maqamat & ahwal
DESCRIPTION
MakalahTRANSCRIPT
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Tujuan akhir dari perjalanan sufi adalah untuk mengenal dan berada
sedekat mungkin dengan Allah dan sekaligus disana akan diperoleh
kebahagiaan yang hakiki. Jalan yang harus ditempuh agar bisa sampai disana,
menurut Al-Ghazali, disamping harus mengamalkan seluruh ajaran syariat,
juga harus menempuh jalan panjang yang berjenjang atau al-maqamat.
Dikalangan sufi orang pertama yang membahas masalah al-maqamat
barangkali adalah Haris Ibnu Asad al-Muhasibi (w. 243 H). Ia digelari al-
Muhasibi karena kegemarannya melakukan muhassabah atau intropeksi diri.
Menurutnya, perhitungan dan perbandingan terletak diantara keimanan dan
kekafiran, antara kejujuran dan kekhianatan, antara tauhid dan syirik serta
antara ikhlas dan riya. Hampir satu angkatan dengannya muncul al-Surri al-
saqathi (w.257 H) dengan pendapatnya, ada empat hal yang harus ada dalam
kalbu seseorang, yaitu rasa takut hanya kepada Allah, rasa harap hanya
kepada Allah, rasa cinta hanya kepada Allah dan rasa akrab hanya kepada
Allah. Kemudian tampil pula Abu Sid al-Kharraz (w. 277 H) dengan formasi
lengkap serial dan fase perjalanan sufi.
Siapapun yang pertama menyusun al-maqamat tidaklah dipermasalahkan,
tetapi yang pasti adalah bahwa sejak abad tiga hijriah setiap orang yang ingin
mencapai tujuan tasawuf atau ingin menjadi sufi, ia harus menempuh jalan
yang berat dan panjang, melakukan berbagai macam latihan amalan, baik
yang bersifat amalan lahiriah maupun amalan bathiniyah. Kendatipun
pengetahuan ketasawufan itu pada dasarnya bersifat refetatif, namun dapat
dipelajari melalui tahapan-tahapan tertentu yang disebut al-maqamat. Apakah
tujuannya hanya sekedar ingin mendekatkan diri kepada Allah , ataukah
tujuan ma’rifah dan mahabbah, ataukah sampai pada ittihad, setiap orang
harus melalui tahapan-tahapan tadi. Penamaan jenjang-jenjang itu adalah
1
karena sifatnya yang mapan atau langgeng. Artinya seorang salik harus
mapan lebih dahulu pada satu tingkat, baru ia boleh beralih ketingkat
berikutnya, kondisi kejiwaan pada saat peralihan itu disebut al-hal.
2
BAB II
PEMBAHASAN
A. MAQAMAT
Secara harfiah maqamat berasal dari bahasa Arab yang berarti tempat
orang berdiri atau pangkal mulia.1 Dalam Bahasa Inggris maqamat dikenal
dengan istilah stages yang berarti tangga.2 Hal itu menggambarkan bahwa
maqamat itu seperti tangga pencapaian yang harus ditempuh seseorang sufi
untuk berada dekat dengan Allah. Maka seorang hamba harus menyelesaikan
dan menyempurnakan tangga sebelumnya untuk mencapai maqam
berikutnya.
Tentang berapa jumlah dan macam-macam maqamat yang harus ditempuh
oleh seorang hamba untuk berada sedekat mungkin dengan Allah, para sufi
memiliki pendapat yang berbeda-beda. Menurut al-Ghazali yang diuraikan
dalam kitabnya, Ihya’ ‘Ulum ad-Din, maqamat terdiri dari delapan tingkat,
yaitu taubat, sabar, zuhud, tawakal, mahabbah, ridha dan ma’rifat.3 Menurut
As-Sarraj ath-Thusi, maqamat terdiri dari tujuh tingkatan yaitu taubat,
wara’, zuhud, faqr, sabar, dan tawakal.4 Sedangkan menurut Muhammad al-
Kalabazy, maqamat terdiri dari sepuluh tingkatan, yaitu taubat, zuhud, sabar,
faqr, tawadhu’, takwa, tawakal, ridha, mahabbah, dan ma’rifat.5
Kutipan tersebut memperlihatkan keadaan variasi penyebutan maqamat
yang berbeda-beda, namun ada maqomat yang oleh mereka disepakati, yaitu
taubat, zuhud, wara’, faqr, sabar, tawakal dan ridha. Sedangkan tawadhu’,
mahabbah dan ma’rifat oleh mereka tidak disepakati sebagai maqamat
karena ketiga istilah tersebut (tawadhu’, mahabbah dan ma’rifat) terkadang
para ahli tasawuf menyebutnya sebagai maqamat, dan terkadang
1 Abudin Nata, Akhlak Tasawuf, (Jakarta: Rajawali Pers, 2012), h. 193; Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 3622 MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2011), h. 243; John M. Echols dan Hasan Shadily, Kamus Inggris-Indonesia, (Jakarta: Gramedia, 1988), h. 5503 Ibid., h. 244; Imam al-Ghazali, Ihya’ Ulum ad-Din Jilid III, (Beirut: Daral-Fikr), h. 162-1784 Ibid., h. 244; Abdul Halim Muhmud, Tasawuf di Dunia Islam, (Bandung: Pustaka Setia, 2002), h. 395 Ibid., h. 244
3
menyebutnya sebagai hal dan ittihad (tercapainya kesatuan wujud rohaniah
dengan tuhan).6 Penjelasan semua tingkatan itu adalah sebagai berikut:
1. Taubat
Taubat berasal dari bahasa Arab taba-yatubu-taubatan yang berarti
“kembali” dan “penyesalan”.7 Sedangkan pengertian taubat bagi
kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa yang disertai
dengan penyesalan dan berjanji dengan sungguh-sungguh untuk tidak
mengulangi perbuatan dosa tersebut dan dibarengi dengan melakukan
kebajikan yang dianjurkan oleh Allah.8
2. Zuhud
Zuhud secara harfiah berarti meninggalkan kesenangan dunia, atau
tidak ingin sesuatu yang bersifat keduniawian.9 Menurut pandangan
para sufi, zuhud secara umum diartikan suatu sikap melepaskan diri
dari rasa ketergantungan terhadap kahidupan duniawi dengan
mengutamakan kehidupan ukhrawi.10 Zuhud menurut Moh. Sholeh,
zuhud adalah menafikkan segala sesuatu yang menghalangi jalan
menuju Allah.
3. Sabar
Sabar, secara harfiah, berarti tabah hati.11 Secara terminologi, sabar
adalah suatu keadaan jiwa yang kokoh, stabil dan konsekuen dalam
pendirian.12 Sedangkan menurut pandangan Dzun Nun al-Misri, sabar
berarti menjauhkan diri dari hal-hal bertentangan dengan kehendak
Allah, tetap tenang ketika menghadapi cobaan dan menampakkan
6 Abudin Nata, op. cit., h. 1947 MKD IAIN Sunan Ampel, Akhlak Tasawuf, (Surabaya: IAIN SA Press, 2012), h. 244; Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, kamus kontemporer, 6078 Ibid., h. 244; Rosihan Anwar dan Mukhtar Solihin, Ilmu Tasawuf (Bandung: Pustaka Setia, 2000), h. 589 Ibid., h. 247; Atabik Ali dan Ahmad Zuhdi Muhdlor, kamus kontemporer, 102310 Ibid., h. 247; M. Sholihin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, 27011 Ibid., h. 250; Abdul Fattah Muhammad Sayyid Ahmad, at-Tasawwuf bayna, 118-11912 Ibid., h. 251; M. Solihin dan Rosihan Anwar, Kamus Tasawuf, 185
4
sikap cukup, walaupun sebenarnya berada dalam keadaan kefakiran.13
Berdasarkan pengertian tersebut, maka sabar erat hubungannya dengan
pengendalian diri, pengendalian sikap dan pengendalian emosi. Oleh
karena itu, sifat sabar tidak bisa terwujud begitu saja, akan tetapi harus
melalui latihan yang sungguh-sungguh.14
4. Wara’
Secara harfiah al-wara’ artinya saleh, menjauhkan diri dari
perbuatan dosa.15 Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-
hal yang tidak baik. Dan dalam pengertian sufi al-wara’ adalah
meninggalkan segala yang di dalamnya terdapat keragu-raguan antara
halal dan haram (syubhat).16
5. Faqr / Fakir
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang
berhajat, butuh atau orang miskin.17 Sedangkan dalam pandangan sufi
fakir adalah tidak meminta lebih dari apa yang telah ada pada diri kita.
Tidak meminta rezeki kecuali hanya untuk dapat menjalankan
kewajiban-kewajiban.18
Dalam Al-Qur’an istilah ini digunakan dengan mengacu pada dua
makna. Pertama, digunakan dalam konteks sosial ekonomi. Kedua
dalam konteks eksistensi manusia. Dalam konteks sosial ekonomi, faqr
mengandung makna seseorang yang penghasilannya setelah bekerja
tidak mencukupi kebutuhannya. Dinamakan faqr karena masih
membutuhkan bantuan untuk meningkatkan taraf hidup. Sedangkan
13 Ibid., h. 251; Al-Qusyairi an-Naisabury, ar-Risalah al-Qusyairiyah (Mesir: Dar al-Khair), 18414 Ibid., h. 25115 Abudin Nata, loc. cit., h. 199; Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 49716 Ibid., h. 19917 Ibid., h. 200; Mahmud Yunus, Kamus Arab Indonesia, (Jakarta: Hidakarya Agung, 1990), h. 32118 Ibid., h. 200
5
dalam konteks eksistensi manusia, faqr mengandung makna bahwa
semua manusia secara universal membutuhkan Allah.19
6. Tawakal
Tawakal secara harfiah berarti menyerahkan diri.20 Pengertian
umumnya adalah pasrah dan menyerahkan segalanya kepada Allah
setelah melakukan suatu rencana atau usaha.21 Sikap ini erat kaitannya
dengan amal dan keikhlasan hati, yaitu ikhlas semata-mata karena
Allah dan menyerahkan segalanya kepada Allah. Menurut Al-
Qusyairi, tawakal tempatnya di hati dan terjadi setelah hamba
meyakini bahwa segala ketentuan hanya di dasarkan pada ketentuan
Allah. Semuanya adalah takdir Allah.22
Menurut Sahal bin Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah
apabila seorang hamba di hadapan Allah seperti bangkai di hadapan
orang yang memandikannya, ia mengikuti semuanya yang
memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak.23
7. Ridha / Rela
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Harun Nasution
ridha berarti tidak berusaha, tidak menentang kada dan kadar Tuhan.
Menerima kada dan kadar dengan hati senang. Mengeluarkan perasaan
benci dari hati sehingga yang tinggal di dalamnya hanya perasaan
senang dan gembira. Merasa senang menerima malapetaka
sebagaimana merasa senang menerima nikmat.24 Tidak meminta surga
dari Allah dan tidak meminta dijauhkan dari neraka.25
19 MKD IAIN Sunan Ampel., op. cit. h. 253-25420 Ibid., h. 255; Mahmud Yunus, Kamus Arab, 50621 Ibid., h. 255; A. Rivay Siregar, Tasawuf, 12122 Ibid., h. 255; Al-Qusyairi an-Naisabury, ar-Risalah, 16323 Abudin Nata, loc. cit., h. 20224 Ibid., h. 20325 MKD IAIN Sunan Ampel., loc. cit. h. 257; Abudin Nata, Akhlak Tasawuf (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2000) 203
6
8. Mahabbah
Mahabbah berasal dari kata ahabba-yuhibbu-mahabbatan yang
berarti mencintai secara mendalam.26 Mahabbah artinya cinta. Hal ini
mengandung maksud cinta kepada Tuhan. Lebih luas lagi, bahwa
“Mahabbah” memuat pengertian yaitu :
a. Memeluk dan mematuhi perintah Tuhan dan membenci sikap yang
melawan kepda Tuhan.
b. Berserah diri kepada Tuhan.c. Mengosongkan perasaan di hati dari segala-galanya kecuali dari Zat
Yang Dikasihi.
Tentang” Mahabbah” dapat di jumpai dalam Al-Qur’an antara lain:Surat Ali Imran ayat 31:Artinya:“katakanlah: “jika kamu (benar-benar)mencintai Allah, ikutilha aku niscaya Allah mengasihi dan mengampuni dosa-dosamu”. Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Dalam ajaran tasawuf Mahabbah dikaitkan dengan ajaran yang di sampaikan oleh seorang sufi wanita bernama Rabiah AL-‘Adawiyah. Mahabbah adalah paham tasawuf yang menekankan perasaan cinta kepada Tuhan.
Tuhan bukanlah suatu zat yang harus ditakuti, tapi seblaiknya zat yang harus di cintai dan didekati. Untuk dapat mencintai dan dekatdengan Tuhan, maka sekarang harus banyak melakukan peribadatan dan meninggalkan kesenangan duniawi.
Aliran Tasawuf Mahabbah kedudukanya sejajar denagn aliran –aliran Tasawuf lainnya seperti ma’rifat (penngetahuan), Al-fana’ dan Al-baqa’ (kehancuran dan ketetapan), dan Al-Itihad (persatuan). Itihad dapat berbentuk Al-Qulul (pengambilan tempat) ataupun wujud (kesatuan wujud). Paham-paham tersebut sering di sebut stasiun-stasiunb(maqammat) yang berada di atas tingkatan taubat, zuhud,sabar, tawakal dan ridha.27
9. Ma’rifah
26 Mahmud Yunus, Kamus Arab, 96.27 Mustofa, akhlak tasawuf (Bandung : Pustaka Setia,2010), h.240-242
7
Istilah marifah berasal dari kata Al-Ma’rifah, yang berarti
mengetahui atau mengenal sesuatu. Dan apabila di hbungkan dengan
penglaman tasawuf, maka istilah ma’rifah disini berarti menganl allah
ketika sufi mencapai suatu maqam dalam tasawuf. Kemudian istilah ini
di rumuskan oleh beberpa ulama tasawuf, antara lain;
a. Dr. Mustafa Zahri mengemukakan salah sau pendapat ulama
tasawuf mengatakan :
“ma’rifah adalah ketetaan hati (dalam mempercayai hadirnya)
wujud yang wajib adanya (Allah) yang menggambarkan segala
kesempurnaanya.
b. Asy-Syekh Ihsan Muhammad Dahan Al-Kadiriy megemukakan
pendapat Abuth Thayyib A-Samiriy yang mengatakan “ ma’rifah
adalah hadirnya kebenaran allah (pada sufi) dalam keadaan hatinya
selalu berhubungan dengan nur illahi
Tidak semua orang yang menuntut ajaran tasawuf dapat sampai
kepada tngkatan ma’rifah. Karena itu, sufi yang sudah mendapatkan
ma’rifah, memiliki tanda-tanda tertentu, sebagaimana keterangan Dzun
Nun Al-Mishri yang mengataka ada beberpa tanda yang dimiliki oleh
sufi bila sudah smapai pada tingkatan ma’rifah, antara lain:
a. Selalu memancar cahaya ma’rifah dalam segala sikap dan
perilakunya, karena itu, sikap wara’ selalu ada pada dirinya.
b. Tidak menjadikan keputusan pada sesuatu yang
berdasarkan fakta yang bersifat nyata, karena hal-hla yang
nyata menurut ajaran tasawuf, belum tntu benar.
c. Tidak menginginkan nikmta Allah yang banyak buat
dirinya, karena hal itu bisa membawanya kepada perbuatan
yang haram.
Dari sinilah kita dapat melihat bahwa seorang sufi tidak
membututukan kehiduan yang mewah , kecuali tingkatan
kehidupan yang hanya sekedar dapat menunjang kegiatan
8
iadahnya kepada Allah SWT, sehingga Asy Syekh
Muhammad bin Al-fadhal mengatakan bahwa ma’rifah
yang dmilki sufi, cukup dapat memberikan kebahagiaan
batin bagi padanya, karena merasa selalu bersama-sama
dengan Tuhannya.
Salah satu tokoh ma’rifat adalah Al-gazali, ma’rifah ialah
mengetahui rahasia Allah dan mengetahui peraturan-peraturan Tuhan
tentang segala yang ada. Sedangkan ma’rifah dan mahabbah menurut
al-gazali adalah tingkatan tinggi bagi seorang sufi. Dan pengetahuan
ma’rifah lebih baik kualitasnya dari pengetahuan akal.28
B. Hal Ahwal
Secara bahasa, ahwal merupakan jamak dari kata tunggal hal yang berarti
keadaan sesuatu (keadaan rohani). Menurut Syeikh Abu Nashr as-Sarraj, hal
adalah sesuatu yang terjadi secara mendadak yang bertempat pada hati nurani
dan tidak mampu bertahan lama. Sedangkan menurut al-Ghazali, hal adalah
kedudukan atau situasi kejiwaan yang dianugrahkan Allah kepada seorang
hamba pada suwatu waktu, baik sebagai buah dari amal saleh yang
mensucikan jiwa atau sebagai pemberian semata.29
Menurut Harun Nasution, hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan
senang, perasaan sedih, perasaan takut dan sebagainya. Hal yang bisa disebut
sebagai hal adalah takut (al-khauf), rendah hati (al-tawadlu), patuh (al-taqwa),
ikhlas (al-ikhlas), rasa berteman (al-uns), gembira hati (al-wajd),
berterimakasih (al-syukr).30
Hal berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi
diperdapat sebagai anugerah dan rahmat dari Tuhan. Dan berlainan pula
28 Ibid., h. 251-25829 MKD IAIN Sunan Ampel., loc. cit. h. 262-26330 Abudin Nata, loc. cit., h. 204
9
dengan maqam, hal bersifat sementara, datang dan pergi, datang dan pergi
bagi seorang sufi dalam perjalanannya mendekati Tuhan. 31
Jika berpijak dari beberapa pendapat para sufi di atas maka tidak ada
perbedaan yang pada intinya, hal adalah keadaan rohani seorang hamba
ketika hatinya telah bersih dan suci.
Sebagaimana halnya dengan maqamat. Dalam penentuan hal juga terdapat
perbedaan pendapat di kalangan sufi. Adapun al-hal yang paling banyak
disepakati adalah sebagai berikut :
1. Al-Muraqabah
Muraqabah adalah kesadaran diri bahwa kita selalu berhadapan
dengan Allah dalam keadaan apa pun dan dialah yang selalu mengawasi
segala apa pun yang kita lakukan. Muraqabah ini merupakan keadaan hati
yang dihasilkan oleh pengenalan terhadap Allah. Keadaan ini akan
membuahkan amal perbuatan baik yang dilakukan oleh anggota badan
maupun hati. Menumbuhkan sikap selalu siap dan waspada bahwa dalam
keadaan apa pun diawasi oleh Allah SWT. Memandang bahwa Allah
selalu dekat bersama kita dan mengetajui apa yang dilakukan oleh
hambanya. Sebagaimana dalam firman Allah yang berbunyi :
Menurut al-Ghazali, seorang yang muraqabah dapat melakukannya
sebanyak dua kali : (1) muraqabah dilakukan dengan mengamati seluruh
gerak dan diamnya badan serta gerak hati dan (2) dilakukan dengan
mengamati cara dalam melaksanakan amal untuk memenuhi hak Allah
dan selalu menyempurnakan niatnya selama menyelesaikan amalnya.32.
Muraqabah saat melakukan kebajikan difokuskan dengan bertanya pada
diri sendiri : “Apakah kebajikan itu dilakukan dengan ikhlas dan menjaga
kebaikan dari penyakit?” Muraqabah terhadap maksiat dilakukan dengan
bertaubat, menyesal dan meninggalkan maksiat tersebut.
31 Ibid., h. 20532 Abdul Fattah Muhammmda Sayyid Ahmad, at-Tasawuf, 139.
10
2. Al-Khauf
Khauf adalah suatu sikap mental yang merasa takut kepada Allah
karena kurang sempurna pengabdiannya. Takut atau khawatir kalau Allah
tidak senang kepadanya. Menurut al-Ghazali, khauf adalah rasa sakit
dalam hati karena khawatir akan terjadi sesuatu yang tidak disenangi di
masa mendatang.33
Orang yang selalu merasa takut maka timbullah sikap untuk selalu
berusaha agar perilakunya tidak menyimpang dari yang dikehendaki Allah
SWT dan mendorong seseorang untuk melakukan hal-hal yang positif dan
terpuji serta menjauhi perbuatan tercela. Perasaan khauf timbul karena
pengenalan dan kecintaan kepada Allah yang sudah mendalam.
Berkaitan dengan Khauf ini banyak ayat al-Quran yang
menjelaskannnya, diantaranya adalah:
3. Raja’
Raja’ adalah berharap atau perasaan hati yang senang karena
menanti sesuat yang diinginkan atau disenangi, sebagiman al-Ghazali
mendefinisakannya dengan suatu keadaan di mana hati merasa nyaman
karena menanti sesuatu yang dicintai atau didambakan. 34
Seorang hamba yang memiliki pengharapan yang besar kepada
Allah SWT akan mengakibatkan timbulnya kerinduan yang mendalam
pula kepada-Nya. Tanda seorang hamba yang memiliki harapan pada
Allah yaitu manakala seorang hamba menerima nikmat dan anugrah, maka
ia selalu bersyukur.35 Berkaitan dengan raja’ dalam al-Quran terdapat ayat
yang menjelaskan hal itu, diantaranya:
33 Imam al-hazali, Ihya’ Ulum ad-din, Jilid IV, 155.34 Imam al-hazali, Ihya’ Ulum ad-din, Jilid IV, 143.35 Al-Qusyairi, ar-Risalah, 134.
11
4. Thuma’ninah
Thuma’ninah adalah rasa tenang, tidak ada rasa was-was atau
khawatir, tak da yang mendapat perasaan dan pikiran, karena ia telah
mencapai tingkat kebersihan jiwa yang paling tinggi.
5. Al-Uns
Uns (suka cita) dalam pandangan sufi adalah sifat merasa selalu
berteman, tak pernah merasa sepi. 36 Dalam keadaan seperti ini seorang
sufi merasakan tidak ada yang dirasa, tidak ada yang diingat, tidak ada
yang diharap kecuali Allah. Segenap jiwa terpusat bulat kepada-Nya,
sehingga ia seakan-akan tidak menyadari dirinya lagi dan berada dalam
situasi hilang kesadaran terhadap alam sekitarnya.
6. Musyahadah
Musyahadah secara harfiah adalah menyaksikan dengan mata
kepala. Secara terminologi adalah menyaksikan secara jelas dan sadar apa
yang sicarinya(Allah) atau penyaksian terhadapa kekuasaan dan
keagungan Allah. 37 seorang sufi telah mencapai musyahadah ketika sudah
merasakan bahwa Allah telah hadir atau Allah telah berada dalam hatinya
dan seseorang sudah tidak menyadari segala apa yang terjadi, segalanya
tercurahkan pada yang satu, yaitu Allah, sehingga tersingkap tabir yang
menjadi senjangan antara sufi dengan Allah.
Jadi dapat disimpulkan bahwasannya dalam Maqam dan Hal ada
Perbedaan di antara-Nya adalah :
1. Jika maqam diperoleh melalui usaha, akan tetapi hal bukan diperoleh
melalui usaha , melainkan anugrah dan rakhmat dari tuhan.
2. Maqam relatif bersifat tetap, di mana satu maqam telah diraih, maka
sang sufi tinggal meraih maqam berikutnya yang lebih tinggi dan
36 M. Sholihin dan Rasihan Anwar, Kamus Tasawuf, 245.37 A. Rivay Siregar, Tasawuf , 136.
12
seterusnya sampai merasa sadar berada berada dihadirat tuhan.
Sedangkan hal bersifat sementara. Ia dating dan pergi, kadang-kadang
ia muncul dan sebentar lagi tenggelam dalam hati seorang sufi
ditengah perjalanan panjangnya meraih kedekatan sedekat mungkin di
hadirat Allah SWT.
13
DAFTAR PUSTAKA
IAIN Sunan Ampel Surabaya. 2011. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Perss
................................................ 2012. Akhlak Tasawuf. Surabaya: IAIN SA Perss
Nata, Abudin. 2012. Akhlak Tasawuf. Jakarta: Raja Grafindo Persada
Mustofa. 2010. Akhlak Tasawuf. Bandung: Pustaka Setia
14