presentasi kasus bedah saraf
TRANSCRIPT
PRESENTASI KASUS“MENINGOENCEPHALOCELE”
Pembimbing :
dr. Agus Budi Setiawan, Sp. Bs
Disusun oleh :
Merry Safitry A. G1A211075
Qonita W. G1A211076
KEPANITERAAN KLINIK
BAGIAN ILMU BEDAH
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARDJO
UNIVERSITAS JENDERAL SOEDIRMAN
PURWOKERTO
2011
LEMBAR PENGESAHAN
Telah dipresentasikan dan disetujui presentasi kasus berjudul
” MENINGOENCEPHALOCELE”
Diajukan untuk memenuhi sebagian syarat kegiatan Kepaniteraan Klinik di bagian
Ilmu Bedah RSUD Prof. Dr. Margono Soekardjo Purwokerto
Disusun Oleh :
Merry Safitry A. G1A211075
Qonita W. G1A211076
Pada tanggal : Desember 2012
Mengetahui,
Pembimbing
dr. Agus Budi Setiawan, Sp.BS
19700804.200801.1.011
BAB I
KASUS PASIEN
I. IDENTITAS PASIEN
Nama : An. Qori Nur Azizah
Umur : 1,5 Bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Alamat : Rawalo
Agama : Islam
Pekerjaan : -
No. CM : 780452
Tanggal masuk : 12 Desember2012
Tanggal periksa : 14 Desember 2012
II. ANAMNESIS
A. Keluhan Utama : Benjolan di kepala
B. Keluhan Tambahan :
C. RiwayatPenyakitSekarang :
Pasien dating ke Poliklinik RSMS dibawa oleh ibunya
dengankeluhanterdapat benjolan di kepala sejak lahir. Ibu pasien
menyatakan benjolan ini semakin lama semakin membesar, selain itu
sudah 2 hari ini pasien sering rewel dan tidak mau menyusu.
D. Riwayat Penyakit Dahulu :
Riwayat hipertensi disangkal.
Riwayat diabetes melitus disangkal.
Riwayat trauma adadisangkal.
Riwayat operasi disangkal.
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat penyakit seperti di atas tidak ada
F. Riwayat Sosial dan Ekonomi
Pasien adalah anak pertama dari suami kedua ibunya.
III. PEMERIKSAAN FISIK
Keadaan Umum : Sedang
Kesadaran : Compos mentis
Vital Sign : Nadi : 120 x/menit
Respirasi : 24 x/menit
Suhu : 36,4°C
BB : 4,7 kg
A. Status Generalis
Kepala :Simetris, mesocephal, terdapat benjolan dibagian tengah
kepala, ukuranya ± 49 cm x 3,8cm
Mata :Konjungtiva tidakanemis, sclera tidaki kterik
Hidung :Tidak ada discharge, tidak ada deviasi septum
Mulut :Bibir tidak kering, lidah tidak kotor
Telinga :Simetris,tidak ada kelainan bentuk
Thorax
Jantung
Inspeksi : Ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus cordis tak kuat angkat
Perkusi : Batas kiri atas ICS II LMC sinistra
Batas kanan atas ICS II LPS dextra
Batas kiri bawah ICS V LMC sinistra
Batas kananbawah ICS II LPS dextra
Auskultasi : S1> S2reguler, bising jantung tidak ada
Paru
Inspeksi : Dada kanan dan kiri simetris
Palpasi : Vokal fremitus kanan sama dengan kiri
Perkusi : Sonor di seluruh lapangan paru
Auskultasi : Suara dasar vesikuler kanan dan kiri, suara
tambahan tidak ada
Abdomen
Inspeksi : Datar, venektasi tidak ada, sikatrik tidak ada,
tidak tampak massa
Auskultasi : Bising usus normal
Perkusi : Tympani
Palpasi : Defans muskular tidak ada, nyeri tekan tidak ada,
tidak teraba massa, hepar tidak teraba, limpa
tidak teraba, ballotement tidak ada, buli tidak
teraba
Ekstremitas: Superior kanan :Edema tidak ada
Superiorkiri :Edema tidak ada
Inferiorkanan :Edema tidak ada
Inferior kiri :Edema tidak ada
B. Status neurologis
1. Glasgow Coma Scale : E4M6V5
2. Refleks Cahaya +/+ Pupil bulat isokor, diameter 3 mm/ 3mm
3. Meningeal sign (-)
4. Nervus cranialis: dalam batas normal
5. Kekuatan Motorik
5555 55555555 5555
6. Trofi
eutrofi eutrofieutrofi eutrofi
7. Tonus
Normotonis normotonisNormotonis normotonis
8. Refleks Fisiologis
N NN N
9. Refleks Patologis
– –– –
10. Pemeriksaan sensorik
N NN N
11. Status otonom
BAK normal, BAB normal
IV. RESUME
A. Anamnesis
- Pasien datang dengan keluhan terdapat benjolan di kepala sejak
lahir.
- 2 hari sebelum ke RSMS pasien sering rewel dan tidak mau
menyusu.
B. Pemeriksaan Fisik
Keadaan umum : Sedang
Kesadaran :Compos mentis
Tanda vital : Nadi : 120 x/menit
Respirasi :24 x/menit
Suhu : 36,4°C
Status generalis : Dalam batas normal
Status neurologis : Dalambatas normal
V. PEMERIKSAAN PENUNJANG
Pemeriksaan laboratorium
12Desember 2012
Hemoglobin 10,8 g/dL
Leukosit 9180 /uL
Hematokrit 31 %
Eritrosit 3,5x106/uL
Trombosit 335.000/uL
MCV 88,6 fL
MCH 30,8 pg
MCHC 34,7
RDW 12,9
MPV 8,7
Basofil 0,9
Eosinofil 2,7
Batang 0 (↓)
Segmen 20,9 (↓)
Limfosit 62,6 (↑)
Monosit 13,3 (↑)
LED 5
PT 13,9
APTT 35,6 (↑)
GDS 103
Natrium 135 mmol/L (↓)
Kalium 4,5 mmol/L
Klorida 95 mmol/L (↓)
Pemeriksaan CT Scan
Kesan : Gambaran meningoencepalocele pada regio sutura
lambdoidea, gambaran peningkatan tekanan intrakranial.
VI. DIAGNOSIS
Diagnosis klinis :Meningoensefalitis
VII. PENATALAKSANAAN
1. IVFD KN I A400cc/24jam
2. Inj Ceftriaxone 2x1gram (iv)
3. Inj Antrain 3x1/6 Amp (iv)
4. Inj Ranitidin 2x1mg (iv)
5. Inj Phenitoin 3x15mg (iv)
VIII.PROGNOSIS:
Adsanam : ad bonam
Adfungsionam : ad bonam
Advitam : ad bonam
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. DEFINISI
Meningokel adalah suatu herniasi meninges dan cairan serebrospinal
melalui suatu defek pada cranium atau columna vertebralis. Disebut
ensefalokel bila herniasi tersebut juga berisi jaringan otak.
Meningoensefalokel merupakan kelainan akibat gangguan penutupan pipa
neural. Apabila defek terdapat pada tulang belakang, disebut sebagai spina
bifida (Agthong dan Wiwanitkit, 2002; Syamsuhidayat dan Jong, 2004).
Gambar 1. Meningokel/meningoensefalokel tipe oksipital
Gambar 2. Gambaran CT Scan Meningoesefalokel
B. EPIDEMIOLOGI
Meningokel dan ensefalokel paling sering ditemukan di Negara Asia
Tenggara, seperti Indonesia, Malaysia, Birma, Thailand, serta di Afrika dan
Rusia. Angka kejadian diperkirakan 1 setiap 5000 bayi lahir hidup, sedangkan
di seluruh dunia frekuensinya bervariasi sebesar 1/2500 sampai 1/10.000 bayi
lahir hidup. Di Indonesia, yang terbanyak adalah jenis sinsipital
(frontoethmoidal), dan didapatkan lebih banyak pada anak laki-laki. Kelainan
ini jarang didapat di daerah atap kranium dan dasar cranium. Di Negara Barat,
jenis sinsipital jarang ditemukan, yang terbanyak adalah jenis lumbosakral
(Agthong dan Wiwanitkit, 2002; Syamsuhidayat dan Jong, 2004).
C. EMBRIOLOGI
Pada stadium dini pembentukan susunan saraf, di bagian tengah
lempeng neural terbentuk celah neural yang kemudian membentuk pipa
neural. Pipa neural inilah yang kemudian menjadi jaringan otak dan medulla
spinalis. Proses penutupan pipa neural in berlangsung selama min ggu
keempat kehidupan embrio. Gangguan proses ini menyebabkan defek pipa
neural yang digolongkan sebagai disrafia cranial dan spinal.
D. KLASIFIKASI
Tipe defek tulang tengkorak yang terjadi dapat diklasifikasikan
sesuai lokasinya, yaitu occipital, parietal, basal, dan sincipital atau
frontoethmoidal. Dua puluh persen dari seluruh ensefalokel terjadi di cranium,
dari jumlah tersebut, 75 %nya merupakan tipe oksipital, 4%nya merupakan
tipe sincipital (60%) dan 2,7 %nya merupakan tipe tipe basal (Aora, et al.,
2012).
Lebih jauh, tipe sincipital dibagi menjadi 3 subtipe, yaitu:
1. Tipe nasofrontal (40%), yang keluar dari cranium melalui defek antara os
nasal dan os frontal
2. Tipe nasoethmoidal (40%), yang keluar melalui defek antara os nasal dan
cartilago nasi
3. Tipe nasoorbital, yang keluar melalui defek pada proc. Frontalis os
maxillaries.
Ensefalokel sincipital bermanfestasi sebagai massa lunak saat ditekan pada
glabella (Malik, R., Pandya, V.K., and S. Parteki, 2004).
E. ETIOLOGI
Sampai saat ini, penyebab pasti meningoensefalokel belum
diketahui. Beberapa penelitian menyebutkan bahwa faktor lingkungan ikut
berperan dalam menyebabkan kondisi ini. Pajanan aflatoksin (toksin yang
diproduksi oleh jamur pada kacang-kacangan dan biji-bijian)selama
kehamilan diduga merupakan salah satu penyebab pada beberapa kasus,
namun mekanismenya belum jelas. Beberapa penelitian lain menyebutkan
defisiensi asam folat selama masa kehamilan sebagai salah satu faktor
penyebab, karena terjadinya meningoensefalokel berkaitan erat dengan spina
bifida, yang disebabkan oleh defisiensi asam folat (ORDR, 2011).
F. GAMBARAN KLINIS
Meningokel dan ensefalokel merupakan benjolan yang sejak lahir
makin besar dan umumnya terletak di garis tengah. Besar garis tengah
bervariasi dari 1-10 cm. Kulit penutup biasanya tipis, licin, dan tegang, tetapi
dapat juga normal atau tebal dan tidak rata.
Konsistensi bergantung pada isinya, bila lebih banyak cairan akan
teraba padat dan berdungkul, sedangkan pada defek yang besar sering terlihat
pulsasi. Oleh karena berhubungan dengan rongga intracranial, bila ditekan
dapat kempis, tapi bila menangis atau mengejan benjolan akan teraba tegang.
Benjolan kistik yang berdinding tipis memberi tanda transiluminasi positif.
Meningokel atau ensefalokel sinsipital di daerah
naso(fronto)ethmoidal akan mempengaruhi pertumbuhan tengkorak
sedemikian rupa sehingga jarak antara orbita melebar, yang disebut dengan
hipertelorisme. Kelainan bawaan lain yang sering menyertai meningokel dan
ensefalokel ialah hidrosefalus. Kemungkinan hidrosefalus harus selalu
dipikirkan karena akan menentukan terapi dan prognosis.
Jaringan otak yang terdapat di dalam kantong ensefalokel, biasanya
sudah mengalami gliosis sehingga tidak berfungsi lagi. Pada defek yang besar
dan pada jenis oksipital, sebagian jaringan hernia otak tersebut mungkin masih
berfungsi, tetapi hal tersebut sangat jarang terjadi (Syamsuhidayat dan Jong,
2004).
G. DIAGNOSIS BANDING
Meningoensefalokel kecil di daerah oksipital harus dibedakan
dengan tumor kulit atau subkutan yang terletak di garis tengah, seperti kista
ateroma atau kista dermoid.
Meningoensefalokel sinsipital harus dibedakan dengan setiap
benjolan pada pangkal hidung atau sisi medial orbita, seperti kista ateroma,
kista dermoid, lipoma, atau kista lakrimal.
Bila direncanakan tindakan bedah ekstirpasi pada benjolan di
lokasi tesebut, harus dipastikan terlebih dahulu bahwa benjolan tersebut bukan
suatu meningoensefalokel (Syamsuhidayat dan Jong, 2004).
H. PENATALAKSANAAN
Pada umumny a dilakukan pembedahan dengan alas an kosmetik dan
untuk mencegah infeksi pada meningokel-ensefalokel yang pecah atau yang
mudah pecah. Pembedahan dapat dilakukan dengan cara ekstrakranial atau
transkranial. Pembedahan ekstrakranial lebih mudah dan dapat dikerjakan
pada semua umur. Pada umumnya pembedahan dilakukan pada usia 5-6 bulan,
tetapi dapat dikerjakan lebih dini jika meningokel pecah, terancam pecah, atau
cepat membesar (Syamsuhidayat dan Jong, 2004).
I. PROGNOSIS
Ada beberapa factor yang menentukan prognosis pasien dengan
ensefalokel, yaitu lokasi defek, ukuran kantong, isi jaringan yang keluar,
adanya hidrosefalus, adanya infeksi seperti meningitis, dan adanya
abnormalitas congenital lain yang menyertai (ORDR, 2011).
DAFTAR PUSTAKA
Agthong, S. and V. Wiwanitkit. 2002. Encephalomeningocele Case Over 10
Years in Thailand: A Case Series. Biomedcentral Neurology. 2 (3):1-5.
Aora, P., Mody, S., Kalra, V.K., Altaany, D., and M. Bajaj. 2012. Occipital
Meningoencephalocele in A Preterm Neonate. Bio Medical Journal Case
Reports. 1-2.
Kiymaz, N., Yilmaz, N., Demir, I. and S. Keskin. 2010. Prognostic Factors in
Patients with Occipital Encephalocele. PubMed Central. 46 (1):6-11.
Office of Rare Diseases Research. 2011. MeningoEncephalocele (online).
Available from: http://rarediseases.info.nih.gov/GARD/Condition/3473/
QnA/32287/Meningoencephalocele.aspx, diakses 17 Desember 2012.
Syamsuhidayat, R. dan W.D. Jong. 2004. Buku Ajar Ilmu Bedah. Jakarta: EGC.
Hal 811-812.