problem pokok masalah produksi
DESCRIPTION
produksiTRANSCRIPT
1
PROBLEM POKOK MASALAH PRODUKSI
Masalah pokok ekonomi dapat ditinjau dari 2 sudut pandang:
Menurut Teori Klasik, yang dipelopori oleh Adam Smith terdiri dari :
1. PRODUKSI
Produksi adalah segala tindakan yang ditujukan untuk meningkatkan nilai guna / manfaat dari
suatu barang. Karena sifat manusia yang tidak pernah mengalami tingkat kepuasan yang
hakiki, maka berapapun yang diproduksi selalu tidak pernah mencukupi kebutuhan manusia;
sehingga selama itu pula produksi menjadi masalah pokok ekonomi.
2. DISTRIBUSI
Distribusi adalah segala kegiatan yang ditujukan untuk menyampaikan atau menyalurkan
barang hasil produksi dari produsen hingga sampai ke tangan konsumen akhir/pemakai.
3. KONSUMSI
Konsumsi adalah segala tindakan yang tujuannya menghabiskan atau mengurangi nilai guna
suatu barang.
Kegiatan konsumsi dipengaruhi oleh 2 faktor :
1. Faktor Internal, seperti : pendapatan, selera karakter, kepribadian, motivasi.
2. Faktor Eksternal, seperti : kebudayaan, peradaban, lingkungan, status sosial, kebijakan
pemerintah, dll.
Menurut Teori Modern
Menurut Paul A Samuelson, seorang pakar ekonomi, membedakan masalah pokok yang dihadapi
oleh perekonomian, yaitu :
1. Apa yang akan diproduksi (What) Karena keterbatasan sumber daya faktor produksi, maka
harus hal yang tidak mungkin akan memproduksi sebanyak-banyaknya, maka harus
dilakukan pemilihan barfang apa yang harus diproduksi serta berapa jumlahnya.
2. Bagaimana proses produksinya (How) Hal ini sangat tergantung dari ketersediaan sumber
daya faktor produksi dari setiap wilayah/negara. Bagi negara maju akan menggunakan faktor
2
produksi padat modal dengan teknologi majunya, sementara bagi negara yang berkembang
akan menerapkan teknologi menengah tanpa mengesampingkan pendayagunaan sumber daya
manusia yang ada sehingga tidak terjadi pengangguran yang tinggi.
3. Untuk siapa hasil produksi ditujukan (for Whom) Untuk masalah yang satu ini, pertimbangan
ditujukan bagaimana caranya agar hasil produksi dapat memenuhi kebutuhan utama
masyarakat serta dengan tingkat harga yang terjangkau oleh masyarakat yang menjadi pangsa
pasarnya.
Menurut kamariddin Hidayat dkk, masalah ekonomi pada umumnya mencakup:
1. Jenis barang dan jasa yang dihasilkan
Barang dan jasa yang dihasilkan haruslah barang dan jasa yang tidak dilarang oleh agama, seperti
barang konsumsi yang diharamkan (misalnya minuman keras, jasa hiburan yang melanggar
kesusilaan). Barang dan modal yang digunakan hendaknya juga modal yang tidak dipergunakan
ntu menghasilkan barang – barang haram.
2. System organisasi produksi barang dan jasa
Islam pada dasarnya menganut system organisasi produksi yang relative menjamin kebebasan.
Karena hak milik pribadi diakui dalam islam,mak a islam mengakui pula pemilikan factor –
factor produksi pada pribadi – pribadi.bahkan pada dasarnya, islam mengizinkan orang ataupun
perserikatan orang (individu atau lembaga usaha), untuk mengorgnisasikan factor – factor
produksi dalam usaha menaikkan nilai barang atau jasa, gunamemenuhi kebutuhan masyarakat
dengan tujuan mencapai laba. Laba yang wajar adalah halal dalam islam.Islam meghendaki harga
dari factor – factor produksi tersebut terbentuk secara adil.
3. System distribusi yang dipakai
Islam mengakui adanya lembaga perdagangan sebagai system distribusi barang dan jasa dengan
menggunakan alat ukur berupa uang. Namun perdagangan ini harus dilaksanakan dengan
menganut asas keadilan. Asas keadilan, pembagian kesejahteraan diantara kelompok masyarakat
terdapat juga kewajiban zakat.pemerataan dalam memperoleh pendapatan tercermin dalam
prinsip larangan ntuk menarik laba secara eksploitatif,larangan untuk membayar upah terlalu
rendah dan larangan untuk menetapkan harga terlalu tinggi. Zakat fitrah sebenarnya juga
mekanisme ekonomi yang dilakukan secara social. Zakat perniagaan merupakan
instrumenekonomi yang penting dalam mengatasi gejala inflasi dan depresi.
3
Terdapat perbedaan penting antara sistem ekonomi Islam dengan sistem ekonomi lainnya,
khususnya Kapitalisme, dalam memandang apa sesungguhnya yang menjadi permasalahan ekonomi
manusia. Menurut sistem ekonomi kapitalis, permasalahan ekonomi yang sesungguhnya adalah
kelangkaan (scarcity) barang dan jasa. Alasannya, setiap manusia mempunyai kebutuhan yang
beranekaragam dan jumlahnya tidak terbatas, sementara sarana pemuas (barang dan jasa) yang
digunakan untuk memenuhi kebutuhan manusia terbatas. Kebutuhan yang dimaksud mencakup
kebutuhan (need) dan keinginan (want). Menurut pandangan ini, pengertian antara kebutuhan (need)
dan keinginan (want) adalah dua hal yang sama, yakni kebutuhan itu sendiri. Setiap kebutuhan yang
ada pada diri manusia menuntut untuk dipenuhi oleh alat-alat dan sarana-sarana pemuas kebutuhan
yang jumlahnya terbatas. Karena kebutuhan manusia jumlahnya tidak terbatas, sementara alat dan
sarana yang digunakan untuk memenuhinya terbatas, maka muncullah konsep kelangkaan.
Dari pandangan tersebut di atas, sistem ekonomi kapitalis menetapkan bahwa problem
ekonomi akan muncul pada setiap individu, masyarakat, atau negara karena adanya keterbatasan
barang dan jasa untuk memenuhi kebutuhan yang tidak terbatas. Oleh karena itu, lantas disimpulkan
bahwa problem ekonomi yang sesungguhnya adalah akibat adanya kelangkaan (scarcity).
Dari pandangan demikian, muncul pula solusi untuk memecahkan problem ekonomi tersebut
yang menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan. Tujuannya adalah untuk meningkatkan
barang dan jasa agar dapat memenuhi kebutuhan tersebut.
Perhatian sistem ekonomi kapitalis yang begitu besar terhadap aspek produksi dan
pertumbuhan ekonomi ini justru sering mengabaikan aspek distribusi dan kesejahteraan masyarakat
banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada para konglomerat.
Alasannya, pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi
konglomerasi, sebaliknya sulit dan lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan
menengah.
Karena sangat mengandalkan pada pertumbuhan ekonomi suatu negara, maka sistem
ekonomi kapitalis tidak lagi memperhatikan apakah pertumbuhan ekonomi yang dicapai betul-betul
real, yakni lebih mengandalkan sektor real, ataukah semu, yakni mengandalkan sektor non-real
(sektor moneter). Dalam kenyataannya, dalam sistem ekonomi kapitalis, pertumbuhan yang terjadi
lebih dari 85 persennya ditopang oleh sektor non-real, sementara sisanya sektor real. Akibatnya,
4
ketika sektor moneter ambruk, ekonomi negara-negara yang menganut sistem ekonomi kapitalis juga
ambruk.
Berbeda dengan sistem ekonomi kapitalis, sistem ekonomi Islam menetapkan bahwa problem
ekonomi yang utama adalah masalah rusaknya distribusi kekayaan di tengah masyarakat. Menurut
Islam, pandangan sistem ekonomi kapitalis yang menyamakan pengertian kebutuhan (need) dengan
keinginan (want) adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta. Keinginan (want) manusia
memang tidak terbatas dan cenderung untuk terus bertambah dari waktu ke waktu. Sementara itu,
kebutuhan manusia ada yang sifatnya pokok (al-hâjât al-asasiyah) dan ada yang sifatnya pelengkap
(al-hâjât al-kamaliyah) yakni berupa kebutuhan sekunder dan tersier. Kebutuhan pokok manusia
berupa pangan, sandang, dan papan dalam kenyataannya adalah terbatas. Setiap orang yang telah
kenyang memakan makanan tertentu, pada saat itu sebenarnya, kebutuhannya telah terpenuhi dan dia
tidak menuntut untuk memakan makanan lainnya. Setiap orang yang sudah memiliki pakaian tertentu,
meskipun hanya beberapa potong saja, sebenarnya kebutuhannya akan pakaian sudah terpenuhi.
Demikian pula jika orang telah menempati rumah tertentu untuk tempat tinggal, meskipun hanya
dengan jalan menyewa, sebenarnya kebutuhannya akan rumah tinggal sudah terpenuhi. Jika manusia
sudah mampu memenuhi kebutuhan pokoknya maka sebenarnya dia sudah dapat menjalani
kehidupan ini tanpa mengalami kesulitan yang berarti.
Sementara itu, kebutuhan manusia yang sifatnya pelengkap (sekunder dan tersier) memang
pada kenyataannya selalu berkembang terus seiring dengan tingkat kesejahteraan individu dan
peradaban masyarakatnya. Namun, perlu ditekankan di sini, bahwa jika seorang individu atau suatu
masyarakat tidak mampu memenuhi kebutuhan pelengkapnya, namun kebutuhan pokoknya terpenuhi,
maka individu atau masyarakat tersebut tetap dapat menjalani kehidupannya tanpa kesulitan berarti.
Oleh karena itu, anggapan orang kapitalis bahwa kebutuhan manusia sifatnya tidak terbatas adalah
tidak tepat, karena ada kebutuhan pokok yang sifatnya terbatas selain memang ada kebutuhan
pelengkap yang selalu berkembang dan terus bertambah.
Berbeda halnya dengan kebutuhan manusia. Keinginan manusia memang tidak terbatas.
Sebagai contoh, seseorang yang sudah dapat makan kenyang—kebutuhan akan makanan sudah
terpenuhi—tentunya ia dapat saja menginginkan makanan lainnya sebagai variasi dari makanannya.
Demikian pula seseorang yang telah berpakaian—kebutuhan akan pakaian telah terpenuhi—tentunya
dapat pula menginginkan pakaian lainnya yang lebih bagus dan lebih mahal. Contoh lainnya adalah
seseorang yang telah memiliki rumah tinggal—kebutuhan papannya telah terpenuhi—tentunya dapat
5
saja menginginkan rumah tinggal yang lebih besar dan lebih banyak. Oleh karena itu, kebutuhan
pokok manusia sifatnya terbatas, sementara keinginan manusia memang tidak pernah akan habis
selama ia masih hidup. Oleh karena itulah, pandangan orang-orang kapitalis yang menyamakan antara
kebutuhan dan keinginan adalah tidak tepat dan tidak sesuai dengan fakta yang ada.
Oleh karena itulah, permasalahan ekonomi yang sebenarnya adalah jika kebutuhan pokok
setiap individu masyarakat tidak terpenuhi. Sementara itu, barang dan jasa yang ada, kalau sekadar
untuk memenuhi kebutuhan pokok seluruh manusia, maka jumlah sangat mencukupi. Namun
demikian, karena distribusinya sangat timpang dan rusak, maka akan selalu kita temukan—meskipun
di negara-negara kaya—orang-orang miskin yang tidak mampu memenuhi kebutuhan pokok mereka
secara layak.
Dari pandangan ini solusi pemikiran untuk memecahkan problematika ekonomi tersebut
dengan jalan menitikberatkan pada aspek produksi dan pertumbuhan. Perhatian yang begitu besar
terhadap aspek produksi dan pertumbuhan seringkali justru mengabaikan aspek distribusi dan
kesejahteraan masyarakat banyak. Hal ini dapat dilihat dari keberpihakan yang sangat besar kepada
para konglomerat, sebab pertumbuhan yang tinggi dengan mudah dapat dicapai dengan jalan ekonomi
konglomerasi dan sulit/ lambat jika ditempuh dengan mengandalkan ekonomi kecil dan menengah.
Sebagai contoh dalam kasus makanan, permasalahan ekonomi seolah-olah dianggap sudah
teratasi jika produksi/stok beras sudah lebih dari total kebutuhan rakyat, “Kebutuhan beras tahun ini
akan terpenuhi oleh persediaan yang ada,” kata Suswono, menteri pertanian[2]. Disisi lain apakah
beras tersebut bisa dinikmati oleh rakyat kurang mendapat perhatian, bahkan petani penanam padi di
daerah lumbung padi pun hidup kekurangan, dengan rata-rata hasil bersih Rp. 350 ribu/bulan[3].
Dalam pandangan sistem ekonomi Islam, problematika ekonomi yang utama adalah masalah
pemenuhan kebutuhan pokok setiap warga negara, walaupun pertumbuhan dan produksi barang dan
jasa tinggi, namun bila ada warga negara yang tidak terpenuhi kebutuhan pokoknya, berarti ekonomi
negara tersebut berada dalam masalah.
Oleh sebab itu, solusi problem utama ekonomi sebenarnya adalah bagaimana mengatur
distribusi harta kekayaan sehingga semua individu terpenuhi kebutuhan pokoknya dan kekayaan
tersebut beredar tidak hanya dikalangan orang-orang kaya saja. Banyak ayat al-Quran dan al-Hadits
yang berbicara masalah distribusi kekayaan, diantaranya nash-nash yang memerintahkan manusia
untuk menginfakkan harta dan memberi makan orang-orang fakir, miskin, dan kekurangan, seperti
dalam QS al-Hajj [22]: 28; al-Baqarah [2]: 177, 184, 215; al-Insan [76]: 8, al-Fajr [90]:13-14; dan al-
Maidah [5]: 89. Al-Quran menyatakan bahwa dalam setiap harta terdapat hak bagi orang miskin.
6
Allah Swt. Berfirman : ”Pada harta-harta mereka ada hak untuk orang miskin yang meminta-minta
dan orang miskin yang tidak mendapat bagian” [4] (QS adz-Dzariyat [51]: 19). Islam mencegah
berputarnya harta kekayaan hanya di kalangan ”Supaya harta itu jangan hanya beredar di kalangan
orang-orang kaya saja di antara kalian.” (QS al-Hasyr [59]: 7). Rasulullah saw bersabda: “Tidaklah
beriman kepadaku orang yang bermalam dalam kondisi kenyang, sedangkan tetangga sebelahnya
lapar dan dia mengetahui” (HR. Thabrani dan Al Bazzar dari Anas dg sanad shahih)
Ayat-ayat dan hadits diatas memberikan pemahaman bahwa yyang dipermasalahkan oleh Islam
adalah bagaimana kebutuhan pokok setiap individu rakyat terpenuhi, oleh sebab itu pemecahannya
terletak pada mekanisme distribusi kekayaan di tengah-tengah umat baik melalui mekanisme
ekonomi maupun non ekonomi.
7
Daftar Pustaka
Al Qur’an, Tafsir, Hadits, dll dalam Maktabah Syâmilah
Abdullah, M.H. 1990. Diraasaat fil Fikril Islami. Aman: Darul Bayariq
An Nabhani, T. 2004. Nidzomul Iqtishody Fil Islam. Beirut : Darul Ummah
Al Badri, Abdul Aziz. 1408H. Al Islam Dlominun lil Hâjât. Aman: Darul Bayariq
Zallum, Abdul Qadim. 2004. Al Amwal Fi Dawlati Al Khilafah. Beirut : Darul Ummah
Hizbut Tahrir. 2009. Muqaddimatud Dustur awil Asbaabul Maujibatu lahu. Beirut : Darul Ummah
Al Maliki, Abdurrahman. 1990. Nidzam al Uqubat. Min Mansyurat Hizb at Tahrir
(Disampaikan dalam Konferensi Tokoh Umat 1433H, di Gedung Sultan Suriansyah Banjarmasin, 17
Mei 2012)
[1] kebutuhan (need) dengan keinginan (want) tidaklah bisa disamakan. Keinginan (want) manusia
memang tidak terbatas, namun kebutuhan pokok manusia terbatas, sedang kebutuhan skunder/tersier
memang berkembang.
[2] mediaindonesia.com, 29/10/11. Produksi beras nasional rata-rata 37 juta ton per tahun, sedang
kebutuhan konsumsi rata-rata 3 juta ton. Namun demikian ternyata masih banyak yang tidak mampu
membeli beras sehingga terpaksa makan nasi aking.
[3] m.poskota.co.id (20/12/11)
[4] Yakni orang miskin yang tidak meminta-minta.
[5] Sanad hadits ini diperselisihkan, menurut tahqiq Syu’aib Arna’ut sanadnya lemah karena Abu
Bisyr majhûl, Al Hafidl Ibn Hajar dalam al-Qawl al-Musaddad (hal.22, maktabah syamilah)
mengomentari riwayat di atas, “Abu Bisyr di sini ia adalah Ja’far bin Abi Wahsyiyah, termasuk rijâl
asy-syaykhayn (perowi Bukhory Muslim)”.
[6] Abdul ‘Aziz Al Badri, Al Islam Dlominun lil Hâjât, hal. 9