progres, partisipasi, juga kegagapan

106

Upload: tifa-foundation

Post on 07-Mar-2016

222 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

Yayasan Tifa dan Tempo Institute bekerjasama melakukan penelitian terhadap implementasi Undang-Undang Keterbukaan Informasi Publik oleh badan-badan publik di sektor pemerintahan.

TRANSCRIPT

2

Progres, Partisipasi, Juga Kegagapan

Riset Penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik

di beberapa lembaga pemerintahan nasional dan daerah

TEMPO INSTITUTE dengan Yayasan TIFA

April 2012

3

Progres, Partisipasi, Juga Kegagapan:

Riset Penerapan UU Keterbukaan Informasi Publik di beberapa lembaga

pemerintahan nasional dan daerah

Penanggung Jawab: Mardiyah Chamim Penyunting: Mardiyah Chamim, Philipus Parera, Bramantya Basuki Tim Riset: M.Z. Al-Faqih, M Syaifurohman, Imam Hidayah, Eman Suherman, Andri Wahyudin, Apsoro M, Ai Ratna Intan Solihah, Febri Dwi Tim Reporter: Angga Sukma Wijaya, Ananda Badudu (Jakarta), Ni Made Purnama (Bali) Tim Tempo Institute: Bimo Wicaksono, Maya Wuysang Desain cover: Eko S Bimantara (Serrum)

4

Daftar Isi

Halaman Judul 1

Daftar Isi 4

Daftar Tabel 5

Daftar Diagram 6

Daftar Gambar 7

Pengantar 8

Bab I: Pendahuluan 11

1.1. Latar Belakang 11

1.2. Tujuan 26

1.3. Pertanyaan Penelitian 27

1.4. Bagaimana Penelitian Dilakukan 27

1.5. Struktur Laporan 28

Bab II: Capaian Kementerian Kesehatan 30

2.1. Produk hukum 32

2.1.1. Peraturan Pelaksana 32

2.1.2. Temuan dan Analisis 38

2.2. Keberadaan PPID 39

2.2.1. Kondisi Obyektif 39

2.2.2. Temuan dan Analisis 43

2.3. Pelayanan Informasi Publik 44

2.3.1. Kondisi Obyektif 44

2.3.2. Temuan dan Analisis 47

2.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik 48

2.4.1. Kondisi Obyektif 48

2.4.2. Temuan dan Analisis 52

2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 53

Bab III: Capaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 54

3.1. Produk Hukum 55

3.1.1. Peraturan Pelaksana 55

3.1.2. Temuan dan Analisis 59

3.2. Keberadaan PPID 60

3.2.1. Kondisi Obyektif 60

5

3.2.2. Temuan dan Analisis 64

3.3. Pelayanan Informasi Publik 65

3.3.1. Kondisi Obyektif 65

3.3.2. Temuan dan Analisis 67

3.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik 68

3.4.1. Kondisi Obyektif 68

3.4.2. Temuan dan Analisis 73

3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 74

Bab IV: Capaian Pemerintah Kota Jakarta Selatan 76

4.1. Produk Hukum 77

4.2. Keberadaan PPID 77

4.3. Pelayanan Informasi Publik 78

4.3.1. Kondisi Obyektif 78

4.3.2. Temuan dan Analisis 78

4.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi 79

4.4.1. Kondisi Obyektif 79

4.4.2. Temuan dan Analisis 80

4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi 80

Bab V: Capaian Pemerintah Kabupaten Jembrana 82

5.1. Keberadaan PPID 83

5.2. Pelayanan Informasi Publik 83

5.2.1. Kondisi Obyektif 83

5.3.2. Temuan dan Analisis 84

5.3. Infrastruktur Pelayanan Informasi 86

5.3.1. Kondisi Obyektif 86

5.3.2. Temuan dan Analisis 90

5.4. Kesimpulan dan Rekomendasi 91

Bab VI: Melangkah Maju: Belajar dari Pengalaman 92

6.1. Kendala Umum 94

6.2. Teladan di Lapangan 96

6.3. Keterbatasan Penelitian dan Rekomendasi 98

Daftar Pustaka 99

6

Daftar Tabel

Tabel 1.1. Kewajiban Badan Publik Membentuk PPID 18

Tabel 1.2. Kewajiban badan publik dalam pelayanan informasi 21

Tabel 2.1. Klasifikasi Informasi di Kementerian Kesehatan 34

Tabel 3.1. Kategorisasi Informasi di Kementerian Pendidikan Kebudayaan 56

Tabel 3.2. Struktur Penetapan Pejabat PPID 62

7

Daftar Diagram

Diagram 1.1. Jumlah Permohonan Penyelesaian Sengketa Informasi ke

Komisi Informasi Pusat 14

Diagram 1.2. Prosentasi Kakus yang Tidak Layak Ditangani oleh Komisi

Informasi Pusat 15

Diagram 1.3. Prosentase Kategori Pemohon Sengketa Informasi ke Komisi

Informasi Pusat 15

Diagram 1.4. Prosentase Informasi yang Disengketakan ke Komisi Informasi

Pusat 16

Diagram 1.5. Perbandingan Jumlah Provinsi dan Komisi Informasi tingkat

Provinsi 17

Diagram 2.1. Sruktur Organisasi PPID Kementerian Kesehatan 40

Diagram 2.2. Jumlah Pemohon Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011 45

Diagram 2.3. Jumlah Permohonan Informasi Publik Kemenkes tahun 2011 45

Diagram 2.5. Jumlah Pengakses PTRC tahun 2011 51

Diagram 3.1. Bagan Organisasi Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat 64

Diagram 3.2. Kategori Pemohon Informasi 66

Diagram 3.3. Kategori Organisasi Asal Pemohon Informasi 66

Diagram 3.4. Kategori Jenis Informasi yang Diminta 67

8

Daftar Gambar

Gambar 2.1. Papan Pengumuman Pojok Informasi Kementerian Kesehatan 49

Gambar 2.2. Meja Informasi di Pojok Informasi, Kementerian Kesehatan 49

Gambar 2.3. Ruangan Nyaman untuk Para Pemohon Informasi 50

Gambar 2.4. Tampilan Website PPID Kementerian Kesehatan 52

Gambar 3.2. Petugas Sedang Melayani Permohonan Informasi 69

Gambar 3.3. Meja Informasi dan Petugas Informasi di Gerai Informasi 70

Gambar 3.4. Ruangan untuk para pemohon informasi 70

Gambar 3.5. Rak majalah dan brosur terbitan Kemendikbud 71

Gambar 3.6. Tampilan Website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan 72

Gambar 3.7. Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 73

Gambar 5.1. Petugas sedang memeragakan ATM Palugada 89

Gambar 5.2. Mesin ATM Palugada 89

9

Kata Pengantar

10

11

Bab I

Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Sebuah langkah penting diayun Indonesia dalam hal keterbukaan

informasi. Undang Undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan

Informasi Publik (KIP) secara resmi diberlakukan sejak 30 April 2010.

Pemberlakuan beleid ini mendapat sambutan positif dari masyarakat, baik

secara perorangan maupun dalam kelompok. Lapis demi lapis masyarakat

mulai memanfaatkan UU KIP untuk mendapatkan informasi terkait

kepentingan publik, kegiatan pembangunan, bahkan daftar kekayaan aparat

negara --sesuatu yang sebelumnya hampir mustahil bisa didapatkan publik.

Pada skala dunia, pemberlakuan undang-undang yang proses

penyusunannya didorong berbagai LSM (lembaga swadaya masyarakat) dan

perorangan yang tergabung dalam Koalisi Untuk Kebebasan Informasi ini,

membawa Indonesia masuk kategori free (warna hijau) dalam Freedom World

Map, bersama 68 negara lain. Ini peta yang dibuat Freedom House USA

berdasarkan hasil survei pemenuhan hak-hak politik dan kebebasan sipil di

seluruh dunia. Dalam peta tersebut 62 negara masih dalam kategori partly

free (warna kuning), dan 62 negara masuk kategori not free (warna merah). 1

Tergabung dalam kelompok 68 negara yang masuk kategori “free

information” tentulah prestasi yang patut dibanggakan. Namun, berbangga

saja tidaklah cukup. Kerja belum selesai. Bagian paling penting dari

pemberlakukan UU KIP adalah memastikan bahwa undang-undang ini

diimplementasikan secara benar. Implementasi aturan ini dengan sendirinya

akan mendorong penguatan institusi publik, meningkatkan partisipasi publik,

1 Laporan tahunan Komisi Informasi Pusat tahun 2010.

12

dan pada ujungnya bakal tercipta tata kelola pemerintahan yang baik (good

governance) di segala lini.

Merujuk definisi United Nation Development Project (UNDP), di dalam

good governance rakyat bukanlah obyek tetapi subyek kebijakan publik.2

Model ini membutuhkan sebuah sistem yang menjamin hak rakyat

mendapatkan akses terhadap semua informasi publik yang berkaitan dengan

penyelenggaraan negara. Di Indonesia, akses warga terhadap informasi

publik ini diatur dalam UU KIP. Pasal mengenai tujuan hukum UU KIP secara

eksplisit menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan

kebijakan publik, program kebijakan publik, proses pengambilan keputusan

publik, hingga alasan pengambilan suatu keputusan publik.3

Tentu saja kami percaya, negara yang diwakili oleh pemerintah

bersungguh-sungguh berupaya menjalankan UU KIP. Kami juga yakin bahwa

undang-undang ini merupakan politik hukum yang berpihak pada publik, yang

secara politis mengawali sebuah era baru penyelenggaraan negara yang

transparan, akuntabel, fair, dan demokratis. 4 Namun, patut kita soroti dengan

kritis bahwa setelah dua tahun resmi diberlakukan, masih banyak persoalan

berkaitan dengan kesiapan dan kesediaan lembaga publik melayani

kebutuhan masyarakat akan informasi. Kegagapan, terutama dalam hal teknis

penyediaan dan pelayanan informasi, muncul di sana-sini.

2 Miftah Thoha, Birokrasi dan Politik di Indonesia, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2005, hal 63-64

3 Tujuan UU KIP tertera dalam Pasal 3 yang berbunyi: “Undang-Undang ini bertujuan untuk: (a)

menjamin hak warga negara untuk mengetahui rencana pembuatan kebijakan publik, program kebijakan

publik, dan proses pengambilan keputusan publik, serta alasan pengambilan suatu keputusan publik; (b)

mendorong partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan kebijakan publik; (c) meningkatkan peran

aktif masyarakat dalam pengambilan kebijakan publik dan pengelolaan Badan Publik yang baik; (d)

mewujudkan penyelenggaraan negara yang baik, yaitu yang transparan, efektif dan efisien, akuntabel

serta dapat dipertanggungjawabkan; (e) mengetahui alasan kebijakan publik yang memengaruhi hajat

hidup Orang banyak; (f) mengembangkan ilmu pengetahuan dan mencerdaskan kehidupan bangsa; dan/

atau (g) meningkatkan pengelolaan dan pelayanan informasi di lingkungan Badan Publik untuk

menghasilkan layanan informasi yang berkualitas.”

4 Mahfud MD menjelaskan bahwa politik hukum adalah legal policy atau garis (kebijakan) resmi

tentang hukum yang akan diberlakukan baik dengan pembuatan hukum baru maupun dengan

penggantian hukum lama, dalam rangka mencapai tujuan Negara. Lihat Moh. Mahfud MD, Politik

Hukum di Indonesia,. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2009, hal 1. Padmo Wahjono mendefinisikan

politik hukum sebagai kebijakan dasar yang menentukan arah, bentuk, maupun isi hukum yang akan

dibentuk. Sementara menurut Teuku Mohammad Radhie, politik hukum merupakan pernyataan

kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah

perkembangan hukum yang akan dibangun. Lihat Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar

Politik Hukum, P.T. RajaGrafindo Persada, Jakarta, 2008, hal 26-27.

13

Kegagapan pelayanan publik tergambar dalam dua fakta berikut.

Pertama, meningkatnya jumlah sengketa informasi yang didaftarkan ke Komisi

Informasi belum diimbangi penyelesaian sengketa yang belum 100 persen.

Meskipun harus kita akui, keterbukaan informasi memang soal baru dan

lembaga publik masih harus belajar banyak untuk menyediakan informasi.

Pada satu sisi, masyarakat luas belum menggunakan hak untuk menuntut

ketersediaan informasi secara optimal. Pada sisi yang lain, lembaga publik

dan pemerintah belum terbiasa pro-aktif melayani permintaan dan

menyediakan informasi yang menjadi hak publik.

Secara statistik kita bisa menyoroti sengketa informasi yang ditangani

Komisi Informasi Pusat. Sepanjang paruh kedua tahun 2010, permohonan

penyelesaian sengketa informasi yang ditangani Komisi melonjak dari 15

permohonan (pada Juli) menjadi 40 permohonan pada Desember. Dari total

112 permohonan penyelesaian sengketa informasi yang diterima Komisi

Informasi Pusat pada periode tersebut, hanya tercatat 45 kasus (40,17

persen) yang bisa ditangani. Ada beberapa penyebab sengketa informasi

tidak bisa ditangani Komisi Informasi Pusat, antara lain karena dibatalkan oleh

si peminta, tidak memenuhi prosedur, atau dilimpahkan ke Komisi Informasi

Daerah.

Komisi Informasi Daerah (KID) juga tak kalah sibuk melayani

permintaan informasi. KID Jawa Barat, misalnya, baru dibentuk resmi pada

2011. Provinsi Jawa Barat, dengan penduduk sekitar 46 juta jiwa, hingga Mei

2012 sudah melayani 200 sengketa informasi.5 Tingginya angka sengketa

informasi ini menandai tingginya minat dan partisipasi publik, suatu modal

sosial yang patut membuat kita berbesar hati.

Patut kita catat pula, tidak semua sengketa informasi yang ditangani

oleh Komisi Informasi di pusat maupun daerah selesai dengan baik. Di Jawa

Tengah, misalnya, Lembaga Penelitian dan Aplikasi Wacana (LPAW) Blora

hingga kini belum mendapatkan dokumen perjanjian kerjasama antara PT

Blora Patragas Hulu dengan PT Anugerah Bangun Saran mengenai

5 Wawancara dengan Anggota Komisi Informasi Jawa Barat, Budiyoga Soebandi, Sabtu, 2 Juni 2012

14

pengelolaan saham milik Kabupaten Blora, di sumur minyak Cepu. 6

PT Blora,

perusahaan daerah, berkeras bahwa perjanjian kerjasama tersebut harus

dirahasiakan, meskipun Komite Informasi Jawa Tengah telah memerintahkan

mereka memberikan infomasi yang diminta LPAW.

Di Ibukota Negara, Indonesian Corruption Watch (ICW) memenangkan

sengketa infomasi publik melawan Markas Besar Kepolisian Republik

Indonesia. Komisi Informasi Pusat memutuskan Mabes Polri harus membuka

nama 17 perwira tinggi polisi yang menurut Pelaporan dan Analisis Transaksi

Keuangan (PPATK) diduga mempunyai rekening dengan transaksi

mencurigakan. 7

Tapi, sampai kini belum ada tanda-tanda Markas Besar Polri

bersedia membuka daftar rekening 17 perwira kepolisian yang

dipermasalahkan.

Diagram 1.1.

6 Pada 7 Oktober 2010, Komisi Informasi memutuskan dokumen perjanjian kerja sama antara PT Blora

dan PT Anugerah Bangun Sarana Jaya bukan rahasia sehingga harus diserahkan kepada LPAW. Tapi

PT Blora menolak. Komisi Informasi menyarankan LPAW melapor ke polisi, tapi LPAW belum

melakukannya (Koran Tempo Edisi Daerah Istimewa Yogyakarta & Jawa Tengah, 29 Desember 2010,

“LPAW Disarankan Melaporkan PT Blora ke Polisi”.).

7 ICW mengajukan permohonan sengketa informasi kepada Komisi Informasi Pusat (Tempo.Co, 21

Oktober 2010, “ICW Ajukan Sengketa Informasi Rekening Gendunt Polisi ke KIP.”) Hasilnya Komisi

Informasi Pusat memutuskan bahwa Mabes Polri harus menyerahkan informasi yang diminta ICW.

15

Diagram 1.2.

Diagram 1.3.

Sumber : Laporan tahunan komisi informasi tahun 2010

16

Diagram 1.4.

Kedua, kegagapan lembaga publik dalam penerapan UU KIP juga

tampak dalam ketidaksiapan teknis pelaksana. Beberapa pemerintah daerah

maupun lembaga publik masih mengabaikan Peraturan Pemerintah Nomor 61

tahun 2010 tentang Pelaksanaan UU KIP, yang mewajibkan mereka menunjuk

Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi (PPID) paling lambat 23

Agustus 2011.

Data dari Dinas Komunikasi dan Informatika Provinsi Jawa Barat,

misalnya, menyatakan bahwa sepanjang tahun 2010 belum satu pun

kabupaten atau kota di Jawa Barat yang telah membentuk PPID. Bahkan di

pemerintahan pusat, hingga penelitian ini selesai dibuat, masih ada lima

kementerian yang belum memiliki PPID. Dan dari 33 provinsi di Indonesia

baru 14 provinsi (41%) yang sudah memiliki Komisi Informasi Daerah, sisanya

masih dalam proses pembentukan. Dengan demikian, bisa disimpulkan bahwa

kesiapan teknis lembaga publik dalam melayani informasi secara umum masih

jauh dari memadai.

17

Diagram 1.5.

Perbandingan Jumlah Provinsi dan Komisi Informasi tingkat Provinsi

Sumber : Laporan tahunan komisi informasi tahun 2010

Menurut Undang-Undang No. 14 Tahun 2008, PP No. 61 Tahun 2010,

dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1 Tahun 2011, PPID berperan penting

dalam pelayanan informasi publik. Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi harus menguasai seluk-beluk lembaga tempat dia bertugas,

terutama memahami siapa saja staf yang memiliki akses informasi, sehingga

yang bersangkutan bisa menyediakan informasi sesuai permintaan publik.

Dengan deskripsi tugas yang demikian, PPID membutuhkan penguasaan

pengetahuan dan juga otoritas yang memadai untuk menjamin ketersediaan

pelayanan informasi kepada publik.

Adapun dasar hukum pembentukan PPID dan kewajiban badan publik

dalam memberikan informasi publik dapat dilihat pada tabel berikut ini:

0

5

10

15

20

25

30

35

Perbandingan

Jumlah Provinsi

dan Komisi

Informasi tingkat

Provinsi

Jumlah Provinsi di Indonesia Jumlah Komisi Informasi di tingkat Provinsi

18

Tabel 1.1.

Kewajiban Badan Publik Membentuk PPID

No Perundangan Ketentuan

1. UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 13 :

Untuk mewujudkan pelayanan cepat , tepat , dan

sederhana set iap Badan Publik:

a. menunjuk Pejabat Pengelola Informasi

dan Dokumentasi; dan

b. membuat dan mengembangkan sistem

penyediaan layanan informasi secara

cepat , mudah, dan wajar sesuai dengan

petunjuk teknis standar layanan

informasi publik yang berlaku secara

nasional.

• Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) huruf a dibantu oleh

pejabat fungsional.

2. PP No. 61 Tahun 2010 Pasal 21 butir (1) :

PPID harus sudah ditunjuk paling lama 1 (satu)

tahun terhitung sejak peraturan pemerintah ini

diundangkan.

3. Permendagri No. 35/2010 Pasal 7 ayat (1) : untuk mengelola pelayanan

informasi dan dokumentasi di lingkungan

Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan

Daerah ditetapkan PPID.

19

Pasal 8

• PPID di lingkungan Kementerian Dalam

Negeri bertanggung jawabkepada Menteri

Dalam Negeri melalui Sekretaris Jenderal.

• PPID di lingkungan Pemerintahan

Provinsi bertanggung jawab kepada

Gubernur melalui Sekretaris Daerah.

• PPID di lingkungan Pemerintahan

Kabupaten/Kota bertanggung jawab kepada

Bupati/Wali Kota melalui Sekretaris

Daerah.

• PPID di lingkungan Kementerian Dalam

Negeri dibantu oleh PPID Pembantu yang

berada di lingkungan Komponen dan/atau

Pejabat Fungsional.

• PPID di lingkungan Pemerintahan

Provinsi dibantu oleh PPID Pembantu yang

berada di lingkungan Satuan Kerja

Perangkat Daerah dan/atau Pejabat

Fungsional.

• PPID di lingkungan Pemerintahan

Kabupaten/Kota dibantu oleh PPID

Pembantu yang berada di lingkungan Satuan

Kerja Perangkat Daerah dan/atau Pejabat

Fungsional.

4. Peraturan KI No. 1 Tahun 2010 Pasal 4 :

Badan publik wajib :

(e) menunjuk dan mengangkat PPID untuk

melaksanakan tugas dan tanggung jawab

serta wewenangnya

20

Pasal 5 :

Badan Publik bisa menunjuk pejabat fungsional

dan/atau petugas informasi yang membantu

PPID dalam melaksanakan tugas, tanggung

jawab, dan wewenangnya sesuai dengan

kebutuhan dan ketersediaan anggaran.

21

Tabel 1.2.

Kewajiban badan publik dalam pelayanan informasi

No Perundangan Ketentuan

1. UU No. 14 Tahun 2008 Pasal 7 :

• Badan Publik wajib menyediakan, memberikan

dan/ atau menerbitkan Informasi Publik yang

berada dibawah kewenangannya kepada Pemohon

Informasi Publik, selain informasi yang

dikecualikan sesuai dengan ketentuan.

• Badan Publik wajib menyediakan Informasi

Publik yang akurat, benar, dan tidak menyesatkan.

• Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (2) , Badan Publik harus

membangun dan mengembangkan sistem informasi

dan dokumentasi untuk mengelola Informasi

Publik secara baik dan efisien sehingga dapat

diakses dengan mudah.

• Badan Publik wajib membuat pertimbangan

secara tertulis set iap kebijakan yang diambil untuk

memenuhi hak set iap Orang atas Informasi Publik.

• Pertimbangan sebagaimana dimaksud pada ayat

(4) antara lain memuat pert imbangan politik,

ekonomi, sosial, budaya, dan/ atau pertahanan dan

keamanan negara.

• Dalam rangka memenuhi kewajiban ayat (1)

sampai dengan ayat (4) Badan Publik dapat

memanfaatkan sarana dan/ atau media elektronik

dan nonelektronik.

22

2. PP No. 61 Tahun 2010 Pasal 2 :

• Dalam hal ada permintaan Informasi Publik

oleh Pemohon Informasi Publik, Badan Publik

wajib membuat pertimbangan tertulis atas setiap

kebijakan yang diambil untuk memenuhi hak setiap

Pemohon Informasi Publik.

• Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) ditetapkan oleh PPID atas persetujuan

pimpinan Badan Publik yang bersangkutan.

• Pertimbangan tertulis sebagaimana dimaksud

pada ayat (1) dapat diakses oleh setiap Pemohon

Informasi Publik.

3. Peraturan Menteri Dalam

Negeri No. 35 Tahun

2010

Pasal 6 :

• Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintahan

Daerah wajib menyediakan, memberikan dan/atau

menerbitkan Informasi Publik yang berada di

bawah kewenangannya kepada Pemohon Informasi

Publik, selain informasi yang dikecualikan sesuai

peraturan perundang-undangan.

• Untuk melaksanakan kewajiban sebagaimana

dimaksud pada ayat (1), Kementerian Dalam

Negeri dan Pemerintahan Daerah membangun dan

mengembangkan sistem informasi dan

dokumentasi pengelolaan Informasi Publik yang

dapat diakses dengan mudah.

23

4. Peraturan Komisi

Informasi No. 1 Tahun

2010

Pasal 4 : Badan Publik wajib:

• Menyediakan dan memberikan Informasi Publik

sebagaimana diatur di dalam Peraturan ini.

• Membangun dan mengembangkan sistem informasi

dan dokumentasi untuk mengelola Informasi Publik

secara baik dan efisien;

• Menetapkan peraturan mengenai standar prosedur

operasional layanan Informasi Publik sesuai dengan

Peraturan ini;

• Menetapkan dan memutakhirkan secara berkala

Daftar Informasi Publik atas seluruh Informasi

Publik yang dikelola;

• Menunjuk dan mengangkat PPID untuk

melaksanakan tugas dan tanggung jawab serta

wewenangnya;

• Menyediakan sarana dan prasarana layanan

Informasi Publik, termasuk papan pengumuman

dan meja informasi di setiap kantor Badan Publik,

serta situs resmi bagi Badan Publik Negara;

• Menetapkan standar biaya perolehan salinan

Informasi Publik;

• Menganggarkan pembiayaan secara memadai bagi

layanan Informasi Publik sesuai dengan peraturan

perundang-undangan yang berlaku;

• Memberikan tanggapan atas keberatan yang

diajukan oleh Pemohon Informasi Publik yang

mengajukan keberatan;

• Membuat dan mengumumkan laporan tentang

layanan Informasi Publik sesuai dengan Peraturan

ini serta menyampaikan salinan laporan kepada

Komisi Informasi; dan

• Melakukan evaluasi dan pengawasan terhadap

pelaksanaan layanan Informasi Publik pada

instansinya.

24

Berkaca pada serangkaian fakta kegagapan dan ketidaksiapan

lembaga publik menyediakan informasi, Yayasan Tifa dan Tempo Institute

bekerja sama melakukan penelitian ini. Kami bermaksud memotret

implementasi UU KIP oleh badan-badan publik di sektor pemerintahan:

apakah sudah sesuai dengan tuntutan UU dan peraturan pelaksanaan yang

telah ditetapkan atau belum.

Penelitian ini tidak dimaksudkan mengukur sukses atau gagalnya

implementasi UU KIP, mengingat undang-undang ini baru diberlakukan

selama dua tahun. Kami membatasi diri pada telaah faktual dan analitik, untuk

mencari tahu hal-hal baik maupun buruk yang telah dilakukan dalam

pelayanan informasi publik oleh lembaga-lembaga publik, dan apakah semua

itu sudah sesuai dengan aturan atau belum. Selanjutnya kami akan

merekomendasikan langkah-langkah praktis maupun strategis yang perlu

diambil untuk memaksimalkan penerapan UU KIP.

Pada riset ini kami memilih empat obyek penelitian, yakni :

1. Kementerian Pendidikan Nasional,

2. Kementerian Kesehatan,

3. Pemerintah Kabupaten Jembrana,

4. Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan.

Pada tingkat nasional, kami memilih Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan serta Kementerian Kesehatan sebagai obyek riset. Ada dua

alasan yang mendasari pemilihan ini. Pertama, kedua kementerian ini

memiliki bidang kerja yang langsung berhubungan dengan publik, dan area

pelayanan mereka langsung bersentuhan dengan hajat hidup masyarakat

luas, yakni pendidikan dan kesehatan. Tak jarang masyarakat rela

mengeluarkan biaya tak terbatas untuk mengakses pelayanan publik pada

dua bidang ini, sehingga keterbukaan informasi sangat dibutuhkan. Alasan

berikutnya, kedua kementerian mendapatkan porsi belanja yang cukup besar

dari APBN. Pada 2011, kedua kementerian ini mendapat porsi anggaran

belanja masing-masing lebih dari Rp 20 triliun.

25

Adapun Kabupaten Jembrana dan Kodya Jakarta Selatan kami pilih

sebagai obyek penelitian dengan asumsi bahwa infrastruktur pemerintahan di

kedua wilayah ini tergolong cukup baik. Jembrana mewakili pemerintahan

daerah karena telah memiliki pelayanan publik terbaik. Kabupaten ini sudah

membangun infrastruktur pelayanan informasi publik sejak awal 2000. Dengan

demikian, menarik untuk ditelaah bagaimana keberlanjutan sistem pelayanan

informasi di Jembrana seiring dengan terbitnya UU KIP.

Selanjutnya, Pemerintah Kota Administrasi Jakarta Selatan kami pilih

karena memiliki Indeks Pembangunan Manusia (IPM) tertinggi di Indonesia.

Pemerintah Kota Jakarta Selatan juga berada di bawah naungan pemerintah

Provinsi DKI Jakarta yang di tahun 2004 dinilai oleh Asian Development Bank

sebagai provinsi dengan layanan publik yang baik, penyediaan infrastruktur

yang baik, dan partisipasi politik warga di daerahnya yang cukup baik.8

Ini bukan penelitian pertama yang dilakukan untuk memotret

implementasi UU KIP. Pada 2010, Article 19 bersama Tifa, bekerja sama

dengan peneliti dari Bappeda Nusa Tenggara Timur (NTT) dan Yayasan PIAR

NTT, membuat riset berjudul “Penilaian Awal Akses Informasi Publik di Nusa

Tenggara Timur”. Subyek penelitian adalah penerapan UU KIP pada

Pemerintah Provinsi NTT, Pemerintah Kota Kupang, dan Pemerintah

Kabupaten Timor Tengah Selatan. Fokus penelitian ini pada bagaimana publik

dapat mengakses informasi dan bagaimana badan publik melayani

permohonan informasi.

Temuan penelitian tersebut, antara lain, belum ada peraturan lokal

sebagai implementasi UU KIP di tiga pemerintahan tersebut, belum

terbentuknya Komisi Informasi Daerah, tidak adanya standar dalam

penerapan layanan informasi publik, belum terbentuknya PPID, dan adanya

subyektivitas pejabat publik dalam penentuan informasi yang dikecualikan.

Penelitian ini memotret penanganan informasi serta jumlah keberatan dan

sengketa informasi yang diajukan publik di tiga pemerintahan tersebut. Juga

tidak digali alasan-alasan yang menjelaskan mengapa pada dua lembaga

8 Sofyan Effendi dalam Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo, Governance Reform di

Indonesia: Mencari arah kelembagaan politik yang demokratis dan birokrasi yang profesional., Gava

Media dan MAP UGM, Yogyakarta, 2009, hal 99.

26

publik yang diteliti PPID belum terbentuk dan tidak ada Standar Layanan

Informasi Publik.

Kontras bekerjasama dengan Yayasan Tifa juga pernah meneliti di

institusi Kepolisian Republik Indonesia pada 2011. Mereka mengukur capaian

implementasi UU KIP pada instansi kepolisian di wilayah Nanggroe Aceh

Darussalam, DKI Jakarta, Nusa Tenggara Timur, Sumatera Utara, Jawa

Timur, Sulawesi Selatan dan Barat, dan Papua. Penelitian ini menggunakan

metode partisipatif dengan cara mengajukan permohonan informasi ke semua

institusi tersebut kemudian menilai pelayanan yang diberikan.

Penelitian yang cukup komprehesif, dilakukan oleh Fakultas Ilmu Sosial

dan Ilmu Politik Universitas Gajah Mada Yogyakarta. Mengambil obyek

penelitian Provinsi Aceh, DKI Jakarta, Jawa Timur, Papua Barat, Kota Banda

Aceh, Kota Surabaya, dan Kabupaten Manokwari mereka memotret hal

pokok: 1) kemajuan dalam keterbukaan informasi publik; 2) enabling and

constraining factors dalam implementasi keterbukaan informasi publik, dan; 3)

peta inovasi atau terobosan di daerah terkait keterbukaan informasi publik.

Dari sekian banyak penelitian yang dibuat, belum ada yang meneliti

implementasi UU KIP pada lembaga negara di tingkat pusat. Kekosongan

inilah yang kami coba mengisinya dengan memotret implementasi UU KIP di

Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

1.2. Tujuan

Riset ini memiliki tujuan umum dan tujuan khusus.

Tujuan Umum:

• Mendorong terwujudnya keterbukaan informasi publik di Indonesia demi

mendukung terciptanya tata kelola pemerintahan yang baik (good

governance).

• Mendorong terwujudnya demokratisasi informasi di Indonesia yang

menjamin terpenuhinya Hak Asasi Manusia warga negara Indonesia di

bidang informasi publik oleh negara

• Mendorong terwujudnya masyarakat informasi di Indonesia.

27

Tujuan khusus:

• Mengetahui implementasi Undang-Undang KIP oleh badan publik.

• Memahami proses penyediaan informasi publik oleh badan publik

menurut Undang-Undang KIP dan Peraturan Komisi Informasi Nomor 1

Tahun 2010

1.3. Pertanyaan Penelitian

Ada empat pertanyaan pokok penelitian, yang hendak dijawab dalam ini:

1. Apakah badan publik sudah membuat kebijakan publik di bidang informasi

dalam bentuk peraturan dan keputusan-keputusan sebagai implementasi

UU KIP?

2. Apakah di badan publik sudah terbentuk Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi ?

3. Apakah Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di badan publik

sudah memberikan pelayanan informasi publik sebagaimana yang

diwajibkan peraturan perundang-undangan?

4. Apa saja bentuk media dan sarana yang digunakan badan publik dalam

pelayanan informasi publik?

1.4. Bagaimana Penelitian Dilakukan

Penelitian ini merupakan sebuah studi kasus dengan pendekatan

kualitatif, yang membahas secara mendalam temuan-temuan penelitian di

lembaga-lembaga publik yang menjadi subjek penelitian.9 Seluruhnya ada

enam tahapan dalam penelitian ini, dari pengumpulan data awal hingga

penulisan laporan penelitian, berlangsung sejak 25 April 2011 sampai 31

Desember 2011.

Tahap 1, Pengumpulan Data Awal. Dalam pengumpulan data dan

informasi awal, tim peneliti mempelajari profil badan-badan publik yang diteliti

9 Lihat Michael Quinn Patton, Qualitative Evaluation ad Research Methods, New Delhi, SAGE

PUBLICATION, 1990, hal 13 dan John W. Creswel, Qualitative Inquiry and Research Design,

Choosing Among Five Tradition, New Delhi, SAGE PUBLICATION, 1998, Hal 61

28

menggunakan bantuan internet, sebagai bahan untuk menyusun Laporan

Pendahuluan. Ini dilakukan agar penelitian fokus pada masalah yang diteliti

serta memiliki pedoman dan arah yang jelas.

Tahap 2, Diskusi Group Terfokus (FGD) #1. Pada tahap ini

diselenggarakan diskusi terfokus dengan menghadirkan narasumber dari

instansi yang akan diteliti, dan dari Komisi Informasi Pusat. Narasumber yang

diundang dalam FGD ini akan diminta memberikan penilaian dan saran atas

Laporan Pendahuluan yang telah disusun Tim Peneliti, serta ikut

mempertajam perumusan masalah yang akan diteliti.

Tahap 3, Pelaksanaan Riset Lapangan. Kami menerjunkan tim untuk

mengumpulkan data primer dan sekunder. Data primer dimaksud adalah

keterangan dari informan kunci yang diwawancarai secara mendalam (indepth

interview) mengenai implementasi UU KIP di setiap badan publik yang

menjadi subjek penelitian. Adapun data sekunder adalah peraturan-peraturan

dan keputusan-keputusan yang dikeluarkan badan publik yang menjadi

subyek penelitian, juga data-data lain yang relevan.

Tahap 4, Pengolahan Data Hasil Riset. Semua data dan informasi yang

diperoleh akan diklasifikasikan lalu dianalisis oleh Tim Peneliti. Pada tahap ini

informasi yang tidak relevan dengan pertanyaan penelitian akan

dikesampingkan.

Tahap 5, Diskusi Grup Terfokus ke-2. Narasumber dalam FGD kali

adalah PPID dari Kementerian Pendidikan Nasional dan Kementerian

Kesehatan.

Tahap 6, Penyusunan laporan akhir.

1.5. Struktur Laporan

Agar temuan di setiap lembaga publik yang menjadi subjek penelitian

terekam secara detail dan komprehensif dalam laporan ini, maka kami mula-

29

mula akan menyajikan temuan di Kementerian Kesehatan, Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, serta di Pemerintah Daerah Jembrana dan

Jakarta Selatan, dalam empat bab terpisah. Kemudian akan dilakukan telah

kritis terhadap pola maupun praktek pelayanan informasi publik di lembaga-

lembaga tersebut, menggunakan pendekatan dan teori lintas ilmu serta

berbagai peraturan dan UU tentang informasi publik. Laporan akan ditutup

dengan kesimpulan dan rekomendasi.

Secara lebih rinci, laporan ini akan disajikan dalam bab-bab sebagai

berikut. Setelah Bab I Pendahuluan ini, Bab II berisi profil Kementerian

Kesehatan dan uraian temuan-temuan yang diperoleh Tim Peneliti di

Kementerian Kesehatan, mengaku kepada pertanyaan penelitian. Bab III

berisi profil Kementerian Pendidikan Nasional dan uraian temuan-temuan

yang diperoleh tim peneliti di kementrian ini. Bab IV berisi profil Pemerintah

Kota Jakarta Selatan dan temuan-temuan yang diperoleh tim peneliti di sana.

Bab V berisi profil Pemerintah Kabupaten Jembrana Provinsi Bali dan

temuan-temuan penelitian di sana. Lalu dalam Bab VI kami mendiskusikan

secara kritis temuan di keempat instansi yang menjadi subjek penelitian. Bab

ini juga berisi kesimpulan penelitian dan rekomendasi untuk perbaikan

pelayanan informasi publik di Indonesia.

30

Bab II

Capaian Kementerian Kesehatan

Kinerja Kementerian Kesehatan, pada masa almarhumah Menteri

Endang Sedyawati, difokuskan pada program preventif dan promosi

kesehatan. Dua jurus utama yang bersandar pada pelayanan dan

ketersediaan informasi. Lembaga ini agaknya paham benar dengan

pentingnya informasi. Itulah sebabnya, secara umum Kementerian Kesehatan

tidak menghadapi hambatan serius pada penerapan UU Keterbukaan

Informasi Publik.

Merespon pemberlakuan UU KIP dan peraturan pelaksanaannya,

Kementerian Kesehatan melakukan koordinasi kelembagaan, baik internal

maupun eksternal. Koordinasi internal dilakukan antar instansi di lingkungan

Kementerian Kesehatan. Sedangkan koordinasi eksternal antara lain

dilakukan dengan Kementerian Komunikasi dan Informasi, dengan tujuan

memperkuat pemahaman aparatur Kementerian Kesehatan mengenai UU

KIP. Selanjutnya Kementerian Kesehatan menjalin kerjasama dengan sebuah

lembaga yang didanai asing dalam rangka advokasi implementasi UU KIP.10

Dana untuk pelayanan informasi publik di Kementerian ini sudah mulai

dianggarkan sejak tahun 2010.11 Pada tahun pertama implementasi UU KIP,

sebagian besar budget digunakan untuk sosialisasi undang-undang ini dan

peraturan pelaksananya, di internal Kementerian Kesehatan. Tujuannya

membekali birokrat dengan pengetahuan tentang prinsip-prinsip keterbukaan

10

Wawancara dengan Doddy Riyadi, pegawai Kementerian Kesehatan, pada 4 Mei 2011. Sebagian

besar pejabat di Kementerian Kesehatan kurang bersimpati terhadap lembaga-lembaga yang didanai

asing. Lembaga-lembaga ini dicurigai memiliki agenda tertentu, 11 Wawancara dengan Prawito, Kepala Sub Bidang (Kasubbid) Publikasi dan Layanan Informasi

Kementerian Kesehatan, pada 16 Mei 2012. Tahun 2010 dialokasikan anggaran Rp. 443.080.000 untuk

sosialisasi UU KIP bagi Dinas Kesehatan Propinsi seluruh Indonesia dan rapat koordinasi. Pada tahun

2011 dialokasikan Rp 535.700.000 untuk kegiatan sosialisasi bagi pejabat humas, penyusunan pedoman

dan rapat-rapat koordinasi.

31

informasi publik. Bersamaan dengan sosialisasi internal, Kementerian

membentuk PPID, membangun infrastruktur pelayanan informasi publik,

membuat Standar Operasional Prosedur (SOP), dan mulai melayani

permintaan informasi publik.

Atas semua capaian ini, Komisi Informasi Pusat menganugerahkan

Kementerian Kesehatan penghargaan sebagai badan publik yang responsif

dan aktif dalam persiapan dan implementasi UU KIP, dan memilih

Kementerian ini sebagai salah satu dari 10 badan publik terbaik dalam hal

pelaksanaan UU KIP di tahun 2010.

Sosialisasi yang lebih luas dilakukan pada tahun 2011. Pertama,

sosialisasi kepada Unit Pelaksana Teknis (UPT) vertikal yang berada di

bawah Koordinasi Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Penyehatan

Lingkungan, yaitu Kantor Kesehatan Pelabuhan. Sosialisasi ini

diselenggarakan di 10 Provinsi, yakni: Jawa Timur, Jawa Tengah, DKI

Jakarta, Sumatera Utara, Sumatera Selatan, Sulawesi Utara, Sulawesi

Selatan, Kalimantan Selatan, Maluku, dan Batam.12

Kedua, sosialisasi ditujukan kepada pejabat struktural dan pegawai di

Rumah Sakit yang berada di bawah koordinasi Direktorat Jenderal Bina

Upaya Kesehatan Masyarakat. Sosialisasi ini diselenggarakan di Rumah Sakit

Jantung Harapan Kita dan Rumah Sakit Persahabatan.13 Ketiga, sosialisasi

keapda pejabat Humas Rumah Sakit yang berada di bawah Koordinasi

Kementerian Kesehatan. Yang terakhir ini dihadiri para pejabat humas wakil

dari 33 Rumah Sakit di seluruh Indonesia.14

Secara umum implementasi UU KIP dan peraturan pelaksanaannya di

Kementerian Kesehatan memang sudah cukup baik. Namun demikian, kami

menemukan ada kelemahan yang perlu segera diperbaiki. Pertama, sampai

dengan bulan Mei 2011 masih ada unit pelaksana teknis di lingkungan

Kementerian Kesehatan yang belum membentuk PPID.

Kedua, belum ada aturan pasti mengenai informasi yang dikecualikan

di Kementerian ini. Dalam diskusi terfokus yang kami selenggarakan (pada 31

12 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan

pada tanggal 16 Mei 2012 13

Ibid 14

Ibid

32

Januari 2012), Ria Purwanti dan Dyah Yuniar dari Pusat Komunikasi

Kementerian Kesehatan mengungkapkan masih adanya kebingungan

menentukan mana informasi yang dikecualikan dari layanan kepada publik.

Masih dalam diskusi yang sama, Abdul Rahman Ma’mun, anggota

Komisi Informasi Pusat, membenarkan bahwa kebingungan menentukan

ragam informasi yang dikecualikan memang terjadi di berbagai instansi. Pada

proses perancangan UU KIP, menurut Abdul Rahman, kategorisasi informasi

yang dikecualikan ini memang tidak diatur secara rinci. Alasannya, setiap

instansi dan lembaga publik memiliki kekhasan dan kadar kerahasiaan

informasi tersendiri. Oleh karena itu dibutuhkan pembicaraan yang khusus di

setiap lembaga untuk menentukan rambu-rambu mana informasi yang

dikecualikan.

Berikut rincian temuan penelitian tentang capaian implementasi

keterbukaan informasi di Kementerian Kesehatan. Ukuran yang digunakan

untuk memotret capaian ini adalah ukuran yang terdapat di UU KIP dan

peraturan pelaksananya, yakni: produk hukum sebagai pelaksanaan UU KIP,

keberadaan PPID, pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur

pelayanan informasi.

2.1. Produk hukum

2.1.1. Peraturan Pelaksana

Indikator pertama untuk menilai keberhasilan impelementasi UU KIP

adalah tersedianya produk hukum sebagai aturan pelaksanaan UU KIP.

Indikator ini penting karena pada lembaga-lembaga pemerintahan, aturan

pelaksanaan merupakan pedoman teknis yang mengatur operasionalisasi

produk-produk hukum yang lebih tinggi. Dengan asumsi ini, lembaga yang

tidak atau belum memiliki aturan pelaksaan bisa disimpulkan belum siap

menerapkan UU KIP.

Kementerian Kesehatan telah mulai menerbitkan aturan pelaksaan UU

KIP sejak 2010. Produk hukum pertama mereka adalah Keputusan Menteri

Nomor 708/Menkes/SK/VI/2010 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi Kementerian Kesehatan. Aturan ini menjadi dasar pembentukan

33

PPID di kementerian tersebut. Belakangan, pada tahun kedua pelaksanaan

UU KIP, Menteri Kesehatan mencabut Keputusan Menteri Nomor 708 dan

menggantinya dengan Keputusan Menteri Kesehatan Nomor

1625/Menkes/SK/VIII/2011 tentang hal yang sama.

Selanjutnya dikeluarkan Peraturan Menteri Kesehatan Nomor

2166/Menkes/Per/X/2011 tentang Standar Layanan Informasi Publik.

Peraturan ini mengatur soal:

1) Kategorisasi informasi publik di Lingkungan Kementerian Kesehatan;

2) Mekanisme Koordinasi Pelayanan Informasi antar Unit Utama dan

Unit Pelaksana Teknis di Lingkungan Kementerian Kesehatan;

3) Mekanisme Pelayanan Informasi;

4) Prosedur pelayanan dan penyampaian salinan informasi;

5) Mekanisme pelayanan Informasi Publik;

6) Tata Cara Pengecualian Informasi Publik;

7) Mekanisme uji konsekuensi, dan;

8) Mekanisme penanganan keberatan terhadap pelayanan informasi

publik.

Ada empat kategori informasi di Kementerian Kesehatan menurut

aturan ini. Pertama, informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara

berkala. Kedua, informasi yang wajib diumumkan secara serta merta. Ketiga,

informasi yang wajib tersedia setiap saat. Dan keempat, informasi yang

dikecualikan. Kategorisasi ini merujuk kepada kategorisasi dalam UU KIP

tetapi disesuaikan dengan ruang lingkup Kementerian Kesehatan.

34

Tabel 2.1.

Klasifikasi Informasi di Kementerian Kesehatan

No Kategorisasi Jenis Informasi

1. Informasi yang wajib

disediakan dan diumumkan

secara berkala

• Informasi tentang profil Kementerian

Kesehatan

• Ringkasan informasi tentang program

dan/atau kegiatan yang sedang dijalankan

dalam lingkup Kementerian Kesehatan

• Ringkasan informasi tentang kinerja dalam

lingkup Kementerian Kesehatan berupa

narasi tentang realisasi kegiatan yang telah

maupun sedang dijalankan beserta

capaiannya, seperti Laporan Akuntabilitas

Kinerja Instansi Pemerintah (LAKIP)

• Ringkasan laporan keuangan Kementerian

Kesehatan yang sudah diaudit

• Ringkasan informasi spesifik tentang

laporan program atau kegiatan yang

berkaitan langsung dengan kepentingan

masyarakat banyak

• Informasi lain yang dimandatkan oleh

peraturan perundang-undangan untuk

diumumkan kepada publik secara berkala

• Informasi tentang hak dan tata cara

memperoleh informasi publik, serta tata cara

pengajuan keberatan serta proses

penyelesaian sengketa Informasi Publik

• Informasi tentang pengumuman pengadaan

barang dan jasa sesuai dengan peraturan

perundang-undangan terkait

• Informasi tentang prosedur peringatan dini

dan prosedur evakuasi keadaan darurat di

kantor Kementerian Kesehatan

35

2. Informasi yang wajib

diumumkan secara serta

merta

• Informasi mengenai epidemi dan pandemi

penyakit, sekaligus obat yang dibutuhkan

untuk menangkalnya

• Informasi penanganan kesehatan dalam

situasi krisis/bencana alam, kegagalan

teknologi dan bencana sosial, seperti banjir,

gempa bumi, tsunami, gunung meletus dan

tanah longsor

• Informasi tentang kebocoran/pelepasan

bahan-bahan berbahaya, seperti asap

beracun dalam kebakaran hutan.

• Informasi soal keracunan obat dan makanan,

serta alat kesehatan dan Perbekalan

Kesehatan Rumah Tangga (PRKT)

• Informasi jenis, persebaran dan daerah yang

menjadi sumber penyakit, yang berpotensi

menjadi wabah atau Kejadian Luar Biasa

• Informasi lain yang sifat urgensinya akan

ditetapkan oleh Menteri Kesehatan

36

3. Informasi yang wajib

tersedia setiap saat

• Daftar seluruh informasi publik yang berada di

bawah penguasaan Kementerian Kesehatan, tidak

termasuk informasi yang dikecualikan

• Rencana strategis (renstra), dan rencana kerja

(renja) Kementrian

• Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan

dan/atau dikeluarkan.

• Peraturan, keputusan dan/atau kebijakan serta

surat edaran yang telah diterbitkan

• Data perbendaharaan atau inventaris yang sudah

diaudit

• Informasi perjanjian kerjasama Kementerian

Kesehatan dengan pihak ketiga berikut dokumen

pendukungnya, tidak termasuk informasi yang

dikecualikan

• Sambutan Menteri atau pejabat yang

mewakilinya, baik berupa tulisan maupun

rekaman audio yang sudah dipublikasikan

• Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran

yang ditemukan dalam pengawasan internal serta

laporan tindak lanjut

• Jumlah, jenis, dan gambaran umum pelanggaran

yang dilaporkan oleh masyarakat serta tindak

lanjutnya

• Daftar, serta hasil-hasil penelitian yang dilakukan

• Informasi dan kebijakan yang disampaikan

pejabat publik dalam pertemuan yang terbuka

untuk umum

• Organisasi, administrasi, kepegawaian dan

keuangan Kementerian Kesehatan

4. Informasi yang

dikecualikan

Akan diatur dalam peraturan tersendiri

37

Peraturan ini mengharuskan Kementerian Kesehatan mengumumkan

“Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan secara berkala” melalui

berbagai saluran komunikasi, setidaknya setahun sekali. Media yang

digunakan bisa berupa website, leaflet, media internal dan atau papan

pengumuman. Informasi dengan kategori seperti ini wajib diumumkan tanpa

harus didahului oleh permintaan informasi dari publik.

PPID Kementerian Kesehatan juga diwajibkan mengumumkan layanan

informasi yang telah mereka berikan. Ini meliputi jumlah permintaan informasi

yang mereka terima, waktu yang diperlukan untuk memenuhi setiap

permintaan informasi, jumlah pemberian dan penolakan permintaan informasi,

dan alasan penolakan permintaan informasi.15 Informasi mengenai “layanan

informasi publik” ini, dan “Informasi yang wajib disediakan dan diumumkan

secara berkala”, masuk golongan informasi proaktif yang menurut aturan

Menteri Kesehatan harus diumumkan secara serta merta melalui berbagai

media komunikasi massa berupa situs resmi, surat edaran, media massa baik

cetak dan elektronik.16

Hal penting lain yang diatur dalam Peraturan Menteri Nomor 2166 ini

adalah mengenai penentuan informasi yang masuk kategori dikecualikan.

Ditegaskan bahwa pengecualian Informasi harus melalui uji konsekuensi

publik yang mengacu kepada batasan-batasan normatif di Pasal 17 UU KIP.17

Petugas Pengelola Informasi dan Dokumentasi di Lingkungan Kementerian

Kesehatan tidak dibenarkan membuat pertimbangan pengecualian informasi

berdasarkan alasan-alasan subyektif.

Terakhir, aturan ini memberian hak kepada pemohon informasi untuk

mengajukan keberatan atas pelayanan informasi publik yang mereka terima.

Keberatan bisa diajukan jika: pertama, permohonan informasi pemohon

15

Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011 16 Lampiran Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011 17

Pasal 17 UU KIP menetapkan sepuluh jenis informasi yang dikecualikan , hurup a sampai j.

Sedangkan Pasal 19 mewajibkan PPID di setiap instansi publik untuk melakukan uji konsekuensi

sebelum menyatakan informasi publik tertentu dikecualikan.

38

ditolak; kedua, permohonan informasi pemohon tidak ditanggapi; ketiga, jika

ada aparatur Kemetrian yang meminta biaya penggantian salinan dokumen

yang jumlahnya tidak wajar.18

2.1.2. Temuan dan Analisis

Persoalan utama dalam pengaturan pelayanan informasi publik di

Kementerian Kesehatan adalah belum ditetapkannya informasi yang masuk

kategori dikecualikan, berdasarkan ruang lingkup Kementerian Kesehatan.

Karena belum ada batasan yang spesifik dalam menetapkan informasi yang

dikecualikan PPID akhirnya menggunakan batasan umum yang diatur dalam

UU KIP. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011

tentang Standar Layanan Informasi Publik menyatakan bahwa mengenai

informasi yang dikecualikan, akan diatur tersendiri di dalam peraturan lain.

Namun hingga penelitian ini selesai dibuat aturan mengenai informasi yang

dikecualikan belum ada.

Tak ditemukan alasan yang pasti mengenai belum tersusunnya daftar

informasi publik yang dikecualikan. Bisa jadi ini karena lemahnya koordinasi

antara PPID Utama dan PPID Pelaksana, dan belum samanya pemahaman

para pejabat UPT mengenai kategorisasi infomasi.19 Tapi bisa juga karena

alasan yang sangat sederhana, yakni ketiadaan anggaran.20

Karena belum ada peraturan yang dibuat tentang biaya penggantian

salinan dokumen, dalam pelayanan informasi publik Kementerian tidak

meminta bayaran dari pemohon informasi. Ketiadaan aturan ini menyebabkan

Kementerian pada akhirnya juga mengeluarkan dana untuk pengadaan

salinan dokumen. Baiknya, ini cuma untuk salinan-salinan yang pendek. Untuk

18

Sesuai harga yang disepakati oleh pemohon dan penyedia informasi dan dianggap wajar sesuai

dengan harga fotokopi di daerah bersangkutan.

19 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,

pada tanggal 13 Juli 2011. 20

Laporan Tahunan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011

39

dokumen yang panjang/banyak, Kementerian memutuskan untuk

memberikannya dalam bentuk soft file.21

Lepas dari berbagai kekurangan di atas, tim peneliti berpendapat

bahwa Kementerian Kesehatan telah cukup baik dalam mengoperasionalkan

aturan UU KIP. Bahkan beberapa poin dalam Peraturan Menteri Kesehatan,

menurut kami cukup progresif, dalam arti sudah mengantisipasi potensi

penyelewengan yang mungkin dilakukan oleh pejabat PPID yang tidak

memiliki komitmen terhadap keterbukaan informasi. Di antaranya, yang

terpenting, PPID dilarang membuat pertimbangan pengecualian informasi

berdasarkan alasan-alasan subyektif, tanpa merujuk pada ketentuan

perundang-undangan yang berlaku.

2.2. Keberadaan PPID

2.2.1. Kondisi Obyektif

Petugas Pengelola Informasi dan Dokumentasi adalah aktor sentral

dalam pelayanan informasi publik di sebuah badan publik. Ketiadaan PPID

dapat menghambat pelayanan informasi publik dan menjadi penyebab tidak

terpenuhinya hak-hak publik di bidang informasi publik. Di Kementerian

Kesehatan PPID sudah terbentuk dan mulai bekerja sejak tahun 2010. Dasar

hukum pembentukannya adalah Keputusan Menteri Nomor

708/Menkes/SK/VI/2010 tentang Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi Kementerian Kesehatan, yang kemudian dicabut oleh

Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 1625/MENKES/SK/VIII/2011.

Organisasi PPID di Kementerian Kesehatan terdiri dari Pembina PPID,

PPID Utama, Atasan PPID Pelaksana, PPID Pelaksana, Koordinator

Pelayanan Informasi, dan Petugas Informasi.22 Setiap jabatan memiliki tugas

dan kewenangan berbeda. Pembina PPID berwenang menetapkan dan

mengevaluasi kebijakan akses publik di lingkungan Kementerian Kesehatan

21

Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,

pada tanggal 16 Mei 2012 22

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1625/Menkes/SK/VIII/2011

40

dan membina PPID Utama. Jabatan Pembina PPID ini dipegang oleh Menteri

Kesehatan, sedangkan Jabatan PPID Utama dipegang Sekretaris Jenderal

Kementerian Kesehatan.23 Sruktur Organisasi PPID di Lingkungan

Kementerian Kesehatan dapat dilihat di tabel berikut.

Diagram 2.1.

Sruktur Organisasi PPID Kementerian Kesehatan

Sumber: Kementrian Kesehatan

23

Ibid

41

PPID Utama bertugas:

1. Mengkoordinasikan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan,

dan pelayanan informasi publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola,

dikirim, dan atau diterima.

2. Mengkoordinasikan PPID Pelaksana dalam melaksanakan pelayanan

informasi publik.

3. Mendelegasikan sebagian kewenangan pengelolaan dan pelayanan

informasi publik kepada PPID Pelaksana, selain kewenangan

melakukan uji konsekuensi.

4. Menetapkan daftar informasi yang dikecualikan.

5. Membuat laporan secara berkala dan setiap saat diperlukan, kepada

pembina.24

Dalam bertugas PPID Utama dibantu Tim Pengelolaan dan Pelayanan

Informasi. Tim ini terdiri dari Kepala Pusat Komunikasi Publik, Kepala Pusat

Data dan Informasi, dan Kepala Biro Hukum dan Organisasi. Di bawah PPID

Utama tedapat struktur yang bernama Atasan PPID Pelaksana, dijabat oleh

eselon I, dan bertanggungjawab kepada PPID utama.

Tugas Atasan PPID Pelaksana sebagai berikut:

1. Mengoordinir PPID pelaksana dalam melaksanakan pelayanan

informasi publik.

2. Mengetahui dan memberikan persetujuan atas setiap informasi yang

dikeluarkan oleh PPID Pelaksana di unitnya masing-masing.

3. Memberikan persetujuan atas penetapan daftar informasi yang

dikecualikan.

4. Menyampaikan laporan rutin maupun berkala yang disampaikan oleh

PPID Pelaksana, kepada PPID Utama.25

Di bawah Atasan PPID Pelaksana terdapat PPID Pelaksana yang

terdiri dari PPID Pelaksana Kantor Pusat/Koordinator PPID Pelaksana Unit

Pelaksana Teknis (UPT) dan PPID Pelaksana UPT. Tugas PPID Pelaksana

Kantor Pusat/Koordinator PPID UPT sebagai berikut:

24

Lampiran Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 1625/Menkes/SK/VIII/2011 25

Ibid

42

1. Melaksanakan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan

pelayanan informasi publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,

dan/atau diterima di lingkungan unit kerjanya.

2. Melaksanakan kewenangan Atasan PPID Pelaksana yang

didelegasikan kepadanya.

3. Menetapkan kategorisasi informasi di lingkungan unit kerjanya.

4. Menyampaikan informasi kategori yang dikecualikan kepada Atasan

PPID Pelaksana.

5. Melaksanakan pelayanan informasi publik.

6. Melaksanakan koordinasi dan pembinaan kepada PPID Pelaksana

UPT, dan membuat laporan secara berkala dan setiap saat jika

diperlukan.26

PPID Pelaksana membawahi Koordinator Pelayanan Informasi, yang

dijabat oleh eselon III atau eselon IV. Struktur ini berada di masing-masing

unit utama atau UPT yang menangani pekerjaan kehumasan. Tugasnya

sebagai berikut :

1. Melaksanakan penyimpanan, pendokumentasian, penyediaan, dan

pelayanan informasi publik yang dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim,

dan atau diterima di lingkungan unit kerjanya.

2. Melaksanakan kewenangan PPID Pelaksana Kantor Pusat/Koordinator

PPID Pelaksana UPT dan PPID Pelaksana UPT yang didelegasikan

kepadanya.

3. Melaksanakan pelayanan informasi publik

4. Membuat laporan berkala kepada PPID Pelaksana Kantor

Pusat/Koordinator PPID Pelaksana UPT dan PPID Pelaksana UPT

masing-masing.27

Petugas Informasi berada pada bagian terbawah struktur PPID di

Kementerian Kesehatan. Mereka terdiri dari staf di bagian kehumasan, para

pejabat fungsional pranata humas, dan pustakawan di masing-masing unit

utama UPT. Tugas mereka adalah :

26

Ibid 27

Ibid

43

1. Menerima permohonan informasi dan memberikan informasi yang

diminta oleh pemohon,

2. Meneruskan permohonan informasi kepada Koordinator Pelayanan

Informasi

3. Melakukan pendataan dan rekapitulasi secara berkala terhadap

permohonan informasi yang masuk maupun informasi yang sudah

dikeluarkan.28

Di Kementerian Kesehatan, ujung tombak penyebarluasan dan

pelayanan informasi publik ada pada Tim Pengelolaan dan Pelayanan

Informasi. Meskipun, secara struktural tim ini tidak merupakan bagian dari

hirarki PPID. Dalam tim ini ada Pusat Komunikasi Publik dan Pusat Data dan

Informasi. Pusat Komunikasi Publik memberi pelayanan dan pengelolaan

informasi, sedangkan Pusat Data dan Informasi menyediakan sarana

informasi.

Pemohon informasi yang datang ke Kementerian Kesehatan akan

berhadapan petugas Bidang Pelayanan Informasi Publik, pada Pusat

Komuniasi Publik. Seluruhnya ada 15 orang petugas informasi yang bertugas

setiap hari: 12 orang bertugas di Pojok Informasi dan 3 orang di Pusat

Tanggap dan Respon Cepat (PTRC) Kementerian Kesehatan.29 Semua

petugas informasi ini telah mendapat pelatihan yang berkaitan dengan

kebijakan Kementerian Kesehatan dan teknik menghadapi berbagai pemohon

dan permohonan informasi.30

2.2.2. Temuan dan Analisis

Sampai dengan bulan Mei tahun 2011, PPID di semua Unit Utama

sudah terbentuk. Pembentukan ini berdasarkan Surat Keputusan yang

diterbitkan masing-masing Unit Utama. Tapi, pada periode yang sama, PPID

28

Ibid 29 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan

pada tanggal 16 Mei 2012. 30

Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan

pada tanggal 13 Juli 2011.

44

di UPT-UPT belum juga terbentuk.31 Terlambatnya pembentukan PPID di

UPT-UPT ini harusnya tidak terjadi mengingat PP 61 Tahun 2010 telah

dengan tegas mewajibkan badan publik membentuk PPID paling lambat

tanggal 23 Agustus 2011. Ketiadaan PPID di UPT-UPT dapat menghambat

pelayanan informasi kepada masyarakat.

2.3. Pelayanan Informasi Publik

2.3.1. Kondisi Obyektif

Selama tahun 2011 fluktuasi jumlah pemohon informasi di Kementerian

Kesehatan mirip pola pelana kuda, banyak di awal tahun, lalu terus berkurang

hingga cuma satu pemohon di bulan September, dan mencapai puncaknya di

akhir tahun. Ini bertolak belakang dengan pola jumlah permohonan informasi

yang terus meningkat dari awal bulan hingga mencapai puncak pada bulan

Agustus, lalu kembali berkurang.

Total selama 2011 ada 925 permohonan informasi yang diajukan oleh

114 pemohon. Meski jumlah permohonan informasi cukup banyak, kedua pola

ini menunjukkan bahwa kesadaran dan kepedulian warga untuk mendapatkan

informasi publik di Kementerian Kesehatan masih rendah. Atau, sebagian

besar masyarakat belum mengerti prosedur dan fasilitas pelayanan informasi

publik di Kementrian Kesehatan. Sebagai contoh, 170 permohonan informasi

pada Agustus ternyata diajukan hanya oleh lima pemohon. Angka 170

pemohon didapat dari mereka yang mengisi daftar hadir yang ada di pusat

informasi Kementrian Kesehatan. Bisa saja orang yang sekedar mengambil

flyer, edaran atau bertanya langsung ke pusat informasi. Sedangkan lima

orang pemohon adalah mereka yang betul-betul serius memohon informasi

dengan menggunakan surat resmi dan persyaratan lainnya.32

31 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan

pada tanggal 13 Juli 2011. 32

Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan

pada tanggal 5 Juni 2012.

45

Diagram 2.2.

Jumlah Pemohon Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011

Sumber: Laporan Tahunan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011

Diagram 2.3.

Jumlah Permohonan Informasi Publik Kementerian Kesehatan tahun

2011

Sumber: Laporan Tahunan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan Tahun 2011

46

Hampir semua permohonan informasi selama 2011 dapat dipenuhi oleh

Kementerian Kesehatan secara langsung. Cuma lima permohonan dari dua

pemohon yang harus diselesaikan di meja mediasi, dengan mediator Komisi

Informasi Pusat. Ada empat permohonan yang diajukan oleh satu pemohon

tidak dipenuhi dan satu permohonan dari seorang pemohon ditolak.

Permintaan Informasi tidak dipenuhi ketika pemohon tidak mendapatkan

jawaban. Sedangkan permohonan informasi ditolak ketika informasi yang

bersangkutan termasuk dikecualikan atau tidak disediakan organisasi yang

bersangkutan.

Permohonan yang tidak dipenuhi berkaitan dengan: data tentang

penelitian makanan, data bahan-bahan makanan berbahaya, data Jaminam

Kesehatan Masyarakat, dan data informasi publik di website Kementerian

Kesehatan. Adapun satu permohoan ditolak dengan alasan informasi yang

diminta masuk dalam kategori informasi yang dikecualikan berdasar ketentuan

UU KIP.33 Tapi pengecualian informasi ini ternyata tidak melalui proses uji

konsekuensi sesuai ketentuan UU KIP. PPIP Kementrian Kesehatan

mengganggap mekanisme ajudikasi non litigasi dengan mediator Komisi

Informasi Pusat sebagai foum uji konsekuensi.34

Mediasi terhadap empat permohonan yang tidak dipenuhi berlangsung

sebanyak dua kali, pada 8 April 2011 dan pada 21 April 20101. Kementerian

Kesehatan akhirnya bersedia memberikan informasi yang diminta oleh

pemohon. Adapun mediasi menyangkut permohonan informasi yang ditolak

diadakan pada tanggal 10 November 2011 dan 23 November 2011. Tapi pihak

Kementerian Kesehatan tetap tidak mau memenuhi permintaan informasi

publik tersebut, dengan alasan informasi itu masuk dalam kategori informasi

yang dikecualikan.35

33

Wawancara dengan Kunto, pegawai di Kementerian Kesehatan, pada tanggal 13 Juli 2011. 34 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,

pada tanggal 16 Mei 2012 35

Tim Peneliti sudah meminta detail informasi yang ditolak pada saat wawancara tanggal 16 Mei 2012

tapi hingga laporan ini dibuat Kementerian Kesehatan belum bersedia memberikannya.

47

2.3.2. Temuan dan Analisis

Secara statistik, kinerja Kementerian Kesehatan dalam pelayanan

informasi publik telah cukup baik. Dari 925 permohonan informasi publik,

sebanyak 920 atau 99, 5 persen berhasil dipenuhi. Capaian ini tidak terlepas

dari peran Pusat Komunikasi Publik, Pusat Data dan Informasi, dan Petugas

Informasi. Keputusan Pusat Komunikasi Publik melalui Bidang Publikasi dan

Layanan Informasi untuk memanfaatkan teknologi dalam pelayanan informasi

publik, telah membuka lebar peluang bagi masyarakat untuk mengakses

informasi publik di Kementerian Kesehatan. Menurut data yang kami

dapatkan, semua permohonan layanan informasi publik yang diterima

Kementrian Kesehatan, masuk melalui Pusat Tanggap Respon Cepat. Ini

berarti permintaan informasi masuk melalui telpon, faksimili, Short Message

Service, surat elektronik, jaringan sosial (facebook, Flicker dan twitter), atau

surat.

Faktor lain yang membuat pelayanan informasi berjalan dengan baik

adalah kekhawatiran pejabat PPID dan Petugas Informasi terhadap sanksi

yang diatur dalam UU KIP.36 Kekhawatiran ini yang telah menggiatkan pejabat

PPID dan petugas informasi dalam pelayanan informasi publik. Dalam konteks

ini, UU KIP cukup ternyata efektif mendorong aparatur menjadi pelayan publik

yang baik dan bertanggungjawab.

Namun demikian, peneliti mencatat adanya kecenderungan yang bisa

berpotensi mengkhawatirkan, yakni Kementerian Kesehatan telah membuat

pengecualian informasi tanpa melalui prosedur yang diatur di dalam UU KIP.

Ada satu permintaan informasi publik yang ditolak tanpa uji konsekuensi

terlebih dahulu. Sayangnya evaluasi lebih jauh mengenai kasus ini tidak bisa

dilakukan karena hingga penelitian ini berakhir, Tim Peneliti tak juga bisa

mendapatkan informasi yang lengkap dari Kementerian Kesehatan mengenai

kasus penolakan permohonan informasi ini.

36

Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan

pada tanggal 13 Juli 2011. Prawito menjelaskan bahwa UU KIP dilihat oleh sebagian besar pegawai

Kementerian Kesehatan menakutkan, karena memuat banyak sanksi. Ini terungkap dalam berbagai

forum sosialisasi yang diselenggarakan oleh Kementerian Kesehatan. Doddy Riyadi, pegawai

Kementerian kesehatan menambahkan, sanksi yang ditakutkan adalah sanksi pidana. Wawancara pada

tanggal 13 Juli 2011

48

2.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik

2.4.1. Kondisi Obyektif

Untuk mempermudah para pemohon informasi mendapatkan informasi

publik, Kementerian Kesehatan membangun beberapa infrastruktur pelayanan

informasi publik. Infrastruktur tersebut adalah: Pojok Informasi, Pusat Tanggap

Respon Cepat, Laman PPID di internet, dan Perpustakaan.

Pojok Informasi disediakan bagi anggota masyarakat yang datang ke

kantor Kementerian Kesehatan untuk meminta informasi ataupun meminta

penjelasan mengenai hal-hal yang tidak dipahami. Pojok Informasi ini terletak

di lobi Kantor Kementerian Kesehatan. Berukuran 5 x 5 m, ruangan tersebut

tampak tertata apik. Di dalam ruangan itu ada meja informasi, sofa untuk

tamu, dan papan pengumuman dengan didesign menarik. Para tamu dan

pemohon informasi yang datang dilayani oleh dua orang petugas yang

menguasai prosedur pelayanan informasi.

Mekanisme pelayanan di pojok informasi sebagai berikut. Mula-mula

pemohon informasi yang datang akan dilayani oleh petugas. Jika permohonan

informasi tersebut diterima, petugas di lobi akan meneruskan permohonan

tersebut ke back office yang berada di bawah koordinasi Kepala Sub Bidang

(Kasubbid) Publikasi dan Pelayanan Informasi. Biasanya informasi yang

mudah disediakan akan diberikan saat itu juga. Namun Jika informasi yang

diminta perlu dicari ke unit-unit utama, maka pemohon infomasi akan diminta

menunggu sesuai dengan batas waktu yang diatur UU KIP.

Pemohon yang ingin diskusi dan memerlukan tanya jawab, akan

dilayani secara langsung oleh Kepala Sub Bidang Publikasi dan Layanan

Informasi. Sesuai keterangan yang dikumpulkan, infomasi yang paling sering

diminta adalah mengenai Program Kementerian dan Peraturan Perundang-

Undangan.37

37

Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan

pada tanggal 13 Juli .2011

49

Gambar 2.1.

Papan Pengumuman Pojok Informasi Kementerian Kesehatan

Gambar 2.2.

Meja Informasi di Pojok Informasi, Kementerian Kesehatan

50

Gambar 2.3.

Ruangan Nyaman untuk Para Pemohon Informasi

Pusat Tanggap Respon Cepat dibentuk untuk melayani permohonan

informasi yang disampaikan melalui telpon, faksimili, Short Message Service,

surat elektronik, jaringan sosial (facebook, Flicker dan twitter), dan surat.

Aduan melalui telpon ditujukan ke nomor (021) 500567, faksimili (021)

52921669, Short Message Service 081281562620, surat elektronik

[email protected] dan surat ditujukan ke PTRC Kementerian Kesehatan,

Pusat Komunikasi Publik, jalan Rasuna Said X-5 Kav. 4-9 Kuningan Jakarta

Selatan 12750.

PTRC melayani informasi publik setiap hari, Senin sampai Minggu,

mulai pukul 08.00 hingga 21.00 WIB. Sebuah posko layanan yang patut

diapresiasi karena bekerja penuh sepanjang pekan. Berikut jumlah

masyarakat yang mengakses PTRC selama periode Januari sampai dengan

Desember 2011.

51

Diagram 2.5.

Sumber: PTRC Kementerian Kesehatan RI, 2011

Selama tahun 2011, PTRC melayani 1.171 pengakses. Paling besar,

sebanyak 925 pengakses atau 78,99%, meminta pelayanan informasi. Lalu

ada 227 pengakses (19,39%) yang mengadu berkaitan dengan bidang

kesehatan. Sisanya, 19 pengakses atau 1,62%, memberikan saran dan

masukan bagi Kementerian Kesehatan.

Infrastruktur lain yang digunakan untuk memberikan pelayanan

informasi publik adalah situs atau laman PPID www.ppid.depkes.go.id. Laman

ini diluncurkan pada bulan Oktober 2011, berisi sembilan kanal: beranda,

profil, informasi publik, pelayanan info, tanya jawab, media online, link, kontak,

dan download. Dalam laman PPID ini publik diberikan kesempatan untuk

meminta informasi dengan mengisi formulir secara online, juga dibuka ruang

untuk konsultasi.

52

Gambar 2.4.

Tampilan Website PPID Kementerian Kesehatan

Sumber: www.ppid.depkes.go.id

2.4.2. Temuan dan Analisis

Proses pelayanan informasi publik di Kementrian Kesehatan tak bisa

berlangsung cepat dan mudah. Hal ini karena belum terbangunnya sistem

informasi terpusat yang menyediakan data seluruh unit-unit utama.

Kami menemukan, informasi publik masih dikuasai oleh unit-unit utama

dan UPT-UPT secara terpisah. Akibatnya, setiap ada permintaan informasi,

Petugas Informasi dan back office pada setiap gerai informasi di Kementrian

Kesehatan harus berkoordinasi dengan unit-unit utama, sehingga

menghambat pelayanan.38 Data-yang tersebar di UPT-UPT dan unit-unit

utama, sementara letak UPT-UPT jauh dari ibukota, menjadi alasan sulitnya

data dikumpulkan. Alasan lain, menurut petugas, adalah keterbatasan dana

yang tersedia.

38

Wawancara dengan Doddy Riyadi, Pegawai Kementerian Kesehatan, pada tanggal 13 Juli 2011

53

Namun, lepas dari masalah belum adanya sistem informasi terpusat,

kami menemukan bahwa semua infrastruktur pelayanan informasi di

Kementerian ini -- Pojok Informasi, Pusat Tanggap Respon Cepat, Laman

PPID di internet, dan Perpustakaan -- telah beroperasi dengan baik.

Kalaupun ada kendala menyangkut permohonan informasi yang ditolak, itu

lebih karena persoalan policy, bukan masalah teknis pelayanan di infrastruktur

pelayanan informasi.

2.5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Secara prosedural, Kementerian Kesehatan telah menjalankan hampir

semua hal yang diatur dalam UU KIP dan aturan pelaksanaannya dengan

baik. Mereka sudah punya panduan operasional yang cukup detail melalui

ketetapan dan peraturan Menteri, organisasi PPID juga sudah dibentuk, sudah

mulai melakukan pelayanan informasi publik, dan memiliki infrastruktur

pelayanan informasi publik yang bagus. Meski demikian, menurut kami

beberapa perbaikan tetap perlu dilakukan agar kinerja Kementrian Kesehatan

dalam hal pelayanan informasi publik bisa lebih baik. Pertama, perlu segera

dirampungkan kategorisasi informasi, terutama ketetapan mengenai informasi

yang dikecualikan. Kedua, perlu segera dibentuk PPID pada UPT-UPT di

lingkungan Kementerian Kesehatan. Ketiga akan lebih baik jika bisa dibangun

sistem informasi terpusat yang menampung semua data publik di Kementerian

Kesehatan dalam satu tempat yang sama.

54

Bab III

Capaian Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan

Pendidikan adalah sektor yang menuntut ketersediaan informasi secara

memadai. Namun, setidaknya pada tahun 2010, belum tampak derap program

yang progresif terencana di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk

mengimplementasikan UU KIP dan peraturan pelaksananya. Hal ini tercermin

pada postur anggaran kementerian, yakni tidak ada anggaran yang

dialokasikan untuk program implementasi UU KIP pada 2010 hingga 2011.

Meski demikian, kepada Tim Peneliti, Kepala Sub Bidang Pengelolaan

Aspirasi Masyarakat di Kementerian ini, Srie Indiyani mengatakan, mereka

sudah mulai melayani permohonan informasi publik sejak 2010.39 Selain itu,

setidaknya ada empat hal pokok yang menurut dia sudah dilakukan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pertama, sosialisasi peraturan

mengenai keterbukaan informasi publik kepada jajaran aparatur birokrasi di

lingkungan Kementerian. Sosialisasi ini diadakan di berbagai daerah, antara

lain: Yogyakarta, Semarang, Riau, Makassar, Surabaya, Palembang,

Bandung, Lampung, Gorontalo, dan Banten. Kedua, pembentukan PPID pada

tahun 2010. Ketiga, pengadaan infrastruktur pelayanan informasi publik. Dan,

keempat, penyusunan Standar Operasional Prosedur (SOP) pelayanan

informasi publik.

Memperhatikan semua data dan informasi yang berhasil dikumpulkan,

Tim Peneliti berpendapat masih terdapat banyak kelemahan dalam

implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya di Kementerian ini. Antara

lain, yang paling penting adalah, kategorisasi informasi publik yang masih jauh

dari sempurna dan belum terbentuknya PPID di seluruh Perguruan Tinggi se-

39

Wawancara dengan Srie Indiyani, Kepala Sub Bidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat , pada

tanggal 16 Mei 2012

55

Indonesia, PPID Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia, dan PPID

Unit Pelaksana Teknis.

Selanjutnya akan kami paparkan temuan lengkap penelitian di

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Seperti pada instasi pemerintah

yang lain, kami menggunakan empat ukuran untuk menilai capaian

Kementerian ini dalam implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya.

Ukuran itu adalah: produk hukum sebagai pelaksanaan UU KIP, keberadaan

PPID, pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan

informasi.

3.1. Produk Hukum

3.1.1. Peraturan Pelaksana

Produk hukum pertama yang dikeluarkan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan berkaitan dengan implementasi UU KIP adalah Keputusan

Menteri Nomor 094/P/2010 Tentang Pejabat Pengelola Informasi dan

Dokumentasi di Lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Menyusul

Keputusan ini, PPID Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibentuk pada

6 September 2010.

Setelah itu, muncul Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Nomor 50 Tahun 2011 tentang Layanan Informasi Publik di Lingkungan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.40 Peraturan ini mengatur bentuk

organisasi PPID, kategori informasi, tata cara pengelolaan informasi publik,

penyelesaian sengketa Informasi, pelaporan informasi dan pembiayaan

pengelolaan informasi.

Aturan ini membagi informasi publik di lingkup Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan dalam dua kategori, informasi terbuka dan informasi

dikecualikan. Informasi terbuka terdiri atas: informasi yang wajib disediakan

dan diumumkan secara berkala, Informasi yang wajib diumumkan secara

serta merta, dan Informasi yang wajib tersedia setiap saat.41

40

Peraturan ini juga sebagai standar operasional prosedur sebagaimana diwajibkan oleh peraturan

Komisi Informasi Nomor 01 Tahun 2010. 41

Pasal 12 Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

56

Tabel 3.1.

Kategorisasi Informasi di Kementerian Pendidikan Kebudayaan

No Kategorisasi Jenis Informasi

1. Informasi yang

wajib disediakan

dan diumumkan

secara berkala

• Informasi tentang profil Kementerian, perguruan tinggi

negeri, koordinasi perguruan tinggi swasta, atau unit

pelaksana teknis

• Ringkasan informasi tentang program dan/atau kegiatan

yang sedang dijalankan dalam lingkup PPID

• Ringkasan informasi tentang kinerja dalam lingkup

Kementerian berupa narasi tentang realisasi kegiatan

yang telah maupun sedang dijalankan beserta

capaiannya.

• Ringkasan laporan keuangan

• Ringkasan laporan akses informasi publik

• Informasi tentang peraturan, keputusan, dan/atau

kebijakan yang mengikat dan/atau berdampak bagi

publik di lingkungan PPID masing-masing

• Informasi tentang hak dan tata cara memperoleh

informasi publik, serta tata cara pengajuan keberatan

serta proses penyelesaian sengketa informasi publik

berikut pihak-pihak yang bertanggungjawab yang dapat

dihubungi

• Informasi tentang tata cara pengaduan penyalahgunaan

wewenang atau pelanggaran yang dilakukan baik oleh

pejabat yang mencakup tugas dan wewenang PPID yang

bersangkutan maupun pihak yang mendapatkan izin atau

perjanjian kerja dari unit kerja di lingkungan PPID yang

bersangkutan

• Informasi tentang pengumuman pengadaan barang dan

jasa sesuai dengan peraturan perundang-undangan

• Informasi tentang prosedur peringatan dini dan prosedur

evakuasi keadaan darurat pada unit kerja di lingkungan

PPID yang bersangkutan.

57

2. Informasi publik

yang wajib

diumumkan secara

serta merta

Informasi publik yang wajib diumumkan secara serta

merta meliputi informasi yang dapat mengancam hajat

hidup orang banyak dan ketertiban umum sebagai akibat

seperti bencana alam, bencana non-alam, bencana sosial,

penyebaran penyakit, racun pada bahan makanan,

gangguan terhadap utilitas publik. Informasi ini

diumumkan melalui laman PPID yang bersangkutan dan

media elektronik

3. Informasi yang

wajib tersedia

setiap saat

• Seluruh informasi lengkap yang wajib disediakan dan

diumumkan secara berkala sebagaimana dimaksud

dalam Pasal 13.

• Surat-surat perjanjian dengan pihak ketiga berikut

dokumen pendukungnya

• Surat menyurat pimpinan atau pejabat di lingkungan

PPID yang bersangkutan dalam rangka pelaksanaan

tugas pokok dan fungsinya

• Syarat-syarat perizinan, izin yang diterbitkan dan/atau

dikeluarkan berikut dokumen pendukungnya, dan

laporan penataan izin yang diberikan

• Data perbendaharaan dan inventaris

• Rencana strategis dan rencana kerja Kementerian

• Agenda kerja pimpinan satuan kerja

• Informasi mengenai kegiatan pelayanan informasi

publik yang dilaksanakan, sarana dan prasarana layanan

informasi publik yang dimiliki beserta kondisinya,

sumberdaya manusia yang menangani layanan

informasi publik beserta kualifikasinya, anggaran

layanan informasi publik serta laporan penggunaanya

58

4. Informasi yang

dikecualikan

1.Informasi yang berkaitan dengan rahasia jabatan

2.Informasi yang dapat mengungkapkan isi akta otentik

yang bersifaf pribadi dan kemauan terakhir ataupun

wasiat seseorang

3.Informasi yang dapat mengungkapkan rahasia pribadi,

memorandum atau surat-surat badan publik atau intra

badan publik yang menurut sifatnya dirahasiakan

4.Informasi yang tidak boleh diungkap berdasarkan

peraturan perundang-undangan

5.Informasi yang diminta belum dikuasai atau

didokumentasi

6.Informasi yang bersifat rahasia yang digunakan untuk

mengetahui penilaian prestasi peserta didik, dan soal

ujian dalam penyaringan penerimaan pegawai negeri

sipil

7.Informasi yang ditentukan kemudian oleh PPID

Kementerian atas persetujuan atasan PPID

Kementerian

8.Informasi yang ditentukan kemudian oleh PPID

perguruan tinggi negeri, PPID koordinasi perguruan

tinggi swasta, dan PPID unit pelaksana teknis atas

persetujuan atasan PPID yang bersangkutan.

Dalam hal pelayanan informasi, peraturan ini memberikan peluang bagi

pemohon informasi untuk mengajukan keberatan. Alasan hukum yang dapat

dijadikan dasar pengajuan keberatan ini adalah: penolakan PPID atas

permohonan informasi, tidak tersedianya informasi secara berkala oleh PPID,

permohonan informasi tidak ditanggapi oleh PPID, pemohon informasi dimintai

pengganti biaya salinan dokumen yang tidak wajar, dan jangka waktu

pelayanan informasi publik melebihi batas waktu yang ditentukan oleh UU

KIP.42

42

Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

59

3.1.2. Temuan dan Analisis

Meski peraturan ini sudah mengatur mengenai kategorisasi informasi

publik, dalam kenyataannya hingga akhir tahun 2011 belum tersusun

kategorisasi informasi publik sebagaimana diminta oleh UU KIP dan Peraturan

ini.43 Fenomena ini membenarkan pendapat pegawai gerai informasi bahwa

UU KIP belum secara merata dipahami oleh aparatur Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan, walaupun upaya sosialisasi sudah sering dilakukan.44

Adapun dalam hal informasi publik yang wajib diumumkan secara serta

merta, peraturan ini tidak specifik. Dia hanya memberikan batasan atau

definisi tanpa rincian yang bisa menjadi pedoman bagi PPID untuk bekerja.

Perhatian khusus barangkali perlu diberikan pada bagian yang

mengatur soal informasi yang dikecualikan. Selain belum menggunakan

batas-batas yang spesifik sesuai dengan ruang lingkup Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, peraturan ini memberikan kewenangan

sukbyektif kepada PPID, dengan persetujuan atasan PPID, untuk menentukan

informasi yang ingin dikecualikan, yang belum diatur oleh UU KIP.45

Menurut kami, pemberian kewenangan subyektif tanpa batas-batas

yang jelas ini berpotensi disalahgunakan oleh pejabat PPID maupun oleh

institusi dalam lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, yang tidak

punya komitmen terhadap keterbukaan informasi. Bahkan, Pasal 18 Peraturan

Menteri Nomor 50 tahun 2011 ini menyiratkan keengganan Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan untuk diawasi dan dinilai oleh publik. Pasal ini

menyebutkan bahwa informasi yang akan menjalani uji konsekuensi dan

dikecualikan adalah informasi yang apabila dibuka berpotensi mengganggu

citra Kementerian, kinerja Kementerian, dan mengganggu ketertiban umum.

Norma ini adalah cerminan dari sikap sebagian besar aparatur birokrasi di

Indonesia yang tidak ingin citranya jatuh meski kinerjanya buruk. Penggunaan

43

Wawancara dengan Srie Indriyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada

tanggal 16 Mei 2012 44

Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

pada tanggal 27 Juni 2011 45

Pasal Pasal 12 ayat 3 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

60

citra sebagai ukuran, yang tentu saja relatif, dibanding kepentingan publik bisa

dianggap sebagai pengingkaran terhadap kedaulatan publik itu sendiri.

Hal positif dari aturan ini adalah jaminan terhadap hak publik atas

informasi publik. Artinya, publik diberikan kewenangan untuk mengajukan

keberatan kepada atasan PPID jika ada yang kurang beres dalam pelayanan

informasi publik yang diterima.46

3.2. Keberadaan PPID

3.2.1. Kondisi Obyektif

Di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, PPID sudah terbentuk

sejak tanggal 6 September 2010. Keberadaan PPID ini didasarkan pada

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

094/P/2010 Tentang Pejabat Pengelola Informasi dan Dokumentasi di

Lingkungan Kementerian Pendidikan Nasional. Mengaku kepada Keputusan

Menteri ini, organisasi PPID di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

masih sederhana. Struktur PPID hanya terdiri dari Pusat Informasi dan

Hubungan Masyarakat. Selain struktur, Keputusan Menteri ini juga

menguraikan tugas-tugas PPID. Pejabat PPID bertanggungjawab kepada

Menteri Pendidikan Nasional yang sekarang sudah berganti menjadi Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan.

Ada tiga tugas pokok PPID di Lingkungan Kementerian Pendidikan

Nasional menurut keputusan ini. Pertama, mengkoordinasikan penyimpanan,

pendokumentasian, penyediaan, dan pelayanan informasi publik yang

dihasilkan, disimpan, dikelola, dikirim, dan/atau diterima oleh Kementerian

Pendidikan Nasional sesuai dengan Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008

tentang Keterbukaan Informasi Publik. Kedua, menyiapkan sistem, prosedur,

dan sumber daya yang diperlukan untuk melaksanakan tugasnya. Ketiga,

melaporkan pekerjaannya kepada Menteri Pendidikan Nasional.

46

Pasal 22 ayat (1) Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

61

Keputusan Menteri Pendidikan Nasional Republik Indonesia Nomor

094/P/2010 hingga saat ini masih berlaku dan belum pernah dicabut walaupun

nama Kementerian Pendidikan Nasional sudah berubah menjadi Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan.47

Belakangan struktur PPID ini dikembangkan dan disempurnakan sesuai

dengan kebutuhan objektif di lingkungan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Kebutuhan objektif ini meliputi adanya potensi pengajuan

keberatan dari pemohon informasi publik, adanya sengketa informasi dari

pemohon informasi publik, dan adanya permintaan informasi publik dari

masyarakat terhadap unit-unit pelaksana teknis dan jajaran instansi di dalam

ruang lingkup Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Alasan-alasan obyektif inilah yang menjadi dasar perombakan,

pengembangan, dan penyempurnaan struktur PPID di Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. PPID tidak lagi hanya terdiri dari PPID

Kementerian yang menunjuk Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat,

tetapi ada struktur tambahan lain yaitu PPID Perguruan Tinggi, PPID

Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta, PPID Unit Pelaksana Teknis, Atasan

PPID, dan Tim Pertimbangan Pelayanan Informasi. Perombakan,

penambahan dan penyempurnaan struktur PPID ini diatur di dalam Peraturan

Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Layanan

Informasi Publik di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Di dalam peraturan ini, PPID Kementerian masih dijabat oleh Kepala

Pusat Informasi dan Humas yang ditetapkan oleh Menteri. PPID perguruan

tinggi negeri dijabat oleh Pejabat yang ditunjuk pemimpin perguruan tinggi

negeri yang ditetapkan oleh Rektor/Ketua/Direktur perguruan tinggi negeri.

PPID Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta dijabat oleh pejabat yang ditunjuk

dan ditetapkan oleh koordinator koordinasi perguruan tinggi swasta. PPID unit

47

Perubahan ini diatur di Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 48

tahun 2011 Tentang Perubahan Penggunaan Nama Kementerian Pendidikan Nasional Menjadi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

62

pelaksana teknis dijabat oleh pejabat yang ditunjuk dan ditetapkan oleh

pemimpin unit pelaksana teknis.48

Tabel 3.2.

Struktur Penetapan Pejabat PPID

PPID Dijabat Oleh Ditetapkan Oleh Atasan PPID

Kementerian Kepala PIH Menteri Sekretaris Jenderal

Perguruan Tinggi

Negeri

Pejabat yang ditunjuk

oleh Pemimpin PTN

Rektor/Ketua/

Direktur

Rektor/Ketua/

Direktur

Kopertis Pejabat yang ditunjuk

oleh Koordinator

Kopertis

Koordinator

Kopertis

Koordinator Kopertis

UPT Pejabat yang ditunjuk

oleh Pemimpin UPT

Pemimpin UPT Pemimpin UPT

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Tugas dan tanggungjawab PPID Kementerian adalah sebagai berikut;

6. Mengkoordinasikan pengelolaan informasi publik di lingkungan

Kementerian

7. Melakukan uji konsekuensi terhadap informasi yang akan dikecualikan

8. Menyediakan, mengumumkan, memberikan layanan informasi publik

yang bersifat terbuka

9. Menyelesaikan sengketa informasi publik.49

Tugas dan tanggungjawab PPID perguruan tinggi negeri, PPID koordinasi

perguruan tinggi swasta, dan PPID unit pelaksana teknis bertugas dan

bertanggung jawab adalah:

5. Mengkoordinasikan pengelolaan informasi publik di lingkungan

masingmasing

6. Melakukan uji konsekuensi terhadap informasi yang akan dikecualikan

7. Menyediakan, mengumumkan, memberikan layanan informasi publik

8. Yang bersifat terbuka

9. Menyelesaikan sengketa informasi publik.50 48

Pasal 3 ayat (2), (3), (4), (5) Juncto pasal 4 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50

Tahun 2011 49

Pasal 9 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

63

Dalam melaksanaan kewenangan dan tugasnya, semua PPID di

lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dibantu oleh pejabat

fungsional pengelola informasi dan dokumentasi. Pejabat fungsional ini

diangkat oleh pejabat PPID. Selain itu, PPID dibantu oleh Tim Pertimbangan

Pelayanan Informasi. Tim ini bertugas memberikan pertimbangan kepada

atasan PPID dalam proses penyelesaian sengketa yang diajukan oleh

pemohon informasi kepada atasan PPID.

Meski demikian, hingga penelitian ini selesai dibuat, struktur dan

organisasi PPID di Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan belum

disesuaikan dengan Keputusan Menteri yang terbaru, dan masih

menggunakan nama Pusat Informasi dan Hubungan Masyarakat.

50

Pasal 10 Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

64

Diagram 3.1.

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Sumber: Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3.2.2. Temuan dan Analisis

Sampai akhir tahun 2011 PPID Perguruan Tinggi Negeri, PPID

Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta, dan PPID Unit pelaksana Teknis di

lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum terbentuk.51 Ini

dapat dipahami mengingat Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan

Republik Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 Tentang Layanan Informasi Publik

di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan baru terbit pada

tanggal 30 November 2011.

Sepanjang tahun 2010 hingga 2011 PPID yang ada hanya PPID

Kementerian yang bernama Pusat Informasi dan Humas. Keterlambatan

pembentukan PPID di seluruh Perguruan Tinggi seluruh Indonesia, PPID

51

Wawancara dengan Srie Indriyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada

tanggal 16 Mei 2012

PUSAT INFORMASI DAN

HUBUNGAN MASYARAKAT

BIDANG

PENCITRAAN

SUBBAGIAN

RUMAH TANGGA

SUBBAGIANTATALAKSANA DAN

KEPEGAWAIANSUBBAGIAN KEUANGAN

BIDANG

INFORMASI

BIDANG

PENGEMBANGAN KEMITRAAN

SUBBIDANG

PERPUSTAKAAN

SUBBIDANG ARSIP DAN

DOKUMENTASI

SUBBIDANG

INTEGRASI

I NFORMASI

SUBBIDANG

KEM ITRAAN

M EDIA

SUBBIDANG

KEM ITRAAN

LEMBAGA

NEGARA

SU BBID ANG

PE NG ELO LAA N

AS PIRA SI

M AS YAR AK AT

SUBBIDANG

PENG ELOLAAN

KONTEN

MEDIA

SUBBIDANG

PUBLIKASI

SUBBIDANG

KEMITRAAN

LEM BAGA

MASYARAKAT

BAGIAN TATA USAHA

KELOMPOKJABATAN

FUNGSIONAL

BAGAN ORGANISASI PUSAT INFORMASI DAN HUBUNGAN MASYARAKAT

65

Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta seluruh Indonesia, dan PPID Unit

Pelaksana Teknis merupakan pelanggaran terhadap ketentuan PP 61 tahun

2010.

Di dalam PP tersebut disebutkan bahwa PPID sudah harus dibentuk

paling lambat tanggal 23 Agustus 2011. Keterlambatan dapat disebabkan

karena penguasaan pejabat publik mengenai UU KIP lemah. Ini dihubungkan

dengan frekuensi sosialisasi UU KIP yang sedikit ke instansi-instansi di

lingkungan Kementerian dan Kebudayaan. Sampai akhir tahun 2011

sosialisasi baru dilakukan di 10 provinsi di Indonesia. Persebarannya sebagai

berikut; Yogyakarta, Semarang, Riau, Makassar, Surabaya, Palembang,

Bandung, Lampung, Gorontalo, dan Banten.52 Sayangnya, sosialisasi di

masing-masing provinsi ini diselenggarakan hanya satu kali kegiatan.

Akibat belum rampungnya struktur dan organisasi PPID, pelayanan

informasi publik di kementerian ini terhambat. Hal ini antara lain dapat dilihat

dari minimnya jumlah permohonan informasi yang masuk pada periode Juli

2010 hingga Juni 2011, yakni cuma 124 permohonan informasi.

3.3. Pelayanan Informasi Publik

3.3.1. Kondisi Obyektif

Permohonan informasi yang masuk ke Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan dari bulan Juli tahun 2010 hingga bulan Juni tahun 2011

sebanyak 124 permohonan, berasal dari 81 pemohon. Dari 124 permohonan

itu sebanyak 122 permohonan bisa dipenuhi, sisanya tidak dapat dipenuhi dan

menjadi sengketa informasi.

52

Wawancara dengan Srie Indiyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada

tanggal 16 Mei 2012

66

Diagram 3.2.

Kategori Pemohon Informasi

Sumber: Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Dilihat dari kategori pemohon informasi, informasi publik di

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan ternyata lebih dibutuhkan atau

diminati oleh perorangan. Sedangkan badan hukum yang mengajukan

permohonan informasi kebanyakan merupakan instansi pemerintah atau

negara, sebagaimana ditunjukkan oleh diagram berikut:

Diagram 3.3.

Kategori Organisasi Asal Pemohon Informasi

Sumber: Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

67

Variasi yang lebih luas tampak pada jenis informasi yang diminta.

Setidaknya, 124 informasi publik yang dipinta oleh 81 pemohon bisa

dikategorikan dalam 14 jenis kelompok informasi yang berbeda. Yang paling

banyak diminta adalah informasi yang berkaitan dengan data statistik/data

base (22 permohonan informasi atau 17,7 %). Adapun informasi yang paling

sedikit diminta adalah data kelulusan dan harta kekayaan aparatur (2

permohonan informasi atau 1.6 %).

Diagram 3.4.

Kategori Jenis Informasi yang Diminta

Sumber: Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3.3.2. Temuan dan Analisis

Dalam hal pelayanan informasi publik, kinerja Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan tergolong baik. Prestasi ini tergambar pada prosentase

terpenuhinya permintaan informasi publik dari masyarakat.53 Dari 124

53

Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

pada tanggal 27 Juni 2011

68

permohonan informasi yang masuk, 122 (98,5 %) diantaranya dapat dilayani

dengan baik, dan hanya dua yang diselesaikan melalui ajudikasi.

Capaian prestasi ini tidak terlepas dari peran petugas di gerai informasi.

Penguasaan mereka terhadap UU KIP dan prosedur pelayanan informasi

publik cukup baik. Mereka mampu menjelaskan prosedur pelayanan informasi

publik.54 Mereka juga memahami berbagai konsekuensi hukum yang akan

muncul jika permintaan informasi publik tidak dipenuhi.55 Dalam konteks ini,

UU KIP cukup efektif mendorong perilaku aparatur menjadi pelayan publik

yang baik.

Meski demikian, karena setiap pemberian informasi publik di

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan harus melalui telaah dan izin

pejabat PPID, petugas di gerai informasi tidak bisa memproses setiap

permohonan informasi publik dengan cepat dan mudah.

3.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi Publik

3.4.1. Kondisi Obyektif

Terdapat empat infratrusktur pelayanan informasi publik di Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan. Infrastruktur tersebut adalah: Gerai Informasi,

layanan informasi tidak tatap muka, laman Kementerian di internet, dan

perpustakaan.

Gerai informasi disediakan bagi anggota masyarakat yang datang ke

kantor Kementerian Kesehatan untuk meminta informasi atau pun meminta

penjelasan atas sesuatu hal yang tidak dipahami. Gerai ini berlokasi di lobi

Kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Gerai ini ruangannya

tertata rapi. Petugas yang melayani cukup ramah. Di dalamnya terdapat meja

informasi, sofa untuk tamu, majalah, koran, serta berbagai terbitan

Kementerian yang tertata dengan baik.

54

Erna, pegawai yang bertugas di Gerai Informasi, cukup fasih menjelaskan pasal-pasal yang terdapat

di UU KIP, yang berkaitan dengan kewajiban badan publik dalam pelayanan informasi publik.

Wawancara pada tanggal 27 Juni 2011. Dina Amelia, pegawai di Gerai Informasi Kementerian

Pendidikan dan Kebudayaan, juga cukup fasih menjelaskan prosedur pelayanan informasi publik

berdasarkan UU KIP. Wawancara pada tanggal 27 Juni 2011 55

Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

pada tanggal 27 Juni 2011

69

Setiap pemohon informasi yang datang ke gerai akan ditanyai petugas

maksud dan tujuan kedatangannya. Setelah keperluannya jelas, pemohon

akan disodori formulir untuk diisi. Formulir berisi kolom identitas pemohon dan

kolom mengenai uraian informasi yang dibutuhkan. Jika informasi yang dipinta

datanya tersedia di meja petugas dan di folder komputer petugas, maka

informasi yang dipinta akan diberikan saat itu juga. Namun jika informasi yang

diminta ada di unit-unit utama maka petugas akan berkoordinasi dengan unit-

unit utama dan pemohon diminta menunggu jawaban dari Kementerian sesuai

dengan batas waktu yang ditetapkan UU KIP. Pemohon yang memerlukan

penjelasan berkaitan dengan kebijakan tidak dilayani oleh petugas, tapi

dipertemukan dengan Kepala Sub Bidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat,

yang saat ini dijabat oleh Srie Indriyani. Secara umum pelayanan informasi di

Gerai sudah sesuai dengan standar UU KIP dan Peraturan Komisi Informasi

Nomor 01 Tahun 2010.

Gambar 3.2.

Petugas Sedang Melayani Permohonan Informasi

70

Gambar 3.3.

Meja Informasi dan petugas Informasi di Gerai Informasi

Gambar 3.4.

Ruangan untuk para pemohon informasi

71

Gambar 3.5.

Rak majalah dan brosur terbitan Kemendikbud

Infrastruktur lain yang sudah dibangun oleh Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan adalah layanan informasi tidak tatap muka. Fasilitas ini untuk

memberikan pelayanan informasi bagi anggota masyarakat melalui telpon,

faksimili, Short Message Service, surat elektronik (email), dan surat.

Permintaan informasi melalui telpon ditujukan ke nomor call centre 177 dan

nomor (021) 5703303, faksimili (021) 5733125, Short Message Service

0811976929, surat elektronik (email) [email protected], dan surat

ditujukan ke kantor Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.56

Masyarakat juga dapat mengakses informasi publik melalui laman

internet www.kemendiknas.go.id. Di dalamnya ada informasi mengenai

Bantuan Operasional Sekolah, beasiswa Bidikmisi, beasiswa unggulan,

hingga portal berisi layanan buku sekolah elektronik. Situs ini dibuat untuk

menjadi salah satu bentuk pelayanan informasi publik yang mudah diakses

oleh masyarakat.

56

Wawancara dengan Srie Indriyani, Kepala Subbidang Pengelolaan Aspirasi Masyarakat, pada

tanggal 16 Mei 2012

72

Gambar 3.6.

Tampilan Website Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan

Sumber: http://www.kemdiknas.go.id

Infrastruktur lainnya adalah perpustakaan. Infrastruktur ini dibangun

oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memenuhi kebutuhan

anggota masyarakat akan informasi lebih mendalam. Koleksi buku di

perpustakaan ini tertata rapih, umumnya buku-buku yang diterbitkan oleh

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Perpustakaan ini berada di dalam

gerai informasi.

73

Gambar 3.7.

Perpustakaan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

3.4.2. Temuan dan Analisis

Pelayanan informasi publik di Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan tidak bisa berlangsung cepat dan mudah karena belum

terbangun sistem informasi terpusat yang menyediakan data seluruh unit-unit

utama. Hampir setiap waktu petugas informasi harus berkoordinasi dengan

unit-unit utama karena tidak semua informasi yang diminta publik tersedia

dalam data base yang bisa mereka akses seketika.

Kami juga menemukan bahwa laman milik Kementerian Pendidikan

dan Kebudayaan ternyata dikelola oleh pihak luar, yakni outsourcing. Petugas

dari Kementerian hanya membantu secara teknis. 57 Ini disayangkan karena

dari sisi pendanaan merupakan penghamburan uang negara, dan

memperlihatkan bahwa terdapat kekurangan sumber daya manusia yang ahli

57

Wawancara dengan Erna, Pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan,

pada tanggal 27 Juni 2011

74

di bidang penyediaan informasi melalui media on-line di Kementerian ini.58

Seharusnya laman ini dikelola sendiri oleh pegawai Kementerian.

3.5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Capaian Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan dalam

implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya belum maksimal, meski

keempat indikator sudah dipenuhi. Keterlambatan dalam penyesuaian struktur

dan organisasi PPID dengan aturan Menteri yang terbaru menunjukkan

ketidakseriusan Kementerian dalam hal pelayanan informasi publik. Ada

kesan PPID hanya ditempelkan pada struktur kehumasan yang sudah ada

untuk mempelihatkan bahwa secara prosedural Kementerian telah

melaksanakan UU KIP. Kesimpulkan ini dikuatkan oleh kenyataan bahwa

selama periode 2010 – 2011, Kementerian sama sekali tidak mengalokasikan

dana untuk kepentingan pelayanan informasi publik.

Setidaknya ada enam hal yang menurut kami perlu segera dilakukan

oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan untuk memperbaiki kualitas

pelayanan informasi publiknya.

1) Merampungkan kategorisasi informasi sebagaimana disyaratkan UU

KIP dan peraturan pelaksananya.

2) Membentuk PPID Perguruan Tinggi di seluruh Perguruan Tinggi se-

Indonesia, PPID Koordinasi Perguruan Tinggi Swasta se-Indonesia,

dan PPID Unit Pelaksana Teknis.

3) Mempercayakan pengelolaan laman Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan kepada pegawai sendiri dan bukan pihak luar.

4) Menambah dan memperdalam pengetahuan aparatur di lingkungan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan tentang UU KIP dan

peraturan pelaksananya.

5) Membangun sistem informasi yang terpusat.

58

Wawancara dengan Jusman Sihombing, Subbidang Pengelolaan Konten Media, pada tanggal 12

Agustus 2011

75

6) Merevisi Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik

Indonesia Nomor 50 Tahun 2011 tentang Layanan Informasi Publik

di Lingkungan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Khusus mengenai revisi Peraturan Menteri, ada dua hal yang kami

anggap penting. Pertama, memasukkan batasan-batasan informasi yang

dikecualikan berdasarkan ruang lingkup Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Hal ini ditujukan untuk memperjelas kategori informasi sehingga

menghindari kebingungan dari pejabat PPID maupun pemohon informasi

publik. Kedua, merevisi pasal yang membolehkan pengecualian informasi

tanpa uji konsekuensi sebagaimana yang diatur dalam UU KIP. Adapun tujuan

dari revisi tersebut untuk mencegah potensi penyalahgunaan pembatasan

informasi publik oleh pejabat PPID. Di lain sisi, revisi ini diperlukan untuk

menjamin komitmen Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan dalam

keterbukaan informasi.

76

Bab IV

Capaian Pemerintah Kota Jakarta Selatan

Dari empat ukuran yang dipakai untuk memotret capaian implementasi

UU KIP dan peraturan pelaksanaannya -- yakni produk hukum, keberadaan

PPID, pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan

informasi -- hanya dua yang menurut Tim Peneliti dipenuhi oleh Pemerintah

Kota Jakarta Selatan. Dua ukuran yang sudah terpenuhi itu adalah

pembentukan PPID dan infrastuktur. Itu pun dengan sejumlah kekurangan di

sana-sini. Padahal, sebagai badan publik, Pemerintah Kota Jakarta Selatan

wajib menerapkan UU KIP dan peraturan pelaksananya.

Semenjak UU KIP resmi diberlakukan pada April 2010 Pemerintah Kota

Jakarta selatan yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Daerah

Khusus Ibukota Jakarta telah melakukan dua kali program sosialisasi.

Sosialisasi pertama menghadirkan redaktur salah satu surat kabar harian dan

Wakil Ketua Komisi Informasi Pusat Henny S. Widyaningsih, dengan materi

utama penyusunan kategorisasi informasi sebagaimana diwajibkan UU KIP.

Sosialisasi kedua diselenggarakan secara internal dengan fokus memberikan

pemahaman kepada pejabat Pemerintah Kota Jakarta Selatan mengenai

prosedur pelayanan informasi.

PPID dan infrastruktur pelayanan informasi publik di Kota Jakarta

Selatan dibentuk pada 2011. Seharusnya, sejak itu pelayanan informasi publik

di Kota Jakarta Selatan mulai bergulir.59 Berdasarkan keterangan Anita

Indrawati, hal ini belum dilakukan. Di Jakarta Selatan juga belum tersedia

anggaran untuk penyebarluasan dan pelayanan informasi publik. Anita

Indrawati menjelaskan, sampai dengan tahun 2012, Unit-Unit/SKPD di

59

Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8

Agustus 2011.

77

lingkungan Kantor Kota Administrasi Jakarta Selatan termasuk suku dinas

komunikasi, informatika dan kehumasan Kota Administrasi Jakarta Selatan

belum mengalokasikan anggaran untuk implementasi UU KIP. Di

Pemerintahan Jakarta Selatan Juga belum terbangun sistem informasi yang

terpusat. 60 Berikut paparan lengkap temuan Tim Peneliti di Kota Jakarta

Selatan.

4.1. Produk Hukum

Hingga penelitian ini berakhir, kami tidak menemukan adanya produk

hukum yang berkaitan dengan operasionalisasi UU KIP di lingkup

Pemerintahan Kota Jakarta Selantan. Satu-satunya produk hukum yang

digunakan sebagai dasar pelayanan informasi publik di Kota ini adalah Surat

Keputusan Gubernur DKI Jakarta (yang belum diketahui detailnya) yang

menjadi dasar pembentukan PPID di Pemerintahan Kota. Padahal

sebagaimana yang terjadi di beberapa instansi publik lain, disamping untuk

membentuk PPID produk hukum internal sangat dibutuhkan sebagai acuan

kategorisasi informasi publik sebagaimana diminta oleh UU KIP. Selain itu,

Pemerintah Kota Jakarta Selatan juga belum memiliki standar operasional

prosedur pelayanan informasi publik. Tapi pejabat humas Pemerintah Kota

Jakarta Selatan menuturkan, kategorisasi informasi dan standar operasional

prosedur baru bisa mereka rampungkan jika sudah ada peraturan Pemerintah

Provinsi DKI Jakarta tentang Standar Layanan Informasi publik.61

4.2. Keberadaan PPID

PPID di Pemerintah Kota Jakarta Selatan sudah terbentuk pada tahun

2011 dengan dasar Surat Keputusan Gubernur DKI Jakarta (tim peneliti tidak

bisa menjelaskan secara detail tentang PPID, karena tim peneliti tidak

memiliki SK PPID). Pejabat PPID dipegang oleh Kepala Bagian Umum dan

Protokol Pemerintah Kota Jakarta Selatan. Tapi yang sudah terbentuk hanya

60 Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Walikota Jakarta Selatan pada tanggal 14

Juni 2012 61

Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8

Agustus 2011

78

PPID di kantor walikota, sementara PPID di tingkat kecamatan dan kelurahan

belum terbentuk. Padahal, bagi pemerintahan kota/kabupaten, di mana

pelayanan publik lebih banyak dilakukan di kantor-kantor kecamatan dan

keluarahan, urgensi PPID di tingkat kecamatan dan kelurahan tak

terbantahkan. Dengan kehadiran PPID di kantor kecamatan atau kelurahan,

warga kota bisa lebih mudah dan cepat dalam mengakses informasi publik

yang mereka butuhkan.

4.3. Pelayanan Informasi Publik

4.3.1. Kondisi Obyektif

Dalam hal pelayanan informasi publik, pemerintah Kota Jakarta Selatan

termasuk pemerintahan dengan pelayanan informasi yang buruk. Ini berdasar

temuan Ketua Dewan Kota Jakarta Selatan Firdaus Turmudzi.62 Dia

mencontohkan, dalam sebuah pertemuan yang melibatkan ketua RT dan RW

di daerah Gandaria Utara, terungkap bahwa informasi mengenai program-

program yang sudah dilaksanakan Pemerintah Kota Jakarta Selatan belum

tersampaikan ke semua Rukun Tetangga dan Rukun Warga tersebut. Bahkan

menurut Firdaus, informasi-informasi publik yang sifatnya mendasar, di Kota

ini, belum sepenuhnya tersebar luas ke seluruh warga. Semisal informasi

tentang Kartu Tanda Penduduk dan Informasi mengenai Kartu Keluarga.63

Informasi publik di Jakarta Selatan masih menjadi barang mewah,

karena hanya bisa diakses oleh kelas menengah yang sadar teknologi,

misalnya melalui internet. (Tim peneliti tidak bisa menggambarkan secara

lengkap jumlah pengajuan informasi, penanganan informasi, dan sengketa

informasi. Data tidak tersedia. Tim peneliti juga tidak bisa menceritakan

tentang peraturan-peraturan yang menjadi dasar hukum pelayanan informasi,

karena data tidak tersedia.)

62

Wawancara dengan Firdaus Turmudzi, Ketua Dewan Kota Jakarta Selatan pada tanggal 28 Mei

2012. 63

Wawancara dengan Firdaus Turmudzi, Ketua Dewan Kota Jakarta Selatan pada tanggal 28 Mei 2012

79

4.3.2. Temuan dan Analisis

Tidak adanya peraturan yang menjadi dasar bagi pelayanan informasi

publik di lingkup Pemerintahan Kota Jakarta Selatan, ditengarai sebagai

pangkal semua ketidakberesan dalam pelayanan informasi publik di Kota

Jakarta Selatan. UU KIP misalnya mengamanatkan adanya informasi yang

“wajib disediakan dan diumumkan secara berkala”. Di lembaga publik lain,

masuk kategori ini adalah informasi mengenai berapa jumlah permohonan

informasi yang diajukan publik dan bagaimana mekanisme pelayanan dan

penangannya. Namun, bahkan untuk penelitian ini, kami kesulitan

menemukan data yang sistematis dan valid menyangkut jumlah dan

mekanisme pelayanan informasi publik di sana.

Lantaran ketiadaan petunjuk teknis ini, terutama soal kategorisasi

informasi, bisa mengerti kalau banyak aparatur Pemerintah Kota Jakarta

Selatan seolah tidak siap memberikan pelayanan informasi publik sesuai

yang ditetapkan oleh UU KIP. Kami juga menemukan ada sebagian aparatur

yang tampak enggan mengimplementasikan UU KIP dan masih

mempersoalkan apakah semua informasi harus terbuka.64 Para aparatur ini

belum memahami bahwa informasi publik adalah hak konstitusional warga

negara.

Buruknya pelayanan informasi ini karena pemerintah Kota Selatan tidak

memiliki political will yang baik. Ini tergambar dari tidak adanya anggaran,

tidak adanya program pengembangan sumber daya manusia, dan masih

banyaknya aparatur yang kurang setuju dengan keterbukaan informasi. Ini

tergambar dari belum diikutinya batasan hari yang ditetapkan UU KIP dalam

pelayanan informasi.65

64

Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8

Agustus 2011 65

Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Walikota Jakarta Selatan pada tanggal 14

Juni 2012

80

4.4. Infrastruktur Pelayanan Informasi

4.4.1. Kondisi Obyektif

Infrastruktur pelayanan informasi yang sudah dibangun oleh

Pemerintah Kota Jakarta adalah alat informasi mengunakan komputer layar

sentuh yang terdapat di kantor humas pemerintah kota Jakarta Selatan, dan

laman internet. Informasi yang tersaji dan disediakan komputer layar sentuh

ini adalah informasi tentang profil dan program dari satuan kerja perangkat

daerah di lingkungan pemerintahan Kota Jakarta Selatan.

Situs www.selatan.jakarta.go.id juga dikelola sebagai salah satu upaya

pelayanan informasi publik. Laman memiliki beberapa halaman informasi

antara lain: home, profil wilayah pemerintahan, statistik, pariwisata, agenda

walikota, pelayanan, dan kotak saran. Pada link profil wilayah tersedia

informasi mengenai geografi, demografi, kecamatan dan kelurahan, serta

potensi kota. Sementara jika kita masuk ke saluran statistik, tersedia informasi

mengenai statistik pemerintahan dan ketertiban, penduduk dan

ketenagakerjaan, sosial, perdagangan dan pariwisata. Di saluran pariwisata

tersedia informasi mengenai tempat wisata, budaya betawi, hotel, tempat

belanja dan restoran. Jadwal kegiatan Walikota Jakarta Selatan dapat dilihat

pada link agenda walikota, sedangkan di saluran pelayanan tersedia informasi

mengenai pelayanan UPT dan pelayanan Samsat. Pengaduan, masuka dan

saran perbaikan bagi penyelenggaraan pemerintah Kota dapat diberikan

melalui kanal kotak saran. (Tim Peneliti tidak bisa menceritakan secara

lengkap mekanisme operasional infrastuktur dan SDM yang menopangnya,

karena data tidak tersedia) Di pemerintahan Kota Jakarta Selatan juga belum

terbangun sistem informasi terpusat.

4.4.2. Temuan dan Analisis

Meski memiliki laman internet sendiri, Pemerintah Kota Jakarta Selatan

ternyata belum memuat informasi yang wajib disediakan dan diumumkan

secara berkala sebagaimana diatur dalam UU KIP. Laman ini hanya berisi

informasi-informasi umum tentang Pemerintahan Kota dan keadaan Kota

Jakarta Selatan. Contoh, di laman ini hanya ada agenda walikota, padahal UU

81

KIP meminta badan publik secara berkala mengumumkan informasi mengenai

kegiatan dan kinerjanya. Di laman ini juga tidak disediakan penjelasan kinerja

dan laporan keuangan yang sudah digunakan oleh pemerintahan kota Jakarta

Selatan.66

4.5. Kesimpulan dan Rekomendasi

Tim Peneliti berpendapat, Pemerintah Kota Jakarta Selatan belum

berhasil mengimplementasikan UU KIP dan peraturan pelaksananya secara

baik. Dari empat indikator yang kami pakai sebagai ukuran keberhasilan,

hanya dua indikator yang dipenuhi. Yakni, terbentuknya PPID dan infrastruktur

pelayanan informasi. Tapi ini pun belum sempurna. PPID hanya ada di tingkat

walikota, padahal warga kota sehari-hari lebih banyak berurusan dengan

kantor kecamatan dan kelurahan. Demikian pula, infrastruktur informasi,

terkesan hanya sekadar ada, tanpa fasilitas bagi warga untuk mengajukan

permohonan informasi publik. Dari temuan-temuan ini, kami menyimpulkan

Pemerintah Kota Jakarta Selatan tidak punya kemauan yang sungguh untuk

menerapkan UU KIP.

Untuk perbaikan pelayanan informasi di lembaga publik ini, kami

merekomendasikan beberapa hal. Pertama, segera ditetapkan kategorisasi

informasi publik dalam ruang lingkup Pemerintahan Kota Jakarta Selatan

sebagaimana disyaratkan UU KIP dan peraturan pelaksananya. Kedua, perlu

segera dibuat peraturan mengenai standar layanan informasi dan standar

operasional prosedur pelayanan informasi publik. Ketiga, secepatnya dibentuk

PPID di tingkat kecamatan dan kelurahan. Keempat, perlu dibangun sistem

informasi terpusat untuk memberikan pelayanan yang cepat dan efisien

kepada warga pemohon informasi publik. Kelima, perlu diadakan sosialisasi

secara berkala kepada aparatur birokrasi untuk menguatkan pemahaman

aparatur birokrasi tentang UU KIP dan keterbukaan informasi. Keenam, laman

milik Pemerintah Kota Jakarta Selatan perlu dibenahi dan isinya sebaiknya

disesuaikan dengan UU KIP.

66

Kewajiban ini tercantum di dalam pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik

82

Bab V

Capaian Pemerintah Kabupaten

Jembrana

Meski tidak ada produk hukum internal, dan PPID yang sudah

terbentuk belum memiliki struktur kelengkapan organisasi. Penelitian ini

menemukan dalam upaya implementasi UU KIP, beberapa upaya sudah

dilakukan Pemerintah Kabupaten Jembrana. Diantaranya adalah sosialisasi

sudah dilakukan tiga kali. Sosialisasi pertama kepada Kepala SKPD di

lingkungan Pemerintah Kabupaten Jembrana, dengan pemberi materi Kepala

Dinas Hubkominfo Kabupaten Jembrana. Materi yang dibahas mengenai

kewajiban Badan Publik dalam pelayanan informasi publik. Sosialisasi kedua

pesertanya pegawai di lingkungan pemerintah Kabupaten Jembrana, Materi

yang dibahas isi UU KIP. Sosialisasi ketiga ditujukan kepada organisasi

wanita di Kecamatan Mendoyo dan Pekutatan.. Pelayanan informasi publik

oleh Pemerintah Kabupaten Jembrata telah cukup baik. Mereka juga memiliki

infrastruktur pelayanan informasi yang menjangkau hampir seluruh warga

kabupaten dan sistem informasi yang terpusat. Semua ini dimungkinkan

karena ada dukungan finansial dari Anggaran Pendapatan dan Belanja

Daerah (APBD) untuk pengadaan infrastuktur informasi dan keseriusan

aparatur pemerintah dalam menyelenggarakan pelayanan informasi.

Di luar fakta positif tersebut di atas, terdapat kelemahan dalam

implementasi UU KIP dan peraturan pelaksananya oleh Pemerintah

Kabupaten yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Provinsi Bali. Paling

pokok, pemerintah belum membuat Standar Operasional Prosedur dan belum

memiliki kategori informasi yang pasti untuk pelayanan informasi publik dalam

ruang lingkup Pemerintahan Kabupaten Jembrana.67

67

Wawancara dengan Kepala Bidang Humas Dinas Hubkominfo Pemkab Jembrana, Komang

Supartapada tanggal 21 Juli 2011

83

Dalam bab ini kami akan menyajian temuan penelitian tentang capaian

Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam implementasi keterbukaan informasi.

Ukuran yang digunakan untuk memotret capaian ini adalah ukuran yang

terdapat di UU KIP dan peraturan pelaksananya, yakni: keberadaan PPID,

pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan

informasi.

5.1. Keberadaan PPID

Di kabupaten Jembrana PPID sudah terbentuk sejak tanggal 10

November 2010. Pembentukan ini berdasar Surat Keputusan Bupati

Jembrana Nomor: 1032/Hubkominfo/2010 tanggal 10 Nopember 2010 tentang

Penetapan Petugas Pengelola Informasi Dan Dokumentasi ( PPID ). Pejabat

PPID di Kabupaten Jembrana adalah kepala Dinas Perhubungan Komunikasi

dan Informatika kabupaten Jembrana. Struktur kelembagaan PPID belum

terbentuk.(Tim peneliti tidak bisa menceritakan secara lengkap karena data-

datanya tidak tersedia)

PPID sudah terbentuk, namun masih terdapat kekurangan, struktur

organisasi kelembagaannya belum terbentuk. Selain itu, pemerintah

Kabupaten Jembrana juga belum membuat produk hukum yang mengatur

kategorisasi informasi publik sebagaimana diminta oleh UU KIP. Juga belum

ada aturan mengenai standar operasional prosedur pelayanan informasi

publik sebagaimana diminta oleh Peraturan Komisi Informasi Nomor 01 Tahun

2010. Penyebab semua ini karena sebagian besar aparatur kurang menguasai

UU KIP dan peraturan pelaksananya. Ini dapat dipahami mengingat

Bimbingan teknis kepada aparatur mengenai UU KIP belum pernah

diselenggarakan oleh pemerintah Kabupaten Jembrana.68

68

Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012

84

5.2. Pelayanan Informasi Publik

5.2.1. Kondisi Obyektif

Pemerintah Kabupaten Jembrana telah melayani permohonan

informasi dari masyarakat, baik pemohon infomasi yang datang ke kantor

pemerintahan ataupun yang menyampaikan permohonan melalui saluran-

saluran pelayanan informasi yang mereka sediakan. Di Jembrana, warga bisa

mengakses informasi publik melalui telepon, faksimili, short message service,

dan surat elektronik. Setiap permintaan informasi diproses dengan cepat.

Dalam pelayanan informasi publik ini, yang menjadi ujung tombak

adalah pejabat di bidang hubungan masyarakat dan petugas informasi yang

berada di bawah koordinasinya, operator yang ditugaskan mengoperasikan

infrastuktur informasi, dan aparatur desa. Mekanisme pelayanan informasi

diselenggarakan sebagai berikut; pemohon yang memohon informasi diminta

membuat surat permohonan data atau dokumen. Pejabat PPID kemudian

mencatat semua hal yang dimohonkan. Setelah itu pemohon akan diberikan

bukti nomor pendaftaran. Tahap akhir, PPID akan memberikan data yang

dipinta.69

Para pejabat humas yang melayani permintaan informasi secara

umum, cukup menguasai prosedur pelayanan informasi dan permasalahan

pemerintahan Kabupaten Jembrana. Data-data berbagai satuan kerja

pemerintahan Kabupaten Jembrana dikuasai dengan baik. Misal, data

mengenai kependudukan, data mengenai layanan kesehatan, data mengenai

pendidikan, dan data mengenai kemiskinan. Selain itu, para pejabat ini juga

menguasai prosedur pelayanan informasi, sistem informasi, dan cara kerja

sistem tersebut.70.

Kami mendapat kesan, petugas informasi dan operator infrastruktur

informasi memiliki semangat untuk melayani permintaan informasi dari publik.

Setiap anggota masyarakat yang datang memohon informasi, selalu dilayani

dengan sigap dan cekatan. Ini dapat dimengerti karena para petugas tersebut

telah mengikuti program pendidikan dan latihan mengenai prosedur pelayanan

69

Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012 70

Kepala Bidang Humas Pemerintahan Kabupaten Jembrana dan aparatur di bawahnya cukup fasih

menerangkan tentang angka kemiskinan, pertumbuhan penduduk, potensi kabupaten, dan berbagai

kebijakan publik lainnya. Wawancara pada tanggal 21 Juli 2011

85

informasi dan cara mengoperasikan infrastruktur informasi. Pendidikan dan

pelatihan ini diselenggarakan oleh Kantor Pendidikan dan Pelatihan

Pemerintah Kabupeten Jembrana. Biaya pendidikan dan pelatihan ini menjadi

tanggungan Kantor Pusat Pendidikan dan Pelatihan Kabupaten Jembrana.71

Pelatihan serupa juga diberikan kepada para apatur desa se-Kabupaten

Jembrana. Setiap desa mengirim utusan sebanyak dua orang. Selesai

mengikuti pendidikan dan pelatihan mereka diangkat menjadi operator

infrastruktur informasi di desa-desa, yang sekaligus juga menjadi petugas

informasi.72

Berikut dipaparkan data permohonan informasi yang masuk ke

pemerintah kabupaten Jembrana sejak tahun 2010 hingga tahun 2011. Pada

Tahun 2010, tidak terdapat permohonan informasi. Di tahun 2011, terdapat 15

permohonan informasi yang disampaikan oleh satu pemohon, Forum

Jembrana Transparansi (FJTA). Permohonan ini disampaikan pada bulan

Nopember 2011 dan dapat dipenuhi di bulan Januari 2012. Di tahun 2012

tidak terdapat permohonan informasi.73

15 jenis permohonan informasi yang dimohonkan tersebut adalah 5

jenis dengan rincian :RPJMD Jembrana 2011-2015, RKPD Jembrana

2010,2011,2012, KUA Jembrana tahun 2010,2011,2012, KUA Perubahan

Jembrana tahun 210 dan 2011,PPAS Jembrana tahun 2010,2011,2012, PPAS

Perubahan 2010,2011,Penjabaran APBD Kabupaten Jembrana tahun

2010,2011,2012, Penjabaran APBD Perubahan Kabupaten Jembrana tahun

2010,2011,Penjabaran APBD Realisasi Kabupaten Jembrana tahun 2010,

LPJ Penggunaan APBD tahun 2009 dan 2010 Kabupaten Jembrana,Profil

Sektor Pendidikan,Kesehatan dan Pertanian Kabupaten Jembrana, Renstra

SKPD Dinas PKL Kabupaten Jembrana 2011,2012, Renstra Dinas

Perindustrian, Perdagangan dan Koerasi Kabupaten Jembrana tahun 2011

dan 2012, Renstra Dinas Kesehatan dan Kesejahteraan Sosial kabupaten

Jembrana tahun 2011 dan 2012, dan Renstra Dinas Pendidikan pemuda Olah

71

Wawancara dengan Kepala Bidang Humas Dinas Hubkominfo Pemkab Jembrana, Komang

Supartapada tanggal 21 Juli 2011 72

Ibid 73

Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012

86

raga, Pariwisata dan Kebudayaan Kabupaten Jembrana tahun 2011 dan

2012.74

5.2.2. Temuan dan Analisis

Pemerintahan Kabupaten Jembrana sudah berupaya untuk melakukan

pelayanan informasi publik dengan baik. Pendidikan dan pelatihan untuk para

petugas pelayanan informasi publik, juga aparatur desa, memperlihatkan

bahwa pemerintah Kabupaten Jembrana sangat serius dalam melayani

permohonan informasi dari publik. Dari sisi lain, ikut sertanya aparatur desa

dalam pendidikan dan pelatihan pelayanan informasi menunjukkan bahwa

pemahaman mengenai keterbukaan informasi publik di kalangan di kalangan

aparatur pemerintahan Jembrana sudah sangat merata.

Kesigapan dan kecekatan petugas informasi dan operator informasi di

pusat-pusat pelayanan informasi di lingkungan pemerintahan Kabupaten

Jembrana merupakan bukti kongkrit keberhasilan Pusat Pendidikan dan

Pelatihan Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam mempersiapkan petugas

pelayanan informasi.

Para pejabat humas dan petugas informasi di Pemerintah Kabupaten

Jembrana merupakan potret yang tidak umum dalam birokrasi Indonesia.

Umumnya, sebagian besar aparatur birokrasi di Indonesia kurang menguasai

masalah yang berada di bawah otoritasnya. Di Jembrana Tim Peneliti

menemukan, para pejabat humas dan petugas informasi sangat menguasai

bidang kerjanya, dan memiliki pengetahuan yang komprehensif mengenai

berbagai informasi dan masalah dalam lingkup pemerintahan Kabupaten

Jembrana. Temuan ini menggugurkan hipotesis umum bahwa aparatur

birokrasi sulit melayani tapi ingin dilayani.

Sebagai efek langsung dari keseriusan dan kemauan bersama inilah,

Informasi publik sebagian besar telah tersebar secara merata ke seluruh

warga kabupaten. Capaian prestasi ini tidak terlepas dari peran Bidang

Hubungan Masyarakat pada Pemerintah Kabupaten Jembrana sebagai

pelayan informasi publik, Bidang Komunikasi dan Informasi yang mengelola

74

Ibid

87

sistem dan infrastruktur informasi publik, petugas informasi dan operator

infrastruktur informasi, serta aparat desa yang terlibat menjadi petugas dan

operator informasi.

Sisi lainnya, pelayanan informasi masih belum memenuhi ketentuan

UU KIP. Batas waktu yang diminta UU KIP belum dipenuhi. Penyebabnya

adalah informasi masih dikuasai oleh SKPD-SKPD, dan para petugas belum

sepenuhnya memahami tentang tugas, kewajiban dan wewenangnya sesuai

dengan ketentuan yang berlaku.

5.3. Infrastruktur Pelayanan Informasi

5.3.1. Kondisi Obyektif

Infrastruktur pelayanan informasi yang sudah dibangun oleh

Pemerintah Kabupaten Jembrana adalah J.Net yang merupakan singkatan

dari Jimbarwana Networking. Yang dimaksud dengan J.Net adalah Jaringan

internet yang mengintegrasikan Kecamatan, desa-desa, sekolah, dan

lembaga lain se-Kabupaten Jembrana. Pembangunan J.Net ini dimaksudkan

untuk meningkatan kualitas pelayanan publik dan kualitas pendidikan, serta

diseminasi kemajuan teknologi informasi dan komunikasi kepada kalangan

masyarakat.75

Sistem J.Net ini terdiri dari infrastruktur berupa perangkat komputer dan

jaringan internet di pusat pemerintahan, yang terhubung dengan komputer

dan jaringan internet di setiap instansi di bawah koordinasi pemerintahan

Kabupaten Jembrana.

Awalnya J.Net dibangun oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana. Tapi

infrastruktur ini kemudian dihibahkan kepada instansi-instansi terkait seperti

sekolah, desa, dan yang lain. Kini pemeliharaan J.Net dilakukan secara

swadaya oleh masyarakat menggunakan anggaran desa.

Pembangunan J.Net tidak menghabiskan banyak biaya karena

Pegawai Negeri Sipil di instansi-instansi terkait ikut dilibatkan sebagai

75

Ibid

88

operator. Pelatihan cara mengoperasikan infrastruktur ini pun tak memerlukan

anggaran besar karena para instruktur didatangkan dari Bidang Komunikasi

dan Informasi Pemerintah Kabupaten Jembrana.

J.Net setidaknya memberikan tiga manfaat. Pertama, terbangunnya

sistem informasi yang terpusat. Kedua, koordinasi antara bupati dengan

instansi-instansi yang ada di bawahnya menjadi lebih mudah. Ketiga,

pemegang kebijakan dapat lebih cepat menangkap aspirasi yang disampaikan

anggota masyarakat di akar rumput. Bupati Jembrana sering mengadakan

tatap muka virtual dengan aparat desa dan anggota masyarakat melalui J.Net.

Instansi-instansi yang berada di bawah koordinasi Pemerintah Kabupaten

Jembrana pun dapat mengakses kebijakan yang telah disusun bupati lewat

jaringan ini.76

Pada awal pembangunannya J-Net tidak mengalami masalah.

Segalanya berjalan dengan baik. J-Net telah menjadi inovasi baru dalam

pelayanan informasi bagi publik. inovasi yang belum pernah ada di tempat

lain. Dalam perkembangannya, J-Net mengalami masalah. Instansi-instansi

yang dihibahkan perangkat J-Net tidak mampu membiayai pemeliharaan

infrastruktur ini. Perangkat J-Net di sebagian besar sekolah dasar di

Kabupaten Jembrana tidak berfungsi, karena tidak terawat dan terbelengkalai.

Hal ini dibenarkan oleh Kepala Dinas Dikporaparbud Kabupaten Jembrana.

Bahkan beliau mengatakan kondisi tiang penyangga fasilitas internet tersebut

keropos dan dikhawatirkan roboh.77 Bali post melaporkan tower J-Net pernah

ada yang menimpa rumah penduduk.78

Pemerintah Kabupaten Jembrana pernah mewacanakan untuk

membiayai pengelolaan J-Net dari dana BOS, di kemudian hari wacana itu

tidak jadi dilaksanakan. Pertimbangannya, setelah dikalkulasi, biaya yang

dibutuhkan sangat besar. Bupati Kabupaten Jembrana, I Putu Artha, lebih

memprioritaskan membangun gedung sekolah, laboratorium, dan alat sekolah

lainnya, seperti meja dan kursi.79 Banyaknya perangkat J-Net yang rusak dan

tidak terawat ini mengundang kritik dari ketua Komisi C DPRD Kabupaten 76

Ibid 77 http://bali.antaranews.com/berita/15055/perangkat-j-net-di-jembrana-terbengkalai 78

Bali Post, Jumat, 1 Juli 2011 79

Ibid. Keluhan terhadap J-Net ini juga disampaikan anggota masyarakat melalui laman milik

pemerintah Kabupaten Jembrana

89

Jembrana. Kritiknya, seharusnya biaya pemeliharaan J-Net dianggarkan

dalam anggaran satuan Kerja Perangkat daerah (SKPD), masyakarat jangan

dibebani untuk pemeliharaan ini.80

Infrastruktur lain yang sudah dibangun dalam rangka pelayanan

informasi publik adalah laman di internet. Nama situsnya

www.jembranakab.go.id. Di laman ini terdapat berbagai saluran antara lain:

profil, fasilitas, pemerintahan, pariwisata, galeri, berita, dan informasi publik.

Kanal profil berisi informasi tata ruang, infrastruktur, kependudukan, ekonomi,

sosial budaya, sejarah, arti lambang, pendidikan, dan kesehatan. Di saluran

fasilitas tersedia informasi fasilitas pendidikan, kesehatan, keamanan,

olahraga, dan pertemuan. Informasi tentang eksekutif, produk hukum, APBD

dan PAD, aparatur pemerintahan, dapat ditemukan di kanal pemerintahan.

Sedangkan informasi mengenai akomodasi, objek wisata, dan event, tersedia

di kanal pariwisata. Di saluran Galeri tersedia foto dan video dan foto kegiatan

pemerintahan. Kanal berita menyediakan berita mengenai Jembrana, SKPD,

agenda pemerintahan, atau pengumuman yang berhubungan dengan

kepentingan masyarakat. Akhnirnya, pada saluran informasi publik, tersedia

informasi tentang profil Jembrana, perizinan, beasiswa, lowongan kerja, harga

pasar, dan Jaminan Kesehatan Bali Mandara.

Infrastruktur informasi lain yang sudah dibangun adalah Media

Informasi Touch Screen. Media Informasi ini berisi data profil jembrana,

potensi wisata, dan syarat-syarat perijinan. Media ini ditempatkan di

kabupaten dan kecamatan-kecamatan untuk mempermudah masyarakat

memperoleh informasi.

80

Bali Post, Jumat, 1 Juli 2011

90

Gambar 5.1.

Media Touch Screen

Infrastruktur lainnya yang sudah dibangun adalah SMS Center and

Broadcast. Infrastruktur ini dibangun untuk memberikan informasi kepada

masyarakat apabila terdapat kegiatan yang melibatkan partisipasi masyarakat.

Sampai saat ini database di SMS Center and Broadcast menyimpan Nomor

195.543 nomor mobile phone milik masyarakat kabupaten Jembrana.81

Infrastruktur pelayanan informasi lain yang sudah dibangun adalah

ATM Palugada. Di dalam alat ini terintegrasi beberapa database SKPD-SKPD.

ATM ini berisi data kependudukan, kepegawaian, perizinan, dan pelayanan

81

Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012

91

rumah sakit.. ATM ini bekerja dengan cara membaca chip yang ada pada

KTP.82

ATM ini berfungsi untuk memenuhi kebutuhan informasi masyarakat

dalam waktu cepat. Dia berisi data pribadi dan dokumen seluruh penduduk

Kabupaten Jembrana. Tujuan pengadaan infrastruktur ini untuk

mempermudah pengurusan perizinan, terutama saat dokumen-dokumen yang

disyaratkan dalam sebuah urusan tidak dibawa. Warga yang kehilangan

dokumen pribadi bisa mendapatkan back up informasi dari mesin ini. Melalui

bantuan ATM ini informasi yang dibutuhkan dapat dicetak saat itu juga melalui

bantuan petugas informasi dan operator infrastruktur. Cara menggunakannya

sangat mudah, cukup dengan memasukkan Kartu Tanda Penduduk ke dalam

mesin.

Gambar 5.2.

Petugas sedang memeragakan ATM Palugada

82

Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012

92

Gambar 5.3.

Mesin ATM Palugada

Infrastruktur lainnya yang sudah dibangun adalah papan-papan

informasi yang mudah diakses oleh publik. Papan ini sengaja disediakan di

tempat-tempat yang mudah terlihat publik. berikut gambar papan informasi.

93

Gambar 5.4.

Papan Informasi Pemerintah Kabupaten Jembrana (1)

Gambar 5.5.

Papan Informasi Pemerintah Kabupaten Jembrana (2)

94

Gambar 5.6.

Papan Informasi Perizinan Pemerintah Kabupaten Jembrana

Infrastruktur lainnya yang sudah terbangun adalah, infrastruktur

informasi terpusat di NOC Kantor Bupati. Seluruh server dari aplikasi yang

ada di Pemkab Jembrana sudah diletakan di NOC (Net Operation Countrol)

yang berada di salah satu ruangan khusus pada Dinas perhubungan

Komunikasi dan Informatika Kabupaten Jembrana.83

5.3.2. Temuan dan Analisis

J.Net merupakan inovasi Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam hal

manejemen informasi yang menurut Tim Peneliti telah sangat membantu

terbentuknya sistem birokrasi kabupaten yang efektif dan efisien. Semua

informasi mengenai pemerintahan dan penduduk terdata dengan baik sistem

jaringan informasi ini. Sistem ini memudahkan bupati untuk mengawasi

bawahannya, dan memungkinkan masyarakat memantau secara langsung

kinerja bupati. Melalui jaringan ini bupati juga lebih mudah menyerap aspirasi

83

Wawancara Wawancara pada tanggal DS Surya, Humas Kabupaten Jembrana. Senin, 18 Juni 2012

95

warga secara langsung. Dengan J.Net, Pemerintah Kabupaten Jembrana

telah membangun kultur birokrasi yang transparan dan akuntabel. Ini inovasi

yang layak dicontoh oleh penyelenggara pemerintahan lain di Indonesia.

Meskipun demikian tetap ada hal yang perlu dijadikan catatan penting.

Dalam perkembangannya J-Net tidak terawat dan terbelengkalai karena

instansi-instansi yang dihibahkan perangkat ini tak sanggup membiayai

infrastruktur J-Net. Kesalahan ini ada di pihak pemerintah Kabupaten

Jembrana, yang tidak memperhitungkan dengan cermat pengadaan

infrastruktur ini. Seharusnya sejak awal sudah dilakukan kajian akademis yang

matang dan terukur sebelum pembangunan infrastruktur dilaksanakan.

Sehingga pengadaan infrastruktur ini tidak membebani masyarakat. Temuan

ini memperlihatkan bahwa pemerintah kabupaten Jembrana memiliki

semangat pelayanan tapi kurang cermat dalam perencanaan.

Temuan lain yang tak kalah menarik adalah ATM Palugada, yang kerap

dikelakarkan menjadi “apa yang lu mau gua ada”. ATM ini telah memudahkan

masyarakat mengakses data dirinya tanpa melalui prosedur yang rumit.

Melalui jasa mesin ini hambatan-hambatan pelayanan informasi berkaitan

dengan data diri seseorang, dapat teratasi dengan baik.

Temuan lainnya adalah adanya papan informasi yang ditempatkan

diberbagai tempat yang mudah diakses. Adanya media touch screen yang

mempermudah masyarakat di kecamatan-kecamatan dalam mengakses

kebijakan pemerintah tanpa harus datang ke kantor-kantor pemerintahan.

Kemudian terdapat SMS center and broadcast yang semakin mendekatkan

pemerintah dengan masyarakat. Melalui sms yang disebar, anggota

masyarakat menjadi tahu apa yang sedang dikerjakan oleh pemerintahnya. Ini

bentuk perwujudan good governance dimana terdapat keterlibatan publik

dalam penyelenggaraan negara. Terakhir, dengan adanya Net Operation

control (NOC) sistem informasi telah terbangun secara terpusat.

Meski demikian tidak berarti Pemerintah Kabupaten Jembrana telah

sepenuhnya menjalankan amanat UU KIP. Laman internet yang dikelola oleh

Pemerintah Kabupaten Jembrana, misalnya, belum memuat informasi yang

96

wajib disediakan dan diumumkan secara berkala, sebagaimana yang diminta

UU KIP. Laman ini juga belum berisi informasi laporan keuangan yang sudah

digunakan oleh pemerintahan Kabupaten Jembrana.84 Hal lainnya, belum

tersedianya data yang lengkap dari SKPD-SKPD di NOC. Data-data sebagian

besar masih dikuasai oleh SKPD-SKPD.

5.4. Kesimpulan dan Rekomendasi

Capaian Pemerintah Kabupaten Jembrana dalam implementasi UU KIP

dan peraturan pelaksananya secara umum sudah baik. Dari empat indikator,

tiga indikator sudah dipenuhi. Yakni adanya PPID, pelayanan informasi yang

baik dan adanya infrastruktur pelayanan informasi. Kualitas pelayanan

informasi dan infrastruktur pelayanan informasi di Kabupaten Jembrana

termasuk yang terbaik, jika dibandingkan dengan tiga lembaga publik lain

yang menjadi subjek teliti dalam penelitian ini.

Berikut rekomendasi kami untuk memperbaiki kelemahan-kelemahan

dalam implementasi UU KIP di Jembrana. Pertama, perlu segera dibuat

kategorisasi informasi dalam ruang lingkup Pemerintahan Kabupaten

Jembrana, sebagaimana disyaratkan UU KIP dan peraturan pelaksananya.

Kedua, perlu segera dibentuk peraturan tentang Standar layanan informasi

dan Standar operasional prosedur pelayanan informasi publik. Ketiga, isi

laman milik Pemerintah Kabupaten Jembrana perlu disesuaikan dengan

ketentuan yang terdapat di dalam UU KIP. Keempat, perlu dialokasikan

anggaran untuk pemeliharaan J-Net di semua instansi di bawah koordinasi

pemerintah Kabupaten Jembrana. Agar masyarakat tidak terbebani

pemeliharaan infrastruktur ini. Kelima, perlu dilengkapi data-data SKPD yang

terpusat di NOC. Keenam, perlu diselenggarakan Bimbingan Teknik secara

reguler kepada aparatur agar memahami secara lengkap UU KIP.

84

Kewajiban ini tercantum di dalam pasal 9 UU Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi

Publik

97

Bab VI

Melangkah Maju: Belajar dari Pengalaman

Manakala merancang penelitian ini, kami bersandar pada asumsi yang

sangat sederhana bahwa implementasi UU KIP cuma persoalan teknis, dari

membuat aturan pelaksanaan, membentuk struktur dan organisasi PPID,

menentukan kategori informasi, membangun gerai informasi, hingga

menyediakan petugas informasi. Ternyata temuan di keempat subjek

penelitian – Kementerian Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, Pemerintah Kota Jakarta Selatan dan Pemerintah Kabupaten

Jembrana – menunjukkan ada pengaruh berbagai aspek lain pada

keberhasilan atau kekurangberahasilan sebuah lembaga publik

menyelenggarakan pelayanan informasi publik yang baik sesuai undang-

undang.

Ada pengaruh politik, misalnya tampak pada kasus Pemerintahan Kota

Jakarta Selatan. Ketika kami menanyakan alasan mengapa mereka belum

memiliki kategori informasi publik yang baku, pejabat di sana menjawab

mereka menunggu keputusan Gubernur DKI Jakarta mengenai hal tersebut.85

Ini dapat dipahami karena ada relasi kekuasaan yang bersifat struktural antara

Provinsi DKI Jakarta dengan Kota Jakarta Selatan. Undang-undang Nomor 29

Tahun 2007 tentang Pemerintahan Provinsi Daerah Khusus Ibukota Jakarta

melekatkan otonomi pada level provinsi, di mana para kepala daerah

administrasi/kabupaten dalam wilayah DKI diangkat dan diberhentikan oleh

gubernur atas persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah. Dalam konteks

ini Walikota Jakarta Selatan adalah bawahan dari Gubernur DKI Jakarta.

85 Wawancara dengan Anita Indrawati Kepala Seksi Humas Wali Kota Jakarta Selatan pada tanggal 8

agustus 2011

98

Fenomena Kota Jakarta Selatan ini amat berbeda dengan Kabupaten

Jembrana. Meski masuk wilayah Provinsi Bali, Jembrana merupakan daerah

otonom dengan kewenangan politis yang lebih besar dibandingkan Jakarta

Selatan di bawah DKI. Bupati Jembrana juga dipilih langsung oleh warga

melalui pemungutan suara lima tahun sekali. Perbedaan natur politik inilah

yang kami pandang menjadi sebab mengapa Jembrana memiliki ruang untuk

berkreasi dan berinovasi yang lebih luas dibandingkan dengan Jakarta

Selatan.

Pada lembaga publik yang otonom, yang memiliki kewenangan yang

cukup luas untuk mengatur dirinya – dalam penelitian ini Kementerian

Kesehatan, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, serta Pemerintah

Kabupaten Jembrana – kami percaya pemimpin menjadi faktor penting yang

menentukan maju mundurnya institusi tersebut dalam implementasi UU KIP.

Itu sebabnya kami menduga, perbedaan kebijakan dalam implementasi UU

KIP di Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pertanian, dalam batas-

batas tertentu, merupakan cerminan dari perbedaan karakter Menteri

Kesehatan almarhumah Endang Rahayu Sedyaningsih dengan Menteri

Pendidikan dan Kebudayaan Mohammad Nuh. Mungkin perlu penelitian

tersendiri untuk menguji hipotesa ini.

Bicara soal karakter aparatur, ada temuan menarik lain yang juga

memunculkan pertanyaan baru, yakni: apa yang membuat aparatur dan

petugas informasi di Jembarana tampak begitu spontan dan tulus melayani

permintaan informasi dari warga, sementara aparatur di instansi lain, dalam

hal ini Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan, mengaku terpaksa melakukan pelayanan karena takut pada

ancaman UU KIP Nomor 14 Tahun 2008.86 Meski pada akhirnya mereka

menghasilkan output yang sama, Tim Peneliti berkeyakinan, kualitas

pelayanan yang diberikan oleh kedua tipe aparatur ini berbeda.

86 Dalam wawancara tanggal 13 Juli 2011, Kepala Sub Bidang Publikasi dan Layanan Informasi

Kementerian Prawito menjelaskan bahwa UU KIP menakutkan bagi sebagian besar pegawai

Kementerian Kesehatan, karena memuat banyak sanksi. Doddy Riyadi, pegawai Kementerian

kesehatan yang diwawancarai pada hari yang sama menambahkan,sanksi yang ditakutkan adalah

sanksi pidana. Sedangkan Erna, pegawai di Gerai Informasi Kementerian Pendidikan yang

diwawancarai pada 27 Juni 2011 mengatakan, mereka sangat paham dengan konsekuensi hukum

terhadap mereka jika permintaan informasi publik tidak dipenuhi.

99

Tentu saja masih ada banyak aspek lain yang mempengaruhi berbagai

pilihan dan keputusan di setiap instansi subjek penelitian, dalam

implementasi UU KIP. Antara lain, misalnya, kekuatiran lembaga bahwa

penerapkan UU KIP bisa menjadi bumerang bagi mereka. Aspek psikologis ini

tampak pada kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan dalam hal

infomasi yang dikecualikan. Pasal 18 Peraturan Menteri Pendidikan Nomor 50

Tahun 2011 misalnya menegaskan bahwa, terhadap informasi yang kalau

dibuka berpotensi mengganggu citra Kementerian akan dikenakan uji

konsekuensi.

Berikut ringkasan hasil penelitian ini, yang kami harapkan bisa menjadi

semacam peta kecil untuk memahami dinamika implementasi UU KIP di

lembaga-lembaga publik.

6.1. Kendala Umum

Setidaknya ada enam hal atau faktor yang kami catat menjadi sebab

rendahnya pencapain subjek penelitian dalam hal implementasi UU KIP.

Pertama, faktor PPID yang belum terbentuk. Ini kasus Jakarta Selantan dan

Jembrana. Dengan catatan, untuk Jembrana, meski belum memiliki PPID,

pemerintah kabupaten ini telah berhasil membangun sistem pelayanan

informasi yang menjangkau hingga wilayah pedesaan. Hal lain, harusnya

PPID dan serta petugas informasi tersedia hingga pada unit pelaksana teknis,

tapi dalam kasus Kementerian Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan ini belum sepenuhnya terlaksana.

Kedua, faktor kategorisasi informasi. Tidak adanya, atau kurang

lengkapnya pengaturan soal kategori informasi sering menyebabkan petugas

informasi bingung dalam melakukan pelayanan informasi publik. Juga, instansi

akhirnya tidak dapat menjalankan perintah UU KIP, misalkan dalam hal

mengumumkan informasi-informasi yang bekaitan denga program kerja

institusi atau penggunaan anggaran. Hal ini dialami semua subjek penelitian.

Kementerian Kesehatan bermasalah dengan informasi yang dikecualikan.

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan juga belum memiliki kategorisasi

yang tegas dan spesifik soal informasi yang dikecualikan, dan kurang jelas

100

pada bagian informasi publik yang perlu diumumkan secara serta merta.

Pemerintah Kota Jakarta Selatan dan Pemerintah Kabupaten Jembrana

bahkan sama sekali belum membuat kategorisasi informasi. Tim Peneliti

menduga ini terjadi karena instasi tidak memiliki otonomi dan menunggu

keputusan dari lembaga publik yang berkedudukan lebih tinggi (Jakarta

Selatan), ada kekhawatiran keterbukaan informasi bisa berimplikasi buruk

terhadap lembaga dan aparatur lembaga publik (Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan), lemahnya koordinasi antar pejabat PPID (Kementerian

Kesehatan)87, atau untuk alasan yang belum diketahui (Kabupaten Jembrana).

Ketiga, faktor standard operasional prosedur pelayanan informasi

publik dan standard layanan informasi. Baru Kementerian Kesehatan yang

memiliki standard-standard seperti yang diatur dalam Peraturan Komisi

Informasi Nomor 01 Tahun 2010. Akibatnya, sistem dan prosedur pelayanan

di Kementerian Kesehatan lebih teratur dan lebih baik dibandingkan dengan di

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, dan di Pemerintah Jakarta

Selatan. Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan berusaha efisien dengan

sekadar mengubah struktur kehumasan menjadi PPID. Cuma, karena yang

diubah hanya nama, sementara organisasi dan fungsinya tampak tidak ditata

ulang, inovasi ini tidak memberikan hasil yang memuaskan. Anomali terjadi

pada Pemerintah Kabupaten Jembrana. Meski belum menetapkan standard

layanan informasi sesuai ketentuan Komisi Informasi, pelayanan informasi

publik di Jembrana ternyata lebih cepat dan lebih efektif dibanding tiga

lembaga publik lain yang diteliti. Ini antara lain karena Pemerintah Jembrana

memiliki petugas informasi di hampir setiap kantor pemerintahan, di samping

kenyataan bahwa informasi terkait publik dan aktivitas pemerintah di

Jembrana sudah terpusat. Di sisi lain, Lembaga Pendidikan dan Pelatihan

Pemerintah Kabupaten Jembrana punya andil besar dalam mempersiapkan

petugas informasi yang handal.

Keempat, faktor sistem informasi terpusat. Manfaat sistem informasi

terpusat bisa dilihat pada praktek pengelolaan informasi publik di Kabupaten

Jembrana. Terutama, pelayanan informasi menjadi lebih cepat, mudah, dan

87 Wawancara dengan Prawito, Kasubbid Publikasi dan Layanan Informasi Kementerian Kesehatan,

pada tanggal 13 Juli 2011.

101

efisien. Malah, dengan sistem jaringan atau J.Net dan ATM Palugada, layanan

informasi pada pemerintahan Jembrana bisa realtime.

Kelima, faktor alokasi dana untuk pelayanan informasi publik. Kami

mengamati, meski bukan merupakan penentu utama dana ikut menunjang

keberhasilan implementasi UU KIP di lembaga-lembaga subjek penelitian.

Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Kabupaten Jembran yang secara

khusus mengalokasikan dana untuk pelayanan informasi publik, ternyata

memiliki profil pelayanan informasi yang lebih baik dibandingkan dengan

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan serta Pemerintah Kota Jakarta

Selatan yang tidak memiliki anggaran khusus untuk pelayanan informasi

publik.

Keenam, faktor aturan hukum. Dari semua kendala yang kami temukan,

aturan hukum merupakan poin utama yang menentukan baik-buruknya

implementasi UU KIP di keempat subjek penelitian. Pada Kementerian

Kesehatan dan Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, tampak jelas

bahwa ketetapan dan peraturan menteri menjadi motor bagi implementasi UU

KIP di masing-masing kementerian. Sebaliknya pada Kota Jakarta Selatan

dan Pemerintah Kabupaten Jembrana, kekosongan produk hukum telah

menyebabkan kedua lembaga publik ini gagal memenuhi tuntutan UU KIP dan

aturan pelaksanaannya, antara lain menyangkut pembetukan PPID,

penetapan kategori informasi, dan penetapan standard operasional prosedur

pelayanan informasi publik dan standard layanan informasi. Dengan dua fakta

sederhana ini bisa disimpulkan bahwa aturan hukum internal harusnya bisa

menjadi jalan masuk utama utama untuk meningkatkan kualitas serta

kuantitas pelayanan informasi di lembaga-lembaga publik.

6.2. Teladan di Lapangan

Meskipun lembaga-lembaga publik yang menjadi subjek penelitian

belum lama menerapkan UU KIP di lingkup kerjanya masing-masing,

beberapa dari mereka ternyata berhasil mengembangkan pola dan sistem

kerja yang patut dicontoh. Pertama, Pojok Informasi di Kementerian

102

Kesehatan dan Gerai Informas di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan.

Kami berpendapat fasilitas ini sangat berguna, bukan cuma untuk melayani

permintaan informasi tapi sekaligus menjadi beranda yang mempertemukan

publik dan lembaga publik dalam interaksi yang humanis dan konstruktif.

Fasilitas seperti ini perlu diperbanyak, jika mungkin di setiap kantor pelayanan

publik. Disamping itu, petugas informasi di Pojok atau pun Gerai Informasi

harus sepenuhnya paham dan mengerti aturan serta semangat UU KIP.

Kedua, Pusat Tanggap Respon Cepat di Kementerian Kesehatan dan

Layanan Informasi Tidak Tatap Muka di Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan. Fasilitas semacam ini layak untuk direplikasi di lembaga publik

lain, mengingat telah terbukti sangat efektif dan paling populer sebagai jalur

komunikasi informasi publik. Sebagai contoh, semua permohonan informasi

publik yang diterima Kementerian Kesehatan pada periode 2011, masuk

melalui jalur ini.

Ketiga, ATM Palugada di Jembrana. Inovasi unik ini memudahkan

warga, sekaligus memangkas kerumitan birokrasi dan korupsi yang sering

muncul dalam urusan administrasi kemasyarakatan. Model ini bisa ditiru

mengingat mulai tahun 2013 seluruh warga Indonesia diproyeksikan telah

mulai menggunakan Kartu Tanda Penduduk elektronik.

Terakhir, Jimbarwana Networking alias J.Net. Di Kabupaten Jembrana,

inovasi dalam hal manejemen informasi ini sangat efektif dan efisien. Bupati

bisa mengawasi bawahannya melalui jaringan ini, sebaliknya masyarakat bisa

menggunakan jaringan ini untuk memantau secara langsung kinerja bupati,

dan menyampaikan aspirasi mereka. J.Net menurut kami memadukan dua hal

penting dalam pelayanan informasi: akses dan kekuatan jaringan.88 Ini inovasi

yang layak dicontoh. Meskipun harus tetap diberi catatan perihal

perkembangan infrastruktur J.Net yang terbengkalai dan kurang diperhatikan

oleh Pemerintah Kabupaten Jembrana.

88 Hukum Metcalfe menyebutkan, nilai sebuah jaringan telekomunikasi akan meningkat secara

kuadratik, proporsional terhadap jumlah peserta jaringan, sementara biaya yang dibutuhkan paling

banyak akan tumbuh secara linear.

103

6.3. Keterbatasan Penelitian dan Rekomendasi

Penelitian ini hanya menggunakan data sekunder terutama yang

diperoleh dari keempat lembaga publik subjek penelitian, dan informasi dari

wawancara serta focus group discussion dengan para aparatur di lembaga-

lembaga tersebut. Konsekuensi dari pilihan ini, capaian subjek penelitian

dalam hal penerapan UU KIP hanya kami takar secara normatif dengan

menggunakan alat ukur yang telah ditetapkan oleh undang-udang, yakni ada

tidaknya: produk hukum sebagai aturan pelaksanaan UU KIP, PPID,

pelayanan permohonan informasi publik, dan infrastruktur pelayanan

informasi. Karena itu kami merekomendasikan agar dibuat penelitian lain yang

mengukur capaian implementasi UU KIP secara lebih subtantif seperti: tingkat

kepuasan masyarakat terhadap pelayanan informasi publik, serta impak dari

pelaksanaan undang-undang ini terhadap pelayanan publik dan tingkat

partisipasi publik dalam penyelenggaraan negara. Penelitian lanjutan ini, jika

dilakukan, juga akan menjelaskan apakah praktek pelayanan informasi yang

telah dilakukan lembaga-lembaga publik ini, sungguh mendorong

terbentuknya sebuah sistem yang menjamin hak rakyat untuk mendapatkan

akses terhadap semua informasi publik yang berkaitan dengan

penyelenggaraan negara.

104

Daftar Pustaka

Buku:

Agus Pramusinto dan Wahyudi Kumorotomo. Governance Reform di

Indonesia: Mencari Arah Kelembagaan Politik Yang

Demokratis dan Birokrasi Yang Professional.Yogyakarta:

Magister Administrasi Publik UGM kerjasama dengan Gava

Media, 2009.

Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-dasar Politik Hukum. Jakarta:

Raja Grafindo Persada, 2008.

John W. Creswel, Qualitative Inquiry and Research Design:Choosing Among

Five Traditions. London: Sage Publications. 1998.

Mahfud MD. Politik Hukum di Indonesia Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,

2009

Michael Quinn Patton. Qualitative Evaluation Methods. London: Sage

Publications, 1990.

Miftah Thoha. 2005. Birokrasi dan Politik di Indonesia, Jakarta: Rajagrafindo

Persada, 2005

Artikel dan Jurnal:

Antaranews.com. Selasa, 13 Oktober 2011. “Perangkat J.Net di Jembrana

Terbelengkalai”

Bali Post. Jumat, 1 Juli 2011. “Pelayanan KTP ‘Online” Ngadat”

Koran Tempo Edisi Daerah Istimewa Yogyakarta & Jawa Tengah. 29

Desember 2010. “LPAW Disarankan Melaporkan PT Blora

ke Polisi”

Laporan tahunan Komisi Informasi Pusat tahun 2010

Tempo.co. 21 Oktober 2010. “ICW Ajukan Sengketa Informasi Rekening

Gendunt Polisi ke KIP.”

105

Undang-Undang dan Peraturan Pemerintah:

Undang-Undang Nomor 14 Tahun 2008 Tentang Keterbukaan Informasi

Publik

Peraturan Pemerintah Nomor 61 Tahun 2010 Tentang Pelaksanaan UU

Nomor 14 Tahun 2008

Peraturan Komisi Informasi nomor 01 Tahun 2010 Tentang Standar Layanan

Informasi Publik

Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 2166/Menkes/Per/X/2011

Peraturan Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 50 Tahun 2011

Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia Nomor 48

tahun 2011 Tentang Perubahan Penggunaan Nama Kementerian Pendidikan

Nasional Menjadi Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan

Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor

1625/Menkes/SK/VIII/2011

106