program studi ahwal al -syakhshiyah sekolah tinggi...

109
TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI (Takhrij Hadits Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali) SKRIPSI Oleh : AMINANTO 21105001 JURUSAN SYARI’AH PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN) SALATIGA 2010

Upload: others

Post on 11-Oct-2019

7 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

TELAAH TERHADAP HADIS-HADIS

TENTANG KEABSAHAN NIKAH TANPA WALI

(Takhrij Hadits Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)

SKRIPSI

Oleh :

AMINANTO21105001

JURUSAN SYARI’AH

PROGRAM STUDI AHWAL AL-SYAKHSHIYAH

SEKOLAH TINGGI AGAMA ISLAM NEGERI (STAIN)

SALATIGA

2010

Page 2: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 3: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 4: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

PERNYATAAN KEASLIAN TULISAN

Saya yang bertanda tangan di bawah ini :

Nama : Aminanto

NIM : 21105001

Jurusan : Syari’ah

Program studi : Ahwal al-Syakhshiyah

Menyatakan bahwa skripsi yang saya tulis ini benar-benar merupakan hasil karya

saya sendiri, bukan jiplakan dari karya tulis orang lain. Pendapat atau temuan

orang lain yang terdapat dalam skripsi ini dikutip atau dirujuk berdasarkan kode

etik ilmiah.

Salatiga, 21 September 2011Yang menyatakan,

Aminanto

Page 5: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

MOTTO DAN PERSEMBAHAN

MOTTO

KESULITAN SEBESAR APA PUN AKAN TERASA WAJARbagi jiwa yang tetap melebihkan syukur daripada mengeluh.

PERSEMBAHAN

Untuk orang tuaku,anak istriku, para dosenku,

sahabat-sahabatku, terutama kang Mutamassikinyang telah memberikan dorongan dan membantu

dalam penyelesaian skripsiku.

Page 6: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 7: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

KATA PENGANTAR

Tiada sepatah kata pun yang pantas terucap selain alhamdulillahi rabbil

‘alamin, karena pada akhirnya penulis dapat menyelesaikan skripsi ini. Skripsi

yang berjudul “Telaah Terhadap Hadis-hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa

Wali (Takhrij Hadits tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali)” ini diajukan sebagai

salah satu syarat untuk memperoleh gelar Sarjana Hukum Islam pada Jurusan

Syariah Program Studi Ahwal Al-Syakhshiyyah STAIN Salatiga.

Dalam penyusunan skripsi ini, penulis telah menerima bantuan dari

berbagai pihak, oleh karena itu, penulis menyampaikan ucapan terima kasih

kepada :

1. Dr. Adang Kuswaya, M.Ag., selaku dosen pembimbing yang telah

memberikan bimbingan dan pengarahan dengan penuh kesabaran dan

pengertian sehingga skripsi ini dapat terselesaikan.

2. Ilyya Muhsin, S.HI., M.Si., selaku Kaprodi Ahwal Al-Syakhshiyyah yang

dengan dukungan dan dorongan serta motivasi yang diberikannya kepada

penulis untuk menyelesaikan studi S1, sehingga penulis mampu menyalakan

api semangatnya kembali setelah redup beberapa waktu yang cukup lama

karena sesuatu hal yang menghambat dalam penyelesaian studi penulis.

3. Ahmad Mutamassikin, S.Pd.I., seorang sahabat yang baik yang dengan

keikhlasan hatinya telah banyak membantu dalam pengetikan naskah skripsi

ini.

Semoga mereka mendapatkan balasan yang lebih baik atas kebaikan

yang telah diberikannya kepada penulis (jazahumullahu ahsanal jaza’).

Page 8: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Penulis menyadari dengan sepenuh hati bahwa skripsi ini masih jauh

dari kesempurnaan mengingat keterbatasan penulis sendiri, baik keterbatasan

dalam hal ilmu pengetahuan, keterbatasan waktu, maupun keterbatasan sarana

prasarana. Oleh karena itu, penulis mengharapkan kritik dan saran dari semua

pihak.

Akhirnya penulis berharap semoga skripsi ini bermanfaat bagi penulis

sendiri pada khususnya dan para pembaca pada umumnya.

Cukilan, 24 November 2011

Penulis,

Aminanto

Page 9: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 10: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 11: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Masalah

Hukum Islam adalah segala ketentuan dan kepastian mengenai segala

yang terjadi di sekitar kita berdasarkan petunjuk Allah SWT yang

disampaikan kepada Nabi Muhammad SAW. Petunjuk inilah yang menjadi

pedoman setiap mukmin yang muslim dalam upaya pengabdiannya kepada

Allah SWT.

Petunjuk yang menjadi pedoman itu tidak memuat ketentuan-ketentuan

segala aspek kehidupan. Ketentuan itu sebagian besar hanya memuat petunjuk

global. Ketentuan-ketentuan yang tidak termuat dalam petunjuk Allah itu

selanjutnya dijelaskan di dalam as-Sunnah baik berupa perkataan, perbuatan

maupun penetapan yang pada hakekatnya merupakan petunjuk Allah juga.

Selanjutnya sebagai bukti sifat hukum Islam yang dinamis (selalu bergerak

dan berkembang) hukum Islam dikembangkan dalam bentuk Ijtihad, Ijma’,

dan Qiyas dan lain-lain yang semuanya menuntut para para ulama mujtahid

senantiasa memanfaatkan akal pikirannya hingga pendapat yang dihasilkannya

menjadi sumber hukum pelengkap.

Sebagaimana telah kita ketahui bersama bahwa as-Sunnah merupakan

sumber hukum kedua setelah al-Qur’an. Para ulama sepakat bahwa as-Sunnah

dapat berdiri sendiri dalam menetapkan hukum. Kekuatan yang berasal dari

as-Sunnah sama dengan kekuatan hukum yang berasal dari al-Qur’an dan

Page 12: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

menjadi sumber hukum yang wajib dipatuhi. Karena itu, as-Sunnah berfungsi

sebagai penjelasan terhadap maksud ayat-ayat al-Qur’an yang tidak atau

kurang jelas serta penentu dari beberapa hukum yang tidak terdapat hukumnya

di dalam al-Qur’an. Oleh sebab itu, apapun yang diberikan, dicontohkan,

ataupun yang diucapkan oleh Rasulullah SAW harus diakui sebagai hukum

Islam. Hal ini sesuai dengan al-Qur’an surat al-Hasyr ayat 7 dan surat an-

Najm ayat 3 dan 4:

Artinya: “Apa yang diberikan Rasul kepadamu, Maka terimalah. dan apayang dilarangnya bagimu, Maka tinggalkanlah. dan bertakwalahkepada Allah. Sesungguhnya Allah amat keras hukumannya”.

Artinya: Dan tiadalah yang diucapkannya itu (al-Quran) menurut kemauan

hawa nafsunya. 4. Ucapannya itu tiada lain hanyalah wahyu yangdiwahyukan (kepadanya).

Maksud as-Sunnah pada hakekatnya sudah terkandung dalam al-

Qur’an. Sunnah ada kalanya menjelaskan hal-hal yang belum jelas dalam al-

Qur’an, membatasi hukum yang datang secara muthlaq, serta memberikan

ketentuan khusus terhadap hukum yang datang secara umum. Demikian pula

as-Sunnah menetapkan dan menguatkan hukum yang telah ada dalam al-

Qur’an. Oleh karena itu kedudukan yang dijelaskan lebih tinggi dan harus

didahulukan daripada yang menjelaskan.

Diriwayatkan dari Mu’adz bin Jabal bahwasanya Rasulullah SAW

ketika mengutusnya ke Yaman bersabda: “Bagaimana kamu memutuskan jika

Page 13: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

dihadapanmu suatu persoalan? Mu’adz menjawab; aku akan memutuskan

dengan Al-Qur’an. Rasulullah SAW berkata; jika engkau tidak dapatkan

dalam Al-Qur’an? Mu’adz menjawab; dengan Sunnah Rasulullah. Nabi

berkata; jika tidak engkau dapatkan dalam Sunnah Rasulullah? Mu’adz

menjawab; saya berijtihad dengan pikiran saya. Kemudian Rasulullah

memukul dadanya dan bersabda: segala puji bagi Allah yang telah memberi

bimbingan kepada utusan Rasul-Nya dengan sikap yang disetujui Rasul-Nya”

(HR. Abu Dawud dan Tirmidzi).

Begitulah kedudukan as-Sunnah dalam sistematika sumber hukum

Islam. Namun demikian yang menjadi persoalan yang tidak asing lagi bagi

umat Islam pada umumnya adalah mengenai shahih atau tidaknya suatu hadis.

Dari sekian banyak hadis yang termaktub dalam kitab-kitab hadis tidak

semuanya dapat dijadikan pedoman dalam menetapkan suatu hukum karena

hanyalah hadis-hadis yang shahih saja yang boleh dijadikan pedoman atau

dasar hukum suatu perkara.

Kadang kala ada dua atau bahkan beberapa hadits yang berbicara

mengenai suatu perkara yang sama, namun dalam penetapan hukumnya

hadits-hadits tersebut saling bertentangan. Misalnya mengenai masalah wali

nikah ada beberapa hadits yang mewajibkan keberadaannya, namun ada pula

beberapa hadits yang membolehkan akad nikah tanpa wali.

Selama ini yang penulis ketahui wali nikah merupakan salah satu

rukun nikah yang lima yakni : mempelai laki-laki, mempelai perempuan, wali

nikah, dua orang saksi dan ijab qabul. Kelima rukun nikah tersebut harus

Page 14: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

terpenuhi, jika ada salah satu yang tidak terpenuhi, maka suatu pernikahan

dianggap tidak sah. Itulah hukum yang berlaku dalam masyarakat kita bahkan

di seluruh wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Hal ini

terbukti dengan adanya beberapa putusan Pengadilan Agama tentang Fasid

Nikah karena tidak adanya wali (Ramulyo,2000:10).

Berawal dari membaca bukunya A.Hassan yang berjudul Soal-Jawab

tentang Berbagai Masalah Agama, penulis merasa terkejut sekali ketika

mengetahui ada hadis-hadis yang menjadi dalil tentang kebolehan nikah tanpa

wali. Menurut beliau, seorang wanita meskipun masih gadis berhak untuk

menikahkan dirinya sendiri, dalam artian boleh melakukan ijab qabul sendiri,

maupun ia dalam posisi menjadi wakil untuk orang lain.

Di samping hadis-hadis sebagai dalil naqli tentang kebolehan nikah

tanpa wali meskipun bagi wanita yang masih gadis, beliau juga menggunakan

dalil ‘aqli atau argument secara akal sehat. Argument tersebut ialah bahwa

pokok atau asal masalah dalam wali nikah adalah kemerdekaan orang yang

diurus oleh wali. Selama orang yang diurusnya telah baligh atau dewasa, maka

hilanglah kekuasaan wali atas orang yang diurusnya, sehingga ia menjadi

orang yang merdeka. Dengan demikian, orang tersebut bebas mengurus

dirinya sendiri termasuk bebas memilih dan menentukan calon pasangan

hidupnya serta berhak menikahkan dirinya sendiri. Padahal jika kita

menengok fakta dan fenomena masyarakat yang terjadi adalah mereka

menerapkan hukum wali nikah sebagai salah satu rukun nikah, sehingga tidak

sah nikah tanpa wali.

Page 15: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Sebuah hadits yang sangat familier di kalangan masyarakat Muslim

yang menjadi landasan bahwa nikah tidak sah tanpa wali salah satunya adalah

hadits yang diriwayatkan dari ‘Aisyah r.a bahwasanya Rasulullah SAW

bersabda :

رواه (ال نكاح اال بولى وشاھدى عدل فان تشاجروا فالسلطان ولى من ال ولى لھ

) ارقطنى والبیھقىالد

Artinya: ”Tidak (sah) nikah kecuali dengan wali dan dua orang saksi yangadil. Jika (wali-wali itu) berbantah, maka Sulthonlah yang menjadiwali dari orang yang tidak mempunyai wali.” (HR. Daruquthni danBaihaqi)

Redaksi hadits tersebut di atas tidak menjelaskan bagi siapakah hukum

itu diberlakukan, untuk perempuan janda ataukah perempuan yang masih

gadis (bikr)? Dengan tidak adanya penjelasan, maka hadits tersebut sering

digunakan sebagai landasan pendapat yang mewajibkan keberadaan wali baik

bagi perempuan yang masih perawan (bikr) ataupun perempuan janda.

Pendapat tersebut dibantah oleh kelompok yang mengatakan bahwa

wali itu wajib hukumnya dan menjadi syarat sah nikah hanya berlaku untuk

perempuan yang masih perawan bukan perempuan janda. Hal itu berlandaskan

pada firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 232:

Artinya: Apabila kamu mentalak isteri-isterimu, lalu habis masa iddahnya,Maka janganlah kamu (para wali) menghalangi mereka kawin lagidengan bakal suaminya, apabila Telah terdapat kerelaan di antaramereka dengan cara yang ma'ruf. Itulah yang dinasehatkan kepada

Page 16: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

orang-orang yang beriman di antara kamu kepada Allah dan harikemudian. itu lebih baik bagimu dan lebih suci. Allah mengetahui,sedang kamu tidak Mengetahui.

Ayat tersebut diperkuat lagi dengan hadits Nabi yang menjelaskan

bahwa wanita janda itu lebih berhak atas dirinya dari pada walinya. Hak

tersebut berupa hak untuk menentukan suami pilihannya dan juga hak untuk

mengawinkan dirinya sendiri dengan lelaki pilihannya tersebut. Adapun bunyi

redaksi hadits yang digunakan sebagai dalilnya adalah sebagai berikut :

الثیب احق بتفسھا من ولیھا والبكر تستأذن في نفسھا واذنھا صماتھا )مسلم. ر.ص.ح(

Artinya: Perempuan yang janda itu lebih berhak (mengawinkan) dirinyadaripada walinya: dan anak perawan itu dimintai idzinnya pada(mengawinkan) dirinya: dan idzinnya itu ialah diamnya. (H.S.RMuslim)Ketika kita mendengar sebuah pendapat yang mengatakan bahwa

seorang wanita sekalipun ia masih gadis atau perawan lebih berhak atas

dirinya daripada walinya, sehingga ia pun berhak menikahkan dirinya sendiri

dengan lelaki pilihannya, apa reaksi yang muncul pada diri kita. Sudah barang

tentu hal itu menjadi sesuatu yang aneh dan tentunya kita menolak pendapat

tersebut sekuat tenaga dengan berdalil pada hadits Nabi SAW yang

mengatakan bahwa seorang wanita yang menikahkan dirinya sendiri adalah

wanita zina. Adapun bunyi redaksi hadits tersebut adalah sebagai berikut :

التزوج المرأة المرأة وال تزوج : هللا علیھ وسلم قال رسول ا: قال ابو ھریرة

رواه ابن ماجھ والدارقطنى. المرأة نفسھا فإ ن الزانیة ھي التى تزوج نفسھاArtinya: “Abu Hurairah berkata: Rasulullah SAW bersabda tidak boleh

seorang wanita mengawinkan wanita lain dan tidak boleh seorangwanita mengawinkan dirinya sendiri karena hanyalah wanita zinayang mengawinkan dirinya sendiri”. (H.R. Ibnu Majah danDaruquthni)

Page 17: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Namun bantahan kita pun ditentang oleh mereka yang mengatakan

bahwa seorang perempuan meskipun perawan berhak mengawinkan dirinya

dengan lelaki pilihannya sendiri tanpa perantaraan wali dengan berdalil pada

hadits Nabi yang berbunyi :

ان ابى : جأت فتاة الى رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم فقالت : قال ابو بریدة

زوجنى ابن اخیھ لیرفع بى خسیستھ فجعل رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم

قد اجزت ماصنع ابى ولكن اردت ان تعلم النساء ان لیس : االمر الیھا فقالت

الى االباء من االمر شیئArtinya: “Abu Buraidah berkata:” Telah datang seorang gadis kepada

Rasulullah SAW maka dia berkata: “Sesungguhnya ayahku telahmengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya agar supayahilang kehinaannya sebab saya”. Maka Rasulullah SAWmenyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis tadi. Diaberkata: “Aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapiaku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasaapapun bagi para bapak dari perkara ini.”

Dengan adanya perbedaan pendapat tersebut, yang masing-masing

mempunyai dasar atau dalil, tentu menimbulkan sebuah pertanyaan besar di

benak kita mengenai pendapat manakah yang sesungguhnya benar dan

pendapat manakah yang harus kita gunakan.

Perbedaan pendapat tersebut tidak seharusnya menjadikan umat Islam

terpecah belah. Umat Islam harus tetap bersatu meskipun berbeda pendapat

satu sama lainnya dalam masalah furu’iyah, selama aqidah tetap satu. Hal ini

sesuai dengan firman Allah surat Ali Imron: 103

Page 18: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Artinya: Dan berpeganglah kamu semuanya kepada tali (agama) Allah, danjanganlah kamu bercerai berai, dan ingatlah akan nikmat Allahkepadamu ketika kamu dahulu (masa Jahiliyah) bermusuh-musuhan,Maka Allah mempersatukan hatimu, lalu menjadilah kamu Karenanikmat Allah, orang-orang yang bersaudara; dan kamu Telahberada di tepi jurang neraka, lalu Allah menyelamatkan kamu daripadanya. Demikianlah Allah menerangkan ayat-ayat-Nya kepadamu,agar kamu mendapat petunjuk.

Kita jadikan perbedaan pendapat dalam masalah furu’iyah tersebut

sebagai rahmat karena hal itu berarti memberikan kebebasan kepada umat

Islam untuk menganut salah satu darinya sesuai dengan keyakinan dan

kemantapan hati. Masing-masing mempunyai dasar/landasan yang digali dari

sumber hukum Islam itu sendiri. Namun demikian, alangkah baiknya jika kita

mau dan mampu menggali hukum (istinbath hukum) langsung dari sumbernya,

tidak hanya taqlid belaka.

Beranjak dari latar belakang masalah tersebut, penulis merasa sangat

tertarik untuk meneliti lebih jauh lagi hadits-hadits yang digunakan sebagai

landasan atau dasar pendapat yang membolehkan akad nikah tanpa wali

meskipun bagi wanita yang masih perawan (bikr). Oleh sebab itu, penulis

dalam penelitian ini mengangkat judul: “Telaah Terhadap Hadits-Hadits

Tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali” (Takhrij Hadits Tentang

Keabsahan Nikah Tanpa Wali).

Page 19: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

B. Rumusan Masalah

Dari paparan latar belakang masalah tersebut di atas, maka selanjutnya

akan dirumuskan sebagai berikut :

1. Bagaimanakah konsep wali nikah dalam fiqh dan perundang-undangan?

2. Kitab-kitab hadits apa saja yang membicarakan tentang keabsahan nikah

tanpa wali?

3. Bagaimana telaah sanad hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali?

4. Bagaimana telaah matan hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali?

C. Tujuan Penelitian

Adapun tujuan dari penelitian hadits tentang keabsahan nikah tanpa

wali adalah sebagai berikut :

1. Memperdalam pemahaman terhadap konsep wali nikah dalam fiqh dan

perundang-undangan yang berlaku di negara kita, yakni UU No. 1 tahun

1974 tentang Perkawinan dan juga Kompilasi Hukum Islam (KHI).

2. Mengetahui serta mengkaji kitab-kitab hadits yang memuat hadits tentang

keabsahan nikah tanpa wali.

3. Mempelajari serta memahami sebab munculnya hadits tentang keabsahan

nikah tanpa wali, kapan dan di manakah hadits tersebut muncul,

bagaimanakah situasi dan kondisi masyarakat pada saat itu sehingga

berlaku hukum perkawinan yang sah tanpa wali.

4. Menelaah sanad hadits tentang keabsahan nikah tanpa wali untuk

menentukan otentisitas matan hadits tersebut, kemudian ditarik

Page 20: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

kesimpulannya dapat atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pedoman

hukum.

D. Kegunaan Penelitian

Kegunaan atau manfaat dari penelitian ini diantaranya adalah sebagai

berikut :

1. Pengayaan pemahaman tentang studi sanad hadits

2. Wawasan yang lebih luas kepada umat Islam mengenai matan hadits.

3. Memperkaya khazanah keilmuan khususnya di bidang ilmu hukum

munakahat.

E. Metode Penelitian

Ibrahim (2005:25-26) menjelaskan bahwa penggunaan metode

merupakan sesuatu yang lazim digunakan dalam setiap penelitian ilmiah.

Dalam dunia riset, penerapan metode dalam sebuah penelitian telah diatur dan

ditentukan dengan persyaratan yang sangat ketat berdasarkan tradisi keilmuan

yang berlaku agar hasil penelitian tersebut diakui oleh komunitas ilmuwan

terkait karena memiliki nilai ilmiah di bidangnya.

Dalam penelitian ini, penulis menggunakan metode penelitian sebagai

berikut :

1. Jenis Penelitian

Jenis penelitian ini adalah library research atau penelitian pustaka,

yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara membaca, mencermati, dan

Page 21: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

menelaah buku-buku yang ada kaitannya dengan masalah yang akan

diteliti. Menurut Zed (2004:1-2), “riset pustaka adalah penelitian yang

dilakukan dengan cara memanfaatkan sumber perpustakaan untuk

memperoleh data penelitiannya”.

2. Pendekatan

Penulis menggunakan dua macam pendekatan dalam penelitian ini,

yaitu :

a. Pendekatan Normatif, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara

menelaah bahan pustaka, produk-produk hukum, perbandingan hukum,

dan sejarah munculnya hukum (Soekanto&Mamudji,1995:13-14).

Kaitannya dengan penelitian yang penulis lakukan maka penulis

menelaah kitab-kitab hadits sebagai sumber hukum Islam yang

berbicara mengenai hal yang berkaitan dengan keabsahan nikah tanpa

wali, juga mengenai sejarah munculnya hadits tersebut.

b. Pendekatan Historis, yaitu pendekatan yang dilakukan dengan cara

mendeskripsikan yang terpadu dari keadaan-keadaan atau fakta-fakta

masa lampau yang ditulis berdasarkan penelitian serta studi yang kritis

untuk mencari kebenaran (Nazir,1988:55). Dalam hal ini penulis

melacak akar sejarah munculnya pendapat tentang keabsahan nikah

tanpa wali dengan cara mengumpulkan dan mengakses hadits-hadits

terkait dari kitab-kitab hadits yang telah diakui dalam dunia islam dan

juga dari CD Maktabah Syamilah.

Page 22: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

3. Pengumpulan Data

Pengumpulan data dalam penelitan ini terdapat dua macam jenis

data, yaitu:

a. Data Primer, ialah data yang diperoleh dari kitab-kitab hadits yang

memuat masalah keabsahan nikah tanpa wali.

b. Data sekunder, ialah data yang diperoleh dari bahan-bahan yang ada

hubungannya dengan bahan hukum primer dan dapat membantu

menganalisis dan memahami bahan hukum primer tesebut

(Soemitro,1990:53). Dalam hal ini yang menjadi sumber data sekunder

adalah buku-buku dan informasi-informasi dari berbagai media

mengenai wali nikah, seperti kitab-kitab fiqh, UUP, dan KHI.

4. Langkah-Langkah Penelitian

Adapun langkah-langkah yang penulis lakukan dalam penelitian

takhrij hadits ini adalah sebagai berikut :

1. Menentukan hadits yang digunakan sebagai landasan/dalil tentang

keabsahan nikah tanpa wali.

2. Menelusuri hadits tersebut dengan CD Maktabah Syamilah

3. Mengecek kembali hadits dalam kitab aslinya, jika keterangan yang

ada pada CD Maktabah Syamilah tidak cocok, maka dicari potongan

hadits tersebut di dalam kamus hadits Mu’jam Mufahrus li alfadh al-

hadits an-Nabawi karya Wensic dan Muhammad Fuad Abdul Baqi.

4. Petunjuk dari kamus tersebut untuk selanjutnya dicari di dalam kitab

aslinya.

Page 23: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

5. Setelah ditemukan hadits yang dimaksud selanjutnya dibuatlah bagan

sanad.

6. Meneliti atau menelaah otentitas hadits di dalam kitab Tahdzib al-

Tahdzib untuk mengetahui apakah sanadnya muttashil (bersambung)

ataukah munqa thi’ (terputus).

7. Menentukan kualitas para perawi hadits berdasarkan telaah sanad.

8. Menelaah matan hadits dari semua jalur periwayatan yang ada untuk

mengetahui adakah perbedaan dan persamaan redaksi dalam

penulisan matan hadits.

9. Telaah sanad menentukan shahih tidaknya matan hadits untuk

menentukan bisa atau tidakkah hadits tersebut dijadikan pegangan

hukum.

10. Mencari, mempelajari, serta memahami sebab munculnya hadits

tersebut, agar terdapat kepastian hukum mengenai masalah

keabsahan nikah tanpa wali.

5. Analisa Data.

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui otentitas atau shahih

tidaknya hadits yang digunakan sebagai landasan pendapat yang

mengatakan bahwa nikah tanpa wali hukumnya sah baik bagi perempuan

janda maupun perempuan yang masih perawan (bikr) dengan cara

menelaah sanadnya dari berbagai jalur periwayatan yang ada. Peneliti juga

menelaah matan hadits dari berbagai jalur periwayatan yang ada, serta

mencari perbedaan dan persamaan redaksi matan hadits antara jalur

Page 24: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan yang lainnya. Selain itu

penulis juga harus berusaha mencari dan memahami sebab munculnya

hadits tersebut, untuk mendapatkan kepastian hukum apakah boleh atau

tidak pelaksanaan nikah tanpa wali. Adapun prosedur penelitian yang

penulis lakukan adalah sebagaimana dalam langkah-langkah penelitian

tersebut di atas.

Penelitian ini adalah penelitian dengan spesifikasi data kepustakaan

dengan menggunakan metode analisa takhrij hadits. Sehingga penulis

harus menelaah hadits terkait di dalam kitab-kitab hadits yang telah diakui

oleh dunia Islam (mu’tabaroh). Penulis juga memaparkan pokok

permasalahan dalam penelitian ini yaitu wali nikah menurut fiqh dan

perundang-undangan seperti UU No.1 tahun 1974 tentang Pernikahan, dan

Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang digunakan sebagai landasan dasar

hukum Islam di Indonesia. Hal ini bertujuan untuk mengetahui seberapa

jauh dan seberapa besar perbedaan pendapat di kalangan masyarakat Islam

khususnya mengenai penerapan hukum perwalian dalam pernikahan

hingga menimbulkan masalah yang kontroversial.

F. Penegasan Istilah

Agar terdapat kejelasan pengertian dalam penelitian ini dan supaya

terhindar dari kerancuan atau kesalahan penafsiran istilah yang digunakan

dalam penelitian ini, maka penulis merasa perlu untuk memberikan penjelasan

dan penegasan istilah sebagai berikut :

Page 25: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

1. Takhrij hadits

Kata takhrij adalah bentuk mashdar dari kata kerja kharraja-

yukharriju-takhrij yang berarti mengeluarkan. Dengan demikian, istilah

takhrij hadits berarti mengeluarkan hadits dalam arti menelusuri hadits-

hadits dalam kitab-kitab hadits yang membicarakan masalah terkait.

2. Wali

Dalam Kamus Arab-Indonesia kata wali merupakan bentuk mufrad

(kata tunggal) dari kata jama’ auliya’ yang berarti: yang kasih, kawan,

sahabat, yang menolong, yang berbuat kebaikan (Yunus,1990:507).

Dengan demikian istilah wali nikah diberikan pada orang yang berbuat

kebaikan karena mau mengasihi dan menolong seseorang, yakni

menikahkannya. Selain itu, istilah wali nikah lazimnya diartikan sebagai

orang yang berhak menikahkan. Pengartian semacam itu tidak sesuai

dengan arti kata sebenarnya.

G. Sistematika Penulisan

Adapun sistematika penulisan skripsi ini mengacu pada buku Pedoman

Penulisan Skripsi dan Tugas Akhir yang telah ditetapkan oleh Sekolah Tinggi

Agama Islam Negeri (STAIN) Salatiga tahun 2008. Sistematika dimaksud

adalah sebagai berikut :

Bab I pendahuluan, meliputi uraian latar belakang masalah, rumusan

masalah, tujuan penelitian,manfaat atau kegunaan penelitian, metode

penelitian, penegasan istilah, dan sistematika penulisan.

Page 26: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Bab II kajian pustaka yang menguraikan tentang studi takhrij hadis

yang meliputi studi sanad dan studi matan, serta membahas masalah wali

nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.

Bab III pelaksanaan takhrij hadis, yang merupakan inti dari penelitian

hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali. Bab ini berisi tentang rangkaian

sanad dan tabaqat, kajian kuantitas sanad, kajian kualitas sanad, serta

kesimpulan dari keseluruhan pembahasan pada bab ketiga ini.

Bab IV telaah matan hadis, berisi tentang pembahasan mengenai

kompilasi dan arti matan hadis, kritik matan, asbab al-wurud, kandungan

hukum, dan kesimpulan dari keseluruhan isi pembahasan pada bab keempat.

Bab V penutup, merupakan bagian terakhir penulisan skripsi ini. Pada

bab ini akan disimpulkan keseluruhan isi skripsi mengenai hasil penelitian

takhrij hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali, serta berisi rekomendasi

penilis terhadap seluruh civitas dan akademika lembaga kampus STAIN

Salatiga, khususnya rekomendasi terhadap program studi Al-Ahwal Al-

Syakhshiyyah (AS).

Page 27: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

BAB II

KAJIAN PUSTAKA

Pada bagian kajian pustaka ini, penulis akan membahas tentang penelitian

takhrij hadits dan ilmu-ilmu pendukungnya, serta membahas pula mengenai

masalah wali nikah dalam pandangan fiqh dan perundang-undangan.

A. Studi Takhrij Hadits

Jumhur ulama’ ahli hadis mengklasifikasikan hadis menjadi tiga

kategori, yaitu shahih, hasan, dan dha’if. Pembagian hadis menjadi tiga

macam ini dikarenakan pada dasarnya hadis itu adakalanya maqbul (diterima)

dan adakalanya mardud (ditolak). Hadis yang maqbul ada kalanya diterima

karena memenuhi syarat-syarat untuk diterima secara sempurna, dan ada

kalanya diterima karena memenuhi syarat tetapi kurang sempurna. Hadis

maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima secara sempurna disebut hadis

shahih, hadis maqbul yang memenuhi syarat untuk diterima tetapi kurang

sempurna disebut hadis hasan, sedangkan hadis mardud (ditolak) adalah hadis

dha’if (Al-Maliki, 2006:50).

Untuk dapat menilai dan menentukan sebuah hadis kategori shahih,

hasan, atau dha’if, seseorang harus memiliki kemampuan di dalam ilmu hadis

(ulum al-hadits). Dengan demikian, seseorang yang akan meneliti sebuah

hadis hendaknya mengerti, memahami, dan menguasai ilmu yang berkaitan

dengan penelitian hadis tersebut, untuk menilai dan menentukan kualitas hadis

yang akan diteliti.

Page 28: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Ulama’ mutaakhirin membagi ilmu hadis menjadi dua bagian, yaitu

ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah. Ilmu Hadis Riwayah ialah ilmu

pengetahuan yang mempelajari hadis-hadis yang disandarkan kepada

Rasulullah SAW, baik berupa perkataan, perbuatan, taqrir, tabi’at, maupun

tingkah lakunya (Suparta, 2002:24). Objek kajian ilmu Hadis Riwayah adalah

bagaimana cara menerima hadis, menyampaikannya kepada orang lain, dan

memindahkan atau membukukannya. Adapun fungsi atau menfaat

mempelajari ilmu Hadis Riwayah adalah untuk menghindari adanya penukilan

yang salah dari sumbernya yang pertama yaitu Nabi SAW.

Sedangkan yang dimaksud ilmu Hadis Dirayah adalah ilmu

pengetahuan untuk mengetahui hakikat periwayatan, syarat-syarat, macam-

macam, dan hukum-hukumnya serta untuk mengetahui keadaan para perawi.

Ilmu Hadis Dirayah biasa juga disebut ilmu ushul al-hadits. Obyek

pembahasan ilmu hadis dirayah adalah keadaan para perawi dan keadaan

marwinya (yang diriwayatkan).

Adapun manfaat yang diperoleh dalam mempelajari ilmu Hadis

Dirayah di antaranya; (a) mengetahui pertumbuhan dan perkembangan hadis

dan ilmu hadis dari masa ke masa; (b) dapat mengetahui tokoh-tokoh serta

usaha-usaha mereka dalam mengumpulkan, memelihara, dan meriwayatkan

hadis; (c) mengetahui kaidah-kaidah yang digunakan oleh para ulama’ dalam

mengklasifikasikan hadis lebih lanjut,dan; (d) mengetahui istilah-istilah, nilai-

nilai, dan kriteria-kriteria hadis (Suparta,2002:27).

Page 29: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Dengan melihat uraian ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah

tersebut, tergambarlah adanya kaitan yang sangat erat antara yang satu dengan

yang lainnya. Hal ini karena setiap ada periwayatan hadis tentu ada kaidah-

kaidah yang dipakai, baik dalam penerimaannya maupun penyampaiannya

kepada pihak lain. Sejalan dengan perkembangan ilmu Hadis Riwayah, ilmu

Hadis Dirayah juga berkembang menuju kesempurnaanya. Oleh karena itu,

sangat tidak mungkin ilmu Hadis Riwayah berdiri sendiri tanpa ilmu Hadis

Dirayah, begitu pula sebaliknya.

Dari ilmu Hadis Riwayah dan ilmu Hadis Dirayah tersebut, pada

perkembangan berikutnya, muncullah cabang-cabang ilmu hadis lainnya,

seperti ilmu al-jarh wa al-ta’dil, ilmu tarikh ar-ruwah, ilmu ‘ilal al-hadits,

ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu asbab wurud al hadits, dan ilmu

mukhtalif al-hadits.

Selanjutnya penulis akan membahas cabang-cabang ilmu hadis

tersebut dalam kajian sanad dan matan hadis yang keduanya merupakan unsur

pokok dari hadis itu sendiri.

1. Studi Sanad

Kata Sanad berasal dari bahasa arab yang berarti sandaran atau

sesuatu yang kita jadikan sandaran. Dikatakan demikian karena hadits

bersandar kepada sanad. Secara istilah sanad berarti silsilah orang-orang

yang meriwayatkan hadits yang menyampaikannya kepada matan hadits

Mempelajari sanad sangat penting utuk menentukan kualitas hadits

yang diteliti. Sebuah hadits dikatakan shahih bila dalam sanadnya

Page 30: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

memenuhi kriteria hadits shahih, yaitu bersambung sanadnya, dan

diriwayatkan oleh para perawi yang adil dan dhabit sampai akhir sanad.

Jika sanadnya tidak bersambung atau ada salah satu perawi yang tidak adil

dan dhabit maka suatu hadis tidak dapat dikatakan sebagai hadis shahih.

Dalam studi sanad ini, ilmu yang dibutuhkan adalah Ilmu Rijal Al

Hadits. Ilmu Rijal Al-Hadits adalah ilmu untuk mengetahui para perawi

hadis dalam kapasitasnya sebagai perawi hadis. Dalam perkembangannya,

ilmu ini dibagi menjadi dua bagian yaitu, ilmu al-jarh wa al-ta’dil dan

ilmu tarikh ar- ruwat.

a. Ilmu Al-Jarh wa Al-Ta’dil

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil adalah ilmu untuk mengetahui

kapasitas para perawi adil atau tidakkah, dhabit atau tidakkah, dan

cacat atau tidakkah dalam penilaian para ulama ahli hadis.

As-Shiddiqy (1993:358) mendefinisikan al-jarh wa al-ta’dil

sebagai berikut:

الجرح ھو ذكر ما یعاب بھ الراوى

Artinya : “Al-jarh ialah menyebutkan sesuatu yang dengan karenanya

perawi tercatat (menampakkan keaiban yang dengan

keaiban itu tertolaklah riwayat)”.

التعدیل ھو وصف الراوى بصفات توحب عدالتھ التى ھى مدار

القبول لروایتھ

Page 31: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Artinya : “At-ta’dil ialah mensifatkan perawi dengan sifat-sifat yang

dengan karenanya orang memandangnya adil, yang

menjadi sumbu penerimaan riwayatnya”.

Menurut definisi para ulama’ ahli hadis ilmu Ilmu al-jarh wa

al-ta’dil dapat dirumuskan sebagai berikut:

لم یبحث عن الرواة من حیث ما ورد فى شأنھم مما یثنیھم او یزكیھم ع

بألفاظ مخصوصة

Artinya: “Ilmu yang membahas tentang para perawi hadits dari segi

yang dapat menunjukkan keadaan mereka, baik yang dapat

mencacatkan atau membersihkan mereka, dengan ungkapan

atau lafadz tertentu”.

Menurut Zuhri (1997:124), ungkapan atau lafadz yang biasa

digunakan untu menilai adil (ta’dil) terhadap perawi sesuai

tingkatannya adalah sebagai berikut :

1. فالن اوثق الناس ( polan orang paling terpercaya )

2. فالن ثقة ثقة ( polan bisa dipercaya, bisa dipercaya )

3. فالن ثقة أو حجة ( polan bisa dipercaya atau polan hujjah )

4. فالن صدوق أو ال بأس بھ ( poaln jujur, polan tidak

mengapa )

5. فالن صدوق إن شاء اهللا ( polan insya Allah jujur )

Page 32: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Sedangkan kata yang biasa digunakan untuk mencela,

mencacat, atau men-jarh perawi, menurut Zuhri (1997:125) adalah

sebagai berikut :

1. فالن أكذب الناس ( polan orang paling dusta )

2. فالن متھم بالكذب ( polan tertuduh dusta )

3. فالن ضعیف جدا ( polan sangat lemah periwayatannya )

4. فالن ضعیف ( poaln lemah periwayatannya)

5. فالن لیس بحجة ( polan bukan hujjah )

Ilmu al-jarh wa al-ta’dil ini sangat penting untuk menetapkan

atau memutuskan suatu hadis diterima (maqbul) atau ditolak (mardud).

Apabila seorang perawi dipuji, maka hadis yang diriwayatkannya

dapat diterima dan jika seorang perawi dicela atau dicacat maka hadis

yang diriwayatkannya harus ditolak.

Kita bisa menelusuri kecacatan perawi dengan mengetahui

perbuatan-perbuatan dan sifat-sifatnya. Biasanya kecacatan itu

dikategorikan dalam lingkup perbuatan semisal: bid’ah yakni

melakukan tindakan di luar ketentuan syari’ah, mukhalafah, yakni

berbeda dengan periwayatan dari rawi yang lebih tsiqqah; ghalath,

yakni banyak melakukan kekeliruan dalam meriwayatkan hadis,

jahalat al-hal, yakni tidak diketahui identitasnya secara jelas dan

lengkap; dan da’wat al inqitha’ yakni diduga penyandaran atau

sanadnya terputus (Suparta, 2002:32).

Page 33: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

b. Ilmu Tarikh Al-Ruwat

Ilmu tarikh al-ruwat adalah ilmu untuk mengetahui biodata

atau identitas para perawi yang berkaitan dengan usaha periwayatan

mereka terhadap hadis. Dengan ilmu ini kita bisa mengetahui identitas

diri para perawi, seperti kelahirannya, wafatnya, guru-gurunya, masa

atau waktu mereka menerima hadits dari gurunya, siapa orang yang

meriwayatkan hadis darinya, tempat tinggal mereka, dan lain

sebagainya. Ilmu ini memfokuskan pembahasan dari sudut sejarah

orang-orang yang terlibat dalam periwayatan.

Para ulama’ muhadditsin menggabungkan ilmu thabaqot al-

ruwat ke dalam bagian dari ilmu tarikh al-ruwat. Thabaqah adalah

suatu kaum yang hidup dalam satu masa dan memiliki keserupaan

dalam umur dan isnadnya, yakni penerimaan hadis dari para gurunya.

Para perawi hadis berdasarkan thabaqahnya dibagi menjadi

lima tingkatan, yaitu para sahabat Nabi merupakan thabaqah rawi yang

pertama, tabi’in menempati thabaqah kedua, atba’ al- tabi’in thabaqah

ketiga, atba’ atba’ al tabi’in thabaqah keempat, atba’ atba’ atba’ al

tabi’in thabaqah kelima. Kelima thabaqah ini merupakan thabaqah

para rawi sampai akhir masa periwayatan (Nuruddin, 1994:130)

Ilmu tarikh al-ruwat merupakan senjata yang ampuh untuk

mengetahui identitas para perawi yang sebenarnya, terutama untuk

membongkar kebohongan perawi yang ingin memalsukan hadis.

Suparta (2002:34) mencontohkan hal ini sebagai berikut:

Page 34: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Ufair ibn Ma’dan Al-Killa’iy bercerita: “Umar ibnMusa pernah datang kepadaku, lalu kutemui dia di masjid danseraya ia berkata: ‘telah bercerita kepada kami guru kamu yangsalih’ ketika ia telah banyak bercerita, lalu kupotong ceritanya,‘siapa yang kamu maksud guru kami yang salih iu? Sebutlahnamanya agar kami mengetahuinya!’ jawabnya: ‘yaitu Khalidibn Ma’dan’, kemudian bertanya lagi ‘tahun berapa kamubertemu dia?’ jawabnya ‘aku bertemu tahun 108 H’ ‘dimanakamu bertemu?’ tanyaku lagi. ‘aku bertemu dia pada waktuperang Armenia’ jawabnya. Aku membentak : takutlah kepadaallah hai saudara, jangan engaku berdusta! Bukankah Khalidibn Ma’dan itu wafat tahun 104 H? sedangkan kamumengatakan bahwa kamu bertemu dengan dia empat tahunsetelah ia wafat dan dia juga tidak pernah mengikuti perangArmenia sama sekali, dia hanya ikut perang Romawi saja”Dengan demikian mengetahui tanggal lahir dan wafat para

perawi adalah hal yang sangat penting untuk menolak pengakuan

seorang perawi yang mengaku pernah bertemu dengannya.

2. Studi Matan

Matan hadis ialah materi atau lafadz hadis itu sendiri. Menurut

Suparta (2002:47) yang dikutip dari bukunya Ajjaj Al-Khathib, definisi

matan adalah:

الفاظ الحدیث التى تتقوم بھا معانیھ

Artinya: “Lafadz-lafadz hadis yang di dalamnya mengandung makna-

makna tertentu”.

Adapun tolak ukur dalam penelitian atau studi matan yang telah

dikemukakan oleh ulama’ muhadditsin tidak seragam. Menurut Al-

Khathib Al-Baghdadi bahwa matan hadis yang maqbul (diterima sebagai

hujjah) harus memenuhi kriteria sebagai berikut: (1) tidak bertentangan

Page 35: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

dengan akal sehat; (2) tidak bertentangan dengan nash al quran yang telah

muhkam; (3) tidak bertentangan dengan hadis mutawatir; (4) tidak

bertentangan dengan amalan yang telah menjadi kesepakatan ulama’ masa

lalu (ulama’ salaf). Sedangkan menurut Shalah Al-Din Al-Dlabi bahwa

kriteria matan hadis yang shahih adalah (1) tidak bertentangan dengan

petunjuk al-Quran; (2) tidak bertentangan dengan hadis yang berkualitas

lebih kuat; (3) tidak bertentangan dengan akal sehat; (4) susunan

pernyataannya menunjukkan sabda Nabi (Ismail, 1995:79).

Dalam studi matan, ilmu-ilmu yang dibutuhkan oleh seorang

peneliti adalah ilmu ‘ilal al-hadits, ilmu asbab al-wurud, ilmu gharib al-

hadits, ilmu an-nasikh wa al-mansukh, ilmu at-tashif wa at-tahrif dan ilmu

mukhtalif al-hadits. Dari beberapa ilmu di atas dapat dijelaskan sebagai

berikut:

a. Ilmu ‘Ilal Al-Hadits

Suparta (2002:36) mendeviniskan ilmu ‘ilal al-hadits sebagai

berikut:

Ilmu ‘ilal al-hadits adalah ilmu yang membahas sebab-sebab yang tersembunyi, yang dapat mencacatkan kesahihanhadits, seperti mengatakan muttasil pada hadits yang muqoti’,menyebut marfu’ pada hadits yang mauquf, memasukkansebuah hadits ke dalam hadits lain dan hal-hal yang serupadengan itu.Dasar penetapan ‘illat pada sebuah hadits adalah hafalan yang

sempurna, pemahaman yang mendalam, dan pengetahuan yang cukup

dari para perawinya.

Page 36: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

b. Ilmu Asbab Al-Wurud

Ilmu asbab al-wurud adalah ilmu pengetahuan yang membahas

tentang sebab-sebab Nabi menuturkan sabdanya dan waktu beliau

menuturkan itu (Suparta, 2002:39).

Urgensi asbab al-wurud terhadap hadis adalah sebagai salah

satu jalan untuk memahami kandungan hadis itu sendiri. Dengan

demikian, kandungan hukum suatu hadis dalam penetapan hukumnya

haruslah tepat dan sesuai dengan ‘illat atau sebab hukum tersebut.

Dengan memahami asbab al-wurud, dapat dengan mudah memahami

isi kandungan sebuah hadis. Namun demikian, tidak semua hadis

memiliki asbab al-wurud seperti halnya ayat-ayat al-Qur’an tidak

semuanya mempunyai asbab nuzulnya.

c. Ilmu Gharib Al-Hadits

Ilmu gharib al-hadits ialah ilmu yang mempelajari ungkapan

lafadz-lafadz yang sulit dan rumit yang terdapat dalam matan hadis

karena lafadz-lafadz tersebut jarang digunakan.

Memahami makna kosa kata (mufrodat) matan hadis

merupakan hal yang penting karena matan hadis itu sendiri merupakan

materi atau isi yang terkandung dalam sebuah hadis. Kita tidak akan

bisa mengerti isi kandungan sebuah hadis tanpa mengerti arti kosa kata

yang terdapat dalam matan hadis tersebut, terlebih lagi mengenai kosa

kata yang gharib (jarang digunakan). Oleh sebab itu, ilmu ini sangat

penting untuk menolong kita menuju pemahaman tersebut.

Page 37: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

d. Ilmu An-Nasikh Wa Al-Mansukh

Adapun yang dimaksud ilmu nasikh wa al-mansukh dalam

hadis ialah ilmu yang membahas hadis-hadis yang berlawanan yang

tidak memungkinkan untuk dipertemukan, karena materi yang

berlawanan tersebut pada akhirnya saling menghapuskan, dengan

ketetapan bahwa yang datang terdahulu disebut mansukh dan yang dan

datang kemudian disebut nasikh.

Untuk mengetahui nasikh dan mansukh ini, bisa melalui

beberapa cara:

1. Dengan mempelajari sejarah munculnya hadis atau asbab al-

wurudnya

2. Dengan penjelasan nash atau syari’ sendiri, dalam hal ini

Rasulullah S.A.W

3. Dengan penjelasan dari para sahabat.

e. Ilmu Al-Tashhif Wa Al-Tahrif

Ialah ilmu yang berusaha menerangkan tentang hadis-hadis

yang sudah diubah titik ataupun syakalnya (mushahhaf) dan bentuk-

bentuknya (muharraf). Ilmu ini dimunculkan karena dalam hafalan

para ulama’ terkadang terjadi kesalahan bacaan dan pendengaran yang

diterimanya dari para gurunya.

f. Ilmu Mukhtalif Al-Hadits

Ialah ilmu yang mempelajari hadis-hadis yang menurut

lahirnya ada pertentangan karena adanya kemungkinan dapat

Page 38: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

dikompromikan, baik dengan cara mentaqyid dengan kemutlakannya,

mentakhsis keumumannya, atau dengan cara membawanya kepada

beberapa kejadian yang relevan dengan hadis tersebut.

Dengan melihat definisi di atas, ruang gerak ilmu muktalif al-

hadits adalah berusaha untuk mempertemukan dua atau lebih hadis

yang bertentangan. Adapun langkah-langkah yang digunakan untuk

mempertemukan hadis-hadis yang bertentangan maknanya tersebut

adakalanya mentaqyid kemuthalakan hadis, mentakhsis keumuman

hadis, dan ada kalanya dengan memilih sanad yang lebih kuat atau

lebih banyak datangnya.

B. Wali nikah dalam Fiqh dan Perundang-Undangan

1. Konsep Wali Nikah Dalam Fiqh

Fiqh merupakan kumpulan ilmu yang sangat besar gelanggang

pembahasannya yang mengumpulkan berbagai ragam jenis hukum Islam

dan bermacam rupa aturan hidup, untuk keperluan kehidupan umat

manusia.

Fiqh yang dijadikan rujukan umat muslim di Indonesia adalah

fiqh yang telah terkodifikasi dalam fiqh madzhab. Dalam hal ini, fiqh

madzhab Syafi’iyah menjadi yang paling dominan dalam tata hukum

Islam di Indonesia. Majelis Ulama’ Indinesia (MUI) dan organisasi-

organisasi besar Islam di Indonesia, seperti Nahdlatul Ulama (NU) dan

Muhammadiyah dalam menetapkan hukum tidak dapat terlepas dari

Page 39: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

pemkiran madzhab, meskipun ada sebagian dari mereka yang mengaku

tidak bermadzhab, seperti Muhammadiyah (Wahid dan Rumadi,

2001:129).

Secara garis besar, fiqh terbagi menjadi tiga bagian, yaitu fiqh

ibadat, fiqh mu’amalat, dan fiqh ‘uqubat. Fiqh ibadat mengatur masalah

ibadah seperti thaharah (bersuci), shalat, puasa, haji. Fiqh mu’amalat berisi

tentang masalah interaksi atau hubungan antar sesama manusia, seperti

jual beli, gadai, sewa-menyewa, pinjam-meminjam, perkawinan,

perceraian, dan lain sebagainya. Fiqh uqubat mengatur masalah tindak

pidana dalam Islam, seperti pencurian, perampokan, perzinaan,

pembunuhan, dan lain sebagainnya. Dalam hal ini, wali nikah merupakan

bagian dari fiqh mu’amalah yang dibahas dalam masalah perkawinan

(munakahat).

Mughniyah (1991:53) menjelaskan bahwa perwalian adalah

suatu kekuasaan atau wewenang syar’i yang diberikan kepada seseorang

yang sempurna, karena kekurangan tertentu pada orang yang ada dalam

kewenangan atau kekuasaannya, demi kemaslahatannya sendiri. Dalam hal

perkawinan, wali adalah orang yang berwenang atau berhak untuk

menikahkan.

Wali nikah menurut ulama’ Syafi’iyah merupakan salah satu

rukun nikah. Dengan demikian, hukum wali nikah adalah wajib

keberadaannya. Tidak ada suatu ikatan perkawinan yang terjadi tanpa wali.

Jikapun ada suatu perkawinan yang akad nikahnya terjadi tanpa wali,

Page 40: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

maka perkawinan tersebut dianggap tidak sah dan akad nikah tersebut

dianggap tidak pernah terjadi. Hal ini akan menjadi lebih jelas lagi ketika

kita menelaah kitab-kitab fiqh Syafi’iyah baik kitab-kitab klasik maupun

yang kontemporer sekalipun. Dalam kitab-kitab Syafi’iyah tersebut ketika

kita membaca masalah perkawinan (bab an-nikah) maka sudah pasti akan

menemukan keterangan sebagai berikut:

زوج وزوجة وولى وشا ھدان وصیغة : واما اركان النكا ح خمسة

Artinya : “adapun rukun nikah itu ada lima: mempelai laki-laki, mempelai

perempuan, wali, dua orang saksi, sighat (ijab qobul)”.

Akan tetapi ketika kita menelaah dan mengkaji fiqh madzhab

yang lainya, seperti fiqh madzhab Maliki, fiqh madzhab Hanafi, fiqh

madzhab Hambali, fiqh madzab Syi’ah Imamiyah, maka kita akan

menemukan perbedaan pendapat mengenai masalah wali nikah.

Ulama’ Syafi’iyah, Malikiyah, Hanabilah berpendapat jika wanita

yang sudah baligh, berakal sehat dan masih gadis, maka hak mengawinkan

dirinya ada pada wali. Namun jika ia janda, maka hak mengawinkannya

ada pada keduanya. Wali tidak boleh mengawinkan wanita janda tanpa

persetujuan darinya, sebaliknya wanita janda tidak boleh mengawinkan

dirinya tanpa restu dari walinya. Namun demikian, pelaksanaan atau

pengucapan akad nikah adalah hak wali. Akad nikah yang dilakukan oleh

wali itu sendiri tanpa persetujuan dari wanita janda tersebut, dianggap

tidak sah dan tidak berlaku sama sekali, meskipun akad nikah itu sendiri

Page 41: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

membutuhkan persetujuan darinya. Berkaitan dengan hal tersebut, Sayid

Sabiq (1981:11) menyatakan sebagai berikut.

Para Ulama’ berpendapat: perkawinan itu mempunyaibeberapa tujuan sedangkan wanita biasanya suka dipengaruhi olehperasaannya, karena itu, ia tidak pandai memilih, sehingga tidakdapat memperoleh tujuan-tujuan utama dalam perkawinan ini.Maka dari itu, ia tidak boleh mengurus langsung akad nikahnya,tetapi hendaknya diserahkan kepada walinya agar tujuanperkawinan ini dapat tercapai dengan sempurna.Sedangkan Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa wanita yang

sudah baligh dan berakal sehat mempunyai hak mutlak atas dirinya. Dia

berhak memilih dan menentukan calon suaminya serta boleh melakukan

akad nikah sendiri atau menikahkan dirinya sendiri dengan lelaki

pilihannya, baik dia masih gadis ataupun janda. Tidak ada seorangpun

yang berhak menentang dirinya dan menghalangi keinginannya, dengan

syarat lelaki yang dipilihnya itu sepadan (kafaah) dengannya, dan

maharnya tidak kurang dari mahar mitsil. Mahar mitsil adalah mahar yang

serupa, sebanding atau senilai dengan mahar yang diterima, oleh saudara

perempuan dan sanak kerabat si wanita yang sudah pernah menikah Jika ia

memilih pasangan yang tidak sepadan, atau pasangannya tersebut tidak

mampu memberikan mahar mitsil maka wali berhak menentangnya dan

mengajukan permohonan kepada hakim untuk membatalkan

perkawinannya tersebut.

Sementara itu, Ulama’ Syiah Imamiyah mempunyai pendapat lebih

luas dari pada Ulama’ Hanafiyah. Seorang wanita yang sudah baligh dan

berakal sehat, ia berhak melakukan segala bentuk transaksi, bebas

menentukan nasib hidupnya sendiri, dan bebas mengurus hartanya. Ia

Page 42: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

bebas melakukan segala tindakan hukum termasuk melakukan ijab qabul

dalam pernikahan, baik ia masih perawan maupun ia janda. Dia berhak

menentukan pasangan hidupnya (suami) tanpa ada syarat harus sepadan

dan maharnya tidak harus mahar mitsil. Dia juga boleh melakukan akad

nikah sendiri meskipun tanpa persetujuan walinya (Mughniyah, 1991:54).

Pendapat ulama’ Imamiyah tersebut menurut akal sangat logis

karena Islam sendiri mengajarkan persamaan derajat atau kedudukan

antara kaum laki-laki dan perempuan. Semua manusia baik laki-laki atau

perempuan berkedudukan sama dalam hukum dan bebas mengurus semua

urusan kehidupannya. Tidak ada yang membedakannya kecuali kadar

ketaqwaan mereka pada Allah. Hal ini sesuai dengan Firman Allah dalam

al-Qur’an Surat Al-Hujurat ayat 13.

Artinya : “Hai manusia, sesungguhnya Kami menciptakan kamu dari

seorang laki-laki dan seorang perempuan dan menjadikankamu berbangsa - bangsa dan bersuku-suku supaya kamusaling kenal-mengenal. Sesungguhnya orang yang paling muliadiantara kamu disisi Allah ialah orang yang paling taqwadiantara kamu. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagiMaha Mengena”.

Dalam tiap-tiap urusan, kalau kita tinggalkan pokok atau asal dari

masalah atau urusan tersebut, niscaya masalah tidak akan terselesaikan dan

akan menimbulkan kekacauan. Tiap perkara ada pokok atau asalnya.

Pokok atau asal dalam masalah wali nikah ini ialah kemerdekaan

Page 43: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

seseorang yang diurus oleh wali. Seorang anak selama ia belum baligh

menjadi tanggung jawab orang tua atau walinya. Setelah ia baligh,

hilanglah kewajiban dan kekuasaan wali terhadapnya. Ia telah dibebani

oleh hukum yang berlaku (mukallaf) dan ia berhak menentukan

kehidupannya sendiri. Kalau ia ada pusaka atau harta dari orang tua, wajib

diserahkan kepadanya. Harta tersebut boleh ia urus menurut kemauannya

dengan tidak ada teguran dari siapapun kecuali kalau ia boros atau

menyalah gunakan hartanya. Jadi setiap orang yang sudah aqil baligh

mempunyai kebebasan untuk mengurus dirinya sendiri. Hal ini telah

diakui dan dapat diterima oleh akal, agama dan adat (A.Hassan,

1998:252).

2. Konsep Wali Nikah dalam Perundang-Undangan

a. Konsep Wali Nikah dalam UUP

Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 atau lazimnya disebut

dengan undang-undang perkawinan (UUP) secara substansinya tidak

mengatur masalah wali nikah baik secara garis besarnya saja maupun

secara rincinya. Hal ini disebabkan karena UUP berlaku untuk semua

kalangan masyarakat Indonesia yang terkenal dengan beragam suku,

ras, agama, dan budaya. Sehingga dapat dikatakan UUP hanya

mengatur masalah perkawinan dalam segi administratifnya. Oleh

karena itu, bagi warga yang melanggarnya dikenakan sanksi

administratif. Salah satu contoh sanksi administratif ialah denda bagi

warga yang tidak bisa melengkapi berkas-berkas terkait sebagai syarat

Page 44: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

yang harus dipenuhi sebelum melakukan perkawinan. Misalnya,

ketidak adaan buku nikah mempelai wanita akan semakin mempersulit

dan memperlambat pelaksanaan perkawinan karena orang yang

bersangkutan harus bersusah payah mencari surat-surat keterangan

mengenai masalah tersebut dan tentunya dikenai biaya administrasi

atau denda. Hal ini berdasarkan pasal 2 (2) UUP: “tiap-tiap perkawinan

dicatat menurut peraturan perundangan yang berlaku”.

UUP hanya menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah

perkawinan yang dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya

sesuai dengan bunyi pasal 2 (1) UUP: “perkawinan adalah sah, apabila

dilakukan menurut hukum masing-masing agamanya dan kepercayaan-

nya itu”. Dengan kata lain, tidak ada ikatan perkawinan di luar hukum

masing-masing agamanya. Dengan demikian, dapat ditarik kesimpulan

bahwa apabila perkawinan dilakukan sesuai dengan hukum agama,

maka perkawinan tersebut adalah sah menurut agama dan perundang-

undangan.

Adapun tujuan UUP sebagai hukum positif atau perundang-

undangan yang berlaku, salah satunya adalah penertiban perkawinan

untuk menjamin tercapainya cita-cita luhur dari perkawinan, yaitu

membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan

Yang Maha Esa.

Dalam undang-undang ini terdapat prinsip-prinsip demi

tercapainya tujuan dan cita-cita luhur dari perkawinan. Prinsip-prinsip

Page 45: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

tersebut menurut Arso Sastro Atmodjo dan Wasit Aulawi (1975:31)

adalah; (1) asas sukarela, (2) partisipasi keluarga, (3) perceraian

dipersulit, (4) poligami dibatasi secara ketat, (5) kematangan calon

mempelai, (6) memperbaiki derajat kaum wanita.

Dengan demikian, masalah wali nikah bukan masalah yang

menjadi pembahasan dalam perundang-undangan, dalam hal ini UUP

dan PP Nomor 9 Tahun 1975 tentang pelaksanaan UU Nomor 1 Tahun

1974.

b. Wali Nikah dalam KHI

Kompilasi Hukum Islam (KHI) adalah kumpulan hukum Islam

yang bersifat legal-formal yang telah disesuaikan dengan kondisi

sosial-budaya masyarakat Indonesia. Sampai saat ini, belum ada

seorang pun yang meragukan ataupun yang menyangkal mengenai

substansi KHI, kecuali kritik polemis khilafiyah. Semua orang sepakat

bahwa substansi KHI adalah Hukum Islam (Fiqh) karena KHI dikemas

dalam sebuah peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, wajar

bila KHI disebut sebagai fiqh dalam bahasa undang-undang ataupun

KHI sebagai fiqh Islam berwawasan pancasila (Wahid dan Rumadi,

2001:196).

Mayoritas masyarakat muslim Indonesia dalam menerapkan

hukum Islam (fiqh) menganut madzhab Syafi’i, sehingga tak heran jika

KHI pun substansi hukumnya bernuansa Syafi’iyah. Hal ini

disebabkan karena menurut sejarah, pembentukan KHI mayoritas

Page 46: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

buku-buku referensinya adalah Syafi’iyah (Wahid dan Rumadi,

2001:134).

Mengenai masalah wali nikah, secara terperinci diatur dalam

bab IV bagian ketiga KHI. Sebelumnya pada bab IV bagian kesatu

KHI tentang rukun nikah, pasal 14 menyebutkan secara jelas bahwa

untuk melaksanakan perkawinan harus ada: a. calon suami, b. calon

istri, c. wali nikah, d. dua orang saksi, e. ijab qabul. Selanjutnya pasal

19 menyebutkan bahwa wali nikah dalam perkawinan merupakan

rukun yang harus dipenuhi bagi calon mempelai wanita yang bertindak

untuk menikahkannya.

Dengan demikian, dapatlah kita tarik kesimpulan bahwa wali

nikah menurut KHI merupakan salah satu rukun nikah yang wajib

dipenuhi. Sebuah akad pernikahan yang tanpa mengunakan wali,

tidaklah sah akad tersebut dan pernikahan tersebut harus dibatalkan.

Inilah hukum wali nikah yang berlaku di dalam negara kita, khususnya

bagi umat Islam di Indonesia.

Adapun pasal 20, 21, 22, dan 23 KHI berisi tentang siapa yang

berhak menjadi wali, syarat sah menjadi wali, urutan-urutan wali, dan

mengatur pula mengenai masalah wali hakim. Jadi mengenai wali

nikah, KHI mengatur dan menetapkannya secara terperinci dalam bab

tersendiri, yakni bab IV KHI.

Page 47: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

BAB III

PELAKSANAN TAKHRIJ HADITS

A. Rangkaian Sanad dan Tabaqat

Setelah penulis melacak hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali

dengan menggunakan CD Maktabah Syamilah dan mencari dalam kitab-kitab

aslinya, hadis tersebut terdapat dalam empat jalur periwayatan, yaitu :

1. Sunan An-Nasa’i juz 6 halaman 86

أخبرنا زیاد بن أیوب قال حدثنا علي بن غراب قال حدثنا كھمس بن

أن فتاة دخلت علیھا فقالت إن عائشة عن عبد اهللا بن بریدة عن الحسن

أبي زوجني ابن أخیھ لیرفع بي خسیستھ وأنا كارھة قالت اجلسي حتى

لى اهللا علیھ وسلم صفجاء رسول اهللا صلى اهللا علیھ وسلم یأتي النبي

فجعل األمر إلیھا فقالت یا رسول اهللا قد فأخبرتھ فأرسل إلى أبیھا فدعاه

أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم أللنساء من األمر شيء

2. Sunan Ibnu Majah juz 1 halaman 602

بن اعن كھمس بن الحسن عن وكیع حدثنا ھناد بن السري حدثنا

فقالت صلى اهللا علیھ وسلم جاءت فتاة إلى النبي قال أبیھ عن بریدة

إن أبي زوجني ابن أخیھ لیرفع بي خسیستھ قال فجعل األمر إلیھا فقالت قد

أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن لیس إلى اآلباء من

األمر شيء

Page 48: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

3. Musnad Ahmad juz 6 halaman 136

عبد عن كھمس بن الحسن وكیع حدثنا حدثنا عبد اهللا حدثني أبي حدثنا

جاءت فتاة إلى رسول اهللا ص فقالت یا عائشة قالت عن اهللا بن بریدة

رسول اهللا إن أبي زوجني ابن أخیھ یرفع بي خسیستھ فجعل األمر إلیھا

ن تعلم النساء أن قالت یا رسول اهللا قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أ

لیس لألباء من األمر شيء

4. Sunan Kubro Li Al-Baihaqi (CD Maktabah Syamilah).

أحمد ابن الحسن و : وفي مثل ذلك ما أخبرنا أبو عبداهللا الحافظ و أبو بكر

محمد بن : عبید بن محمد بن محمد بن مھّدي قاال حدثنا أبو العباس

نا عبد الوھاب بن عطاء أخبرنا یعقوب حدثنا یحي بن أبي طالب أخبر

جاءت فتاة إلى عائشة رضي اهللا : كھمس القیسي عن عبداهللا بن بریدة قال

عنھا فقالت إن أبي زوجني ابن أخیھ لیرفع بھا خسیستھ وأني كرھت ذلك

فقالت عائشة رضي اهللا عنھا اقعدي حتى یأتي رسول اهللا ص فاذكري

فأرسل صلى اهللا علیھ وسلم الى فذكرت ذلك لھ. ذلك لھ فجاء نبي اهللا ص

أبیھا فلما جاء أبوھا جعل أمرھا إلیھا فلما رأت أن الألمر قد ُجعل إلیھا

إني قد أجزت ما صنع والدي إنما أردت أن أعلم ھل للنساء من : قالت

الألمر شيء أم ال

Page 49: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

B. Kajian Kuantitas Sanad

Hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali setelah diteliti dalam CD

Maktabah Syamilah dan dicari dalam kitab aslinya ditemukan dalam berbagai

jalur periwayatan, diantaranya jalur An-Nasa’i dalam bab seorang gadis yang

dinikahkan ayahnya, sedangan gadis tersebut tidak menyukainya (al-bikr

yuzawwijuha abuha wa hiya karihah), jalur Ibnu Majah dalam bab seseorang

yang menikahkan putrinya, sedangan putrinya tersebut tidak menyukainya

(man zawwaja ibnatahu wa hiya karihah), dan jalur Ahmad Ibnu Hanbal pada

hadis Sayyidah ‘Aisyah r.a,.sedangkan pada jalur Al-Baihaqi, penulis tidak

mendapatkan kitab aslinya, hanya mendapatannya dalam CD Maktabah

Syamilah. Untuk selengakapnya, kajian kuantitas sanad ini dapat dilihat pada

bagan sanad berikut :

Page 50: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Kahmas bin Hasan(w.149 H )

Rasulullah SAW

‘Aisyah(w.58 H ) Buraidah

( w.63 H )

Abdillah bin Buraidah(w.115 H )

Abdul Wahab bin Atha’(w.204 H )

Yahya bin Abi Thalib(jahalat al-hal)

Muhammad bin Ya’qub( jahalat al-hal )

Ahmad bin Hasan( 183 H-243 H )

+Ubaid bin Muhammad

(jahalat al-hal )

Al Baihaqi( 384 H-458 H )

Hannad bin As-Syariy( 152 H-243 H )

Ibnu Majah( 209 H-273 H )

Ali bin Ghurab(w.184 H )

Ziyad bin Ayyub( 166 H-252 H )

Nasa’i( 215 H-303 H )

Waki’( 128 H-196 H )

Ahmad bin Hanbal( 164 H-241 H )

Namir(jahalat al-hal )

Abdullah bin Namir( 155 H-199 H )

Page 51: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

C. Kajian Kualitas Sanad

Pada bagian ini, penulis akan membahas tentang biografi singkat para

perawi hadis tersebut di atas, mengenai nama lengkap, guru dan murid, dan

komentar ulama’ muhadditsin mengenai pribadi para perawi tersebut. Adapun

tolok ukur atau patokan yang digunakan untuk menilai kualitas para perawi

adalah kitab rijal al-hadits, salah satunya ialah kitab Tahdzib at-Tahdzib.

Biografi dimaksud adalah sebagai berikut:

1. Sayyidah ‘Aisyah r.a

Beliau adalah istri Nabi SAW, putri dari Abu Bakar Ash-Shiddiq

At-Taimiyah. Nama kunyah-nya adalah Ummu Abdillah Al-Faqihah.

Beliau meriwayatkan hadis dari Rasulullah SAW, Abu Bakar

(ayahnya), Umar, Hamzah bin Amr Al-Aslami, Sa’d bin Abi Waqas, dan

Fatimah Az-Zahra’.

Adapun orang-orang yang mengambil hadis darinya bukan hanya

dari golongan tabi’in, tetapi juga dari golongan sahabat, diantaranya

Ummu Kultsum binti Abu Bakar (saudara perempuannya), ‘Auf bin Harits

bin Thufail (saudara satu susuan), Qasim dan Abdillah bin Muhammad bin

Abu Bakar Ash-Shiddiq (keponakannya), Hafshah dan Asma’ binti Yazid,

Rabi’ah bin ‘Amr, dan Ibnu Abbas (Al-Asqalany, 1984:462).

Dari golongan tabi’in yang meriwayatkan hadis dari beliau adalah :

Sa’id bin Musayyab, Abdullah bin ‘Amr bin Rabi’ah, Shafiyah binti

Syaibah, ‘Alqamah bin Qais, ‘Amr bin Maimun, Abu Ubaidah bin

Abdillah bin Mas’ud, Masruq bin Ajda’, Abu Salamah bin Abdurrahman

Page 52: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

bin Syaqiq, ‘Atha’ bin Abi Rabah, ‘Atha’ bin Yasar, Ikrimah, ‘Alqamah

bin Waqas, Ali bin Husain bin Ali, Imran bin Haththan, Abu Bardah bin

Abi Musa, Abu Al-Jauza’, Abu Zubair Al-Makki, dll.

Asy-syi’bi berkata, “ketika Masruq meriwayatkan hadis dari

‘Aisyah, dia berkata, hadatsani ash-shiddiqah binti ash-shiddiq habibah

habibillah…”. Masruq menilai bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang paling

cerdas, paling menguasai masalah faraidl. Hisyam bin Urwah berpendapat

bahwa ‘Aisyah adalah wanita yang sangat cerdas dan ahli syair. Tidak ada

sahabat yang sepandai dan secerdas ‘Aisyah dalam hal mengetahui

diturunkannya ayat-ayat al-Qur’an, hal-hal yang diwajibkan dan

disunnahkan, peristiwa-peristiwa penting, silsilah keturunan, dan masih

banyak hal lainnya. Selanjutnya Az-Zuhri berkata, “seandainya ilmu

‘Aisyah dibandingkan dengan ilmu semua istri Nabi SAW dan semua

wanita, maka ilmu ‘Aisyah lebih unggul dari ilmu mereka semuanya”.

Ketika Rasulullah SAW wafat, ‘Aisyah berusia 18 tahun. Beliau wafat

pada bulan Ramadlan tahun 58 H (Al-Asqalany, 1984:463).

2. Buraidah

Nama lengkapnya : Buraidah bin Hushaib bin Abdillah bin Harits

Al-Aslami. Nama kunyahnya adalah Abu Abdillah.

Beliau masuk Islam sebelum terjadinya perang Badar, akan tetapi

menurut Al-Hakim bahwa beliau masuk Islam setelah Nabi SAW pulang

dari perang Badar. Beliau tidak ikut dalam perang Badar. Setelah masuk

Islam,beliau ikut dalam perang Khaibar dan dalam peristiwa penakhlukan

Page 53: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

kota Makkah (fathu Makkah). Beliau tinggal di Madinah, kemudian

pindah ke Bashrah, dan pada akhirnya pindah ke Marwa.

Beliau meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW.

Adapun murid-muridnya, diantaranya ialah kedua putranya sendiri, yaitu

Abdullah dan Sulaiman, Abdullah bin Aus, Malikh bin Usamah, dan Asy-

Syi’bi. Beliau wafat ketika Khalifah Yazid bin Muawiyah berkuasa, yaitu

pada tahun 63 H (Al-Asqalany, 1984:379).

3. Abdullah bin Buraidah

Nama lengkapnya : Abdullah bin Buraidah bin Hushaib Al-Aslami.

Nama kunyah-nya ialah Abu Sahl al-Marwazi.Beliau adalah saudara

kembar dengan Sulaiman bin Buraidah. Beliau wafat pada tahun 115 H.

Guru-gurunya : Buraidah (ayahnya), Ibnu Abbas, Ibnu Umar,

Abullah bin Amr, Ibnu Mas’ud, Abu Musa Al-Asy’ari, Abu Hurairah,

‘Aisyah r.a, Mughirah bin Syu’bah, Handlalah bin Ali Al-Aslami, Ibnu

Musayyab, dll.

Murid-muridnya : Basyir bin Muhajir, Sahl bin Basyir, Tsawab bin

Abi Furat, Hujair bin Abdillah, Husain bin Dzakwan, Dawud bin Abi

Furat, Abdullah bin Atha’, Abdullah bin Muslim Al-Marwazi, Utsman bin

Ghiyas, Qatadah, Kahmas bin Hasan (Al-Asqalany,1984:138).

Ad-Daruquthni berkata bahwa Abdulah bin Buraidah tidak pernah

meriwayatkan hadis dari Aisyah. Ibnu Khurasy berpendapat bahwa beliau

shaduq.Abu Al-Jauzajani berkata, saya bertanya kepada Abu Abdillah,

yakni Ahmad bin Hanbal : “apakah Abdullah bin Buraidah pernah

Page 54: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

meriwayatkan hadis dari ayahnya?”, dia menjawab : “saya tidak pernah

tahu bahwa beliau pernah meriwayatkan hadis dari Buraidah

(ayahnya)”.Oleh karena itu, Ahmad bin Hanbal menilai dla’if terhadap

hadisnya Abdullah bin Buraidah. Menurut pendapat Ibrahim Al-Harbiy

bahwa Abdullah bin Buraidah lebih sempurna dari pada saudara

kembarnya, yakni Sulaiman bin Buraidah. Keduanya tidak pernah

meriwayatkan hadis dari ayahnya. Adapun hadis Abdullah yang

diriwayatkan dari ayahnya, yakni Buraidah, adalah hadis munkar (Al-

Asqalany, 1984:138).

4. Kahmas bin Hasan

Nama lengkapnya ialah Kahmas bin Hasan At-Tamimiy Abu

Hasan Al-Bashriy. Beliau wafat pada tahun 149 H.

Guru-guru beliau diantaranya ialah Abu Thufail, Abdullah bin

Buraidah, Abdullah bin Syaqiq, Abu Salil Dlarib bin Nufair, Yazid bin

Abdillah bin Syukhair, Sayyar bin Mandhur, dan Abu Nadlrah.

Murid-muridnya antara lain : kedua putranya, yakni ‘Aun dan Al-

Qaththan, Ibnu Mubarak, Waki’, Mu’tamar bin Sulaiman, Sufyan bin

Hubaib, Yusuf bin Ya’qub, Ja’far bin Sulaiman, Utsman bin Umar, Ali bin

Ghurab, Abu Usamah, Yazid bin Harun, Abdullah bin Yazid Al-Muqriy

(Al-Asqalany, 1984:404).

Abu Thalib dari Ahmad, Abu Khaitsamah dari Ibnu Ma’in, dan

Abu Dawud menilai bahwa Kahmas adalah tsiqah. Abu Hatim

berpendapat bahwa beliau la ba’sa bihi. Abdullah bin Ahmad dari ayahnya

Page 55: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

berkata bahwa beliau adalah tsiqah tsiqah. As-Sajiy menilainya shaduq.

Ibnu Hibban menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori tsiqah. Ibnu

Sa’d juga menilainya tsiqah. Dalam penilaian selanjutnya, Ibnu Ma’in

menilai bahwa Kahmas bin Hasan dla’if, begitu pula pendapat Al-Azdiy

mengikuti pendapat Ibnu Ma’in (Al-Asqalany, 1984:404).

5. Waki’

Nama lengkapya adalah Waki’ bin Jarrah bin Malikh Ar-Ru’asi.

Nama kunyah-nya ialah Abu Sufyan Al-Kufi. Beliau lahir pada tahun 128

H, wafat pada tahun 196 H.

Beliau meriwayatkan hadis dari ayahnya, Isma’il bin Abi Khalid,

Aiman bin Nabil, Ikrimah bin Ammar, Hisyam bin Urwah, Al-A’masy,

Jarir bin Hazim, Abdullah bin Sa’id, Abdurrahman bin Ghusail, Kholid

bin Dinar, Abdul Majid bin Wahab, Ibnu Juraih, Al-Auza’i, Usamah bin

Zaid, Ja’far bin Barqan, Hajib bin Umar, Handhalah bin Abi Sufyan,

Yazid bin Ibrahim, Kahmas bin Hasan (Al-Asqalany, 1984:109).

Adapun murid-murid Waki’ diantaranya ialah Sufyan dan Malikh

(kedua putranya), Muhammad bin Aban Al-Balkhy, Sufyan Al-Tsaury,

Abdurrahman bin Mahdi, Muhammad bin Salam, Ibnu Abi Umar, Nashr

bin Ali, Yahya bin Yahya An-Naisabury, Ahmad, Ali, Yahya, Ishaq, Abu

Khaitsamah, Al-Humaidy, Al-Qa’naby, Al-Asyaj, Aly bin Khasyram,

Muhammad bin Shabah Ad-Daulaby, Ibrahim bin Sa’d Al-Jauhary,

Muhammad bin Rafi’, dan Ibrahim bin Abdillah Al-Abasy.

Page 56: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Abdullah bin Ahmad berkata, “aku tidak pernah melihat orang

yang lebih menjaga terhadap ilmunya dan lebih kuat hafalannya daripada

Waki’”. Beliau berkata, “aku mendengar ayahku (Ahmad bin Hanbal)

berkata bahwasanya Waki’ adalah orang yang kuat hafalannya (hafidhan-

hafidhan)”.

Shalih bin Ahmad bertanya kepada ayahnya mengenai perihal

Waki’, “manakah yang lebih diakui hadisnya, Waki’ atau Yazid?”.

Ayahnya menjawab,” keduanya sama-sama diakui hadisnya”. Dia bertanya

lagi, “manakah yang lebih shalih dari keduanya?”. Ayahnya

menjawab,”keduanya sama-sama shalih, hanya saja Waki’ menjauhkan

dirinya dari urusan pemerintahan”(Al-Asqalany,1984:110).

Bisyr bin Musa, Ibrahim Al-Harby, dan Ahmad bin Hasan At-

Tirmidzi menilai bahwasanya Waki’ orang yang kuat hafalannya, khusyu’,

wira’i, dan ahli fiqh. Ahmad bin Sahl bin Bashr berkata bahwasanya

Waki’ adalah Imamnya kaum muslimin di masa hidupnya. Ahmd bin

Hanbal berkata,”orang-orang yang diakui periwayatannya di Iraq ialah

Waki’ dan Yahya bin Abdurrahman”. Husain bin Hibban berkata dari Ibnu

Ma’in bahwasanya tidak ada yang lebih afdhal daripada Waki’ (Al-

Asqalany,1984:111).

Muhammad bin Nu’aim Al-Balkhy berkata,”aku mendengar Ibnu

Ma’in berkata bahwasanya tidak ada yang lebih kuat hafalannya daripada

Waki’, beliau meriwayatkan hadis semata-mata karena Allah”. Ibnu Sa’d

Page 57: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

menilai bahwa Waki’ adalah tsiqah, ahli ibadah, shalih, dan ahli hadis

yang menjadi mufti pada zamannya (Al-Asqalany,1984:114).

6. Hannad bin Sariy

Nama lengkapnya adalah Hannad bin as-Syariy bin Mash’ab bin

Abi bakr bin Syibr bin Sya’fuq bin Amr bin Zurarah bin ‘Ads bin Zaid bin

Abdillah bin Daram At-Tamimy Ad-Daramy Abu As-Sariy Al-Kufy.

Lahir tahun 152 H, wafat tahun 243 H.

Adapun guru-urunya diantaranya ialah Abdurrahman bin Abi

Zanad, Abi Bakr bin ‘Iyasy, Abdillah bin Idris, Abi Al-Ahwash, Hafsh bin

Ghiyas, ismail bin Iyasy, Syuraik, Hasyim, Abdussalam bin Harb, Ali bin

Mashar, Fudlail bin ‘Iyadl, Ibnu ‘Uyainah, dan Waki’ (Al-Asqalany,

1984:62).

Murid-Murudnya diantaranya ialah Al-Bukhary, Muhammad bin

As-Sary, Abu Hatim, Abu Zar’ah, Ahmad bin Mansur Ar-Ramadi,

Muhammad bin Abdul Mulk, Ad-Daqiqy, Mathin, ‘Abdan Al-Ahwazy,

Baqy bin Makhlad, Ibnu Abi Ad-Dunya, Muhammad bin Shalih bin

Duraij, Muhammad bin Ishaq As-Siraj.

Mengenai pribadi beliau, Ahmad bin Hanbal berkata, “hendaknya

kalian menerima (periwayatan) Hannad”. Abu Hatim berpendapat bahwa

Hannad orang yang jujur (shaduq). Qutaibah berkata, “saya tidak pernah

melihat Waki’ menghormati seseorang seperti hormatnya kepada

Hannad”. Imam Nasa’i dan Ibnu Hibban berpendapat bahwa Hannad

termasuk orang yang bisa dipercaya (tsiqah) (Al-Asqalany, 1984:63).

Page 58: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

7. Ibnu Majah

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Yazid Ar-Raba’i Abu

Abdillah bin Majah Al-Quzwaini Al-Hafidh. Beliau lahir pada tahun 209

H dan wafat pada tahun 273 H.

Mengenai guru-gurunya, tidak disebutkan dalam kitab Tahdzib at-

Tahdzib, hanya saja tertulis bahwa beliau mendengar hadis di Khurasan,

Iraq, Hijaz, Mesir, Syam, dan berbagai daerah lainnya.

Murid-muridnya antara lain Ai bin Sa’id bin Abdillah Al-Ghadani,

Ibrahim bin Dinar Al-Hamdani, Ahmad bin Ibrahim Al-Qazwaini, Abu

Thayib Ahmad bin Rauh al-Masy’arani, Ishaq bin Muhammad Al-

Qazwaini, Ja’far bin Idris, Husai bin Ali, Sulaiman bin Yazid Al-

Qazwaini, Muhammad bin Isa, Ali bin Ibrahim bin Salamah Al-Qazwaini,

Ahmad bin Muhammad bin Hakim Al-Madani Al-Ashbihani (Al-

Asqalany, 1984:468).

Abu Ya’la Al-Khalili berkata, bahwa Ibnu Majah tsiqah, kabir,

muttafaq ‘alaih dan Muhtaj bih. Beliau menguasai tentang hadis,

mempunyai beberapa karya tentang hadis, tafsir, dan tarikh. Resensi

karyanya yang bertajuk sunan Ibnu Majah oleh Al-Khalili, bahwa buku

tersebut di dalamnya terdapat banyak hadis yang sangat dla’if, sehingga

As-Sariy dan Abu Hajjaj Al-Muzziy berkata bahwa apabila Ibnu Majah

meriwayatkan hadis secara infirad (sendirian), kebanyakan adalah hadis

yang lemah (dla’if). Karena itulah para ulama’ mutaqaddimin seperti Ibnu

Katsir, Mughlatha’i, Ibnu Hajar dan Qasthalani menolak memasukkan

Page 59: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Sunan Ibnu Majah ke dalam Al-Ushul As-Sittah atau Al-Kutub As-Sittah,

yakni shahih Bukhari, Shahih Muslim, Suna Abu Dawud, Sunan At-

Tirmidzi, Sunan Nasa’i dan yang keenam dalam perdebatan. Abu Fadli bin

Thahir Al-Maqdisi, Abdul Ghani Al-Maqdisi, Al-Mizzi, Ibnu Hajar dan

Al-Khazra’i memasukkan Sunan Ibnu Majah menjadi kitab pokok yang

keenam (Al-Asqalany, 1984:469).

8. Namir

Nama beliau adalah Namir bin ‘Uraib Al-Hamdaniy. Mengenai

tahun kelahiran dan wafatnya tidak diketahui dalam kitab rijal al-hadits.

Dengan demikian, sesuai ilmu tarikh al-ruwat, perawi ini gugur lantaran

tidak diketahuinya tahun kelahiran maupun wafatnya.

Beliau meriwayatkan hadis dari Amir bin Mas’ud, hadis tentang

puasa pada musim dingin (hadits al-shaum fi al-syita’), yang kemudian

diriwayatkan lagi oleh Abu Ishaq Al-Hamdani. Abu Hatim berkata, “ saya

tidak mengetahui Namir meriwayatkan Hadis kecuali inilah Hadis (hadis

tentang puasa di musim dingin)”. Ibnu Hibban menilai bahwa beliau

termasuk dalam kategori tsiqah (Al-Asqalany, 1984:425).

9. Abdullah bin Namir

Nama lengkapnya adalah Abdullah bin Namir Al-Hamdani Al-

Kharifi. Abu Hisyam Al-Kufi adalah nama kunyahnya. Beliau lahir pada

tahun 115 H, dan wafat pada tahun 199 H.

Adapun guru-gurunya antara lain Isma’il bin Abi Khalid, Al-

A’masy, Yahya bin Sa’id, Hisyam bin Urwah, Ubaidillah bin Umar, Musa

Page 60: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Al-Juhniy, Zakariya bin Abi Zaidah, Sa’d bi Sa;id Al-Anshari, Handhalah

bin Abi Sufyan, Saif bin Sulaiman, Al-Auza’iy, Utsman bin Hakim Al-

Audiy, Mujalid bin Sa’id, dan Fudlail bin Ghazwan.

Murid-muridnya, antara lain Muhammad bin Abdillah bin Namir

(anaknya), Ahmad bin Hanbal, Abu Khaitsamah, Yahya bin Yahya, Ali

bin Al-Madiniy, Abu Bakar bin Abi Syaibah, Utsman bin Abi Syaibah,

Abu Qudamah As-Sarkhisiy, Abu Kuraib, Abu Musa, Abu Sa’id Al-Asyaj,

Hannad bin Sariy, Abu Mas’ud Ar-Razid, Ali bin Harb Ath-Thai, dan

Hasan bin Ali bin Affan.

Mengenai komentar para ulama’ tentang pribadi beliau, Ibnu Ma’in

menilai tsiqah, Abu Hatim manilai beliau mustaqimul amr (lurus

perlakanya), Ibnu Hibban memasukkan beliau dalam kategori orang-orang

yang tsiqah, Al-‘Ajliy berpendapat bahwa beliau tsiqah, katsirul hadits,

dan shaduq. Dengan demikian tidak ada seorang ulama’ pun yang men-

jarh atau mencacat Abdullah bin Namir (Al-Asqalany, 1984:52).

10. Ahmad bin Hanbal

Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Muhammad bin Hanbal bin

Hilal bin Asad Asy-Syaibani. Nama kunyah-nya ialah Abu Abdillah Al-

Marwazi Al-Baghdadi. Beliau lahir di Baghdad pada tahun 164 H dan

wafat pada tahun 241 H.

Guru-gurunya antara lain : Bisyr bin Mufaddlal, Ismail bin Ulyah,

Sufyan bin Uyainah, Jarir bin Abdul Hamid, Yahya bin Sa’id Al-Qaththan,

Page 61: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Abu Dawud Ath-Thayalisi, Abdullah bin Namir, Abdur Razaq, Ali bin

Iyasy Al-Himsi, Syafi’i, Ghandar, dan Mu’tamar bin Sulaiman.

Adapun murid-muridnya antara lain Bukhari, Muslim, Abu

Dawud, kedua putranya, yaitu Abdullah dan Shalih, Yahya bin Adam,

Yazid bin Harun, Qutaibah, Dawud bin ‘Amr, Ahmad bin Abi Hawari,

Yahya bin Mu’in, Husain bin Mansur, Ziyad bin Ayyub, Muhammad bin

Rafi’, Muhammad bin Yahya bin Abi Saminah, Abu Bakr Al-Atsram,

Harb al-Karmani, dan Abu Qasim Al-Baghawi (Al-Asqalany, 1984:63).

Al-Qaththan berkata, “ belum pernah ada orang yang sepandai

Ahmad, beliau orang besar, tokoh terkemuka umat”. Ahmad bi Sanan

berkata, “ saya belum pernah melihat Yazid bin Harun menghormati

seseorang melebihi daripada hormatnya terhadap Ahmad bin Hanbal”.

Abdul Razaq berkata, “ saya belum pernah melihat orang yang lebih

pandai dan lebih Wara’ dari Ahmad”. Yahya bin Adam berkata, “ Ahmad

adalah pemuka kita”. Asy-Syafi’i pun berkata, “ saya belum pernah tahu

orang di Baghdad yang lebih wara’, lebih zuhud, lebih ‘alim dan lebih ahli

dalam fiqh daripada Ahmad bin Hanbal.

Mengenai pribadi beliau tidak ada seorangpun yang mencacat atau

mencelanya, baik para pendahulunya, orang yang semasa dengannya,

maupun orang yang setelah beliau. Abbas Al-Anbari menilai bahwa

periwayatan beliau bisa dijadikan hujjah. Qutaibah berkata bahwa Ahmad

bin Hanbal merupakan pemimpin dunia (Imam ad-Dunya). Al-‘Ajli, Ibnu

Hibban, Ibnu Sa’d, dan Nasa’i menilai bahwa beliau dapat dipercaya

Page 62: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

(tsiqah) (Al-Asqalany, 1984:65). Beliau seorang ulama’ besar yang

disegani banyak orang dari berbagai kalangan. Beliau lebih terkenal

dengan fiqhnya yang dinisbatkan pada namanya, yakni fiqh madzhab

Hanbali.

11. Ali bin Ghurab

Nama lengkapnya ialah Ali bin Ghurab al-Fazari. Nama kunyah-

nya ialah Abu Walid al-Kufiy. Beliau wafat di Kufah pada tahun 184 H.

Guru-gurunya : Kahmas bin Hasan, Shalih bin Abi Akhdlar,

Ubaidillah bin Umar, Al-A’masy, Baihas bin Fahdan, Zuhair bin Marzuq,

Hisyam bin Urwah, Muhammad bin Sauqah, Ats-Tsauri, Bahz bin Hakim,

dll.

Murid-muridnya : Marwan bin Muawiyah, Ammar bin Khalid Al-

Wasithi, Abu Sya’tsa’, Ibrahim bin Musa Ar-Razi, Muhammad bin

Abdillah bin Syabur, Ahmad bin Hanbal, Ziyad bin Ayyub, Ath-Thusi,

Husain bin Hasan Al-Marwazi,dan Yahya bin Ayyub Al-Maqabiri (Al-

Asqalany, 1984:325).

Abdullah bin Ahmad bin Hanbal berkata : “saya menanyakan

perihal tentang Ali bin Ghurab kepada ayahku, maka beliau menjawab;

“saya tidak pernah meriwayatkan hadis darinya, karena dia tercacat

riwayatnya”. Ibnu Namir berkata bahwa Ali bin Ghurab memang seorang

perawi, akan tetapi banyak hadis yang diriwayatkan olehnya berupa hadis

munkar. Abu Dawud menilai dla’if terhadap periwayatan Ali bin Ghurab.

Page 63: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Sedangkan Ibnu Hibban juga menilai bahwa hadisnya Ali bin Ghurab

tidak boleh dijadikan hujjah.

Sementara itu, Utsman Ad-Darami berkata dari Ibnu Ma’in bahwa

Ali bin Ghurab seorang miskin yang sangat jujur (miskin, shaduq). Ibnu

Khaitsamah berkata dari Ibnu Ma’in pula bahwa beliau dinilai tidak ada

bahaya terhadap periwayatannya (la ba’sa bihi). Utsman bin Abi Syaibah,

Ibnu Qani’, dan Ibnu Sa’d menilai bahwa beliau kategori tsiqah dan

shaduq. Menurut An-Nasa’i, meskipun Ali bin Ghurab tercacat, tetapi

tidak ada bahayanya tentang periwayatannya (Al-Asqalany, 1984:325).

12. Ziyad bin Ayyub

Nama lengkapnya : Ziyad bin Ayyub bin Ziyad al-Baghdady.

Nama kunyah-nya adalah Abu Hasyim. Beliau lahir pada tahun 166 H,

Meninggal pada tahun 252 H.

Guru-gurunya ialah Abdillah bin Idris, Ibnu Ulyah, Abu Ubaid al-

Hadad, Abu Bakr bin ‘Iyasy, Marwan bin Mua’wiyah, Hasyim, Waki’,

Ziyad Al-Buka’iy, Muhammad bin Yazid Al-Wasithy, Ali bin Ghurab,

Mu’tamar bin Sulaiman, Yazid bin Harun, Umar bin Ubaid, dan Yahya bin

Abi Uyainah (Al-Asqalany, 1984:306).

Murid-muridnya antara lain Al-Bukhari, Abu Dawud, Tirmidzi,

Nasa’i, Abdullah bin Ahmad, Ahmad bin Hanbal, Ibnu Khuzaimah,

Muhammad Al-Baghawi, Ahmad bin Abi Qasim, Abu Hamid Al-

Hadlrami, Ahmad bin Muhammad bin Ziyad bin Ayyub, dan Husain bin

Isma’il Al-Mahamili.

Page 64: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Abu Ishaq Al-Ashbihani berkata, “tidak ada seorangpun di muka

bumi yang lebih tsiqah daripada Ziyad bin Ayyub”. Abu Hatim

berpendapat bahwa Ziyad bin Ayyub shaduq. An-Nasa’i menilai bahwa

beliau termasuk perawi yang tiada bahaya mengenai periwayatannya (laisa

bihi ba’sun). Pada lain tempat Nasa’i menilai tsiqah terhadap beliau. Ibnu

Hibban juga menilai bahwa beliau termasuk dalam kategori tsiqah (Al-

Asqalany, 1984:307).

13. Nasa’i

Nama lengkapnya ialah Abu Abd Al-Rahman Ahmad bin Syu’aib

bin Ali bin Sinan bin Bahr bin Dinar An-Nasa’i. Nama beliau dinisbatkan

pada tempat beliau dilahirkan. Beliau dilahirkan pada tahun 215 H di kota

Nasa’ yang masih termasuk wilayah kota Khurasan, wafat di Palestina

pada hari senin tanggal 13 shafar 303 H (Al-Asqalany, 1984:34).

Guru-guru beliau antara lain Qutaibah bin Sa’id, Ishaq bin Ibrahim,

Ahmad bin Nasher An-Naisaburiy, Abu Syuaib As-Susiy, dan imam-imam

hadis dari Khurasan, Hijaz, Iraq, dan Mesir.

Murid-murid belaiu antara lain putranya, Abdul Karim, Abu Bakar

Ahmad bin Muhammad bin Ishaq bin As-Suny, Abu Ali Hasan bin Khidlir

Al-Syuthiy, Abu Qasim bin Hamzah bin Muhammad bin Ali Al-Kinaniy,

Abu Hasan Muhammad bin Abdillah bin Zakariya bin Habawiyah,

Muhammad bin Mu’awiyah bin Al-Ahmar, Muhammad bi Qasim Al-

Andalusiy, Ali bin Abu Ja’far Ath-Thahawi, Abu Ali bin Harun, Abu Ali

Page 65: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

An-Naisaburiy, Al-Hafidh, Abu Bisyer Ad-Daulabiy, Abu Hasan bin Al-

Haddad Al-Faqih, Abu Ja’far Al-‘Aqiliy, dll (Al-Asqalany, 1984:32).

Karya An-Nasa’i yang paling utama dan terkenal ialah kitab Sunan

An-Nasa’I. Beliau adalah imam hadis yang sangat terkenal di seluruh

dunia Islam. Banyak para ulama’ yang mengakui pribadi An-Nasa’i

merupakan seorang imam hadis yang besar, antara lain Manshur Al-Faqih,

Ahmad bin Muhammad Ath-Thahawiy, Sa’d Al-Barudiy, Qasim Al-

Muthraz, dan Abu Ali An-Naisaburiy.

Abu Husain bin Mudhaffar berkata, “ saya mendengar para

masyayikhku di Mesir bahwa mereka mengakui Abu Abdirrahman An-

Nasa’i sebagai seorang tokoh yang unggul, seorang imam, ahli ibadah,

selalu menunaikan ibadah haji pada musim haji, ahli menjalankan sunnah

ma’tsurah, dan beliau mengasingkan dirinya dari para penguasa sampai

beliau meninggal dunia. Al-Hakim berkata bahwa An-Nasa’i seorang

imam hadis yang lebih mengetahui shahih dan tidaknya hadis, lebih paham

mengenai para perawi (rijal al_hadits). Ad-Daruquthni berkata bahwa Abu

Bakar bin Haddad Al-Faqih merupakan orang yang banyak meriwayatkan

hadis, akan tetapi beliau hanya mau mengambil hadis dari An-Nasa’I (Al-

Asqalany, 1984:33).

14. Abdul Wahab bin Atha’

Nama lengkapnya adalah Abdul Wahab bin Atha’ Al-Khaffaf.

Beliau berkunyah Abu Nashr Al-‘Ajliy. Beliau tinggal di Baghdad dan

wafat pada tahun 204 H.

Page 66: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Guru-gurunya diantaranya : Sulaiman At-Taimi, Humaid Ath-

Thawil, Khalid Al-Hadza’, Ibnu ‘Aun, Ibnu Juraij, Malik, Hisyam, Hisan,

Israil, Isma’il bin Muslim, Abdullah bin Umar, dan Sa’id bin Abi ‘Arubah.

Murid-muridnya antara lain : Ahmad, Ishaq, Ibnu Ma’in, ‘Amr bin

Zurarah An-Naisaburi, Muhammad bin Abdillah Ar-Razzi, Hasan bin

Muhammad bin Shabah Az-Za’farani, Abdullah bin Muhammad bin Ishaq

Al-Adzrami, Abu Tsaur Ibrahim bin Khalid, Ibrahim bin Sa’id Al-Jauhari,

Ishaq bin Manshur, Muhammad bin Sulaiman Al-Anbari, Harits bin Abi

Usamah, Muhammad bin Ahmad bin ‘Awam, dan Yahya bin Abi Thalib

(Al-Asqalany, 1984:398).

Al-Bukhari dan An-Nasa’i menilai bahwa periwayatan Abdul

Wahab bin Atha’ tidak kuat atau dengan kata lain dla’if. Berkata Shalih

bin Muhammad Al-Asadi bahwa para ahli hadis mengingkari Al-Khaffaf

terhadap sebuah hadis yang diriwayatkan dari Tsaur, dari Makhul, dari

Kuraib, dari Ibnu Abbas pada bab keutamaan perang (bab fadl al-qatla).

Sedangkan selain hadis tersebut, ulama’ muhadditsin tidak

mengingkarinya. Sementara itu, Ibnu Abi Khaitsamah dan Utsman Ad-

Darami berkata dari Ibnu Mu’in bahwa Al-Khaffaf dinilai la ba’sa bihi.

Ibnu Ala’ dari Ibnu Ma’in pula, menilai bahwa periwayatan Al-Khaffaf

boleh dicatat (yuktabu haditsuhu), dalam arti bisa dijadikan hujjah. Ad-

Dauri dari Ibnu Ma’in pula berpendapat bahwa al-Khaffaf dapat dipercaya

(tsiqah) (Al-Asqalany, 1984:399).

Page 67: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

15. Yahya bin Abu Thalib

Mengenai jati diri beliau, penulis tidak menemukannya di dalam

kitab rijal al-hadis, dalam hal ini kitab Tahdzib at-Tahdzib. Akan tetapi

dalam biografinya Abdul Wahab bin Atha’, Yahya bin Abu Thalib

termasuk murid beliau. Sehingga rangkaian sanadnya tetap bersambung

(muttashil) sampai pada beliau.

16. Muhammad bin Ya’qub

Nama lengkapnya ialah Muhammad bin Ya’qub bin Abdul Wahab

bin Yahya bin Ubbad bin Abdillah bin Zubair bin Awam Al-Asadi Az-

Zubairi. Beliau ber-kunyah Abu Umar Al-Madani.

Beliau meriwayatkan hadis dari Umar bin Abdillah bin Nafi’ Az-

Zubairi, Ibnu Wahib, Muhammad bin Fulaih bin Sulaiman, Ibnu Uyainah,

Abu Dlamrah, dll. Mengenai siapakah murid-muridnya, penulis tidak

menemukannya didalam kitab rijal al-hadis, dalam hal ini kitab Tahdzib

At-Tahdzib.

Abu Hatim dan Nasa’i menilai bahwa beliau termasuk dalam

kategori la ba’sa bihi. Ibnu Hibban juga menilai bahwa beliau termasuk

dalam kategori tsiqah, mustaqimul hadits ( tegak hadisnya) (Al-Asqalany,

1984:469).

17. Ahmad bin Hasan

Nama lengkapnya ialah Ahmad bin Hasan bin Kharrasy Al-

Baghdadi. Beliau lahir pada tahun 183 H, dan wafat pada tahun 243 H.

Page 68: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Beliau meriwayatkan hadis dari Syababah, Abi ‘Amir Al-Aqdiy,

Ibnu Mahdi, dan Abdul Shamad bin Abdul Warits.

Murid-muridnya antara lain Muslim, Tirmidzi, Ubaid Al-Ajliy, dan

Abdullah bin Ahmad.

Mengenai komentar para ulama’ ahli hadis, hanya Al-Khathib dan

Ibnu Hibban yang berkomentar. Keduanya menilai bahwa Ahmad bin

Hasan termasuk dalam kategori tsiqah (Al-Asqalany, 1984:21).

18. Ubaid bin Muhammad

Nama lengkapnya ialah Ubaid bin Muhammad Al-Maharibiy Al-

Kufiy. Tahun kelahiran dan wafat beliau tidak diketahui. Beliau

meriwayatkan hadis dari Ibnu Abi Dzi’bi, Abdussalam bin Hafsh, dan

Muhammad bin Muhajir Al-Kufiy.

Adapun orang yang mengambil hadis darinya antara lain

Muhammad bin Ubaid (anaknya), Abu Syaibah bin Abi Bakar bin Abi

Syaibah, Qasim bin Zakariya bin Dinar, dan Abu Kuraib.

Abu Ahmad bin ‘Adiy berkata bahwa Ubaid bin Muhammad

banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar yang diriwayatkan dari Abi

Dzi’bi dan lainnya.kemudian hadis-hadis tersebut diriwayatkan lagi oleh

anaknya, yakni Muhammad bin Ubaid (Al-Asqalany, 1984:68).

19. Baihaqi

Nama lengkapnya ialahAbu Bakar Ahmad bin Husain bin Ali bin

Abdullah Al-Baihaqi, sorang ulama’ ahli fiqh, ushul fiqh, dan hadis, serta

Page 69: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

salah seorang tokoh ulama dalam madzhab Syafi’i. Lahir di khasrajard

tahun 384 H, wafat di Naisabur tahun 458 H.

Guru-guru beliau, antara lain Abu Hasan bin Husain Al-Alawi,

Abu Thahir Az-Ziyadi, Abu Abdullah Al-Hakim, Abu Abdurrahman As-

Sulami, Abu Bakar bin Furik, Abu Ali Ar-Ruthabari, dan Ibnu Busran.

As-Subki berkata bahwa Imam Baihaqi merupakan seorang ulama

terkemuka yang memiliki pengetahuan luas mengenai ilmu agama, fiqh,

serta penghafal hadis.Beliau hidup ketika kekacauan sedang marak di

berbagai Negara Islam. Saat itu umat muslim terpecah belah karena

perbedaan paham mengenai masalah politik, fiqh, dan pemikiran atau

paham lainnya. Mereka saling menjatuhkan dan saling menyalahkan antara

kelompok satu dengan kelompok lainnya, sehingga hal ini mempermudah

musuh dari luar, yakni bangsa Romawi untuk memporak-porandakan umat

muslim. Dalam masa seperti ini, Imam Baihaqi hadir sebagai pribadi yang

berkomitmen terhadap ajaran Islam. Beliau memberikan teladan

bagaimana seharusnya menerjemahkan ajaran Islam dalam perilaku

keseharian. Beliau hidup zuhud, banyak beribadah, wara’, danmencontoh

para salafus shalih. Beliau terkenal sebagai figur yang memiliki kecintaan

besar terhadap hadis dan fiqh (www.kotasantri.com).

Meski dipandang sebagai ahli hadis, namun banyak kalangan

menilai Baihaqi tidak cukup mengenal karya-karya hadis dari Tirmidzi,

Nasa’i, dan Ibnu Majah. Beliau juga tidak pernah berjumpa dengan buku

Musnad Ahmad bin Hanbal. Menurut Adz-Dzahabi, kajian Baihaqi dalam

Page 70: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

hadis tidak begitu besar, namun beliau mahir meriwayatkan hadis karena

benar-benar mengetahui sub-sub bagian hadis dan para tokohnya yang

telah muncul dalam isnad-isnad.

Beliau merupakan pemikir Islam yang sangat produktif karena

beliau banyak berkarya. Diperkirakan karya-karya beliau mencapai seribu

jilid. Tema yang dikajinya sangat beragam, mulai dari aqidah, hadis, fiqh,

sampai pada tarikh. Diantara sekian banyak karya Baihaqi, kitab as-sunan

al-kubra menjadi karya yang paling terkenal dan pernah mendapatkan

penghargaan tertinggi. Kitab ini terbit di Hyderabad, India, pada tahun

1344 M (www.kotasantri.com).

D. Kesimpulan

Setelah penulis melacak identitas atau biografi para perawi hadis

tentang keabsahan nikah tanpa wali di dalam kitab Tahdzib At-Tahdzib yang

merupakan kitab Ushul fi ma’rifah ar-Rijal (kitab pokok untuk mengetahui

biografi para perawi), selanjutnya penulis akan memberi kesimpulan mengenai

hasil penelitian sanad hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali.

Hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali diriwayatkan melalui 4

(empat) jalur periwayatan, yaitu jalur An-Nasa’i, jalur Ibnu Majah, jalur

Ahmad Ibnu Hanbal, dan jalur Al-Baihaqi. Dari keempat jalur tersebut, hanya

jalur Ibnu Majah yang perawi teratasnya Buraidah. Sedangkan ketiga jalur

lainnya, perawi teratasnya sama, yaitu ‘Aisyah r.a. Akan tetapi, keempat

perawi tersebut, semuanya bertemu pada Abdullah bin Buraidah.

Page 71: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Sesuai dengan bagan sanad, Abdullah bin Buraidah meriwayatkan

hadis dari ‘Aisyah dan juga Buraidah (ayahnya). Hal ini bisa dimaklumi

karena keduanya, yakni ‘Aisyah dan Buraidah hidup dalam satu masa dan

meriwayatkan hadis langsung dari Rasulullah SAW. Akan tetapi, Abdullah

bin Buraidah mendapat penilaian yang menjatuhkan reputasinya sebagai

perawi hadis. Menurut Ad-Daruquthni bahwa beliau tidak pernah

meriwayatkan hadis dari ‘Aisyah r.a. Ibrahim Al-Harby menambahkan

pendapat bahwa Abdullah bin Buraidah tidak pernah meriwayatkan hadis dari

ayahnya. Adapun hadis hadis yang diriwayatkannya dari ayahnya (Buraidah)

adalah hadis-hadis munkar. Hanya Ibnu Khurasy yang menilai bahwa beliau

kategori shaduq (Al-Asqalany, 1984:138).

Sesuai dengan ilmu tarikh ar-ruwat, jalur periwayatan Ibnu Majah dan

An-Nasa’i sanadnya bersambung (muttashil) dari awal sanad hingga akhir

sanad. Akan tetapi, dalam jalur An-Nasa’i, terdapat dua orang perawi yang

tercacat, yaitu Abdullah bin Buraidah dan Ali bin Ghurab. Abdullah bin

Buraidah tercacat sebagaimana telah diuraikan diatas, sedangkan Ali bin

Ghurab dinilai dla’if dan periwayatannya tidak bisa dijadikan hujjah. Adapun

ulama’ yang men-jarh Ali bin Ghurab ialah Ibnu Hibban, Ibnu Namir, Abu

Dawud, dan Abdullah bin Ahmad bin Hanbal (Al-Asqalany, 1984:325).

Adapun jalur Ahmad bin Hanbal, sanadnya terputus pada perawi yang

bernama Namir. Dalam biografinya tidak diketahui tahun kelahiran maupun

Page 72: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

wafatnya. Selain itu, beliau tidak pernah meriwayatkan hadis kecuali hadis

tentang puasa pada musim dingin (al-shaum fi al-syita’)

Sesuai dengan ilmu tarikh al-ruwat, rangkaian sanad dalam jalur

periwayatan Al-Baihaqi, sanadnya terputus pada perawi yang bernama Ahmad

bin Hasan dan Ubaid bin Muhammad. Dalam biografi Ubaid bin Muhammad,

beiau tidak diketahui tahun wafatnya. Akan tetapi, kemungkina beliau hidup

satu masa dengan Ahmad bin Hasan. Karena dalam rangkaian sanadnya, Al-

Baihaqi menerima hadis dari beliau berdua. Ahmad bin Hasan wafat pada

tahun 243 H, sedangkan Al-Baihaqi lahir pada tahun 384 H. Dengan demikian

Ahmad binHasan wafat jauh sebelum Al-Baihaqi lahir. Bagaimana mungkin

Al-Baihaqi menerima hadis dari Ahmad bin Hasan?

Para ulama’ men-jarh Ubaid bin Muhammad lantaran beliau tertuduh

sebagai munkar al hadits, yakni banyak meriwayatkan hadis-hadis munkar.

Pada jalur ini Yahya bin Abi Thalib tidak diketahui identitasnya (jahalat al-

hal) dalam kitab rijal al-hadist.

Dengan demikian, penulis menyimpulkan bahwa hadis tentang

keabsahan nikah tanpa wali dari jalur Ibnu Majah dan jalur Nasa’i merupakan

hadis hasan, karena memenuhi syarat sebagai hadis yang maqbul, tetapi

kurang sempurna, yakni muttashil sanadnya, tetapi ada perawi yang kontrovesi

di dalamnya. Perawi yang kontroversi tersebut ialah Abdullah bin Buraidah

dan Ali bin Ghurab.Ad-Daruquthni, Ibrahim Al-Harby, dan Ahmad bin

Page 73: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Hanbal menilai dla’if terhadap periwayatan Abdullah bin Buraidah.

Sedangkan Ibnu Khurasy menilai shaduq terhadap beliau.

Ali bin Ghurab dalam jalur periwayatan An-Nasa’i merupakan perawi

yang kontroversi pula. Menurut Abdullah bin Ahmad bin Hanbal, Ibnu Namir,

dan Ibnu Hibban bahwa Ali bin Ghurab dinilai dla’if dan periwayatannya

tidak bisa dijadikan hujjah ( ,Sementara Utsman bin Abi Syaibah .(ال حجة لھ

Ibnu Qami’, dan Ibnu Sa’d menilainya tsiqah. Ibnu Ma’in dan An-Nasa’i

sendiri menilai bahwa Ali bin Ghurab shaduq dan tidak mengapa terhadap

periwayatannya ( ال بأس بھ ).

Ketika ada periwayat yang kontroversi, maka sikap kita sebagai

peneliti hadis adalah mengambil keputusan sesuai dengan adab al-jarh wa al-

ta’dil. Adab dimaksud ialah mendahulukan pujian ( al-ta’dil ) daripada celaan

( al-jarh ). Hal ini desebabkan karena untuk memuji seorang perawi tidak

diperlukan rincian, sedangkan untuk mencelanya, rincian itu diperlukan

(Zuhri, 1997:128).

Sementara itu, hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali dari jalur

periwayatan Ahmad dan Al-Baihaqi sesuai dengan keterangan yang telah

penulis kemukakan sebelumnya, maka telah jelas bahwa hadis dari kedua jalur

tersebut merupakan hadis dla’if. Akan tetapi, dengan adanya periwayatan lain

yang berkualitas sebagai hadis hasan, yakni periwayatan An-Nasa’i dan Ibnu

Majah, maka hadis dari jalur periwayatan Ahmad dan Al-Baihaqi pun bias

naik status kualitasnya dari dla’if menjadi hasan, yaitu hasan li ghairihi.

Page 74: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Mengenai kehujjahan hadis hasan, para ulama’ berbeda pendapat.

Sebagian pendapat menerima hadis hasan sebagai hujjah, sebagian yang lain

menolaknya. Yahya bin Ma’in dan Al-Bukhari termasuk golongan ulama’

yang menolak kehujjahan hadis hasan (Isma’il, 1995:88).

Page 75: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

BAB IV

TELAAH MATAN HADIS

A. Identifikasi Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali

Untuk kepentingan penelitian, maka penulis mengidentifikasi matan

hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali dari semua jalur periwayatannya

untuk mengetahui persamaan dan perbedaan redaksi matan hadis antara jalur

periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan yang lainnya.

1. Jalur An-Nasa’i

‘Aisyah berkata bahwasanya telah datang seorang gadis

kepadanya, kemudian gadis terebut berkata: “sesungguhnya ayahku telah

mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya (anak pamanku)

supaya hilang kehinaannya sebab aku, sedangkan aku benci terhadap hal

yang demikian itu”. ‘Aisyah menjawab: “duduklah hingga Nabi SAW

datang!” Kemudian datanglah Rasulullah SAW, maka gadis tersebut

menceritakan (perkara tersebut) kepada beliau. Rasulullah mengutus

seorang utusan untuk membawa ayah gadis tersebut kepada beliau. Di

hadapan mereka (gadis dan ayahnya serta semua orang yang menyaksikan

kejadian tersebut), Rasulullah menyerahkan perkara tersebut kepada

kemauan si gadis. Maka si gadis berkata : “wahai Rasulullah, sungguh aku

telah membenarkan apa yang diperbuat ayahku, tetapi aku ingin tahu

apakah ada suatu kekuasaan bagi kaum wanita dalam perkara ini”.

2. Jalur Ibnu majah.

Page 76: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Buraidah berkata : ”telah datang seorang gadis kepada Nabi SAW,

lalu gadis berkata : “sesungguhnya ayahku telah mengawinkan aku dengan

anak laki-laki saudaranya agar hilang kehinaannya sebab aku”. Maka

Rasulullah SAW menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis.

Gadis berkata : “aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapi aku

ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tiada kuasa apapun bagi para

bapak dalam perkara ini”.

3. Jalur Ahmad bin Hanbal.

‘Aisyah r.a berkata : “telah datang seorang gadis kepada Rasulullah

SAW, lalu gadis berkata : “wahai Rasulullah, sesungguhnya ayahku telah

mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya supaya hilang

kehinaannya sebab aku”. Maka Rasulullah SAW menyerahkan perkara itu

kepada kemauan gadis tersebut. Lalu gadis itu berkata : “wahai Rasulullah,

sungguh aku telah membenarkan apa yang telah diperbuat ayahku, akan

tetapi aku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasa

apapun bagi para bapak dalam perkara ini”.

4. .Jalur Baihaqi.

Abdullah bin Buraidah berkata : “telah datang seorang gadis

kepada ‘Aisyah r.a seraya berkata : “sesungguhnya ayahku telah

mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya, supaya hilang

kehinaannya lantaran perkawinan itu, sedangkan aku membenci hal yang

demikian itu”. Maka ‘Aisyah r.a menjawab : “duduklah sampai Rasulullah

SAW datang, lalu jelaskanlah perkara itu kepada beliau!”. Kemudian

Page 77: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

datanglah Nabiyullah SAW, maka gadis itu pun menceritakan perkara

tersebut kepada beliau. Rasulullah SAW lalu mengutus seseorang untuk

mendatangkan ayah gadis tersebut. Ketika ayahnya telah tiba, Rasulullah

SAW menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis. Ketika dia

mengetahui bahwasanya perkara itu diserahkan kepada kemauannya, maka

ia berkata : “sesungguhnya aku telah membenarkan apa yang telah

diperbuat ayahku, akan tetapi aku hanya ingin tahu apakah ada kekuasaan

bagi kaum wanita dalam perkara ini atau tidak”.

B. Penjelasan Matan Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali

Kata zawwaja زّوج ) ) merupakan kata kerja madly ( الفعل الماضي ),

yakni pekerjaan yang telah dilaksanakan. Ungkapan إن أبي زوجني ابن أخیھ

bermakna bahawasanya ayahku telah mengawinkan aku dengan kemenakan

laki-lakinya (anak laki-laki saudaranya), Dengan demikian, jelaslah bahwa

ayah gadis tersebut bertindak sebagai wali nikah yang telah menikahkannya.

Kemudian kata لیرفع بي خسیستھ وأنا كارھة yang bermakna bahwa

tujuan dari perkawinan tersebut adalah agar kehinaan (derajat atau status

sosial yang rendah) menjadi hilang lantaran menikah dengan orang yang

terhormat tanpa memperhatikan hati dan perasaan anak gadisnya yang tidak

mencintai atau membenci pasangan yang dipilih oleh ayahnya.

Page 78: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Alasan atau illat seperti itu yang akhirnya memunculkan keputusan

Nabi SAW untuk menyerahkan perkara tersebut kepada si gadis sesuai dengan

bunyi redaksinya فجعل األمر إلیھا .

Kata al-amr ( األمر ) dalam redaksi yang berbunyi :

- فجعل األمر إلیھا (maka Nabi menyerahkan perkara itu kepada

kemauan gadis) dan

- أن لیس إلى األباء من األمر شيء (bahwasanya tidak ada kekuasaan

apapun bagi para bapak dalam perkara ini)

adalah kata yang tunggal maknanya karena sama-sama berupa isim ma’rifat

(kata benda khusus). Dengan demikian, kata al-amr mempunyai makna yang

tersirat didalamnya yaitu berupa perkawinan terpaksa tersebut.

Jadi, apabila kita jelaskan (dlahirkan) makna dari ungkapan yang

berbunyi فجعل األمر إلیھا dan أن لیس إلى األباء من األمر شيء , maka

ungkapan tersebut akan bermakna sebagai berikut:

1. “Maka Nabi SAW menjadikan (menyerahkan) perkara perkawinan

terpaksa itu kepada kemauan si gadis”.

2. “Bahwasanya tidak ada kekuasaan atau kewenangan apapun bagi para

bapak dalam perkara perkawinan secara terpaksa”, yakni seorang ayah

tidak boleh memaksakan kehendak anak gadisnya untuk menikah dengan

laki-laki pilihan ayahnya.

Dengan demikian, sudah jelas bahwa matan hadis tersebut satu kata

pun tidak ada yang menyiratkan kebolehan seorang gadis untuk menikahkan

Page 79: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

dirinya sendiri tanpa wali. Adapun yang dimaksud “tidak ada kuasa apapun

bagi para bapak dalam perkara ini” ialah bahwa para bapak tidak mempunyai

kewenangan atau kekuasaan atas anak gadisnya untuk memaksakan

kehendaknya menikah dengan laki-laki pilihan ayahnya tanpa menghiraukan

hati dan perasaan anak gadisnya yang tersakiti.

C. Asbab Wurud Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali

Asbab al-wurud merupakan segala sesuatu yang melatar belakangi

munculnya sebuah hadis. Asbab al-wurud dapat berupa peristiwa, sifat,

tabi’at, situasi dan kondisi seseorang yang melatar belakanginya untuk

melontarkan pertanyaan ataupun pengaduan kepada Nabi SAW yang

kemudian menjadi sebab munculnya sebuah hadis (Helmy,2007:14).

Hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali merupakan jenis hadis

taqriry (penetapan), yakni sebuah hadis yang isinya berupa penetapan suatu

hukum yang diputuskan oleh Rasulullah SAW ketika datang suatu persoalan

yang dialami oleh umat muslim yang diadukan kepada beliau.

Pada masa itu, terjadi suatu perkawinan yang dilakukan secara

terpaksa. Seorang bapak mengawinkan anak gadisnya dengan laki-laki yang

dipilihkannya, sedangkan anak gadisnya tidak menyukai laki-laki tersebut. Hal

ini dilakukannya demi kepentingan dirinya dan keluarganya. Yakni

mengawinkan anak gadisnya dengan laki-laki yang lebih kaya, lebih

terhormat, dan lebih tinggi status sosialnya agar keluarga si bapak itu pun ikut

naik status sosialnya lantaran berbesanan dengan keluarga yang terhormat.

Page 80: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Seorang bapak pada saat itu berkuasa penuh dalam menentukan masa depan

dan nasib hidup anaknya tanpa menghiraukan hati dan perasaan anaknya.

Kemudian gadis itu pun mengadukan perkara tersebut kepada

Rasulullah SAW, karena masalah tersebut dia rasa tidak adil bagi dirinya,

tidak berperi kemanusiaan, dan tidak sesuai dengan ajaran Islam. Singkat

cerita, setelah Rasulullah SAW mendengarkan pengaduan dari gadis tersebut,

maka beliau menyuruh seseorang untuk membawa ayah gadis tersebut kepada

beliau. Setelah ayah gadis itu datang, Rasulullah SAW memberikan putusan

bahwasanya perkara tersebut, yakni perkawinan secara terpaksa itu diserahkan

kepada kemauan gadis tersebut. Akan dilanjutkan ataukah dibatalkan

perkawinan itu, terserah kehendaknya sendiri.

Setelah si gadis mengetahui bahwa perkara tersebut ada pada

kemauannya, dia membenarkan apa yang telah diperbuat ayahnya, yakni

mengawinkannya dengan laki-laki yang tidak disukainya. Dia hanya ingin

kaum wanita mengetahui bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak

untuk memaksa anak gadisnya kawin dengan laki-laki yang tidak disukainya.

D. Kandungan Hukum dari Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali

Setelah penulis melakukan identifikasi matan hadis, menjelaskan

matan hadis, dan memahami asbab al-wurud hadis tentang keabsahan nikah

tanpa wali, maka langkah selanjutnya ialah mengungkap kandungan hukum

yang tersirat dalam hadis tesebut.

Page 81: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Tidaklah tepat orang yang menjadikan hadis tentang keabsahan nikah

tanpa wali sebagai argumen atau dalil bahwa seorang gadis boleh menikahkan

dirinya sendiri tanpa harus menggunakan wali. Hal ini disebabkan karena

setelah dilakukan penelitian sanad, hadis tersebut berkualitas sebagai hadis

hasan. Sedangkan mengenai kehujjahan hadis hasan, para ulama’ berselisih

pendapat. Ibnu Ma’in dan Bukhari menolak kehujjahan hadis hasan (Ismail,

1995:88). Dengan demikian, sejak dilakukan penelitian sanad saja sudah bisa

diketahui bahwa hadis tersebut tidak bisa dijadikan pegangan untuk

menetapkan sebuah hukum, meski pun hal ini merupakan masalah khilafiyah.

Bukankah keluar dari masalah khilafiyah itu merupakan sesuatu yang disukai

oleh syara’? Keluar dari masalah khilafiyah berarti tidak menggunakan atau

tidak mengamalkan dalil yang diperselisihkan kehujjahannya.

Keluar dari kajian sanadnya, setelah mengkaji matan atau materi hadis

tersebut, sesuai dengan arti yang tersirat di dalamnya, tidak benar jika

seseorang menggunakan hadis tersebut sebagai landasan pendapatnya tentang

kebolehan seorang gadis menikahkan dirinya sendiri tanpa wali. Sesuai

dengan asbab al-wurud hadis tersebut, bahwa telah terjadi seorang ayah

menikahkan anak gadisnya dengan lelaki pilihan ayah tersebut, sedangkan

gadis tersebut tidak menyukainya. Kata zawwajani ( زّوجني ) dalam matan

hadis tersebut merupakan kata kerja masa lampau (fi’il madhi) yang berarti

pekerjaan atau kejadian itu telah terjadi. Dengan demikian, kata إن أبي

زوجني ابن أخیھ berarti sesungguhnya bapakku telah mengawinkan aku

Page 82: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

dengan kemenakan laki-lakinya. Kemudian kata فجعل األمر إلیھا berarti

maka Nabi SAW menyerahkan perkara itu pada kemauannya (gadis tersebut).

Keputusan Rasulullah menyerahkan perkara itu kepada kemauan si gadis

dikarenakan ada ‘illat atau sebab yaitu perkawinan terpaksa, yakni ayah si

gadis menikahkan dengan tujuan meningkatkan kewibawaannya, sedang anak

gadisnya tidak menyukai laki-laki pilihan ayahnya ( لیرفع بي خسیستھ وأنا

كارھة ). Keputusan Nabi SAW tersebut, yakni menyerahkan perkara tersebut

pada kemauan si gadis, bukan berarti si gadis boleh menikahkan dirinya

sendiri atau melakukan akad nikah sendiri tanpa wali. Keputusan Nabi

dimaksud ialah pernikahan yang dilakukan dengan terpaksa oleh seorang

wanita karena ada unsur-unsur tertentu yang memaksakan kehendaknya,

tidaklah dibenarkan oleh Islam. Sehingga wanita tersebut berhak membatalkan

pernikahan secara terpaksa tersebut.

Islam mengajarkan untuk memuliakan kaum perempuan, sehingga

menolak budaya-budaya umat yang memenjarakan kaum perempuan,

mencekik kebebasanya, dan tidak memberikan hak-hak yang seharusnya

mereka terima. Sebaliknya, Islam juga menolak budaya-budaya erotisme yang

memandang kaum perempuan tidak lebih dari pemuas nafsu birahi. Sehingga

kaum perempuan pun hidup bebas tanpa ikatan hukum Agama yang mengatur

mereka, seperti rerumputan yang tak bertuan ( Al-Ghazali, 1997:43).

Kebebasan kaum perempuan tidak berarti bebas yang tanpa batas.

Kebebasan yang dimaksud adalah bebas yang sesuai dengan kodrat dan

Page 83: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

syari’at yang telah diwahyukan. Pendapat yang menyatakan bahwa seorang

wanita meskipun masih gadis berhak untuk menentukan pasangannya dan

bebas melakukan akad nikah sendiri atau menikahkan dirinya sendiri tanpa

wali, merupakan pendapat yang hanya berargumentasikan pada rasio belaka.

Tidak ada satupun dalil dari al-Qur’an maupun hadis yang menguatkan

pendapat mereka. Jika pun mereka menggunakan hadis sebagai landasan

pendapatnya, hadis-hadis tersebut tidaklah layak untuk dijadikan sebagai

landasan hukum.

Adapun redaksi hadis yang berbunyi أن لیس إلى األباء من األمر شيء

(bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak dalam perkara ini),

yang dimaksud ialah seorang ayah tidak mempunyai hak atau kekuasaan untuk

memaksakan kehendak anaknya, mencekik kebebasannya untuk memilih dan

menentukan pasangan hidupnya, dan tidak berwenang menikahkan secara

paksa kepada anak gadisnya dengan laki-laki yang tidak disukainya. Hadis

tersebut sama sekali tidak mempunyai makna yang menyiratkan kebolehan

seorang gadis menikahkan dirinya sendiri. Jika redaksi hadis tersebut

bermakna seorang bapak tidak berkuasa untuk menikahkan anak gadisnya,

alias tidak berhak menjadi wali, maka hal ini bertabrakan dengan banyak hadis

yang megatakan tentang eksistensi seorang ayah sebagai wali nikah bagi anak

gadisnya.

Adapun hadis-hadis yang dimaksud adalah sebagai berikut :

1. ال نكاح إال بولّي وشاھدي عدل فان تشاحروا فالسلطان ولّي من ال ولي لھ

( رواه الدرقطني والبیھقي )

Page 84: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Artinya : “ Tidak (sah) pernikahan kecuali dengan seorang wali dan duaorang saksi yang adil. Jika (wali-wali itu) berbantah, makapenguasa lah yang berhak menjadi wali bagi orang yang tidakmempunyai wali" (HR. Ad-Daruquthni dan Al-Baihaqi).

2. : قال رسول اهللا ص : ال تزوج المرأة المرأة وال تزوج قال ابو ھریرة

үǛ رواه ابن م(المرأة نفسھا فإن الزانیة ھي التي تزوج نفسھا

ǚӨǚ(

Artinya : “tidak (sah) seorang wanita menikahkan wanita lainnya, dantidak (sah) seorang wanita menikahkan dirinya sendiri, karenahanyalah wanita pezina yang menikahkan dirinyasendiri”(HRIbnu Majah dan Ad-Daruquthni).

3. تستأمر وال تنكح البكر حتى تستأذن قالوا یا رسول اهللا ال تنكح االّیم حتى

Қ (أن تسكت : وكیف إذنھا؟ قال

) علیھ

Artinya : “Seorang janda tidak boleh dinikahkan sebelum diajakbermusyawarah, dan seorang gadis tidak boleh dinikahkansebelum dimintai izinnya. Para sahabat bertanya : “YaRosulallah, bagaimana diketahui izinnya?”. Nabi SAWmwnjawab: “diamnya menunjukkan persetujuannya”(Muttafaq ‘alaih).

4. الثیب أحق بنفسھا من ولیھا والبكر تستأذن في نفسھا وإذنھا

.صماتھا

) ǚ(

Artinya : “Wanita janda itu lebih berhak atas dirinya daripada walinya,dan seorang gadis itu dimintai izinnya dalam (mengawinkan)dirinya. Dan izinnya berupa diamnya” (HR. Muslim).

Page 85: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Meski demikian, para penganut Madzhab Hanafiyah dan Madzhab

Syi’ah Imamiyah lebih mengutamakan rasio mereka dalam beristinbat hukum,

sehingga mereka terkenal dengan sebutan ahl al-ra’yi. Sampai sekarang

komunitas terbesar penganut Madzhab Hanafiyah berada di negara Irak,

sedangkan komunitas penganut Madzhab Syi’ah ialah negara Iran. Akan

tetapi, pemikiran-pemikiran kedua madzhab tersebut telah tersebar dan dianut

oleh negara-negara lain di dunia termasuk Indonesia meski hanya sebagian

kecil saja dari jumlah umat muslim di Indonesia. Sebenarnya mereka hanya

ingain menyangkal pendapat yang mengatakan bahwa wali nikah wajib

hukumnya. Wali nikah menurut mereka boleh-boleh saja (mubah) bukan

sesuatu yang wajib keberadaanya.

Menurut mereka, jika seorang gadis telah baligh dan berakal sehat,

maka ia bebas melakukan apa saja yang ia kehendaki, termasuk melakukan

akad nikah atas dirinya sendiri. Dia telah bebas (merdeka) lantaran

kedewasaannya, sehingga ia dibebani beberapa hak dan kewajiban, serta

hukum yang berlaku. Jika ia melakukan maksiat atau tidak melakukan

kewajibannya, maka dosanya ia tanggung sendiri. Sebaliknya, jika ia

mengerjakan perbuatan baik atau meninggalkan kemaksiatan, maka pahalanya

ia rengkuh sendiri. Hal ini dapat dibuktikan dengan pendapatnya A.Hassan

dkk (1998:251-252) yang menyatakan sebagai berikut.

Di dalam tiap-tiap urusan, kalau kita tinggalkan atau kelupaanpokok atau asal, niscaya urusan itu tidak beres. Tiap-tiap perkara adapokok atau asalnya. Pokok atau asal dimaksud dalam masalah walinikah ialah kemerdekaan orang yang diurus oleh wali. Seorang anaksemasa ia belum baligh memang di dalam tanggungan orang tua atau

Page 86: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

walinya. Di hari ia baligh, hilanglah hukum kewajiban orang tua dankekuasaan wali. Mulai hari itu ia terhitung sebagai satu orang, bukansebagai anak-anak lagi. Kalau ia ada pusaka dari orang tuanya, wajibdiserahkan kepadanya. Harta benda itu boleh ia urus menurutkemauannya tanpa terhalang oleh seorang pun, kecuali kalau ia borosatau ia gunakan di dalam kemaksiatan. Jadi, seseorang yang sudahbaligh boleh mengurus dirinya sendiri itu dinamakan pokok atau asal.

Perlu diketahui bahwa sesuatu yang dinilai baik oleh akal sehat, belum

tentu baik menurut penilaian syara’. Sebaliknya, sesuatu yang mungkin

menurut akal tidak baik, tetapi bisa jadi baik menurut syara’. Hal ini dimaksud

bahwa kebenaran tidaklah diukur menurut panilaian akal semata, akan tetapi

kebenaran yang haqiqi adalah kebenaran yang diwahyukan ( Al-Qur’an dan

Sunnah Nabi SAW).

E. Kritik Matan Hadis tentang Keabsahan Nikah Tanpa Wali

Kata kritik berarti upaya untuk memisahkan antara apa yang benar dan

apa yang salah, yang terdapat dalam materi (matan) hadis. Kritik matan

sebenarnya telah dilaksanakan pada masa hidup Nabi SAW. Akan tetapi kritik

matan pada masa itu hanya sebatas pergi menemui Nabi SAW untuk

membuktikan apakah sesuatu yang dilaporkan benar-benar telah disabdakan,

ditetapkan, atau dilakukan oleh beliau (Azami, 196:82).

Upaya kritik matan hadis merupakan upaya yang harus dilakukan oleh

seorang peneliti hadis. Kritik matan akan menghasilkan pemahaman yang

lebih mendalam mengenai materi hadis, bahkan akan menghasilkan

pemahaman yang bertolak belakang dengan pemahaman sebelumnya.

Page 87: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Sehingga hal ini berakibat hukum yang berbeda dengan hukum sebelum

dilakukan kritik matan.

Sebelum melakukan pengkritikan, terlebih dahulu penulis akan

mencantumkan matan hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali. Matan hadis

dimaksud adalah sebagai berikut:

إن أبي زوجني فقالت صلى اهللا علیھ وسلم جاءت فتاة إلى النبي

ابن أخیھ لیرفع بي خسیستھ قال فجعل األمر إلیھا فقالت قد أجزت ما صنع

األمر شيءأبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن لیس إلى اآلباء من

Artinya: ”telah datang seorang gadis kepada Nabi SAW, lalu gadisberkata : “sesungguhnya ayahku telah mengawinkan aku dengan anaklaki-laki saudaranya agar hilang kehinaannya sebab aku”. MakaRasulullah SAW menyerahkan perkara tersebut kepada kemauan si gadis.Gadis berkata : “aku benarkan apa yang diperbuat ayahku, akan tetapiaku ingin kaum wanita mengetahui bahwasanya tiada kuasa apapun bagipara bapak dalam perkara ini”.

Pada ungkapan si gadis yang mengatakan : ” sesungguhnya ayahku

telah mengawinkan aku dengan anak laki-laki saudaranya” sebenarnya

merupakan ungkapan yang telah jelas makna dan maksudnya tanpa

membutuhkan pemahaman secara mendalam. Ungkapan tersebut jelas-jelas

menyiratkan sebuah perkawinan yang memakai wali, yaitu seorang bapak

bertindak sebagai wali nikah bagi anak gadisnya sendiri.

Materi hadis yang dijadikan dasar hukum oleh orang yang berpendapat

bahwa nikah tanpa wali itu adalah sah secara mutlak, baik bagi wanita yang

masih gadis maupun sudah janda merupakan kekeliruan yang disebabkan oleh

Page 88: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

pemahaman mereka sendiri. Tidakkah mereka mengetahui bahwa Rasulullah

SAW menyerahkan urusan kepada kemauan si gadis disebabkan adanya illat

yang berupa perkawinan secara terpaksa, sesuai dengan bunyi redaksinya, “

agar supaya hilang kehinaannya sebab saya, sedangkan saya tidak

menyukainya “. Seharusnya sebuah perkawinan itu didasari atas rasa saling

cinta dan saling sayang dari kedua belah pihak tanpa ada unsur keterpaksaan.

Dengan demikian, redaksi hadis yang berbunyi, “ bahwasanya tidak

ada kuasa apapun bagi para bapak dalam perkara ini “ bukanlah menyiratkan

seorang bapak tidak mempunyai kekuasaan terhadap urusan perkawinan

anaknya, termasuk berwenang menjadi wali nikah. Adapun yang dimaksud

“tidak mempunyai kekuasaan”, adalah seorang bapak tidak mempunyai

kewenangan untuk mengawinkan dengan pasangan yang tidak disukai oleh

anak gadisnya. Seorang bapak tidak boleh memaksakan kehendak anaknya

dalam urusan apapun, apa lagi dalam masalah perkawinan. Bukankah

perkawinan ibarat bahtera yang akan mengarungi samudera kehidupan untuk

menggapai kebahagiaan hidup yang kekal. Bagaimana mungkin sepasang

suami istri akan bersama-sama menjalani kehidupan rumah tangga yang

bahagia jika mereka tidak saling mencintai.

Merupakan kekeliruan yang berakibat sangat fatal jika ungkapan

tersebut diartikan bahwa para bapak tidak memiliki kekuasaan apapun dalam

perkawinan anaknya. Karena hal ini berarti seorang ayah tidak boleh campur

tangan dalam urusan perkawinan anak gadisnya, tidak berhak menjadi wali

Page 89: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

nikah, dan tidak berhak sedikit pun untuk menentukan calon pasangan hidup

anak gadisnya.

Fenomena masyarakat di Indonesia, khususnya masyarakat muslim

mewajibkan adanya wali nikah dalam setiap perkawinan. Masyarakat muslim

di Indonesia memandang wali nikah merupakan salah satu syarat yang harus

dipenuhi ketika melangsungkan akad nikah. Hukum Islam yang berlaku di

Indonesia, dalam hal ini kompilasi hukum Islam (KHI) mengatur masalah wali

nikah secara jelas dan tegas pada bab IV bagian ke tiga, pasal 19 sampai

dengan pasal 23. Pasal 19 KHI menyebutkan bahwa wali nikah dalam

perkawinan merupakan rukun nikah yang harus dipenuhi oleh calon mempelai

wanita. Adapun pasal 20, 21, 22 dan 23 KHI mengatur tentang orang yang

berhak menjadi wali, sayarat sah wali, dan urutan wali dalam perkawinan.

Seandainya hukum keabsahan nikah tanpa wali diterapkan di dalam

masyarakat Indonesia, tentu hal ini akan menimbulkan bencana di dalam

masalah hukum. Hukum keabsahan nikah tanpa wali sudah pasti ditolak

bahkan mendapat perlawanan dari umat muslim di Indonesia karena hal ini

bertentangan dengan dasar hukum yang mereka gunakan, yakni KHI.

Andaipun hokum keabsahan nikah tanpa wali diperbolehkan di negara kita,

tentu akan menimbulkan perseteruan antara anak dan orang tua. Para bapak

akan merasa tertindas, terhina, dan kehilangan martabatnya sebagai orang tua

karena mereka tidak diperkenankan campur tangan dalam masalah perkawinan

anak gadisnya. Kaum wanita akan semakin brutal karena mereka punya

kebebasan tanpa batas untuk mengurus dirinya sendiri. Mereka bebas kawin-

Page 90: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

cerai dengan lelaki yang mereka suka, karena hukum keabsahan nikah tanpa

wali memberi kesempatan dan kebebasan dalam masalah perkawinan tanpa

campur tangan dan pengarahan dari pihak keluarga dan orang tua.

Hukum keabsahan nikah tanpa wali akan memberi manfaat dan

keuntungan yang besar kepada kaum lelaki. Seorang suami bisa melakukan

kawin cerai sesuka hati. Jika suami telah bosan terhadap istrinya, atau

sebaliknya seorang istri telah bosan terhadap suaminya, dengan mudah ia

melakukan cerai dan kawin lagi dengan pasangan yang baru. Tidak akan ada

istilah perselingkuhan jika seorang laki-laki yang sudah beristri kemudian

menikahi wanita lainnya, dengan mudah ia bisa menikahinya. Sungguh

manusia tidak berbeda dengan binatang jika hanya menuruti kemauan hawa

nafsunya, yang bisa kawin kapan saja dan dengan siapa saja yang ia inginkan.

Fenomena seperti ini akan banyak merugikan kaum wanita, karena mereka

akan dicerai oleh suaminya sedang ia harus menanggung hidup anak-anaknya.

Mana mungkin seorang lelaki mampu mengurus anak-anaknya sedang ia sibuk

mengurusi istri mudanya. Jikapun ia mampu, ia tak mungkin mau

melakukannya karena hal itu akan mengganggu kenyamanan dan

kebahagiaannya bersama istri barunya. Begitulah kiranya gambaran yang akan

terjadi jika hukum keabsahan nikah tanpa wali diterapkan.

F. Refleksi Penulis

Redaksi hadis tentang keabsahan nikah tanpa wali secara takstual ada

sedikit perbedaan antara jalur periwayatan yang satu dengan jalur periwayatan

Page 91: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

yang lainnya. Namun, secara kontekstual semua jalur periwayatan hadis

tersebut adalah serupa, sama, dan semakna. Artinya, tidak ada perbedaan

makna yang tersirat dalam matan hadis dari semua jalur periwayatan. Adapun

perbedaan tekstualnya adalah sebagai berikut :

1. Jalur An-Nasa’i dan Al-Baihaqi teks hadis yang menunjukkan tidak

adanya kewenangan atau kekuasaan bagi para bapak dalam masalah

perkawinan anak gadisnya didahului oleh kata tanya ( حرف اإلستفھام ),

dan ungkapan hadis tersebut tertuju pada kaum wanita. Teks dimaksud

adalah :

- Jalur An-Nasa’i berbunyi :

یا رسول اهللا قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن أعلم أللنساء من

األمر شيء

- Jalur Al-Baihaqi berbunyi :

إني قد أجزت ما صنع والدي إنما أردت أن أعلم ھل للنساء من

الألمر شيء أم ال

2. Sedangkan jalur Ahmad dan jalur Ibnu Majah, teks hadis dimaksud tidak

menggunakan kata tanya, dan ungkapan hadis dimaksud, ditujukan

kepada para bapak. Teks dimaksud adalah :

- Jalur Ahmad

یا رسول اهللا قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت أن تعلم النساء أن

لیس لألباء من األمر شيء

Page 92: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

- Jalur Ibnu Majah

أن تعلم النساء أن لیس إلى اآلباء قد أجزت ما صنع أبي ولكن أردت

من األمر شيء

Telah terjadi perselisihan dalam pemahaman dan pemaknaan kata al-

amr Bagi golongan orang yang menggunakan hadis tersebut sebagai .(األمر)

landasan pendapatnya mengenai keabsahan nikah tanpa wali, mereka

memahami kata al-amr yang berarti perkara itu sebagai kata ganti dari (األمر)

makna yang tersirat di dalamnya, yakni perkawinan.

Dengan demikian, teks hadis yang berbunyi أن لیس لألباء من األمر

شيء bermakna bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak dalam

masalah perkawinan anak gadisnya. Pemahaman tersebut mengacu pada

kebebasan seorang gadis untuk memilih dan menentukan pasangan, serta

bebas menikahkan dirinya sendiri dengan pasangannya tanpa campur tangan

ayahnya yang berwenang sebagai walinya. Hal ini jelas bertabrakan dengan

teks kebanyakan hadis yang menjelaskan eksistensi seorang wali nikah dalam

sebuah perkawinan.

Sedangkan menurut golongan lain yang kontra terhadap golongan yang

pertama diatas, memahami kata al-amr menyiratkan makna yang (األمر)

berupa perkawinan tepaksa. Hal ini disebabkan ada ‘illat atau sebab yang

mendahuluinya yang tertera pada bunyi teks sebelumnya, yakni لیرفع بي

Page 93: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

خسیستھ وأنا كارھة (agar hilang kehinaannya sebab saya, sedang saya tidak

menyukainya).

Dengan demikian teks hadis yang berbunyi أن لیس لألباء من األمر

شيء bermakna bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi seorang bapak

dalam masalah mengawinkan anak gadisnya secara paksa tanpa menghiraukan

perasaan anak gadis tersebut. Pemahaman seperti inilah yang menurut penulis

merupakan pemahaman yang mendekati kebenaran.

Menurut Helmy (2007:116), bahwasanya memahami kata-kata yang

terdapat dalam teks hadis maupun al-Qur’an membutuhkan pemikiran yang

mendalam. Pemahaman yang dilakukan oleh sekelompok orang yang bukan

ahlinya akan menimbulkan kerancuan dan kekeliruan dalam memahami

maksud yang terkandung didalam teks hadis maupun al-Qur’an yang akan

berakibat sangat fatal.

Menurut penulis sendiri, pendapat tentang keabsahan nikah tanpa wali

merupakan pendapat yang tidak benar, bahkan pendapat yang sesat. Hal ini

disebabkan karena setelah dilakukan kritik matan terhadap hadis tentang

keabsahan nikah tanpa wali, hasilnya adalah tidak ada satu kata pun dalam

redaksi hadisnya yang menyiratkan kebolehan nikah tanpa wali. Apakah

mereka tidak menganalisa materi hadis yang mereka gunakan sebagai

landasan pendapatnya itu. Jikapun ada keterangan-keterangan dari hadis lain

yang menunjukkan keabsahan nikah tanpa wali, maka penulis tetap pada

pendiriannya, yakni tidak sah nikah tanpa wali. Hal ini disebabkan adanya

Page 94: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

keterangan dari al-Qur’an yang memerintahkan para wali untuk menikahkan

orang-orang yang masih sendirian yang berada dalam tanggungannya. Ayat

dimaksud ialah surat an-Nur ayat 32 :

Artinya : Dan kawinkanlah orang-orang yang sedirian diantara kamu,dan orang-orang yang layak (berkawin) dari hamba-hambasahayamu yang lelaki dan hamba-hamba sahayamu yangperempuan. jika mereka miskin Allah akan memampukanmereka dengan kurnia-Nya. dan Allah Maha luas (pemberian-Nya) lagi Maha Mengetahui (Q.S an-Nur : 32).

Ayat tersebut di atas jelas-jelas menyiratkan perkawinan harus

memakai wali, karena walilah yang berhak mengijabkan (mengawinkan)

mempelai wanita kepada mempelai laki-laki. Seandainya nikah tanpa wali itu

sah, maka sudah tentu Allah SWT tidak memerintahkan para wali untuk

menikahkan orang-orang yang masih sendirian.

Page 95: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

BAB V

PENUTUP

A. Simpulan

Simpulan adalah kumpulan dari kesimpulan keseluruhan pembahasan

dalam penelitian ini yang minimal akan menjawab semua pertanyaan yang ada

pada rumusan masalah. Adapun simpulan dimaksun adalah sebagai berikut :

1. Menurut fiqh Syafi’iyah, fiqh Malikiyah, dan fiqh Hanabilah, wali nikah

merupakan salah satu rukun nikah. Hukum wali nikah adalah wajib

keberadaannya. Tidak sah nikah tanpa wali, jikapun terjadi pernikahan

tanpa wali, maka pernikahan tersebut batal dan dianggap tidak pernah

terjadi.

2. Ulama’ Hanafiyah berpendapat bahwa nikah tanpa wali adalah sah. Hal ini

disebabkan karena seorang wanita yang telah baligh (dewasa) dan berakal

sehat mempunyai hak untuk mengurus dirinya sendiri termasuk berhak

untuk memilih pasangan dan menikahkan dirinya sendiri dengan pasangan

pilihannya. Tidak ada seorang pun yang berhak menentangnya dan

menghalangi keinginannya dengan syarat lelaki yang dipilihnya itu

sepadan dengannya dan maharnya harus mahar mitsil. Jika pasangan yang

ia pilih tidak sepadan atau maharnya kurang dari mahar mitsil, maka

walinya boleh menentangnya dan mengajukan permohonan kepada hakim

untuk membatalkan perkawinannya.

Page 96: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

3. Ulama’ Syi’ah Imamiyah berpendapat bahwa wanita yang sudah baligh

dan berakal sehat bebas melakukan segala tindakan hukum termasuk

melakukan ijab qabul dalam pernikahan. Dia boleh menikahkan dirinya

sendiri dengan pasangan pilihannya tanpa ada syarat harus sepadan dan

maharnya tidak harus mahar mitsil.

4. Undang-undang perkawinan di Indonesia, dalam hal ini UU No. 1 tahun

1974 tidak membahas masalah wali nikah. Undang-undang ini hanya

mengatur masalah perkawinan dalam segi administratifnya. UUP hanya

menegaskan bahwa perkawinan yang sah adalah perkawinan yang

dilakukan sesuai dengan hukum masing-masing agama dan keercayaannya

(pasal 2 ayat 1 UUP). Dengan demikian, tidak ada ikatan perkawinan di

luar hukum agama.

5. KHI mengatur masalah wali nikah dalam bab IV, antara lain pada bagian

kesatu pasal 14 menegaskan bahwa untuk melaksanakan perkawinan harus

ada : a. calon suami, b. calon istri, c. wali nikah, d. dua orang saksi, e. ijab

qabul. Pasal 19 KHI menegaskan bahwa wali nikah dalam perkawinan

merupakan rukun yang harus dipenuhi oleh mempelai wanita.

6. Hadis yang dijadikan pedoman dalam menetapkan hukum keabsahan

nikah tanpa wali, terdapat dalam empat jalur periwayatan, yaitu jalur An-

Nasa’i, Ibnu Majah, Ahmad bin Hanbal, dan Al-Baihaqi.

7. Jalur periwatan An-Nasa’i, sanadnya bersambung dari perawi pertama

(‘Aisyah r.a) hingga perawi terakhirnya. Akan tetapi ada dua orang perawi

di dalamnya yang cacat, yaitu Abdullah bin Buraidah (dari golongan

Page 97: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

tabi’in) dan Ali bin Ghurab (dari golongan atba’ atba’ al-tabi’in). Dengan

demikian, hadis dari jalur periwayatan An-Nasa’i ini tidak bisa

dikategorikan ke dalam kelompok hadis shahih, akan tetapi termasuk

kategori hadis hasan.

8. Jalur periwayatan Ibnu Majah, sesuai dengan ilmu tarikh al-ruwat,

sanadnya bersambung dari perawi pertama (Buraidah) hingga perawi

terakhir. Hanya saja, perawi yang kedua (Abdullah bin Buraidah) sesuai

dengan ilmu al-jarh wa al-ta’dil, dinilai cacat oleh para ulama’. Dengan

demikian, hadis ini juga dikategorikan sebagai hadis hasan.

9. Jalur periwayatan Ahmad bin Hanbal dan Al-Baihaqi, sanadnya terputus

dan para perawi dari kedua jalur ini banyak yang dinilai cacat. Dengan

demikian, hadis dari kedua jalur ini disebut sebagai hadis hasan lighairihi,

karena ada periwayatan lain yang mengangkat status keduanya dari dla’if

menjadi hasan.

10. Penafsiran matan hadis yang berbunyi أن لیس إلى األباء من األمر شيء ,

artinya : “bahwasanya tidak ada kuasa apapun bagi para bapak dalam

perkara ini”, menurut penulis adalah sebagai berikut :

Kata األمر (perkara ini) yang dimaksud adalah perkawinan secara

terpaksa, sehingga dengan demikian matan hadis tersebut bermakna

bahwasanya seorang ayah tidak berwenang atau berkuasa memaksakan

kehendak anak gadisnya untuk dinikahkan dengan laki-laki yang tidak

disukainya. Jika pun hal itu terjadi, maka pernikahan itu boleh dibatalkan

jika anak gadis tersebut menghendaki. Hal ini disebabkan karena salah

Page 98: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

satu tujuan perkawinan ialah untuk membentuk sebuah keluarga yang

sakinah, mawaddah, wa rahmah yang kekal selamanya. Bagaimana

mungkin sebuah keluarga dapat terwujud bila sang istri tidak mencitai

suaminya. Sebuah keluarga dapat terwujud bila didasari dengan rasa saling

kasih, saling sayang, dan saling cinta antar anggotanya.

11. Penafsiran yang kurang tepat apabila matan hadis berikut :

أن لیس إلى األباء من األمر شيء dipahami bahwa seorang ayah tidak

mempunyai kekuasaan apapun dalam perkawinan anaknya. Pemahaman

seperti ini akan menimbulkan pendapat yang bertentangan dengan akal

sehat maupun dengan hadis-hadis lainnya. Karena pemahaman seperti itu

berarti seorang ayah tidak boleh ikut campur dalam masalah perkawinan

anak gadisnya, baik memberikan masukan dalam memilih pasangan

maupun bertindak sebagai wali yang menikahkannya. Secara akal sehat,

bagaimana mungkin seorang ayah yang telah menafkahi anak-anak dan

istrinya, membanting tulang, memeras keringat demi kelangsungan hidup

dan masa depan anak-anaknya, tidak boleh campur tangan dalam

perkawinan anaknya, hanyalah anak durhaka yang berani melarang

ayahnya untuk memberikan masukan pendapat dalam memilih pasangan

hidupnya, hanyalah anak celaka yang tidak memohon restu orang tuanya

dalam pernikahannya, hanyalah wanita pezina yang mau menikahkan

dirinya sendiri, dan hanyalah orang yang mendukung perzinaan yang

menggembor-gemborkan pendapatnya tentang keabsahan nikah tanpa

wali.

Page 99: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

B. Rekomendasi

1. Penelitian hadis (Takhrij hadis) merupakan penelitian yang tidak mudah

dan tidak semua orang bisa melakukannya. Karena dalam hal ini

dibutuhkan kemampuan khusus yang berkaitan dengan penelitian ini.

Kemampuan dimaksud ialah kemampuan dalam bidang ulum al-hadis,

ilmu ushul hadis, dan ilmu-ilmu pendukungnya, seperti ilmu nahwu-sharaf

(tata bahasa Arab), ilmu sastra Arab (balaghah), dan ilmu kosa kata Arab

(mufradat). Tanpa menguasai ilmu-ilmu tersebut, mustahil seseorang bisa

melakukan penelitian terhadap sebuah hadis. Oleh sebab itu, penelitian

hadis termasuk sebuah upaya ijtihad, karena penelitian hadis tersebut

menghasilkan sebuah kepastian hukum di dalamnya. Dengan demikian,

seharusnya penelitian hadis mendapatkan perhatian yang maksimal dari

orang-orang yang peduli terhadap hukum Islam, demi mendapatkan

kepastian hukum yang jelas, agar dalam menetapkan hukum suatu perkara

benar-benar berlandaskan pada sumber hukum yang kuat.

2. Penelitian hadis merupakan penelitian yang sangat penting bagi seluruh

umat muslim, khususnya para pemuka dan tokoh agama yang banyak

menyampaikan ajaran-ajaran Islam kepada masyarakatnya baik melalui

lisan maupun tulisannya. Hendaknya mereka menjelaskan kepada

masyarakat tentang status keotentikan hadis-hadis yang menjadi landasan

hukum yang berlaku di dalam masyarakat muslim melalui penelitian

terlebih dahulu. Mereka, para tokoh Islam dan cendekiawan muslim, harus

Page 100: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

benar-benar mampu memilah dan memilih antara hadis yang bisa

dijadikan dasar hukum dan hadis yang tidak bisa dijadikan landasan

hukum.

3. Al-hadits merupakan sumber hukum Islam kedua setelah al-Qur’an. Dalam

beristinbat hukum dari sebuah hadis, hendaknya dilakukan penelitian

terlebih dahulu untuk mengetahui otentisitas hadis terkait serta memahami

isi yang terkandung dalam redaksi matan hadis agar sebuah penetapan

hukum tidak menyimpang dari ajaran Islam yang sebenarnya. Oleh

karenanya, disamping meneliti sanadnya, seorang peneliti hadis juga harus

meneliti matan hadis dengan cara mengadakan kritik matan secara

mendalam. Dalam upaya kritik matan, dibutuhkan kemampuan dalam ilmu

balaghah, nahwu, sharaf, dan kosa kata bahasa Arab guna menghasilkan

pemaknaan matan hadis yang sesuai dengan penafsiran yang tepat dan

benar.

4. Peguruan Tinggi Agama Islam (PTAI) termasuk di dalamnya STAIN

Salatiga merupakan lembaga yang sangat besar peranannya dalam

memajukan dan mengembangkan ilmu pengetahuan, khususnya ilmu

pengetahuan agama Islam. Oleh sebab itu, STAIN Salatiga harus benar-

benar memiliki kompetensi di bidangnya, mulai dari administrasi,

penyediaan sarana prasarana yang memadai, hingga pelayanan

akademiknya, agar mampu mencetak sarjana-sarjana yang memiliki

intelektualitas yang tinggi dan berakhlaqul karimah.

Page 101: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

5. Penulis berharap agar jurusan Syari’ah, khususnya program studi Al-

Ahwal Al-Syakhshiyyah membuka peluang seluas-luasnya bagi para

mahasiswa maupun para dosen untuk melakukan penelitian serupa

selanjutnya, mengingat begitu banyaknya hadis yang seolah-olah

kontroversi dengan al-Qur’an, dengan hadis lainnya, maupun dengan

pemikiran kita.

6. Dengan segenap kerendahan hati, penulis menyadari bahwa skripsi ini

masih jauh dari kesempurnaan. Oleh sebab itu, penulis sangat

mengharapkan adanya kritik dan saran yang membangun dari para

pembaca yang budiman agar pada penelitian serupa seanjutnya dapat lebih

baik.

Page 102: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

DAFTAR PUSTAKA

A.Hassan dkk. 1998. Soal-Jawab Tentang Berbagai Masalah Agama. cet. X.Bandung : cv. Diponeoro.

Abdurrahman. 1992. Kompilasi Hukum Islam. Jakarta : Akademika Pressindo..

Ahmad. tt. Musnad Ahmad bin Hanbal. Beirut : Daar Al-Fikri.

Al-Asqalany. 1984. Tahdzib Al-Tahdzib. Cet. 1. Beirut : Daar Al-Fikri

Al-Ghazali, Syekh Muhammad. 1997. Analisis Polemik Hadis. Cet. 1. Terj.Surabaya : Dunia Ilmu Offset.

Al-Suyuthi, Jalaluddin. tt. Sunan An-Nasa’i. Beirut, Libanon : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Arso Sastroatmodjo dan Wasit Aulawy. 1975. Hukum Perkawinan di Indonesia.cet. 1. Jakarta : Bulan Bintang.

Ash-Shiddieqy, Muhammad Hasbi. 1993. Sejarah dan Pengantar Ilmu Hadis. cet.11. Jakarta : Bulan Bintang.

Azami, Muhammad Mustafa. 1996. Metodologi Kritik Hadis. Cet. 2. Terj.Bandung : Pustaka Hidayah.

Departemen Agama RI. 1989. Al-Qur’an dan Terjemahannya. Semarang : CV.Thoha Putra.

Fuad, Muhammad. tt. Sunan Ibnu Majah. Beirut, Libanon : Daar Al-Kutub Al-Ilmiyyah.

Helmy, Muhammad Irfan. 2007. Kontekstualisasi Hadis (Telaah atas Asbab Al-Wurud dan Kontribusinya terhadap Pemahaman Hadis). Cet. 1.Yogyakarta : STAIN Salatiga Press dan Mitra Cendekia.

Ibrahim, Johnny. 1988. Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif. cet.I.Malang : Bayumedia Publishing.

Ismail, M.Syuhudi. 1995. Hadis Nabi Menurut Pembela, Pengingkar,Pemalsunya. cet. 1. Jakarta : Gema Insani Press.

Maliki, Al-, Muhammad Alawi. 2006. Ilmu Ushul Hadis,. cet. 1. terj. Yogyakarta: Pustaka Pelajar.

Page 103: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

Mughniyah, Muhammad Jawad. 1991. Fiqh Lima Madzhab, cet. 1. terj. Jakarta :Basrie Press.

Nazir, Mohammad. 1988. Metode Penlitian. cet. 3. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Nuruddin. 1994.Ulum Al Hadits. cet. 1. terj. Bandung : PT. Remaja Rosdakarya.

Ramulyo, Mohd. Idris. 2006. Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, HukumAcara Peradilan Agama dan Zakat menurut Hukum Islam. cet. 4. Jakarta :Sinar Grafika.

Sabiq, Sayyid. 1981. Fikih Sunnah. cet. 1. Bandung : PT Al-Ma’arif.

Soemitro, Ronny Hanitijo. 1990. Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri.cet. 4. Jakarta : Ghalia Indonesia.

Soerjono Soekanto, Sri Mamudji. 1995. Penelitian Hukum Normatif, SuatuTinjauan Singkat. cet.IV. Jakarta : PT. Raja Pers.

Suparta, Munzier. 2002. Ilmu Hadis. cet. 3. Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada.

Wahid, Marzuki, dan Rumadi. 2001. Fiqh Madzhab Negara. cet. 1. Yogyakarta :LKiS.

Yunus, Mahmud. 1990. Kamus Arab-Indonesia. cet. 8. Jakarta : PT. HidakaryaAgung.

Zed, Mestika. 2004. Metode Penelitian Kepustakaan. Jakarta : Yayasan OborIndonesia.

Zuhri, Muh. 1997. Hadis Nabi ( Telaah Historis dan Metodologis). Cet. 1.Yogyakarta: Tiara Wacana Yogya.

http : // www.kotasantri.com/galeria.php?aksi=Detail Artikel & Artid=162

Al Baihaqi, Sunan Kubra (CD Room, Maktabah Syamilah, tt).

Page 104: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits

DAFTAR RIWAYAT HIDUP

Nama : Aminanto

Tempat/tanggal lahir : Kab. Semarang, 09 Agustus 1985

Jenis kelamin : Laki-laki

Alamat : Banjaran gunung, Rt/Rw 30/06, Desa Cukilan,

Kecamatan Suruh, Kabupaten Semarang 50776

Riwayat pendidikan :

1. SDN Cukilan 03 lulus tahun, 1999.

2. MTs Darul Ulum Reksosari, Suruh, lulus tahun 2002.

3. MAN Suruh, lulus tahun 2005

4. STAIN Salatiga, Jurusan Syari’ah, Prodi Ahwal Al-Syakhshiyyah

Demikian riwayat hidup saya, yang saya buat dengan sebenar-benarnya.

Cukilan, 24 November 2011

Penulis,

Aminanto

Page 105: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 106: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 107: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 108: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits
Page 109: PROGRAM STUDI AHWAL AL -SYAKHSHIYAH SEKOLAH TINGGI …e-repository.perpus.iainsalatiga.ac.id/2967/1/skripsi aminanto.pdf · Misalnya mengenai masalah wali nikah ada beberapa hadits