presus qonita snnt (autosaved)
DESCRIPTION
SNNTTRANSCRIPT
STRUMA NODUSA NON TOKSIK
Pembimbing :
dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp.B
Disusun Oleh :
Qonita Wachidah G1A211076
FAKULTAS KEDOKTERANUNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
SMF ILMU BEDAHRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO PURWOKERTO
PURWOKERTO
2013
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus yang berjudul
“Struma Nodusa Non Toksik”
Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti Kepanitraan Klinik
Di bagian SMF Bedah
RSUD Prof. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun oleh:
Qonita Wachidah G1A211076
Purwokerto, Maret 2013
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp.B
KATA PENGANTAR
Puji syukur kami panjatkan kepada Allah SWT atas segala karunia dan
rahmat-Nya sehingga penulis dapat menyelesaikan presentasi kasus dengan judul
“Struma Nodusa Non Toksik”. Tujuan penulisan ini untuk memenuhi salah satu
syarat mengikuti Kepanitraan Klinik di bagian Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr.
Margono Soekardjo, Purwokerto.
Dalam kesempatan ini perkenankanlah penulis untuk menyampaikan
ucapan terima kasih kepada :
1. dr. Hj. Fridayati Dewi Mustikawati, Sp.B selaku pembimbing yang telah
memberikan arahan pada presus ini.
2. Teman-teman dan semua pihak yang telah membantu dalam penyusunan
presus ini.
Kami menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus
ini masih jauh dari kesempurnaan serta masih banyak terdapat kekurangan. Kami
berharap semoga presentasi kasus ini dapat memberikan manfaat bagi para
pembaca serta perkembangan ilmu pengetahuan khususnya dalam bidang
kedokteran.
Purwokerto, Maret 2013
Penulis
LAPORAN KASUS
I. IDENTITAS PENDERITA
Nama : Ny. K
Umur : 34 Tahun
Jenis kelamin : Perempuan
Pendidikan terakhir : SD
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Banjaranyar 05/02, Pekuncen
Datang di poli : tanggal 02 Februari 2013
Tanggal periksa : tanggal 03 Februari 2013
No.CM : 722663
II. ANAMNESA
Anamnesis dilakukan secara autoanamnesis tanggal 03 Februari 2013
a.Keluhan Utama : benjolan di leher sebelah kiri depan
b. Keluhan Tambahan: sulit menelan
c.Riwayat Penyakit Sekarang
Sejak 5 (lima) bulan sebelum masuk rumah sakit, penderita
mengeluh terdapat satu buah benjolan di leher sebelah kiri depan.
Benjolan dirasakan semakin membesar. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan sulit menelan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
Sejak benjolan muncul, pasien mengeluhkan dada sering terasa
berdebar-debar, mudah lelah, sering berkeringat, dan berat badan
meningkat.
Keluhan benjolan di tempat lain, suara serak serta sulit bernafas
disangkal. Keluhan mudah gugup, mudah gelisah dan cepat emosi serta
sulit tidur disangkal.
d. Riwayat Penyakit Dahulu
- Riwayat keluhan yang sama disangkal
- Riwayat operasi sebelumnya disangkal
- Riwayat penyakit hipertensi disangkal
- Riwayat penyakit DM disangkal
- Riwayat penyakit ginjal disangkal
- Riwayat penyakit paru disangkal
- Riwayat penyakit jantung disangkal
e.Riwayat Sosial
- Pasien tinggal serumah dengan suami dan anak - anaknya
- Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga.
- Pengetahuan pasien dan keluarga mengenai kesehatan terutama
mengenai kelenjar tiroid dan pembesara kelenjar tiroid masih cukup
rendah.
f. Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita keluhan yang sama.
g. Riwayat Pemakaian Obat
Pasien belum pernah berobat ntuk mengobati keluhan yang dirasakannya
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan darah = 100/60 mmHg
Respirasi = 20 kali/menit
Nadi = 86 kali/menit, reguler
Suhu = 36,8 oC
a. Status generalis
1. Kepala : Simetris, mesocephal, rambut tidak mudah dicabut.
2. Mata : Conjungtiva anemis (-/-), sklera ikterik (-/-), pupil bulat
isokor 3 mm/ 3 mm, reflek cahaya (+/+)
3. Hidung : Discharge (-), deviasi septum nasi (-)
4. Telinga : Simetris kanan kiri, discharge (-)
5. Mulut : Sianosis (-), lidah kotor (-)
6. Leher
Inspeksi : Trakea di tengah, terdapat benjolan di leher sebelah kiri,
bentuk lonjong, diameter ± 5 cm, benjolan ikut bergerak saat pasien
melakukan gerakan menelan
Palpasi : benjolan teraba kenyal, mobile, batas tegas, nyeri ekan (-)
7. Thorak
1) Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis teraba SIC V LMC sinistra
Perkusi : Batas kanan atas SIC II LPSD
Batas kiri atas SIC II LPSS
Batas kanan bawah SIC IV LPSD
Batas kiri bawah SIC V 2 jari medial LMCS
Auskultasi : S1 > S2 , reguler, bising (-), gallop (-)
2) Paru
Inspeksi : Simetris, ketinggalan gerak (-), tidak ada benjolan
Palpasi : Vokal fremitus kanan = kiri, nyeri tekan (-)
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Batas paru-hepar SIC V dextra
Auskultasi : Suara dasar vesikuler, suara tambahan ronkhi (-/-),
Wheezing (-/-)
8. Abdomen
Inspeksi : datar, venektasi (-), sikatrik (-)
Auskultasi : Bising usus (+) normal
Perkusi : Timpani di seluruh lapang abdomen
Palpasi : Supel, nyeri tekan (-)
Ekstremitas
Superior : Edema (-/-)
Inferior : Edema (-/-)
Turgor kulit : cukup
Akral : hangat
Vertebrae : Tidak ada kelainan
9. Status vegetatif
BAK : (+)
BAB : (+)
Flatus : (+)
b. Status lokalis Regio Colli
Inspeksi : terlihat benjolan di leher sebelah kiri depan, bentuk lonjong
diameter ± 5 cm, ikut bergerak saat pasien menelan ludah
Palpasi : benjolan teraba kenyal, mobile, batas tegas, nyeri tekan (-)
c. Indeks Wayne
Gejala + Tanda + -
Dispneu d’effort +1 Tiroid teraba +3 -3
Palpitasi +2 Bising Tiroid +2 -2
Mudah lelah +3 Exophtalmus +2 -
Lebih suka hawa panas -5 Retraksi palpebra +2 -
Lebih suka dingin +5 Kelambatan palpebra +1 -
Berkeringat banyak +3 Hiperkinesis +4 -2
Nafsu makan
bertambah
+3 Tangan panas +2 -1
Nafsu makan
berkurang
-3 Tangan lembab +1 -1
Berat badan
bertambah
+3 Denyut nadi sewaktu
<80/menit -3 -
80-90/menit - -
>90/menit +3 -
Fibrilasi atrium +4 -
Jumlah: 18
Nilai: ≥19: hipertiroid, 11-19: eutiroid, <11: hipotiroid
IV. RESUME
A. ANAMNESIS
- Pasien perempuan berusia 34 tahun
- Pasien datang dengan keluhan benjolan di leher sebelah kiri depan
sejak 5 bulan lalu
- Benjolan dirasakan semakin membesar. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan sulit menelan sejak 3 hari sebelum masuk rumah sakit.
- Sejak benjolan muncul, pasien mengeluhkan dada sering terasa
berdebar-debar, mudah lelah, sering berkeringat, nafsu makan dan
berat badan meningkat.
- Keluhan benjolan di tempat lain, suara serak serta sulit bernafas
disangkal. Keluhan mudah gugup, mudah gelisah dan cepat emosi
serta sulit tidur disangkal.
- Pasien bekerja sebagai ibu rumah tangga dengan tingkat pengetahuan
tentang kesehatan yang masih cukup rendah
B. INDEX WAYNE
Dari penghitungan berdasarkan criteria-kriteria yang terdapat dalam
indeks Wayne, didapatkan total skor index Wayne sebesar 18, yang
berarti eutiroid (non toksik).
C. PEMERIKSAAN FISIK
Status generalis
Keadaan Umum : Baik
Kesadaran : Compos Mentis
Vital Sign : Tekanan darah = 100/60 mmHg
Respirasi = 20 kali/menit
Nadi = 86 kali/menit, isi dan tekanan penuh
Suhu = 36,8 oC
Status lokalis : regio Colli
Inspeksi : terlihat benjolan di leher sebelah kiri depan, bentuk
lonjong, diameter ± 5 cm, ikut bergerak saat pasien
menelan ludah
Palpasi : benjolan teraba kenyal, mobile, batas tegas, tidak nyeri
tekan
V. DIAGNOSA KERJA
Struma Nodusa Non Toksik
VI. USULAN PEMERIKSAAN PENUNJANG
A. Pemeriksaan Darah Lengkap
B. Pemeriksaan Hormon Tiroid (Free T3, Free T4, TSH)
C. Pemeriksaan Foto Thorax
VII. HASIL PEMERIKSAAN PENUNJANG
Laboratorium
PEMERIKSAAN HASIL NILAI RUJUKANDarah Lengkap
Hemoglobin 11,6 g/dl ↓ 14-18Leukosit 6420 /ul 4800 -10800Hematokrit 35 % ↓ 42-52Eritrosit 4,0 10^6/ul ↓ 4,70-6,1Trombosit 277.000 /ul 150.000- 450.000MCV 89,4 fl 79,0 –99,0MCH 31,0 pg 27,0 – 31,0MCHC 34,7 %, 33,0 – 37,0RDW 12,9 % 11,5 – 14,5MPV 10,0 % 7,2 – 11,1
Hitung JenisBasofil 0,6 % 0,0 – 1,0Eosinofil 2,6 % 2,0 – 4,0Batang 0,00 % ↓ 2,00 – 5,00Segmen 68,7 % 40,0 - 70,0Limfosit 21,8 % ↓ 25,0 – 40,0Monosit 6,4 % 2,0 – 8,0
Kimia KlinikSGOT 12 U/L ↓ 15-37SGPT 9 U/L ↓ 20-65Ureum darah 14,8 mg/dL ↓ 14,98 – 35,52
Kreatinin darah 0,74 mg/dL 0,60 -2,0Glukosa sewaktu 107 mg/dL ≤ 200Hematologi
PT 14,5 detik 11,5 – 15,5APTT 30 detik 25 -35
Seroimunologi\Free T4 1,06 ng/dl 0,93 – 1,7Free T3 3,9 pg/nl 2,0 -4,4TSH 1,13 IU/ml 0,27-4,20HBsAg Non reaktif Non reaktif
VIII. PENATALAKSANAAN
a. Operatif
Subtotal Lobektomi Sinistra
b. Monitoring
Kadar Kalsium Darah
IX. PROGNOSIS
Ad sanationam : ad bonam
Ad vitam : ad bonam
Ad fungsionam : ad bonam
BAB III
TINJAUAN PUSTAKA
Struma nodosa atau struma adenomatosa terutama di temukan di daerah
pegunungan karena defisiensi iodium. Struma endemik ini dapat dicegah
dengan substitusi iodium. Di luar daerah endemik, struma nodosa ditemukan
secara insidental atau pada keluarga tertentu. Etiologinya umumnya
multifaktorial. Biasanya tiroid sudah membesar sejak usia muda dan
berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa.
Struma multinodosa biasanya ditemukan pada wanita berusia lanjut, dan
perubahan yang terdapat pada kelenjar berupa hiperplasia sampai bentuk
involusi. Kebanyakan struma multinodosa dapat dihambat oleh tiroksin.
Penderita struma nodosa biasanya tidak mengalami keluhan karena tidak ada
hipotiroidisme atau hipertiroidisme. Nodul mungkin tunggal, tetapi
kebanyakan berkembang menjadi multinoduler yang tidak berfungsi.
Degenerasi jaringan menyebabkan kista atau adenoma. Karena
pertumbuhannya yang sering berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar
tanpa gejala kecuali benjolan di leher. Sebagian penderita dengan struma
nodosa dapat hidup dengan strumanya tanpa gangguan.1
A. DEFINISI
Struma adalah pembesaran pada kelenjar tiroid yang biasanya terjadi
karena folikel-folikel terisi koloid secara berlebihan. Setelah bertahun-tahun
sebagian folikel tumbuh semakin besar dengan membentuk kista dan kelenjar
tersebut menjadi noduler. Struma nodosa non toksik adalah pembesaran
kelenjar tyroid yang secara klinik teraba nodul satu atau lebih tanpa disertai
tanda-tanda hipertiroidisme.
B. EMBRIOLOGI
Glandula thyroidea mula-mula berkembang dari penonjolan endodermal
pada garis tengah dasar pharynx, diantara tuberculum impar dan copula.
Nantinya penebalan ini berubah menjadi divertikulum yang disebut ductus
thyroglossalis. Dengan berlanjutnya perkembangan, duktus ini memanjang
dan ujung distalnya menjadi berlobus dua. Duktus ini merubah menjadi tali
padat dan bermigrasi menuruni leher, berjalan di sebelah anterior, atau
posterior terhadap os hyoideum yang sedang berkembang. Pada minggu ke
tujuh, tiba pada posisi akhirnya di dekat larynx dan trachea. Sementara itu tali
padat yang menghubungkan glandula thyroidea dengan lidah, terputus dan
lenyap. Tempat asal ductus tyroglossalis pada lidah menetap sebagai suatu
sumur yang disebut foramen caecum linquae. Kemudian, dua lobus pada
ujung terminal ductus thyroglossalis akan membesar sebagai akibat proliferasi
epitel dan membentuk glandula thyroidea.
C. ANATOMI
Glandula thyroidea terdiri atas lobus kiri dan kanan yang dihubungkan
oleh isthmus yang sempit. Setiap lobus berbentuk buah avokad, dengan
puncaknya ke atas sampai linea oblique cartilaginis thyroidea dan basisnya
terdapat dibawah, setinggi cincin trachea ke-4 atau ke-5. Glandula thyroidea
merupakan organ yang sangat vascular, dibungkus oleh selubung yang berasal
dari lamina pretrachealis. Selubung ini melekatkan kelenjar ini ke larynx dan
trachea.
Juga sering didapatkan lobus piramidalis, yang menjalar ke atas dari
isthmus, biasanya ke kiri garis tengah. Lobus ini merupakan sisa jaringan
embryonic thyroid yang ketinggalan pada waktu migrasi jaringan ini ke bagian
anterior di hipofaring. Bagian atas dari lobus ini dikenal sebagai pole atas dari
kelenjar tiroid, dan bagian bawah disebut sebagai pole bawah. Suatu pita
fibrosa atau muscular sering menghubungkan lobus piramidalis dengan os
hyoideum; jika ia muscular disebut sebagai m. levator glandulae thyroidea.
Berat tiroid pada orang dewasa normal adalah 10-30 gram tergantung
kepada ukuran tubuh dan suplai Iodium. Lebar dan panjang dari isthmus
sekitar 20 mm, dan ketebalannya 2-6 mm. Ukuran lobus lateral dari pole
superior ke inferior sekitar 4 cm. Lebarnya 15-20 mm, dan ketebalan 20-39
mm.
Kelenjar tiroid terletak antara fascia colli media dan fascia prevertebralis.
Di dalam ruangan yang sama terdapat trakea, esophagus, pembuluh darah
besar, dan saraf. Kelenjar tiroid melekat pada trakea dan fascia pretrachealis
dan melingkari duapertiga bahkan sampai tigaperempat lingkaran. A. carotis
communis, v. jugularis interna, dan n. vagus terletak bersama di dalam suatu
ruang tertutup di laterodorsal tiroid. N. recurrens terletak di dorsal sebelum
masuk ke laring. N. phrenicus dan truncus symphaticus tidak masuk ke dalam
ruang antara fascia media dan prevertebralis.
Limfe dari kelenjar tiroid terutama dicurahkan ke lateral, ke dalam nl.
cervicales profundi. Beberapa pembuluh limfe berjalan turun ke nl.
paratracheales.
Seluruh cincin tiroid dibungkus oleh suatu lapisan jaringan yang
dinamakan true capsule. Sedangkan extension dari lapisan tengah fascia
servicalis profundus yang mengelilingi tiroid dinamakan false capsule atau
surgical capsule. Seluruh arteri dan vena, plexus limphaticus dan kelenjar
paratiroid terletak antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum Berry menjadi
penghubung di bagian posterior antara kedua kapsul tersebut. Ligamentum
Berry menjadi penghubung di bagian posterior antara kedua lobus tiroid.
Aa. carotis superior dextra et sinistra, dan kedua aa. thyroidea inferior
dextra et sinistra memberikan vaskularisasi untuk tiroid. Kadang kala
dijumpai a. ima, cabang truncus brachiocephalica. Sistem vena berjalan
bersama arterinya, persarafan diatur oleh n. recurrens dan cabang dari n.
laryngeus superior, sedangkan sistem limfatik yang penting menerima aliran
limfe tiroid terdiri dari pembuluh limfe superior yang menerima cairan limfe
dari pinggir atas isthmus, sebagian besar permukaan medial lobus lateral, dan
permukaan ventral dan dorsal bagian atas lobus lateral dan pembuluh limfe
inferior yang menerima cairan limfe dari sebagian besar isthmus dan bagian
bawah lobus lateral.
Pada pembedahan tiroid penting memperhatikan jalan arteri pada pool atas
kanan dan kiri, karena ligasi tinggi pada arteri tersebut dapat mencederai n.
laryngeus superior, kerusakan nervus ini dapat mengakibatkan perubahan
suara menjadi parau yang bersifat sementara namun dapat pula permanen.
D. FISIOLOGI
Kelenjar tiroid menghasilkan hormone tiroid utama yaitu tiroksin (T4)
yang kemudian berubah menjadi bentuk aktifnya yaitu triiodotironin (T3).
Iodium nonorganic yang diserap dari saluran cerna merupakan bahan baku
hormone tiroid. Zat ini dipekatkan kadarnya menjadi 30-40 kali sehingga
mempunyai afinitas yang sangat tinggi di dalam jaringan tiroid. Sebagian
besar T4 kemudian akan dilepaskan ke sirkulasi sedangkan sisanya tetap
didalam kelenjar yang kemudian mengalami daur ulang. Di sirkulasi, hormone
tiroid akan terikat dengan protein yaitu globulin pengikat tiroid (thyroid
binding globulin, TBG) atau prealbumin pengikat albumin (thyroxine binding
prealbumine, TBPA). Hormon stimulator tiroid (thyroid stimulatimg hormone,
TSH) memegang peranan penting untuk mengatur sekresi dari kelenjar tiroid.
TSH dihasilkan oleh lobus anterior kelenjar hipofisis. Proses yang dikenal
sebagai negative feedback sangat penting dalam pengeluaran hormone tiroid
ke sirkulasi. Pada pemeriksaan akan terlihat adanya sel parafolikuler yang
menghasilkan kalsitonin yang berfungsi untuk mengatur metabolism kalsium,
yaitu menurunkan kadar kalsium serum terhadap tulang.
E. HISTOLOGI
Kelenjar tiroid terdiri dari nodula-nodula yang tersusun dari folikel-folikel
kecil yang dipisahkan satu dengan yang lainnya dengan jaringan ikat. Folikel-
folikel tiroid dibatasi oleh epitel kubus dan lumennya terisi oleh koloid.
Kelenjar tiroid mengandung 2 tipe sel utama yaitu thyroid follicular cells
dan C cells (parafollicular cells). Sel folikular menggunakan iodine dari darah
untuk membuat hormone, yang membantu meregulasi metabolisme tubuh. Sel
parafolikular membuat calcitonin, suatu hormone yang membantu
meregulasikan bagaimana tubuh menggunakan kalsium
F. ETIOLOGI
Penyebab pasti pembesaran kelenjar tiroid pada struma nodosa tidak
diketahui, namun sebagian besar penderita menunjukkan gejala-gejala
tiroiditis ringan; oleh karena itu, diduga tiroiditis ini menyebabkan
hipotiroidisme ringan, yang selanjutnya menyebabkan peningkatan sekresi
TSH (thyroid stimulating hormone) dan pertumbuhan yang progresif dari
bagian kelenjar yang tidak meradang. Keadaan inilah yang dapat menjelaskan
mengapa kelenjar ini biasanya nodular, dengan beberapa bagian kelenjar
tumbuh namun bagian yang lain rusak akibat tiroiditis.
Adanya gangguan fungsional dalam pembentukan hormon tyroid
merupakan faktor penyebab pembesaran kelenjar tyroid antara lain :
1. Defisiensi iodium
Pada umumnya, penderita penyakit struma sering terdapat di
daerah yang kondisi air minum dan tanahnya kurang mengandung iodium,
misalnya daerah pegunungan.
2. Kelainan metabolik kongenital yang menghambat sintesa hormon tyroid.
a. Penghambatan sintesa hormon oleh zat kimia (seperti substansi dalam
kol, lobak, kacang kedelai).
b. Penghambatan sintesa hormon oleh obat-obatan (misalnya :
thiocarbamide, sulfonylurea dan litium).
c. Hiperplasi dan involusi kelenjar tiroid.
Pada umumnya ditemui pada masa pertumbuhan, puberitas,
menstruasi, kehamilan, laktasi, menopause, infeksi dan stress lainnya.
Dimana menimbulkan nodularitas kelenjar tiroid serta kelainan
arseitektur yang dapat bekelanjutan dengan berkurangnya aliran darah
didaerah tersebut.
Akhirnya, ada beberapa makanan yang mengandung substansi goitrogenik
yakni makanan yang mengandung sejenis propiltiourasil yang mempunyai
aktifitas antitiroid sehingga juga menyebabkan pembesaran kelenjar tiroid
akibat rangsangan TSH. Beberapa bahan goitrogenik ditemukan pada
beberapa varietas lobak dan kubis.
G. KLASIFIKASI
Pada struma gondok endemik, Perez membagi klasifikasi menjadi:
1. Derajat 0: tidak teraba pada pemeriksaan
2. Derajat I: teraba pada pemeriksaan, terlihat hanya kalau kepala ditegakkan
3. Derajat II: mudah terlihat pada posisi kepala normal
4. Derajat III: terlihat pada jarak jauh.
Pada keadaan tertentu derajat 0 dibagi menjadi:
a. Derajat 0a: tidak terlihat atau teraba tidak besar dari ukuran normal.
b. Derajat 0b: jelas teraba lebih besar dari normal, tetapi tidak terlihat bila
kepala ditegakkan.
Burrow menggolongkan struma nontoksik sebagai berikut:
1. Nontoxic diffuse goiter
2. Endemic
3. Iodine deficiency
4. Iodine excess
5. Dietary goitrogenic
6. Sporadic
7. Conngenital defect in thyroid hormone biosynthesis
8. Chemichal agents, e.g lithium, thiocyanate, p-aminosalicylic acid
9. Iodine deficiency
10. Compensatory following thyroidectomy
11. Nontoxic nodular goiter due to causes listed above
12. Uninodular or multinodular
13. Functional, nonfunctional, or both.
Dari aspek fungsi kelenjar tiroid, yang tugasnya memproduksi hormon
tiroksin, maka bisa dibagi menjadi:
1. Hipertiroidi; sering juga disebut toksik (walaupun pada kenyataannya pada
penderita ini tidak dijumpai adanya toksin), bila produksi hormon tiroksin
berlebihan.
2. Eutiroid; bila produksi hormon tiroksin normal.
3. Hipotiroidi; bila produksi hormon tiroksin kurang.
4. Struma nodosa non toksik; bila tanpa tanda-tanda hipertiroidi
Struma nodosa dapat diklasifikasi berdasarkan beberapa hal, yaitu:
1 Berdasarkan jumlah nodul;
a. bila jumlah nodul hanya satu disebut struma nodosa soliter
(uninodosa)
b. bila lebih dari satu disebut struma multinodosa.
5. Berdasarkan kemampuan menangkap yodium radioaktif dikenal 3 bentuk
nodul tiroid yaitu :
a. nodul dingin
b. nodul hangat
c. nodul panas.
6. Berdasarkan konsistensinya
a. nodul lunak
b. nodul kistik
c. nodul keras
d. nodul sangat keras.
H. PATOFISIOLOGI
Iodium merupakan semua bahan utama yang dibutuhkan tubuh untuk
pembentukan hormon tyroid. Bahan yang mengandung iodium diserap usus,
masuk ke dalam sirkulasi darah dan ditangkap paling banyak oleh kelenjar
tyroid..
Dalam kelenjar, iodium dioksida menjadi bentuk yang aktif yang
distimuler oleh Tiroid Stimulating Hormon kemudian disatukan menjadi
molekul tiroksin yang terjadi pada fase sel koloid. Senyawa yang terbentuk
dalam molekul diyodotironin membentuk tiroksin (T4) dan molekul
yoditironin (T3).
Tiroksin (T4) menunjukkan pengaturan umpan balik negatif dari sekresi
Tiroid Stimulating Hormon dan bekerja langsung pada tirotropihypofisis,
sedang tyrodotironin (T3) merupakan hormon metabolik tidak aktif.
Beberapa obat dan keadaan dapat mempengaruhi sintesis, pelepasan dan
metabolisme tyroid sekaligus menghambat sintesis tiroksin (T4) dan melalui
rangsangan umpan balik negatif meningkatkan pelepasan TSH oleh kelenjar
hypofisis. Keadaan ini menyebabkan pembesaran kelenjar tyroid.
I. GAMBARAN KLINIS
Pada penyakit struma nodosa nontoksik tyroid membesar dengan lambat.
Awalnya kelenjar ini membesar secara difus dan permukaan licin. Jika struma
cukup besar, akan menekan area trakea yang dapat mengakibatkan gangguan
pada respirasi dan juga esofhagus tertekan sehingga terjadi gangguan menelan.
Klien tidak mempunyai keluhan karena tidak ada hipo atau hipertirodisme.
Benjolan di leher. Peningkatan metabolism karena klien hiperaktif dengan
meningkatnya denyut nadi. Peningkatan simpatis seperti ; jantung menjadi
berdebar-debar, gelisah, berkeringat, tidak tahan cuaca dingin, diare, gemetar,
dan kelelahan.
Pada pemeriksaan status lokalis struma nodosa, dibedakan dalam hal :
1. Jumlah nodul; satu (soliter) atau lebih dari satu (multipel).
2. Konsistensi; lunak, kistik, keras atau sangat keras
3. Nyeri pada penekanan; ada atau tidak ada
4. Perlekatan dengan sekitarnya; ada atau tidak ada.
5. Pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid : ada atau tidak ada.
J. DIAGNOSIS
Diagnosis struma nodosa non toksik ditegakkan berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik, penilaian resiko keganasan, dan pemeriksaan penunjang.
Pada umumnya struma nodosa non toksik tidak mengalami keluhan karena
tidak ada hipo- atau hipertiroidisme. Biasanya tiroid mulai membesar pada
usia muda dan berkembang menjadi multinodular pada saat dewasa. Karena
pertumbuhannya berangsur-angsur, struma dapat menjadi besar tanpa gejala
kecuali benjolan di leher. Sebagian besar penderita dengan struma nodosa
dapat hidup dengan strumanya tanpa keluhan.
Walaupun sebagian struma nodosa tidak mengganggu pernafasan karena
menonjol ke depan, sebagian lain dapat menyebabkan penyempitan trakea bila
pembesarannya bilateral. Struma nodosa unilateral dapat menyebabkan
pendorongan sampai jauh ke arah kontra lateral. Pendorongan demikian
mungkin tidak mengakibatkan gangguan pernafasan. Penyempitan yang
berarti menyebabkan gangguan pernafasan sampai akhirnya terjadi dispnea
dengan stridor inspirator.
Keluhan yang ada ialah rasa berat di leher. Sewaktu menelan trakea naik
untuk menutup laring dan epiglotis sehingga terasa berat karena terfiksasi
pada trakea.
Pemeriksaan pasien dengan struma dilakukan dari belakang kepala
penderita sedikit fleksi sehingga muskulus sternokleidomastoidea relaksasi,
dengan demikan tiroid lebih mudah dievaluasi dengan palpasi. Gunakan kedua
tangan bersamaan dengan ibu jari posisi di tengkuk penderita sedang keempat
jari yang lain dari arah lateral mengeveluasi tiroid serta mencari pole bawah
kelenjar tiroid sewaktu penderita disuruh menelan.
Pada struma yang besar dan masuk retrosternal tidak dapat di raba trakea
dan pole bawah tiroid. Kelenjar tiroid yang normal teraba sebagai bentukan
yang lunak dan ikut bergerak pada waktu menelan. Biasanya struma masih
bisa digerakkan ke arah lateral dan susah digerakkan ke arah vertikal. Struma
menjadi terfiksir apabila sangat besar, keganasan yang sudah menembus
kapsul, tiroiditis dan sudah ada jaringan fibrosis setelah operasi.
Untuk memeriksa struma yang berasal dari satu lobus (misalnya lobus kiri
penderita), maka dilakukan dengan jari tangan kiri diletakkan di mediall di
bawah kartilago tiroid, lalu dorong benjolan tersebut ke kanan. Kemudian ibu
jari tangan kanan diletakkan di permukaan anterior benjolan. Keempat jari
lainnya diletakkan pada tepi belakang muskulus sternokleidomastoideus untuk
meraba tepi lateral kelenjar tiroid tersebut.
Pada pemeriksaan fisik nodul harus dideskripsikan:
1. lokasi: lobus kanan, lobos kiri, ismus
2. ukuran: dalam sentimeter, diameter panjang
3. jumlah nodul: satu (uninodosa) atau lebih dari satu (multinodosa)
4. konsistensinya: kistik, lunak, kenyal, keras
5. nyeri: ada nyeri atau tidak pada saat dilakukan palpasi
6. mobilitas: ada atau tidak perlekatan terhadap trakea, muskulus
sternokleidomastoidea
7. pembesaran kelenjar getah bening di sekitar tiroid: ada atau tidak.
Inspeksi : leher dibatasi di cranial oleh tepi rahang bawah, di kaudal oleh
kedua tulang selangka dan tepi cranial sternum, di lateral oleh
pinggir depan m. trapezius kiri dan kanan. Kedua m.
sternocleidomastoideus selalu jelas terlihat, dan pada garis tengah
dari cranial ke kaudal terdapat tulang hyoid serta kartilago tiroid,
krikoid, dan trakea.
Palpasi : palpasi dapat dilakukan pada pasien dalam sikap duduk atau
berbaring, dengan kepala dalam sikap fleksi ringan supaya regangan
otot pita leher tidak mengganggu palpasi. Pada sikap duduk
dilakukan pemeriksaan dari belakang penderita maupun dari depan.
Sedangkan pada sikap berbaring digunakan bantal tipis di bawah
kepala. Tulang hyoid, kartilago tiroid dan krikoid sampai cincin
kedua trakaea biasanya mudah diraba di garis tengah. Cincin trakea
yang lebih kaudal makin sukar diraba karena trakea mengarah ke
dorsal. Pada gerakan menelan, seluruh trakea bergerak naik turun.
Satu-satunya struktur lain yang turut dengan gerakan ini adalah
kelenjar tiroid atau sesuatu yang berasal dari kelenjar tiroid.
Sekitar 5% struma nodosa mengalami keganasan. Di klinik perlu dibedakan
nodul tiroid jinak dan nodul ganas yang memiliki karakteristik:
1. Konsistensi keras pada beberapa bagian atau menyeluruh pada nodul dan
sukar digerakkan, walaupun nodul ganas dapat mengalami degenerasi kistik
dan kemudian menjadi lunak.
2. Sebaliknya nodul dengan konsistensi lunak lebih sering jinak, walaupun
nodul yang mengalami kalsifikasi dapat dtemukan pada hiperplasia
adenomatosa yang sudah berlangsung lama.
3. Infiltrasi nodul ke jaringan sekitarnya merupakan tanda keganasan,
walaupun nodul ganas tidak selalu mengadakan infiltrasi. Jika ditemukan
ptosis, miosis dan enoftalmus (Horner syndrome) merupakan tanda
infiltrasi atau metastase ke jaringan sekitar.
4. 20% nodul soliter bersifat ganas sedangkan nodul multipel jarang yang
ganas, tetapi nodul multipel dapat ditemukan 40% pada keganasan tiroid
5. Nodul yang muncul tiba-tiba atau cepat membesar perlu dicurgai ganas
terutama yang tidak disertai nyeri. Atau nodul lama yang tiba-tiba
membesar progresif.
6. Nodul dicurigai ganas bila disertai dengan pembesaran kelenjar getah
bening regional atau perubahan suara menjadi serak.
7. Pulsasi arteri karotis teraba dari arah tepi belakang muskulus sternokleido
mastoidea karena desakan pembesaran nodul (Berry’s sign)
Kecurigaan suatu keganasan pada nodul tiroid bisa dirangkum:
1. Sangat mencurigakan
a. riwayat keluarga karsinoma tiroid medulare
b. cepat membesar terutama dengan terapi dengan levotirosin
c. nodul padat atau keras
d. sukar digerakkan atau melekat pada jaringan sekitar
e. paralisis pita suara
f. metastasis jauh
2. Kecurigaan sedang
a. umur di bawah 20 tahun atau di atas 70 tahun
b. pria
c. riwayat iradiasi pada leher dan kepala
d. nodul >4cm atau sebagian kistik
e. keluhan penekana termasuk disfagia,disfonia, serak, dispnu dan batuk.
2. Nodul jinak
a. riwayat keluarga: nodul jinak
b. struma difusa atau multinodosa
c. besarnya tetap
d. FNAB: jinak
e. kista simpleks
f. nodul hangat atau panas
mengecil dengan terapi supresi levotiroksin.
KESIMPULAN
1. Kasus berupa laki – laki usia 53 tahun, keluhan nyeri pinggang kanan kiri,
melalui anamnesis, pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang didapatkan
diagnosis kerja nefrolithiasis sinisra.
2. Terapi yang diberikan pada pasien yaitu medikamentosa ceftriakson,
ketorolac, furosemid, kalnex serta terapi operatif Pyelolitectomi.
3. Sistem kemih terdiri atas ginjal beserta salurannya ureter, buli – buli dan
uretra, sebagian besar terletak retroperitoneal.
4. Struktur sekitar ginjal yaitu kapsula fibrosa, lemak perirenal, grandula
suprarenal, fasia gerota dan lemak perirenal. Ginjal terbagi 2 bagian yaitu
korteks dan medulla serta diperdarahi oleh arteri renali yang merupakan
cabang langsung dari aorta abdominalis.
5. Batu saluran kemih adalah massa keras seperti batu yang terbentuk di
sepanjang saliuran kemih, disebabkan oleh faktor intrinsic dan ektrinsik,
dapat berbahan dasar oksalat, fosfat, sistin, xantin serta urat.
6. Pembentukan batu didasarkan pada teori nukleasi, teori matrix,
penghambatan kristalisasi, teori supersaturasi, Teori Presipitasi-kristalisasi,
teori epitaksi.
7. Batu staghorn merupakan batu yang mengisi pielum dan lebih dari dua kaliks
ginjal memberikan gambaran menyerupai tanduk rusa, terjadi pada keadaan
infeksi saluran kemih berdasarkan teori matriks calculi dan teori nano bakteri.
8. Komplikasi batu saluran kemih biasanya obstruksi, infeksi sekunder dan
iritasi yang berkepanjangan pada urotelium yang dapat menyebabkan
tumbuhnya keganasan yang sering berupa karsinoma epidermoid
DAFTAR PUSTAKA
1. Lina,N. 2008. Faktor – Faktor Risiko Kejadian Batu Saluran Kemih Pada
Laki – Laki (Studi Kasus di RS Kariadi, RS Roemani dan RSI Sultan Agung
Semarang). Magister Epidemiologi Program Pasca Sarjana Universitas
Diponegoro Semarang 2008.
2. Sjamsuhidajat,R., de Jong,W. 2008. Bab 32 : Saluran Kemih Dan Alat
Kelamin Laki. Dalam Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta : EGC.
3. Menon,M., Resnick, Martin,I. 2002. Urinary lithiasis : etiology and
endourology, in Chambell’s urology, 8th ed, Vol 14. W.B. Saunder Company,
Philadelphia, 2002 : 3230-3292.
4. Pahira,J.J., Razack,A.A. 2001. Nephrolithiasis ; Clinical Manual of Urology.
Mc Graw – Hill
5. William,D.M. 1990. Clinical and Laboratory Evaluation of Renal Stone
Patients. Dalam Endocrinology and Metabolism Clinic of North America.
W.B. Saunders : Philadelphian.
6. Purnomo, B.B. 2003. Anatomi Sistem Urogenitalia. Dalam Dasar – Dasar
Urologi, Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto
7. Benninghoff, A. 1993. Makroskopische anatomie, embryologie und histology
des Menschen (Translated by dr. med. Dirk Manski) . Munchen; Wien;
Baltimore : Urban und Schwarzenberg.
8. Purnomo, B.B. 2003. Batu Saluran Kemih. Dalam Dasar – Dasar Urologi,
Edisi Kedua. Jakarta : Sagung Seto
9. Silbernagl, S. and Lang,F. 2007. Ginjal, Keseimbangan Garam dan Air.
Dalam Teks dan Atlas Berwarna Patofisiologi.
10. Bahdarsyam . 2003. Spektrum Bakteriologik Pada Berbagai Jenis Batu
Saluran Kemih Bagian Atas. USU digital library . Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
11. Maragela, M., Vitale,C., Petrulo,M. et al. 2008. Renal Stone from Metavolic
to Phsycochemical Abnormalisies, How Useful are Inhibitor. J. Nephrol.
2009; 13: S51-S60
12. Alrecht, H. Tiselius, G., Hans, Andre, J. 2002. Urinary Stone Diagnosis,
Treatment and Prevention of Recurrence : 2nd edition.
13. Stoler,M; Maxwell VM; Harrison, AM; Kane, J.P. 2004. The Primary Stone
Event : A New Hypothesis Involving A Vascular Ethiology. J. Urol 2004.
171 (5)
14. Kim,S.C, Coe, F.L, Tinmouth W et al. 2005. Stone Formation Proportion To
Papier Surface Coverage By Randall’s Plaque. J. Urol 2005, 173(1).
15. Alon, U.S. 2008. Medical treatment of pediatric urolithiasis. Pediatr Nephrol
2009 November; 24 (11): 2129-2135
16. Emedicine. 2011. Staghorn and Struvit stone. Retrieved at
www.emedicine.com. Diakses tanggal 8 Desember 2012.
17. Anonim. Batu Saluran Kemih. USU digital library . Fakultas Kedokteran
Universitas Sumatera Utara
18. AUA. 2005. Chapter 1: AUA Guideline on the Management of Staghorn
Calculi: Diagnosis and Treatment Recommendations. Background: Staghorn
Calculi. American Urological Association Education and Research, Inc.
19. Integrative medicine Access. Urolithiasis. Retrieved at : www.pharm-
sci.tbzmed.ac.ir/Drug-Information/Integrative%20Medicine%20Professional
%20Access/ProfConditions/Urolithiasispc.html. diakses tanggal 23 Desember
2012