pro dan kontra

2
Pro dan Kontra terhadap Peningkatan Hukuman bagi Koruptor di Indonesia : Penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi Pro Pada April 2010, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi koruptor karena hal itu sudah diatur dalam Undang- Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui oleh Undang- Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang itu menyebutkan kalau koruptor dapat dihukum mati saat negara dalam keadaan krisis, bencana alam, atau dalam kondisi tertentu. Pelaksana tugas Jaksa Agung Darmono, pada waktu dan tempat yang terpisah, juga menyatakan dukungannya terhadap hukuman mati dan menyatakan bahwa hukuman itu mungkin diterapkan dengan prasyarat bahwa korupsi yang dilakukan sudah mengakibatkan keguncangan sistem perekonomian dan perdagangan. Kontra Penjatuhan hukuman mati bagi koruptor masih menjadi perdebatan di kalangan penegak dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Perdebatan terjadi karena hukuman mati dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusian. HAM diartikan bahwa manusia mempunyai derajat yang sama, tidak melihat apakah ia (manusia) berjenis kelamin perempuan atau laki-laki, miskin, kaya, pejabat, dan lain sebagainya, dengan alasan yang demikian maka manusia mempunyai kesempatan yang sama. Bhatara Ibnu Reza, Koordinator Riset HAM Imparsial, berpendapat bahwa hukuman mati melanggar HAM karena menghilangkan hak untuk hidup yang termasuk dalam rumpun utama hak-hak dasar manusia yang diatur dalam pasal 28A UUD 1945. Koruptor juga adalah manusia yang mempunyai hak dasar yaitu hak untuk hidup seperti manusia lainnya meskipun korupsi

Upload: fista-astrofa

Post on 04-Jan-2016

7 views

Category:

Documents


3 download

DESCRIPTION

Pro dan Kontra

TRANSCRIPT

Page 1: Pro dan Kontra

Pro dan Kontra terhadap Peningkatan Hukuman bagi Koruptor di Indonesia : Penjatuhan hukuman mati bagi pelaku tindak pidana korupsi

ProPada April 2010, Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia Patrialis Akbar menyatakan setuju dengan hukuman mati bagi koruptor karena hal itu sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 yang diperbarui oleh Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001. Undang-undang itu menyebutkan kalau koruptor dapat dihukum mati saat negara dalam keadaan krisis, bencana alam, atau dalam kondisi tertentu. Pelaksana tugas Jaksa Agung Darmono, pada waktu dan tempat yang terpisah, juga menyatakan dukungannya terhadap hukuman mati dan menyatakan bahwa hukuman itu mungkin diterapkan dengan prasyarat bahwa korupsi yang dilakukan sudah mengakibatkan keguncangan sistem perekonomian dan perdagangan.

KontraPenjatuhan hukuman mati bagi koruptor masih menjadi perdebatan di kalangan penegak dan aktivis Hak Asasi Manusia (HAM). Perdebatan terjadi karena hukuman mati dianggap tidak sesuai dengan nilai-nilai kemanusian. HAM diartikan bahwa manusia mempunyai derajat yang sama, tidak melihat apakah ia (manusia) berjenis kelamin perempuan atau laki-laki, miskin, kaya, pejabat, dan lain sebagainya, dengan alasan yang demikian maka manusia mempunyai kesempatan yang sama. Bhatara Ibnu Reza, Koordinator Riset HAM Imparsial, berpendapat bahwa hukuman mati melanggar HAM karena menghilangkan hak untuk hidup yang termasuk dalam rumpun utama hak-hak dasar manusia yang diatur dalam pasal 28A UUD 1945. Koruptor juga adalah manusia yang mempunyai hak dasar yaitu hak untuk hidup seperti manusia lainnya meskipun korupsi merupakan perbuatan yang tercela. Bharata juga menyebutkan kalau efek jera yang diharapkan muncul dalam penerapan hukuman mati juga hanya bersifat sementara. Pada kasus pidana korupsi dan narkotika, hukuman mati hanya akan memberikan kepuasan sementara kepada masyarakat

Sumber:http://www.mahasiswa-indonesia.com/2014/03/pro-kontra-hukuman-mati-di-indonesia.htmlhttp://kambrium.blogspot.com/2009/12/pro-kontra-hukuman-mati-bagi-koruptor.html