presentasi kasus sle

56
PRESENTASI KASUS Systemic Lupus Eritematosus (SLE) Disusun oleh : Larasjati Tartiko 1410221030 Hasyati Dwi Kinasih 1410221013 Desi Megafini 1410221055 Annisaa Islam 1410221062 Pembimbing : dr. Heppy Oktavianto, Sp.PD SMF ILMU PENYAKIT DALAM RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

Upload: hasya-kinasih

Post on 12-Jan-2016

51 views

Category:

Documents


2 download

DESCRIPTION

SLE

TRANSCRIPT

Page 1: PRESENTASI KASUS SLE

PRESENTASI KASUS

Systemic Lupus Eritematosus (SLE)

Disusun oleh :

Larasjati Tartiko 1410221030Hasyati Dwi Kinasih 1410221013Desi Megafini 1410221055Annisaa Islam 1410221062

Pembimbing :

dr. Heppy Oktavianto, Sp.PD

SMF ILMU PENYAKIT DALAMRSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ”VETERAN” JAKARTA

PURWOKERTO

2015

Page 2: PRESENTASI KASUS SLE

LEMBAR PENGESAHAN

Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus dengan judul :

Systemic Lupus Eritematosus (SLE)

Pada tanggal,

Diajukan untuk memenuhi salah satu syarat mengikuti

program profesi dokter di Bagian Ilmu Penyakit Dalam

RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto

Disusun oleh :

Larasjati Tartiko 1410221030Hasyati Dwi Kinasih 1410221013Desi Megafini 1410221055Annisaa Islam 1410221062

Mengetahui, Pembimbing

dr. Heppy Oktavianto, Sp.PD

Page 3: PRESENTASI KASUS SLE

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Imunitas dalam tubuh memiliki peran sangat penting. Terdapat beberapa

penyakit yang disebabkan gangguan atau kelainan pada sistem imun antara lain

lupus eritematosus sistemik. Penyakit lupus eritematosus merupakan penyakit

sistemik autoimun yang bersifat kronis yang melibatkan multi organ, seperti

pada kulit, sistem saraf, ginjal, gastrointestinal, mata, juga rongga mulut.

Etiologi lupus eritematosus belum bisa dipastikan tetapi terdapat beberapa teori

yang dapat menjelaskannya, dan semua teori tersebut memiliki patogenesis yang

sama.1

Manifestasi klinis SLE sangat bervariasi dengan perjalanan penyakit yang

sulit diduga, tidak dapat diobati, dan sering berakhir dengan kematian. Kelainan

tersebut merupakan sindrom klinis disertai kelainan imunologik, seperti

disregulasi sistem imun, pembentukan kompleks imun dan yang terpenting

ditandai oleh adanya antibodi antinuklear, dan hal tersebut belum diketahui

penyebabnya yang berkaitan dengan manifestasi klinik yang sangat luas pada

satu atau beberapa organ tubuh, dan ditandai oleh inflamasi luas pada pembuluh

darah dan jaringan ikat, bersifat episodik diselangi episode remisi.2

Lupus eritematosus merupakan penyakit sistemik autoimun kronis.

Etiologi lupus eritmatosus, sama seperti penyakit autoimun lainnya sampai saat

ini belum pasti, tetapi prognosis dapat baik bila diberikan terapi yang adekuat

contohnya pada beberapa kasus lupus yang ringan, seperti pada penyakit yang

bermanifestasi pada kulit.1

Angka kejadian penyakit ini cukup tinggi, baik di seluruh dunia maupun di

negara berkembang termasuk Indonesia. Penatalaksanaan penyakit ini

membutuhkan kerjasama multidisiplin dan dukungan dari berbagai pihak.3

Page 4: PRESENTASI KASUS SLE

BAB II

LAPORAN KASUS

I. IDENTITAS PENDERITA

Nama : Ny. W

Usia : 22 tahun

Jenis kelamin : Perempuan

Status : Menikah

Agama : Islam

Pekerjaan : Ibu Rumah Tangga

Alamat : Purbadana RT02 RW1, Purwokerto

Tanggal masuk : 27 Desember 2014

Tanggal periksa : 28 Desember 2014

No. CM : 922496

II. SUBJEKTIF

1. Keluhan Utama : Sesak napas

2. Keluhan Tambahan : Nyeri menelan, rasa panas di perut dan dada,

muncul ruam kemerahan di wajah, nyeri sendi.

3. Riwayat Penyakit Sekarang

Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 27 Desember 2014 dengan

keluhan sesak napas. Keluhan tersebut pasien rasakan 1 hari sebelum

masuk RSMS. Sesak dirasakan memberat disertai dada dan perut terasa

panas. Keluhan tersebut dirasa memburuk jika pasien beraktivitas, saat

malam hari, dan saat berbaring terlentang. Keluhan dirasa membaik jika

pasien istirahat dan tidur dengan posisi setengah duduk. Pasien juga

merasakan nyeri menelan karena bibir pecah-pecah. Pasien juga

mengeluhkan muncul ruam kemerahan di wajah sudah satu tahun tetapi

hilang timbul dan menetap kurang lebih satu minggu sebelum masuk

rumah sakit. Keluhan lain juga dirasakan oleh pasien yakni nyeri sendi.

Page 5: PRESENTASI KASUS SLE

Pasien mengaku belum pernah dirawat di RSMS dengan keluhan yang

sama.

4. Riwayat Penyakit Dahulu

a. Riwayat keluhan serupa : diakui sejak satu tahun belakangan ini

b. Riwayat mondok : disangkal

c. Riwayat jantung : disangkal

d. Riwayat hipertensi : disangkal

e. Riwayat kencing manis : disangkal

f. Riwayat asma : disangkal

g. Riwayat alergi : disangkal

h. Riwayat obat-obatan : disangkal

5. Riwayat Penyakit Keluarga

a. Riwayat keluhan serupa : disangkal

b. Riwayat mondok : disangkal

c. Riwayat jantung : disangkal

d. Riwayat hipertensi : disangkal

e. Riwayat kencing manis : disangkal

f. Riwayat asma : disangkal

g. Riwayat alergi : disangkal

6. Riwayat Sosial Ekonomi

a. Community

Pasien tinggal di rumah bersama suami dan kedua orangtuanya. Rumah

pasien terletak jauh dari pusat kota sehingga diakui sulit mendapat

akses kesehatan. Hubungan pasien dan keluarga cukup baik.

b. Occupational

Pasien adalah seorang ibu rumah tangga dan belum memiliki anak.

Rumah pasien tidak terlalu luas. Terdapat beberapa jendela dan

ventilasi yang baik. Lantai rumahnya sudah terbuat dari keramik.

Rumah pasien terdiri dari 2 kamar tidur. 1 kamar mandi dan 1 WC.

Page 6: PRESENTASI KASUS SLE

Sumber air berasal dari sumur. Pasien mengatakan rumahnya sering

dibersihkan.

c. Personal habit

Pasien mengaku jarang melakukan olahraga terutama setelah muncul

keluhan nyeri sendi. Pasien senang mengkonsumsi makanan yang

pedas. Pasien tidak mengkonsumsi tidak merokok. Konsumsi air

minum pasien memasak sendiri dengan menggunakan kompor minyak

tanah. Kebiasaan BAB rutin dan BAK normal, tetapi sudah semenjak

satu minggu sulit BAB dan BAK.

d. Drugs

Pasien mengaku tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan untuk

meredakan keluhan yang dirasakan pasien.

III. OBJEKTIF

1. Keadaan Umum : lemas

2. Kesadaran : compos mentis, GCS = 15 E4M6V5

3. Vital sign

a. Tekanan Darah : 110/70mmHg

b. Nadi : 84x/menit

c. RR : 24x/menit

d. Suhu : 34,5 oC

4. Status Generalis

a. Kepala

1) Bentuk : normochepal, simetris

2) Wajah : ruam (+), lesi diskoid (+)

3) Rambut : warna hitam kemerahan, mudah

dicabut dan rontok, distribusi merata

b. Mata

1) Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)

2) Konjungtiva : anemis (+/+)

Page 7: PRESENTASI KASUS SLE

3) Sclera : ikterik (-/-)

4) Pupil : reflek cahaya (+/+), isokor

5) Eksofthalmus : (-/-)

6) Lapang pandang : tidak dilakukan pemeriksaan

7) Lensa : keruh (-/-)

8) Gerak mata : normal

9) Tekanan bola mata : tidak dilakukan pemeriksaan

10) Nistagmus : (-/-)

c. Telinga

1) otore (-/-)

2) deformitas (-/-)

3) nyeri tekan (-/-)

d. Hidung

1) nafas cuping hidung (-/-)

2) deformitas (-/-)

3) discharge (-/-)

e. Mulut

1) bibir sianosis (-)

2) bibir kering (+)

3) lidah kotor (-)

4) ulserasi (+)

f. Leher

1) Trakhea : deviasi trakhea (-)

2) KGB : tidak membesar, nyeri (-)

3) Kelenjar thyroid : tidak membesar

4) JVP : Tidak meningkat (5+2 cmH2O)

g. Dada

1) Paru

a) Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalan gerak (-),

retraksi (-), jejas (-)

Page 8: PRESENTASI KASUS SLE

b) Palpasi : vocal fremitus kanan=kiri

ketinggalan gerak (-)

c) Perkusi : sonor pada kedua lapang paru

d) Auskultasi : Suara dasar vesikuler(+/+)

Wheezing(-/-), ronkhi basah halus(-/-), ronkhi basah

kasar (-/-)

2) Jantung

a) Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V LMC sinistra

b) Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V LMC sinistra,

kuat angkat

c) Perkusi : Batas jantung kanan atas : SIC II LPSD

Batas jantung kiri atas : SIC II LPSS

Batas jantung kanan bawah : SIC IV LPSD

Batas jantung kiri bawah : SIC V LMCS

d) Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallop (-)

h. Abdomen

1) Inspeksi : cembung

2) Auskultasi : bising usus (+) normal,

3) Perkusi : timpani, pekak sisi (+), pekak alih (+)

4) Palpasi : supel, undulasi (+), hepar tidak teraba besar, dan lien

tidak teraba

besar, nyeri tekan (+) epigastrium dan hipokondrium

dextra

Page 9: PRESENTASI KASUS SLE

i. Extremitas

Pemeriksaan Ekstremitas

superior

Ekstremitas

inferior

Dextra Sinistra Dextra Sinistra

Edema + + + +

Sianosis - - - -

Ikterik - - - -

Purpura + + + +

Akral dingin - - - -

Reflek fisiologis

Bicep/tricep

Patela

+

+

+

+

+

+

+

+

Reflek patologis - - - -

Sensoris D=S D=S D=S D=S

IV. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan darah lengkap

(dilakukan di RSMS Purwokerto) 27 Desember 2014

Darah lengkap

Hemoglobin : 8 g/dl

Leukosit : 4190 uL

Hematokrit : 23%

Eritrosit : 3,0 x 10^6/uL

Trombosit : 34.000/uL

MCV : 65,6 fL

MCH : 23,2 pg

Page 10: PRESENTASI KASUS SLE

MCHC : 35,5 %

RDW : 15 %

MPV : 8 %

Hitung Jenis

Basofil : 0 %

Eosinofil : 2 %

Batang : 5 %

Segmen : 77 %

Limfosit : 13 %

Monosit : 2 %

Kimia Klinik

SGOT : 125

SGPT : 39

Ureum : 151,7

Kreatinin : 2,51

GDS : 99

Natrium : 129

Kalium : 3

Klorida : 95

V. RESUME

1. Anamnesis

Pasien datang ke IGD RSMS tanggal 27 Desember 2014 dengan

keluhan sesak napas. Keluhan tersebut pasien rasakan 1 hari sebelum

masuk RSMS. Sesak dirasakan memberat disertai dada dan perut terasa

panas. Keluhan tersebut dirasa memburuk jika pasien beraktivitas, saat

malam hari, dan saat berbaring terlentang. Keluhan dirasa membaik jika

pasien istirahat dan tidur dengan posisi setengah duduk.

Pasien juga merasakan nyeri menelan karena bibir pecah-pecah. Pasien

juga mengeluhkan muncul ruam kemerahan di wajah sudah satu tahun

Page 11: PRESENTASI KASUS SLE

tetapi hilang timbul dan menetap kurang lebih satu minggu sebelum masuk

rumah sakit.

Keluhan lain juga dirasakan oleh pasien yakni nyeri sendi. Nyeri sendi

terutama dirasakan pada sendi lutut kanan dan kiri. Nyeri berkurang saat

pasien istirahat. Pasien mengaku belum pernah dirawat di RSMS dengan

keluhan yang sama.

Riwayat penyakit dahulu

Riwayat keluhan serupa : diakui sejak 1 tahun belakangan ini

Riwayat Penyakit Keluarga : disangkal

Riwayat Sosial Ekonomi

Personal habit

Pasien tidak pernah merokok, tidak mengkonsumsi obat-obatan, namun

tinggal bersama anaknya yang seorang perokok berat. Kebiasaan BAB

rutin dan BAK normal, tetapi sudah semenjak satu minggu sulit BAB

dan BAK.

2. Pemeriksaan Fisik

Kepala: ruam (+), lesi diskoid (+), konjungtiva anemis (+/+), bibir kering

(+), ulserasi mulut (+)

Abdomen: cembung, undulasi (+), pekak sisi (+), pekak alih (+)

Extremitas: Edema + + ; purpura + +

+ + + +

3. Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan Darah

Hemoglobin : 8 g/dl

Leukosit : 4190 uL

Hematokrit : 23%

Eritrosit : 3,0 x 10^6/uL

Page 12: PRESENTASI KASUS SLE

Trombosit : 34.000/uL

Kimia Klinik

SGOT : 125

SGPT : 39

Ureum : 151,7

Kreatinin : 2,51

GDS : 99

Natrium : 129

Kalium : 3

Klorida : 95

VI. ASSESSMENT

Diagnosis Klinis : SLE

VII. PLANNING

a. Rawat inap

b. Farmakologi

1. O2 3 lpm nasal kanul (bila perlu)

2. IVFD RL 20 tetes/menit

3. Inj. Ondansetron 2x1 ampul IV

4. Inj. Ranitidin 2x1 ampul IV

5. Inj. Metilprednisolon 2x62,5 mg IV

6. Drip Ketorolac 3x1 ampul IV

7. Drip Nistatin 3x1 ampul IV

8. PO. Inpepsa syr 3x1 cth.

c. Non Farmakologi

Page 13: PRESENTASI KASUS SLE

1. Edukasi tentang penyakit, faktor risiko, pengobatan dan komplikasi

penyakit.

2. Keseimbangan nutrisi antara protein, lemak, karbohidrat.

d. Monitoring

1. Keadaan umum dan kesadaran

2. Tanda Vital

VIII. PROGNOSIS

Ad vitam : dubia ad malam

Ad fungsionam : dubia ad malam

Ad sanationam : dubia ad malam

Page 14: PRESENTASI KASUS SLE

BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi Lupus Erythematosus

Lupus erithematosus adalah suatu kondisi inflamasi yang berhubungan

dengan sistem imunologis yang menyebabkan kerusakan multi organ. Lupus

eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem tubuh

menyerang jaringannya sendiri.

Terdapat beberapa spekulasi pendapat untuk istilah lupus eritematosus.

Kata “lupus” dalam bahasa Latin berarti serigala, ”erythro” berasal dari bahasa

yunani yang berarti merah, sehingga lupus digambarkan sebagai daerah merah

sekitar hidung dan pipi, yang dikenal dengan butterfly - shaped malar rash.

2.2 Etiologi Lupus Eritematosus Sistemik

Etiologi penyakit SLE masih belum terungkap dengan pasti tetapi diduga

merupakan interaksi antara faktor genetik, faktor yang didapat dan faktor

lingkungan. Apapun etiologinya, selalu terdapat predisposisi genetik yang

menunjukkan hubungannya dengan antigen spesifik HLA (Human Leucocyte

Antigen) / MHC (Major Histocompatybility Complex). Defek utama pada lupus

eritematosus sistemik adalah disfungsi limfosit B, begitu juga supresor limfosit T

yang berkurang, sehingga memudahkan terjadinya peningkatan autoantibody.

Resiko meningkat 25-50% pada kembar identik dan 5% pada kembar

dizygotic, menunjukkan kaitannya dengan faktor genetik. Fakta bahwa sebagian

kasus bersifat sporadis tanpa diketahui faktor predisposisi genetiknya,

menunjukkan faktor lingkungan juga berpengaruh. Infeksi dapat menginduksi

respon imun spesifik berupa molecular mimicry yang mengacau regulasi sistem

imun.

Tabel 1. Faktor Lingkungan yang mungkin berperan dalam patogenesis

Lupus Eritematous Sistemik (dikutip dari Ruddy: Kelley's

Page 15: PRESENTASI KASUS SLE

Textbook of Rheumatology, 6th ed 2001)

Ultraviolet B light

Hormon sex

rasio penderita wanita : pria = 9:1 ; menarche : menopause = 3:1

Faktor diet

Alfalfa sprouts dan sprouting foods yang mengandung L-canavanine;

Pristane atau bahan yang sama; Diet tinggi saturated fats.

Faktor Infeksi

DNA bakteri; Human retroviruses; Endotoksin, lipopolisakarida bakteri

Faktor paparan dengan obat tertentu :

Hidralazin; Prokainamid; Isoniazid; Hidantoin; Klorpromazin;

Methyldopa; D-Penicillamine; Minoksiklin; Antibodi anti-TNF-a;

Interferon-a.

Terdapat dua teori mengenai etiologi lupus, yaitu :

1) Teori yang pertama menyebutkan bahwa pada perkembangan penyakit mulai

dari gambaran awal sampai timbul kerusakan didasari oleh produksi sirkulasi

autoantibodi menjadi suatu nukleoprotein, yaitu antinuclear antibodies

(ANA). Proses awal tidak diketahui tetapi kemungkinan terjadi mutasi gen

yang berhubungan dengan sel yang mengalami apoptosis yang melibatkan

limfosit, kemudian limfosit bereaksi menyerang selnya sendiri.

Autoantibodi pada lupus dibentuk menjadi antigen nuclear (ANA)

dan (anti-DNA). Autoantibodi terlibat dalam pembentukan kompleks imun,

yang diikuti oleh aktivasi komplemen yang mempengaruhi respon inflamasi

banyak jaringan, termasuk kulit dan ginjal. 2

2) Teori lainnya menyatakan autoantibody lupus eritematosus merupakan

lanjutan dari reaksi silang antigen eksogen seperti retrovirus RNA.

2.3 Patogenesis Lupus Eritematosus Sistemik

Page 16: PRESENTASI KASUS SLE

Ada empat faktor yang menjadi perhatian bila membahas pathogenesis

SLE, yaitu : faktor genetik, lingkungan, kelainan sistem imun dan hormon.

1. Faktor genetik memegang peranan pada banyak penderita lupus dengan

resiko yang meningkat pada saudara kandung dan kembar monozigot. Studi

lain mengenai faktor genetik ini yaitu studi yang berhubungan dengan HLA

(Human Leucocyte Antigens) yang mendukung konsep bahwa gen MHC

(Major Histocompatibility Complex) mengatur produksi autoantibodi

spesifik. Penderita lupus (kira-kira 6%) mewarisi defisiensi komponen

komplemen, seperti C2,C4, atau C1q dan imunoglobulin (IgA), atau

kecenderungan jenis fenotip HLA (-DR2 dan -DR3). Faktor imunopatogenik

yang berperan dalam LES bersifat multipel, kompleks dan interaktif.

Kekurangan komplemen dapat merusak pelepasan sirkulasi kompleks imun

oleh sistem fagositosit mononuklear, sehingga membantu terjadinya deposisi

jaringan. Defisiensi C1q menyebabkan fagositis gagal membersihkan sel

apoptosis, sehingga komponen nuklear akan menimbulkan respon imun.

2. Faktor lingkungan dapat menjadi pemicu pada penderita lupus, seperti radiasi

ultra violet, obat-obatan, virus. Sinar UV mengarah pada self-immunity dan

hilang toleransi karena menyebabkan apoptosis keratinosit. Selain itu sinar

UV menyebabkan pelepasan mediator imun pada penderita lupus, dan

memegang peranan dalam fase induksi yanng secara langsung merubah sel

DNA, serta mempengaruhi sel imunoregulator yang bila normal membantu

menekan terjadinya kelainan pada inflamasi kulit. Pengaruh obat

memberikan gambaran bervariasi pada penderita lupus, yaitu meningkatkan

apoptosis keratinosit. Faktor lingkungan lain yaitu peranan agen infeksius

terutama virus rubella, sitomegalovirus, dapat mempengaruhi ekspresi sel

permukaan dan apoptosis.

3. Faktor imunologis, selama ini dinyatakan bahwa hiperaktivitas sel limfosit B

menjadi dasar dari pathogenesis lupus eritematosus sistemik. Beberapa

autoantibodi ini secara langsung bersifat patogen termasuk dsDNA (double-

Page 17: PRESENTASI KASUS SLE

stranded DNA), yang berperan dalam membentuk kompleks imun yang

kemudian merusak jaringan.

Selama perjalanan penyakit lupus tubuh membuat beberapa jenis

autoantibodi terhadap berbagai antigen diri. Di antara berbagai jenis

autoantibodi yang paling sering dijumpai pada penderita lupus adalah

antibodi antinuklear (autoantibodi terhadap DNA, RNA, nukleoprotein,

kompleks protein-asam nukleat). Umumnya titer antiDNA mempunyai

korelasi dengan aktivitas penyakit lupus. Beberapa antibodi antinuklear

mempunyai aksi patologis direk, yaitu bersifat sitotoksik dengan

mengaktifkan komplemen, tetapi dapat juga dengan mempermudah destruksi

sel sebagai perantara bagi sel makrofag yang mempunyai reseptor Fc

imunoglobulin. Contoh klinis mekanisme terakhir ini terlihat sebagai

sitopenia autoimun. Ada pula autoantibodi tertentu yang bersifat

membahayakan karena dapat berinteraksi dengan substansi antikoagulasi,

diantaranya antiprotrombin, sehingga dapat terjadi trombosis disertai

perdarahan. Antibodi antinuklear telah dikenal pula sebagai pembentuk

kompleks imun yang sangat berperan sebagai penyebab vaskulitis.

Autoantibodi pada lupus tidak selalu berperan pada patogenesis

ataupun bernilai sebagai petanda imunologik penyakit lupus. Antibodi

antinuklear dapat ditemukan pada bukan penderita lupus, atau juga dalam

darah bayi sehat dari seorang ibu penderita lupus. Selain itu diketahui pula

bahwa penyakit lupus ternyata tak dapat ditularkan secara pasif dengan

serum penderita lupus.

Adanya keterlibatan kompleks imun dalam patogenesis LES

didasarkan pada adanya kompleks imun pada serum dan jaringan yang

terkena (glomerulus renal, tautan dermis-epidermis, pleksus koroid) dan

aktivasi komplemen oleh kompleks imun menyebabkan hipokomplemenemia

selama fase aktif dan adanya produk aktivasi komplemen. Beberapa

kompleks imun terbentuk di sirkulasi dan terdeposit di jaringan, beberapa

terbentuk insitu (suatu mekanisme yang sering terjadi pada antigen dengan

Page 18: PRESENTASI KASUS SLE

afinitas tinggi, seperti dsDNA). Komponen C1q dapat terikat langsung pada

dsDNA dan menyebabkan aktivasi komplemen tanpa bantuan autoantibodi.

4. Meskipun hormon steroid (sex hormone) tidak menyebabkan LES, namun

mempunyai peran penting dalam predisposisi dan derajat keparahan

penyakit. Penyakit LES terutama terjadi pada perempuan antara menars dan

menopause, diikuti anak-anak dan setelah menopause. Namun, studi oleh

Cooper menyatakan bahwa menarche yang terlambat dan menopause dini

juga dapat mendapat LES, yang menandakan bahwa pajanan estrogen yang

lebih lama bukan risiko terbesar untuk mendapat LES.

Adanya defisiensi relatif hormon androgen dan peningkatan hormon

estrogen merupakan karakteristik pada LES. Anak-anak dengan LES juga

mempunyai kadar hormon FSH (Follicle-stimulating hormone), LH

(Luteinizing hormone) dan prolaktin meningkat. Pada perempuan dengan

LES, juga terdapat peningkatan kadar 16 alfa hidroksiestron dan estriol.

Frekuensi LES meningkat saat kehamilan trimester ketiga dan postpartum.

Pada hewan percobaan hormon androgen akan menghambat perkembangan

penyakit lupus pada hewan betina, sedangkan kastrasi prapubertas akan

mempertinggi angka kematian penderita jantan.

2.4 Patofisiologi

Adanya satu atau beberapa faktor pemicu yang tepat pada individu yang

mempunyai predisposisi genetik akan menghasilkan tenaga pendorong abnormal

terhadap sel T CD4+, mengakibatkan hilangnya toleransi sel T terhadap self-antigen.

Sebagai akibatnya muncullah sel T autoreaktif yang akan menyebabkan induksi serta

ekspansi sel B, baik yang memproduksi auto antibodi maupun yang berupa sel

memori. Wujud pemicu ini masih belum jelas. Sebagian dari yang diduga termasuk di

dalamnya ialah hormon seks, sinar ultraviolet dan berbagai macam infeksi.

SLE adalah penyakit multigenik. Pada kebanyakan individu yang genetiknya

rentan, alel normal dari multipel gen normal masing-masing menyumbangkan

sejumlah kecil respon imun abnormal, jika variasi terkumpul cukup banyak, penyakit

muncul. Kekurangan homozigot komponen awal komplemen (C1q, r, s, C2, C4)

Page 19: PRESENTASI KASUS SLE

menganugerahkan kecenderungan kuat untuk terjadi SLE, namun kekurangan

tersebut jarang terjadi. Setiap gen lain yang tercantum risiko meningkatkan SLE

hanya 1,5 hingga 3 kali lipat. Beberapa alel gen mungkin berkontribusi terhadap

kerentanan penyakit dengan izin mempengaruhi sel apoptosis (C1q, MBL) atau

kompleks imun (FCR 2A dan 3A), presentasi antigen (HLA-DR2, 3,8), pematangan

sel B (IL-10), T aktivasi sel (PTPN22), atau kemotaksis (MCP-1). Tak satu pun dari

hipotesis tersebut terbukti. Selain mempengaruhi kerentanan penyakit dalam berbagai

kelompok etnis, beberapa gen mempengaruhi manifestasi klinis penyakit (misalnya,

FcR2A/3A, MBL, PDCD1 untuk nefritis, MCP-1 untuk arthritis dan vasculitis).

Sebuah daerah pada kromosom 16 mengandung gen yang mempengaruhi untuk SLE,

psoriasis arthritis, arthritis, dan penyakit Crohn, menunjukkan adanya "gen

autoimunitas" itu, saat berinteraksi dengan gen lain, predisposisi penyakit autoimun

yang berbeda. Semua kombinasi gen mempengaruhi respon imun terhadap

lingkungan eksternal dan internal, ketika respon tersebut terlalu tinggi dan / atau

terlalu lama, timbullah penyakit autoimun.

Jenis kelamin wanita lebih banyak terkena SLE karena lebih banyak membuat

respon antibodi yang lebih tinggi daripada laki-laki. Perempuan yang memakai

hormon estrogen yang terdapat pada kandungan kontrasepsi oral atau penggantian

hormon memiliki peningkatan risiko mengembangkan SLE (1,2 hingga 2 kali lipat).

Estradiol berikatan dengan reseptor pada limfosit T dan B, meningkatkan aktivasi dan

kelangsungan hidup sel-sel, sehingga mendukung respon imun berkepanjangan.

Beberapa rangsangan lingkungan dapat mempengaruhi SLE. Paparan sinar

ultraviolet menyebabkan kekambuhan dari SLE pada sekitar 70% pasien, mungkin

dengan meningkatkan apoptosis pada sel kulit atau dengan mengubah DNA dan

protein intraseluler untuk membuat mereka antigenik.

Ada kemungkinan bahwa beberapa infeksi menginduksi respon imun normal

yang matang mengandung beberapa sel T dan sel B yang menganggapnya antigen, sel

tersebut tidak diatur dengan baik, dan produksi autoantibody terjadi. Kebanyakan

pasien SLE memiliki autoantibodi selama 3 tahun atau lebih sebelum gejala pertama

penyakit, menunjukkan regulasi yang mengontrol derajat autoimun selama bertahun-

Page 20: PRESENTASI KASUS SLE

tahun sebelum kuantitas dan kualitas autoantibodi dan B patogen dan sel T benar-

benar menyebabkan gejala klinis. Epstein-Barr virus (EBV) mungkin menjadi salah

satu agen infeksi yang dapat memicu SLE pada individu yang rentan. Anak-anak dan

orang dewasa dengan SLE lebih mungkin terinfeksi oleh EBV dari usia, jenis

kelamin, dan kontrol etnik-pengamatan dikonfirmasi di Afrika-Amerika dewasa

dalam populasi yang lain. EBV mengaktivasi dan menginfeksi limfosit B dan

bertahan dalam sel-sel selama beberapa dekade, tetapi juga mengandung sekuens

asam amino yang meniru susunan pada spliceosomes manusia (RNA / antigen protein

sering diakui oleh autoantibodies pada orang dengan SLE). Dengan demikian,

interaksi antara kerentanan genetik, lingkungan, jenis kelamin, dan abnormal

tanggapan kekebalan menghasilkan autoimunitas.

Pada SLE, biopsi menunjukkan kulit deposisi terkena Ig di persimpangan

dermal-epidermal (DEJ), cedera pada keratinosit basal, dan peradangan didominasi

oleh limfosit T dalam DEJ dan sekitar pembuluh darah dan pelengkap dermal. Kulit

klinis terpengaruh juga dapat menunjukkan deposisi Ig pada DEJ tersebut.

Pada SLE, autoantibodi yang terbentuk ditujukan terhadap antigen yang

terutama terletak pada nukleoplasma. Antigen sasaran ini meliputi DNA, protein

histon dan non histon. Kebanyakan diantaranya dalam keadaan alamiah terdapat

dalam bentuk agregat protein dan atau kompleks protein RNA yang disebut partikel

ribonukleo protein (RNA). Ciri khas auto antigen ini ialah bahwa mereka tidak tissue-

spesific dan merupakan komponen integral semua jenis sel. Antibodi ini secara

bersama-sama disebut ANA (anti-nuclear antibody). Dengan antigennya yang

spesifik, ANA membentuk kompleks imun yang beredar dalam sirkulasi.

Page 21: PRESENTASI KASUS SLE

Telah ditunjukkan bahwa penanganan kompleks imun pada SLE terganggu.

Dapat berupa gangguan klirens kompleks imun besar yang larut, gangguan

pemprosesan kompleks imun dalam hati, dan penurun uptake kompleks imun pada

limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya deposit kompleks imun

di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan mengendap pada

berbagai macam organ dengan akibat terjadinya fiksasi komplemen pada organ

tersebut.

Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi

penyebab timbulnya reaksi radang. Reaksi radang inilah yangmenyebabkan

timbulnya keluhan/ gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,

sendi, pleura, pleksus koroideus, kulit dan sebagainya. Bagian yang penting dalam

patofisiologi ini ialah terganggunya mekanisme regulasi yang dalam keadaan normal

mencegah autoimunitas patologis pada individu yang resisten.

Page 22: PRESENTASI KASUS SLE

2.5 Klasifikasi SLE

Kriteria klasifikasi LES mengacu pada klasifikasi yang dibuat oleh

American College of Rheumatology (ACR) pada tahun 1982 dan dimodifikasi

pada tahun 1997. Kriteria diagnosis pada anak berdasarkan kriteria tersebut

mempunyai sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Meskipun sebagian besar

penderita LES mempunyai ANA, namun titer yang rendah atau moderat

mempunyai spesifisitas yang rendah. Sedangkan penderita yang mempunyai

antibodi terhadap dsDNA dan Sm hampir pasti juga mempunyai ANA.

 

2.6 Manifestasi Klinis

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit

dapat timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam

tubuh. Dapat juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun

diikuti oleh gejala terkenanya sistem imun.

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5

tahun. Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi.

Onset penyakit dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak

dengan sinar matahari infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.

A. Gejala Konstitusional

Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling

sering adalah anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan,

limfadenopati dan irritable. Gejala dapat berlangsung intermiten atau terus-

menerus.

B. Gejala Muskuloskeletal

Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan, dapat berupa

athralgia (90%) dan sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling

sering terkena adalah sendi interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut,

pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku dan pergelangan kaki.

Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris,

terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif

Page 23: PRESENTASI KASUS SLE

terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES.

Arthritis pada tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan

sendi yang berat. Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan

setelah dalam pengobatan kortikosteroid dan vaskulopati.

Berbeda dengan JRA, arthritis LES umumnya sangat nyeri, dan nyeri

ini tak proporsional dengan hasil pemeriksaan fisik sendi. Pemeriksaan

radiologis menunjukkan osteopeni tanpa adanya perubahan pada tulang

sendi. Anak dengan JRA polyarticular yang beberapa tahun kemudian dapat

menjadi LES. Berikut merupakan mekanisme arthritis pada SLE.

C. Gejala Mukokutan

Kelainan kulit atau selaput lendir ditemukan pada 55% kasus SLE.

1). Lesi Kulit Akut

Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit

berbentuk kupu-kupu (butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit

edematus pada hidung dan kedua pipi. Karakteristik malar atau ruam

kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari merah pada

erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches.

Ruam mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua

daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat

Page 24: PRESENTASI KASUS SLE

sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam yang tidak

beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh

tanpa bekas.

2). Lesi Kulit Sub Akut

Lesi kulit sub akut yang khas berbentuk anular.

3). Lesi Diskoid

Sebesar 2 sampai 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15

tahun. Sekitar 7 % lesi discoid akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun,

sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil pemeriksan laboratorium

menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang disertai

peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan.

Ruam diskoid adalah ruam pada kulit leher, kepala, muka,

telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang menimbul dan berbatas

tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri

Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan

atropi. Biasanya tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi,

tertutup oleh sisik keratin disertai oleh adanya penyumbatan folikel.

Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk sikatrik.

Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka

terjadi lebih sering sebagai manifestasi dari SLE daripada sebagai

diskoid lupus erythematosis (DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di

masa kanak-kanak.

Page 25: PRESENTASI KASUS SLE

4). Livido Retikularis

Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE.

Vaskulitis kulit dapat menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil

sampai yang besar. Sering juga tampak perdarahan dan eritema

periungual.

5). Urtikaria

Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah

penyakit tenang secara klinis dan serologis.

D. Kelainan pada Ginjal

Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus

nefritis. Lupus nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama

terdiagnosanya LES. Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis

adalah:

(1) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis

(2) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis

(3) Kelas III: focal lupus nephritis

(4) Kelas IV: diffuse lupus nephritis

(5) Kelas V: membranous lupus nephritis

(6) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus SLE. Manifestasi paling sering

ialah proteinuria dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada

Page 26: PRESENTASI KASUS SLE

ginjal yaitu nefritis lupus difus dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus

difus merupakan kelainan yang paling berat. Klinis tampak sebagai sindrom

nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang sampai berat. Nefritis

membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma nefrotik,

gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin

berlangsung cepat atau lambat tapi progresif.

E. Serositis (pleuritis dan perikarditis)

Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan

radiologis menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih

sering unilateral, mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya

efusi menghilang dengan pemberian terapi yang adekuat.

F. Pneuminitis Interstitial

Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering

tidak dapat diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.

G. Gastrointestinal

Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut

abdomen, muntah dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis

intestinalis. Gejala menghilang dengan cepat bila gangguan sistemiknya

mendapat pengobatan yang adekuat.

H.Hati dan Limpa

Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang

disertai ikterus. Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau

kembali normal.

I. Kelenjar Getah Bening dan Kelenjar Parotis

Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya

berupa limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis

membesar pada 60% kasus SLE.

J. Susunan Saraf Tepi

Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik.

Biasanya bersifat sementara.

Page 27: PRESENTASI KASUS SLE

K.Susunan Saraf Pusat

Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan

kelumpuhan dan kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan

kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini membutuhkan evaluasi untuk

mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan metabolik. Trombosis

vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila diagnosa

lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan.

Gangguan susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu

psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak organik biasanya

ditemukan bersamaan dengan gejala aktif SLE pada sistem-sistem lainnya.

Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan

organik otak.

Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan

lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis

transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic

meningitis, chorea, defisit kognitif global, melintang myelitis, neuritis perifer

dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak

selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain vaskulitis,

deposit gamma globulin di pleksus koroideus.

L. Hematologi

Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia,

Coombs-positif anemia hemolitik, anemia penyakit kronis

trombositopenia, dan lekopenia.

M. Fenomena Raynaud

Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali

hangat. Terjadi karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh

darah dan aktivasi komplemen lokal.

Page 28: PRESENTASI KASUS SLE

2.7 Pemeriksaan Penunjang dan Diagnosis SLE

Secara umum anjuran pemeriksaan yang perlu dilakukan adalah  Analisis

darah tepi lengkap (darah rutin dan LED), Sel LE, Antibodi antinuclear (ANA),

Anti-dsDNA (anti DNA natif), Autoantibodi lain (anti SM, RF, antifosfolipid,

antihiston, dll), Titer komplemen C3, C4 dan CH50, Titer IgM, IgG, IgA,

krioglobulin, masa pembekuan, serologi sifilis (VDRL), Uji Coombs,

Elektroforesis protein, Kreatinin dan ureum darah, Protein urin (total protein

dalam 24 jam), Biakan kuman, terutama dalam urin dan foto rontgen dada.

Mengingat banyaknya pemeriksaan yang dilakukan bila tidak terdapat

berbagai macam komplikasi atau karena pertimbangan biaya maka maka dapat

dilakukan permeriksaan awal yang penting seperti darah lengkap dan hitung

jenis, trombosit, LED, ANA, urinalisis, sel LE dan  antibodi anti-ds DNA.

Berbagai kriteria diagnosis klinis penyakit lupus telah diajukan akan tetapi

yang paling banyak dianut adalah kriteria menurut American College of

Rheumatology (ACR). Diagnosis LES ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4

dari 11 kriteria ACR tersebut.

Kriteria diagnosis lupus menurut ACR (American College of Rheumatology).

(Dikutip dengan modifikasi dari Petty dan Laxer, 2005)

No Kriteria Definisi1 Bercak malar

(butterfly rash)Eritema datar atau menimbul yang menetap di daerah pipi, cenderung menyebar ke lipatan nasolabial

2 Bercak diskoid Bercak eritema yang menimbul dengan adherent keratotic scaling dan follicular plugging, pada lesi lama dapat terjadi parut atrofi

3 Fotosensitif Bercak di kulit yang timbul akibat paparan sinar matahari, pada anamnesis atau pemeriksaan fisik

4 Ulkus mulut Ulkus mulut atau nasofaring, biasanya tidak nyeri

5 Artritis Artritis nonerosif pada dua atau lebih persendian perifer, ditandai dengan nyeri tekan, bengkak atau efusi

Page 29: PRESENTASI KASUS SLE

6 Serositif a. PleuritisRiwayat pleuritic pain atau terdengar pleural friction rub atau terdapat efusi pleura pada pemeriksaan fisik.ataub. PerikarditisDibuktikan dengan EKG atau terdengar pericardial friction rub atau terdapat efusi perikardial pada pemeriksaan fisik

7 Gangguan ginjal a. Proteinuria persisten > 0,5 g/hr atau pemeriksaan +3 jika pemeriksaan kuantitatif tidak dapat dilakukan.ataub. Cellular cast : eritrosit, Hb, granular, tubular atau campuran

8 Gangguan saraf KejangTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)atauPsikosisTidak disebabkan oleh obat atau kelainan metabolik (uremia, ketoasidosis atau ketidakseimbangan elektrolit)

9 Gangguan darah Terdapat salah satu kelainan darahAnemia hemolitik à dengan retikulositosisLeukopenia à < 4000/mm3 pada >  1 pemeriksaanLimfopenia à < 1500/mm3 pada >  2 pemeriksaanTrombositopenia à < 100.000/mm3 tanpa adanya intervensi obat

10 Gangguan imunologi Terdapat salah satu kelainanAnti ds-DNA diatas titer normalAnti-Sm(Smith) (+)Antibodi fosfolipid (+) berdasarkankadar serum IgG atau IgM antikardiolipin yang abnormalantikoagulan lupus (+) dengan menggunakan tes standartes sifilis (+) palsu, paling sedikit selama 6 bulan dan dikonfirmasi dengan ditemukannya

Page 30: PRESENTASI KASUS SLE

Treponema palidum atau antibodi treponema11 Antibodi antinuklear Tes ANA (+)

*Empat dari 11 kriteria positif menunjukkan 96% sensitivitas dan 100%

spesifisitas

Peningkatan titers ANA sering terjadi pada anak-anak dengan lupus aktif.

Ini adalah alat penyaringan yang sangat baik, meskipun ANA dapat ditemukan

tanpa penyakit atau dapat dikaitkan dengan kondisi rematik dan lainnya. Tingkat

anti-DNA rantai ganda, yang lebih spesifik untuk lupus, mencerminkan tingkat

aktivitas penyakit. Tingkat serum dari total hemolitik komplemen (CH50), C3,

dan C4 akan menurun pada penyakit aktif dan memberikan ukuran kedua

aktivitas penyakit.

 2.8 Komplikasi

Komplikasi LES pada anak meliputi:

Hipertensi (41%)

Gangguan pertumbuhan (38%)

Gangguan paru-paru kronik (31%)

Abnormalitas mata (31%)

Kerusakan ginjal permanen (25%)

Gejala neuropsikiatri (22%)

Kerusakan muskuloskeleta (9%)

Gangguan fungsi gonad (3%)

2.9 Penatalaksanaan

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah kelainan

organ yang sudah terjadi. Adanya infeksi dan proses penyakit bisa dipantau dari

pemeriksaan serologis. Monitoring dan evaluasi bisa dilakukan dengan

parameter laboratorium yang dihubungkan dengan aktivitas penyakit. SLE yang

Page 31: PRESENTASI KASUS SLE

tidak diobati dapat diikuti oleh penyembuhan spontan, dapat menjadi

penyakit menahun, atau kematian yang cepat.

Penyakit LES adalah penyakit kronik yang ditandai dengan remisi dan

relaps. Terapi suportif tidak dapat dianggap remeh. Edukasi bagi orang tua dan

anak penting dalam merencanakan program terapi yang akan dilakukan. Edukasi

dan konseling memerlukan tim ahli yang berpengalaman dalam menangani

penyakit multisistem pada anak dan remaja. Nefrologis perlu dilibatkan pada

awal penyakit untuk pengamatan yang optimal terhadap komplikasi ginjal.

Demikian pula keterlibatan dermatologis dan nutrisionis. Perpindahan terapi ke

masa dewasa harus direncanakan sejak remaja.

1. Diet seimbang dengan masukan kalori yang sesuai. Dengan adanya kenaikan

berat badan akibat penggunaan obat glukokortikoid, maka perlu dihindari

makanan “junk food” atau makanan mengandung tinggi sodium untuk

menghindari kenaikan berat badan berlebih.

2. Penggunaan tabir surya dengan kadar SPF lebih dari 15 perlu diberikan pada

anak jika berada di luar rumah, karena dapat melindungi dari sinar UVB.

3. Pencegahan infeksi dilakukan dengan cara imunisasi, karena risiko infeksi

meningkat pada anak dengan LES. Pemberian antibiotik sebagai profilaksis

dihindari dan hanya diberikan sesuai dengan hasil kultur. Terdapat beberapa

patokan untuk penatalaksanaan infeksi pada penderita lupus, yaitu ;

1) diagnosis dini dan pengobatan segera penyakit infeksi, terutama infeksi

bakterial

2) sebelum dibuktikan penyebab lain, demam disertai leukositosis (leukosit

>10.000) harus dianggap sebagai gejala infeksi,

3) gambaran radiologi infiltrat limfositik paru harus dianggap dahulu sebagai

infeksi bakterial sebelum dibuktikan sebagai keadaan lain, dan

4) setiap kelainan urin harus dipikirkan dulu kemungkinan pielonefritis.

Page 32: PRESENTASI KASUS SLE

Lupus diskoid

Terapi standar adalah fotoproteksi, anti-malaria dan steroid topikal. Krim

luocinonid 5% lebih efektif dibadingkan krim hidrokrortison 1%. Terapi

dengan hidroksiklorokuin efektif pada 48% pasien dan acitrenin efektif

terhadap 50% pasien.

Serositis lupus (pleuritis, perikarditis)

Standar terapi adalah NSAIDs (dengan pengawasan ketat terhadap gangguan

ginjal), antimalaria dan kadang-kadang diperlukan steroid dosis rendah.

Arthritis lupus

Untuk keluhan muskuloskeletal, standar terapi adalah NSAIDs dengan

pengawasan ketat terhadap gangguan ginjal dan antimalaria. Sedangkan untuk

keluhan myalgia dan gejala depresi diberikan serotonin reuptake inhibitor

antidepresan (amitriptilin).

Miositis lupus

Standar terapi adalah kortikosteroid dosis tinggi, dimulai dengan prednison

dosis 1-2 mg/kg/hari dalam dosis terbagi, bila kadar komplemen meningkat

mencapai normal, dosis di tapering off secara hati-hati dalam 2-3 tahun

sampai mencapai dosis efektif terendah. Metode lain yang digunakan untuk

mencegah efek samping pemberian harian adalah dengan cara pemberian

prednison dosis alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250

mg), metrotreksat atau azathioprine.

Fenomena Raynaud

Standar terapinya adalah calcium channel blockers, misalnya nifedipin;  alfa 1

adrenergic-receptor antagonist dan nitrat, misalnya isosorbid mononitrat.

Lupus nefritis

Kelas I : Tidak ada terapi khusus dari klasifikasi WHO

Kelas II : (mesangial) mempunyai prognosis yang baik dan membutuhkan

terapi minimal. Peningkatan proteinuria harus diwaspadai karena

menggambarkan perubahan status penyakit menjadi lebih parah.

Page 33: PRESENTASI KASUS SLE

Kelas III : (focal proliferative Nefritis/FPGN) memerlukan terapi yang sama

agresifnya dengan  DPGN, khususnya bila ada  lesi focal

necrotizing.

Kelas IV : (DPGN) kombinasi kortikosteroid dengan siklofosfamid intravena

ternyata lebih baik dibandingkan bila hanya dengan prednison.

Siklofosfamid intravena telah digunakan secara luas baik untuk

DPGN maupun bentuk lain dari lupus nefritis. Azatioprin telah

terbukti memperbaiki outcome jangka panjang untuk tipe DPGN.

Prednison dimulai dengan dosis tinggi harian selama 1 bulan, bila

kadar komplemen meningkat mencapai normal, dosis di tapering off

secara hati-hati selama 4-6 bulan. Siklofosfamid intravena diberikan

setiap bulan, setelah 10-14 hari pemberian, diperiksa kadar

lekositnya. Dosis siklofosfamid selanjutnya akan dinaikkan atau

diturunkan tergantung pada jumlah lekositnya (normalnya 3.000-

4.000/ml).

Kelas V : regimen terapi yang biasa dipakai adalah (1). monoterapi dengan

kortikosteroid. (2). terapi kombinasi kortikosteroid dengan

siklosporin A, (3). sikofosfamid, azathioprine,atau klorambusil.

Proteinuria sering bisa diturunkan dengan ACE inhibitor. Pada

Lupus nefritis kelas V tahap lanjut. pilihan terapinya adalah dialisis

dan transplantasi renal.

Gangguan hematologis

Untuk trombositopeni,  terapi yang dipertimbangkan pada kelainan ini adalah

kortikosteroid, imunoglobulin intravena, anti D intravena, vinblastin, danazol

dan splenektomi. Sedangkan untuk anemia hemolitik, terapi yang

dipertimbangkan adalah kortikosteroid, siklfosfamid intravena, danazol dan

splenektomi.

Pneumonitis interstitialis lupus

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid

intravena.

Page 34: PRESENTASI KASUS SLE

Vaskulitis lupus dengan keterlibatan organ penting

Obat yang digunakan pada kasus ini adalah kortikosteroid dan siklfosfamid

intravena.

Obat-obat yang sering digunakan pada penderita LES

1. Antimalaria : Hidroksiklorokin 3-7 mg/kg/hari PO dalam garam sulfat

(maksimal 400 mg/hari)

2. Kortiko-steroid  : Prednison dosis harian (1 mg/kg/hari); prednison dosis

alternate yang lebih tinggi (5 mg/kg/hari, tak lebih 150-250 mg); prednison

dosis rendah harian (0.5 mg/kg)/hari yg digunakan bersama

methylprednisolone dosis tinggi intermitten  (30 mg/kg/dosis, maksimum mg)

per minggu.

3. Obat imuno-supresif : Siklofosfamid 500-750 mg/m2 IV 3 kali sehari selama 3

minggu.  maksimal 1 g/m2. Harus diberikan IV dengan infus terpasang, dan

dimonitor. Monitor lekosit pada 8-14 hari mengikuti setiap dosis (lekosit

dimaintenance > 2000-3000/mm3). Azathioprine  1-3 mg/kg/hari PO 4 kali

sehari.

4. Non-steroidal anti-inflam-matory drugs (NSAIDs)

Naproxen 7-20 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 500-1000 mg/hari

Tolmetin 15-30 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis maks 1200-1800 mg/hari

Diclofenac

< 12 tahun : tak dianjurkan

> 12 tahun : 2-3 mg/kg/hari PO digagi 2 dosis maksimal 100-200 mg/hari

5. Suplemen Kalsium dan vitamin D        

Kalsium karbonat      

< 6 bulan : 360 mg/hari

6-12 bulan : 540 mg/hari

1-10 bulan : 800 mg/hari

11-18 bulan : 1200 mg/hari

Calcifediol

< 30 kilogram : 20 mcg PO 3 kali/minggu

Page 35: PRESENTASI KASUS SLE

> 30 kilogram : 50 mcg PO 3 kali/minggu

6. Anti-hipertensi

Nifedipin  0.25-0.5 mg/kg/dosis PO dosis awal, tak lebih dari 10 mg, diulang

tiap 4-8 jam.

Enalapril 0.1 mg/kg/hari PO 4 kali sehari atau 2 kali sehari bisa ditingkatkan

bila perlu, maksimum 0.5 mg/kg/hari

Propranolol 0.5-1 mg/kg/hari PO dibagi 2-3 dosis, dapat ditingkatkan

bertahap dalam 3-7 hari dengan dosis biasa 1-5 mg/kg/hari

2.10 Prognosis

SLE pada awalnya dipandang sebagai penyakit fatal. Dengan kemajuan

dalam diagnosis dan perawatan, survival rate dalam 5 tahun lebih besar dari

90%.. Penyebab utama kematian pada pasien dengan lupus saat ini termasuk

infeksi, nefritis, penyakit SSP, perdarahan paru-paru, dan infark miokard; yang

terakhir mungkin komplikasi akibat administrasi kortikosteroid kronis dalam

pengaturan kekebalan penyakit kompleks.

LES memiliki angka survival untuk masa 10 tahun sebesar 90%.

Penyebab kematian dapat langsung akibat penyakit lupus, yaitu karena gagal

ginjal, hipertensi maligna, kerusakan SSP, perikarditis, sitopenia autoimun. Data

dari beberapa penelitian tahun 1950-1960, menunjukkan 5-year survival rates

sebesar 17.5%-69%. Sedangkan tahun 1980-1990, 5-year survival rates sebesar

83%-93%. Beberapa peneliti melaporkan bahwa 76%-85% pasien LES dapat

hidup selama 10 tahun, sebesar 88% dari pasien mengalami sedikitnya cacat

dalam beberapa organ tubuhnya secara jangka panjang dan menetap.

BAB III

Page 36: PRESENTASI KASUS SLE

KESIMPULAN

Lupus eritematosus didefinisikan sebagai gangguan autoimun, dimana sistem

tubuh menyerang jaringannya sendiri.

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat

timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh.

Jenis penatalaksanaan ditentukan oleh beratnya penyakit. Luas dan jenis

gangguan organ harus ditentukan secara hati-hati. Dasar terapi adalah sesuai dengan

kelainan organ yang sudah terjadi.

DAFTAR PUSTAKA

Page 37: PRESENTASI KASUS SLE

1. Anna MQ, Peter VR, et al. Diagnosis of Systemic Lupus Eritematosus.

http://www.aafp.org

2. Anonim. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.

http://www.childrenclinic.wordpress.com.

3. Harsono A, Endaryanto A. Lupus Eritematosus Sistemik pada Anak.

http://www.pediatrik.com.

4. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus

Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders,

Philadelphia. 2003. p810-813.

5. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. htttp://www.emedicine.com.

6. Tonam, Yuda T, Fachrida LM. Manifestasi Neurologik pada Lupus Eritematosus

Sistemik. Bagian Neurologi FKUI/RSUPN-CM. 2007.

7. Callen JP. Lupus Eritematosus, Discoid. Available at htttp://www.emedicine.com.

8. Isbagio H., Albar Z., Kasjmir Y.I, Setiyohadi B. Lupus Eritematosus Sistemik. In

Sudoyo A.W., Setiyohadi B., Alwi I., Marcellus S.K., Siti S. Buku Ajar Ilmu

Penyakit Dalam. Jilid II. Edisi 4. Jakarta ; FKUI; 2007. H 1214-21.

9. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper

D.L, Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal

Medicine. Edisi 18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H

2724-35.