maqamat dan ahwal
TRANSCRIPT
- 1 -
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar belakang
Perjalanan bagi sebagian orang merupakan aktifitas yang mengasyikan,
melelahkan, bahkan ada yang menjadi kebiasaan. Tentunya bila seseorang ingin
sampai pada tempat tertentu, maka orang itu haruslah melakukan perjalanan,
terlepas dari perjalanan itu panjang atau singkat. Seseorang haruslah berjalan.
Sebelum melakukan perjalanan, seseorang haruslah menyiapkan segala hal
yang dibutuhkan dalam perjalanan. Karena demi melancarkan perjalanan yang
ditempuhnya. Kemudian dalam melakukan sebuah perjalanan seseorang haruslah
punya tujuan. Karena tujuan sangat penting adanya untuk kelancaran sebuah
perjalanan.
Tasawuf seperti yang sudah dipelajari beberapa waktu yang lalu,
sebenarnya merupakan perjalanan yang sangat panjang. Perjalanan itu harus
ditempuh dengan penuh kesabaran dan sungguh-sungguh. Maka sebelum
seseorang menjalankan tasawuf mereka harus terlebih dahulu mengenal dan
mengetahui bagaimana proses seorang sufi bisa mencapai ke-ma’rifat-annya,
bahkan sampai pada maqam wahdatul wujud dengan sang khaliq.
Disamping bahwa dalam perjalalan para sufi mereka mengalami keadaan-
keadaan tertentu yang mereka alami. Karena memang perjalanan tasawuf ini
bukanlah perjalanan biasa melainkan perjalanan seorang hamba demi menuju
Tuhan yang dicintainya. Seorang sufi bisa sampai kepada tuhannya bahkan
menyatu dengan tuhannya, karena dalam diri manusia terdapat sifat
ketuhanan(lahut), pun juga dalam diri tuhan terdapat sifat kemanusiaan(nasut).1
B. Rumusan Masalah
Apa pengertian Maqamat dan Ahwal?
Apa saja tingatan Maqamat?
Apa saja Hal (keadaan) yang dijumpai dalam perjalanan sufi?
Apa maksud Metode Irfani?
1 Akhlak tasawuf dan karakter mulia, Abudin Nata, hlm 209
- 2 -
C. Tujuan Penulisan
Mengetahui pengertian Maqamat dan Ahwal
Mengatahui tingkatan-tingkatan Maqamat
Mengetahui Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan sufi
Mengetahui apa itu Metode Irfani
- 3 -
BAB II
PEMBAHASAN
A. Maqamat dan Ahwal
Secara bahasa maqamat berasal dari bahasa arab yang berarti tempat orang
berdiri atau pangkal mulia. Sedangkan secara istilah maqamat berarti jalan
panjang yang ditempuh seorang sufi untuk berada dekat Allah. Jalan yang panjang
ini berisi stasiun-stasiun, atau dalam bahasa inggris disebut stages dan stations.
Adapun jumlah tangga atau stasiun yang dilalui, dikalangan para sufi berbeda
pendapat baik jumlahnya maupun susunannya. Abu Bakr Muhammad Al-
Kalabadi dalam bukunya at-Ta’aruf li Mahzab at-Tasawuf memaparkan bahwa
tingkatan maqamat ada sepuluh, yaitu. Tobat – zuhud - sabar – kefakiran –
tawadlu - taqwa – tawakal - kerelaan hati (ridla) – cinta - Ma’rifat. Kemudian
Abu Nasr As-Sarraj at-Tusi dalam al-Luma menyebut : tobat - wara’ – zuhud –
kefakiran – sabar – tawakal - kerelaan hati. Ada lagi dari Abu Hamid Al-
Ghazali (Imam Al-ghazali) dalam Ihya Ulumuddin memberikan sebagai berikut.
Tobat – sabar – kefakiran – zuhud – tawakal – cinta – makrifat – kerelaan.
Tapi menurut Abu al-Qasim Abdul Karim al-Qusyairi, Maqamat itu adalah
tobat – wara’ – zuhud – tawakal – sabar – kerelaan. Tetapi yang biasa disebut
adalah tobat – zuhud – sabar – tawakal – kerelaan. Di atas stasiun ini ada lagi
yaitu, cinta – ma’rifat – fana’ dan baqa’ – persatuan. Dan persatuan (ittihad)
dapat mengambil al-Hullul atau wahdatul wujud.
Di samping istilah maqam ini terdapat pula dalam literatur tasawuf istilah Hal
Hal merupakan keadaan mental, seperti perasaan senang, sedih, takut, dan .(حال)
sebagainya. Hal yang biasa disebut adalah takut – rendah hati – patuh – ikhlas –
rasa berteman – gembira hati – syukur – cinta – harap – tenteram – yakin –
mawas diri – rindu - kedekatan.2
Hal, berlainan dengan maqam, bukan diperoleh atas usaha manusia, tetapi
didapat sebagai anugerah dan rahmat dari Allah. Dan berlainan pula dari maqam,
hal bersifat sementara, datang dan pergi. Datang dan pergi bagi seorang sufi
dalam perjalanannya mendekati Tuhan. Jalan yang harus dilalui seorang sufi
tidaklah licin dan dapat ditempuh dengan mudah. Jalan itu sulit, dan untuk pindah
dari stasiun satu ke stasiun lain, itu mengendaki usaha yang berat, dan dengan
2 Lihat Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, hlm 202
- 4 -
waktu yang tidak singkat. Terkadang seorang sufi harus bertahun-tahun tinggal
dalam satu stasiun.3
B. Tingkatan Maqamat
1. Tobat
Kebanyakan sufi menjadikan tobat sebagai perhentian awal di jalan menuji
Allah SWT.4Tobat berasal dari bahasa arab yang berarti kembali. Sedangkan tobat
yang dimaksud oleh kalangan sufi adalah memohon ampun atas segala dosa dan
bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi perbuatan dosa tersebut. Untuk
mencapai tobat yang sesungguhnya dan dirasa diterima oleh Allah tidak dapat
dicapai satu kali saja. Ada kisah yang mengatakan bahwa seorang sufi sampai
tujuh puluh kali tobat, baru ia encapai tingkat taubat yang sesungguhnya.
Selanjutnya Prof.Dr.H.Abudin nata mengutip dalam buku Kunci
Memahami Tasawuf Mustafa zahri, menyebut bahwa taubat berbarengan dengan
istigfar (memohon ampun). Bagi orang awam tobat cukup dengan astagfrullahal
adzim wa atubu ilaih (Aku mohon ampun dan bertaubat kepada-Nya) sebanyak 70
kali sehari semalam. Sedangkan bagi orang khawas bertaubat dengan cara
melakukan riadlah (latihan) dan mujahadah (perjuangan) dalam usaha membuka
hijab (tabir) yang membatasi diri dengan Tuhan.5
135. dan (juga) orang-orang yang apabila mengerjakan perbuatan keji atau Menganiaya diri
sendiri[229], mereka ingat akan Allah, lalu memohon ampun terhadap dosa-dosa mereka dan siapa
lagi yang dapat mengampuni dosa selain dari pada Allah? dan mereka tidak meneruskan perbuatan
kejinya itu, sedang mereka mengetahui.6
3 Lihat Harun Nasution, falsafah dan mistisme dalam islam cet. 12, hlm 48-49. 4 Lihat Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, hlm 199 5 Lihat Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12, hlm 171 6 Al- Imran [3] : 135
- 5 -
8. Hai orang-orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubatan nasuhaa (taubat
yang semurni-murninya). Mudah-mudahan Rabbmu akan menutupi kesalahan-kesalahanmu dan
memasukkanmu ke dalam jannah yang mengalir di bawahnya sungai-sungai, pada hari ketika
Allah tidak menghinakan Nabi dan orang-orang mukmin yang bersama dia; sedang cahaya mereka
memancar di hadapan dan di sebelah kanan mereka, sambil mereka mengatakan: "Ya Rabb Kami,
sempurnakanlah bagi Kami cahaya Kami dan ampunilah kami; Sesungguhnya Engkau Maha
Kuasa atas segala sesuatu."7
2. Zuhud
Secara harfiah zuhud berarti tidak ingin kepada sesuatu yang bersifat
keduniawian. Sedangkan menurut Harun nasution zuhud artinya keadaan
meninggalkan dan hidup kematerian.8
Kemudian dalam bukunya Akhlak Tasawuf Prof.Dr.Rosihon Anwar
menyebutkan bahwa zuhud terbagi menjadi tiga tingkatan. Pertama (terendah),
menjauhkan dunia ini agar terhindar dari hukuman di akhirat. Kedua, menjauhi
7 At-Tahrim [66] : 8 8 Lihat Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12, hlm 168
- 6 -
dunia dengan menimbang imbalan di akhirat. Ketiga (tertinggi) mengucilkan
dunia bukan karena takut atau karena berharap, tetapi karena cinta kepada Allah
SWT.9
Zuhud merupakan ajaran agama yang sangat penting dalam rangka
mengendalikan diri dari pengaruh kehidupan dunia. Orang yang zuhud lebih
mementingkan atau mengejar kebahagiaan hidup di akhirat yang kekal dan abadi,
daripada mengejar kehidupan di dunia yang fana dan sepintas lalu.10 Hal ini dapat
dipahami dari ayat berikut ini.
77. Katakanlah: "Kesenangan di dunia ini hanya sebentar dan akhirat itu lebih baik untuk orang-
orang yang bertakwa, dan kamu tidak akan dianiaya sedikitpun.11
38. Hai orang-orang yang beriman, Apakah sebabnya bila dikatakan kepadamu: "Berangkatlah
(untuk berperang) pada jalan Allah" kamu merasa berat dan ingin tinggal di tempatmu? Apakah
kamu puas dengan kehidupan di dunia sebagai ganti kehidupan di akhirat? Padahal kenikmatan
hidup di dunia ini (dibandingkan dengan kehidupan) diakhirat hanyalah sedikit.12
9 Lihat Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, hlm 200 10 Lihat Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12, hlm 169 11 An-Nisa [4] : 77 12 At-Taubah [9] : 38
- 7 -
14. dijadikan indah pada (pandangan) manusia kecintaan kepada apa-apa yang diingini, Yaitu:
wanita-wanita, anak-anak, harta yang banyak dari jenis emas, perak, kuda pilihan, binatang -
binatang ternak dan sawah ladang. Itulah kesenangan hidup di dunia, dan di sisi Allah -lah tempat
kembali yang baik (surga).13
3. Wara’
Secara harfiah wara’ artinya shaleh, yakni menjauhkan diri dari perbuatan
dosa. Kata ini selanjutnya mengandung arti menjauhi hal-hal yang tidak baik. Dan
dalam pengertian sufi wara adalah meninggalkan segaa yang didalamnya terdapat
keraguan antara halal dan haram (syubhat). Sikap ini sejalan dengan hadits nabi
yang berbunyi :
ب حرم فمن اتقى من الش تب رأ من ال البخاري( )رواههات فقد اس
“Barangsiapa yang dirinya terbebas dari syubhat, maka sesungguhnya ia
terbebas dari yang haram.” (HR Bukhari)
Hadits tersebut menunjukkan bahwa syubhat lebih dekat pada yang haram.
Kaum sufi menyadari benar bahwa setiap makanan, minuman, pakaian, dan
sebagainya yang haram dapat memberi pengaruh bagi orang yang memakan,
meminum atau memakainya. Orang yang demikian akan keras hatinya, sulit
13 Al-Imran [3] : 14
- 8 -
mendapat hidayah dan ilham dari Tuhan. Hal ini dipahami dari hadits nabi yang
menyatakan bahwa setiap makanan yang haram yang diakan oleh manusia akan
menyebabkan noda hitam pada hati yang lama-kelamaan menjadi kera. Hal ini
sangata ditakuti oleh para sufi yang senantiasa mendapatkan nur ilahi yang
dipancatkan lewat hatinya yang bersih.14 Ada sebuah kisah bahwa seorang sufi
bernama bisr al-hafi, ia tidak bisa mengulurkan tangannya untuk mengambil
makanan yang didalamnya terdapat syubhat.15
4. Kefakiran (Faqr)
Secara harfiah fakir biasanya diartikan sebagai orang yang berhajat, butuh
atau oran miskin. Sedangkan dalam pandangan sufi fakir adalah tidak meminta
lebih dari apa yang telah ada pada diri kita. Tidak meminta rezeki kecuali hanya
untuk menjalankan kewajiban-kewajiban. Tidak meminta sungguhpun tak ada
pada diri kita, kalau diberi diterima. Tidak meminta tetapi tidak menolak.16
Sikap fakir penting dimiliki seseorang yang berjalan menuju Allah SWT.
Karena kekayaan atau kebanyakan harta memungkinkan manusia dekat pada
kejahatan dan sekurang-kurangnya membuat jiwa menjadi tertambat pada selain
Allah SWT.17
5. Sabar
Secara harfiah, sabar berarti tabah hati. Menurut Zunnun Al-Mishry, sabar
artinya menjauhkan diri dari hal-hal yang bertentangan dengan kehendak Allah,
tetapi tenang ketika mendapat cobaan, dan menampakkan sikap cukup walau
sebenarnya berada dalam kefakiran dalam bidang ekonomi. Dikalangan para sufi
diartikan sabar dalam menjalankan perintah-perintah Allah, dalam menjauhi
segala larangannya dan dalam menerima segala cobaan yang ditimpakan-Nya
pada diri seorang sufi. Kemudian sabar dalam datangnya pertolongan Tuhan.
Sabar dalam menjalani cobaan, dan tidak menunggu-nunggu datangnya
pertolongan.18
14 Lihat Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12, hlm 172-173 15 Lihat Harun Nasution, falsafah dan mistisme dalam islam cet. 12 , hlm 53 16 Lihat Harun Nasution, falsafah dan mistisme dalam islam cet. 12 , hlm 53 17 Lihat Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, hlm 200 18 Lihat Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12, hlm 173-174
- 9 -
35. Maka bersabarlah kamu seperti orang-orang yang mempunyai keteguhan hati dari Rasul-rasul
telah bersabar dan janganlah kamu meminta disegerakan (azab) bagi mereka.19
127. bersabarlah (hai Muhammad) dan Tiadalah kesabaranmu itu melainkan dengan pertolongan
Allah dan janganlah kamu bersedih hati terhadap (kekafiran) mereka dan janganlah kamu
bersempit dada terhadap apa yang mereka tipu dayakan.20
Menurut Ali bin Abi Thalib -karramallahu wajhah- bahwa sabar itu
adalah bagian dari iman sebagaimana kepala yang kedudukannya lebih tinggi dari
jasad. Hal ini menunjukkan bahwa sabar sangat memegang peranan penting dalam
kehidupan manusia.21
6. Tawakal
Secara harfiah tawakal berarti menyerahkan diri. Tawakal merupakan
gambaran keteguhan hati dalam menggantungkan diri hanya kepada Allah. Al-
Ghazali mengaitkan tawakal dengan tauhid dengan penekanan bahwa tauhid
sangat berfungsi sebagai landasan tawakal.
Mengenai pengertian tawakal ini menurut Zunnun al-Mishry adalah
berhenti memikirkan diri sendiri dan merasa memiliki daya dan kekuatan.
Menurut Salah bin Abdullah bahwa awalnya tawakal adalah apabila seorang
hamba dihadapan Allah seperti bangkai dihadapan orang yang memandikannya, ia
mengikuti semaunya yang memandikan, tidak dapat bergerak dan bertindak.
Hamdun al-Qashar mengatakan tawakkal adalah berpegang teguh pada Allah.22
19 Al-Ahqaf [46] : 35 20 An-Nahl [16] : 127 21 Lihat Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12, hlm 174 22 Ibid.
- 10 -
Pernyataan ini sejalan dengan yang dikatakan oleh sejumlah sufi bawha
barangsiapa yang hendak melaksanakan tawakal dengan sebenar-benarnya,
hendaknya ia menggali kubur disitu, melupakan dunia dan penghuninya. Artinya,
tawakal mencerminkan penyerahan diri manusia kepada Allah.23
Bertawakal termasuk perbuatan yang diperintahkan Allah SWT, dalam
firmannya, Allah menyatakan,
...
159. ...kemudian apabila kamu telah membulatkan tekad, Maka bertawakkallah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang bertawakkal kepada-Nya.
160. jika Allah menolong kamu, Maka tak adalah orang yang dapat mengalahkan kamu; jika Allah
membiarkan kamu (tidak memberi pertolongan), Maka siapakah gerangan yang dapat menolong
kamu (selain) dari Allah sesudah itu? karena itu hendaklah kepada Allah saja orang-orang mukmin
bertawakkal.24
7. Kerelaan (Ridla’)
Secara harfiah ridha artinya rela, suka, senang. Kemudian istilah ini
dipakai dalam istilah tasawuf yang berarti menerima dengan rasa puas terhadap
apa yang dianugerahkan Allah SWT. Orang yang rela mampu melihat hikmah dan
kebaikan dibalik cobaan yang diberikan Allah dan tidak berburuk sangka terhadap
ketentuan-Nya. Bahkan, ia mampu melihat keagungan, kebesaran, dan
kemahasempurnaan Dzat yang memberikan cobaan kepadanya sehingga tidak
mengeluh dan tidak merasakan sakit atas cobaan tersebut.hanya para ahli ma’rifat
dan mahabbah yang mampu bersifat seperti ini. Mereka bahkan merasakan
23 Lihat Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, hlm 202 24 Al-Imran [3] : 159-160
- 11 -
musibah dan ujian sebagai sebuah nikmat, lantaran jiwanya bertemu dengan yang
dicintainya.
Dalam hadits Qudsi, Nabi menegaskan :
و لم إنني انا هللا ال اله اال انا من لم يسبر على بالء
يشكر لنع ما ء و لم يرضى بقضاء فليخرج من تحت
سماء و ليطلب ربا سواي “Sesungguhnya Aku ini Allah, tiada Tuhan selain Aku. Barangsiapa yang tidak
bersabar atas cobaan-Ku, tidak bersyukur atas segala nikmat-Ku, serta tidak rela
terhadap keputusan-Ku, maka keluarlah dari kolong langit-Ku dan cari Tuhan
selain Aku.”
Beberapa sikap yang termasuk dalam maqamat itu sebenarnya merupakan
akhlak mulia. Semua itu dilakukan oleh seorang sufi setelah lebih dahulu
membersihkan dirinya dengan bertaubat dan menghasinya dengan akhlak mulia.
Hal yang demikian identik dengan proses takhalli yaitu membersihkan diri dari
sifat yang buruk dengan taubat dan menghiasi diri dengan sifat yang baik, dalam
hal ini disebut dengan istilah tahalli, sebagaimana dikemukakan dalam tasawuf
akhlaki.25
C. Hal-hal yang dijumpai dalam perjalanan sufi
1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)
Waspada dan mawas merupakan dua hal yang saling berkaitan erat. Oleh
karna itu, ada sufi yang mengupasnya secara bersamaan. Waspada dan mawas diri
merupakan dua sisi dari tugas yang sama dalam menundukan perasaan jasmani
yang berupa kombinasi dari pembawaan nafsu dan amarah.
Waspada (muhasabah) dapat diartikan meyakini bahwa Allah SWT.
Mengetahui segala pemikiran, perbuatan, dan rahasia dalam hati, yang membuat
seseorang menjadi hormat, takut, dan tunduk kepada Allah SWT,. Adapun mawas
25 Lihat Abudin Nata, Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12, hlm 177
- 12 -
diri (muraqobah) adalah meneliti dengan cermat apakah segala perbuatannya
sehari-hari telah sesuai atau malah menyimpang dari yang di kehendakinya.
2. Cinta (hubb)
Dalam pandangan tsawuf, mahabbah (cinta) merupakan pijakan bagi
segenap kemuliaan hall, sama seperti tobat yang merupakan dasar bagi setiap
kemuliaan maqam, karena mahabbah pada dasarnya adalah anugrah yang menjadi
pijakan bagi segenap hall, kaum sufi menyebutnya sebagai anugrah-anugrah
(mawahib). Mahabbah adalah kecenderungan hati untuk memperhatikan
keindahan atau kecantikan.
3. Berharap dan takut (Raja dan Khauf)
Bagi kalangan kaum sufi, raja dan khauf berjalan seimbang dan saling
mempengaruhi, raja berarti berharap atau opinisme, raja atau opinisme adalah
perasaan hati yang senang karena menanti sesuatu yang diinginkan dan disenangi.
Raja atau optimisme ini telah ditegaskan dalam Al-Qur’an.
218. Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan
Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha
Penyayang.26
4. Rindu (Syauq)
Selama masih ada cinta, syauq tetap diperlukan. Dalam lubuk jiwa, rasa
rindu hidup dengan subur, yaitu rindu ingin segera bertemu dengan tuhan. Ada
orrang yang mengatakan bahwa maut merupakan bukti cinta yang benar. Lupa
kepada Allah SWT. Lebih berbahaya daripada maut. Bagi sufi yang rindu kepada
26 Al-Baqarah [2] : 218
- 13 -
tuhan, mati dapat berarti bertemu dengan tuhan, sebab hidup merintangi
pertemuan ‘abid dengan ma’bud-nya.
5. Intim (Rasa berteman)
Dalam pandangan kaum sufi, sifat uns (intim) adalah sifat merasa selalu
berteman, tak pernah merasa sepi. Ungkapan berikut ini melukiskan sifat uns :
“Ada orang yang merasa sepi dalam keramaian. Ia adalah orang yang selalu
memikirkan kekasihnya sebab sedang dimabuk cinta, seperti halnya sepasang
pemuda dan pemudi. Ada pula yang merasa bising dalam kesepian. Ia adalah
orang yang selalu memikirkan atau merencanakan tugas pekerjaanya semata.
Adapun engkau, selalu merasa berteman dimanapun berada. Alangkah
mulianya engkau berteman dengan Allah SWT., artinya engkau selalu berada
dalam pemeliharaan Allah SWT.
Ungkapan seperti ini melukiskan keakraban atau keintiman seorang sufi dengan
Tuhannya. Sikap keintiman ini banyak dialami oleh kaum sufi.27
D. Metode Irfani
Metode irfani adalah beberapa cara yang mendukung atau yang harus
dilakukan seorang sufi untuk berada dekat dengan Tuhannya. Karena Tuhan
hanya bisa didekati oleh orang-orang yang suci (suci jiwa dan hati), maka untuk
berada dekat Tuhan seorang sufi haruslah menyucikan hati dan jiwanya. Hatilah
yang akan mampu mengetahui hakikat pengetahuan karena hati (qalbu) telah
dibekali potensi untuk berdialog dengan Tuhan.
Untuk itu, disamping melalui tahapan-tahapan maqamat dan ahwal, untuk
memperoleh ma’rifat, seseorang harus melalui upaya-upaya tertentu.
1. Riyadhah
Riyadhah, yang sering juga disebut sebagai latihan-latihan mistik, yang
dimaksudkan disini adalah latihan agar tidak melakukan hal-hal yang mengotori
jiwanya. Riyadhah dapat pula berarti proses internalisasi kejiwaan dengan sifat-
sifat terpuji dan melatih meninggalkan sifat-sifat jelek.
Riyadhah harus disertai dengan mujahadah, yaitu kesungguhan dalam
perjuangan meninggalkan sifat-sifat jelek. Meninggalkan sifat-sifat jelek
sangatlah sulit, apalagi sudah menjadi kebiasaan, maka itu riyadhah
27 Lihat Rosihon Anwar, Akhlak tasawuf, hlm 202-206
- 14 -
membutuhkan mujahadah, yaitu bersungguh-sungguh dalam berlatih
meninggalkan sifat-sifat jelek tersebut.
2. Tafakur
Tafakur adalah berarti berpikir. Menurut Al-Ghazali orang yang berpikir
dengan benar akan menjadi dzawi al-albab (ilmuwan) yang terbuka pintu
kalbunya, sehingga akan mendapat ilham.
Tafakur berlangsung secara internal dengan proses pembelajaran dari
dalam diri manusia melalui aktifitas berpikir yang menggunakan perangkat
batiniah (jiwa). Selanjutnya, tafakur dilakukan dengan memotensikan nafs kulli
(jiwa universal).
3. Tazkiyatun Nafs
Tazkiyatun Nafs adalah proses penyucian jiwa manusia. Proses penyucian
jiwa dalam kerangka tasawuf ini dapat dilakukan melalui tahapan takhalli dan
tahalli. Tazkiyatun Nafs ini merupakan kegiatan inti dalam bertasawuf. Kaum sufi
adalah orang orang yang senantiasa menyucikan hati dan jiwa. Perwujudannya
adalah rasa butuh terhadap Tuhannya.
4. Dzikrullah
Secara etimologi dzikir berarti mengingat, sedangkan secara istilah adalah
membasahi lidah dengan ucapan-ucapan pujian kepada Allah.
Dalam pandangan sufi, dzikir akan membuka tabir alam malakut, yaitu denga
datangnya malaikat. Dzikir merupaan kunci pembuka alam ghaib, penarik
kebaikan, peninjak was-was, dan pembuka kewalian. Dzikir juga bermanfaat
untuk membersikhan hati.28
28 Ibid., hlm 206-211
- 15 -
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Maqamat bisa diartikan beberapa anak tangga yang dilalui oleh kaum sufi
sebagai tempat pemberhentian untuk berada dekat dengat Tuhan. Karena
maqamat merupakan jalan yang sangat panjang tentu harus dilalui secara
bertahap. Sedangkan Ahwal adalah Keadaan yang dirasakan orang-orang
sufi dalam perjalanan tersebut.
Tingkatan maqamat adalah sebagai berikut.
1. Tobat
2. Zuhud
3. Wara’
4. Faqir
5. Sabar
6. Tawakal
7. Ridla (Rela)
Macam-macam Ahwal atau keadaan yang dirasakan seseorang ketika
dalam perjalanan (Maqamat) antara lain adalah sebagai berikut.
1. Waspada dan Mawas Diri (Muhasabah dan Muraqabah)
2. Cinta (hubb)
3. Berharap dan takut (Raja dan Khauf)
4. Rindu (Syauq)
5. Intim (Rasa berteman)
Metode Irfani adalah rangkaian cara yang mendukung atau yang harus
dilakukan seorang sufi untuk berada dekat dengan Tuhannya.
1. Riyadhah (Latihan)
2. Tafakur (Merenung)
3. Tazkiyatun Nafs (Pensucian jiwa)
4. Dzikrullah (Mengingat Allah)
- 16 -
DAFTAR PUSTAKA
Abudin Nata, Prof. Dr. 2010. Akhlak Tasawuf dan Karakter Mulia cet. 12,
Jakarta : PT. Raja Grafindo
Anwar, M.Ag., Prof.Dr.Rosihon., 2010. Akhlaq Tasawuf, Bandung : Pustaka Setia
Nasution, Harun., 2010. Falsafah dan mistisme dalam islam, Jakarta : PT. Bulan
Bintang