi masyarakat sipil.Salah satu penyebab terjadinya kejahatan menggunakan senjata api adalah faktor ekonomi, M. Harvey Brenner mengatakan bahwa di dalam periode kemerosotan ekonomi banyak orang yang tidak mempunyai kesempatan untuk mencapai cita-cita sosialnya karena langkanya pendidikan atau karena sulitnya memperoleh keterampilan kerja yang tepat, serta lapangan kerja dan pendapatan yang berkurang akan menyebabkan adanya kecenderungan ke arah perilaku jahat. Perilaku jahat yang dimaksud seperti melakukan perampokan/pencurian dengan menggunakan senjata api. Faktor ekonomi bukanlah satu-satunya penyebab timbulnya kejahatan menggunakan senjata api, adapun faktor lainnya adalah dengan maksud untuk memamerkan kekuataan atau sering disebut dengan aksi koboi misalnya dengan melakukan pengancaman menggunakan senjata api.[footnoteRef:2] [2: Harvey Brenner, M, 1986, Pengaruh Ekonomi Terhadap Perilaku Jahat dan Penyelenggaraan Peradilan Pidana, CV Rajawali. Hlm 20]

Senjata api yang digunakan untuk melakukan kejahatanpun bervariasi sumbernya, ada yang memang dikuasai secara illegal misalnya dengan membeli senjata api rakitan atau secara legal misalnya menguasai senjata api dengan izin namun peruntukannya disalahgunakan. Alasan utama mengapa senjata api dipilih sebagai alat untuk melakukan kejahatan karena senjata api sangat mudah dibawa kemana-mana serta penggunaanya pun tidak terlalu sulit, disisi lain senjata api mempunyai kemampuan melukai atau mematikan lawan secara cepat.Maraknya persebaran senjata api di kalangan sipil adalah sebuah fenomena global. Tidak tertatanya pengawasan terhadap kepemilikan senjata api, baik legal maupun illegal yang dimiliki oleh masyarakat umum, aparat kepolisian dan TNI, merupakan salah satu penyebab timbulnya kejahatan-kejahatan dengan penyalahgunaan senjata api di Indonesia. Sementara korban yang tewas akibat kejahatan ini kebanyakan adalah warga sipil. Di Indonesia, angka pasti tentang perdagangan senjata api, legal maupun illegal sulit diperoleh, meski peredarannya di masyarakat sipil dipastikan meningkat tajam. Karena alasan administrasi kepemilikan senjata api kurang tertib dan pengawasannya, maka aparat kepolisian tidak tahu pasti berapa banyak senjata api yang beredar di masyarakat, sehingga kepemilikan senjata api sulit sekali untuk dilacak.[footnoteRef:3] [3: Sitepu, Rasmita Juliana, Kajian Kriminologi terhadap Penanggpulangan Kejahatan dengan Senjata Api, www.repository.usu.ac.id, diakses pada hari Senin pada tanggal 28/10/2014, 04.50 AM]

Bila kita lihat beberapa peristiwa kejahatan dengan menggunakan senjata api, itu dilakukan dengan pengancaman maupun melukai bahkan menghilangkan nyawa orang lain. Dapat diduga beberapa kemungkinan tentang status kepemilikan senjata api, yaitu senjata api illegal (hasil penyelundupan) ataupun senjata api rakitan atau dibuat sendiri, serta senjata organik yang dimiliki oleh instansi berwenang yang disalahgunakan.[footnoteRef:4] Dari beberapa peristiwa kejahatan dengan menggunakan senjata api tersebut, terdapat juga beberapa kejahatan yang para pelakunya menggunakan senjata api mainan dalam melakukan aksi kejahatannya. Masyarakat umum ataupun si korban otomatis akan merasa kaget dan takut ketika melihat senjata api yang ada pada pelaku kejahatan meskipun itu senjata mainan. Ketakutan masyarakat terhadap kejahatan tersebut, dengan sendirinya dapat mempermudah aksi pelaku melakukan kejahatan, sehingga menyebabkan meningkatnya tingkat kriminalitas yang terjadi di masyarakat [4: Jamaludin, Ali, Pengaturan Kepemilikan Senjata Api Bagi Masyarakat, www.repository.usu.ac.id, diakses pada hari minggu pada tanggal 28/10/2014, 04.59 AM]

Kejahatan yang terjadi di masyarakat merupakan sebuah pelanggaran terhadap hukum positif yaitu hukum pidana. Kejahatan dan pelanggaran yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Pidana bisa dilihat sebagai hukum pidana objektif, yaitu suatu tindak pidana yang digolongkan menurut ketentuan-ketentuan hukum itu sendiri dan dapat juga dilihat sebagai hukum pidana subjektif yaitu ketentuan-ketentuan di dalam hukum mengenai hak penguasa menerapkan hukum[footnoteRef:5] [5: Surya, Ringkasan Hukum Pidana, www.docstoc.com, diakses pada hari senin tanggal 03/01/2012, 04.25 AM]

Dewasa ini banyak terjadi kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian dan yang menjadi korban, sebagian besar adalah dari pihak masyarakat sipil. Hal ini diperkuat dengan penelitian yang dilakukan oleh Kontras, sebuah lembaga swadaya masyarakat yang bergerak dIbidang Hak Asasi Manusia, dimana di pada Mabes Polri, tahun 2009 2011 tercatat ada 453 kasus penyalahgunaan senpi. Sebelum tahun 2005, Polri telah memberikan izin kepemilikan 18.030 pucuk senjata legal kepada warga sipil untuk kepentingan bela diri. Sejak 2004, kepemilikan senjata api sesungguhnya telah dibatasi sehingga senjata api yang mulanya dimiliki perseorangan sipil dikembalikan lagi kepada aparat kepolisian. Bagi pemilik senjata yang izinnya habis, tetapi belum mengembalikan senjatanya kepada polisi, akan dipidana sesuai dengan UU Darurat No. 12 Tahun 1951.[footnoteRef:6] [6: Puteri Hikmawati, 2012, Kontroversi Kepemilikan Senjata Api oleh Warga Sipil, Jurnal Info Singkat Hukum. Hlm 2 ]

Sedangkan pada wilayah hukum Polda Metro Jaya ditemukan sebanyak 11 (sebelas) kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian. Dari 11 (sebelas) kasus penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur yang dilakukan oleh aparat kepolisian di pada wilayah hukum Polda Metro Jaya hanya 1 (satu) kasus yang sudah diproses di pengadilan, hal ini menunjukkan sulitnya untuk melakukan proses hukum terhadap aparat kepolisian yang melakukan tindakan sewenang-wenang dalam menggunakan senjata api. Sebagaimana dikemukakan oleh M.Khoidin Sadjijono, yang menyatakan bahwa segala penyimpangan dan perbuatan nista yang dilakukan oleh segelintir oknum kepolisian terjadi akibat ketidak tegasan dari pimpinan Polri, yang senantiasa berusaha menutupi dan berkelit dengan mencari berbagai alasan atas tindakan bawahannya yang tidak sesuai dengan prosedur yang berlaku.[footnoteRef:7] Apabila hal ini tidak segera diatasi oleh pemerintah dan oleh lembaga kepolisian khususnya, maka aparat kepolisian akan semakin sewenang-wenang dalam melaksanakan tugasnya khususnya dalam menggunakan senjata api. [7: M.Khoidin Sadjijono, Mengenal FigurPolisi kita, Yogyakarta, LaksBang Pressindo, 2007, Hal.6 ]

Dari studi literatur yang penulis lakukan, penulis dapat dilihat bahwa terjadinya penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur oleh aparat kepolisian disebabkan oleh tidak adanya peraturan nasional kita yang mengatur secara khusus dan tegas tentang prosedur penggunaan senjata api bagi aparat kepolisian. Seharusnya pemerintah meratifikasi Resolusi 34/168 Dewan umum PBB ke dalam perundang-undangan nasional. Berdasarkan uraian di atas, dapat disimpulkan bahwa bahaya dari penggunaan senjata api tanpa prosedur adalah: [footnoteRef:8] [8: Bibit Samad Rianto, Pemikiran Menuju Polri Yang Profesional, Mandiri, Berwibawa Dan Dicintai Rakyat, Jakarta, Restu Agung, 2006, Hal. 7 ]

a. Penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur merupakan masalah yang kompleks karena selain bertentangan dengan peraturan yang berlaku dalam penggunaan senjata api, penggunaan senjata api tanpa prosedur juga melanggar Hak Asasi Manusia, yaitu hak hidup seseorang sekalipun orang tersebut merupakan seorang pelaku kejahatan atau tersangka.b. Seperti yang diketahui dan patut direnungkan oleh aparat bahwa mereka memiliki fungsi sebagai pelindung masyarakat. Jadi apabila penggunaan senjata api yang tidak sesuai dengan prosedur ini tidak segera dibenahi oleh Kepolisian Negara Republik Indonesia maka rakyat tidak akan pernah mempercayai kinerja aparat. Dimana tindakan aparat yang overacting terhadap kekuasaan yang dimiliki akan membekas dihati masyarakat sehingga menimbulkan sikap apriori dan penilaian sama rata bahwa semua polisi berperilaku jelek, masyarakat menutup mata bahwa masih banyak polisi yang berprilaku baik.Meningkatnya kejahatan-kejahatan dengan menggunakan senjata api seperti kasus kejahatan penyalahgunaan sejata api denganmenggunakan ancaman kekerasan maupun dengan senjata api yang terjadi menimbulkan gangguan keamanan dan ketertiban masyarakat.Kejahatan-kejahatan tersebutpun tidak pandang bulu, semua kalanganmulai dari masyarakat biasa, pendidikan, seperti guru dan dosen, pengusaha, bahkan aparat penegak hukum sendiri seperti kepolisianmaupun TNI sendiri tidak menutup kemungkinan menjadi sasaran kejahatan. Kejahatan tersebut tidak hanya terjadi pada malam hari sajaseperti yang sering kita dengar, tetapi sekarang ini kejahatan tersebutjustru banyak terjadi pada siang hari, bahkan di daerah yang ramai sekali pun.Oleh karena itu seharusnya harus usaha preventif yang dilakukan oleh pemerintah dalam hal penyalahgunaan serta kepemilikan senjata api perlu diapresiasi sebagai bahan acuan dasar perkembangan kejahatan dengan menggunakan senjata api dewasa ini. Berangkat dalam hal tersebut maka perlu ada pengawasan khusus dalam hal kepemilikan serta penggunaan senjata api secara illegal.Namun demikian, walaupun perangkat hukum mengenai penggunaan senjata api secara illegal telah dibuat, hal ini tidak dibarengi dengan penegakannya dalam praktek. Para pemilik senjata api secara illegal, kebanyakan adalah mereka yang berasal dari kalangan pejabat dan masyarakat kalangan atas, sehingga penanganan terhadpa tindak pidana ini terkadang tidak ditangani secara serius. Berdasarkan latar belakang diatas maka penelitian ini mengambil judul PERTANGGUNGJAWABAN PIDANA PENYALAHGUNAAN SENJATA API OLEH MASYARAKAT SIPIL (Studi Kasus Pada Wilayah Hukum Polda Metro Jaya)

B. Rumusan Masalah Pokok materi pembahasan guna memperoleh kesimpulan tujuan pembahasan suatu karya ilmiah tergambar dalam permaslahan yang dikemukakan. Oleh karena itu,sehubungan dengan judul di atas,berikut penulis akan mengemukakan rumusan masalah dalam skripsi ini yaitu: 1. Bagaimana pengaturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil sesuai dengan Peraturan perundang-undagan yang berlaku?2. Bagaimana prosedur perizinan kepemilikan senjata api bagi masyrakat sipil? 3. Bagaimana pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan penjulan senjata api ilegal serta amunisi oleh masyarakat sipil?

C. Tujuan PenulisanAdapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah sebagai berikut:1. Untuk mengetahui pengaturan mengenai kepemilikan senjata api oleh masyarakat sipil?2. Untuk mengetahui prosedur perizinan kepemilikan senjata api bagi masyrakat sipil? 3. Untuk mengetahui pertanggungjawaban pidana terhadap pelaku kepemilkan dan penjulan senjata api ilegal serta amunisi oleh masyarakat sipil?

D. Manfaat PenelitianPenulisan ini dapat bermanfaat secara teoritis dan praktis ,secara praktis penulisan ini bermanfaat bagi: a. Masyarakat secara umum guna memberi informasi mengenai dampak dari kepemilkan dan penjualan senjata api ilegal, sehingga masyarakat dapat membantu aparat kepolisian dalam menagani penyebaran senjata api ilegal.b. Aparat penegak hukum dan pemerintah, yang bertujuan untuk menegakan sendi-sendi hukum pidana dan menjaga ketertiban.memberi masukan kepada aparat penegak hukum mengenai upaya yang dapat dilakukan dalam mengurangi tindak pidana kepemilikan dan penjualan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil. c. Secara teoritis penulisan ini diharapkan bermanfaat bagi pakar hukum,civitas akademika dan para ilmuwan lainya dalam memberikan sumbangsih literatur dan referensi berkaitan dengan kepemilkan senjata api ilegal oleh masyarakat sipil.E. Tinjauan Kepustakaan1. Tinjauan Umum Mengenai Tindak Pidana a. Pengertian tindak pidana

Istilah tindak pidana berasal dari istilah yang dikenal dalam hukum pidana Belanda yaitu Straftbaar Feit, Strafbar Feit terdiri dari 3 (tiga) kata yakni Straf, Baar dan Feit. Straf diterjemahkan sebagai pidana dan hukum, perkataan baar diterjemahkan sebagai dapat dan boleh sedangkan kata feit diterjemahkan sebagai tindak, peristiwa, pelanggaran dan perbuatan. Istilah tindak pidana telah lazim digunakan dan merupakan istilah resmi dalam perundang-undangan.[footnoteRef:9] hampir seluruh peraturan perundang-undangan menggunakan istilah tindak pidana, seperti dalam Undang-undang Nomor 6 Tahun 1982 tentang Hak Cipta dan Undang-undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang pemberantasan tindak pidana korupsi, walaupun masih diperdebatkan ketetapatannya. [9: Drs.Adami Chazawi,SH.Pelajaran Hukum Pidana Bagian I,Jakarta,Raja Grafindo Persada,2002,hal 67 ]

Tindak menunjuk pada hak kelakuan manusia dalam arti positif (handelen). Padahal pengertian yang sebenarnya dalam istilah feit adalah termasuk baik perbuatan aktif maupun pasif.[footnoteRef:10] Perbuatan aktif maksudnya suatu bentuk perbuatan yang untuk mewujudkannya diperlukan atau diisyaratkan adanya suatu gerakan atau gerakan-gerakan dari tubuh atau bagian dari tubuh manusia, misalnya mengambil sebagaimana diatur dalam Pasal 362 KUHP atau merusak yang diatur dalam Pasal 406 KUHP. Sedangkan perbuatan pasif adalah suatu bentuk tidak melakukan suatu bentuk perbuatan fisik apapun, dimana seseorang tersebut telah mengabaikan kewajiban hukumnya, misal perbuatan tidak menolong sebagaimana diatur dalam Pasal 531 KUHP atau perbuatan membiarkan yang diatur dalam Pasal 304 KUHP. [10: Ibid ,hal 70 ]

Dalam peraturan perundang-undangan Indonesia, tidak ditemukan definisi tindak pidana. Dalam pengertian tindak pidana tidak termasuk mengenai pertanggungjawaban. Tindak pidana hanya menunjuk kepada dilarangnya melakukan suatu perbuatan, yang kemudian apakah orang yang telah melakukan perbuatan tersebut dapat dipidana atau tidak. Pengertian tindak pidana yang dipahami selama ini merupakan kreasi teoritis para ahli hukum.Simon mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan yang diancam dengan pidana, bersifat melawan hukum, dan berhubungan dengan kesalahan yang dilakukan oleh orang yang mampu bertanggung jawab.[footnoteRef:11] Sedangkan Van Hamel mengatakan bahwa straftbaar feit adalah kelakukan orang yang dirumuskan dalam undang-undang, bersifat melawan hukum, patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. [11: Adami Chazawi, 2002, Pelajaran Hukum Pidana Bagian I, Raja Grafindo Persada, Jakarta. Hal 26 ]

Menurut ahli hukum pidana Indonesia, Komariah E. Saprdjaja bahwa tindak pidana adalah suatu perbuatan manusia yang memenuhi perumusan delik, melawan hukum dan pembuat bersalah melakukan perbuatan itu. Pada dasarnya tindak pidana adalah perbuatan atau serangkaian perbuatan yang padanya diletakkan sanksi pidana. Dengan demikian dilihat dari istilahnya, hanya sifat-sifat dari perbuatan saja yang meliputi suatu tindak pidana sedangkan sifat-sifat orang yang melakukan tindak pidana menjadi bagian dari persoalan lain, yaitu pertanggungjawaban pidana. Terdapat pemisahan antara pertanggungajwaban pidana dan tindak pidana, yang dikenal dengan paham dualisme, yang memisahkan antara unsur yang mengenai perbuatan dengan unsur yang melekat pada diri orangnya tentang tindak pidana. Para ahli hukum umumnya mengidentifikasi adanya tiga persoalan mendasar dalam hukum pidana. Saner, berpendapat bahwa hal itu berkaitan dnegan, onrecht, schuld, dan strafe. Sementara itu, packer menyebut ketiga masalah tersebut berkenaan dengan crime, responsibility, dan panishment.Menurut Soedarto, persoalan-persoalan tersebut berkaitan dengan perbuatan yang dilarang, orang yang melakukan perbuatan yang dilarang itu, dan pidana yang diancamkan terhadap pelanggaran larangan itu. Dengan kata lain, masalah mendasar dalam hukum pidana berhubungan dengan persoalan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana dan pemidanaan. Pembedaan ini, menimbulkan konsepsi yang bukan hanya perlu memisahkan antara tindak pidana dan pertanggungajwaban pidana, tetapi lebih jauh memisahkan pertanggungjawaban pidana dengan pengenaan pidana. Berdasarkan hal ini pengkajian juga diarahkan untuk mendalami bagaiman teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana seharusnya diterapkan dalam mempertanggungjawabkan dan mengenakan pidana terhadap pembuat tindak pidana. Dengan kata lain, perlu pengkajian untuk menemukan pola penentuan kesalahan dan pertanggungjawaban pembuat tindak pidana. Teori yang memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana bertitik tolak dari pandangan bahwa, unsur tidak pidana hanyalah perbuatan, dengan demikian aturan mengenai tindak pidana mestinya sebatas menentukan tentang perbuatan-perbuatan yang dilarang dilakukan. Aturan hukum mengenai tindak pidana berfungsi sebagai pembeda antara perbuatan yang terlarang daam hukum pidana dan perbuatan-perbuatan lain diluar kategori tersebut. Dengan adanya aturan mengenai tindak pidana dapat dikenali perbuatan-perbuatan yang dilarang dan karenanya tidak boleh dilakukan. Dengan kata lain, the rules which all of you us what we can and cannot do. Aturan tersebut menentukan perbuatan yang boleh dan yang tidak boleh dilakukan. Oleh karena itu, ditinjau dari tujuan-tujuan prevensi, aturan hukum yang memuat rumusan tindak pidana juga berfungsi sebagai peringatan bagi masyarakat untuk sejauh mungkin menghindar dari melakukan perbuatan tersebut, mengingat ancaman pidana yang dilekatkan padanya. Aturan tersebut berisi pedoman bertingkah laku bagi masyarakat, sehingga dilihat dari segi represif tekanannya lebih banyak pada fungsi perlindungan individu dari kewenang-wenangan penguasa. Sedangkan aturan hukum mengenai pertanggungjawaban pidana berfungsi sebagai penentu syarat-syarat yang harus ada pada diri seseorag sehingga sah jika dijatuhi pidana. Tekanannya justru pada fungsi melegitimasi tindakan penegak hukum untuk menimpakan nestapa pada pembuat tindak pidana. Dengan keharusan untuk tetap menjaga kesimbangan antara tingkat ketercelaan seseorang karena melakukan tindak pidana dan penetuan berat ringannya nestapa yang menjadi konsekuensinya. Aturan mengenai pertanggungjawaban pidana merupakan saringan pengenaan pidana, yaitu hanya dapat diterapkan terhadap mereka yang memiliki kesalahan dan pidana yang dikenakan sebatas kesalahannya tersebut. Tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana, apabila dilihat dari konsep sistem hukum sebagaimana dikemukakan Hart, juga menyebabkan kedua hal tersebut berada pada struktur aturan yang terpisah. Dikatakannya primary laws setting standards for behavior and sencodary laws specifying what officals must or may do when they are broken.[footnoteRef:12] [12: Chairul huda,Dari Tiada Pidana Tanpa kesalahan Menuju Kepada Tiada pertanggungjawaban Pidana Tanpa Kesalahan,Prenada Media.Jakarta.2006 .hal 28 ]

Suatu tindak pidana adalah suatu perbuatan atau omisi yang dilarang oleh hukum untuk melindungi masyarakat, dan dapat dipidanan berdasarkan prosedur hukum yang berlaku. Dalam defenisi-defenisi tersebut, unsur kesalahan telah dikeluarkan, sehingga tindak pidana pada hakikatnya adalah perbuatan saja. Perbuatan disini berisi kelakukan dan kejadian yang ditimbulkan oleh kelakukan atau kelakukan dan akibatnya. Kelakukan juga terdiri dari melakukan sesuatu (komisi) dan tidak melakukan sesuatu (omisi). Dengan demikian, tindak pidana merupakan perbuatan melakukan sesuatu, perbutan tidak melakukan sesuatu, dan menimbulkan akibat, yang dilarang oleh undang-undang. Pengertian tersebut di atas, dalam pasal 11 Rancangan KUHP dirumuskan dengan tindak pidana adalah perbuatan melakukan atau tidak melakukan sesuatu yang oleh peraturan perundang-undangan dinyatakan sebagai perbuatan yang dilarang dan diancam dengan pidana.[footnoteRef:13] Dapat ditegaskan, sepanjang berkenaan dengan perumusan defenisi tindak pidana, pikiran-pikiran untuk memisahkan tindak pidana dari pertanggungjawaban pidana telah menjadi bagian pembaruan hukum pidana Indonesia, dengan diadopsi dalam Rancangan KUHP. [13: Ibid ]

Dalam hukum pidana Indonesia, sebagaiman di negara-negara civil law lainnya, tindak pidana umumnya dirumsukan dalam kodifikasi. Namun demikian, sejauh ini tidak terdapat ketentuan dalam KUHP maupun peraturan perundang-undangan lainnya, yang merinci lebih lanjut mengenai cara bagiamana merumuskan suatu tindak pidana. Tidak mengherankan apabila terdapat berbagai rumusan tindak pidana yang memuat hal-hal di luar karakteristik perbuatan dan sanksi atas perbuatan tersebut. Dalam hal ini, berbagai tindak pidana terutama yang terdapat dalam KUHP, perumusannya tidak sejalan dengan teori pemisahan antara tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana pertama-tama berisi larangan terhadap perbuatan. Dengan demikian, pertama-tama suatu tindak pidana berisi larangan terhadap kelakuan-kelakuan tertentu. Dengan delik-delik omisi, larangan ditujukan kepada tidak diturutinya perintah. Dengan demikian, norma hukum pidana berisi rumusan tentang suruhan untuk melakukan sesuatu. Dalam hal tindak pidana materil, larangan ditujukan kepada penimbulan akibat. Tindak pidana berisi rumusan tentang akibat-akibat yang terlarang untuk diwujudkan. Ketika tindak pidana berisi rumusan tentang dilarangnya suatu omisi, maka pada hakikatnya undang-undang justru memerintahkan setiap orang melakukan sesuatu, apabila mendapati keadaan-keadaan yang juga ditentukan dalam undang-undang tersebut. Dengan demikian, rumusan tentang tindak pidana berisi kewajiban, yang apabila tidak dilaksanakan pembuatnya diancam dengan pidana. Kewajiban disini, menurut Wilson bukan hanya bersumber dari ketentuan undang-undang, dapat kewajiban tersebut timbul dari suatu perjanjian ataupun kewajiban yang timbul di luar perjanjian, atau kewajiban yang timbul dari hubungan-hubungan yang khusus, atau kewajiban untuk mencegah keadaan bahaya akibat perbuatannya, bahkan kewajiban-kewajiban lain yang timbul dalam hubungan sosial.[footnoteRef:14] [14: Ibid hal 30 ]

b. Pengertian Pertanggung jawaban Pidana Menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia, tanggung jawab adalah keadaan wajib menanggung segala sesuatu (kalau terjadi apa-apa, boleh dituntut, dipersalahkan, diperkarakan dan sebagainya). Pidana adalah kejahatan (tentang pembunuhan, perampokan, dsb).[footnoteRef:15] Hal pertama yang perlu diketahui mengenai pertanggungjawaban pidana adalah bahwa pertanggungjawaban pidana hanya dapat terjadi jika sebelumnya seseorang telah melakukan tindakan pidana. Moeljatno mengatakan, orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan (dijatuhi pidana) kalau tidak melakukan perbuatan pidana.[footnoteRef:16] Dengan demikian, pertanggungjawaban pidana pertama-tama tergantung pada dilakukannya tindak pidana. [15: Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, 1991, hal. 1006 ] [16: Moeljatno.Asas-asas Hukum Pidana,Rineka Cipta,Jakarta.1993,hal 155 ]

Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal, apakah dia dalam melakukan perbuatan itu mempunyai kesalahan atau tidak. Apabila orang yang melakukan perbuaan pidana itu memang mempunyai kesalahan, maka tentu dia akan dipidana. Tetapi, manakala dia tidak mempunyai kesalahan walaupun dia telah melakukan perbuatan yang terlarang dan tercela, dia tentu tidak dipidana. Asas yang tidak tertulis tidak dipidana jika tidak ada kesalahan merupakan dasar daripada dipidananya si pembuat.[footnoteRef:17] Jadi perbuatan yang tercela oleh masyarakat itu dipertanggungjawabkan pada si pembuatnya, artinya celaan yang objektif terhadap perbuatan itu kemudian diteruskan kepada siterdakwa. [17: Roeslan Saleh,Perbuatan Pidana Dan Pertanggungjawaban Pidana ,Aksara Baru,Jakarta.1983,hal 75 ]

Nyatalah bahwa hal dipidana atau tidaknya si pembuat bukanlah bergantung pada apakah ada perbuatan pidana atau tidak, melainkan pada apakah siterdakwa tercela atau tidak karena tidak melakukan tindak pidana.[footnoteRef:18] Oleh karena itu dikatakan bahwa dasar daripada adanya tindak pidana adalah asas legaliteit, yaitu asas yang menentukan bahwa sesuatu perbuatan adalah terlarang dan diandam dengan pidana barangsiapa yang melakukannya, sedangkan dasar daripada dipidannya sipembuat adalah asastidak dipidana jika tidak ada kesalahan. [18: Ibid hal .76 ]

Dapat dikatakan orang tidak mungkin dipertanggungjawabkan dan dijatuhi pidana kalau tidak melakukan perbuatan pidana. Tetapi meskipun dia melakukan perbuatan pidana, tidaklah selalu dia dapat dipidana. Orang yang melakukan tindak pidana akan dipidana, apabila dia mempunyai kesalahan. Pertanggungjawaban pidana ditentukan berdasar pada kesalahan pembuat (liability based on fault), dan bukan hanya dengan dipenuhinya seluruh unsur suatu tindak pidana. Dengan demikian, kesalahan ditempatkan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana dan tidak hanya dipandang sekedar unsur mental dalam tindak pidana.[footnoteRef:19] Konsepsi yang menempatkan kesalahan sebagai faktor penentu pertanggungjawaban pidana, juga dapat ditemukan dalam common law sistem, berlaku maksim latin yaitu octus non est reus, nisi mens sit rea. Suatu kelakukan tidak dapat dikatakan sebagai suatu kejahatan tanpa kehendak jahat, pada satu sisi doktrin ini menyebabkan adanya mens rea merupakan suatu keharusan dalam tindak pidana. Pada sisi lain, hal ini menegaskan bahwa untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang karena melakukan tindak pidana, sangat ditentukan oleh adanya mens rea pada diri orang tersebut.Dengan demikian, mens rea yang dalam hal ini disinonimkan dengan quilty of mind atau vicious will, merupakan hal yang menenukan pertanggungjawaban pembuat pidana. Dilihat dari sisi ini, penggunaan dktrin mens rea dalam common law system, pada hakikatnya sejalan dengan penerapan asas tiada pidana tanpa kesalahan dalam civil law system. [19: Chairul Huda,Op.cit Hal 4. ]

Berpangkal tolak pada asas tiada pidana tanpa kesalahan, Moeljatno mengemukakan suatu pandangan yang dalam hukum pidana Indonesia dikenal dengan ajaran dualistis, pada pokoknya ajaran ini memisahkan tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana ini hanya menyangkut persoalan perbuatan sedangkan masalah apakah orang yang melakukannya kemudian dipertanggungjawabkan, adalah persoalan lain.[footnoteRef:20] Dalam banyak kejadian, tindak pidana dapat terjadi sekalipun dilihat dari batin terdakwa sama sekali tidak patut dicelakan terhadapnya. Dengan kata lain, walaupun telah melakukan tindak pidana, tetapi pembuatnya tidak dililiputi kesalahan dan karenanya tidak dapat dipertanggungjawabkan. Melakukan suatu tindak pidana, tidak selalu berarti pembuatnya bersalah atas hal itu.[footnoteRef:21] [20: Ibid hal 5 ] [21: Ibid hal 6]

Untuk dapat mempertanggungjawabkan seseorang dalam hukum pidana diperlukan syarat-syarat untuk dapat mengenakan pidana terhadapnya, karena melakukan tindak pidana tersebut. Dengan demikian, selain telah melakukan tindak pidana, pertanggungjawaban pidana hanya dapat dituntu ketika tindak pidana dilakukan dengan kesalahan.Dipisahkannya tindak pidana dan pertanggungjawaban pidana menyebabkan kesalahan dikeluarkan dari unsur tindak pidana dan ditempatkan sebagai faktor yang menentukan dalam pertanggungjawaban pidana. Namun demikian, bagaimana konsepsi ini diterapkan dalam praktik hukum perlu pengkajian lebih lanju. Pertanggungjawaban pidana terutama dipandang sebagai bagian dari pelaksanaan tugas hakim dalam memeriksa, mengadili, dan memutus perkara. Oleh karena iu, pengkajian mengenai teori pemisahan tindak pidana dan pertanggungjawban pidana, pertama-tama dilakukan dengan menelusuri penerapan dan perkembangannya dalam putusan pengadilan. Dengan kata lain, konkretisasi sesungguhnya dari penerapan dari teori tersebu terdapat dalam putusan pengadilan.Seseorang mempunyai kesalahan, apabila pada waktu melakukan perbuatan pidana, dilihat dari segi masyarakat, dia dapat dicela oleh karennya, sebab dianggap dapat berbuat lain jika memang tidak ingin berbuat demikian. Dilihat dari segi masyarakat, ini menunjukkan pandangan yang normatif menganai kesalahan. Seperti diketahui mengenai kesalahan ini dulu orang berpandangan psychologisch. Tetapi kemudian pandangan ini ditinggalkan orang dan orang lalu berpandangan normatif. Ada atau tidaknya kesalahan tidaklah ditentukan bagaimana dalam keadaan senyatanya batin daripada terdakwa, tetapi bergantung pada bagaimanakah penilaian hukum mengenai keadaan batin itu, apakah dinilai ada atau tidak ada kesalahan. Pompe menyingkat kesalahan ini dengan dapat dicela (verwijbaarheid) dan dapat dihindari (vermijdbaarheid) perbuatan yang dilakukan.[footnoteRef:22] [22: Prof.Mr.Roeslan Saleh,Op.Cit,hal.77 ]

Pompe mengatakan, menurut akibatnya, hal ini adalah dapat dicela, menurut hakikatnya dia adalah dapat dihindarinya kelakukan melawan hukum itu. Karena kehendak si pembuat itu terlihat pada kelakuan yang bersifat melawan hukum, maka ini dapat dicelakan padanya. Sampai sekian jauh, maka kesalahan menyebabkan atau mempunyai akibat dapat dicela. Celaan ini dimungkinkan karena si pembuat itu bisa berusaha, agar dia tidak berbuat berlawanan dengan hukum oleh karena dia juga dapat berbuat sesuai dengan hukum. Pelanggaran atas norma itu bergantung pada kehendaknya, itu dapat dihindari. Berarti kesalahan pada hakikatnya dapat dihindari. Menurut Pompe, kelakuan adalah suatu kejadian yang ditimbulkan oleh seseorang yang nampak keluar dan yang diarahkan kepada tujuan yang menjadi objek hukum. Simons mengatakan bahwa kesalahan adalah keadaan psychis orang yang melakukan perbuatan dan hubungannya dengan perbuatan yang dilakukan, yang sedemikian rupa sehingga orang itu dapat dicela karena perbuatan tadi.[footnoteRef:23] Jadi yang harus diperhatikan adalah : [23: Ibid ,hal.78 ]

c. Hubungan antara keadaan batin itu dengan perbuatan Pidana. Dua hal inilah yang harus diperhatikan, dimana diantara keduanya terjalin erat satu dengan yang lainnya, yang kemudian dinamakan kesalahan. Hal yang merpakan kesatuan yang tak dapat dipisah-pisahkan. Mengenai keadaan batin dari orang yang melakukan perbuatan, dalam ilmu hukum pidana merupakan persoalan yang lazim disebut dengan kemampuan bertanggung jawab. Sedangkan mengenai hubungan antara batin itu dengan perbuatan yang dilakukan, merupakan masalah kesengajaan, kealpaan serta alasan pemaaf, sehingga mampu bertanggungjawab, mempunyai kesengajaan atau kealpaan serta tidak adanya alasan pemaaf merupakan unsur-unsur dari kesalahan. Tiga unsur ini merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisah-pisahkan. Yang satu bergantung pada yang lain, dalam arti demikianlah urut-urutannya dan yang disebut kemudian bergantung pada yang disebutkan terlebih dahulu. Konkritnya tidaklah mungkin dapat dipikirkan tentang adanya kesengajaan atau kealpaan, apabila orang itu tidak mampu bertanggung jawab. Begitu pula tidak dapat dipikirkan mengenai alasan pemaaf, apabila orang tidak mampu bretanggung jawab dan tidak pula adanya kesengajaan ataupun kealpaan. Selanjutnya tidak ada gunanya untuk mempertanggungjawabkan terdakwa atas perbuatannya apabila perbuatannya itu sendiri tidaklah bersifat melawan hukum, maka dapat dikatakan bahwa terlebih dahulu harus ada kepastian tentang adanya perbuatan pidana, dan kemudian semua unsur-unsur kesalahan tadi harus dihubungkan pula dengan perbuatan pidana yang dilakukan, sehingga untuk adanya kesalahan yang mengakibatkan dipidananya terdakwa maka haruslah : a. Melakukan perbuatan pidana b. Mampu bertanggung jawab c. Dengan kesengajaan atau kealpaan d. Tidak adanya alasan pemaaf Telah dikatakan diatas bahwa mengenai keadaan batin dari si terdakwa dalam ilmu hukum pidana merupakan kemampuan bertanggung jawab, apakah yang menyebabkan maka hal ini merupakan suatu masalah ? Dalam hukum positif kita, yaitu dalam Pasal 44 KUHP dinyatakan bahwa : Apabila yang melakukan perbuatan pidana itu tidak dapat dipertanggungjawabkan disebabkan karena pertumbuhan yang cacat atau adanya gangguan karena penyakit daripada jiwanya maka orang itu tidak dipidana. Jadi seseorang yang telah melakukan perbuatan pidana, tetapi tidak dapat dipertanggungjawabkan karena hal-hal yang disebutkan dalam Pasal 44 KUHP, maka tidak dapat dipidana. Ketentuan dalam hukum positif ini sesuai dengan apa yang telah disebutkan dalam teori, dia dapat dicela oleh karenanya, sebab dianggap dapat berbuat lain, jika memang tidak diinginkan. Demikian yang disebut mengenai oran gyang mampu bertanggungjawab. Orang yang tidak mampu bertanggung jawab tentu saja tidak sepantasnya dianggap dapat berbuat seperti yang diharapkan oleh hukum ataupun pikiran yang sehat. Prof. Mr. Roeslan Saleh mengatakan bahwa orang yang mampu bertanggungjawab itu harus memenuhi tiga syarat, yaitu :[footnoteRef:24] [24: Ibid ,hal 80 ]

1) Dapat menginsyafi makna yang senyatanya dari perbuatannya.2) Dapat menginsyafi bahwa perbuatannya itu tidak dapat dipandang patur dalam pergaulan masyarakat. 3) Mampu untuk menentukan niat atau kehendaknya dalam melakukan perbuatan.

Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa untuk menentukan adanya kemampuan bertanggung jawab, ada dua faktor yang harus dipenuhi yaitu faktor akal dan faktor kehendak. Akal yaitu dapat membeda-bedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan yang tidak diperbolehkan, orang yang akalnya tidak sehat tidak dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum, sedangkan orang yang akalnya sehat dapat diharapkan menentukan kehendaknya sesuai dengan yang dikehendaki oleh hukum. Kehendak yaitu dapat menyesuaikan tingkah lakunya dengan keinsyafan atas mana diperbolehkan dan mana yang tidak.

2. Tinauan Umum Mengenai Senjata Api.a. Pengertian senjata api Undang-undang Darurat Nomor 12 tahun 1951 Pasal 1 ayat (2) memberikan pengertian senjata api dan amunisi yaitu termasuk juga segala barang sebagaimana diterangkan dalam Pasal 1 ayat (1) dari peraturan senjata api 1936 (Stb 1937 Nomor 170), yang telah diubah dengan ordonantie tanggal 30 Mei 1939 (Stb Nmor 278), tetapi tidak termasuk dalam pengertian itu senajata yang nyata mempunyai tujuan sebagai barang kuno atau barang yang ajaib dan bukan pula sesuatu senjata yang tetap tidak dapat terpakai atau dibikin sedemikian rupa sehingga tidak dapat digunakan. Menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang senjata api (L.N. 1937. No. 170 diubah dengan L. N. 1939 No. 278) tentang Undang-undang senjata api (pemasukan, pengeluaran dan pembongkaran) 1936, yang dimaksud senjata api adalah : 1) Bagian-bagian senjata api; 2) Meriam-meriam dan penyembur-penymebur api dan bagian-bagiannya; 3) Senjata-senjata tekanan udara dan senjata-senjata tekanan per, pistol-pistol penyembelih dan pistol-pistol pemberi isyarat, dan selanjutnya senjata-senjata api tiruan seperti pistol-pistol tanda bahaya, pistol-pistol perlombaan, revolver-revolver tanda bahaya dan revolver-revolver perlombaan, pistol-pistol mati suri, dan revolver-revolver mati suri dan benda-benda lain yang serupa itu yang dapat dipergunakan untuk mengancam atau mengejutkan, demikian juga bagian-bagian senjata itu, dengan pengertian, bahwa senjata-senjata tekanan udara, senjata-senjata tekanan per dan senjata-senjata tiruan serta bagian-bagian senjata itu hanya dapat dipandang sebagai senjata api, apabila dengan nyata tidak dipergunakan sebagai permainan anak-anak. Sedangkan berdasarkan Instruksi Presiden Republik Indonesia Nomor 9 Tahun 1976, senjata api adalah salah satu alat untuk melaksanakan tugas pokok angkatan bersenjata dIbidang pertahanan dan keamanan, sedangkan bagi instansi pemerintah di luar angkatan bersenjata, senjata api merupakan alat khusus yang penggunannya diatur melalui ketentuan Instruksi Presiden Nomor 9 Tahun 1976, yang menginstruksikan agar para menteri (pimpinan lembaga pemerintah dan non pemerintah) membantu pertahanan dan keamanan agar dapat mencapai sasaran tugasnya. b. Jenis-jenis senjata api Senjata api yang beredar jenisnya bermacam-macam, berikut ini adalah senjata api ditinjau dari type, jenis, negara produsen dan kalibernya. Senjata tersebut antara lain :No.Type Jenis Kaliber Negara Produsen

1. A-91 Rifle Gempur Padat 5.45x39 mm, 5.56x45 mm Russia

2. AAI ACR Rifle Gempur 5.56x45 mm USA

3. AAI CAWS Senjata Gempur Dekat 7.62 mm USA

4. AAI SBR Serial Bullket Riffle 4.32x45 mm USA

5. SS1-V1 Rifle Gempur 5,56x45 mm Indonesia

6. SS1-V2 Rifle Gempur 5,56x45 mm Indonesia

7. AK-47 Rifle Gempur 7.62x39 mm Russia

8. AK-101 Rifle Gempur 5.56 mm Russia

9. Albini-Braendlin M1867 Riffle Satu 11x50 mm Jerman

10. ALFA Defender Pistol 9x19 mm Republik Czech

11. ALGIMEC AGMi Semi auto 9x19 mm Italia

12. Allin-Springfield M1879 Karbin Single Shot Karbin 4-7 mm USA

13. AMT Automag III Pistol Magnum 9 mm USA

14. APS Stechkin Machine Pistol 9x18 mm Russia

15. Arisaka Year 29 Bolt Action Rifle 6.5x50 mm Jepang

16. Armalite AR-9 Shotgun Semi-Auto 7.62 mm USA

17. B94 Rifle Semi-Auto 12.7x108mm Russia

18. Baby Nambu Pistol 7 mm Jepang

19. Bacon Arms C. Pepperbox Revolver Revolver 7 mm USA

20. Beholla Pistol Pistol 7.65x17 mm Jerman

21. Belgian M1871 Trooper's Revolver Revolver 11x17.5 mm Belgia

22. Belgian M1883 NCO's Revolver Revolver 9x23 mm Belgia

23. Benelli B82 Pistol 9x18 mm Italia

24. Beretta Machine Guns Pistol 5.56 mm Italia

25. Baretta M1915 Pistol 7.65x17mm Italia

26. Baretta 32 Pistol Taget Model 7.65x21mm Italia

27. Baretta 81B Cheetah Pistol 7.65x17mm Italia

28. Baretta M80 Olimpionica Pistol 22 mm Italia

29 BM59 Riffle tempur 7.62 mm Italia

30. BM59 Mark E Rifle tempur 9x19 mm Italia

31. Billenium 92 Pistol 9x19 mm Italia

32. Benelli M3 Semi auto shoot gun 7.62 mm Italia

33. Bounded 8040 Cougar D Rifle tempur 11x17.5 mm Italia

34. Berdan rifle Rifle tempur 9x19 mm Rusia

35. C1 Rifle Rifle Tempur 7.62 mm Kanada

36. C9 LMG FN Minimi 5.56 mm Belgia

37. CADCO Medusa Revolver 9x23 mm US

38. Calico Liberty Revolver 9x19 mm US

39. Campo-Giro Model 1904 Pistol 7.65x17mm Spanyol

40. Carl Gustav 1873 SMG Luger 9x19mm Swedia

41. CETME Ameli LMG 5.56mm Spanyol

42. ChinaLake NATIC Pelancar Bom tangan 40x46mm USA

43. Chinese Type 54 Pistol 7.62x25mm Cina

44. Chinese Type 63 Rifle Riffle Gempur 7.62x39mm Cina

45. Chinese Type 80 Machine Pistol 7.62x25mm Cina

46. Christensen Arms Carbon Tactical Bolt Action Rifle 7.62x25mm USA

47. CIS .50 MG HMG 50 mm Singapura

48. Civil Defence Supply MP5-224 SMG 22 mm Jerman

49. Colt Accurized Rifle Rifle Semi-Auto 5.56 mm USA

50. Colt Defender Riffle auto 10 mm USA

51 Colt Mustang Pistol 9x17mm USA

52. Colt M16 Riffle gempur 5.56 mm USA

53. Combined Service Forces 60 SMG Luger 9X19 mm Taiwan

54. CZ-581 Mod.4 Riffle Gempur 7.62x39mm Belgia

55. CZ-584 Mod.7 FN 5.56 mm Belgia

56. DPMS Panther Bull A-15 Pistol 7.62x25mm USA

57. Dragunov SVD SMG 16 mm Rusia

58. Dardick Model SMG 12 mm Rusia

59. DS Arms SA58 Riffle 7.62x39mm USA

60. DShK Machine Pistol 7.62x25mm Rusia

F. Metode PenelitianPenelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya, serta dilakukan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan.[footnoteRef:25] [25: Soerjono Soekanto. 2008. Pengantar Penelitian Hukum. Jakarta : UI Press. Hlm. 43.]

Untuk memperoleh kebenaran yang dapat dipercaya keabsahannya, suatu penelitian harus menggunakan suatu metode yang tepat dengan tujuan yang hendak dicapai sebelumnya. Metodolgi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang mempelajari, menganalisa dan memahami lingkungan- lingkungan yang dihadapinya.[footnoteRef:26] [26: Ibid., Hlm. 6.]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penulis dalam penelitian ini menggunakan metode penulisan antara lain sebagai berikut:1. Jenis PenelitianPendekatan yang digunakan adalah yuridis sosiologis yang mengutamakan aturan hukum.yuridis dan dipadukan dengan menelaah fakta-fakta social yang terkait dengan masalah pada penelitian. Hal ini berarti melakukan pendekatan yang menekankan pada praktek di lapangan dikaitkan dengan aspek hukum atau perundang-undangan yang berlaku.[footnoteRef:27] Penelitian ini termasuk penelitian yang bersifat deskriptif. Penelitian deskriptif menurut Soerjono Soekanto adalah: [27: Hadari Nawawi dalam Soejono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Hlm. 23.]

Suatu penelitian yang dimaksud untuk memberikan data yang peteliti mungkin tentang manusia, keadaan, gejala-gejala lainnya. Maksudnya adalah terutama mempertegas hipotesa-hipotesa, agar dapat membantu memperkuat teori-teori lama, atau di dalam kerangka penyusunan teori baru.[footnoteRef:28] [28: Soerjono Soekanto, Op. Cit., Hlm. 10.]

2. Jenis dan Sumber DataDalam melakukan penelitian digunakan jenis data yaitu:a. Data PrimerData primer adalah data yang diperoleh langsung dari lokasi penelitian yaitu pada Polda Metro Jaya.b. Data SekunderData sekunder adalah data yang diperoleh dari penelitian kepustakaan. Sumber data yang akan digunakan dalam penelitian adalah berasal dari:1) Penelitian Kepustakaan (library research)Yakni penelitian yang dilakukan terhadap buku, undang-undang dan peraturan terkait lainnya yang berhubungan dengan permasalahan.Penelitian kepustakaan bertujuan untuk mendapatkan bahan hukum yaitu:a) Bahan hukum primerSebagai landasan utama yang dipakai dalam rangka penelitian ini diantaranya adalah

i. Undang-Undang Nomor 12 Drt Tahun 1951 Tentang senjata api dan bahan peledakii. Undang-Undang Nomor 20 Prp Tahun 1960 tentang Kewenangan Perizinan Yang diberikan Menurut Perundang-undangan Mengenai Senjata Api iii. Ordonasi Tanggal 19 maret 1937(Stbl.1937 No170) Dan Ordonasi Tanggal 10 Maret 1939(Stbl.No 178),jo Ordonasi Tanggal 30 Mei 1939(Stbl.1939 No.279) Tentang Vuurwapen Regelingen. iv. Undang-Undang Nomor 8 Tahun1948 Tentang Pendaftaran Dan Pemberian Izin Pemakaian senjata Api. i. Skep Kapolri:No 82/II/2004 tanggal 16 februari 2004 Tentang Buku Petunjuk Pelaksanaan Pengawasan Dan Pengendalian Senjata Api Non Organik TNI/POLRIb) Bahan hukum sekunderBahan-bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum sekunder yang digunakan antara lain:i. Hasil karya ilmiah berupa skripsi, tesis dan disetasi yang berhubungan dengan masalah yang ditelitiii. Buku-buku yang berkaitan dengan perjanjian dan perlindungan konsumen.iii. Jurnal-jurnal ilmiah tentang hukum perjanjian.c) Bahan hukum tertierBahan yang bisa memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer seperti ensiklopedi, kamus, dan bulletin.2) Penelitian Lapangan (field research)Melalui penelitian lapangan telah mengumpulkan data-data konkrit, baik secara primer maupun sekunder, yang diperoleh melalui wawancara dengan pihak-pihak yang dapat dijadikan sebagai narasumber untuk memperoleh informasi yang lengkap tentang permasalahn yang berkaitan dengan judul tesis ini.2. Teknik Pengumpulan DataTeknik pengumpulan data yang digunakan adalah sebagai berikut:1) WawancaraTeknik wawancara yang dilakukan adalah secara semi terstruktur, dimana pertanyaan-pertanyaan yang akan diberikan kepada anggota Polisi pada Polda Metro Jaya, dan telah disiapkan terlebih dahulu dalam bentuk daftar pertanyaan.[footnoteRef:29] [29: Hadari Nawawi dalam Soejono, 2003, Metode Penelitian Hukum, Jakarta: Rineka Cipta, Hlm. 45.]

2) Studi Dokumentasi atau PerpustakaanYaitu dengan mengumpulkan bahan kepustakaan yang berkaitan dengan permasalahan yang diteliti.3) Populasi dan Sampela) Populasi Penelitian Populasi atau univerce adalah seluruh objek, seluruh individu, segala gejala/kegiatan dan atau seluruh unit yang diteliti.[footnoteRef:30] Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh Anggota Polisi pada Divisi Humas Polda Metro Jaya. [30: Ronny Hanitijo Soemitro, 1990, Metodelogi Penelitian Hukum dan Jurimetri. Jakarta: GHlmia Indonesia, Hlm. 9.]

b) Sampel PenelitianMengingat besar dan luasnya populasi, maka dalam pengumpulan data ini, diambil sebagian saja untuk dijadikan sampel. Sampel adalah sebagian dari populasi yang dapat mewakili seluruh objek penelitian. Dalam penulisan tesis ini mengambil teknik purposive sampling untuk menetapkan sampel penelitian, pengambilan sampel secara purposive sampling yaitu mengambil unsur-unsur atau elemen-elemen dari populasi didasarkan atas tujuan tertentu dengan tidak membuka kesempatan yang sama bagi setiap unsur-unsur atau elemen-elemen dari populasi untuk menjadi sampel.[footnoteRef:31] [31: Ibid., Hlm 17]

3. Teknik Pengolahaan dan Analisis Dataa. Teknik Pengolahan DataSetelah semua data diperoleh baik data primer dan data sekunder diolah melalui proses editing yaitu memilah atau memilih data yang ada sesuai dengan keperluan tujuan penelitian.[footnoteRef:32] [32: Ibid.,]

b. Analisis DataSetelah data diperoleh baik data primer maupun data sekunder yang diolah, selanjutnya dianalisis secara kualitatif yang bersifat yuridis yaitu tidak menggunakan angka-angka (tidak menggunakan rumus matematika), tetapi menggunakan kalimat-kalimat yang merupakan padangan para pakar, peraturan perudangan-undangan, termasuk data yang diperoleh dilapangan yang memberikan gambara secara detil mengenai permasalahan sehingga dapat diambil kesimpulannya sesuai dengan tujuan penelitian.[footnoteRef:33] [33: Soerjono Soekanto, Op. Cit., Hlm. 20]

1