presentasi kasus tinea cruris
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS TINEA CRURIS
A. IDENTITAS PASIEN
Nama : Ny. MJ
Usia : 43 tahun
Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga
Alamat : Blotongan 3/5, Sidorejo, Salatiga
No RM : 11-12-589034
Tanggal periksa poli : 28 Maret 2012
B. ANAMNESIS
Keluhan utama :
Bercak kemerahan disertai rasa gatal pada daerah sela paha kanan dan kiri
serta bokong.
Riwayat Penyakit Sekarang:
Pasien datang ke Poliklinik Penyakit Kulit dan Kelamin RSUD Salatiga pada
tanggal 28 Maret 2012 dengan keluhan adanya bercak kemerahan disertai rasa
gatal pada daerah sela paha kanan dan kiri serta bokong sejak ± 2 minggu.
Sejak dua tahun yang lalu timbul keluhan berupa bercak-bercak kemerahan di
daerah sela paha kanan-kiri dan bokong. Awalnya bercak merah berukuran
kecil, terasa gatal dan panas di daerah sela paha kanan dan kiri. Gatal
dirasakan semakin berat pada saat berkeringat. Penderita sering menggaruk
untuk mengurangi rasa gatal sehingga timbul luka lecet dan terasa pedih.
Bercak semakin lama dirasakan semakin meluas, berwarna merah kehitaman
dan bersisik halus. Penderita mengaku telah berobat ke dokter namun tidak
ada perbaikan. Penderita mengaku belum pernah mengalami kelainan kulit
seperti ini sebelumnya. Namun selama kurang lebih dua tahun ini, keluhan ini
sering kambuh. Penderita adalah seorang ibu rumah tangga yang sering
berkeringat pada saat melakukan aktivitas sehari-hari. Penderita mengaku
1
mudah sekali berkeringat terutama jika udara panas. Pakaian yang biasa
digunakan sehari-hari kebanyakan terbuat dari kain yang tidak mudah
menyerap keringat misalnya kain nylon dan jeans.
Riwayat Penyakit Dahulu :
Sejak ±2 tahun yang lalu, keluhan ini kambuh-kambuhan
Riwayat alergi terhadap obat-obatan disangkal
Riwayat penyakit DM dan penyakit berat lainnya disangkal
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada anggota keluarga yang menderita sakit serupa
Riwayat alergi pada keluarga disangkal
Riwayat Penyakit DM dan penyakit berat lainnya disangkal
C. PEMERIKSAAN FISIK
Predileksi : Lipat paha kanan kiri dan bokong
UKK : Lesi eritematosa yang berbatas tegas dengan tepi
eritem (aktif) dan bagian tengah lesi pucat (central
healing) dengan skuama halus diatasnya, multipel
dengan bentuk dan susunan tidak teratur serta
bervariasi ukurannya (3-5cm).
Gambar :
2
D. DIAGNOSIS BANDING
Tinea Kruris
Eritrasma
Psoriasis fleksura
Kandidosis intertriginosa
Dermatitis Kontak Alergi karena karet celana
Dermatitis Seboroik Intertriginosa
E. DIAGNOSIS
TINEA KRURIS
F. PENATALAKSANAAN
Umum:
- Edukasi pada penderita tentang penyakit dan pengobatannya, tidak
menggunakan pakaian dan sabun bersamaan dengan keluarga
- Menyarankan kepada penderita untuk memakai pakaian yang mudah
menyerap keringat
- Menyarankan penderita untuk menjaga kebersihan badan maupun pakaian
- Menyarankan agar keluarga yang memiliki keluhan serupa untuk segera
berobat
Khusus:
- Krim Exoderil, dioleskan 5x setiap hari pada bagian yang merah
- Fungistop tablet 500mg, 1x1 tablet/hari (malam)
- Pehachlor tablet, 1x1 tablet/hari
3
TINJAUAN PUSTAKA
TINEA KRURIS
A. DEFINISI
Tinea Cruris adalah dermatofitosis pada sela paha, perineum dan
sekitar anus. Kelainan ini dapat bersifat akut atau menahun, bahkan dapat
merupakan penyakit yang berlangsun seumur hidup. Lesi kulit dapat terbatas
pada daerahgenito-krural saja atau bahkan meluas ke daerah sekitar anus,
daerah gluteus dan perut bagian bawah atau bagian tubuh yang lain. Tinea
cruris mempunyai nama lain eczema marginatum, jockey itch, ringworm of
the groin, dhobi itch.
B. ETIOLOGI
Penyebab utama dari tinea cruris Trichopyhton rubrum (90%) dan
Epidermophython fluccosum Trichophyton mentagrophytes (4%),
Trichopyhton tonsurans (6%).
C. EPIDEMIOLOGI
Tinea cruris dapat ditemui diseluruh dunia dan paling banyak di
daerah tropis. Angka kejadian lebih sering pada orang dewasa, terutama laki-
laki dibandingkan perempuan. Tidak ada kematian yang berhubungan dengan
tinea cruris.Jamur ini sering terjadi pada orang yang kurang memperhatikan
kebersihan diri atau lingkungan sekitar yang kotor dan lembab.
D. PATOFISIOLOGI
Cara penularan jamur dapat secara angsung maupun tidak langsung.
Penularan langsung dapat secara fomitis, epitel, rambut yang mengandung
4
jamur baik dari manusia, binatang, atau tanah. Penularan tidak langsung dapat
melalui tanaman, kayu yang dihinggapi jamur, pakaian debu. Agen
penyebabjuga dapat ditularkan melalui kontaminasi dengan pakaian, handuk
atau sprei penderita atau autoinokulasi dari tinea pedis, tinea inguium, dan
tinea manum. Jamur ini menghasilkan keratinase yang mencerna keratin,
sehingga dapat memudahkan invasi ke stratum korneum. Infeksi dimulai
dengan kolonisasi hifa atau cabang-cabangnya didalam jaringan keratin yang
mati. Hifa ini menghasilkan enzim keratolitik yang berdifusi ke jaringan
epidermis dan menimbulkan reaksi peradangan. Pertumbuhannya dengan pola
radial di stratum korneum menyebabkan timbulnya lesi kulit dengan batas
yang jelas dan meninggi (ringworm). Reaksi kulit semula berbentuk papula
yang berkembang menjadi suatu reaksi peradangan.
Beberapa faktor yang berpengaruh terhadap timbulnya kelainan di kulit
adalah:
a. Faktor virulensi dari dermatofita
Virulensi ini bergantung pada afinitas jamur apakah jamur
antropofilik, zoofilik, geofilik. Selain afinitas ini massing-masing jamur
berbeda pula satu dengan yang lain dalam hal afinitas terhadap manusia
maupun bagian-bagian dari tubuh misalnya: Trichopyhton rubrum jarang
menyerang rambut, Epidermophython fluccosum paling sering menyerang
liapt paha bagian dalam.
b. Faktor trauma
Kulit yang utuh tanpa lesi-lesi kecil lebih susah untuk terserang jamur.
c. Faktor suhu dan kelembaban
5
Kedua faktor ini jelas sangat berpengaruh terhadap infeksi jamur,
tampak pada lokalisasi atau lokal, dimana banyak keringat seperti pada
lipat paha, sela-sela jari paling sering terserang penyakit jamur.
d. Keadaan sosial serta kurangnya kebersihan
Faktor ini memegang peranan penting pada infeksi jamur dimana
terlihat insiden penyakit jamur pada golongan sosial dan ekonomi yang
lebih rendah sering ditemukan daripada golongan ekonomi yang baik
e. Faktor umur dan jenis kelamin
E. MANIFESTASI KLINIS
1. Anamnesis
Keluhan penderita adalah rasa gatal dan kemerahan di regio inguinalis
dan dapat meluas ke sekitar anus, intergluteal sampai ke gluteus. Dapat
pula meluas ke supra pubis dan abdomen bagian bawah. Rasa gatal akan
semakin meningkat jika banyak berkeringat. Riwayat pasien sebelumnya
adalah pernah memiliki keluhan yang sama. Pasien berada pada tempat
yang beriklim agak lembab, memakai pakaian ketat, bertukar pakaian
dengan orang lain, aktif berolahraga, menderita diabetes mellitus. Penyakit
ini dapat menyerang pada tahanan penjara, tentara, atlit olahraga dan
individu yang beresiko terkena dermatophytosis.
2. Pemeriksaan Fisik
Efloresensi terdiri atas bermacam-macam bentuk yang primer dan
sekunder. Makula eritematosa, berbatas tegas dengan tepi lebih aktif
terdiri dari papula atau pustula. Jika kronis atau menahun maka efloresensi
yang tampak hanya makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya dan
6
disertai likenifikasi. Garukan kronis dapat menimbulkan gambaran
likenifikasi.
Manifestasi tinea cruris :
a. Makula eritematus dengan central healing di lipatan inguinal, distal
lipat paha, dan proksimal dari abdomen bawah dan pubis.
b. Daerah bersisik.
c. Pada infeksi akut, bercak-bercak mungkin basah dan eksudatif.
d. Pada infeksi kronis makula hiperpigmentasi dengan skuama diatasnya
dan disertai likenifikasi.
e. Area sentral biasanya hiperpigmentasi dan terdiri atas papula
eritematus yang tersebar dan sedikit skuama.
f. Penis dan skrotum jarang atau tidak terkena.
g. Perubahan sekunder dari ekskoriasi, likenifikasi, dan impetiginasi
mungkin muncul karena garukan.
h. Infeksi kronis bisa oleh karena pemakaian kortikosteroid topikal
sehingga tampak kulit eritematus, sedikit berskuama, dan mungkin
terdapat pustula folikuler.
7
i. Hampir setengah penderita tinea cruris berhubungan dengan tinea
pedis.
F. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan mikologik untuk membantu penegakan diagnosis terdiri
atas pemeriksaan langsung sediaan basah dan biakan. Pada pemeriksaan
mikologik untuk mendapatkan jamur diperlukan bahan klinis berupa kerokan
kulit yang sebelumnya dibersihkan dengan alkohol 70%.
1. Pemeriksaan dengan sediaan basah
Kulit dibersihkan dengan alkohol 70% → kerok skuama dari bagian
tepi lesi dengan memakai scalpel atau pinggir gelas → taruh di obyek
glass → tetesi KOH 10-15 % 1-2 tetes → tunggu 10-15 menit untuk
melarutkan jaringan → lihat di mikroskop dengan pembesaran 10-45 kali,
akan didapatkan hifa, sebagai dua garis sejajar, terbagi oleh sekat, dan
bercabang, maupun spora berderet (artrospora) pada kelainan kulit yang
lama atau sudah diobati, dan miselium
2. Pemeriksaan kultur dengan Sabouraud agar
Pemeriksaan ini dilakukan dengan menanamkan bahan klinis pada
medium saboraud dengan ditambahkan chloramphenicol dan
cyclohexamide (mycobyotic-mycosel) untuk menghindarkan kontaminasi
bakterial maupun jamur kontaminan. Identifikasi jamur biasanya antara 3-
6 minggu.
3. Punch biopsi
Dapat digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis namun
sensitifitasnya dan spesifisitasnya rendah. Pengecatan dengan Peridoc
8
Acid–Schiff, jamur akan tampak merah muda atau menggunakan
pengecatan methenamin silver, jamur akan tampak coklat atau hitam.
4. Penggunaan lampu wood bisa digunakan untuk menyingkirkan adanya
eritrasma dimana akan tampak floresensi merah bata.
G. DIAGNOSIS
Diagnosis ditegakkan berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
dengan melihat gambaran klinis dan lokasi terjadinya lesi serta pemeriksaan
penunjang seperti yang telah disebutkan dengan menggunakan mikroskop
pada sediaan yang ditetesi KOH 10-20%, sediaan biakan pada medium
Saboraud, punch biopsi, atau penggunaan lampu wood.
H. DIAGNOSIS BANDING
1. Kandidosis intertriginosa (dermatokandidosis, moniliasis)
Kandidosis adalah penyakit jamur yang disebabkan oleh spesies
Candida biasanya oleh Candida albicans yang bersifat akut atau subakut
dan dapat mengenai mulut, vagina, kulit, kuku, bronki.Penyakit ini
terdapat di seluruh dunia, dapat menyerang semua umur, baik laki-laki
maupun perempuan.
Patogenesisnya dapat terjadi apabila ada predisposisi baik endogen
maupun eksogen. Faktor endogen misalkan kehamilan karena perubahan
pH dalam vagina, kegemukan karena banyak keringat, debilitas,
iatrogenik, endokrinopati, penyakit kronis orang tua dan bayi, imunologik
(penyakit genetik). Faktor eksogen berupa iklim panas dan kelembapan,
kebersihan kulit kurang, kebiasaan berendam kaki dalam air yang lama
menimbulkan maserasi dan memudahkan masuknya jamur, kontak dengan
penderita.
9
Dapat mengenai daerah lipatan kulit, terutama ketiak, bagian bawah
payudara, bagian pusat, lipat bokong, selangkangan, dan sela antar jari;
dapat juga mengenai daerah belakang telinga, lipatan kulit perut, dan glans
penis (balanopostitis). Pada sela jari tangan biasanya antara jari ketiga dan
keempat, pada sela jari kaki antara jari keempat dan kelima, keluhan gatal
yang hebat, kadang-kadang disertai rasa panas seperti terbakar.
Lesi pada penyakit yang akut mula-mula kecil berupa bercak yang
berbatas tegas, bersisik, basah, dan kemerahan. Kemudian meluas, berupa
lenting-lenting yang dapat berisi nanah berdinding tipis, ukuran 2-4 mm,
bercak kemerahan, batas tegas, Pada bagian tepi kadang-kadang tampak
papul dan skuama. Lesi tersebut dikelilingi oleh lenting-lenting atau papul
di sekitarnya berisi nanah yang bila pecah meninggalkan daerah yang
luka, dengan pinggir yang kasar dan berkembang seperti lesi utama. Kulit
sela jari tampak merah atau terkelupas, dan terjadi lecet. Pada bentuk yang
kronik, kulit sela jari menebal dan berwarna putih.
Pemeriksaan Laboratorium :
a. Pemeriksaan langsung dengan larutan KOH 10% atau pewarnaan Gram,
pada kerokan kulit atau ‘swab’ mukokutan yang diperoleh dari tempat lesi
terlihat sel ragi, blastospora atau hifa semu.
10
b. Pemeriksaan biakan agar, tampak adanya koloni berupa ‘Yeast like
colony’ pada perbenihan yang menggunakan agar dekstrosa Sabouraud.
2. Eritrasma
Eritrasma adalah penyakit bakteri kronik pada stratum korneum yang
disebabkan oleh Corynebacterium minutissimum, ditandai lesi berupa
eritema dan skuama halus terutama di daerah ketiak dan lipat paha. Gejala
klinis lesi berukuran sebesar milier sampai plakat. Lesi eritroskuamosa,
berskuama halus kadang terlihat merah kecoklatan. Variasi ini rupanya
bergantung pada area lesi dan warna kulit penderita. Tempat predileksi
kadang di daerah intertriginosa lain terutama pada penderita gemuk.
Perluasan lesi terlihat pada pinggir yang eritematosa dan serpiginose. Lesi
tidak menimbul dan tidak terlihat vesikulasi. Efloresensi yang sama
berupa eritema dan skuama pada seluruh lesi merupakan tanda khas dari
eritrasma. Skuama kering yang halus menutupi lesi dan pada perabaan
terasa berlemak. Pada pemeriksaan dengan lampu wood lesi terlihat
berfluoresensi merah membara (coral red) (Rasad, Asri, Prof.Dr. 2005)
3. Psoriasis fleksura
Psoriasis adalah penyakit yang penyebabnya autoimun, bersifat kronik
dan residif, ditandai dengan adanya bercak-bercak eritema berbatas tegas
11
dengan skuama yang kasar, berlapis-lapis dan transparan, disertai
fenomena tetesan lilin, Auspitz, dan Kobner. Tempat predileksi pada Pada
daerah intertrigo (daerah-daerah lipatan), bagian tubuh yang sering terkena
gesekan atau tekanan seperti lutut, siku dan punggung, daerah fleksor.
Kelainan kulit terdiri atas bercak eritema yang meninggi (plak) dengan
skuama diatasnya. Eritema sirkumskrip dan merata, tetapi pada stadium
penyembuhan sering bagian di tengah menghilang dan hanya terdapat di
pinggir. Skuama berlapis-lapis, kasar dan berwarna putih seperti mika,
serta transparan (silvery scale). Besar kelainan bervariasi dapat lentikular,
numular atau plakat, dapat berkonfluensi.
Fenomena pada Psoriasis :
Fenomena Auspitz : Lesi dikerok sampai skuama habis kemudian dikerok
sedikit lebih dalam lagi maka timbul bintik-bintik perdarahan (pinpoint
bleeding). Hal ini terjadi karena adanya papilomatosis.
Fenomena tetesan lilin (Tallow’s sign, Karsvetz) : Bila skuama digores
dengan “vaccinostyl” maka akan terjaddi garis putih dan warnanya akan
berubah menjadi keruh seperti tetesan lilin yang digores. Hal ini terjadi karena
diantara skuama yang berlapis terdapat udara dan bila digores biasanya akan
berubah.
Fenomena Koebner : Bila ada trauma (tajam/tumpul) pada kulit yang
normal dekat dengan tempat kelainan maka dalam 8-10 hari kemudian akan
12
timbul lesi baru pada daerah yang terkena trauma tadi. Dapat terjadi pada
penyakit liken planus, veruka plana, liken nitidus, dermatitis numularis.
Pemeriksaan Histopatologi : Parakeratosis (inti abnormal dari stratum
korneum), Akantosis (penebalan dari stratum spinosum/stratum malpigi),
Hiperkeratosis (penebalan dari stratum korneum), Papilomatosis (papil
membengkak, memanjang dan menonjol ke atas, berbentuk ‘golf steak’
disebut sebagai ‘base ball bat’, proses ini disebut ‘clubbing’), Mikro abses
Munro (abses yang kecil-kecil didalam epidermis, dibawah stratum korneum,
ini akibat perembesan lekosit dari kapiler dibagian atas papil, proses ini
disebut ‘exocytosis’)
4. Dermatitis Seboroik Intertriginosa
Merupakan suatu peradangan pada kulit yang biasanya mengenai
daerah seborea akibat keaktifan kelenjar sebasea yang berlebihan.
Penyebab secara pasti belum diketahui, diduga disebabkan oleh produksi
kelenjar sebasea yang berlebihan dan perubahan komposisi dari produk
yang dihasilkan oleh kelenjar sebasea sehingga bakteri komensal yang
terdapat di permukaan kulit berkembang biak terutama ‘Pityrosporum
ovale’. Insidensi umumnya pada bayi dan anak usia 6-10 tahun serta orang
dewasa usia 18-40 tahun. Daerah predileksi pada aksila, infra-mamae,
umbilicus, lipat paha dan glutea.
Kelainan kulit berupa eritema dan skuama yang berminyak dan agak
kekuningan dengan batas kurang tegas. Bentuk yang berat ditandai dengan
adanya bercak-bercak berskuama dan berminyak disertai eksudat dan
krusta tebal. Selanjutnya timbul fisura dan sering disertai infeksi sekunder.
Kadang-kadang dapat menjadi generalisata dan bila ini terjadi maka sering
sekali disertai dengan adanya erupsi vesicular seperti pomfoliks pada
telapak tangan dan telapak kaki.
13
5. Dermatitis Kontak Alergi karena karet celana dalam
Merupakan suatu dermatitis yang disertai adanya edema interselular
pada epidermis karena kulit berinteraksi dengan bahan-bahan kimia yang
berkontak atau terpajan pada kulit. Bahan tersebut bisa berupa toksik
ataupun alergi. Keluhan biasa berupa rasa gatal yang amat sangat yang
hampir keseluruh tubuh/bagian tubuh yang terkena. Biasanya timbul
lambat, batas tidak jelas, lebih luas daripada kulit yang terkena, daerah
yang lebih peka timbul lebih cepat, rasa gatal. Reaksi terbatas pada orang
yang peka dengan intensitas kelainan dipengaruhi oleh derajat kepekaan
individu dan frekuensi timbulnya reaksi.
Pemeriksaan Laboratorium :
Uji Tempel (‘patch test’)
Pemeriksaan ini dilakukan jika dermatitis sudah tenang dan dipilih
lokasi yang representative seperti punggung atau lengan atas. Bahan
14
yang digunakan merupakan bahan standard dan yang dicurigai. Hasil
dibaca 48 jam setelah dilakukan uji tersebut dan ditunggu 20-30 menit
setelah dibuka. Pembacaannya :
0/- : tidak ada reaksi
+ : eritem, papel
++ : eritem, vesikel
+++ : eritem, bula
I. PENATALAKSANAAN
Pada infeksi tinea cruris tanpa komplikasi biasanya dapat dipakai anti
jamur topikal saja dari golongan imidazole dan allynamin yang tersedia dalam
beberapa formulasi. Semuanya memberikan keberhasilan terapi yang tinggi
70-100% dan jarang ditemukan efek samping. Obat ini digunakan pagi dan
sore hari kira-kira 2-4 minggu. Terapi dioleskan sampai 3 cm diluar batas lesi,
dan diteruskan sekurang-kurangnya 2 minggu setelah lesi menyembuh. Terapi
sistemik dapat diberikan jika terdapat kegagalan dengan terapi topikal,
intoleransi dengan terapi topikal. Sebelum memilih obat sistemik hendaknya
cek terlebih dahulu interaksi obat-obatan tersebut. Diperlukan juga monitoring
terhadap fungsi hepar apabila terapi sistemik diberikan lebih dari 4 mingggu.
Pengobatan anti jamur untuk Tinea cruris dapat digolongkan dalam
empat golongan yaitu: golongan azol, golongan alonamin, benzilamin dan
golongan lainnya seperti siklopiros, tolnaftat, haloprogin. Golongan azole ini
akan menghambat enzim lanosterol 14 alpha demetylase (sebuah enzim yang
berfungsi mengubah lanosterol ke ergosterol), dimana struktur tersebut
merupakan komponen penting dalam dinding sel jamur. Golongan Alynamin
menghambat keja dari squalen epokside yang merupakan enzim yang
mengubah squalene ke ergosterol yang berakibat akumulasi toksik squalene
didalam sel dan menyebabkan kematian sel. Dengan penghambatan enzim-
enzim tersebut mengakibatkan kerusakan membran sel sehingga ergosterol
15
tidak terbentuk. Golongan benzilamin mekanisme kerjanya diperkirakan sama
dengan golongan alynamin sedangkan golongan lainnya sama dengan
golongan azole. Pengobatan tinea cruris tersedia dalam bentuk pemberian
topikal dan sistemik. Obat secara topikal yang digunakan dalam tinea cruris :
1. Golongan Azol
a. Clotrimazole (Lotrimin, Mycelec), merupakan obat pilihan pertama
yang digunakan dalam pengobatan tinea cruris karena bersifat broad
spektrum antijamur yang mekanismenya menghambat pertumbuhan
ragi dengan mengubah permeabilitas membran sel sehingga sel-sel
jamur mati. Pengobatan dengan clotrimazole ini bisa dievaluasi setelah
4 minggu jika tanpa ada perbaikan klinis. Penggunaan pada anak-anak
sama seperti dewasa. Obat ini tersedia dalam bentuk kream 1%,
solution, lotion. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu. Tidakada
kontraindikasi obat ini, namun tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukan hipersensitivitas, peradangan infeksi yang luas dan hinari
kontak mata.
b. Mikonazole (icatin, Monistat-derm), mekanisme kerjanya dengan
selaput dinding sel jamur yang rusak akan menghambat biosintesis
dari ergosterol sehingga permeabilitas membran sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Tersedia dalam bentuk cream 2%,
solution, lotio, bedak. Diberikan 2 kali sehari selama 4 minggu.
Penggunaan pada anak sama dengan dewasa. Tidak dianjurkan pada
pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan
mata.
c. Econazole (Spectazole), mekanisme kerjanya efektif terhadap infeksi
yang berhubungan dengan kulit yaitu menghambat RNA dan sintesis,
metabolisme protein sehingga mengganggu permeabilitas dinding sel
16
jamur dan menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ecnazole
dapat dilakukan dalam 2-4 minggu dengan cara dioleskan sebanyak
2kali atau 4 kali dalam sediaan cream 1%.. Tidak dianjurkan pada
pasien yang menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan
mata.
d. Ketokonazole (Nizoral), mekanisme kerja ketokonazole sebagai
turunan imidazole yang bersifat broad spektrum akan menghambat
sintesis ergosterol sehingga komponen sel jamur meningkat
menyebabkan sel jamur mati. Pengobatan dengan ketokonazole dapat
dilakukan selama 2-4 minggu. Tidak dianjurkan pada pasien yang
menunjukkan hipersensitivitas, hindari kontak dengan mata.
e. Oxiconazole (Oxistat), mekanisme oxiconazole kerja yang bersifat
broad spektrum akan menghambat sintesis ergosterol sehingga
komponen sel jamur meningkat menyebabkan sel jamur mati.
Pengobatan dengan oxiconazole dapat dilakukan selama 2-4 minggu.
Tersedia dalam bentk cream 1% atau bedak kocok. Penggunaan pada
anak-anak 12 tahun penggunaan sama dengan orang dewasa. Tidak
dianjurkan pada pasien yang menunjukkan hipersensitivitas dan hanya
digunakan untuk pemakaian luar.
f. Sulkonazole (Exelderm), merupakan obat jamur yang memiliki
spektrum luas. Titik tangkapnya yaitu menghambat sintesis ergosterol
yang akan menyebabkan kebocoran komponen sel, sehingga
menyebabkan kematian sel jamur. Tersedia dalam bentuk cream 1%
dan solutio. Penggunaan pada anak-anak 12 tahun penggunaan sama
dengan orang dewasa (dioleskan pada daerah yang terkena selama 2-4
minggu sebanyak 4 kali sehari).
2. Golongan alinamin
17
a. Naftifine (Naftin), bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan
derivat sintetik dari alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi
sintesis dari ergosterol sehingga menyebabkan pertumbuhan sel jamur
terhambat. Pengobatan dengan naftitine dievaluasi setelah 4 minggu
jika tidak ada perbaikan klinis. Tersedia dalam bentuk 1% cream dan
lotion. . Penggunaan pada anak sama dengan dewasa ( dioleskan 4 kali
sehari selama 2-4minggu).
b. Terbinafin (Lamisil), merupakan derivat sintetik dari alinamin yang
bekerja menghambat skualen epoxide yang merupakan enzim kunci
dari biositesis sterol jamur yang menghasilkan kekurangan ergosterol
yang menyebabkan kematian sel jamur. Secara luas pada penelitian
melaporkan keefektifan penggunaan terbinafin. Terbenafine dapat
ditoleransi penggunaanya pada anak-anak. Digunakan selama 1-4
minggu.
3. Golongan Benzilamin
a. Butenafine (mentax), anti jamur yang poten yang berhuungan dengan
alinamin. Kerusakan membran sel jamur menyebabkan sel jamur
terhambat pertumbuhannya. Digunakan dalam bentuk cream 1%,
diberikan selama 2-4 minggu. Pada anak tidak dianjurkan. Untuk
dewasa dioleskan sebanyak 4kali sehari.
4. Golongan lainnya
a. Siklopiroks (Loprox), memiliki sifat broad spektrum anti fungal.
Kerjanya berhubunan dengan sintesi DNA
b. Haloprogin (halotex), tersedia dalam bentuk solution atau spray, 1%
cream. Digunakan selama 2-4minggu dan dioleskan sebanyak 3kali
sehari.
18
c. Tolnaftate, tersedia dalam cream 1%, bedak, solution. Dioleskan 2kali
sehari selama 2-4 minggu.
Pengobatan secara sistemik dapat digunakan untuk untuk lesi yang luas
atau gagal dengan pengobatan topikal, berikut adalah obat sistemik yang
digunakan dalam pengobatan tinea cruris:
a. Ketokonazole, sebagai turunan imidazole, ketokonazole merupakan obat
jamur oral yang berspektrum luas. Kerja obat ini fungistatik. Pemberian
200mg/hari selama 2-4 minggu.
b. Itrakonazole, sebagai turunan triazole, itrakonazole merupakan obat anti
jamur oral yang berspektrum luas yang menghambat pertumbuhan sel
jamur dengan menghambat sitokrom P-450 dependent sintetis dari
ergosterol yang merupakan komponen penting pada selaput sel jamur.
Pada penelitian disebutkan bahwa itrakonazole lebih baik daripada
griseofulvin dengan hasil terbaik 2-3 minggu setelah perawatan. Dosis
dewasa 200mg po selama 1 minggu dan dosis dapat dinaikkan 100mg jika
tidak ada perbaikan tetpi tidak boleh melebihi 400mg/hari. Untuk anak-
anak 5mg/hari PO selama 1 minggu. Obat ini dikontraindikasikan pada
penderita yang hipersensitivitas, dan jangan diberikan bersama dengan
cisapride karena berhubungan dengan aritmia jantung.
c. Griseofulvin, termasuk obat fungistatik, bekerja dengan menghambat
mitosis sel jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel. Obat ini lebih
sedikit tingkat keefektifannya dibanding itrakonazole. Pemberian dosis
pada dewasa 500mg microsize (330-375 mg ultramicrosize) PO selama 2-
4minggu, untuk anak 10-25 mg/kg/hari Po atau 20 mg microsize /kg/hari.
d. Terbinafine, pemberian secara oral pada dewasa 250 mg/hari selama 2
minggu. Pada anak pemberian secara oral disesuaikan dengan berat badan:
19
12-20kg :62,5mg/hari selama 2 minggu
20-40kg :125mg/ hari selama 2 minggu
>40kg:250mg/ hari selama 2 minggu
Edukasi kepada pasien di rumah :
1. Anjurkan agar menjaga daerah lesi tetap kering.
2. Bila gatal, jangan digaruk karena garukan dapat menyebabkan infeksi.
3. Jaga kebersihan kulit dan kaki bila berkeringat keringkan dengan handuk
dan mengganti pakaian yang lembab.
4. Gunakan pakaian yang terbuat dari bahan yang dapat menyerap keringat
seperti katun, tidak ketat dan ganti setiap hari.
5. Untuk menghindari penularan penyakit, pakaian dan handuk yang
digunakan penderita harus segera dicuci dan direndam air panas.
J. KOMPLIKASI
Tinea cruris dapat terinfeksi sekunder oleh candida atau bakteri yang
lain. Pada infeksi jamur yang kronis dapat terjadi likenifikasi dan
hiperpigmentasi kulit.
K. PROGNOSIS
Prognosis penyakit ini baik dengan diagnosis dan terapi yang tepat
asalkan kelembapan dan kebersihan kulit selalu dijaga.
20
PEMBAHASAN
Tinea kruris adalah dermatofitosis pada lipat paha, daerah perineum dan
sekitar anus. Perjalanan penyakit termasuk keluhan utama dan keluhan tambahan
yaitu rasa gatal hebat terutama saat berkeringat pada daerah kruris (lipat paha), lipat
perineum, anus, bokong dan perut bagian bawah, dapat sampai ke genitalia. Kelainan
kulit yang tampak pada sela paha merupakan lesi berbatas tegas. Peradangan pada
tepi lebih nyata daripada daerah tengahnya. Efloresensi terdiri atas macam-macam
bentuk yang primer dan sekunder (polimorfi). Bila penyakit ini menjadi menahun,
dapat berupa bercak hitam disertai sedikit sisik. Erosi dan keluarnya cairan biasanya
akibat garukan.
Diagnosis Tinea Kruris pada pasien ini didasarkan pada anamnesis dan
pemeriksaan fisik. Hasil anamnesis didapatkan keluhan berupa bercak merah di sela
paha kanan dan kiri serta bokong yang semakin terasa gatal bila pasien berkeringat
banyak. Dari pemeriksaan fisik didapatkan lesi pada daerah inguinal dextra-sinistra
dan gluteal berupa lesi eritematosa yang berbatas tegas dengan tepi eritem (aktif) dan
bagian tengah lesi pucat (central healing) dengan skuama halus diatasnya, multipel
dengan bentuk dan susunan tidak teratur serta bervariasi ukurannya (3-5cm). Pada
pemeriksaan klinis, Koebner phenomen (-), tanda auspitz (-), tanda karsvetz (-),
pitting nail (-), silvery scale (-), central healing (+), tepi aktif/eritema (+), eritema (-),
pseudomembran (-), maserasi (-), lesi satelit (-), edema (-), skuama yang
berminyak/kekuningan (-).
Diagnosis banding pada kasus ini adalah eritrasma, psoriasis
intertriginosa/fleksura, kandidosis intertriginosa, dermatitis kontak alergi karena karet
celana.
Eritrasma adalah suatu infeksi kulit dangkal kronik yang biasanya menyerang
daerah-daerah yang banyak keringat. Gejala klinis yang lebih menonjol adalah rasa
panas seperti cabai yang disebabkan bakteri Corynaebacterium minutissimum. Lokasi
21
biasanya pada lipat paha bagian dalam sampai skrotum, aksila dan intergluteal.
Efloresensi berupa eritema luas berbatas tegas, dengan skuama halus dan terkadang
erosif. Diagnosis ini dapat disingkirkan dengan melakukan pemeriksaan sediaan
langsung kerokan kulit dengan pewarnaan Gram, tampak batang Gram positif. Selain
itu bisa juga dengan pemeriksaan sinar wood yang akan ditemukan fluoresensi merah
bata.
Gambaran klinis psoriasis fleksura berupa bercak-bercak eritem berbatas tegas,
ditutupi oleh skuama tebal berlapis-lapis berwarna putih mengkilat. Pada pasien ini
skuama yang terdapat pada lesi berupa skuama halus dan tidak berlapis-lapis.
Kandidosis intertriginosa berhubungan dengan beberapa faktor seperti keadaan
kulit yang terus menerus lembab, pemakaian antibiotik dan steroid, perubahan
fisiologi tubuh pada kehamilan, penyakit menahun dan kelemahan umum, gangguan
endokrin dan obesitas serta keadaan malnutrisi. Yang khas adalah lesi berupa bercak
eritematosa, berskuama, basah dan berbatas tegas yang dikelilingi oleh lesi satelit
berupa vesikel atau pustula atau bula. Bila pecah akan meninggalkan daerah erosif
dengan tepi kasar tanpa peninggian lesi. Pada pasien ini tidak didapatkan adanya lesi
satelit di sekitar lesi.
Dermatitis kontak alergi merupakan suatu dermatitis yang disertai adanya edema
interselular pada epidermis karena kulit berinteraksi dengan bahan-bahan kimia yang
berkontak atau terpajan pada kulit. Bahan tersebut bisa berupa toksik ataupun alergi.
Secara klasifikasi terbagi menjadi dermatitis kontak alergi dan dermatitis kontak
iritan. Dalam kasus ini diagnosa banding yang lebih mendekati ke tinea kruris adalah
dermatitis kontak alergi, dimana hal ini dapat terjadi karena kulit terpajan atau
berkontak dengan bahan yang bersifat sensitif atau alergi seperti karet celana. Gejala
klinis yang khas disini adalah rasa gatal yang amat sangat yang hampir keseluruh
tubuh atau terbatas pada daerah yang terpajan. Gambaran UKK pada dermatitis
kontak alergi berbatas tidak jelas, sedangkan pada pasien ini batasnya jelas.
Terapi yang diberikan pada pasien ini adalah antijamur yaitu Fungistop tablet
500mg, 1x1 tablet/hari (malam) untuk pengobatan sistemik yang mengandung
22
griseofulvin dan krim Exoderil yang berisi Naftifine HCl yang merupakan obat
topical untuk infeksi jamur yang dioleskan pada lesi yang berwarna merah 5 kali
setiap harinya. Untuk mengatasi rasa gatal diberikan antihistamin yaitu Pehachlor
tablet, 1x1 tablet/hari, yang mengandung Chlorpheniramine maleate yang merupakan
obat yang diindikasikan untuk pengobatan gejala alergi.
Griseofulvin merupakan antijamur sistemik yang diminum malam hari karena
bersifat fotosensitizer (peka terhadap sinar matahari) dan akan lebih efektif
absorbsinya apabila diminum bersama dengan susu. Griseofulvin lebih di indikasikan
untuk infeksi jamur. Griseofulvin, termasuk obat fungistatik, bekerja dengan
menghambat mitosis sel jamur dengan mengikat mikrotubuler dalam sel.
Naftifine bersifat broad spektrum anti jamur dan merupakan derivat sintetik dari
alinamin yang mekanisme kerjanya mengurangi sintesis dari ergosterol sehingga
menyebabkan pertumbuhan sel jamur terhambat.
23
DAFTAR PUSTAKA
1. Budimulja Unandar., Mikosis, Dalam Djuanda, Adhi., Ilmu Penyakit Kulit
dan Kelamin. FK UI. Jakarta. 2005. Pages : 89-105
2. Siregar R.S., Atlas berwarna saripati penyakit kulit, edisi kedua. Jakarta:
EGC. 2005. Pages: 32-33
3. Price S.A., Wilson L.M., Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses
Penyakit. Edisi 6. Jakarta. EGC. 2005. Pages: 1449-1450
4. Kerdel F.A., Jimenez-Acosta A., Dermatology: Just the fact. USA:
McGraw-Hill Inc. 2003.
5. Katzung B.G., Farmakologi Dasar Dan Klinik. Edisi VI. Jakarta. EGC. 1997.
Pages: 973-975
6. Mansjoer A., Suprohaita., Wardhani W.I., Setiowulan W., Kapita Selekta
Kedokteran. Edisi ketiga. Jakarta. Media Aesculapius. FK UI. 2000. Pages: 93-
100
7. Djuanda, A., Sani, A., Azwar, A., Handaya, Almatsier, M., Setiabudy, R.,
Firmansyah, R., Ismael, S., 2009, MIMS Indonesia Petunjuk Konsultasi, 8th ed,
PT. InfoMaster lisensi dari CMPMedica, Jakarta
8. Mulyono, 1986, Pedoman Pengobatan Penyakit Kulit dan Kelamin, 1st ed,
Meidian Mulya Jaya, Jakarta
24