program studi s1 ilmu perpustakaan fakultas ilmu … · dalam berbagai hal. oleh karena itu,...
TRANSCRIPT
i
PENGARUH PENGELOLAAN ARSIP SERAT KEKANCINGAN TERHADAP PENGATURAN HAK
ATAS TANAH BERSTATUS MAGERSARI PASKA PEMBERLAKUAN UNDANG-UNDANG PERTANAHAN DAN
AGRARIA (UUPA) 1960 (STUDI KASUS ARSIP SERAT KEKANCINGAN
DI KOTA YOGYAKARTA DAERAH ISTIMEWA YOGYAKARTA)
SKRIPSI
Diajukan sebagai salah satu syarat untuk menyelesaikan studi pada program studi S1 Ilmu Perpustakaan Peminatan Kearsipan
Oleh:
Rina Rakhmawati
13040111150016
PROGRAM STUDI S1 ILMU PERPUSTAKAAN
FAKULTAS ILMU BUDAYA UNIVERSITAS DIPONEGORO
SEMARANG
2013
ii
iii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN
MOTTO
Tidak ada yang tidak mungkin, jika Allah Swt. berkehendak jadilah, maka jadilah.
PERSEMBAHAN
1. Ayah dan ibu, serta keluarga besar di Tegal. 2. Keluarga besar Kos Pelangi Sastra di Yogyakarta
dan wisma Zakiyah El Shafira di Semarang untuk semua motivasi dan sandarannya.
3. Praktisi, akademisi dan pemerhati kearsipan Indonesia dan Internasional yang sudah banyak menginspirasi.
4. KADIKGAMA dan HIMADIKA FIB UGM untuk segala bentuk inspirasi dan inovasinya.
5. Pak Waluyo, Pak Burhan, Mba Imuth, Mas Suprayitno, Dek Dian, Dek Lia, Dek Astna, Dek Tatik, Dek Maya, Dek Fasyiah untuk segala bentuk pengertian, semangat, inspirasi dan pemahamannya.
iv
v
vi
PRAKATA
Alhamdulillah, puji syukur kehadirat Allah Swt., Maha Cendekia lagi Maha
Bijaksana, atas limpahan rahmat dan hidayah-Nya sehingga peneliti dapat
menyelesaikan penulisan skripsi yang berjudul “Pengaruh Pengelolaan Arsip Serat
Kekancingan Terhadap Pengaturan Hak Atas Tanah Berstatus Magersari Paska
Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan Dan Agraria (UUPA) 1960 (Studi Kasus
Arsip Serat Kekancingan di Kota Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta)”.
Dalam kesempatan ini, penulis mengucapkan terima kasih kepada:
1. Dra. Ngesti Lestari, M.Si dan Dr. Agustinus Supriyono, M.A, selaku dosen
pembimbing dalam penulisan skripsi.
2. Drs. Ary Setyadi, MS. selaku ketua lintas jalur program studi Ilmu
Perpustakaan, Fakultas Ilmu Budaya Undip.
3. Dra. Sri Ati Suwanto, M.Si selaku ketua jurusan Ilmu Perpustakaan, Fakultas
Ilmu Budaya Undip.
4. Staf dekanat dan staf pengajar Fakultas Ilmu Budaya Undip, terutama pada
jurusan ilmu perpustakaan peminatan kearsipan.
5. Pihak Keraton Yogyakarta dan Pemerintah Kota Yogyakarta.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan skripsi ini terdapat kekurangan
dalam berbagai hal. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran yang
membangun demi tercapainya kesempurnaan dalam skripsi ini. Akhirnya penulis
berharap semoga skripsi ini dapat bermanfaat bagi pembaca.
Semarang, September 2013
Penulis
vii
ABSTRAK
Skripsi ini berjudul “Pengaruh Pengelolaan Arsip Serat Kekancingan Terhadap Pengaturan Hak Atas Tanah Berstatus Magersari Paska Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan Dan Agraria (UUPA) 1960 (Studi Kasus Arsip Serat Kekancingan Di Kota Yogyakarta Daerah Istimewa Yogyakarta)”. Tujuan dari penelitian ini adalah mengetahui dan memahami sejarah arsip serat kekancingan sebagai bukti legal pemegang hak magersari atas tanah keraton, mengetahui dan memahami pengelolaan arsip serat kekancingan sebagai bukti legal pemegang hak magersari atas tanah Keraton Yogyakarta, mengetahui dan memahami pengaruh yang ditimbulkan dari pengelolaan arsip serat kekancingan terhadap pengaturan hak tanah magersari di Kota Yogyakarta sebelum dan setelah pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960. Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah kualitatif dengan jenis penelitian studi kasus. Adapun subjek penelitian adalah pengelola arsip serat kekancingan, baik petugas arsip maupun warga pemegang arsip kekancingan. Jenis dan sumber data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu data primer (catatan lapangan, analisis arsip dan transkrip in-deepth interview) dan data sekunder (studi literatur dan rujukan akademis). Teknik pengumpulan data menggunakan tiga sumber, yaitu studi pustaka, observasi tanpa peranserta dan terbuka, dan wawancara mendalam. Sedangkan analisis data yang digunakan yaitu pendekatan oral history (sejarah lisan). Hasil penelitian yang telah dilakukan diperoleh simpulan bahwa periode awal penggunaan arsip serat kekancingan sebagai bukti legalitas pemegang hak magersari belum diketahui secara pasti, namun arsip kekancingan tertua yang sudah diinventarisasi bagian arsip di Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta berada pada periode 1942 – 1946. Selain itu, pengelolaan arsip serat kekancingan berpengaruh dalam pengaturan hak atas tanah dengan status penghuni magersari setelah diberlakukannya UUPA 1960. Penataan arsip yang belum sesuai standar kearsipan yang baik menyebabkan sulitnya proses temu balik arsip, munculnya beragam sengketa tanah antar warga, antar kerabat kerabat keraton maupun antara warga dengan keraton, serta arsip menjadi rawan terhadap berbagai bahaya, seperti pemalsuan dan pencurian. Saran yang diajukan, yaitu perlunya penguatan landasan hukum dalam administrasi arsip serat kekancingan, pendayagunaan tenaga arsiparis BPAD Yogyakarta untuk membimbing penataan arsip yang sesuai standar prosedur, pembenahan sistem pemberkasan arsip, dan pengadaan sarana dan prasarana kearsipan yang lebih baik dan aman bagi keamanan fisik maupun informasi arsip. Kata kunci : serat kekancingan, magersari, tanah, Yogyakarta
viii
ABSTRACT
This research entitled “The Impact of Record Management of Serat Kekancingan Toward the Adjusment of Land Rights with Magersari Status After the Enforcement of Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960 (A Case Study related to Serat Kekancingan in Yogyakarta City, in the Daerah Istimewa Yogyakarta)”. This study attempts to discover and comprehend the history of serat kekancingan as a legal evidence of magersari land rights, understanding the records management of serat kekancingan, and the impact of record management of serat kekancingan toward the adjusment of magersari land rights (Undang-Undang Pertanahan dan Agraria or UUPA) in Yogyakarta city area after the enforcement of land and agrarian law number 5 by the year of 1960. The method used in this research is qualitative research by case study reseach. The sources of this research is obtained from record creators of serat kekancingan which is managed by Tepas Banjar Wilapa and Tepas Paniti Kismo of KeratonYogyakarta. The type and data sources used in this research were primary data (field notes, record analysis and in-depth interview) and secondary data (literature review and academic references). The data collection method applied in this research used three sources; they were literature study, open non-participation’s observation, and in-deepth interview. Meanwhile, the data analysis method applied in this research used oral history approach. The result showed that early period of serat kekancingan as a legal evidence of magersari land rights is still unknown. But, the earliest archives that inventoried in Widya Budaya’s library is in 1942 – 1946. Furthermore, the record management of serat kekancingan has a say in the management of land rights with impact status after the reinforcement of UUPA 1960. Record regulation which is not compatible with the record criteria will causing trouble in record retrieval process, the emergence of many land disputes between the citizens, between the keraton’s kinsmen, or between citizens and the keraton, and the record could be in hazardous, also forgery and thievery. Based on the result obtained from the research, the writer suggests that there should be strengthening of law basis in serat kekancingan’s record administration, the utilization of archivist staff in BPAD Yogyakarta to introduce record regulation which is compatible to the standard procedure, the revamping of record filing system, and also procurement of best facilities and infrastructure for better records administration in Tepas Paniti Kismo Keraton Yogyakarta. Keywords : serat kekancingan, magersari, land, Yogyakarta
ix
DAFTAR ISI
HALAMAN JUDUL ............................................................................................ i
PERNYATAAN .................................................................................................. ii
MOTTO DAN PERSEMBAHAN ....................................................................... iii
HALAMAN PERSETUJUAN ............................................................................ iv
HALAMAN PENGESAHAN .............................................................................. v
PRAKATA ......................................................................................................... vi
ABSTRAK ........................................................................................................ vii
DAFTAR ISI ...................................................................................................... ix
DAFTAR ISTILAH ........................................................................................... xii
DAFTAR GAMBAR ................................................................................................... xvii
DAFTAR LAMPIRAN ................................................................................... xviii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang ............................................................................................... 1
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah ...................................................................... 7
1.3 Tujuan Penelitian ........................................................................................... 7
1.4 Manfaat Penelitian ......................................................................................... 8
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian ......................................................................... 9
1.6 Kerangka Pemikiran ..................................................................................... 11
1.7 Batasan Istilah .............................................................................................. 11
BAB II TINJAUAN PUSTAKA ........................................................................ 15
BAB III METODE PENELITIAN ..................................................................... 19
3.1 Desain dan Jenis Penelitian .......................................................................... 19
3.2 Objek dan Subjek Penelitian ........................................................................ 19
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian ....................................................................... 20
3.4 Pengumpulan Data ....................................................................................... 20
3.5 Pengolahan dan Analisis Data ...................................................................... 22
x
BAB IV GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN .................................... 25
4.1 Sejarah Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta .............................................. 25
4.1.1 Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX .............................. 26
4.1.2 Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono X ............................... 30
4.2 Sejarah Pertanahan di Yogyakarta ................................................................ 32
4.2.1 Periode Sebelum Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan
Agraria (UUPA) 1960 di Kota Yogyakarta…………………………..……..32
5.2.2 Periode Setelah Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan
Agraria (UUPA) 1960 di Kota Yogyakarta ................................................ 34
BAB V PENGARUH PENGELOLAAN ARSIP
SERAT KEKANCINGAN TERHADAP PENGATURAN
HAK PENGGUNAAN TANAH BERSTATUS MAGERSARI
DI KOTA YOGYAKARTA .................................................................. 37
5.1 Sejarah Arsip Serat Kekancingan ................................................................. 37
5.2 Profil Pencipta Arsip di Keraton Kasultanan Yogyakarta ............................. 39
5.3 Pengelolaan Arsip Serat Kekancingan .......................................................... 42
5.3.1 Tahap Penciptaan ...................................................................................... 42
5.3.2 Tahap Penggunaan dan Pemeliharaan ........................................................ 44
5.3.3 Tahap Penyusutan ..................................................................................... 48
5.4 Pengaruh Pengelolaan Arsip Kekancingan terhadap Pengaturan
Hak Penggunaan Tanah Berstatus Magersari ................................................ 49
5.4.1 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa Kios
di Jalan Suryowijayan ............................................................................... 50
5.4.2 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa
Jalan Brigjen Katamso Gondomanan ......................................................... 54
5.4.3 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa
Pengelolaan Hak Magersari Antar Kerabat Keraton Yogyakarta ................ 56
xi
BAB VI SIMPULAN DAN SARAN ................................................................. 59
6.1 Simpulan ...................................................................................................... 59
6.2 Saran ............................................................................................................ 61
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................ 63
xii
DAFTAR ISTILAH
Abdi dalem : orang yang mengabdi kepada raja
Apanage : tanah lungguh dalam Bahasa Belanda
Arsip dinamis aktif : arsip yang frekuensi penggunaan
dalam administrasi keseharian masih
tinggi
Arsip statis : arsip yang tidak lagi digunakan dalam
kegiatan administrasi pencipta namun
memiliki nilai kebuktian dan ilmu
pengetahuan
Bekel : orang yang mengelola tanah-tanah
lungguh para bangsawan pada masa
kolonial sebelum reorganisasi tanah
di daerah pedesaan.
Filing cabinet : tempat penyimpanan arsip dinamis
aktif berupa lemari yang terbuat dari
besi
Folder : tempat penyimpanan arsip berbentuk
map
Hak andarbe : hak milik individual yang bisa
diwariskan
Hak Anggaduh : hak menggarap
In Natura : dengan barang
xiii
Jadwal Retensi Arsip (JRA) : suatu daftar yang berisi tentang
kebijakan penyimpanan jangka
panjang arsip dan penetapan simpan
permanen dan musnah
Jeron beteng : wilayah dalam benteng kerajaan
Kapanewon : setingkat kecamatan
Kasunanan : kerajaan yang dikepalai oleh sunan
(setingkat sultan)
Kawedanan Hageng Sarta Kriya : bagian dalam wilayah organisasi
pemerintahan Keraton Yogyakarta
yang mengatur masalah kendaraan
dan bangunan Keraton Yogyakarta,
termasuk di dalamnya tanah keraton
Ketlingsut : terselip
Kitab Angger-angger : kumpulan sumber hukum yang
dipakai sebagai pedoman dalam
menjalankan roda peradilan
tradisional di Kasultanan Yogyakarta
Klapper : suatu daftar mengenai nama, tempat
dan berbagai subject heading lainnya
yang disusun secara alfabetis dan
xiv
berfungsi sebagai jalan masuk
terhadap buku-buku index saja
Landreform : pengaturan kembali masalah
pertanahan
Lintir : pemindahan hak magersari atas tanah
tersebut diberikan kepada orang lain
Liyer : pemindahan hak magersari atas tanah
diberikan atau diwariskan pada
keturunannya atau kerabat.
Magersari : orang yang bertempat tinggal di atas
tanah milik keraton karena telah
berjasa atau sebab pewarisan, baik
melalui liyer atau lintir.
Mancanagara : wilayah kerajaan yang berada di luar
nagaragung. Wilayah mancanegara
Kerajaan Yogyakarta jika dilihat pada
perspektif kekinian diantaranya
Semarang, Banyumas, Ngawi, Madiun
dan sekitarnya.
Manuskrip : naskah kuno
Mengeti Siti : daftar pencatatan tanah
Nagara atau Nagaragung (Nagara Agung) : daerah di sekitar kuthagara (keraton)
yang banyak terdapat tanah lungguh
xv
Pakualaman ground : tanah yang dimiliki dan dikelola oleh
Kadipaten Pakualaman
Pamong praja : pegawai pemerintahan
Panewu : setingkat camat
Paniti Kismo : satuan khusus Keraton Yogyakarta
yang menangani masalah pertanahan
keraton
Priyayi : birokrat, pegawai pemerintah atau
kerajaan yang merupakan golongan
atas dalam masyarakat Jawa
Rijksblaad : lembaran kerajaan dalam Bahasa
Belanda
Romusha : kerja paksa pada masa pendudukan
Jepang
Serat kekancingan : surat keputusan tentang kepemilikan
tanah atau silsilah keturunan atau
pengangkatan jabatan.
Sultan ground : tanah yang dimiliki dan dikelola oleh
pihak kasultanan
Swapraja : daerah bekas kerajaan yang memiliki
kekhususan peraturan dan diakui
oleh pihak penjajah
xvi
Tanah Lungguh : tanah jabatan sementara yang
diberikan sebagai gaji seorang
priyayi karena mereka memiliki
jabatan dalam pemerintahan kerajaan
pada waktu tertentu atau bangsawan
karena ikatan kekeluargaan.
Tedakan : salinan atau turunan
Tepas Banjar Wilapa : Kantor yang mengurusi dokumentasi
Keraton Yogyakarta, baik bahan
pustaka, manuskrip hingga arsip
VOC : Vereenigde Oost Indische Compagnie
(Persekutuan Perusahaan Dagang
Hindia Timur milik Belanda)
xvii
DAFTAR GAMBAR
Gambar 1 ........................................................................................................... 47
Gambar 2 ........................................................................................................... 51
Gambar 3 ........................................................................................................... 55
Gambar 4 ........................................................................................................... 57
xviii
DAFTAR LAMPIRAN
LAMPIRAN A Ringkasan Transkrip Narasumber ............................................... 67
LAMPIRAN B Contoh Arsip Kekancingan dan Surat Permohonan
Hak Magersari ............................................................................ 69
LAMPIRAN C Dokumentasi Penelitian .............................................................. 73
LAMPIRAN D Lembar Konsultasi Skripsi.......................................................... 76
LAMPIRAN E Peta ............................................................................................ 78
LAMPIRAN F Surat Ijin Penelitian .................................................................... 79
LAMPIRAN G Biodata Peneliti…………………………………………………. 80
1
BAB I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Pembahasan tentang pertanahan di Indonesia dinilai cukup sensitif, tetapi
juga menarik. Indonesia sebagai negara kepulauan dengan dominasi wilayahnya
yang diliputi laut, faktanya memiliki persoalan tanah yang terbilang rawan. Setiap
tahun dapat ditemui beberapa kasus sengketa tanah, baik antar warga, warga
dengan perusahaan, bahkan warga dengan negara. Sengketa tanah tersebut
seringkali dilatar belakangi oleh tiadanya alat bukti dokumen yang sah di pihak
masyarakat awam atau alat bukti dokumen ganda dengan objek tanah yang sama.
Sumber sengketa yang berkaitan dengan dokumen, dapat dilihat dari kesadaran
dan kepahaman dalam pengelolaan arsip pertanahan di lembaga pertanahan.
Kesadaran dan kepahaman timbul dari pengetahuan tentang pentingnya arsip dan
pengelolaannya.
Pada mulanya, arsip dipahami sebagai kumpulan naskah. Perkembangan
teknologi informasi dan direvisinya undang-undang kearsipan, pengertian arsip
mengalami perluasan. Dalam undang-undang nomor 43 tahun 2009 tentang
kearsipan menegaskan:
Arsip adalah rekaman kegiatan atau peristiwa dalam berbagai bentuk dan media sesuai dengan perkembangan teknologi informasi dan komunikasi yang dibuat dan diterima oleh lembaga negara, pemerintahan daerah, lembaga pendidikan, perusahaan, organisasi politik, organisasi kemasyarakatan, dan perseorangan dalam pelaksanaan kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara (ANRI, 2010: 4).
2
Menurut undang-undang tersebut, arsip diartikan sebagai rekaman peristiwa
dalam bentuk tekstual dan non-tekstual yang diciptakan oleh beberapa kelompok
sosial, baik milik negara, daerah, swasta, perseorangan hingga swadaya
masyarakat. Pengelolaan arsip pun mengalami perkembangan setelah
ditemukannya teori Records Continuum Model yang membagi pengelolaan arsip
dalam 4 tahap yang saling bersinggungan, yaitu penciptaan arsip, alih media atau
konversi arsip (records capture), organisasi memori pribadi dan korporasi, serta
pluralisasi memori kolektif. Namun pada kenyataannya, konsep Records
Continuum Model ini belum banyak dipahami dan diaplikasikan secara utuh
menyeluruh dalam pengelolaan arsip di Indonesia, utamanya arsip pertanahan.
Hal ini mengakibatkan masih meluasnya sengketa tanah, utamanya di daerah-
daerah.
Selain pemahaman terhadap tata kelola arsip, perlu juga diketahui dan
dipahami bentuk arsip yang menjadi alat bukti kuat dalam pengaturan tanah,
khususnya di daerah-daerah yang memiliki kekhususan administrasi
pemerintahan. Meskipun secara umum alat bukti kuat pemanfaatan tanah oleh
perseorangan dan/atau lembaga dapat melalui akta atau sertifikat tanah, tidak
demikian halnya yang berlaku di Daerah Istimewa Yogyakarta. Sebelum
diberlakukannya undang-undang keistimewaan nomor 13 tahun 2012, Yogyakarta
sudah diakui sebagai daerah istimewa pada masa pemerintahan Presiden
Soekarno. Melalui pemberlakuan undang-undang nomor 13 tahun 2012, salah satu
pengakuan keistimewaan Yogyakarta ada pada pengelolaan tanah.
3
Yogyakarta, dalam perjanjian Giyanti 1755 merupakan salah satu wilayah
pecahan Kerajaan Mataram Islam. Pada masa sebelum reorganisasi tanah sekitar
tahun 1918, tanah dibawah kuasa penuh sultan (raja). Hal ini didasarkan pada
konsep kerajaan Jawa bahwa sultan (raja) adalah sumber satu-satunya dari
segenap kekuatan dan kekuasaan, dan dialah pemilik segala sesuatu di dalam
kerajaan, dan karena itu dia diidentikkan dengan kerajaan (Soemardjan, 1981: 28).
Selo Soemardjan menggambarkan bentuk kewilayahan kerajaan Jawa dalam
diagram lingkaran sebagai berikut:
Lingkaran 1 menunjukkan lingkungan keraton, mencakup istana kediaman
sultan (raja) bersama keluarganya. Pada lingkungan ini juga terdapat kantor para
pangeran dan bangsawan yang menjadi penyambung komunikasi Sultan dengan
kalangan priyayi atau wong cilik (rakyat). Di lingkungan keraton berlaku pula
1
2
3
4
SULTAN
4
aturan-aturan sangat ketat masalah bahasa,pakaian,tatalaku dan protokol khusus.
Lingkaran kedua disebut nagara atau ibukota yang didiami oleh kaum
bangsawan, para pangeran, patih dan pejabat tinggi lainnya. Mereka bertanggung
jawab atas berbagai hal di luar keraton. Lingkaran ketiga disebut wilayah
nagaragung atau nagara agung atau ibukota yang besar, yang dibagi dalam
beberapa petak tanah dan penduduknya, dengan seorang pangeran atau priyayi
tingkat tinggi yang diberi hak menarik pajak atas nama sultan (raja). Lingkaran
keempat atau terluar disebut mancanagara. Sultan tidak memperkenankan para
pangerannya memiliki tanah lungguh (tanah yang diberikan sultan kepada
keluarga dan birokrat kerajaan) di wilayah mancanagara. Bahkan sultan pribadi
yang kemudian menunjuk para bupati untuk memerintah di wilayah mancanagara,
dibawah pengawasan dan bimbingan patih. Paska perjanjian yang ditandatangani
pada tahun 1831 antara sultan dengan Belanda usai perang Diponegoro, pihak
keraton kehilangan seluruh wilayah mancanagara – nya.
Posisi rakyat pada masa sebelum reorganisasi 1918 hanya sebagai penggarap
tanah lungguh. Mereka hanya dikenakan hak anggaduh atau hak pakai, istilah lain
dari kerja wajib, juga membayar pajak. Ketika sejumlah perusahaan swasta
memasuki Yogyakarta dan melakukan transaksi sewa atas tanah lungguh, para
kapitalis mendapatkan hak atas tanah beserta penggarapnya. Oleh karena pada
awalnya hanya sebagai penggarap, rakyat yang kemudian dijadikan buruh
perusahaan, tidak mendapatkan upah. Hal ini menimbulkan kesulitan hidup yang
bertambah bagi rakyat penggarap tanah. Pada tahun 1912, para pejabat keraton
5
dan Belanda sepakat untuk memberikan perlindungan hukum kepada penduduk
pedesaan yang berlaku pada tahun 1918, atau masa landreform.
Paska reorganisasi 1918 yang juga ditandai dengan pembentukan
desa/kelurahan sebagai badan hukum, diberikan pula hak andarbe atau hak milik
atas tanah dalam wilayahnya, kecuali tanah-tanah yang dibawah kendali langsung
kerajaan (Departemen Kehakiman, 1977: 296). Namun hak rakyat secara individu
atas tanah masih berupa hak anggadhuh atau hak pakai, meski secara turun-
temurun atau dapat diwariskan. Pada masa ini, tanah lungguh dihapuskan, dan
berdasarkan RK (Rijksblaad Kasultanan) nomor 16/1918 pasal 4 jo pasal 7 dan
RPA (Rijksblaad Pakualaman) nomor 18/1918 bahwa tanah-tanah yang kemudian
diserahkan kepemilikannya kepada desa diperuntukkan sebagai :
1. Tanah bengkok (gaji) bagi pejabat-pejabat desa yang masih aktif; 2. Tanah pangarem-arem (pensiun) bagi pejabat-pejabat desa yang telah
berhenti dengan hak mendapat pensiun; 3. Tanah kas desa (kekayaan desa) untuk membiayai administrasi dan
pembangunan desa) (Departemen Kehakiman, 1977: 297).
Kondisi pertanahan tersebut berlangsung hingga dikeluarkannya Peraturan
Daerah Istimewa Yogyakarta bidang agraria yang mengubah hak rakyat atas tanah
dari hak anggadhuh atau hak pakai turun temurun menjadi hak andarbe atau hak
milik turun-temurun dalam ikatan desa. Dengan demikian, penggunaan tanah di
desa berdasarkan PDIY nomor 5 tahun 1954 pasal 6 ayat 3 yaitu:
1. Lungguh; 2. Pangarem-arem; 3. Kas desa 4. Kepentingan umum.
Magersari berbeda secara harfiah dengan tanah lungguh. Status magersari
diberikan karena seorang abdi dalem dianggap telah berprestasi terhadap kerajaan
6
(keraton). Prawiroatmodjo dalam “Bausastra Jawa-Indonesia” mengartikan
magersari sebagai orang yang menumpang di halaman para bangsawan atau orang
lain (Prawiroatmodjo, 1957 : 322). Hal ini mengindikasikan bahwa magersari
bukanlah status tanah, namun status penghuni atau penggarap tanah yang
merupakan bagian dari sultan ground. Pernyataan bahwa magersari merupakan
bagian dari sultan ground dijelaskan oleh Sri Sultan Hamengkubuwono X dalam
pengantar “Naskah Sumber Arsip seri 3: Ngindung di Tanah Kraton Yogyakarta”
terbitan Kantor Arsip Daerah Yogyakarta, bahwa hak magersari diberikan kepada
penghuni sultan ground karena adanya ikatan historis, diperuntukkan bagi WNI
asli dengan jangka waktu selama mereka menghuni, juga berkaitan dengan
prestasi kepada keraton (Kantor Arsip Daerah Yogyakarta, 2010 : xiii). Setelah
pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria nomor 5 tahun 1960,
terjadi dualisme hukum pertanahan di wilayah Yogyakarta, khususnya terkait
dengan pengelolaan sultan ground yang di dalamnya terdapat penghuni berstatus
hak magersari. Kondisi tersebut juga berdampak dalam pendokumentasian
kepemilikan tanah. Pada umumnya, pendokumentasian hak atas tanah hanya
berupa sertifikat atau akta tanah yang dikeluarkan oleh Badan Pertanahan
Nasional. Sementara itu, dalam pengelolaan tanah keraton, arsip yang mendapat
prioritas pertama adalah kepemilikan serat kekancingan, selain juga pengesahan
dari Kantor Pertanahan Kota Yogyakarta.
Arsip serat kekancingan merupakan salah satu jenis arsip vital. Hal ini tersirat
dari pernyataan pengageng Paniti Kismo KGPH Hadiwinoto bahwa pihak keraton
menerbitkan serat kekancingan hanya satu kali kepada yang terlebih dahulu
7
mengajukan permohonan. Menurut undang-undang nomor 43 tahun 2009 tentang
kearsipan disebutkan bahwa arsip vital adalah arsip yang keberadaannya
merupakan persyaratan dasar bagi kelangsungan operasional pencipta arsip, tidak
dapat diperbarui, dan tidak tergantikan apabila rusak atau hilang. Penekanan
pengelolaan arsip vital terdapat pada metode perlindungan dan penyusutan,
sedangkan pada tahap penciptaan hingga pendistribusian termasuk dalam
rangkaian pengelolaan arsip dinamis.
1.2 Rumusan dan Batasan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis akan mengambil permasalahan
sebagai berikut:
1. Bagaimana sejarah kemunculan arsip serat kekancingan?
2. Bagaimana pengelolaan arsip serat kekancingan paska pemberlakuan
undang-undang pertanahan dan agraria (UUPA) nomor 5 tahun 1960?
3. Bagaimana pengaruh arsip serat kekacingan dalam pengaturan hak atas
tanah keraton yang berupa tanah dengan penghuni berstatus magersari?
1.3 Tujuan Penelitian
Tujuan dari penelitian ini yaitu:
1. Mengetahui dan memahami sejarah arsip serat kekancingan sebagai
bukti legal pemegang hak magersari atas tanah keraton;
2. Mengetahui dan memahami pengelolaan arsip serat kekancingan sebagai
bukti legal pemegang hak magersari atas tanah Keraton Yogyakarta;
8
3. Mengetahui dan memahami pengaruh yang ditimbulkan dari pengelolaan
arsip serat kekancingan terhadap pengaturan hak tanah magersari di
Kota Yogyakarta sebelum dan setelah pemberlakuan Undang-Undang
Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960.
1.4 Manfaat Penelitian
1.4.1 Manfaat Teoritis
Secara teoritis, penelitian ini dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
pengembangan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu kearsipan dan sejarah lokal.
Selain itu, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi bagi penelitian
selanjutnya.
1.4.2 Manfaat Praktis
1.4.2.1 Bagi Peneliti
Dengan dilaksanakannya penelitian ini, diharapkan penulis dapat memahami
penerapan ilmu kearsipan, baik secara teoritis maupun praktis di bidang
pertanahan, terutama tanah yang dikelola lembaga khusus seperti Keraton
Yogyakarta. Hal ini dapat menambah wawasan dan pengetahuan tentang
pengembangan ilmu kearsipan dan korelasinya dengan disiplin keilmuan lain
seperti pertanahan, hukum dan sejarah, dalam memberikan solusi terbaik bagi
permasalahan pengelolaan tanah keraton, terutama setelah ditetapkannya undang-
undang keistimewaan Yogyakarta.
9
1.4.2.2 Bagi Objek Penelitian
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi
Kota Yogyakarta, Arsip Keraton Yogyakarta, Kawedanan Ageng Panitikismo
serta Badan Pertanahan Nasional Provinsi DI Yogyakarta dalam pengembangan
dan pemahaman kearsipan, sekaligus sebagai bahan evaluasi dalam perencanaan
pengelolaan arsip serat kekancingan.
1.4.2.3 Bagi Pihak Lain
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan
seputar penerapan ilmu kearsipan dalam menjawab persoalan bidang pertanahan,
khususnya tanah Magersari di Yogyakarta. Selain itu, juga dapat dimanfaatkan
sebagai bahan rujukan kajian oleh pihak-pihak yang membutuhkan, terutama
bidang kearsipan, pertanahan dan hukum.
1.5 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian ini dilakukan di wilayah Kota Yogyakarta. Kota Yogyakarta
merupakan ibukota Daerah Istimewa Yogyakarta dengan luas wilayah 32,5 Km2.
Kota Yogyakarta terbagi dalam 14 kecamatan, 45 kelurahan, 617 RW dan 2531
RT dengan jumlah penduduk 428.282 jiwa. Kota Yogyakarta memiliki ragam
potensi wisata yang menunjang kehidupan masyarakatnya. Selain Keraton
Yogyakarta dan pusat belanja Malioboro, terdapat juga beberapa perkampungan
budaya di kawasan jeronbeteng (dalam benteng) yang umumnya dihuni para abdi
dalem dengan kekhasan masing-masing. Potensi bidang pariwisata tersebut
10
menjadikan Kota Yogyakarta memiliki tingkat hunian dan kebutuhan lahan yang
cukup tinggi.
Waktu penelitian dibatasi dari bulan April hingga Agustus 2013 karena
sedang dilakukan pendataan inventaris Keraton Yogyakarta, termasuk dalam hal
ini adalah tanah milik keraton. Pendataan inventaris keraton kembali dilakukan
menyusul diberlakukannya undang-undang keistimewaan Yogyakarta dan
penyusunan draft peraturan daerah keistimewaan.
11
1.6 Kerangka Pemikiran
1.7 Batasan Istilah
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, istilah pengaruh diartikan sebagai
daya yang ada atau timbul dari sesuatu (orang,benda) yang ikut membentuk
Serat Kekancingan
Lintiran
SultanGround
Magersari
Abdi Dalem Keraton
Liyer
Paniti Kismo Kantor Pertanahan
Pewaris I,II,III,dst.
Non-Pewaris
Calon Pengguna
Rekomendasi Kantor
Pertanahan
Magersari
Serat Kekancingan
KESENJANGAN
1. Pemindahan hak magersari tanpa pemberitahuan kepada pihak keraton (tidak dicatat secara resmi)
2. Alih guna untuk bangunan hunian permanen
3. Biaya sewa diatas batas maksimal sewa yang ditetapkan pihak keraton
4. Pengelolaan arsip serat kekancingan antara pihak pengguna dan Paniti Kismo.
12
watak, kepercayaan atau perbuatan seseorang. Sedangkan dalam Oxford Learner’s
Pocket Dictionary, istilah pengaruh diartikan sebagai :
1. Effect : change that somebody/something causes in somebody/something else;start to produce the results that are intended; come into use; (Oxford University Press, 2008 : 143)
2. Impact : strong effect that something has on somebody/something; (Oxford University Press, 2008 : 220)
3. Influence : effect that somebody/something has on the way somebody thinks or behaves or on the way something develops; power to produce an effect on somebody/something; somebody or something that affects the way people behave or think; have an effect on somebody/something. (Oxford University Press, 2008 : 228)
Jika melihat pada konteks sosiologi Yogyakarta, maka pengaruh dalam
penelitian ini lebih tepat diartikan sebagai sebuah impact. Meski pengaruh ini
membawa sebab-akibat seperti diartikan dalam istilah effect, Soerjono Soekanto
dalam “Kamus Sosiologi” menegaskan bahwa efek adalah :
1. Kekuasaan tanpa kekerasan atau paksaan 2. Penerapan kekuasaan 3. Kekuasaan yang menyangkut persuasi. (Soekanto, 1983 : 152)
Pengaruh arsip serat kekancingan terhadap pengaturan hak atas tanah
magersari tidak sekedar suatu penerapan kekuasaan keraton terhadap individu atau
kelompok yang menempati tanahnya dengan suatu ajakan. Penggunaan dokumen
tertulis untuk menempati tanah keraton jelas ditetapkan dalam hukum tradisional.
Oleh karena itu, jika individu atau kelompok yang menempati tanah magersari
tanpa dilengkapi arsip serat kekancingan, maka dapat diragukan legalitas dan
yuridisnya sehingga pihak keraton dapat memberlakukan hukum yang tegas
terhadap pihak yang bersangkutan. Apalagi dengan adanya inventarisasi aset
13
keraton, keberadaan arsip serat kekancingan akan lebih memudahkan dalam
pengelolaan aset tanah keraton, utamanya yang menempati berstatus magersari.
Kekancingan atau layang kekancingan dalam “Bausastra Jawa-Indonesia
diartikan sebagai piagam, surat keputusan atau ketetapan (Prawiroatmodjo, 1957:
205). Ada tiga pendapat utama yang tersebar di masyarakat Yogyakarta perihal
pemahaman serat kekancingan. Meski tidak dideskripsikan lebih detail dalam
literatur akademik, ada tiga pendapat utama yang tersebar di masyarakat perihal
pengertian dan pemahaman serat kekancingan, yaitu:
1. Serat kekancingan yang dimaknai sebagai surat keterangan silsilah
keturunan raja atau sultan (http://cakrakrisna.wordpress.com/, diakses:
Kedungpatangewu, 31 Januari 2013);
2. Serat kekancingan yang dimaknai sebagai surat keterangan hak sewa
tanah Magersari (http://www.antaranews.com/, diakses:
Kedungpatangewu, 31 Januari 2013);
3. Serat kekancingan sebagai surat keputusan pelantikan atau pengukuhan
abdi dalem keraton (http://www.solopos.com/, diakses:
Kedungpatangewu, 31 Januari 2013).
Arsip serat kekancingan yang dimaksud dalam penelitian ini adalah suatu
surat keterangan tentang hak sewa tanah Magersari. Pengelolaan arsip serat
kekancingan dibatasi pada pengelolaan di pihak Arsip Keraton Yogyakarta dan
warga Kota Yogyakarta yang berstatus Magersari sebagai perbandingan.
Istilah magersari sebagai orang yang menumpang di tanah para bangsawan
disepakati pula oleh Sudarsono dalam “Kamus Hukum”. Namun ada sedikit
14
penambahan, magersari diartikan sebagai orang yang rumahnya menumpang di
pekarangan orang lain, dapat pula diartikan orang yang mendiami tanah milik
negara dan sekaligus mengerjakan tanah tersebut (Sudarsono, 2007 : 256).
Konteks negara yang disebutkan dalam pengertian diatas dipahami sebagai nagari
ngayogyakarta dengan hak milik tanah berada di sultan (raja).
Pengelolaan arsip dalam penelitian ini dibatasi pada pengertian sistem
pemberkasan atau sistem penyimpanan arsip serat kekancingan yang dikelola oleh
Paniti Kismo bagian Administrasi dan Perpustakaan Widya Budaya Keraton
Yogyakarta bagian kearsipan. Hal ini karena pemberkasan merupakan elemen
penting dalam kegiatan kearsipan yang menentukan keberhasilan suatu sistem
kearsipan.
15
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Salah satu bidang yang menjadi perhatian utama menyangkut keistimewaan
Yogyakarta yaitu bidang pertanahan. Hal ini mengingat karakter daerah
Yogyakarta sebagai bekas daerah swapraja yang memiliki hak mengelola
pemerintahan sendiri, termasuk pengelolaan pertanahan sebagai salah satu unsur
keberadaan sebuah pemerintahan. Menurut perkembangan zaman, berkembang
pula literatur-literatur yang membahas tentang Yogyakarta, baik secara sosial
masyarakat hingga hukum, terutama hukum pertanahannya. Namun dalam hal
kearsipan di lingkungan kerajaan (keraton) belum ada literatur yang menelaah.
Fokus dokumen keraton lebih dilihat pada cabang ilmu tentang manuskrip, baik
berupa babad, kitab dan lain sebagainya. Meski termasuk dalam jenis arsip vital,
pengelolaan arsip serat kekancingan pun belum memenuhi standar pengamanan
seperti yang direkomendasikan oleh beberapa literatur kearsipan. Oleh karena itu,
penulis mengacu pada dua buku yang membahas program arsip vital dengan
sederhana agar mudah dipahami.
Buku pertama adalah “Penyusutan dan Pengamanan Arsip Vital Dalam
Manajemen Kearsipan” yang ditulis oleh Boedi Martono dan diterbitkan Pustaka
SinarHarapan. Boedi Martono, dalam buku ini, menjelaskan manajemen kearsipan
sebagai bab pengantar. Selain itu, dijelaskan pula ruang lingkup manajemen
kearsipan dan lembaga pengelola arsip, seperti ANRI dan unit kearsipan di
masing-masing organisasi pencipta arsip. Program penyusutan arsip menjadi
16
prioritas kedua yang dibahas oleh Boedi Martono. Program arsip vital difokuskan
pada pembahasan tentang pengamanan dan pemeliharaan, baik fisik maupunin
formasi yang terekam dalam arsip vital. Teori daur hidup arsip yang digunakan
Boedi Martono dalam setiap pembahasan memang telah banyak ditinggalkan
sebagian besar organisasi dan praktisi kearsipan. Namun jika melihat kembali
pada kondisi system kearsipan keraton, maka pembahasan dalam buku ini masih
relevan. Sayangnya, pembahasan seputar arsip vital yang hanya terfokus pada
masalah pengamanan dan pemeliharaan, meninggalkan satu point penting dalam
program arsip vital yang diamanatkan undang-undang nomor 43 tahun 2009, yaitu
identifikasi, perlindungan dan pengamanan, dan penyelamatan danp emulihan.
Meski demikian, diperlukan adanya analisis lebih fokus dan disesuaikan dengan
kondisi kearsipan keraton. Hal ini karena William Saffady lebih memfokuskan
pada manajemen kearsipan yang ada di lingkungan perusahaan.
Buku kedua adalah “Records and Information Management : Fundamentals
of Professional Practicekarya William Saffady yang diterbitkan oleh Association
of Records Managers and Administrators.William Saffady, dalam buku ini,
menjelaskan beberapa aspek mendasar dari manajemen kearsipan, terutama
manajemen arsip dinamis. Apabila Boedi Martono menjelaskan secara garis besar
manajemen kearsipan, maka William Saffady merinci lebih lengkap dan fokus.
Buku ini terbagi dalam tujuh bab, dan bab yang relevan sebagai penunjang utama
dalam penelitian ini adalah bab enam (Vital Records), bab tujuh (Managing Active
Records I : Document Filing Systems) dan bab delapan (Managing Active Records
II : Automated Document Storage and Retrieval). Pada bab enam dijelaskan
17
beberapa kegiatan yang tercakup dalam program arsip vital, diantaranya
establishing the vital records program, identifying vital records, risk analysis, dan
risk control.
Buku ketiga adalah “Perubahan Sosial di Yogyakarta” karya Selo
Soemardjan. Perkembangan sosial masyarakat Yogyakarta dibandingkan
masyarakat lain di Indonesia memang terbilang unik. Upaya mempertahankan
adat budaya asli di tengah gempuran berbagai ideologi dan budaya luar yang
masuk ke Yogyakarta secara damai maupun penindasan patut menjadi contoh.
Meski demikian, masyarakat Yogyakarta dalam perkembangannya tidak secara
kaku bertahan dengan adat budaya yang berakar dari pusat kerajaan (keraton).
Ada beberapa bentuk penyesuaian agar tidak terjadi shock culture, terutama
setelah Sri Sultan Hamengkubuwono IX bertahta, dan keputusan untuk bergabung
jadi bagian Negara Kesatuan Republik Indonesia. Perubahan tersebut tidak hanya
berupa minimalisasi upacara-upacara adat keraton, tetapi juga struktur
pemerintahan hingga masalah hak-hak pertanahan. Selo Soemardjan pun
membahas keterkaitan kehidupan petani dengan tanah garapannya yang menjadi
dominasi sosial masyarakat Yogyakarta. Penulis mengambil fokus pada bab-bab
yang membahas dinamika pemerintahan Kasultanan Yogyakarta pada masa
penjajahan Belanda hingga bergabung dengan Republik Indonesia. Perubahan
pemerintahan yang terjadi dalam kurun waktu yang cukup cepat tentu
berpengaruh pada persoalan penataan tanah sebagai simbol batas-batas
kewilayahan. Selain itu, penulis juga mengambil bab tentang kehidupan petani
sebagai dominasi masyarakat Yogyakarta di masa awal berdirinya Kasultanan
18
Yogyakarta dan pengaruhnya terhadap pengaturan tanah. Meski Selo Soemardjan
membahas secara komprehensif perubahan sosial dan imbasnya terhadap pola
pertanahan di Yogyakarta, namun masih terdapat hal-hal yang terperinci, terutama
pada masalah tanah milik keraton.Untuk menutup kekurangan buku ini, penulis
mengambil buku yang membahas tanah keraton dari tim ahli hokum keraton.
Buku keempat berjudul “Hak Sri Sultan Atas Tanah di Yogyakarta” karya
KPH Notoyudo yang diterbitkan pada tahun 1975. Buku ini membahas secara
komprehensif seputar hasil penelitian tim ahli hukum Keraton Yogyakarta tentang
hak-hak menyangkut tanah yang ada pada sri sultan. KPH Notoyudo membahas
seputar sejarah tanah keratin dari berbagai penelitian yang dilakukan bangsa
Barat, seperti Rouffaer dan de la Faille. Buku ini juga membahas bagaimana
seorang sultan mendapatkan hak pertanahan di wilayah Yogyakarta. Selain itu
juga dilengkapi dengan beberapa lampiran perundang-undangan untuk
memperkuat beberapa pernyataan hukum yang dibahas. Persoalan keistimewaan
Yogyakarta juga disinggung dalam buku karya KPH Notoyudo ini. Oleh karena
tidak dilengkapi peta wilayah maka pembaca awam akan kesulitan memahami
perubahan kondisi tanah keraton. Buku ini juga masih belum fokus pada tanah
dengan penghuni berstatus magersari.
19
BAB III
METODE PENELITIAN
3.1 Desain dan Jenis Penelitian
Desain penelitian yang digunakan adalah penelitian kualitatif, yaitu penelitian
yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami subjek
penelitian, misalnya perilaku, persepsi, motivasi, tindakan, dan lain-lain, secara
holistik, dan dengan cara deskripsi dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu
konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode ilmiah
(Moelong, 2013: 6). Oleh karena keberagaman jenis dari desain penelitian
kualitatif, penulis mengambil jenis penelitian studi kasus, yaitu dengan
mengambil permasalahan keterkaitan antara pengelolaan arsip serat kekancingan
dengan pengaturan hak sewa tanah di lingkungan tanah magersari. Penelitian studi
kasus merupakan istilah lain dari penelitian fenomenologis, yaitu peneliti
berusaha memahami arti peristiwa dan kaitan-kaitannya terhadap orang-orang
yang berada dalam situasi-situasi tertentu.
3.2 Objek dan Subjek Penelitian
Dalam penelitian ini, penulis mengambil subjek penelitian pengelola arsip
serat kekancingan, baik petugas arsip maupun warga yang menjadi pemegang hak
magersari. Objek penelitian yang diambil adalah arsip serat kekancingan tanah
magersari yang berada di lingkungan Kota Yogyakarta.
20
3.3 Tempat dan Waktu Penelitian
Penelitian dilaksanakan di Kota Yogyakarta yang merupakan ibukota dari
Daerah Istimewa Yogyakarta. Selain itu, dilakukan di Perpustakaan Keraton
Yogyakarta “Widya Budaya” sebagai pengelola arsip serat kekancingan. Untuk
mengetahui lebih jelas tentang pengaturan hak tanah Magersari, penelitian juga
dilakukan di Dinas Pertanahan Kota Yogyakarta dan Kawedanan Hageng Sarta
Kriya bagian Tepas Paniti Kismo sebagai penentu kebijakan penggunaan tanah.
Penelitian dilakukan pada bulan April hingga Juli 2013 karena pada masa ini
pemerintah Yogyakarta tengah bergiat untuk pendataan tanah di wilayahnya,
terutama tanah milik keraton.
3.4 Pengumpulan Data
Metode pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini yaitu metode
pengamatan (observasi) dengan teknik tanpa peranserta dan terbuka, metode
wawancara (interview) dengan teknik wawancara mendalam, dan metode analisis
dokumen. Metode pengamatan dengan teknik tanpa peranserta dan terbuka, yaitu
peneliti hanya melakukan satu fungsi (pengamatan) dan diketahui oleh subjek,
sehingga subjek menyadari bahwa ada orang yang mengamati hal yang dilakukan
subjek. Teknik ini dilakukan peneliti dengan melihat langsung pengelolaan arsip
kekancingan di Tepas Paniti Kismo dan Perpustakaan Widya Budaya Keraton
Yogyakarta, namun tidak terlibat aktif dalam praktik pengelolaan bersama petugas
arsip. Melalui observasi tanpa peranserta dan terbuka, peneliti mendapatkan data
21
primer berupa catatan lapangan tentang pengelolaan arsip serat kekancingan di
Tepas Paniti Kismo dan Perpustakaan Widya Budaya.
Metode wawancara dengan teknik pertanyaan mendalam dilakukan dengan
terlebih dahulu menentukan tema wawancara dan kriteria narasumber yang akan
diwawancara. Maksud dari teknik pertanyaan mendalam antara lain untuk
keperluan:
1. Klarifikasi jika pewawancara memerlukan lagi informasi tentang hal yang dipersoalkan sebelumnya;
2. Kesadaran kritis jika responden ditanyakan untuk memutuskan atau lebih kritis lagi, menanggapi sesuatu, menilai, atau memberikan contoh tentang sesuatu;
3. Penjelasan jika pewawancara memerlukan informasi mengenai berbagai aspek atau dimensi dari suatu pertanyaan;
4. Refokus jika responden ditanyai untuk mengaitkan, membandingkan, atau mempertentangkan jawabannya dengan topic atau ide, atau jika ditanyai untuk memikirkan alternative pemecahan atau hubungan sebab-akibat;
5. Informasi tentang intensitas perasaan responden. (Moelong, 2013 : 195-196)
Dalam penelitian ini, metode wawancara dengan pertanyaan mendalam
digunakan untuk mengklarifikasi dan memfokuskan kembali beberapa kasus
tertentu berkaitan dengan sengketa tanah yang berhubungan dengan keberadaan
bukti serat kekancingan di Kota Yogyakarta. Wawancara tidak hanya dilakukan
kepada pihak keraton selaku pencipta arsip kekancingan, tetapi juga warga yang
memegang kekancingan sehingga diharapkan muncul objektivitas dalam
memahami suatu sengketa. Metode wawancara mendalam menghasilkan data
primer berupa transkrip hasil wawancara mendalam dengan narasumber yang
telah ditentukan. Melalui transkrip hasil wawancara, peneliti dapat menganalisis
dan lebih menajamkan catatan lapangan yang diperoleh melalui metode observasi.
22
Metode analisis dokumen digunakan untuk menguji, menafsirkan, bahkan
untuk meramalkan. Dokumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah arsip
serat kekancingan milik warga Patehan, Kecamatan Keraton, Kota Yogyakarta
tahun 1970an. Dokumen berupa arsip kekancingan termasuk dalam dokumen
resmi yang dapat menyajikan informasi tentang keadaan, aturan, disiplin, dan
dapat memberikan petunjuk tentang gaya kepemimpinan. Dokumen arsip
kekancingan dalam penelitian ini digunakan sebagai sebuah bentuk pengujian
terhadap pengelolaan fisik yang kemudian berpengaruh pada pengaturan hak
magersari atas tanah Keraton Yogyakarta.
Selain ketiga metode tersebut, untuk lebih memperkaya pembahasan hasil
penelitian, digunakan beberapa data sekunder yang bersumber dari studi pustaka,
literatur terbitan berkala serta rujukan akademik berupa thesis magister.
3.5 Pengolahan dan Analisis Data
3.5.1 Pengolahan Data
Pengolahan data yang dilakukan dalam penelitian ini menempuh beberapa
langkah, yaitu :
1. Penelaahan data dari berbagai sumber, yaitu dari data primer dan
sekunder yang digunakan dalam penelitian;
2. Reduksi data, yaitu membuat rangkuman inti, proses dan pernyataan-
pernyataan yang sesuai dengan fokus penelitian;
3. Kategorisasi data sesuai dengan subfokus penelitian;
23
4. Penafsiran data melalui pembahasan hasil penelitian. (Moelong, 2013:
247).
3.5.2 Analisis Data
Untuk menajamkan analisis, pendekatan yang digunakan adalah pendekatan
oral history atau sejarah lisan yaitu usaha merekam kenangan yang dapat
disampaikan oleh pembicara sebagai pengetahuan tangan pertama, melalui
wawancara terencana (Baum, 1982 : 1). Teknik yang digunakan dalam
pendekatan oral history adalah wawancara topical narrative, yaitu pewawancara
mengarahkan narasumber pada topik yang sudah ditentukan, dalam kaitannya
dengan penelitian ini adalah tanah magersari. Adapun kriteria narasumber yang
digunakan, yaitu:
1. Narasumber memahami konsep pertanahan di Yogyakarta;
2. Narasumber pernah berada dalam lingkungan internal Keraton Yogyakarta
(sebagai abdi dalem);
3. Narasumber pernah mengalami sejumlah transaksi pertanahan, baik berupa
hibah sultan, sewa tanah, perpindahan hak, maupun jual beli tanah.
Wawancara dilakukan kepada arsiparis yang mengelola arsip statis di
Perpustakaan Widya Budaya dengan mengajukan beberapa pertanyaan yang
bersifat terbuka namun tetap terstruktur. Selain itu, wawancara juga dilakukan
kepada salah satu kerabat abdi dalem Keraton Yogyakarta yang bertempat tinggal
di kawasan jeron beteng untuk mengetahui pemahaman masyarakat Yogyakarta
terhadap tanah keraton dan dokumen serat kekancingan. Hasil wawancara dengan
24
narasumber terpilih dapat ditranskrip untuk memudahkan pembuatan indeks
rekaman. Indeks dibuat berdasarkan nama pengkisah, wilayah geografi yang
diperbincangkan serta berdasarkan subjek-subjek utama yang diliput dalam
wawancara (Baum, 1982 : 41). Perlu ditekankan bahwa metode oral history
dikembangkan untuk melengkapi cara-cara pengumpulan data yang konvensional,
sehingga sifatnya sebagai pelengkap dari data tertulis. Maka setelah dilakukan
indeksasi, dilakukan integrasi dan pencocokan data rekaman dengan data tertulis,
seperti peta pertanahan, arsip serat kekancingan, data hasil pengamatan di bagian
arsip Keraton Yogyakarta, dan data dari studi pustaka lainnya yang relevan
dengan fokus penelitian.
25
BAB IV
GAMBARAN UMUM OBJEK PENELITIAN
4.1 Sejarah Pemerintahan Kasultanan Yogyakarta
Pada mulanya, Keraton Yogyakarta merupakan satu kesatuan dengan Keraton
Surakarta dalam bingkai Kerajaan Mataram Islam. Secara berangsur-angsur,
Kerajaan Mataram Islam kehilangan kedaulatan yang beralih ke VOC (Vereenigde
Oost Indische Compagnie atau Persatuan Perusahaan Hindia Timur) Belanda dan
telah membuat 111 perjanjian dagang. Perjanjian-perjanjian tersebut lebih bersifat
perdagangan, namun pada tahun 1733 terdapat sebuah pasal politik yang
menyebutkan bahwa VOC diberi hak untuk membentuk pengadilan sendiri di
Semarang untuk menangani tiap kejahatan terhadap VOC (Soemardjan, 1981: 18).
Pengaruh politik VOC kembali terjadi pada pemberontakan Cina tahun 1742.
Perpecahan mulai terjadi karena pengingkaran janji sultan kepada Pangeran
Mangkubumi. Sultan berjanji memberikan hadiah berupa tanah apabila berhasil
meredam pemberontakan. Upaya damai terjadi setelah sultan meninggal dan telah
menandatangani perjanjian lebih dulu di depan Gubernur van Hohendorf agar
Sultan menyerahkan kerajaan Mataram kepada VOC dengan syarat bahwa hanya
keturunan sultan yang berhak menduduki tahta kerajaan. Perjanjian yang
dilakukan oleh Pangeran Mangkubumi dan pihak Belanda dilaksanakan di Desa
Giyanti pada tahun 1755 yang membagi Kerajaan Mataram menjadi dua wilayah,
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta yang dipimpin oleh Pangeran
Mangkubumi dengan gelar Sri Sultan Hamengkubowono. (Soemardjan, 1981:
20).
26
Ketika Inggris tiba dan menguasai Nusantara, terjadi perpecahan di dalam
Kasultanan Yogyakarta. Selo Soemardjan menjelaskan bahwa perpecahan timbul
karena keberpihakan salah satu putra Sri Sultan Hamengku Buwono I yang juga
saudara Sri Sultan Hamengku Buwono II, kepada Inggris sehingga Gubernur
Raffles memberikan sebagian kecil daerah Yogyakarta kepadanya. Inggris
mengakui pangeran tersebut terlepas dari sultan dan memberi gelar Pakualam
(Soemardjan, 1981: 21). Dengan demikian, Kasultanan Yogyakarta terpecah
menjadi kasultanan dan Kadipaten Pakualaman. Pengaruh politik Belanda
semakin besar setelah berkuasa kembali pada tahun 1816. Hubungan politik
dengan Kasultanan Yogyakarta selalu diatur dalam perjanjian politik yang harus
diperbaharui setiap kali seorang Putra Mahkota akan bertahta. Dalam Takhta
Untuk Rakyat: Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX dijelaskan
bahwa setiap kali dibuat kontrak atau perjanjian politik, Belanda selalu mencari
kesempatan untuk memperbesar dan memperluas kekuasaan karena lemahnya
sikap sultan yang tidak menguasai bahasa dan alam pikiran penjajah
(Atmakusumah (ed.), 2011: 30).
4.1.1 Masa Pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX
Perubahan besar terjadi pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku
Buwono IX. Ada kesalahan persepsi dari pihak Belanda dalam menghadapi Sri
Sultan ke IX dalam perundingan politik sebelum naik takhta. Anggapan bahwa
setiap putra mahkota dapat dengan mudah ditaklukkan dalam setiap perundingan
politik yang selalu dimenangkan pihak Belanda, tidak berlaku saat perundingan
27
dengan GRM Dorodjatun (Sultan ke IX). Berbekal pendidikan Barat yang pernah
dienyam, GRM Dorodjatun berhasil menghentikan tindakan licik yang selalu
dilakukan Belanda dengan menjadikan sultan sebagai boneka. Sebuah pernyataan
menarik yang menyiratkan sikap demokratik Sultan ke IX terlihat pada saat
upacara penobatan : walaupun saya telah mengenyam pendidikan Barat yang
sebenarnya, tetapi pertama-tama saya adalah dan tetap adalah orang Jawa
(Atmakusumah (ed), 2011 : 47).
Sultan ke IX hanya menghadapi masa penjajahan Belanda tidak lebih dari 2
tahun. Namun kontribusinya dalam mengamankan Yogyakarta dan menolak
penjajahan tidak berhenti setelah penjajahan Belanda digantikan oleh pendudukan
Jepang. Pada masa pendudukan Jepang terjadi perubahan struktur kepemimpinan,
yaitu ditiadakannya jabatan patih (Pepatih Dalem) sehingga tugas-tugas kepatihan
mulai diampu oleh sultan sendiri dan sultan menjadi lebih dekat dengan
rakyatnya. Sistem ini kemudian diadopsi oleh Pakualaman. Pengisian jabatan-
jabatan pamong praja tidak lagi berdasarkan trah kebangsawanan, tetapi juga
kecakapan, pendidikan dan senioritas. Perubahan pemerintahan ini, menurut Selo
Soemardjan, bertujuan untuk mencapai efisiensi yang lebih besar serta
demokratisasi pamong praja di daerah-daerah pedesaan (Soemardjan, 1981: 52).
Sultan juga menghapus kawedanan dan menempatkan wedana aktif beserta
stafnya ke tingkat kabupaten. Kondisi sosial masyarakat masa pendudukan
Jepang lebih beruntung jika dibandingkan dengan daerah-daerah lain. Hal ini
karena siasat Sultan ke IX agar masyarakat Yogyakarta tidak mudah dipekerjakan
sebagai romusha. Siasat tersebut yaitu memanipulasi data statistik Yogyakarta dan
28
meyakinkan pemerintah pendudukan bahwa Yogyakarta adalah daerah minus
(tidak subur).
Jelang akhir pendudukan Jepang, Sultan ke IX memberikan otonomi di
tingkat kabupaten seluruh Daerah Istimewa Yogyakarta. Pada masa ini juga
dikenal adanya kelompok wakil panewu untuk membantu para panewu dalam
pekerjaannya dan menggantikan mereka pada waktunya. Sri Sultan juga
menghapuskan kawedanan sebagai suatu satuan pemerintahan dan menempatkan
wedana beserta stafnya di kantor kabupaten. Pada tahun 1944, juga dibentuk
Panitia Pembantu Pamong Praja (PPPP) untuk membantu panewu di setiap
kapanewon, tetapi panitia ini tidak mampu memberikan pengaruh sebab para
panewu maupun anggota panitia tidak mengetahui cara pelaksanaan tugas sehari-
hari, bahkan tak pernah menerima latihan formal atau instruksi.
Setelah proklamasi kemerdekaan dikumandangkan, Kasultanan Yogyakarta
dan Kadipaten Pakualam menyatu dalam bingkai Daerah Istimewa Yogyakarta
dan diresmikan oleh pemerintah pusat melalui Undang-Undang Nomor 3 tahun
1952, yang sekaligus pengakuan sebagai daerah istimewa yang otonom dengan
kedudukan setingkat provinsi (Soemardjan, 1981: 59).
Arus urbanisasi dan perpindahan ibukota Republik Indonesia paska agresi
militer Belanda I menyebabkan perubahan struktur pemerintahan Yogyakarta.
Ibukota Republik Indonesia berpindah ke Yogyakarta pada 4 Januari 1946 atas
undangan Sri Sultan Hamengku Buwono IX (Atmakusumah (ed.), 2011: 66).
Dewan Perwakilan dibentuk berdasarkan dekrit nomor 18/1946 tanggal 13 Mei
1946. Dewan tersebut dibentuk sebagai jawaban perkembangan situasi politik
29
yang memunculkan partai-partai sebagai organisasi yang sempat dilarang pada
masa pendudukan Jepang, sesuai dekrit yang dikeluarkan oleh wakil presiden
pada tanggal 3 November 1945. Dewan eksekutif memiliki lima anggota di bawah
pimpinan kepala daerah dan bertanggung jawab kepada dewan legislatif.
Menurut Selo Soemardjan, dekrit yang membidani lahirnya dewan
perwakilan tidak dimaksudkan untuk melimpahkan lebih banyak kekuasaan dari
pemerintah daerah ke masing-masing kabupaten, namun memberikan kesempatan
untuk membicarakan masalah-masalah pemerintahan dan keputusan yang dibuat
tidak memiliki kekuatan hukum (Soemardjan, 1981: 64-65). Lebih lanjut
dijelaskan bahwa dewan pada tingkat kabupaten memiliki pengaruh menstabilkan
psiko-sosial dalam kekacauan sosial. Dewan sebagai penyalur suara rakyat dan
sebagai peredam tekanan-tekanan politik dan psikologis sebagai akibat rezim
Belanda dan Jepang.
Dalam kaitannya dengan pengelolaan tanah, perlu diperhatikan juga
perubahan yang terjadi di tingkat pemerintahan desa. Pada dasarnya, dalam
pemerintahan desa di masa akhir penjajahan Belanda terdapat suatu bentuk
demokrasi produk lokal dari struktur pemerintahan desa yang tidak diadopsi dari
demokrasi barat. Perkembangan pedesaan di Yogyakarta berawal dari kelompok
kebekelan yang diorganisasi secara longgar pada masa tanah-tanah jabatan
bangsawan menjadi desa yang tersusun secara formal dengan kepala desa beserta
pembantu-pembantu yang dipilih, dewan desa dan hak-hak pewarisan perorangan
atas tanah (Soemardjan, 1981: 78)
30
Paska kemerdekaan, tepatnya bulan April 1946 dikeluarkan serangkaian
dekrit yang menhapuskan dewan desa yang terdiri atas pemilik tanah dengan
penerapan yang menyesuaikan dengan kondisi masyarakat desa. Selain perubahan
struktur pemerintahan, juga diadakan perubahan soal luas desa dan sumber-
sumber keuangan. Sumber terbesar kas desa adalah tanah yang diberikan sebagai
“lungguh” kepada para anggota dewan desa dan sisanya yang disewakan kepada
petani warga desa dengan pembayaran in natura atau uang tunai (Soemardjan,
1981: 81).
4.1.2 Masa Pemerintahan Sultan HamengkuBuwono X
Jika Sultan ke IX dikenal dengan sebagian besar kebijakannya yang pro-
rakyat hingga disebut sebagai takhta untuk rakyat, maka berbeda situasinya
dengan Sultan ke X. Pada masa pemerintahan Sultan ke X, terjadi deretan
peristiwa yang mengguncang stabilitas keamanan masyarakat, khususnya di
Yogyakarta. Tahun 1998, ketika reformasi bergulir, sebagian besar kota besar di
Indonesia terbakar, terjadi kerusuhan massa, namun tidak demikian di
Yogyakarta. Oleh karena kedekatan Sultan ke X dengan massa, terutama
mahasiswa, kerusuhan massa dapat diredam. Bahkan keraton Yogyakarta menjadi
tempat berorasi mahasiswa. Peran Sultan ke X dalam mendukung gerakan
reformasi dan menumbangkan orde baru menyebabkan ia disebut takhta untuk
reformasi.
Status keistimewaan Yogyakarta pun terusik pada akhir 2010 ketika
pemerintah pusat hendak mengatur kembali keistimewaan Yogyakarta dengan
31
menyamakan situasinya dengan daerah-daerah lain. Dilansir dari media massa
menyebutkan bahwa rakyat Yogyakarta merasa keistimewaan daerah itu terletak
pada mekanisme penetapan Sultan dan penggantinya secara otomatis sebagai
gubernur DIY. Selain rakyat Yogyakarta, pihak keraton melalui kerabat sultan,
Gusti Bendoro Pangeran Haryo Prabukusumo adik Sri Sultan Hamengkubuwono
X mengundurkan diri secara resmi dari jabatan Ketua DPD Yogyakarta dan Partai
Demokrat sebagai bentuk protes kepada pemerintah pusat
(http://www.antaranews.com/, dl: Semarang, 28 Desember 2012). Menurut Selo
Soemardjan jika keistimewaan Yogyakarta hendak dihapuskan, maka perlu
peninjauan dari berbagai aspek, yaitu:
1. Segi hukum, selama Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950 masih berlaku maka tindakan penghapusan keistimewaan Yogyakarta merupakan tindakan melawan hukum.
2. Segi politis, arus reformasi adalah sejalan dengan politik desentralisasi yang tercantum dalam Undang-Undang Nomor 5 tahun 1950, sehingga jika keistimewaan Yogyakarta dihapus, maka dapat dinilai sebagai antireformasi.
3. Segi sosial budaya, kebanggaan masyarakat Yogyakarta yang telah ikut serta membentuk negara kesatuan Republik Indonesia, sebagai pusat kebudayaan Jawa dan melahirkan sistem pendidikan nasional (Taman Siswa) yang kemudian menyebar ke seluruh Indonesia. (Nusantara, 1999: 55-57).
Apabila sistem pemerintahan Yogyakarta dengan kesultanannya dianggap
menyimpang dari demokrasi, maka perlu kiranya membuka kembali sejarah
Yogyakarta pada masa pemerintahan Sri Sultan Hamengku Buwono IX yang
menanamkan asas demokrasi dengan penyesuaian konteks masyarakat tradisional
Yogyakarta. Perjalanan panjang mempertahankan keistimewaan Yogyakarta
berakhir pada ditetapkannya Undang-Undang Nomor 13 tahun 2012 tentang
32
keistimewaan Daerah Istimewa Yogyakarta. Dalam penjelasan undang-undang
nomor 13 tahun 2012, tujuan dari pengaturan keistimewaan Yogyakarta adalah :
untuk mewujudkan tata pemerintahan yang baik dan demokratis, ketenteraman dan kesejahteraan masyarakat, menjamin ke-bhinneka-tunggal-ika-an, dan melembagakan peran dan tanggung jawab Kasultanan dan Kadipaten dalam menjaga dan mengembangkan budaya Yogyakarta yang merupakan warisan budaya bangsa. (Pemerintah Kota Yogyakarta, 2013: 38).
Lima hal keistimewaan yang diatur dalam undang-undang tersebut, yaitu tata
cara pengisian jabatan, kedudukan, tugas, dan wewenang Gubernur dan Wakil
Gubernur, kelembagaan Pemerintah Daerah DIY, kebudayaan, pertanahan, dan
tata ruang.
4.2 Sejarah Pertanahan di Yogyakarta
4.2.1 Periode Sebelum Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan
Agraria (UUPA) 1960 di Kota Yogyakarta
Sebelum tahun 1928, pengaturan tanah menjadi otoritas penuh raja (sultan).
Pemahaman ini didasari atas pandangan raja (sultan) sebagai sumber segala
kekuatan dan kekuasaan di wilayah kerajaan, dalam kosmologi Jawa. Oleh karena
itu, raja (sultan) berhak memberikan tanah-tanah di wilayahnya itu kepada siapa
saja yang dikehendakinya, baik dari kalangan kerabat maupun pejabat di
lingkungan kerajaannya, beserta tenaga kerja rakyat yang bertempat tinggal di
atasnya. Tanah yang diberikan kepada kerabat maupun pejabat kerajaan sebagai
upah atas pengabdian kepada raja (sultan) disebut tanah lungguh. Banyak
sedikitnya tanah lungguh yang diperoleh seorang kerabat atau pejabat paling tidak
ditentukan oleh:
33
1. Tinggi rendahnya posisi dalam struktur birokrasi kerajaan; 2. Jauh dekatnya hubungan darah dengan raja; 3. Faktor subjektivitas raja. (Widiyastuti, 1999: 118-119)
Para kerabat dan elite birokrat tidak diperbolehkan bertempat tinggal di tanah
lungguh sehingga mereka hanya menerima laporan hasil pengolahan tanahnya
dari para lurah atau bekel. Oleh karena itu, mereka tidak mengetahui kondisi
sesungguhnya rakyat yang bertempat tinggal di daerah tanah lungguhnya tersebut
(Widiyastuti, 1999: 120). Aspek legalitas tanah lungguh baru diformalkan melalui
kesepakatan pemakaian Kitab Angger-Angger sebagai sumber hukum di
Kasunanan Surakarta dan Kasultanan Yogyakarta. Sebelum reorganisasi tanah
1917, posisi rakyat biasa hanya sebagai penggarap tanah lungguh. Selain itu,
rakyat juga dibebani pajak sebesar 1/3 dari hasil tanah yang digarap (Setiawati,
2000: 67).
Pada masa reorganisasi agraria, raja (sultan) memberikan hak milik (andarbe)
kepada kelurahan yang ada di wilayah keraton. Hal ini seiring dengan
dibentuknya sistem kelurahan dan dihapuskannya sistem kebekelan. Hak andarbe
dianggap sah apabila telah dicatat dalam daftar pencatatan tanah (buku mengeti
siti) yang diselenggarakan di kantor pendaftaran tanah. Dengan demikian,
kelurahan memiliki wewenang dan kuasa untuk mengatur penggunaan tanah yang
menjadi wewenang dan kekuasaannya seperti menyewakan, memindahkan untuk
digunakan turun-temurun, memindahkan sementara hak atas tanah. Namun perlu
diperhatikan bahwa tanah-tanah yang diberikan kepada kelurahan dengan hak
andarbe hanya meliputi tanah-tanah yang sudah jelas digunakan rakyat sebagai
tempat tinggal atau telah ditanami tanaman (Setiawati, 2000: 69).
34
Selain itu, latar belakang munculnya reorganisasi agraria adalah untuk
memudahkan penanaman investasi asing di tanah Hindia-Belanda. Maka, tindakan
yang dilakukan pemerintah kolonial dalam reorganisasi antara lain penghapusan
sistem tanah lungguh (apanage), pembentukan kelurahan sebagai unit
administrasi, pemberian hak-hak penggunaan tanah yang jelas kepada penduduk
dan penerbitan peraturan sistem sewa tanah, pengurangan kerja wajib penduduk
serta perbaikan aturan pemindahan hak atas tanah. (Setiawati, 2000: 108). Meski
telah diadakan reorganisasi dan hak penduduk atas tanah meningkat menjadi hak
milik, namun sultan dapat saja mencabut hak tersebut dengan atau tanpa
memperdulikan peraturan-peraturan yang ada.
Pemberian tanah sebagai hak waris harus didaftarkan di kelurahan sesuai
dengan rijksblaad kesultanan. Selain itu, penduduk yang akan menyewa tanah
untuk didirikan bangunan atau diolah diberikan jangka waktu sewa 20 tahun.
Tanah yang akan digadaikan pun haruslah mendapat izin dari kelurahan dengan
melalui perjanjian antara kedua belah pihak yang disaksikan aparat kelurahan.
4.2.2 Periode Setelah Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan
Agraria (UUPA) 1960 di Kota Yogyakarta
Keberadaan UUPA bertujuan sebagai unifikasi hukum pertanahan,
mewujudkan kesejahteraan dan keadilan masyarakat, dan kepastian hukum.
UUPA dinyatakan mengakui keberadaan hak ulayat (masyarakat adat). Namun
ada beberapa hal yang perlu diperhatikan, diantaranya tidak boleh merintangi
usaha dari pemerintah yang baik karena usahanya itu adalah melaksanakan
35
kewajiban-kewajibannya mencapai sebesar-besar kemakmuran rakyat
(Sihombing, 2004 : 64). Yogyakarta yang merupakan bekas tanah swapraja, tentu
memiliki hukum adat yang masih berlaku hingga saat ini. Hal inilah yang
kemudian menjadi salah satu bentuk keistimewaan hukum pertanahan di
Yogyakarta.
Pemberlakuan UUPA pada 24 September 1960, menyebabkan hak-hak dan
wewenang atas tanah dari daerah swapraja atau bekas swapraja dihapus dan
dialihkan kepada negara. Namun dalam praktiknya, khusus untuk wilayah Daerah
Istimewa Yogyakarta, diperlukan perlakuan tersendiri mengingat masih adanya
peraturan-peraturan khusus tentang pertanahan. Oleh karena itu, DIY belum dapat
sepenuhnya memberlakukan UUPA.
Kota Yogyakarta pada mulanya berbentuk kotapraja. Melalui Tap MPRS
nomor XXI/MPRS/1966, kotapraja Yogyakarta diubah menjadi kotamadya
dengan kepala pemerintahan walikota dan wakilnya. Kota Yogyakarta memiliki
luas wilayah 32,5 Km2 atau 1,025% dari keseluruhan wilayah Provinsi D.I.
Yogyakarta. Kota Yogyakarta terbagi dalam 14 kecamatan, 45 kelurahan, 617
RW, 2.531 RT dengan penghuni 428.282 jiwa. Penggunaan tanah di wilayah
Yogyakarta dapat dilihat pada grafik berikut:
36
0.0000
500.0000
1000.0000
1500.0000
2000.0000
2500.0000
2008 2009 2010 2011 2012
Grafik Penggunaan Tanah (Ha)
Perumahan
Jasa
Perusahaan
Industri
Pertanian
Kosong,DPK
Lain-lain
37
BAB V
PENGARUH PENGELOLAAN ARSIP SERAT KEKANCINGAN
TERHADAP PENGATURAN HAK PENGGUNAAN TANAH
BERSTATUS MAGERSARI DI KOTA YOGYAKARTA
5.1 Sejarah Arsip Serat Kekancingan
Periode awal penggunaan serat kekancingan sebagai bukti perolehan hak
magersari atas tanah keraton tidak secara spesifik disebutkan. Ada sebagian pihak
yang menyebutkan bahwa serat kekancingan perolehan hak pertanahan digunakan
pada masa penjajahan Belanda. Logika dari pendapat tersebut karena sebelum
bangsa Barat masuk ke Nusantara, sistem administrasi pertanahan belum dikenal.
Sementara itu, hukum yang melekat pada bidang pertanahan masih bersifat
tradisional dan tidak tertulis, atau dengan kata lain menggunakan hukum adat.
Meski tidak secara spesifik disebutkan serat kekancingan, dalam suatu perjanjian
yang dilakukan antara Kasultanan Yogyakarta dengan Kasunanan Surakarta di
Semarang pada tahun 1774, disebutkan adanya peran surat perjanjian dalam
bidang pertanahan.
Manawi wonten abdi dalem ageng utawi alit, amaosaken gadhahanipun siti dhusun dhateng Cina sasaminipun tiyang bangsa kulit pethak, punapa dene Jawi sami Jawi, inggi sami adamela jangji ingkang resi ingkang terang, sabarang jangjinipun kawrat kawontenan ing serat pratandha, dene yen wonten prakawisipun katur ing parentah ingkang kadamel angrampungi, punapa ing saungelipun serat pratandha wau punika, pundi ingkang boten anetepi dadosa kaandhapanipun kang sarta mawi kapatrapan dendha samurwatipun ing parentah.
38
Jika ada abdi raja tinggi atau rendah, mempersembahkan (meminjamkan) tanah desa miliknya kepada orang Belanda atau Cina seperti halnya orang kulit putih, atau antara sesame orang Jawa, lebih baik membuat janji yang jelas, tegas, apapun janji tersebut dimuat dalam surat perjanjian. Apabila ada persoalan sehingga mencapai penguasa yang akan memutuskannya, apapun isi dari surat perjanjian tersebut, barang siapa yang tidak mematuhi seperti apa yang tertera akan dikenai denda sesuai dengan keputusan penguasa. (Juwono, 2011: 466).
Meski dalam perjanjian tersebut menyebutkan peran dokumen tertulis dalam
pertanahan, namun pemberian hak magersari dari sultan tidak ditegaskan secara
hukum tertulis. Hal ini mengacu pada pandangan bahwa semua tanah adalah milik
raja dan sudah dipahami betul oleh rakyat secara turun-temurun. Ada indikasi
bahwa pemakaian dokumen serat kekancingan bagi pemegang hak magersari
mulai diberlakukan setelah adanya landreform 1918. Pada masa landreform, desa
yang sudah menjadi badan hukum, diwajibkan untuk mencatat tanah-tanahnya.
Pencatatan tanah ini kembali dipertegas setelah diberlakukannya Undang-Undang
Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960 meskipun secara kekuatan hukum nasional,
keberadaan serat kekancingan hanya sebatas pemberian izin formal kepada pihak
keraton. Pun sebelum diberlakukannya Undang-Undang Keistimewaan Nomor 13
tahun 2012, status hukum Keraton Yogyakarta belum ditetapkan secara pasti
sehingga semakin memperlemah kedudukan serat kekancingan.
Selain faktor politis dan hukum, kondisi fisik arsip-arsip yang dihasilkan
Keraton Yogyakarta belum sepenuhnya tertata rapi. Adapun senarai arsip yang
berada di Perpustakaan Keraton Yogyakarta menunjukkan arsip tentang hak
magersari tertua diperoleh angka tahun 1942. Jumlah arsip statis pemegang hak
magersari yang telah tertata dengan baik baru berjumlah enam lembar dengan
kurun waktu penciptaan tahun 1942-1946.
39
5.2 Profil Pencipta Arsip di Keraton Kasultanan Yogyakarta
Pemahaman bahwa arsip hanya tercipta di lingkungan birokrasi modern perlu
diperbaiki. Keraton Yogyakarta, meskipun memiliki sistem birokrasi yang
berbeda, dalam setiap aktivitasnya pun menghasilkan arsip. Dalam sejarahnya,
sistem pemerintahan Keraton Yogyakarta mengalami dinamika perubahan yang
signifikan. Dinamika perubahan struktur pemerintahan berdampak pada
keragaman jenis arsip yang tercipta. Dalam berbagai penelitian pernaskahan
keraton, arsip keraton kerap diabaikan. Secara tersirat, persoalan ini juga
ditegaskan oleh pengelola arsip keraton di Tepas Banjarwilapa. Meski
akumulasinya terus meningkat, namun perhatian akademisi masih banyak di
bidang manuskrip. Pada akhirnya, keraton selalu identik dengan naskah
manuskrip.
Meski berbentuk kerajaan, dalam kegiatan pemerintahan sehari-hari,
Kasultanan Yogyakarta memiliki struktur organisasi seperti pada birokrasi
modern. Berikut struktur pemerintahan periode Sri Sultan Hamengku Buwono X
(Maskunah, 2013 : 19) :
40
Istilah tepas merujuk pada pengertian kantor, sedangkan kawedanan
diartikan sebagai wilayah kerja. Kawedanan dan tepas masing-masing dipimpin
oleh keluarga kasultanan, baik adik-adik sultan maupun putra-putri sultan.
Adapun bentuk kawedanan dan tepas yang berada di bawah kepemimpinan Sultan
Hamengku Buwono X yaitu (Maskunah, 2013 : 21-23) :
1. Kawedanan hageng parentah jaksa, menangani masalah pengadilan darah
dalem (pengadilan untuk keluarga keraton);
2. Kawedanan hageng parentah sriwandono, menangani bidang
kesekretariatan kesultanan;
3. Kawedanan hageng parentah widya budaya, menangani masalah keilmuan,
menyediakan fasilitas perpustakaan dan pengelolaan arsip keraton, dan
mempersiapkan upacara-upacara adat;
Ingkang Sinuwun
Pandhite Aji Sri Palimbangan
GBPH Yudhaningrat GKR Pembayun
1. Kawedanan Pengulon 2. Kawedanan Puroloyo 3. Kawedanan Petilasan 4. Kawedanan Keparak 5. Kawedanan
Kridhamardawa
KHP Parwa Budaya KHP Nitya Budaya
GBPH Prabu Kusumo GKR Bendoro
1. Kawedanan Widya
Budaya 2. Kawedanan Banjar Wilapa 3. Kawedanan Purayakara 4. Kawedanan Museum 5. Pariwisata
KHP Pasaraya Budaya
GBPH Hadiwinata GKR Maduretno
1. Kawedanan Panitikismo 2. Kawedanan Prasarana 3. Kawedanan Puraraksa 4. Kawedanan Halpitapura 5. Kawedanan Prajurit
KH Panita Pura
GBPH Joyokusumo GKR Condrokirono
GBPH Condroningrat
1. Tepas Guritapura 2. Tepas Sri Wandawa 3. Tepas Abdi Dalem 4. Tepas Dwaraputra 5. Tepas Tanda Yekti
41
4. Kawedanan hageng parentah purorakso, menangani masalah keamanan di
dalam dan di luar keraton sehingga tercipta kenyamanan dan ketertiban
masyarakat;
5. Kawedanan hageng parentah purokaryo, menangani pemasukan dan
pengeluaran rumah tangga keraton;
6. Kawedanan hageng parentah kridomardowo, mengatur kegiatan
pelestarian dan pengembangan kesenian, yaitu di bidang tari, wayang dan
gamelan jawa;
7. Kawedanan hageng parentah sarto kriyo, mengatur masalah kendaraan dan
bangunan Keraton Yogyakarta, termasuk di dalamnya tanah keraton;
8. Kawedanan hageng parentah pangulon, mengatur segala macam
permasalahan keagamaan, penyelenggaraan pengajian dan upacara
keagamaan di kawasan keraton dan sekitarnya;
9. Kawedanan hageng parentah punokawan, terkait penugasan dan
kesejahteraan pegawai keraton.
Serat kekancingan diterbitkan oleh Keraton Yogyakarta melalui Tepas Paniti
Kismo. Bagi warga pemegang hak magersari dapat meneruskan haknya kepada
pihak lain di luar keturunan (lintir) maupun kepada keturunannya (liyer). Untuk
dapat meneruskan hak magersari, pihak yang telah ditunjuk sebagai lintir atau
liyer harus mengkonfirmasikan kepada pihak Paniti Kismo dengan membawa
serat kekancingan sebagai bukti. Jadi dapat disimpulkan bahwa pengelola serat
42
kekancingan tidak hanya di Tepas Paniti Kismo maupun arsip keraton (setelah
memasuki masa statis), tetapi juga disimpan oleh masing-masing pemegang hak
magersari.
5.2 Pengelolaan Arsip Serat Kekancingan
Program arsip vital termasuk dalam ruang lingkup manajemen arsip dinamis.
Hal ini disebutkan dalam undang-undang nomor 49 tahun 2009 pasal 9, yaitu:
Pengelolaan arsip dinamis sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi: 1. Arsip vital, 2. Arsip aktif,dan 3. Arsip inaktif.
Pengelolaan arsip dinamis merupakan proses pengendalian arsip dinamis
secara efisien, efektif dan sistematis meliputi penciptaan, penggunaan dan
pemeliharaan, serta penyusutan arsip (ANRI, 2010 : 7). Prinsip utama dari
pengelolaan arsip dinamis yaitu agar mudah ditemukan kembali saat arsip
dibutuhkan, selain juga perlindungan terhadap isi informasi dan fisik terutama
pada arsip vital. Dalam tahap penciptaan dan tahap penggunaan, arsip vital
memiliki alur yang tidak banyak berbeda dengan alur pada arsip aktif pada
umumnya. Namun, hal yang perlu diperhatikan adalah tahap perlindungan dan
pemeliharaannya.
5.2.1 Tahap Penciptaan
Menurut Boedi Martono, tahap penciptaan dalam manajemen arsip dinamis
meliputi desain formulir, manajemen formulir, tata persuratan dan manajemen
43
pelaporan, sistem informasi manajemen dan direktif manajemen (Martono, 1994 :
19). Dalam birokrasi manajemen, keempat elemen pertama penciptaan arsip
tersebut dirangkum dalam tata naskah dinas dan didokumentasikan dalam bentuk
pedoman tata naskah dinas. Adapun manfaat adanya pedoman tata naskah dinas,
yaitu:
1. Tercapainya kesamaan pengertian, bahasa dan penafsiran penyelenggaraan tata naskah dinas seluruh instansi pemerintah pusat dan daerah;
2. Terwujudnya keterpaduan pengelolaan tata naskah dinas dengan unsur lainnya dalam lingkup administrasi umum;
3. Lancarnya komunikasi tulis kedinasan serta kemudahan dalam pengendalian;
4. Tercapainya dayaguna dan hasilguna penyelenggaraan tata naskah dinas yang efisien dan efektif;
5. Berkurangnya tumpang-tindih, salah tafsir dan pemborosan penyelenggaraan tata naskah. (Kementrian Pendayagunaan Aparatur Negara, 2004 : 1-2).
Keraton Yogyakarta, sebagai bentuk birokrasi tradisional telah menetapkan
pedoman tata naskah dinas untuk naskah serat kekancingan. Hal ini karena
kekancingan tidak hanya diperuntukkan pada bidang pertanahan, tetapi juga pada
bidang kepegawaian (abdi dalem) dan perihal keturunan. Keberadaan pedoman
tersebut juga menghindari tindak pemalsuan kekancingan pertanahan yang dapat
berakibat pada jual beli ilegal tanah kraton berstatus magersari. Kecurigaan pihak
keraton terkait pemalsuan serat kekancingan sempat tersiar dalam kasus sengketa
tanah di Kabupaten Kulonprogo yang melibatkan kerabat keraton. Oleh karena
arsip serat kekancingan termasuk dalam arsip vital, maka dampak yang dapat
ditimbulkan dari pemalsuan arsip akan merugikan pihak keraton. Hal ini tersirat
dalam pernyataan William Saffady,
44
if vital records are lost, damaged, destroyed or otherwise rendered unavailable or unuseable, mission-critical operations will be curtailed or discontinued, with a resulting adverse impact on the organization (Saffady, 2004 : 123).
Tindakan pemalsuan termasuk dalam kategori damaged sehingga
memungkinkan kegiatan oprasional inti Paniti Kismo dalam mengelola tanah akan
tersendat, bahkan kehilangan fungsinya.
5.2.2 Tahap Penggunaan dan Pemeliharaan
Boedi Martono membagi tahap penggunaan dan pemeliharaan dalam enam
kegiatan, yaitu sistem pemberkasan dan penemuan kembali, manajemen berkas,
pengurusan surat, program arsip vital, sistem analisis, dan pengelolaan pusat arsip.
Inti dari kegiatan kearsipan ada pada bagian sistem pemberkasan dan penemuan
kembali. Sistem pemberkasan dan pengurusan suratkemudian identik dengan
istilah sistem kearsipan.
Yulianti L.Parani dalam Sejarah Tata Kearsipan di Indonesia menjelaskan
bahwa ketika Indonesia berada dibawah jajahan Belanda pada abad 19, tata
kearsipan yang digunakan menyerupai sistem register atau registratuurstelsel.
Sistem ini menggunakan alat temu balik berupa buku-buku agenda, index dan
klapper (suatu daftar mengenai nama, tempat dan berbagai subject heading
lainnya yang disusun secara alfabetis dan berfungsi sebagai jalan masuk terhadap
buku-buku index saja) (ANRI, 1978 : 2). Sistem inilah yang diadaptasi oleh tata
kearsipan keraton hingga saat ini, yaitu menggunakan sistem agenda. Sistem ini
45
berlaku untuk semua arsip persuratan, baik surat dinas biasa maupun surat
keputusan. Adapun susunan buku agenda tersebut yaitu:
1. Nomor surat
2. Tanggal Surat
3. Perihal
4. Tujuan surat
Dalam sistem buku agenda, arsip ditemu balik menggunakan tanggal surat.
Secara aspek efektivitas, sistem buku agenda tentu tidak maksimal dalam
kecepatan waktu, terutama dalam mengingat tanggal surat. Boedi Martono
menegaskan bahwa sistem pemberkasan dapat dikatakan baik jika suatu arsip
dapat ditemukan dengan cepat pada waktu dibutuhkan (Martono, 1992 : 22).
Arsip kekancingan yang ada di Paniti Kismo disusun berdasarkan geografi
(wilayah). Namun alat penyimpanan hanya menggunakan map (folder) dan lemari
kayu. Arsip – arsip yang ada di filing cabinet pun disusun secara tertumpuk
vertikal. Penamaan wilayah seperti Sleman, Bantul, Kota Yogyakarta hanya
berupa kertas yang ditempatkan di bagian pintu lemari simpan. Beberapa arsip
juga sudah dalam bentuk terikat dengan tali raffia. Kondisi penyimpanan ini
berdampak pada waktu temu balik yang membutuhkan waktu hingga lebih dari
tiga hari. Dampak buruk lainnya adalah kemungkinan arsip hilang pun tinggi.
Selain itu, surat yang didistribusikan di setiap lini struktur, bukanlah surat asli,
tetapi salinan (tedakan) yang ditulis kembali sesuai dengan isinya (Maskunah,
2013 : 27). Buruknya sistem pemberkasan diperparah dengan minimnya
46
pemahaman SDM pengelola tentang manajemen kearsipan. Penempatan tenaga
arsiparis yang diperbantukan dari Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
Yogyakarta hanya ada di bagian arsip statis Tepas Banjar Wilapa Perpustakaan
Widya Budaya Keraton Yogyakarta.
Oleh karena arsip kekancingan menunjukkan informasi seputar pertanahan,
maka penggunaan sistem geografi sudah tepat. Namun diperlukan sistem
tambahan, yaitu sistem abjad, untuk nama pemegang hak magersari, dan sistem
kronologi, sebagai penanda waktu kekancingan dikeluarkan. Penggabungan tiga
sistem pemberkasan ini diharapkan menutupi kekurangan masing-masing sistem
sehingga temu balik arsip dapat lebih cepat dan tepat. Hal ini juga disepakati oleh
William Saffady, although place names are typically sequenced alphabetically,
geographic arrangements sometimes combine alphabetic and numeric filing codes
(Saffady, 2004 : 153).
Sistem pemberkasan geografi adalah sistem penyimpanan arsip dinamis
berdasarkan nama lokasi koresponden yang disusun secara abjad dan
dikelompokkan menurut berbagai susunan, seperti negara, provinsi, kabupaten
atau kotamadya bahkan menurut nama jalan. Oleh karena pemegang hak
magersari tersebar di berbagai wilayah di Yogyakarta, baik kotamadya maupun
kabupaten, maka arsip dikelompokkan berdasarkan kabupaten atau kotamadya.
Misalnya Kabupaten Bantul, Kabupaten Sleman, dan seterusnya. Kemudian
dalam satu kelompok wilayah, dikelompokkan kembali berdasarkan tahun
dikeluarkannya kekancingan. Setelah itu diurutkan kembali berdasarkan abjad
pertama pemegang kekancingan.
47
Arsip serat kekancingan merupakan salah satu jenis arsip vital. Hal ini tersirat
dari pernyataan pengageng Paniti Kismo KGPH Hadiwinoto bahwa pihak keraton
menerbitkan serat kekancingan hanya satu kali kepada yang terlebih dahulu
mengajukan permohonan. Menurut undang-undang nomor 43 tahun 2009 tentang
kearsipan disebutkan bahwa arsip vital adalah arsip yang keberadaannya
merupakan persyaratan dasar bagi kelangsungan operasional pencipta arsip, tidak
dapat diperbarui, dan tidak tergantikan apabila rusak atau hilang. Pengelolaan
arsip vital termasuk dalam pengelolaan arsip dinamis. Dalam undang-undang
kearsipan, ada empat bentuk organisasi yang diwajibkan untuk membentuk
program arsip vital, yaitu lembaga negara, pemerintah daerah, perguruan tinggi
negeri dan BUMN/BUMD. Namun jika melihat keistimewaan yang ada di
Yogyakarta, maka program arsip vital sudah seharusnya menjadi prioritas bagi
pihak keraton untuk melindungi arsip-arsip vitalnya.
Program arsip vital adalah tindakan dan prosedur yang sistematis dan
terencana yang bertujuan untuk memberikan perlindungan dan menyelamatkan
Slamet
2005 SLEMAN
Gambar 1.Lemari arsip dan susunan arsip di dalamnya.
48
arsip pada saat darurat atau setelah terjadi musibah. Adapun bentuk kegiatan yang
diamanatkan sebagai bagian dari program arsip vital antara lain:
1. Identifikasi
2. Perlindungan dan penyelamatan
3. Penyelamatan dan pemulihan.
Pengageng Paniti Kismo, KGPH Hadiwinoto, menyebutkan bahwa pihak
keraton telah mengeluarkan lebih dari 15.000 serat kekancingan kepada
masyarakat umum. Jumlah tersebut merupakan akumulasi sejak puluhan tahun
lalu hingga saat ini. Meski demikian, upaya perlindungan belum dilakukan secara
maksimal. Padahal arsip kekancingan juga berguna pada saat inventarisasi aset-
aset Keraton Yogyakarta. Oleh karena pemahaman yang masih minim dari SDM,
baik di tingkat manajerial maupun pelaksana, maka program arsip vital tidak
berjalan. William Saffady menyinggung bahwa :
the development and implementation of a successful vital records program depends on the knowledge and active participation of program unit personnel who are familiar with the nature and use of recorded information in specific work environments (Saffady, 2004 : 128).
5.2.3 Tahap Penyusutan
Sistem kearsipan keraton memiliki keunikan dan perbedaan dengan sistem
kearsipan yang banyak diterapkan dalam birokrasi modern. Meskipun dalam teori
ilmu kearsipan dikenal istilah arsip dinamis aktif, dinamis inaktif hingga arsip
statis, maka teori tersebut tidak dapat langsung diterapkan dalam sistem kearsipan
49
keraton. Ketiadaan jadwal retensi arsip sebagai penanda jangka simpan arsip
mengakibatkan sulitnya menentukan jenis arsip, dinamis atau telah memasuki
masa inaktif atau statis. Hal ini dipertegas oleh arsiparis yang membantu dalam
mengelola arsip keraton bahwa sebagian arsip periode Sri Sultan Hamengku
Buwono IX masih ada yang tersimpan di masing-masing tepas Keraton
Yogyakarta. Pengelolaan arsip di keraton masih sederhana dan tidak banyak
mengikuti perkembangan teknologi informasi. Hal ini terlihat pada jenis arsip
yang dihasilkan didominasi oleh arsip tekstual.
5.3 Pengaruh Pengelolaan Arsip Kekancingan terhadap Pengaturan
Hak Penggunaan Tanah Berstatus Magersari
Meskipun salah satu sultannya mendapat adagium takhta untuk rakyat karena
berbagai kebijakannya yang pro masyarakat menengah ke bawah, namun tidak
serta merta mengikis budaya feodalisme di lingkungan Keraton Yogyakarta.
Budaya feodalisme yang masih mengurat akar di kalangan bangsawan maupun
abdi dalem keraton disinyalir menjadi salah satu pemicu goyahnya adagium takhta
untuk rakyat. Apalagi jika budaya feodalisme juga mempengaruhi kebijakan
persoalan pemberian hak penggunaan tanah sultan untuk rakyat.
Sebagian kalangan yang memiliki kemampuan materi lebih dan/atau memiliki
kedekatan khusus dengan lingkaran dalam keraton, dapat dengan mudah
mendapatkan hak penggunaan tanah keraton meski jalan yang ditempuh secara
tidak langsung merugikan keraton sendiri. Sementara itu bagi rakyat menengah ke
50
bawah yang hidup dalam kondisi serba terbatas dan tidak memiliki kedekatan
khusus dengan para bangsawan keraton, maka perolehan hak untuk menggunakan
tanah keraton selalu dipermasalahkan hingga ke ranah hukum. Studi kasus di
Jalan Suryawijayan dan Jalan Brigjen Katamso mengindikasikan masih kuatnya
budaya feodalisme, yang menjadi akar kuat Korupsi, Kolusi dan Nepotisme
(KKN) dengan oknum-oknum keraton untuk meloloskan upaya perolehan hak
menggunakan tanah keraton, meski harus mengorbankan beberapa warga yang
sudah bertahun-tahun menempati tanah tersebut. Meski pada studi kasus Hotel
Ambarukmo yang melibatkan para kerabat keraton, namun kasus sengketa tanah
di kalangan menengah ke atas jarang dijumpai.
5.3.1 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa Kios Jalan
Suryowijayan
Menurut Nur Aini dalam “Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat : Pola
Pemilikan, Penguasaan dan Sengketa Tanah di Yogyakarta Setelah Reorganisasi
Tanah 1917”, sengketa tanah di Yogyakarta muncul karena adanya 2 faktor, yaitu:
1. Unsur kesengajaan dari salah satu pihak yang ingin mencoba untuk mendapat keuntungan dari tetangga atau kerabat dengan cara mereka sendiri,
2. Ketidaktahuan dari salah satu atau kedua belah pihak terhadap peraturan-peraturan yang berlaku atas tanah yang mereka miliki. (Setiawati, 2000 : 124).
Dalam hal penerbitan serat kekancingan sebagai bukti pemanfaatan tanah
berstatus magersari, kedua faktor tersebut dapat saling melengkapi. Ary
Setyaningrum dalam penelitiannya menemukan bahwa secara umum, masyarakat
yang menempati tanah berstatus magersari mengetahui bahwa tanah tersebut milik
51
keraton. Namun, pengetahuan tersebut tidak sampai pada pemahaman secara
detail, termasuk konsekuensi-konsekuensi yang harus dihadapi dan penyimpanan
arsip serat kekancingan yang masih diabaikan. Hal ini dapat dilihat dalam kasus
sengketa hak magersari di Jalan Suryowijayan, Kecamatan Mantrijeron, Kota
Yogyakarta.
Jalan Suryowijayan berada bersisian dengan wilayah jeron beteng (dalam
benteng). Di wilayah ini banyak tersebar situs-situs budaya yang menjadi
Gambar 2. Lokasi Suryowijayan Gambar 2. Lokasi Suryowijayan
52
destinasi wisata unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti alun-alun keraton,
pemandian putri taman sari, siti hinggil dan sebagainya. Tanah berstatus
magersari di Jalan Suryowijayan seluas 124 meter. Sebelum terjadi sengketa,
tanah diolah keluarga Mantodiharjo sejak tahun 1970-an. Dalam
perkembangannya, tanah berkembang menjadi kios-kios dan dihuni oleh empat
keluarga lainnya. Namun memasuki kurun waktu baru-baru ini, terjadi sengketa
yang berpangkal pada penebitan serat kekancingan untuk Anton Cahyono yang
memiliki tanah di belakang kios dan hunian keluarga Mantodiharjo dan empat
lainnya. Meski keluarga Mantodiharjo pernah mengajukan permohonan izin
penggunaan tanah berstatus magersari ke Paniti Kismo, tetapi serat kekancingan
tidak pernah diturunkan sejak 1980-an. Sementara itu, serat kekancingan untuk
Anton Cahyono tidak membutuhkan waktu lama untuk diterbitkan. Sri Sultan
dalam salah satu pernyataannya mengatakan bahwa tanah berstatus magersari
yang ditempati keluarga Mantodiharjo dan empat lainnya tidak sesuai dengan tata
guna lahan. Oleh karena itu, pihak keraton menangguhkan permohonan untuk
menerbitkan serat kekancingan. Dengan demikian, pihak Anton Cahyono yang
mendapatkan serat kekancingan memiliki hak untuk menggusur warga yang tidak
memiliki serat kekancingan. Menurut rencana, tanah bekas penggusuran akan
dijadikan taman sesuai dengan tata guna lahan.
Kasus sengketa tanah berstatus magersari di Jalan Suryowijayan
mengindikasikan kelemahan pengelolaan arsip serat kekancingan sebagai bukti
pemanfaatan tanah. Bukti apabila pihak tergusur pernah mengajukan permohonan
kekancingan hak magersari, seharusnya dapat ditelusuri melalui buku agenda
53
surat masuk. Selain itu, juga perlu diketahui keberadaan fisik arsip surat
permohonan tersebut. Fisik arsip surat permohonan dapat ditemukan kembali
dengan cepat dan tepat hanya jika sistem pemberkasan sudah baik. Namun,
melihat pada kenyataan bahwa sejak tahun 1970-an hingga dilakukannya
penggusuran, tidak diketahui keberadaan fisik arsip surat permohonan, maka
kemungkinan secara aspek kearsipan adalah :
1. Fisik arsip surat permohonan hak magersari hilang (ketlingsut) karena
penataan fisik berkas yang tidak memenuhi kriteria pemberkasan arsip
yang baik dan benar;
2. Tidak tercatat dalam buku agenda surat masuk meski sudah pernah
mengajukan permohonan;
3. Pihak tergusur tidak menggandakan surat permohonan yang sudah dibuat
sehingga sulit untuk dilakukan pembuktian terbalik.
Meski ketiga kemungkinan tersebut membuat pihak keraton memenangkan
perkara, sistem kearsipan yang sudah diterapkan perlu diperbaiki secara bertahap.
Hal ini sebagai upaya antisipasi jika terjadi kasus serupa, maka dapat
menghasilkan solusi yang adil, bagi pihak keraton maupun pihak pemegang hak
magersari.
54
5.4 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa di Jalan
Brigjen Katamso Gondomanan
Kasus sengketa lahan juga terjadi di Jalan Brigjen Katamso, Kecamatan
Gondomanan. Berbagai media online memberitakan empat warga di Kecamatan
Gondomanan mengadukan oknum yang mengaku telah mendapatkan
kekancingan. Padahal keempat warga tersebut sudah menempati lahan tersebut
secara turun-temurun dan digunakan sebagai tempat usaha. Lembaga Bantuan
Hukum (LBH) Yogyakarta yang menangani pengaduan meminta agar pihak
keraton lebih selektif dan melakukan peninjauan ulang dalam penerbitan serat
kekancingan. Apalagi pihak Paniti Kismo selaku yang berhak menerbitkan
kekancingan tidak melakukan survey pendahuluan dan tidak memiliki data
kepemilikan tanah berstatus penghuni magersari.
Jalan Brigjen Katamso termasuk dalam wilayah yang berdekatan dengan
destinasi wisata unggulan Daerah Istimewa Yogyakarta, seperti Keraton
Yogyakarta, Taman Pintar dan Purawisata sebagai pusat tarian tradisional. Selain
itu, Jalan Brigjen Katamso juga memiliki kepadatan lalu lintas yang cukup ramai
sehingga sesuai sebagai area bisnis.
55
Masalah mendasar dalam kasus Jalan Brigjen Katamso tidak berbeda dengan
kasus Jalan Suryowijayan, yaitu tidak tertibnya administrasi arsip kekancingan.
Pemegang hak magersari dapat mewariskan haknya kepada ahli waris (satu
keluarga) yang disebut dengan lintir, maupun kepada pihak di luar ahli waris
keluarga yang disebut liyer. Apabila pemegang hak awal hendak me-lintir atau
me-liyer hak magersarinya, maka harus dengan sepengetahuan pihak keraton. Hal
ini agar memudahkan dalam proses pendataan dan keraton tidak serta merta
kehilangan aset tanahnya secara tidak langsung. Namun pada umumnya,
Gambar 3. Lokasi Jalan Brigjend.Katamso Gambar 3. Lokasi Jalan Brigjend.Katamso
56
pemegang hak magersari yang beberapa kali me-lintir atau me-liyer akhirnya
tidak lagi mengkomunikasikan tindakannya kepada pihak keraton. Akibatnya,
tidak hanya pihak keraton yang dirugikan, tetapi juga dapat menimbulkan
sengketa jika keraton menerbitkan kekancingan atas nama pihak lain dengan tanah
yang sama.
Tidak tertibnya penyimpanan arsip dan kelambanan dalam pemutakhiran
data menjadi titik lemah pihak keraton sebagai pihak yang berhak menerbitkan
kekancingan. Hal ini dapat mengakibatkan pihak keraton kesulitan dalam melacak
pihak-pihak yang sudah mendapat hak magersari melalui kekancingan dan pihak-
pihak yang belum mendapatkan kekancingan. Alasan mendasar inilah yang
kemudian menjadi gugatan keraton oleh pihak LBH Yogyakarta.
5.5 Analisis Arsip Serat Kekancingan dalam Kasus Sengketa Pengelolaan
Hak Magersari Antar Kerabat Keraton Yogyakarta
Persoalan pengelolaan lahan magersari juga terjadi dalam internal kerabat
keraton. Kasus bermula ketika Raden Mas Triyanto Pranowo selaku ahli waris
dan perwakilan trah Hamengku Buwono VII mengeluarkan serat kekancingan
dengan kop surat bukan atas nama Paniti Kismo. Selain itu juga dituduh
melakukan pemungutan uang dalam pengurusan kekancingan tersebut. Lahan
yang menjadi sengketa yaitu tempat berdirinya Hotel Ambarukmo di Kabupaten
Sleman.
57
Dalam pembelaannya di beberapa media online, RM Triyanto menjelaskan
bahwa lahan tersebut dahulunya adalah tempat tinggal Hamengku Buwono VII.
Meskipun termasuk dalam sultan ground (SG), namun hak miliknya tidak berada
di pihak keraton sebagai lembaga, tetapi pada ahli waris Hamengku Buwono VII.
RM Triyanto memberikan landasan hukum Rijksblaad nomor 16 tahun 1918
sehingga ia berhak untuk menerbitkan kekancingan tanpa menggunakan kop
Gambar 4. Lokasi Hotel Ambarukmo Gambar 4. Lokasi Hotel Ambarukmo
58
Paniti Kismo Keraton Yogyakarta. Hal ini disanggah oleh Pengageng Paniti
Kismo KGPH Hadiwinoto bahwa telah terjadi kesalahpahaman dalam
mengartikan hak waris. Menurut KGPH Hadiwinoto, yang menjadi pewaris inti
hanyalah anak-anak raja yang bertakhta, bukan generasi jauh, apalagi RM
Triyanto hanya sebatas cicit dari Hamengku Buwono VII. KGPH Hadiwinoto
juga menegaskan bahwa pengaturan pembagian tanah yang dilembagakan melalui
Paniti Kismo bertujuan agar aset Keraton Yogyakarta tidak habis dibagi rata ke
semua ahli waris sehingga lahan untuk rakyat tidak ada.
Dalam kasus ini, peran tata naskah dinas menjadi faktor utama. Apabila
pihak keraton yang diwakili Paniti Kismo telah memiliki pedoman dan tata tertib
dalam penerbitan serat kekancingan, maka dapat dipastikan kasus yang sama
dapat diminimalisasi. Selain itu, pengkomunikasian pedoman penerbitan
kekancingan juga perlu dimasifkan di setiap tepas atau keraton dan juga di
internal kerabat keraton sehingga dapat meminimalisasi kesalahpahaman dalam
penerbitan kekancingan.
Ketiga jenis studi kasus tersebut mengindikasikan bahwa pengaruh
pengelolaan arsip serat kekancingan dalam pengaturan tanah dengan penghuni
berstatus magersari, cukup kuat. Apabila ada salah satu tata kelola arsip yang
tidak sesuai dengan kaidah kearsipan, maka kekuatan legalitas dan otentisitas
arsip serat kekancingan dapat diragukan. Jika kekuatan legalitas dan otentisitas
arsip serat kekancingan diragukan, maka hak magersari yang dikenakan dapat
terancam untuk dicabut.
59
BAB VI
SIMPULAN DAN SARAN
6.1 Simpulan
1. Serat kekancingan merupakan surat keputusan yang dikeluarkan oleh
Keraton Yogyakarta. Salah satu kekancingan, yaitu serat kekancingan
dibidang pertanahan. Kekancingan pertanahan dikeluarkan oleh pihak
Paniti Kismo yang merupakan bukti tentang perjanjian pihak keraton
dengan pihak yang diberi hak magersari untuk menghuni tanah milik
sultan. Hak magersari diberikan karena jasa seseorang kepada keraton,
dan dapat diwariskan kepada kerabat dan keturunan (liyer) atau pihak lain
(lintir). Meski telah banyak menerbitkan kekancingan, tetapi sistem
kearsipan yang dilaksanakan masih buruk. Periode awal penggunaan arsip
serat kekancingan sebagai bukti legalitas pemegang hak magersari belum
diketahui secara pasti, namun arsip kekancingan tertua yang sudah
diinventarisasi bagian arsip di Perpustakaan Widya Budaya Keraton
Yogyakarta berada pada periode 1942 – 1946.
2. Pemberlakuan Undang-Undang Pertanahan dan Agraria (UUPA) 1960
tidak banyak menimbulkan pengaruh pada pengelolaan arsip serat
kekancingan. Perubahan yang terjadi hanya pada penggunaan sistem
komputerisasi dalam penciptaan arsipnya, sedangkan penataannya masih
sama dengan sebelum pemberlakuan UUPA 1960. Arsip kekancingan
dikategorikan sebagai arsip vital. Apabila arsip kekancingan hilang, rusak
atau terimbas berbagai bencana lainnya, maka roda operasional Paniti
60
Kismo akan tersendat, bahkan berhenti total. Penataan arsip kekancingan
hanya didasarkan pada sistem geografi atau perwilayah dan sistem
kronologi. Arsip-arsip tersebut juga disimpan dalam lemari kayu yang
mudah terbakar dan diikat menjadi satu dengan tali rafia. Selain itu, tidak
ada penentuan jadwal retensi arsip dan prosedur penyusutan arsip yang
baik sehingga kemungkinan adanya kerusakan dan kehilangan secara
fisik maupun informasi arsip masih tinggi.
3. Pengaruh yang ditimbulkan akibat buruknya pengelolaan arsip
kekancingan terhadap pengaturan hak magersari atas tanah keraton antara
lain:
a. Salah satu faktor pemicu rumitnya penyelesaian sengketa tanah
magersari yang sering terjadi, baik di tingkat kota maupun kabupaten
di DIY. Di tingkat kota terdapat beberapa contoh kasus sengketa
tanah, diantaranya sengketa di Jalan Suryowijayan dan Jalan Brigjen
Katamso. Sengketa ini dipicu salah satunya oleh masalah
administrasi arsip kekancingan. Di tingkat kabupaten lebih banyak
lagi ditemui kasus serupa, diantaranya di Kabupaten Sleman dengan
kasus Hotel Ambarukmo. Sengketa yang melibatkan kerabat Keraton
Yogyakarta salah satu penyebabnya yaitu dugaan pemalsuan
kekancingan. Ketiga contoh kasus tersebut seharusnya dapat
diminimalisasi salah satunya dengan pembenahan sistem kearsipan
keraton secara bertahap dan berkelanjutan. Apalagi kekancingan telah
61
diakui oleh pihak Badan Pertanahan Nasional Kota Yogyakarta untuk
mendaftarkan hak pengguna tanah;
b. Banyaknya tanah keraton yang diperjual-belikan secara ilegal
sehingga aset tanah keraton menjadi berkurang. Hal ini karena
ketidak-sinambungan inventarisasi tanah yang dimiliki keraton.
Adapun dasar dari inventarisasi tanah keraton adalah arsip
kekancingan. Jika pengelolaan arsip kekancingan tidak sesuai
prosedur tata kearsipan, maka dapat dipastikan, inventarisasi tanah
keraton dapat terhambat.
c. Hak masyarakat menengah ke bawah untuk dapat memperoleh
kebijakan sewa tanah keraton menjadi terhambat karena kacaunya
sistem administrasi yang dipicu oleh pengelolaan arsip kekancingan
yang belum sesuai prosedur tata kearsipan yang baik dan benar.
6.2 Saran
Saran yang dapat penulis ajukan, yaitu:
1. Mendayagunakan tenaga arsiparis Badan Perpustakaan dan Arsip Daerah
(BPAD) DIY untuk memberikan pengarahan dalam mengelola arsip vital
di lingkungan Paniti Kismo.
2. Pembenahan sistem pemberkasan arsip kekancingan dengan
menggabungkan sistem geografi, kronologi dan subjek (masalah) sehingga
tercapai efektivitas dan efisiensi dalam temu balik.
62
3. Penguatan landasan hukum dalam pengelolaan arsip serat kekancingan,
baik berupa perundang-undangan maupun Standar Oprasional Prosedur
(SOP), sejak tahap penciptaan, penggunaan dan pemeliharaan, penyusutan
arsip serat kekancingan hingga layanan arsipnya.
4. Pengadaan sarana dan prasarana kearsipan yang lebih baik dan aman bagi
keamanan fisik maupun informasi arsip, misalnya lemari besi tahan api.
63
DAFTAR PUSTAKA
Atmakusumah (ed.). 2011. Takhta untuk Rakyat : Celah-Celah Kehidupan Sultan Hamengku Buwono IX. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Baum, Willa K. 1982. Sejarah Lisan untuk Masyarakat Sejarawan Setempat. Jakarta: ANRI.
Bull, Victoria (ed.). 2011. Oxford Learner’s Pocket Dictionary. Oxford: Oxford Univerisity Press.
Departemen Kehakiman. 1977. Simposium Undang-Undang Pokok Agraria dan Kedudukan Tanah-Tanah Adat Dewasa Ini. Jakarta: Bina Cipta.
Departemen Pendidikan Nasional. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Hoopes, James. 1944. Oral History: an Introduce for Students. Chapel Hill: The University of North Caroline Press.
Kantor Arsip Daerah Yogyakarta. 2011. Naskah Sumber Arsip Seri 3: Ngindung di Tanah Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: Kantor Arsip Daerah DIY.
Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara. 2004. Pedoman Umum Tata Naskah Dinas. Jakarta: Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara.
Martono, Boedi. 1992. Penataan Berkas dalam Manajemen Kearsipan. Jakarta: Sinar Harapan.
Martono, Boedi. 1994. Penyusutan dan Pengamanan Arsip Vital dalam Manajemen Kearsipan. Jakarta: Sinar Harapan.
Moleong, Lexy J. 2013. Metodologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Rosda.
Notoyudo. 1975. Hak Sri Sultan atas Tanah di Yogyakarta. Yogyakarta: Keraton Yogyakarta.
64
Nusantara, A.Ariobimo. 1999. Sri Sultan Hamengku Buwono X: Meneguhkan Takhta untuk Rakyat. Jakarta: Gramedia.
Prawiroatmodjo, S. 1957. Bausastra Jawa-Indonesia. Jakarta: Gunung Agung.
Pusat Pendidikan dan Pelatihan ANRI. 2007. Sistem-Sistem Pemberkasan. Jakarta: ANRI.
Saffady, William. 2004. Records and Information Management: Fundamentals of Professional Practice. Lenexa: ARMA International.
Soekanto, Soerjono. 1983. Kamus Sosiologi. Jakarta: Rajawali
Soemardjan, Selo. 1981. Perubahan Sosial di Yogyakarta. Yogyakarta: Gadjah Mada Univeristy Press.
Sudarsono. 2007. Kamus Hukum. Jakarta: Rineka Cipta.
Yayasan Indonesia Buku. 2011. Ngeteh di Patehan: Kisah Beranda Belakang Keraton Yogyakarta. Yogyakarta: IBOEKOE.
Sumber Data
1. Majalah dan Surat Kabar
Lapian, A.B. 1981. Metode Sejarah Lisan (Oral History) dalam Rangka Penulisan dan Inventarisasi Biografi Tokoh-Tokoh Nasional. Lembaran Berita Sejarah Lisan, 7, Februari 1981: 18-27.
Widiyanto, Thomas Pudjo. “Magersari, Layanan Publik Keraton”, Kompas, 24 Maret 2012: 24-25.
Parani, Yuliani L. “Sejarah Tata Kearsipan di Indonesia”. Berita ANRI, 1, Maret 1978: 1-4.
65
2. Thesis dan Tugas Akhir (TA) Diploma
Churiyatul Maskunah, Vita Nur Fatimah, dan Rini Agustina. (2013). “Pengolahan Arsip Statis di KHP Widya Budaya Keraton Yogyakarta (Periode Sri Sultan Hamengku Buwono IX)”. Tugas Akhir Diploma Universitas Gadjah Mada.
Setiawati, Nur Aini. (2000). “Dari Tanah Sultan Menuju Tanah Rakyat: Pola Pemilikan, Penguasaan dan Sengketa Tanah di Kota Yogyakarta Setelah Reorganisasi Tanah 1917”. Thesis Magister Universitas Gadjah Mada.
Setyaningrum, Ari. (2010). “Kerelaan Menyewa Tanah: Studi Tanah Magersari Keraton Yogyakarta”. Thesis Magister Universitas Gadjah Mada.
Widiyastuti. (1999). “Aspek Legal Formal Tanah Lungguh di Kasultanan Yogyakarta 1831-1918”. Thesis Magister Universitas Gadjah Mada.
3. Internet
Krisna, Cakra Prabu. “Keluarga: Ketika Silsilah Keluarga Dianggap Penting”. http://cakrakrisna.wordpress.com/2008/11/22/tepas-darah-silsilah-keluarga/ [diunggah: 22 November 2008, diakses: 31 Januari 2013]
Dwi Mardjianto, Fx.Lilik. “Yogyakarta dalam Ancaman Kisruh Pengelolaan Tanah”. http://www.antaranews.com/berita/1291877753/yogyakarta-dalam-ancaman-kisruh-pengelolaan-tanah [diunggah: 9 Desember 2010, diakses: 31 Januari 2013]
Suryanto, Desi. “Wisuda Abdi Dalem”. http://www.solopos.com/2011/09/14/wisuda-abdi-dalem-238676 [diunggah: 14 September 2011, diakses: 31 Januari 2013]
----. “Keraton Laporkan Penipuan SG ke Polisi”. http://www.radarjogja.co.id/berita/jogja-raya/24319-keraton-laporkan-penipuan-sg-ke-polisi.html [diunggah: 1 Maret 2012, diakses: 7 Mei 2013]
66
----. “RM Triyanto Tak Takut Dilaporkan ke Polisi”. http://www.radarjogja.co.id/berita/jogja-raya/24389-rm-triyanto-tak-takut-dilaporkan-ke-polisi.html [diunggah: 3 Maret 2012, diakses: 7 Mei 2013]
Wibowo, Suryo. “Keraton Yogya Tolak Magersari Warga Suryowijayan”. http://www.tempo.co/read/news/2013/01/31/058458251/Keraton-Yogya-Tolak-Magersari-Warga-Suryowijayan [diunggah: 31 Januari 2013, diakses: 7 Mei 2013]
----. “Keturunan HB III Adukan Adik Sultan HB X ke Polisi”. http://regional.kompas.com/read/2012/03/06/02553424/Keturunan.HB.III.Adukan.Adik.Sultan.HB.X.ke.Polisi [diunggah: 6 Maret 2012, diakses: 7 Mei 2013]
Marajo, Asril Sutan. “Ahli Waris HB VII Gugat BPN Sleman”. http://suaramerdeka.com/v1/index.php/read/news/2010/05/18/54758 [diunggah: 18 Mei 2010, diakses: 7 Mei 2013]
----. “Berharap Keraton Merevisi Surat Kekancingan”. http://www.radarjogja.co.id/berita/utama/29032-berharap-keraton-merevisi-surat-kekancingan.html [diunggah: 20 Maret 2013, diakses: 9 Mei 2013]
Ahmad, Fauzan. “LBH Jogja Minta Keraton Tinjau Ulang Pemberian Surat Kekancingan”. http://www.jogjatv.tv/berita/19/03/2013/lbh-jogja-minta-keraton-tinjau-ulang-pemberian-surat-kekancingan [diunggah: 19 Maret 2013, diakses: 9 Mei 2013]
----. “Kerabat Pecah, HB X Harus Turun Tangan”. http://www.radarjogja.co.id/kulon-progo-dan-gunung-kidul/24374-kerabat-pecah-hb-x-harus-turun-tangan.html [diunggah: 3 Maret 2012, diakses: 10 Mei 2013]
67
LAMPIRAN A (Ringkasan Transkrip Narasumber) 1. Warga (Keluarga abdi dalem)
Narasumber : Mbah Slamet Profesi : Guide Usia : 68 tahun
Wawancara yang dilakukan kepada Mbah Slamet merupakan wawancara terbuka, tidak berstruktur dan mendalam. Wawancara dilaksanakan pada 2 Juni 2013 di rumah Irjen Djoko Susilo yang telah disita oleh KPK. Tujuan dari wawancara ini adalah untuk memahami kondisi sosiologis masyarakat yang berada di wilayah jeron beteng dan beberapa pemegang hak magersari yang diketahui oleh Mbah Slamet. Melalui pemahaman kondisi sosiologis masyarakat awam yang menghuni area sultan ground jeron beteng, diharapkan peneliti dapat memahami pula pola penyimpanan arsip kekancingan yang juga dikelola oleh masing-masing pemegang hak magersari. Inti dari penjelasan Mbah Slamet yaitu sudah banyak tanah di lingkungan jeron beteng yang dibagikan kepada para ahli waris dengan perkiraan luas 1000 meter per ahli waris. Magersari yang dipahami oleh masyarakat adalah tanah-tanah yang sudah lama didirikan kios-kios, di sekitar jeron beteng. Seharusnya tanah-tanah tersebut tidak diperbolehkan untuk didirikan bangunan permanen, namun pada praktiknya banyak terjadi pelanggaran. Ada pula sebagian pihak yang ragu-ragu jika ingin membeli tanah di sekitar jeron beteng karena dikhawatirkan tanah tersebut adalah magersari. Mbah Slamet juga mengakui sudah banyak terjadi jual-beli hak magersari di sekitar jeron beteng namun banyak yang didiamkan saja. Jual beli hak magersari juga sering melibatkan oknum dalam keraton dan petugas birokrasi modern, seperti camat. Akibat dari jual beli hak magersari ini adalah perubahan hak dari magersari menjadi hak milik. Dengan demikian, lambat laun tanah keraton semakin menipis karena peralihan tersebut. Faktor yang menyebabkan diamnya sebagian pihak yang mengetahui praktik culas ini adalah tidak ingin membuat keributan berkepanjangan dan faktor uang. Mbah Slamet juga menyimpan beberapa arsip kekancingan yang sebagiannya sudah ia serahkan kepada Komunitas Warung Arsip untuk didigitalisasikan dan dirawat agar tidak cepat rusak. 2. Pengelola arsip
Nama : Hendro, A.Md Profesi : Arsiparis BPAD Yogyakarta Usia : 45 tahun
Wawancara yang dilakukan kepada Bapak Hendro merupakan wawancara
terbuka, berstruktur dan mendalam. Wawancara dilaksanakan pada 7 Juni 2013 di
Perpustakaan Widya Budaya Keraton Yogyakarta. Tujuan dari wawancara ini
adalah untuk mengetahui dan memahami kondisi pengelolaan arsip, terutama
arsip serat kekancingan, di lingkungan Keraton Yogyakarta.
68
Inti dari penjelasan Bapak Hendri yaitu jarang terjadi proses penyusutan
dari masing-masing tepas (kantor) di keraton ke bagian arsip di Perpustakaan
Keraton Yogyakarta. Sebagian besar arsip yang masuk ke Perpustakaan Keraton
Yogyakarta tidak melalui prosedur penilaian, atau dengan kata lain langsung
bersifat statis. Arsip disimpan dengan mengacu pada pencipta arsip karena tidak
digunakannya kode klasifikasi pada masa aktifnya. Sebagian besar arsip
tertumpuk dalam karung dan dalam kondisi yang mengkhawatirkan, seperti
berjamur dan termakan serangga. Sayangnya, arsip kekancingan dalam
penyimpanan statisnya masih dijadikan satu dengan surat-surat yang lain karena
titik tumpu penyimpanan berdasarkan pencipta arsip. Meski demikian, perawatan
yang dilakukan sudah sampai pada tahap fumigasi walaupun hanya setahun sekali
karena minimnya biaya pengelolaan arsip di lingkungan Keraton Yogyakarta.
69
LAMPIRAN B (Contoh Kekancingan dan Permohonan Hak Magersari)
1. Permohonan I
70
2. Permohonan II
71
3. Kekancingan I
72
4. Kekancingan II
73
LAMPIRAN C (Dokumentasi Penelitian)
Contoh Buku Agenda
74
Suasana Jalan Brigjen Katamso dekat perempatan Gondomanan
Suasana Jalan Brigjen Katamso menuju Jalan Parangtritis
75
Suasana Jalan Suryowijayan dekat kios yang tergusur
Suasana Perumahan di Jalan Suryowijayan
76
LAMPIRAN D (Lembar Konsultasi Skripsi)
77
78
LAMPIRAN E (Peta)
1. Peta Pariwisata
79
LAMPIRAN F (Surat Ijin Penelitian)
80
LAMPIRAN G
BIODATA PENULIS
Nama : Rina Rakhmawati Tempat/tanggal lahir : Tegal, 25 Juli 1989 Alamat : Jalan Cendrawasih Gg. 16 No. 13, Kel Randugunting Kota Tegal, Jawa Tengah Pendidikan Formal
JENJANG NAMA SEKOLAH NAMA KOTA
TH.MASUK TH.LULUS
SD Al Irsyad Al Islamiyyah
Tegal 1997 2002
SMP Negeri 7 Tegal 2002 2004 SMA Negeri 1 Tegal 2004 2007 Perguruan Tinggi
Diploma 3 Kearsipan FIB UGM
Yogyakarta 2007 2010
Pelatihan/Kursus
JENJANG NAMA
PELATIHAN/KURSUS NAMA KOTA
TH MASUK
TH LULUS
- English for ITP-TOEFL Preparation Test ELTI
Yogyakarta Februari
2011 Mei 2011
- Desain Grafis dan Ms. Office FasNET GaMa
Yogyakarta Februari
2010 Agustus
2010 Pengalaman Organisasi
NAMA ORGANISASI
KEDUDUKAN DALAM
ORGANISASI NAMA KOTA TAHUN
PMR SMA N 1 Tegal
Sekretaris II Tegal 2005
BEM KM UGM Staff Kementrian PSDM
Yogyakarta 2008
Staff Kementrian Media dan Informasi
Yogyakarta 2009
Senat Mahasiswa FIB UGM
Perwakilan HMJ Yogyakarta 2009
Study Club FIB UGM
Ketua Umum Yogyakarta 2009
HMJ Kearsipan FIB UGM
Wakil Ketua Umum Yogyakarta 2008
Ketua Umum Yogyakarta 2009 KSSI FIB Undip Staff Semarang 2012
81
Pengalaman Magang NAMA
ORGANISASI/LEMBAGA AKTIVITAS
NAMA KOTA
WAKTU
Arsip Universitas Gadjah Mada
Penataan arsip inaktif dan statis
Yogyakarta 3 bulan
Radio Buku
Manajemen sound-recording, digitalisasi arsip koran, dan jurnalistik dasar
Yogyakarta 2 bulan
Semarang, September 2013