proposal

38
BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka ragam. Untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia bekerja, baik pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Bekerja pada orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang memberi perintah dan mengutusnya, karenanya ia harus tunduk dan patuh pada orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut. 1 Hal inilah kemudian yang akhirnya melahirkan hubungan perburuhan atau dikenal dengan hubungan industrial. Di mana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan 1 H. Zainal Asikin, Pengertian, Sifat dan Hakikat Hukum Perburuhan dalam Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta, PT. Raja Grasindo Persada, 1993, hal. 1. 1

Upload: mendukung-sultan

Post on 27-Oct-2015

58 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: Proposal

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Dalam kehidupan ini manusia mempunyai kebutuhan yang beraneka

ragam. Untuk dapat memenuhi semua kebutuhan tersebut manusia bekerja, baik

pekerjaan yang diusahakan sendiri maupun bekerja pada orang lain. Bekerja pada

orang lain maksudnya adalah bekerja dengan bergantung pada orang lain, yang

memberi perintah dan mengutusnya, karenanya ia harus tunduk dan patuh pada

orang lain yang memberikan pekerjaan tersebut.1 Hal inilah kemudian yang

akhirnya melahirkan hubungan perburuhan atau dikenal dengan hubungan

industrial. Di mana hubungan kerja itu terjadi setelah adanya perjanjian kerja

antara kedua belah pihak. Mereka terikat dalam suatu perjanjian, di satu pihak

pekerja/buruh bersedia bekerja dengan menerima upah dan pengusaha

mempekerjakan pekerja dengan buruh dengan memberi upah.2

Berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 3 Undang-Undang Nomor 13 tahun

2003 tentang Ketenagakerjaan bahwa pekerja adalah setiap orang yang bekerja

dengan menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain. Pekerja atau buruh adalah

seseorang yang bekerja kepada orang lain dengan mendapatkan upah.3 Sedangkan

definisi tenaga kerja berdasarkan Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 13

1 H. Zainal Asikin, Pengertian, Sifat dan Hakikat Hukum Perburuhan dalam Dasar-dasar Hukum Perburuhan, Jakarta, PT. Raja Grasindo Persada, 1993, hal. 1.

2 Imam Soepomo, Hukum Perburuhan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta, Djambatan, 2001, hal. 1

3 Iman Soepomo, Ibid, , hlm.6.

1

Page 2: Proposal

tahun 2003 tentang ketenagakerjaan menyebutkan “Setiap orang yang mampu

melakukan pekerjaan guna menghasilkan barang dan/atau jasa baik untuk

memenuhi kebutuhan sendiri maupun untuk masyarakat”.

Bertolak dari pengertian bahwa pekerja atau buruh adalah orang yang

melakukan pekerjaan untuk orang lain (swasta) berarti sedikitnya harus ada dua

pihak yang terlibat dalam hubungan kerja yaitu orang yang melakukan pekerjaan

yang disebut dengan pekerja atau buruh dan orang yang memberikan pekerjaan

yang disebut dengan Pengusaha.

Pengertian pengusaha berdasarkan ketentuan Pasal 1 angka 5 butir (a)

Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan adalah orang

perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang menjalankan suatu

perusahaan milik sendiri, dan selanjutnya pada Pasal 1 angka 5 butir (b) Undang-

Undang Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan disebutkan bahwa

Pengusaha adalah ”orang perseorangan, persekutuan, atau badan hukum yang

secara berdiri sendiri menjalankan perusahaan bukan miliknya”.

Secara sosiologis, pekerja atau buruh memang merupakan pihak yang

lebih lemah dibanding pihak pengusaha. Pekerja atau Buruh adalah orang yang

tidak bebas dalam menentukan kehendaknya terhadap pengusaha, karena dalam

suatu hubungan kerja pengusaha telah memberikan batasan-batasan yang harus

diikuti oleh pihak pekerja atau buruh. Sangat sulit bagi pihak pekerja atau buruh

untuk menentang, dan bila mereka berkeras untuk menentang maka mereka akan

kehilangan mata pencaharian. Bagi pengusaha, kehilangan seorang pekerja atau

2

Page 3: Proposal

buruh bukan persoalan karena masih ada ribuan tenaga kerja yang mencari

pekerjaan.

Selanjutnya adanya hubungan kerja ini maka lahirlah perjanjian kerja.

Istilah perjanjian sebenarnya tidak dikenal dalam KUH Perdata, yang ada ialah

perikatan atau verbintenis (Pasal 1233 KUH Perdata) dan persetujuan atau

overeenkomst (Pasal 1313 KUH Perdata). Beberapa ahli hukum juga berbeda

pendapat dalam menggunakan istilah-istilah tersebut. Di Indonesia istilah

verbintenis diterjemahkan dalam 3 (tiga) arti, yaitu: perikatan, perhutangan dan

perjanjian, sedangkan istilah overeenkomst diterjemahkan dalam 2 (dua) arti,

yaitu: perjanjian dan persetujuan.

Dalam hubungan industrial ini selanjutnya tidak jarang akan menimbulkan

konflik atau perselisihan yang dalam Undang-Undang Nomor 13 tahun 2003

Tentang Ketenagakerjaan dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, biasa disebut dengan perselisihan

hubungan industrial.4 Perselisihan atau perkara5 dimungkinkan terjadi dalam

setiap hubungan antarmanusia, bahkan mengingat subjek hukum-pun telah lama

mengenal badan hukum, maka para pihak yang terlibat di dalamnya pun

(perselisihan/perkara) semakin banyak. Dengan semakin kompleksnya corak

kehidupan masyarakat, maka ruang lingkup kejadian atau peristiwa

perselisihanpun meliputi ruang lingkup semakin luas, diantaranya yang sering

4 Zaeni Asyhadie I, Peradilan Hubungan Industrial, PT Raja Grafindo, Jakarta, 2005, hlm. 2.5 Perselisihan ataupun perkara disebut juga dengan istilah lain yaitu konflik atau sengketa yang

merupakan suatu situasi (keadaan) dimana terdapat dua pihak atau lebih yang melakukan hubungan hukum, dan pada kondisi tertentu pihak-pihak tersebut memperjuangkan tujuan mereka sendiri-sendiri, yang tidak dapat dipersatukan dan dimana salah satu pihak mencoba meyakinkan pihak lain mengenai kebenaran tujuannya sendiri yang berlawanan dengan tujuan pihak lainnya. Lihat Ronny Hanijito Soemitro, Masalah-Masalah Sosial Hukum, Penerbit Sinar Baru, Bandung, 1994, hlm. 181.

3

Page 4: Proposal

mendapat sorotan adalah Perselisihan Hubungan Industrial (PHI). PHI biasanya

terjadi antara pekerja/buruh dan perusahaan atau antara organisasi buruh dengan

organisasi perusahaan.

Hubungan Industrial tidak lain merupakan keterkaitan kepentingan antara

pekerja/buruh dengan pengusaha, berpotensi menimbulkan perbedaan pendapat,

bahkan perselisihan antara kedua belah pihak. Perselisihan di bidang hubungan

industrial yang selama ini dikenal dapat terjadi mengenai hak yang telah

ditetapkan, atau mengenal keadaan ketenagakerjaan yang belum ditetapkan baik

dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama maupun

peraturan perundang-undangan. Salah satu perselisihan hubungan industrial dapat

pula disebabkan oleh pemutusan hubungan kerja.6

Bagi pekerja/buruh, Pemutusan Hubungan Kerja (PHK) merupakan awal

hilangnya mata pencaharian, berarti pekerja/buruh kehilangan pekerjaan dan

penghasilan. Oleh sebab itu, istilah PHK bisa menjadi momok bagi setiap

pekerja/buruh karena mereka dan keluar hanya terancam kelangsungan hidupnya

dan merasakan derita akibat dari PHK itu. Mengingat fakta dilapangan bahwa

mencari pekerjaan tidaklah mudah seperti yang dibayangkan. Semakin ketatnya

persaingan, angkatan kerja terus bertambah dan kondisi dunia usaha yang selalu

fluktuatif, sangatlah wajar jika pekerja atau buruh selalu khawatir dengan

ancaman PHK tersebut.

Berdasarkan data (tahun 2010 s/d 2012), perkara-perkara PHK dari 8

(delapan) Kabupaten/Kota se-Propinsi Banten kurang lebih 60 - 70 perkara yang

6 Juslan, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, http://juslansh.blogspot.com/2012/11/penyelesaian-perselisihan-hubungan.html, diakses, 15 September 2013, Pukul 22.00 WIB.

4

Page 5: Proposal

ditangani oleh majelis. Penanganan perkara-perkara ini notabene bagi Pengadilan

Negeri (Pengadilan Hubungan Industrial) karena masih merupakan hal baru dalam

menangani masalah ketenagakerjaan yang multi kompleks.7

Sehubungan dampak PHK sangat kompleks dan cenderung menimbulkan

perselisihan, maka mekanisme dan prosedur PHK diatur sedemikian rupa agar

pekerja/buruh tetap mendapatkan perlindungan yang layak dan memperoleh hak-

haknya sesuai dengan ketentuan. Perlindungan pekerja tersebut dalam bahasa

Belanda disebut arbeidsbescherming. Maksud dan tujuan perlindungan buruh atau

perlindungan pekerja adalah agar pekerja dapat dilindungi dari perlakuan

pemerasan oleh pihak pengusaha. Pemerintah sangat menaruh perhatian terhadap

masalah perlindungan pekerja/buruh karena pada umumnya posisi pekerja masih

lemah, sehingga perlindungan kerja dan keselamatan kerja akan dapat

mewujudkan terpeliharanya kesejahteraan, kesehatan, kedisiplinan pekerja yang

berada di bawah pimpinan pengusaha. 8

Untuk itulah pemerintah berharap agar PHK tidak dilakukan oleh

pengusaha terhadap buruhnya, tercantum dalam Pasal 153 ayat (1) Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, yang menyatakan

Pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan :

1. Pekerja/buruh berhalangan masuk kerja karena sakit menurut keterangan dokter selama waktu tidak melampaui 12 (dua belas) bulan secara terus-menerus;

7 _______________, Pengadilan Negeri Serang, 2013.8 Thoga M. Sitorus, Masalah Ketenagakerjaan Di Indonesia Dan Daerah (Pasca Reformasi),

Medan, Bina Media Perintis, 2007, hal. 75, bahwa permasalahan ketenagakerjaan yang multi kompleks ini meliputi: masalah pengangguran, kesempatan kerja, Upah Minimum Propinsi (UMP), investasi, masalah kepentingan, unjuk rasa, pelanggaran norma, pekerja kontrak (out sourcing), hubungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja, konvensi ILO, gerakan SP/SB dan lain-lain yang kesemuanya terkait dengan masalah PHK.

5

Page 6: Proposal

2. Pekerja/buruh berhalangan menjalankan pekerjaannya karena memenuhi kewajiban terhadap negara sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku;

3. Pekerja/buruh menjalankan ibadah yang diperintahkan agamanya; 4. Pekerja/buruh menikah; 5. Pekerja/buruh perempuan hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau

menyusui bayinya; 6. Pekerja/buruh mempunyai pertalian darah dan/atau ikatan perkawinan dengan

pekerja/buruh lainnya di dalam 1 (satu) perusahaan, kecuali telah diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB;

7. Pekerja/buruh mendirikan, menjadi anggota dan/atau pengurus serikat pekerja/serikat buruh, pekerja/buruh melakukan kegiatan serikat pekerja/serikat buruh di luar jam kerja, atau di dalam jam kerja atas kesepakatan pengusaha, atau berdasarkan ketentuan yang diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau PKB;

8. Pekerja/buruh yang mengadukan pengusaha kepada yang berwajib mengenai perbuatan pengusaha yang melakukan tindak pidana kejahatan;

9. Karena perbedaan pahan, agama, aliran politik, suku, warna kulit, golongan, jenis kelamin, kondisi fisik atau status perkawinan;

10. Pekerja/buruh dalam keadaan cacat tetap, sakit akibat kecelakaan kerja, atau sakit karena hubungan kerja yang menurut surat keterangan dokter yang jangka waktu penyembuhannya belum dapat dipastikan.

Walaupun lazimnya PHK dilakukan oleh pengusaha terhadap buruhnya,

tetapi dalam kehidupan dunia usaha ini tidak jarang pula terjadi bahwa pihak

buruh melakukan PHK dengan alasan yang seharusnya menjadi cambuk bagi

pengusaha, seperti misalnya karena merasa kesal atau tidak tahan menghadapi

pengusaha yang berperilaku kurang baik, sering merendahkan derajatnya,

menerima perintah kerja secara terus-menerus tanpa adanya waktu untuk mengaso

yang justru tindakan-tindakan atau perilaku pengusaha yang demikian sangat

bertentangan dengan nilai-nilai Pancasila. Sebaliknya di pihak pengusaha enggan

pula untuk melakukan PHK, karena buruh yang telah ada dapat dikatakan sebagai

buruh yang telah mempunyai pengalaman dalam pelaksanaan kerja di

perusahaannya, misalnya baru 1 (satu) atau 2 (dua) bulan, pembinaan terhadap

mereka sekedar untuk lebih memantapkan produktivitas kerjanya.

6

Page 7: Proposal

Memberhentikan pekerja/buruh yang telah bekerja beberapa bulan di

perusahaannya hanya dilakukan karena keterpaksaan, dikarenakan buruh yang

bersangkutan walaupun telah sering dinasihati, diberi peringatan, tetap tidak mau

mengubah sikap dan perilakunya yang kurang baik, sehingga selalu mengesalkan

pengusaha. Hanya saja dalam melakukan PHK karena adanya keterpaksaan

tersebut, maka pengusaha yang baik akan tetap memperhatikan ketentuan

perundang-undangan atau hukum yang berlaku.

Undang-Undang Nomor 21 Tahun 1954 Tentang Perjanjian Perburuhan

antara Serikat Buruh dan Majikan (sekarang disebut Perjanjian Kerja Bersama)

yang memberikan kedudukan yang seimbang antara pekerja/buruh dengan

pengusaha dalam menyusun syarat-syarat kerja di perusahaan. Selain itu juga

diundangkan Undang-Undang Nomor 7 Pnps Tahun 1963 Tentang Pencegahan

Pemogokan dan Penutupan (Lock-Out) di Perusahaan, Jawatan dan Badan yang

vital, serta Undang-Undang Nomor 12 Tahun 1964 Tentang Pemutusan Hubungan

Kerja di Perusahaan Swasta yang melarang pengusaha memutuskan hubungan

kerja dengan pekerja/buruh tanpa izin dari Panitia Penyelesaian Perselisihan

Perburuhan Daerah (P4D) atau Panitia Penyelesaian Perselisihan Perburuhan

Pusat (P4P).9

Dalam Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang PPHI, disebutkan

Pengadilan Hubungan Industrial (PHI) merupakan Pengadilan Khusus yang

berada pada lingkungan peradilan umum (Pasal 55). Pada Pasal 51 ayat (1)

disebutkan untuk pertama kali dengan Undang-Undang ini dibentuk PHI pada

9 Maimun, Hukum Ketenagakerjaan Suatu Pengantar, Jakarta, Pradnya Paramita, 2007, hal. 4.

7

Page 8: Proposal

setiap PN Kabupaten/Kota yang berada di setiap Ibukota Propinsi yang di daerah

hukumnya meliputi propinsi yang bersangkutan. Untuk Propinsi Banten

ditetapkan pertama kali adalah Kota Serang. PN seluruh Indonesia sudah

melakukan persiapan-persiapan, termasuk PN Serang yang telah mempersiapkan

tempat/ruang persidangan di PN dan Bimbingan Teknis (Bimtek) bagi Hakim dari

pengadilan dan Hakim Ad-Hoc yang terdiri dari unsur SP/SB dan Organisasi

Pengusaha (APINDO) yang telah dilaksanakan di Jakarta, kerjasama Mahkamah

Agung (MA) dan Depnakertrans. Untuk PN Serang sementara ditetapkan 3 (tiga)

majelis dan mengangkat Panitera Muda dan Panitera Pengganti dari P4D Banten

sesuai dengan Pasal 77 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004.

Apabila para pihak yang berselisih melakukan upaya penyelesaian melalui

pengadilan, maka di dalam Pasal 55 UU Nomor 2 tahun 2004 yang berhak

memeriksa, mengadili dan memutuskan perselisihan hubungan industrial adalah

PHI yang merupakan pengadilan khusus yang berada pada lingkungan peradilan

umum. PHI bertugas dan berwenang memeriksa dan memutus ditegaskan dalam

Pasal 56 Undang-Undang Nomor 2 tahun 2004, meliputi :

1. Di tingkat pertama mengenai perselisihan hak; 2. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan kepentingan; 3. Di tingkat pertama mengenai perselisihan PHK; 4. Di tingkat pertama dan terakhir mengenai perselisihan antar SP/SB dalam 1

(satu) perusahaan.

Namun demikian, yang menjadi permasalahan ketika perselisihan berhasil

memiliki kekuatan hukum tetap yang mengikat kedua belah pihak dalam hal ini

pengusaha dan pekerja. Acapkali terjadi diskriminasi terhadap pekerja yang

awalnya telah di PHK kemudian dipekerjakan kembali tidak mendapat perlakuan

8

Page 9: Proposal

sebagaimana semestinya sebelum di PHK. Pekerja yang bersangkutan adakalanya

tidak ditempatkan pada jabatannya semula namun ditempatkan dibagian lain yang

bukan bidangnya atau diturunkan dari pangkatnya atau malah mendapat perlakuan

tidak mendapatkan pekerjaan sama sekali (non job). Hal inilah yang menjadi

permasalahan bagi pekerja bahwa putusan pengadilan dirasakan belum

sepenuhnya berpihak kepada pekerja walaupun pengadilan telah memenangkan

seluruh gugatannya.

Bertitik tolak dari ketentuan Bab Kesepuluh Bagian Kelima HIR atau title

Keempat Rbg, pengertian eksekusi sama dengan tindakan “menjalankan putusan”

(tenuitvoer legging van vonnissen). Menjalankan putusan pengadilan, tiada lain

daripada melaksanakan isi putusan pengadilan, yakni melaksanakan “secara

paksa” putusan pengadilan dengan bantuan kekuatan hukum apabila pihak yang

kalah (tereksekusi atau pihak tergugat) tidak mau menjalankannya secara sukarela

(vrijwillig voluntary). Untuk melaksanakan putusan PPHI diperlukan biaya

terutama dalam hal eksekusi pembayaran sejumlah uang diperlukan biaya

panggilan, pemberitahuan putusan, pengumuman, teguran, sita eksekusi dan

pelelangan. Dalam perkara nilai gugatannya dibawah Rp. 150 juta yang tidak

dikenakan biaya pada hal biaya yang tersedia di Pengadilan Negeri tidak

mencukupi. Untuk mengatasi kekurangan biaya tersebut harus ada jalan keluarnya

agar pelaksanaan putusan (eksekusi) dapat direalisasikan.

Berdasarkan uraian penjelasan di atas, merupakan ide dasar dilakukannya

penelitian ini yakni menganalisis eksekusi putusan PPHI pada Pengadilan Negeri

Serang. Analisis eksekusi putusan dimaksud berkaitan dengan keberadaan

9

Page 10: Proposal

pekerja/buruh yang mempunyai kepentingan terhadap putusan tersebut. Dengan

kata lain, penulisan tesis ini mengkaji implementasi pelaksanaan putusan

(eksekusi) pada PPHI baik itu menyangkut prosedur/ tahapan/ mekanismenya,

kendala/ hambatan, siapa yang dirugikan, dan faktor mengapa pekerja/buruh

dirugikan. Selain itu, yang perlu dikaji berkaitan dengan pelaksanaan putusan

(eksekusi) dimaksud ialah model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan

kepentingan para pihak, khususnya bagi pekerja/buruh dengan judul:

"Pelaksanaan Putusan Tentang Tenaga Kerja Yang Dipekerjakan Kembali Setelah

Di PHK (Studi Kasus Pada Putusan Pengadilan Hubungan Industrial Serang Pada

Pengadilan Negeri Serang Nomor: 30/G/2010/PHI.SRG)".

B. Identifikasi Masalah

Dalam penyusunan tesis ini, penulis merumuskan beberapa pokok

permasalahan yang sesuai dengan judul di atas, yaitu sebagai berikut :

1. Bagaimanakah mekanisme pelaksanaan putusan Pengadilan Negeri Serang

Nomor 30/G/2010/PHI.SRG?

2. Siapa yang dirugikan atas putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor

30/G/2010/PHI.SRG?

3. Model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan kepentingan para pihak,

khususnya bagi pekerja/buruh atas putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor

30/G/2010/PHI.SRG?

10

Page 11: Proposal

4. Bagaimana upaya pemerintah dan akibat hukumnya terhadap perusahaan

yang tidak mau mempekerjakan kembali pekerja berdasarkan putusan

Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG?

C. Tujuan Penelitian

Dari rumusan permasalahan di atas, tujuan yang ingin dicapai dalam

penulisan tesis ini adalah sebagai berikut :

1. Untuk mengetahui mekanisme pelaksanaan putusan Pengadilan Negeri

Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.

2. Untuk mengetahui siapa yang dirugikan atas putusan Pengadilan Negeri

Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.

3. Untuk mengetahui model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan

kepentingan para pihak, khususnya bagi pekerja/buruh atas putusan

Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.

4. Untuk mengetahui upaya pemerintah dan akibat hukumnya terhadap

perusahaan yang tidak mau mempekerjakan kembali pekerja berdasarkan

putusan Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG.

D. Kegunaan Penelitian

Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat-manfaat sebagai

berikut:

1. Secara Teoritis

Dapat memberikan sumbangan untuk kemajuan ilmu hukum khususnya

dalam bidang ketenagakerjaan. Selain itu, diharapkan tesis ini dapat dijadikan

11

Page 12: Proposal

tambahan literatur yang membahas tentang pelaksanaan putusan tentang tenaga

kerja yang dipekerjakan kembali setelah di PHK. Manfaat lainnya adalah untuk

menambah wawasan, baik bagi penulis sendiri maupun bagi siapa saja yang

membacanya dan juga dapat menjadi pedoman penulisan tesis selanjutnya.

2. Manfaat Praktis

Diharapkan melalui penulisan Tesis ini dapat memberikan masukan serta

pengetahuan bagi pembaca, khususnya bagi mahasiswa yang ingin mengetahui

bagaimana mekanisme pelaksanaan putusan, siapa yang dirugikan atas putusan,

model eksekusi seperti apa yang tidak merugikan kepentingan para pihak,

khususnya bagi pekerja/buruh dan juga untuk mengetahui upaya pemerintah dan

akibat hukumnya terhadap perusahaan yang tidak mau mempekerjakan kembali

pekerja.

E. Kerangka Pemikiran

Mencermati konflik antara para pekerja/ buruh dengan pengusaha tidak

dapat dilihat secara hitam putih semata, sebab berbicara mengenai masalah

ketenagakerjaan memang cukup kompleks. Oleh karena itu, Pemerintah

menerbitkan Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial sebagai rangkaian pendukung diterbitkannya

Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan yang terlebih

dahulu dikeluarkan. Hal ini tentu saja membuat pekerja/buruh mempunyai

kesempatan untuk menyelesaikan perselisihan yang mereka hadapi dan

penyelesaian perselisihan yang demikian dapat memberikan perlindungan hukum

12

Page 13: Proposal

yang kuat terhadap para pihak yang sedang dilanda konflik. Mulai dari

penyelesaian oleh para pihak secara kooperatif, dengan bantuan orang lain atau

pihak ketiga yang bersifat netral dan sebagainya. Penyelesaian semacam ini lazim

disebut penyelesaian perselisihan di luar pengadilan atau alternative dispute

resolution (ADR) yang dalam masyarakat Indonesia penyelesaian perselisihan

semacam ini sudah lama dikenal, yakni musyawarah baik dengan melibatkan

pihak lain maupun tidak. Namun, apabila para pihak yang berkonflik tidak

mencapai titik temu dalam penyelesaian sengketa yang dihadapi, baru kemudian

dapat menempuh jalur pengadilan.10

Namun demikian, persoalan yang seringkali timbul setelah putusan

pengadilan dibacakan adalah bagaimana agar putusan tersebut dapat dilaksanakan

secara efektif. Masalah ini terjadi karena dilatarbelakangi oleh ketidakpuasan

pihak yang dikalahkan terhadap putusan pengadilan.

Ada perbedaan pelaksanaan eksekusi terhadap perkara perselisihan

hubungan industrial sebelum dan sesudah berlakunya UU PPHI. Sebelum

berlakunya UU tersebut, yang berlaku adalah UU No. 22 Tahun 1957 Tentang

Penyelesaian Perselisihan Perburuhan di Perusahaan swasta. Menurut UU ini,

tahap awal pelaksanaan eksekusi merupakan tanggungjawab bagian pengawasan

Dinas Tenaga Kerja. Upaya eksekusi tersebut dilakukan dengan cara memanggil

para pihak yang berselisih dan meminta mereka untuk melaksanakan isi putusan

yang telah berkekuatan tetap. Setelah upaya bagian pengawasaan gagal,

10 Lalu Husni, Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial melalui Pengadilan dan di luar Pengadilan, (Jakarta, PT Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 7.

13

Page 14: Proposal

permohonan eksekusi baru dapat dilakukan dengan cara melalui gugatan di

Pengadilan Negeri. Setelah berlakunya UU PPHI, karena penyelesaian

perselisihan hubungan industrial telah dilaksanakan di Pengadilan Negeri, maka

proses eksekusi tidak lagi dicampur oleh bagian Pengawasan, melainkan langsung

di bawah pengawasan Pengadilan Hubungan Industrial yang berada di Pengadilan

Negeri.

Perbedaan lain adalah, dalam UU PPHI tidak ada sanksi pidana yang

dijatuhkan terhadap pihak yang tidak melaksanakan isi putusan Pengadilan

Hubungan Industrial, sedangkan dalam UU No. 22 Tahun 1957 ada sanksi

pidananya. Eksekusi Putusan PPHI Setelah beberapa tahun diberlakukannya UU

PPHI, kenyataannya dalam hal pelaksanaan Putusan/Eksekusi hampir sama saja

ketika lembaga P4D atau P4P, ketika masih berada dibawah Institusi Departemen

Tenaga Kerja. Apabila pihak yang dikalahkan tidak bersedia secara sukarela

memenuhi isi/amar putusan, maka pelaksanaan putusan/eksekusi sangat sulit

dilakukan. Entah apa alasannya, yang jelas jika dilihat di bagian kepaniteraan

PHI, sangat banyak sekali yang tidak dapat dilaksanakan, apalagi jika pihak yang

menang tersebut adalah pekerja/buruh (yang dikalahkan Pengusaha).

Oleh karena itu pada dasarnya peralihan permasalahan penyelesaian

perselisihan Perburuhan/Perselisihan hubungan Industrial dari Kementerian

Tenaga Kerja ke Lembaga Peradilan, tidak ada perubahan yang signifikan.

Sehingga kemenangan (khususnya pekerja/buruh) hanya kemenangan di atas

kertas saja (semu) dan tidak konkrit dapat dinikmati pihak pekerja/buruh.11

11 Yessi Silvani Sibot, Jurnal Hubungan Industrial Dalam Perspektif Pekerja/Buruh (Studi Kasus Di Pengadilan Perselisihan Hubungan Industrial Palangkaraya), Medan, Universitas Sumatera Utara, 2013

14

Page 15: Proposal

Untuk menjamin kepastian hukum terhadap PHK, Undang-Undang Nomor

4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman menentukan bahwa pada asasnya

segala sengketa perdata dapat diterima, diperiksa, dan diadili oleh badan-badan

peradilan negara yang diterapkan dengan undang-undang (Pasal 1, 2, 3 Undang-

Undang Nomor 4 Tahun 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman, begitu juga dapat

digunakan Kitab Undang-Undang Perdata, Kitab Undang-Undang Hukum Acara

Perdata, dan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial).

Seseorang yang telah dirugikan haknya berdasarkan pasal-pasal tersebut

diatas harus mengajukan gugatan ke depan pengadilan yang telah diterapkan

dengan undang-undang baginya. Tetapi penyelesaian penyelesaian perkara diluar

pengadilan atas dasar perdamaian melalui wasit atau perantara tetap

diperbolehkan.12

Dalam prakteknya pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/2010/PHI.SRG ini ternyata perusahaan

dalam perkara ini adalah BRI (Bank Rakyat Indonesia) telah melanggar peraturan

karena tidak menjalankan isi dalam putusan tersebut. Sebagaimana yang kita tahu

bahwa undang - undang itu harus ditaati barangsiapa yang melanggar undang -

undang harus di pidana sesuai dengan yang dirumuskan oleh Anselm Von

Feurbach dalam teori vom psychologishen zwang (paksaan psikologis), ancaman

12 Z. Asikin Kusumah Atmadja, “Abitrase di Indonesia”, Hukum dan Pembangunan 6 Juli 1997, hlm 408.

15

Page 16: Proposal

pidana sudah harus ada pada saat tindak pidana dilakukan. Dengan demikian

dapat tercegahlah adanya tindak pidana.13

Putusan juga haruslah berisikan adil untuk para pihak yang sedang

berselisih, karena pada dasarnya setiap orang kedudukannya dianggap sama di

mata hukum (asas kesamaan)14. Maka Hakim harus memutuskan perkara dengan

seadil-adilnya tanpa adanya pengaruh dari pihak lain. Seharusnya perselisihan

diantara pekerja dan pengusaha tidak perlu terjadi, karena sebenarnya antara

pekerja dan pengusaha saling menguntungkan satu sama lain. Menurut Karl Marx

dengan teori nilai kerjan rata-rata juga menyatakan demikian, yaitu tenaga kerja

mempunyai nilai tukar dan nilai pakai bagi pengusaha. Dari uraian teori ini

maksudnya adalah pengusaha harus membayar nilai tukar pekerja tersebut untuk

mendapatkan nilai pakai pekerja tersebut. Berarti menurut teori ini, pengusaha

akan lebih mendapatkan kerugian apabila terjadi perselisihan, terlebih lagi apabila

sampai terjadi Pemutusan Hubungan Kerja.15

Bahwa adanya fakta dimana buruh hanya menang di atas kertas sangat

sering kita jumpai, karena banyak pengusaha dengan berbagai dalihnya tak

kunjung melaksanakan putusan PHI. Belum lagi administrasi dan biaya eksekusi

melalui Pengadilan Negeri yang amat membebani buruh.

Terkait masalah eksekusi itu, hakim PHI pada Pengadilan Negeri Serang,

berharap agar lembaga paksa badan (gijzeling) bisa diterapkan di PHI. Tujuannya

jelas: supaya tidak ada pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan

13 Sudarto, “Hukum Pidana I”, Cet II, Yayasan Sudarto d/a Fakultas Hukum Undip, Semarang, 1990, hlm 25.

14 Sudikno Mertokusumo, Penemuan Hukum, Universitas Atma Jaya, Yogyakarta, 2010, hlm.13.

15 http://matakristal.com. Diakses pada hari Minggu, 20 Mei 2013, pukul 21.00 wib.

16

Page 17: Proposal

pengadilan. Gijzeling yang pernah ditiadakan pada tahun 1964, dihidupkan

kembali oleh Mahkamah Agung melalui Perma No 1 Tahun 2000 tentang

Lembaga Paksa Badan.16

Terlepas dari semua otokritik dan saran yang dikemukakan oleh hakim ad

hoc, ada masalah yang lebih fundamental, yaitu misalnya bagaimana pemerintah

tidak menghilangkan intervensinya dalam melindungi buruh atau bagaimana

supaya tidak ada lagi upaya mengkompromiskan hak normatif buruh di dalam

pengadilan agar tidak menghambat kepentingan hak normaif. Dalam prakteknya,

sulit bagi pekerja/buruh yang memenangi gugatan untuk segera melakukan

eksekusi terhadap putusan yang telah berkekuatan tetap dari pengadilan. Hal ini

dikarenakan banyaknya pengusaha yang tidak patuh untuk melaksanakan putusan

tersebut dengan sukarela. suatu tantangan tersendiri, sehingga perlu dicarikan

solusi yang tentunya tidak merugikan kedua belah pihak, baik itu pengusaha

maupun pekerja/buruh seperti halnya badan usaha.

Beberapa kalangan beranggapan, pemberlakuan lembaga paksa badan

merupakan hal yang berlebihan. Di pihak lain muncul pula pendapat lembaga ini

diperlukan untuk memberikan efek jera yang potensial dalam menghadapi

pengusaha yang nakal. Hal ini tentu menjadi masukan bagi pemerintah untuk

menciptakan suatu mekanisme yang dapat memberikan daya pemaksa bagi para

pengusaha yang tidak memenuhi kewajibannya. Tujuannya jelas: supaya tidak ada

pengusaha yang tidak mau melaksanakan isi putusan pengadilan serta adanya

kepastian hukum bagi pekerja/buruh terhadap pelaksanaan isi putusan tersebut.

16 Law File, Pelaksanaan Putusan Pengadilan, http://lawfile.blogspot.com, diakses tanggal 8 Maret 2013.

17

Page 18: Proposal

Adapun upaya hukum apakah yang dapat dilakukan terhadap putusan PHI

yang inkracht, selain permohonan eksekusi? Ini untuk mengantisipasi pengusaha

yang tetap tidak mau melaksanakan putusan PHI perihal pembayaran pesangon.

Pasal 57 UU PPHI telah merumuskan secara tegas bahwa hukum acara yang

berlaku di PHI (PHI) adalah Hukum Acara Perdata, kecuali beberapa hal yang

diatur secara khusus dalam UU PPHI ini.

UU PPHI tidak mengatur khusus mengenai upaya hukum apa yang dapat

dilakukan terhadap putusan PHI yang sudah inkracht. Dengan demikian, maka hal

itu dilakukan dengan merujuk pada hukum acara yang berlaku, yaitu permohonan

eksekusi yang diatur dalam Pasal 195 sampai Pasal 208 HIR.

Pasal 195 ayat (1) HIR menyebutkan bahwa tidak ada yang dapat

menunda suatu eksekusi yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap untuk

dilaksanakan, kecuali dengan jalan damai dan pelaksanaan putusan tersebut di

bawah pimpinan Ketua Pengadilan Negeri yang pada tingkat pertama pemeriksaan

perkara tersebut.

Lebih jauh, Pasal 196 HIR mengatur tentang pelaksanaan putusan yang

diakibatkan dari tindakan tergugat yang enggan secara suka rela melaksanakan isi

putusan untuk membayar sejumlah uang, sehingga pihak penggugat sebagai pihak

yang dimenangkan mengajukan permohonan secara lisan atau tertulis kepada

Ketua Pengadilan Negeri agar putusan dapat dijalankan.

F. Metode Penelitian

1. Tipe Penelitian

18

Page 19: Proposal

Tipe penelitian yang dipakai dalam penulisan skripsi ini adalah penelitian

yuridis empiris.17 Penelitian yuridis empiris adalah penelitian yang mengacu

kepada kenyataan hukum dalam pelaksanaan putusan Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG

dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jo Pasal 195 HIR.

2. Sifat Penelitian

Sifat penelitian yang digunakan dalam penulisan ini adalah bersifat deskriptif

analitis. Deskriptif analitis, merupakan metode yang dipakai untuk

menggambarkan suatu kondisi atau keadaan yang sedang terjadi atau

berlangsung yang tujuannya agar dapat memberikan data seteliti mungkin

mengenai objek penelitian sehingga mampu menggali hal-hal yang bersifat

ideal, kemudian dianalisis berdasarkan teori hukum atau peraturan

perundang-undangan yang berlaku.18 Dalam penulisan ini hal tersebut

dilakukan dengan menguraikan hal-hal tentang pelaksanaan putusan

Pengadilan Hubungan Industrial pada Pengadilan Negeri Serang Nomor

30/G/2010/PHI.SRG dihubungkan dengan Pasal 57 Undang-Undang Nomor

2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial jo Pasal

195 HIR.

3. Sumber Data

17 Zainuddin Ali, Sosiologi Hukum, Cet. 2, Sinar Grafika, Jakarta, 2007, hlm 13.18 Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, Cet 3, Sinar Grafika, Jakarta, 2011, hlm 223.

19

Page 20: Proposal

Sumber data yang dipergunakan dalam penelitian ini terdiri atas sumber data

primer dan sumber data sekunder, yaitu :

a. Sumber Data Primer

Sumber data sekunder berdasarkan Putusan Pengadilan Hubungan

Industrial pada Pengadilan Negeri Nomor 30/G/2010/PHI.SRG tentang

tenaga kerja yang dipekerjakan kembali setelah di PHK..

b. Sumber Data Sekunder

Sumber data sekunder yaitu data dari penelitian kepustakaan, dimana

dalam data sekunder terdiri dari tiga bahan hukum, yaitu :

1) Bahan Hukum Primer

Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh untuk

melakukan penelitian seperti Putusan Pengadilan Hubungan Industrial

pada Pengadilan Negeri Serang Nomor 30/G/2010/PHI.SRG,

peraturan perundang-undangan, Undang-Undang Dasar 1945,

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan,

Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 Tentang Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial, dan HIR (Herzien Inlandsch

Reglement).

2) Bahan Hukum Sekunder

Bahan hukum sekunder, yaitu bahan hukum yang menjelaskan bahan

hukum primer, yang didapatkan dari buku-buku, literatur-literatur,

makalah-makalah yang berkaitan dengan hukum ketenagakerjaan.

3) Bahan Hukum Tertier

20

Page 21: Proposal

Bahan hukum tertier yaitu bahan hukum pelengkap dari bahan hukum

primer dan bahan hukum sekunder yang didapatkan dari kamus

hukum dan ensiklopedia yang menunjang untuk penulisan skripsi ini.

4. Pengumpulan Data

Metode yang dilakukan dalam pengumpulan data untuk penelitian ini adalah

dengan :

a. Cara pengumpulan data sekunder untuk pengumpulan bahan hukum

primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier.

Metode pengumpulan bahan dilakukan dengan penelitian

kepustakaan (library research), studi ini dilakukan dengan jalan meneliti

dokumen-dokumen yang ada, yaitu dengan mengumpulkan data dan

informasi baik yang berupa buku, karangan ilmiah, peraturan perundang-

undangan dan bahan tertulis lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini,

yaitu dengan jalan mencari, mempelajari, dan mencatat serta

mengiterpretasikan hal-hal yang berkaitan dengan objek penelitian.19

b. Pengumpulan Data Primer

Pengumpulan data primer dilakukan melalui wawancara.

Wawancara yaitu suatu cara mengumpulkan data dengan mengajukan

pertanyaan langsung kepada informan, yaitu orang yang ahli atau

berwenang dengan masalah tersebut.20 Oleh karena itu, penulis menyusun

pertanyaan-pertanyaan sebagai pedoman wawancara sehingga objek

19 Zainuddin Ali, op.cit., hlm 224-225.20 Ibid hlm 225.

21

Page 22: Proposal

permasalahan dapat terungkap melalui jawaban informan secara terbuka

dan terarah, dan hasil wawancara dapat langsung ditulis oleh peneliti.

5. Analisis Data

Berdasarkan sifat penelitian yang menggunakan metode penelitian bersifat

kualitatif, maka analitis data yang dipergunakan adalah analisis deskriptif

secara pendekatan yuridis empiris terhadap data sekunder dan data primer.

Deskriptif tersebut, meliputi isi dan struktur hukum positif, yaitu suatu

kegiatan yang dilakukan penulis untuk menentukan isi atau makna aturan

hukum.21

G. Sistematika Penulisan

Tesis ini disusun berdasarkan sistematika tertentu, sistematika penulisan

tersebut adalah sebagai berikut :

BAB I : PENDAHLUAN

Bab ini akan menguraikan tentang Latar Belakang, Identifikasi

Masalah, Tujuan Penelitian, Kegunaan Penelitiaan, Kerangka

Pemikiran, Metode Penelitian dan Sistematika Penulisan.

BAB II : KONSEP DAN TEORI PENGADILAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL

Dalam bab ini penulis akan menguraikan tentang pengertian dan

teori Tenaga Kerja, Pemutusan Hubungan Kerja, Pelaksanaan

21 Philipus M Hadjon, “Pengkajian Ilmu Hukum Dogmatif (Normatif)”, Yuridika No. 6 Tahun IX, November-Desember 1994, hlm 6.

22

Page 23: Proposal

Putusan, Sejarah dari Pengadilan Hubungan Industrial dan Undang-

Undang tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial.

BAB III : ANALISA PUTUSAN PENGADILAN HUBUNGAN

INDUSTRIAL SERANG PADA PENGADILAN NEGERI

SERANG NOMOR: 30/G/2010/PHI.SRG

Pada bab ini diuraikan mengenai Penyelesaian Perselisihan

Hubungan Industrial, Kasus Posisi, Isi dari Putusan Pengadilan

Hubungan Industrial Serang Pada Pengadilan Negeri Serang

Nomor 30/G/2010/PHI.SRG, Isi Putusan Nomor:

147/K/PDT.SUS/PDT/2011(Perkara Kasasi Perdata Khusus

Mahkamah Agung), dan Hasil Wawancara.

BAB IV : ANALISI MENGENAI KASUS PENYELESAIAN PERKARA

PENGADILAN HUBUNGAN INDUSTRIAL NOMOR

30/G/2010/PHI.SRG DIKAITKAN DENGAN PASAL 57 UU

NO. 2 TAHUN 2004 TENTANG PPHI JO. PASAL 195 HIR

Dalam bab ini penulis menguraikan tentang Prosedur Penyelesaian

Perselisihan Hubungan Industrial terhadap buruh/tenaga kerja

menurut Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang

Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial Jo Pasal 195 HIR,

hasil penelitian terhadap Pelaksanaan Putusan Perkara Nomor

30/G/2010/PHI.SRG dikaitkan dengan Pasal 57 Undang-Undang

Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan

Industrial Jo Pasal 195 HIR, dan Analisis Penelitian.

23

Page 24: Proposal

BAB V : PENUTUP

Isi dari bab ini berupa kesimpulan yang diperoleh penulis dari

uraian pada bab - bab sebelumnya serta saran yang akan diajukan

penulis sehubungan dengan permasalahan yang dibahas dalam

uraian sebelumnya.

24

Page 25: Proposal

25