prasejarah austronesia di nusa tenggara timur: …

15
75 PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: SEBUAH PANDANGAN AWAL Truman Simanjuntak 1 , M. Ruly Fauzi 2 , J.C. Galipaud 3 , Fadhila A. Azis 1 , Hallie Buckley 4 * Abstrak. Tulisan ini menguraikan gambaran awal tentang kehidupan Penutur Austronesia dan karakter budaya neolitiknya di wilayah Nusa Tenggara Timur, berdasarkan penemuan-penemuan data baru yang dilengkapi dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. Setidaknya di sekitar 3.000 2.000 BP berbagai pulau di wilayah ini sudah dihuni Penutur Austronesia. Mereka menghuni wilayah pantai dengan mata pencarian berburu dan meramu dengan penekanan pada pemanfaatan biota laut; mempraktekkan penguburan tempayan dan tanpa wadah; menggunakan peralatan beliung persegi dan peralatan litik lainnya; membuat alat-alat perhiasan (dari cangkang kerang, koral, dan biji-bijian); dan membuat kain dari kulit kayu. Kemiripan bentuk, pola serta variasi tinggalan arkeologis dari situs- situs neolitik di wilayah ini memperlihatkan komunitas antar-pulau telah terlibat kontak dan interaksi yang intensif di kala itu. Kata kunci: Austronesia, Neolitik, Nusa Tenggara Timur, karakter budaya, interaksi Abstract. Prehistoric Austronesian in East Nusa Tenggara Timur: a preliminary view. This article discusses a preliminary insight on the presence of the Austronesian Speakers and its neolithic culture in East Nusa Tenggara, based on our new discoveries completed with results from previous studies. At least around 3,000 – 2,000 BP most of islands in this region have been inhabited by Austronesian- speaking people. They inhabited coastal areas; practicing hunting and gathering with an emphasis on the exploitation of marine resources; practicing burial with and without jar; using polished stone adzes and other lithic tools; manufacturing body ornaments made from shells, coral, and seeds; and making cloth from barks. The similarity observed among the shapes, patterns and variations on archaeological remains from neolithic sites in this area reveal an intensive inter-island contacts and interactions between coastal communities during that period. Keywords: Austronesia, Neolitik, East Nusa Tenggara, cultural character, interaction 1. Studi Austronesia di Indonesia Sejak awal tahun 2000-an, Pusat Penelitian Arkeologi Nasional bersama sekelompok pene- liti berbagai disiplin yang tergabung dalam Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS Indonesia) merancang sebuah proyek nasional yang berjudul: “Understanding our origin and our indigenous culture”. Proyek ini menandai bangkitnya kembali studi Austronesia di Indonesia yang sebelumnya kurang bergema; kondisi yang berbeda dengan di luar Indonesia dengan penelitian dan publikasi yang marak (Chang 1964; Bellwood 1984-1985; 2000; Belwood et al. 1995; Dyen 1965; Oppenheimer 1998). Melalui proyek ini pula beragam kegiatan telah dilakukan. Dimulai dengan penghimpunan data penelitian terdahulu untuk mengetahui peta persebaran situs dan state of the art penelitian *) 1 Pusat Arkeologi Nasional, Indonesia 2 Center for Prehistoric and Austronesian Studies, Indonesia 3 Institut de Recherche pour le Développement, Perancis 4 Universitas Otago, Selandia Baru

Upload: others

Post on 16-Oct-2021

9 views

Category:

Documents


0 download

TRANSCRIPT

Page 1: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

75

PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: SEBUAH PANDANGAN AWAL

Truman Simanjuntak1, M. Ruly Fauzi2, J.C. Galipaud3, Fadhila A. Azis1, Hallie Buckley4*

Abstrak. Tulisan ini menguraikan gambaran awal tentang kehidupan Penutur Austronesia dan karakter budaya neolitiknya di wilayah Nusa Tenggara Timur, berdasarkan penemuan-penemuan data baru yang dilengkapi dengan hasil-hasil penelitian terdahulu. Setidaknya di sekitar 3.000 – 2.000 BP berbagai pulau di wilayah ini sudah dihuni Penutur Austronesia. Mereka menghuni wilayah pantai dengan mata pencarian berburu dan meramu dengan penekanan pada pemanfaatan biota laut; mempraktekkan penguburan tempayan dan tanpa wadah; menggunakan peralatan beliung persegi dan peralatan litik lainnya; membuat alat-alat perhiasan (dari cangkang kerang, koral, dan biji-bijian); dan membuat kain dari kulit kayu. Kemiripan bentuk, pola serta variasi tinggalan arkeologis dari situs-situs neolitik di wilayah ini memperlihatkan komunitas antar-pulau telah terlibat kontak dan interaksi yang intensif di kala itu.

Kata kunci: Austronesia, Neolitik, Nusa Tenggara Timur, karakter budaya, interaksi

Abstract. Prehistoric Austronesian in East Nusa Tenggara Timur: a preliminary view. This article discusses a preliminary insight on the presence of the Austronesian Speakers and its neolithic culture in East Nusa Tenggara, based on our new discoveries completed with results from previous studies. At least around 3,000 – 2,000 BP most of islands in this region have been inhabited by Austronesian-speaking people. They inhabited coastal areas; practicing hunting and gathering with an emphasis on the exploitation of marine resources; practicing burial with and without jar; using polished stone adzes and other lithic tools; manufacturing body ornaments made from shells, coral, and seeds; and making cloth from barks. The similarity observed among the shapes, patterns and variations on archaeological remains from neolithic sites in this area reveal an intensive inter-island contacts and interactions between coastal communities during that period.

Keywords: Austronesia, Neolitik, East Nusa Tenggara, cultural character, interaction

1. Studi Austronesia di IndonesiaSejak awal tahun 2000-an, Pusat Penelitian

Arkeologi Nasional bersama sekelompok pene-liti berbagai disiplin yang tergabung dalam Center for Prehistoric and Austronesian Studies (CPAS Indonesia) merancang sebuah proyek nasional yang berjudul: “Understanding our origin and our indigenous culture”. Proyek ini menandai bangkitnya kembali studi Austronesia

di Indonesia yang sebelumnya kurang bergema; kondisi yang berbeda dengan di luar Indonesia dengan penelitian dan publikasi yang marak (Chang 1964; Bellwood 1984-1985; 2000; Belwood et al. 1995; Dyen 1965; Oppenheimer 1998). Melalui proyek ini pula beragam kegiatan telah dilakukan. Dimulai dengan penghimpunan data penelitian terdahulu untuk mengetahui peta persebaran situs dan state of the art penelitian

*) 1 Pusat Arkeologi Nasional, Indonesia 2 Center for Prehistoric and Austronesian Studies, Indonesia 3 Institut de Recherche pour le Développement, Perancis 4 Universitas Otago, Selandia Baru

Page 2: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

76

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

sebagai dasar pemahaman kontekstual, sekaligus sebagai pedoman dalam penentuan strategi dan rancangan komprehensif penelitian. Kegiatan ini disusul oleh penyelenggaraan seminar nasional dan internasional, penelitian lapangan, dan publikasi (Simanjuntak 2011).

Dari data penelitian terdahulu – sebagai-mana dalam wacana arkeologi pada umumnya –terungkap, bahwa Austronesia merupakan istilah asing yang hampir tidak pernah disebut-sebut. Penelitian selalu menggunakan istilah teknologi neolitik tanpa menghubungkannya dengan manusia pendukungnya – Penutur Austronesia yang berafiliasikan ras Mongoloid Selatan. Istilah yang diciptakan W. Smidth, seorang linguist, tahun 1889 ini baru digemakan kembali lewat proyek nasional di atas hingga menjadikannya semakin tidak asing di bidang keilmuan, termasuk di telinga masyarakat. Kalangan akademisi dan peneliti pun semakin memahami bahwa yang disebut neolitik mengkait dengan budaya yang dibawa Penutur Austronesia awal ketika memasuki Nusantara dan berkembang selama masa prasejarah (Austro-prasejarah), sementara paleometalik identik dengan budaya Penutur Austronesia yang lebih kemudian pada masa protosejarah (Austro-protosejarah) (Simanjuntak 2011).

Sekedar tinjauan singkat, bahwa peneli-tian tentang neolitik atau budaya Penutur

Austronesia boleh dikatakan telah dimulai lebih dari dua abad yang lalu, dimulai dari rasa keheranan (curiosity) para pengelana barat akan kemiripan bahasa dan perawakan suku-suku bangsa yang mendiami kawasan Asia Tenggara dan kepulauan Pasifik (Tanudirjo dan Simanjuntak 2003). Rasa keheranan itu kemudian meningkat pada keingintahuan yang lebih lengkap tentang kesamaan tersebut, hingga mendorong munculnya penelitian - penelitian yang lebih sistematis di sekitar paruh pertama abad ke-20. Pada masa itu tercatat beberapa peneliti asing yang memberikan kontribusi penting bagi pemahaman budaya Penutur Austronesia awal. Salah satu diantaranya adalah van Stein Callenfels yang melakukan penelitian di berbagai situs di Indonesia hingga membagi perkembangan neolitik di Indonesia dalam empat periode berdasarkan tipe-tipe beliung dan kapak batu (Heine-Geldern 1945). Callenfels, peneliti pertama yang meneliti situs neolitik di Kalumpang, di pedalaman Sulawesi Barat, untuk kemudian dilanjutkan oleh van Heekeren (1949). Dia pula yang pertama kali melaporkan keberadaan ratusan situs workshop neolitik di Punung, Jawa Timur (1927) hingga kemudian memotivasi para peneliti untuk menelitinya hingga sekarang.

Peneliti lainnya, van Heekeren, meng-ekskavasi Situs Kendeng Lembu di Jawa Timur

Peta 1. Peta persebaran Penutur Austronesia di Polinesia, Pasifik, Asia Tenggara hingga pantai timur Afrika (Diamond 2000)

Page 3: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

77

Truman Simanjuntak, M. Ruly Fauzi, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, Hallie Buckley, Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur: Sebuah Pandangan Awal

dan kemudian meneruskan penelitian situs nekropolis di Melolo, Sumba yang ditinggalkan oleh W.J.A. Willems karena kepulangannya ke Belanda. Seperti Callenfels, Heekeren tidak terbatas meneliti situs neolitik, tetapi situs-situs prasejarah pada umumnya, hingga kemudian menerbitkan dua buku yang hingga sekarang masih menjadi acuan utama prasejarah Indonesia. Buku pertama, “The Bronze-Iron Age of Indonesia” diterbitkan tahun 1958 dan buku kedua, “The Stone Age of Indonesia”, terbit tahun 1972. Patut ditambahkan bahwa Robert von Heine Geldern (1945) termasuk peneliti penting lainnya di bidang Austronesia. Walaupun tidak pernah ke Indonesia, peneliti berkebangsaan Austria ini membangun hipotesis yang menggugah rasa ingin tahu, yakni tentang variasi dan persebaran beliung persegi di Asia Tenggara yang dihubungkan dengan persebaran Penutur Austronesia awal di kawasan tersebut. Penelitian kompilasinya juga menyimpulkan adanya dua (atau lebih) gelombang migrasi megalitik dari Asia Tenggara daratan ke Indonesia. Migrasi pertama (Megalitik Tua) berlangsung pada periode neolitik oleh kelompok yang memperkenalkan budaya beliung persegi, di antara 2500 dan 1500 BC. Gelombang kedua (Megalitik Muda) berlangsung pada periode Dongson ca. 600 BC.

Penelitian tentang penutur dan budaya Austronesia (yaitu neolitik) kemudian dilanjutkan oleh sejumlah peneliti Indonesia sejak kemerdekaan di pertengahan abad ke-20. Tercatat di antaranya penelitian yang dilakukan oleh Prof. Soejono (1984) di Nanga Balang, Kapuas Hulu, Kalimantan dan kemudian di gua-gua di wilayah Marang, Teluk Berau, dan Situs Liang Kawung (Chazine et al. 1995). Penelitian di Kepulauan Sangir-Talaud dan Kepulauan Maluku dilakukan intensif oleh Bellwood (1998) dan Tanudirjo (2001), hingga memberikan kontribusi penting bagi perkembangan studi Austronesia. Selanjutnya ada penelitian di Punung, Purbalingga, Kalumpang, dan situs-

situs lainnya di Sulawesi yang dilakukan oleh Simanjuntak (1986; 2008). Di Sumatra penelitian dalam dasawarsa terakhir berlangsung di Sumatra Selatan, Jambi, dan Aceh (Guillaud et al. 2006; Bonatz 2009; Simanjuntak 2010; Azis 2011; Wiradnyana 2007-09). Perlu dicatat pula bahwa di wilayah bagian Malaysia penelitian yang cukup intensif berlangsung di Gua Sireh, Lubang Angin, Gua Niah, Bukit Tengkorak, dll. (Datan 1993; Harrisson 1959; Chia 2003).

Salah satu wilayah yang kurang mendapat perhatian dalam studi Austronesia adalah Nusa Tenggara Timur. Sejauh ini informasi utama yang diperoleh terbatas dari Melolo, Sumba dan dari situs-situs di Timor yang akan dibicarakan di halaman belakang. Keterbatasan data ini mendorong Pusat Arkeologi Nasional bekerjasama dengan IRD Perancis serta partner pendukung dari Universitas Otago (Selandia Baru) pada tahun 2012 memulai penelitian kerjasama di wilayah ini. Sebagai langkah awal, penelitian difokuskan pada wilayah Flores Timur dan Lembata untuk kemudian dilanjutkan pada wilayah lain Nusa Tenggara Timur. Penelitian yang dilakukan tahun 2012 serta penjajagan awal pada tahun-tahun sebelumnya menemukan situs-situs baru yang semakin menegaskan pentingnya wilayah Nusa Tenggara Timur bagi studi Austronesia. Tulisan ini mendiskusikan pandangan awal tentang kehidupan Penutur Austronesia awal di wilayah ini berdasarkan hasil-hasil penelitian tersebut, dilengkapi dengan hasil-hasil penelitian terdahulu.

2. Nusa Tenggara Timur Dalam Lintasan

HunianKeletakan geografi Nusa Tenggara

sangat strategis dalam persebaran manusia dan budaya di Nusantara. Gugusan kepulauan yang memanjang berbataskan Garis Wallacea di barat dan Garis Weber di timur ini menjadi wilayah yang memisahkan Paparan Sunda dan Sahul. Dari perspektif arkeologi, Nusa Tenggara Barat yang mencakup Pulau Lombok, Sumbawa, dan

Page 4: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

78

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

pulau-pulau di sekitarnya tidak semenonjol wilayah Nusa Tenggara Timur dengan pulau-pulau besar yang terdiri dari Flores, Sumba, Timor, Adonara, Lembata, Pantar, dan Alor. Bukti-bukti arkeologis maupun paleontologis memperlihatkan wilayah ini, khususnya Flores, telah dihuni manusia dan hewan (baik endemik maupun migrasi) sejak kala Plestosen (mis. Jacob 1967; Morwood et al. 1998; 1999; 2004). Keberadaan palung-palung laut yang membatasi pulau-pulau agaknya tidak menjadikan wilayah ini terisolir dari kawasan sekitarnya. Penemuan himpunan artefak litik bersama fosil-fosil hewan purba di Cekungan Soa, Flores dari sekitar 1 juta tahun lalu (Moorwood et al. 1998; 1999; Brumm et al. 2010) membuktikan manusia purba telah mampu mengarungi laut dan selat antar-pulau dalam persebarannya.

Hunian Flores berlanjut ke masa yang lebih kemudian, di sekitar paruh kedua Plestosen Atas, sebagaimana ditampakkan penemuan sisa manusia yang dianggap sebagai spesies baru, Homo floresiensis (Moorwood et al. 2004), walaupun kalangan lain menggolongkannya sebagai Homo sapiens (mis. Jacob et al. 2006).

Bukti-bukti hunian lainnya ditemukan di Lene Hara dan Ceruk Jerimalai (O’Connor 2002; 2007) yang sekarang bagian dari Timor Leste. Penemuan tersebut mendukung hipotesa adanya jalur persebaran manusia modern awal melalui wilayah ini ke Australia, disamping kemungkinan adanya jalur lain lewat utara (mis. Birdsell 1977). Atas dasar itu dan berdasarkan pertanggalan tertua dari situs-situs di Australia yang mencapai 50-60 BP (Roberts et al. 1990) besar kemungkinan manusia modern telah hadir di wilayah ini di sekitar awal paruh kedua Plestosen Atas. Dari akhir Plestosen, hunian wilayah ini berlanjut ke awal Holosen dengan bukti-bukti yang banyak ditemukan di berbagai gua di Flores (Verhoeven 1957-58) dan Timor (mis. Glover 1970; Verhoeven 1954). Manusia penghuninya di kala itu tergolong ras Australomelanesia (Jacob 1967) yang hidup dari berburu dan meramu dengan sisa peralatan berupa alat-alat serpih.

Seperti disebutkan di muka, pada periode yang lebih muda (yaitu neolitik atau Austronesia Prasejarah awal) hunian wilayah Nusa Tenggara Timur jarang kedengaran. Para peneliti asing

Peta 2. Peta sebaran situs Penutur Austronesia di Nusa Tenggara Timur (Fauzi et al. 2012)

Page 5: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

79

Truman Simanjuntak, M. Ruly Fauzi, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, Hallie Buckley, Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur: Sebuah Pandangan Awal

yang meneliti gua-gua di wilayah ini sangat jarang melaporkan tinggalan yang bercorak neolitik. Hasil penelitian dari Situs Melolo, Sumba menjadi informasi utama dari wilayah ini, walaupun situs ini masih memerlukan penelitian lanjut untuk pemutakhiran data dan pertanggalan. Dari penelitian Willem dan van Heekeren (1972) diketahui bahwa Situs Melolo mencirikan hunian pantai dengan tinggalan budaya berupa: (1) tempayan-tempayan kubur, (2) tembikar berbagai bentuk dengan hias meander, garis-garis bergelombang, dan tera jari, (3) manik-manik dari batu dan cangkang, (4) gelang dan cincin dari cangkang, serta (5) beliung persegi (Heekeren 1972).

Informasi yang tidak kalah pentingnya berasal dari penelitian I.C. Glover (1977; 1986) di Timor bagian barat (kini Timor Leste), walaupun hasil penelitian tahun 70-80an ini sudah seyogyanya memerlukan pemutakhiran data. Glover menemukan kehidupan neolitik di gua-gua di Timor berupa tembikar berumur sekitar 3500 BP di Lie Siri, serta sisa-sisa Sus scrofa and Sus celebencis yang berasosiasi dengan fragmen tembikar berumur ca. 2500-2000 SM di sejumlah gua lainnya. Ditambahkan bahwa setelah 3000 SM, hewan domestikasi (mis. anjing, babi, dan kambing) bersama dengan kastanye (chestnut) dan jewawut (foxtail millet) sudah diperkenalkan di pulau ini. Jika dibandingkan dengan pertanggalan situs-situs neolitik di wilayah lain di Indonesia, agaknya pertanggalan-pertanggalan tersebut perlu dicek ulang karena terlalu tua.

Informasi lain berasal dari hasil-hasil penelitian yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Arkeologi Nasional di tahun 90-an. Tercatat diantaranya penelitian di beberapa situs di sekitar Melolo (Kawangu di Kecamatan Pandai, Rende dan Pau di Kecamatan Rindi, Umalulu dan Lewa Paku di Kecamatan Paberiwai (LPA 1992) yang memperlihatkan keberadaan hunian pesisir yang memanfaatkan biota laut, menggunakan tembikar dan beliung persegi, dan mempraktekkan penguburan tempayan dan penguburan tanpa

wadah. Juga hasil penelitian dari Situs Lewoleba di Lembata dengan karakter hunian dan budaya yang sama (Bintarti 2000). Penelitian yang dilakukan Balai Arkeologi Denpasar di situs ini berhasil menemukan lebih dari 32 individu di tepi Sungai Kambaniru dengan bekal kubur berupa beliung persegi, manik-manik, kendi, dan periuk (Yuliati 2004).

3. Data Baru Hunian Penutur Austronesia di Nusa Tenggara Timur

Salah satu sumber data terbaru tentang kehadiran dan kehidupan Penutur Austronesia awal berasal dari Situs Pain Haka, di wilayah Kecamatan Tanjung Bunga, Kabupaten Flores Timur. Situs yang terletak di bagian ujung semenanjung dan yang jauh dari permukiman sekarang ini merupakan situs yang sangat penting untuk mengisi kelangkaan data dari Flores. Penelitian kerjasama Puslit Arkenas dan IRD yang masih berlangsung hingga kini menggambarkan situs hunian pantai dengan penguburan di dalam tempayan dan penguburan tanpa wadah. Temuan asosiasi berupa cangkang moluska dan sisa ikan membuktikan adanya pemanfaatan biota laut. Sejumlah kecil jenis cangkang tertentu bahkan dimanfaatkan sebagai bahan baku perhiasan atau ornamen. Penemuan beberapa beliung persegi dari batuan

Foto 1. Variasi tipe beliung persegi dari Situs Pain Haka

Page 6: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

80

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

allochthonous berbagai bahan (mis. gamping kersikan, andesit dan basalt) menunjukkan adanya upaya mencari bahan baku atau mendatangkan peralatan dari luar (Foto 1). Penemuan beberapa fitur kubur manusia menjadi catatan tersendiri. Jumlahnya yang mencapai 60-an individu mengindikasikan adanya hunian intensif di situs ini. Beberapa individu diberi bekal kubur seperti beliung persegi, perhiasan manik-manik, bandul, dan gelang dari cangkang kerang dan tulang, wadah tembikar (periuk, cawan, dan kendi), serta tulang binatang. Pada umumnya dalam satu fitur kubur ditemukan satu individu, namun ada pula lebih dari empat individu. Keberadaan penguburan tanpa wadah dan dalam tempayan menggambarkan adanya stratifikasi sosial dengan menguburkan orang tertentu dalam tempayan, sementara yang lainnya tidak. Penguburan tempayan sendiri umumnya sekunder dengan menguburkan kembali bagian-bagian tubuh tertentu ke dalamnya, namun ada juga penguburan yang tampaknya primer dengan indikasi awal adanya praktik mutilasi (komunikasi dengan Hallie Buckley, anggota

tim penelitian, 2012). Temuan menarik lainnya dari Situs Pain

Haka adalah fragmen gerabah dengan motif hias antropomorfik dan zoomorfik (Foto 2). Kedua macam motif hias tersebut mengingatkan kita pada hias tembikar pada situs-situs neolitik, antara lain Situs Minanga Sipakko di Sulawesi Barat, situs-situs gua di Kalimantan Timur, dan di Maluku. Motif antropomorfik semakin marak dijumpai pada situs-situs paleometalik dan megalitik, tidak terbatas di Indonesia tetapi juga di Filipina (Galipaud et al. 2012). Dua buah pertanggalan C-14 lewat arang dari konteks kubur memperlihatkan situs ini sudah dihuni di sekitar 2700-2500 BP (komunikasi dengan J.C. Galipaud, 2012). Data pertanggalan ini, didukung oleh ketiadaan penemuan benda logam memastikan situs ini sebagai hunian Penutur Austronesia awal, setidaknya representasi neolitik akhir. Pertanggalan lapisan bawah hunian sangat diperlukan untuk mengetahui hunian pertama situs.

Jika penemuan dari Pain Haka membuktikan keberadaan Penutur Austronesia

Foto 2. Motif zoomorfik (ular ?) dan antropormorfik (wajah) dari situs Pain Haka, Flores Timur (Galipaud et al. 2010 dan LPA 2012)

Foto 3. Penduduk Lembata menunjukkan periuk prasejarah yang disimpannya (foto: T. Simanjuntak)

Page 7: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

81

Truman Simanjuntak, M. Ruly Fauzi, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, Hallie Buckley, Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur: Sebuah Pandangan Awal

di Flores, data dari Adonara masih bersifat indikator awal. Penelitian di pulau yang hanya dibatasi selat sempit di timur Flores ini masih tahap eksplorasi awal dengan penemuan pecahan-pecahan tembikar di perladangan Watokoba, Kecamatan Witihama di Adonara Timur. Pengamatan sementara menyiratkan pecahan-pecahan itu sebagai himpunan neolitik. Setidaknya merefleksikan adanya tembikar berukuran besar dan kecil, tebal dan tipis, berslip merah dan polos. Bekas-bekas jari di bagian dalam tembikar dan absennya striasi konsentrik di permukaan luar menunjukkan teknik pembuatannya menggunakan tangan (tatap-pelandas).

Beberapa tembikar dihias dengan teknis gores geometris dengan motif yang paling umum berupa garis-garis menyilang membentuk kisi-kisi belah ketupat yang dibatasi garis horisontal di bagian atas dan bawah. Motif ini mengingatkan kita pada hias tembikar Pain Haka. Hiasan lain dengan teknik tusuk atau kerat hingga membentuk jejeran keratan di seputar karinasi. Selain Situs Watokoba, diinformasikan masih ada situs lain di wilayah pesisir dan penduduk menyimpan beberapa periuk dari situs tersebut.

Menyeberang ke timur, ke Lembata, temuan penelitian tidak kalah menarik. Di pulau yang tergolong besar dengan bentuk yang tidak beraturan oleh daratan-daratan yang menjorok ke laut ini terdapat beberapa situs. Di pesisir barat yang memanjang timurlaut-tenggara setidaknya terdapat tiga situs: Situs Lewoleba di tepi pantai teluk Lewoleba yang telah diteliti Puslit Arkenas di tahun 90-an; Situs Wai Jaran, Kecamatan Lobatokan di tenggara, dan Wai Pukang, Kecamatan Iliape di timurlaut Lewoleba. Ketiga situs ini memperlihatkan kesamaan tinggalan berupa tembikar dan kubur tempayan. Di Lewoleba, seperti di Pain Haka, ada penguburan tanpa wadah, penguburan tempayan, dan cangkang-cangkang moluska yang diperkirakan sisa aktivitas pemanfaatan biota laut. Bintarti (2000) cenderung menganggap situs ini dari masa

protosejarah dengan budaya paleometaliknya, namun dari temuan-temuan tembikar berslip merah seperti di Pain Haka, diperkuat oleh pertanggalan yang cukup tua dari 2990±160 BP (Grn-14308), jelas merupakan situs neolitik. Penelitian lanjut dirancanakan tahun mendatang untuk memastikan posisi kronologi budaya dari situs ini.

Situs Wai Pukang yang berjarak sekitar 12 km arah timurlaut Lewoleba juga merepresentasikan hunian tepi pantai dengan pemanfaatan biota laut serta penguburan dengan tempayan dan tanpa wadah. Penggalian lubang sampah di samping bangunan SMP Katolik sekitar dua tahun lalu secara kebetulan menyingkap tulang belulang manusia yang kemudian dikuburkan kembali di belakang sekolah. Penemuan terbaru berupa tempayan berisi tulang belulang yang terungkap ketika penduduk menggali tanah untuk membangun septic-tank. Lokasi penggalian tersebut berjarak sekitar 50 meter ke arah timur SMP Katolik. Menurut informasi penduduk temuan ini dikubur kembali di dekat lokasi penemuan. Penemuan-penemuan tersebut menunjukkan wilayah yang terletak sekitar 30 meter dari garis pantai dan berupa teluk kecil (bagian dari Teluk Lewoleba) merupakan situs hunian tepi pantai dengan lifestyle yang sama seperti situs-situs hunian tepi pantai lainnya. Situs lainnya yang berada di Pulau Lembata adalah Wai Jaran. Situs yang terletak di baratdaya Lewoleba ini memang belum diteliti secara intensif, namun penemuan tembikar berhias geometris dan slip merah; dan keletakannya sekitar 50 meter dari garis pantai meyakinkan kita akan sebuah situs hunian tepi pantai dengan karakter budaya yang sama. Penelitian lanjutan di situs yang telah disebutkan di atas direncanakan dapat dilakukan di tahun-tahun mendatang.

Bukti hunian Penutur Austronesia lainnya juga ditemukan di sepanjang pantai timur Pulau Solor, tepatnya di wilayah Desa Sulengwaseng (Kec. Solor Selatan) yang ditunjukkan

Page 8: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

82

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

oleh sebaran pecahan-pecahan tembikar di permukaan. Tetua adat desa hingga kini masih menyimpan periuk-periuk dan salah satu di antaranya berisikan tulang-tulang manusia. Benda-benda ini merupakan hasil penggalian ketika tahun 2011, di permukaan tanah di jalan setapak menuju pantai yang tererosi air hujan, tersingkap tepian periuk. Ekskavasi yang kami lakukan di sekitar penggalian menemukan lapisan hunian setebal ±80 cm dengan tinggalan berupa pecahan-pecahan tembikar yang cukup padat disertai beberapa periuk utuh, cangkang-cangkang moluska, pahat dan calon beliung persegi (plank), batu yang diduga berfungsi sebagai pemukul kulit kayu untuk pembuatan kain (bark-cloth stone beater), serta use-ground stone tools (mis. batu pipisan, asahan, penumbuk) yang berkaitan dengan aktivitas pengolahan makanan dan perbengkelan.

Penemuan lain berupa perhiasan, baik dari cangkang kerang dengan cara melubanginya, maupun dari biji-bijian dengan cara membuat lubang tembus pada ujung yang berhadapan. Terdapat pula manik-manik yang terbuat dari karang (koral), juga dengan cara membuat lubang tembus di kedua ujungnya, maupun memanfaatkan morfologi alami koral laut yang berupa pipa dengan lubang kecil di tengahnya. Himpunan temuan ini memastikan daerah Sulengwaseng sebagai situs tepi pantai yang

mencirikan hunian Penutur Austronesia awal dengan budaya neolitiknya. Analisis pertanggalan terhadap sampel arang (dalam proses analisis) yang dikumpulkan melalui ekskavasi diharapkan dapat menghasilkan kronologi absolut dari situs hunian ini.

Catatan menarik lainnya menyangkut penemuan sisa biota laut yang didominasi oleh cangkang kerang (Mollusca) serta sejumlah kecil tulang ikan (Pisces) dan sisa Crustacea. Secara kontekstual (berdasarkan asosiasinya dengan tinggalan arkeologis), deposit sisa fauna laut tersebut merepresentasikan praktek susbsitensi berbasis sumber daya kelautan. Sisa moluska yang berhasil dikumpulkan secara umum terdiri dari kelas Bivalvia (mis. family Cardiidae, Arcidae dan Ostreidae) dan Gastropoda (mis. famili Buccinoidea, Strombidae, Conidae dan Olividae). Indikasi pemanfaatan dapat dilihat dari tingkat fragmentasi temuan cangkang moluska yang amat tinggi serta fraktur intensional pada bagian posterior (apex) pada moluska dari kelas Gastropoda.

4. Pola Pemanfaatan Ruang Hunian oleh Penutur Austronesia

Salah satu kelebihan dari data arkeologis yang dikumpulkan melalui ekskavasi yang sistematis yaitu adanya data terkait unit ruang (space) dari setiap tinggalan arkeologis pada

Foto 4. Gerabah polos dan motif hias dari Situs Sulengwaseng (Fauzi et al. 2012)

Page 9: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

83

Truman Simanjuntak, M. Ruly Fauzi, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, Hallie Buckley, Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur: Sebuah Pandangan Awal

situs. Penelitian terkahir di Situs Sulengwaseng menunjukkan adanya beberapa pola dari hunian Penutur Austronesia, baik secara regional maupun mikro (intra-situs). Dalam skala regional, terlihat dengan jelas persebaran situs-situs neolitik di wilayah Flores Timur berlokasi amat dekat dengan pantai. Hal ini berhubungan erat dengan subsistensi dari komunitas Penutur Austronesia yang amat bergantung dengan sumber daya kelautan, seperti tergambar melalui tinggalan arkeologis berupa sisa fauna laut yang dimanfaatkan. Namun demikian, adanya situs yang kini berada di pedalaman (mis. Wato Koba di Adonara) agaknya menunjukkan kemungkinan terjadinya variasi ketinggian muka air laut sehingga mempengaruhi posisi hunian neolitik di masa sekarang. Oleh sebab itu perlu dilakukan suatu penjajagan lebih lanjut yang difokuskan pada daerah pedalaman dengan karakter geologis dan geografis tertentu (mis. elevasi, morfologi lahan, serta karakter, dan jenis endapan sedimen).

Data keruangan dari temuan hasil

ekskavasi salah satu lokalitas di desa Sulengwaseng menunjukkan indikasi adanya pola pemanfaatan ruang dalam skala yang lebih kecil. Citra superimposed dari analisis kepadatan temuan fragmen dengan ploting temuan yang relatif utuh menunjukkan adanya repartisi yang berbeda. Temuan arkeologis yang cenderung utuh dalam bentuk suatu fitur (berasosiasi dengan temuan lainnya) menunjukkan suatu bentuk pemberian bekal kubur. Hal ini ditunjukkan oleh adanya temuan sisa manusia yang berada di dekatnya. Sedangkan temuan yang lebih fragmentaris terkonsentrasi di luar wilayah dengan temuan fitur yang berasosiasi dengan kubur tersebut. Kondisi ini mengindikaikan adanya konsep pembagian ruang dalam konteks intra-site. Pembagian ruang

tersebut agaknya mengkait dengan aspek religius dari komunitas Penutur Austronesia. Repartisi temuan secara horisontal tersebut mengarah pada pola pembagian ruang aktivitas yang terpisah, antara yang sifatnya sakral dan profan (yaitu kubur dan aktivitas sehari-hari). Pola ini belum pernah ditunjukkan dari situs hunian neolitik lainnya, sehingga perlu diselidiki lebih lanjut. Sedangkan pada periode Austronesia Protosejarah dan Klasik (Hindu-Buddha) indikasi konsep pembagian ruang tersebut telah jelas terlihat (mis. Yusmaini et al. 2007-9).

5. KesimpulanSejak 3000 tahun yang lalu – kemung-

kinan jauh lebih tua lagi – wilayah Nusa Tenggara Timur telah dihuni Penutur Austronesia dan budaya neolitiknya. Hasil-hasil penelitian sejauh ini memperlihatkan karakter budaya yang memiliki kemiripan dengan Penutur Austronesia awal di wilayah lainnya di Nusantara. Karakter yang paling menonjol menyangkut: (1) hunian tepi pantai; (2) subsistensi berburu dan meramu

Gambar 1. Hasil superimposed data spasial ekskavasi sektor I, situs Sulengwaseng, Solor Selatan (LPA 2012)

Page 10: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

84

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

dengan pemanfaatan biota laut yang menonjol; (3) praktek penguburan tempayan dan tanpa wadah; (4) pembuatan peralatan beliung persegi dan variasi tipologinya; (5) alat-alat perhiasan (dari cangkang kerang, koral, dan biji-bijian); serta (6) pembuatan kain dari kulit kayu yang mengingatkan kita pada Sulawesi dengan penemuan batu pemukul kulit kayu (batu ike) dengan persebaran yang luas ((Fauzi et al. 2012); Simanjuntak et al. 2008). Kemungkinan lain adalah pengolahan makanan tepung (?) dan biji-bijian, sebagaimana diindikasikan temuan sejenis batu pelandas dan penumbuk (use-ground stone tools), namun hal ini masih memerlukan analisis lanjut. Indikasi domestikasi tanaman sejauh ini belum ditemukan (hal yang sulit mengingat kondisinya yang mudah hancur), namun bukan tidak mungkin sudah dipraktekkan. Kondisi geografis hunian pantai yang relatif datar dengan perbukitan di belakangnya sangat memungkinkan dimanfaatkan sebagai wilayah perladangan, sebagaimana pada masa sekarang.

Karakter budaya di atas mencirikan neolitik yang merupakan budaya khas Penutur Austronesia awal, walaupun tidak menutup kemungkinan pada situs tertentu terdapat tradisi berlanjut ke masa protosejarah. Dalam hal ini analisis pertanggalan menjadi sangat penting dilakukan ke depan untuk memperjelas posisi kronologi budaya hunian-hunian tersebut. Perlu dijelaskan bahwa hunian pantai yang menonjol di Nusa Tenggara Timur tidak berarti pilihan satu-satunya untuk lokasi hunian. Dalam perkembangan lanjut, sangat memungkinkan perluasan hunian lewat pemanfaatan lahan dan sumberdaya alam ke wilayah pedalaman, sebagaimana ditemukan di wilayah pulau-pulau lainnya. Temuan permukaan berupa pecahan-pecahan tembikar di Situs Watokoba di Adonara Timur yang berjarak sekitar 10 km dari garis pantai terdekat merupakan bukti yang memperkat dugaan tersebut.

Keberadaan situs-situs di atas meng-ingatkan kita pada hunian pesisir di bagian

lain Nusantara, seperti Plawangan di Jawa Tengah (Soegondho 1993), Takalar di Sulawesi Selatan, Sembiran di Bali (Ardika & Bellwood 1991). Sementara hunian pedalaman, antara lain dijumpai di Koto Pekih dan Bukit Arat di Kerinci (Azis 2011; Bonatz 2009), Punung di Jawa Timur (Simanjuntak 2001), Purbalingga di Jawa Tengah (Simanjuntak 2009), Karang Nunggal di Tasikmalaya (Heekeren 1972), dan Nanga Balang di Kapuas Hulu. Hunian Penutur Austronesia berlanjut ke paleometalik, sebagaimana bukti-buktinya ditemukan antara lain di Situs Gilimanuk di Bali (Soejono 1966), Anyer di ujung barat Jawa (Heekeren 1972), Lolo Gedang di Kerinci (Azis et al. 2011), Muara Sepang dan beberapa lokasi lainnya di Lahat, Jambu Hilir, Kandangan di Kalimantan Selatan (Angraeni 2007).

Keseluruhan situs di atas menunjukkan setidaknya sekitar 3500-3000 tahun yang lalu – bahkan kemungkinan lebih tua – berbagai kepulauan Nusantara sudah mulai dihuni Penutur Austronesia. Kemampuan berlayar yang dimiliki telah menjadi modal untuk menyebar dengan cepat dari satu ke lain pulau. Penemuan di Kalumpang dan di Kepulauan Sangir – Talaud, serta di Maros – Pangkep menunjukkan Penutur Austronesia sudah hadir di pulau ini sejak sekitar 3800-3500 tahun yang lalu, dan kemungkinan sejak 4000 tahun yang lalu. Melalui penguasaan teknologi pelayaran sederhana serta kegigihan mereka dapat menyebar dari satu pulau ke pulau lainnya. Kemampuan berlayar ini pula yang menjadi modal untuk menyebar ke pedalaman lewat sungai-sungai hingga ke hulu. Hal seperti ini terbukti di Sulawesi yang melalui Sungai Karama mencapai Kalumpang dan wilayah lain di hulunya (Simanjuntak 2008). Bahkan dugaan migrasi yang menerapkan teknik loncat katak (Leaf-frogging migration) (Allen dan White 1989) memungkinkan mereka dengan cepat menyebar dalam kawasan kepulauan yang luas hingga Pasifik.

Bagaimana gambaran interaksi Penutur

Page 11: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

85

Truman Simanjuntak, M. Ruly Fauzi, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, Hallie Buckley, Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur: Sebuah Pandangan Awal

Austronesia awal di Nusa Tenggara Timur ditunjukkan oleh kesamaan-kesamaan ting-galan arkeologis di pulau Flores – Adonara – Lembata – Solor – Sumba. Kesamaan-kesamaan tersebut menunjukkan wilayah ini merupakan bagian dari satuan budaya (cultural area) neolitik yang berhubungan satu sama lain. Jarak dekat berupa selat-selat sempit (sekitar 3-9 km) yang memisahkan pulau-pulau tidak menjadi penghalang bagi persebaran Penutur Austronesia dalam mencari dan menemukan lahan hunian baru, paling tidak sejak tiga milenium yang lalu. Bisa dibayangkan selat-selat tersebut sudah menjadi area perlintasan yang menghubungkan komunitas antar-pulau di kala itu. Gambaran sekarang menguatkan dugaan itu dimana interaksi komunitas antar-pulau sangat intensif lewat kemajuan teknologi pelayaran dan kelancaran sarana perhubungan. Sebagai contoh, saat ini kita dapat menyaksikan interaksi intensif yang terjalin diantara komunitas masyarakat di pesisir Adonara Timur dengan penduduk Desa Lamakera di Solor serta komunitas nelayan di pantai barat Lembata. Interaksi yang berlatar belakang kegiatan ekonomi, sosial, atau budaya itu bahkan tidak jarang membuka peluang bagi

perkawinan lintas-pulau hingga menciptakan pertalian keluarga di antara sesama komunitas.

Gambaran di atas memperlihatkan dengan jelas bahwa Nusa Tenggara Timur merupakan wilayah yang sangat penting bagi studi Austronesia. Data yang tersedia memang masih terbatas, namun sedikit-banyaknya telah memperlihatkan pentingnya wilayah ini dalam kehadiran, persebaran, dan perkembangan Penutur Austronesia awal dan budayanya tidak hanya dalam konteks lokal, tetapi juga dalam konteks regional-global. Hasil-hasil pendahuluan ini menekankan perlunya penelitian yang lebih menyeluruh dan komprehensif di wilayah ini untuk mengisi kesenjangan data. Penelitian Austronesia di Nusa Tenggara Timur, sebagaimana di wilayah lainnya nusantara, merupakan bagian dari proyek berlingkup nasional yang diuraikan di awal tulisan ini: “Understanding our origin and our indigenous culture”. Hanya melalui semangat dan upaya berkelanjutan kita dapat memahami asal-usul kita dan akar budaya kita - modal utama bagi pembangunan peradaban yang berkepribadian Indonesia.

Page 12: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

86

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

DAFTAR PUSTAKA

Allen, J. dan P. White. 1989. The Lapita Homeland: Some New Data and an Interpretation. Journal of the Polynesian Society 98: 129-146.

Anggraeni dan Sunarningsih. 2007. Laporan Penelitian Pemukiman Prasejarah di Situs Jambu Hilir, Kalimantan Selatan. Tidak terbit.

Ardika, I W. and P. Bellwood. 1991. “Sembiran: The Beginning of Indian Contact with Bali”. Antiquity vol. 65 (247): 221-232.

Azis, Fadhila et al. 2011. Laporan Penelitian Arkeologi (LPA) Lolo Gedang. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional. Tidak terbit.

Bellwood, Peter. 1984-1985. A Hypothesis for Austronesian Origins. Asian Perspectives 26: 107-117.

Bellwood, Peter. 1998. The Archaeology of Papua and Austronesian Prehistory in the Northern Moluccas, Eastern Indonesia. Dalam Blench, Roger and Matthew Spriggs (eds.). Archaeology and Language II. Correlating Archaeological and Linguistic Hypotheses, hal. 128-140. London: Routledge.

----------. 2000. Prasejarah Kepulauan Indo-Malaysia. Edisi Revisi. PT Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Bellwood, P. J. Fox dan D. Tryon. 1995. The Austronesians in History: Common Origins and Diverse Transformations. Dalam Peter Bellwood, James J. Fox, dan Darrell Tryon (eds.). The Austronesians. Canberra: ANU Printing Service, The Austronesians, historical and compartive perspectives, hal. 3-13. Canberra: The Australian National University.

Bintarti, D.D. 2000. More Urn Burials in Indonesia. Indo-Pacific Prehistory Association Bulletin 19th.

Melaka Papers vol. 3: 73-76.

Birdsell, J.H. 1977. The Recalibration of a Paradigm for the First Peopling of Greater Australia. Dalam J. Allen, J. Golson, dan R. Jone (eds.). Sunda and Sahul, hal. 113-167. London: Academic Press.

Bonatz, Dominik. 2009. The Neolithic in the Highlands of Sumatra: Problems of Definition. From Distant Tales: Archaeology and Ethnohistory in the Highland of Sumatra, hal. 43-74. Cambridge: Cambridge Scholars Publishing.

Brumm, A., G.M. Jensen, G.D. van den Bergh, M.J. Morwood, I. Kurniawan, F. Aziz & M. Storey. 2010. Hominin on Flores, Indonesia, by one million years ago. Nature 464: 748-752.

Bulbeck, D. 1996/1997. The Bronze-Iron Age of South Sulawesi, Indonesia: Mortuary Traditions, Metallurgy and Trade. Dalam N. Barnard (ed.), Ancient Chinese and Southeast Asian Bronze Age culture, hal. 1007-1076.

Callenfels, P.V. van. Stein 1951. Prehistoric Sites on the Karama River. University Journal of East Asian Studies 1 (1).

Chang, K.C. 1964. Prehistoric and Early Historic Culture Horizons and Traditions in South China. Current Anthropology 5 (5): 359, 368-375.

Page 13: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

87

Truman Simanjuntak, M. Ruly Fauzi, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, Hallie Buckley, Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur: Sebuah Pandangan Awal

Chia, Stephen. 2003. The Prehistory of Bukit Tengkorak as a Major Prehistoric Pottery Making Site in Southeast Asia. Sabah Museum Monograph, vol. 8. Kota Kinabalu, Malaysia.

Datan, I. 1993. Archaeological Excavations at Gua Sireh (Serian) and Lubang Angin (Gunung Mulu National Park), Sarawak, Malaysia. Sarawak Museum Journal. Special monograph no.6.

Diamond, Jared M. 2000. Taiwan’s Gift to the World. Nature 403. McMillan Magazine Ltd.

Dyen, I. 1965. A Lexicostatistical Classification of the Austronesian Languages. International Journal of American Linguistic Memoir 19.

Fauzi, M. Ruly, F.A. Aziz, J.C. Galipaud, T. Simanjuntak. 2012. Laporan Penelitian Arkeologi (LPA) Situs Sulengwaseng dan Painhaka, Kabupaten Flores Timur. Jakarta: Pusat Arkeologi Nasional. Tidak terbit.

Galipaud, Jean-Christophe, Truman Simanjuntak, Hallie Buckley, Daud Tanudirjo, Fadhila Azis. 2012. The Austronesian Face: Human Face Representation on Ceramics in Austronesian Prehistory in Eastern Indonesia. Paper presented at the 14th EurASEAA International Conference, September 18th-21st, Dublin.

Glover, I.C. 1970. Excavation in Timor: A Study of Economic Change and Cultural Continuity in Prehistory. Tesis. Australian National University Press.

Guillaud et al. 2006. Menelusuri Sungai: Merunut Waktu. Hasil Penelitian Arkeologi di Sumatra Selatan. Jakarta: PT. Enrique Indonesia.

Harrisson, T. 1959. New Archaeological and Ethnological Results from Niah Cave, Serawak. Man 59: 1-8.

Heekeren, H.R, van. 1956. The Urn Cemetery at Melolo, East Sumba (Indonesia). Berita Dinas Purbakala 3: 2-24.

----------. 1958. The Bronze-Iron Age in Indonesia. s’Gravenhage: Martinus Nijhoff.

----------. 1972. The Stone Age of Indonesia. Verhandelingen van het koninklijk, instituut voor Taal-, Land-en Volkenkunde 61. The Hague: Martinus Nijhoof.

Heine-Geldern, Robert von. 1945. Prehistoric Research in the Netherlands Indies. Science and Scientist in the Netherlands Indies, hal. 129-167. New York.

Jacob, Teuku. 1967. Some Problems Pertaining to the Racial History of the Indonesian Region. Disertasi Doktoral. Universitas Utrecht.

Jacob, Teuku, E. Indriati, R.P. Soejono, K. Hsu, D.W. Frayer, R.B. Eckhardt, A.J. Kuperavage, A. Thorne & M. Henneberg. 2006. Pygmoid Australmelanesian Homo Sapiens Skeletal Remains from Liang Bua, Flores: Population Affinities and Pathological Abnormalities. Proceedings of the National Academy of Sciences 103 (36): 13421-13426.

Morwood, M.J., F. Aziz, P.O. Sullivan & A. Raza. 1998. Fission-track Ages of Stone Tools and Fossils on the East Indonesian Island of Flores, Nature 392: 173-176.

Morwood, M.J., F. Aziz, P.O. Sullivan, Nasruddin, D.D. Hobbs & A. Raza. 1999. Archaeological and Palaeontological Research in Central Flores, East Indonesia: results of fieldwork 1997- 1998, Antiquity 73: 273- 286.

Page 14: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

88

AMERTA, Jurnal Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Vol. 30 No. 2, Desember 2012

Morwood, M.J., R.P. Soejono, R.G. Roberts, T. Sutikna, C.S.M. Turney, K.E. Westaway, W.J. Rink, J.-X. Zhao, G.D. van den Bergh, Rokus Awe Due, D.R. Hobbs, M.W. Moore, M.I Bird & L.K. Fifield. 2004. Archaeology and Age of a New Hominin from Flores in Eastern Indonesia. Nature 431: 1087-1091.

O’Connor, S. 2002. Pleistocene Timor: Further Corrections, a Reply to Bednarik. Australian Archaeology 54: 46-51.

----------. 2007. New Evidence from East Timor Contributes to Our Understanding of Earliest Modern Human Colonization Eeast of the Sunda Shelf. Antiquity 81: 523-535.

Prasetyo, Bagyo. 2009. Laporan Penelitian Arkeologi: Pusat Budaya Megalitik Pasemah di Pagaralam dan Lahat, Sumatra Selatan. Pusat Penelitian Arkeologi Nasional, Jakarta. Tidak terbit.

Roberts, R.G., R. Jones, M.A. Smith. 1990. Thermoluminiscence Dating of a 50 000-year-old Human Ooccupation Site in Northern Australia. Nature 345: 153–156.

Sémah, Anne-Marie dan Josette Renault-Miskovsky (ed.). 2004. L’évolution de la Vegetation Depuis Deux Millions d’Années. Artcom/Errance: Paris.

Simanjuntak, Truman. 2010. Penutur dan budaya Austronesia. Arkeologi Indonesia dalam Lintasan Zaman, hal. 41-72. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan Arkeologi Nasional.

Simanjuntak, Truman, Isamu Sakamoto, Mulyati Rahayu, Linda Kurniawan, Mufid Sururi. 2008. Laporan Ekspedisi K-3 di Sulawesi. Tidak terbit.

Simanjuntak, Truman (ed.). 2008. Austronesian in Sulawesi. Jakarta: Center for Prehistoric and Austronesian Studies.

Simanjuntak, Truman. 2008. Austronesian in Sulawesi: Its Origin, Diaspora, and Living Tradition. Dalam Simanjuntak, Truman (ed.). Austronesian in Sulawesi. Jakarta: Center for Prehistoric and Austronesian Studies.

Simanjuntak, Truman. 2009. Purbalingga: Masa lalu untuk masa sekarang. Dalam Tjipto Rahardjo dan Sujatmiko (ed.), hal. 41-63. Misteri Batu Klawing. Kelompok Riset Cekungan Bandung.

Soegondho, Santoso. 1993. Wadah Keramik Tanah Liat dari Gilimanuk dan Plawangan: Sebuah kajian Teknologi dan Fungsi. Disertasi Doktoral. Fakultas Ilmu Pengetahuan Budaya, Universitas Indonesia. Depok.

Soejono, R.P. 1966. Gilimanuk, an Early Metal Age Settlement: A Preliminary Report on an Archaeological Excavation. Pacific Science Congress 11th. Tokyo.

Soejono, R.P. (ed.). 1984. Sejarah Nasional Indonesia Jilid I. Jakarta: Balai Pustaka.

Tanudirjo, D.A. 2001. Islands in Between, Prehistory of the Northeastern Indonesian Archipelago. PhD thesis. Canberra: The Australian National University.

Tim Penelitian. 1992. Laporan Penelitian Arkeologi Situs Melolo. Jakarta: Pusat Penelitian Arkeologi Nasional.

Verhoeven, Th. 1952. Stenen Werktuigen Uit Flores (Indonesia). Anthropos 47: 95-98.

Wiradnyana, Ketut. 2007-2008. Laporan Penelitian Arkeologi (2007-2008): Ekskavasi Situs Bukit Kerang Pangkalan, Aceh Tamiang, NAD. Balai Arkeologi Medan. Tidak terbit.

Page 15: PRASEJARAH AUSTRONESIA DI NUSA TENGGARA TIMUR: …

89

Truman Simanjuntak, M. Ruly Fauzi, J.C. Galipaud, Fadhila A. Azis, Hallie Buckley, Prasejarah Austronesia di Nusa Tenggara Timur: Sebuah Pandangan Awal

Yuliati, Chita. 2004. “Ekskavasi Situs Lambanapu 2004, Sumba Timur, Nusa Tenggara Timur”, Berita Penelitian Arkeologi, hal. 1-19. Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata. Bagian Proyek Penelitian Arkeologi. Denpasar.

Yusmaini et al. 2007-2009. Laporan Penelitian Arkeologi: Tata Kota Majapahit Beserta Sisa Aktivitas Masyarakatnya di Situs Trowulan (Mojokerto). Pusat Penelitian Arkeologi, Jakarta. Tidak terbit.