proceeirwsding irwns 2013 v1

310

Upload: luckhereafter

Post on 15-Jan-2016

889 views

Category:

Documents


6 download

DESCRIPTION

dat

TRANSCRIPT

Page 1: Proceeirwsding Irwns 2013 v1
Page 2: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

i

Diterbitkan oleh :

Politeknik Negeri Bandung

Penulis dalam proceeding ini telah menandatangani pernyataan orisinilitas karya tulis. Penerbit dan

Panitia Industrial Research Workshop and National Seminar (IRWNS) 2013, tidak bertanggungjawab

atas kebenaran materi dan akibat yang ditimbulkan dari penggunaan materi dalam proceeding ini.

Kutipan, penggunaan, dan penerbitan sebagian maupun keseluruhan dari paper dalam proceeding ini

harus seijin penulis.

Hak Cipta © Politeknik Negeri Bandung

2013

Page 3: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

ii

KATA PENGANTAR

Perkembangan sosial, ekonomi, dan teknologi pada tataran lokal, nasional, dan global menuntut

semua pihak baik kalangan bisnis/industri, pemerintah, dunia pendidikan, maupun masyarakat

pada umumnya untuk mampu melakukan pembangunan disegala aspek kehidupan secara

berkelanjutan. Untuk mendukung keberhasilan pembangunan yang berkelanjutan tersebut, riset

terapan disegala bidang keilmuan memegang peranan penting sebagai faktor pendorong

keberhasilan pembangunan. Dengan latar belakang tersebut, kegiatan tahunan Industrial

Research Workshop and National Seminar (IRWNS) yang saat ini dilakukan mengambil tema

“Riset terapan untuk pembangunan berkelanjutan: Kemajuan, peluang, dan tantangan”.

Kegiatan IRWNS yang diselenggarakan oleh Politeknik Negeri Bandung ini meru pakan forum

yang dirancang untuk mendiseminasikan hasil-hasil riset terapan serta hasil-hasil pemikiran

dibidang rekayasa maupun non rekayasa yang dilakukan oleh para peneliti di lingkungan

perguruan tinggi, instansi penelitian, maupun kalangan bisnis dan industri. Melalui kegiatan

seminar ini diharapkan terjadi saling bertukar informasi, pengetahuan, dan pengalaman antara

para peneliti yang pada akhirya diharapkan akan mampu mendorong perkembangan

pengetahuan, teknologi, dan invoasi disegala bidang yang sangat dibutuhkan bagi

pembangunan yang berkelanjutan. Dalam kegiatan IRWNS 2013 kali ini, dipresentasikan 49

makalah dari berbagai cabang keilmuan.

Dengan terselengarakanya kegiatan IRWNS 2013 ini penyelenggara menyampaikan terima

kasih kepada para pembicara utama yang telah bersedia meluangkan waktu dalam

mempresentasikan makalah, berbagi dan bertukar pikiran serta memberikan inspirasi dan arah

riset terapan di masa mendatang. Ucapan terima kasih juga kami sampaikan juga kepada

seluruh peserta yang berperan aktif dalam diskusi dan interaksi selama seminar. Terima kasih

dan rasa bangga kami ucapkan juga bagi para pengarah, penelaah makalah dari beberapa

perguruan tinggi, serta panitia yang telah memberikan waktu dan tenaganya demi keberhasilan

kegiatan seminar ini.

Bandung, 15 November 2013

Ketua IRWNS 2013,

Dwi Suhartanto, PhD.

Page 4: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

iii

Tim Penelaah :

1 A. Gima Sugiama, Dr. Politeknik Negeri Bandung

2 Ananda Sabil Husein, PhD. Universitas Brawijaya

3 Carolus Bintoro, Dr. Politeknik Negeri Bandung

4 Ciptadi, Prof. Dr. Universitas Palangkaraya

5 Conny K. Wachjoe, PhD. Politeknik Negeri Bandung

6 Dwi Suhartanto, PhD. Politeknik Negeri Bandung

7 Ediana Sutjiredjeki, Dr. Politeknik Negeri Bandung

8 Herawati Budiastuti, PhD. Politeknik Negeri Bandung

9 I Putu Astawa, Dr. Politeknik Negeri Bali

10 Ismet P. Ilyas, Dr. Politeknik Manufaktur Bandung

11 Kastam Astami, Dr. Institut Teknologi Bandung

12 Marimin, Prof. Dr. Institut Pertanian Bogor

13 Mei Sutrisno, PhD. Politeknik Negeri Bandung

14 Muhammad Muflih, Dr. Politeknik Negeri Bandung

15 Transmissia Semiawan, PhD. Politeknik Negeri Bandung

16 Vanessa Gaffar, Dr. Universitas Pendidikan Indonesia

17 Yuliadi Erdani, Dr. Ing. Politeknik Manufaktur Bandung

Page 5: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

iv

Susunan Panitia

Pengarah : Mei Sutrisno, PhD. (Direktur Politeknik Negeri Bandung)

Haryadi, PhD. (Pembantu Direktur I)

Rachmad Imbang Tritjahjono, Dr. (Pembantu Direktur IV)

Ediana Sutjiredjeki, Dr. (Kepala UPPM)

Penanggungjawab : Maria Fransisca Soetanto, Dr., Dipl. Ing.

Nani Yuningsih, S.Si., M.Si

Ketua Pelaksana : Dwi Suhartanto, PhD.

Wakil Ketua : Eko Andrijanto, LRSC.

Sekretaris : Ervin Masita Dewi , ST., MT

Anggota : Katharina Priyatiningsih, Dra., M.Si.

Tina Mulya Gantina, Dra., MT.

Kun Lestiowati Hadiningrum, Dra., M.Si.

Ira Novianty, SE., M.Si., Ak.

Adila Sosianika, SE., MAIMM.

Ase Sulaeman

Rr. Sri Susilo Windarti, S.Pd

Tusijati

Yuniarti Surtiasih, A.Md

Dewi Indah Senja Sari, A.Md.

Megi Donni Daradjat, ST.

Andria Septianis AE, A.Md

Sri Mulyani

Page 6: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

v

Jadwal Seminar IRWNS

20 November 2013

Conference Room Gedung P2T Lt.3, Politeknik Negeri Bandung

07.30-08.00 Registrasi

08.00-08.20 MC

08.20-08.35 Laporan Panitia Penyelenggara

08.35-08.50 Pembukaan Direktur

08.50-09.00 Do'a

09.00-09.30 Coffee break

09.30-10.15 Dr. Ir. Dida Heryadi Salya, M.A. (Bappenas)

10.15-11.00 A. Pandu Djajanto (Kementerian BUMN)

11.00-11.45 Dr. Arief Sugianto (PT.GMFC)

11.45-13.00 Isoma

Sesi Paralel

Dr. Muhammad

Muflih, MA

Dr. Carolus Bintoro.

Dipl.,Ing, MT

Ir. Herawati B ,

M.Eng.Sc., Ph.D

Adila Sosianika, SE.,MA

Ervin Masita, ST.,MT

Dra. Kun Lestiowati, M.Si

Conference UPT BHS JPAC-301

13.00-13.12 NE-1 E-1 E-16

13.12-13.24 NE-2 E-2 E-17

13.24-13.36 NE-3 E-3 E-18

13.36-13.48 NE-4 E-4 E-19

13.48-14.00 NE-5 E-5 E-20

14.00-14.12 NE-6 E-6 E-21

14.12-14.24 NE-7 E-7 E-22

14.24-14.36 NE-8 E-8 E-23

14.36-14.48 NE-9 E-9 E-24

14.48-15.00 NE-10 E-10 E-25

15.00-15.12 NE-11 E-11 E-26

15.12-15.24 NE-12 E-12 E-27

15.24-15.36 NE-13 E-13 E-28

15.36-15.48 NE-14 E-14 E-29

15.48-16.00 NE-15 E-15 E-30

16.00-16.12 NE-16 E-31 -

16.12-16.24 NE-17

Bergabung ke conference room 16.24-16.36 NE-18

16.36-16.48 NE-19

16.48-17.00 Penutupan

Page 7: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

vi

DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN ISBN i

KATA PENGANTAR ii

TIM PENELAAH iii

SUSUNAN PANITIA iv

JADWAL v

DAFTAR ISI vi

Kode Judul Makalah

NE-1 Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Barang

dan Jasa Kawasan Perbatasan Pula Sebatik Indonesia - Tawau, Malaysia

1-8

NE-2 Pengaruh Kualitas Sistem Informasi, Kualitas Informasi, Dan Kualitas

Pelayanan Terhadap Kepuasan Pengguna Sistem Informasi pada Bank

Umum di Bandung

9-15

NE-3 Model Perjanjian Kerja Yang Memberikan Perlindungan Hukum Bagi

Pekerja Kontrak Di Perguruan Tinggi Negeri Badan Layanan Umum

16-21

NE-4 Analisis Kebangkrutan Menggunakan Model Altman Z-Score pada

Industri Rokok yang Terdaftar di Bursa Efek Indonesia

21-30

NE-5 Analisis pada Layanan Learning Mangement System (Studi Kasus :

Virtual Learning Politeknik Pos Indonesia)

31-36

NE-6 AnalisisPengaruh Kredit Perbankan dan Kontribuso Sektoral Terhadap

Penciptaam Lapangan Kerja (Analisis Sektoral Proses Pembangunan

Indonesia)

37-43

NE-7 Analisis Pengaruh Neraca Pembayaran Terhadap Nilai Tukar Rupiah 44-51

NE-8 Akuntansi Forensik Dalam Proses Kepailitan Di Pengadilan Niaga Dan

Potensi Fraud Pada Perusahaan Pailit

52-58

NE-9 Analisis Industri Unggulan Kota Bandung 59-64

NE-10 Evaluasi Kinerja Stasiun Kereta Api Berdasarkan Standar Pelayanan

Minimum

65-70

NE-11 Analisis Marketing Culture Sebagai Dasar Pengembangan Kemampuan

"Bisnis" Institusi

71-77

NE-12 Makanan dan Hiburan Daerah Sebagai Atraksi Wisata Menjadi Prospek

Bisnis Untuk Meningkatkan PAD (Suatu Survey Pada Wisatawan Di

Bandung Raya)

78-82

NE-13 Analisis Sikap Mahasiswa dalam Memutuskan Memilih PTS UNIKOM

Bandung (Studi Mahasiswa UNIKOM Angkatan 2007/2008)

83-89

NE-14 Model Kompetensi Layanan Manajer Hotel Non Bintang 90-95

NE-15 Pengaruh Destination Branding Terhadap Tourist retention Pada

Wisatawan Indonesia Yang Berkunjung Ke Thailand

96-102

NE-16 Pengaruh Kualitas Pelayanan Terhadap Kepuasan Pelanggan di Bandara

Husein Sastranegara Bandung

103-109

NE-17 Penerapan Model Loyalitas Pelanggan Sebagai Strategi untuk

Membangun Daya Saing Jasa Angkutan Kota Di Jawa Barat

110-115

NE-18 Pengaruh Struktur Kepemilikan Dan Keputusan Keuangan Terhadap

Nilai Perusahaan

116-122

Page 8: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

vii

NE-19 Analisis Pengaruh Penerapan Self Asessment System dan Reformasi

Administrasi Perpajakan Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan Di Era

Pembangunan Berkelanjutan (Studi Empiris di KPP Pratama Se-Bandung

Raya)

123-128

E-1 Development of Wireless Magnetic Field Sensor Node Based on

Programmable System on Chip Microcontroller

129-135

E-2 Intelligent Driver Information Sistem Berbasis GPS 136-140

E-3 Penentuan Faktor Kalibrasi Fotodioda SP45ML Terhadap Standar CIE-

1978

141-144

E-4 Adaptive Retuning PID to Overcome Effect of Delay Change in

Networked Control Systems

145-150

E-5 Perancangan dan Implementasi Model Infrastruktur Telekomunikasi

Berbasis Teknologi Plesiochromous Digital Hirerarchy (PDH) Standar

ITU G.703

151-157

E-6 Penerapan Algorithma Row Index Data Access Matrix Pada Sistem

Perangkat Lunak Antarmuka Data Digital Perintah/Status Yang

Homogen

158-161

E-7 Jaringan Sistem Inovasi Nasional (Jasirnas) 162-165

E-8 Prototype Aplikasi Pengukuran Kinerja Unit Pengelola Politeknik 166-173

E-9 Pemrosesan Parelel Pada Model Kompulasi Dokumen Ilmiah Elektronik 174-179

E-10 Analisis Performansi Marmoset untuk Penelitian Pemograman 180-184

E-11 Pemodelan Impact Test dengan Metoda Charpy 185-188

E-12 Experimental investigation of air-water horizontal annular flow using

constant-electric current method (CECM)

189-195

E-13 Perancangan Alat Uji Impact Metode Charpy 196-199

E-14 Pengaruh Diameter Lubang Generator Vortex pada Lubang Vortex

terhadap Temperatur Udara yang Dihasilkan

200-203

E-15 Pengaruh Struktur Geologi Gunung Slamet Muda dan Tua terhadap Pola

Sebaran Panas Bumi

204-207

E-16 Evaluasi Kapasitas Sungai Citarum Hulu dengan Mengunakan Hec Ras

4.0

208-214

E-17 Penggunaan dan Percobaan Prototipe Mesin Stirling Tipe Gamma 215-219

E-18 Rancang Bangun Alat Pirolisis Sederhana dengan Redestilator untuk

Pembuatan Asap Cair dari Tempurung Kelapa

220-225

E-19 Analisa Deformasi Material 100MnCrW4 (Amutit S) pasa Dimensi dan

Media Quenching yang Berbeda

226-233

E-20 Konsep dan Preliminary Desain Turbin Aksial Temperature Rendah

untuk Siklus Rankine yang Berbeda

234-239

E-21 Suatu Konsep Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik Berdasarkan

Lokasi

240-245

E-22 Pengaruh Substitusi Biaya Lantanum (La) pada Berbagai Variasi

terhadap Material Ba1-xLaxO.6Fe2O3 dengan Proses Mixing

246-249

E-23 Pengaruh Konsentrasi Aktivator Terhadap Kadar Kalium Katalis Basa

Heterogen Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Batang Pisang pada

Pembuatan Biodiesel Berbantukan Ultrasonik

250-255

E-24 Biomentanasi Eceng Gondok dengan Pengendalian Temperatur

Fermentasi

256-260

E-25 Kajian Proses Asetogenesis Biodigester Dua Tahap

261-267

Page 9: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

viii

E-26 Ekstraksi Zat Warna dari Kulit Manggis dan Pemanfaatannya untuk

Pewarna Logam Alumunium Hasil Anosidasi

268-272

E-27 Optimasi Komposisi Campuran Asam HNO3 dan H2SO4 dan Nilai R

Pada Sintesis α-Nitronaftalen

273-277

E-28 Perancangan Mesin Pengelola Air Bersih Bergerak dengan

Menggunakan Sistem Modular (Mobile) untuk Penanggulangan Keadaan

Darurat Air

278-285

E-29 Pembuatan Membran Kitosan Sulfonat untuk Aplikasi Direct Ethanol

Fuel Cell

286-289

E-30 Peningkatan Pembelajaran Statistika Bidang Tata Niaga Berbatuan

Kalkulator dan Peringkat Lunak untuk Politeknik

290-296

E-31 Analisis Kinematika Gerak Pusat Massa Tubuh Manusia Saat Berjalan 297-301

Page 10: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

1

Faktor-Faktor Yang Mempengaruhi Permintaan dan Penawaran Barang

dan Jasa Kawasan Perbatasan Pulau Sebatik Indonesia - Tawau, Malaysia

Besse Asniwaty a

Muh.Nawawi b

Sumintoc Armini Ningsih

d

aJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda

E-mail : [email protected] bJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda

cJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda

dJurusan Administrasi Bisnis, Politeknik Negeri Samarinda, Samarinda

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor–faktor pendorong permintaan dan penawaran barang/jasa dikawasan perbatasan

Pulau Sebatik, Indonesia ‐ Tawau, Malaysia. Adapun sasaran penelitian ini mencakup: analisis interaksi perdagangan barang

dan jasa yang berlangsung di kawasan perbatasan tersebut, identifikasi jenis permintaan dan penawaran barang/jasa, analisis

faktor–faktor pendorong permintaan dan penawaran barang/jasa khususnya di Pulau Sebatik dan implikasi yang timbul.

Selanjutnya di analisis melalui pendekatan deskriptif eksplanatif, dibantu kajian teori untuk pemaknaan data/informasi. Hasil

analisis yang menunjukkan bahwa interaksi perdagangan terjadi karena adaya kebutuhan yang menciptakan penawaran dan

pemintaan barang/jasa baik secara legal maupun illegal hal ini didorong oleh potensi pasar dan konsumen, potensi perdagangan

yang besar, serta prospek yang menjanjikan. Identifikasi penawaran barang dan jasa dari Pulau Sebatik berupa barang yaitu

hasil agro industri (hasil pertanian, perkebunan dan kehutanan) dan perikanan, sedangkan berupa jasa meliputi tenaga kerja

bangunan, pekerja perkebunan, pembantu rumah tangga dan penjaga toko, permintaan barang dan jasa dari Tawau Ke Sebatik

meliputi seluruh barang jadi dan setengah jadi serta pelayanan kesehatan yang menjadi kebutuhan hidup masyarakat Pulau

Sebatik. Adapun faktor pendorong permintaan dan penawaran kedua wilayah perbatasan meliputi lokasi, sarana dan persarana

dasar, pelayanaan, penilaian pelaku ekonomi, stabilitas.

Kata Kunci

Permintaan dan Penawaran, Barang dan Jasa, Aksesibilitas Kawasan Perbatasan, Pulau Sebatik Indonesia dan Tawau

Malaysia.

1. PENDAHULUAN

Pulau sebatik merupakan salah satu wilayah yang

berbatasan langsung dengan Tawau-Malaysia dan

memiliki jumlah penduduk sebanyak lebih dari 38.339

jiwa (Profil Pulau Sebatik 2012). Secara ekonomis pulau-

sebatik mempunyai potensi yang sangat kaya akan lahan

yang cukup luas, sumber daya laut, dan parawisata, jika

berhasil dikembangkan secara optimal dan berkelanjutan,

Pulau-Sebatik bukan saja akan menjadi sumber

pertumbuhan baru, melainkan sekaligus akan mengurangi

kesenjangan pembangunan ekonomi antar wilayah dan

kelompok social diwilayah perbatasan.

Kesenjangan infrastruktur dan kurangnya penerangan dan

ketersediaan air bersih yang dirasakan oleh masyarakat

pulau sebatik berbanding terbalik dengan yang terjadi

diwilayah Tawau Malaysia yang terang benderang serta

memiliki sarana dan prasarana dasar serta infrastruktur

yang sangat baik. Kenyataan ini tentunya memberikan

dampak yang kurang menguntungkan atau menggangu

pergerakan pertumbuhan ekonomi di berbagai skala usaha

yang sangat bergantung sarana dan prasana serta fasilitas

yang disediakan oleh pemerintah setempat.

Kedekatan wilayah menyebabkan aktifitas lintas batas

kedua Negara tersebut terus meningkat kususnya dibidang

perdagangan. Pada umumnya kebutuhan warga pulau

sebatik dipenuhi dari Tawau Malaysia. aliran barang, jasa

dan manusia antara kedua wilayah tersebut berkembang

tidak seimbang. Kualitas barang yang bagus serta harga

yang murah di Tawau Malaysia menjadi daya tarik warga

Pulau Sebatik. Selanjutnya juga ditunjang lalu lintas air

yang hanya ditempuh dalam hitungan menit sehingga

memperlancar aksesibilitas antara Pulau Sebatik, – Tawau.

Komoditas yang diperdagangkan antara lain sandang,

makanan, hasil pertanian, dan lain-lain, baik secara legal

maupun secara illegal.

Berdasarkan fenomena tersebut diatas, maka penulis

tertarik untuk melakukan kajian tentang faktor‐faktor

pendorong permintaan dan penawaran barang dan jasa di

kawasan perbatasan tersebut. Pengenalan faktor‐faktor

pendorong permintaan dan penawaran barang dan jasa

dimaksudkan untuk memahami mekanisme pasar yang

terjadi bagaimana dan apa saja yang berkembang sebagai

hasil interaksi aktivitas masyarakat. Research question dari

penelitian ini adalah faktor‐faktor apakah yang mendorong

Page 11: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

2

permintaan dan penawaran barang dan jasa kawasan

perbatasan Pulau Sebatik Indonesia, – Tawau, Malaysia.

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor–faktor yang

mendorong permintaan dan penawaran barang dan jasa di

kawasan perbatasan Pulau Sebatik Indonesia, – Tawau,

Malaysia. Urgensi dari penelitian ini yaitu memberikan

informasi yang akurat kepada pemerintah daerah dan

pemerintah pusat tentang berbagai jenis informasi yang

berkaitan dengan supply dan demand baik legal maupun

illegal dan identifikasi faktor-faktor yang mendorong

aktifitas tersebut dikawasan perbatasan, dan sejauh mana

mekanisme supplay dan demand, yang saling

menguntungkan yang terjadi antara kedua Negara. dan

analisis kinerja aksesibiltas mobilitas dan implikasi yang

timbul khususnya dikawasan Pulau Sebatik Indinesia.

Selanjutnya temuan yang ditargetkan dalam penelitian ini

adalah hasil proses analisis akan dirumuskan dalam bentuk

rekomendasi.

2. TUJUAN DAN SASARAN PENELITIAN

Penelitian ini bertujuan untuk mengkaji faktor–faktor

Pendorong Permintaan dan Penawaran barang/jasa

dikawasan perbatasan pada Pulau Sebatik. Adapun sasaran

penelitian ini mencakup:

1. Analisis interaksi perdagangan barang dan jasa yang

berlangsung di kawasan perbatasan Pulau Sebatik –

Tawau,Malaysia,

2. Identifikasi jenis permintaan dan penawaran barang/jasa

dikawasan perbatasan,

3. Analisis faktor–faktor pendorong permintaan dan

penawaran barang kawasan perbatasan khususnya pada

sisi Pulau Sebatik dan implikasi yang timbul.

4. Hasil proses analisis akan dirumuskan dalam bentuk

rekomendasi.

3. METODOLOGI PENELITIAN

Pendekatan yang digunakan adalah analisis faktor untuk

merumuskan faktor–faktor yang mendorong permintaan

dan penawaran barang kawasan perbatasan Pulau Sebatik‐ Tawau, Malaysia pada sisi Pulau Sebatik, dan pendekatan

deskriptif eksplanatif, dibantu kajian teori untuk

pemaknaan data/informasi yang diperoleh terhadap

pengembangan kawasan perbatasan Pulau Sebatik‐ Deskripsi (pemaknaan) dilakukan untuk memahami

kondisi yang ada, guna menjawab beberapa pertanyaan

mendasar seperti siapa yang terlibat, bagaimana kegiatan

perdagangan dan jasa di kawasan perbatasan ini

berlangsung, skala kegiatan ekonomi, jenis komoditas,

besaran, kendala‐kendala dan implikasi apa yang akan

timbul dari fenomena yang berlangsung. Populasi

penelitian ini adalah para pelaku ekonomi di kawasan

perbatasanPulau Sebatik.

Pendekatan deskriptif eksplanatif dalam penelitian ini

adalah proses pemaknaan atas kondisi yang terdapat dan

berkembang di lapangan dengan mengacu pada data yang

dikumpulkan. Proses ini bukan menguji hasil metode

kuantitatif namun digunakan untuk melengkapi guna

proses mempertajam analisis studi. Persoalannya adalah

bagaimana cara terbaik untuk ”memaknai” data dengan

cara‐cara yang akan mempermudah pengungkapan

hasil‐hasil penelitian, dan kedua mengantarkan pada

pemahaman akan fenomena yang sedang diteliti (Moleong,

2005 : 38,115).

4. LANDASAN TEORI

Perbatasan negara merupakan wilayah hukum Negara

Kesatuan Republik Indonesia yang berbatasan dengan

negara lain, dan batas‐batas wilayahnya ditentukan

berdasarkan peraturan perundang‐ undangan yang berlaku

(www. bappenas.go.id, 2007). Secara tipologi, kawasan

perbatasan dibedakan menjadi tipologi kawasan perbatasan

yang secara fisik diklasifikasikan menjadi perbatasan alam

dan perbatasan buatan (Guo, 2004: 11‐16) dan secara

ekonomi, dapat dibedakan menjadi kawasan perbatasan

yang relatif maju, sudah berkembang namun belum maju,

dan kawasan yang relatif masih terisolir. Menurut Wu

(dalam Husnadi, 2003: 44‐55), terdapat tiga bentuk

pendekatan, pertama dengan mendahulukan pembangunan

infrastruktur, kedua dengan mendahulukan investasi sektor

swasta, dan ketiga mendahulukan program‐program dan

kebijakan.

Perkembangan lingkungan global saat ini telah membawa

perubahan paradigma pembangunan dimana kawasan

perbatasan dipandang sebagai salah satu simpul ekonomi,

karena merupakan lokasi lintas batas perdagangan barang

dan jasa antar negara. Secara geografis sistem ekonomi

berkaitan dengan organisasi keruangan dari sistem

ekonomi: yaitu dimana elemen tertentu dari sistem tersebut

akan berlokasi, bagaimana elemen tersebut saling

terhubung dalam sebuah ruang dan pengaruh secara

keruangan dari proses ekonomi (Dicken dan Lloyd, 1990:

7).

Untuk dapat tumbuh dan berkembang kegiatan ekonomi

harus mampu survive, dengan memperhatikan aspek

jangkauan dan ambang batas (Tarigan, 2005:

85‐87).Konsep range (jangkauan pelayanan) terkait

dengan luas wilayah pengaruh sebuah pusat pelayanan

secara geografis, sedang konsep threshold (ambang batas)

lebih terkait dengan tingkatan minimal jumlah penduduk

yang agar sebuah produk atau pusat pelayanan mampu

survive karena adanya konsumen yang dilayani. Adanya

kebutuhan barang dan jasa melahirkan interaksi antar

ruang yang berbeda, dalam bentuk pergerakan

(perpindahan, pertukaran) barang dan jasa.

Edward Ullman (Dicken dan Lloyd, 1990: 71‐74)

menjelaskan terdapat tiga bentuk interaksi keruangan,

yaitu interaksi keruangan yang saling melengkapi,

interaksi keruangan yang bersifat intervensi, dan tidak ada

bentuk interaksi sama sekali. Tingkat intensitas (jumlah,

volume, banyaknya) pergerakan barang dan jasa antar

Page 12: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

3

berbagai ruang sangat dipengaruhi oleh tingkat kebutuhan

(konsumsi) penduduk (demand) maupun kegiatan produksi

perkotaan lainnya. Secara umum terdapat tiga aspek

(Dicken dan Lloyd, 1990: 181) yang menentukan tingkat

kebutuhan terhadap barang dan jasa, yaitu: tingkat harga

yang berlaku, harga relatif dari seluruh barang dan jasa,

dan bobot yang diberikan konsumen yang diukur dari cita

rasa (taste) dan keinginan atau pilihan (preference).

Menurut Alfred Webber, ini akan membentuk aglomerasi

ekonomi (economics agglomeration) (Dicken dan Lloyd,

1990: 208).

Aglomerasi ekonomi merupakan bentuk penghematan

yang timbul karena kegiatan ekonomi berada dalam satu

lokasi, dan memberikan kontribusi yang cukup besar

terhadap perkembangan sebuah kota atau wilayah (Blair

1995: 95). Walter Issard menyatakan bahwa terdapat tiga

jenis agglomeration economies atau penghematan

ekonomi (Djojodipuro, 1992: 85). Ketiga konsep ini

dipergunakan untuk mengembangkan analisisnya ke arah

analisis spatial dengan menguraikan adanya pengaruh

berbagai economies terhadap lokasi industri atau aktifitas

ekonomi (Djojodipuro, 1992: 174‐175), yaitu: scale

economies, location economies dan urbanization

economies. Hal mendasar dari aglomerasi ekonomi adalah

hubungan atau keterkaitan antara aktifitas ekonomi dalam

area geografis yang secara relatif terbatas, bentuk

keterkaitan meliputi: keterkaitan produksi, pelayanan dan

pasar (Dicken dan Lloyd, 1990 : 211). Aktifitas ekonomi

yang memusat pada area tertentu mempunyai hubungan

yang erat terhadap wilayah pasar dari produk yang

disediakan, dimana pasar berperan sebagai sisi demand.

Menurut Nugroho dan Dahuri (2004: 29) terdapat empat

hal yang mempengaruhi terbentuknya wilayah pasar, yaitu:

skala ekonomi, permintaan total spasial, biaya transportasi,

dan faktor yang terkait penduduk. Penghematan

aglomerasi memberikan pengaruh terhadap perkembangan

dan pertumbuhan kota (Adisasmita, 2005: 49). Sebuah

kota dapat eksis dan berkembang karena adanya efisiensi

dalam menghasilkan beberapa jasa pada skala yang besar

(O‟Sullivan, 2003: 19). Dalam menjelaskan fenomena

aglomerasi, banyak ahli ekonomi mendefinisikan bahwa

kota sebagai hasil dari proses produksi aglomerasi secara

spasial. Kendati demikian tidak setiap aglomerasi selalu

memunculkan suatu kota. Perbedaan antara aglomerasi dan

kota terletak terutama pada perbedaan antara kesederhaan

dan kompleksitas (Kuncoro, 2002: 26). Hal ini karena

pertumbuhan kota‐kota ternyata dipengaruhi oleh berbagai

faktor yang lebih kompleks daripada sekedar penghematan

aglomerasi (Kuncoro, 2002: 32). Menurut Charles Colby

(Yunus, 1999: 177–178), kekuatan‐kekuatan ini terdiri atas

kekuatan sentrifugal dan sentripetal.

Dwi Y. Sulistyowati dalam penelitiannya

mengidentifikasi bahwa persaingan antara pasar tradisional

dan pasar swalayan sangat ketat adalah dalam hal segmen

pasar, komoditas, dan pangsa pasar. Selain itu, faktor lain

yang menarik minat pengunjung adalah keamanan dan

kenyamanan (Sulistyowati, 1999). Sussy R. Agustini

dalam penelitiannya menemukan bahwa faktor‐faktor yang

mempengaruhi penyediaan fasilitas kota meliputi: jenis

fasilitas, kualitas pelayanan, aksesibilitas, lokasi

pengembangan, dan pengelolaan (Agustini, 2003). Untuk

mengembangkan kawasan perbatasan sebagai sebuah

simpul ekonomi, perlu belajar dari perkembangan pusat–

pusat perbelanjaan yang selama ini telah dibangun. Suwito

Santoso, menyebutkan kunci keberhasilan pusat

perbelanjaan adalah keberhasilan menarik pengunjung

untuk itu harus memperhatikan faktor eksternal dan

internal. Faktor eksternal meliputi: lokasi, kemudahan

pencapaian, dan visibility (jarak penglihatan), sedangkan

faktor internal meliputi: tenant mix, profil demografi,

desain bangunan, masalah parkir, harga sewa, dan timing

(Kompas, 2002).

Pusat perbelanjaan yang ada di perbatasan Pulau

Sebatik‐Tawau adalah pasar perbatasan. Abi Syahmora

(Syahmora, 2003) menurut penelitiannya, faktor–faktor

yang menjadi penentu lokasi optimal pembangunan sebuah

pasar, yaitu: kedekatan terhadap kawasan permukiman;

ketersediaan lahan dan luasan lokasi yang memadai;

ketersediaan jaringan jalan ke lokasi pasar; kesesuaian

lokasi terhadap rencana tata ruang kota (konsistensi antara

perencanaan dan implementasi); daerah bebas banjir/

genangan; kepadatan penduduk yang menunjang;

ketersediaan jaringan transportasi; topografi yang datar;

dan ketersediaan sarana pembuangan limbah (saluran

drainase, fasilitas sampah). Salah satu instrumen yang

memacu perkembangan kawasan perbatasan adalah

pengembangan permukiman. Dalam penelitiannya di

Tawau, Malla Paruntung (2003) menyebutkan faktor yang

mempengaruhi preferensi memilih lokasi permukiman

yaitu: aksesibilitas, harga rumah, kepastian hukum tanah,

sarana prasarana, kenyamanan bertempat tinggal, dan

kebijakan pemerintah. Pada umumnya kawasan perbatasan

merupakan wilayah pinggiran kawasan perkotaan.

Dalam penelitian Ahmadi (2005), faktor‐faktor yang

mempengaruhi perkembangan fisik pinggiran kota

meliputi: ketersediaan penduduk (pertambahan, kepadatan

dan migrasi); adanya kebijakan pengembangan area

pinggiran kota; ketersediaan fasilitas penunjang

perumahan yang mencakup ketersediaan fasilitas

pendidikan, kesehatan, dan perdagangan jasa pada area

pinggiran kota; arahan alokasi perumahan dalam hal ini

terkait dengan pembangunan perumahan baru oleh

pemerintah, pengembang, maupun oleh masyarakat

sendiri di area pinggiran; aksesibilitas atau keterjangkauan

terkait dengan kondisi sarana dan prasarana pergerakan

dari area pinggiran ke pusat kota dan sebaliknya; dan

relokasi sektor atau zona kota dan pembangunan/

pengembangan fungsi baru di pinggiran kota. Sistem

transportasi berperan terhadap tumbuh kembangnya kota

dan pertumbuhan ekonomi melalui tingkat aksesibilitas

dan mobilitas. Aksesibilitas adalah mudahnya suatu lokasi

dihubungkan dengan lokasi lainnya melalui sistem

transportasi.

Page 13: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

4

Aksesibilitas merupakan ukuran kemudahan dan

kenyamanan mengenai cara lokasi tata guna lahan yang

saling berpencar dapat saling berinteraksi (Miro, 2002:

18), yang dinyatakan dalam ukuran: jarak, waktu, dan

biaya perjalanan (Tamin, 1997: 52). Mobilitas diartikan

sebagai tingkat kelancaran perjalanan, dan diukur melalui

banyaknya perjalanan (pergerakan) dari suatu lokasi ke

lokasi lain sebagai akibat tingginya akses antara

lokasi‐lokasi tersebut (Miro, 2002: 22).

Permintaan diartikan sebagai keinginan konsumen untuk

membeli suatu barang dan jasa pada tingkat harga tertentu

dan priode waktu tertentu. Adapun faktor-faktor yang

mempengaruhi permintaan suatu barang adalah adalah

harga barang itu sendiri, harga barang lain yang terkait,

tingkat pendapatan perkapita, selera konsumen, jumlah

penduduk, perkiraan harga mendatang, distribusi

pendapatan dan usaha produsen meningkatkan pendapatan.

Penawaran didifenisikan sebagai jumlah barang yang

ditawarkan pada berbagai tingkat harga selama priode

tertentu, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

adalah harga serta faktor lain yang dapat disederhanakan

faktor non harga meliputi harga barng lain yang terkait,

harga faktor produksi, biaya produksi, teknologi, jumlah

pedagang tujuan perusahaan serta kebijakan pemerintah.

(Raharja, 2002:18)

5. HASIL PENELITIAN

5.1 Interaksi Perdagangan

Di perbatasan Pulau Sebatik‐Tawau terdapat 4 pasar

tradisional yang berlokasi di Tawau yaitu pasar Sari

Tanjung, Pasar Baru, Pasar Tani dan Pasar Gantung. Dari

ke-empat pasar tersebut pasar sari tanjung merupakan

pasar terbesar yang ditempati sekitar 2000 penjual, mereka

menjual hampir seluruh jenis kebutuhan hidup, begitu juga

dengan Pasar Baru namun kapasitasnya lebih kecil dan

hanya di tempati oleh kurang lebih 500 penjual, Kedua

pasar ini menjual berbagai jenis barang seperti pakaian,

celana, elektronik, bahan bangunan, peralatan pertanian

dan perikanan, makanan, dan lainnya. Jenis barang yang

banyak dibeli oleh warga Pulau Sebatik adalah makanan

(sembako), lauk pauk, gas, bahan bagunan, bumbu dapur,

buah-buahan, makanan olahan, obat-obatan, pecah belah,

perabot rumah tangga, makanan ringan/semilan, poduk

elektronik. dan lainya. Berbeda dengan pasar tani yang

khusus menjual hasil-hasil pertanian saja, semetara pasar

gantung khusus menjual pakaian jadi, kebanyakan

pakaian yang dipasarkan berasal dari Indonesia, pasar

tradisional tersebut berlokasi di Tawau, Malaysia.

Keempat pasar tersebut jaraknya berdekatan dan

disekitarnya terdapat 3 pasar modern masing-masing

Pakwell, Survey Jaya dan Sabindo Plasa.

Daya tarik kota Tawau yang merupakan kota terbesar

ketiga di Negara bagian Sabah Malaysia. Sebagai pusat

aktititas bisnis, sangat berpengaruh terhadap interaksi

perdagangan diwilayah perbatasan Pulau Sebatik

Indonsesia-Tawau Malaysia. Tiga pasar modern dan empat

pasar tradisional yang berdekatan menawarkan pilihan-

pilihan tempat belanja yang dapat memberikan kepuasan

kepada para pengunjung, menjadi daya tarik bagi warga

Pulau Sebatik dan Nunukan khususnya dan warga

Kalimantan Timur pada umumnya. Setiap hari secara legal

lebih dari 100 warga Negara Indonesia menyeberang ke

Tawau melalui ke Imigrasian Nunukan dangan berbagai

tujuan seperti sekedar jalan-jalan mencari hiburan,

berbelanja untuk memenuhi kebutuhan, mengunjungi

keluarga dan untuk tujuan bisnis. Kebijakan pemerintah

daerah Nunukan mengijinkan Warga Negara Indonesia

yang berkunjung ke Tawau untuk berbelanja tidak lebih

dari 600 ringgit Malaysia.

Kebijakan ini tidak berlaku bagi WNI yang menyeberang

secara illegal dari Pulau Sebatik yang diperkirankan

jumlahnya antara 1 – 2 % dari 38339 jumlah penduduk

perhari, melalui tujuh pelabuhan-pelabuhan kecil yang

tersebar di pesisir Pulau Sebatik yang hanya bisa memuat

perahu-perahu kecil. Perahu-perahu kecil inilah yang

menjadi alat teransportasi bagi barang-barang illegal

berupa hasil pertanian dari Pulau Sebatik Indonesia

menuju ke Tawau Malaysia, sebaliknya setelah kembali

perahu tersebut membawa berbagai jenis barang-barang

dari Tawau juga secara illegal. Pada umumnya di

pelabuhan-pelabuhan kecil inilah terjadi aktivitas bisnis

illegal terjadi baik dari sisi pemintaan maupun penawaran.

Kenyataan tersebut menunjukkan bahwa interaksi

perdagangan terjadi karena terbentuk permintaan dan

penawaran, ada pasar dan ada konsumen, potensi

perdagangan besar dan memiliki prospek yang

menjanjikan..

5.2. Identifikasi jenis permintaan dan penawaran

barang/jasa dikawasan perbatasan,

5.2.1. Penawaran Barang/Jasa Pulau Sebatik versus

Permintaan Barang/Jasa Tawau

Penawaran didifenisikan sebagai jumlah barang yang

ditawarkan pada berbagai tingkat harga selama priode

tertentu, faktor-faktor yang mempengaruhi penawaran

adalah harga serta faktor lain yang dapat disederhanakan

faktor non harga meliputi harga barng lain yang terkait,

harga faktor produksi, biaya produksi, teknologi, jumlah

pedagang tujuan perusahaan serta kebijakan pemerintah.

Hasil penelitian menunjukan bahwa potensi sumber daya

alam yang dimiliki Pulau Sebatik adalah: Agro Industri

(pertanian, perkebunan dan kehutanan), kelautan,

perdagangan internasional dan Parawisata. Potensi ini

perlu dijaga, dilindungi dan dikelola dengan baik agar

tidak habis dan akhirnya mengurangi pendapatan

masyarakat..

Prasarana dasar Pulau Sebatik, belum terpenuhi dengan

baik seperti, ketersediaan air bersih ketersediaan angkutan

umum, dan ketersediaan jalan yang sudah diaspal jauh

Page 14: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

5

lebih sedikit dari jalan yang belum diaspal. Jalan

merupakan urat nadi perekonomian sebagai penghubung

antara satu daerah dengan daerah lainnya. Jika jalan yang

ada, tidak diperhatikan masalah pembangunan dan

pemenuhan kebutuhan masyarakat akan mengalami

hambatan terutama untuk membawa hasil kebun dan

pertanian mereka untuk dijual kepasar, hal ini terjadi di

Pulau Sebatik, dimana masyarakat menjual hasil kebun

dan tangkapan ikan ke Tawau, karena lebih dekat dan

transportasi laut sangat mudah dan murah, bila warga

Pulau Sebatik ingin menjual hasil kebun dan ikan ke Pulau

Nunukan memakan waktu yang cukup lama kurang lebih 3

jam baik menggunakan transportasi darat (kendaraan

umum) dan perahu tempel.

Kondisi ini mempersulit arus barang dari Pulau Sebatik ke

Nunukan, dan begitu juga sebaliknya. Sehingga satu-

satunya pasar yang efektif untuk men-supply seluruh hasil

pertanian, perkebunan, kehutanan dan kelautan adalah

Tawau,. sehingga bisa dikatakan bahwa selain yang

dikonsumsi masyarkat Sebatik lebih suka menjual hasil

panen mereka ke Tawau. Kebijakan Pemerintah Malaysia

tidak melarang supply barang-barang tersebut karena

memberikan keuntungan bagi negaranya, kecuali rokok

dan sarung batik dilarang untuk melindungi produk yang

sama dalam negeri mereka.

Seperti halnya penawaran barang tidak jauh berbeda

dengan penawaran jasa, penawaran jasa terjadi secara legal

maupun illegal saat ada permintaan tenaga kerja dari

Tawau-Malaysia secara formal atau tidak formal seperti

tenaga kerja bangunan, pekerja kebun Sawit, penjaga toko,

pembantu rumah tangga dan lainnya, tenaga kerja inipun

kebanyakan di supply secara illegal oleh pihak-pihak

tertentu, mereka didatangkan dari Pulau Jawa, Nusa

Tenggara Barat dan Sulawesi Selatan dan wilayah

Indonesia lainnya diselundupkan melalui Pulau Nunukan

dan Pulau Sebatik, tingginya standar gaji tenaga kerja

kasar di Tawau Malaysia, dan kurangnya lapangan kerja di

Indonesia sebagai jalan pintas bagi pencari kerja warga

Indonesia untuk bekerja di Tawau Malaysia, walaupun

harus di selundupkan, praktek-praktek seperti ini sering

terjadi baik melalui nunukan maupun Pulau Sebatik,

sehingga resiko-resiko yang terkena deportasi tidak jarang

terjadi.

5.2.2.Permintaan Barang/Jasa Pulau Sebatik versus

Penawaran Barang/Jasa Tawau

Pendapatan masyarakat Pulau Sebatik bersumber dari

berkebun, bertani, nelayan, wiraswasta, pegawai negeri

dan swasta. Letak Pulau Sebatik yang secara geografis

terpisah oleh laut menyebabkan interaksi masyarakat

Pulau Sebatik terbatas, dimana masyarakat Pulau Sebatik

bila membeli kebutuhan sehari-hari selalu menyeberang ke

Tawau, kedekatan secara geografis dan sarana transportasi

laut selalu tersedia setiap saat menjadikan aksesibilitas

mudah dan murah, kualitas barang bagus, harga-harga

barang relative murah sebagai factor pemicu pertumbuhan

permintaan barang dan jasa dari tahun ketahun bahkan

masyarakat Pulau Sebatik mengatakan bahwa 80%

kebutuhan keluarga mereka diperoleh dari Tawau

Malaysia (hasil survey). Perkembangan permintaan barang

dan jasa dari sekedar memenuhi kebutuhan sehari-hari

hingga menjadi lahan bisnis yang menjanjikan, semakin

marak terjadi, sehingga penyelundupan barang-barang dari

Tawau, tidak dapat dicegah bahkan terjadi setiap hari.

Permintaan diartikan sebagai keinginan konsumen untuk

membeli suatu barang dan jasa pada tingkat harga tertentu

dan priode waktu tertentu. Adapun faktor-faktor yang

mendorong permintaan suatu barang adalah harga barang

itu sendiri, harga barang lain yang terkait, tingkat

pendapatan perkapita, selera konsumen, jumlah penduduk,

perkiraan harga mendatang, distribusi pendapatan dan

usaha produsen meningkatkan pendapatan. Pulau Sebatik

sebagai salah satu pasar potensi bagi hasil produksi Tawau

Dari hasil analisa faktor ditemukan dua kelompok barang

konsumsi yaitu kelompok konsumsi permintaan dari

Tawau sebanyak tujuh jenis dan kelompok konsumsi

permintaan barang dalam negeri,sebanyak 5 jenis dari 12

jenis kelompok barang yang dianalisa yang diduga

menjadi permintaan pasar dan toko-toko atau yang paling

disukai masyarakat Sebatik. Dari 12 jenis kelompok

barang tujuh kelompok dominan dari Tawau yaitu: 1). Sembako, Gula Pasir, minyak goreng, tepung terigu, dan

lainnya, 2) Sayur mayor, 3) Bumbu-bumbu Dapur, 4) Buah-buahan, 5) Minuman, Susu, Coklat(milo), teh, kopi

dan minuman lainnya, 6) Makanan olahan, sosis, bakso,

dan sejenisnya, 7) Perabot rumah tangga, panci, wajan

dan lainnya.

Sedangkan lima lainnya yaitu: 1) Cemilan, Makanan jadi,

Snack, Permen, Coklat Dan Sejenisnya, 2) Obat-obatan,

obat gosok, obat sakit kepala dan lain-lain. 3) Pakaian, T-

shirt, Kemeja,dan sejenisnya, 4) Bahan Bangunan, semen,

besi, kunci, cat, seng dan sejenisnya, 5) Hiburan.

Sayur mayur adalah salah satu diantranya dari Pulau

Sebalik yang dijual di Tawau, dibeli kembali oleh warga

Sebatik yang belanja dipasar Tawau Malaysia. Dapat

dihitung berapa besar keuntungan didapat Tawau dari

masyarakat masyarakat Sebatik setiap harinya. Hal ini

disebabkan karena transportasi antar pulau Kalimantan

Timur masih terbatas, investor yang mau investasi juga

masih belum banyak yang tertarik Karena prasarana dasar

saja belum mampu dipenuhi oleh pemerintah setempat.

5.3. Faktor–faktor Pendorong permintaan dan

penawaran barang kawasan perbatasan khususnya

pada sisi Pulau Sebatik dan implikasi yang timbul.

5.3.1 Aksesibiltas dan Mobiltas

Kemudahan akses dari Pulau Sebatik ke Tawau melalui

teranspotasi laut yang hanya ditempu dalam hitungan

Page 15: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

6

menit dengan biaya yang murah merupakan faktor pemicu

pertumbuhaan permintaan dan penawaran barang dan jasa

dikawasan tersebut, disadari bahwa ketidakseimbangan

terjadi dan cendrung lebih menguntungkan Tawau, sebab

semua barang yang ditawarkan adalah barang jadi.

sementara yang disupply oleh masyarakat Sebatik adalah

barang dasar sehingga nilainya lebih kecil. Namun

menurut masyarakat Sebatik harga beli yang ditawarkan

oleh Tawau lebih tinggi dibanding penawaran dalam

negeri.

Kebutuhan prasarana dasar, sarana, untuk aksesi bilitas

diciptakan sendiri oleh masyarakat seperti pelabuhan

walaupun hanya alakadarnya yang penting bagi mereka

adalah aktifitas bisnisnya tetap berjalan, mereka tidak

peduli bahaya mengacam jiwanya. Begitupula masalah

pengelolaan pelabuhan dan stabilitas keamanan, kuatnya

hubungan kekerabatan yang terjalin antara masyarakat

kedua Negara mampu menciptakan harmonisasi aktifitas

bisnis yang saling menguntungkan.

5.3.2.Lokasi

Letaknya yang strategis juga merupakan faktor yang

mempengaruhi volume permintaan dan penawaran barang

dan jasa dari Tawau Malaysia – ke Pulau Sebatik

Indonesia semakin meningkat baik dari segi jumlah

maupun dari segi variasinya. Bebagai jenis variasi barang

mulai dari kebutuhan yang paling mendasar seperti

gas,sembako, bumbu dapur, daging ayam dan daging sapi,

buah-buahan, alat-alat rumah tangga, bahan bangunan

seperti semen, besi, dan lain-lain. Kemampuan supply dari

Tawau Malaysia ke Pulau Sebatik, menjadikan Pulau

Sebatik sebagai wilayah persinggahan barang –barang

yang masuk secara illegal kemudian disalurkan ke

berbagai Wilayah di Indonesia seperti ke Tarakan, Berau,

Bulungan, Balikpapan, Samarinda bahkan sampai ke

Sulawesi Selatan melalui pelabuhan Pare-pare,. Terbentuk

interaksi Aliran supply barang dan jasa ke perbatasan

merupakan dampak dari meluasnya pasar-pasar produk

Malaysia dan jangkauan transportasi laut yang semakin

mudah dan terjangkau melalui kapal PELNI yang setiap

minggu berlabu di Pelabuhan Nunukan.

5.3.3 Perdagangan barang dan jasa

Perdagangan cenderung meningkat, disebabkan oleh:

prospek yang menarik, jaminan keamanan, tingkat

penjualan yang menguntungkan serta terdapat pangsa

pasar. Pasar lebih bersifat memenuhi kebutuhan warga dan

merambat ke kebutuhan bisnis sebagai sumber pendapatan.

Proses interaksi terbentuk karena adanya demand yang

tinggi dari Pulau Sebatik, untuk barang-barang produk

Malaysia, dan sebaliknya besarnya demand warga Tawau

terhadap hasil pertanian dan perkebunan serta hasil laut

Pulau Sebatik. Warga Pulau Sebatik berbelanja karena

barang dan jasa yang tersedia di Tawau Malaysia lebih

banyak dan bervariasi pilihannya, dan harganya lebih

murah. Interaksi yang berlangsung Lebih menguntungkan

bagi Tawau Malaysia dibanding terhadap Pelau Sebatik

(masuknya devisa).

5.3.4 Implikasi bagi kawasan perbatasan Pulau

Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia

Implikasi yang timbul bagi kawasan perbatasan Pulau

Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia meliputi: Secara

Ekonomi, masyarakat memperoleh pendapatan, membuka

lapangan kerja, terjadi peluang usaha, memotivasi petani

dan nelayan karena ada pangsa pasar. Secara Fisik

Keruangan, terjadi pembangunan, terbentuk akses

transportasi, terjadi mobilisasi dan mencegah imigrasi.

Secara Sosial Budaya, masyarakat sadar akan penting

pendidikan, keterampilan, memahami masalah kesehatan

dan implikasi‐implikasi lainnya.

6. KESIMPULAN DAN REKOMENDASI

1.1 Kesimpulan

a. Sumber pendapatan masyarakat Pulau Sebatik adalah:

Agro Industri (perkebunan dan Kehutanan), Kelautan,

Perdagangan Internasional dan Parawisata Semua

potensi daerah merupakan sumber pendapatan bagi

warga pulau Sebatik, yang umumnya berprofesi

sebagai nelayan, petani, pekebun, pedagang, pegawai

negeri dan pegawai swasta. Satu-satunya pasar bagi

hasil pertanian dan perkebunan serta kelautan mereka

di supply ke Tawau Malaysia, aksesibilitas dan

mobilitas yang murah dan murah dan cepat adalah

dipasarkan Tawau Malaysia, mengingat hasil pertanian,

perkebunan dan kelautan sifatnya tidak bisa bertahan

lama. Demand terhadap barang-barang hasil pertanian,

perkebunan dan kelautan dari Pulau Sebatik memiliki

pangsa pasar yang sangat baik di Tawau Malaysia,

namun pendapatan masyarakat tidak maksimal karena

masih dikelola secara tradisional.

b. Tawau Malaysia memiliki 4 pasar tradisional dan 3

pasar modern menjadi daya tarik bagi warga Pulau

Sebatik untuk berbelanja dan memenuhi kebutuhan

hidup sehari-hari, hal ini ditunjang oleh transportasi

laut mudah, murah dan cepat. Kurang lebih 80%

kebutuhan hidup masyarakat Pulau Sebatik di supply

dari Tawau Malaysia, Kemampuan Tawau Malaysia

untuk men-supply berbagai jenis barang dalam jumlah

yang besar ke wilayah perbatasan direspon oleh

pangsa pasar karena kualitasnya bagus, harganya

murah dan mendapatkannya mudah, sehingga demand

terhadap berbagai jenis barang dari Tawau Malaysia

secara terus-menerus mengalami peningkatan, bahkan

sudah berkembang menjadi komoditi bisnis, sehingga

dapat menambah pendapatan bagi warga sebatik

c. Faktor–faktor yang mempengaruhi permintaan dan

penawaran barang kawasan perbatasan khususnya pada

sisi Pulau Sebatik yaitu Aksesibiltas dan Mobiltas

Kemudahan akses dari Pulau Sebatik ke Tawau melalui

teranspotasi laut yang hanya ditempu dalam hitungan

menit dengan biaya yang murah merupakan faktor

Page 16: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

7

pemicu pertumbuhaan permintaan dan penawaran

barang dan jasa dikawasan tersebut. Letaknya yang

strategis juga merupakan faktor yang mempengaruhi

volume permintaan dan penawaran barang dan jasa dari

Tawau Malaysia – ke Pulau Sebatik Indonesia semakin

meningkat baik dari segi jumlah maupun dari segi

variasinya. Perdagangan cenderung meningkat,

disebabkan oleh: prospek yang menarik, jaminan

keamanan, tingkat penjualan yang menguntungkan serta

terdapat pangsa pasar. Pasar lebih bersifat memenuhi

kebutuhan warga dan merambat ke kebutuhan bisnis

sebagai sumber pendapatan; Implikasi bagi kawasan

perbatasan Pulau Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia

Implikasi yang timbul bagi kawasan perbatasan Pulau

Sebatik Indonesia –Tawau Malaysia khususnya di Pulau

Sebatik meliputi: Secara ekonomi, masyarakat

memperoleh pendapatan, membuka lapangan kerja,

terjadi peluang usaha, memotivasi petani dan nelayan

karena ada pangsa pasar. Secara Fisik Keruangan, terjadi

pembangunan, terbentuk akses transportasi, terjadi

mobilisasi dan mencegah imigrasi. Secara Sosial

Budaya, masyarakat sadar akan penting pendidikan,

keterampilan, memahami masalah kesehatan dan

implikasi‐implikasi lainnya

6.2 Rekomendasi

1. Pulau Sebatik memerlukan sebuah pendekatan

pembangunan wilayah yang tepat, salah satu

diantaranya adalah dengan menjadikan Pulau Sebatik

sebagai sebuah Kawasan Pengembangan Ekonomi

Terpadu (KAPET) hal ini memungkinkan karena

terletak diwilayah perbatasan dengan Malaysia.

2. Perlu adanya payung hukum bagi pengelolaan kelautan

yang komprehensif. melalui Dinas Perikanan dan

kelautan dan propinsi Kalimantan Timur. Bagaimana

pengelolaan laut secara oftimal dan signifikan untuk

meningkatkan pendapatan masyarkat karena ada

pangsa pasar potensial diTawau Malaysia, masyarakat

perlu diberikan pelatihan cara mencari atau menangkap

ikan dengan menggunakan metode modern.

3. Perlu adanya pengembangan ekonomi lokal yang

menekankan pada pemberdayaan potensi lokal, baik itu

sumber daya alam, sumber daya manusia, kelembagaan

melalui upaya masyarakat lokal utnuk meningkatkan

kesejahteraan. mengembangkan sentra-sentra produksi

(perikanan, pertanian, perkebunan, perdagangan dan

jasa).

4. Menfasilitasi pengembangan forum-forum kemitraan

dengan melibatkan semua stadeholder untuk berdialog

memikirkan mengenai pembangunan ekknom, forum

ini berfungsi sebagai wahana partisipasi dalam tatanan

perencanaan, perumusan kebijakan, pelaksanaan

layanan

DAFTAR PUSTAKA

[1] Adisasmita, Rahardjo. 2005. Dasar–Dasar

Ekonomi Wilayah. Yogyakarta: Penerbit Graha

Ilmu.

[2] Agustini, S.R. 2003. Penyediaan Fasilitas Kota Di

Kota Cibinong: Faktor‐Faktor Yang Berpengaruh.

Tidak Diterbitkan, MPWK ITB, Bandung,

Indonesia.

[3] Ahmadi. 2005. Faktor‐Faktor Yang Mempengaruhi

Perkembangan Fisik Area Pinggiran Kota

Berdasarkan Aspek Persepsi Bermukim pada Kota

Sengkang Provinsi Sulawesi Selatan.

[4] Tesis, Tidak Diterbitkan, MPPWK Universitas

Diponegoro, Semarang, Indonesia. Blair, J.P. 1995.

Local Economic Development‐Analysis and

Practice. Canada: Sage Publication.

[5] Dicken, Peter and Lloyd, P.E. 1990. Location In

Space: Theoritical Perspectives In Economic

Geography. New York, USA: Harper Collins

Publisher Inc.

[6] Djojodipuro, Marsudi. 1992. Teori Lokasi. Jakarta:

Lembaga Penerbit Universitas Indonesia (UI). Guo,

R, 2004. Cross Border Resource Management,

Regional Science Association of China at Peking

University, Beijing, China.

[7] Hair, J.F, et all. 1998. Multivariate Data Analysis.

Fifth Edition. New Jersey, USA: Prentice‐Hall

International, Inc.

[8] Husnadi. 2003. Menuju Model Pengembangan

Kawasan Perbatasan Darat Antar Negara (Studi

Kasus: Kecamatan Paloh Dan Sajingan Besar

Kabupaten Sambas, Kalimantan Barat). Tesis,

Tidak Diterbitkan, MTPPWK Universitas

Diponegoro, Semarang, Indonesia. 114

[9] Kuncoro, M. 2002. Analisis Spasial dan Regional:

Studi Aglomerasi & Kluster Industri Indonesia.

Yogyakarta: AMP YKPN.

[10] Moleong, L.J. 2005. Metodologi Penelitian

Kualitatif. Bandung: Penerbit PT. Remaja

Rosdakarya.

[11] Miro, F. 2002. Perencanaan Transportasi, untuk

Mahasiswa, Perencana dan Praktisi. Jakarta:

Erlangga.

[12] Nugroho, Iwan dan Dahuri, Rochmin. 2004.

Pembangunan Wilayah Perspektif Ekonomi, Sosial

dan Lingkungan. Jakarta: Penerbit Pustaka LP3ES.

[13] O‟Sullivan, A. 2003. Urban Economics. Fifth

Edition. New York: Mc Graw ‐ Hill Companies.

[14] Paruntung, Malla. Faktor – Faktor yang

Mempengaruhi Pemilihan Lokasi Perumahan

Perumnas IV Padang Bulan – Abepura, Kota

Jayapura. Tesis. Tidak Diterbitkan, MPPWK

Universitas Diponegoro, Semarang, Indonesia.

[15] Santoso, Singgih, dan Tjiptono, Fandy. 2001. Riset

Pemasaran Konsep dan Aplikasi Dengan SPSS.

Jakarta: PT. Elex Media Komputindo Gramedia.

Page 17: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

8

[16] Santoso, Singgih. 2006. Mengunakan SPSS untuk

Statistik Multivariat. Jakarta: PT. Elex Media

Komputindo, Gramedia.

[17] Sulistyowati, D.Y. 1999. Kajian Persaingan Pasar

Tradisional Dan Pasar Swalayan Berdasarkan

Pengamatan Perilaku Berbelanja Di Kotamadya

Bandung. Departemen Teknik Planologi, Institut

Teknologi Bandung, Bandung, Indonesia.

[18] Syahmora, Abi. 2005. Lokasi Optimal

Pembangunan Pasar di Kota Lahat Berdasarkan

Kajian Faktor – Faktor Lokasi Penentu Pasar.

Tesis. Tidak Diterbitkan, MPPWK Universitas

Diponegoro, Semarang, Indonesia.

[19] Tamin, O.Z. 1997. Perencanaan dan Permodelan

Transportasi. Bandung: Institut Teknologi

Bandung.

[20] Tarigan, Robinson. 2005. Perencanaan

Pembangunan Wilayah. Edisi Revisi 2005. Jakarta:

PT. Bumi Aksara. www.bappenas.go.id. 2007.

Rencana Induk Pengelolaan Kawasan Perbatasan

Antar Negara‐Buku Utama, Prinsip Dasar, Arah

Kebijakan, Strategi dan Program Pembangunan,

Jakarta, Indonesia.

[21] Yunus, H.S. 1999. Struktur Tata Ruang Kota.

Yogyakarta: Pustaka Pelajar

Page 18: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

9

Pengaruh Kualitas Sistem Informasi, Kualitas Informasi, Dan Kualitas

Pelayanan Terhadap Kepuasan Pengguna Sistem Informasi pada Bank

Umum di Bandung

Ferdiansyah Ritonga

a, Fery Fitri Yanto

b

aSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STAN-Indonesia Mandiri, Mahasiswa Program Doktor Akuntansi, FEB Universitas Padjadjaran Bandung

E-mail : [email protected]

bSekolah Tinggi Ilmu Ekonomi STAN-Indonesia Mandiri

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan penelitian ini adalah menganalisis mengenai pengaruh kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas

pelayanan terhadap kepuasan pemgguna sistem informasi.

Sampel yang diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 karyawan pengguna sistem informasi pada Bank Umum di

Bandung. Dengan menggunakan analisis regresi berganda, hasil penelitian ini menunjukkan bahwa kualitas sistem informasi

memiliki pengaruh positif tidak signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem informasi, sedangkan kualitas informasi dan

kualitas pelayanan memiliki pengaruh positif dan signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.

Besarnya nilai koefisien determinasi untuk variabel kualitas sistem informasi, kualitas informasi dan kualitas pelayanan adalah

39,7%, sisanya 60,3% dijelaskan oleh variabel-variabel lain yang mungkin mempengaruhi kualitas sistem informasi, kualitas

informasi, dan kualitas pelayanan.

Temuan dalam penelitian ini menjelaskan bahwa jika bank umum di Bandung ingin meningkatan kepuasan pengguna sistem

informasinya maka sebaiknya para penyedia program memberikan sistem informasi yang mudah digunakan, sesuai dengan

kebutuhan serta pelayanan yang baik dari penyedia sistem informasi tersebut.

Kata Kunci

Kualitas sistem informasi, kualitas informasi, kualitas pelayanan, dan kepuasan pengguna sistem informasi

1. PENDAHULUAN

Pada era globalisasi ini, banyak perusahaan yang

menggunakan fasilitas-fasilitas atau alat bantu untuk

memperlancar kegiatan usahanya. Salah satunya dengan

cara menerapkan sistem untuk mempermudah pekerjaan

para pegawainya. Maka dari itu topik mengenai kepuasan

pengguna sistem informasi menjadi menarik untuk diteliti,

karena topik ini akan menjadi tolak ukur dari setiap sistem

yang digunakan oleh perusahaan saat ini.

Seddon (1997) dalam Iranto (2012) menyatakan bahwa

penggunaan sistem informasi merupakan perilaku yang

muncul akibat adanya keuntungan atas pemakaian sistem

informasi tersebut. Perilaku yang ditimbulkan dari

pemakaian sistem informasi ini dalam proses selanjutnya

diharapkan akan memberikan dampak terhadap kinerja

individu. Keberhasilan sistem informasi suatu perusahaan

tergantung bagaimana sistem itu dijalankan, kemudahan

sistem itu bagi para pemakainya, dan pemanfaatan

teknologi yang digunakan (Goodhue, 1995). Kepuasaan

pengguna akhir sistem informasi dapat dijadikan sebagai

salah satu ukuran keberhasilan suatu sistem informasi (Doll

dan Torkzadeh, 1988).

Kepuasan pemakai terhadap suatu sistem informasi adalah

bagaimana cara pemakai memandang sistem informasi

secara nyata, tapi tidak pada kualitas sistem secara teknik

(Guimaraes, Staples, dan McKeen, 2003). Dalam literatur

penelitian, user satisfaction seringkali digunakan sebagai

ukuran pengganti dari efektivitas sistem informasi (Melone,

1990).

Penelitian di Indonesia atas instrumen kepuasan pengguna

sistem informasi telah dilakukan oleh Purwaningsih (2010)

dimana penelitian tersebut dilakukan pada sistem informasi

pelayanan terpadu (SIPT) online di PT Jamsostek dengan

menggunakan variabel kualitas sistem, kualitas informasi,

dan kualitas pelayanan sebagai variabel yang

mempengaruhinya. Hasil penelitian tersebut menunjukkan

bahwa kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan

kualitas pelayanan berpengaruh positif dan signifikan

terhadap kepuasan pengguna sistem informasi. Hasil

penelitian ini juga mendukung hasil penelitian yang

dilakukan oleh Istianingsih (2007), Istianingsih dan Wijanto

(2008), serta Istianingsih dan Utami (2009).

Penelitian mengenai kualitas sistem informasi terhadap

kepuasan pengguna sistem informasi telah banyak

dilakukan. Beberapa diantaranya penelitian yang dilakukan

oleh Kim et. al (2002) dan, Chiu et. al (2007) yang

Page 19: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

10

menyatakan bahwa kualitas sistem berpengaruh positif

signifikan terhadap kepuasan pengguna. Temuan tersebut

berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Premkumar

et. al (1994) yang menyatakan bahwa kualitas sistem tidak

berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.

Selanjutnya, mengenai hubungan kualitas informasi

terhadap kepuasan pengguna sistem informasi juga telah

banyak dilakukan oleh peneliti-peneliti terdahulu. Beberapa

diantaranya, penelitian yang dilakukan oleh Kim et. al

(2002) dan, Chiu et. al (2007) yang menyatakan bahwa

kualitas informasi berpengaruh positif signifikan terhadap

kepuasan pengguna sistem informasi. Hal tersebut berbeda

dengan temuan atas penelitian yang dilakukan oleh Marble

(2003) yang menyatakan bahwa kualitas informasi tidak

berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.

Selain itu penelitian mengenai kualitas pelayanan terhadap

kepuasan pengguna telah banyak juga dilakukan. Beberapa

diantaranya, penelitan yang dilakukan oleh Kettinger & Lee

(1994), dan Yoon et. al (1995) yang menyatakan bahwa

kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasan

pengguna. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh

Choe (1996) dan Chiu et. al (2007) yang menyatakan

bahwa kualitas pelayanan tidak berpengaruh terhadap

kepuasan pengguna.

Penelitian ini berusaha mengkaji kembali pengaruh kualitas

sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas pelayanan

terhadap kepuasan pengguna pada pengguna sistem

informasi yang bekerja di bank umum yang ada di

Bandung.

2. REVIEW LITERATUR DAN PENGEMBANGAN

HIPOTESIS

a. Kualitas Sistem Informasi

Menurut Delone dan Mclean (1992) dalam Livari (2005)

mengasumsikan bahwa kualitas sistem dan kualitas

informasi, secara individual dan bersama-sama

mempengaruhi kepuasan pengguna dan penggunaannya.

Penggunaan dan kepuasan pengguna menjadi timbal balik

saling terkait, dan dianggap langsung memiliki dampak

individu, yang kemudian dampak individu ini

mempengaruhi organisasi. Ukuran kepuasan pemakai

sistem komputer dicerminkan oleh kualitas sistem yang

dimiliki (Guimaraes, Igbaria, dan Lu 1992; Yoon,

Guimaraes, dan O‟Neal, 1995). Apabila kualitas sistem

informasi baik menurut persepsi penggunanya, maka

mereka akan cenderung merasa puas dalam menggunakan

sistem tersebut.

Kualitas sistem informasi menurut Davis et.al (1989) dan,

Chin dan Todd (1995) sebagai perceived ease of use yang

merupakan tingkat seberapa besar teknologi komputer

dirasakan relatif mudah untuk dipahami dan digunakan.

Kualitas sistem informasi memerlukan indikator untuk

mengukur seberapa besar kualitas dari sistem informasi.

Kualitas sistem informasi dapat diukur melalui beberapa

indikator yaitu ease of use, response time, reliability,

flexibility, dan security.

b. Kualitas Informasi

Kualitas informasi merupakan kualitas keluaran (output)

yang berupa informasi yang dihasilkan oleh sistem

informasi yang digunakan (DeLone dan McLean, 1992

dalam Iranto, 2011). semakin tinggi kualitas informasi yang

dihasilkan suatu sistem informasi, akan semakin

meningkatkan kepuasan pemakai. Agar informasi akuntansi

yang disajikan dalam bentuk laporan dapat digunakan

sebagai dasar pembuatan keputusan, maka bagian akuntansi

dituntut untuk dapat menyajikan informasi akuntansi yang

relevan, akurat, dan tepat waktu.

Menurut Schaup et. al (2009) dalam Sumiyono dan Pribadi

(2010) berpendapat bahwa kualitas sistem dan kualitas

informasi merupakan elemen-elemen untuk memprediksi

kepuasan pengguna sistem informasi. Kualitas informasi

didefinisikan sebagai derajat hasil informasi dari sistem

informasi yang akurat, relevan, lengkap, dan dalam format

yang diperlukan oleh pengguna sistem informasi.

Sedangkan menurut Theo et. al (2008) dalam Sumiyono

dan Pribadi (2010) berpendapat bahwa kualitas informasi

adalah penilaian orang-orang kepada informasi atas website

yang akurat, valid, dan tepat waktu.

Menurut Rai et. al (2002), kualitas informasi merupakan

output yang berupa informasi yang dihasilkan oleh sistem

informasi yang digunakan. Beberapa dimensi untuk menilai

mengenai kualitas informasi ini adalah authenticity,

accuracy, completeness, uniqueness (nonredudancy),

timeliness, relevance, comprehensibility, precision,

conciceness, dan informativeness (Weber, 1999).

Selanjutnya menurut Hilton et. al (2000:551) dalam Solikin

dan Kustiawan ( 2009) menjelaskan bahwa informasi

akuntansi yang berkualitas harus memenuhi tiga

karakteristik yaitu relevence, accuracy, dan timeliness.

c. Kualitas Pelayanan

Kualitas layanan merupakan persepsi pengguna atas jasa

yang diberikan oleh penyedia paket program aplikasi

akuntansi. Pada awalnya ukuran kualitas layanan ini di

desain untuk mengukur kepuasan pelanggan oleh

Parasuraman, Zeithaml, dan Berry (1985). Mereka

mendefinisikan kualitas pelayanan sebagai perbandingan

antara harapan pelanggan dan persepsi mereka tentang

kualitas layanan pelanggan yang diberikan. Dimensi-

dimensi dari kualitas pelayanan yaitu terdiri dari tangibles,

reliability, responsiveness, assurance , dan emphaty.

Myers et. al (1997), menyatakan bahwa kualitas layanan

seperti halnya dengan kualitas sistem dan kualitas informasi

memiliki pengaruh terhadap kepuasan pengguna. Apabila

pengguna sistem informasi merasakan bahwa kualitas

layanan yang diberikan oleh penyedia paket program

aplikasi akuntansi baik, maka ia akan cenderung untuk

Page 20: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

11

merasa puas menggunakan sistem tersebut. Selanjutnya

menurut Kotler (1997), kualitas layanan adalah suatu daya

tanggap dan realitas dari jasa yang diberikan perusahaan.

Kualitas pelayanan harus dimulai dari kebutuhan pelanggan

dan berakhir pada persepsi pelanggan.

d. Kepuasan Pengguna

Menurut Seddon dan Kiew (1994) dalam Wirahutama

(2011), kepuasan pengguna adalah keseluruhan evaluasi

dari pengalaman pengguna dalam menggunakan sistem

informasi dan dampak potensial dari sistem informasi. User

satisfaction dapat dihubungkan dengan persepsi manfaat (

usefulness) dan sikap pengguna terhadap sistem informasi

yang dipengaruhi oleh karakteristik personal. Kepuasan

pengguna akan mempengaruhi niat untuk menggunakan

sistem informasi dan penggunaan actual.

Menurut Seddon dan Kiew (1994) dalam Wirahutama

(2011), kepuasan pengguna merupakan perasaan bersih dari

senang atau tidak senang dalam menerima sistem informasi

dari keseluruhan manfaat yang diharapkan seseorang

dimana perasaan tersebut dihasilkan dari interaksi dengan

sistem informasi. Selanjutnya menurut Livari (2005) dalam

Purwaningsih (2010), sebuah sistem informasi yang dapat

memenuhi kebutuhan pengguna akan meningkatkan

kepuasan pengguna. Hal ini diwujudkan dengan

kecenderungan peningkatan penggunaan sistem informasi

tersebut. Sebaliknya, jika sistem informasi tidak dapat

memenuhi kebutuhan pengguna maka kepuasaan pengguna

tidak akan meningkat dan penggunaan lebih lanjut akan

dihindari.

e. Hubungan antara Kualitas Sistem Informasi,

Kualitas Informasi, Kualitas Pelayanan dengan

Kepuasan Pengguna Sistem Informasi

Penelitian-penelitian mengenai kualitas sistem informasi,

kualitas informasi, dan kualitas pelayanan terhadap

kepuasan pengguna sudah banyak dilakukan. Dan hasil

penelitian tersebut menunjukkan hasil positif signifikan,

baik duji secara simultan maupun secara parsial. Penelitian

yang dilakukan oleh Istianingsih pada tahun 2009, dimana

penelitian ini dilakukan di Indonesia terhadap para

pengguna aplikasi sistem informasi akuntansi. Hasil

penelitian tersebut menunjukkan bahwa kualitas sistem

informasi dan kualitas informasi berpengaruh positif

terhadap kepuasan pengguna sistem informasi. Hasil

penelitian ini mendukung hasil penelitian sebelumnya yang

dilakukan oleh DeLone dan McLean (1992) dan hasil

penelitian yang dilakukan oleh Seddon (1997).

Penelitian yang dilakukan oleh Purwaningsih pada tahun

2010, di PT Jamsostek (PERSERO). Dimana hasil

penelitian ini menemukan bahwa kualitas informasi

berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan

pengguna. Hasil penelitian ini mendukung hasil penelitian

sebelumnya oleh Roldan dan Leal (2003) serta hasil

penelitian Livari (2005). Selain itu, penelitian ini

menunjukkan bahwa kualitas pelayanan sistem informasi

berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan

pengguna. Hasil ini pun mendukung hasil penelitian

sebelumnya yang dilakukan oleh Pit et.al (1995), hasil

penelitian Myers et.al (1997) yang menunjukkan hasil yang

sama, dan hasil penelitian Lin (2007).

Selanjutnya penelitian lain yang dilakukan oleh Iranto pada

tahun 2012, yang dilakukan di PT.PLN (PERSERO) daerah

Jawa tengah dan DIY. Dimana hasil penelitian ini

menghasilkan bahwa kualitas sistem berpengaruh positif

terhadap kepuasan pengguna sistem informasi. Selain itu

penelitiannya menunjukkan bahwa kualitas informasi

berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan pengguna

sistem informasi. Hasil penelitian ini mendukung hasil

penelitian sebelumnya yang dilakukan oleh Seddon dan

Kiew (1996) dan hasil penelitian McGill et.al (1998).

Berdasarkan logika dari hasil penelitian diatas serta

simpulan dari landasan teori yang ada, maka dapat

digambarkan model penelitian sebagai berikut :

Gambar 1: Model Penelitian

Dari gambar diatas maka dapat dirumuskan hipotesis bahwa

kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas

pelayanan berpengaruh positif dan signifikan terhadap

kepuasan pengguna baik secara simultan maupun secara

parsial.

2. METODE DAN PROSEDUR PENELITIAN

Populasi target dalam penelitian ini adalah seluruh staf

yang bekerja pada bank umum yang ada di Bandung yang

secara aktif merupakan pengguna sistem informasi

akuntansi dalam melaksanakan pekerjaannya. Teknik

penarikan sampel (sampling) yang digunakan dalam

penelitian ini adalah dengan menggunakan teknik acak

sederhana (simple random sampling). Sampel yang

diperoleh dalam penelitian ini adalah sebanyak 50 orang

staf yang bekerja di bank umum di wilayah Kota Bandung.

Instrumen pengukuran adalah alat bantu yang digunakan

oleh peneliti untuk mengumpulkan data. Adapun instrumen

yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

Untuk instrumen pengukuran dari variabel kualitas sistem

informasi, kualitas informasi, dan kepuasan pengguna

Kualitas Sistem

Informasi

Kualitas

Informasi

Kualitas

Pelayanan

Kepuasan

Pengguna

Page 21: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

12

diadopsi dari Sedera dan Gable (2004). Untuk variabel

kualitas sistem informasi terdiri dari 9 (sembilan)

pernyataan, kualitas informasi terdiri dari 6 (enam)

pernyataan, dan kepuasan pengguna sistem informasi terdiri

dari 7 (tujuh) pernyataan. Sedangkan untuk instrumen

pengukuran variabel kualitas pelayanan peneliti

mengadopsi dari instrumen Parasuraman dan Berry (1988),

yang menggunakan 7 (tujuh) likert yang terdiri dari 5

pernyataan. Dimana point 1 (satu) menyatakan sangat tidak

setuju, sedangkan point 7 (tujuh) menyatakan sangat setuju.

Model pemecahan masalah yang digunakan dalam

penelitian ini adalah analisis regresi berganda. Analisis

regresi merupakan salah satu analisis yang menjelaskan

tentang akibat-akibat dan besarnya akibat yang ditimbulkan

oleh satu atau lebih variabel bebas terhadap satu variabel

terikat (Sudarmanto, 2005:1).

3. TEMUAN-TEMUAN

a. Pengujian Kualitas Instrumen

Berikut ini tersaji resume dari hasil pengujian validitas dan

reliabilitas instrumen pengukuran yang digunakan dalam

penelitian ini untuk masing-masing variabelnya:

Tabel 1: Uji Validitas dan Reliabilitas

Variabel Koefisien

Pearson

Koefisien

Cronbach-Alpha

Kualitas Sistem Informasi 0,519-0,817 0,891

Kualitas Informasi 0,636-0,820 0,849

Kualitas Pelayanan 0,424-0,690 0,637

Kepuasan Pengguna 0,559-0,792 0,760

Berdasarkan tabel 1 diatas maka dapat disimpulkan bahwa

semua item dari instrumen pernyataan mengenai variabel

yang menjadi kepentingan dinyatakan valid. Dikarenakan

semua hasil korelasi tiap item dengan total item melampaui

kriteria yang ditetapkan yaitu 0.30. Selanjutnya untuk

masing-masing instrumen pengukuran adalah reliabel

karena koefisien Cronbach Alpha dari masing-masing

variabel adalah lebih besar dari 0.60.

b. Analisis Korelasi

Analisis korelasi ini bertujuan untuk mengetahui seberapa

besar nilai koefisien korelasi antara variabel independen

dengan variabel dependen. Hasil yang lebih rincinya

dijelaskan pada tabel di bawah ini :

Tabel 2: Analisis Korelasi

KSI KI KP KPSI

KSI

Pearson Correlation 1 ,551** ,206 ,427**

Sig. (2-tailed) ,000 ,151 ,002

N 50 50 50 50

KI

Pearson Correlation ,551** 1 ,382** ,538**

Sig. (2-tailed) ,000 ,006 ,000

N 50 50 50 50

KP

Pearson Correlation ,206 ,382** 1 ,470**

Sig. (2-tailed) ,151 ,006 ,001

N 50 50 50 50

KPSI

Pearson Correlation ,427** ,538** ,470** 1

Sig. (2-tailed) ,002 ,000 ,001

N 50 50 50 50

** Correlation is significant at the 0.01 level (2-tailed).

Berdasarkan hasil pengolahan data tersebut, ditemukan

bahwa seluruh variabel independen, yaitu kualitas sistem

informasi, kualitas informasi dan kualitas pelayanan

memiliki korelasi positif dan signifikan dengan variabel

kepuasan pengguna.

Kualitas sistem informasi berkorelasi positif signifikan

dengan kepuasan pengguna , dengan koefisien korelasi

0,427 pada tingkat signifikansi 0,01. Untuk korelasi antara

kualitas informasi dengan kepuasan pengguna, koefisien

korelasi adalah sebesar 0,538 pada tingkat signifikansi 0,01.

Selanjutnya variabel kualitas pelayanan memiliki korelasi

positif signifikan dengan kepuasan pengguna, dengan

koefisien korelasi 0,470 pada tingkat signifikansi 0,01.

c. Pengujian Hipotesis

Pengujian hipotesis dilakukan untuk menguji ada tidaknya

hubungan antara variabel independen terhadap variabel

dependen. Adapun pengujian hipotesis statistiknya

dilakukan dengan dua pengujian, yaitu uji F (uji Simultan)

dan uji t (uji individual). Hasil pengujian hipotesis dapat

dilihat pada tabel berikut ini :

Berdasarkan hasil perhitungan, diperoleh nilai signifikansi

sebesar (0,000) dan signifikan pada (0,05). Hal ini berarti

kualitas sistem informasi, kualitas informasi, dan kualitas

pelayanan secara bersama-sama (simultan) berpengaruh

terhadap variabel kepuasan pengguna sistem informasi pada

bank umum di Bandung.

Tabel 3: ANOVAa

Model Sum of

Squares

Df Mean

Square

F Sig.

1

Regression 3,661 3 1,220 10,088 ,000b

Residual 5,564 46 ,121

Total 9,224 49

a. Dependent Variable: KPSI

b. Predictors: (Constant), KP, KSI, KI

Page 22: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

13

Tabel 4: Coefficients a

Model Unstandardized Coefficients

Standardized Coefficients

t Sig.

B Std. Error Beta

1

(Constant) 1,847 ,707 2,613 ,012

KSI ,143 ,103 ,190 1,382 ,174

KI ,257 ,119 ,315 2,168 ,035

KP 1,203 ,480 ,311 2,508 ,016

a. Dependent variable : KPSI

Dari tabel uji t diatas beberapa hal dapat dikemukakan

sebagai berikut :

Variabel Kualitas Sistem Informasi memiliki nilai

signifikansi sebesar (0,174) pada tingkat signifikansi

(0,05). Ketentuan pengambilan keputusan hipotesis

diterima atau ditolak didasarkan pada besarnya nilai

signifikansi. Jika signifikansi lebih kecil atau sama

dengan 0,05 (≤ 0,05) maka hipotesis kerja diterima dan

sebaliknya. Karena 0,174 > 0,05 maka hipotesis bahwa

“kualitas sistem informasi berpengaruh positif

signifikan terhadap kepuasan pengguna”, tidak dapat

dikonfirmasikan oleh data.

Variabel Kualitas Informasi memiliki nilai signifikansi

sebesar (0,035). Hasil penelitian diperoleh nilai

signifikansi sebesar 0,035 < 0,05; maka disimpulkan

bahwa hipotesis “kualitas informasi berpengaruh positif

signifikan terhadap kepuasan pengguna, dapat

dikonfirmasikan oleh data.

Variabel Kualitas Pelayanan memiliki nilai signifikansi

sebesar (0,016) pada tingkat signifikansi (0,05). Karena

0,016 < 0,05 maka hipotesis yang berbunyi “kualitas

pelayanan berpengaruh positif terhadap kepuasan

pengguna‖, dapat dikonfirmasikan oleh data.

Tabel 5: Model Summary

Model R R Square Adjusted R Square

Std. Error of the Estimate

1 ,630a ,397 ,357 ,34779

a. Predictor : (Constant), KSI, KI, KPSI

Pada tabel 5 menunjukkan bahwa koefisien determinasi

yang ditunjukkan dari nilai R2 sebesar 0,397 atau 39,7%.

Hal ini berarti bahwa 39,7% variabel dependen yaitu

kepuasan pengguna dapat dijelaskan oleh tiga variabel

independen yaitu kualitas sistem informasi, kualitas

informasi, dan kualitas pelayanan sedangkan sisanya

sebesar 60,3% kepuasan pengguna dijelaskan oleh variabel

atau sebab-sebab lannya diluar model.

4. DISKUSI, IMPLIKASI, DAN KETERBATASAN

Setelah melalui beberapa pengujian, hipotesis-hipotesis

yang diajukan dalam penelitian ini diajukan 3 (tiga)

hipotesis, sedangkan hanya 2 (dua) hipotesis dapat

dikonfirmasikan dan 1 (satu ) hipotesis lain tidak dapat

dikonfirmasikan.

Hasil dari pengujian hipotesis yang pertama menunjukkan

bahwa variabel kualitas sistem informasi memiliki

pengaruh positif yang tidak signifikan terhadap kepuasan

pengguna sistem informasi. karena itu, hipotesis pertama

tidak dapat dikonfirmasikan. Sama halnya dengan

penelitian yang dilakukan oleh Premkumar et al (1994)

yang menunjukkan adanya pengaruh positif yang tidak

signifikan dari kualitas sistem informasi terhadap kepuasan

pengguna sistem informasi. berbeda dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Kim et al (2002) dan hasil penelitian

Chiu et al (2007) yang menyatakan bahwa kualitas sistem

informasi berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan

pengguna sistem informasi.

Hasil pengujian hipotesis yang kedua menunjukkan bahwa

variabel kualitas informasi memiliki pengaruh positif yang

signifikan terhadap variabel kepuasan pengguna sistem

informasi. karena itu, hipotesis kedua dapat

dikonfirmasikan. Hal ini sejalan dengan penelitian yang

dilakukan oleh para ahli, seperti Kim et al (2002) dan Chiu

et al (2007). Dan hasil penelitian ini berbeda dengan hasil

penelitian yang dilakukan dengan oleh Marble (2003) yang

menyatakan bahwa kualitas informasi tidak berpengaruh

terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.

Hasil pengujian hipotesis yang ketiga menunjukkan bahwa

variabel kepuasan pelayanan memiliki pengaruh positif

yang signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem

informasi. karena itu, hipotesis ketiga dapat

dikonfirmasikan. Hasil penelitian ini sejalan dengan

penelitian yang dilakukan oleh para ahli sebelumnya seperti

Kettinger & Lee (1994) dan Yoon et al (1995). Sedangkan

hasil penelitian ini tidak sejalan dengan hasil penelitian

yang dilakukan oleh Choe (1996) dan Chiu et al (2007)

yang menyatakan bahwa variabel kualitas pelayanan tidak

berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem informasi.

Hasil dari penelitian ini memiliki implikasi teoritis dan

praktis yang dapat memberikan gambaran mengenai

rujukan-rujukan yang dipergunakan dalam penelitian ini.

Implikasi teoritis dikembangkan untuk memperkuat

dukungan atas beberapa peneliti terdahulu yang menjadi

rujukan pada penelitian ini. Konsep-konsep tentang teoritis

dan dukungan empiris mengenai hubungan kualitas antar

variabel-variabel yang mempengaruhi kepuasan pengguna

sistem informasi pada hal berikut ini :

1. Hasil penelitian yang diperoleh pada penelitian ini

menyatakan bahwa variabel kualitas sistem informasi

tidak berpengaruh terhadap kepuasan pengguna sistem

informasi. hal ini mungkin dapat terjadi dikarenakan

user merangkap sebagai develepor system. Hasil

penelitian ini sesuai dengan hasil penelitian yang

dilakukan oleh McGill et al (1998) bahwa ternyata tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara system quality

dengan user satisfaction apabila user merangkap

sebagai developer system. Secara praktis jika ingin

meningkatkan kepuasan pengguna sistem informasi,

maka sebaiknya para penyedia program memberikan

kualitas sistem informasi yang mudah digunakan, sesuai

dengan pernyataan yang diberikan pada kuesioner KSI1.

Karena hal itu menjadi acuan bagi para pengguna sistem

Page 23: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

14

informasi, apabila mudah digunakan akan semakin

meningkatnya kepuasan pengguna sistem informasi.

2. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini

menyatakan bahwa variabel kualitas informasi

berpengaruh positif signifikan terhadap kepuasan

pengguna sistem informasi. hal ini ditunjukkan dengan

dimensi kualitas informasi sebagai pendukung betapa

pentingnya kualitas informasi terhadap kepuasan

pengguna sistem informasi. Menurut Webber (1999),

beberapa dimensi mengenai kualitas informasi adalah

authenticity, accuracy, completeness, uniqueness,

timeliness, relevance, comprehensibility, precision,

conciceness, dan informativeness. Hasil penelitian ini

sesuai dengan penelitian yang dilakukan oleh Seddon

dan Kiew (1996) bahwa kualitas informasi berpengaruh

positif signifikan terhadap kepuasan pengguna sistem

informasi. semakin baik kualitas informasi akan

semakin meningkatkan kepuasan pengguna sistem

informasi. Dengan demikian secara praktis jika ingin

meningkatkan kepuasan pengguna sistem informasi,

maka sebaiknya kualitas informasi yang dihasilkan

sesuai dengan kebutuhan para pengguna sistem

informasi. hal ini sesuai dengan hasil kuesioner KI4.

Apabila kualitas informasi sesuai dengan kebutuhan,

para pengguna sistem informasi akan merasakan

kepuasan.

3. Hasil penelitian yang diperoleh dalam penelitian ini

adalah kualitas pelayanan berpengaruh positif terhadap

kepuasan pengguna sistem informasi. Menurut Myers et

al (1997) menyatakan bahwa kualitas pelayanan sama

hal nya dengan kualitas sistem informasi dan kualitas

informasi memiliki pengaruh terhadap kepuasan

pengguna sistem informasi. apabila pengguna sistem

informasi merasakan bahwa kualitas pelayanan yang

diberikan oleh penyedia program aplikasi akuntansi

baik, maka ia cenderung akan merasa puas

menggunakan sistem tersebut. Dengan demikian apabila

penyedia sistem informasi menyediakan kebutuhan

pengguna informasi, para pengguna sistem informasi

akan merasa puas.

Setelah melakukan analisis data dan pengujian-pengujian

serta interpretasi dari hasil penelitian, terdapat beberapa hal

yang menjadi keterbatasan dalam penelitian ini, yaitu :

1. Perbedaan kondisi lingkungan dimana penelitian

dilakukan. Perbedaan kondisi lingkungan dapat

memberikan pemahaman yang berbeda.

2. Terdapat kemungkinan bias dari sifat kuesioner.

Meskipun kuesioner telah divalidasi, pengisian

kuesioner dari responden belum tentu mencerminkan

pandangan responden yang sesungguhnya.

3. Sampel yang diambil hanya sebanyak 50 responden,

jumlah sampel ini terbatas. Karena banyaknya turn over

para pengguna sistem informasi yang menyebabkan

jumlah populasi tidak dapat diketahui secara pasti.

4. Untuk variabel kualitas pelayanan menunjukkan hasil

yang tidak reliabel, hal ini menjadi keterbatasan peneliti

dikarenakan responden yang mengisi kuesioner belum

tentu mencerminkan yang sebenarnya.

DAFTAR PUSTAKA [1] Bodnar, George, H. & Hoopwood, William, S.,

2001. Accounting Information System. Eight

Edition. New jersey : Prentice Hall Inc. [2] Chin, Wynne. W., and Todd, Peter, A. 1995. On The

Use, Usefullness, and Ease of Use A Structural

Equation Modeling in MIS Research : A Note of

Caution. MIS Quarterly, 19: 237-346. [3] Choe, J.M. 1996. The Relationships Among

Performance of Accounting Information System,

Influence Factors, And Evolution Level of

Information System. Journal of Management

Information System, Vol.12 No.4, pp.215-239. [4] DeLone, W.J., and McLean, E.R. 1992. The DeLone

McLean of Information System Success: A ten-Year

Update. Journal of Management Information,

Vol.19, No.4.pp. 9-30. [5] Doll, W.J., Xia, W., and Torkzadeh, G. 1994. A

Conformatory Factor Analysis of the end-user

Computing Satisfaction Instrument. MIS Quarterly,

12(2): 159-174. [6] Ghozali, Imam 2001, Aplikasi Analisis Multivariat

dengan Program SPSS, Badan Penerbit Universitas

Diponegoro, Semarang. [7] Guimaraes, T., D.S.Staples, and J.D.McKeen. 2007.

Assessing the Impact From Information System

Quality. Quality Management Journal, 14(1): 30-

44. [8] Istianingsih, dan Wijanto. 2008. Pengaruh Kualitas

Sistem Informasi, Kualitas Informasi, dan Perceived

Usefullness terhadap Kepuasan Pengguna Software

Akuntansi. Simposium Nasional Akuntansi IX,

Pontianak. [9] Kettinger, W.J., and Lee, C.C. 1994. Perceived

Service Quality and User Satisfaction with the

Information Service function. Decision Science, 25

(5,6): 737-776. [10] Livari, Juhani. 2005. An Empirical Test of the

Delone and McLean Model of Information System

Success. Database for Advances in information

Systems. Spring, 36(2): 8-27. [11] McGill, Tanya, Hobbs, Valerie, & Klobas, Jane.

2003. User-Developed Applications and Information

Systems Success: a Test of DeLone and McLean‟s

Model. Information resource Management

Journal, 16(1): 24-45. [12] Rai, A., Lang, S.S., and Welker, R.B. 2002.

Assessing the Validity of IS Success Models: An

Empirical Test and Theoretical Analysis.

Information System Research, vol.13 pp. 29-34. [13] Sugiyono. 2009. Statistika Untuk Penelitian.

Bandung: Alfa Beta, Anggota IKAPI. [14] Watson, R.T., Pitt, L.F., & Kavan, C.B. 1998.

Measuring Information System Service Quality:

Lessons from Two Longitudinal Case Studies. MIS

Quarterly, 22(1): 61-79.

Page 24: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

15

[15] Webber, Ron. 1999. Information System Control

and Audit. First Edition. New Jersey: Prentice Hall

International Inc.

[16] Yoon, Y., T. Guimaraes, and Q. O‟Neal. 1995.

Exploring the factors associated with expertsystems

success. MIS Quarterly, 19(1): 83-106.

Page 25: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

16

Model Perjanjian Kerja Yang Memberikan Perlindungan Hukum

Bagi Pekerja Kontrak Di Perguruan Tinggi Negeri Badan

Layanan Umum

Sumiyati, Susanti Ita, Purwaningsih, S.S. E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Umum (BLU) sebagai institusi pemerintah di bidang pendidikan yang

seharusnya membantu masyarakat untuk lebih memahami ketentuan atau peraturan perundang-undangan yang dapat

memberikan perlindungan kepada masyarakat, merupakan institusi yang mempekerjakan pekerja kontrak. Hal ini dilakukan

mengingat semakin terbatasnya kesempatan untuk mengangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS) dikarenakan terbatasnya anggaran

belanja pegawai negara, serta berlakunya kebijakan moratorium PNS. Keleluasaan yang diberikan oleh Peraturan Pemerintah

tentang BLU dalam mengelola institusinya termasuk sumber daya manusianya, memberikan kesempatan yang luas kepada

institusi BLU termasuk PTN BLU untuk memanfaatkan pekerja kontrak.

Perjanjian kerja tidak selalu dapat memberikan perlindungan hukum kepada pekerja yang disebabkan oleh faktor tidak

dipahaminya makna perjanjian kerja tersebut, sehingga kerap kali dijadikan alat oleh pemberi kerja (majikan) untuk

membuatnya dalam suatu format baku yang berisi ketentuan-ketentuan yang lebih menguntungkan pihaknya. Oleh karena itu,

diperlukan pemodelan dari perjanjian kerja bagi pekerja kontrak yang seharusnya berisi hak-hak pekerja, sebagai bentuk

perlindungan hukum yang efektif.

Dalam kajian ini, melalui metode pendekatan yuridis empiris dan teknik pengumpulan data berupa studi dokumen serta studi

lapangan, yang dilakukan terhadap data sekunder, dilakukan pengujian terhadap model perjanjian kerja bagi pekerja kontrak di

PTN BLU, dan diperoleh hasil bahwa model perjanjian kerja yang baru bagi pekerja kontrak di PTN BLU lebih memberikan

perlindungan hukum bagi pekerja kontrak tersebut.

Kata Kunci

Perjanjian Kerja, Perlindungan Hukum, PTN BLU.

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Hubungan kerja kerap kali dipergunakan oleh majikan

sebagai upaya lain untuk menyiasati hukum, baik itu

sebelum lahirnya Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003

maupun sesudahnya. Meskipun undang-undang yang baru

secara implisit tidak membenarkan hubungan kerja

semacam itu, namun untuk pekerjaan tertentu serta

berjangka waktu, masih sering ditemukan.

Menurut Gunarto (2000:2), para pekerja/karyawan ini

memang tidak banyak punya pilihan lain, karena

pengangguran terbuka secara nasional melebihi 11,6 juta

orang, pengangguran tertutup 30 juta orang dari penawaran

tenaga kerja lebih dari 106,9 juta orang. Sementara itu

banyak pula perusahaan yang kalah bersaing dengan produk

import, sedangkan produk ekspor juga menurun karena

biaya produksi yang tinggi di dalam negeri.

Di sisi lain, para pekerja kontrak ini perlu diberikan

perlindungan hukum karena alasan menyelamatkan

angkatan kerja yang sangat potensial. Selain itu untuk

melakukan gerak kemajuan ekonomi negara secara umum.

Kebanyakan tenaga kontrak ini adalah tenaga kerja yang

profesional di bidangnya, muda dalam usia dan

mempunyai semangat kerja yang baik. Kekurangan mereka

kebanyakan adalah tidak dimilikinya kesempatan dan tidak

mempunyai hubungan khusus dengan para penentu

kebijaksanaan perusahaan.

Perguruan Tinggi Negeri (PTN) Badan Layanan Umum

(BLU) sebagai institusi pemerintah, merupakan institusi

yang mempekerjakan pekerja kontrak. Hal ini dilakukan

mengingat semakin terbatasnya kesempatan untuk

mengangkat Pegawai Negeri Sipil (PNS), karena anggaran

belanja pegawai negara yang kecil, serta dengan

dikeluarkan kebijakan berupa moratorium PNS sebagai

salah satu bentuk pembenahan disegala lini pemerintahan

guna mendukung terwujudnya program reformasi birokrasi

yang dicanangkan pemerintah sejak lima tahun yang lalu.

Selain itu, adanya kebijakan yang mengharuskan setiap

perguruan tinggi menjadi sebuah Badan Hukum Pendidikan

(BHP) sesuai Undang-Undang No. 9 Tahun 2009,

menyebabkan setiap perguruan tinggi harus siap mandiri

dalam segala hal, termasuk dalam pengembangan sumber

daya manusia. Walaupun kemudian undang-undang

tersebut dicabut, namun adanya peraturan lain yaitu

Peraturan Pemerintah Nomor 23 Tahun 2005 tentang

Pengelolaan Keuangan Badan Layanan Umum

menyebabkan PTN harus tetap siap untuk menjadi mandiri,

terutama dalam hal pengelolaan keuangannya dan hal ini

harus selalu didukung oleh pengelolaan sumber daya

manusia yang baik.

Page 26: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

17

Salah satu upaya pengembangan sumber daya manusia

adalah mengangkat pekerja kontrak sesuai ketentuan

perundangan di bidang ketenagakerjaan. PTN BLU sebagai

sebuah institusi tentu melakukan pengangkatan pekerja

kontrak, terutama untuk tenaga kerja baru sebelum

dilakukan penerimaan PNS atau untuk tenaga kerja yang

melaksanakan pekerjaan dalam bentuk kontrak paruh waktu

atau kontrak waktu kerja tertentu. Kebutuhan akan pekerja

kontrak di bidang-bidang tertentu tersebut mengharuskan

PTN BLU berpikir seperti seorang pengusaha, karena

seperti dikatakan oleh Robert Cooter (1998:12), sudah

menjadi sifat pengusaha untuk terus melakukan efisiensi

dan maksimalisasi hasil usaha, termasuk dalam hal

mengangkat pekerja kontrak. Walaupun menurut Gunarto

(2000:25) efisiensi oleh pengusaha dengan efisiensi dan

maksimalisasi melalui pengangkatan pekerja kontrak akan

membawa akibat yang kurang baik pada para pekerja

kontrak tersebut, mengingat tidak adanya jaminan dalam

pekerjaan dan penghasilan untuk menjaga kelangsungan

hidup, melalui sistem kontrak.

Perjanjian Kerja sebagai bentuk perlindungan hukum bagi

pekerja kontrak sangat menarik untuk diteliti, karena

merupakan sarana untuk menyeimbangkan hak dan

kewajiban dari kedua belah pihak yaitu pekerja dan

pemberi kerja/majikan. Hal ini sesuai dengan amanat dalam

UUD 1945 dan UU Ketenagakerjaan, yang memerintahkan

untuk memberikan perlindungan hukum yang adil dan

seimbang bagi setiap warga negara dalam rangka

memperoleh pekerjaan dan penghidupan yang layak.

Melalui penelitian ini diharapkan ke depan para pekerja

kontrak tetap dapat merasakan perlakuan yang adil untuk

hak-hak normatifnya, ditengah-tengah perubahan

ketenagakerjaan menuju era pasar bebas/globalisasi, serta

memberikan kesempatan kepada negara untuk mewujudkan

amanah UUD 1945 yaitu membawa kesejahteraan kepada

seluruh bangsa Indonesia.

1.2 Pengertian Perjanjian/Kontrak

Pasal 1313 Kitab Undang-undang Hukum Perdata

(selanjutnya disebut dengan KUHPerdata) memberikan

definisi perjanjian sebagai suatu perbuatan dengan mana 1

(satu) orang atau lebih mengikatkan dirinya terhadap 1

(satu) orang lain atau lebih.

Kartini Mulyadi (2003:7) memberikan definisi tentang

perjanjian yaitu:

1) Suatu perbuatan;

2) Antara sekurangnya dua orang;

3) Perbuatan tersebut melahirkan perikatan diantara pihak-

pihak yang berjanji tersebut.

Para sarjana Hukum Perdata (dalam Mariam Darus

Badrulzaman, 2001:65) pada umumnya berpendapat bahwa

definisi yang terdapat di dalam ketentuan di atas adalah

tidak lengkap, dan terlalu luas. Tidak lengkap karena yang

dirumuskan itu hanya mengenai perjanjian sepihak saja.

Definisi itu juga dikatakan terlalu luas karena dapat

mencakup perbuatan di dalam lapangan hukum keluarga,

seperti janji kawin, yang merupakan perjanjian juga, tetapi

sifatnya berbeda dengan perjanjian yang diatur dalam

KUHPerdata Buku III. Perjanjian yang diatur dalam

KUHPerdata Buku III kriterianya dapat dinilai secara

materiil, dengan kata lain dapat dinilai dengan uang.

Definisi perjanjian dalam Pasal 1313 KUHPerdata juga

hanya menyebutkan “perbuatan” saja, sehingga yang bukan

perbuatan hukum pun disebut dengan perjanjian.

Menurut Salim H.S. (2003:17) kontrak atau perjanjian

merupakan hubungan hukum antara subyek hukum yang

satu dengan subyek hukum yang lain dalam bidang harta

kekayaan. Perlu diketahui bahwa subyek hukum yang satu

berhak atas prestasi dan begitu pula subyek hukum yang

lain berkewajiban untuk melaksanakan prestasinya sesuai

dengan yang telah disepakatinya.

Unsur-unsur yang tercantum dalam definisi tersebut adalah:

1) Adanya hubungan hukum;

2) Adanya subyek hukum;

3) Adanya prestasi;

4) Dibidang harta kekayaan.

Asas kebebasan berkontrak memberikan kebebasan kepada

para pihak dalam membentuk suatu perjanjian, akan tetapi

kebebasan tersebut dibatasi oleh ketentuan mengenai syarat

sah suatu perjanjian yang diatur dalam Pasal 1320

KUHPerdata, yang berbunyi bahwa untuk sahnya perjanjian

diperlukan diperlukan 4 (empat) syarat:

1) Sepakat mereka yang mengikatkan dirinya.

2) Cakap untuk membuat suatu perikatan.

3) Suatu hal tertentu.

4) Suatu sebab yang halal.

Keempat unsur tersebut (dalam Pasal 1320 KUHPerdata),

dalam doktrin ilmu hukum yang berkembang, digolongkan

ke dalam:

1) Dua unsur pokok yang menyangkut subyek (pihak)

yang mengadakan perjanjian (unsur subyektif);

2) Dua unsur pokok lainnya yang berhubungan langsung

dengan obyek perjanjian (unsur obyektif).

Unsur subyektif mencakup adanya unsur kesepakatan

secara bebas dari para pihak yang berjanji, dan mencakup

dari pihak-pihak yang melaksanakan perjanjian. Sedangkan

unsur obyektif meliputi keberadaan dari pokok persoalan

yang merupakan obyek yang diperjanjikan, dan causa dari

obyek yang berupa prestasi yang disepakati untuk

dilaksanakan tersebut harus sesuatu yang tidak dilarang

atau diperkenankan menurut hukum.

Dalam syarat obyektif, kalau syarat tersebut tidak

terpenuhi, perjanjian itu batal demi hukum, artinya dari

semula tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak

pernah ada suatu perikatan. Dalam syarat subyektif jika

syarat tersebut tidak dipenuhi, perjanjiannya bukan batal

Page 27: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

18

demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk

meminta supaya perjanjian tersebut dibatalkan.

1.3 Perjanjian Kerja

Hubungan kerja terjadi karena adanya perjanjan kerja

antara pekerja dan pengusaha. Hubungan kerja menurut

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 menyatakan

bahwa:

“Hubungan kerja adalah hubungan antara pengusaha dan

pekerja berdasarkan perjanjian kerja, yang mempunyai

unsur pekerjaan, upah, dan perintah.”

Perjanjian kerja mengatur mengenai hak dan kewajiban

pihak pekerja dan pihak pengusaha, saling seimbang antara

satu dengan yang lainnya. Para pihak bebas menentukan isi

dan bentuk dari perjanjian kerja tersebut, pihak pekerja

maupun pengusaha diberi kebebasan untuk menentukan isi

dan bentuk dari perjanjian kerja maka klausula-klausula

perjanjiannya tidak boleh bertentangan dengan Undang-

undang yang mengatur mengenai perjanjian kerja. Isi dari

perjanjian kerja itu antara lain mengenai kapan pekerja

mulai melaksanakan pekerjaan dan apa yang akan

dikerjakan, besarnya upah yang akan diterima serta syarat-

syarat kerja lainnya yang disepakati bersama, perjanjian

kerja dilakukan oleh seorang calon pekerja dengan

pengusaha (dalam Soedarjadi, 2008:59).

Kitab Undang-Undang Hukum Perdata dalam Pasal 1601(a)

menyebutkan bahwa persetujuan perburuhan adalah

persetujuan dengan mana pihak pekerja/buruh mengikatkan

diri untuk di bawah perintah pihak yang lain, si majikan

untuk suatu waktu tertentu melakukan pekerjaan dengan

menerima upah, yang sekarang diatur dalam Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 Tentang Ketenagakerjaan

dan di dalam pelaksanaanya diatur dalam Nomor

Kep100/MEN/VI/2004 Tentang Ketentuan Pelaksanaan

Kerja Waktu Tertentu.

Syarat sahnya suatu perjanjian kerja ditentukan dalam

Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003, dimana dikatakan

bahwa perjanjian kerja dibuat atas dasar:

1) Kesepakatan kedua belah pihak;

2) Kemampuan atau kecakapan melakukan perbuatan

hukum;

3) Adanya pekerjaan yang diperjanjikan;

4) Pekerjaan yang diperjanjikan tidak bertentangan dengan

ketertiban, kesusilaann, dan peraturan perundang-

undangan yang berlaku.

M. G. Rood (1989:1) menyatakan bahwa suatu perjanjian

kerja baru ada, manakala dalam perjanjian kerja tersebut

memenuhi empat syarat, yaitu:

1) Adanya unsur work atau pekerjaan;

2) Adanya unsur service atau pelayanan;

3) Adanya unsur time atau waktu;

4) Adanya unsur pay atau upah.

Menurut Imam Soepomo (dalam Djumadi, 2004:42)

dikaitkan dengan ketentuan yang ada dalam KUHPerdata,

dapat diambil kesimpulan bahwa definisi perjanjian kerja

mempunyai empat unsur essensialia, yaitu:

a) Melakukan pekerjaan tertentu;

b) Di bawah perintah;

c) Dengan upah

d) Dalam waktu tertentu.

Perjanjian kerja waktu tertentu hanya dapat dibuat untuk

pekerjaan tertentu yang menurut jenis dan sifat atau

kegiatan pekerjaanya akan selesai dalam waktu tertentu,

yaitu:

1) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara

sifatnnya;

2) Pekerjaan yang dperkirakan penyelesainya dalam waktu

yang tidak terlalu lama dan paling lama 3 (tiga) tahun;

3) Pekerjaan yang bersifat musiman;

4) Pekerjaan yang berhubungan dengan produk baru,

kegitan baru, atau produk tambahan yang masih dalam

percobaan atau penjajakan.

1.4 Perjanjian Kerja Waktu Tertentu

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) adalah perjanjian

kerja yang jangka berlakunya telah ditentukan. Dalam

bahasa sehari-hari sering disebut sebagai ”karyawan

kontrak”.

PKWT harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:

a) PKWT harus dibuat tertulis dan harus menggunakan

bahasa Indonesia.

b) PKWT yang tidak dibuat tertulis dianggap sebagai

PKWTT dengan demikian pekerja menjadi pekerja tetap

di perusahaan tersebut.

c) PKWT tidak mempersyaratkan adanya masa percobaan.

(Hal ini berbeda dengan PKWTT yang mengenal masa

percobaan selama tiga bulan)

d) Apabila dalam PKWT ditetapkan masa percobaan maka

akan batal demi hukum.

e) PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang

bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus (Pasal

56 s.d. 58 UUKK).

Sementara itu, ciri-ciri dari pekerjaan yang dapat dibuatkan

PKWT adalah:

a) Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara

sifatnya.

b) Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam

waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga

tahun (maksimal 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang

satu kali saja selama satu tahun).

c) Pekerjaan yang bersifat musiman.

d) Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan

baru atau produk tambahan yang masih dalam

percobaan atau penjajakan (Pasal 59 UUKK)

Page 28: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

19

Karena ciri-ciri pekerjaan untuk PKWT adalah yang sekali

selesai dan predictable, maka PKWT diadakan untuk paling

lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali

untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaharuan

PKWT hanya dapat dilakukan satu kali dan untuk jangka

waktu paling lama dua tahun. Apabila PKWT tersebut

dibuat tidak sesuai dengan syarat-syarat di atas, maka

PKWT tersebut secara otomatis berubah menjadi PKWTT.

Dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi

karyawan kontrak, tetapi menjadi karyawan tetap sejak

perjanjian kerja tersebut dibuat.

2. METODOLOGI

Penelitian ini menggunakan pendekatan yuridis normatif

(Soerjono Soekanto, 1986:53). Melalui pendekatan yuridis

normatif akan ditelaah arti dan maksud berbagai kaidah dan

peraturan hukum yang berkaitan dengan perlindungan

hukum bagi pekerja kontrak, terutama yang terdapat di

perguruan tinggi negeri (PTN) Badan Layanan Umum

(BLU), yang berasal dari peraturan perundang-undangan

yang ada.

Penelitian ini bersifat deskriptif analitis (Ronny Hanitijo,

1990:97), yaitu menggambarkan permasalahan tentang

perlunya perlindungan hukum bagi pekerja kontrak dengan

terlebih dahulu menganalisis secara yuridis isi dari

perjanjian kerjanya, dengan berpedoman pada peraturan

perundangan yang berlaku seperti Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata (KUHPerdata) dan Undang-Undang Nomor

13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (UUKK).

Untuk memperoleh hasil penelitian yang baik, disebarkan

pula kuisoner bagi para pekerja kontrak di 2 (dua) buah

PTN yaitu di Universitas Padjadjaran (UNPAD), dan

Institut Teknologi Bandung (ITB). Hal ini dimaksudkan

agar dapat diketahui sejauh mana pemahaman baik dari

pekerja kontrak maupun manajemen PTN BLU dalam

memahami perlindungan hukum bagi pekerja kontrak, yang

dituangkan di dalam perjanjian kerjanya dibandingkan

dengan perjanjian kerja yang telah diubah oleh peneliti

sesuai kaidah hukum yang berlaku dan dijadikan model

perjanjian kerja yang baru di PTN BLU.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari hasil telaahan yuridis contoh-contoh perjanjian kerja

para pekerja kontrak di 2 (dua) PTN, yaitu UNPAD dan

ITB, diketahui hal-hal sebagai berikut:

NO

MINIMAL YANG

HARUS ADA DI

DALAM

PERJANJIAN

KERJA

UNPAD ITB

1. Nama dan alamat

pengguna

ADA ADA

2. nama dan alamat TKI ADA ADA

3. jabatan dan jenis pekerjaan TKI

ADA ADA

4. hak dan kewajiban

para pihak

ADA SEPIHAK ADA SEPIHAK

5. kondisi dan syarat kerja yang meliputi

jam kerja, upah, dan

tata cara pembayaran, baikcuti dan waktu

istirahat, fasilitas dan

jaminan sosial; dan

ADA TIDAK LENGKAP

ADA TIDAK LENGKAP

6. jangka waktu perpanjangan kerja.

ADA TIDAK ADA

Secara yuridis, seharusnya sebuah perjanjian kerja bagi

pekerja kontrak memenuhi kaidah-kaidah yang ada di

dalam suatu perjanjian yang sah sebagaimana diatur di

dalam Pasal 1320 KUHPerdata dan ketentuan Undang-

Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan

(UUKK), yang walaupun tidak menentukan apakah suatu

perjanjian kerja harus dibuat secara lisan atau

tulisan/tertulis, akan tetapi UUKK mengatakan bahwa

perjanjian kerja boleh dibuat secara lisan, tetapi dengan

syarat pengusaha wajib membuat surat pengangkatan bagi

pekerja bersangkutan yang berisi antara lain:

a) Nama dan alamat pekerja;

b) Tanggal mulai bekerja;

c) Jenis pekerjaan;

d) Besarnya upah (Pasal 63 UUKK)

Untuk perjanjian kerja yang dibuat secara tertulis dibuat

sekurang-kurangnya 2 rangkap dimana pekerja serta

perusahaan masing-masing mendapat satu buah salinan

yang berkekuatan hukum yang sama, dengan minimal

memuat:

1) Nama dan alamat perusahaan, serta jenis usahanya;

2) Nama, alamat, umur, jenis kelamin dan alamat pekerja;

3) Jabatan atau jenis pekerjaan yang akan dilakukan oleh

pekerja;

4) Tempat pekerjaan;

5) Besarnya upah dan cara pembayarannya;

6) Syarat-syarat kerja yang memuat hak dan kewajiban

pengusaha dan pekerja;

7) Mulai dan jangka waktu berlakunya perjanjian kerja;

8) Tempat dan tanggal perjanjian kerja dibuat; dan

9) tandatangan para pihak dalam perjanjian kerja.

10) Ketentuan yang ada di UUKK tersebut berlaku pula untuk

PKWT atau perjanjian kerja yang diperuntukan bagi

pekerja kontrak.

Bahkan untuk PKWT diatur bahwa PKWT harus memenuhi

syarat-syarat sebagai berikut:

Page 29: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

20

a. PKWT harus dibuat tertulis dan harus menggunakan

bahasa Indonesia.

b. PKWT yang tidak dibuat tertulis dianggap sebagai

PKWTT dengan demikian pekerja menjadi pekerja tetap

di perusahaan tersebut.

c. PKWT tidak mempersyaratkan adanya masa percoban.

(Hal ini berbeda dengan PKWTT yang mengenal masa

percobaan selama tiga bulan)

d. Apabila dalam PKWT ditetapkan masa percobaan maka

akan batal demi hukum.

e. PKWT tidak dapat diadakan untuk pekerjaan yang

bersifat terus-menerus atau tidak terputus-putus (Pasal

56 s.d. 58 UUKK).

Sementara itu, ciri-ciri dari pekerjaan yang dapat dibuatkan

PKWT adalah:

a. Pekerjaan yang sekali selesai atau yang sementara

sifatnya.

b. Pekerjaan yang diperkirakan penyelesaiannya dalam

waktu yang tidak terlalu lama dan paling lama tiga

tahun (maksimal 2 tahun dan hanya dapat diperpanjang

satu kali saja selama satu tahun).

c. Pekerjaan yang bersifat musiman.

d. Pekerjaan yang berkaitan dengan produk baru, kegiatan

baru atau produk tambahan yang masih dalam

percobaan atau penjajakan (Pasal 59 UUKK)

Karena ciri-ciri pekerjaan untuk PKWT adalah yang sekali

selesai dan predictable, maka PKWT diadakan untuk paling

lama dua tahun dan hanya boleh diperpanjang satu kali

untuk jangka waktu paling lama satu tahun. Pembaharuan

PKWT hanya dapat dilakukan satu kali dan untuk jangka

waktu paling lama dua tahun. Apabila PKWT tersebut

dibuat tidak sesuai dengan syarat-syarat di atas, maka

PKWT tersebut secara otomatis berubah menjadi PKWTT.

Dengan demikian para pekerjanya bukan lagi menjadi

karyawan kontrak, tetapi menjadi karyawan tetap sejak

perjanjian kerja tersebut dibuat.

Contoh-contoh perjanjian kerja bagi pekerja kontrak yang

terdapat di PTN BLU UNPAD dan ITB sebagaimana

diketahui dari tabel di atas, secara nyata jelas kurang

memenuhi kaidah-kaidah yang terdapat di dalam baik Pasal

1320 KUHPerdata tentang syarat sahnya perjanjian secara

umum, maupun syarat-syarat yang ditentukan di dalam

UUKK. Dengan demikian untuk perjanjian-perjanjian kerja

bagi pekerja kontrak di PTN BLU yaitu UNPAD dan ITB

kurang memberikan perlindungan hukum kepada para

pekerja kontrak.

Oleh karena itu dari penelitian ini dirancang sebuah model

Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (PKWT) yang sesuai

ketentuan atau kaidah perlindungan hukum bagi pekerja

kontrak sebagaimana diatur di dalam undang-undang.

Dari hasil penyebaran kuesioner kepada pihak PTN BLU

UNPAD dan ITB untuk mendapatkan masukan mengenai

model PKWT tersebut diperoleh hasil secara umum bahwa

para pekerja kontrak merasa lebih memperoleh

perlindungan hukum dengan adanya model perjanjian kerja

(PKWT) yang disebarkan. Hal itu diketahui dari

pemahaman mereka mengenai diaturnya hak dan kewajiban

dari masing-masing pihak secara jelas di dalam perjanjian

kerja tersebut.

4. SIMPULAN DAN SARAN

Perjanjian kerja bagi pekerja kontrak seharusnya memenuhi

kaidah-kaidah perlindungan hukum dengan menjaga

keseimbangan antara hak dan kewajiban diantara para pihak

yang membuat perjanjian, yaitu pihak pekerja kontrak dan

pihak PTN BLU, sebagaimana diatur di dalam UUKK

maupun ketentuan Pasal 1320 KUHPerdata tentang syarat

perjanjian yang sah.

Dari penelitian yang dilakukan dapat disimpulkan bahwa

PTN BLU yang merupakan obyek penelitian belum

menerapkan kaidah-kaidah hukum yang memberikan

perlindungan hukum kepada para pekerja kontrak, sebab isi

perjanjian kerja yang merupakan bentuk perlindungan

hukum para pekerja kontrak di PTN BLU UNPAD dan

ITB, tidak memenuhi atau kurang memenuhi kaidah-kaidah

hukum perjanjian yang ada di dalam UUKK dan

KUHPerdata.

Model perjanjian kerja bagi pekerja kontrak yang berupa

PKWT dianggap dapat memberikan perlindungan hukum

kepada para pihak dalam perjanjian, karena didalammya

diatur secara jelas apa yang menjadi hak dan kewajiban

para pihak. Hal ini sejalan dengan apa yang diamanatkan

oleh undang-undang, dimana perlindungan hukum yang

baik akan terjadi dalam sebuah perjanjian manakala kalusul

hak dan kewajiban dari para pihak diatur sedemikian rupa,

sehingga para pihak mengetahui dan memahaminya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Black, Henry Campbell, Black’s Law Dictionary,

West Publishing & Co, Minnesota, 1991.

[2] Cooter, Robert, Law and Economic, scot Foresman

& Co, Illinois 1998.

[3] Djulmialdji, F.X., Perjanjian Kerja, Edisi Revisi,

Sinar Grafika, Jakarta, 2005.

[4] Gunarto Suhardi, Perlindungan Hukum Bagi Para

Pekerja Kontrak Outsourcing, Universitas Atma

jaya Yogyakarta, 2006.

[5] Iman Soepomo, Pengantar Hukum Perburuhan,

Penerbit Djambatan, Jakarta, Edisi Revisi, 2003.

[6] I Wayan Nedeng, Lokakarya; Outsourcing dan

PKWT, PT. Lembangtek, Jakarta, 2003

[7] Kartini Muljadi dan Gunawan Widjaja, Perikatan

Yang Lahir Dari Perjanjian, PT. Rajagrafindo

Persada, Jakarta, 2003.

[8] Ronny Hanitijo, Metodologi Penelitian Hukum dan

Jurimetri, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1994.

[9] M. G. Rood, Hukum perburuhan, Fakultas Hukum,

Bandung, Universitas Padjadjaran, 1989.

Page 30: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

21

[10] Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, Penelitian

Hukum Normatif, Jakarta, PT. Raja Grafindo

Persada, 2001.

[11] Soerjono Soekanto, Penelitian Hukum, Jakarta,

Universitas Indonesia, 1986.

[12] Subekti dan Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang

Hukum Perdata, Cetakan Kesembilan, Pradnya

Paramita, Jakarta 1978.

Page 31: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

22

Analisis Risiko Kebangkrutan

Menggunakan Model Altman Z-Score Pada Industri Rokok

Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

Rita Martini a, Novan Bacdri

b

aJurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang 30139

E-mail: [email protected]

bJurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Sriwijaya, Palembang 30139

E-mail: Novan [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui risiko kebangkrutan kelangsungan usaha Industri Rokok yang Terdaftar di Bursa Efek

Indonesia sehingga manajer dapat mengambil langkah yang cepat dan tepat dalam memperbaiki kinerja dan nilai perusahaan .

Penelitian ini menunjukkan bahwa Industri Rokok memiliki pengaruh besar terhadap pendapatan negara dari sektor pajak apabila

Industri ini mengalami kebangkrutan maka akan berdampak negatif sangat besar terhadap perekonomian Indonesia. Alasan

penggunaan metode Altman Z-Score agar dapat mengetahui seberapa besar risiko kebangkrutan. Peneliti mendapatkan data dari

situs: http://www.idx.co.id dan situs internet lainnya, disamping itu peneliti mendapat informasi dari studi pustaka.

Berdasarkan laporan keuangan yang disajikan untuk tahun 2008, 2009, 2010, 2011 dan 2012 terdapat 1 industri rokok yang

diprediksi mengalami risiko rawan bangkrut secara rata-rata. Pada tahun 2012, terdapat 1 industri rokok diprediksi mengalami

risiko bangkrut. Pengelolaan aset secara produktif dan diimbangi dengan efisiensi biaya dan meminimalisasi tingkat utang dapat

menghidarkan perusahaan dari risiko kebangkrutan.

Kata Kunci Kebangkrutan, Altman Z-Score, Industri Rokok

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Akibat krisis moneter tahun 1998 yang melanda Indonesia

banyak perusahaan dalam negeri yang ditutup karena tidak

mampu mempertahankan kelangsungan hidupnya.

Ketidakmampuan atau kegagalan perusahaan tersebut

dapat disebabkan oleh dua hal, pertama yaitu kegagalan

ekonomi, dan yang kedua yaitu kegagalan keuangan.

Kegagalan ekonomi berkaitan dengan ketidakseimbangan

antara pendapatan dan pengeluaran. Selain itu, kegagalan

ekonomi juga bisa disebabkan oleh biaya modal

perusahaan yang lebih besar dari tingkat laba atas biaya

historis investasi. Tetapi beberapa industri dapat terus

bertahan dan bahkan mengalami peningkatan satu

diantaranya adalah industri rokok, selama beberapa tahun

terakhir produksi rokok terus mengalami kenaikan bila

dibandingkan dengan industri lainnya. Bahkan konsumsi

rokok tahun 2011 di Indonesia mencapai 270 miliar

batang, pertumbuhan penjualan rokok ini dipengaruhi oleh

daya beli masyarakat yang berkorelasi positif dengan

konsumsi rokok. Melihat besarnya tingkat konsumsi

rokok, pemerintah Indonesia menaikkan tarif cukai rokok

pada tahun 2013 sebesar 5%-7% dengan alasan untuk

mengurangi tingkat konsumsi rokok di Indonesia. Hal ini

malah meningkatkan penerimaan kas negara karena

walapun pemerintah menaikkan tarif cukai rokok,

masyarakat masih banyak mengkonsumsi rokok walapun

dari segi kesehatan peningkatan konsumsi rokok

mengalami lonjakan yang berarti negatif, hal ini malah

melihatkan korelasi positif terhadap penerimaan negara.

Pemerintah mencatat adanya setoran penerimaan sebesar

Rp 65 triliun dari cukai rokok sejak Januari hingga 15

November 2011. Jumlah tersebut merupakan 95 persen

dari penerimaan cukai yang sudah terkumpul Rp 68,075

triliun. Sisanya Rp 3,075 triliun dari cukai minuman

beralkohol.

Direktorat Jenderal Bea dan Cukai Kementerian Keuangan

akan merevisi penerimaan cukai dalam Anggaran

Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) 2013. Dalam

APBN 2013, penerimaan cukai ditarget Rp 92 triliun,

maka dalam APBN-P 2013, penerimaan cukai diharapkan

akan melebihi target tersebut. Pemerintah akan

mengupayakan untuk tahun ini mencapai Rp 100 triliun

(www.Republika.co.id, 27 Feburari 2013). Hal ini

menunjukkan bahwa penerimaan pajak dari cukai rokok

lebih tinggi dari cukai untuk alkohol.

Naiknya tarif cukai rokok, menyebabkan sejumlah industri

rokok mengalami kebangkrutan di beberapa daerah yang

Page 32: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

23

dimuat dimedia masa. Seperti yang dikatakan Kepala

Disperindag Pamekasan, Bambang Edy dalam situs

www.skalanews.com (11 Juli 2012) akibat kenaikan tarif

cukai, sebulan ada saja laporan home industri rokok yang

gulung tikar. Hingga akhir Juni lalu tercatat 205 pabrik

rokok yang bangkrut dan menutup produksinya Kenaikan

tarif cukai rokok, akhirnya menggulung 205 pabrik rokok

sekelas home industri di Kabupaten Pamekasan, Madura.

Kini, hanya tersisa 45 home industri rokok yang masih

berproduksi. Kenaikan cukai berdasarkan peraturan

Mentkeu yang ditandatangani oleh Agus Martowardjojo 9

November 2011 dan mulai berlaku efektif Januari 2012

lalu. Kenaikan cukai itu sendiri berkisar 8,3-11,1 persen

atau rata-rata 16%. Akibat kenaikan tarif cukai, sebulan

ada saja laporan home industri rokok yang gulung tikar.

Dampak yang ditimbulkan dari kebijakan yang dilakukan

pemerintah mengenai cukai dan pembelian pita rokok

sangat berpengaruh terhadap industri rokok. Seperti PT

British American Tobacco yang harus melakukan akuisisi

dengan PT Bentoel Internasional Investama karena

mengalami penurunan baik dalam penjualan maupun laba.

Tidak saja PT British American Tobacco yang mengalami

penurunan, namun PT Gudang Garam juga mengalami

penurunan laba bersih sebesar 46,69 % pada tahun 2006.

Sehubungan hal di atas, peningkatan tarif cukai rokok

yang diberlakukan oleh pemerintah tentu akan

berpengaruh terhadap laba yang akan diperoleh oleh

industri rokok. Saat ini perusahan yang telah go public dan

terdaftar di Bursa Efek Indonesia yaitu PT Gudang Garam

Tbk, Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk dan Bentoel

International Investama Tbk merupakan perusahaan rokok

terkenal dan terbesar di Indonesia dengan pangsa pasar

yang luas dan memiliki karyawan yang banyak serta

berkontribusi besar dalam penerimaan kas. Artinya dengan

peningkatan tarif cukai ini pasti akan memiliki risiko

finansial yang akan mempengaruhi kelangsungan hidup

perusahaan tersebut.

Meningkatnya beban pajak yang ditanggung oleh

perusahan diatas, hal ini akan menyebabkan peluang risiko

kebangkrutan akan bertambah. Risiko kebangkrutan atau

tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidup

perusahaan, sebenarnya dapat dilihat dan diukur melalui

laporan keuangan, dengan cara melakukan analisis

terhadap laporan keuangan yang dikeluarkan oleh

perusahaan yang bersangkutan. Laba pada umumnya

dipakai sebagai ukuran dari prestasi yang dicapai dalam

suatu perusahaan sebagai dasar untuk pengambilan

keputusan investasi, dan prediksi untuk meramalkan

perubahan laba yang akan datang yang akan berpengaruh

terhadap keputusan investasi para investor dan calon

investor yang akan menanamkan modalnya. Laba bisa

menjelaskan kinerja perusahaan selama satu periode di

masa lalu. Informasi ini tidak saja ingin diketahui oleh

manajer tetapi juga investor dan pihak-pihak lain yang

berkepentingan seperti pemerintah dan kreditur.

Indikator lain jika dalam hubungannya dengan laba atau

profit adalah salah satunya bentuk rasio probitabilitas di

dalam hal ini adalah Net Profit Margin Ratio (rasio

margin laba bersih) dapat mencerminkan keadaaan laba

bersih perusahaan tergantung kepada pendapatan dari sales

(penjualan) dan pada besarnya biaya usaha (operating

expenses) dalam tingkat tertentu. Dengan jumlah operating

expenses tertentu.

Tabel 1.1: Laba Bersih Industri Rokok Di BEI Periode

2008-2012 (Dalam Jutaan Rupiah)

Sumber : www.idx.co.id, 2013

Tabel di atas memperlihatkan bahwa laba bersih untuk PT

Gudang Garam Tbk mengalami penurunan sejak tahun

2010 yang merupakan laba bersih tertinggi dalam 5 tahun

terakhir. Untuk PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk, Dari

tahun 2009 ke tahun 2010 mengalami penurunan laba

bersih akan tetapi berangsur naik untuk 2 tahun. Tahun

2012 merupakan laba bersih terbesar dalam 5 tahun terakhir

ini. Dapat disimpulkan bahwa laba bersih PT Hanjaya

Mandala Sampoerna Tbk relatif mengalami kenaikan. Pada

PT Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami

penurunan di tahun 2009 dan mengalami kenaikan di tahun

2010 dan 2012 akan tetapi dalam tahun terakhir atau tahun

2012, PT Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami

kerugian atau loss. Kesimpulan dari tabel diatas adalah

bahwa hampir semua industri rokok yang terdaftar di Bursa

Efek Indonesia mengalami fluktuatif laba besih sehingga

keamanan atas terhindarnya dari risiko kebangkrutan atau

tidak dapat mempertahankan kelangsungan hidup usaha

akan tidak pasti.

Net Profit Margin Ratio (rasio margin laba bersih) pada

industri rokok yang terdapat di Bursa Efek Indonesia

tergambar dalam tabel berikut :

Tabel 1.2: Rasio Margin Laba Besih Industri Rokok Di

Bursa Efek Indonesia Periode 2008-2012

Sumber : Data Diolah

Tabel di atas memperlihatkan bahwa rasio laba bersih untuk

PT Gudang Garam Tbk mengalami fluktuatif sejak tahun

Nama

Perusahaan 2008 2009 2010 2011 2012

PT Gudang

Garam Tbk 6,3% 10,5% 10,9% 12,5% 8,5%

PT Hanjaya

Mandala

Sampoerna Tbk

11,% 13,2% 14,1% 15,4% 15,4%

PT Bentoel

Internasional

Investama Tbk

4,0% 0,4% 1,8% 4,4% -0,2%

Nama

Perusahaan 2008 2009 2010 2011 2012

PT Gudang

Garam Tbk 6,3% 10,5% 10,9% 12,5% 8,5%

PT Hanjaya

Mandala

Sampoerna Tbk

11,% 13,2% 14,1% 15,4% 15,4%

PT Bentoel

Internasional

Investama Tbk

4,0% 0,4% 1,8% 4,4% -0,2%

Page 33: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

24

2008-2012 penurunan yang cukup signifikan terjadi pada

pada periode 2011-2012 yaitu dari 12,5 % bergerak turun

ke arah 8,5%. Untuk PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk,

rasio laba bersih perusahan mengalami relatif mengalami

kenaikan akan tetapi di tahun 2012 rasio laba bersih tetap

tidak berubah dari sebelumnya yaitu 15,4%. Pada PT

Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami penurunan

yang signifikan di tahun 2009 menjadi 0,4% dibandingkan

dengan tahun sebelumnya tahun 2008 sebanyak 4% dan

mengalami kenaikan di tahun 2010 sebesar 1,4% akan 2012

akan tetapi dalam tahun terakhir atau tahun 2012 PT

Bentoel Internasional Investama Tbk mengalami kerugian

atau loss sehingga jika dihitung dengan rasio margin laba

bersih menunjukkan angka -0,2%. Kesimpulan dari tabel

diatas adalah bahwa semua industri rokok yang terdaftar di

BEI mengalami penurunan rasio margin laba besih untuk

tahun 2012. Sehingga jaminan atas terhindarnya dari risiko

kebangkrutan atau tidak dapat mempertahankan

kelangsungan hidup usaha tidak pasti atau belum

sepenuhnya terjamin.

Sehubungan hal di atas, maka perlunya suatu analisis

laporan keuangan yang berfungsi sebagai alat yang sangat

penting untuk mengetahui posisi keuangan perusahaan serta

hasil-hasil yang telah dicapai sehubungan dengan pemilihan

strategi perusahaan yang telah dilaksanakan. Secara empiris

prediksi kebangkrutan atau likuidasi ini dapat dibuktikan,

sebagaimana yang telah dilakukan oleh beberapa peneliti

dengan menggunakan rasio-rasio keuangan. Rasio-rasio

keuangan akan menunjukkan bagaimana kinerja suatu

perusahaan beroperasi baik didalam segi perputaran aset

maupun laba.

Apabila perusahaan dalam keadaan yang memperhatinkan

maka perlu petimbangan manajer untuk mengambil

keputusan dengan cepat untuk menghindari kebangkrutan.

Dengan menggunakan Analisis diskriminan yang

merupakan merupakan teknik menganalisis data, dimana

variabel dependen merupakan data kategorik (nominal dan

ordinal) sedangkan variabel independen berupa data

interval atau rasio, dapat membantu melihat keadaan

perusahaan yang sedang memperhatikan atau melihat

tingkat risiko kebangkrutan.

Oleh karena pentingnya suatu analisis laporan keuangan ini,

perlu kajian tentang analisis kinerja keuangan dengan

menggunakan metode Model Altman Z-Score untuk

mengukur tingkat kebangkrutan pada perusahaan. Poetri

Mustika Warga (2006) dalam junralnya untuk menganalisis

risiko kebangkrutan PT Mayora Indah Tbk. Salah satu

hasilnya menunjukkan bahwa pada tahun 2001 PT Mayora

Indah Tbk mengalami risiko kebangkrutan pada range

rawan bangkrut. Penelitian ini diharapkan dapat

memberikan bahan masukan dan pertimbangan bagi

manajemen perusahaan mengenai kemungkinan terjadinya

kebangkrutan agar dapat mengambil langkah pengambilan

keputusan guna melakukan persiapan dan perbaikan kinerja

melalui strategi yang cepat dan tepat demi peningkatan nilai

perusahaan dimasa depan. Penelitian ini juga dapat menjadi

masukan bagi investor dalam mengambil keputusan

investasi. Para investor dapat mempertimbangkan kembali

untuk berinvestasi dalam industri rokok tersebut.

1.2 Rumusan Masalah Penelitian

Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan

sebelumnya, maka peneliti merumuskan permasalahan,

yaitu Bagaimana Risiko Kelangsungan Hidup Usaha

Industri Rokok di BEI Periode 2008-2012 berdasarkan

Analisis Kebangkrutan Model Altman Z-Score.

2. METODOLOGI PENELITIAN

2.1 Jenis Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian positivis dengan

analisis statistik deskriptif melalui model Altman Z-Score

untuk menjelaskan risiko kebangkrutan perusahaan.

2.2 Populasi dan Sampel

Populasi dalam penelitian ini adalah industri rokok yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia Tahun 2008-2012.

Menurut Sugiyono (2012:122):

Sampling jenuh adalah tehnik penentuan sampel bila

semua anggota populasi digunakan sebagai sampel.

Hal ini sering dilakukan bila jumlah populasi relatif

kecil, kurang dari 30 orang, atau penelitian yang ingin

membuat generalisasi dengan kesalahan yang sangat

kecil. Istilah lain sampel jenuh adalah sensus, dimana

semua anggota populasi dijadikan sampel.

Sehubungan hal di atas sampel dalam penelitian ini adalah

PT Gudang Garam Tbk, PT Hanjaya Mandala Sampoerna

Tbk dan PT Bentoel Investama Tbk karena Industri rokok

yang listing di Bursa Efek hanya 3 perusahaan itu saja

maka dari itu peneliti menggunakan tehnik sampling jenuh

karena jumlah populasi kurang dari 30.

2.3 Sumber Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini merupakan data

sekunder yang di ambil dari laporan keuangan tahunann

perusahaan Industri Rokok dari tahun 2008-2012. Data ini

diperoleh dari Bursa Efek Indonesia, web sitenya

www.idx.co.id.

2.4 Tehnik Analisis Data

Metode analisis data digunakan untuk menganalisis data

hasil penelitian ini agar dapat diinterpretasikan sehingga

penelitian ini mudah dipahami, dengan fungsi menurut S.

Munawir (2010) persamaan sebagai berikut untuk masing-

masing industri rokok yang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia.

Page 34: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

25

𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠 − 𝐶𝑢𝑟𝑟𝑒𝑛𝑡 𝐿𝑖𝑎𝑏𝑖𝑙𝑖𝑡𝑖𝑒𝑠

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

𝑅𝑒𝑡𝑎𝑖𝑛𝑒𝑑 𝐸𝑎𝑟𝑛𝑖𝑛𝑔𝑠

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

Z-Score = 1,2 𝑋1 + 1,4 𝑋2 + 3,3 𝑋3 + 0,6 𝑋4 + 1,0 𝑋5

Keterangan :

𝑋1 = Modal kerja terhadap total harta (working capital to

total assets)

=

𝑋2 = Laba yang ditahan terhadap total harta (retained

earnings to total Assets)

=

𝑋3 = Pendapatan sebelum pajak dan bunga terhadap total

harta (earnings before interest and taxes to total

assets)

=

𝑋4 = Nilai pasar ekuitas terhadap nilai buku dari liabilitas

(market value equity to book value of total debt)

=

𝑋5 = Penjualan terhadap total harta (sales to total assets)

=

2.5 Identifikasi Variabel dan Operasional Variabel

Variabel yang digunakan dalam penelitian ini meliputi :

a. (X1) Working Capital to Total Assets

b. (X2) Retained Earning to Total Assets

c. (X3) Earning Before Interest and Taxes (EBIT)

to Total Assets

d. (X4) Market Value of Equity to Book Value of

Total Liabilities

e. (X5) Sales to Total Assets

(Sofyan Syafri Harahap,2009: 353)

(Z) Z-Score = 1,2 X1 + 1,4 X2 + 3,3 X3 + 0,6 X4 + 1,0 X5

(S.Munawir, 2010:309)

Agar penelitian ini dapat dilaksanakan sesuai dengan yang

diharapkan, maka perlu dipahami berbagai unsur-unsur

yang menjadi dasar dari suatu penelitian ilmiah yang

termuat dalam operasionalisasi variabel penelitian. Secara

lebih rinci, operasionalisasi variabel penelitian adalah

sebagai berikut:

Tabel 2.1: Operasionalisasi Variabel Penelitian

Variabel Konsep Indikator Skala

X1 Rasio ini menunjukkan

kemampuan

perusahaan untuk

menghasilkan

modal kerja bersih dari

keseluruhan

total aktiva yang

dimilikinya

Net Working

Capital to

Total Assets

(Sofyan

Syafri harahap,

2009: 353)

Rasio

X2 Rasio ini menunjukkan

kemampuan

perusahaan untuk

menghasilkan

laba ditahan dari total aktiva

perusahaan. Laba ditahan

terjadi karena

pemegang saham biasa

mengizinkan

perusahaan untuk

menginvestasik

an kembali laba yang tidak

didistribusikan

sebagai dividen

Retained Earnings to

Total

Assets (Sofyan

Syafri

harahap, 2009: 353)

Rasio

X3 Rasio ini

menunjukkan

kemampuan perusahaan

untuk

menghasilkan laba dari aktiva

perusahaan,

sebelum pembayaran

bunga dan pajak

Earning

Before

Interest and Tax to

Total

Assets (Weston &

Copeland,

2004:255) dalam

Diana Atim

Iflaha (2008)

Rasio

X4 Rasio ini

menunjukkan

kemampua

n perusahaan

untuk

memenuhi kewajiban-

kewajiban

dari nilai pasar

modal

sendiri (saham

biasa).

Nilai pasar ekuitas

sendiri

diperoleh

dengan

mengalikan

jumlah lembar

saham

Market

Value of Equity to

Book Value

of Debt (Sofyan

Syafri

harahap, 2009: 353)

Rasio

𝐸𝐵𝐼𝑇

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

𝑀𝑎𝑟𝑘𝑒𝑡𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝐸𝑞𝑢𝑖𝑡𝑦

𝐵𝑜𝑜𝑘 𝑉𝑎𝑙𝑢𝑒 𝑜𝑓 𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐷𝑒𝑏𝑡

𝑆𝑎𝑙𝑒𝑠

𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 𝐴𝑠𝑠𝑒𝑡𝑠

Page 35: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

26

biasa yang

beredar dengan

harga pasar

per lembar saham

biasa. Nilai

buku hutang

diperoleh

dengan menjumlah

kan

kewajiban lancar

dengan

kewajiban

jangka

panjang

X5 Rasio ini

menunjukkan

apakah perusahaan

menghasilkan

volume bisnis yang cukup

dibandingkan

investasi dalam total aktivanya.

Rasio ini

mencerminkan efisiensi

manajemen

dalam menggunakan

keseluruhan

aktiva perusahaan

untuk

menghasilkan penjualan dan

mendapatkan

laba

Sales to

Total

Assets (S.Munawir

, 2002:309)

Rasio

Z- Score

(Z)

Dari data

laporan keuangan

perusahaan

akan dianalisis dengan

menggunakan

beberapa rasio keuangan yang

dianggap dapat

memprediksi kebangkrutan

sebuah

perusahaan. Beberapa rasio

keuangan yang

mendeteksi likuiditas,

profitabilitas,

dan aktivitas perusahaan

yang akan

menghasilkan rasio-rasio atau

angka-angka

yang akan diproses lebih

lanjut dengan formula

Z = 1,2X1

+ 1,4X2 + 3,3X3 +

0,6X4 +

1,0X5 (S.Munawir

, 2002:309)

1. Z-Score

lebih kecil atau sama

dengan 1,81

berarti perusahaan

mengalami

kesulitan keuangan

dan risiko

tinggi. 2. Z-Score

antara 1,81 -

2,99 perusahaan

dianggap

berada pada daerah abu-

abu (grey

area). 3. Z-Score

>2,99

memberikan penilaian

bahwa

perusahaan berada

dalam keadaan

Altman.

yang sangat

sehat sehingga

kemungkina

n kebangkruta

n sangat

kecil terjadi.

Sumber : Diolah dari berbagi referensi

3. Hasil dan Pembahasan

3.1 Hasil

3.1.1 Working Capital to Total Assets (𝐗𝟏)

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk

menghasilkan modal kerja bersih dari keseluruhan total aset

yang dimilikinya. Rasio ini dihitung dengan membagi

modal kerja bersih dengan total aset. Modal kerja bersih

diperoleh dengan cara aset lancar dikurangi dengan

liabilitas lancar.

Tabel 3.1.1: Rata-rata Rasio Modal Kerja Terhadap Total

Aset Industri Rokok Period 2008 2009

Sumber : Data Diolah

Hasil perhitungan tabel 3.1.1, menunjukkan rata-rata rasio

modal kerja terhadap total aset dalam 5 tahun terakhir pada

industri rokok yang sekarang terdaftar di Bursa Efek

Indonesia adalah 31%. Tahun 2009 adalah tahun terbesar

rata-rata rasio modal kerja terhadap total aset industri rokok

yaitu 39% akan tetapi pada tahun 2010 dan 2011

mengalami penurunan menjadi 38%. Pada tahun 2012

menjadi 31%. hal ini menurun ketimbang rata-rata rasio

yang dihasilkan tahun sebelumnya yaitu 38%.

3.1.2 Retained Earning To Total Assets (𝐗𝟐)

Rasio ini mengambarkan kemampuan perusahaan untuk

menghasilkan laba ditahan dari total aset perusahaan.

Dengan kata lain, laba ditahan menunjukkan berapa banyak

pendapatan perusahaan yang tidak dibayarkan dalam

bentuk dividen kepada para pemegang saham. Rasio ini

merupakan indikator profitabilitas kumulatif yang relatif

terhadap panjangnya waktu. Hal ini mengisyaratkan bahwa

semakin muda suatu perusahaan semakin sedikit waktu

yang dimilikinya untuk membangun laba kumulatif

Tahun

PT Gudang

Garam

Tbk

PT Hanjaya Mandala

Sampoerna

Tbk

PT Bentoel Internasional

Investama

Tbk

Rata-rata

2008 36% 21% 41% 33%

2009 44% 34% 40% 39%

2010 47% 29% 37% 38%

2011 43% 40% 31% 38%

2012 40% 30% 24% 31%

Rata-

rata 42% 31% 35% 36%

Page 36: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

27

sehingga semakin besar kemungkinannya untuk mengalami

kegagalan usaha atau kebangkrutan.

Tabel 3.1.2: Rata-rata rasio Laba Ditahan Terhadap Total

Aset Industri Rokok Periode 2008-2012

Sumber : Data Diolah

Tabel 3.1.2 mencerminkan bahwa rasio laba ditahan

terhadap total aset rata-rata industri rokok terbesar terjadi

pada tahun 2009 yaitu sebesar 55%, akan tetapi mengalami

penurunan pada tahun 2010 dan tahun 2011 masing-masing

sebesar 28% dan 46%. Pada tahun 2012 mengalami

kenaikan 1% dari sebelumnya 46% sehingga menjadi 47%

sehinga rata-rata rasio laba ditahan industri rokok dalam 5

tahun terakhir yaitu 46%.

3.1.3 Earning Before Interest and Taxes (EBIT) to Total

Assets (𝑿𝟑)

Rasio ini mengambarkan perusahaan menghasilkan laba

bersih sebelum bunga dan pajak terhadap total aset. Rasio

ini merupakan indikator produktivitas aset perusahaan

dalam menghasilkan laba sebelum pajak. Semakin kecil

tingkat profitabilitas berarti semakin tidak efisien dan tidak

efektif perusahaan menggunakan keseluruhan aset di dalam

menghasilkan laba usaha begitu juga sebaliknya.

Tabel 3.1.3: Rata-rata rasio EBIT Terhadap Total Aset

Industri Rokok Periode 2008-2012

Sumber : Data Diolah

Tabel 3.1.3 mencerminkan bahwa rasio EBIT terhadap total

aset rata-rata industri rokok terbesar terjadi pada tahun

2009 sebesar 18,7%. Pada tahun 2009 mengalami kenaikan

sehingga menjadi 18,7% akan tetapi mengalami penurunan

pada tahun 2010 menjadi 13,6%. Pada tahun 2011

mengalami kenaikan menjadi 17% dan pada tahun 2012

menjadi 17,3% dan rata-rata rasio EBIT terhadap total aset

menjadi 16,7%.

3.1.4 Market Value of Equity to Book Value of Total

Liabilities(𝑿𝟒

Rasio ini menunjukkan kemampuan perusahaan untuk

memenuhi liabilitas dari nilai pasar modal sendiri atau

ekuitas. Rasio ini juga merupakan ukuran dalam

menunjukan seberapa banyak aset perusahaan dapat

menurun nilainya (diukur dari nilai pasar modal ditambah

utang) sebelum liabilitas (utang) melebihi aset dan

perusahaan menjadi bangkrut.

Tabel 3.1.4: Rata-rata rasio Market Value of Equity to

Book Value of Total Liabilities Industri

Rokok Periode 2008-2012

Sumber: Data Diolah

Dari tabel 3.1.4 bahwa rata-rata rasio market value of equity

to book value of total liabilities pada tahun 2008 sebesar

103,8%. Pada tahun 2009 dan 2010 mengalami kenaikan,

tahun 2010 merupakan rasio market value of equity to book

value of total liabilities terbesar selama 5 tahun terakhir

akan tetapi pada tahun 2011 mengalami penurunan

sehingga menjadi 100,0% dan pada tahun 2012 mengalami

kenaikan tetapi tidak cukup signifikan yaitu hanya naik

sebesar 0,5% sehingga menjadi 100,5%.

3.1.5 Sales To Total Assets (𝑿𝟓)

Rasio sales to total assets digunakan untuk mengukur

kemampuan perusahaan dalam meningkatkan usaha, yaitu

sejauh mana efektivitas perusahaan menggunakan total aset

yaitu sebagai sumber daya untuk meningkatkan penjualan

dengan berbagai macam kondisi persaingan. Rasio juga ini

mencerminkan efisiensi manajemen dalam menggunakan

keseluruhan aktiva perusahaan untuk menghasilkan

penjualan dan mendapatkan laba.

Tahun

PT

Gudang

Garam

Tbk

PT Hanjaya

Mandala

Sampoerna

PT Bentoel

Internasional

Investama

Tbk

Rata-

rata

2008 20,30% 49,90% 38,80% 36%

2009 63,60% 59,10% 40,80% 55%

2010 69,00% 32,50% 43,40% 48%

2011 59,90% 43,30% 35,70% 46%

2012 62,80% 47,40% 29,70% 47%

Rata-

rata 55% 46% 38% 46%

Tahun PT Gudang Garam Tbk

PT Hanjaya

Mandala

Sampoerna Tbk

PT Bentoel

Internasional

Investama Tbk Rata-rata

2008 9,0% 36,0% 5,5% 16,8%

2009 13,0% 41,0% 2,1% 18,7%

2010 18,0% 19,0% 3,7% 13,6%

2011 13,0% 33,0% 5,0% 17,0%

2012 10,0% 44,0% -2,2% 17,3%

Rata-

rata 12,6% 34,6% 2,8% 16,7%

Tahun

PT

Gudang Garam

Tbk

PT Hanjaya

Mandala Sampoerna

Tbk

PT Bentoel

Internasional Investama

Tbk Rata-rata

2008 148,5% 99,5% 63,5% 103,8%

2009 191,6% 144,2% 69,9% 135,2%

2010 225,0% 108,4% 176,8% 170,1%

2011 168,9% 76,2% 55,0% 100,0%

2012 168,9% 90,2% 42,3% 100,5%

Rata-

rata 180,6% 103,7% 81,5% 121,9%

Page 37: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

28

Tabel 3.1.5: Rasio Sales to Total Assets Industri Rokok

Periode 2008-2012

Sumber : Data Diolah

Dari tabel 3.1.5 rata-rata rasio sales to total assets pada

tahun 2008 sebesar 147,1%. Pada tahun 2009 mengalami

kenaikan sebesar 2,1% sehingga menjadi 149,2 % akan

tetapi mengalami penurunan pada tahun 2010 menjadi

104,1% dan pada tahun 2011 dan 2012 mengalami

penurunan masing-masing menjadi 119% dan 130,5%.

3.1.6 Nilai Z-Score Tahun 2008-2012

Masing-masing industri rokok menggunakan formula yang

sama dalam mengetahui nilai Z-Score adalahZ-Score =

1,2X1 + 1,4X2 + 3,3X3 + 0,6X4 + 1,0X5 berikut ini adalah

perhitungan Z-Score untuk industri rokok yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia sekarang untuk tahun 2008, 2009,

2010, 2011 dan 2012 sebagai berikut :

Tabel 3.1.6: Rata-rata Nilai Z-Score untuk Industri Rokok

Periode 2008-2012

Sumber : Data Diolah

Pada tabel 3.1.6 rata-rata nilai Z-Score PT Gudang Garam

Tbk untuk 5 tahun terakhir menunjukkan angka 4,212 yaitu

masih diatas >2,99 dan masih dikatergorikan sehat, PT

Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk untuk 5 tahun terakhir

dikategorikan sehat dengan angka rata-rata nilai Z-Score

4,496 juga masih dikategorikan sehat sedangkan untuk PT

Bentoel Internasional Investama Tbk nilai Z-Score rata-rata

menunjukkan angka 2,502 yang berarti dikategorikan rawan

bangkrut karena berada pada range 1,81-2,99. Apabila

melihat rata-rata nilai Z-Score industri rokok 5 tahun

terakhir maka angka Z-Score menunjukkan 3,73 yang

berada dilevel sehat.

3.2 Pembahasan

3.2.1 Pembahasan Nilai 𝐗𝟏, 𝐗𝟐, 𝐗𝟑, 𝐗𝟒, dan 𝐗𝟓 Dari hasil perhitungan rata-rata modal kerja terhadap total

aset yang dimiliki masing-masing perusahaan pada tabel

3.1.1 menunjukkan angka 36% hal ini berarti sebanyak

Rp1000 aset tetap yang dimiliki perusahaan hanya

menghasilkan modal kerja Rp360. Jika melihat 5 tahun

terakhir, maka dapat dikatakan bahwa modal kerja

perusahaan-perusahaan rokok relatif menurun terhadap total

kapitalisasinya Ini dapat dilihat bahwa 2 perusahaan rokok

lainnya mengalami tingkat likuiditas yang menurun dan

untuk PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk mengalami

relatif fluktuatif.

Dari tabel 3.1.2 bahwa rasio laba ditahan terhadap total

aset rata-rata industri rokok selama 5 tahun terakhir

menunjukkan 46% artinya bahwa Rp1000 total aset hanya

menghasilkan Rp460 laba ditahan. Hal ini merupakan

cerminan rasio profitabilitas industri tersebut tidak stabil

dan masih kecil ketimbang tahun 2009 dalam menghasilkan

laba ditahan dalam jumlah aset tertentu. Dapat dikatakan

bahwa rasio laba ditahan terhadap total aset pada industri

rokok mengalami fluktuatif.

Pada tahun 2012 menunjukkan rata-rata rasio EBIT

terhadap total aset pada industri rokok menunjukkan 16,7%

artinya bahwa Rp1000 total aset hanya menghasilkan

Rp167 EBIT. Hal ini merupakan cerminan rasio

profitabilitas industri tersebut tidak stabil dan masih kecil

ketimbang tahun 2009 dalam menghasilkan EBIT dalam

jumlah aset tertentu sebagai mana ditunjukkan pada tabel

3.1.3. Dapat dikatkan bahwa rasio EBIT terhadap total aset

pada industri rokok mengalami fluktuatif.

Rata-rata rasio market value of equity to book value of total

liabilities pada tahun 2010 merupakan terbesar selama 5

tahun terakhir akan tetapi pada tahun terakhir yaitu tahun

2012 hanya sebesar 100,5% hal ini bahwa Rp1000 utang

dapat dijamin oleh Rp1005 total ekuitas. Hal ini sangat

kecil ketimbang pada tahun 2010 Rp1000 utang dapat

dijamin oleh Rp1705 seperti yang tergambar dalam tabel

3.1.4 Dapat disimpulkan bahwa rasio market value of equity

to book value of total liabilities industri rokok mengalami

fluktuatif.

Dari uraian 3.1.5 bahwa rata-rata rasio sales to total assets

terbesar yaitu pada tahun 2009 sebesar 149,2% akan tetapi

mengalami penurunan dan kenaikan di tahun-tahun

selanjutnya. Pada tahun 2012 rata-rata rasio sales to total

assets adalah 130,8 % hal ini berarti Rp1000 total aset yang

digunakan perusahan dapat menghasilkan Rp1308

Tahun

PT Gudang

Garam Tbk

PT Hanjaya

Mandala Sampoerna

Tbk

PT Bentoel

Internasional Investama

Tbk

Rata-

rata

2008 93,0% 215,0% 133,3% 147,1%

2009 86,4% 220,0% 141,3% 149,2%

2010 122,6% 100,5% 89,2% 104,1%

2011 78,2% 156,3% 122,6% 119,0%

2012 75,1% 211,2% 105,3% 130,5%

Rata-rata 91,1% 180,6% 118,3% 130,0%

Tahun

PT

Gudang Garam

Tbk

PT Hanjaya

Mandala Sampoerna

Tbk

PT Bentoel

Internasional Investama

Tbk Rata-rata

2008 5,5 4,8 2,93 4,41

2009 3,86 5,6 2,94 4,13

2010 4,7 3,08 3,1 3,63

2011 3,5 3,9 2,49 3,30

2012 3,5 5,1 1,05 3,22

Rata-

rata 4,212 4,496 2,502 3,74

Kategori Sehat Sehat Rawan

Bangkrut Sehat

Page 38: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

29

penjualan atau sales walaupun pada tahun sejak tahun

2010-2012 mengalami kenaikan akan tetapi hal ini masih

terlalu kecil sebesar 18,7% ketimbang tahun 2009. Dapat

disimpulkan bahwa rata-rata rasio sales to total assets

relatif mengalami kenaikan.

3.2.2 Pembahasan Nilai Z-Score

Pada tabel 4.26 di atas terlihat bahwa dalam 5 tahun

terakhir yaitu dari tahun 2008 sampai 2012 setiap rata-rata

industri rokok memiliki kondisi keuangan yang berbeda-

beda untuk setiap tahunnya. Hanya PT Bentoel

Internasional Investama Tbk yang rata-rata 5 tahun terakhir

dapat dikategorikan rawan bangkrut karena nilai rata-rata

menunjukan 2,502 yang berada pada range 1,81-2,99.

Meskipun begitu pada tahun 2010 dikategorikan sehat

dengan nilai Z-Score sebesar 3,1 akan tetapi pada tahun

2012 nilai Z-Score menunjukkan angka 1,05 yaitu berada di

range <1,81 yaitu range untuk kategori bangkrut. Untuk

nilai Z-Score untuk 5 tahun terakhir pada PT Gudang

Garam Tbk dan PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk

berada dalam kategori sehat walapun nilai Z-Score relatif

mengalami fluktuatif.

4. Kesimpulan dan Saran

4.1 Kesimpulan

Dari hasil analisis data dan pembahasan maka dapat ditarik

kesimpulan sebagai berikut :

1. Nilai modal kerja terhadap total aset industri rokok

relatif menurun hal ini dapat dilihat periode tahun 2009-

2012 yang berarti bahwa tingkat likuiditas kurang baik.

Retained Earning To Total Assets juga relatif

mengalami fluktuatif hal ini juga terjadi pada Earning

Before Interest and Taxes (EBIT) to Total Assets relatif

fluktuatif ini mencermikan profitabilitas industri rokok

kurang stabil. Market Value of Equity to Book Value of

Total Liabilities juga mengalami fluktuatif yang berarti

menunjukan ketidakstabilan tingkat utang karena

apabila utang yang telalu besar yang melebihi ekuitas

dapat menyebabkan perusahaan mengalami masalah

kesulitan keuangan yang serius sedangkan Sales To

Total Assets rata-rata relatif mengalami kenaikan hal ini

dapat disimpulkan bahwa kemampuan peningkatan

penjualan dari aset industri rokok mengalami kenaikan

sehingga perusahaan dapat berkompetisi pada kondisi

yang kompetitif.

2. Nilai Z-Score pada industri rokok tahun 2012 prediksi

kebangkrutan memiliki 2 Industri rokok dikategorikan

sehat dan 1 industri rokok diprediksi bangkrut. Jika

melihat 5 tahun terakhir rata-rata industri rokok

dikategorikan sehat walapun hanya 1 industri rokok

yang dikategorikan rawan bangkrut. Peluang

kebangkrutan ini tentunya akan semakin besar jika

pihak manajemen perusahaan tidak segera melakukan

tindakan evaluasi terhadap kondisi keuangan

perusahaan. Selain itu, perbaikan kinerja diperlukan

setiap industri rokok agar semakin kecil kemungkinan

mengalami kebangkrutan.

4.2 Saran

1. Seharusnya tingkat arus modal kerja dikelola dengan

baik sehingga modal kerja tidak kecil menurun. Aset

digunakan secara produktif dan efisien sehingga dapat

menghasilkan laba ditahan atau saldo laba. Dalam

peminjaman utang seharusnya diusahakan agar tidak

terlalu besar terhadap ekuitas perusahaan dan total aset.

Apabila hal ini tetap dipertahankan maka perusahaan

akan tetap berada pada kondisi yang sehat. Untuk sales

to total assets tetap dipertahankan atau ditingkatkan

dengan tingkat penjualan yang besar dan diimbangi

dengan pengefisiensian biaya operasional maka akan

menjamin perusahaan dalam keadaan yang tidak merugi

atau menurunkan tingkat kesulitan keuangan semakin

kompetitif perusahan dalam persaingan.

2. Untuk nilai Z-Score pada industri rokok sudah cukup

bagus dengan kategori keadaan sehat, hal ini terus

dijaga. Untuk nilai Z-Score pada PT Bentoel

Internasional Investama Tbk yang ditunjukkan hasil

analisis dan pembahasan perlu diperhatikan karena rata-

rata 5 tahun terkahir dikategorikan rawan bangkrut. Hal

ini dapat diatasi dengan memperbaiki modal kerja,

efisiensi biaya, produktif dalam penggunaan aset

sehingga dapat menghasilakan penjualan yang besar

dan diimbangi dengan tingkat utang yang rendah agar

tidak kembali dalam masalah kesulitan keuangan.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Poetri Mustika Warga. 2006. Analisa Laporan

Keuangan dan Indikator Kebangkrutan untuk

Menilai Kinerja Keuangan serta Kelangsungan

Pada PT Mayora Indah Tbk Beserta Anak

Perusahaan (periode 2001-2005. Universitas Bina

Nusantara

[2] Munawir, S. 2010. Analisa Laporan Keuangan.

Yogyakarta: Liberty

HAK CIPTA

Semua makalah yang diajukan haruslah asli, karya yang

dipublikasikan tidak dalam pertimbangan untuk

dipublikasikan. Penulis bertangung jawab untuk

mendapatkan semua izin yang diperlukan untuk

menampilkan kembali tabel, gambar dan citra. Makalah

tidak berisi fitnahan, dan tidak melanggar hak-hak lainnya

dari pihak ketiga.

Para penulis setuju bahwa keputusan dewan redaksi terkait

kesempatan pemaparan makalah adalah final. Para penulis

dilarang melakukan bujukan pada tim teknis dalam usaha

untuk menerbitkan makalahnya.

Sebelum penerimaan akhir makalah, penulis diminta untuk

mengkonfirmasi secara tertulis bahwa penulis adalah

Page 39: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

30

pemegang semua hak cipta makalahnya dan menyerahkan

hak cipta tersebut pada organizer pelaksana seminar.

Page 40: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

31

Analisis pada Layanan Learning Management System

(Studi Kasus: Virtual Learning Politeknik Pos Indonesia)

Maniah

Jurusan Manajemen Informatika, Politeknik Pos Indonesia, Bandung 40151

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Website Virtual Learning Poltekpos Indonesia ini dikembangkan sebagai sarana penunjang belajar mahasiswa. Mata kuliah pada

sistem ini dikategorikan berdasarkan Program Studi. Implementasi virtual learning di Politeknik Pos Indonesia berbasiskan

software opensource Moodle bertujuan untuk meningkatkan kualitas pembelajaran di institusi tersebut. Dokumen cara penggunaan

virtual learning Poltekpos Indonesia dibuat untuk menunjang operasional sistem ini. Untuk meningkatkan kualitas konten

dokumen serta sistem secara keseluruhan, telah dilakukan analisis terhadap layanan penyelenggaraan virtual learning Poltekpos

Indonesia. Maksud analisis ini adalah memberikan rekomendasi perbaikan terhadap layanan Penyelenggaraan virtual learning

Poltekpos Indonesia bila hasil analisis terdapat perbaikan-perbaikan. Berikut adalah hasil analisis meliputi panduan penggunaan

Learning Management System (LMS) dan tugas pokok pengelola Virtual Learning Poltekpos Indonesia.

Kata Kunci

Moodle, software opensource, virtual learning, learning management system

1. PENDAHULUAN

Politeknik Pos Indonesia merupakan perguruan tinggi yang

memiliki komitmen untuk meningkatkan kualitas pendidikan

ke taraf internasional. Dengan komitmennya tersebut,

virtual learning dijadikan sebagai salah satu bentuk strategi

untuk mencapai kualitas tersebut.

Wujud nyata dari komitmen ini adalah dengan

mempersiapkan sumber daya manusia yang didedikasikan

untuk pengelolaan virtual learning sehingga implementasi

dari virtual learning selaras dan sangat mendukung proses

yang berjalan di institusi.

Komponen utama Virtual learning dan Knowledge

Management (KM) adalah :

1. konten,

2. perancangan pembelajaran/pedagogi, dan

3. teknologi.

Penerapannya di institusi umumnya berwujud aplikasi

learning management system (LMS). Untuk penerapan

tersebut perlu di buat arahan-arahan dalam bentuk rencana

strategis yang berisi :

1. Analisa kebutuhan implementasi virtual learning,

2. Visi dan misi institusi terkait dengan virtual

learning di institus tersebut,

3. Kondisi eksisting, dan analisis dampak penerapan

4. Strategi dan program yang dilakukan serta

5. Roadmap dan tahapan-tahapnya

Rencana strategis tersebut kemudian disosialisasikan kepada

segenap stakeholder institusi sehingga segenap stakeholder

terkait melihat virtual learning ini dari jendela yang sama

serta memiliki pemahaman yang sama. Rencana Strategis

tersebut kemudian menjadi panduan bersama dalam

penyelenggaraan dan pengelolaan Virtual learning

Suatu sistem virtual learning yang sukses

diimplementasikan di suatu institusi umumnya dapat

ditentukan dari

1. Ketersediaan konten yang bermanfaat,

2. Perancangan pembelajaran yang efektif, didukung

dengan

3. Teknologi/infrastruktur yang tangguh dan tepat

guna

Faktor utama yang mendukung kesuksesan tersebut di atas

sangat ditentukan oleh

1. Ketersediaan sumber daya dan organisasi yang

dididedikasikan virtual learning

2. Ketersediaan standar proses/sistem operasional

3. Ketersediaan teknologi yang memungkinkan sistem

dapat berjalan.

2. ANALISIS TERHADAP PENGGUNAAN

LEARNING MANAGEMENT SYSTEM (LMS)

Panduan aplikasi learning management system (LMS) yang

digunakan untuk sistem virtual learning, secara detil sudah

dituliskan dalam dokumen Panduan Penggunaan LMS yang

sudah disiapkan oleh tim layanan Virtual learning. Namun

Page 41: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

32

bagaimana panduan aplikasi virtual learning ini dapat lebih

optimal digunakan oleh para pengguna layanan virtual

learning maka dipandang perlu untuk meninjau lebih lanjut

terhadap penggunaan dari layanan virtual learning tersebut.

2.1 Standar Layanan virtual learning

Beberapa poin yang perlu untuk disampaikan terkait dengan

analisis sistem ini antara lain adalah standar layanan

aplikasi:

1. Availability

2. Accessability

3. Reliability

4. Usability

5. Portability

Nilai manfaat dari sistem atau aplikasi yang

diimplementasikan akan sangat bergantung pada lima

komponen di atas. Poin-poin tersebut juga akan berdampak

pada semakin tingginya tingkat penggunaan atau sebaliknya.

Secara ringkas sebagai bahan improvement terhadap operasi

sistem virtual learning, berikut disampaikan mengenai poin-

poin standar layanan tersebut di atas.

Availability adalah ketersediaan sistem pada saat setelah

diimplementasikan. Sistem virtual learning dan sistem digital

library harus memenuhi standar availability 24/7. Untuk itu,

maka diperlukan proses pengaturan dan pengelolaan segenap

infrastruktur meliputi server dan koneksi jaringan yang

memungkinkan sistem bisa selalu berjalan serta pada saat

sistem gagal/failed, maka sistem dapat beroperasi

kembali/recover dengan cepat.

Accessibility adalah kemudahan akses. Berbeda dengan poin

availability yang titik tekannya adalah pada ketersediaan

sistem dan infrastruktur, aksesibilitas lebih cenderung pada

akses ke sistem aplikasi virtual learning serta digital library

itu sendiri. Ketika sistem sudah diimplementasikan, maka

sistem harus dapat diakses dengan baik mulai dari tampilan

awal, kemudian login, akses ke layanan atau konten, sampai

user bisa logout. Tentu saja navigasi menjadi komponen

penting dalam aksesibilitas ini.

Reliability adalah ketangguhan sistem dalam memenuhi

request, query dan transaction. Yaitu sistem perlu dirancang

untuk memenuhi standar ketangguhan serta memiliki

kemampuan untuk recover dengan cepat pada saat terjadi

kegagalan. Ketangguhan sistem dalam hal ini ditentukan dari

konfigurasi lingkungan software seperti webserver, database,

serta spesifikasi hardware.

Usability adalah sistem harus mudah untuk digunakan.

Tingkatan kemampugunaan (usability) ini sangat tergantung

dari kebutuhan user. LMS Moodle yang digunakan sebagai

aplikasi Learning Management System (LMS) di Politeknik

Pos Indonesia dalam hal ini sangat kaya dengan fitur. Tetapi

tidak semua fitur perlu untuk diaktifkan. Namun

penyederhanaan fitur ini tetap perlu mempertimbangkan

fleksibilitas pengguna dalam memanfaatkan sistem.

Sehingga hal pertama yang perlu dilakukan pada saat

implementasi adalah mendefinisikan kebutuhan pengguna.

Kemudian menetapkan fitur-fitur yang perlu ada, serta

mengkategorisasi mulai dari fitur primer/prioritas, sekunder,

dan tertier. Sehingga dapat dipilah fitur apa saja dalam

virtual learning yang harus diimplementasikan.

Portability adalah sistem harus standar. Yaitu memenuhi

kaidah sehingga sistem dapat berjalan dari segenap

perangkat yang mungkin dipakai oleh pengguna dalam

memanfaatkan sistem tersebut. Dalam hal ini lingkungan

perangkat utama untuk aplikasi berbasis web adalah

browser. Otomatis sistem yang dikembangkan harus dapat

berjalan dalam lingkungan browser apapun terutama browser

mayor seperti internet eksplorer, mozilla firefox, apple

safari, google chrome, opera dan lainnnya. Untuk itu perlu

untuk dilakukan pengujian oleh tim developer berkaitan

dengan portability layanan virtual learning ini.

Berikut dilakukan beberapa komponen pengujian yang

dilakukan untuk melihat fitur-fitur tersedia dari sistem

virtual learning yang digunakan di Politeknik Pos Indonesia.

Untuk menjalankan virtual learning, kita melakukan akses ke

sistem virtual learning sesuai dengan panduan yang

disediakan. Untuk menguji aksesibilitas, digunakan cara

sederhana yaitu:

1. Perintah tracert dari command prompt

2. Akses browser ke sistem

3. Akses ke fitur registrasi yang ada di sistem

4. Menggunakan utiliti ip2location

Sistem Virtual learning Politeknik Pos Indonesia dapat

diakses melalui url : http://vl.poltekpos.ac.id/, CMS/LMS

yang digunakan Moodle 2.1.

2.2 Karakteristik Pengguna Sistem Virtual Learning

Secara umum panduan penggunaan Virtual Learning

Politeknik Pos Indonesia yang dikembangkan oleh tim

pengelola Virtual Learning Politeknik Pos Indonesia sudah

cukup lengkap. Beberapa poin analisis terkait dengan

dokumen tersebut antara lain:

1. Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan

karakteristik pengguna.

2. Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan

fitur sistem.

3. Pengelompokan dokumen penggunana berdasarkan

alur waktu.

Pengelompokan tersebut sangat penting pada saat sistem

akan digunakan dan pengguna dapat memilih dokumen

Page 42: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

33

penggunaannya berdasarkan preferensinya. Sebagai contoh

dapat dilihat pada tabel sebagai berikut:

Tabel 1: Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan karakteristik pengguna sistem

Jenis Dokumen Deskripsi Konten/Isi Keterangan

Dokumen Penggunaan untuk

Administrator Sistem Setup dan Instalasi Sistem

Setting lingkungan pendukung

sistem

Mengoperasikan Sistem

Mengatur setting umum sistem

Mengatur User dan Privilege

User

Mengatur perkuliahan online

Mengatur repositori/storage

online

Mengatur modul sistem

Backup dan Restore

Pengamanan Sistem

Administrator sistem adalah orang yang terdiri

dari pengelola harian dan dosen yang ditunjuk

untuk membantu mengoperasikan sistem supaya

sistem dapat menjalankan fungsinya secara

optimal

Dokumen Penggunaan untuk

Dosen/Asisten Membuat kelas/perkuliahan

online

Mengatur user dan grup

Menambahkan bahan

ajar/resource

Membuat dan mengatur

aktivitas online

Mengatur assessment online

Mengatur diskusi/interaksi

online

Backup, Reset, dan Restore

Dosen adalah orang yang ditugaskan dengan SK

tertulis untuk mengampu perkuliahan yang

diselenggarakan secara online atau pun blended

learning

Dokumen Penggunaan untuk Peserta

atau Mahasiswa Tatacara registrasi

Tatacara login

Aturan dan tatacara mengikuti

kelas online

Tatacara akses bahan ajar

Tatacara mengikuti forum

diskusi

Tatacara ujian/assessment

Mengatur profil pribadi

Tatacara logout

Peserta atau mahasiswa adalah orang yang

diperbolehkan untuk akses ke dalam sistem dan

mengikuti pembelajaran di sana.

3. ANALISIS TUGAS POKOK PENGELOLA

VIRTUAL LEARNING

Proses Tata Kelola Virtual Learning secara riil dinyatakan

dengan kebijakan dan standar-standar dan prosedur yang

berlaku dan ditatapkan berdasarkan pada kebijakan. Struktur

kebijakan dan standar prosedur akan sangat tergantung

dengan kerangka proses yang dipilih.

Walaupun demikian, pengelolaan Virtual Learning (e-

learning) di suatu institusi ini tetap perlu mengedepankan

pada kebutuhan institusinya dan tidak dapat berdiri sendiri.

Beberapa hal yang menjadi pertimbangan antara lain :

1. Pemahaman organisasi E-learning

2. Penyelarasan (alignment) atau operational

excellence

3. perspektif benefit yang ingin dibuat.

Tujuan Tata Kelola Virtual Learning atau E-learning

1. Mendefinisikan tujuan dan kriteria indikator kinerja

e-learning selaras dengan visi dan misi organisasi

2. Merencanakan dan mendefinisikan kebutuhan-

kebutuhan untuk penerapan e-learning

Page 43: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

34

3. Merancang, mengembangkan, dan

mengimplementasikan e-learning

4. Mengoperasikan, menyelaraskan, serta memelihara

sistem e-learning meliputi infrastruktur, aplikasi,

fasilitas, dan sarana

5. Memenuhi dan menerapkan standar-standar e-

learning

6. Bersama-sama membuat pengaturan pelaksanaan e-

learning di organisasi.

3.1 Proses dan Prosedur Operasional e-Learning

Sistem terdiri dari komponen orang, proses, dan alat. Ketiga

komponen utama tersebut digunakan untuk menjalankan

sistem supaya dapat mencapai tujuan yang ditetapkannya.

Sistem e-learning dalam hal ini adalah orang, proses, dan

alat/teknologi yang disiapkan untuk menyediakan layanan e-

learning di institusi sehingga mendukung proses bisnis

institusi agar dapat menjalankan visi dan misinya dalam

rangka mencapai target dan sasarannya.

Sistem e-learning beroperasi untuk memberikan layanan

kepada segenap user, yaitu pengguna e-learning, dalam

menyediakan konten e-learning meliputi modul e-learning

(self-learning), materi blended learning, serta arsip-arsip

materi pembelajaran yang sudah dilaksanakan untuk dapat

diakses kembali oleh peserta pembelajaran (on demand) atau

peserta non pembelajaran.

Kapabilitas sistem e-learning memungkinkan sistem untuk

diakses 24/7 atau 24 jam setiap hari, 7 hari setiap minggu.

Dengan konten lengkap yang disediakan pada sistem e-

learning membuat segenap user e-learning selalu bisa

mengikuti pembelajaran atau hanya mengakses konten

bahan-bahan ajar tersebut untuk dapat meningkatkan

pengetahuan.

Sistem e-learning ini terdiri dari aplikasi learning

management system (LMS) yang dijalankan pada server dan

diakses dari semua lokasi atau lokasi-lokasi yang ditentukan

melalui ketersediaan jaringan. Ketersediaan sistem

(availability), kemudahan diakses (accessability),

ketangguhan (reliability), kemudahan digunakan (usability)

adalah faktor-faktor penting yang perlu diperhatikan dalam

penyediaan layanan e-learning.

Untuk dapat menyelenggarakan e-learning dengan

memperhatikan faktor-faktor penting di atas, setelah

infrastruktur dapat disediakan maka perlu dibangun

organisasi sumber daya manusia yang mampu untuk

menjalankan sistem e-learning sehingga bisa menjalankan

fungsinya dengan baik.

Organisasi e-learning memberikan layanan kepada

stakeholder e-learning dengan menjamin bahwa layanan

yang disediakan dapat digunakan, serta membantu

stakeholder tersebut dalam penggunaan dan pemanfaatan e-

learning sehingga e-learning bisa mencapai sasarannya.

Gambar 1: Proses dan fungsi

3.2 Struktur Organisasi

Organisasi penyedia layanan E-learning perlu untuk

dibangun dan ditetapkan sehingga layanan E-learning yang

tersedia dapat terjamin pengelolaannya. Organisasi tersebut

distrukturisasi dengan komponen-komponen sebagai berikut,

1. Koordinator E-learning

2. Tim/Divisi-divisi

a. e-learning analyst

b. system support dan helpdesk

c. konten, fasilitas, dan studio e-learning.

Page 44: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

35

Gambar 2: Struktur organisasi internal tim e-learning

Tabel 1: Pengelompokan dokumen penggunaan berdasarkan karakteristik pengguna sistem

Nama Struktur Peran dan Tanggung Jawab

Koordinator Tim E-learning Tanggung Jawab

Menyelaraskan (aligning) program e-learning dengan kebutuhan/strategi transformasi korporat

Mengelola operasional tim e-learning di institusi

Merencanakan agenda dan kegiatan pengembangan e-learning

Mengevaluasi dan membuat laporan kegiatan e-learning

Koordinator System & Helpdesk Tanggung Jawab

Berkoordinasi mengenai pengembangan dan pemeliharan Infrastruktur e-learning

Menstabilkan/mengokohkan dukungan IT untuk E-learning

Mengelola dan mengembangkan Aplikasi Learning Management System (LMS)

Mengelola Course homepage

Helpdesk/contact person e-learning

Mengedukasi dan mensosialisasikan e-learning kepada user

Koordinator Konten & Studio Tanggung Jawab

Mengelola konten E-learning di Institusi

Mengelola fasilitas dan perangkat pengembangan konten di institusi

Merencanakan, melakukan, pengembangan konten E-learning

Melakukan pengembangan-pengembangan tool dan media E-learning

Memberikan usulan dan masukan terkait pengembangan E-learning

e-Learning Analyst Tanggung Jawab

Merencanakan pengembangan E-learning dari segala aspek

Menganalisa perkembangan model, teknologi, perangkat e-learning,

Menuliskan dan mempublikasikan review hasil analisa secara berkala

Berkoordinasi untuk membuat rencana implementasi teknologi dan konten E-learning

Staf System Support dan Administrator Tanggung Jawab

Mengoperasikan infrastruktur e-learning

Memelihara Infrastruktur e-learning

Melakukan pengembangan aplikasi Learning Management System (LMS)

Mengelola Course homepage

Helpdesk/contact person e-learning

Mengedukasi dan mensosialisasikan e-learning kepada user

Staf Facility Support & Helpdesk Pengguna Tanggung Jawab

Mengoperasikan Fasilitas Pendukung E-learning

Memelihara Fasilitas Pendukung E-learning

Menyiapkan sarana dan kelas komputer untuk pembelajaran

Mengedukasi pengguna

Helpdesk/contact person e-learning

Page 45: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

36

Menyelesaikan persoalan yang dihadapi pengguna terkait sarana dan akses ke sistem e-learning

Multimedia Designer/Animator Tanggung Jawab

Digitalisasi Konten

Mengelola konten e-learning

Membuat dan mengembangkan konten (simulasi, animasi, kuis) sesuai kebutuhan

Menguploadkan konten materi e-learning

Mengedukasi dan mensosialisasikan e-learning kepada user

Videomaker/Publisher Tanggung Jawab

Digitalisasi Konten

Arsip Video Kegiatan Pembelajaran

Arsip Foto Digital

Rekaman (audio/video) Narasi

Integrasi konten dalam bentuk format standar

Mengedukasi, mensosialisasikan, dan memberikan bimbingan e-learning kepada user

4. KESIMPULAN

Secara umum sistem Virtual Learning yang

diimplementasikan di Politeknik Pos Indonesia berbasiskan

software opensource Moodle dapat meningkatkan kualitas

pembelajaran yang dijalankan di institusi tersebut. Dokumen-

dokumen yang dibuat untuk menunjang operasional sistem

tersebut sudah tersedia. Untuk mengakomodir pengembangan

dokumen tersebut perlu untuk dikembangkan dengan

menyediakan template atau utility yang dapat digunakan oleh

tim pengelola dalam mengoperasikan sistem tersebut. Tentu

saja sistem ini perlu didukung dengan sosialisasi yang intensif

kepada segenap stakeholder serta komitmen institusi untuk

terus mengembangkan sistem ini dengan mendedikasikan

sumber daya dan infrastruktur sesuai dengan kebutuhan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada Keluarga Besar

Politeknik Pos Indonesia, terutama kepada Yth. Bapak Prof.

Dr. H. Sutarman, Ir., M.Sc. selaku Direktur Polteknik Pos

Indonesia, bapak Saepudin Nirwan, S.Kom., M.Kom selaku

PUDIR I, bapak Mubasiran, S.Si., M.T. selaku KAJUR

Manajemen Informatika dan segenap jajaran manajemen,

rekan-rekan dosen dan staff di Politeknik Pos Indonesia yang

sudah banyak memberikan support baik moril ataupun

material kepada saya dalam rangka menyelesaikan tugas-

tugas penelitian saya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bahtiar Arief, “Review Penggunaan e-learning dan D-

Space” ComLabs ITB, 2011.

[2] BPMA UI, , “Pedoman Penjaminan Mutu

Penyelenggaraan e-Learning”, Universitas Indonesia,

2007.

[3] Hartoyo, A. (2008). Rancang Bangun Aplikasi

Learning Content Management System Yang

Mendukung Peningkatan Efektifitas Proses Belajar

Jarak Jauh Design And Implementation Of Learning

Content Management System Application To Increase

The Effectivity Of Long Distance Learning. Surabaya:

STIKOM.

[4] Hasbullah, Maman Somantri, “Pengembangan-model-

pembelajaran--e-learning-untuk-meningkatkan-

kualitas-proses-dan-hasil-belajar-mahasiswa-pada-

mata-kuliah-energi-dan-konversi.html”,

http://jurnal.upi.edu/penelitian-pendidikan/view/556/,

[diakses tanggal 9 September 2013]

[5] SIM Politeknik Pos Indonesia, “Panduan

Menggunakan Virtual Learning Politeknik Pos

Indonesia Bagi Dosen.pdf”, http://vl.poltekpos.ac.id/,

e-learning Poltekpos Indonesia,

Page 46: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

37

Analisis Pengaruh Kredit Perbankan dan Kontribusi Sektoral

Terhadap Penciptaan Lapangan Kerja

(Analisis Sektoral Proses Pembangunan di Indonesia)

Iwan Setiawan

Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Makalah ini membahas tentang analisis pengaruh kredit perbankan dan kontribusi sektoral terhadap penciptaan lapangan kerja

sektoral di Indonesia dengan menggunakan metode data panel tahun 2004–2009. Tujuan dari tulisan makalah ini untuk

mengetahui pengaruh pertumbuhan kredit dan pertumbuhan kontribusi sektoral terhadap penciptaan tenaga kerja sektoral di

Indonesia, dengan metode analisis regresi data panel. Kesimpulan dari penelitian ini adalah pertumbuhan kredit dan

pertumbuhan kontribusi sektoral mempengaruhi pertumbuhan lapangan kerja sektoral. Pertumbuhan kredit memberikan

pengaruh positif terhadap pertumbuhan lapangan kerja, sedangkan pertumbuhan kontribusi sektoral memberikan pengaruh

negatif terhadap penciptaan lapangan kerja. Berdasarkan model fixed effect cross section specific coefficients, semua variabel

kredit di tiap sektor, kecuali sektor pertambangan & penggalian (sektor 2) memberikan pengaruh positif terhadap penciptaan

lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi pada semua sektor ekonomi memberikan pengaruh negatif terhadap pertumbuhan

lapangan kerja. Pertumbuhan ekonomi yang terjadi pada semua sektor ekonomi justru akan mengurangi penciptaan lapangan

kerja.

Kata Kunci

Panel data, fixed effect, kredit, lapangan kerja, kontribusi sektoral

1. Pendahuluan

Pertumbuhan ekonomi Indonesia pasca krisis ekonomi

tahun 2000-2008 berkisar antara 4%-6% per tahun.

Kondisi ini cukup baik jika dibandingkan dengan

pertumbuhan ekonomi pada tahun 1998 yang mencapai

minus 12%. Namun apakah pertumbuhan ekonomi yang

sudah dicapai telah menunjukan terjadinya pembangunan

ekonomi di Indonesia ? Menurut Sukirno (2007) arti

pembangunan ekonomi adalah kondisi dimana terjadi

peningkatan pendapatan per kapita masyarakat dan

perkembangan GDP diiringi oleh perombakan dan

modernisasi dalam struktur ekonominya, yang pada

umumnya bercorak tradisional, sedangkan Todaro (2000)

mengungkapkan bahwa arti pembangunan ekonomi adalah

suatu proses multi dimensional yang mencakup perubahan

struktur, sikap hidup dan kelembagaan, selain mencakup

peningkatan pertumbuhan ekonomi, pengurangan

ketidakmerataaan distribusi pendapatan dan pemberantasan

kemiskinan”.

Mengacu kepada arti pembangunan di atas, maka untuk

dapat menentukan apakah sudah terjadi proses

pembangunan di Indonesia, perlu ditinjau indikator lain

yang menentukan pembangunan ekonomi di Indonesia.

Pembangunan ekonomi dianggap berhasil bila pola

distribusi pendapatan semakin merata, kemakmuran

semakin meningkat, angka kemiskinan semakin turun dan

meningkatnya kontribusi sektor ekonomi industri baik

terhadap pembentukan GDP maupun terhadap penyerapan

lapangan kerja (Dumairy, 1997).

Pertanyaan yang muncul berkaitan kondisi perekonomian

Indonesia adalah apakah terdapat hubungan antara

pertumbuhan ekonomi, perubahan stuktur ekonomi dan

peningkatan lapangan kerja ? Tujuan penelitian ini adalah

untuk mengetahui bagaimana pola perkembangan

pertumbuhan ekonomi, kontribusi sektor ekonomi dan

perkembangan kredit perbankan terhadap penciptaan

lapangan kerja. Apakah pertumbuhan ekonomi menunjukan

terjadinya proses pembangunan di Indonesia.

Melalui penelitian ini diharapkan dapat diperoleh beberapa

manfaat, pertama, bagi pengambil kebijakan, dengan

mengetahui pengaruh perubahan struktur ekonomi

Indonesia dan perkembangan kredit perbankan terhadap

kondisi lapangan kerja akan dapat dijadikan landasan dalam

perumusan kebijakan, terkait dengan langkah-langkah yang

diperlukan untuk mengurangi pengangguran dan

meminimisasi dampak buruk dari perubahan struktur

perekonomian melalui kebijakan pembangunan.

2. Tinjaun Pustaka

2.1 Distribusi Pendapatan

Proses pembangunan ekonomi dilakukan oleh semua

negara di dunia, baik negara yang sudah maju yang masuk

katagori negara Industri (Developed Country) maupun oleh

negara yang sedang berkembang (Low Developing

Country). Arti pembangunan ekonomi bagi negara maju

indentik dengan terjadinya pertumbuhan ekonomi dan

pertumbuhan pendapatan per kapita (PpK). Tapi arti

pembangunan ekonomi bagi negara berkembang adalah

lebih luas dengan Indikator yang lebih beragam. Menurut

Sukirno (2007) data pendapatan perkapita (PPK) dan

perubahannya di berbagai negara sangat berguna dalam

analisa pembangunan, memberikan gambaran mengenai 1)

Page 47: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

38

kecepatan perkembangan tingkat kesejahteraan menyarakat

di berbagai Negara 2) perubahan dalam pola perbedaan

tingkat kesejahteraan masyarakat yang telah berlaku di

antara berbagai negara dan 3) data pendapatan per kapita

dapat pula digunakan untuk merumuskan syarat-syarat yang

harus dipenuhi oleh negara-negara berkembang (LDC)

supaya dapat menutup/mengurangi perbedaan tingkat

kesejahteraan antara LDC dengan negara-negara maju (DC)

di masa yang akan datang. Pendapatan per Kapita sebagai

indikator pembangunan ekonomi memiliki beberapa

kelemahan, yaitu 1) Tingkat kesejahteraan masyarakat

bukan saja ditentukan oleh tingkat pendapatan mereka,

tetapi juga tergantung pada faktor Non Ekonomi seperti

Pengaruh adat istiadat, Keadaan iklim dan alam sekitar dan

kebebasan bertindak dan mengeluarkan pendapat.

2)Ketidaksempurnaan dalam menghitung pendapatan

nasional dan pendapatan perkapita.

Kelemahan Pendapatan per Kapita sebagai indikator

pembangunan ekonomi di atasi dengan menggunakan

indikator lain sebagai pelengkap, yaitu indikator distribusi

pendapatan dan perubahan struktur ekonomi. Distribusi

pendapatan menggambarkan pola pembagian pendapatan

bagi masyarakat di suatu negara. Terdapat dua konsep

distribusi pendapatan, yaitu (Kamaluddin, 1998): 1)

Distribusi Pendapatan Relatif, yang menggambarkan

perbandingan jumlah pendapatan yang diterima oleh

berbagai golongan penerima pendapatan dan

penggolongan ini didasarkan kepada besarnya pendapatan

yang mereka terima. 2) Distribusi pendapatan mutlak :

yang menggambarkan persentase jumlah penduduk yang

pendapatannya mencapai suatu tingkat pendapatan tertentu

atau kurang dari padanya. Kondisi ditribusi pendapat

ditinjau dengan melihat jumlah penduduk yang menerima

pendapatan di bawah garis kemiskinan (poverty line). Di

Indonesia garis kemiskinan tahun 2005 sebesar Rp

129,108, tahun 2006 sebesar Rp 151,997 dan tahun 2007

sebesar Rp 166,697. Pada tahun 2007 jumlah penduduk

miskin sebanyak 37,2 juta jiwa atau 16,58% dari seluruh

penduduk Indonesia.

2.2 Perubahan Struktur Ekonomi

Pembangunan ekonomi Indonesia juga ditinjau dari proses

perubahan struktur ekonomi. Perubahan Struktural

mengandung arti terjadinya peralihan dari masyarakat

pertanian tradisional menjadi masyarakat industri modern,

yang mencakup peralihan lembaga, sikap sosial dan

motivasi

secara radikal. Struktur ekonomi sebuah negara dapat

dilihat dari berbagai sudut tinjauan.

Terdapat empat macam sudut tinjauan yang dapat

digunakan untuk melihat struktur ekonomi suatu Negara

yaitu : 1)Tinjauan Makro Sektoral 2)Tinjauan Keruangan

(Spasial) 3) Tinjaun penyelenggaraan kenegaraan 4)

Tinjaun birokrasi pengambilan keputusan. Berdasarkan

tinjauan Makro Sektoral, perekonomian dapat berstruktur

agraris, industrial atau niaga tergantung pada sektor

apa/mana yang menjadi tukang punggung perekonomian

yang bersangkutan. Perubahan struktural tercermin dalam

peranan sector industri yang semakin meningkat baik dalam

pembentukan GNP maupun jumlah tenaga kerja yang

terserap dalam sektor in. (Dumairy, 1997).

Terdapat beberapa model penelitian yang dapat dijadikan

rujukan untuk mengevaluasi proses perubahan struktur

ekonomi suatu negara. Deininger dan Squire (1998),

dengan menggunaan hipotesis dari Simon Kuznet yang

melakukan penelitian untuk kasus di 13 negara maju dan

hasilnya dikemukakan bahwa 1) Sumbangan sektor

pertanian menurun 2) Peranan sektor industri dalam

pembentukan GNP meningkat dari 20-30 % menjadi 40-50

% dan 3) sumbangan sektor jasa-jasa dalam pembentukan

GNP tidak berubah. Sebab-sebab terjadinya perubahan

struktur ekonomi di suatu negara adalah kerena sifat

konsumsi dan elestisitas permintaan (hk. Engel) serta

perubahan teknologi.

Chenery melakukan „Analisa Perubahan struktur Industri‟

dengan model Analisa kuatitatif antara PPK dengan %

sumbangan sektor industri dan sub sektor industri pada

GDP. (Kamaluddin, 1998). Hipotesanya adalah bahwa

tingkat pertumbuhan ekonomi dan peranan sektor industri

dalam menciptakan Produksi Nasional tergantung pada

pendapatan/produksi nasional (Y) dan jumlah penduduk

(N). Kesimpulan dari hasil penelitian Chenery adalah : 1)

Peranan sektor industri dalam menciptakan Produksi

Nasional meningkat 17% dari Produksi Nasional pada tk

PPK US$ 100, menjadi 38% pada tingkat PPK US$1000.

2) Peranan sektor perhubungan & angkutan naik 2X lipat.

3) Peranan sektor jasa tidak berubah.

Arthur Lewis melalui Model Pendekatan Struktur Ekonomi

Dua Sektor, membagi sektor ekonomi kedalam 2 kelompok,

yaitu Sektor Tradisional dan Sektor modern (Todaro,

2000). Sektor Tradisional terdiri dari sektor pertanian dan

kegiatan informal kawasan perkotaan. Kegiatan sektor

usaha bersifat memelihara dan mempertahankan tingkat

konsumsi yang diperlukan atau kebutuhan pokok.

Produktivitas tenaga kerja sektor tradisional rata-rata

rendah, produktivitas marginal sektor ini rata-rata di bawah

tingkat produksi rata-rata bahkan cenderung mendekati nol

(MP= 0). Dalam sektor ini muncul fenomena pengangguran

terselubung, supply tenaga kerja tidak terbatas dan upah

tidak berubah. Sektor Modern mencakup industri

manufaktur, perdagangan dan jasa. Kegiatan produksi

sektor modern ini menggunakan alat modal dan tenaga

kerja bayaran, dikelola oleh eunteurpreuneur, hasil produksi

dijual (bersifat komersial) dan kegiatan usaha

diselenggarakan berdasarkan pertimbangan untuk

mendapatkan laba. Pada sektor ini tenaga kerja dibayar

sesuai dengan produktivitas marginalnya (MP = w). Dalam

kerangka pemikiran Arthur Lewis, proses pembangunan

berarti suatu ekspansi dari sektor modern perkotaan secara

relatif terhadap sektor tradisional pedesaan, sampai pada

suatu tahap tidak tersedia lagi „kelebihan‟ tenaga kerja di

sektor tradisional. Pada tahap ini akan mulai berlangsung

proses keseimbangan bagi tingkat upah riil yang ditentukan

oleh kekuatan permintaan dan penawaran, dimana

kekuatannya bisa berlaku tanpa rintangan yang bersifat

Page 48: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

39

struktural. Proses pemanfaatan „kelebihan‟ tenaga kerja dari

sektor tradisional ke sektor modern berlanjut terus karena

keuntungan dari proses tersebut akan di investasikan

kembali ke sektor modern. Dengan demikian peningkatan

GNP akan berlanjut terus secara berkesinambungan hingga

tercapai keseimbangan baru. Ini berarti akan terjadi

peningkatan GNP bersumber pada sektor modern yang

peranannya semakin besar, sedangkan peranan sektor

tradisional semakin menurun.

2.3 Dualisme Ekonomi dan Pengangguran

Ada dikotomi antara perekonomian tradisional (pedesaan),

yang dicirikan dengan masyarakat agraris dengan

perekonomian perkotaaan (urban), dengan berbagai

industrinya. Dikotomi ini menjadi penyebab

ketidakmerataan distribusi pendapatan dan kemiskinan di

berbagai negara berkembang. Bourguignon dan Morrison

(1998) menngungkapkan bahwa dualisme ekonomi

merupakan penyebab utama adanya perbedaan distribusi

pendapatan. Peningkatan pertumbuhan sektor pertanian

diyakini merupakan cara yang paling efisien dalam

mengurangi ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan.

Ravallion dan Datt (1996) menyebutkan bahwa

pertumbuhan sektor manufaktur penting bagi pertumbuhan

secara keseluruhan bagi suatu negara, namun pertumbuhan

sektor pertanian sangat penting bagi pertumbuhan

employment dan pengurangan kemiskinan.

Ravallion dan Chen (1997) menyebutkan perlunya

memperhatikan dinamika di antara penduduk miskin,

dengan melihat penduduk miskin bukan sebagai grup yang

homogen, mengingat respon kemiskinan terhadap

perubahan pertumbuhan ekonomi dan distribusi pendapatan

tentunya berbeda antara daerah rural dan urban. Hal ini juga

disampaikan oleh Ali dan Thorbecke (1998), yang

membuktikan bahwa “rural poverty‖ lebih responsif

terhadap pertumbuhan ekonomi daripada urban poverty,

namun di sisi lain urban poverty lebih responsive terhadap

distribusi pendapatan.

Hoeven (2004) melihat adanya keterkaitan antara

perubahan struktur ekonomi di suatu negara dan

ketidakmerataan pendapatan dan kemiskinan yang

diakibatkannya. Sementara itu Huppi dan Ravallion (1990),

yang meneliti tentang struktur kemiskinan sektoral pada

periode adjustment di Indonesia pada pertengahan tahun

1980-an, menyatakan bahwa meskipun secara keseluruhan

tingkat kemiskinan mengalami penurunan, namun

pengaruhnya tidak merata pada lintas regional dan sektoral,

di mana pengurangan kemiskinan yang signifikan terutama

terjadi pada sektor “rural farming”.

3. Model Penelitian

Model yang digunakan untuk menguji hubungan antara

kredit, kontibusi sektoral dengan penciptaan lapangan kerja

mengadaptasi dari fungsi produksi Cobb-Douglas (Cobb-

Douglas Production Function) yaitu :

Y = AKβ1

L β2

Dimana :

Y = Gross Domestic Product (GDP),

K = stok modal,

L = tenaga kerja, dan A adalah parameter efisiensi.

Dengan mempertimbangkan ketersediaan data, maka

variabel-variabel yang akan digunakan disesuaikan dengan

ketersediaan data. Variabel kapital didekati dengan nilai

kredit dalam bentuk rupiah dan valas yang diberikan oleh

bank umum. Variabel tenaga kerja didekati dengan jumlah

tenaga kerja yang berumur 15 tahun ke atas dan bekerja

seminggu yang lalu pada lapangan kerja utama1 dan

minimal berpendidikan SMTA/sederajat. Variabel kapital

sebenarnya lebih tepat didekati dengan nilai investasi

(Pembentukan Modal Tetap Bruto/PMTB) yang

dipengaruhi oleh suku bunga. Namun karena tidak ada data

PMTB dan suku bunga tiap sektor yang dipublikasikan,

sehingga variabel investasi dan suku bunga tidak

digunakan.

Ndebbio (2004) mengungkap bahwa kedalaman sistem

dalam sektor keuangan (financial deepening) memegang

peranan yang sangat signifikan dalam memicu

pertumbuhan ekonomi suatu negara. Sektor keuangan

menjadi lokomotif pertumbuhan sektor riil melalui

akumulasi kapital dan inovasi teknologi. Lebih tepatnya,

sektor keuangan mampu memobilisasi tabungan. Mereka

menyediakan para peminjam berbagai instrumen keuangan

dengan kapasitas tinggi dan risiko rendah. Hal ini akan

menambah investasi dan akhirnya mempercepat

pertumbuhan ekonomi. Di lain pihak, terjadinya

asymmetric information, yang dimanifetasikan dalam

bentuk tingginya biaya-biaya transaksi dan biaya-biaya

informasi dalam pasar keuangan dapat diminimalisasi, jika

sektor keuangan berfungsi secara efisien.

Mengadopsi model diatas, dalam penelitian ini terdapat dua

variabel penjelas (variabel bebas) yaitu nilai kredit bank

umum pada sektor ekonomi dan kontribusi sektor ekonomi

dalam membentuk GDP. Dua variabel ini sebagai

komponen pembentuk penciptaan lapangan kerja.. Analisis

pengaruh kredit perbankan dan kontribusi sektoral terhadap

penciptaan lapangan kerja di Indonesia menggunakan data-

data selama 6 (enam) tahun mulai tahun 2004-2009 dengan

9 (sembilan) sektor.

Bentuk persamaan regresinya mengadopsi persamaan

sebelumnya sebagai berikut:

Nit = β0 + β1 Yit + β2 Crit

Dimana :

Nit = tenaga kerja/sektor ekonomi (Log N)

Yit = GDP/sektor ekonomi ((log Y)

Crit =kredit/sektor ekonomi (log Cr)

Hipotesis tanda dari masing-masing koefisien regresi di atas

adalah : β1 >0 dan β2 > 0 dengan penjelasan sebagai

berikut :

Page 49: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

40

Ketika kontribusi sektor-sektor ekonomi terhadap

pembentukan GDP meningkat, maka kapasitas dan

kemampuan dari masing-masing sektor dalam

meningkatkan lapangan kerja semakin meningkat.

Ketika kredit yang diberikan oleh bank umum pada

sektor-sektor ekonomi meningkat, maka terjadi

peningkatan kapasitas dana yang dapat digunakan oleh

perusahaan untuk menggunakan lebih banyak sumber

daya termasuk peningkatan penggunaan tenaga kerja.

4. Data dan Metode Analisis

Data yang digunakan dalam penelitan ini meliputi data

periode 2004 sampai 2009. Data yang digunakan meliputi

data Gross Domestic Product (GDP) per sektor ekonomi,

Kredit Bank Umum pada masing-masing sektor ekonomi

dan tenaga kerja menurut sector ekonomi sebagai indikator

perubahan struktur ekonomi. Data-data yang digunakan

berupa data panel (gabungan cross section dan time series)

untuk periode tahun 2004 sampai tahun 2009 untuk 9

sektor ekonomi, yang berasal dari berbagai publikasi Badan

Pusat Statistik (BPS), Depnaker dan Bank Indonesia.

Metode yang digunakan untuk estimasi persamaan adalah

Analisa Data Panel dengan metode Fixed Effect dan

Random Effect. Beberapa keuntungan dari penggunaan data

panel yaitu, pertama, memungkinkan jumlah data

meningkat, kedua, memasukkan informasi yang berkaitan

dengan baik cross section maupun time series yang dapat

mengurangi masalah yang muncul apabila ada variabel

yang dihilangkan. Menurut Baltagi (2001), beberapa

keuntungan menggunakan data panel adalah: (i) dapat

mengontrol heterogenitas setiap individu; (ii) data panel

memberikan informasi yang lebih baik daripada data time

series dan cross section, memberikan lebih bervariasi,

mengurangi kolinieritas antar variabel, memberikan derajat

kebebasan yang lebih tinggi, dan lebih efisien; (iii) data

panel dapat lebih baik dalam mempelajari perubahan

dinamis setiap variabel; (iv) data panel dapat dengan baik

untuk mengidentifikasi dan mengukur dampak yang tidak

terdeteksi dalam data cross section atau time series; (v) data

panel memungkinkan untuk membangun dan menguji

behavioural model yang lebih kompleks; dan (vi) data

panel biasanya dapat menangkap unit-unit yang mikro.

5. Hasil Penelitan

5.1 Kontribusi Struktur Ekonomi Indonesia

Indikator ketiga dari proses pembangunan ekonomi di

negara berkembang termasuk Indonesia adalah terjadinya

“perubahan struktur ekonomi” dari struktur pertanian

(tradisional) ke struktur industri (modern). Perubahan

struktur ekonomi dilihat dari perubahan kontribusi sektor

ekonomi terhadap pembentukan GDP dan kontribusi sektor

ekonomi terhadap penyerapan lapangan kerja.

Pembangunan ekonomi terjadi jika terhadap pembentukan

GDP kontribusi sektor pertanian semakin menurun dan

kontribusi sektor industri semakin meningkat serta

lapangan kerja pada sektor pertanian semakin menurun dan

lapangan kerja pada sektor Industri semakin meningkat.

Penelitian-penelitan sebelumnya mengungkapkan bahwa

“perubahan struktur ekonomi” yang menunjukan telah

terjadinya pembangunan ekonomi di suatu negara ditandai

dengan semakin meningkatnya kontribusi sektor industri,

menurunnya kontribusi sektor pertanian dan tetapnya

kontribusi sektor jasa terhadap pembentukan GDP.

Pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi yang besar

terhadap sektor industri dengan nilai koefisien 2,27

(elastis). Pada saat aktivitas ekonomi meningkat, aktivitas

industri mengalami peningkatan dengan tingkat

perkembangan yang lebih tinggi pesat dari perkembangan

ekonomi. Kontribusi sektor industri semakin meningkat

seiring dengan perkembangan ekonomi di Indonesia.

Berdasarkan kondisi ini dapat diungkapkan bahwa di

Indonesia telah terjadi perubahan struktur yang mengarah

ke industrialisasi sebagai salah satu indikator

pembangunan. Kontribusi sektor industri terus mengalami

peningkatan seiring meningkatnya aktivitas ekonomi di

Indonesia. Hal ini menunjukan peranan sektor industri bisa

diandalkan untuk menunjang aktivitas ekonomi secara

keseluruhan.

Perkembangan penduduk tidak searah dengan

perkembangan sektor industri. Secara signifikan terbukti

bahwa perkembangan penduduk mengurangi

perkembangan aktivitas sektor industri. Bertambahnya

jumlah penduduk justru akan menghambat aktivitas

kegiatan industri. Kondisi ini sesuai dengan keadaan sektor

industri yang cenderung bersifat padat kapital, dimana

setiap penambahan penduduk akan mempersulit pilihan dan

akan menghambat produktivitas karena adanya tanggung

jawab dan keharusan memanfaatan SDM yang tersedia.

Upaya pemanfaatan pertambahan penduduk dalam aktivitas

produksi justru akan menurunkan produktivitas sektor

industri. Sektor Industri tidak bisa diharapkan memberikan

kontribusi dalam proses penciptaan lapangan kerja karena

resikonya adalah menurunnya kontribusi sektor ini terhadap

proses pembangunan. Perkembangan sektor industri akan

diikuti oleh semakin meningkatnya angka pengangguran

dan bertambahnya angka kemiskinan di Indonesia. Kondisi

ini terjadi karena tingginya tingkat substitusi penggunaan

sumber daya sehingga untuk mencapai kondisi optimal

dalam pemanfaatan sumber daya maka penggunaan

teknologi padat modal merupakan pilihan utama.

Pada tahun 1980 kontribusi sektor industri terhadap

pembentukan nilai GDP sebesar 13,88% dan pada tahun

2008 kontribusi sektor ini terhadap pembentukan GDP

menjadi menjadi sebesar 27,19%. Kontribusi sektor industri

setiap tahunnya cenderung mengalami peningkatan kecuali

ada tahun 1999 pada saat krisis ekonomi terjadi di

Indonesia dan beberapa negara di dunia. Peningkatan

kontribusi sektor industri terhadap pembentukan GDP tidak

sejalan dengan kemampuan sektor ini dalam menciptakan

lapangan kerja. Pada tahun 2008 Jumlah tenaga kerja yang

terlibat pada sektor industri sebanyak 12% dan kondisi ini

tidak jauh berbeda dengan tahun-tahun sebelumnya.

Page 50: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

41

Pertumbuhan ekonomi memberikan kontribusi terhadap

sektor pertanian dengan nilai koefisien 0,788 (in elastis).

Pada saat kegiatan ekonomi meningkat aktivitas pertanian

mengalami penigkatan walaupun dengan tingkat

perkembangan yang lebih rendah dari perkembangan

ekonomi. Kondisi ini menunjukan bahwa sektor pertanian

memiliki tingkat produktivitas yang rendah dan pola

konsumsi yang cenderung tidak banyak mengalami

perubahan seiring dengan meningkatnya aktivitas ekonomi

dan pendapatan masyarakat. Sektor pertanian belum bisa

diandalkan untuk mendorogg aktivitas produksi dan

pembangunan ekonomi secara luas.

Perkembangan penduduk tidak searah dengan

perkembangan sektor pertanian. Dengan tingkat

kepercayaan 85% secara signifikan terbukti bahwa

perkembangan penduduk mengurangi perkembangan nilai

produksi sektor pertanian. Bertambahnya jumlah penduduk

akan mengurangi tingkat produktivitas pertanian.

Bertambahnya jumlah penduduk identik dengan

bertambahnya tenaga kerja, sedangkan kapasitas

perekonomian menampung tambahan tenaga kerja baru

sangat terbatas. Kelebihan tenaga kerja sebagian ditampung

di sektor pertanian. Terlalu banyaknya tenaga kerja yang

terlibat dalam kegiatan produksi pada sektor pertanian

mengakibatkan berlaku hukum “diminishing marginal

productivity‖, tingkat produktivitas sektor pertanian

semakin menurun dengan semakin banyak sumber daya

manusia digunakan pada sektor ini.

Pada tahun 2008, sektor pertanian mampu menyerap 40,3%

dari seluruh tenaga kerja yang tersedia namun

kontribusinya terhadap pembentukan GDP hanya 13,65%.

Sektor pertanian mampu menampung kelebihan tenaga

kerja yang tidak dapat diserap oleh sektor-sektor ekonomi

lain. Kondisi ini sesuai dengan keadaan sektor industri yang

cenderung bersifat padat karya. Namun kontribusi sektor

pertanian dalam penciptaan lapangan kerja tidak sejalan

dengan kemampuannya memberikan kontribusi terhadap

GDP.

Pertumbuhan ekonomi tidak signifikan memberikan

kontribusi terhadap kegiatan sektor jasa. Aktivitas dan

kontribusi sektor jasa tidak terpengaruh oleh kondisi

perekonomian pada umumnya. pada saat kegiatan ekonomi

meningkat aktivitas sektor jasa tidak akan terpengaruh.

Pola aktivitasnya cenderung stabil dengan tingkat

pertumbuhan yang rendah. Hal ini menunjukan bahwa

peranan sektor jasa tidak bisa terlalu diharapkan sebagai

pendorong aktivitas ekonomi secara keseluruhan. Pada

tahun 1980 kontribusi sektor jasa terhadap pembentukan

GDP sebesar 3,69% dan pada tahun 2008 kontribusi sektor

ini meningkat menjadi sebesar 9,27% atau dalam kurun

waktu 28 tahun, kenaikan kontribusi sektor ini pertahunnya

hanya 0,2 %.

Walaupun pola hubungan antara pertumbuhan ekonomi

dengan kegiatan sektor jasa tidak dapat ditentukan, tapi

peranan perkembangan jumlah penduduk terhadap aktivitas

sektor jasa dapat ditentukan polanya. Pertambahan

Penduduk secara signifikan terbukti mempegaruhi

peningkatan aktivitas dan pertumbuhan sektor jasa. Pada

saat jumlah penduduk meningkat, kegiatan sektor jasa

mengalami peningkatan. Bertambahnya jumlah penduduk

justru akan meningkatkan aktivitas sektor ini. Kondisi ini

sesuai dengan keadaan sektor jasa yang cenderung bersifat

padat karya, tidak terlalu terpaku dengan penggunaan

barang padat kapital. Upaya pemanfaatan pertambahan

penduduk dalam aktivitas produksi akan meningkatkan

produktivitas sektor jasa. Sektor jasa bisa diharapkan

memberikan kontribusi dalam proses penciptaan lapangan

kerja. Pada tahun 2008 jumlah tenaga kerja yang terlibat

dalam kegiatan sektor jasa sebesar 12,77%.

Sesuai dengan periode waktu pengamatan, kontribusi sektor

industri terhadap pembentukan GDP cenderung meningkat,

kontribusi sektor pertanian cenderung turun dan kontribusi

sektor jasa terhadap pembentukan GDP cenderung stabil.

Kondisi sesuai dengan penelitian-penelitian sebelumnya

yang mengkaji pola perubahan struktural dalam proses

pembangunan ekonomi suatu negara. Jadi berdasarkan data

kontribusi sektor ekonomi terhadap proses pembentukan

GDP, dapat dinyatakan bawah di Indonesia telah terjadi

perubahan struktur dan terjadi pembangunan ekonomi.

Namun berdasarkan tingkat kemampuan yang sangat

terbatas dari sektor industri dalam menyerap tenaga kerja,

maka dapat dinyatakan bahwa di Indonesia masih terdapat

“dualisme ekonomi”. Perpaduan peranan sektor modern

dengan tingkat produktivitas yang tinggi dan sektor

tradisional dengan tingkat produktivitas yang rendah tapi

mampu menyerap tenaga kerja dengan porsi yang lebih

besar. Dualisme dalam perekomian Indonesia merupakan

faktor utama yang menyebabkan lambatnya tingkat

pertumbuhan ekonomi , tidak meratanya distribusi

pendapatan dan tingginya angka kemiskinan.

Upaya yang perlu dilakukan sehubungan dengan kondisi

struktur dan dualisme perekonomian adalah dengan

meningkatkan kualitas SDM pelaku sektor pertanian,

perbaikan sarana dan prasarana serta iklim usaha yang

mendorong minat pelaku usaha meningkatkan usaha dan

produktivitasnya. Sektor industri didorong untuk

menentukan kombinasi penggunaan sumber daya manusia

dan teknologi yang ideal, sehingga pada saat yang

bersamaan mampu memberikan kontribusi terhadap

pertumbuhan ekonomi dan meningkatkan lapangan kerja,

sehingga masalah pengangguran dan kemiskinan dapat

diatasi secara simultan.

5.2 Pengaruh Pertumbuhan Kontribusi Sektoral dan

Kredit Perbankan terhadap Penciptaan lapangan

kerja.

Mengacu pada hasil pengolahan data dan analisis data penel

dengan menggunakan model efek tetap, dapat diperoleh

gambaran sebagai berikut ;

Terdapat hubungan negatif antara pertumbuhan sektoral

dengan pertumbuhan lapangan kerja dan terdapat hubungan

positif antara pertumbuhan kredit dengan lapangan kerja !

Page 51: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

42

Sektor yang memiliki rata-rata pertumbuhan lapangan kerja

tertinggi adalah sektor pertanian (sektor 1) sedangkan

sektor yang memiliki rata-rata pertumbuhan lapangan kerja

terendah adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih (sektor

4) !

Setelah melakukan uji heteroskedastisitas, diperoleh hasil

dimana tidak terdapat perubahan nilai koefisien, kedua

variabel bebas, gY dan gCr tetap signifikan mempengaruhi

pertumbuhan tenaga kerja. Kondisi ini terjadi akibat varian

error konsisten yang menunjukan bahwa pada model tidak

terdapat heteroskadastisitas.

Setiap pertumbuhan 1% sektor ekonomi akan menimbulkan

menurunnya lapangan kerja sebesar 0,99%. Pertumbuhan

sektor-sektor ekonomi di Indonesia menimbulkan masalah

dalam proses penyerapan tenaga kerja yang bisa berdampak

(berpotensi) terhadap meningkatnya jumlah pengangguran.

Pertumbuhan kredit sektor perbankan mengakibatkan

meningkatnya lapangan kerja pada masing-masing sektor.

Setiap kenaikan kredit perbankan mengakibatkan

meningkatnya langan kerja sebesar 0,13% !

6. Kesimpulan

Proses pembangunan ekonomi di Indonesia dapat ditandai

dengan ;

Tingkat pertumbuhan ekonomi antara 4% - 8% untuk

periode 1980-2008 kecuali pada saat periode krisis

ekonomi tahun 1998 sebesar minus 12% dan tahun

1999 sebesar 1% .

Telah terjadi perubahan struktur ekonomi dari

“pertanian” ke “industri” yang ditandai oleh semakin

meningkatnya kontribusi sektor industri dan semakin

menurunnya kontribusi sektor pertanian terhadap

pembentukan nilai GDP.

Pertumbuhan sektor-sektor ekonomi memberikan

kontribusi negatif terhadap pertumbuhan lapangan kerja.

Setiap 1% pertumbuhan kontribusi sektor ekonomi

mengakibatkan pertumbuhan lapangan kerja menurun

sebesar 0,99%. Sektor yang memberikan kontribusi

tertinggi dalam proses penciptaan lapangan kerja

adalah sektor pertanian, sedangkan sektor yag

kontribusinya paling rendah dalam penciptaan lapangan

kerja adalah sektor Listrik, Gas dan Air Bersih.

Kredit perbankan memberikan kontribusi positif

terhadap pertumbuhan lapangan kerja walaupun dengan

tingkat elastitistas yang rendah. Setiap pertumbuhan 1%

kredit bank umum yang dialokasikan pada masing-

masing sektor ekonomi, lapangan kerja tumbuh sebesar

0,34%.

Rendahnya kemampuan sektor ekonomi dalam

menciptakan lapangan kerja, berdampak pada semakin

tingginya angka kemiskinan di Indonesia. Alasannya :

Kelebihan tenaga kerja akibat dari tingginya tingkat

pertambahan penduduk ditampung oleh sektor

informal. Sektor ini memiliki tingkat produktivitas

yang rendah, sehingga dengan bertambahnya tenaga

kerja yang terlibat maka tingkat produktivitas sektor

ini semakin menurun. Kondisi ini semakin

memperparah kondisi kemiskinan di Indonesia.

Pemanfaatan sumber daya yang tidak berimbang.

Pemilik barang modal (capital) mendapat nilai

tambah yang tinggi karena jumlahnya yang relatif

masih terbatas sedangkan tenaga kerja mendapat

upah yang rendah karena tidak seimbangnya kondisi

penawaran dan permintaaan di pasar tenaga kerja.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Bigsten, Arne dan Levin, Jorgen (2000), “Growth,

Income Distribution, and Poverty: A Review.”

Goteborg University Working Paper in Economics,

No. 32, November.

[2] Bourguignon, Francois. (2002.) “The Growth

Elasticity of Poverty Reduction: Explaining

Heterogeneity across Countries and Time Periods.”

DELTA Working Paper, No. 2002-03.

[3] De Janvry, Alain dan Sadoulet, Elisabeth (1999),

Growth, Poverty, and Inequality in Latin America: A

Causal Analysis, 1970-94, IADB, Februari.

[4] Deininger, Klaus dan Squire, Lyn (1998), New

Ways of Looking at Old Issues: Inequality and

Growth. Journal of Development Economics,

[5] Dumairy, 1997, Perekonomian Indonesia, Jakarta :

Penertbit Erlangga

[6] Hoeven, Rolph van der. (2004), “Poverty and

Structural Adjustment: Some Remarks on Tradeoffs

between Equity and Growth.‖ ILO Employment

Paper, No. 2004/4,

[7] Huppi, Monika dan Ravallion, Martin (1990.). “The

Sectoral Structure of Poverty during an Adjustment

Period: Evidence for Indonesia in the Mid-1980s.”

World Bank Working Papers, No. WPS 529,

Oktober

[8] Kamaluddin, Rustian (1998), Pengantar Ekonomi

Pembangunan ; dilengkapi dengan Analisis

Beberapa Aspek Pembangunan Ekonomi Nasional,

Jakarta : LPFE UI

[9] Knowles, Stephen (2001), . “Inequality and

Economic Growth: The Empirical Relationship

Reconsidered in the Light of Comparable Data.”

WIDER Discusstion Paper, No. 2001/128,

November.

[10] Kuztnets, Simon, 1973, Economic Modern Growth:

finding and Reflection, American Review.

[11] Lewis, Arthur W ,1968, The Priciples of Economic

Planning and development, London:Allen Urwin.

[12] Ndebbio, John E. Udo (2004), Financial deepening,

economic growth and development ; Evidence from

selected sub-Saharan African countries, AERC

Research Paper 142, African Economic Research

Consortium, Nairobi, August 2004.

[13] Ravallion, Martin dan Chen, Shaohua (2003).

“Measuring Pro-Poor Growth‖ Economics Letters,

2003, 78(2003), 93-99.

Page 52: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

43

[14] Ravallion, Martin dan Datt, Gaurav (1999). “When

is Growth Pro-Poor? Evidence from the Diverse

Experiences of India’s States‖ World Bank .

[15] Ray, Debraj. Development Economics (1998), New

Jersey: Princeton University Press.

[16] Salvatore, Dominic (1977), Development Economic,

London: Mc Graw Hill Inc.

[17] Sukirno, Sadono (2007), Ekonomi Pembangunan,

Proses, Masalah dan Dasar Kebijakan, Jakarta FE-

IU.

[18] Suselo, Sri Liani, Tarsidin (2008), Kemiskinan di

Indonesia : Pengaruh Pertumbuhan dan Perubahan

Struktur Ekonomi, Buletin Ekonomi, Moneter dan

Perbankan, Bank Indonesia, Volume 11, Nomor 2

Oktober 2008.

[19] Todaro, Michael P, (2000), Pembangunan Ekonomi

di Dunia Ketiga, alih bahasa ; Haris Munandar,

Jakarta ; Penerbit Erlangga.

Page 53: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

44

ANALISIS PENGARUH NERACA PEMBAYARAN TERHADAP

NILAI TUKAR RUPIAH

Asep Machpudin

aJurusan Manajemen Keuangan Fakultas Ekonomi Universitas Padjadjaran, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

The purpose of this study is to determine how much influence the balance of short-term and long-term payment of the rupiah ,

analyzing how shocks affect the current account and capital account of the exchange rate and to determine whether the

components of the balance of payments which exerts a greater influence on the exchange rate . And to determine the

contribution of several variables in the model that may affect the movement of the exchange rate . The method of analysis used

in this study is the method of analysis Vector Error correction model ( VECM )

Results of this study will be useful for the information of the investors in forecasting the exchange rate of dollars in investment

decisions by looking at the usefulness of the financial information by looking at the efficiency of the foreign exchange market .

Results indicate the proposed research hypotheses still have limitations in the field of research so that less can provide a more

comprehensive picture of the effect of the balance of payments on the exchange rate

Keywords

The balance of payment , the exchange rate , the macroeconomic stability

1. Pendahuluan

1.1. Latar Belakang

Kondisi perekonomian suatu negara dapat dilihat dari

kondisi Internal seperti sektor riil seperti produksi, konsumsi,

dan investasi dan sektor moneter seperti inflasi, jumlah uang

beredar dan keseimbangan nilai tukar.

Kemudian dapat dilihat pula pada kondisi eksternal seperti

tercermin pada perkembangan neraca pembayaran yang

memiliki informasi mengenai keadaan perekonomian suatu

negara, seperti yang terlihat dari perkembangan sektor riil

dan moneter.

Informasi dari neraca pembayaran dapat memberikan

gambaran berapa besar aliran sumber dana antara suatu

negara dengan negara lain sehingga terlihat apakah negara

tersebut merupakan pengekspor barang dan modal, atau

sebaliknya sebagai pengimpor barang dan modal.

Neraca pembayaran juga memiliki informasi mengenai

permasalahan hutang luar negeri suatu negara.

Neraca pembayaran yang merupakan penjumlahan dari

neraca berjalan (current account) dan neraca modal (capital

account) terus mengalami perubahan pada masa sebelum dan

setelah krisis ekonomi. Perubahan tersebut terlihat dari nilai

dan arah kecenderungan komposisi neraca pembayaran yang

menunjukkan fenomena yang berbeda. Hadi (2003)

menguraikan bahwa selama paruh pertama dasawarsa

1990an, terjadi peningkatan luar biasa dalam arus modal

yang masuk, terutama modal swasta. Pada akhir dasawarsa

1990an, arus modal swasta bersih baru berkisar US$ 400 juta

per tahun. Akan tetapi, arus masuk modal swasta melonjak

hingga melampaui US$ 5 miliar pada tahun 1993 dan

melebihi US$ 10 miliar pada tahun 1995-1996. Sementara

itu, arus masuk modal pemerintah bersih mengalami

penurunan.

Namun, sejak itu mengalami penurunan hingga US$ 6 miliar

pada tahun 1996. Selanjutnya, sejak 1997 neraca barang

terus meningkat hingga mencapai US$ 2 miliar pada tahun

2000. Neraca jasa-jasa terus mengalami peningkatan defisit,

pada tahun 1990 peningkatan defisit sebesar US$ 8,2 miliar

dan meningkat lagi menjadi US$ 15 miliar pada tahun 1997.

Memasuki tahun 2000, defisit neraca jasa-jasa mencapai

US$ 17 miliar, dan selama dua tahun berikutnya berada di

bawah US$ 16 miliar. Bank Indonesia (2005) memandang

bahwa perkembangan neraca pembayaran Indonesia pada

paruh pertama tahun 2005 mengalami tekanan yang berat

dan dibutuhkan pembenahan yang bersifat struktural untuk

meningkatkan ekspor dan investasi modal asing.

Menurunnya surplus neraca berjalan dan menurunnya

cadangan devisa dalam jumlah yang besar berarti

menurunnya penawaran terhadap mata uang asing di pasar

uang, hal tersebut dapat mengakibatkan melemahnya nilai

tukar Rupiah terhadap mata uang asing.

Memasuki triwulan ketiga tahun 2005 kondisi neraca

pembayaran Indonesia masih mengalami tekanan, seiring

dengan meningkatnya kegiatan ekonomi. Masih tingginya

permintaan domestik telah mendorong peningkatan impor,

khususnya impor bahan baku dan barang modal. Sementara

itu, ekspor masih tumbuh terbatas karena rendahnya daya

saing ditengah pertumbuhan ekonomi global yang melambat.

Perkembangan ini menyebabkan kinerja neraca berjalan

terus mengalami defisit. Pada saat yang sama, kinerja neraca

modal juga belum menunjukkan perbaikan terkait masih

terbatasnya realisasi aliran modal masuk akibat belum

kondusifnya perbaikan iklim investasi.

Page 54: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

45

Dengan perkembangan tersebut, secara keseluruhan neraca

pembayaran mengalami peningkatan defisit menjadi sebesar

US$ 2,3 miliar atau lebih besar dibandingkan perkiraan

sebelumnya sebesar US$ 1,1 miliar. Perkembangan tersebut

berimplikasi pada tekanan fundamental pelemahan nilai

tukar Rupiah yang terus berlanjut (Bank Indonesia, 2005).

1.2. Perumusan Masalah

Neraca pembayaran yang merupakan penjumlahan dari

transaksi berjalan (current account) dan neraca modal

(capital and financial) dapat mencirikan aliran dana dari dan

ke luar negeri. Adanya aliran dana tersebut menyebabkan

permintaan dan penawaran terhadap mata uang asing dan

domestik turut mengalami perubahan.

Perubahan permintaan dan penawaran terhadap mata uang

asing dan domestik tersebut berpengaruh terhadap nilai tukar

mata uang yang diperdagangkan. Jika permintaan terhadap

mata uang asing mengalami peningkatan karena adanya

keperluan transaksi yang harus menggunakan mata uang

asing, maka hal tersebut dapat menyebabkan nilai tukar mata

uang domestic terhadap mata uang asing mengalami

depresiasi, demikian pula sebaliknya.

Neraca modal yang diindikasikan sebagai salah satu faktor

yang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah,

mengalami banyak perubahan nilai dan arahnya selama masa

sebelum dan setelah krisis ekonomi terjadi. Data nilai tukar

Rupiah berfluktuasi pada kisaran 8.000 sampai dengan

10.000 untuk setiap Dollar Amerika Serikat. dapat dilihat

dalam Gambar 1.1 di bawah ini.

Sebelum krisis ekonomi yang melanda Indonesia pada

pertengahan tahun 2007, perkembangan perkembangan

neraca modal selalu berada dalam keadaan surplus dan

cenderung bergerak dalam keadaan yang cukup stabil.

Surplus tertinggi pada neraca modal terjadi pada triwulan

keempat tahun 2005, pada waktu itu nilai surplus mencapai

US$ 4075 juta.

Tingginya surplus ketika itu disinyalir karena tingginya arus

modal masuk baik berupa investasi jangka pendek maupun

investai yang berupa penanaman modal asing secara

langsung. Tingginya arus modal masuk terkait dengan

prospek perekonomian Indonesia yang menuju arah

perkembangan yang semakin baik. Setelah mencapai tingkat

surplus tertinggi, nilai surplus pada neraca modal mengalami

penurunan yang cukup tajam yaitu mencapai US$ 2003 juta

pada triwulan kedua tahun 1996. Krisis ekonomi yang mulai

dirasakan pada pertengahan tahun 2007, mengakibatkan

penurunan yang semakin tajam pada neraca modal.

Tingginya arus modal ke luar dari Indonesia mengakibatkan

neraca modal mengalami koreksi yang cukup tinggi. Neraca

modal mengalami defisit terbesar pada triwulan pertama

tahun 1998 dengan tingkat defisit sebesar US$ 6203 juta.

Setelah krisis ekonomi, pergerakan neraca modal cenderung

berada pada tingkat yang deficit dengan pergerakan dari

waktu ke waktu menunjukkan pola yang tidak stabil. Hal

tersebut dikarenakan menurunnya minat investor untuk

menanamkan modalnya di Indonesia karena terkait resiko

yang tinggi untuk berinvestasi. Aliran dana masuk dan

keluar yang tercatat pada neraca modal turut mempunyai

andil dalam mempengaruhi pergerakan Rupiah.

Nilai tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika pada masa

sebelum krisis menunjukkan pola pergerakan yang stabil

walaupun menunjukkan tren yang terdepresiasi. Pola

pergerakan nilai tukar yang cukup stabil tersebut

dikarenakan pada masa sebelum krisis ekonomi terjadi,

Indonesia belum menerapkan system nilai tukar

mengambang bebas, dimana jika pemerintah menerapkan

sistem nilai tukar mengambang bebas maka nilai tukar mata

uang akan sangat ditentukan oleh permintaan dan penawaran

yang terjadi di pasar valas.

Krisis ekonomi yang melanda Indonesia dan mulai

diberlakukannya system nilai tukar mengambang bebas pada

14 juli 2007 (Suseno, 2004) menyebabkan nilai tukar Rupiah

terhadap Dollar Amerika cenderung berada dalam tingkat

yang terdepresiasi dan menunjukkan pola pergerakan yang

kurang stabil. Terdepresiasinya Rupiah banyak disebabkan

oleh neraca modal yang terus mengalami defisit yang

mencirikan adanya arus keluar modal asing, dimana

terjadinya arus modal keluar itu menyebabkan permintaan

terhadap valas semakin tinggi sehingga menyebabkan

Rupiah mengalami depresiasi.

Pada awal terjadinya krisis ekonomi, neraca modal dan

keuangan mengalami tingkat defisit yang cukup tajam dan

hal tersebut memberi andil besar dalam pergerakan Rupiah,

dimana Rupiah pada waktu itu mencapai tingkat depresiasi

yang terlemah yaitu sekitar Rp 14900/US$. Nilai tukar yang

tidak stabil dan cenderung berada dalam tingkat yang

terdepresiasi akan membawa dampak negatif dalam suatu

perekonomian. Tidak stabilnya nilai tukar akan dapat

mendorong terciptanya ketidakstabilan harga, khususnya

ketidakstabilan harga barang-barang yang berasal dari impor.

Depresiasi nilai tukar yang terlalu besar akan mengakibatkan

harga barang impor menjadi lebih mahal dan secara

keseluruhan dapat meningkatkan laju inflasi. Selanjutnya,

inflasi yang terlalu tinggi dapat menurunkan daya beli

masyarakat dan menurunkan kegiatan ekonomi. Selain itu,

depresiasi nilai tukar dapat memberatkan neraca perusahaan

yang sumber pembiayaannya berasal dari hutang luar negeri.

Page 55: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

46

Depresiasi akan mengakibatkan beban bunga dan pokok

hutang luar negeri dalam mata uang domestik menjadi

semakin besar. Nilai tukar merupakan variabel penting dari

kondisi perekonomian suatu negara, sehingga memerlukan

perhatian agar variabel ini bergerak dalam keadaan stabil

agar dapat menunjang kegiatan perekonomian lainnya. Salah

satu hal yang dapat mempengaruhi pergerakan nilai tukar

adalah adanya aliran dana dari neraca pembayaran.

Adanya aliran dana dari neraca pembayaran menyebabkan

nilai tukar rentan terhadap perubahan tersebut. Berdasarkan

uraian di atas, maka dapat dirumuskan permasalahan sebagai

berikut:

1. Berapa besarkah pengaruh jangka pendek dan jangka

panjang variable transaksi berjalan (current account)

dan neraca modal (capital and financial) terhadap

Rupiah?

2. Bagaimanakah pengaruh guncangan variabel transaksi

berjalan (current account) dan neraca modal (capital

and financial) terhadap Rupiah dan komponen apakah

dari neraca pembayaran yang paling berpengaruh

terhadap Rupiah?

3. Berapa besarkah kontribusi variabel dalam model yang

dapat mempengaruhi pergerakan Rupiah?

1.3 Tujuan Penelitian

Berkaitan dengan permasalahan yang telah dirumuskan,

maka tujuan penelitian ini antara lain:

1. Mengetahui berapa besar pengaruh jangka pendek dan

jangka panjang variabel current account dan capital

account terhadap nilai tukar Rupiah.

2. Menganalisis pengaruh guncangan variabel current

account dan capital account terhadap nilai tukar

Rupiah dan komponen apakah dari neraca pembayaran

yang paling berpengaruh terhadap perubahan nilai tukar

Rupiah.

3. Mengetahui kontribusi variabel dalam model yang

dapat mempengaruhi pergerakan Rupiah.

2. Tinjauan Pustaka

2.1 Pengertian Neraca Pembayaran

Menurut IMF dalam Hadi (2002) neraca pembayaran adalah

suatu catatan yang disusun secara sistematis tentang seluruh

transaksi ekonomi yang meliputi perdagangan barang atau

jasa, transfer keuangan dan moneter antara penduduk

(resident) suatu negara dan penduduk luar negeri (rest of the

world) untuk suatu periode waktu tertentu.

Batiz dan Batiz (1994) menyatakan neraca pembayaran

merupakan suatu catatan atas semua transaksi antara

penduduk domestik dan warga negara asing untuk periode

tertentu, biasanya satu tahun. Pencatatan dilakukan dengan

system double entry book keeping yaitu dengan

menggunakan debit dan kredit.

Dengan total debit dan kredit yang telah diestimasi oleh

suatu negara maka akan dapat diketahui apakah sebuah

negara berada dalam posisi surplus ataupun defisit. Neraca

pembayaran dapat dibagi menjadi dua, yaitu:

1. Neraca berjalan, merupakan taksiran internasional

terhadap pertukaran barang dan jasa sebuah negara.

Saldo pertukaran tersebut (balance of trade) merupakan

perbedaaan antara jumlah ekspor dan jumlah impor

barang dan jasa. Saldo barang dan jasa juga termasuk

jumlah bersih dari pembayaran bunga dan deviden yang

dibayarkan oleh investor asing dari investasi asing,

demikian juga dengan transaksi yang dilakukan oleh

turis asing dan transaksitransaksi lainnya. Unsur dari

current account juga termasuk unilateral transfer yang

ada kaitannya dengan hadiah dari pemerintah (private

gift) dan donasi (grant).

2. Neraca Modal, mencatat semua transaksi international

yang melibatkan berbagai macam instrumen keuangan.

Transaksi tersebut dapat terdiri dari investasi

international, baik untuk jangka pendek dan jangka

panjang seperti Foreign Direct Investment dan

pembelian surat berharga, saham yang dibeli oleh

investor asing (financial account), aset keuangan dan

liabilitas.

2.1 Definisi Nilai Tukar

Krugman dan Obstfeld (1999) mendefinisikan nilai tukar

sebagai harga suatu mata uang terhadap mata uang lainnya.

Nilai tukar memainkan peranan penting dalam perdagangan

internasional, karena nilai tukar memungkinkan kita untuk

membandingkan harga segenap barang dan jasa yang

dihasilkan oleh berbagai negara.

Perubahan nilai tukar disebut sebagai depresiasi dan

apresiasi. Depresiasi menunjukan melemahnya harga mata

uang domestik terhadap mata uang asing sedangkan apresiasi

adalah sebaliknya. Sementara itu, Mankiw (2000)

membedakan antara dua nilai tukar yaitu nilai tukar nominal

dan nilai tukar riil. Nilai tukar nominal (nominal exchange

rate) adalah harga relatif dari mata uang dua negara.

Sedangkan nilai tukar riil adalah harga relatif dari barang-

barang. kedua negara. Nilai tukar riil menyatakan tingkat

dimana kita bisa memperdagangkan barang dari satu negara

untuk barang dari negara lain.

2.1.1 Neraca Modal dan Keseimbangan Neraca

Pembayaran

Aliran kapital internasional dihasilkan dari pembelian dan

penjualan asset internasional. Seseorang akan memutuskan

memegang asetnya dalam bentuk asset domestik atau aset

asing tergantung pada tingkat suku bunga domestik dan

asing. Maka dalam hal ini perubahan pada tingkat suku

bunga akan menghasilkan aliran kapital (Branson dan

Litvack, 1981). Net capital outflow (F) merupakan

pembelian aset asing bersih oleh pihak domestik lebih kecil

dari pembelian pihak asing terhadap aset domestic

Page 56: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

47

Berdasarkan pernyataan tersebut dapat ditentukan

fungsi penurunan tingkat suku bunga domestik yaitu sebagai

berikut:

Persamaan 2.3 menunjukkan bahwa kenaikan tingkat suku

bunga domestic akan mengakibatkan penurunan net capital

outflow. Balance of Payment merupakan penjumlahan dari

current account dan capital account, oleh karena itu dalam

suatu persamaan, Balance of Payment dapat dirumuskan

sebagai berikut:

Persamaan 2.4 diasumsikan BoP dalam keadan seimbang.

Apabila terjadi surplus dalam current account maka harus

diimbangi dengan defisit pada capital account atau

diimbangi dengan peningkatan pada net capital outflow.

2.3 Tinjauan Penelitian Terdahulu

Analisis serta kajian mengenai faktor-faktor yang

mempengaruhi nilai tukar telah banyak dilakukan. Berikut

ini akan dipaparkan beberapa penelitian terdahulu mengenai

faktor apa saja yang mempengaruhi nilai tukar, khususnya

apabila dilihat dari adanya aliran keuangan yang masuk dan

ke luar dari suatu negara dengan memperhitungkan posisi

dari neraca pembayaran.

1. Wibowo dan Amir (2005) melakukan penelitian terhadap

factor-faktor yang mempengaruhi nilai tukar dengan

salah satu model penelitiannya dengan memasukkan

variabel neraca perdagangan sebagai variabel eksogen

dalam mempengaruhi nilai tukar. Model yang

dikembangkan oleh Wibowo dan Amir (2005)

merupakan model yang didasarkan dari model penelitian

yang dilakukan oleh Meese dan Rogoff (1983) yang telah

membangun suatu uji langsung yang sulit dalam tiga

tahap. Pertama, mereka merumuskan suatu model yang

menampung sebagian besar hal-hal yang dipercayai oleh

pakar ekonomi sebagai sesuatu.

Berdasarkan hasil yang diteliti ternyata hanya varibel TB

yang tidak mempengaruhi secara signifikan sedangkan

variable lainnya sukup signifikan dalam mempengaruhi

nilai tukar.

2. Atmadja (2002) melakukan penelitian dengan judul

analisa pergerakan nilai tukar Rupiah terhadap Dollar

Amerika setelah diterapkannya kebijakan sistim nilai

tukar mengambang bebas di Indonesia. Dalam

penelitiannya, Atmadja memasukkan variabel besarnya

surplus atau defisit neraca pembayaran sebagai salah satu

variabel eksogen dalam melakukan penelitian.

Berdasarkan hasil penelitiannya dengan menggunakan

metode OLS ternyata variabel surplus dan defisitnya

neraca pembayaran tidak signifikan mempengaruhi nilai

tukar.

3. Metoda Penelitian

3.1 Metode Pengumpulan Data

Data yang digunakan dalam penelitian ini adalah data

sekunder yang merupakan data kuartalan periode 1990:1

sampai dengan 2005:4. Data penelitian diambil dari Bank

Indonesia (BI) dan instansi terkait lainnya. Untuk mencari

studi pustaka maka peneliti melakukan pengumpulan

literatur berupa kumpulan materi kuliah, jurnal, artikel dan

bukubuku yang relevan untuk dijadikan sebagai sumber

penelitian.

3.2 Metode Analisis Penelitian

Penelitian ini menggunakan metode Vektor Error Correction

Model (VECM). Metode ini mempunyai kelebihan jika

dibandingkan dengan metode lain yang konvensional,

seperti Ordinary Least Square (OLS) karena dalam metode

ini didahului oleh proses pengujian akar unit dan kointegrasi

untuk meneliti apakah variabel yang digunakan dalam sistem

persamaan bersifat stasioner atau tidak. Menurut Sims dalam

Thomas (1997), variabel yang digunakan dalam model

VECM dipilih sesuai dengan model ekonomi yang relevan

dan hubungan antara variabel tidak diperlukan secara apriori.

Dengan kata lain semua variable dalam sistem diperlakukan

sebagai variabel endogen. VECM digunakan untuk

mendapatkan hubungan antara variable-variabel dalam

bentuk regresi kointegrasi.

3.2.1 Pengujian Akar Unit

Pengujian ini bertujuan untuk menganalisis apakah

suatu variabel stasioner atau tidak. Jika stasioner maka

tidak ada akarakar unit, sebaliknya jika tidak stasioner maka

terdapat akar-akar unit. Salah satu cara untuk menguji

stasioneritas data adalah dengan menggunakan Augmented

Dickey Fuller (ADF) test. Jika nilai ADF statistiknya lebih

kecil dari Mc Kinnon Critical Value maka dapat disimpulkan

bahwa data tersebut stasioner. Solusi yang dapat dilakukan

apabila berdasarkan uji ADF diketahui suatu data time series

nonstasioner adalah dengan melakukan penarikan

differensial sampai data menjadi stasioner.

3.2.2 Penetapan Lag Optimal

Penentuan lag optimal VAR di sini adalah dengan

menggunakan uji Likelihood Ratio. Setelah didapatkan lag

yang optimal maka dalam pendekatan VECM ordo lag

tersebut akan dikurangi satu menjadi (k1) sebagai tahapan

untuk memperoleh rank kointegrasi berdasarkan pengujian

Johansen yang akan diset sebagai persamaan kointegrasi

jangka panjang.

3.2.3. Pengujian Rank Kointegrasi

Analisis rank kointegrasi dilakukan untuk mengetahui

berapa system persamaan yang dapat menerangkan dari

keseluruhan sistem yang ada. Rank kointegrasi dilakukan

Page 57: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

48

melalui uji Johansen Maximum Likelihood test yaitu dengan

terlebih dahulu mengurangi ordo VAR k menjadi (k1), maka

diperoleh VECM (k1). Untuk menentukan berapa banyak

rank yang terkointegrasi dalam jangka panjang maka dalam

uji Johansen Maximum Likelihood test terutama dengan

berdasarkan maximal eigenvalue dan trace of stochastic

matrix. Apabila berdasarkan nilai ini menghasilkan rank

kointegrasi yang berbeda maka digunakan asumsi tambahan

yaitu berdasarkan selection criteria SBC dan HQC

yang menunjukkan angka yang terbesar.

3.2.4. Impulse Response Function (IRF)

Analisis IRF digunakan untuk melihat respon variabel

tertentu terhadap guncangan variabel tertentu. Pengaruh

guncangan dapat dilihat mulai dari awal guncangan terjadi

sampai pengaruh guncangan itu relatif stabil di masa

mendatang atau sampai mencapai keseimbangan jangka

panjangnya.

3.2.5. Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

Analisis FEVD untuk melihat berapa besar kontribusi

guncangan suatu variabel yang ditunjukkan oleh perubahan

variance error terhadap perubahan variabel tertentu. Dengan

metode ini dapat dilihat kekuatan dan kelemahan dari

masingmasing variabel dalam mempengaruhi variabel

lainnya baik dalam jangka pendek maupun jangka panjang.

4. Pemecahan Masalah

4.1 Hasil Estimasi untuk Persamaan Jangka Pendek

dan Jangka Panjang

Permasalahan pertama dalam penelitian ini akan dijawab

melalui hasil estimasi VECM yang dilakukan melalui uji LR

yang dapat menunjukkan persamaan jangka pendek dan

jangka panjang.

4.1.1 Hasil Estimasi VECM Jangka Pendek untuk Nilai

Tukar Rupiah

Hasil estimasi VECM, suatu variabel akan diinterpretasikan

jika nilai probabilitas yang ada di dalam kurung lebih kecil

dari α=0,05. Berdasarkan hal tersebut maka variabel yang

mempengaruhi pergerakan nilai tukar Rupiah dalam jangka

pendek adalah variabel dLKA1, dCA1, dD1, dR2, dLKA2 dan

dD2. Pertumbuhan capital account pada satu triwulan yang

lalu (dLKA1) menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi

sebesar 0,0655 persen. Hal ini dapat terjadi karena adanya

peningkatan dalam neraca modal dan keuangan (capital

account) pada satu triwulan sebelumnya berarti mencirikan

adanya peningkatan penawaran terhadap valuta asing.

Naiknya penawaran terhadap valuta asing menyebabkan

nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi.

Pertumbuhan current account satu triwulan yang lalu

(dLCA1) menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi

sebesar 0.005 persen. Terapresiasinya nilai tukar Rupiah

karena adanya kenaikan jumlah penawaran valuta asing di

pasar valuta asing. Dummy krisis satu triwulan yang lalu

menyebabkan nilai tukar Rupiah terdepresiasi sebesar

0,22156 persen. Dummy krisis yang juga merupakan suatu

pertimbangan bagi investor asing dan juga investor domestik

untuk menanamkan modalnya di dalam negeri menyebabkan

tingkat penanaman modal di Indonesia mengalami

penurunan sehingga hal tersebut menyebabkan penurunan

dalam penawaran valuta asing. Turunnya penawaran

terhadap valuta asing tersebut menyebabkan nilai tukar

Rupiah mengalami depresiasi terhadap mata uang asing.

Kenaikan tingkat suku bunga dua triwulan yang lalu (dR2)

menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi

sebesar 0,0051persen. Adanya kenaikan tingkat suku bunga

selain dapat meningkatkan return investasi portofolio, hal

tersebut juga dapat menurunkan investasi pasa sektor riil.

Investasi di sektor riil yang menurun dapat menyebabkan

tingkat produksi untuk menghasilkan barang yang dapat

diekspor menurun, sehingga hal tersebut dapat mengurangi

penawaran valuta asing di pasar uang dan dapat

menyebabkan Rupiah mengalami depresiasi. Pertumbuhan

capital account dua triwulan yang lalu (dLKA2)

menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar 0,0502

persen.

Hal ini membuktikan bahwa adanya peningkatan capital

account yang berarti terjadinya peningkatan penawaran

terhadap valuta asing dua triwulan yang lalu masih

memberikan pengaruh terhadap terapresiasinya nilai tukar

Rupiah.

Dummy krisis dua triwulan yang lalu masih berpengaruh

terhadap terdepresiasinya nilai tukar Rupiah sebesar

0,27212. Dummy krisis memberikan pengaruh yang negatif

terhadap ketertarikan investor asing untuk menanamkan

modalnya di Indonesia sehingga terjadi penurunan terhadap

capital inflow dan

menyebabkan nilai tukar terdepresiasi .

4.1.2 Hasil Estimasi VECM Jangka Panjang untuk

Nilai Tukar Rupiah

Berdasarkan hasil analisis VECM juga diketahui bentuk

restriksi tiga persamaan jangka panjang, namun yang

menjadi bahasan dalam penelitian ini adalah berapa besar

nilai tukar Rupiah dapat dipengaruhi oleh current account

dan capital account.

Dalam persamaan jangka panjang untuk nilai tukar Rupiah,

variable capital account berpengaruh secara negatif terhadap

nilai tukar Rupiah. Kenaikan capital account sebesar satu

persen menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi

sebesar 0,13594 persen. Kenaikan dalam capital account

akan menyebabkan penawaran mata uang asing di pasar

valuta asing mengalami peningkatan. Peningkatan

penawaran mata uang asing tersebut akan menyebabkan nilai

tukar Rupiah mengalami apresiasi.

Page 58: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

49

Variabel produk domestik bruto berpengaruh secara negatif

terhadap nilai tukar Rupiah. Kenaikan produk domestik

bruto sebesar satu persen akan menyebabkan nilai tukar

Rupiah mengalami apresiasi sebesar 1,2451 persen.

Kenaikan produk domestik bruto menyebabkan nilai tukar

Rupiah terapresiasi dapat terjadi karena kenaikan tersebut

dapat mencirikan keadaan ekonomi Indonesia semakin baik

dan menurunnya tingkat resiko terhadap kegagalan investasi.

Membaiknya perekonomian dan menurunnya resiko

terhadap kegagalan investasi menyebabkan adanya respon

positif dari investor asing untuk menanamkan modalnya

secara langsung di Indonesia. Adanya aliran modal yang

masuk tersebut dapat menyebabkan nilai tukar Rupiah

mengalami apresiasi terhadap mata uang asing.

Kenaikan current account sebesar satu persen menyebabkan

nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi sebesar 0,20789

persen. Hal ini membuktikan bahwa walaupun terjadi

peningkatan current account belum tentu diikuti oleh

peningkatan valas yang masuk ke dalam negeri dan

kemungkinan besar valas tersebut banyak tersimpan di

bankbank asing sehingga tidak mampu menambah jumlah

penawaran dalam valas. Variabel dummy krisis berpengaruh

positif terhadap nilai tukar Rupiah.

Adanya dummy krisis menyebabkan nilai tukar Rupiah

mengalami depresiasi sebesar 0,85453 persen. Hal ini terjadi

karena dummy krisis menyebabkan resiko kegagalan

investasi menjadi meningkat, sehingga menyebabkan tingkat

kepercayaan investor untuk menanamkan modalnya di

Indonesia menjadi menurun. Menurunnya modal yang

masuk ke Indonesia menyebabkan permintaan terhadap mata

uang domestik menjadi menurun dan dapat berakibat pada

nilai tukar Rupiah yang terdepresiasi.

4.1.3 Respon Nilai Tukar Rupiah Akibat Guncangan

Variabel Capital Account dan Current Account

Impulse Response adalah respon sebuah variabel dependen

jika mendapatkan guncangan atau inovasi variabel

independen sebesar satu standar deviasi. Dalam penelitian

ini akan dianalisis bagaimana respon nilai tukar Rupiah

terhadap guncangan capital account dan current account

4.1.4 Respon Nilai Tukar Rupiah Akibat Guncangan

Variabel Capital Account

Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan

variabel capital account dapat dilihat pada Gambar

berikut

Respon Nilai Tukar Rupiah (x100%) Triwulan menyebabkan

harga barang luar negeri secara relatif menjadi lebih mahal

dan hal tersebut dapat mendorong terjadinya penurunan

impor dan meningkatnya ekspor. Peningkatan ekspor dan

penurunan impor selanjutnya menyebabkan penawaran

terhadap valuta asing mengalami peningkatan dan hal

tersebut menyebabkan nilai tukar Rupiah terapresiasi sebesar

3,2 persen pada triwulan kedelapan. Guncangan capital

account mulai mengecil dan menghilang ketika memasuki

triwulan ke25.

4.1.5 Respon Nilai Tukar Rupiah Akibat Guncangan

Variabel Current Account

Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan variabel current

account dapat dilihat pada (Gambar 5.2. dan Lampiran 9).

Gambar 5.2. Respon Nilai Tukar Akibat Guncangan Current

Account Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan current

account menyebabkan pergerakan nilai tukar Rupiah pada

triwulan pertama mengalami apresiasi sebesar 2,17 persen.

Hal tersebut terjadi karena peningkatan pada current account

menyebabkan penawaran terhadap valuta asing di pasar

valas meningkat sehingga Rupiah mengalami apresiasi. Pada

triwulan kedua guncangan current account menyebabkan

Rupiah mengalami depresiasi sebesar 1,26 persen.

Terdepresiasinya Rupiah pada triwulan ini merupakan akibat

dari terapresiasinya rupiah periode lalu, dimana

terapresiasinya Rupiah menyebabkan ekspor menurun

Respon Nilai Tukar Rupiah (x100%) Triwulan dan impor

meningkat. Pergerakan Rupiah akibat guncangan

currentaccount mulai mengecil dan menghilang ketika

memasuki triwulan ke30.

4.2 Kontribusi Guncangan Beberapa Variabel dalam

Model terhadap Perubahan Nilai Tukar Rupiah

Analisis ini digunakan untuk melihat seberapa esar

kontribusi guncangan beberapa variabel dalam model

terhadap nilai tukar Rupiah. Hasil analisis ini tersaji dalam

Tabel berikut :

Page 59: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

50

Berdasarkan analisis FEVD, variabel nilai tukar Rupiah

memberikan kontribusi guncangan terbesar bagi dirinya

sendiri pada triwulan pertamaampai dengan jangka panjang.

Kontribusi nilai tukar Rupiah yang besar terhadap dirinya

sendiri dapat diartikan bahwa terdapat ekspetasi yang besar

terhadap pergerakan nilai tukar Rupiah yang memunculkan

aksi spekulasi dari pelaku pasar uang terhadap terdepresiasi

dan terapresiasinya nilai tukar Rupiah dan adanya unsure

intervensi yang besar dari Bank Indonesia untuk mengurangi

volatilitas pergerakan nilai tukar Rupiah. Pada triwulan

pertama variabel nilai tukar Rupiah mempengaruhi dirinya

sendiri sebesar 82,73 persen. Variabel kedua dan ketiga yang

paling besar mempengaruhi nilai tukar Rupiah yaitu dummy

krisis dan tingkat suku bunga dengan masingmasing

memberikan pengaruh sebesar 9,22 persen dan 3,74 persen.

Sementara itu, untuk current account dan capital account

pada triwulan pertama masingmasing hanya mempengaruhi

sebesar 2,54 persen dan 0,11 persen.

Rendahnya kontribusi guncangan current account dan

capital account terhadap nilai tukar Rupiah terjadi karena

kedua komponen tersebut hanya menyumbangkan sebagian

kecil bagi tersedianya valas dan hal ini terjadi pada waktu

tertentu saja. Sementara itu, untuk kegiatan intervensi,

ekspetasi, dan unsure spekulasi dapat terjadi setiap saat dan

dalam jumlah besar. Kegiatan ekspetasi yang berlanjut pada

aksi spekulasi ini banyak dilakukan oleh kalangan perbankan

yang berusaha mengambil keuntungan dari pergerakan nilai

tukar Rupiah. Kontribusi guncangan capital account

terhadap nilai tukar Rupiah semakin besar pada angka

panjang, sementara current account pengaruhnya semakin

kecil untuk beberapa periode triwulan ke depan. Memasuki

triwulan ketiga sampai dengan jangka panjang, kontribusi

guncangan capital account lebih besar jika dibandingkan

dengan kontribusi guncangan current account dengan

perubahan masingmasing sebesar 1,21 persen dan 0,56

persen pada triwulan ketiga.

Analisis FEVD menunjukkan bahwa kontribusi guncangan

tingkat suku bunga terhadap nilai tukar Rupiah memberikan

pengaruh yang semakin besar dari triwulan pertama sampai

dengan triwulan ketiga, dimana pada triwulan ketiga tingkat

suku bunga memberikan kontribusi guncangan sebesar 11,43

persen. Pada triwulan berikutnya kontribusi guncangan

tingkat suku bunga semakin menurun hingga sampai

triwulan ke50 pengaruh tersebut hanya sebesar 7,39 persen.

Sementara itu, guncangan jumlah uang beredar hanya

memberikan kontribusi yang kecil sejak triwulan pertama

sampai dengan jangka panjang.

Pada triwulan ke50 variabel nilai tukar masih dominan

mempengaruhi dirinya sendiri dengan kontribusi guncangan

sebesar 71,34 persen. Sementara itu, untuk capital account

dan current account masingmasing mempengaruhi nilai

tukar rupiah sebesar 3,46 persen dan 0,40 persen. Hasil yang

kurang signifikannya neraca pembayaran baik itu current

account maupun capital account dalam mempengaruhi

pergerakan nilai tukar sejalan dengan temuan yang dilakukan

oleh Atmadja (2002), yang menemukan bahwa sebenarnya

surplus dan defisitnya neraca pembayaran kurang signifikan

mempengaruhi nilai tukar. Wibowo dan Amir (2005) juga

menemukan bahwa neraca berjalan kurang signifikan dalam

mempengaruhi nilai tukar. Kecilnya pengaruh neraca

pembayaran ini membuktikan bahwa walaupun terjadi

peningkatan maupun penurunan pada neraca pembayaran

sebenarnya kurang mencirikan adanya peningkatan atau

penurunan pada penawaran valas.

5. Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian mengenai analisis pengaruh

neraca pembayaran (current account dan capital account)

terhadap nilai tukar Rupiah

maka dapat ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut:

1. Hasil estimasi persamaan jangka pendek menunjukkan

bahwa ternyata variabel yang signifikan mempengaruhi

nilai tukar Rupiah hanya capital account satu triwulan

yang lalu, current account satu triwulan yang lalu,

tingkat suku bunga dua triwulan yang lalu, dummy

krisis pada satu dan dua triwulan yang lalu.

Pertumbuhan current account satu triwulan, capital

account satu dan dua triwulan yang lalu menyebabkan

nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi. Sementara itu,

pertumbuhan tingkat suku bunga dua triwulan yang lalu

dan adanya dummy krisis satu dan dua triwulan yang

lalu menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami

depresiasi.

Hasil estimasi persamaan jangka panjang untuk nilai tukar

Rupiah menunjukkan bahwa ternyata variabel yang dapat

empengaruhi nilai tukar Rupiah adalah capital account,

produk domestik bruto, current account dan dummy krisis.

Kenaikan capital account dan produk domestic bruto

menyebabkan nilai tukar Rupiah mengalami apresiasi.

Sementara itu, kenaikan variabel

2. current account dan adanya dummy krisis menyebabkan

nilai tukar Rupiah mengalami depresiasi.

3. Hasil analisis struktur dinamis dengan menggunakan

Forecast Error Variance Decomposition (FEVD)

menunjukkan bahwa ternyata variable yang memberikan

kontribusi besar terhadap nilai tukar Rupiah adalah

variabel nilai tukar Rupiah itu sendiri, dummy krisis dan

tingkat suku bunga. Sedangkan untuk variabel current

account dan capital account hanya memberikan

kontribusi yang kecil dalam mempengaruhi nilai tukar

4. Rupiah. Sementara itu, dengan berdasarkan hasil dari

FEVD ternyata variabel capital account mempunyai

kontribusi yang lebih besar dalam mempengaruhi nilai

tukar Rupiah jika dibandingkan dengan variable current

account mulai dari triwulan ketiga sampai dengan

periode ke depan. Hal ini dapat disimpulkan bahwa jika

pemerintah melakukan kebijakan dengan upaya

meningkatkan capital account dan current account

untuk mempengaruhi pergerakan nilai tukar maka hal

tersebut tidak efektif karena hanya memberikan

kontribusi yang kecil dalam mempengaruhi pergerakan

nilai tukar Rupiah.

5. Respon nilai tukar Rupiah akibat guncangan variabel

capital account menyebabkan nilai tukar Rupiah

Page 60: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

51

mengalami depresiasi sebesar 5,08 persen pada triwulan

kelima dan guncangan mulai menghilang ketika

memasuki triwulan ke25. Sementara itu, guncangan

current account menyebabkan nilai tukar Rupiah

mengalami apresiasi sebesar 2,17 persen pada triwulan

pertama dan pengaruh guncangan mulai menghilang

ketika memasuki triwulan ke30

DAFTAR PUSTAKA

[1] Amir, H dan T. Wibowo. 2006. “Faktor-faktor yang

Mempengaruhi Nilai Tukar

Rupiah”. Kajian Ekonomi dan Keuangan. 9: 17­41

[2] Atmadja, A. S. 2002. “Analisa Pergerakan Nilai

Tukar Rupiah terhadap Dollar Amerika Setelah

Diterapkannya Kebijakan Sistem Nilai Tukar

Mengambang Bebas di Indonesia”.

Jurnal Akuntansi dan keuangan. 4: 49­ 78

[3] Bank Indonesia. Statistik Ekonomi dan Keuangan

Indonesia (SEKI). Berbagai Edisi. Jakarta.. 2005.

[4] Laporan Kebijakan Moneter Triwulan III 2005. Bank

Indonesia, Jakarta.

[5] Batiz, F. L. R dan L. A. R. Batiz. 1994.

International Finance and Open

Economy, Macroeconomics. Mcmillan Publishing

co. New York.

[6] Dewi, A. K. 2005. Pengaruh Tekanan Neraca

Pembayaran dan Nilai Tukar terhadap Perekonomian

Indonesia [Skripsi]. Fakultas Ekonomi dan

Manajemen, Institut Pertanian Bogor, Bogor.

[7] Enders, W. 2000. Applied

Economic Time Series. Second Edition. John Wiley

& Sons, New York.

[8] Hadi, H. 2001. Ekonomi Internasional: Teori dan

Kebijakan Keuangan

Internasional. Ghalia Indonesia. Jakarta.

[9] Johansen, S. 1995. Likelihood­Based Inference in

Cointegrated Vector

Autoregressive Models. Oxford University.

[10] Litvack, J. M. dan W. H. Branson. 1981.

Macroeconomics. Princeton University.

[11] Mankiw, N. G.

2000. Teori Makro Ekonomi. Edisi Keempat. Erlangg

a, Jakarta.

[12] Mishkin, F. S. 2001. The Economics of Money,

Banking and Financial Market.

Sixth Edition. Columbia University, Columbia.

[13] Pesaran, M. H. dan B. Pesaran. 1997. Working

with Microfit 4.0: Interactive

[14] Sugiyono, F. X. 2002. Neraca Pembayaran:

Konsep, Metodologi dan Penerapan. Pusat

Pendidikan dan Studi Kebanksentralan (PPSK). Bank

Indonesia. Jakarta.

[15] Suseno, I. 2004. Sistem dan Kebijakan Nilai

Tukar. Pusat Pendidikan dan Studi

Kebanksentralan (PPSK). Bank Indonesia. Jakarta.

[16] Thomas, R. L. 1997. Modern Econometrics An

Introduction. Addison­Wesley, England

Page 61: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

52

AKUNTANSI FORENSIK DALAM PROSES KEPAILITAN DI

PENGADILAN NIAGA

DAN POTENSI FRAUD PADA PERUSAHAAN PAILIT

(Studi Kualitatif)

R.Nelly Nur Apandia, Rozmita Dewi YR

b, Yudha Pradista

c

aProgram Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 40154

Email: [email protected]

bProgram Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 40154

Email: [email protected]

cProgram Studi Akuntansi, Universitas Pendidikan Indonesia, Bandung 40154

Email: [email protected]

ABSTRACT

This research aims to know the use of forensic accounting in bankruptcy proceedings in court and to know the commercial

potential of fraud that occurred at the company's bankruptcy. This study uses qualitative methods. Informant this research

consists of curators, forensic accountants and Auditors. Results of the study showed 1) Filing bankruptcy actions performed on

the Commerce Court involving justice supervisor and curator. In determining the validity of debts receivable by a supervisory

judge used the science of forensic accounting. 2) Filing bankruptcy is going to potentially widespread crimes of fraud in it, the

category of acts fraud in bankruptcy is divided into three, The first thing that is fraud that led to the bankrupt; in this condition

the action fraud conducted in an enterprise will lose the trust of the public so in the end the company going into bankruptcy.

The two bankrupt for fraud; This can be done by the creditor or the debtor. In general the debtor's fraud action is to hide assets

and sales while the Act of fraud committed with the motive is to obtain the treasures in bankruptcy. the third bankrupt and used

to hide the fraud; This condition is generally done of debtors by way of removing documents and company records to action

fraud carried out covered with the mempailitkan company.

Kata Kunci

Forensic accounting,fraud dan bankruptcy

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Perusahaan dalam mengembangkan usahanya

membutuhkan tambahan dana yang dapat diperoleh dari 2

(dua) sumber yaitu equitydan atau liability. Perusahaan

yang memperoleh sumber dana dari equity yaitu dengan

cara melakukan penerbitan saham. Sedangkan perusahaan

yang memperoleh sumber dana dari liability yaitu dengan

cara melakukan hutang kepada Bank dan atau lembaga

keuangan lainnya atau penerbitan obligasi. Setelah

perusahaan memperoleh tambahan dana tersebut

diharapkan perkembangan bisnis perusahaan dapat semakin

meningkat, akan tetapi dalam prakteknya tidak sedikit

perusahaan yang justru mengalami kegagalan usaha.

Persaingan usaha yang semakin kompetitif mengakibatkan

banyaknya perusahaan yang tidak mampu bersaing dalam

industri, hal tersebut dapat menyebabkan perusahaan tidak

mampu menghasilkan laba dan pada akhirnya perusahaan

tidak mampu membayar utang baik yang bersifat

jangkapendek maupun bersifat jangka panjang.Perusahaan

yang berada pada kondisi tersebut dikatakan sebagai

perusahaan yang mengalami kebangkrutan atau kepailitan

(bankruptcy), ketika perusahaan tidak mampu membayar

kewajiban kepada kreditor maka pada umumnya kreditor

akan berusaha memperoleh kembali jaminan atas utang

yang telah disepakati.

Pengambilalihan jaminan oleh lebih dari satu kreditor dari

debitur pada perusahaan yang mengalami kepailitan dapat

menimbulkan berbagai perselisihan. Oleh sebab itu maka

Pemerintah membentuk Pengadilan Niaga yang digunakan

sebagai sarana dalam penyelesaian perselisihan tersebut.

Berdasarkan sumber dari Pengadilan Niaga Jakarta Pusat,

jumlah pengajuan kepailitan di Pengadilan Niaga dari tahun

2012 sebanyak 9 perkara yang berasal dari perkara tahun

sebelumnya dan 76 perkara yang masuk tahun 2012,

dimana 64 perkara telah diputuskan status kepailitan dan

gagal pailit, 10 perkara dicabut selama tahun berjalan dan

sebanyak 11 perkara belum diselenggarakannya

persidangan. Sejumlah perkara yang telah diputuskan pada

tahun 2012 ternyata belum memberikan kepuasan bagi

termohon sehingga terdapat 47 perkara yang melakukan

kasasi dan 19 perkara dilakukan peninjauan kembali.

Page 62: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

53

Dalam pengajuan kepailitan di Pengadilan Niaga, tidak

semua termohon mendapatkan keputusan pailit, namun ada

juga yang mendapat putusan gagal pailit. Contoh kasus

perusahaan yang gagal pailit adalah PT Dirgantara

Indonesia yang dinyatakan pailit oleh Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat pada 4 September 2007, kemudian keputusan

pailit tersebut dibatalkan oleh Mahkamah Agung pada 24

Oktober 2007. Kasus lainnya adalahMahkamah Agung

mengabulkan kasasi PT Telekomunikasi Seluler atas

putusan pailit Pengadilan Niaga Jakarta Pusat dari gugatan

PT Prima Jaya Informatika. Perkara dengan nomor 704

K/Pdt.Sus/2012 ini diputuskan pada Rabu, 21 November

2012, oleh Majelis Hakim Kasasi .

Pengaturan dalam pengajuan kepailitan dan penundaan

kewajiban pembayaran utang menurut [1] diperlukan

karena pertama, untuk menghindari perebutan harta debitur

apabila dalam waktu yang sama ada beberapa kreditor yang

menagih piutangnya. Kedua, untuk menghindari adanya

kreditor pemegang hak jaminan kebendaan yang menuntut

haknya dengan cara menjual barang milik debitur tanpa

memerhatikan kepentingan debitur atau para kreditor

lainnya. Ketiga, untuk menghindari adanya kecurangan-

kecurangan yang dilakukan oleh salah seorang kreditor atau

debitur sendiri. Misalnya, debitur berusaha untuk memberi

keuntungan kepada seorang atau beberapa orang kreditor

tertentu sehingga kreditor lainnya dirugikan, atau adanya

perbuatan curang dari debitur untuk melarikan semua harta

kekayaannya dengan maksud untuk melepaskan tanggung

jawabnya terhadap para kreditor.

Keterkaitan antara tindakan kecurangan dalam kepailitan

(fraud inBankrupcy and Divorce) menurut [2] dibagi

menjadi 3 (tiga) pertama yaitu fraud yang menyebabkan

terjadinya bankrupt, kedua bankrupt digunakan untuk

melakukan fraud, dan ketiga bankrupt digunakan untuk

menyembunyikan fraud. Berdasarkan hal tersebut, potensi

terjadinya fraud dapat terjadi dalam proses kepailitan,

seperti yang diungkapkan [4]bahwa perusahaan yang

bankrupt cenderung untuk melakukan manipulasi laporan

keuangan. Penelitian tersebut mencoba untuk menguatkan

artikel yang dikeluarkan oleh Delloite yang menyatakan

bahwa perusahaan yang berpotensi mengalami bankrupt

tiga kali lebih mungkin melakukan fraud dibandingkan

perusahaan yang tidak mengalami bankrupt.

Dalam mengungkap fakta tindakan fraud dalamkepailitan,

maka digunakan ilmu akuntansi forensik yang memadukan

ilmu hukum, akuntansi dan audit. Referensi [5] menyatakan

bahwa akuntansi forensik dapat membantu menyelesaikan

kasus-kasus hukum dengan cara membantu para penegak

hukum untuk melakukan perhitungan dan pengungkap kos

kecurangan, mendeteksi penyebab terjadinya kecurangan,

menemukan petunjuk awal (indicia of fraud) terjadinya

kecurangan, dan mendeteksi kira-kira waktu kecurangan

dapat terungkap dan membedakan kecurangan yang

terungkap melalui tip atau secara kebetulan.

Penelitian mengenai penggunaan akuntansi forensik dalam

mengungkapfraud pada proses kepailitan belum banyak

dilakukan di Indonesia, penelitian-penelitian sebelumnya

lebih banyak memfokuskan pada tindakanfraud saja yang

tidak dikaitkan dengan proses kepailitan yang diajukan

diPengadilan Niaga. Berdasarkan hal tersebut maka

dilakukan penelitian untuk: 1) mengetahuipenggunaan

akuntansi forensik dalam mengungkap fraud pada proses

kepailitan dan 2) mengetahui potensi tindakan fraud pada

perusahaan yang mengalami kepailitan.

2. KERANGKA TEORITIS

2.1 Bankruptcy (Kepailitan)

Dalam menjalankan usahanya, suatu perusahaan tidak

selalu mengalami kesuksesan. Terkadang suatu perusahaan

berada pada keadaan dimana mempunyai banyak utang dan

tidak dapat melanjutkan usahanya atau biasa disebut dengan

bankrupt atau pailit. Referensi [8] mendefinisikan

kepailitan sebagai ketidakmampuan pihak pengutang

(debitur) untuk memenuhi kewajibannya kepada pihak

pemberi utang (kreditor) tepat pada waktu yang sudah

ditentukan.

Syarat-syarat suatu perusahaan dapat dipailitkan adalah: 1)

adanya utang, 2) minimal satu utang sudah jatuh tempo dan

dapat ditagih, 3) adanya debitur, 4) minimal ada dua

kreditor, 5) permohonan pernyataan pailit, 6) pernyataan

pailit oleh Pengadilan Niaga. Apabila perusahaan telah

dinyatakan pailit, maka kegiatan perusahaan tersebut

diambil alih oleh kurator untuk mengurus dan

membereskan harta pailit.

2.2 Akuntansi Forensik

Pada mulanya, di Amerika Serikat, akuntansi forensik

digunakan untuk menentukan pembagian warisan atau

mengungkapkan motif pembunuhan. Kemudian dengan

adanya undang-undang Sarbanes-Oxley Act tahun 2002 di

Amerika Serikat disebut sebagai salah satu faktor terpenting

dalam perkembangan akuntansi forensik. Referensi [9]

menyebutkan bahwa ―forensic accounting is a general term

used to describe any financial investigation that can result

in a legal consequence‖. Suatu ilmu akuntansi dapat

mengakibatkan adanya konsekuensi hukum, dimana

terdapat persinggungan antara ilmu akuntansi dan ilmu

hukum.

Referensi [10] menjelaskan bahwa “akuntansi forensik dan

audit investigatif adalah suatu bidang baru yang

menggabungkan teori (termasuk filsafat) dan praktik dari

berbagai disiplin ilmu, yakni akuntansi/ auditing dan

hukum yang saling bersinggungan”. Misalnya dalam

akuntansi forensik dalam praktik kepailitan di mana dua

disiplin mengemuka, dan saling isi mengisi. Pakar-pakar

dari kedua bidang ini bekerja sama, baik secara formal

maupun informal.

Page 63: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

54

2.3 Fraud

Referensi[4] menjelaskan bahwa ―fraud is a generic term,

and embraces all the multifarious means that human

ingenuity can devise, which are resorted to by one

individual, to get an advantage by false means or

representations.‖ Kalau diterjemahkan secara bebas,

kecurangan adalah istilah umum, yang mencakup berbagai

macam kelihaian manusia, dimana satu individu

memberikan gambaran yang salah untuk mendapatkan

keuntungan dari orang lain.

Referensi [7] menyebutkan bahwa meskipun

penyembunyian aset menjadi mayoritas fraud yang terjadi

pada bankruptcy, ada sejumlah skema fraud umum lainnya.

Diantaranya adalah: 1) bustouts, 2) bleedouts, 3) rent/equity

skimming. Bustout seperti yang didefinisikan oleh United

States Trustee Manual, terjadi ketika perusahaan

memperoleh barang dari kreditor dan menjual barang-

barang tersebut menjadi kas. Mirip dengan bustouts, sebuah

bleedout (United States Trustee Manual) terjadi ketika

sebuah perusahaan menghilangkan atau menyembunyikan

aset selama periode waktu yang lama. Rent or

EquitySkimming adalah proses di mana debitur memperoleh

hak atas beberapa properti tanpa niat membayar hipotek.

Debitur terus mengumpulkan hasil sewa dan kemudian

menyembunyikan file kebangkrutan dalam rangka untuk

menunda penyitaan.

3. METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini yang menjadi obyek penelitian adalah

penerapan akuntansi forensik pada kepailitan dan potensi

fraud pada kepailitan. Pendekatan penelitian yang

digunakan dalam penelitian ini adalah penelitian deskriptif

kualitatif. Format deskriptif kualitatif studi kasus tidak

memiliki ciri seperti air (menyebar di permukaan), tetapi

memusatkan diri pada suatu unit tertentu dari berbagai

fenomena. Dari ciri yang demikian memungkinkan studi ini

dapat amat mendalam dan demikian bahwa kedalaman data

yang menjadi pertimbangan dalam penelitian model ini [3].

Penelitian ini merupakan penelitian eksplorasi, di mana

penelitian ini belum dilakukan dan obyek penelitian pun

masih baru untuk diteliti. Peneliti masih awam dan hanya

mengetahui sedikit tentang permasalahan yang terjadi,

namun berusaha untuk menemukan jawaban dari

permasalahan yang sedang diteliti.

Menurut [6] sumber data utama dalam penelitian kualitatif

ialah kata-kata, dan tindakan, selebihnya adalah data

tambahan seperti dokumen dan lain-lain. Sumber data

merupakan bagian yang sangat penting dalam suatu

penelitian, karena sumber data berpengaruh langsung

terhadap kualitas penelitian. Sumber data yang digunakan

adalah sumber data primer.Adapun teknik pengumpulan

data pada penelitian ini dilakukan dengan wawancara

mendalam (in-depth interview), yaitu proses memperoleh

keterangan untuk tujuan penelitian dengan cara tanya jawab

sambil bertatap muka antara pewawancara dengan informan

atau orang yang diwawancarai, dengan atau tanpa

menggunakan pedoman (guide) wawancara, dimana

pewawancara dengan informan terlibat dalam kehidupan

sosial yang relatif lama. Dengan demikian, kekhasan

wawancara mendalam adalah keterlibatannya dalam

kehidupan informan [3]. Selain dengan wawancara, data

yang diperoleh melalui observasi yaitu dengn melakukan

observasi persidangan kepailitan di Pengadilan Niaga

Jakarta Pusat dan dokumentasi.

Penentuan informan penelitian dengan menggunakan cara

key person. Memperoleh informan penelitian melelui key

person karena telah memahami informasi awal tentang

objek penelitian maupun informan penelitian. Key person

ini adalah tokoh formal atau tokoh informal [3]. Individu-

individu yang akan akan menjadi informan pada penelitian

ini adalah kurator yang terjun langsung dalam

menyelesaikan masalah kepailitan dan akuntan publik

selaku partner kurator dalam menghitung harta debitur.

Tabel 1: Responden Penelitian No Nara

Sumber/Informan

Jenis

Kelamin

Jabatan/Keahlian Lama

Bekerja

1 Nara Sumber 1 Laki-Laki Kurator dan

Pengacara

3 Tahun

2 Nara Sumber 2 Perempuan Technical

Advisor in

Accounting

Forensic

30

Tahun

3 Nara Sumber 3 Laki-Laki Auditor Seniordi Kantor Akuntan

public

6 Tahun

Dalam penelitian ini peneliti menganalisis data

menggunakan model Miles and Huberman. Aktivitas dalam

analisis data dibagi menjadi tiga bagian, pertama data

reduction (reduksi data), kedua data display (penyajian

data), dan ketiga conclucion drawing/verification

(penarikan kesimpulan/ verifikasi).Dalam pengujian

kredibilitas data pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan triangulasi dengan teknik. Triangulasi

dengan teknik ini dilakukan untuk menguji kredibilitas data

dengan cara mengecek data kepada sumber yang sama

dengan teknik yang berbeda, dalam penelitian ini peneliti

akan mengecek data yang diperoleh dari hasil wawancara

dengan observasi dan dokumen.

4. HASIL PENELITIAN

a. Penggunaaan Akuntansi Forensik dalam Praktek

Kepailitan

Pengajuan tindakan kepailitan dapat dilakukan dengan

syarat apabila terdapat utang kepada dua atau lebih kreditor

yang telah jatuh tempo akan tetapi tidak dapat dilunasi oleh

debitur, dimana debitur harus dalam keadaan insolvent,

yaitu tidak membayar lebih dari 50% utang-utangnya.

Pengajuan proses kepailitan dapat diajukan oleh 3 (tiga)

pihak yaitu kepailitan yang diajukan oleh debitur, kepailitan

yang diajukan oleh kreditor dan kepailitan yang diajukan

oleh lain-lain.

Page 64: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

55

Pelaksanaan proses kepailitan dilakukan di Pengadilan

Niaga, dimana hakim pengadilan akan menunjuk hakim

pengawas dan kurator. Hakim pengawas akan memutuskan

suatu debitur dinyatakan pailit atau gagal pailit tidak lebih

dari 60 hari setelah pengajuan kepailitan. Pada saat

dipersidangan maka hakim pengawas memerlukan bukti

dari para kreditur dan debitur atas utang piutang yang ada.

Berdasarkan hasil observasi di persidangan niaga seorang

hakim pengawas melakukan pencocokan dengan bukti

berupa perjanjian utang piutang dan memperoleh

keterangan baik dari pemohon dan termohon atau kreditor

dan debitur. Ilmu akuntansi forensik berperan dalam proses

tersebut untuk menentukan keabsahan dari bukti berupa

dokumen utang piutang dan bukti lainnya yang memperkuat

putusan oleh seorang hakim pengawas. Setelah suatu

perusahaan dinyatakan pailit maka akan ada kurator yang

akan melakukan pemberesan. Maksudnya pemberesan di

sini adalah suatu keadaan dimana kurator melakukan

pembayaran kepada para kreditor dari hasil penjualan harta

pailit. Seperti yang diungkapkan oleh informan 1 yang

berprofesi sebagai kurator :

“Jadi syarat utama pailit itu adalah adanya dua

kreditor utang yang tidak bisa dibayar.,kalau terdapat

2 kreditor yang utangnya sudah jatuh tempo akan

tetapitidak bisa dibayar itu bisa dijatuhi

pailit.Pengajuan kepailitian bisa oleh debitur atau

kreditur, tapi kebanyakan oleh kreditur. Debitur itu

biasanya kalo dia udah merasa tidak sanggup

membayar utangnya dia, takutnya dia ada apa-apa

suatu saat kedepannya, dia bisa mengajukan pailit.

Pekerjaan kurator itu cuma satu, yaitu kalau ada yang

pailit baik perusahaan maupun perorangan dalam

hukum maka itu tugas kurator yang mengurus segala

harta kekayaannya, maksudnya disini,kalau misal

perusahaan atau orang bankrupt dimana utang banyak,

takutnya tidak ada keseimbangan jadi misalnya begini

seseorang punya utang kepada A,B dan C, ketika dia

tidak bisa membayar kepada ketiganya dan dinyatakan

pailit, kemudian hanya si A dan B kebagian atas harta

pailit sedangkan C tidak kebagian berarti tidak ada

keseimbangan,maka tugas kurator yang mengurus

semuanya”

Seorang kurator juga dapat memiliki wewenang untuk

menjalankan usaha suatu perusahaan yang dinyatakan

pailit. Seperti yang diungkapkan informan 1 :

“Jadi setelah adanya keputusan pailit, maka pada jam

00.00 semuanya dikuasai oleh kurator, baik asetnya,

perusahaannya. Tanpa izin kurator tidak bisa, hakim

pengawas juga tidak boleh. Jika perusahaan A

dinyatakan pailit kemudian jam 00.00 maka kurator

akan bergerak, biasa kurator minta cash flow

perusahaan gimana, merugi atau untung. Jadi kalau

masih untung kurator punya hak untuk menjalankan

perusahaannya. Yang penting ada keuntungan untuk

budel pailit. Kita kan ngejarnya budel pailit. Selama

masih ada budel pailit semua bisa dikerjakan. .

Misalnya toko buah, buah kan cepat busuk, daripada

kita tahan mending kita jual saja. Daripada busuk kita

rugi, mending kita jual Rp 200 misalnya. Dimana

budel pailit bisa besar.Jika perusahaan memiliki sewa

kontrak, apabila kontrak ini kita teruskan kita merugi

maka kurator akan hentikan”.

Dalam proses pembagian budel (harta) pailit maka seorang

kurator harus melakukan investigatif untuk mengetahui

status kreditor apakah kreditor tersebut merupakan

separatis, preferen dan atau kongruen. Seperti yang

diungkapkan informan 1 :

“Jika perusahaan dinyatakan pailit maka kurator

melalui aturan dan perundang-undangan akan

memastikan bahwa kreditur tertentu masuk sebagai

separatis, preferen atau kongruen. Kalau separatis dia

punya hak untuk menjual. Misalnya perusahaan

(debitur) menjaminkan rumahnya ke Bank, selama

proses pailit bank diberi waktu selama 90/ 60 hari

untuk menjual sendiri untuk melunasi utang, apabila

dia tidak bisa menjual kembalikan ke pailit, kurator

yang menjual. Kreditur preferen itu adalah yang

haknya didahulukan seperti hutang pajak kepada

Negara dan kreditur kongruen adalah kreditur yang

tidak memiliki jaminan. Tidak sembarang orang boleh

menagih kepada perusahaan yang dinyatakan pailit,

semua itu harus memalui kurator”.

.

Hal ini sesuai dengan pernyataan [1] bahwa tugas kurator

dalam administratif yaitu melakukan pengumuman (pasal

15 ayat (4)) , mengundang rapat kreditor, menangani harta

kekayaan debitur pailit, melakukan pencatatan atau

inventarisasi harta pailit (Pasal 100 sampai dengan Pasal

103 Undang-Undang Kepailitan) serta membuat laporan

rutin kepada hakim pengawas selama 3 (tiga) bulan sekali.

(Pasal 74 Undang-Undang Kepailitan).Tugas kurator dalam

mengurus atau mengelola harta pailit, selama proses

kepailitan belum sampai pada keadaan insolvensi (pailit),

maka kuartor dapat melanjutkan pengelolaan usaha-usaha

debitur pailit sebagaimana layaknya organ perseroan

(direksi) atas izin rapat kreditor. (Pasal 104 ayat (1)

Undang-Undang Kepailitan). Pengelolaan hanya dapat

dilakukan apabila debitur pailit masih memiliki suatu usaha

yang masih berjalan.

Syarat seseorang dapat menjadi kurator adalah diharuskan

untuk mengikuti pendidikan profesi, kurator merupakan

sarjana hukum atau sarjana eknomi jurusan atau program

studi akuntansi. Akan tetapi di Indonesia kebanyakan

kurator berlatarbelakang pendidikan hukum dan hanya

sedikit yang berlatarbelakang pendidikan akuntansi.

Sehingga dalam proses kepailitan ini, maka seorang kurator

yang berlatarbelakang pendidikan hukum akan meminta

jasa akuntansi forensik atau audit investigatif kepada kantor

akuntan publik agar dapat menghitung budel (harta) pailit.

Seperti yang diungkapkan informan 1 :

Page 65: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

56

“Untuk masalah akuntansi, kurator yang

berlatarbelakang pendidikan hukum tentuknya akan

sulit memahami masalah penghitungan laporan

keuangan perusahaan, sehingga kebanyakan kurator

tersebut termasuk saya menyewa jasa akuntan

public.Kalau akuntan kan minimal dia tau cash flow

perusahaan, cuma mungkin kalau dia ada masalah

hukum baru dia sewa lawyer. Mayoritas kurator

lulusan hukum”.

Informan 3 yang merupakan auditor senior mengungkapkan

bahwa kadangkala kurator tidak memiliki pemahaman yang

cukup dalam akuntansi dan audit investigatif sehingga

membutuhkan jasa kantor akuntan publik, seperti yang

dikutip dari pernyataan informan 3 :

“Kurator kadangkala tidak memhami secara

keseluruhan tentang laporan keuangan dan audit

investigatifsehingga membutuhkan jasa akuntan

public untuk penelusuran eksistensi atas asset dan

kewajiban yang tercantum dalam laporan keuangan

perusahaan”

Proses kepailitan menggabungkan 3 (tiga) fokus keilmuan

didalamnya yaitu akuntansi, audit dan hukum. Sehingga

dalam praktek kepailitinan ini seorang hakim pengawas dan

kurator menggunakan ilmu akuntansi forensik dalam

menyatakan pailit dan membagikan budel (harta) pailit

kepada para debitur.

4.2 Potensi Fraud Dalam Bankruptcy

4.2.1 Fraud yang Menyebabkan Terjadinya

Bankruptcy

Dalam proses kepailitan dapat diajukan oleh 3 (tiga) pihak

yaitu debitur, kreditor dan kejaksaan dll. Pengajuan

kepailitan memiliki potensi terjadinya tidakan fraud

didalamnya. Sebagai contoh yaitu pengajuan pailit yang

dilakukan oleh kejaksaan dapat disebabkan karena tindakan

fraud yang dilakukan pemilik perusahaan. Informan 2

mengungkapkan mengenai tindakan fraudyang dilakukan

debitur pada umumnya dengan membawa lari uang hasil

pinjaman, berikut ini adalah kutipan hasil wawancaranya :

“Fraudyang dilakukan oleh debitur adalah dengan

membawa lari uang para kreditur,dimana debitur

meminjam uang kepada banyak kreditur kemudian dia

melarikan diri dengan membawa seluruh uang kreditur

sehingga pada akhirnya perusahaan tidak dapat

beroperasi dan bankruptcy karena ditinggalkan oleh

pemiliknya”.

Kondisi diatas mencerminkan bahwa tindakan fraudyang

dilakukan pada akhirnya menyebabkan kebangkrutan

perusahaan. Dalam kondisi tersebut maka dapat diajukan

proses kepailitan oleh Kejaksaaan. Pasal 2 ayat (2) Undang-

Undang No. 37 Tahun 2004 menentukan bahwa

permohonan pernyataan pailit dapat diajukan oleh

kejaksaan untuk kepentingan umum. Maksud dari

kepentingan umum adalah kepentingan bangsa dan negara

dan/ atau kepentingan masyarakat luas, misalnyadebitur

melarikan diri, debitur menggelapkan bagian dari harta

kekayaan, debitur mempunyai utang kepada Badan Usaha

Milik Negara atau badan usaha lain yang menghimpun dana

dari masyarakat, debitur mempunyai utang yang berasal

dari penghimpunan dana dari masyarakat luas, debitur tidak

beritikad baik atau tidak koperatif dalam menyelesaikan

masalah utang-piutang yang telah jatuh waktuataudalam hal

lainnya menurut kejaksaan merupakan kepentingan umum.

Hal tersebut senada dengan yang diungkapkan informan 3

bahwa tindakan fraud dapat menyebabkan kebangkrutan

suatu perusahaan :

“Banyak kasus kecurangan yang dilakukan perusahaan

yang akhirnya menyebabkan perusahaan bangkrut,

seperti yang terjadi pada kasus satyam pada tahun

2009an di India, pimpinan perusahaan tersebut

mengakui tindakan kecurangan dengan melakukan

pemalsuan atas saldo kas, sehingga perusahaan

tersebut menjadi bankrupt padahal tahun 2010

perusahaan tersebut sudah mendapatkan kontrak

menjadi IT system untuk piala dunia”

Kecurangan yang dilakukan perusahaan pada akhirnya

dapat menyebabkan kerugian bagi perusahaan yaitu berada

dalam kondisi bangkrut, dikarenakan reputasi perusahaan

yang menurun akibat tindakan tersebut. Berdasarkan

pernyataan [2] perusahaan yang melakukan tindakan fraud

dapat menurunkan kepercayaan publik atau citra

perusahaan sehingga pada akhirnya perusahaan tersebut

akan bankrupt.

4.2.2 BankruptcyDigunakan untuk Melakukan Fraud

Pengajuan kepailitian yang dilakukan oleh debitur,

didalamnya berpotensi terjadinya tindakan fraud yaitu

dengan cara mengecilkan jumlah asset yang dimiliki dalam

laporan keuangan ketika kurator masuk keperusahaan untuk

mengurus budel (asset) pailit. Seperti yang diungkapkan

informan 3 :

“Ketika kurator masuk,sangat memungkinkan debitur

menyembunyikan sejumlah kas atau deposito yang

dimiliki perusahaan yang segera dialihkan oleh

direktur perusahaan ke rekening orang terdekat atau

keluarga jauh. Seperti yang pernah terjadi, bahwa

seorang klien dalam penugasan audit

investigatifbankruptcy menyembunyikan sejumlah

dana yang cukup besar dalam deposito”

Hal senada diungkapkan informan 1 mengenai

kemungkinan tindakan fraud oleh debitur serta hambatan

dalam melakukan pengurusan budel (harta) pailit, karena

potensi fraud terjadi didalamnya. Seperti pernyataan yang

dikutip dari informan 1 :

Page 66: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

57

“Kemungkinanfrauditu selalu ada. Itu biasanya

debitur yang nakal.dia berusaha untuk mengamankan

hartanya. Sebelum kurator bergerak, mungkin dia

membayar utang ke orang yang belum jatuh tempo

atau dia alihkan ke luar negeri. Itu kan dia mencoba

untuk mengamankan aset dia. Hambatannya namanya

orang kaya karyawan lah. Kita dikerjai oleh karyawan.

Kalau kuratorkan yang penting gimana budel pailit ini

jadi besar dan aman. Sedangkan mereka mau hak,

“hak saya mana” gitu. Kita mau menjalankan mesin

atau mengambil mesin, mereka pasti menghalangi.

Banyak lah temen-temen yang dikurung, dikejar

anjing, saya masuk ruangan anjing dilepas. Wah itu

banyak, ada yang kapok, karena kan yang namanya

orang kalau masalah uang harus dia dapet, sedangkan

kedudukan kreditor kan kalau yang preferen aman

tapi kalo kongruen kan paling terakhir diberikan sisa

budel pailit setelah kreditur preferen. Kurator harus

tau asset perusahaan ada dimana, karena kalau tidak

tau bisa bisa jebol budel pailitnya”

Hal senada diungkapkan informan 2 yang berprofesi

sebagai akuntan forensik, bahwa tindakan fraud dilakukan

oleh debitur setelah dinyatakan pailit diantaranya adalah :

“Setelah suatu perusahaan dinyatakan pailit sangat

mungkin terjadinya transfer dana kepada pemegang

saham tertentu yang merupakan tindakan fraudyang

dilakukan pimpinan tertinggi perusahaan guna

mengalihkan dana agar tidak ikut serta dalam harta

pailit atau dengan cara menjual inventory perusahaan

dan hasil penjualannya masuk ke rekening pribadi

pemilik, pembayaran dengan jumlah yang besar

kepada vendor yang tidakbiasa”

Fraudulent concealment atas asset dan pendapatan

merupakan hal yang sering dilakukan, seperti yang

diungkapkan [2]Fraudulent concealment of assets or

income is a common fraud in both bankruptcy and divorce.

Hal ini memunjukan bahwa terjadi fraud pada kondisi

bankrupt pada umumnya adalah dengan merahasiakan asset

ataupun pendapatan yang diperoleh perusahaan.

Selain proses pengajuan kepailitan yang dilakukan oleh

debitur, maka proses pengajuan kepailitan ke Pengadilan

Niaga dapat diajukan oleh kreditor. Potensi tindakan fraud

dapat terjadi dalam pengajuan tersebut, seperti yang

diungkapkan oleh informan 1 :

“Pengajuan pailit yang dilakukan krediturpun dapat

berpotensi munculnya tindakan fraud dengan motif

untuk menguntungkan kreditur. Jika ada 2 kreditor

maka dapat diajukan pailit ke Pengadilan Niaga dan

harus dibuktikan apakah dia benar pailit atau tidak.

Persidangan harus membuktikan bahwa debitur benar-

benar insolved atau tidak. Nah jika belum benar benar

bangkrut dan selama debitur masih bisa membayar

utang, hanya terhambat pembayaran saja kan tidak

bisa diputuskan pailit. Dalam kondisi pailit diajukan

kreditur, maka debitur harus pintar membuktikan

bahwa dia tidak dalam keadaan bangkrut,debitur harus

sadar bahwa asset yang dimiliki banyak dan piutang

diluar banyak, hanya tidak mampu membayar hutang

jatuh tempo pada minimal 2 kreditur saja,sehingga

kondisi tersebut dapat dimanfaatkan pula oleh kreditur

nakal”

4.2.3 Bankruptcy Digunakan untuk

Menyembunyikan Fraud.

Kondisi lainnya yang terjadi adalah bahwa terjadinya fraud

disembunyikan melalui upaya proses pengajuan kepailitan.

Seperti yang diungkapkan oleh informan 3 berikut ini :

“Tindakan fraud yang dilakukan oleh orang

dilingkungan organisasi dengan pihak lainnya diluar

organisasi dapat disembunyikan melalui proses

kepailitan. Sebagai contoh pemberian kredit tidak

sesuai prosedur atau fiktif dapat menyebabkan

pembiayaan bermasalah. Untuk menyembunyikan

tindakan fraud atau pemberian kredit tersebut maka

perusahaan penerima pinjaman dana dapat

menyatakan dirinya pailit. Sehingga dalam hal ini

kedua pihak yang melakukan frauddapat

menyembunyikan fraud‖

Upaya penyembunyian fraud dengan skema kebangkrutan

ini pada umumnya juga dilakukan oleh debitur dengan cara

merusak buku dan catatan keuangannya atau mencatat

transaksi keuangan dengan tidak tepat. Hal tersebut sangat

mungkin terjadi apabila aparat penegakan hukum di

Pengadilan Niaga tidak berjalan dengan efektif yang pada

akhirnya dapat menyatakan pailit suatu kasus dalam kondisi

terdapat banyak fraud di dalamnya.

Ketiga kategori mengenai fraud yang terjadi dalam kondisi

bangkrut , seperti yang dijelaskan pada paragraph

sebelumnya sesuai dengan pernyataan[2] yang

mengkategorikan tindakan fraud in bankruptcy and divorce

menjadi 3 hal yaitu : 1) fraud causes the bankruptcy or

divorce 2) the bankruptcy or divorce is used to perpetrate

the fraud 3)the bankruptcy or divorce is used to conceal the

fraud.

5. KESIMPULAN, IMPLIKASI DAN

KETERBATASAN PENELITIAN

5.1 Kesimpulan

1. Pengajuan tindakan kepailitan dapat dilakukan dengan

syarat apabila terdapat utang kepada dua atau lebih

kreditor yang telah jatuh tempo akan tetapi tidak dapat

dilunasi oleh debitur, dimana debitur harus dalam

keadaan insolvent, yaitu tidak membayar lebih dari 50%

utang-utangnya.Pengajuan kepailitan dilakukan pada

Pengadilan Niaga yang melibatkan hakim pengawas dan

kurator. Dalam menentukan keabsahan utang piutang

oleh seorang hakim pengawas digunakan ilmu akuntansi

forensik, begitupula dengan kurator yang bertugas untuk

Page 67: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

58

membagikan budel (harta) pailit kepada para kreditur

dengan urutan pembagian harta bagi kreditor separatis

(kreditor yang memiliki jaminan), kreditor preferen

(kreditur yang memiliki hak untuk didahulukan) dan

kreditor kongruen (kreditur yang tidak memiliki

jaminan).

2. Pengajuan kepailitan dapat dilakukan oleh 3 (tiga) pihak

yaitu debitur, kreditor dan lain-lain. Pengajuan

kepailitan berpotensi terdapat tidakan fraud didalamnya,

kategori tindakan fraud dalam kepailitan dibagi menjadi

3 (tiga) hal Pertama yaitu fraud yang menyebabkan

terjadinya bankrupt; dalam kondisi ini tindakan fraud

yang dilakukan dalam suatu perusahaan akan

menurunkan kepercayaan publik sehingga pada

akhirnya perusahaan akan mengalami kebangkrutan.

Keduabankrupt digunakan untuk melakukan fraud; hal

ini bisa dilakukan oleh kreditor maupun debitur. Pada

umunya tindakan fraud yang dilakukan debitur adalah

dengan menyembunyikan aset dan penjualan sedangkan

tindakan fraud yang dilakukan adalah dengan motif

untuk memperoleh budel(harta) pailit. dan

Ketigabankrupt digunakan untuk menyembunyikan

fraud; kondisi ini pada umumnya dilakukan debitur

dengan cara menghilangkan dokumen dan catatan

perusahaan agar tindakan fraud yang dilakukan dapat

tertutupi dengan mempailitkan perusahaan.

5.2 Implikasi Penelitian

Implikasi penelitian ini diharapkan dapat memberikan

pemahaman mengenai penggunaan akuntansi forensik yang

ternyata dapat digunakan tidak hanya pada proses

pengadilan tindak pidana korupsi, akan tetapi akuntansi

forensik juga digunakan dalam proses kepailitan suatu

perusahaan di Pengadilan Niaga. Kurator yang merupakan

elemen dalam Pengadilan Niaga diwajibkan

berlatarbelakang hukum atau ekonomi akuntansi. Hal ini

dapat menjadi profesi baru bagi para akuntan yang

berkeinginan menjadi kurator, dimana kondisi saat ini

jumlah kurator yang berlatarbelakang pendidikan akuntansi

masih relatif jarang, padahal dalam menjalankan

tugasnyakurator membutuhkan keahlian dalam akuntansi

dan audit investigatif akibat dari maraknya tindakan fraud

yang dapat terjadi pada kondisi perusahaan mengalami

kepailitan.

5.3 Keterbatasan Penelitian

Periode pengamatan pada penelitian ini relatif pendek,

sehingga tidak dapat melihat proses kepailitan secara

komprehensif, disarankan untuk peneliti selanjutnya

memperpanjang periode pengamatan sehingga dapat

diperoleh lebih mendalam penggunaan akuntansi forensik

mulai dari proses pengajuan kepailitan, proses

persidangan,keputusan pailit, pembagian budel (harta)

pailit. Peneliti kesulitan memperoleh informan yang

merupakan kurator yang memiiki latarbelakang akuntansi,

sehingga peneliti selanjutnya dapat menambah informan

yang merupakan kurator yang memiliki latar belakang

pendidikan akuntansi. Bagi peneliti selanjutnya yang

tertarik dengn kajian fraud pada kasus kepailitan dapat

memfokuskan pada pengidentifikasian symtomp dan redflag

pada proses kepailitan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Puji dan syukur kami panjatkan ke khadirat Allah SWT atas

rahmat-Nya sehingga penelitian ini dapat terselesaikan.

Selain itu rasa terima kasih kami ucapkan juga kepada:

1. Bapak Prof. Dr. H. Sunaryo Kartadinata, M.Pd, selaku

Rektor Universitas Pendidikan Indonesia.

2. Bapak Dr. H. Edi Suryadi, M.Si, selaku Dekan Fakultas

Pendidikan Ekonomi Dan Bisnis Universitas Pendidikan

Indonesia.

3. Bapak Prof. Sumarto selaku Ketua LPPM atas dana

yang diberikan sehingga peneliti dapat melakukan

penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Adrian Sutedi. 2009. Hukum Kepailitan. Bogor:

Ghalia Indonesia.

[2] Albrecht, W. Steve dan Chad O. Albrecht. 2003.

Fraud Examination. Ohio: South-Western.

[3] Bungin, Burhan. 2010. Penelitian Kualitatif:

Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu

Sosial Lainnya. Jakarta: Kencana.

[4] Franceschetti, Bruno Maria and Claudia Koschtial.

2013. Do Bankrupt Companies Manipulate Earning

More Than The Non-Bankrupt Ones?.Journal of

Finance and Accountancy.

[5] Jumansyah, dkk. 2011. Akuntansi Forensik dan

Prospeknya Terhadap Penyelesaian Masalah-

Masalah Hukum di Indonesia. Prosiding Seminar

Nasional “Problematika Hukum dalam Implementasi

Bisnis dan Investasi (Perspektif Multidisipliner)”.

[6] Moleong, Lexy J. 2007. Metodologi Penelitian

Kualitatif Edisi Revisi. Bandung: Remaja

Rosdakarya.

[7] Sawhney, Sareena M. 2010. Forensic Accountants:

An Essential Part of The Bankruptcy Team.

[Online]. Tersedia:

http://www.markspaneth.com/publications/forensic-

accountants-an-essential-part-of-the-bankruptcy-

team. Hotml [29 Mei 2013]

[8] Sembiring, Sentosa. 2006. Hukum Kepailitan Dan

Peraturan Perundang-Undangan yang Terkait

Dengan Kepailitan. Bandung: Nuansa Aulia.

[9] Singleton, Tommie W. dan Aaron J. Singleton.

2010. Fraud Auditing and Forensic Accounting

Fourth Edition. New Jersey: Wiley Corporate.

[10] Tuanakotta, Theodorus M. 2007. Akuntansi Forensik

dan Audit Investigatif. Jakarta: Lembaga Penerbit

Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia.

[11] Undang-Undang No 37 Tahun 2004 Tentang

Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran

Utang.

Page 68: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

59

Analisis Industri Unggulan Kota Bandung

Teti Sofia Yanti, Onoy Rohaeni, Fuji Astuti

Program Studi Statistika Unisba

Email: [email protected]

ABSTRAK

Pelaksanaan otonomi daerah, merupakan momentum bagi dimulainya proses implementasi kebijakan pengembangan ekonomi

lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan implikasi bagi daerah (kabupaten/kota) mengembangkan kemampuannya

sumberdaya yang dimilikinya sehingga menjadi produk unggulan yang memiliki keunggulan daya saing komparatif maupun

kompetitif. Penentuan sektor unggulan di suatu daerah sangat diperlukan, karena berguna untuk menentukan kebijakan

prioritas sektor yang dipilih, sehingga investasi yang dilakukan terhadap sektor tersebut memberikan multipler effect yang

besar terhadap daerah tersebut. Sebanyak 30 sektor dari 54 sektor ekonomi merupakan sektor unggulan kota Bandung, karena

mempunyai nilai indeks komposit di atas rata-rata. Sektor yang paling diunggulkan adalah sektor “Perdagangan Komoditi

Lainnya”. Sementara itu terdapat enam sektor, selain menjadi sektor-unggulan juga sektor-sektor yang paling responsif ketika

terjadi peningkatan permintaan akhir dalam perekonomian.

Kata kunci

Daya penyebaran, derajat kepekaan, bandung, input output, industri unggulan

1. PENDAHULUAN

Pelaksanaan otonomi daerah, merupakan momentum bagi

dimulainya proses implementasi kebijakan pengembangan

ekonomi lokal. Berlakunya otonomi daerah menimbulkan

implikasi bagi daerah (kabupaten/kota) mengembangkan

kemampuannya sumberdaya yang dimilikinya sehingga

menjadi produk unggulan yang memiliki keunggulan daya

saing komparatif maupun kompetitif. Untuk itu pemerintah

daerah harus membuat perencanaan yang baik, evaluasi

yang benar, dan penerapan kebijakan yang tepat, agar

pertumbuhan ekonomi di daerahnya bisa meningkat,

sehingga pembangunan bisa terwujud.

Perroux mengemukakan (dalam Arsyad 1999:148), dalam

proses pembangunan akan timbul industri unggulan (L’

industrie matrice) yang merupakan industri penggerak

utama dalam pembangunan suatu daerah. Karena

keterkaitan antar industri sangat erat, maka perkembangan

industri unggulan akan mempengaruhi perkembangan

industri lain yang berhubungan erat dengan industri

unggulan tersebut. Sektor yang dijadikan unggulan adalah

sektor yang apabila dikembangkan dapat memberikan

multiplier effect yang besar terhadap sektor-sektor lainnya,

baik sektor-sektor yang ada di hulu (backward effect)

maupun yang ada di hilir (foreward effect). Penentuan

sektor unggulan di suatu daerah sangat diperlukan, karena

berguna untuk menentukan kebijakan prioritas sektor yang

dipilih, sehingga investasi yang dilakukan terhadap sektor

tersebut memberikan multipler effect yang besar terhadap

daerah tersebut. Untuk menentukan sektor unggulan, perlu

diukur skor tingkat keunggulan setiap sektor ekonomi

memggunakan analisis Indeks Komposit. Variabel-variabel

yang akan dianalisis melalui Indeks Komposit diperoleh

melalui analisis input output. Melalui makalah ini akan

dilakukan analisis sektor ekonomi unggulan Kota

Bandung.

2. ANALISIS SEKTOR UNGGULAN

Analisis sektor unggulan dilakukan setelah diperoleh

analisis keterkaitan antar sektor dalam analisis input output.

Untuk menentukan sektor unggulan perlu diukur skor

tingkat keunggulan setiap sektor ekonomi memggunakan

analisis Indeks Komposit. Sebelum membahas kebih lanjut

tentang analisis sektor unggulan terlebih dahulu dijelaskan

analisis keterkaitan antar sektor, hal tersebut dilakukan

untuk memperoleh variabel-variabel yang dihitung dalam

indeks komposit. Banyak penelitian yang membahas

tentang industri unggulan, penelitian yang dilakukan oleh

Fachrurazy (2009), bertujuan untuk menentukan sektor

unggulan perekonomian wilayah kabupaten Aceh Utara

sebagai bahan informasi dan pertimbangan dalam

perencanaan pembangunan ekonomi. Penelitian ini

menggunakan data sekunder berupa runtun waktu (time

series) dari Produk Domestik Regional Bruto (PDRB)

Kabupaten Aceh Utara dan Provinsi Nanggroe Aceh

Darussalam tahun 1993-2007. Alat analisis yang digunakan

dalam penelitian ini, yaitu analisis Klassen tipology,

analisis Location Quotient (LQ) dan analisis shift share.

Hasil penelitian Dikdik Kusdiana dan Candra Wulan (2007)

adalah: dengan menggunakan Analisis Input Output dan

Revealed comparative advantage pada tabel input output

Jawa Barat 2003 dan data ekspor Jawa Barat diperoleh hasil

bahwa komoditas jawa barat yang mempunyai daya saing

ekspor adalah industri barang jadi dari logam, industri

kimia, barang-barang dari bahan kimia, karet dan plastik.

Page 69: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

60

Anton Hendranata(2002) menggunakan model input output

dalam penelitian desertasinya, salah satu kesimpulannya

adalah peranan sektor industri manufaktur masih sangat

dominan dalam perekonomian indonesia dalam

menghasilkan output dan pendapatan. Sedangkan sektor

pertanian, peternakan, kehutanan dan perikanan merupakan

sektor yang menyerap tenaga kerja paling banyak.

Jiemin Guo dan Mark A. (2000), mengukur perubahan

struktur perekonomian Amerika Serikat selama periode

1972-1996 menggunakan Analisis Input Output, hasilnya

adalah bahwa dampak relatif dari industri manufaktur

mengalami penurunan terhadap perekonomian Amerika

Serikat, penurunan tersebut dampak dari penetrasi impor.

Hasil penelitian Hidayat Amir dan Singgih Rifhat (2005)

menunjukkan, berdasarkan analisis sektor unggulan

menggunakan angka pengganda (output, pendapatan dan

lapangan kerja) dan keterkaitan sektoral (pure total linkage)

direkomendasikan untuk menjadikan Jawa Timur sebagai

pusat industri (industri lainnya dan indutri makanan,

minuman dan tembakau), pusat perdagangan, dan pusat

pertanian.

Hasil kajian ekonomi regional Nusa Tenggara Timur pada

triwulan I tahun 2008 menggunakan analisis input output

adalah: sektor pertanian sebagian sektor primer adalah

sektor yang melakukan penyerapan tenaga kerja paling

dominan. Namun, tingkat keterkaitan antar sektor lebih

didominasi oleh sektor industri dan jasa.

Selain hasil penelitian orang lain, penulis sudah melakukan

penelitian mengenai penentuan sektor unggulan di beberapa

kabupaten/kota yang ada di provinsi Jawa Barat, yakni Kota

Cimahi, Kabupaten Sumedang, Kabupaten Garut dan

Kabupaten Banjar. Industri unggulan di lima

kabupaten/kota tersebut berbeda-beda. Penelitian dilakukan

tahun 2008 untuk Kota Cimahi, hasilnya sektor unggulan di

Kota Cimahi adalah sektor industri. Sektor perdagangan

dan sektor lainnya perlu mendapat dukungan dan perhatian

yang lebih dari pemerintah karena kedua sektor tersebut

adalah sektor yang paling lemah. (Teti Sofia Yanti, 2010 ).

Selain sektor tanaman bahan makanan terdapat tiga sektor

yang dapat diunggulkan di Kabupaten Garut , yaitu:

perdagangan besar dan eceran; industri makanan dan

minuman; dan industri non migas lainnya.( Teti Sofia

Yanti, 2009). Sektor industri pengolahan merupakan sektor

unggulan di Kabupaten Sumedang, selain itu sektor tersebut

menjadi leader bagi sektor lain dalam pertumbuhan

ekonomi (Teti Sofia Yanti, 2010 ).

Sektor industri pengolahan, listrik, bangunan, air bersih,

hotel dan restoran, jasa lainnya, komunikasi, angkutan,

bangunan, perikanan, sewa bangunan & jasa perusahaan

merupakan sektor unggulan di Kabupaten Banjar, selain itu

industri pengolahan, listrik, angkutan, bangunan, sewa

bangunan & jasa perusahaan menjadi leader bagi sektor lain

dalam pertumbuhan ekonomi.( Teti Sofia Yanti, 2011).

a. Analisis Keterkaitan Antar Sektor (Linkages)

dalam Analisis Input Output

Pada tabel input output hubungan antara output dan

permintaan akhir dijabarkan sebagai :

X=(I-A)-1

Y ...(1)

dengan:

X = output

(I-A)-1

= matriks pengganda, dengan A adalah matriks

teknologi

Y = Permintaan akhir

Jika diuraikan dalam bentuk matriks hubungan tersebut

adalah:

n

i

nnnn

n

n

n Y

Y

Y

aaa

aaa

aaa

X

X

X

11

21

22221

11211

2

1

100

011

001

n

i

nnnjn

iniji

nj

n Y

Y

Y

bbb

bbb

bbb

X

X

X

1

1

1

1111

2

1

Jumlah dampak akibat perubahan permintaan akhir suatu

sektor terhadap output seluruh sektor ekonomi secara lebih

jauh digunakan untuk mengetahui seberapa jauh tingkat

keterkaitan antar sektor produksi, dapat dilihat dari dua sisi,

yaitu keterkaitan kebelakang (Backward Linkage) dan

keterkaitan kedepan (Forward Linkage). Keterkaitan ke

depan dan ke belakang dalam hubungannya untuk setiap

sektor ekonomi dapat dijelaskan melalui indeks daya

penyebaran () dan indeks derajat kepekaan ()

dirumuskan sebagai berikut :

...(2) )/1(1

,)/1(1

i jibn

n

jijb

ii j

ibn

n

iijb

j

dengan :

n

1i jib = jumlah daya penyebaran sektor j

Page 70: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

61

n

j jib1

= jumlah derajat kepekaan sektor i

i j ji

b)n/1( = rata-rata daya penyebaran persektor

b. Rasio Input Antara (RIA)

Dalam memenuhi kebutuhan bahan baku penolong bagi

proses produksi, ada dua kemungkinan (i) memanfaatkan

sumber-sumber domestik yang ada, sejauh sumber-sumber

tersebut ada di daerah dan mampu dimanfaatkan, (ii)

mengimmpor bahan baku yang diperlukan. Impor bahan

baku akan mengurangi sumber-sumber pembiayaan

penbangunan daerah.

Untuk mengukur penggunaan input domestik digunakan

Rasio Input Antara (RIA), yaitu perbandingan antara

seluruh input bahan baku yang digunakan dengan jumlah

output masing-masing industri.

...(3) OutputJumlah

AntaraInput RIA

Semakin besar nilai RIA, makin besar input domestik di

dalam proses suatu industri.

c. Koefisien Spesialisasi Ekspor

Dalam perdagangan internasional KSE lazim digunakan

sebagai ukuran tingkat surplus atau defisit dalam neraca

perdagangan luar negeri. KSE dinyatakan sebagai berikut:

...(4) ii

iii

ME

MEKSE

Dimana:

Ei= besarnya nilai ekspor sektor ekonomi i

Mi = besarnya nilai impor sektor ekonomi i

Nilai KSE berkisar antara -1 sampai +1. Apabila nilai KSE

hampir mendekati -1, maka neraca perdagangan daam

keadaan defisit dengan ekspor yang jauh lebih kecil

dibandingkan ekspor. Sebaliknya, apabila KSE mendekati

+1, maka neraca perdagangan dalam keadaan surplus

dimana ekspor yang jauh lebih besar dibandingkan impor.

2.4 Indeks Komposit

Untuk menentukan sektor ekonomi mana yang potensial

atau unggulan diukur melaluiindeks komposit. Indeks

Adapun model indeks komposit dibangun dari :

...(5) 5

55

2

22

1

11

s

XXc

s

XXc

s

XXcI

dimana, nilai c1, c2, c3, c4 sampai dengan c5 diperoleh dari

persamaan berikut:

55454353252151

45444343242141

35354343232131

25254243232121

15154143132121

cccrcrcrcr

ccrccrcrcr

ccrcrccrcr

ccrcrcrccr

ccrcrcrcrc

Untuk masalah pembangunan model indeks komposit

diinginkan jjI cRcs'2 maksimum dengan kendala

1'

jj cc

55535251

35333231

25232221

15131211

rrrr

rrrr

rrrr

rrrr

R

dengan proses iterasi diperoleh nilai c1, c2, c3 , ..., c5.

Karena tujuan membangun model indeks komposit adalah

untuk mengukur sejauh mana penyimpangan terhadap nilai

rata-rata, maka persamaan (11) dapat ditulis:

...(5) 5

55

2

22

1

11

s

Xc

s

Xc

s

XcI

Indek

komposit harus memenuhi dua kriteria yaitu:

1) Jika nilai semua variabel dalam indeks komposit

nol, maka nilai (skor) dari indeks komposit juga

nol.

2) Jika nilai dari masing-masing variabel dalam

indeks komposit merupakan nilai rata-rata dari

variabel tersebut, maka nilai indeks komposit sama

dengan 100

Sehingga untuk memenuhi dua kriteria tersebut, diperlukan

suatu konstanta k. konstanta k dapat ditentukan melalui:

...(6) 1005

55

2

22

1

11

s

Xc

s

Xc

s

Xck

pada

akhirnya diperoleh model indeks komposit sebagai berikut:

...(7) 5

5

52

2

21

1

1 Xs

kcX

s

kcX

s

kcI

apabila

suatu sektor memiliki nilai indeks komposit di atas nilai

Page 71: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

62

rata-ratanya (100), maka dikatakan sektor tersebut menjadi

sektor unggulan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Tahun 2010 Kota Bandung mengeluarkan Tabel Input

Output hasil survey tahun 2008, yang memuat 54 sektor

ekonomi. Berdasarkan matriks pengganda diperoleh nilai

backward linkage dan foward lingkage. Selanjutnya

variabel-variabel yang diperoleh dari yang digunakan untuk

membentuk indeks komposit adalah sebagai berikut:

1) Indeks daya penyebaran (X1)

2) Indeks derajat kepekaan (X2)

3) Share PDRB (Pendapatan Domestik Regional

Bruto) setiap sektor (X3)

4) Rasio input antara (RIA) (X4)

5) Koefisien spesialisasi ekspor (X5)

Dengan menggunakan Program Mathlab diperoleh nilai ci

sampai iterasi ke-34, yaitu : c1=1,000000; c2=0.918713;

c3=0.956483; c4=0.990474; c5=0.308549. Kemudian

ditentukan nilai indeks kompositnya yang disajikan dalam

Tabel 1.

Tabel 1: Indeks Komposit 54 Sektor Ekonomi Kota Bandung NO

(1)

SEKTOR

(2)

X1

(3)

X2

(4)

X3

(5)

X4

(6)

X5

(7)

I

(8)

33 Perdagangan Komoditi Lainnya 1,21 17,67 0,355 0,65 0,00 294,3

38 Jasa Angkutan Jalan 1,26 1,92 0,047 0,68 -0,53 135,4

30 Perdagangan Hasil Pertanian 1,16 2,92 0,051 0,61 0,00 134,9

28 Konstruksi 1,20 0,99 0,054 0,67 0,00 132,1

32 Perdagangan Bahan Konstruksi 1,33 0,56 0,003 0,77 0,00 131,0

53 Jasa Perorangan Dan Rumah Tangga 1,25 1,32 0,021 0,68 0,00 129,4

11 Industri Kulit, Barang-Barang Dari Kulit, Dan Alas Kaki 1,16 0,55 0,047 0,61 0,97 129,0

31 Perdagangan Tekstil, Pakaian Jadi, Dan Alas Kaki 1,30 0,53 0,002 0,76 0,00 128,0

39 Jasa Angkutan Udara 1,19 1,29 0,024 0,65 0,53 127,8

10 Industri Pakaian Jadi Kecuali Untuk Alas Kaki 1,18 0,45 0,043 0,62 0,36 124,8

25 Industri Pengolahan Lainnya 1,19 0,44 0,004 0,67 0,10 116,4

34 Hotel Bintang 1,15 0,45 0,004 0,62 0,81 116,2

9 Industri Perajutan 1,09 0,45 0,030 0,55 0,63 113,2

26 Listrik 1,02 1,25 0,018 0,53 1,00 111,4

12

Kayu Dan Barang Lainnya Terbuat Dari Kayu, Gabus, Bambu,

Dan Rotan 1,14 0,47 0,003 0,62 0,14 110,7

36 Restoran 1,11 0,71 0,030 0,58 -0,69 108,5

44 Jasa Perusahaan 1,06 0,67 0,007 0,59 0,42 108,2

7

Industri Makanan Selain Tahu Tempe, Minuman Dari

Tembakau 1,16 0,48 0,017 0,61 -0,80 107,9

51 Jasa Sosial Kemasyarakatan Swasta Lainnya 1,11 0,51 0,000 0,62 0,00 107,1

45 Real Estate Dan Usaha 0,98 1,26 0,014 0,51 1,00 107,0

15 Industri Percetakan Dan penerbitan 1,11 0,50 0,004 0,59 0,04 106,5

22 Industri Mesin & Peralatannnya Termasuk Perlengkapannya 1,05 0,46 0,037 0,51 0,09 106,2

18 Indusrti Karet Dan Barang-Barang Dari Karet 1,09 0,61 0,005 0,58 0,13 106,0

6 Industri Tahu Tempe 1,12 0,47 0,002 0,59 0,00 105,8

23 Industri Alat Angkutan 1,11 0,46 0,009 0,58 -0,21 105,1

14 Industri Kertas, Barang Dari Kertas Dan Sejenisnya 1,13 0,51 0,000 0,59 -0,44 103,6

(1) (2) (3) (4) (5) (6) (7) (8)

1 Tanaman Bahan Makanan 1,17 0,45 0,001 0,62 -1,00 103,3

Page 72: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

63

8 Industri Tekstil Kecuali Untuk Pakaian Jadi 1,00 0,45 0,032 0,50 0,23 102,7

17 Industri Kimia Dan Barang-Barang Dari Kimia 1,07 0,46 0,004 0,56 -0,05 101,4

37 Jasa Angkutan Kereta Api 1,05 0,71 0,004 0,57 -0,23 100,7

35 Hotel Non Bintang Dan Akomodasi Lainnya 0,98 0,46 0,005 0,49 0,91 99,0

24

Peralatan Profesional, Ilmu Pengetahuan, Alat Ukur Dan

Pengatur 1,08 0,45 0,003 0,56 -0,50 98,7

29 Perdagangan Kendaraan Bermotor Dan Suku Cadangnya 1,01 0,91 0,010 0,50 0,00 98,2

50 Jasa Kesehatan Swasta 1,03 0,51 0,001 0,55 0,00 98,0

2 Ternak, Unggas Dan Hasil-Hasilnya 1,11 0,46 0,001 0,56 -1,00 96,6

52 Jasa Rekreasi, Kebudayaan, Dan Olahraga 0,99 0,54 0,001 0,55 0,00 96,6

40 Jasa Penunjang Angkutan 1,00 0,57 0,004 0,51 0,21 96,3

48 Jasa Kesehatan Pemerintahan 0,98 0,55 0,003 0,52 0,00 94,0

13 Industri Furniture Semua Bahan 1,05 0,48 0,001 0,53 -0,62 94,0

49 Jasa Pendidikan Swasta 0,95 0,54 0,005 0,52 0,00 93,3

21 Industri Logam Dasar Dan Barang Dari Logam 1,05 0,44 0,000 0,55 -0,99 92,3

19 Industri Barang-Barang Dari Plastik Kecuali Furniture 0,94 0,81 0,008 0,44 0,02 89,6

27 Air Bersih 0,98 0,90 0,002 0,48 -0,98 86,0

43 Jasa Lembaga Keuangan Bukan Bank 0,83 0,61 0,006 0,45 0,44 85,1

3 Perikanan Dan Hasil Perikanan Lainnya 0,98 0,50 0,000 0,47 -1,00 82,5

20 Industri Barang Galian Bukan Logam 0,88 0,52 0,000 0,45 -0,58 79,0

42 Jasa Bank 0,61 0,75 0,018 0,24 0,62 63,4

41 Jasa Komunikasi 0,59 1,04 0,027 0,19 0,64 63,2

46 Jasa Pemerintahan Umum 0,51 0,57 0,022 0,14 1,00 54,0

47 Jasa Pendidikan Pemerintahan 0,52 0,49 0,009 0,09 0,00 40,2

4 Hasil Pertanian Lainnya 0,44 0,51 0,000 0,00 -0,47 24,2

16 Industri Pengilangan Minyak 0,44 0,49 0,000 0,00 -0,98 20,6

5 Barang Tambang Dan Hasil Galian Lainnya 0,44 0,52 0,000 0,00 -1,00 20,5

54 Lainnya 0,44 0,45 0,000 0,00 -1,00 20,2

Rata-rata 56,45 5,15 4,76 33,99 -0,36 100

Terdapat 6 sektor yang responsif ( nilai foward linkages

dan backward linkages di atas 1), yaitu “Perdagangan

Komoditi Lainnya”, “Perdagangan Hasil Pertanian”, “Jasa

Angkutan Jalan”, “Jasa Perorangan dan Rumah Tangga”,

“Jasa Angkutan Udara”, dan “Listrik”. Jika sektor-sektor

tersebut meningkat outputnya karena peningkatan

permintaan akhir, maka akan mengajak sektor lain untuk

meningkatkan outputnya. Disamping itu, jika terjadi

peningkatan permintaan akhir di seluruh sektor maka

sektor-sektor tersebut akan meningkat pula outputntya.

Artinya daya dorong dan daya tarik ke enam sektor

tersebut kuat terhadap sektor-sektor yang lain.

Sebanyak 30 sektor merupakan sektor unggulan kota

Bandung,karena mempunyai nilai indeks

komposit di atas rata-rata. Sementara itu sektor yang

paling diunggulkan adalah sektor “Perdagangan Komoditi

Lainnya”, sektor tersebut mempunyai foward linkages dan

share PDRB paling tinggi dibanding sektor lainnya

sebesar 17,67 dan 35%.

4. KESIMPULAN

Sebanyak 30 sektor merupakan sektor unggulan kota

Bandung, karena mempunyai nilai indeks komposit di atas

rata-rata dan sektor yang paling diunggulkan adalah sektor

“Perdagangan Komoditi Lainnya”. Sektor tersebut

mempunyai foward linkages dan share PDRB paling

tinggi dibanding sektor lainnya sebesar 17,67 dan 35%,

akan tetapi sektor tersebut perlu didorong agar dapat

mengekspor komoditinya lebih besar lagi agar neraca

perdagangan sektor tersebut positif. Sementara itu terdapat

enam sektor, selain menjadi

sektor-unggulan juga sektor-sektor yang paling responsif

ketika terjadi peningkatan permintaan

akhir dalam perekonomian. Sektor-sektor tersebut adalah

“Perdagangan Komoditi Lainnya”, “Perdagangan Hasil

Pertanian”, “Jasa Angkutan Jalan”, “Jasa Perorangan dan

Page 73: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

64

Rumah Tangga”, “Jasa Angkutan Udara”, dan “Listrik”.

Sehingga ketika output pada sektor-sektor tersebut

meningkat akan menjadi multiplier efek bagi sektor-sektor

yang lain, sehingga pertumbuhan perekonomian di kota

Bandung akan semakin meningkat.

ACKNOWLEDGEMENT

Penelitian ini merupakan bagian dari penelitian hibah

bersaing yang didanai oleh Dikti tahun anggaran 2013,

dengan judul penelitian “Distribusi Penyerapan Tenaga

Kerja dan Analisis Sektor Ekonomi Unggulan Kota

Bandung Sebagai Acuan Pengembangan Potensi Daerah”

dengan nomor kontrak Nomor:135/LPPM-SP3/V/2013

tentang Surat Perjanjian Pelaksanaan Penelitian(SP3)

Hibah Bersaing.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Arsyad, Lincolin, 1999. Pengantar Perencanaan

Dan Pembangunan Ekonomi Daerah. BPFE,

Yogyakarta.

[2] Amir, Hidayat dan Singgih Rifhat, 2005. Jurnal

Keuangan Dan Moneter. Analisis Sektor Unggulan

Untuk Evaluasi Kebijakan Pembangunan Jawa

Timur Menggunakan Tabel Input-Output 1994 Dan

2000. Departemen Keuangan RI . Edisi Desember

2005.

[3] BPS Kota Bandung, 2010, Tabel Input Output Kota

Tahun Bandung 2008

[4] BPS 1999, Kerangka Teori dan Analisis Tabel

Input output

[5] Bank Indonesia. Kinerja Ekonomi Regional

Provinsi NTT Triwulan II-2008 - Bank Indonesia.

Diunduh dari www.bi.go.id/...

/KajianEkonomiRegionalProvinsiNusaTenggaraTi

mu..

[6] Daryanto, Arief dan Yudhi Hafizrianda. 2010.

Analisis Input output & social Accounting Matrix.

IPB Press. Bogor

[7] Fachrurrazy. 2009. Analisis Penentuan Sektor

Unggulan Perekonomianwilayah Kabupaten Aceh

Utara Dengan Pendekatan Sektor Pembentuk

PDRB. Tesis. Sekolah Pascasarjana Universitas

Sumatera Utara

[8] Guo, Jiemin dan Mark A. 2000 . Using Input-

Output Analysis To Measure U.S. Economic

Structural Change Over A 24 Year Period.. U.S.

Bureau Of Economic Analysis

[9] Hendranata, Anton , 2002. Model Input Output

Ekonometrika Indonesia Dan Aplikasinya Untuk

Analisis Dampak Ekonomi. Desertasi. Program

Pasca Sarjana Institut Pertanian Bogor. 2002.

[10] Kusdiana, Dikdik , 2007. Jurnal Trikonomika

Fakultas Ekonomi Unpas. Analisis Daya Saing

Ekspor Sektor Unggulan Di Jawa Barat. Volume 6.

No. 1. Juni 2007.

[11] Miller, R.E. P.D. Blair. 1985. Input-Output

Analysis Foundation and Extensions. Prentice Hall

Inc New Jersey.

[12] Suahasil Nazara. 2010. Analisis Input Output.

LPFEUI. Jakarta.

[13] Sofia Yanti, Teti , 2010. Portofolio Jurnal

Ekonomi& Akuntansi. Analisis Sektor Unggulan

Untuk Evaluasi Kebijakan Pembangunan Kota

Cimahi Dengan Menaksir Matriks Teknologi Kota

Cimahi Menggunakan Metode Location Quontient

Berdasarkan Tabel Input Output Provinsi Jawa

Barat. Vol. 7. No. 1 Mei 2010. ISSN: 1829-7188.

Ekonomi-Unjani.

[14] Sofia Yanti, Teti, 2009 . Mimbar Jurnal Sosial Dan

Pembangunan. Menentukan Sektor Unggulan

Kabupaten Garut Berdasarkan Analisis Input

Output. Volume XXXV, No. 2 (Juli-Desember

2009). LPPM UNISBA. ISSN 0215-8175

[15] Sofia Yanti, Teti, 2010. Sektor Unggulan Di

Kabupaten Sumedang Melalui Analisis Input

Output (Hasil Penaksiran Dari Tabel Input Output

Jawa Barat). Proceeding Seminar Hasil Penelitian

dan PKM 2010 Edisi Sosial. P2U LPPM Unisba.

ISBN: 978-979-8634-37-6.

[16] Sofia Yanti, Teti, 2011. Sektor Unggulan Di

Kabupaten Banjar Melalui Analisis Input Output

(Hasil Penaksiran Dari Tabel Input Output Jawa

Barat). Prosiding KNSA 2011. Unisba

Page 74: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

65

Evaluasi Kinerja Stasiun Kereta Api

Berdasarkan Standar Pelayanan Minimum

Risna Rismiana Sari

Jurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Stasiun merupakan salah satu prasarana dalam menunjang perjalanan kereta api yang didalamnya terdapat interaksi antara

penyedia jasa dan pengguna. Dalam pengoperasiannya, penyedia jasa harus dapat memberikan pelayanan yang baik dengan

mempertimbangkan pemenuhan kebutuhan bagi pengguna. Evaluasi ini khusus menganalisis kebutuhan fasilitas di stasiun

berdasarkan tingkat kepuasan pengguna sekaligus memberikan rekomendasi dalam bidang transportasi khususnya untuk

penyempurnaan standar pelayanan minimum yang tercakup dalam Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011,

mengenai pelayanan di stasiun. Lokasi studi adalah Stasiun Besar Yogyakarta dan Stasiun Besar Lempuyangan, Yogyakarta.

Metoda yang digunakan adalah analisis di lapangan serta survei kuisioner mengenai permintaan pengguna terhadap fasilitas

yang menyangkut kelancaran, kenyamanan, keamanan dan keselamatan. Hasil evaluasi didapatkan bahwa pelayanan pada

Stasiun Besar Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan dapat dinilai cukup baik. Adapun pelayanan yang perlu ditingkatkan

untuk memberikan nilai kepuasan yang lebih baik bagi pengguna adalah terkait dengan peningkatan kenyamanan.

Kata Kunci

Stasiun, standar pelayanan minimum, pola pergerakan

1. PENDAHULUAN

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011

tentang Standar Pelayanan Minimum untuk Angkutan

Orang dengan Kereta Api dipublikasikan pada pertengahan

tahun 2011. Peraturan Menteri ini diharapkan mampu

menjadi acuan dalam penyediaan fasilitas pelayanan

angkutan kereta api. Analisis mengenai berbagai macam

fasilitas berdasarkan permintaan dan kepuasan dari

pengguna stasiun perlu dilakukan sebagai bahan evaluasi

sejauh mana pelayanan yang terdapat saat ini dapat

mengakomodasi kebutuhan pengguna di stasiun, sekaligus

memberikan rekomendasi atas standar pelayanan untuk

kinerja stasiun yang lebih baik.

Lokasi penelitian adalah Stasiun Besar Yogyakarta yang

melayani perjalanan kereta api bisnis serta eksekutif dengan

sekitar 4000 penumpang/hari dan Stasiun Besar

Lempuyangan yang melayani perjalanan kereta api

ekonomi dengan sekitar 3000 penumpang/hari. Kedua

stasiun ini berada pada naungan PT. Kereta Api (Persero)

Daerah Operasi VI.

2. TINJAUAN PUSTAKA

3.3 Stasiun

Sesuai dengan UU No. 23 Tahun 2007 tentang

perkeretaapian, stasiun kereta api berfungsi sebagai tempat

kereta api berangkat atau berhenti untuk melayani :

a. naik turun penumpang,

b. bongkar muat barang, dan/atau

c. keperluan operasi kereta api

Di stasiun kereta api juga dapat dilakukan kegiatan usaha

penunjang angkutan kereta api dan penyediaan jasa layanan

khusus dengan syarat tidak mengganggu fungsi stasiun.

Jasa pelayanan khusus, sebagaimana dimaksud terdiri dari :

a. ruang tunggu penumpang

b. bongkar muat barang

c. pergudangan

d. parkir kendaraan

e. penitipan barang

3.4 Kinerja Stasiun

Kinerja stasiun adalah ukuran menyeluruh dari karakteristik

operasi layanan yang mempengaruhi penumpang. Kualitas

dari kinerja dapat memberikan indikator baik buruknya

nilai pelayanan dari fasilitas yang tersedia. Kinerja stasiun

yang diatur dalam Keputusan Menteri Perhubungan Nomor:

PM 9 Tahun 2011 meliputi kinerja dari informasi, loket,

ruang tunggu, tempat ibadah, toilet, tempat parkir, fasilitas

kemudahan naik/turun penumpang, fasilitas penyandang

cacat, fasilitas kesehatan, fasilitas keselamatan dan

keamanan.

Konsep pengukuran kepuasan menurut Rangkuti (2002)

dapat dinyatakan dengan kuisioner yang didasarkan pada

dimensi mutu pelayanan yang sifatnya umum, butir-butir

tersebut mencerminkan setiap dimensi mutu sebagai

berikut.

1. Keberadaan pelayanan (availibility of service)

2. Ketanggapan pelayanan (responsiveness of service)

3. Ketepatan pelayanan (timeliness of service)

Page 75: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

66

4. Profesionalisme pelayanan (profesionalism of service)

5. Kepuasan keseluruhan dengan jasa (overall satisfaction

with service)

6. Kepuasan keseluruhan dengan barang (overall

satisfaction with product)

Kinerja stasiun yang diatur dalam Keputusan Menteri

Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011 meliputi kinerja

dari:

1. Informasi, mencakup visual dan audio. Indikator:

a. Diletakkan di tempat yang strategis

b. Diletakkan di tempat yang mudah dilihat oleh

jangkauan penglihatan pengguna jasa.

c. Diletakkan ditempat-tempat sesuai maksud dan

tujuannya.

d. Berdasarkan jumlah pintu masuk stasiun dan areal

loket penjualan tiket.

e. Jumlah pengeras suara berdasarkan luas atau

jumlah ruang tunggu.

2. Loket

Indikator: waktu pelayanan, max. 30 detik per

penumpang dan informasi ketersediaan tempat duduk

untuk kelas bisnis dan eksekutif.

3. Ruang tunggu

Indikator: luasan, yaitu minimum 0.6 m2 untuk 1 (satu)

orang penumpang

4. Tempat ibadah

Indikator: luas ruangan, minimum untuk 4 (empat)

orang perempuan dan 4 orang laki-laki.

5. Toilet

Indikator: jumlah, untuk pria disediakan 6 toilet

ditambah 2 toilet khusus untuk penyandang cacat,

begitu pula untuk wanita.

6. Tempat parkir

Indikator: luas, disesuaikan dengan lahan yang tersedia

dan sirkulasi parkir yang lancar.

7. Fasilitas kemudahan naik/turun penumpang

Indikator: aksesibilitas, yaitu dengan penyesuaian

tinggi peron dengan tinggi lantai kereta

8. Fasilitas penyandang cacat

Indikator: aksesibilitas, yaitu dengan membuat ramp

dengan kemiringan maksimum 20%.

9. Fasilitas kesehatan

Indikator: kelengkapan alat P3K

10. Fasilitas keselamatan dan keamanan

Indikator: kelengkapan peralatan

3.5 Standar Pelayanan Minimum Stasiun

Kebutuhan akan fasilitas dan pelayanan di stasiun untuk

pengguna dalam Guide to Station Planning and Design

(2011) mencakup tiga zona, yaitu zona akses (access zone),

zona fasilitas (facilities zone) dan zona peron (platform

zone).

1. Zona akses

Zona ini merupakan pintu masuk stasiun dari berbagai

kawasan disekitarnya. Zona ini harus mudah diakses

dan tersedia berbagai fasilitas yang berhubungan dengan

perpindahan moda. Zona ini adalah zona yang menjadi

batas untuk masuk ke area stasiun.

2. Zona fasilitas

Zona ini merupakan zona dimana pengguna stasiun bisa

menggunakan fasilitas dan pelayanan. Pada zona ini

terdapat informasi mengenai perjalanan dan fasilitas

umum yang meliputi ruang tunggu, tempat duduk, toilet,

restoran, pedagang, ATM, telepon umum dan fasilitas

umum lainnya. Zona ini harus mudah menuju pada

peron sehingga hanya dikhususkan untuk calon

penumpang dan untuk memasukinya harus diatur

dengan tiket.

3. Zona Peron

Zona ini adalah zona untuk melakukan akses langsung

terhadap kereta, sehingga harus didisain secara aman

dan terjaga.

3. METODE PENELITIAN

Secara keseluruhan, tahapan penelitian yang dilaksanakan

dapat dilihat pada bagan alir pada Gambar 1.

Gambar 1: Bagan alir penelitian

Survei pendahuluan dilakukan dengan teknik kuisioner

yang berisikan pertanyaan-pertanyaan mengenai fasilitas

yang dibutuhkan pengguna serta peninjauan langsung di

stasiun untuk mengetahui sejauh mana kelengkapan

fasilitas yang telah ada. Dari survei diketahui bahwa

sebagian pengguna berpendapat kelengkapan maupun

fungsi dari fasilitas yang ada di stasiun masih kurang

memuaskan.

Stasiun yang diteliti adalah Stasiun Besar Yogyakarta yang

melayani perjalanan kereta api bisnis dan eksekutif serta

Stasiun Lempuyangan yang melayani perjalanan kereta api

ekonomi.

Data yang dibutuhkan adalah:

1. Data kelengkapan fasilitas, diperoleh dari peninjauan

langsung di stasiun.

Page 76: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

67

2. Data fungsi/kegunaan fasilitas, diperoleh dari

wawancara dan kuisioner kepada pengguna sebanyak

400 responden untuk masing-masing stasiun.

Alat penelitian yang digunakan adalah formulir survey,

kuisioner dan kamera.

Setelah didapatkan data, kemudian dilakukan hal-hal

sebagai berikut:

a. Membuat rekapitulasi dari hasil survei kelengkapan dan

kegunaan fasilitas.

b. Melakukan analisis mengenai berbagai kebutuhan

terhadap fasilitas di stasiun berdasarkan konsep

pergerakan dan permintaan pengguna.

c. Melakukan analisis mengenai sejauh mana Standar

Pelayanan Minimum yang ditetapkan dalam Peraturan

Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011 dapat

diaplikasikan di stasiun yang ada.

d. Merancang standar pelayanan yang dapat lebih

diaplikasikan di lapangan dengan lebih baik guna

memenuhi kebutuhan dan kepuasan pengguna.

4. ANALISA DAN PEMBAHASAN

4.1 Media Informasi

Kondisi media informasi pada Stasiun Besar Yogyakarta

dan Stasiun Lempuyangan adalah sebagai berikut:

1) Pada Stasiun Besar Yogyakarta, informasi visual

diletakkan pada area loket dengan ketinggian 1 meter

dengan tulisan kecil. Pada Stasiun Lempuyangan,

informasi visual diletakkan pada area loket dan ruang

tunggu dengan ketinggian 1.5 meter dengan tulisan

cukup besar dan informatif.

2) Informasi audio cukup baik pada ruang tunggu

penumpang, dan terdengar jelas pada area stasiun.

Dari hasil kuisioner berdasarkan kondisi yang ada, lebih

dari 75% responden pada masing-masing stasiun

menyatakan telah puas dengan informasi mengenai jadwal

dan tarif KA yang tersedia dan juga informasi audio yang

diberikan, namun terdapat masukan mengenai ketinggian

dan besarnya tulisan pada papan informasi pada Stasiun

Besar Yogyakarta yang dinilai sedikit menyulitkan untuk

dilihat dalam kondisi ramai.

Berdasarkan hasil analisis, maka perlu letak dari

pemasangan papan informasi pada Stasiun Besar

Yogyakarta harus ditinggikan dan tulisan diperbesar agar

pengguna jasa lebih mudah melihat dan memahami isi dari

informasi.

4.2 Loket

Pelayanan loket pada Stasiun Besar Yogyakarta dan Stasiun

Lempuyangan adalah sebagai berikut:

1) pemesanan tiket tidak dibatasi.

2) waktu pelayanan di loket rata-rata 2-2.4 menit per

pemesan.

Waktu pelayanan dihitung dari 30 sampel pemesan tiket

yang diambil secara random. Dari kondisi saat ini, 73% dari

responden Stasiun Besar Yogyakarta dan 67% dari

responden Stasiun Lempuyangan merasa cukup puas

dengan pelayanan tiket, namun mengeluhkan terjadinya

antrian yang cukup panjang pada saat pemesan tiket cukup

banyak.

Berdasarkan PM 9 Tahun 2011, lama pelayanan di loket

masih jauh dari kinerja disyaratkan, sehingga efisiensi

pelayanan harus ditingkatkan. Hal ini sesuai dengan

permintaan pengguna yang menginginkan waktu yang lebih

efisien saat memesan tiket.

4.3 Ruang Tunggu

Fasilitas ruang tunggu yang tersedia adalah sebagai berikut:

1) pada Stasiun Besar Yogyakarta, luas keseluruhan =

634,35 m2 (dapat menampung sekitar 1057 calon

penumpang), sedangkan pada Stasiun Lempuyangan,

luas keseluruhan = 316 m2 (dapat menampung sekitar

527 calon penumpang).

2) tersedia tempat duduk sebanyak 168 buah (pada Stasiun

Besar Yogyakarta) dan 176 buah (pada Stasiun

Lempuyangan) dengan ukuran 50 cm x 50 cm, dengan

jarak bebas antar kursi ke depan sekitar 0.6-1 meter.

Dari kondisi fasilitas ruang tunggu yang tersedia saat ini,

lebih dari 70% responden pada masing-masing stasiun

menyatakan puas dengan jumlah yang tersedia. Mengenai

kebebasan ruang gerak, 80.5% responden pada Stasiun

Besar Yogyakarta dan 73% pada Stasiun Lempuyangan

menyatakan puas dan masih sangat nyaman. Namun 40%

responden pada Stasiun Lempuyangan mengeluhkan

mengenai kebersihan yang kurang terpelihara pada area

ruang tunggu.

Berdasarkan PM 9 Tahun 2011 dan pertimbangan kepuasan

pengguna, ruang tunggu pada Stasiun Besar Yogyakarta

maupun Stasiun Lempuyangan memiliki ruang pergerakan

dan luas masih memenuhi standar untuk menampung calon

penumpang yang akan melakukan perjalanan.

4.4 Tempat Ibadah

Luas tempat ibadah pada Stasiun Besar Yogyakarta dapat

menampung 60 pria dan 11 wanita dan pada Stasiun

Lempuyangan dapat menampung 40 pria dan 12 wanita.

Luas ini sudah melampaui ketentuan dalam PM 9 Tahun

2011. Tempat ibadah dinilai cukup nyaman dengan

dilengkapi fasilitas tambahan berupa tempat wudhu dan

juga perlengkapan berupa sajadah, alat ibadah wanita dan

Al-Qur‟an. Hal ini senada dengan hasil kuisioner yang

menyatakan bahwa lebih dari 75% responden pada masing-

masing stasiun merasa puas dengan fasilitas tempat ibadah

yang tersedia saat ini.

Page 77: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

68

4.5 Toilet

Jumlah toilet pada Stasiun Besar Yogyakarta tersedia

masing-masing 8 toilet untuk pria dan wanita dan pada

Stasiun Lempuyangan tersedia masing-masing 3 toilet

dengan kebersihan cukup terjaga dengan adanya petugas

kebersihan dalam 3 shif.

Jumlah toilet pada Stasiun Lempuyangan belum memenuhi

jumlah minimum seperti yang disyaratkan dalam PM 9

Tahun 2011 sehingga perlu ditambah. Hal ini senada

dengan hasil kuisioner yaitu 50% responden menyatakan

jumlah toilet perlu ditambah karena saat ini sering terjadi

antrian pengguna. Selain jumlah, kebersihan dan sirkulasi

udara pada toilet mempengaruhi kenyamanan pengguna.

Sebesar 46.5% pengguna Stasiun Besar Yogyakarta dan

38% pengguna Stasiun Lempuyangan menyatakan bahwa

toilet kurang nyaman digunakan.

4.6 Tempat Parkir

Daya tampung parkir pada Stasiun Besar Yogyakarta saat

ini masih mencukupi permintaan parkir. Parkir timur dapat

menampung 22 mobil penumpang dan 250 sepeda motor,

sedangkan parkir selatan dapat menampung 30 mobil

penumpang dan 250 sepeda motor. Sama hal dengan

Stasiun Lempuyangan yang dapat menampung 27 mobil

penumpang dan 400 sepeda motor. Hal ini sesuai dengan

hasil kuisioner yang dari masing-masing stasiun, lebih dari

80% menyatakan luas lahan parkir mencukupi untuk

menampung kendaraan.

Sirkulasi kendaraan cukup lancar dengan pemisahan pintu

masuk dan keluar serta pemisahan parkir mobil, motor dan

kendaraan umum, senada dengan 79.5% responden Stasiun

Besar Yogyakarta dan 68% responden pada Stasiun

Lempuyangan menyatakan sirkulasi cukup mudah dan

lancar.

4.7 Fasilitas kemudahan naik turun penumpang

Fasilitas kemudahan naik turun penumpang pada Stasiun

Besar Yogyakarta maupun Stasiun Lempuyangan sudah

cukup memadai dengan peron yang ditinggikan 1 meter,

disesuaikan dengan tinggi lantai kereta. Panjang peron

disesuaikan dengan panjang gerbong kereta yang beroperasi

dan lebar disesuaikan dengan perkiraan calon penumpang

pada saat jam sibuk. Selain untuk kemudahan, peron ini

didesain untuk keamanan dan keselamatan calon

penumpang. Dengan kondisi ini, 79.5% responden pada

Stasiun Besar Yogyakarta dan 84.5% responden pada

Stasiun Lempuyangan menyatakan cukup mudah dan

nyaman untuk naik dan turun kereta.

4.8 Fasilitas penyandang cacat

Fasilitas penyandang cacat yang berupa ramp pada Stasiun

Besar Yogyakarta maupun Stasiun Lempuyangan saat ini

sudah sesuai dengan yang disyaratkan yaitu dengan

kemiringan 20%. Namun yang perlu ditambahkan adalah

belum terdapatnya fasilitas informasi untuk penyandang

cacat seperti lantai beralur atau informasi dengan huruf

braile yang dinilai cukup penting untuk disediakan.

4.9 Fasilitas Kesehatan

Kondisi fasilitas kesehatan pada Stasiun Besar Yogyakarta

dan Stasiun Lempuyangan sudah cukup memadai dengan

tersedianya ruang khusus, obat-obatan untuk penyakit

umum dan jantung, oksigen, alat tensi, kursi roda, tempat

tidur pasien dan petugas dengan total 3-4 orang yang dibagi

menjadi 2-3 shif.

Dengan kondisi fasilitas kesehatan saat ini, 70% responden

pada Stasiun Besar Yogyakarta dan 62.5% responden pada

Stasiun Lempuyangan menyatakan cukup puas dan terbantu

dengan adanya fasilitas kesehatan yang tersedia. Namun

30-37% pengguna menyatakan bahwa tidak mengetahui

terdapat fasilitas kesehatan yang dapat dimanfaatkan bagi

pengguna.

4.10 Fasilitas keamanan dan keselamatan

Fasilitas keamanan dan keselamatan pada Stasiun Besar

Yogyakarta dan Stasiun Lempuyangan saat cukup baik

dengan berbagai kelengkapan berikut.

1) CCTV dipasang pada titik-titik strategis.

2) Garis batas berdiri 40-50 cm dari tepi peron.

3) Petugas keamanan yang terdiri dari satpam dan Polsus.

4) Pemberitahuan secara audio dan penjagaan pada jalur

lintas kereta saat kereta memasuki lintasan.

5) Tersedia genset pada ruang kendali dan alat pemadam

kebakaran berupa tabung gas portable yang ditempatkan

pada beberapa titik strategis.

Fasilitas keamanan dan keselamatan yang ada pada saat ini

dinilai cukup memberikan pelayanan yang baik terhadap

penguna stasiun, sesuai dengan hasil kuisioner kepuasan,

lebih dari 80% responden pada masing-masing stasiun

menyatakan bahwa keselamatan penumpang di area stasiun

cukup terjaga dan kondisi fasilitas penunjang cukup

memadai, dan lebih dari 68% responden menyatakan

keamanan di saat ini cukup baik.

4.11 Fasilitas penunjang

Beberapa fasilitas penunjang dinilai perlu sesuai hasil

kuisioner pada stasiun adalah sebagai berikut.

1) Tempat penitipan barang/loker

Pada Stasiun Besar Yogyakarta saat ini terdapat tempat

penitipan barang yang terdiri dari 30 almari.

Berdasarkan kuisioner, sebesar 69% responden

menyatakan fasilitas ini dibutuhkan.

2) Rumah makan / restoran dan toko

Page 78: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

69

Pada Stasiun Besar Yogyakarta maupun pada Stasiun

Lempuyangan terdapat kantin dan restoran serta toko

yang dapat mempermudah penumpang jika sewaktu-

waktu dibutuhkan. Berdasarkan kuisioner, lebih dari

75% responden pada masing-masing stasiun

menyatakan fasilitas ini dibutuhkan.

3) Mesin ATM

Pada Stasiun Besar Yogyakarta telah terdapat 4 buah

mesin ATM dan 2 mesin ATM pada Stasiun

Lempuyangan. Fasilitas ini cukup dibutuhkan

pengguna, sesuai hasil kuisioner yaitu 89% responden

Stasiun Yogyakarta dan 71% responden Stasiun

Lempuyangan menyatakan fasilitas ini sangat

diperlukan.

4) Telepon umum

Pada Stasiun Besar Yogyakarta maupun Stasiun

Lempuyangan terdapat sebuah telepon umum yang

dapat digunakan oleh pengguna stasiun yang terletak

pada ruang tunggu. Fasilitas ini dinilai cukup diperlukan

berdasarkan hasil kuisioner dengan rata-rata 71%

responden pada masing-masing stasiun menyatakan

fasilitas ini cukup diperlukan.

5) Counter taxi

Pada Stasiun Besar Yogyakarta permintaan akan

disediakannya counter taxi cukup besar, yaitu sebesar

66%.

5. KESIMPULAN

Dari hasil analisis dan evaluasi dalam penelitian ini dapat

ditarik beberapa kesimpulan sebagai berikut.

1. Fasilitas di Stasiun Besar Yogyakarta saat ini rata-rata

telah memenuhi Standar Pelayanan Minimum

berdasarkan Peraturan Menteri Perhubungan Nomor:

PM 9 Tahun 2011 serta kepuasan dari pengguna stasiun.

Beberapa fasilitas yang perlu diperbaiki dan

ditingkatkan adalah media informasi perjalanan kereta

api yang lebih jelas dan informatif, waktu pelayanan

pada loket, kebersihan toilet dan fasilitas untuk

penyandang cacat berupa lantai beralur.

2. Fasilitas di Stasiun Lempuyangan saat ini rata-rata telah

memenuhi Standar Pelayanan Minimum berdasarkan

Peraturan Menteri Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun

2011 serta kepuasan dari pengguna stasiun. Beberapa

fasilitas yang perlu diperbaiki dan ditingkatkan adalah

waktu pelayanan pada loket, jumlah petugas kesehatan,

jumlah toilet, penyediaan fasilitas penyandang cacat dan

lansia, pengaturan dan perapian pertokoan serta

restoran.

3. Terdapat perbedaan permintaan pengguna terhadap

beberapa fasilitas untuk Stasiun Besar Yogyakarta dan

Stasiun Lempuyangan berupa loker dan counter taxi

untuk kemudahan dalam perpindahan moda. Hal ini

diperkirakan karena perbedaan dari karakteristik

pengguna stasiun.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Andriyanto, D., 2003. Pengembangan Organisasi

Angkutan Umum (Studi Kasus Bus Perkotaan di

Yogyakarta). Tesis, Program Pascasarjana, UGM,

Yogyakarta.

[2] Armistead, C. G., & Clark, G., 1999. Customer

Service and Support – Layanan dan Dukungan

Kepada Pelanggan (Terjemahan). PT. Elex Media

Komputindo, Jakarta.

[3] Department for Transport Scotland., 2011. Accessible

Train Station Design for Disabled People : A Code of

Practice.

[4] Departemen Perhubungan., 1992. Undang-Undang

No. 13 Tahun 1992, Tentang Perkeretaapian, Jakarta.

[5] Departemen Perhubungan., 2007. Undang-Undang

No. 23 Tahun 2007, Tentang Perkeretaapian, Jakarta.

[6] Hernawan., 2012. Difable Perseption for

Accessibility and Information of Public Transport in

Jakarta. Tesis, Program Pascasarjana, UGM,

Yogyakarta.

[7] Kementrian Perhubungan., 2011. Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor: PM 9 Tahun 2011 Tentang

Standar Pelayanan Minimum untuk Orang dengan

Kereta, Jakarta.

[8] Kementrian Perhubungan., 2011. Peraturan Menteri

Perhubungan Nomor: PM 29 Tahun 2011 Tentang

Persyaratan Teknis Bangunan Stasiun Kereta Api,

Jakarta.

[9] Morlok, EK., 1998. Pengantar Teknik dan

Perencanaan Transportasi. Erlangga, Jakarta.

[10] Neufert and Ernst., 2002. Architects’ Data, Third

Edition.

[11] Network Rail., 2011. Guide to Station Planning and

Design, London.

[12] Putro, HBS., 2009. Kajian Persepsi dan Harapan

Pengguna Jasa terhadap Pelayanan Stasiun Kereta

Api Tanjung Priok (dengan Metode Stated

Preference). Tesis, Program Pascasarjana, UGM,

Yogyakarta.

[13] Republik Indonesia., 1998. Peraturan Pemerintah

No. 69 Tahun 1998 Tentang Sarana dan Prasarana

Kereta Api.

[14] Sasmita, P. Y., 2007. Evaluasi Terhadap Fasilitas

Aksesibilitas Bagi Pengguna Kursi Roda di Stasiun

Tugu Yogyakarta. Tesis, Program Pascasarjana,

UGM, Yogyakarta.

[15] Sugiono., 2009. Metode Penelitian Kuantitatif dan

R&D. Alfabets, Bandung.

[16] Susilo, LWB., 2005. Penyususnan Standar

Pelayanan Angkutan Kereta Api Perkotaan di

Indonesia Perspektif Kepuasan Konsumen (Studi

kasus: Kereta Api Perkotaan Wilayah Jabotabek).

Tesis, Program Pascasarjana, UGM, Yogyakarta.

[17] Tamin, O. Z., 1997. Perencanaan dan Permodelan

Transportasi. Penerbit ITB, Bandung

[18] Tamin, O. Z., 2000. Perencanaan dan Permodelan

Edisi Kedua. Penerbit ITB, Bandung.

Page 79: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

70

[19] Zeithmal, V., Parasuraman, A., and Berry, B., 1990.

Delivering Quality Service – Balancing Customer

Perception and Expectations, The Free Press, New

York.

Page 80: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

71

ANALISIS MARKETING CULTURE SEBAGAI DASAR

PENGEMBANGAN KEMAMPUAN ”BISNIS” INSTITUSI

Adila Sosianika

Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung

[email protected]

ABSTRAK

Orientasi pendidikan tinggi telah berubah dari menciptakan lulusan yang berkualitas saja menjadi memuaskan konsumennya

dalam arti luas, yaitu mahasiswa, industri, dan masyarakat umum. Dengan diterapkannya pendekatan pada orientasi pasar

tersebut, maka perguruan tinggi pada dasarnya harus menerapkan nilai-nilai budaya pemasaran (marketing culture) dalam

aktivitasnya. Penerapan budaya pemasaran di dunia pendidikan tinggi di Indonesia masih banyak kurang dipahami dan

diterapkan secara efektif. Enam dimensi budaya pemasaran yang dibangun oleh Webster digunakan dalam penelitian ini untuk

mengukur kinerja pelaksanaan budaya pemasaran pada sebuah institusi pendidikan tinggi di Bandung. Hasil analisa deskriptif

menunjukkan bahwa secara umum kinerja budaya pemasaran yang menjadi objek penelitian ini dipersepsikan sudah cukup

baik terutama dalam dimensi kualitas pelayanan, tugas penjualan dan organisasi. Sedangkan untuk dimensi hubungan pribadi,

komunikasi internal dan tingkat inovasi terdapat budaya pemasaran masih perlu ditingkatkan. Hal ini mengindikasikan bahwa

secara umum karyawan bekerja dan bertindak sesuai visi dan tujuan organisasi, akan tetapi kurangnya peran pimpinan

organisasi dalam memfasilitasi sistim komunikasi formal maupun informal yang terbuka antar staf diduga berdampak pada

kurangnya kinerja hubungan pribadi, komunikasi internal dan tingkat inovasi.

Kata Kunci

Marketing culture, budaya pemasaran,organisasi, pendidikan tinggi

1. PENDAHULUAN

1.1. Latar belakang masalah

Globalisasi dan perdagangan bebas telah membawa akibat

pada tidak hanya semakin banyaknya barang dan tenaga

kerja profesional dari luar negeri yang memasuki pasar

domestik tetapi juga lembaga-lembaga pendidikan luar

negeri. Masuknya lembaga pendidikan dari luar negeri yang

dipandang mempunyai kualitas yang lebih baik tentu

menjadi tantangan bagi lembaga pendidikan kita untuk

meningkatkan kualitas sehingga mampu bersaing untuk

menyiapkan lulusan yang profesional sehingga bisa

kompetitif dalam memperebutkan lapangan kerja

(Buchbinder, 1993; Dikti, 2003).

Dalam situasi seperti ini, lembaga-lembaga pendidikan di

Indonesia dituntut untuk mencari strategi yang tepat agar

mampu tetap hidup (survive) dan berkembang. Salah satu

strategi yang dilakukan oleh lembaga pendidikan tinggi

baik negeri maupun swasta adalah dengan menggunakan

pendekatan bisnis, khususnya pemasaran yaitu dengan

menerapkan strategi orientasi pasar atau market orientation,

dalam mengelola aktivitasnya (Suyanto, 2004). Usaha

untuk melaksanakan orientasi pasar telah dilakukan,

meskipun tidak secara eksplisit dinyatakan, dengan

diterapkannya visi pendidikan tinggi 2003-2010 (Dikti,

2003) yaitu: Quality (kualitas), Access and Equity (akses

dan ekuity), serta Authonomy (otonomi). Indikasi lain

adalah SK Mendiknas No. 232/U/2000 tentang kurikulum

dan No.184/U/2001 tentang pengawasan dan pembinaan

perguruan tinggi yang mendorong perguruan tinggi untuk

berorientasi pada pasar. Dengan diadopsinya pola

pengembangan yang diarahkan untuk lebih memuaskan

konsumen tersebut maka terjadi pergeseran orientasi

pengelolaan dunia pendidikan. Pendidikan yang semula

berorientasi pada produk, yaitu berusaha menciptakan

lulusan yang berkualitas saja, telah berubah menjadi

berupaya memuaskan konsumennya dalam arti luas, yaitu

mahasiswa, industri, dan masyarakat umum. Dengan

diterapkannya pendekatan pada orientasi pasar tersebut

maka perguruan tinggi pada dasarnya menerapkan nilai-

nilai budaya pemasaran (marketing culture) dalam

aktivitasnya.

Meskipun secara umum telah disadari bahwa penerapan

budaya pemasaran (marketing culture) merupakan hal yang

sangat penting bagi keberhasilan organisasi yang bergerak

dibidang jasa (Mc Neil, 2001) seperti lembaga pendidikan

tinggi, namun demikian studi empirik untuk menelaah hal

tersebut khususnya di Indonesia masih sangat terbatas.

Sehingga masih belum banyak dipahami bagaimana

penerapan budaya pemasaran di dunia pendidikan tinggi di

Indonesia.

1.2 Perumusan Masalah dan Tujuan

1.2.1 Rumusan Masalah

Pentingnya memiliki kemampuan ber“bisnis” pada institusi

pendidikan tinggi negeri (mendapatkan nilai tambah

melalui aktivitas kegiatan penelitian dan pengabdian pada

masyarakat) telah dipahami secara luas oleh hampir semua

pegawai di semua jenjang. Pada umumnya mereka sepakat

bahwa dengan sumberdaya dan kompetensi yang dimiliki,

institusi ini sangat potensial untuk mendapatkan

Page 81: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

72

penerimaan jika mampu mengelola dan memasarkan

“bisnis”nya dengan baik. Peningkatan pendapatan dari

“bisnis” tersebut pada akhirnya akan semakin

meningkatkan kapasitas dan kapabilitas institusi dan secara

bersamaan mampu meningkatkan kesejahteraan warganya.

Meskipun upaya untuk memanfaatkan kapasitas dan

kapabilitas institusi secara terus-menerus telah diupayakan

oleh manajemen, kegiatan “bisnis” relatif belum

berkembang sebagaimana diharapkan. Rendahnya kinerja

tersebut mengindikasikan bahwa budaya pemasaran selama

ini masih belum diterapkan dengan efektif. Untuk

mengetahui seberapa jauh budaya pemasaran tersebut telah

diterapkan, pertanyaan penelitian yang dibangun pada

penelitian ini adalah ”Bagaimana pelaksanaan budaya

pemasaran di sebuah institusi pendidikan tinggi negeri di

Bandung?” Jawaban dari pertanyaan tersebut akan

memberikan masukan yang penting dalam menyusun

strategi pengembangan kemampuan ”bisnis” institusi.

1.2.2 Tujuan Penelitian

Secara umum penelitian ini ditujukan untuk memahami

bagaimana nilai-nilai budaya pemasaran yang diterapkan

oleh sebuah institusi pendidikan tinggi negeri di Bandung.

Secara khusus, penelitian ini bertujuan untuk mengukur

kinerja dimensi budaya pemasaran di sebuah institusi

pendidikan tinggi negeri di Bandung.

1.3 Kegunaan Penelitian

Penelitian ini mengidentifikasi kekuatan dan kelemahan

dari pelaksanaan budaya pemasaran yang diterapkan.

Berdasar atas temuan tersebut dapat disusun program

pengembangan bisnis yang dilakukan. Karena program-

program tersebut dibangun dari pemetaan terhadap

pelaksaan budaya pemasaran dari para pelaku (dosen),

diharapkan program tersebut akan mampu memberi arah

pelaksanaan “bisnis” secara efektif, produktif, dan

berkelanjutan. Selain itu, penelitian ini diharapkan akan

memberikan kontribusi secara keilmuan dengan menambah

khasanah pemahaman akan budaya pemasaran di perguruan

tinggi. Kontribusi ini penting karena karakter dunia bisnis

dengan dunia pendidikan berbeda signifikan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1. Pengertian Budaya Pemasaran

Budaya merupakan suatu konsep yang banyak menjadi

perhatian dalam studi-studi ilmu sosial sehingga banyak

definisi diberikan pada definisi budaya. Salah satu definisi

budaya yang banyak dikutip diberikan oleh Hofstede,

seorang ahli budaya Belanda, sebagai “the collective

programming of the mind that distinguishes the members

of one group or category of people from others” (Kueh and

Voon (2007). Sedangkan pemasaran merupakan kegiatan

untuk mencapai keuntungan melalui pemuasan kebutuhan

konsumen (Kotler dan Armstrong, 2007). Berdasar atas

kedua definisi tersebut maka budaya pemasaran dapat

diartikan sebagai segala sesuatu yang dimiliki, dipikirkan,

serta dilaksanakan oleh anggota suatu organisasi dalam

mencapai keuntungan (atau tujuan organisasi) melalui

pemuasan kebutuhan konsumennya. Definisi tersebut

senada dengan definisi yang diberikan oleh Webster (dalam

Boarden dan Netemeyer, 1999) yang mendefinisikan

budaya pemasaran sebagai ”the way marketing things are

done in the firm”.

Budaya mempengaruhi kepercayaan, persepsi, dan akhirnya

mempengaruhi terhadap perilaku karyawan dalam melayani

konsumennya (Kueh and Voon (2007). Suatu organisasi

dimana karyawannya mempunyai nilai-nilai budaya untuk

memuaskan konsumennya merupakan faktor yang sangat

penting bagi pencapaian tujuan organisasi tersebut.

Penelitian Slater dan Narver (1994) menunjukan bahwa

terdapat hubungan antara budaya pemasaran dengan

keuntungan yang diperoleh oleh perusahaan. Hasil

penelitiaan ini lebih mempertegas lagi pentingnya budaya

pemasaran sebagai kunci sukses dalam suatu organisasi,

khususnya di bidang jasa.

2.2 Dimensi Budaya Pemasaran

Pengertian budaya menunjukan bahwa budaya merupakan

suatu konsep yang luas sehingga budaya mempunyai

berbagai dimensi yang tergantung pada kontek

organisasi/masyarakat dimana budaya tersebut tumbuh. Di

bidang pemasaran, beberapa studi yang dilakukan

mengindikasikan enam dimensi dari budaya pemasaran,

yaitu: kualitas layanan (service quality), hubungan antar

pribadi (interpersonal relationships), tugas penjualan

(selling task), organisasi (organization), komunikasi

internal ( internal communications), dan tingkat inovasi

(innovativeness).

Dimensi Kualitas Layanan (Service Quality). Setiap

organisasi yang menerapkan konsep budaya pemasaran

harus mampu memahami serta menerapkan konsep kulitas

layanan untuk menarik dan mempertahankan pelanggannya.

Kualitas layanan merupakan perbandingan antara harapan

pelanggan terhadap pelayanan yang diberikan dengan

persepsi pelanggan akan kinerja layanan yang sebenarnya

(Parasuraman et al. 2005; Zeithaml and Bitner, 2003).

Definisi ini menunjukkan bahwa kualitas layanan

merupakan kemampuan suatu organisasi untuk memenuhi

harapan pelanggan atau bahkan memberikan pelayanan

yang melebihi apa yang diharapkan oleh pelanggan

(Gilmore, 2003). Artinya, suatu organisasi dapat

memberikan kualitas layanan yang baik dengan mengetahui

harapan pelanggan dan kemudian bertindak untuk

memenuhi atau bahkan melebihi harapan pelanggan

(Gilmore, 2003). Artinya baik pimpinan maupun karyawan

dalam organisasi harus peduli akan kebutuhan pelanggan

serta bersedia memberikan pelayanan prima kepada

pelanggan.

Page 82: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

73

Dimensi Hubungan Pribadi (Interpersonal Relationship).

Menurut Goldman (2008) hubungan interpersonal yang

baik terjadi apabila dua individu dapat saling mengisi

kebutuhan masing-masing (mutual filling of needs) melalui

sikap, kebiasaan maupun perilaku. Sehingga dapat

disimpulkan interpersonal relationship adalah kemampuan

mengembangkan sikap, minat dan perasaan dalam

berinteraksi dengan pihak lain. Pentingnya faktor tersebut

dalam pencapaian tujuan pemasaran suatu organisasi jasa

adalah karena sifat jasa: intangibility, inseparability, dan

heteroginity. Ketiga karakteristik tersebut memungkinkan

interaksi antara karyawan dengan konsumen, sehingga

terjadi komunikasi yang bersifat langsung diantara mereka.

Komunikasi tersebut akan memungkinkan konsumen

mengkomunikasikan harapan dan kebutuhannya kepada

karyawan. Sebaliknya, melalui interaksi ini karyawan dapat

leluasa meminta pendapat konsumen akan pelayanan yang

diberikannya.

Dimensi Tugas Penjualan (Selling Task). Salah satu

fungsi pokok dalam pemasaran adalah penjualan. Konsep

penjualan saat ini telah bergeser dari pendekatan model

transaksi ke pendekatan relationship-orientied. Sehingga

manajemen penjualan lebih dititik beratkan pada strategi

menjaga hubungan jangka panjang (long term relationship

strategy) dengan pelanggan (Ingram et al., 2004).

Dimensi Organisasi (Organization). Organisation adalah a

group or people intentionally organized to accomplish set

of goals (McNamara, 2006). Artinya, organsasi adalah

kumpulan dua orang atau lebih yang mengikat diri untuk

mencapai tujuan bersama. Organisasi yang kegiatannya

terkoordinasi dan terintegrasi biasanya akan dapat

melaksanakan pemasaran secara efektif (Kotler dan

Armstrong, 2007). Dengan demikian, segenap bagian atau

pihak dalam organisasi beserta penggunaan sumberdaya

yang dimiliki harus diarahkan pada usaha untuk

memuaskan konsumen.

Hal yang tidak kalah pentingnya adalah peran pimpinan

organisasi untuk memfasilitasi suatu sistim komunikasi

baik formal maupun informal yang terbuka antar staf

sebagai bagian dari usaha untuk memudahkan bagi

organisasi untuk merespon sinyal-sinyal pasar secara

efektif. Dibidang non tehnis, manajemen puncak perlu

bertindak sebagai agen perubahan “change agent” dan

sebagai pembangun budaya pemasaran di seluruh

organisasi.

Dimensi Komunikasi Internal (Internal Communication) Komunikasi dalam suatu organisasi pada dasarnya

merupakan proses untuk menyampaikan ide, opini,

informasi, instruksi yang benar baik secara lisan maupun

tulisan secara efektif untuk mencapai tujuan organisasi

(Kotler dan Armstrong, 2007). Berdasar atas konsep

tersebut maka komunikasi internal (internal

communication) adalah penyampaian informasi internal

organisasi (visi, misi, tujuan, prosedur kerja, dan lain-lain)

sehingga dapat sampai secara efektif kepada seluruh

anggota organisasi baik level atasan maupun bawahan.

Melalui komunikasi yang efektif karyawan akan dapat

meningkatkan koordinasinya dengan baik dalam

menghasilkan produk dan melayani konsumen. Studi yang

dilakukan oleh Webster (1993) mengidentifikasi bahwa

dimensi komunikasi internal merupakan dimensi yang valid

sebagai salah satu pengukur variabel budaya pemasaran.

Dimensi Tingkat Inovasi (Innovativeness) Innovativeness

merupakan suatu sifat kepribadian individu dalam

mengadopsi suatu inovasi (Leavitt dan Walton dalam

Boarden dan Netemeyer, 1999). Seorang innovator

digambarkan sebagai individu yang terbuka terhadap

pengalaman maupun stimuli-stimuli baru, sehingga mampu

mengolah informasi dan beradaptasi pada konsep, ide,

produk, maupun service yang baru (Sheth dan Mittal, 2004;

Boarden dan Netemeyer, 1999). Hal ini berarti suatu

organisasi harus inovatif dalam memperbaiki proses bisnis

untuk dapat menghasilkan kinerja yang lebih baik. Dengan

inovasi yang mampu menghasilkan produk, jasa, atau

proses yang lebih baik maka suatu organisasi akan mampu

membangun keunggulan bersaingnya.

2.2. Strategi Untuk Meningkatkan Budaya

Pemasaran

Kinerja budaya pemasaran dalam suatu organisasi telah

diyakini dapat berdampak signifikan terhadap pencapaian

tujuan organisasi. Walaupun penerapan budaya yang

berorientasi kepada pelanggan ini tidak mudah untuk

diimplementasikan akan tetapi juga bukan suatu hal yang

mustahil untuk direalisasikan. Klabunde (2009)

memaparkan langkah-langkah yang dapat dilakukan untuk

meningkatkan kinerja budaya pemasaran dalam suatu

organisasi sebagai berikut:

1. Educate and encourage. Budaya yang berorientasi pada

pelanggan mungkin dirasakan sebagai suatu hal baru

bagi karyawan, sehingga disini pentingnya pemberian

pengetahuan kepada karyawan tentang pentingnya

pelayanan prima serta pentingnya peran mereka dalam

keseluruhan rencana pemasaran organisasi.

2. Define expectations. Setiap karyawan harus mengetahui

dan memahami tugas dan tanggung jawabnya masing-

masing. Artinya masing-masing karyawan harus

mempunyai uraian dan spesifikasi jabatan (job

description/job spesification) yang jelas, sehingga

mereka dapat mengetahui harapan - harapan organisasi

terhadap kinerjanya.

3. Acknowledge and celebrate success. Tahap ini adalah

tahapan yang paling penting dalam mengubah budaya

pemasaran. Adanya pengakuan dan penghargaan dari

organisasi khususnya pimpinan puncak terhadap

karyawan sangat mempengaruhi perubahan budaya

pemasaran.

4. Reward success. Tahap terakhir dari proses mengubah

budaya pemasaran adalah dengan memberikan

penghargaan. Namun penghargaan yang umumnya

bersifat tangible seperti bonus, kenaikan gaji, kenaikan

Page 83: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

74

pangkat sebaiknya diberikan setelah ketiga langkah

sebelumnya terlaksana.

3. METODOLOGI PENELITIAN

3.1. Kerangka Pemikiran

Secara umum, kerangka pemikiran yang digunakan

penelitian ini adalah sebagai berikut:

Gambar 1: Kerangka Pemikiran Penelitian

Penelitian ini dimulai dengan mengidentifikasi dimensi-

dimensi budaya pemasaran, yaitu kualitas layanan (service

quality), hubungan pribadi (interpersonal relationship),

tugas penjualan (selling task), organisasi (organisation),

komunikasi internal (internal communication), dan tingkat

inovasi (innovativeness). Dimensi-dimensi yang

teridentifikasi kemudian diukur bagaimana dimensi tersebut

dilaksanakan. Dari pengukuran yang dilakukan kemudian

akan teridentifikasi dimensi yang telah dilaksanakan

dengan baik dan yang kurang baik. Berdasar atas temuan

tersebut dapat digunakan sebagai dasar penyusunan strategi

untuk menerapkan nilai budaya pemasaran dengan lebih

baik, khususnya memperbaiki dimensi yang berkinerja

kurang baik. Dengan pelaksanaan strategi tersebut

diharapkan kemampuan institusi dalam ber”bisnis” akan

semakin efektif, produktif, dan berkelanjutan.

3.2. Operasionalisasi Variabel

Untuk mencapai tujuan penelitian, diperlukan

operasionalisasi variabel. Merujuk pada landasan teori yang

telah dibahas pada bagian studi pustaka, maka

operasionalisasi variabel yang akan digunakan dalam

penelitian ini adalah menggunakan dimensi budaya

pemasaran yang dibangun oleh Webster (Mc Neil, 2001).

Penggunaan dimensi tersebut dengan pertimbangan bahwa

pengujian dimensi tersebut di berbagai research setting

menunjukkan bahwa dimensi tersebut reliabel (Mc Neil,

2001, Boarden dan Netemeyer, 1999).

3.3 Sampel

Webster (dalam Boarden dan Netemeyer, 1999)

mendefinisikan budaya pemasaran sebagai ”the way

marketing things are done in the firm”. Definisi tersebut

menunjukan bahwa budaya pemasaran merupakan segala

tindakan yang berkaitan dengan pemasaran yang dilakukan

oleh anggota suatu organisasi. Merujuk pada pengertian

tersebut maka dosen merupakan pihak yang secara

langsung menjalankan budaya pemasaran di institusi

pendidikan tinggi negeri di Bandung. Sehingga populasi

dalam penelitian ini adalah semua dosen yang

melaksanakan tugas pendidikan dan pengajaran. Adapun

jumlah responden penelitian ini adalah 60 dosen yang

dipilih secara acak.

3.5 Analisa Data

Prosedur yang akan dilakukan dalam menganalisis data

adalah dengan persiapan, tabulasi, dan pengolahan.

Persiapan adalah mengumpulkan dan memeriksa kebenaran

cara pengisian. Kemudian dilakukan tabulasi hasil

kuesioner sesuai dengan penilaian yang telah ditetapkan

dengan menggunakan hasil angka yang didapat. Dimensi

budaya pemasaran yang dibangun oleh Webster (Boarden

dan Netemeyer, 1999) akan dihitung rata-rata kinerjanya

untuk menjawab tujuan penelitian, yaitu mengukur kinerja

pelaksanaan budaya pemasaran.

4. PEMBAHASAN

4.1. Profil Responden

Adapun profil responden dalam penelitian ini adalah

sebagai berikut:

Tabel.4.1: Profil Responden

4.2. Hasil Uji Reliabilitas

Dari 60 kuesioner yang kembali dan mendapatkan respon

dengan hasil uji reliabiliti sebagai berikut:

Tabel 4.2: Uji Reliabilitas

Dengan mengacu pada Bryman (2001) bahwa suatu alat

ukur dapat dikatakan reliabel jika koefisien alpha lebih

Gender

35 58.3 58.3 58.3

25 41.7 41.7 100.0

60 100.0 100.0

pria

wanita

Total

Valid

Frequency Percent Valid Percent

Cumulat iv e

Percent

Reliability Statistics

.833 34

Cronbach's

Alpha N of Items

Masukan

Pengem-bangan

Strategi

Budaya Pemasa-

ran Yang

Efektif

Pengukuran

Kinerja Dimensi

Budaya

Pemasaran

Yang

Teridentifi-

kasi

Identifikasi

Dimensi

Budaya

Kerja

Dimensi

Budaya

Yang Berkinerja

Kurang

Teridentifi-

kasi

1. Kualitas

Layanan 2. Hubungan

Pribadi

3. Tugas Penjualan

4. Organisasi

5. Komunikasi

Internal

6. Tingkat Inovasi

Pelaksa-

naan Strategi

Budaya

Pemasa-ran Yang

Efektif

”Bisnis”

Berhasil

Page 84: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

75

besar dari 0.6, maka dari hasil uji reliabiliti diatas tampak

bahwa alat ukur dalam penelitian ini sudah reliabel.

4.3. Hasil Analisa Deskriptif

Analisa deskriptif dilakukan untuk mengidentifikasi dan

mengetahui dimensi marketing culture yang telah

dilaksanakan di instusi dengan baik dan yang kurang baik.

Adapun hasil analisanya sebagai berikut:

Tabel 4.3.1: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi

Kualitas Pelayanan

Service Quality N Min Max Mean Std. Dev

Peduli 60 1 5 4.30 0.93

Kesadaran 60 3 5 4.22 0.69

Citra 60 1 5 3.98 1.02

Memenuhi harapan 60 1 5 3.72 0.88

Pengukuran kinerja 60 1 5 3.43 1.11

harapan Kualitas 60 1 5 2.83 1.09

Layanan prima 60 1 5 2.55 0.91

Komitmen 60 1 5 2.47 1.02

Valid N (listwise) 60

Hasil analisa deskriptif diatas menunjukkan untuk dimensi

kualitas pelayanan yang dilakukan sudah baik dalam hal

peduli terhadap kebutuhan pelanggan dan memiliki

kesadaran terhadap pekerjaan secara menyeluruh, artinya

institusi ini sudah memiliki budaya yang positif akan

kualitas layanannya. Akan tetapi dari hasil diatas juga

terlihat bahwa masih rendahnya komitmen dan pernyataan

harapan pimpinan akan kualitas pelayanan, sehingga diduga

dapat menyebabkan pelayanan prima terhadap pelanggan

menjadi tidak optimal. Rendahnya komitmen serta

pernyataan harapan - harapan institusi terhadap kinerja staf,

diduga muncul sebagai dampak dari uraian dan spesifikasi

jabatan (job description/job spesification) yang tidak jelas.

Selain itu juga dalam kenyataannya struktur organisasi yang

seringkali berubah diduga memberikan kontribusi terhadap

rendahnya komitmen pimpinan puncak terhadap kualitas

pelayanan. Perubahan lingkungan yang cepat diduga tidak

dapat diantisipasi dengan mempercepat proses perubahan

organisasi yang secara resmi.

Tabel 4.3.2: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi

Hubungan Pribadi

Interpersonal

Relationship N Min Max Mean

Std.

Dev

Nyaman berpendapat 60 1 5 3.22 1.15

Kebijakan terbuka 60 1 5 3.03 1.06

Interaksi 60 1 5 2.83 1.11

Staf penting 60 1 5 2.55 1.05

Peduli staf 60 1 5 2.40 1.08

Valid N (listwise) 60

Hasil analisa deskriptif terhadap hubungan pribadi

menunjukkan bahwa hubungan serta interaksi antara atasan

dan staf di sudah cukup baik dalam hal kenyamanan

berpendapat dan kebijakan yang terbuka. Namun rendahnya

kepedulian pihak manajemen terhadap staf pengajar diduga

mengakibatkan staf merasa tidak dilibatkan dalam

pengambilan keputusan dan bukan bagian penting dari

institusi.

Tabel 4.3.3: Descriptive Statistics Dimensi Tugas

Penjualan

Selling Task N Min Max Mean Std. Dev

Hubungan 60 1 5 4.13 0.87

Keahlian 60 1 5 3.97 0.80

Latih 60 1 5 2.92 0.96

Rekrut tepat 60 1 4 2.88 0.80

Kreatif 60 1 5 2.87 1.05

Insentif 60 1 5 2.85 1.16

Penghargaan 60 1 5 2.78 1.06

Valid N (listwise) 60

Hasil analisa deskriptif terhadap dimensi tugas penjualan

menunjukkan bahwa staf pengajar sudah mempunyai

semangat dalam membina dan menciptakan hubungan baik

dengan pelanggannya baik dengan mahasiswa, industri

maupun masyarakat. Selain itu mereka juga selalu berusaha

mengembangkan kemampuan diri melalui pengajaran,

penelitian maupun pengabdian kepada masyarakat. Namun

perlu ditingkatkan lagi dengan program-program pelatihan,

penghargaan dan insentif yang akan lebih memotivasi

mereka.

Tabel 4.3.4: Descriptive Statistics Dimensi Organisasi

Organization N Min Max Mean

Std.

Dev

Skala prioritas 60 1 5 3.55 1.21

Pengaturan waktu 60 1 5 3.45 1.19

Bekerja teratur 60 1 5 3.13 1.17

Pengaturan staff 60 1 5 2.68 1.00

Perencanaan aktifitas 60 1 5 2.67 0.91

Valid N (listwise) 60

Sistem kerja dan pengaturan staf walaupun dari hasil

analisa deskriptif terlihat sudah cukup baik, namun masih

perlu ditingkatkan lagi terutama dalam hal mengatur

perencanaan aktivitas harian staf.

Page 85: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

76

Tabel 4.3.5: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi

Komunikasi Internal

Internal

Communications N Min Max Mean

Std.

Dev

Penyampaian harapan 60 1 5 3.05 1.00

Misi & tujuan 60 1 5 2.95 1.03

Standar pelayanan 60 1 5 2.72 1.24

Kebijakan 60 1 5 2.63 0.96

Informasi keuangan 60 1 5 2.58 1.28

Motivasi pelatihan 60 1 5 2.57 1.17

Valid N (listwise) 60

Hasil analisa deskriptif terhadap dimensi komunikasi

internal menunjukkan bahwa hubungan komunikasi internal

staf masih kurang baik, hal ini tampak pada hasil rata-rata

dimensi komunikasi internal yang masih dibawah 3.

Tabel 4.3.6: Descriptive Statistics Terhadap Dimensi

Tingkat Inovasi

Tingkat Inovasi N Min Max Mean

Std.

Dev

Kemajuan teknologi 60 1 5 2.98 1.05

ide 60 1 5 2.97 1.09

Perubahan 60 1 5 2.83 0.94

Valid N (listwise) 60

Dimensi tingkat inovasi berdasarkan hasil analisa deskriptif

menunjukkan bahwa tingkat inovasi dosen masih kurang

baik, hal ini tampak pada hasil rata-rata dimensi

komunikasi internal yang masih dibawah 3. Hasil ini

mengindikasikan bahwa rata-rata dosen masih belum

terbuka terhadap pengalaman maupun stimuli-stimuli baru,

sehingga sulit beradaptasi pada konsep, ide, produk,

maupun service yang baru.

Tabel 4.3.7: Descriptive Statistics Terhadap Setiap Dimensi

Marketing Culture MARKETING CULTURE

N Min Max Mean

Std.

Dev

SERVICE QUALITY 60 1.50 4.50 3.44 0.57

INTERPERSONAL

RELATIONSHIPS 60 1.00 4.80 2.81 0.76

SELLING TASK 60 2.14 4.71 3.20 0.59

ORGANIZATION 60 1.60 4.40 3.10 0.57

INTERNAL

COMMUNICATION 60 1.00 4.17 2.75 0.70

INNOVATIVENESS 60 1.00 4.00 2.93 0.68

Valid N (listwise) 60

Tabel 4.3.8: Descriptive Statistics Terhadap Keseluruhan

Dimensi Marketing Culture

N Min Max Mean

Std.

Dev

MARKETING CULTURE 60 1.86 3.99 3.06 0.43

Valid N (listwise) 60

Apabila dihitung rata-rata untuk setiap dimensi budaya

pemasaran, maka seperti tampak pada tabel diatas dimensi

kualitas pelayanan mempunyai nilai rerata tertinggi dan

dimensi komunikasi internal dengan nilai rerata terendah.

Hasil ini mengindikasikan bahwa budaya pemasaran di

institusi ini sudah cukup baik terutama dalam dimensi

kualitas pelayanan, tugas penjualan dan organisasi.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Kesimpulan ini memberikan gambaran umum dan singkat

mengenai hasil dan pembahasan penelitian:

5.1. Kesimpulan

Kinerja dimensi budaya pemasaran di institusi yang

menjadi objek penelitian ini dipersepsikan sudah cukup

baik terutama dalam dimensi kualitas pelayanan, tugas

penjualan dan organisasi. Akan tetapi masih harus

ditingkatkan bahkan mungkin diubah untuk dimensi

hubungan pribadi, komunikasi internal dan tingkat inovasi.

Peningkatan kinerja dimensi budaya pemasaran diharapkan

akan meningkatkan kinerja penelitian dan pengabdian

kepada masyarakat pada institusi.

5.2. Implikasi / Saran

Walaupun hasil penelitian ini terdapat keterbatasan-

keterbatasan, namun dapat digunakan sebagai dasar

masukan bagi institusi dalam meningkatkan kinerja budaya

pemasarannya. Berikut saran langkah-langkah yang dapat

dilakukan untuk meningkatkan kinerja budaya pemasaran

di institusi:

Memberikan pengetahuan kepada seluruh staf tentang

pentingnya pelayanan prima serta pentingnya peran

mereka dalam keseluruhan rencana pemasaran institusi.

Setiap staf sebaiknya mempunyai uraian dan spesifikasi

jabatan (job description/job spesification) yang jelas

yang mencerminkan harapan - harapan institusi

terhadap kinerjanya.

Memberikan pengakuan dan penghargaan khususnya

pimpinan puncak terhadap staf baik dalam bentuk

ucapan, hadiah, atau jika perlu adakan perayaan disaat

karyawan meraih prestasi guna memotivasi staf lainnya.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aaker, Kumar, dan Day (1998) Marketing

Research. Prenticehall.

[2] Anderson, Elizabeth. 1995. High tech vs High

Touch: a case study of TQM Implementation in

Higher Education. Managing Service Quality. Vol

5.2.Andersen, Tore Wallin. 1994. Satisfaction,

Loyalty, and Reputation as Indicators of Customer

Orientation in the Public Sector. International

Journal of Public Sector Management. MCB

University Press.

Page 86: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

77

[3] Bell, DR dan Shieff, DSE. 1994. Managing Service

Quality for Improved Competitive Performance.

New Zealand Journal of Business.

[4] Boarden,William O. Dan Netemeyer Richard C..

1999. Handbook of Marketing multivariate

measures for marketing and consumer behavior

research. 2nd ed. California:SAGE Publications

Inch.

[5] Buchbinder, Howard. 1993. The Market Oriented

University and the changing role of knowledge.

Higher education. Vol. 26.

[6] Bryman, A., 2001. Social research methods. New

York, Oxford University Press Inc.

[7] Caruana, Albert; Ramashesan, Ewing Michael. 1997.

Market orientation and Performance: A study of

Australian Universities, Otago University, New

Zealand.

[8] Conway, Tony, Mackay, Stephen, dan Yorke, David.

1994. Strategic Planning in Higher Education: Who

are the customer?”. International Journal of

Educational Management. Vol. 8. no. 6.

[9] Dikti. 2003. Rencana Strategis 2003-2010.

[10] Esslemont, Don dan Lewis, Tony. 1993. Some

Empirical Teats of the Marketing Concept.

Marketing Bulettin, vol.2.

[11] Fitzsimmons, J., A., And Fitzsimmons, M., J., 1994,

Service Management for Competitive Advantage,

International Edition, Singapore: McGraw-Hill.

[12] Gilmore, A., 2003. Services, Marketing and

management. London: SAGE Publications.

[13] Goldman, Burt. 2008. The power of selfmind

control. Available at

http://www.selfmindcontrol.com/

[14] Gronroos, C., 2001. Service management and

marketing: A customer relationship management

approach. 2nd

ed. Chichester: Wiley.

[15] Ingram, Thomas N.,Raymond W.Laforge, Ramond

decision making. Ohio: Thomson.

[16] Keegan, Warren. 1999. Global Marketing

Management. 6th

Edition. Prentice Hall.

[17] Kandampully, J., 2002. Service Management: The

new paradigm in hospitality. Elsternwick:

Hospitality Press. [18] Kandampully, Jay dan Suhartanto, Dwi. 2003.

Customer Loyalty in the Hotel Industry: the Role of

Customer Satisfaction and Image, International

Journal of Contemporary Hospitality

Management, vol. 12, 6.

[19] Klabunde (2009) Marketing Culture. Journal of the

Society for Marketing Professional Services.

9(10), 6-7.

[20] Kohli, Ajay dan Jaworski, Bernard. 1990. April.

Market orientation: The Construct, Research,

Propositions, and managerial Implication. Journal

of Marketing. Vol 54.

[21] Kotler, Philip dan Armstrong, Gary. 1999.

Principles of Marketing. 8th

Edition. Prentice Hall.

[22] Kotler, Philips dan Armstrong, Gary.2007.

Principles of Marketing, 11th Edition. Pearson

Education International.

[23] [24] Kotler, Philip. 2000. Marketing Management.

Millenium Edition, Prentice Hall.

[24] [25] Kueh, Karen and Voon, Boo Ho .2007. Culture

and service quality expectations:Evidence from

Generation Y consumers in Malaysia. Managing

Service Quality. Vol. 17 No. 6, pp. 656-680

[25] [26] Lewis, Ralp dan Smith, Douglas. 1997. Why

Quality Improvement in Higher Education.

International Journal of Continoues Improvement

Monitor. Vol.1. 2.

[26] [27] Long, M. And Mcmellon, C. 2004. Exploring the

determinants of retail service quality on the Internet.

Journal of Services Marketing, 18(1),78-90.

[27] [28] McNamara, Neil. 2006. Field guied to consulting

and organizational management. Authenticity

Consulting, LLC.

[28] [29] McNeil, Margaret. 2001. The reliability of

Webster‟s marketing culture instrument:some western

Australian findings.Asian Pasific Journal of Marketing

and Logistics, 13 (4),66-78

[29] [30] Parasuraman, A. (1987) Customer-oriented

corporate cultures are crucial to services marketing

success. Journal of Marketing. 1(1)

[30] [31] Porter, Michael. 1990. Competitive Advantage.

Free Press.

[31] [32] Purwihartuti, Koernia; Karnawati, Hennidah

(2003) Pengaruh budaya organisasi terhadap kepuasan

kerja studi kasus di bidang Tata niaga Politeknik

Negeri Bandung. Jurnal Ekonomi dan Bisnis. Vol.

III.1.April.

[32] [33] Saunders, M., Lewis, P., dan Thornhill A., 2003.

Research methods for business. 3rd

ed . Harlow :

Financial Times Prentice Hall

[33] [34] Sheth, Thomas N. dan Mittal, Banwari.

Customer Behavior: a managerial perspective. 2nd

ed.Ohio: Thomson

[34] [35] Siu, Noel dan Wilson, Richard. 1998. Modeling

Market orientation: An application In the Education

Sector. Journal of Marketing Management. 14,

293-323.

[35] [36]Suhendro, Bambang. 1996. Kerangka

Pengembangan Pendidikan Tinggi Jangka

Panjang. 1996-2005. DIKTI.

[36] [37] Suyanto. 2003, Sabtu, 10/10. Semua Jenjang

Pendidikan harus Diakreditasi. Kompas.

[37] [38]Slater, Stanley dan Narver, John (1994) Does

Competitive Environment Moderate the Market

orientation-Performance Relationship?. Journal of

Marketing. Vol 58.

[38] [39]Zeithaml, V.A And Bitner, M.J., 2003. Service

marketing: Integrating customer focus across the

firm. 3rd

International ed. London: McGraw-Hill.

Page 87: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

78

MAKANAN DAN HIBURAN DAERAH SEBAGAI ATRAKSI WISATA

MENJADI PROSPEK BISNIS UNTUK MENINGKATKAN PAD

(Suatu Survey Pada Wisatawan Di Bandung Raya)

Rahma Wahdiniwaty

Program Studi Magister Manajemen,Universitas Komputer Indonesia, Bandung

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Pariwisata adalah salah satu sektor industri yang dapat meningkatkan Pendapatan Asli Daerah (PAD). Pada umumnya

Wisatawan datang selain berwisata dan berbelanja tidak pernah lupa melakukan wisata kuliner untuk mencoba makanan khas

daerah destinasi ataupun melihat hiburan lokal budaya daerah. Bandung Raya potensial dijadikan daerah tujuan

wisata.Tujuan penelitian ini untuk mengetahui tanggapan wisatawan tentang makanan dan hiburan daerah, prospek dalam

meningkatlan PAD dan implementasi manajerial dalam membangun wisata kulinerdan hiburan daerah sebagi atraksi

wisata.Metode penelitian yang digunakan adalah metode survey, dengan menggunakan analisis deskriptif. Sampel diambil

dengan tehnik pengambilan sampel menggunakan Stratified Random Sampling sebanyak 506 wisatawan. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa tanggapan wisatawan tentang makanan dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di wilayah Bandung

Raya memiliki daya tarik bagi wisatawan, memiliki prospek bisnis untuk meningkatkan PAD meskipun tingkat pertumbuhan

dari tahun ke tahun mengalami naik turun, perlu membangun combination of marketing strategies ―product-market‖

Kata Kunci Makanan/minuman daerah (kuliner), hiburan daerah

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Penelitian

Pariwisata adalah salah satu sektor industri yang dapat

meningkatkan PAD. Menurut Edi Siswadi, (2010:10)

Kawasan Perkotaan Bandung Raya adalah kawasan

metropolitan yang berada di Provinsi Jawa Barat

merupakan salah satu Pusat Kegiatan Nasional (PKN) yang

berfungsi sebagaipusat kegiatan nasional dan pintu gerbang

menuju kawasan internasional .

Berdasarkan data BPS Indonesia, Produk Domestik

Regional Bruto (PDRB) industri pariwisata (mencakup jasa

hotel, restoran, hiburan dan rekreasi) wilayah Bandung

Raya atas dasar harga konstan 2000 dari tahun 2003-2009

menunjukkan kecenderungan terus mengalami peningkatan

dari tahun ke tahun, dan tingkat pertumbuhaan dari tahun

ke tahun juga terus meningkat. Namun hal tersebut hanya

didasarkan pada PDRB di kota Bandung yang tingkat

pertumbuhannya dari tahun ke tahun terus

meningkat.Sedangkan, kota/kabupaten lain di wilayah

Bandung Raya tingkat pertumbuhannya justru cenderung

menurun.

Wilayah Bandung Raya sebagai salah satu kawasan yang

memiliki potensi destinasi wisata berbagai bentuk atraksi

yang memiliki daya tarik wisatawan untuk dikunjungi.

Pada umumnya wisatawan saat datang ke destinasi wisata

selain berwisata dan berbelanja mereka tidak pernah lupa

melakukan wisata kuliner untuk mencoba makanan khas

daerah destinasi ataupun melihat hiburan lokal budaya

daerah destinasi tersebut. Menurut Karim (2006: 17, 30)

secara umum, tampaknya makanan memberikan pengaruh

yang signifikan secara keseluruhan kesan wisatawan

dengan kepuasan ke tempat tujuan (destinasi).Dengan

demikian, makan selama liburan menjadi faktor penting

bagi wisatawan. Sebagai contoh, ini akan menjadi waktu

terbaik bagi mereka untuk bersosialisasi dengan anggota

keluarga lainnya jika mereka di liburan keluarga.

1.2 Tujuan Penelitian

1. Untuk mengetahui tanggapan wisatawan tentang

makanan dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di

wilayah Bandung Raya.

2. Untuk mengetahui prospek bisnis makanan dan hiburan

daerah di wilayah Bandung Raya sehingga mampu

meningkatkan PAD.

3. Implementasi manajerial dalam membangun makanan

dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di wilayah

Bandung Raya.

2. KAJIAN PUSTAKA, KERANGKA PEMIKIRAN

DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Pustaka

Menurut Hall dan Mitchell (2006:137-138) kebutuhan akan

makanan menjadi faktor utama dalam mempengaruhi

perilaku perjalanan dan pengambilan keputusan, sebagai

bentuk perjalanan wisata minat khusus termasuk makanan

yang menggambarkan sebagaiculiner, gastronomi,

gourment, atau cuisine, sehingga mencerminkan minat

konsumen dalam makanan dan minum sebagai perjalanany

Page 88: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

79

ang serius (Hall dan Mitchell, 2001). Makanan dan

minuman daerah wisata menjadi area pertumbuhan yang

cepat dalam pariwisata dan pengembangan produk wisata.

Dalam prespektif konsumen, makanan adalah sebuah

intergal dalam kehidupan sehari-hari dan pengalaman

perjalanan (Hall dan Mitchell, 2003).

Esu (2009 :116) dalam penelitiannya diungkapkan wisata

budaya dan warisan dapat digunakan sebagai alat untuk

meningkatkan perekonomian lokal dan memiliki potensi

untuk membantu dalam penyebaran musiman dan geografis

wisata (seperti Long dan Perdue, 1990).

2.1 Kerangka Pemikiran

Bandung Raya sebagai wilayah metropolitan berada di

tengah-tengah posisi provinsi Jawa Barat dan dekat dengan

ibukota negara Republik Indonesia,ibukota Jakarta.

Bandung menjadi potensi destinasi bagi wisatawan.

Persepsi wisatawan tentang destinasi wisata menjadi salah

satu tolak ukur bagi pemerintah daerah dalam upaya

merancang strategi pemasaran destinasi yang mampu

berdaya saing untuk menarik wisatawan datang dan

menginap sehingga dapat meningkatkan PAD.

Salah satu hal yang tidak pernah dilupakan bagi wisatawan

selain berwisata juga ingin menikmati makanan/minuman

khas daerah atau biasa disebut dengan kuliner. Selain itu

juga hiburan daerah sebagai ciri khas yang ingin diketahui

eh wisatawan.

Menurut Cakici dan Harman (2007:138) makanan dan

hiburan lokal mencakup keberadaan otlet makanan dan

minuman lokal, keberadaan hiburan lokal.

3. METODE PENELITIAN

Sesuai dengan tujuan yang ingin dicapai, maka digunakan

jenis atau tipe penelitian, yaitu : penelitian deskripif.

Penelitian deskriptif pada dasarnya untuk memperoleh

deskripsi tentang ciri-ciri objek yang diteliti .Hal ini

didasarkan pada teknik total skor dalam persentase (%)

.

Tabel 1: Kriteria Skor Total

Ukuran sampel sebanyak 506 wisatawan. Tehnik

pengambilan sampel dengan Stratified Random Sampling

didasarkan pada Hotel Bintang Lima, Empat, Tiga, Dua,

Satu, Hotel Melati 1,2,3 dan Non Melati.

Data yang diperlukan adalah data primer dan

sekunder.Teknik pengumpulan data: data sekunder,

wawancara, observasi dan kuesioner.

4. PEMBAHASAN HASIL PENELITIAN

4.1 Tanggapan Wisatawan Tentang Makanan dan

Hiburan Daerah Sebagai Atraksi Wisata Di

Wilayah Bandung Raya

Tabel 3: Makanan dan Hiburan Daerah di Bandung Raya

menurut Wisatawan

Keterangan Skor Total

Kriteria Total %

Keragaman pilihan tempat

makan/minum khas daerah 1861 73.6 Beragam

Keragaman makanan khas daerah 1812 71.6 Beragam

Keragaman hiburan lokal budaya

daerah 1665 65.8

Cukup

Beragam

Kemenarikan hiburan lokal budaya

daerah 1727 68.3 Menarik

Makanan dan Hiburan Daerah 7065 69.8

Memiliki

daya tarik

Sumber : Hasil Penelitian Tahun 2011

Berdasarkan tabeldi atas menunjukkan bahwa keberadaan

makanan dan hiburan daerah di wilayah Bandung Raya ini

memiliki daya tarik bagi wisatawan. Menurut wisatawan

bahwa di wilayah Bandung Raya terdapat beragam pilihan

tempat dan jenis makanan/minuman khas daerah.

Pengunjung yang datang tidak hanya masyarakat kota

Bandung tetapi banyak juga wisatawan yang datang. Ada

juga wisatawan mancanegara. Pada umumnya wisatawan

selain berwisata, berbelanja juga ingin melakukan kuliner

dan merasakan makanan khas Sunda.

Selain itu, menurut wisatawan bahwa hiburan lokal budaya

daerah di wilayah Bandung Raya cukup beragam dan

menarik. Wisatawan mengatakan cukup beragam karena

mereka jarang melihat hiburan lokal budaya daerah secara

langsung tetapi melalui sebuah media elektronik misalnya

televisi. Kondisi ini perlu menjadi perhatian pihak

pemerintah untuk mengembangkan hiburan lokal budaya

daerah.

Wilayah Bandung Raya ini memiliki potensi pariwisata

yang bagus. Salah satu keunikan yang harus ditonjolkan

adalah hiburan lokal budaya daerah. Berdasarkan data dari

Dinas Pariwisata dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat

tahun 2009 di wilayah Bandung Raya memiliki potensi

kesenian yang beragam, seperti yang terlihat pada tabel di

bawah ini.

No. Interval Skor

Total (%)

Kategori

1 20 - 35 Sangat tidak memiliki daya tarik

2 36 - 51 Tidak memiliki daya tarik

3 52 - 67 Cukup memiliki daya tarik

4 68 - 83 Memiliki daya tarik

5 84 - 100 Sangat memeiliki daya tarik

Page 89: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

80

Tabel 4: Data Potensi Kesenian Di Bandung Raya Tahun

2009

Sumber: Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Provinsi Jabar

(2009)

Dengan demikian potensi kesenian daerah atau hiburan

lokal budaya daerah di wilayah Bandung Raya perlu lebih

dikembangkan.

Dalam upaya meningkatkan atraksi hiburan lokal budaya

daerah, perlu lebih mengintensiteskan kegiatan atau even

hiburan lokal budaya daerah wilayah Bandung Raya. Selain

itu, penyediaan tempat-tempat pagelaran serta mengajak

pengelola rumah makan khas daerah, hotel-hotel untuk

menyelenggarakan kegiatan hiburan budaya daerah yang

dapat bekerja sama.

4.2 Prospek Bisnis Makanan dan Hiburan Daerah di

Wilayah Bandung Raya dalam Meningkatkan

PAD

Tabel 5: PDRB Sektro Pariwisata (Restoran, Hiburan &

Rekreasi) Di Wilayah Bandung Raya Atas Dasar Harga

Berlaku Tahun 2003-2009 (Juta Rupiah)

BANDUNG RAYA

Tahun Jumlah (Rp)

Pertumbuhan

(%)

2003 2,030,192.29 -

2004 2,333,537.05 14.94

2005 2,796,726.18 19.85

2006 3,230,481.14 15.51

2007 3,657,214.50 13.21

2008 4,309,948.66 17.85

2009 4,987,772.45 15.73

Sumber: BPS Provinsi Jawa Barat (Hasil Olah)

Berdasarkan tabel di atas menunjukkan bahwa PDRB

sektor pariwisata yang mencakup makanan/minuman

(restoran) dan hiburan di wilayah Bandung Raya dari tahun

2003-2009 terus meningkat. Kondisi ini menunjukkan

bahwa makanan/minuman dan hiburan daerah memiliki

prospek bisnis untuk meningkatkan PAD, .meskipun jika

dilihat tingkat pertumbuhan dari tahun ke tahun mengalami

naik turun. Untuk itu pemerintah daerah kota/kabupaten di

wikayah Bandung Raya perlu memikirkan strategi

pemasaran destinasi mengenai potensi kuliner dan hiburan

daerah.

4.3 Implementasi manajerial dalam membangun

makanan dan hiburan daerah sebagai atraksi

wisata di wilayah Bandung Raya.

Produk destinasi wisata yang ditawarkan harus memberikan

manfaat perubahan dengan perubahan kebutuhan dan

permintaan pelanggan. Menurut Stankovi ,Petrovic

(2007:15) pelaksanaan strategi pemasaran dari manajemen

destinasi perlu keterlibatanl engkap dengan membawa

rencana optimasi mengenai penggunaan sumber daya

destinsi wisata yang baik serta mengembangkan taktik

untuk realisasi tujuan destinasi wisata pembangunan yang

berkelanjutan. Hubungan produk-pasar pada destinasi

wisata kota dapat menggunakan salah satu dari empat

strategi berikut

Gambar 1: A combination of marketing strategies ―product-

market‖

Sumber: Stankovi ,Petrovic (2007:15)

Menurut peneliti empat strategi tersebut dapat dilakukan

dengan sebagai berikut:

1. Market penetration

Melakukan koordinasi yang dilakukan secara continue

pada para pemangku kepentingayang berperan dalam

pelaksanaan pembangunan yang biasa disebut 5P yaitu

1) public sector atau pemerintah; 2) private sector atau

pengusaha; 3) professional atau pakar, 4) people atau

rakyat, dan 5) press atau media (Dyayadi .2008:127).

2. Product development

Pembinaan industri kreatif.“Kota Bandung dikenal

dengan generasi mudanya yang kreatif dan berani

berekperimen dengan gagasan-gagasan inovatif”

(Simatupang, 2007:15). Untuk itu perlu dikembangkan

Kota/

Kabupaten

Potensi Kesenian

Kota Bandung

Benjang, Angklung, Jaipongan,

Prakpilingkung, Marakdungga, Tembang

Sunda, Upacara Adat, Reak, Pantun Buhun, Tembang, Kecapi Suling, Celempung, Degung,

Debus, Gondang, Kliningan, Jenaka Sunda, Pencak Silat, Tayub, Wayang Golek, Reog,

Arumba, Cianjuran, Calung, Kuda Lumping,

Sendratari, Lonser

Kabupaten Bandung

Badud, Ujungan, Longser, Beluk, Wayang Golek, Debus, Badawang, Gamelang Renteng,

Terbang, Bangkong Reang, Bangkong Ciseke,

Wawacan, Calung, Benjang, Jenaka Sunda, Rudat, Celempungan, Reog, Dog Dog Lojor,

Gondang, Gambang, Jaipongan, Pantun,

Kiliningan, Degung, Kuda Lumping, Kecapi Suling, Pencak Silat, Sandiwara, Seni Rupa,

Lukisan Khs Jelekong, Angklung Buncis,

Cianjuran.

Kota Cimahi Wayang Ibuk, Wayang Cepak, Benjang,

Jaipongan, Kecapi Suling, Calung, Degung

Kabupaten Sumedang

Genjring, Buncis/Reak, Kuda Renggong,

Bangreng, Tari Umbul, Lais, Celempungan, Pantun Beton, Genggong, Tari Topeng

Kasumedangan, Kacapi, Tempang/Cianjuran,

Mapag Panganten, Terebang, Tarawangsa, Tayub

Page 90: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

81

kreativitas masyarakat wilayah Bandung Raya untuk

membangun keunikan sebagai daya tarik wisatawan

menghabiskan dananya untuk wisata kuliner di wilayah

Bandung Raya

3. Market development

Pengembangan wisata di pesisir kota Bandung di

Kabupaten Bandung yang memiliki banyak tempat

wisata, memiliki areal perkebunan dan agrobisnis pada

kawasan bagian Selatan seperti Pengalengan dan

Ciwidey serta memiliki wisata alam di antaranya Kawah

Putih di Ciwidey, Situ Patenggang di Pengalengan.

Selain itu, pada tahun 2009 dari data Dinas Pariwisata

dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat, Kabupaten

Bandung tercatat memiliki wisata alam terbanyak di

wilayah Bandung Raya yaitu sebanyak 32 tempat

wisata alam. Potensi lain yang dapat dikembangkan

adalah kampung adat kesenian budaya daerah. Hal ini

dapat dikembangkan dengan bekerja sama masyarakat

setempat dan organisasi kesenian daerah kabupaten

Bandung. Organisasi kesenian di Kabupaten Bandung

tercatat tahun 2009 sebanyak 199 organisasi kesenian.

Pengembangan kota Cimahi memiliki berapa potensi

wisata yang dapat dikembangan dengan menarik

investor diantaranya makam Wirasuta, makam Rd.

Nurkarim, Situs Cibaligo, makan Ageung Leuwi Gajah,

makam Cibodas, Kampung Adat. Selain itu, industri

makanan olahan merupakan produk unggulan Kota

Cimahi, diantaranya bandrek Cihanjuang yang

pemasarannya sudah lintas negara. Kesenian daerah dari

kota Cimahi juga dapat dikembangan dengan

bekerjasama dengan organisasi kesenian, yang tercatat

tahun 2009 dari data Dinas Pariwisata dan Kebudayaan

provinsi Jawa Barat sebanyak 69 organisasi kesenian.

4. Diversification

Pengembangan wisata pendidikan di wilayah Kabupaten

Sumedangseperti di daerah Jatinangor ada beberapa

perguruan tinggi, Rancaekek dan Cicalengka banyak

industri besar yang dapat digunakan sebagai wista

pendidikan.

Kabupaten Sumedang memiliki potensi wisata cagar

budaya dan museum terbanyak di kota/kabupaten

wilayah Bandung Raya, tercatat tahun 2009 data Dinas

Pariwisata dan Kebudayaan provinsi Jawa Barat

sebanyak 102 cagar budaya dan 26 museum serta

makanan khas daerah sebagai oleh-oleh. Kabupaten

Sumedang mempunyai ciri khas sebagai kota kuno khas

di pulau Jawa yaitu alun-alun sebagai pusat kota yang

dikelilingi Masjid Agung, rumah penjara dan kantor

pemerintahan. Potensi produk unggulan seperti umbi

Cilembu,peuyeum, tahu Sumedang, senapan angin serta

ukiran dari bambo dan kayu dikembangkan dengan

membangun simpul-simpul ekonomi untuk produk khas

tersebut. Potensi wisata yang menjadi andalan adalah

wisata sejarah, seperti museum Geusan Ulun, situ

gunung Tampomas, situ gunung Lingga, serta makam

pahlawan nasional Tjoet Nyak Dhien. Saat ini sedang

dikembangkan perkampungan tradisi Kampung

Kasumedangan yang menonjolkan perkampungan khas

Sunda. Perencanaan pemerintah daerah kabupaten

Sumedang tersebut sangat baik.

5. SIMPULAN DAN SARAN

5.1 Simpulan

1. Tanggapan wisatawan tentang makanan dan hiburan

daerah sebagai atraksi wisata di wilayah Bandung

Rayamemiliki daya tarik bagi wisatawan. Beragam

pilihan tempat dan jenis makanan/minuman khas

daerah.Hiburan lokal budaya daerah di wilayah

Bandung Raya cukup beragam dan menarik.

2. Makanan/minuman dan hiburan daerah di wilayah

Bandung Raya memiliki prospek bisnis untuk

meningkatkan PAD yang didasarkan pada PDRB sektor

pariwisata yang mencakup makanan/minuman

(restoran), hiburan dan rekreasi di wilayah Bandung

Raya terus meningkat, meskipun tingkat pertumbuhan

dari tahun ke tahun mengalami naik turun.

3. Implementasi manajerial dalam membangun makanan

dan hiburan daerah sebagai atraksi wisata di wilayah

Bandung Rayadengan menggunakan combination of

marketing strategies ―product-market‖

5.2 Saran

1. Pengembangan tempat-tempat wisata yang belum

banyak dikunjungi wistawan dan diselenggarakannya

even-even makanan (kuliner) dan hiburan lokal atau

kesenian daerah.

2. Seluruhpemangku kepentingandiperlukan proaktifdan

kerjasamamelalui komunikasi multilateral secara

terbuka dengan para pelaku dalam destinasi wisata

mendekati merekaberbagai kelompok stakeholder, baik

internal maupun eksternal, dan melibatkan mereka

dalamproses pengambilan keputusan sehingga mampu

mengembangkan deferensiasi produk destinasi wisata

yang unik dan unggul dalam daya saing yang sesuai

dengan tuntutan wisatawan.

3. Merancang bisnis plan dalam pelaksanaancombination

of marketing strategies ―product-market‖

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Rektor UNIKOM, Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto

2. Dekan Pascasarjana UNIKOM, Dr. Ir. Herman Soegoto,

MBA

3. Ketua Program Studi Magister Manajemen, Dr.

Ir.Deden A. Wahab, M.Si.

4. Prof. Dr. H. Yuyus Suryana, SE.,MS.

5. Prof. Dr. H. Suryana Sumantri, S.PSI.,MT

6. Prof. Dr. Hj. Dwi Kartini, SE.,M.Si.,Spec.Lic.

7. Prof. Dr. H. Sucherly, SE.,MS.

Page 91: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

82

DAFTAR PUSTAKA

[1] Çakici, A Celil., Harman, Serhat., 2007, Importance

Of Destination Attributes Affecting Destination

Choice Of Turkish Birdwatchers,Journal of

Commerce & Tourism Education Faculty, Year: 2007

No: 1, Ticaret ve Turizm Egitim Fakültesi Dergisi Yıl:

2007 Sayı: 1, page 131-145. Melalui

<http://www.ttefdergi.gazi.edu.tr/makaleler/2007/Sa

yi1/131-145.pdf>[04/17/10].

[2] Dyayadi, 2008, Tata Kota Menurut Islam, Konsep

Pembangunan Kota Yang Ramah Lingkungan,

Estetik dan Berbasis Sosial, Jakarta : Khalifa

(Pustaka Al-Kautsar Group), ISBN : 978-979-1164-

08-5.

[3] Edi Siswandi, 2010, Pengembangan Regional

Kawasan Bandung, Cekungan Studi Kasus

Program Bandung Ecotown, Disajikan pada

kegiatan “Japan-Indonesia Local Administration

Seminar” Institut Pemerintahan Dalam Negeri,

Jatinangor, hal. 1-17,

<http://www.ipdn.ac.id/seminar_internasional/edi_sis

wadi.pdf>, [10/01/11].

[4] Esu, Bassey Benjamin., 2009, Tourists’ Satisfaction

with Cultural Tourism Festival: a Case Study of

Calabar Carnival Festival, Nigeria. International

Journal of Business and Management, Vol. 4,No.3,

March, page 116-125. Melalui

<http://www.ccsenet.org/journal/index.php/ijbm/articl

e/view/274/21> [05/13/10].

[5] Hall, C Michael., Mitchell, Richard., 2006,

Gastronomy, food, and wine tourism, Tourism

Business Frortiers, consumer product dang industry,

Elsevier, Edited by Dimitrios Buchales and Carlos

Costa, page 137-147.

[6] Karim, Shahrim AB., 2006,Culinary Tourism As A

destination Attraction : An Empirical Examination

Of The Destination’s Food Image And

InformationSources, Submitted to the Faculty of the,

Graduate College of the Oklahoma State University in

partial fulfillment of the requirements for the Degree

ofDoctor Of Philosophy , page 1-177, Juli. Melalui

<http://digital.library.okstate.edu/etd/umi-okstate-

1962.pdf>[04/23/10].

[7] Kotler, Phillip., Keller, 2012, Marketing

Management, 14e Global Edition,Pearson

International Edition, USA : Pearson Prentice Hall,

ISBN-13: 978-0-273-75336-0 ISBN-10:0-273-75336-

3.

[8] Kotler,Philip.,Bowen,John T.,Makens,James C., 2010,

Marketing for Hospitality and Tourism, Fourth

Edition, New Jersey : Pearson Education.Inc.

[9] Murphy, Peter., Pritchard, Mark P., Smith, Brock.,

2000, The destination product and its impact on

traveller perceptions, Tourism Management 21

(2000), page 43-52, Melalui

<http://113.212.161.150/elibrary/Library/Tourism_M

anagement/Murphy_The-destination.pdf>[10/24/10].

[10] Olivia Josefien Lalamentik, 2009, Dampak Pola

Pengembangan Keterpaduan Komponen Produk

Wisata Terhadap Peningkatan Pendatan

Pemerintah dan Masyarakat Di Provinsi Sulaewsi

Utara, Jurnal Analisis, Maret, Vol. 6 No. 1, hal.47-54,

ISSN 0852-8144,

http://pasca.unhas.ac.id/jurnal_pdf/an_6_1/6.1.05_Oli

via_JLKomponen%20Produk%20Wisata.pdf[02/24/1

2].

[11] Sekaran Uma.,Bougie, Roger., 2010, Research

Method For Business, A Skill Building Approach,

5th Edition, John Willey & Sons. Inc. , ISBN 978-0-

470-74479-6 (pbk.).

[12] Schiffman,Leon G., Kanuk,Leslie Lazar.,

Wisenblit,Joseph., 2010,Consumer Behavior, Tenth

Edition, USA: Pearson Prentice Hall.

[13] Stanković, Ljiljana., Petrović, Jelena., 2007,

Marketing Of Tourism Destination Of Nis,Series:

Economics and Organization Vol. 4, No 1, pp. 9 – 20,

http://facta.junis.ni.ac.rs/eao/eao200701/eao200701-

02.pdf. [23/10/10]

<http://facta.junis.ni.ac.rs/eao/eao200901/eao200901-

03.pdf>[05/18/10 ].

[14] _______,2003-2009, PDRB Kabupaten/Kota Di Jawa

Barat Menurut Lapangan Usaha 2003-2009, BPS

Provinsi Jawa Barat kerjasama dengan Badan

Perencanaan Daerah Provinsi Jawa Barat.

[15] _______,2003, Buku Pariwisata dan Kebudayaan

Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2003.

[16] _______, 2004-2007, Buku Pariwisata dan

Kebudayaan Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2004-

2007.

[17] _______, 2008 dan 2009, Buku Pariwisata dan

Kebudayaan Jawa Barat Dalam Angka Tahun 2008

dan 2009.

[18] _______, 2005, Instruksi Presiden (Inpres) RI No. 16

tahun 2005 Tentang Kebijakan Pembangunan

Kebudayaan Dan Pariwista, Presiden RI, Melalui

<http://www.budpar.go.id/filedata/1138_1266INPRE

S1605.pdf>[02/17/11].

[19] _______, 2009, UU RI No. 10 Tahun 2009 tentang

Kepariwisataan, Melalui

<http://www.budpar.go.id/filedata/4636_1364UUTent

angKepariwisataannet1.pdf>[02/17/11].

[20] _______, 2010, Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun

2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Tahun

2009-2029,

Melalui<http://www.pikiranrakyat.com/ffarm/www/fi

ledownload/2010/12/Perda%20no%2022%202010%2

0ttg%20RTRWP%20jabar%202009-

2029.pdf>[02/27/11].

[21] _______, 2010, Peraturan Daerah Nomor 22 Tahun

2010 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi

Jawa Barat Tahun 2009-2029, Lampiran III, Melalui

<http://www.pikiranrakyat.com/ffarm/www/filedownl

oad/2010/12/Lampiran%20III-VII-VI-

VIII.pdf.>[02/27/11].

Page 92: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

83

Analisis Sikap Mahasiswa Dalam Memutuskan Memilih Pts SEBAGAI

DAMPAK DARI SUMBER KOMUNIKASI

(Studi Pada Mahasiswa Unikom Angkatan 2007/2008)

Trustorini Handayani

Prodi Manajemen, Universitas Komputer Indonesia, Bandung

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk menganalisis Sikap mahasiswa dalam memutuskan memilih PTS UNIKOM Bandung, suatu

studi kasus pada mahasiswa UNIKOM Angkatan 2007/2008, sebagai dampak dari Sumber komunikasi dalam hal ini adalah

Unikom. mengingat pada perkembangannya sejak berdiri pada tahun 2000, Unikom selalu diminati calon mahasiswa.

Penelitian ini bersifat verifikatif maka metode penelitian yang digunakan adalah metode explanatory survey.Analisis dalam

penelitian ini menggunakan Structural Equation Modeling (SEM).

Populasi dalam penelitian adalah mahasiswa UNIKOM Bandung angkatan 2007/2008. Teknik Sampling yang digunakan yaitu

Cluster Samplingdengan pengambilan sampel gugus bertahap, sebagai gugus pertama adalah fakultas-fakultas yang terdiri dari

6 Fakultas, dan 23 Program Studi /jurusan sebagai gugus kedua, kemudian dihitung sampel dari masing-masing prodi/jurusan.

Pengumpulan data dilakukan dengan teknik observasi, wawancara dan kuesioner . Kuesioner disebarkan kepada 100 responden

yang tersebar di tiap fakultas dan jurusan/prodi. Hasil penelitian menunjukkan bahwaSumber komunikasi memiliki kontribusi

yang sangat besar terhadap sikap mahasiswa angkatan 2007/2008 dalam memutuskan mengikuti pendidikan di PTS Unikom

Bandung. Sumber/komunikator sendiri dijelaskan oleh indikator kredibilitas, daya tarik dan kekuatan. Dari ketiga indikator

yang menjelaskan sumber/komunikator, hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator kredibilitas yang paling dominan

khususnya pada atribut status lembaga terakreditasi.Untuk sikap yang dijelaskan oleh kognisi, afeksi dan konasi, hasil

penelitian menunjukkan yang paling dominan adalah afeksi.dan yang paling rendah yang menjelaskan sikap adalah kognisi

sedangkan untuk konasi lebih tinggi nilainya dibandingkan kognisi dalam menjelaskan sikap mahasiswa Angkatan

2007/2008 dalam memutuskan memilih PTS UNIKOM Bandung .

Kata Kunci

Sikap, afeksi, konasi, kognisi, sumberkomunikasi

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Dewasa ini kebutuhan akan pendidikan pada masyarakat

kita semakin tumbuh dan berkembang dengan baik. Hal ini

menjadikan para entrepreneur di bidang pendidikan mulai

menangkap peluang untuk membuat suatu Lembaga

Pendidikan yang nantinya akan dapat menampung

masyarakat yang membutuhkan..Dengan kondisi tersebut

mengakibatkan adanya persaingan di dunia pendidikan

antara Perguruan Tinggi Swasta (PTS) dengan Perguruan

Tinggi Swasta (PTS) maupun Perguruan Tinggi Swasta

(PTS) dengan Perguruan Tinggi Negeri (PTN). Berdasarkan

data dari Departemen Pendidikan nasional Direktorat

Jenderal Perguruan Tinggi, 2007 menunjukkan bahwa

perkembangan PTS di Indonesia sangatlah tinggi terutama

untuk Kopwil IV. Tetapi pada akhir-akhir ini banyak PTS

yang mengalami kemunduran dalam menjaring mahasiswa

untuk menjadi bagian dari PTS tersebut. Lebih lanjut

Koordinator KOPERTIS Wilayah IV Jawa Barat & Banten

mengemukakan :

”Terdapat Lima Perguruan tinggi Swasta (PTS) di Jawa

Barat dan Banten mengajukan penutupan Program Studi

(Prodi)dan 17 PTS sudah tidak sanggup lagi melanjutkan

prodi yang dimilikinya. Usulan penutupan, karena

Perguruan Tinggi bersangkutan minim peminat,kalaupun

ada, jumlahnya di bawah angka 50 orang per prodi. Tahun

2007 ini dari 470 PTS yang terdapat di Jawa Barat dan

Banten, hampir 34% lebih dinyatakan kolaps.(Sumber

:Rochim Surachman.Kamis 24 Mei 2007.Pikiran

Rakyat.”Banyak PTS di Ujung Tanduk‖).

Unikom adalah salah satu PTS di Bandung yang ikut serta

dalam persaingan di dunia Pendidikan Tinggi khususnya

PTS. Dilihat dari tahun berdirinya , Unikom termasuk

dalam kategori PTS baru. Pada perkembangannya sejak

berdiri pada tahun 2000, UNIKOM selalu dibanjiri

peminat.(Sumber : Biro Administrasi Umum UNIKOM Bandung,

2007).

Dari kondisi tersebut di atas perlu dianalisis mengenai

Sikap Mahasiswa Unikom Angkatan 2007/2008 ketika

mereka memutuskan untuk memilih UNIKOM sebagai

Page 93: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

84

tempat mengenyam pendidikan dilihat dari dampak

UNIKOM sebagai Sumber komunikasi/komunikator.

2. KAJIAN PUSTAKA , KERANGKA PEMIKIRAN

DAN HIPOTESIS

2.1 KAJIAN PUSTAKA

Penelitian ini memfokuskan pada bidang Komunikasi

Bisnis yaitu komunikasi pemasaran khususnya dalam

mempersuasi konsumen.Lebih lanjut Azwar (1997;61)

mengatakan bahwa persuasi merupakan usaha pengubahan

sikap individu dengan memasukkan ide, fikiran, pendapat

dan bahkan fakta baru lewat pesan-pesan komunikatif.

Pendekatan tradisional dalam persuasi pada umumnya

meliputi unsur, yaitu sumber (source) sebagai komunikator

yang membawa pesan (message-communication) kepada

mereka yang sikapnya hendak diubah (audience), Komunikasi didefinisikan sebagai ”suatu proses dimana

suatu gagasan dialihkan dari sumber atau komunikator ke

penerima atau komunikan dengan tujuan untuk mengubah

perilaku komunikan. Perilaku itu bisa berupa perubahan

dalam pengetahuan kognisi, sikap afeksi atau perilaku yang

nyata.” (Rogers 1976:13)

2.2 KERANGKA PEMIKIRAN

Memahami proses komunikasi berarti pemahaman atas

elemen-elemen komunikasi yaitu : komunikator (source),

efek (effect) dan respon (feedback). Rogers (1976):11-13.

Source adalah komunikator (Originator/yang mengawali)

pesan, bisa berupa individu, beberapa individu yang

bekerjasama, institusi atau organisasi, dalam penelitian ini

Source/komunikator adalah UnikomSedangkanReceiver,

komunikan merupakan elemen yang sangat penting dalam

proses komunikasi yaitu masyarakat atau calon mahasiswa.

Effect, efek komunikasi adalah perubahan-perubahan pada

perilaku komunikan yang muncul sebagai akibat dari

penyampaian pesan.. Ada 3 jenis efek komunikan :

a. Perubahan-perubahan pada pengetahuan komunikan

b. Perubahan-perubahan pada sikap komunikan

c. Perubahan-perubahan pada perilaku nyata komunikan,

seperti voting atau pembelian produk.

Ketiga efek ini biasanya muncul berurutan yaitu perubahan

pengetahuan mengawali perubahan sikap dan perubahan

sikap mendahului perubahan perilaku nyata. Rakhmat

(1986:263), menyatakan bahwa ”faktor-faktor yang

mempengaruhi efektivitas komunikator terdiri dari

kredibilitas, daya tarik dan kekuasaan. Kredibilitas adalah

kemampuan dari sesuatu atau seseorang untuk dipercaya

oleh orang lain”. Menurut Tan (1981:104) ,”kredibilitas

sumber terdiri dari dua komponen yaitu keahlian (expertise)

dan kemampuan untuk dapat atau layak dipercaya

(trustworthiness),sementara daya tarik didefinisikan sebagai

daya tarik fisik atau karisma.” Kekuasaan oleh Rakhmat

(1986:274) didefinisikan sebagai ”kemampuan

menimbulkan ketundukan. Kekuasaan menyebabkan

seorang komunikator dapat „memaksakan‟ kehendaknya

karena memiliki sumber daya yang sangat penting.”

Menurut Hovland (dalam Krech,1962:231), mengatakan

bahwa ”komunikasi yang dilakukan oleh komunikator yang

memiliki daya tarik yang baik di mata komunikan akan

lebih efektif daripada apabila disampaikan oleh

komunikator yang tidak menarik.” Dari pendapat yang

dikatakan oleh para ahli di atas bila dihubungkan dengan

komunikasi yang dilakukan oleh PTS sebagai komunikator

atau sumber dari suatu proses komunikasi, maka yang

dimaksud kredibilitas adalah bagaimana kredibilitas PTS

UNIKOM tersebut di mata masyarakat. Kepercayaan

masyarakat dapat terbentuk salah satunya dari kemampuan

suatu PTS dalam menghasilkan suatu lulusannya yang

dapat diserap oleh masyarakat pengguna. Daya Tarik Fisik

UNIKOM berupa sarana seperti bangunan maupun

lingkungan kampus, fasilitas dan aktivitas yang dilakukan

oleh kampus tersebut sehingga akan menimbulkan minat

calon mahasiswa untuk menjadi bagian dari kampus

tersebut dalam menambah ilmu pengetahuannya atau

menimba ilmu. Kekuatan PTS dapat diasumsikan bahwa

suatu PTS memiliki kekuatan atau keunggulan yang dapat

menyebabkan calon mahasiswa benar-benar memilih

UNIKOM tersebut.

2.2.1 Komunikator sebagai Sumber Komunikasi

Efektivitas komunikator dalam menyampaikan pesannya

yaitu pesan yang bertujuan untuk pengubahan sikap akan

tergantung pada beberapa hal, antara lain adalah kredibilitas

(Credibility), daya tarik (Attractiveness), dan kekuatan

(power) dari komunikator itu sendiri. Kredibilitas

komunikator dilandasi oleh dua karakter penting yaitu

keahlian (kompetensi) dan keterpercayaan

(trustworthiness). (Azwar,1997:72).

Apabila seseorang dimotivasi oleh keinginan mencari

kebenaran atau pengetahuan, maka ia akan lebih mudah

dibujuk bila komunikatornya adalah seseorang atau sebuah

lembaga yang dianggap kompeten mengenai hal yang ingin

ia ketahui atau bila komunikatornya adalah orang/lembaga

yang dipercayainya (trusworthy). Pada sisi lain, sikap dapat

diubah oleh komunikator yang walaupun bukan seorang

ahli dalam bidang yang bersangkutan sebagai objek sikap

akan tetapi merupakan figur yang dipercayai oleh individu.

Proses psikologi lain akan terjadi dalam perubahan sikap

apabila motif seseorang adalah ingin mempertahankan

hubungan pribadi dengan komunikator, dalam hal ini

karakteristik yang paling berpengaruh pada diri

komunikator adalah daya tarik (attractiveness) yang

biasanya dibentuk dari sejauh mana komunikator itu

disukai. Proses psikologi yang ketiga adalah apabila motif

yang mendasari perubahan sikap berupa dorongan subjek

untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkannya jika ia

tidak mengikuti sikap komunikator, hal ini terjadi jika

Page 94: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

85

komunikator mempunyai kekuatan dalam arti kekuasaan.

Proses yang didasari oleh motif ini pada umumnya

perubahan sikap hanya tampak dalam bentuk perilaku,

dapat dikatakan bahwa komponen kognitif dan afektif sikap

sukar untuk diubah hanya oleh kekuatan komunikator saja.

Theory of Reasoned Action

Dalam penelitian ini mengenai Sikap Teori yang dijadikan

acuan adalah Theory of Reason Action(TORA).Theory of

Reasoned Action (Fishben & Ajzen, 1980 dalam

Baldwin,Perry, Moffitt,2004:144):”Theory of Reasoned

Action was designed to predict behavioral intentions

toward specific objects or situations‖. Diterjemahkan

olehpeneliti bahwa teori tersebut dirancang untuk

memprediksi bahwa kecenderungan berperilaku seseorang

berdasarkan objek dan situasi tertentu.

Dijelaskan dalam teori ini bahwa semua bentuk perilaku

yang timbul adalah direncanakan dan memiliki alasan

tertentu (jadi bukan merupakan perilaku yang tidak

terencana, spontan maupun impulsif), serta memiliki dua

determinan utama : sikap serta pengaruh normatif, (Shimp,

2000:241).

Fishbeein & Ajzen, 1980 dalam Baldwin, Perry, Moffitt,

2004:145) mengemukaka bahwa ”ada dua komponen dalam

memprediksi kecenderungan perilaku”

Pembentukan sikap menurut Theory of Reasoned Action

(TORA) digambarkan dalam bentuk persamaan sebagai

berikut :

AB = bn

i

1

i .ei

Keterangan :

AB = sikap (attitude) terhadap merek tertentu

Bi = kepercayaan (belief) atau ekpektasi bahwa memiliki

merek tersebut akan menghasilkan i

ei = evaluasi positif atau negatif terhadap outcome ke-i

.(Shimp, 2003:242)

Lebih lanjut Shimp menjelaskan bahwa sikap terhadap

suatu merek (tindakan memiliki dan mengkonsumsi merek

tersebut) ditentukan oleh kepercayaan akan hasil/keluaran

memiliki merek tersebut, yang diukur berdasarkan evaluasi

atas konsekuensi. Hasil (outcome) dalam persamaan di atas

disimbolkan sebagai i = 1 hingga n, di mana n umumnya

lebih kecil dari 7 melibatkan aspek-aspek yang ingin

konsumen peroleh dari produk yang ditawarkan, dalam

penelitian ini adalah misalnya fasilitas dan pelayanan yang

baik dalam pemberian jasa pendidikan, atau hal-hal yang

ingin dihindari oleh konsumen misalnya pelayanan dan

fasilitas yang tidak memuaskan bagi mahasiswa.

Kepercayaan (simbol bi dalam persamaan diatas)

merupakan pengujian kemungkinan atau ekpektasi yaitu

kecenderungan mahasiswa untuk memilih UNIKOM yang

akan memberikan hasil tertentu, misalnya mereka akan

mudah mendapatkan pekerjaan setelah lulus dari UNIKOM

dan sebagainya mengingat UNIKOM bebasis Komputer.

Secara teoritis, konsumen atau masyarakat yang ada dalam

pasar pendidikan yang memilih UNIKOM memiliki

kepercayaan berbeda yang diasosiasikan dengan setiap

potensi hasil dari PTS UNIKOM yang dipilihnya.

Karena semua hasil tidak sama penting, dan tidak semua

menjadi determinan dalam pilihan konsumen, kita perlu

memperkenalkan suatu istilah untuk mempresentasikan

influence differential ini. Istilah tersebut adalah komponen

evaluasi (ei dalam persamaan). Evaluasi mempresentasikan

nilai subjektif atau tingkat kepentingan, di mana

masyarakat pendidikan terikat pada hasil konsumsinya.

Misalnya mahasiswa yang memilih UNIKOM menganggap

bahwa ketika mereka telah menjadi bagian dari UNIKOM,

maka mereka akan banyak memperoleh banyak ilmu yang

bermanfaat bagi dirinya, baik selama mereka menempuh

pendidikan maupun ketika mereka telah lulus diharapkan

mereka akan dapat dengan segera memperoleh pekerjaan

yang layak. Karenanya persamaan sikap di atas dan

pembahasannya merupakan gambaran proses pembentukan

sikap yang dihasilkan dari paduan kepercayaan mengenai

hasil individu atas pilihannya (PTS UNIKOM) yang diukur

dengan evaluasi yang konsumen/mahasiswa lakukan. Sikap

terhadap PTS UNIKOM yang dipilih akan lebih positif

ketika UNIKOM dipandang favorable berdasarkan nilai

hasilnya, serta lebih negatif ketika dipandang unfavorable.

2.2.2. Sikap

Sikap tidak dapat dilihat, disentuh, didengar ataupun dibaui.

Istilah sikap dalam hal ini adalah untuk mengartikan sebuah

perasaan umum, baik negatif maupun positif, yang

berkelanjutan terhadap atau penilaian

Ada 3 ciri penting lainnya dari sikap yaitu :

1. dipelajari

2. relatif bertahan lama

3. mengubah perilaku

Hal tersebut di atas dikemukakan oleh Shimp (2003:225),

lebih lanjut Shimp mengatakan bahwa fokus perhatian dari

ke tiga ciri di atas adalah kepada perasaan dan evaluasi atau

apa yang disebut sebagai komponen afektif. Para ahli teori

sikap mengenal dua komponen lain dari sikap yaitu kognitif

dan konatif.

Komponen kognitif mengacu pada kepercayaan yang

dimiliki seseorang yaitu berupa pengetahuan dan

pemikirannya mengenai sebuah objek. Komponen konatif

mempresentasikan tendensi perilaku seseorang atau

kecenderungan untuk melakukan tindakan atas sebuah

objek.

Shimp (2003:226) mengatakan bahwa ”Terlihat adanya

kemajuan yang jelas bermula dari kognisi, afeksi kemudian

konasi. Seorang individu menjadi sadar akan sebuag objek

misalnya produk baru, kemudian memperoleh informasi

dan membentuk kepercayaan mengenai kemampuan produk

Page 95: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

86

tersebut dalam memuaskan kebutuhan konsumsi

(komponen kognitif). Setelah kepercayaan terbentuk,

perasaan, dan evaluasi atas produk kemudian

dikembangkan (komponen afektif), timbul suatu niat untuk

membeli atau tidak membeli produk tersebut (komponen

konatif). Sebuah sikap kemudian terbentuk dari alur

berpikir (kognitif), merasa (afektif) dan berperilaku

(konatif).”

Inferensi atau penyimpulan mengenai sikap harus

didasarkan pada suatu fenomena yang diamati dan dapat

diukur. Fenomena ini berupa respons terhadap objek sikap

dalam berbagai bentuk (Azwar,1997:19). Di bawah ini akan

disajikan sebuah analisis terhadap berbagai respons yang

dijadikan dasar penyimpulan sikap dari perilaku dari

Rosenberg dan Hovland.

Respon kognitif verbal merupakan pernyataan mengenai

apa yang dipercayai atau diyakini mengenai objek sikap.

Kita mengetahui apakah seseorang memiliki sikap positif

terhadap sebuah objek. Respon kognitif yang non verbal

lebih sulit untuk diungkap disamping informasi tentang

sikap yang diberikannya pun lebih bersifat tidak langsung.

Respon afektif verbal dapat dilihat pada pernyataan verbal

perasaan seseorang mengenai suatu objek, respon afektif

non verbal berupa reaksi fisik seperti ekspresi muka yang

mencibir, tersenyum, gerakan tangan dsbnya. Yang menjadi

indikasi perasaan seseorang apabila dihadapkan pada objek

sikap. Respon konatif pada dasarnya merupakan

kecenderungan untuk berbuat. Dalam bentuk verbal, intensi

ini terungkap lewat pernyataan keinginan melakukan atau

kecenderungan untuk melakukan. Sedangkan respon

konatif nonverbal dapat berupa ajakan pada orang lain

untuk melakukan tindakan yang dilakukan.

Hipotesis dalam penelitian ini ”sikap mahasiswa dalam

memutuskan memilih PTS Unikom dampak dari sumber

komunikasi”

3. Metode Penelitian

Penelitian ini bersifat verifikatif, yaitu dilakukan untuk

mengetahui hubungan antarvariabel melalui suatu

pengujian hipotesis dengan metode penelitian yang telah

dirumuskan melalui perhitungan-perhitungan

statistik.Karena penelitian ini bersifat verifikatif, maka

metode penelitian yang digunakan adalah metode

explonatory survey .Analisis dalam penelitian ini

menggunakan Structural Equation Modeling (SEM).

Dalam penelitian ini metode penarikan sampel

menggunakan cluster sampling karena populasi adalah

berupa mahasiswa Unikom dimana kerangka sampling

belum tersedia atau tidak lengkap, untuk mengatasi hal

tersebut, unit-unit analisis dalam populasi dikelompokkan

kedalam gugus-gugus yang disebut cluster dan ini

merupakan satuan-satuan dari mana sampel akan diambil.

Pengambilan gugus-gugus yang ada dalam populasi

mempunyai ciri yang homogen. Populasi dalam penelitian

ini adalah mahasiswa Unikom Bandung angkatan

2007/2008 berjumlah 3337 mahasiswa dengan pengambilan

sampel gugus bertahap, sebagai gugus pertama adalah

fakultas-fakultas yang terdiri dari 6 Fakultas, dan 23

Program Studi /jurusan sebagai gugus kedua, didapat

sampel sebanyak 100 mahasiswa.Teknik pengumpulan data

dengan wawancara, observasi dan kuesioner.

4. Hasil dan Pembahasan

Berdasarkan model pengukuran yang dan perhitungan

validitas dan untuk indikator

Sumber/komunikator.Indikator kredibilitas memiliki

koefisien (Loading factor) 0,6609 dengan nilai t hitung

6,7026, dimana nilai t tabel adalah 1,658 yang diperoleh

dari tingkat signifikansi 10%. Nilai t hitung yang lebih

besar dari nilai t tabel, menunjukkan bahwa indikator

kredibilitas secara signifikan dapat mengukur atau

menjelaskan variabel sumber/komunikator dengan

persentase variansi (R2) dari sumber/komunikator sebesar

43,68%. Angka tersebut mengartikan bahwa hasil penilaian

responden terhadap sumber/komunikator, dapat

dicerminkan dari penilaian kredibilitas sebesar 43,68%.

Untuk indikator daya tarik memiliki koefisien (loading

factor) 0,6543, dengan nilai t hitung 6,6229, dimana nilai t

tabel adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi

10%. Sama halnya dengan indikator kredibilitas, nilai t

hitung untuk daya tarik lebih besar dari nilai t tabel, yang

menunjukkan bahwa indikator daya tarik secara signifikan

dapat mengukur atau menjelaskan variabel

sumber/komunikator dengan persentase variansi (R2) dari

sumber/komunikator sebesar 42,82%. Angka tersebut

mengartikan bahwa hasil penilaian responden terhadap

sumber/komunikator, dapat dicerminkan dari penilaian

daya tarik sebesar 42,82%.

Untuk indikator kekuatan yang memiliki koefisien

(Loading factor) 0,6534 dengan nilai t hitung 6,6116,

dimana t tabel adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat

signifikansi 10%. Nilai t hitung dari kekuatan lebih besar

dari nilai t tabel, menunjukkan bahwa indikator kekuatan

secara signifikan dapat mengukur atau menjelaskan

variabel sumber/komunikator dengan persentase variansi

(R2) dari sumber sebesar 42,69%. Angka tersebut

mengartikan bahwa hasil penilaian responden terhadap

sumber/komunikator yaitu lembaga Unikom dapat

dicerminkan dari penilaian responden terhadap kekuatan

sebesar 42,69%.

Reliabilitas

Hasil pengujian reliability construct adalah 0,69408. Nilai

ini lebih besar dari 0,5 yang menunjukkan bahwa

indikator-indikator dari sumber/komunikator memiliki

tingkat kehandalan yang tinggi dalam mengukur sumber.

Selain itu dengan menghitung variance extract dapat

dijelaskan secara menyeluruh indikator-indikator

Page 96: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

87

sumber/komunikator yang mampu menjelaskan variansi

sumber (kredibiltas, daya tarik dan kekuatan) sampai

sebesar 43,06%, sedangkan sisanya sebesar56,95%

dijelaskan oleh indikator lain yang tidak dimasukkan dalam

penelitian ini. Dengan besaran ini dapat disimpulkan

indikator-indikator ini secara menyeluruh sudah cukup baik

dalam mengukur sumber/komunikator dalam hal ini

lembaga unikom dilihat dari sudut pandang responden.

Analisis Sikap Mahasiswa Berdasarkan model pengukuran

yang tersaji pada gambar 4.41 dan perhitungan validitas

dan reliabilitas pada tabel 4.45, berikut ini diuraikan lebih

lanjut tentang validitas dan reliabilitas untuk indikator

sikap.

Validitas

Indikator kognisi memiliki koefisien (Loading factor)

0,5806 dengan nilai t hitung 5,7405 dimana nilai t tabel

adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi 10%.

Nilai t hitung yang lebih besar dari nilai t tabel,

menunjukkan bahwa indikator kognisi secara signifikan

dapat mengukur atau menjelaskan variabel sikap dengan

persentase variansi (R2) dari sikap sebesar 33,72%. Angka

tersebut mengartikan bahwa hasil penilaian responden

terhadap sikap dapat dicerminkan dari penilaian kognisi

sebesar 33,72%.

Untuk indikator afeksi memiliki koefisien (loading factor)

0,6646 dengan nilai t hitung 6,5582 dimana nilai t tabel

adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi 10%.

Sama halnya dengan indikator kognisi, nilai t hitung untuk

afeksi lebih besar dari nilai t tabel, yang menunjukkan

bahwa indikator afeksi secara signifikan dapat mengukur

atau menjelaskan variabel sikap dengan persentase variansi

(R2) dari sikap sebesar 44,18%. Angka tersebut

mengartikan bahwa hasil penilaian responden terhadap

sikap, dapat dicerminkan dari penilaian afeksi sebesar

44,18%.

Untuk indikator konasi memiliki koefisien (loading factor)

0,6041 dengan nilai t hitung 6,4246 dimana nilai t tabel

adalah 1,658 yang diperoleh dari tingkat signifikansi 10%.

Sama halnya dengan indikator kognisi dan afeksi nilai t

hitung untuk konasi lebih besar dari nilai t tabel, yang

menunjukkan bahwa indikator konasi secara signifikan

dapat mengukur atau menjelaskan variabel sikap dengan

persentase variansi (R2) dari sikap sebesar 36,50%. Angka

tersebut mengartikan bahwa hasil penilaian responden

terhadap sikap, dapat dicerminkan dari penilaian konasi

sebesar 36,50%.

Reliabilitas

Hasil pengujian reliability construct adalah 0,648198. Nilai

ini lebih besar dari 0,5 yang menunjukkan bahwa

indikator-indikator dari sikap memiliki tingkat kehandalan

yang tinggi dalam mengukur sikap. Selain itu dengan

menghitung variance extract dapat dijelaskan secara

menyeluruh indikator-indikator sikap yang mampu

menjelaskan variansi sikap (kognisi, afeksi dan konasi)

sampai sebesar 38,13%, sedangkan sisanya sebesar61,87%

dijelaskan oleh indikator lain yang tidak dimasukkan dalam

penelitian ini. Dengan besaran ini dapat disimpulkan

indikator-indikator ini secara menyeluruh cukup dalam

mengukur sikap dalam hal ini sikap mahasiswa unikom

angkatan 2007/2008.

Analisis SEM pada penelitian ini bertujuan bukan hanya

untuk membangun model pengukuran saja, namun juga

digunakan untukmengetahui sejauhmana pengaruh dari

variabel eksogen terhadap variabel endogen. Dalam

penelitian ini model structural yang dibangun ini akan

memberikan jawaban atas hipotesis penulis

Hasilnya bahwa sumber/komunikator memiliki koefisien

jalur sebesar 0,986206 dengan koefisien determinasi (R2)

sebesar 97,26%. Hal inimenunjukkan bahwa sebesar

97,26% variansi dari sikap mahasiswa dalam memutuskan

mengikuti pendidikan di Unikom dapat dijelaskan oleh

sumber/komunikator.Sumber/komunikator sendiri

dijelaskan oleh kredibilitas sebesar 43,68%, daya tarik

sebesar 42,81%, kekuatan sebesar 42,69%. Dari nilai-nilai

tersebut di atas tampaknya kredibilitas merupakan indikator

yang paling dominan dalam menjelaskan

sumber/komunikator, sedangkan indikator yang

memberikan penjelasan paling rendah adalah indikator

kekuatan, tetpai perbedaan besarannya bila dibandingkan

dengan indikator daya tarik relatif kecil hanya sebesar 0,12.

Secara umum dapat dikatakan bahwa perbedaan besaran ke

tiga indikator yaitu kredibilitas, daya tarik dan kekuatan

tidak terlalu besar.

Untuk variabel sikap mahasiswa dijelaskan oleh indikator

kognisi sebesar 33,71%, indikator afeksi sebesar 44,71%

dan konasi sebesar 36,49%.

Dimensi dari Sikap Mahasiswa yaitu : kognisi, afeksi dan

konasi. Indikator dari kognisi terdiri dari kepercayaan.

Terlihat bahwa penilaian responden mengenai indikator

kepercayaan menunjukkan kearah favorable(baik).yang

menyangkut pemahaman atribut status lembaga

terakreditasi dinilai paling tinggi bila dibandingkan dengan

atribut prestasi yang dicapai unikom, keahlian pengelola

lembaga dan citra unikom. Secara umum pemahaman

responden sebelum masuk ke unikom tentang atribut-atribut

tersebut cukup baik, hal tersebut dibuktikan dengan nilai

rata-rata berada di atas nilai tengah.

Penilaian responden mengenai afeksi dengan indikator

perasaan menunjukkan kearah favorable (menarik) yaitu

perasaan ketertarikan terhadap unikom setelah mengetahui

keunggulan-keunggulan yang diinformasikan..sedangkan

penilaian responden mengenai indikator evaluasi

menunjukkan kearah favorable (bermanfaat).berupa

Page 97: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

88

tingkat manfaat yang di dapat responden jika kuliah di

unikom.

Penilaian responden mengenai Konasi dengan indikator

kecenderungan berperilaku menunjukkan kearah favorable

(berminat). Hasilnya adalah responden umumnya berminat

masuk ke unikom setelah mendapat informasi tentang

unikom, dan mengatakan setuju bahwa mereka

menyebarkan informasi tentang unikom kepada

teman/saudara serta mendaftar pada gelombang I .

Hasil penelitian menunjukkan bahwa indikator afeksi yang

paling dominan menjelaskan sikap mahasiswa dalam

memutuskan mengikuti pendidikan di PTS Unikom

Bandung, dan yang paling rendah menjelaskan sikap

mahasiswa adalah indikator kognisi. Teori untuk

mendukung hasil penelitian, dimana indikator afeksi

merupakan indikator yang dominan Shimp (2003:225)

mengemukakan bahwa :”fokus perhatian dari ciri sikap

(dipelajari, relatif tahan lama dan mengubah perilaku)

adalah kepada perasaan dan evaluasi atau apa yang disebut

sebagai komponen afektif.

Lebih lanjut Azwar (1997:26) menjelaskan bahwa

”komponen afeksi yaitu reaksi emosional pada umumnya

dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita percayai

sebagai benar dan berlaku bagi objek”. Begitupula halnya

afeksi dari penilaian responden mengenai lembaga unikom,

mereka sudah mempercayai bahwa kuliah di Unikom akan

memberikan manfaat bagi mereka. Azwar (1997:30)

mengatakan :”dalam proporsinya, suatu sikap yang

didominasi oleh komponen afeksi yang kuat dan kompleks

akan lebih sukar untuk berubah walaupun dimasukkan

informasi baru yang berlawanan dengan objek sikapnya”. Hasil pengujian hipotesa untuk sumber/komunikator,

menunjukkan hasil yang signifikan. Untuk

sumber/komunikator memiliki nilai t hitung sebesar 9,293.

Nilai tersebut lebih besar dari nilai t tabel yaitu 1,658. Hal

tersebut menunjukkan bahwa ada dampak yang signifikan

antara variabel sumber/komunikator terhadap sikap

mahasiswa.

Hasil Penelitian yang menunjukkan bahwa Sumber

memiliki hubungan yang sangat besar dengan pengaruh

yang besar terhadap sikap mahasiswa dalam memutuskan

mengikuti pendidikan di Unikom Bandung dimana

kredibilitas merupakan indikator yang paling dominan

dalam menjelaskan sumber dibandingkan dengan daya tarik

dan kekuatan, hal ini sesuai dengan konsep yang

dikemukakan oleh Sutisna (2002:271) :”keberhasilan

komunikasi pemasaran dipengaruhi oleh banyak variabel,

seperti kemampuan ”sumber pesan” dalam melakukan

penyandian tujuan komunikasi menjadi pesan yang menarik

dan efektif bagi komunikan, ketepatan memilih ”jenis

promosi”, ketepatan penggunaan media penyampai pesan,

daya tarik pesan dan kredibilitas penyampai pesan”.

Konsep lain yang mendukung hasil penelitian mengenai

sumber adalah yang dikemukakan oleh Azwar (1997:72)

”Apabila seseorang dimotivasi oleh keinginan mencari

kebenaran atau pengetahuan, maka ia akan lebih mudah

dibujuk bila komunikatornya adalah seseorang atau sebuah

lembaga yang dianggap kompeten mengenai hal yang ingin

ia ketahui atau bila komunikatornya adalah orang/lembaga

yang dipercayainya (trusworthy). Pada sisi lain, sikap dapat

diubah oleh komunikator yang walaupun bukan seorang

ahli dalam bidang yang bersangkutan sebagai objek sikap

akan tetapi merupakan figur yang dipercayai oleh

individu.sedangkan indikator yang memberikan penjelasan

paling rendah adalah indikator kekuatan, tetapi perbedaan

besarannya bila dibandingkan dengan indikator daya tarik

relatif kecil hanya sebesar 0,12. Hal ini patut di akui karena

umumnya masyarakat dalam menilai sebuah Perguruan

tinggi dilihat dari krdibilitasnya yang biasanya menyangkut

status akreditasi dari lembaga tersebut, hal lain adalah

karena PTS Unikom seringkali memenangkan kejuaraan-

kejuaraan dalam bidang akademik baik dalam tingkat

daerah maupun nasional. Untuk itu sebaiknya PTS Unikom

mempertahankan prestasi yang telah dicapai, untuk

indikator daya tarik dan kekuatan yang memiliki kontribusi

rendah,

5. Kesimpulan

Sumber/komunikator memiliki kontribusi yang sangat besar

terhadap sikap mahasiswa angkatan 2007/2008 dalam

memutuskan mengikuti pendidikan di PTS Unikom

Bandung. Sumber/komunikator sendiri dijelaskan oleh

indikator kredibilitas, daya tarik dan kekuatan. Dari ketiga

indikator yang menjelaskan sumber/komunikator, hasil

penelitian menunjukkan bahwa indikator kredibilitas yang

paling dominan khususnya pada atribut status lembaga

terakreditasi. Hal tersebut disebabkan umumnya

masyarakat menilai suatu PTS dilihat terutama dari status

akreditasi lembaga, begitu pula penilaian dari responden

terhadap PTS Unikom yang dipilihnya.

Sikap yang dijelaskan oleh kognisi, afeksi dan konasi, hasil

penelitian menunjukkan indikator yang paling dominan

adalah afeksi. Seperti yang dijelaskan oleh Azwar

(1997:26),”komponen afeksi yaitu reaksi emosional pada

umumnya dipengaruhi oleh kepercayaan atau apa yang kita

percayai sebagai benar dan berlaku bagi objek”. Begitupula

halnya afeksi dari penilaian responden mengenai lembaga

unikom, mereka sudah mempercayai bahwa kuliah di

Unikom akan memberikan manfaat bagi mereka. Lebih

lanjut Azwar (1997:30) mengatakan :”dalam proporsinya,

suatu sikap yang didominasi oleh komponen afeksi yang

kuat dan kompleks akan lebih sukar untuk berubah

waluapun dimasukkan informasi baru yang berlawanan

dengan objek sikapnya”. Indikator yang paling rendah yang

menjelaskan sikap adalah kognisi, hal ini menyangkut

atribut tentang pemahaman responden tentang Unikom

sebelum masuk menjadi mahasiswa Unikom.untuk

indikator konasi lebih tinggi nilainya dibandingkan kognisi

dalam menjelaskan sikap, hasil survey terutama

menyangkut atribut mendaftar pada gelombang I, umumnya

responden tidak mendaftar di gelombang I.

Page 98: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

89

UCAPAN TERIMAKASIH

Yth :

1.Rektor UNIKOM, DR.Ir Eddy Soeryanto Soegoto

2.Kaprodi Manajemen UNIKOM, DR. Raeny Dwisanty,

SE.,M.Si

DAFTAR PUSTAKA

[1] A.shimp, terence. 2000. Periklanan, Promosi. Aspek

tambahan Komunikasi Pemasaran terpadu. Jilid I.

Terjemahan Revyani Sjahrial, Dyah Anikasari.

Jakarta : Penerbit Erlangga. [2] Azwar, Saifuddin. 1977. Sikap Manusia, teori dan

Pengukurannya. Edisi ke 2. Yogyakarta : Pustaka

pelajar [3] David, krech, Richard S. Crutcfield and Egertoon L.

Ballachey.1962. Individual In Society, a Textbook of

Social Psychology. Tokyo : Mc. Graw – Hill.

Kogassusha ltd. [4] R. Baldwin, Jhon & D Perry Stephen & Moffit Mary

Anne. 2004. Communication Theories for Everyday

Life : Pearson Education, Inc. USA [5] Rochim Surachman (red).2007.Banyak PTS di

Ujung Tanduk.Bandung : Pikiran Rakyat. [6] Tan, Alexis S. 1981. Mass Communication Theories

and Research.Columbus, Ohio : Grid Publishing, Inc

Page 99: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

90

Model Kompetensi Layanan Manajer Hotel Non Bintang

Dwi Suhartantoa, Any Noor

b, Vanessa Gaffar

c, Junaidi Sagir

d

aJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung

Email: [email protected]

bJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung Email: [email protected]

cFakultas Ekonomi, Universitas Pendidikan Indonesia

Email: [email protected]

dFakultas Ekonomi, Universitas Mataram

Email: [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini didesain untuk memformulasikan strategi penguatan kinerja hotel non-bintang melalui identifikasi model kualitas

layanan manajer hotel non bintang dalam membangun kualitas layanan untuk menciptakan loyalitas wisatawan. Model

kompetensi yang digunakan merujuk pada tiga komponen utama, yaitu pengetahuan layanan, kemampuan teknis dan

kemampuan manajemen diri. Teknik sampling yang digunakan adalah convenience sampling pada manajer hotel non bintang

melalui self-administered questionnaire. Untuk menguji model, digunakan metode variance based SEM. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa faktor pembentuk kompetensi manajer hotel non bintang terdiri dari pengetahuan layanan, kemampuan

teknis, dan kemampuan manajemen diri. Faktor penting pada variable kemampuan teknis adalah kemampuan dan kemauan

manajer untuk mempertanggungjawabkan pekerjaan. Sementara unsur keseimbangan antara kepentingan pribadi dan pekerjaan

serta rencana pengembangan karir merupakan faktor yang sama pentingnya pada variable manajemen diri. Temuan lain

menunjukkan bahwa dukungan kerja dari atasan serta perlakuan adil merupakan faktor yang penting dalam mempengaruhi

kompetensi manajer melakukan tugasnya. Dengan demikian, untuk membangun kinerja layanan yang baik, diperlukan

kompetensi kerja yang baik dan dukungan atasan maupun organisasi yang memadai untuk menciptakan rasa puas karyawan

serta niat untuk memberikan layanan yang baik.

Kata Kunci

Kompetensi, manajer, kinerja layanan, hotel non bintang

1. PENDAHULUAN

Industri perhotelan sebagai penyedia akomodasi bagi

wisatawan merupakan salah satu pilar strategis untuk

membangun industri pariwisata. Ketersediaan jasa

akomodasi yang sesuai dengan kebutuhan wisatawan akan

mempengaruhi secara positif keinginan wisatawan untuk

mengunjungi suatu tujuan wisata. Dengan demikian, agar

mampu meningkatkan jumlah kunjungan di suatu tujuan

wisata, industri perhotelan harus mempunyai staf yang

mampu memberikan layanan yang memuaskan wisatawan.

Hotel non bintang di Indonesia, dilihat dari sisi jumlah

tenaga kerja, modal, maupun omset penjualannya, termasuk

dalam kategori usaha kecil dan menengah (UKM).

Sebagaimana umumnya UKM lainnya, hotel non bintang

menghadapi permasalahan kemampuan pengelolaan

layanan maupun pemasarannya [1]. Bagi hotel berbintang,

permasalahan tersebut relatif kurang menjadi isu penting

karena mereka mempunyai sumberdaya manusia maupun

keuangan yang jauh lebih baik dibandingkan dengan hotel

non bintang. Disisi lain, data statistik menunjukan bahwa

sekitar 25% wisatawan asing yang datang ke Indonesia

tinggal di hotel non bintang [2]. Mengingat besarnya

potensi pariwisata Indonesia, penguatan industri hotel non

bintang sebagai penyedia jasa akomodasi bagi wisatawan

asing maupun domestik merupakan isu yang sangat penting

bagi pembangunan kepariwisataan nasional.

Salah satu faktor yang paling menentukan dalam

mempengaruhi kemampuan layanan di industri jasa

sebagaimana di industri perhotelan adalah kemampuan

sumberdaya manusia, khususnya kemampuan manajer

untuk mengelola layanan. Karena pentingnya kemampuan

pengelolaan layanan manajer tersebut, banyak studi telah

dilakukan di industri jasa umumnya maupun di industri

perhotelan khususnya [3, 4]. Namun demikian, studi yang

difokuskan untuk menelaah kemampuan layanan manajer di

hotel non bintang belum mendapatkan perhatian. Penelitian

ini didesain untuk memformulasikan strategi penguatan

kinerja hotel non bintang dengan fokus pada

pengidentifikasian model pengelolaan kualitas layanan

manajer hotel non bintang. Pemahaman akan hal tersebut

akan dapat membantu perumusan strategi membangun

kualitas layanan yang komprehensif sehingga mampu

menciptakan loyalitas wisatawan asing maupun domestik

terhadap hotel non bintang.

Page 100: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

91

2. KOMPETENSI LAYANAN DI INDUSTRI

PERHOTELAN

Untuk dapat memberikan kinerja terbaik, staf hotel

memerlukan kompetensi yang tepat. Li dan Wang [5]

mendiskripsikan kompetensi sebagai kemampuan kinerja

seseorang dalam menjalankan tugasnya. Inti dari

kompetensi merupakan pengetahuan sebagai dampak dari

proses pembelajaran yang diakumulasikan. Dengan kata

lain, kompetensi adalah pengetahuan yang senantiasa harus

diperbaiki dan ditingkatkan setiap saat, yang antara lain

dapat dilakukan melalui bertukar pikiran maupun praktik

langsung.

Model kompetensi adalah suatu deksripsi dari pengetahuan,

ketrampilan/kemampuan, dan perilaku yang dibutuhkan

untuk dapat berkinerja secara baik dalam suatu organisasi.

Untuk membantu organisasi dalam mencapai tujuannya

melalui pengembangan kemampuan dan kompetensi

sumber daya manusia, seringkali kompetensi lebih

ditekankan pada aspek perilaku daripada kepribadian. Chan

dan Coleman [4] menyatakan bahwa kompetensi terdiri dari

atribut yang dimiliki oleh tiap-tiap individu termasuk

didalamnya pengetahuan, keterampilan serta sikap, yang

kesemuanya dapat diukur. Mereka mendefinisikan

kompetensi sebagai kemampuan untuk berkinerja secara

efektif dalam konteks tertentu, kapasitas untuk mentransfer

pengetahuan dan ketrampilan terhadap tugas dan situasi

baru, serta motivasi untuk menghidupkan kemampuan dan

kapabilitas tersebut. Siu dalam Chan dan Coleman [4]

melakukan penelitian terhadap kompetensi manajer hotel

level menengah dan menyimpulkan bahwa kompeten

berarti memiliki kemampuan, kapabel, memiliki

ketrampilan dan pengetahuan khusus untuk melakukan apa

yang harus dilakukan. Dapat disimpulkan bahwa

kompetensi harus mengkombinasikan antara ketrampilan

yang telah dipelajari (apakah di institusi pendidikan atau di

tempat kerja) dengan karakteristik personal. Sehingga,

dalam mengukur keterampilan dan kompetensi seseorang,

konsentrasi bukan hanya terpusat kepada ketrampilan saja

tetapi juga terhadap kepribadian tiap individu dan

sejauhmana hal tersebut sesuai dengan dunia kerja.

Pada dasarnya, kompetensi apa yang dibutuhkan sangat

tergantung kepada posisi seseorang dalam pekerjaannya.

Sebagai contoh, staf hotel pada level menengah lebih

ditekankan untuk memiliki kompetensi dalam teori dasar,

dan hal ini berbeda dengan staf hotel pada level supervisor

dimana kompetensi praktis ketrampilan operasi lebih

diperlukan. Selain itu, karena staf hotel sering berinteraksi

dengan wisatawan asing, maka kemampuan berbahasa

asing, dalam hal ini bahasa Inggris, menjadi salah satu

syarat wajib [5, 6]. Karena level supervisor memiliki peran

penting antara manajemen level atas dengan bawahannya,

maka kemampuan mereka untuk beradaptasi, yang dalam

hal ini kemampuan berkomunikasi dan berkoordiansi juga

dirasakan penting. Hal ini berkaitan dengan perannya dalam

menjalankan perintah atasan sekaligus mensupervisi

bawahannya. Selanjutnya, kompetensi yang diperlukan oleh

level supervisor hotel adalah kemampuan untuk taat kepada

kebijakan perusahaan dan bekerja sesuai dengan standar

prosedur serta memahami kebutuhan atasan, bawahan, dan

juga pelanggan. Kemampuan pengelolaan serta

perencanaan terhadap karir pribadi di masa depan juga

merupakan bagian dari kompetensi yang juga dibutuhkan

oleh level supervisor hotel.

Kompetensi sedikit banyaknya didapat dari latar belakang

pendidikan staf hotel tersebut. Nolan, Conway et al. [7]

menyatakan bahwa program pendidikan yang didapat staf

hotel secara umum selama mengenyam pendidikan

sebaiknya bukan hanya menekankan pada keteramplian

manajerial saja tetapi juga keterampilan soft skills seperti

kemampuan dalam mengambil keputusan dan memecahkan

masalah, bekerja dalam tim, inisiatif serta ketrampilan

interpersonal. Selain itu, inovasi, kreatifitas, dan

kemampuan menghibur juga dianggap sebagai nilai tambah.

Malone dalam Nolan, Conway et al. [7]. berpendapat

bahwa bekerja dalam tim, pengetahuan teknologi informasi

dasar, komunikasi, kemampuan presentasi serta mengelola

waktu merupakan keterampilan yang dapat ditransfer

melalui program akademik. Tingkat kepentingan terhadap

“soft” atau “human-relations‖ skills saat ini dirasakan lebih

tinggi daripada keterampilan operasional dan teknis. Begitu

pula halnya dengan penekanan terhadap pengelolaan

sumberdaya manusia, ketrampilan interpersonal,

kepemimpinan, keterampilan korporasi dan stratejik. Selain

faktor-faktor tersebut, kompetensi dalam area manajemen

keuangan juga ternyata dianggap merupakan kompetensi

yang penting untuk manajer dalam bidang hospitaliti dan

pariwisata ini mengalahkan kompetensi dalam bidang

sumber daya manusia, pemasaran, dan teknologi informasi.

Secara spesifik, Nolan, Conway et al. [7] membagi area

kompetensi staf hotel secara umum terdiri atas:

customer/guest relations, professionalism, employee

relations, leadership, self-management, legal aspects,

technical and operational knowledge, financial/revenue

management.

Hasil pengujian secara mendalam yang dilakukan oleh Li

dan Wang [5] di industri perhotelan di Taiwan menunjukan

bahwa elemen-elemen kompetensi bagi manajer hotel

terakumulasi kedalam tiga komponen utama, yaitu: aspek

pengetahuan (basic theoretical knowledge), kemampuan

teknis (hand-on operating skill), serta kemampuan

manajemen diri (self-adjustment abilities). Selain ketiga

faktor tersebut unsur kemampuan berbahasa khususnya

bahasa asing menjadi faktor yang sangat penting yang

menentukan seberapa baik kompetensi layanan dari

manajer hotel. Ketrampilan yang dimiliki oleh sumberdaya

manusia di industri perhotelan (baik staf maupun manajer)

akan menentukan niat untuk melayani maupun kinerja

layanan. Semakin baik kompetensi yang dimiliki oleh staf

semakin besar kemungkinan staf tersebut akan mempunyai

niat untuk melakukan pekerjaannnya dengan lebih baik

Page 101: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

92

pula. Selain mempengaruhi niat dan kinerja, kompetensi

yang dimiliki staf juga cenderung akan menentukan tingkat

kepuasan kerja karyawan [6] yang secara langsung maupun

tidak langsung akan mempengaruhi niat maupun kinerja

layanan [8]. Selain itu faktor dukungan organisasi yang

dimanifestasikan dalam bentuk dukungan atasan maupun

besarnya penghargaan yang diberikan oleh hotel akan

menentukan kompetensi layanan staf.

Berdasar atas diskusi tentang konsep layanan manajer,

dapat disimpulkan bahwa kompetensi layanan manajer akan

sangat dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu kemampuan

teknis, pengetahuan layanan, serta manajemen diri. Selain

ketiga faktor tersebut, faktor dukungan baik dari atasan

maupun dari kolega juga diduga sebagai faktor pembentuk

kompentensi. Kompetensi yang dimiliki oleh seorang

manajer hotel non bintang akan menentukan kinerja

layanan mereka melalui terbentuknya kepuasan kerja dan

niat untuk meberikan layanan. Terakhir, diduga bahwa

dukungan kinerja selain akan mempengaruhi kompetensi

layanan juga akan mempengaruhi kepuasan kerja, niat

layanan, maupun kinerja layanan.

3. METODE PENELITIAN

Konseptualisasi item untuk mengukur konstruk dalam studi

ini dikembangkan berdasarkan literatur yang sudah ada.

Konstruk dukungan kerja dan kompetensi layanan yang

dikembangkan menggunakan skala multi-item yang

diadaptasi dari studi sebelumnya terutama dari studi-studi

di dunia perhotelan [4-7, 9] . Sedangkan variabel kepuasan

kerja, niat layanan, dan kinerja diperlakukan sebagai

variabel dengan indikator tunggal.

Populasi sampel dalam penelitian ini terdiri individu yang

tinggal di hotel non bintang (hotel non bintang, melati,

wisma, penginapan, dan hostel). Kesulitan dalam

mengidentifikasi populasi total karyawan hotel serta tidak

memungkinnya mereka dipilih secara acak, maka hampir

mustahil studi ini dilakukan dengan menerapkan random

sampling. Oleh karenanya, penulis memutuskan untuk

menggunakan convenience sampling, dalam hal ini manajer

hotel non bintang yang bersedia berpartisipasi untuk

merespon kuesioner disela-sela waktu senggang mereka

ketika bekerja. Dari keseluruhan manajer hotel non bintang

yang dihubungi, 85 orang memberikan respon dan data

respon yang bisa diolah sebanyak 64 orang.

4. MODEL KINERJA LAYANAN

Secara keseluruhan penelitian ini didominasi oleh

responden pria sebanyak 66%. Hal ini menunjukan bahwa

manajer yang bekerja diperhotelan didominasi oleh pria, ini

bisa saja dikarenakan jenis pekerjaan dihotel yang terhitung

berat dan cenderung berubah-ubah. Beratnya beban kerja

dan sistem kerja yang cenderung berubah-ubah ini

dipandang tidak cocok dengan wanita.

Uji pemodelan bagaimana hubungan antara faktor-faktor

pembentuk dan yang mempengaruhi kinerja layanan

manajer di hotel non bintang dilakukan dengan

menggunakan metode SEM variance based. Penggunaan

SEM jenis ini dilakukan karena uji normalitas data

menunjukan bahwa data yang dianalisis tidak terdistribusi

secara normal. Sehingga teknik yang paling sesuai untuk

pengujian modelnya adalah dengan menggunakan SEM

variance based [10]. Dari delapan variabel yang diujikan

pada model ini, terdapat satu variabel endogen (Kinerja

Layanan) sedangkan lainnya adalah variabel eksogen.

Diantara variabel eksogen, variabel kompetensi merupakan

variabel second order hierarchy yang terdiri atas variabel

pengetahuan layanan, manajemen diri, dan variabel

kemampuan teknis.

Hasil uji psikometrik variabel yang digunakan menunjukan

bahwa nilai average variance extracted (AVE) semua

variable (kecuali variabel kompetensi) diatas 0.5

mengindikasikan bahwa variable yang diujikan merupakan

konstruk yang dilakukan karena uji normalitas data

menunjukan bahwa data yang dianalisis tidak terdistribusi

secara normal. Sehingga teknik yang paling sesuai untuk

pengujian modelnya adalah dengan menggunakan SEM

variance based [10]. Dari delapan variabel yang diujikan

pada model ini, terdapat satu variabel endogen (Kinerja

Layanan) sedangkan lainnya adalah variabel eksogen.

Diantara variabel eksogen, variabel kompetensi merupakan

variabel second order hierarchy yang terdiri atas variabel

pengetahuan layanan, manajemen diri, dan variabel

kemampuan teknis.

Hasil uji psikometrik variabel yang digunakan menunjukan

bahwa nilai average variance extracted (AVE) semua

variable (kecuali variabel kompetensi) diatas 0.5

mengindikasikan bahwa variable yang diujikan merupakan

konstruk yang mempunyai validitas yang baik [11].

Variabel kompetensi yang mempunyai nilai sedikit dibawah

0.5 dipandang sebagai tidak mengganggu pemodelan

karena variabel ini merupakan variabel yang second order

dimana variabel-variabel pembentuknya (kemampuan

teknis, manajemen diri, serta pengetahuan layanan)

merupakan variabel yang mempunyai nilai AVE diatas 0.5.

Selanjutnya, nilai AVE dua variable dibandingkan dengan

nilai r2 dari variable yang digunakan juga menunjukan

bahwa nilai AVE masih lebih besar dari r2,

mengindikasikan bahwa validitas diskriminan antar variable

yang diujikan memuaskan [12]. Akhirnya, composite

reliability dan nilai Cronbah‟ alpha menunjukan bahwa

variable yang diujikan reliable, karena nilai reliabilitasnya

jauh diatas yang disarankan oleh para ahli [10], yaitu >0.6.

Hasil uji tersebut menunjukan bahwa dari sisi reliabilitas

dan validitas konstruk yang diujikan memuaskan.

Tabel 1 menunjukan bahwa hasil uji t-test signifikan pada

tingkat p < 1%, mengilustrasikan semua indikator yang

digunakan merupakan elemen nyata pengukur konstruk

Page 102: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

93

yang diukur karena mempunyai faktor loading lebih dari

0.50.

Gambar 1 memperlihatkan hasil uji struktural model yang

menunjukan koefisien jalur antara variabel yang diujikan.

Hubungan antara ketiga pembentuk kompetensi manajer

hotel non bintang (pengetahuan layanan, kemampuan

teknis, dan manajemen diri) dengan kompetensi yang

signifikan merupakan indikasi bahwa ketiga variabel

tersebut valid sebagai pembentuk kinerja manajer. Hasil

lain juga menunjukan pentingnya hubungan-hubungan yang

telah diduga sebelumnya, yaitu antara kompetensi dengan

niat layanan dan kepuasan kerja, dukungan kerja dengan

kompetensi dan kepuasan kerja, serta antara niat layanan

dengan kinerja layanan dan antara kepuasan kerja dengan

niat layanan. Sedangkan koefisien jalur antara faktor

dukungan kerja dengan kompetensi dan niat, antara

kompetensi dengan kinerja, dan antara kepuasan kerja

dengan niat bekerja tidak signifikan. Temuan ini

menunjukan bahwa kompetensi merupakan faktor penting

yang mempengaruhi baik kepuasan maupun niat melayani

pelanggan dengan baik. Sedangkan pentingnya kompetensi

dalam mempengaruhi kinerja lebih sebagai hubungan tidak

langsung, yaitu melalui niat melayani terlebih dahulu.

Gambar 1 juga menunjukan besarnya R2 untuk masing-

masing variabel endogen kompetensi, yaitu 94%

(kemampuan teknis), 70% (manajemen diri), 47%

(pengetahuan layanan), dan 49% (kompetensi). Variabel-

variabel dari efek kompetensi layanan dan dukungan

layanan mempunyai nilai R2 sebesar 45% (kepuasan kerja),

49% (niat melayani), dan 52% (kinerja layanan).

Menggunakan patokan yang disarankan oleh para ahli [10,

11] bahwa model dikatakan sebagai baik jika mempunyai

nilai R2 = 67%, moderat R2 = 33%, dan lemah R2 = 19%,

maka dapat dikatakan bahwa model loyalitas yang

dibangun adalah relatif bagus (diantara moderat dan baik).

5. PEMBAHASAN

Hasil uji model hubungan antara kompetensi dan kinerja

layanan manajer hotel non bintang

Tabel 1: Faktor Loading Item

Variabel Rata-rata Loading T Stat**

Kompetensi

- Penyelesaian pekerjaan 4.38 0.712 9.116

- Pemahaman kebutuhan staf 2.11 0.560 5.338

- Keseimbangan pribadi & pekerjaan 3.89 0.586 7.054

- Inovatif dalam bekerja 3.89 0.704 9.196

- Pemahaman kebutuhan pelanggan 4.37 0.838 25.447

- Rencana karir 4.20 0.712 9.116

Pengetahuan Layanan

- Pemahaman pekerjaan di hotel 4.13 0.586 5.053

- Layanan tamu asing & domestic 4.66 0.82 10.645

- Adopsi sistim kerja yang lebih baik 4.52 0.761 7.886

Kemampuan Teknis

- Penyelesaian pekerjaan 4.38 0.728 9.690

- Pertanggungjawaban 4.26 0.825 24.140

- Pemahaman kebutuhan pelanggan 4.37 0.642 6.676

- Pemahaman kebutuhan staf 2.11 0.733 10.622

Manajemen diri

- Keseimbangan pribadi & pekerjaan 3.89 0.711 8.193

- Rencana karir 4.20 0.777 7.156

Dukungan Kerja

- Dukungan Atasan 4.51 0.853 16.380

- Perlakuan secara adil 4.31 0.845 32.208

- Penghargaan yang layak 4.09 0.627 5.915

Kepuasan kerja 4.17

Niat melayani 4.72

Kinerja layanan 4.25

* Item tunggal, **Signifikan pada p < 1%, ts: tidak signifikan

Page 103: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

94

0.97

0.37

0.46

0.69

0.70

0.89

0.28

0.45

0.70 0.49

Kompetensi

0.47

Pengetahuan Layanan

0.94

Kemampuan

Teknis

0.70

Manajemen

Diri

0.52

Niat

Layanan

0.45

Kinerja

0.49

Kepuasan

Kerja Dukungan

Kerja

Gambar 1: Kinerja Manajer

mengungkap beberapa hal penting baik secara teori maupun

secara manajerial. Pertama, hasil studi ini menggaris

bawahi tiga komponen penting elemen pembentuk

kompetensi layanan manajer non bintang, yaitu:

kemampuan teknis, pengetahuan tentang layanan, dan

kemampuan manajemen diri. Temuan studi ini

mengkonfirmasi hasil studi terdahulu yang dilakukan oleh

para ahli di industri hotel lainnya [5, 9]. Lebih jauh, temuan

studi ini menunjukan bahwa kemampuan teknis merupakan

unsur paling dominan sebagai determinan kompetensi

layanan diikuti dengan faktor kemampuan manajemen diri

serta pengetahuan terkait dengan layanan.

Kedua, dari faktor loading indikator terhadap variabel

komponen kompetensi menunjukan bahwa tidak semua

indikator mempunyai loading yang mencukupi terhadap

variabel. Dari proses pengeluaran indikator yang

mempunyai loading yang rendah terindikasi bahwa adalah

hal kemampuan manajemen diri, unsur keseimbangan

antara kepentingan pribadi dan pekerjaan serta rencana

pengembangan karir kedepan merupakan faktor yang sama-

sama penting dalam menetukan variabel manajemen diri

manajer [5]. Diantara indikator kemampuan teknis, hasil

studi ini menggarisbawahi arti penting kemampuan dan

kemauan manajer untuk mempertanggungjawabkan

pekerjaan sebagai faktor penting dalam variabel

kemampuan teknis. Pada aspek pengetahuan layanan, hasil

studi ini menunjukan bahwa penting bagi manajer untuk

memahami bagaimana melayani baik tamu asing maupun

domestik serta kepemilikan pengetahuan untuk mencari dan

mengadopsi metode yang lebih baik untuk melayani

pelanggan.

Ketiga, hasil uji pemodelan menunjukan bahwa dukungan

kerja (khususnya dukungan kerja dari atasan serta

perlakuan secara adil) merupakan faktor yang sangat

penting dalam menentukan tingkat kompetensi manajer

dalam melakukan tugasnya. Temuan ini memberikan

implikasi bahwa pengembangan kompetensi tidak sekedar

dengan memberikan pengetahuan dan keahlian teknis tetapi

perlu dengan pemberian motivasi dari atasan [3].

Selanjutnya hasil pemodelan terkait hubungan antara

kompetensi manajer dengan tiga unsur perilaku manajer

dalam hal kepuasan, niat untuk melayani dengan lebih baik,

serta kinerja layanan yang diberikan oleh manajer

mendukung hasil-hasil terdahulu [8, 9]. Implikasi dari hal

ini adalah untuk membangun kinerja layanan yang baik

maka diperlukan kompetensi kerja yang baik serta

dukungan atasan maupun organisasi yang memadai

sehingga bisa menimbulkan rasa puas karyawan serta niat

untuk memberikan layanan yang baik.

6. KESIMPULAN DAN SARAN

Pemodelan terhadap hubungan antara kompetensi layanan

dengan kinerja layanan pada model manajer menggaris

bawahi arti penting kepemilikan kompetensi yang baik agar

hotel non bintang dapat membangun kinerja karyawannya,

khususnya dalam upaya untuk menarik dan membangun

loyalitas wisatawan asing. Pada model tersebut faktor

kemampuan teknis khususnya pemahaman serta kepedulian

akan kebutuhan pelanggan serta terbangunnnya suasana

kerja yang baik merupakan faktor dominan yang akan

menentukan tingkat kompetensi baik manajer maupun staf.

Pentingnya kemampuan teknis dalam hal kepedualian untuk

memenuhi dan memuaskan kebutuhan pelanggan

berimplikasi pada pentingnya manajemen hotel untuk

membangun tingkat kepedulian karyawannya. Dua hal yang

bisa direkomendasikan dalam hal ini adalah (1) melalui

pelatihan-pelatihan yang diprogram untuk mengasah

kepedulian karyawan dan (2) melalui program seleksi yang

lebih difokuskan untuk dapat mengidentifikasi dan memilih

calon karyawan yang mempunyai karakter peduli terhadap

orang lain.

Page 104: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

95

DAFTAR PUSTAKA

[1] Marijo, H., Pengaruh orientasi pasar dan strategi

generik terhadap kinerja perusahaan perhotelan

dalam lingkungan usaha yang berubah: Studi empirik

hotel non bintang di Jogjakarta. Jurnal Eksekutif,

2006. 3(3): p. 244-254.

[2] BPS, Jumlah Tamu Asing pada Hotel Non Bintang

Menurut Provinsi Tahun 2003-2010. 2012: Jakarta.

[3] Li, P.-Y.P. and F.-J. Wang, An Analysis Of Essential

Competencies Of Hotel First Level Supervisors. The

International Journal Of Organizational Innovation,

2009: p. 140-162.

[4] Chan, B. and M. Coleman, Skills and competencies

needed for the Hong Kong industry: The perspective

of the hotel human resources manajer. Journal Of

Human Resources In Hospitality & Tourism, 2004.

3(1).

[5] Agut, S. and R. Grau, Managerial Competency Needs

And Training Request: The Case of The Spanish

Tourist Industry. Human Resource Development

Quarterly, 2002. Vol. 13, No. 1, Spring 2002: p. 31-

51.

[6] Nolan, C., E. Conway, and E. Al., Competency Needs

In Irish Hotels: Employer And Graduate Perspectives.

Journal Of European Industrial Training, 2010. Vol.

34, No. 5, 2010: p. 432-454.

[7] Ispas, A., The Perceived Leadership Style And

Employee Performance In Hotel Industry - A Dual

Approach. Review Of International Comparative

Management, 2012. Volume 13, Issue 2, May 2012: p.

294-305.

[8] Ricci, P., Do Lodging Managers Expect More From

Hospitality Graduates? A Comparison Of Job

Competency Expectations. Journal Of Human

Resources In Hospitality & Tourism, 2010. Vol. Ix: p.

218-232.

[9] Hair, J.F., et al., An assessment of the use of partial

least squares structural equation modeling in

marketing research. Journal of the Academy

Marketing Science, 2012. 40: p. 414-433.

[10] Ghozali, I., Structural Equation Modeling Metode

Alternatif dengan PLS. 2 ed. 2008, Semarang: BP

undip.

[11] Chin, W., R. Peterson, and S. Brown, Structural

equation modeling in marketing: Some practical

reminders. Journal of Marketing Theory and Practice,

2008. 16(4): p. 287.

[12] Agut, S., R. Grau, and E. al, Individual and

Contextual Influences on Managerial Competency

Needs. The Journal of Management Development,

2003. Vol. 22, No. 10, 2003: p. 906-918.

Page 105: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

96

PENGARUH DESTINATION BRANDING TERHADAP TOURIST

RETENTION PADA WISATAWAN INDONESIA YANG

BERKUNJUNG KE THAILAND

(Survei pada wisatawan Indonesia yang berkunjung ulang ke Thailand

Melalui Tour and Travel di Bandung)

Marceilla Hidayat, BA (Hons), MM. Par

Is Prayini S.Par

Program Studi Usaha Perjalanan Wisata, Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Thailand is one of the tourist destinations in Southest Asia that is growing continuously. The number of tourist arrivals

continues to increase in every year. The Tourism Authority of Thailand (TAT) is a major force that was formed specifically by

the Royal Thai government in promoting the tourism of Thailand throughout to the world. Indonesia is one of the countries that

contribute to the tourists coming to Thailand, the number of Indonesian tourists visiting Thailand has increased each year, with

an increasing number of Indonesians indicating they would like to return. Destination branding program is a part of the

marketing strategy of a country that can be used to maintain and increase tourist retention to visit either an area or country. The

destination branding program consists of seven elements that are image, recognition, differentiation, brand messages,

consistency, emotional response and creating expectation whereas tourist retention consists of financial bonds, social bonds

and customize bonds. The research method used is a descriptive survey and explanatory survey with a sample size of 100

respondents through the tour and travel in Bandung with data collection techniques including interviews, observation and

questionnaires. The analysis technique used is a path analysis 20.0 for windows program. The results showed that the variable

of destination branding has significant impact in maintaining tourist retention to come and to keep coming to Thailand.

Keyword

Destination branding and tourist retention

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Selama enam dekade terakhir, pariwisata dikategorikan ke

dalam kelompok industri dengan pertumbuhan tercepat

dan terbesar dunia (the world’s largest industry) hal ini

diungkapkan oleh United Nations World Tourism

Organization (UN-WTO) bahwa sekitar 8% dari ekspor

barang dan jasa pada umumnya sektor pariwisata adalah

penyumbang terbesar dalam perdagangan internasional

yaitu kurang lebih 37%, pariwisata juga termasuk kedalam

5 top exports categories di 83 negara World Trade

organization (WTO) maka dari itu pariwisata menjadi

pendorong utama dalam perkembangan sosial ekonomi

dunia.

UN-WTO menegaskan bahwa Asia sebagai wilayah yang

paling berkembang di dunia, hal tersebut di dorong oleh

pertumbuhan ekonomi yang baik sehingga diperkirakan

pada tahun 2020 Asia dan pasifik akan tumbuh lebih dari

5% per tahun, dibandingkan dengan rata–rata dunia

sebesar 4,1% lebih, dan daerah Eropa diprediksikan akan

menurun dari 60% pada tahun 1995 ke 46% pada tahun

2020, pada tahun 2033 Asia diprediksikan akan

memperebutkan posisi nomor satu dari Eropa yaitu

1289,85 juta wisatawan Internasional akan berkunjung ke

Asia, hal ini diasumsikan terjadi peningkatan signifikan

untuk Asia 7,2% tiap tahunnya dan 3,85% untuk Eropa,

kenaikan signifikan 4,47% untuk skala dunia.

UN-WTO menyatakan Asia Tenggara merupakan

penyumbang terbesar dalam kenaikan kunjungan

wisatawan Internasional yang didominasi oleh Malaysia,

Thailand, Singapura, Indonesia dan Philipina. Berikut

tabel data mengenai kunjungan wisatawan Internasional di

Asia Tenggara.

Thailand merupakan salah satu destinasi pariwisata di Asia

Tenggara yang terus berkembang hal ini terbukti dengan

Page 106: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

97

meningkatnya jumlah kunjungan wisatawan setiap

tahunnya. Gubernur Tourism Authority of Thailand (TAT)

Mr Suraphon Svatasreni mengatakan,” Pariwisata kini

diakui sebagai industri jasa yang paling penting di

Thailand dan berkontribusi terhadap penciptaan lapangan

kerja dan pendapatan devisa negara, pendapatan terbesar

pariwisata Thailand didominasi oleh wisatawan ASEAN.

Berikut tabel data mengenai jumlah kunjungan wisatawan

ASEAN di Thailand.

ulang ke Thailand. Berikut tabel wisatawan Indonesia yang

melakukan kunjungan ulang.

Berdasarkan Tabel 1.3 jumlah wisatawan Indonesia yang

berkunjung ulang ke Thailand pada tahun 2011 meningkat

sebesar 19.47 persen. Pengeluaran wisatawan Indonesia ke

Thailand pada tahun 2012 per orang per hari sebesar

4,731.24 bath dengan rata-rata lama tinggal enam hari.

Berikut Tabel pendapatan dari wisatawan Indonesia di

Thailand.

Pengeluaran terbesar adalah Shopping, Accomodation,

F&B Entertainment. Berikut Tabel pengeluaran

wisatawan Indonesia di Thailand.

1.2 Rumusan Masalah

Adapun masalah yang akan dibahas dalam penelitian

ini ialah:

1. Bagaimana gambaran Destination Branding Thailand

―Amazing Thailand – Always Amazes You‖.

2. Bagaimana Tourist Retention wisatawan Indonesia

yang berkunjung ke Thailand.

Bagaimana pengaruh Destination Branding Thailand

―Amazing Thailand – Always Amazes You,” terhadap

Tourist Retention pada wisatawan Indonesia yang

berkunjung ke Thailand

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsep Destination Branding

Konsep Destination Branding bagian dari 3i Marketing

Triangle

Pemasaran merupakan salah satu bagian dari industri

pariwisata. Industri pariwisata memerlukan program

pemasaran untuk memenuhi kebutuhan dan keinginan

pelanggan secara memuaskan.

Kotler dan Keller (2011:27) mengungkapkan bahwa

“Marketing is about identifying and meeting human and

social needs‖. (Pemasaran adalah tentang mengidentifikasi

dan memenuhi kebutuhan manusia dan sosial).”

Menurut The American Marketing Association (AMA)

dalam Kotler dan Keller (2011: 27) ―Marketing is the

activity set of institutions and processes for creating,

communicating, delivering and exchanging offering that

have value for customers, clients, patners and society at

large‖. (seperangkat aktivitas suatu institusi dan proses

untuk menciptakan, mengkomunikasikan, menyampaikan,

bertukar penawaran yang memiliki nilai bagi pelanggan,

klien, patner dan masyarakat umumnya).”

Hermawan Kartajaya dan Kotler (2009:82) mengistilahkan

dasar-dasar marketing sebagai 3i Marketing Triangle

yaitu:

1. Positioning didefinisikan sebagai cara dalam

mengarahkan pelanggan secara kredibel dan untuk

menempatkan keberadaanya dibenak konsumen.

2. Differentiation adalah taktik utama untuk

mendiferensiasikan content, context, dan

infrastruktur dari penawaran perusahaan kepada

target market nya.

3. Brand merupakan identitas atau simbol, logo yang

membedakan dirinya dengan pesaing.

Destination branding merupakan bagian dari merek yang

digunakan untuk memasarkan potensi suatu daerah yang

ditampilkan dalam simbol, logo, kata-kata, nama, tanda

atau penjelasan lain dari sebuah pengalamaan perjalanan

yang saling berhubungan dengan berbagai hal yang akan

memudahkan orang memiliki asosiasi dengan tempat

tersebut.

Elemen Destination Branding

Page 107: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

98

Menurut Blain, Levy, dan Ritchie 2005(dalam Ike Janita

Dewi, 2011:39) Definisi tentang destination branding,

yang juga berarti garis besar dalam mengembangkan

strategi sekaligus kerangka evaluasi untuk menilai

efektivitas branding suatu destinasi wisata. Elemen elemen

ini adalah:

1. Citra (Image)

2. Mengenalkan (Recognition)

3. Membedakan ( Differentiation)

4. Menyampaikan Pesan (Brand Messages)

5. Konsisten ( Consistency)

6. Membangkitkan respon emosional (Emotional

Response)

7. Membangkitkan harapan (creating expectation)

Konsep Destinasi Pariwisata

Pariwisata dalam UU Pariwisata No.10 tahun 2009 pasal 1

ayat 3 mendefinisikan bahwa, Pariwisata adalah berbagai

macam kegiatan wisata dan didukung berbagai fasilitas

serta layanan yang disediakan oleh masyarakat, pengusaha,

Pemerintah dan Pemerintah Daerah.

Dalam menggerakkan pariwisata diperlukan industri

pariwisata, UU Pariwisata No.10 tahun 2009 pasal 1 ayat 9

meyatakan bahwa Industri Pariwisata adalah kumpulan

usaha pariwisata yang saling terkait dalam rangka

menghasilkan barang dan jasa bagi pemenuhan kebutuhan

wisatawan dalam penyelenggaraan pariwisata. Suatu

daerah tujuan wisata disebut Destinasi Pariwisata,

Destinasi Pariwisata dalam UU Pariwisata No.10 tahun

2009 pasal 1 ayat 6 mendefinisikan bahwa,

Daerah tujuan pariwisata yang selanjutnya disebut

Destinasi Pariwisata adalah kawasan geografis yang

berada dalam satu atau lebih wilayah administratif fasilitas

umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat

yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya

kepariwisataan.

Konsep Customer Retention

Perusahaan melakukan berbagai strategi dalam

mempertahankan pelanggannya agar tidak berpindah ke

kompetitor. Lazimnya disebut customer retention di dunia

pemasaran (Bayu E. Winarko, dalam republika.co.id,

2003).

Customer Retention dalam Buttle (2009:257)

mendefinisikan bahwa,

customer lifecycle dibangun oleh tiga proses

manajemen customer atau pelanggan, antara lain yaitu

customer acquisition, customer retention dan customer

development. Customer retention atau retensi

pelanggan bertujuan untuk menjaga proporsi yang

tinggi dari nilai pelanggan dengan mengurangi churn

(pembelotan) pelanggan terhadap perusahaan pesaing.

Pengertian Customer Retention

Buttle (2009:298) mendefinisikan bahwa, Customer

retention merupakan tujuan strategis untuk mengupayakan

pemeliharaan hubungan jangka panjang dengan pelanggan.

retensi pelanggan menjadi cerminan penyebrangan

pelanggan. Tingkat retensi yang tinggi sama dengan

tingkat penyebrangan yang rendah. Sedangkan Customer

Retention dalam Suzanne Taylor (2010:27)

mengungkapkan retensi pelanggan merupakan komponen

kunci dalam mempertahankan bisnis yang

menguntungkan. Tujuan dari retensi pelanggan adalah

mengkonversi waktu pertama atau pembeli awal menjadi

pelanggan yang loyal dalam jangka panjang.

Ramakrishnan (dalam Lombard, 2009:73) retensi

pelanggan dapat digambarkan sebagai tujuan pemasaran

mempertahankan pelanggan agar tidak pindah ke pesaing

serta mempertahankan pelanggan aktif dengan perusahaan

dan melibatkan alokasi optimal dari sumber data.

Manfaat Retensi Pelanggan

Menurut Buttle (2009:263), retensi pelanggan memberikan

dampak positif diantaranya customer delight, adding

customer perceived value, creating social and structural

bonds, dan building customer engagement.

1. Customer Delight

2. Customer perceived value

3. Bonding

4. Build customer engagement

Menurut Zeithaml, et.al (2009:193) membangun retensi

pelanggan dapat diidentifikasikan dengan empat

pendekatan, antara lain:

1. Menambah manfaat keuangan (Adding Financial

Benefit atau Financial Bonds)

Memberikan manfaat keuntungan terhadap keuangan

perusahaan, hal tersebut terjadi dikarenakan adanya

peningkatan pembelian dari adanya repeat customer

secara berulang-ulang, tanpa mengeluarkan biaya

promosi yang sangat besar. Financial bonds ini terdiri

dari: Program club marketing, Volume and frekuensi

rewards, Stable pricing, Bunding dan cross selling.

2. Menambah Manfaat Sosial (Adding Social Benefit atau

Social Bonds)

Membentuk suatu hubungan secara pribadi antara

perusahaan, khususnya karyawan dengan pelanggan.

Dalam hal ini, karyawan berusaha meningkatkan ikatan

sosial mereka dengan pelanggan dengan cara

membangun relasi pada masing-masing pelanggan

secara pribadi. Social bond terdiri dari: Continous

Relationship, Personal Relationship, Creat Positive

social bonds between the customer and service

provider employees (social bond among customers).

Page 108: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

99

3. Menambah manfaat kustomisasi (Adding customization

benefit atau customization bonds).

Menawarkan suatu program yang sesuai dengan

keinginan pelanggan, biasanya tidak untuk semua

pelanggan, hanya pelanggan pada segmen tertentu saja

yang menginginkan pelayanan yang berbeda dari

biasanya.

4. Menambah ikatan struktural (adding structural ties

atau structural bonds). Structural bonds terdiri dari:

Creat long term contact, Charge a lower price to

customer who buy larger suppliers,Turn the product

into a long term service

3. OBJEK DAN METEDOLOGI PENELITIAN

3.1 Objek Penelitian

Penelitian ini menganalisa destination branding dan

customer retention, yang menjadi variabel eksogen

atau variabel bebas yaitu destination branding

dengan indikator Image, Recognition, Differentiation,

Brand messages, Consistency, Emotional Response,

dan Creating Expectation. Selanjutnya yang menjadi

variabel endogen atau variabel terikat yaitu customer

retention yang mencakup Financial bonds, Social

bonds, Customize bonds. Unit analisis dari penelitian

ini adalah wisatawan Indonesia yang telah

berkunjung ulang ke Thailand. Penelitian ini

menggunakan metode pengembangan cross sectional

karena penelitian dilakukan dalam kurun waktu

kurang dari satu tahun serta informasi dari sebagian

populasi dikumpulkan langsung ditempat kejadian

secara empirik dengan tujuan untuk mengetahui

pendapat dari sebagian populasi terhadap objek yang

sedang diteliti. Menurut Husein Umar (2008:45)

Pendekatan cross sectional yaitu “Metode penelitian

dengan cara mempelajari objek dalam kurun waktu

tertentu/tidak berkesinambungan dalam jangka waktu

panjang”.

3.2 Metode Penelitian

3.2.1 Jenis dan Metode yang Digunakan

Berdasarkan variabel-variabel yang diteliti maka jenis

penelitian ini adalah penelitian deskriptif dan verifikatif.

Metode yang digunakan dalam penelitian adalah

explanatory survey. Penelitian survei adalah penelitian

yang dilakukan pada populasi besar maupun kecil, tetapi

data yang dipelajari adalah data-data dari sampel yang

diambil dari populasi tersebut, sehingga ditemukan

kejadian-kejadian relatif, distribusi dan hubungan-

hubungan antar variabel sosiologis maupun psikologis

(Linger dalam Sugiyono (2008:7).

3.2.2 Metode Penarikan Sampel

Dalam penentuan ukuran sampel (n) dan populasi (N) yang

telah ditetapkan maka dalam penelitian ini menggunakan

rumus sampel Slovin (Husein Umar, 2003:141) yaitu

sebagai berikut:

Keterangan:

n = sampel

N = Populasi

e = 10% = 0,1

Berdasarkan teknik tersebut maka jumlah sampel yang

diambil dalam penelitian ini adalah sebanyak 100

wisatawan.

3.2.3 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data yang digunakan oleh

penulis adalah sebagai

berikut:

1.Wawancara,

2. Kuesioner,

3. Observasi,

4. Studi kepustakaan

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Pelaksanaan Program Destination Branding

Hasil rekapitulasi seluruh tanggapan wisatawan

yang disajikan pada Tabel 4.1

Berdasarkan pada Tabel 4.1 dapat dilihat bahwa sub

variabel dari pelaksanaan destination branding yang

mendapatkan penilaian paling tinggi adalah emotional

response dengan skor rata-rata sebesar 410,33 dengan

presentase15%. Hal tersebut karena pemerintah Thailand

sudah mampu menerapkan dan membangkitkan emosional

wisatawan dalam daya tarik wisata Thailand yang

ditawarkannya sehingga menciptakan kesan positif

dibenak wisatawan dengan daya tarik wisata negara lain.

Sedangkan sub variabel yang mendapat penilaian terendah

adalah differentiation dengan persentase sebesar 14%

dengan skor rata-rata 376,25. Hal tersebut disebabkan oleh

pemerintah Thailand belum mampu dalam menciptakan

Page 109: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

100

daya tarik wisata yang memiliki nilai beda dengan tujuan

wisata negara lainnya dalam kawasan Asia Tenggara.

4.2 Tanggapan WisatawanTerhadap Tourist

Retention untuk Berkunjung keThailand

Hasil rekapitulasi seluruh tanggapan wisatawan yang

disajikan pada Tabel 4.2

Berdasarkan pada Tabel 4.2 dapat dilihat bahwa sub

variabel tourist retention mendapatkan penilaian paling

tinggi adalah customize bonds dengan persentase sebesar

35% dengan skor rata-rata 389. Hal tersebut karena ikatan

penyesuaian antara daya tarik wisata Thailand, informasi

yang diberikan, keragaman dan kevariasian paket wisata

yang ditawarkan sudah mampu menyesuaikan dengan

permintaan dan keinginan wisatawan Indonesia yang

berkunjung ke Thailand sehingga kebutuhan wisatawan

Indonesia selama berkunjung ke Thailand dapat terpenuhi

dengan baik.

Sedangkan sub variabel yang mendapat penilaian terendah

adalah social bonds dengan persentase sebesar 31%

dengan skor rata-rata 349,66. Hal tersebut disebabkan oleh

kurangnya kemampuan masyarakat Thailand yang bisa

berbahasa inggris sehingga menjadi suatu kendala untuk

dapat berkomunikasi dan berinterkasi dan membangun

hubungan sosial dengan wisatawan Indonesia yang

berkunjung ke Thailand.

4.3 Pengaruh Destination Branding Terhadap Touris

Retention Pada Wisatawan Indonesia yang

Berkunjung ke Thailand

Gambar 4.1 merupakan diagram jalur pengujian hipotesis

destination branding terhadap tourist retention yang

memiliki tiga sub variabel yang signifikan atau lebih kecil

jika dibandingkan 0,05 yaitu image, recognition dan

emotional response. Maka dilakukan pengujian koefisien

jalur pada setiap sub variabel destination branding

kontribusi secara langsung maupun tidak langsung

terhadap tourist retention. Berikut Tabel hasil pengujian

koefisien jalur, pengaruh langsung dan tidak langsung

destination branding terhadap tourist retention pada

wisatawan indonesia yang berkunjung ke thailand.

Berdasarkan hasil perhitungan pada Tabel 4.3 maka sub

variabel image (X1.1) memiliki pengaruh langsung

terhadap tourist retention sebesar 0,064017 atau 6,40 %.

Sedangkan pengaruh secara tidak langsung melalui

recognition sebesar 0,040456 atau 4,04% dan

melalui emotional response (X1.6) sebesar 0,054496 atau

5,44%. Sehingga diperoleh pengaruh keseluruhan image

adalah sebesar 0,158969 atau 15,89%.

Berdasarkan hasil perhitungan diatas maka dapat diketahui

bahwa pengaruh destination branding terhadap tourist

retention pada wisatawan Indonesia yang berkunjung ke

Thailand adalah sebesar 0,570288 atau 5,70%.

Sedangkan koefisien jalur variabel lain diluar

variabel destination branding ditentukan melalui :

=

=

= 0,655

Hal tersebut berarti bahwa (X1.1), (X1.2), dan (X1.6)

bersama-sama mempengaruhi tourist retention sebesar

32,3% dan sisanya (0,655)2

= 0,429 x 100% = 4,29%

dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak termasuk ke dalam

penelitian ini.

5. KESIMPULAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan dengan

menggunakan analisa deskriptif dan verifikatif antara

program destination branding dalam mempertahankan

tourist retention pada wisatawan Indonesia yang

berkunjung ke Thailand dapat diambil kesimpulan sebagai

berikut.

1. Secara umum wisatawan Indonesia memiliki penilaian

yang tinggi terhadap program destination branding.

elemen dari program destination branding yang

paling tinggi pengaruhnya terhadap tourist retention

pada wisatawan Indonesia yang berkunjung ke

Thailand adalah melalui emotional response.

Page 110: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

101

2. Gambaran wisatawan Indonesia mengenai tourist

retention untuk berkunjung ke Thailand secara umum

cukup tinggi. Aspek yang memiliki nilai tertinggi

adalah melalui customize bonds yang mendorong

wisatawan melakukan kunjungan ulang.

3. Program destination branding mempunyai pengaruh

yang tinggi terhadap tourist retention. Hal tersebut

menunjukkan bahwa pelaksanaan program destination

branding yang dilakukan Thailand melalui Image,

Recognition, Emotional Response mampu

mempengaruhi tourist retention wisatawan Indonesia

untuk berkunjung ke Thailand.

5. 2 Rekomendasi

Berdasarkan hasil penelitian yang dilakukan, maka penulis

merekomedasikan hal-hal berikut:

1. Program destination branding, secara umum

wisatawan Indonesia memiliki penilaian yang tinggi

terhadap program ini. Image Thailand secara

keseluruhan sudah baik menurut wisatawan Indonesia,

namun pihak Tourism Authority of Thailand harus

meningkatkan citra Thailand melalui kebaikan

reputasi destinasi Thailand melalui Brand Amazing

Thailand Always Amazes You dibenak wisatawan

Indonesia. Recognition Thailand secara keseluruhan

sudah dikenal melalui Brand Amazing Thailand

Always Amazes You tetapi pihak Thailand harus masih

meningkatkan keefektifan dari brand tersebut agar

lebih efektif sehingga wisatawan Indonesia lebih

mengenal daya tarik wisata Thailand. Differentiation

Thailand secara keseluruhan sudah unik dan berbeda

dengan daya tarik wisata negara lainnya, namun pihak

Tourism Authority of Thailand harus lebih

meningkatkan kekhasan dari Brand Amazing Thailand

agar lebih menarik, unik, dan spesial bagi para

wisatawan Indonesia. Brand message secara

keseluruhan sudah menarik, namun wisatawan

Indonesia menilai Thailand sebagai destinasi masih

kurang jelas memberikan informasi produk yang

dimiliki. Oleh karena itu, Thailand haruslah

meningkatkan dan menambah media informasi kepada

wisatawan dengan harapan brand message yang

disampaikan secara jelas dapat diterima dan

dimengerti oleh wisatawan Indonesia. Consistency

secara keseluruhan sudah baik membangun daya tarik

wisata dengan melalui Brand Amazing Thailand,

namun pada pertanyaan Konsistensi dalam

penggunaan Merek Thailand Melalui Amazing

Thailand masih perlu ditingkatkan, oleh karena itu

pihak Tourism Authority of Thailand harus

meningkatkan konsistensi dalam penggunaan merek

Thailand. Emotional response secara keseluruhan

sudah baik dimana daya tarik wisata Thailand sudah

mampu menciptakan kenangan yang baik dibenak

wisatawan Indonesia, namun kenyaman layanan

destinasi yang diberikan masih kurang nyaman

dirasakan oleh wisatawan Indonesia. Oleh karena itu

pihak Tourism Authority of Thailand harus lebih

meningkatkan kenyamanan layanan. Salah satu cara

yang baik ialah memberikan sambutan dan senyuman

hangat kepada wisatawan Indonesia yang berkunjung

ke Thailand. Creating Expectation secara keseluruhan

sudah baik, pihak Tourism Authority of Thailand

sudah mampu menyesuaikan harapan dengan

kenyataan yang diterima oleh wisatawan Indonesia,

namun harapan kualitas layanan dengan kenyataan

yang didapat kurang sesuai. Oleh karena itu pihak

Tourism Authority of Thailand haruslah meningkatkan

kualitas layanan salah satunya dengan cara bersikap

ramah, menjaga suasana tetap tenang, dan yang paling

penting adalah bertutur sapa dengan wisatawan ketika

melayani.” Pesannya singkat, jelas dan padat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Amelia, Emi. (2011). Pengaruh Program Customer

retention Terhadap Kepuasan Nasabah Serta

Implikasinya Pada Loyalitas Nasabah Bank Rakyat

Indonesia. Skripsi Sarjana Pada Universitas

Pendidikan Indonesia Bandung: 2011/06/23.

[2] Arikunto.(2006). Prosedur Penelitian Suatu

Pendekatan Praktek. Jakarta: Rineka Cipta.

[3] Buttle, Francis. (2009). Customer Relationship

Management 2nd

Edition. Elsevier :Oxford.

[4] Cleverdon. R, Fabricius. M. (2006). Destination

Positioning, Branding and Image Management.

Manila: WTO.

[5] Dewi, Janita Ike (2011), pemasaran pariwisata

yang bertanggungjawab, Yogyakarta: pinus book

publisher.

[6] Graham, Hankinson (2004). Relational Network

Brands: Towards a Conceptual Model of Place

Brands. ABI; Inform Global.

[7] Kapplandinou, Kiki, (2003) Destination Branding:

Concept dan Measurement retrivied August, 2003

from http://www.michigan.org/indx.lasso? -

article=108.

[8] Kertajaya, H. (2010). Konsep Pemasaran. Jakarta:

Erlangga.

[9] Kotler, Philip and Kevin Lane Keller. 2009.

Marketing Management 13th

Edition.Pearson

Prentice hall: New Jersey.

[10] Amstrong, Gary.(2008). Prinsip-Prinsip

Pemasaran Edisi 12 Jilid 1 dan 2. Jakarta:

Erlangga.

[11] Kevin Lane Keller, (2008), Manajemen

Pemasaran: Edisi Keduabelas, Jakarta:Indeks

Kelompok Gramedia.

[12] Lin Sheng-wei dan Li Chun-ju (2005), the

Relationships Among Brand Image, Service

Quality, Perceived Quality, Customer Satisfaction

and Customer Loyalty an Empirical Study of Travel

Industry: Retrived from The 2nd

Tourism Outlook

Page 111: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

102

Conference: Tourism Edge and Beyond, Malaysia:

Universiti Technologi Mara.

[13] Morgan, Nigel & Annette Pritchard, (2005),

Destination Branding. Cardiff: Elsevier.

[14] Pattan, Mario.(2009). Program Destination

Branding Dalam Mempertahankan Loyaltas

Wisatawan Indonesia Untuk Berkunjung Ke

Singapura. Skripsi Sarjana Pada Universitas

Pendidikan Indonesia Bandung: 2011/05/30

[15] Pike, S., (2008). Destination Marketing, An

Integrated Marketing Communication Approach.

USA: Elsevier Inc.

[16] Republik Indonesia.(2010).Undang-Undang No 10

Tahun 2009 tentang Kepariwisataan .Sekretariat

Kabinet RI.Jakarta

[17] Riduwan.(2010). Metode dan Teknik Menyusun

Tesis. Bandung: Alfabeta

[18] Shaw, C. (2010). How to Improve Customer

Retention by Building Customer Experiences.

Parature , 9-10.

[19] Situmorang, S. H. (2008). Destination Branding :

Membangun Kenggulan Bersaing Daerah.

Perencanaan dan pengembangan Wilayah, Vol.4,

No.2, 83.

[20] Sugiyono, (2008), Metode Penelitian Bisnis,

Bandung: Alfabeta. (2011). Statistika Untuk

Penelitian.Bandung: Alfabeta.

[21] Suharsimi Arikunto, (2006), Prosedur Penelitian:

Suatu Pendekatan Praktek: Jakarta: Rineka Cipta.

[22] Sulastri, Cici. (2010). Pengaruh Kinerja Paket

Wisata Umrah dan Haji Khusus Terhadap Retensi

Pelanggan PT. Amanah Mulia Wisata (AMWA

Tours) Sebagai Travel Penyelenggara umrah dan

Haji Khusus di Kota Bandung. Skripsi Sarjana pada

Universitas Pendidikan Indonesia: 2011/06/22.

[23] Tjiptono, Fandy. (2007). Pemasan Jasa. Penerbit

Andi : Yogyakarta.

[24] Undang undang No. 10 Tahun 2009 tentang

kepariwisataan Pasal 1 ayat 3 dan 6, pasal 1 ayat

9, Pasal 6.

[25] Zein, Riski Annisa. (2011). Pengaruh Kompetensi

dan Independensi terhadap Kualitas Audit. Skripsi

Sarjana Universitas Pendidikan

Indonesia:2012/01/03.

Website

[1] (http://www.tatnews.org/tat_corporate/3488.asp/20

.28.)

[2] (http://www.tatnews.org/latest_update/index.asp?p

=4.)

[3] (http://www.tatnews.org/tat_release/detail.asp?id=

774/18.02Thailand-business-news.com:

22.38)(mkt.unwto.org/en/content/tourismhightlights

, 2011/10/25/22.14).

[4] (http://www.tatnews.org/media-releases-

2012/item/515-tat-launches-thainess-concept-in-

indonesia-projects-major-growth-in-arrivals/12pm-

14/2/2013).

[5] http://www.tatnews.org/tat_corporate/3488.asp/20.

28).

[6] http://www.tourism.go.th/2010/th/statistic/tourism.p

hp?cid=32

Tourism.go.th/2010/th/home/index.php/2011/10/24/

22.37

[7] http://mkt.unwto.org/sites/all/files/docpdf/unwtohig

hlights 11enlr.pdf.

[8] http://travel.okezone.com/read/2011/11/29/409/535

588.

[9] http://www.tatnews.org/tat_release/detail.asp?id=7

74/18.02Thailand-business-news.com: 22.38.

[10] http://www.amazon.com/Marketing-Charles-W-

Lamb/dp/111182164X

StrategyThailand/5261.asp.htm /2011/10/25/22.32.

[11] www.eturbonews.com/23972/ -thailand-looks -

flirting-20-million-travellers-mark

2012/2011/10/25/23.17).

[12] www.amazon.com/Suzanne-E.-

Taylor/e/B001K89890.

[13] http://61.19.236.137/tourism/th/home/tourism.php

[14] http://www.travel-impact-

newswire.com/2012/07/full-details-thailands-

tourism- marketing-action-plan-

2013/#axzz2KEMRiaFR

[15] http://spektakula.blogspot.com/2011/08/travel-and-

tours-amazing-thailand.html

[16] (http://www.tatnews.org/media-releases-

2012/item/515-tat-launches-thainess- concept-in-

indonesia-projects-major-growth-in-

arrivals/12.09pm/14/2/2013)

[17] http://www.tatnews.org/about-tat/10-about-tat/16-

mission/11:41/27/04/2013)

[18] http://asianhistory.about.com/od/thailand/p/Thailan

dProfile.htm

[19] http://www.tatnews.org/about-tat/10-about-tat/57-

history/11:54/27/04/2013

[20] http://www.tourism.go.th/tourism/en/home/aboutus

-03.p

Page 112: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

103

Pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan

di Bandara Husein Sastranegara Bandung

Tomy Andrianto, SST., MM.Par, JurusanAdministrasi Niaga,Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012

E-mail : [email protected]

Any Ariani Noor, M.Sc Jurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian ini bertujuan untuk mengukur persepsi konsumen atas kualitas pelayanan bandara, melihat

bagaimana pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan pelanggan di Bandara Husein Sastranegara

Bandung dan mengungkap faktor yang menjadi pertimbangan konsumen menentukan kepuasannya

terhadap kualitas pelayanan di bandara. Model penelitian yang dikembangkan adalah dengan menentukan

delapan dimensi kualitas pelayanan bandara yang terdiri dari tangible, reliability, responsiveness,

empathy, assurance, Information visibility, Convenience dan security. Metode penelitian yang digunakan

adalah kuantitatif. Unit analisis yang digunakan adalah konsumen yang pernah mendapatkan pelayanan di

bandara Husein Sastranegara, Bandung. Jumlah responden sebanyak 152 orang dikumpulkan

menggunakan teknik non probability sampling. Data dikumpulkan menggunakan self administered

questionnaire. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas pelayanan bandara Husein Sastranegara

dipersepsikan masih belum dapat memberikan kepuasan kepada konsumen. Namun demikian, model

yang dibangun dapat menjelaskan bahwa terdapat pengaruh antara kualitas pelayanan bandara terhadap

kepuasan pelanggan dengan nilai yang rendah. Model juga dapat digunakan untuk memprediksi kepuasan

pelanggan atas kualitas pelayanan bandara. Hasil lain juga mengungkap rendahnya delapan dimensi

kualitas pelayanan bandara mempengaruhi tingkat kepuasan pelanggan menunjukkan bahwa masih

terdapat faktor lain yang perlu diuangkap dalam penelitian lanjutan.

Kata Kunci Kualitas pelayanan, kepuasan pelanggan bandara

1. PENDAHULUAN

Bandara (bandara) dipersepsikan sebagai pintu gerbang

masuk ke suatu daerah, wilayah atau negara dan telah

menjadi salah satu sarana pokok sektor transportasi

udara.Untuk dapat melaksanakan fungsinya, bandara harus

ditata secara terpadu sehingga pelayanan dapat diterima

dengan baik oleh konsumen. Tata penyelenggaraan

bandara harus sesuai dengan Keputusan Menteri

Perhubungan No. 48 tahun 2002 agar terwujud

penyelenggaraan operasi penerbangan yang handal dan

berkemampuan tinggi serta memenuhi standar

internasional perencanaan bandara, sesuai dengan standar

yang diberlakukan oleh Badan Standarisasi Indonesia

(SNI) dan International Civil Aviation Organization

(ICAO).

1.1 Latar Belakang masalah

Bandara Husein Sastranegara merupakan bandara

potensial dengan pertumbuhan penumpang rata-rata

mencapai 25% pertahun sampai tahun 2011 dengan angka

960.000 orang. Pada tahun 2012 pertumbuhan penumpang

di Bandara Husein Sastranegara mencapai 97,5% atau 1,8

juta penumpang setahun, terdiri dari 1,2 juta penumpang

domestik, dan 600.000 penumpang internasional

(dephub.go.id, 2013). Kenaikan ini terjadi karena

pembukaan rute baru dari dan menuju Bandung (Sunoko

dalam Nugroho, 2012), seperti peningkatan penerbangan

dari Airlines yang sudah beroperasi atau masuknya

Airlines baru baik domestik atau Internasional di Bandara

Husein. Pada tahun 2012 penerbangan tumbuh 70,1%

menjadi 17.529 setahun, yaitu domestik sebanyak 12.494

dan internasional 5.035 penerbangan. Peningkatan jumlah

penumpang dan penerbangan ini tentu saja harus

diantisipasi dengan peningkatan pelayanan di bandara.

Page 113: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

104

Masih kurang baiknya pelayanan bandara Husein

Sastranegara dikeluhkan banyak kalangan sejak lama.

Kurangnya pelayanan di bandara Husein Sastranegara

memberikan citra buruk pada industri pariwisata kota

Bandung. Dalam hal pelayanan, penumpang menilai

kondisi bandara Husein Sastraegara Bandung sangat tidak

layak, terutama jarak antara kedatangan penumpang

dengan barang sangat dekat, sehingga sering terjadi antrian

yang panjang hingga ke luar bandara (Saleh dalam

Tommy, 2010). Pelayanan lain di bandara Husein

Sastranegara juga menjadi hal utama buruknya pelayanan,

seperti pada proses imigrasi penumpang yang turun harus

menunggu lama, termasuk petugas imigrasi yang kurang

ramah, dan ruang tunggu yang tidak representatif

(Herdivan, 2011).

1.2 Perumusan masalah

Berdasarkan latar belakang, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah:

1. Bagaimana persepsi konsumen terhadap kualitas

pelayanan bandara Husein Sastranegara Bandung?

2. Seberapa besar pengaruh kualitas pelayanan terhadap

kepuasan konsumen bandara Husein Sastranegara

Bandung?

3. Faktor-faktor apa saja yang menjadi pertimbangan

konsumen dalam menentukan kualitas pelayanan

bandara Husein Sastranegara Bandung.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Aktivitas bandara dilakukan dalam tiga area yang berbeda

(ACCC, 2004), yaitu (1) airside area terdiri dari fasilitas

yang berhubugan dengan runway, taxiway dan apron

system (2) terminal, yaitu pelayanan atas fasilitas yang

berada dalam gedung terminal dan berhubungan dengan

perpindahan penumpang, barang termasuk standar

kenyamanan penumpang (3) ground access terdiri dari

pelayanan fasilitas yang berhubungan dengan akses,

termasuk area parkir, dan jalan masuk menuju bandara.

Sementara Yusuf (2011) membagi bandara menjadi dua

bagian, yaitu (1) landside area yang terdiri dari terminal

dan area parkir (2) airside area, yaitu runaway dan apron

(area khusus untuk persiapan penerbangan dan termasuk

dalam restricted area. Pada studi ini, area yang menjadi

objek penelitian adalah landside area, atau area terminal,

karena studi dilakukan untuk mendapatkan jawaban atas

persepsi konsumen terhadap fasilitas publik yang dapat

digunakan oleh mereka.

2.1 Kualitas Pelayanan Bandara

Peningkatan kualitas pelayanan bandara banyak dilakukan

oleh bandara di seluruh dunia untuk memberikan

pengalaman pelayanan bandara yang baik kepada

penumpang. Peningkatan kualitas pelayanan menjadi

sangat penting dalam bisnis bandara, karena sebagai

pemberi jasa harus secara komprehensif memberikan

seluruh pelayanan yang diperlukan penumpang. Beragam

pelayanan terus mengalami inovasi dan pembaharuan

sejalan dengan kemajuan dan penggunaan teknologi (ASQ

Survey, 2011). Kualitas pelayanan bandara perlu dikelola

secara profesional dengan memprioritaskan pelayanan

kepada pelanggan secara berkelanjutan dan terukur agar

dapat mengetahui kinerja jasa bandara. Parasuraman dkk

dalam Fodness dan Murray (2007) mendefiniskan kualitas

pelayanan sebagai seberapa jauh perbedaan antara

kenyataan dan harapan pelanggan atas layanan yang

konsumen terima. Dengan kata lain, terdapat dua faktor

utama yang mempengaruhi kualitas pelayanan, yaitu

harapan konsumen (expectation) dan kinerja yang

dirasakan konsumen (performance). Kualitas pelayanan

bandara sangat dibutuhkan untuk mencapai kepuasan

konsumen. Fodness dan Murray (2007) melakukan

pengukuran kualitas pelayanan bandara untuk tujuan: (1)

Menilai persepsi harapan konsumen mengenai kualitas pelayanan, (2) Mengidentifikasi dan melakukan prioritas

pelayanan untuk meningkatkan kualitas pelayanan dan

kepuasan konsumen di bandara dan (3) Menciptakan

indikator untuk memberikan pelayanan yang

berkesinambungan pada kualitas pelayanan di bandara.

2.2 Model Kualitas Pelayanan Bandara

Teori kualitas pelayanan bandara secara umum merujuk

pada kualitas pelayanan dengan menggunakan model teori

kesenjangan (gap). Dimensi kualitas pelayanan yang

banyak digunakan adalah dimensi yang pertama kali

dikembangkan oleh Parasuraman dkk pada tahun 1988,

dikenal dengan istilah SERVQUAL yang terdiri dari lima

dimensi kepuasan konsumen, yaitu: (1) tangible; (2)

realibility; (3) responsiveness; (4) assurance; dan (5)

empathy (dalam Lee dan Lin, 2005). Kelima dimensi

tersebut merupakan dimensi yang banyak digunakan untuk

mengukur kualitas pelayanan pada industri jasa dan dapat

digunakan untuk mengukur kualitas pelayanan pada

bandara. Khireldin dkk (2011) mengembangkan dimensi

yang digunakan untuk menganalisa kualitas pelayanan

bandara yang terdiri dari (1) comfort,(2) processing time,

(3) convenience, (4) courtesy of staff, (5) information

visibility dan (6) security.

Pada studi yang dilakukan Fodness dan Murray (2007) di

bandara Amerika, banyak peneliti mengukur kualitas

pelayanan bandara dengan melakukan diskusi dan

wawancara terhadap pihak-pihak yang berkepentingan

(stakeholders)di bandara daripada melakukan survey

terhadap penumpang.Studi yang sama juga dilakukan oleh

Rhoades dkk dalam Fodness dan Murray (2007) yang

mengembangkan daftar kunci faktor pembentuk kualitas

bandara dari persektif beragam stakeholders, yang terdiri

dari (1) passenger service issues, (2) airport access, (3)

airlines airport interface) dan (4) inter-terminal

transport.Studi lain yang dilakukan Yeh dan Kuo (2002)

mengemukakan bahwa pendekatan terhadap kualitas

pelayanan bandara dapat diidentifikasi dengan enam

Page 114: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

105

kategori pelayanan (1) comfort, (2) processing time, (3)

convenience, (4) courtesy of staff, (5) information visibility

dan (6) security.

Berdasarkan studi yang dilakukan para ahli mengenai

kualitas pelayanan diatas, maka pada studi ini, dimensi

kualitas pelayanan yang digunakan merupakan bagian dari

pengembangannya. Pada keseluruhannya terdapat

beberapa persamaan dimensi. Berdasarkan dimensi dari

peneliti terdahulu, tidak seluruh dimensi tepat digunakan

untuk studi yang dilakukan di bandara Husein

Sastranegara. Beberapa dimensi dapat digabungkan

dengan dimensi lainnya karena memiliki arti yang

mirip.Sehingga dalam studi ini dibangun dimensi yang

dapat mewakili tingkat kualitas pelayanan sesuai dengan

kondisi yang ada di bandara Husein Sastranegara.

2.3 Kepuasan Konsumen Bandara

Telah menjadi suatu kepercayaan umum, khususnya

didunia bisnis, bahwa kepuasan pelanggan merupakan

salah satu kunci keberhasilan suatu usaha. Hal ini

dikarenakan dengan memuaskan konsumen, organisasi

dapat meningkatkan keuntungannya dan mendapatkan

pangsa pasar yang lebih luas (Barsky, 1992). Karena

kepercayaan tersebut, banyak studi dilakukan untuk

mengukur kepuasan konsumen. Sehingga banyak definisi

diberikan kepada istilah ―customer satisfaction‖ atau

kepuasan pelanggan.Kotler dan Armstrong

(2004)mendefinisiskan kepuasan pelanggan sebagai “the

extend to which product’ perceived performance matches

a buyer’s expectation‖ (h.17). Zeithaml dan Bitner (2000)

mendefinisikan kepuasan sebagai ―Satisfaction is the

customer’s fullfillment response. It is a jugdement that a

product or service feature, or the product of service it self,

provides a pleasureable level of consumption-related

fullfillment‖ (h.75).

Dari definisi tersebut terdapat suatu kesamaan makna

bahwa kepuasan pelanggan merupakan suatu perasaan atau

penilaian emosional dari pelanggan atas penggunaan suatu

produk atau jasa dimana harapan dan kebutuhan mereka

terpenuhi. Jika konsumen merasa apa yang ia peroleh lebih

rendah dari yang diharapkannya (negatif diskonfirmasi)

maka konsumen tersebut tidak akan puas. Sebaliknya, jika

yang diperoleh konsumen melebihi apa yang ia harapkan

(positif diskonfirmasi) maka konsumen akan puas.

Sedangkan pada keadaan dimana apa yang diterima sama

dengan apa yang diharapkan maka konsumen tersebut

akan merasakan tidak puas dan cukup puas (netral).

Apabila pelanggan merasa puas, maka efek yang timbul

adalah keinginan pelanggan mengulang pelayanan yang

pernah diterimanya. Hal tersebut sejalan dengan studi yang

dilakukan Fodness dan Murray (2007), yang menyatakan

bahwa kemampuan bandara memberikan kepuasan kepada

konsumen akan menjadi pertimbangan bagi konsumen

untuk menggunakan bandara tersebut sebagai tempat

memulai perjalanannya atau persinggahan dalam jadwal

penerbangannya

2.4 Faktor Pembentuk Kepuasan Pelanggan di

Bandara

Pengalaman penumpang di bandara sangat penting untuk

mengukur tingkat kepuasan atas kualitas pelayanan

bandara. Faktor yang akan membentuk kepuasan

pelanggan berbeda antara bandara satu dan lainnya, hal

tersebut berkaitan dengan kondisi bandara yang berbeda.

Untuk mengetahui faktor pembentuk kepuasan pelanggan

di bandara, perlu dilakukan studi terhadap faktor-faktor

penting yang mempengaruhi kepuasan pelanggan di

bandara.Husein Sastranegara merupakan salah satu

bandara internasional di Indonesia yang melayani

penerbangan domestik dan internasional.Meskipun

dikategorikan sebagai bandara internasional, bandara

Husein Sastranegara masih banyak mendapat keluhan dari

penumpang, baik penumpang domestik, maupun

penumpang mancanegara (Saleh dalam Tommy, 2010;

Herdivan, 2011).

Untuk meningkatkan kepuasan konsumen di bandara

Husein Sastranegara, maka perlu ditentukan faktor-faktor

yang membentuk kepuasan pelanggan di bandara.

Berdasarkan diskusi diatas, maka faktor pembentuk

kepuasan konsumen yang digunakan adalah: (1) tangible

(2) reliability (3) responsiveness (4) empathy (5)

assurance (6) Information visibility (7) Convenience dan

(8) security.

Tangible (bukti fisik) diartikan sebagai kemampuan

perusahaan dalam menunjukkan eksistensi dirinya, seperti

kondisi gedung terminal bandara, fasilitas teknologi yang

tersedia, penampilan karyawan. Secara keseluruhan hal

tersebut berhubungan dengan bukti fisik yang dapat dilihat

keberadaannya. Reliability (keandalan) menjelaskan

kemampuan perusahaan dalam memberikan pelayanan

sesuai dengan janji yang diberikan pada

pelanggan.Responsiveness (daya tanggap) berarti

kemampuan perusahaan dalam menunjukkan kemampuan

dalam memberikan pelayanan yang cepat dan tepat kepada

pelanggan. Assurance (jaminan dan kepastian) berkaitan

dengan kemampuan karyawan dalam menumbuhkan rasa

kepercayaan dari pelanggannya pada perusahaan,

didalamnya terdapat unsur etika karyawan, kredibilitas,

rasa aman pelanggan. Empathy (perhatian) berisi perhatian

yang bersifat individu kepada pelanggan dari perusahaan

dengan maksud perusahaan memahami labih jauh

keiinginan dan kebutuhan pelanggannya (Yulianto,

2009).Information visibility memberikan pengertian

mengenai kemampuan perusahaan memberikan informasi

jadwal penerbangan yang akurat dan tanda lain yang

berhubungan dengan informasi. Convenience adalah

kemampuan bandara memberikan fasilitas layanan yang

diperlukan konsumen, seperti restoran, toko ATM dan

lainnya.Sementara security adalah kemampuan perusahaan

Page 115: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

106

memberikan rasa aman atas keberadaan konsumen di

bandara dan keamanan atas seluruh fasilitas di bandara

(Khireldin dkk, 2011).

2.5 Hipotesis

Berdasarkan teori yang dikembangkan, model penelitian

menunjukkan bahwa kualitas pelayanan merupakan faktor

yang akan membentuk kepuasan konsumen (gambar 1).

Semakin tinggi kualitas layanan yang dirasakan oleh

konsumen, semakin tinggi kepuasan yang akan dirasakan

oleh konsumen ini digambarkan sebagai berikut

Dengan demikian hipotesis yang diuji dalam penelitian ini

adalah: Kualitas pelayanan berpengaruh terhadap

kepuasan pelanggan di bandara Husein Sastranegara

Bandung.

3. METODE PENELITIAN

Tujuan dari studi ini adalah untuk memahami hubungan

antara kualitas pelayanan dan kepuasan konsumen.Dengan

demikian unit analisis yang digunakan pada penelitian ini

adalah pada tingkat individu, yaitu orang yang telah

mendapatkan pelayanan di bandara Husein Sastranegara

melaluicross sectional datayang dikumpulkan dari

konsumen di bandara Husein Sastranegara, Bandung.

Teknik pengambilan sampel yang digunakan adalah non

probability sampling, yaitu pengambilan sampel yang

tidak memberikan peluang sama bagi setiap anggota

populasi untuk dipilih menjadi sampel (Sumarni dan

Wahyuni, 2006). Total responden dalam penelitian ini

adalah 152 orang responden. Pilot test dilakukan untuk

menjaga tingkat validitas dan reliabilitas atas pertanyaan-

pertanyaan dalam kuesioner dan untuk menguji apakah

pertanyaan dalam kuesioner bisa dimengerti oleh

responden. Data dikumpulkan dengan menggunakan

kuesioner yang diisi sendiri oleh responden (self

administered).

4. HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN

4.1 Profil responden

Total jumlah responden sebenarnya 152 orang, terdapat

beberapa responden yang tidak mengisi semua pertanyaan

mengenai profil mereka sendiri, sehingga beberapa

pertanyaan mengenai profil ini tidak dijawab dengan

lengkap. Selanjutnya dirangkum lebih detail pada tabel 1

dibawah ini,

Tabel : Profil Responden

Jenis Kelamin Pria

Wanita

72 orang

79 orang

Usia < 25 tahun

25 – 35 tahun

36 – 45tahun

>45 tahun

68 orang

24 orang

32 orang

24 orang

Pekerjaan Pelajar/ mahasiswa

Pegawai swasta

Wiraswasta

PNS

Lainnya

54 orang

36 orang

20 orang

20 orang

17 orang

Penghasilan < 2juta

2 – 4 juta

4 – 6 juta

> 6 juta

60 orang

37 orang

24 orang

6 orang

Terakhir kali

terbang

< 1 bulan

1 – 3 bulan

> 3 bulan

39 orang

42 orang

69 orang

Jumlah

terbang

< 5 kali

6 – 10 kali

> 10 kali

101orang

36 orang

14 orang

Profil responden menunjukkan tidak ada perbedaan gender

yang besar dalam penelitian ini, bahwa laki-laki dan

perempuan memiliki kecenderungan jumlah yang sama

dalam perjalanannya menggunakan pesawat. Usia

responden juga mengindikasikan bahwa responden pada

usia produktif banyak melakukan perjalanan menggunakan

alat trasportasi udara. Perjalanan menggunakan pesawat

saat ini tidak didominasi oleh pegawai saja, tetapi juga

oleh pelajar dan mahasiswa. Sementara, kapan terakhir

pelanggan terbang melalui bandara Husein Sastranegara

penting dalam penelitian ini untuk mengetahui bagaimana

persepsi responden untuk mengingat dengan mudah

pelayanan yang pernah diterima di Bandara Husein

Sastranegara. Semakin konsumen dekat dengan waktu

terakhir kali menggunakan pelayanan di Bandara Husein

dipersepsikan semakin konsumen dapat menjawab dengan

baik pelayanan yang diterima. Dengan jumlah terbang

pelanggan dari bandara Husein Sastranegara, dapat

dijelaskan meskipun mayoritas responden terbang kurang

dari 5 kali melalui bandara Husein, tetapi responden telah

mendapatkan pelayanan dan merasakan pelayanan yang

diterima dari Bandara Husein.

1. Tangible 2. Reliability 3. Responsiveness 4. Empathy 5. Assurance 6. Information Visibility 7. Convenience 8. Security

Kepuasan Pelanggan

SERVICE QUALITY

BANDARA:

Gambar 1: Model Penelitian

Page 116: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

107

4.3 Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan

bandara

Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan Bandara

Husein sastranegara rata-rata sebesar 3.3653 yang berarti

kualitas pelayanan bandara Husein Sastranegara dianggap

biasa saja atau belum baik, seperti disampaikan pada tabel

2.

Tabel 2: Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan

Delapan dimensi yang digunakan untuk mengukur

persepsi konsumen terhadap bandara Husein Sastranegara

ditampilkan pada tabel 3.

Tabel 3: Persepsi konsumen terhadap dimensi Kualitas

Pelayanan Bandara

Dimensi Mean Std. Dev

Information 3.56 .64

Assurance 3.46 .69

Security 3.39 .81

Convenience 3.35 .59

Responsiveness 3.33 .79

Reliability 3.30 .79

Tangible 3.27 .62

Empathy 3.00 .80

Berdasarkan tabel 3 dapat dijelakan bahwa kejelasan

informasi penerbangan, informasi frekuensi ketersediaan

ruang tunggu dan kejelasan informasi bisa dikatakan

cukup baik. Begitu juga dengan assurance bahwa

kemampuan karyawan dalam menjawab pertanyaan, etika

dan pelayanan informasi yang simpatik, cukup baik,

dengan nilai yang lebih kecil dari dimensi Informasi.

Dimensi security yang didalamnya menunjukan indikasi

bahwa tingkat keamanan bandara, Kualitas fasilitas

keamanan (X-ray, security gate) juga masih dianggap

cukup baik. Dimensi convenience mengindikasikan

kenyamanan ruang tunggu, toilet, toko, restoran, tempat

penukaran uang, mesin ATM dan trolley bagasi bisa

dikatakan cukup baik. Begitu juga dimensi

Responsiveness, menunjukkan kemampuan membantu

konsumen, keinginan memecahkan masalah konsumen

dinilai masih cukup, dan reliability (kehandalan) yang

ditunjukkan dengan ketepatan dan kecepatan waktu

memberikan pelayanan juga cukup, dan cenderung belum

baik. Sementara Tangible, merupakan dimensi yang

menilai penampilan gedung terminal, fasilitas teknologi,

penampilan karyawan dan fasilitas ruang tunggu masih

belum baik. Serta, emphaty

merupakan dimensi dengan nilai terkecil yang diukur dan

dinilai paling rendah, terdiri dari kemampuan karyawan

memberikan perhatian secara individu dan mengetahui

kebutuhan konsumen juga dinilai masih belum baik,

bahkan paling kecil diantara kualitas pelayanan lainnya.

Secara keseluruhan, delapan dimensi kualitas pelayanan

yang digunakan dalam penelitian ini menunjukkan

persepsi responden terhadap kualitas pelayanan bandara

Husein sastranegara yang biasa saja atau cukup. Meskipun

dimensi Informasi dan Assurance merupakan dua dimensi

dengan nilai tertinggi namun kedua dimensi tersebut juga

belum memperlihatkan persepsi yang ideal atau baik bagi

pelayanan di bandara Husein Sastranegara. Nilai standar

deviasi yang cukup tinggi juga memperlihatkan

keberagaman jawaban yang diberikan responden. Standar

deviasi untuk dimensi Responsiveness, Reliability,

Empathy dan Security dinilai tinggi berarti keragaman

jawaban dari responden untuk empat dimensi tersebut

sangat beragam.

4.3 Pengaruh kualitas pelayanan terhadap

kepuasan konsumen

Berdasarkan analisa korelasi tingkat keeratan hubungan

kualitas pelayanan dengan kepuasan pelanggan yaitu 0,620

memperlihatkan hubungan yang signifikan, positif dan

cukup kuat karena nilai signifikansi kurang dari 0,05.

Dengan kata lain, peningkatan pada faktor kualitas

pelayanan akan meningkatkan pula kepuasan pelanggan.

Begitu juga dengan hasil analisa regresi yang dilakukan

untuk melihat seberapa kuat pengaruh kualitas pelayanan

terhadap kepuasan pelanggan di Bandara Husein

sastranegara, menunjukkan bahwa R square sebesar 0,384,

berarti bahwa hanya 38,4% kepuasan pelanggan di

bandara Husein Sastranegara dapat dijelaskan oleh

variabel kepuasan konsumen yang terdiri dari 8 dimensi

diatas. Sementara 61,6% kualitas pelayanan konsumen di

Bandara Husein disebabkan oleh faktor lain diluar kualitas

pelayanan yang tidak diteliti dalam studi ini.

Tabel 4: Model Summary

Model R R Square Adjusted R

Square Std error of the setimate

1 .6203 .384 .380 .54032

Berdasarkan tabel Anova, menunjukkan tingkat

signifikansi ANOVA atau Analysis of Variance yang juga

disebut dengan T test memiliki nilai 93.621 degan tingkat

signifikansi 0,000. Maka model regresi dapat digunakan

untuk memprediksi kepuasan pelanggan. Koefisien regresi

bernilai positif mencerminkan semakin baik kualitas

pelayanan, maka kepuasan pelanggan akan meningkat dan

terlihat signifikan. Hal ini dianggap menjadi penting dan

diperlukan untuk meningkatkan kepuasan pelanggan. Atas

dasar ini dapat dinyatakan bahwa Hipotes penelitian

Descriptive Statistics

152 1.52 4.44 3.3653 .51159

152

SERVQUAL

Valid N (listwise)

N Minimum Maximum Mean Std. Dev iation

Page 117: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

108

terbukti, yaitu kualitas pelayanan berpengaruh terhadap

kepuasan pelanggan di Bandara Husein Sastranegara.

4.4 Faktor-faktor pertimbangan konsumen

Penilaian konsumen terhadap kualitas pelayanan bandara

Husein Sastranegara yang ditunjukkan dengan nilai analisa

rata-rata 3,3 atau tingkat pelayanan yang bisa disebut biasa

saja atau cukup baik, menunjukkan bahwa konsumen

sebenarnya menginginkan kualitas pelayanan mencapai

tingkat kepuasan yang ideal, yaitu berada pada rentang 4,5

sampai 5. Tentunya penilaian konsumen masih jauh dari

penilaian ideal yang seharusnya diterima konsumen.

Kedelapan dimensi yang digunakan untuk menilai kualitas

pelayanan bandara Husein Sastranegara, secara ideal

belum menunjukkan tingkat kepuasan konsumen. Angka

sebesar 38,4% yang ditunjukkan pada R Square pada tabel

4 menunjukkan bahwa kedelapan dimensi belum

sepenuhnya mewakili faktor penentu kepuasan konsumen.

Maksudnya disamping kedelapan hal tersebut masih ada

faktor lain yang dapat meningkatkan kepuasan konsumen

terhadap pelayanan yang diberikan bandara Husein

Sastranegara agar mencapai hasil yang ideal. Delapan

dimensi yang digunakan dalam penelitia ini terdiri dari

Information, Assurance, Security, Convenience,

Responsiveness, Reliability, Tangible dan Empathy. Diluar

itu masih terdapat faktor lain yang perlu dipertimbangkan

untuk mengukur tingkat kepuasan konsumen di bandara.

4.5 Keterbatasan Penelitian

Kegiatan penelitian ini ditujukan terhadap konsumen yang

pernah mendapatkan pelayanan di Bandara Husein

Sastranegara. Hal ini tidaklah mudah karena beberapa

keterbatasan untuk mendapatkan responden yang tepat dan

direncanakan sebelumnya. Kriteria responden yang

diharapkan dalam penelitian ini adalah konsumen yang

menggunakan seluruh pelayanan di Bandara Husein

sastranegara, namun masih banyak dari konsumen hanya menggunakan sebagian besar fasilitas bandara saja.

Dengan demikian, penilaian konsumen pengguna bandara

belum seluruhnya dapat mencerminkan persepsi konsumen

terhadap penilaian bandara tersebut.

Keterbatasan lainnya dalam penelitian ini, yaitu mayoritas

responden dalam penelitian ini merupakan kelompok usia

kurang dari 25 tahun. Hal ini tentunya memberikan

persepsi yang berbeda dengan golongan responden pada

rentang usia lainnya. Keterbatasan ragam usia responden

juga terungkap dari pengalaman terakhir yang mereka

dapatkan di Bandara. Meskipun tempat pelaksanaan

pengumpulan data direncanakan lebih banyak

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Persepsi konsumen terhadap kualitas pelayanan bandara

udara Husein Sastranegara Bandung masih belum baik

atau dengan kata lain, bandara Husein Sastranegara masih

belum dapat memberikan kepuasan ideal kepada

konsumen dari sisi information, tangible, assurance,

security, convenience, responsiveness, reliability, emphaty.

Terdapat pengaruh kualitas pelayanan terhadap kepuasan

konsumen, dengan hasil yang positif dan signifikan. Hal

ini berarti meskipun delapan dimensi kualitas pelayanan

bandara yang digunakan dalam penelitian ini memiliki

pengaruh yang rendah terhadap kepuasan pelanggan,

namun model tersebut dapat digunakan untuk

memprediksi kepuasan pelanggan.

Delapan dimensi kualitas pelayanan bandara yang

digunakan dalam penelitian ini hanya memberikan

sebagian kecil saja pertimbangan konsumen dalam

menentukan kualitas pelayanan di bandara. Tentunya

masih ada faktor lain yang belum digunakan dan diungkap

diluar ke-delapan dimensi yang berpengaruh serta dapat

meningkatkan kepuasan konsumen terhadap pelayanan

yang diberikan.

5.2 SARAN

Terdapat beberapa saran yang diusulkan peneliti untuk

meningkatkan kualitas pelayanan dan kepuasan pelanggan

bandara Husein Sastranegara Bandun, yaitu:

1. Dilakukan penelitian lanjutan untuk mengungkap

faktor lain yang mempengaruhi kepuasan konsumen di

bandara, seperti penilaian konsumen terhadap area luar

bandara (tempat parkir, fasilitas umum lain) yang

mampu memberikan persepsi terhadap keseluruhan

kualitas pelayanan bandara.

2. Memberikan pelatihan pelayanan prima untuk pegawai

di bandara, mengingat rendahnya nilai empathy dan

responsiveness pegawai. Tentunya hal tersebut akan

meningkatkan kemampuan staf dalam memberikan

pelayanan yang lebih baik.

3. Kebersihan fasilitas bandara yang dikeluhkan

konsumen dapat ditingkatkan dengan melakukan

penjadwalan kebersihan, seperti toilet dan fasilitas

umum lainnya.

4. Pemberian Informasi yang tepat dan cepat menjadi

peran penting di Bandara karena konsumen pasti

membutuhkan hal ini. Bandara Husein Sastranegara

perlu memperbaharui dan memperbaiki serta

menambah tanda-tanda informasi yang tersedia di area

bandara, misalnya tanda arah pembayaran airport tax,

arah tanda pengambilan bagasi, tanda alur akses keluar

dan masuk bandara. Hal ini bisa dilakukan dengan

memanfaatkan teknologi sistem informasi yang

terintegrasi bahkan interaktif disetiap area yang

digunakan konsumen.

Page 118: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

109

DAFTAR PUSTAKA

[1] ACCC, 2004, guidelines for quality of service

monitoring at airports, Australian Competition &

Consumer Commission, online edition

[2] ASQ Survey, 2011, Airport Service Quality,

Benchmarking the global airport indutry, Best

practice report, Airport Council International,

online edition, Geneva, Switzerland

[3] Barsky, Jonathan (1992). Customer Satisfaction in

the Hotel Industry: Measurement dan Meaning.

Cornell H. R. A. Quarterly, 7. (20-41).

[4] Fodness, D dan Murray, B (2007), Passengers‟

expectations of airport service quality, Journal of

Service Marketing, 21/7, pp. 492-506. Diakses

pada: www.emeraldinsight.com/0887-6045.htm

[5] Fornell, Claes; Johnson, Michael D.; Danerson,

Eugene W.; Cha, Jaesung; Bryant, Barbara Everitt

(1996). The American Customer Satisfaction Index:

Nature, Purpose, dan Findings. Journal of

Marketing, 60(10). (7-18).

[6] Gremler, Dwayne D. dan Brown, Stephen W.

(1997).Service Loyalty: It‟s Nature, Importance,

dan Implications. Advancing Service Quality: A

Global

[7] Perspective, Edvardsson dkk., (eds) Quiz 5,

Conference Processing, University of Karlstad,

Sweden, (171-181).

[8] Hair, Anderson, Tatham, Black.(1998).

Multivariate Data Analysis.Fifth Edition. New

Jersey: Prentice Hall. USA

[9] Herdivan (2011), Kualitas sebagian bandara di

Indonesia mengecewakan, diakses

pada:http://bisnis-

jabar.com/index.php/berita/pelayanan-bandara-

harus ditingkatkan

[10] Kandampully dan Dwi Suhartanto (2003) The Role

of Customer Satisfaction dan Image in Gaining

Customer Loyalty. Journal of Hospitality dan

Leisure Marketing.Vol. 10. No ½. 2003.

[11] Khireldin, A., Zaher, HM, dan Elmoneim, AM,

(2011), A fuzzy approach for evaluating the

performance and service quality of airport,

Egyptian Aviation Academy, Cairo University,

Egypt

[12] Kotler, Philip dan Armstrong (2004).Principles of

Marketing.Prentice Hall.

[13] Lee, G.G. dan Lin, H.F (2005), Customer

perceptions of e-service quality in online shopping,

International Journal of retail and distribution

management, Vol 33, No. 2, pp.161-176. Diakses

pada:www.emeraldinsight.com/0959-0552.htm

[14] Nugroho R (2012), Angkasa Pura II benahi

bandara, diakses pada:

http://industri.kontan.co.id/news/angkasa-pura-ii-

benahi-bandara

[15] Noor, A. (2005), To what extend do the service

quality and price influence customer decision

making in choosing to fly with Airline low costs?,

Bournemouth University, UK. Dissertation

[16] Sekaran, Uma (1992) Business Research

Methods.McGraw-Hill.

[17] Sugiama, A. Gima (2008), Metode Riset Bisnis dan

Manajemen, Bandung, Guardaya Intimarta

[18] Tommy (2010), Pelayanan bandara Husein

Sastranegara sangat buruk, DemokratNews, diaksek

pada: http://demokratnews.com/pelayanan-bandara-

husein-sastranegara-sangat-buruk

[19] Yamin, S dan Kurniawan, H (2009), SPSS

complete, Teknik Analisis Statistik terlengkap

dengan software SPSS, Jakarta, Salemba Infotek.

[20] Yeh CH dan Kuo, YL (2002), Evaluating passenger

serveices of Asia-Pacific international airports,

Transportation Research Part E, pp.39-48

[21] Yulianto, A (2009), Kajian kualitas pelayanan:

Industri jasa penerbangan pasca kecelakaan

pesawat

Page 119: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

110

PENERAPAN MODEL LOYALITAS PELANGGAN SEBAGAI

STRATEGI UNTUK MEMBANGUN DAYA SAING JASA ANGKUTAN

KOTA

DI JAWA BARAT

Tjetjep Djatnikaa, Dwi Suhartanto

b, Gundur Leo

c

aJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung

E-Mail: [email protected]

bJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung

E-Mail: [email protected]

cJurusan Administrasi Niaga, Politeknik Negeri Bandung

E-Mail: [email protected]

ABSTRAK

Maksud dari penelitian ini adalah untuk menyelidiki faktor-faktor penentu loyalitas pelanggan angkot. Sebanyak 258 formulir

kuesioner siap olah terkumpul dari responden pelajar dan mahasiswa yang tersebar di 10 kota/kabupaten di Jawa Barat.

Data diolah dengan menggunakan Partial Least Square - Path Modeling. Penelitian ini menemukan bahwa dari tiga variabel

penentu yang diusulkan hanya kepuasan pelanggan yang memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas pelanggan. Dampak

tidak langsung kualitas layanan terhadap loyalitas pelanggan juga hanya terjadi melalui kepuasan pelanggan. Diantara sesama

variabel penentu, nilai layanan sama-sekali tidak berpengaruh baik terhadap kepercayaan pelanggan maupun kepuasan

pelanggan. Sedangkan kepercayaan pelanggan berpengaruh positif terhadap kepuasan pelanggan. Ancaman persaingan

penggunaan angkot sebagai kebutuhan mobilitas warga adalah penggunaan kendaraan pribadi (jasa substitusi). Dalam rangka

membangun preferensi/ patronasi pelanggan terhadap penggunaan angkot secara berkelanjutan maka penyedia jasa angkot

perlu membangun program loyalitas pelanggan melalui penyediaan mutu layanan yang bagus, penguatan kepercayaan

pelanggan, dan penjaminan kepuasan pelanggan.

Kata Kunci

Loyalitas, kepuasan, kepercayaan, nilai, kualitas layanan 1. PENDAHULUAN

Angkot adalah kendaraan umum kapasitas 12-16

penumpang, penyedia jasa angkutan darat penumpang

orang untuk jarak pendek yang beroperasi di dalam

kota/kabupaten untuk suatu trayek/ rute tertentu. Layanan

angkot merupakan kebutuhan pokok warga urban (mobility

needs) yang bersifat rutin penting dan mendesak. Provinsi

Jawa Barat memiliki 19 kabupaten dan 7 kota dengan

penduduk 40 juta jiwa, merupakan provinsi penyumbang

PDB terbesar dan berperan sebagai provinsi penyangga ibu

kota Republik Indonesia. Selain itu, Jawa Barat merupakan

bagian dari korider ekonomi Jawa, berdasarkan MP3EI,

diposisikan sebagai “pendorong industri dan jasa nasional”.

Sektor jasa transportasi merupakan sektor penyumbang

terbesar terhadap pertumbuhan ekonomi dan kesempatan

kerja lokal/regional di Jawa Barat. Salah-satunya adalah

usaha jasa angkot. Angkot disediakan oleh fihak swasta,

beroperasi dalam struktur pasar yang pengguna-nya banyak

sekali dan penyedia-nya cukup banyak, dengan layanan

yang kurang lebih serupa serta harga jual (tarif) yang

ditetapkan oleh otoritas daerah. Inisiatif Ridwan Kamil,

wali kota ibu kota provinsi Jawa Barat yang

mengkampanyekan “angkot day” diharapkan dicontoh oleh

dan meng-inspirasi kabupaten/kota lain di Jawa Barat.

Bandung sebagai kota wisata, kota kreatif, kota budaya,

kota sejarah dan kota pendidikan, untuk merealisir visi,

misi, dan tujuan-tujuannya memerlukan keberadaan angkot

yang efisien dan melayani. Artikel ini akan diawali dengan

pendahuluan sebagai pengantar akan pentingnya program

loyalitas pelanggan, dilanjutkan dengan kerangka teoritis-

konseptual dan pemaparan studi empiris yang mengarahkan

penelitian ini. Berikutnya, penjelasan sekilas tentang

metodologi penelitian, perumusan model kinerja loyalitas

pelanggan, analisa dan pembahasan, dan ditutup dengan

kesimpulan dan saran.

2. KONSEP LOYALITAS PELANGGAN

Berhubung betapa pentingnya setiap bisnis memiliki

pelanggan yang loyal maka loyalitas pelanggan telah

menjadi salah satu area penelitian yang penting dalam

Page 120: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

111

beberapa tahun terakhir belakangan ini. Konseptualisasi

loyalitas pelanggan [13] berarti bahwa loyalitas merupakan

suatu hal yang kompleks, yang terdiri atas dua aspek, yaitu

loyalitas sikap dan loyalitas perilaku. Karena sikap

merupakan suatu konsep yang abstrak yang terdiri atas

elemen kognitif, afektif, dan konatif sehingga loyalitas

sikap terdiri atas loyalitas kognitif, afektif, dan konatif.

Loyalitas kognitif merupakan loyalitas yang didasarkan atas

kepercayaan dan pengetahuan bahwa suatu barang atau jasa

lebih disukai daripada produk atau jasa pesaingnya [15].

Pada tingkat loyalitas ini, suatu merk akan timbul dibenak

konsumen pertama kali ketika konsumen tersebut

merasakan suatu kebutuhan untuk membeli. [9]

mendefinisikan loyalitas afektif sebagai “a favourable

attitude or liking based on satisfied usage‖. Loyalitas ini

dibangun berdasar atas konsep afeksi, yaitu keseluruhan

evaluasi konsumen akan suatu merek dan terdiri atas

keterlibatan/involvement, kesukaan/liking, dan

perhatian/caring Keterlibatan, kesukaan, dan perhatian ini

terjadi sebagai akibat dari kepuasan konsumen dalam

mengkonsumsi produk atau jasa. Loyalitas konatif, disebut

juga sebagai niat berperilaku (behavioural intention) adalah

“a loyalty state that contains what, at first, appears to be

the deeply held commitment to buy” [15]. Komitmen untuk

membeli suatu produk dipengaruhi oleh perasaan suka

(afektif) secara berulang terhadap produk tersebut. Sebagai

akibatnya, mempunyai konsumen yang berkomitmen

merupakan suatu hal yang sangat penting bagi setiap bisnis

karena mereka akan relatif tahan terhadap godaan

pemasaran dari para pesaing. Terakhir, loyalitas perilaku

merupakan perubahan niat menjadi tindakan, yang disertai

dengan keinginan untuk mengatasi rintangan yang timbul

dalam proses[2]. Loyalitas ini akan bertahan lama jika

diikuti oleh komitmen sebagai akibat dari rasa puas

terhadap produk.

Berikut ini adalah ringkasan studi empiris loyalitas

pelanggan jasa transportasi darat angkutan dalam kota

dalam kurun waktu 7 tahun belakangan ini yang akan

menjadi rujukan teori dari penelitian ini. [12] meneliti

pengaruh kualitas layanan terhadap loyalitas afektif

pelanggan dengan menggunakan pendekatan Service

Quality Index menemukan bahwa penyedia jasa angkutan

kota efektip dalam menciptakan preferensi pelanggan

melalui realibilitas layanan dan ketersediaan tempat duduk

dalam bus. [6] melakukan riset tentang dampak kualitas

layanan terhadap kepuasan pelanggan dengan

menggunakan SEM. Melalui EFA empat variabel eksogen

teridentifikasi yaitu: reliabilitas dan perencanaan layanan,

kenyamanan, keselamatan dan kebersihan, dan rancangan

jejaring. Sedangkan variabel kepuasan diukur dengan

indikator persepsi dan ekspektasi pelanggan. Temuannya

bahwa keempat variabel independen tersebut berpengaruh

terhadap kepuasan. [13] menemukan dalam penelitiannya

bahwa waktu tunggu, keadaan dalam kendaraan, frekuensi

dan ketepatan waktu, kebijakan pentarifan, berpengaruh

terhadap kepuasan pelanggan. [10] meneliti efek dari

kualitas layanan dan seringnya pelanggan angkot

mendapatkan pengalaman layanan yang buruk terhadap

kepuasan dan loyalitas pelanggan angkot di kota Bandung.

Melalui analisa jalur ditemukan bahwa seluruh variabel

determinan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan.

Kedepan, pelanggan angkot akan masih setia sekalipun

tidak ada perbaikan yang berarti. Melalui analisa regresi

binomial, dengan menyelidiki secara mendalam terhadap

karakteristik-karakteristik kelompok pengguna yang setia

dapat disimpulkan bahwa keberadaan angkot di masa depan

masih akan diterima di negara berkembang seperti

Indonesia. [19] meneliti pengaruh kualitas layanan terhadap

ekspektasi/preferensi pelanggan (loyalitas afektif). Dengan

metode PCA, dari 18 karakteristik kualitas layanan

ditemukan bahwa fasilitas dan kenyamanan kendaraan dan

tanggungjawab perusahaan merupakan preferensi

pelanggan. [17] meriset tentang dampak kualitas layanan,

nilai layanan, dan kepuasan pelanggan terhadap retensi

pelanggan. Dengan menggunakan SEM ditemukan bahwa

nilai layanan berpengaruh terhadap kepuasan pelanggan,

kualitas layanan, dan loyalitas pelanggan. Selanjutnya,

kepuasan pelanggan berpengaruh terhadap loyalitas

pelanggan. Bertolak belakang dengan temuan-temuan

peneliti sebelumnya adalah bahwa kualitas layanan tidak

berdampak apapun baik terhadap kepuasan pelanggan

maupun loyalitas pelanggan. [11] meneliti pengaruh

kualitas layanan, nilai layanan, kepuasan pelanggan, dan

keterlibatan pelanggan terhadap konatif (intention). Melalui

SEM, seluruh varibel independen secara statistik

berpengaruh terhadap perilaku niat menggunakan kembali

di masa depan. [22] meneliti pengaruh kualitas layanan

terhadap kepuasan pelanggan, menemukan bahwa 67.7%

dari para penumpang angkot kecewa karena ketidak-tepatan

waktu. [18] meneliti dampak dari kualitas layanan terhadap

persepsi kognitif pelanggan. Melalui SERVQUAL

ditemukan bahwa kualitas layanan yang pelanggan rasakan

berpengaruh terhadap persepsi kognitif pelanggan. [20]

menyelidiki tentang pengaruh kualitas layanan,

pengorbanan pelanggan, nilai layanan, dan kepuasan

pelanggan terhadap niat untuk mengkonsumsi kembali.

Melalui SEM ditemukan bahwa nilai layanan dan kualitas

layanan berpengaruh terhadap niat untuk menggunakan

kembali. Disamping itu, nilai layanan dipengaruhi oleh

kualitas layanan dan pengorbanan pelanggan (kasus

angkutan kota di Jakarta). [1] meneliti hubungan kualitas

layanan dengan kepuasan pelanggan. Melalui regresi

logistic binary ditemukan bahwa penilaian responden

terhadap layanan angkutan kota di Ghana: istimewa (15%),

baik (63%), cukup (20.8%), dan jelek (1%). Melalui

estimasi binary logit ditemukan bahwa penilaian pelanggan

cenderung tinggi terhadap kualitas layanan ketika mereka

puas dengan komponen ongkos, tingkat kejahatan dalam

kendaraan, dan catatan keselamatan dalam kendaraan. [21]

meneliti pengaruh kualitas layanan terhadap kepuasan

konsumen. Melalui metode the satisfaction priority

quadmap ditemukan bahwa pelanggan „kurang puas‟

dengan aspek informasi dan ketersediaan angkot; „puas‟

dengan aspek lingkungan, customer care, dan aksesibilitas;

„sangat puas‟ dengan aspek keamanan dan ketepatan

Page 121: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

112

jadwal. Melalui metode customer satisfaction performance

dashboard diketahui bahwa yang paling dianggap

memuaskan adalah suhu dan ventilasi dalam bus.

Sedangkan yang paling dianggap mengecewakan mereka

adalah cara supir mengemudikan bus-nya.

Penelitian mereka memberi arah yang berarti dalam

pelaksanaan penelitian ini. Pertama, meskipun keduabelas

peneliti tersebut masih menggunakan pengukuran loyalitas

tunggal (loyalitas konatif/niat), namun pada umumnya

studi-studi empiris-nya menunjukan bahwa loyalitas

pelanggan merupakan suatu hal yang komplek yang terdiri

atas elemen kognitif, afektif, konatif, dan perilaku. Kedua,

dilihat dari sisi determinan atau faktor pembentuknya,

studi-studi yang telah dilakukan menunjukan bahwa

loyalitas pelanggan dipengaruhi oleh banyak faktor. Studi-

studi empiris tersebut manggarisbawahi bahwa kualitas

layanan, nilai layanan, dan kepuasan pelanggan merupakan

faktor dominan sebagai pembentuk (building block)

loyalitas pelanggan. Ketiga, studi tentang loyalitas

pelanggan pada umumnya menggunakan pendekatan cross-

sectional, dimana data dikumpulkan hanya pada suatu

waktu tertentu saja. Berhubung perilaku pelanggan

(termasuk dalam hal ini loyalitas) adalah dinamis sejalan

dengan perubahan waktu dan lingkungan, sehingga

pendekatan cross-sectional tersebut tidak mampu memberi

penjelasan bagaimana loyalitas pelanggan berubah sesuai

dengan perubahan waktu dan lingkungan yang dihadapi

oleh pelanggan.

Diskusi tentang studi-studi empiris yang telah dilakukan

selama 7 tahun terakhir ini menunjukan adanya research

gap yang menjadi dasar usulan rencana penelitian ini.

Sehingga, studi tentang bagaimana pelanggan membangun

loyalitasnya yang kompleks (kognitif, afektif, konatif, dan

perilaku) dalam jangka panjang di sektor industri jasa

transportasi penting untuk dilakukan. Selanjutnya,

meskipun banyak determinan loyalitas pelanggan

teridentifikasi, pada umumnya studi-studi terdahulu

mengarisbawahi adanya empat determinan penting bagi

loyaltitas pelanggan. Pertama, kualitas layanan, yaitu

pendapat konsumen tentang superioritas jasa secara

keseluruhan [8], merupakan strategi yang sangat penting

untuk keberhasilan dan kelangsungan hidup bagi setiap

perusahaan karena efek positifnya terhadap loyalitas

pelanggan. Kedua, nilai layanan merupakan evaluasi

konsumen terhadap apa yang ia terima dengan apa yang

telah dia diberikan [5]. Konsumen yang mempersepsikan

nilai layanan yang tinggi akan cenderung mengulang

pembeliannya. Ketiga, kepuasan pelanggan yaitu respon

pelanggan atas layanan yang dirasakan melebihi apa yang

diharapkannya [14]. Terakhir, kepercayaan (trust) yaitu

“when one party has confidence in an exchange partner’s

reliability and integrity‖ [15] mempengaruhi perilaku loyal

pelanggan karena efeknya pada komitmen pelanggan.

Dengan pertimbangan konseptualisasi loyalitas pelanggan

serta studi empiris tentang loyalitas pelanggan, model

loyalitas pelanggan di industri jasa angkot yang akan diuji

dalam penelitian ini nampak seperti pada Gambar 1.

Berdasar atas model penelitian, dua hipotesis- diajukan

untuk diuji pada tahun I ini. Hipotesis pertama adalah

„Nilai layanan, kepercayaan pelanggan dan kepuasan

pelanggan memiliki pengaruh positif terhadap loyalitas

pelanggan‟. Hipotesis kedua adalah „Kualitas layanan,

secara tidak langsung, melalui nilai layanan‟, kepercayaan

pelanggan dan kepuasan pelanggan, berpengaruh positif

terhadap loyalitas pelanggan.

Gambar 1: Model Loyalitas Pelanggan (Usulan)

3. METODE PENELITIAN

Karena studi ini bersifat longitudinal (evolusi), untuk

memahami proses evolusi tersebut maka syaratnya adalah

bahwa para penggunanya mengkonsumsi secara terus-

menerus (continuous) dalam 3 tahun kedepan. Untuk tujuan

tersebut, maka usaha jasa yang dipilih adalah jasa angkot.

Konsumen angkot di Provinsi Jawa Barat menyebar

dihampir seluruh wilayah provinsi. Sehingga, metode

sampling yang sesuai untuk studi ini adalah cluster

sampling, dan jugdment sampling. Survey ini menggunakan

suatu kuesioner yang terstruktur agar bisa mengumpulkan

data primer dari para siswa dan mahasiswa yang masih

duduk pada tahun I yang sedang berada dilingkungan

sekolah/kampus. Survey ini dilaksanakan antara tanggal 24

September - 1 Oktober 2013 dengan menyebarkan tenaga

lapangan beberapa mahasiswa dan alumni program studi

Manajemen Pemasaran Polban ke 10 kota/kabupaten di

Jawa Barat. Targetnya 272 kuesioner terkumpul, sedangkan

realisasinya hanya 258 buah (95%). Dari 258 orang yang

mengisi kuesioner 29.5% pria dan 70% wanita; siswa

76.7% dan mahasiswa 23.3% ; yang uang saku hariannya

Rp. 20.000 kebawah sekitar 84,3% dan yang diatas Rp.

20.000 sebanyak 15,9%. Yang menggunakan angkot dalam

seminggu ≤ 2 kali (18.6%), 3-5 kali (20.9%), 5-8 kali

(31.8%), dan yang diatas 10 kali (28.7%).

Kuesioner dalam penelitian ini akan dibagi menjadi tiga

bagian. Bagian pertama berisi pertanyaan-pertanyaan

dengan item jamak untuk mengukur konstruk yang akan

diuji. Semua pertanyaan dalam bagian ini akan dibuat

dengan kalimat positif sebagaimana disarankan oleh [16].

Agar konsisten dengan penelitian-penelitian terdahulu,

Page 122: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

113

semua konstruk akan diukur dengan 5 point Likert scale:

sangat tidak setuju (1) sampai sangat setuju (5). Sedangkan

bagian ketiga akan digunakan untuk mengumpulkan

informasi demografi responden, seperti: umur, jender,

pendapatan, pendidikan responden, dan perilaku responden

dalam hal penggunaan angkot. Kuesioner akan didesain

sebagai self-administered questionnaire.

4. DISKUSI DAN PEMBAHASAN

Pemodelan loyalitas pelanggan dengan keempat faktor

pembentuknya (kualitas layanan, nilai layanan, kepuasan

pelanggan, dan kepercayaan pelanggan) dilakukan dengan

menggunakan metode SEM variance based (Partial Least

Square). Penggunaan SEM ini dilakukan karena uji

normalitas data menunjukan bahwa data yang dianalisis

tidak terdistribusi secara normal sehingga yang paling

sesuai untuk pengujian modelnya adalah dengan

menggunakan SEM variance based [7];[8]. Dari lima

variabel yang diujikan pada model loyalitas yang diusulkan,

terdapat satu variabel eksogen (kualitas layanan) selebihnya

adalah variabel endogen. Dalam proses pengujian model

loyalitas pelanggan, prosedur yang disarankan oleh para

ahli bidang pemodelan [7] dilakukan, dimana pada tahap

awal adalah pengujian model dasar untuk mengetahui

kelayakan modelnya melalui uji psikometrik variabel.

Tabel 1 menunjukan bahwa nilai average variance

extracted (AVE) semua variabel diatas 0.5 mengindikasikan

bahwa variabel yang diujikan merupakan konstruk yang

mempunyai validitas yang baik [3]. Selanjutnya, nilai AVE

dari variabel dibandingkan dengan nilai R2 dari variabel

yang digunakan juga menunjukan bahwa nilai AVE masih

lebih besar dari R2, mengindikasikan bahwa validitas

diskriminan antar variabel yang diujikan memuaskan.

Akhirnya, composite reliability dan nilai Cronbach’s Alpha

(kecuali loyalitas pelanggan) menunjukan bahwa variabel

yang diujikan reliabel, karena nilai reliabilitasnya diatas

yang disarankan oleh para ahli [3], yaitu >0.6. Hasil uji

tersebut menunjukan bahwa dari sisi reliabilitas dan

validitas konstruk yang diujikan relatif masih memuaskan.

Tabel 1: Uji Psikometrik Variabel

AVE Composite

Reliability R2

Cronbach

Alpha

Kualitas

Layanan 0.591 0.878 0 0.826

Loyaltas

Pelanggan 0.684 0.812 0.284 0.547

Nilai

Layanan 0.756 0.861 0.128 0.682

Kepuasan

Pelanggan 0.747 0.855 0.345 0.663

Customer

Trust 0.559 0.785 0.294 0.611

Tahap selanjutnya adalah mengeluarkan item yang

mempunyai loading dibawah 0.5 serta penghapusan jalur

yang tidak signifikan. Hasil uji model loyalitas pelanggan

angkot dapat dilihat pada Tabel 2. Tabel 2 juga menunjukan

bahwa hasil uji t-test signifikan pada tingkat p < 1%,

mengilustrasikan bahwa semua indikator yang digunakan

merupakan elemen nyata pengukur konstruk yang diukur

karena mempunyai faktor loading lebih dari 0.50. Item

loyalitas pelanggan nomer 1 “Angkot adalah pilihan utama”

dikeluarkan dari model karena mempunyai nilai loading

dibawah 0.5 (0.183).

Tabel 2: Nilai Faktor Loading Item dan

t Statistik

Variabel Loading T Stat*

Nilai Layanan

- Tarif sesuai aturan 0.833 11.665*

- Tarif sesuai layanan 0.904 25.393*

Kepuasan Pelanggan

- Layanan melebihi harapan 0.845 18.871*

- Puas secara keseluruhan 0.883 23.642*

Kepercayaan Pelanggan

- Staf tidak mengejar

setoran 0.523 3.452*

- Staf berkomitmen 0.869 27.041*

- Staf informatif 0.805 11.676*

Loyalitas Pelanggan

- Suka terhadap layanan 0.880 8.796*

- Niat menggunakan lagi 0.770 8.458*

Kualitas Layanan

- Keramahan Staf 0.766 13.944*

- Kondisi kendaraan 0.801 18.916*

- Staf bisa dipercaya 0.766 16.655*

- Layanan yang sesuai

kebutuhan 0.744 13.229*

- Layanan yang bisa

diandalkan 0.764 15.433*

*Signifikan pada p < 1% dengan nilai t stat >2

Salah satu hal yang penting dalam pengujian pemodelan

adalah untuk mengetahui bagimana variabel-variabel yang

diujikan saling berhubungan satu dengan lainnya. Tabel 3

memperlihatkan koefisien jalur dari pemodelan yang

dilakukan. Tabel 3 (dan Gambar 2) menggambarkan hasil

uji struktural model hubungan antar variabel yang diujikan

yang dipertunjukkan dengan koefisien jalur. Hubungan

yang signifikan antara kualitas layanan dengan nilai

layanan, kepuasan dan kepercayaan, menunjukkan arti

penting akan kualitas layanan dalam bisnis penyedia jasa

transportasi perkotaan, angkot. Selanjutnya, hubungan

antara kualitas layanan dengan loyalitas pelanggan yang

tidak signifikan tidak berarti bahwa kualitas layanan tidak

penting sebagai faktor determinan dari loyalitas, karena

hasil uji korelasi antara kedua variabel tersebut adalah

signifikan.

Tidak signifikannya hubungan antara kualitas layanan

dengan loyalitas pelanggan mengindikasikan bahwa efek

dari kualitas terhadap loyalitas adalah tidak langsung yaitu

melalui kepuasan pelanggan, dan kepercayaan pelanggan.

Page 123: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

114

Indikasi tersebut ditunjukan dengan adanya hubungan yang

signifikan antara kualitas layanan dengan ketiga faktor

tersebut serta hubungan yang signifikan antara kepercayaan

pelanggan dengan kepuasan pelanggan. Di lain fihak, tidak

terdapat hubungan yang signifikan antara nilai layanan-

baik dengan kepercayaan pelanggan maupun kepuasan

pelanggaan. Hal ini mungkin saja terjadi karena angkot

adalah operator berbiaya rendah dan bertarif murah.

Selanjutnya, kepuasan pelanggan berhubungan secara

signifikan terhadap loyalitas pelanggan.

Tabel 3: Koefisien Jalur

Jalur Koefisien t Stat *

Kualitas Layanan →

Loyalitas Pelanggan 0.282 ns

Kualitas Layanan →

Nilai Layanan 0.358 3.244*

Kualitas Layanan →

Kepuasan Pelanggan 0.410 4.322*

Kualitas Layanan →

Kepercayaan Pelanggan 0.447 3.896*

Nilai Layanan → Loyalitas

Pelanggan -0.034 ns

Nilai Layanan →

Kepercayaan Pelanggan 0.186 ns

Kepuasan Pelanggan →

Loyaltas Pelanggan 0.235 2.166*

Kepercayaan Pelanggan →

Loyaltas Pelanggan 0.140 ns

Kepercayaan Pelanggan

→ Kepuasan Pelanggan 0.26 2.624*

*Signifikan pada p < 1%; ns = not significant

Gambar 2 menunjukan besarnya R2 untuk masing-masing

variabel endogen, yaitu 13% (nilai layanan), 29%

(kepercayaan pelanggan), 35% (kepuasan pelanggan), dan

28%% (loyalitas pelanggan). Menggunakan patokan yang

disarankan oleh para ahli [20][21] bahwa model dikatakan

sebagai baik jika mempunyai nilai R2 = 67%, moderat R

2 =

33%, dan lemah R2 = 19%, maka dapat dikatakan bahwa

model loyalitas yang dibangun adalah cenderung moderat.

0.29Kepercayaan

Pelanggan

0.28 Loyalitas

Pelanggan

0.35Kepuasan

Pelanggaan

0.13 Nilai

Layanan

KualitasLayanan

0.36

0.45

0.41

0.26 0.24

Gambar 2: Model Loyalitas Pelanggan (hasil)

Implikasi dari temuan analisis pemodelan ini bahwa untuk

membangun loyalitas pelanggan maka penyedia jasa angkot

harus mampu memberikan layanan yang mempunyai nilai

yang tinggi, menimbulkan rasa percaya pelanggan, dan

akhirnya memberikan rasa kepuasan pelanggan. Dalam uji

model yang dilakukan menunjukan bahwa loyalitas

pelanggan terhadap layanan jasa transportasi angkot

mempunyai 2 indikator, yaitu kesukaan terhadap jasa

transportasi angkot serta niat pelanggan untuk

menggunakan lagi jasa angkot dimasa yang akan datang.

Dengan demikian, untuk mendapatkan perilaku loyal

tersebut, penyedia jasa harus mampu menciptakan jasa

angkutan yang berkualitas dengan menyediakan lima aspek,

yaitu (1) sopir dan kenek yang ramah, (2) kondisi

kendaraan yang baik dan nyaman, (3) sopir dan kenek yang

bisa dipercaya, (4) tersedianya trayek yang sesuai dengan

kebutuhan, serta (5) layanan transportasi yang bisa

diandalkan. Diantara kelima hal tersebut, hasil analisis

faktor loading menunjukan bahwa kondisi kendaraan yang

baik dan nyaman mempunyai nilai loading yang lebih

tinggi dibandingkan faktor lainnya. Temuan ini

berimplikasi penting bagi penyedia jasa angkot untuk

menyediakan kendaraan yang mempunyai kondisi yang

baik sehinga pelanggan akan merasa nyaman. Selain faktor

tersebut, konsisten dengan hasil-hasil studi di industri

lainnya, hasil studi ini menggaris-bawahi arti penting

bahwa faktor sumberdaya manusia yang ramah dan bisa

dipercaya merupakan hal yang tidak terhindarkan harus

disediakan.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

Pelaku usaha angkot sebagai operator biaya rendah, demi

kelangsungan usahanya, sebaiknya tidak hanya mengejar

efisiensi tetapi juga menjamin pelayanan yang baik kepada

konsumen. Rendahnya kualitas layanan berdampak pada

kekecewaan pelanggan dan ketidak-percayaan pelanggan

sehingga berakibat buruk pada hilangnya kesetiaan

pelanggan yang ditandai dengan semakin tergodanya

pelanggan untuk beralih ke penggunaan kendaraan pribadi

selamanya dan seterusnya. Program perbaikan kualitas

layanan meliputi aspek tehnis-fungsional kendaraan, empati

dan ke-cepat-tanggap-an supir kepada para pelanggannya,

kehandalan jadwal-nya, kompetensi-nya dalam berlalu-

lintas dan berinteraksi dengan penumpang.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Aidoo, E., N., Agyemang, W., Monkah, J., E.,

Afukaar,F.,K.,Passenger’s Satisfaction With

Public Bus Transport Services in Ghana: A

Case Study of Kumasi- Accra

Route,Theoretical and Empirical Researches in

Urban Management. Volume 8 Issue 2/May 2013.

[2] Chin, W., R. Peterson, et al. (2008). "Structural

equation modeling in marketing: Some

reminders." Journal of Marketing Theory and

Practice 16(4): 287.

[3] Chitty, B., Ward, S., & Chua, C. (2007). An

application of the ECSI model as a predictor of

satisfaction and loyalty for backpacker hostels.

Marketing Intelligence & Planning, 25, 563.

Page 124: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

115

[4] Clemes, M. D., Gan, C., & Ren, M. (2010),

Synthesizing the effects of service quality, value,

and customer satisfaction on behavioral

intentions in the motel industry: An empirical

analysis. Journal of Hospitality & Tourism

Research In Press.

[5] Cronin, J. J., Brady, M. K., & Hult, T. M. (2000).

Assessing the effects of quality, value, and customer

satisfaction on consumer behavioral intentions in

service environments. Journal of Retailing, 76(2), 193.

[6] Eboli, L., Mazzulla, G., ( 2007), Service Quality

Attributes Affecting Customer Satisfaction for Bus

Transit, Journal of Public Transportation, Vol. 10,

No. 3,

[7] Ghozali, I., & Fuad. (2005). Structural equation

modelling: Teori, konsep, dan aplikasi.

Semarang: Badan Penerbit Universitas Diponegoro.

[8] Hair, J. F., M. Sarstedt, et al. (2012). "An assessment

of the use of partial least squares structural

equation modeling in marketing research."

Journal of the Academy Marketing Science 40:

414- 433.

[9] Harris, L. C., & Goode, M. M. (2004). The four

levels of loyalty and the pivotal role of trust: A

study of online service dynamics. Journal of

Retailing, 80(2), 139.

[10] Joewono, T., B., Hisashi , K., (2007), User

Perceptions of Private Paratransit Operation in

Indonesia, Journal of Public Transportation, Vol. 10,

No. 4.

[11] Lai, W., T., Chen, C., F., (2010), Behavioral

Intentions of Public Transport Passengers—

The Roles of Service Quality, Perceived Value,

Satisfaction and Involvement, Transport Policy .

[12] Mazzulla, G., Eboli, L., (2006), A Service Quality

experimental measure for public transport,

European Transport, no.34(2006): 42-53.

[13] Morfoulaki, M., Tyronopoulos, Y., Aifadopoulou,

G., (2007), Estimation of Satisfied Customers

in Public Transport Systems: A New

Methodological Approach, Journal of the

Transportation Research Forum, Vol. 46, No. 1.

[14] Morgan, R. M., & Hunt, S. D. (1994). The

commitment-trust theory of relationship marketing.

Journal of Marketing, 58(3), 20.

[15] Oliver, R. L. (1999). Whence consumer loyalty?

Journal of Marketing, 63, 33.

[16] Parasuraman, Berry, L., L. , & Zeithaml, V., A. .

(1991). Perceived Service Quality as a Customer-

Based Performance Measure: An Empirical

Examination of Organizational Barriers Using an

Extended Service Quality Model. HRM, Volume 30,

Issue 3, Autumn (Fall).

[17] Pei, C., B., A., C., (2011), Determinants of Service

Quality and Perceived Value and Its Impact on

Customer Satisfaction and Customer Loyalty: An

Empirical Perspective on Public Transportation

Sector, Universiti Teknologi Mara, December

2011.

[18] Randheer, K.,AL-Motawa,A., A., Vijay, J., P.,

Measuring Commuters’ Perception on Service

Quality Using SERVQUAL in Public

Transportation, International Journal of

Marketing Studies, Vol. 3, No. 1; February

2011.

[19] Sezhian, M., V., Muralidharab, C., Nambirajan,

T., Deshmukh, S., G., (2011), Ranking of A

Public Sector Passenger Bus Transport

Company Using Principal Component Analysis: A

Case Study, Management Research and Practice

Volume 3, Issue 1/ March 2011.

[20] Sumaedi, s., Bakti, I., G., M., Y., Yarmen, M.,

The Empirical Study of Public Transport

Passengers’ Behavioral Intentions: The Role of

Service Quality, Perceived Sacrifice, Perceived

Value, and Satisfaction (Case Study: Para-

transit Passengers in Jakarta, Indonesia),

International Journal for Traffic and Transport

Engineering, 2012, 2(1): 83-97.

[21] Trompet, M., Parasram, R., J., Anderson, (2013),

Benchmarking Disaggregate Customer Satisfaction

Scores Between Bus Operators in Different Cities

and Countries, Transportation Research Board

92nd

Annual Meeting and Publication in the

Transportation Research Record.

[22] Yaakub, N., Napiah, M., (2011), Quality of Service

and Passenger’s Perception – A Review on Bus

Service in Kota Bharu, International Journal of

Civil & Environmental Engineering IJCEE-IJENS

Vol: 11 No: 05.

Page 125: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

116

PENGARUH STRUKTUR

KEPEMILIKAN

DAN KEPUTUSAN KEUANGAN

TERHADAP NILAI PERUSAHAAN

Windi Novianti, Iman Romansyah

Program Studi Manajemen, Universitas Komputer Indonesia, Bandung 40132

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh dari Struktur Kepemilikan dan Keputusan Keuangan terhadap

Nilai Perusahaan. Dimana Manajemen suatu perusahaan memiliki tugas untuk membuat suatu keputusan untuk pencapaian

tujuan dari perusahaan, adapun tujuan perusahaan dalam jangka panjang adalah meningkatkan nilai perusahaan nilai

perusahaan dapat dicapai dengan keputusan keuangan salah satunya adalah dengan keputusan pendanaan (DER). Adapun

fenomena yang berkembang pada saat ini menggambarkan bahwa sebenarnya sektor property dan real estate merupakan sektor

bisnis yang cukup berkembang. Teapi dengan adanya krisis yang terjadi di belahan benua Eropa dan Amerika yang berimbas

pada perkembangan bisnis properti di Indonesia meskipun secara tidak langsung. Krisis Eropa dan Amerika memang berimbas

pada pasar global secara umum. krisis ekonomi Amerika akan terus berlanjut hingga akhir Desember 2008. Metode penelitian

ini menggunakan metode deskriptif dengan pendekatan verifikatif, Unit analisis dalam penelitian ini adalah perusahaan

property dan real estate yang terdaftar di BEI periode 2088-2012. Secara parsial struktur kepemilikan tidak berpengaruh

terhadap nilai perusahaanProperty dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Secara pengaruh daristruktur

kepemilikan dan keputusan keuangan secara bersama-sama terhadap nilai perusahaanpada perusahaan Property dan Real Estate

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia sebesar 0,7%, sedangkan sisanya sebesar 99,3% merupakan pengaruh faktor lain diluar

kedua variabel tersebut.

Kata Kunci Struktur Kepemilikan, Keputusan Keuangan dan Nilai Perusahaan

1. PENDAHULUAN

Manajemen suatu perusahaan pasti mempunyai tujuan

untuk meningkatkan nilai perusahaan melalui

implementasi keputusan keuangan yang terdiri dari

keputusan investasi, keuangan dan kebijakan deviden.

Ketiga keputusan keuangan tersebut akan menentukan

bagaimana kinerja perusahaan tersebut dalam

memaksimalkan kesejahteraan para pemegang saham.

Selain dari keputusan keuangan, struktur kepemilikan dari

suatu perusahaan dapat berpengaruh terhadap nilai suatu

perusahaan. Nilai perusahaan pada dasarnya dapat diukur

melalui beberapa aspek, salah satunya adalah harga pasar

saham perusahaan karena harga pasar saham perusahaan

mencerminkan penilaian investor keseluruhan atas setiap

ekuitas yang dimiliki.

Struktur kepemilikan perusahaan juga dipengaruhi faktor

yang lain yang harus diperhatikan karena faktor-faktor

tersebut sangat berpengaruh pada keputusan keuangan dan

pada akhirnya akan berpengaruh juga pada nilai

perusahaan. Untuk meningkatkan nilai perusahaan yang

baik maka diperlukan manajemen yang baik juga dalam

mengambil keputusan.

Fenomena yang berkembang pada saat ini menggambarkan

bahwa sebenarnya sektor property dan real estate

merupakan sektor bisnis yang cukup berkembang. Tetapi

dengan adanya krisis yang terjadi di belahan benua Eropa

dan Amerika yang berimbas pada perkembangan bisnis

properti di Indonesia meskipun secara tidak langsung.

Krisis Eropa dan Amerika memang berimbas pada pasar

global secara umum. krisis ekonomi Amerika akan terus

berlanjut hingga akhir Desember 2008 sekalipun disuntik

dana sebesar 700 miliar dollar kepada bank – bank dan

lembaga keuangan lainnya yang telah bangkrut, bisa jadi

krisis moneter kedua akan terjadi di Indonesia.

Dari tabel 1.1 dibawah maka dapat dilihat pada tahun 2008

dimana terjadi penurunanan pada saham isntitusional publik

yaitu 40,55, keputusan keuangan (DER) yaitu 0,78 dan nilai

perusahaan (PBV) yaitu 1,40.

Fenomena lain yang ada yaitu meningkatnya kredit

kepemilika rumah (KPR) yang terjadi sekarang merupakan

dampak kerisis keuangan global. Tapi keadaan ini hanya

sebentar dikarenakan agar sistem perbankan di Indonesia

tetap kuat, kendati berdampak pada proyek property

komersial menjadi terganggu, namun untuk proyek

perumahan tidk terlalu berpengaruh dikarenakan suku

Page 126: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

117

bunga KPR mencapai 17% hingga 18% dan bunga tersebut

akan segera turun bersama dengan langkah Bank Indonesia

menurunkan BI Rate.

Selain itu perusahaan akan sulit menerapkan kebijakan

deviden karena memang laba tidak tidak diperoleh atau

kecil. Kondisi ini tentu tidak akan memuaskan stakeholders

khususnya para pemegang saham (shareholders) sebagai

pemilik perusahaan (owners).

Tabel. 1.1: Rata-Rata KepemilikanSaham Institusional

(Publik), KeputusanKeuangn (DER), Nilai Perusahaan

(PBV)

TAHUN

SAHAM

INSTITUSIONAL

PUBLIK

DER PBV

2008 40,55 0,78 0,41

2009 45,94 0,88 1,40

2010 53,51 0,91 1,85

2011 52,64 0,98 458,45

2012 52,64 1,13 329,00

Tujuan dari penelitian ini yaitu:

1. Untuk mengetahui perkembangan dari Struktur

Kepemilikan, Keputusan Keuangan dan Nilai

Perusahaan.

2. Untuk mengetahui perkembangan struktur

kepemilikan terhadap keputusan keuangan pada

perusahaan property dan real estate.

3. Untuk mengetahui seberapa besar pengaruh struktur

kepemilikan dan keputusan keuangan terhadap nilai

perusahaan.

2. KAJIAN PUSTAKA

Saham merupakan bukti kepemilikan atas suatu perusahaan

yang berbentuk perseroen terbatas (PT). Pemilik saham

perusahaan disebut juga sebagai pemegang saham

merupakan pemilik perusahaan.

Definisi dari Struktur Kepemilikan adalah kekuasaan yang

didukung secara sosial untuk memegang kontrol terhadap

sesuatu yang dimiliki secara eksklusif dan

menggunakannya untuk tujuan pribadi

(Ericklatumetn’blog). Definisi tersebut mirip dengan

definisi kekayaan, baik pribadi atau public. Struktur

kepemilikan merupakan jenis institusi atau perusahaan yang

memegang saham terbesar dalam suatu perusahaan.

Struktur kepemilikan dapat dibedakan menurut dua sudut

pandang yang berbeda (Ituriaga dan Zans, 1998 dalam

Faizal, 2004)yaitu:

a. Pendekatan keagenan: struktur kepemilikan merupakan

suatu mekanisme untuk mengurangi konflik

kepentingan antara manajer dengan pemegang saham.

b. Pendekatan informasi asimetri: struktur kepemilikan

sebagai salah satu cara untuk mengurangi ketidak

seimbangan informasi antara insider dan outsider

melalui pengungkapan informasi.

Istilah struktur kepemilikan juga dipakai untuk

menunjukkan bahwa variabel-variabel yang penting dalam

struktur modal tidak hanya ditentukan oleh jumlah utang

dan ekuitas, tetapi persentase kepemilikan antara manajer

dan institusional.

Berdasarkan proporsi saham yang dimiliki, struktur

kepemilikan dikelompokkan menjadi dua yaitu:

1. Kepemilikan manajerial (Managerial Ownership)

2. Kepemilikan institusional (Institutional Ownership)

Struktur Kepemilikan Manajerial

Kepemilikan Manajerial (managerial ownership) adalah:

tingkat kepemilikan saham dimana pihak manajemen yang

secara aktif ikut dalam pengambilan keputusan, misalnya

direktur dan komisaris (Wahidahwati, 2002 dalam Diyah

Pujiati 2009).

Struktur Kepemilikan Institusional

Dalam penelitian yang membahas mengenai komposisi

pemegang saham dikatakan bahwa besarnya reaksi harga

saham terhadap pengumuman earnings tidak hanya

berhubungan terhadap tingkat kepemilikan oleh institusi,

tetapi juga berhubungan dengan karakteristik dari

pemegang saham institusi tersebut (Hochiss dan Stricland,

2003). Dalam penelitian tersebut perusahaan

diklasifikasikan berdasarkan kepemilikan saham oleh lima

institusi terbesar, kepemilikan oleh sepuluh institusi

terbesar, dan kepemilikan oleh dua pluh institusi terbesar.

Ang, Cole, dan Lin mengklasifikasikan bahwa

kepemilikan saham dalam penelitian tersebut berdasarkan

pemilik utama yang memiliki 100% saham perusahaan,

pemilik utama memiliki >50% saham perusahaan, sebuah

keluarga memiliki >50% saham perusahaan, dan tidak ada

pemilik atau keluarga yang memiliki saham >50% saham

perusahaan. Serta dalam penelitiaannya mereka

menggunakan empat variabel untuk mengidentifikasi

berbagai macam struktur kepemilikan saham.

Keberadaan investor institusional akan dapat menunjukkan

mekanisme corporate governance yang kuat yang dapat

digunakan untuk memonitor manajemen perusahaan.

Pengaruh investor institusional terhadap manajemen

perusahaan dapat menjadi sangat penting serta dapat

digunakan untuk menyelaraskan kepentingan manajemen

dengan para pemegang saham (Solomon dan Solomon,

2004 dalam Sutojo, 2005). Hal tersebut disebabkan jika

tingkat kepemilikan manajerial tinggi, dapat berdampak

buruk terhadap perusahaan karena dapat menimbulkan

masalah pertahanan, yang berarti jikakepemilikan

manajerial tinggi, mereka memiliki posisi yang kuat untuk

melakukan kontrol terhadap perusahaan dan pihak

pemegang saham eksternalakan mengalami kesulitan untuk

Page 127: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

118

mengendalikan tindakan manajer. Hal ini disebabkan

tingginya hak voting yang dimiliki manajer (Gunarsih,

2004).Oleh karena itu perlu pengawasan yang optimal

terhadap kinerja manajer maka manajer akan lebih berhati-

hati dalam mengambil keputusan.

Dalam penelitian ini struktur kepemilikan yang akan diteliti

adalah struktur kepemilikan institusional.

Keputusan Keuangan

Menurut James C. Van Horne dalam Kasmir 2010:5,

mendefinisikan bahwa manejemen keuangan adalah segala

aktivitas yang berhubungan dengan perolehan, pendanaan,

dan pengelolaan dengan beberapa tujuan yang menyeluruh.

Dari defenisi tersebut terdapat beberapa fungsi dari

pembuatan keputusan manjemen kuangan yaitu:

1. Keputusan sehubungan dengan investasi

2. Pendanaan

3. Manajemen aktiva

Keputusan sehubungan dengan investasi, berkaitan dengan

jumlah aktiva yang dimiliki, kemudian penempatan

komposisi masing-masing aktiva. Keputusan manajemen

aktiva, hal ini berkaitan dengan pengelolaan aktiva secara

efisiensi, terutama dalam hal aktiva lancar dan aktiva tetap.

Pengelolaan aktiva lancar berkaitan erat dengam manejem

modal kerja dan yang berkaitan dengan aktiva tetap adalah

yang berkaitan dengan manajemen investasi. Sedangkan

keputusan pendanaan, merupakan keputusan yang berkaitan

erat dengan jumlah dana yang disediakan perusahaan, baik

bersifat utang atau modal sendiri dan biasanya berhubungan

dengan sebelah laporan keuangan neraca. Dalam hal ini

manajer keuangan harus memikirkan penggabugan dana

yang dibutuhukan, termasuk pemilihan jenis dana yang

dibutuhkan, apakah jangka pendek atau jangka panjang atau

modal sendiri, serta kebijakan deviden.

Tujuan dari perusahaan untuk memaksimalkan kekayaan

pemegang saham dapat tercapai apabila berbagai keputusan

keuangan (financial decision) yang relevan mempunyai

pengaruh bagi peningkatan nilai perusahaan (Mulyadi,

2006:13). Keputusan keuangan tersebut antara lain:

a. Keputusan investasi ( investment decision)

b. Keputusan pendanaan (financing decision)

c. Kebijakan dividen (dividend decision)

Keputusan Pendanaan

Menurut Mulyadi 2006:236 dalam Diyah Puji 2009,

yangberpendapat bahwa keputusan pendanaan akan

menyangkut penentuan kombinasi berbagai sumber dana

yang pada dasarnya akan dibagi menjadi dua:

1. Pendanaan ekstern Pendanaan intern yang diaplikasikan

menurut penentuan kebijakan deviden yang

digambarkan melalui dividend payout ratio.

2. Pengukuran variabel Keputusan pendanaan dapat

dikonfirmasikan menggunakan rumus Debt Equity Ratio

(DER).

Nilai Perusahaan Nilai perusahaan merupakan persepsi investor terhadap

perusahaan, yang sering dikaitkan dengan harga saham.

Harga saham yang tinggi membuat nilai perusahaan juga

tinggi. Nilai perusahaan lazim diindikasikan dengan price

to book value. Price to book value yang tinggi akan

membuat pasar percaya atas prospek perusahaan kedepan.

Hal itu juga yang menjadi keinginan para pemilik

perusahaan, sebab nilai perusahaan yang tinggi

mengindikasikan kemakmuran pemegang saham juga

tinggi. Nilai perusahaan dalam beberapa literatur dan

disebut dengan beberapa istilah, yaitu price to book value

yaitu perbandingan antara harga saham dengan nilai buku

saham, dan Market Book Ratio yaitu rasio saat ini harga

saham dengan nilai buku per saham.

Menurut J. Keown, Scott, dan Martin (2004: 849),

terdapatbeberapa variabel-variabel kuantitatif yang dapat

digunakan untuk memperkirakan dari nilai suatu

perusahaan, antara lain:

a. Nilai buku

b. Nilai pasar perusahaan

c. Nilai apprasial

d. Nilai arus kas yang diharapkan

Untuk mencari Nilai perusahaan pada penelitian ini yaitu

dengan mencari Price Book Value (PBV) dengan rumusan,

Irham Fahmi, 2011 :138-139

Hipotesis

Adapun hipotesis yang dapat ditarik dari kajian pustaka dan

kerangka pemikiran adalah sebagai berikut:

1. Struktur Kepemilikan dan Keputusan Keuangan

berpengaruh positif terhadap Nilai Perusahaan.

2. Struktur Kepemilikan berpengaruh positif terhadap

Keputusan Keuangan.

3. Secara bersama-sama Struktur Kepemilikan dan

Keputusan Keuangan berpengaruh positif terhadap

Nilai Perusahaan

Page 128: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

119

3. OBJEK DAN METODE PENELITIAN

Tabel 1.2: Objek dan Metode Penelitian

Objek

Penelitian

Struktur Kepemilikan (INST),

Keputusan Keuangan (DER), dan Nilai

Perusahaan (PBV)

Metode &

Desain

Penelitian

Deskriptif dan Verifikatif

Data Pooled Data (gabungan data Time Series

dan Cross Section)

Metode

Pengump

ulan Data

Studi Kepustakaan dan Studi Literatur

Sampel &

Populasi

Populasi adalah perusahaan property

Populasi adalah perusahaan property

dan real estate yang terdaftar di BEI

periode 2008-2012 pengambilan sampel

dilakukan secara purposive sampling

yaitu 6 perusahaan property dan real

estate (data cross section) dan 5 periode

laporan keuangan (data Time Series).

Total keseluruhan sampel data sebanyak

30 buah.

Unit

Penelitian

Perusahaan Property dan Real Estate

yang terdaftar di BEI periode 2008-2012

Metode

Analisis Analisis Jalur (Path Analisis)

Hipotesis

1. Struktur kepemilikan (INST)

dan Keputusan Keuangan

(DER) berpengaruh positif

terhadap Nilai Perusahaan

(PBV) baik secara parsial

maupun simultan

2. Struktur kepemilikan (INST)

dan Keputusan Keuangan

(DER) tidak berpengaruh

positif terhadap Nilai

Perusahaan (PBV) baik secara

parsial maupun simultan

Pengajuan

Hipotesis

Uji Parsial (T-test) dan Uji Simultan (F-

test)

4. HASIL PENELITIAN

Pesatnya bisnis properti ini didorong oleh kebutuhan pokok

manusia akan papan, disamping pangan dan sandang. Dan

kebutuhan ini termasuk kebutuhan utama yang secara naluri

harus terpenuhi. Maka, tidaklah wajar bagi seseorang untuk

tidak mengidam-idamkan memuliki rumah hunian sendiri.

Disamping itu dalam rangka keperluan usaha, seseorang

atau badan usaha memerlukan tempat yang dapat digunakan

untuk keperluan usahanya, misalnya kantor, ruko ataupun

gudang. Disamping itu, properti juga menjadi alternatif

utama untuk berinvestasi. Disamping harga yang relatif

selalu naik dimasa yang akan datang, juga dapat dijadikan

bisnis sewa yang mendatangkan keuntungan pasif.

Industri Property dan Real Estate merupakan salah satu

sektor industri yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

(BEI). Lingkungan pasar yang sangat kompetitif, dengan

lebih dari 10 perusahaan Property dan Real Estate yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia namun dalam penelitian

ini hnya 6 perusahaan yang akan dibahas yaitu PT Alam

Sutera Realty Tbk, PT Bakrieland Development Tbk, PT

Bumi Serpong Damai Tbk, PT Ciputra Development Tbk,

PT Ciputra Surya Tbk, PT Summarecon Agung Tbk

membuat setiap perusahaan dituntut untuk semakin inovatif

dalam penyajian produk-produk property untuk

memberikan kontribusi bagi peningkatan pendapatan

perusahaan.

Perkembangan Analisis Deskriptif

Analisis Deskriptif Struktur Kepemilikan

Gambar 1.1: Grafik Perkembangan Struktur Kepemilikan

Pada grafik diatas dapat dilihat struktur kepemilikan pada

perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga

tahun 2010 meningkat setiap tahunnya. Namun struktur

kepemilikan pada tahun 2011 dan 2012 cenderung stagnant.

0,00

10,00

20,00

30,00

40,00

50,00

60,00

2008 2009 2010 2011 2012

Page 129: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

120

Analisis Deskriptif Keputusan Keuangan

Gambar 1.2: Grafik Perkembangan debt to equity ratio

Pada grafik diatas dapat dilihat debt to equity ratio pada

perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga

tahun 2012 terus mengalami kenaikan. Artinya selama

periode tahun 2008-2012perusahaan Property dan Real

Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesiaterus

menaikkan kebijakan hutangnya

Analisis Deskriptif Nilai Perusahaan

Grafik 1.3: Price Book Value Perusahaan Property dan

Real Estate

Pada grafik diatas dapat dilihat price book valu epada

perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga

tahun 2010 relatif stabil. Namun pada periode tahun 2011-

2012 price book value perusahaan Property dan Real Estate

yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia meningkat tajam.

Analisis Verifikatif

Semakin besar struktur kepemilikan diharapkan

meningkatkan keputusan keuangan sehinggavnilai

perusahaanjuga diharapkan akan semakin meningkat.

Berdasarkan data yang terkumpul, pada penelitian ini akan

diuji pengaruh struktur kepemilikan terhadap keputusan

keuangan dan implikasinya terhadap nilai perusahaan.

Nilai koefisien korelasi diatas dapat dilihat bahwa

hubungan antara struktur kepemilikan (X1) dangan

keputusan keuangan (X2) sebesar 0,093 dan masuk dalam

kategori sangat lemah atau sangat rendah. Arah hubungan

positif antara struktur kepemilikandengan keputusan

keuangan menujukkan bahwa semakin besar struktur

kepemilikan cenderung akan diikuti dengan peningkatan

keputusan keuangan (debt equity ratio meningkat).

Kemudian hubungan antara struktur kepemilikan (X1)

dengan nilai perusahaan (Y) sebesar -0,063juga termasuk

dalam kategori sangat lemah, sedangkan hubungan antara

keputusan keuangan (X2) dengan nilai perusahaan (Y)

sebesar 0,045 termasuk dalam kategori sangat rendah

dengan arah positif.

Pengujian Jalur Pada Sub Struktur Pertama

1. Menghitung Koefisien Jalur

Nilai standardized coefficients sebesar 0,093 adalah nilai

koefisien jalurstruktur kepemilikan terhadap keputusan

keuangan. Koefisien jalur merupakan bobot pengaruh

langsung variabel struktur kepemilikan terhadap keputusan

keuangan.

2. Menghitung Koefisien Determinasi

Setelah koefisien jalur diperoleh selanjutnya dapat dihitung

koefisien determinasi dengan mengkuadratkan nilai

koefisien jalur, jadi koefisien determinasi struktur

kepemilikan terhadap keputusan keuangan dihitung

menggunakan rumus sebagai berikut.

Nilai koefisien determinasi diinterpretasikan sebagai besar

pengaruh variable independen terhadap variabel dependen.

Jadi dari hasil penelitian ini diketahui bahwa struktur

kepemilikanhanya memberikan pengaruh sebesar 0,9%

terhadap keputusan keuanganpada perusahaan Property dan

Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia,

sedangkan sebesar 99,1% sisanya merupakan pengaruh

faktor-faktor lain diluar struktur kepemilikan, seperti

struktur modal, kebijakan deviden dan lain-lain.

3. Pengujian Hipotesis

Selanjutnya untuk membuktikan apakah struktur

kepemilikanberpengaruh terhadap keputusan keuanganpada

perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia, maka dilakukan pengujian dengan

hipotesis statistik

Dapat disimpulkan bahwa struktur kepemilikan tidak

berpengaruh signifikan terhadap keputusan keuanganpada

perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia.

Pengujian Jalur Pada Sub Struktur Kedua

Pada sub struktur yang kedua variabel struktur

kepemilikandan keputusan keuanganberperan sebagai

0,00

0,50

1,00

1,50

2008 2009 2010 2011 2012

0

100

200

300

400

500

600

2008 2009 2010 2011 2012

Page 130: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

121

variabel independen (eksogenus variabel) dan nilai

perusahaan sebagai variabel dependen (endogenus

variabel).

Nilai standardized coefficients sebesar -0,068 dan 0,051

pada tabel 1.6 merupakan nilai koefisien jalurstruktur

kepemilikan dan keputusan keuangan terhadap nilai

perusahaan.

Menghitung Koefisien Determinasi

Melalui koefisien jalur yang telah diperoleh, selanjutnya

dihitung koefisien determinasi, yaitu besar

kontribusi/pengaruhstruktur kepemilikan dan keputusan

keuangan terhadap nilai perusahaan secara bersama-

sama.Koefisien determinasi didapat dari hasil perkalian

koefisien jalur terhadap matriks korelasi antara variabel

independen dengan nilai perusahaan.

Melalui nilai koefisien determinasi (R Square) dapat

diketahui bahwa secara bersama-sama struktur kepemilikan

dan keputusan keuanganhanya memberikan kontribusi

(pengaruh) sebesar 0,7% terhadapnilai perusahaan Property

dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia.

Sisanya sebesar 99,3% merupakan pengaruh faktor lain

diluar kedua variabel yang sedang diteliti, seperti struktur

modal, kebijakan deviden dan lin-lain.

4. KESIMPULAN

Dari hasil penelitian dan pembahasan data yang ada pada

bab sebelumya, yaitu mengenai pengaruh struktur

kepemilikan dan keuputusan keuangan terhadap nilai

perusahaan pada perusahaan property dan real estate yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia periode 2008-2012, maka

penulis dapat menarik kesimpulan sebagai berikut:

1. Perkembangan struktur kepemilikan pada perusahaan

property dan real estate yang terdaftar di bursa efek

Indonesia periode 2008 sampai 2012 mengalami

fuluktuasi. dimana struktur kepemilikan tertinggi ada

pada PT Bakrieland Development Tbk dan struktur

kepemilikan terendah ada pada PT Bumi Serpong

Damai. Tbk. Namun bila dilihat dari perubahannya,

pertumbuhan struktur kepemilikan pada PT Bakrieland

Development. Tbk dan PT Alam Sutra Realty. Tbk

merupakan yang tertinggi. Sebaliknya pertumbuhan

struktur kepemilikan PT Ciputra Surya. Tbk dan PT

Summarecon Agung. Tbk merupakan yang paling

lambat.

2. Perkembangan keputusan keuangan (DER) pada

perusahaan property dan real estate yang terdaftar di

bursa efek Indonesia periode 2008 sampai 2012

mengalami fuluktuasi. Dimana terjadi peneurunan pada

tahun 2008 dapat dilihat debt to equity ratio pada

perusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar di

Bursa Efek Indonesia selama periode tahun 2008 hingga

tahun 2012 terus mengalami kenaikan. Artinya selama

periode tahun 2008-2012 perusahaan Property dan Real

Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia terus

menaikkan kebijakan hutangnya

3. Perkembangan nilai perusahaan (PBV) pada perusahaan

property dan real estate yang terdaftar di bursa efek

Indonesia periode 2008 sampai 2012 mengalami

fuluktuasi. Namun adapun fluktuasi nilai perusahaan

yang dilihat price book valuepada perusahaan Property

dan Real Estate yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

selama periode tahun 2008 hingga tahun 2012 relatif

stabil. Namun pada periode tahun 2011-2012 price book

valueperusahaan Property dan Real Estate yang terdaftar

di Bursa Efek Indonesia meningkat tajam.

4. Secara parsial struktur kepemilikan dan keputusan

keuangan tidak berpengaruh positif yang tidak

signifikan terhadap nilai perusahaan. Adapun secara

simultan sehingga dapat disimpulkan bahwa struktur

kepemilikan dan keputusan keuangan secara bersama-

sama tidak memberikan pengaruh yang signifikan

terhadap nilai perusahaan Property dan Real Estate yang

terdaftar di Bursa Efek Indonesia. Struktur Kepemilikan

(X1) dan keputusan keuangan (X2) tidak mempengaruhi

nilai perusahaan (Y) selama tahun 2008 sampai dengan

2012 adalah sebesar 0,7%, sedangkan sisanya sebesar

99,3% di pengaruhi oleh faktor-faktor lain seperti

profitabilitas,ukuran perusahaan dan kebijakan deviden.

5. SARAN

Berdasarkan penelitian dan kesimpulan di atas, maka

penulis mencoba memberikan saran pada perusahaan

property dan real estate yang terdaftar di bursa efek

Indonesia periode 2008 sampai 2012, yaitu sebagai berikut:

1. Sebaiknya struktur kepemilikan pada perusahaan pada

perusahaan property dan real estate yang terdaftar di

bursa efek Indonesia periode 2008 sampai 2012,

dipegang oleh dewan komisaris dan direksi agar dapat

meningkatkan kepemilikan sahamnya,

menyeimbangkan pengendalian dalam perusahaan

dalam menentukan kebijakan di perusahaan tersebut.

2. Sebaiknya perusahaan harus memperhatikan keputusan

keuangan dalam hal ini DER, dimana bila total hutang

lebih besar dari pada modal sendiri akan beresiko bagi

perusahaan, untuk itu kedepannya perusahaan perlu

untuk mengambil kebijakan dalam pembelanjaannya

dengan mengutamakan sumber-sumber dari dalam

perusahaan dan mengurangi modal dari pihak eksternal.

3. Sebaiknya peusahaan harus memperbaiki kinerja

perusahaan,meningkatkan kualitas sehingga kedepannya

perusahaan lebih baik dan siap bersaing dengan

perusahaan-perusahaan yang lain karena persangain

usaha dalam sektor property dan real estate di Indonesia

sedang mengalami kenaikan dibandingkan dengan

negara-negra lain.

4. Dalam penelitian ini Struktur kepemilikan hanya

memberikan pengaruh sebesar 0,9%, alasannya dikarenakan

terdapat variabel-variabel lain yang tidak diteliti dalam

penelitian ini yang pengaruhnya lebih besar yaitu sebesar

Page 131: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

122

99,1% variabel-variabel tersebut antara lain yaitu

profitabilitas, ukuran perusahaan, dan kebijakan deviden.

Sehingga bagi manajemen perusahaan, variabel-variabel

dalam penelitian ini dapat tadak dijadikan pertimbangan

dalam menentukan nilai perusahaan agar kedepannya

perusahaan dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang

optimal bagi perusahaan itu sendiri. Jika melhat dari hasil

tersebeut maka diharapkan kepada peneliti lain untuk

meneliti variabel-variabel yang pengaruhnya lebih besar

diluar variabel yang diteliti dalam penelitian ini.

UCAPAN TERIMA KASIH

1. Rektor UNIKOM, Dr. Ir. Eddy Soeryanto Soegoto

2. Ketua Program Studi Manajemen, Dr. Raeni Dwi Santy,

SE.,M.Si.

3. Rekan-Rekan di Program Studi Manajemen UNIKOM

DAFTAR PUSTAKA

[1] Ang, James S.,and Cole, Rebela A., & James Wuh

Lin. (2000). Agency Cost and Ownership Structure.

The Journal of Finace, 4(1),81-106

[2] Andi Nirwana Nur. 2010. “Pengaruh Struktur

Kepemilikan dan Keputusan keuangan terhadap Nilai

Perusahaan”. Vol. No 1.

[3] Arie Afzal dan Abdul Rohman. 2012, Pengaruh

Keputusan Investasi, Keputusan Pendanaan, Dan

Kebijakan Deviden Terhadap Nilai Perusahaan. Vol.

1. No. 2. ISSN. 2337-3806. Hal. 1-9 .

[4] Bambang Riyanto. 2008. Dasar-dasar Pembelanjaan

Perusahaan. Edisi 4.BPFE: Yogyakarta.

[5] Bayu Pratama Erdiansyah. 2010. Implementasi

corporate governance, struktur kepemilikan, dan nilai

perusahaan (studi empiris pada bursa efek indonesia

sektor industri perbankan).

[6] Brigham dan Houston. (2001). Fundamentals Of

Financial Management (Dasar-dasar manajemen

keuangan) (10thed). Jakarta: Salemba Empat.

[7] Bursa Efek Indonesia. (2012). Indonesian Capital

Market Directory 2008-2011.Bandung.

[8] Diyah Pujiati. 2009. “Pengaruh Struktur Kepemilikan

Terhadap Nilai Pearusahaan: Keputusa Keuangan

Sebagai Variabel Intervening‖. Vol.No.12,1 April

2009, hal 71-86.

[9] Hotckiss, S Edith & Deon Stickland. (2003). Does

Shareholder Compotition Matter? Evidence From the

Market Reaction to Corporate arnings Announcement.

The Journal of Finance, 58(4), 1469-1497.

[10] Husein Umar. (2011). Metode Penelitian untuk Skripsi

dan Tesis Bisnis. Jakarta:Raja Grafindo Persada.

[11] Irham Fahmi. 2011. Analisis Laporan Keuangan.

Catatan kesatu. Bandung Alfabeta, cv.

[12] Kasmir. 2010. Pengantar Manajemen Keuangan.

Edisi pertama, catatan ke-1.Kencana Prenada Media

Group. Jakarta.

[13] Lihong Wang and Nancy Huyghebaert. 2008.

Institutions, Ownership Structure and Financing

Decisions: Evidence from Chinese Listed Firms.

[14] Maria Terezinha F. de Lima. 2012. Pengaruh

kepemilikan manajerial dan keputusan keuangan

terhadap nilai perusahaan pada subsektor

perkebunan yang terdaftar di Bursa Efek Indonesia

periode 2001-2010.

[15] Mokhmat Ansori dan Denica H.N. 2010. Pengaruh

Keputusan Investasi, Pendanaan, Dan Jebijakan

Deviden Terhadap Nilai Perusahaan Pada

Perusahaan Yang Tergabung Dalam Jakarta Islamic

Index Studi Pada Bursa Efek Indonesia (BEI).

Analisis Manajemen. Vol. 4. No. 2. ISSN: 1411-1799.

Hal. 135-175.

[16] Nendy Pramita Shinta dan Nurmala Ahmar. 2011.

Eksplorasi Struktur Kepemilikan Saham Publik Di

Indonesia Tahun 2004-2008. The Indonesian

Accounting Review.Volume 1, No. 2, July 2011,

pages 145 – 154. ISSN 2086-3802.

[17] Nurfauziah, D. Agus Harjito, dan Atik Ringayati.

2007. “Analisis HubunganSimultan Antara

Kepemilikan Manajerial, Risiko, Kebijakan Hutang

danKebijakan Dividen Dalam Masalah Agensi”,

Jurnal Kajian Bisnis dan Manajemen, vol. 9 No. 2,

Juni 2007 Hal. 157-166.

[18] Sugiyono. 2006. Metode Penelitian Bisnis. Bandung:

Alfabeta.

[19] ------------. 2010. Statistika untuk Penelitian. Bandung

: Alfabeta.

[20] ------------. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif,

Kualitatif dan R&D. Bandung Alfabeta.

[21] Sarah Nia Batsyeba. 2009. Pengaruh Struktur

Kepemilikan Terhadap Agency Cost (Survei Pada

Perusahaan Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa

Efek Indonesia Pada Tahun 2007).

[22] Semuel Edwin Allein Mandagi, 2012, Pengaruh

Keputusan Keuangan Terhadap Nilai Perusahaan

Manufaktur Yang Terdaftar Di Bursa Efek Indonesia

Periode 2008-2009. Hal. 28-32.

[23] Sugiarto. 2009. Struktur Modal, Struktur Kepemilikan

Perusahaan,Permasalahan Keagenaan & Informasi

Asimetris ―. Edisi Pertama.GRAHA ILMU:

Yogyakarta.

[24] Suad Husnan. 2005. Dasar-Dasar Teori Portofolio

Dan Analisis Sekuritas. Edisi Keempat. UPP AMP

YKPN. Yogyakarta.

[25] Tendi Haruman, 2008, Struktur Kepemilikan,

Keputusan Keuangan Dan Nilai Perusahaan, Finance

And Banking Journal, Vol. 10, No. 2, ISSN 1410-

8623, Hal. 150-166.

[26] Umi Narimawati. 2008. Riset Manajemen Sumber

Daya Manusia. Agung Media, Jakarta.

[27] Umi Narimawati., Sri Dewi Anggadini., & Linna

Ismawati. (2010). Penulisan Karya Ilmiah-Panduan

Awal Menyusun Skripsi dan Tugas Akhir Aplikasi

Pada Fakultas Ekonomi Unikom. Bekasi: Genesis.

Page 132: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

123

ANALISIS PENGARUH PENERAPAN SELF ASSESSMENT SYSTEM

DAN REFORMASI ADMINISTRASI PERPAJAKAN TERHADAP

KEPATUHAN WAJIB PAJAK BADAN

Yanti Rufaedah, SE.MSi.,Ak

Fatmi Hadiani, SE.ME Jurusan Akuntansi, Politeknik Negeri Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian yang bertujuan untuk melihat sejauhmana Self Assessment System telah diterapkan oleh Wajib Pajak Badan serta

Reformasi Administrasi Perpajakan yang telah digulirkan oleh Fiskus di KPP Pratama Se-Bandung Raya memberi kontribusi

terhadap peningkatan kepatuhan wajib pajak badan. Hal ini penting mengingat penerimaan negara maupun daerah terbesar masih

bersumber dari pajak, terutama dari Wajib Pajak Badan.

KPP Pratama Se-Bandung Raya dipilih menjadi obyek penelitian, karena umumnya WP Badan belum memiliki bagian khusus

yang mengurus masalah pajak perusahaan, sehingga penelitian ini difokuskan pada upaya-upaya untuk menumbuhkan kesadaran

sukarela (voluntary compliance) Wajib Pajak Badan yang merupakan kunci suksesnya penerapan Self Assessment System serta

pelaksanaan Reformasi Administrasi Perpajakan yang dapat mengakomodir meningkatnya kepatuhan sukarela Wajib Pajak Badan.

Untuk memenuhi hal tersebut, maka diperlukan data primer yang diperoleh dari penyebaran kuesioner di empat KPP Pratama –

karena satu KPP tidak memberikan izin penelitian. Guna memperoleh hasil yang obyektif, maka sebelum data diolah, terlebih

dahulu dilakukan counter check jawaban dari Wajib Pajak Badan dengan Fiskus dan selanjutnya diolah dengan menggunakan

metode Multiple Linier Regression dengan alat bantu software SPSS 20.0.

Luaran penelitian berupa panduan teknis penerapan Self Assessment System dengan berbagai contoh aplikatif cara pengisian SPT

untuk berbagai jenis wajib pajak badan yang ada di wilayah Kanwil DJP Jawa Barat I- diharapkan dapat membantu mewujudkan

kemandirian wajib pajak badan dalam mengisi SPT serta memenuhi kewajiban perpajakannya, sehingga rasio kepatuhan pun

meningkat yang pada akhirnya penerimaan pajak pun meningkat pula sehingga pembangunan berkelanjutan dapat berjalan dengan

baik.

Kata kunci Self Assessment System, Reformasi Administrasi Perpajakan, Kepatuhan Pajak.

1. PENDAHULUAN

Masalah kepatuhan wajib pajak, terutama wajib pajak badan

di era pembangunan berkelanjutan (sustainable development)

sekarang ini yang berprinsip " to meet the needs of the present

without compromising the ability of future generations to meet

their own needs " (Brundtland Report PBB, 1987)[1] menjadi

sangat penting, karena peningkatan kualitas sosial, ekonomi,

dan lingkungan yang merupakan tiga pilar dari pembangunan

berkelanjutan, hanya dapat terwujud bila didukung oleh

adanya dana yang memadai untuk membiayainya. Oleh

karena itu pajak memiliki peran strategis dalam

merealisasikan hal ini, karena sekitar 70%

penerimaan dalam negeri yang berasal dari pajak, digunakan

untuk memenuhi kebutuhan nasional, baik berupa barang atau

pun jasa.[4]. Mengingat sumber dana terbesar untuk

membiayai pembangun berkelanjutan dalam APBN ini

bersumber dari pajak, maka upaya-upaya agar penerimaan

pajak ini terus meningkat, harus terus dilakukan agar

kelangsungan pemerintahan dapat berjalan sesuai harapan.

Dalam mewujudkan peran strategisnya, perlu adanya sinergi

antar berbagai pihak; selain dengan para wajib pajak sebagai

sumber penerimaan, juga dibangun sinergi dengan pihak

pengguna dana pajak, baik lembaga-lembaga pemerintah,

badan usaha milik negara atau daerah, juga masyarakat, guna

meyakinkan bahwa penggunaan dana pajak sudah tepat yaitu

untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Oleh karena

itu

penerapan Self Assessment System menggantikan Official

Assessment System, sangatlah tepat, karena sistem ini

menempatkan wajib pajak sebagai subyek yang diberi

kepercayaan penuh untuk mengurus sendiri kewajiban

perpajakannya, mulai dari mendaftarkan diri, menghitung,

Page 133: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

124

membayar, dan melapor sendiri seluruh kewajiban pajaknya.

Dengan demikian eksistensi wajib pajak sangat dihargai.

Selain itu reformasi administrasi pun digulirkan untuk

mengakomodir upaya-upaya peningkatan kepatuhan wajib

pajak. Akan tetapi kenaikan penerimaan yang spektakuler ini

belum sebanding dengan potensi penerimaan yang ada

karena tingkat tax ratio Indonesia sebesar 13% tahun 2010

adalah terendah di antara negara-negara ASEAN lainnya yang

rata-rata mencapai 20%[2].

Beberapa penelitian menunjukkan bahwa perbaikan sistem

administrasi perpajakan dapat meningkatkan penerimaan

pajak yang berarti kepatuhan wajib pajak dalam memenuhi

kewajiban perpajakannya juga meningkat,(Brondolo, et al.,

2000)[2] seperti penerimaan pajak di Philipina (1994),

meningkat 30% tanpa meningkatkan tarif pajak.setelah

mengubah sistem administrasi perpajakan dari manual ke

computer, di Bolivia penerimaan pajak meningkat secara

drastis dari sekitar 1% dari PDB di tahun 1985 menjadi 7,4%

di tahun 1990 setelah mereformasi struktur perpajakannya

yang meliputi penerapan pajak terhadap penghasilan, harta,

dan transaksi barang/jasa, sedangkan reformasi di bidang

administrasi perpajakan meliputi penerapan identitas tunggal

Wajib Pajak, pembayaran pajak melalui bank, pemeriksaan

terhadap Wajib Pajak, dan lain-lain.Penerimaan pajak di

Uruguay meningkat tidak drastis, yaitu sekitar 11% dari PDB

di tahun 1985 menjadi 13,5% di tahun 1990. Dengan

demikian upaya untuk mengurangi kesenjangan kepatuhan

dapat dilakukan melalui penyempurnaan sistem administrasi

perpajakan.

Meskipun kemudahan-kemudahan agar wajib pajak badan

patuh telah disediakan (adanya petunjuk teknis saat akan

mengisi SPT) dan petugas Account Representative (AR) yang

siap memberikan konsultasi bila wajib pajak mengalami

kesulitan), namun upaya-upaya ini belum membuahkan hasil

yang sesuai harapan, karena terbukti sampai saat ini target

penerimaan yang telah ditetapkan Dirjen Pajak masih belum

tercapai (pencapaian target rata-rata 90%, Kanwil DJP Jabar

1). Hal ini mengindikasikan bahwa tingkat kepatuhan wajib

pajak, khususnya wajib pajak badan, masih memprihatinkan,

padahal selama ini kontribusi penerimaan terbesar dari

wajib pajak badan (Tempointerwaktif, 2012).Di Kanwil DJP

Jabar I saja pada tahun 2011 tercatat bahwa dari 91.762 WP

Badan terdaftar, hanya 25.458 yang melapor sehingga rasio

kepatuhannya hanya sebesar 27,74%, dan tahun 2012

meningkat menjadi 30% (DJP 2013, Tribun, 2012), sehingga

masih besar potensi penerimaan pajak yang masih belum

tergali. Mengapa tingkat kepatuhan begitu rendah, padahal

dengan Self Assessment System wajib pajak badan sudah

sangat dimudahkan untuk memenuhi kewajibannya, apalagi

ditunjang dengan adanya reformasi administrasi perpajakan?

Fenomena-fenomena inilah yang menuntut perlunya

dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai sejauhmana atau

sebesarapa besar penerapan Self Assessment System memberi

pengaruh terhadap meningkatnya kepatuhan wajib pajak

badan di KPP Pratama se-Bandung Raya.

Berdasarkan uraian di atas, maka beberapa pokok

permasalahan yang akan dibahas dalam makalah ini adalah:

Seberapa besar pengaruh Penerapan Self Assessment System

dan Reformasi Administrasi Perpajakan secara simultan

maupun parsial berpengaruh terhadap Kepatuhan wajib Pajak

badan.

Penelitian ini dimaksudkan untuk mencari bukti empiris

mengenai indikator-indikator dari variabel Self Assessment

System dan Reformasi Administrasi Perpajakan terhadap

tingkat Kepatuhan Pajak Wajib Pajak Badan, sedangkan

tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui seberapa

besar variabel Penerapan Self Assessment System dan

Reformasi Administrasi Perpajakan secara simultan dan

parsial memberi pengaruh terhadap Kepatuhan wajib Pajak

badan di 4 KPP Pratama se-Bandung Raya, sedangkan

hasilnya diharapkan dapat menjadi acuan dalam melengkapi

dan mendukung teori yang ada, yang didasarkan pada hasil

pengujian empiris yang dilakukan serta acuan bagi peneliti

selanjutnya, sedangkan bagi KPP hasil penelitian ini

diharapkan dapat menjadi masukan yang membantu wajib

pajak badan melancarkan perhitungan pajak terhutangnya

serta tambahan petunjuk teknis yang memudahkan wajib

pajak badan dalam memenuhi kewajiban perpajakannya. Bagi

peneliti, proses Penelitian ini memberikan pengalaman

berharga serta menambah wawasan bagi peneliti, khususnya

di bidang ilmu perpajakan, spesifik pada topik-topik yang

berkaitan dengan judul penelitian.

II. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Konsepsi Perpajakan

Pajak adalah “a contribution from citizen to support of the

state” Smith (1898), sedangkan Sommerfield (1983) juga

dalam Zain (2003) mendefinisikan pajak sebagai “any non

penal yet compulsory transfer of resources from the private to

public sector, leviedon the basis of predetermined criteria

and without receipt of specific benefit of equal value, in order

to accomplish some of a nation’s economic dan social

objectives. Dengan demikian, pajak memiliki beberapa ciri

sebagai berikut: a).Suatu pungutan yang dapat dipaksakan

karena wewenang yang dimiliki pemerintah, b). Dipungut

berdasarkan ketentuan undang-undang dan peraturan

pelaksanaannya, c). Dalam pembayaran tidak dapat

ditunjukkan kontra-prestasi individual oleh pemerintah, dan

d). Dipungut oleh pemerintah pusat ataupun pemerintah

daerah (Yulianto, 2010). Adapun sistem pemungutan pajak

(Waluyo, 2009), yaitu: Official Assessment System, Self

Assessment System, dan Withholding System, yaitu suatu

sistem pemungutan pajak yang memberi wewenang kepada

pihak ketiga untuk memotong memungut besarnya pajak

Page 134: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

125

yang terutang oleh wajib pajak, contohnya pajak penjualan

(PPn).

2.2 Self Assessment System

Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Ketentuan Umum

dan Tata Cara Perpajakan menj laskan bahwa Sistem Self

Assessment merupakan suatu sistem perpajakan yang

memberikan kepercayaan dan tanggung jawab kepada Wajib

Pajak untuk: a).berinisiatif mendaftarkan dirinya untuk

mendapatkan NPWP (Nomor Pokok Wajib Pajak); b).

menghitung, memperhitungkan, membayar dan melaporkan

sendiri pajak terutang (dalam Surat Pemberitahuan

Pajak/SPT) secara benar, lengkap, dan tepat waktu

(Mardiasmo, 2002 ; Shoup, 1970 dalam Zain, 2003),

sedangkan fungsi pemerintah (DJP) adalah memfasilitasi

agar sistem ini dapat berjalan dengan baik, diantaranya

dengan memberikan: 1) penyuluhan pajak (tax

dissessmination), 2) pelayanan pajak (tax services), dan 3)

pengawasan pajak (tax enforcement). Keberhasilan sistem

ini, yaitu terwujudnya kepatuhan sukarela (voluntary

compliance) akan meningkat (John Hutagaol, 2005).

sangat dipengaruhi oleh empat faktor berikut ini: 1) Tax

Conciousness: kesadaran Wajib Pajak atas kewajiban

perpajakannya, 2) Tax Mindness: hasrat untuk membayar

pajak terutang 3) Tax Honesty: kejujuran Wajib Pajak untuk

mengungkapkan keadaan sebenarnya, 4) Tax Diciplin:

kerelaan Wajib Pajak untuk menjalankan peraturan

perpajakan yang berlaku (Rachmat Soemitro, 1992).

2.3 Reformasi Administrasi Perpajakan

Menurut Ensiklopedia Perpajakan yang ditulis oleh Sophar

Lumbantoruan: “Administrasi Perpajakan ialah cara-cara atau

prosedur pengenaan dan pemungutan pajak” berdasarkan

Pasal 23A UUD 1945. Reformasi perpajakan, adalah

perubahan mendasar di segala aspek perpajakan, yang pada

dasarnya meliputi dua area: 1) tax policy reform yaitu

reformasi regulasi atau peraturan perpajakan berupa

perubahan undang-undang perpajakan; dan 2) tax

administration reform yaitu reformasi di bidang administrasi

perpajakan (Gunadi, 2004; DJP, 2010). Reformasi

administrasi perpajakan adalah penyempurnaan atau

perbaikan kinerja administrasi, baik secara individu,

kelompok, maupun kelembagaan, agar lebih efisien, yang

mengubah pola pikir dan perilaku aparat serta tata nilai

organisasi, sehingga Direktorat Jenderal Pajak (DJP)

diharapkan menjadi institusi yang profesional dengan citra

yang baik di masyarakat. Untuk mencapainya diperlukan: 1)

struktur pajak yang disederhanakan untuk kemudahan,

kepatuhan, dan administrasi, 2) strategi reformasi yang cocok

harus dikembangkan, dan 3) komitmen politik yang kuat

terhadap peningkatan administrasi perpajakan, (Bird dan

Jantscher, 1992 dalam Nasucha, 2004).

Tujuan utama tax administration reform adalah untuk

mencapai efektivitas yang tinggi (kemampuan untuk

mencapai tingkat kepatuhan yang tinggi); dan efisien, yaitu

kemampuan untuk membuat biaya administrasi per unit

penerimaan pajak sekecil-kecilnya (Ott ,2001 dalam Nasucha,

2004), sehingga reformasi harus: a). Memberikan pelayanan

kepada masyarakat dalam memenuhi kewajiban

perpajakannya, b). Mengadministrasi kan penerimaan pajak

sehingga transparansi dan akuntabilitas penerimaan sekaligus

pengeluaran dana dari pajak setiap saat bisa diketahui, c)

Memberikan pengawasan terhadap pelaksanaan pemungutan

pajak, terutama kepada aparat pengumpul pajak, wajib pajak,

atau masyarakat pembayar pajak, d) memperbaiki efektivitas

dan efisiensi administrasi perpajakan (Gunadi, 2004).

Selain itu penyempurnaan sistem administrasi perpajakan

juga merupakan salah satu upaya dalam mengurangi

kesenjangan kepatuhan pajak. Rendahnya tax ratio

menunjukkan terdapatnya kesenjangan yang tajam dari

tingkat kepatuhan yang diharapkan, yang terkait erat dengan

administrasi pajak.

Administrasi perpajakan harus bersifat dinamik agar dapat

meningkatkan penerapan kebijakan perpajakan yang efektif,

yaitu yang mampu mengatasi masalah-masalah (Carlos A.

Silvani, 1992 dalam Gunadi, 2004): 1) unregistered

taxpayers, 2) Wajib Pajak yang tidaberk menyampaikan SPT

(stop filing taxpayers), dilakukan pemeriksaan pajak untuk

mengetahui sebab-sebab tidak disampaikannya SPT, 3).

Penyelundup pajak (tax evaders) yaitu Wajib Pajak yang

melaporkan pajak lebih kecil dari yang seharusnya menurut

ketentuan perundang-undangan. Perlu adanya bank data

tentang Wajib Pajak dan seluruh aktivitas usahanya, 4).

Penunggak pajak (delinquent tax payers). Upaya pencairan

tunggakan pajak dilakukan melalui pelaksanaan tindakan

penagihan secara intensif. (Media Indonesia,2007)

Adapun konsep umum reformasi administrasi perpajakan: 1)

Restrukturisasi Organisasi, 2) Penyempurnaan proses bisnis

melalui pemanfaatan teknologi komunikasi dan informasi, 3)

penyempurnaan manajemen sumber daya manusia, dan 4)

Penerapan kode etik pegawai. (Pandiangan, 2007, DJP

(2010).

2.4 Konsepsi Kepatuhan Pajak

Kepatuhan wajib pajak merupakan gambaran realisasi

kehendak wajib pajak dalam memenuhi kewajibannya, baik

secara sukarela (voluntary compliance) maupun terpaksa,

(Zain, 1991) Kepatuhan menurut Internal Revenue Service

(IRS) ada tiga variabel, yaitu: 1) filing compliance

(Kepatuhan penyerahan SPT ), 2) payment compliance, dan 3)

Page 135: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

126

reporting compliance yang dapat diciptakan melalui paksaan

dan konsensus yang sifatnya legal dari otoritas pajak

Wajib pajak patuh bukan berarti wajib pajak yang membayar

dalam nominal besar , melainkan wajib pajak yang mengerti

dan mematuhi hak dan kewajibannya dalam bidang

perpajakan berdasarkan undang-undang perpajakan

(Abimanyu, 2004 dalam Supriyati et. al.,2008, Safri

Nurmantu dalam Rahayu, 2010), yang menurut Peraturan

Menteri Keuangan RI No.192/PMK.03/2007 Pasal1 adalah

sebagai berikut:

1. Tepat waktu dalam menyampaikan Surat Pemberitahuan

(SPT), 2) Tidak mempunyai tunggakan pajak untuk semua

jenis pajak, kecual telah memperoleh izin mengangsur atau

menunda pembayaran pajak, 3) Laporan keuangan diaudit

oleh Akuntan Publik atau lembaga pengawasan keuangan

pemerintah dengan pendapat Wajar Tanpa Pengecualian

(WTP) selama 3 (tiga) tahun berturut-turut, dan 4) Tidak

pernah dipidana karena melakukan tindak pidana di bidang

perpajakan berdasarkan putusan pengadilan yang telah

mempunyai kekuatan hukum tetap dalam jangka waktu 5

(lima) tahun terakhir.

2.5 Penelitian Sebelumnya

Berkenaan dengan penelitian yang dilakukan oleh penulis,

terdapat beberapa penelitian sejenis yang berkaitan erat,

antara lain :

1. Angga Widya Pratama (2010): Pengaruh Tingkat

Pemahaman Self Assessment System Terhadap

Kecenderungan Penghindaran Pajak Penghasilan

Perorangan, dengan hasil: a) Kesadaran wajib pajak

berpengaruh negatif terhadap kecenderungan

penghindaran pajak, tidak teruji kebenarannya b)

Kejujuran wajib pajak berpengaruh negatif terhadap

kecenderungan penghindaran pajak, teruji kebenarannya,

c) Hasrat untuk membayar pajak berpengaruh negatif

terhadap kecenderungan penghindaran pajak, tidak teruji

kebenarannya, d) Kedisiplinan wajib pajak berpengaruh

negatif terhadap kecenderungan penghindaran pajak, teruji

kebenarannya

2.Chaizi Nasucha (2004): Pengaruh Reformasi Administrasi

Perpajakan Terhadap Kepatuhan Pajak, hasil nya:

Reformasi administrasi perpajakan berpengaruh signfikan

terhadap akuntabilitas organisasi serta berpengaruh sangat

signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak. Akuntabilitas

organisasi berpengaruh relative signifikan terhadap

kepatuhan wajib pajak, dan secara simultan reformasi

administrasi perpajakan bersama akuntabilitas organisasi

berpengaruh sangat signifikan terhadap kepatuhan wajib

pajak. Perlu ada perubahan paradigma di kalangan pejabat

pajak untuk menjadikan kepatuhan wp sebagai ukuran

kinerja organisasi DJP di samping pencapaian penerimaan

3.Ming Ling Lai & Kwai-Fatt Choong, (2009): Self

assessment Tax System and Compliance Complexities: Tax

Practitioners’ Perspectives, hasil: Self- Assessment System

memberikan manfaat lebih kepada otoritas pajak daripada

wajib pajak dan telah berhasil meningkatkan biaya

kepatuhan pembayar pajak, namun belum dilaksanakan

secara efektif di Malaysia dan hubungan antar otoritas pajak

dan praktisi pajak pun belum baik. Kondisi ini diperparah

lagi dengan adanya staf pajak yang tidak memiliki

pengetahuan teknis mengenai masalah-masalah bisnis yang

kompleks, advis pajak yang tidak mudah diakses, serta

otoritas pajak

4.Yulianto (2010): Pengaruh Implementasi Kebijakan Self

Assessment System terhadap Kepatuhan Pajak, dengan hasil:

peningkatan efektivitas implementasi kebijakan self

assessment akan mempengaruhi peningkatan yaitu:

organisasi, penafsiran, dan aplikasi, dimensi penafsiran

berpengaruh paling besar terhadap kepatuhan wp orang

pribadi, sedangkan dimensi organisasi berpengaruh paling

kecil terhadap kepatuhan wajib pajak orang pribadi di

Propinsi Lampung

III. METODE PENELITIAN

Penelitian ini termasuk jenis penelitian deskriptif analitis

yang menggunakan metode explanatory survey yaitu

penelitian dengan menggunakan populasi untuk menjelaskan

hubungan antar variabel pada populasi tersebut dengan

menggunakan kuesioner sebagai instrumen pengumpulan

data.. Adapun yang menjadi subyek dalam penelitian ini

adalah Kepatuhan Wajib Pajak Badan di empat Kantor

Pelayanan Pajak (KPP) Pratama se-Bandung Raya. Penelitian

ini terdiri atas dua variabel bebas yaitu Penerapan Self

Assessent System (X1) yang menggunakan UU No.28 Tahun

2007 ,M Zain, 2008) sebagai acuan dalam mengukur

indikator-indikator pene

litian sebagai penjabaran dari empat dimensi yang akan

diukur, yaitu: mendaftarkan diri, menghitung dan

mempehitungkan, membayar dan melapor, sedangkan

variabel bebas Reformasi Administrasi Perpajakan (X2)

mengacu pada Liberty Pandiangan (2009) dan DJP (2010)

yang terdiri atas empat dimensi yaitu: reformasi struktur

organisasi, reformasi proses bisnis, pengembangan sumber

daya manusia, serta penerapan kode etik pegawai yang terdiri

atas 20 indikator yang akan diukur. Variabel terikat

Kepatuhan Wajib Pajak Badan mengacu pada KepMenKeu

RI No.192/PMK.03/2007 Pasal 1 yang terdiri atas empat

dimensi dengan 13 indikator yang akan diukur untuk unit

analisis Wajib Pajak Badan pada KPP Pratama se-Bandung

Raya, serta yang berwenang melakukan

pengarahan,pengawasan, pemeriksaan, dan penyidikan atas

kepatuhan Wajib Pajak Badan, yaitu petugas pajak (Fiskus)

nya yang terdiri atas Account Representative (AR) dan

Auditor Pajak, sekaligus merupakan populasi dari penelitian

Page 136: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

127

ini, dimana WP Badan jumlah keseluruhannya sekitar 43.000

sedangkan jumlah AR dan Auditor keseluruhan sekitar 140

orang. Pengambilan sampel mengacu pada Krejcie dan

Morgan (1970) dalam Sekaran (2010) sehingga diperoleh

jumlah sampel WP Badan sebanyak 381 orang dan Fiskus

sebanyak 103 orang. yang diambil dengan metode purposive

random sampling.

Pengujian data meliputi uji validitas dengan menggunakan

Pearson Product Moment, sedangkan uji reliabilitas

menggunakan Guttman Split Half Method.

Untuk mengukur pengaruh dua variabel bebas yang berdiri

sendiri (X2 & X2) terhadap variabel terikat (Y), digunakan

Multiple Linier RegressionMethod dengan alat bantu SPSS

20,0 dengan kriteria penafsiran kondisi variabel penelitian

yang ditetapkan berdasarkan pilihan dalam kuesioner dengan

menggunakan Skala Likert, 5 sangat baik dan 1 sangat tidak

baikmdengan terlebih dahulu mengkonversi data ordinal dari

kuesione menjadi skala interval dengan menggunakan MSI

(Method of Successive Interval) serta melakukan uji Asumsi

Klasik atau agar terpenuhi syarat BLUE (Best Linier

Unbiased Estimator).

IV. PEMBAHASAN

Pembahasan difokuskan pada permasalahan yang telah

diidentifikasi pada bab 1 melalui uji hipotesis, setelah

terlebih dahulu dilakukan beberapa jenis pengujian.

Instrumen penelitian telah valid dan reliabel karena hasil uji

dengan menggunakan Pearson Product Moment diperoleh

nilai koefisien validitas > 0,30 dan dengan menggunakan

Guttman Split Half Method dari Spearman-Brown, diperoleh

nilai koefisien Cronbach's Alpha > 0,60. Dengan demikian

seluruh item pernyataan dalam kuesioner yang akan

digunakan dalam penelitian ini, baik untuk Fiskus maupun

wajib pajak badan telah valid dan andal.

4.1 Uji Regresi

Sebelum diuji sebesar apa pengaruh variabel bebas terhadap

variabel terikat, terlebih dahulu dilakukan uji Asumsi Klasik,

karena syarat regresi data harus memiliki karakteristik BLUE

(Best Linear Unbiased Estimator). Sebelum Uji Asumsi

Klasik dilakukan, terlebih dahulu data dikonversi dari data

ordinal menjadi data interval dengan menggunakan MSI

(Method of Successive Interval). Hasil Uji Normalitas

menunjukkan bahwa data telah berdistribusi normal karena

dari gambar "Normal P-P Plot of Regression Standardized

Residual"terlihat data menyebar di sekitar garis diagonal dan

mengikuti arah grafik histogramnya, atau dari Kolmogorov-

Smirnov Test terlihat nilai tiap variabel dari "Asymp. Sig. (2-

tailed)" lebih besar dari 0,05, Uji Multikolinearitas sudah

terpenuhi karena nilai Value Inflation Factor (VIF) dari tabel

"Coefficients" menunjukkan nilai VIF < 10, sehingga tidak

terjadi gejala multikolinieritas, dan uji Heteroskedastisitas

terpenuhi karena dalam Scatter Plot Diagram tidak ada pola

yang jelas serta titik-titik menyebar di atas dan di bawah

angka 0 pada sumbu Y. Berdasarkan ketiga uji di atas, maka

dapat disimpulkan bahwa uji Asumsi Klasik sudah terpenuhi

sehingga data telah memenuhi syarat BLUE.

Hasil uji korelasi menunjukkan nilai X1= 0,454**dan X2=

0,482**, sehingga dapat disimpulkan bahwa tidak terdapat

hubungan yang kuat antara Penerapan Self Assessment System

dan Reformasi Administrasi Perpajakan dengan Kepatuhan

Pajak, demikian pula kontribusi kedua variabel tersebut

terhadap Kepatuhan Pajak, koefisien determinasi sebesar

0,458 artinya variabel Penerapan Self Assessment System dan

Reformasi Administrasi Perpajakan mempengaruhi tingkat

kepatuhan wajib pajak badan di KPP Pratama se-Bandung

Raya sebesar 45,80%, sehingga 54,20% kepatuhan wajib

pajak badan dipengaruhi oleh faktor lain yang tidak diteliti

disini.

Uji regresi berganda menghasilkan persamaan: Y= 14,817 +

0,243X1 + 0,429X 2 + ε,

yang berarti rata-rata indeks kepatuhan wajib pajak badan di 4

KPP Pratama se-Bandung Raya adalah 14,817, sebelum

diterapkannya Self Assessment System dan Reformasi

Administrasi Perpajakan. Nilai koefisien regresi X1 dan X2

positif menunjukkan adanya hubungan searah antara

Penerapan Self Assessment System dan Reformasi

Administrasi Perpajakan dengan Kepatuhan Wajib Pajak

Badan, yang berarti bahwa setiap kenaikan satu satuan

Penerapan Self Assessment System berpengaruh terhadap

peningkatan kepatuhan Wajib Pajak Badan di 4 KPP Pratama

se-Bandung Raya sebesar 0,243 atau 24,30%, sedangkan

setiap kenaikan satu satuan Reformasi Administrasi

Perpajakan dapat mempengaruhi peningkatan Kepatuhan

Wajib Pajak Badan 0,429 atau 42,90%.

4.2 Uji Hipotesis

Hipotesis yang akan diuji terdiri atas : H1: Penerapan Self

Assessment System dan Reformasi Administrasi Perpajakan

secara simultan berpengaruh positif signifikan terhadap

kepatuhan wajib pajak badan. pembuktiannya dengan uji F

terbukti bahwa kedua variabel tersebut berpengaruh positif

signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak badan karena nilai

F hitung 77,283 > F tabel 3,000 (untuk db=n-k-1 = 700-2-1

=697) dan Nilai Sig.0,000 < 0,05, yang berarti hipotesis

diterima (Ho ditolak).

Uji parsial dilakukan dengan uji t, H2: Penerapan Self

Assessment System berpengaruh positif signifikan terhadap

kepatuhan pajak. Hipotesis ini diterima karena hasil uji t

menunjukkan nilai t hitung 3,982 > t tabel 1,967 (db=700-2-

1), dan nilai sig 0,00 < 0,05.

Page 137: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

128

H3: Reformasi Administrasi Perpajakaan berpengaruh positif

signifikan terhadap kepatuhan pajak. Hipotesis ini diterimaa

karena t hitung 8,517 > t tabel 1,967 dengan nilai sig 0,00 <

0,05.

Tabel 1: Hasil Uji Parsial

V KESIMPULAN

Berdasarkana hasil pembahasan pada bab sebelumnya, maka

dapat disimpulkan bahwa Penerapan Self Assessment System

dan Reformasi Administrasi Perpajakan baik secara simultan

maupun parsial berpengaruh positif signifikan terhadap

kepatuhan wajib pajak badan di 4 KPP Pratama se-Bandung

Raya.

Guna menghasilkan luaran yang bermanfaat, khususnya bagi

wajib badan dalam menumbuh kembangkan kesadaran

dalam memenuhi kewajiban perpajakannya, maka diperlukan

kajian lebih mendalam lanjutan dari penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] http://id-evelopment.blogspot.com/2012/05/lingkup-

dan-definisi-pembangunan.html

[2] Brondolo, Jhon, Carlos Silvani, Eric Le Borgne, and

Frank Bosch. (2008). “Tax Administration Reform and

Fiscal Adjustment: The Case of Indonesia (2001-07).

Journal of Economics.

[3] Brooks, Neil. 2001. “Key Issues in Income Tax

Administration and Compliance‖, ADB Tax

Conference.

[4] http://hasim319.wordpress.com/2010/05/18/pajak-urat-

nadi-kehidupan-bangsa/

[5] Gunadi, Prof. Dr. MSc , 2004. Reformasi Administrasi

Perpajakan Dalam Rangka Kontribusi Menuju GCG.

[6] Indriantoro, Nur dan Bambang Supomo. 2002.

Metodologi Penelitian Bisnis untuk Akuntansi dan

Manajemen. BPFE.Yogyakarta.

[7] International Bureau Fiscal Documentation, 1992.

International Tax Glossary, Second Completely

Revised, Amsterdam, Netherland : IBFD Publication

[8] Kanwil DJP Jabar I, 2013. Kuliah Umum Perpajakan

Polban, Bandung

[9] Lai, Ming Ling & Kwai-Fatt Choong, (2009): Self

assessment Tax System and Compliance Complexities:

Tax Practitioners’ Perspectives, Oxford Business &

Economics Conference Program, St. Hugh‟s College,

Oxford University, Oxford, UK. (Accounting Research

Institute & Faculty of Accountancy Universiti Teknologi

MARA, Malaysia)

[10] ]Nasucha, Chaizi. 2004. Reformasi Administrasi Publik:

Teori dan Praktik. PT Gramedia Widiasarana Indonesia.

Jakarta

[11] Pandiangan, Liberty, 2007. Modernisasi dan Reformasi

Pelayanan Perpajakan: Berdasarkan Undang-Undang

Terbaru, PT. Elex Media Computindo (Kelompok

Gramedia), Jakarta

[12] Peraturan Menteri Keuangan RI No.192/PMK.03/2007

Pasal1

[13] Pratama, Angga Widya, 2010. Tingkat Pemahaman Self

Assessment System terhadap Kecenderungan

Penghindaran Pajak Penghasilan Wajib Pajak Orang

Pribadi, Jurusan Akuntansi, Fakultas Ekonomi -

Universitas Padjadjaran, Bandung

[14] Tanzi, Vito and Anthony Pellechio. (1995). “The Reform

of Tax Administration,” Journal of Economics.

[15] Undang-Undang No. 36 tahun 2008 tentang Ketentuan

Umum dan Tata Cara Perpajakan

[16] Yulianto, 2009. Pengaruh Impleumentasi Self

Assessment System Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak

Orang Pribadi di Propinsi Lampung. Jurnal Ilmu

Administrasi Negara, Volume 9 Nomor 1, Bandung

[17] Zain Mohammad, 2008, Manajemen Perpajakan,

Salemba Empat , Jakarta

[18] http://www.ortax.org/ortax/?mod=berita&page=show&i

d=11643&q=&hlm=9Tingkat Kepatuhan Pajak Institusi

Pemerintah Rendah Harian Seputar Indonesia, 23

Nopember 2011

[19] Yuniasih, 2010. Pengaruh Penerapan Sistem Self

Assessment Terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Badan

Pada KPP Pratama Jakarta Cilandak, Jakarta.

Page 138: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

129

Development of Wireless Magnetic Field Sensor Node Based on

Programmable System on Chip Microcontroller

C. Bambang Dwi Kuncoro

Electrical & Instrumentation Laboratory, Bandung State Polytechnic, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRACT

Wireless magnetic field sensor node is a magnetic field sensor that is integrated with microprocessor, wireless communication

system, and a small voltage source. That architecture makes it has improvement capability and functionality in order making

sensing process. Magnetic field sensor plays a very important part in many application and embedded system. In a wide range

of embedded and wireless sensor application, combining a magnetic filed sensor with programmable system on chip

microcontroller and wireless system will build a wireless sensor node. Thus that configuration technology inside offer an

attractive and low-cost alternative for many intelligent system applications. This paper presents development of wireless

magnetic field sensor node prototype. The node prototype built with the low power and a low noise magnetic field sensor

based on the Anisotropic MagnetoResistive (AMR) effect, the Programmable Single on Chip (PSoC), a 2,4 GHz radio

frequency as wireless communication, and 2 AAA batteries as 3.3 V DC voltage source. Comparing with a conventional

implementation, it is smaller and has lower power and costs. Integration of PSoC microcontroller technology in this design

allows the developer to rapidly create solutions for any wireless applications, and has unique capabilities that are not present

when designing with other microcontrollers. The simple experiment result show that designed wireless magnetic filed sensor

node can acquire experiment data (magnetic fileds), and send data processing to the computer monitor over radio frequency

communication. Another important aspect is related to the decrease in energy consumption due to the use of fewer and low-

power consumption components. Keywords

Interface, magnetic sensor, sensor node, wireless sensor node, PSoC

1. INTRODUCTION

Magnetic sensors differ from most other detectors because

they do not directly measure the physical property of

interest. Magnetic sensors, on the other hand, detect

changes, or disturbances, in magnetic fields that have been

created or modified, and from them derive information on

properties such as direction, presence, rotation, angle, or

electrical currents. Although magnetic detectors are

somewhat more difficult to use, they do provide accurate

and reliable data-without physical contact. Devices that

monitor properties such as temperature, pressure, strain, or

flow provide an output that directly reports the desired

parameter. They have been in use more over 2,000 years.

Early applications were for direction finding, or navigation.

Today, magnetic sensors are still a primary means of

navigation but many more uses have evolved. The

technology for sensing magnetic fields has also evolved

driven by the need for improved sensitivity, smaller size,

and compatibility with electronic systems. The newest

types of silicon based magnetic sensors will be emphasized-

anisotropic magnetoresistive (AMR) and giant

magnetoresistive (GMR) sensors.

At the same time, wireless sensor network (WSN) as a

promising has prompted the appearance for the

development of new magnetic field sensor applications, and

research work. With the increasing growth of magnetic

field detection has vastly expanded as industry has utilized

a variety of magnetic sensors to detect the presence,

strength, or direction of magnetic fields. Wireless magnetic

sensor networks offer an attractive, low-cost alternative for

traffic surveillance on freeways, at intersections and in

parking lots. Magnetometers are also used in a traffic

surveillance system to detect the presence and estimate the

speed of vehicles near street intersections and parking lots

[3]. Using magnetic signatures the system could also

classify and re-identify vehicles. Responsive Roadways [6],

[9], and MIT Intelligent Transportation System [7] are other

examples of transportation applications using wireless

magnetic sensors.

Figure 1: Automatic Car Illustration

This paper proposes development of a wireless magnetic

field sensor node prototype. The prototype developed based

on Programmable Single on Chip (PSoC), and built using

Commercial off-the-Shelf (COTS) components. We also

demonstrate promising results through real world

experiments performed at laboratory exercises.

Page 139: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

130

The rest of the paper is organized as follows. In Section 2,

development the wireless magnetic field sensor node will

be discussed, the devices that are used in our

implementation described, and then the development

program for magnetic field sensors detection is presented.

The presented of detailed experimental results is in Section

3, and finally the conclusion is in Section 4.

2. THE DEVELOPMENT OF WIRELESS

MAGNETIC FIELD SENSOR NODE

2.1 Architecture

A sensor node is composed of four major blocks: power

supply, communication, processing unit, and sensors. The

power supply block has the purpose to power the node and

usually consists of a battery and a dc-dc converter. The

communication block consists of a bidirectional wireless

communication channel. Most platforms use a short-range

radio. The architecture of wireless magnetic field sensor

node proposed is shown in Fig. 2.

Magnetic Field

Sensor(X_Axis)

Instrumentation

Amplifier

Magnetic Field

Sensor(Y_Axis)

Magnetic Field

Sensor(Z_Axis)

Instrumentation

Amplifier

Instrumentation

AmplifierFlip

Current

Vout(X_Axis)

Vout(Y_Axis)

Vout(Z_Axis)

PGAPSoC

SPIRadio

Report

Rate

Timer

3:1

MUX Gain=114 Bit

ADC

PSoC DeviceMagnetic Field Sensor Module

2XAAA

Battery

DC-to-DC

Converter

1.8 Volt DC - 3.6 Volt DC

3.3 Volt DC

Power Supply

Power Switch

Power (On)

Reset (Off)

Figure 2: The architecture of wireless magnetic field sensor

node

The proposed of wireless magnetic field sensor node is

composed of magnetic field sensor module, a processor and

radio communication based on the PSoC families, and a

power supply module.

2.2 Hardware Description and Development

In the development of wireless magnetic field sensor node,

the CY3271 Kit (PSoC FirstTouch Starter Kit with CyFi

Low-Power RF) produced and developed by Cypress

Semiconductor Corp is used. It allows the developer to

rapidly create solutions for any applications. It has unique

capabilities that are not present when designing with other

microcontrollers. The CY3271 kit also includes a CyFi RF

expansion card (FTRF). It contains a PSoC device and a

CyFi transceiver (with Radio Frequency (RF) output power

up to +20 dBm), a male interface header and a female

expansion header.

Figure 3: The main hardware of PSoC FirstTouch Starter

Kit: (a) Battery module. (b) PC bridge (c) RF expansion

module.

Table 1: The PSoC FirstTouch Starter Kit with CyFi Low

Power RF has specification.

2.2.1 The PsoC FirstTouch Starter Kit with CyFi Low-

Power RF

The programmable system on chip microcontroller replaces

many micro controller unit (MCU) based system

components with a single chip, programmable device. A

single PSoC microcontroller offers a fast core, flash

program memory, and SRAM data memory with

configurable analog and digital peripheral blocks in a range

of convenience pin-outs and memory sizes. The driving

force behind this innovative programmable system on a

chip comes from user configurability of analog and digital

arrays, the PSoC blocks.

The CY3271 Kit (PSoC FirstTouch Starter Kit with CyFi

Low-Power RF) allows the developer to rapidly create

solutions. The CY3271 kit hardware contains a PC Bridge

(FTPC) and this acts as a bridge between all boards in the

CY3271 system and the PC using a USB-to-I2C interface. It

contains a CyFi low-power RF transceiver (with RF output

power up to +20 dBm). CyFi is an ultra-reliable 2.4-GHz

RF solution optimized for embedded control and uses an

Operating Voltage 2.4 to 3.6V

Operating temperature 0 to 50oC

Expansion connector can

supply

up to 100mA at 3.3VDC

Support for I2C and up to 5 General purpose IOs

Frequency 2.400 - 2.483 GHz, up to

0 dBm and 2.412 - 2.460 GHz at +20 dBm (PA

enabled)

Operating current Less than 240 mA (Transmit at 20 dBm)

Operating range up to 1 km or more

Modulation DSSS, GFSK

Data rates DSSS data up to 250

kbps, GFSK data rate of 1 Mbps

ADC Resolution 6 to 14 Bit

ADC DataClock 125 kHz to 8 MHz

ADC SampleRate 1.9 sps to 15.6 ksps

(a) (b)

(c)

Page 140: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

131

easy to use star network protocol with active power

management. It employs Direct Sequence Spread Spectrum

(DSSS) and is a PSoC-based solution. CyFi can be used in

a wide range of embedded and wireless solutions. When

this is combined with an onboard PSoC, it acts as the Hub

in CyFi wireless networks.

2.2.2. CyFi RF Expansion Card

Sensor nodes must communicate among themselves and

also to a base station using a wireless communication

channel. We explore optical and radio frequency (RF)

channels. The sensor node communication channel needs to

be bidirectional to support different operating modes, to be

energy-efficient, allows setting the output power, and have

relatively slow date rate. The range can vary from tens to

about a hundred meters magnitude.

The CY3271 kit also includes a CyFi RF expansion card

(FTRF) and it is shown in Fig 3. It contains a PSoC device

and a CyFi transceiver (with RF output power up to +20

dBm), a male interface header and a female expansion

header.

Figure 4: CyFi RF Expansion Card: (a) Diagram block. (b)

Board.

The expansion card serves the following functions:

Combined with one of the power packs made available

with the CY3271 CyFi development kit, it can act as a

standalone CyFi wireless node with an on board

thermistor that can be used for temperature

measurements.

The male interface header features an Inter-Integrated

Circuit (I2C) interface and unused General Purpose

Input/Output (GPIO). This enables you to use it as a

CyFi low-power RF module for prototyping in your

own system.

With its female expansion header, it can be used as a

CyFi low-power module to add wireless connectivity to

multifunction expansion boards that are connected to it.

The pin out of the female expansion header is shown in

Figure 5.

Figure 5: Pin configuration of female expansion header

2.2.3 Magnetic Field Sensor Module

The sensing unit is composed of a group of sensors, which

are devices that produce electrical signals to a change in a

physical condition. In this project discusses and uses the

Anisotropic Magnetoresistive (AMR) as magnetic sensor.

William Thompson, later Lord Kelvin, first observed the

magnetoresistive effect in ferromagnetic metals in 1856.

His discovery had to wait more than 100 years before thin

film technology could make it into a practical sensor.

Figure 6: Anisotropic Magnetoresistive Sensor

AMR sensors are well suited to measuring both linear and

angular position and displacement in the Earth's magnetic

field. In a typical configuration, four of these resistors are

connected in a Wheatstone bridge to permit measurement

of both field magnitude and direction along a single axis.

The bandwidth is usually in the 1-5 MHz range. The

reaction of the magnetoresistive effect is very fast and not

limited by coils or oscillating frequencies.

Figure 7: Output of Anisotropic Magnetoresistive Sensors.

AMR sensors offer high sensitivity, small size, and noise

immunity. AMR sensors available today do an excellent job

of sensing magnetic fields within the Earth‟s field below 1

gauss. These sensors are used in applications for detecting

P0.

2

P0.3 P0.4

P0.

5

P0.6 GN

D

3.3V

PSoC

SPIRadio

Report Rate

Timer

PSoC Device

PSoC

I2C HW

PSoC

GPIO

H

E

A

D

E

R

Data Ready

Chip Select

SCL

SDA

RF Expansion board

(a) (b)

16 14 12 10 8 6 4 2

15 13 11 9 7 5 3 1

Page 141: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

132

Magnetic Field

Sensor(X_Axis)

Instrumentation

Amplifier

Magnetic Field

Sensor(Y_Axis)

Magnetic Field

Sensor(Z_Axis)

Instrumentation

Amplifier

Instrumentation

Amplifier

C

O

N

N

E

C

T

O

R

Flip

Current

Vout(X_Axis)

Vout(Y_Axis)

Vout(Z_Axis)

Magnetic Field Sensor Board

power data

(a) (b)

Magnetic Field Sensor

Output (X__Axis)

Magnetic Field Sensor

Output (Z__Axis)

Magnetic Field Sensor

Output

(Y__Axis)

Supply to Magnetic

Field Sensor

Supply to Magnetic

Field Sensor

Wireless Expansion Card Female Header

ferrous objects such as planes, train, and automobiles that

disturb the Earth‟s field. Magnetic sensors can be classified

according to low-, medium-, and high-field sensing range.

Devices that detect magnetic fields <1 µG (microgauss) are

considered low-field sensors; those with a range of 1 µG to

10 G are Earth's field sensors; and detectors that sense

fields >10 G are referred to as bias magnet field sensors.

This application uses the AFF755B is a low noise magnetic

field sensor based on the Anisotropic MagnetoResistive

(AMR) effect, and it is shown in Fig 8. The magnetic field

sensor module is consists of the serial connection of 3

sensors for a 3-axis measurement with typical supply

voltages available in battery powered devices. The sensor

contains a Wheatstone bridge including a flip coil for offset

correction. This measurement principle also reduces the

temperature coefficient of the offset by a factor of 100. This

sensor is ideally suited for the detection of weak magnetic

fields (< 20 μG resp. < 2 nT) including the earth magnetic

field. The voltage necessary for driving the required flip-

current of 150 mA is smaller than 0.5 V.

Figure 8: Magnetic Field Sensor Module: (a) Block

diagram. (b) Sensor board.

Table 2: Specification of magnetic field sensor module.

Operating Voltage 3VDC

Resolution 2nT

Output Voltage 11.5 mV/V/mT

Flipping current 150mA

Gain 100

Sensitivity 11.5mV/V/mT

For the circuit above, the following equation holds as

below:

Vout=1/2Vdd + Gain x SensorSensitifity x Vdd x B (1)

where:

Vout: output voltage of magnetic field sensor module (Vx_Axis, Vy_Axis, Vz_Axis) (Volt)

Vdd: supply voltage of magnetic field sensor module (Volt)

Gain: Gain of Instrument Amplifier of magnetic field sensor module

SensorSensitifity: sensitivity of magnetic field sensor(mV/V/mT)

B: Magnetic Field (nTesla)

Solving for B results in: B= (Vout-(1/2Vdd))/(Gain x SensorSensitivity x Vdd) (2)

2.2.4 Interfacing with CyFi RF Expansion Card

The connection of magnetic field sensor module to the CyFi

RF expansion card is shown in Fig 9, and described as

follow. The X-Axis output of magnetic field sensor module

connect to the port P0.2, the Y-Axis output of magnetic

field sensor module connect to the port P0.4, and then the

Z-Axis output of magnetic field sensor module connect to

the port P0.6 on the female expansion header. The negative

(–) supply of magnetic field sensor connect to GND, and

the positive (+) supply of magnetic field sensor connect to

3.3 V.

Figure 9: Connection Scheme between Magnetic Field

Sensor module and Wireless Expansion Card Female

header.

2.2.5 Power supply module

The power supply block has the purpose to supply the

energy to the node, and usually consists of a battery, but

sometimes a DC-DC converter is used to boost the battery

voltage. A voltage regulator can be added, whose purpose is

to maintain the output voltage at a fixed value. The power

supply module that use in this project is shown in Fig 10. It

supplies 3.3 V DC to other modules in wireless magnetic

field sensor node. The energy source of this module is 2

AAA batteries.

P0.2 P0.3 P0.4

P0.5 P0.6 GND 3.3 V

(a)

2XAAA

Battery

DC-to-DC

Converter

C

O

N

N

E

C

T

O

R

3.3 Volt DC

3.3 Volt DC

1.8 Volt DC - 3.6 Volt DC Power Switch

Power (On)

Reset (Off)

Power Supply Board

(b)

Page 142: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

133

PSoC Microcontroller

MU

X

14-bit

ADC

Magnetic Field

Sensor PGA

VX_Axis

VY_Axis

VZ_Axis

Figure 10: Power supply module: (a) Block diagram. (b)

Power supply board.

2.3 Software Development

All tasks in the wireless magnetic field sensor node will be

translated using PSoC Designer 5.0 in chip level design

mode. PSoC Designer is the integrated development

environment (IDE) where all PSoC projects are created,

edited, built, and debugged.

In generally, the main task is described as follow. The

voltages on the X, Y, and Z axes of the Magnetic Field

sensor module are measured directly with a single 14-bit

Analogue Digital Converter (ADC) by multiplexing the

input ports. The magnetic field sensor module has an

internal gain and thus Programmable Gain Amplifier (PGA)

set by 1. The block diagram of the system is shown in Fig

11.

Figure 11: System Block Diagram

The output of the ADC block can be processed using digital

blocks, and transmitted using the SPI digital

communication modules available in this chip. The voltages

on each axis after converting to digital data are stored in the

I2C RAM buffer. These values are transferred over the I

2C

Bridge and displayed using the Sense and Control

Dashboard (SCD) in the host Personal Computer (PC).

2.3.1 User Modules and Routing

The User Modules required in this design to read magnetic

field are as follows:

(a) (b)

(c) (d)

Figure 12: (a) Buffer User Module, (b) PGA User Module,

(c) ADC User Module,

(d) AMUX User Module.

The routing in PSoC Designer shows the user modules are

place in the analog blocks is shown in Fig 13. The

multiplexed input is fed through a PGA User Module. This

voltage is then buffered and passed onto the ADC user

module. A 14-bit digital representation is then used to

represent the voltages on X-Axis, Y-Axis, and Z-Axis of

magnetic field sensor module. The user module Analogue

Multiplexer (AMUX) selects which voltage is been

converted. For each axis connection (X-Axis, Y-Axis, and

Z-Axis of magnetic field sensor circuit), the ADC input is

sampled and the ADC counts are converted to the voltage

equivalent value, and uses this data to calculate the actual

magnetic field.

Figure 13: Analog Blocks used in Design.

2.3.2 Device Template

In order for the information received by the Hub to be

displayed using the Sense and Control Dashboard (SCD), it

is necessary to create a device template for the application.

The device template informs the SCD of how many bytes

are expected, what type of variables are used, text on the x

and y axis etc. The device template describes the size of

magnetic field value variables (iBx, iBy, iBz) are 4 bytes

(Float32). The starting bit of iBx is bit 0 and nTelsa is the

label on the y axis as unit of magnetic field on X-Axis. It

indicates that no scaling factor is used. There is also an iBy

variable. The starting bit is bit 32, and iBy is the label on

the y axis as unit of magnetic field on Y-Axis. It also

indicates that no scaling factor is used. The next variable is

iBz variable. The starting bit is bit 32, and iBz is the label

on the y axis as unit of magnetic field on Z-Axis. It also

indicates that no scaling factor is used.

The wireless magnetic field sensor node prototype

implemented, as show in Fig 14.

Page 143: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

134

Figure 14: Wireless magnetic field sensor node.

3. EXPERIMENTAL

3.1 Experiment setup

General steps to be followed while using the wireless

magnetic field measurement system expansion board are as

follows:

1. Connect the RF Expansion Board to the PC Bridge.

2. Insert the PC Bridge into any free USB port of the

PC/laptop.

3. Open PSoC Programmer, and load the appropriate .hex

file from the Hex Files folder located on the computer.

4. Set Device Family to 27x43, Device to CY8C27443

and click Program.

5. Disconnect the RF Expansion Board from the PC

Bridge, leaving the Bridge connected to the computer.

6. Attach the magnetic field sensor and the RF Expansion

board to the battery pack as shown in Fig. 14.

7. Switch on power to the RF Expansion Board by sliding

the ON/OFF switch on the battery pack towards the RF

Expansion Board.

8. Open the SCD software.

9. Place the PC Bridge in Bind mode using the SCD

software.

Click Manage to set up the sensor network.

In the Manage Network screen, click Add to add a

new node.

Figure 15: Configuration experiment setup

On the Node Binding screen, click Begin Binding.

After activating this function, you have

approximately 20 seconds to press the bind button

on the RF Expansion Board.

Verify the success of the bind.

10. Click Next to go to the Node Binding (2 of 2) window.

In this window, assign a name to the newly bound node.

On the Node Configuration pane, click Load Node

configuration from a file and load the appropriate

device template file from the Configuration Files folder

located on the computer.

11. Select graphical or textual mode of data display. The

data is displayed in graphical or text format on the SCD

screen.

12. Click Apply on all successive dialog boxes until the

main SCD window reappears

3.2 Experiment Environment

A weak magnetic fields magnet (app: 1.4 – 1.6 nT) is

placed close to the magnetic field sensor module (app: 1.5 –

2 cm). The configuration is as shown in Fig.15. The

wireless magnetic field system using the PSoC FirstTouch

starter kit was programmed to acquire data from the

magnetic field sensor every second and to send the data to a

PC bridge. The PC Bridge was also attached to a Laptop

running SCD. At the time measurement, a weak magnetic

fields magnet was moved in the directions: X-axis, Y-axis,

and Z-axis respectively.

3.3. Result

The received data appear on 3 windows on the SCD. The

first window is the magnetic field on X-axis, second

window is the magnetic field on Y-axis, and the next is the

magnetic field on Z-axis. The graphs of measurement

result are show in Fig. 16 as an example.

(a) (b)

(c)

Figure 16: (a) X-Axis Sensor and Control Dashboard

Windows. (b) Y-Axis Sensor and Control Dashboard

Windows. (c) Z-Axis Sensor and Control Dashboard

Windows.

4. CONCLUSIONS

Wireless magnetic field sensor node presents fascinating

challenges for the application of distributed system. It also

provides accurate and reliable data-without physical

contact. In this work, a wireless magnetic field sensor node

prototype has been developed and deployed.

The result of simple experiment show magnetic fields from

a small magnetic field source can be read well by AMR

sensor and transmitting the collecting data to the

monitoring computer by wireless. The monitoring computer

display the history and trends magnetic field data on the

Programmer PSoC

Applation

PSoC

CyFi Transceiver

USB

I2C

SPI

PC Dongle

CyFi Transceiver

PSoC

SPI

GPIO

Con

nector Magnetic Sensor

RF Expansion Board

CyFi wireless link

GPIO

Page 144: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

135

interactive Graphical User Interface (GUI) but the

resolution and data rate should be improvement to find

smoother graphic.

This work can inspire the user create another sensor board

by self, and then connects it to the PSoC module (RF

Expansion Card), which both supplies the board with

power, and enables starting logging and transmitting sensor

data (from the specific sensor) to a PC/laptop using CyFi

Low-Power RF. Furthermore, RF Expansion Card can be

re-used as a wireless module for development a prototyping

purpose, making simple wireless monitoring and data

acquisition for various appropriate applications.

ACKNOWLEDGEMENTS

We would like to acknowledge our reviewer who helped us

to improve this manuscript.

REFERENCES

[1] Benson, J.P., T. O‟Donovan, P. O‟Sullivan, U. Roedig,

C. Sreenan, J. Barton, A. Murphy, and B. O‟Flynn,

“Car-Park Management using Wireless Sensor

Networks,” Proceedings of the 31st IEEE Conference

on Local Computer Networks, Tampa, FL, pp. 588–595,

Nov 2006.

[2] Boda, V.K., A. Nasipuri, and I. Howitt, “Design

Considerations for a Wireless Sensor Network for

Locating Parking Spaces,” Proceedings of IEEE

SoutheastCon, Richmond, VA, pp. 698–703, Mar 2007.

[3] Cheung, S.Y., S.C. Ergen, and P. Varaiya, “Traffic

Surveillance with Wireless Magnetic Sensors,”

Proceedings of the 12th World Congress on Intelligent

Transport Systems, Nov 2005, San Francisco, CA.

[4] CY3271-EXP1 PSoC® Environmental Sensing Kit,

Cypress Semiconductor 198 Champion Court San Jose,

CA 95134-1709, 2006.

[5] IDE User Guide, Cypress Semiconductor 198

Champion Court San Jose, CA 95134-1709, 2006.

[6] Knaian, A.N., “A Wireless Sensor Network for Smart

Roadbeds and Intelligent Transportation Systems,”

Master‟s Thesis, MIT, Jun 2000.

[7] MIT Intelligent Transportation Systems,

http://mit.edu/its

[8] O‟Flynn, B., S. Bellis, K. Mahmood, M. Morris, G.

Duffy, K. Delaney, and C. O‟Mathuna, “A 3-D

Miniaturised Programmable Transceiver,”

Microelectronics International, Emerald Group, Vol. 22,

No. 2, pp. 8–12, 2005.

[9] Responsive Roadways,

http://www.media.mit.edu/resenv/vehicles.html

[10] Robert Ashby, Designer‟s Guide to the Cypress

PSoC, Elsevier Inc, 2005.

Page 145: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

136

INTELLIGENT DRIVER INFORMATION SYSTEM

BERBASIS GPS

Edi Rakhmana, Didin Saefudin

a, Noor Cholis Basjaruddin

a

aJurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung

E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Intelligent driver information system ( IDIS) adalah alat bantu bagi pengemudi untuk memudahkan dalam mengarahkan

kendaraan ke suatu tujuan. Sistem ini merupakan sistem elektronika yang dipasang pada mobil dengan menggunakan sensor

GPS dan mempunyai keluaran berupa alarm dan tampilan LCD. Fungsi utama sistem ini adalah memberikan pilihan tujuan

terdekat serta secara terus menerus memberikan informasi jarak kendaraan dan tujuan. Dua informasi tersebut sangat

membantu pengemudi untuk mengarahkan mobil ke tujuan yaitu berupa tempat umum seperti SPBU, ATM, dan rumah sakit.

Pemilihan tujuan terdekat dilakukan oleh sistem dengan memanfaatkan basis data posisi berbagai tempat umum serta informasi

jalan yang diperoleh dari GPS dan basis data jalan. Hasil simulasi fuzzy logic menunjukkan bahwa frekuensi alarm bisa

berubah dengan baik sesuai jarak dan kecepatan kendaraan. Sedangkan hasil uji coba lapangan tanpa fuzzy logic menunjukkan

bahwa alarm mulai berbunyi ketika jarak kendaraan dan tujuan 518 meter dan berbunyi dengan frekuensi tertinggi pada jarak

29 meter.

Kata Kunci

Intelligent driver information system, GPS, fuzzy logic

1. PENDAHULUAN

Jumlah kendaraan di Indonesia terus meningkat tidak

sebanding dengan laju pembangunan jalan. Pada tahun

2011 menurut Badan Pusat Statistik jumlah mobil

penumpang adalah 9.548.866, bus 2.254.406, dan truk

4.958.738. Jumlah kendaraan tersebut naik sekitar 9%

setiap tahunnya. Kenaikan jumlah kendaraan ini tidak

sebanding dengan penambahan panjang jalan, yaitu 0.01%

per tahun [1]. Selain itu jumlah luas jalan dibanding luas

wilayah di kota besar seperti Jakarta juga belum memadai

yaitu hanya sekitar 6%. Sebagai perbandingan di Tokyo dan

Singapura jumlah luas jalan lebih dari 15% luas wilayah.

Ketidakseimbangan jumlah kendaraan dan ketersediaan

jalan mengakibatkan padatnya lalu lintas di jalan raya yang

pada akhirnya mengakibatkan kemacetan. Selain

merugikan dari sisi ekonomi, kemacetan juga mengganggu

kenyamanan dalam berkendara.

Peningkatan jumlah pengguna jalan raya yang tidak

diimbangi dengan sarana jalan dan kedisiplinan pengemudi

yang memadai mengakibatkan peningkatan jumlah

kecelakaan. Pada tahun 2010 kematian akibat kecelakaan

mencapai 31.234 jiwa atau dalam setiap 1 jam terdapat 3-4

orang meninggal akibat kecelakaan lalu lintas [2]. Selain

kerugian jiwa, kecelakaan lalu lintas juga menyebabkan

loss productivity, yaitu sekitar 2,9 – 3,1 % dari total PDB

Indonesia atau setara Rp205-220 trilyun pada tahun 2010

dengan total PDB mencapai Rp7.000 trilyun.

Dua tugas penting bagi pengemudi dalam berkendara

adalah mengarahkan kendaraan ke tujuan seefiesin

mungkin dan bermanuver untuk menghindari kecelakaan

pada kondisi tertentu. Dua tugas berkendara tersebut harus

memenuhi aspek keselamatan dan kenyamanan baik bagi

pengemudi maupun penumpang. Tugas berkendara tersebut

menjadi lebih sulit dilaksanakan ketika kepadatan lalu lintas

meningkat.

Persoalan kemacetan di jalan raya dapat dikurangi jika para

pengemudi dapat mengemudikan kendaraannya seefisien

mungkin pada saat menuju tujuan. Oleh karena itu

dibutuhkan alat yang dapat membantu pengemudi pada saat

mengarahkan kendaraannya menuju tujuan. Alat tersebut

dikenal sebagai sistem informasi pengemudi (driver

information system, DIS). DIS yang dirancang dan

diimplementasikan dengan menggunakan sistem cerdas

dikenal sebagai Intelligent Driver Information System

(IDIS). Selain dapat membantu mengurangi kemacetan,

sistem informasi pengemudi juga dapat mengurangi

pemakaian bahan bakar, meningkatkan keselamatan dalam

berkendara, serta menambah kenyamanan pengemudi dan

penumpang.

Page 146: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

137

2. METODA PENELITIAN

Ilustrasi cara kerja IDIS dapat dilihat pada Gambar 1.

Mobil dengan GPS

SPBU

Jl. Soekarno Hatta

Gambar 1: Ilustrasi cara kerja IDIS

Mobil yang dilengkapi dengan IDIS dapat menentukan

posisinya melalui GPS. Informasi posisi mobil dan basis

data jalan akan menentukan informasi nama jalan yang

sedang dilewati oleh mobil, misal Jl. Soekarno Hatta.

Ketika pengemudi ingin mencari SPBU di jalan Soekarno

Hatta, maka pengemudi akan memilih pilihan SPBU pada

perangkat IDIS. Secara otomatis, IDIS akan memilihkan

SPBU terdekat di Jalan Soekarno Hatta. Selanjutnya, IDIS

secara terus menerus akan memberi informasi jarak SPBU

dengan mobil kepada pengemudi melalui alarm dan

tampilan LCD. Frekuensi alarm akan naik jika jarak

semakin dekat.

3.6 Pemilihan Tujuan

Gambar 2 menunjukkan proses penentuan tujuan oleh

pengemudi. Pilihan jenis tujuan diberikan oleh pengemudi

melalui keypad. Pilihan tersebut antara lain SPBU, ATM,

dan Rumah Sakit. Misalkan pengemudi memilih SPBU.

Data tersebut selanjutnya diolah bersama-sama informasi

jalan yang dihasilkan dari basis data jalan dan data GPS

(misal Jalan Soekarno Hatta). Dua data yaitu jenis tujuan

(misal SPBU) dan nama jalan (misal Soekarno Hatta)

selanjutnya digunakan untuk menentukan koordinat tujuan.

Sub rutin pengolah posisi dan basis

data posisi tujuan

Pilihan jenis tujuan via keypad

Informasi jalan dari GPS kendaraan

Koordinat tujuan

Gambar 2: Proses penentuan tujuan oleh pengemudi

3.7 Perancangan Fuzzy Logic

Metoda fuzzy logic digunakan untuk mengolah data jarak

dan kecepatan sehingga diperoleh frekuensi alarm yang

tepat. Gambar 3 menunjukkan blok diagram pengolahan

data jarak dan kecepatan menggunakan fuzzy logic.

Fuzzy Logic

Jarak mobil dan tujuan

Kecepatan mobil

Frekuensi Alarm

Gambar 3: Bagian fuzzy logic

Secara garis besar fuzzy logic akan menentukan frekuensi

alarm sesuai dengan data jarak dan kecepatan mobil. Jika

jarak mobil dan tujuan masih jauh dan kecepatan mobil

rendah maka alarm akan berbunyi dengan frekeunsi rendah.

Frekuensi alarm akan naik jika jarak semakin dekat dan

atau kecepatan mobil naik.

Gambar 4-6 menunjukkan fungi keanggotaan jarak mobil

terhadap tujuan, kecepatan mobil, dan frekuensi alarm.

Gambar 4: Fungsi keanggotaan jarak mobil

terhadap tujuan

Gambar 5: Fungsi keanggotaan kecepatan mobil

Page 147: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

138

Gambar 6: Fungsi keanggotaan frekuensi alarm

Grafik fuzzy logic dapat dilihat pada Gambar 7.

Gambar 7: Grafik fuzzy logic

Pada Gambar 7 dapat dilihat bahwa frekuensi alarm akan

sangat rendah jika jarak mobil terhadap tujuan masih jauh

dan kecepatan rendah. Jika kecepatan mobil bertambah,

frekuensi alarm akan naik. Hal yang sama terjadi jika jarak

semakin dekat.

3.8 Perhitungan jarak

Jarak mobil dan tujuan ditentukan berdasarkan koordinat

mobil yang diterima dari GPS dan koordinat tujuan dari

basis data. Persamaan 1 digunakan untuk menghitung jarak.

(1)

dengan

d jarak dua titik

r radius bumi (6.371 untuk satuan kilometer)

1, 1 : latitude titik 1 dan 2

1, 2 : longitude titik 1 dan 2

Tabel 1: Contoh perhitungan jarak

Posisi mobil Jarak

Long Lat Peta Perhitungan

6°56'17.02" 107°39'38.1" 1000 969,03

6°56'18.28" 107°40'27.20" 500 542,47

6°56'18.43" 107°40'24.62" 450 463,15

6°56'18.61" 107°40'21.98" 400 381,92

Pada Tabel 1 terlihat bahwa terdapat perbedaan antara jarak

pada peta dan jarak hasil perhitungan. Perbedaan ini bisa

disebabkan karena ketidaktelitian dalam pengambalian

koordinat dari peta. Tabel 1 dibuat untuk membuktikan

bahwa Persamaan 1 dapat digunakan untuk perhitungan

jarak dalam IDIS.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Penelitian telah menghasilkan dua hal penting untuk

realisasi IDIS yaitu uji coba sistem secara menyeluruh di

lapangan dan simulasi bagian fuzzy logic.

3.1 Uji coba sistem

Sebelum diuji di jalan raya, sistem diuji coba di lingkungan

kampus untuk melihat pengaruh waktu pencuplikan data

pada frekuensi alarm yang dibangkitkan. Gambar 8

menunjukkan grafik jarak dan grafik frekuensi alarm.

Gambar 8: Grafik Jarak dan frekuensi alarm

Dapat dilihat bahwa ketika jarak mendekati nol maka

frekuensi alarm maksimum. Waktu pencuplikan data posisi

berpengaruh pada kelinieran perubahan frekuensi alarm

terhadap waktu. Ketidakliniearan perubahan frekuensi

alarm terhadap waktu secara umum tidak berpengaruh bagi

pengemudi, namun secara ergonomis akan mengurangi

kenyamanan bagi pengemudi dan memungkinkan kesalahan

persepsi.

Gambar 9 menunjukkan lokasi uji coba di jalan raya yaitu

di Jalan Dr. Djunjunan Bandung dengan tujuan Rumah

Sakit Ibu dan Anak Hermina.

Gambar 9: Lokasi uji coba di jalan raya

Koordinat posisi RSIA Hermina Jalan Dr. Djunjunan

adalah 6o53,734 S 107

o35,340 E.

Gambar 10 menunjukkan grafik jarak dan alarm yang

merupakan hasil uji coba di jalan raya. Pada grafik tersebut

dapat dilihat bahwa frekuensi alarm tertinggi terjadi ketika

jarak kendaraan dan tujuan mendekati nol. Kenaikkan

frekuensi alarm yang berbanding terbalik dengan jarak akan

Page 148: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

139

memberi panduan kepada pengemudi agar mengatur

kecepatan kendaraan dengan tepat.

Gambar 10: Grafik jarak dan frekuensi alarm terhadap

waktu serta frekuensi alarm terhadap jarak.

4. DISKUSI

Penelitian ini masih dalam proses pelaksanaan. Tahap

selanjutnya dari penelitian ini adalah merealisasikan IDIS

menjadi sebuah purwarupa (prototype). Berbagai hal yang

akan muncul dalam proses realisasi dapat menjadi bahan

diskusi.

4.1 Delay Pembacaan Posisi Oleh GPS

Posisi mobil akan dilaporkan ke pengemudi beberapa saat

setelah proses pembacaan oleh GPS. Hal ini akan

mengakibatkan perbedaan antara posisi yang ditunjukkan

oleh IDIS dan posisi sebenarnya. Agar perbedaan tersebut

tidak terlalu besar maka diperlukan faktor koreksi untuk

memprediksi posisi mobil saat informasi diberikan kepada

pengemudi.

Posisi mobil akan ditentukan dengan menggunakan

Persamaan 2.[3]

tvy

tvxtPos

.

.)( (2)

x dan y adalah koordinat yang diberikan oleh GPS

sedangkan v adalah kecepatan mobil yang juga diberikan

oleh GPS. Waktu t adalah waktu tunda akibat

keterlambatan pembacaan dan pelaporan oleh GPS.

4.2 Penentuan Jarak pada Jalan Tidak Lurus

Persamaan 1 digunakan untuk menghitung jarak pada

lintasan lurus. Perhitungan jarak pada lintasan yang tidak

lurus memerlukan metoda lain. Salah satu metoda yang

digunakan adalah metoda segmentasi yaitu membagi jalan

menjadi beberapa ruas seperti ditunjukkan pada Gambar 9.

Pada Gambar 11 terlihat bahwa SA adalah jarak mobil dan

SPBU jika ditarik garis lurus. Jarak ini tentunya tidak

mencerminkan jarak lintasan mobil yang sebenarnya.

Perhitungan jarak yang sesuai lintasan dilakukan dengan

membagi jalan menjadi beberapa ruas, misal SB1-SB5. Jarak

lintasan dapat dihitung dengan menjumlah panjang seluruh

ruas dan panjang tiap ruas dapat dihitung dengan

Persamaan 1.

Mobil

SPBU

SA

SB1

SB2 SB3

SB4

SB5

Gambar 11: Perhitungan jarak pada jalan tidak

lurus

4.3 Penentuan Frekuensi Alarm

Frekuensi alarm akan berubah sesuai jarak, hal ini akan

menjadi masalah ketika kecepatan kendaraan berbeda-beda.

Frekuensi alarm tertinggi untuk kecepatan kendaraan

rendah dapat diset pada jarak yang dekat. Sedangkan, pada

kecepatan kendaraan yang tinggi, frekuensi alarm tertinggi

sebaiknya diset pada jarak yang jauh. Untuk

memperhitungkan pengaruh kecepatan kendaraan terhadap

frekuensi alarm maka digunakan fuzzy logic. Metoda fuzzy

logic yang telah disimulasikan diharapkan akan

memperbaiki unjuk kerja sistem terutama untuk

menentukan pada jarak berapa alarm mempunyai frekuensi

tertinggi dengan kecepatan kendaraan yang berbeda-beda.

5. KESIMPULAN

Hasil perancangan dan simulasi selanjutnya akan

direalisasikan menjadi purwarupa. Persoalan keterlambatan

pengukuran posisi oleh GPS dapat diselesaikan dengan

teknik prediksi sederhana yaitu dengan memperhatikan

jarak tempuh mobil selama proses pengukuran. Pada jalan

yang tidak lurus, perhitungan jarak mobil dan tempat tujuan

dapat dilakukan dengan menggabungkan rumus jarak dua

titik dan metoda segmentasi. Hasil simulasi bagian fuzzy

logic menunjukkan bahwa IDIS dapat memanfaatkan

metoda fuzzy logic sebagai pengolah data untuk

menghasilkan frekuensi alarm yang tepat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Unit Penelitian

dan Pengabdian kepada Masyarakat (UPPM) Politeknik

Negeri Bandung dan Direktorat Penelitian dan Pengabdian

kepada Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan yang membiayai

penelitian ini dalam skema Penelitian Hibah Bersaing

(PHB) Tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

[1] http://www.pu.go.id/main/view_pdf/8003.

Page 149: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

140

[2] _____, Rencana Umum Nasional Keselamatan

(RUNK) Jalan 2011-2035.

[3] J. H¨arri, “Modeling and predicting mobility in

wireless ad hoc networks,” Ph.D. dissertation, l ´

Ecole Polytechnique F´ed´erale de Lausanne (EPFL)

[4] J. Piao, M. McDonald, and N. Hounsell,

“Cooperative Vehicle-Infrastructure Systems for

Improving Driver Information Services: An Analysis

of COOPERS Test Results”, IET Intell. Transp.

Syst., 2012, Vol. 6, Iss. 1, pp. 9–17.

[5] Sameer Darekar, Atul Chikane, Rutujit Diwate,

Amol Deshmukh, and Prof. Archana Shinde,

“Tracking System using GPS and GSM: Practical

Approach”, International Journal of Scientific &

Engineering Research, Volume 3, Issue 5, May-

2012.

[6] Abid khan and Ravi Mishra, “GPS – GSM Based

Tracking System”, International Journal of

Engineering Trends and Technology, Volume 3

Issue 2, 2012.

[7] _____, “2010 Road Traffic Crashes in the ACT”,

2011.

[8] Michael G. Lenné, Christina M. Rudin-Brown,

Jordan Navarro, Jessica Edquist, Margaret Trotter,

Nebojsa Tomasevic, “Driver behaviour at rail level

crossings: Responses to flashing lights, traffic

signals and stop signs in simulated rural driving”,

Applied Ergonomics 42, pp.548-554, 2011.

[9] Bih-Yuan Ku, “Grade-Crossing Safety”, Vehicular

Technology Magazine, IEEE, 2010.

[10] Heru Sutomo, dkk, “1-2-3 Langkah Volume 2:

Menempatkan kembali keselamatan menuju

trasportasi yang bermartabat”, Masyarakat

Transportasi Indonesia, Jakarta.

[11] Ismail, M. A., & Abdelmageed, S. M, “Cost of Road

Traffic Accidents in Egypt”, World Academy of

Science, Engineering and Technology, pp.1322-

1328, 2010.

[12] O.J. Gietelink, J. Ploeg, B. De Schutter, M.

Verhaegen, “Development of a driver information

and warning system with vehicle hardware-in-the-

loop simulations”, Mechatronics 19, pp. 1091–1104,

2009.

[13] Anurag D, Srideep Ghosh, and Somprakash

Bandyopadhyay, “GPS based Vehicular Collision

Warning System using IEEE 802.15.4 MAC/PHY

Standard”, 8th International Conference on ITS

Telecommunications, Phuket, 2008.

[14] Dileepa Jayakody, Mananu Gunawardana, and

Nipuna Wicrama, “GPS/GSM based train tracking

system – utilizing mobile networks to support public

transportation”.

Page 150: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

141

Penentuan Faktor Kalibrasi Fotodioda SP45ML Terhadap Standar

CIE-1978

Trisno Yuwono Putro, Suheri Bakar, Paula Santi Rudati

Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail :[email protected]

ABSTRAK

Meningkatnya kebutuhan akan komponen elektronika baik dari segi kualitas maupun jenisnya, mendorong timbulnya berbagai

penelitian di bidang tersebut. Penelitian yang saat ini aktif dikembangkan antara lain adalah penelitian di bidang komponen

elektronika organik seperti misalnya Organic Light Emitting Diode (OLED), Organic Photovoltaic (OPV), dan Organic

Sensors (OS). Salah satu kebutuhan utama dalam pengembangan penelitian tersebut adalah tersedianya sistem pengukuran.

Tulisan ini melaporkan hasil penelitian yang terkait dengan penyediaan kebutuhan sistem pengukuran terkomputerisasi untuk

komponen elektronika organik, dalam hal ini OLED. Penelitian yang telah dilakukan betujuan menentukan faktor kalibrasi dari

sensor cahaya fotodioda SP45ML terhadap standar CIE-1978 berkaitan dengan photopic vision. Kalibrasi dilakukan melalui

pengukuran intensitas cahaya dari tiga jenis Light Emitting Diode (LED) yang masing-masing mengemisikan panjang

gelombang (λ) 645 nm, 550 nm, dan 460 nm dengan menggunakan luxmeter. Hasil pengukuran luxmeter dikalibrasikan ke

tegangan keluaran sensor fotodioda SP45ML dengan menggunakan standar CIE-1978. Hasil pengukuran memberikan faktor

kalibrasi senilai 2,78 lux/volt yang selanjutnya dapat digunakan dalam pengembangan perangkat lunak sistem pengukuran

terkomputerisasi.

Kata Kunci

LED, CIE, fotodioda, SP45ML, kalibrasi

1. PENDAHULUAN

Teknologi komponen elektronika mengalami

perkembangan yang pesat sejak ditemukannya komponen

elektronika berbasis material semikonduktor.

Perkembangan ini diikuti dengan berkembangnya teknologi

komponen elektronika berbasis material semikonduktor

organik. Teknologi ini memberikan peluang untuk

melakukan rekayasa material dan pengembangan teknologi

pemrosesan sebagai upaya untuk memperoleh komponen

dengan unjuk kerja yang lebih baik. Salah satu usaha untuk

mendukung pengembangan ini adalah menyediakan

fasilitas penelitian.

Kebutuhan tersebut di atas mendorong berkembangnya

teknologi komponen elektronika berbasis material

semikonduktor organik. Sejak ditemukannya komponen

organic light emitting diodes (OLEDs) dengan efisiensi

yang menjanjikan pada tahun 1990 oleh kelompok

Cambridge University [1], penelitian di bidang ini

mengalami perkembangan yang pesat. Berbagai hasil

penelitian dan produk komponen elektronika dipublikasikan

hingga saat ini antara lain adalah Multi-Colour Organic

Light–Emitting Displays by Solution Processing [2], televisi

fleksibel dari Sony pada CES 2009, dan OLEDs fleksibel

dari General Electric-2008.

Teknologi komponen elektronika organik ini membuka

peluang yang besar di bidang rekayasa material organik,

dan teknologi proses. Dibidang rekayasa material, terbuka

peluang yang besar untuk menemukan material-material

baru yang memberikan karakteristik yang berbeda. Adanya

perubahan gugus kimia pada suatu molekul dapat

memberikan sifat-sifat fisika yang berbeda misalnya

bandgap yang berbeda. Usaha-usaha untuk mendapatkan

proses produksi yang efisien, dan ramah lingkungan terus

dilakukan antara lain melalui pengembangan metoda

solution process yang meliputi proses pembuatan dengan

metoda spincoating, inkjet printing, screen printing, dan

roll-to-roll printing.

Upaya pengembangan ersebut di atas diiringi dengan

timbulnya kebutuhan fsilitas penelitian antara lain fasilitas

karakterisasi dalam bentuk sistem pengukuran

terkomputerisasi yang memungkinkan pengukuran secara

cepat, akurat, dan terekam. Keperluan sistem pengukuran

ini antara lain untuk menentukan karakateristik arus

terhadap tegangan, karakteristik intensitas cahaya terhadap

tegangan, dan karakteristik efisiensi terhadap tegangan

yang menyatakan unjuk kerja OLEDs [2,3,4]. Selain itu,

pengukuran karakteristik arus –tegangan juga diperlukan

pada komponen elektronika organik yang lain seperti

misalnya fotovoltaik organik [5], dan transistor organik .

Page 151: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

142

Dalam tulisan ini disampaikan penentuan faktor kalibrasi

yang akan digunakan dalam pengembangan perangkat

lunak suatu sistem pengukuran terkomputerisasi untuk

karakterisasi komponen elektronika organik pengemisi

cahaya (OLED). Melalui proses kalibrasi ini diperoleh

faktor kalibrasi yang merupakan sensitvitas dari sensor

cahaya yang digunakan. Faktor kalibrasi yang diperoleh

selanjutnya digunakan sebagai suatu konstanta

pemrograman dalam pengukuran terkomputerisasi untuk

menentukan intensitas cahaya yang diterima sensor, dimana

informasi intensitas cahaya diterima oleh komputer dalam

bentuk tegangan dengan satuan Volt.

2. EKSPERIMEN

Eksperimen dilakukan dengan menggunakan komponen

fotodioda SP45ML sebagai sensor cahaya. Komponen ini

dipilih karena memiliki karakteristik respon panjang

gelombang elektromagnetik antara 450 nm hingga 1050 nm

[6], sehingga mampu memberikan respon tehardap

spektrum cahaya tampak mata.

Sumber cahaya yang akan direspon diemisikan oleh

komponen Light Emitting Diode (LED). Dalam tulisan ini

disampaikan hasil pengukuran dari tiga jenis LED yang

masing masing mengemisikan spektrum cahaya tampak

mata berwarna merah, hijau, dan biru yang dinyatakan

berturut-turut dalam panjang gelombang elektromagnetik

(λ) 645nm, 550nm, dan 460nm [7].

Secara garis besar skema pengukuran diberikan pada

Gambar 1.

Intensitas cahaya dari LED diukur dengan menggunakan

Luxmeter Voltcraft VC-4 in 1. Intensitas cahaya ini

diberikan dalam satuan lux dimana 1 lux setara dengan 1

lumen/m2 dan 1cd setara dengan 4πlumen (12,7 lm) [8].

Sebagai catu daya digunakan GWInstek GPS 30300.

Gambar 2: Skema pengukuran

Tegangan keluaran dari fotodioda diukur dengan

menggunakan multimeter digital Sanwa CD800a.

Sementara sebagai catu daya digunakan catu daya Feedback

TK280.

Selanjutnya kalibrasi dilakukan dengan menggunakan

standar atau acuan tabel dan grafik hubungan sensitivitas

mata terhadap panjang gelombang elektromagnetik cahaya

teremisi dari Comission Internationale De’Leclairage (CIE-

International Comission in Illumination) tahun 1978

mengenai photopic vision.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Data yang diperoleh dari hasil pengukuran LED adalah

tegangan input yang diberikan pada LED, arus listrik yang

melewati rangkaian LED, dan intensitas cahaya dari LED

yang diukur oleh fluxmeter. Sementara data yang diperoleh

dari fotodioda adalah tegangan keluaran fotodioda sebagai

konversi energi dari cahaya yang diterima ke tegangan.

Hasil pengukuran untuk ketiga jenis LED adalah tegangan

LED (VLED), Arus LED (ILED), dan intensitas LED (IL).

Data-data tersebut diolah dengan bantuan perangkat lunak

Microcal Origin sehingga diperoleh hasil pengukuran yang

ditampilkan dalam bentuk grafik seperti pada Gambar 2 dan

Gambar 3 berupa karakteristik arus dan intensitas cahaya

LED terhadap tegangan masukan LED.

Karakteristik tegangan-arus pada Gambar 2 menunjukkan

bahwa LED yang mengemisikan cahaya warna biru

(λ=460nm) membutuhkan tegangan threshold yang lebih

tinggi dibandingkan dengan LED yang mengemisikan

cahaya berwarna merah (λ=645 nm), dan hijau (λ=550 nm).

Gambar 3: Karakteristik arus dan tegangan LED

Gambar 4: Karakteristik iluminasi dan tegangan LED

1,50 1,75 2,00 2,25 2,50 2,75 3,00

0

2

4

6

8

10

12

14

Aru

s L

ED

(m

A)

Tegangan LED (V)

LED Merah

LED Hijau

LED Biru

1,50 1,75 2,00 2,25 2,50 2,75 3,00

0,0

2,5

5,0

7,5

10,0

12,5

15,0

Inte

nsitas (

Lux)

Tegangan LED (V)

LED Merah

LED Hijau

LED Biru

Photodioda Rangk

Penguat

Catu daya

GW Instek

Catu Daya Feed back

+ 15V, - 15V dan

3,5 V dc

LED

Lux meter

Voltcraft

VC-4 in 1

3 cm

Page 152: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

143

Hal ini berkaitan dengan sifat material dari komponen

tersebut yang dinyatakan dengan energi bandgap (ev) [7].

Energi bandgap merupakan energi minimal yang harus

diberikan untuk memungkinkan terjadinya rekombinasi

elektron-hole yang menimbulkan emisi cahaya. Sesuai

dengan postulat kuantum Planck, terdapat hubungan antara

energi dan panjang gelombang yaitu E(ev)=h.λ/c dengan E

adalah energi cahaya, h adalahvkonstanta Planck, c adalah

kecepatan cahaya (3.108m/s), dan λ adalah panjang

gelombang elektromagnetik.

Karakteristik intensitas cahaya terhadap tegangan pada

Gambar 3 menunjukkan bahwa hasil pengukuran intensitas

cahaya warna merah sangat rendah dibanding dengan

cahaya warna hijau dan biru. Selain itu intensitas cahaya

warna biru lebih tinggi dibandingkan dengan intensitas

cahaya warna hijau. Tingkat intensitas cahaya ini

menyatakan jumlah paket cahaya (foton) yang

ditransmisikan [7] dan ditangkap oleh sensor luxmeter.

Hubungan intensitas cahaya terhadap tegangan keluaran

rangkaian sensor dikalibrasi menggunakan standar CIE-

1978 sesuai dengan kalibrasi respon fluxmeter. Standar

CIE-1978 merepresentasikan karakteristik respon mata

manusia pada daerah penglihatan photopic (photopic

vision), daerah penglihatan pada tingkat cahaya ambient[8].

Daerah penglihatan ini dipilih karena komponen

elektronika (LED/OLED) yang akan diukur

karakteristiknya adalah komponen pengemisi cahaya

tampak yang akan digunakan dalam kehidupan sehari-hari.

Hal ini sesuai dengan prinsip-prinsip kalibrasi dimana

kalibrasi merupakan proses membandingkan terhadap

standar [9].

Dengan memperhatikan karakteristik respon fotodioda

SP45ML dan karakteristik respon mata yang ditetapkan

dalam CIE-1978 sebagai karakteristik ideal seperti yang

diberikan pada

Gambar 5, ditentukan faktor koreksi seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 1.

(a) (b)

Gambar 5: Sensitivitas terhadap panjang gelombang (a)

fotodioda SP45ML[6], (b) CIE-1978[8]

Tabel 1: Faktor koreksi sensitivitas Cahaya λ

(nm) Sensitivitas SP45ML[6]

Sensitivitas CIE-1978[8]

Faktor Koreksi

(%) (%)

Merah 645 70 13,812 5,072

Hijau 550 50 99,495 0,503

Biru 460 13 6,000 2,167

Faktor koreksi yang diperoleh digunakan untuk

mengkoreksi intensitas cahaya yang diukur oleh fluxmeter.

Koreksi dilakukan dengan mengalikan nilai intensitas

cahaya terukur dengan faktor koreksi seperti diberikan pada

Persamaan (1) dengan IFD adalah intensitas fotodioda (lux),

IFM adalah intensitas fluksmeter (lux), dan Fk adalah faktor

koreksi.

IFD=IFM.Fk (1)

Hasil koreksi tersebut memberikan karakteristik hubungan

intensitas LED dan tegangan keluaran fotodioda seperti

yang ditunjukkan pada Gambar 5.

Gambar 6: Karakteristik intensitas terhadap tegangan

keluaran fotodioda SP45ML

Karakteristik pada Gambar 5 menunjukkan bahwa

hubungan intensitas cahaya yang terukur {I(lux)} terhadap

tegangan keluaran photodioda {Vout(Volt)} merupakan

persamaan linear IL=2,78.Vout+ 0,037. Dengan

mengabaikan faktor koreksi senilai 0,037, diperoleh

kemiringan garis yang merupakan faktor kalibrasi senilai

IL/Vout = 2,78 lux/volt. Faktor kalibrasi ini hanya berlaku

untuk sensor cahaya dengan karakteristik respon spektral

seperti pada

Gambar 5a. Namun metoda kalibrasi yang sama secara

umum dapat diterapkan pada sensor cahaya yang lain untuk

menentukan intensitas cahaya dari komponen yang diukur

berdasarkan tegangan keluaran dari sensor.

Penentuan faktor kalibrasi ini sangat membantu dalam

mengembangkan perangkat lunak suatu sistem pengukuran

apabila tidak terdapat karakteristik intensitas cahaya

terhadap tegangan keluaran pada daasheet komponen

sensor. Apabila datasheet sensor sudah dilengkapi dengan

karakteristik intensitas cahaya terhadap tegangan keluaran

400 450 500 550 600 650 700

0

20

40

60

80

100

Sensitiv

itas m

ata

(%

)

Panjang Gelombang (nm)

CIE1978 (%)

Photopic Vision

-1 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10

0

5

10

15

20

25

30I L

(Lux)

Vout

(Volt)

IL Merah

IL Hijau

IL Biru

IL=2,78 V

out+0,037

Page 153: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

144

sensor, penentuan faktor kalibrasi ini juga membantu untuk

verifikasi.

4. KESIMPULAN

Dari keseluruhan hasil percobaan disimpulkan bahwa faktor

kalibrasi terhadap standar CIE-1978 senilai 2,78 lux/volt

telah diperoleh untuk penggunaan sensor cahaya fotodioda

SP45ML dengan menggunakan alat ukur luxmeter Voltcraft

VC-4in1.

UCAPAN TERIMAKASIH

Terima kasih kepada Direktorat Kelembagaan Dikti dan

UPPM Polban karena penelitian ini merupakan bagian dari

Penelitian Hibah Bersaing dengan judul “Pengembangan

Sistem Pengukuran Terkomputerisasi Untuk Karakterisasi

Komponen Elektronika Organik” dengan dana

desentralisasi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] J.H. Burroughes, D.D.C. Bradley, A.R. Brown, R.N.

Marks, K. Mackay, R.H. Friend, P.L. Burns, and A.

B. Holmes, 1990, Light-emitting diodes based on

conjugated polymers Nature, 347, 539.

[2] David Müller, Aurélie Falcou, Nina Reckefuss,

Markus Rohjan, Valèrie Wiederhirn, Paula Rudati,

Holger Frohne, Oskar Nuyken, Heinrich Becker, &

Klaus Meerholz,2003, Multi-Colour Organic Light–

Emitting Displays by Solution Processing, Nature, 42,

829-833.

[3] Erwin Bacher, Michael Bayerl, Paula Rudati, Nina

Reckefuss, David Müller, Klaus Meerholz, & Oskar

Nuyken, 2005, Synthesis and Characterization of

Photocrosslinkable Hole-Conducting Polymer,

American Chemical Society : Macromolecules, 38,

1640-1647.

[4] P. S. Rudati, D. C. Mueller, K. Meerholz, Preparation

of Hole-Injection Layers by Cationic Induced Ring-

Opening Polymerisation of Oxetane Derivatized

TriPhenylamineDimer for Organic Electronics

Devices, Procedia Chemistry, Elsevier-Science Direct,

Vol.04. (2012) 216-223.

[5] C. Brabec, V. Dyakonov, U. Scherf, 2010, Organic

Photovoltaics, Wiley VCH, Weinheim, ISBN 978-3-

527-31675-5.

[6] Kondeshi Corp,. SP45ML Photodiodes, Datasheet.

[7] Gilbert Held, Introduction to Light Emitting Diode

Technology and Application, Taylor and Francis

Group, USA, 2009.

[8] E. Fred. Schubert, Light Emitting Diodes, Cambridge

University Press, 2. Edition, 2006, ch.16, pp 275-291.

[9] Alan S. Morris, Measurement and Instrumentation

Principles, Butterworth Heinemann, Oxford, 1.ed,

2001 chp.4: Calibration of Measuring Sensor and

Instruments.

Page 154: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

145

Adaptive Retuning PID to Overcome Effect of Delay Change in

Networked Control Systems

Rida Hudaya, Feriyonika, Cucun Wida Nurhaeti

Electronics Engineering, Bandung State Polytechnic, Bandung, Indonesia

E-mail : [email protected], [email protected],[email protected]

ABSTRACT

Several issues in Networked Control Systems (NCSs) such as networked delay, sampling, transmitting methods and data

dropout make the system response goes unstable. This paper deals with networked delay problem and proposes Adaptive

Retuning PID Controller to overcome effect of time delay change by adaptively changing its two parameters, Ti and Td . The

results show that, with delay 0.03 - 0.07 second, where these are bigger than nominal delay of networked system (<1ms), the

proposed controller can enhance the system response as close as its original designed controller.

Keywords

Networked Control Systems, NCSs, networked induced delays, Adaptive PID

1. INTRODUCTION

Tele-operated robot, satellite, and large scale industrial

systems such power generation plants and petrochemical

processing facilities, are examples of NCSs‟ application.

For more than last two decade, digital data communication

has been a main issue in computer based control system. In

another side, for one last decade, communication medium

has also changed from RS-232 and RS-485 to Ethernet or

RJ-45. These conditions have consequently caused

communication topology and protocol become more

complex [1-4]. In control system point of view, kind of

network topologies and communication protocols fall to

new problems in synchronization, sampling time, transient

response performance, and stability [5-11]. These problems

give all control engineers a challenge to find appropriate

method and good control strategies.

Fig.1 and 2 describe the general structure of NCSs [11,12].

Kind of topology and communication protocol are decided

by users themselves. Choosing of communication protocol

is generally difficult due to sensor specification, actuator,

and used computer system. Controller is lied in central

processing unit in central controller. Sensor sends the data

for controlling, logging, or monitoring purposes. Actuator

will execute commands sent from controller to manipulate

plant so that the set point can be reached. Fortunately,

vendors of sensor and actuator have designed their products

in order to support with generally used protocols, such as

Modbus TCP, Ethernet/IP-Profinet in Programmable Logic

Control, and Fieldbus Foundation - Profibus in Distributed

Control Systems. Those protocols are open but unable to be

directly used. There are two approaches to overcome these

problems: by using software and hardware [13]. First

method is by using OPC software and another by buying

communication module needed the protocol to

communicate.

Figure 1: Structure of NCSs with time varying

delay

Figure 2: Example of multi-hop control

network This paper is preliminary report of our research in NCSs. In

this paper, several control strategies are overviewed to get

appropriate control scheme for our NCSs plant. From two

main problems of NCSs (delay time and packet drop),

control strategies for overcoming random delays are

discussed. To enhance system response due to change of

delay, Adaptive Retuning PID controller is applied. The

simulation results are presented to see that this method is

able to overcome the effect of time delay change.

Page 155: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

146

Experiment being conducted is also explained to get

feedback or new idea from other researchers.

2. EXPERIMENT SETUP

Fig. 3 and 4 are the experiment setup of our research. Main

controller is in computer, where input output module (RTU)

is TCP/IP version of Advantech Technology (6017 series).

The set point is level of tank with differential sensor as

feedback to controller. Communication between I/O

module and computer is bridged by Ethernet switch.

Preliminary experiment has been conducted by author‟s

former student [14].

Figure 3: Experiment design

Figure 4: Realization of experiment design

3. CONTROL SYSTEM OVERVIEW

With modern communication technology (e.g., Ethernet), it

becomes convenience to control large distributed systems

on wide area. An array of distributed sensors, actuators, and

controllers can be interconnected through common network

medium. This condition brings advantage in low

installation cost, ease of maintenance & installation, and

flexible & fast to reconfigure [15]. Although there are

advantages, there also several issues in control system such

as networked delay, sampling, transmitting methods and

data dropout [16]. In this paper, discussing is bounded for

control strategies applied to enhance system response due

to change of time delays. Several control strategies will be

discussed in following subsections.

3.1 Robust Control

Robustness in control scheme is considered due to

difficulties to get ideal mathematical model of the

controlled system. To deal with robust system, bode plot of

the system must be well known since it provides

information about phase and frequency response. The

advantages of control design based on bode plot are that it

provides exact results for time delay systems and finds

relative stability [13].

Simple definition of stability system based on bode plot is

stated as follow:

―A negative feedback closed loop system is unstable if the

frequency response of the open loop has an amplitude ratio

greater than 1 at the crossover frequency‖.

First step is solving for frequency crossover in the open

loop transfer function at the phase -1800 , Eq. (1), so that

arg GopenLoop jω = −180 (1)

Where G is denoted as transfer function of the system

(multiplication of controller and plant transfer function).

Amplitude Ratio (AR) is then calculated by Eq. (2).

AR = GopenLoop jω (2)

If AR >1, the closed loop system is unstable.

Bode plot analysis, by find phase & gain margin, is then

used to assess the stability of a feedback systems. As gain

margin (GM) is defined as change in open loop gain

required to make the system unstable so find greater gain

margin, Eq. (3), can withstand greater changes in system

parameters before becoming unstable in closed-loop

[13,17].

GM > 1 (3)

Where GM =1

AR co , ARco is amplitude of open loop

transfer function of the system at crossover frequency

(𝜔𝑐𝑜 where ∅ = −1800). Based on bode stability criterion,

stability can be reached when ∅ = −1800, AR=1.

Another part of bode plot analysis is phase margin (PM)

which is defined as the amount of phase angle that can be

decreased before the system become unstable. The stability

can be derived based on Eq. (4) and (5).

PM > 0 (4)

Where PM = ∅𝑝𝑚 + 1800 (5)

∅𝑝𝑚 is phase angle when amplitude of G(s) = 1 which

occurs at a frequency 𝜔𝑝𝑚 .

Page 156: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

147

By using this method, robust control system can be

designed to overcome time delay problem.

3.2 Smith Predictor

This method, proposed in the 1950‟s and usually used in

factory processes, is used to control systems that experience

large but fixed delays in signal propagation [1]. This

method is effective for system that experience large but

fixed delays. Poor disturbance rejection is considered as the

weakness of the method.

3.3 Middleware (Gain Scheduling)

This method was proposed by [18] and modeled the delays

as shifted exponential probability densities. The mean delay

time is calculated from experimental results and then used

as nominal value to design their gain scheduling

middleware approach. This method has been applied to

enable a PI-Controller, Eq. (6), in DC motor in networked

condition.

Gc 𝑠 =Kp s+

K iK p

s=

Kp s+Zc

s (6)

Where Zc is constant. The middleware measures the delay

in the system and uses that information to adjust an

additional outer loop gain parameter β. When time delay is

small, the loop gain is increased. If delay times increase, the

gain is lowered to maintain system stability and

performance. The value of β for given time delay is known

a priori. A lookup table is generated offline using an

optimal design based on cost functions. Structure of control

strategy is depicted in Fig. 5.

Figure 5: Gain scheduler Middleware Design[18].

3.4 Adaptive Retuning PID

This method was proposed by [1] as extended work of [18].

PID controller was used due to inherently more robust

against time delay and distinct advantage over PI controller

in the sense that phase lead (phase advance) is possible. The

algorithm consist of three main steps: (1). Measuring

present time delay of system; (2). Calculating

corresponding phase margin lost due to the delay; (3).

Updating PID parameters to recover lost phase margin and

return the closed-loop system nominal conditions. Detail of

the algorithm will be discussed in next section.

4. PROPOSED CONTROL ALGORITHM

4.1 Review of PID controller

Eq. (7) is form of PID controller where zero locations are

dependent on two parameters, Ti and Td .

Gc s = Kp (1 +1

Ti s+ Td s) (7)

Based on Eq. (8) and (9), the relationship among Ti , Td ,

magnitude and phase can be described in Fig. 6 and 7. In

Fig. 6, it can be clearly seen that by modifying Ti and Td ,

controller phase can be modified. In same time,

modification of Ti and Td does not vary controller gain, see

Fig 7.

Gc(Ti , Td ) = 1 + 1−ω2Ti Td

ωTi

2

(8)

∠∅𝑐 Ti , Td = arctan 1−ω2Ti Td

ωTi (9)

Figure 6: Phase change due to Ti Td variation

Figure 7: Gain change due to Ti Td variation

4.2 Control algorithm

Page 157: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

148

Response system w ith original PID design

Time (seconds)

Am

plit

ude

0 0.05 0.1 0.15 0.2 0.25 0.3 0.35 0.4 0.450

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

System: Tc

Peak amplitude: 1.04

Overshoot (%): 4.31

At time (seconds): 0.233

System: Tc

Rise Time (seconds): 0.114

The control algorithm is aimed to recover phase margin that

was lost from the changing delay (problem always appears

in NCSs). The recovering strategy is by adjusting

parameters Ti and Td so that the new controller phase

compensates for the change in phase delay. Detail of

algorithm is described as follows:

a. Find delay change in network system, 𝛿𝑡. In network

technology, it can be found by typing „ping‟ command.

b. Calculate phase delay change as stated in Eq. (10)

𝛿∅𝑚 = 𝜔 𝑥 𝛿𝑡 𝑥1800

𝜋 (10)

c. Based on Taylor series expansion, Eq. (9) can be set as

Eq. (11)

∅𝑐 Ti , Td = ∅𝑐 Ti0 , Td0 + ∇∅𝑐 𝛿𝑇𝑖𝛿𝑇𝑑

(11)

Where ∇∅𝑐 is the gradient of the compensator phase with

respect to compensator parameters. Substracting the

nominal phase ∅𝑐 Ti0, Td0 from both sides yields the

change in controller phase due to adjusting controller

gains so that the equation become Eq. (12).

𝛿∅𝑚 = ∇∅𝑐 𝛿𝑇𝑖𝛿𝑇𝑑

(12)

By finding 𝛿∅𝑚 and ∇∅𝑐 , incremental change in

controller parameters (𝛿𝑇𝑖 , 𝛿𝑇𝑑 ) can be derived.

d. Based on value of 𝛿𝑇𝑖 and 𝛿𝑇𝑑 , PID controller

parameters are finally updated.

4.3 Result and Discussion

MATLAB 2011 was used to simulate model plant in [18],

Eq. (13), and to examine control algorithm effectiveness.

Gp (s) =2029.826

s+26.29 s+2.296 (13)

The original PID design is with parameter 𝐾𝑝 =0.1724766, 𝐾𝑖 = 0.38332136,

𝐾𝑑 = −0.0001247099450. Fig. 8 show the response of

original controller design against input step. The response

has overshoot 4.31 %, peak amplitude 1.04, and rise time at

0.114 second.

Figure 8: Response with original PID design

As NCSs has problem due to change of time delays, the

presence of them is depicted in Fig. 9. It can be clearly seen

that the variation of delay change influence the stability of

system responses. Detail of the effects are also described in

Table 1.

Figure 9: The effect of time delay changes

Table 1: Time delay changes vs response system

Overshoot

(%) Peak response

Original PID 4.31 1.04

Delay 0.03s 25.4 1.25

Delay 0.04s 36 1.36

Delay 0.05s 47.6 1.48

Delay 0.06s 59.8 1.6

The proposed control is now applied to enhance lack of

system responses due to variation of delays. Fig. 10 and 11

show the response of systems controlled by the proposed

algorithm. With the algorithm, response of system that goes

to unstable can be returned back to original control design.

Table 2 depicts comparison of proposed control, original

PID, and delay changes.

Figure 10: Response system with time delay 0.03 second

0 0.5 1 1.50

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

Change of Response system due to variation of delay

Time (seconds)

Am

plitu

de

Original PID

Delay 0.03s

Delay 0.04s

Delay 0.05s

Delay 0.06s

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5 0.6 0.7 0.8 0.9 10

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

Response system with time delay 0.03 second

Time (seconds)

Am

plitu

de

Original system

With delay

Adaptive retuning PID

Page 158: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

149

Figure 11: Response system with time delay 0.07 second

Table 2: Response system with and without proposed

control

Overshoot

(%) Peak response

without with without with

Delay 0.03s 25.4 4.88 1.25 1.05

Delay 0.04s 36 6.8 1.36 1.07

Delay 0.05s 47.6 9.65 1.48 1.1

Delay 0.06s 59.8 13.5 1.6 1.14

5. CONCLUSION

In this paper, Networked Control Systems (NCSs) was

reviewed to show trend in modern control method in

relationship with modern communication technology

widely used. Although NCSs brings advantage in low

installation cost, ease of maintenance & installation, and

flexible & fast to reconfigure, there also several issues in

control system such as networked delay, sampling,

transmitting methods and data dropout. In this paper, the

effect of variations in delay changes provided to show that

this problem can change stability of the system response.

The Adaptive Retuning PID method was thus applied to

overcome the problem. the presence of several delays was

also presented to show the effectiveness of the proposed

control. The results show that the method is able to enhance

the system response as close as original controller.

6. ACKNOWLEDGMENT

The authors would like to thank to Ministry of Higher

Education of Indonesia for the grant “Penelitian Hibah

Bersaing 2013”.

REFERENCES

[1] Nathan B. Loden, J.Y. Hung, “An Adaptive PID

Controller for Network Based Control Systems,”

Industrial Electronics Society, 31st Annual

Conference of IEEE, 2005.

[2] H. Hoang, M. Jonsson, U. Harstrom, and A.

Kallerdahl, 2002, “Switched real-time Ethernet and

earliest deadline first scheduling-protocols and

traffic handling,” 10th

International workshop on

parllel and distributed real-time system, Ford

Lauderdale, Florida, USA, April 2002.

[3] H. Haertig and J. Loeser, “Using switched Ethernet

for hard realtime comunication,” International

conference on parallel comoputing in electrical

engineering (PARELEC), Dresden, Germany, pp.

349-353, September 2004.

[4] M. Tabbara, D. Nesic, and A. Teel, “input-output

stability of wireless networked control systems,” in

proc. 44th

IEEE Conf. On Dec. And Control, 2005.

[5] H. YE, G. Walsh, and L. Bushnell,“Real-time

mixed-traffic wireless networkes,” IEEE Trans. Ind.

Electron, Vol. 48, no.5, pp.883-890, 2001.

[6] M. Tabbara, D. Nesic, and A.R. Teel, “Stability of

wireless and wireline networked control systems,”

IEEE Transaction on Automatic Control, Vol. 52,

pp. 1615-1630, 2007.

[7] M. Przedwojski, K. Galkowsk, P.H. Bauer, and E.

Rogers, 2009, ―Stability and robustness of systems

with synchronization errors,‖ American Control

Conference, pp. 3262-3267.

[8] L.Samaranayake, M. Leksell, and S.

Alahakoon,“Relating samplingperiod and control

delay in distributed control systems,” The

International Conference on Computer as a tool

(EUROCON 2005), pp. 274-277, 2005.

[9] G. Szederkenyi, Z. Szabo, J. Bokor, and K.M.

Hangos, “Analysis of the networked implementation

of the primary circuit pressurize controller at a

nuclear power plant,” 16th

Mediterranean

Conference on Control and Automation, pp. 1604-

1609, 2008.

[10] G.Y. Walsh, H. Ye, and L.G. Bushnell, “Stability

analysis of networked control systems,” IEEE

Transaction on control system technology, Vol. 10,

No.3, pp. 438-446, 2002.

[11] A. Rajeev, D. Alessandro, K.H. Johansson, G.J.

Pappas, G. Weiss, “Compositional Modelling and

Analysis of Multi-hop Control Networks,” IEEE

Transactions on Automatic Control, 56:2345-2357,

2011.

[12] A. Liu, L. Yu, W.A. Zhang,“H-infinity contol for

network-based systems with time-varying delay and

packet disordering,” Journal of the Franklin

Institute, 248:917-932, 2011.

[13] Endra Joelianto,“Networked Control Systems: Time

Delays and Robust Control Design Issues,” 2nd

International Conference on Instrumentation,

Control and Automation, Bandung, Indonesia, 2011.

[14] Mirza N.H, “Design and Implementation of HMI-

SCADA applied for water level control”,

undergraduate thesis, Bandung State Polytechnic,

2013.

[15] PL. Tang, CW. deSilva, “Compensation for

transmission Delay in an Ethernet-Based Control

Network Using Variable-Horizon Predictive

0 0.2 0.4 0.6 0.8 1 1.2 1.4 1.6 1.8 20

0.2

0.4

0.6

0.8

1

1.2

1.4

1.6

1.8

Response system with time delay 0.07 second

Time (seconds)

Am

plitu

de

Original system

With delay

Adaptive retuning PID

Page 159: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

150

Control,” IEEE Transcation on Control Systems

Technology, Vol.14, No.4, 2006.

[16] S.H. Yang, X. Chen, D.W. Edwards, and J.L. Alty,

“Design issues and implementation of internet based

process control,” Control Engineering Practice, Vol.

11, No. 6, pp. 709-720, 2003.

[17] “Introduction: Frequency Domain Methods for

Controller Design,”

source:http://ctms.engin.umich.edu/CTMS/

index.php?example=Introduction&section=ControlF

requency. Available: October, 30th

, 2013.

[18] Y. Tipswan and M.Y Chow, “Gain scheduler

middleware: A methodology to enable existing

controllers for networked control and teleoperation -

Part 1: Networked Control,” IEEE Transcations on

Industrial Electronics, vol. 51, no. 6, pp. 1218-1227,

2004.

Page 160: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

151

Perancangan dan Implementasi Model Infrastruktur Telekomunikasi

Berbasis Teknologi Plesiochronous Digital Hierarchy (PDH)

Standar ITU G.703

Sutrisno

a, Enceng Sulaeman

b

aJurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail :[email protected] bJurusan Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Infrastruktur telekomunikasi berbasis Pleisiochronouss Digital Hierarchy (PDH) adalah jaringan digital menggunakan

teknologi Time Division Multiplexing-Pulse Code Modulation (TDM-PCM) yang biasanya terinterkoneksi di atas media fisik

dapat berupa kabel tembaga serat optik atau gelombang mikro. Makalah ini membahas mengenai hasil penelitian tentang

perancangan Model Infrastruktur Telekomunikasi berbasis Teknologi PDH Standar ITU G.703 untuk aplikasi jaringan

komunikasi analog (telepon) dengan menggunakan dua unit Hybrid Private Branching Exchange (Hybrid PBX) yang

keduanya terintegrasi dengan jaringan digital dan secara geografis berada di dua tempat (site) yang berbeda. Sedangkan media

yang digunakan untuk menghubungkan (link) kedua jaringan tersebut yaitu gelombang mikro yang bekerja pada pita frekuensi

13 Ghz. Interkoneksi dari kedua PBX tertsebut (PBX trunking) dilakukan via interfis 4 Wire E&M yang disediakan pada

perangkat multiplexer PDH dan PBXnya sehingga pesawat telepon (extension) dari satu PBX dapat memanggil pesawat

telepon pada PBX yang lain. Metode penelitian didasarkan pada beberapa tahapan sebagai berikut; tahap persiapan,

perancangan, implementasi dan pengujian dan evaluasi. Hasil penelitian, model infrastrutur telekomunikasi berskala

laboratorium telah berhasil dibangun dan diuji berdasarkan standar performance objective Rec.ITU G.821 dan G.826 dengan

hasil yang baik. Selanjutnya infrastruktur telekomunikasi tersebut dapat digunakan sebagai indoor testbed berskala kecil (small

scale indoor testbed) untuk pengujian dan evaluasi berbagai perangkat dan aplikasi layanan telekomunikasi. Untuk waktu

kedepan model infrastruktur ini dapat dikembangkan untuk berbagai aplikasi layanan telekomunikasi seperti Ethernet over

PDH, VoIP dan lain-lain.

Kata Kunci

Testbed, PDH, multiplexing, E&M Signalling

1. PENDAHULUAN

Sektor telekomunikasi terbukti telah menyumbang

keberhasilan ekonomi suatu bangsa [1]. Keberhasilan

sistem telekomunikasi ditentukan beberapa faktor

diantaranya aspek infrastruktur, layanan, dan kemudahan

pemasangan dan perawatan. Akar masalahnya ialah bahwa

infrastruktur telekomunikasi harus handal, dan layanan

harus dapat mendukung kebutuhan sipengguna itu sendiri.

Infrastruktur telekomunikasi mutlak diperlukan bagi

terselenggaranya layanan telekomunikasi yang baik seperti

layanan telekomunikasi yang diselenggarakan oleh para

operator telekomunikasi seperti PT.Telkom, Telkomsel dan

sebagainya. Tetapi infrastruktur telekomunikasi juga

diperlukan pada bidang-bidang lainnya misalkan, pada

bidang ketenaga listrikan untuk sistem SCADA, bidang

transportasi Kereta Api (KA) untuk sistem persinyalaan dan

pengaturan perjalanan KA yang memerlukan tingkat

keselamatan yang sangat tinggi. Disamping itu pula

infrastruktur harus mudah dioperasikan dan

ditroubleshooting bila terjadi gangguan atau kerusakan.

Masalahnya dalam membangun sebuah infrastruktur

telekomunikasi yang dapat memberikan layanan-layanan

seperti diuraikan diatas, infrastruktur harus memiliki

interfis-interfis yang mendukung berbagai aplikasi sesuai

dengan kebutuhannya, misalkan untuk keperluan

komunikasi suara (telepon) diperlukan interfis VF analog 4

Wire E&M sedangkan untuk komunikasi data diperlukan

interfis data dengan standar tertentu, misalkan, V.11, V.24,

V.28, atau G703. seperti yang diperlihatkan pada Gambar

1 dibawah.

Gambar 1: Macam interfis untuk akses jaringan

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Testbed

Page 161: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

152

[Catlett] dalam artikelnya yang berjudul Testbeds: Bridges

from Research to Infrastructure menjelaskan bahwa

pengembangan, pengujian, dan pengayaan sebuah

teknologi adalah merupakan fungsi dari sebuah testbed.

Menurut kamus Webster testbeds diartikan sebagai sebuah

kendaraan yang digunakan untuk pengujian perangkat atau

peralatan baru seperti mesin atau sistem persenjataan atau

secara umum adalah setiap perangkat (device), fasilitas,

atau suatu alat untuk pengujian sesuatu yang masih dalam

pengembangan.

Peran, aplikasi, dan pengembangan dari sebuah testbed

adalah dengan melihat sistem yang lampau maupun yang

sekarang yang pada dasarnya adalah belajar bagaimana

sebuah testbed dapat menyediakan pengetahuan dan

kemampuan. Beberapa testbed yang ditinjau telah

mengarah kepada suatu bentuk sebuah infrastruktur seperti

yang gambarkan oleh beberapa testbed yang pernah

dibangun sebagai berikut; Pada tahun 1984, kongres

Amerika serikat menyetujui pendanaan untuk apa yang

disebut sebagai “Decibit testbed‖ untuk menyelidiki sebuah

teknologi baru: Telegraf [2].

Pada tahun 1972, Washington DC dijadikan tempat petama

kali ARPANET didemonstrasikan. Jaringan tersebut

dikembangkan lebih luas hingga ke Konferensi

Internasional Komunikasi dan Komputer (International

Conference on Computers and Communication, ICCC)

untuk menunjukan bagaimana ARPANET dapat

mendukung akses computer secara jarak jauh. Pada kedua

contoh testbed tersebut, teknologi yang sedang diamati

dalam beberapa hal tidak sesuai dengan praktisnya saat itu

atau tidak sesuai dengan state of the art teknologi.

Kedua “testbed” ini, percobaan telegraf yang pertama dan

berikutnya ARPANET, telah memberikan beberapa

pelajaran yang terkait dengan transisi penelitian kedalam

sebuah infrastruktur. Keduanya menawarkan model yang

tidak perlu harus konsisten dengan prakteknya saat itu dan

umumnya bahkan dianggap tidak praktis atau ketinggalan.

Keduanya bersatu dalam sebuah infrastruktur yang

melibatkan eksperimen dan algoritma. Dalam hal telegrafi,

perangkatnya lebih bersifat ekperimental: sistem

pengkodean telegrafi (Morse code) esensinya ialah sebuah

protokol baru. Dalam hal ARPANET, sirkuit telepon sewa

(leased telephone circuit) dan jaringan komputer global

(global internet) merupakan infrastruktur telekomunikasi

saat ini, sementara perangkat lunak, perangkat interfis,

aplikasi, dan protokol terbilang baru dan masih terus dalam

pengembangan dan pengujian

Jadi berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa

testbed dapat diartikan sebagai suatu proyek infrastruktur

untuk melaksanakan berbagai eksperimen dengan

kemampuan baru. Tetapi secara umum testbed juga dapat

diartikan sebagai sekumpulan pengguna yang mencoba

program aplikasi perangkat lunak atau perangkat keras baru

yang ditujukan untuk mengetahui sejauh mana utilitas dari

perangkat-perangkat tersebut. Testbed dapat berupa

kombinasi yang kompleks antara teknologi dan manusia

oleh karena itu penting mempertimbangkan kontribusi

organisasi atau lembaga untuk pengembangan sebuah

testbed.

2.2 Plesiochronous Digital Hierarchy (PDH)

Standar G.703

Plesiochronous digital hierarchy (PDH) merupakan

teknologi yang digunakan pada jaringan telekomunikasi

untuk membawa kuantitas data yang besar melalui

perangkat transportasi baseband sinyal digital seperti serat

optic dan sistem radio microwave Istilah plesiochronous

berasal dari bahasa yunani yaitu plesios yang artinya dekat,

dan chronos berarti waktu, dan melihat kenyataannya

bahwa jaringan PDH jalan dimana sebagian jaringan dalam

keadaan tidak betul-betul sinkron dalam pewaktu (clock)

[3].

Teknologi PDH ini didasarkan kepada E1 dan T1 interfis

yaitu standar teknologi digital TDM (Time Division

Multiplexing) ITU G703. Teknologi ini memungkinkan

pentransmisian secara bersama-sama beberapa kanal suara

dan data pada media transmisi yang sama. Standar E1

kebanyakan digunakan di Eropa dan beberapa negara Asia

sedangkan T1 dipakai di Amerika dan juga Asia. E1/T1

biasanya menghubungkan antar PABX‟s dan CO‟s.

Bandwidth yang tersedia di bagi-bagi dengan basis time-

slot. TDM menjadi suatu metoda multiplexing yang sangat

murah yang dapat digunakan sebagai interkoneksi

(trunking) antar sentral switching digital. Sistem TDM yang

disebutkan diatas adalah sistem multiplexing dengan time

slot yang tetap (fixed time slot division multiplexing)

dimana masing-masing kanal telah di tentukan

kedudukannya pada time slot-time slot dengan cara

dipindai secara berulang-ulang [4] [5].

2.2.1 Perangkat Branching 2Mbit/s

Salah satu perangkat PDH yang digunakan pada

perancangan model infrastruktur telekomunikasi ini adalah

perangkat Branching (pencabangan) 2 Mbit/s, seperti yang

diperlihatkan pada Gambar 2 dibawah.

Gambar 2: Blok diagram jaringan pencabangan

Sumber: Nokia Dynanet

Page 162: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

153

Dengan menggunakan sistem pencabangan ini, biaya

transmisi dan perangkat multiplexer dengan konfigurasi

rantai (chain) atau pohon (tree) dapat ditekan. Dengan

perangkat pencabangan ini, kanal-kanal suara (voice

channels) dari tributary 2Mbit/s dapat didistribusikan

sepanjang rantai, yaitu 30 kanal dari struktur frame 2 Mbit/s

yang dapat dicabangkan.

Kanal-kanal terhubung lurus pada setiap titik percabangan

dalam format digital tanpa melepas struktur framenya. Hal

ini memungkinkan konstruksi jaringan rantai digital dimana

konversi A/D tidak diperlukan lagi karena sinyal sudah

sepenuhnya dalam format digital. Dengan cara ini, unjuk

kerja kanal pada sistem PCM standar 2 Mbit/s tetap terjaga

dengan baik.

2.2.1.1 Branching 2 Mbit/s DB 2B NOKIA

DB 2B Nokia, adalah salah satu perangkat pencabangan

yang tersedia di pasaran yang digunakan untuk

pembangunan model infrastruktur telekomunikasi ini,

digunakan dimana sinyal 2 Mbit/s (ITU G. 703/704)

terhubung ke perangkat tersebut dari dua arah (cabang

utama, interfis 2 Mbit/s 1 dan 2) seperti diperlihatkan pada

Gambar 3 dibawah. Kanal 64 kbit/s dipisahkan dari sinyal

2 Mbit/s, dan frame 2 Mbit/s baru dibangkitkan untuk

pencabangan dibawahnya. Kanal yang terkoneksi dengan

pensinyalan (signaling) yang dibawa pada time slot TS 16

biasanya dicabangkan dengan cara yang sama. Demikian

pula halnya dengan time slot 64 kbit/s, nx8 kbit/s, nx32

kbit/s dan nx64 kbit/s dapat ditentukan untuk pencabangan.

Gambar 3: Diagram DB 2B dengan interfis kanal VF

Sumber: Nokia Dynanet

Kanal-kanal dapat dicabang dari kedua arah cabang utama

tanpa pembatasan. Jenis pencabangan adalah sebagai

berikut:

Koneksi langsung antara interfis 1 dan 2

Pengaturan kanal antara interfis 1 dan 2

Pencabangan pada arah 1 – 3

Pencabangan pada arah 2 – 3

Contoh, pencabangan 1 – 3 didefinisikan sebagai berikut:

Tabel 1: Penentuan time slot dan arah

Time slot Arah 1 Arah 2

B1 11 - 18 1 - 8

Jadi dapat dilihat dari contoh diatas bahwa sangat

memungkinkan untuk mengubah lokasi kanal (time slot)

dalam struktur frame kaitannya dengan pencabangan. Kanal

yang diturunkan (drop) dari arah1 dengan cepat dapat

diambil alih untuk digunakan pada arah transmisi yang

berikutnya (arah2). Kanal-kanal dapat dicabangkana ke dua

arah (drop/insert), lihat Gambar 4 dibawah, Jika

diinginkan, time slot dapat diubah ketika mentranfer dari

satu interfis ke interfis yang lainnya.

Gambar 4: Drop dan insert kanal

Sumber: Nokia Dynanet

2.3 Pensinyalan E&M

Sistem pensinyalan yang dapat digunakan untuk jarak jauh

(long distance) dan umumnya digunakan untuk

mengtrunking sentral penyambungan (PBX). Sistem ini

bekerja melalui dua kaki pensinyalan yang terpisah dimana

secara elektrik kaki pensinyalan ini betul-betul terpisah

dengan sirkuit percakapannya. Dua kaki pensinyalan ini

dikenal sebagai E&M dimana E adalah “Earth” dan M

adalah “magneto” tetapi lebih populer disebutkan E adalah

“Ear” dan M adalah “Mouth”. Sinyal DC dikirim pada kaki

M dan diterima pada kaki E. Walaupun sistem pensinyalan

ini sering disebut sebagai pensinyalan E&M perlu dicatat

bahwa sistem ini bisa jadi tidak selalu kompatibel dengan

tipe lain dari sistem E&M yang ada [6].

Secara umum sistem pensinyalan E&M ini termasuk

standar internasional dan memiliki 4 varian sebagai berikut:

2.3.1 Pensinyalan E&M Tipe I Orisinal

Sirkit E&M yang asli (original) diperlihatkan seperti

Gambar 5 dibawah.

Gambar 5: Skematik pensinyalan E&M asli

Sumber: Loop Telecom

Tegangan sumber -48 V untuk kedua kaki E dan kaki M

berada pada sisi sentral. Pada sisi carrier, pendeteksi arus

pada kaki M, yang dikontrol oleh saklar pada sisi sentral,

menghasilkan sinyal tone 2600 Hz yang dikirim untuk

analog carrier atau menset bit A pada digital carier. Pada

sisi sentral, pendeteksi arus pada kaki E, menghasilkan

sinyal tone 2600 Hz yang diterima, atau A bit yang

Page 163: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

154

memperjelas bahwa sentral penyambungan disisi jauh telah

mengirim arus pada kaki M.

Pada sirkuit ujung ke ujung (end-to-end circuit), mengirim

arus pada kaki M pada ujung dekatnya (near end)

menghasilkan deteksi arus pada kaki E di ujung jauhnya

(far end). Dengan cara ini, dua buah sentral penyambungan

(PBX) masing-masing dapat saling men ”sinyal”, seperti

yang diperlihatkan pada Gambar 6 dibawah.

Gambar 6: Sirkuit pensinyalan E&M untuk mentrunking

dua buah sentral penyambungan

Sumber: Loop Telecom

Sirkuit E&M digunakan juga pada hubungan tandem dari

dua carrier, untuk menghindari kebingungan dalam

membedakannya, sisi sentral dan sisi carrier disebut sisi A

dan sisi B. Untuk sistem carrier, sisi B adalah sisi normal,

sementara sisi A digunakan dalam hubungan tandem. Pada

sirkuit 4 kawat (4 wire), kawat T dan R (Tip and Ring)

ditujukan sebagai pasangan kawat untuk mentransmisikan

sinyal suara (voice) dari PBX (exchange) ke carrier. Kawat

T1 dan R1 ditunjukan sebagai sepasang kawat untuk

penerima seperti diilustrasikan pada Gambar 7. dibawah.

Exchange (PBX) Carrier

Gambar 7: Sirkuit 4 Wire E&M

Sumber: Panasonic PBX manual

2.3.2 Pensinyalan E&M Tipe II

Sebagai pengembangan dari sirkuit E&M tipe I orisinal,

dirancang pensinyalan E&M Tipe II yang dimaksudkan

untuk mengurangi ground noise, seperti ditunjukan pada

Gambar 8 dibawah. Rancangan ini mempersyaratkan sisi

B, sisi carrier, untuk mensuplai batere. Kaki yang ditandai

dengan SB artinya “signal to battery”, sementara SG adalah

“signal ro ground”.

Gambar 8: Sirkuit pensinyalan E&M tipe II

Sumber: Loop Telecom

2.3.3 Pensinyalan E&M Tipe III

Pada varian E&M Tipe III seperti diperlihatkan pada

Gambar 9 dibawah.

Gambar 9: Sirkuit pensinyalan E&M Tipe III

Sumber: Loop Telecom

Kaki SG yang digunakan dipindahkan untuk melayani

pelepasan muatan untuk kaki M. Hal ini dimaksudkan

untuk mengurangi waktu tunda yang disebabkan oleh

gabungan dari (a) detektor arus kecil elektronik, dan (b)

kaki E&M yang panjang. Karena arus ground pada E

kembali akan menyebabkan noise. Oleh sebab itu, sirkuit

pensinyalan E&M Tipe III ini jarang digunakan.

2.3.4 Pensinyalan E&M Tipe IV

Sirkuit E&M tipe IV seperti Gambar 10 ini menyediakan

kesimetrian. Mulai dari sirkuit tipe II, pada sisi B, batere

dan ground saling bertukar sehingga sirkuit M sekarang

menjadi bayang cerminan sirkuit E, menghasilkan

pesinyalan tipe IV. Dengan cara ini, hubungan tandem

carrier dapat menggunakan sirkuit E&M yang sama.

Hubungan seperti itu sering terjadi pada trunk yang terdiri

dari sebuah saluran kaki carrier dalam tandem dengan

sebuah wireless carrier. Kabel cross over

menginterkoneksi dua carrier. Walaupun masih berlabel

SB, kaki ini sekarang terthubung ke ground (ground),

seperti kaki SG.

Page 164: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

155

Gambar 10: Sirkuit pensinyalan E&M Tipe IV

Sumber: Loop Telecom

2.3.5 Pensinyalan E&M Tipe V

Akhirnya untuk sirkuit dimana ground noise bukan lagi

menjadi isu, tetapi kesimetrian tetap diinginkan, kaki SB

dan SG dapat dieliminasi dan menghasil pesinyalan E&M

tipe V seperti yang diperlihatkan pada Gambar 11. Pada

sirkuit ini, seperti pada tipe IV, sisi A dan B adalah simetri,

memungkinkan untuk operasi tandem. Pada tempat dimana

carrier bertemu, jumlah hubungan biasanya cukup kecil dan

tidak menghasilkan ground noise.

Gambar 11: Sirkuit pensoinyalan E&M Tipe V

Sumber: Loop Telecom

3. TUJUAN DAN MANFAAT

Penelitian ini menghasilkan luaran yaitu:

Sebuah model infrastruktur jaringan PDH standar ITU

G.703 skala laboratorium yang dapat digunakan

sebagai indoor testbed skala kecil untuk tujuan

pengujian perangkat hasil rancang bangun atau untuk

penelitian lanjut.

Buku petunjuk pengoperasian dan perawatan sistem

infrastruktur jaringan PDH yang dapat digunakan juga

sebagai bahan ajar praktikum.

4. METODE PENELITIAN

Metode perancangan dan implentasi infrastruktur

telekomunikasi ini didasarkan pada 4 tahapan pekerjaan

sebagai berikut:

Tahap 1: Persiapan

Pada tahap persiapan ini terdiri dari kegiatan-kegiatan

sebagai berikut:

Inisiasi

Melibatkan kegiatan-kegiatan kajian teknologi, studi

literature, mencari informasi tambahan melalui

browsing internet disamping textbook yang tersedia.

Pendefinisian dan identifikasi masalah

Melibatkan kegiatan-kegiatan diskusi antar tim,

pembuatan komitmen sekaligus pembagian tugas antara

ketua dan anggota peneliti serta tenaga pembantu

lainnya, mengumpulkan informasi dan data-data teknis

yang dibutuhkan, kajian buku petunjuk, teknologi yang

akan digunakan, dan lain-lain.

Penentuan spesifikasi

Menentukan spesifikasi perangkat hardware dan

software yang akan digunakan untuk membangun

infrastruktur jaringan telekomunikasi ini.

Tahap 2: Perancangan

Pada tahap ini adalah tahap yang paling penting dalam

membuat detil perancangan atau Detail Engineering Design

(DED) dimana konsep perancangan, spesifikasi dan

persyaratan sistem (system requirement) harus sudah dapat

didefinisikan. Keluaran pada tahap ini ialah gambar detail

desain atau Detail Design Drawing (DDD) yang sudah

disetujui bersama oleh tim peneliti.

Tahap 3: Implementasi

Pada tahap ini berdasarkan hasil detil perancangan (Detail

Engineering Design) yaitu kemudian diimplementasikan

kedalam bentuk infrastruktur jaringan dimana semua

perangkat hardware dan software diintegrasikan secara

keseluruhan menjadi sebuah model infrastruktur jaringan

telekomunikasi yang sesungguhnya.

Tahap 4: Pengujian dan Evaluasi

Pada tahap ini, infrastruktur yang sudah dibangun akan

diuji dan dievaluasi. Pengujian melibatkan uji fungsional

dan uji unjuk kerja infrastruktur jaringan tersebut.

5. PERANCANGAN

Konsep perancangan infrastruktur telekomunikasi berbasis

teknologi PDH ini didasarkan pada kebutuhan layanan

yang harus disediakan sebagaimana telah diungkapkan pada

pendahuluan diatas. Kebutuhan layanan yang disediakan

dalam rancangan infrastruktur ini adalah untuk layanan

komunikasi suara (telepon) dan komunikasi data.

Infrastruktur PDH berbasis teknologi TDM PCM dimana

kapasitas transmisi untuk linfrastruktur telekomunikasi

yang dirancang ini adalah 2 Mbit/s yang setara dengan 30

kanal suara (30 voice channels) atau 30 time slot yang

tersedia untuk kebutuhan layanan komunikasi suara atau

komunikasi data. Dari 30 kanal tersebut direncanakan untuk

berbagai layanan sebagai berikut:

10 kanal untuk layanan komunikasi data menggunakan

interfis G.703 64 kbit/s codir.

4 kanal untuk layanan komunikasi via interfis v.24, v.28

19,6 kbit/s sync dan async.

8 kanal untuk trunking PBX menggunakan interfis VF

4Wire E&M 8 ch.

Page 165: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

156

4 kanal untuk Plain Old Telephone System (POTS) via

interfis VF sub exchange & subend.

Jadi total 28 kanal atau 28 time slot sudah dapat digunakan

untuk masing-masing kebutuhan layanan, berarti masih ada

tersisa 2 time slot dari 30 time slot. Penetapan jumlah

kanal/layanan didasarkan kepada ketersediaan interfis di

pasar.

Rancangan Detil Teknis (Detail Engineering Design)

seperti ysng diperlihatkan pada Gambar12 dan 13.

H

G

F

E

D

C

B

A

8 7 6 5 4 3 2 1

H

G

F

E

D

C

B

A

8 7 6 5 4 3 2 1

To 48 VDC

Rectifier

SDH PANEL

Terminal LSA

16XE1 Tributary Cable

PDH MULTIPLEXER

1X E

1 (2

Mbp

s) C

able

NOKIA PDH MULTIPLEXER48 VDC Rectifier

Battery Charger

48 VDC/100 AH

Battery Bank

Grounding

To 220 VAC/16A

Main AC Power/PLN

INTERFACE

FOR VARIOUS APPLICATION :

PABX TRUNK

ANALOG COMMUNICATION

DATA COMUNICATION

ATM

ETHERNET OVER PDH

48 VDC

48 VDC

IDU

PDH Base band unit

ODU

RF SECTION

ALCATEL DIGITAL RADIO LINK MICROWAVE

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

SINGLE LINE DIAGRAM

LAY OUT MODEL INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI

Digambar oleh: Sutrisno

Disetujui oleh:

Ukuran: Tanggal: Gambar No: Rev:

A4 18 jUNI 2013 191057-003 01

Skala: Lembar: 1

Lampiran 1

Gambar 12: blok diagram rancangan infrastrukur

telekomunikasi.

PDP

DDF

MDF

TO 48 VDC RECTIFIER

16 X 2 co

res/2Mb

ps (16 E

1) TO

IDU

POLITEKNIK NEGERI BANDUNG

DIAGRAM PERKAWATAN INSTALASI

INFRASTRUKTUR TELEKOMUNIKASI BERBASIS PDH

STANDAR ITU G.703

Digambar oleh: Sutrisno

Disetujui oleh:

Ukuran: Tanggal: Gambar No: Rev:

A4 JULY 30, 2013 191057-001 01

Skala: Lembar: 1

H

G

F

E

D

C

B

A

8 7 6 5 4 3 2 1

H

G

F

E

D

C

B

A

8 7 6 5 4 3 2 1

IDF

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

NA

48 V

DC

PO

WE

R S

UP

PL

Y

DB

2

X2

V24 19,2 kb

ps,A

sync

G.703 64 kb

ps co

dir

VF

4 W E

&M

8 ch

VF

Su

b exch

6ch

PANASONIC HYBRID PBX

13 GHz ALCATEL

DIGITAL MICROWAVE RADIO LINK

(ODU)

PDH BASEBAND

MUX-DEMUX

16 X 2Mbps

(IDU)

8 x 2 cores C

O L

ines

4 x 6 cores 4W

E&

M8 x 4 co

res HL

C

RG 213 Coaxial Cable

PDH STANDAR G.703 MULTIPLEXER PANEL

16 pairs X 2 cores/2Mbps (16 E1)

4 X

6 c

ore

s 4W

E&

M, 8

ch

10 X

2 c

ore

s G

.703

Co

dir

, 10

ch

4 x

6 co

res

V.2

4 as

ync,

4 c

h

6 x

2 V

F S

ub

Exc

h/S

ub

En

d, 6

ch

TO 48 VDC RECTIFIER

- 8 CO Lines

- 8 Ext analog/digital

Extendable upto 96 lines

Including (Ext & CO Lines

NECTAS TERMINAL

RS

232

Sistem Pentanahan

(Grounding system)

Lampiran 2

Gambar 13: Single line diagram rancangan infrastruktur

telekomunikasi

6. PEKERJAAN UNTUK WAKTU KE

DEPAN (FUTURE WORK)

Perlu dipertimbangkan untuk mengembangkan model

infrastruktur ini menjadi infrastrukur dengan skala yang

lebih besar, luas sehingga menjadi sebuah testbed yang

realistis dengan kondisi kerja/praktis dilapangan.

7. HASIL PENGUJIAN

Pengujian dan evaluasi merupakan tahap terakhir dalam

penelitian ini dimana model infrastruktur telekomunikasi

PDH yang telah dibangun akan diuji dan dievaluasi utilitas

dan unjuk kerjanya mengacu kepada error performance

objectives standar G.821, G.826. Rekomendasi penting

error performance objectives berdasarkan Appplication

note: ITU error performance recommendation adalah

sebagai berikut [8]:

a) Recommendation G.821: Error performance of an

international connection operating at bit rate below the

primary rate and forming part of an integrated service

digital network (ISDN).

b) Recommendation G.826: error performance and

objectives for international, contant bit rate digital paths

and connection

Hasil pengukuran error performance objectives G.821,

G.826 ditunjukan pada Tabel 2 dan 3 . Pengukuran

menggunakan ACTERNA DATA TESTER EDT-135

Tabel 2: Hasil pengukuran error performance objectives

G.821 untuk basic rate 64 kbit/s. Parameter Unit Hasil

Bit Error Rate,BER <10-9

Error free second, EFS Sec/% 60/100 (pass)

Error seconds, ES Sec/% 0/0 (pass)

Severe error second,

SES

Sec/% 60/100 (pass)

Available time, AT Sec/% 60/100 (pass)

Unavailable time, UT Sec/% 0/0 (pass)

Tabel 3: Hasil pengukuran error performance objectives

G.821 untuk primary rate 2 Mbit/s. Parameter Unit Hasil

Bit Error Rate, BER <10-9

Error free second, EFS Sec/% 60/100 (pass)

Error seconds, ES Sec/% 0/0 (pass)

Severe error second, SES Sec/% 60/100 (pass)

Available time, AT Sec/% 60/100 (pass)

Unavailable time, UT Sec/% 0/0 (pass)

8. KESIMPULAN

Model infrastruktur telekomunikasi berbasis teknologi PDH

standar ITU G.703 telah berhasil dirancang,

diimplementasikan dan diuji dengan hasil yang baik.

Sebagai aplikasi layanan yang dibangun adalah komunikasi

suara (telepon) dimana dua unit PBX diinterkoneksikan

(trunking) via interfis 4W E&Myang secara geografis

berada pada tempat yang terpisah telah berhasil juga

diterapkan dengan baik.

9. DAFTAR PUSTAKA

[1] Esmailzadeh Riaz, Broadband Wireless

[2] Communication Bussiness, John Willey & Son , 2008

[3] Ian Foster and Carl Kesselman, The Grid 2,

[4] Blueprint for a new computing infrastructure, Morgan

Kaufman, 2004

[5] Andy Valdar, Understanding

[6] Telecommunications Networks, John Willey &

Son,2006,

[7] Forouzan Behrouz.F, Data Communication

[8] and Network, Third edition, McGrawHill,2003

[9] Halsal Fred, Multi media Communication:

[10] Application, Protocols, and Standard, Addision-

Wesley, 2001

[11] Richard J Manterfield, Common Channel

Page 166: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

157

[12] Signalling, Peter Peregrinus Ltd, London, United

Kingdom,1991

[13] [Reinaldo Perez,Wireless Communication

[14] Design handbook, Academic Press, 1998

[15] ITU-T Publications,2010

[16] Application note ITU-T Error Performance

[17] Recommendation in Digital Transmission System

Page 167: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

158

Penerapan Algorithma Row Index Data Access Matrix Pada Sistem

Perangkat Lunak Antarmuka Data Digital Perintah/Status Yang

Homogen

Rida Hudaya

Jurusan Teknik Elektro, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Penelitian bidang Networked Control Systems (NCSs) sedang dikembangkan di Laboratorium Sistem Kendali Jurusan Teknik

Elektro Politeknik Negeri Bandung. NCSs yang dikembangkan melibatkan antarmuka sinyal perintah/status dengan jumlah

sinyal sangat banyak. Penerapan algoritma Row Index Data Access Matrix (rida-M) merupakan salah satu teknik pemecahan

yang paling sederhana untuk mengelola aliran sinyal yang sangat banyak. Algorithmarida-M telah dikembangkan dan telah

diuji penerapannya baik untuk sistem perangkat keras maupun perangkat lunak.Tulisan ini akan membahas cara kerja

algorithma rida-M pada sistem pengaturan sinyal digital yang homogen di tingkat perangkat lunak pada sistem HMI/Scada.

Kesimpulan yang diperoleh dengan penerapan algorithma ini adalah waktu perancangan, penerapan, perawatan dan perbaikan

sangat cepat dan pelaksanaannya sangat sederhana dibandingkan menggunakan metode pemrograman formal biasa.

Kata Kunci

Networked control Systems, NCSs, Matrix, Port, Memor

1. PENDAHULUAN

Salah satu bidang penelitian yang sedang dikembangkan di

Laboratoriun Sistem Kendali dan Instrumentasi Jurusan

Teknik Elektro Politeknik Negeri Bandung adalah

Networked Control Systems (NCSs) [1][13][14]. Ilustrasi

penerapan teknologi ini seperti diperlihatkan pada Gambar

1 [19][20]. Gambar tersebut memperlihatkan posisi sensor

yang tersebar secara luas dengan jumlah yang sangat besar

dan terletak jauh dari Central Control Room (CCR). Sinyal

dengan jumlah yang sangat besar dari lapangan akan masuk

keCCR dan keluar dari CCR [11].

Acuan pengembangan teknologi penelitian ini mengikuti

perkembangan yang terdapat di industry perangkat kendali

dan instrumentasi Advantech Technology. Sehingga

beberapa ilustrasi dan penggunaan teknologi perangkat

kerasnya menggunakan sistem yang terdapat di Advantech

Technology [19][20].

Gambar 7: Environmental Monitoring Systems

(Advantech Technology).

2. SISTEM PERANGKAT LUNAK ANTARMUKA

DATA PERINTAH/STATUS

Sinyal yang masuk ke CCR biasanya adalah sinyal status

dan sinyal yang keluar dari CCR biasanya adalah sinyal

perintah.Sinyal tersebut dapat berbentuk sinyal analog

maupun sinyal digital [4][16]. Apabila dikelompokan maka

jenis kelompok sinyal dapat terdiri dari:

Kelompok-1, kelompok sinyal digital saja,

Kelompok-2, kelompoksinyal analog saja,

Kelompok-3, kelompok sinyal perintah saja,

Kelompok-4, kelompok sinyal status saja, atau

Kelompok-5, kelompok sinyal yang terdiri dari sinyal

digital, sinyal analog, sinyal perintah dan sinyal status

yang tersusun secara acak.

Makalah ini akan menjelaskan penerapan algoritma Row

Index Data Access Matrix (rida-M) untukj enis sinyaldigital

yang tersusun secara homogeny yaitu sinyal pada

Kelompok-1, Kelompok-3 dan Kelompok-4.

Sinyal yang masuk ke CCR dan yang keluar dari CCR

diterjemahkan oleh system perangkat keras antarmuka

menjadi data yang dapat diolah oleh kontroler. Oleh karena

sinyal yang diolah akan bersifat homogen, maka data yang

akandiolah juga akan bersifat homogen. Data tersebut pada

konrolerakan diolah oleh Sistem Perangkat Lunak

Antarmuka Data Digtal Perintah/Status.

Page 168: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

159

Data Perintah/Status akan dicatat pada suatu memori dan

port pada alamat tertentu. Pencatatan pada memori

dimaksudkan agar kondisi data terakhir dapat tercatat untuk

mencegah kehilangan informasi kondisi akhir suatu

Perintah/Status. Pencatatan data Perintahpada port

berfungsi untuk menggerakan sinyal perintah. Sedangkan

pencatatan data Status pada port berfungsi untuk merekam

kondisi sinyal Status. Diagram penempatansinyal dan data

diperlihatkan pada Gambar 2.

3. SISTEM PENGALAMATAN DATA

Data pertamas inyal yang bernilai PORT1 disimpan di port

pada alamat @port1. Untuk data ke-n yang bernilai PORT n

disimpan di port alamat @portn.

Gambar 8: Diagram penempatan sinyaldan data.

Lokasi memori untuk menyimpan data PORT 1 adalah

@mport1dan lokasi memori untuk menyimpan data PORT

n adalah @mportn. Alamat memori @mport 1dapat

diwakili oleh variabel mport1 dan alamat memori

@mportn dapat diwakili oleh variabel mport1. Sehingga

persamaan matriksnya dapat dinyatakan sebagaiberikut:

𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡2𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡3

:::

𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛

=

@𝑝𝑜𝑟𝑡1@𝑝𝑜𝑟𝑡2@𝑝𝑜𝑟𝑡3

:::

@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛

(1)

Operasi pemindahan data dari port pada alamat @portn ke

memori pada lokasi @mportn dinyatakan dengan

(@mportn) ← inport(@portn) (2)

Sedangkan operasi pemindahan data dari memori pada

lokasi @mportn ke port pad aalamat @portn dinyatakan

dengan

(@mportn) → outport(@portn) (3)

Apabila data untuk sinyal status disimpan pada alamat

@port1 sampai dengan alamat @portm dan data untuk

sinyal perintah akan disimpan pada alamat @portm+1

sampai dengan alamat @portn, maka Persamaan 1 menjadi:

𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1:

𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1

:𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛

=

@𝑝𝑜𝑟𝑡1:

@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1

:@𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛

(4)

Persamaan 4 memberikan gambaran kemudahan

pengelolaan alamat port apabila jumlah port yang akan

diolah sangat banyak. Penambahan port dapat dilakukan

dengan cara menyisipkan baris dan pengurangan port

dilakukan dengan menghapus baris. Posisi baris

menunjukkan nomor indeks dari baris tersebut. Indeks dari

mport1 adalah 1 dan indeks dari mportn adalah n. Apabila

terjadi penambahan sebuah port ditengah matriks artinya

terjadi penyisipan sebuah baris ditengah matriks. Hal ini

menyatakan bahwa secara otomatis indeks dari mportn

semula n menjadi n+1. Hal ini dilakukan secara otomatis

oleh kontroler karena @mportn secara otomatis berubah

sesuai dengan jumlah variabel yang dimasukan pada

memori suatu kontroler.

Persamaan 4 dapat dinyatakan dengan cara lain agar lebih

mendekati bahasa pemrograman. Untuk proses

memindahan data dari port ke memori dinyatakan seperti

persamaan berikut:

(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):

(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1)

:(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)

=

𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):

𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)

𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1):

𝑖𝑛𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)

(5) Sedangkan untuk proses pemindahan data dari memori ke

port dinyatakan seperti persamaan berikut:

𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):

𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1)

:𝑜𝑢𝑡𝑝𝑜𝑟𝑡(𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)

=

(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡1):

(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚)

(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑚 + 1):

(@𝑚𝑝𝑜𝑟𝑡𝑛)

(6)

Persamaan 5 dan Persamaan 6 memberikan petunjuk bahwa

pengelolaan alamat port dan memori menjadi sangat

sederhana. Hal ini disebabkan alamat port telah diganti

dengan nama variabel yang lebih informatif.

4. ALGORITHMA rida-M

Penerapan algorithma rida-M dapat diaplikasikan dengan

menggunakan Persamaan 5 dan Persamaan 6. Persamaan 5

untuk algorithma proses pemindahan data dari port ke

memori dan Persamaan 6 untuk algorithma proses

pemindahan data dari memori ke port.

Posisi baris pada matriks dari Persamaan 1 merupakan

indeks yang berurutan dari atas ke bawah. Indeks tersebut

digunakan untuk menunjuk alamat port. Hal ini disebabkan

baris alamat port memiliki indeks yang sama dengan nama

Page 169: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

160

varibel suatu port. Sub-bagian berikut ini akan menjelaskan

lebih teknis dari penggunaan indeks baris tersebut.

4.1 Proses Pemidahan Data dari Port ke Memori

Proses pemindahan data dari port ke memori dapat

dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang

ditunjukkan pada algorithma berikut:

1. Deklarasikan konstanta mport1 dengan nilai @port1

sampai dengan konstanta mportn dengan nilai @portn.

2. Lakukan pemindahan data dari port alamat @port1 ke

memori alamat @mport1.

3. Ulangi pemindahan data sampai dengan port alamat

@portn ke memori alamat @mportn

4.2 Proses Pemidahan Data dari Memori ke Port

Proses pemindahan data dari memori ke port dapat

dilakukan dengan langkah-langkah seperti yang

ditunjukkan pada algorithma berikut:

1. Deklarasikan konstanta mport1 dengan nilai @port1

sampai dengan konstanta mportn dengan nilai @portn.

2. Lakukan pemindahan data dari memori alamat

@mport1 ke port alamat @port1.

3. Ulangi pemindahan data sampai dengan memori alamat

@mportn ke port alamat @portn.

4.3 Hasil Uji Eksperimen

Hasil uji eksperimen nyata dijelaskan pada Gambar 3.

Penerapan pengujian terhadap algorithma ini dilakukan

dengan kondisi sebagai berikut:

Kabel komunikasi yang digunakan adalah twist-pair

telephone cable dengan panjang 300 m.

Jarak antara CCR dengan remote computer adalah 300

m.

Prosesor yang digunakan adalah penthium dengan

sistim operasi DOS.

Bahasa pemrograman yang digunakan adalah C.

Jumlah sinyal perintah/status dalam pengujian ini

adalah 1600 sinyal.

Protokol komunikasi yang digunakan adalah RS 232.

Waktu tempuh sinyal yang diukur dimulai sejak sinyal

diaktifkan sampai dengan terjadi perubahan status yang

diakibatkan oleh sinyal peritah tersebut.

Plant uji yang digunakan adalah Earth Station Jatiluhur

utnuk pengendalian HPA Satelit.

Gambar 9: Diagram waktu respon sinyal terhadap jumlah

sinyal.

5. KESIMPULAN

Pada makalah ini telah ditunjukan bahwa penerapan

algorithma rida-M akan mempersingkat waktu

perancangan, penerapan, perawatan dan perbaikan.

Implementasi pada sistem teknologi antarmuka perangkat

lunak sangat sederhana dan cepat.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada PT Indosat yang

telah memberikan kepercayaan penerapan algorithma rida-

M pertama kali pada sistem pengendalian HPA Satelit di

station bumi Jatiluruh. Penerapan pertama kali yang sukses

memberikan dukungan moril untuk kegiatan penelitian

lebih lanjut.

Ucapan terima kasih juga disampaikan kepada Tim Peneliti

NCSs dan mahasiswa Jurusan Teknik Elektro yang telah

membantu merealisasikan algorithma ini di PT Indosat.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Nathan B. Loden, J.Y. Hung, “An Adaptive PID

Controller for Network Based Control Systems,”

Industrial Electronics Society, 31st Annual Conference

of IEEE, 2005.

[2] H. Hoang, M. Jonsson, U. Harstrom, and A.

Kallerdahl, 2002, “Switched real-time Ethernet and

earliest deadline first scheduling-protocols and traffic

handling,” 10th

International workshop on parllel and

distributed real-time system, Ford Lauderdale, Florida,

USA, April 2002.

[3] H. Haertig and J. Loeser, “Using switched Ethernet

for hard realtime comunication,” International

conference on parallel comoputing in electrical

engineering (PARELEC), Dresden, Germany, pp. 349-

353, September 2004.

[4] M. Tabbara, D. Nesic, and A. Teel, “input-output

stability of wireless networked control systems,” in

proc. 44th

IEEE Conf. On Dec. And Control, 2005.

Page 170: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

161

[5] H. YE, G. Walsh, and L. Bushnell,“Real-time mixed-

traffic wireless networkes,” IEEE Trans. Ind.

Electron, Vol. 48, no.5, pp.883-890, 2001

[6] M. Tabbara, D. Nesic, and A.R. Teel, “Stability of

wireless and wireline networked control systems,”

IEEE Transaction on Automatic Control, Vol. 52, pp.

1615-1630, 2007.

[7] M. Przedwojski, K. Galkowsk, P.H. Bauer, and E.

Rogers, 2009, ―Stability and robustness of systems

with synchronization errors,‖ American Control

Conference, pp. 3262-3267.

[8] L.Samaranayake, M. Leksell, and S.

Alahakoon,“Relating samplingperiod and control

delay in distributed control systems,” The

International Conference on Computer as a tool

(EUROCON 2005), pp. 274-277, 2005.

[9] G. Szederkenyi, Z. Szabo, J. Bokor, and K.M. Hangos,

“Analysis of the networked implementation of the

primary circuit pressurize controller at a nuclear

power plant,” 16th

Mediterranean Conference on

Control and Automation, pp. 1604-1609, 2008.

[10] G.Y. Walsh, H. Ye, and L.G. Bushnell, “Stability

analysis of networked control systems,” IEEE

Transaction on control system technology, Vol. 10,

No.3, pp. 438-446, 2002.

[11] A. Rajeev, D. Alessandro, K.H. Johansson, G.J.

Pappas, G. Weiss, “Compositional Modelling and

Analysis of Multi-hop Control Networks,” IEEE

Transactions on Automatic Control, 56:2345-2357,

2011.

[12] A. Liu, L. Yu, W.A. Zhang,“H-infinity contol for

network-based systems with time-varying delay and

packet disordering,” Journal of the Franklin Institute,

248:917-932, 2011.

[13] Endra Joelianto,“Networked Control Systems: Time

Delays and Robust Control Design Issues,” 2nd

International Conference on Instrumentation, Control

and Automation, Bandung, Indonesia, 2011.

[14] Mirza N.H, “Design and Implementation of HMI-

SCADA applied for water level control”,

undergraduate thesis, Bandung State Polytechnic,

2013.

[15] PL. Tang, CW. deSilva, “Compensation for

transmission Delay in an Ethernet-Based Control

Network Using Variable-Horizon Predictive Control,”

IEEE Transcation on Control Systems Technology,

Vol.14, No.4, 2006.

[16] S.H. Yang, X. Chen, D.W. Edwards, and J.L. Alty,

“Design issues and implementation of internet based

process control,” Control Engineering Practice, Vol.

11, No. 6, pp. 709-720, 2003.

[17] “Introduction: Frequency Domain Methods for

Controller Design,” source:

http://ctms.engin.umich.edu/CTMS/index.php?exampl

e=Introduction&section=ControlFrequency.

Available: October, 30th

, 2013.

[18] Y. Tipswan and M.Y Chow, “Gain scheduler

middleware: A methodology to enable existing

controllers for networked control and teleoperation -

Part 1: Networked Control,” IEEE Transcations on

Industrial Electronics, vol. 51, no. 6, pp. 1218-1227,

2004.

[19] Advantech, ADAM 4000 Series Data Acquisition

Modules User‟s Manual, Avril 1994.

[20] Advantech, ADAM 4000 Series Data Acquisition

Modules User‟s Manual Edition 10.5,August 2007.

Page 171: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

162

Jaringan Sistem Inovasi Nasional (Jarsinas)

Slamet Aji Pamungkas

Balai IPTEKnet, Badan Pengkajian dan Penerapan Teknologi, Jakarta

E-mail : [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Jaringan Sistem Inovasi Nasional (JARSINAS) dibangun untuk menjadi integrator informasi antar komponen sistem inovasi

nasional dan mengembangkan barometer capaian inovasi nasional dalam rangka membangun kemandirian bangsa Indonesia

yang berbasis inovasi teknologi. Inovasi teknologi yang dikembangkan di JARSINAS ini menggunakan hasil pengembangan

teknologi terkini diantaranya Information Retrival, Search Engine, Intelegent Information Extractor, Digital Dashboard,

Cloud Computing dan Information Security Defense System, sehingga dihasilkan Portal Telusur Inovasi (POTENSI).

Potensi dibangun dengan tujuan untuk menyediakan sarana intermediasi antar inovator nasional, sehingga terjadi interaksi

positif yang mampu mendukung berkembangnya Sistem Inovasi Nasional (SIN), dalam rangka mendukung suksesnya

pembangunan nasional.

Pemerintah perlu mendorong pengembangan teknologi dan inovasi produk, pemerintah memiliki peranan penting untuk

memfasilitasi interaksi dan keterkaitan antara unsur-unsur dari sistem, dan pemerintah harus memainkan perannya untuk

melindungi pengetahuan nasional dan memanfaatkan hasil penelitian dan teknologi dalam pembangunan negara

Pelaksanaan program JARSINAS, dilakukan dengan menggabungkan kegiatan teknis maupun non teknis. Kegiatan teknis yang

dilakukan antara lain dengan menyempurnakan POTENSI yang telah diluncurkan pada tahun 2011. Sedangkan kegiatan non

teknis ialah dengan melakukan forum grup diskusi, workshop, seminar dan sosialisasi kepada kalangan inovator nasional.

Hasil dari program JARSINAS ialah terbangunya POTENSI yang menyediakan berbagai fitur dan sarana bagi inovator

nasional untuk saling berinteraksi dan berdiskusi dalam rangka meningkatkan inovasi nasional untuk mendukung mendukung

suksesnya pembangunan nasional.

Kata Kunci

Sistem Inovasi Nasional, Cloud Computing, Digital Dashboard

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Indeks daya saing Indonesia menurut global competiveness

index (GCI) yang dimuat dalam The Global Competiveness

Report 2008--2009 yang diterbitkan oleh World Economic

Forum pada tahun 2008, menunjukkan bahwa Indonesia

menempati peringkat 55 dari 134 negara. Salah satu dari 12

pilar daya saing yang diukur oleh badan ini adalah daya

inovasi suatu bangsa, yang menempatkan Indonesia pada

urutan ke 47.

Menurut laporan itu, daya inovasi Indonesia terkendala

oleh: kapasitas inovasi nasional yang masih rendah

(menempati peringkat ke 53); kolaborasi antara universitas,

litbang, dan industri yang masih perlu dibangun (peringkat

ke 54); dan penggunaan paten sebagai alat perlindungan

hak cipta penemu dan sekaligus alat untuk diseminasi

teknologi yang perlu dibangun lebih baik (peringkat ke 84).

Beberapa program telah diluncurkan dalam upaya

meningkatkan penguatan Sistem Inovasi Nasional (SIN) di

Indonesia, terutama untuk meningkatkan arus informasi,

interaksi antara unsur-unsur system terkait, alih teknologi

untuk sektor swasta, naun dalam Seminar Nasional Sistem

Inovasi Nasional (Juli 2006) mengungkapkan bahwa

interaksi antara unsur SIN belum terjalin dengan baik.

Interaksi dan interkoneksi antara unsur-unsur sangat

dipengaruhi oleh kebijakan pemerintah. Pemerintah perlu

untuk merekonstruksi organisasi pemerintahan yang

inovatif untuk menciptakan birokrasi yang efektif, dan

menerapkan peraturan yang dapat mendorong

pengembangan teknologi dan inovasi produk.

1.2 Tujuan

Tujuan dari kegiatan Jaringan Sistem Inovasi Nasional

(JARSINAS) adalah untuk membangun suatu sistem portal

informasi nasional berbasis infrastruktur teknologi

informasi dan komunikasi (TIK) yang berfungsi untuk

menjadi sentra informasi yang menghubungkan komponen

komponen penunjang SIN sebagaimana kerangka SIN,

sehingga dapat meningkatkan alur siklus sistem inovasi

nasional bangsa untuk memenuhi permintaan inovasi

nasional sehingga pada akhirnya meningkatkan daya saing

Page 172: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

163

bangsa. Sistem ini selanjutnya dinamakan JARSINAS

(Jaringan Sistem Inovasi Nasional).

2. PEMBAHASAN

2.1 Portal Telusur Inovasi (POTENSI)

Portal Telusur Inovasi (POTENSI) dengan alamat

http://inovasi.iptek.net.id, dibangun berdasar kebutuhan

terhadap tersedianya sarana mediasi bagi inovator nasional

dalam komunikasi, kolaborasi dan diskusi untuk

pengembangan Sistem Inovasi Nasional (SIN). POTENSI

bertugas menyediakan data inovasi, sarana diskusi antar

inovator dan statistik kebijakan inovasi nasional.

Gambar 1: Pemrosesan data inovasi

Gambar 1 di atas memperlihatkan bagaimana POTENSI

mendapatkan data dan dukungan dari berbagai pihak yang

berhubungan dengan inovasi nasional, penyimpanan dan

pengolahan data, proses pembersihan dan kategorisasi data,

dan analisai maupun pelaporan data inovasi nasional.

Gambar 2: Portal Telusur Inovasi (POTENSI)

2.2 Arsitektur Hardware

Gambar 3: Arsitektur Portal Telusur Inovasi

POTENSI dibangun berbasis web sehingga bisa diakses

dari manapun selama tersedia jaringan internet dan

browser. Untuk mendukung layanan dan fasilitas dalam

POTENSI tersebut, maka dibangun arsitektur hardware

seperti pada gambar 1 di atas. Terlihat pada gambar 3

tersebut bahwa POTENSI terdiri atas 2 server crawling, 1

load balancer, 3 server aplikasi, 2 server database dan 1

server indexing.

Server crawling berfungsi untuk melakukan pencarian data-

data inovasi dari berbagai server lain yang menyediakan

data inovasi secara online dan realtime. Hasil crawling

disimpan ke dalam tabel penyimpanan sementara yang

terdapat pada server database, untuk selanjutnya dilakukan

pembersihan data. Untuk membantu performance server

database, maka disediakan server indexing yang

menggunakan software sphinx. Komunikasi antara client

dengan POTENSI dilakukan dengan perantara load

balancer yang bertugas menyeimbangkan akses terhadap 3

server aplikasi.

2.3 Komponen Perangkat Lunak

Crawling

Teknologi crawling digunakan dalam POTENSI untuk

mengumpulkan data dari berbagai sumber dalam rangka

memperkaya konten, khususnya yang berhubungan dengan

inovasi nasional. Crawling atau web crawler adalah suatu

program atau script otomatis yang relatif sederhana, dengan

metode tertentu melakukan scan atau crawl ke semua

halaman-halamani untuk membuat index dari data yang

dicarinya.

Web crawl dapat digunakan untuk beragam tujuan.

Penggunaan yang paling umum adalah yang terkait dengan

search engine. Search engine menggunakan web crawl

untuk mengumpulkan informasi mengenai apa yang ada di

halaman-halaman web publik. Tujuan utamanya adalah

mengumpukan data sehingga ketika pengguna internet

mengetikkan kata pencarian di komputernya, search engine

dapat dengan segera menampilkan web site yang relevan.

Dalam melakukan crawler, POTENSI tidak membatasi

jenis dan struktur data, sehingga ada kemungkinan akan

diperoleh data kotor dan tidak terstruktur. Untuk mengatasi

permasalahan tersebut, maka tahap berikutnya dilakukan

pembersihan data atau data cleansing.

Page 173: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

164

Pembersihan Data

Pembersihan data atau data cleansing adalah tindakan

mendeteksi dan memperbaiki (atau menghapus) record

korup atau tidak akurat dari mengatur catatan, tabel, atau

database. Yang digunakan terutama di database, istilah ini

mengacu pada identifikasi tidak lengkap, tidak benar, tidak

tepat, tidak relevan dll bagian data dan kemudian

mengganti, memodifikasi atau menghapus data ini kotor.

Algoritma Kemiripan

Sebagai penampung data-data inovasi nasional, maka dalam

POTENSI terdapat berbagai macam dokumen yang masih

belum terkelompokan berdasar topik, judul maupun bidang

fokusnya. Untuk melakukan pengelompokan dokumen-

dokumen tersebut salah satu caranya ialah dengan

memanfaatkan algoritma kemiripan dokumen.

Pendeteksian kemiripan dokumen merupakan pendeteksian

kesamaan beberapa dokumen dengan membandingkan isi

dokumen sehingga menghasilkan bobot atau nilai

kemiripan dari dokumen yang dibandingkan. Salah satu

kegunaan perbandingan isi dokumen adalah untuk

membantu pengguna dalam pengelompokan dokumen dan

juga memungkinkan pengguna mengetahui apakah isi

dokumen yang satu merupakan dokumen yang pada

dasarnya sama dengan dokumen yang lain. Pendeteksian

kemiripan dokumen ini dapat dilakukan dengan beberapa

teknik, misalnya teknik pencarian informasi, teknik

penghitungan statistik, atau dengan menggunakan informasi

sintaktik dari kalimat per kalimatnya

Mesin Pencari (Search Engine)

Sebagai portal yang menyediakan data dan informasi

tentang inovasi nasional, maka POTENSI menyediakan

fasilitas pencarian terhadap data dan informasi yang

berhubungan dengan inovasi nasional dengan menyediakan

mesin pencari (search engine).

Search engine merupakan perangkat pencari informasi dari

dokumen-dokumen yang tersedia. Hasil pencarian

umumnya ditampilkan dalam bentuk daftar yang seringkali

diurutkan menurut tingkat akurasi ataupun rasio

pengunjung atas suatu berkas yang disebut sebagai hits.

Informasi yang menjadi target pencarian bisa terdapat

dalam berbagai macam jenis berkas seperti halaman situs

web, gambar, ataupun jenis-jenis berkas lainnya.

Peta Inovasi

Selain tampilan dalam bentuk tabel atau dokumen hasil

pencarian, POTENSI juga menyediakan fasilitas penyajian

data dalam bentuk peta online. Berbagai informasi tentang

inovasi nasional ditampilkan berdasar lokasi penelitian

terhadap inovasi tersebut dengan berdasar peta online.

Tren Teknologi

Dalam rangka mendukung pemanfaatan perkembangan

berbagai bidang teknologi yang sangat pesat, maka dalam

POTENSI disediakan suatu fasilitas untuk mengetahui

prediksi tentang trend teknologi yang sedang dan akan

terjadi pada periode-periode tertentu. POTENSI membagi

kategori teknologi berdasar 8 (delapan) bidang fokus yang

ditetapkan Pemerintah, di mana untuk setiap bidang fokus

dapat dikelompokan menjadi sub bidang fokus, berdasar

pada kebutuhan detail terhadap suatu bidang fokus.

Gambar 4: Trend teknologi

Statitistik

POTENSI menampilkan berbagai statistik sehubungan

dengan perkembangan inovasi di Indonesia. Contoh

tampilan statistik yang terdapat dalam POTENSI ialah

seperti di bawah ini:

Gambar 5: Statistik HaKi

3. PENUTUP

Segala puji dipanjatkan kepada Allah SWT atas rahmat dan

karunianya sehingga program JARSINAS yang dimulai

sejak tahun 2011 sampai saat ini berjalan dengan baik,

semoga pada periode-periode ke depan semakin

berkembang dan bermanfaat.

3.1 Kesimpulan

Dari hasil kegiatan JARSINAS yang telah dilaksanakan

selama ini, bisa ditarik kesimpulan sebagai berikut:

1. POTENSI telah berhasil dibangun dan dikembangkan

dengan baik dan telah dimanfaatkan oleh kalangan

inovator nasional dalam rangka pengembangan Sistem

Inovasi Nasional (SIN).

Page 174: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

165

2. Pemanfaatan perkembangan teknologi informasi yang

sangat pesat mampu mendukung dan meningkatkan

performance POTENSI sebagai sarana mediasi antar

inovator nasional.

3.2 Saran-saran

Untuk pengembangan lebih lanjut POTENSI, baik sisi

teknis maupun non teknis, maka bisa dikemukakan saran-

saran sebagai berikut:

1. Perlu sosialisasi lebih lanjut kepada inovator daerah dan

kalangan perguruan tinggi agar bersedia memanfaatkan

POTENSI sebagai sarana mediasi antar inovator

nasional.

2. POTENSI agar dikembangkan menjadi portal

komunitas, di mana penambahan data dan informasi

dalam POTENSI menjadi tanggung jawab bersama

komunitas inovator nasional.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Don Meyer, Casey Canon, “Building a Better Data

Warehouse”, DM&A Inc, Oct. 2002.

[2] [Kusrini, Emha Taufik, “Algoritma Data Mining”, Andi

Publihser, 2009

[3] Suarga, “Algoritma dan Pemrograman”, Andi Publisher,

2012.

[4] Chandra Koparapu, “Load Balancing, Servers, Firewalls

and Caches”, Wiley 2010.

Page 175: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

166

Prototype Aplikasi Pengukuran Kinerja

Unit Pengelola Politeknik

Ade Chandra Nugraha1, Santi Sundari

2

1KBK Sistem Informasi dan Database - Jurusan Teknik Komputer dan Informatika

Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

Email : [email protected]

2KBK Rekayasa Perangkat Lunak - Jurusan Teknik Komputer dan Informatika

Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

Email : [email protected]

ABSTRAK

Kinerja organisasi merupakan parameter organisasi yang dapat dievaluasi untuk meningkatkan pelayanan maupun proses

bisnis organisasi. Pengukuran kinerja dapat dijadikan acuan perbaikan dan peningkatan proses organisasi, disamping juga

sebagai alat pengendalian organisasi. Memperhatikan fungsi dan peranan pengukuran kinerja organisasi yang sangat signifikan

bagi perkembangan organisasi, maka proses evaluasi kinerja organisasi menjadi satu hal yang menuntut untuk dilakukan. Agar

Evaluasi kinerja organisasi dapat dilakukan lebih terukur maka proses tersebut memerlukan metode/pendekatan pengukuran

kinerja organisasi yang paling optimal dan sesuai dengan karakteristik organisasi. Di sisi lain, karakteristik dan pengukuran

kinerja pengelolaan Perguruan Tinggi sangat menarik untuk dieksplorasi dan diteliti. Untuk itu direalisasikan penelitian ini

agar hasil pengukuran dan evaluasi kinerja organisasi pengelola di lingkungan Pendidikan Tinggi (PT), khususnya Politeknik,

dapat dielaborasi dengan variasi pendekatan pengukuran kinerja organisasi yang dikembangkan dalam kajian sistem informasi.

Melalui metode penelitian kuantitatif dengan model Penelitian dan pengembangan (research and development/ R&D)

diharapkan mampu menghasilkan prototype aplikasi pengukuran kinerja organisasi yang optimal sesuai dengan karakteristik

organisasi pengelola pendidikan Tinggi di Politeknik. Prototype aplikasi harus mampu mengolah data target kinerja organisasi

pengelola pendidikan Politeknik yang dinamis, serta realisasi kinerja yang dispesifikasikan dalam kumpulan indicator kinerja.

Prototype aplikasi juga mengacu pendekatan evaluasi kinerja tertentu. Melalui evaluasi ketercapaian target kinerja yang

terukur, pengelola pendidikan Politeknik diharapkan dapat memperbaiki kinerja di masa mendatang.

Kata Kunci

Kinerja Organisasi, Prototype Aplikasi Pengukuran Kinerja

1. PENDAHULUAN Kinerja ataupun performance dari organisasi adalah

gambaran mengenai tingkat pencapaian sasaran ataupun

tujuan organisasi sebagai penjabaran dari visi, misi, yang

mengindikasikan tingkat keberhasilan dan kegagalan

pelaksanaan kegiatan sesuai dengan program dan kebijakan

yang ditetapkan. Kinerja organisasi adalah sejumlah

keluaran (output) berupa barang atau jasa yang dihasilkan

dari kegiatan dan pelaksanaan tugas pokok serta fungsi

organisasi.

Proses evaluasi terhadap kinerja organisasi penting

dilakukan, karena tanpa evaluasi tidak akan diketahui

sampai sejauhmana organisasi telah efektif melakukan

perubahan menuju organisasi berkinerja tinggi. Bisa

dikatakan bahwa evaluasi terhadap kinerja organisasi pada

hakekatnya adalah sebuah usaha untuk mengetahui “di

mana kita nyatanya berada” dan “di mana kita seharusnya

berada”. Dari hasil evaluasi diketahui apa kekurangan

organisasi dalam mewujudkan tujuan organisasi, untuk

kemudian mengidentifikasi langkah intervensi dalam

memperbaiki kondisi tersebut. Pada umumnya konsep

evaluasi sebagai proses terdiri atas : (1) pengumpulan

informasi, (2) penggunaan standar atau kriteria dalam

evaluasi serta (3) penarikan kesimpulan dan penetapan

keputusan yang berguna untuk diaplikasikan pada semua

situasi yang dihadapi oleh pimpinan organisasi.

2. PENDEKATAN EVALUASI KINERJA

Untuk mengevaluasi kinerja sebuah organisasi dapat

digunakan beberapa pendekatan [1]. Pendekatan tersebut

antara lain:

Pendekatan Pencapaian Tujuan

Pendekatan Sistem/Proses Internal

Pendekatan Kepuasan Konstituen Strategis

Pendekatan Faktor Bersaing

Dari kombinasi yang ada didapat tiga kumpulan dasar nilai

bersaing sebagai berikut :

Fleksibilitas versus kontrol. Dalam tiap organisasi

dibutuhkan adanya fleksibilitas dan sekaligus kontrol

yang merupakan dimensi yang saling berlawanan.

Page 176: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

167

Fleksibilitas menghargai inovasi, penyesuaian dan

perubahan mengikuti perubahan dalam lingkungan,

sedangkan kontrol lebih menyukai stabilitas,

ketentraman dan kemungkinan prediksi.

Kepentingan manusia versus kepentingan organisasi.

Dalam tiap organisasi dimana didalamnya terdiri dari

manusia, akan selalu ada persaingan dimana manusia

(sebagai individu/kelompok kecil individu) mempunyai

kepentingan yang terkadang berbenturan dengan

kepentingan organisasi.

Cara/proses versus tujuan/hasil. Kondisi ideal dari tiap

organisasi adalah cara/proses berjalan dengan baik

dalam arti sinergi dari tiap orang/unit berjalan baik

sehingga tujuan organisasi tercapai dengan baik.

3. METODE PENGUKURAN KINERJA

ORGANISASI

Untuk melakukan evaluasi terhadap kinerja organisasi perlu

ditentukan indikator yang akan diukur. Indikator ini bisa di

break-down dari kombinasi pendekatan yang telah

dikemukakan sebelumnya. Indikator yang digunakan dalam

pengukuran kinerja organisasi dapat pula diperoleh dari

standar pengukuran tertentu seperti Common Assessment

Framework/CAF (yang diterbitkan oleh Directors-General

of Public Administration Uni Eropa) dan Baldrige National

Quality Program/BNQP (yang diterbitkan oleh National

Institute of Standards and Technology (NIST) USA) [2].

Salah satu metode pengukuran kinerja organisasi yang

banyak dipergunakan adalah Balanced Scorecard (BSC).

Paper [6] dan [7] mengeksplisitkan keutamaan BSC dalam

mengukur kinerja organisasi. Balanced dalam BSC

menunjukkan keseimbangan antara strategi dan kinerja dari

berbagai perspektif; dan scorecard menggambarkan

kebutuhan pengukuran yang sederhana baik dari strategi

maupun pengambilan keputusan. Scorecard mengukur

kinerja perusahaan pada empat perspektif yang seimbang

(balanced) yaitu finansial, pelanggan, proses bisnis internal

dan proses pembelajaran serta pertumbuhan.

4. PENGUKURAN KINERJA PERGURUAN TINGGI

Dengan memperhatikan pendekatan faktor bersaing yang

cukup ideal (menurut penulis) dan penggunaan BSC untuk

mengukur kinerja organisasi, maka untuk melakukan

pengukuran kinerja Perguruan Tinggi (PT) dapat dilakukan

pendekatan pemodelan organisasi sebagai kumpulan

elemen dari sistem yang saling berkait. Dalam kajian sistem

informasi, sebuah sistem harus memperhatikan keberadaan

sebuah organisasi yang tidak lepas dari pengaruh faktor

internal dan eksternal. Hal ini dipertegas [3] dan diuraikan

pada gambar 1.

Dari gambar 1 diperoleh 5 elemen internal system yang

terdiri atas:

Gambar 1: Organisasi sebagai suatu system [3]

1. Sistem kepemimpinan, yaitu sistem dalam PT yang

bertanggung jawab untuk memberikan arahan, dan

dukungan dengan cara:

a. Membangun dan memelihara hubungan positif

dengan masyarakat dan lingkungan eksternal PT,

b. Memperjelas dan membangun konsensus dalam

merealisasikan misi PT, visi, prinsip, tujuan

strategis, serta struktur organisasi ,

c. Memperoleh dan mengalokasikan sumber daya yang

diperlukan.

2. PT membutuhkan berbagai sumber daya yang disebut

"input", untuk melakukan proses bisnis sehingga PT

dapat menciptakan produk, jasa, dan informasi untuk

pihak yang mereka layani. Ada enam jenis input yang

diperlukan: sumber daya manusia, sumber daya

keuangan, peralatan dan perlengkapan, ruang fisik,

energi, dan informasi.

3. Proses/fungsi utama (Key Work Processes),

menggambarkan seberapa capaian kinerja dapat

diberikan oleh sebuah PT. Aktivitas yang membentuk

Key Work Processes akan mengubah input menjadi

output sehingga PT dapat mencapai tujuan yang sudah

didefinisikan dari visi dan misi organisasinya.

4. Output / Keluaran, dalam bentuk produk, jasa, dan

informasi. Output dihasilkan dari kegiatan yang

didefinisikan dalam Key Work Processes, dan diterima

atau dialami oleh pelanggan. Output dirancang khusus

untuk mencapai tujuan PT dalam memenuhi atau

melampaui kebutuhan dan persyaratan dari pelanggan,

stakeholder, jurusan, dan staf.

5. Outcomes merupakan hasil PT yang direncanakan dan

dihasilkan dalam rangka memenuhi kebutuhan

pelanggan. Outcomes harus didasari misi yang spesifik,

dan biasanya kritis bagi kelangsungan hidup PT.

Contoh key work processes dalam lingkungan akademik

dapat diuraikan dalam tabel 1 berikut:

Page 177: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

168

Tabel 1: Empat proses utama di Perguruan Tinggi

Key work

Processes

Output Outcomes Customers Stake

holders

Pengajaran Kurikulum,

Peluang Kerja

Student

Learning, Kompetensi

Lulusan,

Job Placement

Mahasiswa

Aktif,

Alumni

Internal:

Jurusan

External: Industri

Penelitian Karya

Peneli-tian, Intellectual

Property

Revenue,

Jobs, Reputasi

dan

Penambaha

n

pemahaman

Sponsor

penelitian

Kolega,

Univ lain, Masyarakat

dan

Komunitas

PkM Layanan kerjasama

Pengembangan

Komunitas,

penambahan revenue

& jobs

Pengguna Layanan

dan

masyarakat

Profesional bisnis dan

Industri

serta kolega

Perbaikan

manajerial

Rencana

keuangan dan jadwal

kegiatan

Sistem

dengan perencanaa

n dan

sumber daya yang

optimal

Jurusan dan

unit di PT, serta staf

dosen dan

Tendik

Komunitas

di PT

Tiga Elemen eksternal Perguruan Tinggi [3] adalah:

1. Pelanggan, merupakan alasan mengapa sebuah PT ada.

Dalam proses penilaian, pelanggan didefinisikan

sebagai pihak yang langsung menerima atau

mengalami output dari PT. Beberapa preferensi

pelanggan dalam proses akademik adalah para

pemangku kepentingan dan para pemimpin di jurusan,

dan staf, yang menentukan apa dan bagaimana organi-

sasi menciptakan dan memberikan produk dan layanan.

2. Stakeholder secara luas didefinisikan sebagai individu

dan kelompok yang memiliki kepentingan dan manfaat

dari efektivitas PT – dalam pencapaian hasil yang

diharapkan. Pada tingkat kelembagaan, stakeholder

mengacu pada masyarakat umum, dan negara, nasional

maupun internal pemerintah daerah, organisasi, dan

bisnis yang menguntungkan dari masyarakat yang

berpendidikan, tenaga kerja terampil, dan penciptaan

serta transfer pengetahuan baru.

3. Sistem Hulu adalah organisasi atau sistem di luar PT

yang tepat, yang mempengaruhi kemampuan PT untuk

melakukan dan mencapai tujuan organisasi PT. Sistem

hulu menyediakan organisasi dengan sumber daya

yang diperlukan.

Memperhatikan organisasi pengelola Perguruan Tinggi

sebagai sebuah kumpulan elemen system, maka penilaian

kinerja dapat diukur terhadap tujuh bidang kinerja

organisasi [3], yang masing-masing terkait dengan elemen

spesifik sistem seperti pada gambar 2.

Gambar 2: Area pengukuran kinerja organisasi [3]

4.1 Kinerja Perguruan Tinggi

Dengan memperhatikan model konseptual proses bisnis

yang ada di perguruan tinggi dan model pengukuran BSC,

sesuai uraian di atas, maka peneliti mengidentifikasi

indicator pengukuran dari tujuh bidang kinerja PT dengan

studi kasus di Politeknik Negeri Bandung (POLBAN),

untuk kemudian diadopsi dalam pengembangan prototype

aplikasi pengukuran kinerja organisasi. Langkah proses

yang dilakukan dalam penelitian adalah:

1. Melakukan pengumpulan data berikut:

a. Elemen internal dan eksternal system pengelola PT

di POLBAN;

b. Rencana Strategis beserta indicator kinerja

POLBAN;

c. Realisasi capaian indicator kinerja dalam 1 tahun

terakhir;

2. Mengidentifikasi dan memilih pendekatan evaluasi

kinerja organisasi yang sesuai dengan hasil

pengumpulan data;

3. Menggunakan BSC dalam pengukuran kinerja PT

melalui pemetaan perspektif pengukuran terhadap

indicator terkait;

4. Mengembangkan prototype aplikasi yang sesuai

dengan kebutuhan pendekatan evaluasi kinerja

organisasi dan pengukuran kinerja yang ditetapkan;

Dari hasil pengumpulan data tuntutan stakeholder

(khususnya upstream system) DIRJEN DIKTI telah

mengarahkan bidang prestasi kunci yang dapat digunakan

untuk mengukur kinerja organisasi Perguruan Tinggi di

Indonesia. Bidang prestasi kunci tersebut ada lima dan

disingkat dengan sebutan RAISE+ [5] :

Relevansi menggambarkan kemampuan organisasi

untuk menyesuaikan layanan yang diberikan dengan

kebutuhan pengguna;

Suasana akademik dapat diukur dari aktivitas-aktivitas

yang melibatkan dosen mahasiswa dalam berbagai

model pembelajaran, adanya perencanaan pembelajaran

berbasis outcome, sistem asessment yang berorientasi

pada higher level of thinking. Suasana akademik yang

sehat akan menjamin terjadinya kepuasan dan memacu

Page 178: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

169

motivasi dan kreativitas di kalangan sivitas akademika

dalam menjalankan kegiatan akademik yang pada

gilirannya akan menghasilkan produk akademik yang

berkualitas;

Manajemen Internal & Organisasi merupakan

gambaran komitmen untuk meningkatkan sistem

manajemen dan organisasi yang mengarah pada suatu

penyelenggaraan program pendidikan yang efektif dan

efisien;

Keberlanjutan merupakan bidang prestasi kunci yang

sangat penting dalam pengelolaan organisasi.

Keberlanjutan organisasi sangat tergantung pada

keberadaan sumber daya. Sumber daya dapat mencakup

sumber daya yang tangible seperti finansial,

infrastruktur, staf, maupun sumber daya yang intangible

seperti pengetahuan, sistem manajemen, branding dan

image, serta jaringan kerja;

Efisiensi dapat didefinisikan sebagai tingkat

penghematan pemanfaatan sumber daya. Efisiensi

dalam perguruan tinggi dapat dilihat pada perbaikan-

perbaikan yang dilakukan pada proses bisnis yang ada.

Sesuai dengan perspektif pengukuran kinerja yang

ditetapkan dalam BSC, maka ke lima prestasi kunci di atas

dapat dipetakan seperti dalam tabel 2 berikut:

Tabel 2 : Pemetaan Perspektif BSC dan Prestasi Kunci PT Prestasi Kunci

PT

Perspektif

dalam BSC

Ukuran Generik

Keberlanjutan, Efisiensi

Keuangan Tingkat pengembalian modal dan nilai tambah ekonomis, tingkat

efisiensi usaha

Relevansi, Suasana

Akademik

Pelanggan Kepuasan pelanggan, retensi (kemampuan mempertahan-kan

pelanggan lama), pangsa pasar,

dan kemampuan menarik pelanggan baru

Manajemen

Internal dan

Organisasi, Efisiensi

Proses Bisnis

Internal

Inovasi, mutu, pelayanan purna

jual, efisiensi biaya produksi dan

pengenalan produk baru

Keberlanjutan,

Manajemen Internal dan

Organisasi

Inovasi dan

Pembelajaran

Kemampuan pekerja, kepuasan

pekerja, dan ketersediaan sistem informasi serta kinerja kelompok

(team performance)

4.2 Indikator Kinerja Perguruan Tinggi

Untuk mengukur ketercapaian bidang prestasi kunci yang

telah ditentukan oleh DIKTI, maka penyusun melakukan

pemetaan antara bidang prestasi kunci ini dengan butir

akreditasi institusi (AIPT) yang diterapkan dalam Borang

Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT) tahun 2011.

Hal ini dilakukan dengan pertimbangan bahwa sampai saat

ini proses assessment kinerja pengelola Pendidikan Tinggi

secara nasional baru dilakukan via borang akreditasi ini.

Dengan demikian pengukuran kinerja diharapkan dapat

lebih terukur dan mengacu pada standar yang diakui secara

nasional. Hasil pemetaan indikator kinerja untuk tiap

bidang prestasi kunci dapat diuraikan seperti dalam tabel 3.

5. PROTOTYPE APLIKASI

Hasil dari analisa dan alternative solusi dalam proses

penilaian kinerja organisasi pengelola Politeknik di bab

sebelumnya dapat dimodelkan dalam sebuah prototype

aplikasi. Prototype aplikasi ini diharapkan dapat membantu

pengambil keputusan dalam menilai dan memantau kinerja

pengelola Politeknik. Proses penilaian kinerja Pengelola

Politeknik, dimodelkan dalam prototype aplikasi dengan

memperhatikan beberapa hal berikut:

Perspektif penilaian kinerja disesuaikan dengan

perspektif dalam metode BSC. Yaitu terdiri dari

perspektif Keuangan, Pelanggan, Proses Bisnis Internal

serta inovasi dan pembelajaran;

Objective, menyatakan sasaran peningkatan kinerja

yang didasari oleh pencapaian 5 prestasi kunci yang

ditetapkan DIKTI (RAISE+);

Key Performance Indikator, menyatakan Indikator

Kunci dalam Pengukuran Kinerja PT dengan mengacu

butir Borang AIPT dari BAN-PT;

Dengan mengacu pada 3 hal di atas, maka prototype

aplikasi memiliki requirement untuk melakukan

pengolahan data rencana / target KPI dan realisasi KPI

berbasiskan waktu dengan menerapkan pendekatan factor

bersaing. Aplikasi akan mengolah kinerja PT melalui

pengukuran hasil pemetaan indicator kinerja pada tabel 3.

Fungsi utama dari Prototype aplikasi adalah:

1. Mampu mengolah data strategi objektif, KPI, dan target

kinerja berbasiskan Perspektif yang ditentukan. Fitur ini

didetilkan sebagai berikut:

a. Aktivasi strategi objektif, dan KPI,

b. Penambahan data strategi objektif, KPI, dan target

kinerja,

c. Pengubahan data strategi objektif, KPI, dan target

kinerja,

d. Hapus data strategi objektif, KPI, dan target kinerja.

e. Pemberian bobot KPI,

2. Mengukur kinerja organisasi. Pada fitur ini, terdapat

beberapa fungsi diantaranya adalah sebagai berikut:

a. Impor data realisasi pencapaian target kinerja,

b. Menghitung perbandingan data realisasi dan target

kinerja,

c. Menentukan nilai kinerja tiap KPI

Use case diagram dari prototype aplikasi pengukuran

kinerja organisasi diuraikan dalam gambar 3 berikut:

Gambar 3: Usecase Diagram Aplikasi Pengukuran Kinerja

Page 179: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

170

Tabel 3: Indikator Kinerja Pengelola Perguruan Tinggi

Objective No Key Performance

Indikator (KPI)

Butir Borang

AIPT BAN-PT

Satuan untuk Pengukuran KPI

(Mekanisme penilaian dapat mengacu panduan penilaian AIPT BAN PT)

Relevance 1 Mutu Lulusan 3.2.2.1

3.2.2.2

3.1.11

3.1.12

Rata-rata masa studi lulusan. Rata-rata IPK lulusan.

Pencapaian prestasi mahasiswa di tingkat propinsi/ wilayah, nasional, dan internasional.

Upaya institusi untuk meningkatkan prestasi mahasiswa dalam bidang akademik dan

non-akademik.

2 Partisipasi lulusan di dunia kerja

3.2.3

Sistem evaluasi lulusan yang efektif, mencakup kebijakan dan strategi, keberadaan instrumen, monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjutnya.

Rasio keberhasilan lulusan sesuai dengan permintaan stakeholder.

Academic Atmosphere

3 Interaksi dosen dan mahasiswa dalam

pembelajaran

3.1.5.1

3.1.6

5.2.2

5.3.2

Rasio jumlah mahasiswa yang diterima terhadap jumlah mahasiswa yang ikut seleksi. Instrumen dan tata cara pengukuran kepuasan mahasiswa terhadap layanan

kemahasiswaan

Sistem pengendalian mutu pembelajaran diterapkan institusi termasuk proses monitoring, evaluasi, dan pemanfaatannya.

Sistem pengembangan suasana akademik yang kondusif bagi pebelajar untuk meraih

prestasi akademik yang maksimal.

4 Keterlibatan mahasiswa dalam

penelitian maupun

publikasi dosen

7.1.2

7.1.5

7.1.6

Jumlah penelitian dosen tetap selama tiga tahun terakhir. Karya dosen dan atau mahasiswa yang berupa paten/hak atas kekayaan intelektual

(HaKI)/karya yang mendapatkan penghargaan tingkat nasional/internasional.

Kebijakan dan upaya perguruan tinggi dalam menjamin keberlanjutan penelitian.

5 Sinergi civitas

akademika dalam

meningkatkan kepakaran

7.2.2

7.2.3

5.2.3

Jumlah kegiatan PkM dosen tetap selama tiga tahun terakhir.

Kebijakan dan upaya perguruan tinggi dalam menjamin keberlanjutan kegiatan PkM.

Pedoman pelaksanaan tridarma perguruan tinggi yang digunakan sebagai acuan bagi perencanaan dan pelaksanaan program tridarma unit dibawahnya, menjamin

terintegrasinya kegiatan penelitian dan PkM ke dalam proses pembelajaran.

6 Prestasi civitas

akademika 7.1.3

7.3.1

7.3.2

7.3.3

Jumlah artikel ilmiah yang dihasilkan oleh dosen tetap dalam tiga tahun terakhir.

Kebijakan, pengelolaan, dan monev oleh perguruan tinggi dalam kegiatan kerjasama untuk menjamin empat aspek berikut:

a. mutu kegiatan kerjasama, b. relevansi kegiatan kerjasama,

c. produktivitas kegiatan kerjasama,

d. keberlanjutan kegiatan kerjasama. Kegiatan kerjasama dengan instansi di dalam negeri dalam tiga tahun terakhir.

Kegiatan kerjasama dengan instansi di luar negeri dalam tiga tahun terakhir.

Internal

Management

7 Efektivitas tata

kelola 1.1

1.2

2.2

Kejelasan, kerealistikan, dan keterkaitan antar visi, misi, tujuan, dan sasaran Pengelola

Politeknik Strategi pencapaian sasaran dengan rentang waktu yang jelas dan didukung oleh

dokumen.

Karakteristik kepemimpinan yang efektif dalam kepemimpinan operasional, kepemimpinan organisasi, dan kepemimpinan publik.

8 Adanya system

pengendalian

internal dalam peng-

gunaan sumber daya

2.1 Perguruan tinggi memiliki tata pamong yang memungkinkan terlaksananya secara

konsisten prinsip-prinsip tata pamong, terutama yang terkait dengan pelaku tata

pamong (aktor) dan sistem ketatapamongan yang baik (kelembagaan, instrumen,

perangkat pendukung, kebijakan dan peraturan, serta kode etik).

9 Adanya mekanisme

dan perencanaan sumber daya yang

transparan

2.3.1

2.3.2

Sistem pengelolaan fungsional dan operasional perguruan tinggi mencakup fungsi

pengelolaan (planning, organizing, staffing, leading, dan controlling), yang dilaksanakan secara efektif untuk mewujudkan visi dan melaksanakan misi PT.

Perguruan tinggi memiliki analisis jabatan, deskripsi tugas, program peningkatan

kompetensi manajerial yang menjamin terjadinya proses pengelolaan yang efektif dan efisien di setiap unit kerja.

10 Tersedianya system

dan prosedur mutu bagi pelaksanaan

proses bisnis

organisasi yang transparan dan

akuntabel

2.4

2.3.4

2.3.5

Sistem penjaminan mutu perguruan tinggi yang mencakup kebijakan dan perangkat,

implementasi, monitoring dan evaluasi, serta tindak lanjutnya. Keberadaan dan keefektifan sistem audit internal, dilengkapi dengan kriteria dan

instrumen penilaian serta menggunakannya untuk mengukur kinerja setiap unit kerja,

serta diseminasi hasilnya. Keberadaan dan keefektifan sistem audit eksternal, dilengkapi dengan kriteria dan

instrumen penilaian serta menggunakannya untuk mengukur kinerja perguruan tinggi.

Sustainability 11 Sosialisasi dan pemahaman Visi

dan Misi Institusi

1.3 Sosialisasi visi, misi, tujuan, sasaran dan strategi pencapaian dan penggunaannya sebagai acuan dalam penyusunan rencana kerja institusi PT.

12 Efektivitas

penggunaan sumber daya keuangan

6.1.1

6.1.2

6.1.4

Dokumen pengelolaan dana yang mencakup perencanaan penerimaan, pengalokasian,

pelaporan, audit, monitoring dan evaluasi, serta pertanggungjawaban kepada pemangku kepentingan.

Mekanisme penetapan biaya pendidikan mahasiswa dengan mengikutsertakan semua

pemangku kepentingan internal. Persentase dana perguruan tinggi yang berasal dari mahasiswa (SPP dan dana lainnya)

Page 180: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

171

Objective No Key Performance

Indikator (KPI)

Butir Borang

AIPT BAN-PT

Satuan untuk Pengukuran KPI

(Mekanisme penilaian dapat mengacu panduan penilaian AIPT BAN PT)

6.1.6

6.1.7

6.1.8

Dana penelitian dalam tiga tahun terakhir.

Dana yang diperoleh dalam rangka pelayanan/pengabdian kepada masyarakat dalam tiga tahun terakhir.

Sistem monitoring dan evaluasi pendanaan internal untuk pemanfaatan dana yang lebih

efektif. transparan dan memenuhi aturan keuangan yang berlaku.

13 Efektivitas penggunaan sarana

dan prasarana pembelajaran

6.2.1

6.2.3

Sistem pengelolaan prasarana dan sarana berupa kebijakan, peraturan, dan pedoman/panduan untuk aspek:

(1) Pengembangan dan pencatatan, (2) Penetapan penggunaan, (3) Keamanan dan keselamatan penggunaan,

(4) Pemeliharaan/ perbaikan/kebersihan.

Kecukupan dan mutu prasarana yang dikelola perguruan tinggi.

14 Efektivitas

pengalokasian dan

pelibatan staf dalam

program Politeknik

4.1

Perguruan tinggi memiliki sistem pengelolaan sumber daya manusia yang mencakup

sub-sub sistem perencanaan, rekrutmen dan seleksi, orientasi dan penempatan

pegawai, pengembangan karir, penghargaan dan sanksi, remunerasi, pemberhentian

pegawai, yang transparan dan akuntabel berbasis pada meritokrasi, keadilan, dan kesejahteraan.

Efficiency 15 Penghematan

pemanfaatan sumber daya

2.1.2

6.2.7

6.3.1

6.3.2

6.3.3

6.3.4

Kelengkapan dan keefektifan struktur organisasi yang disesuaikan dengan kebutuhan

penyelenggaraan dan pengembangan perguruan tinggi yang bermutu. Penyediaan prasarana dan sarana pembelajaran terpusat untuk mendukung interaksi

akademik antara mahasiswa, dosen, pakar, dan nara sumber lainnya dalam kegiatan-

kegiatan pembelajaran dan aksesibilitasnya. Sistem informasi dan fasilitas yang digunakan perguruan tinggi dalam proses

pembelajaran.

Sistem informasi dan fasilitas yang digunakan perguruan tinggi dalam administrasi (akademik dan umum).

Sistem informasi untuk pengelolaan prasarana dan sarana yang transparan, akurat dan

cepat. Sistem pendukung pengambilan keputusan (decision support system) yang lengkap,

efektif, dan obyektif.

16 Produktivitas

Politeknik 5.3.2

4.2

4.6.2

7.3.4

7.3.5

Sistem pengembangan suasana akademik yang kondusif bagi pembelajar untuk meraih

prestasi akademik yang maksimal. Sistem monitoring dan evaluasi, serta rekam jejak kinerja dosen dan tenaga

kependidikan Pelaksanaan survei kepuasan dosen, pustakawan, laboran, teknisi, tenaga administrasi,

dan tenaga pendukung terhadap sistem pengelolaan sumber daya manusia.

Monitoring dan evaluasi pelaksanaan dan hasil kerja sama secara berkala. Manfaat dan kepuasan mitra kerja sama.

Page 181: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

172

Dengan memperhatikan dinamika data strategi objective,

KPI, target maupun realisasi kinerja dalam pengelolaan

Politeknik, maka pemodelan basis data hendaknya dapat

merepresentasikan kebutuhan proses yang diuraikan dalam

fungsi utama prototype aplikasi. Pemodelan data

konseptual diawali dengan melakukan identifikasi beberapa

entitas/object data yang akan dijadikan tempat

penyimpanan data. Entity-set tersebut dimodelkan

menggunakan 3 kelompok entity set berikut:

Referensi (penamaan diawali huruf R_) untuk

menunjukan Entity data acuan;

Master (penamaan diawali huruf M_) untuk

menunjukan data induk; dan

Transaction (penamaan diawali huruf T_) untuk

menyimpan data transaksi dengan periode modifikasi

data lebih sering dilakukan ;

Kelompok data yang akan diolah terdiri atas object data

berikut :

1. Perspektif pengukuran kinerja;

2. Strategi Objective ;

3. Key Performance Indikator (KPI) beserta;

4. Realisasi pencapaian KPI;

Setelah diperoleh object data di atas, maka dilakukan

pemodelan relationship (keterhubungan) antar object data

yang ada. Dalam memaknai keterhubungan ini diperlukan

adanya minimal dan maksimal keterhubungan anggota

himpunan dari object data untuk menentukan atribut kunci

dari setiap skema relasi pada model data fisik yang

diimplementasikan.

Dalam pemodelan prototype aplikasi pengukuran kinerja

ini, model dinamis yang cukup dominan harus dimodelkan

adalah keberadaan dimensi waktu, berubahnya bobot KPI,

berubahnya perhitungan/formulasi per indicator serta

berubahnya nilai target serta realisasi per indicator.

Kesemua hal tsb membawa dampak yang harus menjadi

pertimbangan pemodelan data yang dilakukan. Penyusun

mengusulkan adanya skema relasi Referensi dan Master

yang menjadi data Induk dari 4 kelompok object di atas,

kemudian aktivasi deskripsi data, serta nilai transaksi

berdasarkan satuan waktu tertentu disimpankan dalam

skema relasi transaksi yang relevan.

Dalam prototype aplikasi juga dimodelkan bahwa entry

data realisasi pengukuran indicator kinerja dientrykan

melalui proses import data sehingga meminimalkan tingkat

kesalahan entry data dan tidak membutuhkan waktu proses

yang lama. Import data dilakukan melalui file bertype CSV

dengan format dan susunan atribut yang dibakukan. Data

hasil proses import akan ditampung dalam skema relasi

bernama T_elementer yang kemudian akan memicu proses

perhitungan per indicator kinerja dengan melibatkan

operasi binary operand sesuai dengan id_kpi dari skema

relasi M_KPI. Hasil dari perhitungan per indicator kinerja

ini akan disimpankan dalam skema relasi T_Realisasi.

Proses evaluasi kinerja organisasi dilakukan dengan

membandingkan target dengan realisasi dari setiap id_KPI

yang telah didefinisikan. Agar hasil evaluasi kinerja

organisasi dapat lebih mudah dipahami, maka prototype

aplikasi akan menampilkan hasil evaluasi dengan

menggunakan unsur pewarnaan yang memaknai tingkat

ketercapaian per indicator yang dimiliki. Dengan demikian

jika ada indicator kinerja yang berada di bawah target maka

akan ditampilkan dalam warna yang mencolok, sehingga

pengambil keputusan diharapkan dapat memonitornya

dengan lebih focus dan seksama. Model data konseptual

dari prototype aplikasi pengukuran kinerja ini digambarkan

dalam gambar 4 di halaman berikut.

Gambar 4: Entity Relationship Diagram Aplikasi Pengukuran Kinerja

Page 182: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

173

6. KESIMPULAN

Pemanfaatan teknologi informasi dalam membantu kinerja

organisasi, sudah merupakan kebutuhan yang mendesak

terutama untuk melihat peluang dan informasi dari berbagai

sumber data untuk pengambilan keputusan oleh pihak

manajemen. Evaluasi dalam konteks manajemen terutama

digunakan untuk membantu memilih dan merancang

kegiatan yang akan datang. Evaluasi diperlukan untuk

melihat kesenjangan antara “harapan dan kenyataan”.

Hal yang sangat dipentingkan dalam semua kegiatan

evaluasi adalah kesempurnaan dan keakuratan data.

Evaluasi pada dasarnya merupakan kajian yang merupakan

kegiatan mencari faktor-faktor penyebab timbulnya

permasalahan, bukan hanya sekedar gejala yang tampak di

permukaan. Karena itu evaluasi merupakan kegiatan

diagnostik, menjelaskan interpretasi hasil analisis data dan

kesimpulan.

Dalam pelaksanaan Evaluasi Kinerja Organisasi dapat

dipilih pendekatan dan metode pengukuran yang sesuai

dengan karakteristik dari organisasi yang akan dievaluasi.

Evaluasi kinerja Pengelola Politeknik diawali dengan

memodelkan organisasi sebagai kumpulan elemen yang

saling berinteraksi dalam sebuah system pendidikan tinggi.

Keberadaan elemen internal dan eksternal dalam

pengelolaan Politeknik ditinjau berdasarkan key work

process yang didefinisikan dan mengacu pula model

konseptual model bisnis di lingkungan Perguruan Tinggi.

Strategi DIKTI dalam pengembangan Perguruan Tinggi

melalui RAISE+ masih relevan untuk digunakan sebagai

acuan evaluasi Pengelola Politeknik, dan untuk menentukan

indicator kinerja yang lebih terukur dapat digunakan

mekanisme penilaian untuk akreditasi institusi (AIPT) yang

dikeluarkan oleh Badan Akreditasi Nasional PT (BAN-PT).

Prototype aplikasi pengukuran kinerja organisasi pengelola

Politeknik dikembangkan dengan pendekatan pemrograman

berorientasi object dan pemodelan data relasional yang

mengacu pada requirement aplikasi hasil pemetaan 5

bidang kunci prestasi PT dengan borang AIPT BAN – PT.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Arie Halachmi, Geert Bouckaert, “Organizational

Performance and Measurement in the Public

Sector:Toward Service, Effort, and Accomplishment

Reporting”, Greenwood Publishing Group, 1996.

[2] Chakravarthy, B. S., "Measuring strategic

performance.", Strategic Management Journal 7: 437-

458, 1986.

[3] Dr. Miller's, “Assessing Organizational Performance

in Higher Education”, San Francisco, Jossey-Bass,

2007.

[4] http://alisadikinwear.wordpress.com/2012/05/

13/evaluasi-kinerja-organisasi/ , diakses pada tgl 7

Maret 2013;

[5] DIKTI (Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi,

Departemen Pendidikan Nasional), “Panduan

Penyusunan Proposal Program Hibah Kompetisi”,

April 2005, hal 3-4.

[6] AKRAM, AN, “Pre-post performance assessment of

privatization process in Pakistan”, International

Review of Business, vol. 5, pp. 70-86., 2009.

[7] Atkinson, A. A., J. H. Waterhouse and R. B. Wells, "A

stakeholder approach to strategic performance

measurement." , Sloan Management Review Spring:

25-37,1997.

Page 183: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

174

Pemrosesan Paralel Pada Model Komputasi Dokumen Ilmiah Elektronik

Setiadi Rachmat, Urip T. Setijohatmo

Jurusan Teknik Komputer dan Informatika, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : {setiadi,urip}@jtk.polban.ac.id

ABSTRAK

Telah bermunculan search engine baru atau optimasinya untuk mengantisipasi pertumbuhan jumlah dokumen pada Web

memungkinkan setiap orang untuk memperoleh informasi dalam bentuk dokumen elektronik lebih banyak. Untuk suatu koleksi

hasil pengumpulan dokumen berupa perpustakaan artikel ilmiah elektronik yang terdistribusi dibutuhkan search engine di

lingkungan intranet. Namun masih minimnya search engine di lingkungan intranet menjadi kendala dimana arsitekturnya dan

kebutuhannya berbeda dengan Web, sehingga memanfaatkan search engine untuk Web tidak efektif bila diimplementasikan di

lingkungan intranet. Pada perkembangan lainnya, teknologi perangkat keras sudah mencapai kemampuan sebuah desktop

dengan multicore. Dengan computing power yang semakin besar maka kebutuhan komputasi yang besar dapat dilakukan

secara paralel memanfaatkan multicore tersebut. Penelitian ini merupakan pengembangan search engine di lingkungan

intranet, khususnya meningkatkan kinerja dari perangkat lunak menjadi Sistem Layanan Dokumen yang berkemampuan

pemrosesan secara paralel menggunakan server multicore rakitan. Walaupun pada penelitian ini belum secara penuh

mendukung pemrosesan paralel namun merupakan langkah awal dimana pemrosesan paralel dilakukan terhadap model

pemrosesan yang mewakili prinsip komputasi sub proses yang berpotensi bottleneck yang memperlambat kinerja proses.

Penelitian ini telah menghasilkan suatu arsitektur perangkat keras server rakitan yang berkemampuan pemrosesan paralel

menggunakan middleware MPI (Message Passing Interface) dengan model komputasi paralel SPMD (Single Program

Multiple Data). Telah pula teridentifikasi bottleneck dan potensi pengembangan secara paralel dan diputuskan pemodelan

berupa perhitungan perkalian matrix. Percobaan telah dilakukan pada server hasil rakitan untuk menguji apakah hasil

pembangunan benar dengan kasus menghitung Phi. Adapun algoritma perkalian matrix paralel yang digunakan adalah shift-

and-compute dengan asumsi n berukuran perfect square.

Kata Kunci

Pemrosesan paralel, SPMD, message passing, MPI, multicore

1. PENDAHULUAN

Keberadaan World Wide Web merepresentasikan era

informasi. Menurut [2] lautan informasi ini mengandung

2.3 milyar dokumen digital dan para analis memprediksi

jumlah dokumen pada Web akan berkembang delapan kali

pada tahun 2000 - dan 100 kali pada dekade berikutnya. Hal

tersebut mendapat tanggapan dari peneliti Teknologi

Informasi (IT) dengan melakukan banyak penelitian yang

bertujuan untuk mengoptimalisasi search engine agar dapat

memperoleh suatu informasi yang tepat dan sesuai dengan

kebutuhan seseorang dari jumlah dokumen yang banyak.

Telah bermunculan search engine baru atau optimasinya

untuk mengantisipasi pertumbuhan jumlah dokumen pada

Web [3]. Kombinasi dari dua hal tersebut memungkinkan

setiap orang untuk memperoleh informasi dalam bentuk

dokumen elektronik sebanyak-banyaknya. Masalahnya

adalah semakin banyaknya dokumen yang terkumpul

(disimpan pada offline/standalone komputer atau intranet)

bukan berarti semakin mudah orang tersebut me-

retrieve/mendapatkan kembali dokumen yang dibutuhkan,

tetapi justru akan berdampak pada sulitnya pencarian

informasi yang spesifik pada suatu dokumen. Hal ini

disebabkan oleh masih minimnya search engine di

lingkungan offline/standalone dan intranet, dimana

arsitekturnya dan kebutuhannya berbeda dengan Web [4].

Sehingga memanfaatkan search engine untuk Web tidak

efektif bila diimplementasikan untuk lingkungan

offline/standalone dan intranet.

Pada perkembangan lainnya, teknologi perangkat keras

sudah mencapai kemampuan sebuah desktop dengan

multicore. Dengan kemampuan komputasi yang semakin

besar maka kebutuhan komputasi yang besar dapat

dilakukan secara paralel memanfaatkan multicore tersebut.

Kendala yang muncul adalah masih mahalnya harga

komputer dengan spesifikasi ini. Kendala ini dapat

ditangani dengan merakit sendiri komputer server ber-

arsitektur beberapa prosesor serial tunggal berkemampuan

pemrosesan paralel.

Atas dasar hal-hal tersebut, dapat dikembangkan suatu

mekanisme layanan dokumen dalam lingkungan intranet

yang berkemampuan pemrosesan paralel terdistribusi

menggunakan perangkat keras server komputasi rakitan.

Page 184: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

175

2. TINJAUAN PUSTAKA

Pada bagian ini akan dijabarkan pustaka-pustaka yang

relevan dengan penyelesaian masalah penelitian yang

dikelompokkan sebagai berikut:

Kebutuhan Search Engine

Seperti yang dijelaskan pada [2], dunia mengalami

pertumbuhan eksponensial informasi digital.

Pertumbuhan informasi ini didorong oleh percepatan

adopsi teknologi digital. Tumpukan statistik dari

berbagai sumber berbagi tema umum yaitu tingkat

pertumbuhan untuk informasi digital tak terbantahkan

dan sangat tinggi. Pada tahun 1995, lebih dari 90% dari

dokumen itu dalam bentuk kertas. Selama beberapa

tahun terakhir, bagaimanapun, telah terjadi penurunan

signifikan dalam jumlah dokumen kertas saja. Pada

tahun 2005, para analis memprediksi bahwa hanya 30%

dari dokumen akan tetap di atas kertas. Tren yang jelas

adalah bahwa hampir semua informasi dalam dunia

bisnis saat ini dimanipulasi, dimodifikasi, diproduksi

dan pindah dalam bentuk digital.

Sementara itu suatu statistik lain yang dipaparkan pada

[8] menyatakan bahwa sebuah studi yang dirilis baru-

baru ini mengkuantifikasi seberapa cepat alam semesta

digital berkembang.

Informasi dunia dua kali lipat setiap dua tahun, dengan

menakjubkan 1,8 zettabytes diciptakan dan direplikasi

pada tahun 2011, menurut IDC. Jumlah tersebut adalah

menyatakan informasi yang besar - sama dengan 1,8

triliun gigabyte tersimpan dalam 500 file kuadriliun.

Lautan informasi seperti itu membutuhkan dukungan

search engine. Seperti yang dijelaskan pada [3]

bermunculan search engine baru atau optimasinya untuk

mengantisipasi pertumbuhan jumlah dokumen pada

Web. Bahkan bermunculan organisasi yang membantu

pertumbuhan pemasaran mesin pencari.

Pengembangan Search Engine yang ada di

lingkungan Intranet [4]

Dengan fasilitas internet, setiap orang biasanya

mendapatkan dokumen yang dicarinya dengan cara

googling dan mengunduh yang kemudian dokumen

sebagai hasilnya disimpan masing-masing.

Masalahnya adalah semakin banyaknya dokumen

yang terkumpul (disimpan pada offline/standalone

komputer atau intranet) bukan berarti semakin

mudah orang tersebut me-retrieve/mendapatkan

kembali dokumen yang dibutuhkan, tetapi justru

akan berdampak pada sulitnya pencarian informasi

yang spesifik pada suatu dokumen. Hal ini

disebabkan oleh masih minimnya search engine di

lingkungan offline/standalone dan intranet, dimana

arsitekturnya dan kebutuhannya berbeda dengan

Web [9]. Sehingga memanfaatkan search engine

untuk Web tidak efektif bila diimplementasikan

untuk lingkungan offline/standalone dan intranet.

Sedangkan pada [4] membandingkan kinerja Google

dengan layanan basis data perpustakaan.

Perangkat Lunak Sistem Manajemen Dokumen yang

ada

Perangkat lunak System Manajemen Dokumen yang

ada [1] telah mencakup semua proses mulai dari

Akuisisi, Ekstraksi, Penyimpanan dan Retrieval,

namun dirasakan kinerjanya masih terbatas sehingga

perlu dikembangkan suatu system yang mampu

memaksimalkan resources yang dipunyai, multi

pemroses dan terdistribusi. Untuk kebutuhan

penelitian yang sedang dilakukan, perlu dianalisis

lebih detil perilaku semua sub proses sehingga selain

akan ditemukan hal-hal yang memperlambat kinerja,

juga pemilihan model proses paralel dalam

memanfaatkan semua resources

Tools Message Passing Interface MPI.

Semua program MPI harus mengikuti struktur

umum seperti berikut:

- Include MPI header file

- Deklarasi variabel

- Inisialisasi lingkungan MPI

- Melakukan komputasi dan pemanggilan komunikasi

MPI

- Menutup komunikasi MPI

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Analisis Kebutuhan Secara Umum

Dokumen yang menjadi perhatian merupakan dokumen

penelitian berformat pdf. Dengan fasilitas internet, dosen

setiap jurusan mendapatkan dokumen yang dicarinya

dengan cara googling dan mengunduh yang kemudian

dokumen sebagai hasilnya disimpan masing-masing.

Pembaca dokumen biasanya mengamati abstrak untuk

memastikan isinya sesuai atau tidak dengan yang dicarinya.

Bila sesuai dokumen dibaca, dan bila belum puas pembaca

ini akan mencari dokumen yang mirip. Intensitas yang

tinggi mengakibatkan penumpukan dokumen yang tidak

efisien, pengaksesan kembali yang sulit, dan sharing yang

belum dimungkinkan. Dari uraian di atas beberapa hal

requirement adalah sebagai berikut:

Ekstraksi dokumen penelitian. Ekstraksi adalah

mendapatkan kata/term yang terkandung dalam

dokumen. Selain memperhatikan aturan pembentukan

kata, juga section sebagai pemisah isi sebagai aturan

format penelitian.

Penyediaan mekanisme penyimpanan data yang

menghindari duplikasi, kemudahan akses dan

Page 185: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

176

memungkinkan sharing tanpa harus mengetahui posisi

fisik dokumen.

Penyediaan kemampuan (fitur) menentukan relevansi

terms pada dokumen dokumen.

Penyediaan kemampuan menentukan kemiripan

dokumen.

Penyediaan kemampuan query mendapatkan dokumen

sesuai istilah (terms) yang diinginkan.

Penyediaan kemampuan query mendapatkan dokumen

yang mirip dengan dokumen tertentu.

Gambar 1: Kebutuhan Sistem Pemrosesan Dokumen

3.2 Identifikasi Bottleneck dan Potensi Pemrosesan

Paralel

Proses yang terlibat adalah ekstraksi dari dokumen pdf

menjadi term-term, lalu proses membentuk inverted index,

dilanjutkan dengan proses menghitung bobot term dan

similaritas dokumen dan akhirnya adalah pemrosesan query

relevan dengan term query dan query dokumen yang mirip.

Gambar 2: Subsistem Ekstraksi Dokumen

Proses Ekstraksi Dokumen

Masalah ekstraksi terdiri dari beberapa subproses, yaitu:

tokenizing, verifikasi stopword dan stemming. Tujuan

dilakukannya parsing atau tepatnya tokenizing ini adalah

untuk mendapatkan term-term yang nantinya akan diindeks.

Sub proses Membaca Abstrak memproses sekitar 100

dokumen untuk masing-masing unit. Seperti diketahui

dalam mekanisme layanan dokumen setiap unit dipasang

satu server, sehingga setiap hari masing-masing unit

memproses hanya sekitar 100 yang diproses secara

bersamaan. Untuk cek double masing-masing dari 100

dokumen tersebut akan dicari padanannya pada basis data

berukuran ratusan ribu dokumen dimana bila ditemukan

berarti terdeteksi duplikasi (dokumen sudah ada). Proses ini

bila hanya menggunakan cek double membandingkan

abstrak saja hanya dapat dijalankan secara sequential satu

persatu setiap dokmen yang di-load dan dibandingkan

dengan ratusan ribu dokumen pada basis data. Maka sub

proses ini teridentifikasi merupakan bottleneck. Walaupun

untuk pengembangan yang sebenarnya subproses ini

berpotensi diperlakukan secara paralel dengan prinsip

SPMD (single program multiple data) dimana data dibagi

menjadi beberapa kumpulan yang setiap kumpulan diassign

subproses ini pada core tertentu menggunakan multiproses),

Dengan penambahan mekanisme cek double yang

dikembangkan sedemikian rupa (misal dari file size dan

penggunaan multithread pada multicore) secara signifikan

akan menaikkan kinerja system layanan dokumen.

Pada setiap server sub proses tokenizing, stemming, dan

filtering masing-masing memproses sekitar 100 dokumen

yang masing-masing mengandung rata-rata 7000-an term

sehari. Subproses tokenizing, stemming, dan filtering dapat

diperlakukan menggunakan multithread sehingga bukan

merupakan bottleneck (walaupun bisa dikembangkan

dengan memperlakukan sub proses ini secara paralel)

sehingga bukan termasuk kajian penelitian ini.

Sedangkan pada proses pembentukan Inverted Index,

ketika suatu term hasil tokenizing ingin didaftarkan pada

inverted index akan dicek terlebih dahulu sudah adakah di

daftar termnya. Kalau belum, daftarkan dan menetapkan

jumlah=1, bila sudah, jumlah term pada dokumen yang

dimaksud bertambah satu. Seperti diketahui, jumlah term

dalam suatu dokumen adalah banyak, dengan jumlah

dokumen yang bertambah maka jumlah term menjadi

semakin banyak pula. Untuk mempercepat proses tersebut

di atas dibutuhkan penstrukturan inverted index

menggunakan mekanisme pengindeksan. Dan untuk

keperluan ini digunakan binary search tree (BST).

Subproses ini dilakukan di server komputasi dan

merupakan langkah persiapan untuk menghitung bobot

dengan metode TF/IDF(term frequency–inverse document

frequency) dan similaritas dokumen dengan metode

LSA(Latent Semantic Analysis). Server komputasi

menerima kiriman dari setiap server lain dan

mengakumulasinya pada matrik term-dokumen yang

berstruktur inverted index. Subproses ini setiap

mengakumulasi worstcase adalah mendaftarkan (10) x(100

x 7000) term kedalam inverted index, dan ukuran tersebut

cukup besar sehingga berpotensi menjadi bottleneck. Oleh

karena itu sub proses ini diperlakukan sebagai pemrosesan

paralel dan termasuk kajian penelitian.

Proses Pembobotan Term dibutuhkan dalam menentukan

peringkat dokumen (document ranking) – pada operasi

pembobotan dokumen, dimana hal itu dilakukan untuk

mencari besarnya relevansi antara dokumen dengan query.

Page 186: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

177

Metode pembobotan term yang digunakan pada[4] adalah

TF-IDF. Bobot TF–IDF adalah suatu bobot yang sering

digunakan dalam information retrieval dan text mining.

Adapun rumus umum dari TF-IDF adalah sebagai berikut :

Wij = tfij × logN

n + 1 (1)

dimana

𝑊𝑖𝑗 = bobot kata term 𝑡𝑗 terhadap dokumen 𝑑𝑖

𝑡𝑓𝑖𝑗 = jumlah kemunculan kata / term 𝑡𝑗 dalam 𝑑𝑖

N = jumlah semua dokumen yang ada

n = jumlah dokumen yang mengandung kata / term 𝑡𝑗

Dari ilustrasi diperoleh kesimpulan bahwa sub proses ini

memerlukan dukungan mekanisme pemrosan paralel karena

akan memproses sel sejumlah sangat besar sel bobot. Oleh

karena itu sub proses hitung bobot dengan metode TF/IDF

berpotensi bottleneck dan memerlukan dukungan

mekanisme pemrosesan paralel. Lebih jauh menurut [8],

terdapat beberapa metode perhitungan similaritas semantik

dokumen. Salah satu dari metode yang ditinjau adalah LSA.

LSA melakukan singular value decomposition (SVD)

terhadap matrik yang sudah dibentuk. Matrik yang

direpresentasikan menggunakan SVD akan diuraikan

menjadi 3 (tiga) komponen matrik, yaitu matrik vektor

singular kiri, martik nilai singular, dan matrik vektor

singular kanan atau dapat dirumuskan sebagai berikut:

𝐴𝑚𝑛 = 𝑈𝑚𝑚 ∙ 𝑆𝑚𝑛 ∙ 𝑉𝑛𝑛𝑇 (2)

Salah satu keperluan penggunaan SVD yaitu dibutuhkan

pada pencarian nilai similarity untuk term dan dokumen

yang dilakukan melalui perkalian matrik U, S dan VT hasil

reduksi. Vektor baris digunakan untuk mencari nilai

similarity term dan vektor kolom untuk similarity dokumen.

Untuk pencarian dokumen similarity mengalikan matrik V

dengan S (V∙S) dan perhitungan vektor barisnya sebagai

nilai similaritynya. Sama seperti yang diilustrasikan pada

subproses pembobotan dengan TF/IDF, sub proses

menghitung similaritas dokumen ini berpotensi bottleneck

dan memerlukan dukungan mekanisme pemrosesan paralel.

Pada pemrosesan query, dua subproses yaitu pemrosesan

query relevansi dokumen mendapatkan dokumen yang

relevan dan query similaritas dokumen telah dijalankan

secara terdistribusi dan walaupun dapat dikembangkan

dengan dukungan mekanisme pemrosesan query, namun

bukan termasuk kajian penelitian ini karena bukan

merupakan bottleneck dimana mekanisme akses sudah

memanfaatkan dukungan indexing pada basis data dan

pemrosesan terdistribusi.

3.3 Pemodelan dan Spesifikasi Perilaku Komputasi

Paralel

Seperti yang telah dideskripsikan pada bagian sebelumnya

potensi dukungan mekanisme komputasi paralel diputuskan

dilakukan pada subproses pembentukan inverted index,

subproses menghitung bobot dengan metode TF/IDF dan

menghitung similaritas dokumen. Pemodelan yang

diputuskan adalah paralelisasi perkalian matrik dalam

rangka perhitungan SVD. Adapun arsitektur umum desain

sistem akan terdiri dari beberapa server yang masing-

masing mempunyai beberapa tugas berbeda (distributed

specific jobs) dengan komunikasi antar proses

menggunakan middleware ICE dan MPI.

Gambar 3: Arsitektur Umum

Arsitektur khusus yang menjadi kajian penelitian ini tidak

termasuk ICE di dalamnya. Secara pemrosesan non paralel,

ICE sudah digunakan jadi tidak akan dibahas lebih lanjut.

Dengan perkataan lain fokus penelitian ada pada Server

komputasi dimana kajian arsitektur perangkat lunak hanya

memperhatikan middleware MPI saja. Perangkat keras

dikomposisi dari 16 Core yang terhubung dengan bus.

Masing-masing CPU mempunyai memori lokal.

Server Komputasi

Gambar 4: Arsitektur Kajian

Gambar 5: Server Rakitan

Algoritma Paralel Perkalian Matrik

nloop=sqrt(n)

//Initial alignments

Baris ke i s/d n digeser kekiri sebanyak baris ke

Kolom ke i s/d n digeser keatas sebanyak kolom ke

Page 187: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

178

//Lakukan perkalian matrix

for(int i=0; i<nloop; i++) do begin

for(int j=0; j<nloop; j++) do begin

C2[i][j]=new Matrx(nloop);

C2[i][j].isi=PerkalianMatrix(A[i][j].isi,B[i][j].isi,nloop);

C[i][j].isi=PertambahanMatrix(C[i][j].isi,C2[i][j].isi, nloop);

endfor

endfor

// Alignment penggeseran selanjutnya dan perkalian matrik dilakukan

sebanyak sqrt(n)-1

for(int lup=1; lup<nloop; lup++) do begin

Setiap Baris Matrix A semua kolom digeser kekiri

Setiap Kolom Matrix B semua baris digeser keatas

// Lakukan perkalian matrix

for(int i=0; i<nloop; i++) do begin

for(int j=0; j<nloop; j++) do begin

C2[i][j]=new Matrx(nloop);

C2[i][j].isi=PerkalianMatrix(A[i][j].isi,B[i][j].isi,nloop);

C[i][j].isi=PertambahanMatrix(C[i][j].isi,C2[i][j].isi,

nloop);

endfor

endfor

endfor

3.4 Percobaan

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya,

model komputasi yang mewakili Sistem Layanan Dokumen

adalah pemrosesan matrik. Di sisi lain arsitektur komputer

rakitan paralel memiliki secara instrinsik kemampuan

bermodel SPMD. Oleh karena itu rancangan pengujian

yang akan dicobakan adalah berkenaan dengan operasi pada

matrik secara SPMD.

Rancangan Percobaan dan Hasil Percobaan

Pada perhitungan SVD terdapat perkalian suatu matrik 𝐴

dengan transposenya AT dan antara suatu matrik 𝐴 dengan

suatu matrik lain B. Sesuai dengan perkiraan jumlah rata-

rata pertambahan dokumen unik per unit setiap hari 10,

jumlah unit=5, dengan jumlah term unik masing-masing

dokumen=500, maka total pertambahan dokumen 50 dan

jumlah pertambahan term 25.000. Dari sisi perangkat keras

perlu diketahui sampai seberapa signifikan pertambahan

jumlah CPU mempengaruhi kinerja komputasi.

Untuk pengujian mesin server rakitan apakah dapat berjalan

normal, dilakukan dengan menggunakan perhitungan phi

pada 16 processor element (PE).

Gambar 6: Hasil Percobaan perhitungan phi dengan 16 PE

Dari hasil percobaan diketahui bahwa mesin server rakitan

berjalan sebagaimana yang direncanakan.

4. KESIMPULAN

Penelitian ini merupakan perbaikan kinerja waktu

pemrosesan dokumen dari penelitian sebelumnya [1] pada

server komputasi dari server tunggal menjadi multicore

berkemampuan pemrosesan paralel. Telah diimplementasi

perhitungan phi secara paralel dan perkalian matrix

berdimensi perfect square sebagai percobaan.

Permasalahan menghitung phi secara paralel adalah standar

yang biasa dilakukan sedangkan permasalahan perkalian

matrik dipilih untuk mewakili model komputasi dari

perhitungan pada server komputasi[1]. Pencapaian

penelitian saat ini adalah telah dilakukannya penyusunan

algoritma komputasi paralel, berhasil merakit dan

memverifikasi mesin paralel yang akan digunakan sebagai

server komputasi. Target selanjutnya adalah implementasi

algoritma komputasi paralel pada server komputasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

Sebagai ucapan terima kasih kami tujukan kepada pihak

UPPM yang telah menjembatani terlaksananya penelitian

ini, juga rekan dosen atas atmosfir penelitian yang

menginspirasi.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Urip T Setijohatmo, Setiadi Rachmat, Irwan Setiawan ,

Sistem Manajemen Dokumen: Pengorganisasian dan

Temu Kembali Dokumen Artikel Ilmiah Elektronik,

Proceeding Industrial Research Workshop dan Seminar

Nasional Sains Terapan (IRWNS) 2010, Politeknik

Negeri Bandung, Nopember 2010.

[2] [http://www.tdan.com/ view-articles/4917, 23 Maret

2013.

[3] http://www.articlesbase.com/business- articles/ sempo-

search-engine-marketing-301029.html, 23 Maret 2013.

[4] Jan Brophy, David Bawden, (2005) "Is Google enough?

Comparison of an internet search engine with academic

Page 188: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

179

library resources", Aslib Proceedings, Vol. 57 Iss: 6,

pp.498 - 512

[5] Brandon Pincombe, Comparison of human and latent

semantic analysis (LSA) judgments of pairwise

document similarities for a news corpus, Defence

Science and Technology Organisation Research Report

DSTO–RR–0278, 2004.

[6] Lee M. D., Pincombe B., & Welsh M., An empirical

evaluation of models of text document similarity, 27th

Annual Meeting of the Cognitive Science Society, 2005

[7] Thomas Hofmann, Information Retrieval- Retrieval

Models, Lecture 5 – October 24th, 2007.

[8] http://www.infodocket.com/2011/06/28/statistics-daily-

deluge-of-digital-data-expected-to-get-even-worse/, 2

September 2013.

[9] http://www.nngroup.com/articles/the-difference-

between-intranet-and-internet-design/, 23 Maret 2013.

Page 189: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

180

Analisis Performansi Marmoset Untuk Penilaian Pemrograman

Joe Lian Min, Ani Rahmani, dan Bambang Wisnuadhi

Jurusan Teknik Komputer dan Informatika, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012

E-mail : [email protected], [email protected], [email protected]

ABSTRAK

Teknologi autograding saat ini telah berkembang, khususnya digunakan dalam kompetisi pemrograman. Marmoset

merupakan sistem autograding open source, yang telah digunakan di Maryland University untuk mendukung pengajaran

pemrograman. Penelitian ini dimaksudkan untuk mengetahui performansi konfigurasi server, jika Marmoset digunakan untuk

menilai sejumlah program dari sejumlah user secara otomatis, untuk jenis soal yang didefinisikan. Telaah performansi suatu

konfigurasi server perlu dilakukan agar implementasi sistem autograding dapat stabil untuk mengeksekusi sejumlah program.

Diharapkan, dengan mengetahui performansi sebuah konfigurasi, dapat dimanfaatkan untuk menyiapkan instrumen

pembelajaran pemrograman secara formal, maupun latihan untuk persiapan kompetisi. Soal untuk uji coba digunakan 3

program, yang tipikal digunakan dalam pengajaran pemrograman dasar. Uji coba dilakukan dengan melibatkan 50-500 user.

Analisis performansi difokuskan untuk melihat respon time pada setiap konfigurasi. Hardware untuk uji coba digunakan 1

komputer sebagai submit server (untuk menerima) dan 3 komputer build server (untuk mengeksekusi). Komputer yang

difungsikan sebagai build server, dapat menjalankan 2 proses build server. Kesimpulan dari penelitian ini adalah terjadi

penurunan respon time yang besar ketika jumlah user bertambah disebabkan oleh overhead yang diakibatkan oleh submit

server dan/atau build server. Penurunan performansi terjadi lebih besar pada konfigurasi 6 build server dibanding dengan 2

build server. Hal ini disebabkan karena request job dari build server meningkat, sehingga respon time dari submit server

menurun secara signifikan.

Kata Kunci

Teknologi autograding, submit server, build server, pemrograman, analisis performansi, respon time

1. PENDAHULUAN

Aktivitas pemrograman, di samping merupakan aktivitas

wajib bagi pelajar / mahasiswa bidang Teknologi Informasi

(TI), kini telah memiliki makna “entertain” tersendiri, yang

mampu menyedot perhatian masyarakat. Berbagai event

diselenggarakan dalam rangka menumbuhkan minat

masyarakat dalam dunia pemrograman.

Pemrograman merupakan aktifitas intelektual yang

kompleks dan merupakan keterampilan utama bagi

mahasiswa tahun pertama bidang TI [1]. Memiliki skill

motorik dan praktis pemrograman sama pentingnya dengan

pemaham-an terhadap konsep, karena pemrograman

merupakan keterampilan intelektual yang menun-tut

keseimbangan teori dan praktis. Pengajaran pemrograman

akan sangat abstrak dan sulit ditangkap jika siswa hanya

dihadapkan pada konsep-konsep tanpa pernah bermain

dengan komputer dan pemroses bahasanya [2].

Untuk menunjang kegiatan pembelajaran dan latihan

pemrograman, diperlukan suatu instrumen yang

mendukung, misalnya dengan adanya sejumlah soal latihan

yang dapat men-drill siswa untuk secara terus menerus dan

mandiri berlatih memrogram. Masalahnya adalah latihan

dan pekerjaan siswa perlu dievaluasi, karena salah satu

aspek pengajaran adalah evaluasi dan penilaian. Suatu

proses penilaian yang baik dan juga cepat perlu dilakukan

untuk merespon pekerjan siswa, sehingga siswa dapat

segera mengetahui kualitas dari program yang telah

dibuatnya. Semakin cepat siswa mengetahui „kesalahan‟

atau „kekurangan‟ dari program yang dibuatnya, semakin

cepat pula siswa dapat memperbaikinya, sehingga solusi

yang diberikan dapat lebih cepat pula disempurnakan.

Namun terdapat masalah dalam penilaian tugas

pemrograman yaitu bahwa proses penilaian bukanlah hal

yang mudah dan sederhana, memerlukan waktu yang tidak

sebentar, serta menuntut dilakukannya tahapan yang

mungkin dapat membosankan yaitu pada saat

mengompilasi dan menguji kebenaran dari program

tersebut [3], serta memberi umpan balik secepat mungkin

terhadap hasil kerja siswa [4].

Sejauh ini, software yang dapat digunakan untuk proses

evaluasi secara otomatis telah banyak beredar dan telah siap

digunakan. Satu permasalahan penting yang diteliti pada

penelitian ini adalah sejauh mana performansi sistem

autograding.

Penelitian ini dilakukan untuk menelaah penerapan tools

autograding Marmoset dalam mengevaluasi sejumlah

program, dengan berbagai sistem konfigurasi hardware.

Untuk uji coba digunakan soal yang tipikal digunakan

dalam pengajaran pemrograman dasar, dan bahasa

pemrograman yang digunakan untuk uji coba adalah bahasa

Java.

Page 190: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

181

2. SISTEM MARMOSET

Marmoset adalah framework yang dapat diguna-kan untuk

melakukan penilaian otomatis terhadap program.

Framework ini juga dapat menyimpan tugas yang telah

dikerjakan dan pengajar dapat melihat peningkatan

kemampuan siswa.

Marmoset telah digunakan untuk menguji tugas

pemrograman siswa dan me-reviu source codedi University

of Maryland. Marmoset dapat digunakan untuk beberapa

bahasa pemrograman, dan dirancang untuk bekerja dengan

baik dengan skala proyek kecil maupun besar, hingga

puluhan ribu baris kode.

Alur kerja Marmoset dapat dilihat pada gambar 1 dan

arsitektur Marmoset pada gambar 2. Tujuan dari proyek

Marmoset ada dua yaitu untuk meningkatkan pengalaman

belajar program untuk siswa dan untuk mempelajari

bagaimana siswa belajar program. Dalam memenuhi tujuan

tersebut, Marmoset dapat memberikan keuntung-an yakni

untuk memotivasi siswa serta untuk tujuan pedagogik bagi

pengajar. Secara khusus, Marmoset dapat memberikan

siswa dan pengajar umpan balik awal dalam proses belajar,

sehingga dapat mendorong siswa untuk menggunakan

pengujian untuk menemukan bug dalam program mereka.

Sistem Marmoset juga dapat menangkap snapshot dari

pekerjaan siswa setiap kali mereka menyimpan programnya

[5].

Gambar 1: Mekanisme Marmoset [5]

Kemampuan Marmoset dalam menilai, didasar-kan pada

source code yang di-submit oleh siswa, untuk selanjutnya

diuji berdasarkan input-output menggunakan program

testcase yang telah disiapkan

Marmoset dijalankan di dalam sebuah webserver dan

servlet container yang bernama Apache Tomcat. Untuk

mengakses sistem Marmoset terbagi menjadi 3 user, yaitu

admin, instructor, dan student.

Marmoset memiliki 2 jenis server, yaitu Submit Server dan

Build server. Submit Server berfungsi untuk menerima dan

menyimpan Project atau source code yang di-submit oleh

student, sedangkan Build Server berfungsi untuk build

Project dan test cases dari Project yang akan diujiserta

eksekusi test case(untuk selanjutnya akan disebut job).

Build Server akan secara aktif me-request kepada submit

server sebuah job, kemudian mengeksekusi job itu serta

melaporkan hasil eksekusi job ke submit server.

Gambar 2: Arsitektur Marmoset [5]

3. METODE

Terdapat 6 kegiatan yang dilaksanakan pada penelitian ini,

yaitu penentuan soal untuk studi kasus, eksplorasi

teknologi, pendefinisian jumlah user, pelaksanaan uji coba,

evaluasi terhadap hasil uji coba, dan penarikan kesimpulan.

3.1 Penentuan Program untuk Studi Kasus

Program untuk studi kasus disiapkan 3 buah soal, yang

dipilih atas pertimbangan bahwa soal tersebut sering

dijadikan bahan latihan dalam pengajaran pemrograman

dasar (Tabel 2).

Tabel 2: Karakteristik Program untuk Uji Coba No

Program

Jumlah

modul

Jumlah

pencabangan

Jenis

perulangan

Jumlah

baris

1 1 Tidak bersarang 2

tidak bersarang,

2 blok

33

2 1 Bersarang 1 blok

Bersarang,

1 blok

31

3 3 Tidak

bersarang 2

blok

Bersarang

3 blok

43

Soal untuk uji coba yang digunakan adalah mencari faktor

dari sebuah bilangan (Program-1), membuat deret fibonaci

(Program-2), dan studi kasus sorting dengan bubble,

selection, dan insertion sort (Program-3).

3.2 Eksplorasi Teknologi Marmoset

Teknologi autograding yang digunakan adalah Marmoset.

Kegiatan eksplorasi dilakukan untuk mengenali

kemampuan Marmoset, khususnya dalam melakukan

penilaian terhadap program. Kegiatan eksplorasi, dimulai

dari download software Marmoset, instalasi software pada

serverdan memahami interaksi antara submit server dan

build server.

Karena penelitian difokuskan untuk melihat respon time

Marmoset sebagai server dalam mengeksekusi sejumlah

Page 191: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

182

program, maka dilakukan juga eksplorasi untuk mencoba

menggabungkan lebih dari 1 komputer sebagai server.

3.3 Pendefinisian Jumlah User untuk Eksperimen

Jumlah user yang dicobakan dalam eksperimen ini adalah

50, 100, 250, 350, dan 500 user. Pada penelitian ini, user

yang dilibatkan bukan user sesungguhnya melainkan

sebuah program yang mengemulasikan pengguna

sesungguhnya. Penggunaan program emulasi ini untuk

mengefisienkan uji coba dan dipandang tidak akan

memengaruhi kualitas percobaan yang dilakukan.

3.4 Perancangan Konfirgurasi Server

Hardware untuk server digunakan hardware yang tersedia

di Jurusan Teknik Komputer dan Informatika Polban (tidak

digunakan di lab). Beberapa komputer dicoba untuk

digabungkan sehingga menjadi satu set server yang dapat

mengeksekusi sejumlah program. Pengamatan dilakukan

untuk mengetahui waktu eksekusi (respon time) terhadap

sejumlah program, pada setiap program.

Konfigurasi server disesuaikan dengan ketersediaan

hardware yang dapat digunakan. Dalam hal ini ada 4

komputer yang dijadikan server, yakni 1 untuk submit

server, dan 3 untuk

build server. Setiap komputer yang berperan sebagai build

server, difungsikan sebagai 2 build server (sistem

Marmoset memungkinkan lebih dari 1 build server dapat

difungsikan dalam 1 komputer)

Dalam pelaksanaan uji coba, server yang digunakan

memiliki konfigurasi seperti terlihat pada Tabel3. Domain

ss.jtk.polban.ac.id adalah submit server, dan tiga server

lainnya sebagai build server yakni bs1.jtk.polban.ac.id,

bs2.jtk.polban.ac.id, dan bs3.jtk.polban.ac.id.

3. 5 Analisis terhadap Hasil Uji Coba

Pengamatan dilakukan terhadap hasil uji coba. Objek yang

diamati adalah waktu yang diperlukan (respon time) untuk

mengeksekusi seluruh program konfigurasi server yang

digunakan, untuk setiap kategori soal pada setiap kelompok

user.

Tabel 3: Daftar Spesifikasi Server yang Digunakan

No Initial Processor RAM OS Fungsi

1 SS –

(submit server)

Intel Pentium

Dual CPU 1.60GHz

992.9

MiB

ubuntu 11.04

desktop i386

submit

server

2 BS1 (build

server1)

Intel Pentium

Dual CPU

1.60GHz

992.9

MiB

ubuntu 11.04

desktop i386

build

server

3 BS2

(build

server2)

Intel Pentium

Dual CPU

2.80GHz

1.7Gi

B

ubuntu 11.04

desktop i386

build

server

4 BS3

(build server3)

Intel Pentium

Dual CPU 2.80GHz

748M

B

ubuntu 11.04

desktop i386

build

server

4. HASIL DAN DISKUSI

4.1 Hasil Uji Coba

Setiap kali user melakukan submit tugas, Marmoset akan

mencatatkan waktu submit (ts). Pencatatan waktu akan

dilakukan lagi ketika build server menyerahkan hasil

eksekusi(th) kepada submit server. Pada penelitian ini,

respon time diukur dari selisih dua waktu di atas(th-ts).

Perhitungan waktu rata-rata eksesuksi n user dihitung

dengan merata-ratakan respon time dari n user. Hasil

perhitungan waktu rata-rata eksekusi 50-350 user untuk

program-1, program-2, dan program-3, diperlihatkan pada

Tabel 4.

Kolom jumlah user menunjukkan jumlah user yang berhasil

diujicobakan, yaitu dari 50 sampai 350 user.

Pada kolom berikutnya, adalah waktu rata-rata eksekusi

sebuah job Program-1 ketika menggunakan 2 buah BS.

Ketika pengguna berjumlah 50, rata-rata eksekusi Program-

1 pada 2 buah BS adalah 102 detik, sedangkan ketika

menggunakan 6 buah BS, rata-rata waktu eksekusinya

adalah 12 detik. Demikian seterus-nya untuk Program-1,

Program-2 dan Program-3. Adapun kolom Rata-rata adalah

perhitungan rata-rata eksekusi program-1, program-2 dan

program-3 pada 2 BS dan 6 BS.

Pada eksperimen dilakukan juga dengan jumlah user

sebesar 500. Namun sampai 3 jam, proses tidak selesai

(server tidak mampu mengeksekusi hingga waktu 3 jam)

4.2 Analisis

Analisis dibagi menjadi 2 bagian, pertama adalah analisis

performansi pada saat penambahan user dan yang kedua

adalah analisis pembandingan performansi antara 2 dan 4

build server.

Tabel 4: Waktu Eksekusi Autograding 3 Program pada 2

BS dan 6 BS (detik) Jumlah

user Program1 Program2 Program3 Rata-rata

2

BS

6

BS

2

BS

6

BS

2

BS

6

BS 2 BS 6 BS

50 102 12 103 10 82 10 95.67 10.67

100 150 19 175 20 165 19 163.33 19.33

200 289 41 286 43 209 44 261.33 42.67

350 504 109 504 118 273 72 427.00 99.67

4.2.1 Performansi/Stabilitas ketika Penam-bahan User

Analisis ini diawali dengan grafik seperti pada gambar 3

dan 4 yang merupakan representasi tabel 4 dalam bentuk

grafik. Waktu eksekusi program ketika dijalankan secara

stand-alone adalah sekitar 1.5 detik untuk masing-masing

Page 192: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

183

program. Analisis waktu eksekusi 50 buah program-1

dengan 6 BS adalah : setiap BS akan mengerjakan 8-9 jobs.

Dari tabel 4 dapat dilihat waktu rata-rata eksekusinya

adalah 12 detik, sehingga waktu total tiap BS bekerja

adalah 8 job * 12 detik/job = 96 detik. Waktu proses

eksekusi antrian dengan n job dan tiap job-nya memerlukan

waktu t merupakan perhitungan jumlah suku ke-n dari deret

aritmatika dengan nilai awal t dan beda t juga. Rumus dari

jumlah suku ke-n deret aritmatika adalah 1/2n(2a+(n-1)b);

n:jumlah suku, a: nilai awal dan b: beda. Dengan

mengaplikasikan rumus ini, didapat nilai waktu proses tiap

job sebesar 2.64 detik. Terlihat ada waktu overhead sebesar

1.14 detik. Dengan cara perhitungan yang sama, ketika 350

job diselesaikan dengan 6 BS, diperoleh waktu overhead

sebesar 2.1 detik. Jika dibandingkan antara 50 job dan 350

job, ada kenaikan waktu overhead sebesar 90%. Jika sistem

stabil, waktu overhead tidak akan berubah banyak. Waktu

overhead ini adalah kontribusi dari submit server dan/atau

build server.

Ketidakstabilan muncul ketika jumlah user 500, ini ditandai

dengan tidak dapat diselesaikannya pengolahan hingga

waktu telah lebih dari 3 jam.

4.2.2 Perbandingan Performansi 2 dan 6 Build Server

Pada gambar 5 ditunjukkan perbandingan rata-rata respon

time 3 program antara 2 build server dan 6 build server.

Seperti telah dijelaskan sebelumnya, tiap komputer build

server menjalankan 2 buah proses build server. Pertama

akan dibahas perbandingan potensi power yang dimiliki

oleh masing-masing konfigurasi. Komputer-komputer yang

digunakan pada eksperimen ini adalah Intel Pentium Dual

Core dengan 2 jenis clock, yaitu 1.6GHz dan 2.8GHz dan

besaran RAM yang berbeda-beda namun semuanya lebih

besar dari 512MByte. Mengingat 2 buah build server

memakan sekitar 100Mbyte, perbedaan besaran RAM

diabaikan. Pada konfigurasi 2 build server, komputer yang

digunakan adalah 1 komputer yang 1.6 GHz, sedangkan

pada konfigurasi 6 build server adalah 1 komputer yang 1.6

GHz dan 2 komputer yang 2.8 GHz. Pembandingan potensi

power masing-masing core yg 2.8GHz dan 1.6GHz adalah

1.75. Dengan pendekatan bahwa 1.6GHz jadi satuan,

perbandingan potensi power 6 BS dan 2 BS adalah 1.75 * 2

core/computer *2komputer + 1*2 core = 9. Pada gambar 5

dapat dilihat ketika jumlah user 50, perbandingan antara 6

BS dan 2 BS adalah 8.9 (mendekati hitungan ideal). Namun

seiring dengan meningkatnya jumlah user, terjadi

penurunan yang cukup tajam. Ini sejalan dengan analisis

sebelumnya, yaitu pada 6 BS antara jumlah pengguna 50

dan 350 terjadi peningkatan overhead sebesar 90%.

Penyebab dari penurunan ini adalah di sisi submit server.

Ketika request job dari build server meningkat, terjadi

penurunan respon time yang signifikan dari submit server.

Gambar 3: Waktu Eksekusi Soal1-Soal3 pada 2 BS dan 6 BS

Gambar 4: Rata-rata Waktu Eksekusi 3 Soal pada 2 BS dan 6 BS

Gambar 5: Perbandingan Performansi antara 2 BS dan 6 BS

5. KESIMPULAN

Dari pembahasan di atas, dapat disimpulkan beberapa hal

berikut:

1. Penurunan respon time yang besar ketika jumlah

pengguna bertambah disebabkan oleh overhead yang

diakibatkan oleh submit server dan/atau build server.

2. Terjadi penurunan performansi yang lebih besar pada

konfigurasi 6 build server dibandingkan dengan 2 build

server. Penyebab dari penurunan ini adalah request job

dari build server meningkat, sehingga respon time dari

submit server menurun secara signifikan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih, kami sampaikan kepada mahasiswa

Jurusan Teknik Komputer dan Informatika - Polban, yang

telah bersama-sama mengeksplorasi Marmoset, sehingga

penelitian dapat berjalan dengan baik.

0

200

400

600

0 200 400

Total Waktu (Detik)

Jumlah User (Orang)

Soal 1, 2 BS

Soal 2 2 BS

Soal 3 2 BS

Soal 1, 6 BS

Soal 2 6 BS

Soal 3 6 BS

0,00

100,00

200,00

300,00

400,00

500,00

0 100 200 300 400

Total Waktu(Detik)

Jumlah User (Orang)

2 BS

6 BS

0

1

2

3

4

5

6

7

8

9

10

50 100 200 350

Perbandingan

Performance

Jumlah User (Orang)

Page 193: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

184

DAFTAR PUSTAKA

[1] Troug,N., Roe,P., dan Peter Bancroft,P, “Static

Analysis of Students Java Program”, Proceeding. The

Sixth Australian Computing Education Conference

(ACE2004)

[2] Liem, I, “Aspek Pedagogi Pengajaran Pemrograman”,

Depdiknas RI, 2004.

[3] Patil, A, “Automatic Grading of Programming

Assignments.” Master‟s Projects. Paper 51. San Jose

State University, 2010.

[4] Harris, JA., Elizabeth S.Adams,. dan Harris, NA,”

Making Program Grading Easier (but not Totally

Automatic)”. A paper at James Madison University,

2003.

[5] Spaco, J, N. Padua-Perez, F. Emad, J.k.

Hollingsworth, W. Pug, dan D. Hovemever,

“Experiences with Marmoset”, University of

Maryland, 2005.

Page 194: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

185

Pemodelan Impak Test dengan Metode Charpy

Agus Sifa(1

, Tito Endarmawan(2

Jurusan Teknik Mesin Politeknik Indramayu

Jl Lohbener Lama No.08 Lohbener-Indramayu 1Email: [email protected]

2Email:[email protected]

ABSTRAK

Dengan mengetahui tingkat ketangguhan material, maka tentunya dapat memperkirakan kemampuannya dalam menerima

energi tumbukan yang diberikan secara tiba-tiba sehingga dapat mematahkan suatu material, pemodelan material pengujian

dengan metode charpy untuk mengetahui energi tumbukan yang diterima Alumunium paduan 2024 dengan perhitungan secara

finite element. Hasil simulasi dapat diketahui perubahan nilai impak (K) pada countour element,dimana pada Node 9 dan 12

merupakan lokasi kritis terjadi crack akibat impak, dan terjadi pergeseran pada elemen sehingga material ini dapat dikatakan

ductile dan hasil dari pemodelan sesuai dengan hasil uji material Alumunium 2024.

Kata Kunci

Impact test, Charpy, Aluminum 2024

1. PENDAHULUAN

Gejala yang sering menjadi perhitungan untuk membangun

suatu konstruksi adalah kegetasan suatu material dan

ketangguhan material dalam menerima beban dinamis.

Ketangguhan (impak) merupakan ketahanan bahan terhadap

beban kejut. Inilah yang membedakan pengujian impak

dengan pengujian tarik dan kekerasan dimana pembebanan

dilakukan secara perlahan-lahan. Dengan mengetahui

tingkat ketangguhan material, maka tentunya kita dapat

memperkirakan kemampuannya dalam menerima energi

tumbukan yang diberikan secara tiba-tiba sehingga dapat

mematahkan suatu material.

Untuk mengurangi dan menghindari kemungkinan-

kemungkinan terburuk pada suatu konstruksi maka sebelum

menentukan material yang akan digunakan perlu diadakan

suatu pengujian awal untuk mengetahui ketangguhan

material yang akan digunakan dalam menahan beban kejut

sehingga diadakan pengujian impak. Untuk mengetahui

karakteristik material maka di lakukan analisis mengenai

fenomena pada dilakukan uji impak, uji impact dilakukan

dengan membuat suatu pemodelan secara finite element,

melalui pemodelan dengan menggunakan softwere

ABAQUS sehingga bisa mengetahui karakter material.

2. GAMBARAN UMUM

2.1 Impak Charpy

Metode impak charpy ini sampai sekarang banyak

digunakan di dunia industri untuk menguji material yang

digunakan untuk pembangunan kapal, jembatan dan

berbagai konstruksi lainnya[1].

Pada pengujian impak metode Charpy, pendulum diarahkan

pada bagian belakang takikan benda uji (spesimen). Benda

uji diletakkan horizontal pada penahan spesimen (anvil) dan

diberi pembebanan secara tiba-tiba dibelakang sisi takik

oleh pendulum.

Gambar 1: Pembebanan pada uji impak Charpy[3]

Dari persamaan rumus energi impak didapatkan besarnya

harga impak. Harga impak adalah energi yang diserap

spesimen persatuan luas. Luas yang dimaksud adalah luas

penampang spesimen dibawah takikan. Untuk menghitung

besarnya harga impak adalah sebagai berikut:

K = W/A Keterangan :

W = Energi yang diserap oleh specimen (Joule)

W1 = m.g.h

K = Harga impak (Joule/mm²)

A = Luas penampang spesimen dibawah

takikan (mm²)

2.2 Spesimen

Spesimen atau benda uji untuk pengujian impak metode

Charpy mempunyai dimensi 10 mm x 10 mm x 55 mm

diberi takikan (notch) tepat pada tengah spesimen.

Terdapat 3 macam bentuk takikan umtuk pengujian impak

metode Charpy, yaitu tipe V-notch, tipe U-notch dan tipe O-

Page 195: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

186

notch/keyhole. Untuk tipe V-notch, takikan V mempunyai

kedalaman 2 mm dengan sudut 45° dan jari-jari dasar 0,25

mm. [1]

Gambar 2: Tipe-tipe spesimen: type A (V-notch), type B

(Keyhole), type C (U-notch)[3]

Pada pengujian impak tipe Charpy, tipe patahan pada

spesimen saat dilakukan pengujian digolongkan menjadi 3,

yaitu:

1. Patahan getas (granular), patahan yang terjadi datar

tidak membentuk bidang pergeseran pada spesimen.

2. Patahan ulet (ductile), patahan yang terjadi membentuk

bidang pergeseran ditandai dengan permukaan patahan

yang berserat.

3. Patahan Campuran, merupakan kombinasi dua jenis

perpatahan diatas. [1]

2.3 Material

a. Komposisi

Tabel 1: Komposisi Alumunium 2024 Composition, %, Balance Aluminum

Typ

e

Si Cu Mn Mg Cr Z

n

N

i

Ti Othe

r

2024 - 4.4 0.6 1.5 - - - - -

b. Properties

Tabel 2: Properti Alumunium 2024

3. TUJUAN

Pemodelan dilakukan untuk validasi rancang bangun mesin

uji impak dengan menguji sampel material Alumunium

2024 dan untuk mengetahui karakterisitik dari material.

4. METODOLOGI

a. Uji Spesimen

Menguji specimen Alumunium 2024 dengan alat uji hasil

rancang bangun uji impak.

b. Pembuatan Model

Pembuatan model yang dilakukan dengan membuat part,

input properties, assigment area crack, meshing, run, output

berupa nilai K (J/s) dan deplacement.

Parameter dan hasil pengujian dikonfigurasikan dengan

pemodelan.

5. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dengan beban pendulum sebesar 16 Kg, jarak titik ayun

dengan titik pemukulan adalah 0,8m dengan sudut awal

pemukulan 120°. Besarnya kapasitas energi impak adalah

sebagai berikut:

W1 = m.g.h

= 16Kg . 9,81m/s² . l (1- Cos α)

= 156,96 N . 0,8m (1- Cos 120°)

= 188,356 N.m

W1 = 188,356 J

a. Part

Gambar 3: Part Specimen

Desain part yang dibuat memiliki dimensi 50 mm x 10mm

x10mm, dengan type specimen V notch.

b. Kondisi Initial

Gambar 4 : Mesh

Sebelum dilakukan simulasi finite element dengan software

ABAQUS, maka perlu dilakukan pembuatan mesh pada

part specimen, Tipe element yang digunakan C3D8R,

tampak pada Gambar 4.2 mesh yang telah dibuat pada part

dan area terjadinya crack.

Property Value Units

Elastic Modulus 7.3e+10 N/m2

Poissons Ratio 0.33 N/A

Shear Modulus 2.8e+10 N/m2

Density 2800 Kg/m3

Tensile Strength 186126000 N/m2

Yield Strength 75829100 N/m2

Thermal Expansive

Coefficient

2.3e-005 /K

Thermal Conductivity

140 W/(m.k)

F

Page 196: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

187

c. Result

Stress

Gambar 5:

Lokasi Stess VM

Tegangan VM yang terjadi pada saat pembebanan dengan

nilai kritis 32,09 MPa.

Gambar 6: Lokasi Stress 13

Tegangan pada orientasi 13 yang terjadi pada saat

pembebanan terjadi pada zona yang terjadi crack dengan

nilai kritis 2,692 MPa.

Gambar 7: Lokasi Stress 11

Tegangan pada orientasi 11yang terjadi pada lokasi crack

pembebanan dengan nilai antara -2,257 MPa sampai 3,76

MPa.

Diplacement

Gambar 8: Lokasi Diplacement

Tampak pada gambar diatas lokasi yang menunjukkan

terjadinya crack pada node 9 dan 12, dimana perubahan

diplacement 2,227e-08.

Gambar 9: Lokasi Diplacement

Tampak pada gambar diatas lokasi yang menunjukkan

terjadinya crack pada node 9 dan 12, dimana perubahan

diplacement pada orientasi 1 sebesar 3,314e-09.

Nilai Impak

Gambar 10: Hasil Uji Impak

Hasil pengujian impak material tampak pada gambar

menyatakan hasil tersebut ulet, dari hasil tersebut dijadikan

referensi untuk pemodelan specimen impak.

Nilai impak yang diketahui setelah dilakukan simulasi

dapat dilihat pada tabel berikut ;

Tabel 3: Perubahan Nilai Impak pada Node 9

Node 9 Node 9 Node 9

contour 1 Countour 2 Countour 3

K1 6,6950 K1 13,84 K1 17,71

K2 0,9952 K2 0,262 K2 -0,9804

K3 0,3924 K3 3,55E-01 K3 -1,044

Tabel 4: Perubahan Nilai Impak pada Node 12

Perubahan nilai impak pada setiap countour pada node 9

dan 12 mengalami penurunan nilai pada setiap perubahan

yang terjadi, dan dapat kita lihat pada gambar berikut;

Gambar 11: Lokasi patahan

patahan yang terjadi membentuk bidang pergeseran

ditandai dengan permukaan patahan yang berserat sehingga

material ini mengalami patahan ulet.

Node 12 Node 12 Node 12

Countour 1 Countour 2 Countour 3

K1 6,7100 K1 13,53 K1 17,67

K2 0,8621 K2 -0,2346 K2 -1,415

K3 -0,0189 K3

4,11E-

03 K3 2,03E-02

Page 197: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

188

6. KESIMPULAN

Tegangan dan regangan ada zona yang mengalami

perubahan crack awal atau kritis terdapat pada sisi

specimen paling luar terdapat pada Node 9 dan 12 , dimana

mengalami perubahan nilai impak pada setiap perubahan

countour, K maksimum sebesar 17,71 dan K minimum -

1,415 dan patahan yang terjadi pada material yang

digunakan ulet dan hasil tersebut sesuai dengan hasil uji

impak material.

UCAPAN TERIMAKASIH

Ucapan terima kasih kepada kepala Lab.Perancangan dan

Ketua Jurusan Teknik Mesin.

DAFTAR PUSTAKA

[1] W.Both, G.L.J.Van Vliet. 1984. Teknologi untuk

bangunan mesin bahan-bahan 1. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

[2] Budiyanto. 2013. Pengertian energi kinetik. Situs:

http://budisma.web.id.

[3] ASTM E23. 1982. Standard Test Methods for Notched

Bar Impact Testing of Methallic Materials.

[4] Mitchell,Brian S. 2004,An introduction to Materials

Engineering and Science for Chemical and Materials

Engineers, Department of Chemical Engineering,

Tulane University,A John Wiley & Sons, Inc.,

Publication.

[5] Anand Verma and Konchady Gopinath, 2011, Impact

Strength Comparison with Carburization Case Depth

Variation for Gear Steel by Instrumented Charpy, Izod

and Brugger Tests, Chaoyang University of

Technology, ISSN 1727-2394.

[6] Dana K. Morton Robert K. Blandford andSpencr D.

Snow. 2008, Impact Testing of Stainless Steel

Material at Cold Temperatures, ASME Pressure

Vessels and Piping Division Conference, Chicago,

PVP2008-61215.

[7] Library ABAQUS V.6.10.1 2011.

Page 198: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

189

Liquid holdup distribution and disturbance wave parameters in air-water

horizontal annular flow

Andriyanto Setyawan

1, Anam Bahrul

2, Indarto

2, Deendarlianto

2, Apip Badarudin

1, AP Edi

Sukamto1

1Department of Refrigeration and Air Conditioning Engineering, Bandung State Polytechnic, Bandung 40012

2Department of Mechanical and Industrial Engineering, Gadjah Mada University, Yogyakarta 55281

E-mail: [email protected] (corresponding author)

ABSTRACT

Annular flow is one of the important flow regimes commonly found in process, power plant, geothermal, nuclear, air

conditioning, and other industries employing two-phase flow. It is characterized by liquid film flowing on the wall and a gas

core containing liquid droplets. Liquid holdup and disturbance wave are key parameters in such flow. Therefore, it is useful to

observe its behavior for analyzing other parameters in horizontal annular flow.

The liquid holdup and wave parameters of horizontal air-water annular flow in 26 and 16-mm-diameter pipe were determined

using two flush-mounted CECM sensors, spaced 215 mm apart. The air and water superficial velocities were varied from 12 to

40 m/s and 0.05 to 0.2 m/s, respectively, and its effects were observed. The common phenomena of annular flow such as the

disturbance wave, ripple wave, wave velocity, wave number, wave coalescence, and wave deformation could be observed. The

mean liquid holdup was in the range of 0.04 to 0.15, indicating the gas dominant flow. It is also found that wave velocity

increase as the air and water superficial velocity increase. Similar to those of wave velocity, the wave number also increases

when the air and water superficial velocity increase.

Keywords Annular flow, liquid holdup, wave velocity, wave number, CECM

1. INTRODUCTION

Annular two-phase flow is easily found in many industrial

applications involving phase-change. This flow regime is

quite complex, for both vertical and horizontal orientation,

and it is characterized by liquid film on the wall and a gas

core containing liquid droplets. For horizontal orientation,

annular flow is characterized by the asymmetric distribution

of liquid film with thicker liquid flows along the bottom of

a tube than on the top, although the degree of asymmetry is

dependent on the mass flow rates of liquid and vapor [1].

The effect of gravity-induced drainage increases the

thickness of the liquid film on the bottom surface while

reducing it on the top surface. Similarly, the drops

concentration will be higher in the bottom part than in the

top of the pipe.

Considerable researches have been carried out over decades

on horizontal annular flow. However, theoretical modeling

of horizontal annular flow is generally less successful than

in those of vertical flow [2]. Few investigations have been

done on the flow mechanism of the annular flow in

pipelines and even the fundamental data is still lacking. As

a result, many important questions remain unanswered.

Perhaps the most significant issue associated with

horizontal annular flow is the mechanism by which the

liquid film forms on the walls of the conduit, especially on

the upper surface of pipe [3]. The main goal of this paper is,

therefore, to contribute the fundamental data concerning to

the liquid holdup and wave parameters in air-water

horizontal annular flow as important variables for

determining annular flow mechanism.

1.1 Models for Annular Flow

Several models have been proposed, and the most credible

and important among these are secondary flow, entrainment

and redeposition of droplets, wave spreading, and pumping

action due to disturbance wave.

The secondary flow mechanism [4] assumes that the

circumferential variation of the film thickness and

disturbance waves produces gas-liquid interfacial roughness

gradient around the circumference of the tube. As a result, a

two-vortex secondary flow in the gas phase normal to the

tube axis is created, which drives the liquid up along the

wall. Other experiments have also shown the existence of

such flows, [5,6,7]. However, the role of these flows in

liquid film circumferential distribution is still debated.

Entrainment and redeposition mechanism [8], suggests

that the drained liquid film on the upper wall is

continuously replenished by impacting liquid droplets from

the vapor core. The entrainment of droplets from the

bottom to the top of the tube is created by the variation in

the film thickness. Wave spreading mechanism [9],

suggests that when a disturbance wave travels through the

tube, it brings the liquid film in front of the wave up the

Page 199: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

190

tube walls, thus maintaining the film on the top of the tube.

The idea is that the disturbance waves travel faster along

the bottom of the tube than along the top. This will create a

plowing effect that drives liquid film upward immediately

in front of the wave. Pumping action due to a disturbance

wave [10], states that the gas flow over a disturbance wave

will produce a circumferential pressure gradient caused by

the variation of the wave height.

1.2 Liquid Holdup

Liquid holdup is defined as the fraction of an element of

pipe which is occupied by liquid

𝜂 =𝐴𝐿𝐴

(1)

In two-phase flow, it is necessary to be able to determine

liquid holdup to calculate such things as mixture density,

actual gas and liquid viscosities, effective viscosity and heat

transfer. The value of liquid holdup varies from zero for

single-phase gas flow to one for single phase liquid flow.

Liquid holdup may be measured experimentally by several

methods, such as resistivity or capacitance.

The relative volume of liquid and gas is sometimes

expressed in terms of the volume fraction occupied by gas,

called gas holdup or void fraction. It is expressed as:

𝛼 =𝐴𝐺𝐴

=𝐴 − 𝐴𝐿𝐴

= 1 − 𝜂 (2)

The value for liquid holdup is difficult to be calculated

analytically. It must be determined from empirical

correlations and is a function of variables such as gas and

liquid properties, flow pattern, pipe diameter, and

inclination. Liquid holdup equations are functions of

dimensionless liquid and gas velocity numbers in addition

to liquid viscosity number and angle of inclination.

2. CECM FOR HOLDUP MEASUREMENT

For measuring the liquid holdup, Fukano has developed a

constant electric current method (CECM) [11], in which the

constant electric current is applied from a pair of electrodes,

which will be referred to as the power electrodes, as shown

in Figure 1.

Figure 1: Basic idea of CECM.

The method was developed based on the conductance

method. It has been used for measuring liquid holdup and

film thickness in air-water annular flow in near horizontal

pipe [12].

The output of the conventional conductance method is

asymptotically increases with the increase in the film

thickness up to a certain value which is considerably small

compared with the distance between the sensor electrodes.

On the other hand, in the constant electric current method,

the output is fundamentally improved, and the distribution

of the electric current is uniform independent of the film

thickness and a quite good linearity of the output with the

film thickness is obtained.

The voltage drop at the sensor electrodes is fed to a high-

input amplifier, so that the constant current is not affected

by the presence of the sensor electrodes. The increase in

voltage drop with the increase in electrical resistance due to

the existence of gas phase is independent of the location of

gas in the pipe cross section. If the film thickness is very

thin, the electric resistance will be high with the current

source is kept at a constant value. It results in large voltage

drop. Therefore, the thinner the film, the larger the voltage

drop, the higher the sensor sensitivity, and the more

accurate the holdup measurement.

The interaction among sensor electrodes could be neglected

as the outputs are fed to high impedance amplifier. It means

that multiple sensors could be installed in a short distance

for simultaneous measurement of liquid holdup at any

different axially locations. In this case, only single power

source is needed. The other advantage of CECM is that the

sensors could be flush-mounted in duct or pipe. Therefore,

the two-phase flow is not disturbed by the existence of the

sensor electrodes.

3. WORKING PRINCIPLE

Due to the difference in conductivity of each component in

two-phase flow, the sensor will give combined conductance

of liquid and gas flowing in the pipe which can be

converted into liquid volume fraction in electric voltage.

The basic idea in designing the sensor is as follows: The

electric resistance of two-phase flow, RTP, in a unit length

of the channel is expressed as, 1

𝑅𝑇𝑃=

1−𝜂

𝑅𝐺+

1

𝑅𝐿 (3)

where RG and RL are the electric resistance of gas phase and

liquid phase alone occupies the whole cross-section of the

tube. The two-phase voltage drop is expressed in the unit

length (VTP) when a constant current I0 is supplied. As

RG>> RL, the holdup could be expressed as

𝜂 =𝑅𝐿

𝑅𝑇𝑃=

𝐼0𝑅𝐿

𝐼0𝑅𝑇𝑃=

𝑉𝐿

𝑉𝑇𝑃

(4)

where VL is the voltage drop when the liquid alone flows

with occupying the whole cross-section of the tube. If the

Amplifier

Constant current source

Nonconductive duct

Page 200: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

191

electrical resistance and voltage drop are expressed as RTP0

and VTP0 when the liquid holdup has the value of η0 and the

electric current has the same value as in (4), then the

following equation could be obtained:

𝜂0 =𝐼0𝑅𝐿

𝐼0𝑅𝑇𝑃 0=

𝑉𝐿

𝑉𝑇𝑃 0 (5)

Eliminating VL in equations (4) and (5) results in

𝜂𝑇𝑃 =𝐼0𝑅𝑇𝑃 0

𝐼0𝑅𝑇𝑃𝜂0 =

𝑉𝑇𝑃 0

𝑉𝑇𝑃𝜂0 (6)

If VTP is measured under the condition of known values of

η0,VL and VTP0, then the liquid holdup, η, could be

calculated with equation (6).

4. LIQUID HOLDUP AND WAVE INVESTIGATIONS

The measurements of liquid holdup were carried out in the

air-water horizontal flow rig shown schematically in Figure

2.

Figure 2: Experimental rig.

The test section is a 10 m long acrylic resin tube of 26 mm

ID. Air enters the test section at one end from a compressed

air supply. Water is injected through a porous tube wall

section. The liquid holdup was measured at a distance of

5.5 m from the porous mixer, thus giving a developing

length of 200 tube diameters. In view of the fact that water

entered through a porous wall section, it was felt that this

length was sufficient for the flow to be fully developed [5].

The range of liquid and gas superficial velocities are 0.05 to

0.2 m/s and 12 to 40 m/s, respectively. Under the

combinations of gas and liquid superficial velocities, the

flow regimes observed in this research are annular and

transition from wavy to annular if plotted in Mandhane map

(Figure 3).

Figure 3: Experimental matrix plotted in Mandhane map.

4. RESULTS AND DISCUSSION

The measurement of liquid holdup using CECM could be

used for analyzing some behaviors of annular flow. The

observed disturbance wave, ripple wave, wave

development, entrainment, wave breakup, and coalescence

are indications that the annular flow has been established

successfully.

4.1. Disturbance Wave and Ripple Wave

One of them is the existence of disturbance wave and ripple

wave in annular flow. Figure 4 shows such phenomena

compared to the visual observation using video camera.

Figure 4: Disturbance and ripple waves.

The ripple wave shown in Figure 4 could be captured by

CECM sensor as well as large disturbance wave. The wave

is identified when a liquid wave with high amplitude flows

through the sensor.

4.2 Wave Development and Entrainment

Other phenomenon observed in this experiment is wave

development and entrainment, as shown in Figure 5. The

transport of liquid film in the pipe wall could be traced

from the holdup signal. Figure 5 shows the change of wave

height measured by sensor 1 and 2. The peak of the wave

when sensed by sensor 2 is higher than those of sensor 1. It

Pompa

Flow Meter

Katup

Tangki Air

Katup

By-Pass

Mixer

Flow Meter

Katup

Regulator

Udara

Separator

Udara

air

ADC

Amplifier

Impedansi

Tinggi

+ -

Power Suplai

Arus Konstan

Kompressor

10000

xLampu

Layar

High Speed

Camera

Camera

Processor

PC

Ground

215 215 215 215 215215

Pompa Sirkulasi

0

0.05

0.1

0.15

0.2

0 0.1 0.2 0.3 0.4 0.5

ƞ(-

)

time (s)

ripple

disturbance wave

Page 201: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

192

means that the wave “grows” and the phenomenon is called

“wave development”. The reduction of wave height when it

is sensed by sensor 2 and then sensor 2 is a phenomenon

called “entrainment”, in which a portion of liquid in the

wave crest is entrained when high velocity of gas flows and

shear the gas-liquid interface at wave crest.

Figure 5: Wave development and entrainment.

4.3 Wave Coalescence and Breakup

It has been observed that disturbance waves tend to move

with constant velocity and that if faster wave overtakes a

slower wave, then the two waves coalesce and usually

continue with the speed of the faster wave. This

phenomenon is called wave coalescence. In the other hand,

the break of a large wave into smaller waves is also

observed in this experiment. This phenomenon is called

wave breakup. The coalescence and breakup of wave is

illustrated in Figure 6.

Figure 6: Wave coalescence and break up.

4.4. Wave Velocity

The signal sensed by the downstream sensor (sensor 2) is

delayed by several milliseconds compared to those of

sensor 1, depends on the velocity of the wave. If the time

delay and the distance between the sensors are known, then

the wave velocity could be calculated. To determine the

time delay, a cross correlation function is used. Figure 7

shows the result of cross-correlation function of holdup

signal sensed by sensor 1 and 2 for gas superficial velocity,

JG, of 12 m/s and liquid superficial velocity, JL, of 0.05 m/s.

From Figure 7, the cross correlation shows that time lag for

the holdup signal sensed by sensor 1 and 2 is 0.14 s. With

the sensors spaced 21.5 mm apart, then the wave velocity is

1.5 m/s. The wave velocity increases with the increasing of

gas superficial velocity. It could be described as follows: at

the higher the air velocity, the force that shear the gas-

liquid interface is also higher, resulting in higher liquid film

flowing in the pipe.

Figure 7: Cross-correlation function of holdup signal JG =

12 m/s and JL = 0.05 m/s.

The experiment of Jayanti et al. [5] with 32 mm ID pipe

showed that the wave velocity ranged from 1.9 to 4.5 m/s

for liquid superficial velocity of 0.08 – 0.145 m/s and gas

superficial velocity of 14 – 26 m/s. Using 50.8 mm ID pipe,

Paras and Karabelas [6] showed that the wave velocity was

in the range of 1.6 to 3.6 m/s for liquid superficial velocity

of 0.02 – 0.06 m/s and gas superficial velocity of 31 – 66

m/s. Figure 8 shows the comparison of wave velocity

obtained from this work and those obtained by [5] and [6].

Figure 8: Comparison of wave velocity obtained from this

work and those obtained by Fukano et al. (1983) and Paras

and Karabelas (1991).

Scubring and Shedd [13] have reported that the wave

velocity for horizontal annular flow is 2.4 to 6 m/s for their

experiment with 26.3 mm ID pipe using liquid superficial

velocity of 0.04 to 0.39 m/s and 32 to 91 m/s. For the

smaller pipe (8.8 and 15.1 mm), the wave velocities will be

higher.

4.5 Wave Frequency/Wave Number

The wave frequency or wave number could be determined

from the frequency corresponding to the largest peak of

0

1

2

3

4

5

6

0 10 20 30 40 50 60 70

Wav

eV

eloci

ty[m

/s]

JG [m/s]

0.05

0.1

0.2

This work:

JL [m/s]

Fukano et al. (1983), D=26mm, JL=0.2m/sJL=0.1m/sJL=0.06m/s

Page 202: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

193

power spectral density function. From Figure 9, it is shown

that wave frequency increases with increasing of gas

superficial velocity.

Paras and Karabelas [6] also stated that the higher gas

superficial velocity, the higher the wave number. However,

they showed that the wave number decreases with the

increasing of liquid superficial velocity. This is different

from the results of this work, in which the wave number

increases with the increase of liquid superficial velocity.

The effect of diameter on the wave frequency has also been

observed in this experiment. The pipe diameter has a

significant effect on the wave number, as could be seen in

Figure 10. It is shown that the smaller pipe gives the larger

wave number.

Figure 9: Wave frequency vs gas superficial velocity.

Figure 10: Effects of diameter and JG on the wave number.

Schubring and Shedd [14] reported that for pipe diameter

26.3 mm, the wave frequency ranges from 10 to 15 for the

same range of gas superficial velocity. However, when the

gas velocity is increased to 70 m/s, the wave number could

reach 40. For pipe diameter of 15.1 mm and the same range

of gas superficial velocity, the wave number ranges from

15-30, similar to those obtained from this work.

4.6 Liquid Holdup

The effect of diameter and gas superficial velocity on the

liquid holdup of horizontal annular flow is presented in

Figure 11. For liquid superficial velocity of 0.05 m/s and

pipe diameter of 16 mm, the liquid holdup ranges from

0.038 to 0.079. For 26 mm pipe, the liquid holdup ranges

from 0.011 to 0.041. Therefore, for the larger the diameter,

the liquid holdup will be smaller. If the liquid superficial

velocity is increased to 0.01 m/s, the maximum liquid

holdup for 16 mm and 26 mm pipes are 0.11 and 0.06,

respectively. If the liquid superficial velocity is further

increased to 0.2 m/s, the maximum liquid holdup are 0.15

and 0.09 for pipe diameter of 16 and 26 mm, respectively.

From the detail observation of Figure 11 it is shown that the

liquid superficial velocity affects the liquid holdup

significantly. For both diameters observed, the effect of

liquid superficial velocity is very clear at low gas

superficial velocity for 16 mm pipe. However, for 26 mm

pipe the strong correlation of liquid holdup and liquid

superficial velocity could be found in all range of gas

superficial velocity.

Figure 11: The effect of diameter and JG on the liquid

holdup.

0

5

10

15

20

25

0 10 20 30 40 50 60 70

Wav

e f

req

ue

ncy

JG [m/s]

JL=0.05 m/s

JL=1.0 m/s

JL=0.2 m/s

Paras, JL=0.06 m/s

Paras JL=0.09 m/s

Paras JL=0.2 m/s

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0 10 20 30 40 50

ƞ [-]

JG [m/s]

16 mm

26 mm

JL = 0.05 m/s

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0 10 20 30 40 50

ƞ [-]

JG [m/s]

16 mm

26 mm

JL = 0.1 m/s

0

0.02

0.04

0.06

0.08

0.1

0.12

0.14

0.16

0 10 20 30 40 50

ƞ [-]

JG [m/s]

16 mm

26 mm

JL = 0.2 m/s

Page 203: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

194

4.7 Visual Observations

The visual observations for this experiment were conducted

using Canon PowerShot 100 with recording speed of 250

frames per second and a resolution of 640 x 480 pixels. The

results of the visual observation are presented in figure 12

and 13.

Figure 12: Visual observation annular flow.

To observe the detailed behavior of annular flow through

visual observation, comparisons to other flow conditions

are needed. From Figure 12, the annular flow could be

observed through the existence of asymmetric liquid film

due to gravity effect flowing in the pipe wall, disturbance

wave, ripple wave, top layer of liquid film, and gas core

flowing in the center of pipe.

At low gas and liquid superficial velocity (JG = 12 m/s and

JL = 0.05 m/s), the liquid film flows in a relative low

velocity (Figure 13, top) and the interface of gas and liquid

is rough. If the gas superficial velocity is increased to 25

m/s, the interface will be smoother (middle). Further

increase of gas superficial velocity to 40 m/s will give the

much smoother interface (bottom).

Figure 13: Flow at JL = 0.05 and JG = 12 (top), JG = 25 m/s

(middle), JG = 40 (bottom)

It indicates that the thickness of liquid film will be thinner

for the higher gas superficial velocity. The same

phenomenon is also observed for the disturbance wave, in

which the amplitude decreases with the increasing of gas

superficial velocity.

5. CONCLUSIONS

From the conducted experiment, it could be concluded that:

The annular regime has been established successfully.

The common phenomena of annular flow such as ripple

waves, disturbance waves, gas core, gas-liquid interface,

and asymmetric liquid film due to gravity effect could

be observed both visually and using liquid holdup

signal.

The wave velocity and wave number increase with the

increasing of gas superficial velocity.

Liquid holdup increases with the increasing of liquid

superficial velocity and decreasing of gas superficial

velocity.

Acknowledgement - This work was financially

supported by the Directorate General of Higher

Education, the Ministry of Education and Culture of

Indonesia through the Fundamental Research Scheme.

REFERENCES

[1] Shedd, T.A., 2001 Characteristics of the liquid film in

horizontal two-phase flow, Thesis for Doctor of Phil.

in Mech. Eng. the University of Illinois at Urbana-

Champaign.

[2] Weidong, Fangde, Rongxian, Lixing, “Experimental

study on the characteristics of liquid layer and

disturbance waves in horizontal annular flow”, Journal

of Thermal Science, Vol. 8, No. 4, 1999, pp. 235-241.

[3] Rodriguez, J.M., “Numerical simulation of two-phase

annular flow”, Thesis for Doctor of Philosophy,

Faculty of Rensselaer Polytechnic Institute, 2009.

[4] Pletcher, R. H. & McManus, H. N. “The fluid

dynamics of three-dimensional liquid films with free

surface shear: a finite difference approach”. In Proc.

9th Mid-Western Mechanics Conf., Wisc, 1965.

Page 204: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

195

[5] Jayanti, Hewitt, White, “Time-dependent behavior of

the liquid film in horizontal annular flow”, Int. J.

Multiphase Flow Vol. 16, No. 6, pp. 1097-1116, 1990.

[6] Paras and Karabelas, "Properties of the liquid layer in

horizontal annular flow," Int. J. Multiphase Flow, 17,

No.4, pp.439-454, 1991.

[7] Flores, A.G., K.E. Crowe, and P. Griffith, “Gas-phase

secondary flow in horizontal, stratified and annular

two-phase flow”, Int. J. Multiphase Flow Vol. 21. No.

2, 1995.

[8] Russell and D.E. Lamb, "Flow mechanism of two-

phase annular flow," Can. J. Chem. Eng., 17, No.43,

pp.237-245, 1965.

[9] Butterworth, “An analysis of film flow and its

application to condensation in a horizontal tube”. Int.

J. Multiphase Flow, Vol. 1, pp. 671-682, 1974.

[10] Fukano and A. Ousaka, "Distribution of film thickness

in horizontal and near-horizontal gas-liquid annular

flows," Int. J. Multiphase Flow, 15, No.3, pp.403-419,

(1989).

[11] Fukano, T., “Measurement of time varying thickness

of liquid film flowing with high speed gas flow by

CECM”, Nuc. Eng. & Design 184, 63–377, 1998.

[12] Fukano, T. and Ousaka, A., “Air-water two-phase

annular flow in near-horizontal tubes”, JSME

International Journal, Series II, Vol. 31, No. 3, 1988.

[13] Schubring, T.A. Shedd, “Wave behavior in horizontal

annular air–water flow”, International Journal of

Multiphase Flow 34 (2008) 636–646.

[14] Schubring, T.A. Shedd, “A model for pressure loss,

film thickness, and entrained fraction for gas–liquid

annular flow”, International Journal of Heat and Fluid

Flow 32 (2011) 730–739.

Page 205: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

196

Perancangan Alat Uji Impak Metode Charpy

Tito Endramawan

1, Agus Sifa

2

Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Indramayu

Jl. Lohbener Lama No. 08 Lohbener – Indramayu 45252 1E-mail : [email protected]

2Email: [email protected]

ABSTRAK

Perancangan ini bertujuan untuk pembuatan alat praktikum sebagai alat uji material untuk pengujian impak menggunakan

metode charpy. Pada perancangan alat uji impak metode charpy ini menggunakan massa pendulum 16 kg dan panjang lengan

ayun 0,8m. Pengujian kapasitas alat dilakukan dengan cara pengujian blangko untuk mengetahui lossesnya, kapasitas energi

impak dan pengujian menggunakan material baja serta alumunium untuk membandingkan perbedaan energi impak yang

dimiliki keduanya. Dari hasil perhitungan didapat kapasitas energi impak 188 Joule, untuk bahan uji baja. Dengan

menggunakan pengujian kosong (blangko) didapat persentase loses pada alat ini yaitu sebesar 3,85%. Pada pengujian impak

menggunakan spesimen, didapat energi impak rata-rata yang dimiliki baja yaitu sebesar 155,352 Joule, sedangkan energi

impak rata-rata yang dimiliki alumunium yaitu 62,783 Joule.

Kata Kunci

Perancangan alat, uji impak, metode charpy.

1. PENDAHULUAN

Seiring dengan perkembangan dunia industri, kebutuhan

bahan untuk membangun konstruksi semakin meningkat.

Bahan yang digunakan untuk membangun suatu konstruksi

harus memenuhi kriteria agar konstruksi aman untuk

operasional manusia. Untuk membangun suatu konstruksi,

sifat-sifat khas dari material harus diketahui sebab material

tersebut akan digunakan untuk berbagai macam keperluan

dan keadaan. Sifat yang dimiliki material yaitu meliputi

sifat mekanik, sifat thermal, sifat kimia, mampu keras dan

lain sebagainya.

Gejala yang sering menjadi perhitungan untuk membangun

suatu konstruksi adalah kegetasan suatu material dan

ketangguhan material dalam menerima beban dinamis.

Ketangguhan merupakan kemampuan suatu material untuk

menyerap energy sebelum patah. Inilah yang membedakan

pengujian impak dengan pengujian tarik dan kekerasan

dimana pembebanan dilakukan secara perlahan-lahan.

Dengan mengetahui tingkat ketangguhan material, maka

dapat diperkirakan kemampuannya dalam menerima energi

tumbukan yang diberikan secara tiba-tiba sehingga dapat

mematahkan suatu material.

Untuk mengurangi dan menghindari kemungkinan-

kemungkinan terburuk pada suatu konstruksi maka sebelum

menentukan material yang akan digunakan perlu diadakan

suatu pengujian awal untuk mengetahui ketangguhan

material yang akan digunakan dalam menahan beban kejut

sehingga diadakan pengujian impak.

Perancangan ini bertujuan untuk mengetahui kapasitas

energi impak dari alat yang telah dibuat dan mengetahui

persentase loses dari alat yang telah dibuat serta

mengetahui nilai impak material baja dan aluminium 2024.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Berdasarkan uji komposisi Aluminium 2024 didapat

komposisi sebagai berikut:

Tabel 1: Komposisi Alumunium 2024

Composition, %, Balance Aluminum

Type Si Cu Mn Mg Cr Zn Ni Ti Oth

er

2024 - 4.4 0.6 1.5 - - - - -

Metode impak charpy banyak digunakan di dunia industri

untuk menguji material yang digunakan untuk

pembangunan kapal, jembatan dan berbagai konstruksi

lainnya.(SG.L.J.Van Vliet W.Both, 1984). Pada pengujian

impak metode Charpy, pendulum diarahkan pada bagian

belakang takikan benda uji (spesimen). Benda uji

diletakkan horizontal pada penahan spesimen (anvil) dan

diberi pembebanan secara tiba-tiba dibelakang sisi takik

oleh pendulum.

Page 206: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

197

Gambar 1: Pembebanan pada uji impak Charpy[3]

Prinsip pengujian impak adalah untuk menghitung energi

yang diberikan beban dan menghitung energi yang diserap

oleh spesimen. Pengujian impak dilakukan dengan cara

pembebanan secara tiba-tiba terhadap spesimen yang akan

diuji, dimana spesimen dibuat berdasarkan standar ASTM

E 23.

Pendulum dengan massa tertentu diangkat dengan

ketinggian h1 kemudian dilepaskan maka pendulum akan

mengayun sampai kedudukan h2 yang mana ketinggian h2

hampir sama dengan ketinggian h1 jika pendulum

mengayun bebas tanpa spesimen (benda uji).

Gambar 2: Prinsip kerja uji impak

Usaha yang dilakukan pendulum untuk memukul benda uji

atau energi yang diserap spesimen sampai patah didapat

rumus yaitu:

W = m.g.h

= m.g ( l (1-Cos α)

Dimana:

m = Massa pendulum/godam (Kg)

g = Percepatan gravitasi (9,81 m/s²)

l = Jarak titik ayun dengan titik

pemukulan (m)

α = Sudut awal pemukulan (°)

besarnya energi impak yang sebenarnya dengan

menghitung loses adalah:

W‟ = m.g. l (Cos ß – Cos α)

Dimana:

ß = Sudut akhir pemukulan (°)

Persentase loses dapat diketahui dengan persamaan sebagai

berikut:

%loses = 100%. (W`-W)/W

Harga impak adalah energi yang diserap spesimen

persatuan luas. Luas yang dimaksud adalah luas penampang

spesimen dibawah takikan. Untuk menghitung besarnya

harga impak adalah sebagai berikut:

K = W/A

Spesimen atau benda uji untuk pengujian impak metode

Charpy mempunyai dimensi 10 mm x 10 mm x 55 mm

diberi takikan (notch) tepat pada tengah spesimen.

Terdapat 3 macam bentuk takikan umtuk pengujian impak

metode Charpy, yaitu tipe V-notch, tipe U-notch dan tipe O-

notch/keyhole. Untuk tipe V-notch, takikan V mempunyai

kedalaman 2 mm dengan sudut 45° dan jari-jari dasar 0,25

mm. (G.L.J.Van Vliet W.Both, 1984)

Gambar 3: Tipe-tipe specimen [3]

3. METODOLOGI

Perancangan alat uji impak metode charpy ini

menggunakan pendulum 16 kg dengan panjang lengan 0,8

m. Pengujian kapasitas alat menggunakan dengan cara

melakukan pengujian blangko untuk mengetahui losesnya,

kapasitas energy impak dan pengujian menggunakan

material baja serta alumunium dengan ukuran 55 mm x 10

mm x 10 mm. Perancangan ini menggunakan parameter

tetap berupa beban sebesar 16 Kg dan panjang ayun 0,8 m.

Page 207: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

198

4. PEMBAHASAN

Perancangan alat uji impak dengan beban pendulum sebesar

16 Kg, jarak titik ayun dengan titik pemukulan adalah 0,8

m dengan sudut awal pemukulan 120°. Besarnya kapasitas

energi impak adalah sebagai berikut:

W = m.g.h

= 16Kg . 9,81m/s² . l (1- Cos α)

= 156,96 N . 0,8m(1- Cos 120°)

= 156,96 N . 0,8m (1- (-0,5))

= 156,96 N . 1,2m

= 188,356 N.m

= 188,356 J

Pengujian blanko dilakukan tanpa benda uji (spesimen),

bertujuan untuk mengetahui seberapa besar kerugian energi

akibat gaya gesek. Adapun langkah-langkah pengujiannya

sebagai berikut:

Angkat pendulum pada posisi 120°.

Lepaskan pendulum.

Lihat nilai derajat yang ditunjukkan jarum.

Dari pengujian blangko sudut ß atau sudut bandul setelah

pemukulan berada pada posisi 116°, jadi tingkat loses pada

alat ini sebesar 4°.

Hasil Pengujian menggunakan specimen

Tabel 2: Hasil Pengujian specimen

Bahan α (°) ß (°)

Baja 1 120 40

Baja 2 120 36

Baja 3 120 38

Baja 4 120 35

Baja 5 120 43

Al 1 120 90

Al 2 120 87

Al 3 120 84

Al 4 120 86

Al 5 120 83

Berdasarkan data pengujian yang diambil pada sampel baja

1 adalah:

Massa pendulum = 16 Kg

Panjang lengan ayun = 0,8 m

Ketinggian awal pemukulan = 120°

Ketinggian setelah pemukulan = 40°

Besarnya energi impak adalah:

W = m.g. l (Cos ß – Cos α)

= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m (Cos40°- Cos120°)

= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m (0,766–(-0,5))

=158,969 Joule

Dimana sudut ß (sudut setelah pemukulan) adalah sudut

yang dicapai tanpa memperhitungkan kerugian energi

akibat gesekan udara dan bearing. Dari data yang diperoleh

kerugian energi tersebut dinyatakan dengan loses, sehingga

sudut ß yang sebenarnya adalah:

ß = ß + loses = 40° + 4° = 44°

Jadi besarnya energi impak yang sebenarnya dengan

menghitung loses adalah sebagai berikut:

W = m.g. l (Cos ß – Cos α)

= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m (Cos44° - Cos120°)

= 16Kg. 9,81m/s². 0,8m ( 0,719 – (- 0,5))

=153,067 Joule

Persentase loses dapat diketahui dengan persamaan sebagai

berikut:

%loses = 100%. (W`-W)/W

= 100%. (158,969J –

153,067J)/153,067J

= 3,85 %

Setelah besarnya energi impak yang diserap diketahui,

maka harga impaknya dapat dicari dengan persamaan

berikut:

K = W/A

= 153,067J / 80mm²

= 1,963 J/mm²

Hasil perhitungan untuk data spesimen lainnya dapat dilihat

pada Tabel 3 berikut.

Tabel 3: Tabel energi impak dan harga impak pada bahan

baja St60

Bahan W (Joule) K ( J/mm²)

Baja 1 153,067 1,963

Baja 2 158,969 1,987

Baja 3 156,081 1,951

Baja 4 160,350 2,004

Baja 5 148,295 1,853

Rata-rata 155,352 1,951

Tabel 4: Tabel energi impak dan harga impak pada bahan

alumunium alloy

Bahan W (Joule) K ( J/mm²)

Al 1 54,119 0,676

Al 2 60,649 0,758

Al 3 67,053 0,838

Al 4 62,784 0,784

Al 5 69,313 0,866

Rata-rata 62,783 0,784

5. KESIMPULAN

Kapasitas energi impak dari alat ini adalah sebesar 188 J,

dapat digunakan untuk menguji material yang memiliki

energi impak dibawah 188 J. Tingkat loses nya adalah

sebesar 4°, dengan persentase losesnya adalah sebesar

3,85%

Page 208: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

199

DAFTAR PUSTAKA

[1] W.Both, G.L.J.Van Vliet. 1984. Teknologi untuk

bangunan mesin bahan-bahan 1. Jakarta: Penerbit

Erlangga.

[2] Budiyanto. 2013. Pengertian energi kinetik. Situs:

http://budisma.web.id.

[3] ASTM E23. 1982. Standard Test Methods for Notched

Bar Impact Testing of Methallic Materials.

Page 209: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

200

Pengaruh Diameter Lubang Generator Vortex pada Tabung Vortex

Terhadap temperature Udara yang Dihasilkan

Novi Saksono BMa, Herman B Harja

b,

Jurusan Teknik Manufaktur Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Bandung 40135

aEmail : novi @polman-bandung.ac.id bEmail : herman @polman-bandung.ac.id

ABSTRAK

Pada proses manufaktur diperlukan proses pendinginan diantaranya adalah pendinginan kotak panel listrik, pendinginan proses

pemesinan. Pendinginan yang dimaksud adalah pendinginan dengan menggunakan udara. Udara yang digunakan untuk

pendinginan diinginkan memiliki temperatur lebih rendah dari temperatur lingkungan. Udara dingin tersebut bersumber dari

udara bertekanan yang dihasilkan oleh kompressor. Tabung vortex atau dikenal juga dengan istilah Ranque-Hilsch vortex tube

adalah sebuah alat mekanikal yang digunakan untuk memisahkan aliran udara bertekanan menjadi udara panas dan udara

dingin. Pada penelitian ini dirancang tabung vortex dengan desain diameter saluran keluar yang berbeda-beda. Parameter

yang diamati adalah temperatur udara panas serta udara dingin yang dihasilkan dan kaitannya dengan diameter saluran keluar

sisi dingin yang berbeda-beda. Temperatur yang dihasilkan dipengaruhi oleh besarnya diameter lubang keluaran dan tekanan

udara yang dimasukkan pada tabung vortex. Generator vortex adalah bagian pada tabung vortex yang memiliki lubang dan

terpasang pada sisi keluaran dingin. Generator vortex yang digunakan pada penelitian ini adalah Ø 4 mm, Ø 6 mm, Ø 8 mm,

dan Ø 12 mm. Semakin besar diameter generator vortex untuk tekanan udara yang sama maka temperatur yang dihasilkan pada

sisi panas dan dingin akan semakin tinggi. Temperatur tertinggi pada sisi panas adalah 70OC sedangkan temperatur terendah

pada sisi dingin adalah -19OC.

Kata Kunci

Tabung vortex, Generator vortex, udara dingin, udara panas.

1. PENDAHULUAN

Tabung vortex adalah suatu alat yang menghasilkan udara

dingin dan udara panas dari sebuah aliran udara bertekanan.

Tabung vortex dikenal juga dengan nama Ranque- Hilsh

tube, ditemukan pertama kali oleh George J Ranque pada

tahun 1933 dan diperbaiki oleh Rudolf Hilsch pada tahun

1947[1].

Mekanisme kerja dari tabung vortex adalah udara

bertekanan dilewatkan melalui lubang masuk secara

tangensial, sehingga udara berekspansi pada kecepatan

tinggi. Aliran udara berputar kemudian dihasilkan di

chamber dan udara bergerak secara spiral sepanjang sisi

tabung, dan pada ujungnya terdapat katup. Pada saat

katup ditutup sebagian, maka suatu laju aliran udara

balik akan mengalir pada bagian sumbu tabung mulai

dari sisi tekanan tinggi ke sisi tekanan rendah. Selama

proses ini, perpindahan energi berlangsung antara udara

balik dan udara maju, sehingga aliran udara balik yang

terdapat pada sumbu tabung mempunyai temperatur jauh

lebih rendah dari temperatur udara masuk, sedangkan

aliran udara maju akan memanas dan bertemperatur

jauh lebih tinggi dari temperatur udara masuk. Aliran

udara masuk akan keluar melalui lubang ke sisi udara

dingin, sedangkan aliran udara panas akan keluar

melalui bukaan katup. Dengan mengatur bukaan katup,

besar lubang keluaran dan tekanan udara masuk temperatur

udara dingin dapat di ubah-ubah.

Tabung vortex dapat menghasilkan udara panas dan dingin

dalam waktu yang bersamaan. Tabung vortex ini terdiri dari

sebuah tabung panjang yang memiliki lubang masuk

tangensial di dekat salah satu ujung dan katup kerucut pada

ujung lainnya, seperti ditunjukkan gambar 1 berikut ini.

Gambar 1: Konstruksi Tabung Vortex

Beberapa percobaan tabung vortex telah dilakukan oleh

para peneliti, data yang diambil untuk dibandingkan

diantaranya adalah, diameter tabung, besarnya tekanan

udara yang masuk di saluran inlet dan selisih temperatur

yang terjadi. Maziar dan Yunpeng[2] melakukan

percobaan dengan mengubah-ubah rasio antara diameter

penutup sisi panas dan diameter tabung hal yang sama

dilakukan juga oleh Singh, Tathgir dan Grewal [3]. Selain

Udara bertekanan

Udara panas

Udara dingin

Generator vortex

Page 210: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

201

itu Maziar dan Yunpeng [4] juga melakukan penelitian

temperatur keluaran dengan mengubah-ubah sudut vortex.

Parameter yang diamati pada penelitian ini adalah pengaruh

besar diameter keluaran sisi dingin terhadap temperatur

dingin yang dihasilkan.

2. METODOLOGI

Pada penelitian ini yang dilakukan adalah membuat tabung

vortex yang memiliki konstruksi generator vortex yang

dapat diganti-ganti. Untuk setiap generator vortex yang

terpasang pada tabung vortex diukur temperatur sisi dingin

dan sisi panas. Pengukuran temperatur juga dilakukan

untuk tekanan udara masuk yang berbeda-beda.

Konstruksi dengan generator vortex yang menghasilkan

temperatur terendah yang selanjutnya akan digunakan

untuk proses pendinginan.

Konstruksi tabung vortex terdiri dari;

1. Kepala tabung

2. Flange

3. Pipa

4. Generator vortex

5. Bush ulir

6. Dudukan katup

7. Katup

8. Saluran udara masuk

Gambar konstruksi tabung vortex dapat dilihat pada gambar

berikut

76

1

2

4

3

5

8

Gambar 2: Konstruksi tabung vortex

Gambar 3: Tabung vortex

3. PENGUJIAN

Pengujian tabung vortex yang dilakukan adalah dengan

mengukur temperatur pada sisi keluaran udara dingin dan

udara panas. Pengujian dilakukan untuk 4 kondisi

konstruksi yang berbeda, perbedaan tersebut pada diameter

generator vortex a seperti terlihat pada gambar 2 dibawah

ini.

Gambar 4: Generator Vortex

Ukuran diameter lubang generator vortex a adalah 4 mm,

6 mm, 8 mm, dan 12 mm.

Gambar 5: Generator vortex

Untuk masing-masing generator vortex diuji pada tekanan

udara masuk yang berbeda-beda yaitu pada tekanan 2 bar, 4

bar dan 6 bar.

Skema pengujian dapat dilihat pada gambar 3 berikut ini

Gambar 6: Skema Pengujian Tabung Vortex

Udara bertekanan yang berasal dari kompressor mengalir

melalui filter yang kemudian mengalir ke pengatur tekanan

(pressure regulator). Udara yang keluar dari pengatur

Pengatur

tekanan

udara

Udara

masuk Sisi udara

panas

Sisi udara

dingin Tabung

vortex

Thermometer

Page 211: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

202

tekanan selanjutnya mengalir masuk kedalam tabung

vortex.

Untuk masing-masing diameter generator vortex diuji pada

tiga tekanan udara yang berbeda yaitu tekanan 2 bar, 4 bar

dan 6 bar. Dari masing-masing pengujian dilakukan

pengukuran temperatur pada kedua sisi keluaran udara

dingin dan panas dengan menggunakan termometer digital.

4. HASIL PENGUJIAN

Pada pengujian yang dilakukan, udara bertekanan diatur

tekanannya dengan menggunakan pressure regulator,

sebelum masuk ke pressure regulator udara dari kompressor

udara melalui water seperator yang berfungsi untuk

memisahkan uap air yang terdapat pada udara. Udara yang

telah diatur besar tekanannya selanjutnya masuk ketabung

vortex.

Hasil pengukuran temperatur pada kedua sisi keluaran

tabung vortex untuk diameter generator vortex yang

berlainan dapat dilihat pada tabel 1 dan tabel 2 berikut.

Tabel 1: Temperatur Sisi Dingin

Dari tabel 1 dapat dilihat bahwa temperatur terendah yang

dicapai adalah -19OC, yaitu pada tekanan udara 6 bar untuk

diameter generator vortex 6 mm.

Tabel 2: Temperatur Sisi Panas

Sedangkan dari tabel 2 diatas dapat dilihat bahwa

temperatur tertinggi yang dihasilkan adalah 70OC, yaitu

pada tekanan udara 6 bar untuk diameter generator vortex

12 mm.

Perbedaan temperatur antara sisi dingin dengan sisi panas

terbesar adalah 80OC pada tekanan 6 bar dan diameter

generator vortek 6 mm.

Sedangkan perbedaan terkecil adalah 29OC pada tekanan 2

bar untuk diameter generator vortex 4 mm dan 12 mm.

Data hasil penngukuran sisi udara dingin dapat dilihat pada

grafik 1 berikut ini.

Grafik 1 Temperatur sisi dingin

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semangkin tinggi

tekanan udara masuk maka temperatur udara dingin akan

semakin rendah. Untuk setiap kondisi tekanan udara masuk,

generator vortex berdiameter 6 mm memiliki temperatur

lebih rendah dibandingkan dengan diameter yang lainnya.

Data hasil penngukuran sisi udara panas dapat dilihat pada

grafik 2 dibawah ini.

Grafik 2 Temperatur sisi panas

Dari grafik diatas dapat dilihat bahwa semangkin naik

tekanan udara masuk maka temperatur udara panas akan

semakin tinggi.

Sedangkan temperatur tertinggi yang dapat dicapai adalah

70oC, yaitu untuk diameter generator vortex 12 mm pada

tekanan udara masuk 6 bar. Untuk kondisi tekanan udara

-21

-18

-15

-12

-9

-6

-3

0

3

6

9

12

15

18

2 4 6

Tem

per

atur

(⁰C

)

Tekanan (bar)

Hubungan Tekanan vs

PerbedaanTemperatur (Dingin)

diamater

4 mm

diamater

6 mm

Diamater

8 mm

diamater

12 mm

Tekanan

(bar)

Temperatur (OC)

Ø 4 Ø 6 Ø 8 Ø 12

2 4 2 7 16

4 -9 -13 -7 10

6 -12 -19 -15 4

Tekanan

(bar)

Temperatur (OC)

Ø 4 Ø 6 Ø 8 Ø 12

2 33 40 37 45

4 37 53 51 60

6 40 61 59 70 20

30

40

50

60

70

80

2 4 6

Tem

per

atur

(⁰C

)

Tekanan (bar)

Hubungan Tekanan vs Perbedaan

Temperatur (Panas)

diamater

4 mm

diamater

6 mm

diameter

8 mm

diameter

12 mm

Page 212: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

203

yang sama dengan bertambah besarnya lubang generator

vortex maka temperatur pada sisi panas dan dingin akan

bertambah tinggi.

Udara bertekanan yang dimasukan kedalam tabung vortex

menghasilkan dua temperatur yang berbeda. Sisi dingin

menghasilkan temperatur udara yang lebih rendah dari

temperatur lingkungan. Sisi panas menghasilkan

temperatur udara yang lebih tinggi dari temperatur

lingkungan.

5. KESIMPULAN

Kesimpulan yang diperoleh dari hasil pengujian pada

penelitian ini adalah:

Konstruksi tabung vortex dengan lubang generator

vortex berbeda telah dihasilkan.

Temperatur keluaran yang dihasilkan dipengaruhi oleh

diameter generator vortex, semakin besar diameter

generator vortex maka temperatur sisi panas dan dingin

akan semakin tinggi.

Temperatur dingin terendah dihasilkan oleh generator

vortex dengan diameter lubang 6 mm pada tekanan yang

sama yaitu -19OC.

UCAPAN TERIMA KASIH

Kami ucapkan terima kasih kepada:

DIKTI yang telah membiayai penelitian ini dengan

program Hibah Bersaing.

Jurusan Teknik Manufaktur Polman Bandung,

Laboratorium Teknik Pemeliharaan Mesin Polman

Bandung.

UP3M Polman Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Giorgio De Vera. The Ranque-Hilsch Vortex Tube.

May 10, 2010

[2] Maziar Arjomandi, Yunpeng Xue, An Investigation Of

The Effect Of The Hot End Plugs On The Efficiency Of

The Ranque-Hilsch Vortex Tube, Journal of

Engineering Science and Technology Vol. 2, No. 3

(2007) 211 – 217 © School of Engineering, Taylor‟s

University College.

[3] P K Singh, An Experimental Performance Evaluation

of Vortex Tube, IE (I) Journal.MC Vol 84, January

2004.

[4] Maziar Arjomandi, Yunpeng Xue, Influence Of The

Vortex Angle On The Efficiency Of The Ranque-

Hilsch Vortex, School of Mechanical Engineering,

The University of Adelaide, Adelaide, Australia.

Page 213: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

204

Pengaruh Struktur Geologi Gunung Slamet Muda dan Tua

Terhadap Pola Sebaran Panas Bumi

Asmoro Widagdoa, Adi Candra

a, Sachrul Iswahyudi

a, Chalid Idham Abdullah

b

aTeknik Geologi, Fakultas Sains dan Teknik, Universitas Jenderal Soedirman, Purwokerto

E-mail: asmoro_widagdo@yahoo. com; [email protected]; [email protected]

bTeknik Geologi, Fakultas Ilmu dan Teknologi Kebumian, Institut Teknologi Bandung, Bandung

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Indonesia merupakan negara yang memiliki gunung api terbanyak di dunia, namun pemanfaatannya masih sedikit. Gunung

Slamet di Jawa Tengah merupakan daerah dijumpai manifestasi panasbumi. Geologi Gunung Slamet perlu diketahui guna

pemanfaatan potensi panasbumi. Gunung Slamet tersusun atas batuan dasar, batuan gunung api tua maupun batuan gunung api

muda. Gunung Slamet terpotong oleh kelurusan patahan tertentu. Manifestasi panas bumi di lereng Gunung Slamet muncul

karena kondisi geologi yang tertentu yang perlu untuk dikaji. Identifikasi geologi Gunung Slamet dilakukan melalui

pengamatan lapangan terhadap kondisi bentang alam, batuan dan kelurusan geologi. Interpretasi patahan dilakukan dari

pengamatan citra dan data sekunder lainnya. Lokasi panas bumi ditentukan koordinatnya, kemudian diplotkan dalam peta.

Gunungapi Slamet Muda terdiri atas morfologi puncak, lereng atas, lereng bawah dan kaki gunungapi. Gunungapi Slamet Tua

membentuk morfologi lereng dan kaki gunungapi. Batuan/litologi yang terdapat di lereng Gunung Slamet Tua diantaranya

adalah abu volkanik, breksi laharik dan lava. Gunung Api Slamet Muda tersusun atas breksi piroklastik hasil letusan dan lava.

Panas bumi muncul pada lereng bawah dan kaki Gunungapi Slamet Tua. Manifestasi panas bumi muncul pada batuan Gunung

Api Slamet Tua dan batuan dasar berupa batupasir-batulempung. Manifestasi permukaan panas bumi menikuti pola patahan

tertentu yang berarah baratlaut-tenggara yang memotong tubuh Gunung Slamet Tua.

Kata Kunci Panasbumi, batuan, morfologi, gunung api

1. PENDAHULUAN

Gunung Slamet meliputi kabupaten Banyumas, Brebes,

Pekalongan dan Tegal Propinsi Jawa Tengah. Gunung

Slamet merupakan salah satu gunung berapi yang

memungkinkan sebagai sumber panas bumi yang potensial.

Kini energi panas bumi merupakan salah satu sumber

energi yang diupayakan menggeser dominasi peran

pemakaian energi hidrokarbon yang tak terbarukan dan juga

berdampak buruk bagi lingkungan.

Panas bumi berhubungan dengan aktivitas volkanisme,

dihapkan akan menjadi energi alternatif yang berperan

signifikan dalam memenuhi kebutuhan energi nasional

yang terus meningkat. Potensi panas bumi yang cukup

besar di Gunung Slamet belum banyak terungkap secara

detail. Penelitian ini mengulas kondisi geologi umum

Gunung Slamet dalam mendukung upaya eksplorasi dan

pemanfaatan energi panas bumi.

Pekerjaan lapangan yang telah dilakukan diantaranya

adalah penentuan lokasi-lokasi manifestasi permukaan

panas bumi di sekitar Gunung Slamet. Studi geomorfologi

Gunung Slamet, sebaran batuan di lereng Gunung Slamet

dan delineasi struktur geologi di lereng Gunung Slamet

telah dilakukan dalam penelitian ini. Penelitian ini

merupakan tahap awal bagi kegiatan studi yang lebih

mendalam mengenai potensi panas bumi Gunung Slamet

selanjutnya.

2. METODOLOGI

Metode Penelitian dilakukan melalui sumber-sumber data

primer maupun sekunder. Data primer merupakan data

yang diperoleh langsung dari lapangan. Penelitian

lapangan dilakukan melalui deskripsi dan determinasi

terhadap kondisi bentang alam (morfologi), batuan

(litologi) dan kelurusan struktur patahan geologi.

Interpretasi sebaran batuan dilakukan mengikuti sumber

data sekunder yakni dari peta geologi regional.

Interpretasi patahan geologi dilakukan dari pengamatan

citra penginderaan jauh dan data sekunder dari peta geologi

regional. Pengukuran data patahan juga dilakukan pada

lokasi-lokasi dijumpainya manifestasi panas bumi.

Terhadap lokasi-lokasi panas bumi ditentukan koordinat

dan kemudian diplotkan dalam peta.

3. KONDISI GEOLOGI

3.1 Bentang Alam (Morfologi)

Morfologi atau roman muka bumi Gunung Api Slamet

dapat dibagi dalam dua kelompok morfologi utama. Kedua

morfologi utama ini adalah:

Page 214: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

205

1. Morfologi Gunung Slamet Tua; menyusun bagian barat

Gunung Slamet.

2. Morfologi Gunung Slamet Muda; menempati bagian

timur Gunung Slamet.

Satuan geomorfologi Gunung Slamet muda ini dapat dibagi

lagi dalam:

1. Morfologi Kerucut, merupakan puncak gunung api

muda.

2. Morfologi Tubuh gunung, menempati sisi selatan-timur

dan utara, di bagian bawah bagiaan kerucut.

3. Morfologi Kaki gunung, melampar di sisi selatan-timur

dan utara.

4. Morfologi Kerucut Cinder, terutama berkembang di

timur Gunung Slamet.

Kenampakan Gunung Slamet Tua dibagian barat

memperlihatkan bentuk morfologi yang tidak beraturan

dengan relief kasar (Gambar 2). Pola pengaliran yang

berkembang di tubuh Gunung Slamet Purba ini adalah

dendritic dengan stadia sungai pada stadia muda, lembah

sungai berbentuk huruf “V” yang dengan lereng yang

curam.

Gambar 1: Topografi Gunung Slamet dan lokasi panas

bumi.

Gunung Slamet Muda di bagian timur merupakan

morfologi kerucut vulkanik dengan bentuk lereng yang

teratur dengan relief yang halus (Gambar 3.). Puncak

kerucut volkanik yang merupakan titik tertinggi di Gunung

Slamet pada ketinggian 3.432 mdpl berada pada bagian sisi

timur puncak Gunung Slamet Muda. Pola pengaliran pada

tubuh Gunung Api Slamet Muda ini adalah radial yang

memusat pada puncak Gunung Slamet.

Gambar 2: Penampang Utara-Selatan Gunung Slamet Tua.

Gambar 3: Penampang Utara-Selatan Gunung Slamet Muda

Gambar 4: Penampang Barat-Timur Gunung Slamet tua-

muda

3.2 Urutan Batuan/Stratigrafi

Secara stratigrafi, menurut Djuri, M. dkk., 1996,

batuan/litologi yang terdapat di lereng Gunung Slamet

diantaranya tersusun oleh kelompok batuan-batuan:

1. Breksi, lava, tuf (Qvs) Gunungapi Slamet Tua,

2. Breksi, lava (Qvls) Gunungapi Slamet Muda.

3. Breksi laharik (Qls) Gunungapi Slamet Tua dan Muda.

Gambar 5: Sebaran batuan Gunung Api Slamet Tua (Qvs,

di sebelah barat) dan Muda (Qvls, di Timur) serta sebaran

materian rombakan keduanya (Qls).

Secara setempat dalam dimensi kecil, sempit dan kurang

terpetakan dijumpai batuan-batuan tua yang menjadi dasar

tubuh Gunung Slamet (Candra, A. dan Widagdo, A., 2011)

diantaranya berupa:

1. Batupasir dan konglomerat tufaan Formasi Halang yang

berumur Miosen Tengah-Akhir,

2. Breksi Formasi Kumbang yang berumur Miosen

Tengah-Akhir,

3. Batuan intrusi diorit Tersier yang berumur Miosen

Akhir,

Page 215: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

206

4. Batulempung-batupasir Formasi Tapak yang berumur

Pliosen.

3.3 Struktur Patahan

Struktur patahan geologi Gunung Slamet dapat

diidentifikasi melalui bentuk kelurusan dan pola aliran

sungai serta indikasi lainnya. Struktur patahan utama yang

terbentuk di sebelah timur laut Gunung Slamet, menurut

Peta Geologi Lembar Purwokerto-Tegal (Djuri, M. dkk.,

1996) merupakan sesar-sesar mendatar mengiri dan

menganan yang berarah baratdaya-timurlaut. Di sebelah

timur berkembang struktur patahan mendatar mengiri dan

menganan berarah baratlaut-tenggara serta lipatan berarah

barat-timur.

Gambar 6: Kelurusan struktur patahan geologi di Gunung

Slamet dan sekitarnya.

Di tengah tubuh Gunung Slamet Tua terpotong oleh

kelurusan berarah baratlaut-tenggara, yang diinterpretasikan

sebagai sesar mendatar menganan. Kekar-kekar tensi dan

sesar-sesar normal minor berarah baratdaya-timurlaut hadir

dilapangan diinterpretasikan sebagai struktur penyerta dari

struktur sesar mendatar menganan berarah baratlaut-

tenggara ini.

4. MANIFESTASI PANAS BUMI

Sejumlah delapan titik manifestasi panas bumi ada di lereng

Gunung Slamet. Empat titik manifestasi panasbumi

dijumpai di lereng utara Gunung Slamet yaitu Cahaya,

Pancuran 13, Saketi dan Sigedong. Dua mata air panas

dijumpai di bagian selatan lereng Gunung Slamet yakni

Pancuran 7 dan Pancuran 3 di area obyek wisaya

Baturaden. Dua manifestasi mata air panas lainnya

dijumpai di barat Gunung Slamet Tua yakni di Buaran dan

Pakujati.

Panas bumi di tubuh Gunung Slamet mengikuti pola

kelurusan patahan berarah baratlaut-tenggara. Manifestasi

panasbumi di utara Gunung Slamet menunjukkan arah ini.

Manifestasi panasbumi di bagian selatan Gunung Slamet

juga masih satu kelurusan dengan manifestasi panas bumi

di bagian utara Gunung Slamet.

Gambar 7. Lokasi manifestasi panas bumi

Gambar 7: Lokasi manifestasi panas bumi

Tabel 1: Lokasi Titik Manifestasi Panas Bumi

No Nama Lokasi

1 Cahaya Guci, Kec Bumijawa, Tegal

2 Pancuran 13 Guci, Kec Bumijawa, Tegal

3 Saketi Dukuh Benda, Bumijawa, Tegal

4 Sigedong Batusari, Kec Sirampok, Brebes

5 Buaran Banjarsari, Bantarkawung, Brebes

6 Pakujati Paguyangan, Paguyangan, Brebes

7 Pancuran 7 Ketenger, Baturaden, Banyumas

8 Pancuran 3 Karangmangu, Baturaden, Banyumas

Di sebelah baratlaut Gunung Slamet muncul dua

manifestasi panas bumi di daerah Saketi dan Sigedong

(Tabel 1 dan Gambar 7). Titik Saketi berada di daerah

Dukuh Benda, Kecamatan Bumi Jawa, Kabupaten Tegal.

Di sebelah tenggara titik Saketi pada jarak 2.180 meter

muncul titik manifestasi Sigedong yang masuk Desa

Batusari, Kecamatan Sirampok, Kabupaten Brebes.

Di sebelah selatan Gunung Slamet muncul 2 (dua)

manifestasi panas bumi yakni mata air panas Pancuran 7

dan Pancuran 3. Mata air panas di sebelah barat Gunung

Slamet yakni Buaran dan Pakujati.

Umumnya titik-titik manifestasi panas bumi di daerah

Gunung Slamet muncul pada satuan batuan breksi-lava-tuf

(Qvs) yang merupakan batuan produk gunung api Slamet

Tua (Gambar 2, 3,4 dan 5). Keenam titik manifestasi ini

muncul di lereng sebelah selatan, utara dan barat laut

Gunung Slamet Purba. Di barat Gunung Slamet, pada

batuan Tersier (batuan dasar) muncul dua manifestasi. Pada

tubuh Gunung Slamet modern tidak memperlihatkan

manifestasi panas bumi.

Lokasi manifestasi panas bumi di lereng selatan dan utara

Gunung Slamet memiliki jarak terdekat 7 km dari pusat

Page 216: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

207

erupsi. Hal ini perlu dipertimbangkan dalam upaya

eksplorasi dan eksploitasinya untuk menghindari ancaman

aktivitas volkanis.

5. KESIMPULAN

1. Morfologi Gunung Api Slamet terbagi dalam morfologi

gunung api tua dan morfologi gunung api muda.

2. Panas bumi di lereng Gunung Slamet umumnya

menempati batuan Gunung Slamet Tua.

3. Manifestasi panasbumi tersebar luas pada tubuh Gunung

Slamet Tua yang kemunculannya mengikuti kelurusan

patahan berarah baratlaut-tenggara.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Candra, A., & Widagdo, A., 2011, Tinjauan Kondisi

Geologi Gunung Slamet Dalam Mendukung

Pemanfaatan Potensi Panas Bumi Bagi

Kesejahteraan Masyarakat.

[2] Djuri M., Samodra H., Amin T.C., Gafoer S., 1996,

Peta Geologi Lembar Purwokerto dan Tegal, Jawa,

Skala 1 : 100.000, Pusat Penelitian dan

Pengembangan Geologi

[3] Hutamadi, R., dan Mulyana, 2006, evaluasi sumber

daya dan cadangan bahan galian untuk

pertambangan sekala kecil, daerah kabupaten

banyumas provinsi jawa tengah, proceeding

pemaparan hasil-hasil kegiatan lapangan dan non

lapangan tahun 2006, pusat sumber daya geologi,

Bandung.

[4] Iswahyudi, S., Widagdo, A. dan Subana, 2010,

Aplikasi Geokimia Mata Air Panas Untuk Kajian

Pendahuluan SIstem Panas Bumi Daerah

Paguyangan dan Sekitarnya.

[5] Lobeck, A.K., 1939, Geomorphology, An

Introduction to the Study of Landscapes, McGraw

Hill Book Company.Inc. New York.

[6] McClay, K.R., 1987, The Mapping of Geological

Structures, 1st edition, John Wiley and Sons, New

York, 163 h.

[7] Thornbury, W.D., 1969, Principle of

Geomoorphology, 2nd

Edition, John Wiley &Sons

New York.

[8] van Bemelen, R.W., 1970, The Geology of

Indonesia, Vol. 1. A, General Geology of Indonesia

and Adjacent Archipelagoes, Martinus Nijhoff, The

Hague, 732 h.

Page 217: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

208

Evaluasi Kapasitas Sungai Citarum Hulu (Sapan-Nanjung)

Dengan Menggunakan Hec Ras 4.0

Enunga

aJurusan Teknik Sipil, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Setiap musim hujan banjir selalu terjadi di sepanjang sungai Citarum, terutama di Sub DAS Citarum Hulu. Banjir di wilayah

ini terutama disebabkan oleh perubahan tataguna lahan yang terjadi di daerah hulu, dan menyebabkan sedimentasi di sepanjang

aliran sungai Citarum di daerah hilir. Berdasarkan permasalahan tersebut, oleh karena itu perlu dilakukan penelitian mengenai

kinerja kapasitas sungai Citarum dalam kondisi eksisting dan perencanaan pengendalian banjir. Pada penelitian ini, simulasi

banjir dilakukan dengan menggunakan bantuan model matematika HEC-RAS 4.0. Hidrograf aliran menggunakan metode

Nakayasu untuk kala ulang 2 tahun, 5 tahun, 10 tahun, 20 tahun, 50 tahun, dan 100 tahun. Hasil dari simulasi ini menunjukkan

kapasitas penampang sungai yang ditinjau tidak dapat menampung debit puncak dan terjadi limpasan aliran di sepanjang

sungai. Penanganan dengan cara normalisasi dapat mengurangi elevasi muka air maksimum, tetapi hanya 21.62% river station

(RS) yang mampu menampung debit dengan kala ulang 50 tahun dan 100 tahun. Pengendalian banjir berikutnya dilakukan

dengan tanggul banjir di RS yang masih terjadi limpasan.

Kata Kunci

Banjir, Sungai Citarum, Hec Ras 4.0

1. PENDAHULUAN

Sungai Citarum merupakan sungai terpanjang dan terbesar

di Jawa Barat dengan panjang sungai sekitar 269 kilometer.

Sungai Citarum mengalir dari hulu di daerah Gunung

Wayang disebelah selatan kota Bandung melalui cekungan

kota Bandung menuju ke arah utara dan bermuara di Laut

Jawa. Dari tahun ke tahun DAS Citarum mengalami

penurunan kondisi lingkungan dan kualitas air disepanjang

sungai Citarum. Hal ini disebabkan oleh semakin

meningkatnya jumlah penduduk dan aktivitas yang

dilakukan di sepanjang sungai Citarum. Lahan terbuka

hijau yang berubah fungsi menjadi pemukiman dan

kawasan industri menyebabkan semakin berkurangnya

daerah resapan di DAS Citarum,

Banjir merupakan salah satu permasalahan yang ada di

DAS Citarum Hulu. Hampir setiap tahun daerah yang ada

di wilayah DAS Citarum Hulu mengalami banjir. Salah

satunya adalah “banjir Cileuncang” yang setiap tahun

dialami oleh warga di daerah Baleendah Bandung. Bencana

banjir selain menimbulkan kerugian secara materi dengan

banyaknya rumah warga dan fasilitas umum yang terendam

banjir, juga menimbulkan dampak lain seperti timbulnya

berbagai penyakit, terhambatnya aktivitas warga, dan

dampak sosial lainnya. Berbagai penelitian, kajian, maupun

berbagai pilihan penanganan banjir di wilayah sungai

Citarum sudah dilakukan untuk mengatasi permasalahan

yang ada di DAS Citarum ini. Kebijakan pengelolaan air

secara terpadu merupakan salah satu kebijakan untuk

menangani permasalahan yang ada. Pemerintah melalui

Balai Besar Wilayah Sungai Citarum telah membuat

roadmap untuk pengelolaan air secara terpadu wilayah

sungai Citarum. Roadmap ini diharapkan bisa menjadi

acuan dalam pengelolaan wilayah sungai Citarum secara

keseluruhan. Salah satu poin penting dalam roadmap

tersebut adalah penangangan masalah banjir. Berbagai

kajian telah dan akan dilakukan untuk penanganan masalah

banjir tersebut, misalnya yang sudah dilakukan oleh

pemerintah dengan melakukan pengerukan untuk

mengurangi sedimentasi, normalisasi sungai, maupun

dengan reboisasi di kawasan hulu sungai Citarum yang

merupakan sumber pembawa sedimen sungai Citarum.

Berdasarkan permasalahan tersebut dan dari berbagai kajian

yang sudah dilakukan, maka perlu dilakukan penelitian

lebih lanjut mengenai kondisi karakteristik aliran sungai

Citarum untuk mengetahui kapasitas tampang sungai

dengan cara melakukan simulasi aliran sungai untuk

berbagai debit rancangan dan mencari solusi pengendalian

banjir yang tepat untuk menangani permasalahan banjir

khususnya yang terjadi di wilayah Bandung.

Tujuan dari penelitian ini yaitu menganalisa kapasitas

penampang sungai Citarum pada kondisi eksisting dan

setelah dilakukan pengerukan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

DAS merupakan hamparan wilayah yang dibatasi oleh

pembatas topografi (punggung bukit) yang menerima

pengumpulan air hujan, sedimen dan unsur hara serta

mengalirkannya melalui sungai yang dimaksud dan keluar

Page 218: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

209

pada satu titik[1]. Adapun menurut Chow (1988) DAS

merupakan salah satu bentuk dari sistem hidrologi.

Disebutkan bahwa suatu sistem DAS sebagai struktur

volume di alam terbuka yang memiliki batas, kemudian

menerima air dan input lain, mengoperasikan input di

dalamnya dan mengeluarkan sebagai output. Jadi dalam

suatu sistem DAS terdapat tiga komponen pokok yaitu

masukan, operator atau sistem dan keluaran[2].

Dalam istilah teknis banjir adalah volume air yang mengalir

pada alur singai persatuan waktu, melebihi kapasitas

pengaliran alur sungainya, sehingga terjadilah luapan atau

limpasan. [3]. Perubahan iklim global yang mengakibatkan

perubahan tinggi curah hujan pada suatu Daerah Aliran

Sungai (DAS), kondisi topografi dengan elevasi wilayah

lebih rendah dari pada elevasi muka air sungai, perubahan

tata guna lahan yang mengakibatkan berubahnya koefisien

aliran permukaan menjadi lebih besar, sehingga aliran

permukaan (surface runoff) menjadi lebih besar dari

sebelumnya, penurunan elevasi tanah (land subsidence)

akibat dari pengambilan air tanah atau faktor dari

karakteristik geologi pembentuknya dan perilaku manusia

dalam memperlakukan sungai dan sarana drainase lainnya

merupakan faktor-faktor eksternal yang dapat

mengakibatkan banjir. Sedangkan faktor internal dapat

dilihat dari fisik sungainya yaitu akibat dari kapasitas

penampang sungai yang tidak bisa menampung beban debit

yang mengalir di atasnya[4].

Banjir rancangan adalah besarnya debit banjir kala ulang

tertentu yang ditetapkan sebagai dasar penentuan kapasitas

dan dimensi bangunan-bangunan hidraulik, sedemikian

hingga kerusakan yang dapat ditimbulkannya baik langsung

maupun tidak langsung oleh banjir tidak boleh terjadi

selama besaran banjir tidak terlampaui [1].

Simulasi aliran di saluran terbuka (open channel)

merupakan salah satu cara untuk mempelajari pola aliran di

sepanjang saluran tersebut. Simulasi dilakukan secara nyata

dengan mengalirkan air ke saluran yang umumnya dibuat

dalam skala laboratorium (model fisik) atau dengan model

matematik yang dilakukan melalui serangkaian hitungan

hidraulik yang umumnya diwadahi dalam suatu perangkat

program aplikasi komputer. Tahapan dalam melakukan

simulasi aliran dengan menggunanakan model matematik

maupun model fisik seperti pada Gambar 1. [5]. Salah

satu model matematik dalam bidang hidrolika dalam bentuk

paket program adalah HEC-RAS. HEC RAS merupakan

sebuah paket program analisis hidraulika yang terintegrasi,

dimana pengguna atau user dimudahkan dengan sistem

Graphical User Interface (GUI).

Gambar 1: Tahapan simulasi aliran dengan menggunakan

model fisik maupun model matematik

3. METODE PENELITIAN

Dalam penelitian ini dibagi menjadi beberapa tahapan

seperti pada Gambar 2.

Mulai

Studi Literatur

Pengumpulan

Data

Analisa Hidrolika Penampang

Sungai Dengan Bantuan

Software Hec Ras 4.0

Analisa Hidrograf

Banjir

Simulasi aliran untuk berbagai

skenario pengendalian banjir

Analisa dan

Pembahasan

Kesimpulan

Selesai

Data

Hidrologi

Peta DAS Citarum

Peta Rupa Bumi

Peta Jaringan Sungai

Citarum

Peta Topografi

Potongan Melintang

dan Memanjang

Sungai Citarum

Gambar 2: Tahapan Penelitian

Tahapan pelaksanaan penelitian yaitu sebagai berikut:

1. Studi literatur, yaitu dengan mengumpulkan informasi

hasil kajian sebelumnya dan teori yang akan digunakan

dalam penelitian.

Page 219: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

210

2. Pengumpulan data, data yang digunakan merupakan

data sekunder terdiri dari:

a. Data hidrologi, yaitu data hujan harian maksimum

dari stasiun hujan yang ada di wilayah DAS Citarum

yang mempengaruhi aliran sungai yang ditinjau.

Data hidrologi diperoleh dari Dinas Pengelolaan

Sumber Daya Air (PSDA) Propinsi Jawa Barat dan

dari Balai Besar Wilayah Sungai (BBWS) Citarum.

b. Peta DAS Citarum, dan peta jaringan sungai

Citarum.

c. Potongan memanjang dan melintang sungai

3. Analisis hidrograf banjir dengan menggunakan metode

Nakayasu

4. Analisis hidrolika kapasitas penampang sungai dengan

menggunakan software Hec Ras 4.0. Software Hec.Ras

4.0 digunakan untuk mengetahui profil muka air di

sepanjang aliran sungai yang ditinjau pada kondisi

eksisting.

5. Simulasi aliran untuk berbagai skenario pengendalian

banjir. Berdasarkan hasil analisis kapasitas penampang

sungai pada kondisi eksisting, kemudian dilanjutkan

dengan simulasi aliran untuk berbagai skenario

pengendalian banjir. Simulasi dilakukan dengan

menggunakan bantuan software Hec Ras 4.0.

6. Analisis dan pembahasan

7. Kesimpulan

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

4.1 Lokasi Penelitian

Lokasi penelitian adalah DAS Citarum Hulu mulai dari

hulu berakhir di pos duga air di Nanjung, berada pada

koordinat 107015‟36‟‟ BT - 107

057‟00‟‟BT, 06

0‟43‟48” LS

- 070‟15‟00” LS. Peta DAS Citarum Hulu seperti pada

Gambar 3.

Gambar 3: Lokasi Penelitian

Sumber: Dinas PSDA Provinsi Jawa Barat

DAS Citarum Hulu yang menjadi tinjauan penelitian terdiri

dari lima Sub Das yaitu Sub DAS Citarum Hulu, Sub DAS

Citarik, Sub DAS Cisangkuy, Sub Das Cikapundung, dan

Sub Das Ciwidey. Luas DAS Citarum Hulu yaitu 1824,84

Km2, dengan luas masing-masing Sub DAS seperti pada

Tabel 4.1.

Tabel 1: Data Luas Sub DAS Yang Ditinjau di DAS

Citarum Hulu No Nama Sub DAS Luas (Km2)

1 Citarum Hulu 378.7

2 Ciwidey 271.8

3 Citarik 464.5

4 Cikapundung 402

5 Cisangkuy 307.8

4.1 Analisa Hidrologi

Analisa hidrologi dilakukan berdasarkan data curah hujan

harian di beberapa pos stasiun hujan yang terdapat di Das

Citarum Hulu. Wilayah DAS Citarum Hulu memiliki

delapan belas pos curah hujan dan delapan belas pos duga

air yang tersebar di lima Sub DAS . Berdasarkan analisis

ketersediaan data hujan, ditentukan tiga belas pos curah

hujan yang digunakan untuk menganalisis hujan harian

maksimum dan kala ulang hujan rencana. Peta pos curah

hujan dan pos duga air dapat dilihat pada Gambar 4.

Berdasarkan hasil analisis hidrologi diperoleh hasil debit

banjir rancangan dengan menggunakan metode Hidrograf

Satuan Sintetik (HSS) Nakayasu untuk berbagai kala ulang

debit banjir sepert disajikan pada Tabel 2, dan Gambar 5.

Gambar 4: Peta Pos Curah Hujan dan Pos Duga Air DAS

Citarum Hulu

Sumber: Dinas PSDA Propinsi Jawa Barat

Tabel 2: Debit puncak untuk berbagai kala ulang

Page 220: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

211

Gambar 5: Grafik Hidrograf Banjir Rancangan DAS

Citarum Hulu Metode Nakayasu Untuk Berbagai

kala Ulang

4.2 Analisis Hidraulika Dengan Menggunakan Hec

Ras 4.0

Penampang sungai yang menjadi tinjauan dalam penelitian

ini adalah titik kontrol di Pos duga air Dayeuh kolot yaitu

sepanjang 1817.15 m, Pemilihan titik kontrol tersebut

berdasarkan ketersediaan data dan kondisi yang ada

dilapangan, yaitu dimana banjir sering terjadi di daerah

Dayeuh Kolot khususnya di daerah Cieunteng.

4.2.1 Analisis Kondisi Eksisting Penampang Sungai

(Sungai Citarum-Pos Duga Air Dayeuh Kolot)

Untuk menganalisis kapasitas penampang sungai pada

kondisi eksisting diperlukan data berupa data penampang

melintang sungai dan memanjang sungai. Data tersebut

diperoleh dari Balai Besar wilayah Sungai Citarum. Peta

situasi wilayah yang ditinjau seperti pada Gambar 6.

Gambar 6 :

Potongan Memanjang Dan Situasi Sungai Yang Ditinjau

(River Station (RS) .01-P.24)

Penampang melintang sungai dibagi menjadi 36 cross

section (RS.01-P.24) dengan jarak antar cross section

bervariasi. Kondisi eksisting penampang hasil pengukuran

Citarum seperti pada Gambar 7.

Gambar 7: Penampang Memanjang Sungai RS.01-P.24

Sumber: BBWS

Pada Gambar 7 penampang memanjang diatas dapat

dilihat kondisi elevasi dasar sungai yang bervariasi, ini

menunjukkan bahwa pada dasar sungai telah terjadi

agradasi dan degradasi dasar sungai akibat proses

sedimentasi dan erosi. Sedimentasi terbesar terjadi pada

RS.637.37. Sedangkan kondisi dasar sungai yang

mengalami degradasi yaitu pada RS.1011. Selain elevasi

dasar sungai, pada gambar tersebut juga ditampilkan elevasi

bantaran kiri (LOB) dan bantaran kanan (ROB). Juga

diperlukan data koefisien kekasaran saluran (koefisien

manning). Nilai koefisien Manning yang digunakan

berdasarkan kondisi dilapangan. Untuk main channel dan

dataran banjir digunakan koefisien manning sebesar 0.03.

Hasil simulasi aliran dengan berbagai variasi kala ulang

debit diperoleh kondisi muka air maksimum seperti pada

Gambar 8. Sampai Gambar 11.

Kala Ulang Debit puncak

(m3/detik)

2 tahun 108.689

5 tahun 176.657

10 tahun 242.221

20 tahun 325.826

50 tahun 463.635

100 tahun 600.600

Page 221: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

212

Gambar 8: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang

10 Tahun

Gambar 9: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang

20 Tahun

Gambar 10: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 50

Tahun

Gambar 11: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 100

Tahun

Berdasarkan profil muka air maksimum untuk berbagai kala

ulang debit banjir dengan koefisien manning 0.03, hampir

di semua river station terjadi limpasan. Kondisi eksisting

menunjukan ketidak konsistenan profil muka air. Hal ini

disebabkan oleh penampang saluran yang tidak beraturan

dan kontur yang bervariasi.

4.2.2 Normalisasi sungai dengan pengerukan

Normalisasi adalah salah satu upaya pengendalian banjir

secara struktural. Besarnya sedimentasi yang terjadi

menyebabkan pendangkalan sungai dan berkurangnya

kapasitas penampang sungai. Simulasi pada skenario ini

dilakukan dengan mengembalikan elevasi dasar sungai

kepada kondisi awal sebelum terjadi sedimentasi. Profil

memanjang sungai setelah dilakukan simulasi geometri

sungai seperti pada Gambar 12.

Gambar 12: Profil Memanjang Penampang Sungai Setelah

di Normalisasi

Perubahan yang dilakukan yaitu dengan mengembalikan

elevasi dasar sungai kepada kondisi awal sebelum terjadi

sedimentasi. Permukaan dasar sungai hampir sama dengan

kemiringan 0.00035. Simulasi aliran dilakukan dengan

kondisi yang sama dengan kondisi eksisting. Hasil simulasi

aliran disajikan dalam bentuk Grafik dan Tabel. Profil

muka air maksimum untuk berbagai kala ulang debit banjir

seperti pada Gambar 13 sampai dengan Gambar 16.

Gambar 13: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 10

Tahun

Page 222: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

213

Gambar 14: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 20

Tahun

Gambar 15: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 50

Tahun

Gambar 16: Profil Muka Air Untuk Debit Kala Ulang 100

Tahun

Profil muka air maksimum linear dari hulu ke hilir dan

konsisten. Data elevasi muka air maksimum untuk setiap

perubahan kala ulang banjir seperti pada Tabel 3.

Tabel 3: Elevasi Muka Air Maksimum Untuk Berbagai

Kala Ulang Kala

Ulang

River

Station Elevasi Muka Air (m)

10 1817.15 656.42

20 1817.15 657.13

50 1817.15 658.18

100 1817.15 659.17

Selain berdasarkan profil muka air maksimum, analisis juga

dilakukan berdasarkan kapasitas tampungan maksimum

penampang. Perbandingan antara kapasitas penampang

dengan debit banjir untuk berbagai kala ulang seperti pada

Gambar 17 sampai dengan Gambar 4.18.

Gambar 17: Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan

Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 10

Gambar 18:Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan

Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 20

Gambar 19: Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan

Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 50

0

1000

2000

18

17

,15

16

60

,43

14

99

,27

13

93

,67

12

37

,43

10

62

,84

93

4,6

1

79

0,5

3

63

7,3

7

47

4,5

5

29

5,8

3

14

1,7

6 0

De

bit

(m

3 /s)

Kap

asit

as

(m3 /

s)

River Station

Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir

RancanganKapasitas …Debit banjir …

0

1000

2000

18

17

,15

16

60

,43

14

99

,27

13

93

,67

12

37

,43

10

62

,84

93

4,6

1

79

0,5

3

63

7,3

7

47

4,5

5

29

5,8

3

14

1,7

6 0

De

bit

(m

3 /s)

Kap

asit

as

(m3 /

s)

River Station

Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir

Rancangan Kapasitas Penampang

0

1000

2000

18

17

,15

16

60

,43

14

99

,27

13

93

,67

12

37

,43

10

62

,84

93

4,6

1

79

0,5

3

63

7,3

7

47

4,5

5

29

5,8

3

14

1,7

6 0

De

bit

(m

3 /s)

Kap

asit

as

(m3 /

s)

River Station

Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir

RancanganKapasitas Penampang

Page 223: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

214

Gambar 20: Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan

Debit Banjir Rancangan Kala Ulang 100 Tahun

Berdasarkan Gambar 17 sampai dengan Gambar 20 dapat

disimpulkan bahwa 67.57% RS yang ditinjau mampu

menampung debit dengan kala ulang 1 tahun dan 2 tahun

(75.879 m3/s dan 108.689 m

3/s) , 56,76% RS mampu

menampung debit dengan kala ulang 5 tahun (176.657

m3/s), 51.35% RS mampu menampung debit dengan kala

ulang 10 tahun dan 20 tahun (242.221 m3/s dan 325.826

m3/s), 21.62% RS mampu menampung debit dengan kala

ulang 50 tahun (463.635 m3/s), dan hanya 21.62% RS

mampu menampung debit dengan kala ulang 100 tahun

(600.600 m3/s). Dengan demikian, penanganan dengan

melakukan normalisasi dengan cara pengerukan masih

belum optimal, karena masih terdapat titik RS yang

mengalami limpasan. Sehingga diperlukan solusi

pengendalian banjir lainnya, misalnya dengan pembuatan

tanggul atau memperbesar kapasitas penampang sungai.

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Berdasarkan hasil analisis yang sudah dilakukan pada

penelitian ini dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Kondisi penampang sungai Citarum khususnya di titik

yang ditinjau pada kondisi eksisting tidak mampu

menampung debit untuk kala ulang banjir 2 tahun

(108.89 m3/s), kala ulang banjir 5 tahun (176.657 m

3/s),

kala ulang banjir 10 tahun (242.221 m3/s), kala ulang

banjir 20 tahun (325.826 m3/s), kala ulang banjir 50

tahun (463.635 m3/s), dan kala ulang banjir 100 tahun

(600.600 m3/s) . Hal ini disebabkan oleh besarnya

sedimentasi yang terjadi,sehingga terjadi pendangkalan

dasar sungai dan berkurangnya kapasitas tampungan

sungai.

2. Solusi pengendalian banjir akibat limpasan yang terjadi

di sejumlah titik antara lain dengan normalisasi

(pengerukan), dan pembuatan tanggul banjir. Elevasi

tanggul banjir ditentukan berdasarkan elevasi muka air

maksimum yang terjadi.

5.2 Saran

Untuk mencapai hasil yang lebih baik dalam menganalisis

kondisi aliran sungai Citarum peneliti menyampaikan saran

sebagai berikut:

1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut mengenai

perilaku aliran yang terjadi di sungai Citarum dengan

mempertimbangkan aliran dari anak-anak sungai,

perilaku aliran di sekitar jembatan, dan perilaku aliran

disekitar bangunan-bangunan melintang sungai. Untuk

mengetahui pengaruhnya terhadap kapasitas penampang

sungai.

2. Perlu dilakukan penelitian mengenai penentuan metode

analisis debit banjir rancangan yang paling sesuai

dengan kondisi DAS Citarum Hulu.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih saya sampaikan kepada UPPM

Politeknik Negeri Bandung yang telah mendanai penelitian

ini melalui skema penelitian Pemula, dan seluruh pihak

yang telah membantu dalam pelaksanaan penelitian ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Harto, S. Br, Hidrologi, PT. Gramedia Pustaka Utama,

Jakarta. 2000��.

[2] Chow, V.T., Hidrologi Saluran Terbuka Alih Bahasa,

Saryatman dkk, Erlanga, Jkt. 1992.

[3] Dirjen Pengairan DPU, Penanganan Masalah Sungai.

[4] Suryadi Y, Metoda Penentuan Indeks Banjir

Berdasarkan Fungsi Debit Puncak Hidrograf Inflow,

Luas Genangan, Kedalaman Genangan Dan Waktu

Genangan (Studi Kasus Pada Das Citarum

Hulu),Disertasi, ITB, Bandung, 2007.

[5] Istiarto, Modul Pelatihan Simulasi Aliran 1 Dimensi

Dengan Bantuan Paket Program Hidrodinamika

HEC-RAS, http://istiarto.staff.ugm.ac.id, 2011.

0,000

1000,000

2000,0001

81

7,1

5

16

60

,43

14

99

,27

13

93

,67

12

37

,43

10

62

,84

93

4,6

1

79

0,5

3

63

7,3

7

47

4,5

5

29

5,8

3

14

1,7

6 0

De

bit

(m

3/s

) K

apas

itas

(m

3 /s)

River Station

Perbandingan Kapasitas Penampang Dengan Debit Banjir

Rancangan Debit …

Page 224: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

215

Pembuatan dan Pengujian Prototipe Mesin Stirling Tipe

Gamma

Ika Yuliyani, Mochamad Irwan

Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012

E-mail: [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Krisis energi yang berkelanjutan mendorong manusia mencari teknologi yang dapat menjadi alternatif dalam energi

terbarukan. Berbagai teknologi alternatif menjadi pilihan untuk menggantikan energi yang semakin lama akan semakin habis.

Salah satunya adalah teknologi mesin striling. Teknologi ini merupakan teknologi yang sudah lama namun pengembangannya

kalah dengan mesin pembakaran dalam. Seiring dengan krisis energi yang terjadi mesin stirling ini kembali menjadi pilihan

dikarenakan mesin stirling ini mempunyai fleksibilitas dalam hal bahan bakarnya. Mesin stirling dapat memanfaatkan panas

dari berbagai bahan bakar seperti biomassa, biogas dan energi matahari. Pada pembuatan prototype mesin stirling, langkah

pertama melakukan perhitungan terlebih dahulu berdasarkan teori Schmidt. Dari hasil perhitungan didapat parameter volume

silinder panas sebesar 113,04 cm3, volume sisa 14,13 cm

3, dan diameter silinder panas 6 cm. Volume silinder dingin 78,5 cm

3,

volume sisa 1,963 cm3, diameter silinder dingin 5,4 cm. Dari hasil pembuatan prototipe mesin stirling dilakukan pengujian

dengan hasil, mesin stirling mampu berputar dengan kecepatan maksimum 910 rpm tanpa beban dan 349,3 rpm dengan beban

serta torsi yang dihasilkan 0,038 Nm. Mesin stirliing berputar setelah silinder di sisi panas dipanaskan pada temperatur 300oC

dengan menggunakan sumber panas spirtus. Mesin stirling dapat berputar sampai panas dari spirtus padam atau selama 10

menit.

Kata Kunci

Energi alternatif, teori Schmidt, mesin stirling.

1. PENDAHULUAN

Pada saat ini perkembangan motor bakar menuju ke arah

motor bakar yang ramah lingkungan dan menekankan pada

pemakaian biaya yang lebih rendah. Hal ini dimungkinkan

karena adanya kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM),

kelangkaan sumber energi, sampai kepedulian tentang

masalah lingkungan seperti pemanasan global.

Mesin stirling adalah mesin pembakaran eksternal dan yang

menggunakan udara atau gas (helium, hydrogen, nitrogen,

methanol dan sebagainya) sebagai fluida kerjanya dengan

prinsip regeneratif siklus tertutup (closed-cycle

regenerative). Selain itu mesin stirling merupakan mesin

yang ramah lingkungan yang mempunyai kelebihan dalam

hal variasi sumber energi sebagai penggeraknya karena

seperti yang telah disebutkan di atas bahwa mesin stirling

tergolong mesin pembakaran luar (Eksternal Combustion

Engine).

Mesin stirling dapat digunakan untuk berbagai aplikasi,

diantaranya aplikasi multi bahan bakar, operasi yang tidak

menginginkan kebisingan karena mesin stirling tidak

mengeluarkan suara yang begitu bising dibandingkan

dengan mesin pembakaran dalam, operasi putaran rendah,

operasi yang membutuhkan daya keluaran yang konstan

dan operasi yang perioda warm-up-nya lama.

Mesin stirling ini menurut konfigurasinya terbagi menjadi

tiga jenis yaitu tipe alpha, beta dan gamma. Dari ketiga

jenis mesin stirling tersebut, yang memiliki kehandalan

paling baik adalah mesin stirling tipe gamma.

2. DASAR TEORI

Teori Schmidt

Performansi dari mesin dapat dikalkulasi dari diagram P-V.

Volume dari mesin juga dapat dengan mudah dihitung dari

geometri internalnya. Jika volume, massa dari fluida kerja

sudah dapat ditentukan, maka tekanan dapat dihitung

menggunakan metode gas ideal seperti pada persamaan di

bawah ini.

𝑃𝑉 = 𝑚𝑅𝑇 (1) Dimana:

P = Tekanan (Pa)

V = Volume (m3)

m = massa gas (kg)

R = konstanta gas (J/kgK)

T = Temperatur (K)

Parameter-parameter motor stirling dapat dihitung dengan

menggunakan asumsi-asumsi sebagai berikut :

a. Tidak ada pressure loss dan tidak ada perbedaan

internal pressure.

Page 225: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

216

b. Proses ekspansi dan proses kompresi berlangsung secara

isothermal.

c. Kondisi fluida kerja adalah udara sebagai gas ideal.

d. Terjadi regenerasi sempurna.

e. Volume sisa pada silinder panas menjaga temperatur

gas pada silinder panas - TE, volume sisa pada silinder

dingin menjaga temperatur gas pada silinder dingin - TC

selama siklus.

f. Temperatur pada regenerator adalah rata-rata temperatur

ekspansi – TE dan temperatur kompresi - TC.

g. Volume ekspansi (VE) dan volume kompresi (VC)

berubah berdasarkan fungsi sinusioda.

Gambar 1: Skema mesin stirling tipe gamma

Tabel berikut ini menunjukkan simbol-simbol yang

digunakan pada proses perancangan motor stirling.

Tabel 2: Parameter-parameter mesin stirling Nama Simbol Unit

Tekanan Mesin P Pa

Volume pada posisi piston ekspansi

atau displacerpiston VE m3

Volume pada posisi piston kompresi atau powerpiston

Vc m3

Volume sisa pada sisi ekspansi VDE m3

Volume sisa pada sisi kompresi VDC m3

Volume ekspansi VE m3

Volume kompresi Vc m3

Volume total V m3

Massa total gas kerja m Kg

Konstanta gas R J/kgK

Temperatur gas sisi ekspansi TE K

Temperatur gas sisi kompresi Tc K

Phasa Angle dx Derajat(o)

Rasio temperature t

Rasio volume V

Rasio volume mati X

Kecepatan mesin n Rps

Energi indikator kompresi WE J

Energi indikator ekspansi Wc J

Energi indicator Wi J

Daya indikator ekspansi LE W

Daya indikator kompresi Lc W

Daya indicator Li W

Efisiensi e %

Volume dari silinder ekspansi dan silinder kompresi pada

sudut engkol tertentu dihitung pertama.Volume sesaat

dideskripsikan dengan sudut engkol-x. Sudut engkol

didefinisikan sebagai x=0 ketika piston ekspansi (piston

pada silinder panas) ada pada posisi TMA. Volume

ekspansi sesaat - VE dinyatakan pada persamaan (2)

dengan asumsi (g).

𝑉𝐸 = 𝑉𝑆𝐸2 1 − cos 𝑥 + 𝑉𝐷𝐸

(2)

Volume kompresi sesaat -VC dapat dihitung dengan

persamaan (1) dan sudut fase - dx.

𝑉𝐶 = 𝑉𝑆𝐶2

{1 − cos(𝑥 − 𝑑𝑥)} + 𝑉𝐷𝐶 (3)

Volume total sesaat dihitung dengan menggunakan

persamaan (4).

𝑉 = 𝑉𝐸 + 𝑉𝐶 + 𝑉𝑅 (4) Tekanan mesin - P didasarkan dari tekanan rata-rata -

Pmean, tekanan minimum - Pmin dan tekanan maksimum -

Pmax dicari dengan persamaan.

𝑃 = 𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 1 − 𝑐2

1 − 𝑐. cos 𝑥 − 𝑎

= 𝑃𝑚𝑖𝑛 1 + 𝑐

1 − 𝑐. cos 𝑥 − 𝑎

= 𝑃𝑚𝑎𝑥 (1 − 𝑐)

1 − 𝑐. cos(𝑥 − 𝑎)

(5)

Dimana:

𝑎 = 𝑡𝑎𝑛−1𝑣 sin 𝑑𝑥

𝑡 + cos𝑑𝑥 + 1

𝑆 = 𝑡 + 2𝑡𝑋𝐷𝐸 + 4𝑡𝑉𝑅1 + 𝑡

+ 𝑣 + 2𝑋𝐷𝐶 + 1

𝐵 = 𝑡2 + 2 𝑡 − 1 𝑣 𝑐𝑜𝑠𝑑𝑥 + 𝑣2 − 2𝑡 + 1

𝑐 =𝐵

𝑆

Rasio temperatur - t, rasio volume langkah - v dan rasio

volume sisa dapat dihitung dengan persamaan di bawah ini.

𝑡 =𝑇𝐶𝑇𝐸

(6)

𝑣 =𝑉𝑆𝐶𝑉𝑆𝐸

(7)

𝑋𝐷𝐸 =𝑉𝐷𝐸𝑉𝑆𝐸

(8)

𝑋𝐷𝐶 =𝑉𝐷𝐶𝑉𝑆𝐸

(9)

𝑋𝑅 =𝑉𝑅𝑉𝑆𝐸

(10)

Energi Indikator, Daya dan Efisiensi

Energi indikator (luas area dari diagram P-V) dapat

dihitung sebagai solusi analitik dengan menggunakan

koefisien-koefisien di atas. Energi indikator pada daerah

ekspansi (indicated expansion energy) - WE(J),

berdasarkan pada tekanan rata-rata - Pmean, tekanan

Page 226: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

217

minimum- Pmin dan tekanan maksimum- Pmax diberikan

pada persamaan di bawah ini.

𝑊𝐸 = 𝑃𝑑𝑉𝐸 = 𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2

= 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2. 1 + 𝑐

1 − 𝑐

= 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2. 1 − 𝑐

1 + 𝑐

(11)

Energi indikator pada daerah kompresi (indicated

compression energy) - WC(J) diberikan pada persamaan di

bawah ini.

𝑊𝐶 = 𝑃𝑑𝑉𝐶 = −𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐𝑡 sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2

= − 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐𝑡 sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2. 1 + 𝑐

1 − 𝑐

= −𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 t sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2. 1 − 𝑐

1 + 𝑐

(12)

Energi indikator per siklus pada mesin ini - Wi(J)

dinyatakan pada persamaan di bawah ini.

𝑊𝑖 = 𝑊𝐸 + 𝑊𝐶

(13)

= 𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 (1−𝑡) sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2

= 𝑃min 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 1−𝑡 sin 𝑎

1 + 1 − 𝑐2. 1 + 𝑐

1 − 𝑐

= 𝑃𝑚𝑖𝑛 𝑉𝑆𝐸 𝜋𝑐 (1−t) sin 𝑎

1+ 1−𝑐2. 1−𝑐

1+𝑐

Hubungan antara Pmean, Pmin and Pmax diberikan pada

persamaan di bawah ini.

𝑃𝑚𝑖𝑛𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛

= 1 − 𝑐

1 + 𝑐

(14)

𝑃𝑚𝑎𝑥𝑃𝑚𝑒𝑎𝑛

= 1 + 𝑐

1 − 𝑐

(15)

Daya indikator ekspansi - LE(W), daya indikator kompresi

- LC(W) dan daya indikator mesin ini -Li(W) diberikan

melalui persamaan di bawah ini, menggunakan kecepatan

putar mesin per detik, n(rps).

𝐿𝐸 = 𝑊𝐸 𝑛 (16) 𝐿𝐶 = 𝑊𝐶 𝑛 (17) 𝐿𝑖 = 𝑊𝑖 𝑛 (18) Kemudian, efisiensi thermal dari mesin - e dapat dihitung

menggunakan persamaan di bawah ini.

𝑒 = 𝑊𝑖

𝑊𝐸

(19)

3. DESAIN DAN PEMBUATAN ALAT

Dalam pembuatan prototipe mesin striling terdapat

beberapa tahap yang dilakukan yaitu perhitungan awal

untuk menentukan dimensi mesin dengan menggunakan

persamaan-persamaan teori Schmidt, pembuatan gambar

kerja menggunakan software CAD, pemilihan bahan,

permesinan, perakitan dan pengujian.

Perhitungan dilakukan secara teoritis berdasarkan

persamaan 1-19. Mesin Stirling didesain berdasarkan

perhitungan dengan parameter temperatur, volume dan

kecepatan mesin. Parameter temperatur dan kecepatan

mesin didapat berdasarkan refferensi.3

Temperatur silinder

panas mesin stirling 300oC dan temperatur silinder dingin

30oC.

Penentuan Diameter Silinder Panas dan Displacer

Penentuan Diameter Silinder Dingin dan Power Piston

Penentuan Panjang Silinder Panas dan Displacer

Penentuan Panjang Silinder Dingin dan PowerPiston

Penentuan Dimensi Crankshaft

Penentuan Dimensi Flywheel 1

Perhitungan Rasio Temperatur, Rasio Volume dan

Rasio Volume Sisa

Perhitungan Kinerja Motor Stirling Desain

Tahap pembuatan gambar kerja dengan menggunakan

software CAD (CATIA V5R19) dilakukan untuk

memudahkan pada tahap pembuatan komponen dan

perakitan mesin stirling.

Gambar 2: Desain awal mesin stirling tipe gamma

Tabel 2: Komponen dan bahan yang digunakan pada mesin

stirling Nama Komponen Bahan

Silinder Panas Stainless steel

Displacer Alumunium

Flywheel 1 Stainless steel

Flywheel 2 Besi

Page 227: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

218

Heatsink Alumunium

Silinder dingin Stainless steel

Blok 1 Dural

Batang Penggerak Dural

Conrod Besi

Crankshaft Besi

Poros Displacer Stainless steel

Blok 2 Besi

Gambar 3. Hasil perakitan dan perbaikan mesin stirling

tipe gamma

4. PENGUJIAN ALAT

Pengujian alat dilakukan menggunakan sumber panas dari

pemanas untuk pengelasan asetilin. Peralatan ukur yang

diperlukan pada pengujian ini sebagai berikut:

1. Termometer infrared untuk mengukur temperatur

silinder panas dan dingin

2. Tachometer stroboskop digunakan untuk mengukur

putaran mesin

3. Timbangan, tali dan beban untuk mengukur torsi mesin

dengan metode rem tali

4. Burner dan tabung gas butane serta spirtus untuk

memanaskan mesin stirling

Tabel 2: Data pengujian alat setelah perbaikan

Waktu

Temperatur

Putaran

Mesin Silinder

Panas (Th)

Silinder

Dingin

(Tc)

Heatsink

Menit

ke- oC oC oC rpm

2 300,9 30,0 34,6 385,0

4 310,8 31,0 36,8 900,0

313,9 31,1 37,9 910,9

6 317,9 33,1 41,0 872,9

317,9 33,1 40,0 810,6

8 319,7 34,0 40,0 762,1

320,0 34,0 41,0 650,0

10 311,7 34,6 41,0 409,9

5. PEMBAHASAN

Pada pengujian awal mesin stirling ini tidak dapat bekerja

ataupun tidak mencapai parameter kinerja sesuai rancangan.

Maka dilakukan perbaikan dan penambahan komponen,

dikarenakan desain awal yang dibuat mesin tidak dapat

bekerja pada saat dilakukan pengujian.

Perbaikan komponen pada mesin stirling dilakukan

diantaranya pada:

1. Conrod dan Piston.

Pada komponen conrod, dilakukan perubahan dengan

panjang dan tebal yang lebih kecil, yaitu panjang dari

conrod dirubah menjadi 90 mm dan tebal 4 mm. Pada

komponen conrod juga, dilakukan perubahan bahan

menjadi besi. Pada permukaan piston dibuat menjorok

kedalam 1 mm agar menjadi tempat pelumas.

2. Displacer

Pada komponen displacer dilakukan perubahan pada

bahannya yaitu dari bahan stainless steel menjadi bahan

alumunium. Sifat alumunium yang secara cepat

menyerap panas dapat membantu proses pendinginan

udara panas sebelum masuk kedalam silinder dingin.

3. Crankshaft

Komponen crankshaft dilakukan perubahan ukuran,

bahan maupun bentuk. Dari hasil pengujian-pengujian

sebelumnya didapat bahwa mesin tidak mempunyai

tolakan untuk membantu mesin berputar secara terus

menerus dan hal ini dapat dilakukan dengan mengubah

komponen crankshaft. Komponen inilah yang mampu

membantu mesin berputar secara terus menerus selain

flywheel.

4. Flywheel

Flywheel dilakukan penggantian dengan yang

mempunyai massa lebih berat agar membantu tolakan

mesin sehingga mesin dapat berputar secara terus

menerus.

Dari perbaikan dan penyempurnaan yang telah dilakukan,

maka mesin stirling menjadi sedikit berbeda dengan

awalnya.

Analisis Hasil Pengujian Alat.

Hasil pengujian setelah dilakukan perbaikan diketahui

bahwa mesin stirling dengan menggunakan sumber panas

dari spirtus mampu memanaskan silinder panas sampai

temperature 320 °C. Sumber panas inilah yang digunakan

untuk menggerakkan piston dari silinder panas ke silinder

dingin. Pengujian berlangsung selama spirtus sebagai

sumber panas menyala yaitu sekitar 10 menit.

Selama pengujian mesin stirling mampu menghasilkan

putaran sampai 910,9 rpm. Putaran 900 rpm dicapai setelah

Page 228: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

219

pengujian mencapai waktu 4 menit dan temperature silinder

panas mencapai 310,8°C.

Selama pengujian yang berlangsung selama kurang lebih 10

menit mesin stirling mengalami penurunan kecepatan

putaran setelah melewati waktu pengujian 5 menit. Hal ini

disebabkan karena terjadi kebocoran pada bagian silinder

dingin dan powerpiston. Kebocoran tersebut menyebabkan

tekanan didalam silinder menjadi berkurang. Hal ini yang

menyebabkan kecepatan mesin semakin lama semakin

berkurang.

Agar pembuatan mesin stirling menjadi lebih baik, maka

dalam pembuatannya harus lebih memperhatikan hal-hal

berikut:

a. Gesekan antara power piston dan dinding silinder panas

diharapkan sekecil mungkin bahkan tidak terjadi.

b. Gesekan power piston dan dinding silinder dingin harus

sekecil mungkin dan harus menghasilkan kompresi yang

baik.

c. Pemilihan bahan yang harus sesuai dengan karakteristik

tiap komponen.

d. Harus adanya regenerator/heat sink/pendinginan yang

baik antara sisi dingin dan sisi panas untuk menciptakan

perbedaan temperatur yang baik.

e. Hindari kebocoran pada mesin dibagian manapun agar

udara benar-benar vakum dan menghasilkan kinerja

yang baik.

6. KESIMPULAN

Dari hasil perhitungan, pembuatan dan serangkaian

pengujian alat dapat disimpulkan bahwa:

a. Ukuran mesin stirling keseluruhan yaitu 400,71mm x

120mm x 200mm.

b. Mesin stirling yang telah dibuat dapat berputar dengan

menghasilkan putaran maksimum 910,9, rpm tanpa

dibebani.

c. Mesin dapat berputar dengan pemanasan pada silinder

panas dengan temperatur 300,9oC dan temperatur

silinder dingin 30oC.

d. Mesin mampu berputar selama sumber panas yang

diberikan pada silinder sisi panas masih menyala. Hasil

pengujian, mesin dapat berputar selama 10 menit hingga

sumber panas dari spirtus padam.

e. Masih terjadi sedikit kebocoran pada silinder dingin dan

piston yang menyebabkan putaran mesin semakin lama

semakin menurun.

ACKNOWLEDGEMENT

Penelitian ini didukung oleh JurusanTeknikKonversi

Politeknik Negeri Bandung

DAFTAR PUSTAKA

[1] Christop, Maier, et.al.. 2007. Stirling Engine.

University og Gàvle

[2] Chen, when-lih, King-Leung Wong, Li Wen Po. A

numerical analysis on the performance of a

pressurized twin power piston gamma-type Stirling

engine. Taiwan: Clean Energy Center.

[3] Khirata, Koichi . Bekkoame Home Page, Schmidt

theory for Stirling engines . Stirling engine home page

[online]. diakses tanggal 3 Januari 2013. dari :

http://www.bekkoame.ne.jp/_khirata

[4] Lloyd, Caleb C.. 2009. A Low Temperatur

Differential Stirling Engine ForPower Generation.

University of Catenbury.

[5] Maleev, V.L.. 1945. Internal Combustion Engines–

Theory and Design 2nd edition.

[6] London: McGraww-Hill Book Company,Inc.

[7] Martini, William M..1978. Stirling Engine Design

Manual 2nd Edition . Washington D.C: University of

Washington, Prepared for NASA.

[8] Miller, Fletcher J. 2009. Stirling Solar Engine Design

Report . San Diego State University.

[9] Power from the Sun. (2008). Power Cycles for

Electricity Generation. Diakses 15 Oktober 2012 dari

http://www.powerfromthesun.net/Book/chapter12/cha

pter12.html#12.3 Stirling Cycle Engines

[10] Yuliarto M, Anggit. 2010. Perencanaan

Termodinamika dan Pengujian Prototipe Motor

Stirling Tipe Alpha Dengan Konvigurasi V-90.

Bandung: ITENAS.

Page 229: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

220

Rancang Bangun Alat Pirolisis Sederhana dengan Redestilator untuk

Pembuatan Asap Cair dari Tempurung Kelapa

Ika Yuliyani, Sapto Prayogo

Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung,Bandung 40012

[email protected]

ABSTRAK

Asap cair atau smoke liquid merupakan suatu hasil destilasi atau pengembunan uap hasil pembakaran tidak sempurna dari

bahan bahan yang banyak mengandung karbon serta senyawa-senyawa lain. Asap cair dapat memiliki fungsi penghambat

perkembangan bakteri dan aman sebagai pengawet alami, hal ini karena di dalam distilat asap terkandung senyawa: phenolat,

karbonil, dan asam. Sifat antioksidan dan antimikroba terutama diperoleh dari senyawa-senyawa phenol yang merupakan salah

satu komponen aktif dalam asap cair. Asap cair dapat dimanfaatkan untuk berbagai keperluan diantaranya sebagai bahan

pengawet makanan. Penelitian ini bertujuan untuk Mendesain, membuat dan menguji alat penghasil asap cair yaitu reaktor

pirolisis dengan redestilator sederhana dan mampu memghasilkan asap cair yang berkualitas yang aman untuk pengawet

makanan dengan kandungan phenol dan asam yang tinggi. Dari penelitian dihasilkan alat pirolisis sederhana dengan

redestilator mempunyai kapasitas 6 kg dan mampu menghasilkan asap cair berkualitas dengan mutu grade 2 yang aman untuk

makanan. Pada pengujian dengan bahan 3 kg mampu memproduksi asap sebanyak 1375 mL selama 3-4 jam. Kandungan

phenol dan asam dalam asap cair diketahui sebanyak 4,24 % dan 13,1 %. Temperatur reaktor 400-450 ˚C adalah temperatur

yang baik untuk memproduksi asap cair dengan kandungan phenol dan asam yang baik

.

Kata Kunci Asap cair, Pirolisis, Redestilator, Phenol

1. PENDAHULUAN

Asap cair atau smoke liquid merupakan suatu hasil destilasi

atau pengembunan uap hasil pembakaran tidak sempurna

dari bahan bahan yang banyak mengandung karbon serta

senyawa-senyawa lain. Bahan baku yang digunakan

biasanya adalah tempurung kelapa, bonggol jagung, kayu,

bongkol kelapa sawit, ampas hasil penggergajian kayu dan

lain sebagainya.

Pada proses produksi kandungan senyawa-senyawa dalam

asap cair, dipengaruhi oleh kondisi pembakaran seperti

tekanan, suhu pembakaran dan lamanya waktu pembakaran.

Asap cair mengandung kelompok senyawa asam dan

turunannya, seperti alkohol, aldehid, hidrokarbon, keton,

fenol, dan piridin. Senyawa-senyawa ini tidak sepenuhnya

sesuai dengan penggunaan asap cair sebagai antimikroba,

antioksidan, bioinsektisida dan penggunaan lainnya

Kualitas asap cair ditentukan oleh kemurnian senyawa-

senyawa yang terkandung di dalamnya, khususnya phenol

dan asam organik. Oleh karena itu untuk menghasilkan asap

cair berkualitas tinggi dan aman untuk digunakan pada

makanan diperlukan proses pemurnian. Proses pemurnian

untuk memisahkan senyawa-senyawa tersebut sehingga

didapatkan komponen asap cair yang diinginkan.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Asap Cair

Asap cair merupakan suatu campuran larutan dan disperse

koloid dari uap asap kayu dalam air yang diperoleh dari

hasil pirolisa kayu (Putnam 1999). Asap diproduksi dengan

cara pembakaran yang tidak sempurna yang melibatkan

reaksi dekomposisi konstituen polimer menjadi senyawa

organic dengan berat molekul rendah karena pengaruh

panas yang meliputi reaksi oksidasi, polimerasi, dan

kondensasi (Girrard 1992).

Menurut Tranggono et al. (1996) asap cair tempurung

kelapa memiliki 7 macam komponen dominan, yaitu

phenol, 3-metil-1,2-siklopentadion, 2-mektosiphenol, 2-

mektosi-4-metilphenol, 4-etil-2-metoksiphenol, 2,6-

dimektosiphenol, dan 2,5-dimektosi benzil alkohol yang

semuanya larut dalam eter.

Phenol merupakan zat aktif yang dapat memberikan efek

antibakteri dan antimikroba pada asap cair. Selain itu,

phenol juga dapat memberikan efek antioksidan kepada

bahan makanan yang akan diawetkan

Page 230: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

221

2.2 Kualitas Asap Cair

Kualitas dari asap Cair dibedakan atas penggunaannya. Ada

3 jenis kualitas asap cair yang dinamakan grade asap cair,

yaitu sebagai berikut :

Asap cair grade 3 yaitu warna coklat gelap, rasa asam

kuat, aroma asap kuat, digunakan untuk penggumpal

karet pengganti asam semut, penyamakan kulit,

pengganti antiseptik untuk kain, menghilangkan jamur

dan mengurangi bakteri pathogen. Tidak dapat

digunakan untuk pengawet makanan, karena masih

banyak mengandung tar yang karsinogenik.

Asap cair grade 2 yaitu warna kecoklatan transparan,

rasa asam sedang, aroma asap lemah, digunakan untuk

makanan dengan taste asap (daging asap, bakso, mie,

tahu, ikan kering, telur asap, bumbu-bumbu barbaque,

ikan asap/bandeng asap). Asap cair digunakan untuk

pengawet makanan sebagai pengganti formalin, rasa

asam sedang, aroma asap lemah.

Asap cair grade 1 digunakan sebagai pengawet makanan

seperti bakso, mie, tahu, bumbu-bumbu barbaque,

berwarna bening, rasa sedikit asam, aroma netral,

merupakan asap cair yang paling bagus kualitasnya dan

tidak mengandung senyawa yang berbahaya lagi untuk

diaplikasikan untuk produk makanan.

2.3 Pemurnian asap cair dengan Redestilasi

Proses destilasi merupakan metode yang digunakan untuk

memisahkan komponen-komponen yang ada di dalam suatu

larutan atau cairan, yang tergantung pada distribusi

komponen-komponen tersebut antara fase uap dan fase cair.

Semua komponen-komponen ini terdapat dalam kedua fase

tersebut. Fase uap terbentuk dari fase cair melalui

penguapan pada titik didihnya (Geankoplis, 1983). Distilasi

asap cair dilakukan untuk menghilangkan senyawa-

senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya, seperti

poliaromatik hidrokarbon (PAH) dan tar, dengan cara

pengaturan suhu didih sehingga diharapkan didapat asap

cair yang jernih, bebas ter dan benzopiren (Darmaji, 2002).

Senyawa utama yang terkandung di dalam tar yang

merupakan hasil dari suatu proses distilasi adalah senyawa

phenol yang terdapat dalam jumlah yang sedikit terutama

terdiri dari senyawa piridin dan quinolin (Holleman, 1903).

2.4 Pirolisis

Pirolisis adalah proses pemanasan suatu zat tanpa adanya

oksigen sehingga terjadi penguraian komponen-komponen

penyusun kayu keras. Istilah lain dari pirolisis adalah

penguraian yang tidak teratur dari bahan-bahan organik

yang disebabkan oleh adanya pemanasan tanpa

berhubungan dengan udara luar.

Menurut Kamaruddin et al.(1999) dalam pirolisis terdapat

dua tingkatan proses, yaitu pirolisis primer dan pirolisis

sekunder. Pirolisis primer adalah pirolisis yang terjadi pada

bahan baku dan berlangsung pada suhu kurang dari 600 oC,

hasil penguraian yang utama adalah karbon (arang).

Pirolisis sekunder yaitu pirolisis yang terjadi atas partikel

dan gas/uap hasil pirolisis primer dan berlangsung diatas

suhu 600 oC.hasil pirolisis pada suhu ini adalah

karbonmonoksida (CO), hydrogen (H2), dan hidrokarbon.

Reaktor Pirolisis adalah alat pengurai senyawa-senyawa

organik yang dilakukan dengan proses pemanasan tanpa

berhubungan langsung dengan udara luar dengan suhu 300-

600 °C. Reaktor pirolisis dilapisi oleh isolator seperti bata

dan tanah untuk menghindari panas keluar berlebihan, serta

memakai bahan bakar minyak atau gas sumber panasnya.

Proses pirolisis menghasilkan zat dalam tiga bentuk yaitu

padat, gas dan cairan (Buckingham, 2010).

3. METODE PENELITIAN

Penelitian ini dilaksanakan diLab. Pembangkit Tenaga

Termal Jurusan Teknik Konversi Energi Politeknik Negeri

Bandung. Waktu kegiatan penelitian ini dilaksanakan mulai

bulan Juni 2012- Januari 2013.

Metode penelitian yang digunakan merupakan metode

rekayasa, dengan langkah pertama studi literature,

dilanjutkan dengan perancangan bentuk, pembuatan, dan

pengujian alat dengan pengamatan parameter ukur serta

pengujian kualitas uapnya.

3.1 Rancangan dan Pembuatan Alat

Rancangan alat penghasil asap cair ditentukan dari

kapasitas reaktor pirolisis yang diinginkan, yaitu

mempunyai kapasitas 6 kg dengan tipe pirolisis primer

lambat (200-400 °C). Rancangan atau desain alat dilakukan

menggunakan metode perhitungan kapasitas reaktor

pirolisis. Desain dari alat penghasil asap cair dapat dilihat

pada gambar berikut.

Gambar 1: Rancangan sistem penghasil asap cair

Keterangan gambar :

Page 231: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

222

1. Reaktor pirolisis,

2. Pipa penghubung antara tungku pirolisator dan

kondensor,

3. Tabung kondensor,

4. Burner,

5. Pompa air,

6. Pipa sirkulasi air masuk kondensor,

7. Pipa sirkulasi air keluaran kondensor,

8. Bejana penampungan air untuk pendingin kondensor,

9. Katup pengeluaran asap cair.

Pembuatan alat dilaksanakan sesuai dengan hasil

perancangan dan dilaksanakan di Lab. Teknik Konversi

Energi Polban. Hasil pembuatan alat dapat dilihat pada

Gambar 2.

Gambar 2: Sistem Pirolisis sederhana dengan redestilator.

4. PENGUJIAN ALAT

Pengujian alat dilakukan dengan menggunakan 2 metode

pengujian, yaitu:

1. Pengujian tanpa menggunakan proses redestilasi

2. Pengujian dengan menggunakan proses redestilasi.

Pengujian dilaksanakan sesuai dengan prosedur pengujian.

Adapun parameter yang diamati dari pengujian adalah

Kapasitas efektif alat dilakukan dengan menghitung

banyaknya asap cair yang dihasilkan (liter) tiap satuan

waktu yang dibutuhkan selama proses pembakaran (jam).

Temperatur pembakaran dan pengambilan sample untuk

analisis kimia untuk mengetahui kandungan phenol dan

kadar asam dari asap cair.

Hasil pengujian alat diperoleh data sebagai berikut:

a. Pengujian produksi asap cair dari alat pirolisis tanpa

redestilasi. Pengujian dilakukan dengan pengaturan

temperatur pada reaktor pirolisis, yaitu pada temperatur

200-500˚C. Pengujian menggunakan bahan tempurung

kelapa yang sudah dikeringkan, masing-masing setiap

pengujian sebanyak 3 kg dan waktu pembakaran

berlangsung sekitar 3-4 jam. Dari hasil pengujian alat

diperoleh asap cair dengan warna coklat gelap.

Tabel 1: Produksi asap cair alat pirolisis tanpa redestilasi

Suhu

Pirolisis

(˚C)

Total

Fenol

(%)

200-250 0.92

250-300 2.56

300-400 3.24 450-500 4.82

b. Pengujian produksi asap cair dengan redestilasi. Dalam

pembuatan asap cair, distilasi bertujuan untuk

memisahkan tar yang bersifat karsinogenik. Suhu yang

dibutuhkan pada destilasi tidak setinggi pada pirolisis.

Suhu sekitar 120˚C–200˚C. Destilasi sederhana

dilakukan secara bertahap, sejumlah campuran

dimasukkan ke dalam sebuah reaktor destilasi,

dipanaskan bertahap dan dipertahankan selalu berada

dalam tahap pendidihan kemudian uap yang terbentuk

dikondensasikan dan ditampung dalam wadah. Hasil

pengujian alat dengan redestilasi diperoleh asap cair

dengan warna coklat transfaran.

Gambar 3: Asap cair hasil pengujian

Tabel 2: Produksi asap cair pirolisis dengan

redestilasi

Volume Asap Cair (ml) Pada Temperatur

Pirolisis

200-

250(˚C)

250-

300(˚C)

300-

400(˚C)

450-

500(˚C)

1200 1330 1370 1375

Page 232: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

223

c. Hasil pengujian dari laboratorium Teknik kimia untuk

mengetahui kandungan phenol dan asam pada asap cair

yang dihasilkan dari pengujian alat adalah sebagai

berikut.

Tabel 3: Total fenol pada pengujian alat pirolisis

tanpa redestilasi

Tabel 4: Total Asam pada pengujian alat pirolisis

tanpa redestilasi

Suhu Pirolisis (˚C) Total Asam (%)

200-250 13.12

250-300 13.30

300-400 13.34

450-500 13.33

Tabel 5: Total fenol dan total Asam pada pengujian

dengan redestilasi

Suhu

Pirolisis

(˚C)

Total Fenol (%) Total Asam (%)

Awal Redestilasi Awal Redestilasi

250-300 2.76 0.9 11.66 8.06

300-400 4.24 2 13.1 8.81

5. ANALISIS DATA

5.1 Kualitas Asap Cair

Hasil pengujian dari alat pirolisis sederhana yang sudah

dibuat mampu memproduksi asap cair sebanyak 1200-1375

mL dari bahan baku tempurung kelapa sebanyak 3 kg. Dari

data pengujian, diketahui bahwa produksi asap cair

dipengaruhi oleh temperatur reaktor pirolisis. Untuk

mendapatkan produksi asap cair yang baik maka sebaiknya

dilakukan pada temperatur reaktor antara 400-450˚C,

karena pada temperatur tersebut diperoleh jumlah asap cair

yang lebih banyak dibandingkan dengan pengaturan

temperatur dibawah 400˚C dan temperatur diatas 450˚C.

Kualitas Asap cair yang dihasilkan pada pengujian alat

tanpa redestilator diketahui memiliki mutu grade 3, karena

dari hasil pengujian menghasilkan warna asap dengan

warna coklat gelap dan memiliki rasa asam dan aroma asap

yang kuat. Dari teori asap cair jenis ini tidak dapat

digunakan untuk pengawet makanan, karena masih banyak

mengandung tar yang karsinogenik. Sehingga tidak aman

diaplikasikan untuk pengasapan dan pengawet makanan,

karenanya diperlukan proses lebih lanjut untuk

meningkatkan mutu asap cair dari grade 3 menjadi grade 2

dan 1 yang aman diaplikasikan untuk makanan dengan

tahap pengujian redestilasi.

Destilasi adalah suatu proses pemisahan suatu komponen

dari suatu campuran dengan menggunakan dasar bahwa

beberapa komponen dapat menguap lebih cepat daripada

komponen yang lainnya. Ketika uap diproduksi dari

campuran, uap tersebut lebih banyak berisi komponen-

komponen yang bersifat lebih volatil, sehingga proses

pemisahan komponen-komponen dari campuran dapat

terjadi

Hasil pengujian alat dengan redestilasi diketahui kualitas

asap cair yang dihasilkan memiliki mutu grade 2, karena

dari hasil pengujian menghasilkan warna asap cair coklat

transparan, dan volume asap cair berkurang sekitar 50 %

dari kondisi awal. Hal ini disebabkan karena adanya

rendeman. Adanya alat redestilasi pada alat pirolisis ini

bertujuan untuk menaikkan kualitas asap cair sehingga

dapat digunakan langsung untuk pengawet makanan.

Kandungan Fenol dan Asam

Kandungan total fenol dan total asam pada asap cair yang

dihasilkan dari alat pirolisis diketahui bahwa asap cair

tersebut memenuhi standar mutu dari asap cair. Karena nilai

total fenol dan total asam berada pada range nilai yang

diijinkan. Dari refferensi standar mutu komposisi kimia

asap cair tempurung kelapa adalah karbonil 13,28%, asam

11,39%, fenol 2,10-5,13%.

Senyawa fenol pada asap cair memiliki peranan dalam rasa

dan aroma asap, selain itu senyawa fenol menunjukkan

aktivitas antioksi dan memberikan sifat antioksidan

terhadap fraksi minyak dalam produk asapan. Sedangkan

kandungan asam pada asap cair juga sangat efektif dalam

mematikan dan menghambat pertumbuhan mikroba pada

produk makanan yaitu dengan cara senyawa asam ini

menembus dinding sel mikroorganisme yang menyebabkan

sel mikroorganisme menjadi lisis kemudian mati, dengan

menurunnya jumlah bakteri dalam produk makanan maka

kerusakan pangan oleh mikroorganisme dapat dihambat

sehingga meningkatkan umur simpan produk pangan.

Keuntungan dan Kelemahan Asap Cair

Penggunaan asap cair pada makanan memberikan

keuntungan dalam pemberian citarasa, kontrol hilangnya

citarasa lebih mudah, dan dapat diaplikasikan pada

berbagai jenis bahan pangan. Selain itu pemakaian produk

asap cair dapat digunakan sebagai penghemat dalam

pemakaian kayu bakar serta dapat mengurangi polusi

lingkungan.

Selain itu keuntungan lain yang diperoleh dari asap cair,

adalah sebagai berikut :

Suhu Pirolisa

(˚C) Volume

awal asap

cair (ml)

Volume

destilat

(ml)

Rendemen

(%)

250-300 1360 710 50,71

300-400 1470 780 53,79

Page 233: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

224

• Keamanan Produk Asapan.

Penggunaan asap cair yang diproses dengan baik dapat

mengeliminasi komponen asap berbahaya yang berupa

hidrokarbon polisiklis aromatis. Komponen ini tidak

diharapkan karena beberapa di antaranya terbukti

bersifat karsinogen pada dosis tinggi. Melalui

pembakaran terkontrol, aging, dan teknik pengolahan

yang semakin baik, tar dan fraksi minyak berat dapat

dipisahkan sehingga produk asapan yang dihasilkan

mendekati bebas PAH. Aktivitas Antioksi dan adanya

senyawa fenol dalam asap cair memberikan sifat

antioksidan terhadap fraksi minyak dalam produk

asapan. Dimana senyawa fenolat ini dapat berperan

sebagai donor hidrogen dan efektif dalam jumlah sangat

kecil untuk menghambat autooksidasi lemak.

• Aktivitas Antibakterial

Peran bakteriostatik dari asap cair semula hanya

disebabkan karena adanya formaldehid saja tetapi

aktivitas dari senyawa ini saja tidak cukup sebagai

penyebab semua efek yang diamati. 30 kombinasi antara

komponen fungsional fenol dan kandungan

asamorganik yang cukup tinggi bekerja secara sinergis

mencegah dan mengontrol pertumbuhan mikrobia.

Kandungan kadar asam yang tinggi dapat menghambat

pertumbuhan mikrobia karena mikrobia hanya bisa

tumbuh pada kadar asam yang rendah (Pszczola,

1995). Adanya fenol dengan titik didih tinggi dalam

asap juga merupakan zat antibakteri yang tinggi.

• Potensi pembentukan warna coklat

Karbonil mempunyai efek terbesar pada terjadinya

pembentukan warna coklat pada produk asapan. Jenis

komponen karbonil yang paling berperan adalah aldehid

glioksal dan metal glioksal sedangkan formaldehid dan

hidroksiasetol memberikan peranan yang rendah. Fenol

juga memberikan kontribusi pada pembentukan warna

coklat pada produk yang diasap meskipun intensitasnya

tidak sebesar karbonil.

• Kemudahan dan variasi penggunaan

Asap cair bisa digunakan dalam bentuk cairan, dalam

fasa pelarut minyak dan bentuk serbuk sehingga

memungkinkan penggunaan asap cair yang lebih luas

dan mudah untuk berbagai produk.

Asap cair juga mengandung senyawa yang merugikan yaitu

tar dan senyawa benzopiren yang bersifat toksik dan

karsinogenik serta menyebabkan kerusakan asam amino

esensial dari protein dan vitamin. Pengaruh ini disebabkan

adanya sejumlah senyawa kimia di dalam asap cair yang

dapat bereaksi dengan komponen bahan makanan. Upaya

untuk memisahkan komponen berbahaya di dalam asap cair

dapat dilakukan dengan cara redistilasi, yaitu proses

pemisahan kembali suatu larutan berdasarkan titik didihnya.

Redistilasi dilakukan untuk menghilangkan senyawa-

senyawa yang tidak diinginkan dan berbahaya sehingga

diperoleh asap cair yang jernih, bebas tar, poliaromatik

hidrokarbon (PAH) dan benzopiren pendispers.

6. KESIMPULAN

Dari rancang bangun alat pirolisis sederhana dengan

redestilator menggunakan bahan tempurung kelapa, maka

didapat kesimpulan:

a. Telah dihasilkan alat pirolisis sederhana dengan

redestilator yang berfungsi menghasilkan asap cair,

dengan kapasitas bahan tempurung kelapa 6 kg mampu

menghasilkan asap cair dengan kualitas mutu grade 2.

b. Pada pengujian alat pirolisis tanpa redestilator mampu

menghasilkan asap cair dengan kualitas mutu grade 3.

c. Temperatur reaktor 400-450 ˚C adalah temperatur yang

baik untuk memproduksi asap cair dengan kandungan

fenol dan asam yang baik.

d. Kandungan fenol asap cair yang dihasilkan yaitu antara

0,92-4,82 %, sedangkan total asam 11,66-13,43 %.

ACKNOWLEDGEMENT

Penelitian ini didukung oleh Jurusan Teknik Konversi

Politeknik Negeri Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Danarto, Y.C., 2008, Pirolisis Sekam Padi dengan

Katalisator Zeolit, Prosiding Seminar Nasional

Kimia dan Pendidikan Kimia, FMIPA-UNS Anonim.

1982. Kelapa sebagai Bahan Baku Industri. Badan

Penelitian dan Pengembangan Industri: Jakarta.

[2] Darmadji, P. 2002. Optimasi Pemurnian Asap Cair

dengan Metoda Redistilasi. Jurnal Teknologi dan

Industri Pangan 13(3), 267-271.

[3] Solichin, M. 2007. Penggunaan Asap Cair Deorub

dalam Pengolahan RSS. Jurnal Penelitian Karet,

Vol.25(1) : 1-12.

[4] Tsai, W.T., Lee, M.K., and Chang, Y.M., 2007, Fast

Pyrolysis of Rice Husk : Product Yields and

Compositions, Bioresource Technology, 98, 22-28.

[5] Gumanti, F. M. 2006. Kajian Sistem Produksi Distilat

Asap Tempurung Kelapa dan Pemanfaatannya

sebagai Alternatif Bahan Pengawet Mie Basah.

Skripsi. Fakultas Teknologi Pertanian. Institut

Pertanian Bogor. Bogor.

[6] Bridgewater, A.V., 2005, Biomass Fast

Pyrolysis,Thermal Science, 8(2), 21-49.

[7] Pszczola, D. E. 1995. Tour Higlights Production and

Uses of Smoke Base Flavors. Food Tech. (49): 70-74.

[8] Hanendyo, C. 2005. Kinerja Alat Ekstrasi Asap Cair

dengan Sistem Kondensasi. Skripsi. Fakultas

Perikanan. Institut Pertanian Bogor. Bogor.

[9] Gusmailina, G. Pari dan S. Komarayati. 2000.

Pengolahan Limbah Melalui Teknik Pemanfaatan

Arang Untuk Membangun Kesuburan Lahan.

Prosiding Lokakarya Penelitian Hasil Hutan. PPHH

Page 234: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

225

Badan Penelitian dan Pengembangan Hutan

Departemen Kehutanan. Bogor. Hal.: 249-258.

[10] Anonim. 1993. Konperensi Nasional Kelapa III. Pusat

Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri:

Yogyakarta.

[11] Asnawi, S. Dan S. N. Darwis. 1985. Prospek Ekonomi

Tanaman Kelapa dan Masalahnya di Indonesia.

Departemen Pertanian, Badan Penelitian dan

Pengembangan Pertanian, Balai Penelitian Kelapa

Manado, Manado.

[12] Child, R. 1974. Coconuts. Longman Group. Second

Edition. London.

[13] Figueiredo, J. L. & Molujin, J. A. 1986. Carbon and

Coal Gasification. Martinus Nijhoff Publishing.

Lancaster.

[14] Foale, M. 2003. The Coconut Odyssey : The Bouteous

Possibilities of The Tree of Life.Canberra: Australian

Centre for International Agriculture Research.

[15] Hassler, W. 1974. Activated Carbon : Industrial,

Commercial and Environmental. Chemical Publishing

Co., Inc. New York.

[16] Tranggono, dkk. 1996. Identifikasi Asap cair dari

berbagai jenis kayu dan tempurung kelapa. J. ilmu

dan Tek. Pangan. Vol. 1(2) : 15-24.

Page 235: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

226

Analisa Deformasi Material 100MnCrW4 (Amutit S) Pada Dimensi Dan

Media Quenching Yang Berbeda

Muhammad Subhan

Jurusan Teknik Mesin, Politeknik Manufaktur Negeri Bangka Belitung, Sungailiat, 33211

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Dari analisa awal, terjadinya gejala deformasi material 100MnCrW4 (Amutit S) akibat perlakuan panas dapat disebabkan

beberapa faktor antara lain ; pengaruh temperatur pemanasan, posisi penempatan material dalam kotak pengepakan (packaging

box), posisi pencelupan benda kerja ke dalam media quenching dan jenis media quenching. Pada pengujian ini pengamatan

difokuskan pada jenis media quenching yang digunakan dengan menganggap faktor-faktor lainnya sebagai penyebab

deformasi diminimalkan sedemikian rupa dengan cara melaksanakan pengujian sesuai dengan prosedurnya.

Menurut data spesifikasi bahan, material ini diquenching dalam media oli dan air garam (2000-250

0C untuk < 20mm). Pada

percobaan ini akan dilakukan pengujian terhadap bahan uji yang memiliki dimensi yang berbeda-beda ( 12, 17, 22,

27, 32dengan panjang masing-masing 250 mm) dengan media quenching udara dan oli. Dari kedua jenis media quenching

ini akan terlihat berapa besar tingkat deformasi yang terjadi pada setiap bahan uji dengan melakukan pengujian kelurusan.

Hasil dari penelitian ini didapatkan untuk meminimalisir tingkat deformasi dan mendapatkan harga kekerasan di atas 60 HRC

maka bahan uji dengan dimensi 12 x 250 dan 17 x 250 sebaiknya diquenching dengan media udara sembur sementara

bahan uji dengan dimensi 22 x 250,27 x 250 dan 32 x 250 diquenching dengan media oli.

Kata Kunci

Deformasi, perlakuan panas, media quenching

1. PENDAHULUAN

Material dengan nomor standar DIN 1.2510 100MnCrW4

adalah jenis baja paduan rendah yang dalam pemakaiannya

antara lain digunakan untuk cutting tools, trimming dies,

forming dies, punching tools, yang dipergunakan dalam

temperatur rendah (temperatur ruang). Pada saat dilakukan

perlakuan panas, material ini sering mengalami problem

deformasi (bending) setelah diquenching yang akan

mempengaruhi kelurusan dari material tersebut. Penelitian

ini akan melihat berapa besar perbedaan tingkat kekerasan

dan penyimpangan kelurusan yang terjadi pada setiap benda

uji menggunakan 2 media quenching yang berbeda yaitu oli

dan udara. Pengujian bahan uji yang dilakukan adalah

pengujian kelurusan, pengujian kekerasan dan pengujian

mikro struktur.

Penelitian ini bertujuan mengetahui tingkat penyimpangan

yang terjadi dan harga kekerasan pada masing-masing

bahan uji dengan perbedaan dimensi dan media quenching.

Dari data-data tingkat penyimpangan dan harga kekerasan

tersebut dapat ditentukan perlakuan yang cocok (jenis

media quenchingnya) sesuai dengan dimensi bahan uji yang

bertujuan meminimalisir tingkat deformasi yang terjadi

dengan kekerasan minimal 60 HRC.

2. BAHAN DAN METODE

2.1 Bahan

Material yang diuji dalam penelitian ini adalah jenis

100MnCrW4, produk dari Bohler dengan nama dagang

K460 (Amutit S), dengan dimensi awal benda uji :

1. 16,5 x 300 (2pcs)

2. 20,5 x 300 (2pcs)

3. 25,5 x 300 (2pcs)

4. 33,5 x 300 (2pcs)

5. 35,5 x 300 (2pcs)

Kekerasan awal material ini adalah 185 HB. Adapun

komposisi dari material ini dapat dilihat pada tabel 3.1.

Tabel 1: Komposisi unsur yang terkandung

dalam bahan uji

UNSUR KOMPOSISI (%)

Fe 96

C 0,95

Si 0,25

Mn 1,10

Cr 0,55

V 0,10

W 0,55

Ni 0,20

Mo 0,06

Page 236: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

227

2.2 Proses Machining dan Pengukuran Dimensi

Bahan Uji

Proses machining yang dilakukan terhadap bahan uji

dilakukan untuk mendapatkan dimensi bahan uji yang

diinginkan pada proses pengujian. Proses machining ini

dilakukan dimensi bubut dengan pencekaman between

center untuk mendapatkan penyimpangan kelurusan awal

yang sekecil mungkin. Dari proses machining ini

diinginkan dimensi bahan uji sebagai berikut :

12 ±0,1 x 250 (2pcs)

17 ±0,1 x 250 (2pcs)

22 ±0,1 x 250 (2pcs)

27 ±0,1 x 250 (2pcs)

32 ±0,1 x 250 (2pcs)

2.3 Pengujian Kelurusan

Pengujian kelurusan dilakukan untuk mengetahui berapa

besar tingkat deformasi dari bahan uji. Pengamatan

dilakukan dengan membandingkan tingkat deformasi dari 2

pcs bahan uji yang memiliki dimensi yang sama yang

kemudian diqenching dengan media quenching yang

berbeda yaitu oli dan udara.

Pengujian kelurusan ini dilakukan pada saat sebelum dan

sesudah proses perlakuan panas. Pengujian sebelum

perlakuan panas penting dilakukan untuk mengetahui

tingkat penyimpangan awal dari bahan uji yang

dilaksanakan setelah proses machining.

Proses pengujian kelurusan ini menggunakan dial indikator

dengan tingkat kecermatan 0,01 mm. Langkah-langkah

proses pengujian kelurusan ini adalah sebagai berikut :

1. Bahan uji dicekam di mesin bubut menggunakan

pencekaman between center.

2. Tempatkan posisi jarum dial indikator pada pertengahan

posisi horizontal dan vertikal pada bahan uji.

Gambar 1: Posisi jarum dial indikator pada pertengahan

arah horisontal dan vertikal bahan uji

3. Putar bahan uji hingga jarum dial indikator

menunjukkan posisi yang paling besar

penyimpangannya

4. Gerakkan dial indikator sepanjang bahan uji

menggunakan carriage mesin.

Gambar 2: Pengukuran kelurusan bahan uji

5. Lakukan pengukuran penyimpangan kelurusan bahan

uji pada 9 posisi yaitu dimulai dari jarak 5 mm dari

ujung kemudian dilanjutkan pada jarak 30 mm

berikutnya.

2.4 Proses Hardening

Referensi [1] menyatakan pengerasan baja (hardening)

berarti baja pada temperatur austenisasi didinginkan

secara mendadak (diquenching) dengan kecepatan

pendinginan di atas kecepatan pendinginan kritis agar

diperoleh kekerasan yang tinggi melalui pembentukan

martensit.

Sebelum melakukan proses hardening, harus ditentukan

dulu parameter-parameter yang harus digunakan dalam

pengujian [2]. Dalam pengujian ini menggunakan material

100MnCrW4, jenis material baja paduan rendah dengan

komposisi paduan seperti pada tabel 1. Dari data

komposisi unsur paduan yang ada pada tabel 1 bila

dimasukkan dalam grafik pengaruh unsur paduan terhadap

pergeseran titik transformasi bawah (gambar 3), diperoleh

data seperti pada tabel 2.

Tabel 2: Pengaruh unsur paduan terhadap perubahan

temperatur transformasi γ-α pada material 100MnCrW4

UNSUR KOMPOSIS

I (%)

TEMPERATUR

UBAH γ-α

(0F)

PERUBAHAN

TEMPERATUR

(0F)

1340 0

Si 0,25 1355 15

Mn 1,10 1335 -5

Cr 0,55 1365 25

W 0,55 1395 55

Ni 0,20 1338 -2

Mo 0,06 1365 25

JUMLAH 113

Page 237: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

228

Holding

time

Suhu (0C)

Pendinginan

cepat

Waktu

(jam)

Ac3

Preheating

Holding

time Final heating

Gambar 3: Diagram pengaruh unsur paduan

terhadap titik transformasi eutektoid [4]

Dari data di atas, temperatur titik ubah γ-α bergeser ke atas

sebesar 113 0F atau 45

0 C. Sehingga temperatur titik ubah

bawah yang diambil sebesar 450

C di atas titik ubah baja

tanpa paduan. Temperatur pengerasan terletak 300

C sampai

500

C di atas titk kritis bawah. Jadi temperatur pengerasan

yang diambil antara (727 + 45 + 30)0

C sampai (727 + 45 +

50)0

C atau 8020

C sampai 8220

C. Temperatur preheating-

nya diambil 6250 C.

Proses perlakuan panas menggunakan tungku tahanan

listrik. Langkah-langkah yang dilakukan dalam proses

hardening ini adalah sebagai berikut:

1. Persiapkan dapur pemanas dan bahan uji.

Bahan uji disiapkan dengan mengikatnya terlebih

dahulu dengan kawat baja. Tujuan pengikatan adalah

memudahkan proses penanganan bahan uji sesaat akan

diquenching.

2. Masukkan bahan uji ke dalam kotak yang diredam

dengan arang kayu.

Posisi penempatan bahan uji ke dalam kotak ini agak

dimiringkan dengan tujuan mengurangi deformasi yang

lebih besar pada bahan uji.

Gambar 4: Posisi penempatan

bahan uji di dalam kotak

3. Hidupkan dan setting dapur pemanas. Adapun

parameter setting dapur pemanas yang dimasukkan

adalah:

a. Temperatur awal diambil dari temperatutur kamar

yang ditunjukkan dalam layar monitor.

b. Temperatur preheating disetting pada posisi 6250

C.

c. Waktu yang dibutuhkan dari temperatur awal ke

temperatur preheating sekitar 1,5 jam sesuai

dengan kemampuan dan kapasitas oven.

d. Waktu penahanan preheating 1 jam.

e. Temperatur akhir (hardening) diambil 8200 C.

f. Waktu yang dibutuhkan dari temperatur preheating

ke temperatur akhir diambil 1 jam.

g. Waktu penahanan pemanasan 2 jam.

Gambar 5: Diagram proses pengerasan

4. Persiapkan media pendingin.

5. Setelah waktu penahanan pemanasan berjalan 2 jam,

bahan uji dimasukkan ke dalam media quenching oli

dengan cepat. Untuk bahan uji dengan media

quenching udara menggunakan udara sembur.

6. Ambil bahan uji kemudian dan persiapkan untuk

pengujian kelurusan, kekerasan dan mikro struktur.

2.5 Pengujian Kekerasan

Pengujian kekerasan yang dilakukan dalam penelitian ini

ada dua metode pengujian kekerasan yang dilakukan yaitu

metode uji kekerasan menurut Brinell dan metode uji

kekerasan menurut Rockwell-C.

Gambar 6: Universal hardness tester

Page 238: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

229

250

mm

D

5 95 65 185 155 125 215 245 35 250

2.6 Pengujian Mikro Struktur

Pengujian mikro struktur atau metallographi dilakukan

untuk melihat struktur mikro dan distribusi fasa-fasa dalam

baja. Pengujian mikro ini dilakukan dengan alat

metallurgical microscope up right.

Gambar 7: Metallurgical microscope up right

Pengambilan gambar struktur mikro harus dipilih sehingga

mewakili bagian-bagian yang perlu untuk diteliti, sehingga

mendapatkan informasi yang diperlukan untuk penyelidikan

yang diperlukan. Langkah-langkah yang dilakukan sebelum

pengujian adalah sebagai berikut:

1. Mempersiapkan spesimen yang akan diuji.

2. Spesimen-spesimen tadi digerinda kemudian diampelas

dengan urutan nomor ampelas dari yang paling kasar,

yaitu no. 180, 240, 600, 800, 1000. Proses

pengamplasan dilakukan di mesin amplas rotary.

3. Memoles spesimen hingga mengkilap, halus dan rata.

4. Mengetsa spesimen dengan cairan HNO3 3% selama ±

3-5 detik, lalu mencuci dengan air mengalir dan alkohol

kemudian dikeringkan.

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Data Awal Sebelum Pengujian

Data awal ini yaitu pengujian kelurusan bahan uji sebelum

dilakukan proses hardening. Dari 10 pcs bahan uji terlebih

dahulu dipisahkan dan ditandai bahan yang akan diuji

dengan media quenching udara dan oli.

Dimensi bahan uji pada masing-masing media quenching

udara dan oli tersebut adalah :

12 x 250 (1pcs)

17 x 250 (1pcs)

22 x 250 (1pcs)

27 x 250 (1pcs)

32 x 250 (1pcs)

Dimensi bahan uji ini diharapkan dapat mewaliki variasi

ukuran yang sangat beragam sesuai dengan keperluan dan

penggunaan material tersebut.

Pengujian kelurusan ini dilihat dari 9 posisi pengukuran

yaitu dimulai dari jarak 5 mm dari ujung bahan uji

kemudian dilanjutkan pada jarak 30 mm berikutnya.

Sehingga posisi pengukuran yaitu pada jarak 5 mm, 35

mm, 65 mm, 95 mm, 125 mm,155 mm, 185 mm, 215 mm

dan 245 mm.

Gambar 8: Posisi pengukuran kelurusan bahan uji

Hasil pengukuran kelurusan awal ini dapat dilihat pada

tabel berikut ini :

Tabel 3: Penyimpangan kelurusan awal

untuk media quenching udara

Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)

5 35 65 95 125 155 185 215 245

12 0 0,04 0,08 0,11 0,14 0,16 0,13 0,10 0,07

17 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,13 0,11 0,09 0,06

22 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,14 0,12 0,10 0,08

27 0 0,04 0,08 0,11 0,14 0,13 0,11 0,09 0,07

32 0 0,03 0,06 0,09 0,12 0,10 0,08 0,06 0,04

Tabel 4: Penyimpangan kelurusan awal

untuk media quenching oli

Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)

5 35 65 95 125 155 185 215 245

12 0 0,06 0,11 0,16 0,20 0,17 0,14 0,10 0,05

17 0 0,05 0,10 0,14 0,18 0,16 0,14 0,10 0,06

22 0 0,05 0,09 0,13 0,17 0,15 0,13 0,10 0,06

27 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,14 0,12 0,09 0,05

32 0 0,04 0,08 0,12 0,15 0,13 0,10 0,07 0,04

3.2 Data Kelurusan Setelah Proses Hardening

Setelah dilakukan proses hardening kemudian dilanjutkan

dengan proses quenching dengan media quenching udara

sembur dan oli. Dari pengukuran uji kelurusan setelah

proses hardening didapat data-data penyimpangan

kelurusan sebagai berikut :

Tabel 5: Penyimpangan kelurusan setelah proses

hardening dengan media quenching udara

Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)

5 35 65 95 125 155 185 215 245

12 0 0,14 0,28 0,41 0,53 0,64 0,46 0,27 0,08

17 0 0,14 0,26 0,36 0,46 0,53 0,41 0,27 0,08

22 0 0,12 0,24 0,34 0,42 0,46 0,35 0,22 0,07

27 0 0,11 0,21 0,30 0,39 0,31 0,23 0,15 0,07

Page 239: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

230

Penyimpangan Kelurusan 12 dengan Quenching Udara

00,04

0,080,11

0,14 0,160,13

0,10,07

0

0,14

0,28

0,41

0,53

0,64

0,46

0,27

0,08

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 12 dengan Quenching Oli

0 0,06 0,11 0,16 0,2 0,17 0,14 0,1 0,050

0,56

1,08

1,56

1,861,98

1,44

0,8

0,080

0,5

1

1,5

2

2,5

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 17 dengan Quenching Udara

00,04

0,080,12

0,150,13

0,110,09

0,06

0

0,14

0,26

0,36

0,46

0,53

0,41

0,27

0,08

0

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 17 dengan Quenching Oli

0 0,050,1 0,14 0,18 0,16 0,14 0,1 0,06

0

0,44

0,86

1,16

1,421,52

1,14

0,64

0,080

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

1,4

1,6

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 22 dengan Quenching Udara

00,04

0,080,12

0,15 0,140,12

0,10,08

0

0,12

0,24

0,34

0,420,46

0,35

0,22

0,07

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0,4

0,45

0,5

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 22 dengan Quenching Oli

00,05

0,090,13

0,17 0,15 0,13 0,10,06

0

0,38

0,65

0,85

1,031,11

0,86

0,54

0,1

0

0,2

0,4

0,6

0,8

1

1,2

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 27 dengan Quenching Udara

0

0,04

0,080,11

0,14 0,130,11

0,090,07

0

0,11

0,21

0,3

0,39

0,31

0,23

0,15

0,07

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0,4

0,45

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

32 0 0,09 0,18 0,25 0,31 0,25 0,19 0,12 0,04

Tabel 6: Penyimpangan kelurusan setelah proses

hardening dengan media quenching oli

Dimensi Jarak Pengukuran dari Ujung Bahan Uji (mm)

5 35 65 95 125 155 185 215 245

12 0 0,56 1,08 1,56 1,86 1,98 1,44 0,80 0,08

17 0 0,44 0,86 1,16 1,42 1,52 1,14 0,64 0,08

22 0 0,38 0,65 0,85 1,03 1,11 0,86 0,54 0,10

27 0 0,23 0,44 0,63 0,77 0,82 0,62 0,35 0,05

32 0 0,20 0,39 0,55 0,69 0,58 0,43 0,25 0,03

Untuk mempermudah menganalisa data-data penyimpangan

kelurusan tersebut, berikut ini akan ditampilkan dalam

bentuk grafik. Pada grafik ini akan ditampilkan

penyimpangan kelurusan awal dan penyimpangan

kelurusan setelah proses hardening untuk masing-masing

bahan uji.

Gambar 9: Grafik penyimpangan kelurusan

12 x 250 dengan quenching udara

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 12 x 250

dengan quenching udara penyimpangan kelurusan

terbesarnya adalah 0,64 – 0,16 = 0,48 mm.

Gambar 10: Grafik penyimpangan kelurusan

12 x 250 dengan quenching oli

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 12 x 250

dengan quenching oli penyimpangan kelurusan terbesarnya

adalah 1,98 – 0,17 = 1,81 mm.

Gambar 11: Grafik penyimpangan kelurusan

17 x 250 dengan quenching udara

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 17 x 250

dengan quenching udara penyimpangan kelurusan

terbesarnya adalah 0,53 – 0,13 = 0,4 mm.

Gambar 12: Grafik penyimpangan kelurusan

17 x 250 dengan quenching oli

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 17 x 250

dengan quenching oli penyimpangan kelurusan

terbesarnya adalah 1,52 – 0,10 = 1,42 mm.

Gambar 13: Grafik penyimpangan kelurusan

22 x 250 dengan quenching udara

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 22 x 250

dengan quenching udara penyimpangan kelurusan

terbesarnya adalah 0,46 – 0,14 = 0,32 mm.

Gambar 14: Grafik penyimpangan kelurusan

22 x 250 dengan quenching oli

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 22 x 250

dengan quenching oli penyimpangan kelurusan

terbesarnya adalah 1,11 – 0,15 = 0,96 mm.

Page 240: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

231

Penyimpangan Kelurusan 27 dengan Quenching Oli

00,04

0,080,12

0,15 0,14 0,120,09

0,050

0,23

0,44

0,63

0,770,82

0,62

0,35

0,050

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0,9

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 32 dengan Quenching Udara

0

0,03

0,06

0,09

0,120,1

0,080,06

0,04

0

0,09

0,18

0,25

0,31

0,25

0,19

0,12

0,06

0

0,05

0,1

0,15

0,2

0,25

0,3

0,35

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Penyimpangan Kelurusan 32 dengan Quenching Oli

00,04

0,080,12

0,15 0,130,1

0,070,04

0

0,2

0,39

0,55

0,69

0,58

0,43

0,25

0,060

0,1

0,2

0,3

0,4

0,5

0,6

0,7

0,8

0 35 70 105 140 175 210 245

Jarak Pengukuran (mm)

Besar

Pen

yim

pan

gan

(m

m)

Penyimpangan Kelurusan Aw al

Penyimpangan Kelurusan Setelah Hardening

Gambar 15: Grafik penyimpangan kelurusan

27 x 250 dengan quenching udara

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 27 x 250

dengan quenching udara penyimpangan kelurusan

terbesarnya adalah 0,39 – 0,14 = 0,25 mm.

Gambar 16: Grafik penyimpangan kelurusan

27 x 250 dengan quenching oli

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 27 x 250

dengan quenching oli penyimpangan kelurusan terbesarnya

adalah 0,82 – 0,14 = 0,68 mm.

Gambar 17: Grafik penyimpangan kelurusan

32 x 250 dengan quenching udara

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 32 x 250

dengan quenching udara penyimpangan kelurusan

terbesarnya adalah 0,31 – 0,12 = 0,19 mm.

Gambar 18: Grafik penyimpangan kelurusan

32 x 250 dengan quenching oli

Dari grafik terlihat bahwa untuk bahan uji 32 x 250

dengan quenching oli penyimpangan kelurusan terbesarnya

adalah 0,69 – 0,15 = 0,54 mm.

3.3. Data Harga Kekerasan Setelah Proses Hardening

Pengujian kekerasan ini diambil dari 3 posisi pengukuran

yaitu 25 mm dari masing-masing ujung dan ditengah-

tengah bahan uji.

Gambar 19: Posisi pengukuran kekerasan bahan uji

Data hasil pengujian kekerasan setelah proses hardening

ini dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 7: Harga kekerasan (HRC) proses

hardening dengan quenching udara

No Diameter

Bahan Uji (D)

Posisi Pengukuran

Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3

1 12 62 62 61

2 60,5 61 60

3 52 52 50

4 49 49 47

5 47 47 46,5

Tabel 8: Harga kekerasan (HRC) proses

hardening dengan quenching oli

No Diameter

Bahan Uji (D)

Posisi Pengukuran

Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3

1 12 67 67,5 66

2 66 66 65

3 66 65 64

4 69 69 68

5 66 66 64

3.4. Data Harga Kekerasan Setelah Tempering

Tempering dilakukan untuk menghindari tegangan dalam

akibat pemanasan yang akan mengakibatkan specimen

terdeformasi lebih lanjut atau menjadi retak. Oleh karena

itu sesaat setelah proses hardening maka dilanjutkan

dengan proses tempering.

Proses tempering pada bahan uji ini dilakukan pada

temperatur 1500C dengan penahanan 1 jam. Harga

kekerasan setelah proses tempering ini dapat dilihat pada

tabel berikut:

Tabel 9: Harga kekerasan (HRC) proses

Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3

250 mm

D

Page 241: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

232

Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 12 mm

66 6665

60,561,5

60

56

58

6062

64

66

68

20 125 250Jarak Pengukuran (mm)

Ke

ke

ras

an

(H

RC

)

Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara

'

Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 17 mm

65 6564

5960

59

56

58

60

62

64

66

20 125 250Jarak Pengukuran (mm)

Ke

ke

ras

an

(H

RC

)

Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara

Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 22 mm

64,5 64,5 63

50 50 4945

50

55

60

65

70

20 125 250Jarak Pengukuran (mm)

Kekera

san

(H

RC

)

Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara

Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 27 mm

68 68 67

48 48 4642

48

54

60

66

72

20 125 250Jarak Pengukuran (mm)

Kekera

san

(H

RC

)

Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara

Grafik Perbandingan Kekerasan Benda Uji 32 mm

64 6563

46 46 4542

48

54

60

66

20 125 250Jarak Pengukuran (mm)

Kekera

san

(H

RC

)

Kekerasan Quenching OliKekerasan Quenching Udara

tempering 1500C dengan quenching udara

No Diameter

Bahan Uji (D)

Posisi Pengukuran

Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3

1 12 60,5 61,5 60

2 59 60 59

3 50 50 49

4 48 48 46

5 46 46 45

Tabel 10: Harga kekerasan (HRC) proses

tempering 1500C dengan quenching oli

No Diameter

Bahan Uji (D)

Posisi Pengukuran

Posisi 1 Posisi 2 Posisi 3

1 12 66 66 65

2 65 65 64

3 64,5 64,5 63

4 68 68 67

5 64 65 63

Untuk mempermudah menganalisa data-data perbandingan

kekerasan bahan uji dengan media quenching udara dan oli,

berikut ini akan ditampilkan dalam bentuk grafik. Pada

grafik ini akan ditampilkan perbandingan kekerasan

masing-masing bahan uji dengan media quenching udara

dan oli setelah proses tempering.

Gambar 20: Grafik perbandingan kekerasan bahan

uji 12 x 250 dengan quenching udara dan oli

Dari grafik terlihat untuk bahan uji 12 x 250 harga

kekerasannya relatif tinggi yaitu di atas 60 HRC baik untuk

bahan uji yang diquenching dengan media oli ataupun

udara.

Gambar 21: Grafik perbandingan kekerasan bahan

uji 17 x 250 dengan quenching udara dan oli

Dari grafik terlihat untuk bahan uji 17 x 250 harga

kekerasannya masih relatif tinggi yaitu berkisar di atas 60

HRC. Pada media quenching udara harga kekerasannya

masih cukup tinggi yaitu 60 HRC sementara untuk media

quenching oli harga kekerasannya masih stabil yaitu di

atas 64 HRC.

Gambar 22: Grafik perbandingan kekerasan bahan

uji 22 x 250 dengan quenching udara dan oli

Dari grafik terlihat untuk bahan uji 22 x 250 harga

kekerasan untuk media quenching oli relatif masih tinggi

yaitu 64 HRC. Sementara pada media quenching udara

harga kekerasannya turun cukup drastis yaitu sekitar 50

HRC.

Gambar 23: Grafik perbandingan kekerasan bahan

uji 27 x 250 dengan quenching udara dan oli

Dari grafik terlihat untuk bahan uji 27 x 250 harga

kekerasan untuk media quenching oli relatif masih tinggi.

Sementara pada media quenching udara harga

kekerasannya makin turun yaitu sekitar 48 HRC.

Gambar 24: Grafik perbandingan kekerasan bahan

uji 2 x 250 dengan quenching udara dan oli

Dari grafik terlihat untuk bahan uji 32 x 250 harga

kekerasan untuk media quenching oli relatif masih tinggi

dan stabil. Sementara pada media quenching udara harga

kekerasannya semakin turun yaitu sekitar 46 HRC.

3.6 Analisa Penyelesaian Masalah

Page 242: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

233

Dari grafik penyimpangan kelurusan dan grafik

perbandingan harga kekerasan di atas maka dapat diambil

analisa akhir tentang karakteristik material menurut dimensi

dan media quenching (perlakuan panasnya).

Bila ditinjau dari penyimpangan kelurusan bahan uji

x 250 dan 17 x 250 yang diquenching dengan

media oli mempunyai penyimpangan kelurusan yang cukup

besar yaitu di atas 1 mm. Sementara bila diquenching

dengan media udara penyimpangan kelurusannya kurang

dari 0,5 mm.

Harga kekerasan untuk bahan uji 12 x 250 dan 17 x

250 relatif tinggi yaitu di atas 60 HRC baik untuk bahan uji

yang diquenching dengan media oli ataupun udara.

Untuk bahan uji 22 x 25027 x 250 dan32 x 250

penyimpangan kelurusannya tidak terlalu signifikan baik

yang diquenching dengan media udara maupun oli yaitu

kurang dari 1 mm. Sementara harga kekerasannya

mengalami penurunan secara drastis mulai dari 22 x 250

bila diquenching dengan media udara yaitu kurang dari 50

HRC.

Dari analisa di atas dapat ditarik kesimpulan bahwa untuk

meminimalisir tingkat deformasi dan mendapatkan harga

kekerasan di atas 60 HRC maka bahan uji dengan dimensi

12 x 250 dan 17 x 250 sebaiknya diquenching dengan

media udara sembur sementara bahan uji dengan dimensi

22 x 250,27 x 250 dan 32 x 250 diquenching

dengan media oli.

4. KESIMPULAN

1. Media quenching udara dapat meminimalisir tingkat

deformasi material uji (100MnCrW4) tetapi harga

kekerasan yang dicapai semakin turun dengan

bertambahnya besarnya dimensi bahan uji.

2. Media quenching oli dapat menghasilkan harga

kekerasan yang relatif stabil (di atas 60 HRC) pada

material uji (100MnCrW4) tetapi tingkat deformasinya

semakin besar jika dimensi bahan uji semakin kecil.

3. Hardenability material 100MnCrW4 cukup baik, hal ini

terlihat pada media quenching udara dapat

menghasilkan kekerasan di atas 60 HRC ( pada bahan

uji 12 x 250 mm dan 17 x 250 mm ).

DAFTAR PUSTAKA

[1] Brooks, C.R, “Principle of the Heat Treatment of

Plain Carbon and Low Alloy Steels,” ASM

International, 1996

[2] Vlack, L.H.V, “Elements of Materials Science and

Engineering,” Addison-Wesley Publishing Company,

1980.

[3] Neely, J, “Practical Metalllurgy and Materials of

Industry,” Machine Technology Lane Community

College, John Willey and Son.

[4] ASM HandBook Vol 4, “Heat Treating,” ASM

International, 1991.

[5] Krämer, H and Scharnagl, J, “Pengetahuan Bahan

untuk Industri,” Katalis, 1994.

[6] Surdia T, Saito S, Pengetahuan Bahan Teknik, PT

Pradnya Paramita, Jakarta, 1992.

Page 243: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

234

Konsep dan Preliminary Desain Turbin Axial Temperature Rendah untuk

Siklus Rankine Organik

Ignatius Riyadi Mardiyanto, Teguh Sasono

Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung 40012

E-mail: [email protected]

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Turbin axial sebagai elemen pengkonversi energi, banyak digunakan untuk mengkonversi energi dari uap atau gas pada

temperatur dan tekanan yang tinggi untuk menjadi gerak putar. Pada makalah ini disajikan konsep desain siklus Rankine

organik (ORC) sebagai siklus dengan sumber panas masukan bersuhu rendah dan preliminary desain untuk turbin axial yang

akan digunakan pada siklus tersebut. Sumber bersuhu renadah tersebut diambilkan dari studi literatur pada kasus temperatur

sekitar 1500C yang berasal dari air brine hasil separator uap pada Pembangkit Listrik Tenaga Panas Bumi (PLTP). Dengan

berdasarkan pada bahasan konsep desain akan didapatkan jenis fluida kerja dari ORC, dan juga besarnya flow dari fluida pada

siklus serta komponen-komponen pendukung siklus. Selanjutnya pada bahasan preliminary desain diuraikan tentang diameter

hub dan tinggi blade maupun jumlah blade pada rotor serta stator untuk turbin sebagai mesin konversi energi.

Kata Kunci Air panas brine, fluida kerja ORC, blade turbin

1. PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Siklus Rankine Organik (Organic Rankine Cycle - ORC)

digunakan sebagai salah satu pilihan untuk mengkonversi

energi dari sumber panas pada temperatur relatif rendah.

Salah satu sumber energi pada temperatur rendah dapat

dihasilkan dari air panas buang (brine) separator uap pada

PLTP[1]

.

Sumber panas bumi banyak terdapat di Indonesia, yakni

Indonesia sebagai wilayah sabuk gunung api mempunyai

potensi panas bumi sangat besar. Jawa Barat pada tahun

2006 telah teridentifikasi mempunyai potensi 40 titik

lokasi, sedangkan total titik lokasi di Indonesia berdasarkan

data geologi tahun 2006 tersebut diketahui sebanyak 256

titik[4]

. Karena bentuk fluida pembawa panas dari dalam

perut bumi tersebut adalah berupa uap dan air, maka untuk

membangkitkan listrik pada PLTP, perlu dipisahkan uap

sebagai sumber energi pembangkit PLTP, dengan air brine

yang disuntikkan kembali ke dalam bumi. Sumber air panas

brine dari panas bumi tersebut pada umumnya untuk PLTP

di Indonesia masih mempunyai temperatur di sekitar 1500C

dan tekanan sekitar 10 bar[1]

. Dengan masih cukup

tingginya potensi panas tersebut dengan flow yang juga

cukup besar, maka potensi ini kiranya masih layak untuk

dikaji lebih lanjut untuk dimanfaatkan sebagai sumber

energi alternatif.

1.2 Tujuan

Tujuan umum dari penelitian ini adalah untuk mengkaji

lebih lanjut tentang pemanfaatan energi dari panas

bertemperatur rendah, seperti air brine PLTP dengan

menggunakan ORC. Adapun tujuan khususnya adalah

untuk mendapatkan preliminary desain dari turbin Rankine

organik sehingga berdasarkan studi ini nantinya akan dapat

diharapkan untuk dibuat detail desain dari turbin ORC pada

skala demo untuk keperluan laboratorium. Yakni dengan

skala ukuran sekitar 1- 5 kW daya mekanik turbin.

2. TINJAUAN PUSTAKA

Separasi uap dengan air pada separator PLTP menghasilkan

sisa berupa air panas brine dengan temperatur lebih dari

1500C yang disuntikkan kembali ke dalam bumi, lihat

pustaka [1] dan [2]. Untuk menanfaatkan air brine tersebut

dapat dilakukan dengan ORC. Yakni siklus Rankine dengan

menggunakan fluida kerja dari bahan refrigerant organik.

Sehingga pembangkit dengan ORC dapat bekerja

menghasilkan energi mekanik dari sumber panas dengan

suhu rendah[6]

.

Untuk merealisasikan konsep tentang pembangkit dengan

ORC tersebut di atas, kiranya perlu dibuat komponen

pendukung siklus. Salah satu komponen utama pendukung

siklus adalah turbin. Kajian tentang turbine Rankine

organik ini yang telah dipublikasikan diantaranya adalah

menggunakan model turbin screw[5]

. Kajian tentang turbin

Rankine organik ini dalam bentuk publikasi masih belum

banyak pilihan. Penulis berinisiatif untuk melakukan kajian

desain menggunakan media software simulasi yang telah

beredar di pasaran untuk mengkaji turbin axial untuk ORC.

Page 244: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

235

Adapun jenis turbin yang penulis kaji adalah jenis turbin

gas dengan asumsi bahwa turbin ini cocok dengan fluida

kerja kering. Kajian tentang turbin gas jenis axial sendiri

masih terus dilakukan oleh para peneliti[3]

. Pana tulisan ini

penulis bermaksud untuk menjelaskan tentang turbin gas

axial jika digunakan sebagai turbin ORC.

Adapun metodologi yang digunakan adalah dengan

melakukan simulasi dari ORC sebagai sebuah konsep

desain pembangkit. Kemudian dilanjutkan dengan simulasi

untuk mendapatkan parameter penting dari blade turbin

sebagai sebuah preliminary desain dari turbin Rankine

organik. Dengan adanya parameter penting penyusun turbin

tersebut, akan dapat diharapkan untuk mempermudah

dalam pembuatan detail desain dari turbin axial untuk ORC

nantinya.

3. KONSEP DESAIN

3.1 Parameter Masukan

Sumber panas dari brine pada PLTP adalah potensi energi

yang layak digali lebih lanjut. Pada umumnya di wilayah

Indonesia laju alir dari brine ini cukup besar, sebagai

contoh pada PLTP Wayang Windu mempunyai kandungan

air brine senilai 50 kg/s dengan entalphy sekitar 700 kJ/kg

sehingga cukup besar untuk diambil energinya[2]

. Salah satu

alternatif untuk pengambilan energi panas sisa dari brine ini

adalah menjadikan panas menjadi listrik, dengan memakai

pembangkit ORC[6]

.

Siklus Rankine selain mengambil energi dari sumber uap

untuk dikonversi menjadi gerak dengan menggunakan

turbin, juga akan membutuhkan komponen pengambil

energi sisa panas ke gerak tersebut yang masih berupa

fluida uap atau gas sehingga menjadi sepenuhnya cair

kembali. Teknik untuk mengambil energi sisa dari kerja

turbin, salah satunya adalah dengan memakai kondenser.

Kondenser ini memerlukan media pendingin sebagai media

transfer panas untuk dipindahkan kembali panas sisa

tersebut ke lingkungan. Dengan demikian kondisi ambien

menjadi penting untuk diperhatikan yakni agar kerja

kondenser dapat diketahui dengan baik. Dengan temperatur

lingkungan yang semakin dingin, dapat diharapkan tekanan

dan temperature outlet dari turbine menjadi semakin

rendah. Dengan semakin rendahnya outlet tekanan dan

temperatur turbine, akan dapat diharapkan kenerja turbin

meningkat pula.

Pada studi kasus brine Wayang Windu sebagai objek

perancangan, diketahui bahwa temperatur lingkungan

terpanas adalah sekitar 18 0C. PLTP Wayang Windu ini

bertempat di ketinggian lebih dari 1000 mdpl terletak pada

garis lintang 7°12′26.79″S, dan garis bujur 107°37′44.12″E,

di Kecamatan Pengalengan, Kabupaten Bandung, Provinsi

Jawa Barat[1]

. Temperatur ambien ini merupakan potensi

pembuangan yang dapat diharapkan untuk meningkatkan

kinerja dari turbin.

3.2 Pilihan Fluida Kerja

Untuk memanfaatkan energi sisa yang berasal dari brine,

dapat dilakukan dengan pembangkit ORC yakni

pembangkit memakai siklus Rankine dengan fluida kerja

dari bahan refrigerant organik[6]

. Pemilihan bahan

refrigerant ini dapat dilakukan dengan melakukan kajian

pada diagram T-s dan atau diagram p-h dengan

memperhatikan kondisi temperatur sumber dan temperatur

lingkungan.

Hasil kajian konsep desain untuk ORC dengan

memperhatikan efisiensi siklus pada studi kasus brine

Wayang Windu, salah satu fluida kerja pilihan adalah n-

pentane. Gambaran siklus Rankine organik pada diagram

T-s untuk fluida kerja n-pentane diperlihatkan pada Gambar

1 di bawah ini.

Gambar 1: Diagram T-s fluida kerja n-pentane untuk siklus

Rankine organik

Pada Gambar 1 terlihat bahwa fluida kerja pada tekanan 5

bar mempunyai temperatur saturasi sekitar 900C dan pada

tekanan 1.3 bar temperatur saturasinya adalah sekitar 430C.

Jika fluida kerja dirancang untuk kondisi penguapan pada

temperatur 1000C maka tekanan yang dibutuhkan adalah

sekitar 6 bar. Jika temperatur dari sumber panas adalah

1500C

maka dapat dikatakan bahwa fluida kerja n-pentane

tersebut pada tekanan 6 bar akan mengalami penguapan

sampai kondisi superheat karena temperatur dari sumber

panas akan memaksa gas n-pentane pada kondisi dua fasa

menjadi fasa gas sepenuhnya. Gas n-pentane tersebut

selanjutnya akan dapat digunakan untuk memutar turbin

ORC.

Fluida n-pentane merupakan jenis fluida kering, sehingga

ketika dipakai untuk kerja pada turbin, maka fluida

tersebut akan tetap pada kondisi superheat. Hal ini

diperlihatkan pada Gambar di atas. Untuk itu perlu

dipikirkan bahwa setelah outlet turbine dapat dipasang

penukar kalor-recuperator untuk mengambil sensibel heat

sehingga fluida pada fasa gas tersebut menjadi lebih

mendekati nilai laten heat-nya. Kondenser sebagai

pengambil kalor laten dapat dipasang setelah recuperator

ini sehingga kerjanya relatif ringan.

Page 245: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

236

P = -0.64 kW

P = -0.17 kW

P = -0.11 kW

m,el = 53.9 %

Tlow = 23.21 K

Thigh = 16.22 K

Pm = 2.35 kW

Pel = 2.00 kW

35.00 150.46

636.01 0.098

1111 775

55

2.000 25.00

104.95 0.71366

2.000 18.01

75.72 0.713

33

1.200 41.22

-334.26 0.00(X)1212

6.000 87.42

-215.34 0.057

1010

6.000 41.49

-333.26 0.057

99

28.46(E) 94.00

396.39 0.098

88

1.200 46.49

32.65 0.057

44

1.200 107.77

150.57 0.05722

5.990 135.45

196.62 0.057

32.32(E) 0.3689(s)

0.0039638(v) 100.00(X)

11

10

H

9

8

76

4

3

2

1

H

Generator Listrik

Cold consumer

Sumur

Pendingin

Brine

Penukar Kalor

SIMULASI PEMBANGKIT LISTRIK DENGAN MEMANFAATKAN

SUMBER AIR PANAS

RCO dengan n-pentana

sumber air panas (studi kasus air panas brine PP Wayang Windu)

Condenser

Pompa

Turbin ORC

p T

h m

m = Mass f low [kg/s]

v = Volume flow [m3/s]

p = Pressure [bar]

T = Temperature [°C]

h = Enthalpy [kJ/kg]

s = Entropy [kJ/kg.K]

E = Energy f low [kW]

X = Vapour quality [%]

P = Pow er [kW]

Tlow = Low end temp. diff . [K]

Thigh = High end temp. diff . [K]

m,e = Mechanical*Electrical eff. [%]

Pm = Mechanical Pow er [kW]

Pel = Electrical Pow er [kW]

Fluida kerja n-pentane jika digunakan untuk ORC akan

mempunyai keuntungan yakni karena kerja turbine akan

selalu pada kondisi superheat. Namun kerugiannya adalah

pada komponen kondenser, yakni jika tanpa recuperator

sebagai pengambil kalor, maka kondenser bekerja pada

kondisi superheat dengan jangkauan yang lebar untuk

mengambil sensibel heat-nya, yakni sebelum proses

pencairan dengan mengambil laten heat-nya dapat

dilakukan. Jika hal tersebut ditempuh maka desain khusus

untuk kondenser perlu dipikirkan lebih lanjut.

Karena sifatnya yang dry fluid tersebut maka n-pentane

dapat dikatakan cocok untuk digunakan pada turbine gas

untuk ORC. Turbine gas ini dirancang untuk temperatur

kerja disekitar 1000C disesuikan dengan temperatur sumber

panas. Turbine gas jenis axial dapat dirancang untuk

kecepatan putar sangat tinggi yakni sampai supersonic.

Dengan kecepatan supersonic diharapkan efisiensi turbin

menjadi tinggi.

Dari diagram T-s pada Gambar diperlihatkan bahwa n-

pentane pada tekanan 6 bar dengan temperatur 1000C jika

entropy dinaikkan dengan menyuntikkan panas dari sumber

senilai sekitar 1500C maka fluida akan menguap sampai

kondisi superheat. Dan fluida tersebut dapat mencair

kembali pada temperatur 430C dengan tekanan sekitar 1.3

bar yakni dengan cara mengambil panas-nya memakai

teknik recuperasi dan dilanjutkan dengan teknik kondensasi

memakai fluida pendingin suhu ambien. Dengan demikian,

n-pentane dapat merupakan pilihan fluida kerja ORC untuk

kasus tersebut.

3.3 Laju Aliran Massa Fluida Kerja

Selain temperatur dan tekanan fluida kerja, untuk

melakukan desain awal perlu diperhatikan adalah laju aliran

massa fluida kerja. Laju aliran massa fluida kerja ini dapat

ditentukan dari laju aliran massa fluida sumber energi. Laju

aliran fluida kerja ini akan menentukan besarnya energi

yang dapat dikonversi menjadi energi gerak pada turbin.

Penentuan laju alir fluida kerja dapat dilakukan dengan

iterasi perhitungan dengan batas nilai flow fluida kerja

adalah tidak melebihi energi yang dapat ditransfer dari

sumber panas menggunakan media transfer panas, kegiatan

ini dapat dipermudah dengan menggunakan simulasi

perangkat lunak untuk siklus Rankine yang sudah cukup

banyak tersedia.

Gambar 1. Simulasi Pembangkit Listrik ORC dengan fluida

kerja n-pentane

Pada penelitian ini karena turbin ORC baru akan digunakan

sebagai keperluan demo di Laboratorium, maka dilakukan

teknik terbalik yakni dengan cara menentukan daya output

pembangkit yang diinginkan dengan ketentuan tidak

melebihi batas energi yang dapat ditransfer oleh sumber

panas objek studi, sehingga ORC dapat menenuhi satu

siklus dengan baik. Pada perancangan ini ditetapkan bahwa

n-pentane sebagai fluida kerja untuk menghasilkan daya

turbin sekitar 2,35 kW. Hasil simulasi laju aliran massa

fluida kerja pada siklus ini adalah 0.057 kg/s, dengan laju

aliran massa fluida sumber panas adalah 0.098 kg/s

sehingga masih bernilai jauh dibawah laju aliran brine di

PLTP Wayang Windu sebagai objek studi. Simulasi

dilakukan dengan menggunakan asumsi awal bahwa

efisiensi total turbin bernilai sekitar 0.5 yakni karena

tekanan kerja rendah. Gambaran selengkapnya dari

simulasi ORC tersebut diperlihatkan pada

Gambar 1 berikut.

4. PRELIMINARY DESAIN TURBIN

Pembuatan preliminary desain turbin gas dapat dilakukan

setelah mendapatkan gambaran siklus yang akan dilayani

oleh turbin. Berikut adalah tahapan preliminary desain

tersebut.

4.1 Data Awal Premilinary Desain Turbin

Untuk dapat melakukan rancangan turbin, pertama perlu

diputuskan mengenai jenis turbin. Jenis turbin untuk siklus

uap dapat ditinjau menjadi dua yakni turbin axial atau

turbin radial. Dari kedua turbin ini akan dapat

Page 246: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

237

dikombinasikan menjadi jenis ketiga yakni turbin

campuran. Untuk keperluan pembangkit memakai ORC,

dengan temperatur fluida sumber sebesar 1500C maka

temperatur kerja turbin dapat dimasukkan nilainya sekitar

110 sapai 1350C. Karena tekanan fluida kerja rendah yakni

dengan inlet 6 bar dan outlet 1.3 bar, pilihan jatuh pada

turbine axial dengan putaran 20000 rpm. Putaran tinggi

tersebut dimaksudkan untuk mengimbangi ringannya fluida

kerja dan rendahnya tekanan fluida sehingga efisiensi turbin

tetap relatif besar.

Setelah jenis turbine dengan rencana putaran poros

ditentukan, agar simulasi dapat dilakukan maka pada

parameter perancangan dilanjutkan dengan menambahkan

data tekanan, temperatur masukan kerja turbin, tekanan

kerja outlet turbin, kemudian juga perlu diperkirakan awal

tentang diameter turbine dan tinggi blade [3]

. Dari konsep

desain tentang ORC dengan fluida kerja n-pentane, untuk

menghasilkan daya keluaran sekitar 3 kW, ternyata laju

fluida kerja yang cocok adalah sekitar 0.09 kg/s. Diameter

hub penyangga blade turbin ditentukan pada sekitar 50 mm,

dan panjang blade antara 5 s-d 10 mm dengan jumlah stage

satu. Menggunakan bantuan software simulasi perancangan

turbin gas, selanjutnya data-data tersebut dapat diolah untuk

mendapatkan hasil preliminary desain.

4.2 Simulasi Desain

Simulasi preliminary desain dilakukan dengan

menggunakan perangkat lunak. Masukan software dan hasil

simulasi untuk efisiensi turbin dan daya turbin adalah

seperti di bawah. Diperlihatkan bahwa daya keluaran turbin

adalah 3,4 kW dan efisiensi 0.58 dengan daya keluaran

agak sedikit berbeda dari nilai simulasi ORC sebelumnya.

Hal tersebut disebabkan pada simulasi preliminary desain

dengan nilai masukan laju fluida kerja dibawah 0,09 kg/s

hasilnya kurang memuaskan. Data masukan simulasi

selengkapnya berada pada sebelah kiri. Diperlihatkan

diameter hub yang cocok setelah disimulasi adalah 49 mm,

tinggi blade adalah 5.1 mm. Dari hasil simulasi Gambar 3

sebelah kanan, terlihat bahwa tebal dari inlet ke outlet

untuk blade stator sekitar 1 mm dan tebal blade rotor

adalah sekitar 3,5 mm.

Kemudian dari hasil simulasi software yang sama juga

didapatkan data untuk perancangan rotor dan stator turbin

adalah seperti Tabel 1 di bawah. Menggunakan tabel

tersebut, diketahui bahwa diameter stator terbesar adalah

senilai 59 mm dengan diameter rotor terbesar adalah 64

mm. Geometrik dari blade stator dan rotor masing-masing

terdiri dari 3 section. Yakni pada bagian inlet blade, yakni

jari-jarinya section pertama adalah 24,52 mm, bagian

tengah 25,89 mm dan bagian atas 27,26 mm dari pusat

poros. Untuk bagian outlet dari blade stator section pertama

adalah 24,52 mm, tengah 26,99 mm, dan atas adalah 29,46

mm dari pusat poros.

Adapun bagian blade rotor pada bagian yang berhadapan

dengan outlet dari blade stator mempunyai jari-jari pada

section pertama adalah sepanjang 24,37 mm, tengah adalah

26,99 mm, dan bagian atasnya adalah 29,61 mm. Untuk

bagian ujung luar masing-masing section-nya adalah 24,52

mm, 28,26 mm, dan section teratas adalah 32 mm.

Kemudian dari tabel yang sama diketahui bahwa jumlah

blade stator dan rotor pada tahapan preliminary ini adalah

40 buah, dan jumlah blade rotor sebanyak 92 buah.

Sebagai catatan bahwa jumlah blade akan perlu

disesuaikan lagi pada tahap detail desain nanti-nya, yakni

karena pada tahap prelimanry tersebut belum melibatkan

dimensi dan bentuk blade secara detail.

Pada Gambar 4 dari hasil optimasi simulasi, untuk

gambaran segitiga kecepatan, diketahui bahwa bentuk dasar

dari permukaan blade stator dan blade rotor adalah

melengkung. Bentuk blade stator tersebut adalah bentuk

permukaan yang dipapar langsung terhadap aliran fluida

kerja. Flow absolut sebelum masuk blade stator adalah 33

m/s. Dengan bentuk blade stator seperti tergambar, dapat

dibayangkan seperti corong venturi yang berbelok, akan

mendapatkan flow mutlak outlet keluar dari stator menjadi

374 m/s. Pada inlet rotor akan didapatkan flow mutlak

sekitar 371 m/s turun sedikit dari outlet stator, kecepatan

sudut tangensial rotor adalah sekitar 62 m/s dan dengan

kecepatan relatifnya adalah 310 m/s. Pada Gambar 4

tersebut juga diperlihatkan entalphy static dari inlet rotor

turbin sekitar 330 kJ/kg dan enthalpy setelah meninggalkan

rotor adalah sekitar 290 kJ/kg.

Page 247: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

238

Compound_N FComp_D1t FComp_D1m FComp_D1h FComp_lc2 FComp_D2t Blade_z Blade_D_l SectA_ri1 SectA_ri2 SectA_ax1 SectA_ax2

kW mm mm mm mm mm - - mm mm mm mm

Stage_1 3,4

Stator axial_1-1 54,52 51,78 49,04 4,94 58,92

Blade Stator axial_1-1 40 10,93

Geom section_1 blade Stator_1-1 24,52 24,52 0,00 1,00

Geom section_2 blade Stator_1-1 25,89 26,99 0,00 1,00

Geom section_3 blade Stator_1-1 27,26 29,46 0,00 1,00

Rotor axial_2-1 59,22 53,98 48,74 7,48 64,01

Blade Rotor axial_2-1 92 7,55

Geom section_1 blade Rotor_2-1 24,37 24,52 0,00 2,73

Geom section_2 blade Rotor_2-1 26,99 28,26 0,10 2,82

Geom section_3 blade Rotor_2-1 29,61 32,00 0,21 2,92

Gambar 3: Masukan data dan hasil pengolahan data simulator untuk turbin ORC stage-1 supersonic

Tabel 1: Hasil simulasi software untuk preliminary desain dari turbin axial 1 stage daya mekanik 3,4 kW

Gambar 4: Masukan data dan hasil pengolahan data simulator untuk turbin ORC stage-1

Dengan didapatkannya hasil kajian prelimary tersebut,

maka dapat diharapkan gambaran detail dari bentuk rotor

dan stator penyusun turbin menjadi semakin jelas. Bentuk-

bentuk blade tersebut jika didetailkan sebaiknya tetap

mengikuti bentuk permukaan pada tahap preliminary

desain. Misal untuk meminimalkan ruang antar blade dapat

dibuat bentuknya menyerupai bentuk perahu kano yang

dibengkokkan sesuai dengan permukaan yang telah

didapatkan pada tahapan ini. Penurunan sedikit dari

efisiensi akibat pendemensian blade kemungkinan akan

ditemukan pada tahap detail desain.

Terlihat dari hasil simulasi optimasi bahwa untuk

mendapatkan daya sekitar 3,5 kW kebutuhan laju fluida

kerja adalah sekitar 0,085 kg/s. Gambaran desain

preliminary tersebut memperlihatkan bahwa turbin gas

axial skala kecil untuk kebutuhan demontrasi siklus

Rankine organik ternyata memungkinkan untuk dibuat

detail desainnya.

5. KESIMPULAN

Dalam mendapatkan gambaran mula-mula dari desain

turbin ORC, dapat dilakukan dengan melalui dua tahapan

penting yakni pertama adalah melakukan tahapan konsep

desain dari ORC. Pada tahapan konsep desain ini akan

didapat parameter penting seperti flow inlet, tekanan inlet-

outlet, dan temperatur inlet dari turbin.

Selanjutnya dari konsep desain akan dapat diteruskan

menjadi preliminary desain untuk turbin sehingga

didapatkan data perkiraan untuk diameter hub dan juga

panjang dan lebar blade maupun nosel dan juga akan

Page 248: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

239

didapatkan gambaran bentuk permukaan blade stator

maupun blade rotor.

Dari konsep desain dan hasil simulasi preliminary desain

dapat diperlihatkan bahwa turbin dengan ukuran relatif

kecil yakni sekitar 3.5 kW akan dapat didetailkan. Dapat

diketahui bahwa kebutuhan laju fluida kerja dengan tekanan

dan temperatur masukan sekitar 6 bar, 110 0C adalah

sebesar 0,085 kg/s dengan fluida kerja gas n-pentane.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Naoko Yamaguchi „Design of Wayang Windu Unit 2

Geothermal Power Station” Proceedings World

Geothermal Congress 2010, Bali, Indonesia, 25-29

April 2010.

[2] Mulyadi & Ali Saat, Reservoir Modeling of The

Northern Vapor Dominated Two-phase Zone of The

Wayang Windu Geothermal Field, Java, Indonesia,

Proceedings, Thirty-Sixth Workshop on Geothermal

Reservoir Engineering Stanford University, Stanford,

California, January 31 - February 2, 2011

[3] Leonid Moroz, dkk, A Univorm Approach to

Conceptual Design of Axial Turbin/Compressor Flow

Path, The Future of Gas Turbine Technology, 3rd

International Conference, Brussels, 11-12 October

2006

[4] Head of Geological Agency, Indonesian Geothermal

Resource, 2009

[5] Angad Singh Panesar, A study of organic Rankine

cycle systems with the expansion process performed

by twin screw machines, City University London

School of Engineering and Mathematical Sciences,

2012.

[6] Ignatius Riyadi Mardiyanto, dkk, 2012, “Konsep

Desain Pembangkit Listrik Tenaga Uap

Memanfaatkan Sumber Panas Bertemperatur Rendah

dengan Memakai Siklus Rankine Organik, Jurnal

Teknik Energi Vol 2 No 1.

Page 249: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

240

Suatu Konsep Biaya Pokok Penyediaan Tenaga Listrik

Berdasarkan Lokasi

Hermagasantos Zein

Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Tarif dalam tenaga listrik merupakan persoalan yang harus ditentukan karena berfungsi sebagai pendapatan yang berguna

untuk menutupi pengeluaran-pengeluaran dalam pengelolaan ketenagalistrikan agar tidak mengalami kebangkrutan. Namun

dalam penentuan tarif tidak hanya dipengaruhi oleh aspek teknis tetapi juga dipengaruhi oleh kemampuan komsumen.

Komponen utama tarif listrik adalah biaya pokok penyediaan (BPP) tenaga listrik. Yang mana biaya ini harus ada yang

menanggungnya supaya industri tenaga listrik tidak bangkrut. BPP yang dihitung disini mulai dari sisi pembangkitan sampai

dengan sisi pelanggan. Disini terjadi persoalan berapa biaya yang ditanggung oleh masing-masing pelanggan baik dalam suatu

lokasi maupun berbeda lokasi. Perbedaan biaya yang diterapkan pada pelanggan disebabkan oleh lokasi pembangkit, investasi

lokasi dan rugi-rugi daya tiap lokasi yang bebeda. Tulisan ini mengajukan suatu konsep BPP tenaga listrik yang berdasarkan

lokasional. Melalui konsep ini akan didapat BPP tenaga listrik tiap lokasi dari suatu sistem ketenagalistrikan. Kemudian

dilakukan uji coba terhadap konsep yang dibuat melalui suatu contoh perhitungan guna melihat keberhasilan dari konsep yang

dikembangkan. Hasil perhitungan menunjukan bahan bakar mempengaruhi BPP lebih dari 80%; oleh karena itu penggunaan

optimasi bahan bakar dalam makalah ini adalah sangat tepat.

Kata Kunci

Ketenagalistrikan, Biaya pokok, Optimasi Bahan Bakar, Lokasional

1. PENDAHULUAN

1.1 Pengertian BPP

Ada dua terminologi yang perlu diperhatikan disini, tarif

(price) dan biaya (cost). Dua hal ini adalah sesuatu yang

berbeda satu sama lainnya. Tarif merupakan referentasi dari

haga riil yang dibebankan kepada konsumen. Biasanya

harga ini dipengaruhi oleh kemampuan (ekonomi dan

sosial) konsumen, keuntungan perusahan dan kemampuan

pemerintah memsubsidi, serta serat juga dengan muatan

politik yang mempengaruhi pengambilan keputusan. Dalam

penentuannya umumnya ditentukan berdasarkan kompromi

(reconciliation) diantara pihak-pihak terkait. Dengan

demikan, tarif tidak saja dipengaruhi oleh teknikal murni

tetapi juga dipengaruhi oleh politik, ekonomi dan sosial.

Sedangkan biaya adalah yang hanya bersifat teknis saja,

yaitu merupakan semua biaya yang mendukung produksi

energi listrik mulai dari pembangkitan sampai pada lokasi

beban. Disini tidak terasuk biaya yang bukan medukung

prduksi (non allowable cost) seperti susut energi non-

teknis. Selanjutnya semua biaya yang mendukung produksi

itu didefinisikan sebagai biaya pokok penyediaan (BPP)

tenaga listrik dalam tulisan ini.

1.2 Konsep BPP

Ada pun biaya-biaya yang akan ditentukan dalam suatu

sistem tenaga listrik, yaitu pada lokasi pembangkit,

transmisi, distribusi tegangan menengah dan distribusi

tegangan rendah seperti gambar-1. Gambar ini menunjukan

model sistem tenaga listrik yang mempunyai dua type

pembangkit, yaitu pembangkit IPP (independen power

production) dengan harga pokok pembelian (HPP) telah

ditentukan terlebih dahulu (yang dalam hal ini dinyatakan

bahwa biaya produksi tetap) dan pembangkit dengan biaya

produksi berubah. Pembangkit-pembangkit tersebut dapat

tersambung pada sistem tegangan extra/tinggi atau

tegangan distribusi baik tegangan primer maupun sekunder.

Selanjutnya BPP terdapat pada masing-masing konsumen,

baik konsumen tegangan extra tinggi, tegangan tinggi,

tegngan primer maupun tegangan sekunder. Disamping itu,

pada suatu sistem tenaga listrik dapat juga dibedakan

menjadi beberapa lokasi (wilayah). Selanjunya, BPP akan

ditentukan pada masing-masing lokasi ini. Misalnya sistem

Jawa Madura dan Bali (JAMALI) dapat dibagi menjadi 4

wlokasi, Jakarta-Tanggerang, Jawa Barat, Jawa Tengah dan

Jawa Timur.

Page 250: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

241

Gambar 1: Model lengkap sistem teaga listrik

2. KOMPONEN BPP

Mengacu pada gambar-1 di atas, sistem tenaga listrik

berdasarkan fungsinya dapat dibedakan menjadi tiga

bagian, yaitu:

Pembangkitan

Transmisi

Distribusi

2.1 Pembangkitan

Pembangkitan dibedakan lagi menjadi dua kelompok, listrik

swasta (IPP) dan milik negara (non IPP seperti PT.PLN).

Khusus untuk IPP biaya produksi energi listrik dinyatakan

dalam harga pokok pembelian (HPP). IPP ini dapat

tersambung ke berbagai tempat dalam sistem tenaga listrik,

baik ke kejaringan tegangan tinggi maupun ke jaringan

distribusi. BPP diterminal pembangkit adalah biaya

produksi tenaga listrik yang disalukan ke jaringan (grid).

Pada pembangkit non IPP, dalam suatu sistem tenaga listrik

terdapat beberapa pembangkit yang tersambung ke grid

diberbagai lokasi. Untuk menentukan besar daya yang

dibangkitkan oleh suatu pembangkit pada suatu beban

tertentu (pada jam tertentu) ditentukan berdasarkan

optimasi aliran daya supaya biaya produksi pembangkit

menjadi murah (optimal). Penentuan BPP berdasarkan pada

optimasi aliran daya tersebut akan menggunkan persamaan

berikut.

2)( iiiiii aPPbcPB (1)

Dimana: Bi(Pi) adalah biaya pokok pembangkit perjam

pembangkit ke-i

ci, bi dan ai adalah konstansta pembangkit ke-i

Pi adalah daya yang diproduksi oleh pembangkit

ke-i

Misalkan terdapat N pembangkit, pada total beban sistem

adalah Psia dan total daya dari IPP adalah PIPP maka

fomulasi optimasi adalah

mak

ii

mak

ijij

IPPsisrugi

N

i

mak

iii

N

i

iiiii

VV

SS

PPP

PPP

PcPbc B

min

i

1

i

min

1

2

VTegngan 4.

0Saluran 3.

PBeban 2.

it 1.Pembangk :Kendala

min :Tujuan

(2)

Perlu diingat bahwa beban akan bervariasi tiap saat,

sehingga kurva durasi beban harian (daily load duration

curve) akan berbeda tiap harinya. Pengalaman menunjukan

bahwa untuk hari-hari kerja kurva tersebut hampir mirip,

sedangkan tanggal merah dan hari libur juga agak mirip.

Dalam perhitungan BPP ini digunakan kurva durasi beban

tahunan dalam satu tahun ke depat, karena BPP akan

berlaku untuk satu tahun kedepan juga. Kurva durasi beban

tahunan ini adalah rata-rata dari kurva duratin harian dalam

tahun yang bersangkutan. Tentunya kurva ini diperkirakan

dari hasil ramalan beban satu tahun ke depan.

Kemudian bila ditentukan bahwa setiap jam adalah beban

tidak berubah, maka terdapat 24 variasi beban dalam satu

hari. Selanjutnya dapat dihitung BPP masing-masing

pembangkit PT. PLN berdasarkan perkiraan kurva durasi

beban tahunan tersebut, yaitu:

24

1

)(24

1

j

i

j

ii PBBPP (3) 3)

24

1

)(24

1

j

i

j

ii PBBPP 3)

2.2 Transmisi

Transmisi dapat terdiri dari tegangan tinggi dan tegangan

extra tinggi. Pada transmisi ini akan menimbulkan biaya

karena investasi yang telah ditanamkan. Dalam

kenyataannya, komponen-komponen transmisi dibangun

dalam waktu yang tidak sama, ada komponen yang telah

G

BIAYA TRANSMISI

EKTRA TINGGI

HPP-ET

BIAYA DISTRIBUSI

TM

BIAYA TRANSMISI

TEG. TINGGI

KONSUMEN

ET

KONSUMEN

TR

KONSUMEN

TM

KONSUMEN

TT

BIAYA DISTRIBUSI

TR

G

G

BP

PB

PP

BP

PB

PP

HPP-TM

HPP-TT

G

G

G

BG(P)=c+bP+ap2

BG(P)=c+bP+ap2

BG(P)=c+bP+ap2

Page 251: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

242

lama dibangun dan pula yang baru dibangun, dan ada pula

komponen transmisi yang ditrofit. Ini semua harus dihitung

biaya investasi tahunan berdasarkan kaidah-kaidah

ekonomi. Perlu dicatat bahwa komponen transmisi yang

telah habis umur ekonominya akan bernilai nol dalam

penentuan biaya transmisi. Hasil perhitungan ekonomi

tersebut harus dapat menentukan biaya tahunan dari setiap

komponen yang terlibat dalam sistem tenaga listrik yang

dimasud. Hal ini penting karena dalam perhitungan BPP di

suatu lokasi akan ditentukan oleh komponen-komponen

transmisi yang terdapat pada lokasi itu. Terapi bila ada

komponen-komponen transmisi yang berada di dua lokasi

maka dapat ditentukan bahwa masing-masing lokasi akan

menanggung biaya separohnya.

2.3 Distribusi

Sedangan distribusi dibedakan lagi menadi dua kelompok,

yaitu distribusi tegangan menengah dan distribusi tegangan

rendah. Perhitungan biaya tahunan dari distribusi ini akan

identik dengan perhitungan biaya tahunan transmisi yang

telah dijelaskan di atas.

3. KOMPONEN BPP

Sebagai konsekuensi dari fungsi pembangkit, transmisi dan

distribusi dalam suatu sistem tenaga listrik tersebut, biaya

akan muncul pada masing-masing fungsi tersebut. Pada

pembangkitan akan muncul biaya bahan bakar, aset dan

O&M (operation and maitanance), transmisi dan distribusi

akan muncul biaya aset, O&M dan susut energi. Dengan

demikian, secara garis besar BPP terdiri dari empat

komponen biaya, yaitu:

Bahan Bakar

Aset

Operation & Maintenace (O&M)

Susut Energi

3.1 Bahan Bakar

Bahan bakar hanya terdapat pada sisi pembangkit saja.

Komponen ini adalah campuran dari berbagai jenis bahan

bakar (fuel mix) karena pembangkit-pembangkit yang

terlibat dalam sistem tenaga listrik menggunakan bahan

bakar yang bergam (air, batu bara, minyak dan gas alam).

Karena harga tiap jenis bahan bakar tidak sama maka perlu

dioptimalkan. Dengan demikian metoda optimasi sangat

dibutukan disini guna menentukan fuel mix yang optimal

dalam melayani beban sistem dari seluruh pembangkit yang

tersambung kepada sistem tenaga listrik tersebut.

Metoda optimasi yang paling baik adalah metoda optimasi

aliran daya (optimal power flow). Secara konsep metoda ini

sangat unggul karena semua kendala sudah diakomodasi di

dalamnya. Tapi kurang kokoh dalam operasinya,

kekokohan tergantung kepada variasi metoda yang

digunakan, misalnya: metoda simplek, Metoda linier,

metoda kuadratik, dan metoda interior point. Dalam praktek

metoda interior point lebih unggul karena lebih cepat dan

lebih kokoh.

Metoda optimasi yang sangat kokoh adalah metoda

optimasi dispatch. Namun metoda ini tidak melibatkan

kendala saluran sehingga persoalan rugi-rugi tidak dapat

diakomodasi. Disamping itu berkemunkinan tidak

operasional karena penerapan hasilnya memungkinkan

adanya kendala yang terlanggar, seperti saluran berbeban

lebih. Oleh karena metoda ini sangat kokoh, dalam praktek

rugi-rugi dapat diprediksi (misalnya 2,5%) dan

kemungkinan beban lebih tidak terlalu besar, maka sangat

disarankan menggunakan metoda ini dalam menyusun BPP

untuk setiap komponen dari grid berkapasitas sangat besar.

3.2 Aset

Aset adalah seluruh investasi yang mulai dari pembangkitan

sampai pada distribusi. Penyedian aset tergantung pula pada

tingkat keandalan yang dinginkan. Semakin banyak aset

yang dimiliki akan semakin andal tetapi akan semakin

tinggi biaya yang harus dikeluarkan. Misalnya satu unit

pembangkit berkerja pada suatu sistem akan lebih andal

bila menggunakan dua unit pembangkit yang berkerja bila

dibandingakan hanya satu unit saja. Hubungan Penyediaan

biaya aset dengan keandalan ditunjukan oleh gambar-2.

Pada gambar ini terlihat untuk keandalan yang mendekati

satu membutuhkan penambahan biaya aset yang besar

sekali demi meningkatkan penambahan keandalan yang

sangat kecil.

Biaya aset

Keandalan

Kurva keandalan

Kurva biaya aset

Gambar 2: keandalan vs biaya aset

Umumnya pengadaan aset didasarkan pada tingkat

keandalan tertentu yang diinginkan untuk menanggulangi

komponenen yang gagal, misalnya n-1, ini berarti walaupun

terjadi satu komponen yang gagal dari sejumlah n

komponen maka sistem tidak akan terganggu.

Page 252: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

243

Dalam kaidah-kaidah ekonomi biaya aset umumnya

ditentukan oleh berapa besar depresinya tiap tahun. Depresi

ini tergantung pada investasi, suku bunga, waktu dibangun

dan umur ekonomi aset.

Persolan aset ini meruapakan rancangan sistem tenaga

listrik yang diinginkan berdasarkan kulitas pelayanan listrik

yang dikehendaki. Hal ini tergangtung pada kemampuan

finasial perusahan (pemeritah) yang menjadi tanggung

jawab dalam penyediaan listrik yang terjangkau oleh

masyarakat, misalnya sistem ketenagaan listrik kita

dikelola oleh PT. PLN yang dimiliki pemerintah. Tentunya

sistem ini merupakan sistem monopoli oleh pemerintah.

3.3 Biaya O&M

Dalam pengelolaan tenaga listrik harus menyediakan biaya

operasi dan perawatan (O&M). Biaya ini bertujuan untuk

melancarkan operasi sehingga tidak terjadi hambatan-

hambatan nantinya. Secara umum, biaya O&M ini terdiri

dari biaya tetap dan biaya variabel. Biaya tetap yang

berkaitan dengan pegawai, pemeliharaan dan ansuransi,

sedangkan biaya variabelnya terdiri dari start up/start

down, oli, bahan bakar tambahan dan bahan kimia.

Penentuan biaya O&M ini dipengaruhi oleh kondisi riil

lapangan yang berupa data histori. Namum dalam

kenyataannya sulit ditemui data tersebut sehingga harus

dilakukan pendekatan dalam menentukannya. Dismping itu

juga dipengaruhi pula oleh rencana operasi tenaga listrik

secara keseluruhan. Pengaruh biaya ini terhadap sistem

tenaga listrik keseluruhan adalah kecil sekali yaitu

bervariasi antara 2-5%. Dalam praktek sering diambil

anggka 4%.

3.4 Susut Energi

Susut energi hanya terdapat pada jaringan saja baik pada

jaringan transmisi maupun jaringan distribusi. Sedangkan

pada pembangkit dianggap suplai kepada jaringan sudah

merupakan daya bersih. Perhitungan biaya susut energi

dapat diturukan dari gambar-3 yang merupakan saluran

yang dilewati oleh arus konsmen dan arus ke jaringan lain.

Konsumen

Jaringan

PG P

Dk

PRρG

ρ Dj

Gambar

3: Model penentuan biaya susut energi

Dari gambar-3 dapat ditunjukan bahwa produksi energi

(dalam satu jam) sama dengan biaya yang diterima pada

bus konsumen dalam slang waktu yang sama. Bila harga

energi adalah sama disemua lokasi, yaitu ρe= ρG, maka

biaya susut energi adalah

)P(PρPρ ReGe (4)

Dimana: e adalah harga pokok energy

PG adalah daya yang masuk saluran

PR adalah rugi-rugi daya dalam saluran

P adalah daya yang sampai pada bus penerimaan

Jadi biaya susut energi dalam satu jam itu adalah

RePρenergi/jamsusut Biaya (5)

Kemudian dari bus itu daya dialirkan ke dua arah, ke

konsumen (Dk) dan ke jaringan berikutnya (Dj), yang

memenuhi hokum keseimbangan daya, yaitu P=Dk+Dj.

Selanjutnya biaya susut yang dipikul oleh komsumen itu

ditentukan berdasarkan pendekatan berikut.

e

r

kDk

RP

DB (5)

4. SIMULASI

Berikut dilakukan simulasi perhitungan BPP yang telah

dijelaskan di atas dengan menggunakan sistem sederhana

pada gambar 4. Pada sistem terdapat dua lokasi, LK-1 dan

LK-2.

1

3

2

4

G1 G2 G3

IPPG4

LK

-1L

K-2

Gambar 4: Sistem 4 bus

4.1 Data

Page 253: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

244

Data-data dari sistem pada gambar 4 di atas dimuat dalam

tabel-tabel berikut ini.

Tabel 1: Data pembangkit

Pembangkit c b a Pmin

(pu)

Pmak

(pu)

G1 0 1774,125 0,171 0,3 1,0

G2 0 15 0,0015 0,05 0,25

G3 0 850 0.03 0,02 0,1

G4 0 382,788 0,3808 0,05 0,5

IPP 0 1850 0 0,05 0,2

Tabel 2: Data saluran

Bus-i Bus-j R (pu) X (pu) Y (pu) Smak (pu)

1 2 0,15 0,26 0,030 0,75

1 3 0,17 0,30 0,035 0,75

1 4 0,17 0,30 0,035 0,75

2 3 0,14 0,15 0,020 0,75

2 4 0,15 0,18 0,020 0,55

3 4 0,13 0,12 0.015 0,60

Tabel 3: Data tegangan bus

No. bus Lokasi Vmin (pu) Vmak(pu)

1 LK-1 0,9 1,05

2 LK-1 0,9 1,05

3 LK-2 0,9 1,05

4 LK-2 0,9 1,05

Tabel 4: Data perkiraan durasi beban

jam beban Jam beban Jam beban

1 90 9 110 17 160

2 80 10 115 18 145

3 90 11 130 19 143

4 110 12 120 20 145

5 115 13 100 21 145

6 120 14 110 22 130

7 110 15 120 23 100

8 90 16 130 24 90

Ratio hari libur terhadap hari biasa = 0,8

Ratio hari sabtu terhadapa hari biasa = 0,85

Satu tahun =365 hari

4.2 Hasil perhitungan

Tabel-tabel berikut ini memuat hasil-hasil perhitung dari

konsep perhitungan BPP yang telah dijelaskan di atas.

Tabel 5: Hasil optimasi bahan bakar (fuel mix) dan susut

energi ============================================

Nama BPP-bb BPP-se S. TRANS P-SENDIRI

Lokasi [RP/kWH] [RP/KWH] [%] [%] ============================================

LK-1 834.90 22.76 .523 1.276

Lk-2 863.40 17.81 .503 1.297 --------------------------------------------------------------------------

SISTEM == 848.96 20.37 1.026 2.573

-------------------------------------------------------------------------- Tabel 6: Hasil perhitungan susut energi distribusi ====================================

NAMA BPP-susut-TM BPP-susut-TR

LOKASI [RP/KWH] [RP/KWH] ====================================

LK-1 35.30 21.51 LK-2 24.36 13.66

-------------------------------------------------------------

Tabel 7: Hasil perhitungan biaya investasi dan O&M

Nama

Jenis LK-1

[RP/KWh]

LK-2

[RP/KWh]

Biaya

[Juta-

RP/Hari]

Pembangkit Investasi 30,87 38,21 144,5

O&M 4,14 5,32 20,1

Transmisi Investasi 10,92 14,37 54,4

O&M 2,09 4,04 15,3

Distribusi TM Investasi 18,14 22,07 57,8

O&M 2,62 4,19 15,3

Distribusi TR Investasi 22,07 4,19 64,5

O&M 37,93 8,98 15,3

Tabel 8: BPP di masing-masing lokasi ============================================ Nama Pembangkit Transmisi Dist-TM Dist-TR

Lokasi [RP/KWH] [RP/KWH] [RP/KWH] [RP/KWH]

============================================ LK-1 869.91 905.69 961.75 1009.52

LK-2 906.93 943.16 990.24 1050.81

--------------------------------------------------------------------------

Tabel 9: Komposisi Kosumsi Energi Masing-masing

Lokasi ============================================

NAMA TRANS DIST-TM DIST-TR SUTOTAL LOKASI [GWH]/[%] [GWH]/[%] [GWH]/[%] [GWH]/[%]

============================================

LK-1 97.36/20.0 146.05/30.0 243.41/50.0 486.82/100 LK-2 71.10/15.0 189.60/40.0 213.30/45.0 474.01/100

--------------------------------------------------------------------------

TOT 168.47/17.5 335.65/34.9 456.72/47.5 960.83/100 --------------------------------------------------------------------------

Tabel 10: Rekapitulasi Tahunan: Biaya dan Pendapatan ============================================ ++++++COST++++++ vs +++++REVENUE++++++

--------------------------------------------------------------------------

ITEM : [JUTA-RP] ITEM :[JUTA-RP] --------------------------------------------------------------------------

FUEL : 813254.1 CONSUMEN TT : 155241.9

INVESTASI: 115987.7 CONSUMEN TM : 328214.0

O&M : 24086.0 CONSUMEN TR : 469871.9

-------------------------------------------------------------------------- TOTAL : 953327.8 TOTAL : 953327.8

--------------------------------------------------------------------------

5. DISKUSI

Biaya pokok listrik terdiri dari komponen energi yang

beruapa bahan bakar campuran, investasi, dan biaya operasi

dan perawatan. Komponen biaya bahan bakar disamping

tergantung pada komposisi bahan bakar (batubara, gas, air,

minyak, dan lainnya) juga ditentukan oleh kharakteristik

kurva beban seperti yang ditunjukan oleh tabal 4.

Sedangkan tabel 8 menunjukan bahwa biaya pokok listrik

di sisi pembangkit lebih murah karena tidak menanggung

biaya jaringan dan susut energi. BPP akan termahal pada

sisi konsumen tegangan rendah. Hal ini disebabkan oleh

Page 254: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

245

kontribusi susut energi di transmisi dan distribusi TM yang

harus ditanggung. Disamping itu juga biaya investyasi dan

O&M di sisi hulu yang juga harus ditanggung. Ini

disebabkan oleh arusnya melewati jaringan transmisi dan

distribusi.

Hasil simulasi menunjukan bahwa konsep perhitungan BPP

listrik yang diajukan sudah dapat dilakukan dengan hasil

yang memuaskan untuk diterapkan dalam menghitung BPP

listrik di berbagai lokasi dari sistem tenaga listrik. Hal ini

ditunjukan oleh tabel 10 yang menyatakan keseimbangan

pendapatan dengan biaya, sebesar 953327.8 juta-RP/tahun.

6. KESIMPULAN

Konsep perhitungan BPP yang diajukan sudah mencakup

seluruh komponen biaya yang yang allowable saja mulai

dari pembangkit sampai pada konsumen, yaitu meliputi

biaya bahan bakar, biaya asset, biaya O&M dan biaya rugi-

rugi energi pada saluran.

Hasil perhitungan pada contoh menyatakan bahwa biaya

bahan baker dalam penyediaan tenaga listrik adalah

mendapat porsi yang besar yaitu lebih dari 80 %. Oleh

karena itu perhitungan optimasi untuk mendapatkan biaya

termurah (least cost) adalah sangat tepat.

Biaya pokok penyediaan tenaga listrik sebaiknya dihitung

untuk setiap satu tahun ke depan saja. Hal ini mengingat

perubahan-perubahan untuk tahun yang jauh ke depan

sangat tidak dapat dipastikan, terutama tentang harga bahan

bakar.

DAFTAR PUSTAKA

[1] AA. El-Keib and X. Ma (1997), Calculating Short-

Run Marginal Costs of Active and Reaktive Power

Production, IEEE Transaction on Power System, Vol.

12, No. 2.

[2] AF. Vojdani, dkk.(1996), Transmission Access Isues,

IEEE Transaction on Power System, Vol. 11, No. 1.

[3] AJ. Wood and BF. Wollenberg (1996), Power

Generation Operation and Control, John Weley &

Sons, New York, Scond Edition.

[4] FC. Schweppe, dkk.(1988), Spot Pricing of

Electricity, Kluwer, USA.

[5] Hermagasantos Zein (2000), Studi Biaya Pelayanan

Jaringan Transmisi: Dalam Kontek kompetitif,

Procceding SSTE-1.

[6] Hermagasantos Zein (2000), Distribusi Daya

Wheeling Melalui Metoda Fast Decoupled dan

Superposisi pada Jaringan Transmisi, Procceding

SSTE-1.

[7] RA. Wakefield, dkk.(1997), A Transmission Services

Costing Framework, IEEE Transaction on Power

System, Vol. 12, No. 4.

[8] Richard F. Hirsh (2001), Power Loss: the origins of

deregulation and restructuring in the America electric

utility sistem, the MIT Press Cambridge,

Massachusetts, London, England.

[9] Ross, dkk (1980), Dynamic Economic Dispatch of

Generation, IEEE Transaction on Power System, Vol.

99, No. 6.

[10] Roy Bilington and RN. Alllan (1998), Reliabilty

Evaluation of Power System, Pitman Publishing

Limited, Toronto.

[11] TJ. Hammons, dkk. (1997), European Policy on

Electricity Infrastructure, Interconnections, and

Electricity Exchanges, IEEE Transaction on Power

System, PES Summer Meeting.

[12] Turan Gonen (1986), Electrical Power Distribution

System Engineering, McGrow-Hill,Inc., Copyright.

[14] TW. Gedra (1999), On Transmission Congestion and

Pricing, IEEE Transaction on Power System, Vol. 14,

No. 1.

Page 255: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

246

Pengaruh Substitusi Lantanum (La) Pada Berbagai Variasi Terhadap

Material Ba 1-xLaxO.6Fe2O3 Dengan Proses Mixing

Sri Wuryantia, Azwar Manaf

b

aJurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

b Jurusan Fisika, Fakultas Matematika Ilmu Pengetahuan Alam, UI

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Barium heksaferit (BaO.6Fe2O3) adalah salah satu magnet keramik yang banyak digunakan dalam berbagai aplikasi, seperti

pembuatan film tipis ataupun berbagai perangkat listrik yang berbasis teknologi nano. Dalam penelitian ini akan dibuat barium

heksaferit dengan substitusi lanthanum pada berbagai variasi x = 0,25; 0,5; dan 0,75. Sebagai bahan baku pemaduan mekanik

digunakan campuran BaCO3, La2O3, dan Fe2O3. Serbuk yang dihasilkan ditambah alkohol kemudian diaduk agar diperoleh

serbuk yang homogen. Hasil pencampuran dipress dan disinter pada temperatur 1100oC untuk mendapatkan karakteristik

dari Ba 1-xLaxO.6Fe2O3. Karakterisasi dilakukan dengan perangkat XRD dan Permagrap. Hasil pengujian dengan XRD

diperoleh puncak tertinggi pada sudut 32.3o untuk

subtitusi lanthanum x = 0,25, kerapatan massa sebesar 7.5693 g/cm

3 pada

subtitusi lantanum x = 0,75 dan keberhasilan substitusi La tertinggi dengan x = 0.50. Sedangkan pada pengujian permagrap

dihasilkan sifat induksi remanen, hasil energi maximum dan sifat koersivitas tertinggi untuk substitusi lanthanum dengan x =

0,25.

Kata Kunci Barium hexaferit, BaCO3, La2O3, ,Fe2O3, BaFe12O19, lanthanum

1. PENDAHULUAN

Magnet permanen ferit dapat dibedakan menjadi dua

kelompok utama, yaitu magnet keramik-selfbonded dan

magnet dengan agen (pengikat). Salah satu jenis ferit yang

laku secara komersial adalah Barium hexaferit (BaO.6Fe2O3)

dan Stronsium hexaferit (SrO.6Fe2O3). Serbuk ferit jenis ini

dapat disintesis dengan cara mencampurkan Fe2O3 dengan

BaCO3 atau SrCO3, selanjutnya dipanaskan pada temperatur

sekitar 1100o C. Proses pemanasan tersebut

lazim dinamakan proses kalsinasi [1].

Karakterisasi bahan hasil subtitusi yang akan dilakukan

meliputi:

a. Karakterisasi dengan pengukuran kurva histerisis

magnetik untuk menentukan besaran remanensi (Br),

koersivitas (Hc), energi hasil maksimum (BH)maks, yang

berguna untuk menentukan golongan bahan magnetik

apakah termasuk soft magnetic atau hardmagnetic [2].

Besarnya sifat magnet suatu bahan dapat diketahui

melalui kurva histerisis seperti pada Gambar 1. Proses

kontinu akan mencapai titik saturasi (Ms). Pada saat H

berharga 0 maka induksi magnet M akan mempunyai

harga MR (induksi magnet remanen). Untuk

mengembalikan M menjadi 0 diperlukan medan negatif

–Hc (gaya koersivitas) di titik C. Jika medan magnet

diturunkan terus maka akan dicapai titik induksi

magnet jenuh negatif (-Ms) pada titik D. Jika medan

negatif H dibalik, maka kurva akan mengikuti

garis CDFA, sampai mencapai harga Ms lagi, sehingga

diperoleh kurva histerisis.

Gambar 1: Kurva histerisis

Metode XRD, untuk mengetahui struktur kristal hasil

substitusi [3]. Pola hamburan (difraksi) sinar-X merupakan

karakteristik masing-masing senyawa yang tidak tergantung

satu sama lain. Panjang gelombang sinar-X yang

digunakan untuk X-ray Difraction (XRD) berkisar antara

0,5 – 2,5Å. Ketika radiasi sinar-X ditembakkan pada suatu

material akan terjadi interaksi antara radiasi dengan

elektron di dalam atom. Jika atom tersusun teratur dan

jarak antara atom mempunyai magnitude panjang

gelombang sinar-X yang sama, maka akan terjadi

interferensi yang saling memperkuat atau memperlemah.

Difraktometer sinar-X terdiri dari sumber sinar-X,

Page 256: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

247

pemegang sampel, goniometer, dan detektor. Goniometer

adalah alat yang bisa memutar posisi detektor mengelilingi

sampel, detektor bergerak pada sudut 10 – 40o (atau sudut

220 – 80o) dan mengukur intensitas sinar-X yang

didifraksikan pada sudut tersebut.

Hasil pengukuran adalah pola difraksi intensitas terhadap

sudut 2. Puncak-puncak yang terdeteksi mengandung

informasi mengenai unsur, phasa, dan komposisi yang

sangat bermanfaat bagi indentifikasi struktur kristal (lihat

Tabel 1).

2. METODE PENELITIAN

Tahap-tahap metode penelitian adalah sebagai berikut:

a. Prosedur yang dilakukan dalam pembuatan Ba1-

xLaxO.6Fe2O3 dengan substitusi lanthanum [4] dimulai

dengan pencampuran bahan baku BaCO3 ditambah

dengan La2O3, dan Fe2O3 , proses pengadukan di dalam

ultrasonic dengan perbandingan massa 5 gr dan alkohol

70% sebanyak 200 ml selama 10 menit, proses

pengeringan di dalam oven pada suhu 70oC, pembuatan

sampel uji dengan meletakkan sampel pada pipa PVC ½

in kemudian dipress pada tekanan 400 kg/cm2, proses

sintering pada suhu 1200o C, dan dilakukan pengujian.

b. Pengujian Ba1-xLaxO.6Fe2O3 dilakukan dengan variable

x = 0.25; 0.5 dan 0.75 menggunakan perangkat XRD

dan Permagrap.

c. Hasil dari pengujian untuk XRD dianalisa dengan

GSAS [5], sedangkan hasil pengujian permagrap dibuat

grafik menggunakan excel [6].

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Dari pengujian dengan XRD diperoleh data dengan pola

difraksi seperti yang terlihat pada Gambar 2. Dari pola

difraksi di atas dianalisa dengan GSAS dan diperoleh

puncak-puncak difraksi seperti yang terlihat pada Gambar

3. Dari analisa GSAS menunjukkan keberhasilan yang

ditunjukkan dengan reduced chi dalam rentang 1≤chi^2≤1,3

dan wRp < 15% [7], seperti yang ditunjukkan pada Tabel 1.

Untuk x = 0,25 diperoleh fasa 1 adalah

Ba0.512Fe12O19La0.488, fasa 2 adalah Fe2O3, disini

menunjukkan terjadi substitusi La sebesar 0,138 (55,2 %).

Untuk x = 0,5 diperoleh fasa 1 adalah

Ba0.2017Fe12O19La0.7983, fasa 2 adalah Fe2O3 disini

menunjukkan terjadi substitusi La [8] sebesar 0,2983

(59,66%). Untuk x = 0,75 diperoleh fasa 1

Ba0.1Fe12O19La0.9, fasa 2 Fe6O18La3, dan fasa 3 adalah La2O3

disini menunjukkan terjadi substitusi

La sebesar 0,15 (20%) pada fasa 1 dan 0,5 pada fasa 2.

Sedangkan dari Gambar 3 untuk Ba0.75La0.25O.6Fe2O3

puncak tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32,3o; 56,64

o

dan 63,35o dan kerapatan massa 5,2849 g/cm

3.

Untuk Ba0.5La0.5O.6Fe2O3 puncak tertinggi diperoleh pada

sudut-sudut 32,12o; 34,08

o dan 54,10

o dan kerapatan massa

5,2910 g/cm3. Untuk Ba0.25La0.75O. 6Fe2O3 puncak

tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32,21o; 33,23

o dan

35,69o dan kerapatan massa 7,708 g/cm

3. Jadi kerapatan

untuk material yang paling baik adalah dengan nilai ρ

tertinggi adalah substitusi lantanum x = 0,75 dan

keberhasilan substitusi tertinggi pada x = 0,5. Namun

substitusi ini tidak seperti yang diharapkan (< 60%).

Substitusi tersebut tidak terpenuhi disebabkan oleh tidak

tercapainya campuran yang homogen. Hal ini terlihat dari

hasil GSAS masih adanya komposisi senyawa lain yakni

pada x = 0,25 terdapat fasa Fe2O3 sebesar 27,788%, pada x

= 0,5 terdapat fasa Fe2O3 32,365% dan pada x = 0,75

terdapat 2 fasa lain yakni Fe6O18La3, sebesar 52,396% dan

fasa La2O3 sebesar 17,363%. Penyebab ketidak-

homogennya adalah waktu pencampuran hanya dilakukan

satu waktu yakni hanya 10 menit dan temperatur 1100oC.

Seharusnya dilakukan variasi waktu pencampuran dan

proses pemanasan sehingga didapatkan pencampuran yang

optimum [9].

Gambar 2: Pola difraksi

Gambar 3: Puncak-puncak Difraksi

Page 257: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

248

Gambar 4: Kurva Histerisis Ba0.75La0.25 O.6Fe2O3 -

Ba0.5La0.5O.6Fe2O3 - Ba0.25 La0.75O.6Fe2O3

dan BaFe12O19

Tabel 1: Hasil GSAS

NoParameter Ba0.75La0.25 O.6Fe2O3 Ba0.5La0.5 O.6Fe2O3 Ba0.25La0.75 O.6Fe2O3

1 Space Group

Phasa 1

Phasa 2 Phasa 3

2 Parameter kisi

Phasa 1

Phasa 2

Phasa 3

3 Reduced chi 4 wRp

5 Komposisi

Phasa 1 Phasa 2

Phasa 3

6 Densitas Phasa 1

Phasa 2

Phasa 3

Total

7 Puncak difraksi pada sudut

P 63/m m c

R -3 c H -

a=5,893363 b=5,893363 c= 23,213787

a=5,037525 b=5,037525

c=13,732824 -

1,287 4,24 %

72,212 % 27,788%

-

5,290 g/cm3

5,272 g/cm3

-

5,2849 g/cm3

32,3o;56,64o;63,35o

P 63/m m c

R -3 c H -

a=5,892 b=5,892 c=23,183001

a=5,0355 b=5,0355 c=13,7471

- 1,033

4,36 %

64,638%

35,362% -

5,302 g/cm3

5,271 g/cm3

-

5,2910 g/cm3

32,12o; 34,08o;54,10o

P 63/m m c

R -3 c H P 3 2 1

a=5,885836 b=5,885836 c=23,196793 a=5,036232

b=5,036232 c=13,742011

a=3,93 b=3,93 c=6,12 1,3

4,48%

30,241%

52,396% 17,363%

5,311 g/cm3 5,720 g/cm3

17,880 g/cm3

7,708 g/cm3

32,21o;33,23o; 35,69o

Dari pengujian dengan permagrap diperoleh kurva histerisis

dengan menggunakan excel seperti terlihat pada Gambar 4.

Dari gambar tersebut terlihat bahwa untuk

Ba0.75La0.25O.6Fe2O3 diperoleh induksi remanen (Br)

sebesar 0,074 T, koersivitas 283,7 kA/m dan energi hasil

maximum (BH)max 1kJ/m3.Untuk Ba0.5La0.5 O.6Fe2O3

diperoleh induksi remanen (Br) sebesar 0,063T, koersivitas

271,4 kA/m dan energi hasil maximum (BH)max 0,7kJ/m3.

Untuk Ba0.25La0.75 O.6Fe2O3 diperoleh induksi remanen

(Br) sebesar 0,038T, koersivitas 236,6 kA/m dan energi

hasil maximum (BH)max 0,3 kJ/m3. Dibandingkan dengan

BaFe12O19 dengan induksi 0.154 T, koersivitas 317,1 kA/m

dan Energi hasil maximum 4,2 kJ/m3, hal ini menunjukkan

bahwa setelah terjadi substitusi lanthanum sifat

magnetisnya berubah menjadi lebih softmagnetic [10], jadi

substitusi ini sangat penting untuk kebutuhan material yang

lebih lunak. Dan substitusi lanthanum pada x = 0,75 paling

lunak.

Jadi dengan variasi substitusi lanthanum, diperoleh

substitusi La dengan sifat magnet yang paling keras pada x

= 0,25; paling besar keberhasilan substitusi La pada x = 0,5;

dan paling tinggi kerapatan massa dan paling keras

substitusi La pada x = 0,75.

4. KESIMPULAN

Dari pengujian XRD dan Permagraph dari

Ba1-xLaxO.6Fe2O3 dengan substitusi La bisa disimpulkan

sebagai berikut:

a. Ba0.75La0.25O.6Fe2O3 : sifat induksi remanen, energi

hasil maximum dan koersivitasnya tertinggi, sedangkan

Page 258: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

249

puncak tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32.3o,

56.64o , 63.35

o, kerapatan massa terendah dan

keberhasilan substitusi lantanum sebesar 55,2%.

b. Ba0.5La0.5O.6Fe2O3 : sifat induksi remanen, energi hasil

maximum dan koersivitasnya sedang sedangkan puncak

tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32.12o, 34.08

o,

54.10o, kerapatan massa sedang dan keberhasilan

substitusi lantanum sebesar 59,66%.

c. Ba0.25La0.75O.6Fe2O3 : sifat induksi remanen, energi

hasil maximum, dan koersivitas terendah, sedangkan

puncak tertinggi diperoleh pada sudut-sudut 32,21o,

33,23o dan 35,69

o, kerapatan massa tertinggi dan

keberhasilan substitusi lantanum sebesar 20%.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Capraro.S., Berre,M.L.,Chatelon, J.P., Bayard,.B.

Joisten,H., Canut,C.,Barbier, D., and Rousseau, J.J.

2004. Crystallograpic Properties of Magnetron

Sputtered Barrium Ferrite Films, Materials Science

and Engineering B.112(1),19-24.

[2] Cullity,B.D. and GRAHAM, C.D. 2009.

Introduction to Magnetic Materials Second

Edition, IEEE Press,John Wiley & Sons, Inc.

[3] Cullity, B. D. 1998 . Element of X -ray

Difraction, Prentice - Hall.

[4] Pooja Chauhan . 2010 . Preparation and

Characterization of Barium Hexaferrite by Barium

Monoferrite, Thapar University, Patiala, India.

[5] S. Enzo, G. Fagherazzi , A. Benedetti , S.

Polizzi. 1988 . A Profile – Fitting Procedure for

Analysis of Broadened X- ray Diffraction, J.

Appl. Cryst. 21,536-542.

[6] Stadelmaier, H . H. 2000. Magnetic Properties

Materials , Materials Science and Engineering A,

vol 287, p.138-145

[7] Nowosielski, R., Babilas,R., and J.Wrona. 2007.

Achievement in Materials and Manufaturing

Engineering, p.207- 210.

[8] Tran Thi Viet Nga, Nguyen Phuc Duong, And

Than Duc Hien. 2010. Enhancement of Magnetic

Properties of La-Substituted Strontium Hexaferrite

Particles Prepared by Sol-Gel Route. Hanoi

University of Technology -Vietnam: ITIMS.

[9] Nowosielski, R., Babilas,R., and J.Wrona.

2007.Achievement in Materials and Manufaturing

Engineering, p.207-210.

[10] Stadelmaier, H.H. 2000. Magnetic Properties

Materials, Materials Science and Engineering A,

vol 287, p.138-145.

Page 259: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

250

Pengaruh Konsentrasi Aktivator Terhadap Kadar kalium Katalis Basa

Heterogen Tandan Kosong Kelapa Sawit dan Batang Pisang pada

Pembuatan Biodiesel Berbantukan Ultrasonik

Marlindaa, Ramli

b, Abdul Halim

c

a,b Staf Pengajar Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Samarinda a Email : [email protected]

b Email : [email protected]

c Staf Pengajar Jurusan Teknik Mesin Politeknik Negeri Samarinda a Email : [email protected]

ABSTRAK

Penggunaan katalis heterogen pada pembuatan biodiesel memberikan banyak keuntungan dikarenakan katalis heterogen dapat

dengan mudah dipisahkan dari produknya sehingga dapat digunakan kembali, mudah diregenerasi dan tidak menghasilkan

produk samping berupa sabun. Penelitian ini menggunakan katalis heterogen yang berasal dari bahan alam yaitu tandan kosong

kelapa sawit dan batang pisang yang mengandung unsur kalium. Tujuan penelitian ini adalah meningkatkan kualitas katalis

basa berdasarkan kadar kalium serta efektivitas katalis basa pada proses pembuatan biodiesel. Untuk memperbaiki

karakteristik katalis basa heterogen dengan peningkatan kadar kalium maka dilakukan aktivasi kimia menggunakan larutan

KOH dengan variasi konsentrasi larutan aktivator 0,1N – 2,2 N dan aktivasi fisika dengan kalsinasi . Penggunanaan katalis

basa heterogen dapat mengurangi dampak reaksi penyabunan dengan melakukan variasi jumlah katalis basa dengan massa

katalis divariasikan 5g, 10g, 15g, 20g dan 25g . Proses transesterifikasi menggunakan reaktor ultrasonik dengan frekuensi 42

KHZ dengan waktu reaksi 30 menit pada suhu lingkungan sekitar 300C. Hasil Penelitian diperoleh bahwa dengan melakukan

aktivasi kimia dan aktivasi fisika karakteristik katalis semakin baik terlihat dengan peningkatan kadar kalium sekitar 13% -

84% yang paling baik pada konsentrasi activator 1,9 N. Kadar kalium dianalisa menggunakan AAS dan FTIR, kalium pada

katalis basa terikat dalam bentuk senyawa K-O dan K-C. Sedangkan pada proses transesterifikasi menghasilkan rendemen

biodiesel yang optimum pada massa 20g sebesar 93,17% dengan kadar metil ester 96,76% dengan menggunakan analisa

GC/GC MS. Karakterisasi biodiesel yang dihasilkan telah memenuhi standar SNI (2006), dengan memiliki densitas 878,5

kg/m3, viscositas 5,13 mm

2/s, titik kabut 12°C, titik nyala 129,4°F, angka setana 52, kadar air 0,0293, kadar metil ester 96,76%

dan angka asam 0,4837.

Kata Kunci

Biodiesel, katalis basa heterogen, larutan aktivator, reaktor ultrasonik

1. PENDAHULUAN

Propinsi Kalimantan Timur merupakan salah satu daerah

penghasil kelapa sawit yang sangat potensial. Kalimantan

Timur memproduksi kelapa sawit 2,3 juta ton pada tahun

2009, Sedangkan di Samarinda produksi kelapa sawit

mencapai 1250 ton pada tahun 2009 dan 826 ton sampai

pada pertengahan 2010 [2]. Sehubungan dengan potensi

penghasil kelapa sawit terbesar di Indonesia, pemerintah

telah menetapkan kaltim sebagai kluster industri berbasis

kondensat dan oleokimia. Sedangkan batang pisang untuk

wilayah Kaltim menurut data BPS 2010 sebanyak 112,98

ton/tahun, sehingga akan terjadi peningkatan jumlah limbah

dari kedua bahan tersebut pun semakin meningkat. Potensi

limbah tandan kosong kelapa sawit dan batang pisang dapat

diolah kembali karena mengandung mineral alam seperti

kalium, calsium, magnesium dan lain-lain. Dalam abu

tandan kosong kelapa sawit (TKKS), logam kalium

merupakan logam terbesar yang terdapat dalam abu TKKS

yaitu sebesar 27,5% [4] sedangkan batang pisang memiliki

kandungan kalium berbasis abu sebesar 33,4% [9].

Umumnya pembuatan biodiesel menggunakan katalis

homogen seperti NaOH, KOH, H2SO4 atau HCl. Namun

katalis ini sulit dipisahkan setelah reaksi, dapat merusak

lingkungan, bersifat korosif dan menghasilkan limbah

racun [3] Selain itu, katalis homogen tersebut dalam

kemampuan katalitiknya hanya dapat dipakai satu kali [4].

Penggunaan katalis heterogen pada pembuatan biodiesel

memberikan banyak keuntungan dikarenakan katalis ini

dapat dengan mudah dipisahkan dari produknya dengan

filtrasi karena fasanya berbeda dengan produknya, mudah

diregenerasi, dapat digunakan kembali, tidak menghasilkan

produk samping berupa sabun jika bereaksi dengan asam

lemak bebas (FFA), lebih ramah lingkungan, lebih murah

dan tidak bersifat korosif [4]. maka pada penelitian ini

akan dilakukan preparasi katalis dengan penggunaan

aktivator sehingga katalis heterogen akan lebih

meningkatkan karakteristik katalis sehingga konversi

Page 260: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

251

biodiesel pun semakin meningkat. Selain itu, pemanfaatan

limbah pertanian berupa tandan kosong kelapa sawit

(TKKS) dan batang pisang sebagai katalis basa heterogen

(TKSNBP) akan meningkatkan nilai ekonomis limbah

pertanian tesebut.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Biodiesel

Dalam pembuatan biodiesel, reaksi dapat terjadi dengan

bantuan katalis (katalitik) atau tanpa bantuan katalis (non-

katalitik). Pembuatan biodiesel tanpa katalis membutuhkan

temperatur dan tekanan tinggi, sehingga membutuhkan

perlakuan yang lebih dan reaktor yang berbahan khusus.

Agar diperoleh yield yang maksimum, reaksi berjalan pada

reaksi yang melebihi suhu metanol supercritical yaitu pada

suhu 240°C [7]. Minyak nabati dan biodiesel tergolong ke

dalam kelas besar senyawa-senyawa organik yang sama,

yaitu kelas ester asam-asam lemak. Akan tetapi, minyak

nabati adalah triester asam-asam lemak dengan gliserol,

atau trigliserida, sedangkan biodiesel adalah monoester

asam-asam lemak dengan metanol [11]. Semua minyak

nabati dapat digunakan sebagai pengganti bahan bakar

namun dengan proses-proses pengolahan tertentu [5].

Berbeda dengan penggunaan minyak tanaman murni,

penggunaan ester dari minyak tanaman tidak memerlukan

modifikasi konstruksi motor dan memiliki beberapa

keunggulan, yaitu [12]:

1. Biodiesel diproduksi dari bahan pertanian, sehingga

dapat diperbaharui.

2. Biodiesel memiliki nilai setana yang tinggi, volatile

matter yang rendah dan bebas sulfur.

3. Ramah lingkungan karena tidak ada emisi SOx.

4. Meningkatkan nilai produk pertanian Indonesia.

5. Memungkinkan diproduksi dalam skala kecil

menengah sehingga bisa diproduksi di pedesaan.

6. Menurunkan ketergantungan suplai minyak dari negara

asing dan fluktuasi harga.

7. Jauh lebih mudah terurai oleh mikroorganisme

dibandingkan minyak mineral.

Salah satu persyaratan minyak nabati dapat dipakai sebagai

bahan bakar mesin diesel adalah viskositasnya harus

rendah. Ada beberapa metode untuk menurunkan viskositas

minyak nabati seperti mencampurkan minyak nabati

dengan petrodiesel, pirolisis,mikroemulsi, dan

transesterifikasi. Transesterifikasi merupakan metode yang

paling umum digunakan pada pembuatan bahan bakar

biodiesel dari minyak nabati dengan reaksi kimia [9].

2.2 Reaksi Transesterifikasi

Transesterifikasi (biasa disebut dengan alkoholisis)

adalah tahap konversi trigliserida (minyak nabati)

menjadi alkil ester, melalui reaksi dengan alkohol dan

menghasilkan produk samping yaitu gliserol. Di antara

alkohol-alkohol monohidrik yang menjadi kandidat sumber

atau pemasok gugus alkil, adalah metanol yang paling

umum digunakan, karena harganya murah dan

reaktifitasnya paling tinggi (sehingga reaksi disebut

metanolisis). Jadi, di sebagian besar dunia ini, biodiesel

praktis identik dengan ester metil asam-asam lemak (Fatty

Acids Metil Ester, FAME). Reaksi transesterifikasi

trigeliserida menjadi metil ester dapat dilihat pada gambar

1 berikut:

Gambar 1: Reaksi Pembentukan Metil Ester (Biodiesel)

Transesterifikasi juga menggunakan katalis dalam

reaksinya. Tanpa adanya katalis, konversi yang

dihasilkan maksimum namun reaksi berjalan dengan

lambat [6]. Katalis yang biasa digunakan pada reaksi

transesterifikasi adalah katalis basa, karena katalis ini

dapat mempercepat reaksi.

2.3 Katalis Basa Heterogen

Katalis oksida logam bivalen memiliki karakter kovalen

yang dapat memfasilitasi reaksi transesterifikasi, beberapa

katalis basa heterogen yang umum digunakan adalah: K/-

Al2O3 , oksida campuran Ca dan Zn, Al2O3 yang didukung

CaO dan MgO, Oksida Logam alkali tanah, KF/Ca-Al dan

logam alkali yang dimuat alumina [13]. Mekanisme reaksi

transesterifikasi dengan katalis basa ada 4 tahap yaitu:

(1) Terjadi abstraksi proton dari metanol dengan situs basa

membentuk anion metoksida.

(2) Anion metoksida menyerang karbon karbonil pada

molekul trigeliserida membentuk intermediate

alkoksikarbonil.

(3) Intermediate alkoksikarbonil lebih lanjut berubah

bentuk yang lebih stabil berupa Fatty Acid Metyl Ester

(FAME) dan Anion digliserida.

(4) Kation metoksida menyerang anion digliserida

membentuk digliserida dan proses seterusnya terjadi

pada gugus R2 dan R3 [13].

Proses transesterifikasi dipengaruhi oleh beberapa faktor

yang tergantung pada kondisi reaksi yang digunakan, yaitu:

1. Pengaruh Asam Lemak Bebas dan Zat Menguap

Kandungan asam lemak bebas dan zat menguap

merupakan parameter kunci untuk menentukan

kelangsungan proses transesterifikasi minyak/lemak

tersebut. Proses transesterifikasi dengan menggunakan

katalis basa, bilangan asam harus lebih kecil dari 2%

[7].

2. Katalis

Katalis yang digunakan bisa homogen atau heterogen,

baik yang bersifat asam atau basa. Perlu diperhatikan

Page 261: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

252

1

4

3 2

Ultras

oniic

1

2

6 5

4

3

kadar asam lemak bebas (ALB) dan kelembapan

(moisture) [9], Katalis heterogen biasanya bergantung

sekurang-kurangnya pada satu reaktan yang teradsorpsi

dan dimodifikasi menjadi bentuk yang dapat langsung

bereaksi [1].

3. Perbandingan Mol Alkohol dan Mol Trigliserida

Salah satu faktor paling penting yang mempengaruhi

besarnya komponen rendemen ester adalah

perbandingan mol antara alkohol dengan trigliserida.

Perbandingan mol yang dibutuhkan untuk mencapai

stoikiometri adalah 3 mol alkohol dan l mol

trigliserida, yang akan menghasilkan 3 mol ester asam

lemak dan satu mol gliserol [12].

4. Kecepatan pengadukan

kecepatan reaksi pengadukan semakin besar, sehingga

kecepatan reaksi akan semakin besar [7].

5. Pengaruh Waktu Reaksi dan Temperatur

Laju rendemen trigliserida akan bertambah dengan

bertambahnya waktu reaksi. Transesterifikasi dapat

berjalan dengan temperatur berbeda, tergantung pada

minyak yang digunakan. [7].

3. METODOLOGI PENELITIAN

Dalam penelitian ini ada beberapa tahapan yang dilakukan

yaitu:

1. Tahap penyiapan bahan baku (preparasi)

Pada tahap ini dilakukan pengecilan ukuran pada bahan

baku berupa tandan kosong sawit dan batang pisang

2. Tahap aktivasi tandan kosong kelapa sawit dan batang

pisang dengan menggunakan larutan KOH dengan

konsentrasi 0.1N : 0.4N : 0.7N : 1.0N : 1.3N : 1.6N :

1.9N : 2.2N

3. Tahap gasifikasi ( pembuatan abu )

Pada tahap ini tandan kosong dan batang pisang yang

telah diaktivasi kemudian diabukan dengan alat

gasifikasi

4. Tahap reaksi transesterifikasi

Tahap ini dilakukan dengan menggunakan reaktor

ultrasonik dengan frekuensi 42 KHZ dengan variasi

katalis 5g : 10g : 15g : 20g : 25g dengan variasi reaktan

1:6 dan suhu reaksi 300C.

5. Tahap pemisahan, pencucian dan pemurnian biodiesel

Pada tahap ini biodiesel yang telah dipisahkan dari

gliserol kemudian dicuci dengan air panas untuk

menghilangkan sisa kotoran dan methanol.

6. Tahap analisa biodiesel

Analisa biodiesel meliputi kadar metil ester dengan GC

MS dan rendemen biodiesel, density, viscositas, titik

nyala, titik kabut dan angka setana

Peralatan yang digunakan dalam penelitian dapat dilihat

pada gambar 2 dan gambar 3:

Keterangan:

1. Tempat bahan baku

2. Kondensor

3. Sirkulasi Udara

4. Pemanas / Kompor

Gambar 2: Peralatan Gasifikasi (pengabuan)

Keterangan :

1. Ultrasonic cleaner

2. Mixer

3. Aluminium foil

4. Gelas Kimia

5. Statif

6. Klem

Gambar 3: Peralatan Proses Pembuatan Biodiesel

4. PEMBAHASAN

4.1 Pengaruh aktivasi terhadap karakteristik katalis

Aktivasi dilakukan dengan menggunakan larutan KOH

dengan berbagai konsentrasi dan suhu lingkungan serta

waktu perendaman selama 1 jam, data hasil dapat dilihat

pada tabel 1 berikut:

Tabel 1: Pengaruh Konsentrasi Larutan Aktivator (KOH)

Terhadap Kadar Kalium Katalis

No.

Konsentrasi Larutan

KOH

(N)

Konsentrasi Kalium

(% b/b)

1 0 5.73

2 0,1 13.64

Page 262: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

253

3 0,4 15.13

4 0,7 18.77

5 1,0 23.38

6 1,3 24.72

7 1,6 31.59

8 1,9 36.5i2

9 2,2 29.64

Tandan kosong kelapa sawit (TKKS) dan batang pisang

digunakan sebagai katalis heterogen karena mengandung

unsur kalium. Kadar kalium pada abu tandan kosong

kelapa sawit sebesar 196,63 g/kg berat abu [14] sedangkan

kadar kalium batang pisang sebesar 16,53-23,06 g/kg berat

batang pisang dan mengalami kenaikan kadar kalium

setelah pembakaran sebsar 36-46% [8]. Dari uraian

tersebut dapat disimpulkan bahwa abu tandan kosong

kelapa sawit memiliki kadar kalium yang lebih rendah

dibandingkan abu batang pisang sehingga pada penelitian

ini tandan kosong kelapa sawit dicampur denganbatang

pisang (50%:50% berat).

Dalam karakteristik katalis, dilakukan proses aktivasi

untuk meningkatkan kadar kalium. Berdasarkan hasil

analisis AAS diperoleh bahwa kadar kalium pada abu

TKKS dan batang pisang tanpa aktivasi yang digunakan

dalam penelitian ini adalah 5,73% seperti yang

ditunjukkan pada Tabel 1, selain itu juga terlihat kadar

kalium pada katalis yang teraktivasi dengan berbagai

konsentrasi larutan aktivator. Sehingga konsentrasi larutan

aktivator memberikan pengaruh terhadap kadar kalium

yang dihasilkan pada abu TKKS dan batang pisang

(TKKSNBP), hal tersebut dapat ditunjukkan pada Gambar

4

Gambar 4: Grafik Konsentrasi Kalium dan Konsentrasi

Larutan KOH

Pada gambar 4 menunjukkan kadar kalium pada abu

TKKS dan batang pisang yang dihasilkan meningkat

dengan bertambahnya konsentrasi larutan aktivator.

Konsentrasi larutan KOH 1,9 N merupakan konsentrasi

maksimum yang menghasilkan kadar kalium sebesar

36,52%.

Meningkatnya komposisi (kalium) suatu katalis akibat dari

proses aktivasi karena zat pengotor yang ada pada abu

akan hilang biasanya zat pengotor ini menutupi pori-pori

permukaan abu. Hilangnya zat pengotor tersebut dari

permukaan abu akan menyebabkan semakin besar pori dari

abu tersebut. Besarnya pori abu TKKSNBP yang akan

berfungsi sebagai katalis berakibat meningkatnya luas

permukaan sehingga akan meningkatkan kemampuan

adsorpsi dan dapat meningkatkan kadar gugus aktif pada

abu tersebut. Luas permukaan dipengaruhi oleh besar atau

kecilnya pori pada permukaan katalis. Semakin kecil pori,

luas permukaan akan semakin besar sehingga kinerja abu

sebagai katalis heterogen dapat meningkat. Dalam reaksi

katalitik, luas permukaan sangat .mempengaruhi laju

reaksi, karena semakin luas permukaan katalis akan

menyebabkan semakin banyak reaktan yang teradsorpsi

pada sisi aktif katalis.

4.2 Pengaruh Massa Katalis Basa Heterogen Pada

Pembuatan Biodiesel

Pembuatan biodiesel dilakukan dengan menggunakan

katalis basa heterogen TKKSNBP pada suhu 300C waktu

reaksi 30 menit dengan perbandingan reaktan 1:6 dengan

data pada Tabel 2 sebagai berikut:

Tabel 2: Pengaruh Massa Katalis Terhadap

Rendemen Biodiesel (Waktu Reaksi = 30 menit,

Ukuran Partikel Katalis = 100 mesh)

Dari Tabel 2 terlihat pada massa katalis yang banyak akan

menghasilkan rendemen dan kadar metil ester yang tinggi

pula pada ukuran partikel yang sama 100 mesh, waktu

reaksi 30 menit dan suhu reaksi 300C dengan menggunakan

reaktor ultrasonik batch. Pengaruh massa katalis terlihat

pada gambar 5 dan gambar 6 pada rendemen dan kadar

metil ester biodiesel sebagai berikut:

0

10

20

30

40

0 1 2 3

Ka

da

r K

ali

um

(% b

/b)

Konsentrasi Larutan KOH …

No.

Massa

Katalis

(gram)

Rendemen Biodiesel

(%)

Kadar Metil Ester

(%)

1 10 83,35 93,97

2 15 87,17 94,28

3 20 93,17 96,76

4 25 75,49 96,85

5 30 66,77 96,90

Page 263: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

254

Gambar 5: Pengaruh Massa Katalis pada Rendemen

Biodiesel

Gambar 6: Pengaruh Massa Katalis pada Kadar Metil Ester

Gambar 5 dan Gambar 6, menunjukkan bahwa rendemen

biodiesel dan kadar metil ester yang dihasilkan meningkat

terhadap bertambah.nya massa katalis. Dengan semakin

besar massa katalis maka semakin besar pula konsentrasi

katalis yang akan meningkatkan laju reaksi

transesterifikasi pembentukan metil ester. Pada massa

katalis sebesar 20 g menunjukkan rendemen biodiesel

maksimum yaitu 93,17%, begitu pula terjadi peningkatan

kadar metil ester sebesar 96.76% .

Kenaikan konsentrasi katalis tidak menyebabkan

pergeseran kesetimbangan ke arah pembentukan metil

ester, tetapi menyebabkan turunnya energi aktivasi.

Dengan demikian, hal tersebut akan meningkatkan kualitas

tumbukan antar molekul reaktan yang mengakibatkan

kecepatan reaksi transesterifikasi menjadi naik sehingga

rendemen biodiesel juga semakin tinggi dan kadar metil

ester pun meningkat.

Peningkatan konsentrasi katalis tidak selalu meningkatkan

nilai rendemen produk tetapi sebaliknya akan menambah

biaya dan waktu karena perlunya pemisahan katalis dari

produk serta penambahan massa katalis menyebabkan

warna biodiesel menjadi lebih pekat. Pada penggunaan

massa katalis >20 gram, mengakibatkan rendemen

biodiesel semakin menurun. Hal ini disebabkan terjadinya

reaksi balik ke arah pembentukan reaktan. Selain itu,

karena kecepatan pengadukan yang digunakan tidak

optimal terhadap massa katalis >20 gram yang

mengakibatkan proses desorpsi (pelepasan produk dari

permukaan katalis) lebih kuat dari adsorpsi reaktan

sehingga menghasilkan rendemen biodiesel yang lebih

sedikit.

Kecepatan pengadukan dalam reaksi pembentukan

biodiesel memberikan pengaruh yang besar. Hal ini

diperkirakan karena pengaruh mekanisme katalis

heterogen (adsorpsi dan desorpsi). Kesetimbangan antara

adsorpsi dan desorpsi akan sangat menentukan aktivitas

katalis heterogen. Oleh karena itu, kecepatan pengadukan

optimal terhadap massa katalis akan memberikan

kecepatan adsorpsi reaktan sebanding dengan kecepatan

desorpsi produk, dimana reaktan teradsorpsi sampai reaksi

sempurna sehingga produk yang dihasilkan akan lebih

banyak

Setelah dilakukan proses transesterifikasi dari variabel

massa katalis, produk yang diperoleh (rendemen biodiesel

optimal) dilakukan uji karakteristik. Hasil analisa

karakteristik biodiesel dapat dilihat pada Tabel 3, dengan

massa jenis 878,5 kg/m3, viskositas 5,13 mm

2/s, angka

setana 52, titik nyala 129,4°C, titik kabut 12°C, kadar air

0,0293%, kadar metil ester 99,76% dan angka asam

0,4837 mg KOH/g. Karakteristik biodiesel tersebut telah

memenuhi standar SNI (2006). Karakteristik diperlukan

untuk mengetahui kelayakan biodiesel dalam aplikasinya

terhadap mesin diesel. Karakteristik biodiesel dapat dilihat

pada Tabel 3.

Tabel 3: Karakteristik Biodiesel dari % Rendemen

Maksimum

5. KESIMPULAN

Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan maka

dapat disimpulkan sebagai berikut:

1. Pengaruh aktivator kimia berupa larutan KOH pada

katalis basa dan aktivasi fisika dapat meningkatkan

kadar kalium pada katalis limbah tandan kosong sawit

dan batang pisang, kalium terikat dalam gugus K2O.

2. Penggunaan katalis basa limbah tandan kosong sawit

dan batang pisang dapat digunakan sebagai katalis

pada transesterifikasi minyak goreng bekas menjadi

biodiesel dengan rendemen biodiesel 93,17% dengan

massa katalis 20g dan kadar metal ester 96,76% serta

dapat mengurangi efek reaksi penyabunan.

UCAPAN TERIMA KASIH

Terima kasih kepada Unit Penelitian dan Pengabdian

Kepada Masyarakat (UP2M) Politeknik Negeri Samarinda

No. Parameter Nilai

(Standar SNI)

Nilai Biodiesel

(Ultrasonik)

1 Massa jenis pada

15℃ (kg/m3) 850 – 890 878,5

2

Viskositas

kinematik pada

40℃ (mm2/s)

2,3 – 6,0 5,13

3 Angka Setana Min.51 52

4 Titik nyala (℃) Min. 100 129,4

5 Titik kabut (℃) Maks. 18 12

6 Kadar Air (%-v) Maks. 0,05 0,0293

7 Kadar ester alkil (%-

m) Min. 96,5 96,76

8 Angka asam (mg

KOH/g) Maks. 0,8 0,4837

Page 264: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

255

atas perannya dalam pelaksanaan penelitian Hibah

Bersaing Terapan di lingkungan Politeknik Negeri

Samarinda sehingga penelitian ini dapat dilaksanakan atas

biaya BOPTN Politeknik Negeri Samarinda Tahun 2013.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Atkins P.W. 1990. Kimia Fisika. University Lecturer

and Fellow Of Lincoln College, Oxford. Jakarta:

Penerbit Erlangga.

[2] Badan Pusat Statistik, 2010, Jakarta.

[3] Ediati., R., D. Prasetyoko dan Samik. 2012. Pengaruh

Kebasaan dan Luas Permukaan Katalis Terhadap

Aktivitas Katalis Basa Heterogen untuk Produksi

Biodiesel. Surabaya: Jurusan Kimia Fakultas MIPA

Institut Teknologi Sepuluh November. Hal 1-6.

[4] Eka, G.P., Syukri dan Zulhajri. 2012. Sintesis Dan

Karakterisasi Katalis Kobalt Dan Tembaga Yang Di

Amobilisasi Pada Silika Mesopori Dan Uji Aktivitas

Katalis Dalam Reaksi Transesterifikasi Minyak Sawit.

Padang: Jurusan Kimia FMIPA Universitas Andalas.

[5] Imaduddin, M., I. Tahir, K. Wijaya dan Yoeswono.

2008. Ekstraksi Kalium dari Abu Tandan Kosong

Sawit Sebagai Katalis Pada Reaksi Reaksi

Transesterifikasi Minyak Sawit. Yogyakarta: Jurusan

Kimia Fakultas MIPA Universitas Gadjah Mada.

Buletin of Chemical Reaction Engineering &

Catalysis.

[6] Herman, S dan I. Zahrina. 2006 Kinetika Reaksi

Metanolisis Minyak Sawit Menggunakan Katalis

Heterogen. Fakultas Teknik Universitas Riau

Pekanbaru Jurnal Sains dan Teknologi. 5(2): 1412-

6257.

[7] Mahfud, P. Pantjawarni, G.A. Wibawa dan R. Putra.

2012. Pembuatan Biodiesel Secara Batch dengan

Memanfaatkan Gelombang Mikro. Surabaya: Jurusan

Teknik Kimia Fakultas Teknologi Industri Institut

Teknologi Sepuluh November. Vol. 1 No. 1, Hal 34.

[8] Muchtar, R. 2012. Pemanfaatan Teknologi

Gelombang Ultrasonik Dalam Proses Pembuatan

Biodiesel Dari Minyak Jelantah. Samarinda: Jurusan

Teknik Kimia. Politeknik Negeri Samarinda.

[9] Mohapatra D, Misha S dan Sutar N. 2010. Banana

and its by produc utilization an overview. Journal of

Scientific And Industrial Research, vol 69 hal 323-

329.

[10] Ridlo, R. 2010. Optimasi Proses Produksi Biodiesel

Dari Minyak Kelapa Sawit dan Jarak Pagar dengan

Menggunakan Katalis Heterogen Kalium Oksida.

Jakarta: Pusat Teknologi Pengembangan Sumber

Daya Energi dan Material Badan Pengkajian dan

Penerapan Teknologi .

[11] SNI. 2006. Standar Nasional Indonesia Biodiesel.

Jakarta: Badan Standarisasi Nasional.

[12] Soerawidjaja, TH. 2006. Fondasi-fondasi Ilmiah dan

Keteknikan dari Teknologi Pembuatan Biodiesel.

Handout Seminar Nasional “Biodiesel Sebagai Energi

Alternatif Masa Depan”UGM Yogyakarta.

[13] Susilo, B., 2006, Biodiesel sumber Energi Alternatif

Pengganti Solar yang terbuat dari Ekstraksi Minyak

jarak Pagar, Trubus Agrisarana, Surabaya.

[14] Widayat dan Agam, DKW. 2013. Teknologi Proses

Produksi Biodiesel. EF Press Digimedia. Semarang

[15] Yoeswono, J. Sibarani dan S. Khairi. 2008.

Pemanfaatan Abu Tandan Kosong Kelapa Sawit

Sebagai Katalis Basa Pada Reaksi Transesterifikasi

Dalam Pembuatan Biodiesel. Yogyakarta: Jurusan

Teknik Kimia Fakultas MIPA Universitas Gajah

Mada. Hal 1-10.

Page 265: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

256

Pengaruh Pengendalian Temperatur Fermentasi Pada Biometanasi Eceng

Gondok

Purwinda Iriania, Eza Anansa Storia

b`

aJurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected] bJurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail: [email protected]

ABSTRAK

Pengembangan teknik pembuatan biogas dengan kombinasi bahan baku biomassa dan kotoran sapi masih terus dilakukan.

Eceng gondok sebagai salah satu biomassa yang tumbuh secara liar di perairan terbuka, mulai dimanfaatkan sebagai bahan

baku pembuatan biogas. Pada penelitian ini digunakan pra-perlakuan (pre-treatment) secara kimiawi pada bahan baku eceng

gondok yang selanjutnya dilakukan tahap biometanasi dengan menambahkan kotoran sapi dengan perbandingan 3:1. Pengujian

proses biometanasi dikendalikan di temperatur 30oC dan 35

0C. Sebagai pembanding, digunakan kontrol yaitu biometanasi

eceng gondok yang temperaturnya menggunakan temperatur lingkungan sekitar (tidak dikendalikan). Kondisi pH awal bahan

biometanasi adalah 7 dan difermentasi selama 27 hari. Hasil yang diperolah dari pengamatan pada variabel temperatur adalah

total volume biogas tertinggi ada pada temperatur 35 oC sebanyak 41.370 mL, sedangkan pada temperatur 30

oC sebanyak

20.740 mL dan temperatur lingkungan (kontrol) ebanyak 35.680 mL. Kandungan gas metan terbesar pada temperatur 35oC

sebesar 78,82%, sedangkan pada temperatur 30 oC dan kontrol berturut-turut adalah 71,85% dan 41,37%. Potensi energi yang

didapat pada digester kontrol, 30 oC dan 35

oC berturut-turut adalah 114,60 kJ, 149,46 kJ dan 229,54 kJ, dengan pembentukan

gas metan di setiap perlakuan terjadi setelah hari ke-18 fermentasi.

Kata Kunci Biometanasi,,eceng gondok,temperatur fermentasi,metan

1. PENDAHULUAN

Penggunaan sumber-sumber energi alternatif seperti air,

matahari, angin dan biomassa sudah mulai diperhatikan.

Pemanfaatan biomassa dari limbah organik dapat melalui

proses biometanasi yang menghasilkan produk berupa

biogas. Biometanasi merupakan proses pengubahan bahan

organik dalam limbah menjadi biometana atau gas metan.

Teknologi biometanasi sangat berguna bagi masyarakat

karena teknologi ini relatif mudah diaplikasikan, murah dan

ramah lingkungan. Dengan latar belakang negara Indonesia

yang agraris dan sebagian besar masyarakat Indonesia

merupakan peternak maka teknologi ini dapat dengan

mudah diterapkan sehingga dapat menekan kebutuhan akan

bahan bakar fosil. Selain itu, teknologi biogas memberikan

peluang bagi masyarakat pedesaan yang memiliki usaha

peternakan baik itu perseorangan maupun kelompok, untuk

memenuhi kebutuhan energi sehari-hari secara mandiri.

Pada saat ini, biometanasi mulai dikembangkan dengan

tidak hanya menggunakan kotoran hewan ruminansia,

namun juga dengan campuran penggunaan biomassa

sebagai bahan baku. Biomassa yang umum digunakan

adalah limbah hasil perkebunan atau pertanian yang

umumnya berupa hasil sisa produksi, seperti limbah kelapa

sawit, tongkol jagung, ampas tebu, dan lain-lain[5]. Selain

itu, biomassa dari tanaman yang tumbuh dalam populasi

tinggi dan hidup sebagai gulma juga dapat dimanfaatkan

sebagai bahan baku pembuatan biogas. Salah satu biomassa

yang mudah didapat dan memiliki kelimpahan cukup tinggi

adalah eceng gondok. Eceng gondok (Eichhornia crassipes)

adalah salah satu jenis tumbuhan air mengapung yang

hidup di perairan air tawar terbuka dan memiliki potensi

sebagai bahan baku pembuatan biogas [6].

Pada sebelumnya, dilakukan optimasi mengenai pra-

perlakuan bahan baku berupa eceng gondok yang

menghasilkan bentuk pra-perlakuan secara kimiawi dan

menghasilkan produksi biogas tertinggi [4]. Terkait hasil

penelitian tersebut, maka dilakukan penelitian lanjutan yang

berhubungan dengan peningkatan produksi biogas dengan

variasi parameter (kondisi fisik lingkungan) yang berbeda.

Hasil dari biometanasi eceng gondok yang dilakukan

menggunakan sistem plugflow dengan digester 30 L di suhu

ruang menunjukkan bahwa gas metan terbentuk setelah 20

hari fermentasi dengan total biogas yang dihasilkan 74,3 L

[10]. Pada penelitian biometanasi dengan menggunaan

eceng gondok di skala laboratorium (250 mL) yang

menghasilkan komposisi metan hingga 69% [7]. Pada

penelitian ini dilakukan biometanasi eceng gondok

menggunakan pra-perlakuan kimiawi di rentang proses

biometanasi yaitu 300C - 35

0C [8], untuk mengetahui waktu

pembentukan biogas, profil volume dan komposisi biogas.

Page 266: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

257

Penelitian biometanasi eceng gondok dengan pengendalian

temperatur dilakukan pada skala pilot (digester 19 L).

2. METODOLOGI PENELITIAN

Metode yang digunakan dalam penelitian ini melalui

beberapa tahapan.

2.1 Preparasi Alat dan Bahan

Pada tahap ini dilakukan preparasi alat dan bahan, meliputi

desain dan pembuatan digester plastik volume 19 L (galon

air mineral) dengan tipe batch feeding (pemasukan bahan

hanya satu kali). Digester dihubungkan melalui pipa PVC

½” yang kemudian disambungkan lagi dengan ball valve ½

dan sambungan pipa kembali. Pipa PVC kemudian

disambungkan ke kuningan ½”x ¼ melalui soket drat

dalam. Pemasangan selang rajut 5/16” ke dalam napple

kuningan ¼” dilanjutkan dengan pengencangannya

menggunakan klem. Pada selang rajut tersebut dipasangkan

stop kran ¼ dan kembali disambung dengan selang rajut.

Penampungan biogas menggunakan plastik HDPE yang

dihubungkan ke dalam selang rajut sambungan dari stop

kran yang sebelumnya dikencangkan dengan klem dan

selotip (Gambar 1). Pengujian kebocoran dilakukan dengan

menggunakan perendaman ke dalam air.

Gambar 1: Desain Digester Biogas

Pengaturan temperatur fermentasi dikondisikan pada 300C

dan 350C dengan menggunakan inkubator digester.

Inkubator dibuat dari bahan kayu triplek berukuran 60 cm x

100 cm x 60 cm (panjang, lebar, dan tinggi). Sumber panas

pada inkubator diperoleh dari dua lampu pijar 60 Watt

yang dipasangkan di dalam inkubator. Termocouple

dimasukkan ke dalam digester dan tersambung pada sistem

penyalaan lampu dikendalikan oleh mikrokontroler

ATmega8 yang akan memerintahkan relay untuk

menghidupkan atau mematikan lampu. Sensor yang

digunkanan yaitu sensor IC LM35 yang tegangan outputnya

sebanding linier dengan input temperatur yang diterimanya

dan memiliki linieritas + 10 mV/oC.. Lapisan inkubator

bagian dalam diberi lapisan alumunium foil dan glasswool

untuk mempertahankan panas.

Eceng gondok diberi pra-perlakuan kimiawi dengan

perendaman larutan NaOH 3% selama 48 jam di suhu 500C.

Bahan baku eceng gondok terlebih dahulu dihancurkan

dengan menggunakan air dengan perbandingan eceng

gondok dan air sebesar 1:3. Kemudian campuran eceng

gondok dan air (EA) ditambahkan kotoran sapi (KS)

dengan perbandingan EA dan KS sebesar 3 : 1. Campuran

dimasukkan ke dalam digester dengan menyisakan 20%

ruang kosong pada digester. Biometanasi dengan

pengaturan temperatur akan dimasukkkan ke dalam

inkubator berlampu, sedangkan sebagai kontrol digunakan

digester yang berada pada inkubator tanpa lampu pijar.

Proses biometanasi dilakukan selama 27 hari.

2.2 Analisis Komposisi Kimia Bahan Baku

Komposisi kimia senyawa organik pada bahan baku akan

mempengaruhi proses fermentasi yang berlangsung.

Berdasarkan hal tersebut, dilakukan tahap analisis

komposisi kimia terhadap eceng gondok dan kotoran sapi.

Analisis kimia tersebut meliputi kadar air, kadar abu, C-

organik (karbon) dan Nitrogen. Pengujian kadar Nitrogen

dilakukan dengan metode Khjedhal.

2.3 Pengambilan dan Analisis Data

Data hasil fermentasi diambil di periode 3-7 hari sekali

pada setiap digester. Parameter yang diukur meliputi

temperatur biometanasi, volume, dan komposisi biogas.

Pada analisis komposisi gas, sampel akan dibawa dan

diukur menggunakan gas chromatography (GC). Gas yang

akan dideteksi oleh alat tersebut adalah CH4, CO2, H2, dan

N2. Potensi energi diperoleh dari hasil perhitungan sebagai

berikut :

Energi biogas = volume gas x nilai kalor CH4 (1)

Nilai kalor CH4 = LHV CH4 x ρ CH4 (2)

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1. Karakteristik Kimiawi Bahan Baku Pembuatan

Biogas

Bahan baku yang dipakai untuk pembuatan biogas ini

adalah eceng gondok dan sludge kotoran sapi. Komposisi

campuran bahan diperoleh dari karakteristik komposisi

kimiawi kedua bahan diperlihatkan pada Tabel.1.

Tabel: Karakteristik Eceng Gondok Parameter Satuan Hasil Analisa

C-Organik %BK 50.88

NTK %BK 0.78

4

Penampung Biogas

Digester

Page 267: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

258

Kadar Air %BB 90.37

Berat Jenis gr/cm3 0.47

Kadar Abu %BK 8.03

Catatan : BK = Berat Kering BB = Berat Basah

Kadar air yang dimiliki eceng gondok sangat besar yakni

hingga 90,377%, dengan kadar C-Organik 50,88 %, dan

kandungan Nitrogen 0,78%. Berat jenis eceng gondok

adalah 0,47 gr/cm3 dengan kadar abu 8,03%.

Karakteristik kimia dari sludge kotoran sapi ditampilkan

pada Tabel 2.

Tabel 2: Karakteristik Sludge Kotoran Sapi

Parameter Satuan Hasil Analisa

C-Organik %BK 59.34

NTK %BK 1.28

Kadar Air %BB 83.79

Berat Jenis gr/cm3 1.03

Kadar Abu %BK 12.84

Catatan : BK = Berat Kering BB = Berat Basah

Pada Tabel 2 dapat dilihat karakteristik dari sludge kotoran

sapi yang akan digunakan sebagai bahan baku dalam

pembuatan biogas. Terlihat bahwa sludge kotoran sapi

memiliki kadar air sebesar 83.79%, C-Organik 59.34%,

NTK 1,28%.

Nilai rasio C/N dari campuran bahan adalah 58,55. Nilai

rasio tersebut lebih besar dari nilai rasio C/N yang optimum

untuk proses fermentasi anaerobik,yaitu 25-30. Kadar air

yang terkandung pada eceng gondok dan kotoran sapi

cukup tinggi, berada di kisaran 90%, dimana nilai tersebut

baik untuk pembuatan biogas. Kandungan air yang terlalu

sedikit dapat menyebabkan akumulasi asam asetat yang

kemudian menghambat proses fermentasi dan produksi

biogas, sedangkan kandungan air yang terlalu tinggi dapat

menyebabkan penurunan produksi biogas per unit volume

[1].

Pemberian pra-perlakuan terhadap eceng gondok bertujuan

untuk mempermudah proses hidrolisis secara enzimatik

oleh bakteri penghasil biogas [2]. Secara fisik, perubahan

dapat dilihat dari adanya perubahan warna eceng gondok

dari warna hijau segar menjadi cokelat gelap. Tekstur eceng

gondok melunak setelah perendaman menggunakan NaOH

3%. Penggunaan basa kuat pada proses hidrolisis eceng

gondok mampu memecah struktur selulosa dan lignin yang

berada di dalamnya. Selulosa sebagai polimer glukosa,

terhidrolisis menjadi dimer dan monomer gulasederhana,

sedangkan ikatan antar pembentuk lignin juga terpisah dan

menghasilkan warna gelap pada eceng gondok. Proses

pemberian pra-perlakuan dapat mempermudah proses

penggunaan gula-gula sederhana oleh mikroorgasnime

penghasil biogas, maupun mempercepat proses hidrolisis

secara enzimatik oleh mikroorganisme tersebut.

3.2 Komposisi Biogas pada Kontrol dan Perlakuan

Hasil proses biometanasi pada eceng gondok selama 27 hari

dapat dilihat melalui komposisi dari jenis dan kandungan

gas-gas yang dihasilkan. Pada Gambar 2 dapat dilihat hasil

biometanasi pada digester yang menggunakan temperatur

lingkungan sebagai temperatur fermentasi (kontrol).

Gambar 2: Komposisi Gas pada Hasil Biometanasi di

Digester Kontrol

Dari grafik Gambar 2 dapat diketahui bahwa produksi gas

metan (CH4) mulai dihasilkan setelah hari ke-3 dan terus

mengalami kenaikan hingga mencapai 41.37% di hari ke-

18. Profil produksi metan mengalami sedikit penurunan

setelah hari ke-18, dimana pada hari ke-25 dan ke-27

masing-masing menghasilkan 39% dan 38,42% metan.

Kenaikan.gas metan berbanding terbalik dengan konsentrasi

CO2 selama biomethanasi. Pada hari ke-3 hingga ke-11,

CO2 yang dihasilkan terus mengalami kenaikkan hingga

49,74% yang kemudian diikuti penurunan yang cukup

signifikan hingga 7,64% di hari ke-27. Gas N2 yang

terkandung pada biogas mengalami fluktuatif prosentase

dan gas H2 hanya dihasilkan pada hari ke-27 yakni 0,17%.

Gambar 3: Komposisi Gas pada Hasil Biometanasi di

Temperatur 30 oC

Pada hasil biometanasi pada temperatur 30 o

C , diperoleh

komposisi CH4 yang meningkat hingga hari ke-18 (71,85%)

dan cenderung stabil di hari ke 25 dan 27 dengan nilai

0

20

40

60

80

100

3 6 9 11 13 18 25 27

Kan

du

nga

n (%

)

Waktu (hari)

CH4

CO2

N2

H2

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

3 6 9 11 13 18 25 27

Kan

du

nga

n (%

)

Waktu (hari)

CH4

CO2

N2

H2

Page 268: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

259

masing-masing persen metan 69,27% dan 68,61% (Gambar

3). Kandungan CO2 berada pada kisaran 8,7% hingga

17,11% selama fermentasi, sedangkan gas Nitrogen

mengalami penurunan yang cukup signifikan, yaitu dari

82,36% di hari ke-3 menjadi 12,73% di hari ke-18. Gas

Hidrogen merupakan gas yang kandungannya sangat kecil,

yaitu 4,42% di hari ke-11 dan 3% di hari ke-18.

Gambar 4: Komposisi Gas pada Hasil Biometanasi di

Temperatur 35 oC

Profil komposisi gas yang serupa diperoleh juga oleh

biometanasi pada temperatur 35 o

C (Gambar 4), dimana

komposisi CH4 meningkat cukup signifikan hingga hari ke-

18 (77,90%) dan hari ke-25 (78,82%) yang kemudian

mengalami sedikit penurunan menjadi 74,92% di hari ke

27. Kandungan CO2 menunjukkan nilai yang fluktuatif,

dimana paling tinggi dihaslkan pada hari ke-9 (39,84%) dan

cenderung mengalami penurunan hingga 3,32% di hari ke-

27. Kandungan gas Nitrogen mengalami penurunan yang

cukup signifikan, yaitu dari 75,99% di hari ke-3 menjadi

14,31% di hari ke-25. Kandungan gas Hidrogen tidak

ditemukan kecuali pada hari ke 25 yaitu 0,16%.

Gambar 5: Produksi Biogas pada Biometanasi Digester

Kontrol, 30 oC dan 35

oC

Volume biogas yang dihasilkan selama proses biometanasi

menunjukkan profil yang berbeda-beda pada setiap

perlakuan (Gambar 5) namun pada kandungan gas metan

antar perlakuan menunjukkan profil yang serupa (Gambar

6).

Gambar 6: Kandungan Gas Metan Hasil Biometanasi

Kontrol, 30 oC dan 35

oC

Total volume biogas tertinggi diperoleh pada temperatur 35 oC , yaitu sebanyak 41.370 mL, sedangkan pada temperatur

30 oC sebanyak 20.740 mL dan temperatur kontrol

sebanyak 35.680 mL Kedua data tersebut (volume biogas

dan kandungan metan) merupakan parameter yang dapat

menunjukkan potensi energi yang dihasilkan dari proses

biometanasi pada perlakuan di temperatur ruang (kontrol),

30 oC dan 35

oC .

Pada Tabel 3 diperlihatkan bahwa pengendalian temperatur

biometanasi eceng gondok di temperatur 350C selama 27

hari menghasilkan total potensi enegi dua kali lipat

dibandingkan pada biometanasi menggunakan temperatur

ruang dan pada 30oC. Potensi energi paling tinggi diperoleh

pada temperatur 350C di hari ke-25 dengan nilai 229,54 kJ,

sedangkan pada digester kontrol adalah 109,67 kJ pada hari

yang sama. Pada temperatur 30oC, potensi energi paling

tinggi adalah 149,46 kJ di hari ke-18.

Tabel 3: Potensi Energi Biogas

Hari

Ke-

Potensi Energi (kJ)

Kontrol 30 oC 35

oC

0 0 0 0

3 1.28 0.01 2.63

6 28.43 10.95 9.04

9 74.44 1.30 7.73

11 10.63 23.04 20.08

13 22.83 66.51 99.49

18 48.96 149.46 189.98

25 109.67 49.69 229.54

27 16.53 9.84 76.31

Total 312.78 310.80 634.80

0

20

40

60

80

100

3 6 9 11 13 18 25 27

Kan

du

nga

n (%

)

Waktu (hari)

CH4

CO2

N2

H2

0

2000

4000

6000

8000

10000

12000

0 3 6 9 11 13 18 25 27

Vo

lum

e (m

L)

Waktu (hari-ke)

Kontrol

30 oC

35 oC

0

10

20

30

40

50

60

70

80

90

0 3 6 9 11 13 18 25 27

Ko

nse

ntr

asi (

%)

Waktu (hari ke-)

Kontrol

30 oC

35 oC

Page 269: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

260

Proses biometanasi pada temperatur ruang (kontrol), 30 o

C

dan 35 oC, menujukkan profil volume dan komposisi biogas

yang berbeda-beda. Volume biogas yang dihasilkan pada

ketiga digester selama fermentasi menunjukkan hasil yang

berfluktuatif di setiap periode pencuplikan. Pada akumulatif

volume biogas, biometanasi di temperatur 35oC

menunjukkan nilai volume biogas paling tinggi

dibandingkan kontrol dan 30oC. Komposisi metan tertinggi

turut diperoleh pada temperatur 35oC. Volume biogas dan

komposisi metan sangat dipengaruhi oleh temperatur

biometanasi. Ketiga digester menunjukkan trend kenaikan

gas metan yang dikuti oleh penurunan gas karbondioksida.

Produksi gas yang optimal berada pada daerah mesofilik

(20oC-40

oC). Biogas yang dihasilkan pada kondisi diluar

temperatur tersebut mempunyai kandungan karbondioksida

yang lebih tinggi [3]. Kenaikan yang steady pada produksi

biogas berada pada temperatur 35 oC dan 40

oC dimana

maksimum kumulatif gas terjadi pada temperatur 40 oC [9]

.Kenaikan aktivitas mikroorganisme mesofilik pada fase

metanogenesis diikuti dengan kenaikkan temperatur

lingkungannya, sehingga proses pembentukan gas metan

semakin meningkat. Hasil dari proses metanogenesis adalah

gas metan dan karbondioksida. Pada penelitian diperoleh

bahwa konsentrasi gas metan pada perlakuan di temperatur

30oC dan 35

oC relatif lebih tinggi dibandingkan digester

tanpa perlakuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa aktivitas

mikroorganisme pembentuk metan lebih tinggi

dibandingkan pada digester kontrol.

4. KESIMPULAN

1. Total volume biogas tertinggi diperoleh pada temperatur

35 oC yaitu sebanyak 41.370 mL, sedangkan pada

temperatur 30 oC sebanyak 20.740 mL dan temperatur

kontrol sebanyak 35.680 mL

2. Proses biometanasi eceng gondok pada suhu 350C

menghasilkan volume biogas dan kandungan metan

lebih tinggi dibandingkan suhu 300C dan suhu ruang

(kontrol), dimana potensi energi tertinggi diperoleh

pada 350C sebesar 634,8 kJ/L, sedangkan suhu 30

0C dan

kontrol berturut 310.80 kJ/L dan 312.78 kJ/L

3. Pembentukan biogas di setiap perlakuan relatif terjadi di

waktu yang sama yaitu setelah hari ke-3 fermentasi

dengan nilai tertinggi gas metan pada hari ke-18

fermentasi.

UCAPAN TERIMA KASIH

UPPM Politknik Negeri Bandung, atas kesempatan

pendanaan penelitian skim PEMULA dengan no :

805.10/PL1.R5/PL/2013.

Laboratoium B3 Jurusan Teknik Lingkungan dan

Laboratorium Teknik Kimia ITB.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Doerr, Beth dan Nate Lehmkuhl, Methane Digesters.

Florida: Echo , 2008.

[2] Hanjie, Zhang, Sludge Treatment To Increase Biogas

Production.Trita-LWR Degree Project 10-20.

Sweden, 2010.

[3] Haryati, Tuti, Biogas: Limbah Peternakan Menjadi

Sumber Energi Alternatif. Wartazoa. 16: 160-169,

2006.

[4] Iriani, Purwinda, Pemberian Pra-Perlakuan (Pre-

Treatment) Pada Eceng Gondok Sebagai Bahan Baku

Dalam Pembuatan Biogas. UPPM Poban. Bandung.

(unpublished). 2012.

[5] Mahajoeno, Edwi, Pengembangan Energi Terbarukan

Dari Limbah Cair Pabrik Minyak Kelapa Sawit,

Institut Pertanian Bogor, 2010.

[6] Ofoefule1 A. U , E. O. Uzodinma1 And O. D.,

Comparative Study Of The Effect Of Different

Pretreatment Methods On Biogas Yield From Water

Hyacinth (Eichhornia Crassipes), International

Journal Of Physical Sciences Vol. 4 (8), Pp. 535-539,

September, 2009.

[7] Patil J.H., Molayan Lourdu, Antony Raj, Shetty

Vinaykumar, Hosur Manjunath And Adiga Srinidhi,

Biomethanation Of Water Hyacinth, Poultry Litter,

Cow Manure And Primary Sludge: A Comparative ,

Analysis, Research Journal Of Chemical Sciences

Vol. 1(7), 22-26, 2011.

[8] Schnürer, Anna and Åsa Jarvis,.Microbiological

Handbook for Biogas Plants. Swedish Waste

Management U2009:03. Avfal Swerige. Sweden,

2010.

[9] Uzodinma, E.O.U., dkk.. Optimum Mesophilic

Temperature of Biogas Production from Blends of

Agro-Based Wastes. Academic Journals. 1: 39-44,

2007.

[10] Winarni, Panggih .Yulinah Trihadiningrum,

Soeprijanto, Produksi Biogas Dari Eceng

Gondok.Teknik Lingkungan Institut Teknologi

Sepuluh November, Surabaya, 2011.

Page 270: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

261

Kajian Proses Asetogenesis Biodigester Anaerobik Dua Tahap

Tina Mulya Gantina, Purwinda Iriani dan Conny K. Wachjoe

Jurusan Teknik Konversi Energi, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Pada penelitian ini dilakukan kajian proses asetogenesis pada biodigester anaerobik dua tahap, dengan dua variasi bahan baku,

yaitu kotoran sapi murni dan campuran kotoran sapi dengan leachate. Penambahan leachate dimaksudkan agar bahan baku

menjadi lebih asam yaitu sekitar pH 5,5, sehingga proses asetogenesis menjadi lebih optimal. Bila proses asetogenesis sudah

cukup optimal yang ditandai dengan pembentukan asam asetat dan gas CO2, maka selanjutnya bahan dipindahkan ke

biodigeter metanogenesis untuk pembentukan gas metan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa dengan menggunakan bahan

baku kotoran sapi yang dicampur leachate diperoleh hasil yang lebih baik dibandingkan dengan bahan baku kotoran sapi tanpa

leachate. Asam asetat yang dihasilkan pada proses asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih

tinggi (0,36%) dibandingkan pada bahan baku kotoran sapi murni (0,15%). Demikian pula kandungan CO2 yang dihasilkan

pada bahan baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih tinggi dan cenderung stabil dengan kadar CO2 berkisar 50-60 %

dibandingkan pada bahan baku kotoran sapi murni yang hanya menghasilkan kandungan CO2 sekitar 10%. Peningkatan

keasaman disebabkan oleh bakteri di dalam biodigester asetogenesis dapat berkembangbiak secara optimal yang diakibatkan

oleh penambahan leachate dengan pH sekitar 5,5.

Kata Kunci Biodigester dua tahap, proses asetogenesis, asam asetat, gas CO2.

1. PENDAHULUAN

Biogas merupakan bahan bakar alternatif dengan komponen

utama gas metana (CH4) yang bersifat ramah lingkungan

dan mudah dikembangkan. Biogas diperoleh dengan cara

fermentasi anaerobik dari limbah-limbah organik seperti

limbah sayuran, kotoran ternak (ayam, sapi, babi, kerbau),

limbah makanan dan sebagainya.

Selama proses fermentasi anaerob senyawa-senyawa

organik diurai menjadi gas metan dan karbondioksida.

Proses ini melewati beberapa tahap yang melibatkan

beberapa jenis mikroba yang saling berinteraksi dan bekerja

sama pada proses tersebut. Pada umumnya mikroba yang

satu akan tergantung dengan mikroba yang lain. Beberapa

mikroba terkait adalah mikroba yang tumbuh sangat lambat

sehingga sensitif terhadap perubahan-perubahan pada

kondisi operasional. Perubahan-perubahan inilah yang bisa

menyebabkan ketidakstabilan dan bahkan menyebabkan

kegagalan proses selama waktu yang cukup lama.

Kegagalan atau ketidakseimbangan proses anaerobik bisa

disebabkan oleh overload hidraulis (waktu tinggal terlalu

pendek), overload organis (laju beban organik terlalu

tinggi) yang menyebabkan souring pada keseluruhan

proses, dan oleh akumulasi dari senyawa-senyawa yang

bersifat toksis atau inhibitor. Selain itu, perubahan

temperatur secara tiba-tiba akan membawa akibat negatif

pada bakteri metanogen.

Untuk mengurangi peluang kegagalan dan

ketidakseimbangan proses anaerob khususnya terkait

dengan souring, maka dapat diterapkan proses anaerobik

dua tahap yang terdiri dari reaktor asetogenesis dan reaktor

metanogen. Dengan proses anaerob dua fase ini diharapkan

performansi proses dapat berjalan dengan lebih baik dan

proses lebih stabil. Proses anaerob dua tahap ini diharapkan

bisa dioperasikan pada laju beban organik (atau loading)

yang lebih tinggi dan waktu tinggal hidraulis yang lebih

pendek.

2. METODE PENELITIAN

Proses asetogenesis pada pembuatan biogas dua tahap dari

kotoran sapi pada penelitian ini dilakukan dengan

menggunakan biodigester anaerobik tipe kontinyu dengan

kapasitas total volume biodigester sebesar 50 liter,

sedangkan yang diisi bahan baku sebesar 80% nya yaitu 40

liter. Kondisi operasi dilakukan pada suhu dan tekanan

alami (suhu sekitar 25-30oC, dan tekanan 1 atm) dengan

waktu penelitian selama 1 bulan (30 hari). Alat biodigester

dua tahap yang digunakan ditunjukkan pada Gambar1.

Adapun tahap-tahap penelitian yang dilakukan adalah

sebagai berikut:

Persiapan dan pengujian bahan baku awal (kotoran sapi

dan leachate), meliputi uji C- organik, Nitrogen, kadar

air, pH, dan mineral-mineral dalam leachate,Pengujian

bahan baku dilakukan di Laboratorium Limbah Padat

Departemen Teknik Lingkungan ITB.

Page 271: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

262

Pencampuran bahan masukan: dilakukan dengan dua

variasi bahan yaitu kotoran sapi murni yang ditambah

air 1:1 (20 liter kotoran sapi atau 20, 6 kg dicampur

dengan 40 liter air), dan bahan campuran kotoran sapi

yang ditambah leachate 1:1 (20 liter kotoran sapi

dicampur dengan 20 liter leachate);

Pemasukan bahan ke dalam biodigester asetogenesis;

Penyimpanan biodigester, dilakukan pada kondisi alami

selama sekitar 1 bulan.

Setelah periode tertentu dilakukan pengujian yang

meliputi: kandungan asam asetat, volume biogas,

komposisi biogas;

Melakukan perhitungan dan analisa.

Gambar 1: Alat biodigester dua tahap

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

3.1 Karakteristik Bahan

Pada pembuatan biogas dua tahap atau multi Stage (multi

Tahap), proses fermentasi dilakukan di dalam dua

biodigester yang bekerja secara seri. Biodigester pertama

berlangsung reaksi hydrolysis, acidogenesis dan

acetogenesis, sedangkan biodigester kedua untuk reaksi

metanogenesis. [1],[10] Setelah itu bahan baku dialirkan

menuju biodigester kedua sebagai umpan utuk reaksi

metanogenesis.

Pada tahap hidrolisis, bahan-bahan organik yang

mengandung selulosa, hemiselulosa, dan bahan ekstraktif

seperti protein, karbohidrat, dan lipid akan diurai menjadi

senyawa dengan rantai yang lebih pendek. Sebagai contoh

polisakarida terurai menjadi monosakarida, sedangkan

protein terurai menjadi peptide dan asam amino. Pada tahap

hidrolisis, mikroorgaisme yang berperan adalah enzim

ekstra selular seperti selulose, amilase, protease, dan lipase

[5].

Pada penelitian ini, pada biodigester pertama (sebagai

tempat berlangsungnya reaksi hidrolisis, asidogenesis dan

asetogenesis), bahan baku yang digunakan adalah kotoran

sapi yang dicampur leachate. Fungsi leachate adalah untuk

membuat kondisi pH bahan baku menjadi lebih asam yaitu

sekitar pH 5,5, sehingga proses asetogenesis menjadi lebih

optimal. Selain itu, juga diperlukan untuk mencegah

matinya bakteri pada proses asetogenesis.

Pada tahap asidogenesis dan asetogenesis, bakteri

(Acetobacter aceti) menghasilkan asam yang akan

berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis

menjadi asam asetat (CH3COOH), H2, dan CO2. Bakteri ini

merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dalam

keadaan asam, yaitu dengan pH 5,5 – 6,5. Bakteri ini

bekerja secara optimum pada temperatur sekitar 30oC[5] .

Tabel 3: Karakteristik kotoran sapi, leachate dan

campuran

Parame-

ter Satuan

Kandungan

Kot.

sapi

leachate Campuran

C-

Organik % BK 58,98 17 37,99*

NTK % BK 1,7 1 1,35*

Rasio

C/N % BK 34,69 17 28,14*

pH - 6,78 5,67 5,64

Kadar

air %BB 83,29 98,0

91,0*

Berat

Jenis gr/cm3 0,22 n.a

n.a

Arsen mg/l n.a 0,005 n.a

Merkuri mg/l n.a 0,003 n.a

Timbal mg/l n.a 0,00005 n.a Ctt: * = hasil perhitungan

BK : Bahan Kering BB : Bahan Basah

Sebelum bahan baku tersebut digunakan, terlebih dahulu

dilakukan pengujian karakteristik fisik-kimia bahan baku

yang dilakukan di Laboratorium Buangan Padat dan B3,

Departemen Teknik Lingkungan, Institut Teknologi

Bandung. Hasil pengujian karakteristik bahan baku, baik

kotoran sapi, leachate, dan campurannya ditunjukkan pada

Tabel 1. Sedangkan karakteristik fisik-kimia campuran

bahan baku (kandungan C, N dan rasio C/N) diperoleh

dengan cara perhitungan.

Berdasarkan literatur, rasio C/N yang diperlukan bakteri

dalam mendekomposisi senyawa organik untuk

menghasilkan biogas yang optimal berkisar antara 20-30.

Rasio C/N menyatakan jumlah karbon dan nitrogen yang

terdapat pada bahan organik. Apabila rasio C/N sangat

tinggi, nitrogen akan dikonsumsi sangat cepat oleh bakteri

metan sehingga produksi metan semakin rendah.

Sebaliknya, apabila rasio C/N sangat rendah maka nitrogen

akan bebas dan berakumulasi dalam bentuk amoniak (NH4)

yang akan meningkatkan pH. Jika pH lebih tinggi dari 8,5

Page 272: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

263

akan berakibat racun pada populasi bakteri metan[4].

Dengan demikian nilai rasio C/N 28,14 untuk campuran

kotoran sapi dan leachate (Tabel 1) sudah cukup baik untuk

pembentukan biogas.

Kadar air kotoran sapi awal adalah 83,29 % sehingga

setelah dicampur air atau leachate dengan komposisi 1:1

menjadi sekitar 91,0%, kadar air ini sudah cukup baik dan

sesuai dengan kadar air bahan baku biogas optimal yaitu mengandung 5-10% bahan kering atau dengan kadar air

sebesar 80-90%.[7],[8]

Selain itu, bakteri acetobakter aceti, pada tahap

asidogenesis dan asetogenesis, untuk menghasilkan asam

asetat, memerlukan oksigen dan karbon yang diperoleh dari

oksigen yang terlarut dalam larutan. Untuk terjadinya

metabolisme yang merata diperlukan pencampran yang

baik dengan konsentrasi air > 60% [5].

3.2 Kandungan Asam Asetat

Pengujian asam asetat pada biodigester asetogenesis

dilakukan di Laboratorium Fakultas Farmasi Institut

Teknologi Bandung. Sampel diuji secara duplo yaitu asam

asetat pada proses awal dan asam asetat pada proses akhir

sebelum dimasukkan ke dalam biodigester metanogenesis.

Pada Gambar 2a dan 2b ditunjukkan hasil pengujian asam

asetat.

(a)

(b)

Gambar 2: (a) Kandungan asam asetat pada bahan baku

kotoran sapi tanpa leachate; (b) kandungan asam asetat

pada bahan baku kotoran sapi dengan leachate.

Pada Gambar 2(a) terlihat bahwa kandungan asam asetat

mengalami penurunan dari 0,27 % pada saat awal, menjadi

0,15 % pada saat proses asetogenesis. Dengan demikian

penurunan asam asetat adalah sebesar 0,12 % selama 11

hari.

Pada tahap asidogenesis dan asetogenesis, bakteri

(Acetobacter aceti) menghasilkan asam yang akan

berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis

menjadi asam asetat (CH3COOH), H2, dan CO2. Bakteri ini

merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dalam

keadaan asam, yaitu dengan pH 5,5 – 6,5. Bakteri ini

bekerja secara optimum pada temperatur sekitar 30oC [5] .

Pembentukan asam pada kondisi anaerobik tersebut penting

untuk pembentuk gas metana oleh mikroorganisme pada

proses selanjutnya. Selain itu, bakteri tersebut juga

mengubah senyawa bermolekul rendah menjadi alkohol,

asam organik, asam amino, karbon dioksida, H2S dan

sedikit gas metan (CH4) [3].

Oleh karena itu, pada proses asetogenesis dengan bahan

baku kotoran sapi tanpa leachate (Gambar 2a) dengan pH

6,78 (Tabel 1), terjadi penurunan asam asetat disebabkan

oleh kondisi pH bahan baku yang kurang optimal.

Sedangkan pada biodigester asetogenesis menggunakan

kotoran sapi dengan campuran leachate yang bersifat asam

(pH 5,64), jumlah asam asetat mengalami peningkatan 0.9

% dari saat awal sebesar 0,27 % menjadi 0.36 %. setelah

proses asetogenesis (Gambar 2b). Dengan demikian kondisi

proses tersebut lebih optimal.

3.3 Kandungan Gas Metana (CH4) dan Gas

Karbondioksida (CO2)

Gambar 3: Komposisi gas metan (CH4) dan gas

karbondioksida (CO2) biogas pada proses asetogenesis

bahan baku kotoran sapi tanpa leachate

Pada Gambar 3 terlihat bahwa pada tahap asetogenesis

dengan bahan baku kotoran sapi tanpa penambahan

leachate, diperoleh kandungan gas metan cenderung

meningkat setiap harinya. Kandungan gas metan pada hari

ke-3, 5, 7, 9 dan 11 berturut-turut adalah sebesar 0,61 %;

1,00 %; 1,51 %; 3,43 % dan 4,64 %. Sedangkan kandungan

gas CO2 setelah hari ke 5 cukup stabil yaitu sekitar 10%.

0102030405060708090

100

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Kan

du

nga

n g

as (

%)

Waktu (hari ke-)CH4 CO2

Page 273: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

264

Pada proses asetogenesis, walaupun gas metan sudah mulai

terbentuk, namun persentasenya masih sangat kecil, hal

tersebut disebabkan oleh kondisi pH yang asam, sehingga

mengakibatkan bakteri penghasil gas metan tidak bekerja

secara optimal.

Pada proses asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi

yang dicampur leachate, pada tahap awal (Gambar 4a)

terlihat bahwa kandungan CH4 cenderung meningkat cukup

besar. Peningkatan kandungan CH4 terjadi pada hari ke-1

sampai ke-3 yaitu dari 8,31 % menjadi 34,24 %, Pada hari

ke-4 sampai ke-10 kandungan gas metan cenderung stabil

yaitu sekitar 30 %. Pada hari ke-11 dilakukan pemindahan

bahan baku dari digester asetogenesis ke digester

metanogenesis sebanyak 80%, kemudian ke dalam digester

asetogenesis dimasukkan kembali bahan baku yang baru.

Oleh karena itu, pada biodigester asetogenesis baru

menghasilkan CH4 kembali pada hari ke-12 (Gambar 4b)

sebesar 2,32 % yang terus meningkat hingga hari ke-18

menjadi 36,07 % dan pada hari ke-19 sebesar 33,78 %.

(a) awal

(b) pengisian ulang (80%)

(c) lap1

(d) lap 2

Gambar 4: Komposisi CH4 dan CO2 pada proses

asetogenesis bahan baku kotoran sapi dengan leachate, (a)

kondisi awal; (b) pengisian ulang (80%); (c) lap 1; (d) lap 2

Selanjutnya, pada pengisian ulang bahan baku (lap-1,

Gambar 4c), kandungan CH4 menurun lagi menjadi 14,23

% pada hari ke-23 kemudian meningkat lagi menjadi 30,11

% pada hari ke-25. Hal serupa juga terjadi pada pengisian

ulang berikutnya (lap-2) (Gambar 4d). Pada hari ke-28

kandungan CH4 sebesar 30,21 % yang meningkat menjadi

33,06 % pada hari ke-29.

Sedangkan kandungan CO2 yang didapatkan pada hari ke-1

sampai hari ke-10 terus mengalami peningkatan.

Kandungan tertinggi CO2 yang dihasilkan adalah 60,54 %

pada hari ke-10. Karena kotoran sapi dan leachate

dimasukkan ulang pada hari ke-11, maka kandungan CO2

yang didapat pada hari ke-12 sebesar 18,21 %. Terjadi

penurunan kadar CO2 pada hari ke-15 menjadi 16,44 % dan

meningkat kembali sampai hari ke-21 menjadi 56,35 %.

Selanjutnya setelah dilakukan pemindahan bahan baku ke

biodigester metanogenesis (lap-1) kandungan CO2 terjadi

penurunan pada hari ke-23 menjadi 34,70 % dan perlahan

meningkat kembali menjadi 50,85 % pada hari ke-25. Pada

hari ke-28 setelah dilakukan Lap 2 kandungannya menjadi

44,97 % dan meningkat menjadi 46,79 % pada hari ke-29.

Pada digester asetogenesis ini jumlah kandungan CO2 jauh

lebih tinggi daripada kandungan CH4 dikarenakan asam

organik rantai pendek yang dihasilkan dari tahap fermentasi

dan asam lemak yang berasal dari hidrolisis lemak akan

difermentasi menjadi asam asetat, H2 dan CO2 oleh bakteri

asetogenik[3]. Sehingga kandungan pada proses ini lebih

-10

10

30

50

70

90

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11Kan

du

nga

n g

as (

%)

Waktu (hari ke-)

CH4 CO2

-10

40

90

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22Kan

du

nga

n g

as

(%)

Waktu (hari ke-)

CH4 CO2

-10

40

90

22 23 24 25 26

Kan

du

nga

n g

as

(%)

Waktu (hari ke-)

CH4 CO2

-10

40

90

27 28 29 30 31K

and

un

gan

gas

(%

)Waktu (hari ke-)

CH4 CO2

Page 274: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

265

dominan CO2 dibandingkan CH4. Pada proses ini, CO2

berperan penting untuk menghasilkan asam asetat karena

mikroorganisme homoasetogenik akan mengubah CO2 dan

H2 menjadi asam asetat [2].

Peningkatan gas CO2 berbanding lurus dengan CH4, yang

berarti kedua gas yang dihasilkan tersebut tidak saling

bergantungan seperti pada biogas satu tahap, dimana kadar

CO2 berbanding terbalik dengan kadar CH4. Pada tahap ini

kadar CH4 tidak begitu tinggi dikarenakan suasana asam di

dalam digester asetogenesis menekan perkembangbiakan

bakteri metanogen sehingga bakteri tersebut menjadi tidak

produktif dan menghasilkan gas metan yang lebih sedikit

kadarnya dibandingkan CO2.

3.4 Volume Biogas

Pada proses fermentasi dengan bahan baku kotoran sapi

tanpa leachate (Gambar 6a), pengukuran volume biogas

dilakukan selama dua atau tiga hari sekali dan pada hari ke-

3 telah didapatkan volume sebesar 2550 mL. Lalu pada hari

ke-5 didapatkan volume sebesar 2870 mL. Volume gas

semakin meningkat pada pengecekan hari ke-7 dan ke-9

dengan volume yang dihasilkan sebesar 3100 mL dan 4720

mL. Volume terbanyak dihasillkan digester pada hari ke-11

dimana jumlah volume yang dihasilkan adalah sebesar 4800

mL. Jumlah total volume biogas sebesar 18040 mL. Jika

volume gas dirata-ratakan maka jumlah volume yang

dihasilkan adalah 1640 ml pet hari per 20 liter bahan baku

kotoran sapi (20,6kg kotoran sapi).

(a) tanpa leachate

(b) dengan leachate (awal)

(c ) dengan leachate (pengisian 80%)

(d ) dengan leachate (lap 1)

(e) dengan leachate (lap 2)

Gambar 6: Volume biogas yang dihasilkan pada proses

asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi (a) tanpa

leachate, (b) dengan leachate kondisi awal (c) pengisian

ulang (80%); (d) lap 1; (e) lap 2

Pada biodigester dengan menggunakan campuran kotoran

sapi dan leachate menghasilkan jumlah volume yang jauh

lebih banyak dibandingkan dengan saat biodigester

menggunakan bahan baku kotoran sapi saja. Pada Gambar

6b terlihat bahwa volume biogas pada hari ke-1 sebesar

8100 ml, kemudian pada hari ke-2 menjadi 8600 mL dan

terus meningkat sampai hari ke-4 menjadi 12000 mL.

Volume terbanyak didapat pada hari ke-9 yaitu sebesar

12200 mL.Tetapi pada hari ke 10 terjadi sedikit penurunan

volume biogas menjadi 10.000 ml (10 liter), dengan total

volume gas selama 10 hari adalah 73200 mL, sehingga rata-

rata volume gas yang dihasilkan oleh digester asetogenesis

adalah sekitar 7320 mL per hari.

01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

Vo

lum

e g

as (

mL)

Waktu (hari ke-)

010002000300040005000600070008000900010000110001200013000

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11

Vo

lum

e (

mL)

Waktu (hari ke-)

01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000

11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22Vo

lum

e (

mL)

Waktu (hari ke-)

01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000

22 23 24 25 26V

olu

me

(m

L)

Waktu (hari ke-)

01000200030004000500060007000800090001000011000120001300014000

27 28 29 30 31

Vo

lum

e (

mL)

Waktu (hari ke-)

Page 275: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

266

Proses yang dilakukan pada digester asetogenesis

menggunakan proses kontinyu dimana kotoran sapi dan

leachate dimasukkan kembali ke dalam digester

asetogenesis pada hari ke-11 (Gambar 6c).Dengan

demikian gas baru dihasilkan kembali pada hari ke-12

dengan volume sebesar 2800 mL. Selanjutnya mengalami

peningkatan menjadi 4140 mL pada hari ke-15. Pada hari

ke-16 terjadi penurunan kembali menjadi 2100 mL dan

pada hari ke-17 dan ke-18 jumlah volume yang dihasilkan

hanya berkisar antara 2700 mL - 2800 mL.

Pada hari ke-22 dilakukan Lap 1 (Gambar 6d) yaitu mengisi

ulang bahan baku sebanyak 4 liter. Pengukuran volume gas

dilakukan pada hari berikutnya (hari ke-23) diperoleh

sebanyak 2670 mL. selanjutnya volume gas meningkat

menjadi 2810 mL pada hari ke-25. Lalu pada hari yang

sama, digester diisi ulang kembali dengan bahan baku

sebanyak 4 liter (Lap 2). Volume gas yang didapat setelah

dilakukannya Lap 2 (Gambar 6e) adalah berkisar 2700 mL

per hari per 4 liter bahan baku setelah dicampur leachate 1:

1 (sama dengan 2 liter bahan baku kotoran sapi).

Peningkatan volume gas yang dihasilkan dipengaruhi oleh

banyak faktor seperti pH dan rasio C/N. Semakin lama pH

biodigester semakin asam sehingga mempengaruhi

produksi gas yang dihasilkan menjadi lebih banyak.

3.5 Pengukuran pH

(a) tanpa leachate

(b) dengan leachate

Gambar 7: Pengukuran pH pada proses asetogenesis

dengan bahan baku kotoran sapi, (a) tanpa leachate; (b)

dengan leachate

Pengukuran pH dilakukan pada saat dilakukan pengukuran

volume gas dengan menggunakan pH indikator. Pada

Gambar 7a terlihat bahwa pH di dalam biodigester sampai

dengan hari ke-7 cukup stabil yaitu sekitar pH 6, kemudian

setelah hari ke-7 pH di dalam digester menurun hingga

mencapai pH 5. Sedangkan pada Gambar 7b terlihat bahwa

pH bahan baku campuran kotoran sapi dan leachate lebih

stabil dengan nilai pH yang lebih kecil yaitu rata-rata

sekitar pH 5,4.

Menurut [5], pada tahap asidogenesis dan asetogenesis,

bakteri (Acetobacter aceti) menghasilkan asam yang akan

berfungsi untuk mengubah senyawa pendek hasil hidrolisis

menjadi asam asetat (CH3COOH), H2, dan CO2. Bakteri ini

merupakan bakteri anaerob yang dapat tumbuh dalam

keadaan asam, yaitu dengan pH 5,5 – 6,5. Bakteri ini

bekerja secara optimum pada temperatur sekitar 30oC.

Dengan demikian pH pada biodigester kotoran sapi dengan

leachate lebih mendukung untuk terbentuknya proses

asidogenesis dan asetogenesis.

4. KESIMPULAN

Proses asetogenesis secara kontinyu menggunakan bahan

baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih baik

dibandingkan dengan bahan baku kotoran sapi tanpa

leachate. Asam asetat yang dihasilkan pada proses

asetogenesis dengan bahan baku kotoran sapi yang

dicampur leachate lebih tinggi yaitu 0,36% dibandingkan

pada bahan baku kotoran sapi tanpa leachate yaitu 0,15%.

Demikian pula kandungan CO2 yang dihasilkan pada bahan

baku kotoran sapi yang dicampur leachate lebih tinggi dan

cenderung stabil dengan kadar CO2 berkisar 50-60 %

dibandingkan pada bahan baku hanya kotoran sapi tanpa

leachate yang hanya menghasilkan kandungan CO2 sekitar

10%.

Pada digester asetogenesis penelitian ini juga dihasilkan

kandungan CO2 jauh lebih tinggi daripada kandungan CH4

dikarenakan asam organik rantai pendek yang dihasilkan

dari tahap fermentasi dan asam lemak yang berasal dari

hidrolisis lemak akan difermentasi menjadi asam asetat, H2

dan CO2 oleh bakteri asetogenik [3].

Dengan demikian bahan baku kotoran sapi dengan

campuran leachate lebih baik untuk digunakan dalam

pembuatan biogas. Peningkatan keasaman disebabkan oleh

bakteri di dalam biodigester asetogenesis dapat

berkembangbiak secara optimal yang diakibatkan oleh

penambahan leachate dengan pH sekitar 5,5.

UCAPAN TERIMAKASIH

UPPM Politeknik Negeri Bandung dan LITABMAS

DIKTI yang telah memberikan kesempatan pendanaan

44,5

55,5

66,5

7

0 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12

pH

Waktu (hari ke-)

4

4,5

5

5,5

6

6,5

7

0 1 2 3 4 5 6 7 8 910111213141516171819202122232425262728293031

pH

Waktu (hari ke-)

Page 276: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

267

penelitian Program Hibah Bersaing tahun 2013 dengan

No Kontrak No: 333.12/PL1.R5/PL/2013.

Ni Putu Swastini Astuti dan Bilal Gizaldi (mahasiswa

tugas akhir Jurusan Teknik Konversi Energi POLBAN)

yang telah membantu dalam penyelesaian penelitian ini.

Laboratorium limbah padat & B3 Departemen Teknik

Lingkungan ITB, Laboratorium Instrumen Departemen

Teknik Kimia ITB, dan Laboratorium Farmasi ITB,

yang telah membantu dalam pengujian bahan baku,

produksi asam asetat dan produksi gas.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Agustina, Fransiska (2011). Evaluasi Parameter

Produksi Biogas Dari Limbah Cair Industri Tapioka

Dalam Bioreaktor Anaerobik Dua Tahap, Universitas

Dipenogoro, Semarang.

[2] Dieter Deublein, Angelika Steinhauser Wiley, 2008,

Popularising Technology in the Countryside ... –

VCH.

[3] Drapcho, C., J. Nghiem, and T. Walker, 2008,

Biofuels Engineering Process.

[4] Fry, L.J. (1974). Practical Building of Methane Power

Plant For Rural Energy Independence 2nd edition.

Chapel River Press, Hampshire-Great Britain.

[5] Gerardi Michael H. (2003). The Microbiology of

Anaerobic Digesters (Paperback). John Wiley & Sons

Inc, United Kingdom.

[6] Gunnerson, C.G. and Stuckey, D.C. 1986. Anaerobic

Digestion: Principles and Practices for Biogas System.

The World bank Washington, D.C., USA.

[7] Harahap, D. Filino; Apandi; Ginting. 1978. Teknologi

Gas Bio. Surya International. Pusat Teknologi

Pembangunan ITB. Bandung.

[8] Juangga, 2007, Proses Anaerobic Digestion, USU

Press, Medan.

[9] Muhamad abdul Kholiq, Perbandingan sistem

digester anaerob termofilik satu fase dan dua fase,

Jurnal Teknik Lingkungan, Vol 8 No 1, ISSN 1441-

318, Jakarta, 2007.

[10] Purnama, C (2009). Penelitian Pembuatan Prototipe

Pengolahan Limbah Menjadi Biogas.

(http://www.sttal.ac.id/index.php/lppm/64-biogas,

diakses tanggal 25 Februari 2013.)

[11] Tina Mulya Gantina, Pengaruh Kadar Air Sampah

Terhadap Potensi Produksi CH4 pada Degradasi

Sampah Kota Secara Anaerobik, Prosiding Seminar

Nasional dan Forum Ilmiah Politeknik Se-Indonesia,

Kampus Politeknik Negeri Malang 12 Maret 2007,

ISBN: 978-979-98910-1-3.

Page 277: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

268

Ekstraksi Zat Warna dari Kulit Manggis dan Pemanfaatannya

untuk Pewarna Logam Aluminium Hasil Anosidasi

Agustinus Ngatin dan Edy Wahyu Sri Mulyono

Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung

Jl.Gegerkalong Hilir, Ds Ciwaruga, Bandung

Email: [email protected]

ABSTRAK

Pewarnaan pada logam aluminium hasil anodisasi memberikan efek dekoratif dan menjadikan logam tersebut lebih menarik

secara visual. Pengambilan zat warna dari kulit manggis dilakukan melalui proses ekstraksi dengan perebusan dalam suatu

tangki berpengaduk yang dilengkapi pendingin menggunakan pelarut etanol 96% dengan variasi umpan (kulit manggis) dan

pelarut dengan perbandingan (1: 5, 1;10, 1:15, 1:20, 1: 30, dan 1;50) pada suhu 600C. Dari hasil kondisi optima dan

perbandingan umpan dan pelarut dilakukan variasi waktu ekstraksi (30,45,60, 90, dan 120) menit. Hasil penelitian

menunjukkan bahwa ekstrak maksimum diperoleh pada perbandingan umpan dengan pelarut 1:10 pada suhu 600C dan waktu

proses 60 menit yang menghasilkan 2,82 g ekstrak dengan rendemen 14,5%. Ekstrak kulit manggis dimanfaatkan untuk

pewarnaan logam alumunium hasil anodisasi memberikan warna kuning sampai cokat yang tahan terhadap panas sampai

1000C selama 30 menit, tetapi tidak tahan terhadap pelarut organik. Berdasarkan foto mikro oksida hasil anodisasi di

permukaan logam aluminium merupakan lapisan yang sangat tipis dengan tebal mencapai 12µm.

Kata Kunci Ekstraksi, kulit manggis,manfaat, pewarna, aluminium hasil anodisasi

1. PENDAHULUAN

Kulit buah manggis mengandung zat warna dan dapat

diproduksi menjadi bahan baku pembuatan zat warna alami

[1]. Zat warna dari kulit buah manggis merupakan zat

warna ungu yang dapat digunakan untuk pewarnaan tekstil.

Bahan pewarna alami ini meliputi pigmen yang terbentuk

pada proses pemanasan, penyimpanan atau pemrosesan.

Beberapa pigmen alami yang banyak terdapat antara lain

adalah klorofil, karotenoid, tanin, dan antosianin, yang

umumnya tidak cukup stabil terhadap panas, cahaya, dan

pH basa. Pewarna alami ini umumnya aman dan tidak

menimbulkan efek samping bagi tubuh [2]

Anodisasi merupakan suatu proses pembentukan lapisan

oksida di permukaan logam aluminium melalui proses

elektrolisis dengan menempatkannya sebagai anoda. Untuk

meningkatkan daya tarik dan memberi nilai tambah, logam

aluminium hasil anodisasi dapat diberi warna dan tidak

semua pewarna sintesis melekat pada permukaan logam

tersebut. Oleh karena itu, melalui pemanfaatan zat warna

dari kulit buah manggis diharapkan dapat diperoleh lapisan

berwarna yang menarik di permukaan logam. Jika hal ini

dapat dilakukan, maka akan memberikan nilai tambah pada

logam aluminium hasil anodisasi baik secara ekonomis

maupun dekoratif.

Ekstraksi zat warna antosianin dari kulit manggis yang

dilakukan dengan pelarut air dan asam sitrat 5%

menghasilkan rendemen 13,995 % yang diaplikasikan

untuk pewarna minuman ringan (soft drink) yang bersifat

asam [3], menggunakan pelarut etanol 96%, mendapatkan

rendemen 24% dan pelarut aseton menghasilkan 13% [4]

Berdasarkan hal tersebut di atas, maka penelitian ini

bertujuan untuk menentukan kondisi optimum

perbandingan berat kulit manggis dengan pelarut dan

berdasarkan hasil pada kondisi ini ditentukan peangaruh

waktu proses ekstraksi. Hasil ekstrak dimanfaatkan untuk

indikator asam-basa dan pewarna pada logam aluminium

hasil anodisasi.

2. METODOLOGI PENELITIAN

Proses ekstraksi zat warna dari kulit manggis dilakukan

dalam tangki pada suhu 600C. Proses anodisasi dilakukan

pada rapat arus 1,0 A/dm2

dengan waktu proses 30 menit

dan pewarnaan dilakukan selama 15 menit dengan

konsentrasi zat warna 5%. . secara keseluruhan kegiatan

penelitian mengikuti diagram alir seperti Gambar 1.

Page 278: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

269

Gambar 1: Diagram alir kegiatan penelitian

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Persiapan penelitian ini adalah mempersiapkan alat dan

bahan yang digunakan yaitu kulit manggis dikeringkan,

dihancurkan menjadi serbuk dengan ukuran lebih kecil

dari 0,20 µm. Serbuk ini mempunyai kadar air 15,3%.

Ekstraksi dilakukan dengan metode perebusan pada suhu

600C menggunakan pelarut etanol 96% [6].

3.1 Pengaruh Volume Pelarut

Hasil ekstrak dari variasi volume pelarut ditunjukkan pada

Gambar 2.

Gambar 2: Pengaruh volume etanol terhadap berat ekstrak

Berdasarkan Gambar 2 ditunjukkan bahwa peningkatan

pelarut tidak menghasilkan ekstrak semakin banyak, tetapi

pada volume 200 mL etanol 96% atau perbandingan berat

per volume 1:10 menghasilkan ekstrak terbanyak yaitu

2,82 gram dan pada penambahan volume pelarut mulai 1:20

sampai dengan sampai 1: 50 menunjukkan hasil ekstrak

yang mengalami sedikit penurunan. Hal ini disebabkan

dengan penambahan pelarut ada sebagian ekstrak zat warna

yang melarut dalam pelarut sehingga produk menunjukkan

penurunan. Kondisi volume pelarut 200 mL ditambahkan

ke dalam 20 gram serbuk kulit buah manggis atau

perbandingan serbuk kulit manggis dengan volume pelarut

1:10 merupakan kondisi optimum dengan efisiensi proses

14,5 %.

3.2 Pengaruh Waktu Proses Ekstraksi

Pengaruh waktu proses terhadap hasil ekstrak ditunjukkan

pada Gambar 3.

Gambar 3: Pengaruh waktu proses terhadap ekstrak

Berdasarkan Gambar 3, hasil ekstrak meningkat mulai

waktu proses 30 menit sampai dengan 60 menit (1 jam).

Hal ini dapat dijelaskan bahwa semakin meningkat waktu

proses berarti semakin lama terjadi kontak antara pelarut

dengan zat warna sehingga menghasilkan jumlah ekstrak

semakin meningkat. Untuk proses selama 60 menit sampai

dengan 105 menit ekstrak zat warna yang dihasilkan

berfluktuasi.

3.3 Zat Warna Hasil Ekstraksi

Hasil ekstraksi kulit manggis dengan metode perebusan

adalah ekstrak zat warna yang merupakan zat yang larut

dalam pelarut yang dipisahkan melalui metode penguapan

menggunakan rotavapor. Dengan penguapan ini, ekstrak zat

warna dihasilkan dalam bentuk pasta yang masih

mengandung pelarut. Ekstrak kulit manggis yang masih

berbentuk pasta ini dan serbuk ekstrak zat warna yang

telah kering memberikan warna merah coklat.

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

3,5

0 200 400 600

Be

rat

eks

trak

(g)

Volume Pelarut (mL)

0

0,5

1

1,5

2

2,5

3

0 50 100 150

Bera

t eek

stra

k (

g)

Waktu Proses (mnt)

2,82 g 2,79 g

2,77 g

2,82 g

1,69 g

2,77 g

Perencanaan

Persiapan

Anodisasi

(i=1,1A/dm2,t=30

mnt,H2SO4 16,5%)

Ekstraksi

Pemisahan

Zat warna

Logam Al

anodisasi

Analisis

Data

Pengujian

Produk

Pemanfaatan zat warna

Pewarnaan (C; 0,5,;2,5;5,7,5%,

t:15 mnt)

Bahan baku ; 20 g

Pelarut: 100,200, 300, 400, 500mL

Suhu : 600C

Waktu : 30,

5,60,75, 90,105

mnt

Indikator asam-basa

Page 279: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

270

3.4 Pemanfaatan dan Pengujian Zat Warna Ekstrak

3.4.1 Indikator Asam-Basa

Warna ekstrak kulit manggis dipengaruhi oleh pH larutan,

artinya dalam larutan asam ekstrak kulit buah manggis

berwarna kuning dan dalam larutan basa berwarna coklat

seperti ditunjukkan pada Gambar 4. Warna ekstrak kulit

buah manggis cenderung berbeda-beda dengan variasi pH

larutan memberikan warna dari kuning sampai coklat [7]

Gambar 4: Warna ekstrak pada pH 1 -14

Berdasarkan Gambar 4, semakin tinggi pH larutan atau

semakin basa larutan, warna larutan ekstrak kulit manggis

semakin berwarna coklat. Warna ekstrak kulit manggis

dalam larutan basa (pH 13) berwarna coklat [4]. Hal ini

disebabkan, karena kestabilan warna antosianin atau zat

warna pada kulit manggis dipengaruhi oleh pH larutan.

Perubahan warna terjadi akibat struktur zat warna pada

ekstrak kulit manggis dalam larutan asam dipengaruhi oleh

ion H+. Ion H

+ ini akan tertarik pada atom Oksigen (O) dan

menghasilkan ion flavilium [8] pada kerangka struktur

senyawa golongan antosianin (Gambar 5). Dengan adanya

perubahan warna pada interval pH tersebut, maka ekstrak

kulit manggis dapat digunakan sebagai indikator asam-basa

[9] dan perbedaan warnanya ditunjukkan Gambar 4..

Gambar 5: Perubahan struktur rangka senyawa antosianin

akibat adanya perubahan pH [8]

3.4.2 Pewarnaan Logam Aluminium Hasil Anodisasi

Berdasarkan konsentrasi zar warna yang digunakan untuk

pewarna logam aluminium hasil anodisasi ditunjukkan

bahwa pada konsentrasi zat warna 5% menunjukkan

pewarnaan yang baik artinya jelas, merata, dan tebal.

Warna yang ditunjukkan adalah warna kuning kecoklatan

(kuning keemasan) pada Tabel 1.

Tabel 1: Hasil pewarnaan logam Al hasil anodisasi

Konsentra

si

Tanpa

warna 0,5% 2,5% 5% 7,5%

Hasil

Warna Kuning muda

Kuning Kuning -

emas Kuning-

emas

Kuning-

coklat

Konsentrasi pewarna semakin tinggi menghasilkan warna

pada permukaan logam Al semakin berwarna coklat. Hal ini

disebabkan kandungan ekstrak yang teradsorpsi pada pori –

pori permukaan logam yang terbentuk akibat proses

anodisasi semakin banyak atau konsentrasi zat warnanya

tinggi, sehingga menghasilkan warna yang lebih coklat atau

lebih pekat. Oleh karena itu, dengan meningkatnya

konsentrasi ekstrak tersebut akan membuat larutan pewarna

semakin berwarna coklat.

Kulit buah manggis banyak mengandung pektin, tanin

katekin,rosin dam mengostin. Tanin yang terdapat pada

kulit buah manggis adalah tanin katekin (flavan-3,4-diol)

yang tergolong proantosianidin yang dapat bereaksi dengan

ion logam menimbulkan warna. Logam dengan senyawa

organik (tanin) dapat bereaksi membentuk senyawa

komplek yang melekat di permukaan dengan warna khusus

yang indah [7]. Menurut hasil Tabel 1 ditunjukkan bahwa

warna yang terbaik berada pada konsentrasi 5% yaitu

berwarna kuning keemasan. Jika dibandingkan dengan

konsentrasi 2,5% atau 7,5%, pada konsentrasi 5%

diperoleh warna yang lebih menarik. Warna yang menarik

artinya adalah warna yang merata, tebal dan terang. Warna

pada konsentrasi 5% dan 2,5% sama yaitu kuning

keemasan, tetapi pada konsentrasi 2,5% mempunyai warna

yang kurang merata dan pada konsentrasi 7,5%,

mempunyai warna permukaan logam alumunium berwarna

coklat tua.

3.5 PENGUJIAN HASIL PEWARNAAN

Pengujian produk pewarnaan pada logam aluminium hasil

anodisasi dilakukan dengan pengujian panas, kelarutan

dalam pelarut organik, dan foto mikro ketebalan oksida

ynag terbentuk.

3.5.1 Pengaruh suhu pemanasan

Page 280: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

271

Pengujian panas dilakukan pada produk pewarnaan untuk

konsentrasi pewarna 5% dimasukkan ke dalam oven.

Hasilnya adalah warna permukaan logam tidak berubah

pada kondisi suhu kamar dan pada suhu sampai 100 oC

menjadi lebih coklat. Hal ini disebabkan pada pengujian

panas dengan suhu yang semakin tinggi mengakibatkan

warna menjadi semakin teradsorpsi pada pori-pori di

permukaan logam dan suhu semakin tinggi menyebabkan

pori-pori semakin merapat (kecil), sehingga warna

permukaan logam tampak menjadi lebih coklat. Warna

yang diaplikasikan pada lapisan hasil anodisasi tahan

terhadap sinar ultraviolet sehingga tidak mudah pudar [10].

Pewarnaan pada logam aluminium hasil anodisasi

mempunyai keunggulan yaitu stabil terhadap perubahan

warna, usia pakai lebih lama, mudah perawatan, serta dari

sudut estetika lebih cerah dan menarik [11]

3.5.2 Pengaruh waktu Pemanasan

100oC. Hasil pengujian panas pada suhu 100

0C dengan

variasi waktu pemanasan ditunjukkan pada Tabel 2.

Tabel 2: Hasil pengujian waktu pemanasan

Waktu

pemanasan

(menit)

0 15 30

Hasil

Warna

Kuning Coklat-

emas

Coklat-

pekat

Berdasarkan Tabel 2 warna pada logam aluminium hasil

anodisasi berubah setelah dilakukan pemanasan dengan

waktu 15 dan 30 menit yaitu warna kuning di permukaan

logam semakin coklat. Hal ini terjadi karena logam

dipanaskan pada suhu 100oC, sehingga zat warna menjadi

semakin teradsorpsi dan pori-pori permukaan semakin

merapat (kecil) dan warna menjadi lebih coklat. Pada

proses pemanasan dengan waktu 15 dan 30 menit

perubahan warna permukaan logam tidak terjadi, sehingga

warna permukaan logam tetap berwarna coklat. Hal

tersebut menunjukkan bahwa pewarnaan logam aluminium

proses anodisasi mempunyai umur warna lebih lama, tahan

terhadap panas,dan lebih menarik [11]

3.5.3 Pengaruh pelarut organik

Uji ketahanan zat warna yang teradsorpsi ke dalam lapisan

oksida di permukaan logam aluminium proses anodisasi

dilakukan dalam larutan aseton selama 24 jam setelah

logam dipanaskan dalam oven selama 1 jam. Hasil

pengujian pelarutan ditunjukkan bahwa pewarna dari

ekstrak kulit manggis untuk pewarna logam aluminium

hasil anodisasi sedikit larut dalam pelarut organik (aseton).

Hal ini diakibatkan ekstrak kulit manggis menggandung

senyawa organik yang mempunyai rumus struktur

ditunjukkan pada Gambar 5, yang bersifat sedikit polar dan

aseton juga bersifat sedikit polar, sehingga pewarna ekstrak

dapat larut dalam pelarut aseton dan menyebabkan warna

menjadi menjadi agak kuning. Pelarut organik dapat

melarutkan senyawa organik akaibat mempunyai struktur

yang sama dan berikatan kovalen [9]. Dengan demikian,

ekstrak kulit manggis dapat digunakan sebagai pewarna

logam aluminium hasil anodisasi tetapi tidak tahan (sedikit

larut) dalam pelarut organik.

3.5.4 Pengukuran ketebalan lapisan oksida

Ketebalan lapisan okisda di permukaan logam aluminium

proses anodisasi diukur berdasarkan foto mikro penampang

melintang dengan perbesaran 20x. Hasil foto mikro

ditunjukkan pada Gambar 6.

Gambar 6: Foto Mikro lapisan oksida hasil anodisasi

Pada Gambar 6 ditunjukkan bahwa ketebalan lapisan oksida

berdasarkan foto mikro penampang melintang logam

aluminium hasil anodisasi rata – rata adalah 11 µm. Lapisan

oksida di pernukaan logam dapat mencapai 15-20 µm [12].

Hal ini menunjukkan bahwa proses pembentukan lapisan

oksida dipengaruhi oleh kondisi proses yaitu waktu proses,

konsentrasi larutan asam sulfat, penambahan oksigen dari

luar, arus yang mengalir, dan luas penampang [12]

Ketebalan lapisan di sisi lebih tebal daripada di bagian

dalam. Hal ini menunjukkan bahwa mekanisme

pembentukan oksida dimulai dari sisi tepi logam. Hal ini

disebabkan di bagian sisi mempunyai struktur yang lebih

mudah dioksidasi untuk membentuk oksida. Lapisan oksida

ini menyatu dengan logam dasar aluminium, sehingga

mempunyai ikatan yang kuat dibandingkan proses coating

yang lain dan tidak dapat terkelupas [10] dan komposisi

lapisan di permukaan logam adalah Al, Al2O3 yang

berfungsi melindung logam terhadap korosi, dan Al2O3

xH2O yang berpori [12]. Lapisan oksida hidrat yang berpori

ini memberikan reaksi sekunder seperti pewarnaan [10]

Plastik

(Mounting)

Lapisan Oksida

Logam

Aluminium

Page 281: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

272

atau memudahkan zat warna organik maupun anorganik

dapat dengan mudah teradsorpsi di permukaan logam

aluminium hasil anodisasi. Dengan lapisan oksida yang

menyatu dengan logam dasar di permukaan logam

aluminium, maka proses anodisasi dan pewarnaan dapat

mengubah permukaan logam menjadi lebih andal tahan

terhadap korosi dan lebih menarik /dekoratif [11].

4. KESIMPULAN DAN SARAN

Berdasarkan data dan pembahasan hasil penelitian, maka

dapat dibuat kesimpulan bahwa kondisi optimum proses

ekstraksi pengambilan ekstrak dari kulit manggis dicapai

pada perbandingan serbuk kulit manggis terhadap etanol

adalah 1: 10 dalam berat per volume, dengan waktu proses

60 menit dan suhu 600C menghasilkan ekstrak sekitar 2,82

gram dengan rendemen 14,5%. Ekstrak kulit manggis dapat

digunakan sebagai indikator asam-basa yaitu dalam larutan

asam berwarna kuning dan dalam larutan basa berwarna

coklat. Ekstrak kulit manggis dapat digunakan untuk

pewarna logam aluminium hasil anodisasi menghasilkan

warna kuning keemasan sampai coklat dan tahan terhadap

panas pada suhu 1000C selama 30 menit, seduikit larut

dalam pelarut organik, dan tebal lapisan oksida yang

mengabsorpsi zat warna sekitar 11 µm.

Berdasarkan penelitian yang dilakukan dapat dilakukan

beberapa saran yaitu proses ekstraksi kulit manggis dengan

metode perebusan menggunakan pelarut etanol 96%

menghasilkan rendemen 14,5%, maka untuk menaikan

rendemen perlukan ditambahkan asam untuk menaikkan

tingkat kepolaran air. Ekstrak kulit manggis digunakan

sebagai pewarna sebaiknya memakai pelarut organik dan

pada pH asam.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penelitian ini dibiayai dari dana Program Penelitian Hibah

Bersaing dengan No. Kontrak: 333.13/PL1.R5/PL/2013.

Tim penelitian ini mengucapkan terima kasih kepada

M.Aliyudin, Rio d, dan Fajar yang telah membantu dalam

pengambilan data untuk penelitian ini, antara lain

Dit.Litabmas Direktorat Jendral Pendidikan

DAFTAR PUSTAKA

[1] Macklin, Boy (2008). Pemanfaatan kulit Buah

manggis untuk dijadikan Bahan Pewarna Alami.

Ekologi Industri, Teknologi Pengrlolaan Limbah.

[2] Endang K,dkk, (2009), Zat Pewarna Alami Tekstil

dari kulit Buah Manggis, Equilibrium, Vol 8, No.1.

[3] Masparay, (2010). Kulit Buah Manggis sebagai Bahan

Pewarna Alami, Http://www.gerbang pertanian.com.

[4] Ulfah, Fadlilah (2007), Ekstraksi dan Karakteristik

Zat Warna dari Kulit Buah Manggis (Garcinia

MangostonaL) serta Uji Potensinya sebagai Pewarna

Tekstil.

[5] Guenter, E, (1987), Minyak Atsiri, Jilid,1, UI Press,

Jakarta.

[6] Krisanda, Anggi, (2010), Isolasi zat warna kulit buah

menggunakan pelarut etanol (Tugas Akhir), Jurusan

Teknik Kimia, Polban.

[7] Mudjijono, (2010), Pewarna Logam, Kimia Terapan

bagi masyarakat, diakses tanggal 10 Oktober 2013.

[8] Castañeda-Ovando dkk. (2009), Chemical studies of

anthocyanins: A review, Food Chemistry No 113, hlm.

859–871.

[9] Fessenden, (1982), Kimia Organik , Jilid 2, Erlangga,

Jakarta.

[10] Widodo Agus, (2012), Anodizing Pewarnaan

Aluminium.

[11] Amir , (2012), Anodizing-Aluminium-Pewarnaan-

aluminium, Mahmud Kimia, http://mahmudkimia.

blogspot.com diakses tanggal 5 Oktober 2013.

[12] Canning, (!982), Canning The Hanbook

Electroplating, London.

Page 282: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

273

Optimasi Komposisi Campuran Asam HNO3 dan H2SO4 dan Nilai R pada

Sintesis α-Nitronaftalen

Rintis Manfaati

Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Nitrasi adalah proses memasukkan satu atau lebih gugus nitro/nitril ion (NO2

+) dengan mensubsitusi atom hidrogen atau

atom/gugus lainnya pada bahan baku senyawa organik. Nitrasi merupakan salah satu proses yang penting di industri sintesis

senyawa organik. Produk nitrasi dipakai secara luas sebagai solvent (nitroparafin), pewarna tekstil (α-nitronaftalen), farmasi,

bahan vernis/coating (nitro sellulosa), bahan peledak (trinitrotoluen/TNT), dan untuk meningkatkan bilangan cetane pada

bahan bakar diesel (tetranitromethane). Nitrasi naftalen merupakan salah satu penerapan proses nitrasi yang aman dan dapat

diaplikasikan pada skala laboratorium. Tujuan dari penelitian ini untuk menentukan komposisi campuran asam HNO3 dan

H2SO4 yang digunakan sebagai nitrating agent dan nilai R (perbandingan massa HNO3 terhadap massa naftalen) optimum.

Nitrasi naftalen dilakukan pada reaktor labu leher empat dengan penangas es. Kondisi operasi reaksi nitrasi adalah temperatur

reaksi 60-65°C, waktu reaksi 1 jam, dan kecepatan pengadukan 125-150 rpm. Analisis yang dilakukan terhadap hasil

penelitian adalah titik leleh dan yield. Hasil penelitian menunjukkan bahwa komposisi campuran asam optimum (% massa)

15,85% HNO3, 50% H2SO4, 34,15% H2O menghasilkan produk kristal α-nitronaftalen dengan titik leleh 60,30C dan yield

53,4%. Nilai R optimum diperoleh pada R=1 menghasilkan produk kristal α-nitronaftalen dengan titik leleh 59,80C dan yield

77,2 %.

Kata Kunci

Nitrasi, α-nitronaftalen, komposisi campuran asam, nilai R

1. PENDAHULUAN

Pemilihan Modul Praktikum Satuan Proses harus

disesuaikan dengan kapasitas laboratorium seperti peralatan

proses yang mampu menyediakan kondisi operasi proses,

kesehatan dan keselamatan kerja, ketersediaan bahan

baku/agent dan waktu praktikum. Sintesis senyawa organik

umumnya berlangsung pada kondisi operasi (suhu dan

tekanan) yang cukup tinggi, melibatkan bahan baku

berbasiskan petroleum yang bersifat racun /karsinogenik,

waktu reaksi dan purifikasi yang lama. Penelitian yang

seksama dibutuhkan agar suatu modul praktikum layak dan

aman dikerjakan oleh mahasiswa.

Nitrasi merupakan salah satu proses yang penting di

industri sintesis senyawa organik. Produk nitrasi dipakai

secara luas sebagai solvent (nitroparafin), pewarna tekstil

(α-nitronaftalen), farmasi, bahan vernis/coating (nitro

sellulosa), bahan peledak (trinitrotoluen/TNT) dan untuk

meningkatkan bilangan cetane pada bahan bakar diesel

(tetranitromethane). Selain itu produk nitrasi digunakan

pula sebagai senyawa intermediat untuk pembentukan

produk lain. Aplikasi proses nitrasi yang cukup luas di

industri mengharuskan mahasiswa Teknik Kimia

memahami karakteristik dan penanganan yang tepat dari

proses nitrasi tersebut.

Pada penelitian ini, proses nitrasi naftalen dipilih karena

naftalen tergolong senyawa organik yang relatif aman.

Hasil penelitian menunjukkan bahwa naftalen dan produk

-nitronaftalen tidak bersifat karsinogenik pada hewan

percobaan [1,2]. Kondisi operasi nitrasi naftalen cukup

aman untuk diaplikasikan pada skala laboratorium dan

peralatan proses yang akan digunakan tersedia di

Laboratorium Satuan Proses Teknik Kimia Politeknik

Negeri Bandung.

Kecepatan proses nitrasi dipengaruhi oleh jenis bahan baku,

HNO3 Ratio (R) dan komposisi campuran asam (mixed

acid) HNO3 dan H2SO4 yang digunakan. Nilai R adalah

perbandingan massa HNO3 terhadap massa bahan baku

nitrasi. Nilai ini menentukan jumlah nitril ion (NO2+) yang

harus tersedia agar semua bahan baku dapat terkonversi

secara optimal.

Kecepatan proses nitrasi tergantung pada ketersediaan nitril

ion yang terbentuk pada proses ionisasi HNO3 dalam

campuran asam HNO3 dan H2SO4 . Semakin tinggi

konsentrasi H2SO4 yang digunakan maka persentase proses

ionisasi HNO3 atau pembentukan nitril ion (NO2+) akan

semakin besar pula. Selain itu, reaksi nitrasi juga

dipengaruhi oleh air yang dihasilkan selama proses. Air

yang terbentuk akan mengencerkan campuran asam dan

mempengaruhi proses ionisasi. Nilai R dan komposisi

campuran asam HNO3 dan H2SO4 harus diperhitungkan

Page 283: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

274

NO2

secara tepat di awal proses nitrasi untuk menghasilkan yield

maksimum.

Tujuan penelitian ini adalah mengetahui karakteristik reaksi

nitrasi naftalen, kondisi operasi proses, penanganannya

yang tepat, menentukan komposisi campuran asam HNO3

dan H2SO4 dan nilai R (perbandingan massa HNO3

terhadap massa naftalen) optimum untuk sintesis senyawa

-nitronaftalen yang menghasilkan yield maksimum.

Manfaat penelitian ini adalah menghasilkan modul

praktikum Satuan Proses yang mampu menjelaskan proses

nitrasi dan aman dilakukan di Laboratorium Satuan Proses

Jurusan Teknik Kimia Politeknik Negeri Bandung.

2. TINJAUAN PUSTAKA

-Nitronaftalen merupakan produk dari nitrasi senyawa

naftalen. -Nitronaftalen merupakan kristal berwarna

kuning jernih dengan titik leleh 59–60oC, titik didih 304

oC,

tidak larut dalam air, larut dalam etanol, dietileter,

kloroform, dan karbon disulfida. Senyawa ini dapat

dimurnikan hingga 99%. Sifat fisika dan kimia senyawa

disajikan pada Tabel 1.

Nitrasi adalah proses memasukkan satu atau lebih gugus

nitro/nitril ion (NO2+) dengan mensubsitusi atom hidrogen

atau atom/gugus lainnya, misalnya halida, sulfonat, dan

asetil ke dalam suatu senyawa organik. Pada proses nitrasi

gugus nitro (NO2+) dapat terikat pada atom C sehingga

membentuk senyawa nitroaromatik atau nitroparafinik.

Gugus nitro yang terikat pada atom O membentuk senyawa

nitrat ester sedangkan gugus nitro yang terikat pada atom N

membentuk senyawa nitroamina atau nitroamida.

Senyawa organik yang dapat digunakan sebagai bahan baku

adalah senyawa aromatik dan turunannya, hidrokarbon

parafinik, dan ester. Bahan pereaksi (nitrating agents) yang

digunakan dalam reaksi nitrasi adalah asam nitrat dalam

bentuk fuming, concentrated atau larutan encer; campuran

asam (mixed acid) asam nitrat dan asam sulfat, asam nitrat

dan asam fosfat, asam nitrat dan asam asetat anhidrid, asam

nitrat dan chloroform; nitrogen pentaoksida (N2O5) dan

nitrogen tetraoksida (N2O4) digunakan untuk nitrasi pada

fasa gas [3].

Tabel 1: Sifat fisika dan kimia -nitronaftalen [2]

Sifat Fisika dan Kimia Senyawa -nitronaftalen

Rumus Empiris C10H7NO2

Berat Molekul 173,17

Warna Kuning kecoklatan

Titik Leleh 59 – 60oC

Titil Didih 304oC @760 mmHg

(579,20oF)

Specific gravity/Densitas

1,2230 g/cm3

Struktur Molekul

Nitrasi naftalen menjadi senyawa α-nitronaftalen dengan

menggunakan nitrating agent campuran asam HNO3 dan

H2SO4 merupakan reaksi substitusi elektrofilik. Reaksi

berlangsung dalam fasa cair pada suhu 65–70oC.

Mekanisme reaksi ditunjukkan oleh Gambar 1.

Mekanisme reaksi nitrasi diawali dengan pembentukan

elektrofilik (nitril ion, NO2+). Pada tahap ini terjadi

perpindahan proton (muatan positif) dari satu molekul asam

nitrat ke molekul lainnya. Pada tahap kedua, nitril ion yang

terbentuk akan beradisi pada cincin naftalen, membentuk

ion benzenonium. Pada tahap ketiga proton (H+) akan lepas

dari ion benzenonium dan bergabung dengan HSO4-

membentuk H2SO4.

Reaksi nitrasi adalah reaksi yang sangat eksoterm sehingga

pengendalian suhu (pendinginan) dan pengadukan mutlak

diperlukan. Panas yang dihasilkan dari proses nitrasi selain

berasal dari reaksi nitrasi juga berasal dari proses

pencampuran asam. Jumlah panas yang terlibat pada proses

nitrasi akan menentukan design sistem pendinginan yang

dibutuhkan. Bahan konstruksi reaktor nitrasi adalah Mild

Carbon Steel yang dilengkapi dengan cooling surface,

pengaduk, feed inlet dan product outlet lines, serta dumping

line berdiameter besar sebagai pengaman jika reaksi tak

terkendali atau suhu meningkat tajam akibat kegagalan

pengadukan dan pendinginan [3].

1. Pembentukan nitril ion

2. Ion nitronium menyerang gugus H senyawa organik

3. Re-aromatisasi

Reaksi secara keseluruhan :

Page 284: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

275

C10H8 + HNO3 C10H7NO2 + H2O

Gambar 1: Mekanisme reaksi nitrasi [4]

Kecepatan proses nitrasi dipengaruhi oleh jenis bahan baku,

nilai HNO3 Ratio (R) dan komposisi campuran asam HNO3

dan H2SO4 yang digunakan.

1. Jenis bahan baku

Setiap bahan baku aromatik dan turunannnya yang

digunakan dalam proses nitrasi memiliki kereaktifan yang

berbeda. Toluen (benzene dengan substituen CH3) lebih

reaktif dibandingkan benzene sendiri. Klorobenzene dan

Nitrobenzene kurang reaktif dibandingkan benzene sendiri.

Senyawa polisiklis aromatis bahkan lebih reaktif terhadap

serangan elektrofilik dari pada benzena. Nitrasi benzene

dan turunannya dilakukan pada fasa cair dengan suhu <

1000C, tekanan 1 atm, sedangkan nitrasi parafinik harus

dilakukan pada fasa gas, suhu 4100C tekanan 10 atm [5,6].

2. HNO3 Ratio (R)

Nilai R adalah perbandingan massa HNO3 terhadap massa

bahan baku nitrasi. Nilai ini menentukan jumlah nitril ion

(NO2+) yang harus tersedia agar semua bahan baku dapat

terkonversi secara optimal. Nilai R berbeda untuk setiap

bahan baku yang digunakan pada proses nitrasi, semakin

tinggi nilai R maka bahan baku tersebut semakin sulit untuk

dinitrasi. Nilai R untuk pembuatan mononitro benzene

adalah 1,04, dinitro benzene 1,1 dan mononitrotoluen

0,997. Nilai R untuk nitrasi naftalen yang disarankan adalah

1,01[3].

3. Komposisi campuran asam

Kecepatan proses nitrasi tergantung pada ketersediaan nitril

ion yang terbentuk pada proses ionisasi HNO3 dalam

campuran asam HNO3 dan H2SO4. Semakin tinggi

konsentrasi H2SO4 yang digunakan maka persentase

ionisasi HNO3 atau pembentukan nitril ion (NO2+) akan

semakin besar pula. Dari Gambar 2 dapat dilihat bahwa

konsentrasi H2SO4 di bawah 87% menunjukkan persentase

ionisasi asam nitrat yang sangat kecil, yaitu kurang dari

20%. Pada konsentrasi H2SO4 87-92%, persentase ionisasi

HNO3 naik cukup pesat berada pada rentang 20-90%. Pada

konsentrasi H2SO4 lebih besar dari 92%, kenaikan

persentase ionisasi HNO3 tidak menunjukkan perbedaan

yang berarti.

Gambar 2: Hubungan konsentrasi H2SO4 (%) terhadap persentase

ionisasi HNO3 [3]

Pada konsentrasi H2SO4 lebih dari 90%, kecepatan reaksi

nitrasi akan menurun seperti yang ditunjukkan pada

Gambar 3. Semakin tinggi konsentrasi H2SO4 semakin kuat

ikatan hidrogen dalam senyawa tersebut. Ikatan hidrogen

yang kuat akan menarik elektron-elektron yang berada

dalam cincin benzen. Densitas elektron dalam cincin

benzen yang berkurang akan menurunkan kereaktifan

senyawa benzen tersebut. Komposisi campuran asam

tergantung pada jenis bahan baku yang digunakan.

Komposisi campuran asam HNO3 dan H2SO4 dalam persen

massa yang disarankan untuk nitrasi naftalen adalah

59,55% H2SO4; 15,85% HNO3;24,60% H2O [3]. Reaksi

nitrasi juga dipengaruhi oleh air yang dihasilkan selama

proses. Air yang terbentuk akan mengencerkan campuran

asam dan mempengaruhi proses ionisasi.

Gambar 3: Hubungan konsentrasi H2SO4 (%) terhadap

Kecepatan reaksi nitrasi [3]

3. METODE

Metode penelitian yang digunakan pada sintensis senyawa

-nitronaftalen merupakan metode eksperimental yang

terdiri dari beberapa tahap berkesinambungan agat tujuan

penelitian dapat tercapai. Tahap I adalah proses nitrasi

naftalen menjadi senyawa -nitronaftalen menggunakan

nilai R 1,0. Variabel yang divariasikan adalah komposisi

campuran asam HNO3 dan H2SO4. Persen massa HNO3

15,85%, persen massa H2SO4 dengan rentang 45-70% dan

sisanya adalah H2O. Setelah itu dilakukkan proses

Page 285: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

276

pemurnian produk kristal -nitronaftalen dari sisa asam dan

bahan baku naftalen yang tidak bereaksi. Data-data yang

diambil selama proses nitrasi adalah massa kristal -

nitronaftalen, titik leleh -nitronaftalen dan komposisi

campuran asam HNO3 dan H2SO4 optimum.

Tahap II adalah proses nitrasi naftalen menjadi senyawa -

nitronaftalen menggunakan komposisi campuran asam

HNO3 dan H2SO4 optimum pada tahapan sebelumnya.

Variabel yang divariasikan adalah nilai R pada rentang 0,8–

1,6. Setelah itu dilakukkan proses pemurnian produk kristal

-nitronaftalen. Data-data yang diambil selama proses

nitrasi adalah massa kristal -nitronaftalen,titik leleh -

nitronaftalen dan nilai R optimum.

Reaksi nitrasi dilakukan dalam reaktor labu leher empat

dengan penangas es. Kondisi operasi yang dipertahankan

tetap adalah massa naftalen 5 gram, konsentrasi H2SO4 98

%, konsentrasi HNO3 65% waktu reaksi 1 jam, temperatur

saat campuran asam dimasukkan 35-50 °C, temperatur

reaksi 60-65°C, kecepatan pengadukan 125-150 rpm, dan

suhu kristalisasi 25°C. Pelarut yang digunakan untuk

memurnikan kristal -nitronaftalen adalah etanol 96%.

Analisis yang dilakukan terhadap kristal -nitronaftalen

yang terbentuk adalah massa α-nitronaftalen dengan

menggunakan metode gravimetri, dan analisis titik leleh

menggunakan alat melting point.

4. DISKUSI

4.1 Nitrasi Naftalen pada Berbagai Komposisi

Campuran Asam HNO3 dan H2SO4

Hasil penelitian untuk nitrasi naftalen pada variasi

komposisi campuran asam disajikan pada Tabel 2.

Tabel 2: Titik leleh dan yield -nitronaftalen

pada berbagai komposisi campuran asam

Dari Tabel 2 terlihat bahwa titik leleh produk -

nitronaftalen yang paling mendekati titik leleh -

nitronaftalen literatur (59 - 60

oC) diperoleh pada run ke-2,

3, dan 4, masing-masing adalah 60,3oC, 59,4

oC, dan 58,8

oC.

Produk kristal -nitronaftalen yang dihasilkan pada run 2,

3, dan 4 tersebut memiliki warna kuning bening. Hal

tersebut menunjukkan bahwa kristal -nitronaftalen yang

dihasilkan memiliki kemurnian yang cukup tinggi. Titik

leleh produk -nitronaftalen yang diperoleh pada run 1, 5,

dan 6 menyimpang jauh dari titik leleh -nitronaftalen

literatur dan memiliki warna kuning jingga kusam. Titik

leleh produk -nitronaftalen yang menyimpang ini karena

-nitronaftalen yang dihasilkan banyak mengandung

naftalen sisa yang tidak bereaksi. Semakin banyak naftalen

yang tidak bereaksi semakin sulit pula proses

pemurniannya. Pengotor yang tersisa pada produk akan

mengganggu proses kristalisasi sehingga waktu yang

diperlukan untuk menghasilkan kristal -nitronaftalen

menjadi lebih lama.

Tabel 2 menunjukkan bahwa komposisi mixed acid pada

run 2, yaitu 15,85% HNO3;50% H2SO4; dan 34,15% H2O,

menghasilkan yield maksimum sebesar 53,4%. Sedangkan

nilai yield terendah terjadi pada run 5 yaitu 32,8 %, dengan

komposisi 15,85% HNO3;70% H2SO4; dan 14,15% H2O.

Kenaikan persen massa H2SO4 dalam komposisi campuran

asam dari 45% ke 50% menaikkan yield dari 51% ke 53,4%

dan menghasilkan produk dengan kemurnian yang

meningkat. Hal tersebut sesuai dengan teori yang

menunjukkan bahwa kenaikan konsentrasi H2SO4(%) dari

30 ke 34% akan meningkatkan persentase ionisasi

HNO3[3]. Ketersediaan nitril ion yang meningkat akan

meningkatkan pula pembentukan -nitronaftalen.

Kenaikan persen massa H2SO4 dalam komposisi campuran

asam dari 50% ke 55% sampai 70% atau pada konsentrasi

H2SO4(%) 38% sampai 54% saja akan menurunkan yield

dan kemurnian produk -nitronaftalen. Hal ini terjadi

karena pada konsentrasi H2SO4(%) yang tinggi, kekuatan

ikatan hidrogen dalam H2SO4 akan semakin kuat sehingga

akan menarik keluar elektron-elektron yang berada dalam

cincin naftalen. Berkurang densitas elektron dalan cincin

benzene akan mengurangi kereaktifan naftalen [3]. Dapat

dipahami bawa penambahan air (H2O) pada campuran asam

berfungsi untuk mengatur konsentrasi H2SO4(%).

4.2 Nitrasi Naftalen pada Berbagai Nilai R

Pada variasi nilai R digunakan komposisi campuran asam

optimum yang diperoleh dari tahap sebelumnya, yaitu

15,85% HNO3;50% H2SO4; dan 34,15% H2O. Data yang

diperoleh disajikan pada Tabel 3.

Nilai R adalah perbadingan massa HNO3 terhadap massa

bahan baku. Kebutuhan massa asam nitrat setiap proses

nitrasi berbeda tergantung pada jenis bahan baku yang

digunakan. Dari Tabel 3 terlihat bahwa titik leleh produk

-nitronaftalen yang paling mendekati titik leleh -

nitronaftalen literatur (59

- 60oC) diperoleh pada nilai

Run

Variabel Respon

Komposisi campuran asam (% massa)

Titik leleh

(°C)

Yield

(%) HNO3 H2SO4 H2O

1 15,85 45 39,15 56,3 51

2 15,85 50 34,15 60,3 53,4

3 15,85 55 29,15 59,4 35,2

4 15,85 60 24,60 58,8 34,2

5 15,85 65 19,15 54,5 32,8

6 15,85 70 14,15 51,2 33

Page 286: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

277

R=1,0 yaitu 59,8oC. Produk kristal -nitronaftalen yang

dihasilkan pada R=1,0 tersebut memiliki warna kuning

bening. Hal tersebut menunjukkan bahwa kristal -

nitronaftalen yang dihasilkan memiliki kemurnian yang

cukup tinggi. Sedangkan titik leleh produk -nitronaftalen

yang diperoleh pada R = 0,8; 1,2; 1,4;1,6 berada pada

rentang 57,3–58,3 °C, tidak terlalu jauh dari titik leleh

kristal α-nitronaftalen berdasarkan literatur. Titik leleh

produk -nitronaftalen yang menyimpang ini karena -

nitronaftalen yang dihasilkan masih mengandung naftalen

sisa yang tidak bereaksi. Pengotor yang tersisa pada produk

akan mengganggu proses kristalisasi sehingga waktu yang

diperlukan untuk menghasilkan kristal -nitronaftalen

menjadi lebih lama. Dari hasil penelitian ini dapat dilihat

bahwa pengaruh nilai R terhadap kemurnian produk -

nitronaftalen lebih kecil dibandingkan dengan komposisi

campuran asam.

Tabel 3: Titik leleh dan yield -nitronaftalen

pada berbagai nilai R

Run

Variabel Respon

R

Titik

Leleh (°C)

Yield

(%)

7 0,8 58,3 70,4

8 1 59,8 77,2

9 1,2 57,7 44,8

10 1,4 57,3 51,6

11 1,6 57,9 33,8

Pada Tabel 3 terlihat bahwa yield -nitronaftalen mencapai

titik maksimum sebesar 77,2% pada nilai R=1,0, kemudian

mengalami penurunan cukup berarti menjadi 44,8% pada

nilai R=1,2. Yield -nitronaftalen naik kembali menjadi

51,6 % pada nilai R=1,4 dan akhirnya turun mencapai titik

terendahnya di 33,8% pada nilai R=1,6. Hal ini

menunjukkan excess asam nitrat yang diberikan lebih dari

R=1,0 akan menurunkan yield -nitronaftalen. Nitrasi

naftalen dengan nitrating agent campuran asam HNO3 dan

H2SO4 menggunakan pelarut inert dichloromethane

menghasilkan kristal -nitronaftalen dengan kemurnian

99,2% dan yield 80% [7].

Reaksi pembentukan nitril ion merupakan reaksi

kesetimbangan.

HNO3 + 2H2SO4 NO2+ + H3O

+ +2HSO4- [4]

Kecepatan penumpukan nitril ion yang berlebih dan tidak

diimbangi dengan reaksi adisi nitril ion ke dalan senyawa

naftalen, akan menyebabkan nitril ion akan kembali

membentuk HNO3. Konsentrasi nitril ion yang melebihi

kebutuhan bahan baku juga akan mengakibatkan sebagian

nitril ion akan terkonversi kembali menjadi HNO3.

5. KESIMPULAN

Hasil penelitian menunjukkan bahwa nitrasi naftalen

merupakan proses nitrasi yang berlangsung pada kondisi

operasi yang ringan sehingga dapat diaplikasikan di

Laboratorium Satuan Proses Politeknik Negeri Bandung.

Nitrasi naftalen dilakukan pada reaktor labu leher empat

dengan penangas es. Kondisi operasi reaksi nitrasi adalah

temperatur reaksi 60-65oC, waktu reaksi 1 jam, dan

kecepatan pengadukan 125–150 rpm. Komposisi campuran

asam optimum dalam persen massa adalah 15,85%

HNO3;50% H2SO4; dan 34,15% H2O akan menghasilkan

produk kristal -nitronaftalen dengan titik leleh 60,30C dan

yield 53,4%. Nilai R optimum diperoleh pada R=1 akan

menghasilkan produk kristal α-nitronaftalen dengan titik

leleh 59,80C dan yield 77,2 %.

UCAPAN TERIMA KASIH

Penulis mengucapkan terima kasih kepada Latif Fauzi dan

Teguh Imanullah yang telah membantu dalam pelaksanaan

penelitian ini. Penelitian ini merupakan Penelitian

Unggulan Peningkatan Kapasitas Laboratorium/Program

Studi dengan sumber dana DIPA 2013 Politeknik Negeri

Bandung.

DAFTAR PUSTAKA

[1] National Toxicology Program, ―Bioassay of 1-

Nitronaphtalene for Possible Carcigonecity (CAS

No.86-57-7)‖, USA, September 2012.

[2] IARC Monographs, Summary and Evaluations 1-

Nitronaphtalene, Vol.46,1989 CAS No. 86-57-7, pp

291-308.

[3] Groggins, P. H., ―Unit Processes in Organic

Syntesis‖, fifth Edition, International Student Edition,

Mc. Graw-Hill Kogakusha, Ltd, 1958.

[4] Sethi, A, ―Systematic Laboratory Experimentss in

Organic Chemistry‖, New Age Inetnational, New

Delhi, 2006.

[5] Hart Harold, Terj. Achmadi Suminar, ―Kimia

Organik, Suatu Kuliah Singkat‖, Penerbit Erlangga,

Jakarta, 1987.

[6] Fessenden, R. and Fessenden, J., ―Organic

Chemistry‖, 2nd

Edition, Willard Grant Press

Publisher, Massachusetts, USA, 1982.

[7] Kameo, T &Hirashima T, Mononitration of

Naphtalene with Nitric Acid in Inert Solvent, Jepang,

1986, Chem.Express,1,pp 371-374.

Page 287: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

278

Perancangan Mesin Pengolah Air Bersih Bergerak Dengan Menggunakan

Sistem Modular Untuk Penaggulangan Keadaan Darurat Air

Yuliar Yasin Erlanggaa, Heri Setiawanb

a

Jurusan Teknik Perancangan Manufaktur, Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Bandung 40135

E-mail : [email protected] b

Jurusan Teknik Manufaktur, Politeknik Manufaktur Negeri Bandung, Bandung 40135

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Pengolahan air bersih (Water Treatment) dengan sistem pembuatan perangkat pengolahan air secara modular/mobile (compact

mobile) merupakan pengembangan dari sistem penyaringan air dengan sistem “up flow” yang sudah dikembangkan oleh BPPT

dengan penambahan dan perbaikan fungsi proses dalam upaya mengoptimalkan proses pengolahan air baku menjadi air bersih

dan juga merupakan pengembangan baru dari perangkat pengolahan air sistim modular yang sudah dibuat sebelumnya.

Pengembangan yang dilakukan pada penelitian ini yaitu dengan mengubah dari instalasi pengolahan yang tetap yang biasanya

berbentuk civil work ke dalam sub fungsi-fungsi pengolah yang bersifat modular/mobile (compact mobile) dengan ukuran /

dimensi yang tidak terlalu besar (compact design). Beberapa teknik dan parameter yang diterapkan di pengolahan sebelumnya

dan secara fungsi sudah teruji masih tetap digunakan pada sistim ini, dengan artian desain yang direncanakan sebagian akan

mengacu pada teknik pengolahan tersebut.

Keuntungan yang bisa didapatkan dari sistem tersebut terutama dalam segi penanganan selama proses pengolahan dan dalam

hal penyediaan suku cadang. Waktu perbaikan preventif maupun kuratif saat penggantian sub fungsi bagian jauh akan lebih

cepat sehingga diharapkan waktu perbaikan disaat terjadi kerusakan pada mesin pengolahan air bersih ini menjadi sangat

singkat dan juga ukuran / dimensi dari perangkat ini yang cukup kecil (compact) sehingga mudah dalam pemindahan antar

lokasi untuk keadaan darurat air.

Sub fungsi bagian yang diperlukan untuk melengkapi teknologi pengolahan air bersih yang sifatnya menunjang ditambahkan

sebagai pelengkap dan bersifat compact juga. Pada akhir penelitian ini setelah melalui proses perancangan menurut VDI 2222

dan sudah dilakukan penilaian berdasarkan beberapa aspek maka terbangun sebuah prototipe modular mobile water treatment

berkapasitas pengolahan 1 M² per jam yaitu rancangan nomer 2 dengan nilai 92%. Aspek terbarukan yang dipelajari adalah

desain modular mobile water treatment itu sendiri, penentuan dan pemilihan solusi dari sub fungsi bagian serta bagaimana sub-

sub fungsi bagian tersebut diikatkan pada rangka sehingga instalasi tersebut menjadi kompak untuk dijadikan sebagai mobile

water treatment.

Kata Kunci Compact mobile water treatment, up-flow filtering process

1. PENDAHULUAN

Sebagian besar kondisi masyarakat Indonesia masih

bermasalah dengan air bersih. Masyarakat pada umumnya

memanfaatkan air sumur untuk kebutuhan makan minum

dan kegiatan MCK. Namun kualitas inputan sumber air dari

sumur belum sesuai dengan standar yang ada. Hal ini akan

sangat mengganggu kepada kesehatan masyarakat kalau

dikonsumsi secara jangka panjang dan akan mengakibatkan

dampak yang buruk terhadap aspek kehidupan yang lain

(ekonomi, sosial dan juga budaya) (Effendi Hefni,

2003:11).

Dalam rangka meningkatkan kebutuhan dasar masyarakat

mengenai kebutuhan akan air bersih, maka perlu

diusahakan proses pengolahan dan pengelolaan air yang

sesuai dengan karaktristik keadaan sekitar. Karakteristik

utama yang perlu diperhatikan adalah sumber air baku yang

tersedia serta pemilihan teknologi yang sesuai. Begitu

banyak teknologi pengolah air minum (water treatment)

yang telah dilakukan, namun masih ditemukan bermacam

kendala yang berakibat pada tuntutan perbaikan, seperti :

biaya yang relatif mahal, mekanisme yang statis (diam di

tempat), energi pengolahan yang besar dan lain-lain

(Herlambang, 2010). Beberapa tipe pengolahan air bersih

yang teknologinya menyesuaikan dengan inputan air baku

yang akan diolah seperti air laut, payau, danau, sungai dan

sumur, dengan hasil keluaran yang diinginkan air bersih

dan atau bahkan air minum (Said, dkk, 2005).

Salah satu teknologi pengolahan air bersih di pedesaan

yang banyak diterapkan di Indonesia adalah teknologi

saringan pasir lambat (sarpalam) konvensional (aliran dari

atas ke bawah, down flow). Teknologi sarpalam yang lebih

baik adalah sarpalam up flow (Herlambang & Said, 2005).

Page 288: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

279

Teknologi sarpalam up flow telah diterapkan oleh

Herlambang dan Said (2005) dengan menggunakan

konstruksi sipil dengan kapasitas pengolahan 100 m3/hari.

Sedangkan teknologi sarpalam yang pernah diterapkan

dengan konstruksi mekanik adalah teknologi sarpalam

down flow untuk sistim penjernih air sampai dengan siap

minum yang mobil telah diaplikasikan oleh Indriatmoko &

Widayat (2007). Teknologi ini menggunakan teknologi

aerasi, koagulasi dan filtrasi.

Kualitas air ditentukan oleh banyak faktor, yaitu zat yang

terlarut, zat yang tersuspensi, dan makhluk hidup,

khususnya jasad renik, didalam air. Air murni, yang tidak

mengandung zat yang terlarut, tidak baik bagi kehidupan.

Sebaliknya zat yang terlarut ada yang bersifat racun.

Apabila zat yang terlarut, zat yang tersuspensi dan makhluk

hidup dalam air melebihi ketentuan yang berlaku, maka air

tersebut disebut tercemar (Effendi Hefni,2003).

Saat ini telah dibuat standar untuk menentukan kualitas air

baik itu secara fisik, kimiawi dan biologi yang diterapkan

oleh Kementrian Kesehatan R.I. dan badan kesehatan dunia

(WHO). Berdasarkan standar tersebut, air yang layak untuk

digunakan haruslah bebas dari kuman penyakit, bakteri-

bakteri patogen, jernih, tidak berasa, berbau dan tidak

korosif serta juga tidak meninggalkan endapan pada

jaringan distribusi yang dilaluinya.

Dalam usaha mendapatkan kuantitas dan kualitas air bersih

yang memenuhi standar diperlukan mesin pengolah, baik

itu berupa proses kimia atau dengan metoda penyaringan

dengan media pasir silika, pasir ziolit atau karbon aktif.

Melihat pada beragamnya kondisi dan kapasitas air baku

yang tersedia, serta beragam topografi dan kemudahan

akses, maka diperlukan untuk mengembangkan mesin yang

sudah ada menjadi sebuah mesin pengolah air yang dapat

menghasilkan air bersih dengan desain yang compact

mobile, mudah pengoprasiannya dan relatif murah, serta

fleksibel dalam artian mudah dipindahkan, mudah

dipasang, mudah ditingkatkan kapasitasnya dan mudah

dalam pemeliharaannya.

2. TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Metode Perancangan

Proses pemecahan masalah yang optimal memerlukan

tahapan kerja yang sistematik. Pekerjaan yang ada dapat

dirumuskan dengan benar dan keterkaitan fungsi produk

teknik yang dirancang dapat dimengerti dengan mudah.

Metoda perancangan yang digunakan adalah Verein

Deutsche Ingenieuer (VDI 2222) seperti diperlihatkan pada

gambar 1.

2.1.1 Perencanaan

Tahap perencanaan dilakukan sebagai awal dalam

menentukan langkah kerja yang harus dilakukan dengan

baik dan sistematik. Beberapa faktor yang berpengaruh

dalam melakukan analisa berupa pemilihan pekerjaan

diantaranya studi kelayakan, analisis pasar, konsultasi

pemesan, hak paten, kelayakan lingkungan, dan dilanjutkan

dengan penentuan pekerjaan.

Gambar 1: Metode Perancangan VDI 2222

2.1.2 Pembuatan konsep

Dalam tahap pembuatan konsep, beberapa aktivitas yang

berhubungan dengan perancangan tool dilakukan

berdasarkan spesifikasi produk yang telah ditetapkan.

Beberapa tindakan yang dilakukan dalam pembuatan

konsep:

a. Penjelasan pekerjaan

Merupakan rumusan masalah atau tugas. Memperjelas

masalah atau tugas yang akan diproses secara logis.

b. Pembuatan daftar persyaratan

Daftar persyaratan dibuat untuk memudahkan dalam proses

perancangan, sehingga konstruksi yang dirancang tercapai

Page 289: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

280

secara maksimal. Dalam daftar persyaratan terdapat

batasan-batasan yang harus diperhatikan dan dipenuhi.

Perancang menguraikan data-data teknis rancangan seperti

data fungsi, dimensi dan operasional berdasarkan

permintaan pemesan.

a. Pembagian fungsi

Rancangan dikelompokkan berdasarkan fungsi, dimensi

atau bentuk sesuai daftar tuntutan .

b. Pembuatan alternatif fungsi bagian

Alternatif fungsi bagian dibuat sebagai bentuk lain dari

fungsi yang telah ada yang bertujuan menghasilkan

beberapa alternatif dari fungsi bagian disertai kelebihan-

kelebihan maupun kekurangan-kekurangan dari setiap

alternative tersebut.

c. Pembuatan variasi konsep

Variasi konsep merupakan penggabungan beberapa

alternatif yang dibuat sehingga membentuk suatu fungsi

bagian.

d. Penilaian variasi konsep konstruksi

Variasi konsep yang ada dinilai berdasarkan aspek-

aspek pada fungsi, kemudahan pembuatan, kemudahan

penanganan, kemudahan perakitan, kemudahan

perawatan dan biaya yang murah.

e. Pembuatan konsep pemecahan

Hasil dari penilaian yang terbaik dijadikan sebagai

konsep pemecahan.

2.1.3 Perancangan

Berdasarkan konsep pemecahan, dilakukan perancangan

konstruksi dengan memperhatikan beberapa faktor, yaitu :

Fungsi (function)

Pembuatan (manufacture)

Penanganan (handling)

Perakitan (assembling)

Perawatan (maintenance)

Biaya (cost)

Hasil rancangan ditampilkan berupa gambar draft,

perhitungan konstruksi dilakukan berdasarkan gambar draft

untuk mencapai hasil rancangan yang diinginkan.

2.1.4 Penyelesaian

Setelah rancangan selesai, maka tahap penyelesaian akhir

yang harus dilakukan adalah sebagai berikut :

Pembuatan gambar susunan

Pembuatan gambar bagian

Pembuatan daftar bagian

2.2 Umum

Air bersih yang biasa digunakan sehari-hari biasanya

berasal dari sumber-sumber air bersih yang ada di alam

kemudian diolah untuk mencapai standar kualitas tertentu.

Sumber-sumber air bersih yang biasa digunakan adalah air

laut, air hujan, air permukaan (air sungai, air rawa/danau),

air tanah (air tanah dangkal, air tanah dalam dan mata air)

(Sutrisno, 2006).

Mengacu pada Peraturan Mentri Keehatan No. 416 Tahun

1990, tentang syarat-syarat Dan Pengawasan Kualitas Air

yang dimaksud dengan air bersih adalah air yang

digunakan untuk keperluan sehari-hari yang kualitasnya

memenuhi syarat kesehatan dan dapat diminum apabila

telah dimasak. Kualitas air harus memenuhi syarat

kesehatan yang meliputi persyaratan mikrobiologi, fisika,

kimia dan radioaktif.

2.3 Koloid

2.3.1 Karakteristik Koloid

Ciri Penting dari suatu koloid padat yang terdispensi

(tersebar) dalam air yaitu partikel-partikel padat yang tidak

akan mengendap karena gaya gravitasi. Ukuran partikelnya

berkisar 0,1 milimikron (0,1x10-4) sampai 100 mikron

(0,1x10-6). Karena koloida-koloida ukuran partikelnya

berkisar satu milimikron sampai satu mikron, maka

pecahan dari zat padat yang tidak biasa mengendap ini

merupakan partikel koloid (Reynold 1982).

2.3.2 Mekanisme Destabilisasi Koloid

Kestabilan koloid tergantung pada resultan gaya tarik

menarik dan gaya tolak menolak yang bekerja pada partikel

–partikel koloid. Kation tertarik oleh anion partikel koloid

tersebut, sedangkan anion yang lain akan tertolak setelah

maksimum adsorbs tercapai. Keseimbangan tercapai

apabila sejumlah kation mendekati permukaan koloid yang

bermuatan negatif (anion), sedangkan ion lainnya

terdistribusi pada lapisan selanjutnya. Pada jarak tertentu

dari permukaan koloid akan terdapat konsentrasi anion dan

kation yang sama besar sehingga suasana netral.

2.3.3 Koagulasi dan Flokulasi

Agar terjadi tumbukan antar partikel koloid, maka daya

tolak menolak diantara partikel-partikel yang bermuatan

negatif harus dinetralkan dengan menambahkan koagulan

yang bermuatan positif (Linvil, 1965). Proses penambahan

koagulan tersebut dinamakan koagulasi. Menurut

Eichekenfelder 1985, koagulasi adalah proses kimia yang

digunakan untuk menghilangkan bahan cemaran yang

tersuspensi atau dalam bentuk koloid.

Bila koagulan dibubuhkan dalam larutan, ion lawan akan

tertarik ke permukaan partikel dan masuk kedalam lapisan

listrik sehingga konsentrasi dalam lapisan listrik naik dan

lapisan terdifusi akan menjadi padat. Hal itu menyebabkan

gaya tarik akan dominan. Jika pemampatan yang terjadi

Page 290: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

281

sudah mencukupi maka gaya tarik Van Der Walls dapat

meningkat, jika terjadi kontak antar partikel.

Kontak antar partikel dapat terjadi karena adanya proses

flokulasi. Flokulasi menurut IUPAC adalah proses kontak

dan adhesi antara partikel sehingga membentuk partikel

dengan ukuran yang lebih besar. Partikel yang berada

dalam keadaan tidak stabil akan cepat tergumpal. Akan

tetapi apabila semua partikel dalam keadaan tidak stabil,

maka proses flokulasi akan berjalan lambat. Untuk

memungkinkan terjadinya penetralan partikel bermuatan

oleh logam Trivalen yang bermuatan positif, maka

konsentrasi muatan harus cukup agar gaya tarik menarik

antar muatan yang berlawanan akan meningkat. Cara

memperkecil jarak antar partikel atau menambah frekuensi

tumbukan antar partikel adalah dengan pemberian gaya atau

poer input sehingga air tersebut mengalami turbulensi.

2.3.4 Sedimentasi

Sedimentasi adalah pemisahan padatan dan cairan dengan

menggunakan pengendapan secara gravitasi untuk

memisahkan partikel tersuspensi yang terdapat dalam

cairan tersebut (Reynols, 1982). Proses ini sangat umum

digunakan pada instalasi pengolahan air minum. Aplikasi

utama dari sedimentasi pada instalasi pengolahan air

minum adalah:

1. Pengendapan awal dari air permukaan sebelum

pengolahan oleh unit saringan pasir cepat.

2. Pengendapan air yang telah melalui proses koagulasi

dan flokulasi pada instalasi yang menggunakan sistim

pelunakan air oleh kapur-soda.

2.3.5 Filtrasi

Filtrasi adalah proses pengolahan yang dipakai untuk

memisahkan materi-materi padatan (kotoran) berupa

suspended solid (zat padat tersuspensi) dengan melewatkan

air melalui suatu media. Melalui filter ini kualitas air dapat

mencapai turbiditas kurang dari 0.1 NTU. Walaupun

kurang dari 90% kekeruhan dan warna dipisahan dalam

koagulasi dan sedimentasi, namun sejumlah flok masih

terbawa keluar dan ini memerlukan pemisahan lebih lanjut

(Linvil, 1963).

2.3.6 Desinfeksi

Desinfektan didefinisikan sebagai bahan kimia atau

pengaruh fisika yang digunakan untuk mencegah terjadinya

infeksi atau pencemaran jasad renik seperti bakteri anti

virus, juga untuk membunuh atau menurunkan jumlah

mikroorganisme atau kuman penyakit lainnya (Skima,

2008). Umumnya pada instalasi klor akan diperoleh dalam

bentuk padatan dengan rumus kimia (Ca(OCl)2. Sebelum

dibubuhkan ke dalam air baku klor ini akan dilarutkan

terlebih dahulu dalam air. Penggunaan klor secara luas

untuk desinfeksi air karena (Linvil, 1963) mudah diperoleh

baik dalam bentuk padat, cair maupun gas, selain itu

hargannya yang relative murah juga mudah diterapkan

karena kelarutannya relatif tinggi (7000mg/l), dapat

memberikan sisa klor dalam batas (0,2 s.d. 0,5 mg/l) yang

tidak membahayakan manusia.

2.3.7 Parameter Kualitas Air

Pemeriksaan kualitas air dilakukan terhadap parameter-

parameter penting yang dapat menggambarkan karakteristik

dari air tersebut sesuai dengan tujuan pemeriksaan.

Parameter-parameter yang diukur adalah: kekeruhan,

warna, pH, Besi, Detergen dan Zat Organik.

3. METODOLOGI

Penelitian ini melakukan perancangan dan pembuatan

prototipe mesin pengolah air bersih sistem mampu pindah

(mobile) untuk kepentingan saat bencana (darurat air).

Penelitian difokuskan pada penyempurnaan dari hasil

penelitian sebelumnya, yaitu pada konsep rancangan dan

jenis teknologi yang digunakan. Penyempurnaan rancangan

dilakukan terutama pada hal mengatasi masalah-masalah :

kualitas air yang sangat berhubungan dengan teknologi

proses, laju aliran air yang menentukan kapasitas produksi

pengolahan air berupa debit dan juga dari segi rancang

bangun untuk mencapai tujuan yang diinginkan yaitu

berbentuk modular. Modularitas yang dimaksud tidak

hanya pada unit keseluruhannya, tetapi juga pada setiap

fungsi bagiannya agar mudah untuk dilepas pasang dari

instalasi keseluruhan.

Untuk mengurangi aktifitas manufaktur dan meminimalkan

biaya yang digunakan, diharapkan banyak menggunakan

part standar termasuk didalamnya adalah tangki untuk

penyadap air, ventury, konstruksi pengatur dosis, static

mixer, filter dan juga penampung air olahan yang berupa air

bersih.

Mesin instalasi pengolah air ini terbagi menjadi beberapa

sub fungsi bagian, dimana masing-masing sub fungsi

bagian ini mempunyai kekhususan fungsi dan harus

merupakan kesatuan tersendiri yang mampu dibongkar

pasang dengan tidak menggangu fungsi bagian lain.

Hubungan satu dengan yang lainnya didefinisikan dengan

sistem masukan dan luaran setelah melalui proses

pengolahan per fungsi bagian tersebut. Fungsi bagian

tersebut terdiri dari:

Gambar 2: Fungsi Bagian

Perancangan sistem diteliti mengacu kepada konsep-konsep

yang sudah ada dan dimodifikasi dengan kriteria dan

Page 291: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

282

prasyarat yang sudah ditentukan seperti luaran air yang baik

, kapasitas air, indikator-indikator hasil olahan air yang

harus mengacu pada standar baku mutu air.

Perancangan manufaktur didesain sedemikian rupa

sehingga mencapai tujuan yang yang diinginkan yaitu

mudah untuk dipindakan (portable) dengan kapasitas air

yang cukup signifikan untuk kebutuhan hidup per hari.

Kemudian seluruh parameter rancangan akan diterapkan

pada pembuatan prototipe dan hasilnya di analisis.

Berikut ini adalah diagram alir langkah-langkah

pelaksanaan penelitian.

Gambar 3: Diagram alir

4. PROSES PERANCANGAN

4.1 Fungsi Bagian Rangka

Rangka yang dibuat dipilih berdasarkan beberapa alternatif

seperti tabel 1 berikut:

Tabel 1: Alternatif fungsi bagian rangka

4.1

4.2

4.3

4.4

4.5

4.2 Fungsi Bagian Pre-filter

Proses pre-filter dipilih berdasarkan beberapa alternatif

seperti tabel berikut:

Tabel 2: Fungsi bagian pre-filter

4.3 Fungsi Bagian Koagulasi

Proses koagulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif

seperti tabel berikut:

Tabel 3: Alternatif fungsi bagian koagulasi

4.4 Fungsi Bagian Flokulasi

Proses Flokulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif

seperti tabel berikut:

Tabel 4: Alternatif fungsi bagian flokulasi

4.5 Fungsi Bagian Sedimentasi

Proses Sedimentasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif

seperti tabel berikut:

Tabel 5: Alternatif fungsi bagian sedimentasi

4.6 Fungsi Bagian Filtrasi

Proses koagulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif

seperti tabel berikut:

Tabel 6: Alternatif fungsi bagian filtrasi

4.7 Fungsi Bagian Desinfeksi

Proses koagulasi dipilih berdasarkan beberapa alternatif

seperti tabel berikut:

Tabel 7: Alternatif fungsi bagian desinfeksi

Page 292: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

283

AFK 3

4.8 Pembuatan Variasi Konsep

Setelah pembagian fungsi dibuatkan variasi-variasi yang

merupakan gabungan dari fungsi-fungsi bagian tersebut.

Tabel 8: Kotak morfologi

4.9 Alternatif Fungsi Keseluruhan

Adapun variasi-variasi konsep yang ada diterjemahkan

kembali seperti terlihat pada gambar 4 dibawah:

Gambar 4: Alternatif fungsi keseluruhan

4.10 Penilaian Alternatif Fungsi Keseluruhan

Ketiga alternatif tersebut dinilai untuk memperoleh

alternatif fungsi keseluruhan terbaik.

AFK 1 AFK 2

Page 293: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

284

Tabel 9: Kriteria penilaian variasi prinsip

Tabel 10: Penilaian variasi prinsip

4.11 Konsep Pemecahan

Berdasarkan aspek-aspek penilaian fungsi sebelumnya,

maka fungsi kombinasi dari variasi konsep yang paling

ideal dari ketiga alternatif fungsi keseluruhan adalah

alternatif 3, dengan prosentase 92 %, sehingga berdasarkan

hasil tersebut dipilih rancangan-rancangan berdasarkan

fungsi-fungsi dari alternatif 2.

Gambar 5: Rancangan terpilih

4.12 Pembuatan Draft Rancangan, Gambar Susunan

dan Gambar Bagian

Tahapan penyelesaian akhir yang harus dilakukan adalah

melakukan penggambaran gambar kerja detail dan gambar

kerja susunan, yang nantinya akan digunakan sebagai

informasi pada proses manufaktur. Selain itu gambar kerja

detail dan gambar kerja susunan dapat juga dijadikan

sebagai dokumen teknik.

Gambar 6: Contoh dokumen teknik

5. KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

Proses perancangan dan pembuatan compact mobile water

treatment ini dapat terlaksana dan dapat diwujudkan

menjadi sebuah produk yang diharapkan memiliki nilai

guna bagi masyarakat khususnya yang mengalami keadaan

darurat air

5.2 Saran

Dilakukan penelitian untuk penentuan waktu yang tepat

untuk melakukan backwash, dilihat dari nilai kekeruhan

air olahan. Sehingga dapat ditentukan setelah

pemakaian berapa kali backwash harus dilakukan.

Pada penelitian selanjutnya perlu dikembangkan

pengkajian menggunakan kontrol otomatis pada Mesin

Pengolah Air Bersih Sistem mampu pindah ini.

Perlu dikembangkan pengkajian terhadap waktu proses,

sehingga dapat mempercepat proses pengolahan air

besih. Mesin Pengolah Air Bersih Sistem Modular

menghasilkan output 1M3/jam.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Anonim. Water Chemistry & Treatment.

http://www.water-chemistry.in . (19 Juli 2011).

[2] Departemen Kesehatan RI. Keputusan Menteri

Kesehatan RI Nomor 907/MENKES/ SK/VII/2002

tentang syarat-syarat dan pengawasan kualitas air

minum. Jakarta: Departemen Kesehatan RI, 2002.

Page 294: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

285

[3] H. Effendi. Telaah kualitas Air bagi Pengelolaan

Sumber Daya dan Lingkungan Perairan. Yogyakarta:

Kanisius, 2003

[4] A. Herlambang. “Teknologi Penyediaan Air Minum

Untuk Keadaan Tanggap Darurat”. Jurnal Air

Indonesia, Vol.6, No.1, 2010.

[5] R.H. Indriatmoko dan W. Widayat. “Penyediaan Air

Minum Pada Situasi Tanggap Darurat Bencana

Alam”.Jurnal Air Indonesia, Vol.3,No.1, 2007.

[6] Ministry of environment and forests.Status Of Water

Treatment Plans In India. http://www.cpcb.nic.in. (3

Agustus 2011).

[7] P. N. Raharjo. “Aplikasi Teknologi Pengadaan Air

Bersih di Empat Desa Tertinggal di Bengkulu

Selatan”. Jurnal Air Indonesia, Vol.3, No.1, 2007.

[8] Said, Nusa Idaman, Indriatmoko, Robertus Haryoto,

Raharjo, P. Nugro, dan Herlambang, Arie. “Aplikasi

teknologi pengolahan air sederhana untuk masyarakat

pedesaan”. Jurnal Air Indonesia, Vol.1, No.2, 2005.

Page 295: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

286

Pembuatan Membran Kitosan Sulfonat

Untuk Aplikasi Direct Ethanol Fuel Cell

Riniati, Harita N Chamidy

Jurusan Teknik Kimia, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]

ABSTRAK

Direct Ethanol Fuel Cell (DEFC) merupakan salah satu jenis fuel cell menggunakan etanol sebagai bahan bakar. Salah satu

komponen utama pada DEFC sebagai perangkat elektrokimia penghasil listrik yaitu Membrane Electrode Assembly (MEA).

MEA terdiri dari membran yang diapit oleh elektroda. Jenis membran yang umum digunakan secara komersial pada

pembuatan MEA yaitu Nafion®. Akan tetapi, tingginya biaya produksi dan crossover alkohol yang cukup tinggi menjadi

kendala penggunaan Nafion®

. Saat ini banyak dikembangkan material baru yang diharapkan dapat menggantikan fungsi

Nafion® diantaranya kitosan, suatu polimer alam yang murah dan aman bagi lingkungan. Penelitian ini bertujuan untuk

membuat membran kitosan sulfonat dari kitosan dengan cara sulfonasi menggunakan pereaksi asam sulfosalisilat pada variasi

konsentrasi 5, 10, 15 dan 20%. Hasil karakterisasi menunjukkan bahwa semakin tinggi konsentrasi asam sulfosalisilat

menghasilkan membran dengan spesifikasi derajat pengembangan (Ds), ion exchange capacity (IEC) dan konduktivitas proton

lebih baik dibandingkan Nafion® tetapi warna membran semakin kusam. Membran yang menunjukkan spesifikasi terbaik

untuk karakterisasi warna, kerapuhan, Ds, dan IEC yaitu membran kitosan sulfonat yang disulfonasi oleh asam sulfosalisilat

15%. Dari hasil analisa didapatkan nilai Ds dalam air dan etanol 3% masing-masing 4,17 dan 6,36 %, nilai IEC sebesar 2,76

mek/g dan konduktivitas proton sebesar 1,61 x 10-4 S/cm.

Kata Kunci :

Membran, Kitosan sulfonat, Fuel Cell, Etanol

1. PENDAHULUAN

Fuel Cell muncul sebagai salah satu teknologi dalam

penggunaan sumber energi alternatif mengingat sumber

energi yang sudah ada persediaannya semakin menipis,

sedangkan volume pemakaian semakin lama semakin

meningkat. Sumber energi yang dibutuhkan saat ini adalah

sumber energi dengan biaya murah, efisien dan ramah

lingkungan [2,11].

Fuel cell adalah perangkat seperti baterai yang dapat

mengubah bahan bakar menjadi energi listrik secara

langsung melalui reaksi elektrokimia. Salah satu jenis sel

bahan bakar yang dikenal saat ini yaitu sel bahan bakar

dengan pertukaran proton atau Proton Exchange Membrane

Fuel Cell (PEMFC) [2,11]. Bahan bakar yang digunakan

pada PEMFC yaitu gas hidrogen (untuk listrik berdaya

tinggi) atau alkohol seperti metanol atau etanol (untuk

listrik berdaya rendah). Dibandingkan dengan metanol,

etanol mempunyai keunggulan yaitu tidak bersifat toxid

seperti halnya metanol dan dapat diproduksi secara ramah

lingkungan [5].

PEMFC dengan bahan bakar etanol dikenal sebagai Direct

Ethanol Fuel Cell (DEFC). Secara umum jenis ini

digunakan untuk menghasilkan mikro watt sampai 10 watt

untuk keperluan energi alat-alat kecil seperti laptop,

calculator dan handpone yang banyak dikembangkan di

Cina, Taiwan dan Korea. Sampai saat ini DEFC masih

dalam pengembangan ke arah komersial. Salah satu

hambatan komersialisasi sel ini dikarenakan membran

elektrolit menggunakan Nafion bersifat permeabel terhadap

metanol maupun etanol.

Skema yang terjadi pada DEFC dapat dilihat pada Gambar

1, dengan persamaan reaksi :

Anoda : C2H5OH + 3H2O → 2CO2 + 12H+ + 12 e

-

Katoda: 12 H+ + 3O2 + 12 e → 6H2O

Reaksi sel :

C2H5OH + 3H2O + 3O2 → 2CO2 + 6H2O

Komponen paling utama penyusun fuel cell yaitu

Membrane Electrode Assembly (MEA). MEA terdiri dari

membran sebagai penghantar proton yang diapit oleh dua

elektroda[2].

Page 296: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

287

Gambar 1: Skema Direct Ethanol Fuel Cell (DEFC) [1]

Membran penghantar proton merupakan lembaran polimer

tipis yang dapat melewatkan proton (H+). Dalam membran

terjadi penghantaran proton dari anoda ke katoda sehingga

memungkinkan terjadinya reaksi redoks yang terus menerus

untuk menghasilkan energi listrik. Membran fuel cell harus

memiliki konduktivitas proton yang tinggi, memiliki

dinding yang cukup kuat untuk menghalangi laju alir

reaktan dan stabil secara kimia maupun mekanik pada

lingkungan sekitar fuel cell [4].

Saat ini material membran yang digunakan secara komersil

adalah Nafion® yang dikembangkan oleh DuPont [4].

Nafion® merupakan suatu polimer organik berfasa padat

berupa poly-perfluorosulfonic-acid (Gambar 2). Nafion®

mempunyai daya hantar proton atau konduktivitas proton

yang tinggi, sifat mekanik, kestabilan kimia dan termal

yang baik sebagai syarat membran fuel cell. Namun selain

biaya produksi nafion sangat tinggi, nafion juga memiliki

kelemahan yaitu memiliki sifat permeabel yang cukup

tinggi terhadap alkohol serta konduktivitas nafion menurun

diatas suhu 90oC [9,10].

Gambar 2: Struktur Kimia Nafion (asam

poliperflorosulfonat ionomer [8]

Saat ini banyak dikembangkan material baru yang

diharapkan dapat menggantikan fungsi Nafion® dalam sel

bahan bakar. Salah satu material yang banyak diteliti yaitu

kitosan. Kitosan merupakan bahan kimia multiguna

berbentuk serat dan merupakan kopolimer berbentuk

lembaran tipis, berwarna putih atau kuning serta tidak

berbau. Kitin yang telah terdeasetilasi sebanyak 65-95 %

disebut kitosan (Gambar 3). Kitin dapat terdeasetilasi dalam

larutan basa kuat NaOH atau KOH dengan bantuan

pemanasan dan membentuk gugus amino bebas.

Gambar 3: Struktur kimia kitin dan kitosan [3]

Kereaktifan kitosan disebabkan oleh adanya gugus amino

bebas yang bersifat sebagai nukleofilik kuat dan sekaligus

kitosan bersifat polielektrolit, maka kitosan digolongkan

sebagai Highly functional biopolymer [7]. Elektrolit

berbasis polimer merupakan komponen penting di banyak

perangkat elektrokimia. Elektrolit polimer berbiaya murah

dan ramah lingkungan dari sumber terbarukan dapat

menjadi pengganti yang menjanjikan sebagai polimer

sintetis untuk digunakan dalam perangkat elektrokimia

yang melibatkan pembangkit energi dan penyimpanan.

Kitosan bersumber dari polisakarida, telah banyak diteliti

sebagai membran berbasis elektrolit polimer padat untuk

fuel cell jenis PEMFC [4].

Gugus fungsional -OH dan -NH2 pada kitosan

memungkinkan dilakukan berbagai modifikasi kimia untuk

aplikasi tertentu. Penekanannya pada reaksi crosslinking

kimia untuk meningkatkan stabilitas mekanik dan kimia,

dan modifikasi kimia untuk kemungkinan menghasilkan

pertukaran ion dan meningkatkan konduktivitas ionik yang

merupakan persyaratan bagi membran fuel cell [3,4].

Tujuan dari penelitian ini adalah membuat membran

kitosan sulfonat dari kitosan dengan cara metode sulfonasi

menggunakan pereaksi asam sulfosalisilat. Membran yang

dibuat dikarakterisasi sesuai spesifikasi yang memenuhi

standar untuk fuel cell khususnya DEFC.

2. BAHAN DAN METODE PENELITIAN

Pada penelitian ini digunakan kitosan dari kulit rajungan

dengan spesifikasi grade industri yang sudah memenuhi

syarat untuk digunakan sebagai bahan baku pembuatan

membran. Bahan utama lain yang digunakan yaitu asam

sulfosalisilat p.a. sebagai pereaksi crosslinking pada proses

sulfonasi kitosan menjadi kitosan sulfonat.

Secara umum pembuatan membran kitosan sulfonat pada

penelitian ini terdiri dari empat tahap, yaitu :

1) Pembuatan larutan kitosan 2%

Larutan kitosan dibuat dengan cara melarutkan kitosan

ke dalam larutan asam asetat 2% dengan pengadukan

pada suhu ruang selama 24 jam hingga didapat larutan

kitosan yang homogen.

Page 297: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

288

2) Proses sulfonasi

Sulfonasi merupakan proses penempelan gugus

sulfonat (HSO3-) terhadap kitosan. Metode sulfonasi

terhadap larutan kitosan dilakukan dengan

menggunakan pereaksi asam sulfosalisilat dengan

variasi konsentrasi 5, 10, 15, dan 20%. Reaksi

sulfonasi dilakukan dengan pengadukan pada suhu

ruang selama 24 jam.

3) Pencetakan membran (casting)

Pencetakan membran kitosan sulfonat dilakukan

dengan cara menuangkan campuran hasil reaksi di atas

plat berupa melamin dengan luas permukaan 110 cm2.

Untuk mendapatkan ketebalan membran yang

diinginkan, volume larutan divariasikan. Ketebalan

membran diukur menggunakan micrometer.

4) Tahap karakterisasi membran

Tahap karakterisasi ini meliputi pengamatan bentuk

fisik seperti warna, ketebalan, kerapuhan serta

penentuan derajat pengembangan (Ds), Ion Exchange

Capacity (IEC), dan Proton Conduktivity

(konduktivitas proton).

3. HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada penelitian ini telah dibuat beberapa membran dengan

variasi konsentrasi asam sulfosalisilat 5, 10, 15 dan 20%.

Pemilihan asam sulfosalisilat didasarkan pada struktur asam

tersebut dimana ada satu gugus sulfonat dan karboksilat

sebagaimana terlihat pada Gambar 4. Diharapkan terjadi

reaksi ikatan silang antara gugus sulfonat dengan gugus

hidroksi dan amina bebas pada kitosan.

Gambar 4. Reaksi sulfonasi Kitosan dengan Asam

sulfosalisilat

Hasil pengamatan sifat fisik membran yang telah dibuat

ditunjukkan pada Tabel 1. Tampak bahwa semakin tinggi

konsentrasi asam sulfosalisilat memberikan pengaruh

terhadap warna membran semakin putih-kusam, sementara

itu jika dibandingkan dengan warna membran nafion

warnanya bening trasparan. Ketebalan membran yang

dibuat rata-rata 0,10-0,15 mm mendekati ketebalan

membran nafion.

Tabel 1: Spesifikasi membran

Kode

Membran

Spesifikasi

Membran

Sifat Fisik

Warna (S/cm)

Kerapuhan

M-1 Kitosan Bening

kekuningan Tidak rapuh

M-2 Kitosan + ASS 5%

Bening jingga

Rapuh

M-3 Kitosan + ASS 10%

Bening kemerahan

Sedikit rapuh

M-4 Kitosan +

ASS 15%

Putih

jingga Tidak rapuh

M-5 Kitosan +

ASS 20%

Buram -Putih

jingga

Tidak rapuh

Nafion 117

- Bening kekuningan

Tidak rapuh

*ASS = Asam sulfosalisilat

Salah satu faktor penting agar membran dapat diaplikasikan

dalam PEMFC adalah nilai kapasitas penukar

protonnya[10]. Nilai IEC menunjukkan jumlah proton yang

dapat ditransportasikan dari anoda ke katoda. Nilai IEC dari

membran kitosan yang dibuat meningkat dengan

penambahan asam sulfosalisilat seperti terlihat pada Tabel

2, hal ini menunjukkan bahwa ada ikatan gugus sulfonat

terhadap gugus hidroksi atau gugus amina pada kitosan,

sebab gugus hidroksi yang lebih sukar melepas proton

digantikan dengan gugus sulfonat yang dapat dengan

mudah melepas protonnya. Reaksi ikatan silang dapat

terjadi pada gugus hidroksi bebas tetapi tidak menutup

kemungkinan reaksi sulfonasi juga terjadi pada gugus

amina bebas. Untuk mengetahui struktur kitosan sulfonat

dengan tepat, diperlukan uji NMR (Nuclear Magnetic

Resonance).

Tabel 2: Data karakteristik membran

Kode

membran

Ds

dalam

Air (%)

Ds

dalam Etanol

3%

(%)

IEC

(mek/g)

Konduktivitas Proton

(S/cm)

Kitosan Larut Larut Larut 3,80 x 10-7

M-1 85,71 33,33 1,75 -

M-2 30,43 28,57 2,43 5,93 x 10-8

M-3 4,17 6,36 2,76 1,61 x 10-4

M-4 0 0 3,05 1,00 x 10-2

Nafion-117

8,62 8,17 0,96 5,9 x 10-3

Satu kelemahan nafion® untuk fuel cell yaitu memiliki

derajat pengembangan cukup besar terhadap bahan bakar

cair seperti etanol. Hal ini dapat mengakibatkan cross over

etanol sehingga dapat mengurangi kinerja fuel cell [4].

Penelitian pengembangan material baru pengganti nafion®

bertujuan menurunkan nilai derajat pengembangan

membran namun tetap memiliki konduktivitas proton yang

cukup tinggi seperti halnya nafion®. Pada Tabel 2, tampak

bahwa spesifikasi derajat pengembangan membran kitosan

sulfonat dalam air maupun etanol 3% lebih kecil

dibandingkan nafion®. Membran yang memenuhi

spesifikasi ini dihasilkan dari sulfonasi pada konsentrasi

asam sulfosalisilat 15-20%. Hal ini menunjukkan bahwa

membran kitosan sulfonat sangat potensial untuk dijadikan

membran DEFC. Namun disisi lain membran kitosan

Page 298: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

289

sulfonat yang dihasilkan pada konsentrasi asam

sulfosalisilat 20% memiliki warna yang kusam sementara

warna nafion berwarna bening trasparan. Hal ini menjadi

tantangan penelitian selanjutnya untuk memperbaiki

kondisi proses dan modifikasi reaksi sehingga didapatkan

membran dengan bentuk fisik dan spesifikasi yang

diinginkan sesuai spesifikasi membran untuk fuel cell.

4. KESIMPULAN

Proses sulfonasi yang telah dilakukan terhadap kitosan

dengan pereaksi asam sulfosalisilat dapat menurunkan

derajat pengembangan membran (Ds) dalam air maupun

etanol dan meningkatkan ion exchange capacity (IEC)

hingga mendekati spesifikasi membran nafion®. Membran

yang menunjukkan spesifikasi terbaik untuk karakterisasi

warna, kerapuhan, derajat pengembangan, IEC dan

konduktivitas proton yaitu membran kitosan sulfonat hasil

sulfonasi kitosan oleh asam salisilat dengan konsentrasi

15%. Dari hasil analisa didapatkan nilai Ds dalam air dan

etanol 3% masing-masing 4,17 dan 6,36 %, nilai IEC

sebesar 2,76 mek/g dan konduktivitas proton sebesar 1,61 x

10-4 S/cm.

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terimakasih disampaikan kepada Direktorat

Jenderal pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan

Nasional dan Kebudayaan yang telah mendanai penelitian

ini melalui DIPA POLBAN, sesuai dengan Surat Perjanjian

Pelaksanaan Program Penelitian Hibah Bersaing No.

681.5/PL1.R5/PL/2013.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Baranova. E, “Nanoparticles application to Direct

Ethanol Fuel Cells and Direct Formic Acid Fuel

Cells”, Annual Meeting of ISE, Sept. 26th – Oct. 1st ,

Nice, France. 2010 .

[2] Bradley. E. E, “Chemical Modification of Fuel Cell

Catalyst and Electrchemistry of Proton Exchange

Membrane Fuel Cell electrodes”, St. John‟s

Newfoundland Canada. University of Newfoundland,

2003.

[3] Ma Jia, Yogeshwar Sahai, “Review: Chitosan

biopolymer for fuel cell applications”, Journal of

Carbohydrate Polymers, 92, 2013, 955-975.

[4] Mukoma, P., B.R. Jooste, H.C.M. Vosloo., “Synthesis

and characterization of cross-linked chitosan

membranes for application as alternative proton

exchange membrane materials in fuel cells”, Journal

of Power Sources 136, 2004,16-23

[5] Modestov, A.D., Tarasevich, A., “MEA for alkaline

direct ethanol fuel cell with alkali doped PBI

membrane and non-platinum electrodes”, Journal of

Power Sources, 188, 2009, 502-506.

[6] Riniati , “Pemanfaatan Kitin dari Cangkang Rajungan

Sebagai Bahan Pembuatan Kitosan Sulfonat Untuk

Membran”. Jurnal Penelitian & Gagasan Sains dan

Matematika Terapan, SIGMA-MU. POLBAN, 2010.

[7] Soonpatra,K., U. Intra, “Chitosan-Based Fuel Cell

Membranes”, J.Chem,Eng.Comm,193, 2006, p.855-

868

[8] Tamjid Chowdhury and James F. Rohan,” Carbon

Nanotube Composites for Electronic Interconnect

Applications” Tyndall National Institute, University

College Cork, Lee Maltings, Cork, Ireland, 2013.

[9] Thomas, Sharon dan Marcia Zalbowitz. “Fuel Cells –

Green Power”, US Department of Energy : Energy

Efficiency & renewable energy : Los Alamos, New

Mexico, 2002.

[10] Wan Ying, Katherine A.M. Creber., Brant Peppley, V.

Tam Bui, “Chitosan-based electrolyte composite

membranes II. Mechanical properties and ionic

conductivity”, Journal of Membrane Sciences, 284,

2006, 331-338.

Page 299: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

290

Peningkatan Pembelajaran Statistika Bidang Tata Niaga Berbantuan

Kalkulator dan Perangkat Lunak Untuk Politeknik

Euis Sartika, Agus Binarto, Anie Lusiani

UP MKU, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail : [email protected]; [email protected]; [email protected]

ABSTRAK

Pendidikan vokasi mengharuskan mahasiswa memiliki kemampuan praktis yang dapat mendukung dunia kerjanya nanti.

Sejalan dengan kurikulum KKNI, pembelajaran Statistika di Politeknik akan lebih optimal jika didukung oleh praktikum

Statistika. Selain memberi pemahaman yang lebih optimal, juga melatih mahasiswa untuk lebih mandiri. Penelitian ini

mengupayakan terbentuknya modul praktikum yang disesuaikan dengan kurikulum KKNI dan kompetensi standar Statistika.

Penelitian ini dilakukan dalam kurun waktu dua tahun berturut-turut. Tahun pertama bertujuan mengupayakan keberadaan

modul praktikum bidang Tata Niaga. Tahun kedua dilakukan uji coba pada beberapa Politeknik Negeri. Analisis Statistik yang

digunakan adalah uji komparatif yakni, membandingkan evaluasi pembelajaran Statistika yang menggunakan modul

praktikum Statistika dan tanpa modul praktikum Statistika.

Kata Kunci

Kurikulum, kompetensi Statistika,uji komparatif

1. PENDAHULUAN

Politeknik merupakan pendidikan vokasi yang diarahkan

pada kesiapan penerapan keahlian tertentu. Sedangkan

pendidikan vokasi adalah pendidikan tinggi yang

mempersiapkan peserta didik untuk memiliki pekerjaan

dengan keahlian terapan tertentu maksimal setara dengan

program sarjana. Guna mencapai maksud itu, politeknik

memberikan pengalaman belajar dan latihan yang memadai

untuk membentuk kemampuan profesional di bidang ilmu

pengetahuan dan teknologi. Mengamati kondisi pendidikan

tinggi saat ini, terdapat beberapa hal yang perlu

diperhatikan antara lain :

Terdapat ketidakjelasan jenis dan mutu Pendidikan

Tinggi di Indonesia diskriminasi antar jenis pendidikan

akademik-vokasi-profesi

Terjadi disparitas mutu lulusan untuk jenjang

pendidikan yang sama

Ketidaksetraan capaian pembelajaran (Learning

Outcomes) untuk program studi sejenis.

Sedangkan sasaran ke depan, pendidikan tinggi Indonesia

adalah :

Penataan mutu pendidikan tinggi berdasarkan

penjenjangan kualifikasi lulusan.

Penyesuaian capaian pembelajaran untuk prodi sejenis

Penyetaraan capaian pembelajaran dengan penjenjangan

kualifikasi dunia kerja yang sama.

Sejalan dengan itu, peningkatan pembelajaran materi

perkuliahan harus didukung oleh ketrampilan yang dapat

membentuk kemampuan profesional. Statistika sebagai

salah

satu mata kuliah pendukung pada bidang Tata Niaga,

proses pembelajarannya masih bersifat teori. Kondisi yang

ada di Politeknik saat ini, jumlah jam dan beban SKS

masing-masing program studi Tata Niaga masih belum

seragam.

Begitu pula dengan jumlah jam dan beban SKS

program D III dan D IV masih sama. Sedangkan

kompetensi lulusan D IV berbeda dengan kompetensi

lylusan D III seperti digariskan dalam kurikulum

KKNI. Saat ini, penggunaan statistika sebagai alat bantu

analisis data berkembang sangat pesat. Di sisi lain,

kemajuan teknologi komputer dalam berbagai aktifitas

sehari-hari sangat membantu, diantaranya untuk analisis

data.

Secara umum, mata kuliah Statistika di Politeknik

mempunyai empat (4) aspek sasaran, pertama adalah

membekali mahasiswa dengan pengetahuan teoritis, kedua

adalah bekal ketrampilan praktis yakni kemampuan

berhitung, ketiga memberi gambaran dan pengalaman

bagaimana memecahkan masalah dalam kehidupan sehari-

hari berkaitan dengan masalah yang dihadapi, dan keempat

adalah memberi bekal para mahasiswa agar dapat

mengkomunikasikan hasil kajiannya dalam laporan baik

bentuk tulisan maupun dalam bentuk lisan. Hasil kajian

analisis tersebut harus dapat ditampilkan dalam bentuk

tabel maupun grafik dan harus diinterpretasikan.

Menginterpretasikan suatu output hasil analisis tidaklah

Page 300: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

291

mudah, sangat diperlukan pemahaman mengenai masalah

yang dianalisis, data atau variabel yang digunakan, metode

yang dipakai hingga pemahaman mengenai software itu

sendiri. Permasalahan lain yang diperoleh melalui temuan

dari pola jawaban mahasiwa Politeknik pada saat UTS dan

UAS mata kuliah Statistika adalah sebagai berikut :

Kesulitan dalam membuat model matematika dari

permasalahan yang ada.

Kesulitan dalam memilih strategi atau rumus untuk

pemecahan masalah.

Kesulitan dalam menginterpretasikan hasil perhitungan.

Kesulitan menjelaskan secara lisan hasil dari tabel atau

grafik.

Kesulitan dalam membaca pemahaman dari representasi

yang diberikan.

Oleh karena itu dirasa perlu adanya ketersediaan informasi

mengenai pemahaman software tersebut yang dikemas

dalam suatu modul yang menunjang penggunaan software

pengolah data demi tercapainya sasaran pembelajaran

Statistika yang efektif dan efisien. Berdasarkan latar

belakang di atas, penelitian ini dilakukan. Sehingga

diharapkan dapat dihasilkan luaran pada tahun pertama

adalah modul praktikum Statistika yang dapat mendukung

proses pembelajaran Statistika agar lebih optimal.

Penyusunan modul praktikum ini didasarkan pada

kurikulum KKNI dan disesuaikan dengan kompetensi

Statistika.

Tujuan Penelitian

Tahun Pertama:

Mengidentifikasi kebutuhan materi praktikum Statistika

Politeknik Negeri bidang Tata Niaga ;

Mengupayakan keberadaan modul praktikum Statistika

bidang Tata Niaga.

Permasalahan dalam penelitian dapat dirumuskan sebagai

berikut:

Bagaimana peran penggunaan modul praktikum

statistika dalam mendukung pencapaian sasaran mata

kuliah statistika yang sesuai dengan kompetensi KKNI?

Bagaimana perbedaan keberhasilan pembelajaran mata

kuliah statistika setelah dilengkapi dengan modul

praktikum statistika?

Bagaimana peningkatan pembelajaran mata kuliah

Statistika setelah diterapkan pembelajaran dengan

bantuan kalkulator dan perangkat lunak seperti program

Excell dan software SPSS pada mahasiswa Tata Niaga?

2. TINJAUAN TEORI

Beberapa penelitian pendahuluan yang relevan antara lain

ditunjukkan dalam Tabel 1:

Tabel 1: Penelitian-penelitian yang Relevan No Peneliti, Tahun, Sumber Hasil Penelitian

1. Kholidin, S.Pd ,

2011,skripsi UNS solo

Pembelajaran berbantuan

komputer sangat fleksibel

dalam mengajar dan dapat

diatur menurut keinginan

perancang pengajaran atau penyusun kurikulum serta

dapat saling melengkapi.

2. Siti Sundari Miswadi, Sigit Priatmoko, Al Inayah,

2007,Jurusan Kimia UNS

Seamarang.

Terdapat peningkatan hasil belajar kimia berbantuan

komputer (CAL) yang diberi

pendekatan CET lebih baik daripada yang tidak diberi

pendekatan CET untuk

materi pokok laju reaksi .

3 Sri Wahyuni ; Junaidi,2008, Jurnal

Pendidikan Matematika

dan Sain, UNS Surabaya

Modul Pembelajaran Statistika Bidang Bahasa

Berbantuan Komputer

(computer Assisted) dapat meningkatkan kemandirian

dan performen mahasiswa

Mengadopsi Byte (1995), Maier dkk, Sunaryo, S dalam

tulisannya "Pengajaran Berbasis Komputer".

mendeskripsikan pembandingan model Pembelajaran

Berbantuan Komputer (PBK) dengan model konvensional.

Tabel 2: Model pembelajaran Konvensional dan PBK

Model Non PBK (Konvensional) Model dengan PBK Materi disajikan dengan presentasi

di ruang kuliah

Secara individu mahasiswa

mengeksplorasi bahan ajar

Mengabsorpsi materi ajar secara

pasif dan/atau pasif

Belajar materi ajar dengan

pengalaman

Kerja Individu Belajar Berkelompok

Dosen sebagai penyampai

informasi

Dosen sebagai pembimbing

Materi ajar relatif stabil Materi ajar berubah secara cepat

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia, yang selanjutnya

disingkat KKNI, adalah kerangka penjenjangan kualifikasi

kompetensi yang dapat menyandingkan, menyetarakan,

dan mengintegrasikan antara bidang pendidikan dan bidang

pelatihan kerja serta pengalaman kerja dalam rangka

pemberian pengakuan kompetensi kerja sesuai dengan

struktur pekerjaan di berbagai sektor. Sesuai Peraturan

Presiden no 8 tahun 2012 tentang Kerangka Kualifikasi

Nasional Indonesia, KKNI merupakan perwujudan mutu

dan jati diri Bangsa Indonesia terkait dengan sistem

pendidikan dan pelatihan nasional yang dimiliki Indonesia.

KKNI terdiri dari 9 (sembilan) jenjang kualifikasi, dimulai

dari Kualifikasi 1 sebagai kualifikasi terendah dan

Kualifikasi 9 sebagai kualifikasi tertinggi. Jenjang

kualifikasi adalah tingkat capaian pembelajaran yang

disepakati secara nasional, disusun berdasarkan ukuran

hasil pendidikan dan/atau pelatihan yang diperoleh melalui

pendidikan formal, nonformal, informal, atau pengalaman

kerja. Selain itu, pemerintah juga menyiapkan Kerangka

Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) yang menyiapkan

dua jalur keahlian yakni jalur pendidikan dan jalur non-

pendidikan.“Untuk keahlian di jalur pendidikan itu meliputi

sembilan jenjang yakni SD, SMA, D1, D2, D3, D4/S1, S2,

dan S3, sedangkan keahlian non-pendidikan itu meliputi

jenjang operator (kompetensi 1,2,3), teknisi (kompetensi

4,5,6), dan ahli (kompetensi 7,8,9),” katanya. Keberadaaan

Kerangka Kualifikasi Nasional Indonesia (KKNI) dalam

Page 301: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

292

Rancangan Undang-Undang Perguruan pengembangan

pendidikan Tinggi (RUU PT) kian memberikan angin

segar bagi pengembangan pendidikan vokasi di Indonesia.

Hadirnya KKNI dan RU PT, membuat

pendidikan vokasi semakin diakui dan sejajar

dengan pendidikan akademik serta profesi. Berkaitan dengan undang-undang Republik Indonesia no.13

tahun 2003 tentang ketenagakerjaan disebutkan bahwa

Kompetensi kerja adalah kemampuan kerja setiap individu

yang mencakup aspek pengetahuan, keterampilan dan sikap

kerja yang sesuai dengan standar yang berkaitan

ditetapkan. Sedangkan peran Kemendikbud dalam

Peningkatan Mutu SDM Nasional Berbasis KKNI adalah:

Akuntabilitas penyelenggaraan pendidikan melalui

Penyetaraan Jenis dan Strata Pendidikan Nasional

dengan KKNI

Rekognisi Pembelajaran Lampau (RPL)

Perpindahan antara jenis dan strata pendidikan tinggi

Sistem Penjaminan Mutu berbasis KKNI

Kerangka dasar kurikulum pendidikan Politeknik harus

dibangun oleh:

2.1 Hasil Pembelajaran (Learning and Outcomes)

Enam Elemen Dasar Outcomes Berdasarkan KKNI

Gambar 2: Elemen Dasar Capaian Belajar Menurut KKNI

2.2 Karakteristik Program

Tiga karakteristik program pendidikan di Politeknik.

Pendidikan Politeknik (Vokasi):

1. a Diploma satu

b. Diploma dua

c. Diploma tiga

d. Diploma empat / Sarjana Terapan

2. Magister Terapan

3. Doktor Terapan

2.3 Materi Pokok Pembelajaran

Matematika dan sain dasar, sain,Teknologi (sain Terapan)

dan Humaniora.

Sesuai dengan ideologi Negara dan budaya Bangsa

Indonesia, maka implementasi sistem pendidikan nasional

dan sistem pelatihan kerja yang dilakukan di Indonesia

pada setiap level kualifikasi mencakup proses yang

menumbuhkembangkan afeksi sebagai berikut:

Bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa.

Memiliki moral, etika dan kepribadian yang baik di

dalam menyelesaikan tugasnya.

Berperan sebagai warga negara yang bangga dan cinta

tanah air.

serta mendukung perdamaian dunia.

Mampu bekerja sama dan memiliki kepekaan sosial dan

kepedulian yang tinggi terhadap masyarakat dan

lingkungannya

Menghargai keanekaragaman budaya, pandangan,

kepercayaan, dan agama serta pendapat/temuan orisinal

orang lain.

Menjunjung tinggi penegakan hukum serta memiliki

semangat untuk telah ditetapkan, serta di bawah

bimbingan, pengawasan dan tanggung jawab atasannya.

Statistika merupakan ilmu yang mempelajari proses

pengumpulan data (sampling), pengolahan data, penyajian

data, analisis data, dan pengambilan keputusan berdasarkan

data. Kompetensi yang diajarkan dalam mencapai kelima

tujuan tersebut meliputi Strong Basic Statistics (yakni

kompetensi untuk data collecting, eksplorasi data, metode

analisis data, teoritis, dan aplikasi teori serta metode yang

dipelajari dalam kasus riil secara mandiri), Excellent Soft

Skill (yakni kompetensi untuk komunikasi, adaptasi (team

work, under pressure, inisiatif), entrepreneurship,

integritas/kejujuran, dan manajerial), serta Computation

Skill (yakni kompetensi data processing menggunakan

software statistic, programming, dan simulasi).

Standar lulusan sarjana Statistika harus mempunyai

kompetensi sebagai berikut :

1. Knowledge dan Understanding Skill

Mempunyai landasan Statistik yang kuat

Literate dalam teknologi informasi.

Mempunyai pengetahuan tentang perkembangan

Statistika.

2. Intellektual Skill

Cakap dalam berbagai teknik Statistika.

Pakar dalam beberapa bidang terapan Statistika.

Mampu melanjutkan studi S2 dan S3 pada bidang

terkait.

3. Manajerial Skill

Mampu berkomunikasi ilmiah.

Mempunyai nilai dan moral yang tinggi.

Mempunyai emosional yang matang.

Mampu bekerja sama dalam tim dengan pakar

bidang lain.

Page 302: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

293

Beberapa literatur luar menyebutkan tentang kompetensi

Statistik:

1. Statistik modern membutuhkan profil baru, pengetahuan

tentang statistik (konsep dan metode) harus disertai

dengan fleksibilitas, penemuan, kemampuan

komunikatif dan bahasa, kapasitas dalam tim kerjasama,

keterampilan manajerial, memahami pekerjaan sendiri

dalam kaitannya dengan kegiatan lembaga lain (Fischer

Jan, 2008)

2. Tingkat kompetensi menggunakan model dan

representasi dalam konteks statistik :

Tingkat I :Satu-langkah penggunaan representasi

atau bekerja dalam suatu model tertentu (misalnya

membaca nilai yang diberikan dari diagram,

menyelesaikan diagram untuk data ).

Tingkat II :Dua atau penggunaan multi-langkah

representasi atau mengubah antara dua model

(misalnya membandingkan data termasuk langkah

transformasi atau mengacu pada konsep

matematika).

Tingkat III :Penggunaan multi-langkah representasi

termasuk penggunaan model (misalnya untuk

kegiatan modeling sendiri mendukung interpretasi

kumulatif data yang diberikan dalam diagram)

Tingkat IV: Penggunaan multi-langkah representasi

dan / atau penggunaan model memerlukan variasi

statistik, (misalnya untuk kegiatan modeling sendiri

berdasarkan diagram yang memerlukan variasi

statistik) (KUNTZE, Sebastian, LINDMEIER,

Anke, and REISS, Kristina , 2009).

3. METODE PENELITIAN

Langkah-langkah penelitian di tahun pertama adalah:

Identifikasi kurikulum Statistika Tata Niaga dari

seluruh Politeknik Negeri di Indonesia.

Penentuan karakteritik kompetensi Statistika

disesuaikan dengan kurikulum KKNI

Sosialisasi materi Statistika di kalangan para pembuat

modul untuk program studi yang berbeda.

Sosialisasi penggunaan kalkulator, MS Excell, dan

SPSS di kalangan para penyusun modul.

Melakukan review modul praktikum Statistika baik dari

sisi bahasa maupun konten.

4. HASIL DAN PEMBAHASAN

Identifikasi Kebutuhan Statstika di berbagai Program Studi

bidang tata niaga ditunjukkan dalam tabel 3.

Tabel 3. Identifikasi Kebutuhan Statistika di Berbagai

Program Studi

PS Kompetensi yg

diharapkan

Kompetensi

Statistika yg

dibutuhkan

AK

D3

)Menyiapkan laporan perpajakan.

)Mengelola anggaran dan peramalan.

)Menyiapkan laporan

keuangan (financial reports)

untuk sebuah entitas

pelaporan.

)Menerapkan dan memelihara prosedur internal

control.

)Menyediakan informasi akuntansi manajemen.

)Menyediakan informasi

keuangan dan kinerja bisnis. )Menentukan dan

memelihara sistem informasi

akuntansi. )Membantu melaksanakan

fungsi internal dan eksternal

audit.

-Tabel dan grafik -Statistika Deskriptif

-Angka Indeks -Analisis Data Deret

Waktu

-Probabilitas dan

Distribusi Probabilitas

-Sampling &Distribusi

sampling -Estimasi

-Hipotesis

-Analisis Korelasi -Analaisis Regresi

Linear Sederhana

-Analisis Regresi Linear Berganda

AK

D4

)Mengelola anggaran.

)Menyajikan informasi

keuangan sebagai bahan

pengambil keputusan. )Menyajikan laporan

keuangan unit organisasi dan entitas.

)Menginterpretasikan hasil

analisis keuangan. )Menyajikan laporan kinerja

unit organisasi dan entitas.

)Melakukan analisis dan interpretasi kinerja.

)Memproses akuntansi

pertanggung jawaban (responsibility accounting).

)Melaksankan pengendalian

internal. )Melakukan audit

operasional.

)Memproses dan mengelola pajak.

)Melakukan fungsi-fungsi

manajerial berdasarkan nilai-nilai dan etika yang berlaku

-Tabel dan grafik

-Statistika Deskriptif

-Angka Indeks

- Analisis Data Deret Waktu

-Sampling &Distribusi sampling

-Estimasi

-Hipotesis -Analisis Korelasi

-Analaisis Regresi

Linear Sederhana -Analisis Regresi Linear

Berganda

-Uji Beda -Uji Chi Kuadrat

-ANOVA

-Statistika Nonparametrik

-Validitas dan

Reliabilitas

KP

D3

) melaksanakan administrasi

kredit.

)Melakukan analisis kredit. )Mengelola dan bank.

)Memahami dan menggunakan teknologi

perbankan.

)Menyusun dan menganalisis laporan keuangan bank/non

bank.

)Memahami hukum

perbankan dan pasar modal.

-Tabel dan grafik

-Statistika Deskriptif

-Angka Indeks -Analisis Data Deret

Waktu -Probabilitas dan

Distribusi Probabilitas

-Sampling &Distribusi sampling

-Estimasi

-Hipotesis

-Analisis Korelasi

-Analaisis Regresi

Linear Sederhana -Analisis Regresi Linear

Berganda

Page 303: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

294

AB

D3

)Memiliki kemampuan

mengelola kegiatan

kesekretariatan dan administrasi kantor.

)Memiliki kemampuan

berkomunikasi baik lisan maupun tulisan dengan

menggunakan bahasa

Indonesia maupun bahasa Inggris.

)Memiliki kemampuan

menggunakan komputer dan

teknologi yang lain untuk

menunjang pekerjaanya.

)Memiliki kemampuan dalam bidang membina

customer relation.

)Memiliki kepribadian yang tangguh, sikap mental yang

positif, jujur, bertanggung

jawab dan disiplin. )Memiliki kemampuan untuk

berwirausaha.

-Tabel dan grafik

-Statistika Deskriptif

-Angka Indeks -Sampling &Distribusi

sampling

-Probabilitas dan distribusi Probabilitas

-Estimasi

-Hipotesis -Analisis Korelasi

-Analisis Regresi Linear

Sederhana

-Analisis Regresi Linear

Berganda

MP

D3

)Menangani pekerjaan manajerial dan praktikal di

bidang pemasaran, )dapat

mengelola kegiatan pejualan baik penjualan ke konsumen

langsung (Business-to-

Customer) maupun konsumen bisnis/industry (business-to-

Business), )dapat membantu

mengelola manajerial ritel, )mengerjakan pekerjaan

praktikal di bidang logistic,

pergudangan dan ekspor-impor,

)memproses data secara

akurat,berkomunikasi secara efektif lisan dan tulisan dalam

Bahasa Indonesia dan inggris,

)mengelola informasi dan komunikasi untuk menunjang

kegiatan pemasaran, serta

memiliki spirit kewirausahaan.

Tabel dan grafik -Statistika Deskriptif

-Angka Indeks

-Analisis Data Deret Waktu

-Probabilitas dan

Distribusi Probabilitas -Sampling &Distribusi

sampling

-Estimasi -Hipotesis

-Analisis Korelasi

-Analaisis Regresi Linear Sederhana

-Analisis Regresi Linear

Berganda

Berdasarkan Tabel 3, dapat diperlihatkan bahwa kebutuhan

Statistika di beberapa program studi Tata Niaga hampir

sama. Namun pada program D IV, kompetensi lebih

diarahkan pada analisis data untuk pengambilan keputusan.

Sehingga materi Statistika yang relevan adalah statistika

inferensial, analisis multivarate dengan melibatkan

variabel-variabel lebih banyak.

Berdasarkan kurikulum Polban, beban SKS mata kuliah

Statistika untuk tiap progam studi tidak sama begitu pula

jumlah jam. Sementara materi yang harus disampaikan

cukup padat. Kondisi ini menjadi satu kendala dalam proses

pembelajaran. Penyampaian teori yang cukup padat ini jika

tanpa didukung oleh media atau alat bantu, akan memakan

waktu yang lama. Untuk itu, diupayakan suatu alat bantu

dalam hal ini keberadaan software komputer. Penyampaian

materi dengan software komputer ini tidak perlu dilakukan

bersamaan dengan teori tetapi dilakukan terpisah dan

terjadwal di laboratorium komputer dalam bentuk kegiatan

praktikum statistika.

Praktikum ini ditujukan untuk melengkapi dan mendukung

pembelajaran secara teori. Untuk itu, diperlukan suatu

panduan dalam hal ini adalah modul praktikum. Di

dalamnya berisi panduan penggunaan kalkulator, MS

Excell, dan SPSS berikut contoh soal dan latihan soal

disesuaikan dengan kebutuhan masing-masing program

studi. Selain itu dilengkapi juga dengan petunjuk

penggunaan modul, tujuan praktikum, dan kompetensi

statistika yang dibutuhkan.

Dengan modul Statistika ini, mahasiswa dapat menggali

sendiri materi menggunakan panduan pengerjaannya.

Mahasiswa dapat mempraktekkan langsung penyelesaian

contoh masalah nyata dengan menggunakan ketiga alat

bantu yaitu : kalkulator, MS Excell, dan SPSS sekaligus.

Kondisi ini secara tidak langsung dapat meningkatkan

pemahaman teori dan melatih mahasiswa menjadi mandiri.

Modul praktikum Statistika Politeknik agak berbeda

dengan modul praktikum Statistika pendidikan akademik,

modul praktikum Statistika Politeknik lebih

menitikberatkan penggunaan praktis dari Statistika. Sebagai

pendukung, kalkulator, software MS Excell dan SPSS

diberikan secara bersamaan. Dengan demikian mahasiswa

akan memperoleh ketrampilan praktis dan dapat

membedakan penggunaan ketiga media tersebut. Secara

tidak langsung ketrampilan ini dapat menambah

kemampuan profesional lulusan Politeknik sebagai

pendidikan vokasi yang lebih menitikberatkan ketrampilan

praktis dan dapat mendukung di dunia kerja nanti.

Beberapa kendala yang diperkirakan muncul dari

penggunaan software Statistik ini antara lain keterbatasan

waktu, keterbatasan jadual penggunaan laboratorium,

fasilitas software yang ada di laboratorium, dll. Sosialisasi

penggunaan kalkulator, MS Excell, dan SPSS dilakukan

terhadap para pengajar Statistika dan sekaligus penyusun

modul praktikum Statistika untuk program studi Akuntansi,

Keuangan Perbankan, Administrasi Bisnis, dan Manajemen

Pemasaran. Materi modul praktikum Statistika hampir sama

namun berbeda pada contoh-contoh penerapan soal,

disesuaikan dengan program studi yang terkait.

Berdasarkan kurikulum KKNI, lulusan D III berada pada

posisi level lima dan lulusan D IV berada pada posisi level

enam dari sembilan level jenjang kualifikasi yang

disarankan dalam KKNI. Berdasarkan tabel 2, perbedaan

yang sangat mencolok dari kompetensi D III dan D IV

adalah terletak pada tugas “pengambilan keputusan yang

tepat berdasarkan analisis informasi dan data, serta mampu

memberikan petunjuk dalam memilih berbagai alternatif

solusi secara mandiri dan kelompok”. Kondisi ini memberi

indikasi pada kompetensi Statistika yang harus dimiliki.

Hal inilah yang menjadi pembeda modul praktikum

Statistika untuk program D III dan program D IV. Pada

program D IV, materi Statistika secara teori lebih

Page 304: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

295

difokuskan pada analisis masalah sampai pada pengambilan

keputusan. Begitu pula pada materi modul praktikum, pada

program D IV dibahas latihan soal lebih bervariasi dengan

tingkat analisis yang lebih dalam dibandingkan program D

III.

Namun kendalanya adalah jumlah jam dan beban SKS

untuk D IV sama dengan D III sehingga dengan adanya

modul praktikum Statistika ini diharapkan menjadi salah

satu alternatif solusi, dimana mahasiswa D IV dapat

mengerjakan latihan soal secara mandiri dengan

menggunakan Kalkulator, MS Excell, dan SPSS.

Mahasiswa dapat menanyakan hal-hal yang tidak difahami

kepada dosen, jadi dalam hal ini dosen bertindak sebagai

fasilitator. Diharapkan dengan adanya modul praktikum

Statistika, dapat meningkatkan pemahaman mahasiswa

tentang teori Statistika dan dapat melatih kemandirian

mahasiswa. Dari segi waktu, penyampain materi dari

dosen lebih efektif dan efisien dan secara tidak langsung

keberadaan modul praktikum ini dapat meningkatkan

kemampuan profesional lulusan

Politeknik khususnya untuk olah data sehingga dapat

mendukung dalam dunia kerja nanti.

5. KESIMPULAN

1. Kebutuhan Statistika untuk tiap program studi di

Politeknik pada dasarnya hampir sama (tabel 1).

Namun untuk program D III dan D IV terdapat

perbedaan, bertitik tolak dari kerangka kompetensi

yang diacu yaitu KKNI. Pada program D IV,

materi dipertajam pada analisis penyelesaian

masalah sampai pengambilan keputusan.

2. Modul praktikum Statistika bidang Tata Niaga

untuk program studi Akuntansi, keuangan dan

Perbankan, Administrasi Bisnis, dan Manajemen

Pemasaran berisikan: petunjuk penggunaan, tujuan

praktikum, kompetensi yang diharapkan sesuai

dengan kebutuhan masing-masing program studi.

6. SARAN

1. Perlu ditinjau kembali mengenai jumlah jam dan

beban SKS program D III dan D IV bidang Tata

Niaga untuk mata kuliah Statistika Bisnis terkait

kompetensi yang diharapkan dari KKNI.

2. Keberadaan modul praktikum Statistika

diupayakan juga untuk mata kuliah Statistika

program studi Rekayasa.

Tabel 4. Matriks Kompetensi Statistika yang Disesuaikan Kompetensi Kurikulum KKNI untuk Tiap Jenjang Pendidikan.

J L Deskripsi Identifikasi

Kompetensi Kurikulum

Identifikasi Kompetensi Statistika

D-III 5 )Mampu menyelesaikan pekerjaan berlingkup luas,

memilih metode yang sesuai

dari beragam pilihan yang sudah maupun belum baku

dengan menganalisis data, serta

mampu menunjukkan kinerja dengan mutu dan kuantitas

yang terukur

Menguasai konsep teoritis bidang pengetahuan tertentu

secara umum, serta mampu

memformulasikan penyelesaian masalah prosedural.

)Mampu mengelola kelompok

kerja dan menyusun laporan tertulis secara komprehensif;

Bertanggung jawab pada

pekerjaan sendiri dan dapat diberi tanggung jawab atas

pencapaian hasil kerja

kelompok

Menguasai dasar-dasar ilmiah disiplin ilmu dalam bidang keahlian

tertentu;

a)mampu melaksanakan pekerjaan serta memformulasikan penyelesaian

masalah prosedural dengan

keterampilan yang sesuai dengan bidang keahliannya; serta mampu

mengelola kelompok kerja;

b)mampu memilih metode yang baku maupun belum baku dalam

cakupan bidang keahlianya;

a)mampu berkomunikasi dan menyusun laporan tertulis dalam

lingkup kerjanya;

b)mampu bersikap dan berperilaku dalam masyarakat dan dalam

karirnya sesuai dengan norma yang

berlaku; c)mampu mengikuti secara umum

perkembangan ilmu pengetahuan,

teknologi, dan/atau seni.

)mampu menganalisis data secara deskriptif , tabel dan grafik serta dapat

menginterpretasikannya.

)memahami konsep angka indeks )memahami konsep sampling dan

distribusinya

)mampu melakukan estimasi parameter dan pengujiannya )menganalisis data dengan

analisis korelasi dan regresi linear

sederhana dan melakukan peramalan )mampu melakukan uji perbedaan

)mampu melakukan uji Chi Kuadrat

D IV 6 )Mampu mengaplikasikan

bidang keahliannya dan

memanfaatkan IPTEKS pada

bidangnya dalam penyelesaian

masalah serta mampu beradaptasi terhadap situasi

yang dihadapi.

)menguasai dasar-dasar ilmiah

disiplin ilmu dalam bidang keahlian

tertentu dan dasar-dasar ilmiah

khusus dalam bidang keahlian

tersebut; )mampu memecahkan masalah

dengan keterampilan yang sesuai

)mampu menganalisis data secara deskriptif

dan dapat menginterpretasikannya.

) memahami konsep angka indeks

)memahami konsep sampling dan

distribusinya )mampu melakukan estimasi parameter dan

pengujiannya

Page 305: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

296

)Menguasai konsep teoritis

bidang pengetahuan tertentu secara umum dan konsep

teoritis bagian khusus dalam

bidang pengetahuan tersebut secara mendalam, serta mampu

memformulasikan penyelesaian

masalah prosedural. )Mampu mengambil keputusan

yang tepat berdasarkan analisis

informasi dan data, dan mampu memberikan petunjuk dalam

memilih berbagai alternatif

solusi secara mandiri dan

kelompok; Bertanggung jawab

pada pekerjaan sendiri dan

dapat diberi tanggung jawab atas pencapaian hasil kerja

organisasi.

dengan bidang keahliannya; melalui

merencanakan dan/atau merancang, melaksanakan, serta

mempertahankan argumentasi; serta

mampu mengelola organisasi; )mampu merencanakan,

melaksanakan, mengevaluasi dan

melaporkan pekerjaannya, serta memilih solusi secara mandiri

maupun berkelompok dalam

cakupan bidang keahlianya; )mampu berkomunikasi dan

mengambil keputusan serta memberi

petunjuk;

a)bersikap dan berperilaku dalam

masyarakat dan dalam karirnya

sesuai dengan norma yang berlaku; b)mampu mengikuti perkembangan

ilmu pengetahuan, teknologi, dan/atau seni.

)mampu menganalisis data dengan analisis

korelasi dan regresi linear sederhana dan regresi linear berganda selanjutnya

melakukan peramalan

)mampu melakukan uji perbedaan dari beberapa data sebagai dasar pengambilan

keputusan

)melakukan uji Chi Kuadrat )Menguji kesamaan rata-rata data lebih dari

dua sampel dengan ANOVA

) membuktikan kebenaran suatu elemen pernyataan yang dikatakan valid atau tidak

dan konsistensi atau keteraturan hasil

pengukuran suatu instrumen dengan

Reliabilitas dan Validitas (desain kuesioner

untuk perencanaan survey)

)Menguji data dengan skala ordinal dan nominal dengan Uji Non Parametrik

UCAPAN TERIMA KASIH

Ucapan terima kasih penulis sampaikan kepada:

UPPM Polban yang telah memberi kesempatan kepada

penulis untuk melakukan penelitian ini.

Reviewer yang telah banyak memberi masukan yang

sangat berarti demi terlaksananya penelitian ini

DIKTI sebagai pihak pemberi dana

Politeknik Negeri Bandung sebagai instansi terkait

DAFTAR PUSTAKA

[1] Dina Mustafa. 2004. Strategi Praktis Evaluasi

Program Pembelajaran Online.

[2] (Makalah). Jakarta: PAU UT.

[3] Fischer, Jan. 2008 . The UNSC High level forum.

Norway.

[4] Government Statistical Service, 2012. New

Statistician Competence Framework.

[5] Hidayati Kana dkk, 2007 .Peningkatan Kualitas

Pembelajaran Komputasi Statistik Melalui

Perkuliahan Online Pada Program Studi

Matematika FMIPA UNY.

[6] Jurusan Pendidikan Matematika FMIPA UNY

[7] KUNTZE, Sebastian, LINDMEIER, Anke, and

REISS, Kristina. 2009. ―using models and

representations in statistical contexts‖ as a sub-

competency of statistical literacy – results from

three empirical studies”.University of Munich

(LMU) Germany.

[8] Moore S David, 2009, Statistical literacyAnd

Statistical Competence.

[9] in the New Century.Purdue University, USA.

[10] Mursid.(2007). Pengembangan Kurikulum

Politeknik, (Makalah SUSPIM: disarikan dari draf

Pedoman Pengembangan Kurikulum Pendidikan

Diploma, DIKTI), Bandung :Politeknik Negeri

Bandung.

[11] Panduan Pelaksanaan Penelitian di Perguruan

Tinggi, Direktorat Penelitian dan Pengabdian kepada

Masyarakat Direktorat Jenderal Pendidikan Tinggi

Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan 2012.

[12] Partha,2012. Pemanfaatan MS Excell sebagai Media

Pembelajaran Matematika (Statistika Dasar),

http://partha31.wordpress.com/2012/02/04/.

[13] Singgih Santoso. 2006. Menguasai Statistika di Era

Informasi dengan SPSS 14. Gramedia Jakarta

[14] Sunaryo Sunarto, .2004. Pembelajaran Berbantuan

Komputer (Makalah).

[15] Santoso Megawati. 2012. Tim KKNI Ditjen Dikti,

Kemendikbud.

[16] Wahyono. Teguh, 2009, 25 Model Analisis Statistik

dengan SPSS 17, Elex Media Komputindo.

Page 306: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

297

Analisis Kinematika Gerak Pusat Massa Tubuh Manusia

Saat Berjalan

Sardjitoa, Nani Yuningsih

a, Kunlestiowati Hadiningrum

a

aUP MKU, Politeknik Negeri Bandung, Bandung 40012

E-mail:[email protected]

ABSTRAK

Untuk mendeskripsikan fenomena fisis yang terjadi pada suatu sistem, perlu dibuat model penyederhanaan dari sistem tersebut,

baik secara visual maupun matematis. Dengan demikian analisis terhadap sistem lebih mudah dilakukan. Model fenomena

fisika terhadap gejala-gejala biologi, dapat dirumuskan melalui konsep-konsep yang berlaku secara umum dalam ilmu

fisika.Model kinematika bagi gerak manusia yang berjalan melangkah secara teoritis dapat diturunkan dari persamaan

Lagrangian yang melibatkan energi kinetik dan energi potensialnya. Analisis teoritik didasarkan pada analogi gerak tubuh

dengan model osilasi, yang daripadanya dapat dibuat persamaan gerak, kemudian ditentukan solusinya baik secara analitik

maupun numerik. Analisis eksperimental dilakukan dengan mengamati rekaman video, serta pengukuran terhadap posisi titik

pusat massa tubuh.

Model geraknya menunjukkan adanya osilasi pusat massa tubuh baik pada arah mendatar maupun pada arah vertikal. Hasil

pengujian teoritis dicocokkan dengan data eksperimen untuk memperoleh model biomekanika yang tepat bagi kondisi gerak

tubuh manusia. Model teoritis ini sesuai dengan hasil pengukuran yang dilakukan menggunakan analisis video terhadap gerak

langkah yang sesungguhnya.

Kata Kunci

Gerak melangkah, osilasi, pusat massa tubuh

To describe physical phenomena that occur in a system,it is necessary to simplify models of the system, both visually and

mathematically. Thus analysis of the system much more easy. Models of physical phenomena applied to biological phenomena,

can be formulated through the concepts are generally applicable in the physical sciences. Kinematic modeling for human

walking motion during gait has been developed theoretically from Lagrange Equation including its kinetic and potential

energy. Theoretical analysis based on an analogy with the model oscillating motion of the body, which may be made of

equations of motion, resulting solution which is determined both analytically and numerically. Experimental analysis is done

by observing video footage, as well as the measurement of the position of the center of mass of the body.

This model shows that the centre of mass of human during gait oscillates in vertical direction as well as in horizontal

direction. Theoretical results is matched to experimental data in order to obtain the proper biomechanical models for the state

of motion of the human body.This model is in confirmation with empirical data resulting from measurement using gait video

analysis.

Keywords

Gait motion, oscillation, human centre of mass

1. PENDAHULUAN

Gejala alam pada umumnya tidak cukup dijelaskan secara

deskriptif., tetapi justru banyak gejala alam yang lebih

mudah dipahami melalui pemodelan, baik model visual

maupun matematis. Melalui model tersebut, dapat

dilakukan pengembangan lebih lanjut. Hampir semua

bidang ilmu, baik ilmu dasar maupun ilmu terapan,

termasuk fisika, dapat dijelaskan dan dikembangkan

melalui pemodelan visual dan matematis. Untuk

mendeskripsikan fenomena fisis yang terjadi pada suatu

sistem, dapat dijelaskan melalui suatu model

penyederhanaan dari sistem tersebut.

Model fisika dari gerakan yang terjadi pada tubuh manusia

telah diteliti oleh Borg F.G[1]

yang kemudian dikembangkan

lebih jauh oleh Sardjito & Yuningsih[2]

. Pada saat berdiri,

tubuh manusia dapat dimodelkan sebagai bandul fisis yang

berayun ke arah depan-belakang, maupun pada arah

samping kiri-kanan, dengan poros ayunannya terletak pada

sendi ankle. Model osilasi bebas dari titik berat tubuh

ternyata harus dikoreksi dengan adanya beberapa gaya

pengontrol (yang dilakukan oleh tendon Achilles) menjadi

osilasi paksa.

Perbandingan antara amplitudo gerak arah vertikal dengan

amplitudo gerak arah mendatar akan menentukan keadaan

batas antara kondisi berjalan dan berlari.

Page 307: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

298

Model fisis yang diusulkan oleh Sardjito & Yuningsih ini

ternyata sesuai dengan data empirik yang diteliti di bidang

medis dan paramedis dalam kaitannya dengan terapi medis

bagi para penyandang kelainan tubuh(2,3,4)

. Dengan

demikian, diharapkan model yang telah dan akan

dikembangkan akan saling mendukung dengan kegiatan

yang dilakukan para ahli terapi medis terhadap para

pasiennya.

Berdasarkan uraian di atas, perlu dilakukan pendekatan

kuantitatif untuk menjelaskan berbagai gejala biomekanika

yang terjadi, dengan metoda analitik yang banyak

dilakukan dalam fenomenologi sains & teknik. Model yang

pernah diteliti belum sepenuhnya sesuai dengan kondisi

sesungguhnya yang terjadi, karena pendekatannya masih

memerlukan beberapa koreksi (dengan memasukkan

komponen gaya paksa dari luar dan dengan menerapkan

teori gangguan). Pengukuran yang lebih teliti akan

dilakukan dengan mengacu pada metoda yang pernah

dilakukan oleh Verkerke(5)

untuk menentukan titik pusat

tekanan tubuh pada saat bergerak di atas treadmill, serta

analisis video berdasarkan konten.

Penelitian ini dilakukan untuk mendapatkan model gerak

manusia saat berjalan. Untuk meninjau gerak pusat massa

tubuh manusia saat berjalan atau melangkah melalui

analisis kinematika yang menghasilkan model yang paling

sesuai dengan kondisi geraknya adalah model gerak selaras

atau gerak harmonik. Gard dalam Gatev et al.[3]

memperlihatkan bahwa gerak pusat massa tubuh manusia

saat melangkah mendekati kondisi osilasi harmonik baik

pada arah mendatar maupun arah vertikal. Amplitudo gerak

vertikal titik pusat massa akan bertambah besar seiring

dengan bertambahnya laju gerak horizontal. Bila laju

horizontal makin diperbesar, suatu saat akan terjadi

perubahan status gerak dari berjalan menjadi berlari.

Kondisi ini berkaitan erat dengan perbandingan antara

amplitudo vertikal dengan amplitudo horizontal.

2. ANALISIS TEORITIS GERAK MELANGKAH

PADA SAAT MANUSIA BERJALAN

Jika tubuh manusia berjalan dengan laju tunak (steady

state) v maka persamaan gerak:

Ke arah horisontal dapat ditulis sebagai

vttx (1)..................................................................(1)

Ke arah vertikal

hty , .....................................................................(2)

Dengan h adalah tinggi pusat massa dihitung dari acuan.

Dari kedua persamaan diatas diperoleh persamaan resultan

tR . Besar perpindahannya dapat ditulis sebagai:

trtRtr ....................................................(3)

Jika ada gaya penggerak tubuh sebagai gaya luar sebesar

tF , maka gaya reaksi oleh tanah adalah

mgtFtF ...................................................(4)

Gaya penggerak tubuh ini dilakukan oleh sistem internal

tubuh dari kontraksi otot tendon dan karena setiap langkah

merupakan siklus, maka perata-rataannya adalah nol agar

kondisi tunak (steady state) tetap terpenuhi. Dalam bentuk

matematika dapat ditulis sebagai berikut :

01

0

dttFT

tFsiklusT

siklussiklus

,........................(5)

Dengan : siklusT perioda siklus yakni waktu tempuh satu

langkah penuh dan akan merupakan fungsi dari laju, maka

dapat ditulis sebagai vTsiklus .

Jika gerak pusat massa dianggap harmonik, energi potensial

elastiknya akan memiliki bentuk:

22

2

1yxkU , ............................................(6)

dengan k adalah koefisien kekakuan yang merupakan

fungsi dari v .

Sedangkan energi kinetiknya akan memiliki bentuk

persamaan:

22

2

1yxmK ,............................................(7)

Dengan:

t

xx

t

yy

Berdasarkan kaidah Lagrangian, UKL , konstan,

dengan 0

t

L,

diperoleh ,0 rkrm .......................................(8)

Dengan :

2

2

t

rr

dan yxr

Persamaan (8) merupakan persamaan gerak getaran

harmonik yang solusi geraknya:

2cos

tAtx o

A = amplitudo arah mandatar

dan

Page 308: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

299

,2

sin

tBty o

B = amplitudo arah vertikal

Dengan mk

siklus

oT

2

atau 2

mk , dan

m = massa tubuh.

Untuk gerak harmonik, gaya penggeraknya memiliki

bentuk

rktF . ..........................................................(9)

Pada arah horisontal, komponennya

txmtF ox 2

,

dan pada arah vertikal, komponennya

tymtF oy 2

.

Bentuk lintasan titik pusat massa tubuh, secara implisit

mempunyai persamaan :

Arah horisontal

2cos

tAvttx o

....................(10.a)

Arah vertikal

2sin

tBhty o

....................(10.b)

3. ANALISIS KINEMATIKA HASIL PENGUKURAN

SIMPANGAN PUSAT MASSA TUBUH SAAT

MELANGKAH

Untuk memeriksa keberlakuan model teoritis yang

diperoleh pada persamaan 10.a dan 10.b di atas, dilakukan

pengukuran simpangan gerak pusat massa tubuh manusia

saat bergerak melangkah. Pengukuran dilakukan

menggunakan analisis video menggunakan piranti SIMI 7,0

terhadap beberapa sampel yang bergerak melangkah selama

beberapa perioda gerak, dengan kelajuan yang diusahakan

konstan, dan konsekuensi frekuensi sudut.ωo pun konstan.

ωo = 2π/T , adalah frekuensi sudut osilasi yang

bersangkutan, dengan T menyatakan perioda. Untuk gerak

satu langkah, T adalah tengat waktu tiap langkah, sejak

kaki terlepas kontak dari tanah hingga kembali menyentuh

tanah secara berturutan. Oleh karena itu perioda T untuk

osilasi mendatar sama besarnya dengan perioda T untuk

osilasi vertikal.

Dari hasil pengukuran menggunakan analisis video

terhadap gerak pusat massa tubuh, bentuk lintasan gerak

pusat massa secara mendatar dapat dilihat pada gambar 1

berikut ini. Absis menyatakan waktu atau fase gerak, dalam

% langkah, sedang ordinat menyatakan simpangan pusat

massa arah mendatar dengan mengeliminasi kelajuan

mendatar seluruh tubuh (v).

Gambar 1:Simpangan pusat massa tubuh arah mendatar

Terlihat bahwa osilasi pusat massa tubuh arah mendatar

menunjukkan simpangan minimum pada pertengahan

langkah, sedang pada tahap awal dan akhir langkah,

simpangannya berada pada keadaan maksimum.

Gambar 2.a dan 2.b berikut ini menunjukkan hasil

pengukuran simpangan vertikal pusat massa terhadap fase

langkah.

Gambar 2.a: Simpangan vertikal gerak pusat massa tubuh

terhadap fase langkah

Gambar 2.b: Simpangan vertikal gerak pusat massa tubuh

terhadap fase langkah

Berbeda dengan gerak osilasi arah mendatar yang

simpangannya mencapai minimum di tengah-tengah fase

-6

-4

-2

0

2

4

6

0 0,5 1 1,5

0

20

40

60

80

0 0,5 1 1,5

0

50

100

150

0,1 0,2 0,3 0,4 0,5 0,6 0,7 0,8 0,9 1

Page 309: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

300

langkah, pada osilasi arah vertikal pusat massa tubuh

manusia mencapai simpangan terbesar pada pertengahan

fase langkah.

Gambar 3 ( kutipan dari hasil penelitian Gard et al, dalam

Gatev[3]

) memperlihatkan bahwa amplitudo gerak vertikal

titik pusat massa akan bertambah besar seiring

bertambahnya laju gerak horizontal. Bila laju horizontal

makin diperbesar, suatu saat akan terjadi perubahan status

gerak dari berjalan menjadi berlari. Hal ini terkait erat

dengan perbandingan antara amplitudo vertikal dengan

amplitudo horizontal. Hasil yang diperoleh dari penelitian

ini sesuai dengan apa hasil penelitian Gard di atas.

Gambar 3: Simpangan vertikal pusat massa tubuh saat

berjalan terhadap waktu untuk berbagai laju gerak

horisontal

Jika tinjauan dibatasi pada osilasi titik pusat massa saja,

dengan mengeliminasi parameter t, maka akan didapat

persamaan lintasan antara simpangan mendatar (x) terhadap

simpangan vertikal (y), sebagai :

𝑥2

𝐴2 + 𝑦2

𝐵2 = 1..................................................................(11)

Persamaan 11 di atas jika digambarkan akan berbentuk

ellips dengan perbandingan antara panjang sumbu datar dan

sumbu tegak yang bervariasi, bergantung pada nilai A dan

B. Hasil empirik dari analisis video terhadap gerak pusat

massa yang menyatakan hubungan antara simpangan datar

(x) dengan simpangan tegak (y) diperlihatkan pada gambar

4 berikut :

Gambar 4: Posisi pusat massa tubuh ditinjau dari

simpangan mendatar(x-absis)

dan simpangan vertikal (y – ordinat )

Tinjauan terhadap osilasi titik pusat massa tubuh pada arah

vertikal dan arah horizontal dapat mengarah pada kondisi

batas antara model berjalan dan berlari. Tubuh dikatakan

berjalan bila amplitudo gerak osilasi titik pusat massa arah

vertikal masih lebih kecil dari pada amplitudo gerak osilasi

titik pusat massa arah horizontal (x dan y membentuk ellips

yang cenderung datar). Bila bentuk ellips makin meruncing

0

10

20

30

40

50

-4 -2 0 2 4 6

0

10

20

30

40

50

60

70

0 2 4 6

0

20

40

60

80

-4 -2 0 2 4 6

0

10

20

30

40

50

0 1 2 3 4 5

Page 310: Proceeirwsding Irwns 2013 v1

IRWNS 2013

301

kearah tegak, suatu saat ellips akan berubah menjadi

lingkaran, dan ini terjadi pada saat amplitudo vertikal sama

dengan amplitudo horizontal. Pada keadaan ini, terjadi

perubahan status gerak, dari berjalan menjadi berlari,

karena pada saat itu mulai terjadi gerak melayang, yakni

ada fase saat tubuh tidak bersentuhan dengan lantai.

4. KESIMPULAN

Pada saat gerak melangkah atau berjalan, pusat massa tubuh

manusia mengalami osilasi baik pada arah mendatar

maupun pada arah vertikal. Pada pertengahan fase langkah,

simpangan arah mendatar berada pada kondisi minimum,

sedang simpangan arah vertikal berada pada kondisi

maksimum.

UCAPAN TERIMA KASIH

Makalah ini merupakan bagian dari Kegiatan Penelitian

Fundamental berjudul “Model Biomekanika dari Dinamika

Titik Berat dan Titik Pusat Tekanan Tubuh Manusia Saat

Berdiri, Berjalan, dan Berlari”. Penulis mengucapkan

terimakasih yang sebesar-besarnya kepada Direktur

Penelitian dan Pengabdian Kepada Masyarakat, Direktorat

Jenderal Pendidikan Tinggi, Kementerian Pendidikan dan

Kebudayaan Republik Indonesia yang telah memberikan

kepercayaan melalui Hibah Penelitian Fundamental Tahun

Anggaran 2013 kepada tim penulis. Tidak lupa juga penulis

mengucapkan terimakasih kepada Politeknik Negeri

Bandung melalui UPPM yang telah memfasilitasi penelitian

ini.

DAFTAR PUSTAKA

[1] Borg F.G., ( 2005 ), An Inverted Pendulum With A

Springly Control Model, arXiv:physics/0512122v1, 14

Dec 2005.

[2] Sardjito, Yuningsih N., ( 2007 ), Model Bandul

Terbalik Bagi Keadaan Manusia Berdiri, Sigma Mu,

1(2),2007, pp 35-41.

[3] Gatev P. et.al., ( 2001 ), Journal of Physiology 532-

2001, pp.879-891.

[4] Kotaro S, Neptune R.R., ( 2006 ), Differences in

muscle function during walking and running at the

same speed, Journal of Biomechanics 39(11), p 2005-

2013.