pramoedya ananta toer

Upload: angela-karenina

Post on 19-Jul-2015

355 views

Category:

Documents


8 download

TRANSCRIPT

Pramoedya Ananta Toer Sang Pujangga Telah Berpulang Pramoedya Ananta Toer meninggal dunia Minggu 30 April 2006 sekitar pukul 08.30 WIB di rumahnya Jl Multikarya II No.26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Sang Pujangga kelahiran Blora 6 Februari 1925 yang dipanggil Pram dan terkenal dengan karya Tetralogi Bumi Manusia, itu dimakamkan di TPU Karet Bivak pukul 15.00, Minggu 30/4. Lagu Darah Juang mengiringi prosesi pemakamannya yang dinyanyikan oleh para pengagum dan pelayat. Sebelumnya, dia dirawat di ICU RS St Carolus Jakarta. Kemudian sejak Sabtu sekitar pukul 19.00 WIB dia meminta pulang dan dokter mengizinkan. Sastrawan yang oleh dunia internasional, sebagaimana ditulis Los Angeles Time, sering dijuluki Albert Camus Indonesia itu termasuk dalam 100 pengarang dunia yang karyanya harus dibaca sejajar dengan John Steinbejk, Graham Greene dan Bertolt Berecht. Profil Pram juga pernah ditulis di New Yorker, The New York Time dan banyak publikasi dunia lainnya. Karya-karyanya juga sudah diterjemahkan dalam lebih dari 36 bahasa asing termasuk bahasa Yunani, Tagalok dan Mahalayam. Dihargai Dunia Dipenjara Negeri Sendiri Ia bagaikan potret seorang nabi, yang dihargai oleh bangsa lain tetapi dibenci di negerinya sendiri. Pramoedya Ananta Toer, seorang pengarang yang pantas menjadi calon pemenang Nobel. Ia telah menghasilkan belasan buku baik kumpulan cerpen maupun novel. Kenyang dengan berbagai pengalaman berupa perampasan hak dan kebebasan. Ia banyak menghabiskan hidupnya di balik terali penjara, baik pada zaman revolusi kemerdekaan, zaman pemerintahan Soekarno, maupun era pemerintahan Soeharto. Di zaman revolusi kemerdekaan ia dipenjara di Bukit Duri Jakarta (1947-1949), dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno karena buku Hoakiau di Indonesia, yang menentang peraturan yang mendiskriminasi keturunan Tionghoa. Setelah pecah G30S-PKI, Pramoedya yang anggota Lembaga Kebudayaan Rakyat onderbouw Partai Komunis Indonesia - ditangkap dan dibuang ke Pulau Buru sampai tahun 1979. Siksaan dan kekerasan adalah bagian hari-harinya di tahanan dan terpaksa kehilangan sebagian pendengarannya, karena kepalanya dihajar popor bedil. Setelah bebas pun, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan masih menjalani wajib lapor setiap minggu di instansi militer. Meskipun ia sudah bebas, hak-hak sipilnya terus dibrangus, dan buku-bukunya banyak yang dilarang beredar terutama di era Soeharto. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Ia dilahirkan di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 oleh seorang ibu yang memberikan pengaruh kuat dalam pertumbuhannya sebagai individu. Pramoedya mengatakan bahwa semua yang tertulis dalam bukunya teinspirasi oleh ibunya. Karakter kuat seorang perempuan dalam karangan fiksinya didasarkan pada ibunya, seorang pribadi yang tak

ternilai, api yang menyala begitu terang tanpa meninggalkan abu sedikitpun. Ketika Pramoedya melihat kembali ke masa lalu, ia melihat revolusi Indonesia diwujudkan dalam bentuk tubuh perempuan ibunya. Meskipun karakter ibunya kuat, fisik ibunya menjadi lemah karena TBC dan meninggal pada umur 34 tahun, waktu itu Pramoedya masih berumur 17 tahun. Setelah ibunya meninggal, Pramoedya dan adiknya meninggalkan rumah keluarga lalu menetap di Jakarta. Pramoedya masuk ke Radio Vakschool, di sini ia dilatih menjadi operator radio yang ia ikuti hingga selesai, namun ketika Jepang datang menduduki, ia tidak pernah menerima sertifikat kelulusannya. Pramoedya bersekolah hingga kelas 2 di Taman Dewasa, sambil bekerja di Kantor Berita Jepang Domei. Ia belajar mengetik lalu bekerja sebagai stenografer, lalu jurnalis. Ketika tentara Indonesia berperang melawan koloni Belanda, tahun 1945 ia bergabung dengan para nasionalis, bekerja di sebuah radio dan membuat sebuah majalah berbahasa Indonesia sebelum ia akhirnya ditangkap dan ditahan oleh Belanda tahun 1947. Ia menulis novel pertamanya, Perburuan (1950), selama dua tahun di penjara Belanda (1947-1949). Setelah Indonesia merdeka, tahun 1949, Pramoedya menghasilkan beberapa novel dan cerita singkat yang membangun reputasinya. Novel Keluarga Gerilya (1950) menceritakan sejarah tentang konsekuensi tragis dari menduanya simpati politik dalam keluarga Jawa selama revolusi melawan pemerintahan Belanda.

Cerita-cerita singkat yang dikumpulkan dalam Subuh (1950) dan Pertjikan Revolusi (1950) ditulis semasa revolusi, sementara Tjerita dari Blora (1952) menggambarkan kehidupan daerah Jawa ketika Belanda masih memerintah. Sketsa dalam Tjerita dari Djakarta (1957) menelaah ketegangan dan ketidakadilan yang Pramoedya rasakan dalam masyarakat Indonesia setelah merdeka. Dalam karya-karya awalnya ini, Pramoedya mengembangkan gaya prosa yang kaya akan bahasa Jawa sehari-hari dan gambar-gambar dari budaya Jawa Klasik. Di awal tahun 50-an, ia bekerja sebagai editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka. Di akhir tahun 1950, Pramoedya bersimpati kepada PKI, dan setelah tahun 1958 ia ditentang karena tulisan-tulisan dan kritik kulturalnya yang berpandangan kiri. Tahun 1962, ia dekat dengan Lembaga Kebudayaan Rakyat yang disponsori oleh PKI yang kemudian dicap sebagai organisasi onderbow atau mantel PKI. Di Lekra ia menjadi anggota pleno lalu diangkat menjadi wakil ketua Lembaga Sastra, dan menjadi salah seorang pendiri Akademi Multatuli, semua disponsori oleh LEKRA. Pramoedya mengaku bangga mendapat kehormatan seperti itu, meskipun sekiranya Lekra memang benar merupakan organisasi mantel PKI. Kemudian terjadi peristiwa rasial anti-Tionghoa semasa Indonesia telah merdeka, formal oleh negara, dalam bentuk PP 10 -1960. Buku Hoakiau di Indonesia yang diluncurkan sekarang ini, pertama diterbitkan oleh Bintang Press, 1960, merupakan reaksi atas PP 10 tersebut. Peraturan Pemerintah nomor 10 ini kemudian berbuntut panjang dengan terjadinya tindakan rasial di Jawa Barat pada 1963, yang dilakukan oleh militer Angkatan

Darat. Karena buku ini pula ia dijebloskan lagi ke penjara di zaman pemerintahan Soekarno. Setelah keluar dari penjara karena soal Hoakiau itu, Profesor Tjan Tjun Sin memintanya mengajar di Fakultas Sastra Universitas Res Publica milik Baperki, yang sekarang diubah namanya menjadi Universitas Trisaksi yang kini bukan lagi milik Baperki. Ajakan ini sempat membuatnya merasa tidak enak karena SMP saja ia tidak lulus dan belum punya pengalaman dalam mengajar. Meskipun begitu, Pramoedya mengaku menggunakan caranya sendiri. Setiap mahasiswa ia wajibkan mempelajari satu tahun koran, sejak awal abad ini. Setiap tahun ada sekitar 28 mahasiswa yang ia beri tugas itu, sehingga Perpustakaan Nasional menjadi penuh dengan mahasiswanya. Dari para mahasiswa-mahasiswi yang sebagian terbesar WNI keturunan Tionghoa, ia menerima sejumlah informasi tentang perlakuan pihak militer terhadap keluarga mereka yang tinggal di Jawa Barat. Ternyata rasialisme formal ini ditempa oleh beberapa orang dari kalangan elit OrBa untuk meranjau hubungan antara RI dengan RRC, yang jelas, sadar atau tidak, menjadi sempalan perang-dingin yang menguntungkan pihak Barat. Di tahun 1965-an, Suharto memimpin setelah mengambil alih pemerintahan yang didukung oleh Amerika yang tidak suka Sukarno bersekutu dengan Cina. Mengikuti cara Amerika, Suharto mulai membersihkan komunis dan semua orang yang berafiliasi dengan komunis. Suharto memerintahkan hukuman massal, tekanan masal dan memulai Rezim Orde Baru yang dikuasai oleh militer. Akibatnya, ia ikut dipenjara setelah kudeta yang dilakukan komunis tahun 1965. Meskipun Pramoedya tidak pernah menjadi anggota PKI, ia dipenjara selama 15 tahun karena beberapa alasan: pertama, karena dukungannya kepada Sukarno, kedua, karena kritikannya terhadap pemerintahan Soekarno, khususnya ketika tahun 1959 dikeluarkan dekrit yang menyatakan tidak diperbolehkannya pedagang Cina untuk melakukan bisnis di beberapa daerah. Ketiga, karena artikelnya yang dikumpulkan menjadi sebuah buku berjudul HoaKiau di Indonesia. Dalam buku ini, ia mengkritik cara tentara dalam menangani masalah yang berkaitan dengan etnis Tionghoa. Pemerintah membuat skenario asimilasi budaya dengan menghapus budaya Cina. Sekolah-sekolah Cina ditutup, buku-buku Cina dibredel, dan perayaan tahun Baru Cina dilarang. Pada masa awal di penjara, ia diijinkan untuk mengunjungi keluarga dan diberikan hak-hak tertentu sebagai tahanan. Di masa ini, ia dan teman penjaranya diberikan berbagai pekerjaan yang berat. Hasil tulisan-tulisannya diambil darinya, dimusnahkan atau hilang. Tanpa pena dan kertas, ia mengarang berbagai cerita kepada teman penjaranya di malam hari untuk mendorong semangat juang mereka. Pada tahun 1972, saat di penjara, Pramoedya terpaksa diperbolehkan oleh rezim Soeharto untuk tetap menulis di penjara. Setelah akhirnya memperoleh pena dan kertas, Pramoedya bisa menulis kembali apalagi ada tahanan lain yang menggantikan pekerjaannya. Selama dalam penjara (1965-1979) ia menulis 4 rangkaian novel sejarah yang kemudian semakin mengukuhkan reputasinya. Dua di antaranya adalah Bumi Manusia (1980) dan Anak Semua Bangsa (1980), mendapat perhatian dan kritikan setelah diterbitkan, dan pemerintah membredelnya, dua volume

lainnya dari tetralogi ini, Jejak Langkah dan Rumah Kaca terpaksa dipublikasikan di luar negeri. Karya ini menggambarkan secara komprehensif tentang masyarakat Jawa ketika Belanda masih memerintah di awal abad 20. Sebagai perbandingan dengan karya awalnya, karya terakhirnya ini ditulis dengan gaya bahasa naratif yang sederhana. Sementara itu, enam buku lainnya disita oleh pemerintah dan hilang untuk selamanya.

Beberapa tahun setelah dibebaskan tahun 1969, Pramoedya dijadikan tahanan rumah dan harus melapor setiap minggu kepada militer. Pemerintah telah mengambil tahun-tahun terbaik dalam hidupnya, pendengarannya, papernya, rumahnya dan tulisan-tulisannya. Sebenarnya semenjak tahun 1960-an, minatnya yang besar pada sejarah membuatnya suka mengumpulkan berbagai artikel atau tulisan dari berbagai koran yang kemudian diklippingnya. Kini belasan bukunya sudah diterjemahkan lebih dari 30 puluh bahasa termasuk Belanda, Jerman, Jepang, Rusia dan Inggris. Karena prestasinya inilah ia dianggap sebagai orang yang paling berpengaruh di Asia (selain Iwan Fals dari Indonesia) versi majalah Time dan telah memperoleh berrbagai penghargaan seperti PEN Freedom-to-Write Award, Wertheim Award dari Belanda, serta Ramon Magsaysay Award (dinilai dengan brilyan menonjolkan kebangkitan dan pengalaman moderen rakyat Indonesia). Novel-novel sejarah yang dibuat oleh Pramoedya mengungkap sejarah yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah, yang kebanyakan jauh dari kenyataan. Seperti Nelson Mandela, ia menolak untuk memaafkan pemerintah yang telah mengambil banyak hal dalam kehidupannya. Ia khawatir bila ia mudah memaafkan, sejarah akan segera dilupakan. Ia menekankan pentingnya mengetahui sejarah seseorang sehingga orang lain tidak mengulangi kesalahan yang sama di tahun-tahun yang akan datang. Pramoedya juga menyukai karya sastrawan lain seperti Leo Tolstoy, Anton Chekov, atau John Steinbeck. Kekagumannya pada gaya bercerita Steinbeck yang detail juga mempengaruhinya dalam menulis. Namun, Pramoedya tidak suka dengan karya Ernest Hemingway, yang dianggapnya tidak manusiawi. Selain membuat novel, ternyata Pramoedya, pengagum peraih Nobel, Gunter Grass ini, pernah juga menyusun syair-syair puisi. Tapi saya sudah mulai bosan dengan perasaan, kata anak Kepala Sekolah Instituut Boedi Oetomo, Blora. Karena itu, dia hanya membuat novel yang rasional, dan sama sekali tak menyukai sastra yang bergaya irasional. Kini, Pram di usianya yang ke 78 tahun mengaku sudah makin kepayahan. Mencangkul yang dulu bisa dia lakukan enam hingga delapan jam hanya bisa dua jam saja. Bahkan pernah, selama dua tahun, Pram sama sekali tidak bisa mengangkat benda apa pun. Itu mulai dia sadari saat hujan datang, ketika dia masih mencangkul di kebun. Dia hanya ingin bersunyisunyi di kediamannya, beternak dan berkebun sembari mengenang masa lalunya di Blora, di daerah bagian kelompok masyarakat Samin yang dikenal antiperaturan kolonialis.

Dia bahkan sudah tidak menulis novel lagi dan hanya sekali-sekali menulis essai. Dalam hidupnya di tengah-tengah sebuah bangsa yang terdiri dari berbagai suku, agama, dan kelas, Pramoedya masih meneruskan perjuangannya menuntut tidak hanya kebebasan menulis tetapi juga kebebasan membaca. Sekarang buku-bukunya tidak lagi dibredel, dan dapat dilihat di rak-rak buku setiap toko buku dan perpustakaan di seluruh Indonesia. Tahun 2002, bersama musisi Iwan Fals dan Pramoedia Ananta Toer juga dinobatkan majalah Time Asia sebagai "Asian Heroes". e-ti/Atur Lorielcide Paniroy, dari berbagai sumber. TokohIndonesia DotCom (Ensiklopedi Tokoh Indonesia) Nama: Pramoedya Ananta Toer Lahir: Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 Meninggal: Jakarta, 30 April 2006 Isteri: Maemunah Thamrin Pendidikan: SD Institut Boedi Oetomo (IBO), Blora Radio Vakschool 3 selama 6 bulan, Surabaya Kelas Stenografi, Chuo Sangi-In, satu tahun, Jakarta Kelas dan Seminar Perekonomian dan Sosiologi oleh Drs. Mohammad Hatta, Maruto Nitimihardjo Taman Dewasa: Sekolah ini ditutup oleh Jepang, 1942-1943 Sekolah Tinggi Islam: Kelas Filosofi dan Sosiologi, Jakarta Pekerjaan: Juru ketik di Kantor Berita Domei, Jakarta, 1942-1944 Instruktur kelas stenografi di Domei Editor Japanese-Chinese War Chronicle di Domei Reporter dan Editor untuk Majalah Sadar, Jakarta, 1947 Editor di Departemen Literatur Modern Balai Pustaka, Jakarta, 1951-1952 Editor rubrik budaya di Surat Kabar Lentera, Bintang Timur, Jakarta, 1962-1965 Fakultas Sastra Universitas Res Publica (sekarang Trisakti), Jakarta, 1962-1965 Akademi Jurnalistik Dr. Abdul Rivai, 1964-1965 Prestasi dan Penghargaan 1951: First prize from Balai Pustaka for Perburuan (The Fugitive) 1953: Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional for Cerita dari Blora (Tales from Blora) 1964: Yamin Foundation Award for Cerita dari Jakarta (Tales form Jakarta) - declined by

writer 1978: Adopted member of the Netherland Center - During Buru exile 1982: Honorary Life Member of the International P.E.N. Australia Center, Australia 1982: Honorary member of the P.E.N. Center, Sweden 1987: Honorary member of the P.E.N. American Center, USA 1988: Freedom to Write Award from P.E.N. America 1989: Deutschsweizeriches P.E.N member, Zentrum, Switzerland 1989: The Fund for Free Expression Award, New York, USA 1992: International P.E.N English Center Award, Great Britain 1995: Stichting Wertheim Award, Netherland 1995: Ramon Magsaysay Award, Philliphine 1995: Nobel Prize for Literature nomination (Pramoedya has been nominated constantly since 1981.) 1999: Honorary Doctoral Degree from University of Michigan, Ann Arbor 2000: Chevalier de l'Ordre des Arts et des Lettres Republic of France. 2000: Fukuoka Asian Culture Grand Prize, Fukuoka, Japan. Buku: Fiksi: Krandji-Bekasi Djatuh, 1947 Perburuan, 1950 Keluarga Gerilya, 1950 Subuh, 1950 Pertjikan Revolusi, 1950 Mereka Jang Dilumpuhkan (Bag 1 dan 2), 1951 Bukan Pasar Malam, 1951 Di Tepi Kali Bekasi, 1951 Dia Yang Menyerah, 1951 Tjerita Dari Blora, 1952 Gulat di Djakarta, 1953 Midah Si Manis Bergigi Emas, 1954 Korupsi, 1954 Tjerita Tjalon Arang, 1957 Suatu Peristiwa di Banten Selatan, 1958

Tjerita Dari Djakarta, 1957 Bumi Manusia - HM, 1980 Anak Semua Bangsa - HM,1980 Tempo Doeloe, (ed.) - HM, 1982 Jejak Langkah - HM, 1985 Gadis Pantai - HM,1987 Hikayat Siti Mariah, (ed.) - HM,1987 Rumah Kaca - HM, 1988 Arus Balik - HM, 1995 Arok Dedes - HM, 1999 Mangir - KPG, 1999 Larasati: Sebuah Roman Revolusi - HM, 2000 Perawan Remaja dalam Cengkeraman Militer - KPG, 2001 Cerita Dari Digul - KPG, 2001

Non-Fiksi: Hoakiau di Indonesia, 1960 Panggil Aku Kartini Saja I & II, 1962 Sang Pemula HM, 1985, biografi Tirto

Adhi Soerjo Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) - HM, 1995 Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I, Lentera, 1995

Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II, Lentera, 1997 Kronik Revolusi Indonesia, Bag 1,2,3. 1 & 2:

KPG, 1999 - 3: KPG, 2001

Karya Terjemahan ke Bahasa Indonesia Lode Zielens, Bunda, Mengapa Kami Hidup? (Moeder, waarom leven wij?), 1947 Frits van Raalte, 1946 J.Veth, 1943 John Steinbeck, Tikus dan Manusia (Of Mice and Men), 1950 Leo Tolstoi, Kembali pada Tjinta dan Kasihmu (Return to Your Love and Affection), 1951 Leo Tolstoi, Perdjalanan Ziarah jang Aneh (Strange Pilgrimage), 1954 Mikhail Sholokhov, Kisah Seorang Cerita Pendek Karena korek api. Minggoe Merdeka, 6.1, (1947): 6. Kemana?? Pantja Raja, 5.2, (47): 141-2. Si Pandir. Pantja Raja, 11-12.2, (47): 405-7. Kawanku sesel. Mimbar Indonesia, 40.3, (49): 17-19. Kemelut. Mimbar Indonesia, 14.3, (49): 178, 22. Lemari antik. Mimbar Indonesia, 43-44.3, (49): 18-9. Masa. Mimbar Indonesia, 39.3, (49): 17-20. Anak haram. Daya, 5-6.2, (50): 98-101. Antara laut dan keringat. Siasat, 164, 165.4, (50): 8; 6. Blora. Indonesia, 1.2, (50): 53-64. Bukan pasar malam. Indonesia, 6.1, (50): 23-55. Cahaya telah padam. Siasat, 179-180.4, (50): 18-9. Demam. Mimbar Indonesia, 32.4, (50): 2629. Dia yang menyerah. Poedjangga Baroe, 11-

Pradjurit Sovjet (The Fate of a Man), 1956 Maxim Gorki, Ibunda (Mother), 1958 Ho Ching-chih & Ting Yi, Dewi Uban (The White-haired Girl), 1958 Alexander Kuprin, Asmara dari Russia (Love from Russia), 1959 Boris Polewoi, Kisah Manusia Sejati (A Story about a Real Man) Blaise Pascal, Buah Renungan (Pensees) Kristoferus Albert Schweitzer

12.11, (50): 245-286. Fajar merah. Gema Suasana, 1.3, (50): 8196. Hadiah kawin. Spektra, 42.1; 1.2, 3.2, (50): 27-31; 27-30; 27-30. Hidup yang tak diharapkan. Siasat, 188 sd 193.4, (50): passim. Inem. Mimbar Indonesia, 15.4, (50): 19-20. Jongos + babu. Mimbar Indonesia, 2, 3.4, (50): 17-8; 17-8. Keluarga yang ajaib. Gema Suasana, 5.3, (50): 440-8. Kenang-kenangan pada kawan. Mimbar Indonesia, 9.4, (50): 20-1. Lemari buku. Mimbar Indonesia, 48.4, (50): 20-1. Mencari anak hilang. Daya, 2.2, (50): 42-4, 48. Pelarian yang tak dicari. Mutiara, 16.2, (50): 10-1, 14-9. Sebuah surat. Spektra, 14.2, (50): 25-30. Berita dari Kebayoran. Mimbar Indonesia,

11.5, (51): 20-1, 26. Idulfitri mendapat ilham. Indonesia, 6.2, (51): 17-29. Kemudian lahirlah dia. Mimbar Indonesia, 8, 9.5, (51): 20-2; 20-2. Yang sudah hilang. Zenith, 2.1, (51): 112-128. Kampungku. Mimbar Indonesia, 30.6, (52): 20-1, 24, 26. Sepku. Waktu, 5.6, (52): 7-8. Kapal gersang. Zenith, 9.3, (53): 550-6. Keguguran calon dramawan. Zenith, 11.3, (53): 659-71. Tentang emansipasi buaya. Zenith, 12.3, (53): 722-30. Kalil, si opas kantor. Kisah, 3.2, (54): 85-90. Korupsi. Indonesia, 4.5, (54): 165-245. Perjalanan. Mimbar Indonesia, 13.8, (54): 20-3. Suatu pojok di suatu dunia. Prosa, 1.1, (55): 5-7. Arya Damar. Star Weekly, 551.11, (56): 18-9. Biangkeladi. Roman, 6.3, (56): 16-8. Darah Pajajaran. Star Weekly, 546.11, (56): 26-7. Djaka Tarub. Star Weekly, 562.11, (56): 156. Gambir. Aneka, 3,4,5.7, (56): 12-3; 12-3, 20; 12-3, 19. Jalan yang amat panjang. Kisah, 7-8.4, (56): 13-5. Kecapi. Kisah, 2.4, (56): 4-5. Kesempatan yang kesekian. Zaman baru, 5, (56): 13-8. Ki Ageng Pengging. Star Weekly, 570.11, (56): 26-7. Lembaga. Roman, 5.3, (56): 7-8.

Makhluk di belakang rumah. Kontjo, 5.2, (56): 20-1, 33. Mbah Ronggo dan setan-setannya. Star Weekly, 541.11, (56): 26-8. Nyonya dokter hewan Suharko. Roman, 9.3, (56): 4-6. Pelukis Purbangkara. Star Weekly, 549.11, (56): 26-7. Raden Patah dan Raden Husen. Star Weekly, 555, 556.11, (56): 38-41; 25-7. Sekali di bulan purnama. Roman, 7.3, (56): 12-4. Suatu kerajaan yang runtuh karena rajukan permaisuri. Star Weekly, 544.11, (56): 26-7, 35. Sunyi-senyap di siang hidup. Indonesia, 6.7, (56): 255-268. Tanpa kemudian. Roman, 3.3, (56): 6-7, 11. "Djakarta," Almanak Seni 1957, Djakarta: Badan Musjawarat Kebudajaan Nasional, 1956. Kasimun yang seorang. Roman, 8.4, (57): 8-10. Keluarga Mbah Lono Jangkung. Roman, 12.4, (57): 22-6, 42. Shamrock Hotel 315. Roman, 10.4, (57): 56. Yang cantik dan yang sakit. Pantjawarna, 120.9, (57): 16-7. Dia yang tidak muncul. Star Weekly, 659.13, (58): 7-9. Yang pesta dan yang tewas. Zaman Baru, 21-22, (58): 6. Paman Martil. Jang Tak Terpadamkan (kumpulan tjerita pendek) menjambut ulang tahun ke-45 PKI. Pg. 5-27

Puisi Antara kita. Siasat, 103.2, (49): 9. Anak tumpah darah. Indonesia, 12.2, (51): 20.

Kutukan diri. Indonesia, 12.2, (51): 19-20. Alamat Rumah Keluarga: Jalan Multi Karya II Nomor 26, Utan Kayu, Jakarta Timur Bojonggede, Bogor Pramoedya Ananta Toer Dari Wikipedia bahasa Indonesia, ensiklopedia bebas Pramoedya Ananta Toer (lahir di Blora, Jawa Tengah, 6 Februari 1925 meninggal di Jakarta, 30 April 2006 pada umur 81 tahun), secara luas dianggap sebagai salah satu pengarang yang produktif dalam sejarah sastra Indonesia. Pramoedya telah menghasilkan lebih dari 50 karya dan diterjemahkan ke dalam lebih dari 41 bahasa asing. Masa kecil Pramoedya dilahirkan di Blora, di jantung Pulau Jawa, pada 1925 sebagai anak sulung dalam keluarganya. Ayahnya adalah seorang guru, sedangkan ibunya berdagang nasi. Nama asli Pramoedya adalah Pramoedya Ananta Mastoer, sebagaimana yang tertulis dalam koleksi cerita pendek semi-otobiografinya yang berjudul Cerita Dari Blora. Karena nama keluarga Mastoer (nama ayahnya) dirasakan terlalu aristokratik, ia menghilangkan awalan Jawa "Mas" dari nama tersebut dan menggunakan "Toer" sebagai nama keluarganya. Pramoedya menempuh pendidikan pada Sekolah Kejuruan Radio di Surabaya, dan kemudian bekerja sebagai juru ketik untuk surat kabar Jepang di Jakarta selama pendudukan Jepang di Indonesia. Pasca kemerdekaan Indonesia Pada masa kemerdekaan Indonesia, ia mengikuti kelompok militer di Jawa dan kerap ditempatkan di Jakarta pada akhir perang kemerdekaan. Ia menulis cerpen serta buku di sepanjang karier militernya dan ketika dipenjara Belanda di Jakarta pada 1948 dan 1949. Pada 1950-an ia tinggal di Belanda sebagai bagian dari program pertukaran budaya, dan ketika kembali ke Indonesia ia menjadi anggota Lekra, salah satu organisasi sayap kiri di Indonesia. Gaya penulisannya berubah selama masa itu, sebagaimana yang ditunjukkan dalam karyanya Korupsi, fiksi kritik pada pamong praja yang jatuh di atas perangkap korupsi. Hal ini menciptakan friksi antara dia dan pemerintahan Soekarno. Selama masa itu, ia mulai mempelajari penyiksaan terhadap Tionghoa Indonesia, kemudian pada saat yang sama, ia pun mulai berhubungan erat dengan para penulis di Tiongkok. Khususnya, ia menerbitkan rangkaian surat-menyurat dengan penulis Tionghoa yang membicarakan sejarah Tionghoa di Indonesia, berjudul Hoakiau di Indonesia. Ia merupakan kritikus yang tak mengacuhkan pemerintahan Jawa-sentris pada keperluan dan keinginan dari daerah lain di Indonesia, dan secara terkenal mengusulkan bahwa pemerintahan mesti dipindahkan ke luar Jawa. Pada 1960-an ia ditahan pemerintahan Soeharto karena pandangan pro-Komunis Tiongkoknya. Bukunya dilarang dari peredaran, dan ia ditahan tanpa pengadilan di Nusakambangan di lepas pantai Jawa, dan akhirnya di pulau Buru di kawasan timur Indonesia.

Penahanan dan masa setelahnya Selain pernah ditahan selama 3 tahun pada masa kolonial dan 1 tahun pada masa Orde Lama, selama masa Orde Baru Pramoedya merasakan 14 tahun ditahan sebagai tahanan politik tanpa proses pengadilan.

13 Oktober 1965 - Juli 1969 Juli 1969 - 16 Agustus 1969 di Pulau Nusakambangan Agustus 1969 - 12 November 1979 di Pulau Buru November - 21 Desember 1979 di Magelang

Ia dilarang menulis selama masa penahanannya di Pulau Buru, namun tetap mengatur untuk menulis serial karya terkenalnya yang berjudul Bumi Manusia, serial 4 kronik novel semi-fiksi sejarah Indonesia. Tokoh utamanya Minke, bangsawan kecil Jawa, dicerminkan pada pengalaman RM Tirto Adisuryo seorang tokoh pergerakkan pada zaman kolonial yang mendirikan organisasi Sarekat Priyayi dan diakui oleh Pramoedya sebagai organisasi nasional pertama. Jilid pertamanya dibawakan secara oral pada para kawan sepenjaranya, dan sisanya diselundupkan ke luar negeri untuk dikoleksi pengarang Australia dan kemudian diterbitkan dalam bahasa Inggris dan Indonesia. Pramoedya dibebaskan dari tahanan pada 21 Desember 1979 dan mendapatkan surat pembebasan secara hukum tidak bersalah dan tidak terlibat G30S/PKI, tapi masih dikenakan tahanan rumah di Jakarta hingga 1992, serta tahanan kota dan tahanan negara hingga 1999, dan juga wajib lapor satu kali seminggu ke Kodim Jakarta Timur selama kurang lebih 2 tahun. Selama masa itu ia menulis Gadis Pantai, novel semi-fiksi lainnya berdasarkan pengalaman neneknya sendiri. Ia juga menulis Nyanyi Sunyi Seorang Bisu (1995), otobiografi berdasarkan tulisan yang ditulisnya untuk putrinya namun tak diizinkan untuk dikirimkan, dan Arus Balik (1995). Kontroversi Ketika Pramoedya mendapatkan Ramon Magsaysay Award, 1995, diberitakan sebanyak 26 tokoh sastra Indonesia menulis surat 'protes' ke yayasan Ramon Magsaysay. Mereka tidak setuju, Pramoedya yang dituding sebagai "jubir sekaligus algojo Lekra paling galak, menghantam, menggasak, membantai dan mengganyang" di masa demokrasi terpimpin, tidak pantas diberikan hadiah dan menuntut pencabutan penghargaan yang dianugerahkan kepada Pramoedya. Tetapi beberapa hari kemudian, Taufik Ismail sebagai pemrakarsa, meralat pemberitaan itu. Katanya, bukan menuntut 'pencabutan', tetapi mengingatkan 'siapa Pramoedya itu'. Katanya, banyak orang tidak mengetahui 'reputasi gelap' Pram dulu. Dan pemberian penghargaan Magsaysay dikatakan sebagai suatu kecerobohan. Tetapi di pihak lain, Mochtar Lubis malah mengancam mengembalikan hadiah Magsaysay yang dianugerahkan padanya di tahun 1958, jika Pram tetap akan dianugerahkan hadiah yang sama. Lubis juga mengatakan, HB Jassin pun akan mengembalikan hadiah Magsaysay yang pernah diterimanya. Tetapi, ternyata dalam pemberitaan berikutnya, HB Jassin malah mengatakan yang lain sama sekali dari pernyataan Mochtar Lubis.

Dalam berbagai opini-opininya di media, para penandatangan petisi 26 ini merasa sebagai korban dari keadaan pra-1965. Dan mereka menuntut pertanggungan jawab Pram, untuk mengakui dan meminta maaf akan segala peran 'tidak terpuji' pada 'masa paling gelap bagi kreativitas' pada zaman Demokrasi Terpimpin. Pram, kata Mochtar Lubis, memimpin penindasan sesama seniman yang tak sepaham dengannya. Sementara Pramoedya sendiri menilai segala tulisan dan pidatonya di masa pra-1965 itu tidak lebih dari 'golongan polemik biasa' yang boleh diikuti siapa saja. Dia menyangkal terlibat dalam pelbagai aksi yang 'kelewat jauh'. Dia juga merasa difitnah, ketika dituduh ikut membakar buku segala. Bahkan dia menyarankan agar perkaranya dibawa ke pengadilan saja jika memang materi cukup. Kalau tidak cukup, bawa ke forum terbuka, katanya, tetapi dengan ketentuan saya boleh menjawab dan membela diri, tambahnya. Semenjak Orde Baru berkuasa, Pramoedya tidak pernah mendapat kebebasan menyuarakan suaranya sendiri, dan telah beberapa kali dirinya diserang dan dikeroyok secara terbuka di koran. Tetapi dalam pemaparan pelukis Joko Pekik, yang juga pernah menjadi tahanan di Pulau Buru, ia menyebut Pramoedya sebagai 'juru-tulis'. Pekerjaan juru-tulis yang dimaksud oleh Joko Pekik adalah Pramoedya mendapat 'pekerjaan' dari petugas Pulau Buru sebagai tukang ketiknya mereka. Bahkan menurut Joko Pekik, nasib Pramoedya lebih baik dari umumnya tahanan yang ada. Statusnya sebagai tokoh seniman yang oleh media disebar-luaskan secara internasional, menjadikan dia hidup dengan fasilitas yang lumayan - apalagi kalau ada tamu dari 'luar' yang datang pasti Pramoedya akan menjadi 'bintangnya'. Masa tua Pramoedya telah menulis banyak kolom dan artikel pendek yang mesngkritik pemerintahan Indonesia terkini. Ia menulis buku Perawan Remaja dalam Cengkraman Militer, dokumentasi yang ditulis dalam gaya menyedihkan para wanita Jawa yang dipaksa menjadi wanita penghibur selama masa pendudukan Jepang. Semuanya dibawa ke Pulau Buru di mana mereka mengalami kekerasan seksual, mengakhiri tinggal di sana daripada kembali ke Jawa. Pramoedya membuat perkenalannya saat ia sendiri merupakan tahanan politik di Pulau Buru selama masa 1970-an. Banyak dari tulisannya menyentuh tema interaksi antarbudaya; antara Belanda, kerajaan Jawa, orang Jawa secara umum, dan Tionghoa. Banyak dari tulisannya juga semi-otobiografi, di mana ia menggambar pengalamannya sendiri. Ia terus aktif sebagai penulis dan kolumnis. Ia memperoleh Ramon Magsaysay Award untuk Jurnalisme, Sastra, dan Seni Komunikasi Kreatif 1995. Ia juga telah dipertimbangkan untuk Hadiah Nobel Sastra. Ia juga memenangkan Hadiah Budaya Asia Fukuoka XI 2000 dan pada 2004 Norwegian Authors' Union Award untuk sumbangannya pada sastra dunia. Ia menyelesaikan perjalanan ke Amerika Utara pada 1999 dan memperoleh penghargaan dari Universitas Michigan. Sampai akhir hayatnya ia aktif menulis, walaupun kesehatannya telah menurun akibat usianya yang lanjut dan kegemarannya merokok. Pada 12 Januari 2006, ia dikabarkan telah dua minggu terbaring sakit di rumahnya di Bojong Gede, Bogor, dan dirawat di rumah sakit. Menurut laporan, Pramoedya menderita diabetes, sesak napas dan jantungnya melemah. Pada 6 Februari 2006 di Teater Kecil Taman Ismail Marzuki, diadakan pameran khusus tentang sampul buku dari karya Pramoedya. Pameran ini sekaligus hadiah ulang tahun ke-81 untuk

Pramoedya. Pameran bertajuk Pram, Buku dan Angkatan Muda menghadirkan sampul-sampul buku yang pernah diterbitkan di mancanegara. Ada sekitar 200 buku yang pernah diterjemahkan ke berbagai bahasa dunia. Berpulang Pada 27 April 2006, Pram sempat tak sadar diri. Pihak keluarga akhirnya memutuskan membawa dia ke RS Sint Carolus hari itu juga. Pram didiagnosis menderita radang paru-paru, penyakit yang selama ini tidak pernah menjangkitinya, ditambah komplikasi ginjal, jantung, dan diabetes. Pram hanya bertahan tiga hari di rumah sakit. Setelah sadar, dia kembali meminta pulang. Meski permintaan itu tidak direstui dokter, Pram bersikeras ingin pulang. Sabtu 29 April, sekitar pukul 19.00, begitu sampai di rumahnya, kondisinya jauh lebih baik. Meski masih kritis, Pram sudah bisa memiringkan badannya dan menggerak-gerakkan tangannya. Kondisinya sempat memburuk lagi pada pukul 20.00. Pram masih dapat tersenyum dan mengepalkan tangan ketika sastrawan Eka Budianta menjenguknya. Pram juga tertawa saat dibisiki para penggemar yang menjenguknya bahwa Soeharto masih hidup. Kondisi Pram memang sempat membaik, lalu kritis lagi. Pram kemudian sempat mencopot selang infus dan menyatakan bahwa dirinya sudah sembuh. Dia lantas meminta disuapi havermut dan meminta rokok. Tapi, tentu saja permintaan tersebut tidak diluluskan keluarga. Mereka hanya menempelkan batang rokok di mulut Pram tanpa menyulutnya. Kondisi tersebut bertahan hingga pukul 22.00. Setelah itu, beberapa kali dia kembali mengalami masa kritis. Pihak keluarga pun memutuskan menggelar tahlilan untuk mendoakan Pram. Pasang surut kondisi Pram tersebut terus berlangsung hingga pukul 02.00. Saat itu, dia menyatakan agar Tuhan segera menjemputnya. "Dorong saja saya," ujarnya. Namun, teman-teman dan kerabat yang menjaga Pram tak lelah memberi semangat hidup. Rumah Pram yang asri tidak hanya dipenuhi anak, cucu, dan cicitnya. Tapi, teman-teman hingga para penggemarnya ikut menunggui Pram. Kabar meninggalnya Pram sempat tersiar sejak pukul 03.00. Tetangga-tetangga sudah menerima kabar duka tersebut. Namun, pukul 05.00, mereka kembali mendengar bahwa Pram masih hidup. Terakhir, ketika ajal menjemput, Pram sempat mengerang, "Akhiri saja saya. Bakar saya sekarang," katanya. Pada 30 April 2006 pukul 08.55 Pramoedya wafat dalam usia 81 tahun. Ratusan pelayat tampak memenuhi rumah dan pekarangan Pram di Jalan Multikarya II No 26, Utan Kayu, Jakarta Timur. Pelayat yang hadir antara lain Sitor Situmorang, Erry Riyana Hardjapamekas, Nurul Arifin dan suami, Usman Hamid, Putu Wijaya, Goenawan Mohamad, Gus Solah, Ratna Sarumpaet, Budiman Sujatmiko, serta puluhan aktivis, sastrawan, dan cendekiawan. Hadir juga Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Jero Wacik. Terlihat sejumlah karangan bunga tanda duka, antara lain dari KontraS, Wapres Jusuf Kalla, artis Happy Salma, pengurus DPD PDI Perjuangan, Dewan Kesenian Jakarta, dan lain-lain. Teman-teman Pram yang pernah ditahan di Pulau Buru juga hadir melayat. Temasuk para anak muda fans Pram. Jenazah dimandikan pukul 12.30 WIB, lalu disalatkan. Setelah itu, dibawa keluar rumah untuk dimasukkan ke ambulans yang membawa Pram ke TPU Karet Bivak. Terdengar lagu Internationale dan Darah Juang dinyanyikan di antara pelayat.

Penghargaan

Freedom to Write Award dari PEN American Center, AS, 1988 Penghargaan dari The Fund for Free Expression, New York, AS, 1989 Wertheim Award, "for his meritorious services to the struggle for emancipation of Indonesian people", dari The Wertheim Fondation, Leiden, Belanda, 1995 Ramon Magsaysay Award, "for Journalism, Literature, and Creative Arts, in recognation of his illuminating with briliant stories the historical awakening, and modern experience of Indonesian people", dari Ramon Magsaysay Award Foundation, Manila, Filipina, 1995 UNESCO Madanjeet Singh Prize, "in recognition of his outstanding contribution to the promotion of tolerance and non-violence" dari UNESCO, Perancis, 1996 Doctor of Humane Letters, "in recognition of his remarkable imagination and distinguished literary contributions, his example to all who oppose tyranny, and his highly principled struggle for intellectual freedom" dari Universitas Michigan, Madison, AS, 1999 Chancellor's distinguished Honor Award, "for his outstanding literary archievements and for his contributions to ethnic tolerance and global understanding", dari Universitas California, Berkeley, AS, 1999 Chevalier de l'Ordre des Arts et des Letters, dari Le Ministre de la Culture et de la Communication Republique, Paris, Perancis, 1999 New York Foundation for the Arts Award, New York, AS, 2000 Fukuoka Cultural Grand Prize (Hadiah Budaya Asia Fukuoka), Jepang, 2000 The Norwegian Authors Union, 2004 Centenario Pablo Neruda, Chili, 2004

Lain-lain

Anggota Nederland Center, ketika masih di Pulau Buru, 1978 Anggota kehormatan seumur hidup dari International PEN Australia Center, 1982 Anggota kehormatan PEN Center, Swedia, 1982 Anggota kehormatan PEN American Center, AS, 1987 Deutschsweizeriches PEN member, Zentrum, Swiss, 1988 International PEN English Center Award, Inggris, 1992 International PEN Award Association of Writers Zentrum Deutschland, Jerman, 1999

Bibliografi Kecuali judul pertama, semua judul sudah disesuaikan ke dalam Ejaan Yang Disempurnakan.

Sepoeloeh Kepala Nica (1946), hilang di tangan penerbit Balingka, Pasar Baru, Jakarta, 1947 KranjiBekasi Jatuh (1947), fragmen dari Di Tepi Kali Bekasi Perburuan (1950), pemenang sayembara Balai Pustaka, Jakarta, 1949 (dicekal oleh pemerintah karena muatan komunisme) Keluarga Gerilya (1950) Subuh (1951), kumpulan 3 cerpen

Percikan Revolusi (1951), kumpulan cerpen Mereka yang Dilumpuhkan (I & II) (1951) Bukan Pasarmalam (1951) Di Tepi Kali Bekasi (1951), dari sisa naskah yang dirampas Marinir Belanda pada 22 Juli 1947 Dia yang Menyerah (1951), kemudian dicetak ulang dalam kumpulan cerpen

Cerita dari Blora (1952), pemenang karya sastra terbaik dari Badan Musyawarah Kebudayaan Nasional, Jakarta, 1953 Gulat di Jakarta (1953) Midah Si Manis Bergigi Emas (1954) Korupsi (1954) Mari Mengarang (1954), tak jelas nasibnya di tangan penerbit Cerita Dari Jakarta (1957) Cerita Calon Arang (1957) Sekali Peristiwa di Banten Selatan (1958) Panggil Aku Kartini Saja (I & II, 1963; bagian III dan IV dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Kumpulan Karya Kartini, yang pernah diumumkan di berbagai media; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Wanita Sebelum Kartini; dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Gadis Pantai (1962-65) dalam bentuk cerita bersambung, bagian pertama triologi tentang keluarga Pramoedya; terbit sebagai buku, 1987; dilarang Jaksa Agung; jilid kedua dan ketiga dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965 Sejarah Bahasa Indonesia. Satu Percobaan (1964); dibakar Angkatan Darat pada 13 Oktober 1965

Realisme Sosialis dan Sastra Indonesia (1963) Lentera (1965), tak jelas nasibnya di tangan penerbit Bumi Manusia (1980); dilarang Jaksa Agung, 1981 Anak Semua Bangsa (1981); dilarang Jaksa Agung, 1981 Sikap dan Peran Intelektual di Dunia Ketiga (1981) Tempo Doeloe (1982), antologi sastra pra-Indonesia Jejak Langkah (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985 Sang Pemula (1985); dilarang Jaksa Agung, 1985 Hikayat Siti Mariah, (ed.) Hadji Moekti, (1987); dilarang Jaksa Agung, 1987 Rumah Kaca (1988); dilarang Jaksa Agung, 1988 Memoar Oei Tjoe Tat, (ed.) Oei Tjoe Tat, (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995 Nyanyi Sunyi Seorang Bisu I (1995); dilarang Jaksa Agung, 1995 Arus Balik (1995) Nyanyi Sunyi Seorang Bisu II (1997) Arok Dedes (1999) Mangir (2000) Larasati (2000) Jalan Raya Pos, Jalan Daendels (2005)