produksi benih ikan nila jantan dengan …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3242055.pdf ·...

5
80 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 I kan nila sangat mudah memijah terutama inbreeding, karena ikan ini cepat matang gonad dan dapat melakukan pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994; Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibat- nya pertumbuhannya menjadi lambat dan benih yang dihasilkan berukuran kecil sehingga tidak diminati konsumen. Untuk mengatasi permasalahan tersebut, perlu dikembangkan alternatif budi daya dengan pemeliharaan ikan secara tunggal kelamin (monosex culture), yakni hanya memelihara benih ikan jantan, karena pertumbuhannya lebih cepat, dagingnya lebih empuk, dan ukurannya lebih besar dibanding ikan betina (Suyanto 1994; Fitzsimmons 2004). Terdapat beberapa cara untuk meng- ubah kelamin atau maskulinisasi ikan nila dan meningkatkan persentase individu jantan dalam populasi ikan tersebut, yaitu: 1) memisahkan jantan dan betina dengan cara seleksi manual, namun cara ini kurang efisien karena boros waktu dan tenaga, dan 2) melakukan kawin silang (hibridi- sasi) antarspesies. Pada tahun 1960-an dan 1970-an, ilmuwan dari Israel menya- takan bahwa spesies hibrida unggul ikan nila yang dihasilkan dari kawin silang lebih condong memiliki jenis kelamin PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN RANGSANGAN HORMON METIL TESTOSTERON DALAM TEPUNG PELET Zulkifli Mantau Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Jalan Kampus Pertanian Kalasey Provinsi Sulawesi Utara ABSTRAK Tulisan ini manyajikan ulasan tentang teknologi menjantankan (maskulinisasi) benih ikan nila yang efektif, praktis, serta menguntungkan. Ikan nila sangat mudah memijah terutama inbreeding. Akibatnya, pertumbuhannya lambat dan benih yang dihasilkan berukuran kerdil. Untuk mengatasinya perlu dikembangkan budi daya ikan nila secara tunggal kelamin (monosex culture), yaitu hanya memelihara ikan jantan. Selain itu ikan nila jantan memiliki tingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan dagingnya lebih empuk dibanding ikan nila betina. Benih jantan dapat diproduksi dengan menggunakan hormon androgen sintetis seperti metil testosteron (MT) dalam pakan larva. Beberapa penelitian dan pengkajian di dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa aplikasi pakan berhormon metil testosteron untuk maskulinisasi benih ikan nila menghasilkan 9096% benih jantan. Hasil penelitian dan kajian Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara menunjukkan dosis hormon yang optimal dan aman adalah 15 mg MT/kg pakan. Hormon diaplikasikan pada tahap pembenihan maksimal selama 1 bulan. Penerapan teknologi maskulinisasi memberi keuntungan bersih Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun, dengan B/C ratio 2,60, periode kembali modal setelah 13 induk betina memijah dan BEP Rp2.370.887/13 ekor induk/tahun. Untuk pembenihan nila tanpa maskulinisasi diperoleh keuntungan bersih Rp16.840.000/14 ekor induk/tahun, B/C ratio 2,50, periode kembali modal setelah 14 ekor induk betina memijah dan BEP Rp2.134.322/14 ekor induk/tahun. Kata kunci: Ikan nila, pemberian pakan, metil testosteron, budi daya tunggal kelamin ABSTRACT Male fry production of nile tilapia by methyl testosterone stimulation in flour of pellet feed This article reviewed technology of fish fry masculinization of nile tilapia in effective, practical and profitable way. Nile tilapia is easy to spawn especially inbreeding, as a result its growth is slow or retarded. To solve the problem, it can be developed monosex culture by growing only the male fish. Male nile tilapia also have quicker growth and softer flesh than the female one. Male fish fry could be produced by using the synthetic androgen like methyl testosterone (MT) in larval feed. Studies and researches conducted in the country and abroad showed that application of methyl testosterone hormone in larval feed for masculinization of nile tilapia produced fry which is 9096% male. Research result and study of North Sulawesi Assesment Institute for Agricultural Technology showed that peaceful and optimal dose is 15 mg MT/kg of flour pellet. The hormone was applied at seeding stage for 1 months of duration. Furthermore, economic analysis showed that the masculinization technology is feasible with NPV Rp19.971.500/13 fishes/year; B/C ratio 2,60; payback period after 13 female fish spawning and BEP Rp2.370.887/13 fishes/year. The conventional technology only has NPV Rp16.840.000/14 fishes/year; B/C ratio 2,50; payback period after 14 female fish spawning and BEP Rp2.134.322/14 fishes/year. Keywords: Oreochromis niloticus, feeding, methyl testosterone, monosex culture

Upload: truonganh

Post on 06-Feb-2018

214 views

Category:

Documents


1 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3242055.pdf · pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994; Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibat-nya

80 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

I kan nila sangat mudah memijahterutama inbreeding, karena ikan ini

cepat matang gonad dan dapat melakukanpemijahan berkali-kali (Suyanto 1994;Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibat-nya pertumbuhannya menjadi lambatdan benih yang dihasilkan berukurankecil sehingga tidak diminati konsumen.Untuk mengatasi permasalahan tersebut,perlu dikembangkan alternatif budi daya

dengan pemeliharaan ikan secara tunggalkelamin (monosex culture), yakni hanyamemelihara benih ikan jantan, karenapertumbuhannya lebih cepat, dagingnyalebih empuk, dan ukurannya lebih besardibanding ikan betina (Suyanto 1994;Fitzsimmons 2004).

Terdapat beberapa cara untuk meng-ubah kelamin atau maskulinisasi ikan niladan meningkatkan persentase individu

jantan dalam populasi ikan tersebut, yaitu:1) memisahkan jantan dan betina dengancara seleksi manual, namun cara ini kurangefisien karena boros waktu dan tenaga,dan 2) melakukan kawin silang (hibridi-sasi) antarspesies. Pada tahun 1960-andan 1970-an, ilmuwan dari Israel menya-takan bahwa spesies hibrida unggulikan nila yang dihasilkan dari kawin silanglebih condong memiliki jenis kelamin

PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGANRANGSANGAN HORMON METIL TESTOSTERON

DALAM TEPUNG PELET

Zulkifli Mantau

Balai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara, Jalan Kampus Pertanian Kalasey Provinsi Sulawesi Utara

ABSTRAK

Tulisan ini manyajikan ulasan tentang teknologi menjantankan (maskulinisasi) benih ikan nila yang efektif,praktis, serta menguntungkan. Ikan nila sangat mudah memijah terutama inbreeding. Akibatnya, pertumbuhannyalambat dan benih yang dihasilkan berukuran kerdil. Untuk mengatasinya perlu dikembangkan budi daya ikan nilasecara tunggal kelamin (monosex culture), yaitu hanya memelihara ikan jantan. Selain itu ikan nila jantan memilikitingkat pertumbuhan yang lebih cepat dan dagingnya lebih empuk dibanding ikan nila betina. Benih jantan dapatdiproduksi dengan menggunakan hormon androgen sintetis seperti metil testosteron (MT) dalam pakan larva.Beberapa penelitian dan pengkajian di dalam dan luar negeri menunjukkan bahwa aplikasi pakan berhormon metiltestosteron untuk maskulinisasi benih ikan nila menghasilkan 90−96% benih jantan. Hasil penelitian dan kajianBalai Pengkajian Teknologi Pertanian Sulawesi Utara menunjukkan dosis hormon yang optimal dan aman adalah15 mg MT/kg pakan. Hormon diaplikasikan pada tahap pembenihan maksimal selama 1 bulan. Penerapan teknologimaskulinisasi memberi keuntungan bersih Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun, dengan B/C ratio 2,60, periodekembali modal setelah 13 induk betina memijah dan BEP Rp2.370.887/13 ekor induk/tahun. Untuk pembenihannila tanpa maskulinisasi diperoleh keuntungan bersih Rp16.840.000/14 ekor induk/tahun, B/C ratio 2,50, periodekembali modal setelah 14 ekor induk betina memijah dan BEP Rp2.134.322/14 ekor induk/tahun.

Kata kunci: Ikan nila, pemberian pakan, metil testosteron, budi daya tunggal kelamin

ABSTRACT

Male fry production of nile tilapia by methyl testosterone stimulation in flour of pellet feed

This article reviewed technology of fish fry masculinization of nile tilapia in effective, practical and profitableway. Nile tilapia is easy to spawn especially inbreeding, as a result its growth is slow or retarded. To solve theproblem, it can be developed monosex culture by growing only the male fish. Male nile tilapia also have quickergrowth and softer flesh than the female one. Male fish fry could be produced by using the synthetic androgen likemethyl testosterone (MT) in larval feed. Studies and researches conducted in the country and abroad showed thatapplication of methyl testosterone hormone in larval feed for masculinization of nile tilapia produced fry whichis 90−96% male. Research result and study of North Sulawesi Assesment Institute for Agricultural Technologyshowed that peaceful and optimal dose is 15 mg MT/kg of flour pellet. The hormone was applied at seeding stagefor 1 months of duration. Furthermore, economic analysis showed that the masculinization technology is feasiblewith NPV Rp19.971.500/13 fishes/year; B/C ratio 2,60; payback period after 13 female fish spawning and BEPRp2.370.887/13 fishes/year. The conventional technology only has NPV Rp16.840.000/14 fishes/year; B/C ratio2,50; payback period after 14 female fish spawning and BEP Rp2.134.322/14 fishes/year.

Keywords: Oreochromis niloticus, feeding, methyl testosterone, monosex culture

Page 2: PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3242055.pdf · pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994; Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibat-nya

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 81

jantan. Namun cara ini kurang praktis danmemakan waktu lama untuk menghasil-kan 100% ikan nila jantan (Fitzsimmons2004), 3) manipulasi kromosom, tetapi caraini hanya dapat dilakukan oleh ahligenetik dan memakan waktu lama, sertamemerlukan tingkat ketelitian yangtinggi dan biaya yang besar. Untuktingkat petani, cara ini belum dapatditerapkan kecuali melalui kerja samadengan lembaga-lembaga penelitianyang sudah melakukan hal tersebut, 4)untuk mendapatkan benih jantan ikannila secara cepat, akurat dan praktis dapatdilakukan dengan rangsangan hormonsteroid seperti metil testosteron (MT).Aplikasinya dilakukan secara oral denganpemberian dosis tertentu dalam pakanlarva (Guerrero III dan Guerrero 2004).

Maskulinisasi dengan rangsanganhormon perlu memperhatikan umur ikan.Shapiro (1987) menyatakan bahwa se-makin muda umur ikan, peluang terben-tuknya kelamin jantan semakin besar, dansemakin tua umur ikan peluang perubahankelamin betina ke jantan makin berkurang.Maskulinisasi pada ikan berumur 2 bulan(50 g) tidak akan berhasil karena pada saatitu organ kelamin sudah terbentuksempurna. Oleh karena itu, maskulininasisebaiknya dilakukan pada umur 7–10 harisetelah telur menetas dan maksimal padaumur 17−19 hari (Suyanto 1994; Irfan1996).

Tulisan ini bertujuan memberikan in-formasi terutama kepada petani ikantentang teknologi maskulinisasi benihikan nila secara efektif, praktis, dan meng-untungkan. Diuraikan pula dosis dan

durasi yang aman yang dapat menjadiacuan dalam penerapan teknologi ini dilapangan.

PEMBENIHAN IKAN NILA

Teknik produksi benih ikan nila jantan(maskulinisasi) berkaitan erat denganproses awalnya yaitu pembenihan. Pem-benihan dilakukan dengan memeliharaseekor ikan nila jantan dan 3–5 ekor ikannila betina dalam ruang pemijahan (kolamatau happa) berukuran 1 m2 (acuanstandar). Ikan jantan berukuran ± 200 g/ekor dan ikan betina ± 150 g/ekor, masing-masing berumur ± 4 bulan. Ruangpemijahan dilengkapi dengan bilahan-bilahan bambu yang diatur rapat sepertipagar (Gambar 1)

Ikan nila merupakan parental carefish, yaitu mengerami telur dan menjagalarvanya dalam mulut (Suyanto 1994;www.balitbang-sumut.go.id. 2004; Griffin2004). Seekor induk betina dapat meng-hasilkan 1.000–1.500 ekor larva. Pada saatmengerami dan menjaga larvanya, indukbetina menyendiri dan pada saat larvatelah lepas dari asuhan induknya (± 7 hari),induk tetap dalam kelompoknya.

Pemijahan dapat dilakukan padakolam atau happa (jaring dari kawatnyamuk). Jika dalam satu kolam atauhappa pemijahan terdapat 10 ekor betinayang mengeram, maka setelah 7 hari atausetelah induk dipindahkan akan tetapterdapat 10 kelompok larva di sudut danpinggiran tempat pemijahan. Inilah salah

satu cara mengetahui keberadaan populasilarva dalam tempat pemijahan.

PERLAKUAN PAKANBERHORMON METILTESTOSTERON

Masalah umum yang dihadapi dalambudi daya ikan nila adalah kemampuanreproduksi ikan yang tinggi, sehinggasukar diatur dan sering terjadi inbreeding.Akibatnya tingkat pertumbuhan ikanmenjadi lambat sehingga diperlukan wak-tu yang lama untuk mencapai ukurankonsumsi, bahkan pertumbuhannyasering terhenti (stagnan). Berdasarkanpengalaman penulis di lapangan, jika ikannila dipelihara secara campur kelamin(polysex culture) maka ikan denganukuran 50 g/ekor sudah mulai memijah,sehingga pertumbuhan menjadi lambatbahkan terhenti karena energinya terkurasuntuk memijah dan mengerami telur(khususnya ikan betina), padahal ukurankonsumsi atau siap jual adalah lebih dari100 g/ekor. Untuk mengatasinya perludilakukan budi daya tunggal kelamin yaituhanya memelihara ikan nila jantan.

Benih ikan nila jantan antara laindapat diproduksi dengan rangsanganhormon MT yang dicampur dalam pakantepung pelet. Ada berbagai cara meracikpakan berhormon, salah satunya adalahyang dihasilkan Mantau et al. (2001)dengan menggunakan tiga dosis hormonberbeda yaitu 15, 25, dan 30 mg. Selan-jutnya hormon dilarutkan dalam alkohol95% masing-masing sebanyak 7,50; 12,50;dan 15 ml.

Larutan hormon alkohol yang telahsiap kemudian dicampur dengan 1 kgtepung pelet (sebagai acuan). Pakanberhormon dapat langsung diberikankepada larva ikan nila atau disimpandalam kantong plastik tertutup dandimasukkan ke dalam lemari es. Pakantahan hingga 2 bulan. Pakan diberikanempat kali sehari dengan dosis 10% daritotal bobot populasi per happa. Bobotpopulasi per happa diketahui dengansampling sebanyak 10% dari total populasipada penebaran awal yaitu 200 ekor larvaper happa.

Guerrero III dan Guerrero (2004) telahmeneliti efek androstenedion (AD) danMT pada larva dan benih ikan nila yangdijantankan. Dalam penelitian tersebutdiuji tiga perlakuan dosis AD dan MTGambar 1. Pen/pagar tempat pemijahan induk ikan nila di kolam tanah.

Page 3: PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3242055.pdf · pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994; Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibat-nya

82 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

yaitu 0 (kontrol), 30 mg AD (AD-30), 50mg AD (AD-50), 30 mg MT (MT-30), dan50 mg MT (MT-50) per 1 kg pakan.Pemeliharaan larva dilakukan dalamhappa selama 21 hari. Hasil penelitianmenunjukkan bahwa bobot badan rata-rata larva tertinggi diperoleh padaperlakuan 50 mg MT/kg pakan danterendah pada perlakuan 30 mg AD/kgpakan. Namun survival rate (sintasan)tertinggi dihasilkan perlakuan 30 mg AD/kg pakan (Tabel 1).

Perlakuan androgen tidak memilikiefek yang nyata terhadap pertumbuhandan sintasan benih ikan nila selama 21 hariproses pengubahan kelamin. Sementaraitu, bobot badan rata-rata dari benih yangdiberi perlakuan AD berada pada kisaranterendah dan tertinggi. Hal ini kemung-kinan disebabkan oleh faktor-faktor laindi luar efek androgen (Guerrero III danGuerrero 2004).

Pertumbuhan dan sintasan benihselama proses pengubahan kelaminditentukan oleh beberapa faktor, sepertipadat tebar, pemberian pakan, suhu, dankondisi lingkungan lainnya (Bocek et al.1992 dalam Guerrero III dan Guerrero2004). Jo et al. (1995) dalam Guerrero IIIdan Guerrero (2004) melaporkan bahwaperlakuan MT 5–25 mg/kg pakan memilikipengaruh yang lebih nyata dibandingkontrol setelah periode pengubahankelamin. Diduga MT memiliki efekanabolik terhadap ikan. Namun, Vera Cruzdan Mair (1994) tidak menemukanpengaruh yang nyata perlakuan MT 40mg/kg pakan terhadap pertumbuhan dansintasan ikan nila selama pengubahankelamin.

Mantau et al. (2001) juga menyatakantidak ada pengaruh yang nyata perlakuanMT 0, 15, 25, 30 mg/kg pakan terhadap

pertumbuhan harian dan mortalitas benihikan nila selama 28 hari periode peng-ubahan kelamin yang dilanjutkan 28 hariperiode pemeliharaan atau pembesaranbenih, di mana pada tahap ini pakanberhormon diganti dengan pakan tepungpelet tanpa hormon. Rata-rata pertum-buhan harian larva ikan nila selama 56 haripengubahan kelamin dan pembesaranbenih sebesar 8% bobot badan (bb)/ekor/hari dengan mortalitas 3–4%/56 hari.

Irfan (1996) juga melaporkan tidakterdapat pengaruh yang nyata perlakuanMT terhadap pertumbuhan bobot mutlakdan mortalitas benih ikan nila yang di-jantankan. Enam dosis hormon (10, 20, 30,40, 50, dan 0 mg) yang masing-masingdicampur dalam 200 g pakan tepungpelet menghasilkan pertumbuhan bobotmutlak ikan yang dipelihara selama 3bulan sebesar 2,05–2,83 g/ekor denganpertumbuhan harian rata-rata 4,13−5,54%bb/ekor/hari, dan mortalitas 16,60–58,86%.Pertumbuhan harian benih ikan nila hasilpenelitian Irfan (1996) lebih rendahdengan tingkat mortalitas yang lebihtinggi dibandingkan dengan hasil pe-nelitian Mantau et al. (2001).

Sementara itu hasil penelitianGuerrero III dan Guerrero (2004) menun-jukkan rata-rata bobot badan dansintasan benih ikan nila yang dipeliharaselama 30 hari setelah pemijahan denganperlakuan MT lebih tinggi (MT-30: 5 g/ekor dan sintasan 91%; MT-50: 6,50 g/ekor dan sintasan 93%) dibanding kontrol(bobot rata-rata 3 g/ekor dan sintasan95%) maupun perlakuan AD (AD-30: 3,50g/ekor dan sintasan 85%; AD-50: 3 g/ekordan hanya sintasan 70%). Namun,sebenarnya titik berat penelitian mas-kulinisasi adalah persentase pembentukanindividu jantan. Vera Cruz dan Mair (1994)

serta Mantau et al. (2001) tidak me-nemukan pengaruh yang nyata perlakuanhormon MT terhadap laju pertumbuhanikan nila.

Perlakuan rangsangan hormon MTmemberikan hasil rata-rata tertinggidibanding kontrol maupun perlakuan AD,yaitu menghasilkan 96% jantan baik MT-30 maupun MT-50 dengan sintasan 100%dan bobot akhir rata-rata pada 75 harisetelah pemijahan masing-masing 15,80dan 18 g/ekor. Pada perlakuan AD,persentase individu jantan hanya 74–81% dengan sintasan 98–100% dan bobotakhir rata-rata pada 75 hari setelahpemijahan 15–16,20%. Larva ikan nilayang tidak diberi rangsangan hormonmenghasilkan individu jantan 59%walaupun sintasannya 100% dan bobotakhir rata-rata pada 75 hari setelahpemijahan 17,70 g/ekor (Guerrero III danGuerrero 2004).

Dari hasil penelitian tersebutsebetulnya dosis hormon MT yangdigunakan terlalu tinggi sehinggacenderung boros padahal persentasebenih jantan yang diperoleh rata-ratahanya 96%. Di samping itu, dosis hormonMT yang terlalu tinggi dapat meng-akibatkan paradoxial effect, paradoxialfeminization atau efek berbalik (Harahap1994 dalam Irfan 1996). Selain itu peng-gunaan hormon yang berlebihan akanmenyebabkan ikan menjadi jantansebelum waktunya sehingga meng-hambat pertumbuhan (Matty 1985).

Fenomena paradoxial feminizationdilaporkan oleh Haniffa et al. (2004)sebagai akibat penggunaan dosis hormonMT yang tinggi (400 µg/l). Individu jantanyang dihasilkan hanya mencapai 30%sedangkan individu betina 70%. Dalampenelitian tersebut digunakan ikanHeteropneustes fossilis (Bloch) ataucatfish, di mana telur-telur ikan dicelupdalam larutan hormon MT dalam berbagaidosis (100, 200, 300, 400 µg/l) denganempat durasi waktu perlakuan. Walaupuntidak menggunakan ikan nila sebagai ikanuji, hasil tersebut dapat mewakili ataumenggambarkan efek atau akibat daripenggunaan dosis hormon MT yang ber-lebihan. Penggunaan hormon yang ber-lebihan juga ditemukan pada penelitianIrfan (1996), dengan pembentukan indi-vidu jantan hanya 83,54% pada perlakuanhormon MT 50 mg/200 g pakan.

Mantau et al. (2001) melaporkanpenggunaan 15 mg hormon MT/kg pakantepung pelet sudah dapat menghasilkan

Tabel 1. Rata-rata bobot badan dan sintasan larva O. niloticusa yang di-jantankan dalam happa selama 21 hari dengan pakan berhormon.

ParameterDosis hormon (mg/kg pakan)

0 AD-30 AD-50 MT-30 MT-50

Bobot akhir rata-rata 0,19 0,17 0,23 0,19 0,19 (g/ekor)Sintasan (%) 82,30 91,20 78,50 87,70 77,60

aBerat awal rata-rata = 0,01 g, AD = androstenedion, MT = metil testosteron.Sumber: Guerrero III dan Guerrero (2004).

Page 4: PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3242055.pdf · pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994; Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibat-nya

Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005 83

benih jantan 93% dengan rata-ratamortalitas 3,25%. Penelitian ini meng-gunakan happa sebagai wadah peme-liharaan larva sebagaimana yang di-lakukan oleh Guerrero III dan Guerrero(2004). Sementara itu penelitian Gustiano(1992) dengan beberapa variasi perlakuandosis hormon MT (0, 15, 30, 45, 60 mg/kg pakan) menghasilkan dosis terbaik 15mg/kg pakan dengan individu jantanyang terbentuk 79% dan sintasan 99%,lebih rendah dari yang diperoleh GuerreroIII dan Guerrero (2004) yaitu 100%sintasan. Ketiga penelitian tersebutmenggunakan metode yang serupa,sehingga jika dibandingkan, dosis hor-mon MT yang efisien adalah yangdihasilkan Mantau et al. (2001), karenadengan dosis hormon rendah (15 mg/kg/pakan), persentase individu jantan yangdiperoleh tidak berbeda nyata denganhasil penelitian Guerrero III dan Guerrero(2004) dan berbeda nyata dengan Gustiano(1992) maupun Irfan (1996) yang hanyamencampurkan hormon MT dalam 200 gpakan.

Dari beberapa hasil penelitiantersebut dapat disimpulkan bahwaperubahan sel kelamin ikan nila denganpemberian pakan berhormon MT lebihefektif dibandingkan dengan metodepencelupan dalam larutan hormon karenapersentase terjadinya individu jantanmendekati 100%, sedangkan denganpencelupan hanya sekitar 80%. Berdasar-kan pengalaman penulis di lapangan,penggunaan pakan berhormon lebihmudah dilakukan karena tidak perlumenangkap telur atau larva ikan yangakan dimaskulinisasi, namun hanyacukup memindahkan induk ikan danpakan berhormon langsung bisa diapli-kasikan. Kesulitan penangkapan larvadan telur lebih disebabkan peluangmortalitasnya yang sangat tinggi.

Masalah dalam penggunaan metiltestoteron adalah hormon tersebut tidakdijual bebas dan dibatasi penggunaannyakhususnya untuk tujuan komersial.Penggunaan hormon MT untuk maskuli-nisasi ikan nila dibatasi hanya pada tahappembenihan dengan durasi tidak lebih dari1 bulan. Penggunaan pada tahap pem-besaran tidak diperbolehkan karenadikhawatirkan akan membawa pengaruhgenetis bagi yang mengonsumsi ikantersebut. Untuk mengatasi keterbatasandalam menggunakan metil testosteron,Baroiller dan Toguyeni (1995) menyaran-kan menggunakan androgen alami yaitu

AD disarankan menggunakan (11 β-hydroxy-androstenedione) untuk mengu-bah kelamin ikan nila. Mereka menyata-kan bahwa perlakuan androstenedionepada benih ikan nila pada dosis 10–35 mg/kg pakan selama 21 hari sama efektifnyadengan menggunakan MT pada dosisyang sama.

ASPEK SOSIAL-EKONOMI

Ikan nila khususnya di Sulawesi Utara,dewasa ini lebih diminati petani ikankarena harga benih dan ikan ukurankonsumsi relatif bersaing dengan ikanmas, penanganan benih dan pem-besarannya relatif mudah serta efisiendalam memanfaatkan pakan. Selain itu,benih ikan nila lebih mudah diperoleh danpermintaan pasarnya pun lebih terjamindibanding ikan mas dan ikan air tawarlainnya (komunikasi pribadi dengan parapetani ikan nila di Desa Tara-Tara II, Eris,Telap dan Tounelet 2000−2003).

Berdasarkan penelitian dan peng-kajian yang dilakukan BPTP SulawesiUtara, Mantau et al. (2001) melaporkanbahwa keuntungan bersih teknologi introduksi BPTP Sulawesi Utara mencapaiRp19.971.500/13 ekor induk/tahun,sedangkan teknologi konvensionalRp16.840.000/14 ekor induk/tahun, de-ngan B/C ratio teknologi introduksi 2,60(Tabel 2). Dengan demikian teknologi

pakan berhormon untuk menghasilkanbenih jantan lebih unggul dibandingkanteknologi konvensional.

Penerapan teknologi maskulinisasimemberikan berbagai keuntungan baikdari segi teknis maupun ekonomis. Benihyang dihasilkan seragam (ukuran danjenis kelamin), sehingga petani tidakperlu lagi melakukan sortasi atau seleksibenih serta ikan nila terhindar daripemijahan yang terlalu dini dan in-breeding. Pemijahan dini dapat menurun-kan produktivitas ikan budi daya akibatpertumbuhan ikan terhambat bahkanterhenti terutama pada ikan betina(Suyanto 1994). Dampak ekonominya ada-lah ikan tidak laku terjual karena ukurankonsumsi umumnya berkisar 1 kg/3–4ekor, sedangkan bila pertumbuhan ter-henti bobot ikan kurang dari 50 g/ekor.

Maskulinisasi juga memudahkanpetani menerapkan budi daya ikan tunggalkelamin terutama untuk menghindariinbreeding atau perkawinan padaketurunan yang sama. Pada budi dayasecara tunggak kelamin, energi darimakanan hanya digunakan untuk per-tumbuhan sehingga dapat meningkatkanproduksi (Suyanto 1994). Dampak eko-nominya adalah penggunaan pakanmenjadi efisien sehingga menurunkanbiaya pakan yang merupakan biayaterbesar dalam usaha budi daya ikan.Selain itu poduksi yang tinggi dapatmeningkatkan daya jual petani sehingga

Tabel 2. Analisis usaha per tahun teknologi maskulinisasi (introduksi) (15mg MT/kg pakan) dan teknologi konvensional di Desa Tara-TaraII Kota Tomohon.

Uraian Teknologi introduksi Teknologi konvensional

Total biaya Rp7.678.000 Rp6.637.980Nilai penjualan Rp27.649.500/13 ekor induk/tahun Rp23.478.000/14 ekor induk/ benih tahunKeuntungan Rp19.971.500/13 ekor induk/tahun Rp16.840.000/14 ekor induk/ bersih tahunB/C ratio 2,60 2,50Payback Setelah 13 induk betina memijah Setelah 14 induk betina period memijahBEP Rp2.370.887/13 ekor induk/tahun Rp2.134.322/14 ekor induk/

tahun

Keterangan: 1. Pemijahan selama 6 periode (1 periode = 1 bulan); 2. pemijahan menggunakan18 ekor induk betina dan 6 ekor induk jantan (perbandingan 1 jantan : 3 betina/m2); 3. hasiltetas = 1.500 ekor larva; 4. mortalitas untuk teknologi introduksi = 3% dan teknologikonvensional = 4%.Sumber: Mantau et al. (2001).

Page 5: PRODUKSI BENIH IKAN NILA JANTAN DENGAN …pustaka.litbang.pertanian.go.id/publikasi/p3242055.pdf · pemijahan berkali-kali (Suyanto 1994; Guerrero III dan Guerrero 2004). Akibat-nya

84 Jurnal Litbang Pertanian, 24(2), 2005

dapat memenuhi permintaan pasar secarakontinu (Komunikasi pribadi denganpetani ikan di Desa Eris dan Telap2002–2003).

Maskulinisasi dapat pula meng-hasilkan benih unggul untuk tujuanpembesaran, karena ikan nila jantan lebihcepat pertumbuhannya, dagingnya lebihtebal, dan ukurannya lebih besar di-banding ikan betina sehingga cocokuntuk ikan konsumsi. Jika dipersiapkan

untuk induk, ikan nila hasil darimaskulinisasi ini lebih cepat matanggonad.

KESIMPULAN

Pakan berhormon MT dapat merangsangperubahan kelamin ikan nila padastadium larva (0−30 hari). Namun cara initidak direkomendasikan untuk diaplikasi-

DAFTAR PUSTAKA

Baroiller, J.F. and A. Toguyeni. 1995. Com-parative effects of a natural androgen. ll β-hydroxy-androstenedione and a syntheticandrogen, 17 α-methyl testosterone on thesex ratios of Oreochromis niloticus. In R.S.V.Pullin, J. Lazard, M. Legendre, J.B. AmonKothias, and D. Pauly (Eds.). The ThirdInternational Symposium on Tilapia inAquaculture. ICLARM Conf. Proc. 41.

Fitzsimmons, K. 2004. Introduction to tilapiasex-determination and sex-reversal. www.aq.arizona.edu.

Gustiano, R. 1992. Penggunaan hormon dalampakan pada pembentukan ikan nila jantan.Warta Penelitian dan Pengembangan Per-tanian XIV(5): 15−16.

Griffin, M. 2004. Tilapia reproduction and sexreversal. www.aquanic.org.

Guerrero III, R.D. and L.A. Guerrero. 2004.Effects of androstenedione and methyl

testosterone on Oreochromis niloticus frytreated for sex reversal in outdoor netenclosures. www.nraes.org/publications.www.aq.arizona.edu

Haniffa, M.A., S. Sridhar, and M. Nagarajan. 2004.Hormonal manipulation of sex in stingingcatfish Heteropneustes fossilis (Bloch). Curr.Sci. 86(7): 1012−1017. April 2004.www.ias.ac.in

Irfan, M. 1996. Penggunaan hormon testos-teron dengan dosis berbeda terhadappembentukan individu jantan, mortalitas,dan pertambahan berat benih ikan nila(Oreochromis niloticus). Fakultas Perikanandan Ilmu Kelautan, Universitas SamRatulangi, Manado.

Mantau, Z., A. Supit, Sudarty, J.B.M. Rawung, U.Buchari, L. Oroh, J. Sumampow, dan A.Mamentu. 2001. Penelitian adaptif pem-benihan ikan mas dan maskulinisasi ikan nila

di Sulawesi Utara. Laporan Hasil Penelitian.Instalasi Penelitian dan PengkajianTeknologi Pertanian Kalasey, Sulawesi Utara.

Matty, A.J. 1985. Fish Endocrinology. CroomHelm London-Sydney, Timber Press,Oregon.

Shapiro, Y.D. 1987. Differentiation andevolution of sex change in fishes. Biosci.Ser. 37(7): 490−496.

Suyanto, S.R. 1994. Nila. PT Penebar Swadaya,Jakarta.

Vera Cruz, E.M. and G.C. Mair. 1994. Conditionsfor effective androgen sex-reversal inOreochromis niloticus (L.). Aquaculture 122:237−248.

www.balitbang-sumut.go.id. 2004. Pembenihanikan nila (Oreochromis niloticus).

kan pada pembesaran benih menjadi ikankonsumsi. Penggunaan pakan berhormonMT dapat memproduksi 90− 96% ikan nilajantan.

Keberhasilan maskulinisasi denganpakan berhormon antara lain dipengaruhioleh dosis hormon, suhu air, tingkah lakuikan, umur larva, dan durasi atau lamapemberian pakan berhormon. Faktor yangterakhir masih terus diteliti agar pem-bentukan individu jantan optimal.