proposal
TRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka
ragam. Untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia bekerja, baik
pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Bekerja pada
orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang
memberi perintah dan mengutusnya, karenanya ia harus tunduk dan patuh pada
orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut.1 Hal inilah kemudian yang
akhirnya melahirkan hubungan perburuhan atau dikenal dengan hubungan
industrial. Di mana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja
antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak
pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha
mempekerjakan pekerja dengan buruh dengan memberi upah.2
Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 tahun
2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja
dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja atau buruh adalah
seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.3 Sedangkan
definisi tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13
1 H. Zainal Asikin, Pengertian, Sifat dan Hakikat Hukum Perburuhan dalam Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta, PT. Raja Grasindo Persada, 1993, hal. 1.
2 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta, Djambatan, 2001, hal. 1
3 Iman Soepomo, Ibid, , hlm.6.
1
tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan “Setiap orang yang mampu
melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk
memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.
Bertolak dari pengertian bahwa pekerja atau buruh adalah orang yang
melakukan pekerjaan untuk orang lain (swasta) berarti sedikitnya harus ada dua
pihak yang terlibat dalam hubungan kerja yaitu orang yang melakukan pekerjaan
yang disebut dengan pekerja atau buruh dan orang yang memberikan pekerjaan
yang disebut dengan Pengusaha.
Pengertian pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 butir (a)
Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah orang
perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu
perusahaan milik sendiri, dan selanjutnya pada Pasal 1 angka 5 butir (b) Undang-
Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa
Pengusaha adalah ”orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang
secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”.
Secara sosiologis, pekerja atau buruh memang merupakan pihak yang
lebih lemah dibanding pihak pengusaha. Pekerja atau Buruh adalah orang yang
tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pengusaha, karena dalam
suatu hubungan kerja pengusaha telah memberikan batasan-batasan yang harus
diikuti oleh pihak pekerja atau buruh. Sangat sulit bagi pihak pekerja atau buruh
untuk menentang, dan bila mereka berkeras untuk menentang maka mereka akan
kehilangan mata pencaharian. Bagi pengusaha, kehilangan seorang pekerja atau
2
buruh bukan persoalan karena masih ada ribuan tenaga kerja yang mencari
pekerjaan.
Selanjutnya adanya hubungan kerja ini maka lahirlah perjanjian kerja.
Istilah perjanjian sebenarnya tidak dikenal dalam KUH Perdata, yang ada ialah
perikatan atau verbintenis (Pasal 1233 KUH Perdata) dan persetujuan atau
overeenkomst (Pasal 1313 KUH Perdata). Beberapa ahli hukum juga berbeda
pendapat dalam menggunakan istilah-istilah tersebut. Di Indonesia istilah
verbintenis diterjemahkan dalam 3 (tiga) arti, yaitu: perikatan, perhutangan dan
perjanjian, sedangkan istilah overeenkomst diterjemahkan dalam 2 (dua) arti,
yaitu: perjanjian dan persetujuan.
Dalam hubungan industrial ini selanjutnya tidak jarang akan menimbulkan
konflik atau perselisihan yang dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003
Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, biasa disebut dengan perselisihan
hubungan industrial.4 Perselisihan atau perkara5 dimungkinkan terjadi dalam
setiap hubungan antarmanusia, bahkan mengingat subjek hukum-pun telah lama
mengenal badan hukum, maka para pihak yang terlibat di dalamnya pun
(perselisihan/perkara) semakin banyak. Dengan semakin kompleksnya corak
kehidupan masyarakat, maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa
perselisihanpun meliputi ruang lingkup semakin luas, diantaranya yang sering
4 Zaeni Asyhadie I, Peradilan Hubungan Industrial, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 2.5 Perselisihan ataupun perkara disebut juga dengan istilah lain yaitu konflik atau sengketa yang
merupakan suatu situasi (keadaan) dimana terdapat dua pihak atau lebih yang melakukan hubungan hukum, dan pada kondisi tertentu pihak-pihak tersebut memperjuangkan tujuan mereka sendiri-sendiri, yang tidak dapat dipersatukan dan dimana salah satu pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya sendiri yang berlawanan dengan tujuan pihak lainnya. Lihat Ronny Hanijito Soemitro, Masalah-Masalah Sosial Hukum, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1994, hlm. 181.
3
mendapat sorotan adalah Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). PHI biasanya
terjadi antara pekerja/buruh dan perusahaan atau antara organisasi buruh dengan
organisasi perusahaan.
Hubungan Industrial tidak lain merupakan keterkaitan kepentingan antara
pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat,
bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan
industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah
ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik
dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun
peraturan perundang-undangan. Salah satu perselisihan hubungan industrial dapat
pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja.6
Bagi pekerja/buruh, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan awal
hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan
penghasilan. Oleh sebab itu, istilah PHK bisa menjadi momok bagi setiap
pekerja/buruh karena mereka dan keluar hanya terancam kelangsungan hidupnya
dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Mengingat fakta dilapangan bahwa
mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Semakin ketatnya
persaingan, angkatan kerja terus bertambah dan kondisi dunia usaha yang selalu
fluktuatif, sangatlah wajar jika pekerja atau buruh selalu khawatir dengan
ancaman PHK tersebut.
Berdasarkan data (tahun 2010 s/d 2012), perkara-perkara PHK dari 8
(delapan) Kabupaten/Kota se-Propinsi Banten kurang lebih 60 - 70 perkara yang
6 Juslan, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, http://juslansh.blogspot.com/2012/11/penyelesaian-perselisihan-hubungan.html, diakses, 15 September 2013, Pukul 22.00 WIB.
4
ditangani oleh majelis. Penanganan perkara-perkara ini notabene bagi Pengadilan
Negeri (Pengadilan Hubungan Industrial) karena masih merupakan hal baru dalam
menangani masalah ketenagakerjaan yang multi kompleks.7
Sehubungan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan
perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar
pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-
haknya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan pekerja tersebut dalam bahasa
Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan perlindungan buruh atau
perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat dilindungi dari perlakuan
pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap
masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada umumnya posisi pekerja masih
lemah, sehingga perlindungan kerja dan keselamatan kerja akan dapat
mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan, kesehatan, kedisiplinan pekerja yang
berada di bawah pimpinan pengusaha. 8
Untuk itulah pemerintah berharap agar PHK tidak dilakukan oleh
pengusaha terhadap buruhnya, tercantum dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-
Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan
Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan :
1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;
7 _______________, Pengadilan Negeri Serang, 2013.8 Thoga M. Sitorus, Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia Dan Daerah (Pasca Reformasi),
Medan, Bina Media Perintis, 2007, hal. 75, bahwa permasalahan ketenagakerjaan yang multi kompleks ini meliputi: masalah pengangguran, kesempatan kerja, Upah Minimum Propinsi (UMP), investasi, masalah kepentingan, unjuk rasa, pelanggaran norma, pekerja kontrak (out sourcing), hubungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, konvensi ILO, gerakan SP/SB dan lain-lain yang kesemuanya terkait dengan masalah PHK.
5
2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;
3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 4. Pekerja/buruh menikah; 5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau
menyusui bayinya; 6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan
pekerja/buruh lainnya di dalam 1 (satu) perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB;
7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB;
8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;
9. Karena perbedaan pahan, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan;
10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.
Walaupun lazimnya PHK dilakukan oleh pengusaha terhadap buruhnya,
tetapi dalam kehidupan dunia usaha ini tidak jarang pula terjadi bahwa pihak
buruh melakukan PHK dengan alasan yang seharusnya menjadi cambuk bagi
pengusaha, seperti misalnya karena merasa kesal atau tidak tahan menghadapi
pengusaha yang berperilaku kurang baik, sering merendahkan derajatnya,
menerima perintah kerja secara terus-menerus tanpa adanya waktu untuk mengaso
yang justru tindakan-tindakan atau perilaku pengusaha yang demikian sangat
bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya di pihak pengusaha enggan
pula untuk melakukan PHK, karena buruh yang telah ada dapat dikatakan sebagai
buruh yang telah mempunyai pengalaman dalam pelaksanaan kerja di
perusahaannya, misalnya baru 1 (satu) atau 2 (dua) bulan, pembinaan terhadap
mereka sekedar untuk lebih memantapkan produktivitas kerjanya.
6
Memberhentikan pekerja/buruh yang telah bekerja beberapa bulan di
perusahaannya hanya dilakukan karena keterpaksaan, dikarenakan buruh yang
bersangkutan walaupun telah sering dinasihati, diberi peringatan, tetap tidak mau
mengubah sikap dan perilakunya yang kurang baik, sehingga selalu mengesalkan
pengusaha. Hanya saja dalam melakukan PHK karena adanya keterpaksaan
tersebut, maka pengusaha yang baik akan tetap memperhatikan ketentuan
perundang-undangan atau hukum yang berlaku.
Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan
antara Serikat Buruh dan Majikan (sekarang disebut Perjanjian Kerja Bersama)
yang memberikan kedudukan yang seimbang antara pekerja/buruh dengan
pengusaha dalam menyusun syarat-syarat kerja di perusahaan. Selain itu juga
diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 Tentang Pencegahan
Pemogokan dan Penutupan (Lock-Out) di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang
vital, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan
Kerja di Perusahaan Swasta yang melarang pengusaha memutuskan hubungan
kerja dengan pekerja/buruh tanpa izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan
Perburuhan Daerah (P4D) atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan
Pusat (P4P).9
Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, disebutkan
Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan Pengadilan Khusus yang
berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada Pasal 51 ayat (1)
disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini dibentuk PHI pada
9 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Jakarta, Pradnya Paramita, 2007, hal. 4.
7
setiap PN Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah
hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan. Untuk Propinsi Banten
ditetapkan pertama kali adalah Kota Serang. PN seluruh Indonesia sudah
melakukan persiapan-persiapan, termasuk PN Serang yang telah mempersiapkan
tempat/ruang persidangan di PN dan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi Hakim dari
pengadilan dan Hakim Ad-Hoc yang terdiri dari unsur SP/SB dan Organisasi
Pengusaha (APINDO) yang telah dilaksanakan di Jakarta, kerjasama Mahkamah
Agung (MA) dan Depnakertrans. Untuk PN Serang sementara ditetapkan 3 (tiga)
majelis dan mengangkat Panitera Muda dan Panitera Pengganti dari P4D Banten
sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.
Apabila para pihak yang berselisih melakukan upaya penyelesaian melalui
pengadilan, maka di dalam Pasal 55 UU Nomor 2 tahun 2004 yang berhak
memeriksa, mengadili dan memutuskan perselisihan hubungan industrial adalah
PHI yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan
umum. PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus ditegaskan dalam
Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, meliputi :
1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; 2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; 3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK; 4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar SP/SB dalam 1
(satu) perusahaan.
Namun demikian, yang menjadi permasalahan ketika perselisihan berhasil
memiliki kekuatan hukum tetap yang mengikat kedua belah pihak dalam hal ini
pengusaha dan pekerja. Acapkali terjadi diskriminasi terhadap pekerja yang
awalnya telah di PHK kemudian dipekerjakan kembali tidak mendapat perlakuan
8
sebagaimana semestinya sebelum di PHK. Pekerja yang bersangkutan adakalanya
tidak ditempatkan pada jabatannya semula namun ditempatkan dibagian lain yang
bukan bidangnya atau diturunkan dari pangkatnya atau malah mendapat perlakuan
tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali (non job). Hal inilah yang menjadi
permasalahan bagi pekerja bahwa putusan pengadilan dirasakan belum
sepenuhnya berpihak kepada pekerja walaupun pengadilan telah memenangkan
seluruh gugatannya.
Bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau title
Keempat Rbg, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan”
(tenuitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain
daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan “secara
paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang
kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela
(vrijwillig voluntary). Untuk melaksanakan putusan PPHI diperlukan biaya
terutama dalam hal eksekusi pembayaran sejumlah uang diperlukan biaya
panggilan, pemberitahuan putusan, pengumuman, teguran, sita eksekusi dan
pelelangan. Dalam perkara nilai gugatannya dibawah Rp. 150 juta yang tidak
dikenakan biaya pada hal biaya yang tersedia di Pengadilan Negeri tidak
mencukupi. Untuk mengatasi kekurangan biaya tersebut harus ada jalan keluarnya
agar pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat direalisasikan.
Berdasarkan uraian penjelasan di atas, merupakan ide dasar dilakukannya
penelitian ini yakni menganalisis eksekusi putusan PPHI pada Pengadilan Negeri
Serang. Analisis eksekusi putusan dimaksud berkaitan dengan keberadaan
9
pekerja/buruh yang mempunyai kepentingan terhadap putusan tersebut. Dengan
kata lain, penulisan tesis ini mengkaji implementasi pelaksanaan putusan
(eksekusi) pada PPHI baik itu menyangkut prosedur/ tahapan/ mekanismenya,
kendala/ hambatan, siapa yang dirugikan, dan faktor mengapa pekerja/buruh
dirugikan. Selain itu, yang perlu dikaji berkaitan dengan pelaksanaan putusan
(eksekusi) dimaksud ialah model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan
kepentingan para pihak, khususnya bagi pekerja/buruh dengan judul:
"Pelaksanaan Putusan Tentang Tenaga Kerja Yang Dipekerjakan Kembali Setelah
Di PHK (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Serang Pada
Pengadilan Negeri Serang Nomor: 30/G/2010/PHI.SRG)".
B. Identifikasi Masalah
Dalam penyusunan tesis ini, penulis merumuskan beberapa pokok
permasalahan yang sesuai dengan judul di atas, yaitu sebagai berikut :
1. Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan putusan Pengadilan Negeri Serang
Nomor 30/G/2010/PHI.SRG?
2. Siapa yang dirugikan atas putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor
30/G/2010/PHI.SRG?
3. Model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan kepentingan para pihak,
khususnya bagi pekerja/buruh atas putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor
30/G/2010/PHI.SRG?
10
4. Bagaimana upaya pemerintah dan akibat hukumnya terhadap perusahaan
yang tidak mau mempekerjakan kembali pekerja berdasarkan putusan
Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG?
C. Tujuan Penelitian
Dari rumusan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam
penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :
1. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan putusan Pengadilan Negeri
Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.
2. Untuk mengetahui siapa yang dirugikan atas putusan Pengadilan Negeri
Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.
3. Untuk mengetahui model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan
kepentingan para pihak, khususnya bagi pekerja/buruh atas putusan
Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.
4. Untuk mengetahui upaya pemerintah dan akibat hukumnya terhadap
perusahaan yang tidak mau mempekerjakan kembali pekerja berdasarkan
putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.
D. Kegunaan Penelitian
Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai
berikut:
1. Secara Teoritis
Dapat memberikan sumbangan untuk kemajuan ilmu hukum khususnya
dalam bidang ketenagakerjaan. Selain itu, diharapkan tesis ini dapat dijadikan
11
tambahan literatur yang membahas tentang pelaksanaan putusan tentang tenaga
kerja yang dipekerjakan kembali setelah di PHK. Manfaat lainnya adalah untuk
menambah wawasan, baik bagi penulis sendiri maupun bagi siapa saja yang
membacanya dan juga dapat menjadi pedoman penulisan tesis selanjutnya.
2. Manfaat Praktis
Diharapkan melalui penulisan Tesis ini dapat memberikan masukan serta
pengetahuan bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa yang ingin mengetahui
bagaimana mekanisme pelaksanaan putusan, siapa yang dirugikan atas putusan,
model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan kepentingan para pihak,
khususnya bagi pekerja/buruh dan juga untuk mengetahui upaya pemerintah dan
akibat hukumnya terhadap perusahaan yang tidak mau mempekerjakan kembali
pekerja.
E. Kerangka Pemikiran
Mencermati konflik antara para pekerja/ buruh dengan pengusaha tidak
dapat dilihat secara hitam putih semata, sebab berbicara mengenai masalah
ketenagakerjaan memang cukup kompleks. Oleh karena itu, Pemerintah
menerbitkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial sebagai rangkaian pendukung diterbitkannya
Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang terlebih
dahulu dikeluarkan. Hal ini tentu saja membuat pekerja/buruh mempunyai
kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi dan
penyelesaian perselisihan yang demikian dapat memberikan perlindungan hukum
12
yang kuat terhadap para pihak yang sedang dilanda konflik. Mulai dari
penyelesaian oleh para pihak secara kooperatif, dengan bantuan orang lain atau
pihak ketiga yang bersifat netral dan sebagainya. Penyelesaian semacam ini lazim
disebut penyelesaian perselisihan di luar pengadilan atau alternative dispute
resolution (ADR) yang dalam masyarakat Indonesia penyelesaian perselisihan
semacam ini sudah lama dikenal, yakni musyawarah baik dengan melibatkan
pihak lain maupun tidak. Namun, apabila para pihak yang berkonflik tidak
mencapai titik temu dalam penyelesaian sengketa yang dihadapi, baru kemudian
dapat menempuh jalur pengadilan.10
Namun demikian, persoalan yang seringkali timbul setelah putusan
pengadilan dibacakan adalah bagaimana agar putusan tersebut dapat dilaksanakan
secara efektif. Masalah ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan
pihak yang dikalahkan terhadap putusan pengadilan.
Ada perbedaan pelaksanaan eksekusi terhadap perkara perselisihan
hubungan industrial sebelum dan sesudah berlakunya UU PPHI. Sebelum
berlakunya UU tersebut, yang berlaku adalah UU No. 22 Tahun 1957 Tentang
Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Perusahaan swasta. Menurut UU ini,
tahap awal pelaksanaan eksekusi merupakan tanggungjawab bagian pengawasan
Dinas Tenaga Kerja. Upaya eksekusi tersebut dilakukan dengan cara memanggil
para pihak yang berselisih dan meminta mereka untuk melaksanakan isi putusan
yang telah berkekuatan tetap. Setelah upaya bagian pengawasaan gagal,
10 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan dan di luar Pengadilan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 7.
13
permohonan eksekusi baru dapat dilakukan dengan cara melalui gugatan di
Pengadilan Negeri. Setelah berlakunya UU PPHI, karena penyelesaian
perselisihan hubungan industrial telah dilaksanakan di Pengadilan Negeri, maka
proses eksekusi tidak lagi dicampur oleh bagian Pengawasan, melainkan langsung
di bawah pengawasan Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan
Negeri.
Perbedaan lain adalah, dalam UU PPHI tidak ada sanksi pidana yang
dijatuhkan terhadap pihak yang tidak melaksanakan isi putusan Pengadilan
Hubungan Industrial, sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1957 ada sanksi
pidananya. Eksekusi Putusan PPHI Setelah beberapa tahun diberlakukannya UU
PPHI, kenyataannya dalam hal pelaksanaan Putusan/Eksekusi hampir sama saja
ketika lembaga P4D atau P4P, ketika masih berada dibawah Institusi Departemen
Tenaga Kerja. Apabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia secara sukarela
memenuhi isi/amar putusan, maka pelaksanaan putusan/eksekusi sangat sulit
dilakukan. Entah apa alasannya, yang jelas jika dilihat di bagian kepaniteraan
PHI, sangat banyak sekali yang tidak dapat dilaksanakan, apalagi jika pihak yang
menang tersebut adalah pekerja/buruh (yang dikalahkan Pengusaha).
Oleh karena itu pada dasarnya peralihan permasalahan penyelesaian
perselisihan Perburuhan/Perselisihan hubungan Industrial dari Kementerian
Tenaga Kerja ke Lembaga Peradilan, tidak ada perubahan yang signifikan.
Sehingga kemenangan (khususnya pekerja/buruh) hanya kemenangan di atas
kertas saja (semu) dan tidak konkrit dapat dinikmati pihak pekerja/buruh.11
11 Yessi Silvani Sibot, Jurnal Hubungan Industrial Dalam Perspektif Pekerja/Buruh (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Palangkaraya), Medan, Universitas Sumatera Utara, 2013
14
Untuk menjamin kepastian hukum terhadap PHK, Undang-Undang Nomor
4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pada asasnya
segala sengketa perdata dapat diterima, diperiksa, dan diadili oleh badan-badan
peradilan negara yang diterapkan dengan undang-undang (Pasal 1, 2, 3 Undang-
Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, begitu juga dapat
digunakan Kitab Undang-Undang Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Acara
Perdata, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial).
Seseorang yang telah dirugikan haknya berdasarkan pasal-pasal tersebut
diatas harus mengajukan gugatan ke depan pengadilan yang telah diterapkan
dengan undang-undang baginya. Tetapi penyelesaian penyelesaian perkara diluar
pengadilan atas dasar perdamaian melalui wasit atau perantara tetap
diperbolehkan.12
Dalam prakteknya pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/2010/PHI.SRG ini ternyata perusahaan
dalam perkara ini adalah BRI (Bank Rakyat Indonesia) telah melanggar peraturan
karena tidak menjalankan isi dalam putusan tersebut. Sebagaimana yang kita tahu
bahwa undang - undang itu harus ditaati barangsiapa yang melanggar undang -
undang harus di pidana sesuai dengan yang dirumuskan oleh Anselm Von
Feurbach dalam teori vom psychologishen zwang (paksaan psikologis), ancaman
12 Z. Asikin Kusumah Atmadja, “Abitrase di Indonesia”, Hukum dan Pembangunan 6 Juli 1997, hlm 408.
15
pidana sudah harus ada pada saat tindak pidana dilakukan. Dengan demikian
dapat tercegahlah adanya tindak pidana.13
Putusan juga haruslah berisikan adil untuk para pihak yang sedang
berselisih, karena pada dasarnya setiap orang kedudukannya dianggap sama di
mata hukum (asas kesamaan)14. Maka Hakim harus memutuskan perkara dengan
seadil-adilnya tanpa adanya pengaruh dari pihak lain. Seharusnya perselisihan
diantara pekerja dan pengusaha tidak perlu terjadi, karena sebenarnya antara
pekerja dan pengusaha saling menguntungkan satu sama lain. Menurut Karl Marx
dengan teori nilai kerjan rata-rata juga menyatakan demikian, yaitu tenaga kerja
mempunyai nilai tukar dan nilai pakai bagi pengusaha. Dari uraian teori ini
maksudnya adalah pengusaha harus membayar nilai tukar pekerja tersebut untuk
mendapatkan nilai pakai pekerja tersebut. Berarti menurut teori ini, pengusaha
akan lebih mendapatkan kerugian apabila terjadi perselisihan, terlebih lagi apabila
sampai terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.15
Bahwa adanya fakta dimana buruh hanya menang di atas kertas sangat
sering kita jumpai, karena banyak pengusaha dengan berbagai dalihnya tak
kunjung melaksanakan putusan PHI. Belum lagi administrasi dan biaya eksekusi
melalui Pengadilan Negeri yang amat membebani buruh.
Terkait masalah eksekusi itu, hakim PHI pada Pengadilan Negeri Serang,
berharap agar lembaga paksa badan (gijzeling) bisa diterapkan di PHI. Tujuannya
jelas: supaya tidak ada pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan
13 Sudarto, “Hukum Pidana I”, Cet II, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hlm 25.
14 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010, hlm.13.
15 http://matakristal.com. Diakses pada hari Minggu, 20 Mei 2013, pukul 21.00 wib.
16
pengadilan. Gijzeling yang pernah ditiadakan pada tahun 1964, dihidupkan
kembali oleh Mahkamah Agung melalui Perma No 1 Tahun 2000 tentang
Lembaga Paksa Badan.16
Terlepas dari semua otokritik dan saran yang dikemukakan oleh hakim ad
hoc, ada masalah yang lebih fundamental, yaitu misalnya bagaimana pemerintah
tidak menghilangkan intervensinya dalam melindungi buruh atau bagaimana
supaya tidak ada lagi upaya mengkompromiskan hak normatif buruh di dalam
pengadilan agar tidak menghambat kepentingan hak normaif. Dalam prakteknya,
sulit bagi pekerja/buruh yang memenangi gugatan untuk segera melakukan
eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan tetap dari pengadilan. Hal ini
dikarenakan banyaknya pengusaha yang tidak patuh untuk melaksanakan putusan
tersebut dengan sukarela. suatu tantangan tersendiri, sehingga perlu dicarikan
solusi yang tentunya tidak merugikan kedua belah pihak, baik itu pengusaha
maupun pekerja/buruh seperti halnya badan usaha.
Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan
merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini
diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi
pengusaha yang nakal. Hal ini tentu menjadi masukan bagi pemerintah untuk
menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para
pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya. Tujuannya jelas: supaya tidak ada
pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan serta adanya
kepastian hukum bagi pekerja/buruh terhadap pelaksanaan isi putusan tersebut.
16 Law File, Pelaksanaan Putusan Pengadilan, http://lawfile.blogspot.com, diakses tanggal 8 Maret 2013.
17
Adapun upaya hukum apakah yang dapat dilakukan terhadap putusan PHI
yang inkracht, selain permohonan eksekusi? Ini untuk mengantisipasi pengusaha
yang tetap tidak mau melaksanakan putusan PHI perihal pembayaran pesangon.
Pasal 57 UU PPHI telah merumuskan secara tegas bahwa hukum acara yang
berlaku di PHI (PHI) adalah Hukum Acara Perdata, kecuali beberapa hal yang
diatur secara khusus dalam UU PPHI ini.
UU PPHI tidak mengatur khusus mengenai upaya hukum apa yang dapat
dilakukan terhadap putusan PHI yang sudah inkracht. Dengan demikian, maka hal
itu dilakukan dengan merujuk pada hukum acara yang berlaku, yaitu permohonan
eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR.
Pasal 195 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa tidak ada yang dapat
menunda suatu eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk
dilaksanakan, kecuali dengan jalan damai dan pelaksanaan putusan tersebut di
bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama pemeriksaan
perkara tersebut.
Lebih jauh, Pasal 196 HIR mengatur tentang pelaksanaan putusan yang
diakibatkan dari tindakan tergugat yang enggan secara suka rela melaksanakan isi
putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak
yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada
Ketua Pengadilan Negeri agar putusan dapat dijalankan.
F. Metode Penelitian
1. Tipe Penelitian
18
Tipe penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian
yuridis empiris.17 Penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang mengacu
kepada kenyataan hukum dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG
dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jo Pasal 195 HIR.
2. Sifat Penelitian
Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif
analitis. Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk
menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau
berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin
mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat
ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan
perundang-undangan yang berlaku.18 Dalam penulisan ini hal tersebut
dilakukan dengan menguraikan hal-hal tentang pelaksanaan putusan
Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang Nomor
30/G/2010/PHI.SRG dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-Undang Nomor
2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jo Pasal
195 HIR.
3. Sumber Data
17 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 13.18 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cet 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm 223.
19
Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber data
primer dan sumber data sekunder, yaitu :
a. Sumber Data Primer
Sumber data sekunder berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan
Industrial pada Pengadilan Negeri Nomor 30/G/2010/PHI.SRG tentang
tenaga kerja yang dipekerjakan kembali setelah di PHK..
b. Sumber Data Sekunder
Sumber data sekunder yaitu data dari penelitian kepustakaan, dimana
dalam data sekunder terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu :
1) Bahan Hukum Primer
Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh untuk
melakukan penelitian seperti Putusan Pengadilan Hubungan Industrial
pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG,
peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Dasar 1945,
Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial, dan HIR (Herzien Inlandsch
Reglement).
2) Bahan Hukum Sekunder
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan
hukum primer, yang didapatkan dari buku-buku, literatur-literatur,
makalah-makalah yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan.
3) Bahan Hukum Tertier
20
Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum pelengkap dari bahan hukum
primer dan bahan hukum sekunder yang didapatkan dari kamus
hukum dan ensiklopedia yang menunjang untuk penulisan skripsi ini.
4. Pengumpulan Data
Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah
dengan :
a. Cara pengumpulan data sekunder untuk pengumpulan bahan hukum
primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.
Metode pengumpulan bahan dilakukan dengan penelitian
kepustakaan (library research), studi ini dilakukan dengan jalan meneliti
dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan
informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-
undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini,
yaitu dengan jalan mencari, mempelajari, dan mencatat serta
mengiterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.19
b. Pengumpulan Data Primer
Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara.
Wawancara yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan mengajukan
pertanyaan langsung kepada informan, yaitu orang yang ahli atau
berwenang dengan masalah tersebut.20 Oleh karena itu, penulis menyusun
pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman wawancara sehingga objek
19 Zainuddin Ali, op.cit., hlm 224-225.20 Ibid hlm 225.
21
permasalahan dapat terungkap melalui jawaban informan secara terbuka
dan terarah, dan hasil wawancara dapat langsung ditulis oleh peneliti.
5. Analisis Data
Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat
kualitatif, maka analitis data yang dipergunakan adalah analisis deskriptif
secara pendekatan yuridis empiris terhadap data sekunder dan data primer.
Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu
kegiatan yang dilakukan penulis untuk menentukan isi atau makna aturan
hukum.21
G. Sistematika Penulisan
Tesis ini disusun berdasarkan sistematika tertentu, sistematika penulisan
tersebut adalah sebagai berikut :
BAB I : PENDAHLUAN
Bab ini akan menguraikan tentang Latar Belakang, Identifikasi
Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitiaan, Kerangka
Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.
BAB II : KONSEP DAN TEORI PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL
Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang pengertian dan
teori Tenaga Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja, Pelaksanaan
21 Philipus M Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatif (Normatif)”, Yuridika No. 6 Tahun IX, November-Desember 1994, hlm 6.
22
Putusan, Sejarah dari Pengadilan Hubungan Industrial dan Undang-
Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.
BAB III : ANALISA PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN
INDUSTRIAL SERANG PADA PENGADILAN NEGERI
SERANG NOMOR: 30/G/2010/PHI.SRG
Pada bab ini diuraikan mengenai Penyelesaian Perselisihan
Hubungan Industrial, Kasus Posisi, Isi dari Putusan Pengadilan
Hubungan Industrial Serang Pada Pengadilan Negeri Serang
Nomor 30/G/2010/PHI.SRG, Isi Putusan Nomor:
147/K/PDT.SUS/PDT/2011(Perkara Kasasi Perdata Khusus
Mahkamah Agung), dan Hasil Wawancara.
BAB IV : ANALISI MENGENAI KASUS PENYELESAIAN PERKARA
PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR
30/G/2010/PHI.SRG DIKAITKAN DENGAN PASAL 57 UU
NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PPHI JO. PASAL 195 HIR
Dalam bab ini penulis menguraikan tentang Prosedur Penyelesaian
Perselisihan Hubungan Industrial terhadap buruh/tenaga kerja
menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang
Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Pasal 195 HIR,
hasil penelitian terhadap Pelaksanaan Putusan Perkara Nomor
30/G/2010/PHI.SRG dikaitkan dengan Pasal 57 Undang-Undang
Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan
Industrial Jo Pasal 195 HIR, dan Analisis Penelitian.
23
BAB V : PENUTUP
Isi dari bab ini berupa kesimpulan yang diperoleh penulis dari
uraian pada bab - bab sebelumnya serta saran yang akan diajukan
penulis sehubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam
uraian sebelumnya.
24
25